T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah...

48
44 BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Responden Penelitian 4.1.1 Gambaran Lokasi Penelitian Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan beralamat di jalan Hasanudin, No. 806 Salatiga, Jawa Tengah. Sesuai dengan SK menteri kesehatan RI, nomor 1208/Menkes/SK/IX/2002, Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan (RSPAW) atau yang lebih dikenal masyarakat sekitar dengan istilah Sanatorium menjadi satu-satunya rumah sakit paru di Provinsi Jawa Tengah. Kondisi geografis RSPAW yang berada diketinggian kurang lebih 800 meter dari permukaan air laut dan suhu udara berkisar antara 18-29 o C, membuat RSPAW menjadi rumah sakit yang sangat ideal bagi orang yang terganggu kesehatan paru-parunya.

Transcript of T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah...

Page 1: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

44

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Responden Penelitian

4.1.1 Gambaran Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan beralamat di jalan

Hasanudin, No. 806 Salatiga, Jawa Tengah. Sesuai dengan

SK menteri kesehatan RI, nomor 1208/Menkes/SK/IX/2002,

Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan (RSPAW) atau yang

lebih dikenal masyarakat sekitar dengan istilah Sanatorium

menjadi satu-satunya rumah sakit paru di Provinsi Jawa

Tengah. Kondisi geografis RSPAW yang berada

diketinggian kurang lebih 800 meter dari permukaan air laut

dan suhu udara berkisar antara 18-29o C, membuat RSPAW

menjadi rumah sakit yang sangat ideal bagi orang yang

terganggu kesehatan paru-parunya.

Page 2: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

45

Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan

Sumber: www.rspaw.or.id

Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah

Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang dengan baik.

Selain memberikan pelayanan kesehatan paru, Rumah Sakit

Paru dr. Ario Wirawan juga mampu memberikan pelayanan

kesehatan umum. Dan oleh karena standar mutu

manajemen yang baik, Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan

mendapatkan sertifikat ISO 9001-2008. Pada tahun 2011

sebanyak 5663 pasien telah dirawat, dengan 11 besar

kasus penyakit sebagai berikut:

Page 3: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

46

Tabel 4.1 Sebelas Besar Penyakit di Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan

Klasifikasi Penyakit Prosentase

Bronkitis, Emfisema, PPOK 14,42% Gagal Jantung 12,13% Tuberkulosa Paru 7,46% Pneumonia 4,54% ASMA 4,38% Dispepsia 3,4% Tumor Paru 3,13% Sekuel TB 2,84% Bronkiaktasis (BE) 2,61% Efusi Pleura 2,56% Diare 2,54%

Sumber: Medical Record Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan tahun 2011

Berdasarkan data flebitis pada bulan Januari sampai

dengan September 2011, prosentase kejadian flebitis adalah

6,07 % (243 dari 4005 pasien). Jumlah ini melebihi standar

rekomendasi dari INS yaitu 4-5%.

4.1.2 Data Umum

Dari penelitian ini didapatkan 309 responden yang

diamati setiap hari berkaitan dengan faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian flebitis. Dari 309 responden

diperoleh sebanyak 456 insersi kateter intravena yang layak

diobservasi perihal tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui

perbandingan angka kejadian flebitis pada tangan dominan

dan nondominan. Dari ke 456 insersi tersebut, 147

dilakukan di tangan dominan, yaitu 145 insersi pada tangan

Page 4: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

47

kanan dan 2 pada tangan kiri. Sedangkan 309 insersi pada

tangan nondominan dilakukan pada tangan kiri.

4.1.3 Data Khusus

Dari 456 insersi kateter intravena yang diamati,

24,34% (111 dari 456) diantaranya mengalami flebitis. Dari

111 kejadian flebitis sebanyak 30,63% (34 dari 111

responden) terjadi pada tangan dominan dan 69,37% (77

dari 111 respoden) terjadi pada tangan nondominan. Acuan

pertama penentuan kejadian flebitis berdasarkan skala

flebitis dari Royal College of Nursing, 2010. Selain dari skala

flebitis peneliti juga melakukan validasi kepada perawat

yang bertugas. Dari 456 insersi kateter intravena yang

diamati, sebanyak 147 dilakukan di tangan dominan dan

309 insersi di tangan nondominan. Pada tangan dominan

sebanyak 23,13% (34 dari 147 responden) mengalami

flebitis, dan pada tangan nondominan sebanyak 24,92%

(77 dari 309 responden) mengalami flebitis.

Page 5: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

48

4.2 Analisa Univariat

4.2.1 Karakteristik Responden

4.2.1.1 Jenis Kelamin

Pada penelitian ini, responden laki-laki berjumlah 247

orang (54,2%) dan responden perempuan berjumlah 209

orang (45,8%). Dapat dilihat bahwa jumlah responden lebih

banyak dari responden perempuan. Berdasarkan tangan

dominan dengan nondominan, distribusi jenis kelamin

adalah sebagai berikut: dari 247 responden laki-laki,

sebanyak 30,36% (75 dari 247) terpasang kateter intravena

pada tangan dominan dan sebanyak 69,64% (172 dari 247)

terpasang pada tangan nondominan. Dari 209 responden

perempuan, sebanyak 34,45% (72 dari 209) terpasang

kateter intravena pada tangan dominan dan sebanyak

65,55% (137 dari 209) terpasang pada tangan nondominan.

Jenis kelamin akan dianalisa apakah terdapat

perbedaan angka kejadian flebitis antara laki-laki dengan

perempuan. Pada kerangka konsep diketahui bahwa jenis

kelamin merupakan salah satu faktor yang berkaitan dengan

kejadian flebitis. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui

perbedaan kejadian flebitis antara laki-laki dengan

perempuan.

Page 6: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

49

Untuk mempermudah melihat proporsi jenis kelamin

pada penelitian ini, dapat dilihat pada diagram lingkaran di

bawah ini.

Diagram 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis

Kelamin

Diagram 4.2 Distribusi Responden Laki-Laki

Berdasarkan Tangan Dominan dan Nondominan

Page 7: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

50

Diagram 4.3 Distribusi Responden Perempuan

Berdasarkan Tangan Dominan dan Nondominan

4.2.1.2 Usia

Ada banyak pendapat tentang pengelompokan usia,

misalnya menurut Erick Erikson dan WHO. Oleh karena

banyak pendapat dalam pengklasifikasian usia, maka untuk

mempermudah penelitian peneliti membuat pengelompokan

usia menjadi enam, yaitu: <19 tahun, 20-29 tahun, 30-39

tahun, 40-49 tahun, 50-59 tahun, >60 tahun. Agar diperoleh

gambaran usia yang baik, maka peneliti membuat rentang

usia dengan rentang interval 10 tahun. Sebanyak 19

responden berusia dibawah 19 tahun, 27 responden berusia

20-29 tahun, 38 responden berusia 30-39 tahun, 82

responden berusia 40-49 tahun, 97 responden berusia 50-

59 tahun dan 193 responden berusia lebih dari 60 tahun.

