syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

57
36 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum Perjanjian 2.1.1. Peristilahan. Istilah perjanjian sering disebut juga dengan persetujuan, yang berasal dari bahasa Belanda yakni overeenkomst. Menurut Subekti “Suatu perjanjian dinamakan juga persetujuan karena kedua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu, dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya”. 47 Istilah kontrak dipakai dalam praktek bisnis selain istilah perjanjian dan persetujuan. Kerancuan akan istilah kontrak atau perjanjian masih sering diketemukan dalam praktek bisnis. Pelaku bisnis memahami bahwa kedua istilah antara perjanjian dan kontrak mempunyai pengertian yang berbeda.Menurut Muhammad Syaifuddin 48 pengertian antara perjanjian dan kontrak adalah sama, jika dilihat dari pengertian yang terdapat dalam KUHPer sebagai produk warisan kolonial Belanda, maka ditemukan istilah “overeenkomst” dan “contract” untuk pengertian yang sama, sebagaimana dicermati dalam Buku III Titel Kedua Tentang Perikatan-Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Persetujuan, yang dalam bahasa Belanda ditulis “Van verbintenissen die uit contract of overeenkomst geboren worden”. 47 Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, Intermassa, Jakarta, hal.1. 48 Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal.15.

Transcript of syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

Page 1: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

36

BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1. Tinjauan Umum Perjanjian

2.1.1. Peristilahan.

Istilah perjanjian sering disebut juga dengan persetujuan, yang berasal dari

bahasa Belanda yakni overeenkomst. Menurut Subekti “Suatu perjanjian

dinamakan juga persetujuan karena kedua pihak itu setuju untuk melakukan

sesuatu, dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu

adalah sama artinya”.47

Istilah kontrak dipakai dalam praktek bisnis selain istilah perjanjian dan

persetujuan. Kerancuan akan istilah kontrak atau perjanjian masih sering

diketemukan dalam praktek bisnis. Pelaku bisnis memahami bahwa kedua istilah

antara perjanjian dan kontrak mempunyai pengertian yang berbeda.Menurut

Muhammad Syaifuddin48

pengertian antara perjanjian dan kontrak adalah sama,

jika dilihat dari pengertian yang terdapat dalam KUHPer sebagai produk warisan

kolonial Belanda, maka ditemukan istilah “overeenkomst” dan “contract” untuk

pengertian yang sama, sebagaimana dicermati dalam Buku III Titel Kedua

Tentang Perikatan-Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Persetujuan, yang

dalam bahasa Belanda ditulis “Van verbintenissen die uit contract of

overeenkomst geboren worden”.

47

Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, Intermassa, Jakarta, hal.1. 48

Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal.15.

Page 2: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

37

Para sarjana seperti Mariam Darus Badrulzaman49

, J.Satrio50

, dan Purwahid

Patrik51

menganut pandangan yang menyatakan bahwa istilah kontrak dan

perjanjian mempunyai pengertian yang sama. Agus Yudha Hernoko52

memberikan alasan bahwa kedua istilah tersebut juga digunakan dalam istilah

kontrak komersial, misalnya perjanjian waralaba, perjanjian sewa guna usaha,

kontrak kerjasama, perjanjian kerjasama dan kontrak konstruksi.

Pendapat berbeda dikemukakan oleh Ricardo Simanjutak, yang menyatakan

bahwa;

Adapun pengertian kontrak secara tegas dimaksudkan sebagai kesepakatan

para pihak yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat. Walaupun

istilah kontrak merupakan istilah yang telah lama diserap ke dalam bahasa

Indonesia, karena secara tegas digunakan dalam KUH Perdata, pengertian

kontrak tidak dimaksudkan seluas dari pengertian perjanjian seperti yang

dimaksudkan dalam Pasal 1313 KUH Perdata. Pengertian kontrak lebih

dipersamakan dengan pengertian dari perikatan ataupun hukum perikatan yang

digambarkan dalam Pasal 1233 KUH Perdata53

.

Berdasarkan pendapat Ricardo Simanjutak, dapat dilihat bahwa kontrak

(dalam bahasa Inggrisnya contract) juga merupakan perjanjian (dalam bahasa

Inggrisnya agreement) yang memiliki konsekuensi hukum (legal enforceability)

apabila tidak dilaksanakan.54

Para pihak dapat membuat suatu kesepakatan-

kesepakatan atau perjanjian-perjanjian yang tidak mempunyai konsekuensi hukum

49

Mariam Darus Badrulzaman, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Buku III Tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Alumni, Bandung,

(selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman II), hal.89. 50

J.Satrio, 1992, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung,

(selanjutnya disebut J.Satrio III), hal.19. 51

Purwahid Patrik, 1994, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju,

Bandung, (selanjutnya disebut Purwahid Patrik I), hal.19. 52

Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hal.13. 53

Ricardo Simanjutak, Op.Cit, hal.27. 54

Ibid, hal.28.

Page 3: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

38

yang mengikat para pihak walaupun perjanjian-perjanjian tersebut adalah bersifat

komersial.

Ricardo Simanjutak menjelaskan bahwa kontrak merupakan bagian dari

pengertian perjanjian, artinya bahwa kontrak adalah juga perjanjian walaupun

belum tentu perjanjian adalah kontrak. Dalam pengertian kesepakatan para pihak

yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat kontrak sama dengan

perjanjian. Perjanjian yang tidak memiliki konsekuensi hukum tidak sama dengan

kontrak. Dasar untuk menentukan apakah perjanjian mempunyai konsekuensi

hukum yang mengikat ataukah hanya sebagai perjanjian yang mempunyai

konsekuensi moral dapat dilihat dari kemauan dasar dari para pihak yang

berkontrak55

.

Menurut pendapat sarjana asing Geoff Monahan dan David Barker mengenai

bentuk dari kontrak yang sah bahwa;

A valid contract is a contract that the law will enforce and creates legal rights

and obligations. A contract valid ab initio (from the beginning) contains all the

three essential elements of formation:

• agreement (offer and acceptance);

• intention (to be bound by the agreement);

• consideration (for example, the promise to pay for goods or services

received).

In addition, a valid contract may have to be in writing to be legally valid

(although most contracts may be oral, or a combination of oral and written

words)56

.

(Kontrak yang sah adalah kontrak yang dapat dipaksakan berlakunya secara

hukum dan menimbulkan akibat hukum berupa hak-hak dan kewajiban-

kewajiban. Sebuah kontrak sah dari awal jika mengandung tiga elemen yakni

persetujuan (penawaran dan penerimaan), maksud untuk terikat dalam

perjanjian, adanya prestasi contohnya janji untuk membayar barang-barang

55

Ibid,hal.32. 56

Geoff Monahan and David Barker, 2001, Essential Contract Law, Second

Edition, Cavendish Publishing, Sydney, hal.3.

Page 4: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

39

atau jasa yang diperlukan). Sebagai tambahan, kontrak yang sah dapat

berbentuk tulisan agar sah secara hukum (walaupun beberapa kontrak dapat

lisan, atau kombinasi dari lisan dan tulisan/ garis bawah dari penulis).

Pandangan Geoff Monahan dan David Barker tersebut tidak mensyaratkan bahwa

kontrak harus dalam bentuk tulisan, karena dapat saja kontrak berbentuk lisan

bahkan gabungan antara lisan dan tulisan.

Sarjana asing lainnya yakni T.M Scanlon menyatakan bahwa ada perbedaan

antara janji dengan kontrak yakni57

While promises do not, I have argued, presuppose a social institution of

agreement-making, the law of contracts obviously is such an institution.

Moreover, it is an institution backed by the coercive power of the state, and

one that, unlike the morality of promises, is centrally concerned with what is to

be done when contracts have not been fulfilled.

(Sementara janji-janji tidak memiliki akan hal ini, saya berpendapat bahwa

hukum dari kontrak adalah sebuah institusi. Bagaimanapun, ia adalah sebuah

institusi yang ada akibat adanya kekuasaan negara, dan berbeda dengan aspek

moral dari janji-janji, hukum kontrak menekankan pada apa yang harus

dilakukan bila kontrak-kontrak tidak dipenuhi)

Berdasarkan pendapat tersebut, maka janji lebih menekankan pada aspek moral

sebagai kekuatan mengikatnya, sedangkan pada kontrak ada pada aspek kekuatan

memaksa jika tidak ditaati.

Muhammad Syaifuddin mengutip pendapat Steven L. Emauel mengenai

istilah kontrak bahwa “A “contract” is an agreement that the law will enforce in

some way. A contract must contain at least one promise, i.e, a commitment to do

something in the future.”(Kontrak adalah suatu persetujuan yang hukum akan

57

T.M. Scanlon, 2001, “Promises and Contracts”, dalam Peter Benson (ed),

The Theory of Contract Law, Cambridge University Press, New York, hal.99.

Page 5: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

40

menegakkannya dalam berbagai cara. Kontrak harus memuat paling tidak satu

janji, yaitu suatu komitmen untuk melakukan sesuatu di masa depan)58

.

Lebih lanjut, Emanuel menjelaskan bahwa “The term”contract” is often

used to refer to a written document which embodies an agreement. But for legal

purpose, an agreement may be a binding and enforceable contract in most

circumstance even though it is oral,” (Istilah kontrak seringkali digunakan untuk

menunjukkan dokumen tertulis yang didalamnya terkandung persetujuan. Namun,

untuk tujuan hukum, suatu persetujuan juga merupakan suatu kontrak yang

mengikat dan dapat ditegakkan dalam banyak situasi meskipun hanya secara

lisan)59

.

Subekti menganut pandangan bahwa istilah kontrak, memiliki pengertian

yang lebih sempit, karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang

dibuat secara tertulis, sedangkan suatu perjanjian yang dibuat secara tidak tertulis

(lisan) tidak dapat disebut dengan istilah kontrak, melainkan perjanjian atau

persetujuan.60

Subekti lebih menekankan perbedaan antara kontrak dengan

perjanjian pada unsur bentuknya.61

2.1.2. Pengertian perjanjian.

Definisi dari perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPer yang menentukan

bahwa “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih

58

Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal.16. 59

Ibid. 60

Subekti I, Op.Cit, hal.1. 61

Dalam penulisan ini, kata persetujuan, perjanjian dan kontrak memiliki arti

yang sama.

Page 6: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

41

mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.” Dari definisi tersebut

beberapa sarjana kurang menyetujui karena mengandung beberapa kelemahan.

Menurut Abdulkadir Muhammad, rumusan Pasal 1313 KUHPer

mengandung kelemahan karena: 62

1. Hanya menyangkut sepihak saja.

Dapat dilihat dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikat” sifatnya sepihak,

sehingga perlu dirumuskan “kedua belah pihak saling mengikatkan diri”,

dengan demikian terlihat adanya konsensus antara pihak-pihak, agar

meliputi perjanjian timbal balik.

2. Kata “perbuatan” termasuk di dalamnya konsensus.

Pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa

kuasa atau tindakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus.

Seharusnya digunakan kata persetujuan

3. Pengertian perjanjian terlalu luas

Luas lingkupnya juga mencangkup mengenai urusan janji kawin yang

termasuk dalam lingkup hukum keluarga, seharusnya yang diatur adalah

hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan.

Perjanjian yang dimaksudkan di dalam Pasal 1313 KUHPer adalah

perjanijan yang berakibat di dalam lapangan harta kekayaan, sehingga

62

Abdulkadir Muhamad, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bandung,

hal.78.

