Sutriani Seminar

13
MAKALAH SEMINAR “AHIMSA DALAM KACAMATA FILSAFAT” OLEH: NI NYOMAN SUTRIANI S1.VIII.01/ 06.900 JURUSAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA HINDU SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Transcript of Sutriani Seminar

Page 1: Sutriani Seminar

MAKALAH SEMINAR

“AHIMSA DALAM KACAMATA

FILSAFAT”

OLEH:NI NYOMAN SUTRIANI

S1.VIII.01/ 06.900

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA HINDU

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

AGAMA HINDU AMLAPURA

2010

Page 2: Sutriani Seminar

AHIMSA DALAM KACA MATA FILSAFATOLEH:

NI NYOMAN SUTRIANIS1.VIII.01/ 06.900

PENDAHULUAN

Ilmu pengetahuan dan filsafat tidak dapat dipisah satu sama lain. Di balik

hingar bingarnya kecanggihan yang dijanjikan ilmu pengetahuan hendaknya tidak

melupakan apa substansi dari keberadaan kecanggihan tersebut. Apabila hal

tersebut telah disadari, niscaya tidak ada yang namanya kekacauan di dunia ini.

Akan tetapi perkembangan rasio ini pulalah yang kerap membuat manusia khilaf

dan saling menjatuhkan sesamanya. Karenanya hatus ada keseimbangan antara

ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama di dalamnya.

Bagaimanapun cerdasnya manusia dengan ilmu pengetahuan dan agama

tanpa filsafat ia bagaikan makhluk tanpa kepala. Hal ini sering kita lihat di negara-

negara Timur Tengah. Dimana hampir tujuh hari dalam seminggu kita mendengar,

melihat dan membaca berita tentang perang dengan persenjataan super canggih

yang dilatar belakangi masalah agama.

Ahimsa adalah salah satu nilai keagamaan yang hendak kita telaah secara

filsafatis. Dimana kita tahu bahwa nilai-nilai kemanusiaan di jaman sekarang amat

begitu rendahnya di mata saudara-saaudara kita yang lupa akan hal tersebut.

Dalam ajaran Agama Hindu bahkan semua agama di dunia tentunya amat

melarang atau mengharamkan umatnya untuk saling menyakiti sesama umat

manusia namun pertanyaan yang timbul adalah “kenapa masih terjadi?”. Tentunya

hal ini dikarenakan begitu rendahnya pemahaman filsafat yang dimiliki umat.

Kebijaksanaan dalam filsafat adalah rasa dingin dalam es yang menjiwai

apapun yang ada di dunia ini. Dan agama adalah ucapan yang menyebut es itu

dingin. Agama akan buta dan lumpuh tanpa filsafat dan apabila hal ini tidak

disadari otomatis akan membuat penyimpangan-penyimpangan nilai yang ada

dalam agama tersebut. Untuk lebih jelasnya tentang hal ini, disini akan dibahas

bagaimana pandangan Agama Hindu dan filsafat tentang Ahimsa.

Page 3: Sutriani Seminar

AHIMSA DALAM PANDANGAN AGAMA HINDUAhimsa adalah ajaran Susila atau Etika Hindu yang tergolong dalam Panca

Yama Brata yakni lima macam pengendalian diri yang berarti tidak menyakiti

atau tidak membunuh sesama makhluk. Mahatma Gandhi dalam ajarannya juga

mendoktrinkan Ahimsa bukan hanya dalam teori tapi lebih bersifat praktis dengan

melakukan “vegetarianisme”. Meski secara praktis Gandhi menanamkan ajaran

Ahimsa melalui vegetarianisme, namun oleh Maharsi Manu dinyatakan bahwa:

“tidak ada orang yang lebih berdosa dibanding orang yang hanya menyembelih

binatang hanya untuk kesenangan pribadi dan golongannya tanpa melakukan

yadnya kepada Tuhan ataupun orang banyak”. Namun ditambahkan lagi adapun

pengecualiannya yakni: “ia yang memakan daging untuk dipersembahkan kepada

Tuhan (yadnya) ataupun kepada orang banyak, ia lepas dari dosa, apakah dari

membeli, menyembelih, ataupun menerima dari orang lain yang tidak berdosa”.

