Tambang Uang Gamelan Tihingan

11
Tambang Uang Gamelan Tihingan Tambang Uang Gamelan Tihingan Gamelan sudah mendarah daging dalam dirinya. Sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, maka sesuai adat Bali ia harus “pulang kampung” dan tinggal bersama orang tua untuk meneruskan usaha gamelan yang sudah dirintis keluarganya. Dengan kreativitas dan kejeliannya, usaha gamelannya makin berkembang—dan bank pun terus mengucurkan kredit untuknya. 12 12_baLi_OKE.indd 137 12/3/08 10:00:04 AM

Transcript of Tambang Uang Gamelan Tihingan

Page 1: Tambang Uang Gamelan Tihingan

137

Tambang Uang Gamelan Tihingan

Tambang UangGamelan Tihingan

Gamelan sudah mendarah daging dalam dirinya. Sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, maka sesuai adat Bali ia harus “pulang kampung” dan tinggal bersama orang tua untuk meneruskan usaha gamelan yang sudah dirintis keluarganya. Dengan kreativitas dan kejeliannya, usaha gamelannya makin berkembang—dan bank pun terus mengucurkan kredit untuknya.

12

12_baLi_OKE.indd 137 12/3/08 10:00:04 AM

Page 2: Tambang Uang Gamelan Tihingan

138

Desa Tihingan di kabupaten Klungkung adalah satu dari sepuluh kabupaten yang ada di Provinsi Bali, yang pen­

duduknya sebagian besar (90%) adalah perajin gamelan. Desa yang berjarak 3 km dari Kota Semarapura ini telah menjadi pusat kera­jinan pembuat gong (Gamelan) di Bali dan menjadi kebanggaan masyarakatnya. Keahlian penduduknya dalam pembuatan gamelan inilah yang membuat namanya terkenal dan karenanya dijadikan se­bagai salah satu daerah kunjungan wisata di Kabupaten Klungkung. Terpuruknya Bali akibat tragedi bom Bali I tahun 2002 dan bom Bali II tahun 2005 sungguh tak tampak lagi bekasnya di kabupaten ini.

Kembalinya si Bungsu Dari sekitar 41 perajin gamelan di Desa Tihingan yang masih me­nekuni gamelan, ada satu orang yang kini cukup berhasil. Ia adalah I Wayan Sumandi atau yang lebih dikenal dengan Sumandi. Ia telah menggeluti usaha gamelan ini sejak tahun 1984, dan sejak lahir hi­ngga remaja sudah akrab dengan lingkungan dan kesenian gamelan Bali. ”Karena sejak kecil ikut orang tua, jadi sudah ada cinta dengan masalah gamelan,” tutur Sumandi. Begitu masuk STM di Denpasar, di saat liburannya pun Sumandi kerap pulang kembali membantu usa­ha orang tua. ”Kehidupan saya sudah tidak bisa lepas dari masalah gamelan,” tambahnya.

Namun, setelah lulus dari studi di Akademi Perindustrian Yog­yakarta tahun 1984, Sumandi malah mencoba bekerja sebagai pen­jual rumput laut. Ternyata profesi itu tidak disukainya dan ia hanya bertahan selama enam bulan. Merasakan kondisi sulitnya mencari pekerjaan dan menyadari potensi diri dalam usaha gamelan yang masih bisa berkembang lebih jauh, maka Sumandi mulai menata jalan hidupnya. ”Saya bertekad mengembangkan usaha gamelan saja,” tu­turnya mantap.

Membuat gamelan sebenarnya merupakan usaha leluhur yang sudah turun­temurun. Dan Sumandi pun kembali mengikuti kata hatinya sebagai pembuat gamelan. “Tapi itu tidak terlalu berpenga­ruh,” tuturnya. Yang lebih penting baginya adalah kecintaan, keya­

12_baLi_OKE.indd 138 12/3/08 10:00:04 AM

Page 3: Tambang Uang Gamelan Tihingan

139

Tambang Uang Gamelan Tihingan

kinan, dan tekad bulat yang membuatnya bisa seperti sekarang ini. Kecintaan akan pekerjaan ini juga banyak memberi dirinya kepuasan dan kebanggaan, yang diyakininya tidak akan pernah pudar hingga akhir hayatnya.

