tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

151
TESIS TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK NI MADE TRISNA DEWI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011

Transcript of tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

Page 1: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

i

TESIS

TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA

DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK

NI MADE TRISNA DEWI

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2011

Page 2: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

i

TESIS

TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA

DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK

NI MADE TRISNA DEWI NIM : 0790561070

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2011

Page 3: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

ii

TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA

DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK

Tesis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Udayana

NI MADE TRISNA DEWI NIM : 0790561070

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2011

Page 4: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 16 NOPEMBER 2010

Pembimbing I, Pembimbing II, (Prof. R. A. Retno Murni, SH, MH, Ph.D.) (Dr. I.B. Wyasa Putra, SH., MH.) NIP. 194411261980032001 NIP. 1962073119880311003

Mengetahui Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH.SU. Prof. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 195604191983031003 NIP. 195902151985102001

Page 5: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

iv

TESIS INI DIUJI PADA TANGGAL 16 NOPEMBER 2010

PANITIA PENGUJI TESIS BERDASARKAN SK REKTOR UNIVERSITAS UDAYANA

NOMOR : 0763/H14.4/HK/2010 TANGGAL 3 MEI 2010

Ketua : Prof. R.A. Retno Murni, SH.MH.Ph.D.

Sekretaris : Dr. I.B. Wyasa Putra, SH.MH.

Aggota : 1. Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH.SU.

2. I.B. Putra Atmaja, SH.MH.

3. Dewa Gede Rudy, SH.MH.

Page 6: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

v

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang

Widhi Wasa), bahwa atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan

karya ilmiah tesis yang berjudul “TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP

MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN

KREDIT BANK”.

Penulisan tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat dalam

menyelesaikan program pendidikan Strata Dua (S2) pada Program Studi Magister

Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Dalam penyelesaian tesis ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan

dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan

terima kasih kepada berbagai pihak, terutama yang terhormat :

1. Prof. Dr. Made Bakta, dr. Sp.Pd (K), Rektor Universitas Udayana yang telah

memberi kesempatan bagi penulis untuk mengikuti pendidikan di Program

Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.

2. Prof. Dr. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana, yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk

mengikuti pendidikan pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas

Udayana.

3. Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH, SU, Ketua Program Studi Magister Ilmu

Hukum Universitas Udayana dan Putu Gede Arya Sumertha Yasa, SH,MH,

selaku Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang

telah memberikan arahan dan petunjuk serta dukungan selama proses

perkuliahan, bimbingan dan penulisan tesis ini.

Page 7: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

vi

4. Prof. R.A. Retno Murni, SH,MH,Ph.D, Pembimbing I yang telah banyak

membimbing dan memberikan arahan dalam penyelesaian tesis ini.

5. Dr. I. B. Wyasa Putra, SH, MH, Pembimbing II yang telah dengan sabar dan

tekun mengarahkan, membimbing serta memberi petunjuk dalam penyelesaian

tesis ini.

6. Para Dosen atau Staff Pengajar pada Program Studi Magister Ilmu Hukum

Universitas Udayana yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan selama

proses perkuliahan dan proses pembimbingan penulisan tesis ini.

7. Seluruh Staff Administrasi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum

Universitas Udayana yang telah banyak membantu dan memberikan

pelayanan administrasi selama proses perkuliahan dan penulisan tesis ini.

8. Bapak Made Sukerta, S.Sos. (Direktur BPR Padma Sesetan), Bapak Yohan

Kristian Wijaya, SH, Bapak A.A. Wirasila, SH, Ibu Renny H. Nendissa, SH. MH,

Bapak Jacob Hattu, SH, Bapak Ketut Sudra, In Trust Law Office (Bapak

Husein, SH, M.Pd, Bapak Made Kartika, SH, Bapak Ali Sadikin, SH), Dewa

Ayu Cinta, Mbok Komang, Mbok Gek Ratih yang telah banyak memberikan

dukungan dalam penulisan tesis ini.

9. Ayahanda Alm. Bagus Sugiartha, Ibunda Putu Kusumawati yang telah

memberikan dukungan, doa, cinta kasih yang begitu besar dan tak terhingga.

10. Ngakan Made Abdi Wahyudhi, ST yang telah memberikan rasa cinta dan

dukungan sepenuh hati.

11. Semua pihak yang tidak dapat penulis satu persatu yang telah banyak

memberikan bantuan dalam penyusunan tesis ini.

Page 8: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

vii

Akhir kata, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini jauh dari kata

sempurna baik dari segi teknis penulisan maupun materi yang dikaji, dan oleh

karenanya kritik dan saran dari pembaca akan penulis terima dengan senang hati.

Namun demikian, penulis tetap berharap semoga karya tulis yang berupa tesis ini

ada manfaatnya bagi pembaca dan bagi pengembangan ilmu hukum di masa

mendatang.

Denpasar, April 2010

Penulis

Page 9: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

viii

ABSTRAK

Tesis yang berjudul “Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya

Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank” merumuskan 2 (dua) permasalahan pokok, yaitu : (1) Bagaimana pengaturan tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit bank menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia; (2) Bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank terhadap masalah musnahnya benda jaminan fidusia.

Penelitian dalam kaitannya dengan penulisan tesis ini termasuk jenis penelitian hukum normative, yaitu penelitian hukum yang didasarkan pada data sekunder. Dalam penelitian ini dipergunakan pendekatan-pendekatan perundang-undnagan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach).

Hasil penelitian tesis ini menunjukkan : (1) Tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit bank menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia debitur tetap bertanggung jawab mengembalikan pinjaman kredit walaupun benda jaminan fidusia tersebut diasuransikan maupun tidak diasuransikan; (2) Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank terhadap masalah musnahnya benda jaminan fidusia sangat lemah karena jika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak perlindungan hukum tidak berjalan secara efektif bagi pihak-pihak yang dirugikan. Kata kunci : Tanggung Jawab, Musnahnya Jaminan Fidusia, Perjanjian

Kredit Bank

Page 10: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

ix

ABSTRACT

The thesis entitled Debtor Responsibility Against Loss of Fiduciary Security Objects in Bank Credit Agreement formulates tow main problems, namely: (1) How is the arrangement of debtor responsibility against the loss of fiduciary security objects in a bank credit agreement according to Regulation Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Security; (2) How is the legal protection for parties in the bank credit agreement against destruction of object fiduciary issues.

This study which is in relation to the thesis is a normative legal study which is based on secondary data. There are two legal approaches used: they are statute approach and conceptual approach.

The result of the study shows that: (1) Debtor responsibility against loss of fiduciary security objects in a bank credit agreement according to Regulation Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Security in which debtor is still responsible for returning credit loan considering that the fiduciary security objects are under insurance or not; (2) Legal protection for parties in the bank credit agreement against destruction of object fiduciary issues is very weak because, in case there is a malpractice conducted by one of the parties, legal protection is not working effectively for those who are not benefitted. Key words: Responsibility, Loss of Fiduciary Security, Bank Credit

Agreement

Page 11: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

x

RINGKASAN

Pembahasan tesis tentang “Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank” ini dibagi dalam 5 (lima) Bab Pembahasan.

BAB I, merupakan bagian awal yang diisi dengan uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis, metode penelitian.

BAB II, merupakan tinjauan umum yang dimaksudkan sebagai landasan operasional dalam penelitian. Uraian dalam BAB II ini diawali dengan pengertian perjanjian kredit, sifat perjanjian krdit, bentuk perjanjian kredit, lahirnya perjanjian kredit, hapusnya perjanjian kredit. Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan mengenai pengertian dan sejarah fidusia, dasar hukum jaminan fidusia, subjek dan objek jaminan fidusia, sifat-sifat jaminan fidusia, tata cara pembebanan jaminan fidusia.

BAB III, dalam bab ini dibahas mengenai tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam perjanjian kredit. Pada uraian bab ini akan diawali dengan pendeskripsian musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit, selanjutnya akan diuraikan mengenai pengaturan tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan yang musnah dalam perjanjian kredit.

BAB IV, dalam bab ini diuraikan tentang perlindungan hukum bagi para pihak terhadap musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit bank. Dalam uraian awal bab ini akan dibahas tentang dasar hukum penyelesaian masalah musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit bank, selanjutnya dibahas upaya penyelesaian masalah musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit bank, pembahasan terakhir mengenai perlindungan hukum bagi para pihak terhadap musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit bank.

BAB V, merupakan bagian penutup. Pada uraian penutup diawali dengan simpulan terhadap 2 (dua) permasalahan serta uraian dalam bahasan bab sebelumnya dilanjutkan dengan saran-saran yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Saran-saran yang diajukan adalah merupakan buah pikiran penulis sebagai solusi atau alternatif pemecahan atas permasalahan penelitian tesis ini.

Page 12: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

xi

DAFTAR ISI

JUDUL ........................................................................................................ i

PERSYARATAN GELAR MAGISTER ...................................................... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................. iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ....................................................... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... v

ABSTRAK ................................................................................................... viii

ABSTRACT ................................................................................................. ix

RINGKASAN ............................................................................................... x

DAFTAR ISI ................................................................................................ xi

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah ..................................................... 1 Rumusan Masalah .............................................................. 6

Tujuan Penelitian ................................................................ 7

1.3.1 Tujuan Umum ........................................................ 7 1.3.2 Tujuan Khusus ....................................................... 7

Manfaat Penelitian ............................................................. 8

Manfaat Teoritis ..................................................... 8 Manfaat Praktis ...................................................... 8

Landasan Teoritis ............................................................... 9

Metode Penelitian .............................................................. 22 1.6.1 Jenis Penelitian ........................................................ 22 1.6.2 Jenis Pendektan ...................................................... 23 1.6.3 Sumber Bahan Hukum ............................................ 24 1.6.4 Pengumpulan Bahan Hukum ................................... 25 1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ................................ 25

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN

JAMINAN FIDUSIA

2.1 Perjanjian Kredit ................................................................ 27 2.1.1 Pengertian Perjanjian Kredit .................................. 27 2.1.2 Sifat Perjanjian Kredit ............................................ 34

Page 13: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

xii

2.1.3 Bentuk Perjanjian Kredit ........................................ 39 2.1.4 Lahirnya Perjanjian Kredit...................................... 44 2.1.5 Hapusnya Perjanjian Kredit .................................... 45

2.2 Jaminan Fidusia ................................................................. 48 2.2.1 Pengertian dan Latar Belakang Lahirnya Jaminan

Fidusia .................................................................. 48 2.2.2 Dasar Hukum Jaminan Fidusia .............................. 64 2.2.3 Subjek dan Objek Jaminan Fidusia ........................ 67 2.2.4 Sifat-Sifat Jaminan Fidusia ..................................... 72 2.2.5 Tata Cara Pembebanan Jaminan Fidusia ................ 81

BAB III TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP BENDA JAMINAN FIDUSIA YANG MUSNAH DALAM PERJANJIAN KREDIT 3.1 Pendeskripsian Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam

Perjanjian Kredit ................................................................. 90

3.2 Pengaturan Tanggung Jawab Debitur Terhadap Benda Jaminan Yang Musnah Dalam Perjanjian Kredit ................ 94

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK

TERHADAP MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK 4.1 Dasar Hukum Penyelesaian Masalah Musnahnya Benda

Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank................... 102

4.2 Upaya Penyelesaian Masalah Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank ................................ 114

4.3 Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank ........................................................................ 119

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ........................................................................ 132

5.2 Saran .................................................................................. 133 DAFTAR PUSTAKA

Page 14: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Kegiatan perekonomian terus berlangsung di manapun dan oleh

siapapun sebagai pelaku usaha, baik pribadi, badan hukum privat atau publik,

bahkan oleh gabungan orang yang bukan badan hukum sekalipun. Tidak dapat

disangkal bahwa kegiatan tersebut dilakukan oleh siapapun sebagai bagian dari

upaya peningkatan perekonomian negara. Salah satu faktor yang menjadi

modal penting untuk menjalankan dan mengembangkan suatu usaha ekonomi

tersebut adalah dana atau uang.

Dana atau uang yang dibutuhkan guna pelaksanaan dan pengembangan

usaha dapat diperoleh dengan cara pinjaman atau kredit melalui jasa

perbankan. Bagi kalangan pengusaha dan atau pelaku usaha, pinjam meminjam

merupakan kegiatan yang mewarnai dinamika pengembangan usaha.

Kegiatan pinjam meminjam uang adalah kegiatan yang telah dilakukan

sejak lama dalam kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat

pembayaran. Dalam kegiatan pinjam meminjam uang yang terjadi di

masyarakat dapat diperhatikan bahwa umumnya sering dipersyaratkan adanya

penyerahan jaminan utang oleh pihak peminjam kepada pihak pemberi

pinjaman. Jaminan utang dapat berupa barang (benda) sehingga merupakan

jaminan kebendaan dan atau berupa janji penanggungan utang sehingga

Page 15: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

2

merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak

kebendaannya kepada pemegang jaminan.

Berbagai lembaga keuangan, terutama bank konvensional, telah

membantu pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan perekonomian dengan

memberikan pinjaman uang antara lain dalam bentuk kredit perbankan. Jasa

perbankan memiliki peranan yang besar dalam mendorong perekonomian

nasional.

Pada dasarnya, pemberian kredit oleh bank diberikan kepada siapa saja

yang memiliki kemampuan untuk membayar kembali dengan syarat melalui

suatu perjanjian utang piutang di antara kreditur dan debitur.1 Perjanjian kredit

yang dibuat oleh bank kepada debitur merupakan salah satu aspek yang sangat

penting dalam pemberian kredit. Perjanjian kredit merupakan ikatan antara

kreditur dan debitur yang isinya menentukan dan mengatur hak dan kewajiban

kedua belah pihak sehubungan dengan pemberian kredit.

Perjanjian kredit dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak ada pengaturannya apakah dibuat

secara tertulis atau lisan, akan tetapi pada umumnya yang terjadi pada setiap

bank adalah setiap debitur yang meminjam uang di bank harus mengajukan

1 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Jaminan Fidusia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 1.

Page 16: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

3

permohonan kredit yang diajukan secara tertulis kepada pihak bank, tanpa

harus melihat berapa jumlah kredit yang diminta.2

Jasa perbankan dalam membantu bidang perekonomian bukanlah tanpa

resiko. Resiko usaha yang terjadi di kalangan perbankan justru terutama

menyangkut pemberian kredit. Pemberian kredit oleh bank pada dasarnya

harus dilandasi keyakinan bank atas kemampuan dan kesanggupan debitur

untuk melunasi utangnya.

Jaminan adalah merupakan sarana perlindungan bagi keamanan

kreditur, yaitu kepastian atas pelunasan utang debitur atau pelaksanaan suatu

prestasi oleh debitur atau oleh penjamin debitur. Keberadaan jaminan

merupakan persyaratan untuk memperkecil resiko bank dalam menyalurkan

kredit.

Terhadap barang atau benda milik debitur yang dijadikan jaminan, akan

dibuat perjanjian pembebanannya yang disebut perjanjian jaminan. Perjanjian

jaminan ini timbul karena adanya perjanjian pokok, yang berupa perjanjian

pinjam meminjam atau perjanjian kredit. Tidak mungkin ada perjanjian

jaminan tanpa adanya perjanjian pokoknya. Perjanjian jaminan tidak dapat

berdiri sendiri, melainkan selalu mengikuti perjanjian pokoknya. Apabila

perjanjian pokok berakhir, maka perjanjian jaminan juga akan berakhir atau

hapus. Sifat perjanjian jaminan adalah merupakan perjanjian asesor

2 Hermansyah, 2003, Hukum Perbankan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 68.

Page 17: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

4

(accessoir). Perjanjian jaminan merupakan perjanjian khusus yang dibuat oleh

kreditur dengan debitur atau pihak ketiga yang membuat suatu janji dengan

mengikatkan benda tertentu atau kesanggupan pihak ketiga dengan tujuan

memberikan keamanan dan kepastian hukum pengembalian kredit atau

pelaksanaan perjanjian pokok.3

Terhadap benda milik debitur yang dijadikan jaminan kredit, bisa

berupa benda bergerak dan bisa pula benda tidak bergerak atau benda tetap.

Apabila yang dijadikan jaminan kredit adalah benda tidak bergerak atau benda

tetap, maka ketentuan undang-undang menetapkan pembebanan atau

pengikatannya menggunakan Hipotik atau Hak Tanggungan, sedangkan

apabila yang dijadikan obyek jaminan itu adalah benda bergerak, maka

pengikatannya bisa memakai Gadai atau Fidusia. Adanya pembagian benda-

benda menjadi benda bergerak dan tidak bergerak, membawa konsekuensi

berbedanya lembaga jaminan yang digunakan atau diterapkan, ketika benda-

benda tersebut dijadikan jaminan utang.

Benda yang dijadikan jaminan kredit pada bank, di samping jaminan

benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan, kapal berukuran 20 meter kubik

ke atas, kereta api termasuk mesin pabrik yang melekat dengan tanah juga

jaminan benda bergerak seperti kendaraan bermotor. Meskipun demikian, pada

umumnya benda bergerak yang digunakan sebagai jaminan kredit. Terkait

3 Djuhaendah Hasan, 1996, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Azas Pemisahan Horizontal, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 236.

Page 18: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

5

dengan benda bergerak yang digunakan sebagai jaminan, umumnya debitur

sebagai pemilik jaminan tetap ingin menguasai bendanya digunakan untuk

menjalankan kegiatan usaha atau aktivitasnya. Dengan demikian, menurut

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1992 tentang Jaminan Fidusia, lembaga

jaminannya adalah fidusia. Pemberian fidusia dilakukan melalui proses yang

disebut dengan ”Constitutum Prossesorium” (penyerahan kepemilikan benda

tanpa menyerahkan fisik bendanya).4

Perjanjian kredit yang terjadi antara pihak bank dengan pihak debitur

dalam prakteknya kadangkala terjadi tidak sesuai dengan keinginan para pihak.

Perjanjian kredit tersebut dapat menimbulkan masalah yang tidak diinginkan.

Benda jaminan yang diberikan oleh pihak debitur kepada pihak bank terutama

pada benda jaminan seperti kendaraan bermotor, peralatan mesin yang

dibebani jaminan fidusia ternyata musnah dan nilai dari benda bergerak

tersebut setiap tahun akan menyusut. Musnahnya benda jaminan dapat

disebabkan karena terjadi pencurian, kebakaran, dan lain-lain.

Pasal 25 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia mengatur sebagai berikut :

(1) Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut : a. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia; b. Pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh penerima Fidusia; atau c. Musnahnya Benda yang menjadi Objek Jaminan Fidusia.

(2) Musnahnya Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b.

4 Munir Fuady, 2002, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Munir Fuady I), hal. 152.

Page 19: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

6

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia mengatur tentang pengecualian terhadap pembebanan jaminan atas

benda atau piutang yang diperoleh dengan perjanjian jaminan tersendiri yaitu

pada huruf (b) yaitu Jaminan Fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal benda

yang menjadi objek Jaminan Fidusia diasuransikan.

Jika mengkaji Pasal 25 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang

Jaminan Fidusia tersebut di atas, maka tidak jelas atau adanya kekaburan

pengaturan tentang indikator musnahnya jaminan fidusia dan lebih lanjut juga

terjadi ketidakjelasan pengaturan tentang tanggung jawab pihak-pihak dalam

perjanjian khususnya dalam hal perjanjian kredit di bank. Selain itu, tidak jelas

perlindungan hukum bagi para pihak karena musnahnya jaminan fidusia.

Dengan demikian, penting untuk melakukan penelitian terkait dengan

adanya kekaburan norma (Vague van Normen)5 terhadap tanggung jawab

debitur terhadap musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit

bank.

Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang masalah, sebagaimana disampaikan di

atas, maka dapat dirumuskan dua pokok masalah sebagai berikut :

5 Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum Program Studi

Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, 2006, Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar, (selanjutnya disebut Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana I), hal. 8.

Page 20: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

7

Bagaimana pengaturan tanggung jawab debitur terhadap benda

jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit

bank menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang

Jaminan Fidusia ?

Bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak dalam

perjanjian kredit bank terhadap masalah musnahnya benda

jaminan fidusia ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah dalam kerangka

pengembangan ilmu hukum sehubungan dengan paradigma science as a

process (ilmu sebagai suatu proses).6 Paradigma ilmu tidak akan berhenti

dalam penggaliannya atas kebenaran dalam bidang lembaga jaminan fidusia,

khususnya yang berkaitan dengan tanggung jawab debitur terhadap musnahnya

benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit menurut Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan tanggung jawab debitur

terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu

6 Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Tesis dan Disertasi, 2007, Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, hal. 30.

Page 21: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

8

perjanjian kredit menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

tentang Jaminan Fidusia.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan perlindungan hukum bagi para

pihak dalam perjanjian kredit terhadap masalah musnahnya benda

jaminan fidusia.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat

positif bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya bidang hukum jaminan

fidusia yang keberadaannya sangat dibutuhkan berkaitan dengan aktivitas

lembaga keuangan bank.

1.4.2. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan kontribusi yang berupa masukan bagi pemerintah maupun

lembaga perbankan dalam rangka melaksanakan ketentuan Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, terutama ketentuan yang

menyangkut tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan

fidusia dalam perjanjian kredit serta perlindungan hukum bagi para pihak

dalam perjanjian kredit bank.

Page 22: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

9

1.5. Landasan Teoritis

Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua atau

lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut

merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara

empiris.7 Oleh sebab itu dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori

merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji

kebenarannya.8

Tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan fidusia

dalam perjanjian kredit tidak terlepas dari peranan bank sebagai lembaga

intermediasi, memiliki fungsi sebagai perantara keuangan. Dalam peranannya,

terdapat hubungan antara bank dan nasabah didasarkan pada dua unsur yang

saling terkait, yaitu hukum dan kepercayaan. Suatu bank hanya dapat

melakukan kegiatan dan mengembangkan banknya, apabila masyarakat

”percaya” untuk menempatkan uangnya dalam produk-produk perbankan yang

ada pada bank tersebut. Berdasarkan kepercayaan masyarakat tersebut, bank

dapat memobilisasi dana dari masyarakat untuk ditempatkan di banknya dan

menyalurkan kembali dalam bentuk kredit serta memberikan jasa-jasa

perbankan.

Bank sebagai lembaga keuangan adalah badan usaha yang menghimpun

dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan kemudian dana yang dihimpun

7 Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 19.

8 Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I), hal. 30.

Page 23: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

10

tersebut disalurkan kembali dalam bentuk pemberian kredit atau pembiayaan

dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dengan demikian,

fungsi konvensional dari bank adalah di samping menghimpun dana dari

masyarakat, juga memberi pinjaman (menyalurkan kredit) kepada masyarakat.9

Sutan Remmy Syahdeini memberikan batasan bahwa perjanjian kredit

memiliki pengertian secara khusus, yaitu perjanjian antara bank sebagai

kreditur dengan nasabah sebagai nasabah debitur mengenai penyediaan uang

atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah-

nasabah debitur untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu dengan

jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan.10

Terkait dengan perjanjian kredit, Sutarno berpendapat bahwa perjanjian

kredit dibuat untuk kepastian hukum akan hak dan kewajiban dari masing-

masing pihak. Lahirnya perjanjian kredit memberi konsekuensi kepada kreditur

mengenai kepastian hukum bagi kreditur apabila debitur lalai dalam memenuhi

kewajibannya kepada kreditur.11

Pemberian kredit oleh pihak bank kepada pihak debitur tidak terjadi

begitu saja, tetapi harus melakukan informasi mengenai calon debiturnya

9 Sentosa Sembiring, 2000, Hukum Perbankan, Alumni, Bandung, hal. 8.

10 Sutan Remmy Syahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hal. 34.

11 Sutarno, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta, Bandung, hal. 92.

Page 24: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

11

dengan menggunakan beberapa prinsip, dengan tujuan untuk mengurangi

resiko yang akan terjadi di kemudian hari, yaitu :

a. Prinsip 3R, yaitu :

1. Returns, yaitu penilaian atas hasil yang akan dicapai perusahaan calon debitur setelah memperoleh kredit.

2. Repayment, adalah perhitungan pengembalian dana, dari kegiatan yang mendapatkan pembiayaan atau kredit.

3. Risk Bearing Ability, adalah perhitungan besarnya kemampuan debitur dalam menanggapi resiko yang tak terduga.

b. Prinsip 4P, yaitu :

1. Personality, maksudnya mencari data lengkap dari kepribadian debitur.

2. Purpose, maksudnya tujuan penggunaan kredit apakah digunakan untuk kegiatan yang bersifat konsumtif atau produktif.

3. Prospect, maksudnya bank melakukan analisis yang cermat menyangkut masa depan dari kegiatan usaha yang dijalankan oleh debitur.

4. Payment, maksudnya mengenai cara pembayaran atau pelunasan kredit dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

c. Prinsip 5C, yaitu :

1. Character, maksudnya pihak bank mengetahui watak atau sifat-sifat dari calon debiturnya.

2. Capacity, maksudnya kemampuan debitur dalam memimpin suatu perusahaan dengan baik dan benar.

3. Capital, maksudnya permodalan dari debitur apakah sehat atau tidak sehat.

4. Condition of Economic, maksudnya kondisi perekonomian pada umumnya dan bidang usaha pemohon kredit pada khususnya.

5. Collateral, maksudnya adalah kemampuan calon debitur untuk memberikan agunan, memenuhi persyaratan yang ditentukan bank.

