TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH LIBYA TERHADAP ...
Transcript of TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH LIBYA TERHADAP ...
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH LIBYA TERHADAP SERANGAN
KEDUTAAN BESAR AMERIKA SERIKAT DI BENGHAZI LIBYA
TAHUN 2012
ARTIKEL ILMIAH
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Kesarjanaan
Dalam Ilmu Hukum
Oleh:
MOHAMAD FIRDAUS KURNIA
NIM. 0910113147
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2013
LEMBAR PERSETUJUAN
Judul Skripsi :TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH LIBYA
TERHADAP SERANGAN KEDUTAAN
BESAR AMERIKA SERIKAT DI BENGHAZI
LIBYA TAHUN 2012
Identitas Penulis :
a. Nama : Mohamad Firdaus Kurnia
b. NIM : 0910113147
Konsentrasi : Hukum Internasional
Jangka waktu penelitian : 6 bulan
Disetujui tanggal : 01 agustus 2013
Pembimbing Utama
Setyo Widagdo, SH., M.Hum
NIP. 19590320.198601.1.003
Pembimbing Pendamping
Ikaningtyas SH. LLM
NIP. 19810531.200501.2.002
Mengetahui
Ketua Bagian Hukum Internasional
Nurdin, SH., M.Hum
NIP. 19561207.198601.1.001
LEMBAR PENGESAHAN
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH LIBYA TERHADAP SERANGAN
KEDUTAAN BESAR AMERIKA SERIKAT DI BENGHAZI LIBYA
TAHUN 2012
Oleh:
MOHAMAD FIRDAUS KURNIA
0910113147
Skripsi ini telah disahkan oleh Majelis Penguji pada tanggal : 02 September 2013
Ketua Majelis Penguji
Sucipto, SH., MH.
NIP. 19501211.198010.1.001
Anggota
Setyo Widagdo, SH., M.Hum
NIP. 19590320.198601.1.003
Anggota
Ikaningtyas, SH., LLM
NIP. 19810531.200501.2.002
Anggota
Hanif Nur Widhiyanti, SH., M.Hum
NIP. 19780811.200212.2.001
Ketua Bagian Hukum Internasional
Nurdin, SH., M.Hum
NIP. 19561207.198601.1.001
Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum
Dr. Sihabudin, SH., MH
NIP. 1951216.198503.1.001
ABSTRAKSI
Mohamad Firdaus Kurnia, Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya, Juni 2013, TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH LIBYA
TERHADAP SERANGAN KEDUTAAN BESAR AMERIKA SERIKAT DI
BRNGHAZI LIBYA TAHUN 2012, Setyo Widagdo, SH, MHum, Ikaningtyas,
SH, LLM
Pada skripsi ini, penulis mengangkat permasalahan tinjauan tentang serangan
terhadap Kedutaan Besar Amerika Serikat di Benghazi Libya tahun 2012. Pilihan
tema tersebut dilatarbelakangi Perkembangan sejarah manusia telah membuktikan
bahwa hubungan antar negara tidak mungkin dihindari dan merupakan sebuah
keharusan bahkan sering kali menimbulkan konflik.Seiring dalam
perkembangannya, kejadian yang tidak dapat dihindari yaitu meningkatnya
pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum internasional,
terutama yang berkenaan dengan aturan perlindungan pejabat diplomat. Pada
pertengahan tahun 2012 yakni mengenai insiden pengeboman yang dilakukan
melalui serangan roket terhadap kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS)
untuk Libya, tepatnya di Kota Benghazi, pada tanggal 11 september 2012 .
Serangan tersebut mengakibatkan Duta Besar dan tiga staf kedutaan tewas.
karya tulis ini mengangkat rumusan masalah : (1) Bagaimana tanggung jawab
pemerintah Libya atas tewasnya Duta Besar Amerika Serikat yang ada di
Benghazi Libya berdasarkan hukum internasional? (2) Apa upaya yang bisa
ditempuh Amerika Serikat untuk meminta tanggung jawab pemerintah Libya atas
tewasnya Duta besar Amerika Serikat yang ada di Benghazi Libya?
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis normative, dengan
pendekatan “statute approach”, yaitu dengan pendekatan melalui peraturan
perundang-undangan serta perjanjian internasional. Penulis juga menggunakan
pendekatan “case approach”, yaitu pendekatan dengan menganalisa kasus yang
berhubungan langsung dengan judul penelitian ini.
Pemerintah Libya wajib bertanggung jawab atas insiden tersebut karena
memenuhi dua unsur tanggung jawab negara di antaranya ada perbuatan atau
kelalaian (act or omission) yang dapat dipertautkan (imputable) kepada suatu
negara, dan perbuatan atau kelalaian itu merupakan suatu pelanggaran terhadap
suatu kewajiban internasional. Pemerintah Libya selaku negara penerima wajib
bertanggung jawab berdasarkan Konvensi Wina 1961 Pasal 22 Ayat (2). Sebagai
pihak yang dirugikan, Amerika Serikat dapat meminta tanggung jawab
pemerintah Libya dengan jalan penyelesaian secara diplomatik yaitu negoisasi,
mengingat keuntungan penyelesaian secara negoisasi ini mampu diukur dari
segala aspek.
Kata kunci : Tanggung jawab pemerintah pemerintah Libya terhadap serangan
Kedutaan Besar, di Benghazi Libya
ABSTRACT
Mohamad Firdaus Kurnia, International Law, Faculty of Law Brawijaya
University, June 2013, LIBYAN GOVERNMENT RESPONSIBILITY FOR
ATTACKS ON U.S. EMBASSIES IN BENGHAZI LIBYA 2012, Setyo
Widagdo, SH. M.Hum, Ikaningtyas, SH. LLM
In this thesis, the author raised the issue of a review of the attack on the U.S.
