surimi_Agatha Putri_13.70.0126_A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA
-
Upload
praktikumhasillaut -
Category
Documents
-
view
224 -
download
6
description
Transcript of surimi_Agatha Putri_13.70.0126_A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA
1. MATERI METODE
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini yaitu pisau, kain saring, texture
analyzer, blender.
1.1.2. Bahan
Bahan – bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah ikan patin,
garam, gula pasir, polifosfat, es batu.
1.2. Metode
1
Ikan dicuci bersih dengan air mengalir dan ditimbang beratnya
Daging ikan di-fillet dengan memisahkan bagian kepala, sirip, ekor, sisik, kulit, dan
bagian perutnya, kemudian diambil bagian daging putih sebanyak 100 gram.
Daging ikan digiling hingga halus dan selama penggilingan dapat ditambahkan es
batu untuk menjaga suhu tetap rendah.
Daging ikan dicuci dengan air es sebanyak 3 kali lalu disaring dengan menggunakan
kertas saring.
Residu ditambahkan dengan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok A1 dan A2) dan 5%
(kelompok A3, A4, dan A5)
2
Ditambahkan garam sebanyak 2,5% (semua kelompok), dan polifosfat sebanyak 0,1%
(kelompok A1), 0,3% (kelompok A2 dan A3), dan 0,5% (kelompok A4 dan A5).
Dilakukan uji pengukuran WHC pada surimi, dimana surimi beku dipipihkan
menggunakan alat penekan (presser)
Dimasukkan dalam plastik dan dibekukan dalam freezer selama semalam.
Surimi di-thawing lalu diukur hardness menggunakan texture analyzer
Ditambahkan garam sebanyak 2,5% (semua kelompok), dan polifosfat sebanyak 0,1%
(kelompok A1), 0,3% (kelompok A2 dan A3), dan 0,5% (kelompok A4 dan A5).
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan surimi berdasarkan hardness, WHC, serta uji sensori dapat dilihat
pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil pengukuran surimi
Kelompok PerlakuanHardness
(gf)
WHC
(mg H2O)
Sensoris
Kekenyalan Aroma
A1
Sukrosa 2,5% +
garam 2,5% +
polifosfat 0,1%
- 337.468,35 +++ +++
A2
Sukrosa 2,5% +
garam 2,5% +
polifosfat 0,3%
361,64 207.510,55 ++ ++
A3
Sukrosa 5% +
garam 2,5% +
polifosfat 0,3%
271,72 246.118,14 ++ ++
A4
Sukrosa 5% +
garam 2,5% +
polifosfat 0,5%
105,85 237.573,84 ++ ++
A5
Sukrosa 5% +
garam 2,5% +
polifosfat 0,5%
143,79 210.042,19 ++ ++
Keterangan:Kekenyalan Aroma+ : Tidak kenyal + : Tidak amis++ : Kenyal ++ : Amis+++ : Sangat Kenyal +++ : Sangat amis
Dari hasil pengamatan di atas dapat diketahui pada sampel kelompok A1 dengan
penambahan sukrosa, garam dan polifosfat masing-masing sebesar 2,5%, 2,5% dan
0,1% nilai hardness (gf) tidak terdeteksi namun memiliki nilai WHC tertinggi yaitu
337.468,35 mg H2O serta menghasilkan surimi yang sangat kenyal dan aroma yang
sangat amis. Sedangkan pada kelompok A2, A3,A4 dan A5 dengan perlakuannya
masing-masing menghasilkan surimi yang kenyal dan beraroma amis. Nilai hardness
4
tertinggi terdapat pada sampel kelompok A2 yaitu 361,64 gf dengan perlakuan
penambahan sukrosa, garam dan polifosfat masing-masing sebanyak 2,5%, 2,5% dan
5%, sedangkan terendah pada sampel A4 yaitu 105,85 gf dengan perlakuan penambahan
sukrosa, garam dan polifosfat masing-masing sebanyak 5%, 2,5% dan 0,5%. Nilai
WHC tertinggi terdapat pada sampel A1 sedangkan terendah pada sampel kelompok A2
yaitu 207.510,55 mg H2O.
