SURIMI_Melinda Gabriella Huri_12.70.0162_B_UNIKA SOEGIJAPRANATA

37
Acara I SURIMI LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh : Nama : Melinda Gabriella Huri NIM : 12.70.0162 Kelompok B1 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

description

Praktikum bab Surimi dilaksanakan pada hari Senin, 22 September 2014 pada pukul 3 sore.

Transcript of SURIMI_Melinda Gabriella Huri_12.70.0162_B_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Acara I

SURIMI

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh :Nama : Melinda Gabriella HuriNIM : 12.70.0162Kelompok B1

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2

2014

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan untuk WHC dan uji sensoris surimi dengan berbagai perlakuan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Pengukuran WHC dan Uji Sensoris SurimiKelompokPerlakuanWHC (mg H2O)Sensoris

KekenyalanAroma

B1Sukrosa 2,5% Garam 2,5% Polifosfat 0,1%240028,06+++

B2Sukrosa 2,5% Garam 2,5% Polifosfat 0,1%285154,75+++++

B3Sukrosa 2,5% Garam 2,5% Polifosfat 0,3%288857,17++++

B4Sukrosa 5% Garam 2,5% Polifosfat 0,3%317967,62+++

B5Sukrosa 5% Garam 2,5% Polifosfat 0,5%276163,82++++

B6Sukrosa 5% Garam 2,5% Polifosfat 0,5%284725,74+++

Keterangan :Kekenyalan :Aroma :+= tidak kenyal += tidak amis++= kenyal++= amis+++= sangat kenyal+++= sangat amisPada tabel 1 dapat dilihat bahwa, untuk kelompok B1 dan B2 memiliki perlakuan penambahan yang sama yaitu sukrosa 2,5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,1%, menghasilkan nilai WHC yang paling tinggi terdapat pada kelompok B2 yaitu 285154,75 mg H2O, sedangkan B1 hanya 240028,06 mg H2O, kemudian pada uji sensorisnya untuk kekenyalan dan aroma, kelompok B2 lebih kenyal dan sangat amis, sedangkan B1 tidak kenyal dan amis. Untuk kelompok B3 dengan perlakuan penambahan sukrosa 2,5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,3% menghasilkan nilai WHC 288857,17 mg H2O dan uji sensorisnya yaitu kenyal dan amis. Lalu untuk kelompok B4 dengan perlakuan penambahan sukrosa 5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,3% menghasilkan nilai WHC 317967,62 mg H2O dan untuk uji sensorisnya yaitu tidak kenyal dan amis. Dan yang terakhir untuk kelompok B5 dan B6 dengan perlakuan penambahan yang sama yaitu sukrosa 5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,5% menghasilkan nilai WHC yang paling tinggi adalah pada kelompok B6 yaitu 284725,74 mg H2O, sedangkan B5 hanya 276163,82 mg H2O, kemudian untuk uji sensorisnya pada kelompok B5 yaitu kenyal sedangkan B6 adalah tidak kenyal, untuk aromanya yang dihasilkan adalah sama yaitu amis.

2

12. PEMBAHASAN

Surimi adalah daging yang telah dihaluskan atau dilumat, dibersihkan dan dicuci berulang kali sehingga komponen seperti darah, bau, pigmen dan lemak akan hilang. Dalam proses penyimpanan, surimi dapat disimpan dalam keadaan beku dengan ditambahkan bahan antidenaturasi (cryoprotectant) (Peranginangin et al., 1999). Surimi beku dapat dibedakan menjadi 2 jenis berdasarkan kandungan garamnya yaitu mu-en surimi (surimi tanpa ditambahkan garam) dan ka-en surimi (surimi dengan ditambahkan garam), selain itu dikenal pula na-na surimi (surimi mentah tanpa proses pembekuan) (Suzuki, 1981). Hal ini sesuai dengan percobaan yang telah dilakukan, bahwa pada praktikum surimi ini dilakukan penambahan garam yang termasuk dalam ka-en surimi.