Embassy in Benghazi Libya in 2012. Choice is motivated development theme of
human history has proved that the relations between countries can not be avoided
and is a must even sometimes cause konflik.Seiring in its development, events
that can not be avoided, namely the increasing violations of the provisions of
international law, particularly with regard with the rules of diplomatic protection
officers. In mid-2012 that the bombing incident through rocket attacks on the
office of the Embassy of the United States (U.S.) to Libya, specifically in the city
of Benghazi, on the 11th of september 2012. The attack resulted in three
ambassadors and embassy staff were killed.
This paper raised the formulation of the problem: (1) How the Libyan government
of responsibility for the deaths of ambassadors that exist in the United States in
benghazi Libya under internatinal law? (2) What measures can be taken to ask the
United States government’s responsibility for the death of the Libyan ambassador
Americans in Benghazi Libya?
Type of research in this thesis is a normative juridical research, with a "statute
approach",the approach through legislation and international agreements. I also
use a "case approach",the approach by analyzing cases that deal directly with the
title of this research.
Libya government must be responsible for the incident because it satisfies two
elements of which are the responsibility of the state is no act or omission (act or
omission) that can be attached (imputable) to a country, and acts or omissions that
constitute a violation of an international obligation. Libyan government as
recipient countries must be responsible under the Vienna Convention 1961 Article
22 Paragraph (2). As the injured party, the United States can ask the Libyan
gevernment with the responsibility of the diplomatic settlement of the negotation,
given the benefits negotiated settlement is able to measure all aspect.
Keywords: : libyan government responsibility for attacks on U.S. embassies, in
Benghazi Libya.
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan sejarah manusia telah membuktikan bahwa hubungan antar
negara tidak mungkin dihindari dan merupakan sebuah keharusan. Begitu juga
dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang
membuat hubungan antar Negara semakin kompleks, mulai dari hubungan politik,
ekonomi, sosial, budaya, (Poleksosbud) hingga pertahanan dan keamanan
(Hankam). kebutuhan akan seseorang perwakilan Negara di Negara asing mutlak
diperlukan untuk mengurusi kepentingan negaranya di Negara tempat perwakilan
tersebut diakreditasikan.
Salah satu unsur mendasar dan paling penting dalam membuka kerjasama
sebagaimana prinsip good neighboring state dengan negara lain adalah
membangun suatu hubungan yang baik dan saling menguntungkan untuk dapat
terlaksananya kerjasama yang harmonis antara negara yang akan membuka suatu
hubungan diplomatik dengan mengirimkan perwakilan diplomatik ke suatu
Negara sebagai Negara penerima.
Perkembangan sejarah perwakilan diplomatik sudah dimulai sejak abad ke-
16 dan ke-17 di Eropa, pertukaran perwakilan diplomatik sudah dianggap sebagai
hal yang umum dan menjadi kebiasaan internasional. Kemudian pada pertengahan
abad ke-18 mulai diatur tentang hak-hak keistimewaan dan kekebalan diplomatik,
termasuk harta milik, gedung perwakilan, dan komunikasi diplomatik. Pada abad
modern Sejalan dengan kemajuan Iptek yang banyak mempunyai dampak
terhadap hubungan antar negara dan perkembangan anggota masyarakat
internasional1, dan dengan laju pertumbuhan negara-negara yang baru merdeka,
maka dirasakan adanya tantangan untuk mengembangkan lagi kodifikasi hukum
diplomatik secara lebih luas. Pengembangan itu tidak hanya ditujukan untuk
memperbaharui, tetapi juga dalam rangka melengkapi prinsip-prinsip dan
ketentuan hukum diplomatik yang sudah ada.
Kewajiban internasional untuk melindungi para pejabat diplomatik dan
konsuler di dalamnya termasuk gedung perwakilan merupakan hal yang mutlak
dan harus dilaksanakan oleh negara-negara anggota yang berkaitan dalam
melaksanakan hubungan diplomatik. Sehubungan setelah diberlakukanya
beberapa instrumen internasional tentang hal tersebut, berkaitan dengan peran dari
pejabat diplomatik yang penting, agar misi dan visinya dapat berjalan dengan baik
dan kondusif tanpa adanya gangguan didalam suatu proses penugasanya oleh
negara pengirim, maka negara penerima berperan dalam memberikan
perlindunganya terhadap pejabat diplomatik, kemudian Ketentuan-ketentuan
untuk melindungi diri dan kekebalan wakil diplomatik diatur dalam Pasal 29
Konvensi Wina 1961, yang berbunyi:
“the person of a diplomatic agent shall be inviolable. He shall not be liable to
any form of arrest or detention. The receiving state shall treat him with due
respect and shall take all appropriate steps to pre-vent any attack on his
person, freedom or dignitty’.2
1 Masyarakat internasional; Masyarakat intenasional adalah suatu kompleksitas bersama,
yang jalin-menjalin secara tetap dan terus-menerus antara sejumlah negara-negara yang berdaulat
dan sederajat
2 Konvensi Wina 1961 pasal 29; Orang agen diplomatik tidak dapat diganggu gugat
(inviolability). Ia tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam bentuk apapun dari penahanan atau
penangkapan. Negara penerima harus memperlakukanya dengan hormat dan harus mengambil
semua langkah yang tepat untuk mencegah setiap serangan terhadap badanya, kebebasanya atau
martabatnya
Menurut pasal tersebut, kekebalan diplomatik mencakup dua pengertian,
yaitu inviolability dan immunity. Inviolability adalah kekebalan tehadap alat-alat
kekuasaan dari negara penerima dan kekebalan terhadap segala gangguan yang
merugikan, sehingga dalam pasal tersebut terkandung pengertian bahwa duta
diplomatik memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari alat-alat
kekuasaan negara penerima. Sementara immunity adalah kekebalan terhadap
yuridiksi dari negara penerima, baik hukum pidana maupun hukum perdata.3
Seiring dalam perkembangannya didalam dinamika hubungan diplomatik
kejadian yang tidak dapat dihindari yaitu pelanggaran-pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan hukum internasional, terutama yang berkenaan dengan aturan
perlindungan pejabat diplomat. Kejadian ini mendapat perhatian dunia
internasional dan dibahas dalam sidang majelis umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) dalam mata acara yang berjudul :“consideration of effective
measures to enhance the protection, security and safety of diplomatic and
consuler mission and representatives”.
