TAKWIM HIJRIYAH TAREKAT SYATTARIYAH (Studi Filologi...
Transcript of TAKWIM HIJRIYAH TAREKAT SYATTARIYAH (Studi Filologi...
TAKWIM HIJRIYAH TAREKAT SYATTARIYAH
(Studi Filologi Terhadap Naskah Takwim di Nagari Muaro Sijunjung)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
SEPTIAN DWITTES
NIM: 1112044100011
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438 H/2016 M.
v
ABSTRAK
Septian Dwittes, NIM 1112044100011, TAKWIM HIJRIYAH TAREKAT
SYATTARIYAH (Studi Filologi Terhadap Naskah Takwim di Nagari Muaro
Sijunjung), Strata Satu (S-1), Jurusan Ahwal Syakhshiyyah, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1437 H/2016 M, 94
Halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui penentuan awal bulan hijriyah
yang digunakan oleh Tarekat Syattariyah di Surau Calau kecamatan Sijunjung.
Hal tersebut dilakukan dengan mengungkapkan landasan yang digunakan Tarekat
Syattariyah dalam menentukan awal bulan. Selanjutnya bagaimana cara
menentukan awal bulan hijriyah menurut manuskrip takwim Tarekat Syattariyah
yang terdapat di Surau Calau.
Adapun penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan melakukan
pendekatan filologi, yang menekankan penelitian terhadap manuskrip takwim
yang terdapat di Surau Calau. Selain itu penulis juga menggunakan pendekatan
kualitatif dengan mencari data baik dari dalam buku, jurnal, dan wawancara dari
penentuan awal bulan hijriyah Tarekat Syattariyah di Surau Calau. Pendekatan
filologi yang penulis gunakan dalam penelitian ini dengan jenis Edisi Diplomatik
yaitu hasil transkipsi setia dari sebuah naskah tunggal yang menggambarkan
sedekat mungkin wujud aslinya.
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan diketahui bahwa landasan yang
digunakan oleh Tarekat Syattariyah dalam menentukan awal bulan hijriyah adalah
dengan berpegangan kepada al-Quran dan Sunnah. Metode penentuan awal bulan
hijriyah di Surau Calau menggunakan Hisab takwim dengan berpatokan kepada
huruf tahun dan huruf bulan dengan cara menghitung dengan huruf tahun
kelahiran Nabi, huruf tahun hijrah Nabi serta huruf tahun wafatnya Nabi. Hisab
takwim digunakan untuk menetukan tanggal satu dari setiap awal bulan sebagai
patokan dalam menjalankan amalan Tarekat Syattariyah. Mengenai penentuan
awal Ramdhan dan Syawal, hisab takwim hanya digunakan sebagai patokan untuk
melihat hilal saja karena untuk menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal
haruslah dengan terlihatnya hilal dengan mata telanjang tidak menggunakan alat
bantuan teknologi apapun, apabila hilal tidak terlihat maka akan dilakukan
istikmal.
Kata kunci :Metode, Hisab Rukyat, Surau Calau, Manuskrip,
Takwim Hijriyah Tarekat Syattariyah.
Pembimbing :Dra. Maskufa, MA.
Daftar Pustaka :1999 Sampai 2016.
vi
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan
hidayah-Nya serta memberikan berkah, kasih sayang, dan karunianya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “TAKWIM HIJRIYAH
TAREKAT SYATTARIYAH (Studi Filologi Terhadap Naskah Takwim di
Nagari Muaro Sijunjung)”. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW
yang telah mengantarkan umatnya dari kegelapan dunia ke zaman peradaban ilmu
pengetahuan seperti saat sekarang ini.
Penulis sangat bahagia dan bersyukur karena dapat menyelesaikan tugas
akhir dalam jenjang pendidikan Strata Satu (S1) yang penulis tempuh telah
selesai. Serta penulis tak lupa meminta maaf apabila didalam penulisan skripsi ini
ada yang kurang berkanan dihati para pembaca, karena penulis menyadari bahwa
penulis masih jauh dari kesempurnaan.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah mungkin dapat
tercapai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai
ungkapan rasa hormat yang amat mendalam, penulis mengucapkan terima kasih
kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
3. Dr. H. Abdul Halim, M. Ag, dan Arip Purkon, MA, Ketua Program Studi
Hukum Keluarga dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga.
4. Pembimbing Akademik Dr. Hj. Azizah, MA, dan Seluruh Dosen Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Dosen pembimbing Skripsi Dra. Maskufa, MA yang selalu memberi
pengarahan, pembelajaran yang baru bagi saya dengan penuh keikhlasan,
kesabaran, dan keistiqomahan dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Terkhusus kepada kedua orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi.
Ayahanda tercinta Aripin K. dan ibunda tercinta Nurilis yang selalu
mendoakan dan memberikan semangat kepada ananda untuk menyelesaikan
skripsi ini, serta telah mengorbankan seluruh hidupnya untuk membahagiakan
dan membesarkan penulis sampai saat ini. Tidak akan pernah dan mustahil
penulis mampu membayar apa yang telah diberikan selama ini. Kedua orang
tua selalu menjadi sumber inspirasi penulis dalam menjalankan kehidupan
dan meyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada kakak-kakak tercinta Susanti Apriani, Bustomi Aripin, Syafril
Anwar, yang selalu memberi semangat dan mendoakan penulis dalam setiap
perjalanan studi penulis dan selalu menjadi kakak-kakak yang baik bagi
penulis.
8. Kepada karib kerabat yang di Guguk Dadok dan Ipuh Permai yang sangat
saya cintai dan banggakan. Terimakasih telah membantu penulis dalam studi
baik dalam bentuk materil maupun moril.
viii
9. Kepada bapak Yusri Akhimuddin dan Ayang Ultriza Yaqin, Phd. yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan terimakasih banyak
atas saran-saran dan arahan yang diberikan kepada penulis.
10. Kepada teman-teman dan kakak-kakak dari jurusan Filologi Sekolah Pasca
Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bang Nof, Rahmi Wati, Zikra Fadilla
dan Mustaqim serta Ferki Ahmad Marlion dan Wardiantono. Terimakasih
telah membantu penulis dalam studi baik dalam bentuk materil maupun
moril.
11. Kepada Ikatan Keluarga Alumni MAN 2 Batusangkar dan Keluarga
Mahasiswa Minangkabau yang berada di Ciputat dan sekitarnya. Terimakasih
telah membantu penulis dalam studi baik dalam bentuk materil maupun
moril.
12. Kepada sahabat-sahabat terbaikku Roni Zuli Putra, Ridwan Kusuma, Adlul
Alghofiqi, Anshar Arif Sofyan, Aprilia Farchataeni, Ara Dasopang, Nanik
Maulidah, Syarifah Dacosta Fidigal dan Fatimahwati yang telah menjadi
saksi dari perjuanganku. Terimakasih telah banyak membuat cerita dalam
hidup penulis baik berupa canda tawa, tangis, dan pergorbanan. Tetap selalu
menjadi sahabat yang terbaik bagi penulis.
13. Kepada teman-teman kosan Andrian Saputra, Arif Setiawan Onira, dan
Rahmad Hidayat yang selalu menghibur dan memberi semangat penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini. Selalu ada setiap penulis lagi malas, galau,
bosan, bahkan sampai larut menemani penulis dalam menyelasaikan skripsi
ini.
ix
Semoga amal baik mereka semua dibalas berlipat ganda oleh Allah SWT.
Sungguh hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan
kebaikan yang berlipat ganda.
Penulis berharap skripsi ini bermanfaat pada saat ini, masa yang akan
datang. Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih amat jauh dari
kesempurnaan karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi
kesempurnaan skripsi selanjutnya.
Jakarta, 13 September 2016
Septian Dwittes
x
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................. 5
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah .......................................... 5
D. Tujuan dan Manfaat ................................................................... 6
E. Metode Penelitian ...................................................................... 7
F. Review Studi Terdahulu ............................................................ 9
G. Sistematika Penulisan .............................................................. 13
BAB II METODE PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYAH
A. Pengertian Hisab Rukyat ......................................................... 14
1. Pengertian Hisab ................................................................ 14
2. Pengertian Rukyat .............................................................. 19
B. Dasar Hukum Hisab Rukyat .................................................... 20
C. Pandangan Ulama Madzhab Terkait Penentuan Awal
Bulan Qamariyah ..................................................................... 27
BAB III PROFIL TAREKAT SYATTARIYAH
A. Sejarah Tarekat Syattariyah ................................................... 35
B. Perilaku Ibadah Tarekat Syattariyah ....................................... 43
BAB IV PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYAH TAREKAT
SYATTARIYAH
A. Manuskrip Takwim ............................................................... 51
B. Metode Penentuan Awal Bulan Hijriyah ................................. 70
C. Analisis Penulis Terhadap Takwim Hijriyah .......................... 84
BAB V PENUTUP
xi
A. Kesimpulan ............................................................................ 89
B. Saran-saran .............................................................................. 89
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 91
LAMPIRAN-LAMPIRAN ......................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penentuan awal Ramadhan dan Syawal mendapat perhatian khusus dari
masyarakat Islam, sejak masa Rasulullah SAW hingga kini, karena keterkaitannya
dengan ibadah puasa, kegiatan ekonomi, sosial, dan politik. Bahkan ia dapat
mempengaruhi stabilitas, ketentraman dan keamanan masyarakat.1
Ibadah rukun Islam kaum Muslimin, kecuali membaca kalimat syahadat,
selalu berkaitan dengan waktu-waktu tertentu dalam prosesinya. Prosesi ibadah
puasa, zakat, dan haji perhitungannya berdasarkan perhitungan perjalanan revolusi
bulan terhadap bumi. Ini dinamakan Kalender Islam atau Kalender Qamariyah.
Hanya sholat yang menjadi kewajiban harian kaum muslimin yang
perhitungannya mengacu pada waktu bumi melakukan rotasi dan posisi relatifnya
terhadap matahari, sama sekali terbebas dari perhitungan qamariyah di atas,
bahkan independen dari perjalanan revolusi bumi itu sendiri terhadap matahari.2
Kalender Qamariyah (lunar system) membagi satu tahun menjadi 12 bulan.
Setiap bulan memiliki jumlah hari 29 atau 30. Total jumlah hari dalam setahun
sistem Qamariyah adalah 354 hari, jadi satu tahun Qamariyah kira-kira 11,256
hari lebih pendek dari kalender Syamsiyah. Perhitungan bulan dalam Islam
dimulai dengan terbitnya bulan sabit yang betul-betul kelihatan dalam suatu hari.
1 Dikjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Direktorat Pembinaan Peradilan Agama,
Selayang Pandang Hisab Rukyat (Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2004), h.121. 2 Tono Saksono, Mengkompromikan Rukyat dan Hilal (Jakarta: PT. Amythas Publica,
2007), h.42.
2
Menurut madzhab Syafi‟i kenampakan bulan sabit ini menjadi persyaratan untuk
menentukan pemulaan sebuah bulan, meskipun sebetulnya kemunculan bulan
sabit setiap bulan dapat dihitung dengan akurat. Pendeknya, selain kewajiban
sholat lima waktu dan syahadat, hampir semua prosesi ibadah Islam dilakukan
berdasarkan perhitungan perjalanan bulan.3
Penetapan awal bulan khususnya pada bulan-bulan yang berkaitan dengan
pelaksanaan ibadah dapat dilakukan dengan rukyat juga hisab. Keduanya
merupakan hasil interpretasi dalam memahami nash-nash Al-Quran maupun
Hadits Nabi SAW Sebagai hasil ijtihad keduanya bisa benar dan bisa juga salah,
namun sesuai dengan jiwa ijtihad jika salah tetap berpahala apalagi benar maka
kedua cara ini dapat digunakan secara mandiri ataupun yang satu melengkapi
yang lain.4 Persoalan hisab rukyat dalam hal penentuan awal bulan Qamariyah
terutama bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah sering kali memunculkan
perbedaan, bahkan kadang menyulut permusuhan yang mengoyak jalinan
ukhuwah islamiyah.5
Perbedaan masyarakat muslim Indonesia tentang awal dan akhir Ramadhan
berulang kali terjadi, tidak terkecuali di Sumatera Barat. Perbedaan ini disebabkan
karena beragamnya cara dan metode yang digunakan untuk menentukan awal
bulan Qamariyah. Selain itu, juga karena banyaknya pihak yang memiliki otoritas
dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan. Metode yang digunakan muslim
Indonesia dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan antara lain metode hisab,
rukyat hilal, hisab dan rukyat, imkan al-rukyat, istikmal dan beberapa metode
3 Tono Saksono, Mengkompromikan Rukyat dan Hilal, h.42.
4 Maskufa, “Hisab Hakiki Muhammadiyah”, Ahkam X, no.1 (Maret 2008): h.118.
5 Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyat (Jakarta: Erlangga, 2007), h.43.
3
hisab tradisional seperti Aboge di Jawa Timur, hisab Sunda di Jawa Barat, serta
hisab Taqwim dan hisab Munjid di Sumatera Barat. Setiap pimpinan kelompok
memiliki otoritas menetapkan awal Ramadhan dan melaksanakan ibadah puasa
sesuai dengan metode dan keyakinan masing-masing.
Khususnya di Sumatera Barat, setidaknya ada empat kelompok Islam yang
berbeda dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan, yaitu Pemerintah,
Muhammadiyah, Persatuan Tarbiyah Islamiyah dan kelompok Tarekat. Tarekat
Syaman dan Naqsabandiyah memiliki perhitungan kalendernya lebih awal dari
Pemerintah. Muhammadiyah dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah memiliki
perhitungan yang terkadang sama dan berbeda dengan Pemerintah. Tarekat
Syattariyah biasanya melaksanakan puasa terlambat satu sampai dua hari dari
Pemerintah. Setiap kelompok meyakini kebenaran sistem perhitungan yang
mereka gunakan. Salah satu informasi tentang penanggalan dan perbedaan awal
Ramadhan, dalam hal ini sistem yang digunakan kelompok Tarekat, masih ada
yang terekam dalam bentuk manuskrip. Misalnya manuskrip yang tersimpan di
Surau Calau, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat.6
Surau Calau merupakan salah satu di antara puluhan surau Tarekat
Syatariah yang terdapat di Sumatera Barat. Surau ini terletak di Jorong Subarang
Sukam, Kenagarian Muaro Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung. Pendiri
surau ini adalah Syekh Abdul Wahab, pada kira-kira abad ke-18. Surau ini pada
masanya pernah menjadi pusat pengajaran keislaman yang maju, salah satu
buktinya dengan banyaknya peninggalan manuskrip di surau tersebut.
6 Yusri Akhimuddin, “[Asal Khilaf Bilangan Taqwim]: Relasi Ulama-Umara di
Minangkabau Abad ke-17 dalam Penetapan Awal Ramadan”, Mannasa II, no.1 (2012): h.80.
4
Penting dikemukan disini bahwa selain menyelenggaran praktik-praktik
Syatariah, surau ini juga merupakan pusat penentuan awal Ramadhan untuk
daerah Sijunjung dan menjadi rujukan untuk daerah-daerah di sekitarnya. Di surau
ini dilakukan “mancaliak bulan” pada waktu tertentu dan dapat untuk
memutuskan masuknya Ramadhan dan Syawal.7
Secara tekstual diketahui bahwa teks takwim menjelaskan mengenai
panduan penentuan awal bulan hijriyah, pemahaman dalam penentuan awal
Ramadhan dan berhari raya serta landasannya pada zaman Nabi. Secara
kontekstual diketahui bahwa Surau Calau merupakan pusat penentuan awal
Ramadhan dan berhari Raya bagi penganut Tarekat Syatariah untuk daerah
Sijunjung dan Dharmasraya dari dahulu hingga sekarang. Pengamalan hisab
takwim di Surau Calau sudah berlangsung secara turun temurun dari Syekh Abdul
Wahab sampai hari ini dengan mengamalkan mazhab Imam Syafi‟i.8
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk menelaah lebih jauh
mengenai cara menentukan awal bulan Qamariyah dan bagaimana proses takwim
dalam menentukan masuknya awal bulan serta apa landasan yang digunakan oleh
Tarekat Syattariyah untuk menentukan awal bulan Qamariyah, untuk itu penulis
ingin meneliti lebih jauh lagi kedalam bentuk penulisan skripsi dengan judul
“TAKWIM HIJRIYAH TAREKAT SYATTARIYAH (Studi Filologi Terhadap
Naskah Takwim di Nagari Muaro Sijunjung)”
7 Kadrianto, “Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan
Konteks”, Hantaran FIB UNAND, (2013): h.2. 8 Kadrianto, “Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan
Konteks”, Hantaran FIB UNAND, (2013): h.2.
5
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana langkah-langkah menentukan awal bulan hijriyah ?
2. Apa saja metode yang digunakan untuk menentukan awal bulan hijriyah ?
3. Apakah penyebab terjadinya perbedaan dalam menentukan awal bulan
hijriyah khususnya di Indonesia ?
4. Bagaimana menyikapi perbedaan penetapan awal bulan hijriyah di
Indonesia khususnya yang berkaitan dengan ibadah umat Islam ?
5. Bagaimanakah perkembangan Tarekat Syattariyah di Minangkabau ?
6. Bagaimana ajaran dari aliran Tarekat Syattariyah di Minangkabau ?
7. Bagaimanakah cara menentukan awal bulan hijriyah menurut manuskrip
takwin Tarekat Syattariyah di Surau Calau?
8. Bagaimana proses penentuan awal bulan hijriyah menurut manuskrip
takwin di Surau Calau ?
9. Apakah landasan yang digunakan oleh Tarekat Syattariyah dalam
menentukan awal bulan hijriyah ?
10. Hambatan-hambatan apa yang timbul ketika jamaah Tarekat Syattariyah
melaksanakan ibadah haji ke Makkah yang notabene metode penghitungan
awal bulannya berbeda dengan pemerintah Arab Saudi ?
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini, agar pembahasan tidak melebar jauh dari topik
yang dibahas, maka penulis mambatasi permasalahan pada metode penentuan
awal bulan yang digunakan oleh Tarekat Syattariyah di Surau Calau Sijunjung
dalam menentukan awal bulan hijriyah.
6
Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Apakah landasan yang digunakan Tarekat Syattariyah dalam menentukan
awal bulan hijriyah ?
2. Bagaimana cara menentukan awal bulan hijriyah menurut manuskrip
takwim Tarekat Syattariyah di Surau Calau ?
D. Tujuan Dan Manfaat
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui landasan yang digunakan Tarekat Syattariyah dalam
menentukan awal bulan hijriyah.
2. Untuk mengetahui cara menentukan awal bulan hijriah menurut manuskrip
takwim Tarekat Syattariyah di Surau Calau.
Adapun manfaat yang didapat dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Manfaat yang didapat secara pribadi dari penulisan karya ilmiah ini adalah
sebagai dasar untuk malanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi
dan menjadikan takwim hijriyah Tarekat Syattariah di Surau Calau ini
sebagai konsentrasi yang akan penulis dalami.
2. Manfaat untuk sebuah institusi yaitu memperkaya pustaka Fakultas
Syariah dan Hukum dengan pembahasan tentang takwim hijriyah Tarekat
Syattariah di Surau Calau yang tidak hanya membahas seputar takwim
hijriah itu sendiri, melainkan diperkaya dengan kaitannya dengan
manuskrip Tarekat syattariah di Surau Calau.
7
3. Memberikan sebuah pemahaman kepada masyarakat khusunya masyarakat
muslim dalam bidang takwim hijriyah menurut penganut Tarekat
Syattariyah di Surau Calau.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan pendekatan kajian filologi, yaitu metode penelitian yang memfokuskan
perhatian pada aspek bahasa dan sastra, terlebih yang termasuk dalam kategori
bahasa dan sastra klasik.9 Filologi pada dasarnya digunakan untuk meneliti objek
naskah, dan untuk melihat data tekstual dari naskah.10
Filologi adalah ilmu yang
berusaha mempelajari dan memahami seluk beluk tentang naskah (manuskrip).
Filologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang diperlukan untuk suatu upaya yang
dilakukan terhadap peninggalan tulisan masa lampau dalam rangka menggali
nilai-nilai budaya masa lampau yang terkandung di dalam naskah.11
2. Sumber Data
a. Data Primer
Adapun data primer dalam penelitian ini adalah manuskrip, yaitu
dokumen yang ditulis tangan secara manual diatas sebuah media seperti
kertas, papirus, dan lontar, daluwang, kulit binatang, dan lainnya yang
berisi informasi menyangkut buah pikiran, perasaan, kepercayaan, adat
9 Oman Fathurahman, dkk, Filologi dan Islam Indonesia, cet. I, (Jakarta: Puslitbang
Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010), h.10. 10
Kadrianto, “Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan
Konteks”, Hantaran FIB UNAND, (2013): h.4. 11
Kadrianto, “Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan
Konteks”, Hantaran FIB UNAND, (2013): h.3.