Oleh karena dalam kerangka konsep terdapat usia yang

Page 8: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

51

merupakan salah satu faktor berkaitan dengan kejadian

flebitis, maka penelitian ini juga akan menganalisa

perbedaan kejadian flebitis yang berkaitan dengan

pengelompokan usia tersebut.

Untuk mempermudah melihat proporsi responden

dalam kelompok usia di atas, dapat dilihat pada diagram

batang di bawah ini:

Diagram 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan

Kelompok Usia

Page 9: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

52

4.2.2 Lokasi Pemasangan

Dalam penelitian ini dari 309 responden diperoleh 456

insersi yang sesuai dengan kriteria penerimaan sebagai

sampel. Dari 456 insersi sebanyak 32,24% insersi (147 dari

456) dilakukan di tangan dominan, dengan rincian 145

insersi di tangan kanan dan 2 insersi di tangan kiri. Dan

sebanyak 67,76% dilakukan di tangan nondominan, dimana

semua insersi pada tangan nondominan dilakukan pada

tangan kiri.

Dari 147 insersi pada tangan dominan, sebesar

66,67% dilakukan pada vena Sefalika, 18,37% pada vena

Dorsal Metakarpal, 8,16% pada vena Basilika, pada 4,76%

vena Median Antebrachial dan sebesar 2,04% dilakukan

pada vena Median Kubital. Dan dari 309 insersi yang

dilakukan pada tangan nondominan, sebesar 77,99%

dilakukan pada vena Sefalika, 9,39% pada vena Dorsal

Metakarpal, 4,85% pada vena Basilika, 6,15% pada vena

Median Antebrachial dan sebesar 1,62% dilakukan pada

vena Median Kubital

Untuk mempermudah melihat distribusi responden

berdasarkan lokasi pemasangan kateter intravena di atas,

dapat dilihat pada diagram batang di bawah ini:

Page 10: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

53

Diagram 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Lokasi Pemasangan Kateter Intravena pada Tangan Dominan

dan Nondominan

Diagram 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Lokasi Vena pada Tangan Dominan

Page 11: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

54

Diagram 4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Lokasi Vena pada Tangan Nondominan

4.2.3 Ukuran Kateter Intravena

Ukuran kateter merupakan salah satu dari faktor

mekanik yang menyebabkan flebitis. Ukuran kateter

intravena yang besar jika dipasang pada vena yang kecil

akan berakibat merusak tunika intima vena dan dapat

menyebabkan flebitis. Pada penelitian ini diperoleh bahwa

sebanyak 90,57% (413 dari 456) insersi menggunakan

kateter intravena nomor 22 dan sebanyak 9,43% (43 dari

456) menggunakan kateter intravena nomor 24.

Berdasarkan tangan dominan dan nondominan, dari 413

insersi yang dilakukan dengan kateter intravena nomor 22,

sebanyak 32,93% (136 dari 413) dilakukan pada tangan

dominan dan sebanyak 67,07% (277 dari 413) dilakukan

pada tangan nondominan. Dan dari 43 insersi dengan

Page 12: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

55

menggunakan kateter intravena nomor 24, sebanyak

25,58% (11 dari 43) dilakukan pada tangan dominan dan

sebanyak 74,42% (32 dari 43) dilakukan pada tangan

nondominan

Untuk mempermudah melihat distribusi responden

berdasarkan ukuran kateter intravena yang digunakan,

dapat dilihat pada diagram lingkaran di bawah ini:

Diagram 4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Nomor

Kateter Intravena yang Digunakan

Diagram 4.9 Distribusi Frekuensi Penggunaan Kateter IV

Nomor 22 pada Tangan Dominan dan Nondominan

Page 13: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

56

Diagram 4.10 Distribusi Frekuensi Penggunaan Kateter

IV Nomor 24 pada Tangan Dominan dan Nondominan

4.2.4 Lama pemasangan

Dari penelitian ini diperoleh 456 insersi. Dari 456

insersi tersebut dipantau setiap harinya sampai muncul

flebitis atau sampai dilakukan pelepasan insersi. Dari 456

insersi pada hari pertama, yang bertahan sampai hari kedua

sebanyak 387 insersi, pada hari ke tiga 275 insersi, hari ke

empat 150 insersi, hari ke lima 71 insersi dan hari ke enam

29 insersi.

Untuk mempermudah melihat distribusi jumlah

pemasangan infus berdasarkan lama hari pemasangan infus,

dapat dilihat pada diagram batang di bawah ini:

Page 14: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

57

Diagram 4.11 Distribusi Responden Berdasarkan Lama

Hari Pemasangan Kateter Intravena

4.2.5 Cairan Infus

Dari penelitian ini didapatkan bahwa dari 456 insersi,

diperoleh 106 responden yang mendapatkan satu macam

cairan infus, yaitu; 11 responden mendapatkan Asering, 34

responden mendapatkan Dekstrose 5% (D5), 8 responden

mendapatkan Natrium Klorida 0,9% (NaCl) dan 53

responden mendapatkan Ringer Laktat (RL). Sedangkan

sebanyak 350 responden mendapatkan lebih dari satu jenis

cairan. Dalam penelitian ini terdapat 5 responden yang

mendapat tranfusi darah (PRC).

Untuk melihat secara lengkap distribusi responden

berdasarkan cairan infus yang diberikan, dapat dilihat pada

diagram batang dibawah ini.

Page 15: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

58

Diagram 4.12 Distribusi Responden Berdasarkan Cairan Infus

Page 16: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

59

4.2.6 Obat yang Diberikan Secara Intravena

Dari penelitian ini, peneliti tidak secara umum

membuat distribusi frekuesi responden berdasarkan obat

yang diberikan. Peneliti hanya menampilkan distribusi

frekuensi obat pada pasien yang terkena flebitis. Dari 111

kejadian flebitis, diperoleh data bahwa 42 responden tidak

mendapatkan obat yang dapat menyebabkan flebitis

menurut Deglin & Vallerand (2005). Berikut adalah obat

menyebabkan flebitis pada 69 pasien:

Diagram 4.13 Distribusi Frekuensi Obat yang

Menyebabkan Flebitis

Page 17: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

60

Dari data diatas diketahui bahwa, obat yang paling

banyak digunakan adalah Cefotaxime. Dari 69 responden

diatas, sebanyak 12 responden mendapatkan dua obat yang

beresiko menyebabkan flebitis.

