tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...
Transcript of tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...
i
TESIS
TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA
DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK
NI MADE TRISNA DEWI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2011
i
TESIS
TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA
DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK
NI MADE TRISNA DEWI NIM : 0790561070
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2011
ii
TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA
DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI MADE TRISNA DEWI NIM : 0790561070
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2011
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 16 NOPEMBER 2010
Pembimbing I, Pembimbing II, (Prof. R. A. Retno Murni, SH, MH, Ph.D.) (Dr. I.B. Wyasa Putra, SH., MH.) NIP. 194411261980032001 NIP. 1962073119880311003
Mengetahui Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH.SU. Prof. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 195604191983031003 NIP. 195902151985102001
iv
TESIS INI DIUJI PADA TANGGAL 16 NOPEMBER 2010
PANITIA PENGUJI TESIS BERDASARKAN SK REKTOR UNIVERSITAS UDAYANA
NOMOR : 0763/H14.4/HK/2010 TANGGAL 3 MEI 2010
Ketua : Prof. R.A. Retno Murni, SH.MH.Ph.D.
Sekretaris : Dr. I.B. Wyasa Putra, SH.MH.
Aggota : 1. Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH.SU.
2. I.B. Putra Atmaja, SH.MH.
3. Dewa Gede Rudy, SH.MH.
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang
Widhi Wasa), bahwa atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan
karya ilmiah tesis yang berjudul “TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP
MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN
KREDIT BANK”.
Penulisan tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat dalam
menyelesaikan program pendidikan Strata Dua (S2) pada Program Studi Magister
Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Dalam penyelesaian tesis ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan
dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada berbagai pihak, terutama yang terhormat :
1. Prof. Dr. Made Bakta, dr. Sp.Pd (K), Rektor Universitas Udayana yang telah
memberi kesempatan bagi penulis untuk mengikuti pendidikan di Program
Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.
2. Prof. Dr. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana, yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas
Udayana.
3. Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH, SU, Ketua Program Studi Magister Ilmu
Hukum Universitas Udayana dan Putu Gede Arya Sumertha Yasa, SH,MH,
selaku Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang
telah memberikan arahan dan petunjuk serta dukungan selama proses
perkuliahan, bimbingan dan penulisan tesis ini.
vi
4. Prof. R.A. Retno Murni, SH,MH,Ph.D, Pembimbing I yang telah banyak
membimbing dan memberikan arahan dalam penyelesaian tesis ini.
5. Dr. I. B. Wyasa Putra, SH, MH, Pembimbing II yang telah dengan sabar dan
tekun mengarahkan, membimbing serta memberi petunjuk dalam penyelesaian
tesis ini.
6. Para Dosen atau Staff Pengajar pada Program Studi Magister Ilmu Hukum
Universitas Udayana yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan selama
proses perkuliahan dan proses pembimbingan penulisan tesis ini.
7. Seluruh Staff Administrasi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum
Universitas Udayana yang telah banyak membantu dan memberikan
pelayanan administrasi selama proses perkuliahan dan penulisan tesis ini.
8. Bapak Made Sukerta, S.Sos. (Direktur BPR Padma Sesetan), Bapak Yohan
Kristian Wijaya, SH, Bapak A.A. Wirasila, SH, Ibu Renny H. Nendissa, SH. MH,
Bapak Jacob Hattu, SH, Bapak Ketut Sudra, In Trust Law Office (Bapak
Husein, SH, M.Pd, Bapak Made Kartika, SH, Bapak Ali Sadikin, SH), Dewa
Ayu Cinta, Mbok Komang, Mbok Gek Ratih yang telah banyak memberikan
dukungan dalam penulisan tesis ini.
9. Ayahanda Alm. Bagus Sugiartha, Ibunda Putu Kusumawati yang telah
memberikan dukungan, doa, cinta kasih yang begitu besar dan tak terhingga.
10. Ngakan Made Abdi Wahyudhi, ST yang telah memberikan rasa cinta dan
dukungan sepenuh hati.
11. Semua pihak yang tidak dapat penulis satu persatu yang telah banyak
memberikan bantuan dalam penyusunan tesis ini.
vii
Akhir kata, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini jauh dari kata
sempurna baik dari segi teknis penulisan maupun materi yang dikaji, dan oleh
karenanya kritik dan saran dari pembaca akan penulis terima dengan senang hati.
Namun demikian, penulis tetap berharap semoga karya tulis yang berupa tesis ini
ada manfaatnya bagi pembaca dan bagi pengembangan ilmu hukum di masa
mendatang.
Denpasar, April 2010
Penulis
viii
ABSTRAK
Tesis yang berjudul “Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya
Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank” merumuskan 2 (dua) permasalahan pokok, yaitu : (1) Bagaimana pengaturan tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit bank menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia; (2) Bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank terhadap masalah musnahnya benda jaminan fidusia.
Penelitian dalam kaitannya dengan penulisan tesis ini termasuk jenis penelitian hukum normative, yaitu penelitian hukum yang didasarkan pada data sekunder. Dalam penelitian ini dipergunakan pendekatan-pendekatan perundang-undnagan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach).
Hasil penelitian tesis ini menunjukkan : (1) Tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit bank menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia debitur tetap bertanggung jawab mengembalikan pinjaman kredit walaupun benda jaminan fidusia tersebut diasuransikan maupun tidak diasuransikan; (2) Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank terhadap masalah musnahnya benda jaminan fidusia sangat lemah karena jika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak perlindungan hukum tidak berjalan secara efektif bagi pihak-pihak yang dirugikan. Kata kunci : Tanggung Jawab, Musnahnya Jaminan Fidusia, Perjanjian
Kredit Bank
ix
ABSTRACT
The thesis entitled Debtor Responsibility Against Loss of Fiduciary Security Objects in Bank Credit Agreement formulates tow main problems, namely: (1) How is the arrangement of debtor responsibility against the loss of fiduciary security objects in a bank credit agreement according to Regulation Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Security; (2) How is the legal protection for parties in the bank credit agreement against destruction of object fiduciary issues.
This study which is in relation to the thesis is a normative legal study which is based on secondary data. There are two legal approaches used: they are statute approach and conceptual approach.
The result of the study shows that: (1) Debtor responsibility against loss of fiduciary security objects in a bank credit agreement according to Regulation Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Security in which debtor is still responsible for returning credit loan considering that the fiduciary security objects are under insurance or not; (2) Legal protection for parties in the bank credit agreement against destruction of object fiduciary issues is very weak because, in case there is a malpractice conducted by one of the parties, legal protection is not working effectively for those who are not benefitted. Key words: Responsibility, Loss of Fiduciary Security, Bank Credit
Agreement
x
RINGKASAN
Pembahasan tesis tentang “Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank” ini dibagi dalam 5 (lima) Bab Pembahasan.
BAB I, merupakan bagian awal yang diisi dengan uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis, metode penelitian.
BAB II, merupakan tinjauan umum yang dimaksudkan sebagai landasan operasional dalam penelitian. Uraian dalam BAB II ini diawali dengan pengertian perjanjian kredit, sifat perjanjian krdit, bentuk perjanjian kredit, lahirnya perjanjian kredit, hapusnya perjanjian kredit. Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan mengenai pengertian dan sejarah fidusia, dasar hukum jaminan fidusia, subjek dan objek jaminan fidusia, sifat-sifat jaminan fidusia, tata cara pembebanan jaminan fidusia.
BAB III, dalam bab ini dibahas mengenai tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam perjanjian kredit. Pada uraian bab ini akan diawali dengan pendeskripsian musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit, selanjutnya akan diuraikan mengenai pengaturan tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan yang musnah dalam perjanjian kredit.
BAB IV, dalam bab ini diuraikan tentang perlindungan hukum bagi para pihak terhadap musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit bank. Dalam uraian awal bab ini akan dibahas tentang dasar hukum penyelesaian masalah musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit bank, selanjutnya dibahas upaya penyelesaian masalah musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit bank, pembahasan terakhir mengenai perlindungan hukum bagi para pihak terhadap musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit bank.
BAB V, merupakan bagian penutup. Pada uraian penutup diawali dengan simpulan terhadap 2 (dua) permasalahan serta uraian dalam bahasan bab sebelumnya dilanjutkan dengan saran-saran yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Saran-saran yang diajukan adalah merupakan buah pikiran penulis sebagai solusi atau alternatif pemecahan atas permasalahan penelitian tesis ini.
xi
DAFTAR ISI
JUDUL ........................................................................................................ i
PERSYARATAN GELAR MAGISTER ...................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................. iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ....................................................... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... v
ABSTRAK ................................................................................................... viii
ABSTRACT ................................................................................................. ix
RINGKASAN ............................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah ..................................................... 1 Rumusan Masalah .............................................................. 6
Tujuan Penelitian ................................................................ 7
1.3.1 Tujuan Umum ........................................................ 7 1.3.2 Tujuan Khusus ....................................................... 7
Manfaat Penelitian ............................................................. 8
Manfaat Teoritis ..................................................... 8 Manfaat Praktis ...................................................... 8
Landasan Teoritis ............................................................... 9
Metode Penelitian .............................................................. 22 1.6.1 Jenis Penelitian ........................................................ 22 1.6.2 Jenis Pendektan ...................................................... 23 1.6.3 Sumber Bahan Hukum ............................................ 24 1.6.4 Pengumpulan Bahan Hukum ................................... 25 1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ................................ 25
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN
JAMINAN FIDUSIA
2.1 Perjanjian Kredit ................................................................ 27 2.1.1 Pengertian Perjanjian Kredit .................................. 27 2.1.2 Sifat Perjanjian Kredit ............................................ 34
xii
2.1.3 Bentuk Perjanjian Kredit ........................................ 39 2.1.4 Lahirnya Perjanjian Kredit...................................... 44 2.1.5 Hapusnya Perjanjian Kredit .................................... 45
2.2 Jaminan Fidusia ................................................................. 48 2.2.1 Pengertian dan Latar Belakang Lahirnya Jaminan
Fidusia .................................................................. 48 2.2.2 Dasar Hukum Jaminan Fidusia .............................. 64 2.2.3 Subjek dan Objek Jaminan Fidusia ........................ 67 2.2.4 Sifat-Sifat Jaminan Fidusia ..................................... 72 2.2.5 Tata Cara Pembebanan Jaminan Fidusia ................ 81
BAB III TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP BENDA JAMINAN FIDUSIA YANG MUSNAH DALAM PERJANJIAN KREDIT 3.1 Pendeskripsian Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam
Perjanjian Kredit ................................................................. 90
3.2 Pengaturan Tanggung Jawab Debitur Terhadap Benda Jaminan Yang Musnah Dalam Perjanjian Kredit ................ 94
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK
TERHADAP MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK 4.1 Dasar Hukum Penyelesaian Masalah Musnahnya Benda
Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank................... 102
4.2 Upaya Penyelesaian Masalah Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank ................................ 114
4.3 Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank ........................................................................ 119
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ........................................................................ 132
5.2 Saran .................................................................................. 133 DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Kegiatan perekonomian terus berlangsung di manapun dan oleh
siapapun sebagai pelaku usaha, baik pribadi, badan hukum privat atau publik,
bahkan oleh gabungan orang yang bukan badan hukum sekalipun. Tidak dapat
disangkal bahwa kegiatan tersebut dilakukan oleh siapapun sebagai bagian dari
upaya peningkatan perekonomian negara. Salah satu faktor yang menjadi
modal penting untuk menjalankan dan mengembangkan suatu usaha ekonomi
tersebut adalah dana atau uang.
Dana atau uang yang dibutuhkan guna pelaksanaan dan pengembangan
usaha dapat diperoleh dengan cara pinjaman atau kredit melalui jasa
perbankan. Bagi kalangan pengusaha dan atau pelaku usaha, pinjam meminjam
merupakan kegiatan yang mewarnai dinamika pengembangan usaha.
Kegiatan pinjam meminjam uang adalah kegiatan yang telah dilakukan
sejak lama dalam kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat
pembayaran. Dalam kegiatan pinjam meminjam uang yang terjadi di
masyarakat dapat diperhatikan bahwa umumnya sering dipersyaratkan adanya
penyerahan jaminan utang oleh pihak peminjam kepada pihak pemberi
pinjaman. Jaminan utang dapat berupa barang (benda) sehingga merupakan
jaminan kebendaan dan atau berupa janji penanggungan utang sehingga
2
merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak
kebendaannya kepada pemegang jaminan.
Berbagai lembaga keuangan, terutama bank konvensional, telah
membantu pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan perekonomian dengan
memberikan pinjaman uang antara lain dalam bentuk kredit perbankan. Jasa
perbankan memiliki peranan yang besar dalam mendorong perekonomian
nasional.
Pada dasarnya, pemberian kredit oleh bank diberikan kepada siapa saja
yang memiliki kemampuan untuk membayar kembali dengan syarat melalui
suatu perjanjian utang piutang di antara kreditur dan debitur.1 Perjanjian kredit
yang dibuat oleh bank kepada debitur merupakan salah satu aspek yang sangat
penting dalam pemberian kredit. Perjanjian kredit merupakan ikatan antara
kreditur dan debitur yang isinya menentukan dan mengatur hak dan kewajiban
kedua belah pihak sehubungan dengan pemberian kredit.
Perjanjian kredit dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak ada pengaturannya apakah dibuat
secara tertulis atau lisan, akan tetapi pada umumnya yang terjadi pada setiap
bank adalah setiap debitur yang meminjam uang di bank harus mengajukan
1 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Jaminan Fidusia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 1.
3
permohonan kredit yang diajukan secara tertulis kepada pihak bank, tanpa
harus melihat berapa jumlah kredit yang diminta.2
Jasa perbankan dalam membantu bidang perekonomian bukanlah tanpa
resiko. Resiko usaha yang terjadi di kalangan perbankan justru terutama
menyangkut pemberian kredit. Pemberian kredit oleh bank pada dasarnya
harus dilandasi keyakinan bank atas kemampuan dan kesanggupan debitur
untuk melunasi utangnya.
Jaminan adalah merupakan sarana perlindungan bagi keamanan
kreditur, yaitu kepastian atas pelunasan utang debitur atau pelaksanaan suatu
prestasi oleh debitur atau oleh penjamin debitur. Keberadaan jaminan
merupakan persyaratan untuk memperkecil resiko bank dalam menyalurkan
kredit.
Terhadap barang atau benda milik debitur yang dijadikan jaminan, akan
dibuat perjanjian pembebanannya yang disebut perjanjian jaminan. Perjanjian
jaminan ini timbul karena adanya perjanjian pokok, yang berupa perjanjian
pinjam meminjam atau perjanjian kredit. Tidak mungkin ada perjanjian
jaminan tanpa adanya perjanjian pokoknya. Perjanjian jaminan tidak dapat
berdiri sendiri, melainkan selalu mengikuti perjanjian pokoknya. Apabila
perjanjian pokok berakhir, maka perjanjian jaminan juga akan berakhir atau
hapus. Sifat perjanjian jaminan adalah merupakan perjanjian asesor
2 Hermansyah, 2003, Hukum Perbankan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 68.
4
(accessoir). Perjanjian jaminan merupakan perjanjian khusus yang dibuat oleh
kreditur dengan debitur atau pihak ketiga yang membuat suatu janji dengan
mengikatkan benda tertentu atau kesanggupan pihak ketiga dengan tujuan
memberikan keamanan dan kepastian hukum pengembalian kredit atau
pelaksanaan perjanjian pokok.3
Terhadap benda milik debitur yang dijadikan jaminan kredit, bisa
berupa benda bergerak dan bisa pula benda tidak bergerak atau benda tetap.
Apabila yang dijadikan jaminan kredit adalah benda tidak bergerak atau benda
tetap, maka ketentuan undang-undang menetapkan pembebanan atau
pengikatannya menggunakan Hipotik atau Hak Tanggungan, sedangkan
apabila yang dijadikan obyek jaminan itu adalah benda bergerak, maka
pengikatannya bisa memakai Gadai atau Fidusia. Adanya pembagian benda-
benda menjadi benda bergerak dan tidak bergerak, membawa konsekuensi
berbedanya lembaga jaminan yang digunakan atau diterapkan, ketika benda-
benda tersebut dijadikan jaminan utang.
Benda yang dijadikan jaminan kredit pada bank, di samping jaminan
benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan, kapal berukuran 20 meter kubik
ke atas, kereta api termasuk mesin pabrik yang melekat dengan tanah juga
jaminan benda bergerak seperti kendaraan bermotor. Meskipun demikian, pada
umumnya benda bergerak yang digunakan sebagai jaminan kredit. Terkait
3 Djuhaendah Hasan, 1996, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Azas Pemisahan Horizontal, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 236.
5
dengan benda bergerak yang digunakan sebagai jaminan, umumnya debitur
sebagai pemilik jaminan tetap ingin menguasai bendanya digunakan untuk
menjalankan kegiatan usaha atau aktivitasnya. Dengan demikian, menurut
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1992 tentang Jaminan Fidusia, lembaga
jaminannya adalah fidusia. Pemberian fidusia dilakukan melalui proses yang
disebut dengan ”Constitutum Prossesorium” (penyerahan kepemilikan benda
tanpa menyerahkan fisik bendanya).4
Perjanjian kredit yang terjadi antara pihak bank dengan pihak debitur
dalam prakteknya kadangkala terjadi tidak sesuai dengan keinginan para pihak.
Perjanjian kredit tersebut dapat menimbulkan masalah yang tidak diinginkan.
Benda jaminan yang diberikan oleh pihak debitur kepada pihak bank terutama
pada benda jaminan seperti kendaraan bermotor, peralatan mesin yang
dibebani jaminan fidusia ternyata musnah dan nilai dari benda bergerak
tersebut setiap tahun akan menyusut. Musnahnya benda jaminan dapat
disebabkan karena terjadi pencurian, kebakaran, dan lain-lain.
Pasal 25 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia mengatur sebagai berikut :
(1) Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut : a. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia; b. Pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh penerima Fidusia; atau c. Musnahnya Benda yang menjadi Objek Jaminan Fidusia.
(2) Musnahnya Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b.
4 Munir Fuady, 2002, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Munir Fuady I), hal. 152.
6
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia mengatur tentang pengecualian terhadap pembebanan jaminan atas
benda atau piutang yang diperoleh dengan perjanjian jaminan tersendiri yaitu
pada huruf (b) yaitu Jaminan Fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal benda
yang menjadi objek Jaminan Fidusia diasuransikan.
Jika mengkaji Pasal 25 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia tersebut di atas, maka tidak jelas atau adanya kekaburan
pengaturan tentang indikator musnahnya jaminan fidusia dan lebih lanjut juga
terjadi ketidakjelasan pengaturan tentang tanggung jawab pihak-pihak dalam
perjanjian khususnya dalam hal perjanjian kredit di bank. Selain itu, tidak jelas
perlindungan hukum bagi para pihak karena musnahnya jaminan fidusia.
Dengan demikian, penting untuk melakukan penelitian terkait dengan
adanya kekaburan norma (Vague van Normen)5 terhadap tanggung jawab
debitur terhadap musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit
bank.
Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah, sebagaimana disampaikan di
atas, maka dapat dirumuskan dua pokok masalah sebagai berikut :
5 Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum Program Studi
Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, 2006, Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar, (selanjutnya disebut Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana I), hal. 8.
7
Bagaimana pengaturan tanggung jawab debitur terhadap benda
jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit
bank menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia ?
Bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak dalam
perjanjian kredit bank terhadap masalah musnahnya benda
jaminan fidusia ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah dalam kerangka
pengembangan ilmu hukum sehubungan dengan paradigma science as a
process (ilmu sebagai suatu proses).6 Paradigma ilmu tidak akan berhenti
dalam penggaliannya atas kebenaran dalam bidang lembaga jaminan fidusia,
khususnya yang berkaitan dengan tanggung jawab debitur terhadap musnahnya
benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit menurut Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan tanggung jawab debitur
terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu
6 Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Tesis dan Disertasi, 2007, Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, hal. 30.
8
perjanjian kredit menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan perlindungan hukum bagi para
pihak dalam perjanjian kredit terhadap masalah musnahnya benda
jaminan fidusia.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat
positif bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya bidang hukum jaminan
fidusia yang keberadaannya sangat dibutuhkan berkaitan dengan aktivitas
lembaga keuangan bank.
1.4.2. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi yang berupa masukan bagi pemerintah maupun
lembaga perbankan dalam rangka melaksanakan ketentuan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, terutama ketentuan yang
menyangkut tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan
fidusia dalam perjanjian kredit serta perlindungan hukum bagi para pihak
dalam perjanjian kredit bank.
9
1.5. Landasan Teoritis
Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua atau
lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut
merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara
empiris.7 Oleh sebab itu dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori
merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji
kebenarannya.8
Tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan fidusia
dalam perjanjian kredit tidak terlepas dari peranan bank sebagai lembaga
intermediasi, memiliki fungsi sebagai perantara keuangan. Dalam peranannya,
terdapat hubungan antara bank dan nasabah didasarkan pada dua unsur yang
saling terkait, yaitu hukum dan kepercayaan. Suatu bank hanya dapat
melakukan kegiatan dan mengembangkan banknya, apabila masyarakat
”percaya” untuk menempatkan uangnya dalam produk-produk perbankan yang
ada pada bank tersebut. Berdasarkan kepercayaan masyarakat tersebut, bank
dapat memobilisasi dana dari masyarakat untuk ditempatkan di banknya dan
menyalurkan kembali dalam bentuk kredit serta memberikan jasa-jasa
perbankan.
Bank sebagai lembaga keuangan adalah badan usaha yang menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan kemudian dana yang dihimpun
7 Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 19.
8 Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I), hal. 30.
10
tersebut disalurkan kembali dalam bentuk pemberian kredit atau pembiayaan
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dengan demikian,
fungsi konvensional dari bank adalah di samping menghimpun dana dari
masyarakat, juga memberi pinjaman (menyalurkan kredit) kepada masyarakat.9
Sutan Remmy Syahdeini memberikan batasan bahwa perjanjian kredit
memiliki pengertian secara khusus, yaitu perjanjian antara bank sebagai
kreditur dengan nasabah sebagai nasabah debitur mengenai penyediaan uang
atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah-
nasabah debitur untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu dengan
jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan.10
Terkait dengan perjanjian kredit, Sutarno berpendapat bahwa perjanjian
kredit dibuat untuk kepastian hukum akan hak dan kewajiban dari masing-
masing pihak. Lahirnya perjanjian kredit memberi konsekuensi kepada kreditur
mengenai kepastian hukum bagi kreditur apabila debitur lalai dalam memenuhi
kewajibannya kepada kreditur.11
Pemberian kredit oleh pihak bank kepada pihak debitur tidak terjadi
begitu saja, tetapi harus melakukan informasi mengenai calon debiturnya
9 Sentosa Sembiring, 2000, Hukum Perbankan, Alumni, Bandung, hal. 8.
10 Sutan Remmy Syahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hal. 34.
11 Sutarno, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta, Bandung, hal. 92.
11
dengan menggunakan beberapa prinsip, dengan tujuan untuk mengurangi
resiko yang akan terjadi di kemudian hari, yaitu :
a. Prinsip 3R, yaitu :
1. Returns, yaitu penilaian atas hasil yang akan dicapai perusahaan calon debitur setelah memperoleh kredit.
2. Repayment, adalah perhitungan pengembalian dana, dari kegiatan yang mendapatkan pembiayaan atau kredit.
3. Risk Bearing Ability, adalah perhitungan besarnya kemampuan debitur dalam menanggapi resiko yang tak terduga.
b. Prinsip 4P, yaitu :
1. Personality, maksudnya mencari data lengkap dari kepribadian debitur.
2. Purpose, maksudnya tujuan penggunaan kredit apakah digunakan untuk kegiatan yang bersifat konsumtif atau produktif.
3. Prospect, maksudnya bank melakukan analisis yang cermat menyangkut masa depan dari kegiatan usaha yang dijalankan oleh debitur.
4. Payment, maksudnya mengenai cara pembayaran atau pelunasan kredit dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
c. Prinsip 5C, yaitu :
1. Character, maksudnya pihak bank mengetahui watak atau sifat-sifat dari calon debiturnya.
2. Capacity, maksudnya kemampuan debitur dalam memimpin suatu perusahaan dengan baik dan benar.
3. Capital, maksudnya permodalan dari debitur apakah sehat atau tidak sehat.
4. Condition of Economic, maksudnya kondisi perekonomian pada umumnya dan bidang usaha pemohon kredit pada khususnya.
5. Collateral, maksudnya adalah kemampuan calon debitur untuk memberikan agunan, memenuhi persyaratan yang ditentukan bank.
