surimi_Agatha Putri_13.70.0126_A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

33
1. MATERI METODE 1.1. Materi 1.1.1. Alat Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini yaitu pisau, kain saring, texture analyzer, blender. 1.1.2. Bahan Bahan – bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah ikan patin, garam, gula pasir, polifosfat, es batu. 1.2. Metode 1 Ikan dicuci bersih dengan air mengalir dan ditimbang Daging ikan di-fillet dengan memisahkan bagian kepala, sirip, ekor, sisik, kulit, dan bagian perutnya, kemudian Daging ikan digiling hingga halus dan selama penggilingan dapat ditambahkan es batu untuk menjaga suhu tetap Daging ikan dicuci dengan air es sebanyak 3 kali lalu disaring dengan menggunakan kertas saring. Residu ditambahkan dengan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok A1 dan A2) dan 5% (kelompok A3, A4, dan A5)

description

surimi merupakan produk antara yang menjadi bahan baku untuk produk seafood seperti bakso ikan dll

Transcript of surimi_Agatha Putri_13.70.0126_A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1. MATERI METODE

1.1. Materi

1.1.1. Alat

Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini yaitu pisau, kain saring, texture

analyzer, blender.

1.1.2. Bahan

Bahan – bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah ikan patin,

garam, gula pasir, polifosfat, es batu.

1.2. Metode

1

Ikan dicuci bersih dengan air mengalir dan ditimbang beratnya

Daging ikan di-fillet dengan memisahkan bagian kepala, sirip, ekor, sisik, kulit, dan

bagian perutnya, kemudian diambil bagian daging putih sebanyak 100 gram.

Daging ikan digiling hingga halus dan selama penggilingan dapat ditambahkan es

batu untuk menjaga suhu tetap rendah.

Daging ikan dicuci dengan air es sebanyak 3 kali lalu disaring dengan menggunakan

kertas saring.

Residu ditambahkan dengan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok A1 dan A2) dan 5%

(kelompok A3, A4, dan A5)

2

Ditambahkan garam sebanyak 2,5% (semua kelompok), dan polifosfat sebanyak 0,1%

(kelompok A1), 0,3% (kelompok A2 dan A3), dan 0,5% (kelompok A4 dan A5).

Dilakukan uji pengukuran WHC pada surimi, dimana surimi beku dipipihkan

menggunakan alat penekan (presser)

Dimasukkan dalam plastik dan dibekukan dalam freezer selama semalam.

Surimi di-thawing lalu diukur hardness menggunakan texture analyzer

Ditambahkan garam sebanyak 2,5% (semua kelompok), dan polifosfat sebanyak 0,1%

(kelompok A1), 0,3% (kelompok A2 dan A3), dan 0,5% (kelompok A4 dan A5).

3

Dilakukan uji sensoris pada surimi yang meliputi kekenyalan dan aroma.

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan surimi berdasarkan hardness, WHC, serta uji sensori dapat dilihat

pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengukuran surimi

Kelompok PerlakuanHardness

(gf)

WHC

(mg H2O)

Sensoris

Kekenyalan Aroma

A1

Sukrosa 2,5% +

garam 2,5% +

polifosfat 0,1%

- 337.468,35 +++ +++

A2

Sukrosa 2,5% +

garam 2,5% +

polifosfat 0,3%

361,64 207.510,55 ++ ++

A3

Sukrosa 5% +

garam 2,5% +

polifosfat 0,3%

271,72 246.118,14 ++ ++

A4

Sukrosa 5% +

garam 2,5% +

polifosfat 0,5%

105,85 237.573,84 ++ ++

A5

Sukrosa 5% +

garam 2,5% +

polifosfat 0,5%

143,79 210.042,19 ++ ++

Keterangan:Kekenyalan Aroma+ : Tidak kenyal + : Tidak amis++ : Kenyal ++ : Amis+++ : Sangat Kenyal +++ : Sangat amis

Dari hasil pengamatan di atas dapat diketahui pada sampel kelompok A1 dengan

penambahan sukrosa, garam dan polifosfat masing-masing sebesar 2,5%, 2,5% dan

0,1% nilai hardness (gf) tidak terdeteksi namun memiliki nilai WHC tertinggi yaitu

337.468,35 mg H2O serta menghasilkan surimi yang sangat kenyal dan aroma yang

sangat amis. Sedangkan pada kelompok A2, A3,A4 dan A5 dengan perlakuannya

masing-masing menghasilkan surimi yang kenyal dan beraroma amis. Nilai hardness

4

tertinggi terdapat pada sampel kelompok A2 yaitu 361,64 gf dengan perlakuan

penambahan sukrosa, garam dan polifosfat masing-masing sebanyak 2,5%, 2,5% dan

5%, sedangkan terendah pada sampel A4 yaitu 105,85 gf dengan perlakuan penambahan

sukrosa, garam dan polifosfat masing-masing sebanyak 5%, 2,5% dan 0,5%. Nilai

WHC tertinggi terdapat pada sampel A1 sedangkan terendah pada sampel kelompok A2

yaitu 207.510,55 mg H2O.