Etika Ahimsa jauh ada sebelum masuknya filsafat modern. Ahimsa sudah

mulai dikenal berabad-abad sebelum Masehi dalam filsafat Hindu Kuno utamanya

Chandogya Upanisad. Dimana ajaran nir-kekerasan ini termaktub pada bab III

sloka 7 pada kitab suci tersebut. Dimana dalam Chandogya, Himsa Karma

(membunuh, menyakiti) dinyatakan sebagai salah satu dari lima perbuatan dosa

yang maha besar. Manusia memiliki kecenderungan dua sifat pokok yang

antagonis dalam dirinya yaitu sifat keraksaan dan kedewataan yang termaktub

dengan jelas dalam kitab suci Hindu baik Sruti maupun Smrti seperti Bhagawad

Gita, Sarasamuscaya, dan kitab suci lainnya.

Kedua sifat inilah yang menimbulkan kecenderungan manusia untuk

berbuat baik ataupun buruk. Sifat keraksasaan (Asuri Sampad) membuat manusia

gelap mata karena diliputi oleh Sad Ripu dalam dirinya dan cenderung menyakiti

makhluk lain bahkan hingga membunuh. Bagaimanapun juga, segala tindakan

destruktif manusia, baik yang beragama maupun yang tidak beragama, baik yang

menggunakan agama sebagai tameng kepentingan atau yang tidak, selalu berawal

dari tidak terkelolanya dengan baik Sad Ripu yang ada di dalam diri manusia.

Pada akhirnya, manusia yang tidak mampu mengendalikan hawa nafsu derajatnya

lebih rendah dari hewan. Dalam kitab Sarasamuscaya sloka 136 dinyatakan

sebagai berikut.

Page 4: Sutriani Seminar

Bila orang itu sayang akan hidupnya, apa sebabnya ia itu ingin memusnahkan hidup makhluk lain; hal itu sekali-kali tidak memakai ukuran diri sendiri, segala sesuatu yang akan dapat menyenangkan kepada dirinya, mestinya itulah seharusnya dicita-citakannya terhadap makhluk lain.

Dalam sloka ini jelas dipaparkan bahwa hendaknya manusia tidak

menyiksa makhluk lain dan menciptakan kebahagiaan bagi sesamanya. Sebab

dalam Panca Sradha umat Hindu juga telah tertanam apa yang kita kenal dengan

karmaphala dan punarbhawa. Semua perbuatan yang manusia lakukan pastinya

berbuah dan mempengaruhi kegidupannya di masa datang. Seperti yang tercantum

dalam sloka berikut.

Akan tetapi orang yang keadaannya begini, menitis lahir menjadi manusia pada orang yang bernoda, berpenyakitan, berkelakuan jahat, bertabiat menyakiti (membunuh), pendek umurlah diperoleh oleh orang yang berkeadaan demikian, hal ini adalah akibat perbuatannya bengis dulu pada waktu penjelmaannya sebelum ini (yang lampau). (Sarasamusccaya,: 148)

Dalam sloka ini telah nyata dujelaskan bahwa ia yang menjalankan Himsa

Karma pada masa hidupnya niscaya akan terlahir dalam keadaan sengsara di

kehidupannya mendatang. Kesengsaraan akan datang bertubi-tubi padanya

ataupun pada keturunannya nanti. Hendaknya etika Ahimsa ini tidak hanya

diaplikasikan lewat ajaran vegetarianisme akan tetapi lebih menekankan kepada

pengaplikasian dalam Tri Kaya Parisudha baik itu wacika, manacika, dan kayika.

Bagaimanapun juga, makna ahimsā akan kabur jika misalnya, perut sudah tidak

terisi daging tetapi perkataan, tingkah laku dan pikiran kita masih terpengaruh

oleh sifat-sifat ke-daging-an (hewani). Bahwa ahimsā seharusnya terimplementasi

ke dalam Tri Kaya Parisuda dan atau Sukma.

Dimana secara jelas hal tersebut di atas termaktub dalam kitab suci Hindu

semisal: Yajur Weda, XXI.61, Yajur Weda, XIX.29, Rg Weda, X.19.4, ataupun

Bhagawadgita XVI.20. Dimana dalam persfektif kitab-kitab tersebut haruslah

nilai Ahimsa tersebut mampu kita tanamkan dalam semua aspek hidup ini guna

tercapainya Mokshartam Jagadhita.

