Syarifudin, jurnalistik islami
-
Upload
syarifudin-amq -
Category
Documents
-
view
166 -
download
12
Embed Size (px)
Transcript of Syarifudin, jurnalistik islami

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 1

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 2
JURNALISTIK ISLAMI
(Pendekatan Dakwah dan Komunikasi)

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 3
Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2002 Tentang hak Cipta Lingkup Hak Cipta.
Pasal 2; 1. Hak cipta merupakan hak ekslusif bagi pencipta dan pemegang
hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis adalah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana.
Pasal 72; 1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipinana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/ataudenda paling sedikit 1000.000 (satujuta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5000.000. (limajuta rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengajamenyiarkan, memamerkan, dan mengedarkanatau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksudkan pada ayat 1 (satu) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000. (limaratus juta rupiah)
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 4
Arman Man Arfa dan Syarifudin
JURNALISTIK DAN JURNALISTIK ISLAMI (Pendekatan Dakwah dan Komunikasi)
Vii + 133 hlm, 14 X 21
Pangantar; Dr. Hasbollah Toisuta, M.Ag Editor; Syarifudin, Iskar Bone. Arman Man Arfa. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang All rights reserved Cetakan. I Desain Cover dan Layout Tim Kreatif Al-Mulk Publishing ISBN: ………………….. Isi di luar Tanggung Jawab percetakan

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 5
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah S.W.T atas
berkat, rahmat dan ridha-Nya, penulis dapat menyelesaikan buku
yang berjudul: ‚desain grafis Jurnalistik dan Jurnalistik Islami‛
(Pendekatan Dakwah dan Komunikasi). Pertanyaan yang muncul
apa konten buku ini bagi pembaca? Buku ini ditujukan bagi
pencinta, pelajar, dan penggermar dunia desain grafis.
Buku ini berusaha untuk mendeskripsikan tentang Jurnalistik dan Jurnalistik Islami(Pendekatan Dakwah dan Komunikasi).
Dalam mempelajari desain grafis bagi mahasiswa dan praktisi
Jurnalistik dan Jurnalistik Islami yang akan mengeksplorasi, Ide
dan gagasan politik, ekonomi, budaya, dan pesan agama.
Mendesain koran, majalah, buku, dan foto adalah pekerjaan desain
grafis untuk meningkatkan pencitraan terhadap pesan yang akan
disampikan di tengah masyarakat.
Karena kekuarangan referensi tentang Jurnalistik dan Jurnalistik Islami (Pendekatan Dakwah dan Komunikasi) di
perguruan Tinggi buku ini hadir dihadapan anda untuk
memberikan tambahan referensi bagi mahasiswa, peneliti, dan
praktisi Jurnalistik dan Jurnalistik Islami. Buku Jurnalistik dan Jurnalistik Islami ini mengupas
tuntas mengenai tradisi akademik jurnalis dan jurnalis Islami.
Buku ini sebagai panduan buat mahasiswa dan praktisi Jurnalistik dan Jurnalistik Islami dalam melakukan penulisan berita. Buku
ini sebagai pembobotan mata kuliah Jurnalistik dan Jurnalistik Islami bagi mahasiswa fakultas Dakwah dan Ushuluddin serta
praktisi Jurnalistik dan Jurnalistik Islami.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 6
Kemampuan menulis ide dan gagasan yang baik dari data
dan fakta dari seorang narasumber yang kredibel dalam
mengabadikan, merekam moumen penting dalam bentuk narasi.
Mahasiswa dan masyarakat umum yang ingin menekuni dunia
Jurnalistik dan Jurnalistik Islami, buku ini juga dapat menuntun
untuk menjadi Jurnalis profesional.
Penulis
Syarifudin

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 7
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................ii
BAGIAN PERTAMA
1. Latar Belakang ..................................................................... 1
2. Ruang lingkup kajian............................................................ 7
a. Histografi Jurnalistik ....................................................
b. Jurnalistik Islami ............................................................
c. Kelebihan dan Kekurangnya ...........................................
BAGIAN KEDUA
1. Pengertian Jurnalistik dan Jurnalistik Islami .................. 8
2. Paradigma Jurnalistik dan Jurnalistik Islami ................ 20
3. Teori-teori Jurnalistik dan Jurnalistik Islami ....................
4. Kode Etik jurnalistik dan Jurnalis Islami .........................
5. Jurnalis Islami.......................................................................
a. Visi dan Misi Jurnalistik Islami ...................................
b. Warmusi (Wartawan Muslim Indonesia) ..................
c. Anggaran dasar ..............................................................
d. Panduan Jurnalistik Islami ...............................................

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 8
BAGIAN KETIGA
1. Jurnalistik dan Jurnalistik Islami ................................. 120
2. Outline Pembelajaran ....................................................... 126
3. Pustaka ............................................................................. 129
4. Dafatr Riyawat Hidup ............................................................
BAB I
JURNALITIK DAN JURNALITIK ISLAMI
A. Pendahuluan
Tradisi epistemology keilmuan antara jurnalistik dan
jurnalistik Islami sampai saat ini masih terjadi pedebatan
akademik baik secara ontologism, epistemologis, dan aksiologis.
Perdebatan ini terjadi dilatarbelakangi oleh prinsip Aqidah,
Syari’ah, dan Ahklak dalam menyebarkan informasi. Tradisi
Eropa dalam mendesain keilmuannya lebih menonjolkan
kecerdasan intelektual yang berasal dari kekuatan akal yang
rasional dalam memenuhi kebutuhan hidup, sedangkan tradisi

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 9
keilmuan Timur Tengah berasal dari prinsip-prinsip ajaran dari
Rasulullah saw sebagai panduan dalam menata paradigm
keilmuan.
Kedua tradisi keilmuan ini masih belum mendapatkan titik
temu yang integratif sehingga perlu ada kajian baru dalam untuk
mengadabtasikan kedua pemikiran tersebut sehingga lahirlah ilmu
jurnalistik yang dapat menintegrasikan kedua perspektif keilmuan
tersebut untuk mendapatkan buah ilmu yang lebih banyak
memberikan kemaslahatan umat manusia.
Jurnalistik adalah sebuah pekerjaan menggali, mengasah,
mengolah informasi dan menyebarkannya di tengah masyarakat.
Kaintannya dengan jurnalistik Islami melalui pendekatan dakwah
dan komuniaksi kemasan informasi itu lebih menekankan pada
pembentukan civil society yang berakhlaq sehingga mampu
melahirkan peradaban yang dapat memacu kreativitas manusia
untuk membuat peradaban dunia sebagai media untuk menajga
ketertiban lingkungan keluarga, masyarakat dan lingkungan
sekolah. Ketiga lingkungan inilah yang perlu dirawat melalui
pesan-pesan dari seorang jurnalis untuk menciptakan kondisi
masyarakat dan bang yang lebih berperadaban. Masyarakat yang
berperadaban yang dimaksudkan adalah masyarakat yang memiliki

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 10
tiga kecederungan yaitu keseimbangan pola penataan hidup
sejahterah di dunia dan di akhirat.
Kajian jurnalistik dakwah merupakan pengembangan dari
Komunikasi Penyiaran Islam (KPI). Jalaluddin Rahmad,
Jurnalistik itu adalah pengembangan dari ilmu dakwah dan
komuniaksi.1 Sebagai perbandingan, perlu dibahas terlebih dahulu
perkembangan kajian ilmu dakwah dan komunikasi. Sebagai
sebuah disiplin ilmu, ilmu dakwah dan komunikasi tidaklah
bersifat statis, bahkan terus mengalami perkembangan, baik
menyangkut metodologi, sistematika, teori, maupun praktik.
Menurut Sukriadi Sambas, ilmu dakwah telah berkembang
menjadi 5 cabang keilmuan, yaitu: Ilmu Dakwah, Bimbingan
Penyuluhan (BP), Pemberdayaan Masyarakat Islam (PMI),
Manajemen Dakwah, Jurnalistik Dakwah,2 dan Komunikasi
Penyiaran Islam.3 Selain itu pengembangan yang dilakukan oleh
1Sattu Alang, dosen tetap pada fakultas Dakwah dan Komunikasi
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar dan sekarang menjabat sebagai
Ketua LPM UIN Alauddin Makassar.
2Acep Arifuddin, Pengembangan Metode Dakwah (Cet. I; Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2011), h. 1.
3Sukriadi Sambas, Dimensi Imu Dakwah: Tinjauan Dakwah dari Aspek
Ontologis, Epistemologis, Aksiologis dan Paradigma Pengembangan
Profesionalisme (Cet. I; Bandung: Widya Padjadjaran, 209), h. 132-133.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 11
Syarifudin dalam rumpun ilmu dakwah adalah ilmu teknologi
informasi dakwah.
Pekerja jurnalis melalui boradcasting membutuhkan
teknologi seperti komputer grafis untuk mengolah berita agar lebih
komunikatif. Praktisi jurnalis perlu menggunakan teknologi
informasi untuk memenuhi kebutuhan mad’u yang terus berubah
dan berkembang. Hal ini juga sesuai dengan teori use and
grafitication yang dikembangkan oleh Steven Windhal, yang
menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan rasional
(selektif) dalam menerima informasi.4 Karena manusia memiliki
kebutuhan secara personal tentang informasi dakwah peran
teknologi informasi dakwah untuk mengolah, mengemas sesuai
kebutuhan mad’u di tengah masyarakat.
Sementara itu, dalam bidang ilmu komunikasi, teori yang
paling banyak digunakan di berbagai perjurnalis Islamian tinggi
dunia adalah teori Robert T. Craig dan Muller, yang memetakan
kajian komunikasi ke dalam tujuh tradisi keilmuan, yaitu: retorika,
semiotika, fenomenologi, sibernetika, sosio-psikologis, sosio-
kultural, dan kritikal. Tiga puluh tahun sebelumnnya, Fisher
mengajukan empat perspektif dalam ilmu komunikasi, yaitu:
4Ibid

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 12
mekanistik, psikologis, interaksional, dan pragmatis.5 Semua
perkembangan ini menunjukkan bahwa dinamika keilmuan
dakwah dan komunikasi terus bergerak maju sesuai dengan
perkembangan zaman dan inovasi teknologi. Untuk memastikan
bahwa pesan-pesan keagamaan dapat dicerna oleh mad’u,
dibutuhkan strategi dalam mendesain materi dakwah lewat
software dan hardware yang sesuai dengan daya nalar dan
psikologi mad’u.
Pandangan ini sesuai dengan riset yang dihasilkan oleh
Beighley. Beighley membandingkan efek dari pesan jurnalis yang
tersusun secara sistematis dan pesan yang secara sistematis
melalui rekayasa digital komputer grafis. Riset tersebut
menyimpulkan bahwa pesan yang didesain secara sistematis
dengan menggunakan teknologi komputer grafis akan lebih mudah
dicerna oleh komunikan dibanding pesan yang tidak disusun secara
sistematis.6 Dengan kata lain, riset ilmiah ini menekankan
pentingnya jurnalis memiliki kompetensi penggunaan teknologi
informasi dakwah dan pendekatan komunikasi empati,
5DeFleur dan Melvin, Theories of Mass Communication: 5th Edition
(New York: Logman, 1989), dalam Ibnu Ahmad, Komunikasi Sebagai Wacana
(Cet I; La Tofi Enterprise, 2010), h. 4.
6Ibid

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 13
partisipatori, dan komunikasi persuasif sesuai model-model
komunikasi dan level dakwah.
Dari segi pengelolaan pesan dakwah, terdapat satu
pendekatan komunikasi yang dapat melengkapi empat perspektif
yang telah dikenal selama ini (transmisionis, display, generating of
meaning, dan komunikasi ritual), yaitu, sistem informasi dakwah.7
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rahmat mengistilahkannya
Komunikasi Transendental, yakni, model komunikasi yang
menjadikan wahyu sebagai sumber informasi. Dengan demikian,
kajian tentang sistem informasi dakwah merupakan
pengembangan dari Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) dan
Manajemen Dakwah. Melalui disiplin Komunikasi Penyiaran Islam
inilah lahir kajian dakwah yang lebih menekankan pada
kredibilitas jurnalis Islami, pendekatan komunikasi empati dan
partisipatoris dengan menggunakan teknologi informasi.
7Ibid.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 14
BAB II
PARADIGMA JURNALISTIK
A. Jurnalistik.
1. Histografi Bahasa Lisan ke tulisan
Perpanjangan kebutuhan manusia lewat komunikasi sebagai
wadah untuk membahasakan dan mengkomunikasikan
kebutuhannya sangtat bervariasi dalam proses penyebaran dalam
publikasi. Proses awalnya manusia menyampaikan kebutuhannya
lewat simbol, icon, indeks, dan pentongan yang digunakan sebagai
media transformasi pesan keapda sesama umat manusia untuk

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 15
melakukan sebuah hajat sebagai makhluk sosial.8 Kemampuan
manusia ini terus berkembangan akibat karunia besar yang
diberikan Tuhan adalah akal sebagai dinamika dalam melakukan
interaksi sosial yang dilakukan secara verbal maupun non verbal
atau dalam bahasa komunikasi Islami bi al-Lisan, bi al-Qalam, dan
bi al-Hal.
Lompatan perubahan berikutnya terjadi saat manusia
mengenal bahasa tulisan sebagai tanda manusia telah masuk pada
zaman sejarah. Format bahasa tulis ini mulai diekspresikan melalui
batu, tanah, daun lontar, kulit hewan, kain sebagai wadah
menyampaikan aspirasi, dan inspirasi. Media ini digunakan
sebagai transformasi pesan kepada orang lain. Perkembangan ini
terus meningkat sehingga satelit menjadi pusat penyebaran
informasi yang diekamsa dalam berbagai macam cerita, gambar,
suara, dan penataan teks yang jah lebih baik dari sebelumnya.
Perubahan besar jurnalistik saat bangsa Cina menemukan kertas
pada abad ke II masehi sehingga aktifitas kegiatan jurnalistik yang
sifatnya informatif. Kesecerdsan manusia inilah yang membedakan
dia sebagai makhluk yang paripurna.
8Melvin L and Rokeach Fe Fleur, Theori Mass Communication (Ney
York: t. p. 1983), h. 37

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 16
Kini, jurnalistik telah melewati sejarah yang panjang dan
temuan-temuan secara teknikpun terus berganti untuk
mendapatkan cara menyebarkan informasi melalui kegiatan
jurnalistik terus mengalami perubahan besar. Istilah jurnalistik ini
pertama kali digunakan oleh bangsa Romawi membentuk lembaga
jurnalistik bernama ‚acta diurna‛ sebagai produk jurnalistik
pertama ketika Kaisar Julius berkuasa. Semua kegiatan Kaisar
Julius ini dipubliaksikan melalui media kulit sebagai kertasnya dan
kayu sebagai tintanya.
Dalam perkembangan selanjutnya kegiatan jurnalistik
digunakan sebagai saran untuk menyampaikan pesan kepada
khalayak secara missal, sehingga timbullah istilah komunikasi
massa. Perubahan kegiatan jurnalistik terus berkembangan
sehingga bukan saja menginformasikan tetapi digunakan sebagai
media untuk mendidik, mempengaruhi, mengiformasikan, dan
membuat opini public. Pada abad ke 16 media jurnalistik mulai
bermunculan di Inggris bernama Courante Braden di Inggris terbit
jurnal Gazzettes dan di Jerman muncul Courantos. Disesebut di
Indonesia sebagai Koran atau dalam bahasa Arab sebagai Qur’an.
Dalam sejarah pers surat kabar terua adalah Notize Scritte di
Venesia yang terbit pada tahun 1566, dan majalah yang pertama

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 17
diterbitkan adalah Gantlemen Megazine pada tahun 1731 di
London.
Histografi jurnalistik tersebut merupakan aktifitas
menyampaikan kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder
manusia dalam mempertahankan hidupnya dan melakukan
interaksi sosial khususnya seputar kegiatan penertbitan tulisan
dalam berbagai bentuk sebagai ekspresi yang dituangkan sesuai
tingkat intelektual yang ada pada masa itu. Tentunya kecepatan
perubahan jurnalistik sampai saat talah mengalami perkembangan
yang cukup pesa dengan ditemukannya teknologi informasi,
dakwah dan komuniaksi sebagai media penyampai informasi mulai
dari produk analog sampai produk teknologi canggih dalam
menyebarkan informasi di tengah masyarakat.
2. Pengertian Jurnalistik
Istilah jurnalistik erat kaitannya dengan pers dan komunikasi
massa. Kadang istilah ini terjadi perbedaan pemaknaan sehingga
penting dijelaskan apa makan yang telah disepakti secara
akademik terhadap istilah tersebut. Jurnalistik berasal dari bahasa
perancis dari kata jounal, di urnal, atau du jour catatan atau berita

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 18
harian.9 Dari berbagai literature telah banyak memberikan makna
tetapi jika disimpulkan secara umum jurnalistik memiliki
pengertian penggalian, pengolahan harian yang diporsesn dan
dikemas menjadi pesan bagi kebutuhan khalayak.
Acta Diurna sebuah bulletin yang ditulis tangan dan berisi
ulasan kejadian sehari-hari di masyarakat. Acta Diurna terbit di
Romawi Kuno, dan menjadi cikal bakal surat kabar. Istilah
munculnya kata jurnalisme bisa ditelusuri pada zaman
pemerintahan Julius Caesar (100-22 SM) di Romawi kuno. Pada
waktu pemerintahannya, ada beberapa perangkat negara seperti
tentara, polisi, aparat pemerintahan dan Dewan Perwakilan
Politik. Sebagai seorang pemimpin, Caesar menyadari bahwa
setiap keputusan yang diambilnya sebisa mungkin bisa diketahui
masyarakat. Maka, pengumuman-pengumuman yang berkaitan
dengan kebijakan kenegaraan juga harus sesegera mungkin
diketahui rakyatnya secara luas dalam waktu singkat.10
9Zaniurrofiq et. Al. Mengenal dunia Jurnalistik (Kairo, Tim Jurnalis
Mahasiswa Kairo, 1997). Dalam buku Suf Kasman, Jurnalisme Universal:
Menelusuri Prinsip-prinsip dakwah bi al-Qalam dalam Al-Quran (Cet. I.
Bandung: Teraju, 2004), h. 22
10Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, (Cet. RajaGrafindo Persada: Jakarta,
2009), h. 2

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 19
Seperti yang telah diungkapkan dimuka, jurnalisme dari
kata jurnalistik berasal dari jurnal, artinya catatan harian. Dari
perkataan itulah lahir kata jurnalis, yaitu orang yang melakukan
pekerjaan jurnalistik.
MacDougall menyebutkan bahwa jurnalisme adalah
kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan
peristiwa. Jurnalisme sangat penting dimanapun dan kapanpun.
Jurnalisme sangat diperlukan dalam suatu negara demokratis. Tak
dapat dibayangkan, akan pernah ada saatnya ketika tiada seorang
pun yang fungsinya mencari berita tentang peristiwa yang terjadi
dan menyampaikan berita tersebut kepada khalayak ramai untuk
diketahui, dibarengi dengan penjelasan tentang peristiwa itu.11
Dalam perkembangan jurnalistik selanjutnya, kegiatan
jurnalistik adalah kegiatan mengumpulkan, menyiapkan,
menuliskan, dan menyebarkan informasi melalui media massa.
Berikut ini beberapa ahli memberikan definisi tentang pengertian
jurnalistik.
11Hikmat Kusumaningrat & Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik Teori
dan Praktek, (Cet.II Remaja Rosdakarya: Bandung, 2006), h. 15

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 20
1. Syekh Ali Mahfuz; Proses penyampaian berita untuk
membentuk watak masyarakat tahan terhadap gempa
perubahan sosial.
2. Berikut ini skema kerja Jurnalis.
A. Kompetensi Jurnalis
1. Kredibilitas Jurnalis
Tak dapat dipungkiri teknologi informasi sebagai media
untuk mendesain berita adalah faslitas primer dalam dunia
Jurnalistik. Pengertian source credibity dalam kamus besar
Bahasa Indonesia (KBBI), kredibilitas berarti perihal dapat
dipercaya, mempengaruhi di mata umum.12
Sebagai ilustrasi,
tingkat kredibilitas perbankan atau sebuah bank menentukan
apakah nasabah akan menabung di bank tersebut atau tidak.
Pengertian ini juga relevan dengan tradisi yang dikenal dalam ilmu
hadis, yang mengharuskan seorang perawi tsiqah, adil dan
dhabith.13
12Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Bahasa, 2009), h. 818.
13Abdul al-Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Ibrahim Abdul latif, Dawa>bit} al-
Ja>rh wa al-Ta'dil (Saudi Arabia, al-Madinah al-Munawwarah, 1381), h. 136.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 21
Salah satu makna dari kata s{iqah adalah dapat dipercaya.
Kesiqahan perawi yang dikenal dalam ilmu hadis tersebut sejalan
dengan konsep yang diperkenalkan oleh Jalaluddin Rahmat, bahwa
kredibilitas adalah seperangkat persepsi tentang sifat-sifat baik
dari seorang komunikator.14
Oleh karena itu, seorang jurnalis
Islami profesional harus memiliki kredibilitas yang tinggi. Jika
jurnalis Islami memiliki kredibilitas (dapat dipercaya) di mata
mad'u, maka aplikasi ajaran-ajaran agama yang disampaikannya
bisa berjalan efektif.
Kredibilitas jurnalis Islami mempunyai peran strategis dalam
mentransformasikan pesan-pesan agama Islam melalui teknologi
informasi dakwah di tengah masyarakat.15
Menurut Thomas
Hobbes dan H.E. King, yang dikutip oleh Jalaluddin Rahmat,
seorang komunikator yang credible dapat berpengaruh pada dan
mengubah pola pikir, kejiwaan dan perilaku mad’u dengan
menggunakan bahasa.16
Menurut Sattu Alang, dari sudut pandang
14Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi: Edisi Revisi (Cet. XXII;
PT. Remaja Rosdakarya, 2005), h. 257.
15A. Zuad MZ dan Muhammad Sidiq, Mutiara Al-Quran: Sorotan Al-
Quran Terhadap Berbagai Teknologi Modern (Cet. I; Surabaya, Sarana Ilmiah
Press, 1998), h. 142.
16op. cit., Jalaluddin Rakhmat

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 22
keilmuan, perlu ada pembedaan mendasar antara kompetensi
dalam bidang ilmu pendidikan Islam dan ilmu dakwah.17
Menurut
penulis, hal ini sangat mendasar mengingat perlunya membedakan
antara kompetensi seorang jurnalis Islami yang profesional.
Menurut Webster, Jurnalis profesionalisme adalah pekerjaan
yang dijalankan sesuai dengan keahlian. Profesionalisme menurut
Undang-Undang PERS RI Nomor: 11 tahun 2005 tentang
profesionalisme pers adalah: pekerjaan atau kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan yang
menekankan pada keahlian, kemahiran, kecakapan, dan memenuhi
standar mutu dan norma sebagai pendidik profesional. Menurut
Nana Sujana, profesi adalah suatu keahlian (skill) dan kewenangan
jabatan yang mensyaratkan kompetensi khusus yang diperoleh
melalui pendidikan intensif.18
Baik jurnalis Islami maupun jurnalis
Islami profesional memiliki cara dan tujuan yang sama, meskipun
bergerak di bidang dan medan yang berbeda. Perbedaan inilah
yang menuntut kompetensi yang berbeda pula. Menurut Nasir
17H.M. Sattu Alang, Dosen Tetap Pada Fakultas Dakwah dan
Komunikasi Universitas Negeri Alauddin Makassar dan sekarang menjabat
sebagai Ketua LPM UIN Alauddin Makassar.
18Kunandar, Guru Profesionalisme: Implementasi Kurikulum Satuan
Tingkat Pelajaran (KTSP) dan Kesiapan Menghadapi Sertifikasi Guru (Cet. I;
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 45.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 23
Mahmud, kompetensi dalam bidang pendidikan Islam menekankan
pada perubahan dan pematangan fisik dan psikis manusia, karena
pematangan itu dapat mendewasakan seseorang.
Berdasarkan pendapat Natsir Mahmud tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pendidikan Islam dan dakwah bergerak di
medan yang berbeda dan karena itu membutuhkan ilmu bantu
yang berbeda pula. Dengan kata lain, kompetensi yang harus
dimiliki oleh seorang jurnalis Islami.
berbeda dengan kompetensi yang harus dimiliki oleh
seorang da’i. Ilmu dakwah memberi penekanan pada perubahan
massal meskipun tidak mengabaikan perubahan individual. Oleh
karena itu, ilmu dakwah membutuhkan ilmu-ilmu bantu seperti
psikologi massa, sosiologi, ilmu budaya, dan ilmu komunikasi.
Sementara pendidikan Islam membutuhkan ilmu bantu seperti
ilmu psikologi perkembangan. Namun demikian, secara umum,
keduanya disatukan oleh sumber referensi yang sama, yaitu, al-
Qur’an dan Sunnah. Menurut Natsir Mahmud, ilmu dakwah
bersumber dari etika, moral, akhlaq (nilai normatif, termasuk nilai
keagamaan), heuristic.19
19Natsir Mahmud, Bunga Rampai Epistemologi dan Metode Studi Islam
(IAIN Ujung Pandang: 1998), h. 38-39

