Tantangan dari Dalam - library.fes.de · sejarah pada tempatnya. Saya merasakan euforia yang juga...

163
i Tantangan dari Dalam Jakarta, 2009 Otonomi Redaksi di 4 Media Cetak Nasional: Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika Penulis : Anett Keller

Transcript of Tantangan dari Dalam - library.fes.de · sejarah pada tempatnya. Saya merasakan euforia yang juga...

i

Tantangan dariDalam

Jakarta, 2009

Otonomi Redaksi di 4 Media Cetak Nasional:

Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika

Penulis :

Anett Keller

ii

Tantangan dari Dalam

TANTANGAN DARI DALAMTANTANGAN DARI DALAMTANTANGAN DARI DALAMTANTANGAN DARI DALAMTANTANGAN DARI DALAMOtonomi Redaksi di 4 Media Cetak Nasional:Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika

Diterbitkan Oleh:Diterbitkan Oleh:Diterbitkan Oleh:Diterbitkan Oleh:Diterbitkan Oleh:Friedrich Ebert Stiftung (FES) Indonesia Office

ISBN: xxxISBN: xxxISBN: xxxISBN: xxxISBN: xxx

Penulis:Penulis:Penulis:Penulis:Penulis:Anett Keller

Design Cover :Design Cover :Design Cover :Design Cover :Design Cover :Arganta Arter

Dicetak oleh :Dicetak oleh :Dicetak oleh :Dicetak oleh :Dicetak oleh :CV Dunia Printing Selaras (d’print comm)

Edisi Pertama, Agustus 2009Edisi Pertama, Agustus 2009Edisi Pertama, Agustus 2009Edisi Pertama, Agustus 2009Edisi Pertama, Agustus 2009Dilarang memperbanyak atau mengutip sebagian atauseluruh isi buku ini dalam bentuk apapun tanpa izintertulis dari FES Indonesia Office

iii

Daftar Isi ...........................................................................

Kata Pengantar Penulis ....................................................

Kata Pengantar Direktur Perwakilan Friedrich Ebert

Stiftung Indonesia ................................................................

Kata Pengantar Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers

& Pembangunan ................................................................

Tentang Penulis ....................................................................

Tentang Friedrich Ebert Stiftung (FES) ............................

Abstraksi ...........................................................................

SatuSatuSatuSatuSatu PendahuluanPendahuluanPendahuluanPendahuluanPendahuluan

1. Pendahuluan …………………………………….....

DuaDuaDuaDuaDua Latar Belakang TeoriLatar Belakang TeoriLatar Belakang TeoriLatar Belakang TeoriLatar Belakang Teori

2. Latar Belakang Teori ..............................................

2.1. Pasar versus Kewajiban Umum ..............

2.2. Tekanan Relevan versus Tekanan tidak

Relevan terhadap Redaksi ………............

2.3. Kebebasan Internal Pers – (Bukan)

Sebuah Tanda Tanya dalam Budaya

Jurnalistik? ................................................

Daftar IsiDaftar IsiDaftar IsiDaftar IsiDaftar Isi

iii

vi

xiii

xvii

xxiii

xxiv

xxv

1

5

5

9

10

iv

Tantangan dari Dalam

2.3.1. Diskusi Mengenai Otonomi

Redaksi di Eropa .......................................

2.3.2. Permasalahan Aktual di Asia

Tenggara dan Indonesia .......................…

TigaTigaTigaTigaTiga Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaSituasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaSituasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaSituasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaSituasi dan Kondisi Persuratkabaran Indonesia

3. Situasi dan Kondisi Persuratkabaran Indonesia ..

3.1. Praktik Jurnalistik selama Rezim Diktatur ....

3.2. Praktik Jurnalistik sejak 1998 ........................

3.2.1. Situasi dan Kondisi Hukum .................

3.2.2. Situasi dan Kondisi Politik ...................

3.2.3. Situasi dan Kondisi Sosial Budaya .......

3.2.4. Situasi dan Kondisi Perekonomian ......

EmpatEmpatEmpatEmpatEmpatMedia-media yang DitelitiMedia-media yang DitelitiMedia-media yang DitelitiMedia-media yang DitelitiMedia-media yang Diteliti

4. Media-media yang Diteliti ....................................

LimaLimaLimaLimaLima Hasil PenelitianHasil PenelitianHasil PenelitianHasil PenelitianHasil Penelitian

5. Hasil Penelitian .....................................................5.1. Kompas .......................................................5.2. Koran Tempo ..............................................5.3. Media Indonesia ..........................................5.4. Republika ....................................................5.5. Kesimpulan ...............................................

11

14

19

19

23

25

28

32

37

41

4545566682

103

v

EnamEnamEnamEnamEnam Penutup dan Pendekatan untuk PenelitianPenutup dan Pendekatan untuk PenelitianPenutup dan Pendekatan untuk PenelitianPenutup dan Pendekatan untuk PenelitianPenutup dan Pendekatan untuk PenelitianSelanjutnyaSelanjutnyaSelanjutnyaSelanjutnyaSelanjutnya

6. Penutup dan Pendekatan untuk PenelitianSelanjutnya ............................................................

Sumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar Pustaka ...........................................

115

121

vi

Tantangan dari Dalam

“Apa yang menarik dari Indonesia?” Pertanyaan sepertiitu masih seringkali dilontarkan kepada saya di siniyang sebagai peneliti dan wartawan asing, sudah lebihdari 10 tahun berkecimpung di dalam permasalahanmengenai Indonesia. Ketertarikan terhadap Indonesiadimulai lewat berita dan foto-foto dari peristiwa Mei1998 yang tidak bisa lepas dari ingatan saya. Seruanyang kuat akan “Reformasi” dan harapan untukmemancangkan kekuatan demokrasi di masa depansetelah kejatuhan Suharto sepertinya semakin mengikatsaya untuk terus memberikan perhatian terhadapIndonesia.

Apalagi sembilan tahun sebelumnya, secara langsungsaya mengalami dan menyaksikan sendiri akhir darisebuah era kediktaturan yang menguasai negara di manasaya dibesarkan – Republik Demokratik Jerman (JermanTimur – DDR). Di sini, di Indonesia, banyak museumdan cerita-cerita kepahlawanan yang mengingatkan sayapada masa-masa Jerman Timur dahulu. Sebuah paradoxyang sangat menarik, di mana sebuah negara sepertiIndonesia, yang warganya terlihat memiliki ketakutanterhadap “hantu komunisme”, justru memilikikemiripan dengan negara Jerman Timur yang berhaluan

Kata Pengantar PenulisKata Pengantar PenulisKata Pengantar PenulisKata Pengantar PenulisKata Pengantar Penulis

vii

komunis. Kemiripan ini terdapat di setiap elemen yangmempunyai tujuan untuk melanggengkan danmemberikan stabilitas kekuasaan. Banyak warga JermanTimur yang juga memiliki pendapat serupa dengansaya. Mereka mengatakan bahwa ketika berada diIndonesia, mereka seringkali harus bernostalgia ke masakecil mereka. Sisi buruknya: pemaksaan persatuannasional, upacara bendera, pemujaan terhadappahlawan bangsa. Sisi baiknya: gotong royong dankreatifitas di dalam sebuah sistem ekonomi yang serbakekurangan, yang melahirkan nilai-nilai yang berbedaselain murni nilai moneter.

Juga sebagai seorang jurnalis yang menyelesaikanpendidikannya di Jerman setelah reunifikasi, sayamenyadari banyak hal yang berjalan paralel di keduanegara. Di Jerman Timur, banyak pendirian perusahaanmedia baru pada tahun-tahun pertama setelah TembokBerlin runtuh. Euforia ini – bahwa akhirnya tidak harusmelaksanakan “jurnalisme pengumuman”, yang hanyamenjadi corong pemerintah – membawa banyak jurnalismuda ke titik puncak dalam pengembangan ide-idekreatif mereka. Namun setelah beberapa tahun, sebagianbesar dari mereka harus menyaksikan bagaimana parapenerbit besar dari Jerman Barat membagi-bagi lahanpenerbitan di Jerman Timur di antara mereka sepertisebuah kue yang besar.Ketika saya melaksanakan studi di UGM, Yogyakartasebagai penerima beasiswa Darmasiswa selama satu

viii

Tantangan dari Dalam

tahun (2000-2001), saya mengenali kembali banyak halyang berkaitan dengan euforia media massa. Koran-koran bermunculan bak jamur di musim hujan,sementara di banyak sudut jalan orang mulai membukabisnis internet melalui pendirian warnet. Kebebasanberpendapat terkesan sangat kebablasan, tanpa batas,sehingga lalu timbul suara-suara yang mengusulkanuntuk kembali merevisi UU Pers tahun 1999 yang liberal.Tetapi – seperti halnya di negara asal saya – kita dengancepat dapat mengamati apa yang dinamakan“konsolidasi pasar”.

Kembali ke Jerman, saya memulai pelatihan kerjasebagai seorang redaktur. Selama satu tahun sayabekerja sebagai seorang trainee di harian “Tageszeitung”,disingkat taz. Tahun inilah yang kemudian terus-menerus membentuk konsep ideal saya mengenaiotonomi redaksi. Harian taz yang berdiri pada tahun 1979adalah sebuah koran yang tidak ditemukan modelnyadi Jerman, yakni sebuah koperasi, yang sahamnyadimiliki oleh para pembacanya. Dipandang dari segiekonomi, sampai sekarang taz tetap miskin, tapisebaliknya dari segi publisistik sangatlah kaya. Parawartawan di taz tidak bertanggungjawab pada seorangpemilik, melainkan hanya kepada pembacanya.

Setelah kerja praktek ini saya kembali ke kampus dalamrangka menyelesaikan studi untuk gelar master danmemperdalam pengetahuan keilmuan saya mengenai

ix

tema sistem media. Di Eropa, pada saat, itu PerdanaMenteri Italia, raja media Sylvio Berlusconi kembaliberkuasa di Italia. Satu masa, di mana rasa takutmenyebar di Eropa Timur karena para investor daridunia barat yang mentransformasi monopoli mediayang pada zaman dahulu dikuasai oleh pemerintah kearah oligopoli lebih membawa kerugian dibandingmanfaat untuk demokratisasi.

Meneliti permasalahan otonomi redaksi dalam kontekske-indonesia-an menurut saya sangatlah menarik,terutama karena kebanyakan literatur tentang kebebasanpers di Indonesia lebih membahas tema “sensorpemerintah”. Pada saat yang sama, banyak rekan kerjayang mengungkapkan bahwa pada prakteknya banyakhal yang dapat mempengaruhi isi maupun pemilihanberita.

Karenanya saya datang ke Jakarta, pada pertengahan2004, untuk melakukan penelitian lapangan selamaempat bulan. Bulan-bulan tersebut adalah masa yangtidak terlupakan, di mana saya dapat ikut mengalamisejarah pada tempatnya. Saya merasakan euforia yangjuga dirasakan oleh para pemilih Indonesia yang untukkali pertama memilih presidennya secara langsung.Saya juga dapat ikut merasakan bagaimana parawartawan menjalankan pekerjaannya dengan masihtetap menghadapi risiko psikis dan fisik. Mereka yangmemandang profesi ini sebagai sebuah bentuk

x

Tantangan dari Dalam

pelayanan kepada masyarakat, sayangnya tidak selaludihargai.

Ucapan banyak terima kasih saya sampaikan kepadasemua rekan wartawan, yang memungkinkanterlaksananya penelitian ini. Saya secara khususberterima kasih kepada pihak redaksi dari Kompas, KoranTempo, Media Indonesia, dan Republika, yang anggota-anggotanya telah mencurahkan banyak waktu dankepercayaan, walaupun mereka pastinya menganggapketertarikan dan pertanyaan-pertanyaan dari seorangpeneliti asing dengan sedikit aneh. Apalagi karena sayatahu – berkat pengalaman pribadi – bagaimana parawartawan di koran harian bekerja di bawah tekananwaktu yang demikian ketat. Karena itu saya sangatbersyukur atas kesabaran dan kesediaan untukmembantu, yang diberikan oleh mereka kepada saya.Rangkaian percakapan – dari mulai tingkat reportersampai ke pemilik perusahaan – di masing-masingkantor harian tersebut telah memberikan sumberinformasi dan inspirasi yang luar biasa kaya.

Selain itu saya juga ingin mengucapkan terima kasihkepada Kantor Perwakilan Friedrich-Ebert-Stiftung diJakarta. Melalui kontak dengan mitra-mitranya, parakaryawan FES tidak hanya telah membuka banyak pintu,tetapi juga setiap saat siap mendengarkan dan telah ikutmembantu dalam pengorganisasian penelitian inibeserta peluncurannya melalui komentar dan kritik-

xi

kritik yang disampaikannya. Lalu saya jugamenyampaikan rasa terima kasih saya kepada teman-teman dan rekan-rekan baik di Indonesia maupun diJerman – yang namanya tidak bisa saya sebut satupersatu – untuk ketertarikannya pada publikasi ini danjuga untuk ketelitiannya, yang telah membantu sayamenjawab berbagai pertanyaan tak terpecahkan,meminimalisasi kesalahan, dan menghindarikesalahpahaman.Jika hasil penelitian ini di masa depan toh berbuahkesalahpahaman, saya memohon maaf. Saya inginmenegaskan, bahwa pemilihan media untuk penelitianini tidak dimaksudkan untuk menampilkan yang satulebih baik atau lebih buruk dibanding yang lain. Kritikyang disampaikan tidak ditujukan pada pribadiseseorang – karenanya hanya disebut jabatan darinarasumber wawancara, bukan nama aslinya –melainkan pada keterkaitan struktur yang saya teliti danyang kemungkinan mempengaruhi hak pembaca atasinformasi yang berimbang.

Ketertarikan saya pada keempat media tersebutberdasar pada kenyataan, bahwa saya sendiri memilikilatar belakang yang berkaitan dengan surat kabar danjuga bahwa media-media ini mempunyai kapasitassebagai teladan dikarenakan nama besarnya dancakupan nasionalnya. Hal ini berarti – menurut saya –mereka mempunyai tanggung jawab terhadapkepentingan publik. Seperti halnya Henry Cassirer,

xii

Tantangan dari Dalam

mantan Direktur Bagian Pendidikan untuk Radio &Televisi UNESCO, suatu kali pernah mengatakan:“Keberadaan media tidaklah untuk memukul mati sangwaktu, tetapi untuk membantu manusia untuk hiduplebih cerdas dan lebih baik, serta menambahpengetahuan dan wawasannya.” Untuk dapatmemenuhi fungsi ini, dibutuhkan tidak hanya hilangnyasensor pemerintah. Karenanya dengan publikasi ini sayaberharap dapat menyumbangkan sedikit masukanuntuk menutup satu lubang penelitian, yang menurutpendapat saya berada pada ranah kajian kebebasan pers.

Hal yang paling menarik untuk saya adalah pengalaman,bahwa budaya jurnalistik di tempat asal saya dan diIndonesia dalam banyak hal memang sangat berbeda,tetapi pada keduanya terdapat perkembanganstruktural yang sama. Saya berharap bahwa saya dapatmemperkaya diskusi lokal tentang kebebasan pers danotonomi redaksi dari sudut pandang Eropa. Oleh sebabitulah saya mengharapkan dengan sangat untukmempublikasikan hasil penelitian ini dalam BahasaIndonesia agar dapat memperluas lingkup pembacanya.

Karena saya akhirnya dapat merealisasikan hal ini,sekali lagi saya ingin berterima kasih sebesar-besarnyakepada FES!

Jakarta, Juli 2009

Anett Keller

xiii

Setelah reformasi, Indonesia menikmati kebebasan persyang cukup besar, bahkan dapat dikatakan lebih baikjika dibandingkan negara lain, secara khusus dikawasan Asia Tenggara. Namun, kebebasan pers yangdinikmati secara luas tersebut masih meghadapiberbagai tantangan yang tidak jarang datang dari mediaitu sendiri. UU Pers tahun 1999 yang dipandang sangatliberal telah memberikan kesempatan bagi banyakperusahaan media bermunculan.

Sudah tentu seharusnya pengusaha media bekerjauntuk kepentingan ekonomi, karena jika tidak, itu bisamenyebabkan mereka dengan cepat kehilanganindependensinya. Namun demikian, pemaksimalankeuntungan seharusnya tidaklah menjadi satu-satunyatujuan dari perusahaan media. Tanggung jawab untukmemenuhi kebutuhan informasi bagi publik, masalahkesejahteraan para pegawai dan demikian pula masalahotonomi para jurnalis juga merupakan bagian darigambaran media yang demokratis dan sehat.

Kata PengantarKata PengantarKata PengantarKata PengantarKata PengantarDirektur Perwakilan FESDirektur Perwakilan FESDirektur Perwakilan FESDirektur Perwakilan FESDirektur Perwakilan FES

xiv

Tantangan dari Dalam

Konsentrasi kekuasaan media yang terletak di tangansegelintir pengusaha secara otomatis dapat membatasiotonomi redaksi dan melanggar kebebasan media,seperti banyak terlihat melalui contoh-contoh yangterjadi pada masa kini maupun dalam sejarah.

Salah satu contoh kasus ekstrim dari pemusatan mediadan pembatasan kebebasan jurnalis adalah prosessinkronisasi atau penyelarasan media terhadap sistempemerintahan yang diktatoris. Jurnalis dan penulisbuku ini, Anett Keller, betul-betul memahami apa yangia bicarakan. Dalam hal ini, ia melewati masa mudanyadi sistem komunis di negara Jerman Timur sebelumreformasi 1989, dan juga mengikuti perkembangansejarah bangsa, yang kemudian menjadi tanah air keduabagianya, yakni Indonesia. Dan ketertarikan terbesarnyaadalah menjawab pertanyaan mengenai bagaimana temaproses transformasi dan demokratisasi seperti yangterjadi di Indonesia ini terus berkembang.

Pemusatan kepemilikan tidak hanya mengkhawatirkanbagi sektor media, tetapi secara keseluruhan merupakanancaman bagi masyarakat yang demokratis danberorientasi ekonomi pasar. Kontrol ekonomi terhadapmonopoli kekuasaan adalah dasar politik dari gerakandemokrasi sosial (sosdem), yang mana YayasanFriedrich Ebert (Friedrich Ebert Stiftung/FES)menjunjung tinggi komitmen terhadap nilai-nilaisosdem. Media yang bebas dan independen merupakan

xv

elemen yang tidak terpisahkan dari sebuah demokrasiyang hidup/berkembang. FES sendiri memangmemandang promosi demokrasi sebagai tugasutamanya di seluruh dunia.

Oleh karena itu, secara khusus kami sangat berbahagiakarena akhirnya dapat mendukung penerjemahan danpenerbitan buku ini ke dalam Bahasa Indonesia. Dengandemikian kami ingin memberikan kontribusi terhadapwacana yang saat ini sangat hangat dibicarakan, yakniwacana mengenai kebebasan pers dan otonomi redaksidi Indonesia. Buku ini bukanlah ditujukan untukmemberikan penilaian terhadap sebuah perusahaanpenerbit atau media, melainkan demi memberikansebuah kontribusi yang konstruktif untuk pemeliharaandemokrasi media di Indonesia, yang oleh dunia dapatdijadikan sebagai penanda (trademark) masyarakat yangpluralistik di Indonesia.

Akhirnya, FES mengucapkan selamat dan terima kasihkepada Anett Keller untuk kerja samanya dalammenerbitkan buku ini. FES juga berterima kasih kepadaseluruh pihak yang telah membantu dan memberikandukungan, saran dan kritik dalam penyelesaianpenerbitan buku ini. Selain itu, FES juga mengucapkanterima kasih kepada Lembaga Studi Pers danPembangunan (LSPP) dalam membantu dalampenyelenggaraan peluncuran buku ini. Semoga kerjasama yang terjalin dengan seluruh pihak yang terkait

xvi

Tantangan dari Dalam

dengan buku ini dapat diteruskan di masa yang akandatang. Hal yang terpenting bagi FES adalah, kiranyabuku ini bermanfaat bagi setiap pembacanya.

Jakarta, Juli 2009

Erwin SchweisshelmDirektur Perwakilan Friedrich Ebert Stiftung Indonesia

xvii

MENDEMOKRATISKAN KELEMBAGAAN MEDIAMENDEMOKRATISKAN KELEMBAGAAN MEDIAMENDEMOKRATISKAN KELEMBAGAAN MEDIAMENDEMOKRATISKAN KELEMBAGAAN MEDIAMENDEMOKRATISKAN KELEMBAGAAN MEDIADI INDONESIA:DI INDONESIA:DI INDONESIA:DI INDONESIA:DI INDONESIA:

Kata Pengantar untuk buku Anett KellerKata Pengantar untuk buku Anett KellerKata Pengantar untuk buku Anett KellerKata Pengantar untuk buku Anett KellerKata Pengantar untuk buku Anett Keller

Sebuah kehormatan saya rasakan jika penulis buku ini,Anett Keller, meminta saya memberikan kata pengantarbagi terbitnya buku penting dalam khasanah persIndonesia saat ini.

Saya merasa bahwa buku ini sangat penting terbit padamasa sekarang, ketika pers Indonesia telah merasakanlebih dari 10 tahun nikmatnya kebebasan pers daricengkeraman Negara, namun setelah itu kita diajukanpada pertanyaan mendasar: “Betulkah kita menikmatikebebasan pers sekarang? Betulkah setelah Negararelatif jinak untuk tidak melulu mengekang pers, persjadi sungguhan merdeka?”

Buku ini membuka mata anda lebar-lebar. PersIndonesia belum lagi merdeka, terutama dari kekuasaan

Kata PengantarKata PengantarKata PengantarKata PengantarKata PengantarDirektur Eksekutif LembagaDirektur Eksekutif LembagaDirektur Eksekutif LembagaDirektur Eksekutif LembagaDirektur Eksekutif LembagaStudi Pers & PembangunanStudi Pers & PembangunanStudi Pers & PembangunanStudi Pers & PembangunanStudi Pers & Pembangunan

xviii

Tantangan dari Dalam

uang, pemilik, pengiklan, dan kepentingan ekonomidari pemilik media di mana para wartawan bekerja.

Buku ini bukan omong kosong, atau sekedar gosip,karena di dalamnya adalah hasil penelitian dari jurnalisperempuan asal Jerman, Anett Keller, dari kondisilapangan yang ia lihat dari keseharian 4 surat kabar diJakarta: Kompas, Republika, Koran Tempo dan MediaIndonesia. Dari observasi keseharian dan jugaperbincangan Anett dengan sejumlah wartawan sertapara pemilik media tersebut (hampir semua pemiliknyatelah diwawancarai), maka Anett menemukankesimpulan yang penting: media yang basiskepemilikannya lebih demokratis (tidak terpusat padasatu orang saja), menghasilkan isi berita yang juga lebihdemokratis, dan pemilik tak sewenang-wenangmengintervensi wilayah redaksi media untukmenyorongkan kesukaan dan ketidaksukaannya padaitem-item berita tertentu.

Lebih dari sepuluh tahun lalu, saya ingat pembicaraanpersoalan kepemilikan media yang mengkhawatirkanmasih dianggap sesuatu yang ilutif. Masih banyakorang bengong ketika diingatkan bahaya kepemilikanmedia yang terpusat. Banyak pihak yang masih merasaitu sesuatu yang terjadi “jauh di luar sana”. Namunkini, banyak kisah, banyak tulisan, makin menunjukkanbahwa masalah itu bukan sesuatu yang “jauh-jauh” tadi,tetapi ia “dekat-dekat saja di sekitar kita”, dan justru

xix

dengan kehebatan menyelinap, banyak pihak tak sadardengan situasi yang sebenarnya terjadi sehari-hari.

Sebagai ungkapan misalnya, seorang rekan pernahmengatakan, “masa pada tempat di mana kita mencari makan,kita akan juga menggonggong?” Di balik ungkapan itu,ada semacam nada permisif untuk membolehkanpemilik media juga mengamankan kepentingan-kepentingan dirinya, atau meminta ini dan itu kepadaredaksi, yang penting citra dan pesona dia dalam mediatak jadi kotor bak comberan.

Rasanya kondisi ini harus dilawan. Demokrasi yangtelah dilakukan oleh media massa untuk pelbagai isulain (seperti hak asasi manusia, perlindungan terhadapperempuan, kelompok minoritas, dll.) telah suksesmasuk ke ranah-ranah publik, namun bagaimana dengandemokratisasi di dalam media itu sendiri? Adakahdemokrasi di dalam industri media? Adakah ruangdialog di dalam media untuk menghasilkan ruangredaksi yang independen dan agak steril dari pelbagaiintervensi?

Saya ingin merujuk pada buku yang belum lama terbit,yaitu buku yang ditulis oleh Ahmad Nurhasim dankawan-kawan, berjudul Wajah Retak Media: KumpulanLaporan Penelusuran (AJI & TIFA, 2009) yang melaporkananeka contoh ketidakdemokratisan perilaku media dimana para wartawan bekerja. Sejumlah media tak ubah

xx

Tantangan dari Dalam

seperti debt collector ketika menggunakan medianyasebagai sarana untuk mengritik suatu instansi, sebelumkemudian akhirnya dibungkam oleh halaman-halamaniklan. Belum lagi jika menyangkut kepentingan pemilikmedia langsung.

Contoh lain yang belum lama saya temukan adalahkisah yang terjadi dalam sebuah media cetak besar diJakarta. Walaupun ditulis dalam bentuk novel, naskahini bisa memberikan ilustrasi tentang apa yangsesungguhnya terjadi pada koran yang terbit pertamakali bulan Juni tahun 1965 tersebut. Novel tersebut(yang tak bisa ditemukan dalam jaringan toko bukuterkemuka, namun ditemukan dalam toko buku lain diluar jaringan utama tersebut) ditulis oleh Bubin Lantangberjudul Kisah Langit Merah (Gagas Media, 2009).

Dua rujukan ini memberikan daging atas kerangka yangselama ini banyak dibicarakan oleh para pemerhatiindustri media yang skeptis dalam kondisi kepemilikanmedia yang mengerucut pada tangan sejumlah pihaksaja.

***

Saya pribadi pernah melakukan penelitian kecil-kecilanuntuk melihat bagaimana kepemilikan media terpusatini berdampak pada praktek jurnalistik yang ada diIndonesia. Dan hasilnya memang mengkhawatirkan.

xxi

Dari sejumlah wartawan yang bekerja di sejumlah mediayang merupakan bagian dari suatu grup, selalu ada tabuyang tak boleh diberitakan dalam jaringan tersebut.Tabu dari satu grup ke grup lain berbeda-beda, namunpesannya sama: jangan otak-atik kepentingan pemilikmodal. Sekali berani mengotak-atik kepentinganpemilik modal, diusir atau ditendang dari strukturmedia tersebut adalah jawabannya.

Apa arti dari tabu-tabu semacam ini? Apakah ini bukanmerupakan suatu bentuk sensor internal juga, dimanapada jaman Orde Baru sensor terjadi untuk berita-beritayang dianggap negatif oleh pemerintah? Sementara itupada masa kini, sensor terjadi dari para pemilik media,untuk menyaring berita yang harus selalu positif padalembaga media dan perusahaan-perusahaan yangmerupakan kroninya.

Lebih buruk lagi, jika kemudian yang terjadi,bukan lagi media massa yang menonjol perannya, tetapiperan sebagai “public relations” dengan menggunakancorong media sehingga seolah-olah mereka tetapmenyampaikan informasi yang netral, obyektif danberguna untuk kepentingan publik.

Semakin buruk lagi, jika media dipergunakan menjadibagian dari “mesin perang” dari suatu kekuatan bisnistertentu untuk melawan kekuatan bisnis lain, dan sekalilagi media dipergunakan untuk membela kepentinganpemiliknya. Masihkah kita mengatakan bahwa media

xxii

Tantangan dari Dalam

ini netral, obyektif, membela kepentingan umum, danuntuk itu ia bisa disebut sebagai media massa?

Masih banyak pertanyaan baru yang membuat kitamencoba memahami fenomena terkini dari media diIndonesia. Namun paling tidak, buku ini telahmemberikan kontribusi penting untuk kita makinmemahami kondisi tersebut, dan tak cukup hanya itu,kita berupaya keras untuk melakukan sesuatu sebagairespon atas persoalan krusial dalam industri media diIndonesia dewasa ini. Selamat Membaca.

Jakarta 10 Juli 2009

Ignatius Haryanto(Peneliti Media, Direktur Eksekutif Lembaga Studi Persdan Pembangunan)

xxiii

Tentang PenulisTentang PenulisTentang PenulisTentang PenulisTentang Penulis

Anett Keller, kelahiran tahun 1971, menyelesaikanstudinya (S2) dalam bidang jurnalistik dan ilmu politikdi Leipzig (Jerman). Sebagai pengikut programDarmasiswa dia kuliah di UGM Yogyakarta tahun 2000-2001. Beberapa perjalanan penelitian membawanyaberkali-kali ke Indonesia dan negara-negara Asialainnya. Masa kerja prakteknya sebagai wartawan iahabiskan di surat kabar taz di Berlin, kemudian menjadiredaktur Asia di desk politik luar negeri di koran tsb.Saat ini Anett Keller adalah koresponden surat kabarThe Asia Pacific Times.

xxiv

Tantangan dari Dalam

Tentang FESTentang FESTentang FESTentang FESTentang FES

Friedrich Ebert Stiftung (FES) adalah organisasi nirlabadan non-pemerintah yang selalu menekankan prinsip-prinsip dasar sosial demokrat dan pergerakan serikatburuh. Yayasan yang didirikan tahun 1925 olehFriedrich Ebert, Presiden pertama Jerman yang terpilihsecara demokratis ini, turut berpartisipasi dalam dialoginternasional dan menjalin kerja sama. Selain di Jerman,Friedrich Ebert Stiftung memiliki kantor perwakilan di60 negara dan melaksanakan kegiatan di lebih dari 100negara termasuk Indonesia. Kantor perwakilan diIndonesia didirikan tahun 1966. Sejak itu FES Indonesiatelah menjalankan berbagai kegiatan terutama yangberkaitan dengan proses demokratisasi, reformasipolitik, media dan hukum, termasuk juga pembangunansosial dan penegakan HAM. Kegiatan-kegiatan FESdilakukan melalui kerja sama dengan berbagaiorganisasi non-pemerintah/lembaga swadayamasyarakat, akademisi dan instansi pemerintah terkait,yang diselenggarakan melalui seminar-seminar,lokakarya-lokakarya, diskusi-diskusi, pelatihan-

pelatihan dan juga penerbitan berbagai publikasi.

xxv

AbstraksiAbstraksiAbstraksiAbstraksiAbstraksi

Sistem media massa Indonesia mengalami prosesperubahan yang sangat cepat sejak berakhirnya eradiktatur militer pada tahun 1998. Sehubungan denganproses demokratisasi ke arah liberalisasi media, sensorpemerintah dan pengawasan yang ketat terhadap perstelah dihapuskan dengan disahkannya Undang-UndangPers tahun 1999. Namun apakah hal itu berarti bahwawartawan Indonesia sekarang dapat bekerja secaraindependen?Pada penelitian ini penulis mengacu pada istilahdualisme kebebasan pers: Pertama sebagai suatu bentukhak asasi yang dijamin Undang-undang Dasar (UUD)dan kedua yang penerapannya diwujudkan dalambentuk perusahaan media – yang umumnya swasta –,yang menjadi pengemban hak asasi tersebut. Denganlatar belakang tersebut, penulis berusaha menjawabpertanyaan, bagaimana otonomi redaksi dalam mediamassa Indonesia dijalankan. Setelah pada bagianpertama dipaparkan sistem media massa Indonesia,penulis lalu menggambarkan struktur ekonomi dan cara

xxvi

Tantangan dari Dalam

kerja redaksi di empat harian pagi nasional Indonesia,yakni Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia dan Republika.Hasil yang diperoleh dari pengamatan di lapanganmengenai kerja redaksi dan wawancara kepada pihakterkait menunjukkan, bahwa para wartawan yangbekerja di surat kabar yang pemiliknya tidak memilikilatar belakang jurnalisme menerima interversi yangmasif dari pemilik sehubungan dengan apa yangseharusnya ditulis atau diterbitkan. Sebaliknya,wartawan-wartawan yang paling independen adalahmereka yang bekerja di surat kabar yang sebagian besarsahamnya dimiliki oleh yayasan.

