Systemic Lupus Eritematosus

28
1 BAB 1 PENDAHULUAN Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari yang ringan sampai berat. Pada keadaan awal, sering sulit dikenal sebagai SLE, karena manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan. Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Terdapat dugaan faktor genetik, infeksi, dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. Prevalensi SLE bervariasi di tiap negara. Di Indonesia sampai saat ini belum pernah dilaporkan. Pada dekade terakhir, terlihat adanya kenaikan kasus yang berobat. Salah satu faktor adalah kewaspadaan dokter yang meningkat. Untuk ini perlu upaya penyebarluasan gambaran klinis kasus SLE yang perlu diketahui sehingga diagnosis lebih dini dan pengobatan lebih adekuat. Penyakit SLE adalah suatu penyakit yang menyerang seluruh organ tubuh mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut, yang disebabkan oleh penurunan kekebalan tubuh manusia, dan lebih dikenal penyakit sebagai autoimun. Manifestasi klinis yang muncul heterogen dan hampir melibatkan semua sistem organ tubuh. Penyakit ini sebenarnya telah dikenal sejak jaman Yunani kuno oleh Hipokrates, namun pengobatan yang tepat belum diketahui.

description

SLE

Transcript of Systemic Lupus Eritematosus

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang melibatkan berbagai

organ dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari yang ringan sampai berat. Pada keadaan

awal, sering sulit dikenal sebagai SLE, karena manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan.

Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Terdapat dugaan faktor genetik, infeksi, dan

lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE.

Prevalensi SLE bervariasi di tiap negara. Di Indonesia sampai saat ini belum pernah

dilaporkan. Pada dekade terakhir, terlihat adanya kenaikan kasus yang berobat. Salah satu faktor

adalah kewaspadaan dokter yang meningkat. Untuk ini perlu upaya penyebarluasan gambaran

klinis kasus SLE yang perlu diketahui sehingga diagnosis lebih dini dan pengobatan lebih

adekuat.

Penyakit SLE adalah suatu penyakit yang menyerang seluruh organ tubuh mulai dari

ujung kaki hingga ujung rambut, yang disebabkan oleh penurunan kekebalan tubuh manusia, dan

lebih dikenal penyakit sebagai autoimun. Manifestasi klinis yang muncul heterogen dan hampir

melibatkan semua sistem organ tubuh. Penyakit ini sebenarnya telah dikenal sejak jaman Yunani

kuno oleh Hipokrates, namun pengobatan yang tepat belum diketahui.

2

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi 1,2,3

Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai

oleh produksi antibodi terhadap komponen- komponen inti sel yang berhubungan dengan

manifestasi klinis yang luas. SLE adalah penyakit radang multisistem yang sebabnya belum

diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi

dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.

2.2 Epidemiologi 1,2,3,4

90% pasien SLE adalah wanita umur subur, walaupun semua jenis kelamin, umur, dan

kelompok ras dapat terkena. Perbandingan antara penderita perempuan dan laki-laki adalah

8:1. Kemungkinan terjadi pada ras negro 3 kali lebih besar dibandingkan ras Caucasoid. Suatu

survei epidemiologi di Amerika menunjukkan bahwa angka kematian dan kesakitan

tertinggi berada di kalangan Negro, kemudian diikuti oleh orang-orang dari Puerto

Ricans baru oleh orang-orang kulit putih. Perbedaan ras, disebabkan oleh variasi normal

dari g globulin, di mana kadar ini lebih tinggi di kalangan kaum Negro.

Prevalensi SLE ada tendesi familiar. Faktor keluarga berkisar 10%, di mana anggota

keluarga yang menderita SLE, mempunyai angka insidens yang meningkat untuk penyakit

ini. SLE sering terjadi pada usia dewasa muda dengan puncaknya pada perempuan pada usia

30-an, dan pada laki-laki pada usia 40-an. Walaupun insidensi SLE masih tidak diketahui dan

SLE dapat ditemukan pada semua usia namun didapatkan bahawa 20% kasus SLE mulai pada

masa anak-anak, biasanya anak yang telah berusia lebih dari 8 tahun.

Pada penelitian populasi Asia dan kulit putih di Inggris dilaporkan bahawa kelainan

ginjal pada SLE lebih sering ditemukan di populasi Asia. Prevalensi penyakit SLE di Indonesia

belum dapat dipastikan secara tepat, karena system pelaporan masih berupa laporan kasus

dengan jumlah penderita terbatas. Isidensi dan prevalensi penyakit SLE telah berubah secara

dramatis menjadi semakin meningkat sejak 1970. Hal ini disebabkan karena tersedianya sarana

diagnostic yang lebih baik yaitu criteria ACR 1997 untuk diagnosis penyakit SLE dan

pemeriksaan laboratorium penunjang yang lebih baik.

3

2.3 Patofisiologi dan Etiologi 1,3,5,6

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan

peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh

kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal dan lingkungan.

Pada wanita respons imun selular maupun humoral lebih besar dibandingkan pada

pria. Wanita yang terpapar kontraseptif oral yang mengandung estrogen atau terapi sulih

hormone memiliki peningkatan risiko SLE (1,2 hingga 2 kali lipat). Estradiol berikatan

dengan reseptor pada limfosit T dan B, kemudian akan meningkatkan aktivasi dan daya tahan

dari sel ini, sehingga menunjang respons imun yang memanjang.

Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan diikuti dengan

peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor (TNF) dan interferon tipe 1 dan

2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B lymphocyte stimulator (BLyS) serta Interleukin

(IL)-10. Peningkatan regulasi gen yang dipicu oleh interferon merupakan suatu petanda

genetik SLE. Namun, sel lupus T dan natural killer (NK) gagal menghasilkan IL-2 dan

transforming growth factor (TGF) yang cukup untuk memicu CD4+ dan inhibisi CD8+.

Akibatnya adalah produksi autoantibodi yang terus menerus dan terbentuknya kompleks

imun, dimana akan berikatan dengan jaringan target, disertai dengan aktivasi komplemen dan

sel fagositik yang menemukan sel darah yang berikatan dengan Imunoglobulin. Aktivasi dari

komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan kemotoksin, sitokin, kemokin, peptida

vasoaktif, dan enzim perusak. Pada keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan

sel imun akan memicu pelepasan kemotoksin, sitokin, kemokin, peptide vasoaktif, dan enzim

perusak. Selain itu, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase kronis berperan

terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, arteri, paru-paru, dan jaringan

lainnya.

Pada SLE, sel tubuh sendiri dikenali sebagai antigen. Target antibodi pada SLE

adalah sel beserta komponennya yaitu inti sel, dinding sel, sitoplasma dan partikel

nukleoprotein. Karena didalam tubuh terdapat berbagai macam sel yang dikenali sebagai

antigen maka akan muncul berbagai macam autoantibodi pada penderita SLE. Peran

antibodi-antibodi ini dalam menimbulkan gejala klinis belum jelas diketahui. Beberapa

ahli melaporkan kerusakan organ disebabkan oleh efek langsung antibodi atau melalui

pembentukan komplek imun. Kompleks imun akan mengaktifasi sistem komplemen untuk

4

melepaskan C3a dan C5a yang merangsang sel basofil untuk membebaskan vasoaktif

amin seperti histamin yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler yang akan

memudahkan mengendapnya kompleks imun. Pembentukan kompleks imun ini akan

terdeposit pada organ sehingga menimbulkan reaksi peradangan pada organ tersebut. Sistem

komplemen juga akan menyebabkan lisis selaput sel sehingga akan memperberat

kerusakan jaringan yang terjadi. Kondisi inilah yang menimbulkan manifestasi klinis SLE

tergantung dari organ mana yang terkena. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang

selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan

ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first

degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-

69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir

menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-

DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan

komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel

T, imunoglobulin, dan sitokin.