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 24
Menurut penulis, kriteria kompetensi jurnalis Islami profesional di
atas hanya berdimensi dialektis-empiris, dan belum memasukkan
dimensi-dimensi lain seperti keyakinan, pengabdian, dan sosial.
Oleh karena itu, dapat asumsikan bahwa tidak setiap jurnalis
Islami bisa berperan sebagai jurnalis Islami, tapi setiap jurnalis
Islami sangat berpotensi menjadi seorang jurnalis Islami. Atas
dasar inilah sehingga perlu indikator sebagai jurnalis Islami
profesional. Kiteria jurnalis Islami profesional menurut Sattu
Alang antara lain:
1. Memahami bahasa Al-Quran untuk membahasakan dan
meningformasikan Al-Quran yang rahmamatalil’alami di
tengah masyarakat.
2. Mengetahui hukum dalam Agama Islam agar masyarakat
memahami kaidah-kaidah jurnalis Islami dalam perspektif
hokum Islam.
3. Memiliki prilaku dan citra baik di tengah masyarakat
sehingga semua berita-beritanya dapat dipercaya oleh
masyarakat.
4. Secara akademik alumni dari jurusan dakwah dan
komunikasi.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 25
5. Dapat menggunakan teknologi informasi, dakwah dan
komunikasi.20
Secara ontologis, para jurnalis Islami adalah waratsatul al-Anbiya.
Karena menyandang predikat tersebut, para jurnalis Islami
dituntut untuk memiliki kecerdasan sosial yang
memungkinkannya untuk berkomunikasi dengan baik. Mereka
juga dituntut untuk mampu menggunakan teknologi informasi dan
komunikasi dalam menghadapi berbagai problematika sosial yang
ditimbulkan oleh perkembangan global.21
Menurut Yusuf Qardawi
bahwa seorang jurnalis Islami profesional harus memiliki karakter
dan sifat-sifat kenabian seperti amanah, siddiq, fat}a>nah, dan
tabli>g.22
Fat}a>nah meliputi kompetensi psikologis, psikomotorik,
dan afektif.
20H.M. Sattu Alang, Dosen Tetap Pada Fakultas Dakwah dan
Komunikasi Universitas Negeri Alauddin Makassar wawancara oleh penulis di
LPM UIN Alauddin Makassar.
21Ahmat Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Islam (Cet. II; Bandung: Remaja
Rosda karya, 1994), h. 107.
22Yusuf Qardawi, Staqafatu Da’iyyata (Beirut - Lebanon: Rhesalah
Publishers,1999), h. 126-127.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 26
Persoalan kredibilitas bukanlah hal baru dalam peradaban
ilmu komunikasi. Ahli retorika dan komunikasi pada zaman klasik,
Aristoteles, telah mengamati dan meneliti faktor-faktor yang
mendorong pendengar rela meluangkan waktunya untuk
mendengarkan sebuah pidato. Kepercayan pada sumber yang
melakukan komunikasi merupakan unsur penting dalam
menjalankan dakwah yang efektif.23
Terkait dengan hal ini, Devito
mengemukakan tiga tipe kredibilitas, yaitu: a) Kredibilitas
berdasarkan titel; b) Kredibilitas yang didapat selama komunikasi
berlangsung; c) Kredibilitas yang didapat pada akhir komunikasi.24
Menurut Wilbur Schramn, seorang mendapat kredibilitas dari
audiens jika menyampaikan pesan berdasarkan kompetensinya.25
Perspektif ini menurut Hasan Al-Banna dan dikutip oleh Thomas
Arnold Walker, yang mengatakan bahwa menyampaikan pesan
23Tasmara, Toto, Komunikasi Dakwah, (Cet. I; Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2007), h. 35.
24Joseph A Devito, The Interpersonal Comunication Book, (New York,
1976), h. 130-132.
25Wilbur Schramn, Men Message and Media, (Horper and Row, New
York, 1973), h. 115.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 27
berdasarkan pengetahuan seorang komunikator,26
guna
menghindari terjadinya distorsi informasi dakwah.
Sistem informasi dakwah dinamakan juga dengan
komunikasi Islam karena unsur komunikasi tersebut berlandaskan
pada nilai-nilai Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah.27
Salah satu unsur dari sistem informasi dakwah adalah sub-sistem
source credibility. Menurut Robert L. Mathis, seorang jurnalis
Islami yang kompeten mengerjakan pekerjaannya dengan mudah,
cepat, intuitif, dan sangat jarang atau tidak pernah membuat
kesalahan.28
Menurut Boulter Level, berdasarkan perspektif source
credibility, unsur-unsur kompetensi itu terdiri dari kecerdasan
sosial, visible, dan dapat mengontrol perilaku dari luar.29
Adapun
26Thomas Arnold Walker, The Preaching of Islam (Delhi: Law Price
Publications, 1998), h. 95.
27Acep Arifuddin, Pengembangan Metode Dakwah (Cet. I; Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2011), h. 1.
28Robert L. Mathis dan John Jakson, Human Resource
Management10thEdition diterjemahkan oleh Diana Angjelina dengan judul:
Manajemen Sumber Daya manusia (Cet. Jakarta: Salemba Raya, 2006), h. 376.
29Al-Qaht}ani, Sa’d ibn Wahf. Muqawwimat al-Daiyah al-Najih fi D{au
al-Kitab wa al-Sunnah: Mafhum wa Naz}har wa Tat}biq, diterjemahkan oleh:
Aidil Novia dengan Judul Menjadi Dai yang Sukses (Cet. I; Jakarta Timur:
Qisthi Press 2005). h. 9.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 28
trait dan motivasi, maka lebih terkait dengan kepribadian
seseorang.
Kompetensi pengetahuan dan keahlian relatif lebih mudah
dikembangkan, misalnya melalui program pelatihan
pengembangan sumber daya manusia. Sedangkan kompetensi yang
berkaitan dengan motivasi dan trait tergantung pada kepribadian
seseorang, yang membutuhkan proses pengalaman dan
pendalaman.30
Dalam kaitan ini, kompetensi-kompetensi yang
dimaksud meliputi kompetensi dalam berkomunikasi, penguasaan
diri, pengetahuan psikologi, kependidikan, pengetahuan umum,
Al-Quran dan Sunnah, dan wawasan keagamaan secara holistik.31
Oleh karena itu, source credibility mencakup sikap, persepsi,
emosi, dan kompetensi jurnalis Islami. Apabila kompetensi-
kompetensi ini dimiliki oleh seorang jurnalis Islami, maka
perannya dalam menyebarkan kebenaran akan jauh lebih efektif.
Sedangkan motif source credibility trait berkaitan dengan
kepribadian seseorang sehingga cukup sulit untuk dinilai dan
dikembangkan. Adapun konsep diri dan social role terletak di
30Fitzppatrick, Colletive Bargaining: Vulnerability Assessment, (Jakarta:
Nursing Manajement: 2001), h. 40-42.
31Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2009), h.
82-83.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 29
antara keduanya dan dapat diubah melalui pelatihan, psikoterapi.32
Kompetensi jurnalis Islami dalam mentransformasikan pesan
melalui sistem informasi dakwah mencakup skill mengolah data
(pesan) yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah, dan
mengemasnya dengan sistem komunikasi empatik, partisipatoris,
dan menggunakan teknologi komunikasi.33
Untuk meningkatkan
mutu sistem informasi dakwah, semua unsur-unsur kredibilitas ini
harus dimiliki oleh seorang jurnalis Islami.
Menurut Mulyati Amin, untuk meningkatkan mutu atau
kualitas sistem informasi dakwah, para jurnalis Islami harus
memiliki kredibilitas dalam melakukan dakwah jama’ah yang
bersifat partisipatoris, misalnya melakukan gerakan-gerakan
sosial, pendidikan, dan pemurnian aqidah bersama-sama dengan
masyarakat.34
Dengan ditunjang oleh fasilitas teknologi yang
memadai, publikasi informasi dakwah akan lebih cepat dan efektif.
Penggunaan teknologi komunikasi dan informasi dalam mendesain
32Tom E. Rolnickiet.al, Scholastic Journalism diterjemahkan oleh: Tri
Wibowo dengan judul, Pengantar Dasar Jurnalisme (Cet. I; Jakarta: Prenada
Kencana, 2008), h. 4.
33Muliaty Amin, Dakwah Jamaah: Suatu Model Dakwah Islam
Berwawasan Jender di Kabupaten Bulukumba. Disertasi dipertanggugjawabkan
pada tahun 2010 untuk meraih gelar doktor.
34 Usman Jasad, op. cit., 294.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 30
dan mengemas materi dakwah, khususnya dengan menggunakan
komputer grafis, akan meningkatkan daya serap mad’u.
Kemampuan untuk mendesain materi dakwah yang mudah diakses
oleh mad’u, juga akan meningkatkan kredibilitas jurnalis Islami di
tengah-tengah masyarakat.
Meningkatkan kredibilitas, dalam teori use and gratification
menurut W. Philips Davison, yang dikutip oleh Jalaluddin Rahmat,
mengatakan bahwa masyarakat bukan orang pasif yang bisa
dibentuk seenaknya oleh komunikator, tetapi masyarakat terdiri
dari kumpulan struktur nilai dan ukuran kebenaran tersendiri serta
kebutuhan informasi.35
Hal ini mengharuskan seorang jurnalis
Islami untuk mengemas dan menyampaikan materi dakwah yang
sesuai dengan budaya dan daya nalar mad’u.
Menurut Liliweri, kemampuan komunikasi antar budaya
sangat diperlukan di tengah keragaman etnis, suku, agama, bahasa,
dan tradisi. Dibutuhkan kemampuan komunikasi antar budaya
untuk menyamakan persepsi mengenai pesan-pesan keagamaan
yang akan dipublikasikan atau disampaikan di tengah masyarakat
35Op. cit., Jalaluddin Rahmat, h. 203.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 31
majemuk.36
Menurut hemat penulis, diperlukan informasi dakwah
khusus yang sesuai dengan kondisi sosial dan kebutuhan
masyarakat multikultural. Dengan kata lain, seorang jurnalis
Islami harus memiliki kemampuan komunikasi antar budaya untuk
mengkomunikasikan pesan-pesan al-Quran dan Sunnah di tengah-
tengah masyarakat multikultural.
Membahasakan Al-Quran dan Sunnah sesuai dengan
kebutuhan mad’u dapat meningkatkan sekaligus meminimalisasi
distorsi informasi di tengah masyarakat multikultural.37
Kemampuan jurnalis Islami mengkomunikasikan spirit pencerahan
yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah dapat meningkatkan
kesadaran masyarakat dan memperbaiki perilaku mereka. Untuk
melahirkan mindset yang lebih inovatif dan kreatif dalam menata
kehidupan, para jurnalis Islami harus mampu memberikan
pandangan hidup (worldview) dan wawasan yang lebih logis dan
rasionil.
36Alo Liliweri, Komunikasi Antarbudaya (Cet. II; Jakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), h. 19.
37Rupert Brown, Prejudice: Its Social Psychology diterjemahkan oleh:
Helly P. Soetjipto dan Sri Mulyantini Sutjipto dengan Judul: Menangani
Prasangka dari Perspektif Sosial (Cet. I; Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 125.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 32
Cara berpikir mad’u hanya bisa diubah oleh seorang da’i
yang memiliki kredibilitas visi dan misi yang berlandaskan pada
sifat-sifat Kenabian.38
Dalam hal ini, sifat-sifat Kenabian yang
dimaksud adalah amanah, siddiq, fat}a>nah, tabli>g. Fat}a>nah meliputi
kompetensi psikologis, psikomotorik, dan afektif.39
Dengan
memiliki ketiga unsur kompetensi tersebut, kredibilitas seorang
jurnalis Islami dapat terdongkrak di tengah-tengah masyarakat.
Kredibilitas jurnalis Islami tidak akan terlepas dari pengaruh
dimensi internal (kondisi psikologis), dan dimensi eksternal
(kondisi sosiologis).40
Menurut Leonard W. Doob dan Raymond V.
Kesikar, yang dikutip oleh Totok Jumantoro, dimensi komunikasi
eksternal dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terekam
dalam benak seseorang melalui pengalaman empiris.41
Menurut hemat penulis, hal ini sangat relevan dengan
padangan J. DeVito yang menyatakan bahwa semakin banyak
38Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Subuah kajian
Hermeneutika (Cet. I; Bandung: Mizan2011), h.115.
39A. Machfud, Filsafat Dakwah: Ilmu Dakwah dan Penerapannya (Cet. II;
Jakarta: Bulan Bintang, 2004), h.33.
40Ibid.
41Totok Jumantoro, Psikologi Dakwah: Dengan Aspek-Aspek Kejiwaan
yang Qur’ani (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2001), h. 35.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 33
input informasi positif semakin positiflah respons dan ekspresi
seseorang.
Teori J. DeVito ini diaktualisasikan dalam peradaban global
melalui konsep cultural imperialism theory yang dikembangkan
oleh Herbert Schiller (1973). Sebagaimana dikutip oleh Usman
Jasad, teori ini menekankan perlunya mengkonstruksi informasi
dengan baik karena audiens atau masyarakat cenderung meniru
hal-hal yang dilihat atau dicerna oleh panca indranya.42
Mengutip Ibnu Miskawaih, Jalaluddin Rahmat mengatakan
bahwa selain dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, manusia
juga dipengaruhi oleh potensi dasar yang terdapat dalam dirinya
(internal), yaitu: potensi nabati, hewani, dan insani.43
Ketiga
potensi dasar ini menentukan kecenderungan seseorang dalam
berkomunikasi dan menjalani kehidupan secara umum. Jika
potensi nabati mendominasi diri seseorang, maka ia akan
cenderung lebih individual atau mementingkan diri sendiri; jika
dikuasai oleh potensi hewani, maka ia akan cenderung mengambil
sesuatu yang bukan haknya; jika alam pikirannya dikuasai oleh
42Ibid.
43Jalaluddin Rahmat, op. cit., h. 90.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 34
potensi insani, maka pola pikir (mindset) dan perilakunya akan
tergantung pada jenis dan intensitas informasi yang diterimanya.
Peningkatan kredibilitas jurnalis Islami merupakan salah satu
unsur penting dalam upaya peningkatan efektivitas dakwah.
Dengan tingkat kredibilitas yang memadai, pesan-pesan
keselamatan yang disampaikan oleh jurnalis Islami akan lebih
mudah diserap dan diterima oleh mad’u.
Dalam hal ini, salah satu kecakapan yang harus dimiliki oleh
seorang jurnalis Islami adalah kemampuan menggunakan bahasa
yang indah. Menurut Ubay bin Ka’ab, bahasa atau kalimat-kalimat
yang indah (ahsan al-qaul) seperti yang digunakan dalam syair-
syair itu, dapat membangkitkan kecerdasan afektif, behavioral,
dan kecerdasan kognitif dalam diri mad’u.44 Kecerdasan kognitif
jurnalis Islami mencakup kemampuan memilih pesan-pesan
keagamaan yang dapat menggugah sisi emosional mad’u, misalnya
tentang pentingnya nilai-nilai kejujuran dalam kehidupan
bermasyarakat.
Menurut Muhammad Sayyid Thanthawi, kredibilitas jurnalis
Islami mencakup: kejujuran, menjauhi kebohongan, memiliki
44Ahmad Ghulusy, ad-Da’watul Islamiyah, (Kairo: Darul Kijab, 1987), h.
9.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 35
argumentasi yang logis, dan merindukan kebenaran.45
Oleh karena
itu, seorang jurnalis Islami dituntut untuk memiliki kecerdasan
ma’ani (kecerdasan memahami bahasa), kecerdasan bayani
(kecerdasan argumentatif), dan kecerdasan badi’ (kecerdasan
menggunakan bahasa yang indah) dalam menyampaikan pesan-
pesan keagamaan agar dapat menyentuh sisi emosional mad’u.
Ilmu al-Baya>n dikembangkan oleh Abu ‘Ubaidah (w.211 H), salah
seorang murid Imam al-Khalil bin Ahmad. Karya fenomenal Abu
‘Ubaidah adalah Majaz Al-Quran (Metafora dalam Al-Quran) yang
berisikan wawasan tentang cara-cara mengomunisasikan pesan-
pesan al-Quran. Ilmu ini kemudian disempurnakan oleh al-Jurjani.
46 Menurut Manna’ al-Qattan, ultimate substance dari pesan-pesan
al-Quran yang dikemas dalam bentuk ams\a>l (perumpamaan) akan
lebih mudah dipahami dan diserap oleh umat manusia. Hal ini
dimungkinkan karena ams\a>l mensinergikan antara akal dan panca
indra.
Dengan menggunakan ams\a>l, sesuatu yang sulit dibayangkan
atau dicerna oleh akal-pikiran akan menjadi lebih konkret dan
45Muhammad Sayyi>d Tant}awi, Adab al-Hiwa>r fi> al-Islam (Mesir: Da>r
Anahdhah, 1984), h. 18. Lihat dalam Ace Arifudin, Metode Pengembangan
Dakwah, 2011. h . 11.
46 Moh Ali Aziz, op. cit., h. 76.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 36
mudah dipahami. Dalam kaitan ini, Jalal al-Din al-Suyu>t}i
membagi ams\a>l ke dalam tiga bagian: ams\a>l ka>minah, musarraha,
dan ams\a>l mursalah.47
Ketiga model ams\a>l ini dapat dijadikan
acuan oleh para jurnalis Islami untuk meningkatkan kemampuan
dalam mengomunikasikan ajaran-ajaran agama di tengah umat.
Oleh karena itu, seorang jurnalis Islami harus memiliki kecerdasan
baya>ni agar informasi dakwah yang disampaikannya mencapai
tujuan yang maksimal. Ilmu al-Baya>n memiliki banyak kesamaan
dengan ilmu retorika. Berdasarkan ilmu al-Baya>n, secara garis
besar, ada tiga cara untuk mengembangkan sebuah kalimat: al-
tasybih (analogi), al-majaz (metafora), dan al-kina>yah
(metonim/kiasan).48
Semua model kebahasaan ini perlu dikuasai
oleh seorang jurnalis Islami agar materi dakwah yang
disampaikannya mudah dipahami oleh mad’u.
Seorang jurnalis Islami juga harus memiliki kecerdasan
badi’i. Ilmu badi’ mengajarkan kemampuan untuk menggunakan
bahasa yang indah. Dengan kemampuan menggunakan bahasa
yang indah, seorang jurnalis Islami diharapkan mampu mengemas
47Lala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, al-Itqa>m fi Ulu>m al-Qura>n, jilid II (Kairo Mesir:
Da>r al-Fikr, 2003), h. 113. Lihat Mardan, Al-Qur’an: Sebuah Pengantar
Memahami Al-Quran Secara Utuh, h. 173.
48Ibid., h. 77.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 37
materi dakwah dengan kalimat-kalimat yang indah dan menarik
sehingga enak dicerna, mencerahkan hati dan pikiran, membawa
solusi, dan bermanfaat bagi mad’u.49
Ilmu ini bertujuan untuk
memperindah kalimat dari segi kata-kata (al-lafziyyah) dan
maknanya (al-ma’nawiyah). Seorang orator yang andal tidak
hanya mampu menyampaikan pidato dengan kata-kata yang
mengesankan, tapi juga harus mengandung makna yang
mendalam. Peletak dasar ilmu badi’ adalah Abdullah bin Mu’taz
al-Abbasi (w. 270 H). Atas dasar kekagumannya pada Abdullah
bin Mu’taz, Qudama bin Ja’far kemudian turut mengembangkan
ilmu ini.50
Karena objek kajian dakwah adalah manusia, maka
ilmuwan dakwah perlu memahami psikologi mitranya untuk
mencapai sasaran dakwah.51
Mengutip Sayyidina Ali bin Abi
Thalib, Ahmad Ghulusy berpesan bahwa seorang jurnalis Islami
perlu dioptimalkan peran rasio, rasa, dan rahasia dalam
49Jalaluddin Rahmat, Etika Komunikasi Religi, Makalah Seminar,
(Jakarta: Perpustakaan Nasional, 18 Mei 1996.
50Ibid.
51Ishak Asep dan Hendri Tanjung, Management Sumber Daya Manusia
(Cet. I; Jakarta: Prenada Media group), h. 19 Bandingkan dengan Yunan Yusuf,
Manajemen dakwah, h. 104.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 38
berdakwah.52
Menurut hemat penulis, materi-materi dakwah ini
dapat meningkatkan kredibilitas jurnalis Islami di tengah
masyarakat.
Materi dakwah harus mengandung unsur hikmah, nasehat,
dan pelajaran yang bermanfaat dan dibutuhkan oleh mad’u.53
Sejalan dengan hal ini, Ali al-Qahtani berpendapat bahwa seorang
jurnalis Islami harus memiliki kecerdasan kognitif, kecerdasan
humanis, dan kecerdasan spiritual.54
Penguasaan materi dakwah
dan penyampaian lisan yang sempurna, dapat mengangkat
kredibilitas jurnalis Islami di tengah masyarakat.
Mengutip Jalaluddin Rumi, salah satu tokoh sufi dari Persia, Aziz
mengatakan bahwa dalam proses komunikasi, lidah dibayang-
bayangi oleh daya rohani. Kandungan perasaan dan pikiran yang
dituangkan dalam bentuk puisi, dapat disebarluaskan dan
ditangkap dengan baik oleh panca indra berkat kepiawaian dan
52Moh Ali Aziz, op. cit., h. 76.
53Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dan Imam Nawawi al-Bantuny, Nas}a>ihul
Iba>d (Beirut: Da>r) h. 162.
54Said bin Ali Al-Qaht}ani, Dakwah Islam dan Dakwah Bijak (Cet. I;
Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 362.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 39
ketajaman lidah.55
Setiap kata dan kalimat dapat berbekas dalam
benak mad’u apabila sesuai dengan daya nalar mereka.
Seorang jurnalis Islami harus memiliki kecerdasan bahasa
agar mampu mengomunikasikan pesan-pesan al-Quran dan Sunnah
dalam kemasan bahasa yang dapat dipahami oleh mad’u. Hal ini
sesuai dengan teori yang diperkenalkan oleh Larry A. Samover. Ia
mengatakan bahwa kecerdasan bahasa yang dimiliki manusia
memungkinkannya untuk memilih kata-kata yang dapat
memindahkan sesuatu yang abstrak ke dalam kalimat-kalimat
yang gampang dipahami.56
Menurut Peter Drucker, kredibilitas seorang komunikator,
antara lain, mencakup kemampuan untuk merancang anatomi
pesan, dan menetapkan target-target yang ingin dicapai. Ia juga
mencakup kemampuan merumuskan desain aplikasi komunikasi
yang membuat pesan mudah dipahami.57
Agar dakwah bisa efektif,
informasi atau materi dakwah harus sesuai dengan persoalan yang
55Ibid., h. 75.
56Larry A. Samover, Richhard E. Porter, and Nemi C. Jaim,
Understanding Intercultural Communication (Wodsworth Publishing Company,
Belmont California, t.t), h. 23.
57Peter Drucker, Structures of Communication (New York: Sage
Publishing Company, Belmont California, t.t), h. 33.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 40
berkembang di tengah masyarakat. Oleh karena itu, seorang
jurnalis Islami harus melakukan pengamatan dan analisa
mendalam sebelum menentukan materi dakwah atau pesan-pesan
keagamaan yang akan disampaikan sesuai daya nalar mad’u.
Mendesain materi dakwah sesuai daya nalar mad’u
dibutuhkan teknologi informasi dakwah. Strategi ini dapat
dilakukan dalam berbagai metode dakwah. Menurut Ali
Mahfuzpenerapan teknologi informasi dakwah tersebut dapat
dilakukan melalui metode bi al-Lisan, bi al-Qalam, dan bi al-H{al.58
Berikut dijelaskan satu per satu:
a. Dakwah bi al-Lisan
Pada hakikatnya, dakwah adalah cerminan iman yang
dimanifestasikan dalam bentuk aktivitas yang bernama dakwah.
Untuk mentransformasikan ajaran-ajaran Allah Swt. yang
termaktub dalam al-Quran dan Sunnah, dibutuhkan metode,
strategi, dan teori yang berlandaskan pada kaidah-kaidah ilmu
58Syekh ‘Ali Mahfuż, Hidayah Al-Mursyidin Ila Turu>q al-Wa’zhwa al-
Khita>bah (Beirut Lebanon: Dar Al-Ma’rifah), h. 93.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 41
pengetahuan, baik empiris maupun ‚non-empiris‛.59
Menurut
Aliyudin, ada tiga teori dakwah, yaitu teori citra da’i, teori
medan dakwah, dan teori proses, tahapan dakwah.60
Metode dakwah bi al-Lisan dapat diwujudkan dalam bentuk:
ceramah, diskusi, khutbah, nasihat, dan lain-lain.61
Proses
transmisi dakwah dapat dilakukan dengan cara pribadi (fardiyah),
keluarga (usrah), komunitas (jamaah), masyarakat (umat), dan
dalam semua segi kehidupan.62
Berikut proses sistem dakwah
menurut pandangan Ali Mahfuz}:63
59Aep Kusnawan dan Firdaus, Manajemen Pelatihan Dakwah (Cet. I;
Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009), h. 117.
60Enjang As dan Aliyudin, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah: Pendekatan
Filosofis dan Praktis (Cet. I; Bandung: Widya Padjadjaran, 2009) h. 120.
61Samsul Munir Amin, Tajdi>d al-Fikrah fi al-Dakwah al-Islamiyah,
Maqa>lah bi al-Lughah al-Arabi>yyah, Kuli>yah al-Dakwah, (Wonosobo: al-
Ja>mi>’ah li> Ulu>m Alquran Jawa al-Wust}a, 2003), h. 2-3.
62M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan umat (Cet. XVII; Bandung: Misan, 2006), h. 319.
63Syaikh Ali Mahfuz}, Hidaya al- Mursidin, Lihat Andul Kadir Sayid
Abdul Rauf, Dira>sat fi da’wah al-Islamiyyah, (Kairo: Da>r al-Tiba’ah al-
Mahmadiyah, 1987), h. 10.
Kebahagia
an Dunia
Akhirat
TUJUAN
MANUSIA
MAD’U
Amar
Ma’ruf
Nahy
Mungkar
METODE
Al-Khair
Al-Huda
Al-Ma’ruf
PESAN
Pemberian
Motivasi
DAI

