Surimi_Donna Larissa K_13.70.0171_B4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

18
Acara I SURIMI LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh: Nama: Donna Larissa Khuangga NIM: 13.70.0171 Kelompok: B4 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2015

description

Praktikum Surimi bertujuan untuk mengetahui proses pembuatan surimi sebagai salah satu alternatif produk "perantara" dalam industri pengolahan ikan

Transcript of Surimi_Donna Larissa K_13.70.0171_B4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Page 1: Surimi_Donna Larissa K_13.70.0171_B4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Acara I

SURIMI

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:

Nama: Donna Larissa Khuangga

NIM: 13.70.0171

Kelompok: B4

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

SEMARANG

2015

Page 2: Surimi_Donna Larissa K_13.70.0171_B4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1

1. MATERI METODE

1.1. Materi

1.1.1. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah kain saring, pisau, penggiling

daging, dan freezer.

1.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah daging ikan bawal, garam, gula pasir,

polifosfat, dan es batu.

1.2. Metode

Ikan dicuci dengan air bersih yang mengalir

Daging ikan difillet dengan membuang bagian

kepala, sirip, ekor, sirik, isi perut dan kulit

Bagian daging putih diambil 100 gram

Daging ikan digiling halus dengan penambahan es batu

Cuci daging ikan dengan air es sebanyak 3 kali

Saring dengan kain saring

Tambahkan sukrosa 2,5% (kelompok 1,2),sukrosa 5% (kelompok 3,4,5)

Tambahkan garam 2,5%

Page 3: Surimi_Donna Larissa K_13.70.0171_B4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2

Rumus :

Luas Atas = LA = 1/3 a (h0 + 4 h1 + 2h2 + 4 h3 + … hn )

Luas Bawah = LB = 1/3 a (h0 + 4 h1 + 2h2 + 4 h3 + … hn )

Luas Area Basah = LA - LB

Mg H2O = 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ−8,0

0,0948

Tambahkan polifosfat 0,1% (kelompok 1),

polifosfat 0,3% (kelompok 2,3), polifosfat 0,5%

Masukkan dalam wadah

Bekukan dalam freezer semalam

Surimi dithawing

Pengukuran hardness, WHC, kualitas sensori (kekenyalan, aroma)

Page 4: Surimi_Donna Larissa K_13.70.0171_B4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan surimi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Surimi

Kel. Perlakuan Hardness WHC

(mgH2O)

Sensori

Kekenyalan Aroma

B1

Daging ikan giling + sukrosa

2,5% + garam 2,5% +

polifosfat 0,1%

129,74 280917,72 ++ ++

B2

Daging ikan giling + sukrosa

2,5% + garam 2,5% +

polifosfat 0,3%

292,02 218185,65 +++ +++

B3

Daging ikan giling + sukrosa

5% + garam 2,5% + polifosfat

0,3%

112,7 318565,40 ++ +

B4

Daging ikan giling + sukrosa

5% + garam 2,5% + polifosfat

0,5%

151,29 303858,12 +++ +

B5

Daging ikan giling + sukrosa

5% + garam 2,5% + polifosfat

0,5%

134,31 301219,49 + +

Keterangan:

Kekenyalan Aroma

+ = tidak kenyal + = tidak amis

++ = kenyal ++ = amis

+++ = sangat kenyal +++ = sangat amis

Pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa penambahan sukrosa dan polifosfat dengan berbagai

konsentrasi yang berbeda pada daging ikan giling akan mempengaruhi surimi yang

dihasilkan dari segi hardness, WHC (Water Holding Capacity) atau mg H2O dan kualitas

sensori yang meliputi kekenyalan dan aroma. Dari segi hardness, nilai hardness paling

tinggi diperoleh kelompok B2 dengan penambahan 2,5% sukrosa; 2,5% garam; dan 0,3%

polifosfat. Sedangkan nilai hardness paling rendah diperoleh kelompok B3 dengan

penambahan 5% sukrosa; 2,5% garam; dan 0,3% polifosfat. Dari segi WHC, nilai WHC

paling tinggi diperoleh kelompok B3 dengan penambahan 5% sukrosa; 2,5% garam; dan

0,3% polifosfat. Sedangkan nilai WHC paling rendah diperoleh kelompok B2 dengan

penambahan 2,5% sukrosa; 2,5% garam; dan 0,3% polifosfat. Dari segi kualitas sensori,

surimi yang memiliki kekenyalan paling tinggi adalah daging ikan giling dengan

penambahan 2,5% sukrosa; 2,5% garam; dan 0,3% polifosfat pada kelompok B2 serta

Page 5: Surimi_Donna Larissa K_13.70.0171_B4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4

daging ikan giling dengan penambahan 5% sukrosa; 2,5% garam; dan 0,5% polifosfat

pada kelompok B4. Surimi yang memiliki aroma paling amis adalah daging ikan giling

dengan penambahan 2,5% sukrosa; 2,5% garam; dan 0,3% polifosfat pada kelompok B2.