12
d. Prinsip 7P, yaitu :
1. Personality, maksudnya pihak bank mengetahui watak atau sifat-sifat dari calon debiturnya.
2. Party, maksudnya pengklasifikasian atau penggolongan calon debitur.
3. Purpose, maksudnya tujuan penggunaan kredit oleh calon debitur.
4. Prospect, maksudnya menganalisis prospek perusahaan pemohon kredit di masa yang akan datang.
5. Payment, maksudnya mengetahui bagaimana pembayaran kembali kredit yang diberikan oleh pihak bank.
6. Profitability, adalah untuk menganalisis kemampuan nasabah mendapatkan laba.
7. Protection, maksudnya agar usaha dan jaminan mendapatkan perlindungan.12
Dalam memberikan kredit kepada warga masyarakat, bank menerapkan
prinsip The Five ”C”. Bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis
yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan masyarakat
(debitur) bahwa yang bersangkutan akan dapat melunasi utangnya sesuai
dengan perjanjian. Guna memperoleh keyakinan atas kemampuan dan
kesanggupan debitur dalam melunasi utangnya, maka bank wajib melakukan
penilaian yang seksama terhadap watak (character), kemampuan (capacity),
modal (capital), situasi ekonomi (condition of economic) dan agunan
(collateral).13
12 Rachmadi Usman, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 246-250.
13 Anak Agung Bagus Purnawan, 2007, Pembebanan Benda Bergerak Sebagai Jaminan Kredit Menurut Undang-Undang Fidusia dan Prakteknya pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Kabupaien Badung, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal. 5.
13
Pada kenyataannya, dalam praktek pemberian kredit oleh bank, agunan
(collateral) selalu menjadi faktor pertimbangan yang paling menentukan untuk
dapat dikabulkannya permohonan kredit dari masyarakat (debitur). Kredit yang
diberikan kepada debitur harus diamankan, dalam arti harus dapat dijamin
pengembalian atau pelunasannya. Dalam rangka memberikan keamanan dan
kepastian pengembalian kredit dimaksud, kreditur perlu meminta agunan untuk
kemudian dibuatkan perjanjian pengikatannya.14
Menurut Johannes Ibrahim, bahwa dalam hubungannya dengan
pemberian kredit, jaminan hendaknya dipertimbangkan mengingat dua faktor,
yaitu :
1. Secured, artinya jaminan kredit dapat diadakan pengikatan secara
yuridis formal, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-
undangan. Jika di kemudian hari terjadi wanprestasi dari debitur, maka
pemberi kredit memiliki kekuatan yuridis untuk melakukan tindakan
eksekusi.
2. Marketable, artinya jaminan tersebut bila hendak dieksekusi dan segera
dijual atau diuangkan untuk melunasi seluruh kewajiban debitur.15
Dengan mempertimbangkan kedua faktor di atas, jaminan yang
diterima oleh bank dapat meminimalkan resiko dalam penyaluran kredit sesuai
dengan prinsip kehati-hatian. Dengan demikian, betapa pentingnya keberadaan
14 Muhammad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 397.
15 Johannes Ibrahim, 2004, Cross Default dan Cross Collateral sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 71.
14
jaminan dalam pemberian kredit. Apabila debitur tidak dapat melunasi kredit
sesuai dengan perjanjian, maka hak kebendaan yang dijadikan jaminan kredit
oleh kreditur akan dieksekusi untuk memenuhi pembayaran utang debitur yang
bersangkutan.
Kredit-kredit yang diberikan oleh bank perlu diamankan. Tanpa adanya
pengamanan, bank sulit mengelakan resiko yang datang, sebagai akibat dari
prestasinya nasabah. Pengamanan kredit merupakan suatu mata rantai kegiatan
bank dan suatu aspek yang penting dalam manajemen kredit, karena proses
pengamanan berjalan terus.
Langkah-langkah yang diambil bank dalam mengamankan kreditnya,
pada pokoknya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu pengamanan prefentif
dan pengamanan represif. Pengamanan prefentif adalah pengamanan yang
dilakukan untuk mencegah terjadinya kemacetan kredit. Sedangkan
pengamanan represif adalah pengamanan yang dilakukan untuk menyelesaikan
kredit-kredit yang telah mengalami ketidaklancaran atau kemacetan (debius).16
Dengan demikian, pengamanan kredit pada hakekatnya adalah memperkecil
resiko, bahkan sampai pada menghilangkan resiko yang mungkin timbul
maupun sudah timbul atau terjadi.
Dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia, maka hak dan
kewajiban masing-masing para pihak (debitur dan kreditur) dapat diuraikan
sebagai berikut :
16 Edy Putra Tje'Aman, 1989, Kredit Perbankan – Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yogyakarta, hal. 39.
15
a. Hak Debitur :
- Menerima atau menarik fasilitas kredit sesuai platfon yang telah disetujui debitur dan bank;
- Menggunakan atau menikmati objek jaminan fidusia; - Memperoleh sisa penjualan apabila dilakukan penjualan atau
pelelangan.
Kewajiban debitur antara lain :
- Membayar biaya-biaya (provisi, administrasi, dan biaya-biaya lainnya);
- Membayar bunga kredit; - Memberikan jaminan atau agunan; - Melakukan pengikatan jaminan kredit dengan fidusia (secara
notariil); - Membuka rekening atau tabungan di bank; - Memelihara objek jaminan, mengganti bagian objek jaminan yang
rusak; - Menyampaikan laporan secara periodik atas nilai objek
jaminan; - Mengasuransikan objek jaminan; - Tidak melakukan pengikatan jaminan dengan bank lain atas objek
yang sama.
b. Hak kreditur :
- Menerima biaya-biaya (provisi, administrasi, dan biaya lainnya); - Menerima bunga kredit; - Menerima angsuran kredit; - Menerima jaminan atau agunan; - Menjual objek jaminan atas title eksekutorial atau melalui
pelelangan umum atau melalui penjualan di bawah tangan berdasarkan kesepakatan dengan debitur;
- Memeriksa adanya dan keadaan objek jaminan fidusia.
Kewajiban kreditur antara lain :
- Memberikan atau mencairkan fasilitas kredit sesuai platfon yang telah disetujui debitur dan bank;
16
- Mengembalikan objek jaminan fidusia bila tidak lagi menjadi jaminan atau lunas dan menerbitkan surat roya.17
Fidusia menurut asal katanya berasal dari kata ”Fides”, yang berarti
kepercayaan. Sesuai dengan arti kata tersebut, maka hubungan antara debitur
dengan kreditur merupakan hubungan hukum berdasarkan kepercayaan.
Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau mengembalikan hak
milik barang yang telah diserahkan, setelah debitur melunasi hutangnya.
Sebaliknya, penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia akan melunasi
utangnya dan tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam
kekuasaannya.18
Apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji, tidak dapat
mengembalikan kredit tepat pada waktunya, maka mekanisme atau prosedur
pelaksanaan eksekusi atas barang yang menjadi jaminan fidusia adalah pihak
bank harus memberitahukan secara tertulis kepada mereka agar segera
menyerahkannya kepada bank. Setelah barang dikuasai oleh bank, maka
tindakan selanjutnya melaksanakan eksekusi jaminan fidusia.
Mekanisme atau prosedur pelaksanaan eksekusi atas barang yang
menjadi jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara :
17 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, 2008, Penetitian Hukum tentang Implementasi Jaminan Fidusia dalam Pemberian Kredit di Indonesia, Jakarta, hal. 64-65.
18 H.R. Daeng Naja, 2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 276.
17
a. Pelaksanaan titel eksekutorial dari Sertifikat Jaminan Fidusia (SJF) oleh
Penerima Fidusia.
b. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan
penerima fidusia (bank) melalui pelelangan umum dan mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.
c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan
pemberi (Debitur) dan penerima fidusia (Bank) jika dengan cara
demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para
pihak.19
Terkait dengan suatu perjanjian pada dasarnya akan menimbulkan
kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi. Jika debitur tidak
melakukan apa yang dijanjikannya, maka ia disebut wanprestasi. Jika pihak
kreditur yang lalai akan kewajibannya, maka ia disebut mora creditor.
Wanprestasi dari seorang debitur dapat berupa :
a. Tidak melakukan prestasi sama sekali.
b. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sesuai dengan yang
diperjanjikan.
c. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktu.
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya.20
19 Ibid, hal. 65-66.
20 R. Soebekti, 2001, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 45.
18
Terhadap resiko tersebut di atas, maka beberapa usaha yang
dilakukan oleh manusia untuk mengatasi resiko, yaitu :
1. Menerima resiko, apabila suatu resiko yang dihadapi oleh seseorang
diperkirakan tidak begitu besar atau usaha untuk menghindari,
mencegah, memperalihkan itu diperhitungkan lebih besar daripada
keuntungannya, maka orang yang menghadapi resiko itu mungkin akan
mengambil sikap, bahwa ia akan menerima saja resiko itu. Dengan kata
lain ia akan pasrah saja.
2. Menghindari resiko, menghindari atau menjauhi adalah suatu cara
menghadapi masalah yang penuh dengan resiko. Seseorang yang
menghindari atau menjauh dari suatu pekerjaan, suatu benda yang
penuh resiko, berarti dia berusaha menghindari resiko itu sendiri.
3. Mencegah resiko, dengan cara melakukan beberapa usaha sehingga
akibat yang tidak diharapkan, yang mungkin timbul akan dapat diatasi
atau dihindari.
4. Mengalihkan resiko, bahwa seseorang yang menghadapi resiko
meminta orang lain untuk menerima resiko tersebut. Ini dilakukan
dengan memperalihkan resiko tersebut berdasarkan suatu perjanjian.21
Adanya beberapa cara mengatasi resiko maka pengalihan resiko
merupakan cara yang paling efektif, karena dengan cara mengalihkan resiko
21 Man Suparman Sastrawidjaja, 2003, Aspek-Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, Alumni, Bandung, hal. 7.
19
kepada pihak lain yang telah disepakati tentunya pihak tersebut bersedia
mengambil alih resiko. Hal demikian berarti bahwa jika resiko atau peristiwa
yang tidak pasti benar-benar terjadi maka pihak yang bersedia menanggung
peralihan resiko tersebut adalah lembaga pertanggungan yaitu perusahaan
asuransi. Besarnya uang pertanggungan yang diterima tidak akan pernah
sebanding dengan akibat yang ditimbulkan karena kecelakaan, kerusakan,
kehilangan, dan cacat. Namun, setidaknya uang pertanggungan yang diterima,
dapat meringankan beban ganti rugi.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
tentang Usaha Perasuransian, pengertian Asuransi atau Pertanggungan adalah
perjanjian dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan
diri kepada pihak tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggungjawab hukum kepada
pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu
peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang
didasarkan atas meninggalnya atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan.
Dari pengertian tersebut, maka setiap orang yang ingin memperkecil
resiko yang akan terjadi karena peristiwa yang tidak pasti dapat dilakukan
dengan mengasuransikan segala sesuatu yang dapat menimbulkan resiko.
20
Manusia dalam mengarungi kehidupannya dan dalam setiap kegiatannya selalu
berhadapan dengan resiko.
Sehubungan dengan masalah kepatuhan atau ketaatan terhadap hukum
merupakan satu unsur saja dari persoalan yang lebih luas, yaitu kesadaran
hukum. Di samping itu masalah kepatuhan atau ketaatan, kesadaran hukum itu
menyangkut pula masalah pengetahuan, pengakuan, dan penghargaan terhadap
hukum.22
Ajaran Roscou Pound sehubungan dengan fungsi hukum dalam
masyarakat adalah law as a tool of social engineering (hukum sebagai proses
dari rekayasa sosial). Salah satu masalah yang dihadapi dalam hal ini adalah
apabila hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan ternyata tidak
efektif.23
Selanjutnya Roscou Pound mengemukakan pendapatnya bahwa hukum
sebagai institusi sosial diciptakan untuk :
Satisfy human, social want by giving effect to as much as we may with the least sacrifice, so far as such wants may be satisfied or such claims given effect by an ordering of human conduct through politically organized society. The essence of legal order was securing and protection of a variety of interests and necessitated the modification of traditional and in herifed legal codes to existing social condition.24
22 B. Arief Sidharta, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
23 Soerjono Soekanto,1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II), hal. 119.
24 I. B. Curzon, 1979, Jurisprudence, Macdonal & Evan Ltd, Estover Plymouth, hal. 148.
21
Pokok pikiran Roscou Pound adalah bahwa hukum bukanlah suatu
keadaan yang statis, tetapi merupakan suatu proses. Suatu pembentukan
hukum, interpretasinya maupun penerapannya hendaknya dihubungkan dengan
fakta-fakta sosial. Roscou Pound sangat menekankan pada efektivitas
bekerjanya hukum, dan untuk itu ia sangat mementingkan beroperasinya
hukum di masyarakat.25
Hukum sebagai salah satu norma sosial bertugas membingkai pola-pola
yang jumlah dan ragamnya banyak sekali, dan akhirnya hukum itu sendiri
memasuki aspek-aspek kehidupan sosial kemasyarakatan yang beraneka pula.
Dengan konfigurasi semacam itu, akhirnya dapat dipahami kalau hukum yang
ada dan berlaku dalam suatu kehidupan masyarakat pelaksanaannya akan
dipengaruhi oleh banyak aspek.26
Hukum yang mengatur kehidupan masyarakat dalam pelaksanaannya
sangat bergantung pada aspek-aspek kemasyarakatan, sehingga karenanya
tepat apa yang disampaikan oleh W. Friedman; “The self sufficiency of law is
an illusion. It is, to use a well known pharase by Moltke, a dream, but not even
a beautiful one”. Hukum sebagai norma sosial perkembangannya tidak semata
ditentukan oleh hukum itu sendiri, tetapi lebih bergantung pada masyarakat
dimana hukum itu berada.
Pada umumnya kesadaran hukum dikaitkan dengan ketaatan hukum
atau efektivitas hukum. Tidak dipungkiri memang ada hubungan antara
25 Yenny Candrawatie, 2006, Penerapan Ketentuan Jangka Waktu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam Proses Pengikatan Jaminan Kredit di Kota Denpasar, Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal. 22-23.
26 W. Friedmen, 1979, Legal Theory, Columbia University Press, New York, hal. 79.
22
kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efektivitas hukum. Ada pihak yang
mengatakan bahwa hukum berlaku secara faktual atau efektif, jika para warga
masyarakat untuk siapa hukum itu berlaku, mematuhi kaidah hukum tersebut.
Terkait dengan efektivitas hukum, Soerjono Soekanto menyatakan
bahwa ada empat faktor seseorang berperilaku tertentu, yaitu :
1. Memperhitungkan untung rugi.
2. Menjaga hubungan baik dengan sesamanya atau penguasa.
3. Sesuai dengan hati nuraninya.
4. Adanya tekanan-tekanan tertentu.27
Berkaitan dengan tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda
jaminan fidusia dalam perjanjian kredit dapat dipengaruhi oleh perilaku
seseorang. Dalam pengertian sejauhmana perilaku seseorang (debitur) dalam
menyelesaikan permasalahan musnahnya benda jaminan bergerak dalam
perjanjian kredit.
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Jenis Penelitian
Peter Mahmud Marzuki berpendapat, penelitian hukum adalah suatu
proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini
sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum.28
27 Soerjono Soekanto II, Op. Cit, hal. 19.
28 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, hal. 35.
23
Ada dua jenis penelitian hukum yang dikemukakan oleh Soerjono
Soekanto, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris atau
sosiologis.29 Jenis penelitian sehubungan dengan penyusunan tesis ini adalah
penelitian hukum normatif. Philipus M Hadjon berpendapat bahwa jenis
penelitian hukum normatif yaitu suatu penelitian yang terutama mengkaji
ketentuan-ketentuan hukum positif maupun asas-asas hukum.30
1.6.2. Jenis Pendekatan
Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang bertujuan
mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan diteliti.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah
pendekatan Undang-Undang (statute approach), pendekatan kasus (case
approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan
konseptual (conceptual approach).31
Berdasarkan permasalahan penelitian ini, maka penelitian ini
menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), yakni
dengan menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai bahan hukum
primer. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan
menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan
29 Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III), hal 147.
30 Philipus M Hadjon, 1997, Pengkajian Ilmu Hukum, Makalah Penelitian Metode Penelitian Hukum Normatif, Universitas Airlangga, Surabaya,hal.20.
31 Peter Mahmud Marzuki,Op.Cit.hal.93.
24
isu hukum yang sedang ditangani.32 Penelitian ini juga menggunakan
pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan konseptual beranjak
dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam
ilmu hukum.33
Dengan demikian, penelitian tentang pengaturan tanggung jawab
debitur terhadap musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit
bank menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan
konseptual.
1.6.3. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan
(Library Research). Penelitian kepustakaan ini dilakukan terhadap berbagai
macam sumber bahan hukum yang dapat digolongkan atas bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Pendapat Peter Mahmud Marzuki,bahan
hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-
undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-
undangan dan putusan-putusan hakim.34 Bahan-bahan hukum primer dalam
penelitian ini terdiri dari:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
- Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
32 Ibid 33 Ibid.hal.119.
34 Ibid. hal.140.
25
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Sedangkan bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.35 Publikasi tentang
hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, bahan hukum yang
bersumber dari literatur-literatur, jurnal ilmiah, dan lain-lain terkait dengan
persoalan yang sementara dikaji. Selain itu dipergunakan juga bahan hukum
penunjang seperti kamus.
1.6.4. Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara menginventarisir,
mempelajari dan mendalami bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier
yang terkait dengan penelitian ini. Bahan hukum yang diperoleh, dikumpulkan
dengan menggunakan sistem kartu (Card System). Kemudian dilakukan
pencatatan mengenai hal-hal yang dianggap penting dan berguna bagi
penelitian yang dilakukan.
Kartu-kartu diklasifikasikan atas kartu kutipan, kartu ikhtiar, dan kartu
ulasan, serta menurut rencana sistematika tesis. Kemudian diberikan identitas
seperti : sumber bahan yang dikutip, dan halaman.
1.6.5. Tehnik Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum terkait dengan kedua pokok permasalahan yang dibahas
selanjutnya dianalisis melalui langkah-langkah deskripsi, interpretasi,
35 Ibid.
26
sistematisasi, evaluasi, dan argumentasi.36 Pendeskripsian atau penggambaran
dilakukan untuk menentukan isi atau makna dari suatu bahan hukum
disesuaikan dengan pokok permasalahan yang ada. Pada tahapan ini dilakukan
pemaparan serta penentuan terhadap makna dari aturan-aturan hukum yang
terdapat didalam peraturan perundang-undangan di bidang sarana dan
prasarana umum, maupun pemaparan terhadap berbagai pendapat sarjana yang
terkait.
Tahap interpretasi dilakukan untuk memahami makna dari suatu norma,
terutama dalam hal ditemukan norma-norma yang kabur (vague norm). Setelah
bahan-bahan hukum dapat diidentifikasi secara jelas, maka dilanjutkan
melakukan sistematisasi.
Pada tahapan sistematisasi akan dilakukan pemaparan berbagai
pendapat hukum dan hubungan hirarkhis antara aturan-aturan hukum yang
berkaitan dengan isu hukum dalam penelitian ini. Pada tahapan ini juga
dilakukan koherensi antara berbagai aturan hukum dengan pendapat hukum
dari para sarjana yang berhubungan agar dapat dipahami dengan baik. Bahan
hukum yang telah tersistematisasi, baik berupa pendapat hukum maupun
aturan-aturan hukum selanjutnya dilakukan evaluasi dan diberikan pendapat
atau argumentasi disesuaikan dengan koherensinya terhadap permasalahan
yang dibahas.
36Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum Program
Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana , Op. Cit, hal. 8, 9.
27
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN JAMINAN FIDUSIA
2.1 Perjanjian Kredit
2.1.1 Pengertian Perjanjian Kredit
Sebelum menguraikan lebih banyak tentang perjanjian kredit, maka
sebelumnya perlu diuraikan tentang pengertian perjanjian. Dalam memahami
istilah dan pengertian perjanjian, perlu juga dipahami tentang istilah dan
pengertian kontrak. Ada yang menyatakan kalau kontrak itu adalah perjanjian
yang bentuknya tertulis. Istilah kontrak dalam bahasa Indonesia berasal dari
istilah ”Contract" dalam bahasa Inggris.
Black’s Law Dictionary mengartikan istilah “Contract” sebagai “an
agreement between two or more persons which creates an obligation to do or
not to do a peculiar thing”37 yang berarti bahwa kontrak merupakan suatu
perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus.
Dalam sistem hukum Indonesia yang menganut sistem Eropa
Kontinental (Civil Law Legal System), istilah kontrak dikenal dengan
Perjanjian (Overrenkomst). Menurut Pasal 1313 BW (KUH Perdata),
37 Soedjono Dirjosisworo. 2003. Kontrak Bisnis Menurut Sistem Vicil Law, Common Law dan Praktek Dagang International, Mandar Maju, Bandung, hal. 65.
28
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.38
Pengertian perjanjian sebagaimana diatur Pasal 1313 BW (KUH
Perdata) tersebut dalam pandangan para sarjana mengandung kelemahan.
Ketidak-sempurnaan dan tidak lengkap. Sehubungan dengan hal tersebut
Mariam Darus Badrulzaman mengungkapkan :
Para Sarjana Hukum Perdata umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan BW di atas adalah tidak lengkap dan pula terlalu luas. Tidak lengkap, karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu terlalu luas, karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin, yaitu perbuatan di lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, namun istimewa sifatnya karena dikuasai oleh ketentuan-ketentuan tersendiri sehingga Buku III BW (KUH Perdata) secara langsung tidak berlaku terhadapnya. Juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan terhadap perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuannya.39
Menurut Abdulkadir Muhammad, kelemahan-kelemahan ketentuan
Pasal 1313 BW (KUH Perdata) adalah sebagai berikut :
a. Hanya menyangkut satu pihak Jika dilihat rumusan ”satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata Kerja ”mengikatkan” mempunyai sifat hanya datang dari satu pihak saja. Seharusnya rumusannya itu harus saling mengikatkan diri sehingga ada consensus para pihak.
b. Kata ”Perbuatan” termasuk tindakan melaksanakan pekerjaan tanpa kuasa (Zaakwaneming) yang tidak mengandung konsensus antara para pihak. Seharusnya digunakan kata ”persetujuan”.
38 Rai Widjaja, I G A, Dikutip dari Black Law Dictionary, 2003, Merancang Suatu Kontrak, Teori dan Praktek, Mega Poin, Jakarta, hal. 8.
39 Mariam Darus Badrulzaman, 1983, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku II Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman I), hal. 20.
29
c. Pengertian ”perjanjian” dalam pasal tersebut mempunyai arti yang terlalu luas karena dapat juga mencakup kelangsungan perkawinan, janji kawin yang diatur dalam hukum keluarga. Padahal ”perjanjian” yang dimaksud oleh buku III hanya perjanjian yang bersifat kebendaan.
d. Perumusan pasal tersebut tidak menyebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga tidak jelas untuk apa para pihak mengadakan perjanjian itu.40
Mengingat adanya kelemahan-kelemahan dari ketentuan Pasal 1313
BW (KUH Perdata), maka untuk memahami pengertian perjanjian, maka
dipandang penting untuk mengetengahkan pengertian perjanjian yang
dikemukakan oleh para sarjana. Pandangan sarjana dimaksud dapat dijadikan
scbagai pembanding dan bahan analisis dalam memahami perjanjian secara
lebih mendetail dan lengkap.
Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu
hal dalam lapangan Hukum Kekayaan.41 Sedangkan Prof. R. Soebekti,
merumuskan perjanjian ini adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji
kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal.42 Pendapat ini perlu mendapat perhatian dan
penegasan, sebab tidak semua peristiwa itu akan menimbulkan adanya
perjanjian, tetapi hanya peristiwa hukum yang dapat menimbulkan perjanjian.
40 Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, hal. 78.
41 Ibid.
42 R. Soebekti I, Op. Cit, hal. 1.
30
R. Setiawan berpendapat perjanjian adalah suatu perbuatan hukum,
dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih.43 Selanjutnya Sudikno Mertokusumo menyatakan :
Hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dua pihak itu sepakat untuk menentukan peraturan atau kaidah atau hak dan kewajiban, yang mengikatkan mereka untuk ditaati dan dijalankan, kesepakatan itu adalah untuk menimbulkan akibat hukum, menimbulkan hak dan kewajiban dan kalau kesepakatan itu dilanggar maka ada akibat hukumnya, si pelanggar dapat dikenakan akibat hukum atau sanksi.44
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa perjanjian adalah peristiwa hukum yang telah disepakati oleh para pihak
dalam rangka melaksanakan suatu hal dalam lapangan hukum kekayaan yang
telah diatur menurut hukum. Perjanjian itu merupakan peristiwa yang
menimbulkan suatu hubungan hukum di antara para pihak yang terlibat di
dalamnya atau dikenal dengan perikatan (Verbintenis).
Di dalam menyalurkan kredit kepada masyarakat, bank akan
menuangkan dalam suatu perjanjian yang namanya perjanjian kredit. Sebelum
memahami tentang perjanjian kredit, perlu diketahui terlebih dahulu apa itu
kredit. Secara etimologi perkataan kredit berasal dari bahasa latin “Credere”
yang berarti kepercayaan, sehingga berpijak dari arti kata tersebut. dapat
dikatakan bahwa pengertian dasar dari pemberian kredit adalah kepercayaan.45
43 R. Setiawan, 1979, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, hal. 5.
44 Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I), hal. 96.
45 Bambang Sunggono, 1995, Pengantar Hukum Perbankan, Mandar Maju, Jakarta, hal. 127.
31
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
Pasal 1 butir 11, kredit adalah:
”Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
Dengan demikian, kredit bank adalah merupakan kredit yang diberikan
bank kepada nasabahnya berdasarkan kepercayaan dengan menyerahkan
sejumlah uang tertentu kepada debiturnya, untuk dipergunakan sesuai dengan
tujuannya, dalam jangka waktu tertentu, dan dengan imbalan berupa bunga.