Faktor utama yang perlu diperhatikan dalam pembuatan surimi adalah suhu air dari proses pencucian dan penggilingan pada daging ikan. Jumlah protein yang larut air akan hilang selama proses pencucian, hal ini tergantung dari suhu air pencucian yang dilakukan karena dapat mempengaruhi kekuatan dari gelnya. Suhu air yang tinggi yaitu lebih dari 15C dapat melarutkan protein yang larut air. Kekuatan gel terbaik dapat dihasilkan, bila daging ikan dicuci dengan air yang memiliki suhu 10C 15C (Schwarz dan Lee, 1988). Hal inipun juga sesuai dengan praktikum yang telah dilakukan, bahwa daging ikan dicuci dengan air es sebanyak 3 kali.

Pada praktikum surimi ini, bahan yang digunakan adalah ikan tongkol. Berikut adalah klasifikasi dari ikan tongkol :Filum: ChordataSubfilum: VertebrataKelas: TeleosteiSubkelas: ActinopterygiOrdo: PerciformesSubordo: ScombrideiFamili: ScombridaeGenus: EuthynnusSpesies: Euthynnus sp. (Saanin, 1984)Ikan tongkol mempunyai dua bagian daging, yaitu daging putih dan daging merah. Salah satu olahan daging merah pada ikan tongkol yang dapat digunakan ataupun dimanfaatkan pada teknologi maju dan untuk tujuan ekspor adalah produk surimi (Winarno, 1993). Daging ikan tongkol memiliki komponen kimia utama yaitu air, protein kasar dan lemak sebesar 98% dari total berat daging. Hal ini berpengaruh terhadap sifat fungsi, nutrisi, kualitas sensoris dan stabilitas penyimpanan. Sedangkan kandungan karbohidrat, mineral dan vitamin hanya sedikit jumlahnya dan memiliki peran dalam proses biokimia dalam jaringan post-mortem yang berhubungan dengan nutrisi, sifat sensoris dan penampakan produk (Sikorski, 1990). Ikan tongkol memiliki kandungan gizi dan garam mineral penting yang tinggi, dimana kandungan proteinnya mencapai 26%, dan kadar lemak rendahnya yaitu 2% (Suzuki, 1981). Hal ini sesuai dengan praktikum yang telah dilakukan, karena bila ikan memiliki lemak yang tinggi harus dilakukan pencucian dengan NaHCO3. Namun pada ikan tongkol memiliki lemak yang rendah, sehingga pencucian dilakukan hanya dengan menggunakan air es.

Karakteristik dari surimi yang biasanya menggunakan daging putih sebagai bahan baku surimi, hal ini menyebabkan memiliki beberapa kendala pada ikan tongkol yang memiliki daging berwarna merah (Flick et al., 1990). Tampilan daging merah pada ikan tongkol kurang disukai, karena pada proses penyimpanan dapat terjadi perubahan yaitu warna daging merah menjadi lebih gelap dan bau yang dihasilkan akan lebih amis. Tak hanya itu, kandungan asam lemak bebas pada daging merah lebih besar dan dapat merangsang reaksi oksidasi (Spinelli dan Dassow, 1982). Hal ini juga sesuai dengan hasil pengamatan yang telah dilakukan bahwa sebagian besar aroma yang dihasilkan adalah berbau amis. Sedangkan menurut Peranginangin et al. (1999), pada ikan yang memiliki daging berwarna putih mempunyai karakteristik tidak terlalu amis dan memiliki kemampuan membentuk gel yang bagus, sehingga dapat menghasilkan surimi yang jauh lebih baik

