SUTAN SJAHRIR, SOSIALISME, DAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN ...
Transcript of SUTAN SJAHRIR, SOSIALISME, DAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN ...
SUTAN SJAHRIR, SOSIALISME, DAN PERJUANGAN
KEMERDEKAAN INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Ilmu Sejarah
Disusun Oleh :
YOHANA
054314001
FAKULTAS SASTRA
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
i
SUTAN SJAHRIR, SOSIALISME, DAN PERJUANGAN
KEMERDEKAAN INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Ilmu Sejarah
Disusun Oleh :
YOHANA
054314001
FAKULTAS SASTRA
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
ii
iii
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada :
Papaku (Stanis Laus Jurin) yang selalu sabar.
Mamaku (Yustina) yang tercinta.
Adikku yang paling penulis sayang (Hildegaldis Rina Angelica).
Seluruh rekan-rekan yang telah membantu.
v
Pernyataan Keaslian Karya Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yag telah disebutkan
dalam kutipan catatan kaki, dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya-karya
ilmiah.
Yogyakarta 18 Juni 2010
Penulis
Yohana
vi
ABSTRAK
Yohana
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
Skripsi yang berjudul “Sutan Sjahrir, Sosialisme, dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia” ini bertujuan untuk mendeskripsikan riwayat hidup Sutan Sjahrir serta menganalisa pemikiran Sjahrir terutama mengenai Sosialisme Kerakyatan. Tekanan serta hambatan yang dialami oleh Sjahrir akan dijelaskan dalam penelitian ini. Penelitian ini hendak memperkaya bangsa Indonesia akan pemikiran Sosialisme Kerakyatan Sutan Sjahrir serta menguraikan upaya-upaya Sjahrir dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Dalam penelitian ini metode yang dipergunakan adalah metode sejarah. Ada 5 tahap yang dipergunakan agar dapat merekonstruksi suatu sejarah, yaitu pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi, interprestasi dan penulisan. Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori politik milik Miriam Budiardjo yang menyatakan bahwa teori politik adalah bahasan dan renungan atas 1) tujuan dari kegiatan politik, 2) cara-cara mencapai tujuan itu, 3) kemungkinan-kemungkinan dan kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik tertentu, 4) kewajiban-kewajiban yang diakibatkan oleh tujuan politik itu. Dalam penelitian ini terdapat tiga rumusan permasalahan. Pertama, latarbelakang riwayat hidup dan sosio-historis sosialisme kerakyatan Sutan Sjahrir. Kedua, perjuangan Sutan Sjahrir dalam kemerdekaan Indonesia. Ketiga, perjuangan serta kegiatan Sjahrir setelah tidak menjabat dalam pemerintahan.
Pemikiran Sutan Sjahrir ataupun cara pandangnya melampaui zamannya pada masa itu. Ketika nasionalisme menjadi pegangan garis perjuangan, Sjahrir menekankan bahwa tanpa demokrasi, nasionalisme bisa bersekutu dengan feodalisme. Menurut Sjahrir, humanisme jauh lebih penting dari segala-galanya. Tidak cukup hanya sekedar mengandalkan nasionalisme, karena jika tanpa humanisme, maka yang terjadi hanyalah memerdekaan dan juga mensejahterakan diri sendiri. Sutan Sjahrir bukanlah politikus yang hanya memikirkan bagaimana supaya dapat memperoleh kemenangan di saat Pemilu tetapi dia adalah seorang negarawan yang segala tindakan, strategi, dan juga pengetahuannya adalah untuk kemajuan serta kemerdekaan rakyat Indonesia. Ia merupakan seorang negarawan yang memikirkan proses berbangsa dalam jangka panjang, dan teristimewa usaha-usahanya yang selalu memperjuangkan hak-hak azasi semua warga-negara.
vii
ABSTRACT
Yohana
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
The purpose of this thesis entitled “ Sutan Sjahrir, Socialism, and the Indonesian Independence Struggle “ was to describe and analyze Sutan Sjahrir’s life and his thoughts, concerning the socialism in the grass root in particular. It also described the pressure and obstacles that Sutan Sjahrir experienced. The research was enriching the Indonesian people about Sutan Sjahrir’s thoughts on the democratic socialism as well as analyzing Sjahrir’s efforts in struggling for the Indonesian independence.
The method that was applied in the research was a historical method. The five stages implemented able to reconstruct a history were the topic selection, data sources gathering, verification, interpretation, and the writing. The research made use of the political theory of Miriam Budiardjo, who’s state that political theory is a discussion and insights of: 1) the objective of political activities, 2) ways of achieving the objectives, 3) the probabilities and the needs resulting from a specific political situation, 4) the resultant responsibilities because of the respective political objectives. In the research there were three problem formulations. Firstly, the background of the Sutan Sjahrir’s biography and the socio-history of democratic socialism. Secondly, Sutan Sjahrir’s struggle in the Indonesian independence. Thirdly, Sjahrir’s struggle and activities after he was out of office of the government.
Sutan Sjahrir’s thoughts or his view was at that time considered beyond his era. When nationalism was the main guide for struggling, Sjahrir stressed that without democracy, nationalism might be aligned with feudalism. According to Sjahrir, humanism was far more important of all others. Taking nationalism for granted was not enough, as without humanism, there would be independence only, and egoistic welfare . Sutan Sjahrir was not a politician who thought only of how to get victory in a general election, but he was also a statesman whose actions, strategies, and knowledge were dedicated for the freedom and progress of the Indonesian people. He was a kind of a statesman who deeply thought of the process of the nation’s long life, particularly in his efforts to fight for all the citizens’ human rights.
viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Yohana
Nomor Mahasiswa : 054314001
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
“SUTAN SJAHRIR, SOSIALISME, DAN PERJUANGAN
KEMERDEKAAN INDONESIA”
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pengakalan
data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau
media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun
memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada Tanggal : 18 Juni 2010
Yang menyatakan
Yohana
ix
KATA PENGANTAR
Akhirnya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Begitu banyak tantangan
yang dihadapi dalam penulisan ini. Tetapi itu bukan menjadi persoalan karena
selalu ada orang-orang yang mendukung supaya dapat dengan segera
menyelesaikan skripsi ini. Beruntung sebelum mengajukan proposal skripsi ini
terlebih dahulu dilaksanakan diskusi dengan teman-teman jurusan Ilmu Sejarah
sehingga kekurangan dalam penulisan skripsi ini dapat terbantu.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, atas berkat
dan juga rahmat-Nya penulis selalu dengan sabar untuk dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Penulis sangat bersyukur atas dampingan-Nya disaat penulis
sedang mengalami kesusahan. Terima kasih atas semua doa-doa penulis yang
senantiasa Tuhan Yesus dengarkan dan juga kabulkan.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar yang
selalu membantu serta memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini. Terima kasih kepada Drs. Hb. Hery Santosa, M.Hum. dosen dan juga
Ketua Program Studi Ilmu Sejarah yang selalu setia memberikan motivasi kepada
teman-teman di jurusan Ilmu Sejarah. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Drs. Silverio R. L. Aji Sampurno, M. Hum dosen sekaligus pembimbing skripsi
yang selalu memberikan ide-ide dan juga mengoreksi penulisan skripsi ini dengan
sabar. Terima kasih kepada Drs. Ign. Sandiwan Suharso selaku dosen dan juga
pembimbing akademik yang selalu menasehati dikala penulis memperoleh IPK
yang tidak bagus.
x
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada seluruh staf
pengajar Jurusan Ilmu Sejarah; Drs. H. Purwanta, M. A, Dr. FX. Baskara T.
Wardaya, SJ, Dr. Anton Haryono, Prof. Dr. P. J. Suwarno S. H (almarhum), Drs.
Manu Jayaatmaja, M. A, Dr. St. Sunardi, Drs. Andri Nurcahyo.
Penulis juga mengucapkan tarima kasih kepada keluarga tercinta; papa
(Stanis Laus Jurin) yang senantiasa selalu mendukung dan juga selalu memenuhi
kebutuhan penulis. Mamaku (Yustina) yang selalu dengan sabar membesarkan,
menghadapi penulis, memberi masukan yang begitu berarti bagi penulis, serta
memberikan kasih sayang yang tulus bagi penulis. Kepada adik penulis,
Hildegaldis Rina Angelica, terima kasih yang tak habis-habisnya penulis
sampaikan atas doa-doa, dukungan, dan juga nasehatnya. Skripsi ini penulis
persembahkan untuk kalian.
Terima kasih penulis sampaikan untuk kedua orang nenek penulis, om
(mamo) Stef, tante (ambe) Linah, paman Agus, bi Evi, sepupu-sepupu penulis yang
selalu saja menanyakan kapan penulis wisuda; Kak Dina, Yanti, Martin, Hel,
Agnes, Andri, Okta.
Untuk sahabat-sahabat penulis, terima kasih atas dukungan, nasehat, dan
juga kebersamaan dengan kalian ; Lilis, Chatrine, Marsya, dek Evi, dan dek Emil.
Dan terima kasih juga untuk teman-teman seperjuangan; sr.Andreani, Anggoro,
Agung, Bondan, Hafen. Terima kasih juga untuk; Ismiyati, Tati, Ifa, Theo Yanzen,
Sr. Mena.
Terima kasih untuk teman-teman di Pondok Angela Pringwulung (asrama
Ursulin) atas kebersamaan penulis bersama kalian ketika baru memasuki bangku
xi
kuliah. Sr. Yekti, Sr. Merci, Sr, Nati, Sr. Etty, Sr. Vero, Ena, Lina, Ayek. Terima
kasih banyak penulis ucapkan yang sebesar-besarnya kepada para suster-suster
yang selalu membimbing kami, para anak asrama, terima kasih karena telah
memberi kami pengalaman-pengalaman yang begitu berharga.
Terima kasih juga untuk teman-teman Fokus Mapawi (Kab Melawi)
khususnya yang tinggal di kontrakan Kab Melawi yang selalu berbagi kegembiraan
di saat melaksanakan Gawai Dayak, dan masih banyak lagi teman-teman yang
selalu mensupport penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis
sebutkan satu-persatu.
xii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................................ v
ABSTRAK ..................................................................................................... vi
ABSTRACT .................................................................................................... vii
LEMBAR PUBLIKASI KARYA ILMIAH .................................................... viii
KATA PENGANTAR .................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1 1.2. Rumusan Masalah ........................................................................... 9 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................ 9 1.4. Manfaat Penelitian .......................................................................... 10 1.5. Landasan Teori ................................................................................ 11 1.6. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 14 1.7. Metode Penelitian ........................................................................... 18 1.8. Sistematika Penulisan ..................................................................... 20
BAB II RIWAYAT HIDUP SUTAN SJAHRIR DAN SOSIO-HISTORIS SOSIALISME KERAKYATAN .................................................. 21
2.1. Riwayat Hidup Sutan Sjahrir .......................................................... 21 2.2. Perkenalan Sjahrir dengan Sosialisme ............................................. 23
2.2.1. Jong Indonesia ...................................................................... 23 2.2.2. Sjahrir di Negara Belanda pada tahun 1929-1931 ............... 26
2.3. Sosialisme Kerakyatan Indonesia ................................................... 29
BAB III SUTAN SJAHRIR DAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA ............................................................................... 35
3.1. Peran Sjahrir Sebelum Kemerdekaan Indonesia ............................. 35 3.1.1. Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) ......................... 35
xiii
3.1.2. Pendudukan Jepang pada tahun 1942 .................................. 40 3.2. Peran Sjahrir Untuk Mencapai Kemerdekaan ............................... 42
3.2.1. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945 ........................... 42 3.2.2. KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) tahun 1945 ........ 47 3.2.3. Perdana Menteri (15 November 1945–7 Juni 1947) ............ 50
BAB IV DAMPAK SERTA PENGARUH SUTAN SJAHRIR PASCA KEMERDEKAAN INDONESIA ................................................. 61
4.1. Partai Sosialis Indonesia (PSI) ........................................................ 61 4.1.1. Pembentukan Partai Sosialis Indonesia (PSI) Tahun 1948 ... 61 4.1.2. Kekalahan PSI dalam Pemilihan Umum Tahun 1955 .......... 67
4.2. Akhir dari Karir Sjahrir ................................................................... 71 4.2.1. Pembubaran Partai Sosialis Indonesia (PSI) Tahun 1960 .... 77 4.2.2. Penangkapan Sjahrir Tahun 1962 ......................................... 77
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 81 5.2. Kesimpulan ............................................................................ 81
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 87
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Suatu negara dapat membangkitkan pergerakan bangsanya dengan beberapa
syarat, yakni kesatuan ekonomi, politik, dan budaya. Terpenuhinya ketiga syarat
itu lebih merupakan karena proses sosial yang mandiri daripada hasil cita-cita,
rencana, atau pun rekayasa pemerintah jajahan. Demikian pula halnya di
Indonesia pada awal tahun 1900-an.
Walaupun ketiga syarat tersebut sudah terpenuhi, kebangsaan tidaklah
bangkit dengan sendirinya. Sebagai syarat, maka yang terkandung di dalamnya
hanyalah peluang bagi terbentuknya kebangsaan. Karena tak ada peluang yang
tanpa masalah, maka berhasil-tidaknya pelembagaan itu tergantung pada
kemampuan masyarakat dan kekuasaan negara mengatasi rangkaian masalah yang
timbul dalam peluang tersebut.
Kenyataannya, masyarakat dan pemerintah jajahan gagal mengatasi
rangkaian masalah yang muncul. Dengan demikian gagal pula terciptanya
keseimbangan berdasarkan cita-cita politik Etis. Malahan, lambat-laun masyarakat
nusantara menuntut bubarnya kekuasaan negara jajahan itu sebagai syarat
keseimbangan atau kebangsaannya. Masyarakat nusantara berjuang kearah
terbentuknya kekuasaan negara yang sama sekali baru berdasarkan kekuatan dan
kemampuan sendiri.
2
Ada empat hal yang menyebabkan kegagalan itu terjadi dan bagaimana
cita-cita kebangsaan yang lain dapat diperjuangkan. Pertama, tahun 1900-1912.
Dalam peluang selama kurun waktu tersebut timbulah rangkaian masalah yang
bersifat sangat berat sebelah. Seperti masa VOC, masyarakat merasa asing sama
sekali, dan bingung, dengan kesempatan serta kesulitan yang harus dihadapi,
sementara pemerintah jajahan bergelimang triomfalisme, yakni sikap serba tahu,
serba mampu, serba kuasa menentukan arah perkembangan yang harus ditempuh
oleh masyarakat.
Kedua, tahun 1912-1921. Ketika pemerintah tampak semakin tahu apa
yang harus dilakukan, masyarakat baru mulai meraba-raba ujung pangkal masalah
yang timbul, dan dengan demikian sedapat mungkin mengatasinya. Masuk akal
bahwa masyarakat terpecah sekalipun hanya karena pengertian yang berbeda-beda
mengenai rangkaian masalah yang muncul selama periode ini. Juga bisa
dimengerti bahwa pemerintah jajahan memanfaatkan perpecahan tersebut untuk
kepentingan kekuasaannya.
Ketiga, tahun 1921-1927. Masyarakat yang sebelumnya meraba-raba,
akhirnya mengira sedang menemukan hakikat masalah yang dihadapi. Yang dikira
hakikat itu pada dasarnya bersifat modern dan revolusioner sekaligus. ‘Modern’,
karena melintasi penggolongan sempit, ‘Revolusioner’, karena menolak cara-cara
lama yang lambat-laun, cara-cara politik Etis.
Walaupun demikian, karena baru menemukannya, baik sifat modern
maupun revolusioner itu cenderung diyakini tanpa melewati ujian kenyataan.
Melintasi pertolongan sempit dapat berarti percaya pada pertolongan dari dunia
3
internasional. Keanggotaan dalam Pan-Islamisme dan Comintern merupakan
wujudnya. Menolak cara-cara Politik Etis bisa berarti kekerasan. Kerusuhan PKI-
Sarekat Ra’jat merupakan pantulannya. Bahwa sintesa dari keduanya, yang
menjelma dalam faham kebangsaan Perhimpunan Indonesia (PI) di Nederland,
pada awalnya masih sukar lepas dari internasionalisme dan radikalisme.1
Sekitar tahun 1927 dan runtuhnya negara jajahan Belanda oleh Jepang
pada tahun 1942, kebangkitan nasional mulai bergaya kurang semarak. Dalam
masalah politik, gerakan anti-penjajahan melanjutkan langkah-langkah yang tidak
menghasilkan apa-apa. Rezim Belanda memasuki tahapan yang paling menindas
dan paling konservatif (bersikap mempertahankan keadaan) dalam sejarahnya
pada abad XX. Rakyat daerah pedesaan tidak lagi memainkan peranan politik
yang aktif karena dikecewakan oleh pengalaman mereka dengan SI dan PKI pada
tahun-tahun sebelumnya dan juga karena, mulai tahun 1930 dan seterusnya
mereka lebih disibukkan dengan usaha untuk mengatasi masa-masa sulit yang
ditimbulkan karena depresi.
Akan tetapi ada beberapa aspek masa itu yang menyiapkan pengguna
peristiwa-peristiwa yang akan terjadi setelah tahun 1942. Pertama, semua harapan
bagi terjalinnya kerjasama dengan Belanda benar-benar sudah hancur, sehingga
satu-satunya taktik yang dimungkinkan untuk masa mendatang hanyalah
perlawanan terhadap Belanda. Kedua, perpecahan-perpecahan yang mendalam di
kalangan elite Indonesia yang sangat kecil jumlahnya umumnya tidak
1 Parakitri T Simbolon. 1995. Menjadi Indonesia, Jakarta: Kompas,
Grasindo, hal 220-221.
4
mengalahkan kesepahaman bahwa tujuan utama upaya politik adalah
pembentukan negara Indonesia yang merdeka. Dengan demikian, nasionalisme
menempati posisi ideologis yang paling berpengaruh. Ketiga, demi kepentingan
persatuan yang maksimal di antara kelompok-kelompok budaya, agama, dan
ideologi di Indonesia, maka ide nasionalis ini menolak naluri-naluri Pan-Islam
dan pembaharuan dari para pemimpin Islam perkotaan, dengan mengambil suatu
posisi yang secara konfensional disebut ‘sekuler’ tetapi yang dalam praktik sering
dilihat sebagai anti-Islam oleh para pemimpin Islam. Dengan demikian Islam
didesak pada posisi politik yang terkucil yang dengan perkecualian-perkecualian
yang jarang terjadi, ditempatinya hampir sepanjang abad XX. Keempat, adanya
kesadaran di antara para pemimpin agama bahwa mereka menghadapi banyak
tantangan yang sama dan mempunyai suatu komitmen yang sama pada agama
mereka, mengurangi pertentangan-pertentangan sengit antara kaum muslim
modernis dan tradisional serta membawa kedua kelompok tersebut lebih dekat
satu sama lain. Yang terakhir, tokoh-tokoh yang muncul sebagai pemimpin-
pemimpin Indonesia pada masa itu sangat penting karena, betapapun
ketidakberhasilan mereka saat itu, mereka ditakdirkan menjadi generasi pertama
dalam sejarah Indonesia untuk memimpin seluruh kepulauan Indonesia sebagai
bangsa yang bersatu dan merdeka.
Taufik Abdullah dalam tulisannya ”Pahlawan dalam Perspektif Sejarah”
(Prisma, No.7,1976), menjelaskan supaya dapat menghargai jasa para pahlawan
secara wajar dan benar, tidak hanya ”dikenang tetapi tidak relevan”. Hal yang
wajar jika masyarakat membutuhkan kehadiran pahlawan karena hal itu menjadi
5
kebutuhan manusia untuk mengidentifikasi atau menetapkan identitas diri dengan
suatu norma, ikatan simbol. Akan tetapi, simbol manakah dari seseorang pribadi
kuat yang bisa dijadikan cermin cita-cita sekaligus pandu perjuangan hidup kita,
baik sebagai perorangan, kelompok, maupun bangsa ?.2 Persoalan dapat dikaji
lebih mendalam dan permasalahan bisa lebih jelas bila menghadapi pertanyaan
semacam itu. Lalu bagaimana dengan seseorang yang memberikan gelar pahlawan
nasional kepada Sjahrir ? Tokoh itu, yang oleh seorang tokoh politik lain dan
bahkan seorang sejarawan-sebelum meneliti dengan baik mempertanyakan apakah
dia ’pahlawan atau penghianat’, adalah Sukarno. Taufik Abdullah menduga,
Sjahrir mungkin hanya akan tersenyum sinis sambil geleng-geleng kepala dan
berkata : ”Bangsaku!”
Atas dasar pemikiran Taufik Abdullah di atas, Sutan Sjahrir tidak hanya
ditempatkan dalam kedudukannya sebagai pahlawan nasional yang resmi menjadi
penghuni Kalibata, tetapi melihat relevansi negarawan dan seorang Sjahrir yang
pernah menjadi nahkoda pertama republik yang baru bertolak dan langsung
dihantam oleh badai dan topan, dalam sikapnya terhadap kebudayaan
pembentukan bangsa.3
Y.B. Mangunwijaya berpendapat bahwa fungsi dan jasa Sjahrir adalah
menjadi pemikir dan nahkoda pertama yang tenang dan harus menjawab tuntutan
2 Yanto Basri dan Retno Suffatni (ed). 2004. Sejarah Tokoh Bangsa,
Yogyakarta: Lkis. hal 71. 3 Ibid. hal 73.