Istilah perjanjian kredit berasal dari bahasa Inggris, yaitu contract
credit. Dalam hukum Inggris, perjanjian kredit bank termasuk loan of money.46
Istilah perjanjian kredit ditemukan dalam instruksi pemerintah dan berbagai
surat edaran, antara lain:
1. Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EKA/10/96, yang berisi instruksi
kepada bank bahwa dalam memberikan kredit bentuk apapun, bank-bank
wajib mempergunakan ”akad perjanjian kredit”;
2. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb/1996;
dan
3. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Nomor 2/643/Pemb/1996 tentang
Pedoman Kebijaksanaan di Bidang Perkreditan.
46 Sutan Remy Syahdeini, Op. Cit, hal. 57.
32
Dalam ketentuan itu tidak kita temukan pengertian perjanjian kredit.
Namun, dalam Pasal 1 angka 3 Rancangan Undang-Undang tentang
Perkreditan Perbankan, telah ditentukan pengertian perjanjian kredit.
Perjanjian kredit adalah:
”Persetujuan dan atau kesepakatan yang dibuat bersama antara kreditur dan debitur atas sejumlah kredit dengan kondisi yang telah diperjanjikan, hal mana pihak debitur wajib untuk mengembalikan kredit yang telah diterima dalam jangka waktu tertentu disertai bunga dan biaya-biaya yang disepakati”.
Unsur-unsur yang terkandung dalam perjanjian kredit adalah :
1. Adanya persetujuan dan/atau kesepakatan;
2. Dibuat bersama antara kreditur dan debitur;
3. Adanya kewajiban debitur.
Kewajiban debitur adalah:
1. Mengembalikan kredit yang telah diterimanya;
2. Membayar bunga; dan
3. Biaya-biaya lainnya.
Para ahli juga memberikan pengertian perjanjian kredit. Sutarno
mengartikan perjanjian kredit adalah:
”Perjanjian pokok atau perjanjian induk yang mengatur hak dan kewajiban antara kreditur dan debitur”.47
Definisi ini terlalu singkat karena hanya difokuskan pada hak dan
kewajiban antara kreditur dan debitur, padahal dalam perjanjian kredit itu
47 Sutarno, Op. Cit, hal. 6.
33
sendiri yang paling prinsip adalah kesepakatan para pihak. Definisi lain
dikemukakan Sutan Remy Syahdeini. Sutan Remy Syahdeini mengartikan
perjanjian kredit adalah:
”Perjanjian bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah debitur untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan”. 48
Definisi yang dikemukakan oleh Sutan Remy Syahdeini terlalu luas
karena tidak hanya mengemukakan tentang hak dan kewajiban kreditur dan
debitur, namun juga mengemukakan tentang ciri-ciri perjanjian kredit. Karena
adanya kelemahan dari kedua definisi di atas, maka perlu dilengkapi dan
disempurnakan. Menurut H. Salim HS yang diartikan dengan perjanjian kredit
adalah:
”Perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur, di mana kreditur berkewajiban untuk memberikan uang atau kredit kepada debitur, dan debitur berkewajiban untuk membayar pokok dan bunga, serta biaya-biaya lainnya sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati antara keduanya”.49
Perjanjian kredit merupakan dasar kewenangan bank untuk dapat
mengendalikan penggunaan kredit oleh nasabah. Yang menyangkut pemberian
kreditnya, bank sangat berkepentingan dengan hal-hal yang menyangkut hak-
hak bank dan kewajiban-kewajiban nasabah, baik pada saat sebelum kredit
48 Sutan Remy Syahdeini, Op. Cit, hal. 14.
49 Salim, HS, 2006, Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUH Perdata, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Salim HS I), hal. 80.
34
diberikan, selama kredit diberikan, dan setelah kredit jatuh tempo. Di dalam
perjanjian kredit kepentingan-kepentingan bank yang demikian itu tetap
terjaga. Namun meskipun demikian, diharapkan hak-hak dan kepentingan
nasabah sebagai pihak penerima kredit seyogyanya juga harus diberikan
perhatian, dalam konteks perjanjian kredit dimaksud.
2.1.2 Sifat Perjanjian Kredit
Berbicara tentang sifat perjanjian kredit ada berbagai pendapat dari para
sarjana dengan mengkaitkannya dengan ketentuan Pasal 1754 BW. Pasal 1754
BW menentukan sebagai berikut :
“Perjanjian pinjam rnengganti adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah ketentuan barang-barang yang menghabis karena pemakaian. dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.
Selanjutnya dalam Pasal 1765 BW disebutkan, bahwa diperbolehkan
memperjanjikan, bunga atau peminjaman uang atau lain barang yang
menghabis karena pemakaian. Dari pengertian ini, terlihat bahwa unsur-unsur
pinjam-meminjam adalah :
1. Adanva persetujuan antara peminjam dengan yang memberi pinjaman;
2. Adanya suatu jumlah barang tertentu habis karena memberi pinjaman;
3. Pihak yang menerima pinjaman akan mengganti barang yang sama;
4. Pinjaman wajib membayar bunga bila diperjanjikan.50
50 Sentosa Sembiring, Op. Cit, hal. 67.
35
Para ahli mencoba untuk memberikan tafsiran terhadap Pasal 1754
KUH Perdata dan dikaitkan dengan perjanjian kredit bank. Hal ini disebabkan
karena di dalam KUH Perdata sendiri tidak kita temukan istilah perjanjian
kredit. Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 sendiri tidak
mengenal istilah perjanjian kredit, yang ada hanya pengertian kredit. Dalarn
penjelasan Rancangan Undang-Undang Perkreditan Perbankan ditegaskan
bahwa perjanjian bersifat konsensual dan riil, berbeda dengan perjanjian
pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang hanya bersifat riil. Marhainis Abdul Hay menyatakan sebagai
berikut:
“Ketentuan Pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjam
mengganti, mempunyai pengertian yang identik dengan perjanjian kredit
bank.”51
Subekti berpendapat bahwa dalam bentuk apapun juga pemberian kredit
itu diberikan atau diadakan. dalam semuanya itu pada hakekatnya yang terjadi
adalah suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur oleh BW, Pasal
1754 sampai dengan Pasal 1769.52
Begitu pula menurut Muhammad Djumhana, bahwa perjanjian kredit
menurut Hukum Perdata Indonesia adalah salah satu dari bentuk perjanjian
51 Marhainis Abdul Hay, 1975, Hukum Perbankan di Indonesia, Pradnya Paramitha,
Jakarta, hal. 67.
52 R. Subekti, 1978, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni, Bandung (selanjutnva disebut Subekti II), hal. 13.
36
pinjam meminjam seperti diatur Pasal 1754 BW.53 Dengan demikian,
pembuatan suatu perjanjian kredit dapat mendasarkan kepada ketentuan-
ketentuan yang ada pada BW maupun atas dasar kesepakatan para pihak.
Hal yang sama dikemukakan pula oleh Madam Darus Badrulzaman :
“Dari rumusan yang terdapat di dalam Undang-Undang Perbankan mengenai
perjanjian kredit, dapat disimpuikan bahwa dasar perjanjian kredit adalah
perjanjian pinjam-meminjam di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pasal 1754.54 Perjanjian pinjam-meminjam ini juga mengandung makna yang
luas yaitu objeknya adalah benda yang menghabis jika verbruiklening
termasuk di dalamnya uang. Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam ini,
pihak penerima pinjaman menjadi pemilik yang dipinjam dan kemudian harus
dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak yang meminjamkan.
Karenanya perjanjian kredit ini merupakan perjanjian yang bersifat riil, yaitu
bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh “penyerahan” uang oleh
bank kepada nasabah.55
Djuhaendah Hasan berpendapat lain, yaitu bahwa perjanjian kredit tidak
tepat dikuasai oleh ketentuan Bab XIII Buku III KUHPerdata, sebab antara
perjanjian pinjam-meminjam dengan perjanjian kredit terdapat beberapa
53 Muhammad Djumhana, Op. Cit, hal. 472.
54 Mariam Darus Badrulzaman, 1981, Perjanjian Baku (Standar) Perkembangannya Di Indonesia (Pidato Pengukuhan Guru Besar), Alumni, Bandung, (selanjutya disebut Mariam Darus Badrulzaman II), hal. 110-111.
55 Ibid.
37
perbedaan. Perbedaan antara perjanjian pinjam-meminjam dengan perjanjian
kredit terletak pada beberapa hal, antara lain:
a. Perjanjian kredit selalu bertujuan dan tujuan tersebut biasanya berkaitan
dengan program pembangunan, biasanya dalam pemberian kredit sudah
ditentukan tujuan penggunaan uang yang akan diterima, sedangkan dalam
perjanjian pinjam-meminjam tidak ada ketentuan tersebut dan debitur
dapat menggunakan uangnya secara bebas.
b. Dalam perjanjian kredit sudah ditentukan bahwa pemberi kredit adalah
bank atau lembaga pembiayaan (lihat ketentuan Pasal 1 ayat (12) UU
Nomor 7 Tahun 1992) dan tidak dimungkinkan diberikan oleh individu,
sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam pemberian pinjaman dapat
oleh individu.
c. Pengaturan yang berlaku bagi perjanjian kredit berbeda dengan perjanjian
pinjam-meminjam. Bagi perjanjian pinjam-meminjam berlaku ketentuan
umum dari Buku III dan Bab XIII Buku III KUHPerdata. Sedangkan bagi
perjanjian kredit akan berlaku ketentuan dalam UUD 1945, ketentuan
bidang ekonomi dalam GBHN, ketentuan umum KUHPerdata, UU Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Paket Kebijaksanaan Pemerintah Dalam
Bidang Ekonomi terutama bidang Perbankan, Surat Edaran Bank Indonesia
(SEBI), dan sebagainya.
d. Pada perjanjian kredit telah ditentukan bahwa pengembalian uang pinjaman
itu harus disertai bunga, imbalan, atau pembagian hasil, sedangkan dalam
38
perjanjian pinjam-meminjam hanya berupa bunga saja dan bunga inipun
baru ada apabila diperjanjikan.
e. Pada perjanjian kredit bank harus mempunyai keyakinan akan kemampuan
debitur akan pengembalian kredit yang diformulasikan dalam bentuk
jaminan baik materiil maupun immaterial, sedangkan dalam perjanjian
pinjam-meminjam jaminan merupakan pengamanan bagi kepastian
pelunasan hutang dan inipun baru ada apabila diperjanjikan, dan jaminan
itu hanya merupakan jaminan secara fisik atau materiil saja.
Apapun yang merupakan pendapat dari para sarjana tentang
sifat dari perjanjian kredit, namun tetap tidak bisa dilepaskan bahwa
akar dari perjanjian kredit itu adalah perjanjian pinjam-meminjam. Seperti
dirumuskan oleh Undang-Undang Perbankan tentang pengertian “kredit”,
adalah; “. . ., berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminiam
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.56
Memahami sifat perjanjian kredit berbagai peraturan perlu ditelaah,
seperti BW, Undang-Undang Perbankan dan ketentuan-ketentuan lainnya.
Seperti disampaikan oleh Edy Putra Tje'Aman, untuk mengetahui sifat
perjanjian kredit bank, tidak cukup hanya melihat KUH Perdata (BW dan
Undang-Undang Perbankan saja, tetapi juga harus memperhatikan ketentuan-
ketentuan yang berlaku/dipakai dalam praktek perbankan.57
56 Djuhaendah Hasan, Op. Cit, hal. 174.
57 Edy Putra The’Aman, Op. Cit, hal. 31.
39
2.1.3 Bentuk Perjanjian Kredit
Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis,
yang penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata. Namun dari
sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat
bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para
pihak yang membuatnya. Dalam dunia modern yang komplek ini perjanjian
lisan tentu sudah tidak dapat disarankan untuk digunakan meskipun secara
teori diperbolehkan, karena lisan sulit dijadikan sebagai alat pembuktian bila
terjadi masalah di kemudian hari. Untuk itu setiap transaksi apapun
seyogyanya dibuat tertulis yang digunakan sebagai alat bukti, termasuk
perjanjian kredit.
Dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis dapat mengacu pada Pasal
1 ayat (11) UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992
tentang perbankan. Dalam pasal itu terdapat kata-kata : Penyediaan uang atau
tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara
Bank dengan pihak lain. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa pemberian
kredit harus dibuat perjanjian. Meskipun dalam pasal itu tidak ada penekanan
perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis namun menurut pendapat
Sutarno dalam organisasi bisnis modern dan mapan maka untuk kepentingan
administrasi yang rapi dan teratur dan demi kepentingan pembuktian sehingga
40
pembuatan bukti tertulis dari suatu perbuatan hukum menjadi suatu keharusan,
maka kesepakatan perjanjian kredit harus tertulis.58
Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit harus tertulis
adalah instruksi Presidium Kabinet No. 15/EK/IN/10/1966 tanggal 10 Oktober
1966. Dalam instruksi tersebut ditegaskan “Dilarang melakukan pemberian
kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara Bank dengan Debitur
atau antara Bank Sentral dan Bank-Bank lainnya. Surat Bank Indonesia yang
ditujukan kepada segenap Bank Devisa No. 03/1093/UPK/KPD tanggal 29
Desember 1970, khususnya butir 4 yang berbunyi untuk pemberian kredit
harus dibuat surat perjanjian kredit. Dengan keputusan-keputusan tersebut,
maka pemberian kredit oleh Bank kepada nasabah harus diiniat secara tertulis.
Perjanjian kredit merupakan ikatan atau bukti tertulis antara bank
dengan debitur, sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap
orang mudah untuk mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan
perjanjian kredit. Dalam praktek perbankan ada 2 (dua) bentuk perjanjian
kredit, yaitu :
1. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan
Yang dimaksud dengan perjanjian kredit di bawah tangan adalah perjanjian
pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat di antara
mereka (bank dan nasabah), tanpa Notaris.59
58 Sutarno, Op. Cit, hal. 99.
59 H.R. Daeng Naja, Op. Cit, hal. 185.
41
Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan dinamakan akta di bawah
tangan, artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh Bank
kemudian ditawarkan kepada Debitur untuk disepakati. Untuk
mempermudah dan mempercepat kerja Bank, biasanya Bank sudah
menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standard (standaardform)
yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan terlebih dahulu
secara lengkap. Bentuk perjanjian kredit yang dibuat sendiri oleh
Bank tersebut termasuk jenis Akta Di Bawah Tangan. Dalam rangka
penandatanganan perjanjian kredit, formulir perjanjian kredit yang isinya
sudah disiapkan Bank kemudian disodorkan kepada setiap calon-calon
Debitur untuk diketahui dan dipahami mengenai syarat-syarat dan
ketentuan pemberian kredit tersebut. Syarat-syarat dan ketentuan dalam
formulir perjanjian kredit tidak pernah diperbincangkan atau dirundingkan
atau dinegosiasikan dengan calon Debitur. Calon Debitur mau atau tidak
mau dengan terpaksa atau sukarela harus menerima semua persyaratan
yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit. Seandainya calon Debitur
melakukan protes atau tidak setuju terhadap pasal-pasal tertentu yang
tercantum dalam formulir perjanjian kredit maka Kreditur tidak akan
menerima protes tersebut karena isi perjanjian memang sudah disiapkan
dalam bentuk cetakan oleh lembaga Bank itu sehingga bagi petugas Bank
pun tidak bisa menanggapi usulan calon Debitur. Calon Debitur
menyetujui atau menyepakati isi perjanjian kredit karena calon Debitur
dalam posisi yang sangat membutuhkan kredit (posisi lemah) sehingga
42
apapun persyaratan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit calon
Debitur dapat menyetujui.
Perjanjian kredit bank yang hanya dibuat secara di bawah tangan dalam
beberapa hal mengandung kelemahan. Adapun kelemahannya adalah :
a. Bahwa apabila suatu saat nanti terjadi wanprestasi oleh debitur, yang pada akhirnya akan diambil tindakan hukum melalui proses peradilan, maka apabila debitur yang bersangkutan menyangkali atau memungkiri tanda tangannya, akan berakibat mentahnya kekuatan hukum perjanjian kredit yang telah dibuat tersebut. Dalam Pasal 1877 KUH Perdata disebutkan bahwa jika seorang memungkiri tulisan atau tanda tangannya, hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka pengadilan.
b. Bahwa oleh karena perjanjian ini dibuat hanya oleh para pihak, dimana formulirnya telah disediakan oleh bank (form standar/baku), maka bukan tidak mungkin terdapat kekurangan data-data yang seharusnya dilengkapi untuk suatu kepentingan pengikatan kredit/pemberian bank garansi. Bahkan, bukan tidak mungkin, atas dasar pelayanan, penandatanganan perjanjian dilakukan walaupun formulir perjanjian masih dalam bentuk blangko/kosong. 60
Kelemahan-kelemahan ini pada akhirnya akan merugikan bank jika suatu
saat berperkara dengan nasabahnya. Oleh sebab itu, pembuatan perjanjian
kredit bank yang selama ini banyak dipraktekkan kalangan perbankan,
perlu untuk ditinjau kembali, terutama bila melihat sisi-sisi kelemahannya
tersebut.
2. Perjanjian kredit yang dibuat dengan Akta Otentik (Akta Notaris)
Yang dimaksud dengan perjanjian kredit Notaris, adalah perjanjian
pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat oleh atau di
hadapan Notaris.
60 Ibid.
43
Perjanjian kredit yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris yang dinamakan
akta otentik atau akta notariil. Yang menyiapkan dan membuat perjanjian
ini adalah seorang Notaris namun dalam praktek semua syarat dan
ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh Bank kemudian diberikan
kepada Notaris untuk dirumuskan dalam akta notariil. Memang Notaris
dalam membuat perjanjian hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para
pihak dalam bentuk akta notariil atau akta otentik.61
Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta otentik
biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka
waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja.
kredit sindikasi (kredit yang diberikan lebih dari satu Kreditur atau lebih
dari satu Bank).
Antara perjanjian kredit yang dibuat dengan Akta di bawah tangan
dengan perjanjian kredit dengan akta otentik sudah barang tentu ada
perbedaannya. Bila dilihat dari segi pembuktiannya, antara akta di bawah
tangan dengan akta otentik memang berbeda. Akta otentik mempunyai
kekuatan pembuktian sempurna, artinya akta otentik itu dianggap sah dan
benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan
pihak-pihak tersebut.
Apabila suatu akta otentik diajukan sebagai alat bukti didepan Hakim,
kemudian pihak lawan membantah akta otentik tersebut, maka pihak
61 Sutarno, Op. Cit, hal. 100.
44
pembantah yang harus membuktikan kebenaran/bantahannya. Sebaliknya, jika
tanda tangan pada akta di bawah tangan itu dipungkiri oleh pihak yang telah
membubuhkan tanda tangan, maka pihak yang mengajukan akta di bawah
tangah itu harus berusaha mencari alat-alat bukti lain yang membenarkan
bahwa tanda tangan tadi dibubuhkan oleh pihak yang memungkiri.
2.1.4 Lahirnya Perjanjian Kredit
Dalam praktek perbankan terdapat prinsip commanditer ingsverbod,
yaitu : “adanya larangan bagi bank bahwa dengan adanya pemberian kredit,
bank ikut menanggung resiko dari usaha nasabah”.62 Hal tersebut sesuai
dengan asas tiada kredit tanpa jaminan.
Dengan adanya prinsip atau asas tersebut di atas, menunjukkan pad
akita bahwa di dalam perjanjian kredit akan selalu terkait dengan adanya
perjanjian jaminan.
Dalam praktek, penandatanganan perjanjian jaminan dilakukan
bersamaan pada saat penandatanganan perjanjian kreditnya. Adanya perjanjian
jaminan tersebut adalah karena adanya perjanjian kredit. Hal ini sesuai dengan
sifat accessoir dari perjanjian jaminan. Di samping terkaitnya perjanjian
jaminan di dalam perjanjian kredit, juga tidak akan terlepas dari kewajiban
membayar bunga kredit.
Di dalam praktek perbankan, bahwa dengan ditandatanganinya
perjanjian kredit tidak berarti akan disertai dengan realisasi kredit atau
62 Edy Putra The’Aman, Op. Cit, hal. 35.
45
pencairan kredit.63 Pemohon (calon nasabah) tidak akan dapat melakukan
penarikan kredit, bila tidak ada pernyataan dari bank bahwa pemohon sudah
boleh menarik kreditnya.
Jadi pada saat dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit,
perjanjian kredit belum lahir. Apabila perjanjian kredit telah lahir pada saat
dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, sedag pihak pemohon belum
menerima kreditnya, maka hal ini adalah suatu kejanggalan, suatu
ketidakadilan yang nyata. Sebab bila perjanjian kredit telah lahir pada saat
dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, berarti perjanjian jaminannya
pun telah lahir. Sedangkan pada saat itu pemohon belum menerima kreditnya,
yang berarti pula belum mempunyai hutang. Hal ini adalah bertentangan
dengan sifat accessoir dari perjanjian jaminan.
Demikian pula halnya bila dikaitkan dengan kewajiban membayar
bunga kredit. Bagaimana mungkin pemohon atau calon nasabah diwajibkan
membayar bunga apabila ia sendiri belum menerima kreditnya.
2.1.5 Hapusnya Perjanjian Kredit
Pasal 1319 BW (KUH Perdata) menetapkan semua perjanjian baik yang
mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama
tertentu tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat di dalam bab
kedua BW (KUH Perdata). Ini berarti perjanjian kredit yang merupakan
perjanjian yang tidak dikenal di dalam KUH Perdata, juga harus tunduk pada
63 Ibid.
46
ketentuan-ketentuan umum yang termuat di dalam Buku III KUH perdata.
Karenanya Pasal 1381 BW (KUH Perdata) yang mengatur cara hapusnya
perikatan dapat diberlakukan pula pada perjanjian kredit bank. Dari sepuluh
cara yang disebutkan pada Pasal 1381 tadi, umumnya perjanjian kredit bank
harus hapus atau berakhir karena hal-hal di bawah ini:
1. Pembayaran
Pembayaran (lunas) ini merupakan pemenuhan prestasi dari debitur, baik
pembayaran utang pokok, bunga, denda maupun biaya-biaya lainnya yang
wajib dibayar lunas oleh debitur. Pembayaran lunas ini, baik karena jatuh
tempo kreditnya atau karena diharuskannya debitur melunasi kreditnya
secara seketika dan sekaligus (opelbaarheid clause).
2. Subrograsi (subrogatie)
Pasal 1382 BW (KUH Perdata) menyebutkan kemungkinan pembayaran
(pelunasan) utang dilakukan oleh pihak ketiga kepada pihak berpiutang
(kreditur), sehingga terjadi penggantian kedudukan atau hak-hak kreditur
oleh pihak ketiga. Inilah yang dinamakan dengan subrogasi. Jadi subrograsi
ini terjadi karena adanya penggantian kedudukan atau hak-hak kreditur
lama oleh kreditur baru dengan mengadakan pembayaran. Dengan adanya
subrograsi, maka segala kedudukan atau hak-hak yang dipunyai kreditur
lama beralih kepada pihak ketiga.
47
3. Pembaharuan utang (novasi)
Pembaruan utang terjadi dengan jalan mengganti utang lama dengan utang
baru, debitur lama dengan debitur baru dan kreditur lama dengan kreditur
baru. Dalam hal ini, bila utang lama diganti dengan utang baru terjadilah
penggantian objek perjanjian yang disebut “novasi subjektif”. Di sini utang
lama lenyap, dalam hal terjadi penggantian orangnya (subjeknya), maka
jika diganti debiturnya, pembaruan ini disebut “novasi subjektif pasif”. Jika
yang diganti itu krediturnya, pembaruan ini disebut “novasi subjektif
aktif”. Dalam hal ini utang lama lenyap.
Pada umumnya pembaruan utang yang terjadi di dalam dunia perbankan
adalah denggan mengganti atau memperbarui perjanjian kredit bank yang ada.
Dalam hal ini yang diganti adalah perjanjian kredit banknya dengan perjanjian
kredit bank yang baru. Dengan terjadinya penggantian atau pembaruan
perjanjian kredit, otomatis perjanjian kredit bank yang lama berakhir atau tidak
berlaku.
Pasal 1413 BW (KUH Perdata) menyebutkan tiga cara untuk
melakukan novasi, yaitu :
1. dengan membuat suatu perikatan utang baru yang mengganti perikatan
utang lama yang dihapuskan karenanya;
2. dengan cara expromissie, yakni mengganti debitur lama dengan debitur
baru;
48
3. mengganti debitur lama dengan debitur baru sebagai akibat suatu perjanjian
baru yang diadakan;
4. perjumpaan utang (kompensasi)
Kompensasi adalah perjumpaan dua utang yang berupa benda-benda yang
ditentukan menurut jenis (generieke ziken) yang dipunyai oleh dua orang
atau pihak secara timbal balik, dimana masing-masing pihak berkedudukan
baik sebagai kreditur maupun debitur terhadap orang lain, sampai jumlah
terkecil yang ada di antara kedua utang tersebut.64
Dasar kompensasi ini disebutkan dalam Pasal 1425 BW (KUH Perdata).
