Sua ra Pme baur an Kamis, 16 Maret 2017 Skandal E-KTP: So ... · PDF file(Bogor),Lau rensius...

1
Suara Pembaruan Kamis, 16 Maret 2017 13 Opini & Editorial Harian Umum Sore Suara Pembaruan Mulai terbit 4 Februari 1987 sebagai kelanjutan dari harian umum sore SINAR HARAPAN yang terbit pertama 27 April 1961. Penerbit: PT Media Interaksi Utama SK Menpen RI Nomor 224/SK/MENPEN/SIUPP/A.7/1987 Presiden Direktur: Theo L Sambuaga, Direktur: Randolph Latumahina, Drs Lukman Djaja MBA Alamat Redaksi: BeritaSatu Plaza, lantai 11 Jl Jend Gatot Subroto Kav 35-36 Jakarta-12950, Telepon (021) 2995 7500, Fax (021) 5277 981 BERITA SATU MEDIA HOLDINGS: President Director & CEO: Sinyo H Sarundajang, Deputy CEO: Johannes Tong, Editor at Large: John Riady, Finance Director: Lukman Djaja Dewan Redaksi: Theo L Sambuaga (Ketua), Markus Parmadi, Soetikno Soedarjo, Baktinendra Prawiro MSc, Ir Jonathan L Parapak MSc, Didik J Rachbini, Samuel Tahir Penasihat Senior: Irwan Djaja, Samuel Tahir Redaktur Pelaksana: Aditya L Djono, Dwi Argo Santosa, Asisten Redaktur Pelaksana: Anselmus Bata, Asni Ovier Dengen Paluin, Redaktur: Alexander Madji, Bernadus Wijayaka, Irawati Diah Astuti, Syafrul Mardhy Pasaribu, Surya Lesmana, Yuliantino Situmorang, Unggul Wirawan, Asisten Redaktur: Agustinus Lesek, Elvira Anna Siahaan, Siprianus Edi Hardum, Heri S Soba, Jeis Montesori, Jeany A Aipassa, Willy Masaharu Staf Redaksi: Ari Supriyanti Rikin, Carlos KY Paath, Dina Manafe, Deti Mega Purnamasari, Erwin C Sihombing, Fana FS Putra, Gardi Gazarin, Hendro D Situmorang, Hotman Siregar, Joanito De Saojoao, Lona Olavia, Natasia Christy Wahyuni, Novianti Setuningsih, Robertus Wardi, Ruht Semiono, Yeremia Sukoyo, Adi Marsiela (Bandung), Dewi Gustiana (Tangerang), Fuska Sani Evani (Yogyakarta), I Nyoman Mardika (Denpasar), Imron Rosyid (Solo), Ignatius Herjamjam (Bogor), Laurensius Dami (Serang), M. Kiblat Said (Makassar), Muhammad Hamzah (Banda Aceh), Arnold H Sianturi (Medan), John Dafril Lory (Palu), Mikael Niman (Bekasi), Margaretha Feybe Lumanauw (Batam), Radesman Saragih (Jambi), Robert Isidorus Vanwi (Papua), Stefy Thenu (Semarang), Sahat Oloan Saragih (Pontianak), Usmin (Bengkulu), Yoseph Andu Kelen (Kupang), Kepala Sekretariat Redaksi: Rully Satriadi, Koordinator Tata Letak: Rommy Likumahwa, Koordinator Grafis: Antonius Budi Nurcahyo. Advertising: Deputy Director: Sri Rejeki Listyorini, General Manager: Djemmy Piether, Senior Manager: Benediktus Utoro, Marcomm & Event Management: General Manager: Sari Oetomo, Manager: Herry Wardiyanto, Event Officer: Budiman Mulyadi, Rizky Aldi, Promotion: Reancy Triashari, Circulation: Stevanus Budi, Finance: Anna Gertruida, Alamat Iklan: BeritaSatu Plaza, lantai 9, Jl Jend Gatot Subroto Kav 35-36 Jakarta-12950, Rekening: Bank Mandiri Cabang Jakarta Kota, Rek Giro: A/C.115.008600.2559, BCA Cabang Plaza Sentral Rek. Giro No. 441.30.40.755 (iklan), BCA Cabang Plaza Sentral Rek. Giro No. 441.30.40.747 (Sirkulasi), Harga Langganan: Rp 75.000/ bulan, Terbit 6 kali seminggu. Luar Kota Per Pos minimum langganan 3 bulan bayar di muka ditambah ongkos kirim. Alamat Sirkulasi: Hotel Aryaduta Semanggi, Tower A First Floor, Jl Garnisun Dalam No. 8 Karet Semanggi, Jakarta 12930, Telp: 29957555 - 29957500 ext 3206 Percetakan: PT Gramedia http://www.suarapembaruan.com e-mail: [email protected] Wartawan Suara Pembaruan dilengkapi dengan identitas diri. Wartawan Suara Pembaruan tidak diperkenankan menerima pemberian dalam bentuk apa pun dalam hubungan pemberitaan. Kondisi perang di Aceh tentunya memicu perilaku violence masyarakat. Dalam pandangan ethologi, setiap orang memiliki insting untuk berkelahi dalam mempertahankan hidup dari ancaman spesies lain, sehingga seseorang akan berbangun perilaku kekerasaan terhadap orang lain yang dianggap menjadi musuh atau yang mengancam dirinya. Setelah tahun 1998, di mana pada 7 Agustus 1998 Panglima ABRI Jendral TNI Wiranto mengumumkan pencabutan status daerah operasi militer di Aceh menandai berakhirnya peperangan di Aceh. Namun demikian, perilaku kekerasan tidak serta merta hilang dalam peradaban masyarakat di Aceh. Mantan kombatan (yang dikenal dengan eks- GAM) yang ber-reinkarnasi menjadi Komisi Peralihan Aceh (KPA) ataupun Partai Aceh pasca 2005 dan menyebar menjadi pendukung partai lain tidak serta merta dapat merubah perilaku kekerasan yang sudah terbentuk. Terbukti sejak Pilkada 2006, Pilkada 2012, Pilkada 2015 dan Pilkada 2017 tradisi kekerasan masih muncul di Aceh. Persebaran para kombatan dalam mendukung partai politik di Aceh, dituding sebagai pelaku kekerasan dalam Pilkada. Dorongan perilaku kekerasan masyarakat dalam Pilkada Aceh terlihat ada pergeseran. Dalam Pilkada 2006 dan 2012 masih kuatnya dikotomi Pusat dan Daerah, sehingga insting kekerasan untuk mempertahankan kelompok terhadap dominasi Pemerintah masih kuat. Kekerasan politik masih didominasi Partai Aceh yang didukung banyak kombatan eks- GAM dan direstui oleh masyarakat Aceh. Namun, dalam Pilkada 2015 dan Pilkada 2017, tradisi kekerasan sudah beralih karena adanya dorongan atau keinginan berkuasa. Keinginan berkuasa, juga dapat memicu budaya kekerasan atau barbaristik. Sebagai contoh, Temujin (yang kemudian dikenal sebagai Genghis Khan) pernah bersumpah di masa mudanya untuk membawa dunia di kakinya, sehingga ketika menjadi Pemimpin Mongol (1206), dia membentuk pasukan berkuda yang sangat displin, Anak panah yang mampu merobek baju perang untuk menaklukan wilayah lain. Menurut ahli sejarah R.J. Rummel, diperkirakan sekitar 30 juta orang terbunuh di bawah pemerintahan Kekaisaran Mongolia dan sekitar setengah jumlah populasi Tiongkok habis dalam 50 tahun pemerintahan Mongolia. Pilkada merupakan proses demokrasi untuk mendudukan pemimpin yang bijak, sehingga harus dilakukan secara bijak tanpa kekerasan. Masa depan Aceh yang modern dan Darussalam, membutuhkan pemimpin yang dipilih dengan cara yang elegan, sehingga terpilih pemimpin yang demokratis dan amanah. Semoga. PENULIS ADALAH PEMERHATI MASALAH SOSIAL, ALUMNUS PASCA SARJANA UNIVERSITAS INDONESIA Perilaku Barbaristik... sambungan dari halaman 12 K etua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto pernah mengatakan kepada pers saat ini susah sekali mencari politisi jujur di bumi Indonesia. Mungkin 9/10 politisi Indonesia suka berbohong. “Itulah sebabnya saya mau maju” (dalam Pilpres 2014). Mega skandal e-KTP untuk kesekian kalinya membuktikan begitu banyak politisi kita yang “tukang bohong”. Sudah diangkat sumpah sebelum menjalankan tugas sebagai wakil rakyat pun tidak “mempan”. Sumpah tinggal sumpah, tetapi nilep uang rakyat jalan terus. Tidak ada lagi bukti mau mengabdi rakyat untuk masuk ke Senayan. Yang terang- benderang kecenderungan memperkaya diri sendiri dengan mempermainkan uang rakyat. Bayangkan, proyek e-KTP bernilai Rp. 5,9 triliun. Yang diduga dikorup oleh berbagai pihak, khususnya politisi anggota DPR berjumlah Rp 2,3 triliun, atau hampir 40% yang diselewengkan. Tidak kurang 40 orang yang menerima suap dari anggaran proyek e-KTP. Dengan demikian, kasus mega korupsi ini ada kemiripan dengan kasus pembangunan jalan di Papua yang baru-baru terungkap: sekitar 45% yang dirampok oleh berbagai pihak, termasuk anggota DPR juga. Karena begitu banyak anggaran yang ditilep, proyek e-KTP kemudian mangkrak. Menurut jadwal, akhir tahun lalu mestinya selesai tuntas proyek ini. Namun, sampai sekarang masih belum, sempat terhenti sejenak, karena pihak konsorsium perusahan mengklaim masih sekian ratus miliar rupiah yang belum dibayar. Akibat yang lebih serius lagi: pelaksanaan Pilkada serentak di seluruh Indonesia pun terganggu, karena data tentang pemilih dalam Pilkada serentak sangat mengandalkan proyek e-KTP. Jangan heran di mana-mana kita mendengar komplain rakyat yang mengaku belum memiliki e-KTP sehingga mengalami kesulitan mengikuti Pilkada. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sulit menomboki kekurangan anggaran e-KTP yang belum dikucurkan ke konsorsium perusahaan pelaksana proyek ini. Lha, uang dari mana? Jadi, kalau dipikir-pikir, betapa besar dosa mereka yang merampok dana proyek e-KTP. Perampokan anggaran e-KTP dimulai dari proses pengguliran wacana membuat nomer induk untuk seluruh penduduk Indonesia, perencanaan, pembahasan anggaran, penunjukkan perusahaan pelaksana, pelaksanaan sampai ke tahap akhir. Proyek anggaran raksasa ini dimulai 2011, bahkan pada 2010 sudah dimulai pembahasan-pembahasannya. Dari perspektif jumlah dana, skandal e-KTP hampir setara dengan skandal Bank Century yang mencapai Rp 6 triliun. Tapi, beda dengan skandal Bank Century, korupsi e-KTP tidak begitu hingar-bingar, kecuali media yang “meramaikannya”. Dalam kasus Bank Century, banyak wakil rakyat di Senayan yang sejak awal sudah berteriak-teriak minta diusut tuntas, bahkan membentuk Pansus Bank Century. Dalam hal kasus e-KTP, tanggapan DPR “sunyi senyap”....... Kenapa demikian? Karena moncong skandal Bank Century diarahkan ke pemerintah, orang-orang seputar Istana. Sebaliknya, moncong skandal e-KTP arahnya ke DPR! Menurut dakwaan jaksa KPK, ada sekitar 40 orang disebut-sebut menerima kucuran duit suap proyek KTP elektronik ini. Separuhnya diperkirakan anggota DPR. Beberapa di antara mereka, kabarnya, termasuk “pembesar” atau mantan pembesar DPR. Sebagian nama dan jumlah uang yang diduga diterima, bahkan, sudah beredar luas di masyarakat. Sejumlah anggota DPR gusar mengetahui kenyataan ini dan bersiap menggulirkan hak angket. Aneh, kan? Tekad untuk menggulirkan hak angket justru menambah kecurigaan publik! Apakah ini bukan berarti para wakil rakyat yang disebut-sebut namanya semakin takut? Hak Angket? Apa pemerintah bisa disalahkan dengan “bocornya” nama-nama itu ke publik? Tentu, tidak bisa. Jangan lupa, peradilan Tipikor bersifat terbuka. Apa pun yang dibicarakan di penghadilan, dengan sendirinya, bisa dicatat dan direkam pers. Bagaimana mungkin pers kemudian dilarang untuk mempublikasikannya? Skandal e-KTP punya kemiripan dengan kasus suap terkait pemilihan Miranda Gultom (sebagai Deputi Senior Bank Indonesia), sama-sama melibatkan banyak anggota DPR. Bedanya, dalam kasus Miranda Gultom, yang jadi korban sebagian besar anggota DPR dari Fraksi PDIP. Hampir semua anggota fraksi itu “kebagian” suap. Awalnya, tentu, semua membantah keras. Tapi pengakuan blak-blakan dari salah satu wakil rakyat dari PDIP yang “menyanyi” apa adanya membuat KPK mulus sekali menciduk dan menyeret satu per satu wakil rakyat partai berlogo kepala banteng itu. Semua yang disebut-sebut namanya di media akhirnya diadili dan dijatuhkan hukuman penjara. Beda dengan kasus Miranda Gultom, kasus e-KTP melibatkan lintas-partai. Jika kita baca dakwaan Jaksa Pengadilan Tipikor yang dibacakan 9 Maret yang baru lalu, nama-nama yang disebutkan berasal dari hampir semua fraksi periode 2009-2014. Sebagian, bahkan, sudah mengembalikan uang yang “terlanjur” diterimanya. Sekitar Rp 30 miliar (dugaan) uang korupsi dari proyek e-KTP sudah dikembalilkan 14 saksi kepada KPK, Rp 220 miliar uang korupsi dikembalikan sejumlah perusahaan. Presiden Jokowi telah mengeluarkan pernyataan resmi tentang skandal e-KTP: supaya KPK jangan ragu sedikit pun untuk membongkar skandal ini! Pernyataan Presiden kemudian ditimpali Wakil Presiden Jusuf Kalla: Tidak akan terjadi turbulensi politik akibat penuntasan kasus ini. “Kalau Ketua DPR terkena, banyak orang antre untuk menggantinya. Tidak susah mencari penggantinya!” tandas JK. Apa yang dikatakan oleh JK memang benar. Tetapi semua pihak harus tetap menahan diri. Azas praduga tak bersalah tetap harus dijunjung tinggi. Hanya saja, kepada KPK kita mendesak supaya skandal e-KTP dipercepat penuntasannya. Jangan “dimainkan” dengan berbagai pertimbangan (politis). Makin cepat selesai makin bagus, makin terang tontonan yang disajikan kepada rakyat Indonesia, bahwa memang banyak wakil rakyat kita yang sudah bejat moralnya !!*** PENULIS ADALAH ANGGOTA KOMISI KONSTITUSI MPR 2004 Skandal E-KTP: So What? TJIPTA LESMANA Kepada KPK kita mendesak supaya skandal e-KTP dipercepat penuntasannya. Jangan “dimainkan” dengan berbagai pertimbangan (politis). Makin cepat selesai makin bagus, makin terang tontonan yang disajikan kepada rakyat Indonesia.

Transcript of Sua ra Pme baur an Kamis, 16 Maret 2017 Skandal E-KTP: So ... · PDF file(Bogor),Lau rensius...

Page 1: Sua ra Pme baur an Kamis, 16 Maret 2017 Skandal E-KTP: So ... · PDF file(Bogor),Lau rensius ... Luar Kota per pos minimum langganan 3 bulan bayar di muka ditambah ongkos kirim. ...

Sua ra Pem ba ru an Kamis, 16 Maret 2017 13Opi ni & Edi to ri al

Ha ri an Umum So re Sua ra Pem ba ru an

Mu lai ter bit 4 Feb rua ri 1987 se ba gai ke lan jut an da ri ha ri an umum so re Si nar Ha rap an yang ter bit per ta ma 27 ap ril 1961.

Pe ner bit: pT Me dia in ter ak si Uta maSK Men pen ri no mor 224/SK/MEn pEn/SiUpp/a.7/1987

Pre si den Di rek tur: Theo L Sam bua ga, Di rek tur: ran dolph La tu mah ina, Drs Luk man Dja ja MBaAla mat Re dak si: Be ri ta Sa tu pla za, lan tai 11

Jl Jend Ga tot Su bro to Kav 35-36 Ja kar ta-12950, Te le pon (021) 2995 7500, Fax (021) 5277 981Be Ri tA SA tu Me DiA Hol DingS: Pre si dent Di rec tor & Ceo: Sinyo H Sarundajang, Deputy Ceo: Johannes Tong, edi tor at lar ge: John ri a dy,

Fi nan ce Di rec tor: Luk man Dja ja

De wan Re dak si: Theo L Sambuaga (Ke tua), Mar kus par ma di, Soe tik no Soe dar jo, Bak tin en dra pra wi ro MSc, ir Jo na than L pa ra pak MSc, Di dik J rach bi ni, Sa muel Ta hir Pe na si hat Se ni or: irwan Djaja, Sa muel Ta hir Re dak tur Pe lak sa na: adit ya L Djo no, Dwi ar go San to sa, Asis ten Re dak tur Pe lak sa na: an sel mus Ba ta, as ni Ovier De ngen pa luin, Re dak tur: alexan der Mad ji, Ber na dus Wi ja ya ka, ira wa ti Di ah as tu ti, Sya frul Mar dhy pa sa ri bu, Sur ya Les ma na, Yu li an ti no Si tu mo rang, Ung gul Wi ra wan, Asis ten Re dak tur: agus ti nus Le sek, El vi ra an na Si a ha an, Sip ri a nus Edi Har dum, He ri S So ba, Je is Mon te so ri, Je a ny a ai pas sa, Wil ly Ma sa ha ru Staf Re dak si: ari Su pri yan ti ri kin, Car los KY pa ath, Di na Ma na fe, De ti Me ga pur na ma sa ri, Er win C Si hom bing, Fa na FS put ra, Gar di Ga za rin, Hen dro D Si tu mo rang, Hot man Si re gar, Jo a ni to De Sao jo ao, Lo na Ola via, na ta sia Chris ty Wa hyu ni, no vian ti Se tu ning sih, ro ber tus War di, ruht Se mio no, Ye re mia Su ko yo, adi Mar si ela (Ban dung), De wi Gus ti a na (Ta nge rang), Fus ka Sa ni Eva ni (Yog ya kar ta), i nyom an Mar dika (Den pa sar), imron rosyid (Solo), ignatius Herjamjam (Bogor), Lau ren sius Dami (Se rang), M. Ki blat Sa id (Ma kas sar), Mu ham mad Ham zah (Ban da aceh), ar nold H Si an tu ri (Me dan), John Dafril Lory (palu), Mikael niman (Bekasi), Mar ga re tha Fe y be Lu man auw (Ba tam), ra des man Sa ra gih (Jam bi), ro bert isi do rus Van wi (pa pua), Ste fy The nu (Se ma rang), Sa hat Olo an Sa ra gih (pon tia nak), Us min (Beng ku lu), Yoseph andu Kelen (Kupang), Ke pa la Sek re ta riat Re dak si: rul ly Sat ri a di, Ko or di na tor ta ta le tak: ro mmy Likumahwa, Ko or di na tor grafis: an to nius Bu di nur ca hyo.

Advertising: Deputy Director: Sri re je ki Lis tyo ri ni, general Manager: Djemmy piether, Senior Manager: Benediktus Utoro, Mar comm & event Management: general Manager: Sari Oetomo, Manager: Herry Wardiyanto, event officer: Budiman Mulyadi, rizky aldi, Promotion: reancy Triashari,

Circulation: Stevanus Budi, Finance: anna Gertruida, Ala mat ik lan: Be ri ta Sa tu pla za, lan tai 9, Jl Jend Ga tot Su bro to Kav 35-36 Ja kar ta-12950, Re ke ning: Bank Man di ri Ca bang Ja kar ta Ko ta, rek Gi ro: a/C.115.008600.2559, BCa Ca bang pla za Sen tral rek. Gi ro no. 441.30.40.755 (ik lan), BCa Ca bang pla za Sen tral rek. Gi ro no. 441.30.40.747 (Sir ku la si),

Har ga lang ga nan: rp 75.000/ bu lan, Ter bit 6 ka li se ming gu. Lu ar Ko ta per pos mi ni mum lang ga nan 3 bu lan ba yar di mu ka di tam bah ong kos ki rim. Ala mat Sir ku la si: Ho tel arya du ta Se mang gi, To wer a First Flo or, Jl Gar ni sun Da lam no. 8 Ka ret Se mang gi, Ja kar ta 12930, Telp: 29957555 - 29957500 ext 3206 Per ce tak an: pT Gra me dia

http://www.sua ra pem ba ru an.com e-mail: ko ransp@sua ra pem ba ru an.com

War ta wan Sua ra Pem ba ru an di leng ka pi de ngan iden ti tas di ri. War ta wan Sua ra Pem ba ru an ti dak di per ke nan kan me ne ri ma pem be ri an da lam ben tuk apa pun da lam hu bung an pem be ri ta an.

Kondisi perang di Aceh tentunya memicu perilaku violence masyarakat. Dalam pandangan ethologi, setiap orang memiliki insting untuk berkelahi dalam mempertahankan hidup dari ancaman spesies lain, sehingga seseorang akan berbangun perilaku kekerasaan terhadap orang lain yang dianggap menjadi musuh atau yang mengancam dirinya.

Setelah tahun 1998, di mana pada 7 Agustus 1998 Panglima ABRI Jendral TNI Wiranto mengumumkan pencabutan status daerah operasi militer di Aceh menandai berakhirnya peperangan di Aceh. Namun demikian, perilaku kekerasan tidak serta merta hilang dalam peradaban masyarakat di Aceh. Mantan kombatan (yang dikenal dengan eks-GAM) yang ber-reinkarnasi menjadi Komisi Peralihan Aceh (KPA) ataupun Partai Aceh pasca 2005 dan menyebar menjadi pendukung partai lain tidak serta merta dapat merubah perilaku kekerasan yang sudah terbentuk. Terbukti sejak Pilkada 2006, Pilkada 2012, Pilkada 2015 dan Pilkada 2017 tradisi kekerasan masih muncul di Aceh. Persebaran para kombatan dalam mendukung partai politik di Aceh, dituding sebagai pelaku kekerasan dalam Pilkada.

Dorongan perilaku kekerasan masyarakat dalam Pilkada Aceh terlihat ada pergeseran. Dalam Pilkada 2006 dan 2012 masih kuatnya dikotomi Pusat dan Daerah, sehingga insting kekerasan untuk mempertahankan kelompok terhadap dominasi Pemerintah masih kuat. Kekerasan politik masih didominasi Partai Aceh yang didukung banyak kombatan eks-GAM dan direstui oleh masyarakat Aceh. Namun, dalam Pilkada 2015 dan Pilkada 2017, tradisi kekerasan sudah beralih karena adanya dorongan atau keinginan berkuasa. Keinginan berkuasa, juga dapat memicu budaya kekerasan atau barbaristik. Sebagai contoh, Temujin (yang kemudian dikenal sebagai Genghis Khan) pernah bersumpah di masa mudanya untuk membawa dunia di kakinya, sehingga ketika menjadi Pemimpin Mongol (1206), dia membentuk pasukan berkuda yang sangat displin, Anak panah yang mampu merobek baju perang untuk menaklukan wilayah lain. Menurut ahli sejarah R.J. Rummel, diperkirakan sekitar 30 juta orang terbunuh di bawah pemerintahan Kekaisaran Mongolia dan sekitar setengah jumlah populasi Tiongkok habis dalam 50 tahun pemerintahan Mongolia.

Pilkada merupakan proses demokrasi untuk mendudukan pemimpin yang bijak, sehingga harus dilakukan secara bijak tanpa kekerasan. Masa depan Aceh yang modern dan Darussalam, membutuhkan pemimpin yang dipilih dengan cara yang elegan, sehingga terpilih pemimpin yang demokratis dan amanah. Semoga.

Penulis adalah Pemerhati masalah sosial, alumnus Pasca sarjana universitas indonesia

Perilaku Barbaristik... sambungan dari halaman 12

Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo S u b i a n t o p e r n a h

mengatakan kepada pers saat ini susah sekali mencari politisi jujur di bumi Indonesia. M u n g k i n 9 / 1 0 p o l i t i s i Indonesia suka berbohong. “Itulah sebabnya saya mau maju” (dalam Pilpres 2014).

Mega skandal e-KTP untuk kesekian kalinya membuktikan begitu banyak politisi kita yang “tukang bohong”. Sudah diangkat sumpah sebelum menjalankan tugas sebagai waki l rakyat pun t idak “mempan”. Sumpah tinggal sumpah, tetapi nilep uang rakyat jalan terus. Tidak ada lagi bukti mau mengabdi rakyat untuk masuk ke Senayan. Yang terang-benderang kecenderungan memperkaya diri sendiri dengan mempermainkan uang rakyat.

Bayangkan, proyek e-KTP bernilai Rp. 5,9 triliun. Yang diduga dikorup oleh berbagai pihak, khususnya politisi anggota DPR berjumlah Rp 2,3 triliun, atau hampir 40% yang diselewengkan. Tidak kurang 40 orang yang menerima suap dari anggaran proyek e-KTP. Dengan demikian, kasus mega korupsi ini ada kemiripan dengan kasus pembangunan jalan di Papua yang baru-baru terungkap: sekitar 45% yang dirampok oleh berbagai pihak, termasuk anggota DPR juga.

Karena begitu banyak anggaran yang ditilep, proyek e-KTP kemudian mangkrak. Menurut jadwal, akhir tahun lalu mestinya selesai tuntas proyek ini. Namun, sampai sekarang masih belum, sempat terhenti sejenak, karena pihak konsorsium perusahan mengklaim masih sekian ratus miliar rupiah yang belum dibayar. Akibat yang lebih serius lagi: pelaksanaan Pilkada serentak di seluruh Indonesia pun terganggu, karena data tentang pemilih dalam Pilkada serentak sangat mengandalkan proyek e-KTP. Jangan heran di mana-mana kita mendengar komplain rakyat yang mengaku belum memiliki e-KTP sehingga mengalami kesulitan mengikuti Pilkada.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sulit menomboki kekurangan anggaran e-KTP yang belum dikucurkan ke konsorsium perusahaan pelaksana proyek ini. Lha, uang dari mana?

Jadi, kalau dipikir-pikir, betapa besar dosa mereka yang merampok dana proyek e-KTP. Perampokan anggaran e-KTP dimulai dari proses pengguliran wacana membuat nomer induk untuk seluruh penduduk

Indonesia, perencanaan, pembahasan anggaran, penunjukkan perusahaan pelaksana, pelaksanaan sampai ke tahap akhir.

Proyek anggaran raksasa ini dimulai 2011, bahkan pada 2010 sudah dimulai pembahasan-pembahasannya. Dari perspektif jumlah dana, skandal e-KTP hampir setara dengan skandal Bank Century yang mencapai Rp 6 triliun. Tapi, beda dengan skandal Bank Century, korupsi e-KTP tidak begitu hingar-bingar, kecuali media yang “meramaikannya”.

Dalam kasus Bank Century, banyak wakil rakyat di Senayan yang sejak awal sudah berteriak-teriak minta diusut tuntas, bahkan membentuk Pansus Bank Century. Dalam hal kasus e-KTP, tanggapan DPR “sunyi senyap”....... Kenapa demikian? Karena moncong skandal Bank Century diarahkan

ke pemerintah, orang-orang seputar Istana. Sebaliknya, moncong skandal e-KTP arahnya ke DPR!

Menurut dakwaan jaksa KPK, ada sekitar 40 orang disebut-sebut menerima kucuran duit suap proyek KTP elektronik ini. Separuhnya diperkirakan anggota DPR. Beberapa di antara mereka, kabarnya, termasuk “pembesar” atau mantan pembesar DPR. Sebagian nama dan jumlah uang yang diduga diterima, bahkan, sudah beredar luas di masyarakat. Sejumlah anggota DPR gusar mengetahui kenyataan ini dan bersiap menggulirkan hak angket. Aneh, kan? Tekad untuk menggulirkan hak angket justru menambah kecurigaan publik! Apakah ini bukan berarti para wakil rakyat yang disebut-sebut namanya semakin takut?

Hak Angket? Apa pemerintah bisa disalahkan dengan “bocornya” nama-nama itu ke publik? Tentu, tidak bisa. Jangan lupa, peradilan Tipikor bersifat terbuka. Apa pun yang dibicarakan di penghadilan, dengan sendirinya, bisa dicatat dan direkam pers. Bagaimana mungkin pers kemudian dilarang untuk mempublikasikannya?

Skandal e-KTP punya kemiripan dengan kasus suap terkait pemilihan Miranda Gultom (sebagai Deputi Senior Bank Indonesia), sama-sama melibatkan banyak anggota DPR. Bedanya, dalam kasus Miranda Gultom, yang jadi korban sebagian besar anggota DPR dari Fraksi PDIP. Hampir semua anggota fraksi itu “kebagian” suap. Awalnya, tentu, semua membantah keras. Tapi pengakuan blak-blakan dari salah satu wakil rakyat dari PDIP yang “menyanyi” apa adanya membuat KPK mulus sekali menciduk dan menyeret satu per satu wakil rakyat partai berlogo kepala banteng itu. Semua yang disebut-sebut namanya di media akhirnya diadili dan dijatuhkan hukuman penjara. Beda dengan kasus Miranda Gultom, kasus e-KTP melibatkan lintas-partai. Jika kita baca dakwaan Jaksa Pengadilan Tipikor yang dibacakan 9 Maret yang baru lalu, nama-nama yang disebutkan berasal dari hampir semua fraksi periode 2009-2014. Sebagian, bahkan, sudah mengembalikan uang yang “terlanjur” diterimanya. Sekitar Rp 30 miliar (dugaan) uang korupsi dari proyek e-KTP sudah dikembalilkan 14 saksi kepada KPK, Rp 220 miliar uang korupsi dikembalikan sejumlah perusahaan.

Presiden Jokowi telah mengeluarkan pernyataan resmi tentang skandal e-KTP: supaya KPK jangan ragu sedikit pun untuk membongkar skandal ini! Pernyataan Presiden kemudian ditimpali Wakil Presiden Jusuf Kalla: Tidak akan terjadi turbulensi politik akibat penuntasan kasus ini. “Kalau Ketua DPR terkena, banyak orang antre untuk menggantinya. Tidak susah mencari penggantinya!” tandas JK.

Apa yang dikatakan oleh JK memang benar. Tetapi semua pihak harus tetap menahan diri. Azas praduga tak bersalah tetap harus dijunjung tinggi. Hanya saja, kepada KPK kita mendesak supaya skandal e-KTP dipercepat penuntasannya. Jangan “dimainkan” dengan berbagai pertimbangan (politis). Makin cepat selesai makin bagus, makin terang tontonan yang disajikan kepada rakyat Indonesia, bahwa memang banyak wakil rakyat kita yang sudah bejat moralnya !!***

Penulis adalah anggota Komisi Konstitusi mPr 2004

Skandal E-KTP: So What?

TjipTa Lesmana

Kepada KPK kita mendesak supaya skandal e-KTP

dipercepat penuntasannya. Jangan “dimainkan”

dengan berbagai pertimbangan (politis).

Makin cepat selesai makin bagus, makin terang

tontonan yang disajikan kepada rakyat Indonesia.