Page 6: Surimi_Donna Larissa K_13.70.0171_B4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5

3. PEMBAHASAN

Surimi merupakan salah satu produk olahan ikan yang memiliki sifat setengah jadi atau

disebut juga intermediate product (produk perantara) karena masih dapat digunakan

untuk bahan campuran olahan makanan beku, seperti bakso, sosis, nugget, dan produk

olahan ikan lainnya (Agustiani et al., 2006). Peranginangin et al., (1999) menambahkan

bahwa surimi biasanya disimpan dalam bentuk beku dengan penambahan bahan anti

denaturasi (cryoprotectant). Berdasarkan perbedaan kandungan garamnya, surimi dapat

dibedakan menjadi dua jenis, yaitu mu-en surimi (tanpa penambahan garam) dan ka-en

surimi (terdapat penambahan garam dengan konsentrasi tertentu). Selain kedua jenis

surimi tersebut, dikenal juga surimi na-na, yaitu surimi yang masih mentah dan tidak

mengalami pembekuan (Suzuki, 1981).

Tidak semua jenis ikan dapat diolah menjadi surimi. Ikan yang biasa digunakan untuk

pembuatan surimi adalah ikan air tawar karena memiliki flavor yang menyenangkan,

aroma yang tidak amis, kandungan lemak rendah, dan memiliki daging yang berwarna

putih (Shimazamaninejad et al., 2013). Menurut Koswara et al., (2001) ikan yang

digunakan sebaiknya memiliki kandungan lemak yang rendah karena tingginya

kandungan lemak akan mempengaruhi daya gelatinasi dan menyebabkan surimi menjadi

cepat tengik. Peranginangin et al., (1999) juga menyatakan bahwa syarat ikan yang baik

untuk diolah menjadi surimi adalah memiliki daging yang berwarna putih, tidak memiliki

bau seperti lumpur, dan tidak terlalu amis, serta memiliki kemampuan pembentukan gel

yang baik sehingga dihasilkan surimi dengan kualitas baik. Menurut Hall dalam Hosseini-

Shekarabi et al., (2015) kemampuan pembentukan gel menjadi syarat yang penting karena

ikan memiliki kandungan protein miofibril. Kandungan miofibril yang semakin tinggi

akan menyebabkan pembentukan gel yang semakin baik pula. Menurut

Shimazamaninejad et al., (2013) kemampuan pembentukan gel dipengaruhi oleh

beberapa faktor, seperti spesies ikan, konsentrasi protein, kekuatan ionik, suhu, dan waktu

pemanasan. Suzuki (1981) menambahkan bahwa kualitas surimi dipengaruhi oleh

beberapa faktor, antara lain jenis dan umur ikan, kematangan gonad, tingkat kesegaran

ikan, pH, kadar air, konsentrasi dan jenis cryoprotectant yang ditambahkan, serta

frekuensi pencucian.

Page 7: Surimi_Donna Larissa K_13.70.0171_B4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6

Dalam praktikum ini, digunakan ikan bawal sebagai bahan baku dalam pembuatan ka-en

surimi karena terdapat penambahan garam selama proses pembuatan surimi. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Suzuki (1981). Ikan bawal merupakan ikan yang memiliki

daging berwarna putih. Dari hasil penelitian Saint-paul dalam Supriatna (1998) terhadap

100 gram ikan bawal, ikan bawal mengandung 96 kkal energi, 19 gram protein, 0 gram

karbohidrat, 1,7 gram lemak, 20 mg kalsium, 150 mg fosfor, dan 2 mg zat besi. Selain

itu, dalam ikan bawal juga terkandung 150 IU vitamin A, 0,05 mg vitamin B1, dan 0 mg

vitamin C. Bagian ikan bawal yang dapat dimakan (edible portion) adalah sebanyak 80%.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penggunaan ikan bawal

sebagai bahan baku dalam pembuatan surimi sudah tepat karena sesuai dengan syarat

yang dikemukakan oleh Peranginangin et al., (1999) dan Koswara et al., (2001), yaitu

memiliki daging yang berwarna putih dan kandungan lemak yang rendah. Hal ini juga

didukung dengan hasil penelitian Hosseini-Shekarabi et al., (2015) dapat dilihat bahwa

spesies ikan yang memiliki kandungan lemak rendah dan daging berwarna putih, seperti

black mouth croaker (Atrobucca nibe) dapat menghasilkan produk surimi pada skala

besar dengan kualitas tinggi.