Page 25: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

12

d. Prinsip 7P, yaitu :

1. Personality, maksudnya pihak bank mengetahui watak atau sifat-sifat dari calon debiturnya.

2. Party, maksudnya pengklasifikasian atau penggolongan calon debitur.

3. Purpose, maksudnya tujuan penggunaan kredit oleh calon debitur.

4. Prospect, maksudnya menganalisis prospek perusahaan pemohon kredit di masa yang akan datang.

5. Payment, maksudnya mengetahui bagaimana pembayaran kembali kredit yang diberikan oleh pihak bank.

6. Profitability, adalah untuk menganalisis kemampuan nasabah mendapatkan laba.

7. Protection, maksudnya agar usaha dan jaminan mendapatkan perlindungan.12

Dalam memberikan kredit kepada warga masyarakat, bank menerapkan

prinsip The Five ”C”. Bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis

yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan masyarakat

(debitur) bahwa yang bersangkutan akan dapat melunasi utangnya sesuai

dengan perjanjian. Guna memperoleh keyakinan atas kemampuan dan

kesanggupan debitur dalam melunasi utangnya, maka bank wajib melakukan

penilaian yang seksama terhadap watak (character), kemampuan (capacity),

modal (capital), situasi ekonomi (condition of economic) dan agunan

(collateral).13

12 Rachmadi Usman, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 246-250.

13 Anak Agung Bagus Purnawan, 2007, Pembebanan Benda Bergerak Sebagai Jaminan Kredit Menurut Undang-Undang Fidusia dan Prakteknya pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Kabupaien Badung, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal. 5.

Page 26: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

13

Pada kenyataannya, dalam praktek pemberian kredit oleh bank, agunan

(collateral) selalu menjadi faktor pertimbangan yang paling menentukan untuk

dapat dikabulkannya permohonan kredit dari masyarakat (debitur). Kredit yang

diberikan kepada debitur harus diamankan, dalam arti harus dapat dijamin

pengembalian atau pelunasannya. Dalam rangka memberikan keamanan dan

kepastian pengembalian kredit dimaksud, kreditur perlu meminta agunan untuk

kemudian dibuatkan perjanjian pengikatannya.14

Menurut Johannes Ibrahim, bahwa dalam hubungannya dengan

pemberian kredit, jaminan hendaknya dipertimbangkan mengingat dua faktor,

yaitu :

1. Secured, artinya jaminan kredit dapat diadakan pengikatan secara

yuridis formal, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-

undangan. Jika di kemudian hari terjadi wanprestasi dari debitur, maka

pemberi kredit memiliki kekuatan yuridis untuk melakukan tindakan

eksekusi.

2. Marketable, artinya jaminan tersebut bila hendak dieksekusi dan segera

dijual atau diuangkan untuk melunasi seluruh kewajiban debitur.15

Dengan mempertimbangkan kedua faktor di atas, jaminan yang

diterima oleh bank dapat meminimalkan resiko dalam penyaluran kredit sesuai

dengan prinsip kehati-hatian. Dengan demikian, betapa pentingnya keberadaan

14 Muhammad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 397.

15 Johannes Ibrahim, 2004, Cross Default dan Cross Collateral sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 71.

Page 27: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

14

jaminan dalam pemberian kredit. Apabila debitur tidak dapat melunasi kredit

sesuai dengan perjanjian, maka hak kebendaan yang dijadikan jaminan kredit

oleh kreditur akan dieksekusi untuk memenuhi pembayaran utang debitur yang

bersangkutan.

Kredit-kredit yang diberikan oleh bank perlu diamankan. Tanpa adanya

pengamanan, bank sulit mengelakan resiko yang datang, sebagai akibat dari

prestasinya nasabah. Pengamanan kredit merupakan suatu mata rantai kegiatan

bank dan suatu aspek yang penting dalam manajemen kredit, karena proses

pengamanan berjalan terus.

Langkah-langkah yang diambil bank dalam mengamankan kreditnya,

pada pokoknya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu pengamanan prefentif

dan pengamanan represif. Pengamanan prefentif adalah pengamanan yang

dilakukan untuk mencegah terjadinya kemacetan kredit. Sedangkan

pengamanan represif adalah pengamanan yang dilakukan untuk menyelesaikan

kredit-kredit yang telah mengalami ketidaklancaran atau kemacetan (debius).16

Dengan demikian, pengamanan kredit pada hakekatnya adalah memperkecil

resiko, bahkan sampai pada menghilangkan resiko yang mungkin timbul

maupun sudah timbul atau terjadi.

Dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia, maka hak dan

kewajiban masing-masing para pihak (debitur dan kreditur) dapat diuraikan

sebagai berikut :

16 Edy Putra Tje'Aman, 1989, Kredit Perbankan – Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yogyakarta, hal. 39.

Page 28: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

15

a. Hak Debitur :

- Menerima atau menarik fasilitas kredit sesuai platfon yang telah disetujui debitur dan bank;

- Menggunakan atau menikmati objek jaminan fidusia; - Memperoleh sisa penjualan apabila dilakukan penjualan atau

pelelangan.

Kewajiban debitur antara lain :

- Membayar biaya-biaya (provisi, administrasi, dan biaya-biaya lainnya);

- Membayar bunga kredit; - Memberikan jaminan atau agunan; - Melakukan pengikatan jaminan kredit dengan fidusia (secara

notariil); - Membuka rekening atau tabungan di bank; - Memelihara objek jaminan, mengganti bagian objek jaminan yang

rusak; - Menyampaikan laporan secara periodik atas nilai objek

jaminan; - Mengasuransikan objek jaminan; - Tidak melakukan pengikatan jaminan dengan bank lain atas objek

yang sama.

b. Hak kreditur :

- Menerima biaya-biaya (provisi, administrasi, dan biaya lainnya); - Menerima bunga kredit; - Menerima angsuran kredit; - Menerima jaminan atau agunan; - Menjual objek jaminan atas title eksekutorial atau melalui

pelelangan umum atau melalui penjualan di bawah tangan berdasarkan kesepakatan dengan debitur;

- Memeriksa adanya dan keadaan objek jaminan fidusia.

Kewajiban kreditur antara lain :

- Memberikan atau mencairkan fasilitas kredit sesuai platfon yang telah disetujui debitur dan bank;

Page 29: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

16

- Mengembalikan objek jaminan fidusia bila tidak lagi menjadi jaminan atau lunas dan menerbitkan surat roya.17

Fidusia menurut asal katanya berasal dari kata ”Fides”, yang berarti

kepercayaan. Sesuai dengan arti kata tersebut, maka hubungan antara debitur

dengan kreditur merupakan hubungan hukum berdasarkan kepercayaan.

Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau mengembalikan hak

milik barang yang telah diserahkan, setelah debitur melunasi hutangnya.

Sebaliknya, penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia akan melunasi

utangnya dan tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam

kekuasaannya.18

Apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji, tidak dapat

mengembalikan kredit tepat pada waktunya, maka mekanisme atau prosedur

pelaksanaan eksekusi atas barang yang menjadi jaminan fidusia adalah pihak

bank harus memberitahukan secara tertulis kepada mereka agar segera

menyerahkannya kepada bank. Setelah barang dikuasai oleh bank, maka

tindakan selanjutnya melaksanakan eksekusi jaminan fidusia.

Mekanisme atau prosedur pelaksanaan eksekusi atas barang yang

menjadi jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara :

17 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, 2008, Penetitian Hukum tentang Implementasi Jaminan Fidusia dalam Pemberian Kredit di Indonesia, Jakarta, hal. 64-65.

18 H.R. Daeng Naja, 2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 276.

Page 30: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

17

a. Pelaksanaan titel eksekutorial dari Sertifikat Jaminan Fidusia (SJF) oleh

Penerima Fidusia.

b. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan

penerima fidusia (bank) melalui pelelangan umum dan mengambil

pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.

c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan

pemberi (Debitur) dan penerima fidusia (Bank) jika dengan cara

demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para

pihak.19

Terkait dengan suatu perjanjian pada dasarnya akan menimbulkan

kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi. Jika debitur tidak

melakukan apa yang dijanjikannya, maka ia disebut wanprestasi. Jika pihak

kreditur yang lalai akan kewajibannya, maka ia disebut mora creditor.

Wanprestasi dari seorang debitur dapat berupa :

a. Tidak melakukan prestasi sama sekali.

b. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sesuai dengan yang

diperjanjikan.

c. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktu.

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh

dilakukannya.20

19 Ibid, hal. 65-66.

20 R. Soebekti, 2001, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 45.

Page 31: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

18

Terhadap resiko tersebut di atas, maka beberapa usaha yang

dilakukan oleh manusia untuk mengatasi resiko, yaitu :

1. Menerima resiko, apabila suatu resiko yang dihadapi oleh seseorang

diperkirakan tidak begitu besar atau usaha untuk menghindari,

mencegah, memperalihkan itu diperhitungkan lebih besar daripada

keuntungannya, maka orang yang menghadapi resiko itu mungkin akan

mengambil sikap, bahwa ia akan menerima saja resiko itu. Dengan kata

lain ia akan pasrah saja.

2. Menghindari resiko, menghindari atau menjauhi adalah suatu cara

menghadapi masalah yang penuh dengan resiko. Seseorang yang

menghindari atau menjauh dari suatu pekerjaan, suatu benda yang

penuh resiko, berarti dia berusaha menghindari resiko itu sendiri.

3. Mencegah resiko, dengan cara melakukan beberapa usaha sehingga

akibat yang tidak diharapkan, yang mungkin timbul akan dapat diatasi

atau dihindari.

4. Mengalihkan resiko, bahwa seseorang yang menghadapi resiko

meminta orang lain untuk menerima resiko tersebut. Ini dilakukan

dengan memperalihkan resiko tersebut berdasarkan suatu perjanjian.21

Adanya beberapa cara mengatasi resiko maka pengalihan resiko

merupakan cara yang paling efektif, karena dengan cara mengalihkan resiko

21 Man Suparman Sastrawidjaja, 2003, Aspek-Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, Alumni, Bandung, hal. 7.

Page 32: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

19

kepada pihak lain yang telah disepakati tentunya pihak tersebut bersedia

mengambil alih resiko. Hal demikian berarti bahwa jika resiko atau peristiwa

yang tidak pasti benar-benar terjadi maka pihak yang bersedia menanggung

peralihan resiko tersebut adalah lembaga pertanggungan yaitu perusahaan

asuransi. Besarnya uang pertanggungan yang diterima tidak akan pernah

sebanding dengan akibat yang ditimbulkan karena kecelakaan, kerusakan,

kehilangan, dan cacat. Namun, setidaknya uang pertanggungan yang diterima,

dapat meringankan beban ganti rugi.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992

tentang Usaha Perasuransian, pengertian Asuransi atau Pertanggungan adalah

perjanjian dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan

diri kepada pihak tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk

memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau

kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggungjawab hukum kepada

pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu

peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang

didasarkan atas meninggalnya atau hidupnya seseorang yang

dipertanggungkan.

Dari pengertian tersebut, maka setiap orang yang ingin memperkecil

resiko yang akan terjadi karena peristiwa yang tidak pasti dapat dilakukan

dengan mengasuransikan segala sesuatu yang dapat menimbulkan resiko.

Page 33: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

20

Manusia dalam mengarungi kehidupannya dan dalam setiap kegiatannya selalu

berhadapan dengan resiko.

Sehubungan dengan masalah kepatuhan atau ketaatan terhadap hukum

merupakan satu unsur saja dari persoalan yang lebih luas, yaitu kesadaran

hukum. Di samping itu masalah kepatuhan atau ketaatan, kesadaran hukum itu

menyangkut pula masalah pengetahuan, pengakuan, dan penghargaan terhadap

hukum.22

Ajaran Roscou Pound sehubungan dengan fungsi hukum dalam

masyarakat adalah law as a tool of social engineering (hukum sebagai proses

dari rekayasa sosial). Salah satu masalah yang dihadapi dalam hal ini adalah

apabila hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan ternyata tidak

efektif.23

Selanjutnya Roscou Pound mengemukakan pendapatnya bahwa hukum

sebagai institusi sosial diciptakan untuk :

Satisfy human, social want by giving effect to as much as we may with the least sacrifice, so far as such wants may be satisfied or such claims given effect by an ordering of human conduct through politically organized society. The essence of legal order was securing and protection of a variety of interests and necessitated the modification of traditional and in herifed legal codes to existing social condition.24

22 B. Arief Sidharta, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

23 Soerjono Soekanto,1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II), hal. 119.

24 I. B. Curzon, 1979, Jurisprudence, Macdonal & Evan Ltd, Estover Plymouth, hal. 148.

Page 34: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

21

Pokok pikiran Roscou Pound adalah bahwa hukum bukanlah suatu

keadaan yang statis, tetapi merupakan suatu proses. Suatu pembentukan

hukum, interpretasinya maupun penerapannya hendaknya dihubungkan dengan

fakta-fakta sosial. Roscou Pound sangat menekankan pada efektivitas

bekerjanya hukum, dan untuk itu ia sangat mementingkan beroperasinya

hukum di masyarakat.25

Hukum sebagai salah satu norma sosial bertugas membingkai pola-pola

yang jumlah dan ragamnya banyak sekali, dan akhirnya hukum itu sendiri

memasuki aspek-aspek kehidupan sosial kemasyarakatan yang beraneka pula.

Dengan konfigurasi semacam itu, akhirnya dapat dipahami kalau hukum yang

ada dan berlaku dalam suatu kehidupan masyarakat pelaksanaannya akan

dipengaruhi oleh banyak aspek.26

Hukum yang mengatur kehidupan masyarakat dalam pelaksanaannya

sangat bergantung pada aspek-aspek kemasyarakatan, sehingga karenanya

tepat apa yang disampaikan oleh W. Friedman; “The self sufficiency of law is

an illusion. It is, to use a well known pharase by Moltke, a dream, but not even

a beautiful one”. Hukum sebagai norma sosial perkembangannya tidak semata

ditentukan oleh hukum itu sendiri, tetapi lebih bergantung pada masyarakat

dimana hukum itu berada.

Pada umumnya kesadaran hukum dikaitkan dengan ketaatan hukum

atau efektivitas hukum. Tidak dipungkiri memang ada hubungan antara

25 Yenny Candrawatie, 2006, Penerapan Ketentuan Jangka Waktu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam Proses Pengikatan Jaminan Kredit di Kota Denpasar, Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal. 22-23.

26 W. Friedmen, 1979, Legal Theory, Columbia University Press, New York, hal. 79.

Page 35: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

22

kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efektivitas hukum. Ada pihak yang

mengatakan bahwa hukum berlaku secara faktual atau efektif, jika para warga

masyarakat untuk siapa hukum itu berlaku, mematuhi kaidah hukum tersebut.

Terkait dengan efektivitas hukum, Soerjono Soekanto menyatakan

bahwa ada empat faktor seseorang berperilaku tertentu, yaitu :

1. Memperhitungkan untung rugi.

2. Menjaga hubungan baik dengan sesamanya atau penguasa.

3. Sesuai dengan hati nuraninya.

4. Adanya tekanan-tekanan tertentu.27

Berkaitan dengan tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda

jaminan fidusia dalam perjanjian kredit dapat dipengaruhi oleh perilaku

seseorang. Dalam pengertian sejauhmana perilaku seseorang (debitur) dalam

menyelesaikan permasalahan musnahnya benda jaminan bergerak dalam

perjanjian kredit.

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Jenis Penelitian

Peter Mahmud Marzuki berpendapat, penelitian hukum adalah suatu

proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun

doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini

sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum.28

27 Soerjono Soekanto II, Op. Cit, hal. 19.

28 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, hal. 35.

Page 36: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

23

Ada dua jenis penelitian hukum yang dikemukakan oleh Soerjono

Soekanto, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris atau

sosiologis.29 Jenis penelitian sehubungan dengan penyusunan tesis ini adalah

penelitian hukum normatif. Philipus M Hadjon berpendapat bahwa jenis

penelitian hukum normatif yaitu suatu penelitian yang terutama mengkaji

ketentuan-ketentuan hukum positif maupun asas-asas hukum.30

1.6.2. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang bertujuan

mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan diteliti.

Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah

pendekatan Undang-Undang (statute approach), pendekatan kasus (case

approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan

konseptual (conceptual approach).31

Berdasarkan permasalahan penelitian ini, maka penelitian ini

menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), yakni

dengan menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai bahan hukum

primer. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan

menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan

29 Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III), hal 147.

30 Philipus M Hadjon, 1997, Pengkajian Ilmu Hukum, Makalah Penelitian Metode Penelitian Hukum Normatif, Universitas Airlangga, Surabaya,hal.20.

31 Peter Mahmud Marzuki,Op.Cit.hal.93.

Page 37: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

24

isu hukum yang sedang ditangani.32 Penelitian ini juga menggunakan

pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan konseptual beranjak

dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam

ilmu hukum.33

Dengan demikian, penelitian tentang pengaturan tanggung jawab

debitur terhadap musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit

bank menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan

konseptual.

1.6.3. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan

(Library Research). Penelitian kepustakaan ini dilakukan terhadap berbagai

macam sumber bahan hukum yang dapat digolongkan atas bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder. Pendapat Peter Mahmud Marzuki,bahan

hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya

mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-

undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-

undangan dan putusan-putusan hakim.34 Bahan-bahan hukum primer dalam

penelitian ini terdiri dari:

- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

- Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;

32 Ibid 33 Ibid.hal.119.

34 Ibid. hal.140.

Page 38: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

25

- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Sedangkan bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang

hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.35 Publikasi tentang

hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, bahan hukum yang

bersumber dari literatur-literatur, jurnal ilmiah, dan lain-lain terkait dengan

persoalan yang sementara dikaji. Selain itu dipergunakan juga bahan hukum

penunjang seperti kamus.

1.6.4. Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara menginventarisir,

mempelajari dan mendalami bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier

yang terkait dengan penelitian ini. Bahan hukum yang diperoleh, dikumpulkan

dengan menggunakan sistem kartu (Card System). Kemudian dilakukan

pencatatan mengenai hal-hal yang dianggap penting dan berguna bagi

penelitian yang dilakukan.

Kartu-kartu diklasifikasikan atas kartu kutipan, kartu ikhtiar, dan kartu

ulasan, serta menurut rencana sistematika tesis. Kemudian diberikan identitas

seperti : sumber bahan yang dikutip, dan halaman.

1.6.5. Tehnik Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum terkait dengan kedua pokok permasalahan yang dibahas

selanjutnya dianalisis melalui langkah-langkah deskripsi, interpretasi,

35 Ibid.

Page 39: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

26

sistematisasi, evaluasi, dan argumentasi.36 Pendeskripsian atau penggambaran

dilakukan untuk menentukan isi atau makna dari suatu bahan hukum

disesuaikan dengan pokok permasalahan yang ada. Pada tahapan ini dilakukan

pemaparan serta penentuan terhadap makna dari aturan-aturan hukum yang

terdapat didalam peraturan perundang-undangan di bidang sarana dan

prasarana umum, maupun pemaparan terhadap berbagai pendapat sarjana yang

terkait.

Tahap interpretasi dilakukan untuk memahami makna dari suatu norma,

terutama dalam hal ditemukan norma-norma yang kabur (vague norm). Setelah

bahan-bahan hukum dapat diidentifikasi secara jelas, maka dilanjutkan

melakukan sistematisasi.

Pada tahapan sistematisasi akan dilakukan pemaparan berbagai

pendapat hukum dan hubungan hirarkhis antara aturan-aturan hukum yang

berkaitan dengan isu hukum dalam penelitian ini. Pada tahapan ini juga

dilakukan koherensi antara berbagai aturan hukum dengan pendapat hukum

dari para sarjana yang berhubungan agar dapat dipahami dengan baik. Bahan

hukum yang telah tersistematisasi, baik berupa pendapat hukum maupun

aturan-aturan hukum selanjutnya dilakukan evaluasi dan diberikan pendapat

atau argumentasi disesuaikan dengan koherensinya terhadap permasalahan

yang dibahas.

36Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum Program

Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana , Op. Cit, hal. 8, 9.

Page 40: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

27

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN JAMINAN FIDUSIA

2.1 Perjanjian Kredit

2.1.1 Pengertian Perjanjian Kredit

Sebelum menguraikan lebih banyak tentang perjanjian kredit, maka

sebelumnya perlu diuraikan tentang pengertian perjanjian. Dalam memahami

istilah dan pengertian perjanjian, perlu juga dipahami tentang istilah dan

pengertian kontrak. Ada yang menyatakan kalau kontrak itu adalah perjanjian

yang bentuknya tertulis. Istilah kontrak dalam bahasa Indonesia berasal dari

istilah ”Contract" dalam bahasa Inggris.

Black’s Law Dictionary mengartikan istilah “Contract” sebagai “an

agreement between two or more persons which creates an obligation to do or

not to do a peculiar thing”37 yang berarti bahwa kontrak merupakan suatu

perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk

berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus.

Dalam sistem hukum Indonesia yang menganut sistem Eropa

Kontinental (Civil Law Legal System), istilah kontrak dikenal dengan

Perjanjian (Overrenkomst). Menurut Pasal 1313 BW (KUH Perdata),

37 Soedjono Dirjosisworo. 2003. Kontrak Bisnis Menurut Sistem Vicil Law, Common Law dan Praktek Dagang International, Mandar Maju, Bandung, hal. 65.

Page 41: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

28

“Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.38

Pengertian perjanjian sebagaimana diatur Pasal 1313 BW (KUH

Perdata) tersebut dalam pandangan para sarjana mengandung kelemahan.

Ketidak-sempurnaan dan tidak lengkap. Sehubungan dengan hal tersebut

Mariam Darus Badrulzaman mengungkapkan :

Para Sarjana Hukum Perdata umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan BW di atas adalah tidak lengkap dan pula terlalu luas. Tidak lengkap, karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu terlalu luas, karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin, yaitu perbuatan di lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, namun istimewa sifatnya karena dikuasai oleh ketentuan-ketentuan tersendiri sehingga Buku III BW (KUH Perdata) secara langsung tidak berlaku terhadapnya. Juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan terhadap perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuannya.39

Menurut Abdulkadir Muhammad, kelemahan-kelemahan ketentuan

Pasal 1313 BW (KUH Perdata) adalah sebagai berikut :

a. Hanya menyangkut satu pihak Jika dilihat rumusan ”satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata Kerja ”mengikatkan” mempunyai sifat hanya datang dari satu pihak saja. Seharusnya rumusannya itu harus saling mengikatkan diri sehingga ada consensus para pihak.

b. Kata ”Perbuatan” termasuk tindakan melaksanakan pekerjaan tanpa kuasa (Zaakwaneming) yang tidak mengandung konsensus antara para pihak. Seharusnya digunakan kata ”persetujuan”.

38 Rai Widjaja, I G A, Dikutip dari Black Law Dictionary, 2003, Merancang Suatu Kontrak, Teori dan Praktek, Mega Poin, Jakarta, hal. 8.

39 Mariam Darus Badrulzaman, 1983, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku II Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman I), hal. 20.

Page 42: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

29

c. Pengertian ”perjanjian” dalam pasal tersebut mempunyai arti yang terlalu luas karena dapat juga mencakup kelangsungan perkawinan, janji kawin yang diatur dalam hukum keluarga. Padahal ”perjanjian” yang dimaksud oleh buku III hanya perjanjian yang bersifat kebendaan.

d. Perumusan pasal tersebut tidak menyebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga tidak jelas untuk apa para pihak mengadakan perjanjian itu.40

Mengingat adanya kelemahan-kelemahan dari ketentuan Pasal 1313

BW (KUH Perdata), maka untuk memahami pengertian perjanjian, maka

dipandang penting untuk mengetengahkan pengertian perjanjian yang

dikemukakan oleh para sarjana. Pandangan sarjana dimaksud dapat dijadikan

scbagai pembanding dan bahan analisis dalam memahami perjanjian secara

lebih mendetail dan lengkap.

Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu

hal dalam lapangan Hukum Kekayaan.41 Sedangkan Prof. R. Soebekti,

merumuskan perjanjian ini adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji

kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan suatu hal.42 Pendapat ini perlu mendapat perhatian dan

penegasan, sebab tidak semua peristiwa itu akan menimbulkan adanya

perjanjian, tetapi hanya peristiwa hukum yang dapat menimbulkan perjanjian.

40 Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, hal. 78.

41 Ibid.

42 R. Soebekti I, Op. Cit, hal. 1.

Page 43: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

30

R. Setiawan berpendapat perjanjian adalah suatu perbuatan hukum,

dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau

lebih.43 Selanjutnya Sudikno Mertokusumo menyatakan :

Hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dua pihak itu sepakat untuk menentukan peraturan atau kaidah atau hak dan kewajiban, yang mengikatkan mereka untuk ditaati dan dijalankan, kesepakatan itu adalah untuk menimbulkan akibat hukum, menimbulkan hak dan kewajiban dan kalau kesepakatan itu dilanggar maka ada akibat hukumnya, si pelanggar dapat dikenakan akibat hukum atau sanksi.44

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan

bahwa perjanjian adalah peristiwa hukum yang telah disepakati oleh para pihak

dalam rangka melaksanakan suatu hal dalam lapangan hukum kekayaan yang

telah diatur menurut hukum. Perjanjian itu merupakan peristiwa yang

menimbulkan suatu hubungan hukum di antara para pihak yang terlibat di

dalamnya atau dikenal dengan perikatan (Verbintenis).

Di dalam menyalurkan kredit kepada masyarakat, bank akan

menuangkan dalam suatu perjanjian yang namanya perjanjian kredit. Sebelum

memahami tentang perjanjian kredit, perlu diketahui terlebih dahulu apa itu

kredit. Secara etimologi perkataan kredit berasal dari bahasa latin “Credere”

yang berarti kepercayaan, sehingga berpijak dari arti kata tersebut. dapat

dikatakan bahwa pengertian dasar dari pemberian kredit adalah kepercayaan.45

43 R. Setiawan, 1979, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, hal. 5.

44 Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I), hal. 96.

