Sunrise Di Torosiaje (New and Full Version)

25
0

description

Love Story

Transcript of Sunrise Di Torosiaje (New and Full Version)

Page 1: Sunrise Di Torosiaje (New and Full Version)

0

Page 2: Sunrise Di Torosiaje (New and Full Version)

1

Aku seorang Pria berdarah ‘Saluan-Hulanthalo’

kelahiran 26 Juni 1988 di Bumi Baru (Luwuk Banggai,

SUL-TENG). Anak sulung dari empat bersaudara.

Karakterku ; Humoris, penyayang, kadang romantis

kadang juga nggak tapi sebenarnya aku salah seorang

‘cowok’ yang sangat romantis (kata orang sih seperti

itu…), setia pada pasangan, daannnn,,, ehmmm….apa lagi

yaaa…?!!! oh…iya, aku juga type cowok yang ‘super cuek’

dengan dan dalam keadaan apa saja, suka menolong

siapa saja dan kapan saja. Selain itu juga, aku bisa dalam

segala bidang. pelajaran yang paling aku gemari adalah Ilmu Sains khususnya Ilmu KIMIA.

Berbicara masalah fisik, kulitku sawo matang dan berambut pendek berwarna hitam,

dengan tinggi badan 168 cm, dan berat badanku 75 Kg.

Sunrise yang berarti matahari terbit adalah sebuah permisalan dari kisah ini, karena

Kisah ini menceritakan tentang perjalanan cintaku di Desa Torosiaje Kec. Popayato Kab.

Pohuwato Prov. Gorontalo. Sunrise yang kumaksud dalam penggalan judul kisah ini adalah

sebuah rasa cinta yang pernah kurasakan yang sempat terbenam (pudar) seiring dengan

berjalannya waktu kembali hadir dan terbit dalam relung-relung sanubariku.

Berawal dari perjalananku mengantarkan temanku dari Kota Gorontalo menuju

lokasi KKS (Kuliah Kerja Sibermas) di Bukit Tingki Kec. Popayato. Pada hari itu (Kamis, 23 Juli

2009) azan subuh telah dikumandangkan, terlihat di luar sana orang-orang berbondong-

bondong pergi ke Mesjid yang letaknya tidak jauh dari rumah kontrakanku. Sementara itu di

Page 3: Sunrise Di Torosiaje (New and Full Version)

2

dalam rumah aku dan temanku terlihat begitu sibuk mengemasi pakaian dan semua barang-

barang yang akan kami bawa ke lokasi, karena rencananya kami berdua akan bertolak dari

rumah ke tujuan setelah jam di dinding menunjukkan pukul 07.00 wita. Tak lama kemudian

temanku mengambil bantal guling lalu berbaring di belakang tempat dudukku sembari

berkata kepadaku “Saya mau istirahat sebentar…,biar cuma lima menit”. Aku hanya bisa

menganggukkan kepalaku kemudian melanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda.

Setelah semua pakaian dan barang-barang kumasukkan ke dalam tas, timbul dalam benakku

untuk istirahat walau hanya sejenak untuk menghilangkan lelah.

Jam di dinding terus berjalan. Tanpa kusadari aku dan temanku tertidur sangat pulas

karena semalaman ‘begadang’ terus subuhnya kami berdua mengemasi barang bawaan

kami masing-masing, belum lagi kasur yang kami tiduri sangatlah empuk.

“Tok…tok…tok” terdengar suara pintu belakang diketuk. Aku terjaga dari tidurku

karena suara ketukan itu terdengar begitu keras. Kemudian aku beranjak dari tempat

tidurku dan langsung berjalan ke kamar mandi untuk mencuci mukaku. Setelah itu, aku ke

dapur dan langsung membukakan pintu. Pintu pun terbuka dan tampak di hadapanku

seorang nenek yang sedang memegang mangkuk kecil di tangan kanannya. Aku pun

bertanya padanya “Kenapa Nek…??? ada perlu apa…???”, lalu dengan suara yang agak

parau nenek itu menjawab “Ini,,,nenek bawakan nasi kuning buat kamu sarapan” kemudian

ia menyodorkan mangkuk kepadaku yang sudah sejak tadi dipegangnya, dan tanpa

menunggu aba-aba darinya aku langsung mengambil mangkuk tersebut dari tangannya

karena melihat tangannya yang gemetaran memegangi mangkuk tersebut, maklumlah… usia

nenek itu sudah separuh abad.

Tak terasa jam telah menunjukkan pukul 09.00 wita. Aku langsung mengambil

handuk dan peralatan mandi. Setelah aku selesai mandi aku langsung mengenakan pakaian

yang sudah sejak semalam ku persiapkan untuk dipakai esok harinya. Kemudian aku

membangunkan temanku yang lagi tertidur lelap agar bergegas untuk mandi “Woi…bangun

jo!!! so tengahari, torang so mo berangkat sekarang, supaya tidak kepanasan di jalan”

Ujarku kepadanya. Ia pun bangun dari tidurnya dan langsung berlari ke kamar mandi. Sambil

Page 4: Sunrise Di Torosiaje (New and Full Version)

3

menunggu temanku mandi, aku mencuci si “RahMa” motor kesayanganku di halaman depan

rumah. Yang ku maksud dengan RahMa disini bukanlah seorang ‘cewek’ melainkan sebuah

motor (Jupiter Z ‘New’, 110 cc). Motor kesayanganku itu ku beri nama “RahMa” karena

sesuai dengan warnanya yang Merah Maron (Merah Tua). “RahMa” adalah perpaduan dua

warna Merah-Maron yang kemudian disingkat.

(Inilah foto si “RahMa” yang kumaksud dalam

kisahku ini).

Tepat pukul 10.15 wita kami berdua meninggalkan rumah. Aku mengenakan Jas

almamater berwarna merah maron. Aku merasa ‘Pe-De’ abis dengan penampilanku hari itu,

karena penampilanku layaknya seorang pejabat yang usianya masih terbilang muda dan

sedang mengendarai sepeda motor. Ditambah lagi warna jas yang ku pakai serasi dengan

warna motor.