Page 5: Sutriani Seminar

AHIMSA DALAM KACA MATA FILSAFAT

Sekali lagi Etika Ahimsa telah ada sebelum filsafat modern. Dimana ajaran

ini telah ada dalam ajaran filsafat yang telah ada sejak jaman dahulu kala. Ajaran

filsafat yang dimaksud adalah Bhagavad Gita dan Chandogya Upanisad. Bahkan

bisa dikatakan bahwa kitan-kitab ini menjadi inspirasi bagi filsuf modern. Melihat

Ahimsa adalah salah satu ajaran etika yang dikenalkan filsafat kuno, bagaimana

Ahimsa dalam kajian filsafat ilmu?

Secara etimologi Filsafat, philosophy, dalam bahasa Inggeris, atau

philosophya dalam Yunani mempunyai arti cinta akan kebijaksanaan. Philos

(cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (kebijaksanaan,

pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi. Dari pengertian

tersebut filsafat sebenarnya amat dekat dengan realitas kehidupan kita. Untuk

mengerti apa filsafat itu, orang perlu menggunakan akal budinya untuk

merenungkan relaitas hidupnya, “apa itu hidup? Mengapa saya hidup? Akan

kemana saya hidup? Tentunya pertanyaan tersebut sejatinya muncul alamiah bila

akal budi kita dibiarkan bekerja. Persoalannya, apakah orang atau peminat filsafat

sudah membiarkan akal budinya bekerja dengan baik memandang relaitas?

Aristoteles menyebut manusia sebagai “binatang berpikir”.

Kerapkali ilmu filsafat dipandang sebagai ilmu yang abstrak dan berada di 

awang-awang (= tidak mendarat) saja, padahal ilmu filsafat itu dekat dan berada

dalam kehidupan kita sehari. Benar, filsafat bersifat tidak konkrit, karena

menggunakan metode berpikir sebagai cara pergulatannya dengan realitas hidup

kita.

Etika sudah dikenal sejak zaman Sokrates. Etika adalah sebentuk gagasan

yang merumuskan tentang kelaziman tertentu yang seharusnya dilakoni oleh

manusia dalam hidupnya. Dengan kata lain, etika, sebagai cabang filsafat,

membicarakan soal-soal praktis hidup. Menurut Richard Lindsay, ada dua bentuk

pertanyaan etika: 1). bagaimana seharusnya manusia berperilaku?; 2). apakah ada

kebenaran obyektif moralitas?

Dua pertanyaan di atas menyangkut dua bentuk etika, yaitu etika normatif

dan meta-etika. Ada banyak macam etika yang kini semakin spesifik di bagai

disiplin ilmu, misalnya etika kedokteran, etika bisnis, dsb. Agama pun demikian.

Page 6: Sutriani Seminar

Agama, yang memiliki sistem etika sendiri, menjawab sekaligus dua pertanyaan

Lindsay di atas. Etika agama juga bersifat praktis. Kebenaran obyektif etika

agama terletak pada reward and punishment-nya. Salah satu etika praktis agama

adalah Ahimsā atau Nir-Kekerasan (non-violence).

Ada tiga mazhab besar Filsafat Etika Barat. Yang pertama Hedonisme

yang menganggap “kenikmatan” sebagai ukuran etis; yang kedua adalah Hukum

Moral yakni Prinsip Universalitas dan Kemanusiaan sebagai tujuan dan bukan

sekadar sarana, tokohnya adalah Immanuel Kant (1724 – 1804); dan yang ketiga

adalah Realisasi Diri yaitu virtue sebagai tujuan, tokohnya Plato dan Aristoteles.

Istilah Humanisme di kemudian hari banyak dipengaruhi oleh pemikiran

Immanuel Kant yang menganggap bahwa ukuran etis adalah prinsip-prinsip

kemanusiaan.

Etika Ahimsā dalam teori modern adalah Deklarasi Hak Asasi Manusia (10

Desember 1948) sebagai reaksi keras atas kebiadaban Perang Dunia I dan II, dan

juga bagian dari humanisme. Dengan kata lain, ahimsā dalam dunia modern

adalah humanisme yang menentang kekerasan. Perbedaannya dengan Etika

Ahimsā menurut agama, adalah ahimsā-non-agama kebenaran obyektifnya

bersifat relatif, bisa diperdebatkan, sementara ahimsā-agama kebenaran

obyektifnya berada pada doktrin reward and punisment-nya yaitu Jagadhita

(kebahagiaan dunia) dan Moksa (kebahagiaan akhirat).

