(STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

73
WEWENANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM MENEGAKKAN PERATURAN DAERAH DI KOTA JAMBI (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI) Skripsi Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) Dalam Hukum Tata Negara Pada Fakultas Syariah Oleh : MUHAMMAD SOLEH ABDULLAH NIM : SPI. 152218 PEMBIMBING : Dr.AHRUL ULUM,S.Ag.,M.A MASBURIYAH.Ag.,M.FII.I JURUSAN HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH UIN SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI TAHUN 2019

Transcript of (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

Page 1: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

WEWENANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

DALAM MENEGAKKAN PERATURAN DAERAH DI

KOTA JAMBI

(STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

Skripsi

Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1)

Dalam Hukum Tata Negara

Pada Fakultas Syariah

Oleh :

MUHAMMAD SOLEH ABDULLAH

NIM : SPI. 152218

PEMBIMBING :

Dr.AHRUL ULUM,S.Ag.,M.A

MASBURIYAH.Ag.,M.FII.I

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH

UIN SULTHAN THAHA SAIFUDDIN

JAMBI

TAHUN 2019

Page 2: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

ii

Page 3: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

iii

Page 4: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

iv

Page 5: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

للهبســــــــــــــــــم حمنالر حيمالر

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas terselesaikannya skripsi ini

dengan baik dan lancar. Skripsi ini saya persembahkan untuk almamater

Hukum Tata Negara Fakultas Syariah UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi.

Serta untuk istri saya Siti Rohana yang telah menemani setiap waktu di

kehidupan saya.

Page 6: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

vi

MOTTO

نواالذين آم ل م بسواو ي ل ان وم إيم م بظل ئك نل ومأول ال م هم و ت دون مو

Artinya : Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan

iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang

mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang

yang mendapat petunjuk.

Page 7: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

vii

ABSTRAK

WEWENANG SATPOL PP DALAM MENEGAKKAN PERATURAN

DAERAH DI KOTA JAMBI (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014

TENTANG PROSTITUSI)

Muhammad Soleh Abdullah

Penelitian ini dibuat untuk menjelaskan kewenanagan satpol pp dalam

penegakkan prostitusi di kota Jambi agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan

dengan pihak polri. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalh Bagaimana

kewenangan umum SATPOL PP, Faktor apa saja yang menjadi penghambat

SATPOL PP kota Jambi dalam melaksanakan kewenangan menegakkan Perda

No. 2 tentang prostitusi , Bagaimana bentuk kewenangan SATPOL PP kota Jambi

dalam upaya penegakan peraturan daerah tentang prostitusi di Jambi (Perda N0.2

Tahun 2014)Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan wewenang SATPOL

PP dalam menegakkan peraturan daerah di kota Jambi . Metode dalam penelitian

ini adalah deskriptif kualitatif. Penulis menggunakan Jenis penelitian hukum

empiris.

Simpulan dalam penelitian ini adalah Wewenangan Satuan Polisi Pamong Praja

Dalam Penegakan Peraturan Daerah Kota Jambi (Perda N0.2 Tahun 2014 tentang

Prostitusi) antara lain memberikan sanksi tindakan, melakukan pembinaan,

memberikan bantuan sosial dan Faktor yang menjadi kendala dalam penegakan

peraturan daerah kota Jambi (Studi Pada Perda N0.2 Tahun 2014 tentang

Prostitusi) faktor yang mempengaruhi kewenangan SATPOL PP Jambi adalah

kualitas sumber daya SATPOL PP yang masih rendah.

Kata Kunci : wewenang, SATPOL PP, Perda Kota Jambi, Prostitusi

Page 8: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

viii

ABSTRACT

SATPOL PP AUTHORITY IN ENFORCING REGIONAL REHULATION

IN JAMBI CITY (2014 LOCAL REGULATION STUDY ON

PROSTITUTION)

Muhammad Soleh Abdullah

This study aims to describe the authority of the SATPOL PP in enforcing regional

regulations in Jambi city. The method in this study is descriptive qualitive. The

author uses empirical legal research.