45 Bambang Sunggono, 1995, Pengantar Hukum Perbankan, Mandar Maju, Jakarta, hal. 127.

Page 44: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

31

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,

Pasal 1 butir 11, kredit adalah:

”Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

Dengan demikian, kredit bank adalah merupakan kredit yang diberikan

bank kepada nasabahnya berdasarkan kepercayaan dengan menyerahkan

sejumlah uang tertentu kepada debiturnya, untuk dipergunakan sesuai dengan

tujuannya, dalam jangka waktu tertentu, dan dengan imbalan berupa bunga.

Istilah perjanjian kredit berasal dari bahasa Inggris, yaitu contract

credit. Dalam hukum Inggris, perjanjian kredit bank termasuk loan of money.46

Istilah perjanjian kredit ditemukan dalam instruksi pemerintah dan berbagai

surat edaran, antara lain:

1. Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EKA/10/96, yang berisi instruksi

kepada bank bahwa dalam memberikan kredit bentuk apapun, bank-bank

wajib mempergunakan ”akad perjanjian kredit”;

2. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb/1996;

dan

3. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Nomor 2/643/Pemb/1996 tentang

Pedoman Kebijaksanaan di Bidang Perkreditan.

46 Sutan Remy Syahdeini, Op. Cit, hal. 57.

Page 45: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

32

Dalam ketentuan itu tidak kita temukan pengertian perjanjian kredit.

Namun, dalam Pasal 1 angka 3 Rancangan Undang-Undang tentang

Perkreditan Perbankan, telah ditentukan pengertian perjanjian kredit.

Perjanjian kredit adalah:

”Persetujuan dan atau kesepakatan yang dibuat bersama antara kreditur dan debitur atas sejumlah kredit dengan kondisi yang telah diperjanjikan, hal mana pihak debitur wajib untuk mengembalikan kredit yang telah diterima dalam jangka waktu tertentu disertai bunga dan biaya-biaya yang disepakati”.

Unsur-unsur yang terkandung dalam perjanjian kredit adalah :

1. Adanya persetujuan dan/atau kesepakatan;

2. Dibuat bersama antara kreditur dan debitur;

3. Adanya kewajiban debitur.

Kewajiban debitur adalah:

1. Mengembalikan kredit yang telah diterimanya;

2. Membayar bunga; dan

3. Biaya-biaya lainnya.

Para ahli juga memberikan pengertian perjanjian kredit. Sutarno

mengartikan perjanjian kredit adalah:

”Perjanjian pokok atau perjanjian induk yang mengatur hak dan kewajiban antara kreditur dan debitur”.47

Definisi ini terlalu singkat karena hanya difokuskan pada hak dan

kewajiban antara kreditur dan debitur, padahal dalam perjanjian kredit itu

47 Sutarno, Op. Cit, hal. 6.

Page 46: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

33

sendiri yang paling prinsip adalah kesepakatan para pihak. Definisi lain

dikemukakan Sutan Remy Syahdeini. Sutan Remy Syahdeini mengartikan

perjanjian kredit adalah:

”Perjanjian bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah debitur untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan”. 48

Definisi yang dikemukakan oleh Sutan Remy Syahdeini terlalu luas

karena tidak hanya mengemukakan tentang hak dan kewajiban kreditur dan

debitur, namun juga mengemukakan tentang ciri-ciri perjanjian kredit. Karena

adanya kelemahan dari kedua definisi di atas, maka perlu dilengkapi dan

disempurnakan. Menurut H. Salim HS yang diartikan dengan perjanjian kredit

adalah:

”Perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur, di mana kreditur berkewajiban untuk memberikan uang atau kredit kepada debitur, dan debitur berkewajiban untuk membayar pokok dan bunga, serta biaya-biaya lainnya sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati antara keduanya”.49

Perjanjian kredit merupakan dasar kewenangan bank untuk dapat

mengendalikan penggunaan kredit oleh nasabah. Yang menyangkut pemberian

kreditnya, bank sangat berkepentingan dengan hal-hal yang menyangkut hak-

hak bank dan kewajiban-kewajiban nasabah, baik pada saat sebelum kredit

48 Sutan Remy Syahdeini, Op. Cit, hal. 14.

49 Salim, HS, 2006, Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUH Perdata, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Salim HS I), hal. 80.

Page 47: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

34

diberikan, selama kredit diberikan, dan setelah kredit jatuh tempo. Di dalam

perjanjian kredit kepentingan-kepentingan bank yang demikian itu tetap

terjaga. Namun meskipun demikian, diharapkan hak-hak dan kepentingan

nasabah sebagai pihak penerima kredit seyogyanya juga harus diberikan

perhatian, dalam konteks perjanjian kredit dimaksud.

2.1.2 Sifat Perjanjian Kredit

Berbicara tentang sifat perjanjian kredit ada berbagai pendapat dari para

sarjana dengan mengkaitkannya dengan ketentuan Pasal 1754 BW. Pasal 1754

BW menentukan sebagai berikut :

“Perjanjian pinjam rnengganti adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah ketentuan barang-barang yang menghabis karena pemakaian. dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.

Selanjutnya dalam Pasal 1765 BW disebutkan, bahwa diperbolehkan

memperjanjikan, bunga atau peminjaman uang atau lain barang yang

menghabis karena pemakaian. Dari pengertian ini, terlihat bahwa unsur-unsur

pinjam-meminjam adalah :

1. Adanva persetujuan antara peminjam dengan yang memberi pinjaman;

2. Adanya suatu jumlah barang tertentu habis karena memberi pinjaman;

3. Pihak yang menerima pinjaman akan mengganti barang yang sama;

4. Pinjaman wajib membayar bunga bila diperjanjikan.50

50 Sentosa Sembiring, Op. Cit, hal. 67.

Page 48: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

35

Para ahli mencoba untuk memberikan tafsiran terhadap Pasal 1754

KUH Perdata dan dikaitkan dengan perjanjian kredit bank. Hal ini disebabkan

karena di dalam KUH Perdata sendiri tidak kita temukan istilah perjanjian

kredit. Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 sendiri tidak

mengenal istilah perjanjian kredit, yang ada hanya pengertian kredit. Dalarn

penjelasan Rancangan Undang-Undang Perkreditan Perbankan ditegaskan

bahwa perjanjian bersifat konsensual dan riil, berbeda dengan perjanjian

pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata yang hanya bersifat riil. Marhainis Abdul Hay menyatakan sebagai

berikut:

“Ketentuan Pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjam

mengganti, mempunyai pengertian yang identik dengan perjanjian kredit

bank.”51

Subekti berpendapat bahwa dalam bentuk apapun juga pemberian kredit

itu diberikan atau diadakan. dalam semuanya itu pada hakekatnya yang terjadi

adalah suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur oleh BW, Pasal

1754 sampai dengan Pasal 1769.52

Begitu pula menurut Muhammad Djumhana, bahwa perjanjian kredit

menurut Hukum Perdata Indonesia adalah salah satu dari bentuk perjanjian

51 Marhainis Abdul Hay, 1975, Hukum Perbankan di Indonesia, Pradnya Paramitha,

Jakarta, hal. 67.

52 R. Subekti, 1978, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni, Bandung (selanjutnva disebut Subekti II), hal. 13.

Page 49: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

36

pinjam meminjam seperti diatur Pasal 1754 BW.53 Dengan demikian,

pembuatan suatu perjanjian kredit dapat mendasarkan kepada ketentuan-

ketentuan yang ada pada BW maupun atas dasar kesepakatan para pihak.

Hal yang sama dikemukakan pula oleh Madam Darus Badrulzaman :

“Dari rumusan yang terdapat di dalam Undang-Undang Perbankan mengenai

perjanjian kredit, dapat disimpuikan bahwa dasar perjanjian kredit adalah

perjanjian pinjam-meminjam di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Pasal 1754.54 Perjanjian pinjam-meminjam ini juga mengandung makna yang

luas yaitu objeknya adalah benda yang menghabis jika verbruiklening

termasuk di dalamnya uang. Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam ini,

pihak penerima pinjaman menjadi pemilik yang dipinjam dan kemudian harus

dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak yang meminjamkan.

Karenanya perjanjian kredit ini merupakan perjanjian yang bersifat riil, yaitu

bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh “penyerahan” uang oleh

bank kepada nasabah.55

Djuhaendah Hasan berpendapat lain, yaitu bahwa perjanjian kredit tidak

tepat dikuasai oleh ketentuan Bab XIII Buku III KUHPerdata, sebab antara

perjanjian pinjam-meminjam dengan perjanjian kredit terdapat beberapa

53 Muhammad Djumhana, Op. Cit, hal. 472.

54 Mariam Darus Badrulzaman, 1981, Perjanjian Baku (Standar) Perkembangannya Di Indonesia (Pidato Pengukuhan Guru Besar), Alumni, Bandung, (selanjutya disebut Mariam Darus Badrulzaman II), hal. 110-111.

55 Ibid.

Page 50: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

37

perbedaan. Perbedaan antara perjanjian pinjam-meminjam dengan perjanjian

kredit terletak pada beberapa hal, antara lain:

a. Perjanjian kredit selalu bertujuan dan tujuan tersebut biasanya berkaitan

dengan program pembangunan, biasanya dalam pemberian kredit sudah

ditentukan tujuan penggunaan uang yang akan diterima, sedangkan dalam

perjanjian pinjam-meminjam tidak ada ketentuan tersebut dan debitur

dapat menggunakan uangnya secara bebas.

b. Dalam perjanjian kredit sudah ditentukan bahwa pemberi kredit adalah

bank atau lembaga pembiayaan (lihat ketentuan Pasal 1 ayat (12) UU

Nomor 7 Tahun 1992) dan tidak dimungkinkan diberikan oleh individu,

sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam pemberian pinjaman dapat

oleh individu.

c. Pengaturan yang berlaku bagi perjanjian kredit berbeda dengan perjanjian

pinjam-meminjam. Bagi perjanjian pinjam-meminjam berlaku ketentuan

umum dari Buku III dan Bab XIII Buku III KUHPerdata. Sedangkan bagi

perjanjian kredit akan berlaku ketentuan dalam UUD 1945, ketentuan

bidang ekonomi dalam GBHN, ketentuan umum KUHPerdata, UU Nomor

7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Paket Kebijaksanaan Pemerintah Dalam

Bidang Ekonomi terutama bidang Perbankan, Surat Edaran Bank Indonesia

(SEBI), dan sebagainya.

d. Pada perjanjian kredit telah ditentukan bahwa pengembalian uang pinjaman

itu harus disertai bunga, imbalan, atau pembagian hasil, sedangkan dalam

Page 51: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

38

perjanjian pinjam-meminjam hanya berupa bunga saja dan bunga inipun

baru ada apabila diperjanjikan.

e. Pada perjanjian kredit bank harus mempunyai keyakinan akan kemampuan

debitur akan pengembalian kredit yang diformulasikan dalam bentuk

jaminan baik materiil maupun immaterial, sedangkan dalam perjanjian

pinjam-meminjam jaminan merupakan pengamanan bagi kepastian

pelunasan hutang dan inipun baru ada apabila diperjanjikan, dan jaminan

itu hanya merupakan jaminan secara fisik atau materiil saja.

Apapun yang merupakan pendapat dari para sarjana tentang

sifat dari perjanjian kredit, namun tetap tidak bisa dilepaskan bahwa

akar dari perjanjian kredit itu adalah perjanjian pinjam-meminjam. Seperti

dirumuskan oleh Undang-Undang Perbankan tentang pengertian “kredit”,

adalah; “. . ., berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminiam

antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk

melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.56

Memahami sifat perjanjian kredit berbagai peraturan perlu ditelaah,

seperti BW, Undang-Undang Perbankan dan ketentuan-ketentuan lainnya.

Seperti disampaikan oleh Edy Putra Tje'Aman, untuk mengetahui sifat

perjanjian kredit bank, tidak cukup hanya melihat KUH Perdata (BW dan

Undang-Undang Perbankan saja, tetapi juga harus memperhatikan ketentuan-

ketentuan yang berlaku/dipakai dalam praktek perbankan.57

56 Djuhaendah Hasan, Op. Cit, hal. 174.

57 Edy Putra The’Aman, Op. Cit, hal. 31.

Page 52: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

39

2.1.3 Bentuk Perjanjian Kredit

Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis,

yang penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata. Namun dari

sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat

bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para

pihak yang membuatnya. Dalam dunia modern yang komplek ini perjanjian

lisan tentu sudah tidak dapat disarankan untuk digunakan meskipun secara

teori diperbolehkan, karena lisan sulit dijadikan sebagai alat pembuktian bila

terjadi masalah di kemudian hari. Untuk itu setiap transaksi apapun

seyogyanya dibuat tertulis yang digunakan sebagai alat bukti, termasuk

perjanjian kredit.

Dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis dapat mengacu pada Pasal

1 ayat (11) UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992

tentang perbankan. Dalam pasal itu terdapat kata-kata : Penyediaan uang atau

tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara

Bank dengan pihak lain. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa pemberian

kredit harus dibuat perjanjian. Meskipun dalam pasal itu tidak ada penekanan

perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis namun menurut pendapat

Sutarno dalam organisasi bisnis modern dan mapan maka untuk kepentingan

administrasi yang rapi dan teratur dan demi kepentingan pembuktian sehingga

Page 53: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

40

pembuatan bukti tertulis dari suatu perbuatan hukum menjadi suatu keharusan,

maka kesepakatan perjanjian kredit harus tertulis.58

Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit harus tertulis

adalah instruksi Presidium Kabinet No. 15/EK/IN/10/1966 tanggal 10 Oktober

1966. Dalam instruksi tersebut ditegaskan “Dilarang melakukan pemberian

kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara Bank dengan Debitur

atau antara Bank Sentral dan Bank-Bank lainnya. Surat Bank Indonesia yang

ditujukan kepada segenap Bank Devisa No. 03/1093/UPK/KPD tanggal 29

Desember 1970, khususnya butir 4 yang berbunyi untuk pemberian kredit

harus dibuat surat perjanjian kredit. Dengan keputusan-keputusan tersebut,

maka pemberian kredit oleh Bank kepada nasabah harus diiniat secara tertulis.

Perjanjian kredit merupakan ikatan atau bukti tertulis antara bank

dengan debitur, sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap

orang mudah untuk mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan

perjanjian kredit. Dalam praktek perbankan ada 2 (dua) bentuk perjanjian

kredit, yaitu :

1. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan

Yang dimaksud dengan perjanjian kredit di bawah tangan adalah perjanjian

pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat di antara

mereka (bank dan nasabah), tanpa Notaris.59

58 Sutarno, Op. Cit, hal. 99.

59 H.R. Daeng Naja, Op. Cit, hal. 185.

Page 54: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

41

Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan dinamakan akta di bawah

tangan, artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh Bank

kemudian ditawarkan kepada Debitur untuk disepakati. Untuk

mempermudah dan mempercepat kerja Bank, biasanya Bank sudah

menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standard (standaardform)

yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan terlebih dahulu

secara lengkap. Bentuk perjanjian kredit yang dibuat sendiri oleh

Bank tersebut termasuk jenis Akta Di Bawah Tangan. Dalam rangka

penandatanganan perjanjian kredit, formulir perjanjian kredit yang isinya

sudah disiapkan Bank kemudian disodorkan kepada setiap calon-calon

Debitur untuk diketahui dan dipahami mengenai syarat-syarat dan

ketentuan pemberian kredit tersebut. Syarat-syarat dan ketentuan dalam

formulir perjanjian kredit tidak pernah diperbincangkan atau dirundingkan

atau dinegosiasikan dengan calon Debitur. Calon Debitur mau atau tidak

mau dengan terpaksa atau sukarela harus menerima semua persyaratan

yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit. Seandainya calon Debitur

melakukan protes atau tidak setuju terhadap pasal-pasal tertentu yang

tercantum dalam formulir perjanjian kredit maka Kreditur tidak akan

menerima protes tersebut karena isi perjanjian memang sudah disiapkan

dalam bentuk cetakan oleh lembaga Bank itu sehingga bagi petugas Bank

pun tidak bisa menanggapi usulan calon Debitur. Calon Debitur

menyetujui atau menyepakati isi perjanjian kredit karena calon Debitur

dalam posisi yang sangat membutuhkan kredit (posisi lemah) sehingga

Page 55: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

42

apapun persyaratan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit calon

Debitur dapat menyetujui.

Perjanjian kredit bank yang hanya dibuat secara di bawah tangan dalam

beberapa hal mengandung kelemahan. Adapun kelemahannya adalah :

a. Bahwa apabila suatu saat nanti terjadi wanprestasi oleh debitur, yang pada akhirnya akan diambil tindakan hukum melalui proses peradilan, maka apabila debitur yang bersangkutan menyangkali atau memungkiri tanda tangannya, akan berakibat mentahnya kekuatan hukum perjanjian kredit yang telah dibuat tersebut. Dalam Pasal 1877 KUH Perdata disebutkan bahwa jika seorang memungkiri tulisan atau tanda tangannya, hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka pengadilan.

b. Bahwa oleh karena perjanjian ini dibuat hanya oleh para pihak, dimana formulirnya telah disediakan oleh bank (form standar/baku), maka bukan tidak mungkin terdapat kekurangan data-data yang seharusnya dilengkapi untuk suatu kepentingan pengikatan kredit/pemberian bank garansi. Bahkan, bukan tidak mungkin, atas dasar pelayanan, penandatanganan perjanjian dilakukan walaupun formulir perjanjian masih dalam bentuk blangko/kosong. 60

Kelemahan-kelemahan ini pada akhirnya akan merugikan bank jika suatu

saat berperkara dengan nasabahnya. Oleh sebab itu, pembuatan perjanjian

kredit bank yang selama ini banyak dipraktekkan kalangan perbankan,

perlu untuk ditinjau kembali, terutama bila melihat sisi-sisi kelemahannya

tersebut.

2. Perjanjian kredit yang dibuat dengan Akta Otentik (Akta Notaris)

Yang dimaksud dengan perjanjian kredit Notaris, adalah perjanjian

pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat oleh atau di

hadapan Notaris.

60 Ibid.

Page 56: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

43

Perjanjian kredit yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris yang dinamakan

akta otentik atau akta notariil. Yang menyiapkan dan membuat perjanjian

ini adalah seorang Notaris namun dalam praktek semua syarat dan

ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh Bank kemudian diberikan

kepada Notaris untuk dirumuskan dalam akta notariil. Memang Notaris

dalam membuat perjanjian hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para

pihak dalam bentuk akta notariil atau akta otentik.61

Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta otentik

biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka

waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja.

kredit sindikasi (kredit yang diberikan lebih dari satu Kreditur atau lebih

dari satu Bank).

Antara perjanjian kredit yang dibuat dengan Akta di bawah tangan

dengan perjanjian kredit dengan akta otentik sudah barang tentu ada

perbedaannya. Bila dilihat dari segi pembuktiannya, antara akta di bawah

tangan dengan akta otentik memang berbeda. Akta otentik mempunyai

kekuatan pembuktian sempurna, artinya akta otentik itu dianggap sah dan

benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan

pihak-pihak tersebut.

Apabila suatu akta otentik diajukan sebagai alat bukti didepan Hakim,

kemudian pihak lawan membantah akta otentik tersebut, maka pihak

61 Sutarno, Op. Cit, hal. 100.

Page 57: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

44

pembantah yang harus membuktikan kebenaran/bantahannya. Sebaliknya, jika

tanda tangan pada akta di bawah tangan itu dipungkiri oleh pihak yang telah

membubuhkan tanda tangan, maka pihak yang mengajukan akta di bawah

tangah itu harus berusaha mencari alat-alat bukti lain yang membenarkan

bahwa tanda tangan tadi dibubuhkan oleh pihak yang memungkiri.

2.1.4 Lahirnya Perjanjian Kredit

Dalam praktek perbankan terdapat prinsip commanditer ingsverbod,

yaitu : “adanya larangan bagi bank bahwa dengan adanya pemberian kredit,

bank ikut menanggung resiko dari usaha nasabah”.62 Hal tersebut sesuai

dengan asas tiada kredit tanpa jaminan.

Dengan adanya prinsip atau asas tersebut di atas, menunjukkan pad

akita bahwa di dalam perjanjian kredit akan selalu terkait dengan adanya

perjanjian jaminan.

Dalam praktek, penandatanganan perjanjian jaminan dilakukan

bersamaan pada saat penandatanganan perjanjian kreditnya. Adanya perjanjian

jaminan tersebut adalah karena adanya perjanjian kredit. Hal ini sesuai dengan

sifat accessoir dari perjanjian jaminan. Di samping terkaitnya perjanjian

jaminan di dalam perjanjian kredit, juga tidak akan terlepas dari kewajiban

membayar bunga kredit.

Di dalam praktek perbankan, bahwa dengan ditandatanganinya

perjanjian kredit tidak berarti akan disertai dengan realisasi kredit atau

62 Edy Putra The’Aman, Op. Cit, hal. 35.

Page 58: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

45

pencairan kredit.63 Pemohon (calon nasabah) tidak akan dapat melakukan

penarikan kredit, bila tidak ada pernyataan dari bank bahwa pemohon sudah

boleh menarik kreditnya.

Jadi pada saat dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit,

perjanjian kredit belum lahir. Apabila perjanjian kredit telah lahir pada saat

dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, sedag pihak pemohon belum

menerima kreditnya, maka hal ini adalah suatu kejanggalan, suatu

ketidakadilan yang nyata. Sebab bila perjanjian kredit telah lahir pada saat

dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, berarti perjanjian jaminannya

pun telah lahir. Sedangkan pada saat itu pemohon belum menerima kreditnya,

yang berarti pula belum mempunyai hutang. Hal ini adalah bertentangan

dengan sifat accessoir dari perjanjian jaminan.

Demikian pula halnya bila dikaitkan dengan kewajiban membayar

bunga kredit. Bagaimana mungkin pemohon atau calon nasabah diwajibkan

membayar bunga apabila ia sendiri belum menerima kreditnya.

2.1.5 Hapusnya Perjanjian Kredit

Pasal 1319 BW (KUH Perdata) menetapkan semua perjanjian baik yang

mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama

tertentu tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat di dalam bab

kedua BW (KUH Perdata). Ini berarti perjanjian kredit yang merupakan

perjanjian yang tidak dikenal di dalam KUH Perdata, juga harus tunduk pada

63 Ibid.

Page 59: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

46

ketentuan-ketentuan umum yang termuat di dalam Buku III KUH perdata.

Karenanya Pasal 1381 BW (KUH Perdata) yang mengatur cara hapusnya

perikatan dapat diberlakukan pula pada perjanjian kredit bank. Dari sepuluh

cara yang disebutkan pada Pasal 1381 tadi, umumnya perjanjian kredit bank

harus hapus atau berakhir karena hal-hal di bawah ini:

1. Pembayaran

Pembayaran (lunas) ini merupakan pemenuhan prestasi dari debitur, baik

pembayaran utang pokok, bunga, denda maupun biaya-biaya lainnya yang

wajib dibayar lunas oleh debitur. Pembayaran lunas ini, baik karena jatuh

tempo kreditnya atau karena diharuskannya debitur melunasi kreditnya

secara seketika dan sekaligus (opelbaarheid clause).

2. Subrograsi (subrogatie)

Pasal 1382 BW (KUH Perdata) menyebutkan kemungkinan pembayaran

(pelunasan) utang dilakukan oleh pihak ketiga kepada pihak berpiutang

(kreditur), sehingga terjadi penggantian kedudukan atau hak-hak kreditur

oleh pihak ketiga. Inilah yang dinamakan dengan subrogasi. Jadi subrograsi

ini terjadi karena adanya penggantian kedudukan atau hak-hak kreditur

lama oleh kreditur baru dengan mengadakan pembayaran. Dengan adanya

subrograsi, maka segala kedudukan atau hak-hak yang dipunyai kreditur

lama beralih kepada pihak ketiga.

Page 60: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

47

3. Pembaharuan utang (novasi)

Pembaruan utang terjadi dengan jalan mengganti utang lama dengan utang

baru, debitur lama dengan debitur baru dan kreditur lama dengan kreditur

baru. Dalam hal ini, bila utang lama diganti dengan utang baru terjadilah

penggantian objek perjanjian yang disebut “novasi subjektif”. Di sini utang

lama lenyap, dalam hal terjadi penggantian orangnya (subjeknya), maka

jika diganti debiturnya, pembaruan ini disebut “novasi subjektif pasif”. Jika

yang diganti itu krediturnya, pembaruan ini disebut “novasi subjektif

aktif”. Dalam hal ini utang lama lenyap.

Pada umumnya pembaruan utang yang terjadi di dalam dunia perbankan

adalah denggan mengganti atau memperbarui perjanjian kredit bank yang ada.

Dalam hal ini yang diganti adalah perjanjian kredit banknya dengan perjanjian

kredit bank yang baru. Dengan terjadinya penggantian atau pembaruan

perjanjian kredit, otomatis perjanjian kredit bank yang lama berakhir atau tidak

berlaku.

Pasal 1413 BW (KUH Perdata) menyebutkan tiga cara untuk

melakukan novasi, yaitu :

1. dengan membuat suatu perikatan utang baru yang mengganti perikatan

utang lama yang dihapuskan karenanya;

2. dengan cara expromissie, yakni mengganti debitur lama dengan debitur

baru;

Page 61: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

48

3. mengganti debitur lama dengan debitur baru sebagai akibat suatu perjanjian

baru yang diadakan;

4. perjumpaan utang (kompensasi)

Kompensasi adalah perjumpaan dua utang yang berupa benda-benda yang

ditentukan menurut jenis (generieke ziken) yang dipunyai oleh dua orang

atau pihak secara timbal balik, dimana masing-masing pihak berkedudukan

baik sebagai kreditur maupun debitur terhadap orang lain, sampai jumlah

terkecil yang ada di antara kedua utang tersebut.64

Dasar kompensasi ini disebutkan dalam Pasal 1425 BW (KUH Perdata).