Acara tersebut dijadwalkan dalam agenda sementara sidang Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-37 berdasarkan resolusi No. 35/168
tertanggal 15 Desember 1980, yang diprakarsai oleh negara-negara yang disebut
sebagai “Nordik”4. Hal tersebut dilakukan akibat seringnya terjadi pelanggaran
dan tidak dipatuhinya aturan-aturan hukum internasional khususnya mengenai
3 Setyo Widagdo dan Hanif Nur Widhiyanti, Hukum Diplomatik Dan Konsuler,
Bayumedia, Malang, 2008, hlm. 100. 4 Nordik; Negara-negara Nordik menempati wilayah di Eropa Timur dan Atlantik Utara.
Negara yang merupakan negara Nordik adalah Denmark, Finlandia, Islandia, Norwegia dan
Swedia, dan juga teritori Kepulauan Faroe, Greenland, Svalbard dan Åland. Skandinavia kadang-
kadang digunakan sebagai sinonim untuk negara-negara Nordik, meskipun di negara-negara
Nordik kedua di istilah ini dianggap berbeda.
konvensi-konvensi yang mengatur hubungan diplomatik dan konsuler, termasuk
perlindungan fisik para pejabat diplomatik dan staf maupun pejabat-pejabat
konsuler dari gangguan yang akan timbul dalam negara tersebut.5
Salah satu pelanggaran yang tidak jarang terjadi berkaitan dengan
kekebalan diplomatik adalah perlakuan atau kegiatan yang tidak menyenangkan
dari pihak negara penerima dimana perwakilan diplomatik tersebut ditempatkan
contohnya insiden demo yang dilakukan warga Libya di kantor perwakilan
diplomatik yang ada di Benghazi Libya dan mengakibatkan tewasnya Duta besar
dan stafnya, Apabila hal tersebut terjadi, negara pengirim dapat mengajukan
keberatan kepada negara penerima dan negara penerima wajib bertanggung
jawab. hal ini sudah tercantum di dalam konvensi dan negara penerima harus
bertanggung jawab jika berakibat merugikan diplomat.
Pada pertengahan tahun 2012 yakni mengenai insiden pengeboman yang
dilakukan melalui serangan roket terhadap kantor Kedutaan Besar Amerika
Serikat (AS) untuk Libya, tepatnya di Kota Benghazi, pada tanggal 11 september
2012 . Serangan tersebut mengakibatkan Duta Besar dan tiga staf kedutaan tewas.
Hal yang melatarbelakanginya adalah upaya protes keras dari para pendemo
menentang film yang dibuat oleh seseorang keturunan Mesir dan menjadi warga
Negara Amerika Serikat yang berjudul “innocence of muslim” film yang
menunjukan karakter Nabi Muhammad SAW yang digambarkan melakukan
sejumlah tindakan kasar dan negatif. Sebab, bagi umat Islam, apapun bentuk
penggambaran Nabi Muhammad SAW secara fisik adalah penghinaan besar.6
5 Ibid, hlm. 58.
6 Anonymous, Hukum Internasional diakses dari http://www.republika.co.id/berita/internasional/
global, pada tanggal 15 oktober 2012.
Insiden berdarah terhadap Kedutaan AS di Libya tersebut menjadi
masalah kompleks antar negara dan ada unsur ketidaktundukanya terhadap
Konvensi wina 1961. Atas dasar itulah peran pemerintah Libya yang seharusnya
dipertanyakan dalam memberikan dan melindungi kekebalan diplomatik karena
merupakan kewajiban dan tugas negara penerima sebagaimana telah diatur dalam
konvensi. Dengan demikian, dalam hal ini diperlukan pertanggungjawaban
terhadap pelanggaran terkait kekebalan diplomatik.
Berdasarkan uraian di atas mengenai kasus pelanggaran hubungan
diplomatik, maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan judul:
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH LIBYA TERHADAP SERANGAN
KEDUTAAN BESAR AMERIKA SERIKAT DI BENGHAZI LIBYA
TAHUN 2012.
.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan atas latar belakang tersebut, maka rumusan masalah terkait
permasalahan tersebut yakni :
1. Bagaimana tanggung jawab pemerintah Libya atas tewasnya Duta Besar
Amerika Serikat yang ada di Benghazi Libya berdasarkan hukum
internasional ?
2. Apa upaya yang bisa ditempuh Amerika Serikat untuk meminta tanggung
jawab pemerintah Libya atas tewasnya Duta besar Amerika Serikat yang
ada di Benghazi Libya ?
C. PEMBAHASAN
C.1 Tanggung jawab Pemerintah Libya Atas Penyerangan terhadap
Kedutaan Besar Amerika Serikat Di Benghazi Libya Berdasarkan
Hukum Internasional
A. Kronologis kasus penyerangan terhadap Kedutaan Besar Amerika
Serikat yang ada di Benghazi Libya.
Berkaitan dengan masalah kasus yang terjadi di Benghazi Libya,
yakni mengenai insiden serangan pengeboman yang dilakukan melalui
serangan roket terhadap kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk
Libya yang mengakibatkan Duta Besar dan tiga karyawan kedutaan tewas.
