Tafsir Surat Al Bayyinah Dan Al-Zalzalah

30
Tafsir Surat Al-Bayinah dan Al-Zalzalah I. Surat Al-Bayyinah a. Versi Tafsir Al-Maraghi Di dalam surat ini, firman Allah yang berbunyi: Lam yakunillazinaa kafaru…sampai dengan ayat yang berbunyi: Zalika liman khasyiya Rabbah seperti diturunkannya Al-Qur’an. Seolah- olah dikatakan, “Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an karena kaum kafir masih tetap teguh dengan kekafirannya, hingga rasul membawakan kepada mereka suhuf (Kitab Suci) untuk dibacakan kepada mereka”. Penafsiran kata-kata sulit Ahlul-Kitab: kaum Yahudi dan Nasrani Al-Musyrikun: kaum penyembah berhala dan patung, yang terdiri dari bangsa Arab maupun lainnya. Munfakkina: tidak mau berhenti terhadap apa saja yang selama ini terbiasa mereka lakukan. Al-Bayyinah: hujjah yang jelas, maksudnya, diutusnya Nabi Muhammad saw. sebagai rasul As-Suhuf: mufrad (tunggalnya) adalah sahifah. Artinya adalah sesuatu yang tertulis Mutahharah: bebas dari kepalsuan dan kesesatan. Al-Qayyimah: lurus, tidak bengkok, sebab keseluruhannya kebenaran. Al-bayyinah: dalil yang kuat. Al-Ikhlas: melakukan suatu pekerjaan dengan ikhlas, hanya karena Allah SWT semata, dan di dalam melakukan pekerjaan, tidak menyekutukan Allah.

Transcript of Tafsir Surat Al Bayyinah Dan Al-Zalzalah

Tafsir Surat Al-Bayinah dan Al-Zalzalah

I. Surat Al-Bayyinah

a. Versi Tafsir Al-Maraghi

Di dalam surat ini, firman Allah yang berbunyi: Lam yakunillazinaa kafaru…sampai

dengan ayat yang berbunyi: Zalika liman khasyiya Rabbah seperti diturunkannya Al-

Qur’an. Seolah-olah dikatakan, “Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an karena

kaum kafir masih tetap teguh dengan kekafirannya, hingga rasul membawakan kepada

mereka suhuf (Kitab Suci) untuk dibacakan kepada mereka”.

Penafsiran kata-kata sulit

Ahlul-Kitab: kaum Yahudi dan Nasrani

Al-Musyrikun: kaum penyembah berhala dan patung, yang terdiri dari bangsa Arab

maupun lainnya.

Munfakkina: tidak mau berhenti terhadap apa saja yang selama ini terbiasa mereka

lakukan.

Al-Bayyinah: hujjah yang jelas, maksudnya, diutusnya Nabi Muhammad saw.

sebagai rasul

As-Suhuf: mufrad (tunggalnya) adalah sahifah. Artinya adalah sesuatu yang tertulis

Mutahharah: bebas dari kepalsuan dan kesesatan.

Al-Qayyimah: lurus, tidak bengkok, sebab keseluruhannya kebenaran.

Al-bayyinah: dalil yang kuat.

Al-Ikhlas: melakukan suatu pekerjaan dengan ikhlas, hanya karena Allah SWT

semata, dan di dalam melakukan pekerjaan, tidak menyekutukan Allah.

Ad-Diin: ibadah.

Akhlasud-Diini lillah: membersihkan diri dari kemusyrikan.

Bariyyah: artinya makhluk.

Khasyiyallah: takut kepada siksaan Allah.

Pengertian Secara Umum

Kaum ahli kitab, yakni kaum Yahudi dan Nasrani, hidup dalam kegelapan dan

kebodohan. Mereka sama sekali tidak mau menerima iman kepada apa yang seharusnya

diimani, yakni berjalan di atas dasar-dasar syariat nabi, kecuali beberapa orang yang

tidak turut di dalam arus. Mereka adalah orang-orang yang mendapat pemeliharaan

Allah. Keingkaran mereka itu disebabkan karena nenek moyang mereka telah berhasil

merubah dan mengganti syari’at tersebut dan memasukkan hal-hal yang di luar agama

ke dalam agama. Kenyataan tersebut, mungkin disebabkan karena kebodohan mereka di

dalam memahami agama, atau percaya sikap mengganggap baik terhadap berbabagai

bid’ah yang mereka duga dapat memperkuat ajaran agama. Padahal, secara faktual

bid’ah-bid’ah tersebut telah merusak sendi-sendi agama mereka sendiri. Kadang-

kadang, kenyataan tersebut disebabkan karena upaya penipuan yang dilakukan musuh-

musuh mereka yang mempunyai maksud menghancurkan agama, dan ingin mengusai

pemeluknya.

Masa terus berputar, dan setiap generasi berusaha memberikan berbagai tambahan ke

dalam ajaran agama tentang berbagai persoalan yang tidak tergarap oleh generasi

terdahulu. Sebagai akibatnya, garis-garis kebenaran menjadi pudar, dan nur keyakinan

semakin terkubur.

Di samping mereka, terdapat pula kaum penyembah berhala yang terdiri dari bangsa

Arab dan lainnya. Mereka ini sudah terbiasa menyembah berhala dan tunduk pada

“kekuatan” wasani. Sehingga sulit mengalihkan mereka dari wasani ini. sekalipun

demikian, mereka tetap berkeyakinan bahwa agama mereka anut adalah agama Al-

Khalil (kekasih Allah), Nabi Ibrahim.

Sering kali terjadi perbedaan antara kaum musyrikin dan Yahudi dan antara mereka

dengan kaum Nasrani. Kaum musrik mengatakan, “Sesungguhnya Allah akan mengutus

nabi dari bangsa Arab yang menduduki Makkah”. Kemudian, bangsa Arab

menceritakan cirri-ciri nabi yang dimaksud, dan berjanji akan membantunya jika nabi

itu datang.

Penjelasan

(Lam yakunil-lazina…hatta ta’tiyahumul bayyinah)

Orang-orang yang mengingkari risalah Muhammad SAW dan meragukan

kenabiannya, yakni kaum musyrikin, Yahudi dan Nasrani, selamanya tidak akan mau

meninggalkan pegangan mereka karena kekafiran yang sudah keterlaluan. Mereka telah

meninggalkan kebenaran dan lebih menyukai pegangan yang diwariskan oleh nenek

moyang mereka. Sekalipun pada kenyataannya, nenek moyang itu tidak mengerti sama

sekali permasalahan agama.

