SYARAT KEPALA NEGARA MENURUT AL- MAWARDI DAN AL...

download SYARAT KEPALA NEGARA MENURUT AL- MAWARDI DAN AL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24867/1/YOUNGKI... · Skripsi yang berjudul SYARAT KEPALA NEGARA MENURUT AL-MAWARDI

If you can't read please download the document

Transcript of SYARAT KEPALA NEGARA MENURUT AL- MAWARDI DAN AL...

  • SYARAT KEPALA NEGARA MENURUT AL-

    MAWARDI DAN AL-GHAZALI

    Skripsi

    Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

    untuk memperoleh

    Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

    Oleh:

    Youngki Sendi Kristiannando

    NIM : 109045200001

    KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM

    PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

    FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    1435H/2014M

  • ii

    SYARAT KEPALA NEGARA MENURUT AL-MAWARDI DAN

    AL-GHAZALI

    Skripsi

    Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

    untuk memperoleh

    Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

    Oleh:

    Youngki Sendi Kristiannando

    NIM: 109045200001

    Di bawah bimbingan:

    Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M. Ag

    NIP: 197112121995031001

    KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM

    PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

    FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    1435 H/2014 M

  • iii

    PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI

    Skripsi yang berjudul SYARAT KEPALA NEGARA MENURUT AL-

    MAWARDI DAN AL-GHAZALI telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah

    Fakultas Syariah dan HukumUIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Hari Jumat 3

    Januari 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk

    memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Siyasah Syariyah

    (Hukum Ketatanegaraan Islam).

    Jakarta, 03 Januari 2014

    Mengesahkan,

    Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

    Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.

    NIP: 195505051982031012

    Panitia Ujian Munaqasyah

    Ketua : Dr. Asmawi, M. Ag. (.................................)

    NIP: 197210101997031008

    Sekertaris : Afwan Faizin, M.A. (..................................)

    NIP: 19721026 200312 1001

    Pembimbing : Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M. Ag. (..................................)

    NIP: 197112121995031001

    Penguji I : Dr. Asmawi, M. Ag. (..................................)

    NIP: 197210101997031008

    Penguji II : Khamami Zada, M.A. (...................................)

    NIP: 197501022003121001

  • iv

    LEMBAR PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa:

    1. Skripsi inimerupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

    salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta

    2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

    sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

    merupakan hasil plagiat (jiplakan) dari karya orang lain, maka saya bersedia

    menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    Jakarta, 10 November 2013

    Youngki S. Kristian

  • v

    ABSTRAK

    Youngki Sendi Kristianannando, Syarat Kepala Negara Menurut Al-

    Mawardi Dan Al-Ghazali, Skripsi Konsentrasi Ketatanegaraan Islam

    Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas

    Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan Al-Mawardi dan Al-Ghazali

    mengenai penguasaan ilmu sebagai syarat kepala negara. Metode penelitian yang

    digunakan adalah metode deskriptif dengan desain penelitian menggunakan

    metode pustaka dan pendekatan normatif doktriner, menjelaskan satu vaiabel

    penelitian yaitu penguasaan ilmu sebagai syarat kepala negara menurut Al-

    Mawardi dan Al-Ghazali.

    Instrumen yang digunakan adalah karya Al-Mawardi yaitu Al-Ahkam Al-

    Sulthaniyyah dan karya Al-Ghazali yaitu, Tibrul Al-Masbuk fi Nashihah Al-

    Muluk. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

    isi secara kualitatif. Yaitu, mendeskripsikan data-data yang diperoleh secara jelas

    dan mengambil isinya dengan menggunakan perspektif analisis yang kritis.

    Sehingga, dapat disimpulkan bahwa; pertama, Ahlul Ijtihad adalah seorang ahli

    fiqih (ahli hukum islam) yang mengerahkan segala daya dan kemampuannya

    untuk mendapatkan status hukum syari; kedua, Al-Mawardi dan Al-Ghazali

    mempunyai pandangan yang sama dalam hal kepala negara haruslah mempunyai

    ilmu pengetahuan, sedangkan keduanya mempunyai pandangan yang berbeda

    dalam hal ilmu yang dimaksud oleh Al-Mawardi mengharuskan seorang kepala

    negara pada level mujtahid sedangkan ilmu yang dimaksud Al-Ghazali tidak

    mengharuskan seorang kepala negara pada level mujtahid akan tetapi boleh juga

    seorang kepala negara adalah mujtahid.

    Kata kunci: Syarat Kepala Negara, Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, Al-Iqtishad fi Al-

    Itiqad, Al-Mawardi, Al-Ghazali.

  • vi

    KATA PENGANTAR

    Segala puji bagi Allah SWT Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha

    Penyayang, yang telah memberikan banyak kenikmatan dan senantiasa

    memberikan hidayah-Nya. Sehingga dengan izinnya, akhirnya penulis dapat

    menyelesaikan skripsi ini dengan judul: Syarat Kepala Negara Menurut al-

    Mawardi dan al-Ghazali.

    Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Agung, Nabi

    Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman Jahiliyyah menuju

    zaman Islamiyyah semoga selalu tercurahkan kepada keluarga besar beliau,

    sahabat-sahabatnya, tabiin, tabiit tabiin, dan kita sebagai umatnya semoga

    mendapatkan syafaat kelak.

    Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa masih jauh dari

    sempurna, baik dalam proses maupun isinya. Dalam menyelesaikan skripsi ini,

    penulis mendapat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,

    penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang telah

    membimbing, membantu, dan memotivasi penulis antara lain:

    1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Prof. Dr. Drs. H.M. Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syariah dan

    Hukum dan beserta staf-stafnya.

    3. Dr. Asmawi, M.Ag, Ketua Program Studi Jinayah Siyasah. Dan juga kepada

    Bapak Afwan Faizin, M.Ag, Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang

    telah banyak membantu penulis selama masih dalam masa kuliah.

    4. Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag, Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak

  • vii

    meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya disela-seka kesibukan untuk

    membantu dan memberikan bimbingan, pengarahan, dan dorongan semangat

    kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

    5. Dr. Moh. Ali Wafa, S.Ag, M.Ag, Dosen Pembimbing Akademik yang selama

    ini telah memberikan nasehat serta dukungan kepada penulis selama menjadi

    mahasiswa.

    6. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali penulis

    dengan ilmu yang berharga, nasehat-nasehat penyemangat yang memberikan

    motivasi kepada penulis, kesabaran dalam mendidik penulis selama penulis

    melakukan studi.

    7. Bagian administrasi dan tata usaha yang telah banyak membantu memberikan

    kelancaran kepada penulis dalam proses penyelesaian prosedur

    kemahasiswaan, serta pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Umum

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan khususnya Perpustakaan FSH, yang

    telah berkenan meminjamkan buku-buku penunjang, sehingga penulis dapat

    menyelesikan skripsi ini.

    8. Orang tuaku tercinta, Bapak H. Soma dan Ibu Hj. Roidah yang sangat

    berperan dalam mendidik, mengasuh, dan membimbing penulis dengan penuh

    kesabaran dan pengertian serta tiada henti memberikan doa dan dukungan

    secara moriil dan materiil, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

    9. Teman-teman SJS tercinta, yang membuat penulis merasa senang dan bahagia

    kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya for Sulthan, Muhdi,

    Andre, Asep, Cocom, Anwar, Mansur, Hafiz, Ridho, Ade, dan Sopian yang

  • viii

    dalam keadaan susah dan senang selalu kumpul bersama, bercanda bersama,

    tertawa bersama sehingga menjadi obat penghibur untuk penulis. Rasanya

    sudah banyak hal yang penulis lewati bersama dalam suka dan duka selama

    kuliah. Oleh karena itu, tidak cukup satu buku untuk menulis kenangan

    penulis bersama mereka selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    10. Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak

    langsung serta nasehat yang telah diberikan, sehingga terselesaikannya

    penulisan skripsi ini.

    Semoga skripsi ini dapat memberikan informasi dan pengetahuan baru serta

    bermanfaat untuk segenap pembaca.

    Dalam penulisan skripsi ini mungkin terdapat banyak kekurangan, baik

    yang terlihat dan tersembunyi. Akan tetapi, penulis berharap skripsi ini bisa

    bermanfaat untuk para pembaca umumnya dan penulis khususnya. Sebagai

    manusia biasa tentulah salah hal yang wajar yang terpenting ada kemauan untuk

    belajar dan belajar agar bisa menyempurnakan yang kurang dan membenarkan

    yang salah.

    Ciputat, 10 November 2013

    Youngki S. Kristian

  • ix

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

    LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii

    LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ......................................................... iii

    LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv

    ABSTRAK ...................................................................................................... v

    KATA PENGANTAR .................................................................................... vi

    DAFTAR ISI ................................................................................................... ix

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

    B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................... 5

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 5

    D. Tinjauan Pustaka ..................................................................... 6

    E. Metodologi Penelitian ............................................................. 8

    F. Sistematika Penulisan ............................................................... 10

    BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ILMU DAN AHLUL

    IJTIHAD

    A. Pengertian Ilmu ........................................................................... 12

    B. Pengertian Ahlul Ijtihad .............................................................. 15

    1. Syarat-Syarat Ahlul Ijtihad .................................................... 18

    2. Tingkatan Ahlul Ijtihad .......................................................... 20

  • x

    BAB III SKETSA BIOGRAFI AL-MAWARDI DAN AL-GHAZALI

    A. Biografi Al-Mawardi .................................................................. 26

    1. Riwayat Hidup Al-Mawardi ................................................... 26

    2. Pemikiran Politik Al-Mawardi ................................................ 29

    B. Biografi Al-Ghazali .................................................................... 33

    1. Riwayat Hidup Al-Ghazali ..................................................... 33

    2. Pemikiran Politik Al-Ghazali .................................................. 39

    BAB IV PENGUASAAN ILMU SEBAGAI SYARAT KEPALA

    NEGARA MENURUT Al-MAWARDI DAN AL-GHAZALI

    A. Penguasaan Ilmu Sebagai Syarat Kepala Negara Menurut Al-

    Mawardi .................................................................................... 42

    B. Penguasaan Ilmu Sebagai Syarat Kepala Negara Menurut Al-

    Ghazali ...................................................................................... 50

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan ............................................................................... 57

    B. Saran ......................................................................................... 58

    DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 59

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Pembicaraan tentang kepala negara haruslah melibatkan diskusi tentang

    hubungan antara penguasa dan rakyat. Sebab di satu pihak kita dapat

    mengatakan bahwa jabatan kepala negara adalah hak manusia. Akan tetapi di

    pihak lain telah menjadi kenyataan pula bahwa manusia adalah makhluk sosial

    dan politik yang di istilahkan oleh Aristoteles sebagai zoon politicon. Atau

    dalam bahasa Ibnu Khaldun al-insan madaniyyun bi al-thabi yaitu manusia

    adalah makhluk sosial secara naluri.1

    Sebagai makhluk sosial, manusia tidak mungkin dapat hidup seorang

    diri. Kebutuhan hidupnya yang beraneka ragam akan menuntutnya untuk

    senantiasa berinteraksi dengan manusia lain. Perbedaan pendapat, ambisi, dan

    kepentingan masing-masing pihak yang muncul dalam proses interaksi

    tersebut tidak menutup kemungkinan akan memicu lahirnya konflik,

    pertikaian, penindasan, peperangan, dan pembunuhan atau pertumpahan darah,

    yang pada gilirannya nanti bisa berimplikasi pada terjadinya kehancuran total

    dalam berbagai dimensi kehidupan umat manusia.