8
istiadat, kegiatan sehari-hari, ajaran, dan berbagai informasi lain yang
terkait dengan sebuah masyarakat tertentu pada masa lampau.12
b. Data Sekunder
Buku-buku, Journal, artikel dan sebagainya yang berkaitan dengan
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
3. Pengumpulan Data
a. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu mengumpulkan dokumen-dokumen yang berkaitan
dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
b. Wawancara
Wawancara yaitu melakukan tanya jawab secara langsung kepada orang
yang ahli dalam bidang takwim hijriah dalam manuskrip Tarekat
Syattariyah di Surau Calau secara tatap muka antara penulis dengan
narasumber guna mendapatkan informasi-informasi yang berkenaan
dengan permasalah yang diangkat dalam penelitian ini.
c. Observasi
Melakukan pengamatan langsung di lapangan atau lokasi penelitian
yaitu di Surau Calau kecamatan Sijunjung untuk menggali lebih dalam
tentang materi yang akan dibahas dalam penelitian ini.
4. Pengolahan Data
Adapun tatacara pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan cara pendekatan filologi jenis Edisi Diplomatik (Diplomatic
12
Oman Fathurahman, dkk., Filologi dan Islam Indonesia, h.4.
9
Edition). Edisi diplomatik disini sesungguhnya adalah teks hasil transkipsi setia
dari sebuah naskah tunggal yang menggambarkan sedekat mungkin wujud
aslinya. Dalam sebuah edisi diplomatik, sang pengkaji naskah tidak bertujuan
untuk menghadirkan teks yang memiliki bacaan terbaik (best readings),
melainkan menyajikan teks “apa adanya”.
Setidaknya, dalam edisi diplomatik ini pun ada tanda-tanda diakritik atau
tanda baca tertentu yang niscaya digunakan untuk menandai bagian teks yang
terpaksa harus dihilangkan atau ditambahkan.13
5. Analisis Data
Setelah semua data yang diperlukan dalam penelitian ini terkumpul maka
tahap selanjutnya akan dilakukan analisis data dengan menggunakan penelitian
pendekatan filologi edisi diplomatik guna untuk mengetahui hasil dari sebuah
penelitian yang dilakukan.
6. Teknik penulisan
Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini mengacu kepada
“Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariáh dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
F. Review Studi Terdahulu
Dari beberapa literatur skripsi yang ada di perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadikannya sebagai
perbandingan dengan skripsi yang akan ditulis, diantaranya:
Judul Skripsi Pembahasan Perbedaan
13
Oman Fathurahman, dkk., Filologi dan Islam Indonesia, h.21.
10
1. Lutfi Kamali/2011.
Pemikiran KH.
Royadi Hanna
Dalam Penetapan
Puasa dan Hari
Raya Di Kampung
Rawa Lele
Kelurahan
Pegadungan Jakarta
Barat
Penulis mengkaji
bagaimana kiprah dan
konsep dari KH.
Royadi Hanna dalam
menentukan puasa
dan hari raya di
kampung Rawa Lele
Kelurahan
Pegadungan Jakarta
Barat, serta
bagaimana
aplikasinya dengan
konsep pemerintah
dalam penetapan awal
bulan Syawal 1428
H/2007 M.
Perbedaannya dengan
skripsi yang akan penulis
buat yaitu penulis akan
mengkaji bagaimana
metode yang digunakan
oleh aliran Tarekat
Syattariyah dalam
menentukan awal bulan
Hijriyah yang berpatokan
dari manuskrip takwim
yang terdapat di Surau
Calau Nagari Muaro
kecamatan Sijunjung.
2. Nahraji Zen/2011.
Sistem Penentuan
Awal Bulan
Qamariyah Di
Lajnah Falakiyah
Alhusiniyah
Cakung Barat,
Penulis mengkaji
sistem perhitungan
serta dasar hukum
yang digunakan oleh
Lajnah Falakiyah al-
Husiniyah dan
penulis juga
Manakalah perbedaanya
adalah penulis tidak
membahas tentang
penentuan awal bulan
Qamariyah menurut
Lajnah Falakiyah al-
Husiniyah melainkan
11
Jakarta Timur. membahas bagaimana
praktek penetapan
awal bulan
Qamariyah serta
sebab-sebab
terjadinya perbedaan
dalam menentukan
awal bulan
Qamariyah dengan
pemerintah.
penulis hanya membahas
tentang penentuan awal
bulan Qamariyah
menurut aliran Tarekat
Syattariyah yang
berlokasi di Surau Calau
Nagari Muaro kecamatan
Sijunjung yang
berpatokan kepada teks
manuskrip takwim
hijriyah yang digunakan.
3. Nurbaiti/2012.
Penetapan Awal
Bulan Qamariyah
Perspektif Pondok
Pesantren Annida
Al- Islamy Bekasi.
Penulis
mengintrepretasikan
tentang penetapan
awal bulan
Qamariyah di Pondok
Pesantren Annida Al-
Islamy Bekasi serta
mengkaji metode
serta dasar hukum
yang digunakan
dalam menentukan
awal bulan
Perbedaannya penulis
membahas tentang
penentuan awal bulan
Qamariyah menurut
aliran Tarekat
Syattariyah yang
berlokasi di Surau Calau
Nagari Muaro kecamatan
Sijunjung yang
berpatokan kepada teks
manuskrip takwim
hijriyah yang digunakan
12
Qamariyah serta
bagaimana sikap yang
dilakukan ketika
dalam menentukan
awal Bulan
Qamariyah ini
berbeda dengan yang
ditetapkan oleh
pemerintah.
4. Kadrianto/2003.
Teks Takwim
dalam Naskah-
Naskah Koleksi
Surau Calau: Teks
dan Konteks.
Penulis
mendeskripsikan
naskah manuskrip
tersebut serta dan
membahas cara
menghitung hisab
takwim. Penulis tidak
menjelaskan isi dari
manuskrip takwim
tersebut secara rinci.
Penulis akan
menjelaskan lebih jauh
tentang bagaimana
metode penentuan awal
bulan hijriyah yang
terdapat dalam
manuskrip takwim di
Surau Calau serta
meneliti apa landasan
hukum yang dipakai
dalam melakukan hisab
takwim ini.
13
G. Sistematika Penulisan
Agar dalam penulisaan skripsi ini menjadi terarah dan tidak mengambang,
penulis membuat sistematika penulisan yang disusun per bab. Skripsi ini terdiri
dari lima bab, dan setiap bab memiliki sub bab yang menjadi penjelasan dari
masing-masing bab tersebut. Skripsi ini diakhiri dengan daftar pustaka yang
menjadi rujukan penulis dalam penulisan skripsi ini dan lampiran-lampiran.
Adapun sistematika penulisan tersebut ialah sebagai berikut:
BAB I tentang latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat, metode penelitian, review studi terdahulu,
dan sistematika penulisan.
BAB II membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan metode serta tata
cara dalam menentukan awal bulah hijriyah serta dasar hukum penentuan awal
bulan dan menampilkan penentuan awal bulan menurut imam mazhab..
BAB III membahas mengenai sejarah, tokoh pengembang, jajaran serta
silsilah Tarekat Syattariyah dan perilaku ibadah dari Tarekat Syattariyah.
BAB IV Membahas tentang teks takwim hijriah dalam manuskrip Tarekat
Syattariyah di Suaru Calau, serta dalam bab ini juga akan dijelaskan tata cara
penentuan awal bulan yang dilaksanakan oleh penganut Tarekat Syattariyah di
Surau Calau Sijunjung.
BAB V terdiri dari kesimpulan dan saran.
14
BAB II
METODE PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYAH
A. Pengertian Hisab Rukyat
1. Pengertian Hisab
Ilmu hisab dalam bahasa Inggris disebut dengan Arithmatic1, “Hisab” itu
sendiri berarti hitung. Jadi Ilmu Hisab adalah ilmu hitung.2 Secara etimologis,
kata hisab dari bahasa Arab al-hisb yang berarti al-adad wa al-ihsha‟, bilangan
atau hitungan.3
Di kalangan umat Islam ilmu Falak dan ilmu Faraid dikenal pula sebagai
ilmu Hisab karena kegiatan yang paling banyak dilakukan dalam kedua ilmu
tersebut adalah perhitungan-perhitungan. Ilmu falak atau astronomi adalah suatu
ilmu pengetahuan yang mempelajari benda-benda langit, tentang fisiknya,
geraknya, ukurannya dan segala yang berkaitan dengannya. Benda langit yang
dijadikan obyek kajian di kalangan umat Islam adalah matahari, bulan dan bumi
yang terbatas pada posisinya masing-masing. Hal ini disebabkan karena perintah
1 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, cet. I (Yogyakarta: UIN-Malang Pers, 2008),
h.214. Lihat Lajnah Falakiah, Pedoman Rukyat Dan Hisab Nahdlatul Ulama, (Lajnah Falakiah
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, 2006), h. 4 – 5 dan h. 47. Aritmatik adalah tanggal yang dapat
dihitung hanya dengan cara aritmatika. Secara khusus, tidak perlu untuk membuat pengamatan
astronomi atau mengacu pada pengamatan astronomi, contoh dari perhitungan ini adalah kalender
masehi. Lihat Shofiyullah, Mengenal Kalender Lunisolar di Indonesia, (Malang : PP. Miftahul
Huda, 2006), h.04. 2 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik
Indonesia, Almanak Hisab Rukyat, cet.III. (Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia,
2010), h.20. 3 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, h.214.
15
pelaksanaan ibadah baik waktu maupun caranya berkaitan langsung dengan posisi
benda langit tersebut.4
Sementara itu, menurut istilah Hisab adalah perhitungan benda-benda langit
untuk mengetahui kedudukannya pada suatu saat yang diinginkan. Dengan
demikian yang dimaksud dengan hisab disini adalah hisab yang berkaitan dengan
penentuan awal bulan Qamariyah. Penentuan awal bulan Qamariyah mempunyai
makna yang sangat penting karena berkaitan dengan penentuan hari-hari besar
Islam dan yang lebih penting lagi adalah berkaitan dengan penentuan masuknya
awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, karena ketiga bulan ini
berhubungan dengan masalah kewajiban umat islam yakni ibadah puasa, shalat Id,
zakat fitrah dan haji.5
Aliran-aliran hisab di Indonesia apabila ditinjau dari segi sistemnya dapatlah
dibagi menjadi dua kelompok besar:
a. Hisab Urfi
Hisab ini dinamakan dengan hisab urfi karena kegiatan perhitungannya
dilandaskan kepada kaidah-kaidah yang bersifat tradisional.6 Sistem hisab urfi ini
perhitungannya didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi.
Lama hari antar bulan berselang seling antara 29 dan 30 hari yang bersifat tetap
kecuali bulan Dzulhijjah pada tahun kabisat berumur 30 hari.7
4 Maskufa, “Hisab Hakiki Muhammadiyah”, Ahkam X, no.1 (Maret 2008): h.119.
5 Maskufa, “Hisab Hakiki Muhammadiyah”, Ahkam X, no.1 (Maret 2008): h.120.
6 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik
Indonesia, Almanak Hisab Rukyat, h.95. 7 Maskufa, “Hisab Hakiki Muhammadiyah”, Ahkam X, no.1 (Maret 2008): h.128.
16
Tahun panjang ditetapkan umurnya 355 hari sedangkan tahun pendek
ditetapkan 354 hari. Dalam 30 tahun terjadi 11 kali tahun kabisat yang terletak
pada deretan tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26 dan 29.8
Para ulama di kalangan umat Islam sepakat bahwa hisab urfi ini tidak dapat
dipergunakan dalam menentukan awal bulan Qamariyah untuk pelaksanaan
ibadah kecuali untuk pembuatan kalender. 9 Karena dalam perhitungannya bersifat
tetap kecuali pada tahun kabisat pada bulan Dzulhijjah 30 hari dan hanya
menggunakan hisab tradisional.
b. Hisab Hakiki
Hisab hakiki adalah sistem penentuan awal bulan Qamariyah dengan
metode penentuan kedudukan Bulan pada saat Matahari terbenam.10
Hisab hakiki
ialah hitungan yang sebenarnya, yaitu hitungan berdasarkan peredaran matahari
atau bulan yang sebenarbenarnya dan setepat-tepatnya.11
Sistem ini dapat
digunakan dalam penentuan waktu-waktu ibadah karena dianggap lebih sesuai
dengan yang dimaksudkan syarak‟. Sebab, dalam prakteknya sistem ini
memperhitungkan wujudnya hilal. Dan sistem hisab inilah yang digunakan oleh
Muhammadiyah dalam menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal.12
Sistem hisab hakiki dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu:
8 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik
Indonesia, Almanak Hisab Rukyat, h.96. 9 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, h.224.
10 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik
Indonesia, Almanak Hisab Rukyat, h.96 11
Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, “Penggunaan Hisab dalam Penetapan Bulan Baru
Hijriyah/Qomariyah”, dalam Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama,
Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen
Agama , Hisab Rukyat dan Perbedaannya (Jakarta: Departemen Agama,2004). H.21. 12
Maskufa, “Hisab Hakiki Muhammadiyah”, Ahkam X, no.1 (Maret 2008): h.129.
17
1) Hisab Hakiki Taqribi
Sistem hisab ini mempunyai data yang bersumber dari data yang telah
disusun oleh Ulugh Beik al-Samaraqandi. Pengamatan yang digunakan
bersumnber dari teori Ptolomius, yaitu dengan teori geosentrisnya yang
menyatakan Bumi sebagai pusat peredaran benda-benda langit. Ketinggian hilal
dihitung dari titik pusat bumi, bukan dari permukaan bumi dan berpedoman pada
gerak rata-rata bulan, yaitu setiap hari bulan bergerak kearah timur rata-rata 12
derajat.
Rumus ketinggian hilal adalah selisih waktu ijtima‟ dengan waktu terbenam
kemudian dibagi dua. Konsekwensinya ialah apabila ijtima‟ terjadi sebelum
matahari terbenam, pasti hilal sudah berada diatas ufuq. Hisab ini belum
memberikan informasi tentang azimut bulan dan matahari dan diperlukan bnyak
koreksi untuk menghasilkan perhitungan yang lebih akurat. Dengan demikian
metode ini tidak dapat dijadikan untuk pelaksanaan ru‟yah al-hilal.13
Sistem ini
mempunyai kelebihan, yaitu data dan tabel-tabelnya dapat digunakan terus
menerus tanpa harus dirubah.
2) Hisab Hakiki Tahqiqi
Hisab ini mendasarkan perhitungannya pada data astronomi yang telah
disusun oleh Syaikh Husein Zaid Alauddin Ibnu Syatir. Adapun pengamatannya
berdasarkan kepada teori Copernicus yaitu dengan teori heliocentris yang
meyakini matahari sebagai pusat peredaran benda-benda langit. Menurut sistem
ini, perhitungan dapat dilakukan dengan rumus-rumus spherical trogonometri
13
Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, h.228.
18
dengan koreksi-koreksi data gerakan bulan maupun data gerakan matahari yang
dilakukan dengan teliti.
Sistem hisab ini menentukan ketinggian hilal dengan memperhatikan posisi
lintang dan bujur, deklinasi bulan, dan sudut waktu bulan dengan koreksi-koreksi
terhadap pengaruh refraksi, paralaks, Dip (keredahan ufuk), dan semi diameter
bulan. Oleh karena itu, hisab ini dapat memberikan informasi tentang
terbenamnya matahari setelah terjadinya ijtima‟, ketinggian hilal, azimut matahri
dan bulan untuk tempat observasi, serta dapat membantu pelaksanaan ru‟yah al-
hilal. Adapun yang dapat dikelompokkan dalam sistem ini adalah al-Khulashah
al-Wafiyah dan Hisab Haqiqi Nur Anwar.
3) Hisab Hakiki Tadqiqi
Sistem hisab ini menggunakan perhitungan yang didasarkan pada data-data
astronomi modern. Sistem hisab ini merupakan pengembangan dari sistem hisab
haqiqi tahqiqi yang disintesakan dengan ilmu astronomi modern. Hal ini
dilakukan dengan memperluas dan menambahkan koreksi-koreksi gerak bulan
dan matahari dengan rumus-rumus spherical trigonometri, sehingga didapat data
yang sangat teliti dan akurat. Penyelesaian perhitungan menggunakan alat-alat
elektronika modern, misalnya kalkulator, computer, dan alat pendeteksi koordinat
lintang dan bujur dengan standart internasional, yaitu Geo Positioning System
(GPS). Hisab ini dapat lebih akurat memperhitungkan posisi hilal sehingga
pelaksanaan rukyat dapat dilakukan dengan lebih teliti.14
Sistem hisab inilah yang
14
Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, h.228.
19
biasa digunakan oleh Pemerintah dan NU dalam menentukan masuknya awal
bulan seperti Ramadhan dan Syawal.
2. Pengertian Rukyat
Secara etimologi istilah rukyat berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata al-
ra‟a yang berarti melihat dengan mata, maksudnya adalah melihat dengan mata
telanjang (langsung). Adapun istilah ru‟yah al-hilal dalam konteks penentuan
awal bulan Qamariyah adalah melihat hilal dengan mata telanjang atau dengan
menggunakan alat yang dilakukan setiap akhir bulan atau tanggal 29 bulan
Qamariyah pada saat matahari terbenam.15
Berhasil atau tidaknya rukyatul hilal tergantung pada kondisi ufuk sebelah
barat tempat peninjau, posisi hilal itu sendiri dan kejelian mata sipeninjau.16
Jika
hilal berhasil dirukyat, sejak malam itu sudah dihitung tanggal satu bulan baru.
Tetapi jika tidak berhasil dirukyat, maka malam itu dan keesokan harinya masih
merupakan bulan yang sedang berjalan, sehingga umur bulan tersebut
disempurnakan 30 hari yang terkenal dengan istilah istikmal.17
Rukyah hilal (melihat bulan baru) untuk mengetahui pergantian bulan dan
khususnya untuk mengetahui awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzhulhijjah
dalam rangka pelaksanaan ibadah puasa, hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul
Adha.18
Rukyat biasanya digunakan untuk memastikan hasil perhitungan hisab
15
Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, h.214. 16
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik
Indonesia, Almanak Hisab Rukyat, h.21. 17
Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, h.216. 18
A. Jamil, Ilmu Falak (Teori dan Aplikasi): Arah Qiblat, Awal Waktu, dan Awal Tahun
(Hisab Kontemporer) cet. III. (Jakarta: Amzah, 2014), h.153.
20
apakah pada waktu tersebut hilal bisa terlihat atau terhalang oleh sesuatu baik
berupa debu maupun awan mendung.
B. Dasar Hukum Hisab Rukyat
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan
sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan
bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya19
akan tetapi
kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-
rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu
beruntung.(QS. Al Baqarah, 2: 189)
adalah bentuk jamak dari hilaal. Adanya bentuk jamak untuk kata ini األيح
(walaupun benda yang dimaksud satu), dengan alasan hilal setiap bulan dan setiap
permulaan malam, ini berarti menunjukkan perbedaan waktu yang diungkapkan
dengan perbedaan dzat. Al-Hilaal adalah sebutan untuk sesuatu yang tampak di
awal dan di akhir bulan. Al Ashma‟i berkata, “(benda) itu tetap disebut hilaal
sampai tampak bulat.”20
katakanlah, “itu adalah [petunjuk] waktu bagi) قو قد ىياط اىؽط
manusia dan [ibadah] haji”) ayat ini menjelaskan tentang hikmah bertambah dan
berkurangnya hilal, dan hal itu juga menunjukkan waktu yang digunakan manusia
untuk menetapkan ibadah-ibadah dan mu‟amalah-mu‟amalah mereka, seperti
19
Pada masa Jahiliyah, orang-orang yang berilham di waktu haji, mereka memasuki
rumah dari belakang bukan dari depan. Hal ini ditanyakan pula oleh para sahabat kepada
Rasulullah SAW Maka diturunkanlah ayat ini. 20
Al Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir, jil. I,
Penerjemah Amir Hamzah Fachruddin, dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h.734.
21
puasa, buka puasa, haji, masa kehamilan, iddah, persewaan, perjanjian atas
sesuatu dan sebagainya.21
Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu,
supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak
menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. dia menjelaskan tanda-
tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui. (QS. Yunus,10: 5)
Dalam ayat ini disebutkan قذس dengan hanya menyebutkan satu dhamir,
padahal sebelumnya disebutkan bulan dan matahari. Ada dua jawaban dari
masalah ini, yaitu: pertama: Dhamir huruf ha (nya) pada kata ini hanya kembali
kepada bulan, tidak kepada matahari, karena dengan terbitnya bulan sabitlah
(hilal) diketahuinya pergantian bulan dan tahun (Hijriyah), bukan dengan
matahari. Kedua: penyebutan kata ganti salah satu telah mencakupi keduanya.
Sedangkan firman Allah, ىرؼيا ػذد اىغ اىؽغاب “supaya kamu mengetahui
bilangan tahun dan perhitungan (waktu),” artinya adalah, Allah menetapkan
tempat-tempat bulan dan matahari itu agar kalian wahai orang-orang beriman tahu
jumlah tahun, baik permulaan maupun berakhirnya. Maksud dari perhitungannya
disini adalah perhitungan waktu, hari, jam, dan sebagainya.22
21
Al Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir, jil. I,
, h.735. 22
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, jil. 13, Penerjemah
Anshari Taslim, dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h.449.