Metode yang dilakukan pada praktikum ini adalah pertama-tama ikan tongkol dicuci sampai bersih dengan air mengalir dan ditimbang beratnya. Kemudian daging ikan difillet dengan cara pada bagian kepala, sirip, ekor, isi perut dan kulit dibuang. Hal ini sesuai dengan pendapat Nopianti et al. (2010), bahwa secara singkat surimi merupakan produk yang dihasilkan dari ikan bebas dari tulang, dibersihkan dengan air, serta dibekukan. Lalu diambil daging putihnya sebanyak 100 gram. Daging ikan yang telah ditimbang, kemudian di giling atau diblender hingga halus dengan ditambahkan es batu supaya suhu tetap dalam keadaan rendah. Daging ikan kemudian dicuci dengan cara daging ikan diletakkan pada kain saring, kemudian air es dituang ke kain saring, lalu diperas, dan diulangi percobaan ini sebanyak 3 kali. Pada percobaan yang ke 3, daging diperas sampai mendapatkan hasil daging yang agak kering. Setelah itu ditambahkan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok 1, 2, dan 3); 5% (kelompok 4, 5, dan 6), kemudian ditambahkan garam sebanyak 2,5% untuk semua kelompok serta ditambahkan polifosfat (STPP) sebanyak 0,1% (kelompok 1 dan 2); 0,3% (kelompok 3 dan 4); dan 0,5% (kelompok 5 dan 6). Lalu dimasukkan ke dalam plastik dan dibekukan dalam freezer selama 1 malam. Setelah 1 malam, surimi di thawing, diukur WHC nya, dan diukur kualitas sensorisnya (kekenyalan dan aroma).

Tujuan pengemasan dalam plastik tertutup adalah untuk menghindari terjadinya kontak dengan udara selama penyimpanan, kemasan yang cocok untuk produk surimi adalah plastik jenis PE (Polyethylene). Kemudian sebelum diolah lebih lanjut, surimi perlu melalui proses thawing (Lee, 1984). Tujuan penghancuran atau penghalusan daging ikan ini adalah untuk memperluas permukaan daging ikan agar lebih mudah dalam pengolahannya. Tak hanya itu, dengan luasnya permuakaan, kontak dengan bahan tambahan juga akan semakin optimal. Kemudian fungsi dari penambahan es batu dalam penghalusan adalah untuk menjaga daging ikan supaya tetap segar, dan pengurangan air dari daging lumat atau halus lebih cepat (Anonim, 1987).

Pencucian adalah tahapan yang sangat penting untuk ikan-ikan yang kemampuan membentuk gelnya rendah, dan berdaging merah. Pencucian surimi memiliki tujuan untuk melarutkan darah, lemak, enzim, dan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan dari gel ikan, serta untuk mendapatkan warna daging yang putih (Suzuki, 1981). Menurut Suzuki (1981), air yang digunakan untuk pencucian adalah air dingin (5 - 10C). hal ini sesuai dengan praktikum yang telah dilakukan karena pencucian pada daging ikan dengan menggunakan air es. Pencucian dengan air dingin sangat dibutuhkan karena dapat menghambat denaturasi protein akibat dari proses pembekuan dan meningkatkan pembentukan gel. Walaupun pencucian dapat meningkatkan elastisitas dari daging ikan, juga perlu diperhatikan nilai gizi dari ikan secara keseluruhan. Protein selama proses pencucian dapat hilang yaitu dapat mencapai 25%. Air pencuci yang memiliki kesadahan tinggi dapat mempercepat terjadinya degradasi lemak dan merusak tekstur, sedangkan kehilangan proteinnya akan semakin tinggi bila menggunakan air laut ataupun air garam (Irianto, 1990). Hal ini juga sesuai dengan hasil pengamatan yang telah dilakukan bahwa kekenyalan yang didapatkan pada hasil surimi sebagian besar adalah tidak kenyal atau teksturnya menjadi rusak.

Pencucian dengan menggunakan larutan alkali ternyata memiliki keuntungan lebih daripada menggunakan air. Pencucian ini berfungsi lebih baik karena dapat menghilangkan lemak serta protein sarkoplasma yang memiliki efek negatif terhadap kualitas surimi. Selain itu, pencucian ini juga lebih efektif untuk mengkonsentrasikan protein miofibril yang dapat meningkatkan sifat fungsional dari surimi. Kombinasi pencucian yang terbaik adalah dengan 0.04M sodium fosfat dalam 3 kali pencucian (Ng dan Huda, 2011).