5

3. PEMBAHASAN

Park & Morrissey (2000) dalam jurnal berjudul “Recovery and Characterization of

Proteins Precipitated from Surimi Wash-water” menjelaskan bahwa surimi merupakan

konsentrasi protein myofibrillar yang didapatkan dari ikan tanpa tulang yang dicuci

dengan air dingin. Peranginangin, et al. (1999) mengatakan bahwa surimi adalah daging

ikan yang dilumatkan, dibersihkan, dan dicuci berulang-ulang, sehingga sebagian besar

komponen bau, darah, pigmen dan lemak hilang. Dalam penyimpanannya, surimi harus

disimpan beku dan ditambahkan bahan antidenaturasi atau cryoprotectant. Menurut

Okada (1992) dalam jurnal berjudul Effects of Different Dryoprotectants on Functional

Properties of Threadfin Bream Surimi Powder surimi merupakan protein myifibrilar

yang diektstrak dari jaringan ikan yang telah digiling dan dicuci menggunakan air lalu

disimpan dalam keadaan beku. Surimi dikenal sebagai produk yang rendah lemak serta

dengan kemampuan pembentukan gel yang unik maka surimi banyak digunakan sebagai

bahan utama pembuatan berbagai produk seafood (Park dan Lin, 2005)

Pada praktikum ini bahan utama yang sigunakan untuk membuat surimi yaitu ikan

patin. Ikan patin merupakan golongan ikan lele (catfish). Habitat ikan patin adalah di

sungai-sungau yang tersebar di Kalimantan, Sumatera dan Jawa. Ikan ini telah tersebar

luas dan telah dibudidayakan di seluruh dunia. Meningkatnya jumlah ikan patin hasil

budidaya (Pangasius sutchi) diharapkan dapat menjadi alternatif sumber protein hewani

(Susanto dan Amri, 2000)

Langkah awal yang dilakukan yaitu mencuci bersih ikan dengan air mengalir lalu

ditimbang beratnya. Selanjutnya memisahakan daging ikan dengan bagian kepala, sirip,

ekor, sisik isi perut dan kulit ikan. Fortina (1996) menjelaskan bahwa tahap ini

merupakan tahap yang penting karena bagian yang tidak diperlukan pada pembuatan

surimi, seperti kepala dan isi perut mengandung minyak dan lemak yang cukup tinggi

dan dapat menyebabkan terjadinya reaksi hidrolisis pada produk surimi. Sedangkan

pencucian ikan perlu dilakukan untuk menghilangkan komponen larut air, lemak dan

darah, serta dapat meningkatkan kekuatan gel dan memperbaiki penampakan (Amalia,

2002).

6

Daging putih ikan kemudian diambil sebanyak 100 gram lalu digiling hingga halus, Es

batu ditambahkan selama penggilingan untuk menjaga suhu tetap rendah. Proses

penggilingan dilakukan untuk memperluas permukaan daging ikan, sehingga

penyerapan bahan-bahan lain lebih mudah dan optimal sesuai teori Arpah (1993).

Penambahan es batu bertujuan agar menjaga kesegaran daging ikan dan protein tidak

mengalami denaturasi serta meminimalkan tumbuhnya mikroorganisme pembusuk

karena suhu rendah dapat menginaktivasi enzim-enzim yang mempercepat kerusakan

ikan (Gaman & Sherrington, 1994). Oleh karena itu tahap penambahan es batu untuk

menjaga suhu tetap rendah merupakan langkah yang sangat penting.

Langkah selanjutnya yaitu mencuci daging ikan dengan air es sebanyak 3 kali dengan

menyaring sampel menggunakan kain saring. Nopianti, et al., (2011) menjelaskan

bahwa proses ini mempengaruhi kualitas surimi karena dapat menghilangkan lemak,

darah, pigmen, dan komponen penyebab bau, selain itu pencucian juga dapat membuat

peningkatan kemampuan dari konsentrasi protein miofibril dan memperbaiki

kemampuan pembentukan gel. Penggunaan air dalam keadaan dingin saat pencucian

juga bertujuan agar meminimalisir kerusakan ikan.

Selanjutnya setelah disaring, daging ikan ditambahkan dengan sukrosa, garam dan

polofosfat yang bervariasi setiap kelompok. Pada kelompok A1, dan A2 ditambahkan

sebanyak 2,5%; pada kelompok A3, A4, dan A5 ditambahkan sukrosa sebesar 5% dari

berat daging ikan, lalu ditambahkan pula garam sebesar 2,5% dari berat daging pada

semua kelompok dan dilakukan penambahan polifosfat sebanyak 0,1% pada kelompok

A1; pada kelompok A2 dan A3ditambahkan sebanyak 0,3%; sedangkan pada kelompok

A4 dan A5 ditambahkan sebesar 0,5% dari berat daging ikan. lalu dicampurkan hingga

merata. Dalam jurnal berjudul Effects of Different Dryoprotectants on Functional

Properties of Threadfin Bream Surimi Powder dikatakan ketika surimi diproduksi

untuk dijadikan balok beku, gula ditambahankan sebagai cryoprotectant untuk

mencegah denaturasi protein selama pembekuan. Pada pembuatan surimi bubuk juga

diperlukan penambahan gula sebagai drioprotektan (dryoprotectant) untuk melindungi

protein selama proses pengeringan (Huda et al., 2001) Sedangkan penambahan garam

bertujuan untuk melarutkan protein miofibri agar miosin mudah berikatan dengan aktin

7

membentuk aktomiosin yang berperan dalam pembentukan gel. Oleh karena dilakukan

penambahan garam, maka jenis surimi yang dibuat pada praktikum ini adalah jenis

surimi ka-en. Penambahan garam sebanyak 2,5% juga sesuai dengan teori Tan, et al.