    Untuk dapat menghindari kemungkinan terjadinya hal serupa dan agar

    kehidupan dalam masyarakat dapat berjalan dengan baik, tertib, aman, damai,

    1 Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, (al-Qahirah: Dar al-Syab), hal. 39, lihat

    juga Rusjdi Ali Muhammad, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Syariat Islam: Mengenal

    Jati Diri Manusia, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004), hal. 46.

  • 2

    teratur, maka perlu dipilih seorang pemimpin yang akan mengayomi rakyat

    dalam kehidupan masyarakat dan bernegara.2

    Allah SWT menggariskan bahwa dalam suatu negara harus ada

    pemimpin sebagai penerus fungsi kenabian, hal ini untuk menjaga

    terselenggaranya ajaran agama, mengatur negara, memegang kendali politik,

    membuat kebijakan yang dilandasi syariat agama dan menyatukan umat

    dalam kepemimpinan yang tunggal. Imamah (kepemimpinan negara) adalah

    dasar bagi terselenggaranya dengan baik ajaran-ajaran agama dan pangkal

    bagi terwujudnya umat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi aman,

    sejahtera. Dan dari kepemimpinan itu dibuat departemen-departemen dan

    pemerintahan daerah yang mengurus bidang-bidang dan wilayah tersendiri

    secara khusus, dengan berpedoman pada tuntunan hukum dan ajaran agama,

    sehingga departemen dan pemerintahan daerah itu mempunyai keseragaman

    yang solid di bawah kepemimpinan kepala negara.3

    Sebagaimana terdapat dalam surat An-Nisa ayat 59:

    ( : )

    Artinya:

    Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan

    ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang

    2 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non-Muslim Di Negara Muslim: Tinjauan Dari

    Perspektif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar,

    2006), hal. 15.

    3 Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam,

    terjemahan Fadhli Bahri dari kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Jakarta: Gema Insani Press,

    1996), hal. 14.

  • 3

    sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul

    (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari

    kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya

    (Q. S. An-Nisa: 59).

    Terdapat pula sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud yang

    menyatakan:

    Artinya:

    Jika kalian keluar bertiga dalam perjalanan, maka hendaklah salah seorang

    (diantara kalian) memimpin (HR. Abu Dawud).4

    Dengan alasan inilah, seorang pemimpin harus mampu bekerja keras

    dan yang perhatiannya ditujukan kepada rakyat dan negaranya. Dia haruslah

    orang yang benar-benar berwibawa dan dihormati rakyatnya. Perlu dicatat

    bahwa kesetiaan dan kejujuran sangat diperlukan bagi pemegang jabatan

    kepala negara. Jika terjadi banyak menghancurkan kepercayaan rakyat, maka

    kepala negara itu bisa dipecat.5

    Setelah Islam menyeru untuk memilih seorang pemimpin, ia

    melengkapi seruannya dengan menyeru kepada ilmu hingga untuk menuntut

    sesuatu haruslah dengan cara yang semestinya dan jalan yang benar.

    Akal yang bodoh tampak di hadapan pemikiran bagaikan suatu

    perkakas yang karatan dan karena tidak banyak gunanya maka tersisih, seperti

    tidak pernah ada.6

    4 Abu Dawud Sulaiman bin al-Asyats al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-

    Kitab), no 2610, jilid ke 2, hal. 340. 5 Fazlur Rahman, Cita-Cita Islam, terjemahan Sufyanto dan Imam Musbikin dari

    Islams Movement Goal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hal. 144. 6 Bakar Musa, Kebebasan Dalam Islam, (Bandung: PT Al-Maarif, 1988), hal. 144.

  • 4

    Tanggung jawab atas kekuasaan pemerintah di suatu negara

    dipercayakan kepada seorang pemimpin yang dapat disebandingkan dengan

    seorang presiden atau perdana menteri. Semua rakyat baik laki-laki maupun

    perempuan yang tunduk kepada konstitusi fundamental berhak memberikan

    suara bagi pemilihan pemimpin.7

    Sehubungan dengan kepala negara, sejatinya seorang kepala negara

    haruslah seorang yang pintar dalam memutuskan suatu perkara ketika ada

    perkara yang harus ditanganinya. Dan ia juga harus pandai melakukan

    istinbath hukum sebagaimana seorang mujtahid.8

    Sebagai contoh betapa pentingnya berijtihad yang dilakukan oleh

    seorang pemimpin, ketika Umar mengangkat Syuraih bin Harits al-Kindy

    sebagai qadi untuk wilayah Kufah, Umar berkata: Lihatlah apa-apa yang jelas

    bagimu dalam Kitab Allah dan janganlah menanyakan hal itu kepada

    siapapun, dan mengenai apa-apa yang tidak jelas bagimu dalam Kitab Allah

    maka ikutilah Rasulullah SAW, dan mengenai apa-apa yang tidak jelas

    bagimu dalam Sunnah Rasulullah maka berijtihadlah dengan pikiranmu

    mengenai hal itu.9

    Beranjak dari latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk

    mengkaji lebih lanjut permasalahan inti dan mendasar yang perlu diteliti,

    dianalisis, dan dicarikan jawabannya.

    7 Maulana Abul Ala Maududi, Hak-Hak Asasi Manusia dalam Islam, Penerjemah

    Bambang Iriana Djajaatmadja dari Human Right in Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 7.

    8 Al-Mawardi, Al-Ahkamu As-Sulthaniyyah, (Al-Qahirrah: Dar al-Hadits, 2006), hal.

    19-20.

    9 M. Atho Mudzar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi,

    (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hal. 34.

  • 5

    B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

    Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah dan tersusun secara

    sistematis pada pembahasan yang diharapkan, maka perlu penulis uraikan

    tentang pokok-pokok bahasan dengan memberikan pembatasan dan

    perumusan masalah.

    Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka dalam skripsi ini

    penulis membatasinya dengan pembahasan mengenai penguasaan ilmu

    sebagai syarat kepala negara menurut al-Mawardi dan al-Ghazali.

    Dari pembatasan masalah di atas dapat diuraikan beberapa masalah yang

    dirumuskan dengan pertanyaan penelitian (research question), yaitu:

    1. Bagaimana pandangan al-Mawardi mengenai penguasaan ilmu sebagai

    syarat kepala negara?

    2. Bagaimana perspektif al-Ghazali mengenai penguasaan ilmu sebagai

    syarat kepala negara?

    3. Apa persamaan dan perbedaan dalam pandangan al-Mawardi dan al-

    Ghazali tentang penguasaan ilmu?

    C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

    1. Tujuan Penelitian

    Penelitian ini disusun bermaksud untuk menjelaskan ahlul ijtihad

    sebagai syarat kepala negara menurut al-Mawardi dan al-Ghazali. Secara

    rinci penelitian ini bertujuan untuk:

    a. Untuk mengetahui pandangan al-Mawardi mengenai penguasaan ilmu

    sebagai syarat kepala negara.

  • 6

    b. Untuk mengetahui perspektif al-Ghazali mengenai penguasaan ilmu

    sebagai syarat kepala negara.

    c. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pandangan al-Mawardi

    dan al-Ghazali tentang penguasaan ilmu.

    2. Manfaat Penelitian

    Salah satu hal yang penting di dalam kegiatan penelitian ini adalah

    mengenal manfaat dari penelitian tersebut, baik manfaat akademis maupun

    manfaat praktisnya. Jadi manfaat yang hendak dipakai adalah:

    a. Manfaat Akademis

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu kontribusi

    dalam memahami ahlul ijtihad sebagai syarat kepala negara menurut

    al-Mawardi dan al-Ghazali.

    b. Manfaat Praktis

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan

    bagi pemerintah dalam memilih kriteria bagi calon kepala negara dan

    menambah wawasan dibidang politik.

    D. Tinjauan Pustaka

    Dalam menjaga keaslian judul yang akan penulis ajukan dalam proposal

    skripsi ini, perlu kiranya penulis lampirkan juga beberapa rujukan yang

    menjadi pertimbangan di antaranya, yaitu:

    Pertama, skripsi yang berjudul Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

    Presiden Menurut UU Nomor 23 Tahun 2003 dalam Perspektif Hukum Islam

    ditulis oleh Sugiono tahun 2006 di Fakultas Syariah Dan Hukum. Dalam

  • 7

    skripsi ini dibahas mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden menurut

    UU Nomor 23 Tahun 2003 yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan

    Umum untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung, dimana

    yang berhak mencalonkan adalah partai politik atau gabungan partai politik

    yang telah lulus dari seleksi bukan pribadi atau perorangan. Itupun harus

    memenuhi 20 syarat yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dalam

    undang-undang tersebut juga disebutkan bahwa pemilihan umum harus

    dilakukan secara jujur dan adil berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia

    (LUBER).

    Kedua, skripsi yang berjudul Tinjauan Fatwa Majelis Ulama Indonesia

    (MUI) Tentang Kepala Negara ditulis oleh Ifan Sunarya tahun 2009 di

    Fakultas Syariah dan Hukum. Dalam skripsi ini dibahas pandangan ulama

    mengenai hukum memilih kepala negara, pemilihan kepala negara dalam

    pandangan fatwa Majelis Ulama Indonesia dimana dalama fatwa tersebut

    membahas tentang pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya

    untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi

    terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan

    bangsa. Adapun syarat-syarat bagi pemimpin adalah beriman dan bertaqwa,

    jujur (shiddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai

    kemampuan (fathanah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam

    hukumnya adalah wajib.

    Ketiga, karya Ridwan HR yang berjudul Fiqih Politik. Dalam buku ini

    dibahas tentang siyasah syariyyah, sejarah ketatanegaraan Islam dan

  • 8

    pembentukan negara dan penyelenggaraan pemerintahan Islam yang salah

    satunya membahas tentang tugas dan kewajiban kepala negara.

    Dari beberapa tinjauan pustaka di atas masih terlihat umum dalam

    membahas mengenai kepala negara serta pemikiran al-Mawardi dan al-

    Ghazali mengenai kepala negara. Bedanya penulis akan membahas secara

    khusus mengenai ahlul ijtihad sebagai syarat kepala negara.