Page 7: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

42

perjanjian di luar lapangan hukum tersebut bukan merupakan lingkup

perjanjian yang dimaksudkan.

4. Tanpa menyebutkan tujuan.

Rumusan Pasal 1313 KUHPer tidak mencantumkan tujuan

dilaksanakannya suatu perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan

diri tidak memiliki kejelasan untuk maksud apa diadakan perjanjian.

Pendapat dari Abdul Kadir Muhamad didukung oleh pendapat R. Setiawan.

Menurutnya bahwa “Pengertian perjanjian tersebut terlalu luas, karena istilah

perbuatan yang dipakai dapat mencakup juga perbuatan melawan hukum dan

perwalian sukarela, padahal yang dimaksud adalah perbuatan melawan hukum”.63

Mariam Darus Badrulzaman64

, tidak memberikan penjelasan mengenai apa

itu perjanjian, namun memberikan kritik pula terhadap definisi perjanjian yang

terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPer adalah tidak lengkap dan terlalu

luas. Tidak lengkap karena hanya mengenai perjanjian sepihak saja, sedangkan

terlalu luas karena mencangkup juga janji kawin yaitu perbuatan di dalam hukum

keluarga yang menimbulkan perjanjian juga.

Menurut pendapat R.M. Suryodiningrat yang dikutip dalam bukunya

Muhammad Syaifuddin, mengemukakan pandangan kritis tentang pengertian

perjanjian yang dianut oleh Pasal 1313 KUHPer diantaranya;

1. Hukum tidak ada sangkut pautnya dengan setiap perikatan dan setiap

sumber perikatan, sebab apabila penafsiran dilakukan secara luas, setiap

janji adalah persetujuan;

63

R.Setiawan, 1979, Pokok –Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung,

hal.49 64

Mariam Darus Badrulzaman II, Op.Cit, hal.18

Page 8: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

43

2. Perkataan dan perbuatan apabila ditafsirkan secara luas, dapat menimbulkan

akibat hukum tanpa dimaksudkan (misal; perbuatan yang menimbulkan

kerugian sebagai akibat adanya perbuatan melanggar hukum);

3. Definsi Pasal 1313 BW (KUH Perdata, Pen-) hanya mengenai persetujuan

sepihak (unilateral), satu pihak sajalah yang berprestasi, sedangkan pihak

lainnya tidak berprestasi (misal: schenking atau hibah). Seharusnya

persetujuan itu berdimensi dua pihak, di mana para pihak saling berprestasi;

4. Pasal 1313 BW (KUH Perdata, Pen-) hanya mengenai persetujuan obligatoir

(melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak), dan tidak berlaku bagi

persetujuan jenis lainnya (misalnya; perjanjian liberatoir/ membebaskan;

perjanjian di lapangan hukum keluarga; perjanjian kebendaan; perjanjian

pembuktian).65

Selain itu Purwahid Patrik menguraikan beberapa kelemahan pengertian

perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPer, yaitu;

1. Definisinya hanya menyangkut perjanjian sepihak saja, yang dapat disimak

dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikatkan” merupakan kata kerja yang

sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua pihak.

Sedangkan maksud perjanjian itu para pihak saling mengikatkan diri,

sehingga tampak kekurangannya yang seharusnya ditambah dengan

rumusan “ saling mengikatkan diri”;

2. Kata perbuatan mencangkup juga tanpa consensus/kesepakatan, termasuk

perbuatan mengurus orang lain (zaakwaarneming) dan perbuatan melanggar

hukum (onrechtmatige daad), yang menunjukkan makna “perbuatan” itu

luas dan menimbulkan akibat hukum;

3. Rumusannya mempunyai ruang lingkup harta kekayaan (vermogensrecht).66

Pandangan berbeda dianut oleh Ricardo Simanjutak67

, bahwa ia tidak setuju

dengan pendapat dari Mariam Darus Badrulzaman, yang mengatakan bahwa

perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPer hanya merumuskan perjanjian

sepihak saja. Alasan yang dikemukakannya adalah jika perjanjian yang diatur

dalam Pasal 1313 KUHPer merupakan perjanjian sepihak, maka akan secara

65

Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal.21. 66

Purwahid Patrik, Asas-Asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung,

(selanjutnya disebut Purwahid Patrik II), hal.45-46. 67

Ricardo Simanjutak, Op.Cit, hal.25.

Page 9: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

44

otomatis memberikan pengertian bahwa perikatan merupakan perjanjian sepihak

pula, karena perikatan berdasarkan Pasal 1233 KUHPer dapat pula berasal dari

perjanjian, sehingga perjanjian yang dimaksud dalam Pasal 1313 KUHPer tidak

hanya mengenai perjanjian sepihak saja akan tetapi meliputi perjanjian dua belah

pihak pula.

Ricardo Simanjutak68

memberikan bantahan terhadap pendapat bahwa

definisi perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHPer terlalu luas dengan pendapat

bahwa definisi yang digambarkan dalam pasal tersebut sudah tepat karena

memang dimaksudkan sebagai suatu definsi yang bepengertian luas. Cakupan luas

dalam Pasal 1313 KUHPer dimaksudkan untuk menggambarkan perjanjian

sebagai suatu perbuatan, bukan perbuatan hukum. Pasal 1313 KUHPer

menggambarkan tindakan dari satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap

satu orang lain atau lebih yang tidak hanya merupakan suatu perbuatan hukum

tetapi dapat pula merupakan perbuatan tanpa konsekuensi hukum.

Pendapat yang senada dengan pendapat Richard Simanjutak dikemukakan

oleh Gunawan Widjaja yang menyatakan bahwa rumusan dalam Pasal 1313

kUHPer menegaskan bahwa perjanjian mengakibatkan seseroang mengikatkan

dirinya kepada orang lain. Ini berarti timbul prestasi dari satu atau lebih orang

(pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi

tersebut yang merupakan perikatan yang harus dipenuhi69

. Rumusan tersebut

68

Ibid. 69

Gunawan Widjaja, 2007, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip

Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, hal.249.

Page 10: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

45

memberikan konsekuensi bahwa dalam satu perjanjian akan selalu ada dua pihak,

dimana satu pihak merupakan pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak

lainnya merupakan phak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor).

Gunawan Widjaja memberikan alasan lain bahwa Pasal 1313 KUHPer tidak

berdiri sendiri tetapi dikembangkan dengan Pasal 1314 KUHPer yang menentukan

bahwa:

Suatu persetujuan diadakan dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan.

Suatu persetujuan cuma-cuma adalah suatu persetujuan, bahwa pihak yang satu

akan memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima

imbalan. Suatu persetujuan memberatkan adalah suatu persetujuan yang

mewajibkan tiap pihak untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau

tidak melakukan sesuatu.

Pasal 1313 KUHPer dikembangkan dengan menyatakan bahwa atas prestasi yang

wajib dilakukan oleh debitor dalam perjanjian tersebut dapat meminta

dilakukannya kontraprestasi dari lawan pihaknya tersebut.70

Dua rumusan perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 dan 1314 KUHPer

menentukan bahwa pada dasarnya perjanjian dapat melahirkan perikatan yang

bersifat sepihak (dimana satu pihak yang wajib berprestasi) dan perikatan yang

bertimbal balik (kedua belah pihak saling berprestasi). Berdasarkan hal tersebut,

dimungkinkan suatu perjanjian melahirkan lebih dari satu perikatan dengan

kewajiban yang saling bertimbal balik yakni debitor pada satu sisi menjadi

kreditor. Kewajiban yang saling bertimbal balik merupakan karakterisik dari

perikatan yang lahir dari perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-

70

Ibid.

Page 11: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

46

undang, hanya ada satu pihak yang menjadi debitor dan pihak lain yang menjadi

kreditor yang berhak atas pelaksanaan prestasi debitor71

.

Para sarjana mencoba menguraikan definisi dari perjanjian walaupun

terdapat kelemahan definisi perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHPer. Subekti

berpendapat bahwa”Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji

kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan

suatu hal”.72

Sudikno Mertokusumo menguraikan bahwa “perjanjian adalah

hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk

menimbulkan akibat hukum”.

2.1.3. Unsur-unsur perjanjian.

Unsur-unsur perjanjian diperlukan untuk mengetahui apakah yang dihadapi

adalah suatu perjanjian atau bukan, memiliki akibat hukum atau tidak. Unsur-

unsur yang terdapat dalam suatu perjanjian diuraikan oleh Abdulkadir Muhammad

sebagai berikut;73

1. Ada pihak-pihak.

Pihak yang dimaksud adalah subyek perjanjian yang paling sedikit terdiri

dari dua orang atau badan hukum dan mempunyai wewenang untuk

melakukan perbuatan hukum berdasarkan undang-undang.

2. Ada persetujuan.

Persetujuan dilakukan antara pihak-pihak yang bersifat tetap dan bukan

suatu perundingan.

71

Ibid,hal.249-250. 72

Subekti I Op.Cit, hal.1. 73

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal.78.

Page 12: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

47

3. Ada tujuan yang hendak dicapai.

Hal ini dimaksudkan bahwa tujuan dari pihak kehendaknya tidak

bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang.

4. Ada prestasi yang akan dilaksanakan.

Hal itu dimaksudkan bahwa prestasi merupakan kewajiban yang harus

dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian.

5. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan.

Hal ini berarti bahwa perjanjian bisa dituangkan secara lisan atau tertulis.

Hal ini sesuai ketentuan undang-undang yang menyebutkan bahwa hanya

dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan

bukti yang kuat.

6. Ada syarat-syarat tertentu

Syarat menurut undang-undang, agar suatu perjanjian atau kontrak menjadi

sah.

Menurut Herlien Budiono, perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1313

KUHPer adalah perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menciptakan, mengisi,

mengubah atau menghapuskan perikatan yang menimbulkan hubungan-hubungan

hukum di antara para pihak, yang membuat perjanjian di bidang harta kekayaan

atas dasar mana satu pihak diwajibkan melaksanakan suatu prestasi, sedangkan

Page 13: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

48

pihak lainnya berhak menuntut pelaksanaan prestasi tersebut, atau demi

kepentingan dan atas beban kedua belah pihak secara timbal balik. 74

Herlien Budiono memberikan pengertian perjanjian dengan menekankan

pada perbuatan hukum yang diuraikan sebagai berikut:

Perbuatan hukum yang menimbulkan, berubahnya, hapusnya hak, atau

menimbulkan suatu hubungan hukum dan dengan cara demikian, kontrak atau

perjanjian menimbulkan akibat hukum yang merupakan tujuan para pihak. Jika

suatu perbuatan hukum adalah kontrak atau perjanjian, orang-orang yang

melakukan tindakan hukum disebut pihak-pihak75

Berdasarkan pendapat tersebut maka unsur–unsur perjanjian menurut Herlien

Budiono terdiri atas;

1. Kata sepakat dari dua pihak;

2. Kata sepakat yang tercapai harus tergantung kepada para pihak;

3. Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum;

4. Akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang lain

atau timbal balik;

5. Dibuat dengan mengindahkan ketentuan peraturan perundang-undangan.76

Herlien Budiono memberikan pula tambahan mengenai bagian-bagian dari

perjanjian yang terdiri dari bagian essentialia, bagian naturalia dan bagian

accidentalia.77

Bagian essentialia adalah bagian dari perjanjian yang harus ada,

apabila bagian tersebut tidak ada, maka perjanjian itu tidak dapat disebut

perjanjian bernama yang dimaksudkan oleh para pihak, melainkan perjanjian lain.

