Studi Pustaka (Muhammad Galih Wicaksono,I34080068)

download Studi Pustaka (Muhammad Galih Wicaksono,I34080068)

of 46

Transcript of Studi Pustaka (Muhammad Galih Wicaksono,I34080068)

i

Laporan Studi Pustaka (KPM 403)

PENERAPAN SISTEM PENGETAHUAN LOKAL SEBAGAI STRATEGI PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

Oleh MUHAMMAD GALIH WICAKSONO I34080068

Dosen Dr. Satyawan Sunito

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGA MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

ii

PERNYATAANDengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang berjudul Penerapan Sistem Pengetahuan Lokal Sebagai Strategi Pengelolaan Sumberdaya Alam benar-benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain, kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini.

BOGOR, JANUARI 2012

Muhammad Galih Wicaksono I34080068

iii

ABSTRAK

MUHAMMAD GALIH WICAKSONO. Penerapan Sistem Pengetahuan Lokal Sebagai Strategi Pengelolaan Sumberdaya Alam. Dibawah bimbingan SATYAWAN SUNITO Pengetahuan ekologi lokal adalah bagian dari pengetahuan lokal yang didalamnya terdapat unsur atau faktor internal dan eksternal dari suatu masyarakat berupa kepercayaan, nilai, maupun norma yang dimiliki masyarakat lokal serta pengetahuan masyarakat yang didapat dari luar yang sudah melembaga dan turun temurun dari generasi ke generasi. Dalam penerapannya pengetahuan ekologi lokal memiliki aturanaturan yang berperan sebagai kontrol masyarakat lokal. Dalam pengelolaan sumberdaya alam, pengetahuan ekologi lokal sangat berperan dalam konservasi sumberdaya hayati maupun ekosistem, fungsi sosial serta pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Kata kunci: pengetahuan ekologi lokal, masyarakat lokal, pengelolaan sumberdaya alam

ABSTRACT

MUHAMMAD GALIH WICAKSONO. The Application system of local knowledge as a strategy of natural recources management. Supervised by SATYAWAN SUNITO Local ecological knowledge is the part of local knowledge wich consist the unsure of internal and external factor in one community i.e beliefs, value, or a norm wich belonged to local community, whether the knowledge obtained from outside the community wich is already institutional or hereditary from every generation in one community. as the implementation of it, ecological local knowledge has some rules that control the local community. local ecological knowledge has a big role in natural recources management especially in conservation of biological recources and ecosystem, social function and also the sustainability of natural recources management. Keywords : local knowledge, local ecological knowledge, natural resources management

iv

PENERAPAN SISTEM PENGETAHUAN LOKAL SEBAGAI STRATEGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM

Oleh MUHAMMAD GALIH WICAKSONO I34080068

Laporan Studi Pustaka Sebagai syarat kelulusan KPM 403 Pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

v

LEMBAR PENGESAHAN

Dengan ini menyatakan bahwa Studi Pustaka yang disusun oleh: Nama Mahasiswa Nomor Pokok Judul : Muhammad Galih Wicaksono : I34080068 : Penerapan Sistem Pengetahuan Lokal Sebagai Strategi Pengelolaan Sumberdaya Alam

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui Dosen Pembimbing

Dr.Ir.Satyawan Sunito, MS NIP. 195203261990031001

Mengetahui Ketua Departemen Sains komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003 Tanggal Pengesahan : ___________________

vi

PRAKATAPuji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Studi Pustaka berjudul Penerapan Sistem Pengetahuan Lokal sebagai strategi pengelolaan sumberdaya alam ini dengan baik. Laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan MK Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Ucapan Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Satyawan Sunito, MS sebagai pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian laporan studi pustaka ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terima kasih kepada Bapak purwanto dan Ibu Yulia Indrayani, orang tua tercinta, serta Ary Akbar , adik tersayang, yang selalu berdoa dan senantiasa melimpahkan kasih sayangnya untuk penulis. Tidak lupa terimakasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman SKPM 45, teman-teman KUIL CINTA, terutama Tyas Widyastini dan sahabat saya Farhan, yang senantiasa memberi semangat serta doa dalam proses penulisan laporan ini. Semoga laporan Studi Pustaka ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Januari 2012

Muhammad Galih Wicaksono NIM. I34080068

vii

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ....................................................................................................................... ii ABSTRAK .............................................................................................................................. iii LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................................... v PRAKATA .............................................................................................................................. vi DAFTAR ISI .......................................................................................................................... vii DAFTAR TABEL.................................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................ x PENDAHULUAN ....................................................................................................................1 Latar Belakang..........................................................................................................................1 Tujuan Tulisan ..........................................................................................................................3 Metode Penulisan......................................................................................................................3 RINGKASAN PUSTAKA ........................................................................................................4 1. Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan : Adaptasi, Konflik, dan Dinamika Sosio Ekologis ...................................................................................................................................4 2. Hak Ulayat Laut di Era Otonomi Daerah Sebagai Solusi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan : Kasus Awig-awig di Lombok Barat. .................................................................6 3. Pengetahuan lokal tentang lingkungan : Studi Kasus Etnis Wawonii, Sulawesi Tenggara... ....7 4. Pengentasan Kemiskinan Dengan Kearifan Lokal (Studi Kasus Di Pulau Buru-Maluku Dan Surade-Jawa Barat) ................................................................................................................. 10 5. Sistem Pengetahuan lokal ................................................................................................ 13 6. Pemanfaatan Hutan dan Lingkungan Oleh Masyarakat Baduy di Banten Selatan ................. 14 7. Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Tradisional Di Pulau Kecil (Studi kasus : Pulau Wangi-Wangi Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara) ........................... 15 8. Pengetahuan Lokal Masyarakat DAS Citanduy ................................................................... 17 9. Sistem Pengetahuan Lokal Masyarakat Nelayan Dalam Eksploitasi Sumberdaya Hayati Laut Di Sulawesi Selatan (Studi Kasus Komunitas Bajou di Kabupaten Bone) ................................ 18 10. Peranan Nilai-Nilai Tradisional Daerah Lampung Dalam Melestarikan Lingkungan Hidup. ............................................................................................................................. 20 ANALISIS DAN SINTESIS ................................................................................................... 22 Konsep Masyarakat lokal ........................................................................................................ 22 Pengetahuan Lokal .................................................................................................................. 23 Peranan Sistem Pengetahuan Ekologi Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam ............... 27 Peran Masyarakat Lokal dalam Menjaga Keberlanjutan Sistem Pengetahuan lokal .................. 29

viii SIMPULAN............................................................................................................................ 30 Hasil Analisis dan Sintesis ...................................................................................................... 30 Usulan Kerangka Analisis Baru............................................................................................... 31 Pertanyaan Penelitian .............................................................................................................. 32 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 33 RIWAYAT HIDUP ................................................................................................................ 35

ix

DAFTAR TABELNomor Halaman

Tabel 1. Pengetahuan lokal masyarakat Wawonii.................................................8 Tabel 2. Perbedaan antara traditional ecological knowledge dan ilmu pengetahuan modern.....................................................................................................25 Tabel 3. Peranan pengetahuan lokal terhadap pengelolaan sumberdaya alam......27

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman

Gambar 1. Kerangka Analisis Penerapan Sistem Pengetahuan Lokal Sebagai Strategi Pengelolaan Sumberdaya alam..........................................................31

xi

1

PENDAHULUANLatar Belakang

Pembangunan yang terus menerus memanfaatkan sumber daya alam pada satu sisi memang bertujuan untuk meningkatan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, namun di satu sisi ketersediaan sumber daya alam bersifat terbatas dan tidak merata, baik dalam kuantitas maupun kualitas. Semakin meningkatnya permintaan akan sumber daya alam berbanding lurus terhadap kegiatan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang terus meningkat dan beragam. Dampak pembangunan tersebut mengakibatkan daya dukung lingkungan hidup dapat terganggu dan daya tampung lingkungan hidup dapat menurun. Menurut FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian PBB) dalam 20 tahun terakhir ini telah terjadi pengurangan luas hutan 1,2 % setiap tahunnya. Kalau pada tahun 1990 areal hutan masih seluas 64% pada tahun 2005 berkurang tinggal 48 %. Kerusakan hutan ini terutama sekali karena pembalakan liar yang melibatkan sindikat internasional yang terkait dengan sistem politik dan ekonomi yang sangat korupsi, kolusi dan nepotisme. Pada Era globalisasi ini pembangunan sangat berorientasi pada peningkatan ekonomi dan identik dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Menurut Gadgil dan berkes (1991) adalah suatu paradoks bahwa dengan segala kekuasaannya, ilmu pengetahuan modern tampaknya tidak mampu untuk menghentikan penurunan sumberdaya dan kerusakan lingkungan. Buruknya fenomena lingkungan tersebut tentunya menuntut sebuah solusi berupa pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, kini Perspektif tentang sistem pengelolaan dan tata-pemerintah (tata-Pemerintah/governance) pembangunan di Indonesia mengalami perkembangan-perkembangan yang dramatis, sejak satu dekade terakhir. Tata-Pemerintahan sentralisme Orde Baru (ORBA) yang dikenal otoritarian, serta mengabaikan inisiatif lokal, telah digantikan oleh pendekatan yang memberikan bobot pada upaya-upaya perubahan berencana berbasiskan pada prakarsa akar-rumput (grass-root) yang seringkali dikenal sebagai bottom-up approach. Pendekatan pembangunan yang bercirikan semangat partisipatif-kolaboratif, berbasis pada sumber kekuatan yang dimiliki oleh komunitas lokal dan mengakui eksistensi kepentingan beragam multistakeholder yang didukung kuat oleh semangat demokratisme tersebut mendapatkan relevansi yang sangat kuat, apabila perhatian difokuskan kepada pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Dalam era desentralisasi dan otonomi derah saat ini, badan-badan pemerintahan lokal mempunyai peran penting ternasuk dalam hal melindungi lingkungan dan sumberdaya alam di Indonesia. Paradigma pembangunan yang berorientasi pada gagasan anti-sentralisme dan pro-partisipasi terhadap pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan kini semakin makin kokoh kedudukannya sejak munculnya UU 32 tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah dan PP No.38 tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan, dalam bidang lingkungan hidup yang memberikan pengakuan politis melalui transfer otoritas dari pemerintah pusat terhadap daerah. UU 32 tahun 2004 juga menekankan bahwa titik fokus dari pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan ada di daerah. Merujuk pada UU tersebut maka pengelolaan sumberdaya alam yang dimaksud adalah sebuah bentuk

2

pengelolaan berbasis lokal dengan memanfaatkan strategi ataupun pengetahuanpengetahuan lokal yang ada sebagai solusi untuk pengelolaan yang berkelanjutan. Menurut Bruce (1997), Konsep sistem pengetahuan lokal berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Munculnya pengetahuan dan pengelolaan lokal awalnya terjadi pada sekelompok masyarakat yang begitu peduli terhadap penggunaan sumberdaya alam yang berkelanjutan, yang mana kelompok tersebut mempraktekkan system konservasi sumberdaya alam dengan tepat. Praktekpraktek tersebut didasarkan pada beberapa aturan sederhana tetapi menjamin penggunaan sumberdaya alam dalam jangka waktu yang panjang. Aturan-aturan tersebut didapat melalui proses uji-coba, dengan meneruskan praktek-praktek yang dianggap mempertahankan sumberdaya alam, serta meninggalkan praktek-praktek yang dianggap merusak lingkungan. Selanjutnya, Menurut Gadgil (1993), pengetahuan masyarakat lokal yang terakumulasi sepanjang sejarah hidup mereka mempunyai peran sangat besar. Pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan sistem kepercayaan yang menekankan penghormatan terhadap lingkungan alam merupakan nilai yang sangat positif untuk pembangunan berkelanjutan. Menurut observasi yang dilakukan oleh Franklin (1990), pengalaman harus berperan untuk memodifikasi pengetahuan, daripada pengetahuan abstrak yang memaksa orang untuk meyakini pengalaman mereka sebagai sesuatu yang tidak nyata atau salah. Oleh karena itu, masyarakat lokal dengan pengalamannya seharusnya memiliki peran penting dalam pengelolaan sumber daya alam. Menurut Ingold (2000) pengetahuan tradisional atau pengetahuan lokal sering didasarkan pada praktek-praktek tertentu, yang berkaitan dengan kebutuhan hidup yang berhubungan dengan lahan dalam kemampuan jangka panjang pengelolaan lingkungan. Penggunnaaan sumberdaya alam yang berkelanjutan, seperti tanah, hutan, air, udara, mineral dan lain-lain sangat tergantung pada pengetahuan, manajemen dan kemampuan masyarakat memelihara sumberdaya alam tersebut. Namun demikian disadari pula bahwa masyarakat meghadapi kondisi agroekologi, tujuan dan tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang berbeda-beda, sehingga kemungkinan besar pengetahuan masyarakat yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam juga beragam dari satu tempat ke tempat lain . Keragaman pengetahuan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya, penting untuk digali dan dipetakan dalam rangka membantu merumuskan pembangunan lokal dalam memanfaatkan sumber daya alam, finansial, manusia, sosial dan fisik/infrastruktur yang berkesinambungan, melalui caracara membangun komunikasi efektif dengan masyarakat lokal dan membuat aksi bersama yang telah mempertimbangkan kendala pengalaman yang dirasakan secara lokal. Oleh karena itu, dirasa perlu untuk mengkaji bagaimana sistem pengetahuan lokal berperan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan bagaimana masyarakat berperan untuk menjaga keberlanjutan sistem pengetahuan lokal mereka.