Page 5: Sunrise Di Torosiaje (New and Full Version)

4

Siang itu sang surya begitu cerah menyinari bumi. Dua pemuda yang melaju dengan

sebuah motor dengan kecepatan di atas rata-rata merasakan panasnya terik matahari yang

begitu sangat mencengkeram tubuh kami berdua, kulit kami serasa disayat-sayat dengan

sebilah pisau. Aspal hitam dan kerikil di jalanan jadi saksi bisu perjalanan kami. Sementara

temanku terus-terusan mengeluarkan kata-kata keluhan.

Jarak yang kami tempuh sekitar 400-an Km dari Kota Gorontalo sampai ke tempat

tujuan kami. Secara garis besarnya, inilah rute perjalanan yang harus kami lalui :

Kota Gorontalo Kab. Gorontalo Kab. Boalemo Kab. Pohuwato

Dari Kab. Boalemo

menuju Torosiaje perjalanan

kami tempuh dengan santai,

karena kami harus singgah di

beberapa tempat dengan

suguhan view landscape

yang cakep tanpa harus

menunggu golden hour

untuk memotretnya.

Page 6: Sunrise Di Torosiaje (New and Full Version)

5

Perhentian pertama kami adalah rumah makan terapung di Tilamuta untuk makan

siang dengan menu utama ikan bakar. Kami berdua langsung action dengan camera HP

masing-masing untuk jepret-jepret karena lokasi rumah makan tersebut menyuguhkan view

laut yang cantik.

Perhentian kedua di tanjakan hati-hati dan

dilanjutkan dengan menyusuri pantai Bolihutuo

Boalemo yang memiliki pasir putih serta deretan

pohon pinus.

Perhentian berikutnya di pantai Bumbulan

Indah Paguat yang memiliki panorama yang mirip

dengan pantai sebelumnya. Setelah itu kami tancap

gas dengan harapan bisa sampai di Torosiaje

sebelum gelap agar bisa melihat sunset di desa

tersebut yang kata orang-orang kalau melihat sunset disitu seakan-akan kita sedang berada

di bali karena suasana dan panorama sunset yang ada di desa tersebut mirip dengan yang

ada di kuta beach, ternyata di Marisa ibu kota Kab. Pohuwato ada juga yang dikenal dengan

‘pohon cinta’, tanpa pikir panjang lagi aku langsung menuju tempat tersebut karena aku

sangat penasaran dengan ‘pohon cinta’ yang konon katanya adalah sebuah pohon besar dan

memiliki daun yang rimbun serta panorama laut yang ada di sekitaran pohon itu. Menurut

cerita yang ku dengar kalau kita pergi dengan pasangan (pacar) ke pohon cinta dijamin akan

Page 7: Sunrise Di Torosiaje (New and Full Version)

6

berjodoh dengan pacar kita. Makanya aku memutuskan untuk singgah ke tempat tersebut

walau hanya sebentar untuk bisa melihat-lihat sekalian ingin cari tahu kebenaran tentang

cerita ‘pohon cinta’ itu.

Setibanya di Kota Marisa, kami berdua berusaha untuk menghubungi teman-teman

sekelas yang mungkin Posko KKS mereka ada di sekitaran Kec. Marisa, dengan maksud agar

kami bisa mendapatkan tempat

istirahat untuk menghilangkan

lelah karena perjalanan jauh

yang telah kami lalui bersama.

Akhirnya kami ketemu

juga dengan salah satu teman

sekelas kami, namanya Sariah

(Ria). Dia di tempatkan di desa

Sipatana Kec. Buntulia.

Lokasinya mudah dijangkau

karena Posko terletak di pinggir jalan raya yang selalu dilalui oleh kendaraaan yang

tujuannya ke Sul-Teng. Kami dipersilahkan masuk ke dalam rumah, sambil menunggu

keringatku kering aku menyempatkan diri di sela-sela kelelahanku untuk bercanda tawa

dengan mereka.

Sang surya pun perlahan sirna dari pandanganku,

menandakan bahwa tidak lama lagi siang akan di

gantikan oleh malam. Sebenarnya sejak sore tadi kami

ingin pamit untuk melanjutkan kembali perjalanan ke

popayato. Namun kami belum diizinkan untuk pergi .

“Besok pagi saja baru berangkat….!!!” kata Ria kepadaku.

Dengan beberapa pertimbangan aku pun mengiyakan untuk

tinggal. Tak lama kemudian azan Isya’ telah berkumandang

di mesjid yang letaknya lumayan jauh dari Posko. Dengan langkah yang gontai aku berjalan

menuju sumur yang terletak di belakang rumah. Aku mengambil timba air yang terlihat

Page 8: Sunrise Di Torosiaje (New and Full Version)

7

masih kosong yang tergantung di dekat sumur, lalu ku ceburkan timba air itu ke dalam

sumur, dengan tenaga yang masih tersisa sedikit demi sedikit aku menarik tali timba air

yang sudah terisi penuh ke atas. Aku pun membaca niat “berwudhu” dengan suara yang

sangat pelan dan halus, setelah selesai berwudhu aku kembali masuk ke dalam rumah dan

langsung menuju kamar untuk Shalat ‘Isya.

Di luar rumah terdengar begitu ribut, rupanya mereka sedang menertawakan teman

se-lokasi mereka yang bernama Ismet (Koordinator Desa). ISmet memiliki karakter yang

sangat langka dan lucu kadang juga membuat orang yang melihatnya menjadi kesal.

Aku membisikkan sesuatu ke telinga temanku dan ia pun menyetujuinya. Kami

berdua hanya bisa bertatapan dengan maksud untuk mencari satu alasan agar kami bisa

diizinkan untuk berangkat ke popayato malam ini.

Seorang ibu separuh baya berdiri di depan pintu seraya berkata “Eh.., makan dulu baru

berangkat”. Kami berdua pun langsung diajak ke ruang makan. Ibu tersebut adalah orang

yang punya rumah ini.

