Sustainable Development_Gilang Yudha Palagan_240110110053

32
PAPER ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN “SUSTAINABLE DEVELOPMENT” Disusun Oleh: Gilang Yudha Palagan 240110110053 DEPARTEMEN TEKNIK DAN MANAJEMEN INDUSTRI PERTANIAN

description

Lingkungan

Transcript of Sustainable Development_Gilang Yudha Palagan_240110110053

Page 1: Sustainable Development_Gilang Yudha Palagan_240110110053

PAPER ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

“SUSTAINABLE DEVELOPMENT”

Disusun Oleh:

Gilang Yudha Palagan

240110110053

DEPARTEMEN TEKNIK DAN MANAJEMEN INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2015

Page 2: Sustainable Development_Gilang Yudha Palagan_240110110053

SUSTAINABLE DEVELOPMENT

Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota,

bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa

mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan" (menurut Brundtland

Report dari PBB, 1987. Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari

Bahasa Inggris, sustainable development. Salah satu faktor yang harus dihadapi

untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki

kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi

dan keadilan sosial. (oman)

Banyak laporan PBB, yang terakhir adalah laporan dari KTT Dunia 2005,

yang menjabarkan pembangunan berkelanjutan terdiri dari tiga tiang utama

(ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang saling bergantung dan memperkuat.

Untuk sebagian orang, pembangunan berkelanjutan berkaitan erat dengan

pertumbuhan ekonomi dan bagaimana mencari jalan untuk memajukan ekonomi

dalam jangka panjang, tanpa menghabiskan modal alam. Namun untuk sebagian

orang lain, konsep "pertumbuhan ekonomi" itu sendiri bermasalah, karena

sumberdaya bumi itu sendiri terbatas.

Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isu-isu

lingkungan. Lebih luas daripada itu, pembangunan berkelanjutan mencakup tiga

lingkup kebijakan: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan

lingkungan. Dokumen-dokumen PBB, terutama dokumen hasil World Summit

2005 menyebut ketiga hal dimensi tersebut saling terkait dan merupakan pilar

pendorong bagi pembangunan berkelanjutan.

Page 3: Sustainable Development_Gilang Yudha Palagan_240110110053

Gambar 1. Sustainable Development

(Sumber. Wikipedia.co.id)

Skema pembangunan berkelanjutan:pada titik temu tiga pilar tersebut,

Deklarasi Universal Keberagaman Budaya (UNESCO, 2001) lebih jauh menggali

konsep pembangunan berkelanjutan dengan menyebutkan bahwa "...keragaman

budaya penting bagi manusia sebagaimana pentingnya keragaman hayati bagi

alam". Dengan demikian "pembangunan tidak hanya dipahami sebagai

pembangunan ekonomi, namun juga sebagai alat untuk mencapai kepuasan

intelektual, emosional, moral, dan spiritual". dalam pandangan ini, keragaman

budaya merupakan kebijakan keempat dari lingkup kebijakan pembangunan

berkelanjutan.

Pembangunan Hijau pada umumnya dibedakan dari pembangunan

bekelanjutan, dimana pembangunan Hijau lebih mengutamakan keberlanjutan

lingkungan di atas pertimbangan ekonomi dan budaya. Pendukung Pembangunan

Berkelanjutan berargumen bahwa konsep ini menyediakan konteks bagi

keberlanjutan menyeluruh dimana pemikiran mutakhir dari Pembangunan Hijau

sulit diwujudkan. Sebagai contoh, pembangunan pabrik dengan teknologi

pengolahan limbah mutakhir yang membutuhkan biaya perawatan tinggi sulit

untuk dapat berkelanjutan di wilayah dengan sumber daya keuangan yang

terbatas.

Pada awalnya, perkembangan mengenai pembangunan berkelanjutan ini

dimulai dengan diterbitkannya buku Rachel Carson, dengan judul Silent Spring,

Page 4: Sustainable Development_Gilang Yudha Palagan_240110110053

yang diterbitkan pada tahun 1962. Dalam bukunya tersebut, ia menyatakan bahwa

konsep pembangunan berkelanjutan yaitu proses pembangunan atau

perkembangan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa

membahayakan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi

kebutuhannya dalam memanfaatkan sumber daya alam untuk kehidupan. Sejak

itu, banyak tonggak yang telah menandai perjalanan pembangunan berkelanjutan.