    E. Metode Penelitian

    1. Jenis Penelitian

    Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, karena memaparkan

    data kualitatif. Dilihat dari segi tujuannya, penelitian ini merupakan

    penelitian deskriptif, karena bertujuan menjelaskan satu variabel penelitian

    yaitu ahlul ijtihad sebagai syarat kepala negara menurut al-Mawardi dan

    al-Ghazali.

    Adapun ditinjau dari segi pemikiran pada umumnya, penelitian ini

    merupakan studi hukum Islam dengan menggunakan normatif doktriner

    yaitu menurut Al-Quran, Sunnah dan pendapat para ulama tentang

    pemikiran al-Mawardi dan al-Ghazali.

    2. Pengumpulan data

    Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan studi dokumenter.

    Adapun sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah bahan-

    bahan pustaka:

    a. Sumber Data Primer

    Sumber data primer merupakan data-data yang diperoleh dari

    sumber aslinya, memuat segala keterangan-keterangan yang berkaitan

  • 9

    dengan penelitian ini. Sumber-sumber data tersebut adalah karya al-

    Mawardi yaitu: al-Ahkam al-Sulthaniyyah serta Adab Ad-Dunya wa

    Ad-Din dan karya al-Ghazali yaitu al-Iqtishad fi al-Itiqad serta Tibrul

    al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk.

    b. Sumber Data Sekunder

    Sumber data sekunder merupakan data-data yang memberikan

    penjelasan mengenai bahan-bahan primer yang diambil dari sumber-

    sumber tambahan yang memuat segala keterangan-keterangan yang

    berkaitan dengan penelitian ini, antara lain informasi yang relevan,

    artikel, buletin, Serta buku-buku yang memberikan penjelasan ke arah

    tema yang diangkat.

    3. Analisis Data

    Setelah pengumpulan data selesai, maka proses selanjutnya adalah

    melakukan analisis data dengan menggunakan teknik analitis isi secara

    kualitatif. Metode analisis data dilakukan dengan cara mendeskripsikan

    data-data tersebut secara jelas dan mengambil isinya dengan menggunakan

    perspektif analisis yaitu jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu

    pengetahuan ilmiah dengan mengadakan perincian terhadap obyek yang

    diteliti atau cara penanganan terhadap suatu objek ilmiah tertentu dengan

    jalan memilih antara pengertian yang satu dengan pengertian-pengertian

    yang lain untuk sekedar memperoleh kejelasan hal yang diteliti.10

    Kemudian melakukan bongkar pasang dan menata kembali secara

    10

    Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1996),

    hal. 59.

  • 10

    sistematis data-data yang telah terkumpul sebelumnya dengan

    menggambarkan satu kesatuan yang utuh. Penulis menginterpretasikan

    dengan menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan demikian akan

    nampak rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti.

    4. Teknik penulisan

    Sementara untuk teknik penulisan ini, penulis berpedoman pada

    buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.

    F. Sistematika Penulisan

    Dalam penulisan penelitian ini, sama halnya dengan sistematika

    penulisan penelitian-penelitian yang lain. Penulis membagi skripsi ini dalam

    lima bab dengan sistematika sebagai berikut:

    BAB I Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,

    pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka,

    metode penelitian, dan sistematika penulisan.

    BAB II Merupakan tinjauan umum tentang ahlul ijtihad yang terdiri dari

    pengertian tentang ahlul ijtihad, syarat-syarat ahlul ijtihad, dan tingkatan ahlul

    ijtihad.

    BAB III Merupakan sketsa biografi al-Mawardi dan al-Ghazali yang terdiri

    dari riwayat hidup al-Mawardi serta pemikiran politik al-Mawardi, dan

    riwayat hidup al-Ghazali serta pemikiran politik al-Ghazali.

    BAB IV Merupakan ahlul ijtihad sebagai syarat kepala negara menurut al-

    Mawardi dan al-Ghazali yang terdiri dari ahlul ijtihad sebagai syarat kepala

  • 11

    negara menurut al-Mawardi, dan ahlul ijtihad sebagai syarat kepala negara

    menurut al-Ghazali.

    BAB V Merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan serta saran yang

    berkaitan dengan masalah tersebut, yang penulis dapatkan dari hasil kajian.

  • 12

    BAB II

    TINJAUAN UMUM TENTANG ILMU DAN AHLUL IJTIHAD

    A. Pengertian Ilmu

    Ilmu berasal dari bahasa Arab - dengan yang berarti

    mengerti, memahami benar-benar.1 Dalam bahasa inggris disebut science; dari

    bahasa latin scentia (pengetahuan) atau scire (mengetahui). Sinonim yang

    paling dekat dengan bahasa Yunani adalah episteme.2 Sedangkan ilmu dalam

    kamus besar bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang

    disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat

    digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu.3

    Ilmu merupakan salah satu dari buah pemikiran manusia dalam

    menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dapat digunakan untuk membedakan

    dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya.4 Mohammad Hatta mendefinisikan

    ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam

    suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya

    tampak dari luar ataupun dari dalam. Raplh Ross dan Ernest Van Den Haag

    mengatakan ilmu adalah empiris, rasional, umum dan sistematik.

    1 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta:

    Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984), hal. 1036

    2 Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka

    Sinar Harapan, 1998), hal. 324.

    3 Wihadi Admojo, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hal.

    324.

    4 Jujun S. Surisumantri, Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang

    Hakekat Ilmu, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), hal. 3-4.

  • 13

    Sedangkan Karl Pearson mengatakan ilmu adalah lukisan atau

    keterangan komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan

    istilah yang sederhana. Ashley Montago menyimpulkan bahwa ilmu adalah

    pengetahuan yang disusun dalam satu system yang berasal dari pengamatan,

    studi dan percobaan untuk menentukan hakikat tentang hal yang sedang dikaji.

    Harsojo mendefinisikan ilmu sebagai suatu pendekatan atau metode

    pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh ruang

    dan waktu yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indera manusia.5

    Penulis mencoba untuk mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan yang

    disusun secara sistematis melalui metode-metode tertentu untuk menyelediki,

    menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi

    kenyataan dalam alam manusia.

    Adapun beberapa ciri-ciri utama ilmu menurut terminologi, antara lain:

    1. Ilmu adalah sebagian pengetahuan bersifat konheren, empiris, sistematis,

    dapat diukur, dan dibuktikan. Berbeda dengan iman yakni pengetahuan

    didasarkan atas keyakinan kepada yang gaib dan penghayatan serta

    pengalaman pribadi.

    2. Ilmu tidak pernah mengartikan kepingan pengetahuan satu putusan

    tersendiri. Akan tetapi, ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang

    mengacu pada objek yang sama dan saling berkaitan secara logis.

    3. Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan masing-

    masing penalaran perorangan, sebab ilmu dapat memuat sendiri hipotesi-

    hipotesis dan teori-teori yang belum sepenuhnya dimantapkan.

    5 Amsal Bahtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 15-16.

  • 14

    4. Ilmu harus berdasarkan metodologi, sebab kaitan logis yang dicari ilmu

    tidak dicapai dengan penggabungan tidak teratur dan tidak terarah dari

    banyak pengamatan dan ide yang terpisah.6

    Dani Vardiansyah memberikan unsur persyaratan yang harus dipenuhi

    dalam menemukan ilmu, sebagai berikut:

    1. Objektif

    Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah

    yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari

    dalam. Objeknya dapat bersifat ada atau mungkin ada karena masih harus

    diuji keberadaannya. Dalam mengkaji, objek yang dicari adalah kebenaran

    yakni persesuaian antara tahu dengan objek sehingga disebut kebenaran

    objektif, bukan subjektif.

    2. Metodis

    Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisir

    kemingkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran.

    Konsekuensinya harus ada cara untuk menjamin kepastian kebenaran.

    3. Sistematis

    Dalam perjalanan menemukan ilmu, mencoba mengetahui dan

    menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam

    hubungan yang teratur dan logis, sehingga membentuk suatu sistem yang

    berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu dan mampu menjelaskan

    rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya.

    6 Amsal Bahtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 13-14.

  • 15

    4. Universal

    Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran yang bersifat universal

    yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu).7

    B. Pengertian Ahlul Ijtihad

    Kata ijtihad menurut bahasa berasal dari isim mashdar dari kata kerja

    -- yang diambil dari kata 8 -- yang berarti

    bersungguh-sungguh dan mengerahkan segala usaha. Kata ijtihad mengikuti

    wazan iftial ) ) yang menunjukan makna mubalaghah (sangat atau lebih).

    Ijtihad tidak dipergunakan kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan

    dan memerlukan banyak tenaga.9 Sedangkan menurut istilah ijtihad adalah

    pencurahan daya upaya dalam rangka mencari suatu perkara yaitu pekerjaan

    yang berlandaskan kesungguhan dan kemampuan.10

    Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:

    Artinya: Pencurahan kesungguhan untuk mencari atau mencapai hukum

    syari dari dalil-dalil syara yang terperinci.11

    7 Dani Vardiansyah, Filsafat ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, (Jakarta: tp.p, 2008),

    hal. 8. 8 Ahmad Mukri Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd: Kajian Atas Fiqh Jinayah dalam Kitab

    Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010), hal. 21.

    9 Ridwan HR, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Keyataan, (Yogyakarta: FH UII

    Press, 2007), hal. 88. Lihat juga Yusuf al-Qardlawy, Ijtihad dalam Syariat Islam: Beberapa Pandangan Analitis tentang Ijtihad Kontemporer, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hal. 1.

    10

    Ahmad Mukri Aji, Kontekstualisasi Ijtihad Dalam Diskursus Pemikiran Hukum Islam Di Indonesia, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010), hal. 11-12.

    11

    Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terjemahan Noer Iskandar al-Barsany dari kitab Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyyah, 1972), hal. 216.

  • 16

    Imam as-Syaukani mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:

    Artinya: Mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum Syara yang

    bersifat operasional dengan cara istinbath (mengambil kesimpulan hukum).12

    Sedangkan menurut Ibrahim Hosen dengan mengutip pendapat Ibn

    Hazm, ijtihad adalah mencari hukun sesuatu masalah dalam nash al-Quran dan

    hadis sahih.13

    Dasar ijtihad dalam Al-Quran terdapat dalam surat An-Nisa ayat 83:

    ( : )

    Artinya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan

    ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka

    menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah

    orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)

    mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah karena

    karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan,

    kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu) (Q.S. An-Nisa: 83).

    Terdapat juga di dalam hadits Nabi SAW

    14

    12

    Yusuf al-Qardlawy, Ijtihad dalam Syariat Islam: Beberapa Pandangan Analitis

    tentang Ijtihad Kontemporer, terjemahan Ahmad Khosay dari kitab al-Ijtihad fi al-Syariat al-

    Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hal. 2.

    13

    Ibrahim Hosen, Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 24.

    14

    Muhammad bin Ismail bin Ibrohim bin al-Mughirah al-Bukhori, Jami al-Shahih,

    (al-Qahirah: Dar al-Syab,1987), cet.1, hal. 133.no 7352

  • 17

    Artinya:

    Apabila seorang hakim berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala.

