Tambak kepiring bakau

of 22 /22
Disusun oleh : Nita Habibah Jurusan : Teknologi Pengelolaan Sumber Daya Perairan Nrp : 50125210829 TAMBAK

Embed Size (px)

Transcript of Tambak kepiring bakau

  1. 1. Disusun oleh : Nita Habibah Jurusan : Teknologi Pengelolaan Sumber Daya Perairan Nrp : 50125210829 TAMBAK
  2. 2. Pengertian Tambak Definisi tambak atau kolam menurut Biggs et al. (2005) adalah badan air yang berukuran 1 m2 hingga 2 ha yang bersifat permanen atau musiman yang terbentuk secara alami atau buatan manusia. Tambak dalam perikanan adalah kolam buatan, biasanya di daerah pantai, yang diisi air dan dimanfaatkan sebagai sarana budidaya perairan (akuakultur). Hewan yang dibudidayakan adalah hewan air, terutama ikan, udang, serta kerang. Penyebutan "tambak" ini biasanya dihubungkan dengan air payau atau air laut. Kolam yang berisi air tawar biasanya disebut kolam saja atau empang. Kondisi dasar tambak merupakan suatu keadaan fisik dasar tambak beserta proses yang terjadi di dalamnya baik yang menyangkut biologi, kimia, fisika maupun ekologi yang secara langsung maupun tidak langsung ikut berpengaruh pada kehidupan udang maupun organisme lainnya dalam suatu keterkaitan ekosistem perairan tambak.
  3. 3. Pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol (UU No. 31/ 2004). Jenis-jenis tambak yang ada di Indonesia meliputi: tambak intensif, tambak semi intensif, tambak tradisional dan tambak organik Hewan yang dibudidayakan dalam tambak adalah
  4. 4. Wanamina (Silvofishery) Silvofishery atau sering disebut sebagai wanamina adalah suatu bentuk kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya tambak air payau dengan pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Konsep wanamina ini dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan dengan input yang rendah.Fitzgerald (1997) menyatakan bahwa wanamina bertujuan untuk konservasi dan memanfaatkan sumberdaya hutan mangrove serta perairannya. Dengan adanya wanamina tersebut diharapkan peran hutan mangrove dapat terjaga serta kerusakannya dapat dicegah. Model wanamina yang banyak diterapkan di Indonesia adalah model empang parit dan komplangan (Santoso et al., 2010). Wanamina merupakan pola pendekatan teknis yang cukup baik, yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove. Sistem ini memiliki teknologi sederhana, dapat dilakukan tanpa merusak tanaman bakau yang ada dan dapat dilakukan sebagai kegiatan sela (antara), sambil berusaha menghutankan kembali kawasan jalur hijau di
  5. 5. Wanamina Pola Empang Parit (Bengen, 2002) Fitzgerald dan William (2002) menyatakan bahwa model wanamina pang parit memberikan hasil terbaik terhadap upaya reforestasi. Pada model juga dapat dilakukan pemeliharaan berbagai jenis ikan, udang dan kepiting.
  6. 6. namina Pola Empang Parit Disempurnakan (Bengen, 2002) Untuk memelihara ikan/udang kanal berukuran lebar 3-5 m dan kedalaman sekitar 40-80 cm dari muka pelataran digunakan modifikasi disain dasar tersebut, maka luasan perairan terbuka yang dapat digunakan untuk memelihara ikan/udang dapat disesuaikan hingga mencapai 50%. Berbagai jenis ikan, seperti bandeng, kerapu lumpur, kakap putih dan baronang, serta udang dan kepiting bakau, dapat dipelihara secara intensif di kanal tersebut
  7. 7. Keuntungan menggunakan Wanamina: Keuntungan: a. Cahaya matahari yang menyinari cukup baik b. Biaya penyempurnaan empang parit dapat dilaksanakan secara bertahap setiap pemeliharaannya Hambatan: a. Pemeliharaan ikan kurang terintegrasi (petak pemeliharaan terpisah dengan petak mangrove) b. Lebar parit relatif kecil sehingga cahaya matahari yang menyinari tidak cukup banyak.