Rasulullah hadir di tengah-tengah mereka dengan membawa ajakan yang

menggoncangkan terhadap ajaran yang sudah berakar di dalam keyakinan mereka, di

damping sudah menjadi kebiasaan yang membudaya. Karenanya, mereka berupaya

terus menerus mencari alasan karena didorong oleh sikap ingkar mereka. Mereka

menggunakan hujjah yang mengatakan, bahwa apa yang didatangkan Muhammad SAW

adalah sama dengan apa yang ada di tangan mereka, dan bukan merupakan kebaikan

jika apa yang didatangkan itu diikuti. Menurut mereka, dengan berpegang pada apa

yang ada pada mereka dan berjalan sesuai dengan tata aturan nenek moyang mereka,

adalah lebih baik dan patut, dan bahkan lebih disukai oleh perasaan mereka, karena

dianggap akan membawa kemaslahatan.

Kemudian, Allah menafsirkan (?) pengertian Al-Bayyinah tersebut yang

menunjukkan kepada kebenaan. Karena Allah berfirman dalam ayat berikut ini:

Rasulullum minaallahi yatlu shuhufam mutoharoh. Fiiha kutubun qoyyimah.

Yang dimaksud Al-Bayyinah adalah Nabi Muhammad SAW, yang membacakan

mushaf Al-Qur’an yang terbebas dari pencampuradukan, penyimpangan dan pemalsuan

kepada mereka. Dari Al-Qur’an ini, memancarlah sinar kebenaran, seperti firman Allah:

“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari

belakangnya…”(Fussilat: 42)

Al-Qur’an adalah sesuatu kebenaran yang asli, yang disebut di dalam kitab-kitab

para nabi terdahulu, yang telah Allah Firmankan:

“Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar tersebut dalam kitab-kitab orang

yang dahulu.” (Asy-Syu’ara’: 196)

Allah juga berfirman di dalam ayat lainnya:

“Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu)

kitab-kitab Ibrahim dan Musa.” (Al-Ala’: 18-19)

Ada kemungkinan, yang dimaksud dengan Al-Kitab di sini adalah surah-surah dan

ayat-ayat Al-Qur’an. Sebab, pada setiap surah Al-Quran, adalah menunjukan kitab yang

lurus, atau kalamullah yang mengandung hukum-hukum syari’at. Dengan hukum

tersebut dapat dibedakan antara kebenaran dan kebatilan, sebagaimana firman Allah:

“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-

Qur’an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan (penyelewengan) di dalamnya,

sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksaan yang sangat pedih

dari sisi Allah, dan member berita gembira kepada orang-orang yang beriman…” (Al-

Kahfi: 1-2)

Ringkasnya, bahwa keadaan kaum kafir yang terdiri dari kaum Yahudi dan Nasrani,

termasuk kaum musyrikin, setelah kedatangan Rasulullah SAW, mereka tersesat

mengikuti kebutaan dan keinginan hawa nafsu serta kebodohan. Ketika Nabi SAW

diangkat sebagai rasul, sebagaian mereka ada yang beriman. Tetapi pada galibnya, sikap

mereka tetap tidak berubah seperti halnya belum ada rasulnya. Namun, sebelum

kedatangan Nabi SAW, mereka sangat percaya terhadap kabar akan datangnya nabi dan

akan mengikutinya. Tetapi, ketika Nabi SAW, menerima perutusan (diangkat sebagai

rasul), sikap mereka berbalik. Memang ada sebagaian di antara mereka yang beriman,

dan menilai bahwa apa yang selama ini mereka lakukan adalah kesesatan dan kebatilan.

Di antara juga banyak yang tidak beriman, namun mereka merasa ragu dan bimbang

terhadap apa yang selama ini mereka kerjakan. Bahkan mereka sama sekali tidak

percaya kepada apa yang mereka pegang selama ini. kelompok ini sama sekali tidak

mau mengikuti Nabi Muhammda SAW, hanya karena sikap congkap dan keras kepala,

di samping hanya mengikuti peninggalan nenek moyang.

Kemudian Allah menghibur Rasullah dengan berita tentang pecahnya pendapat kaum

tentang darinya. Untuk itu Allah berfirman:

(Wamaatafarraqaladzinaa…ma jaaa ‘athumul bayyinah)

Janganlah engkau ya Muhammad menyesali dirimu sendiri karena kekecewaan

terhadap mereka. Janganlah hatimu merasa sempit karena perilaku mereka. Sebab,

semuanya itu merupakan persoalan yang sudah terbiasa mereka lakukan secara turun-

temurun sejak nenek moyang mereka yang berani mengganti dan merubah ajaran nabi

mereka. Mereka telah terpecah menjadi berbagai kelompok, dan masing-masing

kelompok saling menyalahkan kelompok lainnya. Kenyataan ini disebabkan mereka

hanya ingin menciptakan suasana permusuhan dan menuruti kemauan hawa nafsu. Jadi

perbedaan pendapat yang melanda mereka bukan karena pendeknya hujjah yang kamu

bawakan. Atau bukan karena kesamaranmu (Muhammad) di hadapan mereka. Jika

mereka itu memang menolak hujjah yang kamu bawakan, maka kenyataan itu tidaklah

mengherankan. Sebab, mereka sudah terbiasa menolak hujjah-hujjah yang dibawa para

nabi mereka. Dan jika mereka menolak kenabianmu, mereka pun telah mengingkari

ayat-ayat Allah, yang sebelumnya mereka yakini sebagai kebesaran.

Jika memang demikian sikap kaum ahli kitab, maka lebih-lebih sikap kaum musyrik.

Jelas, mereka akan lebih bodoh dan lebih mudah mengikuti hawa nafsu.

Kemudian Allah mencela perlakuan mereka dan perbuatan mereka yang mengikuti

cara berpikir rancu dan sesat. Karenanya, Allah berfirman:

(Wamaa umiruu illa liya’buduullaha…wayu’tuzzakata)

Mereka berpecah dan saling berselisih. Padahal sebenarnya mereka hanya

diperintahkan untuk melakukan hal-hal yang merupakan kebijaksanaan agama dan

kepentingan duniawi mereka. Mereka pun hanya diperintahkan untuk melakukan hal-hal

yang dapat mengantarkan mereka kepada kebahagiaan di dunia atau kebahagiaan

mereka kelak jika kembali ke hadapan Allah. Misalnya, beramal dengan ikhlas hanya

karena Allah, baik sendirian maupun dengan banyak orang, dan membersihkan diri dari

menyekutukan Allah, dan mengikuti agama Ibrahim yang menolak prinsip wasaniyah

untuk berpegang kepada prinsip tauhid dan ikhlas di dalam melaksanakan ibadah. Hal

seperti firman Allah:

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu Muhammad, ‘Ikutilah agama Ibrahim

seorang yang hanif…”(An-Nahl: 123)

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia

adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri (kepada Allah)…”(Ali Imron: 67)

Yang dimaksud dengan mendirikan shalat adalah melakukan salat dengan khusyu’

terhadap ke-Maha Besar-an Maha Pencipta yang disembah. Dengan demikian, ia selalu

berupaya membiasakan diri menyembah-Nya. Dan maksud menunaikan zakat adalah

menginfakkan (membayarkan) harta kepada golongan yang sudah ditentukan, seperti

yang sudah ditentukan, seperti yang sudah dijelaskan di dalam kitabullah.