6
wajibnya; melihat jauh ke depan, bahkan bagaikan melalui radar4. Ia merupakan
pelengkap paling tepat dan vital di kala itu dalam diri Sukarno-Hatta. Kalau
Sukarno menyalakan energi mesin diesel yang dahsyat, penggerak bahtera yang
sedang terancam, maka Sjahrir merupakan nahkoda yang berpikir dingin, tokoh
yang bersih dari noda kolaborasi Jepang dan revolusioner. Hal ini diakui hampir
seluruh pemimpin rakyat ketika itu, termasuk Sukarno-Hatta dan para pelopor
pemuda, kecuali yang berhaluan komunis atau yang percaya kerja fasis karena
mereka sudah punya resep tersendiri.5
Sjahrir menjadi pemimpin, seperti ketua KNIP dan Badan Pekerja, tidak
diperoleh dengan merebut dari tangan orang lain, tetapi karena kepercayaan para
pemuda saat itu. Sjahrir memahami bahwa situasi sudah berubah dan karena itu ia
menerima daulat pemuda-pemuda. Sikap ini sering kali ditafsirkan sebagai
’kebimbangan’. Padahal, untuk memahami situasi dunia internasional maka sikap
ini merupakan keniscayaan karena yang dibutuhkan adalah tokoh non-Jepang
murni. Begitu ia masuk sidang langsung menjadi ketua baru dengan suara
mayoritas.
Peristiwa tersebut menjelaskan bahwa Sjahrir sebagai aktivis kemerdekaan
selama zaman Jepang diakui para pemuda. Aksi-aksinya di bawah tanah yang
memaksanya harus bersembunyi dan sering kali bertindak di bawah empat mata
telah menghasilkan efek politik praktis, paling tidak di kalangan pemuda
terkemuka dan Sukarno-Hatta. Kepercayaan yang begitu besar dan hampir tanpa
4 Radar adalah alat (yang memakai gelombang radio) untuk mendeteksi
jarak, kecepatan, dan arah benda yang bergerak atau benda yang diam. 5 Yanto Basri dan Retno Suffatni (ed). op. cit. hal 74-75.
7
sikap hati-hati dalam situasi kritis sepanjang bulan Oktober-November 1945
menentukan segala-galanya bagi masa depan bangsa, tentu mempunyai landasan
moral dan rasional yang sangat kuat. Intuisi (daya atau kemampuan mengetahui)
para pemimpin muda dan tua merasa bahwa pada situasi saat itu Sjahrir
merupakan orang tepat tidak hanya sebagai pengganti Sukarno-Hatta, tetapi
pelengkap ”triumvirat de facto” Sukarno-Hatta. Intuisi mereka murni, tidak
tercemar sedikit pun oleh pandangan politik kotor, ambisi pribadi, atau permainan
klik ketika para pejuang sudah masuk ke berbagai kota lagi, dan perjuangan
membawa sekian petualang untuk saling berebut hasil pada tahun-tahun pertama
1945-1950. Sebelum itu, para pemimpin rakyat terpengaruh oleh ide manifes
politik Sjahrir, Perjuangan Kita, yang terbit pada bulan Oktober 1945. Saat itu
mereka hanya mengenal keikhlasan untuk menyelamatkan republik yang baru tiga
bulan terbebas dari teror penjajah maupun tendensi anarkis dari Indonesia sendiri
yang membalas teror dengan teror. Selama bulan Oktober-November 1945
semangat yang bersemboyan ”Merdeka atau Mati” sudah dirasakan begitu
ironisnya, namun tidak memberikan garansi keberhasilan suatu revolusi. Akal
sehat menyadari bahwa yang dibutuhkan hanya ”merdeka atau hidup”.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa justru para pemuda mendukung
Sjahrir, meski Perjuangan Kita sarat dengan kritik keras terhadap mereka. Ini
menunjukkan bahwa Sjahrir memiliki sesuatu yang bersendi fondasi kuat, tidak
lapuk oleh kekosongan untuk menghasut ketika itu, tetapi segar, muda, bijaksana,
menjangkau jauh ke depan tanpa melupakan situasi yang mendesak, meyakinkan
semua. Manifes Perjuangan Kita mengerutkan dahi hampir setiap pemimpin dan
8
pelopor, terutama mereka yang bekerja sama dengan Jepang karena menjadi
sasaran kritiknya.6 Hanya Sjahrir satu-satunya pemimpin yang mempunyai konsep
dasar yang bijaksana dan strategis, konsisten, dan menyeluruh, tentang apa yang
harus dikerjakan dalam menghadapi lautan api teror Belanda dan dunia
internasional. Bahkan, pandangannya begitu jauh sehingga jika kita sekarang-
sekian puluh tahun sesudah 1945-membaca ulang tulisan-tulisan Sjahrir, maka
hampir setiap kalimat bisa langsung kita gunakan, seolah-olah tulisan tersebut
tidak ditulis waktu itu, tetapi sekarang, dan bukan hanya tertuju kepada bangsa
Indonesia, melainkan setiap penguasa negara-negara berkembang bekas koloni.
Kepada Belanda ia menulis :
”...tanah tumbuh untuk segala ekstrimisme nasionalistis adalah situasi kompleks rasa minder, sosial, dan rohani dari orang-orang Indonesia, rasa dendam terhadap sikap ras yang memandang ke bawah pada jutaan kaum tertindas. Kenyataan itu tidak bisa dihilangkan oleh politik kesejahteraan apa pun dan oleh politik Etis apa pun. Penghargaan ’dari hati yang berkenan’ semacam itu terhadap daya-daya kebangunan rakyat yang pada tumbuh hanya membawa kebencian, karena merupakan permainan atas kompleks-kompleks minder orang-orang Indonesia. Itu sudah disadari oleh orang-orang seperti Snouck Hurgronje dan Hazeu. Dasar rasa dendam terhadap kaum penindas hanya dapat lenyap dengan jalan iklas memberi harga diri kepada orang-orang Indonesia. Dan itu hanya bisa terjadi bila ada perubahan fundamental dalam sikap jiwa penguasa kulit putih terhadap orang-orang Indonesia, suatu perubahan sikap berkenan sang bapak yang jauh lebih bijaksana terhadap si anak yang terbukti mulai bersemi prakarsa kerja dan kecerdasannya, ke arah penghormatan yang sejati.”7
Kata-kata tersebut mencerminkan seorang negarawan yang bijaksana,
yang tidak hanya berlaku untuk pejabat-pejabat Belanda, tetapi juga untuk setiap
pemerintah bangsa bekas koloni, terutama orang yang mengira bahwa hanya
6 Ibid. hal 78-79. 7 Ibid. hal 80.
9
dengan ”politik kesejahteraan” rakyat akan terpesona untuk berterima kasih
melihat pembangunan-pembangunan fisik, stabilitas ekonomi, dan sebagainya,
seperti pemikiraan Belanda sebelum Perang Dunia II dan sesudahnya yang
mencoba membangun politik Etis untuk bangsa Indonesia. Ada sesuatu yang lebih
dalam pada permasalahan bangsa Indonesia, dan itu secara tajam dapat dilihat
oleh Sjahrir.
1.2. Rumusan Masalah
Untuk mengetahui secara mendalam tentang Sutan Sjahrir, Sosialisme, dan
Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, maka skripsi ini akan membahas pokok
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah latarbelakang riwayat hidup dan sosio-historis sosialisme
kerakyatan Sutan Sjahrir ?
2. Bagaimanakah perjuangan Sutan Sjahrir dalam kemerdekaan Indonesia ?
3. Sejauh mana dampak atau pengaruh Sutan Sjahrir pasca kemerdekaan
Indonesia ?
1.3. Tujuan
Tujuan dari skripsi yang berjudul Sutan Sjahrir, Sosialisme, dan
Perjuangan Kemerdekaan Indonesia adalah sebagai berikut :
- Akademis
Untuk melihat sejauh mana sosilisme kerakyatan Sutan Sjahrir menjadi
landasan perjuangan kemerdekaan. Penulisan skripsi ini menganalisa pemikiran
10
Sjahrir mengenai sosialisme kerakyatan. Tekanan dan juga hambatan yang
dialami oleh Sjahrir dalam usahanya mewujudkan nilai-nilai sosialisme
kerakyatan juga akan dijelaskan dalam penelitian ini.
- Praktis
Secara praktis penulisan skripsi ini hendak memperkaya bangsa Indonesia
akan pemikiran sosialisme kerakyatan Sutan Sjahrir dan menguraikan upaya-
upaya Sjahrir dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sjahrir yang
selama ini ditempatkan dalam posisi yang salah padahal Sjahrir memiliki peranan
yang penting dalam mencapai kemerdekaan Indonesia.
1.4. Manfaat Penelitian
- Teoretis
Skripsi ini diharapkan dapat berguna khususnya untuk keilmuan sejarah
supaya dapat mengetahui bagaimana perjuangan Sutan Sjahrir untuk menerapkan
sosialisme kerakyatan serta bagaimana perjuangannya untuk mencapai
kemerdekaan Indonesia. Skripsi ini juga diharapkan agar dapat memberikan
sebuah cara pandang baru dan juga menambah pemahaman masyarakat akan
besarnya peran Sjahrir di dalam negara Indonesia.
- Praktis
Dalam konteks praktis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan
informasi serta pemahaman yang baru mengenai sejarah Indonesia terutama
mengenai sejarah seorang tokoh yaitu Sutan Sjahrir. Skripsi ini diharapkan dapat
menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai perjuangan politik, lebih
11
khususnya perjuangan politik Sutan Sjahrir dan diharapkan dapat dimanfaatkan
sebagai bahan pelengkap dalam pengajaran sejarah.
1.5. Landasan Teori
Teori sangat dibutuhkan pada saat melakukan penelitian untuk
mempertajam permasalahan-permasalahan yang dikaji. Pada penelitian skripsi
yang berjudul Sutan Sjahrir, Sosialisme, dan Perjuangan Kemerdekaan
Indonesia, teori yang dipergunakan adalah teori politik milik Miriam Budiardjo.
Dalam teori tersebut membahas mengenai ; 1) tujuan dari kegiatan politik, 2) cara-
cara mencapai tujuan itu, 3) kemungkinan-kemungkinan dan kebutuhan yang
ditimbulkan oleh situasi politik tertentu, 4) kewajiban-kewajiban yang diakibatkan
oleh tujuan politik itu. Konsep-konsep yang dibahas dalam teori politik mencakup
antara lain, masyarakat, kelas sosial, negara, kekuasaan, kedaulatan, hak dan
kewajiban, kemerdekaan, lembaga-lembaga negara, perubahan sosial,
pembangunan politik, modernisasi, dan sebagainya.8
Sutan Sjahrir melibatkan dirinya dalam dunia politik bukan karena
ketertarikannya pada jenjang kekuasaan tetapi ia merasa bahwa negara sangat
membutuhkan pertolongannya terutama disaat awal kemerdekaan Indonesia.
Banyak hal yang telah dilakukan Sjahrir untuk Kemerdekaan Indonesia.
Kegiatannya bukan dilakukan dengan hal-hal yang negatif tapi untuk mencapai
kemerdekaan yang sesungguhnya terutama menghindari tuduhan bangsa Belanda
yang menganggap kemerdekaan Indonesia adalah hadiah dari bangsa Jepang,
8 Miriam Budiardjo. 1977. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia. hal 30.
12
Sjahrir menawarkan jalur diplomasi pada pihak Belanda untuk menghindari
tindakan kekerasaan yang bisa berakibat buruk bagi bangsa Indonesia..
Menurut Miriam Budiardjo dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar
Ilmu Politik, teori adalah generalisasi (simpulan umum dari suatu kejadian, hal,
dsb) yang abstrak mengenai beberapa fenomena. Dalam menyusun generalisasi itu
teori selalu memakai konsep-konsep. Konsep itu lahir dalam pikiran manusia dan
karena itu bersifat abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat dipakai sebagai batu
loncatan.
Sejarah politik sangatlah menonjol pada abad ke-19 sebagai abad
nasionalisme dan formasi negara nasional di Eropa Barat. Semenjak itu, sejarah
perang dan diplomasi sangat menonjol di satu pihak, dan di pihak lain peranan
raja, panglima perang, negarawan memegang peranan utama. Tradisi itu masih
sangat kuat dewasa ini, dikarenakan adanya anggapan (ataupun teori) bahwa
jalannya sejarah terutama ditentukan oleh kejadian politik, perang, serta tindakan
tokoh-tokoh politik, militer, dan diplomasi. Hal ini sama dengan teori orang besar,
yang mengatakan bahwa orang besarlah yang menentukan jalannya sejarah.9
Sejarah politik sebagai sejarah politik gaya baru memakai pendekatan ilmu-ilmu
sosial dan dengan demikian tidak hanya memperluas cakrawala politik, tetapi juga
membuat perspektif politik lebih luas, lengkap dan multidimensional, mencakup
interdependensi proses politik dengan jaringan sosial, sistem ekonomi, sistem
nilai, dan lain sebagainya.
9 Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi
Sejarah, Jakarta: Gramedia. hal 165.
13
Sejarah politik sebagai sejarah konvensional10 pada umumnya
mengutamakan peranan tokoh-tokoh atau orang-orang besar sebagai faktor
penentu jalannya sejarah.11 Dengan demikian, dilupakan bahwa peranan seorang
pelaku senantiasa terjadi dalam kondisi struktural tertentu, dengan kata lain,
proses yang terjadi mencakup aksi pelaku pada hakikatnya merangkai serta
membatasi ruang bergeraknya. Peranan merupakan aspek dinamis dari status,
sedangkan status tidak lain ialah unsur dari struktur sosial tertentu. Struktur
diaktulisasikan lewat atau oleh aktivitas. Struktur kekuasaan menentukan pola
distribusi kekuasaan yang menentukan tempat serta ruang lingkup peran yang
dijalankan oleh pelaku politik. Peranan pemimpin atau tokoh besar sangat
tergantung pada struktur kekuasaan yang ada di dalam masyarakatnya. Untuk
menentukan peranan tokoh sejarah dalam proses sejarah perlu diketengahkan
masalah seberapa jauh seorang tokoh membentuk proses sejarah ataukah kondisi
sosiallah yang menentukan peranan tokoh sejarah.
10 Sejarah Konvensional sama dengan konfensionalisme yaitu 1).
Pandangan yang menyatakan, konsep-konsep ilmiah dan konstruksi-konstruksi teoritis pada dasarnya merupakan produk-produk persetujuan di antara kaum ilmuan. Persetujuan-persetujuan ini berasal dari pertimbangan-pertimbangan kebiasaan, ketepatan, kesederhanaan; unsur-unsur konvensionalisme ditemukan pada positivisme, pragmatis (bersifat praktis) dan operasionalisme. Paham-paham ini menyajikan pemikiran teoritis sebagai suatu yang subyek dan menerangkan penggunaan beberapa sistem konsep dan konstruksi matematik oleh kaum ilmuan menurut keinginan mencapai pemahaman timbal balik. 2). Kecenderungan untuk memegang teguh kebiasaan. 3) sesuatu yang merupakan tradisi atau kebiasaan. Save M.Dagun. 1997. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta; LPKN. hal 532.
11 Sartono Kartodirdjo. op. cit . hal 168.
14
Suatu determinisme12 sosial sudah tentu berpendapat bahwa seluruh
peranan seorang tokoh ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur masyarakat, atau
paling tidak peranannya dijalankan dalam batas-batas struktural masyarakat, jadi
terikat pada suatu keterbatasan. Perlu diakui bahwa kebebasan dalam arti mutlak
tidak dapat diberlakukan, tidak lain karena pelaku selalu terikat pada kebudayaan
atau kepada zaman. Pelaku tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri dari ikatan
atau subjektivitas itu, khususnya yang berkaitan dengan pandangan dunia. Perlu
diakui bahwa tokoh sejarah sering kali lebih jauh memandang ke depan atau
berperan sebagai perintis.13 Perintis atau pelopor sering menuntut perubahan
revolusioner sehingga pelaksanaannya menuntut kepribadian atau kepemimpinan
yang kuat.
1.6. Tinjauan Pustaka
Sudah banyak orang yang menulis tentang Sutan Sjahrir, sosialisme dan
perjuangan kemerdekaan antara lain; buku yang ditulis oleh Sutan Sjahrir
(Sjahrazad) Renungan Indonesia, buku ini merupakan kumpulan dari tulisan-
tulisan Sjahrir dari tahun 1934-1938. Di dalam buku ini Sjahrir memaparkan
bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia bukan hanya sebagai perjuangan
bangsa Indonesia agar dapat melepaskan diri dari penjajahan, tetapi perjuangan
12 Determinisme adalah 1) pandangan yang menyatakan bahwa semua
kejadian di alam semesta termasuk manusia diatur oleh dan bekerja selaras dengan hukum sebab musabab. 2) hubungan antara dua kondisi di mana kondisi yang satu disebabkan oleh kondisi yang lain. 3) ajaran yang mengatakan bahwa kehendak manusia tidak bebas akan tetapi ditentukan oleh serangkaian kondisi psikis dan fisis. Save M. Dagun. op. cit. hal 170.
13 Sartono Kartodirdjo. op. cit hal 169.
15
seluruh manusia modern yang progresif untuk memperoleh keadilan. Di dalam
buku ini tidak terlihat bagaimana tahap awal kemunculan sosialisme kerakyatan
yang diagung-agungkan oleh Sjahrir, yang dikemudian hari ia anggap bahwa
sosialisme kerakyatan tersebutlah yang pantas sebagai landasan awal dalam
memerdekakan rakyat Indonesia.
Buku yang berjudul Sosialisme Indonesia Pembangunan yang ditulis
berdasarkan hasil kumpulan dari tulisan-tulisan Sutan Sjahrir yang menguraikan
tentang perkembangan sosialisme di Indonesia sejak berdirinya PSI (Partai
Sosialis Indonesia). Sosialisme Kerakyatan yang menjadi landasan yang paling
baik bagi Sjahrir untuk bangsa Indonesia supaya dapat mensejahterakan rakyat
secara merata. Sjahrir juga menjelaskan bagaimana perkembangan sosialisme
yang ada di Eropa serta sosialisme yang ingin ia perjuangkan di Indonesia. Dalam
buku ini tidak kelihatan bagaimana kiprah perjuangan Sutan Sjahrir dan rakyat
Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia supaya dapat
terbebas dari penjajahan.
Buku yang ditulis oleh H. Rosihan Anwar (ed) yang berjudul Mengenang
Sjahrir, yang berisikan kumpulan tulisan atau ungkapan-ungkapan orang-orang
yang mengenal Sjahrir secara dekat. Mereka menuliskan pendapat mereka
mengenai Sjahrir dari semasa Sjahrir kecil sampai ketika Sjahrir dipenjarakan.
Sjahrir, tema sentral dari kumpulan karangan buku ini adalah seorang tokoh
nasional yang telah memberi arah dan isi kepada arus revolusi Indonesia dalam
suatu sejarah yang penuh emosi dan juga kekacauan. Sepanjang hidupnya penuh
dengan perjuangan dan juga tantangan. Dia menjadi korban oleh orang yang
16
bersikap acuh tak acuh terhadapnya dan yang membencinya, sekaligus menjadi
pujaan banyak orang yang mengagumi dan mencintainya. Meskipun demikian di
dalam buku ini Rosihan Anwar tidak menulis tentang dampak dari perjuangan
Sjahrir dalam menerapkan sosialisme kerakyatannya dan dibuku ini juga hanya
menyorot sedikit mengenai sosilisme kerayatan Sutan Sjahrir.
Buku yang ditulis oleh Rudolf Mrázek yang berjudul Sjahrir ; Politik dan
Pengasingan di Indonesia, yang menceritakan biografi Sjahrir. Sjahrir pada
umumnya dihadirkan dengan segala sesuatu yang terlepas dari semua hal yang
berbau tradisional, primordial, atau parokial. Sjahrir hampir tidak pernah
menyebutkan kata ‘Minangkabau’, tempat dimana ia berasal. Sjahrir dibesarkan di
dalam tradisi Minang, lembaga sekolah Politik Etis kolonial, sosialisasi bersifat
mondial (berkaitan dengan seluruh dunia) dengan kaum sosialis semasa ia belajar
di Belanda, setidaknya menentukan ”structure of experince”. Sosok Sjahrir sangat
dibutuhkan ketika gejolak Revolusi Nasional 1945-1949, hingga Sjahrir ditunjuk
sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia. Rudolf Mrázek menampilkan secara
utuh biografi mengenai Sutan Sjahrir, salah seorang dari the Founding Fathers
Republik Indonesia. Di dalam buku yang ditulis oleh Rudolf Mrázek ini tidak
begitu tampak awal mulanya pemikiran Sutan Sjahrir yang begitu gigih ingin
memperjuangkan sosialisme kerakyatan yang ia anggap paling cocok untuk
menjadi landasan bangsa Indonesia. Buku ini cukuplah kongkrit dalam membahas
tentang Sjahrir tetapi buku ini tidak membahas sosialisme secara detail.
Buku yang berjudul Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan ;
Peranan Kelompok Sjahrir yang ditulis oleh J.D. Legge, yang menceritakan
17
bagaimana gigihnya perjuangan kelompok Sjahrir atau anak didik Sjahrir untuk
memperoleh kemerdekaan Indonesia. Buku ini memaparkan isu-isu sentral yang
digeluti Sjahrir beserta orang-orang yang mendukungnya pada jamannya seperti
tentang demokrasi dan juga hak-hak asasi manusia, otoritarianisme14 dan fasisme,
sosialisme demokratis dan komunisme, tradisionalisme dan modernisme, juga
tentang anarkisme15 dan feodalisme. Dalam buku ini J.D. Legge hanya
menuliskan seputaran tentang perjuangan Sjahrir dan kelompoknya dalam
keinginan mereka untuk mencapai kemerdekaan tetapi di dalam buku ini tidak
tercantum pemikiran sosialisme yang seperti apa yang ingin Sjahrir terapkan di
Indonesia serta dampak dari perjuangan Sjahrir dalam keinginannya untuk
mewujudkan sosialisme kerakyatan.