1

SatuSatuSatuSatuSatu

PendahuluanPendahuluanPendahuluanPendahuluanPendahuluan

„Saya sudah mengenal sejak lama, apa itu rasa takutterhadap kata-kata.” Demikian Goenawan Mohamad(1998:169), pendiri majalah Tempo, pernahmenggambarkan iklim kebebasan berpendapat di Indonesiasampai tahun 1998, ketika Indonesia masih berada di bawahrezim Orde Baru. Ia menambahkan, bahwa bukan kata-kata itu sendiri yang menimbulkan ketakutan: „Yangmembuat orang-orang takut adalah tidak mungkinnyaorang memprediksi sebelumnya, apa akibat dari kata-katanya tersebut.”

Ilustrasi Goenawan di atas menggambarkan akibat dariketakutan tersebut: swa-sensor atau dengan kata lain,sensor yang dilakukan oleh pihak jurnalis sendiri. Siapa

1. Pendahuluan1. Pendahuluan1. Pendahuluan1. Pendahuluan1. Pendahuluan

2

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

yang tidak dapat memprediksi akibat dari artikel yangditulisnya dan karena itu merasa takut, biasanya diam sajaatau memilih kata-kata yang aman dan tidak menyinggungpihak penguasa. Di masa rezim Suharto swa-sensor itumendarah daging dalam media massa Indonesia di bawahpengawasan ketat Departemen Penerangan yang sangatberkuasa pada saat itu. Siapa saja yang tidak taat kepadakeputusan pemerintah mengenai pers, yang dianggapsebagai penyokong tidak kritisnya negara ini, harus siapdengan ancaman psikis atau dibungkam dengan carapembredelan. Tahun 1998 Suharto dilengserkan. Sejak ituIndonesia berada dalam proses demokratisasi. Sensor daripemerintah tidak ada lagi, prinsip-prinsip hak asasimanusia diterima dalam UUD, dan media massa kini dapatberoperasi dengan bebas. Sementara itu Indonesiaditempatkan dalam ranking sebagai salah satu negaradengan media massa yang paling bebas di Asia.

Namun untuk menerapkan otonomi jurnalistik tidak hanyadibutuhkan ketiadaan sensor pemerintah. Konsentrasi yangterlalu besar pada pasar dan kehilangan keragaman isi,sebagaimana juga terlihat di negara-negara yang memilikitradisi demokrasi sejak lama, dinilai sangat membahayakanuntuk kebebasan berpendapat dan kebebasan pers.Kecenderungan yang terjadi saat ini, semakin banyakperusahaan yang bergerak di bermacam sektor justru hanyadimiliki oleh segelintir orang yang mempunyai modal besar.Inilah yang dinamakan sebagai pemusatan usahamultisektoral dalam hal kepemilikan. Sebagai akibat darihal tersebut, maka masalah intervensi dalam otonomi

3

jurnalistik sangat disoroti, terutama jika kepentingan parapemilik perusahaan yang berdiversikasi tinggi – termasukdi dalamnya perusahaan media – terancam.

Jika pemanfaatan media untuk kepentingan propagandapribadi di dalam negara-negara dengan demokrasi yangsudah mapan saja dianggap sebagai sebuah masalah, makahal tersebut akan mempunyai dampak yang lebih parah dinegara-negara yang baru saja keluar dari rezim kediktaturanseperti Indonesia. Pada satu pihak, di negara-negara sepertiini terdapat tradisi swa-sensor dari zaman rezim lama danseringkali belum terbentuk sebuah masyarakat sipil yangdewasa, yang mampu menerima dan menyuarakanberbagai pendapat yang berbeda. Pada lain pihak,akumulasi kekuasaan dari penguasa lama dalam bidangekonomi – juga dalam perusahaan-perusahaan media –yang biasanya berbentuk oligarki, terus berlangsung.

Berdasarkan latar belakang tersebut pertanyaan berikut iniharus dijawab, bagaimana otonomi jurnalistik di Indonesiapada masa pasca Orde Baru terbentuk. Melalui penelitiankualitatif pada redaksi dari keempat harian pagi nasionalini akan diidentifikasi bentuk pengaruh dan paksaan sepertiapa yang dihadapi oleh wartawan Indonesia dalamperusahaan media mereka. Harian yang dipilih adalahempat harian pagi nasional karena fungsi mereka sebagaimedia utama yang paling berpengaruh dalam halpembentukan opini publik, yakni Kompas, Koran Tempo,Media Indonesia dan Republika.

Satu : Pendahuluan Kebebasan Pers di IndonesiaSatu : Pendahuluan Kebebasan Pers di IndonesiaSatu : Pendahuluan Kebebasan Pers di IndonesiaSatu : Pendahuluan Kebebasan Pers di IndonesiaSatu : Pendahuluan Kebebasan Pers di Indonesia

4

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

Dalam penelitian ini teori-teori tentang ekonomi mediadijadikan basis untuk pengidentifikasian faktor-faktor yangmempengaruhi otonomi redaksi. Setelah itu akandigambarkan situasi dan kondisi di mana media massa diIndonesia beroperasi. Pengamatan lapangan danwawancara kualitatif dilakukan antara Oktober danDesember tahun 2004 di Jakarta 1 menjadi dasar untukmemberikan gambaran mengenai faktor-faktor yangmempengaruhi situasi kerja sehari-hari para wartawan.Tulisan ini dimaksudkan untuk membantu menutupikekosongan penelitian yang biasanya hanya berfokus kesatu arah (ke “luar” atau ke “dalam) dalam menilaikebebasan pers, di mana yang satu sering mengabaikanperspektif yang lainnya.

1 Penelitian lapangan yang dilakukan penulis terlaksana atas kerja samadengan kantor perwakilan Friedrich-Ebert-Stiftung di Jakarta.

5

DuaDuaDuaDuaDua

Latar Belakang TeoriLatar Belakang TeoriLatar Belakang TeoriLatar Belakang TeoriLatar Belakang Teori

2 Latar Belakang Teori2 Latar Belakang Teori2 Latar Belakang Teori2 Latar Belakang Teori2 Latar Belakang Teori

2.1 Pasar versus Kewajiban Umum2.1 Pasar versus Kewajiban Umum2.1 Pasar versus Kewajiban Umum2.1 Pasar versus Kewajiban Umum2.1 Pasar versus Kewajiban Umum

Kebebasan berpendapat merupakan hak asasi yangmengakar dalam sistem perundang-undangan yangdemokratis. Media massa memiliki fungsi sebagaipembentuk opini, karena itu media massa lah yang menurutundang-undang paling dilindungi dari sensor pemerintah.Otonomi media tidak „dipertahankan sebagai nilai itusendiri, melainkan karena ia memiliki fungsi, yaitu sebagaidasar pembentukan wacana di masyarakat” (Studer2004:107).

6

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

Fungsi dari media ini seharusnya dipenuhi dengan produksibenda yang bersifat meritoris.2 Produk media hanya terbatasmenembus pasar, karena mereka memiliki komponenmeritoris. Paradigma dari pasar dan penolakan pasar hanyadapat digunakan untuk barang-barang yang dapatdianalisis dengan menggunakan analisis biaya-manfaat(Heinrich 2001:79 pp). Tetapi hal itu tidak berlaku dalamkomponen-komponen meritoris produk-produk mediasebagai benda budaya dengan fungsi sosial masyarakat danpolitik yang spesifik (Sjurts 2004: 159). Untuk membiayaipenciptaan komponen-komponen produk meritoris tersebut,pers harus menjalankan „kehidupan ganda” sebagaipembawa informasi dan pembawa iklan. Orientasiterhadap pasar pembaca/pemirsa dan pasar iklan dapatmenyebabkan konflik sistem tujuan. Di satu sisi ada tujuannormatif, bahwa dalam produksi media isinya harusmemiliki kualitas jurnalistik tinggi. Di sisi lain adalah tujuanformal, yaitu maksimalisasi keuntungan dan omset (Sjurts2004:171).

Kebebasan berpendapat yang dijamin oleh undang-undangmenurut pengertian hak asasi adalah sebuah benda umumyang tidak dapat dibagi. Kebebasan tersebut mencakupkebebasan untuk mengemukakan pendapat dan jugakebebasan untuk menyebarluaskan pendapat (Fricke1997:17). Meskipun kebebasan media tidak dapat

2 „Benda meritoris secara umum adalah benda-benda yang dikonsumsi konsumensecara terukur. Ukuran itu bukanlah ukuran yang diinginkan pemangku penentupolitik atau instansi lainnya. Untuk koreksi diperlukan intervensi dalam preferensikonsumen.” (Heinrich 2001:74)

7

disamakan dengan kebebasan produsen (Heinrich 2001:89p.), hal itu didasarkan pada sejarah munculnya hak asasisebagai senjata perlawanan terhadap pembatasankebebasan oleh negara, bahwa utamanya pengusahaswasta berfungsi sebagai pelaksana kebebasan bermedia(Studer 2004: 108 p.).

Upaya-upaya untuk memperoleh keuntungan perusahaanseperti dalam bentuk persaingan, biaya cetak, dankomersialisasi sering dipandang sebagai sebab atasmenurunnya kualitas jurnalistik di bidang media. Tekanan-tekanan seperti itu, yang lebih dapat diterima di ruangredaksi, dapat dikatakan sebagai tekanan yang relevan. Halini terlihat dari penggunaan teks secara berulang,berkurangnya kualitas produk-produk jurnalistik karenasemakin minimnya waktu dan biaya untuk pencarianberita, dan pengurangan keragaman isi (Karmasin 1998b:331).

Selain daripada itu semua pemilik media yang jugamempunyai bisnis dalam bidang lain dapat membawakepentingan ekonomis tertentu atau juga aspirasi politismereka ke dalam ruang-ruang redaksi dengan memberikantekanan yang tidak relevan dengan nilai-nilai jurnalistik.Dari sana muncullah masalah, yang lebih dari sekedarmasalah perbedaan sistem tujuan yang berpotensimenimbulkan konflik, dalam arti upaya untuk meraihkeuntungan versus manfaat lain dari kerja jurnalistik yangtidak dapat dinyatakan dalam angka. Dalam sebuah sistemmedia yang pluralistik, dimana pembaca/pemirsa dan

Dua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di IndonesiaDua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di IndonesiaDua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di IndonesiaDua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di IndonesiaDua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di Indonesia

8

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

wartawan memiliki banyak alternatif, hal ini tidaklahdipandang sebagai sebuah situasi yang mengkhawatirkan,karena media dapat terus menjalankan tugas mereka untukmenghasilkan produk-produk yang meritoris.

Akan tetapi, persaingan sendiri dilihat sebagai bendameritoris oleh para ahli ekonomi, karena menciptakandesakan tindakan dan meningkatkan risiko pelaku bisnis.Karena itu dari sisi perusahaan upaya-upaya tersebutdilakukan dengan satu tujuan, dari posisi koordinasi ex-post melalui persaingan menuju bentuk koordinasi ex-ante(Kiefer 2001:108). Upaya-upaya yang dilakukan dalam halini adalah kolusi, sistem kartel, penggabungan dalam bentukmerger dan fusi, demikian juga dengan strategi diskriminasi,pemerasan dan pemaksaan oleh mitra pasar (ibid: 108 p.).Dengan begitu para pelaku bisnis memperbesar ruangpermainan mereka dan mempersempit ruang permainansaingan mereka.

Sehubungan dengan bertambahnya konsentrasi pasarmedia dan tumbuhnya oligarki, pemanfaatan media untukkepentingan pribadi dari setiap perusahaan dapat menjadi„hasil untuk masyarakat yang di bawah optimal”(Karmasin 1998a:85). Sehubungan dengan fenomenatersebut, salah satu penerbit harian Frankfurter AllgemeineZeitung, Paul Sethe, pernah mengungkapkan: „Kebebasanpers tidak lebih dari kebebasan 200 orang kaya untukmengungkapkan pendapat mereka danmenyebarluaskannya” (Reinowski 1968:9).

9

2.2 Tekanan Relevan versus Tekanan tidak Relevan2.2 Tekanan Relevan versus Tekanan tidak Relevan2.2 Tekanan Relevan versus Tekanan tidak Relevan2.2 Tekanan Relevan versus Tekanan tidak Relevan2.2 Tekanan Relevan versus Tekanan tidak Relevanterhadap Redaksiterhadap Redaksiterhadap Redaksiterhadap Redaksiterhadap Redaksi

Dalam produksi pesan jurnalistik dibedakan antaratekanan relevan dan tekanan tidak relevan. Nilai berita,biaya percetakan, orientasi terhadap media saingan adalahhal-hal yang relevan, yang dapat diterima oleh pihakredaksi. Sedangkan hal-hal yang tidak relevan adalah“tekanan-tekanan untuk mempengaruhi pemilihan danpengelolaan tema, meskipun memiliki nilai jurnalistik yangcukup tinggi untuk dipublikasikan, dan tingginya biayaproduksi bukan merupakan penghambat, serta eksistensiperusahaan tampaknya tidak terancam” (Studer 2004: 107pp.). Tekanan yang tidak relevan ini dapat dicegah melaluiundang-undang atau melalui regulasi sendiri yang dibentukoleh media.

Mereka yang setuju dengan adanya regulasi pemerintahterhadap pers mengatakan, bahwa struktur swasta daripers memang menurut undang-undang dilindungi negara,namun hal itu menunjukkan bahwa negara bertugasmengurus keberadaan pers. Sebuah konsep independensiuntuk media massa, yang misalnya setara dengan sistemyudikatif karena berbagai alasan ditolak (Branahl 2004: 89).Meskipun media massa sering dianggap sebagai “the FourthEstate” dalam sebuah negara (setelah kekuasaan legislatif,eksekutif dan yudikatif), media tidak memperoleh hak-hakyang sama dengan institusi negara yang lainnya (sepertipembiayaan dari pajak atau hak untuk melakukanpemaksaan terhadap narasumber untuk memperoleh

Dua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di IndonesiaDua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di IndonesiaDua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di IndonesiaDua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di IndonesiaDua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di Indonesia

10

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

informasi). Situasi campuran dari kepentingan pemberimodal, pembaca/pemirsa dan pemasang iklan menciptakanberbagai ketergantungan yang tidak bisa dihindarkannamun dapat diseimbangkan. Untuk tujuan inilah dapatdigunakan apa yang dinamakan dengan konsep KebebasanInternal Pers atau otonomi redaksi.3

2.3 Kebebasan Internal Pers – (Bukan) Sebuah Tanda2.3 Kebebasan Internal Pers – (Bukan) Sebuah Tanda2.3 Kebebasan Internal Pers – (Bukan) Sebuah Tanda2.3 Kebebasan Internal Pers – (Bukan) Sebuah Tanda2.3 Kebebasan Internal Pers – (Bukan) Sebuah TandaTanya dalam Budaya Jurnalistik?Tanya dalam Budaya Jurnalistik?Tanya dalam Budaya Jurnalistik?Tanya dalam Budaya Jurnalistik?Tanya dalam Budaya Jurnalistik?

Setiap karya ilmiah yang menjadikan kebudayaan asingsebagai subjek pembahasannya memiliki kecenderunganuntuk dikritik, karena dianggap memiliki pandangan yangterlalu sempit. Penulis awalnya mengambil perspektifJerman untuk membatasi pengertian istilah kebebasaninternal pers/otonomi redaksi. Tetapi hal ini dilakukandengan memperhatikan beberapa hal relevan yang tidakdapat diabaikan, yang pada saat itu di Jermanmengkatalisasi gerakan untuk kebebasan internal pers atauberkontribusi pada keberhasilan gerakan-gerakan tersebut(Gerakan Mahasiswa tahun 1968, rencana pemerintahuntuk Undang-undang Hukum Pers, serikat kerja yangkuat). Selama puluhan tahun, budaya merupakan faktoryang tidak dianggap penting, juga di dalam studi komparasiilmu komunikasi (Stevenson 1998). Tapi penelitian-

3 Sejak tahun 1970-an di dunia internasional ditetapkan, bahwasebenarnya istilah „Kebebasan Internal Pers” tidak ada di negara-negaralain. Istilah tersebut bahkan bagi media-media di Eropa dan di Amerikadianggap tidak dapat diterjemahkan (Fischer/Molenveld/Petzke/Wolter1975: 322). Istilah yang pada umumnya digunakan dalam Bahasa Inggerisadalah editorial autonomy = otonomi redaksi.

11

penelitian di Eropa yang banyak menggunakan pendekatansistem dan di Amerika yang lebih berfokus pada faktorpelaku telah menunjukkan, bahwa budaya itu penting(culture matters).

Sebelum Samuel Huntington (1998) menulis tentang“Pertarungan Peradaban (Clash of Civilization)” sudahmuncul pengertian, bahwa budaya memainkan perananyang penting sebagai salah satu variabel dalam penelitianmengenai proses komunikasi. Untuk memahami hal ini, adabaiknya para ilmuwan Barat mendengarkan apa yangdiucapkan salah satu pendiri AMIC, Richard Dill, mengenaipertemuannya dengan peneliti-peneliti dari Asia sebagaiberikut: “Mereka mengatakan bahwa seluruh bualan ilmukomunikasi tentang ‘Siapa berkata apa kepada siapa?’hanyalah merupakan sebuah skema berpikir yang berbaubusuk, yang tidak terdapat dalam ajaran Buddha, karenaseorang Buddha telah belajar untuk tidak memisahkanorang yang berkata, apa yang dikatakan dan pendengardari kata-kata tersebut” (1997: 354).

2.3.1 Diskusi Mengenai Otonomi Redaksi di Eropa2.3.1 Diskusi Mengenai Otonomi Redaksi di Eropa2.3.1 Diskusi Mengenai Otonomi Redaksi di Eropa2.3.1 Diskusi Mengenai Otonomi Redaksi di Eropa2.3.1 Diskusi Mengenai Otonomi Redaksi di Eropa

Perusahaan-perusahaan transnasional yang bergerak dibidang media mengalami pertumbuhan yang pesat di Eropapada tahun 1990-an. Hal itu dipercepat oleh semakinterbukanya negara-negara Eropa Timur terhadap ekspansiperusahaan media dari Eropa Barat. Keterlibatan merekadapat memberikan sumbangsih pada stabilitas danpembiayaan demi mewujudkan jurnalisme yang profesional

Dua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di IndonesiaDua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di IndonesiaDua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di IndonesiaDua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di IndonesiaDua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di Indonesia

12

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

dan investigatif – tetapi hanya jika pada saat yangbersamaan otonomi redaksi dijalankan (Duve 2003: 10,Möller/Popescu 2004:62). Pada kenyataannya, kegunaanpraktis otonomi redaksi harus selalu mengalah padakepentingan pemilik perusahaan media, seperti yangberulang kali dikritik oleh Persatuan Jurnalis Eropa (EFJ).Dalam bentuk Deklarasi Milan (EFJ 1995) akhirnyadiformulasikan akan pentingnya perlindungan terhadapotonomi redaksi. Untuk menjamin hal itu, EFJ menyarankanagar perusahaan media menetapkan standar minimal untukmelindungi otonomi redaksi. Hal itu berisi pembentukandewan redaksi yang pendapatnya harus dijadikan bahanpertimbangan dalam penetapan visi surat kabar dankeputusan menyangkut isi yang mendasar, dalam keluhantentang arah politik surat kabar, dan juga menyangkutpengangkatan dan pemecatan pimpinan redaksi. Selain itu,menurut EFJ, dibutuhkan juga perlindungan hati nuraniuntuk para wartawan dan hak dari redaksi untukmencegah pengaruh terhadap isi yang datang baik daripihak manajemen ataupun pihak ketiga.

Sehubungan dengan keterlibatan yang terlalu jauh dariperusahaan media asing terhadap isi media, belakanganini banyak kritik yang disampaikan pada penerbit-penerbitJerman dan Swiss yang beroperasi di Eropa Timur (EFJ2003). Namun kekhawatiran dalam hal pluralismependapat, monopoli yang tidak sehat dan intervensiterhadap isi media menurut keinginan pemilik tidak selaludiakibatkan investasi asing. Sebagai contoh pengusaha lokalyang memiliki ambisi politik yang menggunakan medianya

13

ke arah yang diinginkan adalah Perdana Menteri ItaliaSilvio Berlusconi. Juga di Prancis, pengambilalihan grupSocpres4 oleh produsen senjata Serge Dassault dankepemilikan grup Hachette oleh industriawan peralatanperang Arnaud Lagardére menimbulkan kekhawatiran pula(Ramonet 2005: 19, Hunter/Jaouani 2005: 16 pp; Leidinger2005). Di tataran internasional dalam beberapa tahunterakhir ini terdapat serangkaian resolutions, declarations,recommendations, joint statements dan guidelines5 untukmenjamin pluralisme media dan otonomi redaksi. Di situsweb hampir semua persatuan wartawan internasional,serikat pekerja atau organisasi-organisasi yang bergerakuntuk kebebasan berpendapat dan kebebasan informasiterdapat informasi mengenai tema kepemilikan dankonsentrasi media.

Baru-baru ini Prof. Herdis Thorgeirsdotir, guru besar ilmuhukum dari Islandia, memberi dimensi yuridis padamasalah swa-sensor terkait dengan persoalan kepemilikian.Ia mengkritik himbauan pemerintah agar media melakukanregulasi sendiri sebagai „privatisasi sensor” tanpa

4Antara lain menerbitkan Le Figaro, L’Express dan L’Expansion.5 Misalnya sidang parlemen dari Dewan Eropa (COE 1993) tentang kodeetik Jurnalisme; Deklarasi Milan (EFJ 1995); Komite Menteri-menteriNegara Anggota Uni Eropa (COE 1999) yang mengambil tindakan untukmendukung kebebasan berpendapat; Pernyataan Bersama untukDukungan atas kebebasan berpendapat dalam abad baru oleh pewartaPPB demi kebebasan berbicara dan berpendapat, penanggung jawabmedia OSZE dan pewarta berita khusus untuk kebebasan berpendapatorganisasi negara-negara bagian Amerika Serikat (OSZE 2002:251 pp); OSZE (2003a).

Dua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di IndonesiaDua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di IndonesiaDua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di IndonesiaDua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di IndonesiaDua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di Indonesia

14

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

pemerintah mengambil alih tanggung jawab itu sendiri(Thorgeirsdottir 2004: 391). Ia berargumentasi denganmengacu kepada pasal 10 (1)6 dan pasal 11(2)7 KonvensiHak Asasi Manusia Uni Eropa dan yurisprudensi mengenaimedia di Pengadilan Eropa untuk Hak Asasi Manusia,bahwa swa-sensor oleh para wartawan (baik ditekan olehpemerintah maupun oleh perusahaannya) melanggaryurisprudensi yang berlaku di Eropa.

2.3.2. Permasalahan Aktual di Asia Tenggara dan2.3.2. Permasalahan Aktual di Asia Tenggara dan2.3.2. Permasalahan Aktual di Asia Tenggara dan2.3.2. Permasalahan Aktual di Asia Tenggara dan2.3.2. Permasalahan Aktual di Asia Tenggara danIndonesiaIndonesiaIndonesiaIndonesiaIndonesia

Banyak karya ilmiah dalam beberapa tahun terakhir iniyang membahas tentang media dan kebebasan pers di AsiaTenggara menyinggung tentang masalah kontrolpemerintah dan/atau pengaruh politik (Gunaratne 2000,Williams/Rich 2000, McCargo 2003). Karena banyak negaraAsia Tenggara baru memulai transformasi menujudemokrasi sejak beberapa tahun terakhir (misalnyaPhilippina dan Indonesia), sementara negara-negaratetangga lainnya ada yang diperintah oleh diktatur(Myanmar) atau otoriter (Malaysia, Singapura), maka fokuspermasalahan terhadap restriksi negara sangatlah dapatdipahami.

Memang wartawan-wartawan ASEAN berbeda denganrekan-rekan mereka dari negara-negara barat dalam

3 Pasal 10 mengacu kepada kebebasan berpendapat, http://conventions.coe.int/Treaty/Html/005.htm4 Pasal 11 mengacu kepada kebebasan berkumpul dan berorganisasi,loc.cit.

15

memandang konsep tentang jurnalistik. Para jurnalis dikawasan ASEAN lebih memandang diri mereka sebagaipenyampai informasi yang bertanggung jawab dan sensitif,sementara jurnalis barat lebih kritis dan bertindak sebagaiwatch dog. (Menon 199:101, Masterton 1996, Hanitzsch2003: 411 pp.). Tetapi dualisme antara kebebasanberpendapat dalam ruang publik yang dilindungi undang-undang dan situasi media yang dibentuk oleh perusahaanswasta bukanlah kekhususan negara-negara Barat.Persoalan otonomi redaksi pada umumnya terdapat dalamsemua sistem media di mana konsentrasi kepemilikansemakin tinggi meskipun mereka memiliki budayajurnalistik yang berbeda. Di negara-negara pasca diktaturdi Asia Tenggara muncul perkembangan yang mirip. Dalamfase pertama liberalisasi sistem media yang sebelumnyasangat ketat dikontrol negara, akan timbul euphoria, yangditandai dengan banyaknya media baru yang muncul.Tetapi hanya mereka yang memiliki sebuah kerajaan bisnisdapat bertahan lama di pasar. Di Philippina misalnyabanyak media dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besaryang juga bersaing di luar bisnis media dan mengontrolsektor kunci perekonomian Philippina (Coronel 1998: 25).Seperti juga di Thailand, hubungan yang erat antarapemilik media dan politik dikritik (McCargo 2000, Hirano1999).

Basis data untuk penggambaran pasar nasional yangberkembang sangat pesat di ASEAN sangat diperlukan. DiEropa institusi-institusi internasional menyibukkan diridengan evaluasi pasar media karena pemilik modal semakin

Dua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di IndonesiaDua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di IndonesiaDua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di IndonesiaDua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di IndonesiaDua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di Indonesia

16

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

sering menginvestasikan uangnya dalam perusahaan dinegara-negara tetangga. Tetapi perilaku bisnis semacam itudalam lingkup ASEAN sangatlah terbatas karena investasidalam bidang media pada dasarnya adalah urusannasional. Karena alasan bahasa dan juga alasaninfrastruktur ilmiah, hanya sedikit karya ilmiah di Indonesiayang dapat diakses secara internasional. Selama masapemerintahan Suharto literatur-literatur ilmu sosial harusmenyesuaikan diri dengan dogma-dogma rezim yangberkuasa. Karier ilmiah tidak ditentukan oleh jumlah danmutu publikasi yang dihasilkan, melainkan karenakedekatan kepada rezim (Hadiz/Dhakidae 2005: 1 pp.).Selain itu perguruan tinggi menderita karena kurangnyadukungan dana. Para cendekiawan ilmu sosial di Indonesiadikritik karena tidak dapat menghasilkan teori yang diakuidunia internasional dan jarang dapat menghasilkanpenelitian empiris yang signifikan Sudibyo (2000: 115);Hanitzsch (2003: 273). Situasi perguruan tinggi yangbirokratis di masa awal pasca Suharto tampaknya resistenterhadap perubahan. Di perguruan tinggi yangdiswastanisasi upaya-upaya penelitian yang dilakukanadalah yang laku dijual. Pragmatisme baru ini dan warisanotoriter dapat mengukuhkan instrumentalisasi ilmu-ilmusosial dan dapat pula menghambat pemikiran-pemikiranyang kritis-refleksif di masa depan (Hadiz/Dhakidae 2005:1 pp).

Di Indonesia tidak kurang desakan pihak wartawan dan/atau ilmuwan untuk membahas dengan lebih seriuspermasalahan tentang kepemilikan dan konsekuensinya

17

bagi fungsi publik media. Tetapi biasanya pembahasantema-tema tersebut terjadi pada level deskriptif dannormatif. Menayang (2003) mendesak lebih jauh agarpersoalan kepemilikan dan penggunaan media bagikepentingan pemilik dan juga masalah tujuan dari parapengusaha dan/atau politikus, yang membeli ataumendirikan sebuah perusahaan media untukmempengaruhi pembentukan opini publik, haruslah segeradiatasi. Selain itu Amiruddin (2004) menghendaki bahwamonopoli harus dihindari dan masalah kepemilikan silangharus menjadi fokus perhatian. Namun contoh-contohkonkret dan aktual dari Indonesia tidak muncul dalamartikel-artikel tersebut. Penelitian jurnalisme empirissekarang terutama dilakukan oleh lembaga-lembaga di luarperguruan tinggi, seperti ISAI (Institut Studi ArusInformasi) atau LSPP (Lembaga Studi Pers danPembangunan). Pada saat Pemilu 2004 merekamelaksanakan analisis isi terhadap independensi jurnalismedalam kampanye Pemilu, interdependensi dari politik danmedia dan peranan kepemilikan.

Siapa yang mencari jalan keluar bagi konflik kepentinganstruktural dan untuk menjamin kualitas sering mendapatseruan normatif etis yang kabur. Harsono (2004) misalnyamemberikan gambaran tentang praktek jurnalisme diAmerika untuk memberikan contoh kepada rekan-rekanwartawan Indonesia tentang sebuah netralitas. Nguyenberargumentasi hampir sama, ia menyerukan„profesionalisme media yang bertanggung jawab”, yangseharusnya menjamin bahwa masyarakat memperoleh

Dua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di IndonesiaDua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di IndonesiaDua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di IndonesiaDua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di IndonesiaDua : Latar Belakang Teori Kebebasan Pers di Indonesia

18

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

informasi yang akurat dan objektif pada saat yang tepat(Nguyen 2004). Sebuah diskusi menyeluruh yangmembedakan antara kode etik perusahaan media, kode etikwartawan dan tanggung jawab yang etis dari penggunamedia untuk apa yang mereka konsumsi, jarang terlaksana.Demikian pula sedikit sekali pembahasan yang mendalamtentang kepemilikan media dan faktor-faktor yangmempengaruhinya dalam otonomi wartawan. Seruankabur tersebut juga mengabaikan aspek-aspek budayasetempat, seperti prinsip menghindari konflik dan prinsiphormat (lihat 3.2.3), yang mempersulit emansipasiwartawan terhadap pimpinan dan sumber.