Kerangka berpikir filsafat adalah rasional dan ilmiah dimana dari kerangka

berpikir tentang Ahimsa kita bisa mengambil suatu hipotesis kemudian menarik

kesimpulan dan menjadi suatu kebenaran. Dalam hal ini Ahimsa dapat dinyatakan

dalam contoh resiprok yakni aksi dan reaksi. Dimana suatu tindakan akan

menimbulkan akibat. Misalkan kita menyakiti orang dengan caci maki secara

otomatis orang yang kita caci akan merasa sakit hati dan ada keinginan untuk

membalas cacian kita. Namun lambat laun apa yang kita lakukan akan berbuah.

Mungkin bukan dari orag yang kita caci melainkan bisa juga dari orang lain.

Dimana hal ini terkait dengan kebenaran universal akan karmaphala.

Ada satu hal yang kita bisa sangsikan dari suatu teori keagamaan apabila

dilihat dari segi rasionalitas keilmuan. Namun apabila kita melihat filsafat yang

Page 7: Sutriani Seminar

ada di dalamnya kita bisa meyakini bahwa suatu kebenaran agama sama

derajatnya dengan kebenaran rasionalistis ilmu pengetahuan.

Adapun yang menjadi persoalan dalam filsafat adalah keberadaan (being)

atau eksistensi, pengetahuan (knowledge) atau kebearan (truth), dan nilai (values).

Kebenaran reaksi Ahimsa secara ilmiah memang sulit untuk dibuktikan namun

dengan cara berpikir rasional dan nilai yang ada di dalamnya kita bisa memastikan

Ahimsa sebagai suatu kebenaran sejati. Kita memang menyangkakan karma dari

Ahimsa karena ada kalanya hasil dari karma tersebut tidak kita terima secara

bersamaan. Namun kita bisa mengambil kesimpulan akan kebenaran Ahimsa

melalui sebuah contoh. Ada sebuah nilai yang terkandung dalam etika Ahimsa

yang begitu relevan kita aplikasikan dalam kehidupan ini.

KESIMPULAN

Ahimsa adalah ajaran Susila atau Etika Hindu yang tergolong dalam Panca

Yama Brata yakni lima macam pengendalian diri yang berarti tidak menyakiti

atau tidak membunuh sesama makhluk. Ahimsa adalah satu ajaran tuntunan bagi

umat manusia dalam kehidupannya guna mencapai Shanti atau kedamaian yakni

tanda bahwa agama menuntun umatnya untuk berpikir, bertutur, dan berlaku

damai, dan menghindari kekerasan. Dimana kita ketahui bersama, bahwa

kekerasan tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah. Ahimsa itu penting dan

hendaknya kita mulai diri sendiri dengan pengendalian hawa nafsu (Sad Ripu).

Pengendalian Sad Ripu ini kita barengi dengan Tri Kaya Parisudha niscaya kita

akan mencapai hidup yang bahagia dunia dan akhirat (Moksartham Jagadhita ya

ca iti Dharma).

Page 8: Sutriani Seminar

DAFTAR PUSTAKA

Astawa, Nyoman. 2008. Filsafat Ilmu (Bahan Ajar). Amlapura: STKIP Agama Hindu Amlapura.

Emawati, Ida Ayu Agung. 2006. Etika Hindu (Bahan Ajar). Amlapura: STKIP Agama Hindu Amlapura.

Pudja, G. 2004. Bhagavad Gita. Surabaya: Paramitha.

Kadjeng, I Njoman. 1971. Sarasamuscaya. Proyek Penerbitan Kitab Suci Hindu dan Budha Direktorat Djendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Departemen Agama RI.

Thoyibi, M. 2003. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya. Surakarta: Universitas Muhamidiyah

Tim Dosen Filsafat Ilmu UEM. 2003. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty

http://www.babadbali.com

http://www.parisadha.org

http://www.iloveblue.com

http://pesantrenciganjur.com