Pada tahun 1972, pembangunan berkelanjutan ini dimasukkan ke dalam

agenda PBB. Ada beberapa kejadian penting yang dapat menjadi catatan penting

pada tahun ini, antara lain yaitu penyelenggaraan UN Conference on the Human

Environment (UNCHE) di Stockholm, Swedia, yang kemudian mendorong

pembentukan beberapa badan perlindungan lingkungan tingkat nasional dan the

UN Environment Programme (UNEP), dimana hari pembukaan konferensi inilah

yang dijadikan tanggal yang selalu diperingati sebagai Hari Lingkungan

Internasional (World Environmental Day) setiap tanggal 5 Juni. Sejak konferensi

Stockholm, terbentuk dua aliran besar pembangunan dalam paradigma

pembangunan di dunia, yaitu kaum developmentalist versus kaum

environmentalist yang sangat berpengaruh selama beberapa dasawarsa.

Perdebatan yang meluas antara kedua aliran pandangan ini tanpa disadari juga

semakin meningkatkan pemahaman, penghayatan, dan kesadaran umat manusia

akan pentingnya lingkungan hidup di seluruh dunia.

Pada tahun 1975, ada dua kejadian penting yang terjadi, yaitu The

Convention on International Trade in Endangered Species of Flora and Fauna

(CITES) atau Konvensi mengenai Perdagangan Spesies Langka dari Tanaman dan

Hewan mulai diberlakukan atau mengikat dan setahun kemudian, pada tahun

1976, diselenggarakan the UN Conference on Human Settlements yang

merupakan pertemuan tingkat dunia yang pertama yang menghubungkan

lingkungan dan pemukiman manusia.

Pada tahun 1979, Convention on Long-Range Transboundary Air Pollution

atau Konvensi mengenai Polusi Udara Jarak Jauh Lintas Batas Negara diadopsi.

Setahun kemudian, pada tahun 1980, ada beberapa kejadian penting yang tercatat

yaitu peluncuran World Conservation Strategy atau Strategi Konservasi Dunia

Page 5: Sustainable Development_Gilang Yudha Palagan_240110110053

oleh the International Union for Conservation of Nature (IUCN), dimana dalam

laporannya pada bagian “menuju ke arah pembangunan berkelanjutan”

mengidentifikasi sebab utama dari perusakan habitat, yaitu kemiskinan, tekanan

populasi, ketidaksetaraan sosial, dan rezim perdagangan termasuk menyerukan

dibentuknya suatu strategi pembangunan internasional yang baru untuk

memperbaiki ketidaksetaraan, dan publikasi laporan Independent Commission on

International Development Issues atau Komisi Independen mengenai Isu-Isu

Pembangunan Internasional yang berjudul North-South: A Programme for

Survival (Brandt Report), yang menyerukan dibentuknya hubungan ekonomi yang

baru antara Utara dan Selatan.

Pada tahun 1986, penyelenggaraan UN Convention on the Law of the Sea

(UNCLOS) atau Konvensi PBB tentang Hukum Laut diadopsi, dimana konvensi

tersebut mengeluarkan materi-materi pengaturan yang terkait dengan standar

lingkungan dan penerapan aturan-aturan yang terkait dengan pencemaran laut, dan

diberlakukannya The UN World Charter for Nature atau Piagam PBB mengenai

Alam mengadopsi prinsip bahwa setiap bentuk kehidupan adalah unik dan

seharusnya dihargai tanpa memandang kegunaannya bagi umat manusia. Piagam

tersebut menyerukan pemahaman mengenai ketergantungan kita atas sumber daya

alam dan keharusan kita untuk mengontrol kegiatan eksploitasinya.

Pada bulan Desember 1983, Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Sidang

Umumnya membentuk satu komisi yang disebut World Commission on

Environment and Development, disangkat WCED. WCED dibentuk sesuai

resolusi Sidang Umum No.38/161 dan dipimpin oleh Perdana Menteri Gro

Harlem Brundtland dari Norwegia dan Masour Khalid dari Sudan. Dari Indonesia,

yang menjadi anggota adalah Prof. Dr. Emil Salim. Salah satu tugas WCED

adalah menyusun suatu strategi jangka panjang untuk pengembangan lingkungan

menuju pembangunan berkelanjutan di tahun 2000 dan sesudahnya. Setahun

kemudian, pada tahun 1984, diselenggarakannya International Conference on

Environment and Economics atau Konferensi Internasional mengenai Lingkungan

dan Ekonomi oleh OECD yang menyimpulkan bahwa lingkungan dan ekonomi

Page 6: Sustainable Development_Gilang Yudha Palagan_240110110053

harus saling memperkuat. Kesimpulan dari konferensi tersebut membantu dalam

pembentukan laporan Our Common Future.

Pada tahun 1985, dalam pertemuan the World Meteorological Society atau

masyarakat meteorologi dunia di Austria pertama kali disebutkan mengenai isu

Climate Change atau perubahan iklim, dimana the UNEP dan the International

Council of Scientific Unions dalam laporannya menyatakan bahwa terjadi

penumpukan karbon dioksida dan “gas rumah kaca” lainnya di atmosfer. Hal

tersebut ditengarai sebagai penyebab pemanasan global. Pada tahun ini juga

ditemukan bahwa ada lubang ozon di Antartika, berdasarkan penelitian dari ahli

Inggris dan Amerika Serikat.