Serangan roket tersebut dilakukan oleh pendemo terhadap film yang
berjudul “innocence of muslim” Dalam kasus diatas jelas terjadi
pelanggaran hukum internasional bahwasanya kelalaian yang dilakukan
oleh penmerintah Libya.
Dibawah ini adalah tabel dimana Unsur-unsur pokok dan kaitanya
pelanggaran yang tercantum di dalam Konvensi Wina 1961.
Tabel 1.
Pelanggaran yang terjadi selama kerusuhan di kantor perwakilan Amerika Serikat
yang ada di Benghazi Libya.
No Tindak pelanggaran Pengaturan dalam
Konvensi Wina 1961
Unsur-unsur pokok
1 Pelanggaran atas kedaulatan
negara lain (kantor
perwakilan)
Pasal 22 ayat (1), gedung
misi tidak dapat diganggu
gugat (inviolability), pejabat
dari negara penerima tidak
Telah terjadi
pelanggaran atas
yurisdiksi Amerika
Serikat dalam bentuk
boleh memasukinya, kecuali
dengan persetujuan kepala
misi.
kantor perwakilan
diplomatik yang
diserang oleh pendemo.
2 Terjadi tindakan anarkis yang
dilakukan oleh pendemo di
luar dan didalam lingkungan
kantor perwakilan.
Pasal 22 ayat (2), negara
penerima dibawah
kewajiban khusus untuk
mengambil semua langkah
yang perlu untuk
melindungi gedung misi
terhadap penerobosan atau
perusakan dan untuk
mencegah setiap ganguan
perdamaian misi atau
perusakan martabatnya.
Kelalaian aparatur
keamanan pemerintah
Libya dalam
mengamankan kondisi
demo.
3 Tewasnya Duta Besar
Amerika Serikat dan tiga
stafnya
Pasal 29, orang agen
diplomatik tidak dapat
diganggu gugat
(inviolability). Ia tidak dapat
dipertanggungjawabkan
dalam bentuk apapun dari
penahanan atau
penangkapan. Negara
penerima harus
memperlakukanya dengan
hormat dan harus
mengambil semua langkah
untuk mencegah setiap
serangan terhadap
badannya, kebebasanya atau
martabatnya.
Penyerangan yang
ditujukan kepada
perwakilan diplomatik
oleh pendemo dalam
hal ini adalah Duta
Besar Amerika Serikat
dan tiga stafnya.
4 Perusakan kantor perwakilan Pasal 22 ayat (2), negara
penerima dibawah
kewajiban khusus untuk
mengambil semua langkah
yang perlu untuk
melindungi gedung misi
terhadap penerobosan atau
perusakan dan untuk
mencegah setiap ganguan
perdamaian misi atau
perusakan martabatnya.
Pasal 22 ayat (3), gedung
misi, perlengkapanya dan
barang-barang lainya disana
serta alat-alat misi kebal
terhadap penyelidikan,
Mengakibatkan
kerugian materil atas
kerusakan kantor
perwakilan Diplomatik
Amerika Serikat yang
ada di Benghazi Libya.
pengambilalihan,
perlengkapan ataueksekusi.
Dalam kasus diatas tidak ada unsur yang membenarkan serangan
pendemo terhadap Kedutaan Besar Amerika Serikat karena dilakukan
dengan mendadak dan sengaja.
B. Komponen dalam tanggung jawab Negara
Subyek dan elemen-elemen tanggung jawab negara sebagaimana
telah disinggung bahwa hukum internasional pada dasarnya mengatur
hubungan antar negara-negara kaitanya dalam hal tanggung jawab dalam
hukum internasional mempunyai ciri dimana negara menjadi subyek utama.
Hal ini sesuai dengan draft pasal dalam the International Law Commission
(ILC) yang menyatakan bahwa setiap tindakan negara yang salah secara
internasional membebani kewajiban negara bersangkutan7.
Subjek lain selain bagi tanggung jawab internasional selain negara
adalah individu. Seperti yang dikatakan oleh hakim Huber “bahwa
tanggung jawab merupakan kelanjutan dari hak”. Semua hak yang
berkarakter internasional memiliki tanggung jawab internasional8. Bahwa
tanggung jawab negara timbul sebagai akibat dari pelanggaran terhadap
hukum kebiasaan ataupun terhadap perjanjian internasional yang dilakukan
oleh suatu negara. Berkaitan dengan kasus insiden pengeboman melalui
serangan roket terhadap Kedutaan Besar Amerika Serikat yang ada di
Beghazi Libya yang menewaskan Duta Besar dan tiga staf nya, kasus
7 James Crawford, The International Law Commission’s Articles On State Responsibility,
cambrides University Press, 2002 8 Martin Dixon dan Robert McCorquodale, Cases and Materials On International Law, New York,
Oxford University Press, 2003, hlm 403.
tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap hukum internasional
karena muncul unsur dimana negara dalam hal ini Libya sebagai negara
penerima melalui aparatur pengaman pemerintahanya lalai dalam
mengamankan warganya yang berdemo dan mengakibatkan korban jiwa
serta mengakibatkan dan kerugian materiil maupun iimateril jelas hal
tersebut mencederai perwakilan diploamtik negara lain.
C. Tanggung jawab pemerintah Libya berdasarkan elemen-elemen bagi
tanggung jawab negara.
Karakteristik tanggung jawab negara :
a. Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua
negara tertentu
b. Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban
hukum internasional tersebut yang melahirkan tanggungjawab ne-gara,
dan
c. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang
melanggar
Berkaitan dengan elemen-elemen tanggung jawab negara,
pemerintah Libya sebagai negara penerima perwakilan diplomatik,
mengemban kewajiban penuh yang seharusnya dijalankan dengan baik dan
tidak ada suatu kesalahan dalam prosesnya karena hal tersebut berbuah
vital apabila terjadi kesalahan yang berat, karena menyangkut tentang
perwakilan asing yang ada di negaranya dan seharusnya pula dilindungi
dengan baik agar tidak ada suatu pencederaan terhadap perwakilan asing
tersebut dalam hal ini adalah Amerika Serikat.