  8. 8. Sistem Komplangan (Selang-seling) Sistem komplangan merupakan suatu sistem silvofishery dengan desain tambak berselang-seling atau bersebelahan dengan lahan yang akan ditanami mangrove. Model ini juga dapat menjaga kelimpahan keanekaragaman sumberdaya alam hayati. Wanamina Pola Komplangan (Bengen, 2002)
  9. 9. Dari beberapa penjelasan tersebut, diketahui bahwa silvofishery sistem empang parit dan komplangan dapat diterapkan untuk menjaga kelestarian dan fungsi kawasan mangrove dengan kegiatan budidaya perikanan tetap dapat berlangsung di areal tersebut. Keuntungan: a. Cahaya matahari yang menyinarinya cukup baik; b. Dapat diterapkan budidaya semi intensif; c. Perkembangan hutan dan ikan tidak saling menghambat. Hambatan: a. Membutuhkan biaya investasi lebih tinggi untuk pembuatan komplang. Selanjutnya menurut Fitzgerald and William (2002) beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam desain kolam silvofishery adalah sebagai berikut: a) Rasio antara mangrove area dan area air kolam. b) Rasio antara area air dan panjang tanggul kolam (menunjukan luas area produksi dengan nilai ongkos investasi). c) Rasio lebar pintu untuk memasukan benih alam dan flushing tambak (50 cm/ha). d) Tidal flushing rate dan tidal flushing range. e) Mengalirkan air pada kolam ketika air stagnan, yaitu terjadi kadar oksigen rendah
  10. 10. Manfaat dan Keuntungan Tambak Wanamina Beberapa manfaat atau kelebihan dari tambak ramah lingkungan diantaranya (Sualia et al., 2010): 1) Biaya dan resiko produksi jauh lebih rendah dan dapat dioperasikan dalam skala kecil (rumah tangga); 2) Dapat menghasilkan produksi sampingan dari hasil tangkapan alam Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan menerapkan silvofishery, yaitu (Sualia et al., 2010): 1) Kontruksi pematang tambak akan menjadi kuat karena akan terpegang akar- akar mangrove dari pohon mangrove yang ditanam di sepanjang pematang tambak dan pematang akan nyaman dipakai para pejalan kaki karena akan dirimbuni oleh tajuk tanaman mangrove. 2) Petambak dapat mengunakan daun mangrove terutama jenis Rhizophora sp, sebagai pakan kambing sedangkan jenis Avicennia sp, Bruguiera sp,
  11. 11. A.BUDIDAYA UDANG Budidaya udang windu di Indonesia dimulai pada awal tahun 1980-an, dan mencapai puncak produksi pada tahun 1985-1995. Sehingga pada kurun waktu tersebut udang windu merupakan penghasil devisa terbesar pada produk perikanan. Selepas tahun 1995 produksi udang windu mulai mengalami penurunan. B. TEKNIS BUDAYA Budidaya udang windu meliputi beberapa faktor, yaitu : 1. Syarat Teknis Lokasi yang cocok untuk tambak udang yaitu pada daerah pantai yang mempunyai tanah bertekstur liat atau liat berpasir yang mudah dipadatkan sehingga mampu menahan air dan tidak mudah pecah. Air yang baik yaitu air payau dengan salinitas 0-33 ppt dengan suhu optimal 26 300C dan bebas dari pencemaran bahan kimia berbahaya. Mempunyai saluran air masuk/inlet dan saluran air keluar/outlet yang terpisah. Mudah mendapatkan sarana produksi yaitu benur, pakan, pupuk , obat-obatan dan lain-lain. Pada tambak yang intensif harus tersedia aliran listrik dari PLN atau mempunyai Generator sendiri.