Dikatakan jika dua orang saling berhutang satu pada yang lain, maka terjadilah

antara mereka suatu perjumpaan utang-piutang, dengan mana utang-utang

antara kedua orang tersebut dihapuskan.

Kondisi demikian itu dijalankan oleh bank dengan cara

mengkompensasikan barang jaminan debitur dengan utangnya kepada bank,

sebesar jumlah jaminan tersebut yang diambil alih tersebut.

2.2 Jaminan Fidusia

2.2.1 Pengertian dan Latar Belakang Lahirnya Jaminan Fidusia

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang pengertian jaminan fidusia

hendaknya kita memahami pengertian jaminan. Dalam rangka pembangunan

ekonomi diperlukan tersedianya dana, yang salah satunya adalah dalam bentuk

64 Rachmadi Usman, Op. Cit, hal. 279-280.

Page 62: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

49

kredit yang diberikan oleh lembaga perbankan.65 Dana yang berupa kredit itu

diperlukan oleh debitur guna kepentingan pengembangan usaha atau keperluan

lainnya. Penyaluran kredit kepada pelaku usaha selaku debitur sarat dengan

resiko kemacetan. Oleh karena itu, bank harus memperhatikan asas-asas

perkreditan yang sehat di antaranya :

1. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa surat perjanjian

tertulis;

2. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada usaha yang sejak

semula telah diperhitungkan kurang sehat dan akan membawa kerugian;

3. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham dan

modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham, atau;

4. Memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit (legal

lending limit).66

Mengingat hal-hal tersebut di atas, maka bank dalam memberikan

kreditnya wajib memperoleh keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan

debitur untuk melaksanakan kewajibannya. Setelah kredit diberikan, bank juga

wajib melakukan peninjauan ke lapangan dan pengikatan terhadap jaminan

yang diserahkan oleh debitur sehingga jaminan yang diterima dapat memenuhi

persyaratan dan kctcntuan yang berlaku. Untuk memperoleh keyakinan

terhadap kemampuan dan kesanggupan debitur maka bank melakukan

65 M. Khoidin, 2005, Problematika Eksekusi Sertifikat Hak Tanggungan, Laks Bank Pressindo, Yogyakarta, hal. 1.

66 Muhammad Djumhana, Op. Cit, hal. 510.

Page 63: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

50

penilaian yang dikenal dengan the five c's of credit (5C) antara lain Character;

Capital; Capacity; Collateral; Condition of economy.

Berbagai aspek penilaian yang dilakukan bank tidak selalu dapat

mencerminkan kinerja nasabah debitur di masa yang akan datang, maka pihak

bank perlu berjaga-jaga terhadap resiko yang terburuk dari pelepasan kredit.

Antisipasi terhadap kemungkinan macetnya pemenuhan kewajiban oleh

nasabah adalah kewajiban penyerahan jaminan sebelum dana diberikan kepada

nasabah. Jaminan merupakan salah satu upaya untuk mengantisipasi risiko

yang mungkin timbul dalam tenggang waktu antara pelepasan dan pelunasan

kredit. Namun dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

tidak disebutkan lagi secara tegas mengenai kewajiban tersedianya jaminan

atas kredit yang dimohonkan oleh debitur, seperti yang diatur dalam Undang-

Undang Perbankan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967.

Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 menyebutkan :

“Bank Umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga”.

Dalam kalimat tersebut tersirat bahwa siapapun yang ingin memperoleh kredit

bank harus menyerahkan jaminan kepada bank. Terdapat perubahan dalam

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yaitu Pasal 8 yang menyebutkan

bahwa ”Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang

mendalam atas itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk

melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan”. Untuk memperoleh

Page 64: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

51

keyakinan tersebut, bank melalui analis kreditnya melakukan penilaian

terhadap calon debiturnya berdasarkan the five c's of credit analysis (5C)

di atas.

Sebenarnya dalam literatur hukum tidak dikenal istilah hukum jaminan,

sebab kata recht dalam rangkaiannya sebagai zakerheidsrechten berarti ”hak”,

sehingga zakerheidsrechten berarti hak-hak jaminan.67 Dengan demikian kalau

mau merumuskan hukum jaminan, maka dapat dikatakan sebagai ketentuan-

ketentuan hukum yang mengatur tentang jaminan pada umumnya, maksudnya

jaminan tagihan kreditur atas hutang debitur.68 Dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, ketentuan umum tentang jaminan diletakkan dalam pasal 1131

sampai dengan pasal 1138. Dalam pasal-pasal tersebut diatur prinsip tanggung

jawab seorang debitur terhadap hutang-hutangnya dan juga kedudukan semua

kreditur atas tagihan yang dipunyai olehnya terhadap debiturnya.69

Dalam Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor

23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit,

bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah suatu keyakinan bank atas

kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.

Sutarno menyatakan, jaminan adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai

mudah untuk diuangkan yang diikat dengan janji sebagai jaminan untuk

67 J. Satrio, 2002, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Citra Aditya Bakti Bandung, (selanjutnya disebut J. Satrio I), hal. 154.

68 J. Satrio, 1996, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut J. Satrio II), hal. 4.

69 J. Satrio I, Op. Cit.

Page 65: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

52

pembayaran dari utang debitur berdasarkan perjanjian kredit yang dibuat

oleh kreditur dan debitur.70 Selanjutnya Pasal 1 ayat (23) Undang-undang

Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juga menyebutkan agunan adalah

jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka

pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Hal

penting dalam penyerahan agunan ini adalah keabsahan secara yuridis di

perjanjian pengikatan agunan. Pihak bank harus yakin bahwa agunan atau

jaminan yang telah diserahkan telah berdasarkan perjanjian yang sah secara

yuridis. 71

Kredit yang didukung dengan jaminan disebut secured loans, dengan

menggunakan jaminan dalam penyaluran kredit dapat meyakinkan bank akan

kemampuan debitur dalam pengembalian utangnya, sedangkan kredit yang

tidak didukung dengan jaminan disebut unsecured loans, pemberian kredit ini

yaitu dengan mempertimbangkan bonafiditas dan prospek usaha debitur.

Kredit tanpa adanya jaminan sangat membahayakan posisi bank, mengingat

jika nasabah mengalami kemacetan pembayaran maka akan sulit menutupi

kerugian terhadap kredit yang disalurkan.

Dengan adanya harta debitur yang dijadikan jaminan atas utangnya

dapat menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang

dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.72

70 Sutarno, Op. Cit, hal. 142.

71 Sri Susilo, Sigit Triandaru & Totok Budi S, 2000, Bank & Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta, hal. 73.

72 Hartono Hadisoeprapto, 1984, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta, hal. 50.

Page 66: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

53

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa jaminan

sebagai sarana perlindungan bagi keamanan kreditur yaitu memberikan

kepastian akan pelunasan utang debitur sesuai dengan perjanjian kredit.

Jaminan dapat menutupi segala resiko terhadap kemungkinan macetnya suatu

kredit baik yang ada unsur kesengajaan atau tidak. Oleh karena itu, selain

benda yang menjadi objek jaminan kredit diikat dengan asuransi tertentu,

penilaian jaminan kredit haruslah teliti jangan sampai terjadi sengketa, palsu,

dan sebagainya.

Istilah Fidusia berasal dari kata ”fides” yang berarti kepercayaan.73

Hubungan hukum yang terjadi antara kreditur dengan debitur merupakan

hubungan hukum yang berdasarkan atas kepercayaan. Istilah fidusia sudah

lama dikenal dalam bahasa Indonesia dan merupakan istilah resmi dalam dunia

hukum di Indonesia.74 Undang-Undang Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 juga

menggunakan istilah ”fidusia”. Namun terkadang, untuk fidusia ini juga

dikenal dengan istilah ”Penyerahan Hak Milik Secara Kepercayaan”. Dalam

terminologi Belandanya sering disebut dengan Fiduciare Eigendom

Overdracht, sedangkan dalam bahasa Inggrisnya sering disebut dengan istilah

Fiduciary Transfer of Ownership.75

73 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 113.

74 Munir Fuady, 2003, Jaminan Fidusia, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Munir Fuady II), hal. 3.

75 Ibid.

Page 67: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

54

Jaminan fidusia ini lahir karena adanya kebutuhan dalam praktek untuk

menjaminkan barang bergerak tetapi tanpa penyerahan barang secara fisik.

Mengingat lembaga gadai mensyaratkan adanya penyerahan benda maka

dicarikanlah jalan untuk dapat menjaminkan barang bergerak tanpa penyerahan

fisik barang tersebut. Akhirnya muncullah suatu rekayasa untuk memenuhi

kepentingan dalam praktek tersebut yaitu dengan jalan pemberian jaminan

fidusia. Jaminan fidusia ini akhirnya diterima dalam praktek dan diakui oleh

yurisprudensi, baik di Belanda maupun di Indonesia.76 Rekayasa hukum

tersebut dilakukan lewat bentuk globalnya yang disebut dengan "Constitutum

Posessorium" (penyerahan kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik benda

sama sekali). Agar sahnya peralihan hak dalam kontruksi hukum tentang

fidusia ini, haruslah memenuhi syarat-syarat antara lain :

a. terdapat perjanjian yang bersifat zakelijk

b. adanya titel untuk suatu peralihan hak

c. adanya kewenangan untuk menguasai benda dari orang yang menyerahkan

benda

d. cara tertentu untuk penyerahan yaitu dengan cara constitutum

posessorium bagi benda bergerak yang berwujud, atau dengan cessie untuk

hutang piutang.77

76 Ibid.

77 Sri Soedewi Masjchoen, Sofwan, 1980, Hukum Jaminan Di Indonesia, Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional, hal. 27.

Page 68: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

55

Berkaitan dengan Fidusia dan Jaminan Fidusia, dalam Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memberikan pengertian

mengenai masing-masing tersebut:

Pasal 1 butir 1: Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Pasal 1 butir 2 :

Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka unsur-unsur fidusia dalam upaya

pemberian hak jaminan kepada kreditur dengan tujuan :

1. Sebagai agunan

Sebagai agunan menunjuk ciri umum dari hak jaminan, bahwa pengalihan

hak milik terhadap suatu benda hanya diperuntukkan sebagai agunan atau

jaminan kredit, konsepsi pengalihan hak milik dengan kepcrcayaan dalam

jaminan fidusia, adalah semata-mata untuk mcmbcrikan jaminan kepastian

pengembalian kredit, sebagai perlindungan bagi keamanan kreditur.

Memang apabila dilihat lebih jauh terhadap konstruksi jaminan fidusia

akan membingungkan dan dapat menimbulkan salah tafsir apabila

dikaitkan dengan unsur dari pengertian fidusia tentang ”pengalihan hak

Page 69: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

56

milik” yang sering ditafsirkan bahwa penerima jaminan fidusia semestinya

menjadi pemilik atas benda yang bersangkutan. Apabila ditinjau lebih jauh

riwayat sebenarnya merupakan penyelundupan atas ketentuan gadai yang

diatur pada Pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata untuk membedakan dari

gadai berdasarkan kebutuhan praktek hukum jaminan. Karena hukum

merupakan suatu sistem yang tidak memungkinkan untuk adanya

pertentangan sehingga digunakan istilah pengalihan hak milik untuk

membedakan dengan gadai.

2. Untuk kepentingan pelunasan tertentu

Unsur ini menunjuk pada penjelasan bahwa pemberian jaminan fidusia

memiliki tujuan yang sama dengan jaminan lainnya yaitu untuk jaminan

agar debitur memenuhi kewajibannya yaitu dalam pelunasan utang tertentu.

Dengan demikian terlihat bahwa perjanjian pokoknya adalah hutang

piutang dan perjanjian pemberian jaminan fidusianya sebagai perjanjian

tambahan (accessoir). Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 4 Undang-

Undang Jaminan Fidusia yang menyatakan : ”Jaminan Fidusia merupakan

perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban

bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Sedangkan ciri perjanjian

tambahan (accessoir) adalah perjanjian tersebut tidak dapat berdiri sendiri,

kemudian berakhirnya adalah tergantung pada berakhirnya perjanjian

pokoknya.

Page 70: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

57

3. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia

terhadap kreditur lain dari pelunasan atau kewajiban debitur (pemberi

jaminan fidusia). Unsur ini menunjukkan bahwa kreditur penerima fidusia

akan mempunyai posisi lebih baik di depan hukum dalam penagihan,

demikian pula apabila terjadi eksekusi terhadap benda jaminan fidusia,

maka kedudukannya lebih diutamakan atau didahulukan daripada kreditur

lainnya dalam mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi dari

benda jaminan fidusia. Hal demikian dinamakan hak preferen.

Dalam perkembangannya di zaman Romawi, ada dua bentuk jaminan

fidusia yaitu fiducia cum amino dan fiducia cum creditore.78 Keduanya timbul

dari perjanjian yang disebut pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan

penyerahan hak.79 Fiducia cum amino contracta yang artinya janji kepercayaan

yang dibuat dengan teman. Lembaga ini sering digunakan dalam hal seorang

pemilik suatu benda harus mengadakan perjalanan keluar kota dan sehubungan

dengan itu menitipkan kepemilikan benda tersebut kepada teman dengan janji

bahwa teman akan mengembalikan benda tersebut jika pemiliknya sudah

kembali dari perjalanannya. Dalam fiducia cum amino contracta ini

kewenangan diserahkan kepada pihak pcnerima akan tetapi kepentingan tetap

ada pada pihak pemberi.80

78 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Loc. Cit.

79 Ibid.

80 Ibid, hal. 115.

Page 71: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

58

Fiducia cum creditore contracta berarti janji kepercayaan yang dibuat

dengan debitur, bahwa debitur akan mengalihkan suatu benda kepada kreditur

sebagai suatu jaminan utang dengan kesepakatan bahwa kreditur akan

mengalihkan kembali benda jaminan tersebut apabila utang debitur sudah

dibayar lunas, karena debitur bertindak dengan kepercayaan, hubungan seperti

ini dinamakan hubungan yang didasarkan atas fides atau hubungan fiduciair.81

Timbulnya fiducia cum creditore ini disebabkan adanya suatu

kebutuhan akan hukum jaminan yang belum diatur oleh konstruksi hukum.

Dengan fiducia cum creditore ini maka kewenangan yang dimiliki kreditur

akan lebih besar yaitu sebagai pemilik atas barang yang dialihkan sebagai

jaminan. Debitur percaya bahwa kreditur tidak akan menyalahgunakan

wewenang yang diberikan itu. Kekuatannya hanya terbatas pada kepercayaan

dan secara moral saja dan bukan kekuatan hukum. Debitur tidak akan dapat

berbuat apa-apa jika kreditur tidak mau mengembalikan hak milik atas barang

yang diserahkan sebagai jaminan itu. Hal ini merupakan kelemahan fidusia

pada bentuk awalnya jika dibandingkan dengan sistem hukum jaminan yang

kita kenal sekarang.82 Karena kelemahan itu maka ketika gadai dan hipotek

berkembang sebagai hak-hak jaminan serta adanya hukum tertulis yang

mengaturnya, akhirnya fidusia hilang dari Hukum Romawi.

Ketika negara-negara Eropa Kontinental seperti Perancis dan Belanda

mengadopsi hukum Romawi, dalam hukum Romawi lembaga fidusia sudah 81 J. Satrio II, Op. Cit, hal 166.

82 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 114.

Page 72: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

59

lenyap sehingga dalam Burgerlijk Wetboek (BW) tidak dikenal lembaga

fidusia, yang diatur hanya hipotek (hak tanggungan) dan pand (gadai). Baru

kemudian terasa lagi kebutuhan dalam praktek hukum di negeri Belanda

sehingga lembaga fidusia dimunculkan lagi dalam praktek dan diakui oleh

yurisprudensi. Lahirnya lembaga fidusia di negeri Belanda tidak terlepas dari

kebutuhan dan keadaan perekonomian pada saat itu. Pada abad 19, di negeri

Belanda terjadi kemerosotan hasil panen, sehingga perusahaan pertanian

sangat membutuhkan modal. Lembaga hipotik tidak dapat diandalkan saat itu

karena petani memiliki tanah yang sangat terbatas, apalagi lembaga gadai, para

petani tidak dapat menyerahkan barang-barang pertanian yang justru sangat

dibutuhkan untuk proses produksi pertaniannya. Hal yang sama juga berlaku

untuk wilayah Hindia Belanda (Indonesia) saat itu. Dengan keadaan seperti itu,

di negeri Belanda saat itu ada usaha-usaha untuk menanggulangi masalah

tersebut antara lain dengan jalan memformulasi pinjaman dalam bentuk bank-

bank koperasi. Di Indonesia (Hindia Belanda) saat itu ditanggulangi dengan

cara mengintrodusir jaminan hutang dalam bentuk “ikatan panen”

(oogstverband).

Oogstverband adalah suatu jaminan untuk pinjaman uang, yang

diberikan atas panen yang akan diperoleh dari suatu perkebunan (teh, kopi,

dan sebagainya) berdasarkan Koninklijk Besluit tanggal 24 Januari 1886 (Stbl.

Page 73: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

60

1886-57).83 Dari pengertian oogstverband, ada 3 (tiga) hal yang cukup penting

harus diketahui yaitu pertama, oogstverband sebagai lembaga jaminan

memiliki karakter kebendaan (zakenlijke caracter) berarti lembaga

oogstverband mempunyai sifat-sifat kebendaan antara lain haknya dapat

dipertahankan terhadap siapapun juga, hak mengikuti bendanya ditangan

siapapun benda itu berada dan mudah dieksekusi; kedua, objek oogstverband

adalah hasil-hasil pertanian yang belum dipetik beserta perusahaan serta

peralatan yang dipakai untuk mengolah hasil pertanian; ketiga, hakikat

oogstverband.84 Atas satu panenan hanya dapat berlaku satu oogstverband,

apabila ada beberapa maka yang berlaku hanya yang pertama diletakkannya

sedangkan yang kemudian dapat berlaku apabila yang pertama telah hapus

sebagai suatu jaminan (accesoir) tentunya oogstverband ini hapus kalau

utangnya telah dibayar. Menurut R. Soebekti, kelemahan dari lembaga ini

adalah bahwa Oogstverband hapus apabila hasil panen yang dijadikan jaminan

musnah.85

Bentuk jaminan “ikatan panen atau bank-bank koperasi” di dalam

pratek dirasakan tidak memadai sehingga yang terjadi saat itu adalah

perkembangan kebutuhan perekonomian lebih cepat dibandingkan

perkembangan hukum perkreditan dan jaminan. Di samping itu hukum positif

83 R. Soebekti, 1978, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut R. Soebekti III), hal. 29.

84 Tan Kamelo, 2004, Hukum Jaminan Fidusia, Alumni, Bandung, hal. 1.

85 R. Soebekti, Op. Cit, hal. 80.

Page 74: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

61

saat itu tidak mengatur mengenai jaminan utang terhadap benda bergerak

(gadai) tanpa penyerahan barangnya. Konsekuensi dari statisnya sektor hukum

perkreditan dan jaminan tersebut melahirkan upaya-upaya untuk mencari jalan

keluar yuridis, maka akhirnya di Belanda digunakan kembali yang disebut

dengan fiducia cum creditore sampai akhirnya diakuinya lembaga fidusia

tersebut oleh yurisprudensi lewat putusan pertamanya tentang fidusia, yaitu

putusan tanggal 25 Januari 1929, N.J. 1929, 616, yang popular dengan nama

Bier Brouwerij Arrest. Kasusnya sebagai berikut:

NY Heineken Bierbrouwerij Maatschappij meminjamkan uang sejumlah f. 6000 (enam ribu gulden) kepada P. Bos pemilik warung kopi "Sneek" dengan jaminan berupa hipotek keempat atas tanah dan bangunan yang digunakan Bos sebagai tempat usahanya. Untuk lebih menjamin pelunasan utangnya, Bos menjual inventaris warungnya kepada Bierbrouwerij dengan hak membeli kembali dengan syarat bahwa inventaris itu untuk sementara dikuasai oleh Bos sebagai sebagai peminjam pakai. Pinjam pakai itu yang akan berakhir jika Bos tidak membayar utang pada waktunya atau pailit. Ternyata Bos benar-benar pailit dan hartanya diurus oleh kurator kepailitan (Mr. A.W. de Haan), termasuk inventaris tadi. Bierbrouwerij kemudian menuntut kepada kurator kepailitan untuk menyerahkan inventaris tadi dengan sitaan revindikasi. Kurator menolak dengan alasan bahwa perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali tersebut adalah tidak sah karena hanya berpura-pura saja. Dalam gugatan rekonpensi kurator kepailitan menuntut pembatalan perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali tersebut.86

Dalam sidang pengadilan pertama, pengadilan Rechtbank dalam

putusannya menolak gugatan Bierbrouwerij dan mengabulkan gugatan

rekonpensi, alasannya bahwa para pihak hanya berpura-pura mengadakan

perjanjian. Perjanjian yang sesungguhnya dilakukan adalah perjanjian dengan

86 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 117.

Page 75: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

62

pemberian jaminan gadai tetapi tidak sah karena barangnya tetap berada dalam

penguasaan pemberi gadai sehingga bertentangan dengan larangan pasal 1152

ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Atas putusan tersebut,

Bierbrouwerij menyatakan banding yang keputusannya adalah bahwa

perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali tersebut adalah sah. Atas

putusan tersebut, kurator menyatakan kasasi dan Hoge Raad memutuskan

bahwa yang dimaksudkan oleh para pihak adalah perjanjian penyerahan hak

milik sebagai jaminan dan rnerupakan titel yang sah.

Putusan Hoge Raad dalam Bier Brouwerij Arrest tersebut mengakui

jaminan fidusia dengan pertimbangan :

1. perjanjian fidusia tidak bertentangan dengan aturan tentang gadai, karena

maksud para pihak tersebut bukanlah untuk membuat pengikatan gadai.

2. perjanjian fidusia tidak bertentangan dengan peritas creditorium karena

perjanjian tersebut mengenai barang-barang milik Heineken (kreditur),

bukan barang milik Bos (debitur).

3. perjanjian fidusia tersebut tidak bertentangan dengan asas kepatutan

4. perjanjian tersebut tidak merupakan penyelundupan hukum yang tidak

diperbolehkan.87

Keberadaan fidusia di Indonesia diakui oleh yurisprudensi berdasarkan

keputusan Hooggerechtsh of (HGH) tanggal 18 Agustus 1932, kasusnya

sebagai berikut :

87 Mariam Daruz Badrulzaman, 1979, Bab-Bab Tentang Credietverband, Gadai dan Fidusia, Bandung, Alumni, (selanjutnya disebut Mariam Daruz Badrulzaman III), hal. 91.

Page 76: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

63

Pedro Clignett meminjam uang dari Bataafsche Petroeum Maatschappij (BPM) dengan jaminan hak milik atas sebuah mobil secara kepercayaan. Clignett tetap menguasai mobil itu atas dasar perjanjian pinjam pakai yang akan berakhir jika Clignett lalai membayar utangnya dan mobil tersebut akan diambil oleh BPM. Ketika Clignett benar-benar lalai, BPM menuntut penyerahan mobil dari Clignett, namun ditolaknya dengan alasan bahwa perjanjian yang dibuat itu tidak sah. Menurut Clignett, jaminan yang ada adalah gadai, tetapi karena barang gadai tetap berada dalam penguasaan debitur maka gadai tersebut tidak sah. Dalam putusannya HGH menolak alasan Clignett karena perjanjian yang dibuat bukanlah gadai melainkan fidusia yang telah diakui oleh Hoge Raad dalam Bier Brouwerij Arrest. Clignett diwajibkan menyerahkan jaminan tersebut kepada BPM.88

Setelah putusan BPM tersebut, baik Mahkamah Agung zaman Hindia

Belanda (HGH) maupun Mahkamah Agung (pengadilan tingkat bawahan) di

zaman kemerdekaan telah pula memberikan beberapa putusan yang antara lain

menyimpulkan :

1. Lembaga fidusia hanya diperuntukkan terhadap benda bergerak (Putusan

Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 22 Maret 1951)

2. Membenarkan pengikatan fidusia sepanjang mengenai percetakan dan

gedung perkantoran (Putusan Mahkamah Agung No. 372/K/Sip/1970

tanggal 1 September 1971)

3. Menegaskan bahwa kreditur pemilik fidusia (atas besi beton dan semen)

bukanlah pemilik yang sebenarnya tetapi hanya sebagai pemegang jaminan

hutang saja, sehingga jika hutang tidak dibayar, pihak kreditur tidak dapat

langsung memiliki (mendaku) benda tersebut (Putusan Mahkamah Agung

No. 1500/K/Sip/1978 tanggal 2 Februari 1980).

88 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 120.

Page 77: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

64

Walaupun sudah diputuskan bahwa objek jaminan fidusia berupa benda

bergerak, namun dalam praktek untuk benda-benda tidak bergerak juga

digunakan sebagai jaminan fidusia. Apalagi dengan berlakunya Undang-

undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, perbedaan benda bergerak dengan

benda tidak bergerak menjadi kabur karena dalam UUPA tersebut

menggunakan pembedaan berdasarkan tanah dan bukan tanah. Dengan lahirnya

Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka yang

menjadi objek jaminan fidusia menjadi jelas.

2.2.2 Dasar Hukum Jaminan Fidusia

Perkembangan dan penggunaan fidusia semakin meluas, terutama

setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-

Pokok Agraria. Selain benda bergerak, fidusia dapat pula dibebankan di atas

tanah-tanah yang tidak dapat dijaminkan melalui hipotik, seperti hak pakai dan

hak sewa. Mengenai hak pakai secara tegas Undang-Undang Pokok Agraria

tidak mengaturnya walaupun memiliki nilai ekonomis yang tinggi untuk

dijadikan sebagai jaminan hutang.89

Seminar Nasional tentang Fidusia, menurut para ahli hukum

mempermasalahkan apakah persoalan fidusia dibiarkan hidup dalam bentuk

hukum tidak tertulis atau cukup hanya diatur dalam yurisprudensi atau

dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah

Susun. Pengertian fidusia yang tercantum dalam Pasal 1 angka 8 membawa

89 Parlindungan A.P,1988, Komentar Atas Undang – Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, hal. 200.

Page 78: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

65

perubahan yuridis yang cukup berarti dalam perkembangan jaminan fidusia.