Sudah banyak ulasan dan karya mendalam tentang tokoh Sutan Sjahrir
atributnya beragam, mulai dari kontroversial, jauh dari ingar-bingar di atas
panggung, dipuja pengagum, hingga dihujat lawan-lawan politiknya. Buku-buku
yang telah dicantumkan diatas menjelaskan secara lengkap tentang Sutan Sjahrir.
Tetapi buku-buku tersebut belum mengungkapkan apa saja yang ingin
diperjuangkan oleh Sutan Sjahrir selain Sosialisme Kerakyatan. Dalam
memperingati 100 tahun Sutan Sjahrir tanggal 5 Maret 2009, Des Alwi yang
merupakan anak angkat Sutan Sjahrir menjelaskan bahwa Sutan Sjahrir memiliki
14 Otoritarianisme adalah pandangan yang mendukung ketaatan buta
terhadap otoritas atau kekuasaan atas dasar keyakinan bahwa sumber yang otoriterlah yang sanggup menjamin dan mensahkan ilmu pengetahuan: dianggap menghambat kemajuan karena tidak menyediakan alat konseptual untuk menguji kesalahan atau kebenarannya. Save M. Dagun. op. cit. hal 759.
15 Anarkisme adalah faham yang menentang setiap kekuatan negara; teori politik yang tidak menyukai adanya pemerintahan dan undang-undang.
18
keinginan yang sangat mulia sebelum dia meninggal. Dia ingin mendirikan rumah
sakit gratis, mendirikan rumah untuk orang-orang yang tidak mampu serta
menginginkan pembayaran pajak dibayar sesuai dengan pendapatan masing-
masing masyarakat. Sjahrir berusaha mencari jalan keluar supaya dapat
membangun kesejahteraan untuk seluruh rakyat. Sosok Sjahrir sebagai pemikir
sekaligus politisi merupakan inspirator bagi bangsa Indonesia. Kematangannya
dalam hidup nasional di bidang politik, ekonomi, budaya dan menghidupi
ketegangan eksistensial tidak sebagai problem, tetapi sebagai jalan hidup
berbangsa dan bernegara, dan hal inilah yang merupakan warisan terbesar dari
Sjahrir.
1.7. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini metode yang dipergunakan adalah metode
sejarah. Menurut Louis Gottschalk, ada 5 tahap yang harus dipergunakan untuk
dapat merekonstruksi (menyusun kembali) suatu sejarah, yaitu pemilihan topik,
pengumpulan sumber, verifikasi (pernyataan), interprestasi (pandangan atau
pendapat) dan penulisan.16 Kelima tahap tersebut dipergunakan dalam penulisan
skripsi ini, antara lain ;
a. Pemilihan topik
Tahap awal yang dilakukan pada penulisan skripsi ini adalah pemilihan
topik. Pemilihan topik dilakukan karena ketertarikan penulis terhadap riwayat
16 Louis Gottschalk. 1975. Mengerti Sejarah, Yayasan Penerbit
Universitas Indonesia. hal 34. Lihat juga Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya. hal 89-105.
19
hidup Sutan Sjahrir, sosialisme kerakyatan, dan perjuangan kemerdekaan
Indonesia.
b. Pengumpulan Sumber
Pengumpulan sumber dilakukan supaya skripsi ini memperoleh data-data
yang akurat (teliti). Pengumpulan sumber diperoleh dengan cara meminjam buku-
buku di perpustakaan Universitas Sanata Dharma, meminjam buku dari teman-
teman serta mendapat sumber-sumber dari mengikuti seminar yang membahas
sedikit mengenai topik. Sumber-sumber yang dipergunakan dalam penulisan
skripsi ini adalah sumber primer dan sekunder. Sumber primer merupakan sumber
tertulis berupa buku-buku yang memang ditulis oleh Sutan Sjahrir. Sedangkan
sumber sekundernya adalah buku-buku yang menulis tentang Sutan Sjahrir yang
ditulis oleh para penulis dari Indonesia maupun dari negara lain.
c. Verifikasi
Setelah mengetahui secara persis topik yang akan ditulis serta sudah
terkumpulnya sumber, tahap selanjutnya adalah verifikasi, atau kritik sumber, atau
keabsahan sumber. Verifikasi atau kritik sumber dilakukan supaya penulis dapat
mengetahui isi sumber dapat dipercaya atau tidak.
d. Interpretasi
Interpretasi yaitu menafsirkan fakta-fakta sejarah yang telah terkumpul
dan diuji kebenarannya. Kemudian fakta-fakta tersebut digabungkan menjadi satu
supaya dapat diperolehnya rangkaian peristiwa sejarah yang bermakna.
e. Penulisan
20
Tahap selanjutnya adalah penulisan. Dalam penyajian penelitian ini
memuat 3 bagian yaitu : 1). Pengantar, 2). Hasil penelitian, 3). Kesimpulan.17
1.8. Sistematika Penulisan
Penelitian mengenai topik ini dituangkan ke dalam tulisan dengan
mengunakan sistematika sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan yang memuat latar belakang penelitian dan juga
permasalahan-permasalahan yang membuat ditulisnya topik skripsi mengenai
Sutan Sjahrir.
Bab II berjudul ”Riwayat Hidup Sutan Sjahrir dan Sosio-Historis
Sosialisme Kerakyatan”. Bab ini membahas serta menguraikan riwayat hidup
Sjahrir terutama mengenai proses terbentuknya sosialisme kerakyatan Sutan
Sjahrir, pendidikan yang Sjahrir peroleh, serta organisasi yang Sjahrir dirikan.
Bab III berjudul ”Sjahrir dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia”.
Dalam bab ini akan membahas bagaimana gigihnya perjuangan Sjahrir supaya
bangsa Indonesia dapat merdeka serta diakui oleh bangsa-bangsa lain. Dan
jabatan-jabatan apa saja yang diduduki Sjahrir.
Bab IV berjudul ”Dampak Serta Pengaruh Sutan Sjahrir Pasca
Kemerdekaan Indonesia”. Dalam bab ini akan di jelaskan dampak pola pikir
Sjahrir pasca kemerdekaan Indonesia.
Bab V berisi Kesimpulan. Dalam bab ini berisi mengenai kesimpulan-
kesimpulan akhir.
17 Kuntowijoyo, Ibid, hal 102-104.
21
BAB II
RIWAYAT HIDUP SUTAN SJAHRIR DAN SOSIO-HISTORIS
SOSIALISME KERAKYATAN
2.1. Riwayat Hidup Sutan Sjahrir
Nama Sutan Sjahrir tidak terlalu banyak dibicarakan dibuku sejarah
Indonesia. Padahal Sjahrir memiliki peran yang luar biasa dalam perjuangan
kemerdekaan Indonesia, khususnya di bidang diplomasi dan politik. Pada usia
yang ke-25, dia sudah berhasil memberi warna dalam perjuangan kemerdekaan
Indonesia. Di usia 36 tahun, dia telah menjadi Perdana Menteri. Pemikiran dan
pengaruhnya sangat besar, khususnya dalam merekrut dan menempatkan kader-
kader muda Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada berbagai posisi penting dan
strategis.
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sjahrir sudah
menjadi salah satu intelektual muda di masa itu karena latar belakang
pendidikannya yang cukup baik (sekolah-sekolah Belanda). Di samping itu dia
adalah seorang murid yang sangat cerdas. Pada usia 19 tahun, dia ikut ambil
bagian dalam peristiwa Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Seperti
banyak pemimpin pergerakan lainnya, Sjahrir merupakan didikan dari Politik Etis
yang dipromosikan oleh Van Deventer ; pendidikan yang lebih luas bagi bumi
putera.
Lahir di Padangpanjang, Sumatera Barat, pada tanggal 5 Maret 1909,
Sjahrir dibesarkan di Medan, kota yang memperkenalkannya pada kemelaratan
22
kaum koeli, sebuah bukti eksploitasi kolonialisme. Sjahrir mengenyam pendidikan
sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan, tempat
dimana dia pertama kali mulai membaca buku-buku Karl May, Don Quixote dan
Baron von Munchhausen. Ratusan buku dan novel kanak-kanak Belanda telah
dibacanya ketika ia masih remaja. Dan pada malam hari, dia bermain biola di
Hotel de Boer, hotel khusus untuk orang-orang kulit putih.
Menyelesaikan sekolah di MULO pada tahun 1926, kemudian Sjahrir
masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung, sekolah termahal di Hindia
Belanda pada waktu itu. Sjahrir bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa
Indonesia di Bandung (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan sesekali
menjadi aktor. Perolehan dari pementasan dipakai untuk membiayai sekolah yang
didirikannya bersama anggota-anggota Batovis yaitu Tjahja Volksuniversiteit
(Cahaya Universitas Rakyat).
Sjahrir bercita-cita mewujudkan kemerdekaan Republik Indonesia yang
merupakan jembatan untuk mencapai tujuan sebuah negara yang menjunjung
kerakyatan, kemanusiaan, kebebasan dari kemelaratan, menghindari tekanan dan
penghisapan, menegakkan keadilan, membebaskan bangsa dari genggaman
feodalisme dan menuju pendewasaan bangsa. Pandangan-pandangan Sjahrir
terlalu jauh ke depan, sehingga membinggungkan orang yang pada waktu itu
sedang haus akan hasil politik praktis. Pidatonya terdengar abstrak, tidak
mengebu-gebu, dan kekurangan api. Politik berundingnya mendapat perlawanan
keras. Terutama dari golongan Persatuan Perjuangan dibawah pimpinan Tan
Malaka.
23
Bagi Sutan Sjahrir, memiliki harta benda atau materi bukan yang utama
sebab bangsa Indonesia sebagian besar masih hidup dalam kemiskinan. Sutan
Sjahrir adalah pejuang yang rasional. Dia tahu sangat sulit mengimbangi kekuatan
militer kolonial oleh karena itu upaya lain adalah melalui perundingan. Sjahrir
jelas perkasa dalam diplomasi. Salah satunya dia perlihatkan dengan langkah
mengunjungi New Delhi dan Kairo sebelum mengikuti sidang Dewan Keamanan
PBB di New York. Hal tersebut dia lakukan untuk melobi dukungan India dan
Mesir.
Pokok kekhawatiran Sjahrir akan negara Indonesia adalah bahaya
totaliterisme dan militerisme. Sjahrir kuatir, kalau Sukarno tidak dibantu maka ia
akan dirangkul oleh kelompok komunis sehingga dapat menjurus ke arah
totaliterisme atau dirangkul oleh kelompok militer yang bisa menjurus kepada
militerisme. Karena itulah Sjahrir memandang bahwa militer di Indonesia tidak
selayaknya dijauhi, melainkan dibantu. Begitu juga sikapnya pada Sukarno, dia
melarang untuk menjauhi Sukarno. Sangat disayangkan hubungan pribadi yang
buruk antara kedua tokoh ini tidaklah memungkinkan Sukarno untuk menerima
apalagi mempercayai visi-visi, kritik serta oposisi Sjahrir.
2.2. Perkenalan Sjahrir dengan Sosialisme
2.2.1. Jong Indonesie
Sewaktu Sjahrir tiba di Bandung pada tahun 1926, buletin Algemene
Indische Dagblad (AID), memberitakan kedatangan seorang gubernur jenderal
baru di Hindia, yaitu A. C. D de Graeff yang kabarnya teman dekat dari banyak
24
penganjur Politik Etis. Laporan-laporan yang mencemaskan tentang percobaan
pemberontakan Komunis yang berpusat di Batavia, Jawa Barat, dan di tanah
kelahiran Sjahrir, Minangkabau, dimuat dalam buletin itu tidak lama kemudian, di
penghujung tahun 1926 dan di awal tahun 1927.18
Teman-teman Sjahrir menyatakan bahwa pada tanggal 20 Februari 1927,
Sjahrir termasuk orang yang membentuk himpunan kaum nasionalis Jong
Indonesie. Tidak ditemukan catatan sezaman tentang keikutsertaannya. Meskipun
demikian dia disebutkan dalam laporan polisi sebagai pimpinan salah satu rapat
perhimpuan tersebut. Pada bulan Agustus 1928, Sutan Sjahrir, sudah dikenal oleh
polisi Bandung sebagai pemimpin redaksi dari majalah himpunan tersebut.
Di penghujung tahun 1928, Jong Indonesie telah menyebar di luar wilayah
Bandung. Perhimpunan tersebut sudah punya cabang di Batavia, Yogyakarta, dan
Surabaya. Poetri Indonesia merupakan nama bagian pemudinya, yang merupakan
cabang himpunan yang terdapat di Bandung, Batavia, dan Surabaya. Ada tiga
majalah yang diterbitkan oleh himpunan tersebut, yaitu ; Jong Indonesie di
Bandung, Kabar Kita di Surabaya dan Soeara Kita di Yogyakarta.
Semangat serta gaya AMS telah masuk ke dalam Jong Indonesie. Kegiatan
khusus Jong Indonesie, yaitu menyelengarakan sekolah sendiri. Nama sekolah
tersebut adalah Tjahja Volksuniversiteit. Jong Indonesie mendirikan cabang-
cabang Tjahja Volksuniversiteit di Batavia dan Yogyakarta, tetapi pendidikannya
18 Rudolf Mrázek. 1996. Sjahrir; Politik dan Pengasingan di Indonesia,
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. hal 63-64.
25
yang ada di Bandung dianggap yang paling maju dan mempunyai ciri khas
tersendiri.
Soebagio Mangoenrahardjo, teman dekat Sjahrir pada waktu itu, dia
adalah pendiri dan juga direktur Tjahja Volksuniversiteit yang ada di Bandung.
Menurut Soebagio Mangoenrahardjo, Sjahrir merupakan tokoh utama di antara
mereka. Menurut laporan dari Bandung pada tahun 1928 ;
”Universitas ini dirancang bukan hanya untuk mengajar membaca dan menulis, melainkan juga untuk memberi pengajaran dalam bahasa-bahasa asing, ekonomi, matematika, fisika, serta mata pelajaran lainnya. Kuliah-kuliah diberikan kepada orang Indonesia dari semua usia, lelaki maupun perempuan, di mana siswa dan mahasiswa tak dikenai biaya … Enam ratus orang terdaftar sebagai murid. Di antara yang terdaftar ada kuli, petani, dan pekerja, juga beberapa puluh wanita dan orang tua di atas empat puluh tahun”. 19
Ada laporan-laporan lain yang menyatakan bahwa Tjahja Volksuniversiteit
mengajarkan bahasa Belanda, Indonesia, Inggris, Jerman, dan Prancis di samping
pelajaran hukum, antropologi, sosiologi, stenografi dan sejarah.
Tujuan Jong Indonesie adalah untuk mendorong gagasan kesatuan
nasional Indonesia melalui gerakan pramuka, olahraga, jurnal, selebaran dan
pertemuan atau rapat-rapat. Salah satu dari pemimpinnya menyatakan bahwa
”Jong Indonesie bukan didasarkan pada politik melainkan mempelajari politik
sebagai suatu kajian ilmiah”. Sebagian besar bermuara pada debat politis, dan
keputusan politis telah dihasilkan dalam klub debat Patriae Scientiaeque.20
19 Ibid. hal 68. 20 Ibid. hal 69.
26
Tjahja Volksuniversiteit dan juga Jong Indonesie, mendapatkan dukungan
dari berbagai sumber, tetapi sebagian besar dukungan diperoleh dari sumbangan
dari hasil pertunjukan-pertunjukan sandiwara Batovis. Masalah politik yang
paling sering dibicarakan dalam AMS, Patriae Scientiaeque, dan Jong Indonesie
ialah ”anti feodalisme”. Bagi kalangan ini, politik adalah masalah pertumbuhan
dan pematangan, masalah transisi dan penerjemahan.
Pada bulan Desember 1928, Kongres Pemuda se-Hindia Kedua
berlangsung di Batavia. Sejumlah Jong Indonesie dari Bandung pergi ke Batavia,
dan beberapa laporan menyatakan bahwa Sjahrir termasuk di antara yang hadir.
Para pemuda di Kongres itu mengucapkan sumpah ”Satu Nusa”, ”Satu Bangsa”,
dan ”Satu Bahasa”. ”Indonesia Raya” yang kemudian menjadi lagu kebangsaan
Indonesia, dinyanyikan untuk pertama kalinya dalam kongres tersebut.21
2.2.2. Sjahrir di Negara Belanda pada tahun 1929-1931
Sjahrir menyelesaikan studinya di AMS Bandung pada tahun 1929. Ia
mempunyai saudara perempuan yang menikah dengan Dr. Djoehana Wiriadikarta,
yang memperoleh beasiswa untuk melanjutkan diploma bumiputeranya di
Belanda. Sjahrir mengikuti keluarga kakaknya tersebut. Ia melanjutkan studinya
di Universitas Amsterdam, di fakultas Hukum. Di Amsterdam, garis pemisah
antara warga negeri penjajahan dan penduduk wilayah jajahannya tak terlihat
sama sekali.22
21 Ibid. hal 73. 22 Syahbuddin Mandaralam. op. cit. hal 14.
27
Seperti orang lain yang segenerasi dengannya, Sjahrir merasa
tergairahkan, terangsang, dan bahkan terserap sepenuhnya oleh lingkungan
Universitas di Belanda. Ia mengadakan kontak dengan mahasiswa-mahasiswa
Indonesia lainnya, termasuk sejumlah mahasiswa dari Minangkabau, tetapi hal
tersebut tidak membatasi pergaulannya hanya dengan mereka saja. Sebagai orang
yang suka berkumpul, kesempatan bergaul dengan mahasiswa-mahasiswa
Belanda berdasarkan persamaan derajat dan menjalin persahabatan berdasarkan
simpati atau persamaan wawasan tanpa dikekang oleh rintangan-rintangan ras,
merupakan suatu pengalaman baru bagi Sjahrir. Dengan bersemangat ia
memasuki kehidupan kegiatan politik mahasiswa.
Hanya beberapa hari setelah tiba di Amsterdam, Sjahrir menulis surat
kepada ketua himpunan mahasiswa Sociaal Democratishe Studenten Club (Klub
Mahasiswa Demokrat Sosial) di kota itu untuk menanyakan keterangan tentang
gerakan pemuda tersebut. Tidak lama setelah Sjahrir tiba di Belanda, ayahnya
meninggal, sehingga kemudian pendukung dana utamanya pun tidak ada. Dr.
Djoehana menyelesaikan studinya dan kemudian mereka sekeluarga kembali ke
Hindia. Tetapi Sjahrir masih menyelesaikan studinya. Setelah keluarga Dr.
Djoehana kembali ke Hindia, Sjahrir kemudian pindah ke rumah Sal Tas ketua
himpunan mahasiswa Sociaal Democratishe Studenten Club.
Klub Mahasiswa Demokrat Sosial menerbitkan sebuah jurnal yaitu De
Socialist, dan penggambaran Sal Tas mengenai pandangan-pandangannya sering
tercermin pada isi jurnal tersebut. Sjahrir, menurut Sal Tas adalah salah satu dari
mereka yang bekerja keras bukan hanya untuk bicara tentang sosialisme,
28
melainkan benar-benar mempelajarinya. Buku-buku yang sering dibaca oleh
Sjahrir pada waktu itu adalah Hilferding, Rosa Luxemburg, Karl Kautsky, Otto
Bauer, Hendrik De Man, Marx dan Engels. Untuk lebih mengetahui tentang
sosialisme, Sjahrir bekerja pada Serikat Federasi Buruh Angkutan Internasional
(International Transport Worker’s Federation, ITWF). Di dalam ITWF tidak ada
pekerjaan harian yang rutin. Federasi tersebut terperangkap dalam cita-cita politik
dan juga abtrak (tidak berwujud). Sjahrir mendapat uang saku dari hasil kerjanya,
ia juga bisa mengenal lebih dekat bagaimana kehidupan kaum buruh. Namun
Sjahrir tidak lama bekerja dengan kelompok tersebut.23
Ketika Sjahrir di Belanda, Hatta telah berada di sana selama delapan tahun
dan masih belajar di Sekolah Bisnis di Rotterdam. Saat itu Hatta sudah terkenal di
dalam dunia politik Belanda. Ia adalah ketua Perhimpunan Indonesia, suatu
organisasi mahasiswa patriotik dari Hindia yang berpusat di Negeri Belanda.24 Di
tahun 1929, Hatta semakin gelisah untuk secepatnya menyelesaikan studinya dan
kembali ke Hindia. ”Pada waktu itu, ” kenang Hatta ;
”Saya telah menjelaskan bahwa saya akan berhenti sebagai ketua (Perhimpunan Indonesia)... dan saya telah mendidik kader-kader baru untuk menggantikan saya, seperti Abdullah Sukur, seorang mahasiswa hukum yang telah lulus dalam ujian pertama...dia berasal dari Ambon, Rusbandi, seorang mahasiswa hukum di Universitas Leiden, dan Sutan Sjahrir”.25
Di bawah bimbingan Hatta, Sjahrir memasuki Perhimpunan Indonesia.
Pada tahun 1929, Hatta melepaskan jabatannya dan Abdullah Sukur dipilih
23 Ibid. hal 100-104. 24 Ibid. hal 109. 25 Ibid. hal 110.
29
sebagai pengantinya. Pada pertemuan yang diadakan oleh Perhimpunan Indonesia
tanggal 4 Februari 1930, nama Sjahrir sudah tercantum dalam laporan polisi
sebagai pembicara utama dalam pertemuan itu. Dua minggu kemudian, dia dipilih
menjadi sekretaris Perhimpunan Indonesia. Pada bulan Mei 1930, Sjahrir sudah
menjadi orang kedua setelah ketua.