    Tetapi bila berijtihad lalu keliru, maka baginya satu pahala. (H.R. Bukhari).

    Adapun dasar dari ijma dimaksudkan bahwa umat Islam dalam

    berbagai mazhab telah sepakat atas kebolehan berijtihad dan bahkan telah

    dipraktekan sejak zaman Rasulullah SAW. Ijtihad yang dilakukan para ulama

    merupakan alternatif yang ditempuh untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan

    yang timbul dan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat karena

    tuntutan situasi dan perkembangan zaman. Ijtihad hanya dilakukan terhadap

    masalah yang tidak ditemukan dalil hukumnya secara pasti di dalam Al-

    Quran dan Sunnah. Orang yang dianggap mempunyai kemampuan untuk

    berijtihad disebut mujtahid atau ahlul ijtihad.15

    Adapun mengenai pengertian ahlul ijtihad, para ulama memberikan

    beberapa pengertian yang berbeda. Menurut Nadiah Syarif al-Umari,

    sesungguhnya ahlul ijtihad itu adalah seorang faqih (ahli hukum Islam) yang

    mengerahkan segala daya dan kemampuannya untuk mendapatkan status

    hukum syari.16

    Sejalan dengan pengertian tersebut, al-Ghazali memberikan pengertian

    bahwa ahlul Ijtihad adalah seseorang yang dapat memproduksi hukum Islam

    yang bersifat zanni.17

    15

    Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), hal. 127.

    16

    Ahmad Mukri Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd: Kajian Atas Fiqh Jinayah dalam Kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010), hal. 24.

    17

    Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa Min Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hal. 8. Lihat Ahmad Mukri Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd: Kajian Atas Fiqh Jinayah dalam Kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010), hal. 25.

  • 18

    1. Syarat-Syarat Ahlul Ijtihad

    Mengingat bahwa ijtihad merupakan sebuah kegiatan dan aktifitas

    yang tidak mudah untuk dilakukan, maka para ulama ushul fiqh telah

    menetapkan beberapa kriteria yang mesti dimiliki oleh ahlul ijtihad.

    Sehingga yang bersangkutan dianggap layak dan cakap untuk melakukan

    istinbath hukum (penggalian hukum). Kalangan ulama ushul fiqh

    kemudian memberikan penamaan terhadap beberapa persyaratan ini

    dengan term al-ahliyyah li al-ijtihad.

    Pada hakikatnya, ahlul ijtihad itu menempati posisi Nabi di tengah-

    tengah umat dalam rangka menyampaikan risalah Islamiyyah (mubaligh),

    penyingkap (kasyif), penjelas (mubayyin), dan penggali (mustanbith)

    terhadap kedudukan hukum syari yang belum atau tidak dijelaskan secara

    tekstual baik dalam al-Quran maupun Sunnah.

    Dalam melaksanakan fungsinya sebagai subyek atau pelaku ijtihad,

    seorang mujtahid dituntut untuk membekali dirinya dengan beberapa

    persyaratan.18

    Adapun syarat-syarat ahlul ijtihad sebagai berikut:

    a. Syarat yang berhubungan dengan kepribadian, yaitu meliputi syarat

    umum dan syarat khusus. Syarat umum yakni baligh dan berakal.

    Ahlul ijtihad harus baligh (dewasa), karena hanya pada orang yang

    telah dewasa dapat ditemukan adanya kemampuan. Sedangkan ahlul

    ijtihad harus berakal, karena hanya pada orang yang berakal ditemukan

    18

    Ahmad Mukri Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd: Kajian Atas Fiqh Jinayah dalam

    Kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010), hal.

    24-25.

  • 19

    adanya kemampuan ilmu dan ijtihad itu sendiri adalah suatu karya

    ilmiah. Adapun syarat khusus yakni keimanan, ia harus beriman

    kepada Allah SWT secara sempurna baik yang berkenaan dengan zat,

    sifat, dan perbuatan-Nya.

    b. Syarat yang berhubungan dengan kemampuan, meliputi:

    1) Mengetahui ilmu alat, dalam hal ini adalah bahasa Arab karena

    sumber pokok hukum syara adalah Alquran, dan Hadits yang

    berbahasa Arab. Pengetahuan bahasa Arab meliputi Ilmu Nahwu,

    Sharaf, Bayan, Maani dan Badi.

    2) Pengetahuan tentang Alquran, karena alquran sebagai sumber

    asasi hukum syara.

    3) Pengetahuan tentang Hadits Nabi, karena Hadits Nabi berfungsi

    sebagai penjelasan alquran.

    4) Pengetahuan tentang Ijma Ulama, karena ijma ulama untuk

    mengetahui kasus atau peristiwa hukum apa saja yang ketentuan

    hukumnya telah diijmakan oleh ulama.

    5) Pengetahuan tentang Qiyas, karna ia harus mengetahui metode

    qiyas serta mengetahui pokok-pokok istimbath yang memunginkan

    membedakan dan memilih hukum yang paling dekat dengan tujuan

    syara yaitu untuk kemashlahatan umat.

    6) Pengetahuan tentang maksud syari dalam menetapkan hukum

    sehingga saat mencari dan menggali hukum melalui ijtihad ia dapat

    berpedoman kepada tujuan syari tersebut.

  • 20

    7) Pengetahuan tentang ushul fiqh, karena ilmu ini mempelajari untuk

    berijtihad.19

    Adapun menurut Amir Syarifudin, secara garis besar ada tiga syarat

    mujtahid:

    a. Mengetahui Maqashid al-Syariah karena dengan mengetahui

    maqashid kita tahu tujuan yang akan dicapai

    b. Mengetahui Al-Quran, al-Sunnah, dan bahasa Arab

    c. Mengetahui thuruq al-istinbath, metode menemukan dan menerapkan

    hukum, agar hukum hasil ijtihad tidak keluar dari nilai-nilai

    uluhiyyah.20

    2. Tingkatan Mujtahid

    Pembicaraan tentang tingkatan mujtahid berkaitan erat dengan

    pemenuhan persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid. Abu

    Zahrah memberikan tingkatan mujtahid sebagai berikut:

    a. Mujtahid mustaqil

    Penempatan mujtahid ini dalam peringkat pertama karena melihat

    temuan hasil yang dicapai dan diterapkannya. Mujtahid ini menggali,

    menemukan, dan mengeluarkan hukum langsung dari sumbernya. Ia

    menelaah hukum dari Al-Quran dan mengisthinbatkan hukum dari

    hadits Nabi. Ia menggunakan qiyas dalam menetapkan hukum atas

    sesuatu yang dilihatnya adanya kesamaan illat antara hukum yang ada

    19

    Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), jilid 2, hal. 270-282. 20

    A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal 98.

  • 21

    nashnya dengan yang tidak ada nashnya, atau menggunakan istihsan

    karena dilihatnya qiyas tidak menyelesaikan masalah, dan menetapkan

    hukum atas dasar maslahah mursalah, istishhab dan dalil lain bila tidak

    menemukan nash yang memberi petunjuk.

    Mujtahid peringkat pertama ini harus memenuhi segala

    persyaratan sebagaimana di atas, sehingga disebut mujtahid yang

    sempurna atau al-kamil karena dalam berijtihad, ia merintis sendiri

    dengan menggunakan kaidah dan ilmu ushul yang disusunnya sendiri.

    Ia juga termasuk mujtahid mandiri atau al-mustaqil karena tidak

    memiliki keterkaitan dengan suatu kaitan apapun yang mengurangi

    derajat ijtihadnya. Juga termasuk mujtahid mutlaq21

    atau mujtahid fi al-

    Syari.22

    Mujtahid yang memiliki kualifikasi dalam peringkat ini di

    kalangan ulama tabiin adalah seperti: Said ibn Musayyab, Ibrahin al-

    Nakhai dan ayahnya al-Baqir, Abu Hanifah, Malik, al-Syafii, Ahmad

    bin Hanbal, al-Auzai, al-Kaits ibn Saad, Sofyan al-Tsauri, dan

    lainnya.

    b. Mujtahid Muntasib

    Peringkat kedua mujtahid disebut mujtahid muntasib dalam arti

    ijtihadnya dihubungkan kepada mujtahid yang lain. Mujtahid ini dalam

    21

    A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,

    (Jakarta: Kencana, 2006), hal 157. Lihat juga A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh:

    Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal 99.

    22 A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: Raja

    Grafindo Persada, 2000), hal 99.

  • 22

    berijtihad memilih dan mengikuti ilmu ushul serta metode yang telah

    diterapkan oleh mujtahid terdahulu, namun ia tidak mesti terkait

    kepada mujtahid tersebut dalam menetapkan hukum furu (fiqh)

    meskipun hasil temuan yang diterapkannya ada yang kebetulan sama

    dengan yang telah ditetapkan oleh imam mujtahid yang dirujuknya.

    Keterikatan mujtahid ini dengan imam mujtahid sebelumnya karena ia

    berguru kepada mujtahid tersebut dan mengambil cara-cara yang

    digunakan oleh gurunya dalam berijtihad. Dalam beberapa hal ia pun

    berbeda pendapat dengan gurunya itu.

    Di antara mujtahid yang masuk dalam peringkat ini adalah Abu

    Yusuf, Muhammad ibn Hasan al-Syaibani yang menghubungkan

    dirinya dengan Abu Hanifah, al-Muzanni yang berguru cukup lama

    kepada al-Syafii, Abd al-Rahman ibn Qasim yang dihubungkan

    kepada Imam Malik, Ahmad ibn Hanbal yang pada mulanya

    dinisbahkan kepada al-Syafii, namun kemudian menyatakan mandiri

    dan tidak lagi disebut al-muntasib.

    c. Mujtahid Madzhab

    Mujtahid mazhab adalah mujtahid yang mengikuti imam mazhab

    tempat ia bernaung baik dalam ilmu ushul maupun dalam furu. Ia

    mengikutu temuan yang dicapai imam mazhab dan tidak menyalahi

    apa yang ditetapkan oleh imamnya.