19

TigaTigaTigaTigaTiga

Situasi dan KondisiSituasi dan KondisiSituasi dan KondisiSituasi dan KondisiSituasi dan KondisiPersuratkabaran IndonesiaPersuratkabaran IndonesiaPersuratkabaran IndonesiaPersuratkabaran IndonesiaPersuratkabaran Indonesia

3 Situasi dan Kondisi Persuratkabaran Indonesia3 Situasi dan Kondisi Persuratkabaran Indonesia3 Situasi dan Kondisi Persuratkabaran Indonesia3 Situasi dan Kondisi Persuratkabaran Indonesia3 Situasi dan Kondisi Persuratkabaran Indonesia

3.1 Praktik Jurnalistik selama Rezim Diktatur3.1 Praktik Jurnalistik selama Rezim Diktatur3.1 Praktik Jurnalistik selama Rezim Diktatur3.1 Praktik Jurnalistik selama Rezim Diktatur3.1 Praktik Jurnalistik selama Rezim Diktatur

Sejak pertengahan tahun 1970-an di Indonesiadipropagandakan model “jurnalisme pembangunan”(development journalism) yang berdasarkan Pancasila,sehingga dikenal dengan istilah “Jurnalisme Pancasila”.Menjaga stabilitas, kesatuan bangsa dan dukungan aktifdalam proses pembangunan tidak hanya berlaku sebagaitugas warga negara, melainkan juga kewajiban wartawan(Sudibyo 2004). Dalam pengertian ini, tugas-tugas tersebutdapat dikatakan memiliki sifat misionaris, yangtuntutannya diemban oleh para aktor politik danpelaksanaannya yang terus-menerus oleh sebagian besarpelaku media (Said 1990: 39). Menyangkut pengaruh

20

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

pemerintah dan militer terhadap isi media, tuntutantehadap jurnalisme pembangunan atau seruan pers yang“bebas dan bertanggung jawab” sebenarnya hanyalahsebuah eufemisme untuk sensor pemerintah. Contoh yangpaling terkenal untuk masalah ini adalah dengandiberikannya keputusan larangan terbit bagi harianIndonesia Raya (1974) dan peristiwa pembredelan majalahTempo, DeTik dan Editor (1994).

Selain melalui metode yang represif ini, sehubungan dengansituasi krisis politik terdapat pula „budaya telepon” yangmerupakan hambatan dalam sebuah arus informasi yangbebas. “Kami selalu bergantian menjaga telpon. Bila telpontidak berdering sebelum kami naik cetak, kami dapat tidurnyenyak. Namun biasanya pada menit-menit terakhir adatelpon dari instansi tertentu, yang berkata kepada kami,ini dan itu tidak boleh kalian beritakan. Ada seorangperwira tinggi di Dinas Penerangan Militer, yang selalumencoba untuk menyensor kami […] Dinas intelijen tahu,siapa yang telah memberikan pernyataan di mana, di manaterjadi pertemuan tidak resmi atau berlangsung sebuahworkshop kecil. Dalam workshop tersebut mungkindisampaikan hal-hal yang kritis dan bila di sana adasejumlah wartawan, maka akan diteruskan kepadapemimpin redaksi, bahwa hal tersebut tidak bolehdiberitakan. Untuk kami hal itu sudah biasa.”8

8 Wawancara dengan pemimpin redaksi harian Media Indonesia, 27 Oktober2004.

21

Pembredelan sebuah media berarti ditariknya Surat IzinUsaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang diberikan olehDepartemen Penerangan. Secara organisatoris parawartawan juga diatur secara ketat. Sejak tahun 1969 merekadiwajibkan untuk menjadi anggota PWI (PersatuanWartawan Indonesia), yang pengurusnya diwakili tidakhanya oleh para wartawan yang setia pada pemerintahtetapi juga oleh para petinggi militer (Hill 1995: 67 pp.)Hanya PWI yang berhak mengeluarkan kartu pers.Pemecatan sebagai anggota PWI berarti juga secara de factolarangan untuk bekerja sebagai wartawan. Kenyataanbahwa Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) didirikan dengandukungan PWI dan bahwa sebagian besar orang-orangyang sama duduk dalam kepengurusannya, menunjukkankarakter elit PWI dan menjadikan penyatuan keduanyasebagai “kembar siam” (Hill 1995: 74). Sementara itu parajurnalis tidak diizinkan untuk mendirikan serikat pekerja(Pontoh 2001).

Dewan Pers yang ada pada saat itu memiliki tugas resmisebagai jembatan antara pemerintah dan kalangan media.Mereka harus memberi masukan politik dalam prosespemberian SIUPP. Pendiriannya pada tahun 1967 olehsebuah peraturan presiden telah menunjukkan bahwalembaga itu lebih ditujukan sebagai alat pemerintah danbukanlah lembaga yang memungkinkan terjadinya self-control: Dewan Pers diketuai sendiri oleh MenteriPenerangan, anggotanya antara lain adalah pejabat dinasintelijen dan pejabat departemen (Hill 1995: 65).

Tiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran Indonesia

22

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

Pengaruh langsung dari pemerintah melalui pembredelanmedia, kekerasan fisik terhadap pembela hak asasi manusiaatau wartawan dan juga pengepungan atas kalangan mediamelalui organisasi mereka menyebabkan tingginya tingkatswa-sensor. Media yang ingin bertahan hidup harusmenyesuaikan diri dalam pemilihan kata dan penulisangaya bahasa sesuai dengan keinginan rezim. Misalnya,kepala berita yang mencerminkan semangat pembangunan,digunakannya kalimat pasif dan hal-hal yang kritisdiletakkan di paragraf terakhir.

Grafik 1: Persentase penggunaan media tahun 1993-2003Grafik 1: Persentase penggunaan media tahun 1993-2003Grafik 1: Persentase penggunaan media tahun 1993-2003Grafik 1: Persentase penggunaan media tahun 1993-2003Grafik 1: Persentase penggunaan media tahun 1993-2003(populasi umur 10 tahun ke atas)(populasi umur 10 tahun ke atas)(populasi umur 10 tahun ke atas)(populasi umur 10 tahun ke atas)(populasi umur 10 tahun ke atas)99999

9 Badan Pusat Statistik [http://www.bps.go.id/sector/socwel/table3.shtml]. Diunduh pada tanggal 13 Maret 2005.

23

Sejak tahun 1980an anggota keluarga presiden dan kronimereka mulai menanamkan modal dalam perusahaan-perusahaan media dan mewakili kepentingan kaum elitpolitik melalui kepemilikan media. Stasiun TV swastapertama, RCTI, didirikan pada tahun 1987 oleh salahseorang putra Suharto, Bambang Trihatmojo. Tahun 1989SCTV, stasiun TV swasta kedua, mulai beroperasi dan salahsatu pemilik saham terbesarnya adalah sepupu Suharto,Sudwikatmono. Pada tahun 1990, TV swasta ketiga (TPI),yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh putri sulungSuharto, Siti Hardiyanti Rukmana (“Tutut”). Selain anggotakeluarga dan kroni Suharto (TV swasta Indosiar misalnyadidirikan dan dikuasai oleh grup Salim), para politikus jugaterjun ke bisnis media. Pimpinan Golkar Agung Laksonopada tahun 1993 menjadi Komisaris Utama di stasiun TVswasta Anteve. Mantan menteri penerangan Harmokodengan grup Pos Kota-nya menerbitkan beberapa suratkabar (Hidayat 2000).

3.2 Praktik Jurnalistik sejak 19983.2 Praktik Jurnalistik sejak 19983.2 Praktik Jurnalistik sejak 19983.2 Praktik Jurnalistik sejak 19983.2 Praktik Jurnalistik sejak 1998

Krisis ekonomi di Asia pada tahun 1997 bertindak sebagaikatalisator bagi berakhirnya kekuasaan politik Suharto.Selama berbulan-bulan presiden harus menghadapi protesyang makin banyak, yang terutama berakar di kota-kotadan kalangan mahasiswa, yang puncaknya di Jakarta terjadiperistiwa berdarah terhadap kaum minoritas keturunanCina yang selama ini dianggap mendapat keistimewaan.Selain lengsernya Suharto dan dibersihkannya kroni-kroniSuharto, para demonstran menuntut langkah-langkah

Tiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran Indonesia

24

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

demokrasi, seperti kebebasan pers dan kebebasan serikatpekerja.

Pers terlambat ikut dalam arus reformasi. Sebagian besarmedia yang mapan mulanya tetap bertahan pada aturanpermainan yang ada (Arismunandar 2000:211). Artikel-artikel harian-harian besar pada awal Mei 1998 masihterlihat seakan-akan mereka adalah penerbitan kantorhumas pemerintah atau kementerian. Sumber yang palingsering dikutip adalah pemerintah dan militer (Triputra2000: 407 pp.). Beberapa pengamat telah menyetujui bahwarevolusi yang terjadi didukung oleh internet (McDaniel2002:116 pp, Harsono 2000: 83 pp.). Memang jumlahmereka yang mempunyai akses ke internet hanyalah satupersen dari seluruh masyarakat Indonesia (Lim 2003:121).Tetapi kebebasan internet hanyalah merupakan cermin dariketidakbebasan pers dan siaran radio. Karakter internetyang memungkinkan penyebaran informasi lintas batas,kecepatan penyebarannya dan sulitnya pengawasan mediaini menjadikan internet sebagai sebuah alat yang digunakanoleh kelompok oposisi secara efisien.

Setelah kerusuhan Mei 1998 makin berubah menjadikekerasan, akhirnya Suharto mundur dari jabatannya.Sampai dengan Pemilu tahun 1999 Indonesia diperintaholeh Bacharuddin Jusuf Habibie, yang sebelumnya menjabatwakil presiden. Lalu pemberian SIUPP menjadi lebihmudah. Pada tahun 1999 dikeluarkan Undang-undang Persno. 40/1999 yang mengakhiri kewajiban memiliki SIUPP

25

secara final. Setahun setelahnya Departemen Penerangandibubarkan.

3.2.13.2.13.2.13.2.13.2.1 Situasi danSituasi danSituasi danSituasi danSituasi dan Kondisi HukumKondisi HukumKondisi HukumKondisi HukumKondisi Hukum

Sejak Reformasi 1998 telah terjadi empat kali amandemenUndang-Undang Dasar 1945, dimana ditambahkanbeberapa pasal mengenai Hak Asasi Manusia (HAM), yangdi dalamnya juga terkandung kebebasan mengungkapkanpendapat. Inti hukum dari kebebasan pers di era pascaSuharto ini adalah 21 pasal Undang-Undang Pers no.40/1999. Hukum pers menekankan pada makna media yangbebas sebagai manifestasi dari kedaulatan rakyat dan peranpers sebagai penyampai informasi dan pembentuk opinidalam masyarakat yang demokratis (pasal 2-6). Mengenaipers sebagai perusahaan bisnis, hukum pers menyatakan,bahwa setiap warga negara Indonesia boleh mendirikansebuah perusahaan media dalam bentuk badan hukumyang legal (pasal 9). Modal asing hanya boleh diinvestasikanmelalui pasar modal Indonesia (pasal 11 ayat 2). Peraturanlain yang relevan sehubungan dengan kecenderunganpemusatan pada pasar media adalah Undang-Undang No.5/1999 yang melarang monopoli dan persaingan tidaksehat. Untuk mengawasi itu semua pemerintah membentuksebuah komisi. Undang-Undang Penyiaran No. 32/2002pertama kali memaparkan secara eksplisit perihal upaya-upaya pemusatan dalam bidang media dan peraturanperundang-undangannya. Di dalamnya terdapatpenjelasan-penjelasan yang di antaranya mengacu padaUndang-Undang anti monopoli. Pasal 5 antara lain

Tiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran Indonesia

26

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

difokuskan untuk “mencegah monopoli kepemilikan danmendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran”.Pasal 18 ayat 2 menyatakan bahwa “[…] kepemilikan silangantara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakanjasa penyiaran radio dan Lembaga Penyiaran Swasta yangmenyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara LembagaPenyiaran Swasta dan perusahaan media cetak, sertaantara Lembaga Penyiaran Swasta dan lembaga penyiaranswasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidaklangsung, dibatasi.” Dengan demikian beberapa penerbitbesar surat kabar terkena imbas dari undang-undangtersebut karena kepemilikan televisinya.

Grafik 2: Perkembangan usaha penerbitan media cetakGrafik 2: Perkembangan usaha penerbitan media cetakGrafik 2: Perkembangan usaha penerbitan media cetakGrafik 2: Perkembangan usaha penerbitan media cetakGrafik 2: Perkembangan usaha penerbitan media cetaktahun 1997-2003tahun 1997-2003tahun 1997-2003tahun 1997-2003tahun 1997-2003

27

Salah satu tantangan terbesar dalam proses demokratisasidalam negara hukum, meskipun sudah ada amandemenundang-undang dasar dan reformasi undang-undang,adalah ketidakpastian hukum dan korupsi di dalamaparatur penegak pengadilan. Sejak kemerdekaan Indonesiatahun 1945 selain perundang-undangan nasional masih adahukum adat dan undang-undang jaman kolonial Belandayang masih berlaku. Masalah ketidakpastian hukum jugadiakibatkan karena pada masa pemerintahan Suhartopengadilan hanya mempunyai tugas untuk melegitimasikeputusan-keputusan yang telah dipastikan dan seringkaliberbau nepotisme atau paksaan. Pengadilan pada saat itudan sampai sekarang sering tidak dilihat sebagai instansiyang dapat dipercaya, melainkan sebagai wadahberkumpulnya mereka yang kelihatannya berprofesi utamasebagai ahli-ahli hukum, namun penghasilan merekasebenarnya dari bisnis sampingan dan atau uang pelicin(Redway 2003:156).

Dampak dari kurangnya ahli-ahli hukum yang terdidik baikdan tidak dapat disuap terlihat pula dalam bidang media.Dalam tahun-tahun terakhir banyak sekali wartawan yangdihadapkan ke pengadilan karena pencemaran nama baikatau fitnah dan dikenai hukuman denda serta hukumanpenjara (Keller 2004). Meskipun UU Pers no. 40/1999 jugamenetapkan hukuman denda atas pelanggaran persterhadap norma-norma agama, nilai-nilai adat istiadat atauprinsip praduga tak bersalah bagi terdakwa, tetapi parahakim tetap menggunakan hukum pidana dengan

Tiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran Indonesia

28

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

hukuman yang jelas-jelas lebih keras atas tuduhanpencemaran nama baik.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)terdapat paling tidak 37 paragraf, yang dapat mengusutpenulis berita (Batubara 2004). Ancaman hukuman tersebutseperti misalnya dalam kasus penerbitan hasil penelusuraninvestigatif, menciptakan iklim ketakutan dan swa-sensordalam perusahaan media (Sudibyo 2004). Dengan mengacukepada praktik hukum dalam kasus-kasus media di negara-negara lain, muncul desakan dari aktivis HAM dankalangan media agar delik pencemaran nama baik hanyadilihat sebagai pelanggaran hukum perdata (Article 192003, Astraatmadja 2004, Nolan 2004).

3.2.23.2.23.2.23.2.23.2.2 Situasi dan Kondisi PolitikSituasi dan Kondisi PolitikSituasi dan Kondisi PolitikSituasi dan Kondisi PolitikSituasi dan Kondisi Politik

Optimisme tentang kemampuan demokratisasi di Indonesiaternyata tidak bertahan lama seperti di bulan-bulan pertamasetelah lengsernya Suharto. Kaum elit bisnis dan politikmampu mengkonsolidasikan kekuasaan mereka, karenamelalui transaksi-transaksi keuangan ke luar negeri danpenolakan mereka untuk membayar hutang-hutang,mereka tidak perlu merasa takut mengalami kepailitan.Teori yang diyakini Bank Dunia dan International MonetaryFund (IMF), bahwa kejutan struktural yang menghapuskankoalisi kekuasaan lama menyebabkan dan membentukkoalisi kekuasaan baru yang reformis serta dapatmengambil alih kekuasaan, ternyata di Indonesia tidakberfungsi (Robison/Hadiz 2004: 264). Akibat dari berpuluh-

29

puluh tahun politik blok partai di era Suharto, tidak adatradisi kepartaian yang menunjang sebuah program politikdan merekrut kader mereka melalui sebuah basis yangmewajibkan para kader tersebut untuk terikat kepadaprogram tersebut. Hal yang jelas terlihat pada saat Pemilu2004, dimana figur-figur yang berada di garis depan tidakmembahas aspek-aspek programatis. Sebagai kendaraanuntuk pencalonan kandidat presiden Susilo BambangYudhoyono, yang akhirnya berhasil menjadi presiden,dibentuklah Partai Demokrat.

Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P), partaimantan Presiden Megawati, yang dianggap sebagaikekuatan reformasi dilihat tidak begitu berbeda jauh denganpartai Golkar. Menurut Robison/Hadiz hal ini terlihat darianggota partai tersebut yang merupakan pengusaha dankaum nasionalis lama demikian juga dengan politik praktisyang mereka jalankan (Robison/Hadiz 2004: 239). Sifat-sifat otoriter ditunjukkan pula oleh mantan presidenMegawati dalam komunikasinya dengan media. Megawatimeminta agar wartawan memelihara iklim politik yangstabil dan harus mempertimbangkan masak-masak,informasi apa saja yang dapat dibagi kepada masyarakatdan informasi mana yang tidak perlu diberitakan. Haltersebut mengingatkan kepada doktrin “bebas tapibertanggung jawab” dari mantan penguasa Suharto(Romano 2003: 52). Kenyataan bahwa Megawatimenghidupkan kembali Departemen Penerangan yangsebelumnya sudah dihapuskan, dilihat sebagai indikasiuntuk sebuah langkah kembali ke masa lalu (AJI 2004).

Tiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran Indonesia

30

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang terpilih padabulan September 2004 diakui menjalin hubungan yang lebihliberal dengan media. Namun demikian, tradisi “kulturtelepon” yang terjadi sejak era sebelumnya masih sajadipraktekkan untuk mengambil pengaruh dalampemberitaan demi kepentingan politis, meskipun potensiancaman dari sisi politik dan militer tidak dapat lagidibandingkan dengan masa-masa diktatur. Kemungkinanpengaruh tetap ada, karena para reporter politik seringditempatkan di pos-pos yang tetap. Mereka memberitakandari Istana Presiden, dari kantor kementerian atau darimarkas besar angkatan bersenjata. Para reporter tersebutmenghabiskan sebagian besar jam kerja mereka di dalamruang-ruang pers dari institusi-institusi pemerintahantersebut, „di tempat yang sebenarnya tidak mungkindiperoleh informasi yang relevan terhadap nilai-nilaijurnalistik” (Hanitzsch 2003: 337). Praktik tersebutdilakukan dengan alasan bahwa kedekatan ruang berartimemungkinkan akses yang lebih baik kepada narasumberdan informasi-informasi yang melatarbelakanginya. Padasaat yang sama praktik tersebut dikritik karena berartikurangnya jurnalisme investigatif. Banyak reporter hanyamenunggu pernyataan resmi dan menyalin berita darirekannya (Hanitzsch 2003: 337)..

Tidak hanya selama masa pemerintahan Suhartokepemilikan media merupakan sebuah alat strategis untukmempengaruhi opini publik. Pada saat Pemilu 2004 terlihatjelas pencampuradukkan politik dan media. Yang seringdikritik adalah Surya Paloh, pemilik stasiun TV khusus

31

berita (Metro TV) dan harian Media Indonesia, harian yangjuga dibahas dalam penelitian ini. Surya Paloh telah sejaklama menjadi salah satu anggota dewan pimpinan PartaiGolkar. Selama kampanye untuk pencalonan dirinyasebagai calon presiden, media-media yang dimiliki SuryaPaloh memberitakan secara berulang-ulang mengenaikegiatan kampanyenya (Pradityo 2004, AJI 2004: 26,Harsono 2004, LSPP 2004). Setelah kegagalanpencalonannya tersebut ia melakukan tekanan terhadapstaf redaksinya untuk mendukung Susilo BambangYudhoyono, yang kemudian terpilih menjadi presiden (lihat5.3).

Perekrutan wartawan sebagai strategi PR untuk politikdilakukan oleh segenap kubu politik. Penulis biografi SuryaPaloh dan Yudhoyono, Usamah Hisyam (mantanwartawan di Media Indonesia), mulai menerbitkan MO,sebuah tabloid yang berisi berita-berita politik dan gayahidup pada bulan Januari 2004. Tidak lama setelahnya ialalu melibatkan diri sebagai penanggung jawab PR (publicrelations) dalam tim kampanye Yudhoyono (AJI 2004: 27).August Parengkuan, yang pernah menjadi redaktur seniorharian Kompas dikaryakan selama Pemilu 2004 sebagaimanajer PR dalam tim mantan Presiden Megawati dan PDI-P, lalu kemudian kembali lagi menempati posnya di stasiuntelevisi TV7 yang pada saat itu dimiliki grup Kompas.Keterlibatan politik semacam itu tidak semuanyaberlangsung terang-terangan seperti kasus-kasus di atas.Banyak rekan wartawan yang bekerja pada bagian humas

Tiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran Indonesia

32

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

partai-partai dan terus-menerus menulis berita dengannama samaran (Harsono 2004).

3.2.33.2.33.2.33.2.33.2.3 Situasi dan Kondisi Sosial BudayaSituasi dan Kondisi Sosial BudayaSituasi dan Kondisi Sosial BudayaSituasi dan Kondisi Sosial BudayaSituasi dan Kondisi Sosial Budaya

Meskipun pada setiap perayaan tahunan hari kemerdekaantanggal 17 Agustus atau dalam kesempatan-kesempatanresmi lainnya selalu ditekankan mengenai kebhinekaanIndonesia lewat tarian-tarian dan adat istiadat dari seluruhIndonesia, suku Jawa tetap mendominasi politik danekonomi Indonesia. Pulau yang sangat padat ini ditempatioleh lebih dari setengah penduduk Indonesia yangberjumlah kira-kira 220 juta jiwa. Pulau Jawa adalah pusatpolitik dan ekonomi Indonesia dan menjadi tempatberdirinya sebagian besar fasilitas pendidikan. Secarabudaya, Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh norma-norma dan nilai-nilai suku Jawa. Di dalamnya termasukkesabaran, sikap pasrah atau nrimo, sikap pasif terhadapkesulitan dan prinsip harmoni kekeluargaan yang jugaditerapkan dalam konteks di luar keluarga (Aly 1984: 74).Franz Magnis-Suseno dalam bukunya „Etika Jawa”membedakan dua prinsip dasar yang membangunkehidupan bersama: (a) prinsip untuk menghindari konflik(prinsip kerukunan) dan (b) prinsip hormat kepada orangyang lebih tua dan/atau lebih tinggi dalam hiraki.

Prinsip untuk menghindari konflik menjamin situasi idealyang harmonis (rukun), yang harus dijaga sebagai keadaanyang diberikan alam. Potensi perselisihan harus ditekan.Karena konflik timbul akibat kepentingan-kepentingan

33

yang berbeda, maka setiap orang harus mengalahkankepentingan pribadinya demi kepentingan bersama.Penghindaran konflik terbuka lebih penting daripadapenghindaran konflik moril. Pertimbangan-pertimbanganmoral tidak membenarkan untuk mengabaikan prinsipharmoni (Magnis-Suseno 1981: 64). Yang penting untukdiperhatikan dalam hal ini adalah cara mengkomunikasikankeinginan pada pihak lain. Adalah tidak sopan untukmengungkapkan sebuah keinginan ataupun menolaknyasecara langsung. Dalam bentuk komunikasi yang berbelit-belit seperti ini, akan membutuhkan waktu yang lama untuksampai ke inti pembicaraan. Hal yang sama berlaku jikaada kritik yang harus disampaikan. Rasa tidak suka dapatsaja diperlihatkan, misalnya secara demonstratif untuksementara waktu mereka tidak saling berbicara (Aly 1984:77). Dalam hal ini orang tidak membedakan antara konflikdi dalam pekerjaan dan konflik pribadi (Magnis-Suseno1998: 22).Kesejahteraan bersama tidak hanya didukung secara pasifoleh prinsip penghindaran konflik, melainkan juga disokongsecara aktif melalui tradisi Slametan. Slamet adalah istilahuntuk sebuah keadaan tetap dari perasaan nyaman,keamanan yang tidak terganggu. Agar situasi aman ini tidakterganggu, maka seremoni Slametan dilakukan untuk semuaperistiwa. Ada sebuah komponen dari Slametan yangmemperjelas prinsip penghindaran konflik. Hadiah-hadiahtidak pernah dibuka di hadapan si pemberi hadiah, karenabila hadiah tersebut tidak disukai dikhawatirkan akantimbul suasana yang tidak enak. Selain itu juga benar-benardijaga, bahwa hadiah dan balasan hadiah memiliki nilai

Tiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran Indonesia

34

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

yang seimbang (Magnis-Suseno 1981: 52). Tradisi-tradisiJawa yang telah dipaparkan di atas tadi masih dapatditemukan terutama di dalam masyarakat pedesaantradisional, namun juga di dalam masyarakat modern danurban.

Prinsip dasar yang kedua adalah prinsip hormat. Hal itumengacu kepada keyakinan, bahwa hanya masyarakatyang dibentuk menurut hierarkis yang baku dapatmembawa pada keharmonisan. Selama setiap orang tahumenempatkan dirinya dalam tatanan sosial tersebut,semuanya berada dalam keseimbangan. Simbol-simbolstatus untuk menunjukkan aturan yang sudah diberikanalam menjadi sangat penting. Tatanan tersebut jugaterwujud dalam bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa terdapatkosa kata yang berbeda-beda, tergantung kepada siapamereka berbicara, yakni kosa kata untuk orang yang lebihdihormati, kosa kata untuk yang sejajar, dan kosa kotauntuk yang lebih rendah. Dengan banyaknya tingkatantersebut, bahasa Jawa memiliki sebelas tingkatan bahasa(Magnis-Suseno 1981: 57). Senioritas dan kedudukan tinggimenempati posisis tertinggi dalam tangga sosial. Secaratradisional merupakan satu kehormatan, untuk melayanipara pemimpin, figur-figur yang dihormati dan orang-orang tua. Prinsip hormat dalam budaya Jawa disebut jugadengan istilah “Bapakisme”, karena selalu mengacu kepadaBapak, yaitu kepala keluarga yang sangat dihormati.Sampai hari ini mantan penguasa Suharto, yang duludisebut-sebut sebagai “Bapak Pembangunan” tetap disapadengan “Pak Harto”. Penelitian-penelitian mengenai

35

budaya dan manajemen di Indonesia memperjelasbagaimana prinsip Bapakisme sekarang juga masihditunjukkan dalam budaya perusahaan. Perusahaandianggap sebagai keluarga besar dan pemimpin perusahaanmemiliki kedudukan seperti seorang Bapak (Weidmann1997: 152). Sementara dalam manajemen Barat yangberkuasa adalah pemimpin institusional, sedangkan diIndonesia pemimpin personal-lah yang berkuasa. Tindakan-tindakan yang ditujukan demi pemeliharaan hubungansosial lebih diutamakan daripada pelaksanaan tugas resmi(ibid: 157). Hubungan dengan pimpinan dipelihara dengansangat hati-hati. Bawahan merasa terhormat, bilaatasannya berkenan menerima hadiah pribadi darinya(ibid: 59). Lewat praktik ini diharapkan mereka mendapatimbalan berupa perlindungan dan kepemimpinan, yaknisebuah hubungan patron dan klien. Koentjaraningrat (1969:44) telah melihat pada tahun 1960-an bahwa dalamstruktur-struktur semacam ini ketiadaan komunikasi yangtepat sasaran adalah penyebab utama dari korupsi yangmerajalela di Indonesia.

Korupsi di dalam kehidupan masyarakat Indonesia danjuga dalam kehidupan sehari-hari di media adalah hal yangbiasa dan tidak hanya ditengarai sebagai masalah ekonomidan politik, melainkan juga sebagai masalah budaya(Hutabarat 2002). Saat ini Indonesia menempati posisi ke-130 dari 163 negara dalam daftar negara-negara yangindeks tingkat korupsinya diteliti oleh TransparencyInternational (TI 2006). Dalam dunia jurnalisme, praktik-praktik korupsi yang paling jelas dilakukan dikenal dengan

Tiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran Indonesia

36

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

istilah „budaya amplop”. Hal tersebut dapat dilihatmisalnya dalam konferensi pers, di mana tidak hanyadisampaikan informasi, namun juga para wartawandiberikan sebuah amplop berisi uang tunai. Jumlahnyaantara Rp 50.000 – 1.500.000 (• 5 – • 140) (The Jakarta Post2005a). Menolak „hadiah” ini, yang sering dikatakansebagai imbalan jasa atau uang transport, dianggap tidaksopan.Dalam perusahaan-perusahaan dan instansi-instansipemerintah terdapat anggaran untuk propaganda,informasi dan dokumentasi, uang untuk amplop-amploptersebut diambil dari anggaran yang disediakan itu (Manan2004, Haryanto 2005). Yang menikmati keuntungan darianggaran ini adalah pemberi dan penerima, sebagian besardarinya dikantongi oleh tenaga-tenaga kantor Humas (TheJakarta Post 2005c).

Seringkali diterimanya amplop tersebut oleh para wartawandiberi alasan karena pendapatan mereka yang rendah (Sasdi2003, Hariyanto 2005, The Jakarta Post 2005a). Namunsebuah angket yang dilakukan terhadap para wartawandi Jakarta memperlihatkan, bahwa desakan ekonomibukanlah motivasi terkuat untuk menerima amplop tersebut(Eriyanto 2002). Sebaliknya masalah profesionalismemenunjukkan, bahwa prosentase terbesar (46,5%) daripeserta angket mengatakan seorang wartawan tetap dapatmenulis berita dengan seimbang meskipun mereka telahmenerima imbalan uang. Walaupun begitu Eriyantomenekankan, bahwa adat istiadat Indonesia (Jawa) yangsaling memperlihatkan rasa terima kasih kepada seseorang

37

yang telah berbuat baik, tidak akan membiarkan orang yangtelah menerima amplop untuk menulis kritis tentang sipemberi amplop (ibid).