Faktor penyebab dari penyakit ini belum seluruhnya diketahui. Beberapa faktor

pencetus yang dilaporkan menyebabkan kambuhnya SLE adalah, stress fisik maupun mental,

infeksi, paparan ultraviolet dan obat-obatan. Obat-obat tertentu seperti hidralazin,

prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping

makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia

atau obat-obatan.

Beberapa rangsangan lingkungan dapat mempengaruhi kemunculan SLE. Paparan

terhadap cahaya ultraviolet akan menyebabkan serangan SLE pada sekitar 70% pasien,

kemungkinan terjadi akibat peningkatan apoptosis pada sel kulit atau adanya perubahan

DNA dan protein intraseluler dan membuatnya menjadi antigenik. Sepertinya, beberapa

infeksi memicu respons imun yang normal dan mengandung beberapa sel T dan B yang

mengenal self-antigen. Pada SLE, sel-sel tersebut tidak beregulasi dengan baik dan produksi

autobodi kemudian terjadi. Virus Eipsten Barr mungkin merupakan agen infeksi yang dapat

memicu SLE pada seseorang yang memiliki predisposisi genetik. Anak dan orang dewasa

dengan SLE cenderung terinfeksi EBV dibandingkan kelompok kendali umur, jenis kelamin,

5

dan etnis. EBV mengaktivasi dan menginfeksi limfosit B dan bertahan pada sel tersebut

dalam beberapa dekade.

Kebanyakan pasien SLE mempunyai autoantibodi hingga 3 tahun bahkan lebih sebelum

gejala pertama penyakit ini, menandakan bahwa regulasi mengendalikan derajat autoimun

untuk beberapa tahun sebelum kualitas dan kuantitas dari autoantibodi dan sel B dan T yang

patogen cukup untuk menyebabkan gejala klinis.

GAMBAR 1: Hipotesis pathogenesis penyakit SLE. (Dikutip dari: Nguyen et al

―Hypothetical pathways involved in the pathogenesis of SLE‖ Arthritis Research 2002,

Vol.4:3, pp.S255.)

2.4 Mortalitas dan Morbiditas 3

Perjalanan alamiah penyakit SLE sangat bervariasi dari penyakit dengan gejala ringan

hingga penyakit yang progresif cepat dan fatal. Sebagian besar pasien yang terdiagnosis berusia

6

antara 14-64 tahun, dan gejala SLE biasanya hilang timbul selama hidup penderita. Pasien

dengan kelainan kulit dan muskuloskeletal saja memiliki angka harapan hidup yang lebih tinggi

dibanding penyakit dengan keterlibatan renal dan susunan saraf pusat. Meski terdapat perbaikan

angka harapan hidup, pasien dengan SLE tetap memiliki risiko kematian 3 kali lebih tinggi

dibanding populasi umum.

Angka harapan hidup 10 tahun saat ini telah mendekati 90%, lebih baik dibanding

sebelum tahun 1955, angka harapan hidup 5 tahun tidak sampai 50%. Penurunan angka kematian

ini kemungkinan adanya perbaikan dalam kriteria diagnosis, sehingga penderita yang

terdiagnosis lebih dini akan lebih mudah diterapi. Perbaikan sistem penatalaksanaan dan semakin

baiknya pelayanan medik juga merupakan faktor yang berpengaruh. Sepertiga kasus terkait SLE

yang meninggal di Amerika Serikat terjadi pada pasien yang berusia kurang dari 45 tahun.

Kematian terkait SLE spesifik, seperti nefritis, biasanya terjadi pada onset 5 tahun

pertama sejak gejala SLE muncul. Komplikasi infeksi yang berhubungan dengan SLE aktif,

sekarang juga telah menjadi penyebab penting pada awal-awal penyakit. Penyakit kardiovaskular

dan keganasan, yang mungkin berhubungan dengan inflamasi kronik dan terapi sitotoksik,

menjadi penyebab utama kematian jangka panjang. The Framingham Offspring Study

mendemonstrasikan bahwa wanita berusia 35-44 tahun dengan SLE memiliki risiko miokard

infark 50 kali lebih besar dibanding wanita sehat. Penyebab percepatan penyakit arteri koroner

sebenarnya multifaktorial, yaitu disfungsi endotel, mediator inflamasi, atherogenesis akibat

steroid, dan dislipidemia akibat gangguan renal. Lupus aktif (34%), infeksi (22%), penyakit

kardiovaskular (16%), dan keganasan (6%) menjadi penyebab kematian pada 144 dari 408

pasien dengan SLE yang dimonitoring selama 11 tahun.

2.5 Manifestasi Klinis 1,3,4,10

Penyakit SLE menyerang banyak sistem dari tubuh, sehingga kemunculan dan perjalanan

penyakitnya bervariasi. SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem

kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun

virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati,

sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda

antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda.

7

Jika ditemukan trias demam, nyeri sendi dan rash pada wanita usia subur, harus

dipikirkan kemungkinan terjadinya SLE. Ini karena, ketiga gejala ini merupakan manifestasi

klinis yang paling sering pada penderita SLE.

GAMBAR 2: Manifestasi klinis SLE.( Dikutip dari: http://www.lupus-

support.org.uk/Nurse/CONT.htm, diakses pada tanggal 4 Oktober 2010)

Pada onsetnya, SLE dapat melibatkan satu atau beberapa sistem organ. Dalam selang

waktu tertentu, gejala tambahan dapat terjadi. Beberapa autoantibodi spesifik dapat ditemukan

pada saat munculnya gejala klinis. Tingkat keparahan SLE beragam mulai dari ringan dan

intermediate sampai parah dan fulminan. Beberapa pasien mengalami eksaserbasi diantarai oleh

masa yang relatif tenang. Remisi permanen sempurna yaitu hilangnya gejala tanpa pengobatan

jarang terjadi.

8

Secara umum, manifestasi klinis penyakit SLE dapat dibedakan menjadi manifestasi

umum dan manifestasi khusus sesuai dengan organ targetnya. Manifestasi SLE adalah sebagai

berikut:

2.5.1 Manifestasi Umum 4

Kelelahan adalah keluhan umum pada 90% penderita SLE. Demam pada SLE dapat

mencapai > 40oC tanpa leukositosis. Demam pada penyakit ini biasanya tidak disertai dengan

menggigil. Penurunan berat badan juga dapat terjadi akibat demam dan menurunnya nafsu

makan. Gejala konstitusional lain yang sering dijumpai pada penyakit SLE, yang timbul sebelum

ataupun seiring dengan aktivitas penyakitnya antara lain adalah rambut rontok, mual muntah dan

hilangnya nafsu makan, pembesaran kelenjar getah bening, bengkak dan sakit kepala.