Jam telah menunjukkan pukul 21.37 wita. “Ibu...,torang dua mo pamit, soalnya

torang mo lanjut ke popayato ini malam, karna te wawan so dua minggu di kota, terakhir so

tidak dikase lulus dia kasiaaang…” lalu ibu itu menjawab “iyo,,,hati-hati saja di jalan, soalnya

ini so malam baru gelap lagi, tidak ada bulan, belum lagi ngana tidak hafal medan, karna

jalan disini pe banyak yang rusak…, jadi ba plan-plan jo kasana tidak usah ba laju-laju”.

Akhirnya aku dan temanku memutuskan untuk melanjutkan kembali perjalanan kami

walaupun suasana yang gelap gulita karena pada malam itu sang rembulan tidak mau

menampakkan wajahnya di bumi.

Untuk mengusir rasa takut akan suasana pada malam itu, aku mengisinya dengan

nyanyi lagu-lagu religi “Subhanallah… walhamdulillah… walaa ilaaha illallah wallahu akbar…

walaa haulaa… walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil adzhim...” sampai aku ulangi beberapa kali

lagu tersebut.

Page 9: Sunrise Di Torosiaje (New and Full Version)

8

Dari Kec. Marisa ke tempat tujuan kami jarak yang harus ditempuh 215 Km. Aku

memilih jalur ‘jalan atas’. Ada beberapa kecamatan yang harus kami lalui, yaitu; Kec.

Marisa, Kec. Buntulia, Kec. Patilanggio, Kec. Randangan, Kec. Wonggarasi, Kec. Lemito, Kec.

Popayato Timur, dan Kec. Popayato (Maaf…!!! untuk Kec. Popayato Barat (Kecamatan yang

berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tengah) tidak ku masukkan dalam rute ini karena

tujuan kami hanya sampai di Kec. Popayato).

Desa pertama yang ditemui ketika memasuki Kec. Lemito adalah Desa Yipilo.

Naaah…., disinilah awal mulanya aku bertemu dengan seorang cewek yang aku sebut

namanya “Inank” sebelum bertemu dengan si “Siti Nurbaya Versi Modern”. Namun dalam

kisah ini aku tidak terlalu membahas panjang lebar tentang kisah cintaku dengan dia (Inank),

karena kisah ini aku lebih khususkan dan fokuskan pada kisah cintaku dengan si ‘Leo Girl’

(Siti Nurbaya Versi Modern), karena dialah wanita idamanku yang selama ini ku cari dalam

pengembaraan mencari “cinta sejatiku”. Dialah bunga tidur dalam mimpiku.

Berawal dari kecelakaan yang kami alami pada malam itu, tepatnya di desa Yipilo

Kec. lemito (Pukul 23.47 wita). ‘Velg bintang’ bagian belakang motorku hancur karena roda

bagian belakang jatuh di lubang kecil yang tepat berada di tengah jalan. Kami berdua nyaris

masuk ke jurang yang letaknya tidak jauh dari jalan raya yang kami lalui, tepat berada

setengah meter di sebelah kiri motor. Aku dan temanku sempat panik dan ketakutan karena

tempat kami celaka jauh dari perkampungan. Aku langsung terfikir untuk menghubungi

temanku yang namanya Rahtiria De’u (kerap disapa dengan nama Ria). Dia adalah salah satu

teman baikku yang ada di Jurusan Matematika, kebetulan sekali dia di tempatkan di salah

satu desa yang ada di Kec. Lemito tersebut. Tak lama kemudian, setelah menunggu

setengah jam lamanya rombongan ‘merah maron’ pun tiba dengan jumlah personil 15

orang tiba di lokasi kejadian. Ada yang naik motor dan ada juga yang naik bentor.

Banyak yang menyarankan untuk tinggal bermalam di posko mereka. Aku dan

temanku saling berpandangan dan serentak kami berdua mengatakan “Oke,,,” sebagai

tanda bahwa kami setuju. Tidak ada jawaban lain selain menyetujuinya, karena mengingat

malam yang sudah semakin larut.

Page 10: Sunrise Di Torosiaje (New and Full Version)

9

Aku dan temanku bermalam di desa Kenari Kec. Lemito yang hanya berbatasan jalan

dengan desa/lokasi dari temanku yang bernama Ria. Di posko yang ku tinggali ternyata ada

salah satu teman sekelasku, namanya Ulin Ibrahim (Ulin). Orangnya baik dan rajin shalat 5

waktu.

Hari kedua di desa Kenari (Jumat, 24 Juli 2009). Pukul 11.24 wita aku bersiap-siap

untuk pergi shalat jum’at di mesjid yang letaknya jauh dari posko yang ku tinggali. Aku dan

teman baruku yang juga merupakan salah satu mahasiswa KKS di desa ini pergi bersama ke

mesjid dengan menaiki motornya. Teman baruku ini namanya Yolis (Jurusan Bhs. Indonesia).

Sepulang dari mesjid, kami singgah di posko temanku di desa Lemito Utara Kec. Lemito

(desa yang hanya berbatasan jalan dengan desa Kenari). Setibanya di posko aku langsung

mencari temanku yang namanya Ria, aku menjumpainya sedang menanak nasi di dapur. Di

desa ini terdapat 6 mahasiswa KKS, terdiri dari 3 laki-laki dan 3 perempuan. Ada yang

namanya Muhlis (Jurusan Penjas), Ipin (Jurusan Bhs. Inggris), Husain (Jurusan IHK), Ria

(Jurusan Matematika), Inank (Jurusan Bhs. Indonesia), dan yang terakhir namanya Ana

(Jurusan Akuntansi).

“Inank” itulah nama panggilannya. Jujur saja,,, aku mulai terpesona dengan

kecantikannya.

Di hari ketiga aku langsung mengungkapkan perasaanku padanya, dan ia pun

merespon perasaanku. Hari itu (Sabtu), kalender menunjukkan tanggal 25 Juli 2009, tepat

pada malam minggu aku dengannya resmi berpacaran. Kami berdua memiliki nama ‘sandi’,

aku dipanggilnya dengan sebutan “ChayO”, sedangkan dia ku panggil dengan sebutan

“ChayU”.