Sumandi adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Di antara saudara­saudaranya, hanya Sumandi sajalah yang berwirausaha me­neruskan usaha orang tuanya. Adanya ketentuan adat bahwa anak bungsu wajib pulang kampung dan tinggal bersama orang tuanya juga telah memanggil dirinya untuk mengabdi dan berbakti kepada orang tuanya sambil meneruskan usaha milik keluarganya itu. Se­iring berjalannya waktu, kemantapan akan pilihan hidupnya telah memberinya keyakinan untuk membina satu keluarga. “Saya yakin bisa menghidupi keluarga, apalagi saat itu calon istri sudah diangkat menjadi pegawai tata usaha SMP di kampung,” tuturnya. Sebagai satu keluarga baru, lembaran perjuangan hidup Sumandi baru dimu­lai.

Meminang Bank BPD Bali Tahun 1984 merupakan masa peralihan usaha orang tuanya kepada Sumandi. Modal usaha yang ada padanya bisa dibilang sangat minim dengan skala bisnis sangat kecil. “Modal yang kami miliki saat itu hanya keterampilan saja. Jadi apa benar itu namanya usaha?” tutur­

Berbekal tekad yang kuat, terwujudnya cita-cita itu ha nyalah masalah waktu saja baginya. “Bekerja bagi saya merupa kan persembahan untuk Yang Mahakuasa, dengan memberikan yang terbaik bagi orang banyak,” tutur Sumandi.

12_baLi_OKE.indd 139 12/3/08 10:00:05 AM

Page 4: Tambang Uang Gamelan Tihingan

140

nya mengenang. Karena keterbatasan modal, saat itu Sumandi hanya mampu melayani pesanan dari masyarakat Bali saja. Omset penjual­annya pun masih sangat kecil, rata­rata Rp 10 juta per bulan. Di sam­ping itu, peleburan yang menggabungkan tembaga dan timah untuk mendapatkan bahan baku perunggu masih belum bisa dilakukan nya. Proses produksinya baru dimulai dari pembelian perunggu yang siap ditempa untuk kemudian dilakukan berbagai proses finishing, terma­suk menyelaraskan suara.

Berbagai nilai tambah lainnya seperti mengukir kayu belum bisa dikerjakan, karena tidak adanya tenaga yang terampil dan siap melakukannya saat itu. Pesanan pun baru dikerjakan jika ada uang muka dari pembelinya sebesar 75% dari nilai pembelian. Bahkan ka­Bahkan ka­rena sudah mengenal, pembeli rela memberikan uang muka hingga 100%.”Kita bisa seperti itu berdasarkan kepercayaan saja,” tuturnya. Setelah uang muka diterima, proses pencarian perunggu melalui makelar baru bisa dilakukan. “Tetapi itu memerlukan waktu cukup lama, karena perunggu tersebut harus didatangkan dari Jawa,” ujar­nya. Jika mengandalkan sisa pecahan gamelan yang ada di desa, ten­tu tidak akan mencukupi untuk memenuhi permintaan pasar.

Adanya kendala ketergantungan modal dan bahan baku mem­buat Sumandi mencari berbagai cara untuk mengatasinya. Rupanya usaha dan doanya baru terjawab setelah delapan tahun kemudian. “Saat masih tinggal di Ubud tahun 2002, seseorang menyarankan saya untuk menghubungi Bank BPD Bali,” tuturnya. Bagi Sumandi sendiri, Bank BPD Bali merupakan bank kebanggaannya juga. “Ada rasa cinta dan memiliki jika saya menggunakan Bank BPD Bali,” tu­turnya mantap. Baginya Bank BPD Bali sudah tidak asing lagi. “Jadi ya saya pilih Bank BPD saja untuk membantu usaha saya,” lanjutnya menegaskan.