Pada tahun 1987, ada beberapa kejadian penting yang harus dicatat yaitu

diterbitkan laporan dari the World Commission on Environment and Development

(WCED) yang dikenal dengan nama Brundtland Report yang diberi judul Our

Common Future atau Masa Depan Kita Bersama, dimana dalam laporan tersebut

menggabungkan isu-isu sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan dengan solusi

global, termasuk juga mempopulerkan istilah “sustainable development” atau

pembangunan berkelanjutan, dibuatnya pedoman oleh OECD Development

Advisory Committee atau Komite Penasehat Pembangunan OECD untuk

lingkungan dan pembangunan dalam kerangka bantuan kebijakan bilateral, dan

diadopsinya Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer atau

Protokol Montreal mengenai bahan-bahan yang dapat merusak lapisan ozon.

Pada tahun 1988, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) atau

panel antarpemerintah mengenai perubahan iklim dibentuk dengan tujuan untuk

mengevaluasi penelitian yang paling terbaru di lapangan terkait dengan ilmu

pengetahuan, teknis, dan sosio-ekonomi. Pada tahun 1990, kejadian penting yang

tercatat yaitu penyelenggaraan UN Summit for Children atau KTT PBB mengenai

anak-anak, pengakuan yang penting mengenai akibat dari lingkungan bagi

generasi yang akan datang.

Pada tahun 1992, diselenggarakan UN Conference on Environment and

Development (UNCED) atau Konferensi PBB mengenai Lingkungan dan

Pembangunan yaitu konferensi khusus tentang lingkungan dan pembangunan

Page 7: Sustainable Development_Gilang Yudha Palagan_240110110053

yang dikenal sebagai Earth Summit atau KTT Bumi Pertama di Rio de Jeneiro,

Brazil.  Dari sini, terbentuklah United Nations Commission on Sustainable

Development (UNCSD). Setelah itu, pelbagai konferensi dan forum-forum tingkat

dunia secara periodik terus diselenggarakan untuk membahas berbagai masalah

dalam pelaksanaan prinsip pembangunan berkelanjutan di berbagai negara. Dalam

konferensi, kesepakatan yang dicapai terkait dengan rencana aksi Agenda 21 dan

pada konvensi keanekaragaman hayati (the Biological Diversity), konvensi

kerangka kerja perubahan iklim (the Framework Convention on Climate Change)

dan prinsip-prinsip kehutanan yang tidak mengikat.

Pada tahun 1993, diselenggarakan Pertemuan pertama dari the UN

Commission on Sustainable Development, yang diadakan untuk memastikan

tindak lanjut dari UNCED, meningkatkan kerja sama internasional dan

merasionalisasi kapasitas pembuatan keputusan antarpemerintah. Setahun

kemudian, di tahun 1994, beberapa kejadian penting yang tercatat yaitu pendirian

Global Environment Facility yang bertujuan merestrukturisasi miliaran dolar

bantuan untuk memberikan lebih banyak kekuatan membuat keputusan kepada

negara-negara berkembang dan pembentukan Earth Charter Initiative yang baru

telah diluncurkan melalui proses konsultasi yang paling terbuka dan partisipatif

yang pernah dilakukan yang terkait dengan dokumen internasional.

Pada tahun 1995, beberapa kejadian penting yang terjadi yaitu pembentukan

World Trade Organization (WTO), dengan pengakuan secara formal terhadap

hubungan antara perdagangan, lingkungan, dan pembangunan, penyelenggaraan

World Summit for Social Development di Kopenhagen, dimana hal ini adalah

pertama kalinya komunitas internasional mengekspresikan komitmen yang jelas

terkait dengan pemberantasan kemiskinan dan penyelenggaraan Fourth World

Conference on Women di Beijing, dimana dalam negosiasinya diakui bahwa status

wanita telah meningkat, akan tetapi rintangan tetap ada terkait dengan realisasi

hak-hak wanita sebagai hak asasi manusia. Setahun kemudian, pada tahun 1996,

ISO 14001 secara formal diadopsi sebagai standar internasional yang dilakukan

secara sukarela untuk sistem manajemen lingkungan perusahaan. Pada tahun

1999, dilaksanakannya peluncuran Index Berkelanjutan Dow Jones, yang

Page 8: Sustainable Development_Gilang Yudha Palagan_240110110053

merupakan alat yang pertama yang dijadikan pedoman bagi investor yang sedang

mencari perusahaan yang menguntungkan yang tetap mengikuti prinsip-prinsip

pembangunan berkelanjutan.