Sabtu; Tanggal 8 Agustus, aku, Inank dan teman-teman se-lokasinya pergi jalan-jalan

ke desa Torosiaje dengan tujuan untuk melihat sunset dari desa tersebut. Kami

menggunakan 3 motor. Aku, Ipin dan Husain naik motorku, Inank dan Nur (teman se-

ganknya) naik motornya Husain, dan yang terakhir Ria dan cowoknya naik motor yang

satunya. Sesampainya disana jam telah menunjukkan pukul 17.56 wita, karena kami

bertolak dari posko menuju Torosiaje jam sudah menunjukkan pukul 17.34 wita,

Page 11: Sunrise Di Torosiaje (New and Full Version)

10

sehingganya kami tiba di tempat tujuan sudah tidak melihat matahari terbenam, yang ada

hanyalah sinar bulan yang dikelilingi oleh bintang-bintang kecil. Kami pun memutuskan

untuk menginap semalam di posko KKS desa Torosiaje. Di posko tersebut terdiri dari 2 orang

laki-laki dan 4 orang perempuan, yang keenam orang ini juga merupakan Mahasiswa yang

sedang ditempatkan di desa wisata ini. 5 dari 6 orang ini sempat bercakap-cakap denganku,

hanya 1 orang (perempuan/cewek) yang tidak sempat kulihat wajahnya dengan seksama

bahkan tidak sempat berkenalan denganku. Hmmm..,,,,Kalau nggak salah namanya Rani.

Karena namanya sering disebut-sebut oleh orang-orang yang ada di sekitar situ…

8 Agustus 2009 (Sabtu). Aku balik ke Kota Gorontalo untuk membayar SPP. Di Kota

aku sempat bertahan sampai seminggu lamanya.

(Sabtu, 15 Agustus) Pukul 17.09 wita. Di hari yang sama namun tanggal berbeda, aku

balik lagi ke lokasi dimana aku pertama kali bertemu dengan inank. Kali ini aku

memberanikan diri untuk mengendarai sepeda motor dengan sendirian. Setelah menempuh

perjalanan yang begitu jauh, aku tiba di kota Marisa pada pukul 20.24 wita. Di Kota Marisa

inilah aku dengan Inank putus karena suatu alasan yang sampai dengan hari ini tak pernah

ku ketahui, itupun aku diputuskan olehnya melalui pesan singkat (SMS). Bertepatan dengan

meninggalnya Ibu dari Ayah saya (Nenek) yang ada di Luwuk. Pukul 22.47 wita aku menuju

Desa Torosiaje, sebenarnya aku sudah tidak mau lagi menginjak Kec. Lemito dan

Kecamatan-kecamatan setelah Kec. Lemito, lebih khususnya desa Lemito Utara. Namun,

karena yang sempat ku dengar bahwa di desa Torosiaje tersebut sedang dilaksanakan acara

besar-besaran yaitu kunjungan di Kec. Popayato oleh Bpk. Prof. DR. Ir. Nelson Pomalingo,

S.Pd, M.Pd (Rektor Universitas Negeri Gorontalo) beserta rombongan yang dipusatkan di

desa Torosiaje. Acara ini khususnya dihadiri oleh seluruh teman-teman KKS se-Kecamatan

Popayato, bahkan mereka menginap semalam di desa tersebut. Teman-teman KKS dari

Kecamatan tetangga juga banyak yang datang, termasuk Inank dari Kec. Lemito.

Aku pun tiba di lokasi pada pukul 00.57 wita dengan ditemani seorang temanku yang

berlokasi di desa Manawa Kec. Patilanggio. Namanya Roman Hippi (Oman).

Page 12: Sunrise Di Torosiaje (New and Full Version)

11

Inank dan teman-temannya yang se-Kecamatan Lemito rupanya sudah pulang ke

lokasi mereka masing-masing tepat pada pukul 00.52 wita, makanya setelah aku tiba di

lokasi aku tidak berjumpa dengannya.

Mirlan yang juga merupakan teman se-ganknya hadir dalam acara tersebut. Dia juga

salah satu mahasiswi KKS yang sedang di tempatkan di Kec. Popayato tepatnya di desa

Trikora. Aku berbincang-bincang dengannya seputar permasalahanku dengan Inank,

yaaah…, bisa dikatakan ‘curhat’ gituuu…., Ia pun kaget karena mendengar aku dan Inank

sudah putus.

“Dhy,,,tidur jo disini eee…!!!” pinta Mirlan kepadaku. Aku hanya menjawabnya

dengan menganggukan kepalaku sebagai tanda bahwa aku setuju untuk bermalam di

Torosiaje. “Lagian…., masih banyak juga yang kita mo tanya dan mo bahas pa ngana”

ujarnya kepadaku. Aku pun menjawabnya “Hmmm…., Nde oke,,,”.

Keesokan paginya aku bangun dengan mata yang bengkak, karena semalaman aku

menangis teringat nenekku yang telah meninggalkan kami sekeluarga. Nenek yang sangat

menyayangiku. Ditambah lagi dengan masalah ‘putusnya’ hubunganku dengan Inank.

Jelasnya, pada malam itu aku mengalami Stress berat . . . . .

Rencananya aku ingin pulang ke Kota siang ini, hanya saja hatiku masih belum

tenang. Rasa rindu, sedih, dan kecewa bercampur menjadi satu. Aku pun memutuskan

untuk tinggal beberapa hari lagi di desa ini.

Siang pun berganti malam. Pada malam hari itu acara penyambutan Rektor UNG

begitu meriah di Desa Torosiaje ini. Berbagai jenis hiburan disuguhkan kepada masyarakat

Torosiaje. Tak lama kemudian, acara yang dinanti-nantikan oleh seluruh peserta KKS pun

tiba, yaitu acara ‘makan’. Aku juga tidak mau ketinggalan. Aku pun diajak makan oleh salah

seorang temanku yang bernama Noeryadi P. Mangantjo yang kerap disapa dengan nama

Didi atau Adhy. Selain jabatannya sebagai KorDes di Desa Trikora, ia juga merangkap sebagai

KorCam di Kecamatan Popayato ini. Sekedar informasi kepada para pembaca yang budiman,

Mirlan adalah ‘cinlok’ dari temanku yang bernama Adhy ini.