    Mujtahid mazhab ini mempunyai ilmu yang luas tentang

    mazhabnya sehingga memungkinkan untuk mengeluarkan

  • 23

    (mentakhrijkan) hukum dengan cara menghubungkannya kepada apa

    yang telah digariskan oleh imamnya. Ijtihadnya terbatas pada usaha

    mengistinbath hukum untuk masalah yang belum ditetapkan oleh

    imamnya dengan mengikuti kaidah dan metode ijtihad yang telah

    dirumuskan imamnya tersebut. Mujtahid mazhab ini dalam beberapa

    literatur disebut juga dengan mujtahid mukharij karena posisinya

    dalam ijtihad adalah mentakhrijkan (mengeluarkan) pendapat imam

    mujtahid dalam menjawab persoalan hukum pada kasus lain yang

    serupa. Walaupun dalam hal ini mujtahid tersebut berhasil menetapkan

    hukum sebagai temuannya, namun ia tetap menisbahkan hukum yang

    ditetapkannya itu kepada imamnya, sehingga pemikiran imam itu

    sendiri semakin berkembang dan meluas.23

    Berbeda dengan Abu Zahrah, A. Djazuli membagi tingakatan

    mujtahid sebagai berikut:

    a. Mujtahid mutlak atau mujtahid mustaqil atau mujtahid fi syari yaitu

    mujtahid yang mempunyai metodologi yang mandiri dalam istinbath

    hukum, mereka inilah imam-imam mazhab seperti Abu Hanifah,

    Maliki, Syafii, dan Ahmad bin Hanbal.

    b. Mujtahid mujtahid muntasib yaitu mujtahid yang mengikuti pendapat

    imam mazhab dalam ushul atau metode berijtihad, akan tetapi hasil

    ijtihadnya (hukum furunya) ada yang sama dan ada yang berbeda

    dengan pendapat imam mazhab. Seperti al-Muzani dalam mazhab al-

    Syafii.

    23

    Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terjemahan Saefullah Mashum dari kitab

    Ushul al-Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2012), hal. 579-591. Lihat juga Amir Syarifudin,

    Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), jilid ke 2, hal. 274-277.

  • 24

    c. Mujtahid fi al-Mazhab yaitu mujtahid yang mengikuti imam mazhab

    dalam ushul maupun furu hanya berbeda dalam penerapannya. Jadi,

    hanya memperluas atau mempersempit penerapan sesuatu yang telah

    ada dalam mazhab. Seperti al-Ghazali dalam mazhab al-Syafii.

    d. Mujtahid fi al-Masail yaitu mujtahid yang membatasi diri hanya

    berijtihad dalam hal-hal yang belum diijtihadi oleh imam-imam

    mereka, dengan menggunakan metode imam-imam mereka. Seperti al-

    Karhi dikalangan mazhab Hanafi dan ibnu Arabi di kalangan mazhab

    al-Maliki.

    e. Ahlu takhrij yaitu fuqoha yang kegiatannya terbatas menguraikan dan

    memperjelas pendapat-pendapat yang samar dan janggal yang ada

    dalam mazhabnya. Seperti al-Jashosh dalam mazhab Hanafi.

    f. Ahlu tarjih yaitu fuqoha yang kegiatannya hanya menarjih atau

    menguatkan pendapat-pendapat yang berbeda yang ada dalam

    mazhabnya.24

    Adapun fungsi daripada ijtihad sebagai berikut: pertama,

    memberikan jalan keluar dari segala urusan yang berbeda-beda dari setiap

    manusia, hukum itu selalu berubah tidak kaku karena kehidupan manusia

    itu terus berkembang dan kebutuhan manusia terus bertambah. Kedua,

    sebagai penyalur dari kreativitas individual atau kelompok didalam

    menanggapi peristiwa-peristiwa yang dihadapi sesuai dengan pengalaman

    mereka sendiri. Ketiga, sebagai interpreter yaitu memberi tafsir yang tepat

    24

    A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,

    (Jakarta: Kencana, 2006), hal 157-158.

  • 25

    terhadap dalil-dalil yang dzanni dalalahnya. Keempat, ijtihad berfungsi

    sebagai syahid yaitu untuk membuktikan bahwa Islam yalu wa la yula

    alaih dalam kehidupan praktis manusia.25

    25

    A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: Raja

    Grafindo Persada, 2000), hal 100-104.

  • 26

    BAB III

    SKETSA BIOGRAFI AL-MAWARDI DAN AL-GHAZALI

    A. Biografi Al-Mawardi

    1. Riwayat Hidup al-Mawardi

    Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin

    Habib al-Mawardi (364-450 H/974-1058 M), dilahirkan di Basrah, Irak.

    Mawardi berasal dari kata ma (air) dan ward (mawar) karena ia adalah

    anak seorang penjual air mawar.1 Al-Mawardi hidup pada masa

    pemerintahan dua khalifah: al-Qadir Billah (380-422 H) dan al-Qaimu

    Billah. Masa kehidupan al-Mawardi ditandai dengan suasana dan kondisi

    disintegrasi politik dalam pemerintahan Daulat Bani Abbas. Pada masa itu

    Baghdad yang merupakan pusat pemerintahan Bani Abbas tidak mampu

    membendung arus keinginan daerah-daerah yang dikuasainya untuk

    melepaskan diri dari Bani Abbas dan membentuk daerah otonom. Ini

    akhirnya memuculkan dinasti-dinasti kecil yang merdeka dan tidak mau

    tunduk pada kekuasaan Bani Abbas.2

    Di Mesir terdapat negara Fathimiyyah. Di Andalusia terdapat negara

    Bani Umayyah. Di Khurasan dan daerah Timur secara umum terdapat

    negara Bani Abbasiyyah.

    1 Nur Mufid dan A. Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Al-Mawardi:

    Mencermati Konsep Kelembagaan Politik Era Abasiyah, (Surabaya: Pustaka Progressif,

    2000), hal. 21.

    2 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,

    (Jakarta: UI Press, 2003), hal. 58.

  • 27

    Hubungan antara khalifah-khalifah Bani Abbasiyyah dengan negara

    Fathimiyyah di Mesir didasari permusuhan sengit, sebab masing-masing

    keduanya berambisi untuk menghancurkan yang lain.

    Hubungan Bani Abbasiyyah dengan khalifah-khalifah Bani

    Umayyah di Andalusia juga dilandasi permusuhan sejak Bani Abbasiyyah

    meruntuhkan sendi-sendi negara Bani Umayyah dan untuk itu darah

    tercecer disana sini.3

    Di sisi lain, keberadaan khalifah-khalifah Bani Abbas sangat lemah.

    Mereka menjadi boneka dari ambisi politik dan persaingan antara pejabat-

    pejabat tinggi negara dan para panglima militer Bani Abbas. Khalifah

    sama sekali tidak berkuasa menentukan arah kebijakan negara. Yang

    berkuasa adalah para menteri Bani Abbas yang pada umumnya bukan

    berasal dari bangsa Arab, melainkan dari bangsa Turki dan Persia.4

    Dalam kondisi demikian, al-Mawardi pandai menari sesuai irama

    gendang. Ia mampu memainkan perannnya dengan baik, sehingga

    mendapatkan jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan. Dalam

    kapasitasnya sebagai ahli hukum mazhab Syafii, ia pernah menjadi hakim

    di berbagai kota. Kemudian, pada masa pemerintahan khalifah al-Qadir

    (991-1031 M) al-Mawardi bahkan diangkat sebagai Ketua Mahkamah

    Agung (Qadhiy al-Qudhat) di Baghdad. Karena kepandaian diplomasinya

    3 Imam al-Mawardi, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat

    Islam, terjemahan Fadhli Bahri dari kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Jakarta: Darul

    Falah, 2006), hal. Xxiv.

    4 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,

    (Jakarta: UI Press, 2003), hal. 58.

  • 28

    pula ia ditunjuk sebagai mediator perundingan antara pemerintah Bani

    Abbas dengan Buwaih yang sudah menguasai politik ketika itu. al-

    Mawardi berhasil melakukan misinya dengan memuaskan kedua belah

    pihak. Bani Abbas tetap memegang jabatan tertinggi kekhalifahan,

    sementara kekuasaan politik dan pemerintahan dilaksanakan oleh orang-

    orang Buwaih. Tidak mengherankan kalau al-Mawardi juga mendapatkan

    tempat yang layak dan disenangi oleh amir-amir Buwaih yang menganut

    paham Syiah.5

    Al-Mawardi termasuk politisi yang produktif dalam hal menulis,

    banyak sekali buku-buku yang ia tinggalkan, diantara buku-buku

    karangannya adalah sebagai berikut:

    a. Dalam fiqh

    1) Al-Hawi Al-Kabiru.

    2) Al-iqnau.

    b. Dalam fiqh politik

    1) Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah.

    2) Siyasat al-Wizarat wa Siyasat Al-Maliki.

    3) Tashilu An-Nadzari wa Tajilu Adz-Dzafari fi Akhlaqi Al-Maliki

    wa Siyasat Al-Maliki.

    4) Siyasat Al-Maliki.

    5) Nashihat Al-Muluk.

    5 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari

    Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 17.

  • 29

    c. Dalam tafsir

    1) Tafsir Al-Quranul Al-Karim.

    2) An-Nukat wa Al-Uyun.

    3) Al-Amtsal wa Al-Hikam.

    d. Dalam sastra

    1) Adab Ad-Dunya wa Ad-Din.

    e. Dalam akidah

    1) Alam An-Nubuwwah.6

    Al-Mawardi Rahimahullah wafat pada bulan Rabiul Awwal tahun

    450 H dalam usia 86 tahun.

    2. Pemikiran Politik al-Mawardi

    Imamah (kepemimpinan) yang dimaksud al-Mawardi dijabat oleh

    khalifah (pemimpin), raja, penguasa, atau kepala negara, dan kepadanya ia

    diberi lebel agama. Al-Mawardi menyatakan Sesungguhnya imam

    (khalifah) itu diproyeksikan untuk mengambil alih peran kenabian dalam

    menjaga agama dan mengatur dunia.7 Dengan demikian seorang imam

    adalah pemimpin agama di satu pihak dan di lain pihak sebagai pemimpin

    politik.

    Dasar pembentukan imamah menurut al-Mawardi adalah wajib

    secara ijma. Akan tetapi dasar kewajiban itu diperselisihkan, apakah

    6 Imam al-Mawardi, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat

    Islam, terjemahan Fadhli Bahri dari kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Jakarta: Darul

    Falah, 2006), hal. Xxx-xxxi.

    7 Imam al-Mawardi, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat

    Islam, terjemahan Fadhli Bahri dari kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Jakarta: Darul

    Falah, 2006), hal. 1.

  • 30

    berdasarkan akal atau syariat?. Menurutnya ada dua golongan, pertama

    wajib berdasarkan akal dengan alasan manusia itu adalah makhluk sosial

    dan dalam pergaulan mereka bisa terjadi permusuhan, perselisihan, dan

    penganiayaan. Karenanya dibutuhkan seorang pemimpin yang dapat

    mencegah kemungkinan-kemungkinan itu. Kedua wajib berdasarkan

    syariat bukan karena pertimbangan akal dengan alasan karena kepala

    negara menjalankan tugas-tugas agama yang bisa saja akal tidak

    mendukungnya dan akal hanya menghendaki setiap orang yang berakal

    melindungi dirinya dari segala bentuk ketidakadilan, dan pemutusan

    hubungan, kemudian ia bertindak dengan akalnya sendiri bukan dengan

    akal orang lain. Sementara syariat menghendaki bahwa segala persoalan

    itu harus diserahkan kepada pihak yang berwenang dalam agama.

    Sebagaimana firman Allah SWT:

    ) : )

    Artinya:

    Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul

    (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan

    Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al

    Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada

    Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan

    lebih baik akibatnya (Q.S. An-Nisa: 59).