Pada tahun 2000, UN Millennium Development Goals atau Tujuan

Pembangunan Milenium PBB yang dihasilkan dari pertemuan terbesar pemimpin

dunia yang sepakat untuk menetapkan tujuan yang terikat dengan waktu dan

tujuan yang terukur untuk memerangi kemiskinan, kelaparan, penyakit, buta

huruf, degradasi lingkungan, dan diskriminasi terhadap wanita, yang akan dicapai

pada tahun 2015 dan dalam tahun yang sama juga mengadopsi Earth Charter

yang diluncurkan pada tanggal 29 Juni 2000, di Den Haag, Belanda, didukung

oleh lebih dari 14.000 individu dan organisasi yang mewakili jutaan orang di

seluruh dunia, namun telah gagal untuk mencapai kesepakatan yang diinginkan

atau adopsi oleh the 2002 World Summit on Sustainable Development atau the UN

General Assembly, dengan Earth Charter Initiative sebagai organisasi yang

mempromosikan misi dari Earth Charter tersebut.

Pada tahun 2001, Konferensi Tingkat Menteri WTO yang Keempat, yang

diadakan di Doha, Qatar, mengakui perhatian atas lingkungan dan pembangunan

dalan deklarasi finalnya. Dan kemudian masih pada tahun yang sama, United

Nations Department for Economic and Social Affairs (UNDESA), bekerja sama

dengan Pemerintah Ghana, Inggris, Denmark, dan UNDP, mengadakan

International Forum on National Sustainable Development Strategies (NSDSs)

pada 7-9 November 2001 di Accra, Ghana. Forum ini diselenggarakan sebagai

persiapan dari World Summit on Sustainable Development (WSSD) yang

diadakan di Johannesburg, Afrika Selatan, pada 26 Agustus hingga 6 September

2002 yang dikenal sebagai Earth Summit 2002.

 Kemudian di tahun 2002, tepatnya pada tanggal 26 Agustus - 4 September,

diadakan World Summit on Sustainable Development (WSSD) dengan tema

Economy, Environment, and Society yang diselenggarakan di Johannesburg,

Afrika Selatan. WSSD atau KTT Dunia mengenai Pembangunan Berkelanjutan

tersebut, menandai 10 tahun UNCED. 737 LSM baru dan lebih dari 8.046

perwakilan dari kelompok utama (bisnis, petani, masyarakat adat, pemerintah

Page 9: Sustainable Development_Gilang Yudha Palagan_240110110053

daerah, LSM, komunitas ilmu pengetahuan dan teknologi, serikat buruh, dan

wanita) menghadiri KTT Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan di

Johannesburg. Kelompok-kelompok ini mengorganisir diri mereka ke dalam

sekitar 40 kaukus berbasis geografis dan isu. Dalam suasana frustasi karena

kurangnya kemajuan dari pemerintah, KTT mempromosikan “kemitraan” sebagai

pendekatan yang tidak dinegosiasikan terhadap keberlanjutan.

Pada tahun 2005, beberapa kejadian penting yang dicatat yaitu mulai

diberlakukannya Kyoto Protocol yang secara hukum mengikat pihak negara maju

dengan tujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan menetapkan

Mekanisme Pembangunan Bersih bagi negara-negara berkembang. Setahun

berikutnya, pada tahun 2006, ada beberapa laporan yang terkait sustainable

development, yaitu Laporan Stern membuat kasus ekonomi yang meyakinkan

bahwa biaya yang dikeluarkan apabila tidak menanggapi perubahan iklim akan

menjadi 20 kali lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk

melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengatasi isu perubahan

iklim tersebut dan laporan NASA bahwa lapisan ozon telah pulih karena peran

dalam mengurangi konsentrasi dari CFCs, dihapuskan berdasarkan Protokol

Montreal.

Pada tahun 2008, Ide mengenai Green Economy atau Ekonomi Hijau mulai

masuk kedalam arus utama. Pemerintahan nasional menginvestasikan sebagian

dari stimulus ekonomi mereka ke dalam aksi-aksi lingkungan, dan ekonomi

rendah karbon dan pertumbuhan hijau menjadi tujuan baru dari perekonomian

masa depan. Masih pada tahun yang sama, pada 10-12 November 2008, atas kerja

sama OECD dan International Transport Forum (ITF) diadakan pula Global

Forum on Sustainable Development dengan tema Transport and Environment in

Globalizing World di Guadalajara, Mexico.

Setahun kemudian, pada tahun 2009, Negosiasi iklim Kopenhagen, dimana

target dan aksi domestik dari emiter besar seperti misalnya Amerika Serikat dan

China memegang peranan utama, akan tetapi proses internasional terus terlihat

sebagai bagian yang penting dalam mengukur apakah aksi-aksi tersebut sesuai

dengan pengurangan global yang diinginkan oleh ilmu pengetahuan. Hasil dari

Page 10: Sustainable Development_Gilang Yudha Palagan_240110110053

negosiasi Kopenhagen tidak jelas: prosesnya mungkin sulit tetapi kesepakatan

Kopenhagen itu sendiri merupakan terobosan dalam pengertian melibatkan

negara-negara berkembang.