Conclusions in this study are authority of the satpol PP in enforcing regional

regulations in Jambi city (regulation No.2 of 2014 tentang prostitusi) among

other, giving actions, conducting coaching, providing social assistance and factors

that become obtacles in enforcing Jambi (regulation No.2 of 2014 tentang

prostitusi). Factos affecing the authority of SATPOL PP Jambi are the low quality

of the SATPOL PP resources.

Key words : authority, SATPOL PP, Jambi city regulation

Page 9: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

ix

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas

limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat merampungkan

perbuatan Skripsi dengan judul “Wewenang SATPOL PP Dalam Menegakkan

Peraturam Daerah Di Kota Jambi (Studi Perda No. 2 Tahun 2014 Tentang

Prostitusi)

Perbuatan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi salah satu persyaratan

untuk lulus dan mencapai gelar Sarjana Hukum Tata Negara pada Fakultas

Syariah UIN Sulthan Thaha Jambi. Berkat pertolongan dan bantuan dari berbagai

pihak yang mau meluangkan waktu dan pikirannya bagi penulis. Maka dari itu,

pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar

besarnya kepada :

1. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA, Ph. D, selaku Rektor UIN STS Jambi.

2. Bapak Dr. A. A. Miftah, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah UIN STS

Jambi.

3. Bapak H. Hermanto Harun, Lc, M.HI., Ibu Dr. Rahmi Hidayati, S.Ag., M.HI,

dan Dr. Yuliatin, S.Ag., M.HI, Selaku Wakil Dekan I bidang Akademik ,Wakil

Dekan II bidang Keuangan, dan Wakil Dekan III bidang Kemahasiswaaan, di

lingkungan Fakultas Syariah UIN STS Jambi.

4. Bapak Abdul Razak, S.HI.,M.IS dan ibu Ulya Fuhaidah, S.Hum, MSI, selaku

Ketua dan Sekretaris Jurusan Hukum Tatanegara Fakultas Syariah UIN STS

Jambi.

5. Bapak Dr. Bahrul Ulum, MA dan Ibu Masburiyah, S.Ag, M.Fil.I selaku

pembimbing I dan II skripsi ini.

6. Bapak dan ibu dosen, asisten dosen, dan seluruh karyawan/karyawati Fakultas

Syariah UIN STS Jambi.

7. Saudara-saudara yang selalu ada dan siap membantu dalam segala hal.

Page 10: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

x

Page 11: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i

PERNYATAAN KEASLIAN .............................................................................. ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... iii

PERSEMBAHAN ................................................................................................. iv

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. v

MOTTO ................................................................................................................ vi

ABSTRAK ............................................................................................................ vii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... viii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix

DAFTAR TABEL ................................................................................................ x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................ 7

C. Batasan Masalah ................................................................................... 8

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................................... 8

E. Kerangka Teori ..................................................................................... 8

F. Tinjauan Pustaka ................................................................................... 28

BAB II METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian .......................................................................... 31

B. Jenis dan Sumber Data .......................................................................... 32

C. Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 34

Page 12: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

xii

D. Analisis Data ........................................................................................... 35

E. Sistimatika Penulisan ............................................................................... 37

F. Jadwal Penelitian ..................................................................................... 39

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Gambaran Umum SATPOL PP Kota Jambi .......................................... 41

B. Struktur Organisasi SATPOL PP Kota Jambi ........................................ 45

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

A. Kewenangan SATPOL PP secara umum ............................................... 46

B. Faktor yang menjadi kendala dalam penegakan peraturan daerah kota

Jambi ........................................................................................................... 48

C. Wewenang Satuan Polisi Pamong Praja Dalam Penegakan Peraturan

Daerah Kota Jambi ..................................................................................... 51

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ................................................................................................. 57

B. Saran ........................................................................................................ 59

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 60

Page 13: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

menegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan negara hukum (rechtstaat),

bukan berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat). Hal ini berarti bahwa Negara

