SURIMI_Eunike Lana Bangun_13.70.0128_E3_UNIKA SEOGIJAPRANATA
-
Upload
praktikumhasillaut -
Category
Documents
-
view
19 -
download
0
description
Transcript of SURIMI_Eunike Lana Bangun_13.70.0128_E3_UNIKA SEOGIJAPRANATA
Acara I
SURIMI
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh :
Nama : Eunike Lana Bangun
NIM : 13.70.0128
Kelompok : E3
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
2
1. MATERI DAN METODE
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum surimi ini adalah pisau, talenan, baskom,
mangkok, timbangan analitik, alat penggiling daging, kain saring, spatula, loyang,
freezer, presser, plastik bening, dan milimeter blok.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah ikan bawal, garam, gula pasir,
polifosfat, dan es batu.
1.2. Metode
Daging ikan difilllet dengan cara dibuang bagian
kepala, sirip, ekor, sisik, isi perut, dan kulitnya.
Bagian daging putihnya diambil sebanyak 100 gram.
Daging ikan dicucibersih dengan air mengalir
3
Daging ikan digiling hingga halus, selama penggilingan
dapat ditambahkan es batu untuk menjaga suhu rendah.
Daging ikan dicuci dengan air es sebanyak 3 kali lalu disaring
dengan menggunakan kain saring.
Daging ikan ditambahkan dengan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok
1, 2); 5% (kelompok 3, 4, 5), garam sebanyak 2,5% (kelompok 1, 2, 3,
4, 5), dan polifosfat sebanyak 0,1% (kelompok 1); 0,3% (kelompok 2,
3); 0,5% (kelompok 4, 5).
Plastik diikat dan ditaruh di dalam loyang untuk
kemudian dibekukan dalam freezer selama 1 malam.
Setelah dithawing, surimi diuji kualitas
sensorisnya yang meliputi kekenyalan dan aroma.
4
Surimi diukur tingkat kekerasannya dengan
menggunakan texture analyzer.
Surimi dipress dengan
menggunakan presser.
Surimi diukur WHCnya dengan menggunakan milimeter
blok untuk kemudian dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
5
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan surimi dengan bahan ikan bawal dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan
Kel. Perlakuan Hardness WHC
(mg H2O)
Sensoris
Kekenyalan Aroma
E1 sukrosa 2,5% + garam
2,5% + polifosfat 0,1% 106,73 gF 268087,13 ++ ++
E2 sukrosa 2,5% + garam
2,5% + polifosfat 0,3% 110,22 gF 332457,81 ++ +++
E3 sukrosa 5% + garam
2,5% + polifosfat 0,3% 152,62 gF 290357,43 +++ ++
E4 sukrosa 5% + garam
2,5% + polifosfat 0,5% 91,879 gF 277594,52 +++ ++
E5 sukrosa 5% + garam
2,5% + polifosfat 0,5% 123,41 gF 327271,52 ++ +++
Keterangan:
Kekenyalan Aroma
+ : tidak kenyal + : tidak amis
++ : kenyal ++ : amis
+++ : sangat kenyal +++ : sangat amis
Berdasarkan data tabel hasil pengamatan didapati bahwa semua kelompok
menggunakan bahan dasar yang sama yaitu bawal. Kelompok E1 diberi perlakuan
penambahan sukrosa 2,5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,1%, kelompok E2 diberi
perlakuan penambahan sukrosa 2,5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,3%, kelompok E3
diberi perlakuan penambahan sukrosa 5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,3%, kelompok
E4 diberi perlakuan penambahan sukrosa 5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,5%, dan
kelompok E5 diberi perlakuan penambahan sukrosa 5%, garam 2,5%, dan polifosfat
0,5%. Dari data tabel hasil pengamatan di atas, tingkat kekerasan terendah adalah
kelompok E4 yaitu 91,879 gF sedangkan tingkat kekerasan tertinggi adalah kelompok
E3 yaitu 152,62 gF. Lalu dari data WHC didapati bahwa WHC terendah adalah
kelompok E1 yaitu 268087,13 mg H2O sedangkan WHC tertinggi adalah kelompok E2
yaitu 332457,81 mg H2O. Kemudian untuk tingkat kekenyalan, kelompok E1, E2, dan
E5 mempunyai tingkat kekenyalan kenyal, sedangkan kelompok E3 dan E4 mempunyai
tingkat kekenyalan sangat kenyal. Untuk aroma, kelompok E1, E3, dan E4 memiliki
aroma amis sedangkan kelompok E2 dan E5 memiliki aroma sangat amis.