Dikatakan jika dua orang saling berhutang satu pada yang lain, maka terjadilah
antara mereka suatu perjumpaan utang-piutang, dengan mana utang-utang
antara kedua orang tersebut dihapuskan.
Kondisi demikian itu dijalankan oleh bank dengan cara
mengkompensasikan barang jaminan debitur dengan utangnya kepada bank,
sebesar jumlah jaminan tersebut yang diambil alih tersebut.
2.2 Jaminan Fidusia
2.2.1 Pengertian dan Latar Belakang Lahirnya Jaminan Fidusia
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang pengertian jaminan fidusia
hendaknya kita memahami pengertian jaminan. Dalam rangka pembangunan
ekonomi diperlukan tersedianya dana, yang salah satunya adalah dalam bentuk
64 Rachmadi Usman, Op. Cit, hal. 279-280.
49
kredit yang diberikan oleh lembaga perbankan.65 Dana yang berupa kredit itu
diperlukan oleh debitur guna kepentingan pengembangan usaha atau keperluan
lainnya. Penyaluran kredit kepada pelaku usaha selaku debitur sarat dengan
resiko kemacetan. Oleh karena itu, bank harus memperhatikan asas-asas
perkreditan yang sehat di antaranya :
1. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa surat perjanjian
tertulis;
2. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada usaha yang sejak
semula telah diperhitungkan kurang sehat dan akan membawa kerugian;
3. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham dan
modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham, atau;
4. Memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit (legal
lending limit).66
Mengingat hal-hal tersebut di atas, maka bank dalam memberikan
kreditnya wajib memperoleh keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan
debitur untuk melaksanakan kewajibannya. Setelah kredit diberikan, bank juga
wajib melakukan peninjauan ke lapangan dan pengikatan terhadap jaminan
yang diserahkan oleh debitur sehingga jaminan yang diterima dapat memenuhi
persyaratan dan kctcntuan yang berlaku. Untuk memperoleh keyakinan
terhadap kemampuan dan kesanggupan debitur maka bank melakukan
65 M. Khoidin, 2005, Problematika Eksekusi Sertifikat Hak Tanggungan, Laks Bank Pressindo, Yogyakarta, hal. 1.
66 Muhammad Djumhana, Op. Cit, hal. 510.
50
penilaian yang dikenal dengan the five c's of credit (5C) antara lain Character;
Capital; Capacity; Collateral; Condition of economy.
Berbagai aspek penilaian yang dilakukan bank tidak selalu dapat
mencerminkan kinerja nasabah debitur di masa yang akan datang, maka pihak
bank perlu berjaga-jaga terhadap resiko yang terburuk dari pelepasan kredit.
Antisipasi terhadap kemungkinan macetnya pemenuhan kewajiban oleh
nasabah adalah kewajiban penyerahan jaminan sebelum dana diberikan kepada
nasabah. Jaminan merupakan salah satu upaya untuk mengantisipasi risiko
yang mungkin timbul dalam tenggang waktu antara pelepasan dan pelunasan
kredit. Namun dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
tidak disebutkan lagi secara tegas mengenai kewajiban tersedianya jaminan
atas kredit yang dimohonkan oleh debitur, seperti yang diatur dalam Undang-
Undang Perbankan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967.
Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 menyebutkan :
“Bank Umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga”.
Dalam kalimat tersebut tersirat bahwa siapapun yang ingin memperoleh kredit
bank harus menyerahkan jaminan kepada bank. Terdapat perubahan dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yaitu Pasal 8 yang menyebutkan
bahwa ”Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang
mendalam atas itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk
melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan”. Untuk memperoleh
51
keyakinan tersebut, bank melalui analis kreditnya melakukan penilaian
terhadap calon debiturnya berdasarkan the five c's of credit analysis (5C)
di atas.
Sebenarnya dalam literatur hukum tidak dikenal istilah hukum jaminan,
sebab kata recht dalam rangkaiannya sebagai zakerheidsrechten berarti ”hak”,
sehingga zakerheidsrechten berarti hak-hak jaminan.67 Dengan demikian kalau
mau merumuskan hukum jaminan, maka dapat dikatakan sebagai ketentuan-
ketentuan hukum yang mengatur tentang jaminan pada umumnya, maksudnya
jaminan tagihan kreditur atas hutang debitur.68 Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, ketentuan umum tentang jaminan diletakkan dalam pasal 1131
sampai dengan pasal 1138. Dalam pasal-pasal tersebut diatur prinsip tanggung
jawab seorang debitur terhadap hutang-hutangnya dan juga kedudukan semua
kreditur atas tagihan yang dipunyai olehnya terhadap debiturnya.69
Dalam Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit,
bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah suatu keyakinan bank atas
kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.
Sutarno menyatakan, jaminan adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai
mudah untuk diuangkan yang diikat dengan janji sebagai jaminan untuk
67 J. Satrio, 2002, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Citra Aditya Bakti Bandung, (selanjutnya disebut J. Satrio I), hal. 154.
68 J. Satrio, 1996, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut J. Satrio II), hal. 4.
69 J. Satrio I, Op. Cit.
52
pembayaran dari utang debitur berdasarkan perjanjian kredit yang dibuat
oleh kreditur dan debitur.70 Selanjutnya Pasal 1 ayat (23) Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juga menyebutkan agunan adalah
jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka
pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Hal
penting dalam penyerahan agunan ini adalah keabsahan secara yuridis di
perjanjian pengikatan agunan. Pihak bank harus yakin bahwa agunan atau
jaminan yang telah diserahkan telah berdasarkan perjanjian yang sah secara
yuridis. 71
Kredit yang didukung dengan jaminan disebut secured loans, dengan
menggunakan jaminan dalam penyaluran kredit dapat meyakinkan bank akan
kemampuan debitur dalam pengembalian utangnya, sedangkan kredit yang
tidak didukung dengan jaminan disebut unsecured loans, pemberian kredit ini
yaitu dengan mempertimbangkan bonafiditas dan prospek usaha debitur.
Kredit tanpa adanya jaminan sangat membahayakan posisi bank, mengingat
jika nasabah mengalami kemacetan pembayaran maka akan sulit menutupi
kerugian terhadap kredit yang disalurkan.
Dengan adanya harta debitur yang dijadikan jaminan atas utangnya
dapat menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang
dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.72
70 Sutarno, Op. Cit, hal. 142.
71 Sri Susilo, Sigit Triandaru & Totok Budi S, 2000, Bank & Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta, hal. 73.
72 Hartono Hadisoeprapto, 1984, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta, hal. 50.
53
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa jaminan
sebagai sarana perlindungan bagi keamanan kreditur yaitu memberikan
kepastian akan pelunasan utang debitur sesuai dengan perjanjian kredit.
Jaminan dapat menutupi segala resiko terhadap kemungkinan macetnya suatu
kredit baik yang ada unsur kesengajaan atau tidak. Oleh karena itu, selain
benda yang menjadi objek jaminan kredit diikat dengan asuransi tertentu,
penilaian jaminan kredit haruslah teliti jangan sampai terjadi sengketa, palsu,
dan sebagainya.
Istilah Fidusia berasal dari kata ”fides” yang berarti kepercayaan.73
Hubungan hukum yang terjadi antara kreditur dengan debitur merupakan
hubungan hukum yang berdasarkan atas kepercayaan. Istilah fidusia sudah
lama dikenal dalam bahasa Indonesia dan merupakan istilah resmi dalam dunia
hukum di Indonesia.74 Undang-Undang Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 juga
menggunakan istilah ”fidusia”. Namun terkadang, untuk fidusia ini juga
dikenal dengan istilah ”Penyerahan Hak Milik Secara Kepercayaan”. Dalam
terminologi Belandanya sering disebut dengan Fiduciare Eigendom
Overdracht, sedangkan dalam bahasa Inggrisnya sering disebut dengan istilah
Fiduciary Transfer of Ownership.75
73 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 113.
74 Munir Fuady, 2003, Jaminan Fidusia, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Munir Fuady II), hal. 3.
75 Ibid.
54
Jaminan fidusia ini lahir karena adanya kebutuhan dalam praktek untuk
menjaminkan barang bergerak tetapi tanpa penyerahan barang secara fisik.
Mengingat lembaga gadai mensyaratkan adanya penyerahan benda maka
dicarikanlah jalan untuk dapat menjaminkan barang bergerak tanpa penyerahan
fisik barang tersebut. Akhirnya muncullah suatu rekayasa untuk memenuhi
kepentingan dalam praktek tersebut yaitu dengan jalan pemberian jaminan
fidusia. Jaminan fidusia ini akhirnya diterima dalam praktek dan diakui oleh
yurisprudensi, baik di Belanda maupun di Indonesia.76 Rekayasa hukum
tersebut dilakukan lewat bentuk globalnya yang disebut dengan "Constitutum
Posessorium" (penyerahan kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik benda
sama sekali). Agar sahnya peralihan hak dalam kontruksi hukum tentang
fidusia ini, haruslah memenuhi syarat-syarat antara lain :
a. terdapat perjanjian yang bersifat zakelijk
b. adanya titel untuk suatu peralihan hak
c. adanya kewenangan untuk menguasai benda dari orang yang menyerahkan
benda
d. cara tertentu untuk penyerahan yaitu dengan cara constitutum
posessorium bagi benda bergerak yang berwujud, atau dengan cessie untuk
hutang piutang.77
76 Ibid.
77 Sri Soedewi Masjchoen, Sofwan, 1980, Hukum Jaminan Di Indonesia, Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional, hal. 27.
55
Berkaitan dengan Fidusia dan Jaminan Fidusia, dalam Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memberikan pengertian
mengenai masing-masing tersebut:
Pasal 1 butir 1: Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Pasal 1 butir 2 :
Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka unsur-unsur fidusia dalam upaya
pemberian hak jaminan kepada kreditur dengan tujuan :
1. Sebagai agunan
Sebagai agunan menunjuk ciri umum dari hak jaminan, bahwa pengalihan
hak milik terhadap suatu benda hanya diperuntukkan sebagai agunan atau
jaminan kredit, konsepsi pengalihan hak milik dengan kepcrcayaan dalam
jaminan fidusia, adalah semata-mata untuk mcmbcrikan jaminan kepastian
pengembalian kredit, sebagai perlindungan bagi keamanan kreditur.
Memang apabila dilihat lebih jauh terhadap konstruksi jaminan fidusia
akan membingungkan dan dapat menimbulkan salah tafsir apabila
dikaitkan dengan unsur dari pengertian fidusia tentang ”pengalihan hak
56
milik” yang sering ditafsirkan bahwa penerima jaminan fidusia semestinya
menjadi pemilik atas benda yang bersangkutan. Apabila ditinjau lebih jauh
riwayat sebenarnya merupakan penyelundupan atas ketentuan gadai yang
diatur pada Pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata untuk membedakan dari
gadai berdasarkan kebutuhan praktek hukum jaminan. Karena hukum
merupakan suatu sistem yang tidak memungkinkan untuk adanya
pertentangan sehingga digunakan istilah pengalihan hak milik untuk
membedakan dengan gadai.
2. Untuk kepentingan pelunasan tertentu
Unsur ini menunjuk pada penjelasan bahwa pemberian jaminan fidusia
memiliki tujuan yang sama dengan jaminan lainnya yaitu untuk jaminan
agar debitur memenuhi kewajibannya yaitu dalam pelunasan utang tertentu.
Dengan demikian terlihat bahwa perjanjian pokoknya adalah hutang
piutang dan perjanjian pemberian jaminan fidusianya sebagai perjanjian
tambahan (accessoir). Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 4 Undang-
Undang Jaminan Fidusia yang menyatakan : ”Jaminan Fidusia merupakan
perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban
bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Sedangkan ciri perjanjian
tambahan (accessoir) adalah perjanjian tersebut tidak dapat berdiri sendiri,
kemudian berakhirnya adalah tergantung pada berakhirnya perjanjian
pokoknya.
57
3. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia
terhadap kreditur lain dari pelunasan atau kewajiban debitur (pemberi
jaminan fidusia). Unsur ini menunjukkan bahwa kreditur penerima fidusia
akan mempunyai posisi lebih baik di depan hukum dalam penagihan,
demikian pula apabila terjadi eksekusi terhadap benda jaminan fidusia,
maka kedudukannya lebih diutamakan atau didahulukan daripada kreditur
lainnya dalam mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi dari
benda jaminan fidusia. Hal demikian dinamakan hak preferen.
Dalam perkembangannya di zaman Romawi, ada dua bentuk jaminan
fidusia yaitu fiducia cum amino dan fiducia cum creditore.78 Keduanya timbul
dari perjanjian yang disebut pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan
penyerahan hak.79 Fiducia cum amino contracta yang artinya janji kepercayaan
yang dibuat dengan teman. Lembaga ini sering digunakan dalam hal seorang
pemilik suatu benda harus mengadakan perjalanan keluar kota dan sehubungan
dengan itu menitipkan kepemilikan benda tersebut kepada teman dengan janji
bahwa teman akan mengembalikan benda tersebut jika pemiliknya sudah
kembali dari perjalanannya. Dalam fiducia cum amino contracta ini
kewenangan diserahkan kepada pihak pcnerima akan tetapi kepentingan tetap
ada pada pihak pemberi.80
78 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Loc. Cit.
79 Ibid.
80 Ibid, hal. 115.
58
Fiducia cum creditore contracta berarti janji kepercayaan yang dibuat
dengan debitur, bahwa debitur akan mengalihkan suatu benda kepada kreditur
sebagai suatu jaminan utang dengan kesepakatan bahwa kreditur akan
mengalihkan kembali benda jaminan tersebut apabila utang debitur sudah
dibayar lunas, karena debitur bertindak dengan kepercayaan, hubungan seperti
ini dinamakan hubungan yang didasarkan atas fides atau hubungan fiduciair.81
Timbulnya fiducia cum creditore ini disebabkan adanya suatu
kebutuhan akan hukum jaminan yang belum diatur oleh konstruksi hukum.
Dengan fiducia cum creditore ini maka kewenangan yang dimiliki kreditur
akan lebih besar yaitu sebagai pemilik atas barang yang dialihkan sebagai
jaminan. Debitur percaya bahwa kreditur tidak akan menyalahgunakan
wewenang yang diberikan itu. Kekuatannya hanya terbatas pada kepercayaan
dan secara moral saja dan bukan kekuatan hukum. Debitur tidak akan dapat
berbuat apa-apa jika kreditur tidak mau mengembalikan hak milik atas barang
yang diserahkan sebagai jaminan itu. Hal ini merupakan kelemahan fidusia
pada bentuk awalnya jika dibandingkan dengan sistem hukum jaminan yang
kita kenal sekarang.82 Karena kelemahan itu maka ketika gadai dan hipotek
berkembang sebagai hak-hak jaminan serta adanya hukum tertulis yang
mengaturnya, akhirnya fidusia hilang dari Hukum Romawi.
Ketika negara-negara Eropa Kontinental seperti Perancis dan Belanda
mengadopsi hukum Romawi, dalam hukum Romawi lembaga fidusia sudah 81 J. Satrio II, Op. Cit, hal 166.
82 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 114.
59
lenyap sehingga dalam Burgerlijk Wetboek (BW) tidak dikenal lembaga
fidusia, yang diatur hanya hipotek (hak tanggungan) dan pand (gadai). Baru
kemudian terasa lagi kebutuhan dalam praktek hukum di negeri Belanda
sehingga lembaga fidusia dimunculkan lagi dalam praktek dan diakui oleh
yurisprudensi. Lahirnya lembaga fidusia di negeri Belanda tidak terlepas dari
kebutuhan dan keadaan perekonomian pada saat itu. Pada abad 19, di negeri
Belanda terjadi kemerosotan hasil panen, sehingga perusahaan pertanian
sangat membutuhkan modal. Lembaga hipotik tidak dapat diandalkan saat itu
karena petani memiliki tanah yang sangat terbatas, apalagi lembaga gadai, para
petani tidak dapat menyerahkan barang-barang pertanian yang justru sangat
dibutuhkan untuk proses produksi pertaniannya. Hal yang sama juga berlaku
untuk wilayah Hindia Belanda (Indonesia) saat itu. Dengan keadaan seperti itu,
di negeri Belanda saat itu ada usaha-usaha untuk menanggulangi masalah
tersebut antara lain dengan jalan memformulasi pinjaman dalam bentuk bank-
bank koperasi. Di Indonesia (Hindia Belanda) saat itu ditanggulangi dengan
cara mengintrodusir jaminan hutang dalam bentuk “ikatan panen”
(oogstverband).
Oogstverband adalah suatu jaminan untuk pinjaman uang, yang
diberikan atas panen yang akan diperoleh dari suatu perkebunan (teh, kopi,
dan sebagainya) berdasarkan Koninklijk Besluit tanggal 24 Januari 1886 (Stbl.
60
1886-57).83 Dari pengertian oogstverband, ada 3 (tiga) hal yang cukup penting
harus diketahui yaitu pertama, oogstverband sebagai lembaga jaminan
memiliki karakter kebendaan (zakenlijke caracter) berarti lembaga
oogstverband mempunyai sifat-sifat kebendaan antara lain haknya dapat
dipertahankan terhadap siapapun juga, hak mengikuti bendanya ditangan
siapapun benda itu berada dan mudah dieksekusi; kedua, objek oogstverband
adalah hasil-hasil pertanian yang belum dipetik beserta perusahaan serta
peralatan yang dipakai untuk mengolah hasil pertanian; ketiga, hakikat
oogstverband.84 Atas satu panenan hanya dapat berlaku satu oogstverband,
apabila ada beberapa maka yang berlaku hanya yang pertama diletakkannya
sedangkan yang kemudian dapat berlaku apabila yang pertama telah hapus
sebagai suatu jaminan (accesoir) tentunya oogstverband ini hapus kalau
utangnya telah dibayar. Menurut R. Soebekti, kelemahan dari lembaga ini
adalah bahwa Oogstverband hapus apabila hasil panen yang dijadikan jaminan
musnah.85
Bentuk jaminan “ikatan panen atau bank-bank koperasi” di dalam
pratek dirasakan tidak memadai sehingga yang terjadi saat itu adalah
perkembangan kebutuhan perekonomian lebih cepat dibandingkan
perkembangan hukum perkreditan dan jaminan. Di samping itu hukum positif
83 R. Soebekti, 1978, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut R. Soebekti III), hal. 29.
84 Tan Kamelo, 2004, Hukum Jaminan Fidusia, Alumni, Bandung, hal. 1.
85 R. Soebekti, Op. Cit, hal. 80.
61
saat itu tidak mengatur mengenai jaminan utang terhadap benda bergerak
(gadai) tanpa penyerahan barangnya. Konsekuensi dari statisnya sektor hukum
perkreditan dan jaminan tersebut melahirkan upaya-upaya untuk mencari jalan
keluar yuridis, maka akhirnya di Belanda digunakan kembali yang disebut
dengan fiducia cum creditore sampai akhirnya diakuinya lembaga fidusia
tersebut oleh yurisprudensi lewat putusan pertamanya tentang fidusia, yaitu
putusan tanggal 25 Januari 1929, N.J. 1929, 616, yang popular dengan nama
Bier Brouwerij Arrest. Kasusnya sebagai berikut:
NY Heineken Bierbrouwerij Maatschappij meminjamkan uang sejumlah f. 6000 (enam ribu gulden) kepada P. Bos pemilik warung kopi "Sneek" dengan jaminan berupa hipotek keempat atas tanah dan bangunan yang digunakan Bos sebagai tempat usahanya. Untuk lebih menjamin pelunasan utangnya, Bos menjual inventaris warungnya kepada Bierbrouwerij dengan hak membeli kembali dengan syarat bahwa inventaris itu untuk sementara dikuasai oleh Bos sebagai sebagai peminjam pakai. Pinjam pakai itu yang akan berakhir jika Bos tidak membayar utang pada waktunya atau pailit. Ternyata Bos benar-benar pailit dan hartanya diurus oleh kurator kepailitan (Mr. A.W. de Haan), termasuk inventaris tadi. Bierbrouwerij kemudian menuntut kepada kurator kepailitan untuk menyerahkan inventaris tadi dengan sitaan revindikasi. Kurator menolak dengan alasan bahwa perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali tersebut adalah tidak sah karena hanya berpura-pura saja. Dalam gugatan rekonpensi kurator kepailitan menuntut pembatalan perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali tersebut.86
Dalam sidang pengadilan pertama, pengadilan Rechtbank dalam
putusannya menolak gugatan Bierbrouwerij dan mengabulkan gugatan
rekonpensi, alasannya bahwa para pihak hanya berpura-pura mengadakan
perjanjian. Perjanjian yang sesungguhnya dilakukan adalah perjanjian dengan
86 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 117.
62
pemberian jaminan gadai tetapi tidak sah karena barangnya tetap berada dalam
penguasaan pemberi gadai sehingga bertentangan dengan larangan pasal 1152
ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Atas putusan tersebut,
Bierbrouwerij menyatakan banding yang keputusannya adalah bahwa
perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali tersebut adalah sah. Atas
putusan tersebut, kurator menyatakan kasasi dan Hoge Raad memutuskan
bahwa yang dimaksudkan oleh para pihak adalah perjanjian penyerahan hak
milik sebagai jaminan dan rnerupakan titel yang sah.
Putusan Hoge Raad dalam Bier Brouwerij Arrest tersebut mengakui
jaminan fidusia dengan pertimbangan :
1. perjanjian fidusia tidak bertentangan dengan aturan tentang gadai, karena
maksud para pihak tersebut bukanlah untuk membuat pengikatan gadai.
2. perjanjian fidusia tidak bertentangan dengan peritas creditorium karena
perjanjian tersebut mengenai barang-barang milik Heineken (kreditur),
bukan barang milik Bos (debitur).
3. perjanjian fidusia tersebut tidak bertentangan dengan asas kepatutan
4. perjanjian tersebut tidak merupakan penyelundupan hukum yang tidak
diperbolehkan.87
Keberadaan fidusia di Indonesia diakui oleh yurisprudensi berdasarkan
keputusan Hooggerechtsh of (HGH) tanggal 18 Agustus 1932, kasusnya
sebagai berikut :
87 Mariam Daruz Badrulzaman, 1979, Bab-Bab Tentang Credietverband, Gadai dan Fidusia, Bandung, Alumni, (selanjutnya disebut Mariam Daruz Badrulzaman III), hal. 91.
63
Pedro Clignett meminjam uang dari Bataafsche Petroeum Maatschappij (BPM) dengan jaminan hak milik atas sebuah mobil secara kepercayaan. Clignett tetap menguasai mobil itu atas dasar perjanjian pinjam pakai yang akan berakhir jika Clignett lalai membayar utangnya dan mobil tersebut akan diambil oleh BPM. Ketika Clignett benar-benar lalai, BPM menuntut penyerahan mobil dari Clignett, namun ditolaknya dengan alasan bahwa perjanjian yang dibuat itu tidak sah. Menurut Clignett, jaminan yang ada adalah gadai, tetapi karena barang gadai tetap berada dalam penguasaan debitur maka gadai tersebut tidak sah. Dalam putusannya HGH menolak alasan Clignett karena perjanjian yang dibuat bukanlah gadai melainkan fidusia yang telah diakui oleh Hoge Raad dalam Bier Brouwerij Arrest. Clignett diwajibkan menyerahkan jaminan tersebut kepada BPM.88
Setelah putusan BPM tersebut, baik Mahkamah Agung zaman Hindia
Belanda (HGH) maupun Mahkamah Agung (pengadilan tingkat bawahan) di
zaman kemerdekaan telah pula memberikan beberapa putusan yang antara lain
menyimpulkan :
1. Lembaga fidusia hanya diperuntukkan terhadap benda bergerak (Putusan
Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 22 Maret 1951)
2. Membenarkan pengikatan fidusia sepanjang mengenai percetakan dan
gedung perkantoran (Putusan Mahkamah Agung No. 372/K/Sip/1970
tanggal 1 September 1971)
3. Menegaskan bahwa kreditur pemilik fidusia (atas besi beton dan semen)
bukanlah pemilik yang sebenarnya tetapi hanya sebagai pemegang jaminan
hutang saja, sehingga jika hutang tidak dibayar, pihak kreditur tidak dapat
langsung memiliki (mendaku) benda tersebut (Putusan Mahkamah Agung
No. 1500/K/Sip/1978 tanggal 2 Februari 1980).
88 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 120.
64
Walaupun sudah diputuskan bahwa objek jaminan fidusia berupa benda
bergerak, namun dalam praktek untuk benda-benda tidak bergerak juga
digunakan sebagai jaminan fidusia. Apalagi dengan berlakunya Undang-
undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, perbedaan benda bergerak dengan
benda tidak bergerak menjadi kabur karena dalam UUPA tersebut
menggunakan pembedaan berdasarkan tanah dan bukan tanah. Dengan lahirnya
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka yang
menjadi objek jaminan fidusia menjadi jelas.