    Terdapat pula hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Hisyam bin

    Urwah dari Abu Shalih dari Abu Hurairah r.a bahwa Nabi SAW bersabda:

  • 31

    8

    Artinya:

    Sepeninggalku akan datang kepada kalian pemimpin-pemimpin,

    kemudian akan datang kepada kalian pemimpin yang baik dengan

    membawa kebaikannya, kemudian akan datang kepada kalian

    pemimpin yang jahat dengan membawa kejahatannya. Maka dengarkan

    merekam dan taatilah apa saja yang sesuai dengan kebenaran. Jika

    mereka berbuat baik, maka kebaikan tersebut untuk kalian, dan jika

    berbuat jahat, maka kalian mendapatkan pahala dan mereka

    mendapatkan dosa. (HR.Thabrani).

    Ada dua cara menurut al-Mawardi di dalam pemilihan imam

    (khalifah): pertama, Dewan pemilih yang bertugas memilih imam bagi

    umat. Kedua, Dewan imam yang bertugas mengangkat salah seorang dari

    mereka sebagai imam.9 Hal ini menunjukkan bahwa baik dari sumber awal

    agama Islam atau fakta historis, al-Mawardi tidak menemukan sistem yang

    baku dalam pemilihan kepala negara, tetapi pemilihan kepala negara dalam

    Islam telah diimplementasikan oleh para sahabat.

    Adapun kriteria yang harus dipenuhi oleh Dewan pemilih sebagai

    berikut:

    a. Adil dengan segala syarat-syaratnya.

    b. Ilmu yang membuatnya mampu mengetahui siapa yang berhak menjadi

    imam sesuai dengan kriteria-kriteria yang legal.

    8 Sulaiman ibn Ahmad Ibn Ayub Ibn Muthir al-Lakhmi as-Syamiy; Abu al Qosim

    at-Thabrani, al-Mujam al-Kabir, (t.tp, t.th), juz.19, hal.460, no.1102

    9 Imam al-Mawardi, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat

    Islam, terjemahan Fadhli Bahri dari kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Jakarta: Darul

    Falah, 2006), hal. 1

  • 32

    c. Wawasan dan sikap bijaksana yang membuatnya mampu memilih

    siapa yang paling tepat menjadi imam dan paling efektif serta paling

    ahli dalam mengelola semua kepentingan.

    Sedangkan kriteria yang harus dipenuhi oleh Dewan imam adalah:

    a. Adil dengan syarat-syaratnya yang universal.

    b. Ilmu yang membuatnya mampu berijtihad terhadap kasus-kasus dan

    hukum-hukum.

    c. Sehat inderawi (telinga, mata, dan mulut) yang dengannya ia mampu

    menangani langsung permasalahan yang telah diketahuinya.

    d. Sehat organ tubuh dari cacat yang menghalanginya bertindak dengan

    sempurna dan cepat.

    e. Wawasan yang membuatnya mampu memimpin rakyat dan mengelola

    semua kepentingan.

    f. Berani dan ksatria yang membuatnya mampu melindungi wilayah

    negara dan melawan musuh.

    g. Nasab yaitu berasal dari keturunan Quraisy berdasarkan nash-nash

    yang ada dan ijma yang terjadi pada pertemuan Tsaqifah Bani Sidah

    ketika Abu Bakar menyatakan (pemimpin-pemimpin itu

    berasal dari Quraisy) maka terpilihlah Abu Bakar r.a sebagai khalifah

    pertama berdasarkan ijma. Kemudian Rasulullah juga bersabda

    dahulukan orang Quraisy dan jangan kalian)

    mendahuluinya).10

    10

    Imam al-Mawardi, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat

    Islam, terjemahan Fadhli Bahri dari kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Jakarta: Darul

    Falah, 2006), hal. 3-4.

  • 33

    Ada sepuluh tugas yang harus dilakukan oleh seorang imam, antara

    lain:

    a. Menjaga agama sesuai dengan prinsip-prinsip yang disepakati oleh

    ulama salaf.

    b. Menerapkan keadilan diantara orang yang sedang berperkara.

    c. Melindungi wilayah negara dan tempat-tempat suci.

    d. Menegakkan supremasi hukum untuk menjaga agama dan umat.

    e. Melindungi daerah-daerah perbatasan dari serangan musuh.

    f. Memerangi orang-orang yang menentang Islam (jihad) setelah adanya

    dakwah.

    g. Mengambil fai (harta yang didapatkan kaum muslimin tanpa

    pertempuran) dan sedekah sesuai dengan yang diwajibkan oleh

    Syariat.

    h. Mengatur penggunaan harta baitul mal (kas negara) secara efektif.

    i. Mengangkat orang-orang yang terlatih dan ahli dalam bidangnya untuk

    membantu tugasnya.

    j. Terjun langsung menangani persoalan yang terjadi di masyarakat

    (blusukan).11

    B. Biografi al-Ghazali

    1. Riwayat Hidup al-Ghazali

    Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad

    al-Ghazali (450 H atau 1058 M). Ia lahir di Thus pada suatu kota kecil

    11

    Imam al-Mawardi, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat

    Islam, terjemahan Fadhli Bahri dari kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Jakarta: Darul

    Falah, 2006), hal. 23

  • 34

    dekat Khurasan, Persia. Ayahnya seorang sufi yang fakir harta. Ia bekerja

    keras memproduksi tenun dan selalu berkhidmat kepada tokoh-tokoh

    agama dan ahli fiqh di berbagai majelis dan khalwat mereka12

    , waktu

    ayahnya sudah merasa usianya telah hampir habis, maka al-Ghazali

    dititipkan pada seorang sufi pula.13

    Ia mendapatkan pendidikan awalnya di

    Thus, dibawah asuhan seorang pendidik dan ahli tasawuf, sahabat karib

    ayahnya yang telah meninggal. Setelah tamat ia melanjutkan pelajarannya

    ke kota Jurjan yang ketika itu menjadi kegiatan ilmiah. Disini ia

    mendalami pengetahuan bahasa Arab dan Persia, di samping belajar

    pengetahuan agama. Di antara gurunya adalah Imam Abu Nasr al-Ismaili.

    Karena kurang puas ia kembali ke Thus.14

    Beberapa tahun kemudian ia

    pindah ke Naisabur dan berguru tentang ilmu kalam atau teologi pada

    Imam Haramain Juwaini. Kemudian ia menggabungkan diri dengan

    kelompok Nizham al-Mulk, wazir Sultan (Saljuk) A. Arsalan, suatu

    kelompok yang waktu itu sangat menarik bagi para cendikiawan muda

    Islam. Pada tahun 484 H atau 1091 M al-Ghazali ditugaskan oleh Nizham

    al-Mulk untuk mengajar di lembaga pendidikan tinggi Nizhamiyah yang

    didirikannya di Baghdad. Selama mengajar di Nizam al-Mulk, al-Ghazali

    telah berhasil mengarang kitab-kitab yang sangat penting diantaranya: al-

    Mankhul fi Ushul al-Fiqhi, Syifa al-Ghalil fi Ushul al-Fiqhi, Maakhad al-

    Khilaf, Lubab al-Nadzar, Tahsin al-Maakhid, al-Mabadi wa al-Ghayat,

    12

    Thaha Abdul Baqi Surur, Al-Ghazali Hujjatul Islam, (Solo: Pustaka Mantiq,

    1988), hal. 20. 13

    Kahar Masyhur, Pemikiran dan Modernisme dalam Islam, (Jakarta: Kalam

    Mulia 1989), hal. 96.

    14

    Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru

    Van Hoeve, 1994), hal. 25.

  • 35

    al-Basith, Khulashah al-Mukhtashar, al-Wasith, al-Wajiz fi Fiqhi al-Imam

    al-Syafii, Tahdzib al-Ushul, Maqashid al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah,

    Fadhaih al-Bathiniyyah, Ihya Ulumiddin, Hujjat al-Haq, Miyar al-Ilmi,

    Mahkul Nadzar, al-Iqtishad fi al-Itiqad, dan Mizan al-Amal.15

    Empat tahun lamanya al-Ghazali mengajar dan melalui jabatannya

    sebagai mahaguru namanya melejit, sehingga ia terhitung salah seorang

    ilmuwan yang disegani dan ahli hukum yang dikagumi tidak saja dalam

    lingkungan Nizha al-Mulk, tetapi juga di kalangan pemerintahan di

    Baghdad.16

    Pada tahun 488 H atau 1095 M ia menderita gangguan saraf dan

    karenanya ia tidak dapat lagi mengajar di Nizhamiyyah. Beberapa bulan

    kemudian ia meninggalkan Baghdad dengan memberi kesan akan pergi ke

    Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Tetapi kemudian ternyata

    kepergiannya dari Baghdad itu hendak mengakhiri karirnya baik sebagai

    mahaguru maupun ahli hukum. Ia tidak pergi ke Mekah, tetapi ke

    Damaskus, Suriah. Baru beberapa waktu kemudian menunaikan ibadah

    haji. Setelah selesai mengerjakan ibadah haji, al-Ghazali pulang ke

    kampung halamannya untuk berkhalwat, beribadah, menulis dan memilih

    jalan menjadi sufi sebagai jalan hidupnya.17

    15

    Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam: dari Abu Bakar hingga Nasr dan

    Qardhawi, (Jakarta: Hikmah PT Mizan Publika, 2003), hal. 163.

    16

    Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,

    (Jakarta: UI Press, 2003), hal. 70.

    17

    Kahar Masyhur, Pemikiran dan Modernisme dalam Islam, (Jakarta: Kalam Mulia 1989), hal. 96.

  • 36

    Semasa hidup al-Ghazali, dunia Islam mengalami kemunduran dan

    kemerosotan yang semakin parah dibandingan masa sebelumnya, termasuk

    kemerosotan kehidupan beragama dan akhlak. Pada waktu itu terjadilah

    apa yang pernah terjadi di Eropa pada abad XVI dan XVII yakni para

    penguasa politik yang saling berebut kekuasaan dan wilayah mencari

    dukungan dari kelompok-kelompok agama tertentu. Sebaliknya, aliran-

    aliran agama dalam usahanya mempertahankan dan memperluas pengaruh

    dan wilayah masing-masing dan mencari dukungan dari penguasa-

    penguasa politik yang akhirnya terjadi perselingkuhan diantara

    keduanya.18

    Nasib al-Ghazali tidak seluruhnya menyedihkan. Kekecewaannya

    terhadap situasi keagamaan di dunia Islam bagian Timur sedikit atau

    banyak telah terobati oleh perkembangan yang terjadi di bagian Barat

    dunia Islam. Pada masa al-Ghazali di Afrika Utara sebelah Barat dunia

    Islam telah berdiri dua kerajaan: Murabithin yang dibangun oleh Abdullah

    bin Yasin dan Yusuf bin Tsyfin, yang wilayahnya meliputi Aljazair,

    Marakisy, Afrika Barat dan Andalusia. Dan Muwahidun yang dibangun

    oleh Muhammad bin Tumarat, yang wilayanhya meliputi seluruh daerah

    Maghrib Arab, Afrika Barat dan Andalusia. al-Ghazali bersahabat dengan

    para pendiri kedua kerajaan itu. Pada saat Yusuf meminta nasihat tentang

    masalah-masalah perang dan damai, dan kebijakan politik negara. Oleh

    karenanya al-Ghazali berhak ikut bangga dengan keberhasilan Yusuf bin

    Tasyfin, baik dalam membangun maupun dalam mengelola negara dengan

    18

    Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 2003), hal. 72.

