Tafsir Surat Al Bayyinah Dan Al-Zalzalah
-
Upload
khoirul-anwar -
Category
Documents
-
view
654 -
download
13
Transcript of Tafsir Surat Al Bayyinah Dan Al-Zalzalah
Tafsir Surat Al-Bayinah dan Al-Zalzalah
I. Surat Al-Bayyinah
a. Versi Tafsir Al-Maraghi
Di dalam surat ini, firman Allah yang berbunyi: Lam yakunillazinaa kafaru…sampai
dengan ayat yang berbunyi: Zalika liman khasyiya Rabbah seperti diturunkannya Al-
Qur’an. Seolah-olah dikatakan, “Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an karena
kaum kafir masih tetap teguh dengan kekafirannya, hingga rasul membawakan kepada
mereka suhuf (Kitab Suci) untuk dibacakan kepada mereka”.
Penafsiran kata-kata sulit
Ahlul-Kitab: kaum Yahudi dan Nasrani
Al-Musyrikun: kaum penyembah berhala dan patung, yang terdiri dari bangsa Arab
maupun lainnya.
Munfakkina: tidak mau berhenti terhadap apa saja yang selama ini terbiasa mereka
lakukan.
Al-Bayyinah: hujjah yang jelas, maksudnya, diutusnya Nabi Muhammad saw.
sebagai rasul
As-Suhuf: mufrad (tunggalnya) adalah sahifah. Artinya adalah sesuatu yang tertulis
Mutahharah: bebas dari kepalsuan dan kesesatan.
Al-Qayyimah: lurus, tidak bengkok, sebab keseluruhannya kebenaran.
Al-bayyinah: dalil yang kuat.
Al-Ikhlas: melakukan suatu pekerjaan dengan ikhlas, hanya karena Allah SWT
semata, dan di dalam melakukan pekerjaan, tidak menyekutukan Allah.
Ad-Diin: ibadah.
Akhlasud-Diini lillah: membersihkan diri dari kemusyrikan.
Bariyyah: artinya makhluk.
Khasyiyallah: takut kepada siksaan Allah.
Pengertian Secara Umum
Kaum ahli kitab, yakni kaum Yahudi dan Nasrani, hidup dalam kegelapan dan
kebodohan. Mereka sama sekali tidak mau menerima iman kepada apa yang seharusnya
diimani, yakni berjalan di atas dasar-dasar syariat nabi, kecuali beberapa orang yang
tidak turut di dalam arus. Mereka adalah orang-orang yang mendapat pemeliharaan
Allah. Keingkaran mereka itu disebabkan karena nenek moyang mereka telah berhasil
merubah dan mengganti syari’at tersebut dan memasukkan hal-hal yang di luar agama
ke dalam agama. Kenyataan tersebut, mungkin disebabkan karena kebodohan mereka di
dalam memahami agama, atau percaya sikap mengganggap baik terhadap berbabagai
bid’ah yang mereka duga dapat memperkuat ajaran agama. Padahal, secara faktual
bid’ah-bid’ah tersebut telah merusak sendi-sendi agama mereka sendiri. Kadang-
kadang, kenyataan tersebut disebabkan karena upaya penipuan yang dilakukan musuh-
musuh mereka yang mempunyai maksud menghancurkan agama, dan ingin mengusai
pemeluknya.
Masa terus berputar, dan setiap generasi berusaha memberikan berbagai tambahan ke
dalam ajaran agama tentang berbagai persoalan yang tidak tergarap oleh generasi
terdahulu. Sebagai akibatnya, garis-garis kebenaran menjadi pudar, dan nur keyakinan
semakin terkubur.
Di samping mereka, terdapat pula kaum penyembah berhala yang terdiri dari bangsa
Arab dan lainnya. Mereka ini sudah terbiasa menyembah berhala dan tunduk pada
“kekuatan” wasani. Sehingga sulit mengalihkan mereka dari wasani ini. sekalipun
demikian, mereka tetap berkeyakinan bahwa agama mereka anut adalah agama Al-
Khalil (kekasih Allah), Nabi Ibrahim.
Sering kali terjadi perbedaan antara kaum musyrikin dan Yahudi dan antara mereka
dengan kaum Nasrani. Kaum musrik mengatakan, “Sesungguhnya Allah akan mengutus
nabi dari bangsa Arab yang menduduki Makkah”. Kemudian, bangsa Arab
menceritakan cirri-ciri nabi yang dimaksud, dan berjanji akan membantunya jika nabi
itu datang.
Penjelasan
(Lam yakunil-lazina…hatta ta’tiyahumul bayyinah)
Orang-orang yang mengingkari risalah Muhammad SAW dan meragukan
kenabiannya, yakni kaum musyrikin, Yahudi dan Nasrani, selamanya tidak akan mau
meninggalkan pegangan mereka karena kekafiran yang sudah keterlaluan. Mereka telah
meninggalkan kebenaran dan lebih menyukai pegangan yang diwariskan oleh nenek
moyang mereka. Sekalipun pada kenyataannya, nenek moyang itu tidak mengerti sama
sekali permasalahan agama.
Rasulullah hadir di tengah-tengah mereka dengan membawa ajakan yang
menggoncangkan terhadap ajaran yang sudah berakar di dalam keyakinan mereka, di
damping sudah menjadi kebiasaan yang membudaya. Karenanya, mereka berupaya
terus menerus mencari alasan karena didorong oleh sikap ingkar mereka. Mereka
menggunakan hujjah yang mengatakan, bahwa apa yang didatangkan Muhammad SAW
adalah sama dengan apa yang ada di tangan mereka, dan bukan merupakan kebaikan
jika apa yang didatangkan itu diikuti. Menurut mereka, dengan berpegang pada apa
yang ada pada mereka dan berjalan sesuai dengan tata aturan nenek moyang mereka,
adalah lebih baik dan patut, dan bahkan lebih disukai oleh perasaan mereka, karena
dianggap akan membawa kemaslahatan.
Kemudian, Allah menafsirkan (?) pengertian Al-Bayyinah tersebut yang
menunjukkan kepada kebenaan. Karena Allah berfirman dalam ayat berikut ini:
Rasulullum minaallahi yatlu shuhufam mutoharoh. Fiiha kutubun qoyyimah.