3.2.43.2.43.2.43.2.43.2.4 Situasi dan Kondisi PerekonomianSituasi dan Kondisi PerekonomianSituasi dan Kondisi PerekonomianSituasi dan Kondisi PerekonomianSituasi dan Kondisi Perekonomian

Perekonomian Indonesia mengalami peningkatan di tahun-tahun terakhir ini berkat pemintaan pasar dalam negeri.Bisnis media pun memetik keuntungan dari situasi tersebut.Sejak tahun 1999 terdapat peningkatan dalam penerimaaniklan dengan prosentase sebanyak dua digit setiaptahunnya.10 Karena dominasi media audio visual diIndonesia, pertumbuhan ini terutama dinikmati oleh stasiuntelevisi yang menyerap sekitar 70% penerimaan iklan (DyahS 2005). Kepemilikan stasiun televisi nasional tetap dikuasaioleh sedikit nama yang sebagian besar adalah kerabatkeluarga Suharto (Koesoemawiria 2002, Piliang 2002).

Liberalisasi hukum pers diikuti oleh booming munculnyapenerbit-penerbit baru. Setelah dilonggarkannya SIUPP,selama tahun 1998 sampai April 1999 saja telah dikeluarkan825 izin penerbitan baru. Penerbit-penerbit yang sudahmapan yang selama tahun 1990an meraih keuntunganketika pasar media masih dikontrol sangat ketat laludihadapkan pada tekanan persaingan yang bertambah.Kemudian terjadi konsolidasi pasar media, di mana grup-

Tiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran Indonesia

10 Untuk bulan Januari-September 2006 Departemen Komunikasi danInformasi menyatakan bahwa terjadi kenaikan 17% dibandingkan tahunsebelumnya untuk semua media, sedangkan untuk media cetak kenaikanmencapai 23% (Depkominfo 2006)

38

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

Grafik 3: Pendapatan Iklan 1998-2004 dalam MilyarGrafik 3: Pendapatan Iklan 1998-2004 dalam MilyarGrafik 3: Pendapatan Iklan 1998-2004 dalam MilyarGrafik 3: Pendapatan Iklan 1998-2004 dalam MilyarGrafik 3: Pendapatan Iklan 1998-2004 dalam MilyarRupiah Rupiah Rupiah Rupiah Rupiah 11

grup media yang besar paling banyak meraih keuntungan.Grup Jawa Pos misalnya, yang merupakan kelompok suratkabar terbesar di Indonesia, pada tahun 1995 hanyamemiliki 20 harian dan delapan surat kabar mingguan danpada tahun 2004 telah memiliki 81 harian, 23 surat kabarmingguan dan sebuah stasiun televisi. Grup terbesar kedua,Kompas Gramedia, pada tahun 1995 masih memilikidelapan harian, 17 majalah, sebuah stasiun radio danempat penerbit buku, tapi pada tahun 2004 mereka telahmemiliki 14 harian, 32 majalah, sebuah stasiun televisi dansebuah stasiun radio dan enam penerbit buku (AJI 2004).

11 Grafik dibuat sendiri dengan sumber dari PPPI, 2004

39

Hampir 50% dari pengeluaran iklan dalam surat kabarharian masuk ke dalam kas-kas sepuluh penerima iklanterbesar (PPPI 2004). Lima dari mereka termasuk dalamgrup Jawa Pos. Dari grup Kompas Gramedia, hanya harianKompas, harian dengan tiras tertinggi di Indonesia, yangtermasuk dalam kelompok sepuluh penerima iklan tadi.Tetapi dari keseluruhan penerimaan iklan surat kabar,Kompas sendiri memperoleh bagian 17,7% pada tahun 2003.

Grafik 4: Persentase penerimaan iklan 2003 Grafik 4: Persentase penerimaan iklan 2003 Grafik 4: Persentase penerimaan iklan 2003 Grafik 4: Persentase penerimaan iklan 2003 Grafik 4: Persentase penerimaan iklan 2003 12

Sehubungan dengan konsentrasi kepemilikan dalam sektormedia, maka bertambahnya orientasi komersial akanmengabaikan pendidikan dan investigasi jurnalistik. Media-media yang telah mapan dan media-media yang baru terbit

Tiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran IndonesiaTiga : Situasi dan Kondisi Persuratkabaran Indonesia

12 Grafik dibuat sendiri dengan sumber dari PPPI, 2004

40

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

dikritik pemberitaannya, karena mereka cenderungmewakili kepentingan sekelompok pemilik dan bukannyamemenuhi fungsi demokratis mereka (Sudibyo 2001a). Halini terutama merupakan hal yang lazim di surat kabar-suratkabar daerah, di mana politikus daerah (di antaranya jugakarena tekanan dari penerbit) membeli seluruh halamansurat kabar dan dengan demikian menjamin pemberitaanyang positif tentang dirinya (AJI 2004).

41

4.4.4.4.4. Media-media yang DitelitiMedia-media yang DitelitiMedia-media yang DitelitiMedia-media yang DitelitiMedia-media yang Diteliti

Yang menjadi subjek penelitian ini adalah struktur internalperusahaan-perusahaan pers Indonesia, yang padadasarnya dibedakan menurut bentuk perusahaan, budayaperusahaan dan peranan penerbit. Pada umumnya koran-koran Indonesia berfungsi sesuai prinsip reporter-editor13,prinsip yang berasal dari Anglo-Saxon. Komentar-komentar dan tulisan-tulisan opini yang berfungsi untuk

EmpatEmpatEmpatEmpatEmpat

Media-media yang DitelitiMedia-media yang DitelitiMedia-media yang DitelitiMedia-media yang DitelitiMedia-media yang Diteliti

13 Prinsip reporter-editor berarti prinsip pemisahan kerja dalam redaksi.Menurut prinsip ini, redaksi dibagi ke dalam reporter (yang mencariberita) dan editor (yang membuat rencana, menulis, mengeluarkanperintah dan mengomentari).Setiap tahapan proses penerbitan artikel dikerjakan oleh seorang anggotaredaksi yang lain. Sementara itu sistem pembagian kerja semacam ini disurat kabar Jerman tidak pernah secara penuh dijalankan. Di sana tugas-tugas jurnalistik lebih terintegrasi ke dalam satu kesatuan.

42

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

menyampaikan haluan surat kabar kebanyakan ditulis olehdewan redaksi yang hanya terdiri dari beberapa orang yangterpilih. Sehubungan dengan hal itu penulismempertanyakan pula masalah pentingnya “pembentukopini” dalam redaksi. Lebih jauh, penulis ingin mencaritahu bentuk-bentuk hak partisipasi redaksi, termasuktentang pengaturan konflik. Lalu diteliti juga tanda-tandadan sebab-sebab dari tindakan sensor dan swa-sensor.Praktik swa-sensor di Indonesia sering dikaitkan denganpraktik-praktik korupsi, karena itulah aspek ini ditonjolkanpula oleh penulis.

Pemilihan surat kabar berlandas pada salah satu penelitiantentang jurnalisme di Indonesia oleh Hanitzsch (2003: 341),yang membahas media massa papan atas, yang seringdijadikan referensi oleh para jurnalis. Ia menyebut hariannasional Kompas, Republika dan Media Indonesia sebagaikoran harian yang paling banyak dibaca wartawan. Selainketiga harian di atas, penulis menyertakan pula KoranTempo (terbit mulai tahun 2001) sebagai subjek penelitian.Keempat harian tersebut termasuk dalam media cetaknasional yang bertiras paling banyak dan mencerminkankeseluruhan harian nasional Indonesia secara umum14.Pemilihan keempat surat kabar ini didasari olehpertimbangan, bahwa media-media tersebut menjadi acuanbagi yang lainnya dalam segi gaji dan hukum kerja sertadalam kaitannya dengan standar profesional.

14 Harian-harian nasional lainnya kalau tidak berbahasa inggris(The Jakarta Post), mereka terbit sore hari (Sinar Harapan,Suara Pembaruan) atau merupakan koran bisnis/bertema ekonomi(Bisnis Indonesia).

43

15 Pada setiap harian selain wawancara resmi juga dilakukan percakapan-percakapan informal. Karena beberapa reporter khawatir akan akibatnegatif dari pernyataan-pernyataan mereka, maka khusus untuk reporterpenulis tidak membedakan antara pengutipan wawancara resmi danpercakapan informal. Maka penggolongan pribadi dapat dihindari.16 Tabel buatan sendiri. Sumber WAN 2002-2005

Penelitian lapangan dilaksanakan dengan metodepengamatan terbuka dan partisipatif. Sesuai dengan desainkualititif penelitian ini, maka pelaksanaan sebuahwawancara yang terbuka dan semi-terstruktur dinilaisangat perlu. Berdasarkan hipotesis bahwa pengaruh padaotonomi redaksi diterima secara berbeda menurut posisidalam perusahaan media, maka dari setiap hariandiwawancarai masing-masing seorang wakil dari setiaptingkatan hierarkis redaksi. Mereka adalah pemilikperusahaan, pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, kepaladesk untuk rubrik politik dan seorang reporter.15 Selain itudiwawancarai pula seorang wakil dari serikat pekerja.Mereka ditanyai tentang peranan dan penerimaan serikatpekerja di masing-masing surat kabar.

Grafik 5: Jumlah Tiras Surat Kabar yang DitelitiGrafik 5: Jumlah Tiras Surat Kabar yang DitelitiGrafik 5: Jumlah Tiras Surat Kabar yang DitelitiGrafik 5: Jumlah Tiras Surat Kabar yang DitelitiGrafik 5: Jumlah Tiras Surat Kabar yang Diteliti16

Empat : Media-media yang DitelitiEmpat : Media-media yang DitelitiEmpat : Media-media yang DitelitiEmpat : Media-media yang DitelitiEmpat : Media-media yang Diteliti

44

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

45

LimaLimaLimaLimaLima

Hasil PenelitianHasil PenelitianHasil PenelitianHasil PenelitianHasil Penelitian

3 Hasil Penelitian5.15.15.15.15.1 KompasKompasKompasKompasKompas

Kompas sejak puluhan tahun adalah harian nasionaldengan tiras tertinggi di Indonesia. Kompas diterbitkan olehKelompok Kompas Gramedia (KKG), yang selain Grup JawaPos merupakan perusahaan media terbesar di Indonesia.Kompas didirikan pada tahun 1965. Harian ini selama masakekuasaan diktatur patuh pada pemerintah dan dianggapsebagai “New Order newspaper par excellence” (Hill 1995:84).

Kompas dibaca terutama oleh kalangan elite Indonesia17 danmemelihara (seperti dulu) gaya bahasa yang seimbang dan

17 Lebih dari 60% pembaca adalah lulusan perguruan tinggi dan sekitar30% pembaca pengeluaran bulanannya mencapai paling sedikit Rp2.250.000,- (Angket Pembaca Kompas 2004).

46

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

hati-hati. Gaya seperti ini pernah dikatakan BenedictAnderson sebagai “kebosanan yang terawat” (Hill 1995:84).Pemilik Kompas Jakob Oetama menggambarkan kehati-hatian khas Kompas sebagai berikut: “Mau tidak mau kitamelaksanakan semacam sensor, semacam rem, ya apa bolehbuat. Sehingga kita diejek: ‘Jurnalisme Kepiting’. Sayamemang bilang sama teman-teman (wartawan) ‘kita tulis,tulis, tulis, makin naik dan naik, dan makin berani, adasinyal kuning (bahaya), kita mundur. Kita diejek sepertiseekor kepiting, maju dan mundur. Cuma bagi saya, munduritu untuk maju lagi. Itu soal pilihan. Saya kalau dikritikjuga tidak apa-apa. Memang itu kenyataannya.”18

Jakob Oetama sebagai pendiri harian Kompas sampaisekarang adalah pemilik saham terbesar19 dan memegangjabatan sebagai direktur KKG. Ia memiliki kedudukandalam Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS). Kemampuanjurnalistik dan bisnisnya membawanya menduduki jabatansebagai pemimpin redaksi sekaligus direktur perusahaansampai tahun 2000. Haluan konservatif dari harian inimenjadi makin kental karenanya. Jakob Oetamamempunyai latar belakang jurnalistik dan konsep diriseperti itu. Ia menginginkan penyampaian pendidikan dannilai-nilai melalui tulisan-tulisan di hariannya. Walaupunbegitu, sekarang ia memberi pengaruh yang lebih sedikitkepada redaksi dalam penentuan berita dibandingkan dulu.

18 Pemilik Kompas, Jakob Oetama, wawancara dilangsungkan tanggal 8dan 9 Oktober 200419 Angka pasti tentang kepemilikan saham tidak diperoleh dari pimpinanperusahaan, meski sudah ditanya berkali-kali. Menurut Jakob, ia dankeluarga P.K. Ojong yang memiliki saham terbesar.

47

Sebagai pemilik, ia ikut menentukan pemimpin redaksi dankepala rubrik tajuk rencana dan juga penempatan kepaladesk yang lain.

Kompas berada dalam tradisi sebuah perusahaan keluarga.20

Di Kompas Jakob Oetama berperan dan memandang dirinyasendiri sebagai ayah sebuah keluarga besar. Begitu pulalahbagaimana ia dipandang oleh para stafnya. Mungkin tidaksemua orang satu pemahaman dengan nilai-nilai yangdianut Jakob, namun ia-lah yang mengurus pengeluaranuang dan tanpa pengaturan yang ketat darinya, keluargaitu tidak bisa mempertahankan kekompakannya. Beberapawartawan yang ditanyai mengkonfirmasi hal ini. Seorangwartawan membandingkan Jakob Oetama – memang masihdalam konotasi positif – dengan penguasa sebelumnya,Suharto. Seorang wartawan lain bahkanmembandingkannya dengan Tuhan.21 Kekhawatiran akanmasa depan perusahaan jika ia wafat dikemukakan pulaoleh beberapa wartawan.

Peranannya sebagai figur ayah yang mengurus keluarganyamembuatnya menentukan apa yang menurutnya benaruntuk perusahannya. Karena itu sampai sekarang Jakob

20 Ruang-ruang redaksi dihiasi dengan foto-foto dari sejarah Kompasselama 40 tahun yang menunjukkan tidak hanya kegiatan redaksionalmelainkan juga kegiatan rekreasi bersama. Perusahaan ini memilikisebuah kelompok paduan suara, sebuah kelompok tari, sebuahkelompok pemancing dan sebuah tim bulu tangkis.21 Redaktur Pelaksana Kompas, wawancara dilangsungkan tanggal 5Oktober 2004; kepala rubrik Dalam Negeri Kompas, wawancaradilangsungkan tanggal 6 Oktober 2004.

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

48

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

Oetama masih menolak kegiatan-kegiatan serikat pekerjadi dalam perusahaannya sendiri. Serikat pekerja di Kompasdidirikan pada tahun 1998, tetapi secara internal tidakdisebutkan serikat melainkan Perkumpulan KaryawanKompas (PKK). Menurut salah satu wakilnya, hal inikarena „ada kultur perusahaan yang tidak cocok dengannama serikat”22. PKK paling sering bersuara hanya untukmasalah-masalah perbaikan sosial dan material darikaryawan Kompas. Keputusan-keputusan personalia danpekerjaan, yang menyangkut redaksi, diambil oleh pemilikatau oleh pimpinan redaksi yang ditunjuk. Hak ikut sertadalam pengambilan keputusan tidak dirumuskan secaraformal di Kompas. Tidak ada dewan redaksi yang mewakilikepentingan redaksi dan tidak ada aturan atau anggarandasar, yang misalnya mengatur hak ikut memutuskan dalammasalah-masalah personalia, kebebasan mengikutikeyakinan sendiri bagi para wartawan atau masalahtentang haluan surat kabar jika terjadi pergantian pemilik.Sebuah dewan tetap yang bertanggung jawab untukmenyelesaikan konflik juga tidak ada. Strategi komunikasidan strategi penyelesaian konflik di Kompas berorientasipada konsensus.

Hak ikut serta dalam pengambilan keputusan sebenarnyasecara teoritis dapat terinstitusi melalui kepemilikan saham

22 Wakil dari Serikat Pekerja Kompas, wawancara dilangsungkan tanggal21 Oktober 2004

49

pegawai yang ada di Kompas.23 Di Kompas, melaluipembagian dividen memang ada perbaikan secara materi,namun tidak tercapai hak ikut memutuskan misalnya dalampenempatan pemimpin redaksi. Wartawan Kompas tidakdiberi jaminan secara tertulis untuk secara bebas mengikutihati nuraninya, melainkan diselesaikan menurut kasus perkasus: “Dimungkinkan, tapi itu sifatnya lebih pribadi, lebihke pendekatan antar orang saja. Misalnya kalau seorangwartawan bilang, ‘Maaf saya tidak bisa tulis itu’, makaredakturnya bilang, ‘Ok, tidak masalah. Kamu bisa tulisyang lain. Ini saya kasih ke orang lain’. Tapi, pada dasarnya(wartawan) tidak bisa menolak. Apa yang ditugaskan,harus dilakukan. Tapi, karena kami juga di sini kulturnyaJawa, kulturnya lebih pada pendekatan pribadi, makaseringkali hal-hal seperti itu sangat bisa dinegosiasikan.”24

Kompas selama masa tiga puluh tahun rezim Suhartomembuktikan diri sebagai media yang mampu

23 Sejak tahun 1987 ada peraturan menteri yang mengharuskan setiapperusahaan media membagi 20 persen sahamnya kepada karyawannya.Walaupun sejak saat itu ada pembagian dividen tahunan bagi karyawanKompas, tapi pengelolaannya masih belum transparan atau demokratis.PKK yang didirikan tahun 1998 hadir menjawab tantangan ini, dan terusberjuang untuk mendapatkan hak 20 persen saham karyawan.Kesepakatan penyelesaian masalah saham tercapai pada tahun 2006.Namun, segera setelah itu sekretaris PKK yang merupakan wartawansenior Kompas, Bambang Wisudo, dimutasi dan akhirnya dipecat olehmanajemen karena aktifitasnya di serikat pekerja yang dianggapmengganggu kondusifitas kerja perusahaan. Kasus ini mendapatperhatian publik yang luas karena justru terjadi di Kompas, harian yangsangat berpengaruh di Indonesia.24 Wakil dari Serikat Pekerja Kompas, wawancara dilangsungkan tanggal21 Oktober 2004.

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

50

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

menyesuaikan diri dan secara ekonomi telah memetikkeuntungan yang besar dari kemampuan menyesuaikan diritersebut. Selain itu Kompas sampai sekarang masih memilikihubungan yang baik dengan para politisi. Menjagahubungan yang baik ini sudah dimulai dengan fakta-fakta,yang relevansinya tidak terlihat nyata dalam bisnisjurnalistik sehari-hari. Misalnya, dalam jangka waktupenelitian ini, terdapat sebuah konflik seorang wartawandengan seorang politikus yang dipecat dari partainya danmengadukan keputusan tersebut ke pengadilan. Kompastelah memberi judul sebuah artikel yang membahas tentangjadwal persidangan kasus yang dimaksud, bahwa sangpolitikus ingin kembali ke DPR. Judul tersebut menyebabkanpolitikus itu menelpon redaksi berkali-kali dan memprotes,bahwa judul artikel tersebut memberi kesan seakan-akanyang penting baginya hanyalah kursinya di DPR. Pada hariberikutnya muncul sebuah artikel, yang judulnya memberiinformasi kepada pembaca, bahwa politikus tersebut tidakmengejar-ngejar kursinya di DPR.

Beberapa anggota redaksi yang diwawancaraimengkonfirmasikan, bahwa kasus di atas bukanlah satu-satunya. Seringkali artikel-artikel direvisi mengacu pada„aturan yang tidak tertulis” demi menghindari feedback yangdianggap memalukan dari para politisi dan menggangguhubungan baik yang telah terbina dengan mereka. Untukhal-hal yang masih belum jelas, hubungan dengannarasumber selalu didahulukan daripada kebebasan morilreporter dalam mengungkapkan pendapat. Seorang reportermenceritakan tentang kemarahan seorang mantan presiden,

51

meskipun ia telah mengutip perkataannya dengan benar.Meskipun ucapan sang mantan presiden bisa dibuktikandengan sebuah rekaman, Kompas melakukan usahaberdamai. Reporter tersebut mendatangi sang mantanpresiden dan memohon maaf. „Jadi gaya penyelesaianKompas seperti itulah, jadi biasanya, rapat redaksi, otoritasKompas, justru mendesak, menuntut teman-temanwartawan di lapangan mengalah [...] Jadi poinnya lebihmemilih jalan damai daripada mencari kebenaran. Yakadang-kadang untuk teman-teman (wartawan) yangmuda kan (cara seperti itu) menyakitkan, tapi menurut sayaitu sudah jadi pilihan Kompas.”25

Bentuk kehatian-hatian di atas terutama telah ditanamkanoleh pemilik perusahaan: „Kita [...] cenderung (kalau)menyangkut nama baik orang, kita konservatif [...] Memanglalu memberi kesan (bahwa Kompas) kurang berani, tapi yaini barangkali sudah terlanjur (bagaimana Kompas) mencobamenggunakan kebebasan. Tapi mungkin kalau nanti sayasudah ‚lewat’ (tidak lagi menjabat sebagai PemimpinUmum/Pemilik Kompas) barangkali (sikap Kompas yangseperti itu) akan berubah (karena pemikiran parawartawan) [...] muda. Saya ’kan tidak bisa berubah. Beginiini ya saya.”26

“Seni” yang telah dipraktikkan puluhan tahun tersebut,yakni kritikan yang disampaikan di antara baris-baris

25 Reporter Kompas26 Pemimpin Umum/pemilik Kompas, wawancara dilangsungkan tanggal8 dan 9 Oktober 2004.

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

52

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

artikel, sebuah pengertian hierarki yang konservatif,kekhawatiranakan posisi pasar harian ini dan sebuah wilayah hukumyang tidak tentu, mengakibatkan para wartawan Kompasmelakukan swa-sensor. Dalam kaitan ini pula tampaknyaharian Kompas merupakan cerminan dari budaya konsensusala Jawa.

Berdasarkan “aturan yang tidak tertulis” yang dilandasibudaya perusahaan yang berorientasi pada konsensus,tampaknya potensi konflik di Kompas yang disebabkan olehpemilik perusahaan hanya sedikit. Gabungan kepentinganpemilik, dalam hal ini bahwa ia akan menggunakanhariannya untuk kepentingannya sendiri, tidak terlihatdengan jelas. Hal ini bisa jadi karena Jakob Oetama sendiriadalah seorang wartawan dan ia memimpin hariannyadengan sebuah perspektif jurnalistik. Ia tidak memilikiambisi-ambisi politik dalam arti dengan tujuan untukmenempati sebuah jabatan politik.

Di lain pihak karyawan Kompas merasa puas secaramateriil, karena itu mereka sangat loyal kepada pemilikperusahaan. Memang selalu saja terdengar keluhan daripara wartawan yang karirnya berakhir atau sengajaditunda, karena usaha mereka melakukan perlawananterhadap kepentingan-kepentingan pemilik. Namun hampirtidak ada wartawan bersangkutan yang akanmengungkapkan kritik tersebut atau menyebutkan denganjelas tentang perbuatan tersebut. Kasus yang menimpa

53

wartawan senior Kompas Bambang Wisudo pada tahun2006 adalah salah satu contohnya.

Di Kompas dibedakan secara ketat antara berita dan opini.Pendapat diutarakan dalam bentuk tajuk rencana dandalam kolom-kolom opini. Kedua artikel tajuk rencana yangmuncul setiap hari ditulis tanpa nama dan biasanya ditulisoleh pemimpin redaksi, wakil pemimpin redaksi ataukadang-kadang oleh pemilik perusahaan (yang jugamenjabat sebagai pemimpin umum harian) itu sendiri.27

Sedangkan tiga sampai empat halaman yang berisikan opinidan merupakan ajang perdebatan tidak pernah berasal dariredaktur atau reporter, melainkan selalu ditulis oleh pakar-pakar di luar Kompas sesuai dengan bidangnya masing-masing. Kepala rubrik opini memberi alasan, bahwahalaman-halaman opini merupakan sebuah layanan kepadamasyarakat.28 Di antara kalangan intelektual Indonesia,adalah sebuah reputasi yang tinggi bila mereka telahmenulis sebuah artikel opini di Kompas. Setiap hari hampir90 kiriman artikel yang disortir empat orang redaksi opini,yang menentukan opini mana yang akan diterbitkan.Namun begitu, pimpinan redaksi memiliki hak veto.

27 Dalam jangka waktu penelitian ini artikel tajuk rencana pertama yangbertemakan politik dalam negeri ditulis oleh pemimpin redaksi,sedangkan artikel tajuk rencana kedua yang bertemakan politik luarnegeri ditulis oleh wakil pemimpin redaksi.28 Percakapan informal tanggal 6 Oktober 2004. Situasi untuk kepentinganbersama ini dipahami pula, bahwa komentar-komentar tersebutdigunakan sebagai alat untuk memelihara hubungan, misalnya denganpihak militer, di mana kadang-kadang seorang jendral mengutarakanpendapatnya. Juga para pakar yang telah menguntungkan Kompas, bolehsering memberikan komentar. (ibid)

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

54

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

Menurut pemilik Kompas, divisi iklan tidak pernah ikutcampur dalam penentuan isi redaksional.29 Kebijakan iniditegaskan pula oleh pemimpin redaksi: „Sejak awal kitabuat kebijakan yang tegas antara konten dan iklan. Jadi,orang iklan tidak bisa intervensi kami (dan sebaliknya) orangredaksi tidak pernah bisa intervensi iklan dan kami(wartawan di redaksi) tidak pernah tahu, besok ada iklanapa [...] Jadi kita membuat setting agenda untuk liputan,murni berdasarkan rapat di setiap desk [...] Kompas menjagabetul (prinsip itu). Karena itu (dapat) saya katakan,kekuatan Kompas itu (terletak pada) kredibilitas dan orangtahu itu.”30

Di Kompas, divisi iklan dan redaksi ditempatkan dibangunan yang berbeda. „Terpisah, tidak pernah ketemu,”demikian jelas pemimpin redaksi. Selain itu seorang reportermenegaskan pula, bahwa para wartawan Kompas dilarangkeras untuk melibatkan diri dalam pembuatan iklan-iklan.Hal itulah yang membedakan Kompas dengan media-medialain, di mana para wartawan memiliki dua fungsi, selainmenulis berita juga mencari iklan. “Justru karena kitareporter di lapangan tidak boleh berurusan dan terlibatdengan persoalan iklan sehingga kita bisa merasaindependen [...[ Saya misalnya dekat dengan pemilik(pabrik) jamu [...] Dia memanggil saya dan minta diadiwawancara, saya hanya janjikan, kalau wawancara itu

29 Pemilik Kompas, wawancara dilangsungkan tanggal 8 dan 9 Oktober2004.30 Pemimpin Redaksi Kompas, wawancara dilangsungkan tanggal 7Oktober 2004.

55

layak muat, akan saya tawarkan pada redaksi, tapi kalautidak layak muat, tidak (akan saya tawarkan). Lalu diamengatakan, ‘aku kan udah seminggu, secara berturut-turut pasang iklan’ […] Saya katakan, iklan itu urusanbagian iklan, saya wartawan dan saya memang tidak bolehterlibat dalam soal iklan.”31

Grafik 6: Pendapatan Iklan 1999-2003 dalam MilyarGrafik 6: Pendapatan Iklan 1999-2003 dalam MilyarGrafik 6: Pendapatan Iklan 1999-2003 dalam MilyarGrafik 6: Pendapatan Iklan 1999-2003 dalam MilyarGrafik 6: Pendapatan Iklan 1999-2003 dalam MilyarRupiah Rupiah Rupiah Rupiah Rupiah 32

Meskipun sudah ada kebijakan yang jelas, namun tetap adakritik dan kecaman yang dilontarkan terhadap Kompasterkait iklan dan promosi silang. Majalah pengawas media

31 Reporter Kompas.32 Grafik dibuat sendiri, dengan sumber dari PPPI, 2004

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

56

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

Pantau33 Reporter Kompas. mengkritik, bahwa Kompas dalamsebagian isinya membuat iklan terselubung bagi media-media lain yang tergabung dalam KKG (Pantau 2002).Selain itu rubrik Seremonia, yang berisikan peristiwapenghargaan dan perayaan, telah menodai pula prinsippemisahan yang jelas antara iklan dan isi redaksional.Menurut Pantau, seremonia adalah rubrik yang mengutipbayaran, namun tidak dikatakan sebagai iklan (ibid).

5.2.5.2.5.2.5.2.5.2. Koran TempoKoran TempoKoran TempoKoran TempoKoran Tempo

Sejarah dari harian nasional termuda Indonesia KoranTempo harus dilihat dalam kaitannya dengan majalah yangbernama sama. Majalah mingguan Tempo diterbitkan padatahun 1971 dengan mencontoh Time-Magazine danberkembang sangat cepat menjadi majalah kesayangankelas menengah yang sedang tumbuh. Majalah ini masihmendukung politik Suharto di awal masakepemimpinannya, tetapi semakin lama artikel-artikel yangditerbitkan Tempo memuat tulisan-tulisan yang semakinkritis. Akhirnya pada tahun 1994 Tempo bersama dengandua majalah lainnya, Detik dan Editor, dilarang terbit karenapemberitaanya tentang pembelian kapal perang eks JermanTimur oleh Indonesia. Pembredelan tersebut mengakibatkangelombang protes yang tidak terduga dan pendirian Aliansi

33 Pantau pada awalnya adalah sebuah majalah yang kritis dan diisidengan tulisan-tulisan mengenai media. Penerbitnya adalah Institut StudiArus Informasi (ISAI). Setelah ada kesulitan pembiayaan, Pantau berubahdari majalah khusus pemantauan media menjadi majalah umum yangtidak lagi memiliki fokus tentang media.

57

Jurnalis Independen (AJI), yang dianggap sebagai gerakanmelawan PWI yang sangat dekat dengan pemerintah.Anggota AJI dan wartawan Tempo sebagian bergerak dibawah tanah. Maka pada tahun 1996 dihasilkan majalahonline Tempo Interaktif. Sementara itu beberapa wartawanpindah ke media lain. Alumni Tempo membentuk sebuahjaringan yang efektif, yang memiliki hubungan erat denganpara intelektual dan aktivis.

Sejak tahun 1998 majalah Tempo diterbitkan lagi oleh PTTempo Inti Media Tbk. Perusahaan tersebut tidak hanyamemiliki majalah Tempo namun juga percetakan PTTemprint. Pada tahun 2000 Tempo Inti Media adalahperusahaan media pertama Indonesia yang masuk bursasaham. Dari penghasilannya tersebut dibiayailah harianKoran Tempo yang terbit sejak tahun 2001.

Koran Tempo terkenal berkat jurnalisme investigasinya.Selain itu Koran Tempo menggunakan elemen-elemen layoutyang tidak konvensional dan memuat banyak grafikinformasi dan karena itu dibaca terutama oleh pembacamuda dari kalangan menengah ke atas. Sebanyak 80%pembacanya berumur antara 20-44 tahun. Koran Tempo,seperti juga majalahnya menganggap dirinya sendirisebagai „bagian dari ujung tombak modernisasi masyarakatIndonesia”, sebagai „clearing house” dan juga terkenal diluar negeri sebagai media yang progresif dan demokratis.Banyak wartawan Tempo yang mendapat berbagaipenghargaan internasional berkat komitmen mereka padajurnalisme.