Langkah awal yang dilakukan dalam pembuatan surimi adalah pencucian ikan bawal dan

pemisahan daging dari kepala, tulang, kulit, sisik, sirip, ekor, dan isi perutnya.

Selanjutnya, daging ikan bawal yang sudah bersih ditimbang sebanyak 100 gram dan

dihaluskan menggunakan blender. Selama proses ini ditambahkan es batu untuk menjaga

suhu agar tetap rendah. Daging ikan yang telah dihaluskan kemudian dicuci dengan air es

sebanyak 3 kali dan disaring menggunakan kain saring. Menurut Schwarz & Lee (1988),

faktor penentu utama dalam pembuatan surimi adalah suhu penggilingan dan suhu air

pencucian daging. Hal ini dapat terjadi karena adanya kandungan protein larut air pada

ikan yang akan hilang selama proses pencucian yang dapat mempengaruhi karakteristik

kekuatan gel yang terbentuk. Suhu air pencucian yang lebih tinggi dari 15ºC akan

menyebabkan semakin banyaknya protein larut air yang akan terbuang. Kekuatan gel

terbaik akan diperoleh jika daging ikan yang telah digiling dicuci dengan air bersuhu 10-

15ºC.

Page 8: Surimi_Donna Larissa K_13.70.0171_B4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

7

Setelah melalui tahap pencucian, daging ikan selanjutnya diberi perlakuan yang berbeda-

beda untuk setiap kelompok. Perlakuan pertama yang dilakukan adalah penambahan

sukrosa dengan konsentrasi yang berbeda, yaitu 2,5% (kelompok B1 dan B2) dan 5%

(kelompok B3, B4, dan B5). Tujuan dari penambahan sukrosa adalah sebagai bahan

cryoprotectant. Bahan cryoprotectant merupakan bahan yang wajib ditambahkan dalam

pembuatan surimi yang tidak langsung diolah menjadi produk lanjutan namun disimpan

dalam bentuk beku. Hal ini dikarenakan menurut Zhou et al., (2006) bahan cryoprotectant

dapat memperlambat terjadinya denaturasi protein selama penyimpanan pada suhu beku

karena dapat menginaktifkan kondensasi dengan cara mengikat molekul air oleh ikatan

hidrogen. Agustini et al., (2008) menambahkan bahwa pada umumnya kualitas surimi

akan menurun akibat denaturasi protein. Penggunaan gula sebagai bahan cryoprotectant

sangat penting untuk mencegah terjadinya denaturasi protein selama penyimpanan beku

surimi. Selain sukrosa dan sorbitol, alternatif lain yang dapat digunakan untuk mencegah

denaturasi protein adalah gula stevia dengan jumlah kalori yang lebih rendah.

Selanjutnya, ditambahkan garam sebanyak 2,5% untuk semua kelompok. Menurut Ditjen

Perikanan Tangkap (1990), penambahan garam sebanyak 0,2-0,3% selama proses

leaching akan mempercepat kehilangan air dari daging ikan yang telah digiling. Selain

itu, penambahan garam dimaksudkan untuk melepas miosin pada serat ikan yang

berperan dalam pembentukan gel yang kuat, serta untuk meningkatkan cita rasa dan

aroma dari surimi.

Perlakuan yang terakhir adalah penambahan polifosfat dengan konsentrasi yang berbeda,

yaitu 0,1% (kelompok B1), 0,3% (kelompok B2 dan B3), serta 0,5% (kelompok B4 dan

B5). Penambahan polifosfat dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan aktomiosin dan

berikatan dengan miosin. Gabungan dari miosin dan poliposfat akan berikatan dengan air

dan menahan mineral serta vitamin. Fungsi lain ditambahkannya bahan polifosfat adalah

untuk meningkatkan kelembutan dan memperbaiki sifat surimi, yaitu elastisitasnya.