Yang dimaksud Al-Bayyinah adalah Nabi Muhammad SAW, yang membacakan
mushaf Al-Qur’an yang terbebas dari pencampuradukan, penyimpangan dan pemalsuan
kepada mereka. Dari Al-Qur’an ini, memancarlah sinar kebenaran, seperti firman Allah:
“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari
belakangnya…”(Fussilat: 42)
Al-Qur’an adalah sesuatu kebenaran yang asli, yang disebut di dalam kitab-kitab
para nabi terdahulu, yang telah Allah Firmankan:
“Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar tersebut dalam kitab-kitab orang
yang dahulu.” (Asy-Syu’ara’: 196)
Allah juga berfirman di dalam ayat lainnya:
“Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu)
kitab-kitab Ibrahim dan Musa.” (Al-Ala’: 18-19)
Ada kemungkinan, yang dimaksud dengan Al-Kitab di sini adalah surah-surah dan
ayat-ayat Al-Qur’an. Sebab, pada setiap surah Al-Quran, adalah menunjukan kitab yang
lurus, atau kalamullah yang mengandung hukum-hukum syari’at. Dengan hukum
tersebut dapat dibedakan antara kebenaran dan kebatilan, sebagaimana firman Allah:
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-
Qur’an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan (penyelewengan) di dalamnya,
sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksaan yang sangat pedih
dari sisi Allah, dan member berita gembira kepada orang-orang yang beriman…” (Al-
Kahfi: 1-2)
Ringkasnya, bahwa keadaan kaum kafir yang terdiri dari kaum Yahudi dan Nasrani,
termasuk kaum musyrikin, setelah kedatangan Rasulullah SAW, mereka tersesat
mengikuti kebutaan dan keinginan hawa nafsu serta kebodohan. Ketika Nabi SAW
diangkat sebagai rasul, sebagaian mereka ada yang beriman. Tetapi pada galibnya, sikap
mereka tetap tidak berubah seperti halnya belum ada rasulnya. Namun, sebelum
kedatangan Nabi SAW, mereka sangat percaya terhadap kabar akan datangnya nabi dan
akan mengikutinya. Tetapi, ketika Nabi SAW, menerima perutusan (diangkat sebagai
rasul), sikap mereka berbalik. Memang ada sebagaian di antara mereka yang beriman,
dan menilai bahwa apa yang selama ini mereka lakukan adalah kesesatan dan kebatilan.
Di antara juga banyak yang tidak beriman, namun mereka merasa ragu dan bimbang
terhadap apa yang selama ini mereka kerjakan. Bahkan mereka sama sekali tidak
percaya kepada apa yang mereka pegang selama ini. kelompok ini sama sekali tidak
mau mengikuti Nabi Muhammda SAW, hanya karena sikap congkap dan keras kepala,
di samping hanya mengikuti peninggalan nenek moyang.
Kemudian Allah menghibur Rasullah dengan berita tentang pecahnya pendapat kaum
tentang darinya. Untuk itu Allah berfirman:
(Wamaatafarraqaladzinaa…ma jaaa ‘athumul bayyinah)
Janganlah engkau ya Muhammad menyesali dirimu sendiri karena kekecewaan
terhadap mereka. Janganlah hatimu merasa sempit karena perilaku mereka. Sebab,
semuanya itu merupakan persoalan yang sudah terbiasa mereka lakukan secara turun-
temurun sejak nenek moyang mereka yang berani mengganti dan merubah ajaran nabi
mereka. Mereka telah terpecah menjadi berbagai kelompok, dan masing-masing
kelompok saling menyalahkan kelompok lainnya. Kenyataan ini disebabkan mereka
hanya ingin menciptakan suasana permusuhan dan menuruti kemauan hawa nafsu. Jadi
perbedaan pendapat yang melanda mereka bukan karena pendeknya hujjah yang kamu
bawakan. Atau bukan karena kesamaranmu (Muhammad) di hadapan mereka. Jika
mereka itu memang menolak hujjah yang kamu bawakan, maka kenyataan itu tidaklah
mengherankan. Sebab, mereka sudah terbiasa menolak hujjah-hujjah yang dibawa para
nabi mereka. Dan jika mereka menolak kenabianmu, mereka pun telah mengingkari
ayat-ayat Allah, yang sebelumnya mereka yakini sebagai kebesaran.
Jika memang demikian sikap kaum ahli kitab, maka lebih-lebih sikap kaum musyrik.
Jelas, mereka akan lebih bodoh dan lebih mudah mengikuti hawa nafsu.
Kemudian Allah mencela perlakuan mereka dan perbuatan mereka yang mengikuti
cara berpikir rancu dan sesat. Karenanya, Allah berfirman:
(Wamaa umiruu illa liya’buduullaha…wayu’tuzzakata)
Mereka berpecah dan saling berselisih. Padahal sebenarnya mereka hanya
diperintahkan untuk melakukan hal-hal yang merupakan kebijaksanaan agama dan
kepentingan duniawi mereka. Mereka pun hanya diperintahkan untuk melakukan hal-hal
yang dapat mengantarkan mereka kepada kebahagiaan di dunia atau kebahagiaan
mereka kelak jika kembali ke hadapan Allah. Misalnya, beramal dengan ikhlas hanya
karena Allah, baik sendirian maupun dengan banyak orang, dan membersihkan diri dari
menyekutukan Allah, dan mengikuti agama Ibrahim yang menolak prinsip wasaniyah
untuk berpegang kepada prinsip tauhid dan ikhlas di dalam melaksanakan ibadah. Hal
seperti firman Allah:
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu Muhammad, ‘Ikutilah agama Ibrahim
seorang yang hanif…”(An-Nahl: 123)
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia
adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri (kepada Allah)…”(Ali Imron: 67)
Yang dimaksud dengan mendirikan shalat adalah melakukan salat dengan khusyu’
terhadap ke-Maha Besar-an Maha Pencipta yang disembah. Dengan demikian, ia selalu
berupaya membiasakan diri menyembah-Nya. Dan maksud menunaikan zakat adalah
menginfakkan (membayarkan) harta kepada golongan yang sudah ditentukan, seperti
yang sudah ditentukan, seperti yang sudah dijelaskan di dalam kitabullah.
(wadzalika diinul qoyyimah)
Hal-hal yang sudah disebutkan menyangkut ikhlas di dalam menyembah Yang Maha
Pencipta, menolak kemusyrikan dan mendirikan shalat, serta menunaikan zakat. Semua
itu merupakan aturan agama yang sudah ditentukan dalam kitabullah.