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 42
Bagan di atas menunjukkan bahwa aplikasi sistem informasi
dakwah harus mengintegrasikan berbagai unsur yang saling
menunjang agar bisa mencapai hasil yang maksimal. Dakwah bi al-
lisan adalah teknik komunikasi dakwah yang dilakukan dengan
menggunakan lisan (verbal), yang bisa berbentuk ceramah, pidato
manuskrip, pidato memoriter, dan pidato ekstemporan.64
Seorang
jurnalis Islami yang melakukan dakwah bi al-lisan harus
berbekalkan kecerdasan bayani, kecerdasan ma’ani, dan
kecerdasan badi’i.
Menurut Ali Mahfuz, dakwah harus menggabungkan antara
targhib (motivasi) dan tarhib (intimidasi/ancaman). Hal ini dapat
diwujudkan dalam bentuk-bentuk berikut ini: 1) memilih jurnalis
Islami yang mampu melakukan targhib dan tarhib; 2) memilih
materi dakwah yang relevan dengan persoalan kehidupan, dan
mengemasnya dengan bahasa yang mudah dicerna oleh mad’u; 3)
menyesuaikan materi dakwah dengan situasi dan kondisi
setempat.65
Sistem informasi dakwah dapat dijalankan secara
individual atau kolektif.
64op. cit., Moh. Ali Aziz, h. 359-360.
65Zaid Abdul Karim Az-Zaid, Dakwah bil-H{ikmah (Cet. I; Jawa Timur:
Pustaka Al-Kaustar 1993), h. 28.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 43
Baik dijalankan secara individual maupun kolektif, sistem
informasi dakwah harus berasaskan prinsip al-hikmah. Prinsip al-
hikmah termasuk dalam kategori al-manhaj al-at}ifi (metode
sentimentil). Menurut Muhammad Abduh, hikmah adalalh
mengetahui rahasia ilmu, faedah-faedahnya, dan menempatkan
sesuatu pada tempatnya.66
Konsep Muhammad Abduh ini sejalan
dengan konsep Muhammad Abu Al-Fatah Al-Bayanuni, yang
memaknai hikmah sebagai kemampuan jurnalis Islami untuk
menempatkan kalimat pada konteksnya.67
Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa al-hikmah adalah kompetensi jurnalis Islami
menggunakan teknologi informasi dakwah dalam
mentransformasikan pesan-pesan keagamaan.
Sistem informasi dakwah juga harus berlandaskan pada
prinsip al-mauiz}atu al- h{asanah. Prinsip ini termasuk dalam
kategori al-manhaj al-hissi (metode indrawi). Berdasarkan metode
ini, seorang jurnalis Islami diharuskan memiliki kompetensi untuk
memberikan bimbingan, nasihat, dan menawarkan pilihan-pilihan
66Abu Hayyan, al-Bah}rul Muhith, jilid I h. 392. Zaid Abdul karim al-
Da’wah al-H{ikmah, h. 26.
67Muhammad Abdul Fatah al-Bayanuni, Al-Madkhal Ila ‘ilmu al-Da’wah
(Beirut: Muasasa Ar-Risalah: 1991), h. 245.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 44
kebenaran yang dapat dijangkau oleh masyarakat.68
Sebagaimana
dikutip oleh Hamid, Ali Mahfuz berpendapat bahwa mauiz}a
h}asanah} meliputi: nasihat, petuah, bimbingan, kisah-kisah, kabar
gembira, dan ancaman.69
Semua metode dan teori dakwah ini
dapat dijalankan dengan berpedoman pada asas wa jadilhum billati
hiya ahsan atau asas al-mujadalah. Al-Muja>ddalah atau sistem
dakwah dialogis cocok untuk diterapkan di tengah masyarakat
multikultural, yang tingkat pengetahuan dan profesinya biasanya
berbeda-beda. Masyarakat multikultural umumnya terdiri dari
kalangan profesional, kalangan menengah, dan kalangan awam.70
Ketiga golongan masyarakat ini membutuhkan informasi dakwah
yang berbeda-beda. Oleh karena itu, seorang jurnalis Islami harus
memperhatikan aspek teks (materi dakwah) dan konteks agar
pesan-pesan keagamaan yang disampaikannya dapat dicerna oleh
mad’u.
68Ramad}an Muhammad Khair. Dakwah al-H{aq Min Khasaishi al-Alam
al-Islami, Rabit}ah al-alam al-Islami, (Maktab al-Mukarramah 1990). h. 145.
69Abdul Hamid Al-Bilali, Fiqh al-Dakwah fi> Ingkar al-Mungkar (Kuwait:
Da>r al-Dakwah, 1989), h. 260.
70Ghazali Darussalam, Dinamika Ilmu Dakwah Islamiyah, (Malaysia:
Nur Niaga SDN. BHD 1996).h. 21.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 45
Memilih konten informasi dakwah merupakan salah satu
unsur penting yang harus diperhatikan oleh jurnalis Islami.
Seorang jurnalis Islami harus mendesain materi dakwah yang
mudah dipahami oleh masyarakat.71
Hanya informasi dakwah yang
berkualitas (qaula>n bali>gha>n) yang dapat memengaruhi jiwa dan
perilaku masyarakat. Ia juga dapat menstimulasi dan mendorong
penguatan civil society dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kata balli>g memiliki tiga dimensi, yaitu benar secara bahasa,
memiliki kejelasan makna, dan mengandung kebenaran
substansial.72
Sebuah informasi dakwah dianggap komunikatif jika
bisa dipahami oleh mad’u.
Menurut pakar komunikasi, Stephen W. Little John,
komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang melahirkan
kesepahaman antara komunikator dan komunikan.73
Sistem
informasi dakwah bisa dikatakan empatik jika pesan-pesan yang
disampaikan dapat menciptakan interaksi harmonis di kalangan
71H. Hafi Anshari, Pemahaman dan Pengalaman Dakwah (Cet. I;
Surabaya, Al-Ikhlas, 1993), h. 143. Bandingkan dalam Samsul Munir Amin,
Ilmu Dakwah (Cet. I; Jakarta: Amza, 2009), h. 88.
72Ahsin W. Al-hafiz} Kamus Ilmu Al-Quran (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika
Offset, 2005), h. 273.
73Stephen W. Littlejohn, Encyclopedia of Communication Theory (Los
Angles, SAGE Publications India Pvt. Ltd, 2009), h. 77.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 46
umat. Dalam al-Quran, penggunaan bahasa yang indah dalam
berdakwah diistilahkan dengan ah}sanu qaulan (ucapan yang baik)
(QS. Al-Fussilat/41: 33). Ayat tersebut menjadi inspirasi bagi para
jurnalis Islami agar memperhatikan kemasan materi dakwah yang
akan disampaikannya kepada mad’u, terutama aspek
kebahasaannya, karena bahasa turut menentukan efektivitas
komunikasi.
Menurut Jalaluddin Rahmat, etika dakwah bi al-lisan perlu
mengandung spirit qau>lan kari>ma>n (perkataan yang baik), qaula>n
layyina>n (perkataan yang lembut), qaula>n maisu>ra>n (perkataan
yang mudah dipahami), dan qaula>n sadi>da>n (perkataan yang
benar).74
Dalam konteks ini, Nurcholish Madjid mengatakan
bahwa kata ma’ruf itu tidak berlaku universal, tetapi hanya
mencakup hal-hal yang dianggap baik oleh masayarakat setempat.
Dalam al-Quran, kita bisa menemukan beberapa istilah penting
yang berhubungan dengan dakwah, misalnya: qawla>n ma’rufan,
qawla>n sadida>n, qawla>n balighan, qawla>n maisuran, qawla>n
layyina>n.75 Dalam kaitan ini, yang akan disorot adalah qawla>n
74Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme: Akhlaq Al-Quran Menyikapi
Perbedaan (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 28.
75Nurcholis Majid, Islam Doktrin dan Peradaban (Cet. I; Jakarta:
Paramadina, 1992), h. 243.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 47
ma’rufan. Kata ma’ru>f berasal dari kata arafa (عرف), yang artinya
mengetahui; kebalikan dari kata mungkar yang berarti tidak
mengetahui. Kata arafa (عرف) dengan berbagai bentuknya,
terulang sebanyak 71 kali dalam al-Quran. Menurut Fachrudin HS,
qawlan ma’rufan bisa ditafsirkan sebagai perkataan yang patut.76
Dengan demikian, ungkapan qawla>n ma’rufan merupakan
kombinasi antara perkataaan yang manis dan makna yang baik.
Pesan-pesan keselamatan yang termaktub dalam al-Quran dan
Sunnah harus dikomunikasikan secara empatik dengan
menggunakan perkataan yang mulia.77
Dengan kata lain, pesan-
pesan kebaikan perlu disampaikan dengan cara-cara yang baik pula
(ma’ruf), termasuk dari sisi penggunaan bahasa. Dakwah tidak
boleh menyudutkan atau mendiskreditkan kelompok tertentu,
tetapi harus memotivasi semua lapisan umat tanpa memandang
golongan atau alirannya.
Dalam QS al-Isra’/17:23, Allah Swt. menekankan pentingnya
menggunakan perkataan yang mulia (qaula>n kari>man) dalam
76Zainuddin Hamidi Fachrudin HS, Tafsir Al-Quran al-Karim h. 86.
77Maulana Muhammad Ali, The Holy Al-Quran diterjemahkan oleh:
H.M. Bahrun dengan judul Qur’an Suci (Cet. IV; Jakarta: Da>r al-Kutub al-
Islamiyyah, 1986), h. 129.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 48
mengomunikasikan pesan-pesan mengenai budi pekerti yang luhur.
Allah berfirman:
Terjemahannya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di
antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut
dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah
kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia.78
Menurut Quraish Shihab, seorang jurnalis Islami harus
kompeten dalam menggunakan perkataan-perkataaan yang mulia,
berkomunikasi secara empatik, dan mengomunikasikan pesan-
pesan al-Quran dan Sunnah dengan lemah lembut dan penuh
78Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah Perkata: Syamila Al-
Quran (Cet. Jakarta: Sigma, 2007), h. 284.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 49
penghormatan.79
Sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam surah
al-Isra,> kemasan informasi dakwah harus menggunakan ungkapan
atau bahasa yang mudah dimengerti (qaulan maysu>ran). Allah
berfirman ( Q.S. surah al-Isra’:28):
Terjemahannya:
Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat
dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada
mereka ucapan yang pantas (memenuhi kriteria kepatutan yang
berlaku).80
Selain itu, informasi dakwah juga harus dikemas dengan
ungkapan atau bahasa yang dapat menyentuh dan berbekas di hati.
Dalam QS. Al-Nisa/4:63, Allah Swt. berfirman:
Terjemahannya:
Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa
yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari
79M. Quraish Shihab, Dia Dimana-Mana: Tangan Tuhan di Balik Setiap
Fenomena (Cet. VIII; Jakarta, Lentera Hati, 2004), h. 209-212.
80Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah Perkata: Syamila Al-
Quran (Cet. Jakarta: Sigma, 2007), h. 285.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 50
mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada
mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.81
Menurut Quraish Shihab, ayat ini memberi petunjuk kepada
para jurnalis Islami mengenai tata cara berdakwah di tengah
masyarakat yang memiliki tradisi komunikasi dramaturgi (lain di
bibir lain di hati) dalam interaksi sosial. Strategi dakwah yang
tepat untuk kondisi semacam ini adalah dengan menggunakan
pendekatan komunikasi empatik.82
Menurut pakar bahasa,
.adalah sampainya sesuatu pada sesuatu yang lain (ba>ligh)بليغ
Informasi dakwah bisa dikatakan بليغ (ba>ligh) jika memenuhi
syarat-syarat, antara lain, menggunakan kalimat yang tidak
bertele-tele, menggunakan kosakata yang dapat dimengerti oleh
mad’u, dan mematuhi aturan tata bahasa.83
Oleh karena itu,
dakwah yang ba>ligh tidak boleh berbentuk kritikan, apalagi
kecaman, yang disampaikan di hadapan umum. Hal semacam ini
hanya akan melahirkan antipati dari mad’u, bahkan bisa-bisa
membuat mereka semakin keras kepala dan menjauh dari ajaran-
81Ibid., h. 88.
82M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume XII: Pesan-pesan dan
Keserasian Al-Quran (Cet. I; Lentera Hati, 2009), h. 596.
83 M. Quraish Shihab, Ibid, h. 596.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 51
ajaran agama. Dengan kata lain, kegiatan dakwah harus
dilandaskan pada komunikasi empatik.
Kata empati berasal dari bahasa Jerman Einfuhlung, yang
berarti turut merasakan penderitaan orang lain (feeling into).84
Pengertian yang serupa juga diungkapkan oleh Jalaluddin Rahmat.
Dia mengatakan bahwa empati adalah menempatkan diri kita pada
posisi orang lain.85
Informasi dakwah juga harus menggunakan perkataaan atau
ungkapan yang lemah lembut (qaulan layyinan). Hal ini ditegaskan
oleh Allah Swt. dalam QS al-T}a>ha>/20:44:
Terjemahannya:
Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata
yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.86
84Subandy Ibrahim, Sinar Komunikasi Empatik: Krisis Budaya dalam
Masyarakat Kontemporer (Cet. I; Jakarta: Pustaka bani Quraisy, 2004), h. xix.
85Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi (Cet. VIII; Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2005), h. 19.
86Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah Perkata: Syamila Al-
Quran (Cet. Jakarta: Sigma, 2007), h. 314.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 52
Menurut Quraish Sihab, kata layyinan dalam ayat tersebut
bermakna menyampaikan pesan dakwah melalui kata-kata yang
sopan dan sesuai dengan kultur mad'u.87
Dalam pandangan
psikologi, perkataan yang lembut dapat melahirkan rasa cinta pada
hikmah.88
Sebagaimana dikutip oleh Arifin, Sigmund Freud
mengatakan bahwa komunikasi yang menggunakan perkataan
yang lembut dapat memengaruhi insting manusia.89
Selain itu, informasi dakwah juga mesti memperhatikan daya
nalar mad’u. Hal ini ditegaskan oleh firman Allah Swt. dalam QS
al-Isra>/17: 84
Terjemahannya:
87M. Quraish Shihab, op. cit, h. 596.
88John R. Anderson, Cognitive Psychology and its Implication: Fifth
Edition (Cet. V; Word Publishers, 2000), h. 432.
89H.M. Arifin, Psikologi Dakwah (Cet. VI; Jakarta: Bumi Aksara, 2004),
h. 48.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 53
Katakanlah: Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya
masing-masing. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang
lebih benar jalannya.90
Ayat ini menjelaskan tentang aspek-aspek yang harus
diperhatikan berkaitan dengan situasi dan kondisi mad’u. Di
antara aspek-aspek itu adalah tabiat, lingkungan, budaya, agama,
dan pendidikan mad’u. Berdasarkan ayat tersebut, seorang jurnalis
Islami perlu memiliki berbagai kecerdasan dan kompetensi yang
memungkinkannya untuk mentransformasikan pesan-pesan
keagamaan secara profesional. Berikut ini hadis yang berhubungan
dengan sistem informasi dakwah, baik dakwah lisan maupun
tulisan. Rasulullah SAW. bersabda: خاطبوا الناس على قدر عقولهم
(kha>t}ibu>nna>sa ‘ala> qadri ‘uqu>lihim).91
Artinya:
90Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah Per kata: Syamila Al-
Quran (Cet. I; Jakarta: Sigma, 2007), h. 290.
91Jalal al-D>in al-Suyu>ti Juz VI, Jami>’ul al-Ha>di (Beirut Da>r al-Kutub,
t.th), h. 401.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 54
Berkomunikasilah dengan sesama manusia sesuai dengan
kemampuan dan tingkat kecerdasannya.92
Hadis tersebut menekankan pentingnya membuat sistem
informasi dakwah yang sesuai dengan tingkat kecerdasan dan nalar
mad’u. Dalam hal ini, jurnalis Islami harus mempersiapkan materi
dakwah yang sesuai dengan kebutuhan mad’u, mengemasnya
dalam bahasa yang mudah dimengerti, dan menggunakan
teknologi penunjang yang tepat.
b. Dakwah bi al-Qalam
Menurut Syeikh Ali al-Fadl bin al-Hasan al-Tabrasi, al-
Qalam adalah salah satu alat yang digunakan oleh manusia untuk
menyampaikan keinginannya baik kepada yang jauh maupun yang
dekat.93
Dalam beberapa hal, dakwah bi al-Qalam memiliki model
dan memainkan peran yang berbeda dengan dakwah bi al-Lisan.
Menurut hemat penulis, dakwah bi al-Qalam dapat melahirkan
92H.M. Arifin, op. cit., h. 46.
93Muhammad Abdul Aziz al-Khu>li, Is}la>h al-Wazh al-Di>n Juz II (Mesir:
al-Tijariyat, 1964), h. 5 Bandingkan dengan Abu Hasan Muhammad ibn Fariz
Zakariyyah, h. 279-281.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 55
transformasi budaya melalui tulisan-tulisan di media massa
elektronik.94
Kecanggihan teknologi informasi telah melahirkan
komunitas virtual yang biasa dikenal dengan istilah cyber
community.
Pandangan Ali Mahfuz ini relevan dengan pandangan
Syarifudin bahwa jurnalis Islami dalam Facebook adalah media
silaturrahmi untuk meningkatkan kecerdasan Spiritual, intelektual,
sosial, dan entrepreneurship. Ini sangat sesuai dengan teknologi
dakwah bi al-Qalam.
Dengan dakwah bi al-Qalam, informasi yang berkaitan
dengan ibadah, muamalah, ekonomi, dan sosial-budaya, dapat
dipublikasikan di media massa, baik cetak maupun elektronik.
Dakwah bi al-Qalam dapat dilakukan melalui surat kabar, majalah,
buku, dan internet. Salah satu keunggulan dakwah bi al-Qalam
adalah ia bisa dilakukan kapan dan di mana saja. Dengan kata lain,
dakwah bi al-Qalam tidak dibatasi oleh waktu dan tempat.
Mengomunikasikan pesan-pesan agama melalui dakwah bil
qalam dan simbol relevan dengan gagasan Ferdinand De Saussure
sekitas tahun (1857-1913) yang di kutip Komaruddin bahwa
94Bandingkan Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya
(Cet. I; Jakarta: Universitas Indonesia, 2008), h.116.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 56
pembicaraan lebih primer menyentuh jiwa di banding bahasa lewat
tulisan.95
Gagasan ini sesuai pandangan Henry Sweet (1845-1912)
berpendapat bahwa meskipun bahasa bisa dicurahkan lewat tulisan
dan simbol-simbol, namun ada kecendrungan banyak perasaan
yang kurang terwakili oleh tulisan tersebut.96 Hal ini menunjukkan
bahwa kompetensi jurnalis Islami perlu memiliki analogi, dan
logika untuk dapat memilih bahasa yang ditunjang oleh teknologi
informasi dakwah untuk memudahkan daya nalar mad’u.
Bentuk dakwah bil al-Qalam: dua kosa kata ini substansi
maknanya kepada dua sistem informasi yakni suara dan kata-
kata.97
Dalam kajian Dakwah bi al-Qalam peran teknologi
informasi dakwah berorientasi pada tulisan (surat kabar, majalah,
buku, internet), puisi, artikel dan semua yang berhubungan dengan
tulisan yang dapat merubah umat menjadi lebih baik.98
Ketiga
model dakwah ini merupakan sub sistem informasi dakwah Islam
yang perlu di kelola secara profesional.
95Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutika (Cet. I; Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2011), h. 186.
96Ibid.
97Tanta>wi> Jauha>ri, Al-Jauhar fi> Tafsir Al-Qura’n al-Karim (Beirut:
Mu’assasah> al-Alami, 1973), h. 75.
98M. Munir, Metode Dakwah: Edisi Revisi. op. cit., h. 216.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 57
Bentuk tulisan (dakwah bi al-Qalam) antara lain dapat
berbentuk artikel keislaman, tanya jawab hukum Islam, rubrik
dakwah, rubrik pendidikan agama, kolom keislaman, cerita
religius, cerpen religius, puisi keagamaan, publikasi khutbah,
pamflet keislaman, buku-buku dan lain-lain.99
Hal ini bisa
dikemas dalam software komputer grafis untuk memberi citra pada
pesan-pesan dakwah lewat lembaran elektronik maupun cetak
sesuai kebutuhan masyarakat cyber comunity.
Pada era informasi sekarang ini maraknya media massa
sebagai sarana komunikasi massa dan alat pembentuk opini publik,
para jurnalis Islami, aktivis dakwah, dan umat Islam pada
umumnya memang terkena kewajiban secara syar’i melakukan
dakwah, perlu memanfaatkan media massa untuk melakukan
dakwah bi al-Qalam, melalui rubrik kolom opini yang umumnya
terdapat di surat kabar harian, mingguan, tabloid, majalah-
majalah, atau buletin-buletin internal masjid.100
Tentu saja,
dakwah bi al-Qalam berjalan seiring perkembangan media cetak
dengan teknologi sistem informasi yang mutakhir.
99Awis Karni, Dakwah Islam di Perkotaan: Studi Kasus Yayasan Wakaf
Paramadina (Jakarta: Disertasi SPS UIN Jakarta, 2000, tidak diterbitkan h. 43.
100Blogger Gerakan Memakmurkan Masjid http://kopinet.info/dakwah-
bil-qolam/ diakses pada tanggal 18 Pebruari 2010.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 58
Melalui tulisan-tulisan di media massa, seorang Jurnalis
Islami, Ulama, Kyai, perlu pengembangan wawasan sistem
informasi dakwah dalam penyebaran informasi dengan cara
dakwah bi al-Qalam.101
Peran ini dapat melaksanakan tugas
jurnalis Muslim, sebagai muaddi>b (pendidik), musaddid (pelurus
informasi tentang ajaran dan umat Islam), mujaddi>d (pembaharu
pemahaman tentang Islam), muwahid (kesolidan sistem Informasi
Islam),102
dan mujahid (pejuang, pembela, dan penegak informasi
yang benar Islam).
Keunggulan dakwah bi al-Qalam jika dibandingkan dengan
bentuk dakwah yang lain adalah terdapat pada sifat dan objeknya
cakupannya yang luas. Dakwah bi al-Qalam dapat diterima oleh
ratusan, ribuan, ratusan ribu, bahkan jutaan orang pembaca dalam
waktu yang hampir bersamaan.103
Kompetensi jurnalis Islami
dalam bentuk dakwah bi al-Qalam juga merupakan senjata kita
dalam melawan serbuan pemikiran (Al-Gazwul Fikr) pihak-pihak
101M. Syafi’i Anwar, Dakwah bi al-Qalam dan Jurnalistik (Jakarta: 1989)
h. 166.
102M. Munir, Metode Dakwah: Edisi Revisi (Cet. III; Jakarta: Prenada
Group, 2009), h.123
103Suf Kasman, Jurnalisme Universal: Menelusuri Prinsip-Prinsip
Dakwah dalam Alquran (Cet. I; Bandung: Teraju, 2004), h. 88.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 59
yang hendak merusak akidah, pemikiran, dan perilaku umat Islam
melalui media massa.104
Media massa memang alat efektif untuk
membentuk opini publik (public opinion), bahkan memengaruhi
orang melalui pendekatan komunikasi emapti. 105
Kelebihan
dakwah bi al-Qalam memiliki kekuatan tersendiri karena bisa
diverifikasi, telah berkembangan menjadi lembaran-lembaran
elektronik (seperti touch screen), lebih rapi sistematika alur
pikirnya, dan dibaca berulang-ulang.
Tanda-tanda lewat komunikasi bi al-Qalam hemat Danesi
adalah pikiran yang dipindahkan lewat media kertas, batu, dan
lain-lain. Bangsa Mesir kuno menjadikan komunikasi bi al-Qalam
sebagai hieroglif sebab melalui komunikasi bi al-Qalam menulis
pesan-pesan mistik, hymne, doa, dan gelar dewa.106
Tradisi literasi
ini juga berkembangan di dunia Islam sehingga kitab Al-Quran dan
Sunnah berbentuk komunikasi bi al-Qalam. Karena komunikasi bi
104Ibid., h.125.
105Subandy Ibrahim, Sinar Komunikasi Empatik: Krisis Budaya dalam
masyarakat Kontemporer (Cet. I; Jakarta: Pustaka bani Quraisy, 2004), h. xx.
106Marcel Danesi, Massages, Sign, and Meanings: A Basic Textbook and
Semitics and Communication Theory Third Edition (Canadian Scholars' Press
Inc, 2004), diterjemahkan oleh: Evi Setriany dengan Judul: Pesan Tanda, dan
Makna: Buku Teks Dasar Semiotika dan Teori Komunikasi (Cet. I;
Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h.155.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 60
al-Qalam memiliki kelebihan yang strategis maka jurnalis Islami
perlu memiliki kompetensi komunikasi bi al-Qalam dengan
menerapkan dalam teknologi dakwah.
c. Dakwah bi al-H{a>l
Dakwah bil al-H{a>l: kata al-H{a>l bermakna hal atau
keadaan.107
Lisan al-H{a>l berarti memanggil, menyeru dengan
menggunakan bahasa keadaan dengan ajakan perbuatan nyata dan
penuh hikmah.108
Jurnalis Islami perlu memberikan prilaku yang
dapat diteladani umat baik dalam ibadah maupun dalam hubungan
sosial kemasyarakatan. Dakwah al-H{a>l dengan perbuatan nyata
dimana aktifitas dakwah dilakukan dengan cara memberikan
keteladanan, dakwah sosial (membangun jembatan, rumah sakit
dan pendidikan). 109
Sistem Informasi dakwah bi al-H{a>l atau dikenal dengan
sistem informasi dakwah kerja nyata seperti peningkatan ilmu
107Ahmad Warson Munawwir, Kamus Bahasa Arab-Indonesia
(Yogyakarta: Unit Pengadaan buku-buku ilmiah, t.th.), h. 336.
108Abdul Karim, Az-Zaid Zaid. Da'wah bil-H{ikmah, (Cet. I; Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar 1993). h. 28.
109M. Munir, Metode Dakwah: Edisi Revisi (Cet. III; Jakarta: Prenada
Group, 2009), h. 215. lihat juga Ensiklopedi Islam (Cet. IV; Jakarta : PT.
Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 280.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 61
pengetahuan (SDM) diberbagai bidang umat Islam harus
meningkatkan kreatifitas semaksimal mungkin sebagai wujud dari
taqwa kepada Allah swt., Dakwah bi al-H{a>l juga membangun
fasilitas umum, yakni jembatan, masjid, gedung pertemuan, hotel,
tempat wisata, infrastruktur ekonomi dan fasilitas-fasilitas umum
lainnya yang dapat dirasakan secara langsung oleh panca indra
mad’u. Tingkatan sistem informasi dakwah model ini memiliki
peran penting dalam perubahan sosial sistem informasi dakwah bi
al-H{a>l.110 Dakwah bi al-H{a>l, (perbuatan nyata) merupakan
aktivitas keteladanan dan tindakan amal nyata di tengah
masyarakat.
Sistem informasi dakwah bi al-H{a>l tidak meningggalkan
maqal (ucapan lisan dan tulisan), melainkan lebih ditekankan pada
sikap, perilaku, dan kegiatan-kegiatan nyata yang secara interaktif
mendekatkan masyarakat pada kebutuhannya, langsung atau tidak
langsung dapat memengaruhi peningkatan keberagamaan.111
Sistem Informasi Dakwah bi al-H{a>l saat ini bisa dilakukan dengan
110Tuty Alawiyah, Paradigma dakwah baru Islam: Pemberdayaan Sosio-
Kultural Mad’u IAIN Syarif Hidayatullah (Jakarta: Jurnal Kajian Dakwah dan
Kemasyarakatan), h. 5.
111Ismai Al-Faruqi, Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Menjelajah
Khazanah Peradaban Gemilang Islam: Edisi Indonesia (Bandung: Mizan,
1998),h. 220.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 62
karya nyata sebagai solusi kebutuhan masyarakat banyak,
misalnya membangun sekolah-sekolah, perjurnalis Islamian-
perjurnalis Islamian tinggi Islam, membangun pesantren,
membangun rumah-rumah sakit, membangun poliklinik, dan
kebutuhan hidup masyarakat lainnya untuk kebutuhan umat
manusia.112
Semua ini adalah bentuk dakwah bi al-H{al
Muhammadiyah sebagain bentuk dari spirit ajaran agama.
Sistem dakwah bi al-H{a>l hemat penulis lebih ditekankan
pada keteladanan serta menjadi panutan masyarakat. Untuk
mendesain sistem dakwah seperti ini lebih ditujukan pada kader-
kader dakwah perlu memberikan suri tauladan bagi mad’u dengan
pendekatan dakwah partisipatori yakni bersama-sama dengan
masyarakat melakukan dakwah pembebasan dari berbagai macam
keterpurukan. Baik keterpurukan ekonomi, kesehatan, politik,
budaya, cagar alam dan sosial kemasyarakatan. Tujuan dakwah
melalui pesan-pesan keselamatan, kesejahteraan, dan pembentukan
prilaku akhlak yang mulia.
Dari ketiga sistem dakwah bi al-Lisan, bi al-Qalam, an bi al-
H{a>l tersebut, memiliki cara dan sistem penyebaran informasi yang
berbeda-beda. Ketiga bentuk dakwah ini dapat terintegrasi dalam
112Munir, op.cit., h. 215.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 63
satu sistem informasi dakwah yang saling menunjang dan
mengokohkan antara sub sistem. Teknologi Informasi Dakwah
(TID) adalah ilmu yang mengajarkan strategi mendesain (ilmu
kemasan) pesan-pesan dakwah yang memberikan spirit
pencerahan kepada manusia untuk kompetensi merawat perbedaan
menjadi sebuah kekuatan berjama’ah untuk bertahan hidup sesuai
dengan tata tertib logika dan wahyu untuk meningkatkan
efektifitas dakwah.
2. Komunikasi Empati
Terminologi komunikasi empati dalam kamus besar bahasa
Indonesia adalah kemampuan komunikator membahasakan
perasaan dan pikiran orang lain.113
Idi Subandi memaknai
komunikasi empati sebagai kompetensi untuk meneliti dengan
baik kesulitan-kesulitan yang dialami orang lain.114
Hal ini sesuai
dengan pandangan Steven Jobs pemilik perusahan Apel dan
macintos bahwa empati itu peka terhadap perasaan orang lain dan
113Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Bahasa Republik Indonesia, 2009), h. 390.
114Idi Subandy Ibrahim, Sinarnya Komunikasi Empatik: Krisis Budaya
Komunikasi dalam Budaya Kontemporer (Cet. I; Jakarta: Pustaka Bani Quraisy,
2004), h. iii.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 64
mengatahui informasi yang dibutuhkan orang lain.115
Dalam
implementasi dakwah peran komunikasi empati ini perlu ditunjang
dengan teknologi informasi dakwah.
Komunikasi empati dalam implementasi sistem informasi
dakwah sangat penting, karena selama ini kerapa kali dalam proses
dakwah setiap kata dan kalimat yang diucapkan jurnalis Islami
terasa hampa dengan nilai-nilai spirit pencerahan. Kehampaan
pesan melalui kata, kalimat menurut Jen Bauldrillard
mengungkapkan bahwa komunikasi tanpa didukung oleh
komunikasi empati laksana berada dalam alam semesta yang
begitu melimpah ide, gagasan, yang berbentuk informasi tetapi
hampa dengan makna.116
Isyarat tersebut kerap kali dapat
dirasakan banyak penceramah mulai jurnalis Islami, jurnalis
Islami, dan teman dekat yang memberikan informasi tetapi terasa
hampa dan kurang memiliki daya dan spirit pencerahan. Hal ini
menunjukkan bahwa ada yang keliru dalam proses dakwah dan
komunikasi. Hemat penulis keadaan ini membutuhkan pendekatan
komunikasi empati.
115Steven Jobs, Manusia Jenius (Cet. I; Jakarta: Gramedia, 2011), h. 23.
116Ibid.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 65
Jalaluddin Rumi memaknai komunikasi empati adalah
belajar berkomunikasi dengan merasakan setiap kalimat yang
dikeluarkan oleh lawan komunikasi. Hemat Jalaluddin Rumi setiap
manusia dalam melakukan komunikasi dibayang-bayangi oleh
daya rohani.117
Hal ini menunjukkan bahwa dalam melakukan
komunikasi khususnya menyampaikan pesan-pesan Al-Quran dan
Sunnah membutuhkan kompetensi dan kredibilitas yang tinggi
untuk sampai pada pesan-pesan yang mengadung power dan spirit
pencerahan di tengah masyarakat. Hal ini sesuai dengan teori uses
and gratification Blumer yang dikuti oleh Jalaluddin Rakhmat
yang berpandangan bahwa setiap manusia memiliki
kecenderungan menerima informasi sesuai kebutuhannya.
Keadaan ini perlu menjadi perhatian setiap jurnalis Islami
untuk belajar memahami, memaknai, dan menjelaskan merasakan
perasaan orang lain. Kondisi hemat Deddy Mulayana bahwa
dewasa ini data, fakta, dan informasi berlimpa yang dikonstruksi
oleh peradaban dunia global. Hal ini sesuai imprealisme cultural
theory bahwa dominasi barat akan menguasai timur tengah.118
117Mohammad Ali Aziz, Ilmu Dakwah: Edisi Revisi, op. cit., h. 216.
118Deddy Mulyana, Komunikasi efektif: Suatu Pendekatan Lintas
Budaya (Cet. II; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), h. 43.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 66
Tetapi teori ini dibantah oleh Sebandi bahwa pendekatan
komunikasi empaty, imprealisme komunikasi global hampa
dengan spirit pencerahan rohani.119
Hal ini menggambarkan bahwa
era informasi adalah era hampa makna dan nilai-nilai rohani. Jika
jurnalis Islami memiliki kepekaan rasa dalam menyebarkan
informasi melalui penataan kata, kalimat yang berat, dan berbekas
dalam suasana kebatinan mad’u.120
Untuk memengaruhi mad’u
jurnalis Islami memiliki peran penting dalam penataan konten
informasi dakwah melalui komunikasi empati dalam
membahasakan pesan-pesan Al-Quran dan Sunnah di tengah
masyarakat.
Komunikasi empati dalam konteks komunikasi interpersonal
menunjukkan bahwa kompetensi jurnalis Islami merubah
prilakunya mad’u dari perbuatan kriminal menjadi baik. Mengajak
orang ke arah yang baik dengan pendekatan komunikasi empati.
Pendekatan komunikasi empati menurut Jum’ah Amin ada dua
bentuk komunikasi empati antara lain adalah: da’wah bi ahsani al-
119Idi Subandy Ibrahim op. cit., h. 12
120Ibid

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 67
qaul, dan da’wah bi ahsani al-Amal.121 Sejalan dengan sistem
informasi dakwah empati ini Sukri Sambas melakukan pendekatan
da’wah bi ah}sani al-Amal yang dirasakan baik oleh mad’u.122
Kenyamanan dalam sistem informasi dakwah dapat memberikan
penguatan dalam sub sistem dakwah dengan pendekatan
komunikasi yang empati.
Komunikasi empati dalam pandangan Yusuf Qardawi yang
dikutip dalam Al-Quran memberikan informasi bahwa dalam QS
Ibrahim/14: 4:
Terjemahnya:
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan
dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan
dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa
yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang
121Jum’ah Amin Abd al-Aziz, al-Da’wah al-Qawa>id wa Us}u>l
(Isakandariyyah Da>r al-Da’wah, 1997), h. 19.
122Sukriadi Sambas, Dasar-Dasar Bimbingan (al-Irsyad) Dalam Dakwah
Islam (Cet. I; Bandung: KP Hadidd, 1999), 27-48.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 68
Dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi
Maha Bijaksana.123
Pandangan Yusuf Qardawi yang dikutip oleh Mustafa
bahwa dalam ayat tersebut di atas bahwa Al-Quran diturunkan
dalam bahasa Arab itu, bukan berarti Al-Quran ditujukan kepada
bangsa Arab saja tetapi untuk seluruh umat manusia. Yang
dimaksud bi lisani al-qaum dalam ayat tersebut bahwa dalam
sebuah sistem informasi dakwah yang empati harus disesuaikan
dengan level budaya, metode, bahasa yang dapat dipahami oleh
perasaan, dan budaya mad’u, agar kemampuan kerja otak mereka
bisa diterima.124
Proses komunikasi ini dilakukan dalam bentuk
dialogis dengan memberikan pilihan-pilihan kebenaran dalam
proses komunikasi empati yang sesuai dengan daya nalar mad’u.
Komunikasi empati menurut DeVito dalam;
human communication: The basic Course is to the feel the same feelings is the same way as the other person does empathy.
123Yayasan Penyelenggara, penerjemah, penafsir Al-Quran Revisi
penerjemah Lajnah pentasih Mushaf Al-Quran Departemen Agama RI, (Cet.
XX; Bandung: Sigma, 2007), h. 255.
124Mustafa Malaikah, Manhaj Dakwah Yusuf Qadawi diterjemahkan
oleh: Samson Ramadhan (Jakarta: Pustaka Al-kausar, 1997), h. 21.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 69
You must use this empathy to achieve increased understanding and to ajust your communication appropriatly.125
Komunikasi sesama manusia: dasar komunikasi adalah
menyampaikan perasaan kepada orang lain. Sebagia seorang
komunikator harus berempati dan memahami perasaan orang
lain dan adanya saling kepercayaan dan kesamaan rasa.
Pendekatan komunikasi empati ini juga sesuai dengan
pandangan Everett Rogers
bahwa komunikasi empati adalah
sebuah cara untuk mendalami, merasakan budaya bahasa orang
lain.126
Model komunikasi empati tersebut adalah cara mendekati
perasaan budaya orang lain untuk menyamakan pemahaman
tentang suatu makna.
Komunikasi empati dalam pandangan Richard D. Lewis
bahwa adanya kompetensi tata krama dari ketulusan dalam
pemilihan kata dalam melakukan komunikasi dengan orang lain
sesuai kemampuan memaknai bahasa yang digunakan dalam
125Joseph A. De Vito, Human Communication: The basic Course, edisi
Ke-6 (New York: harper Collins, 1994), h.
126Everett Rogers, M and F. Floyd Shoemaker, Communication of
Innovations, A Cross Cultural Approach., (New York: The Free Press,1991), h.
331.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 70
berkomunikasi.127
Ketulusan komunikasi yang empati dapat
mengantar manusia pada jalan keselamatan. Hal ini juga sejalan
dengan padangan Usman Jasad dengan riset tentang komunikasi
persuasive bahwa komunikasi empati itu membantu seseorang
untuk sampai pada pemahaman yang luhur dalam membahasakan
Al-Quran dan sunnah sesuai perasaan seseorang.128
Dalam kajian
sistem informasi dakwah pendekatan ini termasuk etika
berdakwah.
Komunikasi empati dalam sistem informasi dakwah dapat
dilakukan dengan tiga model. Menurut pandangan J. Devito
komunikasi empati dalam bentuk interpersonal dapat dilakukan
dengan cara komunikasi linier, komunikasi dua arah, dan
komunikasi transaksional.129
Mengubah sikap komunikan dalam
proses sistem informasi dakwah dapat dilakukan dengan pemilihan
jurnalis Islami yang memiliki kredibilitas yang tinggi. Model
pendekatan komunikasi empati bertujuan untuk melahirkan sikap
127Richard D.Lewis, Komunikasi Bisnis Lintas Budaya diterjemahkan
oleh Deddy Mulyana (Cet. I; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h.145.
128Usman Jasad, Mencegah Radikalisme Agama: Dakwah Komunikatif
Muhammadiyah di Sulawesi Selatan, (UNI Jakarta: 2010), h. 44-45.
129 Joseph DeVito, The Interpersonal Communication book (Ney York:
Page Press, 1987), h. 240.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 71
dan prilaku komunikasi persuasif pada mad’u. Jika menyebarkan
pesan dakwah melalui pencitraan di media maka respon positif
dari dampak komunikasi empati dapat terwujud.
Dampak komunikasi empati tersebut sesuai teori stimulus
respons (stimulus respons theory) yang erat dengan pesan-pesan
media dan respon audiens.130
Berangkat dari teori stimulus respons
theory DeFleur dan Ballrokeach mengembangkan teori
psikodinamik yang didasarkan pada keyakinan bahwa kunci dari
komunikasi empati terletak pada modifikasi psikologis internal
individu.131
Model komunikasi empati dapat tercapai jika jurnalis
Islami dapat merasakan kesusahan orang lain dan memiliki
kepekaan sosial serta kredibilitas yang tinggi.
Kredibilitas jurnalis Islami dapat memengaruhi sumber
kredibilitas pesan dalam melakukan sistem informasi dakwah yang
empati. Hal ini dijelaskan dalam teori kredibilitas sumber (source
130Denis McQuail, Mass Communication Theori (London: Sage
Publication 2002), h. 98.
131Anwar Arifin Komunikasi Politik: Paradigma Teori Aplikasi, Strategi
Dan Komunikasi Politik Indonesia (Cet. I; PT. Balai Pustaka, 2003), h. 93.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 72
credibility theory)132
yang diadopsi ke dalam teori dakwah empati
yang dikenal dengan teori citra Dai. Teori citra Dai ini
diperkenalkan oleh Enjang bahwa citra jurnalis Islami melalui
komunikasi empati sangat menunjang keberhasilan dalam
implementasi sistem informasi dakwah.133
Hal ini sesuai
pandangan Mario teguh bahwa citra seseorang melalui pengalaman
batin dan kecerahan rohani.
Gambaran ini menunjukkan bahwa citra jurnalis Islami tidak
tumbuh secara instan, tetapi dicapai dengan proses yang panjang
yang dilakukan secara berkesinambungan akhlak al-Qari>mah.134
Alwi Sihab menyebutkan bahwa keteladanan sangat penting untuk
mencapai kredibilitas jurnalis Islami dalam sebuah sistem
informasi dakwah. Kesuksesan jurnalis Islami dalam menjaga citra
akan melahirkan empati mad’u dalam proses transformasi sistem
132Rogers, Everett. M and F. Floyd Shoemaker, 1971. Communication of
Innovations, A Cross Cultural Approach., (New York: The Free Press,1991), h.
331.
133Enjang, Dimensi ilmu Dakwah: Tinjauan Dakwah Dari Aspek
Ontology, Epistemology, dan Aksiologi Hingga Paradigma Pengembangan
Profesionalisme (Cet. I; Bandung: Widya Padjajaran, 2009), h.14.
134Said bin Ali Wakif Al-Qahthani, Al-Hikmah wa fi al-Dakwah Ilallah
Ta>ha di Terjemahkan oleh: Hasim Ibaidillah (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press,
1994), h. 21-33.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 73
informasi dakwah. Hal ini sesuai pandangan Gabriel Almond
dikutip A. Faisal Bhakti bahwa semua bentuk pencitraan
komunikator sangat memengaruhi masyarakat.135
Jika dipandang
dari segi sistem informasi dakwah, kredibilitas jurnalis Islami
(source credibility) dan daya tarik (source atractivess), kredibilitas
ditentukan oleh derajat keahlian, pengalaman, keterampilan,
kejujuran, dan jabatan.
Teori source credibility dapat tercapai jika seseorang
memiliki karisma, ketenaran dan reputasinya, karena jabatannya,
maka secara otomatis citra yang diberikan umat juga
meningkat.136
Proposisi ini sesuai teori source credibility
Jalaluddin Rahmat juga berpandangan bahwa ada dua kredibilitas
komunikator yakni gilt by association (cemerlang karena
hubungan) artinya seseorang merasa punya prestise jika sering
bergaul dengan orang yang memiliki prestise yang tinggi.137
135A. Faisal Bhakti, kata pengantar pada buku Suf Kasman Jurnalisme
Universal: Menelusuri Prinsip-Prinsip Dakwah bi al-Qalam dalam Al-Quran
(Cet. I; Jakarta: Teraju, 2007), h. vii.
136Muhammad Soelhi, Komunikasi Internasional: Perspektif Jurnalistik
(Cet. I; Bandung: simbiosa Rekatama Media, 2009), h. 65.
137Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi (Cet. VIII; Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2005), h. 14-15.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 74
Hal ini selaras dengan gagasan William McDougal seorang
psikolog pada tahun 1908 mengaskan bahwa kecerdasan personal
sangat meningkatkan kredibilitas, pandangan ini sesuai dengan
Edward Ross seseorang sosiolog yang bukunya diterbitkan di New
York bahwa faktor situasional sangat meningkatkan kredibilitas
seseorang komunikator. Begitupula perspektif Edward Sampson
(1976) menegaskan bahwa source credibility karena faktor
biologis dan faktor sosial psikologis.138
Dari pandangan para ahli
tersebut hemat penulis kredibilitas seseorang juga sangat
ditentukan oleh kekuatan ekonomi, turunan, karena keilmuannya,
dan akhlaknya.
Faktor lain yang dapat meningkatkan source credibility
adalah isi pesan yang disampaikan. Penjelasan tentang hal ini
dapat ditemukan dalam teori penguatan (reinforcement theory).
Bentuk penguatan itu seperti pemberian perhatian (attention),
pemahaman (comprehension), dan dukungan penerimaan
(acceptance). Teori ini dikembangkan oleh Hovland, Jenis, dan
Kelly pada tahun 1997.
Teori ini mengungkapkan bahwa teori reinforcement dapat
memberikan penguatan pada komunikan karena jurnalis Islami
138Ibid.., h. 34-35.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 75
memiliki kecerdasan menjelaskan ide dan gagasan dengan mudah,
menarik, serta sangat dibutuhkan oleh audiens. 139
Kekuatan teori
ini dapat menunjang sistem informasi dakwah dalam mengubah
pandangan komunikan (mad’u). Dalam hal ini seorang jurnalis
Islami perlu mendesain pesan yang dibutuhkan, serta
ditransformasikan dengan cara yang menarik dan mudah diserap
oleh mad’u. Proses tranformasi pesan teori medan dakwah juga
menjadi salah satu sub sistem penting dalam menunjang efektifitas
dakwah.140
Teori medan dakwah ini hemat Enjang bahwa perlu
adanya penyesuaian situasi teologis , cultural, dan struktural
mad’u pada saat permulaan dakwah Islam.141
Dalam sistem
informasi dakwah empati teori porses dan tahapan dakwah
menurut Enjang, hemat penulis jika sistem informasi dakwah
terdiri dari tahap pembentukan (takwin), tahap penataan (tand}im),
pembentukan pendelegasian maka implementasi sistem informasi
dakwah dapat berjalan efektif.
139Usman Jasad, op. cit., h. 54.
140Departemen Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung, Sistem
Informasi dalam Berbagai Perspektif: Manusia dan Sistem Informasi, Teknologi
dan Sistem Informasi, serta pendidikan dan sistem informasi (Bandung:
Informatika: 2006), h. 16.
141Enjang dan Aliuddin, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah: Pendekatan filosofis
dan Praktis (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), h. 124.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 76
PROCCES
Kompetensi
Jurnalis
Kredibilitas
Mubalig
Komunikasi
Empatik
Komunikasi
Partisifatif
I
N
P
U
T
Badi (keindahan
bahasa).
KREDIBILIT
AS
Ma’ani (Kecerdasa
n
memahami).
EMPATI
(Bayan)
Kecerdasan
menjelaskan
PARSIPATO
RI
OUTPUT
Adanya
kesadaran
menjaga
kredibilitas
informasi yang
menyebabkan
Benturan fisik dan
psikis di Batu
Merah (ISLAM
RAHMATALLI’ALAM
IN
MEDIA
COMPUT
ER
GRAFIS
Faktor
Internal;
Kognitif,
Afektif dan
Behavioral
Faktor
eksternal:
Wahyu,
Fenomena
Alam, ekonomi,
politik, idiologi
Jurnalis