22
Artinya: Dan kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu kami
hapuskan tanda malam dan kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu
mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-
tahun dan perhitungan. dan segala sesuatu Telah kami terangkan dengan jelas.
(QS. Al Isra‟, 17: 12)
Maksud ayat ini adalah, Allah Ta‟ala berfirman, “Di antara nikmat Allah
kepada kalian adalah, membedakan antara tanda-tanda malam dan tanda-tanda
siang, dengan menggelapkan malam dan menerangkan siang, agar kalian berdiam
diri pada malam hari dan berusaha mencari rezeki Allah yang telah ditakdirkan-
Nya bagi kalian pada siang hari. Juga agar kalian mengetahui bilangan tahun,
berakhirnya tahun, permulaan masuknya tahun, dan perhitungan waktu siang dan
malam serta waktu-waktunya.”23
Artinya: Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan,
dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi. (QS. At-
Taubah, 9: 36).
Firman Allah SWT, “Di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi.” Penyebutan kalimat ini sebenarnya untuk
menjelaskan bahwa qadha dan qadar Allah ditetapkan sebelum penciptaan langit
dan bumi. Selain itu, Allah SWT menentapkan bulan-bulan ini dan menamakan
masing-masing bulan tersebut beserta dengan urutannya pada saat Allah
menciptakan langit dan bumi. Kemudian nama-nama bulan itu diberitahukan
kepada para nabi melalui Kitab Suci yang diturunkan Allah kepada masing-
masing mereka.
23
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, jil. 16, Penerjemah
Misbah, dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h.555.
23
Inilah makna firman Allah SWT, “Sesungguhnya bilangan bulan disisi
Allah ialah dua belas bulan.” Hukumnya tetap ada seperti ketika diturunkan, dan
akan tetap kekal walaupun orang-orang musyrik berusaha mengacak urutannya
atau merubah nama-namanya.24
Ayat ini menunjukkan bahwa yang diwajibkan didalam menerapkan waktu
peribadatan atau lainnya hanya berlandaskan hitungan bulan atau tahun yang
dikenal oleh bangsa Arab, bukan hitungan bulan atau tahun yang dipakai oleh
orang asing, orang-orang Romawi, atau penanggalan orang-orang Mesir kuno,
karena hitungan hari atau bulan yang dimiliki oleh mereka tidak sama dengan
hitungan yang dimiliki oleh orang Islam.25
...
Artinya: (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang
di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak
dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, ... (QS. Al
Baqarah, 2: 185)
karena itu, barang siapa di antara kamu, hadir [di negeri) ف شذ ن اىصش
tempat tinggalnya] di bulan itu), yakni sedang berada di tempat tinggalnya dan
tidak sedang bepergian, yakni sedang mukim. Kata اىصش pada posisi nashab
sebagai zharf (keterangan waktu), bukan sebagai maf‟ul bih (obyek penderita).
Segolongan salaf dan khalaf mengatakan, bahwa orang yang mendapati bulan
24
Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi; jil. 8, Penerjemah Budi Rosyadi, dkk.
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h.309. 25
Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, h.310.
24
Ramadhan dalam keadaan sedang muqim, tidak sedang bepergian, maka ia wajib
berpuasa, baik setelah itu ia bepergian (safar) maupun tetap muqim.26
Artinya: Dan Telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga
(Setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk
tandan yang tua.27
(QS. Yasin, 36:39)
Manzilah-manzilah berjumlah dua puluh delapan manzilah, yang mana
bulan setiap malam menempati satu manzilah. Adapun nama dari manzilah-
manzilah itu adalah: Apabila bulan telah berada pada bentuk terakhirnya, maka ia
kembali ke bentuk awalnya. Jadi ia melampaui angkasa selama dua puluh delapan
malam. Ia kemudian mengecil seperti tanda kering yang melengkung dan
kemudian membesar menjadi bulan purnama.28
Penggunaan metode hisab dan rukyat selain didasarkan kepada nash Al-
Quran, juga didasarkan pada hadits-hadits Nabi Muhammad SAW, berikut:
شا ح ؼذ غي ت شا ػثذ للا ا ؼذ ػ للا ش سظ ػ ت ػثذ للا افغ ػ اىل ػ سعه أ
ل ذفطشا ؼ له ا اى ا ؼر ذش فقاه ل ذص عا رمش س عي ػي صي للا ر للا
ن ػي غ فئ 29فاقذسا ى ذش
26
Al Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir, jil. I,
Penerjemah Amir Hamzah Fachruddin, dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h.709. 27
Maksudnya: bulan-bulan itu pada Awal bulan, kecil berbentuk sabit, Kemudian
sesudah menempati manzilah-manzilah, dia menjadi purnama, Kemudian pada manzilah terakhir
kelihatan seperti tandan kering yang melengkung. 28
Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, h.73. 29
Dalam penelitian ini peneliti juga mengambil rujukan dari software hadits berisi kitab 9
imam dalam bahasa Indonesia kepada bangsa Indonesia khususnya kaum Muslimin yang
dikeluarkan oleh Lidwa Pusaka. Keberadaan program software ini memiliki kelebihan-kelebihan
yang tidak dimiliki pada literatur kitab atau buku-buku. Disamping lebih ringkas bentuknya,
praktis, dan murah, sebuah program software juga tentu lebih bisa menjawab tututan efisiensi
waktu dalam mencari objek ilmu yang kita kehendaki. Karya dari Lidwa Pustaka ini diberi nama
Ensiklopedi Hadits (disingkat menjadi CDHAK9I) yang didalamnya telah dikumpulkan dan
disusun oleh sembilan ulama hadits kenamaan ummat, yang berjumlah 62.000 hadits. Dalam
program software ini hadits disusun berdasarkan nomor urut dalam kitab masing-masing, dan juga
dapat melihat keshahihan suatu hadits dengan menemukan dengan melihat perawinya, dan kita
dapat melihat kedudukan dari masing-masing perawi. Dalam pembuatan Software ini bekerja sama
dengan PT. Telkom Indonesia dan Pt Kreasi Riset Informatika Sistem Solusi ( Keriss ). Lidwa
25
Artinya: Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Maslamah telah
menceritakan kepada kami Malik dari Nafi' dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu
'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menceritakan tentang bulan
Ramadhan lalu Beliau bersabda: "Janganlah kalian berpuasa hingga kalian
melihat hilal dan jangan pula kalian berbuka hingga kalian melihatnya. Apabila
kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah jumlahnya (jumlah hari
disempurnakan) "(Bukhari - 1773).
ات ػ قه: ارا عي ه للا صي للا ػي ؼد سع ا قاه: ع للا ػ شسظ ػ
اى,, فاقذس ن ػي غ ا, فا فافطش ر ارا سا ا, ا فص ر رفق ػيسا :,, فا غي ى ػ اغ ج شلش ا اىؼذ ي ىيثخاس:,, فام ,, اى شلش فاقذس ن ,,ي
30
Artinya: Ibnu Umar berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Apabila engkau sekalian melihatnya (bulan) berpuasalah, dan apabila engkau
sekalian melihatnya (bulan) berbukalah, dan jika awan menutupi kalian maka
perkirakanlah.” Muttafaq Alaihi.
Menurut riwayat Muslim:”Jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah tiga
puluh hari.”
Menurut riwayat Bukhari:”Maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga puluh
hari.”
شلش ا ػذج شؼثا ي شج: فام س ات ش ى ف ؼذ ,,31
Artinya: Menurut riwayatnya dari hadits Abu Hurairah: “Maka Sempurnakanlah
hitungan bulan Sya‟ban 30 hari.”
Berdasarkan hadits-hadits tentang penetapan awal bulan Qamariyah
khususnya awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah adalah dengan jalan
rukyatul hilal yaitu melihat secara langsung hilal sesaat setelah matahari terbenam
Pustaka i-Software, Kitab Sembilan Imam, Shohih Bukhari No. 1773, lihat juga Imam Malik bin
Anas, Al Muwaththa‟ Imam Malik, Penerjemah Nur Alim, dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006),
h.349, dan Al Bayan, Shahih Bukhari Muslim, cet. 10. Penerjemah Jabal, (Bandung: Jabal, 2013),
h.205. 30
Ibnu Hajar Atsqani, Buluughul Maraam Min Adilatil Ahkaam, Penerjemah Masdar
Helmy, (Bandung: Gema Risalah Press, 2012), h.256, lihat juga Al-Hafizh „Abdul „Azhim bin
„Abdul Qawi Zakiyuddin Al-Mundziri, Mukhtashar Shahih Muslim Penerjemah Achmad Zaidun,
(Jakarta: Pustaka Amani, 2003), h.325, dan Al-Imam Zainudin Ahmad bin Abd Al-Lathif Az-
Zabidi, At-Tajriid Ash-Shariih li Ahaadits Al-Jaami‟ Ash-Shahih, Penerjemah Achmad Zaidun,(
Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h.424. 31
Ibnu Hajar Atsqani, Buluughul Maraam Min Adilatil Ahkaam, h.256, lihat juga
Kementerian Agama Republik Indonesia, Almanak Hisab Rukyat, , h.11
26
pada hari ke 29 atau dengan jalan istikmal yakni menggenapkan bilangan bulan
itu menjadi 30 hari manakala rukyat yang dilakukan itu tidak berhasil.32
Kalimat “faqdurullah” dimaknai oleh kalangan penganut hisab sebagai kira-
kirakanlah yaitu dengan jalan hisab. Sementara bagi kalangan penganut rukyat
kalimat tersebut masih mujmal sedangkan hadits dengan teks”...fakmiluu „idata
Sya‟ban tsalaatsiina” adalah mufasar. Maka yang mujmal harus dibawa ke yang
mufasar. Jadi makna faqdurulah dalam hadits itu adalah istikmal. Yaitu bila
rukyat tidak berhasil maka genapkanlah bilangan bulan Sya‟ban itu 30 hari.33
Sementara itu, digunakannya metode hisab dalam menetapkan awal bulan
qamariyah yang digunakan sebagian umat Islam bukan didasarkan kepada
pengetahuan akal semata dengan melepaskan diri dari nash. Akan tetapi, mereka
juga menggunakan nash baik yang terdapat dalam Al-Quran seperti QS. Yunus
ayat 5 dan QS. Al-Isra ayat 12 seperti yang telah penulis cantumkan di atas.
Dalam kitab-kitab tafsir disebutkan bahwa ayat tersebut menerangkan
tentang susunan dan hukum yang berlaku di ruang angkasa yang juga
menunjukkan akan kekuasaan dan kebesaran Allah SWT dalam mengatur alam
semesta dengan harmonis. Dengan ayat ini pula manusia dapat memahami
manfaat dari sinar matahari dan cahaya bulan, malam untuk beristirahat dan siang
hari untuk mencari penghidupan (bekerja) dan melakukan perjalanan. Juga
ditetapkan pada masing-masing benda langit itu garis edar masing-masing
sehingga memudahkan manusia dalam menghitung dan mengetahui bilangan
tahun, bulan, hari, dan seterusnya yang pada akhirnya manusia dapat membuat
32
Maskufa, Ilmu Falak, cet. I, (Ciputat: Gaung Persada Press, 2009), h.152. 33
Maskufa, Ilmu Falak, h.155.
27
perencanaan bagi diri, keluarga dan masyarakat dalam menjalani hidup dan
kehidupannya sebagai anggota masyarakat dan hamba Allah SWT.
Selanjutnya, dengan ayat ini manusia berdasarkan pada adanya peredaran
bulan dan matahari yang tetap dan harmonis dapat mengetahui perhitungan tahun,
bulan dan hari. Manusia juga dapat melakukan perhitungan terhadap waktu shalat,
waktu berpuasa, dan berhari raya dan waktu pelaksanaan haji sehingga kewajiban-
kewajiban agama itu dapat dilaksanakan tepat waktu.34
Karena begitu pentingnya
untuk menentukan waktu karena berkaitan dengan pelaksanaan ibadah umat
Islam.
C. Pandangan Ulama Madzhab Terkait Penentuan Bulan Qamariyah
Pendapat para fuqaha tentang cara memastikan kemunculan hilal Ramadhan
dan Syawwal berkisar di antara tiga kemungkinan, yaitu dengan terlihatnya hilal
oleh khalayak ramai, oleh dua orang Muslim yang adil (berperangai baik), dan
oleh satu pria adil.
1. Madzhab Hanafi
Jika langit cerah, untuk menentukan tibanya bulan Ramadhan dan hari Idul
Fitri, hilal harus terlihat oleh khalayak ramai. Pengukuran jumlah mereka
diserahkan kepada pemimpin negara (menurut pendapat paling shahih). Syarat
terlihatnya hilal oleh khalayak ramai adalah karena mathla‟ hanya satu ditempat
itu, sementara tidak ada penghalang (mendung, misalnya), mata semua orang
sehat, dan mereka semua berkeinginan untuk melihat hilal. Sehingga, dalam
kondisi seperti ini, jika hanya satu orang di antara khalayak yang melihat hilal, ini
34
Maskufa, Ilmu Falak, h.154..
28
jelas menunjukkan kekeliruan penglihatannya. Pada waktu menyampaikan
kesaksian, masing-masing dari khalayak ini mesti mengucapkan “aku bersaksi”.35
Adapun jika langit tidak cerah karena mendung atau badai debu misalnya,
maka terlihatnya hilal cukup dipastikan dengan persaksian seorang Muslim yang
adil (berbudi luhur), berotak waras, dan balig atau persaksian seorang Muslim
yang tidak diketahui budi pekertinya (menurut pendapat yang shahih), baik laki-
laki maupun perempuan, merdeka maupun hamba sahaya, sebab ini adalah
perkara keagamaan, sehingga ia mirip dengan periwayatan hadits. Dalam kondisi
ini orang tersebut tidak disyaratkan orang tersebut mengucapkan “aku bersaksi”.
Dalam masalah ini seseorang boleh memberi kesaksian berdasarkan
persaksian orang lain. Jadi, dia boleh memberi kesaksian di depan hakim
berdasarkan kesaksian seseorang yang telah melihat hilal.
Barang siapa telah melihat hilal sendirian, dia harus berpuasa meskipun
penguasa tidak menerima kesaksiannya. Seandainya dia tidak berpuasa, dia wajib
mengqadha, tapi tidak wajib membayar kafarat.
Informasi yang diberikan oleh pakar hisab dan astrologi tidak boleh
dipegang, sebab ia bertentangan dengan syariat Nabi kita. Alasannya, meskipun
hasil perhitungan hisab itu benar, kita hanya diperintahkan oleh syariat untuk
berpuasa hanya berdasarkan rukyatul hilal dengan cara biasa.36
2. Madzhab Maliki
Hilal Ramadhan dipastikan kemunculannya melalui rukyat dengan tiga cara
berikut.
35
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid. 3 Penerjemah Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2011), h.50. 36
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, , h.51.
29
a. Hilal terlihat oleh khalayak ramai, meskipun mereka tidak berbudi
luhur. Khalayak ramai disini orang-orang dalam suatu jumlah yang
menurut kebiasaan tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta.
Mereka tidak harus disyaratkan laki-laki, merdeka, atau berbudi luhur.
b. Hilal terlihat oleh dua orang atau lebih yang berbudi luhur. Persaksian
mereka memastikan tibanya hari puasa dan hari Idul Fitri, baik pada
waktu mendung maupun cuaca cerah. “Orang yang berbudi luhur”
adalah laki-laki merdeka, balig, dan berotak waras, yang tidak pernah
melakukan dosa besar dan tidak terus-menerus melakukan dosa kecil,
serta tidak melakukan perkara yang mengurangi kewibawaan. Dengan
demikian, tidak wajib puasa pada waktu cuaca mendung jika yang
melihat hilal hanya satu pria yang berbudi luhur, atau satu wanita, atau
dua wanita (menurut pendapat yang masyhur), tapi orang yang melihat
hilal itu wajib berpuasa. Boleh memberi kesaksian berdasarkan
kesaksian dua pria berbudi luhur, apabila berita kedua pria tersebut
dinukil oleh dua orang dari masing-masing mereka. Dalam pernyataan
yang disampaikan oleh dua pria berbudi luhur atau oleh orang yang
menukil pernyataan mereka, tidak harus dipakai ungkapan “aku
bersaksi”.37
c. Hilal terlihat oleh satu orang yang berbudi luhur. Jika demikian, hari
puasa dan Idul Fitri sudah pasti bagi orang ini. Dengan demikian,
penguasa tidak boleh menetapkan kemunculan hilal berdasarkan
37
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h.51.
30
penglihatan satu orang saja yang berbudi luhur. Orang ini tidak
diharuskan laki-laki dan tidak pula harus merdeka. Adapun jika yang
melihat hilal tersebut adalah si penguasa sendiri, maka wajib berpuasa
dan berhari raya Idul Fitri (bagi semua orang).
Adapun hilal Syawal dipastikan kemunculannya jika telah terlihat oleh
khalayak ramai yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta dan informasi
mereka memberikan pengetahuan yang pasti, atau jika telah terlihat oleh dua
orang yang berbudi luhur, sebagaimana halnya dalam pemastian kemunculan hilal
Ramadhan.
Hilal tidak dapat dipastikan kemunculannya berdasarkan ucapan astrolog
(orang yang bisa memperkirakan masa depan berdasarkan posisi bintang), baik
bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain, sebab syariat mengaitkan puasa, Idul
Fitri, dan haji dengan “terlihatnya” hilal, bukan dengan “kemunculan” jika di
asumsikan bahwa ucapan astrolog tersebut benar. Jadi, kita tidak boleh dan tidak
diperintahkan untuk beramal dengan berpedoman kepada perhitungan ilmu falak,
meskipun hasil perhitungannya benar.38
3. Madzhab Syafi’i
Kemunculan hilal (untuk Ramadhan, Syawal, maupun bulan yang lain) bagi
masyarakat umum dipastikan dengan penglihatan satu orang yang berbudi luhur,39
meskipun orang ini tidak dikenal, baik langit cerah ataupun tidak, dengan syarat
bahwa orang yang melihat tersebut berbudi luhur, Muslim, balig, berakal,
merdeka, laki-laki, dan menggunakan kalimat “Aku bersaksi”. Dalil mereka:
38
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h.52. 39
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jil.2 Penerjemah Khairul Amru Harahap, dkk (Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2012), h.221.
31
Suatu ketika Ibnu Umar r.a. melihat hilal lalu dia melapor kepada Rasulullah
SAW, kemudian Rasulullah berpuasa dan memerintahkan orang-orang berpuasa.
Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan hadits tersebut:
فقو: إ سأد له سعا، فقو: أذشذ أ ل ظاء أػشات إى اىث صي للا ػي عي
إى إل للا ؟ قاه: ؼ، قاه: أذشذ أ ؽذا سعه للا ؟ قاه: ؼ، قاه: ا تله، أر ف
اىظ فيصا غذا40
Artinya: Seorang Arab Badui menghadap Rasulullah SAW lalu berkata, “saya
telah melihat hilal Ramadhan!” Beliau bertanya, “Apakah kau bersaksi bahwa
tiada tuhan selain Allah ?” orang itu menjawab, “Ya.” Beliau bertanya lagi,
“Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul Allah?” Dia menjawab,
“Ya.” Beliau lantas bersabda, “Hai Bilal, umumkan kepada semua orang agar
mereka berpuasa besok”.(Tirmidzi, Hadits No. 627).
Jika kita telah berpuasa berdasarkan informasi terlihatnya hilal oleh seorang
yang berbudi luhur, namun kita masih belum melihat hilal (Syawal) padahal sudah
tiga puluh hari kita puasa, maka kita harus menghentikan puasa (berhari raya Idul
Fitri) menurut pendapat yang paling shahih, meskipun langit cerah, sebab jumlah
hari dalam bulan itu sudah sempurna tiga puluh, sesuai dengan hujjah Syafi‟i.41
4. Madzhab Hambali
Untuk memastikan kemunculan hilal Ramadhan, dapat diterima perkataan
seseorang mukalaf yang berbudi luhur, secara zahir dan bathin, baik dia pria
maupun wanita, merdeka maupun budak, meskipun dia tidak mengucapkan “Aku
bersaksi bahwa aku sudah melihat hilal.” Jadi, tidak dapat diterima perkataan
seseorang mumayiz dan orang yang tidak diketahui perangainya. Sebab,
ucapannya tidak bisa diyakini kebenarannya, baik dalam cuaca mendung maupun
cerah, meskipun orang yang melihat itu berada di kerumunan orang banyak dan
40
Dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan Hakim. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu
Dawud dan At-Tirmidzi. Lihat juga Lidwa Pustaka i-Software, Kitab Sembilan Imam, Kitab
Tirmidzi No. 627. 41
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h.53.