  12. 12. 2. Tipe Budidaya. Berdasarkan letak, biaya dan operasi pelaksanaannya, tipe budidaya dibedakan menjadi : Tambak Ekstensif atau tradisional. Petakan tambak biasanya di lahan pasang surut yang umumnya berupa rawa bakau. Ukuran dan bentuk petakan tidak teratur, belum meggunakan pupuk dan obat-obatan dan program pakan tidak teratur. Tambak Semi Intensif. Lokasi tambak sudah pada daerah terbuka, bentuk petakan teratur tetapi masih berupa petakan yang luas (1-3 ha/petakan), padat penebaran masih rendah, penggunaan pakan buatan masih sedikit. Tambak Intensif. Lokasi di daerah yang khusus untuk tambak dalam wilayah yang luas, ukuran petakan dibuat kecil untuk efisiensi pengelolaan air dan pengawasan udang, padat tebar tinggi, sudah menggunakan kincir, serta program pakan yang baik.
  13. 13. 3. Benur Benur yang baik mempunyai tingkat kehidupan (Survival Rate/SR) yang tinggi, daya adaptasi terhadap perubahan lingkungan yang tinggi, berwarna tegas/tidak pucat baik hitam maupun merah, aktif bergerak, sehat dan mempunyai alat tubuh yang lengkap. Uji kualitas benur dapat dilakukan secara sederhana, yaitu letakkan sejumlah benur dalam wadah panci atau baskom yang diberi air, aduk air dengan cukup kencang selama 1-3 menit. Benur yang baik dan sehat akan tahan terhadap adukan tersebut dengan berenang melawan arus putaran air, dan setelah arus berhenti, benur tetap aktif bergerak.
  14. 14. 4. Pengolahan Lahan Pengolahan lahan, meliputi : Pengangkatan lumpur. Setiap budidaya pasti meninggalkan sisa budidaya yang berupa lumpur organik dari sisa pakan, kotoran udang dan dari udang yang mati. Kotoran tersebut harus dikeluarkan karena bersifat racun yang membahayakan udang. Pengeluaran lumpur dapat dilakukan dengan cara mekanis menggunakan cangkul atau penyedotan dengan pompa air/alkon. Pembalikan Tanah. Tanah di dasar tambak perlu dibalik dengan cara dibajak atau dicangkul untuk membebaskan gas-gas beracun (H2S dan Amoniak) yang terikat pada pertikel tanah, untuk menggemburkan tanah dan membunuh bibit panyakit karena terkena sinar matahari/ultra violet. Pengapuran. Bertujuan untuk menetralkan keasaman tanah dan membunuh bibit-bibit penyakit. Dilakukan dengan kapur Zeolit dan Dolomit dengan dosis masing-masing 1 ton/ha. Pengeringan. Setelah tanah dikapur, biarkan hingga tanah menjadi kering dan pecah-pecah, untuk membunuh bibit penyakit. Perlakuan pupuk TON (Tambak Organik Nusantara). Untuk mengembalikan kesuburan lahan serta mempercepat pertumbuhan pakan alami/plankton dan menetralkan senyawa beracun, lahan perlu diberi perlakuan TON dengan dosis 5 botol/ha untuk tambak yang masih baik atau masih baru dan 10 botol TON untuk areal tambak yang sudah rusak. Caranya masukkan sejumlah TON ke dalam air, kemudian aduk hingga larut. Siramkan secara merata ke seluruh areal lahan tambak.