4.2.7 Diagnosa Medis

Dari penelitian ini diperoleh bahwa, dari 456 insersi

yang diobservasi diagnosa yang paling banyak ditemukan

adalah PPOK, yaitu sebesar 16,22%. Hasil ini mengingat

bahwa PPOK menempati posisi pertama dalam 11 besar

penyakit yang dirawat di Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan

tahun 2011. Pada penelitian ini setelah PPOK, 9 lain

diagnosa yang paling banyak diamati adalah CHF sebanyak

13,82%, TB sebanyak 12,06%, Dispepsia sebanyak 6,8%,

Diabetes Melitus sebanyak 3,29%, Asma sebanyak 2,85%,

Hematemesis sebanyak 2,63%, Efusi Pleura sebanyak

2,63%, Masa Paru sebanyak 2,41% dan Febris sebanyak

2,41%.

Untuk melihat distribusi responden berdasarkan

diagnosa medis secara lengkap, dapat dilihat pada diagram

batang di bawah ini.

Page 18: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

61

Diagram 4.14 Distribusi Responden Berdasarkan Diagnosa Medis

Page 19: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

62

4.3 Analisa Bivariat

4.3.1 Uji Hipotesis Penelitian

Berikut adalah hipotesis penelitian:

Hipotesis nol: Tidak ada perbedaan angka kejadian flebitis

pada pemasangan kateter intravena pada tangan

dominan dengan nondominan di Rumah Sakit Paru dr.

Ario Wirawan Salatiga.

Hipotesis alternatif: Ada perbedaan angka kejadian flebitis

pada pemasangan kateter intravena pada tangan

dominan dengan nondominan di Rumah Sakit Paru dr.

Ario Wirawan Salatiga.

Peneliti mempunyai dua cara perhitungan untuk menguji

hipotesis komparatif di atas yaitu secara manual dan dengan

bantuan SPSS.

4.3.1.1 Perhitungan Secara Manual

Perhitungan secara manual yang dilakukan peneliti

menggunakan tabel kontingensi 2x2 dalam uji hipotesis

komparatif.

Page 20: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

63

Tabel 4.2 Tabel Kontingensi 2x2

Letak Pemasangan Infus di Ekstremitas

Atas (Tangan)

Pengaruh terhadap Kejadian Flebitis

Jumlah Terjadi Flebitis

Tidak Terjadi Flebitis

Dominan 34 113 147

Nondominan 77 232 309

Jumlah 111 345 456 Perhitungan menurut Sugiyono (2010), menggunakan rumus

Chi-Square dengan koreksi Yates:

Dengan taraf kesalahan 5% dan df=1, maka harga

Chi-Square tabel = 3,841. Ternyata harga Chi-Square hitung

lebih rendah dari harga Chi-Square untuk taraf kesalahan

Page 21: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

64

5%. Dengan demikian maka Ha ditolak. Jadi dapat

disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan angka kejadian

flebitis pada pemasangan kateter intravena antara tangan

dominan dengan tangan nondominan. Hal ini berarti angka

kejadian flebitis pada tangan dominan dengan tangan

nondominan relatif sama.

4.3.1.2 Perhitungan dengan SPSS

Ketentuan uji hipotesis dengan menggunakan SPSS:

- Jika Chi-Square hitung < Chi-Square Tabel, maka Ho

diterima

- Jika Chi-Square hitung > Chi-Square Tabel, maka Ha

diterima

Atau

- Jika Asymp Sig. > α (tingkat kepercayaan 95%, α=0,05),

maka Ho diterima

- Jika Asymp Sig. < α (tingkat kepercayaan 95%, α=0,05),

maka Ha diterima

Dengan bantuan SPSS, diperoleh hasil harga Chi-

Square hitung adalah 0,083 dan dengan df 1 (Chi-Square

tabel adalah 3,841) serta Asymp Sig. 0,773. Asymp Sig.

menunjukkan signifikasi atau dalam kata lain adalah p-value.

Dengan harga Chi-Square lebih rendah dari Chi-Square

tabel dan Asymp Sig. lebih dari 0,05 maka Ha ditolak.

Page 22: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

65

Dengan kata lain tidak terdapat perbedaan yang signifikan

antara kejadian flebitis pada tangan dominan dengan

nondominan.

4.3.2 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis pada Tangan Dominan dan Nondominan

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis pada Tangan Dominan

Pembuluh Vena

Tangan Kanan Tangan Kiri Total Insersi

N

Total Flebitis N (%)

Insersi n

Flebitis n (%)

Insersi n

Flebitis n (%)

Sefalika 97 23 (23,71)

1 0 98 23 (23,47)

Dorsal Metakarpal 27 6

(22,22) 0 0 27 6 (22,22)

Basilika 11 1 (9,1) 1 0 12 1

(8,33) Median Antebrachial 7 2

(28,57) 0 0 7 2 (28,57)

Median Kubital 3 2

(66,67) 0 0 3 2 (66,67)

Jumlah 145 34 2 0 147 34 (23,13)

Dari data diatas diketahui bahwa dari 147 insersi

yang dilakukan pada tangan dominan, dua per tiga

dilakukan pada vena Sefalika. sedangkan vena yang paling

sedikit digunakan untuk insersi adalah vena Median Kubital,

dimana prosentasenya hanya mencapai 2,04%.

Page 23: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

66

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis pada Tangan Nondominan

Pembuluh Vena

Tangan Kanan Tangan Kiri Total Insersi

N

Total Flebitis N (%)

Insersi n

Flebitis n (%)

Insersi n

Flebitis n (%)

Sefalika 0 0 241 58 (24,07)

241 58 (24,07)

Dorsal Metakarpal 0 0 29 9

(31,03) 29 9 (31,03)

Basilika 0 0 15 2 (13,33) 15 2

(13,33) Median Antebrachial

0 0 19 7 (36,84)

19 7 (36,84)

Median Kubital 0 0 5 1 (20) 5 1 (20)

Jumlah 0 0 309 77 (24,92) 309 77

(24,92) Dari data diatas vena Sefalika juga merupakan vena

yang paling sering digunakan untuk insersi, dimana 77,99%

dari 309 insersi dilakukan pada vena tersebut. Vena Median

Kubital juga menjadi vena yang paling sedikit digunakan

untuk insersi, prosentase penggunaan vena ini hanya 1,62%.

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis pada

Tangan Dominan dan Nondominan

Pembuluh Vena

Tangan Dominan

Tangan Nondominan Chi-

Square

df (1), p-

value Insersi n

Flebitis n (%)

Insersi n

Flebitis n (%)

Sefalika 98 23 (23,47) 241 58

(24,07) 0,021 0,884

Dorsal Metakarpal 27

6 (22,22) 29

9 (31,03) 1,528 0,216

Basilika 12 1 (8,33) 15 2

(13,33) 1.190 0,275

Median Antebrachial 7 2

(28,57) 19 7 (36,84) 0,970 0.325

Median Kubital 3

2 (66,67) 5 1 (20) 25,391 0,00

Jumlah 147 34 (23,13) 309 77

(24,92) 0,083 0,773

Page 24: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

67

Dari hasil diatas diketahui bahwa perbandingan antara

tangan dominan dengan nondominan tidak signifikan.