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

58

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

Berbeda dengan tiga media lain yang diteliti, Tempo tidakmemiliki pemilik saham terbesar. Lebih dari 50%kepemilikan perusahaan dipunyai oleh yayasan-yayasan.Dengan demikian di Koran Tempo tidak ada pemilik mediadalam arti yang biasanya. Pada saat penelitian inidilangsungkan, saham-saham perusahaan Tempo dimilikioleh perusahaan PT Grafiti Pers, Yayasan Jaya Raya,Yayasan 21 Juni 1994 dan Yayasan Karyawan Tempo.Sebanyak 17% saham dipasarkan di bursa. Komisarisutamanya adalah pendiri Tempo Goenawan Mohamad.Pemimpin redaksi, yang saat dilangsungkannya penelitianini dijabat oleh Bambang Harymurti, adalah bagian daridewan direksi.

Grafik 7: Pembagian kepemilikan saham Grafik 7: Pembagian kepemilikan saham Grafik 7: Pembagian kepemilikan saham Grafik 7: Pembagian kepemilikan saham Grafik 7: Pembagian kepemilikan saham Tempo Tempo Tempo Tempo Tempo 34

34 Diagram dibuat sendiri, Sumber : Profile Emittenten Profil Tempo IntiMedia Tbk, Borse Jakarta, http ://www.jsx.co.id/issuers.asp?cmd=detail&id = TMPO, per 28 Februari 2005

59

Wartawan-wartawan Tempo yang diwawancarai, terutamamereka yang telah berpengalaman di media-media saingan,menjelaskan tentang „budaya perusahaan yang laindaripada yang lain” dan besarnya otonomi redaksi. „Sayamelihat, Tempo mungkin berbeda dengan media massa laindi Indonesia. Di sini ada semacam nilai-nilai yang barangkalimendekati nilai idealisme dari sebuah pers yang mungkinpaling bebas di Indonesia. Kenapa demikian, karena diadimiliki oleh publik yang tidak terpusat pada satu tangan,seperti ada beberapa media lain di Indonesia [...] Kita diTempo bisa dengan mudah menulis apa yang dianggapbersama di sini sebagai sebuah kebenaran [...]”35

Di Koran Tempo juga tidak terdapat anggaran dasar redaksiatau sebuah badan perwakilan yang mewakili kepentinganredaksi. Visi dan misi dari serikat pekerja bertujuan untukkepentingan sosial, seperti juga di media-media lainnya.Namun staf Tempo dapat terlibat dalam politik perusahaanmelalui yayasan karyawan sebagai pemegang sahamTempo. Sebagai contoh, rencana pengambilalihan sahamoleh grup Jawa Pos telah ditolak dengan alasan bahwa halitu dapat mempengaruhi penulisan berita. Konflik-konfliksehubungan dengan jaminan sosial para karyawandiupayakan untuk diselesaikan pihak manajemen danserikat pekerja secara tranparan dan melalui diskusi yangterbuka. Namun dalam masalah-masalah personal sepertipenempatan reporter atau penentuan pimpinan redaksi,

35 Kepala desk nasional, yang sebelumnya bekerja di Republika.Wawancara dilangsungkan tanggal 17 Oktober 2004.

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

60

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

staf Tempo tidak memiliki hak untuk ikut menentukankeputusan, demikian keterangan dari serikat pekerja.

Kebebasan wartawan untuk mengikuti hati nuraninya,yang dijamin Tempo, sesuai dengan prinsipnya sebagai„watchdog”. Otonomi redaksi memang tidak dituangkandalam bentuk peraturan seperti misalnya sebuah anggarandasar, namun dinilai sangat tinggi oleh para wartawanyang diwawancarai. Pemimpin redaksi menuntut danmendukung tanggung jawab pribadi dari parawartawannya. „Jadi betul-betul (pihak) redaksi bisa(mengatur dirinya sendiri atau) self regulation. Dan sayasendiri amat jarang menggunakan (hak) prerogatif sayasebagai pemimpin redaksi. Saya lebih suka, kalau perlu kitaberjam-jam berdebat sampai akhirnya kalau perlu kita bikinpungutan suara. Karena bagi saya melakukan veto itu tidakmendidik [...] (Saya lebih suka berdebat) untuk meyakinkanmereka (lawan debat) bahwa pilihan ini (subjek debat) lebihbaik. Tetapi tentu, dalam berdebat itu hanya bisa jalan kalau[...] semuanya masih open mind, masih terbuka, bahwamungkin saja mereka salah. Jadi [...] bagi saya yang lebihpenting daripada hasilnya adalah mutu perdebatannya,bahwa argumennya itu masuk akal dan meyakinkan.”36

Salah satu kasus yang melibatkan pengusaha dan pemiliksaham Tempo, Ciputra, dapat menggambarkan bagaimanaotonomi redaksi di Tempo dijalankan. Redaktur pelaksana

36 Pemimpin redaksi Koran Tempo, wawancara dilangsungkan tangal 14dan 15 Oktober 2004.

61

Koran Tempo pernah memberikan sebuah contoh kasus, dimana Ciputra meminta pihak redaksi untuk menghentikansebuah laporan investigatif mengenai proyek reklamasipantai di Jakarta Utara yang menyalahi aturan Perda danmencemari lingkungan. Tetapi pihak redaksi menolakintervensi tersebut dan melanjutkan pemberitaannya,walaupun kasus tersebut berhubungan dengan kepentinganbisnis Ciputra.37

Pengusaha Tomy Winata yang memiliki grup Artha Grahadan termasuk salah satu orang yang terkaya di Indonesia ,pada tahun 2003 menuntut Tempo dengan alasanpencemaran nama baik menyusul pemberitaan di majalanTempo yang menyudutkan dirinya. Saat itu Ciputra, yangjuga komisaris Tempo, secara terbuka mendukungperdamaian antara Tempo dan Tommy Winata. Ciputramenekankan kedudukannya sebagai pimpinan YayasanJaya Raya. Yayasan tersebut memang tidak bisa ikut campurdalam urusan redaksional, namun ia meminta pihak direksidan redaksi untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan„damai, adil dan tidak memalukan” dan mencari katasepakat dengan Tommy Winata. Kesepakatan hanyamungkin dicapai jika artikel tersebut dicabut, namun pihakredaksi menolak hal tersebut.

Untuk sebuah media dengan tuntutan investigatif yangtinggi, maka memelihara narasumber eksklusif sangatlah

37 Redaktur pelaksana Koran Tempo, wawancara dilangsungkan tanggal14 Oktober 2004.

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

62

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

penting. Namun, hal tersebut dapat membawa bahayaberupa keberpihakan dari para wartawan. Karena itu diTempo tidak dituntut netralitas dari setiap wartawan,melainkan menekankan pada keseimbangan sebagai hasilkeseluruhan dalam surat kabar. Salah satu hal yangmemungkinkan keberpihakan tersebut adalah penempatanpos tertentu bagi para reporter. Swa-sensor yang dapatterjadi akibat hubungan erat tadi dicegah dengan bantuanprofesionalisme reporter, proses redaksional yang bertahap-tahap dan dengan pergantian pos. “Salah satu kebijakanuntuk rotasi, memutar satu reporter dari pos lama ke poslain, adalah (untuk) menghindari bias sumber, kedekatan.Sehingga, antara sumber dan reporter tidak bisa berkolusi[...] Wartawan yang di polisi misalnya, kita putar terus. [...](Selain itu) kita brainstorming terus supaya tidakterpengaruh oleh hal-hal seperti itu (bias pemberitaan).Mungkin juga karena citra Tempo yang sudah orang banyaktahu, mungkin sumber juga agak enggan untukmempengaruhi.”38

Swa-sensor demi kepentingan pemilik ditolak di Tempo. „DiKoran Tempo jelas tidak ada […] Di Media Indonesia, tempatsaya pernah bekerja dulu […] pemiliknya adalah seorangpolitikus sekaligus seorang pengusaha. Tidak bisa tidak,kepentingan dia sebagai politikus dan pengusaha itu selalutercermin dari pemberitaannya. Sebagai contoh, dia bisamelakukan sensor kepada lawannya: ‘Berita ini jangandimuat’. (Atau bahwa) berita itu dimuat dengan semakin

38 Redaktur pelaksana Koran Tempo, wawancara dilangsungkan tanggal14 Oktober 2004.

63

intensif. Saya pernah mengalaminya waktu saya bekerja(di sana).”39

Walaupun begitu, Tempo tidak terlepas dari pengaruheksternal. Hanya saja, sumber tekanan yang datang telahbergeser, yang sebelumnya berasal dari pemerintah danmiliter, sekarang dari aktor-aktor masyarakat. Selain itumajalah Tempo dan harian Koran Tempo paling seringmengalami pengaduan di tahun-tahun belakangan ini (lihat3.2.1). “Para wartawan makin berani mengungkapkankorupsi. Makin berani mengungkapkan pejabat yangmenyeleweng. Cuma masyarakat belum (memiliki) cukupinformasi bagaimana sebetulnya mengontrol pers(misalnya) dengan mengirimkan surat pembaca ataumengadukan ke dewan pers [...] Sehingga ketika adacomplain [...], mereka (para jurnalis) bisa diancam denganhukuman pidana, padahal seharusnya perdata [...] Yangsangat mencolok sekarang sebetulnya pengaruh, tekananpublik secara langsung kepada media massa di Indonesia[...] (Masyarakat) datang ke kantor persnya (langsung) kalaumereka tidak setuju (dengan tulisan yang dimuat) [...](Mereka bilang:) ‚Cabut berita kamu, kalau tidak saya rusak(kantor kamu)’. Zaman Suharto tidak pernah itu, hampirtidak pernah. Zaman Suharto yang melakukan ya Suharto,tentara dan para pejabatnya, bukan masyarakat [...] Darisisi pemerintah, politikus, upaya-upaya (untukmempengaruhi pemberitaan) selalu ada, (mereka)menelepon Bambang Harymurti (Pemred). Tapi kamisampai sejauh ini tidak terlalu khawatir, tidak terlaluterpengaruh, tidak terlalu peduli juga. Karena kami juga

39 ibid.

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

64

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

siap kalau misalnya sampai terjadi penuntutan, ok kitaharus lewat (jalur) hukum, lebih baik begitu.” 40 Demikianpenjelasan dari redaktur pelaksana Koran Tempo.Artikel-artikel opini merupakan subjek dalam rapatmingguan. Rapat tersebut biasanya dihadiri olehperwakilan divisi usaha, pimpinan redaksi, redakturpelaksana, kepala biro dan redaktur senior dari Tempo danKoran Tempo. “Membuat opini” di Koran Tempo merupakanpekerjaan bersama. Dalam rapat tersebut mula-muladibahas tentang editorial-editorial dari edisi minggusebelumnya, lalu dibuat rencana tema-tema editorial besertapenulis-penulisnya untuk edisi minggu berikutnya. Penuliseditorial harian adalah pemimpin redaksi dan redaktur-redaktur senior, kadang-kadang juga orang luar yangdianggap sebagai bagian dari “Komunitas Tempo”. Bahwadi antara mereka ada juga politisi, hal tersebut tidakdianggap bermasalah karena adanya mekanismepengambilan keputusan bersama untuk artikel-artikel opini.Apa yang mereka tulis tidak dilihat sebagai pendapatpribadi, melainkan mewakili “haluan Tempo” dalameditorial.

Selain editorial, biasanya ditampilkan pula dua komentaratau analisis di halaman opini yang ditulis oleh para pakardari luar Tempo. Menurut perhitungan kepala rubrik opini,secara keseluruhan ada tujuh hingga delapan penulis tetapyang menuliskan sepuluh persen artikel opini. Merekaadalah para pakar atau politisi, yang bergantian menulissesuai tema. Untuk sumbangan tulisan ini tidak ada hak

40 ibid.

65

prerogatif dari pimpinan redaksi: “Mereka kadang-kadangmemang meneruskan tulisan dari kenalannya danmengatakan, coba baca dulu ini, tapi mereka tidak ikutcampur.”41

Menurut keterangan pemimpin redaksinya, Tempo memilikimekanisme yang cukup untuk melindungi diri dariintervensi iklan terhadap isi. Sudah pernah terjadi, bahwaada perusahaan yang memasang – atau menarik – iklannyadi Tempo dengan tujuan untuk menghindari sebuahpenyelidikan investigatif yang tengah dilakukan olehwartawan Tempo. “Bank Mandiri dan BPPN mem-blackoutkita (menarik iklan dari Tempo), saya tidak peduli [...]Sampai sekarang tidak ada keharusan dari redaksi untukmengalah pada iklan. Kecuali iklan itu bikin halaman-halaman suplemen, yang memang dijelaskan (sebagai)iklan. Kita sering ‘berkelahi’ karena bagian iklan suka –menurut pendapat kita – curang, bentuk iklan itu teralumirip dengan berita. Sehingga saya memutuskan, selalusaya (pihak redaksi) tulis ‘iklan’ (di bagian yang bukanberita). Kenapa? Karena sebelumnya kita tidak menulis‘iklan’. Tahu-tahu ini sebenarnya iklan. Ini bahaya sekali.”42

Iklan dan redaksi dipisahkan di Tempo dan menurut seorangreporter, ia hanya mengurus masalah redaksional. Untukdivisi iklan hal itu kadang-kadang sulit untuk diterima.

41 Kepala rubrik opini Koran Tempo, pembicaraan informal tanggal 13Oktober 2004.42 Pemimpin redaksi Koran Tempo, wawancara dilangsungkan tanggal 14dan 15 Oktober 2004.

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

66

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

Dalam hal ini redaktur pelaksana mengungkapkanpendapatnya: “Teman-teman iklan sering mengeluh: ‘Ituklien saya, tapi kamu (malah) tulis terus beritanya setiaphari.’ Tapi ya sudahlah. Itu kita terima resiko sebagai koranyang idealis. Seperti kami misalnya pernah menulis(tentang) Telkom di Bandung. Mereka melakukan billingyang tidak benar [...] Telkom sebagai pemasang iklanmenelepon bagian iklan: ‘Mengapa harus ditulis (berita) itu.Tolong, apakah redaksinya bisa dipengaruhi?’ Dan bagianiklan terpaksa (mengatakan): ‘Tidak bisa’. Tapi parapemasang iklan biasanya tahu (reputasi) Tempo [...] Karenacitra Tempo sudah jelas, kami ingin independen.”43

5.3. 5.3. 5.3. 5.3. 5.3. Media IndonesiaMedia IndonesiaMedia IndonesiaMedia IndonesiaMedia Indonesia

Dipicu oleh tindakan deregulasi ekonomi di Indonesia padatahun 1980an, banyak perusahaan media cetak yangdidirikan dan dikelola oleh mereka yang tidak memiliki latarbelakang jurnalistik. Sejarah dari Media Indonesia44 berawaldari investasi yang ditanam oleh seorang pengusaha, yangsebelumnya telah berhasil membangun perusahaan-perusahaan di bidang lainnya: Surya Paloh. Ia memiliki100% saham dan memimpin bisnis dari grup MediaIndonesia, yang selain memiliki Media Indonesia jugamempunyai dua koran lokal dan sebuah stasiun TV khusus

43 Redaktur pelaksana Koran Tempo, wawancara dilangsungkan tanggal14 Oktober 2004.44 Harian itu sudah berdiri pada tahun 1969, namun baru mulai tahun1989 setelah diambil alih oleh Surya Paloh menjadi sukses secara finansial.Paloh sebelumnya memiliki surat kabar Prioritas, namun izin terbitnyadicabut oleh pemerintah.

67

berita Metro TV. Selain itu Surya Paloh juga memiliki usahadalam bidang perhotelan, aktif dalam bisnis marmer dandengan Indocater membangun sebuah bisnis catering yangsangat berhasil dan termasuk paling besar di Indonesia.45

Berkat layout yang inovatif dari surat kabar yangditerbitkannya, gaya bahasa yang lugas, strategi pasar yangagresif dan tumbuhnya golongan menengah pada awaltahun 1990an akibat dari booming ekonomi, penerbitanmilik Paloh yakni PT Surya Persindo berekspansi dengancepat. Media Indonesia terutama dijual di jalan-jalan rayadan bereksperimen lebih banyak dengan elemen-elemengrafis dibandingkan Kompas, misalnya. Kadang-kadanglayout harian ini cenderung seperti koran kuning. Titik beratdari harian ini adalah berita-berita ekonomi. Media Indonesiamemiliki segmen pembaca yang muda46 dan sangat mapan.47

Yang mencolok adalah tingginya jumlah pembaca pria,yakni sebesar 87%.48 Juga di redaksi Media Indonesia hanyabekerja sekitar 15% perempuan.49

45 Sebuah biografi tentang pengusaha tersebut menyebutkan bahwa iaadalah pemilik Hotel Bali Intercontinental dan Sheraton-Media di Jakarta,selain itu ia adalah pemilik dan/atau direktur dari lebih 12 perusahaanlainnya (Hisyam: 2001).46 Hanya 14% pembacanya berusia lebih dari 45 tahun (Sumber: Profilpembaca Media Indonesia, http://www.mediaindo.co.id)47 Sebanyak 44% pembaca membelanjakan uangnya lebih dari Rp 2,5 jutaper bulannya.48 Kompas dibaca oleh 76,4% pembaca pria, Koran Tempo dibaca oleh 66%pria, untuk Republika tidak ada data.49 Di Kompas dan Koran Tempo bekerja sekitar 30% perempuan, di Republikasekitar 20% (Sumber: bagian personalia). Hanitzsch (2003:275) telahmenetapkan untuk harian nasional kuota karyawan perempuan adalah33,3%. Berdasarkan angka-angka yang didapatkan dari penelitian iniharus diperkirakan bahwa kuota sebenarnya lebih rendah.

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

68

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

Pemilik Media Indonesia, Surya Paloh, bertindak sebagaidirektur perusahaan dan menetapkan haluan jurnalistiksurat kabarnya. Surya Paloh sendiri tidak memiliki latarbelakang jurnalistik. Penanggung jawab berita sehari-haridi Media Indonesia adalah pemimpin redaksi yang ditunjukoleh Surya Paloh sendiri. Pemred tersebut menggambarkanatasannya sebagai seorang yang idealis. “Kita beruntungbekerja pada orang yang punya idealisme tinggi untukurusan pers. Surya Paloh, pertama, tidak pernah digaji disini. Kedua, setiap dividen atau keuntungan yangseharusnya masuk kepada pemilik modal dia tanam kembalike Media Indonesia dan Metro TV. Jadi dia tidak pernah ambiluang (untung) dari sini, karena ini merupakan idealismedia. Dia punya bisnis lain yang dia hidup dari sana. Jadikalau bicara itu, setiap kali ada pertentangan antara usahadan redaksi, yang selalu dimenangkan adalah redaksi. Diabilang: ‘Engga ada uangnya engga apa-apa.’ (Dan kalaukami takut) kehilangan klien, dia bilang: ‘Tidak apa-apa.”50

Pemilik perusahaan yang menetapkan penulis-penulisuntuk tajuk rencana.51 Ia memiliki hak prerogatif untukmenentukan isi dan haluan dari artikel-artikel utama. Iajuga mempunyai hak untuk menyetop dan mengubahnya.Kebalikan dari gambaran seorang idealis, yang dikatakanoleh pemimpin redaksi tentang pemimpin umumnya, parakritikus menuduh Surya Paloh telah menggunakan media-

50 Pemimpin Redaksi Media Indonesia, wawancara dilangsungkan tanggal27 Oktober 2004.51 Tim tetap terdiri dari penulis-penulis, pergantian dilakukan tiap hari.

69

media miliknya sendiri secara terang-terangan untukkepentingan-kepentingan politiknya. Pengusaha yangmasih memegang jabatan di Partai Golkar ini52 pada tahun2004 gagal dalam bursa pencalonan Presiden. LembagaStudi Pers dan Pembangunan (LSPP), yang melakukananalisis isi dari pemberitaan selama Pemilu, menegaskanpenggunaan Media Indonesia sebagai “alat kampanye Pemiluuntuk mendukung pemiliknya” (LSPP 2004). Analisis isi daripemberitaan Pemilu di televisi oleh lembaga yang samamenunjukkan pula sebuah penekanan yang jelas-jelasmenguntungkan Golkar dalam program-program siaran diMetro TV milik Surya Paloh (Muhammad 2004). Surya Palohsendiri secara ofensif menanggapi caranya dalam campurtangan jurnalistik tersebut sebagai berikut: “Secara jujurharus saya akui bahwa saya menggunakan Metro TV danMedia Indonesia. Kalau tidak, apa lagi yang bisa sayagunakan? Kalau ada wartawan yang tak senang, ya, salahsendiri mengapa dia menjadi wartawan di Metro TV atauMedia Indonesia. Saya tak ingin jadi hipokrit.”53

52 Surya Paloh di usia 20 tahun pada tahun 1971 pertama kalinyamencalonkan diri untuk Golkar sebagai anggota DPRD Sumatera Utaradan dari tahun 1977-1987 menjadi anggota MPR dari fraksi Golkar. Padatahun 2004 ia adalah salah seorang dari lima orang kandidat dari partaiGolkar untuk pemilihan Presiden, namun tidak dinominasikan.Kemudian ia mencalonkan diri sebagai ketua umum partai Golkar,namun kemudian menarik pencalonan dirinya untuk memberi jalankepada Wapres Jusuf Kalla.53 Dikutip dari Harsono (2004). Meskipun sudah berkali-kali mencoba,penulis tidak berhasil diterima untuk mewawancarai Surya Paloh secaralangsung.

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

70

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

Seorang reporter Media Indonesia menyampaikan tentangkonflik visi dan misi, yang terutama terjadi di masa-masaPemilu sebagai akibat dari keterlibatan politik pemilikperusahaan dan kepentingan jurnalistik redaksi: “Yang jelasitu adalah, ketika pemberitaan waktu beliau (Surya Paloh– SP) mencalonkan diri sebagai presiden, itu terasa sekali.Bukan hanya berita, tapi juga foto. Jadi ada instruksi bahwafoto yang harus dipasang adalah yang ini (foto tertentu)[...] Dia sendiri tidak menafikan, (bahwa) memang diamenggunakannya (Media Indonesia) untuk kampanyedirinya sebagai capres [...] Kalau kita harus mengorbankanberita yang secara nasional memang layak (terbit untuk)berita yang harus memuat ‘saya’ (SP), itu tidak bijaksana.Sebetulnya yang kasihan reporter di lapangan. Ketikamereka dengan bersemangat meliput calon-calon lain yangmenarik (untuk ditampilkan di halaman depan), lalu (tiba-tiba SP mengatakan): ‘Pokoknya itu hapus semua dihalaman satu’, itu secara psikologis tidak bagus buatwartawannya sendiri. Kurang etis menurut saya.”54

Di pihak wartawan, hal itu mengakibatkan terjadinyakonflik moril. Kode etik mewajibkan mereka untukmendahulukan kepentingan umum. Juga di dalam garishaluan perusahaan, penyebab-penyebab konflikkepentingan diatur dengan jelas. Tetapi pada saat yangsama peraturan perusahaan mewajibkan loyalitas terhadappemilik (Media Indonesia 2003). Dalam menilai campurtangan pemilik perusahaan terhadap keputusan-keputusan

54 Reporter Media Indonesia

71

redaksional terdapat perbedaan pendapat dan bantahandari anggota-anggota redaksi:

“Saya menerima kritik seperti itu. Artinya, (kritik tentang)kekhawatiran menggunakan seluruh media massa yangdimiliki untuk kepentingan politik. Tapi di satu sisi itu halyang wajar, (karena media ini) dia (SP) yang punya. Kalaubagi saya sendiri, sepanjang penggunaan itu tidak dalamkerangka pemaksaan, ya sah-sah saja [...] Misalnya ketikaPemilu, (berita) apa yang harus diturunkan atau anglenyaapa, kadang-kadang dikonsultasikan. Terutama ketikaPemilu tinggal dua calon, kami memberi tempat yang lebih(luas) untuk SBY dan itu menimbulkan protes juga di dalam[...] Dari sudut idealisme, tentu kita menginginkan dalamlima tahun ke depan, Media Indonesia tetap independen.Walaupun sebelumnya dia dekat dengan SBY misalnya,untuk ke depan kembali pada posisi semula [...] Artinya,walaupun ketika Pemilu itu ada kesamaan (pandangan)politik dengan SBY, tapi ke depan itu kita tetap berharapbahwa koran ini (MI) tetap mengambil sikap kritis.”55

Bertentangan dengan komentarnya di atas tentang sikapidealis Surya Paloh, pemimpin redaksi Media Indonesia punmelihat potensi konflik terkait dengan kedua peranatasannya sebagai politisi dan pemilik media, dan karenaitu mengkritiknya. Walaupun begitu, ia mengungkapkanpengertiannya dalam menilai motivasi-motivasi politikSurya Paloh:

55 Kepala desk polkam Media Indonesia, wawancara dilangsungkan tanggal28 Oktober 2004.

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

72

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

“Coba kita lihat dari sudut pandang Surya Paloh. Ketikadia memutuskan untuk ikut konvensi, itu karena diamelihat, fungsi dan peran media sebagai alat kontrol tidakmampu mengubah sesuatu [...] Kita sudah mengkritiksemua orang, (misalnya) DPR tidak tahu malu,pemerintahan korup [...] Sejak awal saya bilang, ‘Pak Surya,ada konsekuensi yang harus kita pertimbangkan, yaitu, dibelakang anda ada Media Indonesia, Metro TV dan LampungPost. Ketika anda terjun, kita menjadi bias.’ [...] Saya orangyang berkali-kali berhadapan sama Surya Paloh dan timsuksesnya untuk mengatakan (bahwa pemberitaan itu)terlalu banyak. Bahkan saya sampai bilang, ‘Pak Surya,orang sudah muak melihat anda di Metro TV.’ Tapi timsukses dan dia menjelaskan, untuk mencapai kemenangan,sepanjang kita tidak melarang orang lain untuk jugamenggunakan Media Indonesia, ya harusnyadioptimalisasikan (penggunaan media itu). Jadi dia bilang,‘Andi Noya, saya tidak jahat (misalnya) bilang, hantamlawan-lawan politik saya. Larang mereka untuk muncul diMetro TV dan Media Indonesia. Saya kan tidak ngomongbegitu. Saya cuma ingin, ini ‘kan punya saya, masa sayatidak boleh dapat porsi (pemberitaan) lebih? Dan saya inginmenang, semua orang ingin menang.’”56

Dengan demikian, para wartawan - atas perintah pemilikperusahaan - melanggar aturan-aturan yang secara tertulis

56 Pemimpin redaksi Media Indonesia, wawancara dilangsungkan tanggal27 Oktober 2004.

73

telah ditetapkan oleh pihak perusahaan sendiri.57 Pemimpinredaksi memahami, bahwa Surya Paloh menggunakansurat kabarnya sebagai sarana kampanyenya dalam Pemilu.Namun begitu ia pun merasa profesionalisme jurnalistiknyaterganggu dan mengungkapkan tentang seringnya konflikyang terjadi dengan tim kampanye Pemilu Surya Paloh.

Di “masa-masa normal” tampaknya campur tangan pemilikdalam penentuan berita lebih sedikit. Tetapi, selain karenaambisi-ambisi politik, banyak perdebatan terjadi juga karenakepentingan-kepentingan bisnis pemilik dan usahanyauntuk menyesuaikan hal tersebut dengan keputusan-keputusan redaksional: “Kita muat berita tentangpencemaran (lingkungan oleh sebuah perusahaan). Dia(SP) berteman dekat dan ada kepentingan bisnis denganperusahaan itu di luar (bisnis) media. Waktu itu kita inginkirim wartawan untuk turun ke lapangan dan meliputperistiwa itu. Lalu dia tanya, ‘Siapa yang dikirim ke sana?’Saya bilang, ‘Si A’. SP bilang, ‘Tidak, mereka (perusahaanitu) minta si B’. Saya bilang, ‘ Kenapa harus si B? Inikeputusan rapat, bahwa si A yang harus berangkat’. Diabilang, ‘Si B yang berangkat!’ [...] Berantem kita keras. Disitu akhirnya saya bilang, ‘Pokoknya saya akan tetap kirimsi A. Kalau gara-gara ini anda mau pecat saya, (silahkan)anda pecat saya [...] Jadi tidak gampang. Artinya, dia punyahak prerogatif, tapi dia tidak bisa gunakan sewenang-

57 Dalam buku pegangan intern untuk wartawan terdapat tema tentangkeseimbangan berita: „Jika satu pihak diberikan sebuah ruang, makapihak lawannya juga harus mendapatkan ruang yang sama” (MediaIndonesia 2000:13)

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

74

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

wenang, karena ada perlawanan dari kita. Tapi kalau itu(argumen SP) benar, kita ikut, kalau engga benar, kitalawan. Dan sampai detik ini, Surya Paloh yang saya kenaladalah Surya Paloh yang demokratis, Surya Paloh yangmau berantem begini, tidak otoriter.”58

Di Media Indonesia tidak terdapat saham karyawan dan jugatidak ada serikat pekerja. Dalam sebuah pertemuankaryawan beberapa tahun silam, sebagian besar menentangberdirinya sebuah serikat pekerja. Kepala desk politik dalamnegeri memberikan salah satu alasannya, bahwa mungkinpara karyawan di Media Indonesia tidak ingin ditempatkansetara dengan karyawan perusahaan lainnya.59 Pemilik danpemimpin redaksi pun tidak menyetujui adanya serikatpekerja.

“Dulu pernah kita ingin membentuk serikat pekerja.Kemudian ditanya sama Surya Paloh, ‘Tujuan dari serikatitu apa?’ Untuk menjembatani komunikasi antara karyawanyang bermasalah dengan manajemen. Dia bilang. ‘Itu kalaubosnya susah ditemui, kalau bosnya tidak pernah bergaul.Kalian (para karyawan) punya problem itu, engga?’ Engga.‘Kalian kalau ada persoalan, cari saya susah engga?’ Engga.‘Lalu untuk apa lagi kalian bentuk itu.’ Jadi untuksementara kita anggap tidak relevan, karena semuapersoalan-persoalan antara karyawan dengan perusahaan

58 Pemimpin redaksi Media Indonesia, wawancara dilangsungkan tanggal27 Oktober 2004.59 Kepala desk polkam Media Indonesia, wawancara dilangsungkantanggal 28 Oktober 2004.