(wadzalika diinul qoyyimah)

Hal-hal yang sudah disebutkan menyangkut ikhlas di dalam menyembah Yang Maha

Pencipta, menolak kemusyrikan dan mendirikan shalat, serta menunaikan zakat. Semua

itu merupakan aturan agama yang sudah ditentukan dalam kitabullah.

Ringkasnya, bahwa kaum ahli kitab itu berbeda dan berselisih pendapat dalam hal

pokok dan cabang-cabang agama. Padahal, mereka tidak diperintahkan sesuatu kecuali

hanya untuk menyembah Allah dengan ikhlas. Di samping itu, ikhlas di dalam

menerima akidah dan beramal. Dengan pengertian, mereka tidak mengikuti nenek

moyang, dan mengembalikan semua persoalan kepada Allah. Dan jika terjadi

perselisihan pendapat di kalangan mereka, hendaknya tidak berpegang kepada

pendiriannya masing-masing.

Hal inilah yang disayangkan oleh Allah, mengenai sikap kaum ahli kitab terhadap

agamanya. Sekarang, bagaimanakah dengan kaum muslimin. Agama kita, sekarang ini

banyak dicampuri berbagai bentuk bid’ah, dan kita telah terpecah menjadi berbagai

golongan dan mazab. Sehingga, kita dihina, dianggap rendah, dan lemah oleh umat

lainnya—yang merupakan balasan Allah—karena penyelewengan kita sendiri dari jalan

yang lurus dan syariat-Nya, di samping kita telah berjalan di atas jalan yang tidak lurus.

Kemudian Allah menjelaskan balasan untuk orang-orang yang mengingkari risalah

Muhammad SAW. karenanya, Allah berfirman pada ayat berikut ini:

(Innalladzinaa kafaruu min ahlil kitabii…fii nari jahannama kholidina fiiha)

Sesungguhnya orang-orang yang mengotori dirinya dengan berbagai perbuatan syirik

dan maksiat, di samping pengingkaran terhadap kebenaran—sesudah mereka

mengetahui kebenaran itu seperti halnya mereka kenal terhadap anak-anaknya sendiri—

maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pasti terjadi. Mereka akan

dimasukkan ke dalam neraka yang apinya menyala-nyala, sebagai balasan atas

perbuatan mereka, dan sebagai balasan atas berpalingnya mereka dari ajakan nabi yang

berupaya mengembalikan fitrah mereka.

Kemudian, Allah menyebut mereka dengan sebutan yang akan dikemukakan di

dalam ayat berikut ini:

(Ulaaika hum syarul bariyyah)

Mereka adalah seburuk-buruk makhluk. Sebab, orang yang mengingkari kebenaran

—sesudah mengenalnya dengan adanya bukti nyata—berarti ia telah mengingkari akal

sehatnya. Dengan kata lain, mereka memasukkan dirinya ke dalam kehancuran dan

malapetaka.

Setelah Allah menjelaskan balasan yang akan ditimpakan kepada kaum kafir dan

orang-orang yang ingkar, selanjutnya, pada ayat berikut ini, Allah menjelaskan balasan-

Nya yang akan diterima oleh kaum beriman dan khusyu’ di dalam imannya:

(Innaladzinaa aamanuu…hum khoirul bariyyah)

Sesungguhnya orang-orang yang hatinya diterangi oleh sinarnya dalil, kemudian

menjadikan dalil-dalil itu sebagai hidayah, di samping yakin terhadap apa yang datang

dari Nabi Muhammad, dan mengerjakan amal-amal saleh, maka mereka akan rela

mengorbankan dirinya dan hartanya untuk tujuan kebaikan. Mereka ini akan bersikap

baik dalam memperlakukan sesama, dan mereka itulah sebaik-baik makhluk Allah.

Sebab, dengan mengikuti nabi, berarti mereka telah menghargai hak akal, yang dengan

akal itu manusia dimuliakan oleh Allah. Dan dengan mengerjakan amal-amal saleh,

berarti mereka telah memelihara keutamaan yang merupakan tiang wujudnya manusia.

Kemudian, di dalam ayat berikut ini dijelaskan pahala yang akan mereka terima dari

sisi Allah. Firman Allah:

(Jazaaauhum ‘inda rabbihim jannatu ‘adnin…kholidiina fiihaaa abadaan)

Mereka akan Allah beri pahala berupa surge yang akan menjadi tempat mereka untuk

selamanya. Di dalam surga itu terdapat berbagai kenikmatan dan kelezatan yang jauh

lebih sempurna dibanding kenikmatan dan kelezetan dunia.

Kita wajib beriman akan adanya surga, dan kita tidak dibolehkan memikirkan

hakekat surga, letak surga, dan bagaimana kita bersenang-senang di dalam surga. Sebab,

yang mengetahui hakekat surga hanyalah Allah, tidak ada seorang pun yang

mengetahuinya. Surga termasuk sesuatu yang gaib, hanya Allah sendiri yang

mengetahui.

Kemudian, Allah menjelaskan sebab-sebab mereka menerima pahala. Firman Allah:

(Radhiallahu ‘anhum wa rodhu ‘anhu)

Mereka mendapat ridha dari Allah karena mereka telah berpegang pada batasan-

batasan syari’at-Nya. Sebagai hasil dari perbuatan itu, mereka menjadi terpuji, dan

akhirnya mendapatkan keridhaan Allah, baik di dunia maupun di akhirat.

(Dzalika liman khosyia rabbahu)

Pahala yang baik itu hanya diperuntukkan bagi orang yang hatinya penuh dengan taat

dan rasa takut kepada Allah.