Ringkasnya, bahwa kaum ahli kitab itu berbeda dan berselisih pendapat dalam hal
pokok dan cabang-cabang agama. Padahal, mereka tidak diperintahkan sesuatu kecuali
hanya untuk menyembah Allah dengan ikhlas. Di samping itu, ikhlas di dalam
menerima akidah dan beramal. Dengan pengertian, mereka tidak mengikuti nenek
moyang, dan mengembalikan semua persoalan kepada Allah. Dan jika terjadi
perselisihan pendapat di kalangan mereka, hendaknya tidak berpegang kepada
pendiriannya masing-masing.
Hal inilah yang disayangkan oleh Allah, mengenai sikap kaum ahli kitab terhadap
agamanya. Sekarang, bagaimanakah dengan kaum muslimin. Agama kita, sekarang ini
banyak dicampuri berbagai bentuk bid’ah, dan kita telah terpecah menjadi berbagai
golongan dan mazab. Sehingga, kita dihina, dianggap rendah, dan lemah oleh umat
lainnya—yang merupakan balasan Allah—karena penyelewengan kita sendiri dari jalan
yang lurus dan syariat-Nya, di samping kita telah berjalan di atas jalan yang tidak lurus.
Kemudian Allah menjelaskan balasan untuk orang-orang yang mengingkari risalah
Muhammad SAW. karenanya, Allah berfirman pada ayat berikut ini:
(Innalladzinaa kafaruu min ahlil kitabii…fii nari jahannama kholidina fiiha)
Sesungguhnya orang-orang yang mengotori dirinya dengan berbagai perbuatan syirik
dan maksiat, di samping pengingkaran terhadap kebenaran—sesudah mereka
mengetahui kebenaran itu seperti halnya mereka kenal terhadap anak-anaknya sendiri—
maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pasti terjadi. Mereka akan
dimasukkan ke dalam neraka yang apinya menyala-nyala, sebagai balasan atas
perbuatan mereka, dan sebagai balasan atas berpalingnya mereka dari ajakan nabi yang
berupaya mengembalikan fitrah mereka.
Kemudian, Allah menyebut mereka dengan sebutan yang akan dikemukakan di
dalam ayat berikut ini:
(Ulaaika hum syarul bariyyah)
Mereka adalah seburuk-buruk makhluk. Sebab, orang yang mengingkari kebenaran
—sesudah mengenalnya dengan adanya bukti nyata—berarti ia telah mengingkari akal
sehatnya. Dengan kata lain, mereka memasukkan dirinya ke dalam kehancuran dan
malapetaka.
Setelah Allah menjelaskan balasan yang akan ditimpakan kepada kaum kafir dan
orang-orang yang ingkar, selanjutnya, pada ayat berikut ini, Allah menjelaskan balasan-
Nya yang akan diterima oleh kaum beriman dan khusyu’ di dalam imannya:
(Innaladzinaa aamanuu…hum khoirul bariyyah)
Sesungguhnya orang-orang yang hatinya diterangi oleh sinarnya dalil, kemudian
menjadikan dalil-dalil itu sebagai hidayah, di samping yakin terhadap apa yang datang
dari Nabi Muhammad, dan mengerjakan amal-amal saleh, maka mereka akan rela
mengorbankan dirinya dan hartanya untuk tujuan kebaikan. Mereka ini akan bersikap
baik dalam memperlakukan sesama, dan mereka itulah sebaik-baik makhluk Allah.
Sebab, dengan mengikuti nabi, berarti mereka telah menghargai hak akal, yang dengan
akal itu manusia dimuliakan oleh Allah. Dan dengan mengerjakan amal-amal saleh,
berarti mereka telah memelihara keutamaan yang merupakan tiang wujudnya manusia.
Kemudian, di dalam ayat berikut ini dijelaskan pahala yang akan mereka terima dari
sisi Allah. Firman Allah:
(Jazaaauhum ‘inda rabbihim jannatu ‘adnin…kholidiina fiihaaa abadaan)
Mereka akan Allah beri pahala berupa surge yang akan menjadi tempat mereka untuk
selamanya. Di dalam surga itu terdapat berbagai kenikmatan dan kelezatan yang jauh
lebih sempurna dibanding kenikmatan dan kelezetan dunia.
Kita wajib beriman akan adanya surga, dan kita tidak dibolehkan memikirkan
hakekat surga, letak surga, dan bagaimana kita bersenang-senang di dalam surga. Sebab,
yang mengetahui hakekat surga hanyalah Allah, tidak ada seorang pun yang
mengetahuinya. Surga termasuk sesuatu yang gaib, hanya Allah sendiri yang
mengetahui.
Kemudian, Allah menjelaskan sebab-sebab mereka menerima pahala. Firman Allah:
(Radhiallahu ‘anhum wa rodhu ‘anhu)
Mereka mendapat ridha dari Allah karena mereka telah berpegang pada batasan-
batasan syari’at-Nya. Sebagai hasil dari perbuatan itu, mereka menjadi terpuji, dan
akhirnya mendapatkan keridhaan Allah, baik di dunia maupun di akhirat.
(Dzalika liman khosyia rabbahu)
Pahala yang baik itu hanya diperuntukkan bagi orang yang hatinya penuh dengan taat
dan rasa takut kepada Allah.
Ayat ini mengandung semacam ancaman kepada orang-orang yang takut kepada
selain Allah, dan peringatan keras kepada orang-orang yang menyekutukan Allah di
dalam Amal dan perbuatannya. Ayat ini juga merupakan perintah atau anjuran untuk
ber-zikir dan takut kepada Allah di dalam setiap mengerjakan perbuatan baik. Sehingga,
perbuatan-perbuatan yang dilakukan itu benar-benar bersih dan ikhlas karena Allah.
Di dalam ayat ini juga terkandung isyarat yang pengertiannya adalah, bahwa yang
mengerjakan sebagaian ibadah, seperti salat dan puasa yang hanya melakukan berbagai
gerakannya saja—tanpa adanya perasaan takut kepada Allah, maka perbuatan tersebut
tidak bisa dijadikan sebagai seseorang meraih pahala yang telah Allah sediakan kepada
hamba-hamba-Nya yang saleh dan beriman. Sebagai sebabnya ialah, karena perasaan
takut kepada Allah itu sama sekali tidak ada di dalam hati mereka, dan hatinya tidak
menjadi bersih.1
b. Versi Tafsir Ibnu Katsir2
1 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi (Semarang: Toha Putra, 1993) h. 366-3772 Ibnu katsir, tafsir juzamma edisi revisi
Tafsir ayat 1-5
“orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa
mereka) tdak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti
yang nyata (1). Yaitu seseorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan
lembaran-lembaran yang disucikan (Al-Qur’an) (2). Di dalamnya terdapat (isi) kitab-
kitab yang lurus (3). Dan tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al
Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata (4).