Page 11: Sustainable Development_Gilang Yudha Palagan_240110110053

Sejarah Perencanaan Pembangunan Indonesia

1. Orde Lama

Pada era Orde Lama, masa pemerintahan presiden Soekarno antara tahun

1959-1967, pembangunan dicanangkan oleh MPR Sementara (MPRS) yang

menetapkan sedikitnya tiga ketetapan yang menjadi dasar perencanaan nasional:

TAP MPRS No.I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik republik

Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara

TAP MPRS No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola

Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969,

Ketetapan MPRS No.IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman

Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.

Dengan dasar perencanaan tersebut membuka peluang dalam melakukan

pembangunan Indonesia yang diawali dengan babak baru dalam mencipatakan

iklim Indonesia yang lebih kondusip, damai, dan sejahtera. Proses mengrehablitasi

dan merekontruksi yang di amanatkan oleh MPRS ini diutamakan dalam

melakukan perubahan perekonomian untuk mendorong pembangunan nasional

yang telah didera oleh kemiskinan dan kerugian pasca penjajahan Belanda.

Pada tahun 1947 Perencanaan pembangunan di Indonesia diawali dengan

lahirnya “Panitia Pemikir Siasat Ekonomi”. Perencanaan pembangunan 1947 ini

masih mengutamakan bidang ekonomi mengingat urgensi yang ada pada waktu

itu (meskipun di dalamnya tidak mengabaikan sama sekali masalah-masalah

nonekonomi khususnya masalah sosial-ekonomi, masalah perburuhan, aset Hindia

Belanda, prasarana dan lain lain yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial).

Tanpa perencanaan semacam itu maka cita-cita utama untuk “merubah ekonomi

kolonial menjadi ekonomi nasional” tidak akan dengan sendirinya dapat terwujud.

Apalagi jika tidak diperkuat oleh Undang-Undang yang baku pada masa itu.

Sekitar tahun 1960 sampai 1965  proses sistem perencanaan pembangunan

mulai tersndat-sendat dengan kondisi politik yang masih sangat labil telah

menyebabkan tidak cukupnya perhatian diberikan pada upaya pembangunan

untuk memperbaiki kesejahtraan rakyat.

Page 12: Sustainable Development_Gilang Yudha Palagan_240110110053

Pada masa ini perekonomian Indonesia berada pada titik yang paling suram.

Persediaan beras menipis sementara pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk

mengimpor beras serta memenuhi kebutuhan pokok lainnya. Harga barang

membubung tinggi, yang tercermin dari laju inflasi yang samapai 650 persen

ditahun 1966. keadaan plitik tidak menentu dan terus menerus bergejolak

sehingga proses pembangunan Indonesia kembali terabaikan sampai akhirnya

muncul gerakan pemberontak G-30-S/PKI, dan berakir dengan tumbangnya

kekuasaan presiden Soekarno.

2.Orde Baru

Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September/Partai Komunis

Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde Baru.

Pada tanggal 1 Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk menandatangani

sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal Soeharto untuk mengambil

segala tindakan yang perlu untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno

sebagai Presiden.  Surat yang kemudian dikenal dengan sebutan Surat Perintah

Sebelas Maret (Supersemar) itu diartikan sebagai media pemberian wewenang

kepada Soeharto secara penuh.

Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional

dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu

diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional.

Pada era Orde Baru ini, pemerintahan Soeharto menegaskan bahwa

kerdaulatan dalam politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian

dalam bidang sosial budaya. Tekad ini tidak akan bisa terwujud tanpa melakukan

upaya-upaya restrukturisasi di bidang politik (menegakkan kedaulatan rakyat,

menghapus feodalisme, menjaga keutuhan teritorial Indonesia serta melaksanakan

politik bebas aktif), restrukturisasi di bidang ekonomi (menghilangkan

ketimpangan ekonomi peninggalan sistem ekonomi kolonial, menghindarkan

neokapitalisme dan neokolonialisme dalam wujudnya yang canggih, menegakkan

sistem ekonomi berdikari tanpa mengingkari interdependensi global) dan

Page 13: Sustainable Development_Gilang Yudha Palagan_240110110053

restrukturisasi sosial budaya (nation and character building, berdasar Bhinneka

Tunggal Ika dan Pancasila serta menghapuskan budaya inlander).

Pada masa ini juga proses pembangunan nasional terus digarap untuk dapat

meningkatkan kapasitas masyarakat dan menciptakan lapangan kerja. Pendapatan

perkapita juga meningkata dibandingkan dengan masa orde lama.