  15. 15. 5. Pemasukan Air Setelah dibiarkan 3 hari, air dimasukkan ke tambak. Pemasukan air yang pertama setinggi 10-25 cm dan biarkan beberapa hari, untuk memberi kesempatan bibit-bibit plankton tumbuh setelah dipupuk dengan TON. Setelah itu air dimasukkan hingga minimal 80 cm. Perlakuan Saponen bisa dilakukan untuk membunuh ikan yang masuk ke tambak. Untuk menyuburkan plankton sebelum benur ditebar, air dikapur dengan Dolomit atau Zeolit dengan dosis 600 kg/ha. 6. Penebaran Benur. Tebar benur dilakukan setelah air jadi, yaitu setelah plankton tumbuh yang ditandai dengan kecerahan air kurang lebih 30-40 cm. Penebaran benur dilakukan dengan hati-hati, karena benur masih lemah dan mudah stress pada lingkungan yang baru. Tahap penebaran benur adalah : Adaptasi suhu. Plastik wadah benur direndam selama 15 30 menit, agar terjadi penyesuaian suhu antara air di kolam dan di dalam plastik. Adaptasi udara. Plastik dibuka dan dilipat pada bagian ujungnya. Biarkan terbuka dan terapung selama 15 30 menit agar terjadi pertukaran udara dari udara bebas dengan udara dalam air di plastik. Adaptasi kadar garam/salinitas. Dilakukan dengan cara memercikkan air tambak ke dalam plastik selama 10 menit. Tujuannya agar terjadi percampuran air yang berbeda salinitasnya, sehingga benur dapat menyesuaikan dengan salinitas air tambak. Pengeluaran benur. Dilakukan dengan memasukkan sebagian ujung plastik ke air tambak. Biarkan benur keluar sendiri ke air tambak. Sisa benur yang tidak keluar sendiri, dapat dimasukkan ke tambak dengan hati-hati/perlahan.
  16. 16. 7. Pemeliharaan Pada awal budidaya, sebaiknya di daerah penebaran benur disekat dengan waring atau hapa, untuk memudahkan pemberian pakan. Sekat tersebut dapat diperluas sesuai dengan perkembangan udang, setelah 1 minggu sekat dapat dibuka. Pada bulan pertama yang diperhatikan kualitas air harus selalu stabil. Penambahan atau pergantian air dilakukan dengan hati-hati karena udang masih rentan terhadap perubahan kondisi air yang drastis. Untuk menjaga kestabilan air, setiap penambahan air baru diberi perlakuan TON dengan dosis 1 2 botol TON/ha untuk menumbuhkan dan menyuburkan plankton serta menetralkan bahan- bahan beracun dari luar tambak. Mulai umur 30 hari dilakukan sampling untuk mengetahui pekembanghan udang melalui pertambahan berat udang. Udang yang normal pada umur 30 hari sudah mencapai size (jumlah udang/kg) 250-300. Untuk selanjutnya sampling dilakukan tiap 7-10 hari sekali. Produksi bahan organik terlarut yang berasa dari kotoran dan sisa pakan sudah cukup tinggi, oleh karena itu sebaiknya air diberi perlakuan kapur Zeolit setiap beberapa hari sekali dengan dosis 400 kg/ha. Pada setiap pergantian atau penambahan air baru tetap diberi perlakuan TON. Mulai umur 60 hari ke atas, yang harus diperhatikan adalah manajemen kualitas air dan kontrol terhadap kondisi udang. Setiap menunjukkkan kondisi air yang jelek (ditandai dengan warna keruh, kecerahan rendah) secepatnya dilakukan pergantian air dan perlakuan TON 1-2 botol/ha. Jika konsentrasi bahan organik dalam tambak yang semakin tinggi, menyebabkan kualitas air/lingkungan hidup udang juga semakin menurun, akibatnya udang mudah mengalami stres, yang ditandai dengan tidak mau makan, kotor dan diam di sudut-sudut tambak, yang dapat menyebabkan terjadinya kanibalisme.
