SULUH MHSA VIII

44
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012 1

description

Majalah berita dan kebudayaan madura

Transcript of SULUH MHSA VIII

Page 1: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012 1

Page 2: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 20122

Page 3: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012 3

ikon itu justru tidak terurus di Madura seba-gai simbol. Sebenarnya, ikon apakah yang kemudian akan dipakai Madura yang dapat menjadi ikon kolektif? Jembatan Surama-dukah?

Tetapi jika jembatan sebagai ikon, jembat-an seperti itu meski tidak sepanjang Suram-adu bisa ditemukan di mana saja. Di Batam terdapat Jembatan Barelang, di palembang terdapat Jembatan Ampera, di Kalimantan, dan sejumlah jembatan penghubung lain-nya. Jika jembatan ikon ini benar-benar dijadikan ikon, pastilah ahistoris dan tidak memiliki spesifikasi kemaduraan. Di luar itu, secara humorik, Jembatan Suramadu se-benarnya jembatan yang berlalu dari Sura-baya-Menuju Madura. Bila memang harus jembatan, perlu dibuat jembatan lagi, dari Madura menuju Surabaya, Madusura.

Itulah sebabnya, banyak yang bertanya, apa yang akan ditonjolkan Madura seba-gai ingatan kolektif yang ketika nama itu disebut ingatan orang-oang langsung ter-tuju ke Madura? Mungkin saja masjid yang menandakan masyarakatnya memiliki re-ligiusitas yang tinggi. Tapi masjid apa, di mana? Ataukah setiap orang diimbau me-miliki sebentuk bangunan musala serupa masjid serupa di Bali di mana hampir setiap rumah memiliki pura beraroma dupa?

Soal ikon ini sebenarnya soal kecil tetapi pada hal-hal kecil kadang dilupakan. Bila lupa pada hal kecil, bagaimana seseorang bisa mengingat sesuatu yang lebih besar? Ikon (lambang, simbol dan citraan) memiliki daya kultural yang mampu menggerakkan publik untuk berpikir, berimajinasi, berek-spresi/berperilaku dan berkarya. Ikon kota budaya yang dimiliki Yogyakarta. Ikon itu memiliki andil (baca: tantangan) atas ter-jaganya iklim/tradisi kreatif di Yogya yang melahirkan ide, ekspresi dan karya material berkualitas. Yogya memiliki banyak ikon. Ada ikon lama, misalnya kraton Ngayogya-karta Hadiningrat dan Kadipaten Pakuala-man (situs dan arsitektur bersejarah).

Ada juga jalan Malioboro (situs modern/urban perkotaan), gudeg, bakpia dan sate klathak (kuliner). Ada sepeda, andong dan becak (transportasi rakyat), kampus dan sekolah (pendidikan). Begitu juga sendra-tari Ramayana (tari klasik), pasar malam/sekaten (budaya tradisi), festival kesenian

Tanggal 23 Januari 1948, Madura dinyatakan sebagai negara Madura oleh Van der Plas (antek Van Mook, Gubernur Jenderal Hindia Belanda). Saat itu, Van der Plas bertindak sebagai Gubernur Belanda di Jawa Timur. Wilayah negara Madura saat itu, tetap tidak berbeda, meliputi Pulau Madura dan pulau-pulau kecil sekitarnya.

Pada tanggal 20 Februari 1948 pemerintah Hindia Belanda mengakui berdirinya ne-gara Madura. Bertindak sebagai wali negara adalah RAA Tjakraningrat. Namun lantaran tekanan gerakan pro-republik, negara Ma-dura bubar dan akhirnya bergabung dengan Republik Indonesia. Lalau tanggal 19 Maret 1950, terbit Surat Keputusan Presiden RIS (Republik Indonesia Serikat) yang menetap-kan daerah Madura sebagai karesidenan dari Republik Indonesia. Keputusan Presiden ini ditindaklanjuti dengan serah terima kekua-saan di Madura kepada pejabat baru, R. Su-narto Hadiwijojo.

Dilihat dari proses pisahnya Madura sebagai negara menuju republik, Madura berusia lebih tua dari merdekanya Singapura (1965). Dihitung dari apa yang dilakukan Singapura yang lebih muda, yang dilakukan Madura bahkan garapan negeri ini, pasti jauh pang-gang dari api. Madura tertatih meski laut dan daratannya lebih luas. Madura tertinggal walau penduduknya dua kali lebih banyak dari Singapura.

Sepintas, pembanding ini (Madura v Sin-gapura) tidak imbang. Perbandingan ini sengaja merujuk daerah lain yang jauh lebih melesat kemampuannya. Sebab umumnya, antara satu hal dengan yang dibandingkan tidak bisa lebih baik. Tetapi setidak-tidaknya Madura bisa maju. Jika Singapura bisa maju Madura juga pasti bisa maju. Bila Singapura memiliki ikon patung Singa (Merlion), sebe-narnya Madura bisa membuat ikon, sama-sama binatang, sapi kerap. Ini sekedar men-jelaskan bahwa Madura memiliki ikon dan menjadi ingatan kolektif.

Ketika di Singapura, tidah sah rasanya wisa-tawan bila tidak mengunjungi patung Singa itu. Tetapi patung sapi kerap di Kamal Madu-ra, begitu kumuhnya. Bagaimana mau ber-pose dengan patung sapi yang kumuh dan tak terurus bila melihatnya saja sudah tidak tertarik. Padahal, kerapan sapi di Madura begitu tersiar ke manca negara dan tiba-tiba

Yogyakarta (FKY), Java Jogja Carnival dan Bienale Jogya (budaya modern). Otentisi-tas Kota yang kaya budaya, berjiwa dan berkarakter selalu memberikan inspirasi kepada warganya. Begitu pula Yogya, se-dang Madura?

Abu-abunya ikon di Madura ini mengan-cam lemahnya penguatan dan pewarisan nilai-nilai tradisi (kearifan lokal). Karena itu, ikon sengaja diciptakan sebagai manifestasi dari keinginan kolektif untuk kolektifitas ingatan pula. Ikon itu akan mendorong wisatawan untuk berkunjung ke Madura karena Pulau Garam ini memu-nculkan tanda-tanda sebagai daerah yang hidup.

Daerah yang ingin maju pada mulanya bertolak dari ikon sebagai sebuah mimpi menuju ikon-ikon lainnya yang kreatif. Di Mempawah, Pontianak, meski kaya po-tensi tetapi sebagai daerah Mempawah Gelisah. Di daerah ini memiliki istana Amantubillah, ritual tahunan Robo-robo, dan sejumlah pemandangan lainnya yang artistik. Tetapi apalah artniya artistik itu bila tanpa ikon seperti Tugu di Jogjakarta dan Rumag Gadang di Padang.

Mungkin agak terlambat mempertahan-kan arsitektur Madura sebagaimana Pa-dang memelihara nilai itu melalui rumah makan, gedung, dan perkantoran. Paling tidak nawaitu untuk membuat Madura lebih terdengar lebih dan tidak melulu terstigma sebagai penganut cluritisme politik Madura. Ikon ini bukan bermaksud mengikuti atau meniru yang telah dilaku-kan Syahrini dengan mempopulerkan kata alhamdulillah ya, sesuatu banget. Begitu pula SBY dengan kata lanjutkan, Surya Paloh dengan restorasi, atau lainnya.

Bila daerah tanpa ikon kultural, benda dana bukan benda, pada akhirnya sebagai sebuah “benda” Madura akan lenyap baik sebagai wilayah berbasis kultur maupun kontekstual. Madura lama-lama seperti seonggok jasad yang terlalu sering men-genakan topeng karena memakai aura orang lain. Begitu seringnya topeng di-pakai, onggok itu sampai lupa pada jati dirinya. Pada akhirnya, para pelancong yang tidak melihat tanda-tanda tentang Madura akan bernyanyi seperti Ayu Ting Ting ; ke mana, di mana Madura. (**)

Sapatorial

TANDA-TANDA

Page 4: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 20124

Suara Pembaca

Suluh utama

Suluh Khusus

Opini

Politika

Fokus Lensa

Eksotika

Generasi Bangsa

Akademia

Olahraga

Kriminal

Hoby

Obituari

Oase

Fokus LensaBertarung untuk meminang

5

6

10

12

16

20

22

26

32

34

36

38

41

42

designed by ahmed david

Redaksi SULUH MHSA

Majalah Bulanan Suluh MHSA diterbitkan SAI (Said Abdullah Institute) Pembina: MH Said Abdullah, Januar Herwanto, Moh Rasul Junaidy. Pemimpin Umum/Redaksi: Abrari Alzael. Sekretaris Redaksi: Zeinul Ubbadi. Lay Outer: Ahmed David. Reporter: Busri Thaha, Veros Afif Fotografer: Saiful Bahri. Biro Sampang: Mamak. Biro Pamekasan: Syah Manaf. Biro Sumenep: Fauzi. Biro Bangkalan : Safi’. Biro Jakarta: Alwi Assegaf Koresponden: Rozaki (Jogja), AE: Badrul Ahmadi, Pemasaran: A. Rusdi Gogo. Alamat Redaksi : Jalan Adirasa 5-7 Sumenep 69417 tel. 0328-674374 faks. 0328-661719. email : [email protected]. web : www.suluhmhsa.com.

daftar isi

Menjelang akhir tahun lalu, Kamis tang-gal 29 Desember 2011, sekelompok orang membakar pondok pesantren di desa Karang Gayam Kecamatan Omben Kabupaten Sampang. Hal itu dilakukan karena pesanten dimaksud diduga me-nyebarkan ajaran syiah sesat.

MADURA Makin tak Beraura

Bermula dari keluhan wisatawan saat memasuki Madura, sesaat setelah turun dari jembatan terpanjang se Asia, Suramadu. Di lokasi pasar rakyat yang kumuh, mereka bersuara sumbang tentang Madura sebab tidak melihat tanda-tanda kemaduraan saat mereka lepas landas dari kaki jembatan.

Suluh Utama

Page 5: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012 5

Lucunya, isu yang menjadi pemantik adalah konflik antar faham. Yakni Sunni-Syiah. Sesama Islam yang seharusnya saling menolong, malah saling membi-nasakan. Sekalipun ada beberapa versi yang mengatakan bahwa kejadian itu terjadi gara-gara Syiah yang disebarkan di daerah tersebut adalah Syiah sesat, pembakaran itu tetap tidak perlu terjadi.

Menurut kabar yang saya kumpulkan dari masyarakat sekitar dan dari media-media, Syiah yang dipimpin Tadjul Muluk itu memang sedikit menyimpang dari ajaran Islam pada umumnya. Misalnya, tidak harus shalat jumat, Dluhur dan Ashar cukup Shalat Ashar saja, Kawin kotrak dan lain sebagainya. Hal ini tentu memang sangat meresahkan bagi warga di sekitarnya. Namun tentu ada cara yang lebih elegan untuk menyelesaikannya dari pada “membakar”.

Di lain sisi, petugas kepolisian seharusnya sudah bisa mendeteksi sejak dini dan mencegahnya. Sebab konon katanya, isu syiah sesat di kecamatan Omben ini bukanlah isu baru. Ia sudah lama menjadi api dalam sekam, bahkan sejak sekitar tahun 2006. Saya yakin polisi punya ilmu yang cukup, peralatan dan kewenangan yang memadai untuk hanya mendeteksi dan mengawasi bibit konflik ini. Maka jika tidak mau mengatakan LENGAH, tentu namanya adalah PEMBIARAN, yakni dengan sengaja membiarkan konflik tersebut meledak.

Tadjul Muluk, Pimpinan aliran Syiah yang dianggap sesat ini selamat dari amuk massa. Ia pergi beberapa hari sebelum terjadi pembakaran. Ia sepertinya lebih tahu dari polisi bahwa akan terjadi sesuatu pada mushalla yang dipimpinnya.

SYAFI’E ARBYPemerhati Keagamaan tinggal di Guluk-Guluk

RSUD BERUBAH JADI BLUD

Sekarang Rumah Sakit Daerah di Sumenep telah berganti nama Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Seluruh kebutuhan rumah tangga kecuali gaji pegawai PNS, dibiayai sendiri oleh pihak rumah sakit. Hal ini tentu berdampak sangat besar pada persoalan biaya. Tentu lebih mahal dari biasanya.

Soal biaya, tak terlalu penting, sebab untuk rakyat miskin pemerintah sudah menyiapkan program jamkesmas. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah persoalan pelyanan. Jangan samapai berubah nama, tapi pelayanan tetap pas-pasan.

AHMED DAVID Warga Pandian Sumenep

AMUK DAN POLISI INDIA

Seingat saya, di Madura tidak pernah terjadi kekacauan apapun yang disebab-kan oleh persoalan SARA. Apalagi soal agama. Namun beberapa minggu lalu saya sangat terkejut dengan kejadian di Kabupaten Sampang. Di mana sebuah mushalla dan tempat tinggal seorang kiai di bakar oleh warga.

BERAS MISKIN YANG MEMISKINKAN

Akhir-akhir ini saya seringkali melihat demo ten-tang raskin di media. Para peserta demo menun-tut pemerintah untuk segera mencairkan beras miskin yang sudah tiga bulan tidak dicairkan. Usut punya usut ternyata hal ini disebabkan stok beras di gudang dolog habis. Kata pak kepala gudang, defisitnya stok beras ini gara-gara pera-turan gubernur yang melarang pengadaan be-ras miskin dengan beras impor.

Orang-orang miskin, kata para pendemo, kini bingung mau makan apa. Sebab beras yang bia-sa mereka peroleh dari pemerintah, kini mandeg tak lagi dikirim. Saya sendiri sangat bersimpati atas nasib para warga miskin di Sumenep. Ingin rasanya terjun juga ke jalan ikut berteriak agar pemerintah segera mencarikan solusi.

Namun niat itu menjadi urung tatkala ingat bahwa yang menyebabkan stok beras miskin itu defisit adalah kebijakan gubernur untuk tidak menggunakan beras impor demi memenuhi stok raskin. Kebijakan ini menurut saya perlu didukung, sebab itulah bentuk nasionalisme yang sebenarnya. Di mata saya, Pak De Karwo (Gubernur Jatim) jelas sedang mengajak jajaran-nya untuk lebih menghargai petani sendiri dari pada petani luar negeri.

Maka berdemo tanpa kejelasan solusi, bagi saya hanya menambah kegaduhan yang ujung-ujun-gnya akan membuat kebijakan Pak De Karwo seakan-akan salah. Seakan kita memang perlu terus mengimpor beras dan membiarkan petani kita miskin dan tak berdaya.

Mari lawan para pejabat yang ingin kembali mengimpor beras hanya karena berharap fee dari pemasok beras luar negeri itu. Bagi saya, menggunakan beras impor sebagai beras miskin akan semakin membuat miskin masyarakat kita yang sudah miskin.

KHAIRUL MUFIDStaf Pengajar di SMK Nurul Huda Gingging Bluto

Terkait kerusuhan dan pembakaran yang ter-jadi di kabupaten Sampang, banyak pihak yang memang menyesalkan. Namun kita memang perlu melihat persoalan lebih jernih sebelum memvonis pihak mana yang salah dan mana yang benar.

Sementara terkait peraturan gubernur yang tidak membolehkan menggunakan beras impor untuk beras miskin, memang bisa jadi demo-demo mamang tidak murni bersumber dari masyarakat. Namun bersumber dari orang berkepentingan dengan adanya impor beras. Wallahu A’lam....

dari redaksi

suara pembaca

Foto: Saiful Bahri/SM

Page 6: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 20126

tSULUH UTAMA Aroma Madura Kian tak Beraura

Warung-warung kumuh seperti ter-hampar di utara jembatan Suramadu kerap dijumpai di daerah lain seperti Jatinegara, sekedar menyebut contoh. “Serasa bukan di Madura,” salah satu dari wisatawan itu mengeluh di bawah panas matahari.

