TALKS · 2020. 5. 31. · dan pembakaran yang mengakibatkan banyak korban meninggal serta tidak...

8
K-JAM KELOMPOK KAJIAN JUMAT MALAM #SOSPOLHUM TALKS PG. 2 PENGANTAR PG. 3 DISKUSI ULASAN: REFLEKSI 22 TAHUN PENEGAKAN HAM PASCA REFORMASI BEKA ULUNG HAPSARA KOMISIONER KOMNAS HAM REPUBLIK INDONESIA MODERATOR: MASNUN (AKTIVIS K-JAM) Jumat, 22 Mei 2020 21.00 WIB – 00.00 WIB

Transcript of TALKS · 2020. 5. 31. · dan pembakaran yang mengakibatkan banyak korban meninggal serta tidak...

Page 1: TALKS · 2020. 5. 31. · dan pembakaran yang mengakibatkan banyak korban meninggal serta tidak dapat diidentifikasi. Untuk kasus Penghilangan Paksa 1997 - 1998, Komnas HAM mencatat

K-J

AM

K

ELO

MP

OK

KA

JIA

N J

UM

AT

MA

LAM

#SOSPOLHUM

TALKS

PG. 2

PENGANTAR

PG. 3

DISKUSI

ULASAN:

REFLEKSI 22 TAHUN PENEGAKAN

HAM PASCA REFORMASI

BEKA ULUNG HAPSARA

KOMISIONER KOMNAS HAM REPUBLIK INDONESIA

MODERATOR:

MASNUN (AKTIVIS K-JAM)

Jumat, 22 Mei 2020

21.00 WIB – 00.00 WIB

Page 2: TALKS · 2020. 5. 31. · dan pembakaran yang mengakibatkan banyak korban meninggal serta tidak dapat diidentifikasi. Untuk kasus Penghilangan Paksa 1997 - 1998, Komnas HAM mencatat

PENGANTAR

PEMBUKA MODERATOR

Reformasi 1998 menjanjikan lahirnya Indonesia baru, yang lebih

berpihak pada kemanusiaan. 22 tahun berlalu, pertanyaan – pertanyan

seputar persoalan penuntasan pelanggaran hak asasi manusia di

Republik ini seakan tidak pernah surut. Kejadian semanggi, kerusuhan

mei 98, penghilangan paksa, kasus talangsari lampung timur, dan

beberapa peristiwa lainnya, hampir tak terlihat ujung penyelesaiannya.

Ketidak jelasan tersebut menyisakan tanda tanya besar akan komitmen

dan keseriusan Pemerintah dalam menuntaskan kasus – kasus

pelanggaran hak asasi manusia, yang menyertai perjalanan panjang

sejarah demokrasi bangsa kita.

Diskusi Jum’at malam kali ini, membicarakan tentang sejauh mana

proses penyelesaian kasus – kasus pelanggaran hak asasi manusia

masa lalu yang ada di Indonesia, sebagai bahan refleksi bersama.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dibentuk melalui Keppres Nomor

50 Tahun 1993. Menurut UU Nomor 39 Tahun 1999 Komnas HAM

adalah lembaga mandiri setingkat dengan lembaga negara lainnya

yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan

pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.

Selain itu, Komnas HAM juga memiliki kewenangan dalam melakukan

penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat, sebagaimana yang

diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2000.

Seiring berjalannya waktu, beberapa tambahan instrumen nasional dan

internasional, turut pula mendukung Komnas HAM dalam

melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai lembaga formal negara

yang fokus dalam memberikan perlindungan dan penegakan nilai –

nilai kemanusiaan.

Kita masih memiliki kasus

pelanggaran berat HAM masa

lalu. Tidak mudah ini karena

masalah pembuktian. Harusnya

sudah selesai saat peristiwa

terjadi. Tapi kami berkomitmen

Menyelesaikan kasus HAM.

# PakJokowi_DebatPilpres1

Page 3: TALKS · 2020. 5. 31. · dan pembakaran yang mengakibatkan banyak korban meninggal serta tidak dapat diidentifikasi. Untuk kasus Penghilangan Paksa 1997 - 1998, Komnas HAM mencatat

PENGANTAR NARASUMBER

GAMBARAN UMUM

KOMNAS HAM mencatat sedikitnya telah

menyelesaikan penyelidikan untuk 12 kasus

pelanggaran berat hak asasi manusia.