5
3. PEMBAHASAN
Park & Morrissey (2000) dalam jurnal berjudul “Recovery and Characterization of
Proteins Precipitated from Surimi Wash-water” menjelaskan bahwa surimi merupakan
konsentrasi protein myofibrillar yang didapatkan dari ikan tanpa tulang yang dicuci
dengan air dingin. Peranginangin, et al. (1999) mengatakan bahwa surimi adalah daging
ikan yang dilumatkan, dibersihkan, dan dicuci berulang-ulang, sehingga sebagian besar
komponen bau, darah, pigmen dan lemak hilang. Dalam penyimpanannya, surimi harus
disimpan beku dan ditambahkan bahan antidenaturasi atau cryoprotectant. Menurut
Okada (1992) dalam jurnal berjudul Effects of Different Dryoprotectants on Functional
Properties of Threadfin Bream Surimi Powder surimi merupakan protein myifibrilar
yang diektstrak dari jaringan ikan yang telah digiling dan dicuci menggunakan air lalu
disimpan dalam keadaan beku. Surimi dikenal sebagai produk yang rendah lemak serta
dengan kemampuan pembentukan gel yang unik maka surimi banyak digunakan sebagai
bahan utama pembuatan berbagai produk seafood (Park dan Lin, 2005)
Pada praktikum ini bahan utama yang sigunakan untuk membuat surimi yaitu ikan
patin. Ikan patin merupakan golongan ikan lele (catfish). Habitat ikan patin adalah di
sungai-sungau yang tersebar di Kalimantan, Sumatera dan Jawa. Ikan ini telah tersebar
luas dan telah dibudidayakan di seluruh dunia. Meningkatnya jumlah ikan patin hasil
budidaya (Pangasius sutchi) diharapkan dapat menjadi alternatif sumber protein hewani
(Susanto dan Amri, 2000)
Langkah awal yang dilakukan yaitu mencuci bersih ikan dengan air mengalir lalu
ditimbang beratnya. Selanjutnya memisahakan daging ikan dengan bagian kepala, sirip,
ekor, sisik isi perut dan kulit ikan. Fortina (1996) menjelaskan bahwa tahap ini
merupakan tahap yang penting karena bagian yang tidak diperlukan pada pembuatan
surimi, seperti kepala dan isi perut mengandung minyak dan lemak yang cukup tinggi
dan dapat menyebabkan terjadinya reaksi hidrolisis pada produk surimi. Sedangkan
pencucian ikan perlu dilakukan untuk menghilangkan komponen larut air, lemak dan
darah, serta dapat meningkatkan kekuatan gel dan memperbaiki penampakan (Amalia,
2002).
6
Daging putih ikan kemudian diambil sebanyak 100 gram lalu digiling hingga halus, Es
batu ditambahkan selama penggilingan untuk menjaga suhu tetap rendah. Proses
penggilingan dilakukan untuk memperluas permukaan daging ikan, sehingga
penyerapan bahan-bahan lain lebih mudah dan optimal sesuai teori Arpah (1993).
Penambahan es batu bertujuan agar menjaga kesegaran daging ikan dan protein tidak
mengalami denaturasi serta meminimalkan tumbuhnya mikroorganisme pembusuk
karena suhu rendah dapat menginaktivasi enzim-enzim yang mempercepat kerusakan
ikan (Gaman & Sherrington, 1994). Oleh karena itu tahap penambahan es batu untuk
menjaga suhu tetap rendah merupakan langkah yang sangat penting.
Langkah selanjutnya yaitu mencuci daging ikan dengan air es sebanyak 3 kali dengan
menyaring sampel menggunakan kain saring. Nopianti, et al., (2011) menjelaskan
bahwa proses ini mempengaruhi kualitas surimi karena dapat menghilangkan lemak,
darah, pigmen, dan komponen penyebab bau, selain itu pencucian juga dapat membuat
peningkatan kemampuan dari konsentrasi protein miofibril dan memperbaiki
kemampuan pembentukan gel. Penggunaan air dalam keadaan dingin saat pencucian
juga bertujuan agar meminimalisir kerusakan ikan.
Selanjutnya setelah disaring, daging ikan ditambahkan dengan sukrosa, garam dan
polofosfat yang bervariasi setiap kelompok. Pada kelompok A1, dan A2 ditambahkan
sebanyak 2,5%; pada kelompok A3, A4, dan A5 ditambahkan sukrosa sebesar 5% dari
berat daging ikan, lalu ditambahkan pula garam sebesar 2,5% dari berat daging pada
semua kelompok dan dilakukan penambahan polifosfat sebanyak 0,1% pada kelompok
A1; pada kelompok A2 dan A3ditambahkan sebanyak 0,3%; sedangkan pada kelompok
A4 dan A5 ditambahkan sebesar 0,5% dari berat daging ikan. lalu dicampurkan hingga
merata. Dalam jurnal berjudul Effects of Different Dryoprotectants on Functional
Properties of Threadfin Bream Surimi Powder dikatakan ketika surimi diproduksi
untuk dijadikan balok beku, gula ditambahankan sebagai cryoprotectant untuk
mencegah denaturasi protein selama pembekuan. Pada pembuatan surimi bubuk juga
diperlukan penambahan gula sebagai drioprotektan (dryoprotectant) untuk melindungi
protein selama proses pengeringan (Huda et al., 2001) Sedangkan penambahan garam
bertujuan untuk melarutkan protein miofibri agar miosin mudah berikatan dengan aktin
7
membentuk aktomiosin yang berperan dalam pembentukan gel. Oleh karena dilakukan
penambahan garam, maka jenis surimi yang dibuat pada praktikum ini adalah jenis
surimi ka-en. Penambahan garam sebanyak 2,5% juga sesuai dengan teori Tan, et al.
(1988) dan Shimizu & Toyohara (1992) yang menyatakan bahwa konsentrasi garam
yang paling umum digunakan untuk membuat produk surimi adalah 2-3%. Sedangkan
menurut teori Wibowo (2004) tujuan penambahan garam adalah untuk mempercepat
keluarnya air pada surimi agar surimi tidak cepat rusak dan memiliki umur simpan yang
lebih lama.