2.5.2 Manifestasi Muskuloskeletal 1

Kebanyakan pasien SLE memiliki poliarthritis intermitten, berderajat mulai ringan

hingga kecacatan, ditandai dengan pembengkakan jaringan lunak dan nyeri pada sendi, paling

sering pada tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Deformitas sendi (tangan dan kaki) terjadi

hanya pada 10% pasien. Erosi pada gambaran X-Ray sendi jarang ditemukan. Keberadaannya

menandakan peradangan arthropati non lupus seperti rheumatoid arthritis. Beberapa ahli

memperkirakan bahwa erosi dapat juga terjadi pada SLE. Jika nyeri bertahan pada satu sendi,

seperti lutut, bahu, atau pinggang, diagnosis nekrosis iskemik tulang perlu dipertimbangkan,

terutama jika tidak ada manifestasi SLE aktif lainnya.

Prevalensi nekrosis iskemik tulang meningkat pada SLE, terutama pada pasien yang

ditangani dengan glukokortikoid sistemik. Myositis dengan kelemahan otot klinis, peningkatan

kadar kreatinin kinase, MRI Scan positif, nekrosis otot dan peradangan pada biopsi dapat terjadi,

walaupun kebanyakan pasien mengalami myalgia tanpa myositis yang jelas. Terapi

glukokortikoid dan antimalaria dapat juga menyebabkan kelemahan otot. Efek samping ini mesti

dibedakan dari penyakit aktif.

2.5.3 Manifestasi Penyakit Kulit 1

Lupus dermatitis dapat diklasifikasikan sebagai discoid lupus erythematosus (DLE),

bercak sistemik, subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE), atau lainnya. Lesi diskoid

9

merupakan lesi kasar sirkuler disertai dengan sedikit peninggian, lingkaran eritematosa

hiperpigmentasi bersisik, dan pusat depigmentasi dengan atropi dimana semua bagian demal

secara permanen rusak. Lesi dapat memperburuk estetik, terutama pada wajah dan kulit kepala.

Pengobatan utamanya merupakan kortikosteroid topikal atau injeksi lokal dan antimalaria

sistemik. Hanya 5% individu dengan DLE memiliki SLE, walaupun setengahnya memiliki ANA

yang positif. Namun, di antara individu dengan SLE, sebanyak 20% memiliki DLE. Kebanyakan

bercak SLE yang umum bersifat fotosensitif, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada wajah

terutama pada pipi dan sekitar hidung, juga dikenali sebagai ―buterfly rash‖, telinga, dagu,

daerah V pada leher, punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan. Memberatnya bercak ini

kadang disertai dengan serangan penyakit sistemik.

SCLE mengandung bercak merah bersisik mirip dengan psoriasis atau lesi sirkuler datar

kemerahan. Pasien dengan manifestasi ini sangat fotosensitif; kebanyakan memiliki antibodi

terhadap Ro (SS-A). Bercak SLE lainnya termasuk urtikaria rekuren, dermatitis lichen planus-

like, bullar, dan pannikulitis atau lupus profundus. Bercak dapat ringan atau berat, dan dapat

menjadi manifestasi utama penyakit ini. Ulkus kecil dan nyeri pada mukosa oral dan nasal umum

pada SLE, lesinya mirip dengan ulkus pada sariawan.

GAMBAR 3: Malar rash3

GAMBAR 4: Discoid rash7

2.5.4 Manifestasi Renal 1,3,8,12

Nephritis biasanya manifestasi SLE yang paling berat, terutama karena nephritis dan

infeksi merupakan penyebab utama mortalitas pada dekade pertama penyakit ini. Lupus nephritis

diperkirakan terjadi pada 50% pasien SLE. Pada kebanyakan pasien ini, lupus nephritis terjadi

10

pada awal perjalanan penyakit SLE. Karena nephritis asimptomatik pada kebanyakan pasien

SLE, urinalisis sebaiknya dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami SLE. Klasifikasi dari

lupus nephritis berdasar dari gambaran histologis.

Class I: Minimal Mesangial Lupus Nephritis

Glomerulus normal dengan mikroskop biasa, namun deposit imun mesangial nampak

dengan immunofluoresensi.

Class II: Mesangial Proliferative Lupus Nephritis

Hiperselularitas mesangial murni dengan derajat apapun atau perluasan matriks mesangial

dengan mikroskop biasa disertai dengan deposit imun. Beberapa deposit subepitel dan

subendotel samar dapat terlihat dengan immunofluoresensi atau mikroskop elektron

namun tidak tampak dengan mikroskop biasa.

Class III: Focal Lupus Nephritis

Glomerulonephritis fokal aktif atau inaktif, segmental atau global endokapilar atau

ekstrakapiler terjadi pada <50%.

Class III (A) : Lesi aktif - focal proliferative lupus nephritis.

Class III (A/C): Lesi aktif dan kronis - focal proliferative dan sclerosing lupus nephritis.

Class III (C) : Lesi inaktif kronis disertai dengan jaringan parut glomerular-focal

sclerosing lupus nephritis.

Class IV: Diffuse Lupus Nephritis

Glomerulonephritis difus aktif atau inaktif, segmental atau global endo atau

ekstrakapiler yang melibatkan >50% dari seluruh glomerulus, biasanya dengan deposit

imun yang difus, disertai atau tanpa perubahan mesangial. Kelas ini dibagi atas lupus

nephritis segmental difus (IV-S) jika >50% dari glomerulus yang terkena memiliki lesi

yang segmental dan lupus nephritis difus global (IV-G) jika >50% dari glomerulus yang

terlibat memiliki lesi yang global. Segmental diartikan sebagai lesi glomerulus yang

melibatkan tidak lebih dari setengah dari unit glomerulus. Kelas ini termasuk kasus

dengan deposisi pada loop yang difus namun dengan sedikit atau tanpa proliferasi

glomerulus.

Class IV-S (A) : Lesi aktif —Lupus nephritis diffuse segmental proliferative

Class IV-G (A) : Lesi aktif —Lupus nephritis diffuse global proliferative

11

Class IV-S (A/C): Lesi aktif dan kronik— lupus nephritis diffuse segmental

proliferative dan lupus nephritis sclerosing

Class IV-G (A/C): Lesi aktif dan kronik —lupus nephritis diffuse global proliferative

dan lupus nephritis sclerosing.

Class IV-S (C) : Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut —lupus nephritis diffuse

segmental sclerosing

Class IV-G (C) : Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut —lupus nephritis diffuse

global sclerosing

Class V: Membranous Lupus Nephritis

Deposit imun subepitel global atau segmental atau dengan sekuele morfologis dilihat dari

pemeriksaan mikroskop dan dengan immunofluoroscence atau mikroskop elektron,

disertai atau tanpa perubahan mesangial. Lupus nephritis kelas V dapat terjadi dengan

kombinasi kelas III dan IV, dimana pada kasus ini keduanya dapat didiagnosis. Lupus

nephritis kelas V dapat memperlihatkan sclerosis yang sudah berat.

Class VI:Advanced Sclerotic Lupus Nephritis

>90% dari glomerulus telah mengalami sclerosis secara global tanpa aktivitas residual.