Ternyata usaha mendapatkan kredit tidak terlalu berjalan mu­lus. Karena baru merintis, Sumandi tidak memiliki izin usaha yang menjadi syarat penting dalam memperoleh kredit. “Saya tidak punya izin usaha, jadi kredit yang saya peroleh relatif tidak besar,” tuturnya mengenang. Menurut I Dewa Gede Yuniko, yang akrab disapa Dewa,

12_baLi_OKE.indd 140 12/3/08 10:00:06 AM

Page 5: Tambang Uang Gamelan Tihingan

141

Tambang Uang Gamelan Tihingan

dari Bank BPD Klungkung, meskipun tidak memiliki izin, karena sudah saling mengenal, dan usaha yang dijalankan Sumandi cukup menjanjikan, maka pada tahun 2004 dikucurkan kredit pertamanya sebesar Rp 50 juta.Waktu yang diperlukan untuk mencairkan kredit pun hanya sekitar satu minggu. “Karena nilainya di bawah Rp 100 juta, meskipun tidak punya izin usaha, jaminan yang dibutuhkan cu­kup surat keterangan dari kepala desa,” tambah I.B. Gd. Adnyana yang akrab disapa Gusde dari Bank BPD Klungkung.

Konsumen dari usaha Sumandi sebenarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu perajin yang mencari perunggu dan para pencari gamelan. Oleh karena itu, porsi terbesar dari kredit ini dipergunakan seluruh­nya untuk membeli bahan baku perunggu dan barang jadi. “Jika kita mampu menunjukkan barang kepada pembeli, kan jadi lebih meya­kinkan. Untuk dapat memenuhi permintaan bahan baku, saya berani membayar langsung pengepul yang memiliki tembaga senilai Rp 50 juta. Kalau tidak begitu, sulit bagi saya dapat memenuhi permintaan konsumen,” tutur Sumandi.

Berkat kegigihan dan keuletannya, kredit berbunga 16% terse­but berhasil dilunasinya hanya dalam tempo kurang dari 12 bulan, meskipun jangka waktu yang diberikan 36 bulan. “Utang kan beban. Kalau bisa cepat lunas lebih baik,” prinsip Sumandi. Kredit ini sangat berarti baginya untuk menjalankan roda bisnis usahanya yang me­mang haus modal.

Setelah berhasil melunasi kredit pertamanya, pada 2006 Suman­di kembali dipercaya oleh Bank BPD Bali untuk mendapatkan kredit kedua sebesar Rp 50 juta dengan jangka waktu 48 bulan. Sumandi kembali membuktikan kegigihannya. Hanya dalam tempo empat bulan, kredit berbunga 14% ini berhasil dilunasi. Adanya tambahan modal, membuat dirinya semakin yakin dan mantap bahwa kredit perbankan sangat penting baginya. Tetapi karena tidak punya izin usaha, pada tahun yang sama, kredit ketiga yang didapat Sumandi maksimal tetap hanya sebesar Rp 50 juta. Kredit berbunga 16% ini dapat lunas dalam tempo tujuh bulan saja.

12_baLi_OKE.indd 141 12/3/08 10:00:06 AM

Page 6: Tambang Uang Gamelan Tihingan

142

Tumbuh Bersama Kredit Yakin akan usahanya, pada 2007 Sumandi bertambah semangat un­tuk menambah nilai kreditnya menjadi lebih besar lagi. Syarat un­tuk mendapatkan izin usaha pun ditempuhnya. Sumandi akhirnya mendapat izin dan memasang papan reklame usahanya. “Pada waktu itu sebenarnya saya meminta kredit Rp 800 juta, tetapi yang diperbolehkan baru Rp 250 juta,” tuturnya. Meskipun jumlah yang diperolehnya kurang dari yang diharapkan, kesempatan ini tidak disia­siakan oleh Sumandi.

Adanya dukungan modal untuk membeli bahan baku telah memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan usahanya. Sumandi berhasil mendapatkan pemasok bahan baku timah yang belum dike­tahui oleh perajin lain untuk memenuhi produksinya setiap bulan. Sedangkan bahan baku utama lainnya seperti tembaga diperolehnya dari para pemulung yang ada di desa. “Tempat peleburan di Bali hanya ada dua, yaitu milik saya dan di Belah Batu,” ujar Sumandi. Kemampuan akses bahan baku dan kemampuan mengolahnya ini te­lah memberikan lompatan besar dalam penjualan dan memberikan keunggulan bersaing dibanding pengrajin lainnya.