Penambahan garam bertujuan untuk melepaskan miosin dari serat-serat ikan yang
sangat penting untuk pembentukan gel yang kuat. Pembentukan gel tersebut akan
mempengaruhi dari WHC surimi itu sendiri. Penggunaan garam juga berfungsi sebagai
bahan pelarut protein miofibril. Apabila konsentrasi garam yang ditambahkan kurang
dari 2% maka protein miofibril tidak dapat larut, sedangkan apabila konsentrasi garam
yang ditambahkan lebih dari 12% maka protein miofibril akan terhidrasi dan
menyebabkan salting out. Konsentrasi garam yang umumnya digunakan untuk
membuat surimi adalah 2% hingga 3% (Jafarpour & Gorezyea, 2009).
Polifosfat yang digunakan dalam pembuatan surimi adalah natrium tripolifosfat (STTP).
Polifosfat akan memisahkan aktomiosin dan berikatan dengan miosin. Miosin dan
poliposfat akan berikatan dengan air dan menahan mineral serta vitamin. Pada proses
pemasakan, miosin akan membentuk gel dan polifosfat membantu menahan air dengan
menutup pori-pori mikroskopis dan kapiler (Haryati, 2001). Menurut Shaviklo, et al.
(2010), tujuan penambahan polifosfat dalam pembuatan surimi yaitu untuk
meningkatkan efek cryoprotectant, karena polifosfat dapat memberi efek buffer pada
pH daging ikan dan sebagai agen pengkelat atau pengikat ion logam. Perbedaan
konsentrasi sukrosa dan polifosfat pada masing-masing kelompok dilakukan untuk
mengetahui konsentrasi tepat yang menghasilkan surimi paling baik dan hubungan
antara konsentrasi bahan tambahan dengan karakteristik surimi.
Sampel yang terbentuk kemuudian disimpan dalam plastik dan dibekukan dalam freezer
selama 1 malam. Dalam jurnal berjudul Surimi-like Material from Poultry Meat and its
Potential as Surimi Replacer, dapat dipelajari bahwa gula dan sorbitol banyak
8
digunakan sebagai freezing stabilizer (cryoprotektor) untuk menjaga kualitas surimi
selama penyimpanan dalam kondisi beku dan lama. Banyaknya cryoprotectant
menyebabkan rasa manis pada produk akhir olahan surimi (Trodsen, 1998). Saat ini
karena terjadi peningkatan kewaspadaan akan kesehatan konsumen maka presentase
gula dalam cryoprotectant telah dikurangi 6% (3% sukrosa dan 3% sorbitol). Meskipun
produksi surimi biasanya didapatkan dari ikan mentah, namun terdapat juga produksi
surimi yang menggunakan spesies lain selain ikan sebagai bahan utama (Nurkhoeriyati
et al., 2010).
Penyimpanan beku merupakan tahapan yang sangat penting dalam pembuatan surimi
karena tahap ini memberikan perubahan yang signifikan pada karakteristik fungsional
dari protein surimi seperti kemampuan membentuk gel, kemampuan water retention,
dan kelarutan protein. Penurunan dari fungsionalitas terjadi karena denaturasi protein
akibat pendinginan yang menyebabkan peningkatan konsentrasi terlarut dan dehidrasi
favor yang keduanya berkontribusi terhadap denaturasi protein (MacDonald dan Lanier,
1991). Setelah itu surimi di-thawing dan diukur hardness, WHC (water holding
capacity) dan kualitas sensorisnya meliputi keknyalan dan aroma.
Selain melalui metode yang dilakukan dalam praktikum ini, dalam jurnal berjudul
Effects of Different Dryoprotectants on Functional Properties of Threadfin Bream
Surimi Powder dapat kita ketahui bahwa terdapat metode lain untuk mendapatkan
surimi selain dalam bentuk padatan, yaitu dalam bentuk serbuk. Perlengkapan
pembekuan untuk surimi merupakan hal yang sangat penting untuk menjaga kualitas
dari surimi. Namun biaya yang dibutuhkan juga sangat banyak sehingga mulai
dikembangkan surimi dalam bentuk kering yang dapat menjadi opsi untuk mengurangi
biaya serta mempermudah pendistribusian karena tidak memerlukan penyimpanan beku.
Kualitas dari bubuk surimi yang masih dapat diterima juga masih memiliki keuntungan
lain yaitu kemudahan dalam penanganan dan kemampuan untuk dicampurkan dalam
bahan-bahan kering (Nikki et al., 1992). Kesimpulan dari penelitian ini yaitu bahwa
drioprotektan memainkan peranan penting dalam menjaga komponen fungsional bubuk
surimi terhadap denaturasi akiban panas yang terjadi saat proses pengeringan. Namun
keberadaan drioprotektan tidak meberikan pengaruh pada WHC dari bubuk surimi.