TABEL 1: Klasifikasi nefritis lupus menurut International Society of Nephrology/Renal

Pathology Society 2003. (Dikutip dari: Weening JJ et al, ―The Classification of

Glomerulonephritis in Systemic Lupus Erythematosus Revisited‖ Journal of the American

Society of Nephrology 2004, Vol.15, pp. 241–250.)

Biopsi renal berguna untuk merencanakan terapi terkini atau di masa akan datang. Pasien

dengan bentuk kerusakan glomerulus proliferatif berbahaya (ISN III dan IV) biasanya memiliki

hematuria dan proteinuria mikroskopik (>500 mg per 24 jam). Sekitar setengah pasien

mengalami sindrom nephrotik, dan kebanyakan terjadi hipertensi. Jika glomerulonephritis

proliferatif difus (DPGN) tidak ditangani, kebanyakan pasien akan mengalami End Stage Renal

Disease (ESRD) dalam 2 tahun diagnosis. Di Amerika Serikat, sekitar 20% individu dengan

lupus DPGN meninggal atau mengalami ESRD setelah 10 tahun diagnosis ditegakkan. Individu

tersebut membutuhkan pengendalian SLE yang agresif.

Segelintir pasien SLE dengan proteinuria memiliki perubahan glomerulus membranous

tanpa proliferasi pada pemeriksaan biopsi ginjal. Prognosisnya lebih baik daripada mereka

12

dengan DPGN, namun proteinuria cenderung merupakan keadaan yang berkelanjutan, disertai

dengan serangan yang membutuhkan penanganan ulang selama beberapa tahun. Untuk

kebanyakan orang dengan lupus nephritis, terjadi percepatan pada proses aterosklerosis sehingga

untuk mengendalikan tekanan darah, hiperlipidemia, dan hiperglikemia pada pasien ini.

2.5.5 Manifestasi Sistem Saraf 1,3,10,11

Terdapat banyak manifestasi sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer pada SLE. Pada

beberapa pasien tertentu hal ini merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas. Manifestasi

klinis SSP paling umum adalah disfungsi kognitif, termasuk kesulitan dalam mengingat dan

memberikan alasan. Sakit kepala juga umum terjadi. Jika terjadi mendadak berat, maka ini

menandakan serangan SLE, jika lebih ringan, sulit dibedakan dengan migraine atau sakit kepala

tipe tegang. Kejang juga dapat disebabkan oleh lupus dan penanganannya seringkali

membutuhkan obat anti kejang dan immunosupresif. Psikosis dapat menjadi manifestasi

dominan pada SLE. Hal ini mesti dibedakan dengan psikosis akibat glukokortikoid. Psikosis

biasanya terjadi pada minggu pertama pemberian glukokortikoid, pada dosis prednisone 40 mg

harian atau sederajat. Psikosis sembuh beberapa hari setelah pemberian kortikosteroid diturunkan

atau dihentikan. Myelopati tidak jarang terjadi dan seringkali menimbulkan kecacatan. Terapi

immunosupresif harus segera dimulai dengan glukokortikoid merupakan standar terapi.

2.5.6 Oklusi Vaskuler 1,3,10

Prevalensi dari transient ischemic attack, stroke, dan infark myokard meningkat pada

pasien SLE. Kejadian vaskuler ini meningkat, namun tidak ekslusif, pada pasien SLE dengan

antibodi terhadap fosfolipid (aPL). Sepertinya antibodi antifosfolipid ini berkaitan dengan

hiperkoagulabilitas dan kejadian thrombotik akut, dimana penyakit kronis berkaitan dengan

percepatan atherosclerosis. Iskemia pada otak dapat disebabkan oleh oklusi fokal, baik

noninflamasi atau berkaitan dengan vaskulitis, atau dengan embolisasi dari plak arteri karotid

atau dari vegetasi fibrinous dari Libman-Sack endokarditis. Pemeriksaan yang tepat untuk aPL

dan untuk sumber emboli sebaiknya dilakukan pada pasien seperti ini untuk memperkirakan

kebutuhan, intensitas, durasi dari terapi antiinflamasi dan antikoagulasi. Pada SLE, infark

myokard merupakan manifestasi utama pada atherosclerosis. Peningkatan risiko kejadian

13

vaskuler dapat mencapai 7 hingga 10 kali lipat secara keseluruhan, dan lebih tinggi pada wanita.

Peran dari terapi statin pada SLE masih dalam penelitian.

2.5.7 Manifestasi Pulmoner 1,10

Manifestasi pulmoner yang paling sering terjadi pada SLE adalah pleuritis dengan atau

tanpa efusi pleural. Pasien SLE dengan presentasi tachypneu, batuk, hemoptysis dan deman

harus diurigai adanya manifestasi di paru. Gejala ini, jika ringan, dapat berespons dengan

pemberian terapi nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAIDs). Jika lebih berat, pasien

membutuhkan terapi glukokortikoid. Infiltrat pulmoner dapat juga terjadi sebagai manifestasi

SLE aktif dan sulit dibedakan dari infeksi pada gambaran radiologi. Manifestasi pulmoner yang

membahayakan nyawa termasuk peradangan interstitial yang menyebabkan fibrosis, sindrom

paru menyusut, dan perdarahan intraalveolar. Semua kemungkinan ini membutuhkan terapi

immunosuppresif yang agresif secara dini, begitu pula dengan perawatan suportif.

2.5.8 Manifestasi Penyakit Jantung 1,10

Pericarditis merupakan manifestasi kardiak yang paling umum terjadi. Biasanya

pericarditis ini berespon dengan terapi antiinflamasi dan jarang mengakibatkan tamponade

jantung. Manifestasi kardiak yang lebih berat adalah miokarditis dan endocarditis Libman-Sacks

fibrinous. Keterlibatan endokardial dapat menyebabkan insufisiensi valvular, kebanyakannya

pada katup mitral atau aorta, atau kejadian embolik. Belum terbukti bahwa terapi glukokortikoid

atau imunosuppressif dapat menyebabkan perbaikan lupus miokarditis atau endocarditis, namun

umum dilakukan pemberian dosis tinggi steroid bersamaan dengan terapi suportif yang tepat

untuk gagal jantung, aritmia, atau kejadian embolik. Pasien dengan SLE mengalami peningkatan

risiko infark miokard, biasanya akibat percepatan terjadinya atherosclerosis, dimana

kemungkinan diakibatkan oleh peradangan kronis atau kerusakan oksidatif pada lipid dan pada

organ.

2.5.9 Manifestasi Hematologik 1,14

Manifestasi hematologik yang paling sering pada SLE adalah anemia, biasanya

normokromik normositik, menandakan adanya penyakit kronis. Hemolisis dapat cepat dalam

onset dan beratnya, sehingga membutuhkan terapi glukokortikoid dosis tinggi, dan ini efektif

14

pada kebanyakan pasien. Leukopenia juga sering dan hampir selalu mengandung limfopenia,

bukan granulositopenia. Keadaan ini jarang memudahkan terjadinya infeksi dan biasanya tidak

membutuhkan terapi. Trombositopenia merupakan masalah yang berulang. Jika hitung platelet

>40.000/L dan perdarahan abnormal tidak terjadi, terapi glukokortikoid dosis tinggi biasanya

efektif.