Pada proses pembuatan surimi, penambahan garam yang diberikan sebanyak 2% - 3% selama proses leaching dapat memudahkan penghilangan air dari daging ikan yang telah dihaluskan. Fungsi utama dari penambahan garam adalah untuk melepaskan miosin dari serat-serat ikan yang dapat membentuk jeli menjadi kuat. Tak hanya itu, dapat juga digunakan untuk penyedap rasa, bumbu, dan penambah aroma. Hal ini dapat mengubah citarasa dari makanan bila digunakan dengan kadar yang cukup tinggi (Ditjen Perikanan Tangkap, 1990).

Syarat mutu bahan baku dalam proses pembuatan surimi adalah bahan baku harus dalam keadaan bersih, bebas dari bau busuk, bebas dari proses dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan bagi kesehatan manusia. Untuk mempertahankan mutu dari surimi beku, bahan baku harus segera diolah. Bila terdapat proses lebih lanjut maka ikan harus disimpan dengan es atau air dingin yang memiliki suhu berkisar antara 0C 5C, disaniter dan harus higienis (Dewan Standar Nasional Indonesia, 1992). Hal ini sesuai dengan praktikum yang telah dilakukan bahwa surimi yang telah jadi, disimpan didalam suhu yang rendah untuk proses selanjutnya yaitu dithawing, diukur WHCnya dan diuji sensoris.

Surimi memiliki sifat fungsional yaitu sifat daya ikat air (WHC/ Water Holding Capacity) yang tinggi dan sifat pembentukan gel. Hal ini dikarenakan adanya kandungan protein miofibril yang penting dalam tubuh ikan. Sifat-sifat fisikokimia protein miofibril yang distabilkan dalam produk surimi akan berdampak pada mutu produk surimi tersebut. Sifat fungsional dari surimi dipengaruhi oleh proses pembuatan dari surimi, seperti pencucian, senyawa-senyawa yang ditambahkan (krioprotektan dan fosfat), serta pembekuan (Nurkhoeriyati et al., 2008). Selain itu, kualitas surimi dalam membentuk gel dipengaruhi oleh jenis ikan dan komposisi dari bahan. Pada spesies ikan lain, proses gelasi dari surimi dapat meningkat jika gel surimi dipanaskan pada suhu di bawah 40C. Proses ini disebut dengan suwari. Peningkatan gelasi ini dapat diakibatkan adanya pembentukan jaringan gel oleh myosin ikan pada suhu yang rendah. Ketika pemanasan terus menerus ditingkatkan dan diperlama pada suhu berkisar antara 60C, gelasi yang dihasilkan dari surimi akan melemah, disebut dengan modori. Hal ini diakibatkan adanya degradasi myosin oleh enzim protease dari proses pemanasan (Lou et al., 2000).

Menurut Nurkhoeriyati et al., (2008), pembentukan gel pada surimi terjadi karena selama pemanasan, surimi yang diberi garam dapat membuat lipatan protein menjadi terbuka sehingga permukaan reaktif dari molekul protein yang berdekatan akan saling bereaksi membentuk ikatan intermolekular. Terbentuk struktur tiga dimensi yang menghasilkan gel, ketika ikatan intermolekularnya cukup banyak. Daya ikat air (WHC), prosesnya adalah air akan diikat oleh protein karena interaksi antara molekul air dan molekul gugus hidrofilik dari gugus samping protein yang terjadi pada ikatan hidrogen.