Selanjutnya Pasal 12 dengan tegas mengatur bahwa satuan rumah susun dapat

dijaminkan dengan ikatan fidusia, kalau tanah milik bersama di atas mana

rumah susun itu berdiri berstatus Hak Pakai Milik Negara.

Pengakuan fidusia juga diikuti oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1992 tentang Pemukiman dan Perumahan mengatur pemilikan rumah sebagai

objek jaminan fidusia berdasarkan asas pemisahan horisontal terlepas dari hak

atas tanahnya. Pengaturan jaminan fidusia secara parsial dalam kedua Undang-

Undang tersebut dirasakan kurang memadai dan belum sempurna untuk

menjawab tantangan perkembangan hukum masyarakat khususnya dalam lalu

lintas perkreditan. Memperhatikan keadaan seperti itu, maka kemudian

diterbitkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Kehadiran Undang-Undang ini diharapkan dapat menjawab segala

permasalahan hukum yang menyangkut lembaga jaminan fidusia.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa sebelum lahirnya Undang-

Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia telah ada peraturan

yang berkaitan dengan fidusia. Pertama, Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman yang menentukan bahwa

rumah-rumah yang dibangun di atas tanah yang dimiliki oleh pihak lain dapat

dibebani dengan jaminan fidusia. Kedua, Undang-Undang Nomor 16 Tahun

1985 tentang Rumah Susun, mengatur mengenai hak milik atas satuan rumah

Page 79: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

66

susun yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani fidusia jika

tanahnya tanah hak pakai atau tanah negara.

Kedua peraturan dimaksud sudah tidak memadai lagi dan tidak

memberikan jaminan kepastian hukum bila dilihat dari segi perkembangan

penggunaan jaminan fidusia yang semakin meningkat. Kehadiran Undang-

Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dimaksudkan untuk

menampung kebutuhan masyarakat mengenai pengaturan jaminan fidusia

sebagai salah satu sarana untuk membantu kegiatan usaha dan untuk memberi

kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan.

Dengan diundangkannya Undang-Undang jaminan fidusia memberikan

kepastian hukum mengenai pemberian kredit dengan jaminan benda bergerak

yang masih dalam penguasaan debitur atau pemberi fidusia. Undang-Undang

tentang jaminan fidusia tersebut sangat lama ditunggu masyarakat perbankan

bertujuan memberikan ketentuan hukum yang jelas dan lengkap mengenai

lembaga jaminan fidusia sehingga dapat membantu dunia usaha untuk

mendapatkan dana dari perbankan dengan jaminan benda bergerak yang masih

dikuasai debitur. Menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi

pihak-pihak yang berkepentingan (kreditur dan debitur) dalam menyediakan

pendanaan dengan jaminan fidusia.

Dalam suatu Undang-Undang, kepastian hukum meliputi dua hal,

yakni : pertama, kepastian perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak

bertentangan satu dengan yang lainnya baik dari pasal-pasal Undang-Undang

Page 80: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

67

itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang

berada di luar Undang-Undang tersebut. Kedua, kepastian dalam melaksanakan

norma-norma dan prinsip-prinsip hukum Undang-Undang tersebut. Jika

perumusan norma dan prinsip hukum itu sudah memiliki kepastian hukum

tetapi hanya berlaku secara yuridis saja dalam arti hanya demi Undang-

Undang semata-mata, berarti kepastian hukum itu tidak pernah menyentuh

kepada masyarakatnya. Dengan perkataan lain, peraturan hukum yang

demikian disebut dengan norma hukum yang mati (doodregel) atau hanya

sebagai penghias yuridis dalam kehidupan manusia.90

2.2.3 Subjek dan Objek Jaminan Fidusia

Chaidir Ali berpendapat bahwa yang dimaksud dengan subyek hukum

adalah manusia yang berkepribadian hukum (legal personality) dan segala

sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat yang oleh hukum

diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban.91 Dapat pula dikatakan bahwa

subyek hukum adalah pendukung atau pembawa hak dan kewajiban artinya

subyek hukum itu mempunyai hak-hak dan kewajiban dalam perbuatan hukum

yang dilakukan.92 Jadi pendukung atau pembawa hak dan kewajiban adalah

manusia atau orang. Subyek hukum dalam jaminan fidusia adalah para pihak

yang terlibat dalam pembuatan perjanjian atau akta jaminan fidusia. Dalam

90 Tan Kamelo, 2004, Hukum Jaminan Fidusia, Alumni Bandung, hal. 117-118

91 Chaidir Ali, 1976, Badan Hukum, Alumni Bandung, hal. 12

92 Sutarno, Op. Cit, hal. 9.

Page 81: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

68

jaminan fidusia, ada pihak yang dikatakan sebagai penerima fidusia

(kreditur/bank) dan pihak pemberi fidusia (debitur).

Black's Law Dictionary menyatakan:

“Creditor is a person to whom a debt is owning by another person who

is the “debtor”…………”.93

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan :

“Kreditur adalah yang berpiutang, yang memberikan kredit, penagih”.94

Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang perubahan atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan secara implisit menyatakan

bahwa kreditur yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998

adalah bank.

Black's Law Dictionary menyatakan:

“A bank is an institution, usually incorporate, whose business it is to

receive money on deposit, cash checks or drafts, discount commercial paper,

make loans, and issue promissory notes payable to bearer, known as bank

notes. American commercial banks fall into rtwo main categories; state

chartered banks and federally chartered national banks.”95

93 Henry Black Campbell, 1990, Black's Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co., St. Paul, Minn, hal. 368.

94 Departemen Pendidikan Nasional, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 600.

95 Henry Black Campbell, Op Cit, hal. 367.

Page 82: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

69

Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang

perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

menyatakan :

”Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam

bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf

hidup rakyat banyak.96

Pengertian debitur juga terdapat dalam Black's Law Dictionary yang

menyatakan:

“Debtor is one who owes a debt to another who is called the creditor;

one who may be compelled to pay a claim or demand; anyone liable on a

claim, whether due or to become due”.97

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan :

”Debitur adalah orang atau lembaga yang berutang kepada orang atau

lembaga lain”.98

Dalam pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42

Tahun 1999 menyebutkan bahwa pemberi fidusia (debitur) adalah orang

perorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia,

sedangkan dalam pasal 1 ayat (6) menyebutkan, penerima fidusia (kreditur/

bank) adalah orang perorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang

96 Thomas Suyatno, 1993, Kelembagaan Perbankan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 1. 97 Henry Black Campbell, Op. Citm hal. 404.

98 Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit, hal. 243.

Page 83: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

70

pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia. Untuk membuktikan bahwa

benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia milik sah pemberi fidusia, maka

harus dilihat bukti-bukti kepemilikan benda-benda jaminan tersebut. Penerima

fidusia memiliki hak untuk mendapatkan pelunasan utang yang diambil dari

nilai objek fidusia dengan cara menjual oleh kreditur sendiri ataupun melalui

pelelangan umum.

Objek jaminan fidusia adalah benda bergerak baik yang berwujud

maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang

tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek sebagaimana yang dimaksud

dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Pada

awalnya yaitu zaman Romawi, objek fidusia adalah meliputi baik benda

bergerak maupun tidak bergerak. Pemisahan mulai diadakan setelah mulai

dikenal gadai dan hipotek. Di zaman Belanda, objek fidusia dipersamakan

dengan gadai karena pada waktu itu fidusia dianggap sebagai jalan keluar

untuk menghindari larangan dalam gadai. Sementara itu di kalangan

Mahkamah Agung berpendapat bahwa jaminan fidusia hanya diperuntukkan

terhadap benda bergerak. Mengingat dalam UUPA, pembedaan atas benda

bergerak dan benda tidak bergerak dengan menggunakan tanah dan bukan

tanah, bangunan-bangunan yang terletak di atas tanah tidak dapat dijaminkan

terlepas dari tanahnya.

Perkembangan ini sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat,

dimana orang yang menguasai tanah dengan hak-hak atas tanah yang tidak bisa

Page 84: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

71

dijaminkan dengan hak tanggungan seperti hak sewa, hak pakai atau hak

menumpang, dapat diatasi dengan jaminan fidusia, Dengan lahirnya Undang-

Undang Jaminan Fidusia, yang menjadi objek jaminan fidusia menjadi lebih

jelas, yaitu mengacu pada beberapa pasal dari Undang-Undang tersebut antara

lain Pasal 1 ayat 4, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20. Benda-benda yang menjadi

objek jaminan fidusia adalah:

1. Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum. 2. Dapat atas benda berwujud. 3. Dapat juga atas benda tidak berwujud, termasuk piutang. 4. Benda bergerak 5. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak

tanggungan. 6. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikatkan dengan hipotik. 7. Baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan

diperoleh kemudian. Dalam hal benda yang akan diperoleh kemudian, tidak diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersendiri.

8. Dapat atas satu satuan atau jenis benda 9. Dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda. 10. Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia. 11. Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi objek

jaminan fidusia 12. Benda persediaan (inventory, stock perdagangan) dapat juga

menjadi objek jaminan fidusia.

Dalam hukum Anglo Saxon, terhadap pembebanan fidusia yang

berobjekan benda persediaan ini, dikenal dengan nama Floating Lien atau

Floting Charges. Disebut ’floating’ (mengambang) karena jumlahnya benda

yang menjadi objek jaminan sering berubah-ubah sesuai dengan persediaan

stok, mengikuti irama pembelian dan penjualan dari benda tersebut. Fidusia

Page 85: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

72

terhadap benda persediaan ini diakui oleh pengadilan di Inggris sejak tahun

1870 dalam kasus Re Panama, New Zealand and Australian Royal Mail Co.99

Sifat mengambang dari floating charges ini berubah menjadi spesifik

jika terjadi suatu tindakan yang disebut dengan kristalisasi yaitu terjadi

keadaan-keadaan sebagai berikut:

1. pengumuman pemberesan dalam likuidasi suatu perusahaan

2. jika terjadi wanprestasi atas surat berharga yang dijamin dengan floting

charges

3. jika diangkat receiver (kurator) oleh pengadilan

2.2.4 Sifat-Sifat Jaminan Fidusia

Jaminan Fidusia sebagai hak kebendaan yang sekarang ini diatur dalam

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mempunyai

sifat-sifat sebagai berikut :

a. Jaminan Fidusia mempunyai sifat accessoir

Jaminan Fidusia bersifat accessoir artinya jaminan fidusia bukan

hak yang berdiri sendiri tetapi lahirnya keberadaannya atau hapusnya

tergantung perjanjian pokoknya. Yang dimaksud perjanjian pokok adalah

perjanjian yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk

memenuhi prestasi. Perjanjian pokok misalnya perjanjian kredit atau

perjanjian utang atau perjanjian lainnya yang menimbulkan kewajiban

99 Munir Fuady II, Op. Cit, hal. 23.

Page 86: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

73

para pihak untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat

sesuatu yang dapat dinilai dengan uang.

Sifat accessoir dari jaminan fidusia berdasarkan pada Pasal 4

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

mengatur bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dan suatu

perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk

memenuhi prestasi. Sedangkan Pasal 25 juga menegaskan bahwa Jaminan

Fidusia hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia.

b. Jaminan Fidusia mempunyai sifat droit de suite

Jaminan fidusia memiliki sifat Droit De Suite ini mengikuti sifat

droit de suite, seperti Hak Tanggungan karena prinsip droit de suite

merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan Indonesia dalam

kaitannya dengan hak mutlak atas kebendaan. Jaminan fidusia yang

memiliki sifat droit de suite artinya penerima jaminan fidusia atau

kreditur mempunyai hak mengikuti benda yang menjadi objek jaminan

fidusia dalam tangan siapapun benda berada. Namun, sifat ini

dikecualikan untuk obyek jaminan fidusia yang berbentuk benda

persediaan (inventory). Obyek Jaminan Fidusia yang berbentuk benda

persediaan tersebut merupakan barang-barang dari hasil produksi industri

yang memang untuk diperdagangkan.

Sifat droit de suite dapat dicontohkan benda obyek jaminan

fidusia berupa bus-bus atau truck oleh pemilik benda dijual kepada pihak

Page 87: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

74

lain, maka dengan sifat don’t de suite, jika debitur cidera janji kreditur

sebagai penerima jaminan fidusia tetap dapat mengeksekusi benda

jaminan bus-bus atau truk meskipun oleh pemberi fidusia telah dijual dan

dikuasai pihak lain. Jadi penjualan obyek jaminan fidusia oleh pemilik

benda tersebut tidak menghilangkan hak kreditur untuk mengeksekusi

benda jaminan (obyek fidusia) itu.100

c. Jaminan Fidusia memberikan hak preferent

Kreditur sebagai penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan

(preferent) terhadap kreditur lainnya artinya jika debitur cidera janji atau

lalai membayar hutangnya, maka kreditur penerima fidusia mempunyai

hak untuk menjual atau mengeksekusi benda jaminan fidusia dan kreditur

mendapat hak didahulukan untuk mendapatkan pelunasan hutang dari

hasil eksekusi benda jaminan fidusia tersebut.

Contoh Bank Nasional Indonesia (BNI) memberikan kredit

kepada B dengan jaminan fidusia berupa kendaraan truk dan bus.

Ternyata B juga mempunyai hutang di Bank Tabungan Negara (BTN)

tanpa jaminan. Jadi B memiliki hutang kepada BNI dan BTN. Jika

debitur cidera janji, maka BNI sebagai penerima fidusia mendapatkan

pelunasan terlebih dahulu dari hasil eksekusi benda jaminan, sedangkan

BTN baru mendapatkan pelunasan jika hasil eksekusi tersebut lebih besar

dari pelunasan seluruh hutang B kepada BTN.

100 Sutarno, Loc Cit.

Page 88: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

75

d. Jaminan Fidusia untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada.

Fungsi jaminan fidusia ialah untuk menjamin pelunasan suatu utang

yang besarnya telah diperjanjikan dalam perjanjian pokok yaitu

perjanjian kredit atau perjanjian utang. Utang yang dijamin pelunasannya

dengan fidusia harus memenuhi syarat sesuai Pasal 7 Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yaitu :

1. Utang yang telah ada artinya besarnya utang yang ditentukan dalam

perjanjian kredit atau perjanjian lainnya. Besarnya utang yang ada

dalam perjanjian kredit merupakan jumlah utang maksimum atau

disebut plafond kredit. Sering terjadi jumlah plafond kredit yang

tercantum dalam perjanjian kredit tidak seluruhnya ditarik oleh

debitur sehingga jumlah utang yang sebenarnya tidak sama dengan

jumlah plafond dalam perjanjian kredit. Oleh karena itu besarnya

utang telah ada, dapat menggunakan bukti tambahan berupa rekening

koran atau bukti lainnya yang dikeluarkan bank. Rekening koran yang

diterbitkan bank inilah merupakan bukti besarnya jumlah utang riil

yang ada yang dijamin pelunasannya dengan jaminan fidusia.

2. Utang yang akan timbul dikemudian hari yang telah diperjanjikan

dalam jumlah tertentu. Utang yang akan timbul di kemudian hari atau

yang akan ada ini misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang

akan dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka

pelaksanaan garansi bank. Utang ini merupakan utang yang akan ada

Page 89: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

76

karena terjadinya di masa akan datang tetapi jumlahnya utang sudah

bisa ditentukan sesuai komitmen kreditur untuk membayar bank

garansi akibat debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada

penerima bank garansi (pihak yang dijamin).

3. Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya

berdasarkan perjanjian kredit yang menimbulkan kekayaan memenuhi

suatu prestasi. Pada saat eksekusi terhadap jaminan fidusia, kreditur

akan menentukan jumlah utang riil debitur berdasarkan perjanjian

kredit atau rekening koran yang meliputi penarikan hutang pokok,

bunga, denda keterlambatan dan biaya-biaya lainnya yang

dikeluarkan kreditur. Berdasarkan bukti-bukti tersebut jumlah utang

dapat ditentukan pada saat kreditur akan mengajukan eksekusi.

e. Jaminan Fidusia dapat menjamin lebih dari satu utang

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia mengatur bahwa jaminan fidusia dapat diberikan kepada lebih

dari satu penerima fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari penerima

fidusia tersebut. Dari ketentuan pasal ini, maka benda jaminan fidusia

dapat dijaminkan oleh debitur kepada kreditur hanya berlaku dalam

rangka pembiayaan kredit secara konsorsium atau sindikasi. Artinya

seorang kreditur secara bersama-sama dengan kreditur lain (secara

konsorsium atau sindikasi) memberikan kredit kepada seorang debitur

dalam satu perjanjian kredit. Jaminan fidusia yang diberikan debitur

Page 90: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

77

digunakan untuk menjamin kepada semua kreditur itu secara bersama.

Antara kreditur satu dengan kreditur lainnya mempunyai kedudukan

yang sama atas jaminan fidusia, tidak ada kreditur yang memiliki

peringkat yang lebih tinggi dibanding debitur lain.

Dari ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

tentang Jaminan Fidusia ini tidak berlaku ketentuan pemegang jaminan

peringkat pertama, pemegang jaminan fidusia peringkat kedua terhadap

kreditur yang memberikan kredit secara bilateral kepada seorang debitur.

Tidak adanya peringkat jaminan fidusia dengan peringkat utama, kedua

dan seterusnya dapat mengacu pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 42

Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mengatur bahwa pemberi

fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi

obyek jaminan fidusia yang sudah terdaftar.

Hal ini berbeda dengan Hak Tanggungan yang mengenal peringkat

Hak Tanggungan pertama, kedua dan seterusnya yang berlaku bagi

kreditur dalam memberikan kredit kepada debitur baik dilakukan secara

bersama-sama dengan kreditur lain atau konsorsium atau sindikasi

maupun secara bilateral atau masing-masing kreditur.

f. Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial

Kreditur sebagai penerima fidusia mempunyai hak untuk

mengeksekusi benda jaminan bila debitur cidera janji. Hak untuk

mengajukan eksekusi tersebut berdasarkan Pasal 15 ayat 3 Undang-

Page 91: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

78

Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mengatur

apabila debitur cidera janji, kreditur sebagai penerima fidusia mempunyai

hak untuk menjual benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas

kekuasaan sendiri. Hak untuk menjual obyek jaminan fidusia atas

kekuasaan sendiri merupakan perwujudan dari sertifikat jaminan fidusia

yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan

pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang artinya menegaskan

Sertifikat Jaminan Fidusia yang dicantumkan kata-kata ”Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mempunyai kekuatan

eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan sifat eksekutorial ini jika

debitur cidera janji maka kreditur sebagai penerima fidusia dapat

melakukan penjualan benda jaminan secara langsung dengan bantuan

Kantor Lelang atau tidak dengan bantuan Kantor Lelang dan tidak perlu

meminta fiat dari pengadilan. Hak kreditur untuk menjual sendiri benda

jaminan dinamakan Parate Eksekusi.

g. Fidusia mempunyai sifat spesialitas dan publisitas

Sifat spesialitas adalah uraian yang jelas dan rinci mengenai obyek

jaminan fidusia. Benda yang menjadi obyek jaminan fidusia harus

diuraikan secara jelas dan rinci dengan cara mengidentifikasi benda

Page 92: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

79

jaminan tersebut, dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya dalam

Akta Jaminan Fidusia.

Sifat publisitas adalah berupa pendaftaran Akta Jaminan Fidusia

yang merupakan akta pembebanan benda yang dibebani Jaminan Fidusia.

Pendaftaran Akta Jaminan Fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran

Fidusia tempat dimana Pemberi Fidusia berkedudukan. Untuk benda-

benda yang dibebani Jaminan Fidusia tetapi berada di luar wilayah

Negara Republik Indonesia tetap didaftarkan di kantor Pendaftaran

Fidusia di Indonesia dimana pemberi fidusia berkedudukan. Dengan

dilaksanakan pendaftaran benda yang dibebani jaminan fidusia di Kantor

Pendaftaran Fidusia, maka masyarakat dapat mengetahui bahwa suatu

benda telah dibebani Jaminan Fidusia sehingga masyarakat akan berhati-

hati untuk melakukan transaksi atas benda tersebut dan sekaligus

memberikan jaminan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai benda

yang telah dibebani jaminan fidusia. Pendaftaran benda yang telah

dibebani jaminan fidusia ini untuk memenuhi asas publisitas seperti

tercantum pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang

Jaminan Fidusia yang mengatur bahwa benda yang dibebani dengan

jaminan fidusia wajib didaftarkan.

h. Fidusia berisi hak untuk melunasi utang

Pada umumnya sifat ini ada dalam setiap hak jaminan yang

menjamin pelunasan utang, seperti Hak Tanggungan juga memiliki sifat

Page 93: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

80

ini. Sifat ini sesuai fungsi setiap jaminan yang memberikan hak dan

kekuasaan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari hasil

penjualan jaminan tersebut bila debitur cidera janji bukan untuk dimiliki

kreditur. Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi debitur dari tindakan

sewenang-wenang kreditur. Seandainya debitur setuju mencantumkan

janji bahwa benda yang menjadi obyek fidusia akan menjadi milik

debitur jika debitur cidera janji maka oleh Undang-Undang janji

semacam itu batal demi hukum. Batal hukum artinya sejak semula

dianggap tidak pernah ada sehingga tidak perlu dilaksanakan (vide Pasal

33 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia).

Sifat-sifat atau karakteristik dari jaminan fidusia sebagaimana

diuraikan di atas sesuai atau selaras dengan azaz-azas yang ada dalam

lembaga jaminan.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, bahwa peraturan perundang-

undangan Indonesia mengatur tentang azas-azas jaminan yang garis besarnya

sebagai berikut :

1) Benda yang menjadi obyek jaminan adalah benda bergerak maupun benda tidak bergerak.

2) Mempunyai sifat hak kebendaan (real right) sebagaimana diatur dalam Pasal 528 BW. Sifat dari pada hak kebendaan itu sendiri, yaitu : a. Absolut, yaitu dapat dipertahankan pada setiap orang. b. Droit de suite,yaitu hak kebendaan mengikuti benda pada

siapapun dia berada. 3) Memiliki hak accessoir, yaitu suatu hak yang hapusnya bergantung

pada perjanjian pokoknya (accessoir), seperti perjanjian kredit.

Page 94: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

81

4) Adanya hak preferent yaitu hak yang didahulukan pemenuhannya dari piutang lainnya (Pasal 1133, 1134 dan 1198 BW)101

2.2.5 Tata Cara Pembebanan Jaminan Fidusia

Pembebanan atau pengikatan jaminan fidusia melalui beberapa

tahapan sesuai dengan peraturan yang berlaku yang dimaksud dengan

tahapan-tahapan pengikatan atau pembebanan fidusia adalah rangkaian

perbuatan hukum dari dibuatnya perjanjian pokok yang berupa perjanjian

kredit atau perjanjian utang, pembuatan akta jaminan fidusia sampai dilakukan

pendaftaran di Kantor Pendaftaran fidusia sampai mendapatkan sertifikat

jaminan fidusia. Adapun tahap-tahap pengikatan (pembebanan) jaminan fidusia

sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Tahap Pertama (Pembuatan Perjanjian Pokok)

Tahap pertama didahului dengan dibuatnya perjanjian pokok yang

berupa perjanjian kredit atau perjanjian utang. Perjanjian pokok yang

berupa perjanjian kredit dapat dibuat dengan akta di bawah tangan artinya

dibuat oleh Kreditur dan Debitur sendiri atau akta otentik artinya dibuat

oleh dan di hadapan Notaris. Didahuluinya pembuatan perjanjian pokok

yang berupa perjanjian kredit ini sesuai sifat accessoir dari Jaminan

Fidusia yang artinya pembebanan Jaminan Fidusia merupakan ikutan dari

perjanjian pokok. Pasal 4 Undang-Undang Fidusia menegaskan Jaminan

101 Mariam Darus Badrulzaman, 2000, Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan,

Makalah disampaikan dalam Seminar Sosialisasi UUNo.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI Bekerjasama dengan PT. Bank Mandiri (Persero), Jakarta, 9-10 Mei 2000, (selanjutnya disebut Mariam Daruz Badrulzaman IV), hal. 3-4.

Page 95: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

82

Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang

menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.

Perjanjian jaminan sebagai perjanjian ikutan (tambahan)

dimaksudkan untuk mendukung secara khusus perjanjian terdahulu yaitu

perjanjian pokok (perjanjian kredit) yang telah disepakati dan yang hanya

memiliki sifat relatif. Menurut Mochamad Isnaeni:

Pada umumnya diakui bahwa segala sesuatu yang memperoleh dukungan akan menjadi lebih kokoh ketimbang saat sebelumnya ketika tidak ada pendukungnya. Begitu pula kalau perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok bermula sekedar memiliki sifat relative, sehingga krediturnya hanya berposisi sebagai kreditur konkuren, kalau kemudian didukung oleh perjanjian jaminan (tambahan) yang bersifat kebendaan, mengakibatkan kreditur yang bersangkutan berubah posisi menjadi kreditur preferen dengan hak-hak yang lebih istimewa.102

b. Tahap Kedua (Pembuatan Akta Jaminan Fidusia)

Tahap kedua berupa pembebanan benda dengan jaminan Fidusia

yang ditandai dengan pembuatan Akta Jaminan Fidusia ditandatangani

Kreditur sebagai penerima Fidusia dan pemberi Fidusia (debitur atau

pemilik benda tetapi bukan debitur). Dalam Akta Jaminan Fidusia selain

dicantumkan hari dan tanggal pembuatan juga dicantumkan mengenai

waktu atau jam pembuatan akta tersebut. Bentuk Akta Jaminan Fidusia

adalah akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris. Pengikatan

atau pembebanan fidusia dilakukan dengan menggunakan instrument yang

102 Mochamad Isnaeni, 1996, Hipotik Pesawat Udara di Indonesia, CV. Dharma Muda, Surabaya, hal. 36.

Page 96: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

83

disebut “Akta Jaminan Fidusia”. Akta jaminan fidusia ini haruslah dibuat

dengan akta Notaris (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999).