Kesemuanya ini dicapai dalam blueprint nasional atau rencana

pembangunan nasional. Itulah sebabnya di jaman orde lama kita memiliki

rencana-rencana pembangunan lima tahun (Depernas) dan kemudian memiliki

pula Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan-Tahun (Bappenas). Di

jaman orde baru kita mempunyai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)

I, Repelita II, Repelita III, Repelita IV, Repelita V,dan Repelita VII (Bappenas).

Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis

moneter tahun 1997. Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus

memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus

memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat terus

meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan

munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh

mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan

reformasi total. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12

Mei 1998. Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu me-ninggalnya empat

mahasiswa Universitas Trisakti. Keempat mahasiswa yang gugur tersebut

kemudian diberi gelar sebagai “Pahlawan Reformasi”.

Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji akan

mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu

juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU

Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli,

dan UU Antikorupsi. Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa

terbentuk karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet

Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto mundur

dari jabatannya

Page 14: Sustainable Development_Gilang Yudha Palagan_240110110053

3. Reformasi

Setelah terjadi berbagai goncangan ditanah air dan berbagai tekanan rakyat

kepada presiden Soeharto, akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto

mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan

jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai

berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.

Untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor

perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional

(BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Selain itu pada masa ini juga memberi  kebebasan dalam menyampaikan

pendapat, partisipasi masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari

munculnya partai-partai politik dari berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat

bisa menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Di samping

kebebasan dalam menyatakan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers.

Reformasi dalam pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan

Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP).

Dengan hadirnya reformasi pembangunan dapat di kontrol langsung oleh

rakyat, dan kebijakan pembangunanpun didasari demokrasi yang bebunyi dari,

oleh dan untuk rakyat, sehingga dengan dasar ini partisipasi rakyat tidak

terkekang seperti pada masa orde baru,kehidupan perekonomian Indonesia dapat

didorong oleh siap saja.

Selain pemabangunan nasional pada masa ini juga ditekankan kepada hak

daerah dan masyarakatnya dalam menentukan daerahnya masing-masing,

sehingga pembangunan daerah sangat diutamakan sebagaimana dicantumkan

dalam Undang-Undang no 32/2004,Undang-Undang 33/2004, Undang-Undang

18/2001 Untuk pemerintahan Aceh, Undang-Undang 21/2001 Untuk Papua.

Keempat undang-undang ini mencerminkan keseriusan pusat dalam melimpahkan

wewenangnya kepada pemerintah dan rakyat di daerah agar daerah dapat

menentukan pembangunan yang sesuai ratyatnya inginkan.

Page 15: Sustainable Development_Gilang Yudha Palagan_240110110053

Tahap Implementasi: pra-1987, UU 4/1982 dan periode 1987 – 1993, PP No.

29/1986.

AMDAL mulai diterapkan di Indonesia secara formal pada tahun 1982 melalui

penerapan Undang Undang nomor 4/1982 namun belum dilaksanakan secara luas

karena belum adanya pedoman pelaksanaan yang lebih rinci walaupun pada

periode ini sudah ada yang melakukan studi AMDAL sebagai pemenuhan

persyaratan bantuan luar negeri dan permintaan lembaga donor. Pada periode ini

implementasi AMDAL masih terbatas karena masih kurangnya pemahaman

AMDAL oleh para stakeholder. Barulah pada tahun 1986 ketika Peraturan

Pemerintah nomor 29/1986 tentang AMDAL mulai diberlakukan, AMDAL secara

sistematis mulai dilaksanakan dan bahkan cenderung sangat ekstensif karena

banyak sekali kegiatan yang diwajibkan menyusun AMDAL dan melakukan

evaluasi lingkungan melalui Studi Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan,

SEMDAL. Dapat dilihat bahwa pengenalam AMDAL di Indonesia pada tahun

1980an merupakan suatu hasil perkembangan kepedulian lingkungan secara

internasional sebagai imbas dari Konferensi Stockholm. Hal ini didorong pula

oleh bantuan program dari Pemerintah Kanada dalam penyusunan perangkat

peraturan AMDAL sejak tahun 1983 (BAPEDAL & EMDI, 1994: 29). Berbagai

panduan disusun untuk melaksanakan AMDAL termasuk panduan teknis dari

berbagai instansi sektoral. Namun demikian koordinasi antar lembaga pelaksana

AMDAL belum demikian terjalin dengan baik pada periode ini. Demikian pula

Sekretariat dan Komisi AMDAL sebagai badan yang melakukan proses

administrasi dan mengkaji secara teknis belum terlalu berkembang.

Tahap Pengembangan: antara 1993 – 2000, PP No. 51/1993.