Ayat ini mengandung semacam ancaman kepada orang-orang yang takut kepada

selain Allah, dan peringatan keras kepada orang-orang yang menyekutukan Allah di

dalam Amal dan perbuatannya. Ayat ini juga merupakan perintah atau anjuran untuk

ber-zikir dan takut kepada Allah di dalam setiap mengerjakan perbuatan baik. Sehingga,

perbuatan-perbuatan yang dilakukan itu benar-benar bersih dan ikhlas karena Allah.

Di dalam ayat ini juga terkandung isyarat yang pengertiannya adalah, bahwa yang

mengerjakan sebagaian ibadah, seperti salat dan puasa yang hanya melakukan berbagai

gerakannya saja—tanpa adanya perasaan takut kepada Allah, maka perbuatan tersebut

tidak bisa dijadikan sebagai seseorang meraih pahala yang telah Allah sediakan kepada

hamba-hamba-Nya yang saleh dan beriman. Sebagai sebabnya ialah, karena perasaan

takut kepada Allah itu sama sekali tidak ada di dalam hati mereka, dan hatinya tidak

menjadi bersih.1

b. Versi Tafsir Ibnu Katsir2

1 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi (Semarang: Toha Putra, 1993) h. 366-3772 Ibnu katsir, tafsir juzamma edisi revisi

Tafsir ayat 1-5

“orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa

mereka) tdak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti

yang nyata (1). Yaitu seseorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan

lembaran-lembaran yang disucikan (Al-Qur’an) (2). Di dalamnya terdapat (isi) kitab-

kitab yang lurus (3). Dan tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al

Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata (4).

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan

ketaatan kepada-Nya dalam (menjalakan) agama dengan lurus, dan supaya mereka

mendirikan salat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus

(5).”

Sedangkan yang dimaksud dengan ahli kitab adalah orang-orang Yahudi, Nasrani,

serta orang-orang musyrik penyembah patung dan api dari bangsa Arab dan non-Arab.

Mujahid berkata: mereka tidak akan meninggalkan agama mereka sehingga kebenaran

menjadi jelas bagi mereka. Begitu juga pendapat Qatadah.

Hatta ya’tiyahumul bayyinah, maksudnya adalah Al-Qur’an. Oleh karena itu Allah

berfirman : “orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan

bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka

bukti yang nyata.” Allah lalu menerangkan maksud kata Al-Bayyinah dengan

firmannya: “Yaitu seorang rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-

lembaran yang disucikan (Al-Qur’an),” Allah berfirman:

“Di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucika, di tangan

para penulis (malaikat), yang mulia lagi berbakti.” (QS. ‘Abasa: 13-16)

Fiihaa kutubun qoyyimah: maksudnya adalah di dalam lembaran-lembaran kitab suci

dari Allah yang benar, lurus, dan adil. Di dalamnya tidak ada kesalahan karena

lembaran-lembaran suci itu datangnya dari sisi Allah.

Qatadah berkata: (Yaitu) seorang rasul dari Allah (Muhammad) membacakan

lembaran-lembaran disucikan (Al-Qur’an). Maksudnya, Al-Qur’an diucapkan dengan

sebaik-baiknya ucapan dan dimuliakan dengan pemujaan yang paling baik. Ibnu Zaid

berkata : Fiiha kutubun qoyyimah, maksudnya adalah lurus dan adil.

Wa maa tafaroqolladziina utul kitaba illa…maa jaaaa athumul bayyinah (dan

tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al-Kitab (kepada mereka)

melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata). Ayat tersebut sama dengan

firman-Nya.

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih

sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang

mendapat siksa yang berat.” (QS. Ali-Imran: 105)

Umat-umat yang diturunkan kepada mereka kitab-kitab sebelum Al-Qur’an, telah

bercerai berai dan berselisih dalam hal memahami maksud Allah dalam kitab-kitab

mereka, sebagaimana disebutkan dalam hadist yang diriwayatkan melalui jalur hadits

yang berbeda-bebeda:

“Sesungguhnya umat yahudi akan terpecah belah hingga tujuh puluh satu golongan.

Sesungguhnya umat Nasrani akan terpecah belah hingga tujuh puluh dua golongan.

Umat ini (Islam) akan terpecah belah hingga tujuh puluh tiga golongan yang semua

golongan itu akan masuk neraka, kecuali satu golongan.” Para sahabat bertanya,

“Siapakah mereka itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Yaitu golongan yang

mengikutiku dan sahabat-sahabatku.”

Wamaa umiruu illa…lahuddiin. (padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya

menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)

agama. Ayat ini serupa dengan firman Allah:

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami

wahyukan kepadanya, ‘Bahwasannya tidak ada tuhan melainkan Aku, maka sembahlah

olehmu sekalian akan Aku’.” (QS. Al-Anbiyaa’: 25)

Oleh karena itu Allah berfirman: hunafaa’ (dengan lurus) maksudnya adalah

meninggalkan kesyirikan untuk menuju pada tauhid. Sebagaimana firman Allah:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat, (untuk

menyerukan), Sembahlah Allah dan jauhilah yang Thagut itu” (QS. An-Nahl: 36)

Wayuqimuu ash-sholata (dan supaya mereka mendirikan shalat). Maksudnya adalah

ibadah jasmani yang paling mulia, wayu’tuzzakata (dan menunaikan zakat). Maksudnya

adalah perbuatan baik kepada orang-orang fakir dan orang-orang yang

membutuhkannya.

Wadzalika diinul qoyyimah (dan yang demikian itulah agama yang lurus).

Maksudnya adalah, agama yang lurus dan adil atau umat yang lurus dan adil.

Mayoritas ulama seperti, Az-Zuhri dan Asy-Syafi’i menjadikan ayat ini sebagai dalil

tentang perbuatan-perbuatan yang termasuk iman. Oleh karena itu, Allah berfirman:

“Dan tidaklah mereka disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan

memurnikan ketaatan kepada-Nya, dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat,

dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang benar.”

Ayat 6-8 (ditulis sendiri ya yank…hehe)

Allah SWT mengabarkan tentang tempat kembalinya orang-orang durhaka—yaitu

para ahli kitab dan orang-orang musyrik—yang menentang kitab-kitab Allah (yang

diturunkan kepadanya) dan menentang nabi-nabi yang Allah utus pada mereka. Tempat

mereka pada hari kiamat adalah neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya. Mereka

itulah seburuk-buruk mkhluk ciptaan Allah.