Mungkin tidak ada orang Indonesia yang begitu berbeda wataknya
dibandingkan antara Hatta dan Sjahrir. Sebagaimana di Bandung, Sjahrir dikenal
karena kecepatannya menceburkan diri ke dalam ilmu pengetahuan sedangkan
Hatta tekun belajar. Akan tetapi terlepas dari kenyataan bahwa mereka berdua
adalah pejuang kemerdekaan. Ada kesamaan alamiah yang kuat di antara mereka,
saling pengertian yang tumbuh berkat pengalaman dari Pendidikan Etis yang sama
di Hindia dan melangkah lebih maju dalam sistem pendidikan kolonial di Negeri
Belanda sendiri.
2.3. Sosialisme Kerakyatan di Indonesia
Dalam bukunya yang berjudul Sosialisme Indonesia Pembangunan,
Sjahrir menyatakan; menurut teori yang ortodoks tujuan sosialisme dan juga
komunisme adalah bahwa segala alat produksi di ubah menjadi milik bersama.
Oleh karena itu sistem ekonomi kapitalis yang berdasarkan atas milik
perseorangan itu berubah menjadi sistem ekonomi yang sosialis, dengan kata lain
yang berdasarkan atas pemilikan bersama terhadap alat produksi. Sistem ekonomi
yang berdasarkan atas milik perseorangan adalah sama artinya dengan eksploitasi
30
tenaga kaum buruh yang memungkinkan kekayaan si pemilik alat produksi
bertambah besar dan berpusat pada jumlah orang yang sedikit.
Sosialisme adalah suatu pemikiran, suatu aliran internasional yang
disandarkan pada teori hendak memerdekakan kaum buruh yang dipengaruhi oleh
sistem kapitalisme. Bermacam-macam teori tentang sosialis telah muncul di
dunia, begitu banyak pula aliran pergerakan yang berdasarkan pada sosialisme.
Namun semuanya mengandung maksud hendak mengubah masyarakat dan sistem
kapitalisme dengan masyarakat yang hidup dalam rumah sosialistis26, di mana
semua alat produksi berada di tangan masyarakat umum, tidak lagi hanya dikuasai
segolongan kecil kaum borjuis yang mempengaruhi kaum proletar.
Kaum sosialis umumnya berpendapat bahwa sesudah lenyapnya segala
hak milik pribadi, dan berpindahnya alat-alat produksi ke tangan masyarakat
umum, maka suatu masyarakat bisa berjalan sempurna dan berkembang dengan
sebaik-baiknya. Maka kemakmuran dan kemajuan pun bisa terwujud. Tidak ada
lagi kaum buruh dan kaum kapitalis, kaum yang terpengaruh dan kaum yang
mempengaruhi. Dalam masyarakat yang dikehendaki oleh kaum sosialis, alat-alat
produksi dimiliki bersama, pembagian dari penghasilan pun didistribusikan
(disalurkan) secara adil. Dengan demikian tidak ada nafsu untuk mendapatkan
keuntungan seperti yang ada dalam sistem kapitalis.27
26 Sosialistis adalah bersifat atau sesuai dengan sosialisme: bersifat
memihak kepada kepentingan masyarakat. 27 Sutan Sjahrir. 2000. Pikiran dan Perjuangan, Yogyakarta: Jendela. hal
87-88.
31
Persaingan serta produksi yang tidak teratur di dalam masyarakat kapitalis
menimbulkan krisis serta tidak adanya keseimbangan antara penghasilan dan
kemampuan membeli pada masyarakat. Sehingga pada akhirnya terjadi suatu
krisis, di mana sistem kapitalis tidak dapat bertahan dan manusia melanjutkan
kehidupannya dengan sistem ekonomi yang lain.28 Sistem ekonomi tersebut
adalah sistem ekonomi yang berdasarkan atas milik bersama atau sistem ekonomi
sosialis di mana segala penghasilan diatur menurut keperluan masyarakat serta
tidak mungkin lagi terjadi krisis karena persaingan. Di dalam sistem sosialis tidak
ada kemungkinan eksploitasi oleh seorang terhadap yang lain. Segala penghasilan
dapat dirujukan sepenuhnya untuk memenuhi keperluan masyarakat, sehingga
tidak akan terjadi pemborosan tenaga maupun hambatan bagi kemajuan dan
perkembangan teknik produksi.
Menurut pendapat Sjahrir ada beberapa hal yang membedakan sosialisme
Barat dan Komunis, bukan hanya pengertian mereka tentang perkembangan
masyarakat, dan juga bukan perbedaan tentang penghargaan kewajiban serta
usaha pergerakan buruh di dalamnya, melainkan juga perbedaan pengertian serta
penghargaan fungsi suatu negara. Para Komunis memandang negara semata-mata
sebagai alat kekuasaan golongan yang berkuasa yaitu kekuasaan kelas borjuis.
Bagi mereka tiap negara itu sebenarnya adalah suatu diktatur. Diktatur itulah yang
harus dicapai oleh kaum proletar untuk menghancurkan kekuasaan borjuis.
Para Sosialis Barat pada umumnya tidak memandang arti serta fungsi
negara seperti para Komunis. Para Sosialis berpendapat bahwa negara bukanlah
28 Sutan Sjahrir. 1982. Sosialisme Indonesia Pembangunan, Jakarta: Leppenas. hal 42.
32
suatu barang yang tetap dengan arti dan fungsi tertentu. Mereka menghargai
negara bersangkutan dengan perkembangan masyarakatnya serta perbandingan
kekuatan-kekuatan masyarakat yang selalu berkembang dan juga berubah. Oleh
karena itu mereka memandang bahwa corak serta fungsi negara tergantung pada
perkembangan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat serta
menjernihkan perbandingannya.29
Sosialisme di Indonesia bagi Sjahrir didasarkan pada kerakyatan, dalam
arti kepercayaan rakyat dan bangsa pada umumnya. Sosialisme yang berdasarkan
kerakyatan adalah satu-satunya jalan untuk suatu negara yang tidak perlu lagi
memikirkan soal kekuasaan atau pemerintahan yang harus direbut dengan cara
pemberontakan atau untuk suatu masyarakat yang tidak mengenal perbedaan
golongan yang menghisap dan menindas dengan golongan yang dihisap dan
ditindas oleh bangsa sendiri. Sosialisme yang ia maksudkan bersifat kemanusiaan
umum bukan hanya ditujukan untuk satu golongan, golongan proletar atau buruh
tetapi untuk semua golongan.
Pada tahun 1926 terjadi pemberontakan kaum komunis di Hindia.
Peristiwa tersebut menggugah Sjahrir untuk mempelajari apa yang menyebabkan
pemberontakan itu terjadi, dan mengapa tidak mendapat dukungan rakyat. Dari
pengalaman Sjahrir dalam melihat kehidupan rakyat di desa-desa Jawa Barat,
terutama di sekitar kota Bandung, Garut, dan Sumedang, Sjahrir menyimpulkan,
bahwa taraf pendidikan dan kesadaran rakyat Indonesia masih rendah, sebagian
besar masih buta huruf. Mereka belum dapat menerima, bahkan tidak memahami
29 Sutan Sjahrir. op. cit. hal 47.
33
suatu gerakan revolusi. Mereka belum sadar akan hak-haknya sebagai manusia
merdeka. Mereka tidak memiliki kebebasan, karena mereka juga tidak mengerti
arti kebebasan dalam kehidupannya sehari-hari. Mereka sudah terbiasa hidup
sebagai orang yang diperintah, baik oleh penguasa asing maupun oleh penguasa
bangsa sendiri. Untuk mengubah pandangan rakyat yang demikian, maka perlu
digalakkan kesempatan bagi mereka untuk menerima pelajaran baca-tulis. Agar
mereka dapat mengikuti dunia modern oleh karena itu Sjahrir menganggap bahwa
bidang pendidikan sebagai bagian terpenting dalam kehidupan bangsa. Para
pemuda yang telah memperoleh pendidikan, harus membagi pengetahuannya
dengan rakyat desa. Hanya dengan memajukan pendidikan umum, rakyat
Indonesia akan menyadari hak-haknya sebagai bangsa. Pikiran seperti itu muncul
ketika Sjahrir masih menjadi pelajar AMS di Bandung.
Walaupun Sjahrir cenderung berpihak kepada kaum pekerja atau kelas
buruh, ia bukanlah seorang komunis. Ia tidak menyukai sistem diktator proletariat
ala komunis dalam mencapai cita-cita kemerdekaan dan menuju jenjang
kekuasaan. Sjahrir juga bukan penganut aliran sosialis liberal yang dianut oleh
kebanyakan kaum sosialis Eropa Barat. Ide politiknya telah terbentuk berdasarkan
cita-cita kerakyatan Indonesia, yang mendambakan kemerdekaan dan kebebasan.
Yang melihat potensi rakyat dengan modal dasar dalam perjuangan membebaskan
diri dari belenggu penjajahan.30
Sjahrir mempunyai teori nilai tambah, kemerdekaan politik harus
menyediakan kebebasan bagi kehidupan warga negara secara utuh dan terpadu.
30 Syahbuddin Mandaralam, op. cit. hal 15.
34
Menurut Sjahrir, suatu bangsa dapat merdeka dari penjajahan asing, tapi
kemudian ditindas oleh pemerintahan sendiri dan hal tersebut tidak boleh terjadi.
Kemerdekaan harus mengandung arti kebebasan bagi setiap warga negara dalam
menikmati hak-haknya, di samping kewajiban-kewajiban politik atau sosialnya.
Rakyat harus menyadari kedudukannya sebagai warga negara, terutama hak-hak
demokrasinya. Demokrasi kerakyatan merupakan jawaban yang dicari Sjahrir.
Sebab dengan kerakyatan akan lebih mudah bagi masyarakat untuk berpikir
tentang arti kerakyatan.31
31 Ibid. hal 16.
35
BAB III
SUTAN SJAHRIR DAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA
3.1. Peran Sjahrir Sebelum Kemerdekaan
3.1.1. Pendidikan Nasional Indonesia
Pada tanggal 29 Desember 1929 pemerintah kolonial Belanda menangkap
Sukarno dan tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia. Hal ini terjadi dikarenakan
pihak Belanda menganggap bahwa Sukarno dan anggota partainya melakukan
kegiatan revolusioner untuk melawan pihak Belanda. Bagi Hatta dan Sjahrir,
penangkapan tersebut menyurutkan semangat kaum pergerakan dan kejadian
tersebut merupakan suatu sinyal bahwa keadaan di Tanah Air sedang menghadapi
masalah serius. Terlebih setelah mendengar PNI justru dibubarkan oleh aktivisnya
sendiri, yang kemudian membentuk Partai Indonesia (Partindo). Gerakan
nasionalisme kultural Partindo dinilai terlalu lemah dan mengecewakan kaum
nasionalis, mereka berharap ada tokoh yang lebih berani.32
Sejak terjadinya penggerebekan pada tanggal 29 Desember 1929 di Hindia
Belanda sampai kongres PNI di Yogyakarta pada 14 Februari 1931, para anggota
yang kecewa dengan dibubarkannya PNI, tetap berhubungan dan membicarakan
tindakan selanjutnya. Di Bandung, Batavia, dan Surabaya mereka membentuk
studieclub masing-masing. Untuk membedakan dari Partindo, mereka menyebut
diri mereka sebagai Golongan Merdeka. Sejak bulan Juni 1931 Hatta dan Sjahrir
mulai menunjukkan dukungan bagi Golongan Merdeka.
32 TEMPO, Edisi 9-15 Maret 2009. hal 28.
36
Dorongan serta saran dari Hatta dan Sjahrir mulai menujukkan hasil
menjelang pertengahan Agustus 1931. Seperti diberitakan oleh Warna Warta,
pada tanggal 12 Agustus 1931, Golongan Medeka sudah membentuk suatu panitia
pusat untuk merancang penerbitan Daulat Ra’jat. Panitia pusat berkedudukan di
Batavia, dengan sub-panitia di Bandung, Malang, Surabaya, dan Pelembang.
Karena sering mengadakan pertemuan, mereka sepakat bahwa wadah yang terbaik
bagi mereka bukan partai, bukan pula perhimpunan, melainkan pendidikan.33
Pada bulan September tahun 1931, Golongan Merdeka bersepakat menyebut diri
mereka Club-club Pendidikan Indonesia, dan pada tanggal 20 September 1931
mereka menerbitkan nomor perkenalan Daulat Ra’jat yang akan terbit setiap 10
hari sekali. Isinya antara lain mengenai keterangan asas kerja mereka, yakni
kebangsaan dan kerakyatan.
Pada akhir bulan September atau awal Oktober 1931, club-club tersebut
membentuk Komite Golongan Merdeka di Batavia. Komite tersebut mengadakan
pertemuan Golongan Merdeka di Batavia pada tanggal 31 Oktober 1931. Acara
pokoknya adalah membentuk suatu partai baru. Hasilnya, suatu konferensi untuk
membentuk partai itu diadakan di Yogyakarta pada tanggal 25-27 Desember 1931.
Hatta dan Sjahrir saat itu sudah menjadi tokoh di kalangan nasionalis. Tulisan-
tulisan mereka dari Negeri Belanda tentang pentingnya pendidikan menuju
kemerdekaan sangat berpengaruh terhadap kaum pergerakan. Karena terpengaruh
tulisan tersebut, pada bulan Maret-April 1931 sekelompok mahasiswa dan
pemuda membentuk klub studi di Bandung dan Jakarta.
33 Parakitri T Simbolon. op. cit. hal 348.
37
Dalam konferensi tersebut, yang dipimpin oleh Soekemi, timbul
perdebatan mengenai nama partai baru itu. Ada yang mengusulkan Partai
Indonesia Merdeka, ada pula yang mengusulkan Partai Daulat Ra’jat. Ketika
perdebatan terjadi, masuk telegram dari Hatta yang pada waktu itu berada di
Belanda, sedangkan Sutan Sjahrir sedang dalam perjalanan pulang untuk
membantu. Isi telegram itu adalah lupakan untuk membentuk partai, tetapi
pertahankan ciri khas Club Daulat Ra’jat. Pada akhirnya, konferensi memutuskan
untuk membentuk suatu wadah bernama Pendidikan Nasional Indonesia, yang
kemudian lebih dikenal dengan PNI-Baru atau PNI Pendidikan. Tugas utama
partai tersebut untuk sementara adalah mendidik calon pemimpin pergerakan
kebangsaan.34
Sjahrir tiba di Hindia Belanda pada tahun 1931. Kehadirannya kembali di
tanah air menjadi suatu tahap baru dalam perkembangan politiknya. Dari
pendidikannya di Belanda ia telah memperoleh kebiasaan untuk melakukan
analisis yang tajam, menggunakan logika yang tidak sentimental, dan
kesediaannya untuk melancarkan kritik yang tajam terhadap hal-hal yang
dianggapnya tak berharga.35
Hatta dan Sjahrir memilih untuk tidak bekerjasama dengan Partindo,
organisasi politik massa tersebut, namun sebaliknya dengan terang-terangan
memilih bergabung dengan kelompok nasionalis Golongan Merdeka yang relatif
kecil, dan punya kesadaran politik yang lebih tinggi, punya arti penting untuk
34 Ibid. hal 349. 35 J.D. Legge, 1993. Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan ;
Peranan Kelompok Sjahrir, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, hal 57-58.
38
jangka panjang. Hatta dan Sjahrir yakin, bahwa partai massa semacam itu, dan
pimpinannya yang karismatik dan sangat dipercaya, tidak cocok untuk
melanjutkan pergerakan kebangsaan secara efektif. Mereka merasa, bahwa setiap
saat orang-orang Belanda dapat menangkap pemimpin yang daya tariknya
terhadap massa membahayakan kepentingan Belanda.
Suatu pergerakan kebangsaan yang bergantung kepada beberapa orang
penting yang sedang jaya suatu saat pasti akan menemui kegagalan, karena
Belanda akan menyingkirkan para pemimpin semacam itu dari kancah politik.
Hatta dan Sjahrir yakin bahwa pergerakan semacam itu hanya mempunyai
kekuatan jika sejumlah rakyat Indonesia dididik agar matang dalam masalah-
masalah politik, dan punya pengertian yang mendalam tentang prinsip-prinsip
kebangsaan. Proses pendidikan itu mereka rencanakan sebagai pelaksanaan jangka
panjang secara tidak spektakuler. Langkah pertama yang penting adalah
membentuk kader-kader pemimpin formasi pertama dan kedua. Kader-kader itu
selanjutnya dapat mendidik anggota yang lebih luas secara bergilir. Mereka yakin
bahwa dalam jangka panjang, sekelompok kecil kader yang dapat diandalkan,
akan mencapai kemerdekaan yang tidak dapat dicapai oleh pemimpin karismatik
yang kariernya tidak lama walau punya dukungan massa.36
Sjahrir menggantikan Soekemi pada bulan Juni 1932 sebagai pemimpin
PNI-Baru, kemudian menyerahkan pimpinan tersebut kepada Hatta sekembalinya
Hatta ke Hindia Belanda pada bulan Agustus. Ia juga memegang pimpinan atas
Daulat Ra’jat. Menjelang kembalinya Hatta ke Indonesia, partai baru itu sudah
36 George Mc Turnan Kahin, 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Surakarta : UNS. hal 117.
39
menjadi organisasi yang berfungsi, dengan sekitar selusin cabang, dan beberapa di
antaranya terus berkembang dalam bulan-bulan berikutnya.
Dimasukkannya kata ’Pendidikan’ ke dalam nama partai tersebut
mempunyai maksud khusus dan juga serius. Sebagian kegiatan partai itu adalah
menyelenggarakan pendidikan politik bagi para anggotanya, yang sebagian
dilakukan melalui halaman-halaman Daulat Ra’jat dan tulisan-tulisan lain,
termasuk risalah Kearah Indonesia Merdeka yang secara khusus ditulis oleh Hatta
sebagai semacam manifesto pergerakan itu, sebagian melalui ceramah-ceramah
untuk para anggota cabang dan yang lain, dan sebagian lagi melalui kursus-kursus
yang diberikan kepada para anggotanya.37
Para anggota Pendidikan Nasional Indonesia, bukanlah kaum buruh dalam
artian suatu kelas sosial walaupun sebagian terbesar dari mereka hanya
berpendidikan menengah dan bukan berpendidikan tinggi. Namun, mereka
menginginkan suatu pendidikan politik berwarna sosialis yang akan membawa
mereka melampaui batas-batas gaya agitasi (hasutan kepada orang banyak)
nasionalisme yang sempit. Dengan cara ini, PNI-Baru di bawah pimpinan Hatta
dan Sjahrir, mengembangkan suatu pandangan dunia dan suatu cara yang khas
dalam menyelesaikan masalah-masalah yang sedang dihadapi pergerakan
kebangsaan.38
Jalan Politik yang diambil Sutan Sjahrir, sesungguhnya dilatarbelakangi
oleh jiwa patriotik dan pemikirannya yang menjunjung tinggi persamaan derajat
37 J.D. Legge, op. cit. hal 59. 38 J.D. Legge, Ibid. hal 60.
40
setiap manusia. Menurut Sutan Sjahrir nasionalisme harus berpijak pada
demokrasi, karena nasionalisme bisa tergelincir pada fasisme jika bersekutu
dengan feodalisme lokal. Nasionalisme juga bisa menjadi chauvinistik dalam
hubungan internasional, jika tidak dilandasi pemikiran humanistik (kemanusiaan).
3.1.2. Pendudukan Jepang pada Tahun 1942
Pada tanggal 9 Maret tahun 1942 Jepang telah menduduki seluruh pulau
Jawa. Sebagian kecil orang Belanda bergabung dengan rakyat Indonesia dalam
membangun gerakan perlawanan terhadap bangsa Jepang. Setelah bangsa Belanda
kalah oleh Jerman, rakyat Indonesia merasa kegirangan karena menganggap
Jepang sebagai penyelamat mereka dari penjajahan Belanda pada waktu itu.39
Pihak Jepang menyadari bahwa mereka tidak dapat mengendalikan aparat
pemerintahan, padahal kepentingan mereka untuk menenangkan rakyat sangat
mendesak kalau peperangan ingin terus berlangsung tanpa gangguan. Pada
mulanya Jepang mencoba memanfaatkan elemen-elemen feodal dan agama guna
memperoleh dukungan. Ketika usaha tersebut gagal, mereka berpaling kepada
Hatta dan Sjahrir. Kedua pemimpin ini tidak mempercayai Jepang, mereka
mengetahui bahwa Jepang akan berusaha untuk membentuk sebuah pemerintah
Indonesia dengan kendali di tangan Jepang..
Sjahrir dan Hatta berkesimpulan bahwa berperan serta dalam
pemerintahan yang disponsori Jepang akan membantu mempersatukan kegiatan
39 P. R. S. Mani, 1989. Jejak Revolusi 1945 ; Sebuah Kesaksian Sejarah.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. hal 68.
41
kaum nasionalis dan kaum revolusioner yang berpencar guna mencapai
kemerdekaan. Keduanya bersepakat untuk sementara waktu Hatta bekerja sama
dengan pihak Jepang, sedangkan Sjahrir akan memimpin pengorganisasian
gerakan revolusioner bawah tanah yang terkoordinasi.
Karena itu, ketika pada akhir tahun 1943, Jepang mendekati Hatta untuk
diminta kerja samanya, Hatta menyetujui dengan syarat ia diperbolehkan
mengorganisasi pembangunan bangsa Indonesia. Keadaan mereka yang sulit dan
kesadaran akan pentingnya pemimpin yang populer seperti Hatta membuat Jepang
dengan mudahnya menerima syarat-syarat yang diajukan Hatta. Akan tetapi,
mereka gagal ketika mengharapkan kerja sama Sjahrir dengan cara serupa. Sjahrir
memberi alasan bahwa dirinya terlalu disibukkan oleh kegiatan ’pendidikannya’
untuk memikirkan hal-hal lain, alasan yang dikemukakan hanya untuk ’menutupi’
kegiatannya di bawah tanah.