2.2.2 Dasar Hukum Jaminan Fidusia
Perkembangan dan penggunaan fidusia semakin meluas, terutama
setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-
Pokok Agraria. Selain benda bergerak, fidusia dapat pula dibebankan di atas
tanah-tanah yang tidak dapat dijaminkan melalui hipotik, seperti hak pakai dan
hak sewa. Mengenai hak pakai secara tegas Undang-Undang Pokok Agraria
tidak mengaturnya walaupun memiliki nilai ekonomis yang tinggi untuk
dijadikan sebagai jaminan hutang.89
Seminar Nasional tentang Fidusia, menurut para ahli hukum
mempermasalahkan apakah persoalan fidusia dibiarkan hidup dalam bentuk
hukum tidak tertulis atau cukup hanya diatur dalam yurisprudensi atau
dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah
Susun. Pengertian fidusia yang tercantum dalam Pasal 1 angka 8 membawa
89 Parlindungan A.P,1988, Komentar Atas Undang – Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, hal. 200.
65
perubahan yuridis yang cukup berarti dalam perkembangan jaminan fidusia.
Selanjutnya Pasal 12 dengan tegas mengatur bahwa satuan rumah susun dapat
dijaminkan dengan ikatan fidusia, kalau tanah milik bersama di atas mana
rumah susun itu berdiri berstatus Hak Pakai Milik Negara.
Pengakuan fidusia juga diikuti oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1992 tentang Pemukiman dan Perumahan mengatur pemilikan rumah sebagai
objek jaminan fidusia berdasarkan asas pemisahan horisontal terlepas dari hak
atas tanahnya. Pengaturan jaminan fidusia secara parsial dalam kedua Undang-
Undang tersebut dirasakan kurang memadai dan belum sempurna untuk
menjawab tantangan perkembangan hukum masyarakat khususnya dalam lalu
lintas perkreditan. Memperhatikan keadaan seperti itu, maka kemudian
diterbitkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Kehadiran Undang-Undang ini diharapkan dapat menjawab segala
permasalahan hukum yang menyangkut lembaga jaminan fidusia.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa sebelum lahirnya Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia telah ada peraturan
yang berkaitan dengan fidusia. Pertama, Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman yang menentukan bahwa
rumah-rumah yang dibangun di atas tanah yang dimiliki oleh pihak lain dapat
dibebani dengan jaminan fidusia. Kedua, Undang-Undang Nomor 16 Tahun
1985 tentang Rumah Susun, mengatur mengenai hak milik atas satuan rumah
66
susun yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani fidusia jika
tanahnya tanah hak pakai atau tanah negara.
Kedua peraturan dimaksud sudah tidak memadai lagi dan tidak
memberikan jaminan kepastian hukum bila dilihat dari segi perkembangan
penggunaan jaminan fidusia yang semakin meningkat. Kehadiran Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dimaksudkan untuk
menampung kebutuhan masyarakat mengenai pengaturan jaminan fidusia
sebagai salah satu sarana untuk membantu kegiatan usaha dan untuk memberi
kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan.
Dengan diundangkannya Undang-Undang jaminan fidusia memberikan
kepastian hukum mengenai pemberian kredit dengan jaminan benda bergerak
yang masih dalam penguasaan debitur atau pemberi fidusia. Undang-Undang
tentang jaminan fidusia tersebut sangat lama ditunggu masyarakat perbankan
bertujuan memberikan ketentuan hukum yang jelas dan lengkap mengenai
lembaga jaminan fidusia sehingga dapat membantu dunia usaha untuk
mendapatkan dana dari perbankan dengan jaminan benda bergerak yang masih
dikuasai debitur. Menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi
pihak-pihak yang berkepentingan (kreditur dan debitur) dalam menyediakan
pendanaan dengan jaminan fidusia.
Dalam suatu Undang-Undang, kepastian hukum meliputi dua hal,
yakni : pertama, kepastian perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak
bertentangan satu dengan yang lainnya baik dari pasal-pasal Undang-Undang
67
itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang
berada di luar Undang-Undang tersebut. Kedua, kepastian dalam melaksanakan
norma-norma dan prinsip-prinsip hukum Undang-Undang tersebut. Jika
perumusan norma dan prinsip hukum itu sudah memiliki kepastian hukum
tetapi hanya berlaku secara yuridis saja dalam arti hanya demi Undang-
Undang semata-mata, berarti kepastian hukum itu tidak pernah menyentuh
kepada masyarakatnya. Dengan perkataan lain, peraturan hukum yang
demikian disebut dengan norma hukum yang mati (doodregel) atau hanya
sebagai penghias yuridis dalam kehidupan manusia.90
2.2.3 Subjek dan Objek Jaminan Fidusia
Chaidir Ali berpendapat bahwa yang dimaksud dengan subyek hukum
adalah manusia yang berkepribadian hukum (legal personality) dan segala
sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat yang oleh hukum
diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban.91 Dapat pula dikatakan bahwa
subyek hukum adalah pendukung atau pembawa hak dan kewajiban artinya
subyek hukum itu mempunyai hak-hak dan kewajiban dalam perbuatan hukum
yang dilakukan.92 Jadi pendukung atau pembawa hak dan kewajiban adalah
manusia atau orang. Subyek hukum dalam jaminan fidusia adalah para pihak
yang terlibat dalam pembuatan perjanjian atau akta jaminan fidusia. Dalam
90 Tan Kamelo, 2004, Hukum Jaminan Fidusia, Alumni Bandung, hal. 117-118
91 Chaidir Ali, 1976, Badan Hukum, Alumni Bandung, hal. 12
92 Sutarno, Op. Cit, hal. 9.
68
jaminan fidusia, ada pihak yang dikatakan sebagai penerima fidusia
(kreditur/bank) dan pihak pemberi fidusia (debitur).
Black's Law Dictionary menyatakan:
“Creditor is a person to whom a debt is owning by another person who
is the “debtor”…………”.93
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan :
“Kreditur adalah yang berpiutang, yang memberikan kredit, penagih”.94
Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan secara implisit menyatakan
bahwa kreditur yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
adalah bank.
Black's Law Dictionary menyatakan:
“A bank is an institution, usually incorporate, whose business it is to
receive money on deposit, cash checks or drafts, discount commercial paper,
make loans, and issue promissory notes payable to bearer, known as bank
notes. American commercial banks fall into rtwo main categories; state
chartered banks and federally chartered national banks.”95
93 Henry Black Campbell, 1990, Black's Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co., St. Paul, Minn, hal. 368.
94 Departemen Pendidikan Nasional, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 600.
95 Henry Black Campbell, Op Cit, hal. 367.
69
Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
menyatakan :
”Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak.96
Pengertian debitur juga terdapat dalam Black's Law Dictionary yang
menyatakan:
“Debtor is one who owes a debt to another who is called the creditor;
one who may be compelled to pay a claim or demand; anyone liable on a
claim, whether due or to become due”.97
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan :
”Debitur adalah orang atau lembaga yang berutang kepada orang atau
lembaga lain”.98
Dalam pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42
Tahun 1999 menyebutkan bahwa pemberi fidusia (debitur) adalah orang
perorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia,
sedangkan dalam pasal 1 ayat (6) menyebutkan, penerima fidusia (kreditur/
bank) adalah orang perorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang
96 Thomas Suyatno, 1993, Kelembagaan Perbankan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 1. 97 Henry Black Campbell, Op. Citm hal. 404.
98 Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit, hal. 243.
70
pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia. Untuk membuktikan bahwa
benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia milik sah pemberi fidusia, maka
harus dilihat bukti-bukti kepemilikan benda-benda jaminan tersebut. Penerima
fidusia memiliki hak untuk mendapatkan pelunasan utang yang diambil dari
nilai objek fidusia dengan cara menjual oleh kreditur sendiri ataupun melalui
pelelangan umum.
Objek jaminan fidusia adalah benda bergerak baik yang berwujud
maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang
tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek sebagaimana yang dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Pada
awalnya yaitu zaman Romawi, objek fidusia adalah meliputi baik benda
bergerak maupun tidak bergerak. Pemisahan mulai diadakan setelah mulai
dikenal gadai dan hipotek. Di zaman Belanda, objek fidusia dipersamakan
dengan gadai karena pada waktu itu fidusia dianggap sebagai jalan keluar
untuk menghindari larangan dalam gadai. Sementara itu di kalangan
Mahkamah Agung berpendapat bahwa jaminan fidusia hanya diperuntukkan
terhadap benda bergerak. Mengingat dalam UUPA, pembedaan atas benda
bergerak dan benda tidak bergerak dengan menggunakan tanah dan bukan
tanah, bangunan-bangunan yang terletak di atas tanah tidak dapat dijaminkan
terlepas dari tanahnya.
Perkembangan ini sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat,
dimana orang yang menguasai tanah dengan hak-hak atas tanah yang tidak bisa
71
dijaminkan dengan hak tanggungan seperti hak sewa, hak pakai atau hak
menumpang, dapat diatasi dengan jaminan fidusia, Dengan lahirnya Undang-
Undang Jaminan Fidusia, yang menjadi objek jaminan fidusia menjadi lebih
jelas, yaitu mengacu pada beberapa pasal dari Undang-Undang tersebut antara
lain Pasal 1 ayat 4, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20. Benda-benda yang menjadi
objek jaminan fidusia adalah:
1. Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum. 2. Dapat atas benda berwujud. 3. Dapat juga atas benda tidak berwujud, termasuk piutang. 4. Benda bergerak 5. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak
tanggungan. 6. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikatkan dengan hipotik. 7. Baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan
diperoleh kemudian. Dalam hal benda yang akan diperoleh kemudian, tidak diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersendiri.
8. Dapat atas satu satuan atau jenis benda 9. Dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda. 10. Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia. 11. Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi objek
jaminan fidusia 12. Benda persediaan (inventory, stock perdagangan) dapat juga
menjadi objek jaminan fidusia.
Dalam hukum Anglo Saxon, terhadap pembebanan fidusia yang
berobjekan benda persediaan ini, dikenal dengan nama Floating Lien atau
Floting Charges. Disebut ’floating’ (mengambang) karena jumlahnya benda
yang menjadi objek jaminan sering berubah-ubah sesuai dengan persediaan
stok, mengikuti irama pembelian dan penjualan dari benda tersebut. Fidusia
72
terhadap benda persediaan ini diakui oleh pengadilan di Inggris sejak tahun
1870 dalam kasus Re Panama, New Zealand and Australian Royal Mail Co.99
Sifat mengambang dari floating charges ini berubah menjadi spesifik
jika terjadi suatu tindakan yang disebut dengan kristalisasi yaitu terjadi
keadaan-keadaan sebagai berikut:
1. pengumuman pemberesan dalam likuidasi suatu perusahaan
2. jika terjadi wanprestasi atas surat berharga yang dijamin dengan floting
charges
3. jika diangkat receiver (kurator) oleh pengadilan
2.2.4 Sifat-Sifat Jaminan Fidusia
Jaminan Fidusia sebagai hak kebendaan yang sekarang ini diatur dalam
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mempunyai
sifat-sifat sebagai berikut :
a. Jaminan Fidusia mempunyai sifat accessoir
Jaminan Fidusia bersifat accessoir artinya jaminan fidusia bukan
hak yang berdiri sendiri tetapi lahirnya keberadaannya atau hapusnya
tergantung perjanjian pokoknya. Yang dimaksud perjanjian pokok adalah
perjanjian yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk
memenuhi prestasi. Perjanjian pokok misalnya perjanjian kredit atau
perjanjian utang atau perjanjian lainnya yang menimbulkan kewajiban
99 Munir Fuady II, Op. Cit, hal. 23.
73
para pihak untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat
sesuatu yang dapat dinilai dengan uang.
Sifat accessoir dari jaminan fidusia berdasarkan pada Pasal 4
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
mengatur bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dan suatu
perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk
memenuhi prestasi. Sedangkan Pasal 25 juga menegaskan bahwa Jaminan
Fidusia hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia.
b. Jaminan Fidusia mempunyai sifat droit de suite
Jaminan fidusia memiliki sifat Droit De Suite ini mengikuti sifat
droit de suite, seperti Hak Tanggungan karena prinsip droit de suite
merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan Indonesia dalam
kaitannya dengan hak mutlak atas kebendaan. Jaminan fidusia yang
memiliki sifat droit de suite artinya penerima jaminan fidusia atau
kreditur mempunyai hak mengikuti benda yang menjadi objek jaminan
fidusia dalam tangan siapapun benda berada. Namun, sifat ini
dikecualikan untuk obyek jaminan fidusia yang berbentuk benda
persediaan (inventory). Obyek Jaminan Fidusia yang berbentuk benda
persediaan tersebut merupakan barang-barang dari hasil produksi industri
yang memang untuk diperdagangkan.
Sifat droit de suite dapat dicontohkan benda obyek jaminan
fidusia berupa bus-bus atau truck oleh pemilik benda dijual kepada pihak
74
lain, maka dengan sifat don’t de suite, jika debitur cidera janji kreditur
sebagai penerima jaminan fidusia tetap dapat mengeksekusi benda
jaminan bus-bus atau truk meskipun oleh pemberi fidusia telah dijual dan
dikuasai pihak lain. Jadi penjualan obyek jaminan fidusia oleh pemilik
benda tersebut tidak menghilangkan hak kreditur untuk mengeksekusi
benda jaminan (obyek fidusia) itu.100
c. Jaminan Fidusia memberikan hak preferent
Kreditur sebagai penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan
(preferent) terhadap kreditur lainnya artinya jika debitur cidera janji atau
lalai membayar hutangnya, maka kreditur penerima fidusia mempunyai
hak untuk menjual atau mengeksekusi benda jaminan fidusia dan kreditur
mendapat hak didahulukan untuk mendapatkan pelunasan hutang dari
hasil eksekusi benda jaminan fidusia tersebut.
Contoh Bank Nasional Indonesia (BNI) memberikan kredit
kepada B dengan jaminan fidusia berupa kendaraan truk dan bus.
Ternyata B juga mempunyai hutang di Bank Tabungan Negara (BTN)
tanpa jaminan. Jadi B memiliki hutang kepada BNI dan BTN. Jika
debitur cidera janji, maka BNI sebagai penerima fidusia mendapatkan
pelunasan terlebih dahulu dari hasil eksekusi benda jaminan, sedangkan
BTN baru mendapatkan pelunasan jika hasil eksekusi tersebut lebih besar
dari pelunasan seluruh hutang B kepada BTN.
100 Sutarno, Loc Cit.
75
d. Jaminan Fidusia untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada.
Fungsi jaminan fidusia ialah untuk menjamin pelunasan suatu utang
yang besarnya telah diperjanjikan dalam perjanjian pokok yaitu
perjanjian kredit atau perjanjian utang. Utang yang dijamin pelunasannya
dengan fidusia harus memenuhi syarat sesuai Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yaitu :
1. Utang yang telah ada artinya besarnya utang yang ditentukan dalam
perjanjian kredit atau perjanjian lainnya. Besarnya utang yang ada
dalam perjanjian kredit merupakan jumlah utang maksimum atau
disebut plafond kredit. Sering terjadi jumlah plafond kredit yang
tercantum dalam perjanjian kredit tidak seluruhnya ditarik oleh
debitur sehingga jumlah utang yang sebenarnya tidak sama dengan
jumlah plafond dalam perjanjian kredit. Oleh karena itu besarnya
utang telah ada, dapat menggunakan bukti tambahan berupa rekening
koran atau bukti lainnya yang dikeluarkan bank. Rekening koran yang
diterbitkan bank inilah merupakan bukti besarnya jumlah utang riil
yang ada yang dijamin pelunasannya dengan jaminan fidusia.
2. Utang yang akan timbul dikemudian hari yang telah diperjanjikan
dalam jumlah tertentu. Utang yang akan timbul di kemudian hari atau
yang akan ada ini misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang
akan dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka
pelaksanaan garansi bank. Utang ini merupakan utang yang akan ada
76
karena terjadinya di masa akan datang tetapi jumlahnya utang sudah
bisa ditentukan sesuai komitmen kreditur untuk membayar bank
garansi akibat debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada
penerima bank garansi (pihak yang dijamin).
3. Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya
berdasarkan perjanjian kredit yang menimbulkan kekayaan memenuhi
suatu prestasi. Pada saat eksekusi terhadap jaminan fidusia, kreditur
akan menentukan jumlah utang riil debitur berdasarkan perjanjian
kredit atau rekening koran yang meliputi penarikan hutang pokok,
bunga, denda keterlambatan dan biaya-biaya lainnya yang
dikeluarkan kreditur. Berdasarkan bukti-bukti tersebut jumlah utang
dapat ditentukan pada saat kreditur akan mengajukan eksekusi.
e. Jaminan Fidusia dapat menjamin lebih dari satu utang
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia mengatur bahwa jaminan fidusia dapat diberikan kepada lebih
dari satu penerima fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari penerima
fidusia tersebut. Dari ketentuan pasal ini, maka benda jaminan fidusia
dapat dijaminkan oleh debitur kepada kreditur hanya berlaku dalam
rangka pembiayaan kredit secara konsorsium atau sindikasi. Artinya
seorang kreditur secara bersama-sama dengan kreditur lain (secara
konsorsium atau sindikasi) memberikan kredit kepada seorang debitur
dalam satu perjanjian kredit. Jaminan fidusia yang diberikan debitur
77
digunakan untuk menjamin kepada semua kreditur itu secara bersama.
Antara kreditur satu dengan kreditur lainnya mempunyai kedudukan
yang sama atas jaminan fidusia, tidak ada kreditur yang memiliki
peringkat yang lebih tinggi dibanding debitur lain.
Dari ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia ini tidak berlaku ketentuan pemegang jaminan
peringkat pertama, pemegang jaminan fidusia peringkat kedua terhadap
kreditur yang memberikan kredit secara bilateral kepada seorang debitur.
Tidak adanya peringkat jaminan fidusia dengan peringkat utama, kedua
dan seterusnya dapat mengacu pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mengatur bahwa pemberi
fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi
obyek jaminan fidusia yang sudah terdaftar.
Hal ini berbeda dengan Hak Tanggungan yang mengenal peringkat
Hak Tanggungan pertama, kedua dan seterusnya yang berlaku bagi
kreditur dalam memberikan kredit kepada debitur baik dilakukan secara
bersama-sama dengan kreditur lain atau konsorsium atau sindikasi
maupun secara bilateral atau masing-masing kreditur.
f. Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial
Kreditur sebagai penerima fidusia mempunyai hak untuk
mengeksekusi benda jaminan bila debitur cidera janji. Hak untuk
mengajukan eksekusi tersebut berdasarkan Pasal 15 ayat 3 Undang-
78
Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mengatur
apabila debitur cidera janji, kreditur sebagai penerima fidusia mempunyai
hak untuk menjual benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas
kekuasaan sendiri. Hak untuk menjual obyek jaminan fidusia atas
kekuasaan sendiri merupakan perwujudan dari sertifikat jaminan fidusia
yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang artinya menegaskan
Sertifikat Jaminan Fidusia yang dicantumkan kata-kata ”Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mempunyai kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan sifat eksekutorial ini jika
debitur cidera janji maka kreditur sebagai penerima fidusia dapat
melakukan penjualan benda jaminan secara langsung dengan bantuan
Kantor Lelang atau tidak dengan bantuan Kantor Lelang dan tidak perlu
meminta fiat dari pengadilan. Hak kreditur untuk menjual sendiri benda
jaminan dinamakan Parate Eksekusi.
g. Fidusia mempunyai sifat spesialitas dan publisitas
Sifat spesialitas adalah uraian yang jelas dan rinci mengenai obyek
jaminan fidusia. Benda yang menjadi obyek jaminan fidusia harus
diuraikan secara jelas dan rinci dengan cara mengidentifikasi benda
79
jaminan tersebut, dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya dalam
Akta Jaminan Fidusia.
Sifat publisitas adalah berupa pendaftaran Akta Jaminan Fidusia
yang merupakan akta pembebanan benda yang dibebani Jaminan Fidusia.
Pendaftaran Akta Jaminan Fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran
Fidusia tempat dimana Pemberi Fidusia berkedudukan. Untuk benda-
benda yang dibebani Jaminan Fidusia tetapi berada di luar wilayah
Negara Republik Indonesia tetap didaftarkan di kantor Pendaftaran
Fidusia di Indonesia dimana pemberi fidusia berkedudukan. Dengan
dilaksanakan pendaftaran benda yang dibebani jaminan fidusia di Kantor
Pendaftaran Fidusia, maka masyarakat dapat mengetahui bahwa suatu
benda telah dibebani Jaminan Fidusia sehingga masyarakat akan berhati-
hati untuk melakukan transaksi atas benda tersebut dan sekaligus
memberikan jaminan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai benda
yang telah dibebani jaminan fidusia. Pendaftaran benda yang telah
dibebani jaminan fidusia ini untuk memenuhi asas publisitas seperti
tercantum pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia yang mengatur bahwa benda yang dibebani dengan
jaminan fidusia wajib didaftarkan.
h. Fidusia berisi hak untuk melunasi utang
Pada umumnya sifat ini ada dalam setiap hak jaminan yang
menjamin pelunasan utang, seperti Hak Tanggungan juga memiliki sifat
80
ini. Sifat ini sesuai fungsi setiap jaminan yang memberikan hak dan
kekuasaan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari hasil
penjualan jaminan tersebut bila debitur cidera janji bukan untuk dimiliki
kreditur. Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi debitur dari tindakan
sewenang-wenang kreditur. Seandainya debitur setuju mencantumkan
janji bahwa benda yang menjadi obyek fidusia akan menjadi milik
debitur jika debitur cidera janji maka oleh Undang-Undang janji
semacam itu batal demi hukum. Batal hukum artinya sejak semula
dianggap tidak pernah ada sehingga tidak perlu dilaksanakan (vide Pasal
33 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia).
Sifat-sifat atau karakteristik dari jaminan fidusia sebagaimana
diuraikan di atas sesuai atau selaras dengan azaz-azas yang ada dalam
lembaga jaminan.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, bahwa peraturan perundang-
undangan Indonesia mengatur tentang azas-azas jaminan yang garis besarnya
sebagai berikut :
1) Benda yang menjadi obyek jaminan adalah benda bergerak maupun benda tidak bergerak.
2) Mempunyai sifat hak kebendaan (real right) sebagaimana diatur dalam Pasal 528 BW. Sifat dari pada hak kebendaan itu sendiri, yaitu : a. Absolut, yaitu dapat dipertahankan pada setiap orang. b. Droit de suite,yaitu hak kebendaan mengikuti benda pada
siapapun dia berada. 3) Memiliki hak accessoir, yaitu suatu hak yang hapusnya bergantung
pada perjanjian pokoknya (accessoir), seperti perjanjian kredit.
81
4) Adanya hak preferent yaitu hak yang didahulukan pemenuhannya dari piutang lainnya (Pasal 1133, 1134 dan 1198 BW)101
2.2.5 Tata Cara Pembebanan Jaminan Fidusia
Pembebanan atau pengikatan jaminan fidusia melalui beberapa
tahapan sesuai dengan peraturan yang berlaku yang dimaksud dengan
tahapan-tahapan pengikatan atau pembebanan fidusia adalah rangkaian
perbuatan hukum dari dibuatnya perjanjian pokok yang berupa perjanjian
kredit atau perjanjian utang, pembuatan akta jaminan fidusia sampai dilakukan
pendaftaran di Kantor Pendaftaran fidusia sampai mendapatkan sertifikat
jaminan fidusia. Adapun tahap-tahap pengikatan (pembebanan) jaminan fidusia
sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Tahap Pertama (Pembuatan Perjanjian Pokok)
Tahap pertama didahului dengan dibuatnya perjanjian pokok yang
berupa perjanjian kredit atau perjanjian utang. Perjanjian pokok yang
berupa perjanjian kredit dapat dibuat dengan akta di bawah tangan artinya
dibuat oleh Kreditur dan Debitur sendiri atau akta otentik artinya dibuat
oleh dan di hadapan Notaris. Didahuluinya pembuatan perjanjian pokok
yang berupa perjanjian kredit ini sesuai sifat accessoir dari Jaminan
Fidusia yang artinya pembebanan Jaminan Fidusia merupakan ikutan dari
perjanjian pokok. Pasal 4 Undang-Undang Fidusia menegaskan Jaminan
101 Mariam Darus Badrulzaman, 2000, Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan,
Makalah disampaikan dalam Seminar Sosialisasi UUNo.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI Bekerjasama dengan PT. Bank Mandiri (Persero), Jakarta, 9-10 Mei 2000, (selanjutnya disebut Mariam Daruz Badrulzaman IV), hal. 3-4.
82
Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang
menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.
Perjanjian jaminan sebagai perjanjian ikutan (tambahan)
dimaksudkan untuk mendukung secara khusus perjanjian terdahulu yaitu
perjanjian pokok (perjanjian kredit) yang telah disepakati dan yang hanya
memiliki sifat relatif. Menurut Mochamad Isnaeni:
Pada umumnya diakui bahwa segala sesuatu yang memperoleh dukungan akan menjadi lebih kokoh ketimbang saat sebelumnya ketika tidak ada pendukungnya. Begitu pula kalau perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok bermula sekedar memiliki sifat relative, sehingga krediturnya hanya berposisi sebagai kreditur konkuren, kalau kemudian didukung oleh perjanjian jaminan (tambahan) yang bersifat kebendaan, mengakibatkan kreditur yang bersangkutan berubah posisi menjadi kreditur preferen dengan hak-hak yang lebih istimewa.102
b. Tahap Kedua (Pembuatan Akta Jaminan Fidusia)
Tahap kedua berupa pembebanan benda dengan jaminan Fidusia
yang ditandai dengan pembuatan Akta Jaminan Fidusia ditandatangani
Kreditur sebagai penerima Fidusia dan pemberi Fidusia (debitur atau
pemilik benda tetapi bukan debitur). Dalam Akta Jaminan Fidusia selain
dicantumkan hari dan tanggal pembuatan juga dicantumkan mengenai
waktu atau jam pembuatan akta tersebut. Bentuk Akta Jaminan Fidusia
adalah akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris. Pengikatan
atau pembebanan fidusia dilakukan dengan menggunakan instrument yang
102 Mochamad Isnaeni, 1996, Hipotik Pesawat Udara di Indonesia, CV. Dharma Muda, Surabaya, hal. 36.
83
disebut “Akta Jaminan Fidusia”. Akta jaminan fidusia ini haruslah dibuat
dengan akta Notaris (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999).