Namun, pada vena Median Kubital terdapat perbedaan yang

sangat kuat, dimana tangan dominan lebih beresiko terkena

flebitis. Hal ini dibuktikan dengan Chi-Square hitung 25,391

dimana dengan df 1 Chi-Square tabel adalah 3,841 dan

dengan p-value 0,00 lebih rendah dari 0,05.

4.3.3 Perbandingan Kejadian Flebitis pada Vena yang Digunakan

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis pada Tiap Lokasi Vena

Pembuluh Vena

Total Insersi

N

Total Flebitis N (%)

Chi-Square,

df, p-value

Sefalika 339 81 (23,89)

16,667 df: 4 0,02

Dorsal Metakarpal

56 15 (26,79)

Basilika 27 3 (11,11)

Median Antebrachial 26 9

(34,62) Median Kubital

8 3 (37,5)

Dari Hasil perhitungan SPSS di atas, dengan harga

Chi-Square hitung 16,667 dengan df 4 (Chi-Square tabel:

9,488), maka harga Chi-Square hitung lebih besar dari Chi-

Square tabel dan dengan p-value bernilai 0,02, maka dapat

diartikan bahwa terdapat perbedaan kejadian flebitis pada

lokasi vena di ekstremitas atas. Vena Median Kubital

Page 25: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

68

merupakan vena yang paling tinggi kejadian flebitisnya yaitu

sebesar 37,5%.

4.3.4 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis Berdasarkan Karakteristik Responden

4.3.4.1 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis Berdasarkan Jenis Kelamin pada Tangan Dominan dan

Nondominan

Jenis Kelamin

Dominan Nondominan Chi-

Square, df (1),

p-value Insersi n

Flebitis n (%)

Insersi n

Flebitis n (%)

Laki-Laki 75 13 (17,33) 172 35

(20,04) 0,243 0,622

Perempuan 72 21

(29,17) 137 42

(30,66) 0,067 0,796

Jumlah 147 34 (23,13) 309 77

(24,92) 0,083 0,773

Dari Hasil Chi-Square di atas, dengan nilai Chi-Square

0,243 dengan df 1 dan p-value bernilai 0,622 menunjukkan

bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada

kejadian flebitis antara laki-laki yang terpasang kateter

intravena pada tangan dominan dengan nondominan. Hasil

serupa juga ditunjukkan pada perbandingan antara

perempuan yang terpasang kateter intravena pada tangan

dominan dengan nondominan. Hal ini dibuktikan dengan

nilai Chi-Square 0,067 dengan df 1 dan p-value bernilai

0,796 Dari hasil ini dapat dilihat bahwa kejadian flebitis

Page 26: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

69

antara tangan dominan dengan nondominan tidak

dipengaruhi oleh jenis kelamin.

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis

Berdasarkan Jenis Kelamin

Pembuluh Vena

Laki-Laki Perempuan Chi-

Square, df (1),

p-value Insersi n

Flebitis n (%)

Insersi n

Flebitis n (%)

Sefalika 195 36 (18,46)

144 45 (31,25)

3,449 0,063

Dorsal Metakarpal 17 5

(29,41) 39 10 (25,64) 0,164 0,686

Basilika 15 2 (13,33) 11 1

(9,1) 0,727 0,394

Median Antebrachial 15 3

(20) 12 6 (50) 12,857 0,00

Median Kubital 5 2

(40) 3 1 (33,33) 0,641 0,413

Jumlah 247 48 (19,43) 209 63

(30,14) 2.469 0,116

Dari Hasil Chi-Square di atas, dengan nilai Chi-Square

2,469 dengan df 1 dan p-value bernilai 0,116 menunjukkan

bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara

kejadian flebitis pada laki-laki dengan perempuan.

Page 27: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

70

4.3.4.2 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis Berdasarkan Usia Responden

Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis Berdasarkan Usia Responden

Kelompok Usia Insersi n

Flebitis n (%)

Chi-Square, df,

p-value <19 thn 19 3 (15,79)

10,056 df: 4 0,04

20-29 thn 27 4 (14,82)

30-39 thn 38 7 (18,42)

40-49 thn 82 23 (28,05)

50-59 thn 97 30 (30,93)

>60 thn 193 44 (22,8)

Dengan nilai Chi-Square hitung 10,056 dengan df 4 (Chi-

Square tabel: 9,488), sehingga Chi-Square hitung lebih

besar dari pada Chi-Square tabel dan dengan nilai p-value

0,04 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan

yang signifikan antar kelompok usia.

4.3.5 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis Berdasarkan Ukuran Kateter Intravena

Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis Berdasarkan Ukuran Kateter Intravena pada Tangan

Dominan dan Nondominan

Nomor Kateter IV

Dominan Nondominan Chi-

Square, df (1),

p-value Insersi n

Flebitis n (%)

Insersi n

Flebitis n (%)

Nomor 22 136 29 (21,32) 277 65

(23,47) 0,091 0,763

Nomor 24 11 5 (45,45) 32 12

(37,5) 7,118 0,008

Jumlah 147 34 (23,13) 309 77

(24,92) 0,083 0,773

Dari Hasil Chi-Square di atas, dengan nilai Chi-Square

0,091 dengan df 1 dan p-value bernilai 0,763 menunjukkan

Page 28: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

71

bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada

kejadian flebitis pada penggunaan kateter intravena nomor

22 di tangan dominan dengan nondominan. Namun pada

penggunaan kateter intravena nomor 24, didapatkan

perbedaan bahwa nomor 24 yang dipasang pada tangan

dominan lebih beresiko terkena flebitis. Hasil ini dibuktikan

dengan nilai Chi-Square 7,118 dengan df 1 dan p-value

bernilai 0,008

Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis Berdasarkan Ukuran Kateter Intravena

Pembuluh Vena

Nomor 22 Nomor 24 Chi-

Square df (1),

p-value Insersi n

Flebitis n (%)

Insersi n

Flebitis n (%)

Sefalika 316 71 (22,47) 23 10

(43,48) 6,785 0,009

Dorsal Metakarpal 45

9 (20) 11

6 (54,55) 16,33 0,000

Basilika 24 3 (12,5) 3 0 - -

Median Antebrachial 21 8

(38,1) 5 1 (20) 5,586 0,018

Median Kubital

7 3 (42,86)

1 0 - -

Jumlah 413 94 (22,76) 43 17

(39,53) 4.587 0,032

Dari hasil perhitungan di atas, menunjukkan bahwa

nilai Chi-Square hitung 4,587 lebih besar dari Chi-Square

tabel dengan df 1 dan nilai p-value 0,032. Dengan demikian

maka terdapat perbedaan yang signifikan pada kejadian

flebitis berhubungan dengan ukuran kateter intravena.

Dimana nomor 24 lebih beresiko menyebabkan flebitis

daripada nomor 22.

