TALKS · 2020. 5. 31. · dan pembakaran yang mengakibatkan banyak korban meninggal serta tidak...
Transcript of TALKS · 2020. 5. 31. · dan pembakaran yang mengakibatkan banyak korban meninggal serta tidak...
K-J
AM
K
ELO
MP
OK
KA
JIA
N J
UM
AT
MA
LAM
#SOSPOLHUM
TALKS
PG. 2
PENGANTAR
PG. 3
DISKUSI
ULASAN:
REFLEKSI 22 TAHUN PENEGAKAN
HAM PASCA REFORMASI
BEKA ULUNG HAPSARA
KOMISIONER KOMNAS HAM REPUBLIK INDONESIA
MODERATOR:
MASNUN (AKTIVIS K-JAM)
Jumat, 22 Mei 2020
21.00 WIB – 00.00 WIB
PENGANTAR
PEMBUKA MODERATOR
Reformasi 1998 menjanjikan lahirnya Indonesia baru, yang lebih
berpihak pada kemanusiaan. 22 tahun berlalu, pertanyaan – pertanyan
seputar persoalan penuntasan pelanggaran hak asasi manusia di
Republik ini seakan tidak pernah surut. Kejadian semanggi, kerusuhan
mei 98, penghilangan paksa, kasus talangsari lampung timur, dan
beberapa peristiwa lainnya, hampir tak terlihat ujung penyelesaiannya.
Ketidak jelasan tersebut menyisakan tanda tanya besar akan komitmen
dan keseriusan Pemerintah dalam menuntaskan kasus – kasus
pelanggaran hak asasi manusia, yang menyertai perjalanan panjang
sejarah demokrasi bangsa kita.
Diskusi Jum’at malam kali ini, membicarakan tentang sejauh mana
proses penyelesaian kasus – kasus pelanggaran hak asasi manusia
masa lalu yang ada di Indonesia, sebagai bahan refleksi bersama.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dibentuk melalui Keppres Nomor
50 Tahun 1993. Menurut UU Nomor 39 Tahun 1999 Komnas HAM
adalah lembaga mandiri setingkat dengan lembaga negara lainnya
yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan
pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.
Selain itu, Komnas HAM juga memiliki kewenangan dalam melakukan
penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat, sebagaimana yang
diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2000.
Seiring berjalannya waktu, beberapa tambahan instrumen nasional dan
internasional, turut pula mendukung Komnas HAM dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai lembaga formal negara
yang fokus dalam memberikan perlindungan dan penegakan nilai –
nilai kemanusiaan.
Kita masih memiliki kasus
pelanggaran berat HAM masa
lalu. Tidak mudah ini karena
masalah pembuktian. Harusnya
sudah selesai saat peristiwa
terjadi. Tapi kami berkomitmen
Menyelesaikan kasus HAM.
# PakJokowi_DebatPilpres1
PENGANTAR NARASUMBER
GAMBARAN UMUM
KOMNAS HAM mencatat sedikitnya telah
menyelesaikan penyelidikan untuk 12 kasus
pelanggaran berat hak asasi manusia.
1. Peristiwa 1965
2. Penembakan Misterius 1982 – 1985
3. Peristiwa Talangsari Lampung Timur 1989
4. Kasus Trisakti, Semanggi 1 & Semanggi 2
5. Kerusuhan Mei 1998
6. Penghilangan Paksa 1997 - 1998
7. Peristiwa Wasior 2001 & Wamena 2003
8. Kasus Dukun Santet Banyuwangi 1998
9. Kasus Simpang KKA Aceh 1999
10. Kasus Jambo Keupok Aceh 2003
11. Kasus Rumoh Geudong 1989 – 1998
12. Kasus Paniai Papua 2014
Selama pasca reformasi, berkas hasil penyelidikan
Komnas HAM akan ke-12 kasus tersebut, telah
diserahkan ke Jaksa Agung. Menyisakan satu kasus
pelanggaran HAM berat di Bumi Flora Aceh Tengah
yang masih belum selesai proses penyelidikannya.
Perjalanan dokumen penyelidikan ini dari tahun
2002 sampai dengan sekarang, mengalami stagnansi
dan bolak – balik antara Komnas HAM dan Jaksa
Agung, disertai petunjuk pengembalian, kurang
syarat formil dan materiil.