3

Tujuan Tulisan

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penulisan studi pustaka ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui bagaimana sistem pengetahuan lokal berperan dalam pengelolaan sumber daya alam 2. Mengetahui bagaimana masyarakat lokal berperan untuk menjaga keberlanjutan sistem pengetahuan lokal

Metode Penulisan Metode penulisan studi pustaka ini adalah dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai rujukan seperti buku, laporan penelitian (skripsi atau tesis), jurnal mengenai penerapan sistem pengetahuan lokal dan keberlanjutan dari sistem pengetahuan lokal. Data sekunder diringkas dalam bentuk pemaparan secara deskriptif dengan mengikhtisarkan beberapa rujukan yang terkait dengan aspek yang diteliti. Analisis dan sintesis mengenai penerapan sistem pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam kemudian dilakukan. Hasil dari analisis dan sintesis tersebut disusun menjadi kerangka pemikiran dan perumusan masalah untuk penelitian selanjutnya.

4

RINGKASAN PUSTAKA

1.

Judul Penulis Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Tahun Nama Jurnal Volume (edisi);hal Alamat URL Tanggal Diunduh

: Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan : Adaptasi, Konflik, dan Dinamika Sosio Ekologis : Rita Rahmawati, Subair, Idris, Gentini, Dian Ekowati, Usep Setiawan : Jurnal : Elektronik : 2008 : sodality: Jurnal transdisiplin sosiologi, komunikasi, dan ekologi manusia : ISSN : Vol.02, No.02 halaman 151-190 : http://jurnalsodality.ipb.ac.id/jurnalpdf/edisi5-2.pdf : 18 September 2011

Masyarakat kasepuhan merupakan masyarakat lokal yang ada di wilayah desa Sinar Resmi, Kecamatan cisolok, Kabupaten Sukabumi. Mereka juga merupakan masyarakat adat sunda yang hidup di sekitar Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Kasepuhan Sinar Resmi dipimpin oleh Abah Asep, beliau adalah seorang pemimpin adat serta mempunyai kekuasaan mutlak terhadap kehidupan masyarakat/ pengikutnya (incu putu), khususnya dalam tata cara mata pencaharian yang bertumpu pada pertanian padi. Warga kasepuhan juga menyatakan dirinya sebagai pancer pangawinan . yang merupakan ciri khas mereka untuk mengatur kehidupan warganya dalam berelasi dengan alam. Melalui konsep tersebut, Masyarakat mensandarkan kehidupannya dengan tanah. Namun, masalah timbul ketika diterbitkannya kebijakan perluasan taman nasional melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003, tanah yang dulu dikuasai oleh masyarakat kini berubah status menjadi tanah Taman Nasional. Perubahan tanah tersebut menyebabkan hilangnya akses masyarakat terhadap tanah. Kondisi ini menempatkan masyarakat pada kondisi konflik dengan pengelola TNGHS. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk pengetahuan lokal, mengetahui dinamika pengetahuan lokal dan mengetahui struktur kekuasaan dan konflik pengetahuan. Teknik pengumpulan data melalui indepth interview, observasi partisipan, dan Focus Group Discussion (FGD). Hasil dan temuan penelitian mengenai adanya pengetahuan lokal masyarakat kasepuhan dalam hal mengatur kelestarian lingkungan dan bagaimana lingkungan tersebut dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. . Dalam konteks penelitian ini, pengetahuan lokal adalah indigenious knowledge, dimana pengetahuan lokal yang hendak dilihat adalah pengetahuan yang erat hubungannya dengan aspek pengelolaan sumber daya alam dan mata pencaharian atau sistem nafkah. Secara konseptual, Berkes (1995) dalam Rahmawati; Subair; Idris; Gentini; Ekowati; Setyawan (2008) mengemukakan bahwa pengetahuan lokal dalam aspek ekologis dan juga pengetahuan lokal tentang sistem nafkah, sangat penting peranannya pada konservasi biodiversity. Menurut Berkes, kekuatan utama sistem pengetahuan lokal dalam aspek ini adalah, (1) self interest,dalam arti pengetahuan lokal menjadi kunci penting upaya konservasi, karena kekuatannya datang dari dalam bukan dari luar, (2) sistem pengetahuan yang akumulatif, dalam arti bahwa pengetahuan lokal merupakan akumulasi atas pola adaptasi ekologis komunitas lokal yang telah berlangsung berabad-abad, (3) pengetahuan sangat potensial untuk membantu

5

mendesain upaya konservasi yang efektif, karena dukungan lokal dan tingkat adaptasi serta pertimbangan practicability-nya yang tinggi. Bentuk-bentuk pengetahuan lokal yang menjadi ciri khas dari masyarakat kasepuhan Abah Asep (Sinar Resmi) berkaitan erat dengan beberapa pemahaman terhadap hubungan antara manusia dengan alam dan bagaimana manusia mengelola sumber daya alam. Pengetahuan ini juga menunjukkan pola adaptasi manusia terhadap alam dan sistem nafkah keluarga yang bertumpu pada pertanian. Beberapa pengetahuan lokal masyarakat kasepuhan, Desa Sinar Resmi yaitu (1) Ibu Bumi, masyarakat kasepuhan masih bertani dengan cara tradisional, mereka menggarap tanah dan menananmnya hanya setahun sekali. Mereka meyakini bahwa bumi ini seperti ibu bagi mereka yang tidak mungkin melahirkan dua kali selama setahun. Sebelum mengelola tanah, mereka lakukan upacara. Menurut keyakinan mereka, untuk mengolah tanah perlu pamit dulu karena bumi ini adalah mahluk yang telah dikotori. (2) Bapak langit, masyarakat kasepuhan mempercayai bahwa dalam mengelola tanah pertanian dan menggarap lahan harus berdasarkan pada bintang kerti (kumpulan bintang) dan kidang (bintang waluku nu tilu yang bentuknya seperti layang-layang). Artinya, kalau bintang kerti sudah terlihat maka petani harus sudah menyiapkan peralatan cangkul, parang dan lain-lain, dan jika bintang kidang sudah terlihat maka petani sudah diperbolehkan untuk turun ke sawah atau huma untuk menggarap lahannya. (3) Guru mangsa, yaitu berguru pada alam semesta dalam hala menentukan waktu kapan boleh bertani dan tidak. Tujuannya adalah mengejar hak atas tanah (ngudak akuan) . bintang kerti menjadi tanda awal untuk menggarap lahan. Meskipun hujan belum juga turun, mereka tetap menanam sesuai dengan pakem-pakem tradisi. Bulan September-April adalah hak untuk petani sedangkan Mei-Agustus adalah hak-hak bagi hama dan mahluk lain-lain. Setelah masyarakat kasepuhan menanam padi, mereka selalu memagar lahan pertanian mereka dan berdoa dengan ajian mereka : ulah arek comokot kana tetendean aing, ulah heureuy, ulah badeur (jangan ngambil simpanan aku, jangan main-main, jangan nakal). Pemagaran ini didasarkan pada prinsip obat panahap kalima pancar (empat mata angin, barat-timur-selatan-utara, dan satu pusat), yang mengandung siloka berbeda-beda tetapi satu tujuan. Cara-cara penerapan pengetahuan lokal yang digambarkan diatas dalam menentukan waktu mengolah lahan dan hanya satu kali dalam satu tahun pengelolaan lahan untuk pertanian padi dilakukan walaupun berada pada lahan sawah. Melalui konsep pancer pangawinan dan pengetahuan lokalnya, masyarakat Kasepuhan menjaga lingkungan mereka dari kerusakan.

6

2.

Judul

: Hak Ulayat Laut di Era Otonomi Daerah Sebagai Solusi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan : Kasus Awig-awig di Lombok Barat. Tahun : 2007 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Nama Penulis : Akhmad Solihin dan Arif Satria Nama jurnal : Sodality: Jurnal transdisiplin sosiologi, komunikasi, dan ekologi manusia Volume (edisi);hal : Vol.01; 67-86 Alamat URL/doi : http://jurnal.pdii. lipi.go.id/admin/jurnal/1107 6786.pdf. Tanggal diunduh : 17 Oktober 2011

Pengelolaan perikanan dengan pembentukan awig-awig LMNLU yang berbasis pada kearifan lokal wilayah pengelolaan perikanan di Lombok Barat bagian Utara berkontribusi terhadap praktik pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Karena, dalam penerapannya, awig-awig turut menjaga sumberdaya ikan dari kegiatan penangkapan yang merusak. Penerapan awig-awig ini di kontrol melalui hak ulayat laut yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menjelaskan rekonstruksi dan revitalisasi hak ulayat laut di Kabupaten Lombok Barat bagian Utara menjadi sebuah kebijakan pengelolaan perikanan di era otonomi daerah ; (2) Menjelaskan efektivitas peran awigawig dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kualitatif degan strategi triangulasi seperti pengamatan, wawancara mendalam (dengan metode accidental ,snowballing) dan analisis dokumen. Sample yang diambil dalam penelitian ini tidak ada batasan karena menggunakan metode kualitatif. Analisis data dilakukan dengan menimbang data, mengklasifikasikan data, dan memformulasi konsep-konsep dari fenomena faktual sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pengelolaan perikanan yang diterapkan di wilayah Lombok Barat bagian Utara sekitar tahun 1965 adalah model pengelolaan perikanan yang berbasis pada masyarakat (CBM) melalui kearifan lokalnya yaitu upacara adat sawen. Namun kearifan lokal tersebut kini mulai hilang dan tergantikan dengan pengelolaan perikanan oleh pemerintah pusat (CGM) yang tidak ramah lingkungan karena tingkat kesulitan yang tinggi dalam penegakan hukum sehingga aturan-aturan lokal (hak ulayat) masyarakat setempat mulai pudar. Akibatnya, tingkat komersialisasi tinggi, perubahan teknologi, dan menjurus pada kerusakan lingkungan. Rekonstruksi dan revitalisasi hak ulayat laut di Kabupaten Lombok Barat bagian Utara mulai diangkat kembali menjadi sebuah kebijakan pengelolaan perikanan di era otonomi daerah. Faktor-faktor yang mendasarinya antara lain: ekologi, lingkungan politik legal, mata pencaharian, demografi, distribusi pasar dan perubahan teknologi. Masyarakat mengadakan sistem pengelolaan sumberdaya dengan membentuk awig-awig (aturan-aturan berdasarkan kesepakatan masyarakat) melalui kesadaran kolektif (collective consciousness) untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Aktor yang berperan dalam pembentukan awig-awig antara lain: pemerintah (dinas perikanan-kelautan, kecanatan), masyarakat (kelompok nelayan). Usulan aturan dilakukan melalui diskusi kelompok nelayan dan menuju ke rapat besar antar kelompok (pemerintah dan kelompok nelayan) untuk pengakuan pemberian peran penguatan formalisai awig-awig LMNLU. Dalam proses pembentukan awig-awig lebih banyak