9
WHC (Water Holding Capacity) merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi
produk seperti surimi yang akan berdampak secara ekonomi maupun kualitas produk
akhir itu sendiri. Djazuli, N et al (2009) mengungkapkan bahwa uji daya ikat air atau
WHC bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan bahan untuk mengikat
molekul air. Interaksi protein-air terutama daya ikat air sangat berperan dalam
pembentukan gel. Tekstur gel akan semakin baik apabila daya serap air semakin baik
pula. Berdasarkan hasil pengamatan, nilai WHC yang didapat pada masing-masing
kelompok berbeda-beda. Nilai WHC terendah terjadi pada surimi kelompok A2, yaitu
sebesar 207.510,55 mg H2O, sedangkan nilai WHC tertinggi diperoleh pada surimi
kelompok A1, yaitu sebesar 337.468,35 mg H2O. Perbedaan perlakuan pada kedua
kelompok tersebut yaitu konsentrasi pemberian polifosfat. Pada kelompok A2 polifosfat
yang ditambahkan yaitu 0,3% sedangkan pada A1 hanya 0,1% namun keduanya
memiliki konsentrasi penambahan sukrosa dan garam yang sama. Hal ini tidak sesuai
dengan teori Shaviklo, et al. (2010) yang mengatakan penambahan polifosfat pada
daging giling lumat akan mempertahankan pH dan akan berdampak pada peningkatan
WHC. Apabila dilihat dari konsentrasi sukrosa yang ditambahkan pada sampel tiap
kelompok dapat diamati tidak ada kesesuaian antara semakin banyaknya sukrosa yang
ditambahkan dengan peningkatan ataupun penurunan WHC. Shaviklo, et al. (2010)
menambahkan pula bahwa penambahan sukrosa dan garam secara bersamaan
seharusnya dapat meningkatkan WHC, sehingga nilai WHC tertinggi seharusnya
dimiliki surimi pada kelompok A4 dan A5. Nilai WHC pada praktikum ini
menunjukkan besarnya kemampuan sukrosa dalam mengikat air pada produk surimi.
Pernyataan ini didukung oleh Winarno, et al. (1980) yang mengatakan penambahan
sukrosa dapat berpengaruh terhadap WHC, dimana semakin banyak sukrosa yang
ditambahkan maka WHC akan semakin tinggi. Penggunaan sukrosa dalam pembuatan
produk surimi bertujuan sebagai pelindung protein, dimana dapat mencegah denaturasi
protein selama masa pembekuan. Sukrosa dapat berperan sebagai agen untuk
menghambat pertumbuhan mikroorganisme karena sifat sukrosa yang dapat mengikat
air sehingga menurunkan kadar Aw. Ketidaksesuaian hasil pengamatan dengan teori
disebabkan karena tekanan dan waktu pemberian pressing pada surimi masing-masing
kelompok berbeda dan ketidaktepatan konsentrasi dalam penambahan garam, sukrosa
maupun polifosfat.
10
Pada uji sensoris parameter yang diukur meliputi kekenyalan dan aroma. Semakin
kenyal surimi, maka kualitas yang dihasilkan akan semakin bagus. Dari hasil
pengamatan dapat diketahui perbedaan hasil uji sensoris hanya terdapat pada kelompok
A1 yaitu perlakuan sukrosa 2,5% + garam 2,5% dan polifosfat 0,1% yang menghasilkan
surimi yang sangat kenyal (+++) dan aroma yang sangat amis (+++). Sedangkan hasil
uji sensoris pada sampel dari kelompok A2, A3, A4 dan A5 memiliki hasil yang sama
yaitu menghasilkan surimi yang kenyal (++) dan aroma amis (++). Nopianti, et al.
(2011) menjelaskan bahwa fosfat merupakan komponen alami yang terdiri dari garam
fosfor dan mineral lain. Komponen fosfat sodium tripolyphosphate (STTP), sodium
pyrophosphate (SPP), sodium hexametaphosphate (SHMP), dan tetrasodium
pyrophosphate (TSP) sering digunakan dalam produk surimi. Penggunaan fosfat
berfungsi untuk meningkatkan retensi air dan juga kemampuan untuk menyerap kembali
cairan saat surimi di thawing.
Nopianti, et al. (2011) menambahkan bahwa berdasarkan tingkat kekenyalannya,
semakin tinggi penambahan polifosfat hingga 0,3%, maka surimi yang dihasilkan
semakin kenyal karena senyawa fosfat dapat meningkatkan pH yang berdampak
membaiknya pembentukan gel, hal ini disebabkan karena peningkatan kemampuan daya
ikat air umumnya terjadi pada pH yang tinggi, sedangkan penambahan polifosfat
sebanyak 0,5% justru akan mengakibatkan pembentukan kekuatan gel yang tinggi,
sehingga tekstur dari surimi semakin tidak kenyal, namun semakin keras. Hal ini kurang
sesuai dengan hasil pengamatan yang diperoleh karena pada kelompok A2 dan A3 yang
memiliki penambahan polifosfat 0,3% memiliki tingkat kekenyalan yang sama dengan
sampel A4 dan A5 yang memiliki penambahan polifosfat 0,5%.
Selain itu ditinjau dari pengamatan berdasarkan parameter hardness dapat diketahui
pada surimi kelompok A1 nilai hardness tidak terdeteksi karena surimi yang dihasilkan
terlalu encer sehingga tidak dapat dideteksi oleh texture analyzer. Pada pengamatan
surimi kelompok A2 dengan penambahan polifosfat 0,3% nilai hardness sangat tinggi
yaitu 361,64 gf yang berkorelasi pada WHC yang paling rendah dibandingkan
kelompok lain. Sedangkan pada kelompok A4 dan A5 dengan penambahan polifosfat
sebanyak 0,5% memiliki nilai hardness yang cukup rendah yaitu sekitar 105-143 gf. Hal
ini kurang sesuai dengan teori Nopianti, et al. (2011) yang menyatakan penambahan
11
polifosfat sebanyak 0,5% justru akan mengakibatkan pembentukan kekuatan gel yang
tinggi, sehingga tekstur dari surimi semakin tidak kenyal, namun semakin keras. Dari
tabel hasil pengamatan juga dapat diamati bahwa semakin tinggi nilai WHC nilai
hardnessnya semakin rendah karena tingginya penyerapan air menyebabkan tekstur
menjadi lembek.