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalakan) agama dengan lurus, dan supaya mereka
mendirikan salat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus
(5).”
Sedangkan yang dimaksud dengan ahli kitab adalah orang-orang Yahudi, Nasrani,
serta orang-orang musyrik penyembah patung dan api dari bangsa Arab dan non-Arab.
Mujahid berkata: mereka tidak akan meninggalkan agama mereka sehingga kebenaran
menjadi jelas bagi mereka. Begitu juga pendapat Qatadah.
Hatta ya’tiyahumul bayyinah, maksudnya adalah Al-Qur’an. Oleh karena itu Allah
berfirman : “orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan
bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka
bukti yang nyata.” Allah lalu menerangkan maksud kata Al-Bayyinah dengan
firmannya: “Yaitu seorang rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-
lembaran yang disucikan (Al-Qur’an),” Allah berfirman:
“Di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucika, di tangan
para penulis (malaikat), yang mulia lagi berbakti.” (QS. ‘Abasa: 13-16)
Fiihaa kutubun qoyyimah: maksudnya adalah di dalam lembaran-lembaran kitab suci
dari Allah yang benar, lurus, dan adil. Di dalamnya tidak ada kesalahan karena
lembaran-lembaran suci itu datangnya dari sisi Allah.
Qatadah berkata: (Yaitu) seorang rasul dari Allah (Muhammad) membacakan
lembaran-lembaran disucikan (Al-Qur’an). Maksudnya, Al-Qur’an diucapkan dengan
sebaik-baiknya ucapan dan dimuliakan dengan pemujaan yang paling baik. Ibnu Zaid
berkata : Fiiha kutubun qoyyimah, maksudnya adalah lurus dan adil.
Wa maa tafaroqolladziina utul kitaba illa…maa jaaaa athumul bayyinah (dan
tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al-Kitab (kepada mereka)
melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata). Ayat tersebut sama dengan
firman-Nya.
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih
sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang
mendapat siksa yang berat.” (QS. Ali-Imran: 105)
Umat-umat yang diturunkan kepada mereka kitab-kitab sebelum Al-Qur’an, telah
bercerai berai dan berselisih dalam hal memahami maksud Allah dalam kitab-kitab
mereka, sebagaimana disebutkan dalam hadist yang diriwayatkan melalui jalur hadits
yang berbeda-bebeda:
“Sesungguhnya umat yahudi akan terpecah belah hingga tujuh puluh satu golongan.
Sesungguhnya umat Nasrani akan terpecah belah hingga tujuh puluh dua golongan.
Umat ini (Islam) akan terpecah belah hingga tujuh puluh tiga golongan yang semua
golongan itu akan masuk neraka, kecuali satu golongan.” Para sahabat bertanya,
“Siapakah mereka itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Yaitu golongan yang
mengikutiku dan sahabat-sahabatku.”
Wamaa umiruu illa…lahuddiin. (padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama. Ayat ini serupa dengan firman Allah:
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami
wahyukan kepadanya, ‘Bahwasannya tidak ada tuhan melainkan Aku, maka sembahlah
olehmu sekalian akan Aku’.” (QS. Al-Anbiyaa’: 25)
Oleh karena itu Allah berfirman: hunafaa’ (dengan lurus) maksudnya adalah
meninggalkan kesyirikan untuk menuju pada tauhid. Sebagaimana firman Allah:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat, (untuk
menyerukan), Sembahlah Allah dan jauhilah yang Thagut itu” (QS. An-Nahl: 36)
Wayuqimuu ash-sholata (dan supaya mereka mendirikan shalat). Maksudnya adalah
ibadah jasmani yang paling mulia, wayu’tuzzakata (dan menunaikan zakat). Maksudnya
adalah perbuatan baik kepada orang-orang fakir dan orang-orang yang
membutuhkannya.
Wadzalika diinul qoyyimah (dan yang demikian itulah agama yang lurus).
Maksudnya adalah, agama yang lurus dan adil atau umat yang lurus dan adil.
Mayoritas ulama seperti, Az-Zuhri dan Asy-Syafi’i menjadikan ayat ini sebagai dalil
tentang perbuatan-perbuatan yang termasuk iman. Oleh karena itu, Allah berfirman:
“Dan tidaklah mereka disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya, dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat,
dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang benar.”
Ayat 6-8 (ditulis sendiri ya yank…hehe)
Allah SWT mengabarkan tentang tempat kembalinya orang-orang durhaka—yaitu
para ahli kitab dan orang-orang musyrik—yang menentang kitab-kitab Allah (yang
diturunkan kepadanya) dan menentang nabi-nabi yang Allah utus pada mereka. Tempat
mereka pada hari kiamat adalah neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya. Mereka
itulah seburuk-buruk mkhluk ciptaan Allah.
Allah kemudian mengabarkan tentang keadaan orang-orang baik—yaitu orang-orang
yang memiliki keimanan di dalam hati serta melakukan perbuatan baik dengan seluruh
anggota tubuh mereka—bahwa mereka adalah sebaik-baik makhluk (Khoirul Barriyah,
bukan khoirul anwar lo yank…hehe). Abu Hurairah beserta sebagaian ulama
menjadikan ayat ini sebagai dalil tentang derajat orang-orang Mukmin, yang tinggi
daripada derajat malaikat, berdasarkan firman Allah (mereka adalah sebaik-baik
makhluk)
Allah kemuduan berfirman: Jazzaauhum ‘inda rabbihim (Adalah surga ‘And yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya).
Maksudnya, yaitu tidak terputus, tidak terhenti, dan tak ada habisnya.
Radhiallahu ‘anhum (Allah ridha terhadap mereka). Maksudnya, kedudukan ridha
Allah kepada mereka adalah keridhaan pada kedudukan tertinggi dengan apa yang Allah
berikan kepada mereka, berupa kenikmatan yang terus menerus, wa radhu ‘anhu (dan
mereka pun ridha kepada-Nya). Maksudnya, ridha pada semua yang telah Allah berikan
kepada mereka berupa kenikmatan.