7

mengadopsi aturan-aturan lokal dan diilhami kegiatan upacara adat Sawen sehingga pelaksanaannya dipengaruhi oleh unsur-unsur social-budaya masyarakat setempat. Efektivitas dari peran awig-awig dalam pengelolaan sumberdaya ikan dapat meminimalisir terjadinya permasalahan yang mengakibatkan rusaknya ekosistem perairan laut. 3. Judul : Pengetahuan lokal tentang lingkungan : Studi Kasus Etnis Wawonii, Sulawesi Tenggara Tahun : 2009 Jenis pustaka : Jurnal Bentuk pustaka : Elektronik Penulis : Mulyati Rahayu, Mohammad Fathi Royyani, Rugayah Nama jurnal : Jurnal teknik lingkungan Volume (edisi); hal : ISSN : vol.10, no.2 ; hal 129-136 ; ISSN 1441-318X AlamatURL/doi :http://scholar.google.co.id/scholar?hl=en&q=Pengetahuan+lokal+tentang+ lingkungan+%3A+Studi+Kasus +Etnis+Wawonii%2C+Sulawesi+Tenggara++&btnG=Search&as _sdt=0%2C5&as_ylo=&as_vis=0

Tanggal diunduh

: 20 september 2011

Menurut Rahayu; Fathi; Rugayah (2009), Pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat bukanlah sesuatu yang ada dengan sedemikian rupa, namun pengetahuan lokal muncul akibat akumulasi dari pengalaman hidup dalam interaksinya dengan lingkungan dan pendukung kebudayaan lainnya. Dengan demikian pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat bersifat dinamis, berubah, dan terbuka. Banyak kasus yang menjelaskan bahwa pengetahuan lokal masyarakat telah terbukti dapat mempertahankan kehidupan ternyata tidak sesuai dengan kondisi lingkungan yang telah terdegradasi. Perubahan pengetahuan dan tradisi juga dapat terjadi akibat arus modernisasi dan globalisasi. Pada dasarnya pemahaman terhadap lingkungan alam sekitar merupakan suatu upaya untuk mempertahankan hidup dan juga mengembangkan keturunannya. Seperti halnya dengan masyarakat lokal lain di Indonesia, masyarakat Wawonii di Sulawesi Tenggara umumnya memiliki pemahaman dan pengetahuan lokal tentang lingkungan yang ditunjukkan melalui pencirian setiap unit lingkungan yang ada disekitarnya. Pencirian setiap unit lingkungan tersebut didasarkan pada perbedaan fungsi dan kenampakannya. Umumnya setiap unit lingkungan tersebut memiliki karakteristik yang menjadi ciri khas. Pulau Wawonii yang terletak di jazirah tenggara propinsi Sulawesi Tenggara merupakan salah satu pulau kecil dan dihunioleh etnis Wawonii. Eratnya hubungan masyarakat Wawonii dengan sumberdaya alam dan lingkungannya menjadi dasar dilakukannya penelitian terhadap pengungkapan pengetahuan local etnis ini sehingga dapat dijadikan dasar dalam pengelolaan yang berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan di pulau Wawonii yang secara administratif masuk dalam Kabupaten Konawe, Propinsi Sulawesi Tenggara. Pulau Wawonii dihuni oleh etnis Wawonii yang merupakan etnis asli dan kelompok masyarakat mayoritas, juga menjadi tempat tinggal dan mencari nafkahdari berbagai etnis lainnya seperti etnis Buton, Muna, Kulisusu, bahkan imigran dari Jawa dan Flores. Mayoritas penduduk pulau Wawonii beragama Islam, walaupun

8

demikian mereka masih memegang kukuh pada tradisi dalam kesehariannya, seperti bercocok tanam, melaut, menentukan waktu hajatan dan sebagainya. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2003 2006, dalam beberapa kali kunjungan. Setiap kunjungan dilakukan selama 2 3 minggu. Lokasi penelitian adalah : desa Wawolaa, Lansilowo,Lampeapi, Bobolio dan Dompo-dompo Jaya. Dalam setiap kunjungan dilakukan evaluasi ulang data yang telah diperoleh sebelumnya. Dalam penelitian ini, dibedakan 2 kategori informan: yakni informan kunci dan informan biasa. Informan kunci terdiri dari tetua adat, dukun (sando), dan tokoh masyarakat dari tiap desa yang dikunjungi. Sedangkan informan biasa adalah masyarakat pulau Wawonii. Penentuan informan kunci maupun informan biasa berdasarkan teknik snowbolling, artinya informan tersebut didasarkan atas petunjuk dari informan sebelumnya. Setiap informan kunci harus paham mengenai budaya setempat. Penelitian ini merupakan penelitian etnobotani yang mengkaji pengetahuan dan persepsi masyarakat tentang lingkungan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara secara open ended, untuk mengungkap pengetahuan dan nama-nama lokal tentang lingkungan. Setelah satuan lingkungan diketahui maka dilanjutkan dengan wawancara secara mendalam, untuk mengungkap lebih dalam makna dari satuan lingkungan tersebut. Pengungkapan makna satuan lingkungan menjadi penting karena akan diketahui konsep masyarakat mengenai lingkungan. Data yang terkumpul kemudian dianalisa secara kualitatif. Proses pengumpulan data dan analisa dilakukan secara bersamaan, artinya ketika data telah diperoleh kemudian dianalisa untuk mengetahui hubungan makna satuan lingkungan dengan pengetahuan yang lainnya.\ Hasil penelitian menunjukkan Pengetahuan lokal masyarakat Wawonii tentang satuan lingkungan dapat dilihat dalam matriks berikut ini. Tabel 1. Pengetahuan lokal masyarakat Wawonii

Pengetahuan lokal masyarakat wawonii Penjelasan Hutan rimba atau Kura Eya atau kawasan hutan yang belum pernah Laron Kue terganggu/ditebang atau diusahakan sebagai kebun atau ladang. didalamnya ditumbuhi oleh berbagai tetumbuhan kayu yang berukuran besar dan tinggi. antara lain seperti ehaCastanopsis buruana Miq., kue mea Palaquium obovatum (Griffith) Engl., wowola Calophyllum. Hutan rimba juga mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, khususnya penyediaan bahan bangunan dan bahan pembuatan perahu. Hutan Sekunder atau lali bata Satuan lingkungan yang dinamakan lali bata umumnya berupa hutan muda, bekas ladang yang ditinggalkan atau diberakan lebih dari 10 tahun. Keberadaan satuan lingkungan ini dapat dipastikan akibat adanya intervesi aktifitas manusia terhadap hutan primer, seperti eksploitasi dan penebangan untuk pembuatan perahu. Dari kawasan hutan sekunder ini,

9

masyarakat mendapatkan berbagai macam kebutuhan hidupnya, seperti kayu bakar, binatang buruan, buah-buahan, dan lainlain. Semak belukar atau anantalu Satuan lingkungan berupa bekas kebun yang telah ditinggalkan kurang dari 10 tahun. Satuan lingkungan anantalu dijadikan penciri oleh masyarakat dalam melakukan aktifitas pertanian. Masyarakat akan memulai aktifitas pertanian di anantalu bila vegetasi Elephantopus scaber dan Lantana camara telah mencapai tinggi 2-2,5 m umumnya lahan diolah kembali karena dianggap keadaan lahan telah subur kembali Larowita ladang atau kebun campuran merupakan tempat aktifitas utama masyarakat Wawonii. Penanaman padi ladang hanya dilakukan satu kali selama masa pengguna lahan dan penanaman hanya dilakukan pada lahan yang baru dibuka. Ini menunjukan pembukaan lahan baru terus berlangsung guna memenuhi kebutuhan pangan (beras) dan kemudian ditinggalkan atau ditanami dengan jenis tanaman palawija lainnya. Jenis-jenis tanaman palawija yang diusahakan di kebun campuran a.l. gandu jagung, ubi kayu, tomat ,dan lain-lain. Sedangkan jenis-jenis tanaman buah-buahan yang umum ditanam adalah pisang, jeruk dan pepaya. Ladang biasanya dikelola selama 2-3 tahun, kemudian diberakan untuk mengembalikan kesuburan tanah atau ditanami dengan tanaman tahunan atau perkebunan. hamparan kawasan pada dataran rendah yang didominasi oleh tumbuhan le alangalang Imperata cylindrica (L.) Beauv. Adanya padang alang-alang di pulau Wawonii merupakan akibat interaksi manusia terhadapalam sekitarnya terutama sistem perladangan berpindah.Pemanfaatan alang-alang sebagai salah satu bahan atap rumah dan juga dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional Masyarakat Wawonii membentuk perkampungan atau pemukiman yang

Kebun Campuran atau larowita

Padang alang-alang laro le

Perkampungan ataukapo

10

dikenal dalam bahasa lokal sebagai kapo. Pemukiman di masa lalu terletak di daerah pegunungan, namun saat ini terletak pada tanah datar sekitar tepi pantai atau tepi sungai. Pengetahuan lokal etnis Wawonii, walaupun mengalami banyak perubahan dan juga memiliki keterbatasan, namun menyimpan kearifan antara lain berupa pengetahuan lokal tentang satuan lingkungan dan juga pemanfaatan tetumbuhan sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-harinya. Sebagai masyarakat yang terbuka, pengetahuan yang dimiliki oleh etnis ini juga mengalami perubahan seiring dengan interaksi masyarakat dengan dunia luar. Perubahan pengetahuan ini merupakan keniscayaan karena pada dasarnya pengetahuan lokal merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam, serta manusia dan manusia.

4.