Keunggulan ini tidak bisa diikuti oleh para perajin yang ada di Tihingan karena mereka belum bisa menemukan pemasok bahan baku timah. Kenyataannya, meskipun mereka memilikinya, me­reka tidak siap menghadapi berbagai kecurangan yang dilakukan pemasok. Banyaknya pemasok yang mencampur tembaga dengan logam lain seperti besi dan aluminium membuat hasil peleburannya menjadi rusak. Kondisi perunggu yang dianggap rusak inilah yang membuat mereka tidak mampu menjualnya. Mereka tidak memiliki akses pasar. Akhirnya mereka lebih suka membeli hasil leburan ti­mah dan tembaga dari Sumandi.

Keberhasilannya melunasi beberapa kredit sejak tahun 2004 te­lah memuluskan langkahnya pada tahun 2008 untuk mendapat kan kredit lebih besar lagi, yaitu sebesar Rp 500 juta. Dengan jangka wak­tu pengembaliannya 12 bulan, kredit berbunga 18% ini rencananya akan diarahkan kepada empat aliran modal: membeli barang jadi

12_baLi_OKE.indd 142 12/3/08 10:00:06 AM

Page 7: Tambang Uang Gamelan Tihingan

143

Tambang Uang Gamelan Tihingan

yang siap dijual, membeli bahan baku dan kayu yang akan diolah lagi oleh tenaga kerjanya menjadi barang jadi, membeli barang se­diaan bahan baku dan kayu yang disimpan di rumah dan siap un­tuk dijual, dan sebagai uang muka

pembelian tembaga untuk pengepul. “Sekali pembelian, kita bisa kasih Rp 50 juta,” jelas Sumandi.

Karena sudah lama mengenal Sumandi dan pembayaran ang­suran kreditnya dianggap baik, pada September 2008 Bank BPD menawarkan kredit lagi sebesar Rp 500 juta hasil kerja sama antara Kementerian Lingkungan Hidup dan BPD Bali. Kredit ini harus digu­nakan seluruhnya untuk pengendalian kelestarian lingkungan. “Ren­cananya kredit ini akan dipergunakan untuk membuat cerobong asap pada ruang peleburan,” ungkap Sumandi sambil menunjuk lokasi peleburan tersebut. “Ia juga harus menyiapkan berbagai perlengkap­an keselamatan kerja seperti helm, sepatu bot, dan sarung tangan bagi pekerjanya,” tambah Gusde. Meskipun kredit telah dikeluarkan,

Selalu menjaga mutu dari setiap karya gamelan yang dibuatnya. Itulah prinsip pertama yang dijalankan Sumandi.

12_baLi_OKE.indd 143 12/3/08 10:00:11 AM

Page 8: Tambang Uang Gamelan Tihingan

144

tetapi karena masih baru saat dikunjungi, belum terlihat tanda­tanda cerobong asap tersebut akan dibangun.

Menurut Sumandi, modal yang dikeluarkan memang besar, tetapi usaha pembuatan gamelan ini sebenarnya memiliki tingkat ke­untungan yang masih jauh lebih baik dibanding usaha lain, semisal bertani. “Seandainya saya punya sawah pun dengan tingkat keun­tungan saat ini hanya 10%, tentu saya tidak akan tertarik,” ujarnya. Tingkat keuntungan pembuatan gamelan untuk pasar lokal saja bisa mencapai 30% dari harga pokok produksinya. Sedangkan untuk pasar luar negeri, pihak hotel yang memesannya menaikkan harga sekitar 45%. Dengan rata­rata penjualan tahun 2008 yang mencapai Rp 125 juta per bulan, penjualan melalui hotel ini berkontribusi kira­

Berkat kegigihan dan keuletannya, kredit berbunga 16% tersebut berhasil dilunasinya hanya dalam tempo kurang dari 12 bulan, meskipun jangka waktu yang diberikan 36 bulan. “Utang kan beban. Kalau bisa cepat lunas lebih baik,” prinsip Sumandi.

kira 40% terhadap omset. “Saya sebenarnya bisa mendapatkan keun­tungan lebih tinggi lagi dibanding yang lain sebab peleburan kan saya lakukan sendiri,” jelas Sumandi.

