Tantangan Pengembangan Model PNF

8

Click here to load reader

description

Pengembangan Model PNF memiliki tantangan dan kompleksitas persoalan lebih dari sekedar mencakup Kegiatan Belajar Mengajar

Transcript of Tantangan Pengembangan Model PNF

Page 1: Tantangan Pengembangan Model PNF

Tantangan Pengembangan Model Pembelajaran PNF (Bagian Satu)

Oleh: Edy Hardiyanto12

Seperti dikehendaki UU Sisdiknas, Pendidikan Nonformal (PNF) adalah salah

satu jalur yang dapat dilalui untuk memenuhi pencapaian tujuan pendidikan

nasional. Dalam lingkup pembelajaran PNF, lazim dilaksanakan sebuah upaya

pengembangan model sebagaimana PP 17/2010 tentang Pengelolaan dan

Penyelenggaraan Pendidikan Pasal 171.

Setiap orang pasti tertarik mengajukan pertanyaan lanjutan, bagaimana dan seperti

apa eksekusi sebuah pengembangan model PNF yang terutama dikawal oleh

Pamong Belajar dibandingkan dengan pendidik lain seperti guru dan dosen.

Kedua entitas terakhir yang disebut telah menikmati tunjangan profesi ini tidak

mengenal kegiatan mengembangkan model pembelajaran dan hanya

melaksanakan tugas mengajar semata.

Upaya pengembangan model pembelajaran PNF dapat dikatakan berangkat dari

ketidak-adaan dengan berbagai alasan. Penelusuran mengenai penyelenggaraan

pengembangan model menghantarkan saya ke sebuah kota pantai utara (Pantura)

antara Cikampek dan Cirebon. Pengembangan model yang digagas awal tahun

2011 oleh sebuah institusi pengembang ini dinamakan Model Pelatihan Kursus

Para Profesi Luar Negeri bidang Penata Laksana Rumah Tangga (KPP-LN

PLRT). Dari model ini diharapkan kontribusi nyata peran pendidikan terutama

1 Disampaikan untuk Workshop Peningkatan Kompetensi Pamong Belajar di Kabupaten Bandung, Selasa, 22 Januari 2013

2 Tanggapan dan komentar atas artikel ini dapat disampaikan melalui email: [email protected]

1/5

Page 2: Tantangan Pengembangan Model PNF

dalam mengurangi penderitaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri,

sekaligus meningkatkan kompetensi kerja calon TKI sebelum berangkat bekerja.

Masalah yang hendak ‘ditembak’ oleh model ini ternyata lebih dari sekedar

persoalan pembelajaran bagaimana calon TKI dari Pantura disiapkan dan

dilengkapi pelatihan selama kurun waktu tertentu. Dan ternyata pula telah sekian

lama urusan pelatihan ini menjadi domain Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia

(PJTKI) serta instansi Kemenaker. Praktek ‘nakal’ PJTKI yang identik dengan

percaloan yang mengarah kepada human trafficking sudah berhasil dikurangi oleh

beragam tindakan dan kebijakan BNP2TKI di bawah kendali Zumhur Hidayat,

antara lain dengan memunculkan ‘single policy’ melalui PPTKIS.

Berlatarbelakang moratorium pengirim TKI ke Arab Saudi dan kasus penderitaan

TKI yang semakin sering disiarkan media massa, kepentingan pelatihan KPP-LN

PLRT sebagai sebuah model menjadi pertaruhan banyak pihak, terutama dalam

menyelesaikan masalah TKI. Akan tetapi secara riil, ternyata model ini berdiri di

antara kompleksitas sebuah praktek penyelenggaraan pendidikan nasional.

Model ini menetapkan sasaran lulusan SLTP atau sederajat diutamakan

perempuan dan berusia 23 – 35 tahun sebagai peserta pelatihan. Proses rekrutmen

yang dikampanyekan dengan pamflet, spanduk hingga materi siar di radio

setempat, tidak membuahkan hasil menggembirakan. Justru mengundang minat

‘calo’ untuk menjalankan jurus intervensi mulai dari ‘iming-iming’ kesempatan

kerja di negara lain yang lebih baik hingga tuntutan kompensasi keluarga yang

2/5

Page 3: Tantangan Pengembangan Model PNF

ditinggalkan. Persoalan mencari dan menemukan peserta didik – langkah pertama

– dalam sebuah pembelajaran PNF dijamin tidak akan ditemukan dalam

penyelenggaraan Pendidikan Formal (PF) di sekolah.