1. Peristiwa 1965

2. Penembakan Misterius 1982 – 1985

3. Peristiwa Talangsari Lampung Timur 1989

4. Kasus Trisakti, Semanggi 1 & Semanggi 2

5. Kerusuhan Mei 1998

6. Penghilangan Paksa 1997 - 1998

7. Peristiwa Wasior 2001 & Wamena 2003

8. Kasus Dukun Santet Banyuwangi 1998

9. Kasus Simpang KKA Aceh 1999

10. Kasus Jambo Keupok Aceh 2003

11. Kasus Rumoh Geudong 1989 – 1998

12. Kasus Paniai Papua 2014

Selama pasca reformasi, berkas hasil penyelidikan

Komnas HAM akan ke-12 kasus tersebut, telah

diserahkan ke Jaksa Agung. Menyisakan satu kasus

pelanggaran HAM berat di Bumi Flora Aceh Tengah

yang masih belum selesai proses penyelidikannya.

Perjalanan dokumen penyelidikan ini dari tahun

2002 sampai dengan sekarang, mengalami stagnansi

dan bolak – balik antara Komnas HAM dan Jaksa

Agung, disertai petunjuk pengembalian, kurang

syarat formil dan materiil.

KONDISI KORBAN

Korban terdampak pelanggaran HAM berat untuk Peristiwa 1965;

umumnya sudah berusia lanjut dan hidup berkekurangan,

mendapatkan stigma negatif dari masyarakat atau aparat, serta

kerap mendapatkan perlakuan diskriminatif, gangguan, ancaman,

dan intimidasi.

Selain itu hak sosial ekonomi, seperti penghidupan yang layak,

mendapatkan pekerjaan, jaminan sosial kesehatan dan

pendidikan juga belum terjamin. Keadaan serupa juga dialami

korban pada kasus Talangsari Lampung Timur, meskipun

dikemudian hari keadaannya membaik dengan pembangunan

infrastruktur desa dan mendapatkan kesetaraan layanan publik

dari Pemerintah daerah.

Kondisi berbeda dialami untuk korban peristiwa Kerusuhan Mei

1998 dan Penghilangan Paksa 1997 – 1998, banyak yang sudah

tidak dapat dikenali atau tidak diketemukan. Pada Kerusuhan Mei

1998, telah terjadi tindakan kekerasan, pemerkosaan, penjarahan,

dan pembakaran yang mengakibatkan banyak korban meninggal

serta tidak dapat diidentifikasi. Untuk kasus Penghilangan Paksa

1997 - 1998, Komnas HAM mencatat setidaknya 13 orang aktivitis

Pro Demokrasi dinyatakan hilang.

Penanganan dan pemulihan korban pelanggaran HAM masih

terbatas pada pelayanan medis dan trauma healing psyco social

dengan didampingi oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Belum seberapa jika dibandingkan dengan harapan korban akan

adanya kompensasi materi yang dirampas, pemulihan nama baik,

permintaan maaf kepada korban dan keluarga korban, tidak

adanya perlakuan diskriminatif, pengungkapan kebenaran akan

peristiwa, serta jaminan peristiwa tidak berulang.

“Ruang lingkup kewenangan Komnas HAM dalam kasus – kasus pelanggaran HAM berat hanya sebatas

penyelidikan, proses penyidikan adalah wewenang Jaksa Agung”

Page 4: TALKS · 2020. 5. 31. · dan pembakaran yang mengakibatkan banyak korban meninggal serta tidak dapat diidentifikasi. Untuk kasus Penghilangan Paksa 1997 - 1998, Komnas HAM mencatat

LANGKAH KOMNAS HAM

Pengertian pelanggaran berat hak asasi manusia adalah

berkenaan dengan materi yang bersifat haknya tidak dapat

dikurangkan dalam keadaan apapun, dan telah memenuhi unsur

sistemik serta berdampak meluas.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, peran Komnas HAM

dalam pengungkapan kasus pelanggaran HAM berat adalah

melakukan penyelidikan. Tugas Komnas HAM dalam proses

penyelidikan adalah merekonstruksi peristiwa dan menemukan

bukti permulaan yang cukup untuk bisa mendukung rekonstruksi,

serta menemukan pihak yang diduga terlibat. Apabila telah

memenuhi persyaratan formil dan materiil, berkas penyelidikan

diproses lebih lanjut oleh Jaksa Agung ke tahapan penyidikan dan

penuntutan.