Pembekuan dapat memberikan efek negatif bagi sifat fungsional dari surimi, seperti pada WHC, pembentukan gel, serta kelarutannya pada protein. Efek negatif ini dapat menghilangkan fungsi protein dalam surimi yang disebabkan oleh denaturasi protein. Denaturasi protein diakibatkan oleh adanya pembekuan yang dapat meningkatkan konsentrasi zat terlarut dan dehidrasi. Oleh karena itu, penambahan krioprotektan (antidenaturan) dapat melindungi fungsi protein surimi selama pembekuan (Nowsad et al., 2000). Krioprotektan dapat menginaktifkan proses kondensasi yaitu dengan cara mengikat molekul air melalui ikatan hidrogen. Sedangkan menurut Zhou et al. (2006), krioprotektan dapat mencegah pertukaran molekul air dari protein, meningkatkan kemampuan air sebagai energi pengikat, serta dapat menstabilkan protein. Tak hanya itu, membuat denaturasi protein dapat mengakibatkan lapisan molekul protein bagian dalam (hidrofobik) terbalik keluar dan bergabung dengan fase cair (Wong, 1990). Proses hidrasi hidrofobik dapat menghasilkan energi bebas positif yang akan meningkatkan permukaan protein. Permukaan protein yang semakin luas akan membuat tidak stabil dari pada bentuk yang tidak terdenaturasi (Park, 2005). Beberapa contoh krioprotektan yaitu sorbitol, sukrosa, serta polifosfat (Nowsad et al., 2000). Hal ini sesuai dengan praktikum yang telah dilakukan bahwa dengan penambahan sukrosa, garam dan polifosfat (STPP) dapat mengoptimalkan fungsional dari surimi, namun tak hanya itu juga dapat mempengaruhi WHC dan sensoris dari surimi (kekenyalan dan aroma).

Sukrosa merupakan krioprotektan atau anti denaturasi yang dapat memberikan perlindungan ketika proses pembekuan dan untuk mengetahui sifat termal dari surimi beku (Sarker, et al., 2012). Sedangkan menurut Nowsad et al. (2000), Sukrosa juga meningkatkan kelarutan protein, meningkatkan pembentukan gel, serta menurunkan susut masak dari surimi. Namun, penggunaan sukrosa dapat mempengaruhi rasa dari surimi, sehingga perlu digunakan gula lain dengan tingkat kemanisan rendah namun kemampuannya seperti sukrosa (Nopianti et al., 2012). Sedangkan krioprotektan lain yaitu polifosfat yang meningkatkan retensi kelembaban selama pengolahan surimi oleh peningkatan kekuatan ion, pH, dan kelarutan protein, serta meningkatkan tekstur (Nowsad et al., 2000). Dalam praktikum yang telah dilakukan, penambahan sukrosa, garam, serta polifosfat pada setiap kelompok memiliki konsentrasi yang berbeda-beda.

Dari hasil percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa kemampuan daya ikat air (WHC) surimi paling tinggi adalah surimi milik kelompok B4, yaitu 317967,62 mg H2O dengan konsentrasi sukrosa 5%. Disusul kelompok B3, yaitu 288857,17 mg H2O dengan konsentrasi sukrosa 2,5%, selanjutnya adalah surimi kelompok B2, yaitu 285154,75 mg H2O dengan konsentrasi sukrosa 2,5%, surimi kelompok B6 yang memiliki nilai WHC 284725,74 mg H2O dengan konsentrasi sukrosa 5%, lalu surimi kelompok B5, yaitu 276163,82 mg H2O dengan konsentrasi sukrosa 5% serta nilai WHC terendah yaitu surimi milik kelompok B1 yang memiliki nilai 240028,06 dengan konsentrasi sukrosa 2,5%. Surimi yang dihasilkan kemudian diberi penambahan garam sebanyak 2,5%

Dari hasil percobaan di atas dapat dinyatakan bahwa WHC surimi paling tinggi adalah surimi dengan konsentrasi sukrosa 5%. Hal ini sesuai dengan pendapat Nowsad et al. (2000), bahwa sukrosa dapat menghambat denaturasi dari protein dan dapat melindungi fungsi protein dalam surimi, termasuk daya ikat air (WHC). Pada penambahan garam dapat membantu mempertahankan kekuatan gel yang terbentuk serta menjaga WHC. Hal ini juga didukung oleh pendapat Whistler & Daniel (1985), bahwa sukrosa mempunyai gugus polihidroksi yang dapat bereaksi dengan molekul air melalui ikatan hidrogen, sehingga tegangan permukaan dapat meningkat dan membuat stabilitas protein tetap terjaga, serta dapat menjaga WHC dengan mencegah keluarnya molekul air dari protein. Sehingga konsentrasi sukrosa yang lebih tinggi akan dapat menjaga fungsi protein dengan baik, dan daya ikat air (WHC) menjadi lebih tinggi atau meningkat (Sarker et al., 2012).