Bagian naturalia adalah bagian perjanjian yang berdasarkan sifatnya dianggap ada

tanpa perlu diperjanjikan terlebih dahulu secara khusus oleh para pihak. Bagian

74

Herlien Budiono, 2009, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan

Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya

disebut Herlien Budiono II), hal.3. 75

Ibid, hal.3. 76

Ibid, hal.5. 77

Ibid, hal.67-72.

Page 14: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

49

aksidentalia adalah bagian perjanjian yang berupa ketentuan yang diperjanjikan

secara khusus oleh para pihak.

2.1.4. Jenis-jenis perjanjian.

Muhammad Syaifuddin membagi bentuk perjanjian berdasarkan beberapa hal

yakni78

;

1. Berdasarkan proses terjadinya/ terbentuknya.

Perjanjian menurut proses terjadinya atau terbentuknya dapat dibedakan

menjadi tiga jenis yakni:

a. Perjanjian Konsensual

Perjanjian yang dianggap sah jika telah terjadi sepakat antara pihak yang

membuatnya. Misalnya, perjanjian jual beli menurut Pasal 1457 KUHPer

terjadi pada saat timbulnya kesepakatan mengenai barang dan harganya.

b. Perjanjian Riil.

Perjanjian yang selain terdapat kata sepakat, juga harus disertai dengan

suatu penyerahan barang. Misalnya, perjanjian penitipan barang menurut

Pasal 1741 KUHPer dan perjanjian pinjam meminjam menurut Pasal

1754 KUHPer.

c. Perjanjian Formil.

Perjanjian yang selain terdapat kata sepakat, tapi juga memiliki bentuk

yang ditetapkan oleh umdang-undang. Misalnya, perjanjian fidusia yang

harus dibuat dengan bentuk akta notaris berdasarkan Pasal 5 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia.

78

Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal 147-156.

Page 15: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

50

2. Berdasarkan sifat dan akibat hukumnya.

Perjanjian berdasarkan sifat dan akibat hukum yang ditimbulkannya terdiri

dari lima jenis yaitu;

a. Perjanjian di bidang hukum keluarga.

Perkawinan yang merupakan perjanjian sui generis, yang didasarkan atas

persetujuan kedua calon mempelai yang mengandung beberapa aspek,

yaitu persetujuan untuk menikah adalah perbuatan hukum, hubungan

hukum yang timbul di antara para pihak, peristiwa hukum yang hampir

seluruhnya diatur dalam undang-undang dan bersifat memaksa, dan

terikatnya para pihak selama dalam ikatan perkawinan.

b. Perjanjian kebendaan.

Perjanjian yang dibuat dengan mengindahkan peraturan perundang-

undangan, timbul karena kesepakatan antara dua belah pihak dan

ditujukan untuk menimbulkan, beralih, berubah, berakhirnya suatu hak

kebendaan, khususnya benda tetap, dan dibuat dalam bentuk yang

ditetapkan oleh undang-undang.

c. Perjanjian obligatoir.

Perjanjian yang timbul karena kesepakatan dari dua belah pihak atau

lebih dengan tujuan timbulnya suatu perikatan untuk kepentingan yang

satu atas beban yang lain atau timbal balik.

d. Perjanjian mengenai pembuktian.

Perjanjian yang timbul karena kesepakatan dari para pihak dengan tujuan

membatasi ketentuan mengenai cara atau alat pembuktian atau

Page 16: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

51

menghindari pengajuan perlawanan pembuktian, sepanjang tidak

bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan

yang baik. Para pihak dapat menyepakati suatu klausula dalam

perjanjian bahwa mereka hanya menggunakan satu alat bukti atau

menyerahkan beban pembuktian pada salah satu pihak, apabila suatu saat

perlu adanya pembuktian.

e. Perjanjian bersifat kepublikan.

Perjanjian yang timbul dari kesepakatan antara para pihak. yang satu atau

kedua belah pihak adalah badan hukum publik yang berwenang membuat

perjanjian di bidang hukum privat dan melaksanakan semua hak dan

kewenangan yang dimilikinya, kecuali dilarang oleh undang-undang.

3. Perjanjian menurut hak dan kewajiban para pihak yang membuatnya.

Perjanjian menurut hak yang kewajiban dari para pihak yang membuatnya

terdiri dari dua jenis yaitu;

a. Perjanjian timbal balik.

Perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak dan kewajiban kepada

kedua pihak yang membuat perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli

Pasal 1457 KUHPer dan perjanjian sewa menyewa Pasal 1548 KUHPer.

Dalam perjanjian jual beli hak dan kewajiban adadi kedua belah pihak.

Pihak penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan berhak

mendapat pembayaran dan pihak pembeli berkewajiban membayar dan

hak menerima barangnya.

Page 17: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

52

b. Perjanjian sepihak.

Perjanjian yang dibuat dengan meletakkan kewajiban pada salah satu

pihak saja. Misalnya perjanjian hibah. Dalam hibah ini kewajiban hanya

ada pada orang yang menghibahkan yaitu memberikan barang yang

dihibahkan sedangkan penerima hibah tidak mempunyai kewajiban

apapun. Penerima hibah hanya berhak menerima barang yang dihibahkan

tanpa berkewajiban apapun kepada orang yang menghibahkan.

4. Perjanjian berdasarkan penamaan dan sifat pengaturan hukumnya.

Perjanjian berdasarkan penamaan dan sifat pengaturan hukumnya terdiri

dari dua jenis yaitu;

a. Perjanjian bernama (benoemde contract atau nominaatcontract).

Perjanjian yang mempunyai nama sendiri yang telah diatur secara khusus

dalam KUHPer Bab V sampai dengan Bab XVIII. Misalnya, perjanjian

jual beli, perjanjian sewa-menyewa, hibah, perjanjian tukar-menukar,

perjanjian persekutuan perdata, perjanjian untuk melakukan pekerjaan,

perjanjian tentang perkumpulan, perjanjian penitipan barang, perjanjian

pinjam pakai, perjanjian pinjam meminjam, perjanjian pemberian kuasa,

perjanjian penanggungan utang, perjanjian bunga tetap, perjanjian

untung-untungan dan perjanjian perdamaian.

b. Perjanjian tidak bernama (innominaat contract).

Perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam KUHPer tetapi timbul

dan berkembang di masyarakat berdasarkan asas kebebasan berkontrak

menurut Pasal 1338 KUHPer. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan

Page 18: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

53

nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang

membuatnya. Misalnya perjanjian pembiayaan konsumen, perjanjian

sewa guna usaha, perjanjian waralaba, perjanjian lisensi dan lain-lain.

Perjanjian tidak bernama berdasarkan aspek pengaturan hukumnya

dibedakan menjadi tiga jenis yaitu;

i. Perjanjian tidak bernama yang diatur secara khusus dan dituangkan

dalam bentuk undang-undang dan diatur dalam pasal-pasal tersendiri.

Misalnya perjanjian production sharing yang diatur dalam Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi.

ii. Perjanjian tidak bernama yang diatur dalam peraturan pemerintah,

misalnya perjanjian waralaba yang diatur dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba.

iii. Perjanjian tidak bernama yang belum diatur atau belum ada undang-

undang yang mengaturnya misalnya kontrak rahim (surrogate mother)

5. Perjanjian menurut keuntungan satu atau lebih pihak dan adanya prestasi

pada satu atau lebih pihak lainnya.

Perjanjian jenis ini didasarkan pada adanya prestasi atau timbulnya keuntungan,

perjanjian ini dibedakan menjadi dua yaitu;

a. Perjanjian dengan cuma-cuma.

Perjanjian berdasarkan Pasal 1314 kalimat pertama KUHPer yang

menyatakan “suatu persetujuan adalah mana pihak yang satu

memberikan keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu

manfaat bagi dirinya”. Contoh perjanjian jenis ini adalah perjanjian

Page 19: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

54

pinjam pakai, hibah, perjanjian pinjam meminjam tanpa bunga, dan

perjanjian penitipan barang tanpa biaya.

b. Perjanjian atas beban.

Perjanjian atas beban berdasarkan Pasal 1314 kalimat kedua KUHPer

yaitu “Suatu persetujuan yang mewajibkan masing-masing pihak

memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.”

Contoh perjanjian jenis ini adalah perjanjian jual-beli, perjanjian sewa

menyewa, perjanjian pinjam meminjam dengan bunga.

6. Perjanjian menurut kemandirian dan fungsinya.

Perjanjian menurut kemandirian dan fungsinya berarti jenis-jenis perjanjian

yang eksistensinya bersifat mandiri atau tidak mandiri dan fungsinya pokok atau

tambahan/bantuan. Perjanjian menurut kemandirian dan fungsinya dibedakan

menjadi dua jenis yaitu;

a. Perjanjian pokok.

Perjanjian yang eksistensi bersifat mandiri atau mempunyai eksistensi

mandiri bagi perjanjian itu sendiri. Contohnya, perjanjian kredit yang

sifatnya mandiri, yang eksistensi tidak tergantung pada perjanjian

lainnya. Perjanjian kredit sebagian dikuasai atau mirip dengan perjanjian

pinjam meminjam uang yang diatur dalam Pasal 1754 KUHPer dan

pasal-pasal lainnya yang terkait dan relevan dalam KUHPer, sebagian

lainnya tunduk pada undang-undang yang mengatur perbankan.

Page 20: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

55

b. Perjanjian bantuan/tambahan.

Perjanjian yang eksistensinya tidak mandiri atau perjanjian yang tidak

mempunyai kemandirian untuk eksistensinya perjanjian itu sendiri,

melainkan tergantung pada perjanjian pokoknya, yang fungsinya

menyiapkan para pihak untuk mengikatkan diri pada perjanjian pokok

tersebut. Fungsi untuk menegaskan, menguatkan, mengatur, mengubah

atau menyelesaikan satu perbuatan hukum juga merupakan fungsi dari

perjanjian jenis ini.

Perjanjian bantuan yang berfungsi menyiapkan disebut juga perjanjian

pendahuluan, misalnya perjanjian pengikatan jual beli yang berfungsi

membuat dan mengikatkan diri para pihak pada perjanjian pokoknya,

yaitu perjanjian jual beli.

Perjanjian jaminan, baik jaminan perorangan maupun kebendaan adalah

contoh dari perjanjian bantuan/tambahan yang fungsinya memperkuat

perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit. Eksistensi perjanjian jaminan

sangat tergantung pada perjanjian kredit. Jika perjanjian kredit tidak ada,

maka perjanjian jaminan juga tidak ada. Keberadaan perjanjian kredit

sebagai perjanjian pokok tidak tergantung pada keberadaan perjanjian

jaminan

7. Perjanjian menurut ada atau tidaknya kepastian pelaksanaan prestasinya.

Perjanjian menurut ada atau tidaknya kepastian pelaksanaan prestasinya

didasarkan pada syarat yang dapat ditentukan atau tidak ditentukan untuk

berlakunya perjanjian. Perjanjian jenis ini dibedakan menjadi dua jenis yaitu:

Page 21: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

56

a. Perjanjian dengan imbalan/penggantian

Perjanjian yang prestasinya tidak ada hubungan dengan peristiwa

kebetulan atau kejadian yang tidak terduga. Misalnya perjanjian jual beli

yang prestasinya sudah pasti, yaitu penyerahan benda oleh penjual dan

pembayaran harga jual belinya oleh pembeli.

b. Perjanjian untung-untungan.