Terhadap kasus yang terjadi sebelum berlakunya UU Nomor 26

Tahun 2000, DPR berwenang untuk mengusulkan pembentukan

pengadilan HAM Adhoc melalui Keputusan Presiden. Sedangkan

untuk kasus yang terjadi setelah berlakunya UU tersebut, Presiden

berwenang secara langsung membentuk pengadilan HAM.

Ketentuan tersebut hanya untuk pembentukan pengadilan HAM,

untuk substansi hukum tetap mengacu pada hasil penyelidikan

dan penyidikan.

Dalam sejarah penegakan hak asasi manusia di Indonesia, sudah

ada 3 kali pengadilan kasus pelanggaran HAM berat, yaitu:

peristiwa Abepura di Papua, Tanjung Priok di Jakarta, dan kasus

Timor Timur pasca jajak pendapat; sekalipun ketiga persidangan

tersebut belum bisa menjerat pelaku utama.

Dalam menjalankan tugas penyelidikannya, Komnas HAM

menghadapi beberapa tantangan seperti: permintaan

mendatangkan saksi untuk dimintai keterangan yang tidak

bersifat wajib; artinya saksi yang diundang dapat untuk tidak

menghadiri pemeriksaan tanpa dikenai sanksi, serta pemenuhan

alat bukti permulaan yang masih bergantung pada komitmen

positif dari pihak/instansi terkait, tidak bisa sampai menyita

dokumen yang dianggap berhubungan dengan kasus. Kekuatan

mengikat dalam pemeriksaan saksi dan pemenuhan alat bukti,

sepenuhnya dimiliki oleh Jaksa Agung pada proses penyidikan.

Selain itu tantangan lain yang dihadapi dalam proses penyelidikan,

lebih pada paradigma teknis hukum pembuktian, dimana

permintaan Jaksa Agung diluar jangkauan kemampuan Komnas

HAM.

Misalnya pada kasus peristiwa Semanggi 1 dan Semanggi 2; Jaksa

Agung meminta bukti autopsi atau visum para korban, dokumen

uji balistik peluru yang digunakan aparat sehingga menyebabkan

korban meninggal, dan semuanya wajib dalam bentuk dokumen

asli bukan berupa fotokopi.

Permintaan tersebut dinilai sulit untuk terpenuhi, bayangkan saja

menurut Permenkes Nomor 269 Tahun 2008 pasal 8 ayat 1,

catatan rekam medis setelah 5 tahun dapat dimusnahkan oleh

pihak rumah sakit.

Berdasarkan hambatan – hambatan inilah kemudian

memunculkan pandangan bahwa penuntasan 12 kasus

pelanggaran HAM berat di Republik ini pasca 22 tahun reformasi,

tidak mengalami kemajuan.

Selain jalur pengadilan (Yudisial) tersebut diatas, penyelesaian

kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia dapat pula melalui

mekansime rekonsiliasi (Non Yudisial), terutama untuk kasus

dimasa lalu yang dirasa kurang cukup alat bukti. Banyak pro

kontra menyertai, beberapa pihak merasa bahwa penyelesaian

Non Yudisial tidak serta merta dapat menggugurkan mekanisme

Yudisial, begitu pula sebaliknya.

Salah satu alternatif penyelesaian Non Yudisial adalah dengan

pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang

sebenarnya sudah pernah dimiliki negara melalui UU Nomor 27

Tahun 2004; namun kemudian dibatalkan oleh Mahkamah

Konstitusi pada tahun 2006, melalui Surat Keputusan Nomor

006/PUUIV/2006. Banyak pengamat menganggap pembatalan

tersebut bersifat ultra petita (memutus perkara melebihi yang

dimohonkan).