Republik Indonesia adalah negara hukum demokratis yang berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin persamaan setiap warga

negara di hadapan hukum dan pemerintahan.1

Penegakan hukum merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap

masyarakat. Perkataan penegakan hukum mempunyai konotasi menegakkan,

melaksanakan ketentuan di dalam masyarakat, sehingga dalam konteks yang lebih

luas penegakan hukum merupakan suatu proses berlangsungnya perwujudan

konsep-konsep yang abstrak menjadi kenyataan. Proses penegakan hukum dalam

kenyataannya memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum

itu sendiri. Aparat pemerintahan dalam hal ini penegak hukum mempunyai tugas

dan wewenang untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia yang diantaranya

adalah menjaga ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat yang mungkin saja

di dalamnya terdapat pelanggaran hak asasi manusia sehingga dapat

menyebabkan kekacauan dalam masyarakat itu sendiri.

1Hartati, Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hlm 1

Page 14: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

2

Aparat pemerintahan dalam hal ini penegak hukum mempunyai tugas dan

wewenang untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia yang diantaranya adalah

menjaga ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat yang mungkin saja di

dalamnya terdapat pelanggaran hak asasi manusia sehingga dapat menyebabkan

kekacauan dalam masyarakat itu sendiri. Menurut Suhaidi, Hak asasi manusia

sendiri merupakan hak dasar yang secara kodrat melekat pada diri manusia,

bersifat universal dan langgeng , dan oleh karena itu harus dilindungi dihormati,

dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi,, atau dirampas oleh

siapapun.4Penegak hukum disini antara lain kepolisian, kejaksaan, kehakiman,

dan juga termasuk Satuan Polisi Pamong Praja (SatPol PP) yang merupakan

aparat pengembanpenegakan hukum non yustisial di daerah.

Satuan Polisi Pamong Praja, yang selanjutnya disingkat Satpol PP,

merupakan salah satu perangkat yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dalam

memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan Peraturan

Daerah. Organisasi dan tata kerja Satuan Polisi Pamong Praja ditetapkan dengan

Peraturan Daerah. Satpol PP dapat berkedudukan di Daerah Provinsi dan Daerah

atau Kota.

1. Di Daerah Provinsi, Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh Kepala yang

berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris

Daerah

Page 15: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

3

2. Di Daerah atau Kota, Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh Kepala yang

berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati atau Walikota melalui

Sekretaris Daerah.2

Melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah ini, pemerintah diamanatkan membentuk Satuan Polisi Pamong

Prajauntuk membantu Kepala Daerah dalam menegakkan Peraturan Daerah dan

penyelenggaraan ketertiban umum serta ketentraman masyarakat. Dengan melihat

pada kewenangan yang diberikan kepada SatPol PP, tidak dapat dipungkiri

bahwa keberadaan SatPol PP sangat penting dan strategis dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah sesuai dengan lingkup tugasnya, termasuk didalamnya

penyelenggaraan perlindungan masyarakat (Linmas).