Dengan adanya karakteristik tanggung jawab negara, negara yang
bersangkutan mempunyai kewajiban hukum internasional yang berlaku
antara dua negara tersebut. Dalam hal ini hubungan diplomatik antara
keduanya telah melahirkan kewajiban hukum internasional yang harus
ditaati sebagai negara yang berdaulat dan patuh akan prinsip-prinsip
hukum internasional.
D. Tanggung jawab Pemerintah Libya berdasarkan Unsur-unsur
tanggung jawab Negara.
Ada sejumlah hal yang menegaskan kenapa pemerintah Libya
harus bertanggung jawab kepada insiden yang menyerang gedung
perwakilan diplomatik Amerika Serikat di Benghazi, Libya tersebut.
Berikut merupakan unsur yang menjadi alasannya.
1. Ada perbuatan atau kelalaian (act or omission) yang dapat
dipertautkan (imputable) kepada suatu negara;
2. Perbuatan atau kelalaian itu merupakan suatu pelanggaran terhadap
suatu kewajiban internasional, baik kewajiban itu lahir dari perjanjian
maupun dari sumber hukum internasional lainnya.
Berkaitan dengan masalah kasus ini, maka pemerintah Libya dianggap
lalai. Pasalnya, apabila dikaitkan dengan unsur-unsur tanggung jawab
Negara, yaitu ada perbutan kelalaian yang dilakukan oleh pemerintah libya
dengan adanya korban yg dialami oleh Duta Besar dan tiga staf nya jelas
melanggar ketentuan didalam konvensi Wina 1961 Pasal 22 ayat (2) yang
isinya “Negara penerima di bawah kewajiban khusus untuk mengambil
semua langkah yang perlu untuk melindungi gedung misi terhadap
penerobosan atau perusakan dan untuk mencegah setiap gangguan
perdamaian misi atau perusakan martabatnya.”
Adapun maksud dari ketentuan Konvensi diatas yaitu bahwa
pemerintah Libya selaku Negara penerima dari perwakilan Amerika
Serikat wajib untuk melindungi dan menjaga segala macam bentuk
kepentingan Negara pengirim misalnya dalam mengambil langkah
keamanan untuk terlaksananya kegiatan negara pengirim di negara
tersebut. Pemerintah Libya selaku negara penerima wajib bertanggung
jawab berdasarkan Konvensi Wina 1961 Pasal 22 Ayat (2) tersebut.
Kendati penyebab demo film “innocence of muslim” yang dilakukan
masyarakat Libya mengakibatkan tewasnya Duta Besar Amerika Serikat
dan tiga stafnya tidak berhubungan dengan pemerintah Libya secara
langsung, pemerintah libya tetap harus bertanggung jawab karena insiden
tersebut terjadi diwilayah Negara pemerintah Libya. Selain itu, di dalam
Konvensi Internasional juga sudah jelas disebutkan bahwa Negara
Penerima memang harus menjaga seutuhnya kemanan perwakilan
diplomatik di negaranya, serta akibat dari lalainya negara penerima dalam
menjaga perwakilan dari negara pengirim. Hal ini sesuai dengan teori
Unsur-unsur tanggung jawab Negara, yakni ada perbuatan atau kelalaian
(act or omission) yang dapat dipertautkan (imputable) kepada suatu
negara.
E. Tanggung jawab yang harus dilaksanakan Pemerintah Libya
berdasarkan Teori tanggung jawab negara
Ada sejumlah teori yang melatarbelakangi langkah konkret
maupun unsur beserta alasan negara untuk mengerjakan tanggung
jawabnya.
Berikut ini teori yang mendorong perbuatan tanggung jawab tersebut.
1. Teori Risiko (Risk Theory) yang kemudian melahirkan prinsip tanggung
jawab mutlak (absolute liability atau strict liability) atau tanggung jawab
objektif (objective responsibility), yaitu bahwa suatu negara mutlak
bertanggung jawab atas setiap kegiatan yang menimbulkan akibat yang
sangat membahayakan (harmful effects of untra-hazardous activities)
walaupun kegiatan itu sendiri adalah kegiatan yang sah menurut hukum.
Contohnya, Pasal II Liability Convention 1972 (nama resmi konvensi ini
adalah Convention on International Liability for Damage caused by Space
Objects of 1972) yang menyatakan bahwa negara peluncur (launching
state) mutlak bertanggung jawab untuk membayar kompensasi untuk
kerugian di permukaan bumi atau pada pesawat udara yang sedang dalam
penerbangan yang ditimbulkan oleh benda angkasa miliknya.
2. Teori Kesalahan (Fault Theory) yang melahirkan prinsip tanggung jawab
subjektif (subjective responsibility) atau tanggung jawab atas dasar
kesalahan (liability based on fault), yaitu bahwa tanggung jawab negara
atas perbuatannya baru dikatakan ada jika dapat dibuktikan adanya unsur
kesalahan pada perbuatan itu.
Kecenderungan yang berkembang akhir-akhir ini adalah makin
ditinggalkannya teori kesalahan ini dalam berbagai kasus. Dengan kata
lain, dalam perkembangan di berbagai lapangan hukum internasional, ada
kecenderungan untuk menganut prinsip tanggung jawab mutlak yang
menjelaskan bahwa suatu negara mutlak bertanggung jawab atas setiap
kegiatan yang menimbulkan akibat yang sangat membahayakan (harmful
effects of untra-hazardous activities) walaupun kegiatan itu sendiri adalah
kegiatan yang sah menurut hukum seperti demo yang dilakukan oleh
rakyat libya terkait dengan film “Inocennce of Muslim”.