Sejalan dengan ketentuan yang mengatur Hipotik dan Hak
Tanggungan, maka Akta Jaminan Fidusia harus dibuat oleh dan di
hadapan pejabat yang berwenang, yaitu Notaris.103 Pasal 1870 KUH
Perdata menyatakan bahwa Akta Notaris merupakan akta otentik yang
memiliki kekuatan pembuktian sempurna tentang apa yang dimuat di
dalamnya di antara para pihak beserta para ahli warisnya atau para
pengganti haknya. Itulah sebabnya mengapa Undang-Undang Fidusia
(Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999) menetapkan perjanjian Fidusia
harus dibuat dengan Akta Notaris.104
Menurut Ratnawati W. Prasadja, alasan Undang-Undang
menetapkan bentuk perjanjian pembebanan jaminan fidusia dengan akta
notaris adalah : Pertama, akta notaris adalah akta otentik, sehingga
memiliki kekuatan pembuktian sempurna; Kedua, obyek jaminan fidusia
umumnya adalah benda bergerak; Ketiga, Undang-Undang melarang
adanya fidusia ulang.105
Kewajiban pembebanan jaminan fidusia dengan akta notaris, adalah
merupakan norma yang bersifat memaksa (dwingenrecht). Sudah tentu
apabila dibuat hanya dengan akta di bawah tangan, perjanjian jaminan
103 Gunawan Widjaya dan Achmad Yani, OP. Cit, hal. 135.
104 Ibid, hal. 36.
105 Tan Kamelo, Op. Cit, hal. 131.
84
fidusia itu tidak memiliki eksistensi dan konsekuensinya tidak dapat
didaftarkan untuk memenuhi azas publisitas sebagaimana dikehendaki oleh
Undang-Undang.
Secara teoritis fungsi akta adalah untuk kesempurnaan perbuatan
hukum (formalitas causa)106, dan akta notaris mempunyai kekuatan
pembuktian lahir sesuai azas “acta publica proban seseipsa”. Bila
dibandingkan dengan akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan
pembuktian lahir karena tanda tangan pada akta di bawah tangan masih
dapat dipungkiri oleh para pihak. Dengan demikian, akta notaris
mempunyai kekuatan hukum dan kepastian hukum yang lebih besar dan
sempurna dibandingkan akta di bawah tangan.107
Akta jaminan fidusia sebagaimana dimaksud, haruslah berisikan
sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut :
(a) Identitas pihak pembeli fidusia, berupa : - Nama lengkap, - Agama, - Tempat tinggal atau tempat kedudukan, - Tempat lahir, - Tanggal lahir, - Jenis kelamin, - Status perkawinan, - Pekerjaan.
(b) Identitas pihak penerima fidusia, yakni tentang data seperti tersebut di atas.
(c) Haruslah dicantumkan hari, tanggal dan jam pembuatan akta fidusia. (d) Data perjanjian pokok yang dijamin dengan fidusia.
106 Sudikno Mertokusumo, 1970, Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangannya di Indonesia, Universitas Gajah Mada, Gunung Agung, Jakarta, (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo II), hal. 121-122.
107 Tan Kamelo, Op. Cit, hal. 130.
85
(e) Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia, yakni tentang identifikasi benda tersebut, dan surat bukti kepemilikannya. Jika bendanya selalu berubah-ubah seperti benda dalam persediaan (inventory), haruslah disebutkan tentang jenis, merek, dan kualitas dari benda tersebut.
(f) Berapa nilai penjaminannya. (g) Berapa nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.108
c. Tahap Ketiga (Pendaftaran Jaminan Fidusia)
Pada tahap ketiga ini, ditandai dengan pendaftaran jaminan fidusia di
Kantor Pendaftaran Fidusia di tempat kedudukan pemberi Fidusia (domisili
debitur atau pemilik benda jaminan fidusia).
Pendaftaran jaminan fidusia diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal
18 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan
Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran
Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Peraturan
Pemerintah ini terdiri atas 4 bab dan 14 pasal. Hal-hal yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah ini meliputi pendaftaran fidusia, tata cara perbaikan
sertifikat, perubahan sertifikat, pencoretan pendaftaran, dan penggantian
sertifikat.
Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia ditentukan bahwa benda, baik yang berada di dalam wilayah
negara Republik Indonesia maupun berada di luar wilayah negara Republik
Indonesia yang dibebani jaminan fidusia wajib didaftarkan. Pendaftaran
dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Untuk pertama kalinya Kantor
108 Munir Fuady, Op.Cit, hal. 20.
86
Pendaftaran Fidusia didirikan di Jakarta dengan wilayah kerja mencakup
seluruh wilayah RI. Tapi kini Kantor Pendaftaran Fidusia telah dibentuk pada
setiap provinsi di Indonesia. Kantor Pendaftaran Fidusia berada dalam lingkup
tugas Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Menurut J. Satrio Undang-Undang Fidusia menganut prinsip
pendaftaran jaminan fidusia. Sekalipun dalam pasal 11 Undang-Undang
Fidusia disebutkan ”benda yang dibebankan jaminan fidusia wajib
didaftarkan”, tetapi sebaliknya dibaca ”jaminan fidusia” harus didaftarkan,
karena dari ketentuan-ketentuan lebih lanjut dapat diketahui bahwa demikian
itulah yang dimaksud oleh pembuat Undang-Undang.109
Pendaftaran jaminan fidusia dilakukan oleh kreditur atau kuasanya atau
wakilnya. Dalam prakteknya kreditur memberikan kuasa kepada Notaris yang
membuat akta jaminan fidusia untuk melakukan pendaftaran jaminan fidusia
dimaksud. Adapun tujuan pendaftaran jaminan fidusia adalah :
1. Untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang
berkepentingan.
2. Memberikan hak yang didahulukan (preferent) kepada penerima fidusia
terhadap kreditur yang lain. Ini disebabkan jaminan fidusia memberikan
hak kepada penerima fidusia untuk tetap menguasai bendanya yang
menjadi obyek jaminan fidusia berdasarkan kepercayaan (Penjelasan
109 J. Satrio II, Op. Cit, hal. 175.
87
Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran
Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia).110
Prosedur dalam pendaftaran jaminan fidusia, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia dan Peraturan Pemerintah Nomor 86 tahun 2000
tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta
Jaminan Fidusia disajikan berikut ini:
1. Permohonan pendaftaran fidusia dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa,
atau wakilnya pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Permohonan itu diajukan
secara tertulis dalam bahasa Indonesia. Permohonan pendaftaran itu dengan
melampirkan pernyataan pendaftaran fidusia. Pernyataan itu memuat:
a. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;
b. Tempat, nomor akta jaminan fidusia, nama, dan tempat;
c. Kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia;
d. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;
e. Uraian mengenai objek benda jaminan yang menjadi obyek jaminan
fidusia;
f. Nilai penjaminan; dan
g. Nilai benda yang menjadi objek benda jaminan fidusia.
Permohonan itu dilengkapi dengan:
a. Salinan akta notaris tentang pembebanan jaminan fidusia;
110 Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Salim HS III), hal. 21.
88
b. Surat kuasa atau surat pendelegasian wewenang untuk melakukan
pendaftaran jaminan fidusia;
c. Bukti pembayaran biaya pendaftaran jaminan fidusia (Pasal 2 ayat (4)
Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara
Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan
Fidusia).
2. Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat jaminan fidusia dalam buku daftar
fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan
pendaftaran.
3. Membayar biaya pendaftaran fidusia
Biaya pendaftaran fidusia diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 86
Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya
Pembuatan Akra Jaminan Fidusia. Biaya pembuatan pendaftaran fidusia
ditentukan secara berjenjang. Biaya pendaftaran fidusia disesuaikan dengan
besarnya nilai penjaminannya. Apabila nilai penjaminannya kurang dari
Rp 50.000.000, maka besarnya biaya pendaftarannya paling banyak
Rp 50.000. Besarnya biaya pendaftaran fidusia ini adalah 1 per mil dari
nilai penjaminan (nilai kredit).
Walaupun biaya pembuatan akta jaminan telah ditentukan dalam Peraturan
Pemerintah, namun para notaris juga telah menentukan tarif yang
dikenakan kepada nasabah. Tarif yang ditentukan oleh notaris sebesar 2 %
dari nilai jaminan. Oleh karena itu, diharapkan ke depan para notaris dapat
memungut biaya dari nasabah sesuai dengan Peraturan Pemerintah.
89
4. Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan dan menyerahkan kepada
Penerima Fidusia sertifikat jaminan fidusia pada tanggal yang sama
dengan penerimaan permohonan pendaftaran. Sertifikat jaminan fidusia
merupakan salinan dari Buku Daftar Fidusia. Hal-hal yang tercantum
dalam sertifikat jaminan fidusia adalah:
a. Dalam judul sertifikat jaminan fidusia dicantumkan kata-kata ”DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
Sertifikat jaminan ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
yang tetap. Apabila debitur cidera janji, penerima fidusia mempunyai
hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas
kekuasaannya sendiri;
b. Di dalam sertifikat jaminan fidusia dicantumkan hal-hal berikut ini:
1) Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia,
2) Tempat, nomor akta jaminan fidusia, nama, dan tempat
kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia;
3) Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;
4) Uraian mengenai obyek benda jaminan yang menjadi obyek
jaminan fidusia;
5) Nilai penjaminan;
6) Nilai benda yang menjadi obyek benda jaminan fidusia.
5. Jaminan Fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya
jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia.
90
BAB III
TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP BENDA JAMINAN FIDUSIA YANG MUSNAH DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK
3.1 Pendeskripsian Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit
Dalam praktek perkreditan yang sesungguhnya, ternyata jaminan
merupakan hal yang sangat diutamakan oleh bank daripada sekedar jaminan
berupa keyakinan bahwa debiturnya akan membayar kembali kredit tersebut.
Bank dalam rangka mengamankan kepentingannya selaku kreditur tidak
dilarang untuk meminta jaminan kepada pihak debitur, hal tersebut mempunyai
dasar hukum yang sangat kuat sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal
1131 KUH Perdata, yaitu bahwa seluruh harta kekayaan debitur merupakan
jaminan bagi pelunasan piutang seluruh krediturnya. Dengan demikian, maka
hampir setiap bentuk aktiva perusahaan atau aktiva pribadi dapat digunakan
sebagai jaminan untuk kredit.
Perjanjian kredit dengan meminta jaminan dari debitur dimaksudkan
untuk mengurangi resiko yang timbul dari perjanjian kredit tersebut, akan
tetapi tidak semua perjanjian kredit yang dilakukan oleh pihak bank dengan
debitur dapat berjalan sebagaimana mestinya. Resiko yang dapat terjadi
dengan penggunaan benda jaminan bergerak memiliki resiko yang sangat besar
karena pihak debitur bisa saja melakukan fidusia ulang dengan mengalihkan
hak kepemilikan benda jaminan bergerak kepada pihak lain tanpa
91
sepengetahuan kreditur sebagai penerima fidusia. Hal tersebut sebagaimana
diatur pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia, yaitu pemberi fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap
benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang sudah terdaftar. Pada bagian
Penjelasan dari Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia, hal tersebut disebabkan karena hak kepemilikan atas benda tersebut
telah beralih kepada penerima fidusia (constitutum poosessorium).
Resiko lain yang dapat terjadi adalah dengan musnahnya barang
jaminan. Dalam peraturan yang mengatur tentang fidusia, tidak ditemukan
defenisi dalam aturan tersebut tentang istilah ”musnahnya” barang jaminan.
Namun, sejauhmana mengartikan musnahnya barang jaminan dalam penelitian
ini perlu dipertegas. Berpedoman pada Kamus Besar Bahasa Indonesia,
dapatlah diartikan bahwa yang dimaksudkan dengan ”musnah” adalah lenyap,
binasa atau hilang.111 Dengan demikian, musnahnya barang jaminan fidusia
dalam penulisan ini adalah barang yang dijadikan jaminan fidusia dalam
perjanjian kredit telah lenyap atau hilang.
Sebelum lebih jauh menjelaskan tentang resiko terhadap musnahnya
benda jaminan, maka dapatlah dikaji dengan memperhatikan pendapat Subekti,
yaitu resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan oleh
suatu peristiwa yang terjadi di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa
111 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, hal. 767.
92
barang yang menjadi obyek dari suatu perjanjian.112 Resiko merupakan suatu
akibat dari suatu keadaan yang memaksa (Overmacht) sedangkan ganti rugi
merupakan akibat dari wanprestasi. Sebagai contoh, pembebanan risiko
terhadap obyek sewa didasarkan terjadinya suatu peristiwa di luar dari
kesalahan para pihak yang menyebabkan musnahnya barang atau obyek sewa.
Musnahnya barang yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa dapat dibagi
menjadi dua macam yaitu :
a) Musnah secara total (seluruhnya)
Jika barang yang menjadi oyek perjanjian sewa-menyewa musnah yang
diakibatkan oleh peristiwa di luar kesalahan para pihak maka perjanjian
tersebut gugur demi hukum. Pengertian musnah di sini berarti barang yang
menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa tidak lagi bisa digunakan
sebagaimana mestinya, meskipun terdapat sisa atau bagian kecil dari
barang tersebut masih ada. Ketentuan tersebut diatur di dalam pasal 1553
KUH Perdata yang menyatakan jika musnahnya barang terjadi selama
sewa-menyewa berlangsung yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang
tidak bisa dipertanggungjawabkan pada salah satu pihak maka perjanjian
sewa-menyewa dengan sendirinya batal.
b) Musnah sebagian
Barang yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa disebut musnah
sebagian apabila barang tersebut masih dapat digunakan dan dinikmati
112 Subekti, Aneka Perjanjian, hal. 92
93
kegunaannya walaupun bagian dari barang tersebut telah musnah. Jika
obyek perjanjian sewa-menyewa musnah sebagian maka penyewa
mempunyai pilihan, yaitu :
1. Meneruskan perjanjian sewa-menyewa dengan meminta pengurangan
harga sewa.
2. Meminta pembatalan perjanjian sewa-menyewa.
Terkait dengan musnahnya barang jaminan sebagaimana yang
dipaparkan pada bagian sebelumnya ini, telah memberikan gambaran bahwa
yang dimaksudkan dengan musnah yang dapat terjadi pada sebuah barang
khususnya yang menjadi jaminan ada dua yaitu musnah secara total dan
musnah sebagian. Kedua hal tersebut tentunya membawa konsekuensi-
konsekuensinya secara sendiri.
Dengan demikian, tergambar secara jelas bahwa Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dalam pengaturan norma-
normanya masih belum dapat menjawab permasalahan dalam hal jaminan
fidusia, khususnya mengartikan musnahnya barang jaminan. Sehingga
diartikan dengan berpedoman pada kamus bahwa yang dimaksudkan dengan
musnah dalam pengkajian ini adalah hilangnya, rusaknya barang yang
dijadikan sebagai jaminan dalam perjanjian kredit.
94
3.2 Pengaturan tentang Tanggung Jawab Debitur Terhadap Benda Jaminan Yang Musnah Dalam Perjanjian Kredit
Terkait dengan musnahnya benda jaminan dalam perjanjian kredit tidak
diuraikan yang dimaksud dengan musnahnya benda jaminan. Namun, pada
bagian sebelumnya pada bab ini telah dipertegas bahwa yang dimaksudkan
dengan musnahnya barang jaminan adalah lenyap atau hilang. Kondisi
musnahnya barang jaminan dapat diklasifikasikan pada musnah seluruhnya
atau musnah sebagian.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tidak
secara rinci menjelaskan tentang sebab akibat dari musnahnya barang jaminan.
Terkait dengan musnahnya barang jaminan hanyalah disebutkan bahwa
musnahnya benda yang menjadi objek jaminan adalah salah satu bagian atau
alasan dari hapusnya jaminan fidusia. Hal tersebut sebagaimana dikaji secara
rinci pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
pada Pasal 25 ayat (1) mengatur bahwa Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal
sebagai berikut:
a. hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia;
b. pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia; atau
c. musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
Pada ayat (2) ditambahkan bahwa musnahnya benda yang menjadi objek
Jaminan Fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf b. Sehingga tidak nampak secara rinci yang dimaksudkan
95
dengan musnahnya benda jaminan yang menjadi obyek jaminan fidusia
tersebut. Namun berdasarkan penafsiran yang dilandasi pada pengertian secara
umum dari kata ”musnah”, maka diartikan sebagai lenyap atau hilangnya
barang yang menjadi objek jaminan.
Jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan
fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas
benda persediaan yang menjadi objek jaminan fidusia yang dikenal dengan
prinsip ”droit de suite” yaitu hak mutlak atas kebendaan. Pemberi fidusia
dilarang mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan kepada pihak lain
benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang tidak merupakan benda
persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima
fidusia. Benda persediaan adalah benda yang telah ada selain dari benda pokok
jaminan yang dijadikan jaminan fidusia. Benda persediaan berdasarkan Pasal
21 ayat (1) boleh dialihkan oleh debitur tetapi wajib diganti dengan benda
yang setara, kecuali apabila telah terjadi cidera janji oleh debitur dan atau
Pemberi Fidusia pihak ketiga.
Tanggung jawab debitur terhadap musnahnya barang jaminan dalam
perjanjian kredit adalah sebuah konsekuensi dari peristiwa yang terjadi. Di sini
akan muncul perbedaan antara tanggung jawab dan kewajiban. Terkait dengan
penelitian ini, maka dapatlah dijelaskan bahwa istilah ”tanggung jawab”
diartikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbuatan (hal tersebut)
96
bertanggungjawab atau sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan.113
”Kewajiban” adalah sesuatu yang harus dikerjakan, sesuatu yang harus
dilaksanakan, sesuatu yang berkenaan dengan tugas atau pekerjaan.114 Dengan
demikian dapat disimpulkan secara ringkas bahwa tanggungjawab lebih luas
maknanya dibandingkan kewajiban. Sebab tanggung jawab berisiko pada
akibat dari sesuatu atau sesuatu yang dilaksanakan dengan mempertegas pada
konsekuensi, sedangkan kewajiban hanya terfokus pada sesuatu yang harus
dilaksanakan tanpa menekankan pada konsekuensi. Penelitian ini mengkaji
sejauhmana tanggungjawab dari salah satu pihak (debitur) terhadap musnahnya
barang jaminan.
Terkait dengan suatu perjanjian pada dasarnya akan menimbulkan
kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi. Jika debitur tidak
melakukan apa yang dijanjikannya, maka ia disebut wanprestasi. Jika pihak
kreditur yang lalai akan kewajibannya, maka ia disebut mora creditor.
Wanprestasi dari seorang debitur dapat berupa :
a. Tidak melakukan prestasi sama sekali.
b. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.
c. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktu.
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Risiko merupakan suatu akibat dan suatu keadaan yang memaksa
(Overmacht) sedangkan ganti rugi merupakan akibat dari wanprestasi. Apabila
113 Depdiknas, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 739.
114 --------------, 1979, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gitamedia Press, hal. 795.
97
debitur atau pemberi fidusia cidera janji, tidak dapat mengembalikan kredit
tepat pada waktunya, maka mekanisme atau prosedur pelaksanaan eksekusi
atas barang yang menjadi jaminan fidusia adalah pihak bank harus
memberitahukan secara tertulis kepada mereka agar segera menyerahkannya
kepada bank. Setelah barang dikuasai oleh bank, maka tindakan selanjutnya
melaksanakan eksekusi jaminan fidusia.
Terhadap risiko tersebut di atas, maka beberapa usaha yang
dilakukan oleh manusia untuk mengatasi risiko, yaitu :
1. Menerima risiko, apabila suatu risiko yang dihadapi oleh seseorang
diperkirakan tidak begitu besar atau usaha untuk menghindari, mencegah,
memperalihkan itu diperhitungkan lebih besar daripada keuntungannya,
maka orang yang menghadapi risiko itu mungkin akan mengambil sikap,
bahwa ia akan menerima saja risiko itu. Dengan kata lain ia akan pasrah
saja.
2. Menghindari risiko, menghindari atau menjauhi adalah suatu cara
menghadapi masalah yang penuh dengan risiko. Seseorang yang
menghindari atau menjauh dari suatu pekerjaan, suatu benda yang penuh
risiko, berarti dia berusaha menghindari risiko itu sendiri.
3. Mencegah risiko, dengan cara melakukan beberapa usaha sehingga akibat
yang tidak diharapkan, yang mungkin timbul akan dapat diatasi atau
dihindari.
98
4. Mengalihkan risiko, bahwa seseorang yang menghadapi risiko meminta
orang lain untuk menerima risiko tersebut. Ini dilakukan dengan
memperalihkan risiko tersebut berdasarkan suatu perjanjian.
Beberapa cara mengatasi risiko maka pengalihan risiko merupakan cara
yang paling efektif, karena dengan cara mengalihkan risiko kepada pihak lain
yang telah disepakati tentunya pihak tersebut bersedia mengambil alih risiko.
Hal demikian berarti bahwa jika risiko atau peristiwa yang tidak pasti benar-
benar terjadi maka pihak yang bersedia menanggung peralihan risiko tersebut
adalah lembaga pertanggungan yaitu perusahaan asuransi. Besarnya uang
pertanggungan yang diterima tidak akan pernah sebanding dengan akibat yang
ditimbulkan karena kecelakaan, kerusakan, kehilangan, dan cacat. Namun,
setidaknya uang pertanggungan yang diterima, dapat meringankan beban ganti
rugi.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
tentang Usaha Perasuransian, pengertian Asuransi atau Pertanggungan adalah
perjanjian dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan
diri kepada pihak tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggungjawab hukum kepada
pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu
peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang
99
didasarkan atas meninggalnya atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan.
Dari pengertian tersebut, manusia dalam mengarungi kehidupannya dan
dalam setiap kegiatannya selalu berhadapan dengan risiko. Setiap orang yang
ingin memperkecil risiko yang akan terjadi karena peristiwa yang tidak pasti
dapat dilakukan dengan mengasuransikan segala sesuatu yang dapat
menimbulkan risiko.
Perusahaan asuransi tidak memberikan ganti rugi sepenuhnya atas
benda jaminan fidusia yang musnah tersebut, yang mengakibatkan bank masih
mengalami kerugian maka bank meminta kepada debitur untuk menutup sisa
kerugian yang timbui dengan beberapa cara :
1. Dengan cara pengembalian langsung sisa kerugian yang tidak diganti
sepenuhnya oleh perusahaan asuransi.
2. Jika debitur belum dapat mengembalikan sepenuhnya kerugian yang timbul
tanpa melalui perusahaan asuransi karena benda jaminan tidak
diasuransikan maka debitur meminta kebijakan kepada kreditur untuk
diberikan tenggang waktu pengembalian dari tenggang waktu yang telah
ditentukan dalam perjanjian, dan juga keringanan terhadap nilai pinjaman
yang harus dilunasi oleh debitur.
Tanggung jawab debitur terhadap jaminan benda bergerak yang hilang
adalah tetap mengembalikan pinjaman kredit kepada kreditur. Jika benda bergerak
yang diasuransikan hilang maka debitur tetap mempertanggungjawabkan
100
pengembalian pinjaman kredit melalui perusahaan asuransi kepada kreditur,
walaupun tidak dibayar sepenuhnya oleh perusahaan asuransi dimana benda
jaminan diasuransikan. Sisa dari pinjaman kredit yang belum lunas tetap
dilunasi oleh pihak debitur. Tetapi jika benda jaminan bergerak tidak
diasuransikan ternyata musnah maka debitur bertanggung jawab penuh dalam
pengembalian pinjaman kredit kepada kreditur. Hal ini dikarenakan debitur
telah terikat dalam perjanjian kredit dengan pihak bank. Pada dasarnya setiap
perjanjian kredit yang dilaksanakan tidak merugikan pihak bank, walaupun
dalam pelaksanaan perjanjian kredit itu benda jaminan musnah. Mengenai
perpindahan atau pengalihan hak milik dimaksud haruslah tetap mengacu
kepada sistem hukum jaminan yang berlaku, yaitu bahwa pihak penerima
jaminan atau kreditur tidak dibenarkan menjadi pemilik yang penuh atas benda
tersebut, artinya kewenangan kreditur hanyalah kewenangan yang berhak atas
benda jaminan dalam hal ini hanya hak kepemilikan yang beralih sedangkan
benda jaminan masih dikuasai oleh pemberi fidusia.