Perjanjian yang prestasinya digantungkan pada peristiwa yang belum

tentu terjadi. Diatur dalam Pasal 1774 KUHPer yang menyatakan bahwa

Persejuan untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya

mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun sebagian

pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu misalnya

perjanjian pertanggungan.

Perbedaan antara perjanjian untung-untungan dengan perjanjian dengan

perikatan bersyarat menangguhkan adalah pada pengaitan prestasi pada hal yang

belum tentu terjadi atau pada hal yang sekalipun belum tentu terjadi tetap berada

dalam kontrol satu pihak. Dalam perjanjian untung-untungan, perikatan yang

terjadi adalah murni dan tidak bersyarat (menangguhkan), hanya kewajiban untuk

melakukan prestasi bergantung pada kejadian yang belum tentu.79

Abdulkadir Muhammad,80

mengelompokkan perjanjian menjadi lima jenis

yang terdiri dari:

79

Herlien Budiono II, Op.Cit, hal.38. 80

Abdulkadir Muhammad,Op.Cit, Alumni, Bandung, hal.86.

Page 22: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

57

1. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak.

Perjanjian timbal balik (bilateral contract) adalah perjanjian yang

memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal

balik adalah perjanjian yang paling umum terjadi dalam kehidupan

bermasyarakat, misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, tukar

menukar. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban

kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah,

hadiah. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi

obyek perikatan dan pihak yang lainnya berhak menerima benda yang

diberikan itu. Kriteria perjanjian jenis ini adalah kewajiban berprestasi

kedua belah pihak atau salah satu pihak. Perbedaan perjanjian jenis ini

dirasakan penting pada saat pembatalan perjanjian berdasarkan Pasal 1266

KUHPer karena hanya perjanjian timbal balik yang dapat dimintakan

pembatalan ke depan hakim.

2. Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani.

Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan

pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah.

Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dalam mana

terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari

pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya

menurut hukum. Kontra prestasinya dapat berupa kewajiban pihak lain,

mtetapi juga pemenuhan suatu syarat potestatif (imbalan). Contohnya adalah

A menyanggupi memberikan kepada B sejumlah uang, jika B menyerahkan

Page 23: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

58

suatu barang tertentu kepada A. Pembedaan ini mempunyai arti penting

dalam soal warisan berdasarkan undang-undang dan mengenai perbuatan-

perbuatan yang merugikan para kreditur (perhatikan Pasal 1341

KUHPerdata).

3. Perjanjian bernama dan tidak bernama.

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang

dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus karena jumlahnya

terbatas, misalnya jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, pertanggungan.

Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama

tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.

4. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir.

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik

dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan

perjanjian obligatoir. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang

menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadi perjanjian, timbullah hak dan

kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang,

penjual berhak atas pembayaran harga. Pembeli berkewajiban membayar

harga, penjual berkewajiban menyerahkan barang. Pentingnya pembedaan

ini adalah untuk mengetahui apakah dalam perjanjian itu ada penyerahan

(levering) sebagai realisasi perjanjian dan penyerahan itu sah menurut

hukum atau tidak.

Page 24: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

59

5. Perjanjian konsensual dan perjanjian riil.

Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada persetujuan

kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian disamping

ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas

barangnya, misalnya jual beli barang bergerak, perjanjian penitipan pinjam

pakai (Pasal 1694, 1740 dan 1754 KUHPer).

2.1.5. Syarat sahnya perjanjian.

Perjanjian agar dapat dikatakan sah dan memiliki akibat hukum haruslah

memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian agar dapat

dikatakan sah, harus dipenuhi 4 (empat) syarat yang diatur dalam Pasal 1320

KUHPer yakni;

1. Kata sepakat

Kata sepakat harus bebas dari unsur paksaan, khilaf, penipuan (Pasal 1321

KUHPer). Suatu perjanjian agar dapat dilahirkan maka pihak-pihak harus

bersepakat mengenai hal-hal pokok dari perjanjian. Dalam perjanjian sewa

menyewa maka harus disepakati terlebih dahulu harga sewa dan jangka waktu.

R.Wirjono Projodikoro memberikan pendapatnya mengenai kesepakatan

yakni;

Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua

subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-

sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang

dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain.

Mereka menghendaki sesuatu yang secara timbal balik; si penjual mengingini

sejumlah uang, sedang si pembeli mengingini sesuatu barang dari penjual81

.

81

R.Wirjono Projodikoro, 1981, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur

Bandung, Jakarta, hal.9.

Page 25: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

60

Sepakat mengandung arti persesuaian kehendak di antara pihak-pihak yang

mengikatkan diri ke dalam perjanjian. Undang-undang menghendaki ada

persesuaian kehendak secara timbal balik, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan

penipuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1321 KUHPer.

Sepakat atinya pernyataan kehendak beberapa orang. Menurut Herlien

Budiono, sepakat artinya “perjanjian hanya dapat timbul dengan kerjasama dari

dua orang atau lebih atau perjanian “dibangun” oleh perbuatan dari beberapa

orang sehingga perjanjian digolongkan sebagai perbuatan hukum berganda.”82

Perkataan dibangun dengan dua orang atau lebih adalah bermakna dua pihak atau

lebih karena bisa saja satu orang mewakili kepentingan lebih dari satu orang.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh

undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Orang-orang yang dinyatakan tidak

cakap diantaranya orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah

pengampuan (Pasal 1330 KUHPer). Orang yang tidak cakap adalah orang yang

tidak mampu membuat perjanjian dan menanggung akibat hukum yang timbul

dari perjanjian tersebut.

3. Suatu hal tertentu.

Suatu hal tertentu memiliki arti sebagai obyek perjanjian/pokok perikatan/

prestasi atau kadang juga diartikan sebagai pokok prestasi. Suatu hal tertentu

adalah apa yang menjadi kewajiban dari debitor dan apa yang menjadi hak dari

kreditor. Menurut Asser-Rutten sebagaimana dikutip oleh Herlien Budiono bahwa

82

Herlien Budiono II, Op.Cit, hal 5.

Page 26: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

61

“suatu hal tertentu sebagai obyek perjanjian dapat diartikan sebagai keseluruhan

hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian.”83

Tuntutan dari undang-undang bahwa obyek perjanjian haruslah tertentu.

Tujuan dari perjanjian adalah untuk timbul, berubah atau berakhirnya suatu

perikatan. Prestasi yang dimaksud bisa berupa tindakan yang mewajibkan kepada

para pihak untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.

Kewajiban tersebut harus dapat ditentukan. Ketentuan Pasal 1332 KUHPer

menyebutkan “hanya barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi

pokok persetujuan.” Arti dari ketentuan ini bahwa barang yang dapat dijadikan

sebagai obyek perjanjian adalah dapat dinilai dengan uang atau memiliki nilai

ekonomis, sehingga jika terjadi perselisihan dapat dengan mudah ditentukan

nilainya.

Berdasarkan tradisi84

, kriteria penilaian suatu obyek perjanjian dapat dipakai

beberapa indikator diantaranya obyek itu dapat ditentukan atau dapat

diperdagangkan (diperbolehkan untuk diperdagangkan), mungkin dilakukan dan

dapat dinilai dengan uang. Obyek perjanjian bisa berupa barang, tetapi bisa pula

bukan barang, seperti pada perjanjian kerja. Hanya barang-barang yang dapat

diperdagangkan saja yang menjadi pokok perjanjian (Pasal 1332 KUHPer).

Barang-barang yang dalam prakteknya bisa diperjualbelikan dan dapat dinilai

secara ekonomis.

83

Ibid, hal.107. 84

Ibid.

Page 27: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

62

4. Suatu sebab yang halal.

Syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian adalah suatu sebab yang halal

atau kausa yang halal. Kententuan Pasal 1335 KUHPer menyatakan bahwa “Suatu

persetujuan tanpa sebab atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau

terlarang, tidak mempunyai kekuatan”. Arti dari pasal ini adalah perjanjian itu

menjadi, batal demi hukum.

Pasal 1337 KUHPer juga memberikan batas-batas kausa yang halal, dengan

menentukan bahwa”Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh

undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan

ketertiban umum”. Pasal ini memberikan dasar bahwa selain aturan tertulis juga

norma-norma tidak tertulis diakui dalam memberikan dasar bahwa suatu sebab itu

terlarang atau tidak.

Kata “ketertiban umum” mengacu pada asas-asas pokok fundamental dari

tatanan masyarakat. Perbedaan antara nilai kesusilaan dengan ketertiban umum,

dilihat dari titik tolak penilaiannya. Titik tolak nilai kesusilaan adalah pada

hubungan intern perorangan, sedangkan pada nilai ketertiban umum yang menjadi

titik tolak penilaiannya adalah elemen kekuasaan.

Syarat pertama dan kedua bersifat subyektif, yang mana jika syarat itu tidak

dipenuhi maka perjanjian yang dibuat dapat dimintakan pembatalan oleh para

pihaknya, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif, yang jika

syarat itu tidak dipenuhi, maka perjanjian akan batal demi hukum, atau perjanjian

dianggap tidak pernah ada.

Page 28: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

63

2.1.6. Asas-asas perjanjian.

Sebelum membahas mengenai asas-asas perjanjian, maka terlebih dahulu

dikemukakan pengertian tentang asas berdasarkan pendapat dari beberapa sarjana.

Beberapa sarjana mencoba menguraikan arti dan pengertian dari asas yang

dimaksud. Sudikno berpendapat bahwa85

Asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, asas hukum merupakan pikiran

dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit

yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam

peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum

positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang

umum dalam peraturan konkrit tersebut.

Asas hukum berfungsi sebagai pembangun sistem sebagaimana diuraikan

oleh Niewenhuis:

Asas hukum berfungsi sebagai pembangun sistem karena asas-asas itu bukan

hanya mempengaruhi hukum positif, tetapi juga di dalam banyak keadaan

menciptakan suatu sistem. Jadi suatu sistem tidak akan ada tanpa adanya asas-

asas. Lebih lanjut asas-asas itu sekaligus membentuk sistem “check and

balance”, artinya asas-asas itu akan saling tarik menarik menuju proses

keseimbangan.” 86

Asas hukum dapat memberikan arah sesuai pendapat dari Bachsan Mustafa

dikutip oleh Agus Yudha Hernoko bahwa “Asas hukum berfungsi sebagai pondasi

yang memberikan arah, tujuan, serta penilaian fundamental, mengandung nilai-

nilai dan tuntutan etis.” 87

Di dalam KUHPer dikenal beberapa asas penting, diantaranya dapat

disebutkan sebagai berikut;

a. asas konsensualisme;

85

Sudikno, 2010, Penemuan Hukum, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta,,

hal.7. 86

Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hal.25. 87

Ibid, hal.23.

Page 29: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

64

b. asas kebebasan berkontrak;

c. asas pacta sunt servada (asas kepastian hukum);

d. asas itikad baik.

Guna lebih memperjelas maksud dan pengertian dari asas-asas tersebut maka

dapat dijelaskan satu persatu yakni;

Ad.a.Asas konsensualisme.