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 77
BAB III
JURNALISTIK DAN JURNALISTIK ISLAMI
B. Jurnalistik Islami.
Sejarah jurnalistik dimulai ketika tiga ribu tahun yang lalu,
Fir‘aun di Mesir, Amenhotep III, mengirimkan ratusan pesan
kepada para perwiranya di provinsi-provinsi untuk
memberitahukan apa yang terjadi di ibukota. Di Roma 2.000 tahun
yang lalu Acta Diurna (tindakan-tindakan harian) tindakan-
tindakan senat, peraturan-peraturan pemerintah, berita kelahiran
dan kematian; ditempelkan di tempat-tempat umum. Selama Abad
Pertengahan di Eropa, siaran berita yang ditulis tangan merupakan
media informasi yang penting bagi para usahawan.142
Keperluan untuk mengetahui apa yang terjadi merupakan
kunci lahirnya jurnalisme selama berabad-abad.143
Dalam
mengungkap suatu kejadian, maka diperlukan komunikasi melalui
142Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik:
Teori dan Praktik (Cet. IV; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h. 16.
143Ibid., h. 16.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 78
berbicara atau berpendapat.144
Berbicara atau berpendapat
merupakan sesuatu yang esensial dalam kehidupan manusia. Sebab
berbicara, selain merupakan kekayaan manusia, juga menjadi salah
satu ciri yang membedakannya dari makhluk Tuhan lainnya.
Berbicara juga merupakan salah satu bentuk ekspresi manusia
berpikir.145
Sebagai suatu disiplin ilmu, jurnalistik telah melewati
perjalanan sejarah yang cukup panjang. Mulai dari kegiatan
pemasangan pamplet untuk keperluan penyampain berita secara
sederhana, sampai pada berdirinya satu lembaga pendidikan
jurnalistik. Untuk pertama kalinya, secara akademis, ia muncul di
Universitas Bazel, Swiss, pada tahun 1884 dengan nama
Zeitungskunde. Karl Bucher (1847-1930), seorang ahli ekonomi
bermazhab historis jerman, adalah di antara orang yang berjasa
dalam ikut membidani lahirnya disiplin ilmu tersebut pada masa
itu.146
144Ayyub, Dasar-Dasar Jurnalistik Islam: Rasul dan Sahabat. Diajukan
sebagai Tugas Akhir Matakuliah Etika Jurnalis Muslim semester II Program
Magister (S2) Konsentrasi Dakwah dan Komunikasi Tahun Akademik
2010/2011
145Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistk: Pendekatan Teori dan Praktik (Cet. I;
Jakarta: Logos, 1999), h. 13.
146Ibid., h. 15.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 79
Berangkat dari sejarah jurnalistik di atas, jurnalistik dalam
dunia Islam telah dimulai pada masa Rasulullah. Hal ini dapat
dilihat pada kegiatan para sahabat menyampaikan hadis dengan
cara menghafal, dan menuangkannya dalam bentuk tulisan,147
sehingga dari kegiatan para sahabat inilah dikategorikan dengan
kegiatan yang bersangkut-paut dengan tugas jurnalis pada pers
yang ditungganginya.
Oleh sebab itu, dakwah penting dibangun melalui kegiatan
jurnalistik. Karena jurnalistik merupakan salah satu metode
komunikasi yang bisa digunakan untuk berdakwah, baik oleh
lembaga kemasyarakatan yang khusus melakukan kegiatan
jurnalistik saja (pers) maupun yang tujuan utamanya adalah
berdakwah (lembaga dakwah).148
147Hadis berawal dengan masa hafalan dan pencatatan yang dilakukan
oleh Sahabat, penulisan dan pentadwinan yang dilakukan oleh Ta>bi’i> al-Ta>bi’i>n
dan para ulama, sedangkan pentashihan dan pentahkikan yang dilakukan para
ulama yang datang berikutnya sebagai pelanjut dan penyempurna perjuangan,
demikian juga ulama yang melakukan penyarahan terhadap hadis-hadis yang
sudah dinilai berkualitas s}ah}i>h}. Ambo Asse, Ilmu Hadis, Pengantar Memahami
Hadis Nabi saw. (Cet. I; Makassar: Da>r al-H}ikmah wa al-‘Ulu>m Alauddin Press,
2010), h. 37-38.
148Kustadi Suhandang, Manajemen Pers Dakwah: Dari Perencanaan
Hingga Pengawasan (Cet. I; Bandung: Penerbit Marja, 2007), h. 14.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 80
Untuk mengetahui kegiatan jurnalistik Islam, maka perlu
diketahui tentang dasar-dasarnya, sebagai landasan dalam
membangun pers yang bernuansa Islami. Oleh sebab alasan inilah,
maka penjabaran mengenai dasar-dasar jurnalistik Islam perlu
diketahui.
Pengetahuan dasar yang penulis sajikan dalam makalah ini,
berangkat dari ilmu ulumul hadis sebagai landasan awal bagi
penulis di dalam mengkolerasikan antara ilmu jurnaslistik dan
ilmu-ilmu ke-Islaman atau Islamic sains.
Mempertahankan nilai-nilai Islam dalam dunia pers
merupakan tuntutan terhadap setiap jurnalis muslim. Dalam
persaingan era globalisasi yang ditandai dengan perkembangan
informasi dan komunikasi yang kompetitif dewasa ini, merupakan

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 81
tantangan terhadap dunia Islam dalam mencapai peluang atau
kemunduran mewujudkan suatu harapan kemajuan Islam.
Pada hakekatnya ideologi jurnalis muslim senantiasa harus
disearahkan dengan dakwah Islam yang merupakan aktualisasi
iman (teologis), yang dimanifestasikan dalam suatu sistem.
Kegiatan jurnalis muslim merupakan wujud dari realisasi manusia
beriman dalam bidang kemasyarakatan, yang dilaksanakan secara
teratur dan terencana untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir,
bersikap dan bertindak manusia pada dataran kenyataan individual
dan sosial kultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya
ajaran Islam dalam semua segi kehidupan yang menggunakan cara
tertentu,149
diantaranya melalui komunikasi massa yakni
komunikasi yang melalui media massa modern yang meliputi pers,
radio, televisi, film dan termasuk internet, yang kesemuanya itu
diharapkan menjadi peran aktif dari setiap jurnalis muslim.150
Arus informasi dalam segala bentuknya mengalir cepat
kemana-mana dan sukar dikendalikan. Salah satu pendorong
terjadinya ledakan informasi ini adalah kemajuan teknologi yang
149Amrullah Ahmad, Dakwah dan Perubahan Sosial (Jakarta. PLP2M
1985) h. 14
150SM. Siahaan. Komunikasi Pemahaman dan Penerapannya ( Cet, III :
PT. BPK Gunung Mulia. Jakarta .2000), h. 103
1

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 82
mengalami peningkatan yang luar biasa dalam hal kemampuan
menciptakan informasi baru. Informasi yang lebih penting, telah
ditunjukkan oleh media komunikasi di antaranya melalui jaringan
komputer yaitu internet. Jaringan ini merupakan jaringan
informasi terbesar dan terluas saat ini. Sarana tersebut
memungkinkan seseorang melakukan berbagai fungsi komunikasi
(mengirim pesan, gambar bergerak dan tidak bergerak, musik,
data, dan tukar pikiran, menawarkan informasi dan hiburan serta
berbagai kebutuhan lainnya) dengan siapapun diseluruh didunia
tanpa dapat dibatasi oleh siapapun dan dari negara manapun.151
Oleh karena itu para jurnalis muslim selaku ujung tombak
dalam keberhasilan dakwah melalui media informasi dan
komunikasi, dapat menguasai pengetahuan secara komperehensif,
dan para jurnalis muslim juga dituntut untuk menguasai ilmu-ilmu
sosial lainnya sebagai penunjang, seperti psikologi sosial,
antropologi sosial, bahasa dan ilmu yang relevan juga etika
sebagai salah satu ilmu pengetahuan yang mutlak harus dikuasai
dan ada pada diri jurnalis muslim, baik etika secara lahiriah dalam
bentuk perbuatan maupun batiniah dalam bentuk akhlak yang
baik. Hal ini disebabkan karena etika yang difungsikan sebagai
151 A.S. Achmad, Tantangan Dakwah Abad XXI Tth. h. 1

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 83
ideologi merupakan suatu hal yang menunjang simpati maupun
animo, selanjutnya jika dipadukan dengan tehknik, model-model
dan pendekatan-pendekatan yang baik untuk mewujudkan
efektifitas dalam melaksanakan prinsip-prinsip dan tujuan jurnalis
muslim sebagai penggerak dakwah, apalagi di era global.152
‚Siapa yang menguasai informasi akan memenangkan
pertempuran.‛ Demikian yang diugkapkan oleh salah seorang
mantan praktisi salah satu majalah islam di Indonesia. Sebuah
ungkapan yang singkat namun sangat sarat dengan makna.
Ungkapan yang seharusnya dapat menjadi motivator bagi diri kita
agar senantiasa mengasah pena kita dalam menghadapi
pertempuran kehidupan di abad komunikasi massa saat ini. Sebuah
abad dimana orang mampu berbicara dengan ratusan bahkan
jutaan manusia secara serempak meski ditempat yang terpisahkan
oleh jarak yang jauh membentang.
Efek komunikasi massa sat ini telah beralih drastis dari
ruang-ruang kuliah ke ruang pengadilan. Efek komunikasi massa
pun telah menyabet perhatian dari berbagai kalangan. Seperti yang
dapat kita saksikan saat ini, bagi politisi media massa dijadikan
152 Wardi Bachtiar, Metodologi Penelitian Dakwah, (Cet. I: Jakarta;
Logos Wacana Ilmu, 1997), h.35

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 84
sebagai sarana menarik konstituennya, begitupula bagi para
selebriti, bisnisman, tokoh agama sampai pedagang kecil
sekalipun. Tidak dapat dipungkiri bahwa media massa memiliki
peran yang cukup signifikan dalam kehidupan sosial masyarakat.
‚Satu mata pedang hanya akan membentuk satu orang,
sedangkan satu mata pena dapat membunuh ribuan orang.‛
Berbicara tentang media massa pasti tak lepas dari istilah
jurnalistik. Napoleon Bonaparte pernah menyatakan bahwa ia
lebih menyukai jika berhadapan dengan tiga ribu prajurit yang
menyerangnya dibandingkan jika harus menghadapi seorang
jurnalis. Mengapa demikian? Karena tiga ribu pasukan hanya
dapat mengendalikan pertempuran dengan pedangnya dari dalam
arena perang. Sedangkan seorang jurnalis mampu
membolakbalikkan kondisi peperangan yang sedang berkecamuk
dengan goresan penanya tanpa harus terjun langsung ke medan
perang. Begitulah ungkapan dari seorang yang telah malang-
melintang dalam dunia pertempuran dan sangat berpengalaman
dalam menghadapi muslihat musuh.
Pernyataan Napoleon tersebut semakin diperkuat dengan
fakta-fakta yang terjadi. Misalnya yang dilakukan oleh para
jurnalis dari kalangan Zionis Yahudi laknatullah yang secara

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 85
bertubi-tubi mendiskreditkan umat islam dari berbagai sisi.
Bahkan saat ini musuh-musuh islam tak henti-hentinya berusaha
memojokkan umat islam melalui goresan penanya. Mereka dengan
terang-terangan menganggap islam sebagai agama yang identik
dengan kekerasan dan terorisme, mereka menyampaikan hal-hal
tersebut sesuai dengan misi yang mereka bawa pula.
Pertempuran. Ya, kata inilah yang memang sangat dentik
dengan kondisi saat ini. Pertempuran yang bagi orang-orang
muslim adalah dalam rangka amar makruf nahi munkar tentunya.
Pada setiap pertempuran tentu kita tidak sekadar menghadapi
lawan dengan tangan kosong malainkan juga membutuhkan
senjata. Dan pada pertempuran kita hari ini senjata yang kita
butuhkan bukanlah pedang dan senapan tetapi pena dan
kecerdasan kita. Jika orang-orang Yahudi secara terang-terangan
memerangi Islam dengan opini maka kita sebagai seorang pemuda
muslim juga harus melawannya dengan pertempuran yang
seimbang. Meski pertempuran yang kita hadapi saat ini terasa
lebih lembut sehingga tak sedikit orang muslim yang terlena.
Sungguh ironis melihat dunia informasi saat ini yang
dikuasai oleh orang-orang non-muslim. Padalah Allah Subhanahu
Wata’ala sudah menerangkan kepada kita tentang pentingnya

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 86
jurnalistik dalam ayat-ayat Alqur’an. Seperti halnya yang tertera
dalam QS Al-Maidah ayat 19 berikut ini:
‚Hai ahli kitab, Sesungguhnya Telah datang kepada kamu Rasul kami, menjelaskan (syari'at kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul agar kamu tidak mengatakan: "Tidak ada datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan". Sesungguhnya Telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.‛
Dalam sejarah Islam, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam juga telah memanfaatkan risalah sebagai media
komunikasi. Meski beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam adalah
seorang yang ummi namun surat-menyurat tetap berjalan dengan
bantuan para sahabat beliau Radhiallahu ‘anhum. Para sahabat
Radhiallahu ‘anhum sangat berperan dalam pemberitaan mengenai
pribadi beliau, memindahkan berita-berita itu kepada para sahabat
lain, kepada tabi’in, lalu kepada tabi’ut tabi’in. Hingga ribuan
hadis berhasil dicatat oleh para ahli hadis. Sehingga tak berlebihan
jika para sahabat Radhiallahu ‘anhum disebut sebagai jurnalis.
Jurnalistik yang diterapkan oleh Rasulullah Radhiallahu ‘anhum
saat itu selaras dengan kondisi dan kemajuan umat.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 87
Ketika kita menengok sejarah pers di Indonesia, maka negara
kita ini mempunyai banyak tokoh muslim yang terjun dalam dunia
pers dari masa-masa sebelum kemerdekaan sampai orde baru
begitu kuat. Para tokoh nasional rata-rata berlatarbelakang pers.
Misalnya Mohammad Natsir yang melahirkan koran ‚Abadi‛, A
Hasan dengan majalah ‚Pembawa Islam‛nya atau bahkan KH
Ahmad Dahlan dengan majalah ‚Suara Muhammadiyah‛nya yang
sampai saat ini masih mewarnai dunia penerbitan di negeri kita.
Tokoh pers lain yang turut mewarnai sejarah diantaranya yaitu
KH. Abdul Wahab Hasbullah seorang ulama besar yang hidup
pada masa penjajahan Jepang. Beliau selama 7 tahun menjadi
pimpinan majalah ‚Soeara NO‛ dan ‚Berita NU‛. Drh. Taufik
Ismail seorang jurnalis muslim yang tetap konsisten sampai saat
ini merupakan salah satu pendiri majalah sastra ‚Horison‛.
Jurnalistik dan pers selain berfungsi sebagai penyampai
berita juga berperan sebagai alat berperang melawan penjajah serta
berperan penting dalam mempengaruhi cara pandang masyarakat
dalam melihat sebuah realita sosial. Gambaran yang disajikan oleh
media massa seringkali menjadi sumber pengambilan sikap
terhadap realita sosial.153
Oleh kaena itu jika media salah dalam
153Penulis adalah Aktivis FLP Solo Raya Ranting IAIN Surakarta.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 88
memberikan informasi maka akan berdampak fatal dalam
memberikan gambaran kepada masyarakat. Oleh sebab itu
hendaknya informasi yang disajikan dalam media haruslah akurat,
sesuai fakta dan memiliki misi mendidik. Sehingga pembentukan
opini publik tidak negatif.
Maka, saat ini setiap muslim dituntut komitmennya
terhadap perbaikan. Media merupakan sarana yang sangat efektif
untuk menyampaikan pikiran kita dalam rangka melawan
rongrongan musuh-musuh Islam yang selalu berusaha untuk
menghancurkan kita dengan pena yang mereka goreskan.
Karenanya media Islam saat ini adalah sebuah keniscayaan.
Bersama kita mewarnai dunia ini dengan tinta-tinta kita, dengan
tulisan-tulisan kita.
Orang bijak mengatakan, ‚Sejarah tidak ditulis melainkan
dengan merah darah para syuhada’ dan hitam tinta para ulama’.‛
So, mari kita kuasai informasi. Karena dengannya kita akan
menggoreskan lembar sejarah dan menguasai dunia.
Eksistensi Jurnalis Dalam Perspektif Dakwah, Kemajuan
teknologi dibidang komunikasi telah mengantarkan alat

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 89
komunikasi massa atau yang disebut massmedia dapat
menjalankan fungsinya secara baik setidaknya memiliki beberapa
fungsi yakni memberikan informasi, mendidik dan memberikan
hiburan dan ada juga yang menambahkan mempengaruhi,
membimbing dan fungsi mengeritik.154
Dalam menjalankan fungsinya tersebut media massa harus
selalu mengawal mana informasi yang patut di komunikasikan dan
mana pula yang tidak patut. Untuk mencapai kebenaran orang-
orang media massa termasuk wartawannya haruslah meyakinkan
bahwa informasi yang didapat telah akurat kebenarannya.
Meskipun pekerjaan pers mempunyai kebebasan, namun tidak
dapat melepaskan diri dari aspek tanggung jawab.155
Berbekal kesadaran bahwa etika jurnalistik berdasarkan
pada usaha mati-matian untuk menyajikan pengetahuan akurat
mengenai dunia, maka seseorang dapat mengenali suatu kebajikan
maupun dosa-dosa jurnalistik. Pada ujung yang paling baik dari
rentang itu adalah kejujuran. Kejujuran dalam menyampaikan
informasi pada media massa merupakan sifat paling mendasar
154 Onong Uchyana Effendi, Dinamika Komunikasi, (Cet.I; Bandung:
Rosdakarya 1986), h.172
155 William L.Rivers dan Cleve Mathews, Ethicfor for The Media, Terj.
Arwah Setiawan dan Danan Priyatmoko, Gramedia Jkarta, 1994, h. 35-36

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 90
yang harus dimiliki termasuk seorang muslim yang bekerja
dibidang ini yang memiliki sifat kejujuran sesuai dengan nilai-nilai
keislaman yang diyakininya berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist.156
Dakwah sebagai komitmen moral dari seorang hamba yang
cinta akan Rabb-Nya menjadi suatu condition sine quanon (sangat
penting) yang tak mungkin dihindarkan dalam kehidupan, karena
tegak dan suburnya nilai-nilai Islam di seluruh belahan bumi
tergantung dari usaha yang suci ini. Amanah dakwah bukanlah
tugas yang ringan, tapi ia merupakan ikhtiar yang agung yang
tidak semua orang dapat memikulnya.
Dinamika kehidupan global menuntut setiap manusia untuk
menyiapkan diri dalam kanca kehidupan modern yang ditandai
oleh kemajuan informasi, sains dan tehknologi. Ditengah
kemajuan sains yang dimanifestasikan lewat kemudahan-
kemudahan dan kenikmatan yang disodorkan, mendesak peran
serta fungsi dakwah mampu bersaing dengan ransangan tekhnologi
tersebut. Tidak bisa dihindari atas suatu perubahan yang begitu
cepat kecuali mengisolasikan diri dari pergaulan internasional dan
masyarakat modern.157
156 Ibid h. 53-54
157 Amar Ahmad, Dakwah di Era Komunikasi global, Tt. h. 27

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 91
Oleh karena itu kehadiran media komunikasi ditengah
masyarakat tidak dapat dielakkan lagi karena telah menjadi
perekat dalam masyarakat (glue of society),158
hal ini tentu saja
dilandasi nilai etika seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
seperti yang dikatakan oleh Onong Ucahyana Effendi, Mohtar
Lubis yang mengartikan etika (etos) yang secara luas yang
dimaknai sebagai suatu sistem tata nilai moral, tanggung jawab
dan kewajiban. Jadi etika merupakan suatu prilaku yang
mencerminkan i’tikad baik untuk melakukan suatu kesadaran,
kebebasan yang dilandasi kemampuan.159
Dalam perspektif dakwah, jurnalis muslim sangat penting
mengorientasikan diri sebagai muballig yang bergerak dalam
pengembangan dunia Islam melalui media massa. Hal ini
membutuhkan sosok jurnalis yang professional, inisiator, dan
memiliki potensi sebagai analisator untuk mengajak kepada amar
ma’ruf dan nahi munkar, tentunya tidak terlepas dari idelisme
tuntutan ajaran agama. Berkaitan dengan kapasitas sebagai
158 Anwar Arifin, Ilmu Komunikasi Sebuah Pengantar (Cet. II. Jakarta :
Rajawali Pers 1992), h. 61
159 Onong Uchayana Effendi, op, cit., h. 84

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 92
jurnalis muslim, dipandang penting untuk meningkatkan misi
dakwah Islam, sebagaimana firman Allah Swt dalam al-Qur’an:
Terjemahnya:
‚Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…‚ (Q.S. An-Nahl 16: 125).
Dakwah adalah sebuah proses yang bertujuan untuk
melakukan suatu perubahan yaitu memindahkan satu umat dari
suatu situasi kepada situasi yang lain,160
atau dakwah adalah
usaha-usaha perbaikan dan pembangunan masyarakat.161
Dalam
pelaksanaan dakwah menyangkut tiga hal yakni sumber daya,
sarana, dan prasarana dakwah. Untuk melakukan dakwah
diperlukan alat dan kualitas muballig yang memadai kedua faktor
penunjang ini harus bekerja secara dialektik-funsional (kerjasama
saling menguntungkan) sehingga pesan-pesan dakwah yang
disampaikan dapat diterima dihati dan diamalkan oleh sasaran
dakwah. Alat dakwah merupakan media apabila pesan-pesan
dakwah akan disosialisasikan.
160 Lihat Bahay Al-Khuly dalam Marlya Ahsan, Diktat Ilmu Dakwah
(Ujung Pandang Fakultas Ushuluddin 1985), h. 2
161 Salaehuddin Sanusi, Pembahasan siekitar prinsip-prinsip Dakwah
Islam ( Semarang Ramadhan , 1964), h. 1

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 93
Mengingat tantangan zaman dewasa ini, maka usaha dakwah
perlu memanfaatkan teknologi informasi sebagai sarana kegiatan
dakwah. bahkan dalam penyelenggaraan misi Islam peranan
komunikasi dan informasi adalah sangat penting, lebih-lebih di era
informasi sekarang ini, sebab para pelaku dituntut untuk mampu
menggunakan dan menguasai teknologi informasi.162
Dalam hal ini untuk memahami lebih jauh perlu kita
menyinggung bentuk dan fungsi dari beberapa jenis media
komunikasi yang dapat diperankan oleh jurnalis muslim dalam
menunjang pelaksanaan dakwah, di antaranya:
1. Spoken words, yaitu media dakwah yang berbentuk ucapan
atau bunyi yang dapat ditangkap dengan indra telinga seperti
radio, telpon dan sebagainya.
2. Printed writing, yaitu media dakwah yang berbentuk tulisan,
gambar, lukisan dan sebagainya yang dapat ditangkap
dengan indra mata.
3. The audio visual, yaitu media dakwah yang berbentuk
gambar hidup yang dapat didengar sekaligus dapat dilihat
seperti televisi, film, video, dan sebagainya.
162 PP. Muhammadiyah, Keputusan Muktamar ke -43, yokyakarta : suara
Muhammadiyah, 1995, h. 220-221

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 94
Disamping penggolongan wasilah di atas diapun mempunyai
sifat yang dapat dibagi menjadi dua golongan diantaranya :
1. Media tradisional, yaitu berbagai seni pertunjukan yang
secara tradisional dipentaskan di depan umum (khalayak)
terutama sebagai sarana hiburan yang memiliki sifat
komunikatif, seperti ludruk, wayang , drama, dan
sebagainya.
2. Media Modern, yang diistilakan juga dengan ‚media
elektronika‛ yaitu media yang dilahirkan dari teknologi dan
diantaranya adalah televisi, radio, media cetak, dan
sebagainya.163
Dalam abad informasi sekarang ini dakwah tidak bisa tidak
harus semaksimal mungkin menggunakan media massa modern
seperti radio, tv, film, pers, internet dan sebagainya dan tak ada
yang dapat membantah media massa ini dalam penyebaran suatu
agama. Media massa yang mutlak dipergunakan dan memiliki
efektivitas yang tinggi antara lain: Pers (surat kabar) besar
mamfaatnya sebab ia termasuk dari beberapa media massa
163 Muhammad Ali Azis, Ilmu Dakwah. (Jakarta : Interpratama Offset ,
2004), h. 150

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 95
pembentuk opini masyarakat ia hampir disebut sebagai ‚makanan
pokok‛ masyarakat selalu mendambakan informasi dan selalu
dapat mengikuti perkembangan dunia. Dakwah melalui, wasilah
ini dapat berbentuk berita-berita Islam penulisan artikel-artikel
Islam dan sebagainya. Adapun kelebihan-kelebihan dari wasilah
ini yang dikemukakkan oleh Lazarfeld Doob dan Breslon :
a. The readherd control the exposer: Medium ini memberi
kesempatan untuk memilih materi-materi yang sesuai dengan
kemampuannya dan kepentingannya. Bahkan pembaca lebih
lanjut dapat membacanya setiap kali dan kapan ia ingin
barhenti membacanya. Juga dapat membuat resume jika ia
perlu.
b. Exposer may be an often be repeated: Selanjutnya medium
yang diwakili oleh pers ini tidaklah terikat oleh suatu waktu
dalam mencapai khalayaknya. Bahkan mereka secara bebas
dapat melihat kembali meterial yang telah dibacanya untuk
mengingatkanya, atau menguatkan ingatannya, atau dengan
kata lain pembaca tetap dapat menyegarkan ingatannya dan
dapat menikmati suatu kepuasan yang dapat dinikmati
sebelumnya. Maka ia dapat berganda yang bertumpuh pada

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 96
akumulative effect. Hal ini dapat dijumpai pada medium-
medium yang lain.
c. Treatmen may be fuller: Medium yang berbentuk tulisan ini
juga dapat mengembangkan suatu topik yang diinginkan.
Maksudnya tidak diikat topik yang dikembangkan melalui
radio, film, dan tv.
d. Specialized appereance is possible: Media ini selanjutnya
hidup dan berkembang dalam keadaan yang tidak diikat oleh
standar tertentu dalam content keseluruhan dibanding pada
medium-medium yang lainnya. Ia memiliki wilayah lebih luas
dan kebebasan gaya yang lebih besar dibanding dalam
memenuhi selera pembaca. Demikian juga dengan materi yang
bagaimanapun juga keadaannya dapat lebih lancar disalurkan
pada pembaca melalui cetakan, dibandingkan melalui film.
e. Possibel Greated Prestige: Akhirnya medium yang dapat
ditangkap oleh mata ini, dapat memiliki prestise yang tinggi,
justru karena dalam pembentukan, prestise yang bersifat
khusus, berdasarkan kepada kebiasaan pembaca yang
didalamnya tercakup perhatian dan kesenangan untuk
membaca. Dan dasar ini pula maka seseorang akan sangat
mudah dipengaruhi oleh bacaannya.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 97
Jurnalis muslim dalam perspektif dakwah, apabila
mengorientasikan misi dakwah Islam, maka dengan sendirinya
ikut memberikan dampak positif yang bersifat produktif dan
konstributif terhadap penguatan kestabilan masyarakat Islam yang
beraqidah baik, serta memiliki daya saing yang lebih maju untuk
diandalkan dari generasi ke generasi melalui ekspansi informasi
dan komunikasi islami melalui media yang dilakoninya.
Dalam keberlangsungan dunia pers yang semakin pesat,
mengglobal dan kompetitif dewasa ini, dipandang penting adanya
idealisme yang kokoh terhadap setiap jurnalis muslim. Idealis atau
cita-cita membumikan kejayaan Islam melalui pers atau media
massa, senantiasa dapat tumbuh berkembang apabila misi dakwah
terpatri dalam jiwa jurnalis muslim. Dengan kata lainnya, jurnalis
muslim harus mampu menjadikan dirinya sebagai da’i atau
muballig dalam menjalankan tugas dan aktivitas sebagai wartawan
atau berkecimpung pada suatu lembaga media massa. Implikasi
yang timbul dari posisi jurnali164
s muslim seperti itu, maka dalam
164 Abdul Basit, Wacana Dakwah Kontemporer, (Cet. I; Pustaka Pelajar
Offset: Yoyakarta, 2006), h. 229

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 98
komunikasi global tentunya Islam memiliki kekuatan untuk
berperan secara signifikan.
Seorang yang bergama Islam, tentunya mempunyai tugas
dan tanggung jawab yang sama dalam gerakan dakwah, tidak
terkecuali jurnalis. Seorang muslim, apabila secara simultan
dihadapkan dengan masalah kaum muslimin, maka masalah kaum
musliminlah yang harus terlebih dahulu diperhatikan. Sikap
mendahulukan kepentingan saudaranya (umat) daripada
kepentingan pribadinya adalah sesuatu yang mulia dan merupakan
pemikiran yang lebih tinggi nilai manfaatnya, sehingga Islam telah
meletakkan sikap seorang muslim seperti itu sebagai orang yang
betul-betul beriman.
Rasulullah Saw, bersabda:
فليس من هللا في شيئ ومن لم يهتم بامر المسلمين فليس منهم من اصبح وهمه الدنيا
Artinya:
Siapa saja yang bangun pagi hari dan ia hanya memperhatikan masalah dunianya, maka orang tersebut tidak berguna apa-apa di sisi Allah; dan barang siapa siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia tidak akan termasuk golongan merekea. (HR. Ath-Thabrani dari Abu
Dzar Ghifari).
Hukum syara’ telah mewajibkan kaum muslimin untuk
mengemban Jurnalis Islami pada setiap situasi dan kondisi, pada

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 99
setiap status kehidupan social dari setiap strata. Kewajiban itu
dipertanggungjawabkan atas orang yang ahli dalam hokum (faqih)
maupun yang tidak ahli (awam); juga diwajibkan bagi semua
orang, baik laki-laki atau perempuan, jamaah (masyarakat),
maupun individu.165
Jurnalis Islmai dalam rutinitas aktivitasnya, berhubungan
dengan tanggung jawab dakwah bagi dirinya sebagai seorang yang
mempunyai aqidah Islam, maka perlu menaruh perhatian terhadap
masalah komunikasi.
Dalam proses kelancaran dakwah komunikasi, yakni suatu
proses yang digunakan oleh jurnalis dalam usaha untuk membagi
arti lewat transmisi pesan simbolis merupakan hal yang sangat
penting. Karena komunikasi yang efektif dalam pelaksanaan
dakwah dengan menggunakan media informasi, tentunya dapat di
desain oleh jurnalis yang sekiranya bermuatan misi dakwah Islam
untuk dipublikasikan kepada khalayak.166
A. Dasar-Dasar Jurnalistik Islam.
165 Samsul Munir Amin, Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Islam, (Cet. I;
Amzah: Jakarta, 2008), h. 102
166 Muhammad Munir & Wahyu Ilaihi, Manajemen Dakwah, (Cet. II;
Kencana Prenada Media Group: Jakarta, 2009), h. 159