Dzalika liman khosyiya rabbah (yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang
akan takut kepada Tuhannya). Maksudnya, balasan yang demikian itu mereka terima
sebagai hasil adanya rasa takut mereka kepada Allah, dengan melakukan ketakwaan
kepada Allah dan menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya, dan ia mengetahui
bahwa jika ia tidak bisa melihat Allah maka Allah pasti akan melihatnya.
II. Surat Al-Zalzalah
a. Versi Tafsir Al-Maraghi
Munasabah surah ini dengan surah sebelumnya (menurut tertib Usmany) adalah
sebagai berikut:
Pada surah sebelumnya, Allah menurunkan ayat-ayat tentang balasan bagi orang-
orang beriman dan pembalasan bagi orang kafir. Di dalam surah ini, Allah menjelaskan
saat dan tanda-tanda datangnya balasan dan pembalasan tersebut.
Surat Al-Zalzalah (1-8, ditulis sendiri yank ayat maupun terjemahannya)
Penafsiran kata-kata sulit
Al-zalzalah: gerakan dahsyat yang disertai gempa
Al-Asyqol: bentuk mufradnya adalah siqlun. Artinya adalah perabot rumah tangga,
seperti firman Allah:
“Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai
kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri.”(QS.
An-Nahl: 7)
Sedangkan yang dimaksud di sini adalah apa yang terkandung di dalam perut bumi,
baik mayat-mayat, logam, dan mineral.
Yasduru: kembali. Pengertian dari kata Al-Warid adalah orangyang datang ke tempat
air untuk minum atau menyirami (memberi minum). Akan halnya As-Sadir, ialah yang
kembali dari air sumber tersebut.
Asytata: mufradnya adalah syatit, artinya bercerai berai dan saling gontok-gontokan,
orang baik ataupun jahat, mereka tidak berjalan di jalan yang satu.
Az-Zarrah: semut yang terkecil (maksudnya atom, pen) atau debu-debu yang tampak
melalui sinar matahari yang menyinari jendela.
Misqalu-Zarrah: seberatnya timbangan. Maksudnya merupakan perumpamaan
terhadap sesuatu yang sangat kecil.
Sebab turunnya Surah
Kaum kafir seringkali menanyakan tentang hari perhitungan. Dalam hal ini mereka
mengatakan, seperti yang disebut di dalam ayat:
“..bilakah hari kiamat itu?” (QS. Al-Qiyamah:6)
Mereka juga mengatakan, sebagaimana yang disebutkan di dalam ayat berikut ini:
“…bilakah (terjadinya) janji ini (hari berbangkit)…” (QS. Yasin: 48)
Dan masih banyak perkataan mereka yang pengertiannya sama. Kemudian, Allah
menjelaskan kepada mereka di dalam surah ini, terbatas pada tanda-tanda hari kiamat
saja. Hal ini dimaksudkan agar mereka mengetahui bahwa mereka tidak bisa
mengetahui secara pasti terjadinya hari kiamat. Yakni hari ketika umat manusia
dihadapkan kepada Tuhannya untuk menerima siksa—bagi yang berdosa—dan
menerima pahala—bagi yang beriman.
Penjelasan
(Idzaa zulzilatil ardhu zilzalaha), jika bumi sudah mulai bergetar dan bergoncang
dengan gerakan yang sangat dahsyat.
Terdapat pula ayat yang lain mempunyai makna sama, yaitu: idzaa rujjatin ardhu
rajja (Apabila bumi digoncangkan sedahsyat-dahsyatnya, Al-Waqi’ah: 4)
Juga firman Allah yang berbunyi:
“Hai manusia, bertakwalah kepada tuhanmu; sesungguhnya kegoncangan hari
kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat).” (Al-Hajj: 1)
Ayat ini memberikan penjelasan tentang betapa dahsyatnya hari kiamat itu, dengan
maksud agar kaum kafir mau memikirkan situasi hari itu, sehingga mereka insyaf dari
kekafirannya. Hal itu pernah dikatakan kepada mereka, “Jika benda-benda mati saja
ikut bergetar karena ngeri yang merupakan pengaruh dari hal itu, maka apakah kalian
mau sadar dan mencabut kekafiran kalian?”
(Wakhrojatil ardhu atsqolaha)
Dan bumi pun mengeluarkan isinya, baik loga, mineral maupun orang-orang yang
sudah terkubu di dalamnya. Karena gonjangan yang dahsyat itu, sampai bumi
mengeluarkan seluruh isinya.
Terdapat ayat lain yang pengertiannya sama:
“Dan apabila bumi diratakan, dan dilemparkan apa yang ada di dalamnya dan
menjadi kosong…” (Al-Insyiqaq: 3-4)
Perumpamaannyanya sama dengan yang terjadi di Itali tahun 1909, ketika terjadi
letusan Gunung Waizof, yang seluruh muntahan lahar gunung melandaka kota Messina
dan seluruh penghuninya. Sehingga tidak ada lagi rumah dan “tempat membuat roti”.
(Wa qoola al-insaanu maa lahaa)
Kemudian, orang-orang yang menyaksikan dahsyatnya goncangan itu—
goncangangan yang belum pernah mereka alami—merasa bingung dan tidak
mengetahui sebab adanya goncangan itu. Karena kedahsyatan yang sempat mereka
saksikan sendiri, hingga mereka mengatakan, “Apa yang terjadi dengan bumi, dan
peristiwa apakah yang terjadi ini, yakni peristiwa yang belum pernah terjadi?”
Ayat ini sama dengan ayat yang berbunyi:
“…dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka
tidak mabuk..” (Al-Hajj: 2)
(yaumaidiin tuhadditsu akhbarohaa)
Ketika itu, hanya bumi yang akan menceritakan, apa kejadian yang selanjutnya…
maksudnya adalah, bahwa keadaan bumi—yang bergonjang dan timbul gempa dahsyat
yang belum pernah terjadi sebelumnya—memberitahukan kepada mereka yang
mempertanyakan, bahwa apa yang mereka lihat tidaklah disebabkan oleh sebab-sebab
yang biasa terlihat ketika peraturan di alam dunia ini stabil.