32
hanya dia seorang yang melihatnya. Jika penguasa menetapkan suatu keputusan
berdasarkan kesaksian satu orang, keputusan itu wajib dilaksanakan masyarakat.
Jadi, siapapun mendengar dari mulut seseorang yang berbudi luhur, maka
dia harus berpuasa. Orang yang melihat hilal tidak wajib memberitahukannya
kepada orang-orang atau melapor kepada qadhi atau pergi ke masjid. Wajib puasa
atas orang yang tidak diterima kesaksiannya akibat kefasikan atau faktor lain,
berdasarkan hadits, ”Berpuasalah jika kalian melihat hilal Ramadhan.” Tapi, dia
tidak boleh mengakhiri puasa Ramadhan (berhari raya Idul Fitri) kecuali bersama
khalayak ramai. Sebab, tibanya hari Idul Fitri tidak bisa dipastikan kecuali dengan
kesaksian dua orang yang berbudi luhur. Jika dia melihat hilal Syawal sendirian,
dia tidak boleh berhari raya Idul Fitri. Selain itu, ada kemungkinan dia keliru, juga
dia bisa dicurigai ingin cepat-cepat mengakhiri puasa. Jadi, wajib ber-ikhtiyath.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tidak wajib berpuasa dengan
berpedoman kepada perhitungan ilmu perbintangan, meskipun perhitungan ini
sering benarnya. Sebab, hal ini tidak mempunyai landasan dalil syar‟i.
Apabila orang-orang telah berpuasa berdasarkan kesaksian dua orang
selama tiga puluh hari kemudian mereka masih tidak melihat hilal (Syawal),
hendaklah mereka mengakhiri puasa (berhari raya Idul Fitri), baik cuaca mendung
maupun cerah. Namun, mereka tidak boleh mebghentikan puasa jika mereka telah
berpuasa selama tiga puluh hari berdasarkan kesaksian satu orang saja. Sebab, ini
adalah masalah penghentian puasa, maka tidak boleh didasarkan pada ucapan satu
orang.
33
Jika mereka telah berpuasa selama 28 hari kemudian melihat hilal, meraka
hanya wajib mengqadha puasa satu hari. Jika mereka berpuasa karena cuaca
mendung, debu, atau asap misalnya, mereka tidak boleh menghentikan puasa.
Sebab, puasa tersebut tadinya dilakukan sebagai ihtiyath.42
Kesimpulannya: untuk memastikan kemunculan hilal Ramadhan dan
Syawal, madzhab Hanafi mensyaratkan terlihatnya hilal oleh khalayak ramai
apabila cuaca cerah, tapi cukup hanya terlihat oleh satu orang yang berbudi luhur
apabila cuaca mendung dan sejenisnya. Sedangkan madzhab Maliki,
mengharuskan terlihatnya hilal oleh dua orang atau lebih yang berbudi luhur.
Mereka berpendapat pula bahwa terlihatnya hilal oleh satu orang yang berbudi
luhur cukup bagi orang yang tidak berkepentingan dengan urusan kemunculan
hilal.
Terlihatnya hilal oleh satu orang yang berbudi luhur adalah cukup,
meskipun orang itu tidak diketahui perangainya menurut madzhab Syafi‟i, tapi
tidak cukup jika orang itu tidak diketahui perangainya menurut madzhab Hambali.
Disamping itu, menurut madzhab Hambali dan Maliki, untuk memastikan tibanya
Idul Fitri, hilal Syawal harus terlihat oleh dua orang yang berbudi luhur. Menurut
madzhab Hanafi dan Hambali, kesaksian wanita dapat diterima, tetapi menurut
madzhab Maliki dan Syafi‟i, kesaksiannya tidak dapat diterima.43
42
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h.54. 43
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h.56. Lihat juga Muhammad Jawad
Mughniyah, Al-Fiqh „ala a-Madzhab al-Khamsah Penerjemah Masykur A.B., dkk, (Jakarta:
Lentera, 1999). h.170-173.
34
Praktek hisab dan rukyat di Indonesia pada umumnya berpedoman kepada
pendapat madzhab Syafi‟i karena mayoritsa dari penduduk Indonesia yang
beragama Islam menganut Madzhab Syafi‟i.
35
BAB III
PROFIL TAREKAT SYATTARIYAH
A. Sejarah Tarekat Syattariyah
Tarekat Syattariyah sendiri adalah sebuah Tarekat yang dinisbatkan kepada
Syaikh Abdullah al-Syattar (w, 890 H/1485 M). Tarekat tersebut berakar kepada
Tarekat Isyqiyyah di Iran atau Bistamiyyah (asosiasi kepada Yazid al-Bisthami) di
Turki Usmani yang didirikan oleh Syihabuddin Abu Hafs al-Suhrawardi (w, 632
H/1234 M). Sebutan Syattariyah muncul ketika Abdullah al-Syattar
mengembangkannya di wilayah India. Penyebaran Syattariyah lebih lanjut
mendapatkan momentumnya pada diri Muhammad Ghauts, yang memasukkan
elemen-elemen yoga dalam formulasi dzikir Syattariyah dan menghasilkan
berbagai karya penting. Pengembangan Syattariyah keluar dari India dilakukan
oleh Sibghatullah bin Ruhillah Jamal al-Barwaji (w, 1015 H/1606 M).
Sibghatullah juga merupakan teman karib Fadlullah Burhanpuri (w, 1029 H/1620
M), penulis kitab Taufah al-Mursalah.1
Di tangan Sibghatullah, Tarekat Syattariyah berkembang ke Hijaz, yaitu
ketika ia memutuskan tinggal dan membangun ribat di Madinah. Dia dipandang
sebagai tokoh yang berhasil memperkenalkan kitab Jawahir al-Khamsah karya
Muhammad Ghauts di kalangan ulama Haramayn. Dua muridnya yang terkemuka
adalah Muhammad al-Syinawi dan Ahmad al-Qusyasyi. Melalui mereka berdua
1 Ahwan Fanani, “Ajaran Tarekat Syattariyah dalam Naskah Risalah Shattariyyah
Gresik”, Walisongo 20, no.2 (November 2012): h.358.
36
terekat Syattariyah berkembang luas, dan melalui al-Qasyasyi, Tarekat tersebut
masuk ke Indonesia, melalui Abdurouf Singkel (1024-1105 H/ 1614-1690 M).2
Awal perkembangan Tarekat Syattariyah di wilayah Melayu-Indonesia tidak
dapat dipisahkan dari masa kembalinya Abdurrauf al-Sinkili dari Haramayn pada
awal paruh kedua abad 17 tepatnya pada tahun 1661 M setahun setelah guru
utamanya al-Qusyasyi wafat. Seperti dijelaskan dalam salah satu kitab
karangannya, „Umdat al-Muhtajin, al-Sinkili menghabiskan waktu sekitar 19
tahun di Haramayn untuk belajar tentang berbagai ilmu pengetahuan Islam,
seperti tafsir, hadis, fikih, tasawuf, kalam, dan lain-lain. Ia belajar berbagai
pengetahuan agama tersebut pada tidak kurang dari 15 orang guru, 27 ulama
terkenal, dan 15 tokoh mistik kenamaan di Jeddah, Makkah, Madinah, Mokha,
Bait al-Faqih, dan lain-lain. Masa kembalinya al-Sinkili dari Haramayn ini dapat
dianggap sebagai awal masuknya Tarekat Syattariyah ke dunia Melayu-Indonesia.
Sejauh ini tidak ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa Tarekat ini telah hadir
sebelumnya.3
Di antara murid-murid al-Sinkili, yang paling terkemuka di antaranya
adalah Syaikh Burhanuddin dari Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat dan Syaikh
Abdul Muhyi dari Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa barat. Kedua murid al-Sinkili
ini berhasil melanjutkan dan mengembangkan silsilah Tarekat Syattariyah, dan
menjadi tokoh sentral, di wilayahnya masing-masing. Syaikh Burhanuddin
2 Ahwan Fanani, “Ajaran Tarekat Syattariyah dalam Naskah Risalah Shattariyyah
Gresik”, h.358. 3 Oman Fathurrahman, “Tarekat Syattariyah: Memperkuat Ajaran Neosufisme”, dalam
Sri Mukyati et.al., Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006), h.162.
37
menjadi khalifah utama bagi semua khalifah Tarekat Syattariyah di wilayah
Sumatera Barat periode berikutnya.4
Syaikh Burhanuddin Ulakan yang diperkirakan lahir sekitar tahun 1026 H
bernama Pono sewaktu kecilnya.5 Sedangkan menurut Dr. Oman Fathurrahman,
M. Hum dalam buku Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia menyebutkan
kalau Syaikh Burhanuddin dilahirkan sekitar tahun 1056 H/1646 M. Syaikh
Burhanuddin anak dari Pampak dan ibunya Sukuik yang dilahirkan di Pariangan
yang diyakini sebagai daerah asal Minangkabau, setelah itu pindah ke Sintuk,
Lubuk Alung, Pariaman. Sebelum belajar kepada Syaikh Abdurrauf al-Sinkili di
Aceh, diriwayatkan bahwa Pono muda berguru kepada Syaikh „Abdullah „Arif di
desa Tapakis, seorang pengembara Arab yang konon juga merupakan murid dari
Syaikh Ahmad al-Qusyasyi di Madinah, dan oleh karenanya dikenal dengan
sebutan Syaikh Madinah (Tuanku Madinah).6
Syaikh Madinah menyarankan agar Pono untuk lebih mendalami ajaran
agama Islam ke Aceh kepada Syaikh Abdurrauf al-Sinkili (Syaikh Kuala). Seruan
Syaikh Madinah dipenuhi oleh Pono. Pada sekitar tahun 1043 H Pono
meninggalkan Sintuk, Lubuk Alung berangkat ke Aceh selama kurang lebih 23
tahun. Pada tahun 1066 H Pono meninggalkan Aceh dan kembali ke Kubu
Tanjung Medan, Ulakan dengan diberi gelar oleh Syaikh Abdurrauf dengan
4 Oman Fathurrahman, “Tarekat Syattariyah: Memperkuat Ajaran Neosufisme”, dalam
Sri Mukyati et.al., Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, h.163. 5 Arsip Sejarah Ringkas Syekh Burhanuddin yang disahkan oleh Kepala Kantor
Departemen Agama Padang Pariaman tanggal 6 November 2004 di Pariaman. 6Oman Fathurrahman, “Tarekat Syattariyah: Memperkuat Ajaran Neosufisme”, h.167.
38
sebutan Burhanuddin yang berarti Penyuluh agama.7 Setelah itu Syaikh
Burhanuddin menetap dan tinggal serta mengajar agama Islam di Tanjung Medan
Ulakan serta mendirikan pondok/pesantren disana. Selanjutnya Syaikh
Burhanuddin diangkat sebagai khalifah pertama di daerah Minangkabau
khususnya di pulau Sumatera Semenanjung Melayu pada umumnya. Beliau wafat
pada hari Rabu tanggal 10 Syafar tahun 1111 H dengan usia 85 tahun sehingga
sekarang sudah menjadi tradisi bagi jamaah Syattariyah setiap hari Rabu di atas
tanggal 10 Syafar setiap tahunnya ke Ulakan Pariaman untuk bersyafar.8
Dari wilayah Sumatera Barat sendiri, al-Sinkili juga diketahui memiliki
beberapa murid lain selain Syaikh Burhanuddin. Dalam naskah inilah sejarah
ringkas Auliyaullah al-Salihin Syaikh Burhanuddin Ulakan yang
Mengembangkan Agama Islam di Daerah Minangkabau hasil salinan Imam
Maulana Abdul Manaf Amin misalnya, disebutkan bahwa ketika datang ke Aceh,
Syaikh Burhanuddin ditemani oleh empat orang Minangkabau lainnya yang
bertemu di jalan dan hendak menuntut ilmu agama ke Aceh. Keempat orang itu
adalah Datuk Maruhun Panjang dari Padang Ganting Batusangkar, Syaikh
Tarapang dari Kubung Tiga Belas Solok, Syaikh Mutanasir dari Koto Tangah
Padang, dan Syaikh Buyung Muda dari Bayang Pulut-pulut Bandar Sepuluh.9
7Syaikh Burhanuddin sepanjang hayatnya tidak pernah berkeluarga sehingga dia tidak
mempunyai keturunan dan sepeninggalan beliau jabatan khalifahnya turun temurun kepada murid-
murid untuk menjaga peninggalan dan warisan beliau. 8 Sejarah Ringkas Syekh Burhanuddin yang disahkan oleh Kepala Kantor Departemen
Agama Padang Pariaman tanggal 6 November 2004 di Pariaman. Lihat juga Harry Iskandar,
“Surau Syech Gadang Burhanuddin dan Surau Tinggi Calau”, artikel diakses pada 25 Juli 2016
dari http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/2016/02/02/surau-syech-gadang-
burhanuddin-dan-surau-tinggi-calau/. 9Oman Fathurrahman, “Tarekat Syattariyah: Memperkuat Ajaran Neosufisme”, h.163.
39
Perkembangan Tarekat Syattariyah di Sumatera Barat sendiri tampaknya
tidak dapat dipisahkan dari institusi surau, yang secara umum telah memainkan
peran penting dalam proses transmisi sebagai ilmu pengetahuan Islam. Dalam hal
ini, Syaikh Burhanuddin yang kemudian diikuti oleh para khalifah berikutnya bisa
dianggap berhasil dalam menyerap potensi lokal dengan memanfaatkan institusi
surau, yang dalam masyarakat Minangkabau sejak awal telah berfungsi sebagai
rumah tempat tinggal para pemuda setelah akil balig, terpisah dari rumah keluarga
yang menjadi tempat tinggal wanita dan anak-anak. Kendati sudah tidak berfungsi
lagi sebagai pusat keilmuan Islam seperti pada awal perkembangannya, hingga
kini, ribuan surau masih dapat dijumpai di Sumatera Barat. Khususnya di surau-
surau tua yang pernah menjadi basis Tarekat, biasanya dijumpai sejumlah kitab
keagamaan, baik yang masih ditulis tangan (manuscripts) maupun kitab cetakan.
Khalifah Tarekat Syattariyah setelah Syaikh Burhanuddin Ulakan sendiri
tampaknya berjumlah puluhan, sehingga tidak mengherankan jika silsilah Tarekat
yang berkembang hingga saat ini bisa melalui jalur yang berbeda-beda. Selain itu,
sumber lokal pun ternyata menyebutkan sejumlah nama khalifah yang urut-
urutannya agak berbeda satu dengan yang lain. Khalifah-khalifah Syaikh
Burhanuddin Ulakan tersebut, beberapa di antaranya seperti disebutkan dasalm
naskah Muballigul Islam (h. 216-218) melanjutkan kepemimpinan Syaikh
Burhanuddin di Surau Tanjung Medan, Ulakan. Mereka adalah:10
1. Syaikh Abdurrahman sebagai khalifah pertama, kemudian dilanjutkan
secara berturut-turut oleh
10
Oman Fathurrahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau (Jakarta: Prenada Media
Group, 2008), h.115.
40
2. Syaikh Khairuddin;
3. Syaikh Jalaluddin;
4. Syaikh Idris, yang konon juga merupakan kawan dekat Syaikh
Burhanuddin sendiri ketika belajar dengan Syaikh Madinah di Air Sirah
Tapakis;
5. Syaikh Abdul Muhsin, yaitu Tuanku Tapi Pasang yang tinggal di surau
Tangah Padang;
6. Syaikh Habibullah. Pada masa ini, di Tanjung Medan Ulakan terdapat
tiga khalifah yang menjadi pemimpin di surau Tanjung Medan, yakni :
Syaikh Habibullah sendiri, Syaikh Khalidin, yang dikenal dengan
sebutan Tuanku nan Hitam, dan Tuanku Fakih Mansur. Ketiga ulama ini
merupakan murid langsung dari Syaikh Abdul Muhsin;
7. Syaikh Ahmad Qasim;
8. Tuanku Tibarau nan Tuo;
9. Syaikh Abdul Jalil, cucu dari Tuanku Tibarau nan Tuo.
Susunan dan urutan khalifah Syaikh Burhanuddin Ulakan di atas sedikit
berbeda dengan susunan yang disebutkan dalam sebuah kertas yang berjudul
Sejarah Ringkas Syekh Burhanuddin yang ditanda tangani oleh Kepala Kantor
Urusan Agama Kabupaten Padang Pariaman, tertanggal 6 November 2004 yang
sekarang dipegang oleh Heri Firmansyah TK. Kalifah. Untuk lebih jelasnya inilah
41
susunan khalifah dari Syaikh Burhanuddin Ulakan sampai sekarang. Mereka
adalah:11
1. Syaikh Burhanuddin (1066 H – 1111 H )
2. Syaikh Idris (1111 H – 1126 H)
3. Syaikh Abdul Rahman (1126 H – 1137 H)
4. Syaikh Chairuddin (1137 H – 1146 H)
5. Syaikh Jalaluddin (1146 H – 1161 H)
6. Syaikh Abdul Muchsin (1161 H – 1180 H0
7. Syaikh Abdul Hasan (1180 H – 1194 H)
8. Syaikh Khaliluddin (1194 H – 1211 H)
9. Syaikh Habibullah (1211 H - 1231 H)
10. Syaikh Sultan Khusasi ( 1231 H – 1248 H)
11. Syaikh Djafarin (1248 H – 1280 H)
12. Syaikh Muhammad Sani (1280 H – 1311 H)
13. Syaikh Bosai (1311 H – 1366H)
14. Tuanku Barmawi (1366 H – 1424 H)
15. Tuanku Hery Firmansyah (1424 H – Sekarang)
Silsilah Tarekat Syattariyah melalui khalifah Syaikh Burhanuddin Ulakan
yang lain tidak kurang kompleksnya. Syaikh Abdurrahman Ulakan Misalnya,
memiliki dua orang khalifah, yakni Syaikh Abdul Muhsin Ulakan dan Syaikh
Sultan al-Kisai ibn Habibullah Ulakan. Belakangan, nama yang disebut terakhir
merupakan khalifah yang memainkan peran penting dalam penyebaran Tarekat
11
Sejarah Ringkas Syekh Burhanuddin yang disahkan oleh Kepala Kantor Departemen
Agama Padang Pariaman tanggal 6 November 2004 di Pariaman. Lihat juga Oman Fathurrahman,
Tarekat Syattariyah di Minangkabau, h.116.
42
Syattariyah di Sumatera Barat, karena melalui dirinya lah muncul sejumlah murid
yang mengembangkan Tarekat Syattariyah di berbagai pelosok Minangkabau.
Dari catatan yang dijumpai, Syaikh Sultan al-Kisai ibn Habibullah Ulakan
setidaknya memiliki lima orang murid utama, seperti Syaikh Abdul Wahab Calau
Sijunjung yang dijadikan guru oleh Syaikh Supayang Solok. Selain murid dari
Syaikh Sultan al-Kasai ibn Habibullah Ulakan, ia juga pernah berguru langsung
kepada Syaikh Abdul Muhsin Ulakan, guru bagi Syaikh Sultan al-Kasai ibn
Habibullah Ulakan sendiri. Syaikh Abdul Wahab ditugaskan gurunya untuk
mengembangkan Tarekat Syattariyah di Desa Calau, Sijunjung, hingga ia dikenal
dengan sebutan Angku Syaikh Calau atau Inyiak Calau. 12
Syaikh Abdul Wahab
(w. 1869), seorang ulama yang berasal dari Tanjung Bonai Aur, kecamatan
Sumpur Kudus, kabupaten Sijunjung, yang merintis Surau Calau menjadi pusat
kecendikiaan ulama-ulama Tarekat Syattariyah pada awal abad ke-19. Syaikh
Abdul Wahab telah menjadi magnet bagi orang-orang dari penjuru negeri untuk
datang dan belajar berbagai ilmu keagamaan di Surau Calau.13
Syaikh Abdul
Wahab meninggal dan dikuburkan di Calau, Sijunjung. Hingga kini, pusaranya
banyak diziarahi orang, khususnya para penganut Tarekat Syattariyah dari
berbagai pelosok di Minangkabau.14
Surau Calau merupakan salah satu di antara puluhan surau Tarekat
Syattariyah yang terdapat di Sumatera Barat. Surau ini terletak di Jorong
Subarang Sukam, Kenagarian Muaro, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten
12
Oman Fathurrahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau, h. 118. 13
Konservasi Naskah Calau artikel diakses pada 29 Juli 2016
http://www.sumbarprov.go.id/details/news/7703 14
Oman Fathurrahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau, h. 118.
43
Sijunjung. Surau ini pada masanya pernah menjadi pusat pengajaran keislaman
yang maju, Syaikh Abdul Wahab dalam konteks ini merupakan sosok yang sangat
penting, sangat dihormati di daerah Sijunjung dan juga oleh daerah lain di luar
Sijunjung. Hal ini bisa dibuktikan dalam proses ritual basafa. Bukti selanjutnya
yang memperkuat bahwa Syaikh Abdul Wahab merupakan tokoh yang penting,
disegani dan dihormati adalah dengan ditemukannya ratusan naskah kuno di
lokasi Surau Calau.15
Demikianlah sejarah Tarekat Syattariyah dari awal mula
munculnya hingga mengalami perkembangan yang sangat pesat di dunia Islam.