Pada bulan Juli tahun 1942, Hatta, Sukarno, dan Sjahrir, mengadakan
pertemuan rahasia di kediaman Hatta. Pada pertemuan itu Sukarno menyetujui
rencana yang telah dipikirkan secara matang oleh Hatta dan Sjahrir. Akhirnya
diputuskan bahwa Sukarno-Hatta akan menawarkan kerja sama mereka dengan
pihak Jepang, melindungi roda pemerintahan dari campur tangan Angkatan
Perang Jepang, dan menyediakan basis legal yang luas bagi perjuangan nasional
sambil secara rahasia membantu gerakan perlawanan revolusioner pimpinan
Sjahrir dengan memberikan informasi dan juga uang.40
40 Ibid. hal 69-71.
42
Pada bulan Oktober 1944, menyusul pernyataan Perdana Menteri Koiso di
Parlemen Jepang bahwa Indonesia akan segera diberi kemerdekaan, Sukarno-
Hatta dan yang lain-lainnya diizinkan untuk secara terbuka menganjurkan
kemerdekaan. Pada tanggal 1 Maret 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan yang
berbasis luas di Jawa dibentuk. Setelah mengadakan sidang secara rutin pada
bulan Mei, Juni, dan Juli, Panitia tersebut berhasil mencapai keputusan-keputusan
mengenai soal-soal ekonomi dan konstitusi.41
3.2. Peran Sjahrir Dalam Mencapai Kemerdekaan
3.2.1. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945
Ketika Kekaisaran Jepang sudah mendekati keruntuhannya, pada tanggal 8
Agustus Sukarno dan Hatta dipanggil ke Saigon untuk bertemu dengan Pangeran
Terauchi, Panglima Tertinggi Tentara Jepang Wilayah Selatan. Pesan yang
disampaikan oleh Terauchi adalah bahwa penentuan waktu serah terima
kemerdekaan sekarang berada di tangan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI). Setelah membicarakan soal proklamasi kemerdekaan Indonesia,
disitu diputuskan bahwa Panitia Persiapan Kemerdekaan harus bersidang pada
tanggal 19 Agustus 1945 di Jakarta. Sebelum berangkat ke Saigon, Hatta dan
Sjahrir telah sepakat bahwa saat yang menentukan bagi usaha revolusioner besar-
besaran, yaitu secara terang-terangan menggabungkan berbagai kekuatan legal di
bawah Sukarno-Hatta dan gerakan bawah tanah dalam usaha mendirikan negara
Indonesia yang merdeka. Pada tanggal 14 Agustus rombongan kembali ke Jakarta
41 Ibid. hal 77.
43
tanpa mengetahui perihal telah dijatuhkannya bom atom yang pertama serta akan
menyerahnya Jepang, dan langsung terlibat dalam perdebatan sengit tentang
strategi yang akan ditempuh untuk memproklamasikan kemerdekaan. Pada
mulanya, Sjahrir merupakan salah satu peserta utama dalam perdebatan itu.42
Ketika berita menyebar pada rakyat Indonesia bahwa pada tanggal 14 Agustus
Jepang telah menyerah kepada Sekutu, diam-diam Hatta berunding dengan Sjahrir
yang mendesak agar proklamasi kemerdekaan harus diadakan sesegera mungkin
karena jika menunggu tanggal 19 Agustus mungkin akan terlambat.43
Sjahrir memberitahu Hatta yang baru kembali dari Saigon bahwa Jepang
sudah menyatakan kesediaan untuk menyerah, dan berusaha keras meyakinkan
Hatta mengenai pentingnya deklarasi kemerdekaan dilakukan segera oleh Sukarno
sebagai pemimpin rakyat, atas nama rakyat, sehingga dikemudian hari tidak akan
timbul kesan seolah-olah Indonesia memperoleh kemerdekaannya sebagai hadiah
dari Jepang. Hatta tidak dapat diyakinkan sepenuhnya, tetapi ia membawa Sjahrir
ke rumah Sukarno untuk membicarakan soal itu lebih lanjut. Sukarno maupun
Hatta khawatir bahwa langkah yang tergesa-gesa akan memancing tindak
kekerasan dari pihak Jepang untuk menumpas republik yang mengumumkan
kemerdekaannya secara sepihak. Menurut Hatta, Sukarno meragukan apakah
Jepang benar-benar sudah menyerah, dan ingin memperoleh sekurang-kurangnya,
suatu persetujuan tidak resmi dari pihak berwajib sebelum bertindak. Mereka
berdua berpendapat bahwa pernyataan kemerdekaan harus dikeluarkan oleh
42 J.D. Legge, op. cit, hal. 171. 43 P. R. S. Mani, op. cit. hal 82.
44
Panitia Persiapan yang akan melangsungkan sidang peresmiannya pada tanggal 18
Agustus. Sjahrir berpendapat bahwa jika Jepang telah meminta damai maka
negara itu, sebenarnya tidak lagi berada dalam posisi untuk menepati janjinya
memberikan kemerdekaan, apakah itu melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) atau dengan cara lain. Ia juga mengisyaratkan bahwa sudah ada
rencana bagi suatu pemberontakan rakyat dalam skala yang tidak akan dapat
dikendalikan oleh pihak Jepang untuk mendukung proklamasi kemerdekaan itu.
Pada akhir pembicaraan itu, Sukarno tetap pada keputusannya untuk menunggu
sampai diselenggarakannya sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI).
Di zaman Jepang pemuda dan mahasiswa di Jakarta berhimpun di tiga
lokasi, yakni Asrama Prapatan 10 yang menjadi tempat tinggal mahasiswa
kedokteran Ika Dai Gaku (Sekolah Tinggi Ilmu Kedokteran), Asrama Angkatan
Baru Menteng 31 yang didirikan oleh Sendenbu (Badan Propaganda Jepang),
Asrama Indonesia Merdeka di Jalan Bungur Besar yang didirikan oleh kalangan
Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Ada pusat-pusat kegiatan lain, seperti Asrama
Mahasiswa USI (Unitas Studiosorum Indonesiesis) di Cikini 71, atau Komisi
Bahasa Indonesia dibawah pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana, bertempat di
Penerbit Balai Pustaka.44
Menyangkut kegiatan pemuda, tampuk (ujung) pimpinan terlepas dari
tangan Sjahrir dan beralih ke tangan berbagai pemimpin pemuda lainnya, di
antaranya adalah Sukarni, Adam Malik, Chaerul Saleh, Maruto Nitimihardjo,
44 H. Rosihan Anwar. 2010. Sutan Sjahrir : Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, KITLV Press. hal 49.
45
Wikana dan wakil-wakil yang lain dari asrama mahasiswa kedokteran di Prapatan
10. Di antara mereka terdapat beberapa pengikut Sjahrir. Sebagai hasil diskusi di
antara kelompok-kelompok itu maka diputuskan bahwa pandangan mereka harus
disampaikan langsung kepada Sukarno, maka sebuah delegasi yang dipimpin oleh
Wikana menemui Sukarno di tempat tinggalnya di Pegangsaan Timur 56 pada
malam hari tanggal 15 Agustus. Pada waktu perdebatan sengit antara Sukarno dan
para mahasiswa tersebut, Sukarno tetap teguh tidak mau mengalah. Para pemuda
itu akhirnya meninggalkan rumah Sukarno dengan perasaan jengkel, mereka juga
mempertimbangkan tindakan selanjutnya. Pembicaraan pada malam hari tanggal
15 Agustus yang menghasilkan keputusan untuk menculik kedua pemimpin yaitu
Sukarno dan Hatta, yang dilangsungkan di Asrama Baperpi di Cikini 71.
Sejumlah pengikut Sjahrir, yaitu Soebadio Sastrosatomo, ikut serta dalam
peristiwa tersebut. Sjahrir diberitahu tentang rencana-rencana tersebut tetapi, ia
menolak untuk ambil bagian di dalamnya. Para pemuda kemudian memindahkan
Sukarno dan Hatta ke kota kecil Rengasdengklok, di mana mereka juga tidak
berhasil membujuk Sukarno dan Hatta agar segera memproklamasikan
kemerdekaan. Setelah mereka kalah, para penculik itu mengizinkan mereka
dibawa kembali ke Jakarta pada malam tanggal 16 Agustus, di mana setelah
diadakan kontak-kontak yang halus dan benar-benar informal dengan pihak
berwajib Jepang, Sukarno dan Hatta mengadakan pertemuan dengan anggota
PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan sejumlah pemimpin
46
pemuda di rumah Laksamana Maeda dan menyiapkan naskah proklamasi
kemerdekaan yang akan diumumkan esok paginya.45
Sjahrir tidak ikut hadir di rumah Laksamana Maeda pada malam hari
tanggal 16 Agustus ketika rumusan proklamasi dirancang, demikian juga ia tidak
hadir di rumah Sukarno pada pagi hari tanggal 17 Agustus waktu proklamasi itu
dibacakan. Ia menyatakan tekadnya agar republik yang merdeka bebas dari kesan
sebagai ciptaan Jepang. Tetapi, kepeduliannya tidak hanya beranggapan bahwa
nasionalisme hanya berarti perjuangan untuk membebaskan diri dari kekuasaan
asing. Baginya, kemerdekaan berkaitan dengan wawasan-wawasan tentang
kebebasan individu dan perubahan sosial yang dapat menjadikan kemerdekaan itu
sebagai suatu kemerdekaan yang sejati. Cita-cita ini mempengaruhi pandangannya
mengenai cara pencapaian kemerdekaan itu. Adalah mungkin bagi kaum
nasionalis murni, dan bahkan juga kaum nasionalis muslim, untuk memandang
pendudukan Jepang sebagai suatu periode dengan kesempatan untuk memperoleh
kesempatan dari pihak penjajah. Tetapi, dalam perspektif Sjahrir, Jepang
diidentifikasikan sebagai bagian dunia fasis dan sebagai tantangan kaum
reaksioner terhadap nilai-nilai demokrasi serta perubahan sosial yang diinginkan.
Sejak dulu Sjahrir telah menyadari kemungkinan-kemungkinan
otoriterisme yang melekat pada sebagian besar pemikiran kaum nasionalis yang
memandang negara sebagai sesuatu yang memungkinkan pemenuhan diri
individu. Hal itu dapat menjadi lebih menonjol dalam situasi aksi massa. Aksi-
aksi pemuda yang tidak memiliki perspektif ideologis yang cukup matang, paling
45 J.D. Legge, op. cit. hal 172-174.
47
tidak akan menuju kepada situasi anarki dan dalam keadaan yang paling buruk,
dapat mendorong, munculnya sikap-sikap fasis, suatu kemungkinan yang
dipertajam oleh sifat anti Barat.
3.2.2. KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat ) Tahun 1945
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Teks Proklamasi disusun sehari sebelumnya di rumah Laksamana Maeda oleh
Sukarno bersama Hatta, Soebardjo, Nishijima (ajudan Maeda), dan dua orang
Jepang lainnya. Lima hari setelah kemerdekaan diumumkan, Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP), yang beranggotakan 137 orang, dibentuk. Kelompok
pemuda mendesak supaya Sjahrir menjadi Ketua Komite tetapi ia menolak. Ia
masih menanti sejauh mana Komite tersebut mencerminkan kehendak rakyat.
Pada bulan-bulan pertama setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintahan
kabinet presidensial dipimpin kaum nasionalis pro-Jepang. Kondisi ini membuat
Sekutu sebagai pemenang Perang Dunia II, setelah merobohkan Jepang, sulit
mengakui keberadaan Republik Indonesia. Sekutu menganggap Indonesia masih
di bawah kendali Jepang. Pada tanggal 7 Oktober 1945, 40 orang anggota Komite
Nasional menandatangani petisi untuk Presiden Sukarno. Mereka menuntut
Komite menjadi badan legislatif, bukan pembantu Presiden. Selain itu, menteri
kabinet harus bertanggung jawab kepada Dewan, bukan Presiden.
Ibu Sri Mangoensarkoro disertai dua pemuda, yaitu Soebadio dan Soekarni
mendesak Sjahrir supaya mau memimpin Komite. ”Komite harus bersih dari
Jepang dan revolusioner,” kata Soekarni. Sjahrir kemudian menerima usulan para
48
pemuda tersebut. Rapat Komite Nasional kedua pada tanggal 16 Oktober 1945
merupakan salah satu titik penting perjalanan politik Sjahrir. Pada tanggal 25
Oktober 1945 Sjahrir diterima menjadi salah seorang anggota KNIP, sekaligus
dipilih dengan suara bulat untuk menjadi Ketua Badan Pekerja KNIP sedangkan
wakilnya adalah Amir Sjarifuddin. Dengan demikian sebenarnya terjadi
penyegaran personalia dan penyempurnaan organisasi KNIP. Badan itu lebih
mencerminkan aspirasi-aspirasi dan kekuatan-kekuatan sosial politik yang hidup
dalam masyarakat Indonesia. Rapat yang dihadiri Wakil Presiden Mohammad
Hatta berlangsung ricuh. Saling serang terjadi antara kelompok pro dan kontra
Jepang. Kendati demikian, kedua kubu sama-sama menyadari usaha untuk
membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka menghadapi
rintangan berat.
Belanda, yang merupakan bagian dari Sekutu belum menerima
kemerdekaan Indonesia. Sjahrir, yang sebelumnya sudah memprediksi sikap
Sekutu itu berpendirian, menghadapi Belanda, termasuk Sekutu, tidak bisa lagi
dengan senjata, tapi harus lewat diplomasi.46 Sebagai ketua KNIP yang baru,
Sjahrir mengarahkan agar hendaknya keanggotaan KNI (Komite Nasional
Indonesia), baik di pusat maupun di daerah-daerah, lebih mencerminkan aspirasi
politik nasional. Dan sejalan dengan itu, atas saran Sjarir selaku ketua KNIP,
wakil presiden yaitu Hatta pada tanggal 3 November 1945 mengumumkan
Maklumat X tentang pembentukan partai-partai di Indonesia.
46 Djoeir Moehamad dan Mochtar Lubis (ed). 1997. Memoar Seorang
Sosialis. Jakarta: Obor. hal 97.
49
Bagi Sjahrir Negara Republik Indonesia harus memperjuangkan nilai-nilai
kemerdekaan dan demokrasi, apalagi karena harus mengantisipasi segala
kemungkinan berkaitan dengan keinginan Belanda untuk kembali menjajah
Indonesia. Masalahnya mendesak karena Sekutu yang diboncengi agen dan
serdadu NICA sudah datang untuk mengambil alih Indonesia dari tangan Jepang.
Salah satu masalah yang berkembang saat itu adalah bahwa Sekutu akan
mengadili para penjahat perang, termasuk para pemimpin Indonesia yang
berkolaborasi dengan fasisme Jepang sehingga jalan keluar satu-satunya adalah
Republik Indonesia haruslah memiliki suatu lembaga legislatif yang merupakan
lembaga yang memperjuangkan aspirasi-aspirasi dan kelompok-kelompok politik
yang hidup dalam masyarakat Indonesia bebas dari pengaruh (fasisme) Jepang.
Selain itu pemerintah juga harus dipimpin oleh tokoh Indonesia yang anti fasisme
Jepang.
Berkaitan dengan itu hendaknya dimaklumi bahwa kedatangan Sekutu ke
Indonesia antara lain menyertakan Van Der Plas yang juga datang untuk
menyusun kembali pemerintah penjajahan Belanda atas Indonesia. Kedatangan
Sekutu itu di warnai dengan isu-isu bahwa Republik Indonesia adalah ciptaan
fasisme Jepang, sedangkan pemimpin-pemimpin Republik Indonesia yang pernah
berkolaborasi dengan pemerintah militer Jepang akan diadili sebagai penjahat
perang.
Setelah keluarnya Maklumat X dan berdirinya partai-partai maka
komposisi keanggotaan KNIP diperluas lagi dengan wakil-wakil dari partai-partai.
KNIP pun lebih mencerminkan suatu lembaga dengan keanggotaan dan fungsi
50
legislatif yang mencerminkan aspirasi-aspirasi (kelompok politik) yang hidup,
apalagi karena kepala pemerintah (Perdana Menteri) bertanggung jawab kepada
KNIP.47 Presiden tidak lagi berhak membuat undang-undang. Mulai saat itu juga
Komite menjadi badan legislatif yang bertugas menyusun undang-undang dan
garis-garis besar haluan negara. Maklumat Nomor X menandakan berakhirnya
kekuasaan luar biasa Presiden dan riwayat Komite Nasional sebagai pembantu
Presiden.
Prestasi Sjahrir di dalam KNIP membuktikan bahwa ia memahami secara
mendalam masalah Negara Republik Indonesia yang baru lahir serta tahu apa saja
yang harus dilakukan. Lagi pula ia mendapat dukungan kuat di KNIP. Sjahrir pun
menyusun dan memimpin suatu kabinet parlementer yakni yang bertanggung
jawab kepada legislatif (dalam hal ini KNIP). Banyak yang setuju dan juga tidak
setuju dengan Sjahrir. Tetapi sejarah memperlihatkan, begitu dia menjadi Ketua
Badan Pekerja Komite Nasional, lahir Maklumat Nomor X yang memungkinkan
lahirnya partai-partai politik di Indonesia.48 Ketika terjadi pendaratan pasukan
Sekutu secara besar-besaran di bawah Panglimanya yaitu Jenderal Philips
Christison, yang ternyata diboncengi tentara-tentara Belanda yang hendak
menjajah kembali Indonesia, maka susunan lembaga-lembaga negara Republik
Indonesia sudah mencerminkan kehidupan politik yang demokratis.49
3.2.3. Perdana Menteri (15 November 1945 – 27 Juni 1947)
47 Ibid. hal 98. 48 TEMPO. op. cit. hal 44-45. 49 Djoeir Moehamad dan Mochtar Lubis (ed). op. cit. hal 99.
51
Sjahrir menjadi Perdana Menteri dan mulai memimpin kabinetnya pada
tanggal 14 November 1945. Dua bulan setelah kemerdekaan Indonesia
diproklamirkan, Sjahrir sudah terdorong untuk menegaskan apa arti ‘merdeka’ ;
”Merdeka tidak saja berarti Negara Republik Indonesia yang berdaulat, tetapi kemerdekaan diri dari sewenang-wenang, dari kelaparan dan kesengsaraan. Revolusi nasional hanya buntut dari revolusi demokrasi … dan bahwa bukan nasionalisme yang harus nomor satu, akan tetapi demokrasi. Negara Republik Indonesia, hanya nama yang kita berikan pada isi yang kita maksudkan dan kehendakkan”.50
Kerangka perjuangan yang diusulkan oleh Sjahrir bukanlah yang sempit
dan partikular51, melainkan kerangka perjuangan yang universal.
“Hanya semangat kebangsaan yang dipikul oleh perasaan keadilan dan kemanusiaan yang dapat mengantar kita maju di dalam sejarah dunia. Pada akhirnya, semua kebangsaan harus menemui ajalnya di dalam suatu kemanusiaan yang meliputi seluruh dunia … yaitu bangsa manusia yang hidup dalam pergaulan berdasarkan keadilan dan kebenaran, tidak lagi terbatas oleh perasaan-perasaan sempit yang memecah manusia … oleh karena kulitnya berlainan warna, atau … turunan darahnya berlainan.”52
Pada saat itu Sjahrir menegaskan, bahwa demi keutuhan Indonesia
merdeka dan untuk menetralisirkan tuduhan Sekutu, ia akan menerbitkan buku
Perjuangan Kita yang disebarluaskan dalam beberapa bahasa. Buku yang
50 Djoeir Moehamad dan Mochtar Lubis (ed), Ibid. hal 101. 51 Partikularisme adalah sistem yang mengutamakan kepentingan pribadi di
atas kepentingan umum ; aliran politik, ekonomi, kebudayaan yang mementingkan daerah atau kelompok khusus ;sukularisme. Lihat Save M. Dagun. op. cit. hal 798.
52 Djoeir Moehamad dan Mochtar Lubis (ed). op. cit. hal 101.
52
menggemparkan itu kemudian diterbitkan oleh Kementrian Penerangan Republik
Indonesia yang saat itu dipimpin Amir Sjarifuddin.53
Dalam pamflet Perjuangan Kita, Sjahrir mengemukakan idenya tentang
revolusi demokratis yang menekankan pentingnya arti demokrasi untuk melawan
kecenderungan fasisme yang masih membekas, terutama di kalangan pemuda,
akibat pengaruh pendudukan Jepang. Dengan perkataan lain Sjahrir tidak
menginginkan semangat revolusi meluap menjadi terorisme yang tidak
bertanggung jawab terhadap orang-orang Belanda, Indo dan kelompok-kelompok
minoritas yang dianggap pro Belanda seperti Cina, Ambon dan Manado. Dari situ
dapat dilihat benih-benih sosialisme kemanusiaan (demokrasi sosial) yang ingin
disemaikan oleh Sjahrir di kalangan pemuda. Akan tetapi, hal itu pula berkaitan
erat dengan pandangan Sjahrir tentang kedudukan Indonesia yang sangat lemah
pada waktu itu yang menurutnya berada di daerah pengaruh kekuatan kapitalis
Amerika Serikat dan Inggris, dan oleh karena itu tidaklah bijaksana bagi negara
Indonesia yang masih baru untuk memusuhi mereka, Sjahrir bahkan melihat
bahwa nasib Indonesia amat tergantung pada kebijaksanaan politik yang akan
diambil oleh kekuatan-kekuatan imperialis itu. Dari situ dia mengambil
kesimpulan bahwa satu-satunya jalan untuk menjamin kemerdekaan Indonesia
ialah melalui “Diplomasi yang lihai dan fleksibel, agar Amerika dan Inggris tidak
terundang buat mendukung Belanda secara penuh”. ”Selanjutnya, secara logis
sikap itu menutut lahirnya kebijaksanaan politik yang liberal terhadap modal
53 Djoeir Moehamad dan Mochtar Lubis (ed). hal 95. Lihat juga William H
Frederick dan Soeri Soeroto (ed). 1982. Pemahaman Sejarah Indonesia (Sebelum dan Sesudah Revolusi). Jakarta: Lp3Es. hal 351.