Judul

Tahun Jenis Pustaka Bentuk pustaka Penulis Nama Jurnal Volume (edisi);hal Alamat URL

: Pengentasan Kemiskinan Dengan Kearifan Lokal (Studi Kasus Di Pulau Buru-Maluku Dan Surade Jawa Barat) : 2009 : Jurnal : Elektronik : Marcus J. Pattinama : Sosial Humaniora : Vol.13; No.1; Juli 2009, Hal 1-12 :http://repository.ui.ac.id/contents/ koleksi/2/e98e701d3488e758e71344d4c5a109bd7770dbd0.p df

Tanggal diunduh

: 23 September 2011

Dalam penelitian ini dilakukan studi literatur mengenai konsep kemiskinan dan pengamatan ke lokasi penelitian untuk mendeteksi siapa yang dimaksud penduduk miskin itu. Setelah itu mencari alternatif kebijakan yang sesuai dengan kondisi spesifik lokal untuk menanggulangi kemiskinan, dan akhirnya menggali serta memahami kearifan penduduk lokal dalam hubungannya dengan upaya preventif untuk menanggulangi kemiskinan. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA). Pendekatan ini dipilih agar data yang diperoleh benar benar akurat dan tertanggungjawab. Pada prinsipnya penelitian ini lebih berpijak pada penelitian kualitatif. Untuk mencapai tiga tujuan seperti yang disebut di atas, maka data yang dikumpulkan dengan prinsip triangulasi: dianalisis secara kualitatif, tabulasi silang, dan analisis isi. Dalam hal ini yang dipentingkan bukan banyaknya contoh (sample) atau bertujuan untuk melakukan generalisasi, tetapi mengangkat kasus yang spesifik dan mendalam. Untuk mengungkapkan keterkaitan antara masyarakat dan pengelolaan sumberdaya alam lokal serta masalah kemiskinan, maka analisis yang dikembangkan adalah analisis dalam dan analisis luar. Menurut Pattinama (2005) dalam Pattinama (2009) Analisis dalam lebih difokuskan untuk menjelaskan karakteristik dengan mengembangkan konsep yang sudah ada dalam suatu masyarakat (kearifan lokal), sedangkan analisis luar menganalisis hubungan antara aspek sosial dan aspek

11

teknik secara interdisipliner. Baik analisis dalam maupun analisis luar dilakukan dengan observasi langsung pada aktivitas manusia dengan lingkungannya. Pengambilan data lapangan dilakukan secara sistemik melalui kuesioner (kuantitatif) dan wawancara mendalam/in-depth interview (kualitatif). Selain itu riset ini disertai dengan diskusi kelompok fokus (Focus Group Discussion) dan pengamatan lapang untuk lebih memahami kondisi nyata yang terjadi. Sumber data ada dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari masyarakat dan pemerintah pada level kampung/desa hingga kabupaten. Data primer yang dikumpulkan meliputi indikatorindikator kemiskinan, penyebab kemiskinan, lingkaran kemiskinan dan pola konsumsi (makanan dan non-makanan) penduduk miskin. Indikator-indikator kemiskinan penting diketahui untuk memahami kemiskinan dari perspektif orang miskin itu sendiri. Adapun data sekunder diperoleh dari literatur yang saling terkait dengan wilayah riset. Fokus penelitian adalah kelompok penduduk miskin. Kelompok sasaran ditentukan berdasarkan pengenalan akan kondisi lapang dan informasi awal yang telah diperoleh dari informan kunci (key informan). Karena penelitian ini mengalami keterbatasan dana, rentang kendali wilayah riset dan waktu serta tenaga, maka kelompok sasaran di Pulau Buru adalah masyarakat Kampung Waereman yang hidup terisolir di daerah pedalaman, sedangkan di Jawa Barat dibatasi di Desa Wanasari, Kecamatan Surade, Sukabumi. Jika meninjau kasus di Pulau Buru, Maluku, kebijakan kemiskinan perlu memperhatikan kearifan lokal yakni budaya sasi. Sasi adalah seperangkat norma, adat dan aturan dan sanksi mengenai larangan pengambilan hasil tanaman/tumbuhtumbuhan, ikan dan hewan buruan sebelum waktu yang telah disepakati/ditetapkan oleh pimpinan dan tokoh masyarakat bersama warga masyarakat (kewang dan gereja/mesjid). Tujuannya adalah konservasi. Secara umum sasi dikenal dengan dua jenis. Pertama, sasi pemerintahan desa (negeri). Sasi ini dikeluarkan dan diumumkan oleh pemerintah desa, sehingga barang siapa yang melanggar sasi akan dikenakan sanksi oleh pemerintah desa. Sanksi yang dikenakan berbentuk denda uang atau materi. Sasi jenis kedua disebut sasi gereja/mesjid. Sasi ini dikeluarkan dan diumumkan oleh pimpinan keagamaan. Berdasarkan pengakuan masyarakat desa, sasi gereja/mesjid lebih dipatuhi warga karena takut mendapatkan hukuman dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Hukuman itu bisa berupa sakit penyakit, mara bahaya bahkan kegagalan panen. Terminologi sasi yang dikenal oleh masyarakat Maluku berasal dari Pulau Ambon-Lease dan Seram. Masyarakat di Pulau Buru mengenalnya dengan istilah sihit (larangan) dan hanya dilakukan oleh pemangku adat serta tidak melibatkan institusi agama (khusus bagi orang Bupolo yang masih taat mempraktekan ritual adat). Hal tersebut juga berlaku bagi orang Bupolo yang tinggal di pesisir pantai (Geba Masin) dan sudah memeluk agama, maka aturan sihit sudah dipraktekkan seperti yang berlaku dalam aturan sasi gereja/mesjid. Pada saat acara buka sasi, setiap warga desa bebas untuk memanen hasil tanaman, ikan, dan binatang buruan. Sebaliknya, pada waktu sasi dinyatakan ditutup, maka setiap warga desa tidak diperbolehkan untuk mengambil hasil tanaman, ikan, dan hewan buruan. Jenis tanaman yang umumnya di-sasi adalah tanaman perkebunan, sedangkan hasil laut yang biasa di-sasi adalah ikan lompa dan teripang (khusus masyarakat Maluku di Pulau Haruku). Hewan buruan yang di-sasi antara lain babi, rusa dan kusu. Tujuan utama sasi dan sihit adalah melestarikan sumberdaya alam seperti tanaman, hasil laut dan binantang buruan dimana komoditas tersebut tergolong langka dan berharga. Selain itu, sasi atau sihit dipraktekkan untuk mengontrol dan membatasi keserakahan manusia dalam mengekploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Menurut Pattiselano (2000) dalam Pattinama (2009) Akhir-akhir ini ada gejala penurunan praktek sasi hingga 25%, karena berhadapan dengan nilai kapitalisme yakni desakan kebutuhan ekonomi yang makin cepat terutama pasca kerusuhan sosial di

12

Maluku (1999-2003). Di sisi lain, kenyataan menunjukkan bahwa sasi masih penting guna menghindari penduduk dari kemiskinaan (preventing poverty) sumberdaya alam. Sedangkan jika meninjau kondisi petani di desa-desa kecamatan Surade, Jawa Barat, mereka memiliki pengetahuan lokal mengenai jerami padi sebagai pakan ternak sapi atau kerbau. Dalam penerapannya, Sebelum diberikan kepada sapi, jerami dipotong terlebih dahulu sekitar 20 cm atau lebih dari atas permukaan tanah, kemudian disisir, dibersihkan dan diangkut dengan alat pikul (sundung). Menurut petani tujuan perlakuan terhadap jerami adalah membebaskan ternak dari penyakit yang mungkin ada di bagian batang bawah hingga akar tanaman. Pengetahuan lokal lain adalah memperlakukan kotoran sapi. Petani sengaja membangun kandang sapi di dekat atau di samping sawah dan rumah. Tujuan utama adalah menghemat waktu dan tenaga saat mengontrol dan merawat sapi. Di samping itu, kotoran sapi dapat dengan mudah dialirkan ke sawah sebagai pupuk organik. Berdasarkan hasil penelitian tim dari Balitvet Bogor, kotoran ternak yang terinfeksi penyakit cacing hati ternyata menjadi sumber penyebaran penyakit cacing hati ke semua wilayah sawah melalui siput (Lymnaea rubiginosa). Cara lain penanganan kotoran sapi adalah menghentikan mengalirkan kotoran sapi langsung ke sawah, dengan cara menggali lubang untuk menampungnya dan pada saatnya akan dibuat kompos. Jadi kotoran ternak dikomposkan terlebih dahulu sebelum dijadikan pupuk alamiah ke dalam sawah. Ternyata dalam proses pengomposan dengan suhu antara 40-500C sudah cukup membunuh bibit penyakit yang ada di dalam kotoran sapi. Di Surade juga terdapat kebijakan keamanan pangan dengan mendirikan lumbung desa. Lembaga ini dibentuk oleh warga desa sendiri karena petani menyadari bahwa ada musim paceklik dimana persediaan beras sangat terbatas. Jika tidak ada persediaan beras maka banyak penduduk desa yangmengalami kelaparan. Untuk mengantisipasi kekurangan pangan maka setiap petani diwajibkan menyisihkan sekitar 5-10 kilogram hasil panen di lumbung desa. Setiap petani diberi kesempatan meminjam dari lumbung desa dengan tingkat bunga tertentu. Hal ini diperlukan agar ada dana pengelolaan lumbung. Dengandemikian, lumbung desa merupakan jaminan sosial (social insurance) bagi petani dari ancaman kelaparan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep kemiskinan bersifat banyak sisi (multifaset). Orang Bupolo dan petani Surade sama-sama mengolah lahan sempit. Petani Surade miskin karena tidak mempunyai lahan atau memiliki lahan tetapi dengan skala usaha yang relatif kecil. Orang Bupolo memiliki tanah yang relatif luas tetapi mempunyai keterbatasan akses pada teknologi, hidup terisolasi karena tidak mempunyai akses terhadap sarana dan prasarana sosial ekonomi maupun komunikasi, sehingga mereka hidup miskin dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Jadi definisi kemiskinan perlu diperluas meliputi akses terhadap infrastruktur sosial ekonomi, keluar dari keterisolasian, ketidakberdayaan, dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta memperoleh keadilan dalam pembangunan. Kemiskinan tidak bisa didefinisikan secara tunggal yakni dari kacamata pemenuhan kebutuhan kalori semata sebagaimana yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS) selama ini, karena pada hakekatnya definisi kemiskinan tidak hanya bersifat relatif tetapi juga dinamis.

13

5.

Judul Buku Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Penulis Sumber Judul Bab Penerbit

: Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan :1997 : Buku : cetak : Mitchell Bruce : Bab Dalam Buku : Sistem Pengetahuan lokal : Gajah Mada University Press

Konsep sistem pengetahuan lokal berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Munculnya pengetahuan dan pengelolaan lokal awalnya terjadi pada sekelompok masyarakat yang begitu peduli terhadap penggunaan sumberdaya alam yang berkelanjutan, yang mana kelompok tersebut mempraktekkan sistem konservasi sumberdaya alam dengan tepat. Praktek-praktek tersebut didasarkan pada beberapa aturan sederhana tetapi menjamin penggunaan sumberdaya alam dalam jangka waktu yang panjang. Aturan-aturan tersebut didapat melalui proses uji-coba, dengan meneruskan praktek-praktek yang dianggap mempertahankan sumberdaya alam, serta meninggalkan praktek-praktek yang dianggap merusak lingkungan. Berbeda dengan sistem pengetahuan lokal, dewasa ini ilmu pengetahuan modern lebih sering digunakan untuk pengelolaan lingkungan atau sumberdaya alam yang tanpa disadari ilmu pengetahuan modern tampaknya tidak mampu untuk menghentikan penurunan sumberdaya dan lingkungan. Dalam buku ini akan dibahas secara lebih jauh memahami pengetahuan lokal dan penggunaannya serta bagaimana mengkombinasikan pengetahuan lokal dengan ilmu pengetahuan modern. Pengelolaan bersama merupakan suatu pendekatan yang menyatukan systemsistem pengetahuan pada tingkat lokal dan Negara. System-sistem pengetahuan lokal didasarkan atas pengetahuan percobaan, tradisi budaya, adat-istiadat, tanpa aturabn dan hukum resmi. Pengelolaan bersama meliputi pembagian kekuasaan yang sesungguhnya antara pengelola pada tingkat lokal dan kantor pemeritah, sehingga masing-masing dapat mengotrol penyimpangan yang dilakukan oleh pihak lain. Pengetahuan lokal untuk pengelolaan lingkungan dan sumberdaya dicontohkan seperti perikanan Cod di Atlantik, Kanada. Pengelola perikanan melakukan kesalahan dalam perhitungan stok ikan yang ada, yang berdampak fatal bagi seluruh watga sampai kehilangan lapangan pekerjaannya. Menurut Neis (1992) dalam Bruce (1997) Hal ini diseebabkan karena cakupan dan alam pengetahuan ekologi nelayan pantai Newfoundland tidak pernah menjadin focus langsung bail dari penelitian ilmiah maupun ilmu social. Dapat dilihat bahwa tantangan utama pengetahuan lokal dapat berupa pandangan skeptic dari ilmuan yang menganggap pengetahuan tersebut hanyalah anekdot. Pengetahuan lokal sering tidak dihargai oleh para ilmuwan. Namun, setelah masalah ini semakin besar dan semakin banyaknya muncul krisis yang berkaitan dengan stok ikan, para ilmuwan mulai mengakui dilupakannya hubungan ekologi dalam model computer mereka, seperti hubungan antar spesies, antara stok dan kondisi perikanan laut, serta antara tingkat penangkapan dan manusia serta ekologi kelautan. Dalam pandangannya, hubungan-hubungan tersebutlah yang menyediakan Jaringan kerja bagi pengetahuan ekologi tradisional. Keberadaan sistem pengetahuan lokal mendorong pentingnya diadakan pendekatan kemitraan dan partisipasi yang lebih sistematik dalam pengelolaan sumberdaya dan lingkungan. Seperti telah ditunjukkan melalui contoh perikanan cod utara di Lautan Atlantik baratdaya, ilmuwan dan model mereka seringkali tidak benar.