  • 37

    penuh keadilan dan kearifan, sampai ia mendapatkan julukan amir al-

    muslimin. Tetapi pada saat Yusuf bin Tasyfin meninggal yang kemudian

    digantikan oleh anaknya, Ali bin Yusuf bin Tasyfin. Hubungan yang akrab

    antara dinasti Murabithin dengan al-Ghazali kemudian berubah menjadi

    sebaliknya, mungkin karena hasutan para ulama di sekeliling raja, sikap

    permusuhan Ali terhadap al-Ghazali demikian memuncak sampai pada

    suatu hari diselenggararakan acara api unggun di halaman-halaman masjid

    Andalusia dan Maghrib dengan bahan bakar buku Ihya Ulum al-Din.

    Persahabatan al-Ghazali dengan tokoh lain yang juga menghasilkan

    lahirnya suatu negara yang didasarkan atas pengarahan dan petunjuk

    darinya adalah persahabatannya dengan Muhammad bin Tumarat, setelah

    ia berhasil memberontak terhadap Murabithin dan merebut sejumlah

    wilayah kekuasaannya.19

    Dalam sejarah al-Ghazali pernah mengkritik penguasa karena suatu

    masalah. Ia pernah didatangi Perdana Menteri Khalifah Anusyirwan

    dirumahnya sebagai penghormatan dan pengakuan terhadap kedudukan

    dan kelebihannya. Akan tetapi, al-Ghazali berkata umur anda akan

    dihisab, dan anda bagaikan orang yang disewa umat, maka bila anda

    memenuhi kepentingan mereka, itu lebih baik daripada membuang waktu

    untuk mendatangiku.20

    19

    Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,

    (Jakarta: UI Press, 2003), hal. 73.

    20

    Yusuf al-Qardhawi, Pro-Kontra Pemikiran al-Ghazali, Terjemahan Hasan

    Abrori dari kitab al-Imam al-Ghazali Baina Maadihihi wa Naaqidiihi. (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), hal. 90.

  • 38

    Dengan pengetahuannya yang luas al-Ghazali mengetahui bahwa

    ikatan Islam yang paling cepat hancur adalah yang berkaitan dengan

    pemerintahan dan politik. Penyelewengan yang paling tampak di bidang

    pemerintahan adalah politik materi.

    Atas dasar ini, al-Ghazali amat pedas kritiknya terhadap pengaturan

    keuangan Sulthan. Ia melarang keras para ulama memasuki kesultanan,

    bergaul dengan mereka atau menerima hadiah dari mereka karena hadiah

    tersebut merupakan suap (risywah), sedangkan harta mereka pada

    umumnya adalah haram.

    Dalam dinamika politik, perlawanan terhadap tirani dan despotisme

    politik, rezim-rezim Firaun dan Haman yang bertindak melampaui batas

    dibumi dan memecah belah rakyatnya menjadi berbagai kelompok. Dalam

    perbuatan, mereka itu telah mendudukan dirinya di singgasana Tuhan,

    meskipun dalam perkataan mereka tidak pernah mengumandangkannya.

    Mereka menistakan hamba-hamba Allah hingga menjadi budak-budak

    mereka. Al-Ghazali sangat mendukung prinsip kemerdekaan bagi rakyat

    dengan mengajak memperkuat jalannya prinsip syura. Al-Ghazali menilai

    syura sebagai suatu kewajiban bukan hanya keutamaan. Dengan kata lain,

    syura sifatnya mengikat bukan hanya sekedae simbol.21

    Imam al-Ghazali wafat di Thus pada hari Senen 14 Jumadil Akhir

    505 H. Bertepatan dengan tanggal 18 Desember 1111 M.22

    21

    Yusuf Qardhawy, Syaikh Muhammad Al-Ghazali Yang Saya Kenal: Setengah Abad Perjalanan Pemikiran dan Gerakan Islam, Terjemahan Surya Darma dari kitab Syaikh al-Ghazali Kama Araftuhu: Rihlatuhu Nifsihi Qarnin, (Jakarta:Robbani Press, 1998), hal. 261.

    22 Thaha Abdul Baqi Surur, Al-Ghazali Hujjatul Islam, (Solo: Pustaka Mantiq,

    1988), hal. 55.

  • 39

    2. Pemikiran Politik Al-Ghazali

    Mengenai masalah imamah bagi al-Ghazali hukumnya adalah

    wajib. Pemikiran ini dapat dilihat dalam karyanya al-Iqtishad fi al-Itiqad

    (sikap lurus dalam itikad). Al-Ghazali menggambarkan hubungan agama

    dengan dengan kekuasaan politik dengan bahasa Sulthan adalah wajib

    untuk ketertiban dunia, ketertiban dunia wajib bagi ketertiban agama.

    Ketertiban agama wajib bagi keberhasilan di akhirat.23

    Agama adalah landasan bagi kehidupan manusia dan kekuasaan

    politik (negara) adalah penjaganya. Keduanya memiliki hubungan erat:

    politik tanpa agama bisa hancur, sebaliknya agama tanpa kekuasaan politik

    dapat hilang dalam kehidupan manusia. Kekuasaan politik atau negara

    merupakan penjaga bagi pelaksanaan agama. 24

    Menurut al-Ghazali, manusia adalah makhluk sosial yang tidak

    dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Disinilah perlunya mereka hidup

    bermasyarakat dan bernegara. Namun demikian lanjut al-Ghazali,

    pembentukan negara bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan praktis

    duniawi, melainkan juga untuk persiapan bagi kehidupan akhirat kelak.

    Karena menurutnya bahwa kewajiban pembentukan negara dan pemilihan

    kepala negara bukanlah berdasarkan pertimbangan rasio, melainkan

    berdasarkan kewajiban agama (syari). Ini dikarenakan bahwa

    23

    Al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-Itiqad, (Mesir: Maktabah al-Jund, 1972), hal. 198-

    199. Lihat juga Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari

    Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 28. 24

    Al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-Itiqad, (Mesir: Maktabah al-Jund, 1972), hal. 198-199

  • 40

    kesejahteraan dan kebahagiaan diakhirat tidak tercapai tanpa pengalaman

    dan penghayatan agama secara benar. Karenanya al-Ghazali menyatakan

    bahwa agama dan negara (kekuasaan politik) bagian yang saling

    melengkapi. Bahkan al-Ghazali menegaskan bahwa negara menempati

    posisi yang sangat penting dan strategis, yang hanya berada setingkat di

    bawah kenabian.25

    Prinsip kepatuhan kepala negara juga sangat ditekankan oleh al-

    Ghazali. Dalam karyanya al-Tibr al-Masbuk, al-Ghazali menyatakan

    bahwa Allah telah memilih dua kelompok manusia. Pertama, adalah para

    Nabi dan Rasul Allah. Mereka diutus untuk memberikan penjelasan

    kepada manusia lainnya tentang petunjuk dan dalil-dalil beribadah

    kepadanya. Kedua, adalah penguasa. Kelompok ini diutamakan Allah

    karena mereka dapat menjaga umat manusia dari sikap permusuhan satu

    sama lainnya. Kemaslahatan umat manusia di bumi sangat terkait erat

    dengan keberadaan penguasa ini. Dengan kekuasaan yang mereka miliki,

    Allah menempatkan mereka pada posisi yang paling terhormat.

    Untuk itu mesti diketahui bahwa orang yang diberi pangkat oleh

    Allah SWT sebagai penguasa dan dijadikan sebagai pengayom Tuhan di

    muka bumi, maka setiap orang wajib mencintainya, tunduk, dan

    mematuhinya. Mereka tidak dibenarkan mendurhakai dan

    menentangnya.26

    25

    Al-Ghazali, Nasihat bagi Penguasa, terjemahan Ahmadie Thaha dan Ilyas Ismail

    dari kitab al-Tibr al-Masbuk fi Nashihat al-Mulk, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 136.

    26

    Ibid, hal. 125

  • 41

    Al-Ghazali melanjutkan bahwa setiap orang harus simpati kepada

    penguasa dan wajib mematuhi segala perintah mereka. Ia mesti

    mengetahui bahwa Allah memberi kekuasaan dan kerajaan pada mereka.

    Berbeda dengan al-Mawardi yang merumuskan teori kontrak sosial, al-

    Ghazali menyatakan bahwa kekuasaan kepala negara adalah kudus (suci)

    berasal dari Tuhan. Selain itu, al-Ghazali juga berpendapat bahwa

    penguasa adalah bayang-bayang Tuhan di muka bumi (Zhill Allah fi al-

    ardh).27

    Al-Ghazali juga memberikan persyaratan kepada seseorang yang

    dapat diangkat sebagai kepala negara: pertama, dewasa. Kedua, otak yang

    sehat. Ketiga, merdeka. Keempat, laki-laki. Kelima, keturunan Quraisy.

    Keenam, pendengaran dan penglihatan yang sehat. Ketujuh, kekuasaan

    yang nyata. Kedelapan, memperoleh hidayah. Kesembilan, berilmu

    pengetahuan. Kesepuluh, wara (kehidupan yang bersih dengan

    kemampuan mengendalikan diri, tidak berbuat hal-hal yang terlarang dan

    tercela).28

    27

    Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari

    Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 30

    28

    Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 2003), hal. 78

  • 42

    BAB IV

    PENGUASAAN ILMU SEBAGAI SYARAT KEPALA NEGARA

    MENURUT AL-MAWARDI DAN AL-GHAZALI

    A. Penguasaan Ilmu Sebagai Syarat Kepala Negara Menurut Al-Mawardi

    Manusia sebagai bagian dari makhluk Allah SWT, pada hakikatnya

    harus hidup berdampingan, bermasyarakat sesamanya, bahkan terhadap alam,

    hewani, nabati untuk menciptakan kehidupan yang penuh rasa damai, aman

    serta adil dan makmur.

    Untuk memfokuskan hal-hal yang berhubungan dengan masalah

    kepemimpinan, patut diperhatikan dalam Al-quran surat Al-Anam ayat 165:

    ( : )

    Artinya:

    Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia

    meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat,

    untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya

    Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun

    lagi Maha Penyayang (Q.S. Al-Anam: 165).

