Syariat Islam Di Aceh Sebuah Kemusykilan
Click here to load reader
-
Upload
khairil-miswar -
Category
Documents
-
view
44 -
download
4
description
Transcript of Syariat Islam Di Aceh Sebuah Kemusykilan
SYARIAT ISLAM DI ACEH SEBUAH KEMUSYKILAN
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 19 Februari 2012
Aceh adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak paling barat. Mayoritas masyarakat Aceh
adalah pemeluk agama Islam yang sudah berlangsung sejak turun - temurun. Dari beberapa referensi
sejarah disebutkan bahwa Aceh merupakan daerah pertama masuknya agama Islam. Aceh juga dikenal
sebagai pusat peradaban Islam pertama di nusantara.
Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA (2008: 1 – 2) dalam bukunya “Cotak Pemikiran Hukum Islam
Syeikh Abrurrauf As – Singkili” menyebutkan bahwa; “ Dalam bidang keagamaan telah muncul empat
orang ulama yang paling berperan dalam rangka mewarnai pemikiran dan penghayatan keagamaan di
Aceh. Mereka adalah Hamzah Fansuri (w.1600), Syamsuddin As – Sumatrani (w.1630), Nuruddin Ar –
Raniry (w.1658) dan Syeikh Abdurrauf As – Singkili (w.1693)”.
Syahrizal Abbas juga menyebutkan bahwa Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As – Sumatrani
adalah ulama yang menganut Faham Wujudiah. Sedangkan Nuruddin Ar – Raniry adalah ulama yang
sangat keras menentang paham wujudiah. Pada saat pertentangan antara pengikut Hamzah Fansuri dan
pengikut Ar – Raniry telah memuncak, ketika itu Syeikh Abdurrauf As – Singkili yang telah menjabat
sebagai Qadhi tampil sebagai penengah yang berusaha mendamaikan kedua kelompok ini.
Nama Nuruddin Ar – Raniry dan Syeikh Abdurrauf atau lebih dikenal dengan Syiah Kuala telah
diabadikan sebagai nama dari dua Perguruan Tinggi terbaik di Aceh yaitu Institut Agama Islam Negeri Ar
– Raniry dan Universitas Syiah Kuala.
Fanatisme Orang Aceh
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa orang Aceh adalah orang yang sangat fanatik
terhadap Islam. Mereka rela melakukan apa saja untuk mempertahankan agamanya termasuk
berperang sekalipun. Sifat keras terhadap para penentang Islam seperti sudah menjadi karakter yang
mendarah daging bagi masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh akan sangat marah dan murka jika ada orang
yang melecehkan Islam meskipun sebagian dari mereka Cuma mengenal islam secara parsial disebabkan
faktor keturunan.
Gejala fanatisme orang Aceh dapat kita saksikan ketika beberapa waktu lalu terjadi penyebaran
aliran sesat Millah Abraham di Aceh. Masyarakat Aceh dengan semangat menggebu – gebu bangkit
secara bersama – sama untuk melawan dan mengusir para tertuduh sesat, meskipun kesesatan tersebut
belum terbukti di meja pengadilan.
Dalam konteks Fiqh mayoritas masyarakat Aceh mengaku bermazhab Syafi’i, namun penulis juga
tidak mampu memastikan apakah hal tersebut merupakan sebuah pengetahuan atau hanya sebatas
pengakuan. Satu hal lagi yang aneh menurut penulis bahwa secara teoritis ulama – ulama tradisional di
Aceh mengakui dan membenarkan keberadaan empat mazhab dalam Islam yakni Mazhab Hanafi,
Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali. Namun secara aplikatif mereka cenderung
menafikan kebenaran mazhab selain mazhab Syafi’i.
Penerapan Syariat Islam di Aceh
Dalam amatan penulis semenjak diimplementasikannya Syariat Islam di Aceh penulis melihat
belum ada perubahan yang signifikan terutama menyangkut perilaku masyarakat. Perubahan yang
nampak mencolok masih terbatas pada simbol seperti penggunaan tulisan Arab – Melayu pada pamflet
dan papan nama di kantor pemerintahan. Di bidang pendidikan memang ada sedikit perubahan dengan
dimasukkannya tambahan pelajaran agama dalam kurikulum sekolah umum. Namun jika dilihat dari
aspek perilaku masyarakat menurut penulis tidak ada bedanya perilaku masyarakat hari ini jika
dibanding dengan perilaku masyarakat sebelum penerapan syariat Islam.