Kondisi ini paradoks dengan kabar yang tersiar bahwa Madura memiliki banyak hal. Tersiar, Madura tidak hanya kaya budaya lokal, tetapi di sisi lain Ma-dura merupakan pulau yang memberi-kan sumbangsih pada nilai pendidikan, terutama kontribusi pesantren yang menjadi corong dinamika intelektualitas

MADURA Semakin Tak Beraura

Bermula dari keluhan wisatawan saat memasuki Madura, sesaat setelah

turun dari jembatan terpanjang se Asia, Suramadu. Di lokasi pasar rakyat yang

kumuh, mereka bersuara sumbang tentang Madura sebab tidak melihat

tanda-tanda kemaduraan saat mereka lepas landas dari kaki jembatan.

Foto: Saiful Bahri/SM

Page 7: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012 7

t

keislaman. Madura juga kaya tradisi yang menjunjung nilai persaudaraan antar-sesama. Banyak persoalan sosial yang rela dikerjakan bersama. Rasa simpati dan empati kepada sesama sangat ken-tal dalam kejiwaan masyarakat Madura.

Masyarakat Madura dikabarkan siap diminta sumbangsih pertolongan kapan pun dibutuhkan. Menghormati yang tua dan menyayangi yang muda adalah pola hidup yang selalu dilestarikan. Ter-lepas dari identittas Madura di atas, ada beberapa hal yang berdampak negatif dan perlu disadari masyarakat Madura jika berharap Madura ke depan mampu membentengi eksistensi identitasnya dan mampu berdialektika dan bersaing dengan dunia di luar.

Namun melihat Madura saat ini, apa “istimewanya” Madura? Obyek wisata di Madura hidup segan mati tak mau. Pemerintah menyisakan kesan untuk menggarap semua obyek wisata dari latar apa pun. Saat semua obyek wisata digarap dengan anggaran yang terbatas, semua tidak selesai. Bahkan, belum sem-purna hasil bangunan obyek wisata, kerusakan datang lebih cepat dan di ta-hun berikutnya seperti itu lagi. Meski ada obyek wisata yang agak tuntas, tetapi hanya sebagian kecil seperti masjid yang menjadi satu paket di Makam Syaikhona Kholil, Bangkalan.

Di luar obyek wisata, identitas yang meneguhkan ingatan kolektif Madura tidak tercermin dalam kesatuan Madura yang terintegrasi mulai dari Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Setiap kabupaten di Madura melakukan “onani”, sibuk dengan dirinya dan lupa pada organ besar yang mewadahinya, Madura.

Kiranya, menjadi penting saat ini se-belum Madura dilupakan banyak orang adalah usaha merangsang kepedulian semua pihak terhadap Madura. Revital-isasi budaya lokal sejatinya memungkin-kan dalam menjawab tantangan zaman. Langkah ini sebagai tindak lanjut menu-ju pelestarian Madura secara massif agar semua angkatan tidak lepas akar buday-anya. (*)

Nyaris Tanpa Jejak

Jika Aceh dikenal serambi Mekkah, Madura serambi Madinah. Dulu begitu, atau setidaknya akan dibuat begitu un-tuk menambah identitas Madura seba-gai daerah yang berpijak pada religiusi-tas. Memang, tak banyak daerah yang mendapat kehormatan dilekati label “istimewa” ini. Tetapi benarkah Madura telah seperti itu, adakah, atau apa saja indikasinya indikasinya?

Sejarah, memang menggariskan ke-hidupan manusia Madura sebagai ikon yang unik, ulet, dan tidak gampang me-nyerah. Namun jika diamati, masyarakat Madura selalu dideskripsikan oleh etnik lain sebagai sekelompok yang tidak unik. Budayawan D Zawawi Imron menyadari, seringkali gambaran tentang masyarakat Madura dalam pandangan orang luar bernuansa negatif. ‘’Etnik lain meng-gambarkan masyarakat Madura sebagai kelompok orang yang keras, penden-dam, mudah tersinggung, dan tidak tol-eran terhadap orang lain,’’ ujarnya.

Ada lagi yang memerihkan hati, ke-tika seorang peneliti (carok) Elly Dowen Buusma, justru menyebut Madura seba-gai Sisilia of Java. Sebagai peneliti pasti dia berpijak pada data, bersumber pada temuannya di lapangan yang mung-kin memang seperti itu. Sebagaimana jamak diketahui, Sisilia merupakan se-buah negara yang di dalamnya penuh dengan penyamun dan perompak bajak laut. Tetapi itulah gambaran orang luar. Meski sebagian pihak tersinggung, teta-pi sedikit orang yang bisa mewujudkan kenyataan yang terbalik. Apalagi pemb-

Page 8: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 20128

SULUH KHUSUS Aroma Madura Kian tak Beraura

elaan positif bila yang berbicara sesuatu yang lain? Bahkan komunalitas lintas Madura sampai saat ini terseok dan tak terbangun secara konstan.

Salah satu tradisi yang amat pent-ing bagi masyarakat Madura adalah kesopanan yang harus dijunjung tinggi. Walau orang di luar Madura menilai mereka sangat kasar, namun penghor-matan terhadap nilai-nilai kesopanan tinggi sekali. Dasar utama dari nilai-nilai kesopanan adalah penghormatan orang Madura kepada orang lain, terutama yang lebih tua. Nilai-nilai kesopanan ini mengatur hubungan antargenerasi, kel-amin, pangkat dan relasi sosial.

Masyarakat Madura tidak mau direme-hkan, namun demikian penonjolan diri juga tidak dihargai. Sifat yang demikian termasnifestasikan dalam ungkapan madu ben dara (madu dan darah), yang berarti bila orang Madura diperlakukan secara baik, menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dan penghormatan, maka balasannya adalah kebaikan pula. Se-baliknya, bila diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil, balasannya jauh lebih berat bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah. Tetapi sekali lagi, itu dulu. Kini?

Meredupnya aura Madura disebabkan oleh banyak faktor. Madura ibarat lapan-gan sepak bola. Terlalu banyak pemain bola Madura yang berada di tempat lain, di luar Madura. Pada saat di lapangan itu kosong, pemain dari luar Madura berdatangan dan bermain dengan cara-nya sendiri, dengan budayanya sendiri. Selain itu, pemain Madura merasa tidak kerasan tinggal di lapangannya sendiri. Saat berada di lapangan orang lain, ia merasa lebur di situ dan merasa bukan berasal dari Madura.

Madura ibarat kerajaan yang tidak mendapat perhatian dari raja dan masyarakat di sekelilingnya. “Ada seki-tar 13 juta warga Madura di Indonesia. Hanya 3 juta jiwa yang tinggal di Ma-dura,” kata Mien Ahmad Rifai, putera Ma-dura yang juga peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu.

Manakala jaman berubah, karakter masyarakat Madura yang konservatif itu seakan tertinggal jauh di belakang. Ini terbukti pada tahun 2006, terjadi tawuran dengan menggunakan senjata khas Madura, clurit, di Kecamatan Batu Marmar, Pamekasan. Peristiwa yang di-picu sengketa tanah itu menewaskan tujuh orang, dan puluhan lainnya luka-

luka. Banyak orang beranggapan, peris-tiwa kekerasan itu terjadi karena dipicu “budaya” kekerasan yang dimiliki etnis Madura. Padahal, sebetulnya tidak ka-rena masalah yang sesungguhnya cuma persoalan ekonomi biasa.

Antropolog asal Universitas Radboud Nijmegen, Belanda, Huub de Jonge mencatat kemampuan bertahan hidup masyarakat etnis Madura terlihat pada fenomena masyarakat Pulau Raas di Bali. Keuletan dan ikatan pertemanan yang dimiliki, membuat masyarakat Pulau Raas di Bali sukses. Masyarakat Pulau Raas di Bali sempat dimusuhi, bahkan diusir saat Indonesia tertimpa masa kritis. “Tetapi akhirnya masyarakat Pulau Raas yang bertahan dan tetap sukses,” urai Huub de Jonge.

Lontaran Huub de Jonge menggu-ratkan apresiasi yang luar biasa dengan menegasikan stigma keras melainkan tegas dan ulet. Tetapi di sisi lain pada masyarakat yang tidak menyadari bu-daya leluhur yang santun dan penuh penghormatan, kekerasan ini justru dijadikan alat untuk mewujudkan ke-inginan dengan cara apapaun termasuk dengan model yang sangat barbar. Na-mun demikian, perhatian yang besar

Disadari atau tidak, Madura secara komunal perlahan-lahan memudar. Dari segi budaya, jelas sekali indikasi punahn-ya Madura terutama ketika perlahan tapi pasti, kesenian lokal Madura seperti ma-copat dan sungkeman kepada orangtua mulai sedikit peminatnya. Begitu pula dari segi bahasa dan kebanggan menjadi warga madura terus mengalami erosi. Dari sisi geografis, pulau-pulau di ma-dura tenggelam akibat penjarahan dan penambangan pasir.

Pulau-pulau yang tersisa saat ini dikua-sai asing dan Madura tersisih dari dara-tannya karena tak punya modal dan tak bisa bersaing lalu dikucilkan oleh sistem kapitalisme. Warga Madura dari sekitar 13 juta dan hanya tersisa sekitar 4 juta yang menghuni tanah kelahirannya, menjadi tanda lain Madura terus memudar. Selain

Maka semakin lengkaplah ketiadaan Madura dari satu waktu ke masa yang lain. Tak ada lagi lambang pemersatu Madura bahkan jembatan Suramadu pun menjadi jembatan pemisah antara kaya dan si miskin. Sebab saat siang hari, penumpang bus ekonomi tak bisa melin-tasi jembatan itu. Maka apa maknanya jembatan Suramadu bagi warga me-nengah ke atas bila untuk menikmatinya harus berpura-pura menjadi kelas me-nengah ke atas dengan bus patas?

Transformasi budaya global yang kemudian mulai bersentuhan dalam tatanan kehidupan masyarakat Madura; infrastruktur budaya yang bergerak mel-alui berbagai aktifitas masyarakat telah menjadi wilayah yang kurang mengun-tungkan bagi kepentingan fenomena budaya Madura. Hal ini lantaran sendi bu-

Frustasi Geografis-Kultural

itu, isyarat kemaduraan yang mestinya terpendar dari semua kota juga tidak je-las lagi tanda-tandanya.

EDHI SETIAWAN

Page 9: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012 9

daya yang telah menjadi bagian penting tersebut, mengubah image masyarakat Madura sampai pada wilayah struktur dan pola hubungan sosial.

Revitalisasi budaya menjadi lebih penting dalam mengembangkan strate-gi perkembangan, sehingga nantinya diharapkan penempatan posisi budaya Madura bukan sekedar menjadi wa-cana dalam perbincangan sesaat, tapi bagaimana menguatkan apresiasi ter-hadap pemaknaan budaya menjadi roh kesejarahan perkembangan masyarakat. Inti dari gejala-gejala ini sering terlihat dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat etnik Madura, baik yang ber-mukim di Pulau Madura, maupun yang bertebaran sekitar pesisir Pulau Jawa.

Apa yang perlu dilakukan Madura dengan krisis semacam ini? Muham-mad Abid al-Jabiri, seorang intelektual asal Maroko, di saat mengkaji nalar akal Arab, berkesimpulan bahwa penyebab

terpuruknya dunia Arab-Islam di hada-pan peradaban lainnya adalah karena kecenderungan mengulang-ngulang tradisi lampau tanpa melakukan kritik dan pembaharuan di masa-masa sete-lahnya. Dunia Arab-Islam dijangkiti pen-yakit ’al-fahmu al-turatsi li al-turats’, mem-baca tradisi lampau dengan pembacaan lampau. Kondisi keterpurukan seperti ini sebenarnya ada kemiripan dengan apa yang dialami Madura dewasa ini.

Membaca tradisi dengan kacamata dan tuntutan kekinian, adalah mega proyek yang perlu dilakukan oleh Madura. Den-gan modernisasi, Madura perlu melakukan rekontruksi tradisi dari dalam tradisinya. Modenisasi bukan berarti mengganti se-cara totalitas tradisi lokal, kemudian meng-gantinya dengan di luarnya. Hal itu tidaklah mungkin, karena hanya akan menghilang-kan identitas kemaduran itu sendiri. Jika diposisikan, Madura saat ini adalah ego dan tradisi masa lalu dan tradisi di luarnya adalah the others.

Karena itu Madura perlu mampu

berdialektika dengan the others terse-but secara proporsional. Madura perlu membaca ulang tradisinya, dan memi-lah-milih yang masih layak ditradisikan; mempertahankam tradisi yang selaras dengan nilai ajaran agama, etika, rasion-alitas, dan modernitas, dan meninggal-kan tradisi yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.

Sebab, jika hanya berhenti pada pelestarian dan menganggap budaya sebagai buah karya angkatan-angkatan sebelumnya merupakan tolak ukur yang statis, maka akan terjadi kekhawatiran, komunitas akan hidup dengan meny-eret diri mundur ke masa silam sehingga menjadi kian tergenang dalam lumpur keterpurukan peradaban. Ini untuk me-nepis anggapan, bahwa buah karya bu-daya masa silam dianggap yang paling sempurna dan berlaku di segala kurun zaman. Pemahaman semacam ini sama artinya sikap bunuh diri kolektif dari segi budaya. (**)

ini hanya datang dari pihak luar negeri dan hanya sebagian saja di dalam negeri seperti D Zawawi Imron, Latief Wiyata, Kadarisman Sastrodiwirjo, Syukur Gozali, dan sejumlah nama lainnya (sekedar me-nyebut contoh).

Latief Wijaya menyarankan agar etnis Madura menyadari, prilaku kekerasan bu-kan sikap yang diinginkan oleh nilai luhur Madura. Kesadaran itu seharusnya tercer-min dengan keinginan menghapus mind-set yang selama ini ada. “Mindset itu harus dibingkai dengan ke-Indonesia-an yang saling menghargai dan menghormati, bersatu dengan damai, aman tentram dan sejahtera,” ungkap Latief.

Itu juga yang diinginkan guru besar Universitas Negeri Malang, Syukur Go-zali, asal Madura itu. Perubahan mindset yang diharapkan dari etnis Madura tidak bisa disandarkan pada masyarakat Ma-dura sendiri. Perlu ada upaya dari pihak lain untuk mendorong hal itu. Pemer-intah, mau tidak mau menjadi salah satu pendorongnya. Butuh upaya terus menerus dari pemerintah untuk men-dorong terjadinya perubahan mindset itu. Karena itu, Pendidikan menjadi jawa-ban dari semua aura madura yang nyrais tak terindra. “Melalui pendidikan formal

harus ada upaya untuk mewarisi nilai budaya Madura,” katanya Syukur Ghazali.

Pada situasi Madura yang memiliki kegersangan aura, Gerakan menumbuh-kan kecintaan kepada seni tradisional Madura, juga menjadi salah satu cara untuk menanamkan nilai luhur budaya Madura. Memang, ini bukan semudah membalik telapak tangan. Hubungan sosial masyarakat Madura selalu saling

menghormati dan menghargai sebagai sesama manusia dan menjaga untuk tidak saling menyakiti. Harga diri atau martabat adalah nilai yang sangat men-dasar dalam masyarakat Madura. Harga diri harus selalu dipertahankan agar tidak diremehkan orang lain. Tetapi masalahn-ya, aura Madura tidak tercermin dalam zona area Madura dan pulau ini terasa sepi, yatim ikon dan sunyi serasa bukan Madura karena tanpa tanda-tanda. (**)

Foto

: Sai

ful B

ahri/

SM

ELEGAN: Jembatan suramadu menjelang malam tiba. Tampak cantik bertahta cahaya

Page 10: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 201210

SULUH KHUSUS Kebudayaan Madura... Nasibmu Kini...

pi di semua daerah. Bahkan cinta tanah air, nasionalisme juga men-galami hal yang sama.