Allah kemudian mengabarkan tentang keadaan orang-orang baik—yaitu orang-orang

yang memiliki keimanan di dalam hati serta melakukan perbuatan baik dengan seluruh

anggota tubuh mereka—bahwa mereka adalah sebaik-baik makhluk (Khoirul Barriyah,

bukan khoirul anwar lo yank…hehe). Abu Hurairah beserta sebagaian ulama

menjadikan ayat ini sebagai dalil tentang derajat orang-orang Mukmin, yang tinggi

daripada derajat malaikat, berdasarkan firman Allah (mereka adalah sebaik-baik

makhluk)

Allah kemuduan berfirman: Jazzaauhum ‘inda rabbihim (Adalah surga ‘And yang

mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya).

Maksudnya, yaitu tidak terputus, tidak terhenti, dan tak ada habisnya.

Radhiallahu ‘anhum (Allah ridha terhadap mereka). Maksudnya, kedudukan ridha

Allah kepada mereka adalah keridhaan pada kedudukan tertinggi dengan apa yang Allah

berikan kepada mereka, berupa kenikmatan yang terus menerus, wa radhu ‘anhu (dan

mereka pun ridha kepada-Nya). Maksudnya, ridha pada semua yang telah Allah berikan

kepada mereka berupa kenikmatan.

Dzalika liman khosyiya rabbah (yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang

akan takut kepada Tuhannya). Maksudnya, balasan yang demikian itu mereka terima

sebagai hasil adanya rasa takut mereka kepada Allah, dengan melakukan ketakwaan

kepada Allah dan menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya, dan ia mengetahui

bahwa jika ia tidak bisa melihat Allah maka Allah pasti akan melihatnya.

II. Surat Al-Zalzalah

a. Versi Tafsir Al-Maraghi

Munasabah surah ini dengan surah sebelumnya (menurut tertib Usmany) adalah

sebagai berikut:

Pada surah sebelumnya, Allah menurunkan ayat-ayat tentang balasan bagi orang-

orang beriman dan pembalasan bagi orang kafir. Di dalam surah ini, Allah menjelaskan

saat dan tanda-tanda datangnya balasan dan pembalasan tersebut.

Surat Al-Zalzalah (1-8, ditulis sendiri yank ayat maupun terjemahannya)

Penafsiran kata-kata sulit

Al-zalzalah: gerakan dahsyat yang disertai gempa

Al-Asyqol: bentuk mufradnya adalah siqlun. Artinya adalah perabot rumah tangga,

seperti firman Allah:

“Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai

kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri.”(QS.

An-Nahl: 7)

Sedangkan yang dimaksud di sini adalah apa yang terkandung di dalam perut bumi,

baik mayat-mayat, logam, dan mineral.

Yasduru: kembali. Pengertian dari kata Al-Warid adalah orangyang datang ke tempat

air untuk minum atau menyirami (memberi minum). Akan halnya As-Sadir, ialah yang

kembali dari air sumber tersebut.

Asytata: mufradnya adalah syatit, artinya bercerai berai dan saling gontok-gontokan,

orang baik ataupun jahat, mereka tidak berjalan di jalan yang satu.

Az-Zarrah: semut yang terkecil (maksudnya atom, pen) atau debu-debu yang tampak

melalui sinar matahari yang menyinari jendela.

Misqalu-Zarrah: seberatnya timbangan. Maksudnya merupakan perumpamaan

terhadap sesuatu yang sangat kecil.

Sebab turunnya Surah

Kaum kafir seringkali menanyakan tentang hari perhitungan. Dalam hal ini mereka

mengatakan, seperti yang disebut di dalam ayat:

“..bilakah hari kiamat itu?” (QS. Al-Qiyamah:6)

Mereka juga mengatakan, sebagaimana yang disebutkan di dalam ayat berikut ini:

“…bilakah (terjadinya) janji ini (hari berbangkit)…” (QS. Yasin: 48)

Dan masih banyak perkataan mereka yang pengertiannya sama. Kemudian, Allah

menjelaskan kepada mereka di dalam surah ini, terbatas pada tanda-tanda hari kiamat

saja. Hal ini dimaksudkan agar mereka mengetahui bahwa mereka tidak bisa

mengetahui secara pasti terjadinya hari kiamat. Yakni hari ketika umat manusia

dihadapkan kepada Tuhannya untuk menerima siksa—bagi yang berdosa—dan

menerima pahala—bagi yang beriman.

Penjelasan

(Idzaa zulzilatil ardhu zilzalaha), jika bumi sudah mulai bergetar dan bergoncang

dengan gerakan yang sangat dahsyat.

Terdapat pula ayat yang lain mempunyai makna sama, yaitu: idzaa rujjatin ardhu

rajja (Apabila bumi digoncangkan sedahsyat-dahsyatnya, Al-Waqi’ah: 4)

Juga firman Allah yang berbunyi:

“Hai manusia, bertakwalah kepada tuhanmu; sesungguhnya kegoncangan hari

kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat).” (Al-Hajj: 1)

Ayat ini memberikan penjelasan tentang betapa dahsyatnya hari kiamat itu, dengan

maksud agar kaum kafir mau memikirkan situasi hari itu, sehingga mereka insyaf dari

kekafirannya. Hal itu pernah dikatakan kepada mereka, “Jika benda-benda mati saja

ikut bergetar karena ngeri yang merupakan pengaruh dari hal itu, maka apakah kalian

mau sadar dan mencabut kekafiran kalian?”

(Wakhrojatil ardhu atsqolaha)

Dan bumi pun mengeluarkan isinya, baik loga, mineral maupun orang-orang yang

sudah terkubu di dalamnya. Karena gonjangan yang dahsyat itu, sampai bumi

mengeluarkan seluruh isinya.

Terdapat ayat lain yang pengertiannya sama:

“Dan apabila bumi diratakan, dan dilemparkan apa yang ada di dalamnya dan

menjadi kosong…” (Al-Insyiqaq: 3-4)

Perumpamaannyanya sama dengan yang terjadi di Itali tahun 1909, ketika terjadi

letusan Gunung Waizof, yang seluruh muntahan lahar gunung melandaka kota Messina

dan seluruh penghuninya. Sehingga tidak ada lagi rumah dan “tempat membuat roti”.

(Wa qoola al-insaanu maa lahaa)

Kemudian, orang-orang yang menyaksikan dahsyatnya goncangan itu—

goncangangan yang belum pernah mereka alami—merasa bingung dan tidak

mengetahui sebab adanya goncangan itu. Karena kedahsyatan yang sempat mereka

saksikan sendiri, hingga mereka mengatakan, “Apa yang terjadi dengan bumi, dan

peristiwa apakah yang terjadi ini, yakni peristiwa yang belum pernah terjadi?”