Page 13: Sunrise Di Torosiaje (New and Full Version)

12

(Uuupppzzz…., ada satu yang kelupaan dibahas, Cowrry..!!!) maksud dari

kedatanganku di desa Torosiaje ini bukan hanya sekedar refreshing tapi juga ingin

mengambil Jaketku yang aku pinjamkan pada salah satu cewek KKS yang berlokasi di desa

Torosiaje, namanya Ranhy. Ceritanya begini…, Hari itu (05 Agustus 2009) tepatnya pada

malam kamis aku bertemu dengan anak-anak KKS dari desa Torosiaje di Lapangan

Kecamatan Popayato, karena pada malam itu ada acara yang sangat meriah yaitu malam

final lomba kesenian se-Kecamatan Popayato.

Aku sebut satu per satu nama mereka yeach…?!!!

Fikri (Jurusan Penjas/FIKK)

Riki (Jurusan IHK/FIS)

Novi (Jurusan Ekonomi Koperasi/FEB)

Dita (Jurusan Bhs. Indonesia/FSB)

Ma’wa (Jurusan Matematika/FMIPA)

Ranhy (Jurusan Akuntansi/FEB)

Kawan-kawan perlu tahu bahwa Torosiaje adalah sebuah Desa di Kabupaten

Pohuwato Provinsi Gorontalo, yang cukup 'unik' karena semua fasilitasnya, baik rumah,

jalan, mesjid, tempat olahraga, sekolah, jalan...

dll semuanya dibangun di atas permukaan laut...

dan semuanya menggunakan tiang kayu...

termasuk jalan loh...., sehingganya perhatian para

wisatawan baik wisatawan lokal maupun

mancanegara yang datang di Provinsi ini hanya

terfokus di Desa Torosiaje. Penduduk desa ini

dikenal dengan sebutan 'Suku Bajo'. Desa yang

terbagi menjadi dua dusun ini dihuni lebih dari

Page 14: Sunrise Di Torosiaje (New and Full Version)

13

300 KK dengan jumlah penduduk mencapai 1000 jiwa. Satu-satunya alat transportasi untuk

mencapai desa ini adalah perahu. So... segala hal yang lebih besar dari perahu harus rela di

parkir di daratan. Oleh penduduk lokal perahu-perahu angkutannya disebut 'ojek'. Sebutan

ini sempat bikin aku terkecoh.... karena aku sebelumnya tidak menyangka kalau desa itu

benar-benar terpisah dari daratan....sehingga ojek yang mereka tawarkan awalnya ku kira

adalah sepeda motor.

T o r o S I a j e seperti 'the hidden paradise' dari darat tidak kelihatan sama sekali

(apalagi di waktu malam) dari laut hanya kelihatan atapnya saja. Yang menarik bagiku

adalah kehidupan penduduknya, mereka hidup normal layaknya orang di daratan.

bayangkan saja segala fasilitas

umum tersedia ; mulai dari

jalan, mesjid, aula, lapangan

badminton, lapangan volly,

lapangan takraw, kantor

lurah, penginapan, warung

yang lengkap, puskesmas

keliling, fasilitas air tawar,

listrik, bahkan rata-rata

masyarakat yang tinggal di desa

tersebut sudah banyak yang

menggunakan HP (Handphone). Lingkungannya begitu bersih karena setiap rumah memiliki

septic tank. Tidak ada nyamuk, serangga, sampah, polusi asap hanya berasal dari asap

rokok. Pendidikan dasar sudah berjalan walaupun muridnya lebih banyak perempuan

daripada laki-laki, menurut kepala sekolah hal ini karena kebanyakan anak laki-laki ikut

orang tuanya melaut. Agendaku selanjutnya adalah ingin melihat-lihat Sekolah Dasar (SD)

yang ada di desa ini. Setibanya di sekolah itu aku kaget "surprise aku menjumpai secuil

daratan disini", ternyata itu hanyalah karang yang ditimbun untuk mendirikan gedung

sekolah. Disekitarnya ada puluhan kambing peliharaan, kambingnya minum air asin dan

suka ngiler kalo ngelihat jauh ke daratan yang daunnya hijjjauuuu...

Page 15: Sunrise Di Torosiaje (New and Full Version)

14

Kulangkahkan kakiku menyusuri jembatan yang kesemua bahan bakunya terbuat

dari kayu dan papan. Tibalah aku di penghujung Desa ini, yang kata masyarakat disini

dinamakan “Mes”. Kata mereka juga, kalau ingin melihat matahari terbenam ‘sunset’

bagusnya dari sini nge-liatnya. Tempatnya sangat strategik dan natural buaangeetzzz…,

ditambah lagi suasananya yang begitu indah dipandang. Segala gundah hati pasti akan

hilang kalau kita beristirahat di waktu sore di tempat ini. Apalagi sambil main gitar . . . . . . . .

Selain kambing ternyata orang

bajo juga punya peliharaan favorit

yang memiliki nilai ekonomis tinggi

yaitu Lobster & Anak Hiu yang

kelihatannya ganas tuh. He..he..heh…

Page 16: Sunrise Di Torosiaje (New and Full Version)

15

Tidak hanya itu, bagiku Desa Torosiaje adalah desa yang memberikan satu kesan

terbaik dan kenangan terindah yang tak akan pernah ku lupakan sepanjang hayat, karena di

desa inilah pertama kali aku menjalin suatu hubungan katakanlah ‘pacaran’ dengan seorang

cewek yang sudah sangat langka dicari di dunia ini. Cie..illlleeeee….

Namanya Ranhy, cewek kelahiran 11 Agustus 1988

Kakak dari tiga bersaudara yang memiliki zodiak ‘Leo’ ini

telah membuat hati si ‘Cancer Boy 88’ tunduk kepadanya.

Wajahnya yang cantik, senyumannya yang khas dan

memiliki sorot mata yang indah dan begitu mempesona,

ditambah lagi dengan kepiawaiannya yang eksotik

membuat semua orang khususnya para kaum Adam

bertekuk lutut dihadapannya. Aku saja ‘menggelepar’

dibuatnya . . .