Wacana penggagasan kembali Undang – Undang Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi tengah digulirkan oleh Pemerintah.

Semoga Undang – Undang tersebut nantinya lebih fokus dalam

pengungkapan kebenaran dan pemulihan para korban, bukan

malah dijadikan alat untuk menghadirkan Impunitas.

Harapan Komnas HAM kepada Pemerintah adalah adanya

kemauan dan upaya serius untuk menuntaskan kasus pelanggaran

HAM berat di masa lalu. Jika ingin ditempuh melalui mekanisme

Yudisial, maka Presiden harus memerintahkan Jaksa Agung untuk

segera melaksanakan proses penyidikan berdasarkan hasil

penyelidikan Komnas HAM. Dan jika seandainya penyelesaian Non

Yudisial yang dipilih, maka segera susun regulasi teknis

rekonsiliasinya agar Komnas HAM dapat bergerak sesuai koridor

hukum.

“Langkah – langkah penyelesaian kasus pelanggaran HAM, mengalami stagnansi karena tidak adanya

komitmen Pemerintah dalam penyelesaian”

Page 5: TALKS · 2020. 5. 31. · dan pembakaran yang mengakibatkan banyak korban meninggal serta tidak dapat diidentifikasi. Untuk kasus Penghilangan Paksa 1997 - 1998, Komnas HAM mencatat

DISKUSI

Q & A MATERI TANGGAPAN

Bang Robin Kenapa standar penyelesaian

pelanggaran HAM berat dengan

kewenangan Komnas HAM yang lebih

powerfull tidak diajukan untuk

dijadikan aturan perundang –

undangan ?

Kasus pelanggaran berat tidak mengenal masa kadaluarsa, jika

tidak selesai pada masa Pemerintahan sekarang maka akan

menjadi tanggung jawab Presiden berikutnya

Hambatan penyelesaian kasus pelanggaran berat menurut

Komnas HAM, tidak pada level UU. Permasalahan teknis

dilapangan pada saat proses penyelidikan justru lebih banyak

ditemukan, misalnya:

1. Retensi arsip visum yang dapat dimusnahkan setelah 5 tahun,

ada pada level Permenkes bukan pada UU.

2. Pemasalahan peng-arsipan dokumen administratif aparatur

Pemerintah bermasalah.

3. Permintaan keterangan kepada instansi/pihak tertentu yang

diduga terlibat dibeberapa kasus, cendurung menutup diri.

Sehingga malah menimbulkan permasalahan baru, pada saat

Komnas HAM memberikan kesimpulan dan rekomendasi

Cak Buchori Bagaimana paradigma Pemerintah

sekarang akan penegakan HAM ?

Komnas HAM menilai resiko politik masih sangat diperhitungkan

sebagai salah satu faktor dalam penyelesaian kasus pelanggaran

HAM berat, sebagai salah satu contoh pada kasus Penghilangan

Paksa. Usulan pembentukan pengadilan HAM adhoc, untuk kasus

penghilangan paksa 13 orang aktivis telah dikeluarkan oleh DPR RI

sejak tahun 2009. Akan tetapi sampai dengan sekarang

perkembangan penuntasan kasus tersebut masih belum jelas.

Bagaimana mekanisme penyelidikan

Komnas HAM, sampai Jaksa Agung

selalu menyampaikan tidak cukup alat

bukti ?

Standar penyelidikan Komnas HAM telah berhasil membawa tiga

kasus pelanggaran HAM berat ke pengadilan. Salah satunya

masalah Timor Timur, saat itu Gus Dur sebagai Presiden

mendesak Jaksa Agung untuk segera melakukan penyidikan dan

membawa ke pengadilan. Dengan standar penyelidikan yang

masih sama, seharusnya ke 12 kasus pelanggaran HAM berat

lainnya dapat ditingkatkan statusnya.

Page 6: TALKS · 2020. 5. 31. · dan pembakaran yang mengakibatkan banyak korban meninggal serta tidak dapat diidentifikasi. Untuk kasus Penghilangan Paksa 1997 - 1998, Komnas HAM mencatat

Pak Brodin Pemegang kekuasaan sekarang ini

adalah adalah produk dari reformasi,

apakah cita – cita reformasi akan

penegakan HAM dapat dinilai gagal ?