B. Perilaku Ibadah Tarekat Syattariyah
Sejak awal munculnya di wilayah India, Tarekat Syattariyah kemudian
mengalami reformulasi di Haramayn, dan akhirnya menyebar ke berbagai bagian
dunia Islam lain, termasuk di dunia Islam Melayu-Indonesia. Tarekat Syattariyah
telah mengalami dan menunjukkan perkembangan yang sangat dinamis dan
munculnya sifat dan kecenderungan yang beragam di masing-masing periodenya,
baik menyangkut ritual maupun doktrin ajarannya. Diantara doktrin dan ajaran
yang masih dilakukan oleh Tarekat Syattariyah di Surau Calau diantaranya:
1. Penegasan dan Aktualisasi Paham Ahlussunah Wal Jamaah
Menurut Angku Ali Umar menyebutkan dalam blog pribadinya, bahwa
ulama Syattariyah adalah penganut paham Ahlussunah Wal Jamaah dan
menjalankan hukum syariat Islam menurut madzhab Syafi‟i Rahimahullah, paham
yang diamalkan selain Ahlussunah Wal Jamaah adalah sesat.16
15
Kadrianto, “Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan
Konteks”, Hantaran FIB UNAND, (2013): h.2. 16
Tk. Ali Umar, “Tesis Ali Umar Bab II”, artikel diakses pada 29 Juli 2016 dari
http://ungkuali.blogspot.co.id/2011/01/tesis-ali-umar-bab-ii_20.html?m=1
44
Hal ini yang paling menonjol dalam ekspresi ajaran Tarekat Syattariyah di
Sumatera Barat termasuk Surau Calau di Sijunjung seperti tercermin dalam
naskah-naskahnya adalah penegasan bahwa ajaran teologis yang disampaikan oleh
Syaikh Burhanuddin Ulakan bercorak Ahlussunah Wal Jamaah. Hal ini, antara
lain, dikemukakan dalam naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di
Minangkabau Semenjak Dahulu Dari Syaikh Burhanuddin Sampai Ke Zaman
Kita Sekarang.
“...Islam yang beliau kembangkan ialah agama Islam yang bermazhab Shafi‟i dan
beriktikad Ahlussunah Wal Jamaah...” (h.117).
Dalam literatur Islam, iktikad Ahlussunah Wal Jamaah adalah sebuah
faham teologis yang prinsip-prinsip ajarannya sering dihubungkan dengan ajaran-
ajaran teologisnya Abu Hasan al-Ash‟ari. Ahlussunah Wal Jamaah sendiri, secara
umum berarti “kelompok yang berpegang teguh pada sunnah dan jamaah”. Sesuai
dengan namanya, mereka yang menganut faham “sunnah”, atau hadits Nabi, dan
Ijma‟ sebagai pedoman dalam kehidupan beragama. Dengan demikian, kelompok
Muslim yang berfaham Ahlussunah Wal Jamaah setidaknya ada tiga pedoman
yang menjadi rujukan dalam beragama mereka: Quran, Hadits Nabi, dan Ijma‟.
Kendati “hanya” menempati urutan ketiga, dalam kenyataannya, ijma‟ seringkali
menjadi penentu dalam menjustifikasi sebuah persoalan hukum, terutama jika
tidak dikemukakan secara spesifik dalam al-Quran dan hadits Nabi.17
Corak keagamaan seperti inilah yang ditegaskan oleh para penganut Tarekat
Syattariyah di Sumatera Barat sebagai sifat ajaran Islam yang mereka terima dari
Syaikh Burhanuddin Ulakan. Lebih dari itu, secara lebih spesifik lagi, sifat dan
17
Oman Fathurrahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau, h. 126.
45
kecenderungan keberagaman para penganut Tarekat Syattariyah di Sumatera
Barat ini ditambah dengan keharusan menggunakan hisab taqwim dalam
menghitung bulan, dan menggunakan metode ru‟yat al-hilal (melihat hilal) dalam
menentukan awal bulan Ramadan dan Idul Fitri.
Kecenderungan untuk menganut madzhab Syafi‟i juga patut digarisbawahi,
karena dalam kenyataannya, hanya mazhab Syafi‟ilah yang dipraktikkan oleh para
penganut terkat Syattariyah. Di antara sifat dan kecenderungan mazhab Syafi‟i
yang diakui sebagai satu-satunya mazhab anutan para penganut Tarekat
Syattariyah di Sumatera Barat adalah responnya yang relatif fleksibel dalam
menyikapi berbagai dinamika keberagamaan ummat, serta tradisi dan budaya
lokal.
Tidak heran kemudian, corak keberagamaan para penganut Tarekat
Syattariyah “didefinisikan” melalui berbagai ritual dan faham keagamaan sebagai
berikut:18
1) Melafazkan ushalli dalam niat salat;
2) Wajib membaca basmallah dalam surat al-Fatihah;
3) Membaca doa qunut seraya mengangkat tangan pada salat subuh;
4) Menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri melalui rukyat (melihat
hilal);
5) Melaksanakan salat tarawih sebanyak 20 rakaat dan witir 3 rakaat di
bulan Ramadhan;
6) Mentalkinkan mayat;
18
Oman Fathurrahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau, h. 127.
46
7) Sunat menghadiahkan pahala bacaan bagi orang yang telah mati;
8) Ziarah kubur ke makam Nabi Muhammad SAW dan orang-orang saleh
adalah sunat;
9) Merayakan maulid Nabi Muhammad SAW pada bulan Rabiul Awwal
dengan, antara lain, membaca barjanzi;
10) Sunat berdiri saat membaca barjanzi (ashraqal);
11) Sunat menambah kata “wa bi hamdihi” setelah bacaan subhana rabi al-
azim ketika ruku‟ dan subhana rabi al-a‟la ketika sujud;
12) Sunat menambahkan kata “sayyidina” sebelum menyebut nama
Muhammad;
13) Memperingati kematian mayat (tahlil) hingga hari ketiga, ketujuh, dan
keseratus;
14) Allah memiliki sifat, dan mempelajari sifat Allah yang 20 hukumnya
wajib;
15) Wajib mengganti (qada‟) salat yang tertinggal, baik sengaja maupun
tidak sengaja;
16) Dianjurkan mempelajari tasawuf dan tarekat;
17) Sunat membaca zikir la ilaha illa Allah berjamaah setelah salat wajib;
18) Bertawasul ketika berdoa tidak termasuk perbuatan syirik;
19) Menyentuh al-Quran tanpa berwudhu hukumnya haram;
20) Wajib mencuci setiap barang yang disentuh anjing dengan tujuh kali
siraman air dan salah satunya dengan tanah;
47
21) Bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahram
membatalkan wudlu;
22) Orang yang sedang berhadas besar (junub) tidak sah mengerjakan salat
malam sebelum mandi;
23) Azan pertama sebelum sembahyang jumat hukumnya sunat;
24) Salat sunat sebelum salat jumat hukumnya sunat;
25) Menjatuhkan talak ketika istri sedang haid hukumnya sah;
26) Menulis ayat al-Quran dengan huruf latin hukumnya haram;
27) Surga dan neraka itu kekal keduanya;
28) Al-Quran itu bersifat qadim;
29) Alam bersifat baru (muhdath);
30) Talak yang dijatuhkan tiga kali sekaligus berarti jatuh talak tiga.
Dari butiran-butiran di atas, tampak jelas rumusan identitas keberagamaan
para penganut Tarekat Syattariyah di Sumatera Barat maupun yang di Surau
Calau ini sangat khas dengan bernuansa lokal, kendati beberapa ritual di antaranya
juga terdapat dalam tradisi beragama dalam komunitas Muslim lain, seperti dalam
tradisi masyarakat Nahdatul Ulama (NU) misalnya.
Menurut Tuanku Ali Umar menuliskan bahwa amalan yang selalu di pegang
oleh ulama Syattariyah secara berurutan adalah:19
a) Menetapkan awal Ramadhan dan Syawal dengan rukyat al-hilal;
b) Menetapkan rukyat al-hilal dengan hisab takwim khamsiyah;
c) Shalat tarawih 20 raka‟at dengan 10 kali salam;
19
Tk. Ali Umar, “Tesis Ali Umar Bab II”, artikel diakses pada 29 Juli 2016 dari
http://ungkuali.blogspot.co.id/2011/01/tesis-ali-umar-bab-ii_20.html?m=1.
48
d) Shalat witir 3 raka‟at dengan 2 kali salam;
e) Melafadzkan niat sedikit sebelum takbir;
f) Membaca do‟a iftitah;
g) Membaca basmallah dalam al-Fatihah dan ayat ketika shalat;
h) Tasbih pada rukuk dan sujud 3 kali;
i) Qunut di raka‟at kedua shalat subuh setelah rukuk;
j) Tasbih dan dzikir setelah shalat fardhu;
k) Khutbah Jum‟at dan dua hari raya dengan bahasa Arab;
l) Dzikir, do‟a dan bacaan Qur‟an bermanfaat bagi orang mukin yang
mati;
m) Talqin;
n) Berharum-harum sebelum pembacaan do‟a arwah, do‟a qurban, dan
do‟a aqiqah dengan membakar kemenyan;
o) Ziarah kuburan Nabi SAW dan ulama;
p) Tawassul;
q) Menutup kepala bagi laki-laki waktu shalat;
r) Membesarkan maulid Nabi SAW dengan syair Syarafal Anam;
s) Madzhab Syafi‟i;
t) Bai‟ah.
2. Ritual Basapa
Basapa adalah sebuah ritual dalam bentuk ziarah secara serentak ke makan
Syaikh Burhanuddin Ulakan di Padang Sigalundi Ulakan. Kendati Syaikh
burhanuddin Ulakan adalah tokoh ulama Tarekat Syattariyah, tetapi dalam acara
49
basapa ini, mereka yang hadir tidak dari penganut Tarekat Syattariyah saja,
melainkan juga masyarakat Muslim pada umumnya. Dapat dipastikan bahwa
ritual basapa ini dilakukan untuk menghormati Syaikh Burhanuddin Ulakan yang
dianggap telah berjasa dalam penyebaran Tarekat Syattariyah khususnya, dan
Islam pada umumnya. Ziarah bersama ini dilakukan pada hari Rabu setelah
tanggal 10 Safar,20
dan oleh karena jatuh pada bulan Safar inilah ritual tersebut
dinakaman basapa (bersafar). Penentuan acara basapa setelah tanggal 10 Safar
sendiri berkaitan dengan hari yang diyakini sebagai tanggal wafatnya Syaikh
Burhanuddin Ulakan, yaitu 10 Safar 1111 H/ 1691 M.21
Pelaksanaan ritual basapa umumnya diisi dengan tiga kegiatan utama, yaitu:
pertama, ziarah dan berdoa di makan Syaikh Burhanuddin Ulakan; kedua, salat,
baik salat wajib maupun sunnat; ketiga, zikir. Kendati dari awalnya dimaksudkan
untuk beribadah semata, akan tetapi, bagi sebagian kalangan, beberapa praktik
ritual yang dilakukan oleh para pengikut Tarekat Syattariyah ketika basapa ini
sudah dianggap berlebihan dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Di antara ritual
yang banyak mengundang kritik tersebut adalah: sesajen yang ditaruh di atas
kuburan, salat di atas kuburan, menjadikan air yang sudah ditaruh di atas kuburan
sebagai obat yang dapat menyembuhkan, dan beberapa lainnya.22
Jamaah Tarekat Syattariyah yang berada di Surau Calau Sijunjung sampai
saat ini masih menjalankan dan mengamalkan beberapa praktik ajaran Tarekat
20
Kadrianto, “Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan
Konteks”, Hantaran FIB UNAND, (2013): h.2. 21
Oman Fathurrahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau, h. 130. Lihat juga Arsip
Sejarah Ringkas Syekh Burhanuddin yang disahkan oleh Kepala Kantor Departemen Agama
Padang Pariaman tanggal 6 November 2004 di Pariaman. 22
Oman Fathurrahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau, h. 131.
50
Syattariyah, seperti salat berjamaah yang dilakukan selama 40 hari tanpa terputus
sampai akhir bulan Ramadhan atau yang disebut dengan sebutan “salat 40 hari”,
peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, peringatan Israk Mi‟raj dan penentuan
awal bulan Arab dengan menggunakan hisab takwim. Surau Calau merupakan
pusat dari penentuan awal bulan Ramadhan untuk daerah Sijunjung dan menjadi
rujukan bagi daerah-daerah di sekitarnya. Di surau ini dilakukan “mancaliak
bulan” pada waktu tertentu dan dapat untuk memutuskan masuknya Ramadhan
dan Syawal.23
Surau Calau sampai saat ini masih menjadi pusat menjalankan kegiatan dan
amalan-amalan Tarekat Syattariyah bagi jamaah Tarekat Syattariyah yang
berdomisili di sekitar Muaro Sijunjung maupun dari luar Sijunjung seperti dalam
hal memutuskan masuknya tanggal satu di bulan Ramadhan dan Syawal.
23
Kadrianto, “Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan
Konteks”, Hantaran FIB UNAND, (2013): h.2.
51
BAB IV
PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYAH TAREKAT SYATTARIYAH
A. Manuskrip Takwim
Gambar 1.
52
اىثاب اىصا ف اظثاخ اىص عر اؼنا ػ ات ػش سظ للا ػا ا
رمش سعا فقاه ل ذصا ؼر ذشا اىله ل ذفطشا سعه للا صي للا ػي عي
ى اخشظ اىغرح ال اىرشز ف ساح اىثخاس فا غ ؼر ذش فا غ ػين فاقذسا
ش ىغي اىغاء ػ ات ششج سظ للا ػ فا غ ػين ػين فاميا اىؼذج شل
ء عؽاب ا غ غش في ظش ػ ش ا ا غ ػين ا غطاء شفصا شل
ؼضفح سظ للا ػ قاه سعه للا صي للا ػي عي ل ذقذا اىششؼر ذشا اىله
اذنيا اىؼذج ش صا ؼر ذشا اىله ا ذنيا اىؼذج اخشظ اتداد اىغاء. ػ
عي رؽفظ شؼثا ا ل ػائشح سظ للا ػا قاىد ما سعه للا صي للا ػي
ا ش صا اخشظ شلشرؽفظ غش ش ذصا ىشؤح سعا فا غ ػين ػذ
اتدد ػ ات ػثاط سظ للا ػا قاه ظاء اػشات اى اىث صي للا ػي عي
شذ ا ؽذ فقاه ا ساد اىله ؼ له سعا فقاه اذشذ ا ل اى ال للا قاه اذ
سعه للا قاه ؼ قاه ا تله ار ف اىاط ا صا غذا اخشظ اصؽاب اىغ ػ
ات ػش سظ للا ػا قاه ذشا ا اىاط اىله فاخثشخ سعه للا صي للا ػي ع
ا سار فصا اش اىاط تصا اخشظ اتداد.
ى اىعشج اىث صي للا ػي عي ا ارا اخريف اىاط ف اىؽه اسظؼا ا
اخريف ف اىعشج فشؼا ؼذس ذغش امصش اىؼياء فا اعر فاذثؼا ا فق ػي
ػاى تاىنرة اىؽذس قه اىث صي للا ػي عي )ػراد(
شلشا اتشؤح اىله. اض: ىيح شلشعة ص سعا تاماه شؼثا
.
53
ىافق انحديثاىصا ىثاط واندنيماىص ػي ظشت اؼذا ىثاط اىرق
اىرق اىذىو ىثاط اىرق ى ل افق اىرق اىذىو ىثاط .اىرث اىؽذس.
اندنيم فمن شهد منكم انشهر فهيصمه.
انحديث: وهى من اول انطهىع انفجر اني غروب انشمس.
افطش اىشؤر فا غ ػين فامي اػذج شؼثا شلش اىؽذس ص اىشؤر
ا .اقاع.
اىشاد ىشؤح اىله مو تصش اىشس ششغ تصش قثو ػذد ذق
ا.
اه اىغشب اىشظ اى غيع اىفعش شخاىح.
Bab ke-2 tentang kewajiban berpuasa, sunnah-sunnahnya, serta hukum-
hukumnya. Dari ibn Umar ra, bahwa Rasulullah SAW mengingatkan tentang
Ramadhan seraya bersabda: “jangan kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal,
dan janganlah berbuka (hari raya) hingga kalian melihatnya kembali. Jika kalian
ragu maka tetapkanlah oleh kalian akannya”. (dikeluarkan perawi yang eanam
kecuali Sunan Turmidzi)1. Dan pada riwayat Bukhari ra “ jika kamu ragu maka
sempurnakanlah olehmu jumlah 30” demikian juga terdapat dalam riwayat
Muslim dan Nasa‟i. Dan dari Abi Hurairah ra “ Dan jika kalian ragu maka
berpuasalah kalian 30 hari. “jika kalian ragu “ artinya tertutupi oleh sesuatu yaitu
awan dan ragu atau tidak tampak. Dari Huzaifah ra Rasulullah bersabda:”
janganlah kalian mendahului bulan hingga kalian melihat hilal dan
1 Diantara kitab hadits yang enam kecuali Sunan Tirmidzi adalah Sahih Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Nasa‟i, Sunan Ibnu Majah, dan Musnad Ahmad.
54
sempurnakanlah bilangan itu kemudian berpuasalah kalian hingga melihat hilal
lalu sempurnakanlah bilangan itu (dikeluarkan oleh Abu Daud dan Nasai). Dan
dari Aisyah r.a berkata: dulu Rasulullah SAW tidak menjaga bulan-bulan lain
sebagaimana ia menjaga Sya‟ban maka berpuasalah kalian apabila telah datang
Ramadhan. Apabila beliau ragu maka beliau menyempurnakan 30 hari lalu
berpuasa (H.R Abu Daud). Dari Ibn Abbas semoga Allah SWT meridhai
keduanya bahwa telah datang seorang Arab Badui kepada Rasulullah SAW dan
berkata : sesunggunya aku telah melihat hilal, yakni hilal Ramadhan, Rasulullah
SAW bersabda: “apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah rasul utusan Allah”, ia berkata : ya : lalu beliau bersabda:”ya
Bilal, serukan kepada manusia agar mereka berpuasa esok hari” (HR Ashab
Sunan). Dari Ibnu Umar semoga Allah meridhoi keduanya :” aku mengabari
Rasulullah bahwa aku telah melihat hilal lalu beliau berpuasa dan memerintahkan
manusia berpuasa (HR. Abu Daud).
Apabila manusia berselisih dalam dialog (mengenai kedatangan Ramadhan),
kembalilah kalian kepada hijrahnya Nabi SAW dan jika berselisih pula pada pada
hijrah Nabi SAW maka ikutilah jumhur ulama, dan jika sama maka ikutilah siapa
yang sesuai dengan kitab dan hadis serta perkataan Nabi.
Wajib puasa Ramadhan apabila telah sempurna Sya‟ban 30 hari atau
tampaknya hilal pada malam ketiga puluh pertanda masuknya Ramadhan (
Manhaj).
Landasan puasa ada dua: Pertama, pedoman kalender, dalilnya firman Allah
SWT ( barang siapa yang menyaksikan (hilal) diantara kamu maka berpuasalah ).
55
Kedua, landasan hadis sekalipun bersesuaian dengan kalender yakni * dari awal
terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari sebagaimana sabda Rasululullah
SAW :”berpuasalah kalian apabila melihat hilal dan berbukalah bila telah
melihatnya kembali, jika ragu maka genapkanlah 30 hari”(kitab iqna‟). Sementara
dalil yang berpedomankan kalender sekalipun tidak bersesuaian dengan kalender.
Melihat hilal adalah setiap penglihatan pada tiap-tiap bulan dan sarat
melihat hilal tersebut adalah sehari sebelum jumlah bilangan takwim mereka. Dan
penglihatan itu dimulai dari awal tenggelamnya matahari sampai munculnya fajar
syaikhak (fajar sodik).
56
Gambar 2.
57
قاه شخا اىؼاى ػلح اىصذا ل اتشا ات ؼغ اىنسا غشق ؼشفح
ؼشف اىغ ا ذطشغ عشج اىصطفح شؼائح ش شاح ش اؼذج اىثق قغ ػي
ؼشف اعض دتد فؽس ار ف ؼشف اىغح فع اى ؼشف اىشش ثذاء اىؼذد
اىخظ فؽس ار رىل غشج رىل اىشش قاه اعا ا ذطشغ اىعشج
اىصطفح شاح اىثاق قغ ػي ؼشف اعضدتد فؽس ار ف ؼشف اىغح فثذاء
اىؼذد استغ قاه اعا ا ذطشغ اىعشج اىصطفح شاح اىثاق قغ ػي
ر ف ؼشف اىغح فثذاء اىؼذد الؼذ فؼذد اىخظ ؼشف اعض دتد فؽس ا
ذاتغ الستغ ى اؼذ ف اىغشج.