Sejalan dengan ketentuan yang mengatur Hipotik dan Hak

Tanggungan, maka Akta Jaminan Fidusia harus dibuat oleh dan di

hadapan pejabat yang berwenang, yaitu Notaris.103 Pasal 1870 KUH

Perdata menyatakan bahwa Akta Notaris merupakan akta otentik yang

memiliki kekuatan pembuktian sempurna tentang apa yang dimuat di

dalamnya di antara para pihak beserta para ahli warisnya atau para

pengganti haknya. Itulah sebabnya mengapa Undang-Undang Fidusia

(Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999) menetapkan perjanjian Fidusia

harus dibuat dengan Akta Notaris.104

Menurut Ratnawati W. Prasadja, alasan Undang-Undang

menetapkan bentuk perjanjian pembebanan jaminan fidusia dengan akta

notaris adalah : Pertama, akta notaris adalah akta otentik, sehingga

memiliki kekuatan pembuktian sempurna; Kedua, obyek jaminan fidusia

umumnya adalah benda bergerak; Ketiga, Undang-Undang melarang

adanya fidusia ulang.105

Kewajiban pembebanan jaminan fidusia dengan akta notaris, adalah

merupakan norma yang bersifat memaksa (dwingenrecht). Sudah tentu

apabila dibuat hanya dengan akta di bawah tangan, perjanjian jaminan

103 Gunawan Widjaya dan Achmad Yani, OP. Cit, hal. 135.

104 Ibid, hal. 36.

105 Tan Kamelo, Op. Cit, hal. 131.

Page 97: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

84

fidusia itu tidak memiliki eksistensi dan konsekuensinya tidak dapat

didaftarkan untuk memenuhi azas publisitas sebagaimana dikehendaki oleh

Undang-Undang.

Secara teoritis fungsi akta adalah untuk kesempurnaan perbuatan

hukum (formalitas causa)106, dan akta notaris mempunyai kekuatan

pembuktian lahir sesuai azas “acta publica proban seseipsa”. Bila

dibandingkan dengan akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan

pembuktian lahir karena tanda tangan pada akta di bawah tangan masih

dapat dipungkiri oleh para pihak. Dengan demikian, akta notaris

mempunyai kekuatan hukum dan kepastian hukum yang lebih besar dan

sempurna dibandingkan akta di bawah tangan.107

Akta jaminan fidusia sebagaimana dimaksud, haruslah berisikan

sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut :

(a) Identitas pihak pembeli fidusia, berupa : - Nama lengkap, - Agama, - Tempat tinggal atau tempat kedudukan, - Tempat lahir, - Tanggal lahir, - Jenis kelamin, - Status perkawinan, - Pekerjaan.

(b) Identitas pihak penerima fidusia, yakni tentang data seperti tersebut di atas.

(c) Haruslah dicantumkan hari, tanggal dan jam pembuatan akta fidusia. (d) Data perjanjian pokok yang dijamin dengan fidusia.

106 Sudikno Mertokusumo, 1970, Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangannya di Indonesia, Universitas Gajah Mada, Gunung Agung, Jakarta, (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo II), hal. 121-122.

107 Tan Kamelo, Op. Cit, hal. 130.

Page 98: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

85

(e) Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia, yakni tentang identifikasi benda tersebut, dan surat bukti kepemilikannya. Jika bendanya selalu berubah-ubah seperti benda dalam persediaan (inventory), haruslah disebutkan tentang jenis, merek, dan kualitas dari benda tersebut.

(f) Berapa nilai penjaminannya. (g) Berapa nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.108

c. Tahap Ketiga (Pendaftaran Jaminan Fidusia)

Pada tahap ketiga ini, ditandai dengan pendaftaran jaminan fidusia di

Kantor Pendaftaran Fidusia di tempat kedudukan pemberi Fidusia (domisili

debitur atau pemilik benda jaminan fidusia).

Pendaftaran jaminan fidusia diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal

18 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan

Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran

Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Peraturan

Pemerintah ini terdiri atas 4 bab dan 14 pasal. Hal-hal yang diatur dalam

Peraturan Pemerintah ini meliputi pendaftaran fidusia, tata cara perbaikan

sertifikat, perubahan sertifikat, pencoretan pendaftaran, dan penggantian

sertifikat.

Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang

Jaminan Fidusia ditentukan bahwa benda, baik yang berada di dalam wilayah

negara Republik Indonesia maupun berada di luar wilayah negara Republik

Indonesia yang dibebani jaminan fidusia wajib didaftarkan. Pendaftaran

dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Untuk pertama kalinya Kantor

108 Munir Fuady, Op.Cit, hal. 20.

Page 99: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

86

Pendaftaran Fidusia didirikan di Jakarta dengan wilayah kerja mencakup

seluruh wilayah RI. Tapi kini Kantor Pendaftaran Fidusia telah dibentuk pada

setiap provinsi di Indonesia. Kantor Pendaftaran Fidusia berada dalam lingkup

tugas Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Menurut J. Satrio Undang-Undang Fidusia menganut prinsip

pendaftaran jaminan fidusia. Sekalipun dalam pasal 11 Undang-Undang

Fidusia disebutkan ”benda yang dibebankan jaminan fidusia wajib

didaftarkan”, tetapi sebaliknya dibaca ”jaminan fidusia” harus didaftarkan,

karena dari ketentuan-ketentuan lebih lanjut dapat diketahui bahwa demikian

itulah yang dimaksud oleh pembuat Undang-Undang.109

Pendaftaran jaminan fidusia dilakukan oleh kreditur atau kuasanya atau

wakilnya. Dalam prakteknya kreditur memberikan kuasa kepada Notaris yang

membuat akta jaminan fidusia untuk melakukan pendaftaran jaminan fidusia

dimaksud. Adapun tujuan pendaftaran jaminan fidusia adalah :

1. Untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang

berkepentingan.

2. Memberikan hak yang didahulukan (preferent) kepada penerima fidusia

terhadap kreditur yang lain. Ini disebabkan jaminan fidusia memberikan

hak kepada penerima fidusia untuk tetap menguasai bendanya yang

menjadi obyek jaminan fidusia berdasarkan kepercayaan (Penjelasan

109 J. Satrio II, Op. Cit, hal. 175.

Page 100: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

87

Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran

Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia).110

Prosedur dalam pendaftaran jaminan fidusia, sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 42 Tahun

1999 tentang Jaminan Fidusia dan Peraturan Pemerintah Nomor 86 tahun 2000

tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta

Jaminan Fidusia disajikan berikut ini:

1. Permohonan pendaftaran fidusia dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa,

atau wakilnya pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Permohonan itu diajukan

secara tertulis dalam bahasa Indonesia. Permohonan pendaftaran itu dengan

melampirkan pernyataan pendaftaran fidusia. Pernyataan itu memuat:

a. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;

b. Tempat, nomor akta jaminan fidusia, nama, dan tempat;

c. Kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia;

d. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

e. Uraian mengenai objek benda jaminan yang menjadi obyek jaminan

fidusia;

f. Nilai penjaminan; dan

g. Nilai benda yang menjadi objek benda jaminan fidusia.

Permohonan itu dilengkapi dengan:

a. Salinan akta notaris tentang pembebanan jaminan fidusia;

110 Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Salim HS III), hal. 21.

Page 101: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

88

b. Surat kuasa atau surat pendelegasian wewenang untuk melakukan

pendaftaran jaminan fidusia;

c. Bukti pembayaran biaya pendaftaran jaminan fidusia (Pasal 2 ayat (4)

Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara

Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan

Fidusia).

2. Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat jaminan fidusia dalam buku daftar

fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan

pendaftaran.

3. Membayar biaya pendaftaran fidusia

Biaya pendaftaran fidusia diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 86

Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya

Pembuatan Akra Jaminan Fidusia. Biaya pembuatan pendaftaran fidusia

ditentukan secara berjenjang. Biaya pendaftaran fidusia disesuaikan dengan

besarnya nilai penjaminannya. Apabila nilai penjaminannya kurang dari

Rp 50.000.000, maka besarnya biaya pendaftarannya paling banyak

Rp 50.000. Besarnya biaya pendaftaran fidusia ini adalah 1 per mil dari

nilai penjaminan (nilai kredit).

Walaupun biaya pembuatan akta jaminan telah ditentukan dalam Peraturan

Pemerintah, namun para notaris juga telah menentukan tarif yang

dikenakan kepada nasabah. Tarif yang ditentukan oleh notaris sebesar 2 %

dari nilai jaminan. Oleh karena itu, diharapkan ke depan para notaris dapat

memungut biaya dari nasabah sesuai dengan Peraturan Pemerintah.

Page 102: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

89

4. Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan dan menyerahkan kepada

Penerima Fidusia sertifikat jaminan fidusia pada tanggal yang sama

dengan penerimaan permohonan pendaftaran. Sertifikat jaminan fidusia

merupakan salinan dari Buku Daftar Fidusia. Hal-hal yang tercantum

dalam sertifikat jaminan fidusia adalah:

a. Dalam judul sertifikat jaminan fidusia dicantumkan kata-kata ”DEMI

KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

Sertifikat jaminan ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama

dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

yang tetap. Apabila debitur cidera janji, penerima fidusia mempunyai

hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas

kekuasaannya sendiri;

b. Di dalam sertifikat jaminan fidusia dicantumkan hal-hal berikut ini:

1) Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia,

2) Tempat, nomor akta jaminan fidusia, nama, dan tempat

kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia;

3) Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

4) Uraian mengenai obyek benda jaminan yang menjadi obyek

jaminan fidusia;

5) Nilai penjaminan;

6) Nilai benda yang menjadi obyek benda jaminan fidusia.

5. Jaminan Fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya

jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia.

Page 103: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

90

BAB III

TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP BENDA JAMINAN FIDUSIA YANG MUSNAH DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK

3.1 Pendeskripsian Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit

Dalam praktek perkreditan yang sesungguhnya, ternyata jaminan

merupakan hal yang sangat diutamakan oleh bank daripada sekedar jaminan

berupa keyakinan bahwa debiturnya akan membayar kembali kredit tersebut.

Bank dalam rangka mengamankan kepentingannya selaku kreditur tidak

dilarang untuk meminta jaminan kepada pihak debitur, hal tersebut mempunyai

dasar hukum yang sangat kuat sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal

1131 KUH Perdata, yaitu bahwa seluruh harta kekayaan debitur merupakan

jaminan bagi pelunasan piutang seluruh krediturnya. Dengan demikian, maka

hampir setiap bentuk aktiva perusahaan atau aktiva pribadi dapat digunakan

sebagai jaminan untuk kredit.

Perjanjian kredit dengan meminta jaminan dari debitur dimaksudkan

untuk mengurangi resiko yang timbul dari perjanjian kredit tersebut, akan

tetapi tidak semua perjanjian kredit yang dilakukan oleh pihak bank dengan

debitur dapat berjalan sebagaimana mestinya. Resiko yang dapat terjadi

dengan penggunaan benda jaminan bergerak memiliki resiko yang sangat besar

karena pihak debitur bisa saja melakukan fidusia ulang dengan mengalihkan

hak kepemilikan benda jaminan bergerak kepada pihak lain tanpa

Page 104: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

91

sepengetahuan kreditur sebagai penerima fidusia. Hal tersebut sebagaimana

diatur pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia, yaitu pemberi fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap

benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang sudah terdaftar. Pada bagian

Penjelasan dari Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia, hal tersebut disebabkan karena hak kepemilikan atas benda tersebut

telah beralih kepada penerima fidusia (constitutum poosessorium).

Resiko lain yang dapat terjadi adalah dengan musnahnya barang

jaminan. Dalam peraturan yang mengatur tentang fidusia, tidak ditemukan

defenisi dalam aturan tersebut tentang istilah ”musnahnya” barang jaminan.

Namun, sejauhmana mengartikan musnahnya barang jaminan dalam penelitian

ini perlu dipertegas. Berpedoman pada Kamus Besar Bahasa Indonesia,

dapatlah diartikan bahwa yang dimaksudkan dengan ”musnah” adalah lenyap,

binasa atau hilang.111 Dengan demikian, musnahnya barang jaminan fidusia

dalam penulisan ini adalah barang yang dijadikan jaminan fidusia dalam

perjanjian kredit telah lenyap atau hilang.

Sebelum lebih jauh menjelaskan tentang resiko terhadap musnahnya

benda jaminan, maka dapatlah dikaji dengan memperhatikan pendapat Subekti,

yaitu resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan oleh

suatu peristiwa yang terjadi di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa

111 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, hal. 767.

Page 105: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

92

barang yang menjadi obyek dari suatu perjanjian.112 Resiko merupakan suatu

akibat dari suatu keadaan yang memaksa (Overmacht) sedangkan ganti rugi

merupakan akibat dari wanprestasi. Sebagai contoh, pembebanan risiko

terhadap obyek sewa didasarkan terjadinya suatu peristiwa di luar dari

kesalahan para pihak yang menyebabkan musnahnya barang atau obyek sewa.

Musnahnya barang yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa dapat dibagi

menjadi dua macam yaitu :

a) Musnah secara total (seluruhnya)

Jika barang yang menjadi oyek perjanjian sewa-menyewa musnah yang

diakibatkan oleh peristiwa di luar kesalahan para pihak maka perjanjian

tersebut gugur demi hukum. Pengertian musnah di sini berarti barang yang

menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa tidak lagi bisa digunakan

sebagaimana mestinya, meskipun terdapat sisa atau bagian kecil dari

barang tersebut masih ada. Ketentuan tersebut diatur di dalam pasal 1553

KUH Perdata yang menyatakan jika musnahnya barang terjadi selama

sewa-menyewa berlangsung yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang

tidak bisa dipertanggungjawabkan pada salah satu pihak maka perjanjian

sewa-menyewa dengan sendirinya batal.

b) Musnah sebagian

Barang yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa disebut musnah

sebagian apabila barang tersebut masih dapat digunakan dan dinikmati

112 Subekti, Aneka Perjanjian, hal. 92

Page 106: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

93

kegunaannya walaupun bagian dari barang tersebut telah musnah. Jika

obyek perjanjian sewa-menyewa musnah sebagian maka penyewa

mempunyai pilihan, yaitu :

1. Meneruskan perjanjian sewa-menyewa dengan meminta pengurangan

harga sewa.

2. Meminta pembatalan perjanjian sewa-menyewa.

Terkait dengan musnahnya barang jaminan sebagaimana yang

dipaparkan pada bagian sebelumnya ini, telah memberikan gambaran bahwa

yang dimaksudkan dengan musnah yang dapat terjadi pada sebuah barang

khususnya yang menjadi jaminan ada dua yaitu musnah secara total dan

musnah sebagian. Kedua hal tersebut tentunya membawa konsekuensi-

konsekuensinya secara sendiri.

Dengan demikian, tergambar secara jelas bahwa Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dalam pengaturan norma-

normanya masih belum dapat menjawab permasalahan dalam hal jaminan

fidusia, khususnya mengartikan musnahnya barang jaminan. Sehingga

diartikan dengan berpedoman pada kamus bahwa yang dimaksudkan dengan

musnah dalam pengkajian ini adalah hilangnya, rusaknya barang yang

dijadikan sebagai jaminan dalam perjanjian kredit.

Page 107: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

94

3.2 Pengaturan tentang Tanggung Jawab Debitur Terhadap Benda Jaminan Yang Musnah Dalam Perjanjian Kredit

Terkait dengan musnahnya benda jaminan dalam perjanjian kredit tidak

diuraikan yang dimaksud dengan musnahnya benda jaminan. Namun, pada

bagian sebelumnya pada bab ini telah dipertegas bahwa yang dimaksudkan

dengan musnahnya barang jaminan adalah lenyap atau hilang. Kondisi

musnahnya barang jaminan dapat diklasifikasikan pada musnah seluruhnya

atau musnah sebagian.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tidak

secara rinci menjelaskan tentang sebab akibat dari musnahnya barang jaminan.

Terkait dengan musnahnya barang jaminan hanyalah disebutkan bahwa

musnahnya benda yang menjadi objek jaminan adalah salah satu bagian atau

alasan dari hapusnya jaminan fidusia. Hal tersebut sebagaimana dikaji secara

rinci pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

pada Pasal 25 ayat (1) mengatur bahwa Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal

sebagai berikut:

a. hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia;

b. pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia; atau

c. musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.

Pada ayat (2) ditambahkan bahwa musnahnya benda yang menjadi objek

Jaminan Fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 10 huruf b. Sehingga tidak nampak secara rinci yang dimaksudkan

Page 108: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

95

dengan musnahnya benda jaminan yang menjadi obyek jaminan fidusia

tersebut. Namun berdasarkan penafsiran yang dilandasi pada pengertian secara

umum dari kata ”musnah”, maka diartikan sebagai lenyap atau hilangnya

barang yang menjadi objek jaminan.

Jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan

fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas

benda persediaan yang menjadi objek jaminan fidusia yang dikenal dengan

prinsip ”droit de suite” yaitu hak mutlak atas kebendaan. Pemberi fidusia

dilarang mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan kepada pihak lain

benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang tidak merupakan benda

persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima

fidusia. Benda persediaan adalah benda yang telah ada selain dari benda pokok

jaminan yang dijadikan jaminan fidusia. Benda persediaan berdasarkan Pasal

21 ayat (1) boleh dialihkan oleh debitur tetapi wajib diganti dengan benda

yang setara, kecuali apabila telah terjadi cidera janji oleh debitur dan atau

Pemberi Fidusia pihak ketiga.

Tanggung jawab debitur terhadap musnahnya barang jaminan dalam

perjanjian kredit adalah sebuah konsekuensi dari peristiwa yang terjadi. Di sini

akan muncul perbedaan antara tanggung jawab dan kewajiban. Terkait dengan

penelitian ini, maka dapatlah dijelaskan bahwa istilah ”tanggung jawab”

diartikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbuatan (hal tersebut)

Page 109: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

96

bertanggungjawab atau sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan.113

”Kewajiban” adalah sesuatu yang harus dikerjakan, sesuatu yang harus

dilaksanakan, sesuatu yang berkenaan dengan tugas atau pekerjaan.114 Dengan

demikian dapat disimpulkan secara ringkas bahwa tanggungjawab lebih luas

maknanya dibandingkan kewajiban. Sebab tanggung jawab berisiko pada

akibat dari sesuatu atau sesuatu yang dilaksanakan dengan mempertegas pada

konsekuensi, sedangkan kewajiban hanya terfokus pada sesuatu yang harus

dilaksanakan tanpa menekankan pada konsekuensi. Penelitian ini mengkaji

sejauhmana tanggungjawab dari salah satu pihak (debitur) terhadap musnahnya

barang jaminan.

Terkait dengan suatu perjanjian pada dasarnya akan menimbulkan

kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi. Jika debitur tidak

melakukan apa yang dijanjikannya, maka ia disebut wanprestasi. Jika pihak

kreditur yang lalai akan kewajibannya, maka ia disebut mora creditor.

Wanprestasi dari seorang debitur dapat berupa :

a. Tidak melakukan prestasi sama sekali.

b. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.

c. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktu.

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Risiko merupakan suatu akibat dan suatu keadaan yang memaksa

(Overmacht) sedangkan ganti rugi merupakan akibat dari wanprestasi. Apabila

113 Depdiknas, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 739.

114 --------------, 1979, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gitamedia Press, hal. 795.

Page 110: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

97

debitur atau pemberi fidusia cidera janji, tidak dapat mengembalikan kredit

tepat pada waktunya, maka mekanisme atau prosedur pelaksanaan eksekusi

atas barang yang menjadi jaminan fidusia adalah pihak bank harus

memberitahukan secara tertulis kepada mereka agar segera menyerahkannya

kepada bank. Setelah barang dikuasai oleh bank, maka tindakan selanjutnya

melaksanakan eksekusi jaminan fidusia.

Terhadap risiko tersebut di atas, maka beberapa usaha yang

dilakukan oleh manusia untuk mengatasi risiko, yaitu :

1. Menerima risiko, apabila suatu risiko yang dihadapi oleh seseorang

diperkirakan tidak begitu besar atau usaha untuk menghindari, mencegah,

memperalihkan itu diperhitungkan lebih besar daripada keuntungannya,

maka orang yang menghadapi risiko itu mungkin akan mengambil sikap,

bahwa ia akan menerima saja risiko itu. Dengan kata lain ia akan pasrah

saja.

2. Menghindari risiko, menghindari atau menjauhi adalah suatu cara

menghadapi masalah yang penuh dengan risiko. Seseorang yang

menghindari atau menjauh dari suatu pekerjaan, suatu benda yang penuh

risiko, berarti dia berusaha menghindari risiko itu sendiri.

3. Mencegah risiko, dengan cara melakukan beberapa usaha sehingga akibat

yang tidak diharapkan, yang mungkin timbul akan dapat diatasi atau

dihindari.

Page 111: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

98

4. Mengalihkan risiko, bahwa seseorang yang menghadapi risiko meminta

orang lain untuk menerima risiko tersebut. Ini dilakukan dengan

memperalihkan risiko tersebut berdasarkan suatu perjanjian.

Beberapa cara mengatasi risiko maka pengalihan risiko merupakan cara

yang paling efektif, karena dengan cara mengalihkan risiko kepada pihak lain

yang telah disepakati tentunya pihak tersebut bersedia mengambil alih risiko.

Hal demikian berarti bahwa jika risiko atau peristiwa yang tidak pasti benar-

benar terjadi maka pihak yang bersedia menanggung peralihan risiko tersebut

adalah lembaga pertanggungan yaitu perusahaan asuransi. Besarnya uang

pertanggungan yang diterima tidak akan pernah sebanding dengan akibat yang

ditimbulkan karena kecelakaan, kerusakan, kehilangan, dan cacat. Namun,

setidaknya uang pertanggungan yang diterima, dapat meringankan beban ganti

rugi.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992

tentang Usaha Perasuransian, pengertian Asuransi atau Pertanggungan adalah

perjanjian dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan

diri kepada pihak tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk

memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau

kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggungjawab hukum kepada

pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu

peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang

Page 112: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

99

didasarkan atas meninggalnya atau hidupnya seseorang yang

dipertanggungkan.

Dari pengertian tersebut, manusia dalam mengarungi kehidupannya dan

dalam setiap kegiatannya selalu berhadapan dengan risiko. Setiap orang yang

ingin memperkecil risiko yang akan terjadi karena peristiwa yang tidak pasti

dapat dilakukan dengan mengasuransikan segala sesuatu yang dapat

menimbulkan risiko.

Perusahaan asuransi tidak memberikan ganti rugi sepenuhnya atas

benda jaminan fidusia yang musnah tersebut, yang mengakibatkan bank masih

mengalami kerugian maka bank meminta kepada debitur untuk menutup sisa

kerugian yang timbui dengan beberapa cara :

1. Dengan cara pengembalian langsung sisa kerugian yang tidak diganti

sepenuhnya oleh perusahaan asuransi.

2. Jika debitur belum dapat mengembalikan sepenuhnya kerugian yang timbul

tanpa melalui perusahaan asuransi karena benda jaminan tidak

diasuransikan maka debitur meminta kebijakan kepada kreditur untuk

diberikan tenggang waktu pengembalian dari tenggang waktu yang telah

ditentukan dalam perjanjian, dan juga keringanan terhadap nilai pinjaman

yang harus dilunasi oleh debitur.

Tanggung jawab debitur terhadap jaminan benda bergerak yang hilang

adalah tetap mengembalikan pinjaman kredit kepada kreditur. Jika benda bergerak

yang diasuransikan hilang maka debitur tetap mempertanggungjawabkan

Page 113: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

100

pengembalian pinjaman kredit melalui perusahaan asuransi kepada kreditur,

walaupun tidak dibayar sepenuhnya oleh perusahaan asuransi dimana benda

jaminan diasuransikan. Sisa dari pinjaman kredit yang belum lunas tetap

dilunasi oleh pihak debitur. Tetapi jika benda jaminan bergerak tidak

diasuransikan ternyata musnah maka debitur bertanggung jawab penuh dalam

pengembalian pinjaman kredit kepada kreditur. Hal ini dikarenakan debitur

telah terikat dalam perjanjian kredit dengan pihak bank. Pada dasarnya setiap

perjanjian kredit yang dilaksanakan tidak merugikan pihak bank, walaupun

dalam pelaksanaan perjanjian kredit itu benda jaminan musnah. Mengenai

perpindahan atau pengalihan hak milik dimaksud haruslah tetap mengacu

kepada sistem hukum jaminan yang berlaku, yaitu bahwa pihak penerima

jaminan atau kreditur tidak dibenarkan menjadi pemilik yang penuh atas benda

tersebut, artinya kewenangan kreditur hanyalah kewenangan yang berhak atas

benda jaminan dalam hal ini hanya hak kepemilikan yang beralih sedangkan

benda jaminan masih dikuasai oleh pemberi fidusia.

Konsekuensi hukum jika timbul masalah atau gugatan karena kesalahan

(kesengajaan atau kekuranghati-hatian) dari pemberi fidusia sehubungan

dengan penggunaan atau pengalihan benda jaminan fidusia, maka pihak

penerima fidusia dibebaskan dari tanggung jawab. Dengan kata lain pihak

pemberi fidusia yang bertanggung jawab penuh. Hal ini ditegaskan oleh Pasal

24 UU. No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang menyatakan bahwa :

Page 114: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

101

“Penerima Fidusia tidak menanggung kewajiban atas akibat tindakan atau kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) dari pihak pemberi fidusia, baik yang timbul karena hubungan kontraktual atau timbul dari perbuatan melanggar hukum, sehubungan dengan penggunaan dan pengalihan benda yang menjadi objek jaminan fidusia.”