2.5.10 Manifestasi Gastrointestinal 13

Mual, seringkali dengan muntah, dan diare dapat menjadi manifestasi dari suatu serangan

SLE, seperti nyeri abdominal difus yang disebabkan oleh peritonitis autoimun. Peningkatan

serum aspartate aminotransferase (AST) dan alanine aminotranferase (ALT) umum jika SLE

sedang aktif. Manifestasi ini biasanya membaik secara perlahan selama pemberian terapi

glukokortikoid sistemik. Vaskulitis yang melibatkan usus dapat mengancam nyawa. Perforasi,

iskemia, perdarahan, dan sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi. Terapi immunosuppressif

dengan glukokortikoid dosis tinggi disarankan untuk pengendalian jangka pendek, terjadinya

rekurensi merupakan indikasi dari terapi tambahan.

2.5.11 Manifestasi Okuler 1,16

Sindrom Sicca atau Sindrom Sjögren dan konjungtivitis nonspesifik umum terjadi pada

SLE namun jarang membahayakan penglihatan. Berbeda dengan vaskulitis retinal dan neuritis

optik yang merupakan manifestasi berat. Kebutaan dapat terjadi dalam beberapa hari atau

minggu. Manifestasi okuler pada SLE disebabkan oleh pelbagai mekanisme. Antaranya adalah

deposit kompleks imun, vaskulitis dan thrombosis. Antibodi anti fosfolipid dapat menyebabkan

penyakit vasooklusif pada retina. Gambaran kelainan mata yang dapat ditemukan antara lain

adalah pada:

A. Palpebra : Kelainan palpebra inferior dapat merupakan bagian dari erupsi kulit yang tak

jarang mengenai pipi dan hidung.

B. Konjungtiva : Sindroma mata kering (konjungtivitis Sicca) dan konjungtivitis

nonspesifik umum terjadi pada SLE namun jarang membahayakan penglihatan. Pada

permulaannya konjungtiva menunjukkan sedikit sekret yang mukoid disusul dengan

hiperemia yang intensif dan edema membran mukosa. Reaksi ini dapat lokal atau

difus. Reaksi konjungtiva yang berat dapat menyebabkan pengerutan konjungtiva.

15

C. Sklera : Pada sklera dapat ditemukan skleritis anterior yang difus atau noduler yang

makin lama makin sering kambuh dan setiap kali kambuh keadaan bertambah

berat. Dengan bekembangnya penyakit, skleritis berubah menjadi skleritis nekrotik yang

melanjut dari tempat lesi semula ke segala jurusan sampai dihentikan dengan

pengobatan.

D. Uvea : Terjadi kelainan akibat radang sklera. Jarang menimbulkan sinekia.

E. Retina : Dapat menimbulkan retinopati pada kira-kira 25% penderita. Retinopati

merupakan kelainan pada retina yang tidak disebabkan oleh proses peradangan.

Keterlibatan retina pada SLE merupakan manifestasi terbanyak kedua setelah

keratokonjungtivitis sicca. Penderita retinopati SLE memiliki penyakit sistemik yang

aktif dan penurunan angka kesembuhan yang signifikan. Oleh karena itu, monitoring

ketat dan pengobatan yang aggresif pada pasien-pasien dengan retinopati SLE sangatlah

penting.

Keluhan nyeri pada mata atau gangguan penglihatan pada pasien SLE memerlukan

tindakan yang segera dan specialistik. Skeleritis dan retinopati lupus biasanya diterapi dengan

immunosuppresif agresif walaupun belum ada penelitian untuk membuktikan efektivitasnya.

Manifestasi pada mata juga dapat terjadi akibat komplikasi dari terapi glukokortikoid termasuk

katarak dan glaucoma.

2.6 Diagnosis 1,3,4,9

Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan criteria American College of Rheumatology

(ACR) 1982 yang telah direvisi pada tahun 1997, yaitu jika paling sedikit ditemukan 4 dari 11

kriteria yang ada.

Gejala Penjelasan

Malar Rash

(Butterfly rash)

Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau

berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung

(wilayah malar)

Discoid rash Bercak eritematous berelevasi sirkuler disertai

dengan sisik keratotik adherent. Jaringan parut

atropi dapat terjadi.

16

Fotosensitivitas Paparan terhadap sinar UV yang dapat

menimbulkan bercak-bercak

Ulkus oral Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat

ditemukan

Arthritis Arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer

disertai rasa nyeri, bengkak, atau efusi

Serositis Pleurits atau perikarditis yang ditemukan melalui

ECG atau bukti adanya efusi pleura

Gangguan Ginjal Proteinuria >0,5 g/hari atau 3+, atau ditemukan

corak seluler, tubuler atau campuran dalam sedimen

urin.

Gangguan neurologik Psikosis atau kejang tanpa penyebab yang jelas

Gangguan hematologik Anemia hemolisis dengan retikulositosis atau

leukopenia < 4000/mm3

atau limfopenia <1500/mm3

atau thrombositopenia <100 000/mm3 tanpa

pemberian obat-obatan yang menyebabkan

thrombositopenia.

Gangguan Imunologis Anti-dsDNA, anti-Sm, dan/atau anti-phospholipid

Antibodi Antinuklear Jumlah ANA yang abnormal ditemukan dengan

immunofluoroscence atau pemeriksaan serupa jika

diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat

memicu ANA sebelumnya.

TABEL 2: Kriteria diagnostik untuk SLE menurut American College of Rheumatology. (Dikutip

dari: Gill J et al, ―Diagnosis of Systemic Lupus Erythematosus‖ American Family Physian 2003,

Vol.68:11, pp.2179-2186.)

Diagnosis SLE berdasarkan ciri khas gejala klinisnya dan adanya autoantibodi.

Kombinasi 4 dari 11 kriteria, yang terdokumentasi pada saat apapun dalam riwayat medis pasien,

membuat pasien cenderung memiliki SLE dengan spesifitas 95% dan sensitivitas 75% menurut

Hahn et al, 2005.

17

Pada beberapa pasien, gejala semakin berat dalam selang waktu tertentu. Antinuclear

antibodies (ANA) ditemukan pada >98% pasien SLE selama perjalanan penyakit. Pemeriksaan

ANA berulang yang negatif menandakan diagnosisnya bukan SLE, kecuali jika autoantibodi

lainnya ditemukan. Antibodi IgG dengan jumlah banyak pada DNA dan antibodi pada antigen

Sm spesifik untuk SLE mendukung diagnosis terutama dengan keberadaan gejala klinis.

Keberadaan beberapa autoantibodi pada seseorang tanpa gejala klinis sebaiknya tidak

didiagnosis SLE, walaupun pada orang tersebut terjadi peningkatan resiko, karena SLE secara

klinis terjadi pada pasien setelah beberapa tahun ditemukannya autoantibodi.

Pemeriksaan penunjang antibodi anti nuclear (ANA) merupakan uji penyaring yang

terbaik untuk menegakkan diagnosis SLE. ANA hampir selalu positif pada lebih dari 95% pasien

SLE dan pemeriksaan ANA harus selalu dilakukan pada kasus yang dicurigai sebagai SLE. ANA

tidak selalu spesifik untuk SLE karena ANA dapat juga dijumpai pada penyakit lain seperti

skeloderma, artritis rematoid, atau drugs induced lupus erythematosus seperti isoniazid.