Pemerintah libya bertanggung jawab secara mutlak atas kegiatan
yang menimbulkan akibat yang sangat membahayakan karena
menimbulkan kematian maka ini merupakan tanggung jawab pemerintah
libya dan dalam hal ini masyarakat libya adalah anggota dari negara
tersebut yang notabenenya negara memiliki peran penting didalam
mengawasi anggota masyarakatnya (masyarakat bagian dari negara) jadi
negara bertanggung jawab atas kesalahan yang dibuat oleh masyarakatnya.
Peristiwa yang terjadi di Libya apabila dikaitan dengan Teori
Kesalahan (Fault Theory) yang melahirkan prinsip tanggung jawab
subjektif (subjective responsibility) atau tanggung jawab atas dasar
kesalahan (liability based on fault), yaitu bahwa tanggung jawab negara
atas perbuatannya baru dikatakan ada jika dapat dibuktikan adanya unsur
kesalahan pada perbuatan itu teori ini kurang cocok apabila diterapkan
dalam kasus atas tewasnya Duta Besar dan tiga stafnya karena korbanya
sudah jelas dan tidak perlu dibuktikan, oleh karena itu tanpa harus
dibuktikan kesalahannya ,peristiwa ini merupakan tanggung jawab mutlak
pemerintah libya.
C.2 Upaya Yang Bisa Ditempuh Amerika Serikat Untuk Meminta
tanggung jawab Pemerintah Libya Atas Tewasnya Duta Besar Amerika
Serikat Yang Ada Di Benghazi Libya.
A. meneyelesaikan sengketa secara diplomatik
penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi, enquiry,
mediasi, konsiliasi dan good offices atau jasa jasa baik, kelima metode
tersebut memiliki ciri khas, klebihan dan kekurangan masing masing
seperti berikut ini.
1. Negosisasi-Negosisasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara
damai yang cukup lama di pakai, sampai pada permulaan abad 20,
negosiasi merupakan satu satunya cara yang di pakai dalam menyelesaikan
sengketa. Hingga kini, cara penyelesaian melalui negosiasi biasanya
adalah cara yang pertama kali di tempuh oleh para pihak yang
bersengketa. Penyelesaian sengketa ini di lakukan secara langsung oleh
para pihak yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikutsertaan pihak
ketiga.
2. Enquiry atau penyelidikan. J.G.Starke merills menyatakan bahwa salah satu
penyebab munculnya sengketa antara negara adalah karna adanya ketidak
sepakatan antara para pihak mengenai fakta. Untuk menyelesaiakan
sengketa seperti kasus di atas, akan tergantung pada penguraian fakta-fakta
para pihak yang tidak di sepakati untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
Para pihak kemudian membentuk sebuah badan yang bertugas untuk
menyelidiki fakta fakta yang terjadi di lapangan, fakta-fakta yang di
temukan ini kemudian di laporkan kepada para pihak, sehingga para pihak
dapat menyelesaikan sengketa di antara mereka.
3. Mediasi ketika negara negara yang menjadi para pihak ke dalam suatu
sengketa internasional tidak dapat menemukan pemecahan masalahnya
melalui negosiasi intervensi yang di lakukan oleh pihak ketiga adalah
sebuah cara yang mungkin untuk keluar dari jalan buntu perundingan yang
telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat di terima oleh kedua belah
pihak. Pihak ketiga yang melaksanakan mediasi ini tentu saja bersifat
netral dan independen sehingga dapat memberikan saran yang tidak
memihak salah satu negara yang tidak sengketa.
4. Konsiliasi sama seperti mediasi, penyelesaian sengketa melalui cara
konsiliasi menggunakan intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang
melakukan intervensi ini biasanya adalah negara, tapi bisa juga sebuah
komisi yang dibentuk oleh para pihak. Bedanya, komisi konsiliasi
dibentuk oleh para pihak dapat saja terlembaga atau bersifat ad hoc, yang
kemudian memberikan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para
pihak. Namun keputusan yang diberikan oleh komisi konsiliasi ini tidak
mengikat para pihak.
5. Good Offices atau Jasa-jasa Baik Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian
sengketa melalui bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga berupaya agar para
pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya dengan negosiasi.
Pada pelaksanaan di lapangan, jasa baik dapat dibedakan dalam dua
bentuk, yaitu jasa baik teknis (technical good offices), dan jasa baik politis
(political good offices).
B. menyelesaikan Sengketa Secara Hukum
Penyelesaian sengketa melalui jalur hukum atau judicial
settlement juga dapat menjadi pilihan bagi subyek hukum internasional
yang bersengketa satu sama lain. Bagi sebagian pihak, bersengketa melalui
jalur hukum seringkali menimbulkan kesulitan, baik dalam urusan
birokrasi maupun besarnya biaya yang dikeluarkan. Namun yang menjadi
keuntungan penyelesaian sengketa jalur hukum adalah kekuatan hukum
yang mengikat antara masing-masing pihak yang bersengketa.
a. Arbitrase Hukum internasional telah mengenal arbitrase sebagai alternatif
penyelesaian sengketa, dan cara ini telah diterima oleh umum sebagai cara
penyelesaian sengketa yang efektif dan adil. Para pihak yang ingin
bersengketa dengan menggunakan metode arbitrase dapat menggunakan
badan arbitrase yang telah terlembaga, atau badan arbitrase ad hoc.
b. Pengadilan Internasional atau judicial settlement. Selain arbitrase, lembaga
lain yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa internasional
melalui jalur hukum adalah pengadilan internasional. Pada saat ini ada
beberapa pengadilan internasional dan pengadilan internasional regional
yang hadir untuk menyelesaikan berbagai macam sengketa internasional.