Dengan demikian di dalam setiap peijanjian kredit yang dilakukan

adanya pengikatan atau perlindungan terhadap benda jaminan debitur melalui

perusahaan asuransi khususnya terhadap benda jaminan bergerak merupakan

syarat penting yang bertujuan untuk mengantisipasi peristiwa-peristiwa yang

tidak diinginkan di kemudian hari. Sehingga dengan demikian pihak bank

dapat menuntut ganti rugi kepada perusahan asuransi, dimana benda jaminan

itu diasuransikan walaupun tidak dibayar sepenuhnya oleh perusahaan asuransi

tersebut.

Page 115: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

102

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK TERHADAP MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM

PERJANJIAN KREDIT BANK

4.1 Dasar Hukum Penyelesaian Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank

Dasar hukum pengaturan Jaminan Fidusia secara umum diatur oleh

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Undang-

Undang Fidusia). Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa fidusia ialah

pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan

ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap

dalam penguasaan pemilik benda. Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas

benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda

tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan

yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai acuan bagi

pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan

kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya. Obyek atau benda-benda

yang dapat dibebani jaminan fidusia antara lain:

1) Benda bergerak berwujud, contohnya: kendaraan bermotor seperti mobil,

bus, truck, sepeda motor;

2) Barang bergerak tidak berwujud, contohnya: wesel; sertifikat deposito;

saham; obligasi; deposito berjangka; dan lain sebagainya;

Page 116: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

103

3) Hasil dari benda yang menjadi obyek jaminan;

4) Klaim asuransi dalam hal benda yang menjadi obyek jaminan fidusia

diasuransikan;

5) Benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak

tanggungan yaitu hak milik satuan rumah susun di atas tanah hak pakai atas

tanah negara dan bangunan rumah yang dibangun di atas tanah orang lain;

6) Benda-benda termasuk piutang yang telah ada pada saat jaminan diberikan

maupun piutang yang diperoleh kemudian hari.

Pasal 25 (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia menjelaskan hapusnya Jaminan Fidusia disebabkan peristiwa-peristiwa

sebagai berikut yaitu: 1) Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia;

2) Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia (kreditur);

3) Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.

Penyelesaian hukum bagi permasalahan yang terkait dengan musnahnya

benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit bank tidak terlepas dari

memperhatikan sifat-sifat dari Jaminan Fidusia sebagai hak kebendaan yang

sekarang ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang

Jaminan Fidusia yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut sebagaimana telah

diuraikan pada bab-bab sebelumnya, yaitu :

a. Jaminan Fidusia mempunyai sifat accessoir

Jaminan Fidusia bersifat accessoir artinya jaminan fidusia bukan

hak yang berdiri sendiri tetapi lahirnya, keberadaannya atau hapusnya

Page 117: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

104

tergantung perjanjian pokoknya. Yang dimaksud perjanjian pokok adalah

perjanjian yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi

prestasi. Perjanjian pokok misalnya perjanjian kredit atau perjanjian utang

atau perjanjian lainnya yang menimbulkan kewajiban para pihak untuk

memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu yang dapat

dinilai dengan uang.

Sifat accessoir dari jaminan fidusia berdasarkan pada Pasal 4

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur

bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dan suatu perjanjian

pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi

prestasi. Sedangkan Pasal 25 juga menegaskan bahwa Jaminan Fidusia

hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia.

b. Jaminan Fidusia mempunyai sifat droit de suite.

Jaminan fidusia memiliki sifat droit de suite ini mengikuti sifat

droit de suite, seperti Hak Tanggungan karena prinsip droit de suite

merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan Indonesia dalam

kaitannya dengan hak mutlak atas kebendaan. Jaminan fidusia yang

memiliki sifat droit de suite artinya penerima Jaminan Fidusia atau

Kreditur mempunyai hak mengikuti benda yang menjadi objek jaminan

fidusia dalam tangan siapapun benda berada. Namun, sifat ini dikecualikan

untuk obyek jaminan fidusia yang berbentuk benda persediaan (inventory).

Obyek Jaminan Fidusia yang berbentuk benda persediaan tersebut

Page 118: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

105

merupakan barang-barang dari hasil produksi industri yang memang untuk

diperdagangkan.

Sifat droit de suite dapat dicontohkan benda obyek jaminan fidusia

berupa bus-bus atau truk oleh pemilik benda dijual kepada pihak lain, maka

dengan sifat droit de suite, jika debitur cidera janji kreditur sebagai

penerima jaminan fidusia tetap dapat mengeksekusi benda jaminan bus-bus

atau truk meskipun oleh pemberi fidusia telah dijual dan dikuasai pihak

lain. Jadi penjualan obyek jaminan fidusia oleh pemilik benda tersebut

tidak menghilangkan hak kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan

(obyek fidusia) itu.

c. Jaminan Fidusia memberikan hak preferent

Kreditur sebagai penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan

(preferent) terhadap kreditur lainnya artinya jika debitur cidera janji atau

lalai membayar hutangnya, maka kreditur penerima fidusia mempunyai hak

untuk menjual atau mengeksekusi benda jaminan fidusia dan kreditur

mendapat hak didahulukan untuk mendapatkan pelunasan hutang dari hasil

eksekusi benda jaminan fidusia tersebut.

Contoh Bank Nasional Indonesia (BNI) memberikan kredit kepada

B dengan jaminan fidusia berupa kendaraan truk dan bus. Ternyata B juga

mempunyai hutang di Bank Tabungan Negara (BTN) tanpa jaminan. Jadi B

memiliki hutang kepada BNI dan BTN. Jika debitur cidera janji, maka

BNI sebagai penerima fidusia mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dari

Page 119: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

106

hasil eksekusi benda jaminan, sedangkan BTN baru mendapatkan

pelunasan jika hasil eksekusi tersebut lebih besar dari pelunasan seluruh

hutang B kepada BTN.

d. Jaminan Fidusia untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada.

Fungsi jaminan fidusia ialah untuk menjamin pelunasan suatu utang

yang besarnya telah diperjanjikan dalam perjanjian pokok yaitu perjanjian

kredit atau perjanjian utang. Utang yang dijamin pelunasannya dengan

fidusia harus memenuhi syarat sesuai Pasal 7 Undang-Undang Nomor 42

Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yaitu :

1. Utang yang telah ada artinya besarnya utang yang ditentukan dalam

perjanjian kredit atau perjanjian lainnya. Besarnya utang yang ada

dalam perjanjian kredit merupakan jumlah utang maksimum atau

disebut plafond kredit. Sering terjadi jumlah plafond kredit yang

tercantum dalam perjanjian kredit tidak seluruhnya ditarik oleh debitur

sehingga jumlah utang yang sebenarnya tidak sama dengan jumlah

plafond dalam perjanjian kredit. Oleh karena itu besarnya utang telah

ada, dapat menggunakan bukti tambahan berupa rekening koran atau

bukti lainnya yang dikeluarkan bank. Rekening koran yang diterbitkan

bank inilah merupakan bukti besarnya jumlah utang riil yang ada yang

dijamin pelunasannya dengan jaminan fidusia.

2. Utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan

dalam jumlah tertentu. Utang yang akan timbul di kemudian hari atau

Page 120: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

107

yang akan ada ini misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang

akan dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka

pelaksanaan garansi bank. Utang ini merupakan utang yang akan ada

karena terjadinya di masa akan datang tetapi jumlahnya utang sudah

bisa ditentukan sesuai komitmen kreditur untuk membayar bank garansi

akibat debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada penerima bank

garansi (pihak yang dijamin).

3. Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan

perjanjian kredit yang menimbulkan kekayaan memenuhi suatu prestasi.

Pada saat eksekusi terhadap jaminan fidusia, kreditur akan menentukan

jumlah utang riil debitur berdasarkan perjanjian kredit atau rekening

koran yang meliputi penarikan hutang pokok,bunga,denda

keterlambatan dan biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan kreditur.

Berdasarkan bukti-bukti tersebut jumlah utang dapat ditentukan pada

saat kreditur akan mengajukan eksekusi.

e. Jaminan Fidusia dapat menjamin lebih dari satu utang

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia mengatur bahwa jaminan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari

satu penerima fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari penerima fidusia

tersebut. Dari ketentuan pasal ini, maka benda jaminan fidusia dapat

dijaminkan oleh debitur kepada kreditur hanya berlaku dalam rangka

pembiayaan kredit secara konsorsium atau sindikasi. Artinya seorang

Page 121: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

108

kreditur secara bersama-sama dengan kreditur lain (secara konsorsium atau

sindikasi) memberikan kredit kepada seorang debitur dalam satu perjanjian

kredit. Jaminan fidusia yang diberikan debitur digunakan untuk menjamin

kepada semua kreditur itu secara bersama. Antara kreditur satu dengan

kreditur lainnya mempunyai kedudukan yang sama atas jaminan fidusia,

tidak ada kreditur yang memiliki peringkat yang lebih tinggi dibanding

debitur lain.

Dari ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

tentang Jaminan Fidusia ini tidak berlaku ketentuan pemegang jaminan

peringkat pertama, pemegang jaminan fidusia peringkat kedua terhadap

kreditur yang memberikan kredit secara bilateral kepada seorang debitur.

Tidak adanya peringkat jaminan fidusia dengan peringkat utama, kedua

dan seterusnya dapat mengacu pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 42

Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mengatur bahwa pemberi

fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi

obyek jaminan fidusia yang sudah terdaftar.

Hal ini berbeda dengan Hak Tanggungan yang mengenal peringkat

Hak Tanggungan pertama, kedua dan seterusnya yang berlaku bagi

kreditur dalam memberikan kredit kepada debitur baik dilakukan secara

bersama-sama dengan kreditur lain atau konsorsium atau sindikasi

maupun secara bilateral atau masing-masing kreditur.

Page 122: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

109

f. Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial

Kreditur sebagai penerima fidusia mempunyai hak untuk

mengeksekusi benda jaminan bila debitur cidera janji. Hak untuk

mengajukan eksekusi tersebut berdasarkan Pasal 15 ayat 3 Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mengatur apabila

debitur cidera janji, kreditur sebagai penerima fidusia mempunyai hak

untuk menjual benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaan

sendiri. Hak untuk menjual obyek jaminan fidusia atas kekuasaan sendiri

merupakan perwujudan dari sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan

eksekutorial yang sama dengan putusan Pengadilan yang mempunyai

kekuatan hukum tetap.

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang artinya menegaskan

Sertifikat Jaminan Fidusia yang dicantumkan kata-kata ”Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mempunyai kekuatan

eksekutorial yang sama dengan putusan Pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap. Dengan sifat eksekutorial ini jika debitur cidera

janji maka kreditur sebagai penerima fidusia dapat melakukan penjualan

benda jaminan secara langsung dengan bantuan Kantor Lelang atau tidak

dengan bantuan Kantor Lelang dan tidak perlu meminta fiat dari

Pengadilan. Hak kreditur untuk menjual sendiri benda jaminan dinamakan

Parate Eksekusi.

Page 123: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

110

g. Fidusia mempunyai sifat spesialitas dan publisitas

Sifat spesialitas adalah uraian yang jelas dan rinci mengenai obyek

jaminan fidusia. Benda yang menjadi obyek jaminan fidusia harus

diuraikan secara jelas dan rinci dengan cara mengidentifikasi benda

jaminan tersebut, dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya dalam

Akta Jaminan Fidusia.

Sifat publisitas adalah berupa pendaftaran Akta Jaminan Fidusia yang

merupakan akta pembebanan benda yang dibebani Jaminan Fidusia.

Pendaftaran Akta Jaminan Fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia

tempat dimana Pemberi Fidusia berkedudukan. Untuk benda-benda yang

dibebani Jaminan Fidusia tetapi berada di luar wilayah Negara Republik

Indonesia tetap didaftarkan di kantor Pendaftaran Fidusia di Indonesia

dimana pemberi fidusia berkedudukan. Dengan dilaksanakan pendaftaran

benda yang dibebani jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia, maka

masyarakat dapat mengetahui bahwa suatu benda telah dibebani Jaminan

Fidusia sehingga masyarakat akan berhati-hati untuk melakukan transaksi

atas benda tersebut dan sekaligus memberikan jaminan kepastian terhadap

kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia.

Pendaftaran benda yang telah dibebani jaminan fidusia ini untuk memenuhi

asas publisitas seperti tercantum pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42

Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mengatur bahwa benda yang

dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan.

Page 124: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

111

h. Fidusia berisi hak untuk melunasi utang

Pada umumnya sifat ini ada dalam setiap hak jaminan yang menjamin

pelunasan utang, seperti Hak Tanggungan juga memiliki sifat ini. Sifat ini

sesuai fungsi setiap jaminan yang memberikan hak dan kekuasaan kepada

kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan jaminan

tersebut bila debitur cidera janji bukan untuk dimiliki kreditur. Ketentuan

ini bertujuan untuk melindungi debitur dari tindakan sewenang-wenang

kreditur. Seandainya debitur setuju mencantumkan janji bahwa benda yang

menjadi obyek fidusia akan menjadi milik debitur jika debitur cidera janji

maka oleh Undang-Undang janji semacam itu batal demi hukum. Batal

demi hukum artinya sejak semula dianggap tidak pernah ada sehingga tidak

perlu dilaksanakan (vide Pasal 33 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

tentang Jaminan Fidusia).

Sifat-sifat atau karakteristik dari jaminan fidusia sebagaimana

diuraikan di atas sesuai atau selaras dengan azaz-azas yang ada dalam

lembaga jaminan. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, bahwa peraturan

perundang–undangan Indonesia mengatur tentang azas-azas jaminan yang

garis besarnya sebagai berikut :

1. Benda yang menjadi obyek jaminan adalah benda bergerak maupun

benda tidak bergerak.

Page 125: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

112

2. Mempunyai sifat hak kebendaan (real right) sebagaimana diatur

dalam Pasal 528 KUH Perdata. Sifat dari pada hak kebendaan itu

sendiri, yaitu :

a. Absolut, yaitu dapat dipertahankan pada setiap orang.

b. Droit de suite,yaitu hak kebendaan mengikuti benda pada

siapapun dia berada.

3. Memiliki hak accessoir, yaitu suatu hak yang hapusnya bergantung

pada perjanjian pokoknya (accessoirum), seperti perjanjian kredit.

4. Adanya hak preferent yaitu hak yang didahulukan pemenuhannya dari

piutang lainnya (Pasal 1133, 1134 dan 1198 KUH Perdata)

Berdasarkan sifat-sifat jaminan fidusia sebagaimana diuraikan

sebelumnya, maka dapatlah dijelaskan bahwa konsekuensi dari perjanjian

accessoir apabila perjanjian induk atau perjanjian pokok tidak sah atau karena

sebab apapun hilang berlakunya atau dinyatakan tidak berlaku karena

berakhirnya perjanjian pokok, maka secara hukum perjanjian fidusia sebagai

perjanjian accessoir juga ikut menjadi batal atau juga ikut berakhir.

Pemberlakuan aturan ini mempunyai arti akta otentik yang berupa akta

jaminan fidusia dapat gugur karena akta perjanjian utang yang dibuat di bawah

tangan cacat hukum. Dalam hal piutang beralih kepada kreditur lain atau baru,

maka jaminan fidusia yang menjaminnya demi hukum ikut beralih kepada

kreditur baru. Jaminan fidusia bukan jaminan yang berdiri sendiri tetapi

keberadaannya atau hapusnya bergantung pada perjanjian pokoknya yang

Page 126: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

113

menimbulkan kewajiban para pihak untuk memenuhi prestasi yang dapat

dinilai dengan uang, walaupun perjanjian pokoknya dibuat secara otentik

maupun di bawah tangan, baik dibuat di Indonesia maupun di luar negara

Indonesia.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

menegaskan secara jelas bahwa Jaminan Fidusia adalah agunan atau

kebendaan atau jaminan kebendaan yang memberikan kedudukan yang

didahulukan kepada penerima fidusia. Penerima fidusia memiliki hak yang

didahulukan terhadap kreditur lainnya. Hak yang didahulukan dari penerima

fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan pemberi fidusia. Penegasan

dimaksud menghilangkan keraguan dan pendapat bahwa jaminan fidusia tidak

menimbulkan hak agunan atas kebendaan, melainkan hanya merupakan

perjanjian obligatoir yang melahirkan hak yang bersifat persoonlijk

(perorangan) bagi kreditur.

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang

Jaminan Fidusia menentukan bahwa jaminan fidusia diberikan sebagai agunan

bagi pelunasan utang. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

tentang Jaminan Fidusia berbunyi :

”Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya Bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan uang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur.”

Page 127: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

114

Pasal 1 ayat (7) dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

tentang Jaminan Fidusia mengatur lebih lanjut jenis utang yang pelunasannya

dapat dijamin dengan jaminan fidusia. Sehubungan dengan kedua ketentuan

dimaksud perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud dalam kedua pasal tersebut

adalah perikatan dalam Pasal 1233 dan 1234 KUH Perdata. Utang yang lahir

karena Undang-Undang adalah misalnya kewajiban membayar ganti rugi

karena perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata) dan negotiorum

gestio atau zaakwarneming seperti diatur dalam Pasal 1354-1357 KUH

Perdata.

4.2 Upaya Penyelesaian Masalah Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank

Perjanjian pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar

kepercayaan dengan ketentuan hak kepemilikan atas benda yang dialihkan itu

tetap berada dalam penguasaan si pemilik benda. Apabila debitur pemberi

fidusia ingkar janji, kreditur penerima fidusia tidak dapat memiliki benda

jaminan itu atau dijual untuk mengambil pelunasan piutangnya sesuai dengan

hak preferensi yang diberikan oleh Undang-Undang kepada kreditur. Selain

itu, bahwa fidusia merupakan perjanjian yang memiliki sifat accessor dan

berkarakter kebendaan.

Jaminan secara hukum mempunyai fungsi untuk menanggulangi utang,

karena itu jaminan merupakan sarana perlindungan bagi para kreditur yaitu

kepastian akan pelunasan utang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi oleh

Page 128: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

115

debitur atau penjamin debitur. Secara hukum baik jaminan kebendaan maupun

perorangan, keduanya merupakan sarana untuk menanggulangi utang. Dalam

berbagai literatur, jika mengkaji tentang jaminan selalu dikaitkan pada hak

kebendaan karena dalam KUH Perdata jaminan merupakan hak kebendaan

yang diatur dalam Buku II, sedangkan sebenarnya ada jenis jaminan lain yang

dalam KUH Perdata diatur dalam Buku III yaitu tentang perjanjian

penanggungan (bortoght) yang merupakan jaminan perorangan. Baik jaminan

kebendaan maupun jaminan perorangan merupakan sarana perlindungan bagi

para kreditur.

Jaminan kebendaan merupakan hak mutlak atas suatu benda tertentu

yang dijadikan untuk suatu ketika, apabila debitur ingkar janji dapat diuangkan

bagi pelunasan suatu utang.

Pembahasan tentang jaminan diarahkan kepada berbagai jenis cara

kreditur untuk menjamin dipenuhi tagihannya dan memberikan kewajiban

debitur untuk memberikan harta kekayaannya untuk diambil kreditur sebanyak

utang debitur. Kewajiban debitur tersebut dihubungkan dengan ketentuan

Pasal 1131 KUH Perdata dan Pasal 1132 KUH Perdata. Kedua pasal ini

mengatur semua barang bergerak dan tidak bergerak, baik yang sudah ada

maupun yang akan ada, menjadi jaminan bagi semua perikatan perorangannya.

Barang-barang itu menjadi jaminan bagi semua krediturnya. Hasil

penjualannya akan dibagi menurut perbandingan besarnya piutang masing-

Page 129: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

116

masing kreditur, kecuali apabila di antara para kreditur itu ada yang memiliki

alasan yang sah menurut hukum untuk didahulukan pembayarannya.

Hal tersebut di atas menjadi kaitan diperlukannya lembaga jaminan,

karena seorang debitur itu tidak bisa dipaksa (secara fisik) membayar

hutangnya di luar kehendaknya sendiri, sekalipun dengan putusan hakim.

Pemaksaannya bisa dilakukan dengan penjatuhan uang paksa (dwangsom)

dalam suatu putusan hakim, namun uang paksa sebenarnya hanya satu upaya

agar debitur atas kesediaannya sendiri bersedia membayar hutangnya

(melakukan perbuatan hukum tertentu).

Apabila debitur tidak membayar hutangnya (tidak melakukan perbuatan

hukum sendiri) pada waktunya sebagaimana yang ditentukan dalam putusan

hakim, maka ia bisa dikenakan uang paksa untuk setiap hari keterlambatan

pembayaran. Uang paksa itu harus dibayarnya kepada kreditur.

Dalam hal seorang debitur tetap tidak memenuhi kewajibannya untuk

membayar sebagaimana ditentukan dalam putusan hakim, maka yang bisa

dilakukan oleh Pengadilan adalah melakukan sita eksekutorial atas harta

kekayaan debitur atas permintaan kreditur.

Dengan adanya sita eksekutorial ini kemudian diikuti pelelangan di

muka umum. Hasil penjualan lelang tersebut diserahkan kepada kreditur

sebagai pelunasan atas piutangnya. Langkah ini bisa dilakukan kalau debitur

masih memiliki barang-barang yang dapat disita dan dijual di muka umum.

Page 130: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

117

Di lain pihak, dalam hal eksekusi untuk kepentingan beberapa orang

kreditur pada saat yang bersamaan, karena seorang kreditur melakukan

gugatan bersama-sama dengan beberapa kreditur lainnya, maka semua hasil

penjualan atas harta kekayaan debitur dibagi secara seimbang. Namun, hal

tersebut menimbulkan rasa tidak aman oleh para kreditur untuk itulah

diperlukannya lembaga penjamin. Dalam menganalisis jaminan fidusia tersebut

baik yang terdapat dalam putusan-putusan Pengadilan maupun perjanjian

fidusia yang terjadi dalam praktek perbankan dan peraturan perundang-

undangan yang mengatur jaminan fidusia, diperlukan pendekatan system

(approach system). Maksud menggunakan pendekatan sistem adalah

mensyaratkan terdapatnya kompleksitas masalah hukum jaminan fidusia yang

dihadapi dengan tujuan untuk menghindarkan pandangan yang

menyederhanakan persoalan jaminan fidusia sehingga menghasilkan pendapat

yang keliru.

Suatu sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu merupakan

landasan di atas mana dibangun tertib hukum.115 Berdasarkan teori sistem ini

dapat dirumuskan bahwa sistem hukum jaminan kebendaan adalah kumpulan

asas-asas hukum yang merupakan landasan, tempat berpijak di atas mana tertib

hukum jaminan kebendaan itu dibangun. Jadi, dengan adanya ikatan asas-asas

hukum tersebut, berarti hukum jaminan kebendaan merupakan suatu sistem

hukum.

115 Mariam Darus Badrulzaman, 1983, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni

Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman V), hal. 15.

Page 131: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

118

Hukum jaminan fidusia bukanlah sekedar kumpulan atau penjumlahan

norma-norma hukum yang masing-masing berdiri sendiri melainkan peraturan

hukum jaminan fidusia memiliki arti yang penting dalam kaitannya dengan

norma-norma hukum lain dari jaminan kebendaan secara keseluruhan. Dengan

demikian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

sebagai sub sistem hukum jaminan kebendaan tidak boleh bertentangan satu

dengan yang lainnya. Dengan perkataan lain, norma hukum yang terdapat

dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia adalah satu kesatuan yang terdiri dari

unsur-unsur yang berinteraksi satu sama lain dan bekerjasama untuk mencapai

tujuan dari Undang-Undang tersebut. ”Kesatuan jaminan fidusia sebagai sub

sistem hukum jaminan kebendaan harus diterapkan terhadap kompleks unsur-

unsur yuridis seperti peraturan hukum jaminan fidusia, asas hukum dan

pengertian hukumnya.”116 Pendekatan sistem terhadap pemecahan jaminan

fidusia akan lebih sempurna apabila ditambahkan unsur lain dari sistem hukum

yaitu budaya hukum.117 Menurut Lawrence M. Friedmann, suatu sistem hukum

terdiri dari tiga unsur yaitu struktur (structure), substansi (substance) dan

budaya hukum (legal culture).118

116 Sudikno Mertokusumo, 1988, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hal. 102.

117 Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hal. 167.

118 Lawrance M Friedman, 1984, American Law, W.W. Norton & Company, New York-London, hal.5-6 dikutip oleh Tan Kamello, Op.Cit, hal. 21.

Page 132: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

119

4.3 Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank

Prinsip hukum bahwa dalam Undang-Undang melalui ketentuannya

adalah hendak melindungi pihak atau orang tertentu, maka Undang-Undang

memberikan suatu hak tertentu kepada orang atau pihak yang bersangkutan dan

dalam peristiwa demikian, maka terserah kepada pihak atau orang yang hendak

dilindungi untuk menggunakan atau tidak hak tersebut. Perlindungan hukum

yang dimaksudkan dalam pengkajian ini adalah terkait dengan pihak pemberi

fidusia (debitur) dan penerima jaminan fidusia (kreditur).

Persoalan perlindungan hukum para pihak dalam jaminan fidusia adalah

mengenai eksekusi. Sertifikat jaminan fidusia ini merupakan salinan dari Buku

Daftar Fidusia yang memuat catatan tentang hal-hal yang dimuat dalam

pernyataan pendaftaran. Sertifikat jaminan fidusia tersebut mempunyai

kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini berarti apabila pemberi fidusia

(debitur) ingkar janji, kreditur dapat langsung meminta eksekusi tanpa melalui

gugatan.