Delapan hari telah berlalu. Aku merasakan ada

suatu getaran yang belum pernah ku rasakan sebelumnya,

sesuatu yang sangat menarik dan istimewa yang ku

rasakan setiap kali aku memandang wajahnya. Di saat

kita bercanda bersama, ia selalu menyelipkan

senyumannya yang manja di sela-sela tawanya.

Mungkin ini yang dinamakan dengan CINTA . . . ? ? ?

Jika dalam sedetik aku tak melihatnya aku merasakan

ada sesuatu yang hilang dari kehidupanku, kurasakan

ada yang kurang, yang kemudian kesemuanya itu

akan mempengaruhi semangat hidupku dalam

menjalani hari-hariku. Dialah “Bola Apiku”. Dialah

“Pelita Hatiku”. Dia bagaikan setetes embun di pagi

hari yang jatuh dari dedaunan yang hijau.

Page 17: Sunrise Di Torosiaje (New and Full Version)

16

Aku belum pernah merasakan rasa Cinta seperti ini yang

begitu dalam. Saat ini aku merasa seperti orang yang mabuk

kepayang. Rasa Cinta yang aku rasakan saat ini tak bisa digambarkan

dengan kata-kata.

Karakternya yang begitu ‘unik dan langka’ bagiku membuat

aku jadi tambah penasaran ingin mengenalnya lebih dekat. Awalnya

sih, . . . . aku takut untuk berkenalan dengannya, namun setelah ku

pertimbangkan matang-matang,,,mungkin ada baiknya aku harus

memberanikan diri untuk mengenal dirinya. Akhirnya aku memberanikan diri

untuk mengenalnya.

Tak terasa dua hari telah berlalu.

Rasa cinta yang selama ini ku pendam terasa

semakin dalam. Kini baru aku sadari, Cinta

bisa hadir tanpa disadari. Walaupun

datangnya secara perlahan-lahan namun

itu pasti. Merasuki jiwaku, seakan aku tak

dapat mengendalikan perasaanku lagi. Itulah

hakikat CINTA yang sesungguhnya.

Aku meminjam Handphone-nya dengan alasan meminta pulsa untuk sms. “Ranhy,

boleh saya minta pulsa…..??? Soalnya saya mau ba’SMS sama saya pe teman, karna ada

yang saya mo tanya” pintaku padanya. Iapun meminjamkan

HP-nya kepadaku. Walaupun sebenarnya pulsaku masih ada,

karena tujuanku meminjam HP-nya hanya ingin cari tahu

nomor phonsel-nya dengan cara MissCall ke nomor HP-ku.

Aku tercengang ketika melihat wallpaper di HP-nya, foto

yang kulihat tidaklah asing bagiku. Hatiku pun berkata

“perasaan….,jauh sebelumnya saya pernah liat ini

foto,….tapi dimana eee…?!!!”. Akupun berusaha mengingat-

ingat lagi momen dimana aku pernah melihat foto itu

Page 18: Sunrise Di Torosiaje (New and Full Version)

17

sebelumnya. “Ooo….iyOoow” kataku dalam hatiku, Soalnya aku jadi teringat pada satu

momen, hanya saja aku kurang yakin. (Yaaahhh…,terpaksa aku memakai ‘alur mundur’ lagi

deechhh…) Jadi ceritanya begini . . . . . Waktu itu aku masih semester tiga, lebih tepatnya

masih awal-awal semester tiga. Aku masih tinggal di Asrama Putra II (UPP II) Blok F, kamar

No. 03. Teman sekamarku namanya Oba (Lalu Pasyaribu Nashoba), ia jurusan S.I Akuntansi,

Angk. 2006. “Naaahhhhh, inilah inti dari kisah ini . . . . .” Jadi, pada waktu itu aku sempat

pinjam HP-nya untuk liat-liat foto di HP-nya. Galleri pun kubuka, kemudian folder foto, aku

jadi penasaran dengan folder yang nama foldernya “Account.06”. Ku geserkan tombol

navigasi ke arah kanan, kuarahkan ke folder tersebut lalu aku mengklik tombol Open.

Foldernya pun terbuka, “Ooow…rupanya ngana pe teman2 satu kelas

pe foto ini…..? iyo…???” tanyaku padanya dengan dialeg luwuk yang

masih kental di lidahku. Ia pun menjawab “iyo….., kiapa sho???” aku

pun membalasnya “Huuuu…..so macam orang gorontalo saja ngana

ini eee….?!!! so pake2 “Sho”, Eh…iyo, Oba…!!! sapa depe nama yang

depe foto yang ini eeee…..

“Ooooh….itu??? namanya RANI, kiapa ngana ba’tanya dia….??? ngana mo kirim

salam….??? wkkk…wwkkkk…..wwwwwkkkkkkkkkkkkkkkk…….” tanya Oba padaku, aku pun

menjawab “IyOoow eee….., Salam pa dia e…!!!”.

(Hanya sampai disitu saja yang bisa aku bahas . . . )

Next, sekarang kita lanjut lagi cerita yang sempat tertunda tadi . . . . . Oke???

Tanggal di kalender menunjukkan angka 21 Bulan Agustus, 2009. Malamnya, atas

saran dari temanku yang bernama Ma’wa (Mantan pacarku) ditambah lagi dengan rasa

cintaku pada Ranhy yang sudah tak bisa ku bendung lagi, akupun mengungkapkan segenap

perasaanku yang selama ini ku sembunyikan darinya.

Suasana saat itu yang begitu dingin membuat aku gemetaran dan gerogi untuk

mengungkapkannya. Niatku pada malam itu hanya sebatas ‘pengungkapan rasa’ aku nggak

berharap lebih dari itu, aku hanya ingin ia tahu saja tentang perasaanku terhadapnya.

Setelah aku pertimbangkan matang-matang kayaknya sich . . . . aku harus meminta jawaban

F O T O

Page 19: Sunrise Di Torosiaje (New and Full Version)

18

atas perasaanku selama ini namun sangat disayangkan ia belum merespon perasaanku yang

aku ungkapin ke dia, mungkin ia belum percaya sepenuhmya dengan isi hatiku tadi . . . . . .