Misalnya International Court of Justice (ICJ), International Criminal
Court, International Tribunal on the Law of the Sea, European Court for
Human Rights, dan lainnya. Penyelesaian sengketa internasional melalui
jalur hukum berarti adanya pengurangan kedaulatan terhadap pihak-pihak
yang bersengketa. Karena tidak ada lagi keleluasaan yang dimiliki oleh
para pihak, misalnya seperti memilih hakim, memilih hukum dan hukum
acara yang digunakan. Tetapi dengan bersengketa di pengadilan
internasional, maka para pihak akan mendapatkan putusan yang mengikat
masing-masing pihak yang bersengketa.
C. Menyelesaikan sengketa secara Negoisasi merupakan alternatif
terbaik dalam kasus penyerangan Terhadap Kedutaan Besar
Amerika Serikat di Benghazi Libya
Dari berbagai cara-cara, penyelesaian sengketa secara diplomatik
yang telah di jelaskan, negosaiasi memegang peranan utama dalam
penyelesaian sebuah sengketa karena penggunaan prosedur ini memang
tidak memiliki resiko yang cukup tinggi. Penyelesaian sengketa secara
negoisasi memang menekankan kepada penyelesaian sengketa secara
damai dan tidak menggunakan kekerasan. Berdasarkan hal inilah negara-
negara dalam praktek hukum internasional, memberikan dasar hukum
pelaksanaan penyelesaian sengketa secara diplomatik yaitu negoisasi
melalui berbagai perjanjian internasional penyelesaian sengketa
internasional secara diplomatik. Memang dalam penyelesaian secara
negoisasi negara yang bersengketa lebih leluasa dalam menentukan hal
apa yang dapat dijadiakan dan penentuan seperti apa yang layak dan adil
di dalam memeberikan suatu penyelesaiannya. Dikembalikan lagi ke
dalam pasal 33 piagam PBB dimana penyelesaian sengketa internasional
bertolak ukur pada perdamaian kedua belah pihak dan seadil-adilnya
dalam keputusanya. Dalam kasus insiden yang terjadi di Beghazi Libya
diamana pihak dari negara pengirim yaitu Amerika Serikat yang dirugikan
dapat meminta penyelesaian secara diplomatik yaitu negoisasi karena
keuntungan penyelesaian secara negoisasi diukur dari segala aspek.
Dimana negara yang dirugikan leluasa meminta bentuk ganti rugi apa
sesuai kesepakan negara yang berkepentingan. Jadi upaya negoisasi lah
yang dapat mewakili keinginan negara yang dirugikan karena
kesepakatanlah yang dapat menjembatani hak dan kewajiban secara adil
dimana negara yang berkepentingan memegang peran untuk terlaksanaya
lahirnya kedamaian.
D. PENUTUP
D.1 Kesimpulan
1. Pemerintah Libya wajib bertanggung jawab atas insiden tersebut karena
memenuhi dua unsur tanggung jawab negara di antaranya ada perbuatan atau
kelalaian (act or omission) yang dapat dipertautkan (imputable) kepada suatu
negara, dan perbuatan atau kelalaian itu merupakan suatu pelanggaran
terhadap suatu kewajiban internasional, baik kewajiban itu lahir dari
perjanjian maupun dari sumber hukum internasional lainnya. Pemerintah
Libya selaku negara penerima wajib bertanggung jawab berdasarkan Konvensi
Wina 1961 Pasal 22 Ayat (2). Atas dasar hal ini, pemerintah Libya wajib
melakukan dua hal kepada Amerika Serikat, di antaranya yang pertama adalah
satisfaction atau melalui perundingan diplomatik dan permohonan maaf
secara resmi atau jaminan tidak akan terulangnya perbuatan itu. Selanjutnya
yang kedua adalah pecuniary reparation atau perbaikan dan pemberian
kompensasi atas kerugian yang ditimbulkan, baik materiil maupun imaterial.
2. Sebagai pihak yang dirugikan, Amerika Serikat dapat meminta tanggung
jawab pemerintah Libya dengan jalan penyelesaian secara diplomatik yaitu
negoisasi mengingat keuntungan penyelesaian secara negoisasi ini mampu
diukur dari segala aspek. Negara yang dirugikan bisa dengan leluasa meminta
bentuk ganti rugi apa sesuai kesepakan negara yang berkepentingan. Jadi,
upaya negoisasi lah yang dapat mewakili keinginan negara yang dirugikan
karena kesepakatan yang dapat menjembatani hak dan kewajiban secara adil
dimana negara yang berkepentingan memegang peran untuk terlaksanaya
lahirnya kedamaian. Pertimbangan yang menguatkan ini adalah upaya
penyelesaian dengan cara cara kekerasan tidak di gunakan lagi semenjak
lahirnya “the hegue peace confrence” pada tahun 1899 dan 1907, yang
kemudian menghasilkan Convetion On The Pacific Settlements of
Internasional Disputes 1907.