Banyak faktor yang telah mem-buat situasi kebudayaan tidak sep-erti dulu lagi. Dalam garis besar ada dua hal yang menyebabkan kebudayaan terjerembab. Pertama soal kebutuhan, dan yang kedua menyangkut kekuasaan. Pada kon-teks kebutuhan, sebagian besar masyarakat saat ini telah membu-tuhkan yang lain dengan melupa-

kan kebudayaan itu sendiri, termas-uk seni dan tradisi yang berbasis lokalitas.

Begitu pula kekuasaan. Saya amati tidak semua penguasa mencintai dan mengurusi budaya, seni, dan tradisi. Mungkin saja cara pandangnya sudah berbeda. Saya melihat kebudayaan terjerat san-dra. Ia dimunculkan pada ruang yang terjebak dalam rangka. Sep-erti ada kalimat dalam rangka ini, mari kita lakukan itu. Akibatnya se-

Kepunahan Budaya itu Kian Terasa

Pelan tapi pasti, kepunahan Ma-dura dari sisi budaya, tradisi, bahasa, dan ornamen lainnya

semakin terasa. Ini terjadi karena terjadi benturan peradaban, hi-langnya rasa kecintaan dan kepe-milikan atas Madura secara massif. Berikut penuturan Budayawan Edy Setiawan yang dikemas secara ber-tutur.

Saya turut merasakan betapa kebudayaan daerah terus-menerus susut. Ini tidak saja di Madura teta-

SARONEN: Musik yang biasa digunakan untuk mengawal kerapan sapi ini kini terancam punah.

Page 11: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012 11

cara substansial berbudaya menja-di seperti itu adanya, tidak menjadi religiusitas hari-hari.

Itulah antara lain mengapa ke-budayaan di Bali menjadi sangat jauh apabila dibandingkan dengan di Madura. Kebudayaan di Bali men-jadi religiusitas, hidup dan melekat setiap hari. Di Madura bukan tidak bisa tetapi butuh latihan, kebi-asaan, dan cost yang tidak sedikit. Hanya, sebagian saja yang menya-dari bahwa kebudayaan itu butuh gizi biar bertenaga.

SUMRINGAH: Dua orang penari sedang memperagakan diri sebagai sapi kera-pan dalam acara Semalam di Madura.

Sewaktu saya keliling Eropa mengusung topeng Madura (Sumenep), butuh waktuu berhari-hari untuk penjiwaan ini. Agak sulit menemukan seniman yang begitu topeng di pasang, seolah-olah ter-jadi sublimasi antara topeng dan penarinya, menyatu. Penjiwaan ini memunculkan totalitas berkeseni-an karena topeng sebagai raga kes-enian menjadi bagian tidak terpi-sahkan dengan penarinya. Itu dulu, sekedar menyebut contoh.

Saat ini, banyak penari topeng atau bukan topeng yang hanya sekedar menari. Tidak tercermin totalitas dalam auranya. Wajah yang tersirat terlihat hambar ka-rena sebagian penari kontemporer hanya sekedar menari terkait dalam rangka (acara tertertu). Bagi saya ini masih jauh lebih baik ada sebagian generasi muda yang peduli khaz-anah lokal.

Memang, totalitas tidak gam-pang karena memerlukan latihan dan penjiwaan. Saat di Eropa, tim topeng Madura (Sumenep) men-dapat sambutan yang luar biasa karena dianggap total itu tadi. Karena itu pertanyaannya bukan mengapa bisa total, tetapi berapa banyak latihan, gizi dan tenaga yang telah dikeluarkan. Inilah yang kadang-kadang tidak disa-dari bahwa proses berkebudayaan itu tidak mudah meski sebenarnya tidak sulit.

Saat ini, ada pergeseran nilai dari semula substansial beralih ke seremonial. Hanya untuk diin-gat, bahwa apapun khususnya ke-budayaan memiliki sejarah. Saat kesejarahan itu tak dimiliki, maka produk kebudayaan terlepas dari akarnya. Karena tercerabut dari akarnya, terasa hambar disamping telah terjadi migrasi dari substan-sial ke seremonial.

Untuk mempertahankan kebu-dayaan Madura ini diperlukan re-vitalisasi. Artinya, kita tidak salah menghilangkan trardisi yang tidak baik seperti kardi (egoisme) yang pernah muncul di Madura tempo dulu, dan diganti dengan kebiasaan lainnya yang lebih bagus. Konon, warga Madura tempo dulu dalam

kerapan sapi tidak mau dikalah-kan dan karenanya harus menang. Mungkin hanya di Madura yang menobatkan juara kategore pasan-gan sapi kerap yang kalah. Saya kira soal kardi masa lalu ini layak diganti dengan etos yang lebih sportif dan inovatif.

Itulah pentingnya sejarah agar kita bisa belajar pakem yang masih bisa dilestarikan dengan kebiasaan lama yang tidak harus diteruskan lagi. Soal sejarah ini, sekedar con-toh, saya kok tidak yakin semua generasi muda mengenal Arya Wiraraja yang namanya diabadi-kan menjadi perguruan tinggi. Ini terjadi karena popularitas Arya Wi-raraja tidak terekam dengan baik, khususnya bagi generasi muda Sumenep. Tidak heran apabila kaum muda lebih tahu sosok yang lain yang tidak menyejarah dalam risalah Madura.

Padahal, Arya Wiraraja seorang tokoh di era Singasari yang punya peranan penting. Hanya karena tidak sepaham dengan Kertane-gara, Ayia Wiraraaja didudukkan sebagai adipati Sumenep. Cuma akhirnya, generasi muda lebih mengenal Teuku Umar, Pattimura, Hasanuddin, atau Kartini. Padahal, Wiraraja ada di sini (Madura), dulu. Sekali lagi ini kan soal budaya dan keyakinan bahwa sesuatu dari daerah lain itu lebih dengan cara melupakan yang berharga di seki-tarnya.

Seperti pendidikan misalnya, sebagian dari kita lupa pada potensi yang ada di sekitar ru-mah. Seolah-olah, pekerjaan itu hanya menjadi PNS. Bisa dibay-angkan, setiap tahun Sumenep telah mencetak sarjana kurang lebih dari 1000 orang. Kalau se-mua harus menjadi PNS, apa kata dunia? Karena itu generasi muda harus menciptakan budaya yang lain, etos kerja. Ada banyak hal yang bisa dilakukan baik men-yangkut peternakan, perikanan, kuliner, kompetensi non formal, dan yang lain. Kita perlu mem-bangun budaya untuk berdikari dan tidak melulu tergantung ke-pada negara dengan cara menjadi PNS. (**)

Foto: Saiful Bahri/SM

Page 12: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 201212

Opini

Internet sudah cukup lama masuk di Indonesia dan pelan-pelan men-jadi semakin populer sejak sekitar sepuluh tahun terakhir ini. Persoalan-nya, berapa banyak dan bagaimana masyarakat Indonesia memanfaatkan internet sebagai sebuah ruang belajar alternatif, terutama dalam menyia-sati keterbatasan mutu lembaga pen-didikan dan akses terhadap ilmu dan pengetahuan?

Saat pertama kali mengenal in-ternet di Yogyakarta tahun 1999, di antara hal menarik yang dilaku-kan dalam berinternet bagi saya dan para penggemar buku atau mahasiswa adalah berburu buku elektronik. Waktu itu buku-buku berhaluan kiri sedang populer, teru-tama di kalangan mahasiswa, dan internet memberi kesempatan yang luas untuk mengakses buku-buku semacam itu. Jika di dunia offline buku-buku kiri waktu itu cukup sulit didapat karena adanya pelarangan dari pemerintah, internet menjadi ruang yang lebih bebas untuk buku-buku yang diberangus tersebut.

Dalam konteks yang lebih luas, proyek digitalisasi buku yang ke-mudian dapat diakses lewat inter-net hingga kini terus berlangsung. Project Gutenberg, perpustakaan digital tertua yang didirikan oleh Michael S. Hart pada tahun 1971, hingga November 2011 menyatakan telah memiliki 38.000 koleksi, dan terus bertambah setiap pekan. Ini adalah salah satu contoh tentang bagaimana internet menyediakan ruang bagi akses yang lebih terbuka.

Seiring dengan kecepatan perkem-bangan teknologi internet yang luar biasa dan sulit diterka, akses peng-etahuan dan informasi di internet tersaji dengan cara yang semakin beragam dan menarik. Di antaranya saya temukan dalam salah satu situs yang sangat terkenal: YouTube.

Situs tempat berbagi video yang

didirikan pada Februari 2005 ini pada dasarnya mirip pasar swa-layan. Aneka rupa video tersaji. Saya bisa menemukan video gol-gol indah para pesepakbola terkenal dunia, berita meninggalnya seorang ulama dari Madura, dokumentasi kegiatan lingkungan di sebuah SMA swasta di Madura, seekor anjing yang bisa melafalkan nama Obama, dan sebagainya.

Yang menarik, situs yang kini setiap hari dikunjungi lebih dari satu miliar peselancar itu sejak akhir Ma-ret 2009 lalu membuka sebuah salu-ran yang sangat menarik yang diberi nama YouTube EDU. Saluran ini dibuat untuk maksud menghimpun content pendidikan yang diunggah oleh civitas akademika di Amerika. Belakangan, kampus-kampus Eropa dan negara lain juga berkontribusi di saluran ini.

Saluran ini semakin memper-kaya pilihan bagi para pembelajar otodidak yang haus ilmu dan infor-masi. Saya dapat membayangkan, bagi masyarakat Indonesia atau warga negara dunia ketiga lain-nya, menikmati ceramah ilmuwan-ilmuwan terkemuka melalui saluran ini akan serupa dengan harta karun bernilai tinggi.

Setelah saya membaca esai refle-ktif Peter Singer tentang kemiskinan di Bangladesh di jurnal Philosophy and Public Affair (1972) yang meru-pakan bahan diskusi di kelas saya saat kuliah di Utrecht University bulan September 2009 lalu, saya betul-betul menikmati saat kemudi-an menyimak ceramah filsuf terke-muka ini di Macquarie University Australia pada Juli 2009 yang saya temukan di saluran baru YouTube ini. Ceramah sekitar 70 menit ber-tajuk “Climate Change, Eating Meat and Ending Poverty” ini tidak saja membantu saya untuk lebih mema-hami esai klasik di bidang etika tera-pan tersebut, tetapi juga berhasil

M MUSHTHAFA

YouTube University

Tak perlu kuliah ke luar neg-

eri jika hanya mau menyimak

perkuliahan dari kampus

terkemuka du-nia atau presen-

tasi orang-orang atau pemikir

ternama.

Alumnus program Erasmus Mundus Masters Course in

Applied Ethics di Utrecht Uni-versity, Belanda, dan NTNU,

Trondheim, Norwegia.

Page 13: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012 13

Opinimendorong saya untuk membaca buku terbaru Singer: The Life You Can Save: Acting Now to End World Poverty (2009).

Hal serupa berulang saat saya menemukan ceramah seorang filsuf, dan aktivis lingkungan India terkemuka: Vandana Shiva. Cer-amah-ceramahnya yang kritis dan radikal yang cukup banyak di salu-ran YouTube ini sungguh menyem-angati saya untuk segera menuntas-kan membaca beberapa bukunya.

Sebenarnya, berbagai disiplin keilmuan dan tema dapat kita te-mukan di saluran ini, mulai dari soal perdagangan karbon, bailout dalam konteks resesi ekonomi, game in-ternet, diferensial dan kalkulus in-tegral, dan yang lainnya. Banyak kampus terkemuka yang membuka akun untuk berbagi video kuliah atau ceramah di saluran ini, seperti MIT, Harvard University, Cambridge University, dan yang lainnya.

Fenomena semakin terbukanya akses pendidikan ini dalam konteks internet tentu saja terjadi tak hanya melalui saluran YouTube ini. News-week edisi 9 November 2009 me-nyebutkan bahwa pada tahun 1999 Tübingen University di Jerman men-jadi kampus pertama yang membuka akses file-file ceramah dan perkulia-hannya melalui internet. Pada tahun 2002, MIT menyusul. Dilaporkan bahwa dari 1,2 juta pengunjung situs MIT tiap bulan, 45 persen di antara-nya adalah para pembelajar otodidak yang mengakses ceramah-ceramah ilmiah tersebut.

Lalu apa arti semua ini bagi masyarakat Indonesia? Terbukanya akses content pendidikan melalui internet memang sebuah hal yang sangat menggembirakan. Tak perlu kuliah ke luar negeri jika hanya mau menyimak perkuliahan dari kampus terkemuka dunia atau presentasi orang-orang atau pemikir ternama. Akan tetapi ini tentu mengandai-kan beberapa hal yang bisa jadi masalah, atau lebih tepatnya tan-tangan, bagi masyarakat Indonesia.

Secara teknis, akses internet di Indonesia masih belum merata, dan kalaupun ada, kebanyakan masih belum bisa secara nyaman men-gakses file video semacam di You-Tube dengan lancar. Masalah teknis lainnya terkait dengan kemampuan bahasa, karena semua ceramah di YouTube EDU mensyaratkan pen-

guasaan bahasa Inggris yang cukup baik untuk bisa menyerapnya se-cara optimal.

Content pendidikan berbahasa Indonesia, terutama dalam ben-tuk video, memang masih belum banyak dikembangkan. Belakangan ini, di YouTube ada channel TEDx-Jakarta yang merupakan program pengembangan dari situs TED yang berdiri sendiri dan telah cukup lama berbagi content video presentasi dengan narasumber terkemuka dan tema-tema aktual yang inspiratif. TED, yang berpusat di New York, telah mempublikasikan video-video ceramah atau presentasinya secara gratis sejak Juni 2006 dan hingga kini memuat lebih dari seribu video untuk berbagai tema.

Kehadiran saluran TEDxJakarta ini sementara bisa mengatasi ke-terbatasan bahasa masyarakat Indonesia, karena TEDxJakarta memuat presentasi orang-orang Indonesia—dan dengan bahasa In-donesia. Di saluran tersebut, kita bisa mendengarkan kisah Anies Bas-wedan dengan program Indonesia Mengajar-nya, juga Ade Rai tentang masyarakat Indonesia yang sehat, atau juga Ridwan Kamil, arsitek dan desainer yang penuh inspirasi dan belakangan dikenal dengan gerakan Indonesia Berkebun.

Tentu saja content pendidi-kan di internet tak hanya berupa video. Akan tetapi, saya pikir kita akan sepakat bahwa media video akan lebih mudah diterima oleh masyarakat luas daripada, misalnya, buku atau bahan bacaan yang men-gandaikan kemampuan mencerna yang lebih kompleks.

Bagaimana dengan di Madura? Dalam pengamatan saya, masyarakat Madura mulai mengenal internet secara lebih luas sejak tahun 2007, saat Telkom mulai mengembangkan jaringan internet mereka ke wilayah kecamatan. Belakangan, penetrasi in-ternet ke wilayah desa mulai semakin meluas. Tambahan lagi, beberapa kalangan di Madura juga mulai meng-gunakan provider telepon seluler un-tuk akses internet.