Page 29: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

72

4.3.6 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis Berdasarkan Lama Pemasangan Tabel 4.12 Distribusi Frekuensi Resiko Kejadian Flebitis

Berdasarkan Lama Hari Pemasangan

Lama Hari Pemasangan

Insersi n

Flebtis n (%)

Chi-Square, df,

p-value 1 456 28 (6,14)

2,811 df: 1

0,729

2 387 28 (7,24)

3 275 28 (10,18)

4 150 18 (12)

5 71 6 (8,45)

6 29 3 (10,35)

Dari penelitian ini didapatkan kejadian flebitis pada

hari pertama sebesar 6,14% (28 dari 456 insersi), hari ke

dua sebesar 7,24% (28 dari 387 insersi), hari ke tiga 10,18%

(28 dari 275 insersi), hari ke empat sebesar 12% (18 dari

150 insersi), hari ke lima sebesar 8,45% (6 dari 71 insersi)

dan pada hari ke enam sebesar 10,35% (3 dari 29 insersi).

Untuk mempermudah melihat distribusi kejadian

flebitis berdasarkan lama pemasangan kateter intravena,

dapat dilihat pada diagram garis di bawah ini.

Page 30: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

73

Diagram 4.15 Distribusi Frekuensi Resiko Kejadian Flebitis Berdasarkan Lama Pemasangan

4.3.7 Kejadian Flebitis Berdasarkan Cairan Infus

Tabel. 4.13 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis Berdasarkan Cairan Infus yang Diberikan

Cairan Infus Insersi

n Flebitis n (%) Cairan Infus Insersi

n Flebitis n (%)

Aminoleban/D5 2 1 (50) Asering/PRC 1 0

Aminovel/D5/RL 6 1 (16,67) D5 34 11

(32,35)

Asering 11 3 (27,27) D5/NaCl 49 7

(14,28)

Asering/Aminoleban 2 2 (100) D5/NaCl/RL 4 2

(50)

D5/Asering 17 8 (47,06) D5/NaCl/Albumin 1 0

D5/Asering/Aminovel 1 1 (100) D5/RL 231 48

(20,78)

D5/Aminoleban/PRC 1 1 (100) D5/RL/Manitol 1 0

D5/Aminovel 1 1

(100) NaCl 8 1

(12,5)

D5/RL/Asering 13 1 (7,69) NaCl/RL 10 2

(20)

RL/Asering/Manitol 1 0 RL 53 19

(35,85)

NaCl/Asering/PRC 1 0 RL/PRC 2

1 (50)

RL/Asering 6 1 (16,67)

Page 31: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

74

Dari data diatas jika dikelompokkan menjadi kelompok

cairan kombinasi dan satu macam cairan infus yang

diberikan. Prosentase kejadian flebitis pada responden yang

mendapat satu jenis cairan infus sebesar 32,07%.

Sedangkan yang mendapat cairan infus kombinasi sebesar

22%. Apabila digunakan perhitungan SPSS diperoleh Chi-

Square hitung 1,852 lebih sedikit dari pada maka Chi-

Square tabel dengan df 1 (3,841) dan dengan p-value 0,174

dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang

signifikan antara kejadian flebitis yang disebabkan oleh

cairan infus kombinasi dan yang hanya satu macam cairan

infus.

4.3.8 Kejadian Flebitis Berdasarkan Diagnosa Medis

Pada penelitian ini, peneliti tidak membandingkan atau

menghubungkan kejadian flebitis dengan diagnosa medis.

peneliti hanya akan memaparkannya.

Page 32: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

75

Tabel 4.14 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis Berdasarkan Diagnosa Medis

Diagnosa Insersi n

Flebitis n Diagnosa Insersi

n Flebitis

n Abdominal Pain 2 0 GE 2 0

Abses Paru 2 0 Hematemesis 12 5

Anemia 1 0 Hepatitis 6 4

Apendic 1 0 Hipertensi 6 3

Asma 13 2 Hipertermi 2 1

BE Terinfeksi 7 3 Hipoglikemia 1 0

Bekas TB 11 1 KP 1 0

Bleeding 1 0 LBP 4 2

Bradikardi 2 0 Masa Paru 11 4

Bronkiektasis 1 0 Meningitis TB 1 0

Bronkitis Kronis 3 0 Obs. Febris 7 1

BRPN 2 1 Oedema Paru 3 0

ca. Paru 2 0 Ost. Peartritis 2 0

Cardiomiopati 2 1 Oystitis Nefrokal 2 1

Cephagia 4 1 PJI 2 0

Chest Pain 11 1 Pneumonia 7 4

CHF 63 14 Pneumothorax 2 1

Cirosis Hepatica 3 0 PPOK 74 19

Coma Hepatica 2 0 Sirosis Hepatik 3 1

Colic Abdomen 3 2 Sindrom Otak Organik 5 4

Colic Renal 2 0 SNH 10 2

CPC 3 1 Stemi 2 0

Diare Akut 2 0 Susp. DHF 1 0

Dispepsia 31 11 TB 55 11

DM 15 3 TIA 2 1

Efusi Pleura 12 3 Tumor Paru 10 1

Febris 11 2 Typhoid 3 0

Gastritis 3 0 Usteral 1 0

Vertigo 4 0

Dari data diatas diperoleh bahwa 10 besar diagnosa

yang lebih rentan terkena flebitis, adalah sebagai berikut:

Page 33: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

76

sindrom otak organik 80% (4 dari 5 insersi), Colic Abdomen

66,67% (2 dari 3 insersi), Hepatitis 66,67% (4 dari 6 insersi),

Pneumonia 57,14% (4 dari 7 insersi), Bronkopneumonia

50% (1 dari 2 insersi), Cardiomiopati 50% (1 dari 2 insersi),

Hipertensi 50% (3 dari 6 insersi), Hipertermi 50% (1 dari 2

insersi), Low Back Pain 50% (2 dari 4 insersi) dan Oystitis

Nefrokal 50% (1 dari 2 insersi).

4.4 Pembahasan

Penelitian ini mungkin pernah dilakukan pada awal

mula ditemukannya terapi intravena dalam dunia kesehatan,

namun peneliti tidak menemukan satu dokumen atau jurnal

yang menjelaskan tentang hal tersebut. Dalam penelitian

tentang faktor-faktor predisposisi terhadap kejadian flebitis

yang pernah dilakukan oleh Uslusoy dan Mete pada tahun

2008 dengan desain studi deskriptif, mendapatkan bahwa

tubuh sebelah kanan secara prosentase lebih beresiko

terjadi flebitis. Dengan ide penelitian yang muncul dari

penelitian Uslusoy dan Mete tersebut, peneliti melakukannya

secara lebih spesifik lagi dan dengan desain penelitian

Cohort Prospektif yang lebih sesuai dengan tujuan penelitian

yaitu untuk membandingkan.