Antibodi yang lebih spesifik untuk SLE adalah antibodi anti ds-DNA dan anti SM, walaupun

sensitivitasnya pada SLE masing-masing adalah 75% (anti ds-DNA) dan 25% (anti SM).

Pemeriksaan ANA pada pasien menunjukkan positif 1/40, titer yang tinggi anti dsDNA ( positif

949 iu/ml ), C3 adan C4a yang menurun, serta LED meningkat menandakan proses penyakit

pada pasien ini sedang aktif dan berat. Pemeriksaan lain yang cukup bermanfaat untuk melihat

proses penyakit yang sedang aktif adalah nilai C Reactive Protein yang tinggi.

Pemeriksaan serologis untuk deteksi ANA dalam serum penderita SLE dapat dilakukan

dengan beberapa metode, antara lain metode imunofluoresens (direk dan indirek),

immunodiffusion, immunoprecipitation (Farr assay), ELISA dan immunoblotting.Penderita

penyakit SLE cenderung mempunyai ANA dengan titer tinggi. Hasil ANA positif palsu dapat

dijumpai pada penyakit infeksi kronis, seperti endokarditis bakterialis subakut, tuberculosis,

hepatitis dan malaria.

Menurut Tim Reumatologi Rumah Sakit Hasan Sadikin, criteria ACR 1997 mempunyai

sensitivitas 85% dan specifisitas 95% dalam penegakan diagnosis penyakit SLE. Menurut

penelitian Wallach pada tahun 2000, hasil pemeriksaan serologis ANA dan dsDNA positif,

disertai hipokomplemennemia mempunyai arti diagnostic SLE 100%.

18

GAMBAR 5: Algoritme Diagnosis SLE. (Dikutip dari: Gill J et al, ―Diagnosis of

Systemic Lupus Erythematosus‖ American Family Physian 2003, Vol.68:11, pp.2179-

2186.)

19

2.7 Penatalaksanaan

Secara garis besar, penatalaksanaan SLE meliputi penatalaksanaan non farmakologis atau

penatalaksanaan umum dan penatalaksanaan farmakologis seperti berikut:

2.7.1 Penatalaksanaan Umum 1,4,17

Tidak ada terapi untuk menyembuhkan SLE, dan remisi sempurna jarang terjadi,

sehingga dokter sebaiknya merencanakan untuk mengendalikan serangan akut yang berat dan

kemudian mengembangkan strategi untuk menekan gejala pada kadar yang dapat diterima dan

mencegah kerusakan organ. Penatalaksanaan mencakup penatalaksanaan umum dan terapi

konservatif. Bentuk penanganan umum pasien dengan SLE antara lain :

2.7.1.1 Edukasi

Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan penyakit

dengan perjalanan yang kronik. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup memadai tentang

berbagai macan manifestasi klinis yang dapat terjadi, dan derajat keparahan penyakit yang

berbada-beda, sehingga penderita SLE memahami dan dapat mengurangi rasa cemas yang

berlebihan.

2.7.1.2 Kelelahan

Hampir setengah penderita SLE mengeluh kelelahan. Sebelumnya kita harus

mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat sakitnya atau karena penyakit lain yaitu

anemia, demam, infeksi, gangguan hormonal atau komplikasi dari pengobatan dan emotional

stress. Gejala ini merupakan manifestasi yang berhubungan dengan disfungsi sitokin dalam

proses inflamasi sehingga peningkatan keluhan dapat sebagai parameter aktivitas inflamasi.

Upaya mengurangi kelelahan di samping pemberian obat ialah cukup istirahat, batasi aktivitas,

dan mampu mengubah gaya hidup.

2.7.1.3 Merokok

Walaupun prevalensi SLE lebih banyak pada wanita, cukup banyak wanita perokok.

Kebiasaan merokok akan mengurangi oksigenisasi, memperberat fenomena Raynaud yang

disebabkan penyempitan pembuluh darah akibat bahan yang terkandung pada rokok.

20

2.7.1.4 Cuaca

Walaupun di Indonesia tidak ditemukan cuaca yang sangat berbeda dan hanya ada dua

musim, akan tetapi pada sebagian penderita SLE khususnya dengan keluhan artritis sebaiknya

menghindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi proses inflamasi.

2.7.1.5 Stres dan trauma fisik

Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan emosi dan trauma fisik dapat

mempengaruhi sistem imun melalui penurunan respons mitogen limfosit, menurunkan fungsi

sitotoksik limfosit dan menaikkan aktivitas sel NK (Natural Killer). Keadan stress tidak selalu

mempengaruhi aktivasi penyakit, sedangkan trauma fisik dilaporkan tidak berhubungan dengan

aktivasi SLE-nya. Umumnya beberapa peneliti sependapat bahawa stress dan trauma fisik

sebaiknya dikurangi atau dihindari karena keadaan yang prima akan memperbaiki penyakitnya.

2.7.1.6 Diet

Tidak ada diet khusus yang diperlukan pasien SLE. Makanan yang berimbang dapat

memperbaiki kondisi tubuh. Beberapa penelitian melaporkan bahwa minyak ikan yang

mengandung eicosapentanoic acid dan docosahexanoic acid dapat menghambat agregasi

trombosit, leukotrien dan 5-lipoxygenase di sel monosit dan polimorfonuklear. Sedangkan pada

penderita dengan hiperkolesterol perlu pembatasan makanan agar kadar lipid kembali normal.

2.7.1.7 Sinar ultra violet

Seperti diketahui bahwa sinar ultra violet mempunyai tiga gelombang, dua dari tiga

gelombang tersebut (320 dan 400 nm) berperan dalam proses fototoksik. Gelombang ini

terpapar terutama pada pukul 10 pagi sehingga pukul 3 sore, sehingga semua pasien SLE

dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari pada waktu-waktu tersebut.

2.7.1.8 Kontrasepsi oral

Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan memperberat SLE,

akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan membahayakan penyakitnya. Pada penderita SLE

21

yang mengeluh sakit kepala atau tromboflebitis jangan menggunakan obat yang mengandung

estrogen.

2.7.2 Penatalaksanaan Farmakologis

Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi

inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien

menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.

2.7.2.1 NonSteroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID) 3,18

NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik, antiperitik dan antiinflamasi.

Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan arthralgia/arthritis. Aspirin adalah

salah satu yang paling banyak diteliti kegunaannya. Dapat diberikan aspirin 500 mg per oral, 3

kali sehari. Keterbatasan obat ini adalah efek samping pada saluran pencernaan terutama

pendarahan dan ulserasi. NSAID golongan baru, COX2 inhibitor dengan efek samping yang

lebih sedikit diharapkan dapat mengatasi hal ini. Sayang belum ada penelitian mengenai

efektivitasnya pada SLE. Efek samping lain dari NSAID adalah reaksi hipersensitivitas,

gangguan renal, retensi cairan dan meningitis aseptik.

2.7.2.2 Antimalaria 3,4,17,18

Efektivitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi telah lama diketahui,

dan obat ini telah dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk SLE kulit terutama Lupus

Erithematosus Diskoid dan Lupus Erithematosus Kutaneus Subakut. Obat ini bekerja dengan

cara mengganggu pemprosesan antigen di makrofag dan sel penyaji antigen yang lain dengan

meningkatkan pH di dalam vakuola lisosomal. Juga menghambat fagositosis, migrasi neutrofil

dan metabolisme membran fosfolipid. Antimalaria dideposit didalam kulit dan mengabsorbsi

sinar UV. Hidrosiklorokuin menghambat reaksi kulit karena sinar UV. Hidroksiklorokuin juga

dapat menurunkan kadar lipid dan kemungkinan juga bersifat sebagai anti trombotik.

Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia iaitu hidroksiklorokuin (dosis 200 mg 2x per

hari), klorokuin (250 mg per hari) dan kuinarkrin (100 mg 4x per hari). Hidroksiklorokuin lebih

efektif daripada klorokuin, dan efek sampingnya lebih ringan. Efek samping antimalaria yang

paling sering adalah efek pada saluran pencernaan, kembung, mual, dan muntah, timbulnya

22

ruam, toksisitas retina dan toksisitas neurologis. Perlu pemantauan kelainan mata setiap 3 bulan

untuk memantau efek samping antimalaria.

2.7.2.3 Kortikosteroid 4,17,18

Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE. Sediaan

topical atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intraartikuler digunakan untuk arthritis,

sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian peroral dosisnya

bervariasi antara 5 mg-30 mg prednisone atau metil prednisolon per hari, secara tunggal maupun

dosis terbagi, efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan

serositis. Sering kali, kortikosteriod diberikan bersamaan dengan antimalaria atau

imunomodulator dengan tujuan mendapatkan induksi yang cepat kemudian dapat segera

diturunkan dosisnya. Keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi

atau vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan prednisone dosis tinggi, 1-2 mg/kg/hari.

Kortikosteriod parenteral juga dapat digunakan dengan dosis sesuai ekuivalennya. Pada keadaan

sangat berat yang mengancam jiwa, bolus metilprednisolone 1000 mg dapat digunakan selama 3

hari berturut-turut.

Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian kortikosteroid yang lama antara lain habitus

cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirtutism,

percepatan osteoporosis, osteonekrosis, katarak, glaucoma, diabetes mellitus, miopati,

hipokalemia, menstruasi tidak teratur, iritabilitas, insomnia dan psikosis. Oleh itu, setelah

aktivitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus segera diturunkan. Prednisone dengan

dosis 15 mg/hari diberikan pada pagi hari tidak menekan aksis hipotalamik hipofise dan ini dapat

meminimalisasi beberapa efek samping. Untuk meminimalkan efek samping osteoporosis, dapat

diberikan suplemen kalsium 1000 mg/hari dan vitamin D 50,000 unit 1-3 kali seminggu. Dalam

mencegah osteoporosis dapat juga diberikan calcitonin dan bisfosfonat.

2.7.2.4 Terapi Imunomodulator 3,4

2.7.2.4.1 Cyclophosphamide

Cyclophosphamide merupakan obat pada gangguan system organ yang berat, terutama

lupus nephritis. Pengobatan dengan kortikosteroid dan cyclosphosphamide bolus intravena 0,5-

1,0 g/mm2 lebih efektif disbanding hanya kortikosteriod saja dalam pencegahan sequel ginjal,

23

mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Menurut WHO dengan evidence

base tingkat 4, respon paling baik adalah pada lupus nefritis difus proliferative. Manifestasi

nonrenal yang efektif dengan cyclophosphamide adalah pada sitopenia, kelainan system saraf

pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.

Pemberian peroral dengan dosis 1,0-1,5 mg/kg dapat ditingkatkan sampai 2,5-3,0 mg/kg

dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit >3500/mm

3. Monitoring jumlah leukosit

dievaluasi setiap 2 minggu.

Mual dan muntah merupakan efek samping yang sering terjadi. Rambut rontok kadang

kala ditemukan dan gejala ini menghilang jika obat dihentikan. Leukopenia yang bersifat dose

dependent biasanya timbul 8-12 hari setelah pengobatan. Perlu dilakukan penyesuaian dosis

dengan jumlah leukosit. Juga terdapat resiko terjadinya infeksi bakteri, jamur dan virus terutama

herpes zoster. Efek samping pada gonad dapat menyebabkan kegagalan fungsi ovarium dan

azoospermia.

Acrolein merupakan produk metabolic dari cyclophosphamide yang dapat menyebabkan

iritasi vesika urinaria dan mengakibatkan terjadinya sistitis hemoragik, fibrosis dan karsinoma

sel skuamosa transitional pada penggunaan jangka panjang. Pada pemberian cyclophosphamide

bolus intravena diberikan hidrasi yang adekuat dan Mesna sebagai pengikat acrolein dengan

dosis 20% dari total dosis cyclophosphamide. Pemeriksaan rutin untuk deteksi karsinoma vesika

urinaria juga perlu dilakukan.

2.7.2.4.2 Mycophenolate mofetil (MMF)

MMF merupakan inhibitor reversible inosine monophosphate dehydrogenase, suatu

enzim yang penting untuk sintesis purine. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan sel T dan

mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF merupakan pengobatan yang efektif terhadap lupus

nefritis. MMF dapat mengurangkan proteinuria dan memperbaiki serum kreatinin pada penderita

SLE dan nefritis yang resisten dengan cyclophosphamide. Efek samping MMF pada umumnya

adalah leucopenia, nausea dan diare. MMF diberikan dengan dosis antara 500-1000 mg, 2 kali

per hari.

24

2.7.2.4.3 Azathioprine

Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan

mempengaruhi fungsi immune seluler dan humoral. Pada Sle, obat ini digunakan sebagai

alternative cyclophosphamide untuk pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid sparing agent

untuk manofestasi nonrenal. Azathioprine diindikasikan untuk miositis dan sinovitis yang

refrakter. Pemberian dimulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dinaikan dengan interval

waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3,0 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm3

dan neutrofil > 1000/mm3.

Efek samping yang biasa terjadi adalah pada sumsum tulang dan efek samping

gastrointestinal. Oleh karena dimetabolisme di hati dan eksresinya di ginjal, fungsi hati dan

ginjal harus diperiksa secara periodic. Penyesuaian dosis diperlukan pada gangguan fungsi hati

dan ginjal. Azathioprine juga sering dihubungkan dengan hipersensifitas dengan manifestasi

demam, rash di kulit dan peningkatan serum tranaminase. Keluhan biasanya bersifat reversible

dan menghilang setelah obat dihentikan. Peningkatan resiko terjadinya keganasan, seperti

limfoma non Hodgkin pernah dilaporkan pada penderita SLE yang mendapat azathioprine.

2.7.2.4.3 Leflunomide

Leflunomide merupakan suatu inhibitor sintesis pirimidin yang digunakan pada

pengobatan rheumatoid arthritis. Leflunomide bermanfaat pada pasien SLE yang mulai

ketergantungan steroid. Pemberiannya dimulai dengan loading dose 100 mg/hari untuk 3 hari,

kemudian diikuti dengan dosis 20 mg/hari.

2.7.2.4.4 Methotrexate

Methotrexate merupakan analog asam folat yang dapat mengikat dehidrofolat reduktase,

memblok pembentukan DNA, dan menghambat sintesis purin. Pada terapi SLE, digunakan dosis

15-20 mg secara oral satu kali seminggu. Methotrexate terbukti efektif terutama untuk keluhan

kulit dan sendi. Efek samping methotrexate antara lain adalah peningkatan serum transaminase,

keluhan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer.