Ayat ini sama dengan ayat yang berbunyi:

“…dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka

tidak mabuk..” (Al-Hajj: 2)

(yaumaidiin tuhadditsu akhbarohaa)

Ketika itu, hanya bumi yang akan menceritakan, apa kejadian yang selanjutnya…

maksudnya adalah, bahwa keadaan bumi—yang bergonjang dan timbul gempa dahsyat

yang belum pernah terjadi sebelumnya—memberitahukan kepada mereka yang

mempertanyakan, bahwa apa yang mereka lihat tidaklah disebabkan oleh sebab-sebab

yang biasa terlihat ketika peraturan di alam dunia ini stabil.

Kemudian, Allah menjelaskan sebab-sebab yang mereka saksikan. Allah berfirman

di dalam ayat berikut ini:

(Bianna rabbaka auha lahaa)

Sesungguhnya apa yang terjadi pada bumi ketika hari kiamat hanyalah berdasarkan

perintah Allah secara khusus. Allah berfirman kepada bumi, “Jadilah engkau hancur”,

seperti ucapan-Nya, “Jadilah engkau bumi”. Perintah Ilahi di sini dapat dikatakan

sebagai wahyu, karena sebelumnya, Allah belum pernah memerintahkan seperti itu

kepada bumi. Demikianlah yang dikatakan Al-Ustaz Imam Muhammad Abduh

(Yaumaidiin yashduru an-nasu asytataan lliu…a’malahum)

Ketika hari kiamat terjadi dan bumi mengalami kehancuran total, maka lahirlah alam

baru yang disebut sebagaimana akhirat. Ketika itu, manusia bermunculan lahir kembali,

dan jalan yang mereka lalui tidak sama, bahkan berbeda-beda. Orang-orang baik,

melalui jalan yang tidak sama dengan jalan yang dilalui orang jahat. Demikian halnya

jalan yang dilalui orang-orang yang taat dengan jalan yang dilalui orang yang suka

berbuat maksiat. Mereka dikembalikan kepada Allah hingga mengetahui hasil

perbuatannya masing-masing selama hidup di dunia.

Kemudian Allah, memerinci hal tersebut dengan firman-Nya

(Famaiyakmal…syarraiyyarah)

Barangsiapa yang beramal kebajikan, sekalipun sangat sedikit, ia akan menerima

balasan dari kebaikannya itu. Dan barangsiapa berbuat kejahatan, sekalipun sangat

sedikit, ia akan menerima balasannya pula, tidak memandang, apakah yang melakukan

kaum mu’minin ataupun kaum kafir. Semua akan dibalas sesuai dengan perbuatan yang

dikerjakan di dunia.

Perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan kaum kafir, tidak bisa menyelamatkan

dirinya dari siksa karena kekafirannya. Karena kekafirannya itu, mereka tetap langgeng

sebagai penghuni neraka dalam keaadaan yang sengsara secara terus menerus. Dan yang

dimaksud dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa amal kebaikan kaum

kafir itu dilebur dan tidak bermanfaat untuk dirinya, ialah bahwa amal-amal kebaikan

tersebut tidak bisa menyelamatkan dirinya dari siksa karena kekafirannya. Sekalipun

ada siksaan yang diperingan karena dosa-dosa yang dilakukan, selain dosa yang

disebabkan oleh kekafirannya. Sedang dosa yang disebabkan sikap kafir, sama sekali

tidak diperingan. Kepastian ini berdasarkan firman Allah yang berbunyi:

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tiadalah

dirugikan seseorang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawai pun,

pasti Kami mendatangkan pahalanya. Dan cukuplah Kami menjadi orang-orang yang

membuat perhitungan”. (Al-Anbiya’: 47)

Firman Allah di atas berbunyi Falatuzlamu nafsun syai’an (maka tiadalah dirugikan

seorang sedikit pun), menunjukkan pengertian yang cukup jelas, bahwa kaum mu’min

maupun kafir, sama-sama akan diperlakukan secara adil di dalam peng-hisab-an

(perhitungan amal), dan sikap setiap induvidu pasti akan menerima balasan kelak di hari

Kiamat.

Terdapat sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Hatim (seorang dermawan di masa

Jahiliyyah, ed) diringankan siksaannya karena kedermawanannya. Abu Lahab juga

diringankan siksanya karena ia ikut bergembira ketika Nabi Muhammad dilahirkan ke

dunia.

Demikianlah secara ringkas pendapat Al-Ustaz Muhammad Abduh di dalam

menafsirkan ayat ini.

Butit-butir bahan dalam kandungan surah

Surah ini mengandung dua tujuan pokok, yaitu:

Pertama, goncangnya bumi ketika hari kiamat, dan perasaan takut yang mencekam,

melanda umat manusia ketika itu.

Kedua, digiringnya manusia menuju suatu mauqif untuk dihisab dan menerima

balasa atas perbuatannya masing-masing3.

b. Versi Tafsir Ibnu Katsir

Ayat 1-8 (ditulis sendiri njeh cyank..hehe)

3 Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi ( Semarang: Toha Putra, 1993) h. 379-385

Ibnu Abbas berkata : idzaa zulzilati ardhu zilzalahaa (apabila bumi digoncangkan

dengan goncangan yang dahsyat), maksudnya bumi bergerak dari dasar bumi.

Waakhrojati ardhu atsqolahaa (dan bumi telah mengeluarkan beban-beban

beratnya). Maksudnya adalah, melemparkan semua yang ada di dalamnya, berupa

mayit-mayit. Banyak ulama salaf yang berpendapat seperti ini. ayat ini sama dengan

firman Allah,

“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; sesungguhnya keguncangan hari

Kiamat itu adalah sesuatu kejadian yang sangat besar.”(Al-Hajj: 1)

“Dan apabila bumi diratakan, dan dimuntahkan apa yang ada di dalamnya dan

menjadi kosong.” (Al-Insyiqoq: 3-4)

Imam Muslim—dalam kitab Shahihnya—meriwayatkan: Washil bin Abdul A’la

berkata kepada kami, Muhammad bin Fudhail berkata kepada kami dari ayahnya, dari

Abu Hazim, dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:

“Bahwa bumi mengeluarkan sesuatu yang ada di dalamnya, yang terkubur seperti

bongkahan emas dan perak, lalu datang pembunuh dan berkata, “Karena ini aku

membunuh.” Lalu datang pemutus (tali persaudaraan) dan berkata, “Karena ini aku

memutuskan tali persaudaraan.” Lalu datang pencuri dan berkata, “Karena ini

tanganku dipotong.” Kemudian mereka meninggalkan harta itu dan tidak mengambil

apapun dari harta itu.”

Wa qoola al-insanu maa lahaa (dan manusia bertanya, “Mengapa bumi begini?”