Polifosfat bukan berfungsi sebagai cryoprotectant, melainkan untuk memperbaiki daya

ikat air (water holding capacity). Polifosfat biasanya ditambahkan sebanyak 0,2-0,3%

dalam bentuk garam natrium tripolifosfat (Peranginangin et al., 1999). Menurut Winarno

et al., (1980) penambahan bahan-bahan tersebut sengaja dilakukan dengan tujuan untuk

meningkatkan kualitas surimi yang dihasilkan. Fogaca et al., (2013) menambahkan

Page 9: Surimi_Donna Larissa K_13.70.0171_B4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

8

bahwa bahan lain yang memiliki peran penting dalam meningkatkan sifat mekanis dan

fungsional dari surimi adalah pati. Pati ditambahkan pada surimi untuk mempertahankan

kekuatan gel dengan penurunan kadar surimi karena kemampuannya dalam mengikat air,

serta untuk meningkatkan stabilitas surimi selama penyimpanan dingin atau beku. Pati

umumnya ditambahkan pada surimi dengan konsentrasi berkisar antara 4-12% dan pati

yang paling sering digunakan meliputi gandum, jagung, kentang, dan tapioka.

Setelah dilakukan penambahan bahan-bahan tersebut, daging ikan diaduk hingga rata dan

dimasukkan ke dalam wadah (kantong plastik). Kemudian daging ikan dibekukan dalam

freezer selama 1 malam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Winarno (1993) bahwa

penyimpanan surimi dalam freezer dilakukan untuk menjaga kualitas surimi agar tetap

optimal karena aktivitas mikroba akan terhambat pada suhu rendah. Sedangkan tujuan

dari pengemasan adalah untuk menghindarkan surimi dari kontak dengan udara. Setelah

itu, surimi dithawing terlebih dahulu dan dilakukan uji hardness menggunakan Texture

Analyzer, WHC menggunakan milimeter blok, serta kualitas sensoris menggunakan

panelis yang meliputi aroma dan kekenyalan.

Dari hasil pengukuran hardness, dapat dilihat bahwa nilai hardness paling tinggi

diperoleh kelompok B2 dengan penambahan 2,5% sukrosa; 2,5% garam; dan 0,3%

polifosfat. Sedangkan nilai hardness paling rendah diperoleh kelompok B3 dengan

penambahan 5% sukrosa; 2,5% garam; dan 0,3% polifosfat. Menurut Toyoda et al.,

(1992) jumlah polifosfat yang ditambahkan akan mempengaruhi tekstur surimi yang

dihasilkan. Polifosfat akan menyebabkan surimi memiliki tekstur yang lembut dan tidak

keras. Peranginangin et al., (1999) menambahkan bahwa penambahan polifosfat

dimaksudkan untuk meningkatkan kelembutan dan memperbaiki sifat surimi, yaitu

elastisitasnya. Berdasarkan teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa semakin banyak

jumlah polifosfat yang ditambahkan maka nilai hardness yang dihasilkan akan semakin

rendah. Nilai hardness berkebalikan dengan tingkat kekenyalan surimi. Namun,

penambahan polifosfat hingga 0,5% malah akan mengakibatkan pembentukan gel yang

tinggi sehingga tekstur surimi yang dihasilkan tidak semakin kenyal, melainkan semakin

keras. Jika dibandingkan dengan teori yang ada, hasil pengamatan yang diperoleh tidak

sesuai dengan teori dimana seharusnya daging ikan giling dengan penambahan 0,3%

Page 10: Surimi_Donna Larissa K_13.70.0171_B4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

polifosfat (kelompok B2 dan B3) memiliki nilai hardness yang lebih rendah dibandingkan

daging ikan giling dengan penambahan 0,1% dan 0,5% polifosfat. Ketidaksesuaian hasil

dapat terjadi karena tingkat kesegaran ikan yang berbeda-beda. Adanya ikan yang kurang

segar menyebabkan tidak maksimalnya surimi yang dihasilkan. Menurut Ozogul et al.,

(2005) keragaman ikan dapat mempengaruhi hasil karena komposisi asam lemak antar

ikan yang berbeda-beda. Komposisi asam lemak pada ikan sendiri dipengaruhi oleh

beberapa faktor, antara lain spesies, pakan, letak geografis, umur, dan juga ukuran ikan

tersebut. Keragaman faktor ini sangat berpengaruh pada produk surimi yang dihasilkan.

Dari hasil pengukuran WHC, dapat dilihat bahwa daging ikan giling dengan penambahan

5% sukrosa memiliki nilai WHC yang cenderung lebih tinggi dibandingkan daging ikan

giling dengan penambahan 2,5% sukrosa. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan

oleh Wiguna (2005) bahwa semakin besar konsentrasi cryoprotectant (sukrosa) yang

ditambahkan dalam pembuatan surimi, maka daya ikat air (water holding capacity) akan

semakin meningkat. Sementara daging ikan giling dengan penambahan 0,3% polifosfat

memiliki nilai WHC yang lebih tinggi dibandingkan daging ikan giling dengan

penambahan 0,5% polifosfat. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Tan et al., (1988)

bahwa polifosfat tidak berfungsi sebagai cryoprotectant, namun sering ditambahkan

dalam pembuatan surimi untuk meningkatkan daya ikat air (water holding capacity).