ل عص ا ؽس اىغح اىؼرثشج ف اىششع ثح تاىشؤح اىله اى اىغح الا
ؼىا ف تذػح ا فاعذ ظاو ظاه ل شساىؼشب ؼرثشج تاىشؤح اليح ..
لتاىشؤح التاض ىقى ذؼاه ف شذ ن فيص ىقى اىث صي للا ػي عي
ا شلشصا ىشؤح اىله افطشا ىشؤر فا غ ػين فاميا ػذج شؼثا
ىقه اىث صاى للا ػي عي ػي فشدد ف اىاسظ اىذاغ ذخاىف ىقه للا
اىنفاس.
ما ىد اد ػي اىغل ف خاظ اا اىعؼح ف اىؽش ف اىغح اىثاء
ػي الصػ ف ػذد الؼذح قغ ف اخش اىغح الىف ؼط المثش ػذا ل ظؽ ف
ء اىشس. قو مراب اىراسخ. اىعؼح ػذ تؼط اىؼيا
عص اترذاء اىؼذد الؼذ الستؼا اىخظ اام الؼذ ظا الترذاء اىؼذد
فل ؼ الؼذ اؼذ ىقى صي للا ػي عي ػذد مصش ؤخز اىاؼذ ل
اترذاء اىخيق الؼذ اى اىعؼح قاه صاؼة اىؽن عذ اام الستؼا ظا
58
للا عثؽا ذؼاى خيق اىسا س ثا ؽذ صي للا ػي عي ف الترذاء فل
الستؼا اام اىخظ ظا الترذاء اىؼذد فل للا عثؽا ذؼاى خيق داتا
ؼشا ظغ افا ف ا اىخظ اىعؼح خيق اد ف اىعؼح اخش
اػاخ اىعؼح . قو اىفرا.اىخيق ف اخشعاػح ع
عة ص سعا تاعرناه شؼثا شلش ا ا ماد اعاء طثقح تاىغ اسؤح
ػذس اؼذا له ىيح اىصلش. شنش ص تاعرناه شؼثا شلش ا ػذ اىغاء.
Syeikh Alamah Shamadani Mala Ibrahim ibn Hasan al-Kulani pernah
berkata: cara mengetahui “huruf sanah” atau angka tahunan, dengan menguragi
hijrah Al-Musthafawiyyah Sya‟maniyyah (Nabi Muhammad SAW) kemudian
ditambah dengan delapan hari selanjutnya dibagi dengan huruf ض ص د ب د ا
maka hasilnya adalah “huruf sanah”, huruf sanah tersebut mencakup huruf bulan
yang dimulai dengan menghitung dari hari Kamis sampai habis. Beliau juga
berpendapat bahwa dikurangi dari hijrahnya Al-Musthafawiyyah Sya‟maniyyah
(Nabi Muhammad SAW) dan membagi bulan-bulan ض ص د ب د ا sekira-kira
berakhir yaitu bulan dari bulan hijriyah, dengan bilangan yang dimulai dari hari
Rabu. Dan beliau juga berpendapat bahwa dikurangi dari hijrahnya Nabi SAW
dan membagi bulan-bulan ض ص د ب د ا sekira-kira berakhir yaitu bulan-bulan
dari bulan hijriyah dengan bilangan yang dimulai dari hari Minggu maka
menghitung hari Kamis mengikuti hari Rabu maupun Minggu.
Tidak boleh berselisih dan bersaing dalam syariat tentang rukyatul hilal
dalam menentukan hari... Hal itu adalah bid‟ah, kerusakan, kebodohan, dan
kesesatan karena bulan-bulan Arab yang benar adalah berdasarkan penglihatan
59
hilal-hilal, sebagaimana firman Allah :” siapa yang melihat (hilal) diantara kamu
maka berpuasalah”. Sabda Nabi SAW : „‟ berpuasalah kalian dengan melihat hilal
dan berbukalah bila melihatnya kembali, jika kalian ragu genapkanlah jumlah
Sya‟ban 30 hari . barang siapa yang berselisih dari firman Allah dan sabda
baginda Nabi SAW sementara dia tau dan menolak, tempatnya neraka Jahannam
bersama orang kafir .
Nabi Adam as lahir pada hari kelima –Juma‟at pada bulan Muharram, pada
tahun (ba) dalam riwayat paling shahih dalam bilangan Uhud kejadian tersebut
terjadi pada akhir tahun 1000 haji besar yaitu Idul Adha yang terjadi pada hari
Jumat menurut sebagian ulama ini yang masyhur.
Boleh memulai bilangan dari hari Minggu, Rabu dan Kamis. Adapun
eksistensi Minggu (Ahad) kebolehan memulai bilangan darinya karena Ahad
adalah satu, sabda Nabi Muhammad SAW “ Jumlah yang banyak diambil untuk
perhitungan adalah Ahad dan karena penciptaan makhluk bermula dari hari Ahad
sampai hari Kamis “. Shabih Hakam dari tuannya berkata: adapun kebolehan
memulai hari Rabu karena Allah swt menciptakan segala cahaya (nur) Nabi
Muhammad saw pada hari Rabu. Adapun eksistensi bolehnya dimulai pada hari
Kamis karena Allah swt menciptakan hewan-hewan melata dan isi perutnya dan
seluruh yang ada padanya selama dua hari yaitu hari Kamis dan Jumat dan
menciptakan Adam pada hari Jumat, akhir makhluk yang diciptakanpun hari
Jumat.
Wajib berpuasa Ramadhan apabila telah menyempurnakan Sya‟ban 30 hari
sekalipun langit tidak terlihat dengan jelas atau tampak jelas saat hilal pertama
60
dimalam ke-30 dan siapa yang ragu berpuasa saat telah sempurnanya sya‟ban 30
hari ketika muncul hilal dilangit, tidak boleh berpuasa berlandaskan telah melihat
hilal sebelum terbenamnya matahari.
61
Gambar 3.
62
Dalam naskah ini ditulis dengan menggunakan bahasa Arab dan Melayu
yang berisi tulisan yang menjelaskan tentang tahun Hijriyah yang di tulis disisi
kanan atas naskah sampai ke bagian bawah yang ditulis secara vertikal dengan
menggunakan bahasa Arab dan Melayu yang berbunyi:
“Adapun Hijriyah sekarang kini pada tahun dari hari seribu dua ratus
enam puluh satu tahun”.
Dalam naskah terdapat huruf tahun yang terdiri dari 9 kolom, kolom 3,5,7,
dan 9 ditulis dengan tinta yang berwarna merah yang ditulis secara terbalik.
Sedangkan kolom 2, 4, 6, dan 8 ditulis dengan tinta berwarna hitam.
ا
1
5
ض
3
ص
7
د
4
ب
2
6
د
4
Muharam
ص
Rabu Minggu Jum‟at Selasa Sabtu Kamis Senin Sabtu
Shafar
ب
Jum‟at Selasa Minggu Kamis Senin Sabtu Rabu Senin
Rabi‟awal
ض
Sabtu Rabu Senin Jum‟at Selasa Minggu Kamis Selasa
Rabi‟akhir
Senin Jum‟at Rabu Minggu Kamis Selasa Sabtu Kamis
Jmd awal
Selasa Sabtu Kamis Senin Jum‟at Rabu Minggu Jum‟at
Jmd akhir
ا
Kamis Senin Sabtu Rabu Minggu Jum‟at Selasa Minggu
Rajab
ب
Jum‟at Selasa Minggu Kamis Senin Sabtu Rabu Senin
Sya‟ban Minggu Kamis Selasa Sabtu Rabu Senin Jum‟‟at Rabu
63
د
Ramadhan
Senin Jum‟at Rabu Minggu Kamis Selasa Sabtu Kamis
Syawal
ص
Rabu Minggu Jum‟at Selasa Sabtu Kamis Senin Sabtu
Zulkaedah
ا
Kamis Senin Sabtu Rabu Minggu Jum‟at Selasa Minggu
Zulhijah
ض
Sabtu Rabu Senin Jum‟at Selasa Minggu Kamis Selasa
64
Gambar 4.
65
Dalam naskah ini terdapat 9 kolom, kolom 2, 4, 6, 8 ditulis dengan tinta
berwarna hitam yang ditulis secara terbalik, sedangkan kolom 1, 3, 5, 7, dan 9
ditulis dengan menggunakan tinta berwarna merah. Naskah ini menjelaskan
tentang kalender hijriyah yang memulai perhitungan hari dengan hari Minggu
dengan menggunakan bahasa Arab.
ا
1
5
ض
3
ص
7
د
4
ب
2
6
د
4
Muharam
ص
Minggu Kamis Selasa Sabtu Rabu Senin Jum‟at Rabu
Shafar
ب
Selasa Sabtu Kamis Senin Jum‟at Rabu Minggu Jum‟at
Rabi‟awal
ض
Rabu Minggu Jum‟at Selasa Sabtu Kamis Senin Sabtu
Rabi‟akhir
Jum‟at Selasa Minggu Kamis Senin Sabtu Rabu Senin
Jmd awal
Sabtu Rabu Senin Jum‟at Selasa Minggu Kamis Selasa
Jmd akhir
ا
Senin Jum‟at Rabu Minggu Kamis Selasa Sabtu Kamis
Rajab
ب
Selasa Sabtu Kamis Senin Jum‟at Rabu Minggu Jum‟at
Sya‟ban
د
Kamis Senin Sabtu Rabu Minggu Jum‟at Selasa Minggu
Ramadhan
Jum‟at Selasa Minggu Kamis Senin Sabtu Rabu Senin
Syawal
ص
Minggu Kamis Selasa Sabtu Rabu Senin Jum‟at Rabu
66
Zulkaedah
ا
Senin Jum‟at Rabu Minggu Kamis Selasa Sabtu Kamis
Zulhijah
ض
Rabu Minggu Jum‟at Selasa Sabtu Kamis Senin Sabtu
67
Gambar 5.
68
Naskah yang kelima ini ditulis dengan menggunakan bahasa Arab dan
Arab Melayu, didalamnya terdapat tulisan dari pojok kanan atas sampai pojok kiri
atas berisikan: “Adapun hijrah sekarang kini seribu dua ratus tiga puluh tujuh
salapan selapan puluh tahun sembilan ...”. Sedangkan tulisan yang terdapat di
sisi kiri naskah yang ditulis dari atas kebawah secara vertikal menjelaskan tentang
wafatnya tuanku di Sijunjung yang berbunyi: “Inilah wafatnya Tuanku di
Sijunjung pada bulan Rabiul Awal pada tiga hari bulan pada tahun bersampai
sepuluh tahun wafatnya Tuanku di Pingin pada bulan Rabiul Akhir lima belas
hari bulan pada tahun Wa, Alif, Ba.”
Dalam naskah ini juga terdapat kalender tahun Hijriyah dengan memulai
perhitungan hari dengan Hari Kamis yang terdiri dari 9 kolom, kolom 1, 3, 5, 7, 9
ditulis dengan tinta merah yang ditulis secara terbalik kecuali pada kolom 1,
sedangkan kolom 2, 4, 6, 8 ditulis dengan tinta berwarna hitam. Kalender ditulis
dengan menggunakan bahasa Arab.
ا
1
5
ض
3
ص
7
د
4
ب
2
6
د
4
Muharam
ص
Kamis Senin Sabtu Rabu Minggu Jum‟at Selasa Minggu
Shafar
ب
Sabtu Rabu Senin Jum‟at Selasa Minggu Kamis Selasa
Rabi‟awal
ض
Minggu Kamis Selasa Sabtu Rabu Senin Jum‟at Rabu
Rabi‟akhir
Selasa Sabtu Kamis Senin Jum‟at Rabu Minggu Jum‟at
Jmd awal Rabu Minggu Jum‟at Selasa Sabtu Kamis Senin Sabtu
69
Jmd akhir
ا
Jum‟at Selasa Minggu Kamis Senin Sabtu Rabu Senin
Rajab
ب
Sabtu Rabu Senin Jum‟at Selasa Minggu Kamis Selasa
Sya‟ban
د
Senin Jum‟at Rabu Minggu Kamis Selasa Sabtu Kamis
Ramadhan
Selasa Sabtu Kamis Senin Jum‟at Rabu Minggu Jum‟at
Syawal
ص
Kamis Senin Sabtu Rabu Minggu Jum‟at Selasa Minggu
Zulkaedah
ا
Jum‟at Selasa Minggu Kamis Senin Sabtu Rabu Senin
Zulhijah
ض
Minggu Kamis Selasa Sabtu Rabu Senin Jum‟at Rabu
Naskah takwim yang terdapat di Surau Calau ini ditulis dengan
menggunakan bahasa Arab dan Arab Melayu. Adapun jenis kertas yang
digunakan adalah kertas Eropa dengan ukuran 24 x 18 cm, ukuran teks 14 x 8 cm.
Naskah ini bersampul kulit dengan kondisi sampul baik. Tinta yang digunakan
tinta berwarna hitam dan merah. Halaman ke-3, ke-4, dan ke-5 dari naskah
terdapat hitungan kalender Hijriyah yang ditulis dengan menggunakan hitam dan
merah yang terdiri dari sembilan kolom.2 Dalam kitab ini tidak semuanya yang
membahas tentang teks takwim sebagian besar naskah sudah rusak dengan
keadaan tinta yang mengembang.
2 Kadrianto, “Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan
Konteks”, Hantaran FIB UNAND, (2013): h.5.
70
B. Metode Penentuan Awal Bulan Hijriyah
Salah satu ciri amalan yang dilaksanakan oleh jamaah Tarekat Syattariyah
yang terdapat di Sumatera Barat adalah keharusan untuk melakukan hisab takwim
yang diajarkan oleh Syaikh Burhanuddin Ulakan (1646-1699) yang beliau
dapatkan selama berguru kepada Syaikh Abdurrauf bin Ali Pansuri (1615-1693)
yang silsilahnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW.3
Pengamalam hisab takwim dikalangan Tarekat Syattariyah Surau Calau
sudah berlangsung secara turun-temurun. Penganut Tarekat Syattariyah di Surau
Calau mengamalkan hisab takwim untuk menentukan tanggal satu bulan hijriyah,
dengan mempedomani hisab takwim untuk memulai praktik ajaran Tarekat
Syattariyah seperti: Sholat ampek puluah, puasa bulan Rajab, penentuan awal
Ramadhan atau Syawal dan lain sebagainya.4
Menurut Umar Sl. Tgk. Mudo alasan penganut Tarekat Syattariyah masih
menggunakan takwim dalam menentapkan awal bulan hijriyah adalah karena
mengikuti sunnah Nabi dan silsilahnya yang sampai kepada Nabi Muhammad
SAW. berikut ini adalah silsilah takwim Tarekat Syattariyah Surau Calau
Sijunjung:5
1. Nabi Muhammad SAW
2. Saidina Ali Karimallahu wajha
3. Hasan AlBasri
4. Syekh Abibul „Ajmi
3 Umar Sl. Tgk. Mudo, Risalah Nurul Amaliah, h. 12.
4 Kadrianto, “Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan
Konteks”, Hantaran FIB UNAND, (2013): h.9. 5 Wawancara dengan Umar Sl. Tgk. Mudo 15 Februari 2016.
71
5. Syekh Daud Tho-i
6. Syekh Abi Yazid Bustami
7. Syekh Ma‟aruf Alkarkhi
8. Syekh Abi Bakar‟Ali Raudul Bari
9. Syekh Abi„Ali Alkhatib
10.Syekh Usman Maghribi
11.Syekh Abi Qosim Alkarkani
12.Syekh Abi Ali Alpari Huda
13.Syekh Yusuf Hamdani
14.Syekh Abdul Khaliq Al‟Adawani
15.Syekh Abi Bakar Nasaji
16.Syekh Ghazari
17.Syekh Abi Annaju
18.Syekh Umar Ilyas
19.Syekh Najmudin Alkari
20.Syekh Majiduddin Albaghdadi
21.Syekh‟Ula Uddin
22.Syekh „Ulawatus Sumani
23.Syekh Syekh Syahul Qarahi
24.Syekh Saidi ali Hamdani
25.Syekh Ahmad Qusyasy Ahli syathari
26.Syekh Abdul Rauf bin Ali Panshuri
27.Syekh Burhanuddin ulakan
28.Syekh Abdul Muhib
29.Syekh Ahmad Shoghir Ahli Taqwim.
72
Adapun dasar hukum dari hisab takwim yang digunakan oleh penganut
Tarekat Syattariyah Surau Calau adalah berdasarkan hadits Nabi Muhammad
SAW, diantaranya:6
ػ تخاس غي غش قاه اىث صي للا ػي عي ػو اىث صي للا ػي عي
اب اىؽغاب(شؤح اىله )ف اىنراب اصتؼرذ تاىرق ف ادساك اىغ ل
Artinya: dari Bukhari dan Muslim dan Tarmizi dan lainya: Berkata Nabi saw
“Amalan Nabi saw itu berpegang dengan takwim dalam memperdapat
(menghitung) setahun, tidak dengan melihat hilal.
اػي زا ذق او عح اىعؼح
Artinya: Ketahuilah Bahwa taqwim itu pakaian kaum Ahlul sunah wal jamaah.
قاه اىخيفاء اىغيفاءاىغح اىؼرثشج ذؤخز تاىرق
Artinya: Berkata ulama khalaf dan salaf : Tahun yang dimashurkan diambil dari
hisab taqwim (Mizan qurub /Syekh Abdul Khaliq).
Proses perhitungan awal bulan hijriyah dengan menggunakan hisab takwim
dilakukan dengan berdasarkan kepada huruf tahun dan huruf bulan. Berikut ini
tabel dari huruf tahun menurut hari bilangan para sahabat dan imam:
Tabel 1
ات
تنش
اؼذ
Minggu
ا ض ا د ص ب
ػش
اش
Senin
ص ب ص ض ا د
ػصا
شلز
Selasa
ا د ب ص ض
يل
استغ
Rabu
ص ض ا د ب
6 Umar Sl. Tgk. Mudo, Risalah Nurul Amaliah, h. 4.
73
ػي
شافؼ
خظ
Kamis
د ب د ص ض ا
ؼف
ظؼح
Jum‟at
ض ا ض ب د ص
ؼثاى
عثد
Sabtu
ب د ص ب ا ض
Dari tujuh macam huruf tahun menurut masing-masing sahabat dan imam di
atas Surau Calau mengamalkan perhitungan huruf tahun yang digunakan oleh Ali
dan Syafi‟i dengan memulai huruf tahun dengan huruf Alif, Ha, Ja, Za, Da, Ba,
Wa, Da, dengan memulai perhitungan hari dari hari Kamis yaitu yang
berpedoman kepada ketetapan bahwa 1 Muharram tahun 1 Hijriyah jatuh pada
hari Kamis. Hal ini dapat dilihat pada tabel hisab takwim yang akan dipaparkan
dibawah ini. Berikut ini adalah kalender hijriyah yang digunakan oleh penganut
Tarekat Syattariyah di Surau Calau dalam melakukan hisab takwim:7
Tabel 2.
Nama
Bulan
Huruf
Bulan
ا
1
5
ض
3
ص
7
د
4
ب
2
6
د
4
ؽشا
Muharam
خظ ص7/
kamis
اش
Senin
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اؼذ
Minggu
ظؼح
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
صفش
Shafar
عثد ب2/
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
خظ
Kamis
شلز
Selasa
ستغ اله
Rabi‟awal
اؼذ ض3/
Minggu
خظ
Kamis
شلز
Selasa
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
استغ
Rabu
ستغ الخش
Rabi‟akhir
شلز 5/
Selasa
عثد
Sabtu
خظ
kamis
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
استغ
Rabu
اؼذ
Minggu
ظؼح
Jum‟at
ظاد اله
Jmd awal
استغ 6/
Rabu
اؼذ
Minggu
ظؼح
Jum‟at
شلز
Selasa
عثد
Sabtu
خظ
Kamis
اش
Senin
عثد
Sabtu
7 Umar Sl. Tgk. Mudo, Risalah Nurul Amaliah, h. 12. Lihat juga Nandi Pinto,
“Pemahaman Hadis Ru‟yat al-Hilal Menurut Ulama Syattariyah Ulakan Padang Pariaman”,
Mannasa Ulunnuha 3, no.2 (Oktober 2014): h.203.