(1988) dan Shimizu & Toyohara (1992) yang menyatakan bahwa konsentrasi garam

yang paling umum digunakan untuk membuat produk surimi adalah 2-3%. Sedangkan

menurut teori Wibowo (2004) tujuan penambahan garam adalah untuk mempercepat

keluarnya air pada surimi agar surimi tidak cepat rusak dan memiliki umur simpan yang

lebih lama.

Penambahan garam bertujuan untuk melepaskan miosin dari serat-serat ikan yang

sangat penting untuk pembentukan gel yang kuat. Pembentukan gel tersebut akan

mempengaruhi dari WHC surimi itu sendiri. Penggunaan garam juga berfungsi sebagai

bahan pelarut protein miofibril. Apabila konsentrasi garam yang ditambahkan kurang

dari 2% maka protein miofibril tidak dapat larut, sedangkan apabila konsentrasi garam

yang ditambahkan lebih dari 12% maka protein miofibril akan terhidrasi dan

menyebabkan salting out. Konsentrasi garam yang umumnya digunakan untuk

membuat surimi adalah 2% hingga 3% (Jafarpour & Gorezyea, 2009).

Polifosfat yang digunakan dalam pembuatan surimi adalah natrium tripolifosfat (STTP).

Polifosfat akan memisahkan aktomiosin dan berikatan dengan miosin. Miosin dan

poliposfat akan berikatan dengan air dan menahan mineral serta vitamin. Pada proses

pemasakan, miosin akan membentuk gel dan polifosfat membantu menahan air dengan

menutup pori-pori mikroskopis dan kapiler (Haryati, 2001). Menurut Shaviklo, et al.

(2010), tujuan penambahan polifosfat dalam pembuatan surimi yaitu untuk

meningkatkan efek cryoprotectant, karena polifosfat dapat memberi efek buffer pada

pH daging ikan dan sebagai agen pengkelat atau pengikat ion logam. Perbedaan

konsentrasi sukrosa dan polifosfat pada masing-masing kelompok dilakukan untuk

mengetahui konsentrasi tepat yang menghasilkan surimi paling baik dan hubungan

antara konsentrasi bahan tambahan dengan karakteristik surimi.

Sampel yang terbentuk kemuudian disimpan dalam plastik dan dibekukan dalam freezer

selama 1 malam. Dalam jurnal berjudul Surimi-like Material from Poultry Meat and its

Potential as Surimi Replacer, dapat dipelajari bahwa gula dan sorbitol banyak

8

digunakan sebagai freezing stabilizer (cryoprotektor) untuk menjaga kualitas surimi

selama penyimpanan dalam kondisi beku dan lama. Banyaknya cryoprotectant

menyebabkan rasa manis pada produk akhir olahan surimi (Trodsen, 1998). Saat ini

karena terjadi peningkatan kewaspadaan akan kesehatan konsumen maka presentase

gula dalam cryoprotectant telah dikurangi 6% (3% sukrosa dan 3% sorbitol). Meskipun

produksi surimi biasanya didapatkan dari ikan mentah, namun terdapat juga produksi

surimi yang menggunakan spesies lain selain ikan sebagai bahan utama (Nurkhoeriyati

et al., 2010).

Penyimpanan beku merupakan tahapan yang sangat penting dalam pembuatan surimi

karena tahap ini memberikan perubahan yang signifikan pada karakteristik fungsional

dari protein surimi seperti kemampuan membentuk gel, kemampuan water retention,

dan kelarutan protein. Penurunan dari fungsionalitas terjadi karena denaturasi protein

akibat pendinginan yang menyebabkan peningkatan konsentrasi terlarut dan dehidrasi

favor yang keduanya berkontribusi terhadap denaturasi protein (MacDonald dan Lanier,

1991). Setelah itu surimi di-thawing dan diukur hardness, WHC (water holding

capacity) dan kualitas sensorisnya meliputi keknyalan dan aroma.

Selain melalui metode yang dilakukan dalam praktikum ini, dalam jurnal berjudul

Effects of Different Dryoprotectants on Functional Properties of Threadfin Bream

Surimi Powder dapat kita ketahui bahwa terdapat metode lain untuk mendapatkan

surimi selain dalam bentuk padatan, yaitu dalam bentuk serbuk. Perlengkapan

pembekuan untuk surimi merupakan hal yang sangat penting untuk menjaga kualitas

dari surimi. Namun biaya yang dibutuhkan juga sangat banyak sehingga mulai

dikembangkan surimi dalam bentuk kering yang dapat menjadi opsi untuk mengurangi

biaya serta mempermudah pendistribusian karena tidak memerlukan penyimpanan beku.

Kualitas dari bubuk surimi yang masih dapat diterima juga masih memiliki keuntungan

lain yaitu kemudahan dalam penanganan dan kemampuan untuk dicampurkan dalam

bahan-bahan kering (Nikki et al., 1992). Kesimpulan dari penelitian ini yaitu bahwa

drioprotektan memainkan peranan penting dalam menjaga komponen fungsional bubuk

surimi terhadap denaturasi akiban panas yang terjadi saat proses pengeringan. Namun

keberadaan drioprotektan tidak meberikan pengaruh pada WHC dari bubuk surimi.