6
3. PEMBAHASAN
Surimi merupakan produk setengah jadi yang harus diolah lebih lanjut. Bahan dasar
pembuatan surimi berasal dari hewan laut seperti ikan, kepiting, udang, dan kerang.
Contoh produk olahan lebih lanjut yang berasal dari surimi yaitu bakso ikan, sosis ikan,
kamaboko, chikuwa, dan satsumage (Lee, 1984). Faktor-faktor yang mempengaruhi
kualitas produk olahan surimi, yaitu mutu ikan yang baik karena kesegaran ikan yang
buruk bisa mempengaruhi hasil akhir surimi, yaitu surimi akan memiliki tekstur yang
elastisitasnya rendah, penambahan zat tambahan (cryoprotectant) seperti sukrosa,
garam, dan polifosfat. Cryoprotectant berfungsi untuk menjaga tekstur ikan agar tetap
dalam keadaan baik selama proses pembekuan (Mallet, 1993). Suzuki (1981) juga
menambahkan bahwa kualitas surimi dapat ditentukan oleh beberapa faktor seperti jenis
ikan, umur, kematangan gonad, tingkat kesegaran ikan, pH, kadar air, volume,
konsentrasi, dan serta frekuensi pencucian. Teknik pencucian yang benar sangat
menentukan kualtas surimi karena dapat menghilangkan darah, pigmen, bau, dan
pengotor-pengotor lainnya (Santana et.al, 2012).
Dalam praktikum surimi menggunakan bahan bawal, garam, gula pasir, polifosfat, dan
es batu. Garam, gula pasir dan polifosfat dengan berbeda kadar tiap kelompoknya
berfungsi sebagai cryoprotectant. Namun menurut Nopianti et al. (2012) mengatakan
bahwa cryoprotectant yang sebaiknya digunakan adalah sukrosa dan sorbitol dengan
perbandingan 1:1 serta polifosfat sebagai penyeimbangnya. Dan juga menggunakan
alat-alat yaitu pisau, talenan, baskom, mangkok, timbangan analitik, alat penggiling
daging, kain saring, spatula, loyang, freezer, presser, dan plastik bening. Alat- alat
yang digunakan harus dalam kondisi bersih karena dalam proses pembuatan surimi
membutuhkan higienitas yang tinggi. Untuk itu dalam proses produksi surimi sebaiknya
menggunakan mesin dan peralatan yang terbuat dari stainless steel atau bahan yang
bukan logam untuk menghindari karat (Anggawati, 2002).
Metode yang dilakukan untuk membuat surimi pada praktikum kali ini adalah pertama-
tama ikan dicuci bersih, kemudian daging ikan bawal difilllet dengan cara dibuang
bagian kepala, sirip, ekor, sisik, isi perut, dan kulitnya. Setelah itu daging putihnya
7
diambil sebanyak 100 gram. Metode ini sesuai dengan pendapat Sonu (1986) yang
mengatakan bahwa tahap pembuatan surimi yang pertama mengambil daging ikan yang
sudah dipisahkan dari bagian kulit, tulang, maupun organ dalam ikan. Setelah itu daging
ikan digiling hingga halus dan selama penggilingan dapat ditambahkan es batu untuk
menjaga suhu rendah. Setelah itu daging ikan dicuci dengan air es sebanyak 3 kali lalu
disaring dengan menggunakan kain saring. Penambahan es batu ini bertujuan untuk
mempertahankan suhu daging tetap rendah agar selama proses penggilingan maupun
pencucian daging tetap segar, sehingga daging tidak mengalami denaturasi protein.
Selain itu penambahan es batu juga berfungsi untuk mencegah timbulnya bakteri
(Matsumoto, 1992) sedangkan penyaringan bertujuan untuk memisahkan partikel padat
maupun partikel cair serta pengotor yang tidak diharapkan. Partikel padat yang
dimaksudkan pada praktikum ini adalah daging ikan, sedangkan partikel cair adalah air
yang digunakan dalam tahap pencucian (Suyitno, 1989). Kemudian daging ikan
ditambahkan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok 1, 2); 5% (kelompok 3, 4, 5), garam
sebanyak 2,5% (kelompok 1, 2, 3, 4, 5), dan polifosfat sebanyak 0,1% (kelompok 1);
0,3% (kelompok 2, 3); 0,5% (kelompok 4, 5). Penambahan gula bertujuan sebagai
sumber karbohidrat dalam surimi. Selain itu penambahan gula dan polifosfat bertujuan
untuk mencegah protein pada otot terdenaturasi pada suhu beku (Nasution et al., 2011).