Asas konsensualisme berasal dari kata latin ”consensus” yang artinya

sepakat. Para pihak sepakat atau setuju mengenai prestasi yang diperjanjikan.

Apabila dikaitkan dengan kalimat pertama Pasal 1338 KUHPer yang menyatakan

bahwa ”Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Kata “sesuai dengan

undang-undang” berarti bahwa pembuatan perjanjian yang sesuai dengan undang-

undang/hukum adalah mengikat. Sesuai dengan undang-undang berarti memenuhi

keempat syarat yang terkandung di dalam Pasal 1320 KUHPer.

Di dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan

dirinya dan menimbulkan kepercayaan diantara para pihak terhadap pemenuhan

perjanjian. Setiap perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya jika sudah

tercapai kata sepakat mengenai prestasi atau hal pokok dari suatu perjanjian.88

Menurut Munir Fuady, bahwa syarat tertulis tidak diwajibkan untuk suatu

perjanjian,berkaitan dengan asas kesepakatan, karena jika sudah sepakat dan

syarat syarat sahnya perjanjian terpenuhi (Pasal 1320 KUHPer), pada prinsipnya

perjanjian sudah mengikat dan mempunyai akibat hukum. Perkecualian terhadap

88

Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal.77.

Page 30: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

65

beberapa jenis perjanjian disyaratkan harus dibuat dalam bentuk tertulis atau

bahkan harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat tertentu sehingga disebut dengan

kontrak formal. Hal ini adalah merupakan perkecualian dari prinsip umum tentang

asas konsensual tersebut.89

Asas konsensual merupakan inti dari suatu perjanjian,

namun demikian pada situasi tertentu terdapat perjanjian yang tidak

mencerminkan kesepakatan yang sesungguhnya disebabkan karena adanya cacat

kehendak karena kesesatan (dwaling), penipuan (bedrog) atau paksaan (dwang)

yang mempengaruhi timbulnya perjanjian.

Menurut Muhammad Syaifuddin bahwa asas konsensualisme tidak hanya

terdapat pada periode pra perjanjian, namun juga terdapat pada pelaksanaan dan

pemutusan perjanjian. Hal ini dapat dilihat dari apa yang terkandung dalam

kalimat kedua Pasal 1338 KUHPer yang menyatakan bahwa “Persetujuan itu

tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau

karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang.undang.”

Berdasarkan bunyi kalimat kedua Pasal 1338 KUHPer mengandung sifat

kekuatan memaksa. Sifat kekuatan memaksa artinya jika salah satu pihak ingin

menarik kembali (memutuskan) perjanjian, maka harus memperoleh persetujuan

dari pihak lainnya sebagai wujud adanya kesepakatan dari para pihak dalam

pemutusan perjanjian tersebut. Jika para pihak tidak mencapai kesepakatan,

sehingga menimbulkan sengketa dalam arti berbeda pendapat atau penafsiran

tentang hukum dan faktanya, maka sengketanya akan diselesaikan oleh

pengadilan atau arbitrse jika diperjanjikan terlebih dahulu. Dengan demikan asas

89

Munir Fuady II, Op.Cit, hal.30-31.

Page 31: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

66

konsensualisme ini tidak harus ada pada saat pembuatan perjanjian (vide Pasal

1320 KUHPer), tetapi juga harus ada pada saat pelaksanaan perjanjian, bahkan

harus pula ada pada saat pemutusan perjanjian.90

Ad.b..Asas kebebasan berkontrak.

Menurut Sutan Remi Sjahdeini, asas kebebasan berkontrak menurut hukum

perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup;91

1) Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian

2) Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat

perjanjian.

3) Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang

akan dibuatnya.

4) Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.

5) Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.

6) Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang

yang bersifat opsional (aanvullend optional).

Asas kebebasan berkontrak, tidak berdiri sendiri, berada dalam satu sistem

utuh dan terkait dengan pasal lainnya di dalam KUHPer diantaranya:92

1) Pasal 1320 KUHPer mengenai syarat sahnya perjanjian.

2) Pasal 1335 KUHPer yang melarang dibuatnya kontrak tanpa kausa atau

dibuat berdasarkan kausa palsu/terlarang.

3) Pasal 1337 KUHPer suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh

90

Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal.81. 91

Ibid, hal.110-111. 92

Ibid, hal.117-118.

Page 32: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

67

undandg-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau

ketertiban umum.

4) Kalimat ketiga Pasal 1338 KUHPer, perjanjian dilaksanakan dengan

itikad baik.

5) Pasal 1339 KUHPer, terikatnya perjanjian pada sifat, kepatutan, kebiasan

dan undang-undang.

6) Pasal 1347 KUHPer mengenai hal-hal yang menurut kebiasaan

selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan dalam kontrak.

Ad.c.Asas pacta sunt servada (kekuatan mengikat perjanjian).

Menurut Herlien Budiono93

, asas ini melandasi pernyataan bahwa suatu

perjanjian akan mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan karena itu para pihak

terikat untuk melaksanakan kesepakatan kontraktual. Suatu kesepakatan harus

dipenuhi dianggap sudah terberi dan tidak dipertanyakan kembali. Keterikatan

suatu perjanjian terkandung di dalam janji yang dilakukan oleh para pihak sendiri.

Gunawan Widjaja memberikan pendapatnya berkaitan dengan pelaksanaan

dari asas pacta sunt servada yang diuraikan sebagai berikut:

Pemaksaan berlakunya dan pelaksanaan dari perjanjian berkaitan dengan asas

ini hanya dapat dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian

terhadap pihak pihak lainnya dalam perjanjian, artinya setiap pihak, sebagai

kreditor yang tidak memperoleh pelaksanaan kewajiban oleh debitor, dapat

atau berhak memaksakan pelaksanaannya dengan meminta bantuan pada

pejabat negara yang berwenang yang akan memutuskan dan menentukan

sampai seberapa jauh suatu prestasi yang telah gagal, tidak sepenuhnya atau

tidak sama sekali dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sesuai dengan yang

diperjanjikan masih dapat dilaksanakan, semuanya dengan jaminan harta

kekayaan debitor sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUHPer.94

93

Herlien Budiono II, Op.Cit, hal.30-31. 94

Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal.281-282.

Page 33: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

68

Niewenhuis, menyatakan bahwa kekuatan mengikat dari perjanjian yang

muncul seiring dengan asas kebebasan berkontrak yang memberikan kebebasan

dan kemandirian kepada para pihak, pada situasi tertentu daya berlakunya dibatasi

oleh dua hal yakni itikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPer) dan adanya

overmacht atau force majeure.95

Hukum perjanjian menganut sistem terbuka dalam buku III KUHPer

berdasarkan Pasal 1338 kalimat pertama menentukan “Semua persetujuan yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya.” Pasal 1339 KUHPer memperluas kekuatan mengikat ini dengan

menentukan “Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan

di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan

dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.”

Istilah “pacta sunt servada” adalah merupakan suatu perjanjian yang telah

dibuat secara sah oleh para pihak, mengikat para pihak secara penuh sesuai

dengan isi perjanjian. Mengikat secara penuh artinya kekuatannya sama dengan

undang-undang, sehingga apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban

yang telah disepakati dan dituangkan dalam perjanjian, maka oleh hukum

disediakan sarana ganti rugi atau dapat dipaksakan berlakunya.

Ad.d.Asas itikad baik.

Asas itikad baik tertuang dalam kalimat ketiga Pasal 1338 KUHPer yang

menyatakan bahwa ”Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Artinya

bahwa perjanjian harus dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. Itikad baik

95

Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hal.129.

Page 34: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

69

meliputi segala tahapan hubungan perjanjian, baik dari fase pra perjanjian, fase

perjanjian, dan fase pasca perjanjian.

Dalam Simposium Hukum Perdata Nasional yang diselenggaran oleh Badan

Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), itikad baik diartikan sebagai:

1) Kejujuran pada waktu membuat perjanjian;

2) Pada tahap pembuatan ditekankan, apabila perjanjian dibuat dihadapan

pejabat yang berwenang, para pihak dianggap bertikad baik.

3) Sebagai kepatutuan dalam tahap pelaksanaan.96

Dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh BPHN,

Departemen Kehakiman RI pada tanggal 17 – 19 Desember 1985 telah berhasil

dirumuskannya delapan asas hukum perikatan nasional antara lain :97

a. Asas kepercayaan.

Mengandung arti bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian

akan memenuhi setiap prestasi yang akan ada dikemudian harinya.

b. Asas persamaan hukum.

Yang dimaksud dengan asas ini adalah subjek hukum yang mengadakan

perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam

hukum, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.

c. Asas keseimbangan.

Asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan

perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut pelunasan

96

Ibid, hal.141. 97

Salim, 2011, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar

Grafika, Jakarta, hal.13.

Page 35: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

70

prestasi melalui kekayaan debitur, dan berkewajiban untuk melaksanakan

perjanjian itu dengan itikad baik. Asas keseimbangan menekankan pada

persamaan/ kesetaraan kedudukan para pihak dalam pembuatan perjanjian

terutama dalam pembuatan perjanjian dimana salah satu pihak berada dalam

kedudukan yang lemah dibandingkan dengan pihak lainnya.

d. Asas kepastian hukum.

Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian

ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-

undang bagi yang membuatnya.

e. Asas moralitas.

Asas moralitas ini terikat dalam perikatan yang wajar, pada perbuatan

sukarela seseorang tidak dapat menuntut hak untuk menggugat prestasi dari

pihak debitur, untuk melakukan perbuatan sukarela (moral), yang

berdasarkan kesusilaan (moral).

f. Asas kepatutan.

Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPer. Asas ini berkaitan

dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan

berdasarkan sifat perjanjiannya.

g. Asas kebiasaan.

Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian, hanya mengikat untuk

secara tegas diatur, menurut kebiasaan lazim diikuti.

Page 36: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

71

h. Asas perlindungan.

Asas ini menekankan bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi

oleh hukum. Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak

dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan

hukum sehari-hari. Asas perlindungan menekankan pada perlindungan para

pihak dalam pembuatan perjanjian melalui kewenangan dari Pengadilan

sebagai alat untuk memaksakan berlakunya perjanjian.

2.2. Tinjauan Umum Tentang Perikatan

2.2.1. Pengertian perikatan.

Perlunya dibahas mengenai perikatan adalah karena perikatan merupakan hal

yang timbul akibat adanya perjanjian. Perikatan yang membuat orang terikat

untuk melaksanakan suatu perjanjian. Istilah perikatan dengan perjanjian memiliki

pengertian yang tidak selalu sama dengan perjanjian. Di Indonesia perjanjian

diatur dalam Buku III KUHPer, di samping mengatur mengenai perikatan yang

timbul dari perjanjian, juga mengatur perikatan yang timbul dari undang-undang.

KUHPerdata tidak memberikan definisi yang tegas dari perikatan, namun Pasal

1313 KUHPer memberikan definsi dari perjanjian sebagai berikut “Suatu

perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Definisi dari perikatan tidak secara tegas diatur dalam KUHPer, akan tetapi

dalam Pasal 1233 KUHPer ditegaskan bahwa “Perikatan selain dapat dilahirkan

dari undang-undang, dapat juga dilahirkan dari perjanjian”. Berdasarkan Pasal

Page 37: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

72

1233 KUHPer, maka terlihat bahwa perjanjian dapat meliputi pengertian dari

perikatan, karena perikatan lahir dari perjanjian itu sendiri.