    Dalam ayat tersebut terdapat kata Khalaaifa yang berarti jamak,

    diartikan sebagai penguasa-penguasa. Ayat ini menegaskan bahwa manusia

    sebagai khalifah yang berwenang mengatur kehidupan dunia adalah mutlak

    bagi seorang pemimpin atau khalifah, tentunya orang-orang yang telah

    memenuhi kriteria dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang harus

    dimilikinya.1

    1A.M. Saefuddin, Ijtihad Politik Cendikiawan Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press,

    1996), hal. 159.

  • 43

    Manusia sebagai makhluk Allah yang sempurna dan sebaik-baik bentuk

    yang dilengkapi dengan indera dan akal, dengan demikian manusia berwenang

    mengatur keadaan alam ini, semata-mata untuk kedamaian lahir batin,

    sehingga dapat menjadi hamba-Nya di dalam rahmat dan karunia-Nya.

    Pengertian khalifah sebagai penguasa atau pemimpin banyak ragam dan

    jenis kekuasaan tersebut, baik secara operasional maupun konsepsional.

    Khalifah juga mengandung arti yang universal tergantung dimana

    menempatkan penguasa tersebut di dalam pembahasan. Ada kalangan dalam

    suatu negara yang berdaulat bentuk-bentuk organisasi bahkan sampai kepada

    bentuk yang sekecil-kecilnya. Allah mengangkat khalifah di muka bumi

    untuk menjadi pemimpin terhadap sesamanya yang dilakukan secara

    bersambung dari generasi ke generasi.2

    Ahlul halli wal aqdi adalah lembaga perwakilan dan menyalurkan

    aspirasi atau suara masyarakat. Anggota ahlul halli wal aqdi terdiri dari orang-

    orang yang berasal dari berbagai kalangan dan profesi. Merekalah yang antara

    lain bertugas menetapkan dan mengangkat kepala negara sebagai pemimpin

    pemerintahan. Al-Mawardi menyebutkan ahlul halli wal aqdi dengan sebutan

    ahlul ikhyar, karena mereka yang berhak memilih khalifah.3 Sedangkan Ibnu

    Taimiyyah menyebutnya dengan sebutan ahlul Syawkah. Sebagian yang lain

    menyebutnya dengan sebutan ahlul Syura, ahlul ijma, dan ahlul ijtihad.4

    2Abu Alfida Ismail Ibn Umar Ibn Kastir ad-Dimisqa. Tafsir al quran al adzim, (t.tp,

    t.th), Jilid I, hal. 336.

    3Al-Mawardi, al-Ahkam As-Sulthaniyyah, (Al-Qahirah: Dar Al-Hadits, 2006), hal. 5.

    4Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta:

    Gaya Media Pratama, 2001), hal. 138.

  • 44

    Namun semuanya mengacu pada pengertian sekelompok anggota masyarakat

    yang mewakili umat (rakyat) dalam menentukan arah dan kebijaksanaan

    pemerintahan demi tercapainya kemaslahatan hidup. Dari sekian definisi yang

    ada yang dibahas disini adalah ahlul ijtihad sebagai kepala negara.

    Firman Allah dalam surat Shad ayat 26:

    ): (

    Artinya: Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah

    (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara

    manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia

    akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang

    sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka

    melupakan hari perhitungan (Q.S. Shaad : 26).

    Allah menyebutkan bahwa Nabi Daud a.s juga sebagai khalifah

    penguasa di bumi yang harus meletakan keadilan, kejujuran, serta kedamaian

    di bumi Allah ini. Tafsir Qurthubi menyebutkan bahwa penguasa atau

    pemimpin berkewajiban menghukumi perkara dengan adil, tidak

    diperkenankan menuruti hawa nafsu.5 Karena apabila penguasa sudah

    dikuasai oleh nafsu, pastilah akan lenyap serta berakibat fatal bagi dirinya dan

    keluarganya, sebab yang batil itu pasti hancur dan sirna.

    Kepemimpinan yang dikonsepsikan Al-quran ini merupakan suatu hal

    yang sangat mendasar untuk mengelola hubungan sesama manusia maupun

    5Abu Abdullah Muhammd Ibn Ahmad Ibn Abi Bakar Ibn Farah al-Anshari al-

    Khazraji Samsuddin al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (al-Qahirah: Dar al-Kutub al-

    Mishriyyah, 1964, ), Jilid XV, hal. 179

  • 45

    dengan alam lingkungannya. Tipe kepemimpinan yang dikemukakan Al-

    quran bukan semata-mata hanya mengenai urusan ukhrawi, akan tetapi

    banyak tekanan yang menyangkut berbagai urusan duniawi seperti tijarah

    atau perdagangan, perindustrian, perniagaan, pemerintahan, organisasi sampai

    terhadap kelompok keluarga bahkan lebih jauh lagi terhadap diri sendiri.6

    Dalam hal syarat kepala negara yang harus dimiliki oleh seorang

    pemimpin, al-Mawardi memberikan kriteria terhadap orang yang berhak

    dipilih sebagai kepala negara (imam) dengan tujuh syarat yaitu: pertama, adil

    dalam arti yang luas. Kedua, punya ilmu untuk dapat melakukan ijtihad di

    dalam menghadapi persoalan-persoalan dan hukum. Ketiga, sehat

    pendengaran, mata, dan lisannya supaya dapat berurusan langsung dengan

    tanggung jawabnya. Keempat, sehat badan sehingga tidak terhalang untuk

    melakukan gerak dan melangkah cepat. Kelima, pandai dalam mengendalikan

    urusan rakyat dan kemaslahatan umum. Keenam, berani dan tegas membela

    rakyat, wilayah negara dan menghadapi musuh. Ketujuh, keturunan Quraisy.7

    Syarat ahlul ijtihad bagi calon kepala negara merupakan hal yang paling

    penting, karena mengemban tugas sebagai kepala negara sangatlah berat

    untuk dilaksanakan kalau tidak mempunyai ilmu yang luas.

    Al-Mawardi mengaharuskan seorang kepala negara harus seorang

    mujtahid, maka tidak dibenarkan mengangkat menjadi imam orang yang

    bukan mujtahid. Dengan alasan karena imam melihat persoalan-persoalan

    6A.M. Saefuddin, Ijtihad Politik Cendikiawan Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press,

    1996), hal. 159-160.

    7 Al-Mawardi, Al-Ahkamu As-Sulthaniyyah, (Al-Qahirah: Dar al-Hadits, 2006), hal.

    19-20.

  • 46

    yang timbul yang ia hadapi. Apalagi jika terjadi perselisihan antara rakyat dan

    pejabatnya, maka tidak ada pilihan lain kecuali jika imam adalah seorang

    mujtahid.

    Karena imam memilih dan menugaskan para qadhi dan mereka

    disyaratkan memiliki kemampuan melakukan ijtihad, maka imam dengan

    sendirinya harus seorang mujtahid yang melakukan ijtihad. Dengan demikian

    jika terjadi perbedaan pendapat antara para qadhi, imam dapat membenarkan

    yang benar dan menyalahkan yang salah.8

    Apalagi kalau melihat akan kebutuhan ijtihad dewasa ini adalah suatu

    hal yang berlebihan dan bersikap masa bodoh terhadap realita, bila

    mengatakan bahwa buku-buku karya ulama terdahulu sudah cukup memadai

    untuk memberikan jawaban terhadap setiap persoalan baru. Karena, setiap

    zaman itu memiliki problematika sendiri, konteks realitas dan berbagai

    kebutuhan yang senantiasa muncul. Apalagi bumi senantiasa berputar, semua

    cakrawala pun bergerak,dunia tetap berjalan dan jarum jam tidak pernah

    berhenti.

    Seiring perputaran yang terus menerus ini dan perjalanan yang cepat,

    munculah persoalan-persoalan baru yang belum dikenal oleh orang orang

    terdahulu. Dengan demikian kebutuhan terhadap ijtihad merupakan

    kebutuhan yang bersifat kontinyu, dimana realita kehidupan ini senantiasa

    berubah,begitupun kondisi masyarakatnya yang senantiasa mengalami

    8Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, terjemahan Musthalah

    Maufur dari kitab al-Nizham al-Siyasi fi al-Islam, (Jakarta: Robbani Press, 2000), hal. 126.

  • 47

    perubahan dan perkembangan.9 Melihat hal tersebut diatas tentu apa yang

    ditawarkan al mawardi yaitu syarat seorang kepala negara harus seorang

    mujtahid merupakan jawaban dari kebutuhan akan ijtihad.

    Makna ijtihad yang diharuskan pada seorang kepala negara artinya dia

    harus mengetahui hukum-hukum Islam yang bersangkutan dengan kaidah-

    kaidah utamanya disamping mengetahui cabang-cabang dari keilmuan hukum

    lainnya. Dasar hukum Islam itu ada 4 macam. Pertama, mempunyai ilmu

    tentang Al-Quran yang sesuai dengan hukum-hukum yang berkaitan,

    mengetahui Sunnah Nabi baik dari ucapannya maupun dari perbuatannya.

    Kedua, mengetahui bagaimana hadits itu diperoleh. Ketiga, mengetahui

    takwil yang telah dipakai oleh para ulama salaf baik itu berupa hasil

    kesepakatan maupun hasil dari berikhtilaf. Keempat, mengetahui qiyas untuk

    mengembalikan suatu hukum pada dasarnya semula yang diambil dari

    lafalnya maupun dari hasil kesepakatan mereka sehingga seorang mujtahid

    mampu menemukan sebuah jalan dengan dasar-dasar yang ada.10

    Jika mampu

    menguasai ilmu-ilmu tersebut, maka dia termasuk mujtahid. Sebaliknya kalau

    tidak, maka dia tidak dapat dikatakan sebagai mujtahid.

    Jika mau menafsirkan syarat keilmuan seperti diatas pada zaman

    sekarang, kita dapat mengatakan bahwa disyaratkan bagi seorang kepala

    negara harus menguasai ilmu-ilmu politik, ilmu-ilmu ekonomi, dan ilmu

    perbandingan sosial.

    9 Yusuf al-Qardawi, Ijtihad Kontemporer: Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan,

    terjemahan Abu Barzani dari kitab al-Ijtihad al-Muashir baina al-Indilbaath wa al-

    Infiraath, (Surabaya:Risalah gusti,1995), hal. 56.

    10

    Muhammad Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, penerjemah Ahmad Burdan Hadi

    dari kitab al-Nazhariyyat al-Siyasiyyah al-Islamiyyah, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001),

    hal. 233

  • 48

    Syarat keilmuan meliputi dua macam ilmu. Pertama, ilmu-ilmu syariat

    atau ilmu-ilmu agama, yakni ilmu Alquran, ilmu Hadits, ilmu Bahasa Arab,

    ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, ilmu Nasakh Mansukh dan ilmu tentang perbedaan

    pendapat para ulama dalam bidang ushul dan furu. Ilmu-ilmu ini diperlukan

    agar kepala negara dapat menjadi suri tauladan bagi umat islam dalam

    penguasaan ilmu-ilmu agama serta secara independen dapat