Tahap ini memberi penekanan pada penyederhanaan proses AMDAL sejalan

dengan deregulasi birokrasi pemerintahan. Muatan deregulasi mencakup

penghilangan proses SEMDAL dan pengenalan berbagai pendekatan dalam proses

Page 16: Sustainable Development_Gilang Yudha Palagan_240110110053

AMDAL (proyek tunggal, terpadu, kawasan, dan regional). Dengan hilangnya

proses SEMDAL, beban kerja instansi yang melaksanakan AMDAL menjadi

lebih proporsional, demikian pula jumlah kegiatan wajib AMDAL menjadi lebih

sedikit dan lebih tepat sasaran. Menurut laporan Bapedal (2000) terdapat sekitar

7.000 dokumen yang diproses hingga awal tahun 2000 atau 4.507 dokumen yang

dinilai pada kurun waktu 1993 hingga 1997. Pada masa ini pula institusi Bapedal

mulai beroperasi dengan baik dan memiliki otoritas untuk pentaatan AMDAL dan

pengawasan kualitas dari dokumen yang dihasilkan. Hal yang cukup menarik

pada periode ini adalah diperkenalkannya berbagai pendekatan studi AMDAL

yang semula hanya dikenal melalui pendekatan proyek (seperti di negara asalnya).

Pada periode ini paling tidak terdapat empat pendekatan dalam studi AMDAL

yaitu AMDAL proyek, regional, kawasan, dan terpadu. Dengan pendekatan ini

diharapkan proses AMDAL menjadi lebih efektif dan berbagai isu seperti dampak

kumulatif atau dampak yang lebih strategis dapat diantisipasi.

Tahap Perbaikan (Refi nement): pasca-2000, UU 23/1997 dan PP No.

27/1999.

Tahap ini memberikan penekanan pada prosedur pelibatan masyarakat,

sentralisasi kewenangan dari sektoral kepada Bapedal dan redesentralisasi

pelaksanaan AMDAL kepada pemerintah daerah (propinsi) serta adanya

pendekatan AMDAL lintas batas. Periode ini ditandai dengan pembubaran Komisi

Penilai AMDAL di departemen sektoral dan pemusatan pelaksanaan AMDAL

oleh Bapedal. Bapedal mendistribusikan kewenangan AMDAL ini ke tingkat

propinsi. Dari sisi positif dapat dikatakan bahwa penilaian AMDAL diharapkan

menjadi lebih obyektif dan tidak bias dengan kepentingan pembangunan oleh

instansi sektoral. Di samping itu, desentralisasi kewenangan AMDAL ke tingkat

propinsi menunjukkan berjalannya prinsip akuntabilitas daerah dalam

pembangunan berkelanjutan. Dari sisi negatif dapat dikatakan bahwa perubahan

ini menghilangkan sumber daya manusia AMDAL di departemen sektoral dan

menurunkan perhatian lingkungan oleh instansi teknis pelaksana pembangunan

fisik. Dari sisi kemajuan sistem AMDAL, selain pendekatan lintas batas, periode

Page 17: Sustainable Development_Gilang Yudha Palagan_240110110053

ini juga mengenalkan mekanisme pelibatan masyarakat yang lebih intensif di

dalam proses AMDAL. Demikian pula proses AMDAL menjadi lebih sederhana

dan kegiatan wajib AMDAL menjadi lebih sedikit dan proporsional hanya untuk

rencana kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting. Namun

demikian, pada masa ini terdapat kemunduran yang sangat berarti karena

perubahan kondisi politik di tanah air. Institusi Bapedal yang menjadi ujung

tombak pelaksanaan AMDAL dibubarkan pada tahun 2002 dan fungsi tugasnya

digabungkan ke dalam KLH. 14 Di sisi lain, kebijakan otonomi daerah telah

memberikan kewenangan pemerintahan seluas-luasnya kepada tingka kabupaten

dan kota. Hal ini termasuk kewenangan untuk proses AMDAL. Dikatakan

kemunduran karena pelaksanaan AMDAL oleh pemerintah kabupaten dan kota

tidak dipersiapkan secara matang secara peraturan atau pun secara teknis. Sebagai

bukti, hingga saat ini Peraturan Pemerintah nomor 27/1999 hanya memberikan

kewenangan proses AMDAL hingga tingkat propinsi.

Tahap Revitalisasi AMDAL: setelah 2004-2007.