Subekti membedakan pengertian dari perikatan dengan perjanjian, yaitu

“Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua

pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak

yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”98

,

sedangkan perjanjian didefinisikan sebagai “Suatu peristiwa di mana seseorang

berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan suatu hal.”99

Berdasarkan kedua definisi tersebut, perbedaan antara

perikatan dan perjanjian adalah pada perikatan masing-masing pihak memiliki hak

hukum untuk menuntut pelaksanaan prestasi dari pihak lainnya, sedangkan pada

perjanjian tidak ditegaskan. Yang ditekankan dalam perjanjian adalah timbulnya

suatu prestasi.

J.Satrio, menyatakan pendapatnya bahwa “Perikatan adalah hubungan

hukum dalam lapangan hukum kekayaan antara dua pihak, di satu pihak ada hak

dan di lain pihak ada kewajiban. Adapun dalam hal tidak terpenuhinya suatu

prestasi perikatan dapat dilakukan dengan ganti rugi dalam sejumlah uang tertentu

yang pemenuhannya dapat dituntut di depan hakim.”100

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, menyebut perikatan dengan kata

“perutangan” dan memberikan definisi dari perutangan sebagai “hubungan hukum

98

Subekti I, Op.Cit, hal.1. 99

Ibid. 100

J.Satrio, 1995, Hukum Perikatan Perikatan yang Lahir dari Perjanjian

Buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut J.Satrio IV), hal.5.

Page 38: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

73

yang atas dasar itu seseorang dapat mengharapkan suatu prestasi dari seseroang

yang lain, jika perlu dengan perantaraan hakim.”101

Beliau menambahkan bahwa

perutangan-perutangan yang diatur dalam buku ketiga KUHPer adalah tertuju

pada suatu prestasi yang dapat dipaksakan melalui pengadilan, selama tidak diatur

secara khusus di tempat lain, baik di dalam KUHPer maupun di undang-undang

yang lain.102

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan menyebutkan bahwa ciri perbedaan antara

hak atas suatu benda dan hak yang timbul dari perutangan ialah bahwa hak atas

benda itu lebih bersifat tetap, sedangkan tujuan dari perutangan adalah pemenuhan

prestasi, yang akan menyebabkan hapusnya perutangan. Perbedaan kedua adalah

jika jumlah hal-hal kebendaan terbatas, maka jumlah perutangan-perutangan

terutama perutangan yang timbul dari perjanjian adalah tak terbatas.103

2.2.2. Unsur-unsur perikatan.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan menguraikan hal-hal pokok dari perikatan

adalah sebagai berikut;

1. Dalam hubungan hukum yang diwujudkan terdapat sekurang-kurangnya 2

(dua) orang. Dua orang diantara kreditur (yang berpiutang) dan debitur

(yang berutang), tetapi dapat juga ada lebih dari seorang kreditur dan atau

debitur. Debitur harus selalu dapat diketahui, berlainan dengan kreditur,ia

101

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Perdata Hukum

Perutangan Bagian A, Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gajah

Mada, Yogyakarta, hal.1. 102

Ibid, hal 2. 103

Ibid, hal.3.

Page 39: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

74

tidak hanya secara sepihak (tanpa turut sertanya debitur) dapat diganti

(dengan jalan cessie piutang);

2. Debitur wajib untuk suatu prestasi, yang dapat berupa memberi, berbuat,

atau tidak berbuat;

3. Prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan;

4. Prestasi harus mungkin dan dapat dilaksanakan;

5. Prestasi dapat berupa perbuatan satu kali, contohnya levering atau serentetan

perbuatan-perbuatan sehingga sifatnya terus menerus misalnya dalam

perjanjian sewa atau perjanjian kerja. Prestasi juga dapat berupa tindakan

yang pasif tidak berbuat;

6. Perikatan dapat tidak berdiri sendiri, melainkan bersama-sama dengan

perikatan lain yang sifatnya berlainan secara timbal balik merupakan suatu

hubungan hukum yang dipandang sebagai suatu keseluruhan. Contoh dalam

perjanjian jual beli timbul berbagai perikatan, diantaranya penjual wajib me-

lever (Pasal 1474 KUHPer), pembeli wajib untuk membayar (Pasal 1513

KUHPer), kedua belah pihak masing-masing sebagai kreditur dan debitur;

7. Dalam rangka pemenuhan perikatan si debitur bertanggung-gugat dengan

seluruh harta kekayaannya (Pasal 1131 dan 1132 KUHPer).104

Mariam Darus Badrulzaman memberikan definisi “Perikatan adalah

hubungan yang terjadi di antara dua orang atau lebih, yang terletak dalam harta

kekayaan, dengan pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib

104

Ibid, hal.3-5.

Page 40: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

75

memenuhi prestasi itu” 105

. Dari rumusan tersebut tampak bahwa unsur-unsur

perikatan ada 4 (empat) yakni;

1. Hubungan hukum;

2. Dalamapangan harta kekayaan;

3. Adanya pihak-pihak (hubungan hukum antara kreditur dan debitur);

4. Prestasi sebagai isi perikatan.

Untuk lebih jelasnya, maka unsur-unsur itu dapat diuraikan satu persatu

sebagai berikut;

Ad 1. Hubungan hukum

Hubungan hukum yang dimaksud berlainan pada hak kebendaan, namun

merupakan hubungan antara dua pihak, antara orang dengan orang mengenai

benda. Pada perikatan jika debitur tidak memenuhi kewajibannya secara sukarela

maka kreditur dapat meminta bantuan hukum untuk pelaksanaanya.

Khusus mengenai hubungan hukum perlu ditambahkan penjelasan dari

Gunawan Widjaja menyatakan bahwa hubungan hukum menunjuk pada dua hal

yakni pertama menunjuk pada keadaan yang wajib harus dipenuhi oleh pihak yang

berkewajiban, kedua berhubungan dengan pemenuhan kewajiban tersebut yang

dijamin dengan harta kekayaan pihak yang berkewajiban tersebut.106

Berdasarkan

pemikiran ini bahwa setiap hubungan hukum yang tidak membawa pengaruh

terhadap pemenuhan kewajiban yang bersumber dari harta kekayaan pihak yang

105

Mariam Darus Badrulzaman I, Op.Cit, hal.3. 106

Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal.313.

Page 41: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

76

berkewajiban tidak masuk dalam pengertian dan ruang lingkup batasan dari

perikatan.

Ad.2. Dalam lapangan harta kekayaan.

Menurut J.Satrio, Perikatan yang dinilai dengan nilai uang atau paling tidak

dapat dijabarkan dalam sejumlah uang atau nilai ekonomis tertentu jika debitur

wanprestasi maka kreditur harus dapat mengemukakan adanya kerugian financial,

agar ia dapat menuntut debitur berdasarkan buku III KUHPer.107

Pengganti dari

prestasi yang terhutang adalah ganti rugi, yang pada umumnya diwujudkan dalam

sejumlah uang tertentu. Jika prestasinya tidak dapat diukur dengan uang, maka

prestasi itu dianggap bukan berada dalam lapangan hukum perikatan, karena tidak

berada dalam lapangan harta kekayaan dan tidak dapat dituntut ganti rugi.

Ad 3. Adanya pihak-pihak (hubungan antara kreditur dan debitur)

Perikatan sebagai hubungan hukum mempunyai dua segi, yaitu segi aktiva

dan segi passiva. Segi aktiva di dalamnya ada hak-haknya yang berupa tagihan

yang kalau dihubungkan dengan subyeknya ada pada kreditur. Segi passiva yang

di dalamnya ada kewajiban berupa hutang dihubungkan dengan subyeknya ada

pada debitur.108

Pada bagian segi passiva, terdapat pembedaan antara schuld dan haftung109

.

Schuld adalah kewajiban berprestasinya, yang dipersoalkan adalah siapa yang

berkewajiban untuk menjalankan prestasi, tanpa mempersoalkan apakah

pemenuhan kewajiban dapat dituntut oleh pihak terhadap siapa kewajiban wajib

107

J.Satrio I, Op.Cit, hal.15. 108

Ibid, hal.20. 109

Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal.314.

Page 42: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

77

dipenuhi (kreditur). Haftung berkaitan dengan pertanggungjawaban pemenuhan

kewajiban tanpa memperhatikan siapa pihak yang berkewajiban untuk

memenuhinya.

Kedua hal ini (schuld dan haftung) tampak pada debitur dalam pemenuhan

prestasinya sebagai pihak yang berkewajiban untuk memenuhi perikatan.

Misalnya dalam perjanjian jual beli, pembeli yang berkewajiban untuk

menyerahkan uang sebagai harga pembayaran barang yang dibeli, dapa

dimintakan pertanggungjawabannya oleh penjual untuk memenuhi kewajibannya.

Ad 4. Prestasi sebagai isi perikatan.

Prestasi harus tertentu atau paling tidak dapat ditentukan ditujukan agar

dapat menilai apakah debitur telah memenuhi kewajibannya atau tidak. Prestasi

bisa berupa kewajiban untuk menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak

melakukan sesuatu.

2.2.3. Jenis-jenis perikatan.

Undang-undang dalam buku III Bab I KUHPer, membedakan jenis perikatan

menjadi 6 (enam), yakni;110

1. Perikatan untuk memberi sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat

sesuatu;

2. Perikatan bersyarat;

3. Perikatan dengan ketetapan waktu;

4. Perikatan mana suka;

5. Perikatan tanggung menanggung

110

Mariam Darus Badrulzaman I, Op.Cit, hal.7.

Page 43: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

78

6. Perikatan dengan ancaman hukuman

R.Setiawan mengemukakan pembagian perikatan yang lebih terperinci

dengan membagi perikatan berdasarkan dari: 111

1. Isi daripada prestasinya.

Berdasarkan isi daripada prestasinya maka perikatan dapat dibedakan

menjadi 6 (enam) yakni;

a. Perikatan positif dan negatif.

Perikatan positif adalah perikatan yang perstasinya berupa perbuatan

nyata, misalnya memberi atau berbuat sesuatu, sedangkan pada perikatan

negatif prestasinya tidak berbuat sesuatu.

b. Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan.

Perikatan sepintas lalu adalah perikatan yang prestasinya hanya perlu

dilakukan dalam waktu yang singkat dan dalam satu kali perbuatan,

misalnya perikatan dalam jual beli obyek bergerak. Perikatan

berkelanjutan adalah perikatan yang prestasinya besifat terus menerus

dalam jangka waktu tertentu, misalnya perikatan yang timbul dari sewa

menyewa atau perjanjian kerja.

c. Perikatan alternatif.

Perikatan alternatif adalah suatu perikatan, dimana debitur berkewajiban

melaksanakan satu dari dua atau lebih prestasi yang dipilih, baik menurut

pilihan debitur, kreditur atau pihak ketiga, dengan pengertian bahwa

pelaksanaan prestasi yang dipilih itu mengakhiri perikatan.

111

R.Setiawan, Op.Cit, hal 34-48.

Page 44: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

79

d. Perikatan fakultatif.

Perikatan fakultatif adalah suatu perikatan yang obyeknya hanya berupa

satu prestasi, dimana debitur dapat menggantikannya dengan prestasi

lain. Dalam perikatan fakultatif, jika terdapat keadaan memaksa prestasi

primairnya tidak lagi merupakan obyek perikatan, maka perikatannya

menjadi hapus. Berbeda dengan perikatan alterntif, jika salah satu

prestasinya tidak lagi dapat dipenuhi akibat adanya keadaan memaksa,

maka perikatannya menjadi murni.

e. Perikatan generik dan spesifik.