Kiat UsahaKeberhasilan Sumandi dalam menjalankan usahanya ini tak lepas dari prinsip­prinsip yang dipegangnya dengan teguh. Prinsip yang tidak cuma berada di awang­awang, tetapi diterapkannya pada hal­hal yang sangat kecil. Debu pun bagi Sumandi tidak boleh terbuang de ngan percuma. “Debu dari hasil peleburan saya simpan. Pada wak­tu senggang dan tidak terlalu banyak kerjaan, debu sebanyak dua koli saya bawa ke tukang untuk diayak. Debu keluar, yang tersisa

12_baLi_OKE.indd 144 12/3/08 10:00:11 AM

Page 9: Tambang Uang Gamelan Tihingan

145

Tambang Uang Gamelan Tihingan

tinggal perunggunya sebanyak dua hingga tiga kilogram. Lumayan kan?” tutur Sumandi.

Selalu menjaga mutu dari setiap karya gamelan yang dibuatnya. Itulah prinsip pertama yang dijalankannya. Diakui Sumandi, ia tak segan­segan terjun langsung mengawasi proses pembuatan gamelan. Dimulai dari pemilihan bahan baku seperti tembaga, tidak sedikit pe­masok tembaga mencoba melakukan kecurangan. “Kadang­kadang besi dimasukkan dalam rongsokan tembaga agar terlihat lebih berat saat ditimbang. Kami kan tidak tahu. Kalau dilebur, hasilnya akan rusak,” terang Sumandi. “Saya juga kadang­kadang masih keco­longan,” lanjutnya. Prinsip kehati­hatian saat awal proses produksi sa ngat ditekankan sekali baginya. Pada bagian akhir produksi pun, yaitu proses pelarasan suara, pengerjaannya pun masih dilakukan sendiri oleh orang tua dan sesekali oleh Sumandi sehingga kualitas gamelan yang dihasilkan selalu terjaga dengan baik.

Prinsip kedua, melayani pelanggan dengan baik. Terhadap pembeli bahan baku perunggu miliknya, Sumandi selalu siap me­layani meskipun mereka belum memiliki uang untuk membelinya. “Saya dekati mereka dari pintu ke pintu, sambil menanyakan kon­disi dan alasan mereka jika terlihat tidak bekerja. Kalau mereka men­jawab, ada pekerjaan tetapi tidak ada perunggu, maka saya persila­kan mereka mengambil dulu perunggunya,” jelasnya. Bagi Sumandi jika mereka sudah mau bekerja saja itu sudah cukup, karena sudah ada pengepul yang siap membeli. Terhadap pembeli langsung pun Sumandi memberikan garansi untuk kualitas gamelan karyanya. Ia siap dan segera datang memperbaiki jika ada gamelan buatannya mengalami penurunan kualitas.

Ketiga, menjaga hubungan dan kedekatan dengan karyawan. Prinsip ini sebenarnya merupakan perwujudan dari pandangannya bahwa dalam bekerja dan berbisnis, Sumandi tidak mengutamakan keuntungan. Keuntungan baginya merupakan ekses saja dari sikap hidupnya yang berlandaskan rasa ingin berbagi kepada orang ba­nyak. Melihat orang lain senang sudah cukup membuat hatinya ba­hagia. Baginya, ini suatu hal yang tidak dapat diukur dengan apa

12_baLi_OKE.indd 145 12/3/08 10:00:11 AM

Page 10: Tambang Uang Gamelan Tihingan

146

pun. Jika ada keluarga, tetangga, atau karyawan yang sakit atau me­ninggal, Sumandi segera membantu tanpa menunggu mereka minta tolong. “Biasanya saya memberikan satu hingga dua liter beras untuk mereka,” tuturnya.