Para praktisi AMDAL menyadari masih banyaknya kekurangan di dalam sistem

pengelolaan lingkungan, termasuk di dalam sistem AMDAL. Untuk itu terdapat

keinginan untuk meningkatkan beberapa hal seperti adanya wacana akan perlunya

undang-undang AMDAL tersendiri (seperti NEPA) yang memberikan klausal

sanksi hukum yang jelas terhadap pelanggar proses AMDAL, reformasi

mekanisme AMDAL, pengaturan wewenang proses AMDAL  sejalan dengan

revisi UU Pemerintahan Daerah dan perlunya perangkat pengelolaan lingkungan

lainnya pendukung AMDAL (Kajian Lingkungan Strategis KLS, Kajian Risiko

Lingkungan KRL atau Environmental Risk Assessment ERA, Sistem Manajemen

Lingkungan SML atau Environmental Management System EMS, Audit

Lingkungan) di dalam perangkat pencegahan. Hal ini bermuara pada perubahan

UU Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 23/1997) yang hingga saat ini masih

dibahas. Tendensi yang ada saat ini adalah bahwa kewenangan AMDAL tetap

didistribusikan hingga tingkat pemerintah kabupaten dan kota. Sementara itu,

perdebatan untuk pemberian sanksi hukum masih terus bergulir untuk

Page 18: Sustainable Development_Gilang Yudha Palagan_240110110053

dicantumkan dalam Rancangan Undang Undang Lingkungan Hidup yang baru.

Rancangan Peraturan Pemerintah tentang AMDAL pun sedang dikaji dan disusun.

Beberapa ide seperti penyederhanaan proses AMDAL (lebih cepat) dan perubahan

mekanisme AMDAL masih terus dikaji untuk perubahan ke arah yang lebih baik.

Page 19: Sustainable Development_Gilang Yudha Palagan_240110110053

Pengaruh Pembangunan Berkelanjutan Bagi AMDAL

Pembangunan yang terus meningkat di segala bidang, khususnya

pembangunan di bidang industri, semakin meningkatkan pula jumlah limbah yang

dihasilkan termasuk yang berbahaya dan beracun yang dapat membahayakan

lingkungan dan kesehatan manusia. Untuk mencegah timbulnya pencemaran

lingkungan dan bahaya terhadap kesehatan manusia serta makhluk hidup lainnya,

limbah bahan berbahaya dan beracun harus dikelola secara khusus agar dapat

dihilangkan atau dikurangi sifat bahayanya.

Pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas telah mendorong Pemerintah

untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun

1994 tanggal 30 April 1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan

Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 26,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3551) yang kemudian

direvisi dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995

tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang

Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1995 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3595). Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 ini kembali

diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan

Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1999 Nomor 31) dan terakhir diperbaharui kembali melalui Peraturan

Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang.

Dasar hukum dari dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini antara lain

adalah Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1982 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215) sebagaimana

kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699,

mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 19 September 1997) serta Undang-

Page 20: Sustainable Development_Gilang Yudha Palagan_240110110053

undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara tahun

1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274).

Lingkungan hidup didefenisikan oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982

sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup,

termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan

perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Sedangkan

yang dimaksud dengan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk

melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan,

pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan pengawasan, dan

pengendalian lingkungan hidup.

Inti masalah lingkungan hidup adalah hubungan timbal balik antara makhluk

hidup (organisme) dengan lingkungannya yang bersifat organik maupun

anorganik yang juga merupakan inti permasalahan bidang kajian ekologi.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana telah diubah oleh Pasal 3

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup menyatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup

diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas

manfaat dan bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang

berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia

seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan

bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kata-kata “pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan

hidup” sebagaimana tercantum dalam tujuan tersebut di atas merupakan “kata

kunci” (key words) dalam rangka melaksanakan pembangunan dewasa ini

maupun di masa yang akan datang. (Koesnadi Hardjasoemantri, 1990: 127).

Istilah “pembangunan berkelanjutan yang berwawasan Lingkungan”

merupakan suatu terjemahan bebas dari istilah “sustainable development” yang

menggambarkan adanya saling ketergantungan antara pelestarian dan

pembangunan. Istilah ini untuk pertama kalinya mulai diperkenalkan oleh The

World Conservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan pada

Page 21: Sustainable Development_Gilang Yudha Palagan_240110110053

tahun 1980 yang menekankan bahwa kemanusiaan, yang merupakan bagian dalam

alam, tidak mempunyai masa depan kecuali bila alam dan sumber daya alam

dilestarikan. Dokumen ini menegaskan bahwa pelestarian tidak dapat dicapai

tanpa dibarengi pembangunan untuk memerangi kemiskinan dan kesengsaraan

ratusan juta umat manusia.

Page 22: Sustainable Development_Gilang Yudha Palagan_240110110053

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Sustainable Development. Wikipedia.co.id (diakses pada 7 Maret

2015 pukul 21.00 WIB)

Asshiddiqie, Jimly. Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Bahan Ajar Pelatihan Penilaian AMDAL (Pusdiklat Kementerian Negara

Lingkungan.Hidup) 2009

Noor, Azamul Fadhly. 2007. Pembangunan dan Masalah Lingkungan Hidup.

https://azamul.wordpress.com/2007/06/07/pembangunan-dan-masalah-

lingkungan-hidup/ (diakses pada 7 Maret 2015 pukul 21.00 WIB)