KONDISI KORBAN
Korban terdampak pelanggaran HAM berat untuk Peristiwa 1965;
umumnya sudah berusia lanjut dan hidup berkekurangan,
mendapatkan stigma negatif dari masyarakat atau aparat, serta
kerap mendapatkan perlakuan diskriminatif, gangguan, ancaman,
dan intimidasi.
Selain itu hak sosial ekonomi, seperti penghidupan yang layak,
mendapatkan pekerjaan, jaminan sosial kesehatan dan
pendidikan juga belum terjamin. Keadaan serupa juga dialami
korban pada kasus Talangsari Lampung Timur, meskipun
dikemudian hari keadaannya membaik dengan pembangunan
infrastruktur desa dan mendapatkan kesetaraan layanan publik
dari Pemerintah daerah.
Kondisi berbeda dialami untuk korban peristiwa Kerusuhan Mei
1998 dan Penghilangan Paksa 1997 – 1998, banyak yang sudah
tidak dapat dikenali atau tidak diketemukan. Pada Kerusuhan Mei
1998, telah terjadi tindakan kekerasan, pemerkosaan, penjarahan,
dan pembakaran yang mengakibatkan banyak korban meninggal
serta tidak dapat diidentifikasi. Untuk kasus Penghilangan Paksa
1997 - 1998, Komnas HAM mencatat setidaknya 13 orang aktivitis
Pro Demokrasi dinyatakan hilang.
Penanganan dan pemulihan korban pelanggaran HAM masih
terbatas pada pelayanan medis dan trauma healing psyco social
dengan didampingi oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Belum seberapa jika dibandingkan dengan harapan korban akan
adanya kompensasi materi yang dirampas, pemulihan nama baik,
permintaan maaf kepada korban dan keluarga korban, tidak
adanya perlakuan diskriminatif, pengungkapan kebenaran akan
peristiwa, serta jaminan peristiwa tidak berulang.
“Ruang lingkup kewenangan Komnas HAM dalam kasus – kasus pelanggaran HAM berat hanya sebatas
penyelidikan, proses penyidikan adalah wewenang Jaksa Agung”
LANGKAH KOMNAS HAM
Pengertian pelanggaran berat hak asasi manusia adalah
berkenaan dengan materi yang bersifat haknya tidak dapat
dikurangkan dalam keadaan apapun, dan telah memenuhi unsur
sistemik serta berdampak meluas.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, peran Komnas HAM
dalam pengungkapan kasus pelanggaran HAM berat adalah
melakukan penyelidikan. Tugas Komnas HAM dalam proses
penyelidikan adalah merekonstruksi peristiwa dan menemukan
bukti permulaan yang cukup untuk bisa mendukung rekonstruksi,
serta menemukan pihak yang diduga terlibat. Apabila telah
memenuhi persyaratan formil dan materiil, berkas penyelidikan
diproses lebih lanjut oleh Jaksa Agung ke tahapan penyidikan dan
penuntutan.
Terhadap kasus yang terjadi sebelum berlakunya UU Nomor 26
Tahun 2000, DPR berwenang untuk mengusulkan pembentukan
pengadilan HAM Adhoc melalui Keputusan Presiden. Sedangkan
untuk kasus yang terjadi setelah berlakunya UU tersebut, Presiden
berwenang secara langsung membentuk pengadilan HAM.
Ketentuan tersebut hanya untuk pembentukan pengadilan HAM,
untuk substansi hukum tetap mengacu pada hasil penyelidikan
dan penyidikan.
Dalam sejarah penegakan hak asasi manusia di Indonesia, sudah
ada 3 kali pengadilan kasus pelanggaran HAM berat, yaitu:
peristiwa Abepura di Papua, Tanjung Priok di Jakarta, dan kasus
Timor Timur pasca jajak pendapat; sekalipun ketiga persidangan
tersebut belum bisa menjerat pelaku utama.
Dalam menjalankan tugas penyelidikannya, Komnas HAM
menghadapi beberapa tantangan seperti: permintaan
mendatangkan saksi untuk dimintai keterangan yang tidak
bersifat wajib; artinya saksi yang diundang dapat untuk tidak
menghadiri pemeriksaan tanpa dikenai sanksi, serta pemenuhan
alat bukti permulaan yang masih bergantung pada komitmen
positif dari pihak/instansi terkait, tidak bisa sampai menyita
dokumen yang dianggap berhubungan dengan kasus. Kekuatan
mengikat dalam pemeriksaan saksi dan pemenuhan alat bukti,
sepenuhnya dimiliki oleh Jaksa Agung pada proses penyidikan.