Chen, et al. (1997) mengungkapkan bahwa kekuatan gel dan kekenyalan yang menurun
pada praktikum kemungkinan disebabkan karena oksidasi yang mempercepat perubahan
ikatan kimia, termasuk diantaranya ikatan sulfida dan menyebabkan denaturasi protein.
Selain itu, ketidaksesuaian hasil dengan teori dan pada masing-masing kelompok yang
menggunakan polifosfat dalam jumlah yang sama dapat terjadi dikarenakan
penimbangan polifosfat yang tidak akurat, sehingga mempengaruhi tingkat kekenyalan
surimi.
Dalam jurnal berjudul Effect of Legume Seed Protein Isolates on Autolysis and Gel
Properties of Surimi from Sardine (Sardinella albella) dapat kita pelajari bahwa adanya
disintegrasi proteolitik dari protein myofibrial menghambat sifat pembentukan gel dari
surimi karena pemecahan dari protein myofibrial dapat menghambat pembentukan
ikatan gel 3 dimensi (Momissey et al., 1993). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa
ekstrak dai biji-bijan legume mengandung inhibitor tripsin yang dapat menhambat
aktivitas protease pada otot ikan dan surimi (Luo et al., 2004).
Parameter uji sensori yang kedua adalah aroma amis. Bau amis pada surimi timbul
karena adanya reaksi oksidasi pada ikan yang menyebabkan asam lemak berubah
menjadi off-flavor dan dapat dihilangkan pada saat tahap pencucian (Peranginangin, et
al., 1999). Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi
penambahan sukrosa dan polifosfat, maka surimi yang dihasilkan semakin tidak berbau
amis. Bau amis yang ditimbulkan dapat terjadi karena proses pencucian yang kurang
sempurna. Menurut Irianto dan Giatmi (2009), perlakuan pencucian seharusnya dapat
menghilangkan bau / aroma yang tidak diinginkan yang disebabkan oleh senyawa
trimetilamin (salah satu senyawa utama pembentuk flavor/ aroma pada ikan).
Peranginangin et al. (1999) juga mengatakan bahwa surimi adalah daging lumat yang
dibersihkan dan dicuci berulang-ulang sehingga sebagian besar komponen bau, darah,
12
pigmen dan lemak hilang. Semakin tingginya konsentrasi sukrosa dan polifosfat
sebenarnya tidak mempengaruhi aroma surimi, namun bau amis yang terjadi pada
surimi kelompok A1 – A5 dikontribusi oleh senyawa trimetilamin yang masih
terkandung dalam surimi, walaupun telah dilakukan proses pencucian. Menurut Aitken,
et al. (1982), metode sensoris memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannya adalah dapat diaplikasikan pada semua produk, tidak membutuhkan
fasilitas laboratorium lengkap, cepat, tidak merusak sampel untuk diolah lebih lanjut,
dan sesuai dengan kriteria evaluasi yang mampu diterima oleh konsumen, sedangkan
kekurangannya adalah sulit untuk distandarisasi karena penilaian bersifat subjektif. Hal
inilah yang dapat menjadi faktor ketidaksesuaian hasil pengamatan dengan teori yang
ada.
Menurut Winarno (1993), penyimpanan suhu beku harus diperhatikan, apabila surimi
disimpan pada suhu yang kurang tepat, maka mutu surimi tidak dapat dipertahankan.
Kerusakan surimi saat disimpan pada suhu yang kurang tepat seperti perubahan warna
menjadi lebih gelap, timbul bau tidak sedap, surimi menjadi lebih lunak, pecahnya sel
dalam surimi dan menyebabkan keluarnya cairan dari sel. Sewaktu penyimpanan suhu
beku, terjadi perubahan pada protein miofibril seperti berkurangnya kemampuan
mengikat air atau water holding capacity (WHC) sehingga kekuatan gel surimi akan
semakin menurun.
Selain menggunakan bahan utama dari ikan, dalam jurnal berjudul Surimi-like Material
from Poultry Meat and its Potential as Surimi Replacer dikaji bahan daging dari spesies
lain yang berpotensi untuk dijadikan surimi yaitu daging unggas. Daging unggas yang
memiliki kualitas protein hewani yang baik serta rendah lemak dan asam lemak jenuh
dibandingkan dengan red meat maka daging ini memiliki potensi yang lebih tinggi
untuk menjadi pengganti surimi. Selain itu dapat diketahui pula dalam jurnal ini bahwa
untuk melindungi fungsionalitas protein surimi yang didapatkan dari ikan selama
penyimpanan beku, berbagai macam cryoprotectants seperti sukrosa, sorbitol dan
polifosfat yang dicampurkan dengan surimi (Okada, 1995). Sukrosa dan sorbitol
meningkatkan kemampuan membentuk gel, meningkatkan solubilitas protein dan
meminimalisir cooking loss. Sorbitol yang dikombinasikan dengan sukrosa melindungi
myosin dari denaturasi (Konno et al., 1997). Seperti surimi yang dihasilkan dari ikan,
13
surimi dari unggas juga menggunakan cryoprotectant untuk melindungi dari denaturasi
protein.