9

WHC (Water Holding Capacity) merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi

produk seperti surimi yang akan berdampak secara ekonomi maupun kualitas produk

akhir itu sendiri. Djazuli, N et al (2009) mengungkapkan bahwa uji daya ikat air atau

WHC bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan bahan untuk mengikat

molekul air. Interaksi protein-air terutama daya ikat air sangat berperan dalam

pembentukan gel. Tekstur gel akan semakin baik apabila daya serap air semakin baik

pula. Berdasarkan hasil pengamatan, nilai WHC yang didapat pada masing-masing

kelompok berbeda-beda. Nilai WHC terendah terjadi pada surimi kelompok A2, yaitu

sebesar 207.510,55 mg H2O, sedangkan nilai WHC tertinggi diperoleh pada surimi

kelompok A1, yaitu sebesar 337.468,35 mg H2O. Perbedaan perlakuan pada kedua

kelompok tersebut yaitu konsentrasi pemberian polifosfat. Pada kelompok A2 polifosfat

yang ditambahkan yaitu 0,3% sedangkan pada A1 hanya 0,1% namun keduanya

memiliki konsentrasi penambahan sukrosa dan garam yang sama. Hal ini tidak sesuai

dengan teori Shaviklo, et al. (2010) yang mengatakan penambahan polifosfat pada

daging giling lumat akan mempertahankan pH dan akan berdampak pada peningkatan

WHC. Apabila dilihat dari konsentrasi sukrosa yang ditambahkan pada sampel tiap

kelompok dapat diamati tidak ada kesesuaian antara semakin banyaknya sukrosa yang

ditambahkan dengan peningkatan ataupun penurunan WHC. Shaviklo, et al. (2010)

menambahkan pula bahwa penambahan sukrosa dan garam secara bersamaan

seharusnya dapat meningkatkan WHC, sehingga nilai WHC tertinggi seharusnya

dimiliki surimi pada kelompok A4 dan A5. Nilai WHC pada praktikum ini

menunjukkan besarnya kemampuan sukrosa dalam mengikat air pada produk surimi.

Pernyataan ini didukung oleh Winarno, et al. (1980) yang mengatakan penambahan

sukrosa dapat berpengaruh terhadap WHC, dimana semakin banyak sukrosa yang

ditambahkan maka WHC akan semakin tinggi. Penggunaan sukrosa dalam pembuatan

produk surimi bertujuan sebagai pelindung protein, dimana dapat mencegah denaturasi

protein selama masa pembekuan. Sukrosa dapat berperan sebagai agen untuk

menghambat pertumbuhan mikroorganisme karena sifat sukrosa yang dapat mengikat

air sehingga menurunkan kadar Aw. Ketidaksesuaian hasil pengamatan dengan teori

disebabkan karena tekanan dan waktu pemberian pressing pada surimi masing-masing

kelompok berbeda dan ketidaktepatan konsentrasi dalam penambahan garam, sukrosa

maupun polifosfat.

10

Pada uji sensoris parameter yang diukur meliputi kekenyalan dan aroma. Semakin

kenyal surimi, maka kualitas yang dihasilkan akan semakin bagus. Dari hasil

pengamatan dapat diketahui perbedaan hasil uji sensoris hanya terdapat pada kelompok

A1 yaitu perlakuan sukrosa 2,5% + garam 2,5% dan polifosfat 0,1% yang menghasilkan

surimi yang sangat kenyal (+++) dan aroma yang sangat amis (+++). Sedangkan hasil

uji sensoris pada sampel dari kelompok A2, A3, A4 dan A5 memiliki hasil yang sama

yaitu menghasilkan surimi yang kenyal (++) dan aroma amis (++). Nopianti, et al.

(2011) menjelaskan bahwa fosfat merupakan komponen alami yang terdiri dari garam

fosfor dan mineral lain. Komponen fosfat sodium tripolyphosphate (STTP), sodium

pyrophosphate (SPP), sodium hexametaphosphate (SHMP), dan tetrasodium

pyrophosphate (TSP) sering digunakan dalam produk surimi. Penggunaan fosfat

berfungsi untuk meningkatkan retensi air dan juga kemampuan untuk menyerap kembali

cairan saat surimi di thawing.

Nopianti, et al. (2011) menambahkan bahwa berdasarkan tingkat kekenyalannya,

semakin tinggi penambahan polifosfat hingga 0,3%, maka surimi yang dihasilkan

semakin kenyal karena senyawa fosfat dapat meningkatkan pH yang berdampak

membaiknya pembentukan gel, hal ini disebabkan karena peningkatan kemampuan daya

ikat air umumnya terjadi pada pH yang tinggi, sedangkan penambahan polifosfat

sebanyak 0,5% justru akan mengakibatkan pembentukan kekuatan gel yang tinggi,

sehingga tekstur dari surimi semakin tidak kenyal, namun semakin keras. Hal ini kurang

sesuai dengan hasil pengamatan yang diperoleh karena pada kelompok A2 dan A3 yang

memiliki penambahan polifosfat 0,3% memiliki tingkat kekenyalan yang sama dengan

sampel A4 dan A5 yang memiliki penambahan polifosfat 0,5%.