Akan tetapi, seperti masyarakat Indonesia umumnya, tantangan yang paling besar sebenarnya terkait dengan mental. Sepertinya, sosok pembelajar mandiri yang haus akan ilmu dalam arti yang sebenarn-ya dan tak terikat dengan formali-

tas masih tak merata. Fenomena penjiplakan dan semacamnya, sep-erti juga soal ijazah atau sertifikat palsu, yang sampai sekarang masih saja muncul, dan mungkin saja juga terbantu dengan teknologi inter-net, jelas sangat bertolak belakang dengan semangat sosok pembela-jar mandiri yang diandaikan dalam kasus ini.

Sayangnya, di Madura, momen-tum penetrasi internet bersamaan dengan booming-nya situs-situs jejaring sosial seperti Facebook. Akhirnya, cukup banyak orang di Madura yang pertama kali menge-nal internet melalui Facebook. Ini juga terjadi di kalangan pelajar atau mahasiswa. Dengan demikian, pela-jar dan mahasiswa jenis ini menge-nal internet pertama kali sebagai tempat bersosialisasi, atau bahkan mungkin bernarsis-ria, dan bukan sebagai tempat untuk mengatasi keterbatasan perpustakaan di kam-pus atau sekolahnya—juga keter-batasan guru dan dosennya.

Jika belakangan ini mulai muncul gerakan-gerakan bertajuk “internet sehat” maka menurut saya salah satunya harus berupa upaya untuk mendorong masyarakat meman-faatkan internet sebagai ruang be-lajar alternatif dalam konteks akses yang terbatas dan kualitas pendidi-kan yang perlu terus ditingkatkan. Umpama ada anak lulusan SMA dan sederajat yang tak bisa melanjut-kan kuliah, kita bisa memberinya saluran alternatif. Mungkin dia bisa “kuliah” di semacam YouTube Uni-versity, atau TED, dan sebagainya. Saya juga berpikir bahwa saluran-saluran semacam ini, terlepas dari kekurangannya sebagaimana kele-mahan internet pada umumnya yang dinilai kurang mendalam dan mendangkalkan cara berpikir (Nich-olas Carr, 2011), mungkin saja bisa membantu mendorong tumbuhnya sosok pembelajar mandiri. Artinya, memanfaatkan kelebihan internet sebagai batu loncatan untuk mem-bentuk mental pembelajar.

Seorang pembelajar karbitan akan resah jika tak mendapatkan selembar ijazah setelah melalui proses pendidikannya. Tapi seorang pembelajar mandiri lulusan You-Tube University, sebutlah demikian, tak sedikit pun risau bila tak punya sertifikat atau apa pun yang men-yatakan bahwa ia telah mengikuti perkuliahan di sana. Siapa hendak bergabung?

Page 14: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 201214

Opini

Identitas sejatinya tak mempun-yai makna tunggal. Apabila di kartu penduduk kita tertera tempat lahir di Sumenep dan beribu-bapak yang be-rasal Prenduan, misalnya, maka kita secara serta-merta akan membawa status etnik Madura. Dengan mem-besar di pesisir dan dalam sehari-hari menggunakan bahasa ibunda, tak ada siapa pun yang menyangkal jati diri sebagai anak negeri yang tak hanya mengusung ciri-ciri tertentu, yang direkonstruksi secara sosial dan telah menjadi bagian dari watak secara keseluruhan, yang terangkum dalam sajak Zawawi Imran, “Madura, Akulah Darahmu”. Tetapi, adakah warga Pu-lau Garam ini menemukan perasaan-nya dalam bahasa daerah, sementara mereka membaca novel, menonton televisi, dan menikmati musik dalam bahasa Indonesia. Lalu, adakah iden-titas mereka terbelah?

Penanda lain tentu saja adalah ke-budayaan, sebagai ungkapan identi-tas yang melekat pada pelaku dalam bentuk kreativitas. Dari sini, orang luar akan menilai kebiasaan-kebi-asaan dan pandangan hidup warga bersangkutan. Melalui karya Hélène Bouvier (2002) bejudul Lèbur!: Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura kita bisa me-nyelusuri potret kebudayaan warga yang terbelah pada tradisi santri dan bukan santri. Yang terakhir tidak dis-ebut abangan sebagaimana dalam varian Clifford Geerts, Antropologi Amerika Serikat, yang meneliti struk-tur masyarakat Mojokuto, Kediri, karena pembedaan tersebut dibuat

secara formal terkait latar belakang pendidikan saja, yaitu sekolah umum dan pondok pesantren. Tentu yang pertama tak menangung beban un-tuk menikmati pertunjukan ludruk, tandha’, dan wayang.

Hal lain, Iik Mansour Noor, sarjana Indonesia yang menetap di Brunei, berbicara tentang relasi santri dan kiai, di mana menempatkan identitas itu melalui dengusan napas keaga-maan. Dengan sendirinya, kebu-dayaan yang melekat pada kaum ini berkait dengan kebudayaan dan kes-enian religius yang dipengaruhi oleh gaya Timur Tengah, India dan Asia Tengah. Tak jarang, kaum santri be-gitu menghayati lagu-lagu berbahasa Arab, akrab dengan Samman, Had-rah, samrah. Adakah kegandrungan ini telah menyatu dengan identitas kemaduraan mereka? Dari ekspresi khas ini, mereka pun lebih cenderung membawakan diri dengan pakaian sarung dan kopiah, berbeda dengan bukan santri yang telah terbiasa den-gan celana dan tanpa penutup kepala. Meskipun demikian, batas-batas pa-kaian ini tak lagi setegas dulu. Seka-rang, kaum santri telah mengalami transformasi setelah mereka tak lagi mengisi ruang di pesantren, melain-kan turut merambah dunia politik dan memegang jabatan penting di pemer-intahan lokal, bahkan nasional.

Di sudut lain, hal-ihwal terkait identitas kita juga bisa ditelusuri dari pekerjaan. Huub De Jonge, An-tropolog Belanda, dan Koentowidjojo, Sejarawan Yogyakarta, pun mencoba

Dosen Filsafat dan Etika Universiti Utara Malaysia,

AHMAD SAHIDAH yang teroyak

Bagaimana-pun, pemikiran

keagamaan modern perlu

hadir, agar tradisionalisme

mempunyai cermin sehingga

tidak terper-angkap pada

romantisisme belaka

Menjahit Identitas

Page 15: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012 15

Opini

kaitan pekerjaan yang terkait den-gan pertanian telah turut mempen-garuhi identitas tersebut. Kehidupan pertanian telah membentuk hubun-gan patron-klien warga dengan kiai, tetapi juga dengan juragan atau maji-kan yang rata-rata telah menunaikan haji pada masa-masa sebelum ke-merdekaan. Namun, sekarang, gengsi gelar haji tak hanya dimiliki juragan. Banyak petani juga telah menunaikan ibadah haji. Tak ayal, pakaian sebagai salah satu penentu jati diri bertambah, tak lagi selembar kain sarung, tetapi juga jubah atau gamis dan serban yang dililitkan di kepala. Kalau Anda memer-hatikan jamaah Jum’atan, biasanya mereka yang berdiri di barisan depan adalah warga kampung yang mewujud-kan budaya Arab sebagai ekspresi Islam dan ketaatan.

Namun, perlahan tapi pasti, ke-budaaan yang dulu merupakan napas kehidupan sehari-hari satu persatu mulai tanggal atau rontok. Samman tak lagi dirayakan di kampung hala-man saya. Betapa gerakan indah be-sama pujian itu menunjukkan bahwa dulu Islam hadir melalui kebudayaan telah digantikan dengan hiburan lain. Orkes dangdut yang dulu jarang di-panggungkan, sekarang musik yang dipengaruhi India, Arab dan Deli itu lebih menarik kalangan muda untuk menyalurkan katarsis. Dulu, ibu saya sendiri adalah pegiat samrah seba-gai bagian dari kegiatan tambahan di madrasah, namun hari ini anak-anak telah diperkenalkah dengan nasyid Maher Zaen, penyanyi asal Libanon yang berkewarganegaraan Canada. Ternyata, kita tak lagi bisa meringkus identitas dalam satu tarikan napas.

Bagaimanapun, transformasi iden-titas tak dapat dielakkan. Jika kadang kita dengan mudah melihat identitas dari nama, mungkin kita tak lagi ter-paku dengan nama-nama berbahasa Arab. Kalau pun pengaruh nama Jawa masih dipakai, kita pun masih mak-lum, karena ia adalah bagian dari identitas Madura, dengan merujuk pada Trunojoyo sebagai tokoh yang dipandang paling berwibawa. Lalu, bagaimana dengan nama yang sepe-nuhnya berasal dari Barat? Apa yang ada di benak kita jika kita mendengar nama seorang anak jiran kita Mar-tin Heidegger hanya karena ayahnya peminat filsafat? Adakah anak itu akan membesar dengan eksistensi-alisme penulis karya magnum opus Being and Time itu? Mungkin diam-diam, sebagian masyarakat kita akan menggugat karena nama itu berbau

bukan Islam? Walau bagaimanapun, kenyataannya banyak warga yang tak lagi terpaku pada nama-nama berba-hasa Arab.

Dari sini pun, kita pun tak perlu risau. Betapa nama itu diambil dari khazanah Barat, namun pengucapan tak akan terelakkan secara fonologis terdengar dalam logat Madura. Nama Antoinette, misalnya, mungkin tam-pak kedengaran agak aneh di telinga kita, namun penamaan kata asing ini disandingkan kata Arab, sehingga ke-hadirannya tak begitu terasa janggal untuk warga yang dikenal memeg-ang nilai-nilai tradisional. Mungkin malah dianggap cara yang gagah un-tuk menangguk semangat baru dalam mewujudkan identitas hibrid. Batas-batas kita sebagai orang Madura makin terpapar dengan dunai baru yang mungkin dulu dianggap aneh dan tak patut.

Kadang kita pun gagap untuk sepe-nuhnya menjadi Madura. Seraya mengikatkan dengan identitas yang lebih besar, Republik Indonesia, sejak kemerdekaan bahasa pengantar pen-didikan dan bahasa resmi di pemer-intahan daerah adalah bukan bahasa ibu. Malah, tidak hanya mengguna-kan bahasa Indonesia, para petinggi lokal pun tak segan menggunakan kata launching untuk program ker-akyatan yang dicanangkan. Dengan baju khas pejabat publik berwarna putih dan lencana yang dipasang di atas saku, jelas baju kebesaran ini lebih mencerminkan warisan Be-landa. Tentu, aneh apabila pejabat publik hari ini menggunakan pakaian kebesaran model bangsawan kera-jaan kuno, meskipun itu dianggap sebagai warisan yang layak mendapat tempat, apa lacur hanya dipakai oelh anak-anak kecil yang berkarnaval diir-ingi musik Ul-Daul.

Silang-sengkarut identitas di atas sejatinya tak perlu membuat kita ri-sau. Sejak dulu, sebelum negeri ini merdeka, model pemerintahan kera-jaan pun mengandaikan titik-silang budaya dengan pelbagai peradaban dunia yang telah maju, seperti China, India dan Eropa. Hari ini, kita pun han-ya melanjutkan sisa-sisa yang masih bisa dikais dan kadang memang tam-pak arkaik. Kalau kita andaikan iden-titas Madura itu sobek tidak berarti ia dengan sendirinya ditanggalkan, tetapi dijahit agar ia tampak masih layak pakai. Bagaimanapun, men-gandaikan sebuah identitas tunggal adalah tidak mungkin. Namun secara

antropologis, watak, struktur, dan keadaan kejiwaan Madura mengan-daikan perpaduan antara yang profan dan sekuler yang masih memegang teguh kearifan lokal, seperti hubun-gan emosional kyai-santri. Memang, dua varian ini seakan-akan berjalan berseberangan, namun bisa dipas-tikan ikatan keagamaan tradisional telah menjadi pengikat agar ungka-pan kebudayaan religius dan sekuler itu semata-mata berkait dengan rasa nyaman dan pengetahuan yang ber-sangkutan.

Justeru, yang patut mendapat perhatian bahwa ikatan emosional keagamaan itu mendapatkan tantan-gan. Tidak hanya di tingkat nasional, kaum ortodoks yang terdiri dari santri lulusan Arab Saudi mulai bergerak, menyoal kepercayaan lokal. Dengan menenteng kitab al-I’tishom, yang bersangkutan menggugat keper-cayaan bahwa tahlilan adalah menye-satkan. Padahal, sebagai ritual keaga-maan lokal, sepatutnya kritik itu perlu diarahkan bukan pada kehendak un-tuk berdoa, tetapi kepedulian orang ramai terhadap keluarga yang diting-galkan. Jadi, jika keyakinan agama adalah identitas lain yang melekat, maka setiap organisasi keagamaan harus memerhatikan pesan progresif dari Islam, yaitu keadilan dan kes-ejahteraan. Dari sinilah, seharusnya identitas keagamaan mendapatkan perhatian dan pemantapan.

Bagaimanapun, pemikiran keaga-maan modern perlu hadir, agar tradisionalisme mempunyai cermin sehingga tidak terperangkap pada romantisisme belaka. Namun, sep-erti dilakukan oleh Georg-Hans Gad-amer dalam Wahrheit und Methode, bahwa rehabilitasi terhadap tradisi itu perlu, bukan malah ditinggalkan begitu saja, karena bahan pemikiran modern itu sendiri berasal dari tradi-si. Nah, agar identitas tradisionalisme itu sejalan dengan napas baru, selu-ruh unsur masyarakat memikirkan kembali identitas yang berkelindan dengan banyak pengandaian. Apa yang dilakukan oleh Seyyed Hossen Nasr, sarjana asal Iran, dengan mel-akukan pembaruan terhadap praktik dan teks, yang akhirnya melahirkan mazhab neo-tradisionalisme layak untuk ditimbang. Dengan menaf-sir kembali masa lalu, masyarakat Madura sejatinya bisa menemukan hidup otentik dengan memegah se-cara teguh tradisi seraya memberi-kan pemaknaan dan ungkapan baru. Semoga!

Page 16: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 201216

PolitikaINSYAALLAH,Saya (pasti) Maju

Anda terlihat lebih muda..Ha ha ha ..... itu gosip. Senang sekali kembali bertemu dengan teman-teman sesama alumni (Ponpes Nurul Jadid Paiton Probolinggo) di Sume-nep. Silaturrahim ini penting karena tidak jarang di forum-forum seperti ini ide-ide brilian muncul.

Soal pilkada Pamekasan, nama Anda mulai disebut-sebut akan majuSaya juga mendengar begitu he he. Setiap silaturrahmi ke sejumlah tem-pat, pertanyaan (apakah Syafii akan maju atau tidak) itu selalu muncul. Saya kira pertanyaan itu wajar. Suatu ketika saya percaya yang bertanya akan menemukan jawabannya.

Anda tidak ingin menjawabnya sekarang?Jika saya balik bertanya, apakah saya harus menjawabnya saat ini? Saya jadi teringat dialog dalam cerita Abu Nawas dengan Raja. Pada sebuah pertanyaan, Abu Nawas diminta menjawab atau tidak menjawab. Baik menjawab atau tidak menjawab, Raja

akan memberi hukuman. Tetapi Abu Nawas cukup cerdik. Dia hanya berka-ta pendek, saya akan menjawabnya. Jawaban itulah yang menyelamatkan Abu Nawas dari ancaman hukuman Raja. Itu juga yang saya akan laku-kan, saya akan menjawabnya, untuk pertanyayan apakah saya akan maju atau tidak dalam pilkada 2013 Pame-kasan. Tetapi tidak saat ini he he he

Apakah ini berarti Anda ragu-ragu?Lho kan sudah dijelaskan saya sudah punya pilihan, berarti sudah yakin kan he he. Kecuali bila saya men-jawab “atau” untuk pertanyaan apa-kah saya akan maju atau tidak. Nyat-anya saya kan tidak menjawab “atau”.