Page 34: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

77

4.4.1 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis pada Tangan Dominan dengan Nondominan

Hasil analisa dari data yang diperoleh selama satu

bulan di Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan, menunjukkan

bahwa pada kenyataannya tidak terdapat perbedaan yang

signifikan antara kejadian flebitis pada tangan dominan

dengan nondominan. Hal ini dibuktikan melalui perhitungan

yang dilakukan oleh peneliti baik manual maupun dengan

bantuan SPSS, dimana nilai Chi-Square hitung (0,08**) lebih

kecil dari nilai Chi-Square tabel dengan df 1 (3,841). Dari

hasil penelitian ini diperoleh kejadian flebitis pada tangan

dominan sebesar 23,13% (13 dari 147 insersi) dan tangan

nondominan sebesar 24,92% (77 dari 309 insersi).

Lebih jauh lagi peneliti mencoba untuk

membandingkan kejadian flebitis tiap vena pada tangan

dominan dengan nondominan. Hasilnya diperoleh bahwa

terdapat perbedaan yang signifikan antara vena Median

Kubital antara tangan dominan dengan nondominan.

Dengan nilai Chi-Square 25,391 lebih besar dari Chi-Square

tabel dengan df 1 (3,841), dimana vena Median Kubital pada

tangan dominan lebih beresiko terjadi flebitis. Peneliti

berasumsi bahwa terjadi perbedaan tersebut karena tangan

dominan lebih aktif dari pada tangan nondominan, dan

dengan lokasi vena Median Kubital yang berada di

Page 35: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

78

persendian siku sebelah dalam. Pada kasus ini pergerakan

pada sendi akan menyebabkan kerusakan pada balutan dan

pergeseran kateter intravena yang dapat menyebabkan

flebitis.

Berkaitan dengan perbandingan kejadian flebitis pada

tangan dominan dengan nondominan, peneliti hanya dapat

membandingkan penelitian ini dengan yang dilakukan oleh

Uslusoy dan Mete (2008), terhadap 568 insersi. Penelitian

dari Uslusoy dan Mete (2008), tidak meneliti tentang

perbandingan dominan dengan nondominan namun

membandingkan antara tubuh sebelah kanan dengan

sebelah kiri. Dari penelitian yang dilakukan Uslusoy dan

Mete, kejadian flebitis pada tubuh sebelah kanan sebesar

57,5% (115 dari 200) dan tubuh sebelah kiri sebesar 52,7%

(194 dari 358). Dengan hasil Chi-Square hitung (1,195) lebih

kecil dari Chi-Square tabel dengan df 1 (3,841) dan nilai p-

value 0,274, dapat disimpulkan bahwa tidak ada

perbandingan yang signifikan pada kejadian flebitis antara

tubuh sebelah kanan dengan tubuh sebelah kiri.

Berdasarkan hasil penelitian diatas, menunjukkan

bahwa faktor kejadian flebitis tidak akan mempengaruhi

pemilihan tangan yang akan digunakan untuk memberikan

terapi intravena. Faktor-faktor penting yang mempengaruhi

Page 36: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

79

pemilihan vena untuk digunakan dalam terapi intravena

sudah dijelaskan pada BAB II Tinjauan Pustaka, poin 2.2.

4.4.2 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis pada Tiap Lokasi Vena pada Ekstremitas Atas

Dari hasil penelitian ini diperoleh angka kejadian pada

vena Sefalika sebesar 23,89% (81 dari 339 insersi), vena

Dorsal Metakarpal sebesar 26,79% (15 dari 56 insersi),

vena Basilika sebesar 11,11% (3 dari 27 insersi), vena

Median Antebrachial sebesar 34,62% (9 dari 26 insersi) dan

vena Median Kubital sebesar 37,5% (3 dari 8 insersi).

Dengan hasil Chi-Square hitung 16,67 lebih besar dari Chi-

Square tabel dengan df 4 (9,488) dan dengan nilai p-value

0,02 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan

yang signifikan antara perbedaan kejadian flebitis pada

lokasi vena di ekstremitas atas.

Dari hasil diatas didapatkan bahwa vena Median

Kubital merupakan vena yang paling banyak mengalami

flebitis. Vena Median Kubital merupakan vena yang berada

di persendian, yaitu di siku tangan sebelah dalam.

Pemasangan kateter intravena pada area sendi akan

beresiko mengalami komplikasi karena pada persendian,

balutan akan rentan terhadap gerakan. Hal ini dapat

menyebabkan balutan rusak sehingga mikroorganisme

Page 37: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

80

dapat masuk atau jika terjadi gerakan dapat melukai tunika

intima vena.

Hasil serupa juga diperoleh Uslusoy dan Mete (2008),

yang melakukan penelitian terhadap 568 insersi. Pada

penelitian yang Uslusoy dan Mete lakukan, bukan vena

yang dijadikan indikator pengukuran namun letak

berdasarkan penampakan luar tangan. Hasil yang Uslusoy

dan Mete dapatkan adalah kejadian flebitis paling banyak

terjadi di persendian antar tangan dengan lengan yaitu

sebesar 51,3% (59 dari 115 insersi), dan pada punggung

tangan sebesar 51,3% (79 dari 154 insersi), kemudian pada

lengan tangan sebesar 43,1% (75 dari 174 insersi) dan pada

Anterkubital Fossa sebesar 36,8% (46 dari 125 insersi).

4.4.3 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis Berdasarkan Jenis Kelamin

Pada penelitian ini diperoleh bahwa tidak terdapat

perbedaan yang signifikan antara kejadian flebitis pada Laki-

laki dengan Perempuan. Dengan nilai Chi-Square hitung

2,469 lebih kecil dari Chi-Square tabel dengan df 1 (3,841)

dan dengan p-value 0,116 dapat disimpulkan bahwa tidak

terdapat perbedaan kejadian flebitis yang signifikan antara

Laki-laki dengan Perempuan. Kemudian peneliti

menghubungkan jenis kelamin dengan tangan dominan dan

Page 38: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

81

nondominan. Hasil perbandingan antara tangan dominan

dengan nondominan pada laki-laki diperoleh bahwa nilai

Chi-Square 0,067 dengan df 1 dan p-value bernilai 0,796,

hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang

signifikan. Pada wanita juga memperoleh hasil tidak ada

perbedaan antara tangan dominan dengan nondominan. Hal

ini dibuktikan dengan nilai Chi-Square 0,243 dengan df 1

dan p-value bernilai 0,622.

Hasil ini juga sama dengan yang penelitian yang

dilakukan oleh Uslusoy dan Mete (2008) terhadap 568

insersi. Dimana diperoleh hasil bahwa sebanyak 42,3% (131

dari 179 insersi) perempuan terkena flebitis dan sebanyak

49,9% ( 128 dari 180 insersi) laki-laki terkena flebitis.