Gula atau sukrosa akan berpengaruh pada citarasa dari produk yang akan meningkatkan
rasa manis, mempengaruhi tekstur pada daging, menetralisir garam yang berlebihan,
mempengaruhi pelepasan gas CO2, dan berfungsi sebagai pengawet. Penambahan
sukrosa berperan sebagai bahan anti denaturasi protein surimi (cryoprotectan).
Cryoprotectant dalam bentuk sukrosa dapat meningkatkan tegangan permukaan air
maupun pengikatan energi, serta menjaga pengambilan molekul air dari protein
sehingga dapat menstabilkan protein pada surimi (Suzuki, 1981). Sedangkan garam
berfungsi sebagai penghambat tumbuhnya mikroorganisme pencemar tertentu atau
berperan sebagai pengawet karena garam akan mempengaruhi aktifitas air (aw) dari
bahan sehingga dapat mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme. Selain itu
penambahan garam juga bertujuan untuk melarutkan protein miofibril. Pelarutan protein
miofibril dilakukan agar miosin mudah berikatan dengan aktin membentuk aktomiosin
yang berperan dalam pembentukan gel. Penambahan garam sebanyak 2,5% juga sesuai
dengan teori Tan, et al. (1988) dan Shimizu & Toyohara (1992) yang menyatakan
8
bahwa konsentrasi garam yang paling umum digunakan untuk membuat produk surimi
adalah 2-3%. Fungsi penambahan polifosfat adalah untuk meningkatkan atau
memperbaiki daya ikat air (WHC) dan membentuk tekstur yang lembut dan kompak
pada pasta produk olahan surimi. Selain itu penambahan polifosfat dalam bentuk
sodium poliphosphat adalah meningkatkan pH, sebagai pengawet, mempertahankan
sifat gel, serta membantu fungsi cryprotectant yang diharapkan mampu mencegah
kerusakan protein (Lanier, 1992).
Kemudian tahap yang dilakukan adalah surimi kering dimasukkan ke dalam plastik
bening lalu plastik diikat dan ditaruh di dalam loyang untuk kemudian dibekukan dalam
freezer selama 1 malam. Menurut Winarno (1993) penyimpanan surimi dalam freezer
bertujuan agar kualitas surimi tetap optimal karena pada suhu rendah, aktivitas mikroba
akan terhambat akibat tidak aktifnya enzim-enzim dalam mikroba. Murniyati (2005)
menambahkan bahwa pembekuan sangat berperan penting dalam proses pembuatan
surimi karena dengan pembekuan maka dapat mempertahankan kualitas atau mutu
surimi saat penyimpanan. Sedangkan tujuan dari pengemasan adalah dengan plastik
adalah untuk menghindari kontak dengan udara. Setelah itu surimi dithawing lalu diuji
kualitas sensorisnya yang meliputi kekenyalan dan aroma. Thawing adalah suatu proses
penurunan suhu pada bahan makanan yang telah dibekukan baik menggunakan media
udara atau air. Proses thawing yang dilakukan dalam suhu ruang akan berlangsung
dalam jangka waktu yang lebih cepat dan menghasilkan drip losses yang mengandung
komponen larut dalam air berada dalam jumlah yang tinggi (Fellows, 2000).
Selanjutnya surimi diukur tingkat kekerasannya dengan menggunakan texture analyzer,
lalu surimi dipress dengan menggunakan presser. Setelah itu dilakukan analisa tingkat
kekerasan, aroma, kekenyalan, dan WHCnya. Metode yang dilakukan dalam praktikum
ini sesuai dengan pendapat Mallett (1993) yang mengatakan bahwa surimi diproses
melalui tahapan pencucian (leaching), pemisahan daging dari tulangnya, penggilingan,
pengepresan, penambahan senyawa cryoprotectan dan polifosfat yang kemudian dapat
dilanjutkan dengan proses pembekuan atau tanpa pembekuan.