75

itu bisa disampaikan langsung, tidak ada birokrasi, tidakada tembok pemisah, yang demikian kokoh yang harusditembus dengan yang namanya serikat pekerja. Dandianggap serikat pekerja ini nanti pada akhirnya lebihbanyak dipolitisasi. Bukannya membuat orang jadiproduktif bekerja, tapi sebaliknya sibuk untukmemperjuangkan hak-hak dan lain-lain yang akhirnyaorang lupa untuk bekerja, lebih banyak orang teriak-teriakdan berpolitik. Dan itu rata-rata mengganggu (kinerja)[...]”60

Di mata para wartawan yang diwawancarai, ide untukmembuat sebuah organ perwakilan karyawan memilikiprioritas yang tinggi, “sehingga perusahaan tidak semena-mena terhadap karyawannya”.61 Untuk sebuah upayamendirikan sebuah dewan pekerja mungkin dibutuhkanrekan-rekan kerja, “yang mau menjadi korban-korbanpertama”. Lalu setelah sebuah upaya yang dilakukan gagal,para pencetus ide serikat pekerja “perlahan-lahan akandisingkirkan” dari perusahaan.62

Di Media Indonesia memang terdapat dewan redaksi,namun mereka ini tidak dipilih oleh redaksi dan tidakmewakili kepentingan semua anggota redaksi. “Dewanredaksi ini anggotanya terdiri dari para pimpinan-pimpinan

60 Pemimpin redaksi Media Indonesia, wawancara dilangsungkan tanggal27 Oktober 2004.61 Kepala desk polkam, wawancara dilangsungkan tanggal 28 Oktober2004.62 Reporter Media Indonesia

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

76

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

elit baik di Metro TV, Media Indonesia maupun di LampungPost [...] Jadi tidak dipilih, tapi otomatis, kalau pimpinan(di ketiga media tersebut), ya ke situ (masuk dewan redaksi).Tugasnya diantaranya adalah, dia akan menyelesaikanpersoalan-persoalan institusi ini, mengenai persoalan yangmelanggar ketentuan atau etika. Jadi, contohnya di redaksiini pelanggarannya bisa dibagi menjadi dua secara garisbesar: permasalahan profesional atau redaksi dalampenulisan, yang satunya adalah pelanggaran etika.” 63

Hak bicara bagi pihak redaksi dalam pengangkatanpimpinan redaksi tidak ada di Media Indonesia. Selain itujuga tidak terdapat anggaran dasar redaksi, yang didalamnya mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban,khususnya untuk pihak redaksi dan pembatasankewenangan pihak penerbit. Karena tidak adanyaperwakilan kepentingan berbentuk serikat pekerja maupunkemungkinan campur tangan melalui saham karyawan,konflik-konflik harus diselesaikan secara individual.“Karena tidak ada serikat, kita (karyawan) berinisiatifsendiri ke SDM, meminta penjelasan (tentang hak-hakkaryawan). Ketika tahun pertama saya abru masuk itu adayang namanya rapat reporter dengan pemimpin redaksi,yang menampung aspirasi para reporter, kesulitan-kesulitanmereka. Misalnya, mobilitas kita di lapangan tidak sesuaidengan apa yang diberikan kepada kita, misalnya pulsa(telepon), kita perlu lebih dari yang sudah diberikan.Keluhan-keluhan itu disampaikan dalam rapat itu, dicatat

63 Redaktur pelaksana Media Indonesia, wawancara dilangsungkan tanggal29 Oktober 2004.

77

oleh redaksi, dan biasanya itu diteruskan ke bagian SDMoleh pimpinan (redaksi). Tapi kelihatannya setahun terakhirini tidak aktif, tidak membuahkan hasil seperti yang kitaharapkan.”64

Reporter yang diwawancarai mengungkapkan juga tentangkenaikan gaji yang telah dijanjikan, namun setelah diskusipanjang lebar dengan bagian personalia, mereka tetap tidakmemperolehnya. Karena kekurangan hak suara, maka halitu berdampak negatif terhadap rasa tanggung jawabkepada perusahaan: “Saya akan sangat selektif ketikakantor memberikan beban kerja yang menurut saya berlebihkepada saya, karena kita tidak bisa memperjuangkankonsekuensi (resiko)nya. Masa kita harus berkorban untukpemilik modal? Itu kan namanya tidak fair. Tapi di sisi lainkita tidak bisa menyuarakan itu, karena tidak ada tempat(forum)nya. Kalaupun kita langsung ke SDM, ya istilahnyamungkin akan masuk kotak saja”65

Reporter yang sama juga mengungkapkan, bahwa iamemiliki semacam strategi-strategi penghindaran, bila halitu menyangkut rekrutmen wartawan untuk agenda politikpemilik perusahaan. Karena sebuah forum untuk parawartawan tentang kelayakan etis dari tuntutan pemiliktidak mungkin adanya, dan tidak ada dewan yang mewakilikepentingan mereka, problem semacam itu akan diatasidengan cara berikut: “Saya memang bekerja dan digaji oleh

64 Reporter Media Indonesia.65 Reporter Media Indonesia

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

78

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

pemilik modal. Tapi kan pemilik modal juga harusmenyadari bahwa karyawannya itu adalah aset. Jadi sayapikir saya berhak secara pribadi, kalau saya punyapemikiran yang saya tidak sependapat, saya juga berhakuntuk memperjuangkannya [...] Kita berhakmemperjuangkan apa-apa yang memang kita patutperjuangkan [...] Tapi tim khusus itu (tim yang dibentukselama kampanye Pemilu untuk memberitakan sepakterjang pemilik) memang ada, dan saya selalu menghindar(untuk terlibat di dalamnya) [...] (Alasan saya,) saya sedangdalam peliputan, tidak bisa ditinggal. Atau kalaukelihatannya akan ada pembagian tugas seperti itu, sayacepat-cepat selesaikan pekerjaan saya kemudian segeramenghilang. Kalau sepertinya akan ditelepon mau adapeliputan seperti itu, ya sudah tidak usah diangkat. Jadiitu triknya. Habis, kita mau melakukan perlawanan apa?Kita kan ada ketergantungan emosional juga (denganpemilik modal). Kita tidak mungkin menulis yang jelek-jelek(tentang dirinya) ketika meliput itu.”66

Swa-sensor di Media Indonesia dipaksakan secara masif olehpemilik, bila hal itu menyangkut kepentingan politiknyaatau kepentingan bisnisnya secara langsung. Hal ituterutama sangat jelas – seperti sudah digambarkan di atas– selama Pemilu 2004. Karena tidak ada perjanjian tertulisuntuk perlindungan pendapat, redaksi tidak dapatmelepaskan diri dari tekanan ini secara kolektif.Sebagaimana diutarakan oleh pemimpin redaksi atau

66 Reporter Media Indonesia.

79

reporter, tampaknya penyelesaian-penyelesaian pribadiuntuk menjaga kepentingan redaksi dimungkinkan melaluidiskusi atau dengan cara-cara penghindaran dari tugas.

Di Media Indonesia, pemilik perusahaan menentukan siapayang menulis editorial. Di sana terdapat sebuah tim yangterdiri atas penulis dari perwakilan pimpinan redaksi MediaIndonesia, surat kabar Lampung Post dan stasiun TV MetroTV. Salah satu tanggung jawab mereka sebagai redakturopini adalah memilih komentar-komentar dan analisis-analisis yang dikirim oleh “pihak luar” serta menentukanbeberapa surat pembaca yang akan diterbitkan. Setiap hariada sekitar 30 komentar yang masuk, yang kemudian dipilihberdasarkan aktualitas, relevansi dan tingkat kepercayaankepada penulisnya.67 Media Indonesia juga memiliki sebuahkelompok tetap pakar, yang secara berkala menulis analisis-analisis dan komentar-komentar. Sebuah evaluasi ataskomentar-komentar yang telah diterbitkan, menurutketerangan kepala rubrik opini, berlangsung dua minggusekali oleh sebuah tim dari berbagai rubrik.

Bentuk berita yang mengandung opini selain di halamanopini juga terdapat di halaman rubrik-rubrik yang lain. Disini pilihan ditentukan oleh masing-masing rubrik. Kepalarubrik opini juga yang memilih surat-surat pembaca. MediaIndonesia menerbitkan dalam rubrik ini lebih sedikit surat-

67 “Pemilihan artikel opini sangat dipertanggungjawabkan, karenadengan itu kami membentuk opini pembaca. Saya harus dapatmempercayai penulisnya”, kepala rubrik opini Media Indonesia,pembicaraan tanggal 26 Oktober 2004.

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

80

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

surat tentang pemberitaan atau tema-tema aktual,melainkan terutama memuat surat-surat yang berisikeluhan. “Dengan demikian kami menolong untukmemecahkan masalah-masalah mereka,” demikian alasandari kepala rubrik opini.

Hal itu tampaknya hanya berlaku selama kepentingan divisiiklan tidak disentuh-sentuh. Divisi tersebut harusditanyakan, ketika dalam surat-surat pembaca dibahastentang kurangnya layanan sebuah dari 12 perusahaan,yang disampaikan dalam sebuah memo intern.68 Karenaselama masa penelitian hal itu sedang dibahas, belumdiketahui bagaimana masalah tersebut diselesaikan secarakonkret. Redaksi yang bersangkutan telah memperkirakankonflik kepentingan seperti ini: “Kalau saya inginmembuatnya mudah, saya tinggal membuang surat-suratpembaca semacam itu ke tong sampah. Namun pembacakami pun berhak untuk mengemukakan pendapatnya.”69

Campur tangan divisi iklan di dalam proses redaksional diMedia Indonesia terlihat pula, karena salah seorangkaryawan divisi iklan hadir dalam rapat redaksi. Derajatcampur tangan mereka terhadap redaksi tergantungseberapa penting berita yang akan diterbitkan bagikepentingan umum. Permintaan dari pemasang iklan masihbisa dinegosiasikan, selama harian tersebut tidak sedang

68 Memo tanggal 21 Nopember 2004. Memo itu tentang klien-klien iklanbesar terutama dari sektor otomotif.69 Kepala rubrik opini Media Indonesia, percakapan informal 26 Oktober2004.

81

dalam bahaya karena menutup-nutupi sebuah skandal.“Media Indonesia lebih kompromistis (dari media-mediayang lebih kecil) ketika berita itu tidak merugikanmasyarakat, misalnya dia hanya persengketaan antara PT.A dan PT. B. Atau biasanya yang kita akomodasi adalahmisalnya kalau ada yang bilang, ‘Boleh tidak bos saya punyahak jawab untuk menjelaskan itu tapi interview khusus.’Sepanjang itu bukan persoalan yang menyangkutkepentingan publik yang luas, itu kita akomodasi. Misalnyasebagai contoh, ada pertentangan antara karyawan danperusahaan. Dimana jumlah karyawannya lima sampaitujuh ribu. Itu kan besar sekali. Kemudian kita beritakan.Mereka bilang, ‘Boleh tidak, berita itu tidak dimuat? Kitajanji akan pasang iklan’. Tapi itu tidak bisa, itu harga mati,mereka tidak pasang iklan pun tidak apa-apa. Karena iniberita terlalu besar dan menyangkut sekian ribukaryawan.”70

Sehubungan dengan derajat campur tangan dari divisiiklan, ada perbedaan pernyataan dari pemimpin redaksidan kepala desk politik dalam negeri. Keduanya menyebutbesarnya kontrak iklan sebagai kriteria untuk pengambilankeputusan pemberitaan. “Anak-anak iklan ini pintar sekali.Karena mereka mempunyai hubungan dan relasi yang baikdengan klien sebagai pemasang iklan yang potensial,mereka mohon agar klien tersebut diliput [...] Kalau adayang memang saya pikir (suatu peristiwa) itu penting sekali,

70 Pemimpin redaksi Media Indonesia, wawancara dilangsungkan tanggal27 Oktober 2004.

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

82

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

punya nilai berita, walaupun itu relasi (klien iklan), sayamungkin kasih sedikit tekanan (instruksi): ‘sebaiknyadiliput’. Tapi kecenderungan itu (intervensi dari iklan)semakin sering digunakan, sampai suatu hari saya panggilmereka (divisi iklan), ‘Duduk, kamu jangan ganggu-ganggu(redaksi), kita bikin kriteria, kalian hanya boleh mengajukankepada redaksi untuk diliput, atau untuk diwawancaramisalnya, kalau itu betul-betul klien yang luar biasa. Kalaumereka hanya pasang iklan satu-dua kali, terus kalian mintamereka diliput, itu semua menggangu. Lama-lama korankita ini tidak bernilai, semua nilai komersial aja.”71 “Didalam rapat budget itu kan orang iklan juga hadir. Kalaumisalnya ada berita yang terkait langsung dengan klien,biasanya disampaikan keberatan oleh divisi iklan. Bisa jugamelalui mekanisme memo internal. Biasanya sampai saatini redaksi, pada umumnya, yang kalah. Kecuali kalauiklannya itu oleh redaksi dinilai kecil, baru tidakmengalah.”72

Promosi silang juga terjadi di Media Indonesia dan MetroTV. Setiap pagi misalnya di Metro TV dibacakan editorialdari Media Indonesia, tapi hal itu tidak disebut sebagai iklan.

5.45.45.45.45.4 RepublikaRepublikaRepublikaRepublikaRepublika

Republika adalah satu-satunya surat kabar yangbernafaskan Islam, yang bertahan hidup di antara sederetan

71 Ibid.72 Kepala desk polkam negeri Media Indonesia, wawancara dilangsungkantanggal 28 Oktober 2004.

83

koran Islam yang terbit tahun 1990-an, sejalan dengankebangkitan golongan Islam menengah saat itu. Harian iniditerbitkan pada tahun 1993 oleh ICMI (IkatanCendekiawan Muslim Indonesia), yang saat itu memiliki51% sahamnya. Berdirinya Republika sebagai corongkepentingan kaum Islam mencerminkan perkembanganpolitik masa itu. Presiden Suharto mencoba untukmengkonsolidasikan kekuasaannya yang melemah denganmendekati golongan elit Islam. Yang paling jelas adalahtampilnya sosok B.J. Habibie, yang menandai bangkitnyapolitisi Islam yang sampai tahun 1980-an disingkirkan olehSuharto. Insinyur ahli pesawat lulusan Jerman ini mula-mula menjadi Menteri Riset dan Teknologi dan lalu menjadiWakil Presiden, sebelum ia pada Mei 1998 menggantikanSuharto sebagai Presiden.

Republika sampai dengan tahun 2000 merupakan harianyang mendukung urusan agama Islam dan penganutnya,serta disponsori oleh pebisnis-pebisnis Islam yangberpengaruh. Habibie mengangkat pemimpin redaksi dandirektur perusahaan (yang kala itu dijabat sekaligus olehsatu orang). Republika memiliki tiras yang meningkatdengan cepat. Pada tahun 1995 Republika menjadi harianpertama Indonesia yang muncul di internet dan pada tahun1997 mereka juga merupakan harian pertama yangmelaksanakan sistem cetak jarak jauh.73 Karakter yangberpihak pada kepentingan umat Islam sepertinya lebihberperan penting daripada keadaan ekonomi harian

73 Tiras pada tahun 1993: 100.000, 1994: 165.000 (Sofyan: 2002).

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

84

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

Republika. Harian ini sejak berdirinya tidak pernah meraihlaba. Paling tidak sampai hari ini Republika tetap bertahan,berbeda dengan sebagian besar media cetak Islam lainnya,yang karena buruknya manajemen mengalami kematianyang “perlahan-lahan dan menyakitkan” (Soekanto 2004).

Dengan berakhirnya jabatan Habibie sebagai presiden danberkurangnya pengaruh ICMI di panggung politik Republikamulai mencari alternatif-alternatif. Tahun 2000 Erick Thohirdengan grup Mahaka membeli saham mayoritas. Republikaberpaling kepada halaman-halaman berisi tema-tematertentu seperti perekonomian syariah atau dengan tabloid16 halaman “Dialog Jumat” yang ditujukan untuk golonganIslam menengah ke atas. Hanya ada satu orang non-muslimdi antara 117 anggota redaksinya. Penyebarluasan harianini dikonsentrasikan di pulau Jawa, sama seperti harian-harian lainnya yang diteliti.

Grafik 8: Pembagian kepemilikan saham Grafik 8: Pembagian kepemilikan saham Grafik 8: Pembagian kepemilikan saham Grafik 8: Pembagian kepemilikan saham Grafik 8: Pembagian kepemilikan saham Republika Republika Republika Republika Republika 74

74 Diagram dibuat sendiri, Sumber : Profile Emitem : Abdi Bangsa, Tbk,Borse Jakarta, http ://www.jsx.co.id/issuers.asp?cmd=detail$id =ABBA&from=underfined, per 28 Februari 2005

85

Seperti juga di Media Indonesia, Erick Thohir yang dengankepemilikan saham mayoritasnya bertindak sebagai pemilikRepublika, bukanlah seorang wartawan. Pria yang padasaat penelitian ini dilangsungkan berusia 36 tahun berasaldari keluarga pengusaha yang berpengaruh. Pada usia 24tahun, ia mendirikan perusahaannya sendiri: Mahaka.Mahaka memiliki beberapa anak perusahaan yang aktifdalam pertambangan batu bara dan kapur atau yangberfungsi sebagai perusahaan dagang dan perusahaan yangbergerak di bidang properti. Sementara itu Republikamerupakan bagian dari perusahaan holding Abdi Bangsayang sudah masuk bursa saham. Di perusahaan ini, ErickThohir juga menjabat sebagai direktur utama. Ia lalumenerapkan manajemen yang berorientasi laba pada harianyang tadinya disubsidi ini. Sejak tahun 2000 terjadibeberapa kali gelombang rasionalisasi dan empat kalipergantian pimpinan redaksi.75

Erick Thohir mengungkapkan, motivasinya untukberinvestasi dalam bidang media adalah murni bisnis. Iaberanggapan, bahwa di masa depan aspek hiburan akanmendominasi isi media dan memegang peranan yangpenting dalam bisnis media. “Tamasya” ke dunia politikditolaknya dengan alasan kemungkinan munculnya konflikkepentingan di perusahaan yang dipimpinnya.76

75 Menurut keterangan pemiliknya, terdapat 40 karyawan redaksi yangdi PHK. (Erick Thohir, Dirut PT Abdi Bangsa Tbk., wawancaradilangsungkan tanggal 9 Desember 2004).76 Erick Thohir, Dirut PT Abdi Bangsa Tbk., wawancara dilangsungkantanggal 9 Desember 2004

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

86

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

Terkait isi media, Erick ingin memajukan penampilan yangmoderat77 dan penguatan tulisan-tulisan yang menghiburdi hariannya.78 Sebuah perubahan drastis dari haluanharian ini menuju surat kabar sekuler menurut pemilik danpemimpin redaksi secara teoritis mungkin saja, namunmereka tetap menolak dengan merujuk pasar yang ada:“Para pemilik mengontrol media-medianya. Tetapi apakahmasyarakat menerima arah mereka, itu lain persoalan.Rakyat ‘kan tidak bodoh, mereka hanya membeli media-media yang menarik bagi mereka. Tentu saja pemilik bisaberkata, mulai tahun depan kita bukan lagi surat kabarmuslim, saya dapat memecat semua karyawan danmenempatkan yang baru. Tapi apakah pasar dapatmenerimanya?”79

Selain keterlibatan bisnis di dalam perusahaan-perusahaanmiliknya, Erick memegang pula posisi di perusahaan-perusahaan milik keluarganya, misalnya sebagai wakildirektur utama perusahaan tambang batu bara PT AlliedIndo Coal.80 Selain itu, kegiatannya di dunia olah ragasebagai ketua Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia

77 Pemilik menyebut Republika sebagai harian yang disegmentasikanuntuk kaum muslim moderat.78 Dilihat secara kultural kedua pembaruan itu tampak berlawanan,seperti yang dilakukan pemilik dengan membuat rubrik Walt Disneydan berita tentang perekonomian syariah. Dilihat secara ekonomikeduanya merupakan tema yang laku dijual di Indonesia.79 Erick Thohir, Dirut PT Abdi Bangsa Tbk., wawancara dilangsungkantanggal 9 Desember 2004.80 Situs Asosiasi Pengusaha Tambang Batu Bara Indonesia, http://www.apbiicma.com

87

(Perbasi) dan pemilik klub bola basket Satria Muda Britamabisa membawanya pada konflik kepentingan. Untukkegiatan-kegiatannya tersebut tentunya ia membutuhkanpublisitas. Dalam redaksi seharusnya pilihan padapemberitaan tentang kegiatan-kegiatan semacam itu diukurtingkat relevansinya. Juga dalam pemberitaan-pemberitaantentang perusahaan-perusahaan miliknya atau milikkeluarganya bisa saja muncul konflik kepentingan. Pembacamisalnya tidak selalu mengetahui, bila di dalam harian itumuncul nama Erick Thohir, bahwa ia sebenarnya adalahpemilik harian tersebut. Kepala Desk PolKam memberikanalasannya demikian:

“Kita tidak perlu menjelaskan itu karena tidak adakaitannya. Sama halnya ketika misalnya kita menurunkanberita tentang Perbasi. Ketua Perbasi adalah Erick Thohir.Tapi dalam berita kita tidak perlu menurunkan bahwa ErickThohir adalah pemilik Republika, tidak perlu seperti itu,karena tidak ada kaitan [...] Mungkin pembaca bisamengatakan ‘Oh, jangan jangan, itu titipan’.” 81

Kepentingan-kepentingan ekonomi dari pemilik sahamdijadikan bahan pertimbangan dalam membuat keputusan-keputusan redaksional. Pengertian tentang hal inidilukiskan oleh para wartawan yang diwawancarai. Salahsatunya adalah sebagai berikut: “Sekarang bagaimana kitamemahami mereka (pemilik modal), jangan sampai kitamenjadi begitu didikte oleh mereka. Hal yang perlu

81 Kepala desk polkam Republika, wawancara dilangsungkan tanggal 2November 2004.

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

88

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

dilakukan adalah, adanya diskusi dengan pemilik modal.Dalam hal-hal tertentu bisa dicapai kesepakatan. Kalau diRepublika, saya mengakui ada beberapa (kasus) yang sayaterlibat langsung, di mana pemilik modal mencoba masuk(mengintervensi redaksi) dan menginginkan pemberitaanatau usulan tertentu. Dalam kasus tertentu, kalau ternyatausulan itu bagus, dan usulan itu berguna bagi kami(redaksi), tidak ada masalah. Itu usulan dari siapapun tidakada masalah, dari pemilik modal, dari direksi, dari orangluar. Tapi kalau mereka menginginkan (mengintervensi)pemberitaan tanpa kompromi, itu harus ada debat. Danselama yang saya alami, debat itu ada.”82

Sebagai contoh ia menyebutkan sebuah diskusi untuk edisihari Minggu. Pemilik menuntut, bahwa sebuah wawancaradengan seorang rekan bisnis sebaiknya diekspos. Redaksimenjelaskan kepadanya kriteria-kriteria yang dibenarkanuntuk sebuah wawancara yang menempati satu halamanpenuh. Pemilik mengungkapkan pengertiannya dan tidakmemaksakan kehendaknya. Atas pertanyaan, apakahkepentingan pemilik surat kabar di rubrik-rubrik tertentudapat diperhitungkan, jawabannya adalah: “Itu bisa disemua halaman. Kami mencoba untuk mengakomodasi itu,tapi diupayakan untuk tidak sampai menjatuhkan standarjurnalistik Republika atau menjatuhkan Republika di matapublik. Saya tidak tahu apakah kemudian, dalamperjalanannya, kita benar-benar terjatuh, sehingga publikprotes (tentang praktek jurnalistik Republika). Mungkin

82 Ibid

89

secara tidak disadari, bisa saja itu muncul. Makanyakemudian, ada kompromi-kompromi tertentu, misalnya dibagian sirkulasi, yang mempunyai link pemasaran denganperusahaan-perusahaan tertentu, kemudian merekameminta bantuan agar perusahaan atau kelompokmasyarakat itu dilayani dalam hal pemberitaan. Di Republikaada kebijakan dalam hal pemberitaan yang dicetuskantahun 2003, yaitu berita-berita yang tujuannya lebih untukmelayani, service sumber berita Jadi berita-berita yang berisitentang kegiatan-kegiatan mereka [...] Republika sudahmenyiapkan konsep untuk berita-berita semacam itu, beritatentang komunitas, yaitu ditampung di satu halaman.Termasuk juga ketika misalnya direksi atau pemilik modalmeminta untuk memberitakan tentang seseorang. Kalaudiukur dalam standar jurnalistik, hal-hal seperti itu kantidak termasuk kategori berita yang ‘wah’, tapi berita yangsepele. Tapi itu banyak pembacanya juga.”83

Menurut kepala desk politik nasional, meskipun adausulan-usulan mengenai isi namun independensi redaksitetap ada. Dari wawancara dengan reporter dan redakturterungkap, bahwa campur tangan pemilik dalam putusanredaksional tampaknya tidak hanya ditentukan oleh posisi,di mana semakin tinggi posisi seseorang, maka peluangpenerimaan pengaruhnya terhadap isi semakin besar.Lamanya seseorang menjadi bagian dari perusahaan jugamemiliki peran. Menurut seorang reporter yang sudahsembilan tahun bekerja di Republika, campur tangan pemilik

83 Ibid

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

90

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

media masih dinilai dalam batas kewajaran.84 Sedangkanseorang reporter yunior mengungkapkan kritiknya tentanghalaman-halaman yang disebut “bernilai guna”.85 ErickThohir pribadi menanggapi campur tangan pemilik mediadengan nada yang ironis sambil ia membandingkannyadengan ‘budaya telepon’ selama masa kekuasaan Suharto:“Now it´s the owners yang call their own company [...] Ithappen everywhere in the world [...] They are the owners.But better for me not to do that. The public will judge [...]The one who control the media are the people [...] Siapayang salah, ya media sendiri kalau berbuat salah. Peoplejudgement banyak dari love atau dari tidak mau baca atautidak mau tonton [...] The higher education, I think, akanlebih banyak kritik, kan.”86

Republika mempunyai sebuah serikat pekerja87 dan sebuah“kesepakatan kerja sama” yang dirancang danditandatangani bersama oleh pihak manajemen dan dewanperwakilan karyawan.88 Kesepakatan semacam ini tidakterdapat di ketiga media cetak sebelumnya. Di dalamnyajuga dipegang teguh hak eksistensi dewan perwakilan

84 Ia sebaliknya menyebut bahwa hal tersebut di harian saingan MediaIndonesia terlalu mencolok, reporter Republika.85 „Bahwa Republika tidak menghasilkan laba, tidak apa-apa. Iamembentuk pijakan bagi masyarakat, dengan bantuannya dapatdihasilkan entah di mana keuntungan kembali,” reporter Republika.86 Erick Thohir, Dirut PT Abdi Bangsa Tbk., wawancara dilangsungkantanggal 9 Desember 2004.87 Lihat juga Dewanto (2003: 50 pp).88 Republika 2001.

91

karyawan89 dan pembebasan penugasan untuk sementarawaktu bagi pimpinannya agar ia dapat melaksanakantugas-tugas yang diembannya di dewan perwakilankaryawan. yang merupakan bagian dari tugas-tugas dewanperwakilan karyawan. Selain itu kesepakatan tersebutberisi, seperti dalam peraturan-peraturan perusahaanmedia lainnya yang diteliti, hak-hak sosial dan kewajiban-kewajiban karyawan dan juga sanksi-sanksi bila adapelanggaran aturan. Tidak ada perlindungan khususterhadap pemutusan hubungan kerja bagi anggota dewanperwakilan karyawan. Karena itu sebagian besar anggotalama diPHK pada saat terjadi gelombang pemutusanhubungan kerja akibat rasionalisasi pada tahun 2003.90

Biasanya sebuah sistem penilaian membentuk landasan dariPHK atau penugasan kembali, demikian kata ketua dewanperwakilan karyawan yang baru. Anggota dewanperwakilan karyawan yang diPHK sebenarnya bukankaryawan yang buruk, justru sebaliknya, menurut ketuadewan perwakilan karyawan, mereka bahkan lebih baikdaripada yang lainnya, yang tetap tinggal. Namun tindakanmereka dinilai terlalu konfrontatif.91 Dalam arti, bahwaPHK tersebut sekaligus merupakan “penjinakan”perwakilan karyawan. Seorang reporter mengutarakan hal

89 Dewan ini mempunyai empat anggota dari redaksi dan delapan anggotadari bidang-bidang non redaksi.90 Di sini kesepakatan untuk kerja sama ternyata tidak lulus dalam ujiansebenarnya. Dalam pembayaran uang pesangon sebuah kompromiditawarkan, yang melebihi jumlah minimum dari yang telah ditetapkanDepartemen Tenaga Kerja, namun jumlah tersebut berada di bawah yangtelah ditetapkan dalam kesepakatan untuk kerja sama tersebut.91 Ketua Serikat Pekerja Republika, wawancara dilangsungkan tanggal 3November 2004.

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

92

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

tersebut: “Kalau dewan karyawan ini masalahnya sangatpelik sekali. Anda mungkin tahu ceritanya, nasib teman-teman di dewan karyawan. Begitulah. Saya pikir, mungkindi setiap media atau setiap perusahaan, sampai kapanpuntidak menghendaki adanya dewan karyawan [...] Duludewan karyawan berperan serta, intinya untuk membelakepentingan karyawan. Misalnya masalah-masalahtunjangan, kenaikan gaji, dan lain sebagainya [...] Sayamelihat dewan yang sekarang tidak terlalu seberani atausekuat dewan yang lalu.”92

Dibandingkan dengan pendahulunya, serikat pekerja yangsekarang lebih mengutamakan mufakat. Seorangperwakilan serikat pekerja menggambarkan situasi saat inisebagai berikut: “Tujuan pokoknya lebih sebetulnya untukkesejahteraan anggota dan keluarganya. Di sisi lain jugauntuk kemajuan perusahaan. Apapun namanya,perusahaan ini adalah rumah kita. Ini kan timbal balik.Kalau perusahaan ini tidak maju, maka karyawannya jugatidak akan sejahtera dan juga sebaliknya. Masalahpendapatan perusahaan ini fluktuatif setiap tahunnya.Memang perusahaan mematok untuk ada titik impas. Itulahsebetulnya, dewan karyawan juga ikut dalam hal inimemberikan motivasi ke rekan-rekan anggota karyawanuntuk tetap bekerja sesuai dengan bidang dan tanggungjawab masing-masing. Juga tetap kita perjuangkan hak-hakmereka. Dan tentunya kita mempertimbangkankemampuan perusahaan. Kita tidak menuntut lebih darikemampuan perusahaan.”93

92 Reporter Republika.93 Ketua serikat pekerja dan perwakilan karyawan Republika, wawancaradilangsungkan tanggal 3 November 2004.

93

“Kesepakatan kerja sama” yang telah disinggung di atasbukanlah merupakan sebuah pernyataan untuk otonomiredaksi. Di Republika tidak ada dewan redaksi yang dapatmewakili kepentingan redaksi. Dan serikat pekerja hanyamempunyai tuntutan sosial dan material. Hak berbicara,misalnya dalam dengar pendapat sebelum pengangkatanpimpinan redaksi, tidak dimiliki oleh redaksi.

Di Republika terdapat sepuluh persen saham karyawan.94

Hal itu tidak menjamin hak- hak suara, melainkan hanyasebuah hak untuk pembagian laba yang ada. Administrasisaham karyawan diemban oleh sebuah kooperasi.