4.4.4 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis Berdasarkan Usia

Dalam penelitian ini diperoleh bahwa terdapat

perbedaan yang signifikan antar kelompok usia yang

dibuktikan dengan nilai Chi-Square hitung 10,056 lebih

besar dari Chi-Square tabel dengan df 4 yaitu 9,488 dan

nilai p-value 0,04. dimana resiko terkena flebitis tertinggi

yaitu sebesar 30,93% pada usia 50-59 tahun, kemudian

28,05 pada kelompok usia 40-49 tahun, 22,8% pada usia

lebih dari 60 tahun, 18,42% pada usia 30-39 tahun, 14,82%

Page 39: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

82

pada usia 20-29 tahun dan 15,79% pada usia dibawah 19

tahun.

Hasil penelitian ini juga memperoleh hasil yang mirip

dengan penelitian yang dilakukan oleh R Singh, et al (2008),

terhadap 230 insersi. Dari penelitian oleh R Singh, et al

(2008), didapatkan bahwa terdapat perbedaan yang

signifikan antar kelompok usia, dimana usia yang beresiko

terkena flebitis adalah sebagai berikut: 81,8% (27 dari 33)

usia 31-40 tahun, 76,9% (20 dari 26) usia 41-50 tahun, 63%

(17 dari 27) usia 51-60 tahun, 58,8% (20 dari 34) usia lebih

dari 60 tahun, 52,2% (24 dari 46) usia 15-20 tahun dan

43,8% (28 dari 64) usia 21-30 tahun.

Menurut Ingram P dan Lavery I (2005), kelompok yang

beresiko dan rentan mengalami flebitis adalah orang yang

sudah tua. Hal ini dikarenakan proses degenerasi yang

dialami, Pengaruh degenerasi terhadap pembuluh darah

adalah keelastisan berkurang sehingga pembuluh darah

tidak dapat mempertahankan kecepatan aliran darah

dengan normal.

Proses degenerasi juga menyebabkan sistem imun

berkurang. Pada kasus pemasangan infus, peneliti

berasumsi bahwa tidak terdapat balutan yang steril 100%.

Sehingga jika terdapat bakteri, walaupun kecil resikonya

Page 40: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

83

seorang yang sudah tua akan lebih mudah terkena infeksi

dan dapat berkembang menjadi flebitis.

4.4.5 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis Berdasarkan Ukuran Kateter Intravena

Hasil Chi-Square hitung antara ukuran kateter nomor

22 dengan nomor 24 adalah 4,587. Hasil ini lebih besar dari

nilai Chi-Square tabel dengan df 1 yaitu 3,841. Dan dengan

nilai p-value 0,032 (<0,05), menunjukkan bahwa secara

umum terdapat perbedaan yang signifikan pada kejadian

flebitis oleh karena perbedaan nomor kateter intravena.

Pada penelitian ini diperoleh bahwa kateter intravena

nomor 24 lebih beresiko dibanding dengan nomor 22.

Menurut La Rocca (1998), kateter intravena nomor 22

merupakan kateter intravena yang cocok digunakan pada

pasien anak-anak dan orangtua. sedangkan untuk nomor 24

digunakan pada pasien pediatrik dan neonatus. Nomor

kateter intravena berbanding terbalik dengan diameter

kateter intravena, semakin besar nomor kateter intravena

semakin kecil diameternya. Nomor 22 dan nomor 24 adalah

nomor yang sering dipakai di Rumah Sakit Paru dr. Ario

Wirawan. Besarnya diamater berpengaruh pada kecepatan

aliran cairan infus yang diberikan, diameter yang kecil akan

membuat aliran infus lebih kencang daripada yang

Page 41: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

84

berdiameter besar. Kecepatan aliran akan berpengaruh

pada kejadian flebitis, hal ini berkaitan dengan iritasi yang

disebabkan cairan infus terhadap tunika intima yang dilalui.

Menurut La Rocca (1998) penggunaan kateter

intravena dengan ukuran kecil dapat memperlambat

pemberian cairan sehingga memerlukan alat infus tekanan

positif atau pemasangan kembali kateter intravena dengan

ukuran yang lebih besar. La Rocca (1998), juga

menambahkan bahwa dalam memilih kateter intravena

harus mempertimbangkan kondisi vena yang dipilih,

viskositas cairan, usia pasien dan lama terapi yang

diperkirakan.

Untuk ukuran kateter intravena yang lebih besar juga

dapat menyebabkan flebitis, hal ini berkaitan dengan letak

pemasangan. Ukuran kateter besar apabila dipasang pada

vena yang kecil dapat mengakibatkan trauma pada tunika

intima dan akhirnya dapat menyebabkan flebitis. Dengan

hasil yang menunjukkan bahwa kateter intravena

berdiameter kecil yang lebih beresiko menyebabkan flebitis,

dapat diartikan bahwa pada pemasangan kateter intravena,

perawat Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan mempunyai

kompetensi yang baik dalam melakukan insersi kateter

intravena.

Page 42: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

85

Penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh

Nassaji-Zavareh M, Ghobarani R dan oleh Uslusoy dan

Mete. Dari penelitian yang dilakukan oleh Nassaji-Zavareh

M, Ghobarani R (2008) terhadap 300 insersi didapatkan

bahwa sebanyak 27,5% (30 dari 109) kejadian flebitis terjadi

pada pemasangan kateter intravena nomor 20 dan

sebanyak 24,7% (47 dari 190) kejadian flebitis terjadi pada

pemasangan kateter intravena nomor 18. Dan penelitian

yang dilakukan oleh Uslusoy dan Mete (2008), terhadap 568

insersi diperoleh kejadian flebitis pada pemasangan kateter

intravena nomor 16 adalah 35,6% (16 dari 45), untuk nomor

18 sebanyak 47,7% (93 dari 195), nomor 20 sebanyak

45,6% (146 dari 320) dan untuk kateter intravena nomor 22

sebanyak 50% (4 dari 8).

4.4.6 Kejadian Flebitis Berdasarkan Lama Pemasangan Kateter Intravena

Dari hasil penelitian ini, peneliti mendapatkan proporsi

kejadian flebitis tiap lama hari pemasangan. Dengan hasil

kejadan flebitis pada hari pertama sebesar 6,14% (28 dari

456 insersi), hari ke dua sebesar 7,24% (28 dari 387 insersi

yang masih bertahan), hari ke tiga 10,18% (28 dari 275

insersi), hari ke empat sebesar 12% (18 dari 150 insersi),

Page 43: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

86

hari ke lima sebesar 8,45% (6 dari 71 insersi) dan hari ke

enam sebesar 10,35% (3 dari 29 insersi).

Pada hari ke lima didapatkan hasil bahwa terjadi

penurunan resiko kejadian flebitis kemudian meningkat lagi

pada hari ke enam. Peneliti melihat bahwa jika tidak

dilakukan penggantian kateter intravena pada hari ke empat,

maka akan ada pilihan untuk mengganti balutan pada hari

ke empat atau ke lima.