Jika dulu kita menyaksikan perempuan di Aceh khususnya di daerah perkotaan jarang
menggunakan jilbab dan pakaian muslimah, hari ini juga tidak berbeda jauh, meskipun sebagian dari
mereka sudah menggunakan jilbab namun pakaian ketat masih menjadi favorit. Demikian juga
pergaulan bebas muda – mudi hampir tidak ada bedanya dengan daerah lain.
Adapun qanun (sejenis Perda) tentang mesum dalam amatan penulis hanya menjadi hukum
bagi masyarakat awam, sedangkan golongan elit terkesan luput dari pantauan Polisi Syari’at (Wilayatul
Hisbah). Sebagai contoh kita bisa menyaksikan bagaimana bebasnya para artis dan penyanyi perempuan
di Aceh yang sesuka hatinya membuka aurat tetapi tidak tersentuh oleh qanun. Padahal aurat mereka
bisa ditonton oleh seluruh masyarakat Aceh dan luar Aceh melalui VCD. Jika ada masyarakat awam yang
memakai pakaian ketat tak segan – segan aparat Wilayatul Hisbah (WH) menegur dan membawa
mereka ke kantor. Tapi pada saat para artis menggoyang – goyangkan pinggulnya yang bahenol, petugas
WH seperti menutup mata dan terhipnotis sehingga tidak mampu berbuat apa – apa.
Pelanggaran demi pelanggaran terus terjadi di Aceh dan terkesan bahwa qanun tak ubahnya
seperti peraturan tumpul yang tidak berdaya. Ditambah lagi dengan moral hewani yang dimiliki oleh
beberapa oknum WH. Mereka (oknum WH) ditugaskan mengawal penerapan syari’at Islam tapi malah
dia sendiri yang melakukan pelecehan seksual.
Pendidikan berbau Sekuler
Meskipun sekolah umum dan sekolah Agama di Aceh sudah memiliki kurikulum yang nyaris
sama dengan dimasukkannya pelajaran Fiqih, Akidah Akhlak dan Quran Hadits dalam kurikulum sekolah
umum, namun penulis melihat corak pendidikannya masih berbau sekuler. Kenapa tidak? Pada waktu
jam sekolah (kurikuler) anak didik diajarkan pendidikan agama dan mereka dituntut untuk beragama
secara benar. Bagi anak didik perempuan mereka diwajibkan memakai pakaian muslimah, demikian juga
bagi anak didik laki – laki diwajibkan memakai celana panjang. Namun pada saat kegiatan ekstra
kurikuler mereka diberi kebebasan berekspresi sesuai selera hati mereka. Jika pada waktu jam sekolah
para siswi terlihat memakai jilbab dan pakaian muslimah, berbeda halnya ketika mereka melakukan
latihan tari. Mereka Cuma memakai topi pet dengan rambut terurai dan memakai celana pendek
sehingga tampak seksi dengan betis yang mengkilap. Mereka dengan semangatnya meloncat – loncat
dan menggoyangkan pinggul, di depannya terlihat para guru menepuk tangan dengan girangnya,
mungkin mereka (guru) merasa kagum melihat betis – betis indah tersingkap sehingga menyilaukan
mata para penonton.
Dimana syariat Islam ketika fenomena ini terjadi? Apa gunanya kita mengajarkan mereka
pelajaran Akidah – Akhlak disekolah? Apa manfaatnya nilai Sembilan pada pelajaran Quran – Hadits
bagi mereka? Apakah kita akan membenarkan kesalahan ini dengan menyebut perilaku tersebut sebagai
sebuah kreativitas seni? Wallahul Waliyut Taufiq.
Biodata Penulis :
Nama : Khairil Miswar
Pekerjaan : Alumni IAIN Ar - Raniry Banda Aceh
Alamat : Bireuen
No Hp : 081360660766
Email : [email protected] [email protected]
Rekening Bank : BCA. 7875027611
www.patahkekeringan.blogspot.com