Kemudian, Allah menjelaskan sebab-sebab yang mereka saksikan. Allah berfirman
di dalam ayat berikut ini:
(Bianna rabbaka auha lahaa)
Sesungguhnya apa yang terjadi pada bumi ketika hari kiamat hanyalah berdasarkan
perintah Allah secara khusus. Allah berfirman kepada bumi, “Jadilah engkau hancur”,
seperti ucapan-Nya, “Jadilah engkau bumi”. Perintah Ilahi di sini dapat dikatakan
sebagai wahyu, karena sebelumnya, Allah belum pernah memerintahkan seperti itu
kepada bumi. Demikianlah yang dikatakan Al-Ustaz Imam Muhammad Abduh
(Yaumaidiin yashduru an-nasu asytataan lliu…a’malahum)
Ketika hari kiamat terjadi dan bumi mengalami kehancuran total, maka lahirlah alam
baru yang disebut sebagaimana akhirat. Ketika itu, manusia bermunculan lahir kembali,
dan jalan yang mereka lalui tidak sama, bahkan berbeda-beda. Orang-orang baik,
melalui jalan yang tidak sama dengan jalan yang dilalui orang jahat. Demikian halnya
jalan yang dilalui orang-orang yang taat dengan jalan yang dilalui orang yang suka
berbuat maksiat. Mereka dikembalikan kepada Allah hingga mengetahui hasil
perbuatannya masing-masing selama hidup di dunia.
Kemudian Allah, memerinci hal tersebut dengan firman-Nya
(Famaiyakmal…syarraiyyarah)
Barangsiapa yang beramal kebajikan, sekalipun sangat sedikit, ia akan menerima
balasan dari kebaikannya itu. Dan barangsiapa berbuat kejahatan, sekalipun sangat
sedikit, ia akan menerima balasannya pula, tidak memandang, apakah yang melakukan
kaum mu’minin ataupun kaum kafir. Semua akan dibalas sesuai dengan perbuatan yang
dikerjakan di dunia.
Perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan kaum kafir, tidak bisa menyelamatkan
dirinya dari siksa karena kekafirannya. Karena kekafirannya itu, mereka tetap langgeng
sebagai penghuni neraka dalam keaadaan yang sengsara secara terus menerus. Dan yang
dimaksud dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa amal kebaikan kaum
kafir itu dilebur dan tidak bermanfaat untuk dirinya, ialah bahwa amal-amal kebaikan
tersebut tidak bisa menyelamatkan dirinya dari siksa karena kekafirannya. Sekalipun
ada siksaan yang diperingan karena dosa-dosa yang dilakukan, selain dosa yang
disebabkan oleh kekafirannya. Sedang dosa yang disebabkan sikap kafir, sama sekali
tidak diperingan. Kepastian ini berdasarkan firman Allah yang berbunyi:
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tiadalah
dirugikan seseorang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawai pun,
pasti Kami mendatangkan pahalanya. Dan cukuplah Kami menjadi orang-orang yang
membuat perhitungan”. (Al-Anbiya’: 47)
Firman Allah di atas berbunyi Falatuzlamu nafsun syai’an (maka tiadalah dirugikan
seorang sedikit pun), menunjukkan pengertian yang cukup jelas, bahwa kaum mu’min
maupun kafir, sama-sama akan diperlakukan secara adil di dalam peng-hisab-an
(perhitungan amal), dan sikap setiap induvidu pasti akan menerima balasan kelak di hari
Kiamat.
Terdapat sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Hatim (seorang dermawan di masa
Jahiliyyah, ed) diringankan siksaannya karena kedermawanannya. Abu Lahab juga
diringankan siksanya karena ia ikut bergembira ketika Nabi Muhammad dilahirkan ke
dunia.
Demikianlah secara ringkas pendapat Al-Ustaz Muhammad Abduh di dalam
menafsirkan ayat ini.
Butit-butir bahan dalam kandungan surah
Surah ini mengandung dua tujuan pokok, yaitu:
Pertama, goncangnya bumi ketika hari kiamat, dan perasaan takut yang mencekam,
melanda umat manusia ketika itu.
Kedua, digiringnya manusia menuju suatu mauqif untuk dihisab dan menerima
balasa atas perbuatannya masing-masing3.
b. Versi Tafsir Ibnu Katsir
Ayat 1-8 (ditulis sendiri njeh cyank..hehe)
3 Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi ( Semarang: Toha Putra, 1993) h. 379-385
Ibnu Abbas berkata : idzaa zulzilati ardhu zilzalahaa (apabila bumi digoncangkan
dengan goncangan yang dahsyat), maksudnya bumi bergerak dari dasar bumi.
Waakhrojati ardhu atsqolahaa (dan bumi telah mengeluarkan beban-beban
beratnya). Maksudnya adalah, melemparkan semua yang ada di dalamnya, berupa
mayit-mayit. Banyak ulama salaf yang berpendapat seperti ini. ayat ini sama dengan
firman Allah,
“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; sesungguhnya keguncangan hari
Kiamat itu adalah sesuatu kejadian yang sangat besar.”(Al-Hajj: 1)
“Dan apabila bumi diratakan, dan dimuntahkan apa yang ada di dalamnya dan
menjadi kosong.” (Al-Insyiqoq: 3-4)
Imam Muslim—dalam kitab Shahihnya—meriwayatkan: Washil bin Abdul A’la
berkata kepada kami, Muhammad bin Fudhail berkata kepada kami dari ayahnya, dari
Abu Hazim, dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Bahwa bumi mengeluarkan sesuatu yang ada di dalamnya, yang terkubur seperti
bongkahan emas dan perak, lalu datang pembunuh dan berkata, “Karena ini aku
membunuh.” Lalu datang pemutus (tali persaudaraan) dan berkata, “Karena ini aku
memutuskan tali persaudaraan.” Lalu datang pencuri dan berkata, “Karena ini
tanganku dipotong.” Kemudian mereka meninggalkan harta itu dan tidak mengambil
apapun dari harta itu.”
Wa qoola al-insanu maa lahaa (dan manusia bertanya, “Mengapa bumi begini?”
Maksudnya, manusia bertanya-tanya seakan-akan mengingkari perilaku bumi yang
bergoncang, karena bumi sebelumnya dan tenang, hingga manusia dapat berdiam di
permukaan bumi itu. Keadaan bumi berubah menjadi bergoncang, dan mengeluarkan
semua yang ada di dalamnya, berupa mayit-mayit yang terdahulu dan terakhir. Saat itu
manusia mengingkari (kejadian tersebut) dan bertanya-tanya. Allah berfirman, “Yaitu
pada hari bumi diganti dengan bumi yang lain dan begitu pula dengan langit, dan
manusia berkumpul menghadap kepada Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (QS.