Selain itu ditinjau dari pengamatan berdasarkan parameter hardness dapat diketahui

pada surimi kelompok A1 nilai hardness tidak terdeteksi karena surimi yang dihasilkan

terlalu encer sehingga tidak dapat dideteksi oleh texture analyzer. Pada pengamatan

surimi kelompok A2 dengan penambahan polifosfat 0,3% nilai hardness sangat tinggi

yaitu 361,64 gf yang berkorelasi pada WHC yang paling rendah dibandingkan

kelompok lain. Sedangkan pada kelompok A4 dan A5 dengan penambahan polifosfat

sebanyak 0,5% memiliki nilai hardness yang cukup rendah yaitu sekitar 105-143 gf. Hal

ini kurang sesuai dengan teori Nopianti, et al. (2011) yang menyatakan penambahan

11

polifosfat sebanyak 0,5% justru akan mengakibatkan pembentukan kekuatan gel yang

tinggi, sehingga tekstur dari surimi semakin tidak kenyal, namun semakin keras. Dari

tabel hasil pengamatan juga dapat diamati bahwa semakin tinggi nilai WHC nilai

hardnessnya semakin rendah karena tingginya penyerapan air menyebabkan tekstur

menjadi lembek.

Chen, et al. (1997) mengungkapkan bahwa kekuatan gel dan kekenyalan yang menurun

pada praktikum kemungkinan disebabkan karena oksidasi yang mempercepat perubahan

ikatan kimia, termasuk diantaranya ikatan sulfida dan menyebabkan denaturasi protein.

Selain itu, ketidaksesuaian hasil dengan teori dan pada masing-masing kelompok yang

menggunakan polifosfat dalam jumlah yang sama dapat terjadi dikarenakan

penimbangan polifosfat yang tidak akurat, sehingga mempengaruhi tingkat kekenyalan

surimi.

Dalam jurnal berjudul Effect of Legume Seed Protein Isolates on Autolysis and Gel

Properties of Surimi from Sardine (Sardinella albella) dapat kita pelajari bahwa adanya

disintegrasi proteolitik dari protein myofibrial menghambat sifat pembentukan gel dari

surimi karena pemecahan dari protein myofibrial dapat menghambat pembentukan

ikatan gel 3 dimensi (Momissey et al., 1993). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa

ekstrak dai biji-bijan legume mengandung inhibitor tripsin yang dapat menhambat

aktivitas protease pada otot ikan dan surimi (Luo et al., 2004).

Parameter uji sensori yang kedua adalah aroma amis. Bau amis pada surimi timbul

karena adanya reaksi oksidasi pada ikan yang menyebabkan asam lemak berubah

menjadi off-flavor dan dapat dihilangkan pada saat tahap pencucian (Peranginangin, et

al., 1999). Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi

penambahan sukrosa dan polifosfat, maka surimi yang dihasilkan semakin tidak berbau

amis. Bau amis yang ditimbulkan dapat terjadi karena proses pencucian yang kurang

sempurna. Menurut Irianto dan Giatmi (2009), perlakuan pencucian seharusnya dapat

menghilangkan bau / aroma yang tidak diinginkan yang disebabkan oleh senyawa

trimetilamin (salah satu senyawa utama pembentuk flavor/ aroma pada ikan).

Peranginangin et al. (1999) juga mengatakan bahwa surimi adalah daging lumat yang

dibersihkan dan dicuci berulang-ulang sehingga sebagian besar komponen bau, darah,

12

pigmen dan lemak hilang. Semakin tingginya konsentrasi sukrosa dan polifosfat

sebenarnya tidak mempengaruhi aroma surimi, namun bau amis yang terjadi pada

surimi kelompok A1 – A5 dikontribusi oleh senyawa trimetilamin yang masih

terkandung dalam surimi, walaupun telah dilakukan proses pencucian. Menurut Aitken,

et al. (1982), metode sensoris memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan.

Kelebihannya adalah dapat diaplikasikan pada semua produk, tidak membutuhkan

fasilitas laboratorium lengkap, cepat, tidak merusak sampel untuk diolah lebih lanjut,

dan sesuai dengan kriteria evaluasi yang mampu diterima oleh konsumen, sedangkan

kekurangannya adalah sulit untuk distandarisasi karena penilaian bersifat subjektif. Hal

inilah yang dapat menjadi faktor ketidaksesuaian hasil pengamatan dengan teori yang

ada.

Menurut Winarno (1993), penyimpanan suhu beku harus diperhatikan, apabila surimi

disimpan pada suhu yang kurang tepat, maka mutu surimi tidak dapat dipertahankan.

Kerusakan surimi saat disimpan pada suhu yang kurang tepat seperti perubahan warna

menjadi lebih gelap, timbul bau tidak sedap, surimi menjadi lebih lunak, pecahnya sel

dalam surimi dan menyebabkan keluarnya cairan dari sel. Sewaktu penyimpanan suhu

beku, terjadi perubahan pada protein miofibril seperti berkurangnya kemampuan

mengikat air atau water holding capacity (WHC) sehingga kekuatan gel surimi akan

semakin menurun.

Selain menggunakan bahan utama dari ikan, dalam jurnal berjudul Surimi-like Material

from Poultry Meat and its Potential as Surimi Replacer dikaji bahan daging dari spesies

lain yang berpotensi untuk dijadikan surimi yaitu daging unggas. Daging unggas yang

memiliki kualitas protein hewani yang baik serta rendah lemak dan asam lemak jenuh

dibandingkan dengan red meat maka daging ini memiliki potensi yang lebih tinggi

untuk menjadi pengganti surimi. Selain itu dapat diketahui pula dalam jurnal ini bahwa

untuk melindungi fungsionalitas protein surimi yang didapatkan dari ikan selama

penyimpanan beku, berbagai macam cryoprotectants seperti sukrosa, sorbitol dan

polifosfat yang dicampurkan dengan surimi (Okada, 1995). Sukrosa dan sorbitol

meningkatkan kemampuan membentuk gel, meningkatkan solubilitas protein dan

meminimalisir cooking loss. Sorbitol yang dikombinasikan dengan sukrosa melindungi

myosin dari denaturasi (Konno et al., 1997). Seperti surimi yang dihasilkan dari ikan,

13

surimi dari unggas juga menggunakan cryoprotectant untuk melindungi dari denaturasi

protein.