Aku pun hanya diam membisu mendengar apa yang barusan ia katakan kepadaku. Rasa

kecewa dan putus asa membaluti raga dan jiwaku saat itu. Dengan separuh asa yang masih

kumiliki aku hanya bisa berkata pada diriku “Tenang bos . . . ! ! ! ini baru permulaan, masih

ada hari esok yang mungkin merupakan hari yang gemilang bagimu. SABAR yaaa . . . ! ! !”.

Angka di kalender pun bertambah, seakan mengerti atas apa yang aku rasakan saat

ini. Sekali lagi aku mencoba mendekatinya, saat ini aku hanya bisa mengikuti kata hatiku

yang ku biarkan menuntun arah perjuanganku untuk mendapatkan hatinya. Kata “Pantang

menyerah sebelum diterima” selalu menghibur hatiku yang sedang gundah gulana. Trik

demi trik aku lancarkan untuk mendapatkan cintanya, namun masih saja kurang berhasil.

Kata terakhir darinya untukku di saat itu adalah “Lampu kuning”, “Tunggu jow . . . ! ! !

mungkin so tidak lama lagi mo lampu ijo” ujarnya kepadaku yang selalu melirik dengan

tatapan pengharapan yang begitu membara-bara. He..he...he...., Semangat baru pun

seketika itu hadir dalam diriku. Ingin rasanya aku berteriak “Horeeee . . . “ walaupun itu

masih lampu kuning.

Di hari berikutnya, aku kembali melanjutkan perjuanganku. Ku lihat ia tengah asyik

menonton sinetron “CINTA FITRI 2” dengan begitu seriusnya, aku pun langsung duduk tepat

di belakang tempat duduknya dan langsung saja aku bisikkan sesuatu padanya “woi , , , so

lampu ijo . . . ? ? ?” dengan wajah yang kesal karena merasa terganggu ia pun menjawabnya

“BELUUUUM . . . “ aku kembali berkata padanya dengan sedikit selera humor “Lampu ijo jo

e . . . ! ! ! tidak juga so pe lama skali ini lampu kuning, biasanya di perempatan lampu merah

itu tidak lama depe lampu kuning baru so ta ganti lampu ijo”, Ia tak bisa berkomentar apa-

apa, karena ia begitu serius mnyaksikan sinetron yang di tontonnya pada malam itu. Tepat

pukul sepuluh lewat dikit lampu di Desa ini semuanya padam seketika. Setiap malamnya

lampu di Desa ini akan padam setiap pukul 10 malam lewat, makanya kami nggak heran dan

kaget lagi dengan hal seperti ini larena sudah biasa.

Page 20: Sunrise Di Torosiaje (New and Full Version)

19

Rembulan di malam itu menunjukkan sinarnya yang begitu terang seakan-akan ingin

mengabarkan berita baik untukku. Kebetulan juga Mirlan dan teman perempuannya ada

pada saat itu. Aku pun mengajak mereka ke mes untuk melihat sinar rembulan yang sangat

mempesona di malam itu. “Ranhy . . . torang ka mes ! ! ! paggel juga dorang dita, ma’wa,

novi dan fikri, poko’nya panggel dorang samuanya...supaya torang rame-rame bagitar-gitar

di sana, bagimana . . . ? ? ?” tanyaku padanya, ia menjawab “Oke dech , , , “. Kami pun

beranjak pergi meninggalkan posko, namun yang ikut hanya wawan dan mirlan, karena yang

lainnya punya agenda masing-masing.

Sesampainya kami di Mes, masing-masing langsung mengambil tempat. Wawan dan

Mirlan langsung mengambil tempat dekat tong penampungan air yang hanya bersebelahan

dengan penginapan, sedangkan Aku dan Ranhy duduk agak berjauhan dari mereka.

Buakannya duduk, aku malah berbaring sambil menatap bintang yang bertaburan di langit.

Ranhy pun ikut baring tepat di sisiku. Tak lama kemudian, kami berdua melihat ada bintang

jatuh. Secara serempak kami berkata “Eh, ada bintang jatuh . . . ! ! !” Lalu aku berkata lagi

padanya “Ranhy, buat permohonan . . . ! ! !”. Ia bertanya padaku yang saat itu lagi

termenung “Dhy, ada memohon apa . . . ???”, jawabku “saya Cuma memohon sama Tuhan

mudah-mudahan Dia bisa kase lampu ijo ini malam, tapi kayaknya sampe skarang bulum ta

acc saya pe permohonan, mungkin masih banyak permohonan dalam bentuk proposal yang

ada di atas mejanya Tuhan”, Ia pun berkata padaku “Huuusss....ngawurrr”. Aku balik

bertanya padanya “Tadi kan saya pe permohonan Nhy so tau to . . .? ! ! jadi skarang

gilirannya Nhy kase tau sama saya apa Nhy pe permohonan ini malam . . . ? ? ?” Ia

menjawabnya dengan singkat “ada nooo . . .”. Malam semakin larut, aku pun mengajaknya

pulang ke posko “Ranhy, torang bale’ jo ka posko so lat ini . . . biar nanti kapan-kapan lagi

torang ba liat bintang jato”. Aku langsung berdiri dan menarik tangannya dengan maksud

membangunkannya dari tempat ia berbaring. Melihat kami berdua berdiri dan beranjak ke

tempat mereka, Mirlan dan Wawan langsung bertanya pada kami “so mo pulang ngoni ???”

jawabku pada mereka berdua yang juga sedang bersiap-siap untuk pergi “Iyo....soalnya so

lat, nanti kapan-kapan lagi torang kamari eee....”.

Page 21: Sunrise Di Torosiaje (New and Full Version)

20

Setibanya kami di posko, masing-masing langsung masuk ke kamar untuk melakukan

aktivitas di waktu malam hari yaitu ISTIRAHAT. He...he...he...