Ketidaksesuaian hasil ini dapat terjadi akibat ketidakseragaman pengepresan adonan

surimi yang dilakukan untuk setiap kelompok atau akibat pengukuran menggunakan

milimeter blok yang kurang akurat. Luas permukaan yang terukur bergantung pada hasil

pengepresan adonan surimi yang nantinya akan mempengaruhi hasil perhitungan WHC.

Adanya kemungkinan adonan tidak terpres secara sempurna akan menyebabkan hasil

pengukuran yang kurang akurat.

Pada praktikum ini, konsentrasi garam yang ditambahkan pada semua kelompok sama,

yaitu sebesar 2,5%. Penambahan garam ini dapat menurunkan jumlah air dalam daging

ikan giling serta dapat memicu pembentukan gel yang elastis dan fleksibel. Menurut

Shimizu et al., (1994) konsentrasi garam yang biasanya ditambahkan dalam pembuatan

surimi adalah sebesar 2-3%. Konsentrasi garam yang kurang dari 2% akan menyebabkan

protein miofibril tidak dapat larut, sedangkan konsentrasi konsentrasi garam yang lebih

Page 11: Surimi_Donna Larissa K_13.70.0171_B4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

dari 12% akan menyebabkan protein miofibril terhidrasi dan terjadinya salting out. Selain

itu, konsentrasi garam yang berlebihan akan menimbulkan rasa asin. Jika dibandingkan

dengan teori, konsentrasi garam yang ditambahkan pada praktikum ini masih berada

dalam batas yang cukup untuk membuat protein miofibril larut sehingga dihasilkan

adonan surimi yang fleksibel dan elastis. Berdasarkan teori yang ada, penambahan garam

dapat meningkatkan cita rasa dan aroma dari surimi. Namun, pengamatan rasa secara

sensoris tidak dilakukan dalam praktikum ini.

Karakteristik surimi secara sensoris dipengaruhi oleh penambahan polifosfat. Dari hasil

pengamatan kekenyalan secara sensoris, dapat dilihat bahwa surimi yang memiliki

kekenyalan paling tinggi adalah daging ikan giling dengan penambahan 0,3% polifosfat

pada kelompok B2 serta daging ikan giling dengan penambahan 0,5% polifosfat pada

kelompok B4. Berdasarkan teori Peranginangin et al., (1999) yang telah disebutkan di

paragraf sebelumnya, dimana semakin banyak jumlah polifosfat yang ditambahkan maka

nilai hardness yang dihasilkan akan semakin rendah. Nilai hardness berkebalikan dengan

tingkat kekenyalan surimi. Hal ini berarti semakin banyak jumlah polifosfat yang

ditambahkan maka surimi yang dihasilkan akan semakin kenyal. Namun, penambahan

polifosfat hingga 0,5% malah akan mengakibatkan pembentukan gel yang tinggi sehingga

tekstur surimi yang dihasilkan tidak semakin kenyal, melainkan semakin keras. Jika

dibandingkan dengan teori tersebut, hasil pengamatan yang diperoleh tidak sesuai dengan

teori, dimana seharusnya penambahan 0,3% polifosfat (kelompok B2 dan B3)

menghasilkan surimi yang lebih kenyal dibandingkan penambahan 0,1% dan 0,5%

polifosfat. Ketidaksesuaian hasil dapat terjadi karena tingkat kesegaran ikan yang

berbeda-beda. Adanya ikan yang kurang segar menyebabkan tidak maksimalnya surimi

yang dihasilkan. Menurut Ozogul et al., (2005) keragaman ikan dapat mempengaruhi

hasil karena komposisi asam lemak antar ikan yang berbeda-beda. Komposisi asam lemak

pada ikan sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain spesies, pakan, letak

geografis, umur, dan juga ukuran ikan tersebut. Keragaman faktor ini sangat berpengaruh

pada produk surimi yang dihasilkan.