Keempat, membina hubungan yang baik dengan masyarakat dan sesama perajin. “Di Desa Tihingan semuanya sudah seperti saudara dan dekat sekali. Jadi, kalau kita taruh motor sembarangan pun tidak akan ada yang mengambil,” papar Sumandi setengah bercanda. ”Ka­lau ada pembeli yang sulit ditagih, berita ini akan segera menyebar. Ada saja sesama perajin yang akan memberi tahu. Jadi di antara sesa­ma perajin telah terjalin hubungan yang baik dan cenderung saling membantu jika ada rekannya yang mengalami kesulitan,” tambah Sumandi

Kelima, adanya kreativitas dan kemampuan melihat peluang agar seluruh barang dapat dimanfaatkan menjadi bisnis. Kedua fak­tor ini telah dimiliki oleh Sumandi. Gamelan yang menurut perajin lain sudah kuno dan akan dilebur lagi, di tangan Sumandi ternyata masih bisa menjadi tambang uang yang menguntungkan. Sumandi hanya perlu mengolah sedikit saja. Dengan memiliki ja ringan pasar hingga ke luar negeri gamelan tersebut menjadi satu pilihan yang disukai. Kenyataannya pembeli luar negeri tidak terlalu memperha­tikan kualitas suaranya. Mereka membeli karena menyukai bentuk gamelan yang unik dan antik. Kejelian inilah yang tidak dimiliki oleh perajin lain.

Sumandi menjalankan bisnisnya secara hati­hati dan prihatin “Meskipun tahu pasar, jika tidak punya modal, tetap tidak bisa jalan,” tutur Sumandi. Ia sadar betul pentingnya perbankan dalam memban­tu permodalannya. ”Bagi saya, kredit bank tidak boleh main­main. Harus sudah mempersiapkan bagaimana melunasinya. Keuntungan usaha harus sudah disisihkan untuk menyicil kredit. Jangan terpikir untuk berganti­ganti mobil atau beli rumah. Yang penting investasi jalan. Jadinya ya lancar­lancar saja,” tuturnya sedikit memberi kiat. ”Saya tidak suka foya­foya, pulang kerja tidak ke mana­mana lagi. Pola hidup saya adalah prihatin. Meskipun teman­teman banyak

12_baLi_OKE.indd 146 12/3/08 10:00:11 AM

Page 11: Tambang Uang Gamelan Tihingan

147

Tambang Uang Gamelan Tihingan

yang meminta saya ganti mobil tetapi bagi saya yang penting bisa jalan,” tambah Sumandi yang tetap setia menggunakan mobil Ka­rimun sebagai kendaraan operasionalnya.

Sebenarnya masih banyak cita­cita yang ingin diraihnya, apalagi setelah bisnis usahanya berkembang seperti sekarang ini. “Saya ingin memperbesar usaha. Tanah yang di pinggir jalan bypass rencananya akan saya bangun showroom. Saya juga ingin membuat miniatur ga­melan, tetapi saya belum bisa mendapatkan suara yang selaras,” tu­tur Sumandi bersema ngat. Harapan lainnya adalah adanya generasi penerus untuk usaha yang dijalankannya. Meskipun tidak ada kata pensiun baginya, tetapi ia sadar betul perlu adanya estafet kepemim­pinan. Ia menaruh harapan besar terhadap anak keduanya yang seka­rang masih duduk di kelas 6 SD, yaitu I Made Kusuma Yoga. Melihat kesehariannya, ia menduga anaknya tersebut memiliki minat besar terhadap kesenian.

Dengan tekad yang kuat, terwujudnya cita­cita itu ha nyalah ma­salah waktu saja baginya. “Bekerja bagi saya merupakan persembah­an untuk Yang Mahakuasa, dengan memberikan yang terbaik bagi orang banyak,” tutur Sumandi mengakhiri wawancara. Bila Tuhan sudah menghendaki sesuatu terhadap hamba­Nya tidak ada apa pun yang dapat menghalangi. [] erdion

12_baLi_OKE.indd 147 12/3/08 10:00:12 AM