Belakangan ini, gerak langkah SatPol PP tidakpernah luput dari perhatian

publik, mengingat segala aktivitasnya dengan mudahdiketahui melalui

pemberitaan di mass media, baik cetak maupun elektronik.Sayangnya, image yang

terbentuk di benak masyarakat atas sepak terjang aparat SatPol PP sangat jauh

dari sosok ideal, yang sejatinya menggambarkan aparaturpemerintah daerah yang

dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi normahukum, norma agama,

Hak Asasi Manusia dan norma-norma sosial lainnya yanghidup dan berkembang

di masyarakat

Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat seringkali

dibenturkan pada perbedaan persepsi. Perbedaan persepsi itu antara lain

2 Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005) hlm 818

Page 16: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

4

mengenai tindakan atau perilaku yang dianggap melanggar ketertiban umum dan

ketentraman masyarakat. Tindakan kriminal sebagai salah satu perbedaan

persepsi yang terjadi diantara polisi dan Satpol PP yang didasarkan atas

wewenangnya masing-masing. Secara sosiologis, perbedaan-perbedaan tersebut

dapat mengarah pada kategori sosial. Dan dari ketegori sosial inilah dimulai

lahirnya perbedaan persepsi sosial antara polisi dan warga masyarakat lain dalam

memandang berbagai persoalan. Termasuk perbedaan persepsi mengenai

persoalan mengenai tindakan kriminal yang menimbulkan benturan kewenangan

antara polisi dan SatPol PP untuk mengatasinya yang mengarah pada

penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.3

Keberadaan SatPol PP di Kota Jambi merupakan bagian dari proses

penegakan hukum sebagai perangkat pemerintah daerah yang diperlukan guna

mendukung suksesnya pelaksanaan otonomi daerah. Dalam pelaksanaan

tugasnya, kewenangan Satpol PP sering tumpang tindih dan berbenturan dengan

penegak hukum yang lain terutama polisi. Tindakan kriminal yang terjadi di Kota

Makassar sering ditangani oleh SatPol PP dengan berdasarkan adanya

kewenangan yang diberikan oleh peraturan pemerintah dan peraturan daerah

dalam hal menjaga ketertiban dan ketentraman masyarakat. Kondisi ini

menghasilkan friksi antara kewenangan Polisi sebagai aparat sentralistik dengan

Satpol PP yang merupakan aparat Pemda yang otonom meskipun kehadiran

3Ali, Menjelajahi Kajian Empiris (Makasar: Kencana, 1998) hlm 169

Page 17: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

5

SatPol PP sendiri dapat memberikan kontribusi dalam membantu kepolisian untuk

bertugas di lapangan.4

Prostitusi merupakan fenomena yang sudah ada sejak lama di dunia, tidak

terkecuali Indonesia.prostitusi di Indonesia bermula zaman kerajaan-kerajaan

jawa ysng mengggunakan wanita sebagai bagian dari komoditas sistem

feodal.fenomena prostitusi hingga saat ini masih menjadi masalah yang belum

terselesaikan. Prostitusi atau pelacuran merupakan salah satu masalah sosial yang

kompleks, mengingat prostitusi merupakan peradaban yang termasuk tertua di

dunia dan hingga saat ini masih terus ada pada masyarakat kita.

Praktik prostistusi sudah menjadi rahasia umum, seperti hotel, restoran

maupun tempat di warung remang-remang. Hal tersebut perlu diantisipasi

penyebarannya. Berkaitan dengan hal tersebut , terdapat Peraturan Daerah Kota

Jambi Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pemberantasan Pelacuran dan Perbuatan

Asusila. Satpol PP memiliki wewenang dalam menyelesaikan permasalahan

prostistusi tersebut.

Asal mula prostitusi modern di Indonesia dapat ditelusuri kembali hingga

ke masa kerajaan Jawa dimana perdagangan pada saat itu merupakan bagian

pelengkap dari sistem pemerintah feodal. Dua kerajaan yang sangat lama berkuasa

di Jawa berdiri pada tahun 1755 ketika kerajaan Mataram terbagi dua menjadi

Kesultanan Surakarta dan Kesultanan Jogjakarta. Mataram merupakan kerajaan

Islam Jawa yang terletak di sebelah selatan Jawa Tengah. Pada masa konsep

4 Ali, Menjelajahi Kajian Empiris (Makasar: Kencana, 1998) hlm 170

Page 18: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

6

kekuasaan seorang raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung san

mulia (bintara). Kekuasaan raja Mataram sangat besar, mereka dianggap

menguasai segalanya, tidak hanya tanah dan harta benda, tetapi juga nyawa hamba

sahaja mereka. Anggapan ini apabila dikaitkan dengan eksistensi perempuan saat

itu mempunyai arti tersendiri.5

Permasalahan yang muncul dalam melaksanakan tugas sebagai anggota

SATPOL PP khususnya SATPOL PP kota Jambi adalah masalah kewenangan.

