Sultan Baabullah.docx

31
TUGAS IPS “PERLAWANAN TERHADAP SPANYOL, PORTUGIS DAN BELANDA” Nama : Aizar Vesa P.

description

dongeng

Transcript of Sultan Baabullah.docx

Page 1: Sultan Baabullah.docx

TUGAS IPS “PERLAWANAN TERHADAP SPANYOL, PORTUGIS DAN

BELANDA”

Nama : Aizar Vesa P.

Kelas : V E

Page 2: Sultan Baabullah.docx

PERLAWANAN TERHADAP PENJAJAHAN SPANYOL DAN PORTUGIS

Sultan Baabullah

Sultan Baabullah (10 Februari 1528 - permulaan 1583) adalah sultan dan penguasa Kesultanan Ternate ke-24 yang berkuasa antara tahun 1570 - 1583, ia merupakan sultan Ternate dan Maluku terbesar sepanjang sejarah yang berhasil mengalahkan Portugis dan mengantarkan Ternate ke puncak keemasan di akhir abad ke-16. Sultan Baabullah juga dijuluki sebagai penguasa 72 pulau berpenghuni yang meliputi pulau–pulau di nusantara bagian timur, Mindanao selatan dan kepulauan Marshall.

Masa muda

Dilahirkan tanggal 10 Februari 1528, kaicil (pangeran) Baab adalah putera Sultan Khairun (1535-1570) dengan permaisurinya Boki Tanjung, puteri Sultan Alauddin I dari Bacan. Sultan Khairun sangat memperhatikan pendidikan calon penggantinya, sejak kecil pangeran Baab bersama saudara-saudaranya telah digembleng oleh para mubalig dan panglima dimana ia memperoleh pemahaman tentang ilmu agama dan ilmu perang sekaligus. Sejak remaja ia juga telah turut mendampingi ayahnya menjalankan urusan pemerintahan dan kesultanan.

Pengusiran Portugis

Tahun 1575 seluruh kekuasaan Portugis di Maluku telah jatuh dan suku-suku atau kerajaan pribumi yang mendukung mereka telah berhasil ditundukkan hanya tersisa benteng Sao Paulo yang masih dalam pengepungan. Selama lima tahun orang-orang Portugis dan keluarganya hidup menderita dalam benteng, terputus dari dunia luar sebagai balasan atas penghianatan mereka. Sultan Baabullah akhirnya memberi ultimatum agar mereka meninggalkan Ternate dalam waktu 24 jam. Mereka yang telah beristrikan pribumi Ternate diperbolehkan tetap tinggal dengan syarat menjadi kawula kerajaan. Kemenangan rakyat Ternate ini merupakan kemenangan pertama putera-putera Nusantara atas kekuatan barat dan oleh Buya Hamka kemenangan rakyat Ternate ini dipuji sangat penting karena menunda penjajahan barat atas nusantara selama 100 tahun.Demikianlah, tanggal 15 Juli 1575, orang Portugis pergi secara memalukan dari Ternate, tak satupun yang disakiti. Mereka kemudian diperbolehkan menetap di Ambon hingga 1576, setelah itu sebagian dari mereka pergi ke Malaka dan sebagian lagi ke Timor dimana mereka menancapkan kekuasaan mereka hingga 400 tahun kemudian.

Sultan Baabullah dan masa keemasan Ternate

Dengan kepergian orang Portugis, Sultan Baabullah menjadikan benteng Sao Paulo sebagai benteng sekaligus istana, ia merenovasi dan memperkuat benteng tersebut kemudian mengubah namanya