Konsekuensi hukum jika timbul masalah atau gugatan karena kesalahan
(kesengajaan atau kekuranghati-hatian) dari pemberi fidusia sehubungan
dengan penggunaan atau pengalihan benda jaminan fidusia, maka pihak
penerima fidusia dibebaskan dari tanggung jawab. Dengan kata lain pihak
pemberi fidusia yang bertanggung jawab penuh. Hal ini ditegaskan oleh Pasal
24 UU. No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang menyatakan bahwa :
101
“Penerima Fidusia tidak menanggung kewajiban atas akibat tindakan atau kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) dari pihak pemberi fidusia, baik yang timbul karena hubungan kontraktual atau timbul dari perbuatan melanggar hukum, sehubungan dengan penggunaan dan pengalihan benda yang menjadi objek jaminan fidusia.”
Dengan demikian di dalam setiap peijanjian kredit yang dilakukan
adanya pengikatan atau perlindungan terhadap benda jaminan debitur melalui
perusahaan asuransi khususnya terhadap benda jaminan bergerak merupakan
syarat penting yang bertujuan untuk mengantisipasi peristiwa-peristiwa yang
tidak diinginkan di kemudian hari. Sehingga dengan demikian pihak bank
dapat menuntut ganti rugi kepada perusahan asuransi, dimana benda jaminan
itu diasuransikan walaupun tidak dibayar sepenuhnya oleh perusahaan asuransi
tersebut.
102
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK TERHADAP MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM
PERJANJIAN KREDIT BANK
4.1 Dasar Hukum Penyelesaian Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank
Dasar hukum pengaturan Jaminan Fidusia secara umum diatur oleh
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Undang-
Undang Fidusia). Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa fidusia ialah
pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap
dalam penguasaan pemilik benda. Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas
benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda
tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai acuan bagi
pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya. Obyek atau benda-benda
yang dapat dibebani jaminan fidusia antara lain:
1) Benda bergerak berwujud, contohnya: kendaraan bermotor seperti mobil,
bus, truck, sepeda motor;
2) Barang bergerak tidak berwujud, contohnya: wesel; sertifikat deposito;
saham; obligasi; deposito berjangka; dan lain sebagainya;
103
3) Hasil dari benda yang menjadi obyek jaminan;
4) Klaim asuransi dalam hal benda yang menjadi obyek jaminan fidusia
diasuransikan;
5) Benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak
tanggungan yaitu hak milik satuan rumah susun di atas tanah hak pakai atas
tanah negara dan bangunan rumah yang dibangun di atas tanah orang lain;
6) Benda-benda termasuk piutang yang telah ada pada saat jaminan diberikan
maupun piutang yang diperoleh kemudian hari.
Pasal 25 (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia menjelaskan hapusnya Jaminan Fidusia disebabkan peristiwa-peristiwa
sebagai berikut yaitu: 1) Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia;
2) Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia (kreditur);
3) Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.
Penyelesaian hukum bagi permasalahan yang terkait dengan musnahnya
benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit bank tidak terlepas dari
memperhatikan sifat-sifat dari Jaminan Fidusia sebagai hak kebendaan yang
sekarang ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut sebagaimana telah
diuraikan pada bab-bab sebelumnya, yaitu :
a. Jaminan Fidusia mempunyai sifat accessoir
Jaminan Fidusia bersifat accessoir artinya jaminan fidusia bukan
hak yang berdiri sendiri tetapi lahirnya, keberadaannya atau hapusnya
104
tergantung perjanjian pokoknya. Yang dimaksud perjanjian pokok adalah
perjanjian yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi
prestasi. Perjanjian pokok misalnya perjanjian kredit atau perjanjian utang
atau perjanjian lainnya yang menimbulkan kewajiban para pihak untuk
memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu yang dapat
dinilai dengan uang.
Sifat accessoir dari jaminan fidusia berdasarkan pada Pasal 4
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur
bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dan suatu perjanjian
pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi
prestasi. Sedangkan Pasal 25 juga menegaskan bahwa Jaminan Fidusia
hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia.
b. Jaminan Fidusia mempunyai sifat droit de suite.
Jaminan fidusia memiliki sifat droit de suite ini mengikuti sifat
droit de suite, seperti Hak Tanggungan karena prinsip droit de suite
merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan Indonesia dalam
kaitannya dengan hak mutlak atas kebendaan. Jaminan fidusia yang
memiliki sifat droit de suite artinya penerima Jaminan Fidusia atau
Kreditur mempunyai hak mengikuti benda yang menjadi objek jaminan
fidusia dalam tangan siapapun benda berada. Namun, sifat ini dikecualikan
untuk obyek jaminan fidusia yang berbentuk benda persediaan (inventory).
Obyek Jaminan Fidusia yang berbentuk benda persediaan tersebut
105
merupakan barang-barang dari hasil produksi industri yang memang untuk
diperdagangkan.
Sifat droit de suite dapat dicontohkan benda obyek jaminan fidusia
berupa bus-bus atau truk oleh pemilik benda dijual kepada pihak lain, maka
dengan sifat droit de suite, jika debitur cidera janji kreditur sebagai
penerima jaminan fidusia tetap dapat mengeksekusi benda jaminan bus-bus
atau truk meskipun oleh pemberi fidusia telah dijual dan dikuasai pihak
lain. Jadi penjualan obyek jaminan fidusia oleh pemilik benda tersebut
tidak menghilangkan hak kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan
(obyek fidusia) itu.
c. Jaminan Fidusia memberikan hak preferent
Kreditur sebagai penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan
(preferent) terhadap kreditur lainnya artinya jika debitur cidera janji atau
lalai membayar hutangnya, maka kreditur penerima fidusia mempunyai hak
untuk menjual atau mengeksekusi benda jaminan fidusia dan kreditur
mendapat hak didahulukan untuk mendapatkan pelunasan hutang dari hasil
eksekusi benda jaminan fidusia tersebut.
Contoh Bank Nasional Indonesia (BNI) memberikan kredit kepada
B dengan jaminan fidusia berupa kendaraan truk dan bus. Ternyata B juga
mempunyai hutang di Bank Tabungan Negara (BTN) tanpa jaminan. Jadi B
memiliki hutang kepada BNI dan BTN. Jika debitur cidera janji, maka
BNI sebagai penerima fidusia mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dari
106
hasil eksekusi benda jaminan, sedangkan BTN baru mendapatkan
pelunasan jika hasil eksekusi tersebut lebih besar dari pelunasan seluruh
hutang B kepada BTN.
d. Jaminan Fidusia untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada.
Fungsi jaminan fidusia ialah untuk menjamin pelunasan suatu utang
yang besarnya telah diperjanjikan dalam perjanjian pokok yaitu perjanjian
kredit atau perjanjian utang. Utang yang dijamin pelunasannya dengan
fidusia harus memenuhi syarat sesuai Pasal 7 Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yaitu :
1. Utang yang telah ada artinya besarnya utang yang ditentukan dalam
perjanjian kredit atau perjanjian lainnya. Besarnya utang yang ada
dalam perjanjian kredit merupakan jumlah utang maksimum atau
disebut plafond kredit. Sering terjadi jumlah plafond kredit yang
tercantum dalam perjanjian kredit tidak seluruhnya ditarik oleh debitur
sehingga jumlah utang yang sebenarnya tidak sama dengan jumlah
plafond dalam perjanjian kredit. Oleh karena itu besarnya utang telah
ada, dapat menggunakan bukti tambahan berupa rekening koran atau
bukti lainnya yang dikeluarkan bank. Rekening koran yang diterbitkan
bank inilah merupakan bukti besarnya jumlah utang riil yang ada yang
dijamin pelunasannya dengan jaminan fidusia.
2. Utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan
dalam jumlah tertentu. Utang yang akan timbul di kemudian hari atau
107
yang akan ada ini misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang
akan dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka
pelaksanaan garansi bank. Utang ini merupakan utang yang akan ada
karena terjadinya di masa akan datang tetapi jumlahnya utang sudah
bisa ditentukan sesuai komitmen kreditur untuk membayar bank garansi
akibat debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada penerima bank
garansi (pihak yang dijamin).
3. Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan
perjanjian kredit yang menimbulkan kekayaan memenuhi suatu prestasi.
Pada saat eksekusi terhadap jaminan fidusia, kreditur akan menentukan
jumlah utang riil debitur berdasarkan perjanjian kredit atau rekening
koran yang meliputi penarikan hutang pokok,bunga,denda
keterlambatan dan biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan kreditur.
Berdasarkan bukti-bukti tersebut jumlah utang dapat ditentukan pada
saat kreditur akan mengajukan eksekusi.
e. Jaminan Fidusia dapat menjamin lebih dari satu utang
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia mengatur bahwa jaminan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari
satu penerima fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari penerima fidusia
tersebut. Dari ketentuan pasal ini, maka benda jaminan fidusia dapat
dijaminkan oleh debitur kepada kreditur hanya berlaku dalam rangka
pembiayaan kredit secara konsorsium atau sindikasi. Artinya seorang
108
kreditur secara bersama-sama dengan kreditur lain (secara konsorsium atau
sindikasi) memberikan kredit kepada seorang debitur dalam satu perjanjian
kredit. Jaminan fidusia yang diberikan debitur digunakan untuk menjamin
kepada semua kreditur itu secara bersama. Antara kreditur satu dengan
kreditur lainnya mempunyai kedudukan yang sama atas jaminan fidusia,
tidak ada kreditur yang memiliki peringkat yang lebih tinggi dibanding
debitur lain.
Dari ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia ini tidak berlaku ketentuan pemegang jaminan
peringkat pertama, pemegang jaminan fidusia peringkat kedua terhadap
kreditur yang memberikan kredit secara bilateral kepada seorang debitur.
Tidak adanya peringkat jaminan fidusia dengan peringkat utama, kedua
dan seterusnya dapat mengacu pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mengatur bahwa pemberi
fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi
obyek jaminan fidusia yang sudah terdaftar.
Hal ini berbeda dengan Hak Tanggungan yang mengenal peringkat
Hak Tanggungan pertama, kedua dan seterusnya yang berlaku bagi
kreditur dalam memberikan kredit kepada debitur baik dilakukan secara
bersama-sama dengan kreditur lain atau konsorsium atau sindikasi
maupun secara bilateral atau masing-masing kreditur.
109
f. Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial
Kreditur sebagai penerima fidusia mempunyai hak untuk
mengeksekusi benda jaminan bila debitur cidera janji. Hak untuk
mengajukan eksekusi tersebut berdasarkan Pasal 15 ayat 3 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mengatur apabila
debitur cidera janji, kreditur sebagai penerima fidusia mempunyai hak
untuk menjual benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaan
sendiri. Hak untuk menjual obyek jaminan fidusia atas kekuasaan sendiri
merupakan perwujudan dari sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan Pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang artinya menegaskan
Sertifikat Jaminan Fidusia yang dicantumkan kata-kata ”Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mempunyai kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Dengan sifat eksekutorial ini jika debitur cidera
janji maka kreditur sebagai penerima fidusia dapat melakukan penjualan
benda jaminan secara langsung dengan bantuan Kantor Lelang atau tidak
dengan bantuan Kantor Lelang dan tidak perlu meminta fiat dari
Pengadilan. Hak kreditur untuk menjual sendiri benda jaminan dinamakan
Parate Eksekusi.
110
g. Fidusia mempunyai sifat spesialitas dan publisitas
Sifat spesialitas adalah uraian yang jelas dan rinci mengenai obyek
jaminan fidusia. Benda yang menjadi obyek jaminan fidusia harus
diuraikan secara jelas dan rinci dengan cara mengidentifikasi benda
jaminan tersebut, dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya dalam
Akta Jaminan Fidusia.
Sifat publisitas adalah berupa pendaftaran Akta Jaminan Fidusia yang
merupakan akta pembebanan benda yang dibebani Jaminan Fidusia.
Pendaftaran Akta Jaminan Fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia
tempat dimana Pemberi Fidusia berkedudukan. Untuk benda-benda yang
dibebani Jaminan Fidusia tetapi berada di luar wilayah Negara Republik
Indonesia tetap didaftarkan di kantor Pendaftaran Fidusia di Indonesia
dimana pemberi fidusia berkedudukan. Dengan dilaksanakan pendaftaran
benda yang dibebani jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia, maka
masyarakat dapat mengetahui bahwa suatu benda telah dibebani Jaminan
Fidusia sehingga masyarakat akan berhati-hati untuk melakukan transaksi
atas benda tersebut dan sekaligus memberikan jaminan kepastian terhadap
kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia.
Pendaftaran benda yang telah dibebani jaminan fidusia ini untuk memenuhi
asas publisitas seperti tercantum pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mengatur bahwa benda yang
dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan.
111
h. Fidusia berisi hak untuk melunasi utang
Pada umumnya sifat ini ada dalam setiap hak jaminan yang menjamin
pelunasan utang, seperti Hak Tanggungan juga memiliki sifat ini. Sifat ini
sesuai fungsi setiap jaminan yang memberikan hak dan kekuasaan kepada
kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan jaminan
tersebut bila debitur cidera janji bukan untuk dimiliki kreditur. Ketentuan
ini bertujuan untuk melindungi debitur dari tindakan sewenang-wenang
kreditur. Seandainya debitur setuju mencantumkan janji bahwa benda yang
menjadi obyek fidusia akan menjadi milik debitur jika debitur cidera janji
maka oleh Undang-Undang janji semacam itu batal demi hukum. Batal
demi hukum artinya sejak semula dianggap tidak pernah ada sehingga tidak
perlu dilaksanakan (vide Pasal 33 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia).
Sifat-sifat atau karakteristik dari jaminan fidusia sebagaimana
diuraikan di atas sesuai atau selaras dengan azaz-azas yang ada dalam
lembaga jaminan. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, bahwa peraturan
perundang–undangan Indonesia mengatur tentang azas-azas jaminan yang
garis besarnya sebagai berikut :
1. Benda yang menjadi obyek jaminan adalah benda bergerak maupun
benda tidak bergerak.
112
2. Mempunyai sifat hak kebendaan (real right) sebagaimana diatur
dalam Pasal 528 KUH Perdata. Sifat dari pada hak kebendaan itu
sendiri, yaitu :
a. Absolut, yaitu dapat dipertahankan pada setiap orang.
b. Droit de suite,yaitu hak kebendaan mengikuti benda pada
siapapun dia berada.
3. Memiliki hak accessoir, yaitu suatu hak yang hapusnya bergantung
pada perjanjian pokoknya (accessoirum), seperti perjanjian kredit.
4. Adanya hak preferent yaitu hak yang didahulukan pemenuhannya dari
piutang lainnya (Pasal 1133, 1134 dan 1198 KUH Perdata)
Berdasarkan sifat-sifat jaminan fidusia sebagaimana diuraikan
sebelumnya, maka dapatlah dijelaskan bahwa konsekuensi dari perjanjian
accessoir apabila perjanjian induk atau perjanjian pokok tidak sah atau karena
sebab apapun hilang berlakunya atau dinyatakan tidak berlaku karena
berakhirnya perjanjian pokok, maka secara hukum perjanjian fidusia sebagai
perjanjian accessoir juga ikut menjadi batal atau juga ikut berakhir.
Pemberlakuan aturan ini mempunyai arti akta otentik yang berupa akta
jaminan fidusia dapat gugur karena akta perjanjian utang yang dibuat di bawah
tangan cacat hukum. Dalam hal piutang beralih kepada kreditur lain atau baru,
maka jaminan fidusia yang menjaminnya demi hukum ikut beralih kepada
kreditur baru. Jaminan fidusia bukan jaminan yang berdiri sendiri tetapi
keberadaannya atau hapusnya bergantung pada perjanjian pokoknya yang
113
menimbulkan kewajiban para pihak untuk memenuhi prestasi yang dapat
dinilai dengan uang, walaupun perjanjian pokoknya dibuat secara otentik
maupun di bawah tangan, baik dibuat di Indonesia maupun di luar negara
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
menegaskan secara jelas bahwa Jaminan Fidusia adalah agunan atau
kebendaan atau jaminan kebendaan yang memberikan kedudukan yang
didahulukan kepada penerima fidusia. Penerima fidusia memiliki hak yang
didahulukan terhadap kreditur lainnya. Hak yang didahulukan dari penerima
fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan pemberi fidusia. Penegasan
dimaksud menghilangkan keraguan dan pendapat bahwa jaminan fidusia tidak
menimbulkan hak agunan atas kebendaan, melainkan hanya merupakan
perjanjian obligatoir yang melahirkan hak yang bersifat persoonlijk
(perorangan) bagi kreditur.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia menentukan bahwa jaminan fidusia diberikan sebagai agunan
bagi pelunasan utang. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia berbunyi :
”Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya Bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan uang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur.”
114
Pasal 1 ayat (7) dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia mengatur lebih lanjut jenis utang yang pelunasannya
dapat dijamin dengan jaminan fidusia. Sehubungan dengan kedua ketentuan
dimaksud perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud dalam kedua pasal tersebut
adalah perikatan dalam Pasal 1233 dan 1234 KUH Perdata. Utang yang lahir
karena Undang-Undang adalah misalnya kewajiban membayar ganti rugi
karena perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata) dan negotiorum
gestio atau zaakwarneming seperti diatur dalam Pasal 1354-1357 KUH
Perdata.
4.2 Upaya Penyelesaian Masalah Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank
Perjanjian pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
kepercayaan dengan ketentuan hak kepemilikan atas benda yang dialihkan itu
tetap berada dalam penguasaan si pemilik benda. Apabila debitur pemberi
fidusia ingkar janji, kreditur penerima fidusia tidak dapat memiliki benda
jaminan itu atau dijual untuk mengambil pelunasan piutangnya sesuai dengan
hak preferensi yang diberikan oleh Undang-Undang kepada kreditur. Selain
itu, bahwa fidusia merupakan perjanjian yang memiliki sifat accessor dan
berkarakter kebendaan.
Jaminan secara hukum mempunyai fungsi untuk menanggulangi utang,
karena itu jaminan merupakan sarana perlindungan bagi para kreditur yaitu
kepastian akan pelunasan utang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi oleh
115
debitur atau penjamin debitur. Secara hukum baik jaminan kebendaan maupun
perorangan, keduanya merupakan sarana untuk menanggulangi utang. Dalam
berbagai literatur, jika mengkaji tentang jaminan selalu dikaitkan pada hak
kebendaan karena dalam KUH Perdata jaminan merupakan hak kebendaan
yang diatur dalam Buku II, sedangkan sebenarnya ada jenis jaminan lain yang
dalam KUH Perdata diatur dalam Buku III yaitu tentang perjanjian
penanggungan (bortoght) yang merupakan jaminan perorangan. Baik jaminan
kebendaan maupun jaminan perorangan merupakan sarana perlindungan bagi
para kreditur.
Jaminan kebendaan merupakan hak mutlak atas suatu benda tertentu
yang dijadikan untuk suatu ketika, apabila debitur ingkar janji dapat diuangkan
bagi pelunasan suatu utang.
Pembahasan tentang jaminan diarahkan kepada berbagai jenis cara
kreditur untuk menjamin dipenuhi tagihannya dan memberikan kewajiban
debitur untuk memberikan harta kekayaannya untuk diambil kreditur sebanyak
utang debitur. Kewajiban debitur tersebut dihubungkan dengan ketentuan
Pasal 1131 KUH Perdata dan Pasal 1132 KUH Perdata. Kedua pasal ini
mengatur semua barang bergerak dan tidak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang akan ada, menjadi jaminan bagi semua perikatan perorangannya.
Barang-barang itu menjadi jaminan bagi semua krediturnya. Hasil
penjualannya akan dibagi menurut perbandingan besarnya piutang masing-
116
masing kreditur, kecuali apabila di antara para kreditur itu ada yang memiliki
alasan yang sah menurut hukum untuk didahulukan pembayarannya.
Hal tersebut di atas menjadi kaitan diperlukannya lembaga jaminan,
karena seorang debitur itu tidak bisa dipaksa (secara fisik) membayar
hutangnya di luar kehendaknya sendiri, sekalipun dengan putusan hakim.
Pemaksaannya bisa dilakukan dengan penjatuhan uang paksa (dwangsom)
dalam suatu putusan hakim, namun uang paksa sebenarnya hanya satu upaya
agar debitur atas kesediaannya sendiri bersedia membayar hutangnya
(melakukan perbuatan hukum tertentu).
Apabila debitur tidak membayar hutangnya (tidak melakukan perbuatan
hukum sendiri) pada waktunya sebagaimana yang ditentukan dalam putusan
hakim, maka ia bisa dikenakan uang paksa untuk setiap hari keterlambatan
pembayaran. Uang paksa itu harus dibayarnya kepada kreditur.
Dalam hal seorang debitur tetap tidak memenuhi kewajibannya untuk
membayar sebagaimana ditentukan dalam putusan hakim, maka yang bisa
dilakukan oleh Pengadilan adalah melakukan sita eksekutorial atas harta
kekayaan debitur atas permintaan kreditur.
Dengan adanya sita eksekutorial ini kemudian diikuti pelelangan di
muka umum. Hasil penjualan lelang tersebut diserahkan kepada kreditur
sebagai pelunasan atas piutangnya. Langkah ini bisa dilakukan kalau debitur
masih memiliki barang-barang yang dapat disita dan dijual di muka umum.
117
Di lain pihak, dalam hal eksekusi untuk kepentingan beberapa orang
kreditur pada saat yang bersamaan, karena seorang kreditur melakukan
gugatan bersama-sama dengan beberapa kreditur lainnya, maka semua hasil
penjualan atas harta kekayaan debitur dibagi secara seimbang. Namun, hal
tersebut menimbulkan rasa tidak aman oleh para kreditur untuk itulah
diperlukannya lembaga penjamin. Dalam menganalisis jaminan fidusia tersebut
baik yang terdapat dalam putusan-putusan Pengadilan maupun perjanjian
fidusia yang terjadi dalam praktek perbankan dan peraturan perundang-
undangan yang mengatur jaminan fidusia, diperlukan pendekatan system
(approach system). Maksud menggunakan pendekatan sistem adalah
mensyaratkan terdapatnya kompleksitas masalah hukum jaminan fidusia yang
dihadapi dengan tujuan untuk menghindarkan pandangan yang
menyederhanakan persoalan jaminan fidusia sehingga menghasilkan pendapat
yang keliru.
Suatu sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu merupakan
landasan di atas mana dibangun tertib hukum.115 Berdasarkan teori sistem ini
dapat dirumuskan bahwa sistem hukum jaminan kebendaan adalah kumpulan
asas-asas hukum yang merupakan landasan, tempat berpijak di atas mana tertib
hukum jaminan kebendaan itu dibangun. Jadi, dengan adanya ikatan asas-asas
hukum tersebut, berarti hukum jaminan kebendaan merupakan suatu sistem
hukum.
115 Mariam Darus Badrulzaman, 1983, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni
Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman V), hal. 15.
118
Hukum jaminan fidusia bukanlah sekedar kumpulan atau penjumlahan
norma-norma hukum yang masing-masing berdiri sendiri melainkan peraturan
hukum jaminan fidusia memiliki arti yang penting dalam kaitannya dengan
norma-norma hukum lain dari jaminan kebendaan secara keseluruhan. Dengan
demikian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
sebagai sub sistem hukum jaminan kebendaan tidak boleh bertentangan satu
dengan yang lainnya. Dengan perkataan lain, norma hukum yang terdapat
dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia adalah satu kesatuan yang terdiri dari
unsur-unsur yang berinteraksi satu sama lain dan bekerjasama untuk mencapai
tujuan dari Undang-Undang tersebut. ”Kesatuan jaminan fidusia sebagai sub
sistem hukum jaminan kebendaan harus diterapkan terhadap kompleks unsur-
unsur yuridis seperti peraturan hukum jaminan fidusia, asas hukum dan
pengertian hukumnya.”116 Pendekatan sistem terhadap pemecahan jaminan
fidusia akan lebih sempurna apabila ditambahkan unsur lain dari sistem hukum
yaitu budaya hukum.117 Menurut Lawrence M. Friedmann, suatu sistem hukum
terdiri dari tiga unsur yaitu struktur (structure), substansi (substance) dan
budaya hukum (legal culture).118
116 Sudikno Mertokusumo, 1988, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hal. 102.
117 Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hal. 167.
118 Lawrance M Friedman, 1984, American Law, W.W. Norton & Company, New York-London, hal.5-6 dikutip oleh Tan Kamello, Op.Cit, hal. 21.
119
4.3 Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank
Prinsip hukum bahwa dalam Undang-Undang melalui ketentuannya
adalah hendak melindungi pihak atau orang tertentu, maka Undang-Undang
memberikan suatu hak tertentu kepada orang atau pihak yang bersangkutan dan
dalam peristiwa demikian, maka terserah kepada pihak atau orang yang hendak
dilindungi untuk menggunakan atau tidak hak tersebut. Perlindungan hukum
yang dimaksudkan dalam pengkajian ini adalah terkait dengan pihak pemberi
fidusia (debitur) dan penerima jaminan fidusia (kreditur).
Persoalan perlindungan hukum para pihak dalam jaminan fidusia adalah
mengenai eksekusi. Sertifikat jaminan fidusia ini merupakan salinan dari Buku
Daftar Fidusia yang memuat catatan tentang hal-hal yang dimuat dalam
pernyataan pendaftaran. Sertifikat jaminan fidusia tersebut mempunyai
kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini berarti apabila pemberi fidusia
(debitur) ingkar janji, kreditur dapat langsung meminta eksekusi tanpa melalui
gugatan.