53
asing, pengakhiran kekerasan pemuda, terutama terhadap orang kulit putih,
mendirikan lembaga-lembaga politik yang dapat diterima Barat....” Sulit kiranya
untuk disangkal bahwa Sjahrir mengutamakan diplomasi daripada memakai
kekerasan atau kekuatan senjata, dalam revolusi Indonesia, dan itu sesuai dengan
jalan pemikirannya tentang demokrasi sosial yang humanis.54
Pada bulan Oktober 1945 Sjahrir berhasil meyakinkan Sukarno dengan
konsep dan sejumlah usulannya, yakni membentuk Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP) yang kemudian akan menjadi badan penyusun UUD. Sjahrir juga
mengusulkan pembentukan partai-partai politik. Kemudian dia meminta Sukarno
membubarkan kabinet dan membentuk kabinet baru dipimpin oleh seorang
perdana menteri yang dipilih oleh KNIP. Langkahnya itu dilandasi pemikiran
bahwa Republik harus demokratis, bebas dari para kolaborator Jepang (untuk
mengesankan bahwa Republik Indonesia bukan bentukan Jepang).
Maka pada bulan Oktober 1945 terbentuklah dua partai sosialis (Partai
Rakyat Sosialis pimpinan Sjahrir dan Partai Sosialis Indonesia pimpinan Amir
Sjarifuddin) yang akhirnya bergabung menjadi Partai Sosialis. Untuk
menunjukkan kepada dunia bahwa revolusi yang terjadi adalah perjuangan bangsa
beradab dan demokratis untuk lepas dari kolonialisme. Sjahrir ingin
menyingkirkan propaganda Belanda yang beranggapan bahwa Indonesia hanyalah
gerombolan orang brutal, pembunuh, atau perampok.55 Karena hal itu Sjahrir
memilih strategi diplomasi. Apalagi Belanda juga berusaha keras supaya dapat
54 William H Frederick dan Soeri Soeroto (ed). Ibid. hal 352-353. 55 TEMPO. op. cit. hal 46.
54
kembali ke bekas tanah jajahannya itu, dengan membatasi kekuasaan Republik
Indonesia.
Bagi Sjahrir negara Republik Indonesia harus memperjuangkan nilai-nilai
kemerdekaan dan demokrasi. Apalagi karena harus mengantisipasi segala
kemungkinan berkaitan dengan keinginan Belanda untuk menjajah kembali
Indonesia. Masalahnya mendesak, karena Sekutu mengambil alih Indonesia dari
tangan Jepang. Salah satu masalah yang berkembang saat itu adalah bahwa Sekutu
akan mengadili para penjajah perang, termasuk para pemimpin Indonesia yang
berkolaborasi dengan fasisme Jepang. Jalan keluarnya, Republik Indonesia
haruslah memiliki lembaga legislatif yang merupakan lembaga yang
memperjuangkan aspirasi-aspirasi dan kelompok-kelompok politik yang hidup
dalam masyarakat Indonesia-bebas dari pengaruh (fasisme) Jepang. Selain itu,
pemerintah harus dipimpin oleh tokoh Indonesia yang anti fasisme Jepang.
Pada bulan Oktober 1945 Sjahrir memutuskan untuk membuka
perundingan dengan pihak Belanda. Sjahrir memanfaatkan diplomasi Inggris.
Butir-butir penting yang dikemukakannya dalam tulisannya Perjuangan Kita
menjadi pedoman kerja. Pasukan Belanda kemudian mulai kembali menduduki
Jakarta pada awal tahun 1946, para pemimpin nyawanya terancam, dan akhirnya
Sukarno, Hatta dan Sjahrir memindahkan pemerintahan ke Yogyakarta. Namun,
Sjahrir tetap memilih melanjutkan negosiasi dan diplomasi.
Pada pertengahan bulan Desember 1945, Sjahrir mengeluarkan kebijakan
politik militer. Semua kekuatan bersenjata, baik tentara maupun lascar, harus
keluar dari Jakarta. Sjahrir mengumumkan Jakarta sebagai kota internasional.
55
Agar program tersebut menarik perhatian dunia, digelarlah pameran kesenian
yang dipublikasikan oleh sejumlah wartawan luar negeri. Setelah itu, Sjahrir
mulai memperkenalkan Indonesia di forum-forum internasional, seperti
Konferensi Asia di New Delhi pada tahun 1946. Tak hanya itu, Sjahrir juga
memberikan bantuan kemanusiaan berupa sumbangan beras kepada negara India.
Tidak semua menyetujui langkah Sjahrir berunding dengan bekas
penjajah. Partai Masyumi, Persatuan Perjuangan, dan Partai Nasional Indonesia
menolak. Sjahrir dianggap terlalu banyak memberikan konsesi kepada Belanda. Ia
dan para pengikutnya diejek sebagai “anjing-anjing Belanda”. Menghadapi
perlawanan para oposan tersebut, Sjahrir tak ambil pusing. Menurut dia, berjuang
di meja perundingan punya keuntungan politis memperoleh pengakuan kekuasaan
de facto. Ia tetap maju terus, apalagi Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta
mendukungnya.56
Sjahrir agaknya kuatir bahwa suatu konflik bersenjata yang
berkepanjangan dengan pihak Belanda justru akan memperkuat kelompok-
kelompok radikal bahkan dapat menyebarluaskan paham fasisme. Itu berarti
bahwa azas demokrasi akan terancam dalam penghidupan politik Republik
Indonesia. Bagaimana mencapai persetujuan dengan pihak Belanda dengan
memberikan beberapa kerelaan tapi tetap mengamankan kepentingan pokok
Republik Indonesia sambil memanfaatkan diplomasi Inggris – itulah tantangan
yang dihadapi Sjahrir.
56 TEMPO. Ibid. hal 46-47.
56
Sedikit demi sedikit Sjahrir terus mencoba menekan pemerintah Belanda
melalui diplomasi. Ia terus menerus mengupayakan agar Indonesia dan Belanda
dapat duduk di meja perundingan. Kesempatan pertama datang dalam
perundingan di Hoge Veluwe, Belanda, pada tanggal 14-16 April 1946. Ketika itu
Indonesia mengajukan tiga usulan: pengakuan atas Republik Indonesia sebagai
pengemban kekuasaan di seluruh bekas Hindia Belanda, pengakuan de facto atas
Jawa dan Madura, serta kerja sama atas dasar persamaan derajat antara Indonesia
dan Belanda. Usul itu ditolak oleh Belanda.
Peluang berunding dengan Belanda terbuka lagi ketika Inggris
mengangkat Lord Killearn sebagai utusan istimewa Inggris di Asia Tenggara,
sekaligus penengah konflik Indonesia-Belanda. Konsulat Inggris di Jakarta
mengumumkan, selambat-lambatnya pada tanggal 30 November 1946 tentara
Inggris akan meninggalkan Indonesia. Kabinet baru Belanda kemudian mengutus
Schermerhorn sebagai Komisi Jenderal untuk berunding dengan Indonesia.
Schermerhorn dibantu tiga anggota: Van Der Poll, Der Boer, dan Letnan
Gubernur Jenderal H.J.Van Mook. Perundingan Sjahrir dengan Belanda melalui
perundingan di De Hoge Veluwe sampai pada perundingan Linggarjati adalah atas
dasar bahwa Republik Indonesia suatu Negara yang merdeka, duduk sama tinggi
dengan Belanda, bersedia kerja sama dengan Belanda untuk membubarkan Hindia
Belanda dan bersama-sama membentuk Negara Republik Indonesia Serikat yang
57
merdeka dan berdaulat. Kerja sama ini akan dilanjutkan sesudah terbentuknya
Negara Republik Indonesia Serikat yang berdaulat dengan negeri Belanda.57
Pihak Belanda baik waktu perundingan di De Hoge Veluwe ketika tidak
terdapat persetujuan sama sekali, maupun pada persetujuan Linggarjati pada
akhirnya dan pada hakekatnya oleh sebab pikiran yang realistis dan reaksioner
tidak mau mengakui kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia selama masa
peralihan sampai terbentuknya negara Republik Indonesia Serikat.
Untuk menghindari terjadinya perang dengan Belanda Sjahrir mengadakan
pidato radio pada tanggal 19 Juni 1947 yang berisi antara lain memberi konsesi
(kerelaan) pada Belanda secara hukum mau mengakui kedaulatan Belanda atas
Indonesia selama masa peralihan, akan tetapi juga mempertahankan kedaulatan
Republik Indonesia ke dalam. Baik kabinet maupun Partai Sosialis adalah anggota
dari Sayap Kiri yang terdiri dari Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia (PKI),
Partai Buruh Indonesia (PBI) dan Pesindo tidak setuju dengan Sjahrir. Sayap kiri
sebagai keseluruhan yang pada umumnya didominasi oleh kaum komunis tidak
dapat menerima kebijaksanaan Sjahrir bukan semata-mata atas pertimbangan
kebijaksanaan melainkan oleh karena Sjahrir bukan orang komunis. Ia dinilai oleh
Sayap Kiri sebagai orang yang bebas dan tidak tunduk kepada garis Moskow. Dia
mengadakan pidato radio dengan tidak minta persetujuan terlebih dahulu dari
Sayap Kiri. Atas pertimbangan tersebut Sayap Kiri menolak kebijaksanaan
Sjahrir. Oleh karena Sjahrir tidak mendapat dukungan dari Sayap Kiri, maka ia
57 H. Rosihan Anwar (ed). 1980. Mengenang Sjahrir. Jakarta: Gramedia,
hal xxxi.
58
mengundurkan diri dari jabatan sebagai Perdana Menteri. Sebenarnya Sjahrir
dengan dukungan Kabinet, Presiden dan Wakil Presiden dapat bertahan sebagai
Perdana Menteri dan mengabaikan keputusan Sayap Kiri. Di sini Sjahrir harus
memilih antara kekuasaan dan meletakkan jabatannya. Sjahrir meletakkan jabatan
Perdana Menteri itu sesuai dengan aturan-aturan permainan dan hukum
demokrasi. Dengan demikian dia memberi pendidikan politik. Sjahrir memang
dalam seluruh hidupnya lebih mengutamakan pendidikan politik daripada
kekuasaan.
Bukan hanya kelompok Sayap Kiri yang menolak Perjanjian Linggarjati
tetapi KNIP juga menolak. Akhirnya Sjahrir digantikan oleh wakilnya Amir
Sjarifuddin sebagai Perdana Menteri yang baru.58 Dengan meletakkan jabatan
sebagai Perdana Menteri ia menujukkan bagaimana bertindak sesuai dengan
hukum demokrasi, bagaimana mendidik kehidupan politik di Indonesia dan
dengan begitu menegakkan dasar-dasar demokrasi dalam negara Republik
Indonesia yang baru merdeka. Ia menujukkan bahwa dirinya lebih mengutamakan
pendidikan politik untuk menegakkan demokrasi daripada menggunakan
kekuasaan untuk memaksakan kemauannya dan mempertahankan kedudukannya.
Sebaliknya ia tetap menyediakan diri untuk mempertahankan kemerdekaan
Republik Indonesia terhadap Belanda dan membantu pemerintahan Republik
Indonesia dalam menghadapi ancaman dan kekuasaan kolonialisme Belanda.59
58http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/sutan-
syahrir/berita/01.shtml. Di download pada tanggal 13 September 2009. 59 H. Rosihan Anwar (ed), op. cit. hal xxxii.
59
Untuk menujukkan sikapnya itu ia bersedia waktu diminta oleh Presiden Sukarno
untuk diangkat menjadi penasehat Presiden.
Kaum komunis menjatuhkan Sjahrir karena mereka tahu bahwa Sjahrir
tidak akan bersedia menjalankan perintah mereka yaitu perintah Moskow. Sjahrir
dijatuhkan oleh komunis ketika dalam perkembangan dunia pada tahun 1947 itu
hanya ada kekuatan yaitu kekuatan anti imperialisme di bawah pimpinan Moskow
dan kekuatan kapitalis di bawah Amerika Serikat. Kaum komunis tahu betul
Sjahrir, sekalipun dia seorang anti imperialisme, mempunyai sikap bebas dari
Moskow dan tidak bersedia dipergunakan untuk kepentingan Moskow.
Persetujuan Linggarjati adalah pengakuan terhadap hak perjuangan bangsa
dan rakyat Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri. Negara Republik
Indonesia adalah perwujudan dari hasil perjuangan demokrasi bangsa dan rakyat
Indonesia dalam melaksanakan haknya menentukan nasibnya sendiri, sekalipun
kekuasaannya hanya diakui di Jawa dan Sumatera. Kerja sama dengan Belanda
adalah untuk membubarkan kolonialisme Belanda di Indonesia dan mendirikan
Republik Indonesia Serikat yang berdaulat meliputi seluruh wilayah Indonesia.
Ketika Belanda pada tanggal 21 Juli 1947 menyerang Republik, Sjahrir
sebagai penasehat Presiden dan selaku Duta Keliling Republik berangkat ke luar
negeri dengan mengunakan pesawat terbang. Pada tanggal 14 Agustus 1947
Sjahrir sebagai wakil Republik Indonesia berbicara dalam sidang Dewan
Keamanan PBB. Di sana ia menjelaskan politik penjajahan Belanda dan mendesak
supaya Dewan Keamanan PBB membentuk suatu Badan Arbitrase yang tidak
berpihak. Sjahrir di dalam forum internasional di Dewan Keamanan
60
mempertahankan dan membela kemerdekaan Republik Indonesia seperti
memperkuat perhubungan dalam perjanjian Linggarjati dan diakui oleh dunia
internasional.
Jabatan sebagai ketua Delegasi Rupublik Indonesia di Dewan Keamanan
PBB adalah kedudukan Sjahrir yang terakhir sebagai pejabat negara.60 Sesudah itu
ia lebih memusatkan pikirannya menggariskan kembali perjuangan rakyat dan
bangsa Indonesia yang disesuaikan dengan perkembangan dan percaturan politik
internasional dewasa itu.
60 H. Rosihan Anwar (ed), Ibid. hal xxxiii.
61
BAB IV
DAMPAK ATAU PENGARUH SUTAN SJAHRIR PASCA
KEMERDEKAAN INDONESIA
4.1. Partai Sosialis Indonesia (PSI)
4.1.1. Pembentukan Partai Sosialis Indonesia (PSI) Tahun 1948
Perpecahan antara Sjahrir dan Amir Syarifuddin disebabkan karena Amir
Syarifuddin menambahkan faham komunisme pada prinsip utama yang menjadi
landasan Partai Sosialis sedangkan Sutan Sjahrir berserta kelompoknya menolak
dengan tegas pemahaman tersebut. Dalam pemikiran Sutan Sjahrir, penambahan
faham komunisme pada prinsip utama yang menjadi landasan Partai Sosialis
tersebut akan mempengaruhi arah pemerintahan yang totaliter. Dengan demikian
sangat bertentangan dengan pemikiran politik Sutan Sjahrir yang menekankan
adanya kebebasan, universalitas humanis dan sosialis kerakyatan. Setelah keluar
dari Partai Sosialis, pada tanggal 12 Februari 1948 Sutan Sjahrir bersama teman-
temannya mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Partai Sosialis Indonesia merupakan partai politik yang beranggotakan
tokoh-tokoh intelektual Indonesia yang sebelumnya tergabung dalam kelompok
Pendidikan Nasional Indonesia; sebuah partai yang bertujuan untuk ikut
meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa Indonesia. Tokoh-tokoh utama yang
berperan besar dalam membentuk pemikiran politik kelompok dan partai ini ialah
Sutan Sjahrir, Soedjatmoko, Saleh Mangoendiningrat, Soebadio Sastrosatomo,
Hamid Algadri, Siti Wahyoenah Saleh Mangoendiningrat, Hoegeng I, Santoso,
Lintong Moelia Sitorus, Soebianto Djojohadikoesoemo, Daan Jahja, Aboebakar
62
Loebis, Wibowo, serta Ali Boediardjo.61 Sutan Sjahrir merupakan tokoh yang
sangat menonjol; pemikiran-pemikirannya diikuti oleh anggota kelompok dari
partainya.
Rosihan Anwar dalam bukunya yang berjudul Perjalanan Terakhir
Pahlawan Nasional Sutan Sjahrir, yang ditulis pada tahun 1966, menjelaskan
bahwa Amir Syarifuddin ingin Partai Sosialis menempuh garis Marxisme-Leninis-
Stalin dan menginginkan Indonesia memihak Moskow (Soviet). Tetapi Sjahrir
berpendirian, Partai Sosialis harus menempuh sosialisme kerakyatan yang
demokratis dan politik luar negeri yang bebas aktif.
Bagi Sutan Sjahrir demokrasi merupakan jiwa perjuangan bangsa. Dalam
pemikirannya, perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia tidak didasarkan
kepada nasionalisme tetapi kepada faham demokrasi. Dengan demikian kebebasan
dari hasil perjuangan tersebut dapat dimiliki oleh segenap rakyat Indonesia.62
Dalam usaha merebut dan mempertahankan kemerdekaan, Sutan Sjahrir menolak
kerjasama dengan Jepang dan mengkritik orang-orang yang bekerjasama dengan
Jepang. Bagi Sutan Sjahrir, Jepang pada masa itu adalah fasis, oleh karena itu
sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip sosialisme kemanusiaan yang ingin ia
jadikan dasar kehidupan Indonesia.
Dalam teks yang ditulis Sjahrir, khusus untuk anggota partai barunya di
bulan Maret 1948, “Keadaan Politik di Indonesia”, dugaan tentang Amir
61 P.Y. Nur Indro. 2009. Pemikiran Politik Soetan Sjahrir dan Partai
Sosialis Indonesia : Tentang Sosialisme Demokrat, Bandung: Inisiatif Warga, UKM Media Parahyangan dan UKM Pusik Parahyangan, hal 4.
62 Ibid. hal 5.
63
Syarifuddin yang sesungguhnya berpaling ke arah komunisme, bukanlah soal
yang paling penting. Sjahrir lebih menegaskan bahwa dalam gerakan Amir
Syarifuddin terdapat kekurangan organisasi dan kurangnya pengertian tentang
sifat sosialisme yang sesungguhnya. Menurut pandangan Sjahrir, di Indonesia
pada waktu itu terdapat hanya satu atau dua pemimpin, yang mengetahui tentang
sosialisme.
Selama berbulan-bulan setelah perpecahan dengan Amir Sjarifuddin,
Sjahrir dan rekan-rekannya berulang kali mengingatkan bahwa belum waktunya
untuk sengaja mempertajam perjuangan kelas di Indonesia, dan bahwa kebijakan
perjuangan kelas harus dihindari. Seperti dirumuskan di dalam Manifesto63 partai
baru Sjahrir di bulan Februari 1948; “bahaya bentrokan dari kelompok dan barisan
harus dijauhkan”.
Dalam pedomannya di bulan Maret 1948, Sjahrir menulis bahwa karena
partainya diprakarsai atau dipelopori oleh bekas anggota Pendidikan Nasional
Indonesia, maka begitu partai melepaskan diri dari Amir, maka partai mereka
dapat kembali setia kepada tradisi kadernya. Di bulan Juni 1948, Sjahrir
menegaskan kembali ;
“Kita tidak berusaha untuk memperluas massa partai kita, karena hal yang demikian pasti akan mempertajam perjuangan partai”.64
63 Manifesto adalah pernyataan terbuka tentang tujuan dan pandangan
seseorang atau suatu kelompok. Lihat Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Jilid Keempat, Jakarta: PT. Gremedia Pustaka Utama. hal 874.
64 Rudolf Mrázek. op. cit. hal 665.
64
Di negeri seperti Indonesia yang masih kuat dipengaruhi oleh nilai-nilai
feodalisme, fasisme, otoriterisme, maka yang perlu diprioritaskan adalah
pembinaan demokrasi. Apabila melihat kenyataan tadi, maka jelas bahwa
membangun suatu masyarakat sosialis tidak gampang. Sjahrir memilih untuk
bersikap realistis, ia menjadi lebih bijaksana, sederhana, ingat perlunya berkepala
dingin.65 Ia menamakan ideologi yang dipikirkannya dan dianutnya yaitu
“Sosialisme-Demokrasi”, yang lebih sering disebut sebagai “Sosialisme-
Kerakyatan”. Dalam memahami Sosialisme-Kerakyatan tampaknya kata kuncinya
adalah Kemanusiaan. Ketika menjabat sebagai Perdana Menteri (1945-47) kata
“Kemanusiaan” itu sering dipergunakan dalam pidato-pidato Sjahrir. Ia
menjelaskan sifat kemanusiaan ialah kepercayaan pada persamaan, keadilan serta
kesanggupan kerja sama antara sesama manusia sebagai dasar kehidupan di dalam
pergaulan.
Partai Sosialis Indonesia menerima sosialisme-kerakyatan yang digagas
Sjahrir dalam Kongres I yang diselenggarakan di Bandung pada tanggal 12-17
Februari 1952. Dalam dasar-dasar dan pandangan politik partai dijelaskan:
“Sosialisme yang kita maksudkan adalah sosialisme yang berdasarkan atas kerakyatan, yaitu sosialisme yang menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat tiap manusia orang seorang. Penghargaan pada pribadi orang seorang dinyatakan pada penghargaan serta perlakuan pribadi orang seorang di dalam pikiran, serta di dalam pelaksanaan sosialisme...Sosialisme semestinya tidaklah lain daripada penyempurnaan dari segala cita-cita kerakyatan, yaitu kemerdekaan serta kedewasaan kemanusiaan yang sebenarnya”.66
65 H. Rosihan Anwar. 2010. Sutan Sjahrir : Demokrat Sejati, Pejuang
Kemanusiaan, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, KITLV Press. hal 113. 66 Ibid. hal 115.