Dari hasil pengamatan aroma secara sensoris, dapat dilihat bahwa surimi yang memiliki

aroma paling amis adalah daging ikan giling dengan penambahan 2,5% sukrosa; 2,5%

Page 12: Surimi_Donna Larissa K_13.70.0171_B4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

11

garam; dan 0,3% polifosfat pada kelompok B2. Pada kelompok B1 dihasilkan surimi yang

memiliki aroma amis, sedangkan pada kelompok B3, B4, dan B5 dihasilkan surimi yang

memiliki aroma tidak amis. Menurut Peranginangin et al., (1999) aroma amis dari surimi

dipengaruhi oleh bahan baku ikan yang digunakan. Jika bahan baku ikan yang digunakan

tidak terlalu amis, maka seharusnya surimi yang dihasilkan juga tidak beraroma terlalu

amis. Selain itu, pencucian ikan yang kurang bersih juga dapat menyebabkan timbulnya

aroma yang amis pada surimi. Pencucian seharusnya dapat menghilangkan bau amis dan

bahan yang tidak diinginkan pada ikan, seperti senyawa trimetilamin yang merupakan

senyawa utama pembentuk aroma pada ikan (Tanaka, 2001). Fogaca et al., (2013)

menambahkan bahwa banyaknya jumlah pencucian dan perbandingan antara air dan

daging ikan merupakan parameter penting yang menentukan tekstur, warna, dan aroma

dari surimi. Tekstur, warna, dan aroma dari surimi akan meningkat ketika bahan yang

tidak diinginkan telah dihilangkan dengan proses pencucian.

Menurut Jafarpour et al., (2012) untuk memperoleh tekstur surimi yang lebih diinginkan

oleh konsumen, maka perlu ditambahkan bahan, seperti putih telur. Putih telur merupakan

bahan tambahan yang biasa digunakan pada tahap persiapan surimi dengan maksud untuk

memodifikasi tekstur gel yang dihasilkan. Putih telur ini berperan sebagai enzim inhibitor

untuk menghambat tahap “modori” (pelunakan gel) selama proses gelasi termal untuk

membuat produk lebih elastis. Dari hasil penelitian Jafarpour et al., (2012) dapat

disimpulkan bahwa penambahan putih telur sebesar 3% pada surimi menghasilkan

viskositas, WHC, kekuatan gel, dan Texture Profile Analysis (TPA) yang paling baik.

Selain itu, menurut panelis, penambahan putih telur sebesar 3% merupakan perlakuan

yang paling baik untuk meningkatkan parameter sensori dari gel surimi.

Page 13: Surimi_Donna Larissa K_13.70.0171_B4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

12

4. KESIMPULAN

Surimi merupakan produk olahan ikan setengah jadi (intermediate product) yang

terbuat dari gilingan daging ikan.

Ikan bawal dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan surimi karena

memiliki daging berwarna putih dan kandungan lemak yang rendah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas surimi, antara lain jenis dan umur ikan,

kematangan gonad, tingkat kesegaran ikan, pH, kadar air, konsentrasi dan jenis

cryoprotectant yang ditambahkan, suhu penggilingan serta suhu dan frekuensi

pencucian.

Sukrosa berperan sebagai bahan cryoprotectant yang menghambat terjadinya

denaturasi protein pada surimi.

Semakin besar konsentrasi sukrosa yang ditambahkan, maka nilai WHC semakin

meningkat.

Garam berfungsi untuk melepas miosin pada serat ikan yang berperan dalam

pembentukan gel yang kuat, serta untuk meningkatkan cita rasa dan aroma surimi.

Konsentrasi garam sebesar 2,5% masih berada dalam batas yang cukup untuk

menghasilkan adonan surimi yang fleksibel dan elastis.

Polifosfat berfungsi untuk meningkatkan kelembutan dan memperbaiki sifat surimi,

yaitu elastisitasnya.

Semakin banyak jumlah polifosfat yang ditambahkan, maka nilai hardness semakin

rendah, surimi semakin kenyal, dan nilai WHC semakin tinggi.

Surimi yang baik adalah surimi yang memiliki aroma tidak terlalu amis, kemampuan

pembentukan gel baik, serta tingkat kekenyalan tinggi.

Semarang, 28 September 2015

Praktikan Asisten Dosen

- Yusdhika Bayu S.

Donna Larissa Khuangga

13.70.0171

Page 14: Surimi_Donna Larissa K_13.70.0171_B4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

13

5. DAFTAR PUSTAKA

Agustiani, T.W.; Akhmad S.F.; & A. Ulfah. (2006). Modul Diversifikasi Produk

Perikanan Universitas Diponegoro Press. Semarang.

Agustini, T.W.; Y.S. Darmanto; & D.P.K. Putri. (2008). Evaluation On Utilization Of

Small Marine Fish To Produce Surimi Using Different Cryoprotective Agents To

Increase The Quality Of Surimi. Journal of Coastal Development; 11(3):131-140.

Direktorat Jenderal Perikanan. (1990). Buku Pedoman Pengenalan Sumber Perikanan

Laut. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta.