Sering kali kewenangan untuk menangani masalah penertiban prostitusi di kota

Jambi sering tumpang tindih dengan kewenangan yang dilakukan oleh anggota

polisi yang ada di kota Jambi. Dalam beberapa kasus sering terjadi salah paham

antara siapa yang berhak menangani kasus prostitusi di Jambi, jadi perlu

pembagian yang jelas antara wewenang polisi dengan SATPOL PP.

Munculnya gambaran miring terhadap sosok aparat SatPolPP tidak lain dan

tidak bukankarena seringnya masyarakat disuguhi aksi-aksirepresif, namun

terkesan arogan dari aparat daerah tersebut saat menjalankanperannya dalam

memelihara dan menyelenggarakan keamanan dan ketertiban umum.Diberikannya

kewenangan pada SatPol PP untuk memelihara keamanan danketertiban

masyarakat bukanlah tanpa alasan. Namun, didukung oleh dasar pijakanyuridis

yang jelas, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 32

Tahun2004 tentang Pemerintahan Daerahmenyebutkanuntuk membantu kepala

5 Sulistyaningsih, E.Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan perkembangannya,(Pustaka Sinar

Harapan dan Ford Foundation,Jakarta, 1997) hlm. 3

Page 19: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

7

daerah dalammenegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan

ketentraman masyarakatdibentuk Satuan Polisi Pamong Praja.

. SATPOL PP Dalam penegakkan kewenangannya guna menegakkan

peraturan daerah serta keputusan kepala daerah yaitu tentang perda no.2 tahun

2014 , sebagai salah satu tugas utama dari SatPol PP. Masalah lain ketika satpol

PP dalam melaksanakan tugasnya adalah SatPol PP dibatasi oleh kewenangan

represif yang sifatnya nonyustisial. Karenanya, aparat SatPol PP seringkali harus

menghadapi berbagai kendala ketika harus berhadapan dengan masyarakat yang

memiliki kepentingan tertentu dalam memperjuangkan kehidupannya, yang

akhirnya bermuara pada munculnya konflik (bentrokan). Selain itu pihak satpol

pp dalam meneggakkan peraturan daerah khususnya prostitusi sering salah paham

antara wewenang satpol pp dengan polri di kota Jambi, agar kedepannya tidak

terjadi masalah yang serupa, maka di penelitian ini akan diperjelas wewenang

satpol pp dalam menjalankan tugas menertibkan prostitusi di kota Jambi.

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka penulis tertarik untuk

meneliti sebuah penelitian yang bertujuan memperjelas kewenangan yang

dilakukan oleh SATPOL PP di Kota Jambi. Maka peneliti ingin menulis skripsi

dengan judul “Wewenang Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) Dalam

Penegakan Peraturan Daerah di Kota Jambi (Perda N0.2 Tahun 2014 tentang

Prostitusi)”.

Page 20: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

8

B. Rumusan Masalah

Permasalahan penelitian dibuat agar permasalahan yang diangkat tidak

terlalu luas, sehingga pembahasan akan lebih terarah dan mendalam sesuai dengan

sasaran yang ingin dicapai. Untuk memudahkan pembahasan masalah dan

pemahamannya, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana kewenangan umum SATPOL PP ?

2. Faktor apa saja yang menjadi penghambat SATPOL PP kota Jambi dalam

melaksanakan kewenangan menegakkan Perda No. 2 tentang prostitusi ?

3. Bagaimana bentuk kewenangan SATPOL PP kota Jambi dalam upaya

penegakan peraturan daerah tentang prostitusi di Jambi (Perda N0.2 Tahun

2014) ?

C. Batasan Masalah

Untuk menghindari adanya perluasan masalah yang dibahas menyebabkan

pembahasan ini menjadi tidak konsisten dengan rumusan masalah yang telah

penulis buat sebelumnya maka memberikan batasan masalah ini hanya membahas

tentang wewenang satuan polisi pamong praja dalam penegakan peraturan daerah

kota Jambi (Perda N0.2 Tahun 2014 tentang Prostitusi), serta Faktor apa saja yang

menjadi kendala dalam penegakan peraturan daerah tersebut pada tahun 2019.