Konsolidasi politik tokoh reformis dalam mempengaruhi Presiden,

tidak cukup kuat untuk melawan pihak – pihak yang diduga

terlibat pelanggaran HAM berat. Misalnya kasus Kerusuhan 27 Juli

1996, PDIP yang berkuasa saat ini sekaligus menjadi korban

peristiwa tersebut, secara politik juga tidak cukup mampu untuk

mendorong penyelesaian.

Apakah benar korban peristiwa 1965

ter-diskrimasi jaminan sosial, ataukah

hanya permasalahan teknis data ?

Layanan sosial Pemerintah untuk korban terdampak pelanggaran

HAM, ada yang mengalami diskriminasi, dan ada pula yang hanya

sekedar masalah teknis data tidak tercatat.

Permasalahan kendala pemenuhan

dokumen alat bukti seperti pada

penjelasan diatas, sudahkah ada

langkah antisipasinya dari Komnas

HAM ?

Permasalahan pengadaan dokumen alat bukti akan teratasi jika

proses penyelidikan Komnas HAM dapat lebih dipercepat. Akan

tetapi mekanisme menduga apakah kasus tergolong pelanggaran

berat atau bukan, juga membutuhkan waktu. Kajian untuk menilai

apakah suatu peristiwa pelanggaran HAM memenuhi unsur

sistematis dan berdampak meluas, tidak bisa cepat.

Adakah cara lain dalam penyelesaian

kasus pelanggaran HAM yang

bersinggungan dengan kepentingan

besar untuk terselesaikan ?

Satu – satunya langkah paling efisien dalam penuntasan kasus

pelanggaran HAM yang bersinggungan dengan kepentingan lain

adalah melalui kebijakan Presiden sebagai Kepala Negara. Oleh

karena itu Komnas HAM telah mengeluarkan dua rekomendasi

kepada Presiden:

1. Perintahkan Jaksa Agung untuk segera melanjutkan proses

hukum berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM

2. Agar menggunakan kewenangannya untuk Menyusun

mekanisme penyelesaian Non Yudisial.

Penyelesaian Non Yudisial tidak serta merta langsung dengan

rekonsiliasi, harus memenuhi beberapa persyaratan terlebih

dahulu; antara lain: pengungkapan fakta kebenaran, mekanisme

kompensasi dan rehabilitasi, serta jaminan ketidak berulangan.

Sub Commandante Mario Bagaimana hasil pertemuan Komnas

HAM dengan Presiden ?

Juni 2018, Enam komisioner Komnas HAM menemui Presiden

bersama dengan LPSK, sedangkan Presiden ditemani oleh M

Prasetyo (Jaksa Agung), Muldoko (Kepala KSP), Y Laoli

(Menkumham), dan Pratikno (Mensesneg).

Inti pembicaraan penyelesaian pelanggaran HAM berat, meliputi

dua rekomendasi Komnas HAM seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya.

Semakin lama Jaksa Agung tidak melanjutkan hasil penyelidikan

Komnas HAM, maka alat bukti semakin sulit diperoleh serta

diklarifikasi, dan hak – hak korban semakin susah untuk

dipulihkan.

Saran Komnas HAM kepada Presiden pada waktu itu untuk kasus

yang diprioritaskan agar dapat dituntaskan terlebih dahulu adalah

Wasior 2001 & Wamena 2003. Menurut Komnas HAM, kenapa

memilih kasus tersebut; antara lain:

1. Peristiwa yang masih tidak terlalu lama, sehingga lebih mudah

untuk mendapatkan bukti pendukung kasus.

2. Karena kejadian setelah diterapkan UU Nomor 26 Tahun 2000,

maka Presiden secara langsung dapat membentuk pengadilan

HAM tanpa persetujuan DPR RI

3. Pemerintah melalui Menteri Luar Negeri (Retno Marsudi)

menyampaikan di sidang PBB bahwa akan menyelesaikan

pelanggaran HAM berat untuk kasus Wasior 2001 & Wamena

2003.