Dari hasil diatas menggambarkan bahwa semakin

lama pemasangan kateter intravena, maka resiko kejadian

flebitis akan semakin bertambah. Hal ini sesuai dengan

ketentuan yang disampaikan oleh O’Grady, et al (2002), dan

Royal College of Nursing (2010), dimana semakin lama

pemasangan infus potensi terjadinya infeksi akan semakin

bertambah, dan oleh sebab itu dianjurkan untuk mengganti

kanulasi atau melakukan pemindahan tempat tusukan setiap

72-96 jam.

4.4.7 Kejadian Flebitis Berdasarkan Cairan Infus yang Diberikan

Penelitian ini tidak menggolongkan cairan infus

berdasarkan jenisnya menjadi cairan hipotonik, isotonik dan

hipertonik. Hal ini disebabkan penelitian ini berdesain cohort

prospektif, dimana setiap hari dilakukan observasi.

Page 44: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

87

Sehingga peneliti mendapati setiap perubahan berkaitan

dengan cairan infus yang diberikan, peneliti menyajikan data

dimana tanda garis miring “/” menunjukkan pergantian

cairan infus. Dalam penelitian ini hanya 106 insersi yang

memperoleh hanya satu macam cairan infus, dengan rincian

sebagai berikut: NaCl 0,9% 8 insersi, Asering 11 insersi,

Dekstrose 5% (D5) 34 insersi dan Ringer Laktat (RL) 53

insersi.

Apabila dilakukan analisis mengenai perbandingan

kejadian flebitis antara satu macam cairan infus dengan

terapi kombinasi, diperoleh Chi-Square hitung 1,852 lebih

sedikit dari pada Chi-Square tabel dengan df 1 (3,841) dan

dengan p-value 0,174 dapat disimpulkan bahwa tidak ada

perbedaan yang signifikan antara kejadian flebitis yang

disebabkan oleh cairan infus kombinasi dan yang hanya

satu macam cairan infus.

Pada penelitian ini terdapat lima pasien yang diberikan

produk darah, dari penelitian ini sebanyak 40% (2 dari 5

insersi) mengalami flebitis. Untuk pemberian produk darah,

perawat harus lebih memperhatikannya karena selain

produk darah digolongkan ke dalam cairan hipertonik,

produk darah dapat menyebabkan tromboflebitis jika dalam

pemberiannya terdapat gumpalan darah yang melewati filter.

Page 45: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

88

Maka untuk manajemen produk darah setelah darah habis,

harus cepat dilakukan irigasi dengan saline normal agar

tidak terbentuk gumpalan darah (La Rocca, 1998).

4.4.8 Kejadian Flebitis Berdasarkan Obat yang Diberikan Secara Intravena

Setiap terapi intravena baik sekecil apapun akan

mempunyai resiko terjadinya komplikasi, setiap jenis infus

akan beresiko menyebabkan flebitis bahkan tromboflebitis.

Hal tersebut tergantung dari pemantauan pemasangan infus.

Apabila terjadi gejala flebitis langsung dilakukan tindakan

sesuai dengan skala flebitis. Seperti halnya cairan infus,

semua obat jika diberikan secara intravena juga dapat

menyebabkan flebitis. Bukan hanya terkait dengan efek

samping dan kandungan obat, namun juga cara pemberian,

kepekatan obat, kelarutan obat, kecepatan yang sesuai

dengan jenis obat dan teknik aseptik.

Dari penelitian ini telah diperoleh data bahwa

Cefotaxime merupakan obat yang paling banyak

menimbulkan flebitis di RSPAW, Cefotaxime merupakan

Sefalosporin generasi ketiga, dan Sefalosporin sendiri

masuk dalam klasifikasi obat antiinfeksi. Menurut Mulyani

(2011), Obat yang dapat menyebabkan peradangan vena

yang berat antara lain: Kalium Klorida, Vancomysin,

Page 46: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

89

Amphotrecin B, Sefalosporin, Diazepam, Midazolam dan

obat untuk kemoterapi.

4.4.9 Kejadian Flebitis Berdasarkan Diagnosa medis

Diagnosa medis yang mempunyai kejadian flebitis

tertinggi adalah sindrom otak organik yaitu 80% (4 dari 5

insersi yang diamati). Menurut Hinchliff (1999), pasien

dengan sindrom otak organik akan mengalami gangguan

ingatan serta kepribadian, kemunduran dalam perawatan

diri, kerusakan kemampuan kognitif dan disorientasi. Pasien

dengan diagnosa tersebut dapat digolongkan dalam

ketergantungan penuh.

Penyakit yang diderita oleh pasien akan

mempengaruhi pola istirahat dan aktivitas, pasien yang tidak

dapat bermobilisasi akan beresiko terkena flebitis. Hal ini

dipengaruhi oleh aliran darah yang lambat karena dalam

kondisi tersebut pompa jantung akan lebih rendah dari

keadaan normal. Sebaliknya jika pasien banyak melakukan

aktivitas dengan tangannya akan beresiko terkena flebitis

karena kepatenan fiksasi kateter intravena dapat berkurang.

Bagi pasien yang sering duduk atau berdiri akan beresiko

terkena flebitis, hal ini berkaitan dengan posisi jantung lebih

tinggi dari area insersi sehingga aliran yang akan menuju ke

Page 47: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

90

jantung lebih lambat. Menurut La Rocca (1998), ketepatan

aliran infus dengan aliran darah akan mengurangi resiko

terjadinya komplikasi berupa flebitis.

4.5 Hambatan yang Dijumpai dalam Pelaksanaan Penelitian

4.5.5 Hambatan dari Peneliti

Peneliti menyadari bahwa peneliti masih perlu banyak

belajar mengenai konsep flebitis dan metodologi. Peneliti

juga merasa kesulitan untuk mendapatkan jurnal-jurnal

tentang flebitis karena sebagian besar jurnal tersebut harus

melalui pembayaran yang mahal dan dengan prosedur yang

rumit.

4.5.6 Hambatan dari Pasien

Dalam penelitian ini tidak sedikit pasien yang menolak

untuk diminta kerjasamanya untuk berpartisipasi mejadi

responden. Peneliti menyadari bahwa mereka dalam kondisi

sakit yang sedang mencari cara untuk sembuh dan ketika

peneliti datang, mereka dapat mengira bahwa peneliti hanya

akan mengganggu istirahat dan kenyamanan mereka.

Page 48: T1 [462008004] BAB IV · Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Sumber: Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang

91

4.5.7 Hambatan dari Rumah Sakit dan Perawat

Dalam kegiatan pelaksanaannya peneliti tidak

mendapat hambatan sama sekali dari perawat-perawat

Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan, bahkan banyak dari

perawat yang membantu proses penelitian. Hambatan yang

cukup dirasa oleh peneliti adalah ijin penelitian yang dalam

prosesnya memang lama yaitu hampir mencapai tiga

minggu. Namun, peneliti menyadari bahwa dalam

mengijinkan sebuah penelitian, Rumah Sakit akan

mempertimbangakn dampak baik dan buruk dari penelitian

yang akan dilakukan.