Sliaturrahim Anda dengan masyarakat apakah bagian dari sosialisasi?O ya, pasti. Sosialisasi itu merupakan hal yang harus dilakukan berkait ka-bar mutakhir hubungannya dengan perkembangan Madura pasca pem-bangunan Suramadu. Hal itu bagian dari serap aspirasi terkait dengan

Akhir-akhir ini, menjelang pilkada

Pamekasan 2013, nama Achmad Syafii disebut-

sebut akan maju lagi untuk mem-

impin Pamekasan. Benarkah dia akan

maju? Berikut penuturan Bupati Pamekasan di era

2003 – 2008 terse-but kepada Ma-

jalah SULUH.

Page 17: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012 17

Politikatugas-tugas saya di komisi V DPR RI.

Bukan sosialisasi majunya Anda dalam pilkada 2013?Jika itu ya, kan tidak harus saya ka-takan secara jelas dan hari ini pulan kan, he he. Biarlah waktu yang bic-ara apakah pada akhirnya saya maju atau tidak dalam pilkada. Tetapi in-gat, saya sudah punya pilihan. Kiai khos dan orang-orang tertentu su-dah tahu kok apakah saya maju atau tidak. Saya menganggap, hari ini be-lum waktunya untuk mendeklarasi-kan diri apakah saya maju atau tidak dalam pilakada Pamekasan 2013. Na-mun pada saatnya nanti, saya akan lebih jelaskan.

Santer terdengar kandidat kuat calon Bupati Pamekasan hanya dua, Anda dan in cumbentBisa begitu, bisa tidak begitu. Saya rasa pilkada hak semua bangsa, kalau anda mau, memenuhi syarat, saya kira bisa juga. Saya rasa semua kandidat untuk maju sebagai calon kepala daerah di Pamekasan kuat-kuat semua. Tetapi sekuat apapun pasti memiliki kelemahan. Bagi saya, rival terbesar dalam pertarungan bu-kan kompetitor, melainkan diri kita. Karena itu saya berusaha untuk men-guasai diri saya agar menang dalam pertandingan yang sesungguhnya.

Berarti maju (pilkada Pamekasan) dong.He he itu kesimpulan Anda kan? Su-dah saya jelaskan suatu saat nanti akan ada penegasan apakah saya maju atau tidak. Saya silaturrahim dulu dengan sejumlah pihak khu-susnya kiai khos tokoh penting di Pamekasan. Betapa pun saya tidak bisa sendiri, apalagi banyak pihak yang telah mengantar saya baik pada saat menjadi bupati (2003-2008) maupun anggota DPR RI (2009-2014). Apalagi dalam teori sosial, tidak ada yang bisa hidup sendiri. Karena itu tetaplah saling dukung dan mendoa-kan serta menjaga komitmen untuk selalu bersama-sama.

Soal Pamekasan ke depan?Wah pertanyaannya menjebak ni he he. Nanti saya dikira kampanye terse-lubung, mendahului takdir politik. Saya kira standar. Di mana-mana itu daerah harus kuat dalam lima hal. Yakni, pendidikan, kesehatan, ekono-

mi, pelayanan publik dan keamanan. Saya yakin kuncinya di situ. Soal bagaimana mengeksekusinya, itu saya rasa di luar kewenangan saya. Ada yang lebih berhak menjawabnya.

Harapan Anda ke depan?Siapapun pemimpinnya hari ini mau-pun di masa yang akan datang, semo-ga Pamekasan satu hati dan satu kata dalam mengawal pembangunan.

Menuju Pamekasan yang lebih baik memang tidak mudah, lebih sulit lagi apabila tidak ada komitmen dari se-mua pihak. Oleh karena itu menarik pandangan seseorang untuk mulai aktivitas dengan 3M. Mulai dari hal yang kecil-kecil, mulai dari sendiri, dan mulai saat ini juga. Bila tidak jua berhasil seperti yang diinginkan, mu-lai dengan 3B, berdoa, berusaha, dan bercermin. (*)

Nama : Drs. H. Achmad Syafii Yasin M.SiLahir : Pamekasan, 11 September 1964 Alamat : Jalan Raya Lawangan Daya Pamekasan Status : Menikah Istri : Anny Rifqotullaily Anak : Imada Dzawin Nuha Pekerjaan : Anggota DPR RI 2009 – 2014Pengalaman : Ketua DPRD dan Bupati Pamekasan Pendidikan Terakhir : S2

B . I . O . D . A . T . A

Page 18: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 201218

Hutang negara sudah mencapai Rp.1.800 ribu triliun per akhir tahun 2011. Secara akal, hutang ini sulit terbayar karena setiap tahun hutang tersebut berbunga progresif. Setiap tahun, hutang Indonesia terus ber-tambah karena ada kemungkinan salah takar dalam menghitung biaya pembangunan.

Merujuk jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai 250-an juta jiwa lalu disandingkan dengan hutang ne-gara, maka setiap jiwa dari warga ne-gara ini telah memiliki hutang sebesar Rp. 7,2 juta. Duit dari mana?

Anggota DPRD Jatim dari PDI Per-juangan Sirmadji mengukugkan hu-tang Indonesia memang benar-be-

nar telah mencapai Rp. 18 ribu triliun. Bagaimana angka hutang sampai sebesar itu, pria yang juga ketua DPD PDI Jatim itu mengakui telah terjadi kekeliruan takaran dalam pemban-gunan. Sebab hampir semua pem-bangunan di Indonesia diperoleh dengan cara ngutang, termasuk dalam membayar tunjangan sertifi-kasi dan sejenisnya.

Sirmadji tidak bisa memastikan ka-pan hutang itu bisa terbayar, atau lebih pastinya dia tidak tahu apakah hutang sebesar itu bisa dilunasi. Dia menyampaikan besarnya hutang itu agar diketahui masyarakat Madura khususnyay Sumenep karena sat berbicara mengenai hutang Sirm-adji berbicara pada saat pembukaan

HUTANG NEGARA Rp. 1.800 TRILIUN

SIRMADJI : Ketua PDI Perjuangan Sirmadji saat berbincang dengan bupati dan wakil bupati Sumenep bebera pawaktu lalu

rakercab PDI Perjuangan se Madura. “Punya bayangan nggak sih seberapa besar Rp. 1.800 ribu triliun itu. Jika tidak bisa membayangkan, berarti sama karena saya juga tidak tahu pasti,” katanya lalu tersenyum.

Saat negara dipimpina Soekarno, terdapat tekad bulat dalam men-jalankan roda pemerintahannya berprinsip berdikari (berdiri di kaki sendiri). Tekad tersebut merupakan cara membangun kepercayaan diri bangsa Indonesia yang baru saja lahir sebagai Negara berdaulat. Ter-lepas dari berhasil atau tidaknya konsep tersebut, Soekarno telah me-nanamkan sikap tegar agar bangsa Indonesia harus mampu memban-gun bangsanya tanpa ada campur tangan asing.

Pasca orde lama, konsep yang diban-gun Soekarno diubah drastis. Di era pasca Soekarno, perekonomian pada masa orde baru dibangun dengan hutang. Gutang ini terjadi karena tidak diikuti pertumbuhan perkapita yang tinggi pula. Pada dasarnya, pemerintahan Orde Baru menganggap hutang luar negeri sebagai injeksi terhadap perekono-mian. Maksudnya adalah, pinjaman yang didapat dipakai sebagai penu-tup defisit anggaran pada APBD serta menutup deficit neraca pembayaran. Pada intinya adalah, pinjaman luar negeri merupakan solusi jangka pen-dek yang apabila dilakukan dalam jangka panjang akan mengakibatkan ketergantungan. (**)

Politika

Page 19: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012 19

Menjelang akhir tahun lalu, Kamis tanggal 29 Desember 2011 benar-benar menjadi

abu. Sekelompok orang membakar pondok pesantren di desa Karang Gayam Kecamatan Omben Kabu-paten Sampang. Sejumlah warga menghakimi sendiri atas dugaan penyebaran aliran yang berbeda di pesantren itu. Api, dinilai pantas meng-hentikan dogma berbasis agama yang diduga mendekati syiah.

Meski tidak ada korban jiwa, pembakaran atas pesantren yang dipimpin Tajul Muluk itu dinilai tidak lazim. Sebab meski berbeda keyakinan aliran dalam agama yang sama (Islam), penghakiman sepihak melanggar prinsip dasar bernegara yang berpijak pada hukum. Tetapi benarkah pemicu atas pembakaran itu karena perbedaan keyakinan atau justru lantaran kesenjangan sosial?

Sumber SULUH di sekitar TKP menyebutkan, pemicu pembakaran pesantren ini lantaran perbedaan keyakinan. Perbedaan pandangan

antara pengelola pesantren ditengara telah muncul sekitar tahun 2004. Pun-caknya, tanggal 24 Desember 2011 dimana warga yang tidak menyukai kehadiran pesantren itu telah ber-sepakat untuk membakar pesantren. Namun, rencana tanggal 24 Desember 2011 gagal dan bisa diredam. Tetapi dua hari menjelang pergantian tahun baru 2012 (29/11), amuk massa tak ter-hindarkan. Sejumlah warga menyulut api dan membakar pesantren. Apakah rencana pembakaran itu tidak teren-dus pihak keamanan?

Sekitar pukul 10.00 (29/11), se-jumlah massa berdatangan di desa Karang Gayam Kecamatan Omben dan sejurus kemudian menyerbu pesantren. Mereka membakar musa-la, madrasah, asrama dan rumah pemimpin pesantren, Tajul Muluk. Dua kompi aparat keamanan dari Polres Sampang dikabarkan tidak bisa masuk ke lokasi karena jalan menuju TKP diblokir massa yang me-lengkapi diri dengan senjata tajam. Begitu pula tentara dari Komando Rayon Militer Omben dikabarkan

sempat diserang massa karena men-coba masuk ke lokasi. “Tiba-tiba (warga) menyerang dan membakar pesantren,” ujar Tajul Muluk kepada wartawan saat itu.

Disayangkan, aparat terkesan kurang sigap dalam mengantisipasi serangan warga. Padahal beberapa hari sebelumnya sudah beredar an-caman pesantren akan dibakar. Di-jelaskan, pesantrennya sudah berdiri pada tahun 2004 yang lalu. Namun, seiring waktu, ada beberapa tokoh masyarakat yang diduga mempro-vokasi warga untuk menyingkirkan pesantren.

Memang, bukan hal mudah bagi polisi maupun tentara untuk masuk ke area pesantren saat itu. Sebab, lokasi diblokir massa yang dilengkapi senjata tajam. Apalagi, orang yang tidak dikenal dan hendak masuk ke lokasi kejadian memperoleh seran-gan massa. “Karena situasi yang tidak memungkinkan (aparat tidak masuk ke lokasi kejadian),” kata Kabag Ops Polres Sampang, Kompol Zainuri.

Hangusnya Pesantren Kami

Foto: Saiful Bahari/ SMHANGUS: Mushalla Aliran syiah setelah dibakar massa karena diduga menyebarkan ajaran sesat kepada masyarakat sekitar

Page 20: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 201220

Fokus Lensa

Bagi intelektual muda Muhammadiyah Bah-rus Surur, amuk api di salah satu pesantren di Sampang memberi tanda bahwa masyarakat belum siap berdemokrasi yang berpijak pada pluralisme. Sentimen keyakinan memberi in-dikasi adanya masyarakat yang mudah disulut atau tersulut. Idealnya, perbedaan diselesaikan melalui dialog bukan dengan cara mengumbar kekerasan.

Pria asal Lamongan yang kini bermukim di Sumenep ini mencontohkan Jogja yang adem ayem menyangkut perbedaan keyakinan. Bah-kan, tidak samanya cara memandang keyakinan justru difasilitasi dalam lembaga Dian (Dialog Antar-iman). Selain itu, di mata orang luar, ru-suh atas nama agama di Sampang menegas-kan adanya kekerasan di Madura. Di luar itu, kurangnya pendidikan keberagaman dan pema-haman keberagamaan dari institusi-institusi berbasis agama. Padahal pesantren memiliki peran besar dalam pemberdayaan dan pen-dewasaan umat di tingkat bawah “Tetapi Perlu ditelusuri apakah pembakaran pesantren itu ka-rena berbeda keyakinan atau justru karena hal lain,” katanya.

Dari intelektual muda NU Pamekasan Abdul Hamid Zain, kekerasan atas nama apapun dinilai tidak saja melanggar koridor hukum agama. Dari sisi hukum positif kekerasan dan penghaki-man sepihak menurut alumni ponpes Nurul Jadid Paiton ini juga tidak populer. Dalam kasus kekerasan atas nama agama di Sampang, dia ragu kekerasan terjadi karena beda paham. Leb-ih dari itu, tidak menutup kemungkinan pemicu kekerasan karena persoalan sosial. Hanya, untuk lebih memudahkan menggalang massa, agama diseret-seret agar agitasi dan propaganda untuk mewujudkan amuk. “Apapun perbedaannya, penyelesainnya bukan kekerasan melainkan di-alog antarpihak dan temukan solusinya di situ,” urainya.

Saat turun ke lapangan, Kabid Humas Polda Ja-tim Kombes Rahmat Mulyana menjelaskan, polisi telah bekerja keras untuk mengusut pelaku pem-bakaran. Diduga, lima pelaku pantas ditengara terlibat dalam aksi kekerasan itu. Sebagian yang diduga pelaku sudah ditangkap sedang pelaku lainnya masih diburu. Untuk memastikan siapa saja yang terlibat dan apa motifnya, polisi telah memanggil belasan saksi. Para pihak yang diduga terlibat diancam pasal 170 dan Pasal 178 KUHP dengan ancaman hukuman penjara lima tahun. Polisi, sebagaimana diakui Mulyana, berjanji akan menjaga warga dan harta benda yang dimilikinya. Benarkah polisi akan menjaga sepenuhnya warga? (abe)

Bara di Sampang

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 201220

Page 21: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012 21

Fokus Lensa

Foto-foto saiful bahri/SM Foto

-foto

: Sai

ful B

ahar

i/ S

M

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012 21

Page 22: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 201222

Page 23: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012 23

KERAPANTukul mencoba menjadi Pecacak

saat berkunjung ke Pamekasan beberapa waktu lalu

Foto: Saiful Bahri/SM

Page 24: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 201224

Eksotika

Page 25: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012 25

BarongsaiKesenian Barongsai mulai populer

di zaman dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) tahun 420-589 Masehi. Kala itu pasukan dari raja Song Wen Di kewalahan meng-hadapi serangan pasukan gajah raja Fan Yang dari negeri Lin Yi. Seorang panglima perang bernama Zhong Que membuat tiruan boneka singa untuk mengusir

pasukan raja Fan itu. Ternyata upaya itu sukses hingga akhirnya tarian barongsai melegenda.

Barongsai yang juga disebut Tarian Singa ini terdiri dari dua jenis utama yakni Singa Utara yang memiliki surai ikal dan berkaki empat. Penampilan Singa Utara kelihatan lebih natural dan mirip singa ketimbang Singa Selatan yang memiliki sisik serta jumlah kaki yang bervariasi antara dua atau empat. Kepala Singa Se-latan dilengkapi dengan tanduk sehingga kadangkala mirip dengan binatang ‘Kilin’.

Gerakan antara Singa Utara dan Singa Selatan juga berbeda. Bila Singa Selatan terkenal dengan gerakan kepalanya yang keras dan melonjak-lonjak seiring dengan tabuhan gong dan tambur, gerakan Singa Utara cenderung lebih lincah dan penuh dinamika karena memiliki empat kaki.

Satu gerakan utama dari tarian Barongsai adalah gerakan singa mema-kan amplop berisi uang yang disebut dengan istilah ‘Lay See’. Di atas amplop tersebut biasanya ditempeli dengan sayuran selada air yang melambangkan hadiah bagi sang Singa. Proses memakan ‘Lay See’ ini berlangsung sekitar separuh bagian dari seluruh tarian Singa.