Fogaca, F.H.S.; L.A. Trinca; A.J. Bombo; & L.S. Sant’ana. (2013). Optimization Of The

Surimi Production From Mechanically Recovered Fish Meat (MRFM) Using

Response Surface Methodology. Journal of Food Quality; 36:209-216.

Hosseini-Shekarabi, S.P.; S.E. Hosseini; M. Soltani; A. Kamali; & T. Valinassab. (2015).

Effect of heat treatment on the properties of surimi gel from black mouth croaker

(Atrobucca nibe). International Food Research Journal; 22(1):363-371.

Jafarpour, A.; Habib-Allah Hajiduon; & M. Rez aie. (2012). A Comparative Study on

Effect of Egg White, Soy Protein Isolate and Potato Starch on Functional

Properties of Common Carp (Cyprinus carpio) Surimi Gel. J Food Process

Technol; 3(11).

Koswara S.; Hariyadi P.; & Purnomo E.H. (2001). Tekno Pangan dan Agroindustri. UI

Press. Jakarta.

Ozogul, Y.; F. Ozogul; & I.A. Olgunoglu. (2005). Fatty acid profile and mineral content

of the wild snail (Helix pomatia) from the region of the south of the Turkey.

European Food Research and Technology; 221(3-4):547-549.

Peranginangin R.; Wibowo S.; & Fawza Y.N. (1999). Teknologi Pengolahan Surimi.

Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi, Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta.

Schwarz M.D. & Lee C.M. (1988). Comparison of the thermostability of redhake and

alaska pollack surimi during processing. Journal of Food Science; 53(5):1347-

1351.

Shimazamaninejad; B. Shabanpour; & A. Shabani. (2013). Effect of Medium

Temperature Setting on Gelling Characteristics of Surimi from Farmed Common

Page 15: Surimi_Donna Larissa K_13.70.0171_B4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

14

Carp (Cyprinus carpio, Linnaeus, 1758). World Journal of Fish and Marine

Sciences; 5(5):533-539.

Shimizu Y.; Toyohara H.; & Lanier T.C. (1994). Surimi Production from Fatty and Dark-

Fleshed Fish Species. Marcel dekker. New York.

Supriatna. (1998). Pengaruh Kadar Asam Lemak Omega 3 yang Berbeda pada Kadar

Asam Lemak Omega 6 Tetap dalam Pakan terhadap Pertumbuhan Ikan Bawal Air

Tawar Colossoma macropomum Cuvier. Program Paska Sarjana IPB. Bogor.

Suzuki, T. (1981). Fish and Krill Protein: Processing Technology. Applied Science Publ

Ltd. London.

Tan S.M.; Ng Mui Chng; T. Fujiwara; H. Kok Kuang; & H. Hasegawa. (1988). Handbook

on the Processing of Frozen Surimi and Fish Jelly Products in Southeast Asia.

Marine Fisheries. Research Department-South East Asia Fisheries Development

Center. Singapore.

Tanaka, M. (2001). Surimi and Surimi Products. Department of Food Science and

Technology. Japan.

Toyoda, K.; T. Shiraishi; H. Yoshioka; T. Yamada; Y. Ichinose; & H. Oku. (1992)

Regulation of Polyphosphoinositide Metabolism in Peaplasma Membrane by

Elicitor and Suppressor from a Pea Pathogen, Mycosphaerellapinodes. Plant Cell

Physiol. 33: 445-452.

Wiguna, A.N. (2005). Pengaruh Pengkomposisian dan Penyimpanan Dingin Daging

Lumat Ikan Cucut Pisang (Carcharinus falciformis) dan Ikan Pari Kelapa (Trygon

sephen) Terhadap Karakteristik Surimi yang Dihasilkan. Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Winarno F.G.; Fardiaz S.; & Fardiaz D. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. PT.

Gramedia. Jakarta.

Winarno F.G. (1993). Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT Gramedia Pustaka

Utama. Jakarta.

Zhou A.; Benjakul S.; Pan K.; Gong J.; & Liu X. (2006). Cryoprotective Effect of Trehalose and Sodium Lactate on Tilapia (Sarotherodon nilotica) Surimi Durimg

Frozen Storage. Journal of Food Chemistry; 96(2):96-103.