65
Sjahrir mengkampanyekan ideologi sosialisme kerakyatan yang anti fasis
dan antifeodal dengan menganjurkan kebebasan individu dan menghormati
martabat manusia. Dalam pamfletnya yang terkenal, Perjuangan Kita, ia menulis,
”Perjuangan kita sekarang ini tak lain dari perjuangan untuk mendapat kebebasan jiwa bangsa kita. Kedewasaan bangsa kita hanya jalan untuk mencapai kedudukan sebagai manusia yang dewasa bagi diri kita.”67 Pada masa setelah kemerdekaan, Sutan Sjahrir menekankan bahwa faham
Sosialisme Demokratis sangat cocok untuk dasar pembangunan di Indonesia.
Fokus Sosialisme Demokratis adalah mengakui adanya hak yang sama pada setiap
orang serta memunculkan pemerataan. Dengan demikian Sutan Sjahrir tidak
menyetujui kediktatoran dan totaliterisme serta adanya ketertiban sosial yang
menempatkan satu orang atau golongan di atas yang lain. Oleh karena itu, tujuan
Sosialisme Demokratis adalah mewujudkan suatu masyarakat yang meliputi
keamanan anggotanya serta keadilan sosial dan kesempatan yang sama bagi setiap
orang untuk hidup dan berkembang. Pemikiran politik Sutan Sjahrir yang
terungkap diatas, mempengaruhi pembentukan Sosialisme Demokratis Partai
Sosialis Indonesia (PSI).
Dalam perkembangan pemikiran politik Partai Sosialis Indonesia,
pengaruh berbagai pemikiran yang mendahului maupun yang bersamaan adalah
niscaya. Pengaruh tersebut dalam hal ini mungkin dapat menempati posisi sebagai
sumber pemikiran atau sarana untuk memodifikasi pemikiran yang sudah ada.
67 J.D. Legge. op. cit. hal 19.
66
Selain itu juga dapat menjadi sumber yang dikembangkan lebih lanjut berdasarkan
kondisi atau pemikiran-pemikiran yang lain dalam lingkungannya.68
Seorang ahli ilmu politik dan indonesianis terkemuka yaitu Herbert Feith
dalam bukunya yang berjudul Indonesian Political Thingking 1945-1965,
berpendapat bahwa pengaruh yang besar dari Partai Sosialis Indonesia (PSI)
terutama karena keanggotaannya didominasi oleh kaum intelektual. Dewan
pimpinan partai ini pada umumnya adalah orang-orang yang memiliki keahlian-
keahlian yang sangat dibutuhkan untuk membangun dan mengembangkan suatu
pemerintahan negara modern. Dukungan terhadap Partai Sosialis Indonesia (PSI)
sebagian besar berasal dari pemuda pejuang dalam revolusi perebutan
kemerdekaan Indonesia, terutama pada saat penjajahan Jepang dan tahun-tahun
awal revolusi. Partai Sosialis Indonesia (PSI) oleh kelompok nasionalis biasanya
digambarkan sebagai Barat, karena tradisi demokratik Barat sangat mewarnai
pemikiran tokoh-tokohnya.
Dalam keanggotaan, Partai Sosialis Indonesia (PSI) mendapatkan
dukungan terutama dari para intelektual Indonesia. Dua tahun pertama setelah
terbentuk dalam pertemuan pertama dewan eksekutif pada bulan Februari 1950
memang telah diputuskan untuk menjadi partai kader dalam lingkaran intelektual
Indonesia.69 Pada saat Kongres I Partai Sosialis Indonesia di bulan Februari 1952
dinyatakan bahwa Partai Sosialis Indonesia mempunyai 3.049 orang anggota
penuh dan 14.480 calon anggotanya. Walau relatif kecil bila dibandingkan dengan
68 Rudolf Mrázek, op. cit. hal 6. 69 Rudolf Mrázek, Ibid. hal 117-118.
67
partai-partai yang lain, para pemimpin partai menyatakan bahwa banyak yang
dapat dicapai oleh partai kader kecil tetapi terdiri dari orang-orang yang terlatih
dengan baik dan pekerja politik yang sangat disiplin.
Nilai Sosialisme Demokratis pada Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang
membedakan orientasi partai ini dengan partai sosialis lainnya. Orientasi
Sosialisme Demokratis Partai Sosialis Indonesia (PSI) terletak pada perhatian
utama terhadap kebebasan individu, keterbukaan terhadap masalah-masalah
intelektual dunia, penolakan atas Chauvinism, Obscurantisme, dan atas pemujaan
pribadi. Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dibentuk tahun 1948 selama dua
tahun, sebagai partai kader, sangat ketat dalam menyeleksi calon anggota. Pada
tahun 1952 anggotanya menjadi 14.000 orang yang dikelola ke dalam 147 cabang.
4.1.2. Kekalahan PSI dalam Pemilihan Umum Tahun 1955
Akhir bulan Juni 1955 Partai Sosialis Indonesia (PSI) menyelenggarakan
Kongres II. Pada Kongres tersebut, Partai Sosialis Indonesia (PSI)
mempertimbangkan nilai partisipasi dalam Pemilihan Umum. Sebagian besar
pemimpin tetap menginginkan tujuan utama pada pembangunan kader. Walaupun
demikian, tetap diputuskan untuk aktif berkampanye dan ikut Pemilihan Umum.
Partai Sosialis Indonesia (PSI) mengalami kekalahan pada Pemilihan
Umum pertama yang diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955. Dalam
analisis Sutan Sjahrir, faktor kekalahan bukan karena program Pemilihan Umum
yang kebarat-baratan atau terlalu rasional sehingga dianggap aneh. Ketika ternyata
Partai Komunis Indonesia hanya memperoleh 16% suara, maka menurut Sjahrir
68
rakyat Indonesia tetap berorientasi kepada demokrasi karena partai-partai
demokratik yang lain memperoleh suara besar.70 Menurut Hamid Algadri, rakyat
Indonesia belum siap untuk menerima program-program Partai Sosialis Indonesia
(PSI) karena diformulasikan dalam cara yang terlalu intelektual. Walaupun
demikian, dengan mengikuti Pemilihan Umum setidaknya memperlihatkan
orientasi politik yang menjunjung tinggi demokrasi.
Berbeda dengan lawan-lawan politiknya, Partai Sosialis Indonesia tidak
berhasil membangun suatu organisasi massa yang berbasiskan cabang-cabang
lokal yang dapat menghimpun anggota dan memasukkan kekuatan dari lapisan
terbawah. Kegagalan itu bukan merupakan hal yang kebetulan. Para anggota
terkemuka partai ini selalu melihat peranan partainya bersifat mendidik dan bukan
mengorganisasi, walaupun diasumsikan bahwa upaya-upaya di bidang pendidikan
dalam jangka panjang akan melahirkan suatu basis massa bagi partai. Sementara
itu, Partai Sosialis Indonesia menganggap dirinya sebagai partai pendidikan kader
bukan partai massa dan kelemahan ini ternyata fatal ketika Pemilihan Umum pada
akhirnya diselenggarakan di tahun 1955. Daya tarik Partai Sosialis Indonesia
(PSI) terhadap pemilih ternyata kecil.71
Menurut pendapat Mochtar Lubis dalam buku yang berjudul Mengenang
Sjahrir, setelah kekalahan Partai Sosialis Indonesia dalam Pemilihan Umum
pertama dia pernah bertanya kepada Sjahrir mengapa dia tidak mencoba merebut
kekuasaan untuk melaksanakan cita-cita sosialismenya, baik di masa perang
70 P.Y. Nur Indro. op. cit, hal 125. 71 Rudolf Mrázek. op. cit. hal. 18.
69
kemerdekaan melawan Belanda dan di tahun-tahun sesudahnya, ketika cukup ada
kemungkinan berbuat demikian. Dengan tenang sambil tersenyum Sjahrir berkata,
bahwa dia dan partainya menjujung tinggi cita-cita perjuangan partainya yakni
hendak membina sosialisme-kerakyatan (sosialisme-demokratis), dan untuk
mencapai tujuan demikian haruslah pula berjuang dengan tata permainan
demokratis, dan merebut kekuasaan dengan memakai jalan kekerasan sangat
bertentangan dan menyalahi cita-cita demokrasi atau kerakyatan.
Moctar Lubis juga menanyakan mengapa Partai Sosialis Indonesia (PSI)
tidak menjadi partai massa ? Banyak kesan di masyarakat seakan PSI bersikap
elitis, membatasi diri pada kelompok intelektual yang kecil, dan tidak erat berakar
ke bawah. Menurut Sjahrir ada dua pemikiran mengenai partai massa. Yang satu
menghendaki partai dengan sebanyak mungkin anggota, sampai berjuta-juta,
seperti yang dilakukan PKI dan partai-partai lain. Tetapi jumlah anggota yang
banyak tidak menjamin atau menentukan kekuatan suatu partai, jika tidak diikuti
oleh kesadaran anggotanya yang sama mengenai cita-cita perjuangan partai,
prinsip-prinsip, strategi dan taktik perjuangan partai. Malahan keadaan demikian
mudah menimbulkan perpecahan dan pertentangan, apalagi jika di kalangan
pimpinan timbul perlombaan untuk merebut kekuasaan dalam partai.72
Pemikiran lain mengenai partai massa, dan yang kami coba di PSI,
katanya, adalah partai yang sepenuhnya dan dengan sekuat-kuatnya
memperjuangkan kepentingan massa rakyat, membela nasib massa rakyat dan
menyatukan diri dengan nasib rakyat. Jika suatu partai berhasil berbuat begini,
72 Rudolf Mrázek. Ibid. hal 208.
70
jika dia sanggup dan berhasil menyuarakan kepentingan, tuntutan, harapan dan
kehendak massa rakyat, maka partai itu pun, meskipun jumlah anggotanya tidak
besar, adalah juga satu partai massa. Dan ciri lain dari partai massa demikian
adalah semangat kerakyatannya (demokrasi), cita-cita persamaan bagi seluruh
rakyat.73
Partai Sosialis Indonesia (PSI), bila dilihat dari kuantitas keanggotaannya
merupakan partai kecil di Indonesia, yang hanya memperoleh 2% suara total
dalam pemilihan umum pada bulan September 1955, tapi secara kualitas
merupakan partai yang mempunyai pengaruh besar. Pada hemat Sjahrir,
kelemahan Partai Sosialis Indonesia (PSI) disebabkan karena keliru menghitung
kematangan dan kesadaran politik para pemilih, khususnya yang mudah
didominasi oleh otoritas keagamaan dan kepamongprajaan.
Pemilihan umum tahun 1955 menghasilkan partai politik Empat Besar
yaitu PNI (Partai Nasional Indonesia), Masyumi, PKI (Partai Komunis Indonesia)
dan NU (Nahdlatul Ulama). Sedangkan Partai Sosialis Indonesia merosot menjadi
partai kecil. Kegagalan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dalam pemilu, menurut
pendapat sebagian para penganalisa, adalah karena gagasan-gagasan Sjahrir
terlalu bersifat elitis yang hanya dapat dipahami oleh sekelompok kaum
intelektual saja, sedangkan sebagian rakyat tidak dapat mengikuti cara berpikir
Sjahrir. Apa pun yang tidak menyenangkan telah dikatakan tentang Sjahrir, betapa
pun dia diejek oleh lawan-lawan politiknya, satu hal yang patut diakui: Sjahrir
73 Rudolf Mrázek. Ibid. hal 209.
71
telah berusaha merumuskan, apa itu ideologi yang dinamakan “Sosialisme
Kerakyatan”.74
4.2. Akhir dari Karir Sjahrir
4.2.1. Pembubaran Partai Sosialis Indonesia (PSI) Tahun 1960
Pada tanggal 15 Februari 1958 PRRI (Pemerintah Revolusioner RI)
dibentuk di Padang dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai PM/Menteri
Keuangan oleh Dewan Perjuangan pimpinan Letkol Ahmad Husein. Peristiwa
tersebut telah didahului oleh berbagai tahap dengan pembentukan Dewan Gadjah
di Medan, Dewan Banteng di Padang dan Dewan Garuda di Palembang. Dewan-
dewan ini pada awalnya bertujuan sebagai gerakan pembangunan daerah.
Permesta (Piagam Perjuangan Semesta) diikrarkan (meneguhkan janji) di
Makassar pada tanggal 2 Maret 1957, dipelopori oleh Letkol H.V.N. Sumual,
Letkol Saleh Lahade dan sejumlah tokoh masyarakat. Tujuan utamanya adalah
pembangunan Indonesia wilayah Timur berdasarkan otonomi luas.
Gerakan PRRI (Pemerintah Revolusioner RI)-Permesta (Piagam Perjuangan
Semesta) yang menentang Pemerintah Pusat muncul di daerah. Para Kolonel,
seperti Simbolon, Ahmad Husein, Ventje Sumual merekrut tokoh-tokoh
Masyumi-PSI seperti Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Boerhanoedin Harahap,
Sumitro Djojohadikusumo dalam upaya mengganti Pemerintah Pusat.75
74 H. Rosihan Anwar. op. cit. hal 111. 75 H. Rosihan Anwar. Ibid. hal 123.
72
Pada bulan April 1957 Sukarno membentuk kabinet Karya yang dipimpin
oleh Djuanda Kartawidjaja, seorang politisi yang tidak bergabung dalam suatu
partai. Alasan Sukarno memilih Djuanda antara lain karena terdapat permusuhan
yang semakin dalam di antara partai-partai yang ada. Kabinet ini mengalami
berbagai masalah yang mengarah kepada pergerakan nasional.
Pada bulan September dan Oktober 1957 berlangsung pertemuan yang
diadakan di Sumatera antara Kolonel Simbolon, Kolonel Samuel dari Permesta
(Piagam Perjuangan Semesta) dan Kolonel Lubis. Hasil dari pertemuan tersebut
adalah :
1. Diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih seorang presiden baru
guna mengakhiri kegiatan-kegiatan Sukarno yang pro Partai Komunis
Indonesia.
2. Nasution dan staf di pusat diganti.
3. Partai Komunis Indonesia dilarang.76
Berdasarkan kenyataan bahwa kabinet Djuanda tidak mampu menangani
masalah-masalah yang terjadi, pada bulan Januari 1958 Partai Sosialis Indonesia
menuntut pembentukan kabinet baru. Tuntutan tersebut ditolak oleh Sukarno,
Partai Nasionalis Indonesia dan Nahdlatul Ulama berusaha terus mempertahankan
kabinet Djuanda. Pada tanggal 10 Februari 1958 tuntutan pembubaran kabinet
juga datang dari pertemuan di Padang antara para perwira militer dan para
pemimpin Masyumi (Natsir dan Sjafruddin) serta Sumitro Djojohadikusumo dari
Partai Sosialis Indonesia. Selain itu pertemuan di Padang juga menuntut :
76 P.Y. Nur Indro. op. cit. hal 150-151.
73
1. Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX harus ditunjuk untuk
membentuk kabinet karya baru.
2. Sukarno harus kembali ke posisi konstitualnya, yaitu presiden hanya
sebagai lambang.77
Sjahrir telah menasehati anggota-anggota PSI bahwa mereka boleh aktif
dalam gerakan pembangunan daerah tapi jangan melibatkan diri dalam aksi
konfrontatif atau pertentangan terhadap Pemerintah Pusat. Sukarno dan A.H.
Nasution mengirim tentara di bawah komando Kol. Ahmad Yani. Pada bulan
Februari 1958, operasi gabungan pasukan payung dilancarkan ke lapangan
terbang Pekanbaru. Ikut terjun seorang letnan baret merah, Benny Moerdani
(Kelak menjadi Panglima ABRI). Pada tanggal 17 April 1958, pasukan ekspedisi
gabungan TNI mendarat di pantai Sumatera Barat. Kota Padang kemudian segera
diduduki. Tanggal 4 Mei, Bukittinggi dikuasai. Di Sulawesi, perlawanan Permesta
(Piagam Perjuangan Semesta) masih ada. Namun, jatuhnya Bukittinggi berarti
ancaman PRRI-Permesta terhadap pemerintah pusat tidak lagi diperhitungkan.78
Para pemimpin Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang ada di Jakarta tidak
berhasil mencegah munculnya pemerintahan pemberontak yang terkenal dengan
sebutan PRRI (Pemerintah Revolusioner RI) yang bermarkas di Bukittinggi. Pada
tanggal 17 Februari 1958 pemberontak Permesta (Piagam Perjuangan Semesta)
bergabung dengan PRRI (Pemerintah Revolusioner RI). Partai Sosialis Indonesia
77 P.Y. Nur Indro. Ibid. hal 151. 78 H. Rosihan Anwar. op. cit. hal 125.
74
lebih mengutamakan dialog dalam mengatasi berbagai masalah oleh karena itu
mereka tidak menyetujui dilakukannya pemberontakan tersebut.
Sehubungan dengan pemberontakan tersebut, pada tanggal 21 Juli 1960
Presiden Sukarno memutuskan Partai Sosialis Indonesia untuk mengemukakan
secara tertulis dengan disertai bukti-bukti ketidakterlibatannya dalam
pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner RI). Keputusan ini diberikan
Presiden Sukarno kepada Sutan Sjahrir, Soebadio Sastrosatomo dan T.A Murad.
Dari jawaban atas keputusan presiden tersebut akan terbukti Partai Sosialis
Indonesia no.7 tahun 1959 dengan kriteria berikut :
Presiden, setelah mendengar Mahkamah Agung, dapat melarang dan atau
membubarkan partai yang :
1. Bertentangan dengan azas dan tujuan negara;
2. Programnya bermaksud merubah azas dan tujuan negara;
3. Sedang melakukan pemberontakan-pemberontakan atau telah jelas
memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak dengan resmi
menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya itu;
4. Tidak memenuhi syarat-syarat lain yang ditentukan dalam Penetapan
Presiden ini.79
Pada tanggal 28 Juli 1960 Partai Sosialis Indonesia (PSI) memberikan
jawaban atas permintaan presiden tanggal 21 Juli 1960. Pokok jawaban tersebut
tercantum dibawah ini;
79 P.Y. Nur Indro. op. cit. hal 152.
75
1. Azas, tujuan dan program Partai Sosialis Indonesia sesuai dengan hukum
resmi negara; Dalam keadaan seperti apapun, Partai Sosialis tetap akan
menjaga keutuhan bangsa dan negara. Hal ini dapat dilihat pada garis
perjuangan Partai Sosialis sebagai berikut: oleh karena itu, bentuk
perjuangan rakyat untuk melaksanakan persatuan adalah persatuan bangsa
dan rakyat (nasional front) dengan menjauhkan bahaya perpecahan
golongan dan derajat yang hanya akan berakibat memecah kekuatan serta
kesanggupan perjuangan bangsa dan rakyat.
2. Walau Partai Sosialis Indonesia beroposisi terhadap kabinet Karya, tetapi
tidak pernah menyetujui eksistensi PRRI.
3. Keikutsertaan Dr. Sumitro Djojohadikusumo dalam PRRI di luar
pengetahuan dan tak mewakili partai.
4. Dr. Sumitro Djojohadikusumo sangat sulit untuk dihubungi sehingga
partai belum dapat menentukan sikap terhadapnya.80
Surat jawaban tersebut dibuat oleh Sutan Sjahrir sebagai Pimpinan Umum
Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan diakhiri dengan pernyataan sebagai berikut :
” ...Maka berdasarkan segala uraian di atas, ad III, Pimpinan Partai Sosialis Indonesia menyatakan dengan ini bahwa Partai Sosialis Indonesia tidak terkena oleh pasal 9 ayat (1) sub 3-Penetapan Presiden no. 7 tahun 1959”.81
Dalam surat jawaban terhadap Presiden Sukarno tersebut, dapat dipahami
bahwa Partai Sosialis Indonesia menolak kerjasama dengan pemberontakan.
Penolakan tersebut paling tidak berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut :
80 P.Y. Nur Indro. Ibid. hal 153. 81 P.Y. Nur Indro. Ibid. hal 153.
76
1. Pemberontakan merupakan cara menyalurkan aspirasi yang tidak
demokratis.
2. Partai Sosialis Indonesia tidak bersifat kedaerahan sehingga akan berusaha
mempertahankan persatuan dan kesatuan kebangsaan.
3. Dalam surat jawaban Partai Sosialis Indonesia tersebut tertulis :
”...Sejak dari mulanya pendirian kita tegas dan tidak ragu-ragu: semua anggota kita dilarang mengikuti gerakan pemberontakan itu malah ditugaskan untuk menentang dan menghambatnya. Sehingga mereka yang tidak dapat dan sanggup menuruti petunjuk serta perintah partai dengan sendirinya memutuskan dirinya dari hubungan partai, dari keluarga partai”.82
Atas dasar itu pada tanggal 17 Agustus 1960 keputusan Presiden Sukarno
membubarkan Partasi Sosialis Indonesia sebagaimana tertuang dalam Keputusan
No. 201 tahun 1960 menyatakan :
”Membubarkan Partai Sosialis Indonesia, termasuk bagian-bagian/cabang-cabang/ranting-ranting di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Keputusan untuk membubarkan Partai Sosialis Indonesia tersebut didasari pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut : 1. Untuk kepentingan keselamatan Negara dan Bangsa. 2. Partai Sosialis Indonesia melakukan pemberontakan atau telah
memberikan bantuan terhadap Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia.