14

Dalam banyak situasi, system pengetahuan lokal dapat memberikan kebenaran mendasar untuk membantu mengkaji asumsi dasar atau model para pengelola dan penganalisa. Pemahaman ilmiah dan prediksi mengenai sumberdaya dan lingkungan kurang baik, karena ilmuwan mengabaikan pengetahuan lokal yang dianggap hanya sebagai pengetahuan lokal atau anekdot. Apabila pengetahuan lokal dipahami oleh ilmuwan, banyak metoda ilmu social tradisional dalam mengumpulkan informasi, terutama pemakaian survey dengan kuesioner dan survei sosial mengantarkan pada apa yang disebut partisipasi lokal. Tujuannya adalah mendapatakn data yang bermanfaat bagi perncana dan pengelola, yang dilakukan dengan cara tanpa eksploitasi. Partisipasi lokal mempunyai tujuan utama membantu memberdayakan masyarakat lokal, dan membimbing mereka dalam menentukan, memahami, dan menyelesaikan masalah mereka. Teknik partisipasi lokal harus tidak dianggap hanya dapat diterapkan dinegara berkembang, tetapi juga Negara maju. Mungkin salah satu contoh menarik dari pemakaian system pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya dan lingkungan muncul melalui inisiatif pengelolaan bersama. Ketika system pengelolaan bersama bekerja dengan baik, mereka pasti menerima nilai pengetahuan lokal dan melibatkannya dalam strategi pengelolaan. Lebih jauh lagi, inisiatif juga lebih berhasil ketika beberapa kekuasaan lokal dialokasikan pada pemakai atau pengelola lokal. Pengelolaan bersama menawarkan kesempatan menarik untuk menciptakan kemitraan yang efektif bagi pengelolaan sumberdaya da lingkungan di masa mendatang. 6. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama jurnal Volume (edisi) hal Alamat URL Tanggal diunduh : Pemanfaatan Hutan dan Lingkungan Oleh Masyarakat Baduy di Banten Selatan : 2004 : Jurnal : Elektronik : Gunggung Senoaji : Manusia dan Lingkungan : Vol.IX No.3, November 2004, Hal. 143-149 : http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/detail.php?dataId=8271 : 12 November 2011

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang mengkaji sistim pengelolaan hutan yang ramah lingkungan oleh masyarakat baduy. Penelitian menunjukkan bahwa masyarakat baduy masih menerapkan aturan-aturan dan norma-norma tradisional dalam perhubungan sosial dan pemanfaatan sumber daya hutan. Sistim sosial masyarakat baduy dapat mengkontrol eksploitasi hutan yang tidak ramah lingkungan. Pada saat yang sama masyarakat baduy mempunyai tingkat pendapatan dibawah garis kemiskinan. Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Metode pengambilan data yang digunakan untuk mengetahui karakteristik sosial ekonomi dan kearifan lokal masyarakat badui adalah dengan cara participant observation dan wawancara mendalam. Menurut masyarakat Baduy, Pemanfaatan lingkungan hutan yang arif akan menghasilkan suatu keseimbangan alam yang memberikan nilai manfaat, kedamaian, kesejahteraan, dan ketenangan bagi kehidupan penduduknya. Dalam pemanfaatan alam dan hutannya, Masyarakat Baduy meyakini aturan-aturan adat mereka dan tetap

15

melestarikan pikukuh karuhun (ketentuan nenek moyang). Masyarakat Baduy percaya bahwa mereka adalah orang yang pertama kali diciptakan sebagai pengisi dunia dan bertempat tinggal di pusat bumi. Segala gerak laku masyarakat Baduy harus berpedoman kepada buyut (larangan) yang telah dikukuhkan dalam bentuk pikukuh karuhun. Seseorang tidak berhak dan tidak berkuasa untuk melanggar dan mengubah tatanan kehidupan yang telah ada dan sudah berlaku turun temurun. Pikukuh harus ditaati masyarakat Baduy dan masyarakat luar yang sedang berkunjung ke Baduy. Ketentuan-ketentuan yang membentuk suatu kearifan lokal masyarakat Baduy diantaranya yaitu, dilarang merubah jalan air (membuat kolam ikan atau drainase), dilarang mengubah bentuk tanah (pembuatan sumur), dilarang masuk hutan larangan (leuweung kolot) untuk menebang pohon atau mengambil hasil hutan yang lainnya, dilarang menebang sembarang jenis tanaman (pohon atau buahnya), dilarang menggunakan teknologi kimia (penggunaan pupuk, obat pemberantas hama) , dilarang memelihara binatang ternak kaki empat seperti kerbau atau kambing, berladang harus sesuai dengan ketentuan adat. Norma dan aturan adat masyarakat Baduy merupakan penjabaran dari pikukuh karuhun yang harus dilaksanakan oleh semua masyarakatnya, dan membentuk suatu kearifan lokal masyarakat. Ketentuan mutlak yang harus dilakukan oleh masyarakat Baduy adalah tata cara perladangan, perlakuan terhadap lingkungan hutannya, dan pelaksanaan rukun-rukun sunda wiwitan. Hidup sederhana, menabung hasil pertanian, dan rajin bekerja adalah kunci sukses masyarakat Baduy dalam menangani perubahan lingkungannya.

7.

Judul

Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Jurnal Volume (edisi);hal Alamat URL Tanggal Diunduh

: Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Tradisional Di Pulau Kecil (Studi kasus: Pulau Wangi-Wangi Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara) : 2000 : Jurnal : elektronik : Abdul Manan dan Nur Arafah : Manusia dan Lingkungan : Vol.VII, No.2 Agustus 2000, hal. 71-80 : http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/detail.php?dataId=4142 : 28 November 2011

Penelitian ini merupakan sebuah studi yang bertujuan untuk mengetahui dan mengangkat kembali kearifan masyarakat yang potitif di pulau kecil dan untuk mengkaji kearifan masyarakat mengenai bagaimana pengelolaan lingkungan di pulau kecil. Penelitian ini juga merupakan masukan bagi pemerintah, praktisi dan ilmuwan dalam pengelolaan hidup di pulau-pulau kecil maupun ditempat lainnya dan sebagai bahan informasi bagi penelitian selanjutnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode survey dan Rapid Rural Appraisal (RRA). Menurut pakar antropologi Tim G. Babcock (1999) dalam Manan dan Arafah (2000) , kearifan masyarakat adalah kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebudayaan suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil pengamatan selama kurun waktu yang lama.

16

Berdasarkan hasil penelitian di dalam masyarakat Pulau Wangi- Wangi dapat diidentifikasi beberapa jenis kearifan dalam pengelolaan lingkungan hidup baik di darat maupun di wilayah pesisir dan lautan. Dalam penerapannya kearifan masyarakat pulau wangi-wangi dibagi berdasarkan lokasi. Dimana pembagian tersebut didasarkan menurut adat (sara) karena terjadi perubahan status dan pemekaran desa, sehingga ada letak lokasi kearifan tradisional masuk kepada 1 (satu) atau lebih wilayah administrasi. Kearifan di darat yang dimiliki oleh masyarakat wangi-wangi yaitu kaindea dan motika. Kaindea adalah hamparan hutan dengan ciri tanah yang subur, tidak berbatu, dan pohon-pohon yang ada di dalamnya digunakan untuk kegiatan konservasi dan tidak boleh dirubah fungsinya, atau dengan kata lain kaindea adalah hutan lindung. Sedangkan Motika dicirikan dengan tanahnya yang kurang subur, berbatu, cocok untuk kegiatan pertanian dan dapat diambil kayunya dalam skala terbatas untuk kepentingan masyarakat setempat atau dengan kata lain motika adalah hutan produksi. Selain memiliki kearifan lokal di darat, masyarakat Pulau Wangi-Wangi juga memiliki kearifan di laut diantaranya adalah kolo, Tondoa, dan ompo. Kolo adalah laut yang masuk ke daratan yang digunakan untuk tempat perlindungan ikan dan tidak boleh diganggu dan dipancing oleh siapapun kecuali untuk acara upacara adat. Tondoa adalah pagar batu yang dipasang oleh masyarakat di daerah pasang surut (pesisir) untuk lokasi penangkapan ikan (fishing ground). Sedangkan ompo adalah sejenis alat penangkap ikan tradisional yang agak mirip dengan tondoa yang terbuat dari kayu/bambu dan dipasang di wilayah pesisir. Fungsi kearifan tradisional masyarakat pulau Wangi-Wangi terdiri dari dua fungsi yaitu, fungsi sosial dan fungsi lingkungan. Fungsi sosial antara lain, adalah sebagai tempat/cadangan makanan (sawoa nutogo) berupa sayur-sayuran, ubi-ubian, ikan, dan kerang-kerangan. Untuk masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi pemanfaatan fungsi sosial dari kearifan lokal menjadi sangat penting, karena bagi mereka yang ingin memenuhi kebutuhan rumah tangga, kebutuhan pesta serta kepentingan umum (perkawinan dan upacara) dapat mengambil di tempat tersebut namun dengan aturan adat yang berlaku. Sedangkan untuk fungsi lingkungan adalah untuk mencegah erosi, banjir, keasinan akibat intrusi air laut, mempertimbangkan keseimbangan ekosistem, mempertahankan kelembaban tanah (pamonini uwuta) dan keanekaragaman hayati (kaindea dan motika), juga memelihara ketersediaan ikan laut, kerang-kerangan, dan terumbu karang, mempertahankan bakau, memelihara satwa dan fauna laut/pesisir (untuk kolo, ompo dan tondoa). Dalam mempertahankan kearifan lokal serta aturan-aturan adatnya, masyarakat wangi-wangi membentuk sebuah lembaga adat mandati yang disingkat (leama), lembaga tersebut dipercayakan tanggung jawabnya kepada pemangku adat untuk pengelolaan kaindea, motika, dan kolo di lokasi masing-masing desa. Melihat fungsi dan pemanfaatan serta pengelolaannya, nampak bahwa penggunaan sumberdaya alam sebagai bentuk dari kearifan lokal setempat sangat mendukung upaya pelestarian sumberdaya disatu pihak dan memperhatikan kemampuan untuk penyediaan kebutuhan yang akan datang. Menurut Soedarmanto (1999) dalam Manan dan Arafah (2000), pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan adalah mempertimbangkan pemanfaatan sumberdaya secara optimal dengan tetap mempertahankannya untuk kebutuhan yang akan datang. Kearifan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat pulau Wangi-Wangi merupakan pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan.

17

8.