Hasil pertemuan tersebut, Presiden Jokowi memerintahkan

kepada Jaksa Agung untuk segera menindak lanjuti hasil

rekomendasi dari Komnas HAM

Page 7: TALKS · 2020. 5. 31. · dan pembakaran yang mengakibatkan banyak korban meninggal serta tidak dapat diidentifikasi. Untuk kasus Penghilangan Paksa 1997 - 1998, Komnas HAM mencatat

Respon Jaksa Agung atas perintah Presiden setelah pertemuan

tersebut masih sama, dengan mengembalikan hasil penyelidikan

Komnas HAM, bukan memulai penyidikan.

1. Desember 2018, pada saat peringatan hari HAM Internasional,

Komnas HAM mengundang Pemerintah yang diwakili oleh

Jusuf Kalla (Wapres).

2. Februari 2019, Komnas HAM berkirim surat kepada Presiden.

3. Desember 2019 Ma’aruf Amin (Wapres) datang ke Komnas

HAM

Tak terhitung langkah – langkah yang dilakukan Komnas HAM

untuk mengingatkan kembali hasil pertemuan Juni 2018,

menyampaikan rekomendasi hasil penyelidikan, dan mencari titik

terang penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.

Mas Acok Apakah benar salah satu hambatan

penyelesaian kasus pelanggaran HAM

berada pada wilayah perbedaan cara

pandang antara Human Right dengan

Nation Interest ?

Undang – undang Dasar 1945, merupakan salah satu konstitusi

yang paling maju dalam melindungi hak asasi manusia. Kebebasan

beribadah, memperoleh kehidupan yang layak, mendapatkan

pendidikan, dan kebebasan berpendapat; telah tersampaikan

dengan baik di konstitusi negara ini.

Amandemen Undang – undang Dasar 1945, malah semakin

mempertegas perlindungan negara terhadap hak asasi manusia,

pasal 28 salah satu contohnya. Pengakuan hak asasi manusia juga

banyak tercantum dalam peraturan undang - undang serta

instrumen nasional lainnya.

Prinsipnya adalah pertentangan kedua cara pandang tersebut

sudah tidak ada, karena konstitusi kita telah mencantumkan dan

meletakkan hak asasi manusia di Indonesia juga sebagai

kepentingan nasional pula.

Permasalahan sebenarnya adalah, apakah claim mengedepankan

kepentingan nasional hanya dimiliki oleh salah satu institusi

negara tertentu saja.

Dasar utama untuk meng-identifikasi kejahatan hak asasi manusia

adalah by commission (tindakan secara langsung) dan by omission

(tindakan pembiaran)

Arah perbaikan yang diharapkan untuk penegakan HAM kedepan

adalah dengan mendorong persamaan paradigma kepada institusi

negara lainnya untuk menggunakan instrumen hak asasi manusia

sebagai pendekatan dalam melaksanakan tugas sehari – hari.

Masnun Dengan kondisi Jaksa Agung yang

selalu mengembalikan berkas

penyelidikan dan tidak melanjutkan

ke tahap penyidikan, apakah

kewenangan Komnas HAM dalam

penyelesaian kasus pelanggaran HAM

berat dinilai sudah cukup ?

Dengan struktur peran dan fungsi sekarang, narasumber menilai

Komnas HAM sudah memiliki kewenangan yang cukup.

Pertimbangan potensi abuse of power Komnas HAM sebagai

lembaga negara dikhawatirkan akan muncul jika kewenangan

penindakannya ditingkatkan.

Ketegasan Presiden sebagai Kepala Negara untuk memastikan

komitmennya berjalan dan kebijakan politik negara yang

menempatkan rekomendasi HAM sebagai issue yang lebih

mengikat; adalah dua hal yang lebih dibutuhkan saat ini, jika

memang serius ingin menyelesaikan kasus – kasus pelanggaran

HAM berat.

Kedepannya, praktek pelanggaran HAM berat di negara ini,

diprediksi oleh narasumber tidak akan pernah terjadi kembali.

Karena tingkat kesadaran masyarakat semakin tinggi dan aparat

keamanan serta penegak hukum semakin paham akan standar

penindakan tanpa melanggar hak asasi manusia.