3. Partai Sosialis Indonesia secara resmi mengalahkan anggota-anggotanya”.83
Reaksi anggota-anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) atas keputusan
Presiden tentang pembubaran Partai Sosialis Indonesia (PSI) tersebut tidak
bersifat revolusioner. Partai Sosialis Indonesia bereaksi secara demokratis dalam
arti sangat menghargai pendapat orang lain. Dalam Tanya jawab, Partai Sosialis
Indonesia sudah memberikan jawaban namun ditanggapi dengan pembubaran
82 P.Y. Nur Indro. Ibid. hal 154. 83 P.Y. Nur Indro. Ibid. hal 155.
77
Partai Sosialis Indonesia dan jawaban ini adalah dari pemimpin negara maka
Partai Sosialis Indonesia menerimanya dengan hormat. Hal ini terbukti dengan
surat Partai Sosialis Indonesia No. K. 089/1960 kepada staf Penguasa Perang
Tertinggi tentang permohonan ijin untuk mengadakan kongres karena wewenang
untuk membubarkan partai ada pada Kongres Partai Sosialis Indonesia.
Pada tanggal 5 September 1960 Kepala staf Penguasa Perang Tertinggi
memberikan jawaban terhadap permohonan Partai Sosialis Indonesia untuk
mengadakan kongres. Jawaban tersebut tertuang dalam surat bernomor
0612/PEPERTI/1960 yang berisi penolakan ijin kepada Partai Sosialis Indonesia
untuk mengadakan kongres. Alasan penolakan ijin tersebut adalah dikarenakan
Partai Sosialis Indonesia telah dibubarkan. Maka satu-satunya aktivitas yang dapat
diakui dari Partai Sosialis Indonesia adalah mengeluarkan pernyataan yang
dilakukan pemimpin partai bahwa partai mereka bubar.
Partai Sosialis Indonesia menerima keputusan tersebut dengan baik dalam
surat dari Sekretariat Jenderal Partai Sosialis Indonesia kepada anggota yang
berisi pernyataan bahwa cabang-cabang dan segenap rantingnya hendaklah
mentaati keputusan Presiden no. 201 tahun 1960. Selain itu Partai Sosialis
Indonesia telah menyatakan bubar dan hal tersebut dapat dipahami dalam
radiogram (berita melalui radio) dari Kasi Sekretariat Staf Penguasa Perang
Tertinggi, yang berbunyi :
”...Pimpinan Partai Masyumi termasuk Majelis Suro dan Muslimatnya serta Partai Sosialis Indonesia telah menyatakan partainya bubar dengan memberitahukan kepada presiden ttk”.84
84 P.Y. Nur Indro. Ibid. hal 155-156.
78
4.2.2. Penangkapan Sjahrir Tahun 1962
Dalam segala hal yang berbau penyelewengan politik, Partai Sosialis
Indonesia menjadi sasaran empuk propaganda hitam dari pihak partai-partai lain.
Upaya yang dijalankan untuk membenahi organisasi, keanggotaan, ideologi Partai
Sosialis Indonesia tidak juga membawa hasil memuaskan. Sjahrir menghadapi
tantangan-tantangan, semakin kentara bahwa politik tidak berpihak kepada
Sjahrir.
Upacara besar ngabenan, pembakaran jenazah bekas raja Gianyar menurut
adat Bali berlangsung tanggal 18 Agustus 1961. Anak Agung Gde Agung, putra
raja, mantan Menteri Luar Negeri dalam kabinet Boerhanoedin Harahap (12
Agustus 1955 - 3 Maret 1956) mengundang teman-temannya untuk menghadiri
ngabenan. Tamu-tamu tersebut adalah Hatta, Sutan Sjahrir, Moh Roem, Soebadio
Sastrosatomo, Hamid Algadri, Sutan Hamid II Alkadri dari Pontianak.85 Upacara
berlangsung lancar dan juga ramai. Menteri Luar Negeri yaitu Subandrio dalam
kedudukannya sebagai Kepala Pusat Intelijen menerima laporan rahasia bahwa di
Bali telah terjadi persekongkolan subversif86 yang ditujukan ke alamat negara.
Laporan diteruskan oleh Subandrio kepada Presiden Sukarno. Cerita konspirasi
atau persekongkolan di Bali itu kemudian menyebar pada masyarakat.
Tanggal 7 Januari 1962, Presiden Sukarno berkunjung ke Makassar.
Sebuah granat dilemparkan ke arah iring-iringan mobilnya. Tidak ada korban
85 H. Rosihan Anwar. op. cit. hal 132. 86 Subversif berkenaan dengan subversi. Subversi adalah gerakan dalam
usaha atau rencana menjatuhkan kekuasaan yang sah dengan menggunakan cara di luar undang-undang. Lihat kamus, Departemen Pendidikan Nasional. op.cit. hal 1346.
79
yang tewas. Tanggal 15 Januari, dua warga negara Belanda ditangkap karena
dianggap ingin mencelakai Presiden Sukarno.87 Pada tanggal 16 Januari 1962,
pukul 4 pagi, pemerintah menangkap Sjahrir dirumahnya di Jalan Jawa No. 61
(sekarang, H.O.S. Cokroaminoto). Juga ditangkap Anak Agung Gde Agung,
Soebadio Sastrosatomo, Sultan Hamid II Alkadri dari Pontianak. Selanjutnya
tokoh-tokoh Masyumi: Prawoto Mangkusasmito, Yunan Nasution, Kiai H. Isa
Anshary, dan Moh Roem.88
Pada tahun 1958 sehubungan dengan pemberontakan di Sumatera menurut
Jeannes S. Mintz dalam bukunya yang berjudul Mohammed, Marx and Marhaen:
the Roots of Indonesian Socialism, pemimpin-pemimpin Partai Sosialis Indonesia
terbagi menjadi dua, di satu pihak ikut dalam pemberontakan tersebut, sedangkan
di pihak lain mengutuk pemberontakan tersebut. Pihak yang tidak menyetujui
pemberontakan mengeluarkan himbauan untuk menghindari terjadinya perang
saudara. Sikap politik yang sangat menonjol dari Partai Sosialis Indonesia adalah
selalu merasa ketakutan adanya kemungkinan negara Indonesia mengalami
degenerasi (kemunduran atau kemerosotan generasi).89
Surat perintah untuk menahan Sjahrir, dikeluarkan oleh Peperti (Penguasa
Perang Tertinggi) yang dipimpin oleh Sukarno. Dokumen ditandatangani oleh
Subandrio sebagai menteri luar negeri dan Nasution sebagai mentri pertahanan.
Nasution yang mendengar beberapa hari setelah surat perintah dikeluarkan,
menyatakan bahwa dia harus menerima ketentuan dalam peristiwa tersebut.
87 H. Rosihan Anwar. op. cit. hal 134. 88 H. Rosihan Anwar. Ibid. hal 137. 89 P.Y. Nur Indro. op. cit. hal 156.
80
Nasution juga berkata kepada Soedjatmoko yang kemudian ditulis dalam
memoarnya, bahwa:
“Sebenarnya Sukarno yang berada di belakang perintah penangkapan yang diberikan kepada Nasution dengan nama-nama belum diisi dalam dokumen dan meminta Nasution untuk menandatangani kertas seperti adanya”.90
Dengan keragu-raguan, bahkan beberapa di antara teman-teman Sjahrir
yang paling dekat dan sudah lama menjadi pengagumnya, membicarakan masa-
masa terakhir dan tulisan Sjahrir dari penjara khususnya, tentang kemunduran
intelektualnya. Analisisnya, menurut mereka kadang-kadang kabur, perhatiannya
tidak menentu, bahasanya datar. Menurut teman-temannya hal tersebut sangat
menyedihkan, ketika tulisannya dibandingkan dengan apa yang dihasilkan Sjahrir
selama tahun 1930-an dan 1940-an.91
90 Rudolf Mrázek, op. cit. hal 817-818. 91 Rudolf Mrázek, Ibid. hal 840.
81
BAB V
PENUTUP
5. 1. Kesimpulan
Sutan Sjarir merupakan panutan bagi bangsa Indonesia. ketika dia
melanjutkan pendidikannya di Bandung tahun 1926, sikap kepeduliannya sudah
tampak ketika melihat keadaan rakyat Indonesia yang sangat menderita dan juga
tidak mampu terutama kaum kuli yang menderita akibat penjajahan kolonial.
Semenjak itu Sjahrir dan teman-temannya mulai menaruh perhatian pada
kehidupan rakyat yang kurang mampu. Di saat masyarakat Indonesia tidak bisa
mengenyam pendidikan karena keterbatasan biaya, dia dan teman-temannya
membagi pengetahuan dengan cara mendirikan sekolah gratis tanpa batasan umur
yang dinamai Tjahja Volksuniversiteit, yang didirikan tahun 1928. Apa yang
Sjahrir dan teman-temannya peroleh di sekolah, mereka bagikan kepada anak
didik mereka. Dari sini dapat dilihat betapa Sjahrir sangat memperdulikan
keterbatasan rakyat Indonesia.
Sjahrir merupakan perpaduan antara ketajaman ilmu pengetahuan dan
kedalaman batin. Ia mampu hidup dalam ketegangan antara global dan lokal. Ia
bukan seseorang yang anti barat, bahkan kepada Sjahrazad, adiknya yang tengah
belajar di Belanda, ia menganjurkan agar membuka pikiran dan hati lebar-lebar
untuk menyelami Eropa supaya ilmu yang dipelajari menjadi hidup dan bermakna.
Bukan pihak kolonial yang dibenci Sjahrir tetapi sikap mereka yang mengekang
kemajuan bangsa Indonesia baik itu dalam hal pendidikan dan juga kehidupan
ekonomi rakyat Indonesia.
82
Ketika Jepang menjajah Indonesia, Sjahrir sudah memprediksi bahwa
bangsa Jepang tidak akan bertahan lama berada di Indonesia. Keyakinan Sjahrir
semakin diperkuat ketika dia selalu mengikuti perkembangan berita-berita yang
disiarkan diradio luar negeri yang menyatakan bahwa Jepang mengalami
kekalahan dalam peperangan. Bagi Sjahrir Amerika dan juga Belanda lebih
memiliki peralatan perang yang sangat canggih dibandingkan Jepang. Sjahrir
sangat membenci Jepang karena sikap fasis Jepang, yang sangat menyengsarakan
kehidupan rakyat Indonesia. Tidak hanya sengsara atas penjajahan Jepang tetapi
pola pikir pemuda Indonesia nyaris menyerupai bangsa Jepang seperti sering
berkelahi, bahkan memusuhi bangsa sendiri yaitu orang-orang Ambon, Manado
yang pada waktu itu dijadikan KNIL oleh bangsa Belanda bahkan para pemuda
juga memusuhi orang Indo dan juga orang Tionghoa. Sjahrir selalu meghindari
permusuhan di antara bangsa sendiri khususnya permusuhan antar suku.
Setelah dua bulan bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan, Sjahrir
merasa bahwa kemerdekaan tersebut hanyalah untuk kepentingan negara, bangsa
dan juga untuk kepentingan politik. Bagi Sjahrir tidaklah cukup jika suatu negara
sudah merdeka dari penjajahan bangsa lain tetapi dalam masyarat masih ada orang
yang hidup miskin. Merdeka yang sebenarnya harus dimulai dari mensejahterakan
rakyat dari keterbelakangan mental dan juga perekonomian. Percuma jika
kemerdekaan yang diperoleh tetapi di dalam suatu negara yang baru saja merdeka
masih ada tuan dan hamba. Sjahrir tahu bahwa apa yang di inginkan oleh rakyat
Indonesia yang sampai sekarang tidak pernah tercapai yaitu kesejahteraan. Apa
yang diinginkan rakyat tidak bisa terpenuhi, berarti nasionalisme telah gagal,
83
menjadi faktor negara yang konservatif dan reaksi terhadap sesuatu yang negatif
dan akan mengakibatkan keegoisan, mensejahterakan dirinya sendiri, dan tidak
memperdulikan orang-orang di sekeliling.
Politik yang ingin diterapkan Sjahrir ditujukan lebih untuk mengutamakan
kebebasan manusia dan kepentingan masyarakat daripada kemerdekaan nasional.
Walaupun negara Indonesia sudah mencapai kemerdekaan tetapi masih ada hal
yang jauh lebih penting yaitu perdamaian, kemakmuran, dan juga kemajuan bagi
rakyat. Bagi Sjahrir bahaya besar yang mengancam Republik Indonesia bukanlah
dari pihak luar. Bahaya tersebut sebenarnya sudah lama bersarang di dalam
bangsa Indonesia sendiri. Jiwa komunalisme dengan segala aspeknya yang negatif
bukan saja ada pada penjajah melainkan secara tak sadar sudah terhimpun di
dalam darah daging orang-orang Indonesia sebagai hasil sekian abad
kolonialisme. Bagi Sjahrir, pembentukan suatu negara bukanlah tujuan pada
dirinya sendiri, melainkan suatu ekspresi dan juga sebagai alat dari kedaulatan
rakyat. Negara adalah alat untuk mencapai tujuan lain di samping revolusi, yaitu
keadilan sosial, kebebasan, dan juga hak asasi manusia.
Sutan Sjahrir memang bukanlah sekedar seorang politikus. Dia adalah
seorang negarawan, yakni warganegara yang dalam pengabdiannya yang luar-
biasa terhadap Negara dan Bangsa, tidak menyandarkan pikiran dan langkah-
langkahnya pada patokan kekuasaan. Menang atau kalah bukan persoalan yang
besar bagi seorang negarawan, apalagi untung rugi bagi diri pribadi. Keprihatinan
negarawan adalah kepentingan dan kesejahteraan seluruh negara, seluruh
masyarakat. Bukan ”Aku” atau ”Kami” yang penting bagi negarawan, tetapi
84
”Kita Semua”. Bukan hanya bangsa, negara, masyarakat, keadaan, dan sebagainya
yang ia abdi, tetapi juga kepentingan dan perkembangan manusia-manusia sebagai
pribadi-pribadi yang menjadi warganegara atau warga masyarakat tersebut.
Sjahrir bukan hanya sekedar Politikus tetapi ia adalah seorang Negarawan
yang memikirkan bagaimana kehidupan generasi yang akan datang. Dia bukan
hanya sekedar memperjuangkan kemerdekaan Indonesia untuk dapat terbebas dari
penjajahan bangsa lain tetapi bagaimana caranya untuk memperoleh kemerdekaan
bagi masyarakat kecil secara individu. Dia bagaikan sebuah kekecualiaan bagi
zamannya. Ia terlalu di depan bagi masanya. Bagi Sjahrir, kemerdekaan nasional
bukanlah suatu final. Tujuan akhir dari perjuangan politiknya adalah terbukanya
ruang bagi rakyat untuk mengusahakan dirinya, untuk memunculkan bakatnya
dalam kebebasan tanpa halangan. Bagi Sjahrir, kemerdekaan adalah sebuah jalan
menuju cita-cita tersebut. Itulah sebabnya Sjahrir menganggap nasionalisme harus
tunduk kepada kepentingan demokrasi.
Apa yang Sjahrir takuti di masa kejayaannya dimana rakyat Indonesia
membenci bangsa asing bahkan bangsanya sendiri bukan hanya terjadi pada
sebelum atau pun sesudah kemerdekaan Indonesia, tetapi sampai sekarang sikap
saling memusuhi bangsa sendiri masih dirasakan hingga saat kini. Banyak
keinginan-keinginan Sjahrir yang belum terwujud sampai maut merenggut
hidupnya, seperti mendirikan rumah untuk orang yang tidak mampu, mendirikan
rumah sakit gratis, dan bahkan ingin menyelenggarakan pembayaran pajak sesuai
dengan penghasilan yang diperoleh. Jika keinginan Sjahrir tersebut dapat
terpenuhi dapat dimungkinkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia bisa
85
tercapai. Entah kapan bangsa Indonesia memiliki pemimpin negara seperti Sutan
Sjahrir, yang lebih mementingkan kesejahteraan rakyat bukan hanya sekedar
omongan belaka tetapi sikap kepeduliannya dia terapkan pada rakyat kecil.
Tidak cukup hanya menempatkan Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri
pertama Indonesia. Begitu juga menempatkan Sjahrir hanya sebagai pendiri Partai
Sosialis Indonesia atau pimpinan partai sosialis, gelar itu terlalu kecil bagi Sjahrir.
Ketokohan Sjahrir seharusnya menjadi inspirator bagi bangsa ini, yang
menawarkan pemahaman politik sebagai nilai luhur mewujudkan kesejahteraan
rakyat dan bukan berburu kekuasaan. Situasi di Indonesia saat ini semakin
menjauh dari negara kesejahteraan yang dicita-citakan Sjahrir yang pengertiannya
secara politis adalah mengurangi kemiskinan, memajukan stabilitas sosial, dan
memajukan efisiensi ekonomi.
Bagi Sjahrir, analisis politik perlu daya pikir yang kuat sekaligus
keteguhan hati pada keadilan. Dengan daya pikir itu politik merupakan pendidikan
demokrasi, bukan perburuan, pembesaran, dan pelanggengan kekuasaan. Ketika
Pemilu tahun 2009 dilaksanakan, banyak para politikus untuk dapat menarik
simpati rakyat, mereka yang secara terang-terangan menghasut rakyat dengan
mengiming-imingi berbagai hal untuk kepentingan masyarakat kecil. Hal itu
menunjukan bahwa para politikus tersebut memandang kekuasaan bukan untuk
tahap awal memperjuangkan aspirasi rakyat tetapi kekuasaan bagi mereka adalah
tempat untuk mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya. Ini menandakan
bahwa pemikiran para politikus semakin jauh dari pemikiran Sutan Sjahrir yang
lebih menitikberatkan perhatiannya para rakyat kecil.
86
Sangat diharapkan bagi bangsa Indonesia untuk saat ini dan juga untuk
masa mendatang, pemimpin negara yang seperti Sutan Sjahrir, yang lebih
memperhatikan kepentingan rakyatnya bukan untuk mencari muka supaya
mendapat perhatian rakyat tetapi sikap ketulusan yang merasa senasib
sepenanggungan dengan rakyat kecil. Percuma jika suatu negara telah merdeka
tetapi kemerdekaan bagi rakyat kecil sendiri belum terwujud, terutama
kemerdekaan atas persamaan derajat.
87
KEPUSTAKAAN
Basuki Suwarno, Hubungan Indonesia-Belanda Periode 1945-1950, Upakara, Jakarta, 1999.
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Mizan, Bandung, 1997.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Jilid Keempat, PT. Gremedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.
Djoeir Moehamad, Mochtar Lubis (ed), Memoar Seorang Sosialis, Obor, Jakarta, 1997.
Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx ; ; Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisioner, Gramedia, Jakarta, 2001.
Frederick, William H. dan Soeri Soeroto (ed), Pemahaman Sejarah Indonesia (Sebelum dan Sesudah Revolusi), Lp3ES, Jakarta, 1982.
Rosihan Anwar, H (ed), Mengenang Sjahrir, Gramedia, Jakarta, 1980.
Rosihan Anwar, H, Sukarno-Tentara-PKI : Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961-1965, Obor, Jakarta, 2006.
Rosihan Anwar, H, Sutan Sjahrir : Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan, PT Kompas Media Nusantara, KITLV Press. Jakarta, 2010.
Kahin, George Mc Turnan, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, UNS, Surakarta, 1995.
Legge, J.D, Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan : Peranan Kelompok Sjahrir, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1993.
Gottschalk, Louis, Mengeri Sejarah, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1975.
Panitia Konferensi Internasional, Denyut Nadi Revolusi Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1997.
Mani, P. R. S. Jejak Revolusi 1945 ; Sebuah Kesaksian Sejarah, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1989.
P.Y. Nur Indro. Pemikiran Politik Soetan Sjahrir dan Partai Sosialis Indonesia: Tentang Sosialisme Demokrat, Inisiatif Warga, UKM Media Parahyangan dan UKM Pusik Parahyangan, Bandung, 2009.
88
Mrázek, Rudolf, Sjahrir; Politik dan Pengasingan di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,1996.
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Gramedia, Jakarta, 1993.
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru ; Sejarah Pergerakan Nasional, Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Gramedia, Jakarta,1990.
M. Dagun, Save, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, LPKN, Jakarta, 1997.
Sutan Sjahrir, Pikiran dan Perjuangan, Jendela, Yogyakarta, 2000.
Sutan Sjahrir, Sosialisme Indonesia Pembangunan, Leppenas, Jakarta, 1982.
Sutan Sjahrir, Perjuangan Kita, Guntur 49, Jakarta, 1994.
Sutan Sjahrir, Sosialisme dan Marxsisme, Jembatan, Jakarta, 1967.
Solichin Salam, Sjahrir Wajah Seorang Diplomat,
S. T. Rais Alamsjah, 10 Orang Indonesia Terbesar Sekarang, Mutiara, Padang, 1952.
Syahbuddin Mandaralam, Apa dan Siapa Sutan Sjahrir, Rosda Jayaputra, Jakarta, 1987.
Ebenstein, William dan Edwin Folgeman, Isme-isme Dewasa ini. Erlangga, Jakarta, 1987.
Yanto Bashri dan Retno Suffatni (ed), Sejarah Tokoh Bangsa, Lkis, Yogyakarta, 2004.
Majalah dan Koran
Tempo, Edisi Khusus, 2009.
Jakarta Post, Tuesday, March 10, 2009.
Seputar Indonesia, kamis 5 Maret 2009.
89
Internet
www.sutan sjahrir.com
http://empimuslion.wordpress.com/2007/09/29/sutan-sjahrir/
http://www.tanmalaka.estranky.cz/clanky/tokoh-kiri-indonesia/sutan syahrir
http://www.berpolitik.com/static/myposting/2008/03/myposting_10850.htmlJalan Politik Sutan Sjahrir Tags: PikiranPerjuangan, BungSjahrir