Berdasarkan data tabel hasil pengamatan didapati bahwa WHC terendah adalah
kelompok E1 dengan perlakuan penambahan sukrosa 2,5%, garam 2,5%, dan polifosfat
9
0,1% yaitu 268087,13 mg H2O sedangkan WHC tertinggi adalah kelompok E2 dengan
perlakuan penambahan sukrosa 2,5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,3%yaitu 332457,81
mg H2O. Nilai WHC terendah yang didapat dari praktikum ini sesuai dengan pendapat
Winarno et al. (1980) yang mengatakan bahwa penambahan sukrosa dapat berpengaruh
terhadap daya ikat dari air atau WHC, sehingga semakin sedikit sukrosa yang
ditambahkan maka nilai WHC akan semakin rendah. Namun hasil nilai WHC tertinggi
yang didapat oleh kelompok E2 tidak sesuai dengan pendapat Winarno et al. (1980).
Shaviklo, et al. (2010) juga menambahkan bahwa penambahan sukrosa dan garam
secara bersamaan seharusnya dapat meningkatkan WHC, sehingga seharusnya yang
memiliki nilai WHC tertinggi adalah surimi pada kelompok E5 dan E6. Selain sukrosa
dan garam, polifosfat juga dapat mempengaruhi WHC. Menurut pendapat Lanier (1992)
polifosfat yang ditambahkan dapat membantu fungsi cryoprotectant dalam
meningkatkan WHC, meningkatkan pH, mempertahankan sifat gel, dan mencegah
denaturasi protein. Polifosfat memiliki sifat polyelectronic yang mampu berikatan
dengan muatan positif protein serta menyebabkan peningkatan kekuatan ionik dari
sistem protein. Sehingga dapat disimpulkan bahwa seharusnya semakin tinggi sukrosa,
garam dan polifosfat yang ditambahkan maka semakin sedikit pula air yang dikeluarkan
dengan kata lain nilai WHC akan semakin tinggi (Young, 1992). Huda et al. (2011) juga
menambahkan bahwa polifosfat akan meningkatan pH dengan demikian meningkatkan
WHC dan meningkatkan kekuatan gel.
Lalu berdasarkan data tabel hasil pengamatan didapati bahwa tingkat kekerasan
terendah adalah kelompok E4 dengan perlakuan penambahan sukrosa 5%, garam 2,5%,
dan polifosfat 0,5% yaitu 91,879 gF sedangkan tingkat kekerasan tertinggi adalah
kelompok E3 dengan perlakuan penambahan sukrosa 5%, garam 2,5%, dan polifosfat
0,3%yaitu 152,62 gF. Tingkat kekerasan surimi berpengaruh dari daya ikat air (WHC).
Daging ikan yang memiliki daya ikat air yang rendah akan kehilangan air yang banyak
pada saat proses thawing, sehingga nilai WHCnya rendah dan nilai hardness atau
kekerasannya pun akan rendah. Hal ini terjadi karena dalam proses pembentukan gel
reaksi antara protein dengan air semakin berkurang seiring dengan lamanya
penyimpanan (Zayas, 1997). Selain itu menurut Nopianti, et al. (2011) polifosfat juga
mempengaruhi tingkat kekerasan. Semakin banyak polifosfat yang diberikan, maka
10
tingkat kekerasan surimi akan semakin meningkat. Namun dari data tabel hasil
pengamatan tekstur tertinggi ada pada kelompok E3 yang justru memiliki nilai WHC
yang rendah. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Zayas (1997) dan Nopianti, et al.
(2011). Tekstur surimi yang keras disebabkan oleh terdegradasinya protein. Protein
seperti miosin akan terdegradasi selama proses pendinginan (Parvathy, 2014). Selain itu
ketersediaan air diperlukan untuk mengikat protein sehingga dapat mengakibatkan
terbentuknya gel dan berpegaruh pada tekstur surimi yang menjad keras (Piotriwiz dan
Mellando 2015)
Kemudian untuk tingkat kekenyalan, kelompok E1, E2, dan E5 mempunyai tingkat
kekenyalan kenyal, sedangkan kelompok E3 dan E4 mempunyai tingkat kekenyalan
sangat kenyal. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Peranginangin, et al. (1999) yang
mengatakan bahwa penambahan polifosfat yang baik yaitu sebesar 0,2 %-0,3% dalam
bentuk garam natrium tripolifosfat yang berpengaruh terhadap kekenyalan surimi.