Pada praktikum yang telah dilakukan, ditambahkan garam 2,5%, hal ini masih dalam hal wajar karena bila melebihi 12% akan terjadi salting out. Hal ini sesuai dengan pendapat menurut Niwa (1992), bahwa penambahan garam pada konsentrasi di bawah 12% dapat menyebabkan protein miofibril tidak dapat larut, sedangkan penambahan garam di atas 12% dapat menyebabkan daging terhidrasi dan menimbulkan salting-out dari garam. Salting-out terjadi pada saat konsentrasi garam meningkat, sehingga molekul air akan berikatan dengan ion garam.

Pada hasil pengamatan yang telah dilakukan, untuk uji sensoris dari segi kekenyalan, kelompok B1, B4, dan B6 yang mengandung konsentrasi polifosfat 0,1%, 0,3% dan 0,5% menghasilkan surimi yang tidak kenyal. Kelompok 2, dengan konsentrasi polifosfat 0,3% sedangkan kelompok B2, B3 dan B5 dengan konsentrasi polifosfat 0,1%, 0,3% dan 0,5% menghasilkan surimi yang kenyal. Kemudian untuk aroma, kelompok B1, B3, B4, B5 dan B6 beraroma amin, sedangkan kelompok B2 beraroma sangat amis.

Polifosfat (STPP) dapat memisahkan aktomiosin dan berikatan dengan miosin. Miosin dan polifosfat akan berikatan dengan air dan akan menahan mineral dan vitamin. Ketika proses pemasakan atau pemanasan, miosin akan membentuk gel dan polifosfat akan membantu menahan air dengan menutup pori-pori mikroskopis (Irianto, 1990). Dengan begitu, polifosfat akan membantu dalam menghasilkan surimi yang kenyal. Namun pada hasil pengamatan yang telah dilakukan, kekenyalan tidak sesuai dengan teori, karena surimi yang memiliki kekenyalan tertinggi, tidak memiliki konsentrasi polifosfat yang banyak. Hal ini didukung oleh pendapat menurut Peranginangin et al. (1999), bahwa penambahan polifosfat memiliki tujuan untuk meningkatkan nilai elastisitas atau kekenyalan. Tak hnya itu, polifosfat juga dapat memperbaiki daya ikat air dan memberikan sifat lembut pada produk-produk olahan surimi. Semakin banyak polifosfat, surimi yang dihasilkan akan semakin kenyal, tidak terlalu keras, serta beraroma amis. Namun hal ini sesuai pada uji sensoris aroma, bahwa didapatkan hasil surimi sebagian besar beraroma amis.

Ketidaksesuaian ini menurut Reynolds et al. (2002), dapat disebabkan oleh proses pembuatan surimi, seperti suhu air pencucian dan penggilingan pada daging ikan. Suhu air dari pencucian akan mempengaruhi jumlah protein larut air yang hilang selama pencucian yang dapat berpengaruh terhadap kekuatan gel yang terbentuk pada surimi. Suhu air terbaik untuk mencuci ikan adalah 15C, karena jika lebih dari 15C, protein larut air akan banyak yang hilang. Tak hanya itu, ketidaksesuaian juga dapat dikarenakan pengujian panelis pada uji sensoris yang sifatnya sulit untuk distandarisasi karena tergantung pada penilaian serta kondisi panelis, juga lingkungan pada saat pengujian (Aitken et al., 1982).