Perikatan generik adalah perikatan di mana obyeknya ditentukan menurut

jenis dan jumlahnya sedangkan perikatan spesifik adalah perikatan yang

obyeknya ditentukan secara terperinci.

f. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi.

Perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung pada prestasinya, apakah

dapat dibagi atau tidak. Prestasi yang tidak dapat dibagi dibedakan

menurut sifatnya dan tujuannya. Tidak dapat dibagi menurut sifatnya

jika obyek daripada perikatan tidak dapat dibagi-bagi atau perbuatan

pelaksanannya tidak dapat dibagi-bagi, baik secara nyata maupun secara

perhitungan. Tidak dapat dibagi menurut tujuannya jika berdasarkan

maksud dari para pihak pelaksanaan prestasi harus dilaksanakan

sepenuhnya walaupun perikatan itu sebenarnya dapat dibagi-bagi.

Page 45: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

80

2. Berdasarkan subyeknya.

Perikatan berdasarkan subyeknya dapat dibagi menjadi dua jenis,

diantaranya adalah;

a. Perikatan solider atau tanggung renteng.

Suatu perikatan adalah solider atau tanggung renteng, jika berdasarkan

kehendak dari para pihak atau ketentuan undang-undang. Perikatan

solider atau tanggung renteng dapat dibedakan menjadi dua yakni

tanggung renteng aktif dan tanggung renteng pasif.

i. Tanggung renteng aktif adalah jika setiap kreditur dari dua atau

lebih dapat menuntut keseluruhan prestasi dari debitur, dengan

pengertian pemenuhan terhadap seorang kreditur membebaskan

debitur dari kreditur-kreditur lainnya;

ii. Tanggung renteng pasif adalah jika setiap debitur dari dua atau

lebih berkewajiban terhadap kreditur atas keseluruhan prestasi,

dengan pengertian pemenuhan prestasi oleh salah seorang debitur,

membebaskan debitur-debitur lainnya.

b. Perikatan pokok (principle) atau accesoire

Perikatan pokok atau accesoire terjadi apabila seorang debitur atau lebih

terikat sedemikan rupa, hingga perikatan yang satu sampai batas tertentu

tergantung pada perikatan yang lain, maka perikatan yang pertama

disebut perikatan pokok sedangkan yang lainnya perikatan accesoire.

Misalnya perikatan utang dan borg.

Page 46: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

81

3. Berdasarkan mulai berlaku dan berakhirnya perikatan.

Berdasarkan mulai berlaku dan berakhirnya perikatan, maka perikatan

dibedakan menjadi 2 (dua) yakni;

a. Perikatan bersyarat.

Perikatan bersyarat diatur dalam Pasal 1253 KUHPerdata yang berbunyi

“Perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang

masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara

menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu

menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut”. Perikatan

bersyarat dilawankan dengan perikatan murni, yaitu perikatan yang tidak

mengandung suatu syarat. Suatu syarat yang harus secara tegas

dicantumkan dalam perikatan. Perikatan bersyarat diatur dalam Buku III,

Bab I, Bagian 5, yang meliputi Pasal 1253-1267 KUHPer. Menurut

ketentuan Pasal 1253 KUHPer bahwa perikatan bersyarat dapat

dibedakan menjadi dua yakni;

i. Perikatan bersyarat yang menangguhkan.

Pada perikatan bersyarat yang menangguhkan, perikatan berlaku

setelah syaratnya dipenuhi. Selama syaratnya belum dipenuhi,

kreditur tidak dapat menuntut pemenuhan dan debitur tidak wajib

memenuhi prestasi. Jika debitur memenuhi prestasi sebelum syarat

dipenuhi, maka terjadi pembayaran yang tidak terutang dan debitur

dapat menuntut pengembaliannya.

Page 47: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

82

ii. Perikatan bersyarat yang menghapuskan.

Pada perikatan bersyarat yang menghapuskan, perikatan hapus jika

syaratnya dipenuhi. Jika syaratnya telah dilaksanakan seluruhnya

atau sebagian, maka dengan dipenuhinya syarat perikatan, maka

keadaan akan dikembalikan seperti semula seolah-olah tidak terjadi

perikatan atau hapusnya perikatan untuk waktu selanjutnya.

b. Perikatan dengan ketentuan waktu.

Perikatan dengan ketentuan waktu diatur dalam buku III, bab I, bagian 6

meliputi Pasal 1268-1271 KUHPer. Perikatan dengan ketentuan waktu

adalah perikatan yagn berlaku atau hapusnya digantungkan kepada waktu

atau peristiwa yang akan terjadi dan pasti terjadi. Pada umumnya jika

peristiwanya belum tentu terjadi maka termasuk dalam perikatan

bersyarat. Dalam menentukan apakah sesuatu itu merupakan syarat atau

ketentuan waktu, dengan melihat maksud dari para pihak. Perikatan

dengan ketentuan waktu dapat dibagi menjadi:

i. Ketentuan waktu yang menangguhkan.

Perikatan dengan ketentuan waktu yang menangguhkan diatur

secara umum dalam Pasal 1268-1271 KUHPer. Ketentuan waktu

yang menangguhkan artinya menunda perikatan sampai saat yang

ditentukan terjadi.

ii. Ketentuan waktu yang menghapuskan.

Perikatan dengan ketentuan waktu yang menghapuskan artinya

dengan dipenuhinya ketentuan waktu maka perikatan menjadi

Page 48: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

83

hapus. Perikatan jenis ini tidak berlaku surut artinya jika waktunya

telah dipenuhi maka debitur tidak lagi terikat, akan tetapi

prestasinya pada waktu yang lalu tidak dikembalikan.

2.3. Tinjauan Umum Tentang Kebatalan dalam Perjanjian

Kebatalan menyangkut suatu persoalan tidak terpenuhinya syarat sahnya

suatu perjanjian yang berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, terdiri dari empat

syarat yakni syarat pertama yakni adanya kesepakatan kedua belah pihak, syarat

kedua adanya kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, syarat ketiga adanya

obyek tertentu dan syarat keempat yakni adanya kausa yang halal.

Menurut Subekti keempat syarat tersebut di bagi menjadi dua kategori, yaitu

syarat subyektif dan syarat obyektif. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat

subyektif, tidak terpenuhinya salah satu atau kedua-dua unsur tersebut

mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan/dapat dimintakan pembatalan oleh

salah satu pihak. Perjanjian yang tidak dimintakan pembatalan dianggap tetap

berlaku, sehingga penekanan terhadap pembatalan ada pada inisiatif para pihak.

Syarat ketiga dan keempat merupakan syarat obyektif suatu perjanjian,

dengan konsekuensi tidak terpenuhinya salah satu atau keduanya menyebabkan

perjanjian batal demi hukum secara serta merta atau perjanjian dianggap tidak

pernah ada dan tujuan para pihak untuk mengadakan perjanjian tersebut untuk

melahirkan suatu perikatan hukum dianggap telah gagal, sehingga tidak ada dasar

bagi para pihaknya untuk saling menuntut di depan hakim, disebut null and

Page 49: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

84

void.112

Batal demi hukum tidak mensyaratkan inisiatif para pihak, karena

perjanjian oleh hukum dianggap tidak pernah ada. Dalam konteks hukum

perjanjian Indonesia, menurut KUHPer, terdapat beberapa alasan untuk

membatalkan perjanjian. Alasan itu dapat dikelompokkan ke dalam 5 (lima)

kategori sebagai berikut:113

1. Perjanjian dapat dibatalkan;

2. Perjanjian batal demi hukum;

3. Terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian bersyarat;

4. Pembatalan oleh pihak ketiga atas dasar actio pauliana;

5. Pembatalan oleh pihak yang diberi wewenang khusus berdasarkan

undang-undang.

Dari kelima alasan untuk membatalkan perjanjian, diantaranya adalah

terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian bersyarat. Menurut Munir Fuady,

perjanjian bersyarat (conditional contract) merupakan suatu perjanjian yang

pelaksanaanya atau pemberhentian pelaksanaannya bergantung pada suatu faktor

tertentu yang belum tentu akan terjadi di masa akan datang.114

Syarat batal dalam suatu perjanjian, adalah berlaku surut. Subekti

berpendapat bahwa;

Dalam hukum perjanjian, pada asasnya suatu syarat batal selalu berlaku surut

hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang

apabila terpenuhi akan menghentikan perjanjiannya, dan membawa segala

sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu

112

Subekti I, Op.Cit, hal 19. 113

Elly Erawati dan Herlien Budiono, 2010, Penjelasan Hukum Tentang

Kebatalan Perjanjian, National Legal Reform Program, Jakarta, hal.5. 114

Munir Fuady II, Op.Cit, hal.103.

Page 50: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

85

perjanjian, seperti yang diatur dalam Pasal 1265 KUHPer. Syarat ini tidak

menangguhkan pemenuhan perikatan, ia hanya lah mewajibkan si berpiutang

mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang

dimaksudkan terjadi.115

Sifat dari pembatalan perjanjian yang berlaku surut, maka perlu kiranya

ditetapkan beberapa hal yang membatasi pembatalan itu, diantaranya terdapat

keseimbangan kedudukan dari para pihak itu sendiri. Herlien Budiono

mengemukakan pendapatnya sebagai berikut alasn pembatalan terjadi jika telah

memenuhi syarat-syarat batalnya perjanjian, selain itu terjadi jika salah satu pihak

telah diberikan kewenangan untuk membatalkan perjanjian dengan mengeluarkan

suatu pernyataan timbulnya suatu fakta atau keadaan tertentu terjadi.116

Penekanan

pendapat Herlien Budiono adalah kewenangan para pihak untuk membatalkan

suatu perjanjian baik sebagian atau seluruhya dilandaskan pada asas

keseimbangan.

Pembatalan lebih mengarah pada suatu pengembalian pada posisi semula,

sebagaimana halnya sebelum penutupan perjanjian. Misalnya dalam suatu

perjanjian sewa menyewa yang dibatalkan, harga sewa yang telah dibayarkan

harus dikembalikan kepada pihak penyewa dan penyewa mengembalikan obyek

sewa seperti saat belum disewa. Pendapat ini didukung oleh Jaap Hijma, yang

menjelaskan konsep pembatalan dengan mengacu pada New BW, bahwa

pembatalan memiliki efek retroaktif hingga ke waktu perjanjian itu disepakati

115

Ibid, hal.82. 116

Elly Erawati dan Herlien Budiono, Op.Cit, hal.83.