Barongsai biasanya selalu digelar oleh masyarakat tionghoa untuk mera-maikah hari raya imlek. Termasuk juga di Indonesia. Sejak masa kepemimpinan Gus Dur pada tahun 1998 lalu, barongsai digelar di mana-mana diindonesia. Sebe-lumnya, pada masa pemerintahan Orde Baru, barongsai dilarang digelar di depan umum dengan alasan RAS. (obeth)Foto-foto: Saiful Bahari/ SM

Page 26: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 201226

TAHUN BARU, HARAPAN BARUNuri Fikayanti

Perayaan tahun baru mungkin akan menjadi hal yang paling di tunggu

oleh seluruh masyarat dunia termas-uk Nuri Fikayanti gadis manis yang

sangat antusias menyambut pergan-tian tahun 2012. Alasannya selain

bisa liburan nuri panggilan akrabn-ya, juga bisa pulang kampung.

Maklum dara manis yang hobinya Traveling ini masih berantau di kota

orang untuk menempuh pendidi-kan S1-nya di Universitas Negeri Surabaya (Unesa), jadwal kuliah

yang padat sudah pasti menyuras energi dan tenaganya jadi liburan akhir tahun ini tidak di sia-siakan

oleh gadis kelahiran Sunemep, 14 Juli 1992 ini.

Di tahun yang menurut penang-galan China adalah tahun Naga,

banyak pengharapan yang ingin di Raih oleh gadis yang suka makan

kripik pedes ini, salah satunya ada-lah ingin cepat dapat gelar Sarjana,

“iyya nich, pengen cepet selesai kuliah biar bisa cepet jadi guru!!! ”. Ucapnya sambil tersenyum manja.

Tapi kalau urusan harapannya untuk bangsa indonesia gadis ini

langsung berubah serius, “aku ber-harap nggak ada lagi korupsi, warga negaranya makin rukun dan damai

dan yang lebih penting itu moga kiamat nggak jadi datang 2012

dec”, candanya.

Sebagian orang banyak yang merubah penampilannya agar

terlihat berbeda di tahun baru tapi untuk Nuri, hal itu tidak berlaku.

“Menurutku tahun baru ngak harus segalanya baru sich cukup jadi diri yang lebih baik dan bisa menghar-

gai apa yang kita miliki, maka aura positif itu akan terpancar dengan sendirinya tanpa harus merubah penampilan”, kata gadis berShio monyet ini. Yach semoga tahun baru bisa membawa kita ke hal

yang lebih baik lagi. (DJ)

Page 27: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012 27

BUDAYAKAN MEMBACAAndine Defari

Di zaman modern seperti sekarang sudah mulai jarang kita temui orang yang menghabiskan wak-tunya untuk membaca, tapi Andine Defari malah sangat gemar membaca. Malah Saking hobinya membaca, dara manis ini juga punya banyak koleksi buku. “ehmm…kalau ditanya soal koleksi buku, aku paling suka buku satra apalagi yang judulnya Deru Campur Debu karya Chairil Anwar, mantaps tuch”, celotehnya.

Membaca bagi gadis asal Sumenep, 3 Desem-ber 1988 ini adalah hal yang sudah lama ia gemari, selain membaca ia juga suka menulis. Pernah juga ia mengikuti beberapa ajang perlombaan menulis artikel walaupun dewi fortuna belum datang padanya tapi tidak me-nyurutkan langkahnya untuk terus mencintai membaca.

Malah Hobi membacanya ini juga ia tularkan pada teman – temannya, “iya nich, nggak tau kenapa mereka pada suka baca buku juga, ya alham-dullah kalau aku bisa nulerin hal yang positif sama mereka, lagian kan buku itu jendela dunia”, kata gadis berkulit coklat manis ini. (DJ)

Page 28: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 201228

Serambi Infotorial Penghargaan untuk Sumenep

PKK Bergengsi, Nyi Mila Berprestasi Pada puncak Peringatan Hari Ibu (22/12), ketua Tim Penggerak PKK Sumenep Wafiqoh Jamilah Busyro Karim mendapat penghargaan dari Pemerintah RI mela-lui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 201228

Page 29: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012 29

Infotorial SerambiInfotorialPenghargaan untuk Sumenep

Serah terima penghargaan ini disak-sikan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono yang juga hadir dalam PHI

ke-83 di Balai Kartini Jakarta dan memberi ucapan selamat kepada The First Lady Sumenep, Wafiqoh Jamilah Busyro Karim.

Penganugerahan penghargaan dari Pemerintah RI ini lantaran Nyi Mila (sapaan akrab Wafiqoh Jamilah Busyro Karim) dinilai memiliki inovasi dan kreatif dalam mengawal ke-PKK-an di Sumenep. PKK Sumenep di bawah Mila dinilai sebagai salah satu Pelopor Penggerak Nasional. Selain itu, perem-puan yang juga akrab disapa Bunda itu dinilai mampu mensinergikan kekuatan struktural dan kultural dalam kepengurusan serta keanggotaan PKK Kabupaten Sumenep. Apresiasi dari Pemerintah RI ini diinginkan pusat sebagai tambahan motivasi diri agar semakin meningkatkan kinerja Tim Penggerak PKK Kabupaten Sumenep untuk menunjang pembangunan di segala bidang.

Bagi Mila, anugerah yang diterima sejatinya bukan hanya untuk dia saja. Tetapi apresiasi dari Pemerintah RI itu untuk PKK secara organisatoris. Bahwa dia yang hadir di Balai Kartini Jakarta, itu untuk memenuhi undangan dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Anuge-rah itu dijadikan suntikan motivasi bagi Tim Penggerak PKK untuk lebih bersemangat dalam berkarya. Sekecil apapun yang dilakukan, diyakininya bermanfaat bagi masyarakat. Selain itu, Tim Penggerak PKK Sumenep diyakini akan lebih berseman-gat dan kompak dalam satu tim. “Tanpa dukungan dari internal maupun eksternal PKK, anugerah ini agak sulit didapat,” Mila merendah.

Mila, saat bertemu dengan SULUH sesaat setelah pulang dari Jakarta merasa pantas berterima kasih kepada jajarannya teruta-ma Wahyuningtiyas Soengkono Sidik dan Mardatillah Saleh serta seluruh jajarannya baik di tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa. Dia menyadari kehadirannya di Tim Pengerak PKK bukan siapa-siapa

tanpa dukungan dari banyak pihak dalam menjalankan program organisasi. “Semo-ga prestasi ini sebagai langkah awal untuk meraih keberhasilan di masa-masa yang akan datang,” dia menegaskan.

Sesuai data di pusdain (pusat data dan informasi) Tim Penggerak PKK Sumenep, terdapat banyak hal yang sudah dan akan dilakukan. Selain mewujudkan 10 pro-gram pokok PKK yang berlaku nasional (penghayatan dan pengamalan Pancasila, gotong-royong, pangan, sandang, peru-mahan dan tata laksana rumah tangga, pendidikan dan keterampilan, kesehatan, pengembangan kehidupan berkope-rasi, kelestarian lingkungan hidup, serta perencanaan sehat), Tim Penggerak PKK Sumenep juga melestarikian silaturrahmi dan dakwah. Silaturrahmi dilakukan terhadap lintas profesi, struktural, kultural, dan geografis. Sedangkan dakwah yang menjadi “profesi” Nyi Mila jauh sebelum menjadi Ketua PKK terus berlanjut dan mendukung harmonitas PKK di semua jenjang. (**)

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012 29

Page 30: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 201230

Satu demi satu, penghargaan ter-hadap Bupati A Busyro Karim datang silih berganti. Kali ini, Bupati Busyro mendapat penghargaan dari Ke-mentrian Agama Republik Indonesia. Kepala daerah Sumenep itu diang-gap berhasil karena memiliki andil besar dalam menyukseskan pendidi-kan, khususnya di jalur pendidikan agama. Karena itu Menteri Agama RI, Suryadharma Ali mengapresiasi kerja para kepala A Busyro Karim yang tel-ah berjasa dalam mengembangkan jalur pendidikan agama.

Sebagai bentuk apresiasi, Kemen-trian Agama (Kemenag) memberikan Penghargaan Amal Bhakti Bidang Pendidikan dan Keagamaan kepada Busyro. Penyerahan penghargaan ini diserahkan langsung Suryadharma Ali didampingi Wakil Menteri Agama, Nasaruddin Umar kepada Bupati Sumenep A Busyro Karim di acara Apresiasi Pendidikan Islam yang dirangkaikan dengan peringatan Hari Amal Bhakti di Hotel Borobudur Jakarta awal Januari lalu (2/1).

Bentuk apresiasi tersebut berupa Pin Emas dan Piagam Penghargaan. Memang, dalam serah terima peng-hargaan ini, Busyro tidak sendirian. Sebab, terdapat 14 kepala daerah lainnya di seluruh Indonesia yang dianggap punya dedikasi dalam

memberikan perhatian terhadap pendidikan agama. Dari sisi mana keberpihakan terhadap pendidikan agama itu dianggap sukses?

Bupati A Busyro Karim mengakui pihaknya menerima penghargaan tersebut karena Kementrian Agama RI menilai APBD menganggarkan bantuan pada lembaga keagamaan di Sumenep. Dalam catatan keme-nag, keberpihakan anggaran itu dimulai sejak tahun 2003 hingga tahun 2011. Busyro ingin, lembaga kegamaan yang menerima anggaran dari APBD bisa mengelola bantuan tersebut seefektif mungkin. Bahkan, bantuan yang diterima dapat men-jadikan lembaga lebih kreatif dan inovatif. ”Namun, pemerintah tidak mungkin terus menerus memberikan bantuan mengingat kekuatan APBD sangat terbatas,” katanya.

Kementrian agama tidak begitu saja menentukan siapa yang dinilai ber-jaya. Tetapi, tim turun ke lapangan untuk melihat kinerja kepala daerah khususnya advokasi anggaran terha-dap pendidikan agama di wilayahn-ya. Ini saja belum cukup karena kepa-la daerah yang menjadi nominator diminta presentasi di Jakarta. Selan-jutnya, atas dasar verifikasi juri beri-kut hasil presentasi, kepala daerah yang memenuhi syarat dinobatkan

sebagai pemenang dan berhak atas pin emas dan penghargaan lainnya dari Kemenag RI.

Untuk diketahui, jumlah lembaga pendidikan agama di Sumenep setara dengan jumlah desa atau lebih dari 300 institusi pendidikan. Di tingkatan MI hampir setiap desa memiliki madra-sah setara SD itu. Hal yang sama ter-jadi pula dengan RA (Raudlatul Athfal) yang juga mewabah. Bahkan dalam satu desa bisa lebih dari satu MI/RA. Di tingkatan MTs (Madrasah Tsnawiyah), tidak setiap desa memiliki lembaga setara SMP ini meski di desa tertentu bisa memiliki lebih dari dua lembaga karena populasi penduduknya begitu banyak seperti di desa Prenduan ke-camatan Pragaan yang berpenduduk hampir 20 ribu jiwa.

Sementara di tingkatan MA (Madra-sah Aliyah) populasinya berkurang. Ini terjadi karena tidak semua lulu-san MTs masuk MA lantaran men-ingkatnya angka drop out. Jumlah lembaga pendidikan itu di luar MD (Madrasah Diniyah) yang biasanya muncul di lembaga yang sama den-gan spesifikasi pendidikan keaga-maan. Adakalanya, di lembaga pen-didikan tertentu, jumlah siswa di dalam data lebih banyak dari siswa yang sesungguhnya di dalam kelas. Ini terjadi karena ingin mendapat-kan BOS (Biaya Operasional Sekolah) yang lebih besar.

Dulu, saat Abdurahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden, pernah mun-cul gagasan pendidikan formal TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA, dan PT/PTAI diserahkan kepada Depdiknas. Cara ini dianggap memu-dahkan Depdiknas khususnya dalam pendataan dan pendanaan. Sedang-kan Depag (saat ini Kemenag), cukup mengurusi bidang (pendidikan) keagamaan yang tidak perlu formal. Bahkan, Gus Dur pernah usul agar Depag ketika itu dibubarkan saja ka-rena dianggap terlalu besar sebagai departemen. Sebab secara de facto, menurut Gus Dur, depag hanya men-gurusi dua hal ; pernikahan dan haji. Namun sampai saat ini, depag tetap eksis dengan nama yang berbeda (kementrian agama), tidak saja men-gurusi pernikahan dan haji, tetapi lebih dari itu.

Bupati Berkarya, BUSYRO BERJAYA

Bupati Sumenep, A Busyro Karim Menerima Penghargaan dari Menteri Agama Surya Dharma Ali.

Serambi Infotorial Penghargaan untuk Sumenep

Page 31: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012 31

Akademia

Page 32: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 201232

Akademia

Warga Madura tersebar diseluruh penjuru negeri ini karena terbiasa merantau. Kondisi tanah yang tandus membuat sebagian masyarakat Madura mencari pekerjaan di luar tanah kelahi-rannya untuk bertahan hidup.

Namun, pada sisi yang lain banyak kalangan menyebut, pinjam bahasa Emha Ainun Najib, Madura bak peng-galan surga yang dijipratkan ke bumi. Alamnya kaya raya dan melimpah ruah. Jika potensi lokal yang dimiliki mampu dikelola dengan baik niscaya masyarakat Madura tak perlu lagi men-cari nafkah ke luar Madura.

Upaya melepas diri dari kemiski-nan dan keterbelakangan, berbagai kebijakan pemerintah diorientasikan untuk peningkatan Madura. Salah sa-tunya bukti keseriusan pemerintah dalam upaya membangun Madura ada-lah tiang pancang jembatan Suramadu. Terlepas dari pro kontra, pembangu-nan jembatan Suramadu dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Madura.

Tapi ingat, penyakit diberbagai be-lahan dunia menunjukkan, pembangu-nan yang diiringi dengan modernisasi (kebanyakan) harus mengorbankan identitas asli daerah. Buku “Menuju Ma-dura Modern Tanpa Kehilangan Identi-tas” adalah ijtihad putra Madura yang resah melihat tanah kelahirannya dan berupaya melepas Madura dari kejumu-dan tanpa harus kehilangan identitas ke-madura-annya pasca industrialisasi Madura.

MH. Said Abdullah dalam buku terse-but menilai, jembatan Suramadu tak hanya sebatas bangunan fisik yang menghubungkan Jawa-Madura. Lebih dari itu, Suramadu adalah simbol trans-formasi (modernisasi) Madura. Artinya, Madura ke depan akan jadi daerah ter-buka dan berbagai gaya hidup dan al-iran pemikiran modern akan menjalar dengan leluasa. Hal ini sebenarnya yang jadi kekhawatiran banyak pihak sejak awal.

Modernisasi Madura dibutuhkan un-tuk mengangkat martabat Madura yang mendapatkan stigma kurang baik, tapi pada sisi yang lain arus modernisasi jadi kekhawatiran banyak pihak. Tradisi dan budaya luhur Madura dikhawatir-kan akan tergerus dan dilucuti budaya modern.

Sekalipun belum melihat dampaknya, sentra industrialisasi Madura tak dapat kita cegah. Jembatan Suramadu sebagai

sebagai bagian dari untuk mempermu-dah industrialisasi Madura telah berdiri kokoh. Tak ada cara lain selain meneri-ma dan menanggung segala konsekue-nsi yang ditimbulkannya.