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 100
Tradisi akademik Islam dalam mendesain keilmuan
jurnalistik Islami berangkat dari peristilahan-peristilah hadis berita
tentang keteladan Rasulullah sebagai komunikator dalam
menyampaikan pesan kepada Sahabatnya, kepada Kiasar Romawi
dan kepada Raja-raja Persia untuk membangun watak kesadaran
Raja untuk menjadi teladan di tengah masyarakat dalam
menyapaikan berita yang dapat membentuk masyarakat yang cinta
pada kedaimaian dan keselamatan dunia dan akhirat.
Dari peristiwa dan tata cara inilah sebagai cikal-bakal dasar-
dasar jurnalistik Islam, yaitu terbagi 2 (dua): 1). Mencakup
penamaan berita yang dipakai ulama dalam menyebarkan berita.
2). Mencakup tingkatan kevalidan (kebenaran) sebuah berita yang
disampaikan. Untuk memahami kedua pembagian peristilahan ini,
berikut penjelasannya:
Peristilahan yang berkaitan tentang topik berita yang
disampaikan dari segi penyebutannya adalah sebagai berikut:
1. Hadis: Kata hadis sendiri secara etimologi (bahasa) bisa
diartikan sebagai Jadi>d yang berarti baru, merupakan
antonim dari kata qadi>m (lama). Qari>b yang berarti dekat,
diambil dari kalimat hadis| al-‘ahdi bi al-isla>m yang berarti
orang yang baru masuk Islam. Khabar yang berarti warta

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 101
atau berita. Secara terminologi Ulama dalam memberikan
pengertian hadis terdapat perbedaan pendapat. Akan tetapi,
pendapat populer yaitu pendapat mayoritas ulama. Hadis
menurut Jumhu>r ‘Ulama>’ adalah sesuatu yang disandarkan
kepada Rasulullah saw., baik berupa perkataan, perbuatan,
ketetapan (taqri>r), sifat sebagai mahkluk dan sifat yang
mulia. Begitu pula sesuatu yang disandarkan dari Sahabat
dan Ta>bi’i>n berupa perkataan dan perbuatan.167
2. Sunnah: Adapun sunnah secara etimologi adalah jalan yang
dilalui baik itu tercela maupun terpuji.168
Sedangkan secara
terminologi sunnah mempunyai pengertian yang berbeda-
beda, karena ulama memberikan pengertian sesuai dengan
disiplin ilmunya masing-masing.169
a. Menurut ulama pakar hadis (muhaddis|u>n), adalah :
semua hal yang berasal dari Nabi, baik yang berupa
perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun hal-hal yang
lainya. Jadi, menurut pengertian ini sunnah bisa
meliputi fisik semisal tubuh, rambut, jenggot, maupun
167Al-Khasyu>’i> Muh}ammad al-Khasyu>i>, Mausu>’ah ‘Ulu>m al-H{adi>s\ al-
Syari>f (Kairo: al-Majlis al-A’la> li al-Syu’u>n al-Isla>miyyah, 2008), h. 257.
168Ini berdasarkan hadis nabi
:
169Fatchur Rahman, Ikhtisar Mus}t}alah}ah al-H}adi>s| (Cet. I; Bandung:
Alma’arif, 1974), h. 20.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 102
perilaku Nabi dalam kehidupan sehari-hari baik
sebelum ataupun sesudah beliau diangkat jadi rasul.170
Mayoritas dari ulama pakar hadis (muhaddis|u>n)
menetapkan bahwa sunnah dalam arti ini, menjadi
mura>dif (sinonim) bagi perkataan hadis.171
Dengan
demikian pengertian hadis dan sunnah adalah sama
menurut mereka.
b. Sedangkan menurut ulama usul fikih, adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi (selain al-
Qur’an) berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuan,
namun mereka membatasinya hanya dengan yang bisa
dijadikan sebagai acuan pengambilan hukum.172
Hal ini
disebabkan mereka memandang nabi Muhammad
sebagai syari> (pembuat syariat) disamping Allah.
Hanya saja ketika ulama usul fikih mengucapakan hadis
secara mutlak maka yang dimaksud adalah sunnah
qau>liyyah. Karena sunnah menurut mereka mempunyai
arti yang lebih luas dari hadis, yaitu mencakup semua
hal yang bisa dijadikan petunjuk hukum tidak hanya
sebatas ucapan saja.173
c. Menurut ulama fikih lain lagi, mereka memberikan
pengertian bahwa sunnah adalah segala suatu hal dari
Nabi yang tingkatannya tidak sampai pada tingkatan
170Muhammad ‘Ujaj al-Khatib, ‘Us}ul al-H}adi>s| ‘Ulu>muh wa Mus}t}alah}ahu
(Bairut: Dar al- Fikri, 1989), h. 19.
171Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, et al., eds. Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadis (Cet.I, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 6.
172 Definisi ini juga sama dengan yang dikemukakan oleh : Muhammad
al-Zafza>f , Al-Ta’ri>f bi al-Qur’an wa al-Hadi>s|, (Cet.I, t.d), h. 194.
173Ibid., h. 27.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 103
wajib atau fardhu, artinya mendapatkan pahala bila
dikerjakan namun tidak sampai mendapatkan dosa bila
ditinggalkan.174
Mereka memandang nabi Muhammad
sebagai pribadi yang seluruh perkataan dan perbuatanya
mengandung hukum syara’.175
d. Khabar dan ats\ar
Hadis sering juga disamakan dengan khabar dan ats\ar. Akan
tetapi, sebagian ulama juga membedakannya. Oleh karena itu
untuk lebih jelasnya penulis memaparkan penjelasan akan hal itu
sebagaimana berikut; Pengertian khabar dan ats\ar menurut ulama
hadis adalah sama dengan hadis. Namun sebagian ulama
berpendapat bahwasanya sesuatu yang berasal dari Nabi adalah
hadis sedangkan yang berasal dari selain Nabi adalah khabar. Lain
lagi para Ahli fikih Khurasan mereka menyebut hadis mau>qu>f
dengan khabar dan hadis marfu>’ dengan ats\ar.176
174Pengertian sunnah bahwa ‚bila dikerjakan diganjar pahala dan tidak
mengerjakannya tidak apa-apa‛. Dalam hal ini, sebaliknya penulis malah
memandang hal itu tidak baik, cenderung mendorong untuk tidak
melakukannya, bukannya ajaran Islam itu selalu memotivasi pengikutnya untuk
meraih pahala kebaikan sebanyak-banyaknya?
175Muhammad bin 'Alawi> al-Ma>liki> al-Hasani>, al-Manhal al-Lat}i>f fi>
‘Us}u>l al-Hadi>s| al-Syari>f (t.t, t.p, 1999), h. 10.
22Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieq, et al., eds, op. cit h. 28.
Tidak ada alasan yang kuat mengapa ats\ar hanya dikhususkan pada apa yang

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 104
Menurut arti bahasa khabar ialah berita yang disampaikan.177
Berdasarkan arti bahasa, khabar memiliki arti yang hampir sama
dengan hadis, karena tahdi>s (pembicaraan) artinya tidak lain
adalah ikhba>r (pemberitaan). Hadis Rasulullah adalah berita-berita
yang disandarkan kepada Nabi saw. Menurut istilah, ada beberapa
versi definisi tentang khabar.
Di antaranya "hadis yang disandarkan pada sahabat", "segala
berita yang diterima selain dari Nabi" dan lain sebagainya. Dalam
permasalahan terminologi khabar, penulis lebih sepakat dengan
definisi yang pertama-sebagaimana juga dikemukakan oleh ulama
Khurasan yaitu khabar ialah hadis yang disandarkan pada sahabat
(mauquf). Hanya saja hal ini dimaksud untuk memudahkan
klasifikasi serta untuk membedakan antara khabar dengan hadis
atau sunah.178
Secara etimologi ats\ar berarti bekas atau sisa. Sedangkan
mengenai definisi terminologis ats\ar ada dua pendapat. Pertama,
disandarkan pada sahabat (mauquf) dan tabi’in (maqtu’) saja, tidak sampai
pada apa yang disandarakan pada Nabi (marfu’).
177Muhammad Ali Rowad, Ulum al-Qur’an wa al-Hadis (Oman : Dar al-
Basyiah, 1984), h. 169. Bandingkan dengan Muhammad bin 'Alawi> al-Ma>liki>
al-Hasani>, op.cit., h. 51.
178Muhammmad Jamaluddin al-Qasimi, Qawa>’id al-Tahdi>s| min Funu>n
Mus}t}alaha al-Hadi>s| (Bai>rut : Da>r al-Kutub al-Isla>mi>, t.th) h. 61. lihat juga
Teungku M Hasbi ash-Shiddieqy, op.cit., h. 21.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 105
sinonim dengan hadis. Kedua, atsar adalah perkataan, tindakan,
dan ketetapan sahabat Nabi.179
Pendapat yang kedua ini mungkin
berdasarkan arti etimologisnya yaitu penjelasan bahwa perkataan
sahabat merupakan sisa dari sabda Nabi. Sehingga perkataan
sahabat disebut dengan atsar merupakan sesuatu yang wajar.
Dari penjelasan tentang definisi hadis, sunah, khabar dan
atsar di atas, dapat dilihat bahwa ada perbedaan terminologi yang
digunakan oleh para pakar hadis (muhaddis|u>n) terkait ruang
lingkup dan sumber keempat definisi tersebut. Hadis atau sunnah
memberikan pengertian bahwa perawi mengutip hadis yang
disandarkan kepada Rasulullah saw (marfu>’). Sedang khabar tidak
hanya mencakup hadis marfu’ saja, akan tetapi juga
mengakomodasi yang mauqu>f (perawi hanya bersumber dari
sahabat saja tidak sampai pada Rasulullah). Bahkan juga yang
hanya berhenti sampai tingkatan tabi’in (maqtu>’) saja. Sedangkan
atsar oleh para pakar hadis lebih diidentikkan hanya pada hadis
mau>qu>f atau maqtu>’ saja.180
179Muhammad bin 'Alawi> al-Ma>liki> al-Hasani>, op.cit., h. 52.
180'Umar Abd al-Mun'im al-Sali>m, Tai>si>r al 'Ulu>m al-Hadi>s| (Kairo :
Maktabah ibn Tai>miyah, 1997), h.12.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 106
Dari beberapa peristilahan di atas yang telah dikemukakan,
maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, peristilahan di atas
bertitik tolak pada sudut pandang penerimaan berita yang
sampaikan dari orang pertama (Rasulullah) ke sahabat-sahabatnya.
Istilah jurnalistik Islami bersumber dari tiga hal pokok,
yaitu: Hadis Sahih (Berita yang memiliki kevalidan yang
tertinggi), Hadis Hasan, Hadis Daif, dan Hadis Maudu>‘. Berikut
penjelasannya:
a. Hadis sahih: Secara etimologi kata shahīh adalah lawan kata
dari saqīm (sakit).181
Secara hakiki digunakan untuk anggota
tubuh atau jasmani, sedangkan dalam hadis dan makna-makna
yang lainnya digunakan secara majāzīy.182 Adapun secara
terminologi, hadis sahih menurut ulama mutaqaddimīn adalah
hadis yang sanadnya bersambung dan dikuatkan atau disahkan
(oleh para kritikus hadis) keadilan para perawinya.183
Sebagaimana oleh al-Imam al-Khattābīy dalam bukunya
181Jamaluddīn Muhammad bin Makram Ibn Manzhūr, Lisān al-‘Arab,
jilid VIII (Cet. I; Beirut: Dār al-Shādir, 2000), h. 201.
182Lihat Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Rahmān bin Abī Bakr al-Suyūthīy,
selanjutnya disebut al-Suyūthīy, Tadrīb al-Rāwīy fī Syarh Taqrīb al-Nawawīy
(Cet. II; al-Madīnah al-Munawwarah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1972), h. 63.
183Ratībah Ibrāhīm Khithāb Thāhūn, Al-Wajīz fī ‘Ilm Mushthalah al-
Hadīs (Cet. I; Kairo: al-Salām, 1993), h. 164.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 107
Ma’ālim al-Sunan mendefinisikan hadis sahih: ما اتصل سنده و
عدلت نقلته184
(Hadis yang bersambung sanadnya dan dikuatkan
keadilan para perawinya).
b. Sedangkan definisi ulama mutaakhhirīn hadis sahih adalah
hadis yang bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh rawi
yang adil dan dhābit (sempurna hapalannya) dari rawi lain yang
(juga) adil dan dhābith sampai akhir sanad, dan hadis itu
terhindar dari kejanggalan (syuzūz) dan cacat (‘illat).185
Jadi, tingkatan pemberitaan yang dianggap valid
dari segi perolehan berita yang diriwayatkan oleh sahabat
adalah tinggatan sahih ini. Karena syarat-syarat yang
terdapat pada sanad dalam hadis ini, memenuhi kriteria
diterimanya suatu hadis, seperti: adil, dhabit, bersambung
sanad, tidak ada syadz (kejanggalan), dan illat (cacat).
Dari kelima syarat di atas apabila terdapat pada
sebuah pemberitaan, maka tingkat kepercayaan dari segi
pemberitaan tidak diragukan.
a. Hadis hasan
184Al-Suyūthīy, op. cit., h. 64.
185Ratībah Ibrāhīm Khithāb Thāhūn, loc. cit.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 108
Hasan menurut bahasa artinya baik dan bagus.186
Sedangkan secara terminologi, ada perbedaan para ulama
dalam mendefinisikan hadis hasan. Akan tetapi penulis
mengambil satu dari berbagai pendapat ulama mengenai
pendefinisian hadis ini, yaitu: pendapat Ibn Hajar al-
Asqalani.
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, hadis hasan adalah
hadis yang sanadnya bersambung, dari awal sampai akhir,
para periwayatnya bersifat adil namun kedhabitannya agak
kurang sedikit, serta terhindar dari kejanggalan (syuzūz)
dan cacat (‘illat).187 Dan inilah definisi hadis hasan yang
terpilih, karena merupakan pembeda antara hadis hasan dan
hadis dha’if, di samping juga merupakan pembeda hadis
hasan dari hadis sahih.
b. Hadis da‘if
186Al-Qatt}a>n, Manna’, Maba>his fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (t.t, t.p, 1973), h.
121; Lihat Jamaluddīn Muhammad bin Makram Ibn Manzhūr, Lisān al-‘Arab,
Jilid IV (Cet. I; Beirut: Dār al-Shādir, 2000), h. 123.
187Ahmad bin ‘Alīy bin Hajar al-‘Asqalānīy, Syarh Nukhbat al-Fikr
(Kairo: Maktabah Mushthafa al-Bābīy al-Halabīy,1934), h. 8-11. Lihat
Muhammad ‘Ajjāj al-Khathīb, Ushūl al-Hadīs; ‘Ulūmuh wa Mushthalahuh (Cet.
III; Beirut: Dār al-Fikr, 1975), h. 332.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 109
Adapun pengertian hadis d}a‘if secara etimologi
berasal dari kata ضعف yang berarti ‘ajiz (berita lemah) dan
merupakan lawan kata dari qawi> yang berarti kuat. Bentuk
jamaknya adalah d}u‘afaa, d{i‘af, d{a‘afah dan d{a‘fa>.188 Oleh
sebab itu, sebutan hadis d{a‘if secara bahasa berarti hadis
yang lemah atau hadis yang tidak kuat.189
Secara
terminologi, Hadis d}a‘if adalah hadis yang kehilangan satu
syarat atau lebih dari syarat-syarat hadis sahih atau hadis
hasan. Pada tingkatan ini hadis berita yang disampaikan
sudah mulai diragukan, dikarenakan syarat diterimanya
sebuah pemberitaan gugur. Akan tetapi, tidak berarti pada
tingkatan ini hadis, pemberitaan tidak dapat diterima.
Melainkan harus melalui perbandingan dengan informasi
yang diperoleh dari hadis yang berada pada tingkatan sahih
atau hasan.
c. Hadis maudu‘
Maud}u‘ secara etimologi adalah sesuatu yang
diletakkan. Sedangkan secara terminologi adalah sesuatu
188M. Hasbi al-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jilid. I
(Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987), h. 220.
189
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002), h. 149.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 110
yang diciptakan dan dibuat-buat lalu dinisbahkan kepada
Rasulullah secara dusta. Hadis ini adalah yang paling
buruk dan jelek di antara hadis-hadis d}a‘if lainnya.190
Pemberitaan hadis pada tingkatan ini dari segi
kevalidannya tidak dapat diterima, dikarenakan hadis yang
terkandung di dalamnya bukan ucapan, perbuatan, dan
taqrir Rasulullah. Melainkan bersumber dari seorang
pendusta, yang menyandarkan ucapan, perbuatan, dan
taqrirnya itu kepada Rasulullah SAW.
B. Proses Pengelolaan Berita Jurnalis Islami. 1. Proses pengelolaan berita
Adapun metode Pengelolaan berita, hingga sampai kepada
umat Islam melalui 8 (delapan) cara, yaitu: a) al-Sima>’; (b) al-
qira>’ah; (c) al-ija>zah; (d) al-muna>walah; (e) al-muka>tabah; (f) al-
i’la>m; (g) al-wasiyyah; (h) al-wija>dah.191
a) Al-Sima>’ (mendengar/ السماع) , yaitu seorang jurnalis Islami
membaca hadis, sementara seorang murid sedang mendengar,
190Manna al-Qat}t}an, Fi Ulumil Hadis, terj. Mifd}ol Abdurrahman,
Pengantar Studi Ilmu Hadis (Cet. I; ttp: Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 145.
191
Mahmud Hamdi}> Zaqzu>q, Mausu>ah Ulu>m al-Hadi}>s al-Syari}>f,
(Kairo:Waza>rah al-Awqa>f al-Majlis al-A’la> li al-Su’u>n al-Isla>miyyah, 2007). h.
208. Lihat dan bandingkan; Musta>fa al-Adawi}>, Taisi}>r Musthalah al-Hadi}>s fi
Su’a>l wa Jawa>b (Cet. II; Mekah: Maktabah al-Haramain li al-Ulu>m al-Na>fiah).
h.53.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 111
baik hapalan dari kitabnya, baik majelis itu untuk imla>’
ataupun untuk yang lainnya.192
Lambang yang digunakan
adalah:
حدثنا ,
حدثني ,
أخبرني ,
قال لنا ,
ذكرلنا ,
سمعت
b) Al-Qira>’ah (membaca di hadapan jurnalis Islami); yakni
seseorang membaca hadis di hadapan jurnalis Islami baik dari
dari hapalan ataupun dari kitabnya yang telah di teliti, sedang
jurnalis Islami memperhatikan atau menyimak dengan baik
hapalannya atau dari kitab aslinya ataupun dari naskah yang
digunakan untuk mengecek dan meneliti. Lambang yang
digunakan adalah:
قرأت علي فالن
Lambang di atas disepakati pemakaiannya, sedang lambang
yang tidak di sepakati adalah:
أخبرنا,حدثنا
192
Abdul al-Rahma>n ibn Ibra>hi}>m al-Kha>misi}>, Mu’jam Ulu>m al-Hadi}>s
al-Nabawi, (Jeddah: Da>r al-Andalu>s al-Hadra>’. t. th.). h. 127.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 112
c) Al-Ija>zah (sertifikat atau rekomendasi). Yakni, jurnalis Islami
hadis memberikan izin kepada seseorang untuk meriwayatkan
hadis yang ada padanya.193
Namun masih berada dalam batas
pemberian kewenangan seorang jurnalis Islami untuk
meriwayatkannya. Sebagian riwayatnya yang sudah
ditentukan kepada seseorang atau beberapa orang yang telah
di tentukan pula, tanpa membacakan semua hadis yang di
ijazahkannya. Mayoritas ulama menggunakan lambing-
lambang yang digunakan untuk al-ija>zah, seperti‛
حدثنا اجازةatau أجازلي
d) Al-Muna>walah; maksudnya, seorang ahli hadis memberikan
sebuah kitab kepada muridnya agar seorang murid
meriwayatkan darinya entah itu bersamaan dengan ijazah atau
tidak.194
Lambang yang digunakan adalah: ناولني dan , ناولنا
al-muna>walah, ada dua bagian, yakni al-muna>walah bersama
dengan ijazah dan al-muna>walah yang tidak bersama dengan
ijazah.
193
Mahmu>d al-Tahha>n, Taisi}>r Musthalah al-Hadi}>s, (Cet. IX; Riyad:
Maktabah al-Ma’a>rif li al-Nasr wa al-Tauzi}>’, 1997). h. 160.
194
M. Syuhudi Ismail. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis
dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Cet. I; Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1988), h. 58.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 113
e) Al-Muka>tabah; yaitu seorang jurnalis Islami hadis menuliskan
hadis yang diriwayatkannya untuk diberikan kepada orang
tertentu. Sedang orang yang diberi hadis itu ditulis dapat saja
berada dihadapan jurnalis Islami tersebut atau berada
ditempat lain. Al-Muka>tabah juga ada dua bagian; pertama,
disertai ijazah; kedua, tidak disertai ijazah. Lambang yang
digunakan adalah:
كتب الي فالن , أخبرني به مكاتبة
f) Al-I’la>m; maksudnya, seorang Syekh memberitahukan kepada
muridnya bahwa hadis tertentu atau kitab tertentu merupakan
bagian dari riwayat-riwayat miliknya dan telah didengarnya
atau diambilnya dari seseorang. Atau perkataan lain yang
senada, tanpa menyatakan darinya.195
Lambang yang
digunakan adalah: أخبرنا اعالما
g) Al-Wasiyyah, yakni seorang periwayat hadis mewasiatkan
kitab hadis yang diriwayatkannya kepada orang lain. sebelum
bepergian jauh atau sebelum meninggal, agar kitab riwayatnya
195
Muhammad Diya’u al-Rahman al-A’dzami, op.cit., h. 44.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 114
diberikan kepada seseorang untuk meriwayatkan darinya.196
Lambang yang digunakan: أوصي الي
h) Al-Wija>dah, yakni seseorang dengan tidak melalui al-sama
atau ijazah, mendapati hadis yang ditulis oleh periwayatnya.
Orang yang mendapati tulisan itu dapat saja semasa atau tidak
semasa dengan penulis hadis tersebut.197
Dari beberapa jurnalis terkenal di dalam mencari,
menghimpun, dan menyampaikan berita dari berbagai sumber
adalah imam Bukhari.198
Hal ini dimungkinkan karena imam
Bukhari terkenal kecerdasan dan kemampuan daya hafalnya yang
kuat,199
sehingga ia berhasil mengumpulkan, dan memilah-milah
berita yang dianggap sahih, da‘if, dan maudu‘.
Strategi Jurnalistik Rasulullah.
Strategi Jurnalistik Rasulullah saw kepada para penguasa
Ahli tarikh Muhammad bin Sa‘ad (w. 230 H) dalam kitabnya
196Ibid. h. 525.
197M. Syuhudi Ismail, op. cit., h. 60.
198Lihat al-Suyut}i, Tadri>b al-Rawi> fi Syarh Taqrib al-Nawawi (Beirut:
Da>r al-Fikr, 1993), h. 49.
199Lihat Muhammad Muhammad Abi> Zahwu, al-Hadis wa al-Muhaddisin
aw al-Inayat al-Ummat al-Islamiyah bi al-Sunnah al- Nabawiyyah (Mesir:
Syirkah Musahamat, Tt), h. 353.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 115
al0Tabraqat al-kubra menulis satu-persatu surat Nabi SAW
lengkap dengan sanadnya. Surat-surat itu berjumlah tidak kurang
dari 105 buah.200
Hanya saja, teks surat-surat tidak semuanya
disalin secara lengkap. Di samping itu ada dua buah surat yang
dapat dipastikan tidak otentik dari Nabi saw karena di dalam
sanadnya terdapat nama Muhammad bi al-Saib al-Kalbi di mana ia
adalah seorang pendusta. Sementara dilihat dari segi sisinya, surat-
surat Nabi SAW itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok
sebagai berikut:
a. Berita-berita yang berisi seruan untuk masuk dalam pola
hidup yang tertib beradab dan memiliki budipekerti yang
luhur dalam melakukan hubungan interaksi sesame umat
manusia. Jenis kemasa jurnalis dalam bentuk surat, artikel
yang ditujukan kepada orang-orang non-muslim baik Yahudi,
Nashrani, maupun Majusi; dan orang-orang musyrikin baik dia
raja, kepala dareah, maupun perorangan.
b. Surat-surat yang berisi aturan-aturan dalam Islam, misalnya
tentang zakat, sedekah, dan sebagainya. Surat-surat ini
200Muhammad ibn Sa‘ad, al-Tabaqat al-Kubra (Beirut: Dar Beirut, 1400
H/ 1980 M), h.258-291.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 116
menunjukkan kepada orang-orang Muslim yang masih
memerlukan penjelasan-penjelasan.
c. Surat-surat yang berisi hal-hal yang wajib dikerjakan oleh
orang-orang non-mulsim terhadap pemerintah Islam, seperti
masalah jizyah (iuran keamanan). Surat-surat ini ditujuakn
kepada orang-orang non-muslim (Yahudi, Nashrani, dan
Majusi) yang telah membuat perjanjian damai dengan Nabi
SAW.201
Inti dari strategi jurnalis Rasulullah saw diteladani oleh
sahabat adalah untuk mengajak para penguasa tersebut memeluk
agama Islam. Semua surat surat Nabi saw yang dikirim kepada
raja dan penguasa dunia disambut dengan baik dan sangat dihargai
sekali oleh mereka kecuali surat beliau yang dikirim kepada Kisra
atau Khosrau II (Penguasa Persia). setibanya surat beliau dan
sehabis dibaca surat beliau dirobek-robek oleh Khosrau.
Rasulullah berdoa: ‚Ya Allah robek robeklah kerajaannya‛.
Kalau membaca isi surat surat Nabi saw yang dikirim
untuk penguasa penguasa dunia, bisa lihat dengan jelas bahwa
201Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Cet. I;
Jakarta: PT. Pustaka Firdaus), h. 181.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 117
Rasulallah saw adalah seseorang yang ahli berdiplomasi dan
sangat pintar bersiasat. Kita bisa lihat bahwa beliau sangat
menghargai dan memuliakan kedudukan mereka sebagai penguasa
dunia.
Adapun isi surat Nabi saw kepada para penguasa, di luar
kekuasaan Islam adalah sebagai berikut:
a. Surat Nabi saw untuk Raja Negus (Penguasa Ethiopia) Adapun
isi suratnya Surat Nabi saw untuk Raja Negus (Penguasa
Ethiopia):
. فانى احمد هللا اليك. اسلم انت. من محمد رسول هللا الى النجاشى ملك الحبسةو أشهد أن عيسى . هللا الذى ال اله اال هو الملك القدوس السالم المإمن المهيمن
بن مريم روح هللا و كلمته القاها الى مريم البتول الطيبة الحصينة فحملت و إنى أدعوك الي هللا و حده . بعيسى فخلقه من روحه و نفخه كما خلق آدم بيده
ال شريك له و المواالة على طاعته، و ان تتبعني و تإمن بالذى جآءنى فإنى و إنى أدعوك و جنودك الى هللا عز و جل و قد بلغت و تصحت، . رسول هللا
. و السالم على من اتبع الهدى. فؤقبلوا نصيحتي
Artinya:
Dari Muhammad utusan Islam untuk An-Najasyi,
penguasa Abyssinia (Ethiopia). Salam bagimu,
sesungguhnya aku bersyukur kepada Allah yang tidak ada
Tuhan kecuali Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha
Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha
Memelihara, dan aku bersaksi bahwa Isa putra Maryam
adalah ruh dari Allah yang diciptakan dengan kalimat
Nya yang disampaikan Nya kepada Maryam yang terpilih,
baik dan terpelihara. Maka ia hamil kemudian diciptakan

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 118
Isa dengan tiupan ruh dari-Nya sebagaimana diciptakan
Adam dari tanah dengan tangan Nya. Sesungguhnya aku
mengajakmu ke jalan Allah. Dan aku telah sampaikan dan
menasihatimu maka terimalah nasihatku. Dan salam bagi
yang mengikuti petunjuk.
b. Surat Nabi saw untuk Raja Heraclius (Kaisar Romawi)
Adapun isi surat Nabi saw kepada Raja Heraclius (Kaisar
Romawi), adalah sebagai berikut:
. إلى هرقل عظيم الروم. من محمد عبد هللا و رسوله. بسم هللا الرحمن الحيمأما بعد، فإني أدعوك بدعاية اإلسالم اسلم تسلم . سالم على من اتبع الهدى
و يا أهل الكتاب . فإن توليت فإن عليك إثم االريسيين. يإتك هللا اجرك مرتينتعلوا إلى كلمة سواء بيننا و بينكم ان ال نعبد اال هللا و ال نشرك به شيئا و ال
. فإن تولوا فقولوا الشهدوا بؤنا مسلمون. يتخذ بعضنا بعضا أربابا من دون هللا
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang. Dari Muhammad utusan Allah untuk
Heraclius Kaisar Romawi yang agung. Salam bagi siapa
yang mengikuti petunjuk. Salain dari pada itu,
sesungguhnya aku mengajak kamu untuk memeluk Islam.
Masuklah kamu ke agama Islam maka kamu akan selamat
dan peluklah agama Islam maka Allah memberikan pahalah
bagimu dua kali dan jika kamu berpaling maka kamu akan
menanggung dosa orang-orang Romawi. ‚Katakanlah: Hai
Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat
(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan
kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak
kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula)
sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan
selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah
kepada mereka: ‚Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 119
orang yang berserah diri (kepada Allah)‛ (Q.S. Al-Imran/3:
64).
c. Surat Nabi saw untuk Raja Khosrau II (Penguasa Persia)
Adapun isi surat Nabi saw kepada Raja Khosrau II
(Penguasa Persia), adalah sebagai berikut:
سالم على من اتبع الهدى و . الى كسرى عظيم فارس. من محمد رسول هللاآمن باهلل و رسوله و شهد ان ال إله اال هللا و حده ال شريك له و أن محمدا
أدعوك بدعاية هللا، فإنى انا رسول هللا الى الناس كآفة ،، . عبده و رسولهفان ابيت فعليك . اسلم تسلم. لينذرمن كان حيا و يحق الحق على الكافرين،،
. اثم المجوسDengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang. Dari Muhammad utusan Allah untuk
Khosrau, penguasa Persia yang agung. Salam bagi orang
yang mengikuti petunjuk, beriman kepada Allah dan
RasulNya, dan bagi orang yang bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan kecuali Allah, Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan
bagi yang bersaksi bawha Muhammad itu hamba Nya dan
utusan Nya. Aku mengajakmu kepada panggilan Allah
sesungguhnya aku adalah utusan Allah bagi seluruh
manusia supaya aku memberi peringatan kepada orang-
orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan
azab) terhadap orang-orang kafir. Peluklah agama Islam
maka kamu akan selamat. Jika kamu menolak maka kamu
akan menanggung dosa orang orang Majusi.
d. Surat Nabi saw untuk Al-Muqawqis (Penguasa Mesir)
Adapun isi surat Nabi saw kepada Al-Muqawqis (Penguasa
Mesir), adalah sebagai berikut:

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 120
سالم على من اتبع . الى الموقس عظيم القبط. من محمد عبد هللا و رسولهاسلم تسلم يإتك هللا اجرك ، فإنى أدعوك بدعاية االسالم. الهدى، اما بعد
يا أهل الكتاب تعلوا إلى كلمة .فإن توليت فإن عليك اثم اهل القبط. مرتينسواء بيننا و بينكم ان ال نعبد اال هللا و ال نشرك به شيئا و ال يتخذ بعضنا
. فإن تولوا فقولوا الشهدوا بؤنا مسلمون. بعضا أربابا من دون هللاArtinya:
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang. Dari Muhammad bin Abdullah utusan
Allah, untuk al-Muqawqis penguasa Mesir yang agung.
Salam bagi siapa yang mengikuti petunjuk. Selain dari
pada itu, aku mengajakmu kepada panggilan Allah.
Peluklah agama Islam maka kamu akan selamat dan Allah
akan memberikan bagimu pahala dua kali. Jika kamu
berpaling maka kamu akan menanggung dosa penduduk
Mesir.
Setelah al-Muqawqis membaca surat Rasulullah
saw, ia membalas surat beliau dan memberikam kepada
utusan beliau dua hadiah. Hadiah pertama berupa dua
budak belian bernama Maria binti Syamu’n al-Qibthiyyah
yang dimerdekakan Nabi saw dan menjadi istri beliau,
darinya Rasulullah saw mendapatkan seorang anak yang
diberi nama Ibrahim (wafat semasih kecil), nama ini
diambil dari nama kakek beliau Nabi Ibrahim as. Dan
budak kedua adiknya sendiri Sirin binti Syamu’n Al-
Qibthiyyah yang dikawini Hassan bin stabit ra, sastrawan

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 121
unggul pada zaman Nabi saw. Hadiah kedua berupa kuda
untuk tunggangan beliau.202
e. Teks surat Nabi SAW untuk al-Harits.
الى الحارث بن ابي شرم . من محمد رسول هلل. بسم هللا الرحمن الرحيمسالم على من اتبع الهدى و آمن به و صدق و اني ادعوك الى ان . الساني
. تإمن باهلل و حده ال شريك له يبقي لك ملككDengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Dari Muhammad Utusan Allah kepada al-
Harits bi Abu Syamr. Salam sejahtera semoga dilompahkan
kepada orang mengikut petunjuk Allah, beriman kepada-
Nya dan membenarkan ajaran-Nya. Sesungguhnya saya
mengajak Anda untuk beriman kepada Allah Yang Esa dan
tidak ada sekutu bagi-Nya. Apabila Anda mau menerima
ajakan ini, maka kekuasaan Anda akan tetap lestari.203
f. Teks Surat Nabi SAW untuk Haudzah al-Hanafi.
سالم على من اتبع . الى هوذة بن على. من محمد رسول هللا. بسم هللا الرحمن الحيم
و اعلم ان دينى سيظهر الى منتهى الخوف و الحافر فاسلم تسلم، و اجعل لك ما . الهدى
. تحت يديك
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Dari utusan Allah kepada Haudzah bin Ali. Salam
untuk orang yang mengikuti petunjuk Allah. Ketahuilah
bawah agamaku akan berjaya sampai akhir pijakan onta dan
202(http://abizakii.wordpress.com/2010/05/20/surat-rasulullah-saw-untuk-
raja2/diakses tanggal 06 oktober 2011, pukul 12.00 wita).
203Ibn Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma‘ad (Ttp: Dar Ihya al-Turats al-
‘Arabi, tth), h.75.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 122
kuda. Oleh karenanya, masuklah kamu ke dalam agama Islam,
maka kamu akan selamat, dan apa yang kamu akan tetap
kujadikan milik kamu.204
Ada satu hal yang menari, yaitu bahwa dalam surat-surat
Nabi SAW selalau diawali dengan tulisan basmalah
(bismillahirrahmanirrahim). Padahal surat-surat itu akan
dikirimkan kepada orang-orang kafir. Bahkan sebagian juga
mencantumkan ayat-ayat al-Qur’an.205
Al-Sya‘bi menuturkan bahwa pada awalnya nabi SAW
hanya menulis kalimat باسم هللا اللهم (dengan menyebut asmamu
wahai Allah). Kemudian setelah turun ayat: اركبوا فيها باسم هللا مجراها
Naikah kamu ke dalam bahtera dengan menyebut nama) و مرسها
Allah pada waktu ia belayar dan berlabuh)206
. Nama Nabi SAW
menulis: باسم هللا (dengan menyebut nama Allah), kemudian turun
ayat: قل دعوا هللا او ادعوا الرحمن (katakanlah, berdoalah kepada Allah,
atau berdoalah kepada al-Rahman).207
Nabi SAW menulis: بسم هللا
.(dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah) الرحمن
204Ibid. h. 74.
205Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Cet. I;
Jakarta: PT. Pustaka Firdaus), h. 202.
206Q.S. Hud/11: 41.
207Q.S. al-Isra/17: 110.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 123
Kemudian turun ayat: انه من سليمان و انه بسم هللا الرحمن الرحيم
(sesungguhnya surat itu dari Sulaiman, dan sesungguhnya: Dengan
menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha
Pengasih)208
. Nabi Menulis: بسم هللا الرحمن الرحيم (dengan menyebut
nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih).
Kegiatan meliput, menulis, dan menyampaikan berita berupa
surat kepada raja-raja di luar wilayah Islam, menunjukkan bahwa
usaha tersebut dikategorikan sebagai kegiatan jurnalis. Di mana
para sahabat yang menjadi peliput atau wartawan, Nabi sebagai
narasumber, dan para penguasa atau raja sebagai pembaca atau
pemirsanya.
Selain itu, dari setiap isi surat yang dikirimkan kepada para
penguasa atau raja tersebut dicantumkan: nama Allah (basmalah),
syahadat, dan pesan dakwah. Ini menunjukkan bahwa Nabi sebagai
suri tauladan, secara tidak langsung mengajarkan kepada
sahabatnya menulis konsep berita yang baik dan memegang asas
etika jurnalis muslim; sehingga dari isi surat tersebut kalimatnya
begitu ringkas, padat dan jelas.
Oleh karena itu sebagai jurnalis muslim yang memegang
dasar-dasar etika muslim dalam menulis berita, hendaknya tidak
208Q.S. al-Naml/27: 30.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 124
mencantumkan unsur-unsur yang berbau SARA, apalagi
menyebarkan berita kebohongan.
B. Kompetensi Jurnalis Islami
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kredibilitas
berarti perihal dapat dipercaya, mempengaruhi di mata umum.209
Sebagai ilustrasi, tingkat kredibilitas perbankan atau sebuah bank
menentukan apakah nasabah akan menabung di bank tersebut atau
tidak. Pengertian ini juga relevan dengan tradisi yang dikenal
dalam ilmu hadis, yang mengharuskan seorang perawi tsiqah, adil
dan dhabith.210 Salah satu makna dari kata s{iqah adalah dapat
dipercaya. Kesiqahan perawi yang dikenal dalam ilmu hadis
tersebut sejalan dengan konsep yang diperkenalkan oleh Jalaluddin
Rahmat, bahwa kredibilitas adalah seperangkat persepsi tentang
sifat-sifat baik dari seorang komunikator.211
Oleh karena itu,
seorang jurnalis Islami profesional harus memiliki kredibilitas
209Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Bahasa, 2009), h. 818.
210Abdul al-Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Ibrahim Abdul latif, Dawa>bit} al-
Ja>rh wa al-Ta'dil (Saudi Arabia, al-Madinah al-Munawwarah, 1381), h. 136.
211Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi: Edisi Revisi (Cet. XXII;
PT. Remaja Rosdakarya, 2005), h. 257.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 125
yang tinggi. Jika jurnalis Islami memiliki kredibilitas (dapat
dipercaya) di mata mad'u, maka aplikasi ajaran-ajaran agama yang
disampaikannya bisa berjalan efektif.
Kredibilitas jurnalis Islami mempunyai peran strategis dalam
mentransformasikan pesan-pesan agama Islam melalui teknologi
informasi dakwah di tengah masyarakat.212
Menurut Thomas
Hobbes dan H.E. King, yang dikutip oleh Jalaluddin Rahmat,
seorang komunikator yang credible dapat berpengaruh pada dan
mengubah pola pikir, kejiwaan dan perilaku mad’u dengan
menggunakan bahasa.213
Menurut Sattu Alang, dari sudut pandang
keilmuan, perlu ada pembedaan mendasar antara kompetensi
dalam bidang ilmu pendidikan Islam dan ilmu dakwah.214
Menurut
penulis, hal ini sangat mendasar mengingat perlunya membedakan
antara kompetensi seorang jurnalis Islami yang profesional.
Menurut Webster, profesionalisme adalah pekerjaan yang
dijalankan sesuai dengan keahlian. Profesionalisme menurut
212A. Zuad MZ dan Muhammad Sidiq, Mutiara Al-Quran: Sorotan Al-
Quran Terhadap Berbagai Teknologi Modern (Cet. I; Surabaya, Sarana Ilmiah
Press, 1998), h. 142.
213op. cit., Jalaluddin Rakhmat
214H.M. Sattu Alang, Dosen Tetap Pada Fakultas Dakwah dan
Komunikasi Universitas Negeri Alauddin Makassar dan sekarang menjabat
sebagai Ketua LPM UIN Alauddin Makassar.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 126
Undang-Undang RI Nomor: 14 tahun 2005 tentang Jurnalis Islami
dan Dosen adalah: pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang dan menjadi sumber penghasilan yang menekankan pada
keahlian, kemahiran, kecakapan, dan memenuhi standar mutu dan
norma sebagai pendidik profesional. Menurut Nana Sujana, profesi
adalah suatu keahlian (skill) dan kewenangan jabatan yang
mensyaratkan kompetensi khusus yang diperoleh melalui
pendidikan intensif.215
Baik jurnalis Islami maupun jurnalis Islami
profesional memiliki cara dan tujuan yang sama, meskipun
bergerak di bidang dan medan yang berbeda. Perbedaan inilah
yang menuntut kompetensi yang berbeda pula. Menurut Nasir
Mahmud, kompetensi dalam bidang pendidikan Islam menekankan
pada perubahan dan pematangan fisik dan psikis manusia, karena
pematangan itu dapat mendewasakan seseorang.
Berdasarkan pendapat Natsir Mahmud tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pendidikan Islam dan dakwah bergerak di
medan yang berbeda dan karena itu membutuhkan ilmu bantu
yang berbeda pula. Dengan kata lain, kompetensi yang harus
dimiliki oleh seorang jurnalis Islami berbeda dengan kompetensi
215Kunandar, Guru Profesionalisme: Implementasi Kurikulum Satuan
Tingkat Pelajaran (KTSP) dan Kesiapan Menghadapi Sertifikasi Guru (Cet. I;
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 45.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 127
yang harus dimiliki oleh seorang da’i. Ilmu dakwah memberi
penekanan pada perubahan massal meskipun tidak mengabaikan
perubahan individual. Oleh karena itu, ilmu dakwah membutuhkan
ilmu-ilmu bantu seperti psikologi massa, sosiologi, ilmu budaya,
dan ilmu komunikasi. Sementara pendidikan Islam membutuhkan
ilmu bantu seperti ilmu psikologi perkembangan. Namun
demikian, secara umum, keduanya disatukan oleh sumber referensi
yang sama, yaitu, al-Qur’an dan Sunnah. Menurut Natsir Mahmud,
ilmu dakwah bersumber dari etika, moral, akhlaq (nilai normatif,
termasuk nilai keagamaan), heuristic.216
Dalam meningkatkan budipekerti, Aqidah, Syariah setiap
jurnalis Islami berpotensi menjadi Jurnalis Islami dan Jurnalis
Islami cenderung kurang berpotensi menjadi jurnalis Islami.
Kondisi ini menunjukkan bahwa kompetensi yang dimiliki jurnalis
Islami profesional jauh lebih kompleks dibanding kompetensi yang
harus dikuasai oleh seorang jurnalis Islami profesional. Aspek
kompetensi jurnalis Islami dan jurnalis Islami profesional memiliki
banyak kesamaan dan juga perbedaan. Menurut Crunkilton, yang
dikutip oleh E. Mulyasa (2003), kompetensi adalah pengetahuan
216Natsir Mahmud, Bunga Rampai Epistemologi dan Metode Studi Islam
(IAIN Ujung Pandang: 1998), h. 38-39

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 128
atau keterampilan dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam
kebiasaan berfikir dan bertindak. Sementara itu, Direktorat
Kemendiknas (2003) mengartikan kompetensi sebagai seperangkat
tindakan cerdas penuh tanggung jawab yang dilakukan seseorang
dalam melaksanakan pekerjaan tertentu. Dalam kaitan ini,
Kemendiknas menekankan bahwa kompetensi jurnalis Islami
mencakup: pengenalan pembelajaran, pengembangan potensi,
penguasaan akademik, sikap kepribadian, dan penguasaan
akademik.217
Di Amerika Serikat, yang dikutip oleh Kunandar,
kompetensi jurnalis Islami profesional meliputi:
1. Berusaha menjadikan masyarakat dan lembaga pendidikan
sebagai tempat yang paling baik untuk anak-anak muda.
2. Sadar akan akan nilai-nilai dan manfaat pekerjaannya.
3. Tidak mudah tersinggung oleh larangan-larangan yang
berhubungan dengan kebebasan pribadinya sebagai seorang
Jurnalis.
4. Memiliki kecerdasan sosial dan kesadaran biologis,
sosiologis, antropologis, dan kultural, dalam menjalankan
tugas jurnalis.
5. Memiliki komitmen untuk terus berubah dan menyadari
tanggung jawab yang diembannya sangat dibutuhkan
masyarakat sebagai pirit pencerahan. Dengan kata lain,
217Kunandar, Guru Profesionalisme: Implementasi Kurikulum Satuan
Tingkat Pelajaran (KTSP) dan Kesiapan Menghadapi Sertifikasi Guru (Cet. I;
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 45.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 129
tingkat kecerdasan masyarakat sangat dipengaruhi oleh
kemampuan seorang jurnalis.218
Menurut penulis, kriteria kompetensi jurnalis profesional di
atas hanya berdimensi dialektis-empiris, dan belum memasukkan
dimensi-dimensi lain seperti keyakinan, pengabdian, dan sosial.
Oleh karena itu, dapat asumsikan bahwa tidak setiap jurnalis
Islami bisa berperan sebagai jurnalis Islami, tapi setiap jurnalis
Islami sangat berpotensi menjadi seorang jurnalis Islami.
Pandangan ini sesuai asumsi Sattu Alang bahwa jurnalis Islami
berpotensi menjadi jurnalis Islami tetapi jurnalis Islami belum
tentu berpotensi menjadi jurnalis Islami.219
Pandangan ini menurut
Sattu Alang bahwa setiap jurnalis Islami bisa menjadi jurnalis
Islami dan jurnalis Islami belum tentu memiliki kompetensi
menjadi jurnalis Islami. Atas dasar inilah sehingga perlu indikator
jurnalis Islami:
1. Memahami bahasa Al-Quran
2. Mengetahui hukum dalam Agama Islam
3. Memiliki prilaku dan citra baik ditengah masyarakat
218Ibid., h. 65.
219Sattu Alang, dosen tetap pada fakultas Dakwah dan Komunikasi
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar dan sekarang menjabat sebagai
Ketua LPM UIN Alauddin Makassar.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 130
4. Secara akademik alumni dari jurusan dakwah dan
komunikasi.
5. Dapat menggunakan teknologi informasi, dakwah dan
komunikasi.
Secara ontologis, para jurnalis Islami adalah waratsatul al-
Anbiya. Karena menyandang predikat tersebut, para jurnalis Islami
dituntut untuk memiliki kecerdasan sosial yang
memungkinkannya untuk berkomunikasi dengan baik. Mereka
juga dituntut untuk mampu menggunakan teknologi informasi dan
komunikasi dalam menghadapi berbagai problematika sosial yang
ditimbulkan oleh perkembangan global.220
Menurut Yusuf
Qardawi bahwa seorang jurnalis Islami profesional harus memiliki
karakter dan sifat-sifat kenabian seperti amanah, siddiq, fat}a>nah,
dan tabli>g.221
Fat}a>nah meliputi kompetensi psikologis,
psikomotorik, dan afektif.
220Ahmat Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Islam (Cet. II; Bandung: Remaja
Rosda karya, 1994), h. 107.
221Yusuf Qardawi, Staqafatu Da’iyyata (Beirut - Lebanon: Rhesalah
Publishers,1999), h. 126-127.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 131
Secara praktis kompetensi jurnalis Islami ada kemiripan
dengan profesionalisme jurnalis Islami menurut Undang-Undang
RI Nomor: 14 tahun 2005 tentang Jurnalis Islami dan Dosen
adalah; Pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan
menjadi sumber penghasilan pada kehidupan yang menekankan
pada keahlian, kemahiran, kecakapan, memenuhi standar mutu
norma serta pendidik profesi. Menurut Nana Sujana profesi adalah:
suatu keahlian (skill) dan kewenangan suatu jabatan yang
mensyaratkan kompetensi secara khusus diperoleh untuk
pendidikan secara intensif.222
Standar ini berbeda dengan jurnalis
Islami. Kompetensi jurnalis Islami lain dari padangan
kemendiknas antara lain pengenalan pembelajaran, pengembangan
potensi, penguasaan akademik, sikap kepribadian, penguasaan
akademik.223
Profesionalisme jurnalis Islami diukur berdasarkan
kemampuannya dalam bidang aqidah, syari’ah, dan akhlaq, serta
kecakapannya dalam menjelaskan ajaran-ajaran al-Qur’an dan
222Kunandar, Guru Profesionalisme Implementasi Kurikulum Satuan
Tingkat Pelajaran (KTSP) dan kesiapan menghadapi sertifikasi Guru (Cet. I;
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 45.
223Kunandar, Guru Profesionalisme Implementasi Kurikulum Satuan
Tingkat Pelajaran (KTSP) dan kesiapan menghadapi sertifikasi Guru (Cet. I;
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 45.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 132
Sunnah melalui bantuan teknologi informasi dan komunikasi.
Menurut Yusuf Qardhawi, yang dikutip oleh Engjang, kriteria
jurnalis Islami profesional meliputi aspek-aspek berikut ini:
1. Jurnalis harus kredibel/tsiqah (dapat dipercaya dan
bertanggung jawab) dan memiliki sifat siddiq, amanah, fathanah dan tablig.
2. Pesan-pesannya bersumber dari data yang akurat dan tidak
bertentangan dengan akal, agama, budaya, moralitas, dan
tradisi setempat.
3. Menggunakan metode yang sistematis dan sesuai dengan
tata tertib logika dalam menggali kandungan Al-Qura’an
dan Sunnah, dan menyampaikan pesan-pesan keagamaan
sesuai dengan kebutuhan mad’u.
4. Menggunakan nalar/akal dalam menggali ajaran-ajaran Al-
Quran dan Sunnah sehingga bisa dipahami sesuai daya
nalar mad’u.
5. Balig (dewasa dan mampu membedakan antara baik dan
buruk), dan tidak gila (memiliki kesadaran yang tinggi dan
sehat jasmani).224
Dari kriteria ini penulis tambahkan bahwa sebagai jurnalis
Islami yang berkompeten jika mampu mendesain pesan dakwah
melalui teknologi informasi sebagai media perpanjangan panca
indra jurnalis Islami. Kriteria tersebut dalam teori komunikasi,
224Enjang, Desain Ilmu Dakwah (Cet. II; Jakarta: Prenada Media Group,
2009), h. 33.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 133
perubahan psikologis dapat menghasilkan perubahan sikap dan
perilaku melalui kekuatan bahasa.
Kekuatan teknik transformasi pesan dengan cara ini terletak
pada kekuatan bahasa yang digunakannya.225
Pendekatan yang
mengandalkan kekuatan bahasa ini dapat digunakan oleh para
jurnalis Islami dalam menyampaikan ajaran-ajaran al-Qur’an dan
Sunnah sehingga bisa mengubah pola pikir dan keyakinan mad’u.
Seorang jurnalis Islami dapat menyampaikan pesan-pesan
keagamaan melalui syair-syair yang indah, atau melalui kemasan-
kemasan bahasa indah lainnya, dengan memanfaatkan perangkat
teknologi informasi dan komunikasi modern. Pendekatan semacam
ini bisa dinamakan pendekatan linguistik.
Komponen teknologi informasi dakwah yang perlu dimiliki
oleh jurnalis Islami adalah kredibilitas (source credibility) dan
daya tarik (source attractiveness). Kredibilitas ditentukan oleh
keahlian, pengalaman, keterampilan, kesehatan, dan kejujuran.226
Kredibilitas jurnalis Islami juga ditentukan oleh kecerdasan
komunikasi empati, persuasif, komunikatif, dialogis, dan
225Jalaluddin Rakhmat, Ibid., h. 268.
226Muhammad Syafii Antonio, Teladan Sukses Dalam Hidup dan Bisnis:
Muhammad the Super Leader Super Manager (Cet. XVI; Jakarta: Tazkiah
Publishing, 2009), h. 3.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 134
kemampuan komunikasi partisipatif.227
Seorang jurnalis Islami
perlu membekali diri dengan kemampuan dan kecerdasan-
kecerdasan tersebut dalam mengkomunikasikan pesan-pesan Al-
Quran dan Sunnah di tengah-tengah realitas sosial keagamaan.
Semakin tinggi kompetensi seorang da’i dalam
mengomunikasikan pesan-pesan Al-Quran dan Sunnah semakin
efektif daya serap mad’u. Hal ini sesuai dengan pandangan George
A. Miller yang menyatakan bahwa source credibility meliputi
kredibilitas jurnalis Islami dalam bidang fonologi (bunyi bahasa),
sintaksis (cara pembentukan kalimat), dan semantik (arti kata).
Kesemua ini dapat menunjang efektivitas sistem informasi
dakwah.
Kredibilitas seorang jurnalis Islami melalui kompetensi
penguasaan kandungan Al-Quran dan Sunnah, kompetensi analogi,
tafsir, ta’wil, tamsil, dan penggunaan teknologi informasi sebagai
unsur penunjang dalam menjelaskan, mengkomunikasikan
kandungan Al-Quran dan Sunnah di tengah-tengah problematika
sosial masyarakat modern.
227Usman Jasad, Mencegah Radikalisme Agama: Dakwah Komunikatif
Muhammadiyah di Sulawesi Selatan, (UNI Jakarta: 2010), h. 294.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 135
Pandangan semacam ini sesuai dengan paradigma
kredibilitas yang diusung oleh Umar Tilmizani. Pada tahun 1952,
pengagum Hasan al-Banna tersebut mengungkapkan bahwa
dakwah akan berhasil jika para jurnalis Islami yang memiliki
kredibilitas (akhlak dan budi pekerti yang luhur) bersama-sama
melawan imperialisme Barat.228
Menurut hemat penulis, sistem
informasi dakwah yang dikembangkan oleh Umar Tilmizani
tersebut, mengandalkan kredibilitas jurnalis Islami untuk
meningkatkan efektivitas dakwah.
Pandangan Umar Tilmizani tersebut sejalan dengan
paradigma Hovlan dan Weiss (1974) yang mengemukakan bahwa
subjek itu cenderung lebih tertarik untuk berkomunikasi dengan
komunikator yang memiliki predikat tinggi.229
Berdasarkan
pandangan-pandangan di atas, ada dua unsur yang harus
diperhatikan oleh seorang jurnalis Islami, yaitu: keahlian dan
kepercayaan. Keahlian adalah kemampuan yang meliputi
penguasaan materi dakwah dan kecakapan dalam
menyampaikannya sehingga mudah diserap oleh mad’u.
228Umar Tilmizani, Am Ketiga Ikhwanul Muslimin (Jakarta: Rabbani
press, 1998), h. 99
229Op.cit., Jalaluddin Rakhmat

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 136
Sedangkan kepercayaan adalah citra atau reputasi seorang jurnalis
Islami yang terbentuk melalui perilaku sehari-hari di tengah-
tengah masyarakat. Kedua unsur ini dapat meningkatkan
efektivitas dakwah dan daya serap mad’u.
Bisa dikatakan bahwa komponen-komponen kredibilitas di
atas dapat berperan dalam meningkatkan efektivitas sistem
informasi dakwah dan melestarikan penyelenggaraannya. Jika
profesional jurnalis Islami maka peningkatan daya serap mad’u
juga bisa meningkat, yang berimplikasi kecerdasan sosial sehingga
melahirkan kondisi perubahan sosial yang interaktif menuju
peningkatan masyarakat madani.
Melalui peningkatan kompetensi dan kredibilitas jurnalis
Islami, terutama dalam melakukan komunikasi empatik di tengah-
tengah masyarakat, diharapkan dapat berkontribusi dalam menjaga
stabilitas sosial. Hal ini bisa dicapai jika seorang jurnalis Islami
mampu menyampaikan pesan-pesan keagamaan dalam kemasan
bahasa dan logika yang sesuai dengan daya nalar mad’u.
Pandangan ini relevan dengan teori Talcott Parson yang
mengemukakan bahwa menjaga kredibilitas informasi termasuk
sub sistem penting dalam struktur masyarakat. Hal ini bertujuan