Page 8: TALKS · 2020. 5. 31. · dan pembakaran yang mengakibatkan banyak korban meninggal serta tidak dapat diidentifikasi. Untuk kasus Penghilangan Paksa 1997 - 1998, Komnas HAM mencatat

Mas Toni Pada saat era reformasi 1998, Komnas

HAM selalu dijadikan rujukan bagi

aktivis untuk men-support gerakan,

kenapa Komnas HAM sekarang

gaungnya menurun ?

Faktor – faktor yang menyebabkan pandangan akan kinerja

Komnas HAM yang menurun, antara lain:

1. Penyelesaian pelanggaran HAM berat yang berlarut – larut.

Sejak tahun 2002 sampai dengan 2020, belum ada lagi

pengadilan HAM yang berhasil diselenggarakan meskipun

telah melewati beberapa kali pergantian kepengurusan.

2. Jumlah peristiwa kasus pelanggaran HAM tidak menunjukan

angka yang membaik

3. Kinerja internal Komnas HAM

Pada era reformasi 1998, satu – satunya lembaga pengaduan

hanyalah Komnas HAM. Sekarang ini banyak Lembaga

independen yang turut pula concern ke permasalahan

kemanusiaan. Misalnya: Komnas Perempuan, Komisi Yudisial,

Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Kontras, dll. Banyak pula

organisasi masyarakat yang melakukan kerja – kerja di level lokal,

sehingga dampaknya dapat dirasakan langsung oleh para pencari

keadilan.

Selama 27 tahun Komnas HAM

berdiri, pada era Pemerintahan siapa,

yang lebih concern akan

permasalahan hak asasi manusia ?

Era Pemerintahan Jokowi, sebenarnya memiliki modal yang cukup

untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM dimasa lalu. Selain

beberapa kawan – kawan aktivis pro demokrasi berada pada

kubunya, Jokowi juga tidak memiliki masa lalu yang

membelenggu. Akan tetapi harapan tersebut semakin lama tidak

cukup membendung kekuatan politik yang memiliki keinginan

berbeda.

Tanggapan Komnas HAM akan

komentar Jaksa Agung bahwa

peristiwa Semanggi 1 dan Semanggi 2

bukan merupakan pelanggaran HAM

berat ?

Menurut empat Komisioner Komnas HAM komentar Jaksa Agung

tersebut tidak berdasar.

Bagaimana kelanjutan pertemuan

antara Mahfud MD

(Menkopolhukam), Komnas HAM, dan

Jaksa Agung ?

Pertemuan antara Komnas HAM, Menkopolhukam, dan Jaksa

Agung menyepakati bahwa akan berkomitmen menuntaskan

kasus – kasus pelanggaran HAM dimasa lalu. Berdasarkan sikap

tersebut, akan direncanakan pertemuan – pertemuan lanjutan

untuk membahas bentuk kongkrit dari penyelesaian.

Komnas HAM menyambut positif semua solusi penuntasan kasus

pelanggaran HAM berat dimasa lalu, apakah melalui Yudisial

ataupun Non Yudisial. Kalaupun penyelesaian yang ditempuh

melalui jalur Non Yudisial, Jaksa Agung harus memastikan status

penyelidikan Komnas HAM terlebih dahulu, dengan melanjutkan

ke proses penyidikan dan kemudian memutuskan, apakah kasus

diteruskan ataukah dihentikan. Tanpa melalui prosedur tersebut

langkah rekonsiliasi tidak bisa ditempuh

Cak Buchori Apakah Komnas HAM optimis dengan

kasus – kasus pelanggaran HAM berat

masa lalu dapat terselesaikan ?

Penuntasan pelanggaran HAM berat dimasa lalu harus dilihat dari

cara pandang realistis atau tidak realistis. Jika mengharapkan satu

– satunya cara penyelesaian lewat jalur pengadilan untuk semua

kasus, menurut narasumber tidak realistis. Karena penyelesaian

tersebut bukan hanya sekedar bagaimana melaksanakan Undang -

Undang, akan tetapi juga melibatkan sekian banyak kepentingan

sosial, politik, dan korban yang harus diakomodir.

Typewritten text
#drakatungga