Judul Buku

Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Judul Bab Penerbit

Penyunting

: Pembaharuan Tata-Pemerintahan Lingkungan : Menciptakan Ruang Kemitraan Negara-Masyarakat sipil- swasta : 2005 : Buku : Cetak : Nuraini W. Prasodjo : Pengetahuan Lokal Dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citanduy : Pusat Studi Pembangunan-LPPM IPB bekerja sama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia- UNDP : Arya Hadi Dharmawan

Penelitian ini merupakan penjabaran sistem pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat. pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini juga mengandung arti penjelasan-penjelasan baik yang dapat diartikulasikan ataupun tidak terhadap data yang diperoleh baik secara personal bersumber dari dalam/ internal ataupun data yang bersumber dari luar/eksternal. Untuk membatasi kajian tentang pengetahuan lokal dalam studi Environmental Governance Partnership System (EGPS) ini, maka dalam penelitian ini digunakan konsep pengetahuan yag sangat erat hubungannya dengan aspek pengelolaan sumberdaya alam, yaitu pengetahuan ekologi lokal. Menurut Nuraini (2005), Pengetahuan ekologi lokal terdiri dari pengetahuan yang bersifat pragmatis tentang dunia alamiah/obyektif yang berlangsung seperti, memprediksi hasil intervensi pengelolaan sumberdaya alam. Sedangkan pengetahuan supranatural menyangkut nilainilai kultural/dunia subyektif, yang seringkali nilai-nilai ini mempengaruhi atau memodifikasi keinginan-keinginan orang-orang atas sesuatu. Pengetahuan lokal pada komunitas DAS Citanduy ditelusuri dalam bentuk pragmatis maupun supranatural. Pengetahuan dalam bentuk pragmatis menyangkut pengetahuan tentang kaitan pemanfaatan sumber daya alam (tanah, lahan, air, udara, mineral, dan lain-lain), baik yang diakui sebagai milik sendiri, umum/kolektif, maupun aset pemeritnah, dengan akibat langsungnya yaitu pada perubahan lanscape, perubahan stok (perubahan biodiversity, perubahan cadangan karbon, perubahan kualitas dan kuantitas air, dan lain-lain), serta fungsi-fungsi dari komponen agroekosistem itu. Sedangkan pengetahuan lokal yang berupa pengetahuan supranatural akan ditelusuri melalui bentuk-bentuk dasar aturan/norma yang dihasilkan oleh kepercayaan/budaya, agama dan moral masyarakat. Pengetahuan ekologi lokal masyarakat DAS Citanduy berasal dari perkawinan antara sumber internal dan eksternal. Pengetahuan ekologi lokal internal yang dimiliki oleh masyarakat DAS Citanduy adalah hasil pengalaman dan belajar bertahun-tahun mengenai pengelolaan sumber daya alam baik dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, budaya, dan kesehatan. Sedangkan sumber pengetahuan yang berasal dari luar masyarakat (eksternal), mencakup beberapa pengetahuan seperti pembuatan dan pengelolaan teras gulud beserta saluran pebuangan airnya, usahatani yang menerapkan kombinasi tanaman (pangan/palawija, tanaman berkayu dan ternak), pembuatan dan pengeolaan usaha Kayu Rakyat Berkelanjutan, pembuatan sumur resapan dan bangunan pengendali jurang (trucuk, terjunan/drop structure, dan penahan lumpur), pembuatan dan pengelolaam agroforestry atau hutan rakyat (berbentuk talun) pada bagian lahan yang curam (>40 derajat) , diperoleh dari atas desa dalam bentuk proyek-proyek penghijauan.

18

Apabila membanding dari tiga lokasi DAS citanduy dari hilir, tengah, dan hulu (Desa Bingkeng, Desa Batulawang, dan Desa Citamba) dapat diidentifikasi adanya persamaan dan perbedaan pengetahuan lokal yang dimiliki berdasarkan sejarah dan pengalaman yang berbeda dalam mengelola sumber daya alamnya. Masing- masing masyarakat relatif telah membuktikan bahwa pengetahuan dan kearifan lokalnya mampu menjaga kelestarian sumber daya alamnya. Hampir smua desa di dalam penelitian ini memiliki pengetahuan supranatural dan wilayah-wilayah yang dikeramatkan sehingga tetap terjaga keragaman hayati dan ketersediaan sumber airnya, meskipun dengan luasan wilayah dan tingkat keterikatan kepada norma yang berbedabeda. Desa di wilayah bagian tengah DAS yaitu di Desa Batulawang, umumnya masih memiliki wilayah keramat yang lebih luas dan kepatuhan terhadap norma yang lebih kuat dibanding dengan desa/komunitas di wilayah bagian hilir apalagi hulu DAS. Kesamaan lainnnya adalah pada ketiga kategori komunitas di wilayah DAS yaitu bagian hilir, tengah dan hulu DAS, mereka sama-sama lebih didorong oleh motif ekonomi dalam mengelola sumber daya alam di luar wilayah-wilayah yang dikeramatkan. 9. Judul : Sistem Pengetahuan Lokal Masyarakat Nelayan Dalam Eksploitasi Sumberdaya Hayati Laut Di Sulawesi Selatan (Studi Kasus Komunitas Bajou di Kabupaten Bone) Tahun : 2008 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk Pustaka : Elekktronik Nama Penulis : Andi Adri Arief Nama Jurnal : Jurnal Sains dan Teknologi Volume (edisi) ; hal : Vol.8; No.2; Hal. 88-94 Alamat URL : http://scholar.google.co.id/scholar?hl=en&q=Sistem+Pengetahuan+Lokal+Masyarakat+Nelayan+Dalam+Eksploitasi+Sumberdaya+Hayati+Laut+Di+ Sulawesi+Selatan+%28Studi+Kasus+Komunitas+Bajou+di+Kabupaten+Bone%29&btnG =Search&as_sdt=0%2C5&as_ylo=&as_vis=0

Tanggal Diunduh : 23 Desember 2011 Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan mendeskripsikan sistem pengetahuan lokal dalam manajemen sumberdaya perikanan dan biota laut lainnya di komunitas Bajou, Kabupaten Bone, Propinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini juga membahas mengenai faktor-faktor yang menyebabkan masih berlakunya beberapa sistem pengetahuan lokal juga hilangnya beberapa sistem pengetahuan lokal masyarakat Bajou serta dampak dari teknologi modern dalam meningkatkan kesejahteraan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan deskriptif dengan fokus pada data kualitatif. Proses pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui observasi partisipatif dan wawancara mendalam dengan informan. Komunitas Bajou memiliki beberapa pengetahuan lokal yang terkait dengan aktivitas pemanfaatan sumberdaya hayati laut seperti, pengetahuan tentang peralatan produksi, spesies ikan dan biota laut lainnya, sistem pengetahuan tentang pelayaran dan upacara yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya hayati laut. Dalam pemanfaatan sumberdaya hayati laut, Komunitas Bajou memiliki pengetahuan tentang peralatan produksi dalam pemanfaatan sumberdaya hayati laut seperti, Perahu (lepe) yaitu, beberapa jenis perahu yang dipergunakan dalam melakukan atifitas penangkapan ikan seperti; sampan tonda (bercadi satu), perahu lepa-lepa

19

(bercadi dua) dengan in board engine 6-10 PK, perahu jarangka dengan in board engine 16-18 PK. Selain Perahu (lepe), masyarakat Bajou juga menggunakan Pancing yang terdiri dari jenis; pancing (pissi), pancing tabere (tabere monang dan tabere tallang), dipergunakan untuk menangkap ikan besar maupun kecil tergantung pada jenis dan ukuran pancing serta umpan yang dipergunakan. Pengoperasiannya dilakukan diatas perahu. Selain menggunakan pancing dalam bernelayan dan berbeuru ikan, masyarakat Bajou juga menggunakan Panah (manak), merupakan salah satu alat penangkap ikan yang sifatnya melumpuhkan/melukai. Pengoperasiannya dilakukan pada saat menyelam kedasar laut untuk mencari ikan-ikan besar sebagai ikan target. Masyarakat Bajou juga memiliki senjata lain dalam membantu mereka berburu ikan yaitu, Tombak (sapah),penggunaan alat ini mirip dengan penggunaan Panah (manak) namun yang membedakannya adalah Tombak digunakan untuk jarak yang lebih dekat. Selain memiliki beberapa peralatan berburu dan senjata, masyarakat Bajou juga memiliki tempat penampungan sementara untuk hasil-hasil laut mereka yaitu, bunre dan cedo. Bunre dan cedo berfungsi untuk menyimpan hasil-hasil laut seperti kepiting, udang, kerang, teripang dan sebagainya. Masyarakat Bajoe melakukan Penangkapan ikan setiap saat sepanjang air dalam keadaan pasang (pagi, sore dan malam hari). Lokasi penangkapan mulai dari gugusan perairan Teluk Bone yaitu dari Bajoe hingga wilayah perairan di Sulawesi Tenggara dan Pulau-pulau Sembilan Kabupaten Sinjai. Dalam melakukan penangkapan ikan, masyarakat Bajou juga memiliki aturan-aturan yang harus ditaati. Pengetahuan mengenai keberadan ikan, berdasarkan simbol-simbol alam berupa; (1) adanya cahaya ikan seperti memutih yang kelihatan dari kejauhan khususnya pada malam hari, (2) adanya bayangan batu karang (garas) yang terlihat dari jauh sebagai tempat berlindung ikan dari ombak, (3) keadaan air tenang dan kelihatan jernih atau keadaan pasir dibawah berlumput, (4) adanya segerombolan burung yang berbentuk paruh bebek yang berwarnah merah maupun hitam (burung titirat dan belle : bahasa Bajou). Sementara itu ada beberapan jenis ikan yang tidak boleh ditangkap (pamali) berdasarkan kepercayaan pada komunitas Bajou, antara lain : (1) ikan paus (Globicephala macrorhynchus), dapat mendatangkan bencana berupa angin besar, ombak dan badai; (2) ikan lumba-lumba (Delphinidae), ikan yang dianggap sering menolong manusia bila mendapat kecelakaan dilaut; (3) ia baje-baje (ikan dede), dianggap sebagai ponggawa bale (raja ikan) yang dapat membawa malapetakah jika dibunuh. Selain memiliki sistem pengetahuan lokal tentang menangkap ikan, masyarakat Bajou juga memiliki pengetahuan dalam pelayaran, seperti pengetahuan tentang berlayar yang dikaitkan dengan kepercayaan dengan roh-roh halus pangroak kampoh (roh yang mendiami kampung), pangroak sapa (roh yang mendiami karang) dan pangroak tasik (roh yang mendiami laut). Untuk menghindari kemurkaan dari roh-roh tersebut, sebelum berlayar, masyarakat Bajou harus melakukan upacara selamatan. Masyarakat Bajou juga memiliki pengetahuan tentang musim. Mereka mengetahui empat pola musim yang menentukan intensif dan sepinya aktivitas pemanfaatan sumberdaya laut. Bulan Desember-januari adalah musim barat yang berarti angin kencang, bulan Februari-April, adalah musim utara berarti angin sedang, bulan MeiAgustus adalah musim timur berarti angin kencang, dan bulan September-November adalah musim selatan yang berarti angin sedang. Dalam berlayar, masyarakat Bajou juga memperhatikan kondisi awan, apabila bila awan tidak bergerak tetap pada posisinya berarti teduh dan angin tidak bertiup kencang, bila awan bergerak selalu berubah-ubah bentuk berarti akan ada angin kencang atau badai, bila arah awan gelapnya dari barat akan menuju timur berarti akan datang hujan atau badai.