Solusi yang ditawarkan anggota DPR RI tersebut, tak ada cara lain untuk ber-tahan mendapat hak hidup pasca indus-trialisasi Madura selain mensenjatai diri dengan SDM yang memadai sebagai taming. Dalam hal ini pendidikan pu-nya peran sangat penting dalam upaya menumbuhkan SDM yang terampil (hal. 149).

Kesadaran masyarakat Madura akan pentingnya pendidikan harus selalu didengungkan. Pasalnya, kesuksesan sebuah wirausaha sangat ditentukan oleh sistem manajerial. Lagi-lagi, sistem manajerial yang handal tidak lepas dari pendidikan yang memadai.

Tak lama lagi kita akan membuka lembaran baru APBD 2012. Lembaran baru tersebut diharapkan lebih dititik-beratkan kepada pembangunan SDM untuk menyiapkan tenaga yang kreatif dan inovatif, sehingga Madura tak akan kehilangan identitas ke ma-madura-annya sekalipun pelancong berbagai belahan negara keluar-masuk Madura.

***

Terlepas dari pro kontra penerbitan buku tersebut yang oleh rival politiknya dinilai sarat dengan kepentingan politis. Dalam kali ini, siapapun saja yang mer-asa perihatin dengan Madura buku ini layak dibaca sebagai bahan diskusi un-tuk memulai memperbaiki streotipe Ma-dura yang kurang mengenakkan. Buku yang ditulis hasil perpaduan pengeta-huan dan pengalaman diparlemen san-gat baik untuk kita baca bersama.

Namun, sebagai karya manusia tentu buku setebal 204 halaman tersebut masih terdapat kekurangan. Dan hal ini sebenarnya tugas kita untuk meleng-kapi kekurangan tersebut.

Letak kelemahan buku tersebut da-pat kita lihat misalnya, kurang men-dalamnya penulis dalam mengupas desentralisasi tanpa terlebih dahulu menggambarkan kebijakan tersebut di Madura, sebagaimana disampaikan Pu-sat Studi Islam PP. Al Amien pada bedah bukunya.

Kekurangan tersebut diakui oleh pe-nulis, karena kesibukan lain membuat penerbitan bukunya tergesa-gesa. Wal-lahu a’lam.

MENJAGA DAN MENGGERAKKAN MADURAMadura adalah nama pulau yang terletak disebelah

timur laut Jawa Timur. Besaran pulau garam itu kurang lebih 5.250 km2, dan dihuni sekitar 2,5 juta

jiwa yang tersebar di empat kabupaten; Bangka-lan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep.

JudulMenuju Madura Moderen

Tanpa Kehilangan Iden-titas

PenulisMH. Said Abdullah

PenerbitTaman Pustaka Jakarta

ISBN978-602-19014-0-3

TahunCetakan I, Sep 2011

PeresensiM. Kamil Akhyari

Page 33: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012 33

PAMEKASAN – Andy Octavian Latief Peraih medali emas pada Ol-ympiade Fisika Tingkat Dunia (2006) menjadi motivator. Ini bukan side job fisikawan muda Pamekasan itu. Teta-pi saat pulang kampung, Andy selalu datang ke sekolah. Selain silaturra-him edukatif, pria asal Plakpak itu menjadi motivator bagi adik-adiknya di SMAN 1. Itu sebagai bukti bahwa tidak ada yang tidak mungkin. Sep-erti pengakuannya, awalnya tidak menduga dirinya bakal menang juara fisika bahkan di tingkat inter-nasional.

Salah satu motivasi yang diberi-kan Andy antara lain harus bangga pada dirinya sendiri sebelum pada akhirnya bangga pada orang lain. Di saat banyak orang enggan men-gakui dirinya sebagai orang Madura, justru dia merasa bangga dengan tanah kelahirannya itu. Dia juga mer-asa senang saat pertama kali landing sepulang dari Kazakhtan 2006 lalu ti-ba-tiba sesepuh warga Madura moh Noer (alm) mengalungi bunga pada dirinya. “Ini sesuatu yang luar biasa,” katanya.

Kebanggaan Andy bukan saja menang dalam lomba fisika inter-nasional. Tetapi sebagian mimpinya terwujud. Sebab, ada asumsi warga desa agak sulit menembus dunia apalagi sekolah di daerah. Tetapi

pada kasus dirinya dan obsesinya yang dibangun dari mimpi-mimpi, dia merasa membuktikan bahwa pada akhirnya ada mimpi yang ter-wujud. Hanya, dia tidak ingin ber-nostalgia dan merajut benang ro-mantisme. Sebab yang dihadapinya saat ini bukan masa lalu. Bahwa masa silam menyisakan kenangan, dia sad-ari tidak akan melupakannya.

Ada beberapa alasan bagi Andy untuk terus datang ke almamatern-ya (SMAN 1). Pertama, Andy merasa ditempa sekolah itu dan didukung banyak pihak sampai akhirnya mer-aih puncak kesuksesan. Kedua, keda-tangannya ke sekolah bisa sowan ke guru-gurunya dan adik-adik kelasnya baik yang masih kenal maupun yang belum kenal sama sekali. Ketiga Andy ingin menjadi motivator agar adik-adik kelasnya memiliki semangat un-tuk maju dan menjadi yang terbaik. Keempat, motivasi yang ditularkan untuk menjadi yang terbaik telah melahirkan generasi yang juga bisa menembus dunia internasional sep-erti M Shohibul Maromi yang meraih medali emas dalam Olimpiade Fisika Internasional 2010 di Zagreb, Kroasia.

Andy lahir pada tanggal 3 Okto-ber 1988, putra pasangan Abd. Latief dan Nur Rahma. Hobinya bermain game, gitar, dan membaca, teruta-ma buku-buku Fisika. Andy bahkan

sudah melahap buku-buku Fisika referensi mahasiswa ketika ia masih pelajar sekolah menengah. Karena ketekunannya, ditambah otak yang memang encer tentunya, Andy selalu meraih juara pertama setiap kom-petisi Fisika yang diikutinya.

Tahun 2004 sampai awal 2005 saja ia menjuarai 11 kompetisi sains termasuk menyabet gelar High Dis-tinction dalam Australian National Chemistry (2004). Ditambah lagi medali perunggu dari ajang Asian Physics Olympiad di Almaty, Kazah-stan (2006). Tak heran kalau teman-temannya menjuluki penggemar sate ini sebagai Einstein muda, sesuai motto Andy sejak awal-awal menggemari Fisika.

Kepala sekolah SMAN 1 Basyoir memang meminta Andy atau Sho-hibul Maromi agar datang ke sekolah bila libur dan pulang kampung. Basyoir menyadari sekolah yang dip-impinnya memiliki nama besar di ke-las internasional karena peserta did-iknya berhasil lolos ke tingkat dunia. Lelaki asal Lamongan itu menyadari mempertahankan prestrasi ternyata lebih sulit dibanding meraih prestasi. “Makane jalu’ tulung agar peserta lainnya dimotivasi,” katanya dalam bahasa campuran, Jawa dan Indone-sia. (abe)

Akademia

LIBUR, ANDY JADI MOTIVATOR

BANGGA : Andy Octavian Latief (kiri) saat meluapkan kegermbiraaanya, tahun 2006 lalu seusai keme-nangannya di Kazakhtan.

Andy Oktavian Latief

Page 34: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 201234

Olahraga

Salah satu tim di divisi utama Pers-epam Madura United (P-MU) berhasil menggulung Persid Jember. Skor menang tipis 2-1 atas Persid diraih P-MU dalam laga lanjutan Liga Su-per Indonesia (LSI) di Stadion Gelora Bangkalan beberapa waktu lalu.

Berdasar pengamatan di lapangan, sejak menit-menit pertama, tim berjuluk Laskar Suramadu ini terli-hat menggempur kandang lalwan. Akibatnya, pertahanan Persid khu-susnya di laga belakang agak goyah. P-MU merasa pede karena berlaga di kandang sendiri dan ini menjadi modal karena bermain di lapangan yang tidak asing.

Di depan mulut gawang Persid, duet Martial Poungoue dan Sudirman dari P-MU beberapa kali mengancam ga-wang Persid. Namun, duet maut itu masih belum mampu memasukkan bola ke gawang Persid yang dikawal Junianto. Permainan kedua tim ini sama-sama kuat pada awalnya bukan saja karena staminanya cukup kuat. Tetapi, mereka juga juga kuat mena-han dingin hujan yang mengguyur saat pertandingan berlangsung. Aki-batnya, pertandingan di lapangan SGB memberi kesan kurang maksimal.

SUPPORTER P-MU: Tanpa kehadiran suporter, tim P-MU sebenarnya bukan siapa-siapa

Meski begitu, antusiasme pemain terutama penonton tetap tidak bergeming. Meski banyak peluang emas yang gagal gol semangat tetap menyala-nyala. Bahkan, over bola dan umpan yang biasanya menye-berang dari kaki ke kaki yang lain, lebih sering salah sasaran baik dari P-MU maupun Persid karena faktor alam dari kedua kesebelasan. Sampai babak pertama berakhir, skor masih sama, 0-0.

Baru memasuki babak kedua P-MU meningkatkan tempo serangan. Al-hasil, pada menit ke-75 P-MU ber-hasil membobol gawang Persid mel-alui sepakan keras Sudirman yang memanfaatkan umpan silang dari Evandro Antonid Bevilaqua. Ung-gul satu gol tidak membuat pemain P-MU menurunkan tempo permain-an. P-MU berhasil menggandakan keunggulan lewat tandukan pemain asing Martial Poungoue menit ke-80 dengan memanfaatkan umpan dari Sudirman. Kedudukan berubah men-jadi 2-0.

Unggul 2-0, P-MU besar kepala dan menganggap kedudukan tidak akan berubah sampai wasit meniup peluit panjang. Namun di injury time, kon-

sentrasi pemain P-MU mulai pecah. Sekitar 7 menit sebelum pertandin-gan usai, pemain Persid Rike Maopo, lepas kawalan pemain P-MU.

Sampai akhirnya, pemain lini depan Persid ini melepaskan tembakan keras dari luar kotak pinalti pada menit ke-83. Penjaga gawang P-MU, Fredy Herlambang, tak berkutik dalam membendung tendangan Rike yang berbuah gol. Skor pertand-ingan ini tidak berubah ketikasejurus kemudian wasit meniup peluit pan-jang dengan kedudukan 2-1 untuk P-MU

Manajer P-MU A Qosasi menggeleng-kan kepalanya. Dalam analisanya, P-MU seharusnya bisa meraih ke-menangan yang lebih besar, tetapi, kenyataan yang melintas di kepala manajer berbanding terbalik dengan kejadian yang muncul di lapangan. Namun demikian, ia tetap memberi-kan apresiasi kepada para pemain P-MU yang telah bermain maksimal. Terima kasih juga ia sampaikan kepa-da parar supporter di bawah bendera Kacong Mania dan Taretan Dhibik ka-rena dinilai ikut mendorong keme-nangan P-MU. “Terima kasih kepada semua pihak,” ujarnya. (iba)

P-MU BERTANDING, PERSID TERGULING

F/Supporter/Saiful Bahri

Page 35: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012 35

PercikInfotorialpajak kendaraan bermotor

PAJAK KENDARAAN: Ali Muhson menyaksikan langsung Sosialisasi pajak kendaraan bermotor di dinas pendapatan pemprov jatim (Samsat) kabupaten sumenep. Sosialisasi ini diharapkan dapat membantu masyarakat dalam mamhami cara pembayaran pajak kendaraan bermotor.

Page 36: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 201236

Kriminal

Pencabulan yang pernah terjadi di daerah lain, belakangan ini mulai merambah Madura. Tetapi bisa jadi

di Madura sudah lama terjadi tetapi han-ya sebagian yang terungkap ke publik. Seperti pada pertengahan Januari lalu, seorang ABG menjadi korban pencabu-lan oleh temannya sendiri, di Sampang.

Kisah ini bermula di hari libur. Seorang cewek ABG, ST (16) diajak berlibur te-mannya, Akbar (19) menuju lokasi wisata Bendungan Klampis di wilayah Kecamatan Kedungdung Sampang. Tan-pa curiga, ST ikut saja ketika temannya Erik (19) menjemputnya untuk berlibur. Namun di tengah perjalanan, ST dibe-lokkan haluannya dari semula menuju waduk tetapi beralih ke rumah Akbar.

Di rumah Akbar, Erik tiba-tiba pamit un-tuk pergi sebentar. Di rumah itu, yang tersisa hanya ST dan Akbar. Di kamar yang menjadi tempat peristirahatan ST sebelum akhirnya meneruskan perjala-nan menuju Waduk, Akbar menemui ST. Diduga lantaran tidak tahan melihat ST, Akbar tak kuan menahan emosi. Sam-pai akhirnya, ada adegan pencabulan yang diperagakan Akbar terhadap ST. Bentuk pencabulan antara lain diduga melalui ciuman, rabaan organ tertentu, ada dugaan peremasan buah dada dam pemegangan alat vital ST secara paksa.

Hasrat melawan prilaku tak senonoh itu muncul dari ST sebagai pemebrontakan. Tetapi karena lebih berotot pelakum korban sulit memberikan perlawanan. Namun secara spontan, ST meronta dan berteriak. Aksi tak laik itu diduga itupun

terus dilanjutkan Akbar. Pada pencabu-lan paksa ini, korban terus melawan dengan mengigit tangan Akbar. Secara refleks. Akbar kaget dan perlahan-lahan melepaskan tubuh ST. Situasi yang ter-bebas dari cengkraman pencabul ini dimanfaatkan untuk kabur dan ST mel-arikan diri.

ST mengadukan pengalaman pertama yang tidak menyenangkan ini diadukan kepada orangtua. Lalu berlanjut ke poli-si, Bahkan tanpa menunggu lama, Akbar (pemeran utama) dan Erik (pemeran pembantu) langsung diburu dan setelah dibekuk, kedua ABG itu dimintai keter-angan oleh Polres Sampang. “Korban trauma dan shok,” “ kata Kasat Reskrim Polres Sampang, AKP Roy A Prawirosas-tro.

Di tahun lalu, hal serupa terjadi di Sume-nep. GS (16), warga Desa Parsanga Kecamatan Kota menjadi korban pen-cabulan dua pria sekaligus, FD (19) dan NN (43), yang masih bertetangga. Ka-bag Ops Polres Sumenep, Kompol Edy Purwanto. Berdasar hadil penyelidikan, peristiwa itu berawal ketika GS main ke rumah FD. Di dalam rumah FD yang sepi, GS digerayangi dan alat vitalnya dipermainkan. FD sempat mengajak korban berhubungan intim, namun kor-ban menolak.

Karena menolak, FD memilih memu-langkan korban yang menangis ketaku-tan. Tetapi kemudian datang NN yang berpura-pura menolong. Namun tern-yata, NN pun bukan menolong tetapi menyalirkan sederahanabukannya men-

gantar korban pulang, namun di tengah jalan, di sebuah rumah kosong, korban dipaksa melayani nafsu NN. Tetapi ber-dasar keterangan korban kepada polisi, NN mengaku belum diposisikan sebagai sosok yang melakukan hubungan intim.

Dalam cerita sebelumnya, seorang dukun (cabul) juga berususan dengan Polisi di Polsek Tlanakan Pamekasan. Se-orang dukun yang berjuluk si Janur Kun-ing diduga melakukan pencabulan ter-hadap kliennya dengan alasan sebagai ritual memindahkan ilmu kanuragan. Aksi cabul ini diketahui warga dan sang dukun yang meminta pasiennya me-lepas baju untuk dicabuli, diarak sebe-lum akhirnya diserahkan kepada polisi.