Pada praktikum ini, untuk menghitung nilai WHC dapat dilakukan dengan cara menghitung luas area surimi yang telah jadi, kemudian dipress dan disalin pada milimeterblok, kemudian dibagi menjadi beberapa bagian yang memiliki panjang yang sama (Zayas, 1997).

a

h0 h1 h2 h3 h4 h5Gambar 1. Metode Simpson

Luas A= luas daerah kurva pada bagian atasLuas B= luas daerah kurva pada bagian bawaha= panjang bagian yang sama antara garis ho dan h1, atau h1 dan h2, dan seterusnya

Kemudian nilai WHC dapat dihitung menggunakan rumus :Luas A = 1/3 . a (h0 + 4h1 + 2h2 + 4h3 + 2h4 + .+ hn)Luas B = 1/3 . a (h0 + 4h1 + 2h2 + 4h3 + 2h4 + .+ hn)Luas area basah = Luas A Luas B(Fellows, 1990).

Setelah memperoleh luas area basah atau surimi, lalu menghitung kandungan air bebas dengan rumus :

2.1. Pembahasan Jurnal2.1.1. Technology for Production of Surimi Powder and Potential of ApplicationsDalam jurnal ini membahas mengenai surimi yang merupakan protein myofibrial terkonsentrasi yang diekstrak dari daging ikan dengan proses pencucian. Bubuk dari surimi disiapkan dalam bentuk yang kering, dan memiliki potensi yang berguna sebagai bahan baku untuk pembuatan produk dari makanan laut. Bubuk surimi ini memiliki banyak manfaat dalam aplikasinya di industri, seperti biaya distribusi yang rendah, penanganannya mudah, dan untuk dapat sebagai tambahan campuran kering. Untuk mencegah denaturasi protein selama proses pengeringan, dryoprotectants seperti penambahan sukrosa dan poliol. Bubuk surimi merupakan jenis konsentrat protein ikan A karena proteinnya lebih tinggi dari 65%. Bubuk surimi memiliki sifat fungsional yang baik, seperti daya ikat air, gelasi, pengemulsi dan sifatnya yang dapat berbusa. Produk yang dapat dihasilkan dari bubuk surimi yaitu ikan berbasis gel dan makanan ringan dari produk ikan. Dapat disimpulkan bahwa sifat fungsional dari bubuk surimi bermacam-macam tergantung jenis ikan dan metode pengeringannya. Penambahan dryoprotectants seperti sorbitol, sukrosa, dan poliol dapat mencegah denaturasi protein selama proses pengeringan. Gelasi dan emulsifikasi dari sifat bubuk surimi merupakan pertimbangan bahan baku utama untuk membuat produk berbasis gel seperti sosis ikan dan bakso ikan. Bubuk Surimi juga dapat menambah nilai gizi pada produk makanan ringan yang berbasis dari ikan. Dalam hal ini, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengeksplorasi potensi penggunaan bubuk surimi dalam berbagai produk makanan dan kualitasnya, seperti tekstur dan penerimaan konsumen pada produk (Santana et al., 2012). Jurnal ini sesuai dengan praktikum yang telah dilakukan, bahwa surimi memiliki sifat fungsional seperti daya ikat air, gelasi, dan pengemulsi. Tak hanya itu bahan tambahan antidenaturan juga sama yaitu sukrosa.

2.1.2. Gel Properties of CroakerMackerel Surimi BlendPada jurnal ini membahas tentang, sifat gel dari croaker surimi dicampur dengan tiga jenis makarel surimi pada rasio yang berbeda-beda. Kekuatan gel dari campuran croaker-makarel surimi adalah lebih tinggi dari makarel surimi yang asli (p 0,05). Penambahan makarel surimi ke croaker surimi dengan rasio 1:2 tidak berpengaruh pada keputihan dan metmioglobin dari isi gel (p> 0,05). Penurunan gel itu terlihat pada campuran croaker-surimi ikan tongkol dalam TCA yang larut dalam peptida (p