20

Pengetahuan tentang bintang (mamau) dan Bulan juga menjadi salah satu faktor yang harus diperhatikan. apabila melihat bintang, seperti; bintang porong-porong akan terjadi musim barat, bintang tanra tellu akan terjadi hujan lebat, bintang wettuing menjadi pedoman berlayar, bintang mano dan sebagainya. Pengetahuan tentang petir dan kilat, petir dan kilat dimaknai suatu kekuatan bertujuan untuk mengusir/mengejar setan dilaut yang mengganggu nelayan beraktivitas. Oleh karena itu mereka diwajibkan membaca mantera doa keselamatan. Pengetahuan tentang gugusan karang (sapa) juga menjadi perhatian penting, pengetahuan mengenai keberadaan gugusan karang (sapa) melalui tanda-tanda seperti; adanya pantulan sinar matahari yang nampak kelihatan bercahaya, keadaan ombak disekitar karang tenang dan tidak berarus, adanya gerombolan burung yang terbang rendah dengan menukik dan berkicau. Masyarakat Bajou juga memahami Pantangan (pamali) yang berkaitan dalam aktivitas pelayaran, adapun hal-hal yang harus dihindari selama aktivitas pelayaran menurut kepercayaan nelayan Bajou adalah; tidak boleh bersiul-siul karena akan mengundang datangnya angin, dilarang mencelupkanalat-alat dapur dilaut karena dapat mendatangkan badai, Dilarang menghalangi atau menegur jalan seorang nelayan apabila hendak menuju ke perahu, dialarang memanggil orang yang berada didaratan apabila sedang berada diatas perahu, dilaran takabbur atau bicara hal-hal yang tidak sopan karena mengundang datangnya ikan hiu, dilarang tidur tengkurap atau tiarap (moppang) selama berlayar. Dalam komunitas Bajou nilai-nilai kepercayaan merupakan hal yang fundamental dalam proses pemanfaatan sumberdaya laut sehingga yang banyak dijumpai adalah tindakan yang berkaitan dengan mitos, kultus, ritus serta fetis dan magis melalui peranan sanro (dukun) sebagai mediator. Sistem pengetahuan lokal masyarakat Bajou memiliki beberapa faktor yang berpotensi terhadap bertahannya sistem pengetahuan lokal mereka dan juga potensi yang dapat menyebabkan mereka meninggalkan pengetahuan lokal mereka. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan bertahannya sistem pengetahuan lokal masyarakat Bajou antara lain, kemudahan mengenai bahan dan material, pengetahuan yang didasarkan oleh pengalaman, dan ketrampilan komunitas Bajou yang sudah adaptif dengan teknologi tradisional. Adapun beberapa faktor yang dapat berpotensi ditinggalkannya sistem pengetahuan lokal mereka yaitu, motorisasi yang menyebabkan ditinggalkannya penggunaan perahu layar, modernisasi dan interaksi dengan nelayan luar. 10. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Sumber Kota dan Nama penerbit : Peranan Nilai-Nilai Tradisional Daerah Lampung Dalam Melestarikan Lingkungan Hidup : 1997 : Laporan Penelitian : Cetak : Drs. Fachrudin dan Suharyadi : Laporan Penelitian : Depdikbud Daerah Lampung

Pembangunan lingkungan hidup mencakup berbagai sasaran yaitu, menyelaraskan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup serta juga melestarikan sumber-sumber alam agar bisa dimanfaatkan terus-menerus dari satu generasi ke generasi lain. Tujuan yang mendasari dilakukannya penelitian ini adalah merumuskan nilainilai tradisional daerah Lampung yang memiliki hubungan dengan upaya pelestarian

21

lingkungan untuk mengkaji budaya daerah Lampung sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dan alternatif dalam rangka p embinaan kebudayaan, pada umumnya dan nilai-nilai tradisional khususnya, nilai tradisional daerah Lampung. Penelitian yang dilakukan berfokus kepada penelitian kepustakaan. Sebagai data tambahan yaitu diambil data dari lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelestarian lingkungan itu hendaklah menjadi sebuah gerakan kebudayaan. Pelestarian lingkungan hidup seharusnya dijalankan berdasarkan karena peraturan formal. Kebudayaan akan muncul dari nilainilai tradisional norma yang dianut masyarakat yang telah mentradisi menjadi adat, adat berlangsung terus menerus dalam waktu yang cukup lama untuk menjadi sebuah kebudayaan. Masyarakat Lampung tergolong sebagai masyarakat yang agraris dan tentunya sangat menyadari keterkaitannya terhadap alam serta makhluk lainnya, serta menyadari ketergantungannya terhadap lingkungan. Berdasarkan keterkaitan dan ketergantungan mereka yang tinggi terhadap alam dan lingkungan, hal tersebut akan mempengaruhi sikap-sikap dasar mereka, sikap itu membentuk tata nilai yang mereka warisi secara turun-temurun, hingga melembaga sebagai adat istiadat. Masyarakat Lampung yang agraris sejak dahulu sangat akrab dengan berbagai tumbuhan atau hewan, hal ini terekam dalam berbagai ornament yang terdapat pada berbagai benda perlengkapan upacara ritual, seperti kerbau dan beberapa jenis binatang yang semacamnya terdapat pada ornament rumah kapal atau kain kapal. Bagi masyarakat Lampung kerbau melambangkan status sosial dalam kehidupan mereka. Munculnya kain kapal mengisyaratkan bahwa masyarakat Lampung yang kaya akan sumberdaya sungai ini telah merespon pentingnya energi air. Hasil penelitian juga menunjukkan luasnya wawasan mereka terhadap berbagai hal dalm upaya pelestarian lingkungan. Nilai-nilai budaya daerah Lampung bersumber pada falsafah Piil Pesenggiri yang teridi dari : Nemui Nyimah (tidak membuat kerusakan), Nengah Nyappur (menyatu dengan lingkungan), Sakai Sambaian (bermanfaat bagi lingkungannya), Juluk Adek (mengupayakan keseimbangan), Piil Pesenggiri (orang yang telah mencapai prestasi yang baik sehingga pantas mendapatkan prestise yang manakala ia memberikan seuatu manfaat bagi lingkungannya). Piil Pesenggiri adalah identitas masyarakat Lampung, serta seseorang telah dianggap beradat apabila telah melaksanakan unsurunsur tersebut. Upacara selalu dilaksanakan dalam memenuhi berbagai falsafah-falsafah tersebut. Meskipun sempat terjadi kekhawatiran dengan keberhasilan Piil Pesenggiri apakah tidak ada pengaruh bagi ekosistem. Namun, pertanyaan ini tidak terlalu sulit untuk dijawab dengan kata-kata, karena memang seluruh kegiatan manusia akan mempengaruhi ekosistem. Dalam rangka pelestarian lingkungan hidup dipandang perlu mengaktualisasikan nilai yang terkandung dalam Piil Pesenggiri. Nilai ini dapat dilaksanakan oleh semua penduduk di daerah Lampung, Selain itu juga tidak ada hambatan bagi siapa pun yang tinggal di daerah Lampung ini untuk melaksanakannya. Oleh karenaya Piil Pesenggiri perlu diperkenalkan kepada masyarakat luas sehingga lingkungan hidup dapat menjadi lestari.

22

ANALISIS DAN SINTESISKonsep Masyarakat lokal Koentjaraningrat dalam soekanto (1987), mengatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul , atau dengan istilah ilmiah berinteraksi. Masyarakat lokal menunjuk pada bagian masyarakat yang bertempat tinggal suatu wilayah (dalam arti geografis) dengan batas-batas tertentu dimana faktor utama yang menjadi dasarnya adalah interaksi yang lebih besar diantara anggota-anggotanya, dibandingkan dengan interaksi mereka dengan penduduk di luar batas wilayahnya. Masyarakat harus mempunyai satu ikatan lain yang khusus yaitu pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya dalam batas kesatuan itu. Pola tersebut harus bersifat mantap, kontinyu, dan menjadi adat istiadat yang khas. Suatu masyarakat juga harus mempunyai ciri lain, yaitu suatu rasa identitas di antara para warga atau anggotanya, bahwa mereka memang merupakan suatu kesatuan khusus yang berbeda dari kesatuan-kesatuan manusia lainnya. Selanjutnya, dalam soekanto (1987), masyarakat lokal mempunyai tempat tinggal yang tetap dan permanen, biasanya mempunyai ikatan solidaritas yang kuat sebagai pengaruh kesatuan tempat tinggalnya. Dalam masyarakat-masyarakat modern, perkembangan teknologi alat-alat sangat pesat, sehingga perhubungan interaksi interpersonal agak berkurang, namun hal itu bahkan memperluas wilayah pengaruh masyarakat lokal yang bersangkutan. Lain halnya dengan komunitas, menurut Tonny (2002), komunitas digambarkan sebagai unit interaksi sosial ekonomi yang lebih menunjukkan kepada sistem administrasi/teritorial yang lebih rendah. Unit pemukiman yang sudah mantap ini kadang-kadang merujuk pada desa/kampung. Contoh dari masyarakat lokal menurut Koenjtranigrat dalam soekanto (1987) adalah komunitas Bajou. Berdasarkan penelitian Arief (2006), komunitas bajou merupakan satu dari sekian komunitas yang mengelola, memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hayati laut berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai budaya yang telah melembaga dan dipatuhi serta dipertahankan melalui pengendalian sosial (social control) oleh setiap komunitasnya berdasarkan sistem kepercayaan yang bersumber dari idigenous knowledge yang diwarisi dari generasi ke generasi. Hampir seluruh komunitas bajou bekerja sebagai nelayan, dalam proses-proses penangkapan ikan dan pelestarian budaya mereka memiliki nilai-nilai yang harus ditaati sesuai dengan adat istiadat yang diwariskan tiap generasi. contoh lain dari masyarakat lokal adalah, masyarakat baduy. Menurut Senoaji (2004), masyarakat baduy hidup pada lingkungan yang hampir seluruhnya berupa hutan, kelangsungan hidup mereka sangat tergantung kepada bagaimana mereka memanfaatkan lingkungan hutannya. Dalam pengolahan lingkungan hidup, tata cara pengerjaannya diatur oleh ketentuan adat dan harus dipatuhi secara seksama. Dalam hal interaksi, masyarakat baduy memiliki tingkat interaksi yang lebih besar dengan sesama masyarakat baduy, jika dibandingkan dengan interaksi dengan masyarakat luar atau pengunjung. Mereka memiliki aturan-aturan khusus bagi masyarakat pendatang melalui adat yang terkandung dalam kearifan lokal mereka. Merujuk pada Tonny (2002), komunitas bajou dan masyarakat baduy berada dalam unit pemukiman desa. Jika melihat kedua masyarakat lokal tersebut sebagai unit interaksi sosial ekonomi yang lebih rendah dari masyarakat perkotaan, komunitas Bajou dan baduy hanya memanfaatkan sumberdaya alam mereka untuk kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut lagi, masyarakat lokal dengan tingkat interaksi yang kuat dan memiliki

23

pola tingkah lau yang didasarkan pada nilai dan adat, memiliki pengetahuan lokal untuk pengelolaan sumberdaya alam.