D.2 SARAN
1. Bagi negara
Pemerintah Libya dalam hal ini adalah sebagai negara penerima perwakilan
diplomatik dari Amerika Serikat yang seharusnya memberikan perlindungan
yang terbaik terhadap negara lain yang diakreditasikan diwilayahnya yaitu
Amerika Serikat, dan negara penerima harus mengambil langkah-langkah
yang diperlukan agar tercapainya suatu pelindungan yang baik untuk menjaga
harkat dan martabat misi diplomatik tersebut, agar tidak akan terjadi lagi
kegiatan yang menimbulkan membahayakan dan melahirkan kerugian bahkan
kematian
2. Bagi Warga Negara
Warga negara wajib menjalin hubungan positif yang tidak memicu
pertengkaran sesamanya. Kericuhan yang menyebabkan digempurnya
kedutaan Amerika Serikat di Benghazi Libya hingga menewaskan Duta Besar
dan tiga staf kedutaanya akibat pendemo warga Libya tersebut menjadi
pelajaran penting. Bahwasanya, masyarakat tidak boleh terpancing hingga
membuat vandalisme. Begitu pula sebaliknya, seorang warga tidak boleh
menghina hal-hal yang berbau SARA. Seorang warga harus sadar manakala
dia melakukan perbuatan yang secara terang-terangan melakukan perbuatan
berkaitan dengan SARA itu, akan memicu pertengkaran yang besar sehingga
konflik yang berimbas pada ketegangan kedua negara.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
A. Masyhur Effendi, 1993, Hukum Diplomatik Internasional, Hubungan
Politik Bebas Aktif Asas Hukum Diplomatik Dalam Era Ketergantungan
Antar Bangsa, Usaha Nasional, Surabaya.
Andrey Sujatmoko, 2000, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Berat
HAM, Indonesia, Timor Leste dan lainya, Grasindo, Jakarta.
Ali Sastromidjojo, 1971, Pengantar Hukum Internasional, jakarta
Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, 2009, Hukum Humaniter
Internasional Dalam Studi Hubungan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta
Arie Siswanto, 2005, Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional,
Ghalia Indonesia, Bogor
Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam
Era Dinamika Global, PT. Alumni, Bandung.
C de Rover, To serve and to Protect Human Right and Humantarian Law for
Police and Security Forces, Geneva, ICRC, 1996.
D.J. Harris, 1988, Cases and Material on International Law, London, Sweet and
Maxwell.
Elizabeth A. Martin (Ed.), 2002, A Dictionary of Law, Oxford University, New
York.
Edy suryono,1992, Perkembangan Hukum Diplomatik, Mandar maju, Bandung
Gutteridge, 1947, Immunites of the Subordinate Diplomatic staff, Brit, Y.B. Int.
L.
Hingorani, 1991, Modern International Law, Edisi ke-2, dalam Huala Adolf:
Aspek Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Jakarta, Rajawali.
Hillier, Tim, 1998 ,Sourcebook On Public International Law, Cavendish
Publishing
Limited,UK
Haryomataram, 2002, Konflik Bersenjata dan Hukumnya, Universitas Trisakti,
Jakarta
Ian Brownlie, 1992, Principles Of Public International, Oxford, Clarendon Press
J.G Starke, 1989, Pengantar Hukum Internasional Edisi Ke-10, Sinar Grafika,
Jakarta.
Johnny Ibrahima, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (edisi
revisi), Bayumedia Publishing, Jakarta.
James Crawford, 2002, The International Law Commission’s Articles On State
Responsibility, cambrides University Press
Mochtar Kusumaatmadja, 1990, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta,
Bandung.
Malcolm N Shaw, 1977, International Law, Cambridge University Press,
Cambridge.
M.N. Shaw, 1986, International Law, Butterworths.
Martin Dixon dan Robert McCorquodale, 2003, Cases and Materials On
International Law, New York, Oxford University Press
Rebecca M. M Wallace, 2002, International Law, Fourth Edition, Sweet &
Maxwell, London.
Setyo Widagdo dan Hanif Nur Widhiyanti, 2008, Hukum Diplomatik Dan
Konsuler, Bayumedia, Malang.
Sumaryo Suryokusumo, 1995, Hukum Diplomatik Teori Dan Kasus, PT Alumni,
Jakarta.
Suwardi Wiraatmaja, 1970, Pengantar Hubungan Internasional, Alumni,
Bandung.
Syahmin ak, 1998, hukum diplomatik, armico, bandung,
T.May Rudy, 2006, Hukum Internasional 1, Refika Aditama, Bandung.
Vinogradoff, 1923, Bibliotheca Visseriana Dissertationum jus Internationale
Illustratium (1923) Vol 1.
Jurnal dan Makalah
Draft Articles on Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts 2001
20 American Journal of International Law, spec.supp. 149 (1926)
Hazem Atlam, 1987, National Liberation Movements and International
Responsibility, dalam Marina Spinedi dan Bruno Simma (edit), United
Nation Codification of State Responsibility, New York; Oceana
Publications, Inc.
Mieke Komar Kantaatmadja, Tanggung Jawab Negara dan Individu dalam
Hukum internasional, Makalah disampaikan pada Penataran Tindak Lanjut
Dosen Hukum Humaniter Internasional Indonesia Bagian Barat, di Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya.
Nussbaum, A Concise History Of The Law Of Nations (edisi revisi 1954) hal1 dst,
S korff, Hague Recueil (1923) vol 1, hal 17-22, H. Chatterje, International
law and Inter-State Relations in Ancient India (1958), Artikel, “ History Of
The Law of Nations” dalam Encyclopedia of International Law Vol7 (1984)
dan Pengantar Sejarah kepada Henkin, Pugh,Schactar and Smit,
International Cases and Materials (2nd
edn, 1987).
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Sumaryo Suryokusumo dalam Ilmu
Hukum, Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 27 Agustus 1994 dengan judul
“Perlunya Dilindungi dan Martabat Perwakilan Asing di Sesuatu Negara”
Depdikbud, Unpad, Bandung, 1994.
Prof Charles Cheney Hyde, Interntional law (2nd
edn,1947) vol 1, aliena 1,
Revised statment fo the foreign relation law of the united states (1986) dari
the american law institut.
Internet
Anne Hira, Melongok Sejarah Hukum Diplomatik diakses
http://www.anneahira.com/ sejarah-hukum.htm, pada tanggal 21 November
2012.
Anonymous, Hukum Internasional diakses dari http://www.republika.co.id/berita/
internasional/ global, pada tanggal 15 oktober 2012.
Masniam, Sejarah