Kesepakatan kerja sama yang ada tidak memiliki karakterseperti sebuah anggaran dasar, misalnya dalam halpenetapan hak kebebasan wartawan untuk mengikuti hatinuraninya dalam menulis suatu berita. Memang seorangreporter pada awalnya dapat menulis apa yang ia inginkan,namun kemudian terdapat “filter” dari redaktur pelaksana,demikian penjelasan seorang perwakilan serikat pekerja.Konflik didiskusikan di tahap pimpinan, namun parawartawan dalam keadaan bimbang juga harus menulis halyang bertentangan dengan keyakinannya sendiri, jika halitu menyangkut penjualan surat kabar.95 Jalan keluar darikonflik-konflik antara tugas-tugas pokok dan kepentinganperusahaan dicoba untuk dirundingkan. “Konflikkepentingan antara redaksi dengan pihak manajemen selalu

94 Bursa Efek Jakarta, http://www.jsx.co.idissuers.asp?cmd=detail&id=ABBA.95 Ketua serikat pekerja/perwakilan karyawan Republika, wawancaradilangsungkan tangggal 3 November 2004.

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

94

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

ada. Di Republika, kami menyelesaikan masalah itu dengancara rapat. Memang ada hak-hak yang diklaim sebagai hakpimpinan untuk menentukan sesuatu. Tapi itu tidak sertamerta diselesaikan dengan instruksi [...] Ada forum diskusiyang dihadiri seluruh redaktur dan pimpinan redaksiseminggu sekali. Sebulan sekali, ada rapat antara redaksidan perusahaan yang dipimpin oleh manajemen. Forum-forum ini yang dipakai untuk mendiskusikan instruksi-instruksi seperti tadi. Di situ dibahas juga kemungkinanreaksi dari sisi pembaca. Jangan sampai kemudian, ketikakita memfasilitasi itu, ternyata itu menjatuhkan kredibilitasRepublika di mata pembaca. Resikonya besar. Untukmembangun kepercayaan, butuh waktu lama. Makanya kitasangat berhati-hati di situ. (Selain rapat-rapat,) tidak adalembaga khusus yang bisa menangani itu.”96

Haluan Republika disesuaikan oleh pemilik yang baru, untukmemperluas basis pembaca dan klien iklan. Sebuahperubahan arah surat kabar yang drastis dinilai tidakrealistis di tengah situasi pasar saat itu.97 Juga di Republika,kepentingan perusahaan dalam pemberitaan dapatdinegosiasikan. Pemilik perusahaan melibatkan diri dalamsebagian pengambilan keputusan redaksi sehari-hari.“Pemilik perusahaan tidak ada hak prerogatif untukmemaksakan apa saja yang harus dimuat. Namun tetapsaja, ada hal-hal yang kadang-kadang berkaitan dengan

96 Kepala desk polkam Republika, wawancara dilangsungkan tanggal 9November 2004.97 Pemimpin redaksi Republika, wawancara dilangsungkan tanggal 9November 2004.

95

kepentingan mereka. Untuk itu mari kita diskusikan. Dankalau itu ketika didiskusikan ternyata tidak melanggar visi-misi kita, tidak melanggar hukum, tidak melanggarkeadilan, menurut saya, hal itu bisa kita diskusikan.”98

Secara resmi tidak ada “larangan menulis” tentang tema-tema tertentu untuk para reporter. Namun, artikel yangdianggap tidak cocok untuk harian tersebut tidak dipilihuntuk diterbitkan oleh redaktur yang memimpin. Swa-sensor digambarkan sebagai bagian dari hak veto pemilikuntuk menghindari artikel-artikel yang dapat merugikanbisnis, namun juga dalam arti memberi prioritaskepentingan pemilik atau partner bisnisnya dalam berita.Usulan-usulan dari pemilik saham untuk pemberitaan yangpositif tentang pengusaha-pengusaha yang dekat denganmereka atau tentang kegiatan-kegiatan mereka sendiriditerima di rubrik-rubrik khusus. Konflik antara kepentinganumum dan kepentingan pengusaha didefinisikan sebagaimurni masalah politik dan tidak dianggap signifikan:“Bahwasanya aktivitas dia perlu dimuat, ada memang, tapiitu tidak cukup signifikan. Pemilik kami (Erick Thohir) ‘kanaktif di basket, dia ketua umum Perbasi. Tapi ketika diabukan pemilik pun, pemberitaan tentang basket tetap akankita muat, karena itu adalah olah raga populer. Sehinggasebetulnya tidak ada masalah apa-apa, karena tidak terkaitdengan politik. Dan pemilik memang menghindari aktifitaspolitik.”99

98 Pemimpin redaksi Republika, wawancara dilangsungkan tanggal 9November 2004.99 Redaktur pelaksana Republika, wawancara dilangsungkan tanggal 4November 2004.

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

96

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

Menurut pengakuannya sendiri, pemilik hanya akanmelakukan intervensi dalam proses redaksional berita bilamenurut penilaiannya ada kesalahan dalam berita yangditulis, atau seorang wartawan tidak mengerti latarbelakang berita tersebut. Walaupun begitu, selamapemberitaan tentang Pemilu 2004, ada permintaan-permintaan yang masuk menyangkut isi surat kabar.“Usually if there is a big issue in Indonesia or the city(Jakarta) I ask my staff to go to Republika and get a print aday before but you can check with my people ... sedikit sekali.So I read [...] I have my sources also, many sources are myfriends. If something is not true, I talk to them [thejournalists] and they listen to me because I am the owneralso [...] Sama juga dengan pemilihan presiden. I had a bigdiscussion with my people inside Republika. Okay, I tellthem “Please, on the first election you write about everyone,don´t choose. In the second round we think about, whichone is best for our country.” [...] We finally felt, SBY is best[...] But although we favoured Susilo [...] we still coveredthe others.”100

Keputusan tersebut mungkin saja dipengaruhi karena salahseorang pemegang saham terbesar, Muhammad Luthfi101,termasuk dalam tim kampanye Susilo Bambang Yudhoyono.Oleh presiden yang baru terpilih Luthfi lalu dilimpahi

100 Erick Thohir, Dirut PT Abdi Bangsa, wawancara dilangsungkan tanggal 9 Desember 2004.101 Luthfi adalah salah seorang rekan bisnis Erick Thohir pada grupMahaka dan mantan ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia. Padasaat Pemilu 2004, ia adalah komisaris di Republika.

97

jabatan sebagai kepala BKPM (Badan KoordinasiPenanaman Modal).

Pihak-pihak yang diwawancara mengungkapkan, saat initidak lagi dilakukan swa-sensor akibat tekanan politik dariluar. Namun, dengan masih adanya ketidakpastian hukum,pencapaian kebebasan pers saat ini masih memiliki sisinegatif: “Saat ini justru kita lebih berhati-hati. Sekarangorang lebih cenderung pakai kekerasan. Kalau tulisan kitatidak disukai orang, kita bisa diancam atau diteror. Lalukita bisa dituntut ke pengadilan. Dulu jarang sekali perkarapers masuk ke pengadilan. Karena dulu pers menjadibagian dari kekuasaan. Sehingga orang takut kepada pers,tapi sekarang tidak. Kita bisa diduduki oleh massa. Dan ituterjadi di banyak media lain, tapi di Republika belumpernah.”102

Editorial Republika ditulis bergantian oleh seorang dari enamorang tim editorial. Di dalamnya termasuk wakil daripimpinan redaksi dan redaktur senior. Pemilihan artikel-artikel opini yang berasal dari luar anggota redaksi secarastruktural dilakukan oleh redaktur pelaksana, yang untukitu telah mempercayakan seorang redaktur desk polkam.Menurut pengakuannya, ia menyeleksi kira-kira 80% artikelopini yang diterbit, sekitar 20% diterima atas usulanredaktur pelaksana atau pemimpin redaksi. Di dalamhalaman opini terdapat dua artikel opini, yang dipilih darisekitar 30-40 kiriman per hari. Kadang-kadang muncul pula

102 Redaktur pelaksana Republika, wawancara dilangsungkan tanggal 4November 2004.

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

98

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

tulisan dari redaktur-redaktur untuk tema-tema khusus.Artikel-artikel opini tersebut “secara otomatis”mencerminkan haluan surat kabar ini, demikian kataredaktur yang bersangkutan. “Budaya perusahaan kami,pembaca kami adalah muslim. Kami ingin menyampaikankebaikan, nilai-nilai universal, hal-hal yang manusiawi dansegi-segi demokratis dari Islam.” 103

Selain editorial dan artikel-artikel opini, rubrik Hikmah dihalaman utama memegang fungsi yang penting, karenamenyampaikan nilai-nilai Islam. Artikel-artikel Hikmahberasal dari luar anggota redaksi, terutama pengirimnyaadalah para mahasiswa. Rubrik tersebut diasuh oleh wakilpemimpin redaksi. Artikel-artikel opini dimuat juga dihalaman dua, yang sering memberitakan tentang prinsip-prinsip perekonomian Islam. Biasanya isinya jugamenyangkut advertorial. Sebagai contact person untukpakar-pakar ekonomi syariah yang ingin menulis dihalaman ini, disebutkan: Divisi iklan Republika.

Pemilik Republika memainkan peranan yang aktif dalampengimplementasian kemungkinan-kemungkinanpencampuradukan dari iklan dan isi redaksional. Harianini mencoba untuk menarik pembaca dan terutama klieniklan104 melalui suplemen dan rubrik-rubrik khusus.Republika adalah surat kabar pertama, di mana klien iklan

103 Redaktur opini, percakapan informal tanggal 3 November 2004.104 Menurut keterangan kepala divisi iklan, rubrik khusus dari lembaransuplemen bertema khusus ini, yang muncul atas pesanan rekanan iklan,saat ini dihilangkan, percakapan informal 4 November 2004.

99

dapat memuat iklannya dalam bentuk sampul surat kabar.Harian itu lalu tampil “terbungkus” di dalam dua helai yangberisi iklan-iklan di seluruh halamannya.

Area promosi di Republika pun menjangkau bidangredaksional. Di sini juga berlaku aturan, bahwa kritik padapelanggaran-pelanggaran yang serius tidak ditabukan,pemberitaan positif tentang klien iklan pun merupakan halyang biasa. “Tapi kalau dia (klien iklan) bermasalah – itujuga kita sudah perjanjian dengan pihak direksi – maka kitatidak bisa (tidak memberitakannya). Misalnya diamencemari lingkungan, menganiaya karyawannya,menggelapkan uang, itu jelas kita tidak bisa. Tapi kalaumenyangkut promosi-promosi saja, tidak ada masalah sayapikir. Toh, (perusahaan) yang lain juga yang tidak pasangiklan, tetap kita tulis. Jadi saya berpikir praktis saja. Koranin tiap hari banyak berita, banyak kolom. Tanpa dia pasangiklan pun, kalau dia beritanya menarik, ya kita tulis.Apalagi kalau dia pasang iklan.”105

Di Republika, pemasangan iklan dan pemberitaan tidakdilihat murni sebagai hubungan bisnis, melainkan sebagaisuatu bentuk “sumbangan” untuk Republika, yang untukitu orang harus menunjukkan rasa terima kasihnya dalambentuk penulisan berita yang “bersahabat”. Selain itu,besaran iklan tampaknya merupakan sebuah kriteriapenting dalam menentukan “hak pemberitaan” klien-klien

105 Redaktur pelaksana Republika, wawancara dilangsungkan tanggal 4November 2004.

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

100

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

iklan tersebut: “Kalau itu lebih untuk mengakomodasikepentingan pemilik modal, itu satu hal yang berkaitandengan pemasang iklan. Ketika ada pemasang iklan, berartidia memberikan sumbangan pemasukan kepada Republika.Lantas bagaimana kalau dia mempunyai kasus. Tentupemilik modal dan direksi akan sangat wanti-wanti agarkepentingan perusahaan tersebut jangan diganggu. Tapikan kita tidak bisa 100 persen memenuhi itu. Tetap saja,kalau di situ ada tindakan korupsi atau pelanggaran hukum,tentu kita akan memberitakan. Cuma kemudiankemasannya yang akan berbeda, tidak menyerang, tapi kitatetap akan mempublikasikan, bahwa ada kecurangan-kecurangan itu. Jadi tetap bisa dikontrol oleh mediakemudian oleh masyarakat. Tapi di sini juga terjadiperdebatan. Sekarang, pemasang iklan seperti apa yangakan kita layani? Jangan-jangan semua cuma pasang iklanRp 25 juta misalnya, kemudian dia minta, semuakepentingannya dilindungi, itu tidak bisa. Dalam praktekjurnalistik, Republika tidak pernah untuk mencobamelindungi kepentingan perusahaan pemasang iklan.Kalau mereka melakukan kesalahan, ya kita beritakan.”106

Tindakan untuk memperhatikan kepentingan klien-klieniklan ini memiliki konsekuensi bagi pekerjaan para reporterdan redaksi. Mereka harus memperhatikan dalampencarian berita dan penyajian jurnalistik, agar tidakmelukai kepentingan-kepentingan klien-klien iklan besar.“Yang saya tahu beberapa tahun belakangan ini, konsep

106 Kepala desk polkam Republika, wawancara dilangsungkan tanggal 2November 2004.

101

kita adalah kalau bisa keduanya bersinergi dengan baik.Dan itu sudah terlihat. Artinya, kalau si A mengatakan iaakan pasang iklan yang besar, kita akan memuat sedikitberitanya. Saya tidak melihat ada pertentangan, justru sayamelihat hubungannya bagus (saling menguntungkan) [...]Secara umum bagaimana kita mengupayakan sinergi,jangan sampai pemberitaan menjadi bumerang bagipemasang iklan. Artinya, jangan sampai ada suatu berita,tiba-tiba calon pemasang iklan batal memasangiklannya.”107

“Iklim yang baik” antara divisi iklan dan redaksi tidakhanya didukung secara pasif oleh para reporter, dalam artimemberitakan hal-hal yang positif saja atau melalaikankritik, melainkan juga secara aktif membantu penerimaaniklan, begitu menurut seorang wartawan. Hal inibertentangan dengan keterangan dari pemilik, bahwa parawartawan Republika dilarang menawarkan iklan. “Bahkankebijakan dari redaksi adalah untuk membantu iklan. Kita(wartawan) diperkenankan untuk mencari iklan. Dan akanada prosentasenya [...] Kita kan juga dekat dengannarasumber, yang mungkin dia juga seorang pengusaha.Dan kita sambil bilang saja, ‘Pasang iklan, dong’. Justruorang-orang iklan sendiri susah untuk menembus sumberiklan itu. Kenapa tidak kita manfaatkan?”108

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas menjadi jelas,bahwa ada perbedaan antara sebuah dukungan terhadap

107 Reporter Republika.108 Reporter Republika.

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

102

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

apa yang dapat dinamakan jurnalisme “siap membantu”dan sebuah penolakan campur tangan dalam hal kritik.Mengistimewakan seseorang yang memasang iklan,tampaknya oleh wartawan Republika dianggap sah saja.Tapi tidak mengkritik seorang klien, kalau ada kejadianyang serius, sebaliknya tidak dilakukan, paling tidak untukkasus-kasus, dimana kepentingan umum sangatdiutamakan. “We have to become a company that peoplerely [...] Of course ada juga PR-ing advertisement, forexample when [...] a party want to put an advertisement,sudah [...] Tetapi kalau memang dia pasang banyak iklanternyata dia korup we find out, iklan yang dicopot pun takapa. Tapi PR-ing itu ada [...] kita juga open, dong [...]misalnya seorang want to be a senator, he wants to haveiklan tapi minta written, in an interview. Okaylah. Interviewis interview, it´s like a bonus. Tapi kalau after the interviewthe guy is doing something, tak mungkin kita tak tulis.”109

Karena tidak adanya peraturan yang jelas tentangpemisahan iklan dari isi redaksional, maka setiap keputusandibuat secara individual. Pendapat mengenai seberapa jauhcampur tangan terhadap pemberitaan juga sangat beragam.Masing-masing anggota redaksi memiliki ukurannya sendiri,seberapa jauh isi media dapat dipengaruhi oleh kepentinganiklan. Salah seorang perwakilan serikat pekerja yangdiwawancara menunjukkan, mengapa sebuah serikatpekerja dengan anggota yang juga berasal dari luar redaksihampir tidak mempunyai potensi untuk mempertahankan

109 Erick Thohir, Dirut PT Abdi Bangsa Tbk., wawancara dilangsungkan tanggal 9 Desember 2004

103

otonomi redaksi. Seseorang dari divisi marketingmemaparkan sebuah “pencarian kompromi” dalam konflik-konflik yang mungkin terjadi: “Itu yang kadang kala kitadiskusikan. Seperti misalnya saya memperoleh order yangsangat signifikan, Rp 50 juta. Tapi oleh teman-teman (diredaksi dikatakan), bahwa itu tidak bisa (naik cetak). Lalusaya melangkah lebih jauh sampai ke direksi. Dan laludireksi yang turun, berdiskusi dengan jajaran redaksi. Itubisa terjadi.”110

5.5.5.5.5.5.5.5.5.5. KesimpulanKesimpulanKesimpulanKesimpulanKesimpulan

Penelitian tentang struktur dan proses redaksional dariempat harian nasional ini menunjukkan, bahwa sistemkepemilikan dan struktur redaksional dalam perusahaan-perusahaan media tersebut berpengaruh terhadap tingkatotonomi redaksi dan isi berita. Dari keempat surat kabartersebut, ada sebuah harian tanpa pemilik saham mayoritas(Koran Tempo) dan sebuah harian lain di mana pemimpinumumnya - yang memiliki latar belakang jurnalistik - adalahpemilik saham mayoritas walaupun masih ada pemiliksaham lainnya (Kompas). Sementara itu dua harian yanglainnya dimiliki oleh mereka yang tidak mempunyai latarbelakang jurnalistik, di mana yang seorang adalah pemiliktunggal (Media Indonesia) dan pemilik Republika merupakanpemegang saham mayoritas di samping pemegang-pemegang saham lainnya.

110 Zulkifli Lubis (Wakil Ketua serikat pekerja, divisi marketing)Republika, wawancara tanggal 3 November 2004.

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

104

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

Pada semua harian yang diteliti, tanggung jawab jurnalistiksecara formal dipisahkan dari tanggung jawab perusahaan.Tidak ada satu pun harian yang pemiliknya bertindaksekaligus sebagai pemimpin redaksi.111 Walaupun begitu,narasumber mengisyaratkan bahwa pemisahan antaratanggung jawab ekonomi dan jurnalistik dalam praktiknyatidak bisa selalu dipertahankan.

Di tiga dari empat harian yang diteliti (Kompas, MediaIndonesia, Republika) pemilik saham mayoritas jugamerangkap sebagai direktur perusahaan. Ia mempunyai hakuntuk menetapkan garis haluan surat kabarnya. Tidak adaapapun yang menghalanginya untuk melakukan tekananyang tidak relevan (seperti dijelaskan dalam pasal 2.2.)kepada pihak redaksi. Ia juga dapat menentukan ataubahkan memaksakan pemilihan dan pengerjaan tema-temakepada pihak redaksi menurut kepentingannya dan dengandemikian mengubah mekanisme pengambilan keputusanredaksional sehingga mekanisme yang memberi prioritaskepada kepentingan umum tidak berlaku lagi.

Hal itu dapat mempengaruhi banyak hal dalampemberitaan. Pemilik Media Indonesia memanfaatkanmedianya secara intensif untuk kampanye dirinya selamaPemilu. Baik di Republika maupun di Media Indonesiapemiliknya memberikan arahan yang jelas, calon presidenmana yang harus didukung selama Pemilu Presiden padatahun 2004. Di kedua harian tersebut terdapat pula konflik-

111 Di Kompas hal itu terjadi sampai tahun 2000.

105

konflik kepentingan, bila hal itu berkaitan denganpemberitaan tentang rekan bisnis para pemilik perusahaandi kedua harian tersebut. Di Media Indonesia dan Republika,di mana campur tangan terhadap otonomi redaksi sangatjelas terlihat, pemilik media-nya tidak memiliki latarbelakang jurnalistik. Hal itu dapat merupakan indikasi,bahwa pemilik media yang sekaligus pengusaha cenderunguntuk mendahulukan kepentingan golonganya daripadakepentingan umum dibandingkan dengan pemilik yangjuga wartawan. Dalam wawancara dengan pemilikRepublika tentang fungsi hiburan dari media dan mengenaipasar sebagai “hakim dari politik/haluan surat kabar”diperlihatkan, bahwa ia memandang media sebagai produkyang 100 persen dapat dipasarkan dan mengabaikankomponen-komponen meritorisnya. Sebaliknya pemilikKompas memaparkan - karena ia sendiri seorang wartawan- tugas-tugas media meliputi tanggung jawab sosial danfungsi pendidikan.

Campur tangan dari pemilik media yang merangkappengusaha pada harian Media Indonesia dan Republikamelebihi kewenangan garis besar haluan surat kabar danmenimbulkan konflik-konflik. Pemenuhan tugaskemasyarakatan dari wartawan dalam arti fungsi informasi,fungsi kritik dan fungsi pembentukan opini dari persterganggu oleh kepentingan pribadi dari pemilik media.Dari wartawan-wartawan Kompas memang diberitakanpula mengenai tekanan-tekanan dari pihak pimpinanperusahaan dengan tujuan mencampuri pemberitaan.Tetapi hal tersebut lebih dikarenakan kepentingan pihak

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

106

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

ketiga (dalam hal ini para politisi), yang tentunyaberhubungan dengan eksistensi puluhan tahun dari mediayang dekat dengan pemerintah dan dengan budayakonsensus ala Jawa di Kompas. Sebaliknya, pemilik MediaIndonesia yang berasal dari Aceh digambarkan sebagaimajikan yang terbuka dan agresif.112 Di sana konflik-konflikmuncul dengan jelas dan dikemukakan secara konfrontatif,paling tidak di tingkat pimpinan.

Bentuk kepemilikan yang tidak membiarkan adanya pemiliksaham mayoritas tampaknya merupakan hal yang positifbagi otonomi redaksi. Kekhawatiran akan adanya veto daripemilik perusahaan dalam proses redaksional tidak terdapatdi Koran Tempo. Para wartawan yang diwawancaraimengungkapkan banyak segi positif tentang kebebasanjurnalistik yang mereka nikmati di surat kabar mereka. Halitu lagi-lagi sesuai dengan prinsip watchdog dan persepsidari masyarakat tentang (Koran) Tempo sebagai media massayang kritis dan demokratis.

Pembatasan otonomi redaksi yang ketat sebaliknyadikhawatirkan, jika seorang pemilik perusahaan mediasekaligus merupakan pemilik saham tunggal dan selainmempunyai kepentingan ekonomi juga memilikikepentingan politik, seperti contoh yang telah diuraikanmengenai pencalonan diri pemilik Media Indonesia sebagaicalon presiden. Hal itu bisa terlihat, di mana kemungkinantekanan terhadap redaksi untuk memuat pemberitaan yang

112 Mentalitas orang Sumatra dibandingkan dengan orang Jawa seringdigambarkan lebih terbuka, lebih terang-terangan dan lebih agresif.

107

menguntungkan pemilik semakin besar dengan adanyaketerlibatan politik pemilik perusahaan media. Dasar untukkeambilan putusan redaksional adalah, sebagaimanaterlihat jelas dalam pemberitaan ketika Pemilu,berkurangnya hak masyarakat atas informasi yangseimbang tentang semua kubu politik, dibandingkandengan pemberitaan tentang tujuan-tujuan politik pemiliksurat kabar.

Tampak jelas perbedaan antara harian-harian yangsebagian besar sahamnya berada dalam kepemilikan pribadi(Kompas, Republika, Media Indonesia) dan dalam kepemilikanyayasan dan/atau bursa saham (Koran Tempo), juga dalammasalah campur tangan kepentingan iklan. SementaraKoran Tempo menyerukan sebuah pemisahan yang jelas danjuga mengambil risiko, bahwa klien-klien iklan dikejutkanoleh berita-berita yang kritis, kebijakan dalam ketiga harianlainnya tidak begitu jelas. Hal yang dapat dikritik di Kompasmengenai masalah pencampuradukkan iklan dan urusanredaksi adalah dalam hal promosi silang, tapi selainmasalah itu, Kompas menjunjung pemisahan yang jelas diantara keduanya. Dari keterangan para narasumber, diMedia Indonesia dan Republika terdapat kemungkinan-kemungkinan pengaruh yang umum terhadap isi media.Di Media Indonesia hal itu terwujud misalnya denganmelarang pemuatan surat-surat pembaca yang mengkritikklien-klien iklan atau dengan adanya hak veto divisi iklandalam pemutusan publikasi. Di Republika klien-klien iklanbesar diberitakan dengan nada yang positif. Di sana para

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

108

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

reporter menjalankan fungsi ganda sebagai wartawan danpenjual iklan.

Di sini muncul pengandaian, bahwa pemilik perusahaanmedia yang juga pengusaha (Media Indonesia, Republika)cenderung untuk menempatkan kepentingan klien-klieniklan di atas kepentingan masyarakat, dibanding rekan-rekan mereka yang memiliki latar belakang jurnalisme(Kompas)113. Sementara itu, struktur kepemilikan KoranTempo memungkinkan otonomi redaksi yang lebih kuattidak hanya terhadap pengaruh dari pemilik, tapi jugaterhadap upaya-upaya tekanan dari pihak klien iklan.

Tidak di satupun harian yang didatangi terdapat semacamanggaran dasar redaksi, yang mengatur kewenanganpenerbit dan redaksi. Selain itu tidak ada pula dewanredaksi, yang dapat mewakili otonomi redaksi menghadapikepentingan pemilik. Hak bicara, misalnya dalampenentuan pimpinan redaksi, tidak ada. Penempatanpimpinan redaksi ditentukan hanya oleh pihak manajemen.Wartawan-wartawan Koran Tempo memang juga tidakdapat ikut menentukan pemimpin redaksinya, sama sepertirekan-rekannya di ketiga harian lainnya, namun berkatadanya sebagian kepemilikan saham perusahaan olehkaryawan, mereka mempunyai hak untuk dapat memilihdewan komisaris dalam rapat pemegang saham.

113 Dalam menilai situasi seperti ini, masalah tingkat pendapatan yangberlaku di harian-harian tersebut tidak boleh diabaikan. Siapa yangmerupakan pemimpin pasar - seperti Kompas - tentu saja dapat lebihmudah mengendalikan tekanan dari klien iklan.

109

Di harian-harian, di mana terdapat tekanan-tekanan yangtidak relevan (seperti dijelaskan dalam pasal 2.2) terhadapproses pengambilan keputusan redaksional, dapat ditemuikonflik-konflik etika profesi, demikian keterangan dari paranarasumber. Kemungkinan-kemungkinan penyelesaianmasalah hanya terjadi di tingkat personal, yang manasemakin tinggi posisi seseorang di struktur perusahaan/redaksi, semakin besar pula kekuasaan yang dimiliki untukmenentukan keputusan penyelesaian masalah. Karena tidakada hak bicara bagi redaksi dalam penempatan pemimpinredaksi, maka sedikit kemungkinan, bahwa pemimpinredaksi dalam keadaan bimbang akan membelakepentingan redaksi.

Bahwa sampai saat ini belum terbentuk perwakilankepentingan dari pihak redaksi untuk memperjuangkanotonomi redaksional, mungkin dapat dijelaskan olehkurangnya kerjasama tim dalam struktur hierarki ketat yangdi dalam redaksi, yang diorganisir dalam bentukpembagian kerja (seperti dijelaskan dalam pasal 4). Halyang sama telah ditunjukkan oleh penelitian-penelitianuntuk redaksi-redaksi surat kabar di Inggris dan Amerika(Esser 1998). Juga di Indonesia, redaksi surat kabardiorganisasikan atas pembagian kerja yang ketat. Untukpemahaman bahwa otonomi redaksi dipandang sebagainilai-nilai yang pantas diperjuangkan secara kolektif, makastruktur pembagian kerja seperti itu cenderung berakibatburuk. Seorang wartawan, yang mengemban tugas dantanggung jawab mulai dari investigasi (mencari data)sampai artikel selesai ditulis, akan bersikap lebih kritis

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

110

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

terhadap tekanan-tekanan yang tidak relevan atas isi daripemberitaannya, dibandingkan dengan seorang reporter,yang hanya menjadi pengumpul informasi tanpapemahaman tentang finalisasi hasil tulisannya.

Bila orang melihat kebutuhan akan sebuah perwakilankepentingan untuk otonomi redaksi dalam konteksIndonesia, akan timbul pertanyaan, siapa akanmemperjuang untuk mengutamakan kepentinganjurnalistik di atas kepentingan ekonomi atau politik daripemilik media. Dari kedua perhimpunan wartawan yangpaling besar, AJI dan PWI, pada saat penelitian inidilaksanakan, tidak begitu terlihat upaya-upaya untukmemperjuangkan otonomi redaksi. Dengan begitu, untuksaat ini pemecahan masalah otonomi redaksi secara tertulishanya dimungkinkan terjadi pada tingkatan perusahaan.Serikat-serikat pekerja dapat ditemui di Kompas, KoranTempo dan Republika. Tingkat penerimaan serikat pekerjapaling tinggi terdapat di Koran Tempo, harian tanpa pemiliksaham mayoritas. Di Kompas serikat pekerja ditolerir, diRepublika mereka dipinggirkan dan di Media Indonesiabahkan belum ada serikat pekerja.

Kemampuan sebuah serikat pekerja sebagai organisasidengan tugas untuk memperjuangkan otonomi redaksimemang terbatas, karena serikat pekerja juga mewakilikepentingan karyawan non-redaksi. Walaupun begitu,tingkat keberadaan dan penerimaan serikat pekerja disebuah perusahaan media berlaku sebagai ukuran posisitawar penerima kerja terhadap majikannya dan sebagai

111

ukuran keberhasilan pembentukan sebuah perwakilankepentingan redaksi. Dari sudut pandang ini, ada pesimismedalam menilai peluang perwakilan redaksi untuk mencapaitujuannya. Pada akhirnya keadaan serikat karyawan diharian-harian yang dimiliki pemegang saham mayoritasburuk (Kompas, Republika) atau bahkan sama sekali tidakterdapat serikat karyawan (Media Indonesia).

Meskipun Indonesia telah berhasil menjalankan prosesdemokratisasi, ekonominya berlandaskan kekuatan oligarkidimana pasar didominasi oleh perusahaan-perusahaanyang bergerak dalam banyak bidang dan adanyakecenderungan pemusatan kepemilikan dalam pasar media.Bila kepentingan umum ditempatkan di bawah strategipemanfaatan maksimal pribadi dari pemilik media, terdapatbahaya akan “hasil untuk masyarakat yang di bawahoptimal” seperti yang telah digambarkan sebelumnya (2.1.).Upaya-upaya untuk pendidikan yang lebih baik bagiwartawan, sebagaimana didukung oleh perhimpunan-perhimpunan wartawan, mutlak diperlukan untukmemenuhi tugas-tugas kemasyarakatan media. Di siniperusahaan-perusahaan media harus lebih dituntut untukmemenuhi tugas-tugas kemasyarakatannya, yang tentupada akhirnya nanti akan memetik keuntungan dariwartawan-wartawan yang terdidik dengan baik. Terhadapkritik akan kurangnya komitmen perusahaan untukpendidikan wartawan yang lebih baik, perhimpunan sepertiSerikat Penerbit Suratkabar (SPS) biasanya memberi alasanberupa tidak adanya dana dari perusahaan-perusahaanmedia. Juga di antara perusahaan-perusahaan yang sehat

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

112

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

secara finansial tampaknya tidak ada kesepahaman dalambentuk sebuah Code of Conduct untuk memberikan investasiyang lebih banyak ke dalam jurnalisme yang profesionaldan independen.