74
ظاد الخش
Jmd akhir
ظؼح ا1/
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
خظ
Kamis
اش
Senin
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
سظة
Rajab
عثد ب2/
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
خظ
Kamis
شلز
Selasa
شؼثا
Sya‟ban
اش د4/
Senin
ظؼح
Jum‟at
استغ
Rabu
اؼذ
Minggu
خظ
Kamis
شلز
Selasa
عثد
Sabtu
خظ
Kamis
سعا
Ramadhan
شلز 5/
Selasa
عثد
Sabtu
خظ
Kamis
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
استغ
Rabu
اؼذ
Minggu
ظؼح
Jum‟at
شاه
Syawal
خظ ص7/
Khamis
اش
Senin
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اؼذ
Minggu
ظؼح
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
را اىقؼذج
Zulkaedah
ظؼح ا1/
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
خظ
Kamis
اش
Senin
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
را اىؽعح
Zulhijah
اؼذ ض3/
Minggu
خظ
Kamis
شلز
Selasa
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
استغ
Rabu
Tahap pertama yang harus dilaksanakan dalam hisab takwim adalah mencari
huruf tahun, yaitu dengan berpedoman kepada huruf tahun lahir Nabi, huruf tahun
Hijrah Nabi dan huruf tahun wafat Nabi Muhammad SAW Misalnya mencari
huruf tahun hijriyah berdasarkan hari lahir Nabi Muhammad SAW, caranya
adalah tahun hijriyah dibagi dengan delapan sebagaimana banyaknya jumlah dari
huruf tahun sampai habis dan tidak bisa dibagi lagi dengan angka 8, dan sisa dari
pembagian itu yang akan kita jadikan patokan dalam perhitungan mencari huruf
tahun tersebut, dan berapa sisanya tadi di hitung dari huruf tahun lahir Nabi
Muhammad SAW yaitu huruf ه.8
Berikut ini adalah cara mencari huruf tahun 1437 H dengan berpatokan
kepada huruf tahun lahir Nabi Muhammad SAW:9
8 Wawancara dengan Umar Sl. Tgk. Mudo 15 Februari 2016.
9 Wawancara dengan Umar Sl. Tgk. Mudo 15 Februari 2016. Lihat juga Nandi Pinto,
“Pemahaman Hadis Ru‟yat al-Hilal Menurut Ulama Syattariyah Ulakan Padang Pariaman”,
Mannasa Ulunnuha 3, no.2 (Oktober 2014): h.204. Lihat juga Kadrianto, “Teks Takwim dalam
Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan Konteks”, Hantaran FIB UNAND, (2013): h.11.
75
8 1437 = 179 8 63 56 77 72 5
د بد ص ض ا
Huruf Tahun
Ba (2)
(Jumlah Sisa pembagian
1437 H/8 dihitung dari
huruf Ha.)
+ Huruf Bulan
Ha (5)
(Ramadhan)
= Jumlah Total
7
Catatan: untuk menentukan hari
dihitung dari hari Kamis.
Tabel 3.
Nama
Bulan
Huruf
Bulan
ا
1
5
ض
3
ص
7
د
4
ب
2
6
د
4
ؽشا
Muharam
خظ ص7/
kamis
اش
Senin
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اؼذ
Minggu
ظؼح
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
صفش
Shafar
عثد ب2/
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
خظ
Kamis
شلز
Selasa
ستغ اله
Rabi‟awal
اؼذ ض3/
Minggu
خظ
Kamis
شلز
Selasa
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
استغ
Rabu
ستغ الخش
Rabi‟akhir
شلز 5/
Selasa
عثد
Sabtu
خظ
kamis
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
استغ
Rabu
اؼذ
Minggu
ظؼح
Jum‟at
ظاد اله
Jmd awal
استغ 6/
Rabu
اؼذ
Minggu
ظؼح
Jum‟at
شلز
Selasa
عثد
Sabtu
خظ
Kamis
اش
Senin
عثد
Sabtu
ظاد الخش
Jmd akhir
ظؼح ا1/
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
خظ
Kamis
اش
Senin
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
سظة
Rajab
عثد ب2/
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
خظ
Kamis
شلز
Selasa
شؼثا
Sya‟ban
اش د4/
Senin
ظؼح
Jum‟at
استغ
Rabu
اؼذ
Minggu
خظ
Kamis
شلز
Selasa
عثد
Sabtu
خظ
Kamis
سعا
Ramadhan
شلز 5/
Selasa
عثد
Sabtu
خظ
Kamis
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
استغ
Rabu
اؼذ
Minggu
ظؼح
Jum‟at
76
شاه
Syawal
خظ ص7/
Khamis
اش
Senin
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اؼذ
Minggu
ظؼح
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
را اىقؼذج
Zulkaedah
ظؼح ا1/
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
خظ
Kamis
اش
Senin
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
را اىؽعح
Zulhijah
اؼذ ض3/
Minggu
خظ
Kamis
شلز
Selasa
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
استغ
Rabu
Jadi, untuk menentukan huruf tahun yang harus diperhatikan disini adalah
angka 5, caranya memulai hitungan dari huruf tahun lahirnya Nabi Muhammad
SAW yaitu huruf Ha, maka yang menjadi huruf tahunnya adalah Ba. Setelah
huruf tahun diketahui, langkah selanjutnya adalah mencari tanggal satu bulan
Ramadhan yaitu dengan cara menjumlahkan titik huruf tahun dengan titik huruf
bulan. Jumlah titik huruf ب adalah 2 titik dan jumlah titik Ramadhan (Ha) adalah
5, jadi 2 + 5 = 7.
Mencari huruf tahun dengan berpatokan kepada huruf tahun Hijrah Nabi
caranya adalah tahun hijriyah dikurang dengan lama hidup Nabi di Makkah yaitu
selama 53 tahun maka hasilnya dibagi dengan 8 dan sisa dari pembagian itu
dihitung dari dari huruf tahun Hijrah Nabi Muhammad SAW yaitu huruf و.10
1437-53
8 1384 = 17 8 58 56 24
د بد ص ض ا
10
Wawancara dengan Umar Sl. Tgk. Mudo 15 Februari 2016. Lihat juga Nandi Pinto,
“Pemahaman Hadis Ru‟yat al-Hilal Menurut Ulama Syattariyah Ulakan Padang Pariaman”,
Mannasa Ulunnuha 3, no.2 (Oktober 2014): h.204. Lihat juga Kadrianto, “Teks Takwim dalam
Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan Konteks”, Hantaran FIB UNAND, (2013): h.11.
77
Huruf Tahun
Ba (2)
(Jumlah Sisa pembagian
1384 H/8 dihitung dari
huruf Wa.)
+ Huruf Bulan
Ha (5)
(Ramadhan)
= Jumlah Total
7
Catatan: untuk menentukan hari
dihitung dari hari Kamis.
Tabel 4. Nama
Bulan
Huruf
Bulan
ا
1
5
ض
3
ص
7
د
4
ب
2
6
د
4
ؽشا
Muharam
خظ ص7/
kamis
اش
Senin
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اؼذ
Minggu
ظؼح
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
صفش
Shafar
عثد ب2/
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
خظ
Kamis
شلز
Selasa
ستغ اله
Rabi‟awal
اؼذ ض3/
Minggu
خظ
Kamis
شلز
Selasa
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
استغ
Rabu
ستغ الخش
Rabi‟akhir
شلز 5/
Selasa
عثد
Sabtu
خظ
kamis
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
استغ
Rabu
اؼذ
Minggu
ظؼح
Jum‟at
ظاد اله
Jmd awal
استغ 6/
Rabu
اؼذ
Minggu
ظؼح
Jum‟at
شلز
Selasa
عثد
Sabtu
خظ
Kamis
اش
Senin
عثد
Sabtu
ظاد الخش
Jmd akhir
ظؼح ا1/
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
خظ
Kamis
اش
Senin
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
سظة
Rajab
عثد ب2/
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
خظ
Kamis
شلز
Selasa
شؼثا
Sya‟ban
اش د4/
Senin
ظؼح
Jum‟at
استغ
Rabu
اؼذ
Minggu
خظ
Kamis
شلز
Selasa
عثد
Sabtu
خظ
Kamis
سعا
Ramadhan
شلز 5/
Selasa
عثد
Sabtu
خظ
Kamis
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
استغ
Rabu
اؼذ
Minggu
ظؼح
Jum‟at
شاه
Syawal
خظ ص7/
Khamis
اش
Senin
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اؼذ
Minggu
ظؼح
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
را اىقؼذج
Zulkaedah
ظؼح ا1/
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
خظ
Kamis
اش
Senin
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
را اىؽعح
Zulhijah
اؼذ ض3/
Minggu
خظ
Kamis
شلز
Selasa
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
استغ
Rabu
Menentukah huruf tahun dengan patokan huruf hijrah Nabi sisa pembagian
24 dihitung dari huruf Wa maka yang menjadi huruf tahunnya adalah Ba .
Langkah selanjutnya adalah mencari tanggal satu bulan Ramadhan yaitu dengan
78
cara menjumlahkan titik huruf tahun dengan titik huruf bulan. Jumlah titik huruf
Ba adalah 2 titik dan jumlah titik Ramadhan (Ha) adalah 5, jadi 2 + 5 = 7.
Mencari huruf tahun dengan huruf tahun wafat Nabi caranya sama dengan
mencari huruf tahun dengan menggunakan huruf Hijrah Nabi, hanya saja tahun
hijriyah dikurangi dengan umur Nabi Muhammad SAW yaitu 63 tahun, baru
dibagi 8 sampai habis dan sisanya dihitung dari huruf wafat Nabi Muhammad
SAW yaitu huruf ا.11
1437-63=1374
8 1374 = 171 8 57 56 14 8 6
د بد ص ض ا
Huruf Tahun
Ba (2)
(Jumlah Sisa pembagian
1437 H/8 dihitung dari
huruf Alif.)
+ Huruf Bulan
Ha (5)
(Ramadhan)
= Jumlah Total
7
Catatan: untuk menentukan hari
dihitung dari hari Kamis.
11
Wawancara dengan Umar Sl. Tgk. Mudo 15 Februari 2016. Lihat juga Nandi Pinto,
“Pemahaman Hadis Ru‟yat al-Hilal Menurut Ulama Syattariyah Ulakan Padang Pariaman”,
Mannasa Ulunnuha 3, no.2 (Oktober 2014): h.204. Lihat juga Kadrianto, “Teks Takwim dalam
Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan Konteks”, Hantaran FIB UNAND, (2013): h.11.
79
Tabel 5.
Nama
Bulan
Huruf
Bulan
ا
1
5
ض
3
ص
7
د
4
ب
2
6
د
4
ؽشا
Muharam
خظ ص7/
kamis
اش
Senin
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اؼذ
Minggu
ظؼح
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
صفش
Shafar
عثد ب2/
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
خظ
Kamis
شلز
Selasa
ستغ اله
Rabi‟awal
اؼذ ض3/
Minggu
خظ
Kamis
شلز
Selasa
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
استغ
Rabu
ستغ الخش
Rabi‟akhir
شلز 5/
Selasa
عثد
Sabtu
خظ
kamis
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
استغ
Rabu
اؼذ
Minggu
ظؼح
Jum‟at
الهظاد
Jmd awal
استغ 6/
Rabu
اؼذ
Minggu
ظؼح
Jum‟at
شلز
Selasa
عثد
Sabtu
خظ
Kamis
اش
Senin
عثد
Sabtu
ظاد الخش
Jmd akhir
ظؼح ا1/
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
خظ
Kamis
اش
Senin
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
سظة
Rajab
عثد ب2/
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
خظ
Kamis
شلز
Selasa
شؼثا
Sya‟ban
اش د4/
Senin
ظؼح
Jum‟at
استغ
Rabu
اؼذ
Minggu
خظ
Kamis
شلز
Selasa
عثد
Sabtu
خظ
Kamis
سعا
Ramadhan
شلز 5/
Selasa
عثد
Sabtu
خظ
Kamis
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
استغ
Rabu
اؼذ
Minggu
ظؼح
Jum‟at
شاه
Syawal
خظ ص7/
Khamis
اش
Senin
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اؼذ
Minggu
ظؼح
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
را اىقؼذج
Zulkaedah
ظؼح ا1/
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
خظ
Kamis
اش
Senin
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
را اىؽعح
Zulhijah
اؼذ ض3/
Minggu
خظ
Kamis
شلز
Selasa
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
استغ
Rabu
Menentukan huruf tahun berdasarkan huruf wafat Nabi sisa pembagiannya
adalah 6 kemudian dihitung dari huruf Alif maka yang menjadi huruf tahunnya
adalah Ba. Mencari tanggal satu bulan Ramadhan yaitu dengan cara
menjumlahkan titik huruf tahun dengan titik huruf bulan. Jumlah titik huruf Ba
adalah 2 titik dan jumlah titik Ramadhan (Ha) adalah 5, jadi 2 + 5 = 7.
80
Metode hisab takwim dengan berpatokan kepada tiga cara diatas maka hasil
dari perhitungannya adalah sama yaitu huruf tahun 1437 H adalah huruf Ba.
Sedangkan untuk menentukan harinya adalah huruf tahun ditambahkan huruf
bulan yaitu 2+5=7, lalu dihitung secara berurutan dari hari Kamis, maka satu
Ramadhan 1437 H menurut hisab takwim jatuh pada hari Rabu.
Setelah tanggal satu pada bulan Ramadhan ditemukan, proses selanjutnya
mancaliak bulan yang dilakukan pada hari Selasa malam Rabu untuk benar-benar
memastikan kalau malam itu hilal sudah terlihat. Mancaliak bulan atau ru‟yat al-
hilal adalah patokan bagi penganut Tarekat Syattariyah untuk memulai puasa atau
berhari raya bukan dengan hisab takwim karena berdasarkan beberapa dalil
diantaranya:12
فيصف شذ ن اىشش
Artinya: barang siapa yang memandang hilal (bulan) maka wajiblah baginya
berpuasa (Q.S. Al-Baqarah:185).
)سا اىثخاس غي( صا ىشؤر افطشا ىشؤر فا غ ػين فاميا ػذج شؼثا شلش ا
Artinya: Berpuasalah kamu karena melihat hilal(bulan)dan berbukalah kamu
karena melihat hilal(bulan), jika hilal ditutupi atasmu maka sempurnakanlah
olehmu akan bilangan sya‟ban tiga puluh hari(RH.Bukhari dan Muslim).
)سا ات داد اىغاء( قاه اىث ص لذقذا شش ؼر ذش اىله ا ذنو اىؼذج
Artinya:Jangan kamu dahului bulan itu hingga kamu melihat hilal atau
menyempurnakan bilangan.(HR.Abu Daud dan Nisa-i)
فصا شلش )سا غي قاه اىث ص ارا سأر اىله فصا ارا سأر فافطشا فا غ ػين
اؼذ(.
Artinya: Berkata nabi saw,Apabila telah melihat kamu akan hilal maka puasalah
kamu dan apabila telah melihat pula kamu akan dia hilal maka berbukalah kamu
(berhari raya) maka jika hilal itu ditutupi atasmu maka puasalah kamu akan tiga
puluh hari.(HR.Muslim dan Ahmad).
12 Wawancara dengan Umar Sl. Tgk. Mudo 15 Februari 2016.
81
Proses mancaliak bulan biasanya dihadiri oleh penganut Tarekat Syattariyah
baik yang berasal dari Surau Calau maupun dari surau-surau di sekitarnya yang
mengirimkan masing-masing utusannya ke Surau Calau. Mancaliak bulan
dilakukan di Surau Calau atau tempat yang tinggi seperti di Bukik Gadang, dan
tempat yang tinggi lainya. Apabila hilal terlihat dengan jelas di Surau Calau maka
keesokan harinya sudah di tetapkan sebagai tanggal 1 Ramadhan begitu juga
dengan penetapan hari raya Idul Fitri dan bagi daerah-daerah yang jauh dari Surau
Calau akan dikabarkan dengan melalui surat yang ditandatangani serta di sahkan
oleh Angku Calau dan Niniak Mamak. Apabila hilal tidak terlihat di Surau Calau
namun terlihat di daerah lain maka akan dilaksanakan sidang untuk mengambil
sumpah atas kebenaran dari kesaksian orang yang melihat hilal tersebut.
Sebelum pengambilan sumpah orang yang menyaksikan hilal terlebih
dahulu disuruh untuk berwudhu. Sumpah dipimpin langsung oleh Umar SL
Tuanku Mudo13
dengan bertanya langsung kepada orang yang menyaksikan hilal
seperti kapan hilal terlihat, berapa lama, jarak hilal dari bukit serta kemanakah
arah telengnya hilal. Apabila berhasil dijawab dan bisa diterima oleh pengikut
sidang maka orang tersebut akan disumpah dengan menggunakan al-Quran di atas
kepalanya dengan mengucapkan kata-kata sumpah dan dia benar-benar telah
melihat akan hilal. Setelah pengambilan sumpah selesai maka Angku Umar SL
Tuanku Mudo selaku pembimbing sidang langsung mengeluarkan ketetapan
bahwa besoknya telah jatuh tanggal satu Ramadhan dengan di tanda-tangani oleh
pengurus yang lain beserta Niniak Mamak di daerah Muaro dan dilanjutkan
13
Umar SL Tuanku Mudo adalah Guru Tarekat Syattariyah di Surau Calau.
82
dengan memukul tabuah dan bagi surau yang terletak jauh dari Surau Calau maka
akan dikirimkan pemberitahuan dengan melalui surat ketetapan.
Apabila hilal pada tanggal 29 Sya‟ban tidak terlihat baik di wilayah Surau
Calau maupun di daerah lain, maka bulan Sya‟ban akan digenapkan menjadi 30
hari, walaupun menurut hisab takwim kalau besoknya sudah jatuh tanggal 1
Ramadhan.14
Demikianlah metode yang digunakan oleh Tarekat Syattariyah
dalam menentukan awal bulan hijriyah terutama dalam menentukan satu
Ramadhan dan Syawal.
Hisab takwim yang digunakan oleh Tarekat Syattariyah ini berbeda dengan
hisab munjid tarekat Naqsabandiyah. Misalnya menetapkan awal Ramadhan 1437
H dengan menggunakan hisab munjid, caranya :
8 1437 = 179 8 63 56 77 72 5
د ب د ص ض ا
Huruf Tahun
Za (7)
(Jumlah Sisa pembagian
1437 H/8 dihitung dari
huruf Da yang ke-2.)
+ Huruf Bulan
Ha (5)
(Ramadhan)
= Jumlah Total
12
Catatan: untuk menentukan hari
dihitung dari hari Kamis.
14
Wawancara dengan Umar Sl. Tgk. Mudo 15 Februari 2016.
83
Tabel 6.
Nama
Bulan
Huruf
Bulan
ا
1
5
ض
3
ص
7
د
4
ب
2
6
د
4
ؽشا
Muharam
خظ ص7/
kamis
اش
Senin
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اؼذ
Minggu
ظؼح
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
صفش
Shafar
عثد ب2/
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
خظ
Kamis
شلز
Selasa
ستغ اله
Rabi‟awal
اؼذ ض3/
Minggu
خظ
Kamis
شلز
Selasa
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
استغ
Rabu
ستغ الخش
Rabi‟akhir
شلز 5/
Selasa
عثد
Sabtu
خظ
kamis
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
استغ
Rabu
اؼذ
Minggu
ظؼح
Jum‟at
ظاد اله
Jmd awal
استغ 6/
Rabu
اؼذ
Minggu
ظؼح
Jum‟at
شلز
Selasa
عثد
Sabtu
خظ
Kamis
اش
Senin
عثد
Sabtu
ظاد الخش
Jmd akhir
ظؼح ا1/
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
خظ
Kamis
اش
Senin
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
سظة
Rajab
عثد ب2/
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
خظ
Kamis
شلز
Selasa
شؼثا
Sya‟ban
اش د4/
Senin
ظؼح
Jum‟at
استغ
Rabu
اؼذ
Minggu
خظ
Kamis
شلز
Selasa
عثد
Sabtu
خظ
Kamis
سعا
Ramadhan
شلز 5/
Selasa
عثد
Sabtu
خظ
Kamis
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
استغ
Rabu
اؼذ
Minggu
ظؼح
Jum‟at
شاه
Syawal
خظ ص7/
Khamis
اش
Senin
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اؼذ
Minggu
ظؼح
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
را اىقؼذج
Zulkaedah
ظؼح ا1/
Jum‟at
شلز
Selasa
اؼذ
Minggu
خظ
Kamis
اش
Senin
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
را اىؽعح
Zulhijah
اؼذ ض3/
Minggu
خظ
Kamis
شلز
Selasa
عثد
Sabtu
استغ
Rabu
اش
Senin
ظؼح
Jum‟at
استغ
Rabu
Jadi berdasarkan hisab munjid awal Ramadhan 1437 H jatuh pada hari Senin
sedangkan menurut hisab takwim 1 Ramadhan 1437 H jatuh pada hari Rabu.
Hisab munjid dan hisab takwim juga memiliki kesamaan yaitu menggunakan
kalender dan perhitungan hari yang sama, serta kedua metode hisab ini
digolongkan kedalam bentuk hisab “urfi. Namun yang menjadi perbedaannya
hanya terletak pada patokan huruf tahun dari perhitungannya, hisab takwim
84
memulai hitungan dari huruf Ha sedangkan hisab munjid memulai hitungan
dengan huruf Da yang ke-2.15
C. Analisis Penulis terhadap Takwim Hijriyah
Penggunaan hisab takwim bagi penganut ajaran Tarekat Syattariyah
khususnya yang terdapat di Surau Calau, kecamatan Sijunjung telah terjadi sejak
lama dan diwariskan secara turun temurun mulai dari Syaikh Abdul Wahab
pertama kali mengembangkan ajaran Tarekat Syattariyah di Surau Calau hingga
sekarang.