Dalam jurnal berjudul Effect of Fat Extraction Treatment on The Physicochemical
Properties of Duck Feet Collagen and Its Application in Surimi dilakukan penelitian
mengenai pengaplikasian kolagen dari bebek untuk meningkatkan kualitas surimi
menggunakan metode folding test. Folding test merupakan uji yang sangat subyektif
dan dapat dikenal sebagai uji pendahuluan untuk membedakan kualitas surimi, namun
ketika digunakan untuk menemukan perbedaan karakteristik fungsional pada surimi
seperti kekuatan gel, folding test merupakan uji yang kurang sensitif (Reppond et al.,
1987) Pada tes yang sederhana ini, surimi yang berkualitas tinggi ditunjukkan dengan
tidak adanya retakan (Ramirez et. al, 2011). Hasil dari penelitian ini menunjukkan gel
surimi dari ikan sarden tanpa penambahan kolagen menunjukkan kualitas yang lebih
rendah dibandingkan dengan surimi yang telah diberi kolagen dari kaki bebek serta dari
ikan komersial maupun dari hewan lembu. Lapisan gel surimi dari ikan sarden tanpa
penambahan kolagen menjadi retak ketika ditekuk, namun pada percobaan penekukan
kedua setelah penambahan kolagen tidak didapati adanya patahan/retakan. Banyaknya
kandungan protein myofibrilar pada ikan dengan daging yang gelap menyebabkan ikan
tersebut kurang cocok untuk dijadikan surimi, namun dari hasil analisa menunjukkan
bahwa kolagen mampu meningkatkan kualitas dari surimi yang termasuk kualitas
rendah.
Gel surimi ikan sarden yang diberi penambahan 2% kolagen menunjukkan cooking loss
yang lebih rendah dibandingkan surimi tanpa penambahan kolagen. Hal ini disebabkan
karena sifat kolagen yang mampu menahan lebih banyak air dalam surimi. Menfaat
kolagen dalam bidang pangan yaitu untuk menahan air, pembengkakan dan kekuatan
(Ashgar dan Hendrickson, 1982). Penambahan kolagen juga menyebabkan peningkatan
hardness dari surimi. Pengurangan lemak dan jumlah dari kolagen yang ditambahkan
mempengaruhi tingkat kekerasan dari produk daging karena secara kimiawi air akan
terperangkap dalam matriks protein (Pereira et al., 2011).
14
4. KESIMPULAN
Surimi merupakan konsentrasi protein myofibrillar yang didapatkan dari ikan
tanpa tulang yang dicuci dengan air dingin.
Penambahan es batu bertujuan agar menjaga kesegaran daging ikan dan protein
tidak mengalami denaturasi serta meminimalkan tumbuhnya mikroorganisme
pembusuk karena suhu rendah dapat menginaktivasi enzim-enzim yang
mempercepat kerusakan ikan
Gula ditambahankan sebagai cryoprotectant, yaitu senyawa untuk mencegah
denaturasi protein selama pembekuan
Penambahan garam bertujuan untuk melarutkan protein miofibril agar miosin
mudah berikatan dengan aktin membentuk aktomiosin yang berperan dalam
pembentukan gel.
Tujuan penambahan polifosfat dalam pembuatan surimi yaitu untuk
meningkatkan efek cryoprotectant
Penambahan polifosfat dan sukrosa pada surimi akan mempertahankan pH dan
akan berdampak pada peningkatan WHC.
Tingkat kekenyalan surimi semakin tinggi dengan penambahan polifosfat hingga
0,3%,
Penambahan polifosfat sebanyak 0,5% justru akan mengakibatkan pembentukan
kekuatan gel yang tinggi, sehingga tekstur dari surimi semakin tidak kenyal,
namun semakin keras.
Semarang, 22 September 2015
Praktikan, Asisten Dosen,
-YuSdhiska Bayu S.
Agatha Putri Algustie
13.70.0126
5. DAFTAR PUSTAKA
16
Aitken, A.; I. M. Mackie.; J. H. Merrit & M. L. Windsor. (1982). Fish Handling and Processing 2nd Edition. Ministry of Agriculture, Fisheries, and Food. USA.
Amalia, Z. I. Z. (2002). Studi Pembuatan Kamaboko Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) dengan Berbagai Pencucian dan Jenis Pengikat [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Arpah, M. (1993). Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.
Asghar, A. and Henrickson, R.L. (1982). Chemical, Biochemical, Functional and Nutritional Characteristics of Collagen in Food Systems. In Chichester, C.O. Mrata, E. M. and Schweigert, B. S. (eds.) Advances in Food Research, 28 Academic Press, London, pp 237-273.
Bourtoon T., M.S. Chinnan, P. Jantawat, R. Sanguandeekul. (2009). Recovery and Characterization of proteins precipitated from surimi wash-water. Elsevier J. of Food Sci and Tech. :599-505
Chen H. H.; Chiu E. M. & Huang J. R. (1997). Color and Gel-Forming Properties of Horse Mackerel (Trachurus japonicus) as Related to Washing Conditions. Journal of Food Science. Vol. 62 (5): 985 –991.