Dalam jurnal berjudul Effect of Fat Extraction Treatment on The Physicochemical

Properties of Duck Feet Collagen and Its Application in Surimi dilakukan penelitian

mengenai pengaplikasian kolagen dari bebek untuk meningkatkan kualitas surimi

menggunakan metode folding test. Folding test merupakan uji yang sangat subyektif

dan dapat dikenal sebagai uji pendahuluan untuk membedakan kualitas surimi, namun

ketika digunakan untuk menemukan perbedaan karakteristik fungsional pada surimi

seperti kekuatan gel, folding test merupakan uji yang kurang sensitif (Reppond et al.,

1987) Pada tes yang sederhana ini, surimi yang berkualitas tinggi ditunjukkan dengan

tidak adanya retakan (Ramirez et. al, 2011). Hasil dari penelitian ini menunjukkan gel

surimi dari ikan sarden tanpa penambahan kolagen menunjukkan kualitas yang lebih

rendah dibandingkan dengan surimi yang telah diberi kolagen dari kaki bebek serta dari

ikan komersial maupun dari hewan lembu. Lapisan gel surimi dari ikan sarden tanpa

penambahan kolagen menjadi retak ketika ditekuk, namun pada percobaan penekukan

kedua setelah penambahan kolagen tidak didapati adanya patahan/retakan. Banyaknya

kandungan protein myofibrilar pada ikan dengan daging yang gelap menyebabkan ikan

tersebut kurang cocok untuk dijadikan surimi, namun dari hasil analisa menunjukkan

bahwa kolagen mampu meningkatkan kualitas dari surimi yang termasuk kualitas

rendah.

Gel surimi ikan sarden yang diberi penambahan 2% kolagen menunjukkan cooking loss

yang lebih rendah dibandingkan surimi tanpa penambahan kolagen. Hal ini disebabkan

karena sifat kolagen yang mampu menahan lebih banyak air dalam surimi. Menfaat

kolagen dalam bidang pangan yaitu untuk menahan air, pembengkakan dan kekuatan

(Ashgar dan Hendrickson, 1982). Penambahan kolagen juga menyebabkan peningkatan

hardness dari surimi. Pengurangan lemak dan jumlah dari kolagen yang ditambahkan

mempengaruhi tingkat kekerasan dari produk daging karena secara kimiawi air akan

terperangkap dalam matriks protein (Pereira et al., 2011).

14

15

4. KESIMPULAN

Surimi merupakan konsentrasi protein myofibrillar yang didapatkan dari ikan

tanpa tulang yang dicuci dengan air dingin.

Penambahan es batu bertujuan agar menjaga kesegaran daging ikan dan protein

tidak mengalami denaturasi serta meminimalkan tumbuhnya mikroorganisme

pembusuk karena suhu rendah dapat menginaktivasi enzim-enzim yang

mempercepat kerusakan ikan

Gula ditambahankan sebagai cryoprotectant, yaitu senyawa untuk mencegah

denaturasi protein selama pembekuan

Penambahan garam bertujuan untuk melarutkan protein miofibril agar miosin

mudah berikatan dengan aktin membentuk aktomiosin yang berperan dalam

pembentukan gel.

Tujuan penambahan polifosfat dalam pembuatan surimi yaitu untuk

meningkatkan efek cryoprotectant

Penambahan polifosfat dan sukrosa pada surimi akan mempertahankan pH dan

akan berdampak pada peningkatan WHC.

Tingkat kekenyalan surimi semakin tinggi dengan penambahan polifosfat hingga

0,3%,

Penambahan polifosfat sebanyak 0,5% justru akan mengakibatkan pembentukan

kekuatan gel yang tinggi, sehingga tekstur dari surimi semakin tidak kenyal,

namun semakin keras.

Semarang, 22 September 2015

Praktikan, Asisten Dosen,

-YuSdhiska Bayu S.

Agatha Putri Algustie

13.70.0126

5. DAFTAR PUSTAKA

16

Aitken, A.; I. M. Mackie.; J. H. Merrit & M. L. Windsor. (1982). Fish Handling and Processing 2nd Edition. Ministry of Agriculture, Fisheries, and Food. USA.

Amalia, Z. I. Z. (2002). Studi Pembuatan Kamaboko Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) dengan Berbagai Pencucian dan Jenis Pengikat [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Arpah, M. (1993). Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.

Asghar, A. and Henrickson, R.L. (1982). Chemical, Biochemical, Functional and Nutritional Characteristics of Collagen in Food Systems. In Chichester, C.O. Mrata, E. M. and Schweigert, B. S. (eds.) Advances in Food Research, 28 Academic Press, London, pp 237-273.

Bourtoon T., M.S. Chinnan, P. Jantawat, R. Sanguandeekul. (2009). Recovery and Characterization of proteins precipitated from surimi wash-water. Elsevier J. of Food Sci and Tech. :599-505

Chen H. H.; Chiu E. M. & Huang J. R. (1997). Color and Gel-Forming Properties of Horse Mackerel (Trachurus japonicus) as Related to Washing Conditions. Journal of Food Science. Vol. 62 (5): 985 –991.