Hisab takwim dilakukan untuk mengetahui awal bulan hijriyah sebagai
patokan untuk menjalankan ajaran-ajaran Tarekat Syattariyah seperti
memperingati maulid Nabi Muhammad SAW, shalat empat puluh hari, puasa
Ramadhan serta penentuan hari raya Idul Fitri dan lain sebagainya. Ada tiga cara
yang digunakan oleh jamaah Tarekat Syattariyah untuk menentukan waktu dalam
melaksanakan praktek ajarannya yaitu dengan menghitung tanggal satu dari awal
bulan dengan menggunakan huruf tahun dan huruf bulan yang dapat diperoleh
dari huruf lahir Nabi, huruf hijrah Nabi, dan huruf wafat Nabi.
Penggunaan hisab takwim bagi penganut Tarekat Syattariyah hanyalah
sebagai patokan untuk menentukan waktu kegiatan mancaliak bulan bukan
sebagai patokan penentuan awal Ramadhan dan Syawal. Hisab takwim yang
dilakukan oleh penganut Tarekat Syattariyah termasuk jenis metode hisab „Urfi
yang perhitungannya dilandaskan kepada kaidah-kaidah yang bersifat tradisional
15
Ashma Rimadany, “Comparative Study Between Naqsabandiyah and Syattariyah
Congregations In Determining the Beginning of Islamic Lunar Month in West Sumatera
Province,” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Walisongo
Semarang, 2016), h. 70-73.
85
dan tetap yang berdasarkan kepada huruf tahun dan huruf bulan,16
bukan dengan
menggunakan hisab Hakiki yang metode penentuannya dengan melihat
kedudukan bulan pada saat matahari terbenam,17
ijtima‟ bulan, posisi dan keadaan
hilal, mencari tinggi hakiki bulan, dan lain sebagainya.
Menentukan kapan jatuhnya awal Ramadhan dan Syawal penganut Tarekat
Syattariyah di Surau Calau harus menggunakan rukyatul hilal bukan
menggunakan hisab takwim, karena berdasarkan pemahaman mereka terhadap
ayat Al-Quran dan hadits Nabi Muhammad SAW yang terdapat di dalam
manuskrip takwim di Surau Calau, diantaranya:
ف شذ ن اىشش فيص
Artinya: barang siapa yang memandang hilal (bulan) maka wajiblah baginya
berpuasa. (Q.S. al-Baqarah :185)
صا ىشؤر افطشا ىشؤر فا غ ػين فاميا ػذج شؼثا شلش ا
Artinya:Berpuasalah kamu karena melihat hilal(bulan)dan berbukalah kamu karena melihat hilal(bulan), jika hilal ditutupi atasmu maka sempurnakanlah
olehmu akan bilangan sya‟ban tiga puluh hari(RH.Bukhari dan Muslim)
Kegiatan mancaliak bulan sendiri tidak boleh menggunakan bantuan
teknologi dan harus menggunakan mata telanjang. Apabila hilal tidak terlihat oleh
mata telanjang karena disebabkan oleh pengaruh cuaca mendung atau debu maka
penganut Tarekat Syattariyah khususnya di Surau Calau akan menggenapkan
bilangan Sya‟ban menjadi 30 hari. Apabila hilal terlihat dengan menggunakan
bantuan teknologi seperti teropong bintang sekalipun maka mereka tetap tidak
16
Maskufa, “Hisab Hakiki Muhammadiyah”, Ahkam X, no. 1 (Maret 2008): h. 119. 17
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik
Indonesia, Almanak Hisab Rukyat, cet. III. (Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia,
2010), h. 96.
86
akan menerima hasilnya karena makna rukyatul hilal bagi mereka adalah dengan
menggunakan mata telanjang bukan dengan bantuan alat-alat teknologi moderen
yang datangnya belakangan.
Berdasarkan uraian penulis dari bab-bab sebelumnya, diantara amalan yang
harus dilakukan oleh penganut Tarekat Syattariyah menyebutkan salah satunya
adalah keharusan mengikuti ajaran Islam sesuai dengan madzhab Syafi‟i. Dalam
menentukan awal bulan khususnya Ramadhan dan Syawal menurut Syafi‟i dari
beberapa buku diantaranya, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Fiqih Sunnah, serta Fiqih
Lima Madzhab penulis tidak menemukan adanya pendapat dari madzhab Syafi‟i
yang menentang melihat hilal dengan menggunakan bantuan astronomi, ilmu
falak atau dengan menggunakan teknologi. Namun madzhab Hanafi, Hanbali, dan
Maliki mereka terang-terangan menentang penetapan Ramadhan dengan bantuan
astronomi walaupun sering benarnya, karena menurut mereka puasa Ramadhan
dan Syawal harus berdasarkan terlihatnya hilal bukan dengan kemunculan hilal
dan tidak sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW.18
Jadi penulis menyimpulkan kalau penganut Tarekat Syattariyah di Surau
Calau tidak sepenuhnya mengikuti ajaran madzhab Syafi‟i dalam hal penentuan
awal bulan hijriyah tentang penetapan awal Ramadhan dan Syawal karena mereka
menentang menentukan awal Ramadhan dengan bantuan ilmu falak serta
peralatan moderen lainnya sedangkan madzhab Syafi‟i tidak memberikan
18
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid. 3 Penerjemah Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 50 - 56. Lihat juga Muhammad Jawad Mughniyah,
Al-Fiqh „ala a-Madzhab al-Khamsah, PenerjemahMasykur A.B., dkk, (Jakarta: Lentera, 1999).
h.170-173. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jil. 2, Penerjemah Khairul Amru Harahap, dkk,
(Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012), h.221.
87
komentar terkait penentuan awal bulan Ramadhan dengan bantuan astrolog, atau
dengan menggunakan teknologi.
Praktek rukyat yang dilakukan oleh jama‟ah Tarekat Syattariyah yang
terdapat di Surau Calau ini tidak seperti praktek rukyat yang dilakukan oleh
ormas-ormas Islam lainnya, seperti NU dan Pemerintah. Misalnya untuk kasus
Ramadhan 1437 H NU dan Pemerintah menetapkan tanggal 6 Juni 2016 sebagai 1
Ramadhan 1437 H, sedangkan Tarekat Syattariyah berdasarkan Takwim yang
mereka yakini kebenarannya menetapkan 1 Ramadhan 1437 H pada hari Rabu
tanggal 8 Juni 2016 yaitu ada selisih waktu selama dua hari.
Selisih waktu antara Tarekat Syattariyah dengan NU dan Pemerintah dalam
menentukan awal Ramdhan serta Syawal adalah karena perbedaan metode yang
mereka gunakan. Tarekat Syattariyah sendiri berpedoman kepada metode hisab
„urfi dengan perhitungan dengan menggunakan metode hisab tradisional yang
hasilnya bersifat tetap kecuali pada bulan Dzulhijjah pada tahun kabisat berumur
30 hari.19
Pemerintah dan NU menggunakan metode hisab hakiki tahqiqi dan
hisab hakiki tadqiqi yang berpedoman kepada koreksi data gerak bulan maupun
data gerakan matahari menggunakan rumus-rumus spherical trigonometri
sehingga didapat data yang sangat teliti dan akurat dengan bantuan perhitungan
alat-alat elektronika moderen.20
Jadi dapat disimpulkan bahwa sebab terjadinya
perbedaan dan selisih waktu dari penentuan awal bulan hijriyah baik Ramadhan
maupun Syawal antara Tarekat Syattariyah dengan Pemerintah dan NU adalah
19
Maskufa, “Hisab Hakiki Muhammadiyah”, Ahkam X, no. 1 (Maret 2008): h. 128. 20
Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, cet. 1 (Yogyakarta: UIN-Malang Pers, 2008), h.
228
88
karena perbedaan metode dan jenis perhitungan dalam menentukan takwim
hijriyah itu sendiri.
89
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian serta hasil penelitian yang penulis sajikan pada bab-bab
sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Pertama: Landasan
yang digunakan oleh penganut Tarekat Syattariyah di Surau Calau tentang
penentuan awal bulan hijriyah khususnya penentuan awal Ramadhan dan Syawal
berdasarkan kepada dalil-dalil yang kuat seperti Al-Quran dan Sunah Nabi
Muhammad SAW serta dari pemahaman yang mereka terima dari Syaikh-syaikh
terdahulu, salah satu buktinya adalah pengamalan mereka terhadap peninggalan
berupa manuskrip takwim yang terdapat di Surau Calau kecamatan Sijunjung.
Kedua: Metode penentuan awal bulan hijriyah yang digunakan oleh
penganut Tarekat Syattariyah di Surau Calau adalah dengan menggunakan hisab
takwim untuk menentukan tanggal satu bulan hijriyah yang perhitungannya
berdasarkan huruf tahun dan huruf bulan. Hisab takwim juga digunakan sebagai
patokan untuk malakukan kegiatan mancaliak bulan (melihat bulan) bukan
sebagai patokan untuk penentuan awal Ramadhan maupun Syawal. Sedangkan
untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal harus ditetapkan berdasarkan
ru‟yat al-hilal bukan dengan hisab takwim.
B. Saran-saran
1. Penganut Tarekat Syattariyah di Surau Calau hendaklah menerima
perkembangan teknologi untuk mendapat data yang lebih akurat dan
90
bisa menggabungkannya dengan takwim hijriyah yang selama ini di
lakukan di Surau Calau tanpa harus menghilangkan tradisi sebelumnya
yang telah dilakukan secara turun-temurun.
2. Para Ilmuwan dan Ulama berkewajiban memberikan penjelasan
mengenai takwim hijriyah yang dilaksanakan di Surau Calau, karena
tidak semua masyarakat mengetahuinya, sehingga ada sebagian
masyarakat yang berpandangan kurang baik terhadap takwim hijriyah di
Surau Calau ini.
3. Bagi seluruh peneliti khususnya mahasiswa hendaklah lebih intens lagi
dalam melakukan penelitian dibidang filologi, untuk mencapai
pemahaman yang tersimpan dibalik manuskrip. Sehingga dapat
memahami dan menganalisa maksud dan tujuan dari manuskrip dan
manjadi sebuah pengetahuan yang bermanfaat dalam kehidupan.
91
DAFTAR PUSTAKA
Akhimuddin, Yusri. “[Asal Khilaf Bilangan Takwim]: Relasi Ulama-Ulama di
Minangkabau Abad ke-17 dalam Penetapan Awal Ramadhan.” Manassa
Manuskripta II. No.1 (2012).
Al Bayan, Shahih Bukhari Muslim, cet. 10. Penerjemah Jabal. Bandung: Jabal,
2013.
Anas, Imam Malik bin. Al Muwaththa‟ Imam Malik. Penerjemah Nur Alim, dkk.
Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Arsip Sejarah Ringkas Syekh Burhanuddin yang disahkan oleh Kepala Kantor
Departemen Agama Padang Pariaman tanggal 6 November 2004 di
Pariaman.
Atsqani, Ibnu Hajar. Buluughul Maraam Min Adilatil Ahkaam. Penerjemah
Masdar Helmy. Bandung: Gema Risalah Press, 2012.
Azhari, Susiknan. “Penyatuan Kalender Islam: Mendialogkan Wujud Al-Hilal dan
Visibilitas Hilal.” Ahkam XIII. No.2 (Juli 2013): h. 157-166.
Dikjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Direktorat Pembinaan Peradilan
Agama. Selayang Pandang Hisab Rukyat. Jakarta : Direktorat Pembinaan
Peradilan Agama, 2004.
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Kementrian Agama Republik
Indonesia. Almanak Hisab Rukyat, cet. III. Jakarta: Direktorat Jendral
Bimbingan Masyarakat KEMENAG, 2010.
Fanani, Ahwan. “Ajaran Tarekat Syattariyyah dalam Naskah Risalah Shattariyyah
Gresik.” Walisongo 20. No. 2 (November 2012): h. 348-369.
Fathurahman, Oman, dkk. Filologi dan Islam Indonesia, cet. I. Jakarta: Puslitbang
Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI,
2010.
Fathurrahman, Oman. “Tarekat Syattariyyah: Memperkuat Ajaran Neosufisme.”
Dalam Sri Mukyati et.al., Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006. h. 152
Fathurrahman, Oman. Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Jakarta: Prenada
Media Group, 2008).
92
Harry Iskandar, “Surau Syech Gadang Burhanuddin dan Surau Tinggi Calau”,
artikel diakses pada 25 Juli 2016 dari
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/2016/02/02/surau-syech-
gadang-burhanuddin-dan-surau-tinggi-calau/.
Izzuddin, Ahmad. Fiqih Hisab Rukyat. Jakarta: Erlangga, 2007.
Jamil, A. Ilmu Falak (Teori dan Aplikasi): Arah Qiblat, Awal Waktu, dan Awal
Tahun (Hisab Kontemporer), cet. III. Jakarta: Amzah, 2014.
Jawad Mughniyah, Muhammad. Al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Khamsah.
Penerjemah Masykur A.B., dkk. Cet. 4. Jakarta: Lentera, 1999.
Kadrianto. “Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan
Konteks.” Hantaran FIB UNAND. (2013).
Kementerian Agama Republik Indonesia (KEMENAG). Almanak Hisab Rukyat,
cet. III. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
KEMENAG, 2010.
Konservasi Naskah Calau artikel diakses pada 29 Juli 2016
http://www.sumbarprov.go.id/details/news/7703.
Lajnah Falakiah. Pedoman Rukyat dan Hisab Nahdlatul Ulama. Jakarta: Lajnah
Falakiah Pengurus Besar NU, 2006.
Lidwa Pustaka. “Kitab Sembilan Imam.” i-Software.
Maskufa. “Hisab Hakiki Muhammadiyah.” Ahkam 10. No. 1 (Maret 2008): h.
118-134.
Maskufa. Ilmu Falak, cet. I. Ciputat: Gaung Persada Press, 2009.
Al-Mundziri, Al-Hafizh „Abdul „Azhim bin „Abdul Qawi Zakiyuddin.
Mukhtashar Shahih Muslim. Penerjemah Achmad Zaidun. Jakarta: Pustaka
Amani, 2003.
Murtadho, Mohammad. Ilmu Falak Praktis, cet I. Yogyakarta: UIN-Malang Pers,
2008.
Pinto, Nandi. “Pemahaman Hadis Ru‟yat al-Hilal Menurut Ulama Syattariyah
Ulakan Padang Pariaman.” Manassa Ulunnuha 3. No. 2 (Oktober
2014):197-207.
Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Puslitbang
Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan,
93
Departemen Agama , Hisab Rukyat dan Perbedaannya. Jakarta:
Departemen Agama, 2004.
Al Qurthubi, Syaikh Imam. Tafsir Al Qurthubi, jilid. 15. Penerjemah Muhyiddin
Mas Rida, dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Al Qurthubi, Syaikh Imam. Tafsir Al Qurthubi, jilid. 8. Penerjemah Budi Rosyadi,
dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Al-Quran surat Al-Baqarah :189, Yunus: 5, Al-Isra‟:12, At-Taubah: 36, Al-
Baqarah: 185, Yasin:39.
Rimadany, Ashma “Comparative Study Between Naqsabandiyah and Syattariyah
Congregations In Determining the Beginning of Islamic Lunar Month in
West Sumatera Province,” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2016).
Saksono, Tono. Mengkompromikan Rukyat dan Hilal. Jakarta: PT. Amythas
Publica, 2007.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah 2. Penerjemah Khairul Amru Harahab, dkk. Cet. 3.
Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012.
Sl. Tgk. Mudo, Umar. Risalah Nurul Amaliah. Muaro, 2010.
Shofiyullah. Mengenal Kalender Lunisolar di Indonesia. Malang : PP. Miftahul
Huda, 2006.
Asy-Syaukani, Al Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad. Tafsir Fathul
Qadir, jilid. I. Penerjemah Amir Hamzah Fachruddin, Asep Saefullah.
Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Ath Thabari, Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thabari, jilid 13.
Penerjemah Anshari Taslim, dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Ath Thabari, Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thabari, jilid 16.
Penerjemah Misbah, dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Umar, Tk. Ali, “Tesis Ali Umar Bab II”, artikel diakses pada 29 Juli 2016 dari
http://ungkuali.blogspot.co.id/2011/01/tesis-ali-umar-bab-ii_20.html?m=1.
Wawancara dengan Umar Sl. Tgk. Mudo 15 Februari 2016.
Az-Zabidi, Al-Imam Zainudin Ahmad bin Abd Al-Lathif. At-Tajriid Ash-Shariih
li Ahaadits Al-Jaami‟ Ash-Shahih. Penerjemah Achmad Zaidun. Jakarta:
Pustaka Amani, 2002.
94
Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jilid 3. Penerjemah Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk. Jakarta: Gema Insani, 2011.
Lampiran 1
Lampiran 2
Pedoman Wawancara
Nama : Umar Sl. Tgk. Mudo
Alamat : Pasar Jumat, Nagari Muaro, Kec. Sijunjung
Jabatan : Guru Tarekat Syattariyah di Surau Calau
Pekerjaan : Pedagang
Tempat : Ruko milik Narasumber di Pasar Jumat, Nagari Muaro
Tanggal : 15 Februari 2016
1. Apakah landasan yang digunakan Tarekat Syattariyah dalam menentukan
awal bulan hijriyah?
Dalam menentukan awal bulan hijriyah kami berlandaskan kepada Al-
Quran dan Sunnah Nabi SAW seperti yang tertera di dalam manuskrip
takwim yang terdapat di Surau Calau dan juga bisa dilihat dalam buku
Risalah Nurul Amaliyah yang saya tulis ulang yang bersumber dari
manuskrip takwim peninggalan Syaikh Abdul Wahid yang terdapat di Surau
Calau ini.
2. Bagaimana metode penentuan awal bulan menurut Tarekat Syattariyah di
Surau Calau?
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam menentukan awal bulan
hijriyah bagi jamaah Tarekat Syattariyah di Surau Calau terutama yang
berkaitan dengan penentuan awal Ramadhan dan Syawal yaitu melakukan
hisab takwim untuk menentukan huruf tahun dan huruf bulan, untuk
menentukannya dilakukan dengan tiga cara, diantaranya:
a) Berpedoman kepada huruf tahun lahir Nabi SAW yaitu huruf
Ha. Caranya huruf tahun dibagi dengan angka 8 (jumlah huruf
bulan) lalu angka sisa dari pembagian tersebut yang akan di
jadikan patokan untuk menentukan huruf tahunnya. Misalnya
sisa pembagian 5 maka untuk menentukan huruf tahun dihitung
sebanyak lima kali dari huruf Ha maka itulah yang akan
menjadi huruf tahunnya.
b) Berpedoman kepada huruf tahun Hijrah Nabi SAW yaitu Wa
caranya sama tapi sebelum dibagi dengan 8 maka harus
dikurangi dulu dengan lama hidup Nabi SAW di Makkah yaitu
53 tahun.
c) Berpedoman dengan menggunakan huruf wafat Nabi SAW yaitu
Alif sebelum dibagi 8 harus dikurangi terlebih dahulu dengan
lama umur Nabi SAW yaitu 63 tahun.
Setelah huruf tahun ditemukan untuk menentukan harinya adalah huruf
tahun ditambah huruf bulan dan hasilnya dihitung dari hari Kamis.
Setelah tanggal satu dalam Ramadhan ataupun Syawal telah ditemukan
berdasarkan hisab takwim, maka tahap selanjutnya adalah melakukan
kegiatan mancaliak bulan yaitu dilakukan sehari sebelum tanggal satu dari
hisab takwim tadi untuk memastikan apakah malam itu hilal benar-benar
sudah terlihat. Misalnya dalam menentukan awal Ramadhan kalau malam
itu hilal tidak terlihat maka akan digenapkan Sya‟ban menjadi 30 hari
walaupun menurut hisab takwim besok sudah masuk tanggal 1 pada bulan
Ramadhan. Karena untuk mentukan awal Ramadhan dan Syawal harus
dengan terlihatnya hilal, dan hisab takwim disini sebagai alat bantu atau
pedoman untuk menentukan kapan kegiatan melihat hilal bukan sebagai
patokan untuk menentapkan awal Ramadhan.
3. Apakah bantuan alat teknologi di perbolehkan dalam proses rukyatul hilal
bagi Tarekat Syattariyah di Surau Calau?
Kegiatan mancaliak bulan harus dilakukan dengan menggunakan mata
telanjang tidak dengan menggunakan alat bantu seperti teropong bintang
dan lain-lainnya. Walaupun dalam proses melihat hilal dengan bantuan alat
moderen seperti teropong bintang dan lain sebagainya dapat terlihat kami
tetap tidak akan mempercayainya. Karena kami menetapkan awal
Ramadhan maupun Syawal harus dengan mata tidak dengan bantuan
teknologi, apabila salah satu dari kami melihat hilal maka kami akan
melakukan sumpah di Surau Calau apakah kesaksian orang ini dapat
dipercaya apa tidak yang dihadiri oleh jamaah Tarekat maupun niniak
mamak se-nagari Muaro.