Selain itu tantangan lain yang dihadapi dalam proses penyelidikan,
lebih pada paradigma teknis hukum pembuktian, dimana
permintaan Jaksa Agung diluar jangkauan kemampuan Komnas
HAM.
Misalnya pada kasus peristiwa Semanggi 1 dan Semanggi 2; Jaksa
Agung meminta bukti autopsi atau visum para korban, dokumen
uji balistik peluru yang digunakan aparat sehingga menyebabkan
korban meninggal, dan semuanya wajib dalam bentuk dokumen
asli bukan berupa fotokopi.
Permintaan tersebut dinilai sulit untuk terpenuhi, bayangkan saja
menurut Permenkes Nomor 269 Tahun 2008 pasal 8 ayat 1,
catatan rekam medis setelah 5 tahun dapat dimusnahkan oleh
pihak rumah sakit.
Berdasarkan hambatan – hambatan inilah kemudian
memunculkan pandangan bahwa penuntasan 12 kasus
pelanggaran HAM berat di Republik ini pasca 22 tahun reformasi,
tidak mengalami kemajuan.
Selain jalur pengadilan (Yudisial) tersebut diatas, penyelesaian
kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia dapat pula melalui
mekansime rekonsiliasi (Non Yudisial), terutama untuk kasus
dimasa lalu yang dirasa kurang cukup alat bukti. Banyak pro
kontra menyertai, beberapa pihak merasa bahwa penyelesaian
Non Yudisial tidak serta merta dapat menggugurkan mekanisme
Yudisial, begitu pula sebaliknya.
Salah satu alternatif penyelesaian Non Yudisial adalah dengan
pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang
sebenarnya sudah pernah dimiliki negara melalui UU Nomor 27
Tahun 2004; namun kemudian dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi pada tahun 2006, melalui Surat Keputusan Nomor
006/PUUIV/2006. Banyak pengamat menganggap pembatalan
tersebut bersifat ultra petita (memutus perkara melebihi yang
dimohonkan).
Wacana penggagasan kembali Undang – Undang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi tengah digulirkan oleh Pemerintah.
Semoga Undang – Undang tersebut nantinya lebih fokus dalam
pengungkapan kebenaran dan pemulihan para korban, bukan
malah dijadikan alat untuk menghadirkan Impunitas.
Harapan Komnas HAM kepada Pemerintah adalah adanya
kemauan dan upaya serius untuk menuntaskan kasus pelanggaran
HAM berat di masa lalu. Jika ingin ditempuh melalui mekanisme
Yudisial, maka Presiden harus memerintahkan Jaksa Agung untuk
segera melaksanakan proses penyidikan berdasarkan hasil
penyelidikan Komnas HAM. Dan jika seandainya penyelesaian Non
Yudisial yang dipilih, maka segera susun regulasi teknis
rekonsiliasinya agar Komnas HAM dapat bergerak sesuai koridor
hukum.
“Langkah – langkah penyelesaian kasus pelanggaran HAM, mengalami stagnansi karena tidak adanya
komitmen Pemerintah dalam penyelesaian”
DISKUSI
Q & A MATERI TANGGAPAN
Bang Robin Kenapa standar penyelesaian
pelanggaran HAM berat dengan
kewenangan Komnas HAM yang lebih
powerfull tidak diajukan untuk
dijadikan aturan perundang –
undangan ?
Kasus pelanggaran berat tidak mengenal masa kadaluarsa, jika
tidak selesai pada masa Pemerintahan sekarang maka akan
menjadi tanggung jawab Presiden berikutnya
Hambatan penyelesaian kasus pelanggaran berat menurut
Komnas HAM, tidak pada level UU. Permasalahan teknis
dilapangan pada saat proses penyelidikan justru lebih banyak
ditemukan, misalnya:
1. Retensi arsip visum yang dapat dimusnahkan setelah 5 tahun,
ada pada level Permenkes bukan pada UU.
2. Pemasalahan peng-arsipan dokumen administratif aparatur
Pemerintah bermasalah.
3. Permintaan keterangan kepada instansi/pihak tertentu yang
diduga terlibat dibeberapa kasus, cendurung menutup diri.
Sehingga malah menimbulkan permasalahan baru, pada saat
Komnas HAM memberikan kesimpulan dan rekomendasi
Cak Buchori Bagaimana paradigma Pemerintah
sekarang akan penegakan HAM ?