Maksudnya, manusia bertanya-tanya seakan-akan mengingkari perilaku bumi yang

bergoncang, karena bumi sebelumnya dan tenang, hingga manusia dapat berdiam di

permukaan bumi itu. Keadaan bumi berubah menjadi bergoncang, dan mengeluarkan

semua yang ada di dalamnya, berupa mayit-mayit yang terdahulu dan terakhir. Saat itu

manusia mengingkari (kejadian tersebut) dan bertanya-tanya. Allah berfirman, “Yaitu

pada hari bumi diganti dengan bumi yang lain dan begitu pula dengan langit, dan

manusia berkumpul menghadap kepada Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (QS.

Ibrahim: 4-8)

Yaumaidiin..akhbarohaa (pada hari itu bumi menceritakan beritanya). Maksudnya,

bumi menceritakan tentang perbuatan manusia di atas muka bumi.

Imam Ahmad berkata: Ibrahim berkata kepada kami, Ibnu Al Mubarak berkata

kepada kami—sementara dalam riwayat At-Tirmidzi dan An-Nasa’i—dan lafaz ini

darinya, Suwaid bin Nashr berkata kepada kami, Abdullah bin Al Mubarak

mengabarkan kepada kami dari Sa’id bin Abu Ayub, dari Yahya bin Abu Sulaiman dari

Sa’id Al Maqburi dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah membacakan ayat:

“Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.” Beliau lalu bersabda, “Tahukah

kalian isi berita itu?” para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih

mengetahui.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya berita itu adalah kesaksian bumi atas

segala perbuatan manusia atau umat di atas bumi ini, dengan mengatakan, “Fulan

melakukan ini dan itu. “inilah berita yang diceritakan bumi.” At-Tirmidzi menilai

hadist ini shahih gharib.

Dalam Mu’jam Ath-Thabrani dari hadist Ibnu Luhaiah: Al Harist bin Yazid berkata

padaku: Aku mendengar Rubai’ah Al Hadasy berkata: Rasulullah SAW

bersabda,”Berhati hatilah kalian terhadap bumi, karena bumi adalah induk kalian.

Sesungguhnya tak seorang pun di antara kalian yang melakukan perbuatan baik dan

buruk kecuali bumi akan menceritakan perbuatan itu.”

Bianna rabbaka auha lahaa (Karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan),

Bukhari berkata: mewahyukan baginya dan mewahyukan kepadanya adalah searti.

Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Ibnu Abbas. Makna yang terkandung

dalam ungkapan ini adalah mengizinkan bumi untuk melakukan hal itu.

Diriwayatkan oleh Syabib bin Basyar dari Ikramah, dari Ibnu Abbas, ia berkata

tentang ayat: “pada hari itu bumi menceritakan” Maksudnya, Allah berfirman kepada

bumi, “Wahai bumi, berbicaralah,” bumi pun berbicara.

Mujahid berkata: mewahyukan kepada bumi berarti memerintahkan bumi. Al-Qurzhi

berkata: maksudnya adalah, Allah memerintahkan bumi untuk mengeluarkan isi

perutnya.

Yaumaidin yashdurun…ashqolahaa (Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya

dalam keadaan bermacam-macam). Maksudnya agar mereka mengetahui perbuatan

mereka, untuk diberikan balasan sesuai perbuatan yang telah mereka lakukan di dunia,

berupa keburukan atau kebaikan, sebab setelah ayat ini Allah berfirman: “ Barang siapa

yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia kan melihat balasannya.

Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan

melihat balasannnya.”

Bukhari berkata: Isma’il bin Abdulullah berkata kepada kami, Malik berkata

kepadaku dari Zaid bin Azlam, dari Abu Shalih As-Saman dari Abu Huraira bahwa

Rasulullah SAW bersabda:

“Kuda itu untuk tiga (macam manusia), yaitu: untuk seorang pria sebagai

pahalanya; untuk seorang pria sebagai penutupnya; untuk seorang pria sebagai

dosanya. Untuk seorang pria sebagai pahalanya yaitu seorang pria yang menambatkan

kudanya itu untuk di jalan Allah (untuk berperang), lalu kuda itu diberi keleluasaan di

hamparan padang rumput atau taman. Setiap sesuatau yang dimakan oleh kuda itu di

padang rumput dan taman akan menjadi pahala pria itu. Jika kuda itu berhenti

menyantap lalu berlari untuk menyerang musuh dengan melewati lembah dan bukit,

maka jejak-jejak telapak kaki kuda itu serta kotoran-kotoranya yang dikeluarkan oleh

kuda itu akan menjadi pahala pria itu. Jadi, kuda itu bagi pria itu adalah pahalanya.

Sedangkan seorang pria yang menambatkan kudanya untuk mencukupi dirinya dan

ia tidak akan melupakan kewajiban-kewajibannya kepada Allah dalam mengurus dan

menunggangi kuda itu, maka kuda tersebut bagi pria itu adalah penutup dirinya.

Sedangkan seorang pria yang menambatkan kudanya untuk membanggakan diri, ria,

dan menimbulkan ria, maka kuda itu bagi orang itu adalah dosa baginya.”

Rasulullah SAW lalu ditanya tentang keledai, beliau pun bersabda, “Allah tidak

menurunkan apa pun tentang hal itu kecuali ayat yang bersifat menyeluruh ini,

‘Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar zarah pun, niscaya dia akan melihat

balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarah pun, niscaya

dia akan melihat balasannya’. (HR Muslim dari Zaid bin Aslam)

Imam Ahmad berkata: Yazid bin Harun berkata kepada kami, Jarir bin Hazim

mengabarkan kepada kami, Al Hasan mengabarkan kepada kami dari Sha’sha’ah bin

Muawiyah, paman dari Al Farazdaq, bahwa ia datang kepada Nabi SAW, lalu

membaca:

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, dia akan melihat

balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya

dia akan melihat balasannya pula.” (QS Al-Zalzalah: 7-8) Sha’sha’ah berkata,

“cukuplah bagiku ayat ini dan aku tidak peduli mendengar ayat selain ini.”

Hadist ini diriwayatkan pula oleh An-Nasa’I (bab: Tafsir) dari Ibrahim bin

Muhammad bin Yunus Al-Mu’addabi, dari ayahnya, dari Jarir bin Hazim, dari Hasan Al

Bashri, ia berkata: Sha’sha’ah (paman Al Farazdaq) berkata kepada kami, lalu ia

menyebutkan hadist ini.