  17. 17. 8. Panen. Udang dipanen disebabkan karena tercapainya bobot panen (panen normal) dan karena terserang penyakit (panen emergency). Panen normal biasanya dilakukan pada umur kurang lebih 120 hari, dengan size normal rata-rata 40 50. Sedang panen emergency dilakukan jika udang terserang penyakit yang ganas dalam skala luas (misalnya SEMBV/bintik putih). Karena jika tidak segera dipanen, udang akan habis/mati. Udang yang dipanen dengan syarat mutu yang baik adalah yang berukuran besar, kulit keras, bersih, licin, bersinar, alat tubuh lengkap, masih hidup dan segar. Penangkapan udang pada saat panen dapat dilakukan dengan jala tebar atau jala tarik dan diambil dengan tangan. Saat panen yang baik yaitu malam atau dini hari, agar udang tidak terkena panas sinar matahari sehingga udang yang sudah mati tidak cepat menjadi merah/rusak.
  18. 18. C. Pakan Udang. Pakan udang ada dua macam, yaitu pakan alami yang terdiri dari plankton, siput-siput kecil, cacing kecil, anak serangga dan detritus (sisa hewan dan tumbuhan yang membusuk). Pakan yang lain adalah pakan buatan berupa pelet. Pada budidaya yang semi intensif apalagi intensif, pakan buatan sangat diperlukan. Karena dengan padat penebaran yang tinggi, pakan alami yang ada tidak akan cukup yang mengakibatkan pertumbuhan udang terhambat dan akan timbul sifat kanibalisme udang. Pelet udang dibedakan dengan penomoran yang berbeda sesuai dengan pertumbuhan udang yang normal.
  19. 19. 1. Umur 1-10 hari pakan 01 2. Umur 11-15 hari campuran 01 dengan 02 3. Umur 16-30 hari pakan 02 4. Umur 30-35 campuran 02 dengan 03 5. Umur 36-50 hari pakan 03 6. Umur 51-55 campuran 03 dengan 04 atau 04S. (jika memakai 04S, diberikan hingga umur 70 hari). 7. Umur 55 hingga panen pakan 04, jika pada umur 85 hari size rata-rata mencapai 50, digunakan pakan 05 hingga panen. Kebutuhan pakan awal untuk setiap 100.000 ekor adalah 1 kg, selanjutnya tiap 7 hari sekali ditambah 1 kg hingga umur 30 hari. Mulai umur tersebut dilakukan cek ancho dengan jumlah pakan di ancho 10% dari pakan yang diberikan. Waktu angkat ancho untuk size 1000-166 adalah 3 jam, size 166-66 adalah 2,5 jam, size 66-40 adalah 2,5 jam dan kurang dari 40 adalah 1,5 jam dari pemberian. Untuk meningkatkan pertumbuhan udang, perlu penambahan nutrisi lengkap dalam pakan. Untuk itu, pakan harus dicampur dengan VITERNA Plus dan POC NASA yang mengandung mineral-mineral penting, protein, lemak dan vitamin dengan dosis 5 cc/kg pakan untuk umur dibwah 60 hari dan setelah itu 10 cc/kg pakan hingga panen.
  20. 20. D. Penyakit. Beberapa penyakit yang sering menyerang udang adalah : 1.Bintik Putih. Penyakit inilah yang menjadi penyebab sebagian besar kegagalan budidaya udang. Disebabkan oleh infeksi virus SEMBV (Systemic Ectodermal Mesodermal Baculo Virus). 2.Insang Merah. Ditandai dengan terbentuknya warna merah pada insang. Disebabkan tingginya keasaman air tambak, sehingga cara mengatasinya dengan penebaran kapur pada kolam budidaya. Pengolahan lahan juga harus ditingkatkan kualitasnya. 3. Nekrosis. Disebabkan oleh tingginya konsentrasi bakteri dalam air tambak. Gejala yang nampak yaitu adanya kerusakan/luka yang berwarna hitam pada alat tubuh, terutama pada ekor. Cara mengatasinya adalah dengan penggantian air sebanyak-banyaknya ditambah perlakuan TON 1-2 botol/ha, sedangkan pada udang dirangsang untuk segera melakukan ganti kulit (Molting) dengan pemberian saponen atau dengan pengapuran.