Terlepas dari kelangkaan calon peserta didik, model PNF langkah kedua adalah

menetapkan kebutuhan belajar, melalui identifikasi awal sebelum mengemas

kurikulum sesuai kebutuhan dan karakteristik program yaitu menyiapkan PLRT

yang memiliki kompetensi dan sertifikasi keahlian. Di bagian ini, model

pembelajaran dihadapkan pada persoalan ‘input’ kapasitas diri calon peserta

pelatihan, sebut saja mereka adalah lulusan SLTP. Sebagai contoh kemampuan

berbahasa Inggris, pengenalan awal peserta yang dilakukan dengan mengajukan

sepuluh butir pertanyaan umum dalam bahasa Inggris, empat pertanyaan tidak

dapat oleh seorang lulusan SLTA yang menyelesaikan Madrasah Aliyah dua

puluh tiga tahun silam. Persoalan keragaman ‘input’ menjadikan model PNF

harus menyediakan pola dan proses pembelajaran yang lebih rumit dibandingkan

dengan pembelajaran di sekolah yang secara formal ‘menyeragamkan’

kemampuan dan kecepatan belajar peserta didik.

Semakin pelik, model KPP-LN PLRT ini pun harus dapat menyiasati sebaran

peserta didik yang lulus dari beragam tahun, jenjang dan jenis pendidikan formal

sebelum menjadi peserta pelatihan. Kita sadari untuk lulusan sekolah formal tahun

yang sama saja, kecakapan, kemampuan sebagai hasil belajar selama kurun waktu

tertentu, mungkin tidak diperoleh sama dan seragam. Memang akan lebih

gampang, kalau model ini tidak memproyeksikan ‘input’ pendidikan formal di

3/5

Page 4: Tantangan Pengembangan Model PNF

tanah air dengan tuntutan pasar kerja di Singapura. Melalui polesan pelatihan

kursus PLRT selama lima puluh hari, model PNF ini hanya dapat menutupi

sebagian kecil kekurangan hasil pendidikan dan hanya memenuhi orientasi

‘praktis’ menjadi PLRT.

Pola dan proses pembelajaran yang rumit harus dapat diakomodasi oleh

instruktur/pelatih. Model ini pun harus memilah dan menyeleksi sejumlah calon

instruktur agar dapat menghantarkan peserta didik memiliki kecakapan dan

kemampuan yang dapat lolos dan lulus dari uji kompetensi dan sertifikasi di akhir

pembelajaran. Seperti juga menerima dan menetapkan peserta didik, menentapkan

instruktur/pelatih tidak kalah rumit, tidak hanya cukup berdasarkan penilaian

‘forto polio’, kecakapan mengajar, melainkan juga memperhatikan karakter

sebagai pendidik.

Praktek pendidikan formal yang dijalankan guru dan dosen tidak pernah

berhadapan dengan penerimaan, pemilahan dan pemilihan instruktur/pelatih

karena mereka sendiri yang menjadi pendidik. Sedangkan dalam model PNF,

seorang pengembang yaitu Pamong Belajar harus memiliki kemampuan sebagai

pendidik sebelum menyerahkan dan melibatkan tanggung jawab mendidik kepada

instruktur/pelatih yang ditetapkan. Apalagi jika model PNF akan disebarluaskan

melibatkan sejumlah instruktur/pelatih.

Di akhir, model KPP-LN PLRT harus menetapkan bentuk dan jenis evaluasi yang

mengacu pada tujuan pembelajaran. Untuk model ini, tujuan pembelajaran adalah

4/5

Page 5: Tantangan Pengembangan Model PNF

menjadikan peserta didik lolos, lulus uji kompetensi, mendapat sertifikasi serta

dapat menempati pekerjaan PLRT di Singapura. Waktu tunggu lulusan pelatihan

sebagai calon TKI antara menyelesaikan pelatihan dengan penempatan kerja

diproyeksikan tidak lebih dari setahun. Untuk penilaian hasil belajar, model ini

harus menetapkan standar pasar kerja ‘tinggi’. Untuk bahasa Inggris PLRT saja,

tes kemampuan standar Minister of Man Power Singapura belum tentu dapat

dipenuhi oleh lulusan SLTP yang lulus setahun terakhir.

Sampai di sini, saya melihat kedalaman salah satu upaya pengembangan model

PNF hanya dapat ditandingi oleh lembaga seperti Badan Penelitian dan

Pengembangan (Balitbang) di tingkat Kementrian, baik sumber daya manusia,

sarana dan prasarana. Akan tetapi lembaga tersebut kelihatan asyik masyuk

memperdulikan praktek penyelenggaraan pendidikan formal yang menyasar

school population semata dan diibaratkan bak mengurusi empang berisi nener

atau bener saja. Sedangkan ruang dan kesempatan belajar out-of-school

population dibiarkan tumbuh alami karena memang bak lautan samudra luas

mulai dari ikan teri, tongkol, barakuda, hiu, hingga ikan paus, begitu menurut

mantan Dirjen di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional menganalogikan

antara pendidikan sekolah dan luar sekolah.

----- Terima Kasih dan Sampai Jumpa -----

5/5