Ibrahim: 4-8)
Yaumaidiin..akhbarohaa (pada hari itu bumi menceritakan beritanya). Maksudnya,
bumi menceritakan tentang perbuatan manusia di atas muka bumi.
Imam Ahmad berkata: Ibrahim berkata kepada kami, Ibnu Al Mubarak berkata
kepada kami—sementara dalam riwayat At-Tirmidzi dan An-Nasa’i—dan lafaz ini
darinya, Suwaid bin Nashr berkata kepada kami, Abdullah bin Al Mubarak
mengabarkan kepada kami dari Sa’id bin Abu Ayub, dari Yahya bin Abu Sulaiman dari
Sa’id Al Maqburi dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah membacakan ayat:
“Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.” Beliau lalu bersabda, “Tahukah
kalian isi berita itu?” para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih
mengetahui.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya berita itu adalah kesaksian bumi atas
segala perbuatan manusia atau umat di atas bumi ini, dengan mengatakan, “Fulan
melakukan ini dan itu. “inilah berita yang diceritakan bumi.” At-Tirmidzi menilai
hadist ini shahih gharib.
Dalam Mu’jam Ath-Thabrani dari hadist Ibnu Luhaiah: Al Harist bin Yazid berkata
padaku: Aku mendengar Rubai’ah Al Hadasy berkata: Rasulullah SAW
bersabda,”Berhati hatilah kalian terhadap bumi, karena bumi adalah induk kalian.
Sesungguhnya tak seorang pun di antara kalian yang melakukan perbuatan baik dan
buruk kecuali bumi akan menceritakan perbuatan itu.”
Bianna rabbaka auha lahaa (Karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan),
Bukhari berkata: mewahyukan baginya dan mewahyukan kepadanya adalah searti.
Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Ibnu Abbas. Makna yang terkandung
dalam ungkapan ini adalah mengizinkan bumi untuk melakukan hal itu.
Diriwayatkan oleh Syabib bin Basyar dari Ikramah, dari Ibnu Abbas, ia berkata
tentang ayat: “pada hari itu bumi menceritakan” Maksudnya, Allah berfirman kepada
bumi, “Wahai bumi, berbicaralah,” bumi pun berbicara.
Mujahid berkata: mewahyukan kepada bumi berarti memerintahkan bumi. Al-Qurzhi
berkata: maksudnya adalah, Allah memerintahkan bumi untuk mengeluarkan isi
perutnya.
Yaumaidin yashdurun…ashqolahaa (Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya
dalam keadaan bermacam-macam). Maksudnya agar mereka mengetahui perbuatan
mereka, untuk diberikan balasan sesuai perbuatan yang telah mereka lakukan di dunia,
berupa keburukan atau kebaikan, sebab setelah ayat ini Allah berfirman: “ Barang siapa
yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia kan melihat balasannya.
Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan
melihat balasannnya.”
Bukhari berkata: Isma’il bin Abdulullah berkata kepada kami, Malik berkata
kepadaku dari Zaid bin Azlam, dari Abu Shalih As-Saman dari Abu Huraira bahwa
Rasulullah SAW bersabda:
“Kuda itu untuk tiga (macam manusia), yaitu: untuk seorang pria sebagai
pahalanya; untuk seorang pria sebagai penutupnya; untuk seorang pria sebagai
dosanya. Untuk seorang pria sebagai pahalanya yaitu seorang pria yang menambatkan
kudanya itu untuk di jalan Allah (untuk berperang), lalu kuda itu diberi keleluasaan di
hamparan padang rumput atau taman. Setiap sesuatau yang dimakan oleh kuda itu di
padang rumput dan taman akan menjadi pahala pria itu. Jika kuda itu berhenti
menyantap lalu berlari untuk menyerang musuh dengan melewati lembah dan bukit,
maka jejak-jejak telapak kaki kuda itu serta kotoran-kotoranya yang dikeluarkan oleh
kuda itu akan menjadi pahala pria itu. Jadi, kuda itu bagi pria itu adalah pahalanya.
Sedangkan seorang pria yang menambatkan kudanya untuk mencukupi dirinya dan
ia tidak akan melupakan kewajiban-kewajibannya kepada Allah dalam mengurus dan
menunggangi kuda itu, maka kuda tersebut bagi pria itu adalah penutup dirinya.
Sedangkan seorang pria yang menambatkan kudanya untuk membanggakan diri, ria,
dan menimbulkan ria, maka kuda itu bagi orang itu adalah dosa baginya.”
Rasulullah SAW lalu ditanya tentang keledai, beliau pun bersabda, “Allah tidak
menurunkan apa pun tentang hal itu kecuali ayat yang bersifat menyeluruh ini,
‘Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar zarah pun, niscaya dia akan melihat
balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarah pun, niscaya
dia akan melihat balasannya’. (HR Muslim dari Zaid bin Aslam)
Imam Ahmad berkata: Yazid bin Harun berkata kepada kami, Jarir bin Hazim
mengabarkan kepada kami, Al Hasan mengabarkan kepada kami dari Sha’sha’ah bin
Muawiyah, paman dari Al Farazdaq, bahwa ia datang kepada Nabi SAW, lalu
membaca:
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, dia akan melihat
balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya
dia akan melihat balasannya pula.” (QS Al-Zalzalah: 7-8) Sha’sha’ah berkata,
“cukuplah bagiku ayat ini dan aku tidak peduli mendengar ayat selain ini.”
Hadist ini diriwayatkan pula oleh An-Nasa’I (bab: Tafsir) dari Ibrahim bin
Muhammad bin Yunus Al-Mu’addabi, dari ayahnya, dari Jarir bin Hazim, dari Hasan Al
Bashri, ia berkata: Sha’sha’ah (paman Al Farazdaq) berkata kepada kami, lalu ia
menyebutkan hadist ini.
Di riwayatkan—dalam kitab Shahih Al Bukhari—dari Adi yang di marfu’kan:
“Takutlah kalian dari api neraka; walaupun hanya dengan separuh kurma dan satu
kata yang baik.”