25

2.7.2.4.5 Cyclosporine

Cyclosporine terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma

nefrotik yang refrakter. Dosis 2,5-5,0 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan

menimbulkan perbaikan nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi seperti C3,

C4 dan anti-ds DNA serta aktivitas penyakit. Efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi,

hyperplasia gingival, hipertrichosis dan peningkatan serum kreatinin.

2.7.2.5 Agen Biologis 3,4

Perkembangan terapi terakhir telah memusatkan perhatian terhadap fungsi sel B dalam

mengambil autoantigen dan mempresentasikannya melalui immunoglobulin spesifik terhadap sel

T di permukaan sel yang selanjutnya akan mempengaruhi respon imun dependen sel T. Anti CD

20 adalah suatu antibody monoclonal chimeric yang melawan reseptor DC 20 yang

dipresentasikan sel B limfosit. Anti CD 20 atau Rituximab memiliki potensi terapi untuk SLE

yang refrakter, antara lain pada system saraf sentral, renal, vaskulitis dan gangguan hematologic.

LJP 394 atau Abetimus sodium dapat mencegah rekurensi flare renal pada pasien nefritis dengan

mengurangi antibody terhadap dsDNA melalui toleransi spesifik antigen secara selektif.

Substansi ini merupakan suatu senyawa sintetik yang terdiri dari rangkaian deoxyribonukleotida

yang terikat pada rangka trietilen glikol. Stimulator limfosit B atau BlyS merupakan bagian dari

keluarga tumor necrosis factor (TNF) cytokine yang mempresentasikan sel B. LymphoStatB

merupakan antibody monoclonal human terhadap BlyS.

2.7.2.6 Terapi Hormon 4

Bromocriptine secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi prolaktin

terbukti bermanfaat mengurangi aktivitas penyakit SLE. Dehydroepiandrosterone (DHEA)

bermanfaat untuk SLE dengan aktivitas ringan dan sedang. Danazole, sejenis sintetik

kortikosteroid dengan dosis 400-1200 mg/hari bermanfaat untuk mengkontrol sitopenia

autoimmune terutama trombositopenia dan anemia hemolitik. Terapi estrogen pengganti

(Estrogen Replacement Therapy) dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien menopause.

26

2.7.2.7 Terapi Lain 4

Thalidomide dapat digunakan untuk pengobatan lupus discoid dengan dosis maintenance

25-50 mg/hari. Thalidomide dapat menginduksi remisi partial sebanyak 30% dan remisi lengkap

sebanyak 60%. Thalidomide berguna pada kasus lupus discoid yang refrakter dengan

kortikosteroid dan antimalaria. Neuropati perifer dapat terjadi pada penggunaaan thalidomide

dan obat ini tidak boleh digunakan pada kehamilan karena efek teratogeniknya.

Dapsone merupakan suatu sulfone yang efektif untuk mengatasi beberapa kelainan kulit

termasuk lupus discoid. Retinoid yang memiliki efek anti inflamasi dan immunosuppressive

telah digunakan luas baik secara oral maupun topical untuk pengobatan lupus cutaneous yang

kronis.

Immunoglobulin intravena (IVIgG) adalah immunomodulator dengan mekanisme kerja

yang luas, meliputi blockade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti

immunosuppressant, IVIgG tidak mempunyai efek meningkatkan resiko terjadinya infeksi.

Dengan dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut terjadi perbaikan trombositopenia,

arthritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang

terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala, arthralgia, dan kadang meningitis aseptika.

Kontraindikasinya adalah penderita SLE yang disertai defisiensi IgA.

2.8 Follow Up 4

Apabila diagnosis SLE telah dibuat, maka penting untuk menentukan beratnya serta

potensi reversibilitas penyakit dan kemungkinan pengobatannya. Tidak ada istilah sembuh untuk

penyakit SLE, dan jarang didapatkan remisi sempurna yang bertahan lama. Dalam pengelolaan

SLE, penting untuk ditentukan apakah kondisinya mengancan jiwa, atau mungkin untuk

menimbulkan kerusakan organ, di mana keadaan tersebut memerlukan terapi yang agresif. Juga

penting untuk ditentukan apakah manifestasi penyakit SLE tersebut berpotensi reversible dan

bagaimana upaya terbaik untuk mencegah komplikasi penyakit tersebut dan pengelolaannya.

Dalam monitoring aktivitas penyakit SLE, dapat digunakan MEX LESDAI Score.

27

TABEL 3: MEX LESDAI Score. (Dikutip dari: Tim Reumatologi RS Dr. Hasan Sadikin,

―Diagnosis dan Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik‖ Bandung 2007.)

28

2.9 Komplikasi 19

Komplikasi yang terjadi pada penyakit SLE bisa terjadi akibat penyakitnya sendiri atau

komplikasi dari pengobatannya. Komplikasi akibat penyakit SLE sendiri yang paling sering

terjadi adalah infeksi sekunder karena system immune penderita yang immunocompromised.

Selain itu, sering juga terjadi komplikasi penyakit aterosklerosis akibat peningkatan

antiphospholidip antibody.

Komplikasi akibat pengobatan SLE adalah infeksi oportunistik akibat terapi

imunosupresan jangka panjang, osteonekrosis, dan penyakit aterosklerosis dan infark miokard

prematur.

2.10 Prognosis 3

Prognosis dari perjalanan penyakit SLE bervariasi. Sebelum steroid ditemukan, 52%

penderita meninggal dalam 2 tahun dan sisanya bertahan sampai 11 tahun. Pada tahun 1977, 91%

penderita dilaporkan hidup hingga 5 tahun. Sekarang, 75% penderita mampu hidup hingga 15

tahun dan lebih dari 90% dilaporkan hidup hingga 10 tahun. Prognosis penderita tergantung dari

organ-organ yang terkena. Keterlibatan organ ginjal dan sistem saraf pusat memberikan

prognosis yang buruk. 84% penderita tanpa kelainan pada ginjal mampu bertahan hidup

hingga 15 tahun dibandingkan dengan penderita yang mengalami kelainan (57%). Penderita

yang mengalami remisi spontan sebanyak 35% dapat hidup hingga 20 tahun. Prognosis yang

lebih baik pada penderita tidak hanya karena pemberian kortikosteroid, tetapi juga karena

adanya penegakan diagnosis yang dini.

Penyebab kematian pada penderita biasanya disebabkan karena kerusakan ginjal yang

parah, bronchopneumonia, atau peritonitis spontan yang merupakan komplikasi dari lupus

nephritis yang dapat diterapi dengan kortiosteroid. Selain itu, dapat juga terjadi karena

vaskulitis pada sistem saraf pusat yang muncul dengan kejang, psikosis dan paralisis pada

penderita. Penderita yang meninggal awal, biasanya terjadi pada fase aktif dari lupus

erythematosus disertai kelainan pada organ ginjal, menerima dosis tinggi dari steroid, serta

mempunyai insidens yang tinggi untuk penyakit infeksi. Sedang pada penderita yang

meninggal belakangan mempunyai angka insiden yang tinggi karena atherosclerotic heart

disease dan infarct myocardial. Walaupun penyakit ini lebih sering terjadi pada perempuan,

namun prognosisnya lebih buruk pada penderita laki-laki.