Page 3: Sultan Baabullah.docx

menjadi benteng Gamalama. Sultan Baabullah masih melanjutkan hubungan dagang dengan bangsa barat termasuk Portugis dan mengizinkan mereka menetap di Tidore, akan tetapi tanpa pemberian hak istimewa, para pedagang barat diperlakukan sama dengan pedagang – pedagang dari negeri lain dan mereka tetap diawasi dengan ketat. Sultan Baabullah bahkan mengeluarkan peraturan yang mewajibkan setiap bangsa Eropa yang tiba di Ternate untuk melepaskan topi dan sepatu mereka, sekedar untuk mengingatkan mereka agar tidak lupa diri.Sultan Baabullah tetap memelihara persekutuan yang telah terbentuk dan sering mengadakan kunjungan ke wilayah – wilayah yang mendukung Ternate dan menuntut kesetiaan mereka terhadap persekutuan yang dipimpinnya. Tahun 1580 Sultan Baabullah mengunjungi Makassar dan mengadakan pertemuan dengan raja Gowa Tunijallo, mengajaknya masuk Islam dan ikut serta dalam persekutuan melawan Portugis dan Spanyol. Sang raja tak langsung menyutujui ajakan Sultan untuk memeluk Islam namun setuju untuk ikut dalam persekutuan kemudian sebagai tanda persahabatan Sultan Baabullah menghadiahkan pulau Selayar kepada Raja Gowa.Dibawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak kejayaan, wilayah kekuasaan dan pengaruhnya membentang dari Sulawesi Utara, tengah dan timur di bagian barat hingga kepulauan Marshall dibagian timur, dari Filipina (Selatan) di bagian utara hingga sejauh kepulauan Kai dan Nusa Tenggara dibagian selatan. Tiap wilayah atau daerah ditempatkan wakil – wakil sultan atau yang disebut Sangaji. Sultan Baabullah dijuluki “penguasa 72 negeri” yang semuanya memiliki raja yang tunduk kepadanya (sejarawan Belanda, Valentijn menuturkan secara rinci nama-nama ke-72 negeri tersebut) hingga menjadikan kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia timur.Sultan Baab tetap melanjutkan kebijakan ayahnya dengan menjalin persekutuan dengan Aceh dan Demak untuk mengenyahkan Portugis dari Nusantara. Persekutuan Aceh – Demak – Ternate ini merupakan simbol persatuan nusantara karena ketiganya sebagai yang terbesar dan terkuat di masa itu merangkai wilayah barat. tengah dan timur nusantara dalam satu ikatan persaudaraan, mewujudkan kembali persatuan nusantara sejak keruntuhan Majapahit.

Page 4: Sultan Baabullah.docx

Fatahillah

Fatahillah adalah tokoh yang dikenal mengusir Portugis dari pelabuhan perdagangan Sunda Kelapa dan memberi nama "Jayakarta" yang berarti Kota Kemenangan, yang kini menjadi kota Jakarta. Ia dikenal juga dengan nama Falatehan. Ada pun nama Sunan Gunung Jati dan Syarif Hidayatullah, yang sering dianggap orang sama dengan Fatahillah, kemungkinan besar adalah mertua dari Fatahillah.Disebut juga Faletehan, merupakan Panglima Pasukan Cirebon yang bersekutu dengan Demak dan berhasil menjadi penguasa Sunda Kelapa, dari kekuasaan Portugis pada tanggal 22 Juni tahun 1527. Sunda Kelapa kemudian oleh Fatahillah pada tanggal 22 Juni 1527 diganti nama menjadi Jayakarta, Fatahillah membenci orang Portugis, karena mereka dengan bantuan syahbandarnya menaklukkan kota kelahirannya, yaitu Pasei di Aceh (Sumatera) pada tahun 1521. Ia meninggal pada tahun 1570 dan dimakamkan di Cirebon.Nama aslinya Faddillah Khan atau Faletehan. Ia juga dinamai Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Berdasarkan jalannya peristiwa sejarah yang diuraikan dalam Purwaka Caruban Nagari nama Fadhillah lebih memungkinkan untuk disamakan dengan berita Portugis yang menyebut Falatehan, demikian juga arti Fadhillah sangat mirip dengan Fatahillah yang berarti juga "kemenangan karena Allah". Menurut sumber "Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari" dan "Negarakertabhumi", ayah Fatahillah dari Pasei merupakan seorang keturunan Arab dari Gujarat (India), Pada tahun 1521 Pasei berhasil direbut Portugis, kemudian ia berlayar ke Mekah. Sekitar tahun 1525 ia ke Jepara dan menikah dengan Nyai Ratu Pembayun (adik Sultan Trenggana dari Demak). Kemudian berturut-turut menaklukkan daerah Banten dan Sunda Kalapa. Setelah kemenangan itu, kemudian Fatahillah menikah dengan Ratu Ayu (puteri Sunan Gunung Jati). Tidak diketahui secara pasti ia menguasai Jayakarta, namun saat akhir hidupnya berada di Cirebon dan dimakamkan di sana.Usahanya untuk menegakkan Islam, baik dalam usaha pemerintahan maupun diplomasinya dengan raja-raja Islam menunjukkan sebagai seorang ulama dan negarawan mahir. Ketekunannya dalam memperjuangkan Islam serta kesungguhannya mengamalkan agama Islam, menjadikannya tergolong deretan Wali Sanga (Wali Sembilan). Ia dipandang sebagai Panglima Perang yang cakap dan gagah perkasa. Jasanya sangat besar dan pengaruhnya dalam memperluas wilayah dan penyebaran Islam terutama di pesisir air pantai utara Jawa. Selain Jakarta sebagai daerah dakwahnya adalah Kerajaan Demak, Banten, dan Cirebon. Itulah sebabnya sejarah Fatahillah yang telah mendirikan Kota Jakarta tak dapat dipisahkan dengan Kerajaan Demak, Cirebon, dan Banten. Sebagai penghargaan dan peringatan akan jasa-jasanya, maka di Jakarta terdapat taman Fatahillah, dan sebagai lambang untuk melanjutkan cita-cita dakwah Islamnya serta perjuangannya menegakkan kebenaran serta mengusir penjajah, maka namanya dipergunakan sebagai nama salah satu Perguruan Tinggi Islam di bawah Departemen Agama, yaitu lAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, berlokasi di Ciputat.

Page 5: Sultan Baabullah.docx

Sultan Iskandar Muda

Sultan Iskandar Muda (Aceh, Banda Aceh, 1593 atau 1590 – Banda Aceh, Aceh, 27 September 1636) merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636.[2]

Aceh mencapai kejayaannya pada masa kepemimpinan Iskandar Muda, dimana daerah kekuasaannya yang semakin besar dan reputasi internasional sebagai pusat dari perdagangan dan pembelajaran tentang Islam.

Asal usul

Dari pihak leluhur ibu, Iskandar Muda adalah keturunan dari Raja Darul-Kamal, dan dari pihak leluhur ayah merupakan keturunan dari keluarga Raja Makota Alam. Darul-Kamal dan Makota Alam dikatakan dahulunya merupakan dua tempat pemukiman bertetangga (yang terpisah oleh sungai) dan yang gabungannya merupakan asal mula Aceh Darussalam. Iskandar Muda seorang diri mewakili kedua cabang itu, yang berhak sepenuhnya menuntut takhta.[2]

Ibunya, bernama Putri Raja Indra Bangsa, yang juga dinamai Paduka Syah Alam, adalah anak dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10; dimana sultan ini adalah putra dari Sultan Firman Syah, dan Sultan Firman Syah adalah anak atau cucu (menurut Djajadiningrat) Sultan Inayat Syah, Raja Darul-Kamal.[2]

Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan upacara besar-besaran dengan Sultan Mansur Syah, putra dari Sultan Abdul-Jalil, dimana Abdul-Jalil adalah putra dari Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3.[2]

Masa kekuasaanMasa kekuasaan Sultan Iskandar Muda yang dimulai pada tahun 1607 sampai 1636, merupakan masa paling gemilang bagi Kesultanan Aceh, walaupun di sisi lain kontrol ketat yang dilakukan oleh Iskandar Muda, menyebabkan banyak pemberontakan di kemudian hari setelah mangkatnya Sultan.Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak.Ketika Iskandar Muda mulai berkuasa pada tahun 1607, ia segera melakukan ekspedisi angkatan laut yang menyebabkan ia mendapatkan kontrol yang efektif di daerah barat laut Indonesia.[1] Kendali kerajaan terlaksana dengan lancar di semua pelabuhan penting di pantai barat Sumatra dan di pantai timur, sampai ke Asahan di selatan. Pelayaran penaklukannya dilancarkan sampai jauh ke Penang, di pantai timur Semenanjung Melayu, dan pedagang asing dipaksa untuk tunduk kepadanya. Kerajaannya kaya raya, dan menjadi pusat ilmu pengetahuan.[3]

Kontrol di dalam negeri

Menurut tradisi Aceh, Iskandar Muda membagi wilayah Aceh ke dalam wilayah administrasi yang dinamakan ulèëbalang dan mukim; ini dipertegas oleh laporan seorang penjelajah Perancis bernama Beauliu, bahwa "Iskandar Muda membabat habis hampir semua bangsawan lama dan menciptakan bangsawan baru." Mukim1 pada awalnya adalah himpunan beberapa desa untuk mendukung sebuah

Page 6: Sultan Baabullah.docx

masjid yang dipimpin oleh seorang Imam (Aceh: Imeum). Ulèëbalang (Melayu: Hulubalang) pada awalnya barangkali bawahan-utama Sultan, yang dianugerahi Sultan beberapa mukim, untuk dikelolanya sebagai pemilik feodal. Pola ini djumpai di Aceh Besar dan di negeri-negeri taklukan Aceh yang penting.

Page 7: Sultan Baabullah.docx

Pati Unus

Pati Unus dikenal juga dengan julukan Pangeran Sabrang Lor (sabrang=menyeberang, lor=utara), karena pernah menyeberangi Laut Jawa menuju Malaka untuk melawan Portugis.

Nama aslinya adalah Raden Surya. Dalam Hikayat Banjar, raja Demak yaitu Sultan Surya Alam telah membantu Pangeran Samudera, penguasa Banjarmasin untuk mengalahkan pamannya penguasa kerajaan Negara Daha yang berada di pedalaman Kalimantan Selatan.

Kiprah

Setelah Raden Abdul Qadir beranjak dewasa di awal 1500-an beliau diambil mantu oleh Raden Patah yang telah menjadi Sultan Demak I. Dari Pernikahan dengan putri Raden Patah, Abdul Qadir resmi diangkat menjadi Adipati wilayah Jepara (tempat kelahiran beliau sendiri). Karena ayah beliau (Raden Yunus) lebih dulu dikenal masyarakat, maka Raden Abdul Qadir lebih lebih sering dipanggil sebagai Adipati bin Yunus (atau putra Yunus). Kemudian hari banyak orang memanggil beliau dengan yang lebih mudah Pati Unus.

Dari pernikahan ini beliau diketahui memiliki 2 putra. Ke 2 putra beliau yang merupakan cucu-cucu Raden Patah ini kelak dibawa serta dalam expedisi besar yang fatal yang segera mengubah nasib Kerajaan Demak.

Sehubungan dengan intensitas persaingan dakwah dan niaga di Asia Tenggara meningkat sangat cepat dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, maka Demak mempererat hubungan dengan kesultanan Banten-Cirebon yang juga masih keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat. Karena Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarif Hidayatullah adalah putra Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Mawlana Akbar, sedangkan Raden Patah seperti yang disebut dimuka adalah ibunya cucu Syekh Mawlana Akbar yang lahir di Campa. Sedangkan Pati Unus neneknya dari pihak ayah adalah juga keturunan Syekh Mawlana Akbar.

Hubungan yang semakin erat adalah ditandai dengan pernikahan ke 2 Pati Unus, yaitu dengan Ratu Ayu putri Sunan Gunung Jati tahun 1511. Tak hanya itu, Pati Unus kemudian diangkat sebagai Panglima Gabungan Armada Islam membawahi armada Banten, Demak dan Cirebon, diberkati oleh mertuanya sendiri yang merupakan Pembina umat Islam di tanah Jawa, Syekh Syarif Hidayatullah bergelar Sunan Gunung Jati. Tahun 1512 giliran Samudra Pasai yang jatuh ke tangan Portugis. Hal ini membuat tugas Pati Unus sebagai Panglima Armada Islam tanah jawa semakin mendesak untuk segera dilaksanakan. Maka tahun 1513 dikirim armada kecil, ekspedisi Jihad I yang mencoba mendesak masuk benteng Portugis di Malaka tapi gagal dan balik kembali ke tanah Jawa. Kegagalan ini karena kurang persiapan menjadi pelajaran berharga untuk membuat persiapan yang lebih baik. Maka direncanakanlah pembangunan armada besar sebanyak 375 kapal perang di tanah Gowa, Sulawesi yang masyarakatnya sudah terkenal dalam pembuatan kapal.

Pada tahun 1518 Raden Patah, Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah mangkat, beliau berwasiat supaya mantu beliau Pati Unus diangkat menjadi raja Demak berikutnya. Maka diangkatlah Pati Unus

Page 8: Sultan Baabullah.docx

atau Raden Abdul Qadir bin Yunus, Adipati wilayah Jepara yang garis nasab (Patrilineal)-nya adalah keturunan Arab dan Parsi menjadi Sultan Demak II bergelar Alam Akbar At-Tsaniy.

Ekspedisi Jihad II

Memasuki tahun 1521, ke 375 kapal telah selesai dibangun, maka walaupun baru menjabat Sultan selama 3 tahun Pati Unus tidak sungkan meninggalkan segala kemudahan dan kehormatan dari kehidupan keraton bahkan ikut pula 2 putra beliau (yang masih sangat remaja) dari pernikahan dengan putri Raden Patah dan seorang putra lagi (yang juga masih sangat remaja) dari seorang seorang isteri,anak kepada Syeikh Al Sultan Saiyid ISMAIL, PULAU BESAR, dengan risiko kehilangan segalanya termasuk putus nasab keturunan, tapi sungguh Allah membalas kebaikan orang-orang yang berjuang di jalannya.

Armada perang Islam siap berangkat dari pelabuhan Demak dengan mendapat pemberkatan dari Para Wali yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati. Armada perang yang sangat besar untuk ukuran dulu bahkan sekarang. Dipimpin langsung oleh Pati Unus bergelar Senapati Sarjawala yang telah menjadi Sultan Demak II. Dari sini sejarah keluarga beliau akan berubah, sejarah kesultanan Demak akan berubah dan sejarah tanah Jawa akan berubah.

Armada perang Islam yang sangat besar berangkat ke Malaka dan Portugis pun sudah mempersiapkan pertahanan menyambut Armada besar ini dengan puluhan meriam besar pula yang mencuat dari benteng Malaka.

Kapal yang ditumpangi Pati Unus terkena peluru meriam ketika akan menurunkan perahu untuk merapat ke pantai. Ia gugur sebagai Syahid karena kewajiban membela sesama Muslim yang tertindas penjajah (Portugis) yang bernafsu memonopoli perdagangan rempah-rempah.

Sebagian pasukan Islam yang berhasil mendarat kemudian bertempur dahsyat hampir 3 hari 3 malam lamanya dengan menimbulkan korban yang sangat besar di pihak Portugis, karena itu sampai sekarang Portugis tak suka mengisahkan kembali pertempuran dahsyat pada tahun 1521 ini . Melalui situs keturunan Portugis di Malaka (kaum Papia Kristang) hanya terdapat kegagahan Portugis dalam mengusir armada tanah jawa (expedisi I) 1513 dan armada Johor dalam banyak pertempuran kecil.

Armada Islam gabungan tanah Jawa yang juga menderita banyak korban kemudian memutuskan mundur dibawah pimpinan Raden Hidayat, orang kedua dalam komando setelah Pati Unus gugur. Satu riwayat yang belum jelas siapa Raden Hidayat ini, kemungkinan ke-2 yang lebih kuat komando setelah Pati Unus gugur diambil alih oleh Fadhlulah Khan (Tubagus Pasai) karena sekembalinya sisa dari Armada Gabungan ini ke Pulau Jawa , Fadhlullah Khan alias Falathehan alias Fatahillah alias Tubagus Pasai-lah yang diangkat Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati sebagai Panglima Armada Gabungan yang baru menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka.

Putra pertama dan ketiga Pati Unus ikut gugur, sedangkan putra kedua, Raden Abdullah dengan takdir Allah untuk meneruskan keturunan Pati Unus, selamat dan bergabung dengan armada yang tersisa untuk kembali ke tanah Jawa. Turut pula dalam armada yang balik ke Jawa, sebagian tentara Kesultanan Malaka yang memutuskan hijrah ke tanah Jawa karena negerinya gagal direbut kembali dari tangan

Page 9: Sultan Baabullah.docx

penjajah Portugis. Mereka orang Melayu Malaka ini keturunannya kemudian membantu keturunan Raden Abdullah putra Pati Unus dalam meng-Islam-kan tanah Pasundan hingga dinamai satu tempat singgah mereka dalam penaklukan itu di Jawa Barat dengan Tasikmalaya yang berarti Danau nya orang Malaya (Melayu).

Sedangkan Pati Unus, Sultan Demak II yang gugur kemudian disebut masyarakat dengan gelar Pangeran Sabrang Lor atau Pangeran (yang gugur) di seberang utara. Pimpinan Armada Gabungan Kesultanan Banten, Demak dan Cirebon segera diambil alih oleh Fadhlullah Khan yang oleh Portugis disebut Falthehan, dan belakangan disebut Fatahillah setelah mengusir Portugis dari Sunda Kelapa 1527. Di ambil alih oleh Fadhlullah Khan adalah atas inisiatif Sunan Gunung Jati yang sekaligus menjadi mertua karena putri beliau yang menjadi janda Sabrang Lor dinikahkan dengan Fadhlullah Khan.

Page 10: Sultan Baabullah.docx

PERLAWANAN TERHADAP BELANDA

Pattimura

Pattimura(atau Thomas Matulessy) (lahir di Hualoy, Seram Selatan, Maluku, 8 Juni 1783 – meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), juga dikenal dengan nama Kapitan Pattimura adalah pahlawan Ambon dan merupakan Pahlawan nasional Indonesia.

Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan kemudian Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam pratiknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan [4]

Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura [3]

Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya. jSebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.

Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai “PAHLAWAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN” oleh pemerintah Republik Indonesia. Pahlawan Nasional Indonesia.

Page 11: Sultan Baabullah.docx

Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia 1772 - wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1838

Riwayat perjuangan

Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (Bid'ah).

Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.

Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.

Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek.

Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. [5] Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an)).

Page 12: Sultan Baabullah.docx

Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)[6] yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda

Penangkapan dan pengasingan

Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan, dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia masih tak sudi untuk menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.

Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.

Page 13: Sultan Baabullah.docx

Pangeran Antasari

Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Banjar, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan, 1797 atau 1809 – meninggal di Bayan Begok, Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) Sebagai seorang pangeran, ia merasa prihatin menyaksikan kesultanan Banjar yang ricuh karena campur tangan Belanda pada kesultanan semakin besar.

Perlawanan terhadap Belanda

Lanting Kotamara semacam panser terapung di sungai Barito dalam pertempuran dengan Kapal Celebes dekat pulau Kanamit, Barito Utara Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dipkomandoi Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu. Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh. Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun beliau tetap pada pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.

“dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)” Dalam peperangan, belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun sampai perang selesai tidak seorangpun mau menerima tawaran ini. Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia lebih kurang 75 tahun. Menjelang wafatnya, beliau terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan.

Page 14: Sultan Baabullah.docx

Perjuangan Rakyat Aceh

Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, dimana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873.

Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu'uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.

Pada Perang Aceh Kedua (1874-1880), di bawah Jend. Jan van Swieten, Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda.

Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri.

Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal, dimana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.

Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.

Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.

Perang keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.

Taktik perang

Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan maréchaussée yang dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.

Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polim dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polim meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe pada Desember 1903. Setelah Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polim.

Page 15: Sultan Baabullah.docx

Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) dimana 2.922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan.

Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang.

Surat perjanjian tanda menyerah

Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek (korte verklaring, Traktat Pendek) tentang penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Di mana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda, Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu yang rumit dan panjang dengan para pemimpin setempat.

Walau demikian, wilayah Aceh tetap tidak bisa dikuasai Belanda seluruhnya, dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi perlawanan terhadap Belanda meskipun dilakukan oleh sekelompok orang (masyarakat). Hal ini berlanjut sampai Belanda enyah dari Nusantara dan diganti kedatangan penjajah baru yakni Jepang (Nippon).

Page 16: Sultan Baabullah.docx

R.A Kartini

Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu KartiniRaden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI.

Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi[2], maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.

Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.

Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah

Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.

Page 17: Sultan Baabullah.docx

Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.

Dewi Sartika

Page 18: Sultan Baabullah.docx

Dewi Sartika (lahir di Bandung, 4 Desember 1884 – meninggal di Tasikmalaya, 11 September 1947 pada umur 62 tahun) adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan

Dewi Sartika dilahirkan di keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dengan Raden Somanagara. Meskipun bertentangan dengan adat waktu itu, ayah-ibunya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah Belanda. Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika diasuh oleh pamannya (kakah ibunya) yang menjadi patih di Cicalengka. Oleh pamannya itu, ia mendapatkan pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda, sementara wawasan kebudayaan Barat didapatkannya dari seorang nyonya Asisten Residen berkebangsaan Belanda. Sedari kecil , Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, belajar baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.

Waktu itu, Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena waktu itu belum ada anak (apalagi anak rakyat jelata) yang memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.

Beranjak remaja

Setelah remaja, Dewi Sartika kembali lagi kepada ibunya di Bandung. Jiwanya yang telah dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, yang memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir. Namun karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.

Menikah

Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, beliau memiliki visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika, guru di sekolah Karang Pamulang, yang saat itu merupakan sekolah Latihan Guru.

Terjemahan: Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, beliau mempunyai visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika, guru di sekolah Karang Pamjulang, yang waktu itu merupakan sekolah Latihan Guru.

Mendirikan sekolah

Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu

Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang : Dewi

Page 19: Sultan Baabullah.docx

Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.

Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememenuhi syarat kelengkapan sekolah formal.

Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.

Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.

MeninggalDewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.

Ki Hajar Dewantara

Lahir dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, Ki Hajar Dewantara terlahir dalam keluarga kraton Yogyakarta. Sebagai golongan ningrat, Ki Hajar Dewantara memperoleh hak untuk mengenyam pendidikan yang layak dari kolonial Belanda. Setelah menamatkan ELS

Page 20: Sultan Baabullah.docx

(Sekolah Dasar Belanda), beliau meneruskan pelajarannya ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), sayang sekali lantaran menderita sakit, ia tidak bisa meneruskan pendidikannya di STOVIA.

Tak berhasil menyelesaikan pendidikannya di STOVIA, tak membuat Ki Hajar Dewantara vakum, beliaupun mulai menulis untuk beberapa surat kabar sebagai wartawan muda. Selain itu beliau juga aktif di berbagai kegiatan sosial dan politik. Sebagai seorang wartawan tulisan-tulisan beliau dikenal sangat patriotik dan mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya. Tulisan Ki Hajar Dewantara yang terkenal anatarlain "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: Als ik eens Nederlander was), dimuat dalam surat kabar de Expres milik Dr. Douwes Dekker, tahun 1913. Artikel ini ditulis sebagai protes atas rencana pemerintah Belanda untuk mengumpulkan sumbangan dari Hindia Belanda (Indonesia), yang saat itu masih belum merdeka, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis.

Sindiran Ki Hajar Dewantara melalui tulisan-tulisannya di beberapa surat kabar menyulut kemarahan Belanda, puncaknya Gubernur Jendral Idenburg memerintahkan agar Ki Hajar Dewantara di asingkan ke Pulau Bangka tanpa proses peradilan terlebih dahulu. Atas permintaan kedua rekannya yang juga mengalami hukuman pengasingan yaitu dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, pengasingan mereka dilaihkan ke negeri Belanda. Masa pembuangan di negeri Belanda tersebut tidak disia-siakan oleh KI Hajar Dewantara untuk mendalami bidang pendidikan dan pengajaran, hingga akhirnya memperoleh sertifikat Europeesche Akte.

Sekembalinya ke tanah air pada tahun 1918, Ki Hajar Dewantara mencurahkan perhatiannya di bidang pendidikan sebagai salah satu bentuk perjuangan meraih kemerdekaan. Bersama rekan-rekan seperjuangannya lainnya, Ki Hajar mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau lebih dikenal dengan Perguruan Nasional Tamansiswa pada 3 Juli 1922. Taman Siswa merupakan sebuah perguruan yang bercorak nasional yang menekankan rasa kebangsaan dan cinta tanah air serta semangat berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Perjuangan Ki Hajar Dewantara tak hanya melalui Taman siswa, sebagai penulis, Ki Hajar Dewantara tetap produktif menulis untuk berbagai surat kabar. Hanya saja kali ini tulisannya tidak bernuansa politik, namun beralih ke bidang pendidikan dan kebudayaan. Tulisan KI Hajar Dewantara berisi konsep-konsep pendidikan dan kebudayaan yang berwawasan kebangsaan. Melalui konsep-konsep itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.

Dalam perjuangannya terhadap pendidikan bangsanya, Ki Hajar Dewantara mempunyai Semboyan yaitu tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan baik). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan kita, terutama di sekolah-sekolah Taman Siswa. Di Usia nya yang genap 40 tahun, Ki Hajar Dewantara mencabut gelar kebangsawanannya dan mengganti nama aslinya Raden Mas Soewardi Soerjaningrat menjadi Ki Hadjar Dewantara. Hal ini dimaksudkan agar beliau dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hati. Pada masa pendudukan Jepang, Ki Hajar Dewantara diangkat sebagai salah satu pimpinan pada organisasi Putera bersama-sama dengan Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur. Dimasa kemerdekaan Ki Hajar Dewantara dingkat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Perjuangan Ki Hajar Dewantara terhadap pendidikan Indonesia membuat beliau layak di anugerahi gelar pahlawan pendidikan Indonesia. Tak berlebihan pula jika tanggal lahir beliau, 2 Mei diperingati sebagai hari pendidikan Nasional untuk mengenang dan sebagai penyemangat bagi kita untuk meneruskan prakarsa dan pemikiran-pemikiran beliau terhadap pendidikan Indonesia.

Page 21: Sultan Baabullah.docx

Setia Budi

Danudirja Setiabudi (Douwes Dekker) De Express, terbit di Bandung, 1 Maret 1912. Harian ini milik Indische Partij yang kemudian menjadi musuh dari kolonial Belanda. De Express diasuh oleh Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat, dan Tjipto Mangoenkoesoemo yang kemudian lebih dikenal sebagai Tiga Serangkai. Hal-hal yang dibahas di dalamnya adalah oerkara sosial-politik Hindia Belanda dan juga mengenai nasionalisme-radikal.

Page 22: Sultan Baabullah.docx

Beliau mengajak orang Indo-Eropa untuk tidak lagi menyebut dirinya sebagai orang Eropa karena mereka seharusnya bangga menjadi orang Indonesia. Orang Indo-Eropa memang keturunan Belanda, namun di anak-tirikan, karena hanya orang Belanda totok saja yang dianggap sebagai orang Belanda. Oleh karena itu, sebagai sesama orang Indo seharusnya bersama mengusir orang-orang Eropa tersebut dan menjadi satu dengan sebutan Boemipoetra.Tulisannya di De Ekspress memikat para Boemipoetra dan dukungan terhadap dirinya maupun koran tersebut semakin besar. Pernah ada tulisan karangan Suwardi Suryaningrat berjudul “Als ik Nederlander was” yang artinya “Seandainya Aku seorang Belanda”. Karena tulisan tersebut, pemerintah kolonial marah besar terhadap Tiga Serangkai. Setelah itu Belanda diserang secara bertubi-tubi oleh Tiga Serangkai. Tulisan lain Suwardi adalah “Satu buat Semua, tetapi juga Semua buat Satu”. Sementara tulisan DD adalah “Pahlawan kita : Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.” Hingga pada akhirnya koran De Express dibredel, mereka dibuang ke Belanda dan partai mereka dianggap sebagai partai haram.Pria yang lahir di pasuruan, 8 Oktober 1979 ini mulai sadar dengan nasionalisme dan kemanusiaan sejak mendapatkan pengalaman dalam perang Boer di Afrika Selatan. Sejak itu pula ia mulai mengkritik kebijakan pemerintahan kolonial. Untuk pertama kalinya di Hindia, beliau mencetuskan gagasan mengenai pemerintahan sendiri, yaitu melalui semboyan “Indie Los Van Holland” (Hindia bebas dari Belanda) Baginya, jurnalistik adalah wadah menyebarkan gagasan perjuangan kebangsaan.Ia sempat diterima sebagai koresponden De Locomotief dan Surabaya Handelsblad. Ia juga sempat bekerja sebagai redaktur di Bataviaasche Niewsblad namun karena ia terlalu berani dalam menulis, ia pun diturunkan dari posisinya itu. Jika ingin memilih pun, DD bisa mendapatkan posisi yang enak dalam pemerintahan kolonial. Menurut Frans Glissenaar, DD memiliki pengaruh yang besar dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Bahkan Soekarno pun mengakuinya sebagai Bapak Nasional Indonesia, apalagi setelah ia mengubah namanya menjadi Danudirja Setiabudhi. Akhirnya, pada tahun 1961 ia dengan resmi diangkat sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah RI.

Haji Samanhudi

Samanhudi atau sering disebut Kyai Haji Samanhudi (lahir di Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah, 1868; meninggal di Klaten, Jawa Tengah, 28 Desember 1956) adalah pendiri Sarekat Dagang Islam, sebuah organisasi massa di Indonesia yang awalnya merupakan wadah bagi para pengusaha batik di Surakarta. Nama kecilnya ialah Sudarno Nadi.

Dalam dunia perdagangan, Samanhudi merasakan perbedaan perlakuan oleh penguasa Hindia Belanda antara pedagang pribumi yang mayoritas beragama Islam dengan pedagang Tionghoa pada tahun 1911. Oleh sebab itu Samanhudi merasa pedagang pribumi harus mempunyai organisasi sendiri untuk

Page 23: Sultan Baabullah.docx

membela kepentingan mereka. Pada tahun 1911, ia mendirikan Sarekat Dagang Islam untuk mewujudkan cita-citanya.

Ia dimakamkan di Banaran, Grogol, Sukoharjo. Sesudah itu, Serikat Islam dipimpin oleh Oemar Said Tjokroaminoto.

Muhammad Husni Thamrin

Mohammad Husni Thamrin (lahir di Weltevreden, Batavia, 16 Februari 1894 – meninggal di Senen, Batavia, 11 Januari 1941 pada umur 46 tahun) adalah seorang politisi era Hindia Belanda yang kemudian dianugerahi gelar pahlawan nasional Indonesia

Karier

Ia dikenal sebagai salah satu tokoh Betawi (dari organisasi Kaoem Betawi) yang pertama kali menjadi anggota Volksraad ("Dewan Rakyat") di Hindia Belanda, mewakili kelompok Inlanders ("pribumi"). Sejak

Page 24: Sultan Baabullah.docx

1935 ia menjadi anggota Volksraad melalui Parindra. Thamrin juga salah satu tokoh penting dalam dunia sepakbola Hindia Belanda (sekarang Indonesia), karena pernah menyumbangkan dana sebesar 2000 Gulden pada tahun 1932 untuk mendirikan lapangan sepakbola khusus untuk rakyat Hindia Belanda pribumi yang pertama kali di daerah Petojo, Batavia (sekarang Jakarta).

Kematiannya penuh dengan intrik politik yang kontroversial. Tiga hari sebelum kematiannya, ia ditahan tanpa alasan jelas. Menurut laporan resmi, ia dinyatakan bunuh diri namun ada dugaan ia dibunuh oleh petugas penjara. Jenazahnya dimakamkan di TPU Karet, Jakarta. Di saat pemakamannya, lebih dari 10000 pelayat mengantarnya yang kemudian berdemonstrasi menuntuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan dari Belanda.[5]

Namanya diabadikan sebagai salah satu jalan protokol di Jakarta dan proyek perbaikan kampung besar-besaran di Jakarta ("Proyek MHT") pada tahun 1970-an .