Keesokan paginya pada saat mentari dengan gagahnya menyinari bumi, angka di

kalender pun bertambah (23 Agustus 2009) seiring dengan waktu yang silih berganti dari

hari ke hari. Pagi itu terlihat Ma’wa dan Ranhy yang sedang asyik membersihkan ruang

tamu. Aku berjalan menghampiri mereka berdua dan berkata “Selamat pagi Ibu-Ibu yang

cantik dan rajin . . .” Mereka berdua tertawa dan serempak menjawab “Pagi juga . . . ! ! !”.

Aku hanya bisa tersenyum mendengar jawaban dari mereka. Ku lanjutkan langkahku ke arah

dimana Ranhy menyapu lantai rumah yang hanya terbuat dari papan. Aku melihat wajahnya

yang berseri-seri dan memberikan satu senyuman manis padanya. “Ranhy, bagimana

dengan saya pe permohonan yang tadi malam itu??? Soalnya Tuhan bilang sama saya waktu

di mimpinya saya tadi malam....Dia bilang Dia so kase itu jawaban sama Nhy...”, “depe

jawaban??? LAMPU IJO...” Jawabnya sambil menyapu kertas dan plastik-plastik snack kursi

yang terlihat berserakan di lantai. Aku pun langsung berteriak “Horeeee....” saking

gembiranya suasana hatiku pada saat itu tanpa sadar suaraku membuat teman-teman yang

lagi terbuai dengan mimpi-mimpinya yang indah jadi terbangun dan kaget karena

mendengar suaraku yang lumayan keras. Akhirnya perjuanganku merebut hatinya tidak sia-

sia. Lewat momen ini aku jadi sadar dan teringat ucapan dari sang filosofis terkenal

“Hargailah Proses”.

Sesuai dengan Hari Jadi kami berdua yaitu tepat pada

tanggal 23 Agustus 2009, Pukul 08.11 wita, maka angka 23

adalah angka yang sangat berkesan dalam hidupku, yang

memberikan ratusan bahkan ribuan semangat baru dalam

menjalani hari-hariku. Aku hanya ingin selalu bersamanya

walau hanya pada dua waktu “SEKARANG dan SELAMANYA..“

Page 22: Sunrise Di Torosiaje (New and Full Version)

21

Hari-hari ku jalani bersamanya. Semua hal

selalu kami lakukan bersama-sama kecuali MANDI,

TIDUR, GANTI PAKAIAN dan BUANG HAJAT, itu yang

tidak kami lakukan bersama-sama. Kadang aku

selalu membantunya di saat ia mencuci pakaianku

dan pakaiannya, di saat ia menanak nasi, di saat ia

menimba air (menampung air), kalau makan

biasanya sepiring berdua pake’ satu sendok sambil

suap-suapan kayak anak kecil yang lagi dimanja’in,

minumnya juga begitu...segelas, shalat berjama’ah

bersama-sama kadang juga kami shalatnya di

mesjid, sahur dan buka puasa bareng, di saat ia mau bobo (tidur) selalu ku nyanyikan lagu

untuk menghiburnya dan membelai rambutnya sampai ia tertidur.

Inilah penggalan lagu yang selalu ku nyanyikan untuk pengantar tidurnya . . . . .

Di relung hatiku . . . Masih ada rasa . . . Ku ingin kau tahu . . . Ku mencintaimu . . . Ku masih tak bisa lupakan dirimu yang slalu ku rindu . . . O . . . dimana . . . kau berada . . . Ku rindumu . . . lelah ku menunggu . . .

Aku masih menyimpan foto-foto kami berdua yang sempat ku abadikan di Desa ini . . . . . .

Page 23: Sunrise Di Torosiaje (New and Full Version)

22

Tak terasa seminggu

telah berlalu. Hari itu

(31 Agustus 2009) sang mentari pagi begitu cerah menyinari

bumi Torosiaje, seakan jadi saksi bisu kepulangan kami ke

Kota Gorontalo, karena sejak pagi tadi kami semua

(khususnya Mahasiswa KKS) tengah sibuk membenahi pakaian

kami masing-masing untuk dibawa pulang ke kota. Banyak masyarakat yang datang

berbondong-bondong ke posko hanya untuk melepas kepergian kami dari Desa yang penuh

kenangan indah. Tidak ketinggalan juga ole-ole ‘ikan asin’ dari mereka untuk kami yang sejak

semalam telah mereka persiapkan untuk kami, karena semalam telah berlangsung acara

perpisahan yang begitu ramai yang dihadiri oleh masyarakat Desa Torosiaje. Perpisahan

yang sangat mengharukan bagi para peserta KKS khususnya, para pemuda, Karang Taruna

dan seluruh masyarakat Desa Torosiaje yang sempat hadir di acara tersebut. Ada satu

Page 24: Sunrise Di Torosiaje (New and Full Version)

23

kalimat yang sempat aku kutip pada saat Fikri (KorDes) memberikan sambutan di acara

perpisahan semalam dengan cucuran air matanya, katanya . . . . . . “Bukan Perpisahan

yang Aku Tangisi, Tapi Pertemuanlah yang Aku Sesali”.

Page 25: Sunrise Di Torosiaje (New and Full Version)

24

pukul setengah tiga pagi

aksara-aksara beku belum juga dilimas

rasa belum menuju muara

hingga debar hanya menjadi semacam siasat klasik

yang menepi pada gelap

perlahan embun menyayat menyambut usia membina getaran daging

ternyata ada gerakan yang terlalu indah selain diam

hari ini aku mengerti isyarat wajahnya yang bening

lewat goresan warna pelangi yang tergadai pada gerak matanya

tatapan mata itu merangsang aku untuk berteduh

membuatku agar lebih mudah menjala pelita hati

bibirnya terlatih merajut simpul; menata senyum

sementara kepalan tangannya terasah menetaskan kehangatan

mungkin ia bisa meleburkan dekapan yang sudah lusuh…???

atau bahkan mengikis getah perih yang tak pernah berhenti berdesir…???

dapatkah ia menjadi tetesan bening terakhir

tempatku melepas dahaga rasa?

kuharap kita sama-sama

menjadi erangan pelita yang enggan meredup

selama tatanan senyummu itu selalu bersenggama dengan jiwaku

semoga kau bukan hanya sekedar menjadi

hiasan pusat air mata

untuk sebuah nama