Djazuli, N et al. (2009). Modifikasi Teknologi Pengolahan Surimi Dalam Pemanfaatan “By-Catch” Pukat Udang di Laut Arafura. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. Institut Pertanian Bogor.

Fortina, Des. (1996). Pengaruh Penambahan Bahan Pembentuk Flavor, Lama Pelapisan (Coating) dan Lama Pengukusan Terhadap mutu Akhir Daging Rajungan Imitasi dari Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Gaman, P. M & K. B. Sherrington. (1994). Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Haryati S. (2001). Pengaruh lama penyimpanan beku surimi ikan jangilus (Istiophorus sp) terhadap kemampuan pembentukan gel ikan [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Huda, N., A. Aminah and A.S. Babji, (2001). Functional Properties of Surimi Powder from Three Malaysian marine fish. Int. J. Food Sci Technol., 36: 401-406.

Huda, N., R. Abdullah, P. Santana and T.A. Yang. (2012). Effect of droprotectants of

Functional Properties of Threadfin Bream Surimi Powder. J. of Fisheries and

17

Aquatic Sci. (3):215-223

Irianto H. E. & Giyatmi S. (2009). Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Universitas Terbuka. Jakarta.

Ismail I., N. Huda and Fazilah Ariffin. (2011). Surimi-like Material from Poultry Meat and its Potential as Surimi Replacer. Asian J. of Poultry Sci. ISSN 1819-3609

Jafarpour, A.; Habib-Allah H. & Masoud Rez aie. (2012). A Comparative Study on Effect of Egg White, Soy Protein Isolate and Potato Starch on Functional Properties of Common Carp (Cyprinus carpio) Surimi Gel. Journal Food Process Technol 3:190. Iran.

Konno, K., K. Yamanodera and H, Kiuci. (1997). Solubilization of Fish Muscle Myosin by Sorbitol. J. Food Sci., 62:980-984

Kudre T. and Soottawat B. (2013). Effect of Legume Seed Protein Isolates on Autolysis and Gel Properties of Surimi from Sardine (Sardinella albella). Int. J. of Chemical. ISSN: 2320-4087

M. T. Morrissey, J. W. Wu, D. Lin, and H. An, (1993) “Protease inhibitor effects on torsion measurements and autolysis of pacific whiting surimi,” J. Food Sci., vol. 58, pp. 1050-1054.

MacDOnald, G. A. and T.C. Lenier. (1991). Carbohydrates as cryoprotectants for meats and surimi. Food Technol., 45:150-159

Nikki, H., Y. Matsuda and T. Suzuki. (1992). Dried Forms of Surimi. Marcel Dekker

Inc., New York USA

Nopianti, R.; Nurul Huda & Noryanti Ismail. (2011). A Review on The Loss of The Functional Properties of Proteins During Frozen Storage and The Improvement of Gel-forming Properties of Surimi. American Journal of Food Technology Vol. 6 (1): 19-30.

Nurkhoeriyati, T., N. Huda and R. Ahmad. (2010). Surimi-like Material: Challenges and Prospects. Int. Food Res. J., 17:509-517

Okada, M. (1992). History of Surimi Technology in Japan. M.I. Chong (Eds). Marcel

Dekker Inc, New York

18

Park J. W. and T. M. J. Lin, (2005). Surimi Seafood: Products, Market and Manufacturing and Evaluation. CRC Press, Florida.

Park, J. W., & Morrissey, M. T. (2000). Manufacturing of surimi from light muscle fish. In J. W. Park (Ed.), Surimi and surimi seafood (pp. 23–58). New York: Marcel Dekker.

Peranginangin R; Wibowo S; Nuri Y. & Fawza. (1999). Teknologi Pengolahan Surimi. Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta.

Pereira, A.G., Ramos, E.M., Teixeira, J.T., Cardoso, G.P., Ramos, Ade. L. and Fontes, P.R. (2011). Effect of the Addition of Mechanically Deboned Poultry Meat and Collagen Fibers on Quality Characteristics of Frankfurter-type Sausages, Meat Science 89: 519-525.

Ramírez, J.A., Uresti, R.M., Velazquez, G. and Vázquez, M. (2011). Food Hydrocolloids as Additives to Improve the Mechanical and Functional Properties of Fish Products: A Review, Food Hydrocolloids 25: 1842-1852

Reppond, K.D., Edson, S.S., Babbitt, J.K. and Hardy, A. (1987). Observations on the Functional Properties of U.S. Land –Processed Surimi, Journal of Food Science 52(2): 505-506.

Shaviklo, G. R.; Gudjon T. & Sigurjon Arason. (2010). The Influence of Additives and Frozen Storage on Functional Properties and Flow Behaviour of Fish Protein Isolated from Haddock (Melanogrammus aeglefinus). Turkhish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10: 333-340.

Shimizu Y & Toyohara H. (1992). Surimi Production from Fatty and Dark-Fleshed Fish Species. In: Lanier TC, Lee CM, ed. Surimi Technology. Marcel Dekker, Inc. Page.425-442. New York.

Susanto H. & K. Amri. (2000). Budidaya Ikan Patin, Penebar Swadaya, Jakarta.