Djazuli, N et al. (2009). Modifikasi Teknologi Pengolahan Surimi Dalam Pemanfaatan “By-Catch” Pukat Udang di Laut Arafura. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. Institut Pertanian Bogor.
Fortina, Des. (1996). Pengaruh Penambahan Bahan Pembentuk Flavor, Lama Pelapisan (Coating) dan Lama Pengukusan Terhadap mutu Akhir Daging Rajungan Imitasi dari Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Gaman, P. M & K. B. Sherrington. (1994). Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Haryati S. (2001). Pengaruh lama penyimpanan beku surimi ikan jangilus (Istiophorus sp) terhadap kemampuan pembentukan gel ikan [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Huda, N., A. Aminah and A.S. Babji, (2001). Functional Properties of Surimi Powder from Three Malaysian marine fish. Int. J. Food Sci Technol., 36: 401-406.
Huda, N., R. Abdullah, P. Santana and T.A. Yang. (2012). Effect of droprotectants of
Functional Properties of Threadfin Bream Surimi Powder. J. of Fisheries and
17
Aquatic Sci. (3):215-223
Irianto H. E. & Giyatmi S. (2009). Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Universitas Terbuka. Jakarta.
Ismail I., N. Huda and Fazilah Ariffin. (2011). Surimi-like Material from Poultry Meat and its Potential as Surimi Replacer. Asian J. of Poultry Sci. ISSN 1819-3609
Jafarpour, A.; Habib-Allah H. & Masoud Rez aie. (2012). A Comparative Study on Effect of Egg White, Soy Protein Isolate and Potato Starch on Functional Properties of Common Carp (Cyprinus carpio) Surimi Gel. Journal Food Process Technol 3:190. Iran.
Konno, K., K. Yamanodera and H, Kiuci. (1997). Solubilization of Fish Muscle Myosin by Sorbitol. J. Food Sci., 62:980-984
Kudre T. and Soottawat B. (2013). Effect of Legume Seed Protein Isolates on Autolysis and Gel Properties of Surimi from Sardine (Sardinella albella). Int. J. of Chemical. ISSN: 2320-4087
M. T. Morrissey, J. W. Wu, D. Lin, and H. An, (1993) “Protease inhibitor effects on torsion measurements and autolysis of pacific whiting surimi,” J. Food Sci., vol. 58, pp. 1050-1054.
MacDOnald, G. A. and T.C. Lenier. (1991). Carbohydrates as cryoprotectants for meats and surimi. Food Technol., 45:150-159
Nikki, H., Y. Matsuda and T. Suzuki. (1992). Dried Forms of Surimi. Marcel Dekker
Inc., New York USA
Nopianti, R.; Nurul Huda & Noryanti Ismail. (2011). A Review on The Loss of The Functional Properties of Proteins During Frozen Storage and The Improvement of Gel-forming Properties of Surimi. American Journal of Food Technology Vol. 6 (1): 19-30.
Nurkhoeriyati, T., N. Huda and R. Ahmad. (2010). Surimi-like Material: Challenges and Prospects. Int. Food Res. J., 17:509-517
Okada, M. (1992). History of Surimi Technology in Japan. M.I. Chong (Eds). Marcel
Dekker Inc, New York
18
Park J. W. and T. M. J. Lin, (2005). Surimi Seafood: Products, Market and Manufacturing and Evaluation. CRC Press, Florida.
Park, J. W., & Morrissey, M. T. (2000). Manufacturing of surimi from light muscle fish. In J. W. Park (Ed.), Surimi and surimi seafood (pp. 23–58). New York: Marcel Dekker.
Peranginangin R; Wibowo S; Nuri Y. & Fawza. (1999). Teknologi Pengolahan Surimi. Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta.
Pereira, A.G., Ramos, E.M., Teixeira, J.T., Cardoso, G.P., Ramos, Ade. L. and Fontes, P.R. (2011). Effect of the Addition of Mechanically Deboned Poultry Meat and Collagen Fibers on Quality Characteristics of Frankfurter-type Sausages, Meat Science 89: 519-525.
Ramírez, J.A., Uresti, R.M., Velazquez, G. and Vázquez, M. (2011). Food Hydrocolloids as Additives to Improve the Mechanical and Functional Properties of Fish Products: A Review, Food Hydrocolloids 25: 1842-1852
Reppond, K.D., Edson, S.S., Babbitt, J.K. and Hardy, A. (1987). Observations on the Functional Properties of U.S. Land –Processed Surimi, Journal of Food Science 52(2): 505-506.
Shaviklo, G. R.; Gudjon T. & Sigurjon Arason. (2010). The Influence of Additives and Frozen Storage on Functional Properties and Flow Behaviour of Fish Protein Isolated from Haddock (Melanogrammus aeglefinus). Turkhish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10: 333-340.
Shimizu Y & Toyohara H. (1992). Surimi Production from Fatty and Dark-Fleshed Fish Species. In: Lanier TC, Lee CM, ed. Surimi Technology. Marcel Dekker, Inc. Page.425-442. New York.
Susanto H. & K. Amri. (2000). Budidaya Ikan Patin, Penebar Swadaya, Jakarta.