Masalah perlindungan hukum terletak pada perlindungan penerima

fidusia dalam menghadapi pemberi fidusia yang beritikad buruk. Terkait

dengan jaminan fidusia sebagaimana telah diuraikan pada bagian-bagian

sebelumnya dari penelitian ini, maka untuk merealisasikan asas publisitas dan

asas spesialitas, maka Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia menggunakan sistem pendaftaran. Sistem pendaftaran ini pun

Page 133: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

120

diharapkan dapat memberikan jaminan perlindungan kepada penerima fidusia

dan pihak yang mempunyai kepentingan terhadap benda tersebut.

Pasal 1870 KUH Perdata menyatakan bahwa akta notaris merupakan

akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian secara sempurna tentang apa

yang dimuat di dalamnya di antara para pihak beserta ahli warisnya atau para

pengganti haknya. Itulah sebabnya mengapa penting menetapkan perjanjian

fidusia harus dibuat dengan akta notaris. Apalagi mengingat obyek jaminan

fidusia pada umumnya adalah barang bergerak yang tidak terdaftar, maka

bentuk akta otentik dianggap menjamin kepastian hukum berkenaan dengan

obyek jaminan fidusia.

Sedangkan untuk memenuhi asas spesialitas, maka dalam akta jaminan

fidusia yang dibuat oleh notaris memuat mengenai uraian mengenai benda

yang menjadi obyek jaminan fidusia. Uraian mengenai benda yang menjadi

obyek jaminan fidusia cukup dilakukan dengan mengidentifikasi benda

tersebut dan dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya. Kalau benda

yang menjadi obyek jaminan fidusia merupakan benda dalam persediaan

(inventory) yang selalu berubah-ubah dan atau tidak tetap, maka dalam akta

jaminan fidusia dicantumkan uraian mengenai jenis, merek, kualitas dari benda

tersebut.

Demi memenuhi asas publisitas, maka Undang-Undang Nomor 42

Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur hal baru yaitu mengenai

pendaftaran jaminan fidusia guna memberikan kepastian hukum tidak saja

Page 134: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

121

kepada para pihak tetapi juga kepada pihak ketiga serta menimbulkan hak

untuk didahulukan bagi penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.

Proses pendaftaran akta jaminan fidusia diatur dalam Pasal 11 sampai

dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia dan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara

Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.

Peraturan Pemerintah itu terdiri dari 4 bab dan 14 Pasal. Hal-hal yang diatur

dalam Peraturan Pemerintah meliputi pendaftaran fidusia dan biaya perbaikan

sertifikat, perubahan sertifikat, pencoretan pendaftaran, dan penggantian

sertifikat. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia mengatur :

(1) Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan. (2) Dalam hal Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia berada di

luar wilayah negara Republik Indonesia, kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap berlaku.

Pendaftaran yang dimaksudkan dilakukan pada Kantor Pendaftaran

Fidusia. Kantor Pendaftaran Fidusia yang dimaksudkan ini berada dalam

lingkup tugas Departemen Kehakiman. Hal ini secara jelas diatur dalam Pasal

12 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang

lengkapnya sebagai berikut :

(1) Pendaftaran Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11

ayat (1) dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia;

Page 135: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

122

(2) Untuk pertama kali, Kantor Pendaftaran Fidusia didirikan di Jakarta

dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah negara Republik

Indonesia.

(3) Kantor Pendaftaran Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

berada dalam lingkup tugas Departemen Kehakiman.

(4) Ketentuan mengenai pembentukan Kantor Pendaftaran Fidusia untuk

daerah lain dan penetapan wilayah kerjanya diatur dengan Keputusan

Presiden.

Permohonan pendaftaran jaminan fidusia dilakukan oleh penerima

fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran

jaminan fidusia. Pernyataan pendaftaran jaminan fidusia memuat :

1. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;

2. Tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama dan tempat kedudukan

notaris yang membuat akta jaminan fidusia;

3. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

4. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia;

5. Nilai penjaminan;

6. Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.

Pendaftaran jaminan fidusia ini dilakukan oleh Kantor Pendaftaran

Fidusia (KPF). Benda yang dibebani dengan jaminan fidusia, baik berada di

Indonesia maupun di luar Indonesia wajib didaftarkan di KPF di tempat

kedudukan pemberi fidusia. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

Page 136: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

123

tentang Jaminan Fidusia mengatur bahwa Kantor Pendaftaran Fidusia (KPF)

yang menerima pendaftaran tersebut akan memuat jaminan fidusia dalam buku

daftar fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan

pendaftaran. Pendaftaran jaminan fidusia dilakukan hanya untuk melakukan

pengecekan data yang dimuat dalam pernyataan pendaftaran jaminan fidusia.

Berdasarkan pendaftaran jaminan fidusia tersebut, Kantor Pendaftaran Fidusia

akan menerbitkan dan menyerahkan sertifikat jaminan fidusia kepada penerima

fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan

pendaftaran jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia. Pasal 13 Undang-

Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menguraikan sebagai

berikut :

1) Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia dilakukan oleh Penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia.

2) Pernyataan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat : a. Identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia; b. Tanggal, nomor akta Jaminan Fidusia, nama dan tempat

kedudukan notaris yang membuat akta Jaminan Fidusia; c. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia; d. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia; e. Nilai penjaminan; dan f. Nilai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.

3. Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran Jaminan Fidusia dan biaya pendaftaran diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Page 137: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

124

Apabila terjadi kekeliruan penulisan dalam sertifikat jaminan fidusia

yang telah diterima oleh pemohon, maka dalam waktu enam puluh (60) hari

setelah menerima sertifikat tersebut pemohon memberitahukan secara tertulis

kepada Kantor Pendaftaran Fidusia untuk diterbitkan sertifikat perbaikan.

Penerima fidusia wajib mengajukan permohonan pendaftaran

perubahan, jika selama fidusia dipasang terjadi perubahan mengenai hal-hal

yang tercantum dalam sertifikat jaminan fidusia. Perubahan tersebut harus

diberitahukan kepada para pihak dan tidak perlu dibuat dengan akta notaris.

Berdasarkan perubahan tersebut, Kantor Pendaftaran Fidusia akan melakukan

pencatatan perubahan tersebut pada tanggal yang sama dengan tanggal

penerimaan permohonan perubahan dalam Buku Daftar Fidusia dan akan

diterbitkan pernyataan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

sertifikat jaminan fidusia. Segala keterangan mengenai benda yang menjadi

obyek jaminan fidusia yang ada terbuka untuk umum. Hal tersebut diatur

berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia :

(1) Apabila terjadi perubahan mengenai hal-hal yang tercantum dalam

Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14

ayat (2), Penerima Fidusia wajib mengajukan permohonan

pendaftaran atas perubahan tersebut kepada Kantor Pendaftaran

Fidusia.

Page 138: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

125

(2) Kantor Pendaftaran Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal

penerimaan permohonan perubahan, melakukan pencatatan perubahan

tersebut dalam Buku Daftar Fidusia dan menerbitkan Pernyataan

Perubahan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Sertifikat

Jaminan Fidusia.

Di samping itu, sertifikat jaminan tidak menutup kemungkinan terjadi

perubahan terhadap substansi. Bahwa yang dimaksud dengan perubahan

substansi antara lain perubahan objek jaminan fidusia berikut dokumen terkait,

perubahan penerima jaminan fidusia berikut dokumen, perubahan perjanjian

pokok yang dijamin fidusia, dan perubahan nilai jaminan.

Pasal 17 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia mengatur Pemberi Fidusia dilarang melakukan Fidusia ulang terhadap

Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang sudah terdaftar. Segala

keterangan mengenai Benda Fidusia yang ada pada Kantor Pendaftaran Fidusia

terbuka untuk umum.

Pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia

mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban penerima

fidusia kepada kreditur baru. Namun, penerima fidusia tidak menanggung

kewajiban atas akibat tindakan atau kelalaian pemberi fidusia baik yang timbul

dari perbuatan melanggar hukum sehubungan dengan pengalihan benda yang

menjadi obyek jaminan fidusia. Apabila terjadi pengalihan jaminan fidusia,

maka pengalihan ini harus didaftarkan oleh kreditur baru kepada Kantor

Page 139: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

126

Pendaftaran Fidusia. Hal tersebut di atas diuraikan berdasarkan Pasal 19

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, secara

lengkap mengatur bahwa :

(1) Pengalihan hak atas piutang dijamin dengan fidusia mengakibatkan

beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban Penerima Fidusia

kepada kreditur baru.

(2) Beralihnya Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

didaftarkan oleh kreditur baru kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.

Fidusia ulang oleh pemberi fidusia, baik debitur maupun penjamin

pihak ketiga, tidak dimungkinkan atas benda yang menjadi obyek jaminan

fidusia, karena sebagian hak kepemilikan atas benda tersebut telah beralih

kepada penerima fidusia. Hal itu dipertegas dengan tidak dikenalnya roya

partial seperti halnya Undang-Undang Hak Tanggungan.

Berdasarkan asas droit de suit, maka jaminan fidusia tetap mengikuti

benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda

tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi obyek

jaminan fidusia tersebut tetap melekat. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 42

Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur hal dimaksud.

Apabila utang dari pemberi fidusia telah dilunasi olehnya menjadi

kewajiban penerima fidusia, kuasanya, atau wakilnya untuk memberitahukan

secara tertulis kepada Kantor Pendaftaran Fidusia (KPF) mengenai hapusnya

jaminan fidusia yang dikarenakan hapusnya utang pokok. Pemberitahuan itu

Page 140: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

127

dilakukan paling lambat tujuh hari setelah hapusnya jaminan fidusia. Dengan

diterimanya surat pemberitahuan tersebut, maka ada dua hal yang dilakukan

Kantor Pendaftaran Fidusia, yaitu sebagai berikut :

1. pada saat yang sama mencoret pencatatan jaminan fidusia dari dafatar

fidusia ; dan

2. pada tanggal yang sama dengan tanggal pencoretan jaminan fidusia dari

buku daftar fidusia, Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan surat

keterangan yang menyatakan ”sertifikat jaminan fidusia yang

bersangkutan tidak berlaku lagi.”

Selain itu, perlindungan hukum jika terjadi wanprestasi yang dilakukan

oleh debitur pemberi fidusia, maka pendaftaran ikatan jaminan atas benda

tidak terdaftar sesungguhnya tidak cukup melindungi kepentingan kreditur

terhadap pihak ketiga. Dalam hal yang dijaminkan adalah benda persediaan

atau inventory, maka kedudukan kreditur sangat lemah karena barang jaminan

baik jumlah, perpindahan maupun kedudukan atau keberadaan barang tersebut

sulit terdeteksi sehingga pemenuhan terhadap asas publisitas hanyalah sebuah

pemenuhan dekoratif terhadap suatu aturan hukum.

Selain itu, sistem pendaftaran dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun

1999 tentang Jaminan Fidusia untuk sementara hanya bermanfaat bagi kreditur

besar dengan jaminan yang mempunyai nilai besar saja. Debitur dari sektor

unit Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sangat sulit diterapkan karena hanya

Page 141: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

128

golongan tertentu khususnya pengusaha yang bermodal kuat saja yang dapat

memanfaatkan keberadaan Undang-Undang ini.

Hal-hal tersebut di atas menggambarkan kerancuan dalam peraturan

norma-norma dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia. Sebab, eksistensi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang

Jaminan Fidusia tidak berdasar pada asas hukum, seakan-akan dibuat secara

tergesa-gesa dan tidak melewati kajian secara akademis yang memadai.

Berkaitan dengan dibuatnya suatu aturan hukum agar adanya ketertiban,

keteraturan dan memberikan kepastian hukum khususnya bagi pelaku usaha

dengan adanya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia. Artinya bahwa dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun

1999 tentang Jaminan Fidusia memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha

dengan menjadikan jaminan fidusia sebagai salah satu sumber pembiayaan

guna menunjang dinamika kegiatan usaha, ternyata yang terjadi sebaliknya,

yaitu ketidakteraturan dan ketidak pastian hukum atau legal uncertainty. Jika

terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak, perlindungan hukum

tidak berjalan secara efektif bagi pihak-pihak yang memerlukannya atau pihak

yang dirugikan.

Hal lain yang harus diperhatikan bagi keberlakuan suatu aturan hukum

menyangkut aspek moral, aspek sosial, dan aspek yuridis. Berkaitan dengan

tiga aspek tersebut Meuwissen dalam bukunya Rechtstheorie menegaskan

bahwa hukum itu memiliki suatu cara keberadaan tertentu yang kita namakan

Page 142: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

129

keberlakuan (gelding). Sebagaimana yang kita lihat, keberlakuan itu mengenal

atau memiliki tiga aspek, yakni aspek moral, aspek sosial,dan aspek yuridis.119

Jika pendapat Meuwissen dihadapkan dengan eksistensi Undang-

Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka dapat dikatakan

bahwa Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia hanya

memenuhi aspek yuridis saja sementara aspek moral, aspek sosial, dan aspek

filosofi pada dasarnya belum terpenuhi. Sementara sasaran yang ingin dicapai

guna memberikan perlindungan dan kepastian hukum, serta ketertiban dalam

masyarakat khususnya lembaga-lembaga pemberi kredit dalam kaitannya

dengan benda yang difidusiakan tidak tercapai secara efektif. Praktik

pembuatan aturan perundang-undangan seperti itu harus dicegah karena

membebani masyarakat dengan problematika hukum baru.

Jika membahas perlindungan hukum, maka terkait pula dengan

kepastian hukum. Sebab, bagaimana mungkin melakukan perlindungan hukum

sementara aturan hukum yang menjadi acuan untuk menilai sah tidaknya atau

dilakukannya suatu pelanggaran hukum memiliki ketidakpastian hukum hanya

karena aturan yang tidak jelas. Sehingga, perlu dipertegas dalam klausula suatu

peraturan perundang-undangan.

Dari hal-hal yang diuraikan di atas, maka Undang-Undang Nomor 42

Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia belum dapat memberikan perlindungan

119 D.H.M. Meuwissen, 1985, Rechtsteorie dalam Van Apeldoorn’s Inleiding Tot De

Studie Van Het Jamiederlandse Recht, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, hal. 433.

Page 143: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

130

hukum jika terjadi Wanprestasi yang dilakukan oleh debitur Pemberi Fidusia.

Hal tersebut disebabkan beberapa faktor yaitu :

1. Bahwa pendaftaran ikatan jaminan atas benda tidak terdaftar sesungguhnya

tidak cukup melindungi kepentingan kreditur terhadap pihak ketiga.

2. Dalam hal yang dijaminkan adalah benda persediaan atau inventory, maka

kedudukan kreditur sangat lemah karena barang jaminan baik jumlah,

perpindahan maupun kedudukan atau keberadaan barang tersebut sulit

terdeteksi sehingga pemenuhan terhadap asas publisitas hanyalah sebuah

pemenuhan dekoratif terhadap suatu aturan hukum. Keberlakuan dekoratif

sesungguhnya memiliki potensi memunculkan masalah hukum baru yang

tentu saja tidak dikehendaki oleh para pelaku bisnis dan pembuat Undang-

Undang di badan legislatif (DPR-RI), khusus mengenai objek barang

fidusia berupa inventory, barang komoditi agro telah diatur dengan

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang.

3. Dari sisi praktis, sistem pendaftaran dalam Undang-undang Nomor 42

Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia untuk sementara hanya bermanfaat

bagi kreditur besar dengan jaminan yang mempunyai nilai besar saja.

Debitur dari sektor unit Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sangat sulit

memanfaatkan keberadaan Undang-Undang ini bagi pengembangan usaha

mereka. Sifat universalitas aturan perundang-undangan menjadi sulit

diterapkan karena karena hanya golongan tertentu khususnya pengusaha

Page 144: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

131

yang bermodal kuat saja yang dapat memanfaatkan keberadaan Undang-

Undang ini.

4. Keberadaan Kantor Pendaftaran Fidusia (KPF) di ibu kota provinsi sangat

menyulitkan pelaksanaan pendaftaran fidusia, karena belum semua provinsi

memiliki fasilitas transportasi yang memadai sehingga tidak memberikan

manfaat dari segi kepraktisan. Terlebih bagi pemberi fidusia yang

bertempat tinggal di luar wilayah Republik Indonesia. Dengan demikian

pelaksanaan pendaftaran akan menimbulakn biaya yang tidak sedikit

sedangkan waktu yang digunakan juga cukup lama. Ini tidak menunjang

kondisi bisnis yang mempunyai filosofi waktu adalah uang (time is money).

5. Akta jaminan fidusia yang seharusnya didaftarkan ternyata di dalam

kenyataannya sebagian besar tidak didaftarkan ke kantor pendaftaran

fidusia (KPF).

Dengan tujuan ingin menciptakan keteraturan dan memberikan

kepastian hukum bagi pelaku usaha dengan menjadikan jaminan fidusia

sebagai salah satu sumber pembiayaan guna menunjang dinamika kegiatan

usaha, ternyata yang terjadi sebaliknya, yaitu ketidakteraturan dan

ketidakpastian hukum atau legal uncertainty. Jika terjadi wanprestasi yang

dilakukan oleh salah satu pihak, perlindungan hukum tidak dapat berjalan

secara efektif bagi pihak-pihak yang memerlukannya atau pihak yang

dirugikan.

Page 145: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

132

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan atas permasalahan yang dikemukakan untuk

diteliti, maka dapat disimpulkan bahwa :

5.1.1. Pengaturan tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia

yang musnah dalam suatu perjanjian kredit bank menurut Undang-

Undang Nomor 42 Tahun 1999 adalah debitur tetap bertanggung jawab

mengembalikan pinjaman kredit walaupun benda jaminan fidusia

tersebut diasuransikan maupun tidak diasuransikan. Jika benda jaminan

fidusia diasuransikan maka akan dilunasi oleh perusahaan asuransi

dimana benda jaminan fidusia diasuransikan sesuai dengan isi

perjanjian, jika benda jaminan fidusia tidak diasuransikan maka debitur

bertanggung jawab penuh mengembalikan pinjaman kredit. Hal ini

dikarenakan debitur telah terikat dalam perjanjian kredit dengan pihak

bank, walaupun benda jamian fidusia musnah.

5.1.2. Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit baik

terhadap masalah musnahnya benda jaminan fidusia sangat lemah.

Hadirnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak

dengan menjadikan jaminan fidusia sebagai salah satu sumbe

Page 146: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

133

pembiayaan guna menunjang dinamika kegiatan usaha ternyata yang

terjadi sebaliknya, yaitu ketidakteraturan dan ketidakpastian hukum

atau ”legal uncertainty”. Jika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh

salah satu pihak, perlindungan hukum tidak berhalan secara efektif bagi

pihak-pihak yang dirugikan.

5.2. Saran

5.2.1. Setiap benda yang menjadi objek jaminan fidusia seharusnya

diasuransikan terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk

mengantisipasi musnahnya benda jaminan, dimana dengan musnahnya

benda jaminan tersebut tidak menghapuskan piutang yang belum

dihapus. Walaupun perusahaan asuransi tidak membayar spenuhnya,

tetapi perusahaan asuransi dapat meringankan beban debitur untuk

mengembalikan sisa pinjaman kredit.

5.2.2. Diharapkan kepada DPR agar merevisi Undang-Undang Nomor 42

Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dimana dapat dikatakan Undang-

Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia saat ini hanya

memenuhi aspek yuridis saja sementara aspek moral, aspek sosial dan

aspek filosofi belum terpenuhi. Sementara sasaran yang ingin dicapai

guna memberikan perlindungan dan kepastian hukum, serta ketertiban

dalam masyarakat tidak tercapai secara efektif.

Page 147: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

134

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku – Buku

Ali Chaidir, 1976, Badan Hukum, Alumni, Bandung.

Ashshofa Burhan, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, 2008, Penetitian Hukum tentang Implementasi Jaminan Fidusia dalam Pemberian Kredit di Indonesia, Jakarta.

Badrulzaman, Mariam Darus, 1981, Perjanjian Baku (Standar) Perkembangannya di Indonesia (Pidato Pengukuhan Guru Besar), Alumni, Bandung.

--------------, 1983, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Buku II Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung.

--------------, 1983, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung.

--------------, 1979, Bab-Bab Tentang Crediet Verband, Gadai dan Fidusia, Alumni, Bandung.

--------------, 2000, Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan, Makalah Seminar Sosialisasi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, BPHN Hukum dan Perundang-Undangan RI Bekerjasama dengan PT. Bank Mandiri.

Budi S. Totok, Sri Susilo, Sigit Triandaru, 2000, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta.

Campbell Henry Black, 1990, Black’s Law Dictionary, Sicth Edition, West Publishing Co, St. Paul, Mina.

Curzon I. B., 1979, Jurisprudence, Macdonal & Evan Ltd, Estover Plymouth.

Dirjosisworo Soedjono, 2003, Kontrak Bisnis Menurut Sistem Civil Law, Common Law, dan Praktek Dagang Internasional, Mandar Maju, Bandung.

Djuhaendah Hasan, 1996, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Azas Pemisahan Horizontal, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Page 148: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

135

Djumhana Muhamad, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Friedman Lawrence, M, 1984, American Law, W.W. Norton-company, New York, London.

Friedman, W, 1979, Legal Theory, Columbia University Press, New York.

Fuady Munir, 2002, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

--------------, 2003, Jaminan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Hadisoeprapto Hartono, 1984, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta.

Hadjhon Philipus, M, 1997, Pengkajian Ilmu Hukum, Makalah Penelitian Metode Penelitian Hukum Normatif, Universitas Airlangga, Surabaya.

Hay Marhainis Abdul, 1975, Hukum Perbankan di Indonesia, Pradnya Paramiota, Jakarta.

Hermansyah, 2003, Hukum Perbankan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

--------------, 2007, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta.

HS Salim, 2003, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta.

--------------, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

--------------, 2006, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Ibrahim Johannes, 2004, Cross Default dan Cross Collateral sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, PT. Refika Aditama, Bandung.

Isnaeni Mochamad, 1996, Hipotik Pesawat Udara di Indonesia, CV. Dharma Muda, Surabaya.

Kamelo Tan, 2004, Hukum Jaminan Fidusia, Alumni Bandung.

Kasmir, 2002, Dasar-Dasar Perbankan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Khoidir, M, 2005, Problematika Eksekusi Sertifikat Hak Tanggungan, Laks Bank Pressindo, Yogyakarta.

Page 149: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

136

Marzuki Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta.

Mertokusumo Sudikno, 1970, Sejarah Peradilan Dan Perundang-Undangannya Di Indonesia, Universitas Gajah Mada, Gunung Agung, Jakarta.

--------------, 1988, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.

Meuwissen, D.H.M, 1985, Rechtsteorie Dalam Van Apeldorn’s Inteiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Recht, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwdle.

Muhamad Abdulkadir, 1982, Hukum Perikatan, Alumni Bandung.

Naja H.R. Daeng, 2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2006, Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar-Bali.

--------------, 2007, Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar-Bali.

Parlindungan A.P, 1988, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung.

Prakoso Djoko dan Riyadilany Bambang, 1987, Dasar Hukum Persetujuan Tertentu di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.

Sastrawidjaja Man Suparman, 2003, Aspek-Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, Alumni, Bandung,

Satrio, J, 1996, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

--------------, 2002, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Hak Tanggungan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sembiring Sentosa, 2000, Hukum Perbankan, Alumni, Bandung.

Setiawan R., 1979, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung.

Sidharta B. Arief, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soebekti, R, 1975, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung.

--------------, 1978, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni, Bandung.

Page 150: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

137

--------------, 2001, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta.

Soekanto Soerjono, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta.

--------------, 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta.

--------------, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sofwan Sri Soedewi Masjchoen, 1980, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta.

Sunggono Bambang, 1995, Pengantar Hukum Perbankan, Mandar Maju, Jakarta.

Sutarno, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta, Bandung.

Suyatno Thomas, 1993, Kelembagaan Perbankan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Syahdeini Sutan Remy, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank, Institut Bankir Indonesia, Jakarta.

Syahrani Ridwan, 1985, Seluk Beluk dan Azas-Azas Hukum Perdata, Alumni, Bandung.

Tunggal Hadi Setia dan Liliawati Muljono Eugenia, 1996, Eksekusi Grosse Akta Hipotik Oleh Bank, Rineka Cipta, Jakarta.

Tje'Aman Edy Putra, 1989, Kredit Perbankan – Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yogyakarta.

Untung Budi, 2000, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi, Yogyakarta.

Usman Rachamdi, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka, Jakarta.

Veithzal H. Rivai dan Veithzal Andria Permata, B, 2007, Credit Management Handbook : Teori, Konsep, Prosedur, dan Aplikasi Panduan Praktis Mahasiswa, Bankir, dan Nasabah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Widjaya Gunawan dan Yani Ahmad, 2000, Jaminan Fidusia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Widjaya Rai, I.G.A, 2003, Merancang Suatu Kontrak, Teori Dan Praktek, Mega Poin, Jakarta.

Page 151: tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan ...

138

II. Artikel, Makalah, Tesis

Candrawatie Yenny, 2006, Penerapan Ketentuan Jangka Waktu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam Proses Pengikatan Jaminan Kredit di Kota Denpasar, Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal. 22-23.

Purnawan Anak Agung Bagus, 2007, Pembebanan Benda Bergerak Sebagai Jaminan Kredit Menurut Undang-Undang Fidusia dan Prakteknya pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Kabupaten Badung, Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.

III. Peraturan Perundang - Undangan

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio, 2003, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.

IV. Kamus

Departemen Pendidikan Nasional, 1979, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gita Media Press.

--------------, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta.

--------------, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Tim Penyusunan Kamus Pusat Bahasa, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.