Di riwayatkan—dalam kitab Shahih Al Bukhari—dari Adi yang di marfu’kan:

“Takutlah kalian dari api neraka; walaupun hanya dengan separuh kurma dan satu

kata yang baik.”

Dalam Shahih Muslim

“Janganlah sekali-kali kamu merendahkan perbuatan baik yang sedikit, atau engkau

mengocongkan tempat airmu untuk diisi ke tempat orang yang mencari air, atau engkau

bertemu saudaramu dengan wajah yang ceria.”

Masih dalam Shahih Al Bukhari:

“Wahai sekalian kaum wanita mukminat, janganlah sekali-kali seorang tetangga

merendahkan tetangganya, walaupun menyedahkan dengan kuku kambing (maksudnya

sedikit dagingnya).”

Imam Ahmad berkata: Muhammad bin Abdullah Anshari berkata kepada kami,

Katsir bin Zaid berkata kepada kami dari Abdul Muthalib bin Abdullah, dari Aisyah,

bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Aisyah:

“Wahai Aisyah, tutuplah dirimu dari api neraka, walaupun dengan separuh kurma,

karena separuh kurma dapat menghilangkan rasa lapar pada seseorang yang sedang

lapar.”

Hadist ini hanya diriwayatkan oleh Ahmad. Diriwayatkan dari Aisyah, bahwa ia

bersedekah dengan satu buah anggur, dan ia berkata, “Seberapa besar buah anggur itu

dari biji sawi?”

Imam Ahmad berkata: Abu Amir berkata kepadaku, Sa’id bin Muslim berkata

kepada kami, katanya: aku mendengar Amir bin Abdullah bin Az-Zubair, Auf bin Al-

Harits bin Ath Thufail, Aisyah mengabarkan kepadanya bahwa Nabi SAW bersabda,

“Wahai Aisyah, hindarilah olehmu perbuatan-perbuatan dosa yang kecil, karena

sesungguhnya perbuatan-perbuatan dosa yang kecil itu akan dituntut oleh Allah (untuk

mendapatkan balasannya).” Hadist ini diriwaytkan pula oleh An-Nasa’I dan Ibnu

Majah.

Ibnu Jarir berkata: Abu Al Khithab Al Hasani berkata kepadaku, Al Hatsim bin Ar

Rabi’ berkata kepadaku, Sammak bin Athiyah berkata kepada kami dari Ayyub, dari

Qilabah, dari Anas, ia berkata: ketika Abu Bakar makan bersama Nabi SAW, turunlah

ayat ini: “Barangsiapa yang mengerjakan sebesar zarah pun misalnya, ia akan melihat

balasannya. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarrah pun, niscaya ia

akan melihat balasannya pula. Abu bakar lalu mengangkat tangannya dan berkata,

“Wahai Rasulullah, aku akan menerima balasan dari apa yang aku perbuat dari

perbuatan jahat sebesar biji sawi.” Beliau pun bersabda, “Wahai Abu Bakar, sesuatu

yang dibenci di dunia akan dihitung dengan ukuran biji sawi kejahatan dan Allah

menyimpankan untukmu ukuran biji sawi kebaikan, hingga keduanya itu akan

memberikan ganjaran pada Hari Kiamat.”

Hadist lainnya, Ibnu Jarir berkata: Yunus bin Abdul A’la berkata kepada kami, Ibnu

Wahab mengabarkan kepada kami, Yahya bin Abdullah mengabarkan kepadaku dari

Abu Abdurrahman Al Habali, dari Abdullah bin Amru bin Ash, ia berkata: ketika surah

Az-Zazalah diturunkan, Abu Bakar sedang duduk, kemudian ia menangis, maka

Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis wahai Abu

Bakar?” Abu Bakar menjawab, “Yang membuatku menangis adalah surah ini.” Beliau

pun bersabda kepadanya, “Seandainya kalian tidak bersalah dan tidak berdosa maka

bagaimana Allah akan mengampuni kalian? Allah pasto akan menciptakan suatu umat

yang bersalah dan berdosa, lalu Allah akan mengampuni mereka.”

Hadist lainnya, Ibnu Abu Hatim berkata: Abu Zar’ah dan Ali bin Abdurrahman bin

Al Mughirah berkata kepada kami, keduanya berkata: Amru bin Khalid Al Harani

berkata kepada kami, Ibnu Luhai’ah berkata kepada kami, Hisyam bin Sa’ad

mengabarkan kepadaku dari Zaid bin Aslam, dari Atha’ bin Yasar, dari Abu Sa’id Al

Khudri, ia berkata:

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar zarrah pun, niscaya dia akan

melihat balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarah pun

niscaya ia akan melihat balasannya. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah akan

diperlihatkan kepadaku seluruh perbuatanku?” Beliau bersabda, “Ya” Aku berkata,

“Perbuatan-perbuatan besar?” Beliau bersabda, “Ya,” aku berkata, “Oh, celakalah

ibuku!” Beliau bersabda, “Bergembiralah Abu Sa’id, sesungguhnya perbuatan baik

akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat, hingga tujuh ratus kali lipat.

Sesungguhnya Alla akan melipat gandakan perbuatan orang yang Dia kehendaki,

sedangkan keburukan akan dibalas dengan setimpal, bahkan Allah memaafkannya.

Tidaklah seseorang di antara kalian dapat selamat dengan perbuatannya.” Aku

berkata, “Termasuk engkau wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Termasuk aku.

Akan tetapi, Allah telah meliputi diriku dengan kasih sayang-Nya.”

Abu Zar’ah berkata: hanya Ibnu Luhai’ah yang meriwayatkan hadist ini.

Imam Ahmad berkata: Sulaiman bin Daud berkata kepada kami, Imran berkata

kepada kami dari Qatadah, dari Abdu Rabah, dari Abu Iyadh, dari Abdullah bin Mas’ud

bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Jauhkanlah oleh kalian untuk merendahkan (meremehkan) dosa-dosa kecil, karena

sesungguhnya dosa-dosa kecil itu akan berkumpul dalam diri seseorang hingga

membinasakannya.”4

Yogyakarta, 8 Mei 2013

Khoirul Anwar

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta & Freelance Writer

Daftar Pustaka

Al-Maraghi, Ahmad M. 1993. Terjemah Tafsir Al-Maraghi (Alih bahasa: Bahrun

Abubakar). Semarang: Toha Putra.

Katsir, Ibnu. 2007. Tafsir Juz ‘Amma Edisi Revisi (Alih bahasa: Farizal Tirmizi).

Jakarta: Pustaka Azzam

4 Ibnu Katsir, Tafsir juz ‘Amma edisi revisi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) h. 307-315