Komnas HAM menilai resiko politik masih sangat diperhitungkan
sebagai salah satu faktor dalam penyelesaian kasus pelanggaran
HAM berat, sebagai salah satu contoh pada kasus Penghilangan
Paksa. Usulan pembentukan pengadilan HAM adhoc, untuk kasus
penghilangan paksa 13 orang aktivis telah dikeluarkan oleh DPR RI
sejak tahun 2009. Akan tetapi sampai dengan sekarang
perkembangan penuntasan kasus tersebut masih belum jelas.
Bagaimana mekanisme penyelidikan
Komnas HAM, sampai Jaksa Agung
selalu menyampaikan tidak cukup alat
bukti ?
Standar penyelidikan Komnas HAM telah berhasil membawa tiga
kasus pelanggaran HAM berat ke pengadilan. Salah satunya
masalah Timor Timur, saat itu Gus Dur sebagai Presiden
mendesak Jaksa Agung untuk segera melakukan penyidikan dan
membawa ke pengadilan. Dengan standar penyelidikan yang
masih sama, seharusnya ke 12 kasus pelanggaran HAM berat
lainnya dapat ditingkatkan statusnya.
Pak Brodin Pemegang kekuasaan sekarang ini
adalah adalah produk dari reformasi,
apakah cita – cita reformasi akan
penegakan HAM dapat dinilai gagal ?
Konsolidasi politik tokoh reformis dalam mempengaruhi Presiden,
tidak cukup kuat untuk melawan pihak – pihak yang diduga
terlibat pelanggaran HAM berat. Misalnya kasus Kerusuhan 27 Juli
1996, PDIP yang berkuasa saat ini sekaligus menjadi korban
peristiwa tersebut, secara politik juga tidak cukup mampu untuk
mendorong penyelesaian.
Apakah benar korban peristiwa 1965
ter-diskrimasi jaminan sosial, ataukah
hanya permasalahan teknis data ?
Layanan sosial Pemerintah untuk korban terdampak pelanggaran
HAM, ada yang mengalami diskriminasi, dan ada pula yang hanya
sekedar masalah teknis data tidak tercatat.
Permasalahan kendala pemenuhan
dokumen alat bukti seperti pada
penjelasan diatas, sudahkah ada
langkah antisipasinya dari Komnas
HAM ?
Permasalahan pengadaan dokumen alat bukti akan teratasi jika
proses penyelidikan Komnas HAM dapat lebih dipercepat. Akan
tetapi mekanisme menduga apakah kasus tergolong pelanggaran
berat atau bukan, juga membutuhkan waktu. Kajian untuk menilai
apakah suatu peristiwa pelanggaran HAM memenuhi unsur
sistematis dan berdampak meluas, tidak bisa cepat.
Adakah cara lain dalam penyelesaian
kasus pelanggaran HAM yang
bersinggungan dengan kepentingan
besar untuk terselesaikan ?
Satu – satunya langkah paling efisien dalam penuntasan kasus
pelanggaran HAM yang bersinggungan dengan kepentingan lain
adalah melalui kebijakan Presiden sebagai Kepala Negara. Oleh
karena itu Komnas HAM telah mengeluarkan dua rekomendasi
kepada Presiden:
1. Perintahkan Jaksa Agung untuk segera melanjutkan proses
hukum berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM
2. Agar menggunakan kewenangannya untuk Menyusun
mekanisme penyelesaian Non Yudisial.
Penyelesaian Non Yudisial tidak serta merta langsung dengan
rekonsiliasi, harus memenuhi beberapa persyaratan terlebih
dahulu; antara lain: pengungkapan fakta kebenaran, mekanisme
kompensasi dan rehabilitasi, serta jaminan ketidak berulangan.
Sub Commandante Mario Bagaimana hasil pertemuan Komnas
HAM dengan Presiden ?
Juni 2018, Enam komisioner Komnas HAM menemui Presiden
bersama dengan LPSK, sedangkan Presiden ditemani oleh M
Prasetyo (Jaksa Agung), Muldoko (Kepala KSP), Y Laoli
(Menkumham), dan Pratikno (Mensesneg).
Inti pembicaraan penyelesaian pelanggaran HAM berat, meliputi
dua rekomendasi Komnas HAM seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya.