Dalam Shahih Muslim
“Janganlah sekali-kali kamu merendahkan perbuatan baik yang sedikit, atau engkau
mengocongkan tempat airmu untuk diisi ke tempat orang yang mencari air, atau engkau
bertemu saudaramu dengan wajah yang ceria.”
Masih dalam Shahih Al Bukhari:
“Wahai sekalian kaum wanita mukminat, janganlah sekali-kali seorang tetangga
merendahkan tetangganya, walaupun menyedahkan dengan kuku kambing (maksudnya
sedikit dagingnya).”
Imam Ahmad berkata: Muhammad bin Abdullah Anshari berkata kepada kami,
Katsir bin Zaid berkata kepada kami dari Abdul Muthalib bin Abdullah, dari Aisyah,
bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Aisyah:
“Wahai Aisyah, tutuplah dirimu dari api neraka, walaupun dengan separuh kurma,
karena separuh kurma dapat menghilangkan rasa lapar pada seseorang yang sedang
lapar.”
Hadist ini hanya diriwayatkan oleh Ahmad. Diriwayatkan dari Aisyah, bahwa ia
bersedekah dengan satu buah anggur, dan ia berkata, “Seberapa besar buah anggur itu
dari biji sawi?”
Imam Ahmad berkata: Abu Amir berkata kepadaku, Sa’id bin Muslim berkata
kepada kami, katanya: aku mendengar Amir bin Abdullah bin Az-Zubair, Auf bin Al-
Harits bin Ath Thufail, Aisyah mengabarkan kepadanya bahwa Nabi SAW bersabda,
“Wahai Aisyah, hindarilah olehmu perbuatan-perbuatan dosa yang kecil, karena
sesungguhnya perbuatan-perbuatan dosa yang kecil itu akan dituntut oleh Allah (untuk
mendapatkan balasannya).” Hadist ini diriwaytkan pula oleh An-Nasa’I dan Ibnu
Majah.
Ibnu Jarir berkata: Abu Al Khithab Al Hasani berkata kepadaku, Al Hatsim bin Ar
Rabi’ berkata kepadaku, Sammak bin Athiyah berkata kepada kami dari Ayyub, dari
Qilabah, dari Anas, ia berkata: ketika Abu Bakar makan bersama Nabi SAW, turunlah
ayat ini: “Barangsiapa yang mengerjakan sebesar zarah pun misalnya, ia akan melihat
balasannya. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarrah pun, niscaya ia
akan melihat balasannya pula. Abu bakar lalu mengangkat tangannya dan berkata,
“Wahai Rasulullah, aku akan menerima balasan dari apa yang aku perbuat dari
perbuatan jahat sebesar biji sawi.” Beliau pun bersabda, “Wahai Abu Bakar, sesuatu
yang dibenci di dunia akan dihitung dengan ukuran biji sawi kejahatan dan Allah
menyimpankan untukmu ukuran biji sawi kebaikan, hingga keduanya itu akan
memberikan ganjaran pada Hari Kiamat.”
Hadist lainnya, Ibnu Jarir berkata: Yunus bin Abdul A’la berkata kepada kami, Ibnu
Wahab mengabarkan kepada kami, Yahya bin Abdullah mengabarkan kepadaku dari
Abu Abdurrahman Al Habali, dari Abdullah bin Amru bin Ash, ia berkata: ketika surah
Az-Zazalah diturunkan, Abu Bakar sedang duduk, kemudian ia menangis, maka
Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis wahai Abu
Bakar?” Abu Bakar menjawab, “Yang membuatku menangis adalah surah ini.” Beliau
pun bersabda kepadanya, “Seandainya kalian tidak bersalah dan tidak berdosa maka
bagaimana Allah akan mengampuni kalian? Allah pasto akan menciptakan suatu umat
yang bersalah dan berdosa, lalu Allah akan mengampuni mereka.”
Hadist lainnya, Ibnu Abu Hatim berkata: Abu Zar’ah dan Ali bin Abdurrahman bin
Al Mughirah berkata kepada kami, keduanya berkata: Amru bin Khalid Al Harani
berkata kepada kami, Ibnu Luhai’ah berkata kepada kami, Hisyam bin Sa’ad
mengabarkan kepadaku dari Zaid bin Aslam, dari Atha’ bin Yasar, dari Abu Sa’id Al
Khudri, ia berkata:
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar zarrah pun, niscaya dia akan
melihat balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarah pun
niscaya ia akan melihat balasannya. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah akan
diperlihatkan kepadaku seluruh perbuatanku?” Beliau bersabda, “Ya” Aku berkata,
“Perbuatan-perbuatan besar?” Beliau bersabda, “Ya,” aku berkata, “Oh, celakalah
ibuku!” Beliau bersabda, “Bergembiralah Abu Sa’id, sesungguhnya perbuatan baik
akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat, hingga tujuh ratus kali lipat.
Sesungguhnya Alla akan melipat gandakan perbuatan orang yang Dia kehendaki,
sedangkan keburukan akan dibalas dengan setimpal, bahkan Allah memaafkannya.
Tidaklah seseorang di antara kalian dapat selamat dengan perbuatannya.” Aku
berkata, “Termasuk engkau wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Termasuk aku.
Akan tetapi, Allah telah meliputi diriku dengan kasih sayang-Nya.”
Abu Zar’ah berkata: hanya Ibnu Luhai’ah yang meriwayatkan hadist ini.
Imam Ahmad berkata: Sulaiman bin Daud berkata kepada kami, Imran berkata
kepada kami dari Qatadah, dari Abdu Rabah, dari Abu Iyadh, dari Abdullah bin Mas’ud
bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Jauhkanlah oleh kalian untuk merendahkan (meremehkan) dosa-dosa kecil, karena
sesungguhnya dosa-dosa kecil itu akan berkumpul dalam diri seseorang hingga
membinasakannya.”4
Yogyakarta, 8 Mei 2013
Khoirul Anwar
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta & Freelance Writer
Daftar Pustaka
Al-Maraghi, Ahmad M. 1993. Terjemah Tafsir Al-Maraghi (Alih bahasa: Bahrun
Abubakar). Semarang: Toha Putra.
Katsir, Ibnu. 2007. Tafsir Juz ‘Amma Edisi Revisi (Alih bahasa: Farizal Tirmizi).
Jakarta: Pustaka Azzam
4 Ibnu Katsir, Tafsir juz ‘Amma edisi revisi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) h. 307-315