Pengetahuan Lokal Menurut Walker (1994) Pengetahuan berasal dari pemahaman dan interpretasi hasil pengamatan, pengalaman, dan pendidikan formal maupun informal seseorang. Pengetahuan bukanlah suatu kebenaran mutlak karena dapat berkembang sesuai dengan pengamatan, pengalaman atau pengenalan inovasi baru. Meski tidak secara tegas, namun sebagian orang melihat sistem pengetahuan ini sebagai dua kelompok yang berbeda baik sifat, bidang, proses pembentukan, manfaat dan penyebarannya. Sistem pengetahuan yang pertama adalah sistem pengetahuan lokal, yang melekat sangat erat pada nilai-nilai budaya dan spiritual. Kedua, pengetahuan sains, yang umumnya terbentuk dari interpretasi data yang terhimpun secara metodologis. Meski hampir di setiap daerah terdapat pengetahuan yang sama mengenai sesuatu, namun pengetahuan lokal lebih diwarnai kekhasan dari domain pembentuk pengetahuan tersebut. Sementara itu pengetahuan sains bersifat lebih general karena merupakan kajian kumulatif dari beberapa domain. Sementara itu, Menurut Forsyth (2004), makna lokal dalam pengertian pengetahuan lokal merujuk pada pengetahuan yang dibatasi ruang dalam suatu wilayah tertentu, atau mungkin juga didasarkan pada aspek budaya dan etnis tertentu. Senada dengan Forsyth (2004), menurut (Simpson 1997; Schroeder 2000), Pengetahuan tradisional atau pengetahuan lokal juga memiliki hubungan penting terhadap kehidupan sosial dan identitas budaya suatu masyarakat, hak mereka terhadap kebutuhan hidup, dan hubungan masyarakat terhadap alam. Terkait dengan karakteristik pengetahuan lokal, Ellen dan Harris (2000) menyebutkan beberapa hal, diantaranya : a) Pengetahuan lokal bersifat lokal, Merupakan sekumpulan pengalaman, dan berakar serta dihasilkan oleh orang-orang yag tinggal pada suatu tempat tertentu sehingga bersifat kontekstual dan lokal spesifik. b) Ditransmisikan secara oral, melalui peniruan dan demonstrasi. Segala hal didokumentasikan secara tertulis membuat jadi permanen dan mudah ditransfer sehingga mengandung bahaya dislokasi. c) Merupakan konsekuensi dari praktik langsung dalam kehidupan sehari-hari dan terus menerus serta diperkuat melalui pengalaman dan trial and error d) Cenderung empiris daripada pengetahuan teoretis dalam arti sempit e) Pengulangan merupakan ciri khas dari tradisi guna menjaga kontinuitas, bahkan ketika pengetahuan baru ditambahkan. f) Selalu berubah, diproduksi serta direproduksi, ditemukan juga hilang g) Bersifat khas h) Terdistribusi tidak merata secara sosial i) Bersifat fungsional j) Holistik, integratif dan terdapat di dalam tradisi budaya yang lebih luas

24

Sistem pengetahuan lokal juga membentuk dasar untuk pengambilan keputusan, yang diterapkan melalui organisasi-organisasi lokal, dan menyediakan pondasi bagi inovasi-inovasi dan percobaan lokal. Sistem pengetahuan lokal berupa ketrampilanketrampilan adaptif dari masyarakat setempat, biasanya diperoleh dari pengalaman yang lama, yang sering dikomunikasikan melalui tradisi-tradisi lisan dan pembelajaran melalui para anggota keluarga dan generasi ke generasi. Oleh karena itulah dalam pandangan Kalland (2005) , pengetahuan lokal sebenarnya bukan merupakan mitos, karena juga memiliki sifat sebagai pengetahuan empiris (menyangkut persepsi tentang lingkungan), pengetahuan paradigmatik (pemahaman), dan pengetahuan institusional (keterlekatan dengan institusi sosial). Pandangan Kalland (2005) juga didukung oleh penelitian Rahmawati; Subair; Idris; Gentini; Ekowati; Setiawan (2008) tentang masyarakat kasepuhan di Sukabumi, jawa barat. Masyarakat kasepuhan memiliki persepsi dan pemahaman tentang lingkungan yang dijelaskan dalam pengetahuan lokal mereka. Beberapa pengetahuan lokal masyarakat kasepuhan, Desa Sinar Resmi yaitu : 1) Ibu Bumi, masyarakat kasepuhan masih menerapkan pertanian tradisional, mereka menggarap tanah dan menanamnya hanya setahun sekali. Mereka meyakini bahwa bumi ini adalah ibu yang tidak mungkin melahirkan dua kali selama setahun. Sebelum mengelola tanah, mereka juga melakukan upacara lebih dulu. Menurut keyakinan mereka, untuk mengolah tanah perlu pamit dulu karena bumi ini adalah mahluk yang telah dikotori. 2) Bapak langit, masyarakat kasepuhan meyakini bahwa dalam mengelola tanah pertanian dan menggarap lahan harus berdasarkan pada bintang kerti (kumpulan bintang) dan kidang (bintang waluku nu tilu yang bentuknya seperti layang-layang). Apabila bintang kerti sudah terlihat maka petani harus sudah menyiapkan peralatan cangkul, parang dan lain-lain, dan jika bintang kidang sudah terlihat maka petani sudah diperbolehkan untuk turun ke sawah atau huma untuk menggarap lahannya. 3) Guru mangsa, yaitu berguru pada alam semesta dalam hal menentukan waktu kapan boleh bertani dan tidak. Tujuannya adalah mengejar hak atas tanah (ngudak akuan) . bintang kerti menjadi tanda awal untuk menggarap lahan. Meskipun hujan belum juga turun, mereka tetap menanam sesuai dengan pakem-pakem tradisi. Bulan September-April adalah hak untuk petani sedangkan Mei-Agustus adalah hak-hak bagi hama dan mahluk lain-lain. Selanjutnya jika dianalisis dari keterlekatan institusi sosial, pengetahuan lokal masyarakat kasepuhan diwariskan melalui isnstistusi sosial keluarga. Ditransmisikannya pengetahuan lokal terhadap sumber daya alam ini dilakukan secara turun temurun terhadap generasi berikutnya. Merujuk pada pendahuluan, konsep pengetahuan lokal yang ingin dikaji dalam studi ini adalah pengetahuan ekologi lokal. Menurut berkes (1999), pengetahuan ekologi tradisional adalah kumpulan inti pengetahuan, praktek dan kepercayaan, yang berkembang dengan proses adaptif dan diwariskan melalui transmisi budaya tentang hubungan antar mahluk hidup dan lingkungannya. Jika mengacu pada penelitian Rahayu (2003) terhadap etnis wawonii, dapat diidentifikasikan bahwa masyarakat

25

wawonii memiliki kumpulan pengetahuan lokal terhadap sumber daya alam. Hal tersebut dapat diketahui dari bagaimana mereka menggolongkan jenis hutan berdasarkan fungsinya. Mereka menggolongkan jenis hutan ke dalam dua jenis yaitu hutan rimba dan hutan sekunder. Dalam prakteknya hutan rimba tidak boleh dieksploitasi atau dilakukan penebangan. Sementara pada hutan sekunder masyarakat baru diperbolehkan mengambil hasil hutan untuk kehidupan sehari-hari. Pengetahuan lokal masyarakat wawonii diwariskan secara turun temurun. Berbagai praktek dan kepercayaan ditransmisikan kepada generasi berikutnya. Dalam memahami pengetahuan ekologi lokal atau pengetahuan ekologi tradisional, Berkes (1993) mengemukakan perbedaan antara traditional ecological knowledge dan ilmu pengetahuan modern, sebagai berikut :

Tabel 2. Perbedaan antara traditional ecological knowledge dan ilmu pengetahuan modern. Traditional ecological knowledge Dominan kualitatif Memiliki aspek intuitif Holistik Perasaan dan fisik tidak dapat dipisah Terdapat penilaian moral Spiritual Observasi empiris Berdasar data dikumpulkan Berdasar data time-series panjang Ilmu pengetahuan modern Dominan kuantitatif Rasional Reduksionis Perasaan dan fisik terpisah Bebas nilai Mekanistik Experiment dan sistimatik Ilmuan/spesialis Sinkronik (pengamatan singkat daerah luas)

di

Selanjutnya, Nuraini (2005) menjelaskan bahwa, Pengetahuan ekologi lokal terdiri dari pengetahuan yang bersifat pragmatis tentang dunia alamiah/obyektif yang berlangsung seperti, memprediksi hasil intervensi pengelolaan sumberdaya alam. Sedangkan pengetahuan supranatural menyangkut nilai-nilai kultural/dunia subyektif, yang seringkali nilai-nilai ini mempengaruhi atau memodifikasi keinginan-keinginan orang-orang atas sesuatu. Berdasarkan penelitian Nuraini (2005) terhadap masyarakat DAS Citanduy, sistem Pengetahuan ekologi lokal masyarakat berasal dari perkawinan antara sumber internal dan eksternal. Pengetahuan ekologi lokal internal yang dimiliki oleh masyarakat DAS Citanduy adalah hasil pengalaman dan belajar bertahun-tahun mengenai pengelolaan sumber daya alam baik dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, budaya, dan kesehatan. Sedangkan sumber pengetahuan yang berasal dari luar masyarakat (eksternal), mencakup beberapa pengetahuan seperti pembuatan dan pengelolaan teras gulud beserta saluran pebuangan airnya, usahatani yang menerapkan kombinasi tanaman (pangan/palawija, tanaman berkayu dan ternak), pembuatan dan pengeolaan usaha Kayu Rakyat Berkelanjutan, pembuatan sumur resapan dan bangunan pengendali jurang (trucuk, terjunan/drop structure, dan penahan lumpur), pembuatan dan pengelolaam agroforestry atau hutan rakyat (berbentuk talun) pada bagian lahan yang curam (>40 derajat) , diperoleh dari atas desa dalam bentuk proyek-proyek penghijauan.

26

Selanjutnya, menurut Berkes (1999) pengetahuan ekologi lokal memiliki beberapa komponen-komponen yaitu : 1) Pengetahuan mengenai beragam species dan klasifikasinya (ethnobiology). Contoh : pengetahuan lokal masyarakat wawonii terhadap jenis-jenis tumbuhan yang tumbuh di hutan mereka. 2) Pengetahuan mengenai proses-proses ekologis dan keterhubungan antara mereka sendiri dengan lingkungan alamnya (human ecology). Contoh : Warga kasepuhan yang menyatakan dirinya sebagai pancer pangawinan sebagai ciri khas mereka dalam mengatur kehidupan warganya dalam berelasi dengan alam. Melalui konsep pancer Pangawinan Masyarakat mensandarkan kehidupannya dengan tanah. 3) Pengetahuan dan praktek pertanian, perburuan, perikanan, dan kegiatan pemenuhan hidup lainnya. Contoh : pengetahuan lokal terhadap pemanfaatan sumber daya hayati laut yang dimiliki oleh masyarakat Bajou, Sulawesi selatan terutama dalam hal perburuan ikan dan penentuan waktu berlayar.

4) Persepsi penduduk mengenai peran mereka di dalam ekosistem dan interaksi mereka dengan proses-proses alam. Contoh : penelitian yang dilakukan Senoaji (2004) terhadap masyarakat baduy dalam Pemanfaatan lingkungan hutan yang arif akan menghasilkan suatu keseimbangan alam yang memberikan nilai manfaat, kedamaian, kesejahteraan, dan ketenangan bagi kehidupan penduduknya. Dalam pemanfaatan alam dan hutannya, Masyarakat Baduy meyakini aturan-aturan adat mereka dan tetap melestarikan pikukuh karuhun (ketentuan nenek moyang). Dalam studi tentang pengetahuan ekologi lokal sangat penting mengkaji bagaimana sistem pengetahuan tersebut berperan di dalam masyarakat, khususnya dalam pengelolaan sumberdaya alam.

27

Peranan Sistem Pengetahuan Ekologi Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Menurut (Mulyoutami et al., 2004; Joshi et al., 2005) Pengetahuan ekologi lokal dapat berkontribusi dalam pengembangan inovasi teknologi, upaya konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem, perlindungan spesies dan area. Selanjutnya (Berkes et al 2000) juga menjelaskan, pengetahuan ekologi lokal juga berkontribusi dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Berdasarkan hasil penelitianpenelitian tentang pengetahuan lokal di berbagai daerah, dapat diidentifikasi bahwa peranan sistem pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam pada tiap daerah berbeda-beda berdasarkan kondisi masyarakat dan jenis sumberdaya alamnya. Setelah mempelajari studi kasus yang ada dapat dibuat matriks mengenai peranan-peranan sistem pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam di berbagai daerah.

Tabel 3. Peranan pengetahuan lokal terhadap pengelolaan sumberdaya alam Peneliti Rita rahmawati, Subair, Idris, Gentini, Dian Ekowati, Usep Setiawan Pengetahuan Ekologi Peranan terhadap pengelolaan lokal sumberdaya alam Pengetahuan Ibu Bumi, Bapak langit, Konservasi biodiversity pada Lokal Masyarakat dan Guru Mangsa sumberdaya alam. Kasepuhan : Adaptasi, Konflik, Dinamika SosioEkologis Pemanfaatan Pikukuh Karuhun Sebagai sistem kepercayaan Hutan dan dalam pelestarian hutan Lingkungan Oleh Masyarakat Baduy di Banten Selatan Pengetahuan Kura eya, lali bata, Menjaga keberlan