Semakin lama Jaksa Agung tidak melanjutkan hasil penyelidikan
Komnas HAM, maka alat bukti semakin sulit diperoleh serta
diklarifikasi, dan hak – hak korban semakin susah untuk
dipulihkan.
Saran Komnas HAM kepada Presiden pada waktu itu untuk kasus
yang diprioritaskan agar dapat dituntaskan terlebih dahulu adalah
Wasior 2001 & Wamena 2003. Menurut Komnas HAM, kenapa
memilih kasus tersebut; antara lain:
1. Peristiwa yang masih tidak terlalu lama, sehingga lebih mudah
untuk mendapatkan bukti pendukung kasus.
2. Karena kejadian setelah diterapkan UU Nomor 26 Tahun 2000,
maka Presiden secara langsung dapat membentuk pengadilan
HAM tanpa persetujuan DPR RI
3. Pemerintah melalui Menteri Luar Negeri (Retno Marsudi)
menyampaikan di sidang PBB bahwa akan menyelesaikan
pelanggaran HAM berat untuk kasus Wasior 2001 & Wamena
2003.
Hasil pertemuan tersebut, Presiden Jokowi memerintahkan
kepada Jaksa Agung untuk segera menindak lanjuti hasil
rekomendasi dari Komnas HAM
Respon Jaksa Agung atas perintah Presiden setelah pertemuan
tersebut masih sama, dengan mengembalikan hasil penyelidikan
Komnas HAM, bukan memulai penyidikan.
1. Desember 2018, pada saat peringatan hari HAM Internasional,
Komnas HAM mengundang Pemerintah yang diwakili oleh
Jusuf Kalla (Wapres).
2. Februari 2019, Komnas HAM berkirim surat kepada Presiden.
3. Desember 2019 Ma’aruf Amin (Wapres) datang ke Komnas
HAM
Tak terhitung langkah – langkah yang dilakukan Komnas HAM
untuk mengingatkan kembali hasil pertemuan Juni 2018,
menyampaikan rekomendasi hasil penyelidikan, dan mencari titik
terang penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.
Mas Acok Apakah benar salah satu hambatan
penyelesaian kasus pelanggaran HAM
berada pada wilayah perbedaan cara
pandang antara Human Right dengan
Nation Interest ?
Undang – undang Dasar 1945, merupakan salah satu konstitusi
yang paling maju dalam melindungi hak asasi manusia. Kebebasan
beribadah, memperoleh kehidupan yang layak, mendapatkan
pendidikan, dan kebebasan berpendapat; telah tersampaikan
dengan baik di konstitusi negara ini.
Amandemen Undang – undang Dasar 1945, malah semakin
mempertegas perlindungan negara terhadap hak asasi manusia,
pasal 28 salah satu contohnya. Pengakuan hak asasi manusia juga
banyak tercantum dalam peraturan undang - undang serta
instrumen nasional lainnya.
Prinsipnya adalah pertentangan kedua cara pandang tersebut
sudah tidak ada, karena konstitusi kita telah mencantumkan dan
meletakkan hak asasi manusia di Indonesia juga sebagai
kepentingan nasional pula.
Permasalahan sebenarnya adalah, apakah claim mengedepankan
kepentingan nasional hanya dimiliki oleh salah satu institusi
negara tertentu saja.
Dasar utama untuk meng-identifikasi kejahatan hak asasi manusia
adalah by commission (tindakan secara langsung) dan by omission
(tindakan pembiaran)
Arah perbaikan yang diharapkan untuk penegakan HAM kedepan
adalah dengan mendorong persamaan paradigma kepada institusi
negara lainnya untuk menggunakan instrumen hak asasi manusia
sebagai pendekatan dalam melaksanakan tugas sehari – hari.
Masnun Dengan kondisi Jaksa Agung yang
selalu mengembalikan berkas
penyelidikan dan tidak melanjutkan
ke tahap penyidikan, apakah
kewenangan Komnas HAM dalam
penyelesaian kasus pelanggaran HAM
berat dinilai sudah cukup ?
Dengan struktur peran dan fungsi sekarang, narasumber menilai
Komnas HAM sudah memiliki kewenangan yang cukup.
Pertimbangan potensi abuse of power Komnas HAM sebagai
lembaga negara dikhawatirkan akan muncul jika kewenangan
penindakannya ditingkatkan.