Masalah perlindungan hukum terletak pada perlindungan penerima
fidusia dalam menghadapi pemberi fidusia yang beritikad buruk. Terkait
dengan jaminan fidusia sebagaimana telah diuraikan pada bagian-bagian
sebelumnya dari penelitian ini, maka untuk merealisasikan asas publisitas dan
asas spesialitas, maka Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia menggunakan sistem pendaftaran. Sistem pendaftaran ini pun
120
diharapkan dapat memberikan jaminan perlindungan kepada penerima fidusia
dan pihak yang mempunyai kepentingan terhadap benda tersebut.
Pasal 1870 KUH Perdata menyatakan bahwa akta notaris merupakan
akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian secara sempurna tentang apa
yang dimuat di dalamnya di antara para pihak beserta ahli warisnya atau para
pengganti haknya. Itulah sebabnya mengapa penting menetapkan perjanjian
fidusia harus dibuat dengan akta notaris. Apalagi mengingat obyek jaminan
fidusia pada umumnya adalah barang bergerak yang tidak terdaftar, maka
bentuk akta otentik dianggap menjamin kepastian hukum berkenaan dengan
obyek jaminan fidusia.
Sedangkan untuk memenuhi asas spesialitas, maka dalam akta jaminan
fidusia yang dibuat oleh notaris memuat mengenai uraian mengenai benda
yang menjadi obyek jaminan fidusia. Uraian mengenai benda yang menjadi
obyek jaminan fidusia cukup dilakukan dengan mengidentifikasi benda
tersebut dan dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya. Kalau benda
yang menjadi obyek jaminan fidusia merupakan benda dalam persediaan
(inventory) yang selalu berubah-ubah dan atau tidak tetap, maka dalam akta
jaminan fidusia dicantumkan uraian mengenai jenis, merek, kualitas dari benda
tersebut.
Demi memenuhi asas publisitas, maka Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur hal baru yaitu mengenai
pendaftaran jaminan fidusia guna memberikan kepastian hukum tidak saja
121
kepada para pihak tetapi juga kepada pihak ketiga serta menimbulkan hak
untuk didahulukan bagi penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.
Proses pendaftaran akta jaminan fidusia diatur dalam Pasal 11 sampai
dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia dan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara
Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.
Peraturan Pemerintah itu terdiri dari 4 bab dan 14 Pasal. Hal-hal yang diatur
dalam Peraturan Pemerintah meliputi pendaftaran fidusia dan biaya perbaikan
sertifikat, perubahan sertifikat, pencoretan pendaftaran, dan penggantian
sertifikat. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia mengatur :
(1) Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan. (2) Dalam hal Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia berada di
luar wilayah negara Republik Indonesia, kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap berlaku.
Pendaftaran yang dimaksudkan dilakukan pada Kantor Pendaftaran
Fidusia. Kantor Pendaftaran Fidusia yang dimaksudkan ini berada dalam
lingkup tugas Departemen Kehakiman. Hal ini secara jelas diatur dalam Pasal
12 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang
lengkapnya sebagai berikut :
(1) Pendaftaran Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1) dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia;
122
(2) Untuk pertama kali, Kantor Pendaftaran Fidusia didirikan di Jakarta
dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah negara Republik
Indonesia.
(3) Kantor Pendaftaran Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
berada dalam lingkup tugas Departemen Kehakiman.
(4) Ketentuan mengenai pembentukan Kantor Pendaftaran Fidusia untuk
daerah lain dan penetapan wilayah kerjanya diatur dengan Keputusan
Presiden.
Permohonan pendaftaran jaminan fidusia dilakukan oleh penerima
fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran
jaminan fidusia. Pernyataan pendaftaran jaminan fidusia memuat :
1. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;
2. Tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama dan tempat kedudukan
notaris yang membuat akta jaminan fidusia;
3. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;
4. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia;
5. Nilai penjaminan;
6. Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.
Pendaftaran jaminan fidusia ini dilakukan oleh Kantor Pendaftaran
Fidusia (KPF). Benda yang dibebani dengan jaminan fidusia, baik berada di
Indonesia maupun di luar Indonesia wajib didaftarkan di KPF di tempat
kedudukan pemberi fidusia. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
123
tentang Jaminan Fidusia mengatur bahwa Kantor Pendaftaran Fidusia (KPF)
yang menerima pendaftaran tersebut akan memuat jaminan fidusia dalam buku
daftar fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan
pendaftaran. Pendaftaran jaminan fidusia dilakukan hanya untuk melakukan
pengecekan data yang dimuat dalam pernyataan pendaftaran jaminan fidusia.
Berdasarkan pendaftaran jaminan fidusia tersebut, Kantor Pendaftaran Fidusia
akan menerbitkan dan menyerahkan sertifikat jaminan fidusia kepada penerima
fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan
pendaftaran jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia. Pasal 13 Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menguraikan sebagai
berikut :
1) Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia dilakukan oleh Penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia.
2) Pernyataan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat : a. Identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia; b. Tanggal, nomor akta Jaminan Fidusia, nama dan tempat
kedudukan notaris yang membuat akta Jaminan Fidusia; c. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia; d. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia; e. Nilai penjaminan; dan f. Nilai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.
3. Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran Jaminan Fidusia dan biaya pendaftaran diatur dengan Peraturan Pemerintah.
124
Apabila terjadi kekeliruan penulisan dalam sertifikat jaminan fidusia
yang telah diterima oleh pemohon, maka dalam waktu enam puluh (60) hari
setelah menerima sertifikat tersebut pemohon memberitahukan secara tertulis
kepada Kantor Pendaftaran Fidusia untuk diterbitkan sertifikat perbaikan.
Penerima fidusia wajib mengajukan permohonan pendaftaran
perubahan, jika selama fidusia dipasang terjadi perubahan mengenai hal-hal
yang tercantum dalam sertifikat jaminan fidusia. Perubahan tersebut harus
diberitahukan kepada para pihak dan tidak perlu dibuat dengan akta notaris.
Berdasarkan perubahan tersebut, Kantor Pendaftaran Fidusia akan melakukan
pencatatan perubahan tersebut pada tanggal yang sama dengan tanggal
penerimaan permohonan perubahan dalam Buku Daftar Fidusia dan akan
diterbitkan pernyataan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
sertifikat jaminan fidusia. Segala keterangan mengenai benda yang menjadi
obyek jaminan fidusia yang ada terbuka untuk umum. Hal tersebut diatur
berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia :
(1) Apabila terjadi perubahan mengenai hal-hal yang tercantum dalam
Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2), Penerima Fidusia wajib mengajukan permohonan
pendaftaran atas perubahan tersebut kepada Kantor Pendaftaran
Fidusia.
125
(2) Kantor Pendaftaran Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal
penerimaan permohonan perubahan, melakukan pencatatan perubahan
tersebut dalam Buku Daftar Fidusia dan menerbitkan Pernyataan
Perubahan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Sertifikat
Jaminan Fidusia.
Di samping itu, sertifikat jaminan tidak menutup kemungkinan terjadi
perubahan terhadap substansi. Bahwa yang dimaksud dengan perubahan
substansi antara lain perubahan objek jaminan fidusia berikut dokumen terkait,
perubahan penerima jaminan fidusia berikut dokumen, perubahan perjanjian
pokok yang dijamin fidusia, dan perubahan nilai jaminan.
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia mengatur Pemberi Fidusia dilarang melakukan Fidusia ulang terhadap
Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang sudah terdaftar. Segala
keterangan mengenai Benda Fidusia yang ada pada Kantor Pendaftaran Fidusia
terbuka untuk umum.
Pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia
mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban penerima
fidusia kepada kreditur baru. Namun, penerima fidusia tidak menanggung
kewajiban atas akibat tindakan atau kelalaian pemberi fidusia baik yang timbul
dari perbuatan melanggar hukum sehubungan dengan pengalihan benda yang
menjadi obyek jaminan fidusia. Apabila terjadi pengalihan jaminan fidusia,
maka pengalihan ini harus didaftarkan oleh kreditur baru kepada Kantor
126
Pendaftaran Fidusia. Hal tersebut di atas diuraikan berdasarkan Pasal 19
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, secara
lengkap mengatur bahwa :
(1) Pengalihan hak atas piutang dijamin dengan fidusia mengakibatkan
beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban Penerima Fidusia
kepada kreditur baru.
(2) Beralihnya Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didaftarkan oleh kreditur baru kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.
Fidusia ulang oleh pemberi fidusia, baik debitur maupun penjamin
pihak ketiga, tidak dimungkinkan atas benda yang menjadi obyek jaminan
fidusia, karena sebagian hak kepemilikan atas benda tersebut telah beralih
kepada penerima fidusia. Hal itu dipertegas dengan tidak dikenalnya roya
partial seperti halnya Undang-Undang Hak Tanggungan.
Berdasarkan asas droit de suit, maka jaminan fidusia tetap mengikuti
benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda
tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi obyek
jaminan fidusia tersebut tetap melekat. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur hal dimaksud.
Apabila utang dari pemberi fidusia telah dilunasi olehnya menjadi
kewajiban penerima fidusia, kuasanya, atau wakilnya untuk memberitahukan
secara tertulis kepada Kantor Pendaftaran Fidusia (KPF) mengenai hapusnya
jaminan fidusia yang dikarenakan hapusnya utang pokok. Pemberitahuan itu
127
dilakukan paling lambat tujuh hari setelah hapusnya jaminan fidusia. Dengan
diterimanya surat pemberitahuan tersebut, maka ada dua hal yang dilakukan
Kantor Pendaftaran Fidusia, yaitu sebagai berikut :
1. pada saat yang sama mencoret pencatatan jaminan fidusia dari dafatar
fidusia ; dan
2. pada tanggal yang sama dengan tanggal pencoretan jaminan fidusia dari
buku daftar fidusia, Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan surat
keterangan yang menyatakan ”sertifikat jaminan fidusia yang
bersangkutan tidak berlaku lagi.”
Selain itu, perlindungan hukum jika terjadi wanprestasi yang dilakukan
oleh debitur pemberi fidusia, maka pendaftaran ikatan jaminan atas benda
tidak terdaftar sesungguhnya tidak cukup melindungi kepentingan kreditur
terhadap pihak ketiga. Dalam hal yang dijaminkan adalah benda persediaan
atau inventory, maka kedudukan kreditur sangat lemah karena barang jaminan
baik jumlah, perpindahan maupun kedudukan atau keberadaan barang tersebut
sulit terdeteksi sehingga pemenuhan terhadap asas publisitas hanyalah sebuah
pemenuhan dekoratif terhadap suatu aturan hukum.
Selain itu, sistem pendaftaran dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia untuk sementara hanya bermanfaat bagi kreditur
besar dengan jaminan yang mempunyai nilai besar saja. Debitur dari sektor
unit Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sangat sulit diterapkan karena hanya
128
golongan tertentu khususnya pengusaha yang bermodal kuat saja yang dapat
memanfaatkan keberadaan Undang-Undang ini.
Hal-hal tersebut di atas menggambarkan kerancuan dalam peraturan
norma-norma dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia. Sebab, eksistensi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia tidak berdasar pada asas hukum, seakan-akan dibuat secara
tergesa-gesa dan tidak melewati kajian secara akademis yang memadai.
Berkaitan dengan dibuatnya suatu aturan hukum agar adanya ketertiban,
keteraturan dan memberikan kepastian hukum khususnya bagi pelaku usaha
dengan adanya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia. Artinya bahwa dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha
dengan menjadikan jaminan fidusia sebagai salah satu sumber pembiayaan
guna menunjang dinamika kegiatan usaha, ternyata yang terjadi sebaliknya,
yaitu ketidakteraturan dan ketidak pastian hukum atau legal uncertainty. Jika
terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak, perlindungan hukum
tidak berjalan secara efektif bagi pihak-pihak yang memerlukannya atau pihak
yang dirugikan.
Hal lain yang harus diperhatikan bagi keberlakuan suatu aturan hukum
menyangkut aspek moral, aspek sosial, dan aspek yuridis. Berkaitan dengan
tiga aspek tersebut Meuwissen dalam bukunya Rechtstheorie menegaskan
bahwa hukum itu memiliki suatu cara keberadaan tertentu yang kita namakan
129
keberlakuan (gelding). Sebagaimana yang kita lihat, keberlakuan itu mengenal
atau memiliki tiga aspek, yakni aspek moral, aspek sosial,dan aspek yuridis.119
Jika pendapat Meuwissen dihadapkan dengan eksistensi Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka dapat dikatakan
bahwa Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia hanya
memenuhi aspek yuridis saja sementara aspek moral, aspek sosial, dan aspek
filosofi pada dasarnya belum terpenuhi. Sementara sasaran yang ingin dicapai
guna memberikan perlindungan dan kepastian hukum, serta ketertiban dalam
masyarakat khususnya lembaga-lembaga pemberi kredit dalam kaitannya
dengan benda yang difidusiakan tidak tercapai secara efektif. Praktik
pembuatan aturan perundang-undangan seperti itu harus dicegah karena
membebani masyarakat dengan problematika hukum baru.
Jika membahas perlindungan hukum, maka terkait pula dengan
kepastian hukum. Sebab, bagaimana mungkin melakukan perlindungan hukum
sementara aturan hukum yang menjadi acuan untuk menilai sah tidaknya atau
dilakukannya suatu pelanggaran hukum memiliki ketidakpastian hukum hanya
karena aturan yang tidak jelas. Sehingga, perlu dipertegas dalam klausula suatu
peraturan perundang-undangan.
Dari hal-hal yang diuraikan di atas, maka Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia belum dapat memberikan perlindungan
119 D.H.M. Meuwissen, 1985, Rechtsteorie dalam Van Apeldoorn’s Inleiding Tot De
Studie Van Het Jamiederlandse Recht, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, hal. 433.
130
hukum jika terjadi Wanprestasi yang dilakukan oleh debitur Pemberi Fidusia.
Hal tersebut disebabkan beberapa faktor yaitu :
1. Bahwa pendaftaran ikatan jaminan atas benda tidak terdaftar sesungguhnya
tidak cukup melindungi kepentingan kreditur terhadap pihak ketiga.
2. Dalam hal yang dijaminkan adalah benda persediaan atau inventory, maka
kedudukan kreditur sangat lemah karena barang jaminan baik jumlah,
perpindahan maupun kedudukan atau keberadaan barang tersebut sulit
terdeteksi sehingga pemenuhan terhadap asas publisitas hanyalah sebuah
pemenuhan dekoratif terhadap suatu aturan hukum. Keberlakuan dekoratif
sesungguhnya memiliki potensi memunculkan masalah hukum baru yang
tentu saja tidak dikehendaki oleh para pelaku bisnis dan pembuat Undang-
Undang di badan legislatif (DPR-RI), khusus mengenai objek barang
fidusia berupa inventory, barang komoditi agro telah diatur dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang.
3. Dari sisi praktis, sistem pendaftaran dalam Undang-undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia untuk sementara hanya bermanfaat
bagi kreditur besar dengan jaminan yang mempunyai nilai besar saja.
Debitur dari sektor unit Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sangat sulit
memanfaatkan keberadaan Undang-Undang ini bagi pengembangan usaha
mereka. Sifat universalitas aturan perundang-undangan menjadi sulit
diterapkan karena karena hanya golongan tertentu khususnya pengusaha
131
yang bermodal kuat saja yang dapat memanfaatkan keberadaan Undang-
Undang ini.
4. Keberadaan Kantor Pendaftaran Fidusia (KPF) di ibu kota provinsi sangat
menyulitkan pelaksanaan pendaftaran fidusia, karena belum semua provinsi
memiliki fasilitas transportasi yang memadai sehingga tidak memberikan
manfaat dari segi kepraktisan. Terlebih bagi pemberi fidusia yang
bertempat tinggal di luar wilayah Republik Indonesia. Dengan demikian
pelaksanaan pendaftaran akan menimbulakn biaya yang tidak sedikit
sedangkan waktu yang digunakan juga cukup lama. Ini tidak menunjang
kondisi bisnis yang mempunyai filosofi waktu adalah uang (time is money).
5. Akta jaminan fidusia yang seharusnya didaftarkan ternyata di dalam
kenyataannya sebagian besar tidak didaftarkan ke kantor pendaftaran
fidusia (KPF).
Dengan tujuan ingin menciptakan keteraturan dan memberikan
kepastian hukum bagi pelaku usaha dengan menjadikan jaminan fidusia
sebagai salah satu sumber pembiayaan guna menunjang dinamika kegiatan
usaha, ternyata yang terjadi sebaliknya, yaitu ketidakteraturan dan
ketidakpastian hukum atau legal uncertainty. Jika terjadi wanprestasi yang
dilakukan oleh salah satu pihak, perlindungan hukum tidak dapat berjalan
secara efektif bagi pihak-pihak yang memerlukannya atau pihak yang
dirugikan.
132
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan atas permasalahan yang dikemukakan untuk
diteliti, maka dapat disimpulkan bahwa :
5.1.1. Pengaturan tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia
yang musnah dalam suatu perjanjian kredit bank menurut Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 adalah debitur tetap bertanggung jawab
mengembalikan pinjaman kredit walaupun benda jaminan fidusia
tersebut diasuransikan maupun tidak diasuransikan. Jika benda jaminan
fidusia diasuransikan maka akan dilunasi oleh perusahaan asuransi
dimana benda jaminan fidusia diasuransikan sesuai dengan isi
perjanjian, jika benda jaminan fidusia tidak diasuransikan maka debitur
bertanggung jawab penuh mengembalikan pinjaman kredit. Hal ini
dikarenakan debitur telah terikat dalam perjanjian kredit dengan pihak
bank, walaupun benda jamian fidusia musnah.
5.1.2. Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit baik
terhadap masalah musnahnya benda jaminan fidusia sangat lemah.
Hadirnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak
dengan menjadikan jaminan fidusia sebagai salah satu sumbe
133
pembiayaan guna menunjang dinamika kegiatan usaha ternyata yang
terjadi sebaliknya, yaitu ketidakteraturan dan ketidakpastian hukum
atau ”legal uncertainty”. Jika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh
salah satu pihak, perlindungan hukum tidak berhalan secara efektif bagi
pihak-pihak yang dirugikan.
5.2. Saran
5.2.1. Setiap benda yang menjadi objek jaminan fidusia seharusnya
diasuransikan terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk
mengantisipasi musnahnya benda jaminan, dimana dengan musnahnya
benda jaminan tersebut tidak menghapuskan piutang yang belum
dihapus. Walaupun perusahaan asuransi tidak membayar spenuhnya,
tetapi perusahaan asuransi dapat meringankan beban debitur untuk
mengembalikan sisa pinjaman kredit.
5.2.2. Diharapkan kepada DPR agar merevisi Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dimana dapat dikatakan Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia saat ini hanya
memenuhi aspek yuridis saja sementara aspek moral, aspek sosial dan
aspek filosofi belum terpenuhi. Sementara sasaran yang ingin dicapai
guna memberikan perlindungan dan kepastian hukum, serta ketertiban
dalam masyarakat tidak tercapai secara efektif.
134
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku – Buku
Ali Chaidir, 1976, Badan Hukum, Alumni, Bandung.
Ashshofa Burhan, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, 2008, Penetitian Hukum tentang Implementasi Jaminan Fidusia dalam Pemberian Kredit di Indonesia, Jakarta.
Badrulzaman, Mariam Darus, 1981, Perjanjian Baku (Standar) Perkembangannya di Indonesia (Pidato Pengukuhan Guru Besar), Alumni, Bandung.
--------------, 1983, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Buku II Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung.
--------------, 1983, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung.
--------------, 1979, Bab-Bab Tentang Crediet Verband, Gadai dan Fidusia, Alumni, Bandung.
--------------, 2000, Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan, Makalah Seminar Sosialisasi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, BPHN Hukum dan Perundang-Undangan RI Bekerjasama dengan PT. Bank Mandiri.
Budi S. Totok, Sri Susilo, Sigit Triandaru, 2000, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta.
Campbell Henry Black, 1990, Black’s Law Dictionary, Sicth Edition, West Publishing Co, St. Paul, Mina.
Curzon I. B., 1979, Jurisprudence, Macdonal & Evan Ltd, Estover Plymouth.
Dirjosisworo Soedjono, 2003, Kontrak Bisnis Menurut Sistem Civil Law, Common Law, dan Praktek Dagang Internasional, Mandar Maju, Bandung.
Djuhaendah Hasan, 1996, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Azas Pemisahan Horizontal, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
135
Djumhana Muhamad, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Friedman Lawrence, M, 1984, American Law, W.W. Norton-company, New York, London.
Friedman, W, 1979, Legal Theory, Columbia University Press, New York.
Fuady Munir, 2002, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
--------------, 2003, Jaminan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hadisoeprapto Hartono, 1984, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta.
Hadjhon Philipus, M, 1997, Pengkajian Ilmu Hukum, Makalah Penelitian Metode Penelitian Hukum Normatif, Universitas Airlangga, Surabaya.
Hay Marhainis Abdul, 1975, Hukum Perbankan di Indonesia, Pradnya Paramiota, Jakarta.
Hermansyah, 2003, Hukum Perbankan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
--------------, 2007, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta.
HS Salim, 2003, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta.
--------------, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
--------------, 2006, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Ibrahim Johannes, 2004, Cross Default dan Cross Collateral sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, PT. Refika Aditama, Bandung.
Isnaeni Mochamad, 1996, Hipotik Pesawat Udara di Indonesia, CV. Dharma Muda, Surabaya.
Kamelo Tan, 2004, Hukum Jaminan Fidusia, Alumni Bandung.
Kasmir, 2002, Dasar-Dasar Perbankan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Khoidir, M, 2005, Problematika Eksekusi Sertifikat Hak Tanggungan, Laks Bank Pressindo, Yogyakarta.
136
Marzuki Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta.
Mertokusumo Sudikno, 1970, Sejarah Peradilan Dan Perundang-Undangannya Di Indonesia, Universitas Gajah Mada, Gunung Agung, Jakarta.
--------------, 1988, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
Meuwissen, D.H.M, 1985, Rechtsteorie Dalam Van Apeldorn’s Inteiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Recht, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwdle.
Muhamad Abdulkadir, 1982, Hukum Perikatan, Alumni Bandung.
Naja H.R. Daeng, 2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2006, Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar-Bali.
--------------, 2007, Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar-Bali.
Parlindungan A.P, 1988, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung.
Prakoso Djoko dan Riyadilany Bambang, 1987, Dasar Hukum Persetujuan Tertentu di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.
Sastrawidjaja Man Suparman, 2003, Aspek-Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, Alumni, Bandung,
Satrio, J, 1996, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
--------------, 2002, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Hak Tanggungan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sembiring Sentosa, 2000, Hukum Perbankan, Alumni, Bandung.
Setiawan R., 1979, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung.
Sidharta B. Arief, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Soebekti, R, 1975, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung.
--------------, 1978, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni, Bandung.
137
--------------, 2001, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta.
Soekanto Soerjono, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta.
--------------, 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta.
--------------, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sofwan Sri Soedewi Masjchoen, 1980, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta.
Sunggono Bambang, 1995, Pengantar Hukum Perbankan, Mandar Maju, Jakarta.
Sutarno, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta, Bandung.
Suyatno Thomas, 1993, Kelembagaan Perbankan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Syahdeini Sutan Remy, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank, Institut Bankir Indonesia, Jakarta.
Syahrani Ridwan, 1985, Seluk Beluk dan Azas-Azas Hukum Perdata, Alumni, Bandung.
Tunggal Hadi Setia dan Liliawati Muljono Eugenia, 1996, Eksekusi Grosse Akta Hipotik Oleh Bank, Rineka Cipta, Jakarta.
Tje'Aman Edy Putra, 1989, Kredit Perbankan – Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yogyakarta.
Untung Budi, 2000, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi, Yogyakarta.
Usman Rachamdi, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka, Jakarta.
Veithzal H. Rivai dan Veithzal Andria Permata, B, 2007, Credit Management Handbook : Teori, Konsep, Prosedur, dan Aplikasi Panduan Praktis Mahasiswa, Bankir, dan Nasabah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Widjaya Gunawan dan Yani Ahmad, 2000, Jaminan Fidusia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Widjaya Rai, I.G.A, 2003, Merancang Suatu Kontrak, Teori Dan Praktek, Mega Poin, Jakarta.
138
II. Artikel, Makalah, Tesis
Candrawatie Yenny, 2006, Penerapan Ketentuan Jangka Waktu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam Proses Pengikatan Jaminan Kredit di Kota Denpasar, Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal. 22-23.
Purnawan Anak Agung Bagus, 2007, Pembebanan Benda Bergerak Sebagai Jaminan Kredit Menurut Undang-Undang Fidusia dan Prakteknya pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Kabupaten Badung, Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.
III. Peraturan Perundang - Undangan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio, 2003, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.
IV. Kamus
Departemen Pendidikan Nasional, 1979, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gita Media Press.
--------------, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta.
--------------, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Tim Penyusunan Kamus Pusat Bahasa, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.