Tan A. Y., Huda N., Ariffin and Azhar E. (2014). Effect of Fat Extraction Treatment on The Physicochemical Properties of Duck Feet Collagen and Its Application in Surimi. Asia Pacific Journal of Sustainable Agri. Food and Tech. vol 2 (2): 9-16

Tan S. M.; Ng M. C.; Fujiwara T.; Kok K. H. & Hasegawa H. (1988). Handbook on the Processing of Frozen Surimi and Fish Jelly Products in Southeast Asia. Marine Fisheries. Research Department-South East Asia Fisheries Development Center.

19

Trodsen, T., (1998). Blue Whiting Surimi. Fish. Res., 34:1-15

Wibowo, S. (2004). Pembuatan Bakso Ikan dan Daging. Penebar Swadaya, Jakarta.

Winarno F. G. (1993). Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Winarno F. G.; Fardiaz S. & Fardiaz D. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Y. K. Luo, R. Kuwahara, M. Kaneniwa, Y. Murata, and M. Yokoyama. (2004). “ Effects of soy protein isolate on gel properties of Alaska pollock and common carp surimi at different setting conditions,” J. Sci. Food Agric., vol. 84, pp. 663-671

20

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus Perhitungan WHC (mg H2O)

Luas atas = 13

a (ho + 4h1 + 2h2 + 4h3 + ... + hn)

Luas bawah = 13

a (ho + 4h1 + 2h2 + 4h3 + ... + hn)

Luas Area Basah = LA - LB

mg H2O = luas areabasah−8,0

0,0948

Kelompok A1

a = 60 mm h1 atas = 185 mm h1 bawah = 35 mm

ho = 99 mm h2 atas = 200 mm h2 bawah = 16 mm

hn = 120 mm h3 atas = 182 mm h3 bawah = 24 mm

Luas atas = 13

x 60 (99 + 4(185) + 2(200) + 4(182) + 120)

= 20 (99 + 740 + 400 + 728 + 120)

= 41.740 mm2

Luas bawah = 13

x 60 (99 + 4(35) + 2(16) + 4(24) + 120)

= 20 (99 + 140 + 32 + 96 +120)

= 9.740 mm2

Luas Area Basah = 41.740 – 9,740

= 32.000 mm2

mg H2O = 32.000−8,0

0,0948 = 337.468,35 mg

Kelompok A2

a = 40 mm h1 atas = 172 mm h1 bawah = 19 mm

ho = 79 mm h2 atas = 176 mm h2 bawah = 8 mm

hn = 107 mm h3 atas = 148 mm h3 bawah = 16 mm

Luas atas = 13

x 40 (79 + 4(172) + 2(176) + 4(148) + 107)

21

= 403

(79 + 688 + 352 + 592 + 107)

= 24.240 mm2

Luas bawah = 13

x 40 (79 + 4(19) + 2(8) + 4(16) + 107)

= 403

(79 + 76 + 16 + 64 +107)

= 4.560 mm2

Luas Area Basah = 24.240 – 4.560

= 19.680 mm2

mg H2O = 19.680−8,0

0,0948 = 207.510,55 mg

Kelompok A3

a = 45 mm h1 atas = 173 mm h1 bawah = 24 mm

ho = 87 mm h2 atas = 192 mm h2 bawah = 10 mm

hn = 60 mm h3 atas = 172 mm h3 bawah = 23 mm

Luas atas = 13

x 45 (87 + 4(173) + 2(192) + 4(172) + 60)

= 15 (87 + 692 + 384 + 688 + 60)

= 28.665 mm2

Luas bawah = 13

x 45 (87 + 4(24) + 2(10) + 4(23) + 60)

= 15 (87 + 96 + 20 + 92 +60)

= 5.325 mm2

Luas Area Basah = 28.665 – 5.325

= 23.340 mm2

mg H2O = 23.340−8,0

0,0948 = 246.118,14 mg

Kelompok A4

a = 45 mm h1 atas = 161 mm h1 bawah = 14 mm

ho = 75 mm h2 atas = 178 mm h2 bawah = 7 mm

hn = 90 mm h3 atas = 153 mm h3 bawah = 10 mm

Luas atas = 13

x 45 (75 + 4(161) + 2(178) + 4(153) + 90)

22

= 15 (75 + 644 + 356 + 612 + 90)

= 26.655 mm2

Luas bawah = 13

x 45 (75 + 4(14) + 2(7) + 4(10) + 90)

= 15 (75 + 56 + 14 + 40 + 90)

= 4.125 mm2

Luas Area Basah = 26.655 – 4.125

= 22.530 mm2

mg H2O = 22.530−8,0

0,0948 = 237.573,84 mg

Kelompok A5

a = 40 mm h1 atas = 154 mm h1 bawah = 33 mm

ho = 75 mm h2 atas = 196 mm h2 bawah = 3 mm

hn = 99 mm h3 atas = 169 mm h3 bawah = 13 mm

Luas atas = 13

x 40 (75 + 4(154) + 2(196) + 4(169) + 99)

= 403

(75 + 616 + 392 + 676 + 99)

= 24.773,33 mm2

Luas bawah = 13

x 40 (75 + 4(33) + 2(3) + 4(13) + 99)

= 403

(75 + 132 + 6 + 52 + 99)

= 4.853,33 mm2

Luas Area Basah = 24.773,33 – 4.853,33

= 19.920 mm2

mg H2O = 1.992−8,0

0,0948 = 210.042,19 mg

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal

23

24