Page 51: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

86

atau terjadi (Pasal 3:53 ayat 1), oleh karena itu, konsekuensi dari suatu

pembatalan identik dengan konsekuensi dari ketidakabsahan awal.117

Gunawan Wijaja118

, menguraikan mengenai keabsahan suatu perjanjian yang

dibuat, baik keabsahan yang dipertanyakan oleh salah satu pihak karena

kurangnya kapasitas atau karena tidak adanya kesepakatan bebas, maupun yang

digugat oleh pihak ketiga karena perjanjian tersebut merugikan kepentingannya

yang harus dilindungi oleh hukum. Dalam hal ini pembatalan masuk dalam

lapangan hukum perjanjian, karena masalah pembatalan ini tidak mengenai

masalah pelaksanaan prestasi, pemenuhan kewajiban atau pembayaran utang,

Alasan yang dikemukakan oleh Gunawan Widjaja adalah karena

sesungguhnya prestasi tidak pernah ada dari awal, yang mana pembatalannya

hanya dapat dilakukan oleh pengadilan dan berpendapat bahwa jika suatu

pembatalan disepakati lebih dahulu di awal perjanjian, merupakan suatu hal yang

tidak layak, karena yang dinamakan pembatalan adalah mengembalikan segala

sesuatu seperti keadaan semula, seperti pada saat perjanjian pertama kali

disepakati dan hal tersebut tidak mungkin sama sekali ketika sudah ada usaha dari

salah satu pihak untuk melaksanakan kewajibannya.

Pembatalan dalam konteks ini berbeda dengan pembatalan yang telah

dipenuhi dalam syarat batal pada perikatan bersyarat. Pembatalan dalam periaktan

bersyarat berada dalam lapangan hukum perikatan bukan perjanjian. Hukum

117

Rosa Agustina.et.al, 2012, Hukum Perikatan (Law of Obligations) Seri

Unsur-unsur Penyusun Bangunan Negara Hukum, Pustaka Larasan, Denpasar,

hal.149. 118

Gunawan Wijaja, Op.Cit, hal.305-307.

Page 52: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

87

perjanjian bersifat terbuka sebatas pada saat pembentukan perjanjian berdasarkan

kesepakatan bebas, mengenai suatu hal dalam lapangan harta kekayaan, serta

tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum,

namun segera setelah perjanjian itu dibentuk, para pihak tidak lagi bebas untuk

menentukan kehendaknya, bahkan untuk membatalkannya, para pihak

memerlukan bantuan hakim pengadilan.119

Perjanjian yang batal demi hukum

memiliki karakteristik perjanjian dianggap tidak pernah ada dan mengembalikan

ke keadaan posisi semula sebelum perjanjian dibuat.

Elly Erawati dan Herlien Budiono berpendapat bahwa batal demi hukum

merupakan frasa di bidang hukum yang bermakna sesuatu menjadi tidak berlaku

atau tidak sah karena berdasarkan hukum (atau dalam arti sempit berdasarkan

peraturan perundang-undangan) memang begitulah adanya. Batal demi hukum

menunjukkan bahwa tidak berlaku atau tidak sahnya sesuatu tersebut terjadi

seketika, spontan, otomatis dengan sendirinya, sepanjang persyaratan atau

keadaan yang membuat batal demi hukum itu terpenuhi.120

Akibat hukum perjanjian yang sah adalah mengikat para pihaknya dan

berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya. Jika ada yang

melanggar perjanjian itu, maka terhadapnya dianggap sama dengan sama dengan

melanggar undang-undang, yang akan memiliki sanksi hukum. Perjanjian yang

sah tidak dapat dihentikan secara sepihak. Jika salah satu pihak berkeinginan

membatalkan maka haruslah mendapatkan persetujuan dari pihak lainnya.

119

Ibid. 120

Elly Erawati dan Herlien Budiono, Op.Cit, hal.4.

Page 53: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

88

Perkecualian diberikan oleh undang-undang terhadap pemutusan sepihak

yakni apabila ada alasan yang cukup yang berdasarkan undang-undang maka

perjanjian dapat dibatalkan secara sepihak. Pada intinya sepanjang perjanjian itu

tidak melanggar unsur-unsur yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPer, maka

perjanjian dianggap mengikat para pihak dan berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya.

2.4. Tinjauan Umum Tentang Prestasi dan Wanprestasi dalam Perjanjian

Timbal Balik

2.4.1. Jenis prestasi dalam perjanjian timbal balik.

Menurut Munir Fuady, prestasi atau yang dalam bahasa Inggris disebut juga

dengan istilah “performance” dimaksudkan sebagai “suatu pelaksanaan hal-hal

yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk

itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana

disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan”.121

Jenis prestasi berdasarkan Pasal

1234 KUHPer diantaranya berupa memberikan sesuatu; berbuat sesuatu; tidak

berbuat sesuatu.

Prestasi yang merupakan pelaksanaan dari perikatan, sering juga disebut

dengan kontra prestasi, tergantung dari sudut mana pelaksanaan prestasi itu

dipandang. Dipandang dari sudut pelaksana, maka pelaksanaan perikatan disebut

juga prestasi, tetapi dari sudut lawan pelaksanaan suatu perikatan dapat

121

Munir Fuady II, Op.Cit, hal.87.

Page 54: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

89

merupakan kontra prestasi baginya bila pihak lawan itu juga melaksanakan

perikatan.122

Dalam hukum perjanjian, prestasi atau kontra prestasi dapat merupakan

kewajiban atau syarat atau kewajiban dan syarat. Masing-masing prestasi dapat

diuraikan sebagai berikut;

a. Kewajiban (obligation/duty).

Prestasi atau kontra prestasi adalah merupakan kewajiban bila pelaksanaan

membuat suatu janji (promise) untuk pemenuhan prestasi (kontra prestasi)

itu.

b. Syarat (condition).

Prestasi atau kontra prestasi adalah syarat bila pihak yang melakukan

prestasi tidak berjanji untuk melaksanakannya, melainkan hanyalah

merupakan syarat (tangguh) atau condition precedent yaitu merupakan suatu

prestasi yang harus dilakukan terlebih dahulu agar menimbulkan kewajiban

untuk memenuhi kontra prestasi dari pihak lawannya. Prestasi (kontra

prestasi) jenis ini tidak dapat dipaksakan pelaksanaanya secara hukum bila

tidak dilakukan.

c. Kewajiban dan syarat (promissory condition).

Prestasi atau kontra prestasi merupakan suatu kewajiban dan sekaligus

sebagai syarat maka pihak yang harus melakukan prestasi (kontra prestasi)

122

Hardijan Rusli,1993, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law,

Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal.32.

Page 55: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

90

adalah merupakan debitur dan kewajibannya ini harus dilaksanakan terlebih

dahulu dari pelaksanaan kontra prestasi pihak lawannya. 123

2.4.2. Penentuan wanprestasi dalam perjanjian timbal balik.

Untuk menentukan terjadinya wanprestasi dalam suatu perjanjian timbal

balik maka terlebih dahulu diuraikan mengenai pengertian wanprestasi, model-

model wanprestasi, penentuan terjadinya wanprestasi dan doktrin yang berkaitan

dengan pelaksanaan prestasi.

a. Pengertian wanprestasi.

Wanprestasi menurut kamus hukum, berarti kelalaian, kealpaan, cidera janji,

tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian124

. Menurut Munir Fuady,

wanprestasi, atau disebut juga dengan istilah breach of contract yang

dimaksudkan adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana

mestinya yang dibebankan oleh perjanjian terhadap pihak-pihak tertentu seperti

yang disebutkan dalam perjanjian yang bersangkutan.125

J.Satrio merumuskan

wanprestasi sebagai “Suatu peristiwa atau keadaan, di mana debitur tidak telah

memenuhi kewajiban prestasi perikatannya dengan baik, dan debitur punya unsur

salah atasnya.”126

b. Model-model wanprestasi.

Tindakan wanprestasi dapat dibedakan dari berbagai bentuk. Beberapa

sarjana mencoba memberikan uraian berbagai bentuk/model tindakan wanprestasi.

123

Ibid, hal.32-33. 124

R.Subekti dan Tjitrosoedibio, 1992, Kamus Hukum, Pradnya Paramitha,

Jakarta, hal.110. 125

Munir Fuady II, Op.Cit, hal.87. 126

J.Satrio II, Op.Cit, hal.3.

Page 56: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

91

Model-model dari wanprestasi menurut Mariam Darus Badrulzaman terdiri dari

tiga wujud yakni127

debitur samasekali tidak memenuhi perikatan; debitur

terlambat memenuhi perikatan; debitur keliru atau tidak pantas memenuhi

perikatan. Muhammad Syaifuddin berpendapat selain ketiga model wanprestasi

tersebut terdapat satu wujud lagi yakni melakukan perbuatan yang dilarang dalam

perjanjian128

.

c.Penentuan wanprestasi.

Dalam kenyataanya sulit untuk menentukan kapan seseorang dikatakan telah

memenuhi prestasinya atau tidak. Prestasi sebagaimana dikelompokkan menjadi

tiga ada yang berupa kewajiban (janji) dan ada pula yang syarat (condition).

Untuk lebih jelasnya diilustrasikan dalam contoh berikut misalkan seorang tukang

atap yang mempunyai prestasi memperbaiki atap yang bocor. Tukang atap itu

sudah memeriksa atap dan memperbaiki atap yang bocor namun ternyata masih

ada rembesan air/ bocor, apakah dalam hal hal ini tukang tersebut dikatakan

belum atau telah memenuhi prestasinya?

Untuk dapat menjawab permasalahan di atas, maka prestasi tukang itu dapat

sebagai kewajiban atau dapat pula sebagai syarat, dan hal ini akan membawa

akibat hukum yang berbeda ke dalam hal belum terpenuhinya prestasi tukang

tersebut. Dalam hal prestasi tukang itu adalah sebagai kewajiban maka tukang itu

dapat dituntut untuk memenuhi kewajibannya tersebut baik dengan atau tanpa

127

Mariam Darus Badrulzaman et.al, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan

Dalam Rangka Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun, Citra

Aditya Bakti, Bandung, hal.18-19. 128

Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hal.338.

Page 57: syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan pasal 1266

92

ganti rugi, atau kreditur dapat membatalkan perjanjian sehingga tukang itu tidak

dapat menuntut pembayaran atas pekerjaan yang telah dilakukannya berdasarkan

adanya perjanjian.

Dilihat dari sisi yang lain, bila prestasi tukang itu adalah syarat maka tukang

itu tidak dapat menuntut pembayaran bila dianggap belum terpenuhinya prestasi

dari tukang tersebut. Kenyataannya perbuatan tukang itu yang telah banyak

melakukan prestasi walaupun masih sedikit ada kekurangan, akan dirasakan tidak

adil bila tukang tersebut dikatakan wanprestasi. Sebaliknya, yang lebih dikatakan

adil adalah apabila tukang itu telah dianggap memenuhi prestasinya, karena

kenyataannya tukang itu telah melakukan banyak (substantial) dan

kekurangannya hanyalah sedikit (minor breach).

d. Keadaan pelaksanaan prestasi.

Penentuan suatu prestasi sebagai sebuah prestasi yang substansial atau tidak,

dapat digunakan beberapa doktrin pelaksanaan prestasi, yakni doktrin pemenuhan

prestasi substansial dan dokrin pemenuhan prestasi penuh. Doktrin pemenuhan

prestasi penuh diartikan sebagai suatu doktrin yang pelaksanaan prestasinya harus

dilakukan sepenuhnya, misalnya dalam jual beli tanah. Menurut Munir Fuady,

pemenuhan prestasi substansial adalah suatu doktrin yang mengajarkan bahwa

sungguhpun satu pihak tidak melaksanakan prestasinya secara sempurna, tetapi

jika dia telah melasanakan prestasinya tersebut secara substansial, maka pihak lain

harus juga melaksanakan prestasinya secara sempurna129

.

129

Munir Fuady II, Op.Cit, hal.89-90.