Sehingga seharusnya yang memiliki tingkat kekenyalan tertinggi adalah kelompok E2
dan E3. Nopianti, et al. (2011) juga menambahkan bahwa penambahan polifosfat
sebanyak 0,2%-0,3% akan menghasilkan tekstur surimi yang semakin kenyal karena
senyawa fosfat dapat meningkatkan pH yang berdampak membaiknya pembentukan gel,
sedangkan penambahan polifosfat sebanyak 0,5% justru akan mengakibatkan
pembentukan kekuatan gel yang tinggi, sehingga tekstur dari surimi semakin tidak
kenyal, namun semakin keras. Ketidaksesuaian hasil praktikum dengan teori yang ada
dapat disebabkan oleh proses thawing yang belum sempurna sehingga kristal es dari
surimi belum seluruhnya mencair.
Lalu dari data hasil pengamatan untuk aroma didapati hasil bahwa kelompok E1, E3,
dan E4 memiliki aroma amis sedangkan kelompok E2 dan E5 memiliki aroma sangat
amis. Bau amis pada surimi dapat timbul karena reaksi oksidasi. Reaksi oksidasi pada
ikan mengubah asam lemak menjadi off-flavor dan dapat dihilangkan pada saat tahap
pencucian (Peranginangin, et al., 1999). Irianto & Giyatmi (2009) mengungkapkan
bahwa perlakuan pencucian dapat menghilangkan bau/ aroma yang tidak diinginkan,
seperti bau yang disebabkan oleh senyawa trimetilamin (salah satu senyawa utama
pembentuk aroma pada ikan). Aroma amis yang terdapat pada surimi kelompok E1-E5
11
ini dipengaruhi karena adanya penambahan sukrosa, dimana penambahan paling rendah
membuat daging menjadi sangat amis (Buckle et al., 1987).
.
12
4. KESIMPULAN
Surimi merupakan produk dari hasil olahan laut sebagai produk setengah jadi.
Tahapan pembuatan surimi adalah pencucian ikan secara berulang, penggilingan,
pemberian bahan tambahan, pengepakan, serta pembekuan.
Pencucian untuk menghilangkan lemak dan komponen tidak diinginkan seperti
darah, pigmen, bau, dan pengootor lainnya serta meningkatkan konsentrasi
myofibrilar protein (actomyosin). Penambahan sukrosa untuk mengurangi
keseimbangan kelembapan relatif dan meningkatkan kadar air yang berfungsi
sebagai pengawet.
Sukrosa berfungsi sebagai pemberi rasa manis, mempengaruhi tekstur pada daging,
menetralisir garam yang berlebihan, mempengaruhi pelepasan gas CO2, dan
berfungsi sebagai pengawet
Garam berfungsi sebagai pengawet.
Polisofat untuk memperbaiki daya ikat air dan meningktkan tingkat kekenyalan.
Semakin rendah polifosfat yang diberikan, maka akan semakin tinggi tingkat
kekerasan surimi.
Polifosfat optimum adalah 3% yang menghasilkan tingkat WHC yang tinggi.
Faktor yang mempengaruhi kualitas surimi adalah mutu ikan, pencucian, dan
penambahan zat tambahan.
Semarang, 31 Oktober 2015
Praktikan Asisten Dosen
Eunike Lana B Yusdhika Bayu S.
13.70.0128/E3
13
5. DAFTAR PUSTAKA
Anggawati. A. M. (2002). Kumpulan Hasil-Hasil Penilitian Pasca Panen
Perikanan.Pusat Riset Pengolahan Produk Dan Sosial Ekonomi Departemen
KelautanDan Perikanan. Jakarta.
Buckle, K.A., Edward R.A., Fleet G.H., Wootton N. (1987). Ilmu Pangan. Edisi Kedua.
Fellows, P. (2000). Food Processing Technology Principles and Practice, Second
Edition. Woodhead Publishing Limited. Englang.
Irianto H. E. & Giyatmi S. (2009). Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Universitas
Terbuka. Jakarta.
Lanier, T.C. dan C.M. Lee. (1992). Surimi Technology, Marcell Decker, Inc., New
York.