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 137
untuk menghindari benturan budaya dalam proses adaptasi, cara
mencapai tujuan, interaksi antar lembaga, dan cara beragama.230
Menurut hemat penulis, semua sub sistem ini bisa dijaga dan
dirawat melalui seorang jurnalis Islami yang mampu
mentransformasikan pesan-pesan dakwah di tengah-tengah
masyarakat.
Salah satu kebutuhan penting dalam masyarakat yang harus
direspons oleh para praktisi dakwah adalah kebutuhan akan
informasi dakwah yang sehat dan menarik. Informasi dakwah yang
akan dipublikasikan di tengah-tengah masyarakat harus memiliki
kredibilitas. Sebagai contoh, informasi dan pengetahuan
keagamaan yang dituangkan oleh Sayyid Qutub dalam kitab fi
Zilalil Qur’an pada tahun 1970.
Muhammad Ali Aziz mengungkapkan bahwa materi dakwah
yang menekankan pada aspek teologis untuk meningkatkan
semangat keberagamaan umat.231
M. Natsir, salah seorang tokoh
230Talcott Parson, Multiculturalism: Society Interaction (New Yok:
Publiset Press, 2001), h. 55 lihat juga terjemahan oleh: Deddi Mulyana Pola
Interaksi Masyarakat Multikultural (Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara 1991), h. 23.
231Moh Ali Aziz, Ilmu Dakwah: Edisi Revisi (Cet. II; Jakarta: Prenada
Group, 2009), h.158.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 138
Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), juga mengungkapkan
bahwa kredibilitas dakwah tidak terlepas dari kecerdasan
fleksibilitas jurnalis Islami dalam beradaptasi dengan kondisi
sosiologis masyarakat dalam menerapkan rambu-rambu, melalui
pendekatan yang empatik, untuk menciptakan suasana dakwah
yang komunikatif.232
Hal ini juga relevan dengan pandangan Ali
Yafie yang dikutip oleh Muhammad Azis, bahwa kredibilitas
seorang jurnalis Islami dapat diterima jika memenuhi tiga hal,
yakni: kebijaksanaannya, sifatnya (kredibilitasnya) dan
akhlaknya.233
Semua pandangan tersebut berkaitan dengan unsur-
unsur kredibilitas yang harus dimiliki oleh seorang jurnalis Islami
agar sistem informasi dakwah bisa berjalan dengan efektif.
Persoalan kredibilitas bukanlah hal baru dalam peradaban
ilmu komunikasi. Ahli retorika dan komunikasi pada zaman klasik,
Aristoteles, telah mengamati dan meneliti faktor-faktor yang
mendorong pendengar rela meluangkan waktunya untuk
mendengarkan sebuah pidato. Kepercayan pada sumber yang
melakukan komunikasi merupakan unsur penting dalam
232Ibid.
233Ibid.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 139
menjalankan dakwah yang efektif.234
Terkait dengan hal ini,
Devito mengemukakan tiga tipe kredibilitas, yaitu: a) Kredibilitas
berdasarkan titel; b) Kredibilitas yang didapat selama komunikasi
berlangsung; c) Kredibilitas yang didapat pada akhir
komunikasi.235
Menurut Wilbur Schramn, seorang mendapat
kredibilitas dari audiens jika menyampaikan pesan berdasarkan
kompetensinya.236
Perspektif ini menurut Hasan Al-Banna dan
dikutip oleh Thomas Arnold Walker, yang mengatakan bahwa
menyampaikan pesan berdasarkan pengetahuan seorang
komunikator,237
guna menghindari terjadinya distorsi informasi
dakwah.
Sistem informasi dakwah dinamakan juga dengan
komunikasi Islam karena unsur komunikasi tersebut berlandaskan
pada nilai-nilai Islam yang bersumber dari Al-Quran dan
234Tasmara, Toto, Komunikasi Dakwah, (Cet. I; Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2007), h. 35.
235Joseph A Devito, The Interpersonal Comunication Book, (New York,
1976), h. 130-132.
236Wilbur Schramn, Men Message and Media, (Horper and Row, New
York, 1973), h. 115.
237Thomas Arnold Walker, The Preaching of Islam (Delhi: Law Price
Publications, 1998), h. 95.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 140
Sunnah.238
Salah satu unsur dari sistem informasi dakwah adalah
sub-sistem source credibility. Menurut Robert L. Mathis, seorang
jurnalis Islami yang kompeten mengerjakan pekerjaannya dengan
mudah, cepat, intuitif, dan sangat jarang atau tidak pernah
membuat kesalahan.239
Menurut Boulter Level, berdasarkan
perspektif source credibility, unsur-unsur kompetensi itu terdiri
dari kecerdasan sosial, visible, dan dapat mengontrol perilaku dari
luar.240
Adapun trait dan motivasi, maka lebih terkait dengan
kepribadian seseorang.
Kompetensi pengetahuan dan keahlian relatif lebih mudah
dikembangkan, misalnya melalui program pelatihan
pengembangan sumber daya manusia. Sedangkan kompetensi yang
berkaitan dengan motivasi dan trait tergantung pada kepribadian
seseorang, yang membutuhkan proses pengalaman dan
238Acep Arifuddin, Pengembangan Metode Dakwah (Cet. I; Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2011), h. 1.
239Robert L. Mathis dan John Jakson, Human Resource
Management10thEdition diterjemahkan oleh Diana Angjelina dengan judul:
Manajemen Sumber Daya manusia (Cet. Jakarta: Salemba Raya, 2006), h. 376.
240Al-Qaht}ani, Sa’d ibn Wahf. Muqawwimat al-Daiyah al-Najih fi D{au
al-Kitab wa al-Sunnah: Mafhum wa Naz}har wa Tat}biq, diterjemahkan oleh:
Aidil Novia dengan Judul Menjadi Dai yang Sukses (Cet. I; Jakarta Timur:
Qisthi Press 2005). h. 9.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 141
pendalaman.241
Dalam kaitan ini, kompetensi-kompetensi yang
dimaksud meliputi kompetensi dalam berkomunikasi, penguasaan
diri, pengetahuan psikologi, kependidikan, pengetahuan umum,
Al-Quran dan Sunnah, dan wawasan keagamaan secara holistik.242
Oleh karena itu, source credibility mencakup sikap, persepsi,
emosi, dan kompetensi jurnalis Islami. Apabila kompetensi-
kompetensi ini dimiliki oleh seorang jurnalis Islami, maka
perannya dalam menyebarkan kebenaran akan jauh lebih efektif.
Sedangkan motif source credibility trait berkaitan dengan
kepribadian seseorang sehingga cukup sulit untuk dinilai dan
dikembangkan. Adapun konsep diri dan social role terletak di
antara keduanya dan dapat diubah melalui pelatihan,
psikoterapi.243
Kompetensi jurnalis Islami dalam
mentransformasikan pesan melalui sistem informasi dakwah
mencakup skill mengolah data (pesan) yang bersumber dari Al-
241Fitzppatrick, Colletive Bargaining: Vulnerability Assessment,
(Jakarta: Nursing Manajement: 2001), h. 40-42.
242Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2009), h.
82-83.
243Tom E. Rolnickiet.al, Scholastic Journalism diterjemahkan oleh: Tri
Wibowo dengan judul, Pengantar Dasar Jurnalisme (Cet. I; Jakarta: Prenada
Kencana, 2008), h. 4.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 142
Quran dan Sunnah, dan mengemasnya dengan sistem komunikasi
empatik, partisipatoris, dan menggunakan teknologi
komunikasi.244
Untuk meningkatkan mutu sistem informasi
dakwah, semua unsur-unsur kredibilitas ini harus dimiliki oleh
seorang jurnalis Islami.
Menurut Mulyati Amin, untuk meningkatkan mutu atau
kualitas sistem informasi dakwah, para jurnalis Islami harus
memiliki kredibilitas dalam melakukan dakwah jama’ah yang
bersifat partisipatoris, misalnya melakukan gerakan-gerakan
sosial, pendidikan, dan pemurnian aqidah bersama-sama dengan
masyarakat.245
Dengan ditunjang oleh fasilitas teknologi yang
memadai, publikasi informasi dakwah akan lebih cepat dan efektif.
Penggunaan teknologi komunikasi dan informasi dalam mendesain
dan mengemas materi dakwah, khususnya dengan menggunakan
komputer grafis, akan meningkatkan daya serap mad’u.
Kemampuan untuk mendesain materi dakwah yang mudah diakses
244Muliaty Amin, Dakwah Jamaah: Suatu Model Dakwah Islam
Berwawasan Jender di Kabupaten Bulukumba. Disertasi dipertanggugjawabkan
pada tahun 2010 untuk meraih gelar doktor.
245 Usman Jasad, op. cit., 294.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 143
oleh mad’u, juga akan meningkatkan kredibilitas jurnalis Islami di
tengah-tengah masyarakat.
Meningkatkan kredibilitas, dalam teori use and gratification
menurut W. Philips Davison, yang dikutip oleh Jalaluddin Rahmat,
mengatakan bahwa masyarakat bukan orang pasif yang bisa
dibentuk seenaknya oleh komunikator, tetapi masyarakat terdiri
dari kumpulan struktur nilai dan ukuran kebenaran tersendiri serta
kebutuhan informasi.246
Hal ini mengharuskan seorang jurnalis
Islami untuk mengemas dan menyampaikan materi dakwah yang
sesuai dengan budaya dan daya nalar mad’u.
Menurut Liliweri, kemampuan komunikasi antar budaya
sangat diperlukan di tengah keragaman etnis, suku, agama, bahasa,
dan tradisi. Dibutuhkan kemampuan komunikasi antar budaya
untuk menyamakan persepsi mengenai pesan-pesan keagamaan
yang akan dipublikasikan atau disampaikan di tengah masyarakat
majemuk.247
Menurut hemat penulis, diperlukan informasi dakwah
khusus yang sesuai dengan kondisi sosial dan kebutuhan
masyarakat multikultural. Dengan kata lain, seorang jurnalis
246Op. cit., Jalaluddin Rahmat, h. 203.
247Alo Liliweri, Komunikasi Antarbudaya (Cet. II; Jakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), h. 19.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 144
Islami harus memiliki kemampuan komunikasi antar budaya untuk
mengkomunikasikan pesan-pesan al-Quran dan Sunnah di tengah-
tengah masyarakat multikultural.
Membahasakan Al-Quran dan Sunnah sesuai dengan
kebutuhan mad’u dapat meningkatkan sekaligus meminimalisasi
distorsi informasi di tengah masyarakat multikultural.248
Kemampuan jurnalis Islami mengkomunikasikan spirit pencerahan
yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah dapat meningkatkan
kesadaran masyarakat dan memperbaiki perilaku mereka. Untuk
melahirkan mindset yang lebih inovatif dan kreatif dalam menata
kehidupan, para jurnalis Islami harus mampu memberikan
pandangan hidup (worldview) dan wawasan yang lebih logis dan
rasionil.
Cara berpikir mad’u hanya bisa diubah oleh seorang da’i
yang memiliki kredibilitas visi dan misi yang berlandaskan pada
sifat-sifat Kenabian.249
Dalam hal ini, sifat-sifat Kenabian yang
248Rupert Brown, Prejudice: Its Social Psychology diterjemahkan oleh:
Helly P. Soetjipto dan Sri Mulyantini Sutjipto dengan Judul: Menangani
Prasangka dari Perspektif Sosial (Cet. I; Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 125.
249Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Subuah kajian
Hermeneutika (Cet. I; Bandung: Mizan2011), h.115.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 145
dimaksud adalah amanah, siddiq, fat}a>nah, tabli>g. Fat}a>nah meliputi
kompetensi psikologis, psikomotorik, dan afektif.250
Dengan
memiliki ketiga unsur kompetensi tersebut, kredibilitas seorang
jurnalis Islami dapat terdongkrak di tengah-tengah masyarakat.
Kredibilitas jurnalis Islami tidak akan terlepas dari pengaruh
dimensi internal (kondisi psikologis), dan dimensi eksternal
(kondisi sosiologis).251
Menurut Leonard W. Doob dan Raymond
V. Kesikar, yang dikutip oleh Totok Jumantoro, dimensi
komunikasi eksternal dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang
terekam dalam benak seseorang melalui pengalaman empiris.252
Menurut hemat penulis, hal ini sangat relevan dengan padangan J.
DeVito yang menyatakan bahwa semakin banyak input informasi
positif semakin positiflah respons dan ekspresi seseorang.
Teori J. DeVito ini diaktualisasikan dalam peradaban global
melalui konsep cultural imperialism theory yang dikembangkan
oleh Herbert Schiller (1973). Sebagaimana dikutip oleh Usman
250A. Machfud, Filsafat Dakwah: Ilmu Dakwah dan Penerapannya (Cet.
II; Jakarta: Bulan Bintang, 2004), h.33.
251Ibid.
252Totok Jumantoro, Psikologi Dakwah: Dengan Aspek-Aspek Kejiwaan
yang Qur’ani (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2001), h. 35.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 146
Jasad, teori ini menekankan perlunya mengkonstruksi informasi
dengan baik karena audiens atau masyarakat cenderung meniru
hal-hal yang dilihat atau dicerna oleh panca indranya.253
Mengutip
Ibnu Miskawaih, Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa selain
dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, manusia juga dipengaruhi
oleh potensi dasar yang terdapat dalam dirinya (internal), yaitu:
potensi nabati, hewani, dan insani.254
Ketiga potensi dasar ini
menentukan kecenderungan seseorang dalam berkomunikasi dan
menjalani kehidupan secara umum. Jika potensi nabati
mendominasi diri seseorang, maka ia akan cenderung lebih
individual atau mementingkan diri sendiri; jika dikuasai oleh
potensi hewani, maka ia akan cenderung mengambil sesuatu yang
bukan haknya; jika alam pikirannya dikuasai oleh potensi insani,
maka pola pikir (mindset) dan perilakunya akan tergantung pada
jenis dan intensitas informasi yang diterimanya.
Peningkatan kredibilitas jurnalis Islami merupakan salah
satu unsur penting dalam upaya peningkatan efektivitas dakwah.
Dengan tingkat kredibilitas yang memadai, pesan-pesan
keselamatan yang disampaikan oleh jurnalis Islami akan lebih
253Ibid.
254Jalaluddin Rahmat, op. cit., h. 90.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 147
mudah diserap dan diterima oleh mad’u. Dalam hal ini, salah satu
kecakapan yang harus dimiliki oleh seorang jurnalis Islami adalah
kemampuan menggunakan bahasa yang indah. Menurut Ubay bin
Ka’ab, bahasa atau kalimat-kalimat yang indah (ahsan al-qaul)
seperti yang digunakan dalam syair-syair itu, dapat
membangkitkan kecerdasan afektif, behavioral, dan kecerdasan
kognitif dalam diri mad’u.255 Kecerdasan kognitif jurnalis Islami
mencakup kemampuan memilih pesan-pesan keagamaan yang
dapat menggugah sisi emosional mad’u, misalnya tentang
pentingnya nilai-nilai kejujuran dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut Muhammad Sayyid Thanthawi, kredibilitas jurnalis
Islami mencakup: kejujuran, menjauhi kebohongan, memiliki
argumentasi yang logis, dan merindukan kebenaran.256
Oleh karena
itu, seorang jurnalis Islami dituntut untuk memiliki kecerdasan
ma’ani (kecerdasan memahami bahasa), kecerdasan bayani
(kecerdasan argumentatif), dan kecerdasan badi’ (kecerdasan
255Ahmad Ghulusy, ad-Da’watul Islamiyah, (Kairo: Darul Kijab, 1987),
h. 9.
256Muhammad Sayyi>d Tant}awi, Adab al-Hiwa>r fi> al-Islam (Mesir: Da>r
Anahdhah, 1984), h. 18. Lihat dalam Ace Arifudin, Metode Pengembangan
Dakwah, 2011. h . 11.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 148
menggunakan bahasa yang indah) dalam menyampaikan pesan-
pesan keagamaan agar dapat menyentuh sisi emosional mad’u.
Ilmu al-Baya>n dikembangkan oleh Abu ‘Ubaidah (w.211 H),
salah seorang murid Imam al-Khalil bin Ahmad. Karya fenomenal
Abu ‘Ubaidah adalah Majaz Al-Quran (Metafora dalam Al-Quran)
yang berisikan wawasan tentang cara-cara mengomunisasikan
pesan-pesan al-Quran. Ilmu ini kemudian disempurnakan oleh al-
Jurjani. 257
Menurut Manna’ al-Qattan, ultimate substance dari
pesan-pesan al-Quran yang dikemas dalam bentuk ams\a>l
(perumpamaan) akan lebih mudah dipahami dan diserap oleh umat
manusia. Hal ini dimungkinkan karena ams\a>l mensinergikan antara
akal dan panca indra. Dengan menggunakan ams\a>l, sesuatu yang
sulit dibayangkan atau dicerna oleh akal-pikiran akan menjadi
lebih konkret dan mudah dipahami. Dalam kaitan ini, Jalal al-Din
al-Suyu>t}i membagi ams\a>l ke dalam tiga bagian: ams\a>l ka>minah,
musarraha, dan ams\a>l mursalah.258
Ketiga model ams\a>l ini dapat
dijadikan acuan oleh para jurnalis Islami untuk meningkatkan
257 Moh Ali Aziz, op. cit., h. 76.
258Lala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, al-Itqa>m fi Ulu>m al-Qura>n, jilid II (Kairo
Mesir: Da>r al-Fikr, 2003), h. 113. Lihat Mardan, Al-Qur’an: Sebuah Pengantar
Memahami Al-Quran Secara Utuh, h. 173.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 149
kemampuan dalam mengomunikasikan ajaran-ajaran agama di
tengah umat.
Oleh karena itu, seorang jurnalis Islami harus memiliki
kecerdasan baya>ni agar informasi dakwah yang disampaikannya
mencapai tujuan yang maksimal. Ilmu al-Baya>n memiliki banyak
kesamaan dengan ilmu retorika. Berdasarkan ilmu al-Baya>n, secara
garis besar, ada tiga cara untuk mengembangkan sebuah kalimat:
al-tasybih (analogi), al-majaz (metafora), dan al-kina>yah
(metonim/kiasan).259
Semua model kebahasaan ini perlu dikuasai
oleh seorang jurnalis Islami agar materi dakwah yang
disampaikannya mudah dipahami oleh mad’u.
Seorang jurnalis Islami juga harus memiliki kecerdasan
badi’i. Ilmu badi’ mengajarkan kemampuan untuk menggunakan
bahasa yang indah. Dengan kemampuan menggunakan bahasa
yang indah, seorang jurnalis Islami diharapkan mampu mengemas
materi dakwah dengan kalimat-kalimat yang indah dan menarik
sehingga enak dicerna, mencerahkan hati dan pikiran, membawa
259Ibid., h. 77.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 150
solusi, dan bermanfaat bagi mad’u.260
Ilmu ini bertujuan untuk
memperindah kalimat dari segi kata-kata (al-lafziyyah) dan
maknanya (al-ma’nawiyah). Seorang orator yang andal tidak
hanya mampu menyampaikan pidato dengan kata-kata yang
mengesankan, tapi juga harus mengandung makna yang
mendalam. Peletak dasar ilmu badi’ adalah Abdullah bin Mu’taz
al-Abbasi (w. 270 H). Atas dasar kekagumannya pada Abdullah
bin Mu’taz, Qudama bin Ja’far kemudian turut mengembangkan
ilmu ini.261
Karena objek kajian dakwah adalah manusia, maka
ilmuwan dakwah perlu memahami psikologi mitranya untuk
mencapai sasaran dakwah.262
Mengutip Sayyidina Ali bin Abi
Thalib, Ahmad Ghulusy berpesan bahwa seorang jurnalis Islami
perlu dioptimalkan peran rasio, rasa, dan rahasia dalam
berdakwah.263
Menurut hemat penulis, materi-materi dakwah ini
dapat meningkatkan kredibilitas jurnalis Islami di tengah
masyarakat.
260Jalaluddin Rahmat, Etika Komunikasi Religi, Makalah Seminar,
(Jakarta: Perpustakaan Nasional, 18 Mei 1996.
261Ibid.
262Ishak Asep dan Hendri Tanjung, Management Sumber Daya Manusia
(Cet. I; Jakarta: Prenada Media group), h. 19 Bandingkan dengan Yunan Yusuf,
Manajemen dakwah, h. 104.
263Moh Ali Aziz, op. cit., h. 76.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 151
Materi dakwah harus mengandung unsur hikmah, nasehat,
dan pelajaran yang bermanfaat dan dibutuhkan oleh mad’u.264
Sejalan dengan hal ini, Ali al-Qahtani berpendapat bahwa seorang
jurnalis Islami harus memiliki kecerdasan kognitif, kecerdasan
humanis, dan kecerdasan spiritual.265
Penguasaan materi dakwah
dan penyampaian lisan yang sempurna, dapat mengangkat
kredibilitas jurnalis Islami di tengah masyarakat.
Mengutip Jalaluddin Rumi, salah satu tokoh sufi dari Persia,
Aziz mengatakan bahwa dalam proses komunikasi, lidah
dibayang-bayangi oleh daya rohani. Kandungan perasaan dan
pikiran yang dituangkan dalam bentuk puisi, dapat disebarluaskan
dan ditangkap dengan baik oleh panca indra berkat kepiawaian dan
ketajaman lidah.266
Setiap kata dan kalimat dapat berbekas dalam
benak mad’u apabila sesuai dengan daya nalar mereka.
Seorang jurnalis Islami harus memiliki kecerdasan bahasa
agar mampu mengomunikasikan pesan-pesan al-Quran dan Sunnah
264Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dan Imam Nawawi al-Bantuny, Nas}a>ihul
Iba>d (Beirut: Da>r) h. 162.
265Said bin Ali Al-Qaht}ani, Dakwah Islam dan Dakwah Bijak (Cet. I;
Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 362.
266Ibid., h. 75.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 152
dalam kemasan bahasa yang dapat dipahami oleh mad’u. Hal ini
sesuai dengan teori yang diperkenalkan oleh Larry A. Samover. Ia
mengatakan bahwa kecerdasan bahasa yang dimiliki manusia
memungkinkannya untuk memilih kata-kata yang dapat
memindahkan sesuatu yang abstrak ke dalam kalimat-kalimat
yang gampang dipahami.267
Menurut Peter Drucker, kredibilitas seorang komunikator,
antara lain, mencakup kemampuan untuk merancang anatomi
pesan, dan menetapkan target-target yang ingin dicapai. Ia juga
mencakup kemampuan merumuskan desain aplikasi komunikasi
yang membuat pesan mudah dipahami.268
Agar dakwah bisa
efektif, informasi atau materi dakwah harus sesuai dengan
persoalan yang berkembang di tengah masyarakat. Oleh karena itu,
seorang jurnalis Islami harus melakukan pengamatan dan analisa
mendalam sebelum menentukan materi dakwah atau pesan-pesan
keagamaan yang akan disampaikan sesuai daya nalar mad’u.
267Larry A. Samover, Richhard E. Porter, and Nemi C. Jaim,
Understanding Intercultural Communication (Wodsworth Publishing Company,
Belmont California, t.t), h. 23.
268Peter Drucker, Structures of Communication (New York: Sage
Publishing Company, Belmont California, t.t), h. 33.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 153
Mendesain materi dakwah sesuai daya nalar mad’u
dibutuhkan teknologi informasi dakwah. Strategi ini dapat
dilakukan dalam berbagai metode dakwah. Menurut Ali
Mahfuzpenerapan teknologi informasi dakwah tersebut dapat
dilakukan melalui metode bi al-Lisan, bi al-Qalam, dan bi al-
H{al.269 Berikut dijelaskan satu per satu:
b. Dakwah bi al-Lisan
Pada hakikatnya, dakwah adalah cerminan iman yang
dimanifestasikan dalam bentuk aktivitas yang bernama dakwah.
Untuk mentransformasikan ajaran-ajaran Allah Swt. yang
termaktub dalam al-Quran dan Sunnah, dibutuhkan metode,
strategi, dan teori yang berlandaskan pada kaidah-kaidah ilmu
pengetahuan, baik empiris maupun ‚non-empiris‛.270
Menurut
Aliyudin, ada tiga teori dakwah, yaitu teori citra da’i, teori
medan dakwah, dan teori proses, tahapan dakwah.271
269Syekh ‘Ali Mahfuż, Hidayah Al-Mursyidin Ila Turu>q al-Wa’zhwa al-
Khita>bah (Beirut Lebanon: Dar Al-Ma’rifah), h. 93.
270Aep Kusnawan dan Firdaus, Manajemen Pelatihan Dakwah (Cet. I;
Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009), h. 117.
271Enjang As dan Aliyudin, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah: Pendekatan
Filosofis dan Praktis (Cet. I; Bandung: Widya Padjadjaran, 2009) h. 120.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 154
Metode dakwah bi al-Lisan dapat diwujudkan dalam bentuk:
ceramah, diskusi, khutbah, nasihat, dan lain-lain.272
Proses
transmisi dakwah dapat dilakukan dengan cara pribadi (fardiyah),
keluarga (usrah), komunitas (jamaah), masyarakat (umat), dan
dalam semua segi kehidupan.273
Berikut proses sistem dakwah
menurut pandangan Ali Mahfuz}:274
Bagan di atas menunjukkan bahwa aplikasi sistem informasi
dakwah harus mengintegrasikan berbagai unsur yang saling
menunjang agar bisa mencapai hasil yang maksimal. Dakwah bi al-
272Samsul Munir Amin, Tajdi>d al-Fikrah fi al-Dakwah al-Islamiyah,
Maqa>lah bi al-Lughah al-Arabi>yyah, Kuli>yah al-Dakwah, (Wonosobo: al-
Ja>mi>’ah li> Ulu>m Alquran Jawa al-Wust}a, 2003), h. 2-3.
273M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas
Pelbagai Persoalan umat (Cet. XVII; Bandung: Misan, 2006), h. 319.
274Syaikh Ali Mahfuz}, Hidaya al- Mursidin, Lihat Andul Kadir Sayid
Abdul Rauf, Dira>sat fi da’wah al-Islamiyyah, (Kairo: Da>r al-Tiba’ah al-
Mahmadiyah, 1987), h. 10.
Kebahagiaan
Dunia Akhirat
TUJUAN
MANUSIA
MAD’U
Amar Ma’ruf
Nahy Mungkar
METODE
Al-Khair
Al-Huda Al-Ma’ruf
PESAN
Pemberian
Motivasi
DAI