Seperti yang sudah diutarakan di bagian pengantar,kepentingan perusahaan media terutama terletak padakomponen-komponennya yang laku di pasar, yaitueksistensinya sebagai pemasang iklan. Karena pesan-pesaniklan ingin disampaikan kepada pembeli-pembeli yangpotensial, media-media memerlukan sejumlah besarpembaca yang sesuai. Para konsumen media maka dapatmenuntut isi yang mengandung informasi yang mendidik,dan tidak hanya iklan dan hiburan, dengan cara membeliatau menolak untuk membeli. Mereka dapat mendesak,bahwa media massa memenuhi kebutuhan mereka akaninformasi yang disiapkan secara obyektif dan profesional.Fungsi informasi dan fungsi orientasi tersebut idealnyahanya dapat dihasilkan oleh redaksi yang independen.

Dengan demikian tuntutan dari konsumen-konsumenmedia menjadi faktor yang menentukan untuk prosesredaksi. Tetapi, tuntutan atas prinsip otonomi dankeseimbangan mensyaratkan konsumen media yangmemiliki pengetahuan tentang media massa dan bersikapkritis. Sebuah wacana terbuka tentang peran dan fungsimedia membutuhkan informasi bagi masyarakat luasmengenai hubungan kepemilikan dari penerbit-penerbitsurat kabar, stasiun TV, stasiun radio dan portal internetdemikian juga tentang situasi dan kondisi luar dan dalam,

113

supaya konsumen media mengerti situasi dan kondisiwartawan dan produksi isi media. Jurnalisme media dalamkaitan ini diberikan peran sebagai “kekuatan kelima” (theFifth Estate) (Ruß-Mohl 2000: 252), karena dalampelaksanaannya yang profesional ia memberikan efek yang“mencerahkan, membersihkan diri dan menjamin kualitas”(ibid: 253). Selain itu jurnalisme media dapat membahas“konflik internal” dalam perusahaan media, yang terjadidalam wilayah konflik antara loyalitas kepada majikan dantanggung jawab kepada masyarakat (Fengler 2002: 63).

Informasi-informasi semacam ini hampir tidak diperolehpembaca Indonesia atau pemirsa televisi Indonesia, karenatidak adanya satu halaman atau segmen khusus yangsecara berkala mengulas isu-isu tentang media. Tidak adasatupun dari harian yang diteliti mempunyai sebuah desktentang topik media tersebut. Tapi bukan berarti, bahwatidak ada satu pun berita tentang media. Pemberitaanmengenai hal itu hanya berlangsung secara sporadis dantidak berhubungan dengan peristiwa-peristiwa internalperusahaan-perusahaan media.

Untuk sebuah kemampuan pengaturan diri dari mediamemang diperlukan permintaan dari pihak konsumenmedia yang kritis. Di depan sudah disebutkan, bahwa perskarena fungsi informasi, fungsi kritik dan fungsi kontrolmereka diberi perlindungan khusus. Perundang-undanganIndonesia dan Undang-Undang Pers menekankan fungsipublik dari media. Diperlukan sebuah pengetahuan yangmemadai dari konsumen untuk mampu menilai, sejauh

Lima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil PenelitianLima : Hasil Penelitian

114

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

mana media massa memenuhi fungsi-fungsi publik. Hal itumemerlukan pula pengetahuan tentang media dankemampuan dalam hal penggunaannya dari golonganmasyarakat yang lebih luas dan konsep-konsep pendidikanyang sesuai, untuk memastikan dalam jangka waktu lama,bahwa media memenuhi fungsinya sebagai pemangku hakasasi atas informasi. Justru di Indonesia, negara yang sedangbertransformasi dan memiliki masa lalu di bawah kekuasaandiktatur, pemenuhan hak asasi ini adalah salah satu faktoryang menentukan untuk keberhasilan proses demokratisasi.

115

EnamEnamEnamEnamEnam

Penutup dan PendekatanPenutup dan PendekatanPenutup dan PendekatanPenutup dan PendekatanPenutup dan Pendekatanuntuk Penelitian Selanjutnyauntuk Penelitian Selanjutnyauntuk Penelitian Selanjutnyauntuk Penelitian Selanjutnyauntuk Penelitian Selanjutnya

6. Penutup dan Pendekatan untuk Penelitian Selanjutnya Penutup dan Pendekatan untuk Penelitian Selanjutnya Penutup dan Pendekatan untuk Penelitian Selanjutnya Penutup dan Pendekatan untuk Penelitian Selanjutnya Penutup dan Pendekatan untuk Penelitian Selanjutnya

Dalam penelitian ini kebebasan pers di Indonesia tidakdigambarkan, seperti dalam pemaparan-pemaparansebelumnya, hanya dalam hal ketiadaan sensor dari negara.Pendapat penulis adalah, bahwa untuk memenuhi tugaspublik pers diperlukan usaha untuk memiliki sebuah redaksiindependen, yang bebas dari tekanan publikasi internalyang tidak relevan. Untuk itu diajukan pertanyaan, apakahdan bagaimanakah paksaan-paksaan yang munculterhadap wartawan di perusahaan-perusahaan media diIndonesia itu terlihat. Dengan bantuan desain penelitianyang dipilih untuk studi ini (wawancara semi-terstrukturdan pengamatan lapangan/partisipatif), dapatdigambarkan konflik-konflik, yang terjadi akibatpertentangan kepentingan jurnalistik dan kepentingan

116

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

ekonomi serta kepentingan politik dari pihak pemilik media.Yang terlihat jelas juga adalah bahwa tidak ada mekanismeyang resmi untuk melindungi otonomi redaksi.

Hasil-hasil penelitian ini sesuai dengan temuan-temuan diEropa. Terutama di sana, di mana media diambil alih olehpengusaha yang bukan wartawan dan yang memilikiperusahaan yang bergerak dalam banyak sektor bisnis danatau oleh politisi, terdapat sebuah ancaman besar bagiotonomi redaksi (Weber 1997, OSZE 2003b, Möller/Popescu2004, Leidinger 2005). Swa-sensor wartawan yangdipaksakan oleh kepentingan pemilik media mencerminkansebuah gangguan atas fungsi publik media. Untukmengukur seberapa kuat pemilik media yang bersangkutanmemakai kemungkinan campur tangan dalam isi medianya,setelah satu minggu pengamatan dan wawancara terhadapredaksi oleh peneliti sendiri, hanya didapatkan keterangan-keterangan umum. Sebuah studi lanjutan dengan metodeanalisis isi yang dapat melengkapi penelitian ini dapatmeletakkan fokus utamanya tentang pengambilankeputusan publikasi pada hal-hal berikut ini:

- pembahasan mengenai perusahaan-perusahaan,yang termasuk dalam kelompok yang sama denganpenerbit-penerbit media yang dianalisis;

- pemberitaan mengenai keterlibatan politik daripemilik perusahaan media atau dari pemegangsahamnya,

- artikel-artikel tentang perusahaan-perusahaan, dimana pemilik perusahaan media juga merupakanpemegang sahamnya atau tentang perusahaan-

117

perusahaan milik orang-orang yang dekat denganpemilik perusahaan media, atau

- penanganan klien iklan dalam pemberitaan.

Penelitian ini telah memperlihatkan dimensi-dimensi darikonflik-konflik, yang muncul karena media mempunyaitugas publik tetapi bentuknya perusahaan swasta. Hasil-hasil yang dipaparkan dapat menjadi titik acuan untuksebuah penelitian kuantitatif mengenai pengaruh daripemusatan kepemilikan media terhadap jurnalisme yangprofesional dan keberagaman pendapat, seperti misalnyawawancara kualitatif yang dilaksanakan pada tahun 2003dalam lingkup OSZE (OSZE 2003b). Survey yang dilakukanmelampaui batas Eropa semacam itu dapat juga merupakansebuah proyek ilmiah yang menarik, karena wilayah konflikantara kebebasan berpendapat dan bermedia yang dijaminundang-undang dan perusahaan milik swasta sebagaipemangku kebebasan ini didiskusikan pula di luar Eropa.

Melalui pembedaan faktor-faktor pengaruh dari luar dandari dalam perusahaan terhadap tindakan wartawan makadapat terlihat dengan jelas, bahwa sebuah penggambaranyang rinci mengenai situasi dan kondisi hukum, politik,ekonomi dan budaya mutlak diperlukan untuk penelitiantentang sistem media. Hal ini terutama berlaku untukanalisis perbandingan. Karena itu misalnya tidakmengherankan, bahwa di negara-negara yang belum lamamenjalankan proses demokratisasinya, kewaspadaan pelakumedia terhadap represi negara jelas lebih tinggi,

Enam : Penutup dan Pendekatan untuk Penelitian SelanjutnyaEnam : Penutup dan Pendekatan untuk Penelitian SelanjutnyaEnam : Penutup dan Pendekatan untuk Penelitian SelanjutnyaEnam : Penutup dan Pendekatan untuk Penelitian SelanjutnyaEnam : Penutup dan Pendekatan untuk Penelitian Selanjutnya

118

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

dibandingkan terhadap subyek-subyek dengan potensirepresi di dalam perusahaan media sendiri.

Selain situasi dan kondisi yang telah disebutkan di atas,sebuah studi perbandingan negara dapat juga menjawabpertanyaan, seberapa jauh pemahaman terhadap konsepjurnalistik dan pembagian kerja dalam redaksi berpengaruhterhadap tuntutan otonomi redaksi. Apakah tuntutan itulebih besar di negara-negara dengan cara kerja jurnalistikyang menyeluruh daripada di negara-negara yang membagikerja dengan prinsip reporter-editor? Selanjutnya denganstudi banding antara beberapa negara mungkin dapatditeliti, bagaimana pergantian pemilik perusahaan media,dari generasi pendiri media yang mempunyai latar belakangjurnalistik ke mereka yang mempunyai berbagai jenisperusahaan selain memiliki usaha media, berperanterhadap tingkat otonomi redaksi.

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebutmembutuhkan pula, selain pemaparan sistem media dalamkonteks politik, budaya dan ekonomi, penggambaran yangdetil mengenai kepemilikan media. Selain penelitian-penelitian ilmiah, jurnalisme media dapat pula memberikangambaran tentang pesatnya perubahan pasar media lokaldan global. Jurnalisme media tidak saja dapat menolonguntuk memberikan data dan menggambarkan tren-trenaktual pada pasar media, namun juga dapat menjadi obyekpenelitian itu sendiri. Untuk tema otonomi redaksipertanyaan yang menarik adalah, apakah danbagaimanakah jurnalisme media yang terinstitusi dapat

119

mempengaruhi pembahasaan mengenai fungsi publikmedia dan diskusi mengenai konsep-konsep untukpenguatan otonomi redaksi.

Enam : Penutup dan Pendekatan untuk Penelitian SelanjutnyaEnam : Penutup dan Pendekatan untuk Penelitian SelanjutnyaEnam : Penutup dan Pendekatan untuk Penelitian SelanjutnyaEnam : Penutup dan Pendekatan untuk Penelitian SelanjutnyaEnam : Penutup dan Pendekatan untuk Penelitian Selanjutnya

120

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

121

Sumber danSumber danSumber danSumber danSumber danDaftar PustakaDaftar PustakaDaftar PustakaDaftar PustakaDaftar Pustaka

AJI (2004) Authoritarianism returns?, Laporan tahunan AJI, Jakarta 2004.

Aly, Bachtiar (1984): Geschichte und Gegenwart der Kommunikationssysteme in Indonesien, Europäische Hochschulschriften, Frankfurt a.M., Bern, New York, Peter Lang.

Arismunandar, Satrio (2000): Dinamika Pers Indonesia di Era Reformasi. Dalam: Hidayat, Dedy N./Gazali, Effendi/Suwardi, Harsono/Ishadi, S.K.: Pers dalam “Revolusi Mei” – Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta, Gramedia, hal 205-219.

Astraatmadja, Atmakusumah (2004): “Kebebasan Pers Kita Merosot”, Kompas 17 Des 2004.

122

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

Article 19 (2003): Surat terbuka kepada Presiden Megawati Sukarnoputri atas tekanan kebebasan mengeluarkan pendapat dengan bantuan pasal-pasal Hukum Pidana, 19 Juni 2003.

Batubara, Leo (2004): Pers di Depan Hakim dan Peran Dewan Pers dalam Penyelesaian Konflik Antara Pers dan Pihak Luar. Presentasi pada workshop di Friedrich- Ebert-Stiftung: “Menjamin Kebebasan Pers sebagai Agen Demokrasi”, Jakarta 14 Des 2004.

Branahl, Udo (2004): Der rechtliche Rahmen – Begriff,Funktion, Konzepte, Regelungen und Probleme.Dalam: Duve, Freimut/Haller, Michael (Ed.): LeitbildUnabhängigkeit – Zur Sicherung publizistischerVerantwortung, Konstanz, UVK, hal 85-105.

COE (1993): Resolusi 1003 tentang Etika dalam Jurnalisme,pertemuan parlemen Dewan Uni Eropa, http://assembly.coe.int/Documents/AdoptedText/TA93/ERES1003.HTM, diunduh 1 Okt 2004.

COE (1999): Recommendation No. (99) 1 on Measures topromote Media Freedom, Komite Menter-menteriNegara-negara anggota Dewan Eropa, http://cm.coe.int/ta/rec/1999/99r1.htm, diunduh tanggal20 Agt 2004.

Coronel, Sheila S. (1998): Media ownership and control inthe Phillipines, Media Development 4/1998.

123

Depkominfo (2006): Belanja iklan Indonesia naik sekitar 17persen, 30 Nov 2006, http://www.depkominfo.go.id/?action=view&pid=news_aceh&id=2576, diunduh10 Jan 2007.

Dhakidae, Daniel (1991): The state, the rise of capital andthe fall of political journalism: Political economy ofthe Indonesian news industry, disertasi yang belumditerbitkan.

Dill, Richard (1997): Vom guten Medium, das den Menschendient. Dalam: Fünfgeld, Hermann/Mast, Claudia:Massenkommunikation. Ergebnisse undPerspektiven, Opladen, Westdeutscher Verlag, hal347-356.

Duve, Freimut (2003): Kata pengantar dalam laporan OSZE“The impact of media concentration on professionaljournalism”, Wien, OSZE.

EFJ (1995): Editorial Democracy in European Media – IFJ/EFJ Final Declaration, http://www.ifj-europe.org/default.asp?index=1235&Language=EN, diunduh20 Agt 2004.

EFJ (2003): “Eastern Empires. Foreign Ownership in Centraland Eastern Europe: Ownership, Policy Issues andStrategies, Juni 2003, http://www.ifj-europe.org/docs/easternempires. doc., diunduh 20 Agt 2004.

Sumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar Pustaka

124

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

Eriyanto (2002): Buruk Amplop, Fasilitas Diubah, PantauIII No 24.4.2002.

Esser, Frank (1998): Die Kräfte hinter den Schlagzeilen.Englischer und deutscher Journalismus im Vergleich,Freiburg, München, Verlag Karl Alber.

Fengler, Susanne (2002): Medienjournalismus in den USA,Konstanz, UVK.

Fischer, Hans-Dietrich/Petzke, Ingo/Molenveld, Roswitha/Wolter, Hans-Wolfgang (1975): Innere Pressefreiheitin Europa, Baden-baden, Nomos.

Fricke, Ersnt (1997): Recht für Journalisten, Konstanz, UVK.

Geertz, Clifford (1973): Religious Belief and EconomicBehaviour in a Central Javanese Town: SomePreliminary Considerations. Dalam: Mc Alister, JonT. Jr. (Ed.): Southeast Asia-The Politics of NationalIntegration.

Gunaratne, Shelton A. (Ed.) (2000): Handbook of the Mediain Asia, New Delhi, Thousand Oaks, London, SagePublications, hal. 157-187.

Hadiz, Vedi R./Dhakidae, Daniel (Ed.) (2005): SocialScience and Power in Indonesia, Jakarta/Singapura,

125

Equinox Publishing/Institute of Southeast AsianStudies.

Hanitzsch, Thomas (2003): Journalismus in Indonesien.Journalistische Akteure, Strukturen undOrientierungshorizonte in einem sichdemokratisierenden Mediensystem, disertasi yangbelum diterbitkan, Universitas Illmenau.

Harsono, Andreas (2000): Dancing in the Dark. Dalam:Williams. Louise/Rich, Roland: Losing Control –Freedom of the pers in Asia, Canberra, Asia PacificPress, hal 74-92.

Harsono, Andreas (2004): “Wartawan atau Politikus?”,Pikiran Rakyat, 7 Juni 2004, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0604/07/pres03.htm, diunduh13 Mar 2005.

Haryanto, Ignatius (2005): “Fake journalists and pressintegrity”, The Jakarta Post, 6 Apr 2005.

Heinrich, Jürgen (2001): Medienökonomie, cet. ke-2 yangsudah direvisi, Wiebaden, Westdeutscher Verlag.

Hidayat, Dedy N. (2000): Pers dalam kontradiksi kapitalismeOrde Baru. Dalam: Hidayat, Dedy N./Gazali,Effendi/Suwardi, Harsono/Ishadi, S.K.: Pers dalam“Revolusi Mei” – Runtuhnya Sebuah Hegemoni,Jakarta, Gramedia, hal 127-164.

Sumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar Pustaka

126

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

Hill, David (1995): The Press in New Order Indonesia,Jakarta, PT Pustaka Sinar Harapan.

Hirano, Chalinee (1999): Journalistic Profesionalism inThailand – A Crisis of Ethics?. Dalam: Media Asia,Vol. 26 No. 4, Singapura, AMIC, hal 196-204.

Hunter, Mark/Jaouani, Salim (2005): Von Federn undSchwertern. Dalam: Message I/2005, Konstanz,UVK, hal 16-19.

Huntington, Samuel P. (1998): Kampf der Kulturen,München, Goldmann.

Hutabarat, Saur (2002): Self-regulation in a non-trustingsociety. Dalam: Balgos, Cecile C.A. (Ed.): Watchingthe watchdog – Media self regulation in SoutheastAsia, Bangkok, FES/SEAPA, hal 45-50.

Karmasin, Matthias (1998a): Oligopole in freienGesellschaften – Medienfreiheit als ökonomischesund ethisches Problem. Dalam Wunden, Wolfgang:Freiheit und Medien – Beiträge zur MedienethikBand 4, Frankfurt a.M., Gemeinschaftswerk derevangelischen Publizistik, hal 79-95.

Karmasin, Matthias (1998b): Medienökonomie als Theorie(massen-) medialer Kommunikation, Graz, Wien,Nausner&Nausner.

127

Keller, Anett (2004): Recht nach Kolonialherrenart –Schadenersatzklagen in Millionenhöhe brechenZeitungen das Genick, Menschen machen Medien04/2004.

Kiefer, Marie-Luise (2001): Medienökonomik – Einführungin die eine ökonomische Theorie der Medien,München, Wien, Oldenbourg Verlag.

Koentjaraningrat (1969): Rintangan-rintangan mentaldalam pembangunan ekonomi di Indonesia,Bhratara.

Koesoemawiria, Edith (2002): Zwischen Korruption undReform – Fernsehen in Indonesien. Dalam: Becker,Jörg/Luger, Kurt: Flimmerndes Asien – DieFernsehentwicklung eines Kontinents im Aufbruch,Wien, Österreichischer Kunst-und Kulturverlag, hal85-97.

Kromrey, Helmut (1991): Empirische Sozialforschung,Opladen, Leske+Budrich.

Leidinger, Christiane (2005): Die industrielle Verstrickung.Dalam: Message 2/2005, Konstanz, UVK, hal 62-65.

Lim, Merlyna (2003): From real to virtual (and back again)– Civil society, public sphere and the internet inIndonesia. Dalam: Ho, K.C., Kluver, Randolph,

Sumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar Pustaka

128

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

Yang, Kenneth C.C.: Asia.com-Asia encounters theInternet, London, New York, Routledge Curzon, hal113-128.

LSPP (2004): Laporan akhir monitoring media cetak di limakota dalam Pemilu 2004, Laporan akhir yang tidakditerbitkan, LSPP.

Magnis-Suseno, Franz (1981): Javanische Weisheit und Ethik– Studien zu einer östlichen Moral, München, Wien,R. Oldenbourg Verlag.

Magnis-Suseno, Franz (1998): Perspektiven indonesischerDemokratie. Dalam: Wessel, Ingrid (Ed.): Indonesienam Ende des 20. Jahrhunderts – Analysen zu 50Jahren unabhängiger Entwicklung, Hamburg,Abera, hal 15-30.

Manan, Abdul (2004): AJI Kecam Alokasi Dana Pemda DKIuntuk Wartawan, Tempo Interaktif, 22 Des 2004,http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2004/12/22/brk,20041222-01,id.html, diunduhtanggal 22 Des 2004.

Masterton, Murray (Ed.) (1996): Asian Values in Journalism,Singapura, AMIC.

McCargo, Duncan (2000): Politics and the press in Thailand– Media Machinations, London, Routledge.

129

McCargo, Duncan (2003): Media and politics in pacific asia,London, Routledge Curzon.

McDaniel, Drew (2002): Electronic Tigers of Southeast Asia– The politics of media, technology and nationaldevelopment, Ames (Iowa), Iowa State UniversityPress.

Menayang, Victor (2003): Pembelaan terhadap KebebasanPers Melindungi Kepentingan Publik, Kompas, 30Okt 2003.

Menon, Vijay (1999): Looking back and lookin ahead – Thepress in Asean. Dalam: Media Asia Vol. 26 No. 11999, Singapura, AMIC, hal 100-104.

Möller, Christian/Popescu, Alexandra (2004):Transformation des Journalismussystems – Über dieImplementierung des Prinzips Unabhängigkeit inosteuropäischen Staaten seit 1989. Dalam: Duve,Freimut/Haller, Michael (Ed.): LeitbildUnabhängigkeit – Zur Sicherung publizistischerVerantwortung, Konstanz, UVK, hal 53-64.

Mohamad, Goenawan (1993): SIUPP. Dalam: Am Randebemerkt. 35 Essays über Kultur, Politik undGesellschaft Indonesiens, Unkel/Rhein, Bad Honnef,Horlemann, hal 89-92.

Sumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar Pustaka

130

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

Mohamad, Goenawan (1998): Die Nervenenden der Wörter.Dalam: Die Landkarte der Zensur, Berlin, Ch. LinksVerlag, hal 169-173.

Nolan, James (2004): “Repeal the criminal defamationlegislation?”, wawancara dalam The Jakarta Post,20 Agt 2004.

Nguyen, Thang D. (2004): Controlled media could causemass deception, The Jakarta Post, 8 Maret 2004.

OSZE (2002): Freedom and responsibility, Jahrbuch derMedienbeauftragten 2001/2002, http://www.osce.org/documents/rfm/2002m/01/2307_en.pdf, diunduh 1 Okt 2004.

OSZE (2003a): Grundsätze zur Garantie redaktionellerUnabhängigkeit, http://www.osce.org/documents/rfm/2003/07/514_en.pdf, diunduh 1Okt 2004.

OSZE (2003b): The impact of media concentration onprofessional journalism.

Pantau (2002): Kompas Berita, Kompas Iklan, Pantau No.21, Januar 2002, http://www.pantau.or.id/txt/21/01.html, diunduh 24. Oktober 2004

Piliang, Narliswandi (2002): Televisi di Kantong SegelintirPemilik. Pantau No. 24 April 2002, hal 12-19, http:/

131

/www.pantau.or.id/txt/24/09l.html, diunduh 24Okt 2004.

Pontoh, Coen Husain (2001): Amanat Hati NuraniKaryawan, Pantau 12 April 2001.

PPPI (2004): Media Scene, Buku Tahunan PerhimpunanPerusahaan Periklanan Indonesia.

Pradityo, Sapto (2004): KPI Peringatkan TV yangMelanggar Aturan Kampanye, Tempo Interaktif, 23Maret 2004, http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/03/23/brk,20040323-17,id.html,diunduh 13 Maret 2005.

Ramonet, Ignacio (2005): Auflagenkrise undLügengeschichten – Die Selbstentwertung derPrintmedien, Le Monde Diplomatique, edisi bahasaJerman, Berlin, taz Verlags- und Vertriebs-GmbH.

Redway, Jake (2003): Prospects for a rules-based economyin Indonesia. Dalam: Nguyen, Thang D./Richter,Frank-Jürgen: Indonesia Matters-Diversity, Unityand Stability in fragile times, Singapura, TimesEditions.

Reinowski, Hans J. (1968): Innere Pressefreiheit. EinGrundsatzrecht für Verleger und Redakteure, VerlagDarmstädter Echo GmbH.

Sumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar Pustaka

132

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

Robison, Richard/Hadiz, Vedi R. (2004): Reorganisingpower in Indonesia – The politics of oligarchy in anage of markets, London, New York, RoutledgeCurzon.

Romano, Angela (2003): Politics and the press in Indonesia- understanding an envolving political culture,London, Routledge Curzon.

RSF (2002): Reporters without Borders publishes the firstworldwide press freedom index, http:///www.rsf.fr/article.php3?id_article=4116, diunduh22 Jan 2005.

RSF (2003): Second world press freedom ranking, http://www.rsf.org/article.php3?id_article=8247,diunduh 22 Jan 2005.

RSF (2004): Third Annual Worldwide Press Freedom Index,http://www.rsf.org/article.php3?id_article=11715,diunduh tanggal 22 Jan 2005.

RSF (2004): Indonesia – 2004 Annual Report, http://www.rsf.org/article.php3?id_article?10172,diunduh tanggal 22 Jan 2005.

Ruß-Mohl, Stephan (2000): Medienjournalismus auf demWeg zur “fünften Gewalt” – die USA als Beispiel.Dalam: Ruß-Mohl, Stephan/Fengler, Susanne (Ed.):Medien auf der Bühne der Medien – Zur Zukunft

133

von Medienjournalismus und Medien-PR, Berlin,Dahlem University Press, hal 252-259.

Said, Tribuana (1990): Indonesia. Dalam: Hamelink, CeesJ./Mehra, Achal: Communication Development andHuman Rights in Asia, Singapura, AMIC, hal 37-50.

Sasdi, Ardimas (2003): Financial security may raiseimpartial media, The Jakarta Post, 13 Des 2003.

Schnell, Rainer/Hill, Paul B./Esser, Elke (1999): Methodender empirischen Sozialforschung, München, Wien,R. Oldenbourg.

Sjurts, Insa (2004): Der Markt wird’s schon richten!?Medieprodukte, Medienunternehmen und dieEffizienz des Marktprozesses. Dalam: Altmeppen,Klaus-Dieter/Karmasin, Matthias (Ed.): Medien undÖkonomie: Band 2: Problemfelder derMedienökonomie, Wiesbaden, VS Verlag furSozialwissenschaften, hal 159-181.

Stevenson, Robert L. (1998): The missing link in internationalcommunication. Dalam: Holtz-Bacha, Christina/Scherer, Helmut/Waldmann, Norbert (Ed.): Wie dieMedien die Welt erschaffen und wie die Menschendarin leben, Opladen, Westdeutscher Verlag, hal143-153.

Sumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar Pustaka

134

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

Studer, Peter (2004): Die Idee der “inneren Pressefreiheit”– Das Konzept der Selbstverpflichtung undSelbstregulierung. Dalam: Duve, Freimut/Haller,Michael (Ed.): Leitbild Unabhängigkeit – ZurSicherung publizistischer Verantwortung, Konstanz,UVK, hal 107-130.

Sudibyo, Agus (2001a): Kebebasan Pers dan IroniDemokratisasi, Kompas 7 Des 2001.

Sudibyo, Agus (2001b): Politik media dan pertarunganwacana, Yogyakarta, LkiS.

Sudibyo, Agus (2004): Hukum tidak berpihak pada pers,Kompas 21 Sep 2004.

The Jakarta Post (2005a): ‘Paid’, bogus press mar free press’ integrity, 20 Mar 2005.

The Jakarta Post (2005b): The consequences of press freedom: Thug journalism, 20 Mar 2005.

The Jakarta Post (2005c): Bogus journalists nurtured by corrupt officials, 20 Mar 2005.

The Jakarta Post (2005d): Terms used for bogus journalists, 20 Mar 2005.

TI (2006): Transparency International – CorruptionPerception Index 2006, http://

135

www.transparency.org/policy_research/surveys_indices/cpi/2006, diunduh 29 Nov 2006.

Thorgeirsdottir, Herdis (2004): Self-Cencorship amongjournalists: A (moral) writing or a violation of ECHRlaw? E.H.R.I.R. Issue 4, Sweet & Maxwell Ltd., hal383-399,http://www.bifrost.is/Files/Skra_0005847.pdf, diunduh tanggal 8 Sep 2004.

Triputra, Pinckey (2000): Isi Media sebagai Produk InteraksiAntaragensi: Kasus Media Cetak pada Mei 1998.dalam: Hidayat, Dedy N./Gazali, Effendi/Suwardi,Harsono/Ishadi, S.K.: Pers dalam “Revolusi Mei” –Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta, Gramedia,hal 407-420.

WAN (2002): World Press Trends 2002, Paris, WorldAssociation of Newspapers.

WAN (2003): World Press Trends 2003, Paris, WorldAssociation of Newspapers.

WAN (2004): World Press Trends 2004, Paris, WorldAssociation of Newspapers.

WAN (2005): World Press Trends 2005, Paris, WorldAssociation of Newspapers.

Sumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar PustakaSumber dan Daftar Pustaka

136

Tantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari DalamTantangan dari Dalam

Warta Ekonomi (2003): Pengusaha Jadi Calon Presiden:Enam Bulan Menuju CEO Indonesia Inc., 17 Nov2003.

Weber, Andreas (1997): Defizite journalistischer Autonomieund Reputation in Italien.Dalam: Machill, Marcel (Ed.): Journalistische Kultur– Rahmenbedingungen im internationalen Vergleich,Opladen/Wiebaden, Westdeutscher Verlag, hal 175-188.

Weidmann, Carolin (1997): Kultur und Management inIndonesien. Dalam: Dahm (Ed.): KulturelleTraditionen, Entwicklungspolitik und modernesManagement in Indonesien, Passauer Beiträge zurSüdostasienkunde, Band 4, Universitas Passau, hal141-236.

Williams, Louise/Rich, Roland (2000): Losing Control –Freedom of the press in Asia, Canberra, Asia PacificPress.

137