Tan A. Y., Huda N., Ariffin and Azhar E. (2014). Effect of Fat Extraction Treatment on The Physicochemical Properties of Duck Feet Collagen and Its Application in Surimi. Asia Pacific Journal of Sustainable Agri. Food and Tech. vol 2 (2): 9-16
Tan S. M.; Ng M. C.; Fujiwara T.; Kok K. H. & Hasegawa H. (1988). Handbook on the Processing of Frozen Surimi and Fish Jelly Products in Southeast Asia. Marine Fisheries. Research Department-South East Asia Fisheries Development Center.
19
Trodsen, T., (1998). Blue Whiting Surimi. Fish. Res., 34:1-15
Wibowo, S. (2004). Pembuatan Bakso Ikan dan Daging. Penebar Swadaya, Jakarta.
Winarno F. G. (1993). Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Winarno F. G.; Fardiaz S. & Fardiaz D. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Y. K. Luo, R. Kuwahara, M. Kaneniwa, Y. Murata, and M. Yokoyama. (2004). “ Effects of soy protein isolate on gel properties of Alaska pollock and common carp surimi at different setting conditions,” J. Sci. Food Agric., vol. 84, pp. 663-671
20
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus Perhitungan WHC (mg H2O)
Luas atas = 13
a (ho + 4h1 + 2h2 + 4h3 + ... + hn)
Luas bawah = 13
a (ho + 4h1 + 2h2 + 4h3 + ... + hn)
Luas Area Basah = LA - LB
mg H2O = luas areabasah−8,0
0,0948
Kelompok A1
a = 60 mm h1 atas = 185 mm h1 bawah = 35 mm
ho = 99 mm h2 atas = 200 mm h2 bawah = 16 mm
hn = 120 mm h3 atas = 182 mm h3 bawah = 24 mm
Luas atas = 13
x 60 (99 + 4(185) + 2(200) + 4(182) + 120)
= 20 (99 + 740 + 400 + 728 + 120)
= 41.740 mm2
Luas bawah = 13
x 60 (99 + 4(35) + 2(16) + 4(24) + 120)
= 20 (99 + 140 + 32 + 96 +120)
= 9.740 mm2
Luas Area Basah = 41.740 – 9,740
= 32.000 mm2
mg H2O = 32.000−8,0
0,0948 = 337.468,35 mg
Kelompok A2
a = 40 mm h1 atas = 172 mm h1 bawah = 19 mm
ho = 79 mm h2 atas = 176 mm h2 bawah = 8 mm
hn = 107 mm h3 atas = 148 mm h3 bawah = 16 mm
Luas atas = 13
x 40 (79 + 4(172) + 2(176) + 4(148) + 107)
21
= 403
(79 + 688 + 352 + 592 + 107)
= 24.240 mm2
Luas bawah = 13
x 40 (79 + 4(19) + 2(8) + 4(16) + 107)
= 403
(79 + 76 + 16 + 64 +107)
= 4.560 mm2
Luas Area Basah = 24.240 – 4.560
= 19.680 mm2
mg H2O = 19.680−8,0
0,0948 = 207.510,55 mg
Kelompok A3
a = 45 mm h1 atas = 173 mm h1 bawah = 24 mm
ho = 87 mm h2 atas = 192 mm h2 bawah = 10 mm
hn = 60 mm h3 atas = 172 mm h3 bawah = 23 mm
Luas atas = 13
x 45 (87 + 4(173) + 2(192) + 4(172) + 60)
= 15 (87 + 692 + 384 + 688 + 60)
= 28.665 mm2
Luas bawah = 13
x 45 (87 + 4(24) + 2(10) + 4(23) + 60)
= 15 (87 + 96 + 20 + 92 +60)
= 5.325 mm2
Luas Area Basah = 28.665 – 5.325
= 23.340 mm2
mg H2O = 23.340−8,0
0,0948 = 246.118,14 mg
Kelompok A4
a = 45 mm h1 atas = 161 mm h1 bawah = 14 mm
ho = 75 mm h2 atas = 178 mm h2 bawah = 7 mm
hn = 90 mm h3 atas = 153 mm h3 bawah = 10 mm
Luas atas = 13
x 45 (75 + 4(161) + 2(178) + 4(153) + 90)
22
= 15 (75 + 644 + 356 + 612 + 90)
= 26.655 mm2
Luas bawah = 13
x 45 (75 + 4(14) + 2(7) + 4(10) + 90)
= 15 (75 + 56 + 14 + 40 + 90)
= 4.125 mm2
Luas Area Basah = 26.655 – 4.125
= 22.530 mm2
mg H2O = 22.530−8,0
0,0948 = 237.573,84 mg
Kelompok A5
a = 40 mm h1 atas = 154 mm h1 bawah = 33 mm
ho = 75 mm h2 atas = 196 mm h2 bawah = 3 mm
hn = 99 mm h3 atas = 169 mm h3 bawah = 13 mm
Luas atas = 13
x 40 (75 + 4(154) + 2(196) + 4(169) + 99)
= 403
(75 + 616 + 392 + 676 + 99)
= 24.773,33 mm2
Luas bawah = 13
x 40 (75 + 4(33) + 2(3) + 4(13) + 99)
= 403
(75 + 132 + 6 + 52 + 99)
= 4.853,33 mm2
Luas Area Basah = 24.773,33 – 4.853,33
= 19.920 mm2
mg H2O = 1.992−8,0
0,0948 = 210.042,19 mg
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal
23