Begitu pula di Bangkalan, seorang ok-num guru berinisial HP ditengarai me-miliki pekerjaan sampingan sebagai pencabul. Dia ditengarai berbuat cabul pada Mawar (13) yang tak lain peserta didiknya saat bertandang ke rumah guru cabul ini. Mawar tidak berani mela-wan apalagi melapor karena mendapat ancaman. Tetapi membiarkan prilaku itu menimpa dirinya, Mawar juga tidak tahan. Pelajar yang masih kelas akhir se-buah SD di Kecamatan Kota itu akhirnya berhenti sekolah. Dari sinilah terungkap bahwa ada yang cabul di sekitar Mawar.

Kasus pencabulan ini bisa jadi lebih banyak terjadi di lapangan tetapi tidak terungkap. Bahkan pencabulan yang disengaja atas suka sama suka diantara ABG diprediksi lebih banyak lagi jum-lahnya dan terjadi di mana-mana, di Ma-dura. (abe)

Ada yang Cabul di Madura

Page 37: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012 37

PercikInfotorialpajak kendaraan bermotor

Page 38: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 201238

Para penggemar ayam, beter-nak ayam buras, pedaging, dan

petelur saja tak cukup. Karena itu mereka melirik ayam serama yang

dinilai sebagai kegiatan inovatif. Sebab, ayam ini bernilai jual tinggi dengan nilai jual hingga mencapai

Rp. 30 juta per ekor.

Di Madura, sebagian peternak dan pelestari ayam serama bergabung ke Seramadura

(Serama Madura). Ini merupakan per-kumpulan para pecinta ayam serama dari berbagai pelosok di Madura. Bahkan, kelompok ini sukses melak-sanakan kontes ayam serama kelas internasiomal yang dipusatkan di Sumenep tahun lalu.

Ayam serama, meski berperawa-kan kerdil tetapi pantang minder. Keunikan ayama ini karena senang bergaya petentang-petenteng dan tak ragu berkokok lantang. Serama diklaim sebagai ras ayam terkecil di dunia. Anggapan bahwa kate jenis ayam terkecil nampaknya sudah ke-daluarsa dan tak berlaku lagi. Seka-rang ada serama. Ras ayam terkecil di dunia. Kian mungil ukuran badannya semakin bagus kualitasnya. Bobot serama tak lebih dari 500 gram.

Sedangkan ukuran badannya hanya sebesar kepalan tangan orang de-wasa. Meski berbadan cebol, sera-ma bukan ayam murahan. Serama berkualitas bisa diboyong jika sang-gup membelinya senilai Rp 25 juta –

Rp 30 juta. Mutu serama ditentukan bobot badan yang ringan, bentuk leher menyerupai huruf S, kepala tertarik jauh kearah belakang, sayap menjuntai tegak lurus ke bawah, dan ekor pedang panjang serta berdiri tegak. Ciri fisik seperti itu membuat ayam serama berpenampilan tegap menyerupai prajurit yang sedang berbaris.

Yanuar Herwanto mengatakan, Seramadura hanya komunitas penggiat ayam serama. Namun de-mikian, meski komunitas ini men-jelajah hingga kampung, bukan berarti Seramadura kampungan. Sebab, sebagian hasil kreativitas para penggiatt ayam serama ini berhasil menjuarai lomba mulai dari lokal, re-gional, nasional, hingga tradisional. Yang layak dibanggakan, bukan ka-rena penggiat ayam serama berhasil menjuarai hingga ke level dunia, tetapi inovasi anak-anak muda dalam berkarya yang menghasilkan secara ekonomi. “Setidaknya komunitas ini tidak tergantung dan merugikan ne-gara,” Yanuar bercanda.

Sekedar diketahui, serama merupa-kan makhluk hasil kreatifitas Wee Yean Een seorang “penghulu ayam” dari Negeri Jiran, Malaysia. Pada ta-hun 1971 ia menyilangkan ayam Ka-pan alias kate kaki panjang dengan ras ayam Modern Game Bantam. Ayam Kapan fipilih lantaran memi-liki sayap menjuntai lurus ke bawah. Sedangkan Modern Game Bantam

memiliki postur badan tegap, leher panjang dan tertarik ke belakang menyerupai huruf S.

Pada tahun 1973 Wee Yean Een me-nyilangkan keturunan pertama hasil perkawina antar ayam kapan dan Modern Game Bantam dengan jenis ayam sutera (Silkie Bantams). Perkaw-inan tersebut akhirnya melahirkan ayam sutera berpostur badan kecil. Wee Yean Een rupanya masih tidak puas dengan hasil persilangan terse-but. Penghulu ayam itu lalu menjo-dohkan keturunan ke dua tersebut dengan kate Jepang. Ayam ini punya warna bulu indah serta bentuk ekor berdiri tegak.

Baru tahun 1988 mak comblang ayam itu akhirnya berhasil mencetak ayam kate dengan bobot kurang dari 500 gr. Wee Yean Een lantas memberi nama “Serama” kepada ayam ber-badan mikro itu.

Julukan tersebut ia berikan lantaran ayam hasil kreasinya itu memiliki gaya dan penampilan gagah lay-aknya Sri Rama tokoh pewayangan dalam kisah Ramayana. Lidah Wee Yean Een menyebut Sri Rama beru-bah menjadi berlafal serama. Ayam serama dipublikasikan pada tahun 1990 melalui kontes pertama yang diselenggarakan di Perlis. Dalam perlombaan Wee Yean Een tampil sebagai salah satu juri. Selain di Malaysia kontes ayam serama juga banyak digelar di Thailand. Di Indo-nesia Serama mulai dipertandingkan pada tahun 2004 di Ancol, Jakarta. Penggemar ayam serama berkumpul dalam sebuah wadah bernaman Per-satuan Pelestari Ayam Serama Indo-nesia). (**)

Seramadura, Kumpulan “Penghulu Ayam”

Hoby

EKSOTIS: Januwar Herwanto (putih) bersama para punggawa komunitas Seramadura sedang mengagumi ayam kegemaran mereka

Page 39: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012 39

Page 40: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 201240

HobiSerambi Infotorial pajak kendaraan bermotor

SOSIALISASI PKB: Dinas Pendapatan Pemprov Jatim bersama DPPKA Kabupaten Sumenep melakukan Sosialisasi Pajak Kendaraan Bermotor di berbagai kecamatan di kabupaten Sumenep

Page 41: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012 41

Obituari

Bagi kru Majalah Suluh, Lan Fang bukan hanya sekedar seorang sas-trawan. Tetapi, perempuan kela-hiran Banjarmasin, 5 Maret 1970 sebagai teman dialog terutama mengenai dunia tulis-menulis sas-tra. Almarhumah memberikan apre-siasi kepada Majalah Suluh sebagai majalah pertama berbasis budaya di Madura. “Bagus, berkualitas,” begitu kata Lan Fang menanggapi Majalah Suluh edisi pertama Juni 2011 yang juga memuat berita ten-tang Lan Fang road show novelnya, Ciuman di Bawah Hujan, di Madura.

Salah seorang kolega Lan Fang yang tak lain Pimred Suluh, Abrari Alzael merasa kehilangan seorang kawan. Menurutnya, Lan Fang mer-

upakan satu dari sedikit perempuan yang produktif di Jatim. Selain itu, Lan Fang mudah bergaul dengan siapa saja dan anti kemapanan. Dia tidak menyangka pertemuan den-gan Lan Fang Juni lalu di Ponpes Annuqayah sebagai pembedah novel Ciuman di Bawah Hujan seba-gai perjumpaan terakhir. “Lan Fang santai, sederhana, dan produktif,” kata pria yang akrab disapa Abe itu.

Lan Fang menyelesaikan pendidi-kan di Fakultas Hukum Universitas Surabaya. Namun, ia lebih me-nekuni dunia prosa dibandingkan melakoni karir di bidang hukum. Lan Fang aktif membimbing pelajar dalam berbagai penulisan kreatif. Sebagai penulis, Lan Fang menjadi

nominee Khatulistiwa Award 2008 untuk novelnya, Lelakon. Cerpen-cerpennya masuk 20 Cerpen Ter-baik Indonesia versi Anugrah Sastra Pena Kencana 2008 dan 2009.

Cerita bersambung buah tangan Lan Fang, Ciuman di Bawah Hujan, dimuat di harian Kompas tahun 2009. Gramedia Pustaka Utama menerbitkannya sebagai novel dengan judul yang sama pada Ma-ret 2010. Lan Fang juga telah mela-hirkan berbagai karya, antara lain Reinkarnasi (2003), Pai Yin (2004), Kembang Gunung Purei (2005), La-ki-laki Yang Salah (2006), Yang Liu (2006), Perempuan Kembang Jepun (2006), Kota Tanpa Kelamin (2007), dan Lelakon (2007).

Selama hidupnya, ia dikenal bu-kan hanya karena keindahan kary-anya. Pribadinya juga dikenang karena sifatnya yang pluralis, hu-manis, dan keberpihakanya pada orang-orang tertindas. Selamat ja-lan Lan Fang, damai di hati, damai di sisi-Nya. (obet)

PERGINYA SEORANG KAWANKENANGAN : Lan Fang (kanan) saat bersama Pimred Suluh Abrari Alzael (kiri) saat membedah novel Ciuman di Bawah Hujan.

Tanggal 25 Desember lalu, menjadi hari yang sedih meski di saat yang sama diperingati Hari Natal. Betapa tidak, pe-

nulis asal Surabaya, Lan Fang meninggal dunia, Minggu (25/12/2011) di RS Mount Elizabeth Singapura karena sakit

yang dideritanya cukup ganas dan merenggut nyawanya, kanker payudara.

Page 42: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 201242

Oase

AmnesiaOleh : Abrari Alzael

telah menyebabkan Madura sebagai wilayah kalah taring dibanding otonomi daerah. Sehingga, ambiguitas Ma-dura melepuh di bawah otonomi daerah yang meringkuk di kabupaten/kota. Ini juga yang menyebabkan Madura sebagai ruang besar tidak sebesar empat kabupaten di dalamnya. Semakin lama, Madura hanya tinggal nama.

Kedua, rasa peduli ini tererosi kepentingan yang lebih nampak dan dalam waktu dekat sebagai investasi politik (kepentingan). Karena itu pembangunan yang berlang-sung berjalan apa adanya, bukan berlalu seperti yang di-inginkan terjadi. Padahal, semakin lama kian dirasa secara gamblang teste Madura hambar. Identitas maupun etnisi-tas Madura seakan-akan tidak penting lagi di era kontem-porer ini karena hedonisme telah menjadi ideologi baru yang mengarah kepada komunisme berwajah konsumer-isme mutakhir.

Situasi mutakhir Madura yang tidak jelas “jenis kelamin-nya” ini mirip seseorang yang selalu mengenakan topeng. Wajah aslinya tidak terlihat dan yang muncul aura orang lain. Semakin sering seseorang menggunakan topeng, maka lama-lama ia sendiri lupa pada wajah aslinya. Itu juga yang terpancar dari wajah Madura yang tidak jelas lagi. Ini terjadi ketika Madura dipaksa memakai topeng yang tidak menjadikan dirinya sebagai Madura.

Begitu lama gejala ini dibiarkan dan akut, Madura dan orang-orang yang berada di dalamnya lupa pada wajah aslinya. Bahkan, ingatan kolektif tentang Madura secara massif juga tidak terjadi karena amnesia yang tak dirasa, sampai saat ini. Warga luar Madura pun merasakannya karena Madura tidak nampak berkarakter, beretnik, beri-dentitas bahkan tanpa ikon yang mewabah ke setiak pen-juru tanah Madura. Atau, apakah amnesia kolektif Madura tentang kewilayahan ini justru juga menegaskan Madura terancam disintegrasi?

Madura memang sesuatu yang menggoda, dalam bahasa gaul saat ini, Madura seksi. Namun apalah artinya seksi bila Madura lebih populer sebagai daerah yang han-ya dikenang penuh lelucon dan bahan tertawaan. Ada bai-knya Madura dipikirkan bersama, tidak perlu mengajukan sebagai daerah istimewa bila sebenarnya Madura sesung-guhnya tidak istimewa karena ditempatkan di ruang yang tidak istimewa. Madura sejatinya memiliki orang-orang dan prestasi yang luar biasa.

Tetapi keluarbiasaan ini menjadi nyaris tidak terbaca ka-rena ada sesuatu yang lain terutama karena ketidakcintaan kolektif yang mendera. TIdak perlu proteksi tetapi saat terjadi gerakan massif Madura untuk tidak menjadi Madura yang ditampilkan melalui prilaku, sikap, dan performance, Madura kini berada di ambang batas dan nyaris tanpa identitas.

Memasuki Madura setelah turun dari Suramadu, seorang wisatawan mengaku tidak menemukan tanda-tanda bahwa daratan yang dipijaknya adalah Madura. Ia merasa hanya mendapatkan ratusan warung tenda yang memanjang di kiri-kanan jalan dengan jualan. Pajangan para penjual itu hampir sama, sandang dan pangan. Bahkan, hampir setiap warung menuliskan kata WC. Penawaran jasa jamban ini, begitu domi-nan. Bahkan, dalam satu warung ada tulisan WC begitu besar ditempatkan di posisi yang lebih tinggi dari dari kata musala.

Dari sisi psikologis, penempatan dan format tulisan itu memberi isyarat bahwa penulisnya lebih mengingat WC (tempat membuang air besar) daripada musala (tempat salat). Masalahnya, di manakah ikon Madura sebagai identitas ketika wisatawan lepas dari Surabaya dan memasuki Madura melalui jembatan Suramadu? Jika ikon Madura adalah kerapan sapi, di manakah tempatnya? Apabila etnisitas Madura ditandai den-gan masjid/musala, di manakah harus menemukan identitas itu? Tetapi bila identitas itu ditandai dengan banyaknya kata WC di kaki jembatan Suramadu (sisi Madura), apakah Madura hanya tempat untuk membuang limbah organik?

Tidak adanya identitas ini semakin menegaskan bahwa pengambil kebijakan abai terhadap urgensi ingatan kolektif yang dapat menegaskan etnisittas secara kolektif. Konstruk ini sangat berbeda dibanding etnisitas Bali, Jogja, Padang, dan Batak (sekedar menyebut contoh). Daerah-daerah itu peduli terhadap ingatan kolektif yang dapat menegaskan sebuah daerah berlatar etnik. Lalu di Madura, tak ada ingatan kolek-tif kecuali di sisi utara jembatan Suramadu, wisatawan akan menemukan tulisan yang sangat banyak : WC.

Identitas alternatif yang menandai religiusitas Madura antara lain masjid. Banyaknya masjid di Madura ditandai den-gan banyaknya peminta-minta amal di jalan raya untuk pem-bangunan masjid. Memang, dianjurkan agama agar memper-banyak tempat bersujud meski lebih dianjurkan lebih banyak bersujud. Bila jumlah masjid tidak seimbang dengan jamaah yang datang, barangkali benar yang disampaikan Emha Ai-nun Nadjib, dalam 1000 masjid hanya 1 jumlahnya. Andai masjid ini menjadi ikon Madura masa depan, tak ada masjid di kaki Suramadu yang mengobarkan ingatan kolektif bahwa dataran yang dipijak wisatawan adalah Madura.

Kontinyuitas ingatan kolektif yang nyaris tak terbaca ini semakin menegaskan bahwa sebenarnya tidak ada kecintaan yang mahadahsyat terhadap Madura. Madura seakan-akan dibiarkan begini saja meski usia di masing-masing kabupaten telah mencapai ratusan tahun.

Ada banyak indikasi yang menegaskan atas hilangnya identitas kolektif. Pertama, pemerintah di Madura didominasi pikiran ego sektoral dan ruang berpikir untuk komunalisme Madura tersisih. Desentralisasi yang mengaum sejak 1999

Page 43: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012 43

Page 44: SULUH MHSA VIII

SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 201244