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 155
lisan adalah teknik komunikasi dakwah yang dilakukan dengan
menggunakan lisan (verbal), yang bisa berbentuk ceramah, pidato
manuskrip, pidato memoriter, dan pidato ekstemporan.275
Seorang
jurnalis Islami yang melakukan dakwah bi al-lisan harus
berbekalkan kecerdasan bayani, kecerdasan ma’ani, dan
kecerdasan badi’i.
Menurut Ali Mahfuz, dakwah harus menggabungkan antara
targhib (motivasi) dan tarhib (intimidasi/ancaman). Hal ini dapat
diwujudkan dalam bentuk-bentuk berikut ini: 1) memilih jurnalis
Islami yang mampu melakukan targhib dan tarhib; 2) memilih
materi dakwah yang relevan dengan persoalan kehidupan, dan
mengemasnya dengan bahasa yang mudah dicerna oleh mad’u; 3)
menyesuaikan materi dakwah dengan situasi dan kondisi
setempat.276
Sistem informasi dakwah dapat dijalankan secara
individual atau kolektif.
275op. cit., Moh. Ali Aziz, h. 359-360.
276Zaid Abdul Karim Az-Zaid, Dakwah bil-H{ikmah (Cet. I; Jawa Timur:
Pustaka Al-Kaustar 1993), h. 28.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 156
Baik dijalankan secara individual maupun kolektif, sistem
informasi dakwah harus berasaskan prinsip al-hikmah. Prinsip al-
hikmah termasuk dalam kategori al-manhaj al-at}ifi (metode
sentimentil). Menurut Muhammad Abduh, hikmah adalalh
mengetahui rahasia ilmu, faedah-faedahnya, dan menempatkan
sesuatu pada tempatnya.277
Konsep Muhammad Abduh ini sejalan
dengan konsep Muhammad Abu Al-Fatah Al-Bayanuni, yang
memaknai hikmah sebagai kemampuan jurnalis Islami untuk
menempatkan kalimat pada konteksnya.278
Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa al-hikmah adalah kompetensi jurnalis
Islami menggunakan teknologi informasi dakwah dalam
mentransformasikan pesan-pesan keagamaan.
Sistem informasi dakwah juga harus berlandaskan pada
prinsip al-mauiz}atu al- h{asanah. Prinsip ini termasuk dalam
kategori al-manhaj al-hissi (metode indrawi). Berdasarkan metode
ini, seorang jurnalis Islami diharuskan memiliki kompetensi untuk
277Abu Hayyan, al-Bah}rul Muhith, jilid I h. 392. Zaid Abdul karim al-
Da’wah al-H{ikmah, h. 26.
278Muhammad Abdul Fatah al-Bayanuni, Al-Madkhal Ila ‘ilmu al-
Da’wah (Beirut: Muasasa Ar-Risalah: 1991), h. 245.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 157
memberikan bimbingan, nasihat, dan menawarkan pilihan-pilihan
kebenaran yang dapat dijangkau oleh masyarakat.279
Sebagaimana
dikutip oleh Hamid, Ali Mahfuz berpendapat bahwa mauiz}a
h}asanah} meliputi: nasihat, petuah, bimbingan, kisah-kisah, kabar
gembira, dan ancaman.280
Semua metode dan teori dakwah ini
dapat dijalankan dengan berpedoman pada asas wa jadilhum billati
hiya ahsan atau asas al-mujadalah. Al-Muja>ddalah atau sistem
dakwah dialogis cocok untuk diterapkan di tengah masyarakat
multikultural, yang tingkat pengetahuan dan profesinya biasanya
berbeda-beda. Masyarakat multikultural umumnya terdiri dari
kalangan profesional, kalangan menengah, dan kalangan awam.281
Ketiga golongan masyarakat ini membutuhkan informasi dakwah
yang berbeda-beda. Oleh karena itu, seorang jurnalis Islami harus
memperhatikan aspek teks (materi dakwah) dan konteks agar
279Ramad}an Muhammad Khair. Dakwah al-H{aq Min Khasaishi al-Alam
al-Islami, Rabit}ah al-alam al-Islami, (Maktab al-Mukarramah 1990). h. 145.
280Abdul Hamid Al-Bilali, Fiqh al-Dakwah fi> Ingkar al-Mungkar
(Kuwait: Da>r al-Dakwah, 1989), h. 260.
281Ghazali Darussalam, Dinamika Ilmu Dakwah Islamiyah, (Malaysia:
Nur Niaga SDN. BHD 1996).h. 21.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 158
pesan-pesan keagamaan yang disampaikannya dapat dicerna oleh
mad’u. Memilih konten informasi dakwah merupakan salah satu
unsur penting yang harus diperhatikan oleh jurnalis Islami. Seorang jurnalis Islami harus mendesain materi dakwah yang mudah dipahami oleh masyarakat.
282 Hanya informasi yang
berkualitas (qaula>n bali>gha>n) yang dapat memengaruhi jiwa dan perilaku masyarakat. Ia juga dapat menstimulasi dan mendorong penguatan civil society dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kata balli>g memiliki tiga dimensi, yaitu benar secara bahasa, memiliki kejelasan makna, dan mengandung kebenaran substansial.
283 Sebuah informasi dakwah dianggap komunikatif
jika bisa dipahami oleh mad’u. Menurut pakar komunikasi, Stephen W. Little John,
komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang melahirkan kesepahaman antara komunikator dan komunikan.
284 Sistem
informasi dakwah bisa dikatakan empatik jika pesan-pesan yang disampaikan dapat menciptakan interaksi harmonis di kalangan umat. Dalam al-Quran, penggunaan bahasa yang indah dalam berdakwah diistilahkan dengan ah}sanu qaulan (ucapan yang baik) (QS. Al-Fussilat/41: 33). Ayat tersebut menjadi inspirasi bagi para jurnalis Islami agar memperhatikan kemasan materi dakwah yang akan disampaikannya kepada mad’u, terutama aspek kebahasaannya, karena bahasa turut menentukan efektivitas komunikasi.
282H. Hafi Anshari, Pemahaman dan Pengalaman Dakwah (Cet. I;
Surabaya, Al-Ikhlas, 1993), h. 143. Bandingkan dalam Samsul Munir Amin,
Ilmu Dakwah (Cet. I; Jakarta: Amza, 2009), h. 88.
283Ahsin W. Al-hafiz} Kamus Ilmu Al-Quran (Cet. I; Jakarta: Sinar
Grafika Offset, 2005), h. 273.
284Stephen W. Littlejohn, Encyclopedia of Communication Theory (Los
Angles, SAGE Publications India Pvt. Ltd, 2009), h. 77.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 159
Menurut Jalaluddin Rahmat, etika dakwah bi al-lisan perlu mengandung spirit qau>lan kari>ma>n (perkataan yang baik), qaula>n layyina>n (perkataan yang lembut), qaula>n maisu>ra>n (perkataan yang mudah dipahami), dan qaula>n sadi>da>n (perkataan yang benar).
285 Dalam konteks ini, Nurcholish Madjid mengatakan
bahwa kata ma’ruf itu tidak berlaku universal, tetapi hanya mencakup hal-hal yang dianggap baik oleh masayarakat setempat. Dalam al-Quran, kita bisa menemukan beberapa istilah penting yang berhubungan dengan dakwah, misalnya: qawla>n ma’rufan, qawla>n sadida>n, qawla>n balighan, qawla>n maisuran, qawla>n layyina>n.286
Dalam kaitan ini, yang akan disorot adalah qawla>n ma’rufan. Kata ma’ru>f berasal dari kata arafa (عرف), yang artinya mengetahui; kebalikan dari kata mungkar yang berarti tidak mengetahui. Kata arafa (عرف) dengan berbagai bentuknya, terulang sebanyak 71 kali dalam al-Quran. Menurut Fachrudin HS, qawlan ma’rufan bisa ditafsirkan sebagai perkataan yang patut.
287
Dengan demikian, ungkapan qawla>n ma’rufan merupakan kombinasi antara perkataaan yang manis dan makna yang baik. Pesan-pesan keselamatan yang termaktub dalam al-Quran dan Sunnah harus dikomunikasikan secara empatik dengan menggunakan perkataan yang mulia.
288 Dengan kata lain, pesan-
pesan kebaikan perlu disampaikan dengan cara-cara yang baik pula (ma’ruf), termasuk dari sisi penggunaan bahasa. Dakwah tidak boleh menyudutkan atau mendiskreditkan kelompok tertentu, tetapi harus memotivasi semua lapisan umat tanpa memandang golongan atau alirannya.
285Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme: Akhlaq Al-Quran Menyikapi
Perbedaan (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 28.
286Nurcholis Majid, Islam Doktrin dan Peradaban (Cet. I; Jakarta:
Paramadina, 1992), h. 243.
287Zainuddin Hamidi Fachrudin HS, Tafsir Al-Quran al-Karim h. 86.
288Maulana Muhammad Ali, The Holy Al-Quran diterjemahkan oleh:
H.M. Bahrun dengan judul Qur’an Suci (Cet. IV; Jakarta: Da>r al-Kutub al-
Islamiyyah, 1986), h. 129.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 160
Dalam QS al-Isra’/17:23, Allah Swt. menekankan pentingnya menggunakan perkataan yang mulia (qaula>n kari>man) dalam mengomunikasikan pesan-pesan mengenai budi pekerti yang luhur. Allah berfirman:
Terjemahannya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di
antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut
dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah
kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia.289
Menurut Quraish Shihab, seorang jurnalis Islami harus
kompeten dalam menggunakan perkataan-perkataaan yang mulia,
berkomunikasi secara empatik, dan mengomunikasikan pesan-
pesan al-Quran dan Sunnah dengan lemah lembut dan penuh
289Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah Perkata: Syamila Al-
Quran (Cet. Jakarta: Sigma, 2007), h. 284.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 161
penghormatan.290
Sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam
surah al-Isra,> kemasan informasi dakwah harus menggunakan
ungkapan atau bahasa yang mudah dimengerti (qaulan maysu>ran).
Allah berfirman ( Q.S. surah al-Isra’:28):
Terjemahannya:
Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh
rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah
kepada mereka ucapan yang pantas (memenuhi kriteria
kepatutan yang berlaku).291
Selain itu, informasi dakwah juga harus dikemas dengan
ungkapan atau bahasa yang dapat menyentuh dan berbekas di hati.
Dalam QS. Al-Nisa/4:63, Allah Swt. berfirman:
290M. Quraish Shihab, Dia Dimana-Mana: Tangan Tuhan di Balik Setiap
Fenomena (Cet. VIII; Jakarta, Lentera Hati, 2004), h. 209-212.
291Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah Perkata: Syamila Al-
Quran (Cet. Jakarta: Sigma, 2007), h. 285.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 162
Terjemahannya: Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa
yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari
mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada
mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.292
Menurut Quraish Shihab, ayat ini memberi petunjuk kepada
para jurnalis Islami mengenai tata cara berdakwah di tengah
masyarakat yang memiliki tradisi komunikasi dramaturgi (lain di
bibir lain di hati) dalam interaksi sosial. Strategi dakwah yang
tepat untuk kondisi semacam ini adalah dengan menggunakan
pendekatan komunikasi empatik.293
Menurut pakar bahasa,
.adalah sampainya sesuatu pada sesuatu yang lain (ba>ligh)بليغ
Informasi dakwah bisa dikatakan بليغ (ba>ligh) jika memenuhi
syarat-syarat, antara lain, menggunakan kalimat yang tidak
bertele-tele, menggunakan kosakata yang dapat dimengerti oleh
292Ibid., h. 88.
293M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume XII: Pesan-pesan dan
Keserasian Al-Quran (Cet. I; Lentera Hati, 2009), h. 596.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 163
mad’u, dan mematuhi aturan tata bahasa.294
Oleh karena itu,
dakwah yang ba>ligh tidak boleh berbentuk kritikan, apalagi
kecaman, yang disampaikan di hadapan umum. Hal semacam ini
hanya akan melahirkan antipati dari mad’u, bahkan bisa-bisa
membuat mereka semakin keras kepala dan menjauh dari ajaran-
ajaran agama. Dengan kata lain, kegiatan dakwah harus
dilandaskan pada komunikasi empatik.
Kata empati berasal dari bahasa Jerman Einfuhlung, yang
berarti turut merasakan penderitaan orang lain (feeling into).295
Pengertian yang serupa juga diungkapkan oleh Jalaluddin Rahmat.
Dia mengatakan bahwa empati adalah menempatkan diri kita pada
posisi orang lain.296
Informasi dakwah juga harus menggunakan perkataaan atau
ungkapan yang lemah lembut (qaulan layyinan). Hal ini ditegaskan
oleh Allah Swt. dalam QS al-T}a>ha>/20:44:
294 M. Quraish Shihab, Ibid, h. 596.
295Subandy Ibrahim, Sinar Komunikasi Empatik: Krisis Budaya dalam
Masyarakat Kontemporer (Cet. I; Jakarta: Pustaka bani Quraisy, 2004), h. xix.
296Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi (Cet. VIII; Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2005), h. 19.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 164
Terjemahannya:
Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata
yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.297
Menurut Quraish Sihab, kata layyinan dalam ayat tersebut
bermakna menyampaikan pesan dakwah melalui kata-kata yang
sopan dan sesuai dengan kultur mad'u.298
Dalam pandangan
psikologi, perkataan yang lembut dapat melahirkan rasa cinta pada
hikmah.299
Sebagaimana dikutip oleh Arifin, Sigmund Freud
mengatakan bahwa komunikasi yang menggunakan perkataan
yang lembut dapat memengaruhi insting manusia.300
Selain itu, informasi dakwah juga mesti memperhatikan
daya nalar mad’u. Hal ini ditegaskan oleh firman Allah Swt. dalam
QS al-Isra>/17: 84
Terjemahannya:
297Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah Perkata: Syamila Al-
Quran (Cet. Jakarta: Sigma, 2007), h. 314.
298M. Quraish Shihab, op. cit, h. 596.
299John R. Anderson, Cognitive Psychology and its Implication: Fifth
Edition (Cet. V; Word Publishers, 2000), h. 432.
300H.M. Arifin, Psikologi Dakwah (Cet. VI; Jakarta: Bumi Aksara, 2004),
h. 48.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 165
Katakanlah: Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya
masing-masing. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih
benar jalannya.301
Ayat ini menjelaskan tentang aspek-aspek yang harus
diperhatikan berkaitan dengan situasi dan kondisi mad’u. Di
antara aspek-aspek itu adalah tabiat, lingkungan, budaya, agama,
dan pendidikan mad’u. Berdasarkan ayat tersebut, seorang jurnalis
Islami perlu memiliki berbagai kecerdasan dan kompetensi yang
memungkinkannya untuk mentransformasikan pesan-pesan
keagamaan secara profesional.
Berikut ini hadis yang berhubungan dengan sistem informasi
dakwah, baik dakwah lisan maupun tulisan. Rasulullah SAW.
bersabda: خاطبوا الناس على قدر عقولهم (kha>t}ibu>nna>sa ‘ala> qadri
‘uqu>lihim).302
Artinya:
301Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah Per kata: Syamila Al-
Quran (Cet. I; Jakarta: Sigma, 2007), h. 290.
302Jalal al-D>in al-Suyu>ti Juz VI, Jami>’ul al-Ha>di (Beirut Da>r al-Kutub,
t.th), h. 401.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 166
Berkomunikasilah dengan sesama manusia sesuai dengan
kemampuan dan tingkat kecerdasannya.303
Hadis tersebut menekankan pentingnya membuat sistem
informasi dakwah yang sesuai dengan tingkat kecerdasan dan nalar
mad’u. Dalam hal ini, jurnalis Islami harus mempersiapkan materi
dakwah yang sesuai dengan kebutuhan mad’u, mengemasnya
dalam bahasa yang mudah dimengerti, dan menggunakan
teknologi penunjang yang tepat.
c. Dakwah bi al-Qalam
Menurut Syeikh Ali al-Fadl bin al-Hasan al-Tabrasi, al-
Qalam adalah salah satu alat yang digunakan oleh manusia untuk
menyampaikan keinginannya baik kepada yang jauh maupun yang
dekat.304
Dalam beberapa hal, dakwah bi al-Qalam memiliki model
dan memainkan peran yang berbeda dengan dakwah bi al-Lisan.
303H.M. Arifin, op. cit., h. 46.
304Muhammad Abdul Aziz al-Khu>li, Is}la>h al-Wazh al-Di>n Juz II (Mesir:
al-Tijariyat, 1964), h. 5 Bandingkan dengan Abu Hasan Muhammad ibn Fariz
Zakariyyah, h. 279-281.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 167
Menurut hemat penulis, dakwah bi al-Qalam dapat melahirkan
transformasi budaya melalui tulisan-tulisan di media massa
elektronik.305
Kecanggihan teknologi informasi telah melahirkan
komunitas virtual yang biasa dikenal dengan istilah cyber
community.
Dengan dakwah bi al-Qalam, informasi yang berkaitan
dengan ibadah, muamalah, ekonomi, dan sosial-budaya, dapat
dipublikasikan di media massa, baik cetak maupun elektronik.
Dakwah bi al-Qalam dapat dilakukan melalui surat kabar, majalah,
buku, dan internet. Salah satu keunggulan dakwah bi al-Qalam
adalah ia bisa dilakukan kapan dan di mana saja. Dengan kata lain,
dakwah bi al-Qalam tidak dibatasi oleh waktu dan tempat.
Mengomunikasikan pesan-pesan agama melalui dakwah bil
qalam dan simbol relevan dengan gagasan Ferdinand De Saussure
sekitas tahun (1857-1913) yang di kutip Komaruddin bahwa
pembicaraan lebih primer menyentuh jiwa di banding bahasa lewat
tulisan.306
Gagasan ini sesuai pandangan Henry Sweet (1845-1912)
berpendapat bahwa meskipun bahasa bisa dicurahkan lewat tulisan
305Bandingkan Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya
(Cet. I; Jakarta: Universitas Indonesia, 2008), h.116.
306Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutika (Cet. I; Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2011), h. 186.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 168
dan simbol-simbol, namun ada kecendrungan banyak perasaan
yang kurang terwakili oleh tulisan tersebut.307 Hal ini
menunjukkan bahwa kompetensi jurnalis Islami perlu memiliki
analogi, dan logika untuk dapat memilih bahasa yang ditunjang
oleh teknologi informasi dakwah untuk memudahkan daya nalar
mad’u.
Bentuk dakwah bil al-Qalam: dua kosa kata ini substansi
maknanya kepada dua sistem informasi yakni suara dan kata-
kata.308
Dalam kajian Dakwah bi al-Qalam peran teknologi
informasi dakwah berorientasi pada tulisan (surat kabar, majalah,
buku, internet), puisi, artikel dan semua yang berhubungan dengan
tulisan yang dapat merubah umat menjadi lebih baik.309
Ketiga
model dakwah ini merupakan sub sistem informasi dakwah Islam
yang perlu di kelola secara profesional.
Bentuk tulisan (dakwah bi al-Qalam) antara lain dapat
berbentuk artikel keislaman, tanya jawab hukum Islam, rubrik
dakwah, rubrik pendidikan agama, kolom keislaman, cerita
religius, cerpen religius, puisi keagamaan, publikasi khutbah,
307Ibid.
308Tanta>wi> Jauha>ri, Al-Jauhar fi> Tafsir Al-Qura’n al-Karim (Beirut:
Mu’assasah> al-Alami, 1973), h. 75.
309M. Munir, Metode Dakwah: Edisi Revisi. op. cit., h. 216.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 169
pamflet keislaman, buku-buku dan lain-lain.310
Hal ini bisa
dikemas dalam software komputer grafis untuk memberi citra pada
pesan-pesan dakwah lewat lembaran elektronik maupun cetak
sesuai kebutuhan masyarakat cyber comunity.
Pada era informasi sekarang ini maraknya media massa
sebagai sarana komunikasi massa dan alat pembentuk opini publik,
para jurnalis Islami, aktivis dakwah, dan umat Islam pada
umumnya memang terkena kewajiban secara syar’i melakukan
dakwah, perlu memanfaatkan media massa untuk melakukan
dakwah bi al-Qalam, melalui rubrik kolom opini yang umumnya
terdapat di surat kabar harian, mingguan, tabloid, majalah-
majalah, atau buletin-buletin internal masjid.311
Tentu saja,
dakwah bi al-Qalam berjalan seiring perkembangan media cetak
dengan teknologi sistem informasi yang mutakhir.
Melalui tulisan-tulisan di media massa, seorang Jurnalis
Islami, Ulama, Kyai, perlu pengembangan wawasan sistem
informasi dakwah dalam penyebaran informasi dengan cara
310Awis Karni, Dakwah Islam di Perkotaan: Studi Kasus Yayasan Wakaf
Paramadina (Jakarta: Disertasi SPS UIN Jakarta, 2000, tidak diterbitkan h. 43.
311Blogger Gerakan Memakmurkan Masjid http://kopinet.info/dakwah-
bil-qolam/ diakses pada tanggal 18 Pebruari 2010.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 170
dakwah bi al-Qalam.312
Peran ini dapat melaksanakan tugas
jurnalis Muslim, sebagai muaddi>b (pendidik), musaddid (pelurus
informasi tentang ajaran dan umat Islam), mujaddi>d (pembaharu
pemahaman tentang Islam), muwahid (kesolidan sistem Informasi
Islam),313
dan mujahid (pejuang, pembela, dan penegak informasi
yang benar Islam).
Keunggulan dakwah bi al-Qalam jika dibandingkan dengan
bentuk dakwah yang lain adalah terdapat pada sifat dan objeknya
cakupannya yang luas. Dakwah bi al-Qalam dapat diterima oleh
ratusan, ribuan, ratusan ribu, bahkan jutaan orang pembaca dalam
waktu yang hampir bersamaan.314
Kompetensi jurnalis Islami
dalam bentuk dakwah bi al-Qalam juga merupakan senjata kita
dalam melawan serbuan pemikiran (Al-Gazwul Fikr) pihak-pihak
yang hendak merusak akidah, pemikiran, dan perilaku umat Islam
melalui media massa.315
Media massa memang alat efektif untuk
membentuk opini publik (public opinion), bahkan memengaruhi
312M. Syafi’i Anwar, Dakwah bi al-Qalam dan Jurnalistik (Jakarta: 1989)
h. 166.
313M. Munir, Metode Dakwah: Edisi Revisi (Cet. III; Jakarta: Prenada
Group, 2009), h.123
314Suf Kasman, Jurnalisme Universal: Menelusuri Prinsip-Prinsip
Dakwah dalam Alquran (Cet. I; Bandung: Teraju, 2004), h. 88.
315Ibid., h.125.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 171
orang melalui pendekatan komunikasi emapti. 316
Kelebihan
dakwah bi al-Qalam memiliki kekuatan tersendiri karena bisa
diverifikasi, telah berkembangan menjadi lembaran-lembaran
elektronik (seperti touch screen), lebih rapi sistematika alur
pikirnya, dan dibaca berulang-ulang.
Tanda-tanda lewat komunikasi bi al-Qalam hemat Danesi
adalah pikiran yang dipindahkan lewat media kertas, batu, dan
lain-lain. Bangsa Mesir kuno menjadikan komunikasi bi al-Qalam
sebagai hieroglif sebab melalui komunikasi bi al-Qalam menulis
pesan-pesan mistik, hymne, doa, dan gelar dewa.317
Tradisi literasi
ini juga berkembangan di dunia Islam sehingga kitab Al-Quran dan
Sunnah berbentuk komunikasi bi al-Qalam. Karena komunikasi bi
al-Qalam memiliki kelebihan yang strategis maka jurnalis Islami
perlu memiliki kompetensi komunikasi bi al-Qalam dengan
menerapkan dalam teknologi dakwah.
316Subandy Ibrahim, Sinar Komunikasi Empatik: Krisis Budaya dalam
masyarakat Kontemporer (Cet. I; Jakarta: Pustaka bani Quraisy, 2004), h. xx.
317Marcel Danesi, Massages, Sign, and Meanings: A Basic Textbook and
Semitics and Communication Theory Third Edition (Canadian Scholars' Press
Inc, 2004), diterjemahkan oleh: Evi Setriany dengan Judul: Pesan Tanda, dan
Makna: Buku Teks Dasar Semiotika dan Teori Komunikasi (Cet. I;
Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h.155.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 172
c. Dakwah bi al-H{a>l
Dakwah bil al-H{a>l: kata al-H{a>l bermakna hal atau
keadaan.318
Lisan al-H{a>l berarti memanggil, menyeru dengan
menggunakan bahasa keadaan dengan ajakan perbuatan nyata dan
penuh hikmah.319
Jurnalis Islami perlu memberikan prilaku yang
dapat diteladani umat baik dalam ibadah maupun dalam hubungan
sosial kemasyarakatan. Dakwah al-H{a>l dengan perbuatan nyata
dimana aktifitas dakwah dilakukan dengan cara memberikan
keteladanan, dakwah sosial (membangun jembatan, rumah sakit
dan pendidikan). 320
Sistem Informasi dakwah bi al-H{a>l atau dikenal dengan
sistem informasi dakwah kerja nyata seperti peningkatan ilmu
pengetahuan (SDM) diberbagai bidang umat Islam harus
meningkatkan kreatifitas semaksimal mungkin sebagai wujud dari
taqwa kepada Allah swt., Dakwah bi al-H{a>l juga membangun
fasilitas umum, yakni jembatan, masjid, gedung pertemuan, hotel,
318Ahmad Warson Munawwir, Kamus Bahasa Arab-Indonesia
(Yogyakarta: Unit Pengadaan buku-buku ilmiah, t.th.), h. 336.
319Abdul Karim, Az-Zaid Zaid. Da'wah bil-H{ikmah, (Cet. I; Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar 1993). h. 28.
320M. Munir, Metode Dakwah: Edisi Revisi (Cet. III; Jakarta: Prenada
Group, 2009), h. 215. lihat juga Ensiklopedi Islam (Cet. IV; Jakarta : PT.
Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 280.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 173
tempat wisata, infrastruktur ekonomi dan fasilitas-fasilitas umum
lainnya yang dapat dirasakan secara langsung oleh panca indra
mad’u. Tingkatan sistem informasi dakwah model ini memiliki
peran penting dalam perubahan sosial sistem informasi dakwah bi
al-H{a>l.321 Dakwah bi al-H{a>l, (perbuatan nyata) merupakan
aktivitas keteladanan dan tindakan amal nyata di tengah
masyarakat.
Sistem informasi dakwah bi al-H{a>l tidak meningggalkan
maqal (ucapan lisan dan tulisan), melainkan lebih ditekankan pada
sikap, perilaku, dan kegiatan-kegiatan nyata yang secara interaktif
mendekatkan masyarakat pada kebutuhannya, langsung atau tidak
langsung dapat memengaruhi peningkatan keberagamaan.322
Sistem Informasi Dakwah bi al-H{a>l saat ini bisa dilakukan dengan
karya nyata sebagai solusi kebutuhan masyarakat banyak,
misalnya membangun sekolah-sekolah, perjurnalis Islamian-
perjurnalis Islamian tinggi Islam, membangun pesantren,
membangun rumah-rumah sakit, membangun poliklinik, dan
321Tuty Alawiyah, Paradigma dakwah baru Islam: Pemberdayaan Sosio-
Kultural Mad’u IAIN Syarif Hidayatullah (Jakarta: Jurnal Kajian Dakwah dan
Kemasyarakatan), h. 5.
322Ismai Al-Faruqi, Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Menjelajah
Khazanah Peradaban Gemilang Islam: Edisi Indonesia (Bandung: Mizan,
1998),h. 220.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 174
kebutuhan hidup masyarakat lainnya untuk kebutuhan umat
manusia.323
Semua ini adalah bentuk dakwah bi al-H{al
Muhammadiyah sebagain bentuk dari spirit ajaran agama.
Sistem dakwah bi al-H{a>l hemat penulis lebih ditekankan
pada keteladanan serta menjadi panutan masyarakat. Untuk
mendesain sistem dakwah seperti ini lebih ditujukan pada kader-
kader dakwah perlu memberikan suri tauladan bagi mad’u dengan
pendekatan dakwah partisipatori yakni bersama-sama dengan
masyarakat melakukan dakwah pembebasan dari berbagai macam
keterpurukan. Baik keterpurukan ekonomi, kesehatan, politik,
budaya, cagar alam dan sosial kemasyarakatan. Tujuan dakwah
melalui pesan-pesan keselamatan, kesejahteraan, dan pembentukan
prilaku akhlak yang mulia.
Dari ketiga sistem dakwah bi al-Lisan, bi al-Qalam, an bi al-
H{a>l tersebut, memiliki cara dan sistem penyebaran informasi yang
berbeda-beda. Ketiga bentuk dakwah ini dapat terintegrasi dalam
satu sistem informasi dakwah yang saling menunjang dan
mengokohkan antara sub sistem. Teknologi Informasi Dakwah
(TID) adalah ilmu yang mengajarkan strategi mendesain (ilmu
kemasan) pesan-pesan dakwah yang memberikan spirit
323Munir, op.cit., h. 215.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 175
pencerahan kepada manusia untuk kompetensi merawat perbedaan
menjadi sebuah kekuatan berjama’ah untuk bertahan hidup sesuai
dengan tata tertib logika dan wahyu untuk meningkatkan
efektifitas dakwah.
3. Komunikasi Empati Jurnalis
Terminologi komunikasi empati dalam kamus besar bahasa
Indonesia adalah kemampuan jurnalis membahasakan perasaan dan
pikiran orang lain.324
Idi Subandi memaknai komunikasi empati
sebagai kompetensi untuk meneliti dengan baik kesulitan-
kesulitan yang dialami orang lain.325
Hal ini sesuai dengan
pandangan Steven Jobs pemilik perusahan Apel dan macintos
bahwa empati itu peka terhadap perasaan orang lain dan
mengatahui informasi yang dibutuhkan orang lain.326
Senada
dengan ini Goleman mendefinisikan komunikasi empati adalah
324Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Bahasa Republik Indonesia, 2009), h. 390.
325Idi Subandy Ibrahim, Sinarnya Komunikasi Empatik: Krisis Budaya
Komunikasi dalam Budaya Kontemporer (Cet. I; Jakarta: Pustaka Bani Quraisy,
2004), h. iii.
326Steven Jobs, Manusia Jenius (Cet. I; Jakarta: Gramedia, 2011), h. 23.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 176
kecerdasan menata perasaan, pikiran, dan emosional dalam
menulis berita.
Seorang jurnalis Islami perlu menggunakan komunikasi
empati dalam implementasi perasaan emosional dalam setiap kata
dan kalimat yang diucapkan maupun yang ditulis. Jurnalis Islami
terasa hampa dengan nilai-nilai spirit pencerahan. Kehampaan
pesan melalui kata, kalimat menurut Jen Bauldrillard
mengungkapkan bahwa komunikasi jurnalis tanpa didukung oleh
rasa empati laksana berada dalam alam semesta yang begitu
melimpah ide, gagasan, yang berbentuk informasi tetapi hampa
dengan makna.327
Isyarat tersebut kerap kali dapat dirasakan
banyak jurnalis Islami dalam menulis berita kurang mampu
memikat pembaca. Hal ini menunjukkan bahwa ada yang keliru
dalam proses mencurahkan berita yang dapat memanjakan
pembaca.
Jalaluddin Rumi memaknai komunikasi empati adalah
belajar berkomunikasi dengan merasakan setiap kalimat yang
dikeluarkan oleh lawan komunikasi. Hemat Jalaluddin Rumi setiap
manusia dalam melakukan komunikasi dibayang-bayangi oleh
327Ibid.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 177
daya rohani.328
Hal ini menunjukkan bahwa dalam melakukan
aktifitas jurnalis membutuhkan kompetensi dan kredibilitas yang
tinggi untuk sampai pada pesan-pesan yang mengadung power
dan spirit pencerahan di tengah masyarakat.
Spirit pekerjaan jurnalis ini sesuai dengan teori uses and
gratification dari Blumer yang dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat
yang berpandangan bahwa setiap manusia memiliki
kecenderungan menerima informasi sesuai kebutuhannya dan daya
nalarnya. Keadaan ini perlu menjadi perhatian setiap jurnalis
Islami untuk belajar memahami, memaknai, dan menjelaskan
merasakan perasaan orang lain melalui berita yang ditulis baik di
media cetak maupun media elektronik.
Berita yang dikemas dalam teknologi informasi menurut
Deddy Mulayana bahwa dewasa ini data, fakta, dan informasi
berlimpa yang dikonstruksi oleh peradaban dunia global. Hal ini
sesuai imprealisme cultural theory bahwa dominasi Barat akan
menguasai timur tengah melalui media massa.329
Tetapi teori ini
dibantah oleh Sebandi bahwa pendekatan komunikasi empati,
328Mohammad Ali Aziz, Ilmu Dakwah: Edisi Revisi, op. cit., h. 216.
329Deddy Mulyana, Komunikasi efektif: Suatu Pendekatan Lintas
Budaya (Cet. II; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), h. 43.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 178
imprealisme komunikasi global hampa dengan spirit pencerahan
rohani sehingga tidak semua dapat dipengaruhi oleh media
Barat.330
Hal ini menggambarkan bahwa era informasi adalah era
hampa makna dan nilai-nilai rohani. Jika jurnalis Islami memiliki
kepekaan rasa dalam menyebarkan informasi melalui penataan
kata, kalimat yang berat, dan berbekas dalam suasana kebatinan
mad’u.331
Untuk memengaruhi mad’u jurnalis Islami memiliki
peran penting dalam penataan konten informasi dakwah melalui
komunikasi empati dalam membahasakan pesan-pesan Al-Quran
dan Sunnah di tengah masyarakat.
Komunikasi empati dalam konteks komunikasi interpersonal
menunjukkan bahwa kompetensi jurnalis Islami merubah
prilakunya mad’u dari perbuatan kriminal menjadi baik. Mengajak
orang ke arah yang baik dengan pendekatan komunikasi empati.
Pendekatan komunikasi empati menurut Jum’ah Amin ada dua
bentuk komunikasi empati antara lain adalah: da’wah bi ahsani al-
330Idi Subandy Ibrahim op. cit., h. 12
331Ibid

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 179
qaul, dan da’wah bi ahsani al-Amal.332 Sejalan dengan sistem
informasi dakwah empati ini Sukri Sambas melakukan pendekatan
da’wah bi ah}sani al-Amal yang dirasakan baik oleh mad’u.333
Kenyamanan dalam sistem informasi dakwah dapat memberikan
penguatan dalam sub sistem dakwah dengan pendekatan
komunikasi yang empati.
Komunikasi empati dalam pandangan Yusuf Qardawi yang
dikutip dalam Al-Quran memberikan informasi bahwa dalam QS
Ibrahim/14: 4:
Terjemahnya: Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang
332Jum’ah Amin Abd al-Aziz, al-Da’wah al-Qawa>id wa Us}u>l
(Isakandariyyah Da>r al-Da’wah, 1997), h. 19.
333Sukriadi Sambas, Dasar-Dasar Bimbingan (al-Irsyad) Dalam Dakwah
Islam (Cet. I; Bandung: KP Hadidd, 1999), 27-48.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 180
Dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
334
Pandangan Yusuf Qardawi yang dikutip oleh Mustafa
bahwa dalam ayat tersebut di atas bahwa Al-Quran diturunkan
dalam bahasa Arab itu, bukan berarti Al-Quran ditujukan kepada
bangsa Arab saja tetapi untuk seluruh umat manusia. Yang
dimaksud bi lisani al-qaum dalam ayat tersebut bahwa dalam
sebuah sistem informasi dakwah yang empati harus disesuaikan
dengan level budaya, metode, bahasa yang dapat dipahami oleh
perasaan, dan budaya mad’u, agar kemampuan kerja otak mereka
bisa diterima.335
Proses komunikasi ini dilakukan dalam bentuk
dialogis dengan memberikan pilihan-pilihan kebenaran dalam
proses komunikasi empati yang sesuai dengan daya nalar mad’u.
Komunikasi empati menurut DeVito dalam;
human communication: The basic Course is to the feel the same feelings is the same way as the other person does empathy. You must use this empathy to achieve increased
334Yayasan Penyelenggara, penerjemah, penafsir Al-Quran Revisi
penerjemah Lajnah pentasih Mushaf Al-Quran Departemen Agama RI, (Cet.
XX; Bandung: Sigma, 2007), h. 255.
335Mustafa Malaikah, Manhaj Dakwah Yusuf Qadawi diterjemahkan
oleh: Samson Ramadhan (Jakarta: Pustaka Al-kausar, 1997), h. 21.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 181
understanding and to ajust your communication appropriatly.336
Komunikasi sesama manusia: dasar komunikasi adalah
menyampaikan perasaan kepada orang lain. Sebagia seorang
komunikator harus berempati dan memahami perasaan orang
lain dan adanya saling kepercayaan dan kesamaan rasa.
Pendekatan komunikasi empati ini juga sesuai dengan
pandangan Everett Rogers
bahwa komunikasi empati adalah
sebuah cara untuk mendalami, merasakan budaya bahasa orang
lain.337
Model komunikasi empati tersebut adalah cara mendekati
perasaan budaya orang lain untuk menyamakan pemahaman
tentang suatu makna.
Komunikasi empati dalam pandangan Richard D. Lewis
bahwa adanya kompetensi tata krama dari ketulusan dalam
pemilihan kata dalam melakukan komunikasi dengan orang lain
sesuai kemampuan memaknai bahasa yang digunakan dalam
berkomunikasi.338
Ketulusan komunikasi yang empati dapat
336Joseph A. De Vito, Human Communication: The basic Course, edisi
Ke-6 (New York: harper Collins, 1994), h.
337Everett Rogers, M and F. Floyd Shoemaker, Communication of
Innovations, A Cross Cultural Approach., (New York: The Free Press,1991), h.
331.
338Richard D.Lewis, Komunikasi Bisnis Lintas Budaya diterjemahkan
oleh Deddy Mulyana (Cet. I; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h.145.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 182
mengantar manusia pada jalan keselamatan. Hal ini juga sejalan
dengan padangan Usman Jasad dengan riset tentang komunikasi
persuasive bahwa komunikasi empati itu membantu seseorang
untuk sampai pada pemahaman yang luhur dalam membahasakan
Al-Quran dan sunnah sesuai perasaan seseorang.339
Dalam kajian
sistem informasi dakwah pendekatan ini termasuk etika
berdakwah.
Komunikasi empati dalam sistem informasi dakwah dapat
dilakukan dengan tiga model. Menurut pandangan J. Devito
komunikasi empati dalam bentuk interpersonal dapat dilakukan
dengan cara komunikasi linier, komunikasi dua arah, dan
komunikasi transaksional.340
Mengubah sikap komunikan dalam
proses sistem informasi dakwah dapat dilakukan dengan pemilihan
jurnalis Islami yang memiliki kredibilitas yang tinggi. Model
pendekatan komunikasi empati bertujuan untuk melahirkan sikap
dan prilaku komunikasi persuasif pada mad’u. Jika menyebarkan
pesan dakwah melalui pencitraan di media maka respon positif
dari dampak komunikasi empati dapat terwujud.
339Usman Jasad, Mencegah Radikalisme Agama: Dakwah Komunikatif
Muhammadiyah di Sulawesi Selatan, (UNI Jakarta: 2010), h. 44-45.
340 Joseph DeVito, The Interpersonal Communication book (Ney York:
Page Press, 1987), h. 240.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 183
Dampak komunikasi empati tersebut sesuai teori stimulus
respons (stimulus respons theory) yang erat dengan pesan-pesan
media dan respon audiens.341
Berangkat dari teori stimulus respons
theory DeFleur dan Ballrokeach mengembangkan teori
psikodinamik yang didasarkan pada keyakinan bahwa kunci dari
komunikasi empati terletak pada modifikasi psikologis internal
individu.342
Model komunikasi empati dapat tercapai jika jurnalis
Islami dapat merasakan kesusahan orang lain dan memiliki
kepekaan sosial serta kredibilitas yang tinggi.
Kredibilitas jurnalis Islami dapat memengaruhi sumber
kredibilitas pesan dalam melakukan sistem informasi dakwah yang
empati. Hal ini dijelaskan dalam teori kredibilitas sumber (source
credibility theory)343
yang diadopsi ke dalam teori dakwah empati
yang dikenal dengan teori citra Dai. Teori citra Dai ini
diperkenalkan oleh Enjang bahwa citra jurnalis Islami melalui
komunikasi empati sangat menunjang keberhasilan dalam
341Denis McQuail, Mass Communication Theori (London: Sage
Publication 2002), h. 98.
342Anwar Arifin Komunikasi Politik: Paradigma Teori Aplikasi, Strategi
Dan Komunikasi Politik Indonesia (Cet. I; PT. Balai Pustaka, 2003), h. 93.
343Rogers, Everett. M and F. Floyd Shoemaker, 1971. Communication of
Innovations, A Cross Cultural Approach., (New York: The Free Press,1991), h.
331.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 184
implementasi sistem informasi dakwah.344
Hal ini sesuai
pandangan Mario teguh bahwa citra seseorang melalui pengalaman
batin dan kecerahan rohani.
Gambaran ini menunjukkan bahwa citra jurnalis Islami tidak
tumbuh secara instan, tetapi dicapai dengan proses yang panjang
yang dilakukan secara berkesinambungan akhlak al-Qari>mah.345
Alwi Sihab menyebutkan bahwa keteladanan sangat penting untuk
mencapai kredibilitas jurnalis Islami dalam sebuah sistem
informasi dakwah. Kesuksesan jurnalis Islami dalam menjaga citra
akan melahirkan empati mad’u dalam proses transformasi sistem
informasi dakwah. Hal ini sesuai pandangan Gabriel Almond
dikutip A. Faisal Bhakti bahwa semua bentuk pencitraan
komunikator sangat memengaruhi masyarakat.346
Jika dipandang
dari segi sistem informasi dakwah, kredibilitas jurnalis Islami
(source credibility) dan daya tarik (source atractivess), kredibilitas
344Enjang, Dimensi ilmu Dakwah: Tinjauan Dakwah Dari Aspek
Ontology, Epistemology, dan Aksiologi Hingga Paradigma Pengembangan
Profesionalisme (Cet. I; Bandung: Widya Padjajaran, 2009), h.14.
345Said bin Ali Wakif Al-Qahthani, Al-Hikmah wa fi al-Dakwah Ilallah
Ta>ha di Terjemahkan oleh: Hasim Ibaidillah (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press,
1994), h. 21-33.
346A. Faisal Bhakti, kata pengantar pada buku Suf Kasman Jurnalisme
Universal: Menelusuri Prinsip-Prinsip Dakwah bi al-Qalam dalam Al-Quran
(Cet. I; Jakarta: Teraju, 2007), h. vii.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 185
ditentukan oleh derajat keahlian, pengalaman, keterampilan,
kejujuran, dan jabatan.
Teori source credibility dapat tercapai seseorang Jurnalis
adalah karisma, ketenaran dan reputasinya, karena jabatannya,
maka secara otomatis citra yang diberikan umat juga
meningkat.347
Proposisi ini sesuai teori source credibility
Jalaluddin Rahmat juga berpandangan bahwa ada dua kredibilitas
komunikator yakni gilt by association (cemerlang karena
hubungan) artinya seseorang merasa punya prestise jika sering
bergaul dengan orang yang memiliki prestise yang tinggi.348
Hal ini selaras dengan gagasan William McDougal seorang
psikolog pada tahun 1908 mengaskan bahwa kecerdasan personal
sangat meningkatkan kredibilitas, pandangan ini sesuai dengan
Edward Ross seseorang sosiolog yang bukunya diterbitkan di New
York bahwa faktor situasional sangat meningkatkan kredibilitas
seseorang komunikator. Begitupula perspektif Edward Sampson
347Muhammad Soelhi, Komunikasi Internasional: Perspektif Jurnalistik
(Cet. I; Bandung: simbiosa Rekatama Media, 2009), h. 65.
348Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi (Cet. VIII; Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2005), h. 14-15.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 186
(1976) menegaskan bahwa source credibility karena faktor
biologis dan faktor sosial psikologis.349
Dari pandangan para ahli tersebut hemat penulis kredibilitas
seseorang juga sangat ditentukan oleh kekuatan ekonomi, turunan,
karena keilmuannya, dan akhlaknya. Faktor lain yang dapat
meningkatkan source credibility Jurnalis adalah isi pesan yang
disampaikan. Penjelasan tentang hal ini dapat ditemukan dalam
teori penguatan (reinforcement theory). Bentuk penguatan itu
seperti pemberian perhatian (attention), pemahaman
(comprehension), dan dukungan penerimaan (acceptance). Teori
ini dikembangkan oleh Hovland, Jenis, dan Kelly pada tahun 1997.
Teori ini mengungkapkan bahwa teori reinforcement dapat
memberikan penguatan pada komunikan karena jurnalis Islami
memiliki kecerdasan menjelaskan ide dan gagasan dengan mudah,
menarik, serta sangat dibutuhkan oleh audiens. 350
Kekuatan teori
ini dapat menunjang sistem informasi dakwah dalam mengubah
pandangan komunikan (mad’u). Dalam hal ini seorang jurnalis
Islami perlu mendesain pesan yang dibutuhkan, serta
349Ibid.., h. 34-35.
350Usman Jasad, op. cit., h. 54.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 187
ditransformasikan dengan cara yang menarik dan mudah diserap
oleh mad’u.
Proses tranformasi pesan teori medan dakwah juga menjadi
salah satu sub sistem penting dalam menunjang efektifitas
dakwah.351
Teori medan dakwah ini hemat Enjang bahwa perlu
adanya penyesuaian situasi teologis , cultural, dan struktural
mad’u pada saat permulaan dakwah Islam.352
Dalam sistem
informasi dakwah empati teori porses dan tahapan dakwah
menurut Enjang, hemat penulis jika sistem informasi dakwah
terdiri dari tahap pembentukan (takwin), tahap penataan (tand}im),
pembentukan pendelegasian maka implementasi sistem informasi
dakwah dapat berjalan efektif.
351Departemen Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung, Sistem
Informasi dalam Berbagai Perspektif: Manusia dan Sistem Informasi, Teknologi
dan Sistem Informasi, serta pendidikan dan sistem informasi (Bandung:
Informatika: 2006), h. 16.
352Enjang dan Aliuddin, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah: Pendekatan filosofis
dan Praktis (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), h. 124.

Perbandingan Jurnalistik dan Jurnalistik Islami 188