Ketegasan Presiden sebagai Kepala Negara untuk memastikan
komitmennya berjalan dan kebijakan politik negara yang
menempatkan rekomendasi HAM sebagai issue yang lebih
mengikat; adalah dua hal yang lebih dibutuhkan saat ini, jika
memang serius ingin menyelesaikan kasus – kasus pelanggaran
HAM berat.
Kedepannya, praktek pelanggaran HAM berat di negara ini,
diprediksi oleh narasumber tidak akan pernah terjadi kembali.
Karena tingkat kesadaran masyarakat semakin tinggi dan aparat
keamanan serta penegak hukum semakin paham akan standar
penindakan tanpa melanggar hak asasi manusia.
Mas Toni Pada saat era reformasi 1998, Komnas
HAM selalu dijadikan rujukan bagi
aktivis untuk men-support gerakan,
kenapa Komnas HAM sekarang
gaungnya menurun ?
Faktor – faktor yang menyebabkan pandangan akan kinerja
Komnas HAM yang menurun, antara lain:
1. Penyelesaian pelanggaran HAM berat yang berlarut – larut.
Sejak tahun 2002 sampai dengan 2020, belum ada lagi
pengadilan HAM yang berhasil diselenggarakan meskipun
telah melewati beberapa kali pergantian kepengurusan.
2. Jumlah peristiwa kasus pelanggaran HAM tidak menunjukan
angka yang membaik
3. Kinerja internal Komnas HAM
Pada era reformasi 1998, satu – satunya lembaga pengaduan
hanyalah Komnas HAM. Sekarang ini banyak Lembaga
independen yang turut pula concern ke permasalahan
kemanusiaan. Misalnya: Komnas Perempuan, Komisi Yudisial,
Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Kontras, dll. Banyak pula
organisasi masyarakat yang melakukan kerja – kerja di level lokal,
sehingga dampaknya dapat dirasakan langsung oleh para pencari
keadilan.
Selama 27 tahun Komnas HAM
berdiri, pada era Pemerintahan siapa,
yang lebih concern akan
permasalahan hak asasi manusia ?
Era Pemerintahan Jokowi, sebenarnya memiliki modal yang cukup
untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM dimasa lalu. Selain
beberapa kawan – kawan aktivis pro demokrasi berada pada
kubunya, Jokowi juga tidak memiliki masa lalu yang
membelenggu. Akan tetapi harapan tersebut semakin lama tidak
cukup membendung kekuatan politik yang memiliki keinginan
berbeda.
Tanggapan Komnas HAM akan
komentar Jaksa Agung bahwa
peristiwa Semanggi 1 dan Semanggi 2
bukan merupakan pelanggaran HAM
berat ?
Menurut empat Komisioner Komnas HAM komentar Jaksa Agung
tersebut tidak berdasar.
Bagaimana kelanjutan pertemuan
antara Mahfud MD
(Menkopolhukam), Komnas HAM, dan
Jaksa Agung ?
Pertemuan antara Komnas HAM, Menkopolhukam, dan Jaksa
Agung menyepakati bahwa akan berkomitmen menuntaskan
kasus – kasus pelanggaran HAM dimasa lalu. Berdasarkan sikap
tersebut, akan direncanakan pertemuan – pertemuan lanjutan
untuk membahas bentuk kongkrit dari penyelesaian.
Komnas HAM menyambut positif semua solusi penuntasan kasus
pelanggaran HAM berat dimasa lalu, apakah melalui Yudisial
ataupun Non Yudisial. Kalaupun penyelesaian yang ditempuh
melalui jalur Non Yudisial, Jaksa Agung harus memastikan status
penyelidikan Komnas HAM terlebih dahulu, dengan melanjutkan
ke proses penyidikan dan kemudian memutuskan, apakah kasus
diteruskan ataukah dihentikan. Tanpa melalui prosedur tersebut
langkah rekonsiliasi tidak bisa ditempuh
Cak Buchori Apakah Komnas HAM optimis dengan
kasus – kasus pelanggaran HAM berat
masa lalu dapat terselesaikan ?
Penuntasan pelanggaran HAM berat dimasa lalu harus dilihat dari
cara pandang realistis atau tidak realistis. Jika mengharapkan satu
– satunya cara penyelesaian lewat jalur pengadilan untuk semua
kasus, menurut narasumber tidak realistis. Karena penyelesaian
tersebut bukan hanya sekedar bagaimana melaksanakan Undang -
Undang, akan tetapi juga melibatkan sekian banyak kepentingan
sosial, politik, dan korban yang harus diakomodir.