Lee, C.M. (1984). Surimi Processing Technology. Food Tech. 38 (11): 69-80.
Mallet, C.P. (1993). Frozen Food Technology, Birds Eye Wall’s Ltd. Surrey.
Matsumoto JJ, Noguchi SF. (1992). Cryostabilization of Protein in Surimi. Di dalam:
Surimi Technology. Lanier TC, Lee CM, editors. New York : Marcel Dekker.
Murniyati, A. S. (2005). Pembekuan Ikan. SUPM Tegal. Tegal.
N. Huda, O. H. Leng, dan Nopianti. ( 2011) Cryoprotevtive Effects Different Level of
Polydexrse in Threadfin Bream Surimi During Frozen Storage. Journal
ofFisheries and Aqutic Science 6(4): 404-416.
Nasution, Z., Nur Atiqah A., Fisal A., and Wan Hafiz W.Z.S. (2011). Potential
Utilization of African Catfish (Clarias gariepinus) in Production of Surimi-
Based Products. Department of Food Science, Faculty of Agrotechnology and
Food Science, Universtity Malaysia Terengganu.
Nopianti, R., N. Huda & N. Ismail. (2011). A Review on the Loss of the Functional
Properties of Priteins during Frozen Storage and the Improvement of Gel-
forming Properties of Surmi. American Journal of Food Technology 6 (1): 19-
30, 2011.
14
Nopianti R., N. Huda, Fazilah A., N. Ismail, dan Easa A. M. (2012). Effect of Different
Types of Low Sweetness Sugar on Physicochemical Properties of Threadfin
Bream Surimi (Nemipterus Spp.) during Frozen Storage. International Food
Research Journal 19 (3): 1011-1021
Parvathy U. & Sajan George. (2014). Influence of cryoprotectant levels on storage
stability of surimi from Nemipterus japonicus and quality of surimi-based
products. J Food Sci Technol (May 2014) 51(5):982–987
Peranginangin, R., Wibowo S., Nuri Y., & Fawza. (1999). Teknologi Pengolahan
Surimi. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut Slipi.
Piotrowicz, I. B. B. dan Mellado, M. M. S. (2015). Chemical, Technological and
Nutritional Quality of Sausage Processed with Surimi. International Food
Research Journal 22(5): 2103-2110.
Santana P., Huda N. dan Yang T. A. (2012). Technology for Production of Surimi
Powder and Potential of Applications. International Food Research Journal
19(4): 1313-1323
Shaviklo, G. R.; Gudjon T. & Sigurjon Arason. (2010). The Influence of Additives and
Frozen Storage on Functional Properties and Flow Behaviour of Fish Protein
Isolated from Haddock (Melanogrammus aeglefinus). Turkhish Journal of
Fisheries and Aquatic Sciences 10: 333-340.
Shimizu Y & Toyohara H. (1992). Surimi Production from Fatty and Dark-Fleshed
Fish Species. In: Lanier TC, Lee CM, ed. Surimi Technology. Marcel Dekker,
Inc. Page.425-442. New York.
Sonu S. C. (1986). Surimi. NOAA Technical Memorandum NMFS. Terminal Island.
California.
Suyitno. (1989). Petunjuk Laboratorium Rekayasa Pangan. Pusat Antar Universitas
Pangan & Gizi UGM. Yogyakarta.
Suzuki, T. (1981). Fish and Krill Protein. Applied Science Publ., Ltd. London.
Tan S. M.; Ng M. C.; Fujiwara T.; Kok K. H. & Hasegawa H. (1988). Handbook on the
Processing of Frozen Surimi and Fish Jelly Products in Southeast Asia. Marine
Fisheries. Research Department-South East Asia Fisheries Development Center.
Singapore.
15
Winarno F. G. (1993). Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Winarno F. G.; Fardiaz S. & Fardiaz D. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Young L.L., C.M. Papa, C.E. Lyon and R.L. Wilson. (1992). Moisture Retention and
Textural Properties of Group Chicken Meat as Afected by Sodium
Tripolyphosphate, Ionic Strength and pH. J Food Sci 57(1), p. 1291-1294.
Zayas, J.F. (1997). Functionality of Proteins in Food. Springer-Verlag, Berlin. 358 pp.
16
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus:
Kelompok E1
Kelompok E2
17
Kelompok E3
Kelompok E4
Kelompok E5
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal
18