Page 16: Surimi_Donna Larissa K_13.70.0171_B4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

15

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus perhitungan WHC (mg H2O):

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑡𝑎𝑠 (𝐿𝐴) = 1

3𝑎 (ℎ0 + 4ℎ1 + 2ℎ2 + 4ℎ3 + ⋯ + ℎ𝑛)

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑎𝑤𝑎ℎ (𝐿𝐵) = 1

3𝑎 (ℎ0 + 4ℎ1 + 2ℎ2 + 4ℎ3 + ⋯ + ℎ𝑛)

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ (𝐿𝐴𝐵) = 𝐿𝐴 − 𝐿𝐵

𝑚𝑔 𝐻2𝑂 = 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ−8,0

0,0948

Perhitungan WHC Kelompok B1

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑡𝑎𝑠 (𝐿𝐴) = 1

3. 47 (110 + 4 × 187 + 2 × 222 + 4 × 188 + 110)

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑡𝑎𝑠 (𝐿𝐴) = 33909,88

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑎𝑤𝑎ℎ (𝐿𝐵) = 1

3 47 (110 + 4 × 28 + 2 × 16 + 4 × 25 + 110)

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑎𝑤𝑎ℎ (𝐿𝐵) = 7270,88

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ (𝐿𝐴𝐵) = 33909,88 − 7270,88

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ (𝐿𝐴𝐵) = 26639

𝑚𝑔 𝐻2𝑂 = 26639−8,0

0,0948

𝑚𝑔 𝐻2𝑂 = 280917,72 𝑚𝑔

Perhitungan WHC Kelompok B2

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑡𝑎𝑠 (𝐿𝐴) = 1

3 42 (93 + 4 × 169 + 2 × 180 + 4 × 169 + 114)

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑡𝑎𝑠 (𝐿𝐴) = 26866

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑎𝑤𝑎ℎ (𝐿𝐵) = 1

3 42 (93 + 4 × 25 + 2 × 17 + 4 × 25 + 114)

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑎𝑤𝑎ℎ (𝐿𝐵) = 6174

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ (𝐿𝐴𝐵) = 26866 − 6174

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ (𝐿𝐴𝐵) = 20692

𝑚𝑔 𝐻2𝑂 = 20692−8,0

0,0948

𝑚𝑔 𝐻2𝑂 = 218185,65 𝑚𝑔

Page 17: Surimi_Donna Larissa K_13.70.0171_B4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

16

Perhitungan WHC Kelompok B3

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑡𝑎𝑠 (𝐿𝐴) = 1

3 48 (91 + 4 × 203 + 2 × 209 + 4 × 204 + 107)

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑡𝑎𝑠 (𝐿𝐴) = 35904

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑎𝑤𝑎ℎ (𝐿𝐵) = 1

3 48 (91 + 4 × 15 + 2 × 11 + 4 × 19 + 107)

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑎𝑤𝑎ℎ (𝐿𝐵) = 5696

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ (𝐿𝐴𝐵) = 35904 − 5696

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ (𝐿𝐴𝐵) = 30208

𝑚𝑔 𝐻2𝑂 = 30208−8,0

0,0948

𝑚𝑔 𝐻2𝑂 = 318565,40 𝑚𝑔

Perhitungan WHC Kelompok B4

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑡𝑎𝑠 (𝐿𝐴) = 1

3 49 (125 + 4 × 208 + 2 × 216 + 4 × 196 + 117)

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑡𝑎𝑠 (𝐿𝐴) = 37403,33

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑎𝑤𝑎ℎ (𝐿𝐵) = 1

3 45 (125 + 4 × 26 + 2 × 20 + 4 × 35 + 117)

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑎𝑤𝑎ℎ (𝐿𝐵) = 8589,58

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ (𝐿𝐴𝐵) = 37403,33 − 8589,58

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ (𝐿𝐴𝐵) = 28813,75

𝑚𝑔 𝐻2𝑂 = 28813,75−8,0

0,0948

𝑚𝑔 𝐻2𝑂 = 303858,12 𝑚𝑔

Perhitungan WHC Kelompok B5

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑡𝑎𝑠 (𝐿𝐴) = 1

3 47,5 (160 + 4 × 220 + 2 × 237 + 4 × 225 + 125)

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑡𝑎𝑠 (𝐿𝐴) = 40200,83

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑎𝑤𝑎ℎ (𝐿𝐵) = 1

3 47,5 (160 + 4 × 47 + 2 × 31 + 4 × 50 + 125)

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑎𝑤𝑎ℎ (𝐿𝐵) = 11637,26

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ (𝐿𝐴𝐵) = 40200,83 − 11637,26

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ (𝐿𝐴𝐵) = 28563,57

𝑚𝑔 𝐻2𝑂 = 28563,57−8,0

0,0948

𝑚𝑔 𝐻2𝑂 = 301219,49 𝑚𝑔

Page 18: Surimi_Donna Larissa K_13.70.0171_B4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

17

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal