Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara...

34
101 BAB IV ANALISA ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA A. Sidang BPUPKI-PPKI Sebagai Landasan Tindakan Komunikatif Tidak tepat untuk membaca pendapat para anggota BPUPKI-PPKI secara sepotong-sepotong. Dalam bermusyawarah sudah menjadi ketentuan ada proses memberi dan menerima sebelum keputusan bersama atau mufakat itu dapat dicapai. Dalam persidangan BPUPKI-PPKI, seperti yang telah dijelaskan pada bab tiga, mengalami begitu banyak perdebatan serius tentang nasib negara baru yang akan dibentuk. Salah satunya adalah perdebatan mengenai dasar negara. Perdebatan ini mempunyai perjalanan hingga mencapai suatu kesepakatan antar para pendiri negara untuk bersama menggunakan Pancasila dan segala isi peraturannya menjadi landasan bersama untuk hidup dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada persidangan BPUPKI telah muncul perdebatan sengit yang menjadi fokus perhatian sampai kepada Proklamasi Kemerdekaan. Pembicaraan awal sidang BPUPKI ialah mengenai dasar negara yang akan digunakan. Arah model negara ingin dibawa menjadi negara agama (Islam) dan di sisi lain ingin dibawa menjadi negara nasional (kesatuan). Melalui pidato-pidato mereka pada awal persidangan dapat dilihat bahwa dasar negara menjadi titik tolak model negara apa yang akan dipilih.

Transcript of Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara...

Page 1: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

101

BAB IV

ANALISA ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA

SEBAGAI DASAR NEGARA

A. Sidang BPUPKI-PPKI Sebagai Landasan Tindakan Komunikatif

Tidak tepat untuk membaca pendapat para anggota BPUPKI-PPKI secara

sepotong-sepotong. Dalam bermusyawarah sudah menjadi ketentuan ada proses

memberi dan menerima sebelum keputusan bersama atau mufakat itu dapat dicapai.

Dalam persidangan BPUPKI-PPKI, seperti yang telah dijelaskan pada bab tiga,

mengalami begitu banyak perdebatan serius tentang nasib negara baru yang akan

dibentuk. Salah satunya adalah perdebatan mengenai dasar negara. Perdebatan ini

mempunyai perjalanan hingga mencapai suatu kesepakatan antar para pendiri negara

untuk bersama menggunakan Pancasila dan segala isi peraturannya menjadi landasan

bersama untuk hidup dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada persidangan BPUPKI telah muncul perdebatan sengit yang menjadi fokus

perhatian sampai kepada Proklamasi Kemerdekaan. Pembicaraan awal sidang BPUPKI

ialah mengenai dasar negara yang akan digunakan. Arah model negara ingin dibawa

menjadi negara agama (Islam) dan di sisi lain ingin dibawa menjadi negara nasional

(kesatuan). Melalui pidato-pidato mereka pada awal persidangan dapat dilihat bahwa

dasar negara menjadi titik tolak model negara apa yang akan dipilih.

Page 2: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

102

Melalui data-data yang penulis dapatkan, terutama dalam Risalah Sidang

BPUPKI-PPKI, pidato Soekarno seakan-akan telah menjadi persetujuan sebahagian

besar peserta sidang melalui tepuk tangan riuh dari para sidang rapat tersebut. Dalam

penjelasan pidato Soekarno juga terlihat jelas bahwa ia tidak mengusung model negara

agama, melainkan negara kesatuan yang mengusung nilai Ke-Tuhanan.

Pidato Soekarno ini mendapat perhatian khusus dari Ketua Radjiman dan

membentuk Panitia Kecil dengan beberapa anggotanya guna merumuskan kembali

Pancasila yang diucapkan Soekarno itu. Melalui Panitia Kecil ini dugaan penulis

terdapat perdebatan antara peserta yang masih bertekad untuk membentuk negara Islam

dan di pihak lain ada yang masih berupaya menatap Indonesia ini menjadi negara

kesatuan. Hal ini tersirat dari dibentuknya panitia kecil lagi dengan sebutan “panitia

sembilan” untuk menghasilkan suatu rumusan kolektif dari kedua golongan (Islam dan

Kebangsaan). Rumusan kolektif ini kelihatan nyata bahwa ada upaya mengangkat

ideologi Islam di dalamnya, a.l. sebagai berikut:

1. Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-

pemeluknya;

2. (menurut) dasar kemanusiaan yang adil dan beradab;

3. Persatuan Indonesia;

4. (dan) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan perwakilan;

5. (serta dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penulis mengatakan demikian karena ada beberapa hal alasannya, a.l. keberatan

Golongan Islam dengan peletakan prinsip Ke-Tuhanan pada sila terakhir. Mereka

memandang prinsip Ke-Tuhanan ini sebagai skala prioritas, serta penambahan kalimat

“dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Rumusan

Page 3: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

103

dasar negara telah terbentuk untuk sementara di dalam kesepakatan Panitia Sembilan

yang dinamakan Piagam Jakarta sebagai hasil kompromis antara golongan Islam dan

golongan Kebangsaan.

Kesepakatan ini pada awalnya merupakan termasuk dalam teori tindakan

teleologis. Hal ini disebabkan melalui tindakan strategis yang turut memperhitungkan

sarana dan langkah-langkah yang tepat diambil untuk mencapai tujuan bersama

(tentunya dengan persetujuan aktor/anggota sidang lainnya). Penulis mengatakan

melalui tindakan strategis karena dalam perbincangan sebelum-setelah panitia sembilan

ini ada pembicaraan mengenai jumlah mayoritas penduduk yang memeluk agama Islam

mencapai 90-95%. Ada kecenderungan bahwa suasana pengambilan keputusan (pada

panitia sembilan) bukan dalam pemahaman general will, melainkan the will of all.

Sedikit-banyaknya pokok diskusi rapat panitia sembilan seputar mengenai

pertimbangan suara rakyat yang lebih banyak menganut agama Islam.

Rumusan ini dilemparkan kepada forum ketika dimulai rapat sidang BPUPKI

kembali. Pembicaraan pada sidang tersebut mencakup beberapa hal, yakni (1) panitia

perancang hukum dasar, (2) panitia perancang keuangan, (3) panitia perancang

pembelaan tanah air. Pada tiga pembahasan ini ada tiga pokok perdebatan yang timbul,

yaitu: (1) Di dalam Republik apakah menjadi unitarisme atau federalisme?; (2)

Keberatan dengan “tujuh kata” anak kalimat; (3) Perhatian pada isu Hak Asasi Manusia

(HAM).

Pada keberatan pertama dan ketiga kesepakatan yang dicapai tidak terlalu

mengalami kesukaran persetujuan karena pengalaman sosial dan dalam bidang politik

pemerintahan mempunyai banyak persamaan terlebih lagi sama-sama berangkat dari

Page 4: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

104

perjuangan melawan penjajah. Pada kenyataan taraf ini – unitarisme dan isu HAM –

para pendiri negara telah mencapai kesepakatan model tindakan komunikatif, karena

perjuangan mereka terhadap rasa nasionalis dan kemanusiaan mengindikasikan bahwa

setiap interpretasi mereka terhadap keadaan yang terjajah dan sama-sama merindukan

kemerdekaan yang bersatu dan bebas dari ketertindasan (menjunjung tinggi nilai-nilai

kemanusiaan) ialah interpretasi definisi-situasi yang sama.

Namun, lain halnya dengan ideologi agama yang tidak dapat disatukan dengan

ideologi atau konsep lainnya. Penulis mencatat ada beberapa percakapan mengenai

perdebatan-perdebatan tersebut. Pertama, keberatan ini diajukan oleh Latuharhary (11

Juli) tentang “tujuh kata” anak kalimat. Baginya hal ini merupakan benih-benih atau

kemungkinan yang dapat diartikan dalam rupa macam-macam, dan menimbulkan

perasaan tidak senang pada golongan-golongan yang bersangkutan. Kemudian

ditambah lagi dengan terjadinya benturan pada adat-istiadat karena agama Islam dalam

menjalankan Syariat Islam harus murni tanpa ada unsur adat-istiadat.

Perdebatan ini memicu beberapa anggota angkat bicara, seperti: Agus Salim

(menyangkal ketakutan Latuharhary dengan mengatakan bahwa ketakutan itu berlaku

pada orang Islam yang umur agamanya masih muda. Orang Minangkabau yang sudah

menganut Islam sejak lama tidak lagi kesulitan tentang hal tersebut); Wongsonagoro

(tujuh kata jangan diubah, tetapi ditambahkan “bagi pemeluk-pemeluk agama lain

dengan jalan lain menurut agamanya masing-masing); Djajadiningrat (tujuh kata itu

bisa menimbulkan fanatisme, seperti memaksa sembahyang, shalat, dan lain-lain); dan

Wachid Hasjim (memberi solusi pada Djajadinigrat kalau hal itu terjadi, akan ada

wadah perwakilan rakyat untuk menyelesaikan paksaan-paksaan itu dan menyarankan

untuk tidak lagi memperpanjang perdebatan tersebut). Perdebatan ditutup oleh

Page 5: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

105

Soekarno dengan mengatakan bahwa rumusan itu adalah hasil kompromis antara dua

golongan dan menegaskan kembali bahwa kompromi itu telah diterima oleh Panitia.

Upaya-upaya dari beberapa tokoh ini merupakan tindakan ilokusi. Hal ini dapat

dilihat pada upaya penjelasan yang diberikan oleh Salim, Wongsonagoro, dan W.

Hasjim agar pendengar dapat memahami dan menerimanya (tentu dengan maksud agar

dapat menjadi aturan yang normatif). Dalam pengertian bahwa segala tindakan yang

akan dilakukan di masyarakat Indonesia mengacu pada kesepakatan-kesepakatan

tersebut.

Hal yang ingin dicapai bukan berdasarkan pada pendapat dan alasan pribadi,

melainkan untuk mempertahankan kesepakatan Piagam Jakarta itu sendiri. Keteguhan

Wachid Hasjim terhadap ajaran dan ideologi Islam terlihat kembali ketika ia

mengusulkan perubahan pada pasal 4 dan pasal 29. Hasjim menjelaskan bahwasannya

hal itu erat berhubungan dengan pembelaan. Pada umumnya pembelaan yang

berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat, karena menurut ajaran agama, nyawa hanya

boleh diserahkan buat ideologi agama.

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa tujuan perlokusioner pembicara melalui

tindakannya akan mengarahkan pendengar untuk mencapai pemahaman, artinya tujuan

ini hanya bisa dipahami lewat maksud dari pembicara. Djajadinigrat mampu

menyimpulkan tujuan perlokusioner dari konteks atau keadaan pada saat itu.

Perdebatan ini untuk kesekian kalinya diangkat lagi dalam persidangan

berikutnya, 14 Juli 1945. Dalam percakapan itu ada keberatan yang diajukan oleh

Hadikoesoemo dan itu ditangkis oleh Soekarno. Pada kalimat Soekarno nampak sekali

terdapat masalah koordinasi tindakan. Rumusan Rancangan UUD masih belum dapat

Page 6: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

106

diterima oleh peserta. Soekarno berusaha mencapai pemahaman dalam bahasa yang

direpresentasikan pada model subjek secara teleologis, yang saling mempengaruhi yaitu

tindakan rasional-bertujuan. Artinya ada tindakan-tindakan individu yang

diorientasikan pada harapan untuk mancapai pemahaman demi suatu makna yang

dimaksud.

Hadikoesoemo bersikeras dengan pendapatnya yang nasionalistik terhadap

kalimat tersebut sampai empat kali. Dalam pandangan Habermas ini bukan merupakan

komunikasi karena ketidaksetujuannya terhadap rumusan itu. Ia dengan jelas

mengutarakan “ketidakenakan” terhadap warga yang bukan umat Islam karena ada

pengkhususan di salah satu golongan yang mengakibatkan akan ada dua peraturan yakni

satu untuk umat Islam dan satu untuk yang bukan Islam di dalam satu negara. Hal ini

bisa diartikan bahwa kesepakatan dalam rumusan itu merupakan sikap orientasi kepada

keberhasilan.

Secara mekanismenya rumusan tersebut mencapai suatu pemahaman tapi ketika

banyak perdebatan mengenai ini terlihat ada penghubungan rencana tindakan terstruktur

dengan kombinasi tindakan individu yang terlebih dahulu ke dalam kompleks interaksi.

Penulis mengamati melalui beberapa pendapat yang memberikan sesuatu untuk

dipahami kepada subjek lainnya dan secara tidak langsung menyuruhnya membentuk

opini tertentu atau menjalankan kehendak tertentu.

Lagi-lagi perdebatan ini muncul kembali. Kali ini usul diutarakan oleh Abd.

Pratalykrama yang mencoba mengusulkan perubahan supaya presiden minimal usia 40

tahun dan beragama Islam. Usul ini ditambahkan oleh Masjkoer supaya kalo tidak dapat

diubah tentang presiden, pasal 28 menjadi “Agama resmi bagi Republik Indonesia ialah

Page 7: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

107

agama Islam”. Upaya-upaya seperti ini dapat dijadikan alasan bahwa beberapa orang

bersikeras mengiginkan menjadi negara Islam. Usul-usul ini membuat Soekarno

mengambil keputusan pada keesokan harinya.

Melalui keputusan ini, penulis melihat bagaimana cara Soekarno

mengompromiskan kedua golongan ini agar memperoleh suatu pencapaian pemahaman

yang komunikatif. Pertimbangan banyaknya penduduk lebih diutamakan. Menurut

Soekarno, ini merupakan jalan tengah. Jalan tengahnya ada pada permohonan khusus

kepada kaum kebangsaan, terutama kepada yang beragama non-Islam, yang merelakan

dan berkorban untuk pasal tertentu ada dikaitkan Islam, namun, pada pasal lainnya, 29

ayat ke-2 menggambarkan tindakan bijak dari Soekarno agar pihak Islam tidak terlalu

memiliki kekuasaan besar yang menindas agama lainnya, melainkan bisa hidup

berdampingan.

Pada kalimat kompromis Soekarno ini, dapat dikategorikan sebagai suatu

tindakan untuk mencapai klaim validitas. Kesepakatan harus diterima atau diyakini

validitasnya oleh para partisipan. Kesepakatan terletak pada keyakinan bersama.

Keyakinan yang dimaksud adalah jika orang lain menerima tawaran yang ada dalam

pembicaraan dengan “ya“ atau “tidak” terhadap klaim validitas dan mendasarkan

keputusannya masing-masing pada alasan-alasan potensial. Hal ini dapat dilihat pada

model percakapan, di mana akan dianalisa maksud kedua subjek untuk sampai kepada

pemahaman satu sama lain. Habermas menyatakan bahwa pada dasarnya percakapan

dan pemahaman tidak terkait satu sama lain seperti antara sarana dan tujuan.

Keterkaitan itu baru dapat dilihat dan dijelaskan jika menspesifikasikan tujuan dari

penggunaan kalimat yang menjadi maksud komunikatif.

Page 8: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

108

Keterkaitan sarana dan tujuan Soekarno mengatakan hal itu ada pada kalimat:

a. “Kepada kaum yang dinamakan kaum kebangsaan Indonesia, saya minta dengan

tegas, supaya suka menjalankan sesuatu pengorbanan, menjalankan suatu offer kepada

keyakinan itu,”

b. “Terutama sekali dari pihak saudara-saudara kaum patriot Latuharhary dan Maramis

yang tidak beragama Islam. Saya minta dengan rasa menangis, rasa menangis, supaya

sukalah saudara-saudara menjalankan offer ini kepada tanah air dan bangsa kita,

pengorbanan untuk keinginan kita, supaya kita bisa lekas menyelesaikan supaya

Indonesia Merdeka bisa lekas damai.”

Ini merupakan kalimat komunikatif, keputusan yang ia ambil lebih condong

kepada golongan kaum Islam karena pertimbangan banyaknya jumlah penduduk dan

butuh pengorbanan dari pihak lainnya. Respons peserta terhadap kalimat kompromis

Soekarno ini lebih condong kepada menyepakatinya dengan sikap tidak dipertentangkan

lagi. Kemungkinan besar maksud komunikatif-nya ada pada kalimat “pengorbanan

untuk keinginan kita, supaya kita bisa lekas menyelesaikan supaya Indonesia Merdeka

bisa lekas damai”, walaupun ada tiga orang bangsa Tiong Hoa tidak mufakat.

Perdebatan ini berakhir pada sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 setelah

Proklamasi Kemerdekaan. Keberatan terakhir pada sidang tersebut datang dari

masyarakat Indonesia Timur yang meminta anak kalimat “dengan kewajiban

menjalankan syariat Islam, bagi pemeluk-pemeluknya” dan “Presiden Republik

Indonesia ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam”. Keberadaan kalimat-

kalimat ini dianggap tidak mengikat mereka karena hanya mengenai rakyat yang

Page 9: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

109

beragama Islam, ada diskriminasi di dalamnya yang mengakibatkan adanya golongan

minoritas dan mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.

Kesepakatan yang dianggap sah dan disepakati pada 16 Juli menuai protes pada

keberatan yang sama. Keberatan ini masuk dalam kegagalan klaim validitas normatif,

klaim validitas kebenaran, dan klaim validitas kejujuran. Pada tataran klaim validitas

normatif, masyarakat Indonesia Timur meragukan validitas norma-normanya bahwa

kesepakatan tersebut tidak mencakup dunia sosial keseluruhan bangsa Indonesia. Pada

tataran klaim validitas kebenaran, masyarakat Indonesia Timur mengungkapkan

ketidaksukaannya terhadap suatu kondisi yang ingin diciptakan dari kesepakatan

tersebut. Hal ini dapat dilihat pada respons mereka yang mengatakan bahwa

keberadaan kalimat-kalimat ini dianggap tidak mengikat mereka karena hanya

mengenai rakyat yang beragama Islam, ada diskriminasi di dalamnya yang

mengakibatkan adanya golongan minoritas dan mereka lebih suka berdiri di luar

Republik Indonesia.

Sedangkan pada tataran klaim validitas kejujuran, kesepakatan tersebut tidak

menunjukkan adanya kompromitas yang komunikatif di antara kedua golongan. Ciri

khas dari klaim kejujuran ini ialah bagaimana kesepakatan tersebut merupakan

perjumpaan dan pertunjukkan. Kesepakatan tersebut bersifat konstitutif bagi interaksi

sosial secara umum selama dalam kesepakatan itu terdapat aspek pribadi-pribadi yang

berjumpa satu sama lain. Pada kenyataannya, kesepakatan hasil kompromis itu tidak

menjadi wadah Konstitusi yang komunikatif karena bagaimana mungkin bisa berjumpa

satu sama lain jikalau sudah didiskriminasi melalui Konstitusi.

Page 10: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

110

Terjadi percakapan di mana Hatta bersama Ki Bagoes Hadikoesoemo, Teuku

Muhammad Hassan, dan Kasman Singodimedjo menjelang pembukaan rapat pertama

PPKI. Percakapan itu mencapai kesepakatan pada sidang rapat bahwa sungguh

menggambarkan kuatnya keinginan para pendiri negara untuk menjaga keutuhan bangsa

sehingga mengganti anak kalimat yang dipermasalahkan itu menjadi “Ke-Tuhanan

Yang Maha Esa”. Ucapan Kasman pada rapat kecil yang mereka buat mengatakan

bahwa upaya terakhir dilakukan olehnya dengan mengajukan argumen, bahwa dalam

situasi krisis, di mana persatuan nasional sangat penting untuk menyelamatkan

kemerdekaan Indonesia yang terancam oleh kedatangan pasukan sekutu, kepentingan

golongan Islam harus bisa mengalah.

Proses sidang ini penulis jadikan sebagai landasan model tindakan komunikatif

karena media linguistik begitu terlihat jelas di dalamnya. Tercapainya pemahaman

dalam bahasa dipandang sebagai mekanisme yang mengoordinasikan tindakan.

Pengoordinasian tindakan di sini meliputi seluruh proses persidangan sehingga sering

didapat ketika di satu pihak ada Rancangan UUD yang berbicara A, maka dalam pasal

lainnya yang berhubungan dengan itu akan mengacu kepada A tersebut. Lalu

bagaimana proses penerimaan para pendiri negara terhadap Pancasila sebagai dasar

negara bisa menjadi beberapa tahap (ada dalam bagian “B” bab ini) dan apakah

konsensus pada tahap terakhir merupakan model tindakan komunikatif atau bukan

dengan meninjau kepentingan politik dan ideologi di dalamnya? Penjabaran analitis ada

di bagian berikut.

Page 11: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

111

B. Analisa Terhadap Alasan Para Pendiri Negara dalam Menerima Pancasila

Telah penulis kemukakan pada bab III mengenai Pancasila dalam dokumen-

dokumen sejarah. Pancasila secara kronologis mengalami perjalanan panjang untuk

menjadi yang sesuai dengan kepribadian dan rasa kebangsaan rakyat Indonesia.

Perjalanan itu menjadikannya mengalami tiga tahap dari awal lahirnya sampai rapat

sidang PPKI, yaitu: (1) dalam pidato 1 Juni 1945; (2) dalam alinea IV naskah politik

bersejarah tanggal 22 Juni 1945, yang kemudian dijadikan naskah Rancangan

Pembukaan UUD 1945; (3) dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945.

Pertama, dalam pidato 1 Juni 1945 Soekarno mencetuskan ide tentang Pancasila

sebagai landasan atau dasar negara. Ide Soekarno tentang Pancasila ini tidak dapat

dihindari dari pengalaman sosio-historis kehidupannya dan paham-paham yang

mempengaruhi pola pikirnya. Pola pikir Soekarno sedikit-banyak terpengaruh oleh

Mitologi Jawa yang memuat kepercayaan tentang Ratu Adil, yang berkenaan dengan

frustasi, harapan, dan kedatangan juru selamat. Situasi penjajahan pada masa itu yang

sangat membuat rakyat menderita dan membentuk pengharapan kepada datangnya

keadilan dan kebebasan.

Selain itu, Soekarno menawarkan Pancasilanya dengan berdalih pada

pemahamannya mengenai Islamisme, Nasionalisme, dan Marxisme. Ketiga paham ini

merupakan nyawa pergerakan rakyat. Di satu sisi rakyat sama-sama menyadari

penjajahan yang terjadi di dalam dirinya, dan ini merupakan suatu keinsafan rakyat

bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa. Pada lain sisi Soekarno memahami

agama yang ia anut ialah agama yang mendukung pergerakan-pergerakan rakyat yang

nasionalistis, yang secara nasionalis dan sosialis selalu anti-kolonialisme. Sedangkan di

Page 12: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

112

pihak lainnya Soekarno menemukan paham sosialis yang menentang penjajahan,

borjuasi, dan kapitalisme yang ada dalam diri si penjajah.

Soekarno sangat menaruh perhatian terhadap kepentingan bersama sebagai hal

yang pokok sebagai cita-cita persatuan nasionalnya. Satu-satunya kelebihan yang

dimiliki Indonesia ketika berhadapan dengan penjajah adalah kelebihannya dalam

jumlah penduduk, pemanfaatan ini bergantung pada persatuan nasional. Melalui

paparan ini, tindakan Soekarno mengusung Pancasila penulis yakini adanya relasi antara

aktor dengan keadaan yang sedang terjadi pada saat itu.

Pancasila pada 1 Juni ini merupakan klaim validitas kebenaran dan klaim

kejujuran. Klaim validitas kebenaran ini dimotori oleh tindakan teleologis oleh

Soekarno yang bertindak strategis dengan membekali dirinya melalui kemampuan

kognitif untuk membentuk keyakinan tentang segala keadaan yang melalui persepsinya

sendiri dan mengembangkan maksud-maksudnya dengan tujuan mewujudkan hal-hal

yang diinginkannya dalam sistem pengambilan keputusan. Klaim validitas kejujuran

dapat dilihat ketika Soekarno menjelaskan kelima sila ini berdasarkan pergumulan

rakyat Indonesia. Klaim validitas kejujuran ditekankan melalui dua sisi, yaitu

perjumpaan dan pertunjukkan. Pada aspek perjumpaan, Soekarno di sini sebagai aktor

yang menampilkan diri di hadapan sidang dengan menampilkan penilaian

subjektivitasnya. Hal ini mengakibatkan pembentukan ekspresi pengalaman sendiri

melalui ketiga –isme yang diusung Soekarno. Ide ini akan menjadi konstitutif bagi

interaksi sosial karena Pancasila yang dicetuskan Soekarno ini memberikan ruang bagi

tiap orang Indonesia untuk berjumpa satu sama lain. Pada aspek pertunjukkan atau

penampilan diri, Soekarno sebagai aktor mengekspresikan pengalaman yang

Page 13: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

113

dimilikinya sehingga nyata jelas bahwa Pancasila yang dicetuskan Soekarno merupakan

asli pemikiran Soekarno.

Pancasila pada 1 Juni belum sampai mencapai kemufakatan yang menjadi klaim

validitas normatif karena pada sidang pertama BPUPKI, yang diakhiri dari pidato

Soekarno ini, tidak ada perumusan dasar negara apa yang hendak digunakan. Akan

tetapi, panitia kecil yang dipilih oleh Ketua Radjiman menuntaskan perumusan ini dan

diberitakan ke forum pada sidang selanjutnya. Menurut pengakuan beberapa tokoh

yang mengatakan bahwa panitia kecil tersebut dibentuk untuk mengolah Pancasila

Soekarno menjadi rumusan dasar negara, dapat diartikan sebagai adanya klaim validitas

normatif “sementara”. Tidak ada catatan dari para pendiri bangsa yang berkeberatan

untuk merumuskan Pancasila yang diusung oleh Soekarno pada tugas panitia kecil itu.

Soekarno, dalam tinjauan Habermas telah melakukan klaim validitas kejujuran dan

klaim validitas kebenaran.

Kedua, dalam alinea IV naskah politik bersejarah tanggal 22 Juni 1945, yang

kemudian dijadikan naskah Rancangan Pembukaan UUD 1945. Naskah politik ini lebih

dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta. Menurut data yang penulis peroleh bahwa

dalam rapat Panitia Sembilan ini ada beberapa masukan bagi Pancasila Soekarno,

seperti: perpindahan urutan sila-sila Pancasila yang terutama pada prinsip Ke-Tuhanan

dan penambahan anak kalimat pada prinsip Ke-Tuhanan. Bunyinya menjadi yang

tertera sebagai berikut:

1. Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-

pemeluknya;

2. (menurut) dasar kemanusiaan yang adil dan beradab;

3. Persatuan Indonesia;

Page 14: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

114

4. (dan) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan perwakilan;

5. (serta dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Hasil kompromi pada Piagam Jakarta ini merupakan kesatuan gagasan terhadap

perbedaan pendapat antara golongan Islam dan Kebangsaan. Kata kompromi ini

pertama kali dilontarkan pertama kali oleh Ketua Panitia, Soekarno ketika menghadapi

pertanyaan Latuharhary yang juga sempat ditanggapi oleh peserta sidang lain

sebelumnya.

Kompromis merupakan proses persilangan pendapat yang telah mendapat suatu

persetujuan, jalan damai. Sinyal-sinyal adanya kompromi ini sudah ada pada

perumusan Pancasila pertama pada pidato Soekarno. Sebelum pidato Soekarno, sudah

ada lebih dulu beberapa tokoh yang mengusulkan dasar negara dengan rangkaiannya

mendasarkan pada ideologi/ajaran Islam dan negara kesatuan. Soekarno jeli melihat

permasalahan ideologis ini sehingga ia memasukkan ide/gagasan kompromis pada

prinsip ketiga, di mana ia mengatakan: “dengan cara mufakat kita perbaiki segala hal

juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di

dalam Badan Perwakilan Rakyat.”

Pada kajian berikutnya, penulis beranggapan bahwa ide/gagasan kompromis

Soekarno pada prinsip ketiga ini tidak serta-merta memuaskan pihak Islam, sehingga

pada Piagam Jakarta ditambah beberapa kalimat lagi yang menunjukkan ide Islam.

Artinya, di dalamnya ada persetujuan (aras kompromis) yang dimufakati dengan

pertimbangannya, yaitu isu mayoritas penduduk.

Pada taraf Piagam Jakarta ini, Pancasila bukan merupakan tindakan komunikatif.

Dapat dikatakan hampir karena harus diakui adanya perundingan di dalam panitia

Page 15: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

115

sembilan yang mencari kompromi berbagai pihak dengan cara menoleransi berbagai

alasan/keyakinan etis-politis. Dalam hal ini keseimbangan ditemui karena adanya

kompromi tersebut. Akan tetapi, ide mayoritas di dalamnya tidak menjadikan Piagam

Jakarta ini model tindakan yang bebas tekanan, sama rata sama rasa. Artinya, ada yang

ditonjolkan salah satu pihak dalam institusional, yaitu pihak Islam. Jadi Piagam Jakarta

ini merupakan tindakan model teleologis karena orientasinya pada tujuan keputusan

dengan memanfaatkan sarana dan penerapan cara yang tepat, dalam hal ini ialah ide

mayoritas penduduk (klaim kebenaran).

Pancasila dalam alinea IV naskah politik bersejarah tanggal 22 Juni 1945 ini

diberitakan ke forum agar mendapat berbagai tanggapan dan lekas diterima untuk

menjadi Pembukaan UUD. Perdebatan yang paling menonjol dalam sidang BPUPKI

ialah mengenai negara dan agama, a.l. sebagai berikut:

a. Soekarno. Menurut teori Habermas, Soekarno melakukan tindakan rasionalitas-

bertujuan, artinya alasannya menerima Piagam Jakarta ini sebagai alasan

ideologinya yang nasionalis, yang menjadi tujuan dasarnya.

b. Agoes Salim. Menurut teori Habermas, Salim melakukan tindakan rasionalitas-

bertujuan dengan ide nasionalisnya dan ia meyakini bahwa Piagam Jakarta ini

menghasilkan model tindakan yang diatur secara normatif. Piagam Jakarta

diharapkan oleh Salim sebagai wadah untuk pemenuhan perilaku terhadap

norma yang disepakati. Tidak mendeskriminasikan golongan lain, dengan

kalimatnya: “Apakah artinya janji kita untuk melindungi agama lain?”

c. Wachid Hasjim. Menurut teori Habermas, Hasjim melakukan tindakan

teleologis yang memanfaatkan sarana dan penerapan cara yang tepat. Sarana

Page 16: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

116

tersebut adalah Piagam Jakarta sebagai rancangan konstitusi, dan penerapannya

melalui pemasukan ideologi Islam di dalamnya.

d. Hoessein Djajadiningrat. Menurut teori Habermas, Djajadiningrat melakukan

koordinasi tindakan, untuk sebelum terjadinya tindakan komunikatif. Setiap

pertanyaannya melalui tujuan spesifik menurut situasi dan keadaan, sesuai

dengan mempertimbangkan konsekuensi alternatif yang mungkin muncul.

Pencapaian tujuan yang ia maksudkan mengidentifikasikan sebuah objek itu

harus tergantung kepada situasi karena tidak bisa lepas dari konteks. Selain itu,

makna perilaku melalui peran fungsional yang dimainkan dalam sistem pola

perilaku dapat memahami simbol yang sama dengan makna yang sama dalam

konteksnya. Artinya dengan penduduk mayoritas Islam, bagi Djajadiningrat

kemungkinan besar akan mewujudkan Pasal 4 ayat 2 tanpa mencantumkannya di

dalam batang tubuh UUD.

e. Ki Bagoes Hadikoesoemo. Menurut teori Habermas, Hadikoesoemo telah

melakukan tanda-tanda/sinyal-sinyal model tindakan yang diatur secara

normatif. Segala yang diputuskan dalam sidang akan menjadi kesepakatan yang

siap dijalankan pada konteks sosial Indonesia. Ia melihat adanya pertanda

perpecahan ketika dasar negara yang dipilih tidak berada pada posisi yang jelas

sehingga menimbulkan kerancuan dalam koordinasi tindakan tiap individu.

f. Abikoesno. Menurut teori Habermas, Abikoesno mengambil tindakan teleologis

dalam melihat perumusan Piagam Jakarta. Kompromi final dari rapat panitia

sembilan dirasa telah termasuk dalam proses perhitungan sarana dan langkah-

langkah yang tepat diambil untuk mencapai tujuan bersama.

Page 17: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

117

g. Soepomo. Menurut teori Habermas, orientasi Soepomo kepada persatuan

nasional ini menandakan bahwa ia sedang melakukan tindakan teleologis yang

mengarah kepada model tindakan komunikatif. Bagi Soepomo panitia sembilan

merupakan arena diskursus untuk mencapai konsensus. Arena di mana setiap

orang memandang diri mereka sendiri sebagai mahluk rasional yang mampu

berargumentasi atas pernyataan mereka. Setelah keputusan Piagam Jakarta

dibuat maka itu adalah hasil keputusan kolektif pada saat itu.

h. Yamin. Menurut teori Habermas, orientasi Yamin kepada persatuan nasional ini

menandakan bahwa ia sedang melakukan tindakan teleologis. Bagi Yamin

panitia sembilan merupakan ajang kompromi untuk mencapai konsensus.

i. Mohammad Hatta. Menurut teori Habermas, ideologi kebangsaan Hatta berada

pada posisi pengajuan klaim-klaim yang mengarah kepada model tindakan

komunikatif. Hatta pernah angkat bicara ketika ada diskusi yang berkaitan

dengan agama dalam sidang BPUPKI, yang menyatakan ketegasannya bahwa ia

tidak sepakat dibentuk negara Islam.

j. Abdul Fatah Hasan. Menurut teori Habermas, tindakan A.F. Hasan dapat

dikategorikan sebagai tindakan teleologis. A.F. Hasan menggunakan model

tindakan strategis yang memperhitungkan sarana.

k. Pratalykrama. Tokoh ini juga memiliki gaya pemikiran yang sama dengan A.F.

Hasan. Pratalykrama dalam kategori teori Habermas termasuk melakukan

tindakan strategis, di mana ia bertindak berdasar aspek aturan-aturan pilihan

rasional dalam mempengaruhi keputusan lawan yang rasional.

l. Masjkoer. Menurut teori Habermas, hal ini merupakan koordinasi tindakan.

Tindakan sosial dapat dirujuk melalui mekanisme koordinasi tindakan individu

Page 18: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

118

dengan apa relasi sosialnya didasarkan kepada kepentingan semata atau

didasarkan pada kesepakatan normatif.

m. Moezakir. Moezakir berpikir tentang kepentingan ideologi persatuan-kesatuan

dan politik agar tidak terjadi kerancuan dalam menjalani pemerintahan dan

bertangung jawab kepada rakyat. Menurut teori Habermas, Moezakir ini

mengambil model tindakan koordinasi.

n. Ahmad Sanoesi. Menurut teori Habermas, Sanoesi mengambil tindakan model

proses tindakan komunikatif (koordinasi tindakan). Sanoesi melakukan

interpretif keadaan pada sidang rapat dan menginterpretasikannya menjadi

mekanisme pengoordinasian tindakan agar bagaimana negara Indonesia ke

depannya sehingga permintaannya agar proses pengambilan keputusan pada saat

itu tidak tergesa-gesa, membuatnya menjadi salah satu pendiri negara yang

mempunyai pemikiran model tindakan komunikatif, Sanoesi penulis hargai

sebagai pendiri negara yang menekankan pentingnya mufakat (bukan dengan

vote).

Pancasila pada Piagam Jakarta ini telah disepakati sebagai hasil kompromis

antara kedua pihak antara golongan Islam dan kebangsaan. Jikalau dilihat dengan

seksama, ternyata perselisihan paham antara kedua golongan ini tidak hanya terjadi di

dalam tubuh panitia sembilan yang merumuskan Piagam Jakarta. Perselisihan paham

itu pun juga ada dalam tubuh peserta sidang BPUPKI.

Namun, kedua golongan ini sama-sama memiliki rasa superioritas bagi

terbentuknya suatu negara yang akan keluar dari cengkeraman penjajahan. Rasa

superioritas ini yang terkadang dapat disalahartikan oeh beberapa pendiri bangsa ketika

mengambil bentuk dasar negara apa yang akan digunakan. Tidak dapat dipungkiri

Page 19: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

119

bahwa pola dasar pemikiran mereka untuk bangsa yang sebesar Indonesia dengan

jumlah terbanyak penduduknya, dan salah satu golongan terpaut besar kuantitasnya

hingga 90-95%, ialah mengambil bentuk negara berdasar atas satu agama atau

golongan.

Pada awal perumusan Piagam Jakarta, Soekarno memilih sembilan orang yang

sudah sekaligus menjadi wakil dari dua pihak golongan. Harapan Soekarno dalam

perumusan ini ialah benar-benar menjadi kompromis di antara kedua pihak tersebut.

Namun, begitu disajikan di forum persidangan BPUPKI hal ini tidak dapat berjalan

sesuai dengan apa yang telah dirembukkan dalam panitia sembilan. Momen ini dapat

dikategorikan sebagai masih adanya pola diri yang masih membekali dirinya sendiri

dengan maksud-maksud tertentu merujuk kapada tercapainya pemahaman. Ketika

dipetakan menurut jenis-jenis tindakannya, tindakan teleologis-lah yang paling banyak

terlontar di percakapan sidang yang secara timbal balik saling memengaruhi dan

akhirnya membentuk kesepakatan sidang pada 16 Juli 1945. Kesepakatan yang

demikian tidaklah gagal. Kesepakatan demikian sangat memerlukan tenaga ekstra

dalam pelaksanaannya. Kesadaran tentang komplementaris sungguh dibutuhkan demi

menjaga validitas normatif yang telah terbentuk. Namun, kesadaran komplementaris ini

menimbulkan kompetitif rasional dalam bersosialisasi yang membuat posisi mereka

tidak menentu, seperti ada yang merasa di atas sebagai warga kelas satu, sedangkan

yang lain merasa menjadi substitusi sebagai warga kelas dua.

Pada akhir kesepakatan Piagam Jakarta ini pergolakan di tubuh peserta sidang

BPUPKI ini semakin terasa dan semua itu berputar pada: (1) hal-hal teknis yang akan

dilakukan dan terjadi di masyarakat ketika Piagam Jakarta itu digunakan sebagai dasar

konstitusi negara ketika ada permakluman bagi salah satu golongan yang mendapat hak

Page 20: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

120

istimewa masuk dalam UUD; dan (2) Piagam Jakarta ini menjadi diskriminatif dalam

memperlakukan rakyat Indonesia.

Piagam Jakarta ini dapat ditinjau berdasar teori tindakan komunikatif. Sebelum

terjadinya tindakan komunikatif, setiap orang membekali dirinya sendiri dengan pola

tindakan sendiri-sendiri. Pada titik peralihan pertama relasi yang diciptakan bukan

relasi kepada antar pribadi, melainkan relasi yang merujuk kepada tercapainya

pemahaman di dalam bahasa. Artinya aktivitas yang bertujuan dari subjek yang

bertindak sendiri-sendiri. Tercapainya pemahaman dalam bahasa direpresentasikan

pada model subjek yang bertindak secara teleologis, yang secara timbal balik saling

memengaruhi, yaitu tindakan rasional-bertujuan oleh tindakan-tindakan individu yang

diorientasikan pada harapan untuk mencapai pemahaman demi suatu makna yang

dimaksud. Tindakan sosial dapat dibedakan menurut mekanisme koordinasi tindakan

individu, misalnya: apakah suatu relasi sosial didasarkan pada posisi kepentingan

semata atau didasarkan pada kesepakatan normatif.

Koordinasi tindakan yang hanya terbentuk melalui kepentingan yang saling

melengkapi dapat secara normatif ditata ulang dengan cara melakukan validitas yang

didasarkan pada kesepakatan. Interaksi yang didasarkan pada kepentingan yang saling

melengkapi tidak hanya berbentuk adat kebiasaan, namun juga pada level perilaku

kompetitif rasional, di mana partisipan telah membentuk suatu kesadaran yang jelas

tentang komplementaritas (melengkapi) sekaligus ketidakmenentuan posisi kepentingan

mereka sendiri. Inilah yang disebut sebagai masalah koordinasi tindakan. Jadi menurut

pisau analisa Habermas, kesepakatan Pancasila pada tataran ini belum mencapai model

tindakan komunikatif karena beberapa alasan yang telah penulis kemukakan di atas.

Page 21: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

121

Dalam pisau analisa Rousseau, kesepakatan dalam Piagam Jakarta ini

merupakan the will of all. Hasil kompromis yang dijunjung tinggi oleh beberapa tokoh

pendiri bangsa dalam persidangan BPUPKI terlihat hanya berlandaskan alasan bahwa

ini adalah hasil kompromis dua pihak golongan yang sama-sama telah disepakati dan

diterima dengan terbuka. Hasil kompromis ini mengalami beberapa kali mentah

kembali ke dalam perdebatan. Ideologi paham ke-Islaman menjadi ideologi yang

menempati posisi sentral. Bahkan untuk memperkuat alasan mengapa ideologi ini

menempati posisi sentral dalam perdebatan ialah dikarenakan jumlah penduduk Islam di

Nusantara terpaut jauh perbedaannya mencapai 90-95%. Isu mayoritas ini terus

didengungkan sehingga setiap ada pertanyaan tentang masuknya ideologi Islam dalam

Piagam Jakarta seolah-olah diperhadapkan dengan 90-95% rakyat. Lain halnya lagi

ketika pengaruh ideologi Islam masuk dalam Rancangan Pembukaan UUD, ada

beberapa tokoh yang menghendaki sampai ke dalam Perancangan Batang Tubuh UUD

juga disusun segala hal yang berhubungan dengan ke-Islaman.

Sebenarnya perjalanan suasana rapat ini dapat dipahami sedikit-banyaknya

ketika membaca risalah sidang BPUPKI pada tanggal 15 Juli 1945, di mana ada keluar

perkataan di dalamnya bahwa suasana pada saat itu ditakutkan sampai kepada suasana

yang berbau agama.1 Suasana yang menjurus kepada rasialisme ini segera dihadang

oleh pendapat Hadikoesoemo dan beberapa tokoh lainnya hingga mencapai sebuah

perkataan:

“kalau ideologie Islam tidak diterima, tidak

diterima! Jadi, nyata negara ini tidak berdiri atas

agama Islam dan negara akan netral…. Jangan

diambil sedikit kompromis … untuk keadilan dan

kewajiban tidak ada kompromis, tidak ada….

1 Istilah “berbau agama” ini merupakan pernyataan Sanoesi menanggapi perdebatan sengit pada

tanggal 15 Juli 1945.

Page 22: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

122

Siapa yang mufakat yang berdasar Islam, minta

supaya menjadi satu negara Islam. Kalau tidak,

harus netral terhadap agama. Itulah terang-

terangan, itulah yang lebih tegas, kalau-kalau

sudah nyata netral jangan mengambil-ambil

perkataan Islam yang rupanya hanya dipakai

ujung-ujung saja.”2

Begitu nyata dalam hal ini usul beberapa tokoh ini merupakan sebagian dari

kepentingan umum. Lain halnya dengan beberapa tokoh lainnya yang mempertahankan

ideologi Islam dengan cara fanatik dalam sidang rapat BPUPKI, mereka mewakili

sebagian dari kepentingan orang banyak.

Kesepakatan hasil kompromis ini diakhiri oleh Soekarno yang meminta berbagai

pengorbanan di kedua pihak dengan masuknya ideologi Islam di dalamnya.

Kesepakatan semacam ini merupakan kesepakatan yang didapat melalui suara mayoritas

– secara implisit. Kesepakatan ini akan memperbesar jumlahnya untuk dapat disepakati

oleh semuanya melalui komunikasi atau lobying. Dalam hal ini, Piagam Jakarta ini

seandainya menjadi konstitusi dalam RI, maka akan menjadi tindakan yang diatur

secara normatif bagi yang tidak sepakat (bagian kecil) di dalam NKRI dan secara tidak

sadar akan menjadi “seolah-olah” kepentingan bersama.

Namun, ada satu hal yang tidak bisa dipungkiri, yaitu proses deliberasi sangat

nyata selama persidangan BPUPKI membahas Piagam Jakarta ini. Tujuan-tujuan

kolektif yang selama sidang disepakati melalui diskursus-diskursus etis-politis, di mana

masih dipersoalkan dengan menghadapkan kepentingan-kepentingan di dalamnya

dengan asas universalisasi. Oleh karena banyak perdebatan, sanggahan, dan

penerimaan selama sidang, para peserta sidang berupaya untuk menguji kontribusi-

kontribusi yang masuk dengan pertanyaan apakah kontribusi-kontribusi itu dapat

2 Ini adalah pernyataan Ki Bagoes Hadikoesoemo.

Page 23: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

123

dijadikan acuan bersama sebagai kepentingan bersama (acuan etis-pragmatis).

Diskursus seperti ini diharapkan sebagai diskursus moral karena pengujian tersebut

diharapkan mengarahkan kepada kesepakatan yang melampaui perspektif yang dibatasi

etnosentrisme, sehingga perundingan-perundingan itu akan menemukan keseimbangan

bagi NKRI.

Akan tetapi, hal ini juga harus diwaspadai terhadap opini mayoritas yang

diklaim legitimitasnya menjadi opini publik. Oleh karena itu, diperlukan perundingan-

perundingan yang sangat deliberatif karena dalam posisi deliberasi lebih dipentingkan

prosedur dalam suatu diskursus dengan persoalan kesahihan keputusan-keputusan

kolektif. Piagam Jakarta ini merupakan deliberasi yang tidak seimbang. Banyaknya

perundingan-perundingan tentang keberadaan tujuh kata dan beberapa ideologi Islam

dalam Batang Tubuh UUD. Perundingan-perundingan ini dianggap tidak sesuai dengan

hasil kompromis karena keberatan selanjutnya ada di pihak Islam (yang sudah

menyepakati bulat-bulat pada rapat panitia sembilan) jikalau keberadaan ketujuh kata

tersebut dihilangkan.

Kompromis ulang yang dibacakan oleh Soekarno pada 16 Juli 1945 merupakan

kesepakatan kali kedua setelah Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Artinya beberapa

perundingan dari para pendiri negara mengalami perkembangan. Alasan para pendiri

negara menerima kompromis ulang 16 Juli ini lebih condong kepada menyepakati

karena toh sebenarnya akar pembicaraan (mengenai keyakinan agama) tidak dapat

disentuh secara mendalam, sehingga aras pemikiran atau pemahaman yang dicapai

hanya pada tataran sosiologis (kesepakatan sosial untuk mencapi hidup bersama dan

merdeka – alasan nasionalisme). Soekarno dalam hal ini melakukan tindakan teleologis

dengan memanfaatkan ilokusioner untuk menciptakan pemahaman baru bagi peserta

Page 24: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

124

sidang bahwa kemerdekaan pada saat itu lebih penting ketimbang urusan keyakinan

yang tidak berujung dalam perdebatan sidang.

Dalam teori Habermas, pada tanggal 16 Juli ini para pendiri negara telah

mencapai kesepakatan atau konsensus ketika ditandai dengan tidak adanya keberatan

pada sidang. Namun, apakah berarti telah nyata menjadi sesuatu yang normatif bagi

Indonesia Merdeka? Ternyata belum. Rancangan Pembukaan UUD dan pasal-pasal

yang akan disahkan pada 18 Agustus pun mengalami perubahan.

Ketiga, dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945. Rumusan Pancasila pada masa

sidang PPKI ini sudah mengalami beberapa pertimbangan lainnya di luar para peserta

sidang BPUPKI tempo hari yang lalu. Ada beberapa percakapan di sini yang perlu

diperhatikan, a.l. ialah:

a. Moh. Hatta menerima telepon dari Tuan Nishiyama, pembantu Admiral Maeda.

Keperluannya adalah mengungkapkan keberatan yang diajukan oleh sebagian

masyarakat Indonesia Timur terhadap anak kalimat “dengan kewajiban

menjalankan syariat Islam, bagi pemeluk-pemeluknya” dan “Presiden Republik

Indonesia ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam”. Keberadaan

kalimat-kalimat ini dianggap tidak mengikat mereka karena hanya mengenai

rakyat yang beragama Islam, ada diskriminasi di dalamnya yang mengakibatkan

adanya golongan minoritas dan mereka lebih suka berdiri di luar Republik

Indonesia.3

Keberatan ini merupakan keberatan yang dirasakan sebagai tindakan

diskriminatif bagi sebagian masyarakat Indonesia Timur. Respons dari keberatan ini

3 Penulis belum mendapatkan percakapan antara Hatta dan Tuan Nishiyam. Keterangan ini

didapat melalui buku dari Hatta yang menuliska otobiografinya.

Page 25: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

125

tidak lagi diperpanjang oleh para peserta dari golongan Islam yang diajak oleh Hatta

untuk berunding. Kemungkinan kuat karena ini berbicara mengenai wilayah (Indonesia

Timur), maka Hatta memperhitungkan ini sebagai awal perpecahan nantinya.

“Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami

mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang

menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya

dengan “Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Apabila

suatu masalah yang serius dan bisa membahayakan

keutuhan negara dapat diatasi dalam sidang kecil

yang lamanya kurang dari 15 menit, itu adalah suatu

tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut pada

waktu itu benar-benar mementingkan nasib dan

persatuan bangsa.”

Ini merupakan respons awal yang ditunjukkan oleh Hatta. Respons ini

memengaruhi respons-respons selanjutnya, seperti dari Hasan yang mengaku bahwa dia

meyakinkan Hadikoesoemo dengan alasan bahwa untuk sementara akan masuk dalam

aturan peralihan; dan Kasman yang mengungkapkan bahwa bahwa dalam situasi krisis,

di mana persatuan nasional sangat penting untuk menyelamatkan kemerdekaan

Indonesia yang terancam oleh kedatangan pasukan sekutu, kepentingan golongan Islam

harus bisa mengalah.

Pengakuan Hasan dalam hal ini membingungkan penulis karena pada sidang-

sidang BPUPKI sebelumnya Hadikoesoemo merupakan orang yang membela

terbentuknya dasar negara yang tidak diskriminatif dengan dalil di Indonesia masih

banyak perpecahan-perpecahan. Justru respons (perkiraan) Hadikoesoemo lebih

cenderung menerima itu dengan persetujuan yang dilandaskan pada beberapa idenya

yang dimunculkannya. Artinya tidak ada rasa keberatan denga permintaan masyarakat

Indonesia Timur. Namun, pengakuan Hasan ini seolah-olah dengan kata “meyakinkan

Hadikoesoemo”-nya membuat figur seorang Hadikoesoemo sebagai orang yang, bisa

dikatakan, sebagai orang yang “susah” diajak untuk bersepakat. Melalui pendekatan ini

Page 26: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

126

tokoh-tokoh Islam yang diajak berunding menyepakati perubahan kata tersebut.

Namun, ada satu hal yang perlu diperhatikan ketika tidak adanya perwakilan golongan

Islam yang ikut menandatangani Piagam Jakarta hadir dalam rapat PPKI pada tanggal

18 Agustus 1945.

b. Percakapan yang dilontarkan oleh I Gusti Ktut Pudja yang meminta untuk

mengubah kata “Allah” pada Pembukaan UUD diganti dengan kata “Tuhan

Yang Maha Kuasa”. Hal ini diangkat oleh Soekarno ke forum rapat dan

disetujui oleh peserta.

Dengan usulan I Gusti Ktut Pudja ini menambah daya tawar Pancasila yang

disepakati kali ini benar-benar konsekuen terhadap bentuk persamaan derajat.

Persamaan tersebut sampai kepada jenis tiap-tiap agama yang memiliki cara khusus

memanggil Tuhan-nya. Penyebutan “Allah” akan memengaruhi salah satu kelompok

agama di Indonesia melalui cara penyebutannya. Penyebutan Tuhan dirasa

menyejajarkan antar agama untuk berkeyakinan terhadap Sang Tuhan.

Menurut Penulis, perubahan pada 18 Agustus ini bermakna besar bagi rakyat Indonesia.

Ada dua hal yang bisa diambil dari peristiwa 18 Agustus ini. Pertama, ketika dikaji

berdasarkan penyebab perubahannya – ajuan keberatan dari Masyarakat Indonesia

Timur dan usulan dalam sidang PPK oleh I Gusti Ktut Pudja – dapat disimpulkan

bersama bahwa proses tersebut berlangsung dengan cepat. Perubahan ini diakibatkan

karena dirasa kurang adilnya Rancangan Pembukaan UUD yang dikompromikan pada

16 Juli lalu. Penulis cenderung memperkirakan adanya kaitan ajuan keberatan yang

mengatasnamakan Masyarakat Indonesia Timur dengan beberapa tokoh Kristen dalam

sidang BPUPKI 16 Juli, namun hal ini belum terlalu kuat karena data yang penulis

Page 27: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

127

miliki belum terlalu sempurna untuk data seorang Latuharhary – salah satu tokoh

Kristen dalam sidang itu.

Dalam kajian ini alasan nasionalisme (ingin merdeka dan bersatu) cukup

berpengaruh kuat untuk mendominasi semangat kesepakatan pada saat itu karena alasan

utama dari ajuan keberatan tersebut ialah adanya beberapa pernyataan dalam

pembukaan UUD dan pasal di dalamnya yang diskriminatif dan itu berakibat kepada

tuntutan mereka untuk diubah atau mereka berdiri di luar RI. Artinya, Pancasila pada

18 Agustus ini ialah model tindakan komunikatif yang dikatakan oleh Habermas.

Kedua, ketika dilihat efeknya hingga saat ini, kesepakatan pada 18 Agustus

bukan merupakan akhir dari kesepakatan. Kejadian-kejadian berulang seperti

perubahan UUD, masalah sosial keagamaan, dan bahkan satu dekade yang lalu ada

amandemen UUD yang mengubah pasal terkait dalam perdebatan pada masa sidang

BPUPKI-PPKI, yaitu pasal mengenai presiden. Penulis ingin menjelaskan bahwa

kesepakatan Pancasila terus mengalami perubahan. Kesepakatan rancangan Pembukaan

UUD dan pasal-pasalnya pada 16 Juli yang hendak disahkan pada 18 Agustus

mengalami perubahan. Apa penyebabnya mengenai hal ini dan apakah kaitan teori

Habermas dengan perubahan-perubahan ini? Apakah bangsa Indonesia belum

mencapai model mayarakat yang komunikatif dengan beberapa konsensus-konsensus

yang dimilikinya? Apakah alasan nasionalisme tidak cukup kuat untuk menjelaskan

konsensus-konsensus tersebut?

Analisa penulis tidak dapat dilepaskan dari hasil Piagam Jakarta 22 Juni 1945

(kompromi pertama), kesepakatan terhadap Rancangan Pembukaan UUD dan pasal-

pasalnya pada 16 Juli 1945 (kompromi kedua), dan pengesahan Pembukaan UUD dan

Page 28: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

128

pasal-pasalnya pada 18 Agustus. Menurut teori Habermas yang menjadi dasar kajian

penulis, perubahan-perubahan dan perundingan-perundingan di dalamnya merupakan

upaya-upaya pendiri negara untuk membentuk suatu konsensus atau kesepakatan yang

komunikatif. Berbagai alasan diajukan untuk mencapai suatu titik temu supaya hidup

berbangsa dan bernegara dapat adil, setara, dan sejahtera sosial. Melalui perjalanan

historis ini apakah Pancasila pada 18 Agustus telah menemukan formulanya yang tepat,

yang sesuai dengan Habermas sebagai model tindakan komunikatif? Ternyata masih

belum.

Ada beberapa pertimbangan yang mengacu pada problematik ini. Jikalau

diperhatikan secara mendalam, proses perubahan Pancasila pada 18 Agustus tidak

memakan banyak waktu seperti pada perundingan-perundingan sebelumnya. Penulis

menjelaskan pada paragraf-paragraf sebelumnya kalau hal ini didasarkan pada alasan

nasionalisme yang kuat dari para pendiri negara. Namun, akan menjadi lain artinya

ketika alasan nasionalisme ini diperhadapkan dengan situasi pada saat itu yang sangat

mendesak untuk mengesahkan UUD bagi bangsa Indonesia Merdeka. Bahkan, akan

menjadi lebih lain lagi ketika perwakilan golongan Islam yang diajak berunding oleh

Hatta menjelang rapat PPKI pada 18 Agustus bukan perwakilan Islam yang menyusun

Piagam Jakarta.

Tidak menutup kemungkinan bahwa kesepakatan pada saat itu memang benar-

benar karena alasan nasionalisme ketika memperhatikan sejenak pernyataan Hatta

kepada perwakilan Islam yang diajak berunding, sehingga dalam kurun waktu 5-10

menit dapat menghasilkan kesepakatan kecil. Pernyataan ini sangat didukung oleh

pernyataan asli Hatta di dalam buku Otobiografinya dan oleh karenanya penulis berani

mengangkat ini ke permukaan bab ini.

Page 29: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

129

Tidak menutup kemungkinan juga ketika yang diajak berunding pada saat itu

ialah lima orang perwakilan golongan Islam pada panitia sembilan, maka hasilnya akan

berbeda. Namun, pada tataran sosial Pancasila 18 Agustus ini telah memenuhi syarat-

syarat klaim kesahihan Habermas untuk menjadi masyarakat komunikatif. Apa artinya

ini? Secara sosiologis para pendiri negara telah mencapai konsensus untuk mendirikan

suatu negara. Akan tetapi, perdebatan religius – yang berkaitan dengan keyakinan

agama – belum selesai hingga kini. Bahkan lebih prolematik lagi bahwa kehidupan

religius ini membawa pengaruh kuat kepada kehidupan sosial rakyat Indonesia sebagian

besar. Oleh karena itu, bangsa Indonesia sering dirundung oleh berbagai masalah

sosial-keagamaan yang tidak kunjungi selesai. Tentunya dengan sadar bahwa

kesepakatan tentang keyakinan agama pada aras kehidupan berbangsa dan bernegara

belum tuntas. Kaitannya dengan ini bahwa bangsa Indonesia belum selesai mencapai

kesepakatan atau konsensus.

Tawaran model masyarakat komunikatif Habermas berhasil pada tataran

rasional-sosiologis. Akan tetapi pada tataran religius-sosiologi (sosial-keagamaan),

konsep masyarakat komunikatif Habermas belum menyentuh titik itu. Tindakan

rasional memang sebagian besar dimiliki oleh kebudayaan Barat sehingga upaya

pencapaian kesepakatan yang hanya berdasarkan pada titik rasional-sosiologis

merupakan konsensus. Sungguh berbeda dengan kebudayaan yang dimiliki oleh

masyarakat Indonesia, yang tidak hanya membutuhkan sisi rasional-sosiologis dalam

mencapai konsensus, melainkan juga harus dalam tataran religius-sosiologi.

Dalam pengamatan penulis Pancasila 18 Agustus 1945 dapat dijadikan

konsensus (tanpa perubahan lagi) ketika melihat kenyataan Pancasila ini sebagai

Page 30: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

130

kenyataan keyakinan agama. Penulis mencoba mengkajinya dari konsep masyarakat

Durkheim:

C. Adakah Nilai Kesakralan dalam Pancasila?

Perundingan hebat antar permasalahan kedua golongan dalam sidang BPUPKI

cukup banyak menyita pikiran dan waktu para pendiri negara. Maksud kalimat penulis

ini tidak lain dari pengakuan penulis bahwa sosok Tuhan (red: agama) menempati skala

prioritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia Merdeka. Soekarno

dalam pidato 1 Juni-nya menyadari bahwa rakyat Indonesia memeluk agama dan

kepercayaannya masing-masing, oleh karenanya prinsip Ke-Tuhanan yang ia usung

merupakan pertanda bahwa setiap agama memperoleh tempat dalam kenyataan

berbangsa dan bernegara.

Fakta dalam perundingan mengenai perdebatan paham kedua golongan

merupakan kenyataan sosial bangsa Indonesia. Hal ini sangat disadari oleh para pendiri

negara bahwa kemerdekaan yang diperoleh ialah “atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha

Kuasa”. Pada awal Piagam Jakarta, kalimat ini ada dalam preambule yang disepakati

oleh peserta sidang. Kemudian, pada rapat terakhir PPKI mengenai preambule ini juga

terdapat kalimat ini.

Menurut kacamata Durkheim, proses persidangan BPUPKI-PPKI ini merupakan

proses terjadinya masyarakat yang akan disepakati. Individu-individu bersepakat di

dalamnya untuk mencapai suatu tujuan yang hanya bisa dilakukan oleh masyarakat,

bukan per-individu. Oleh karena itu, masing-masing individu bersedia untuk

mengikatkan dirinya menjadi satu masyarakat. Lantas, apakah tujuan atau alasan

mereka mengikatkan diri menjadi satu masyarakat?

Page 31: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

131

Melalui analisa penulis di atas, begitu banyak macam alasan dan tujuan mereka.

Masing-masing alasan mereka membawa tujuan mereka per individu, dan memang ada

tujuan per individu yang merupakan bagian dari tujuan bersama. Kesepakatan para

pendiri negara berujung pada Piagam Jakarta. Inilah model masyarakat yang siap

dijalankan oleh bangsa Indonesia ke depannya. Perdebatan panjang dilalui bersama

demi menemukan sebuah persetujuan. Kaitannya dengan persetujuannya ini ada

baiknya memberangkatkan kajian ini mulai dari dorongan awal para pendiri negara.

Dorongan awal pendiri negara ada dalam ajuan kompromi Soekarno pada 16 Juli

1945. Soekarno meletakkan kompromi itu di dasar pengalaman bersama dan tujuan

bersama, yaitu Indonesia Merdeka dengan bersatu. Para peserta sidang golongan

keagamaan menerima usulan Soekarno dengan menciptakan jalan tengah, menurut

Soekarno, yang memberi sedikit keistimewaan kepada mereka karena pertimbangan

mayoritas penduduk. Para peserta golongan kebangsaan pun menerima usulan

Soekarno karena inilah rupa-rupa jalan tengah tersebut, dalam hal ini Soekarno

mengakui kalau ini merupakan pengorbanan yang sehebat-hebatnya (red: pengorbanan

yang sangat besar). Kesepakatan ini akan menjadi persetujuan yang dimufakatkan.

Dorongan bersatu menjadi satu masyarakat, yaitu masyarakat Indonesia Merdeka.

Seiring berjalannya waktu, akan sah-lah bangsa Indonesia ini menjadi bangsa

yang merdeka. Tepatnya 17 Agustus 1945 akan segera diproklamasikan kemerdekaan

sebagai tanda sah bangsa ini menjadi bangsa Indonesia yang merdeka, menjadi satu

masyarakat secara kenyataan pengakuan dunia. Keesokan harinya, 18 Agustus, bangsa

Indonesia Merdeka siap menjadi satu masyarakat yang sama-sama terikat dan

mempunyai tanggung jawab secara hukum dan sosial melalui pengesahan UUD sebagai

landasan berbangsa dan bernegara.

Page 32: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

132

Namun, sesuatu telah terjadi kepada bangsa yang ingin men-sah-kan

keberadaannya ini di dalam landasan bersama. Sore hari setelah proklamasi

kemerdekaan datang informasi mengenai keberatan masyarakat Indonesia Timur

terhadap pengistimewaan salah satu kelompok agama di dalam Undang-undang Dasar

Negara. Hatta yang mendapat informasi tersebut dengan sigap keesokan harinya

mengajak beberapa peserta dari pewakilan golongan Islam. Perundingan mereka tidak

memakan waktu begitu lama dan akhirnya mereka sepakat untuk menerima keberatan

tersebut atas dasar supaya bangsa jangan pecah sebagai bangsa (persatuan dan

kesatuan).

Keberatan itu disampaikan kepada forum sehingga oleh karenanya diambil

keputusan untuk menerima keberatan tersebut dengan menghapuskan ketujuh kata dan

mengenai pernyataan tentang presiden. Pancasila yang disepakati menjadi seperti

demikian:

1. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa;

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;

3. Persatuan Indonesia;

4. (dan) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan perwakilan;

5. (serta dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia,

dan pasal 6 ayat 1: “Presiden Indonesia ialah orang Indonesia Asli”.

Kemudian, diajukan lagi usul oleh I Gusti Ktut Pudja bahwa kata “atas berkat

rahmat Allah Yang Maha Kuasa” menjadi “atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha

Kuasa”. Usul ini pun diterima oleh peserta sidang. Perubahan-perubahan ini diterima

oleh para pendiri negara tanpa pemungutan suara, melainkan dengan MUFAKAT.

Kemudian disahkan menjadi Undang-undang Dasar rakyat Indonesia bersama.

Page 33: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

133

Dalam pandangan Durkheim bahwa kenyataan bangsa ini telah menjadi suatu

masyarakat ialah ditanggalkannya seluruh kepentingan-kepentingan pribadi menuju

kepentingan bersama. Segalanya telah diatur secara seimbang (tidak berat sebelah)

dalam aturan-aturan pasal UUD Negara. Tidak ada lagi mayoritas dan minoritas.

Segala proses dalam persidangan ini sampai dengan disahkannya menjadi

kesepakatan bersama, bagi Durkheim, bukanlah semata-mata diciptakan untuk kepuasan

pribadi. Akan tetapi, hal ini telah menjadi sesuatu yang harus dihormati dan junjung

tinggi. Durkheim menyadari ada dorongan-dorongan dasariah dari masing-masing

individu untuk mencapai kesepakatan. Apakah dorongan itu? Itulah kekuatan yang

mengontrol manusia itu sendiri. Kekuatan yang demikian jauh dari kajian saintifik

manusia. Artinya kekuatan ini dipahami sebagai kekuatan eksternal yang turut ambil

bagian di dalam diri manusia karena langsung bersentuhan dengan mental (mental state)

dan kesadaran (states of consciouness) manusia. Di sinilah letak kesakralan pancasila

sebagai kekuatan yang menyatukan.

Golongan Islam sejak awal menyertakan paham Ke-Tuhanan dalam kesepakatan

dasar negara Indonesia Merdeka, yang memilki arti bahwa kesadaran mereka atar

penyertaan Allah ada dalam setiap usaha mereka sampai Indonesia Merdeka. Ketika

paham Ke-Tuhanan diangkat menjadi satu bagian yang sakral dalam landasan dasar

negara, ini disepakati secara mufakat oleh seluruh aliran baik itu agama dan

kebangsaan. Artinya sama-sama sepakat bahwa ada campur tangan Tuhan dalam usaha

manusia Indonesia untuk merdeka yang hadir melalui roh-roh persatuan dan kesatuan

dalam diri masing-masing sampai disahkannya landasan dasar negara Indonesia

Merdeka.

Page 34: Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2892/5/T2_752010008_BAB IV.pdf · ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI

134

Dengan demikian, di dalam Pancasila terkandung nilai-nilai sosiologis dan nilai-

nilai religius. Pada aras sosial, bangsa Indonesia telah resmi menjadi suatu masyarakat

dengan aturan-aturan normatifnya yang komunikatif. Kenyataan sosial bangsa

Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kesadaran terhadap kemajemukan. Pada aras

religius seruan masyarakat Indonesia Timur ialah seruan ilahiah yang menyadarkan

rakyat Indonesia tentang arti persatuan dan kesatuan bangsa. Persatuan dan kesatuan

yang membuka mata kepada keadilan dan kesetaraan. Alasan utama yang menjadi

keberatan masyarakat Indonesia Timur pada saat itu – diskriminasi – seharusnya tetap

menjadi musuh bangsa Indonesia selama negara ini menjunjung tinggi nilai-nilai

kesatuan. Jika hal ini diingkari, tidak lain bahwa bangsa Indonesia telah menodai

kehadiran Tuhan Yang Maha Kuasa dalam masa-masa perjuangan kemerdekaan

samapai sekarang ini. Bagaimana seorang umat yang mengaku percaya kepada

Tuhannya tapi tidak memelihara apa yang telah diberikanNya kepadanya?