Page 21: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

9

D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan agar penelitian tersebut dapat

memberikan manfaat yang sesuai dengan apa yang dikehendaki. Adapun tujuan

penelitian ini adalah :

a. untuk mengetahui kewenangan umum SATPOL PP

b. Untuk mengetahui Faktor yang menjadi penghambat SATPOL PP kota

Jambi dalam melaksanakan kewenangan menegakkan Perda No. 2 tentang

prostitusi.

c. Untuk mengetahui kewenangan SATPOL PP kota Jambi dalam upaya

penegakan peraturan daerah kota Jambi (Studi Perda N0.2 Tahun 2014)

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan agar penelitian tersebut dapat

memberikan manfaat yang sesuai dengan apa yang dikehendaki. Adapun tujuan

penulisan ini adalah :

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan

penulis khususnya dalam bidang wewenang satpol PP dalam penegakan

peraturan daerah tentang prostitusi.

b. Untuk mendapatkan data guna penyusunan skripsi demi memperoleh gelar

sarjana starata satu (1) di Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri

Sulthan Tha Saifuddin Jambi.

c. Untuk memberikan dasar-dasar serta landasan guna penelitian lebih lanjut.

Page 22: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

10

E. Kerangka Teori

1. Pengertian Wewenang

Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata

negara dan hukum administrasi. Dalam hukum tata negara dan hukum

administrasi negara, istilah “kekuasaan” dan “wewenang” terkait erat dengan

pelaksanaan fungsi pemerintahan, karena dalam teori kewenangan dijelaskan

bahwa untuk melaksanakan fungsi pemerintahan, kekuasaan dan kewenangan

sangatlah penting. Begitu pentingnya kedudukan kewenangan ini sehingga

F.A.M Stronik dan J.G.Steenbeek menyebutnya sebagai konsep inti dalam

hukum tata negara dan hukum administrasi.6

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata wewenang memiliki

arti :

a. Hak dan kekuasaan untuk bertindak ; kewenangan

b. Kekuasaan membuat keputusan, memerintah melimpahkan tanggung jawab

kepada orang lain,

c. Fungsi yang boleh dilaksanakan

sedangkan kewenangan memiliki arti :

a. Hal berwenang,

b. Hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.

6Ridwan, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006) hlm 101

Page 23: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

11

Terkait dengan sumber kekuasaan atau kewenangan, Aristoteles

menyebut hukum sebagai sumber kekuasaan. Dalam pemerintahan yang

berkonstitusi, hukum haruslah menjadi sumber kekuasaan bagi para penguasa

agar pemerintahan terarah untuk kepentingan, kebaikan, dan kesejahteraan

umum. Dengan meletakkan hukum sebagai sumber kekuasaan, para penguasa

harus menaklukkan diri di bawah hukum. Pandangan ini berbeda dengan

pandangan pendahulunya. Plato yang meletakkan pengetahuan sebagai sumber

kekuasaan. Karena menurut Plato, pengetahuan dapat membimbing dan

menuntun manusia ke pengenalan yang benar. Karena itu, jika dilihat dari segi

sofatnya wewenang dapat dibedakan atas expressimilied, fakultatif dan

vrijbestuur. Wewenang pemerintahan yang bersifat expressimilied adalah

wewenang yang jelas maksud dan tujuannya, terikat pada waktu tertentu dan

tunduk pada batasan – batasan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, isinya

dapat bersifat umum dan dapat pula bersifat individual konkret. Wewenang

pemerintah bersifat fakulatif adalah wewenang yang peraturan dasarnya

memberikan ruang lingkup longgar kepada pejabat Tata Usaha Negara untuk

mempergunakan wewenang yang dimilikinya. Berbeda dengan kewenangan

ada juga yang disebut dengan otoritas (kekuasaan). Kewenangan dalam

konteks penyelenggaraan negara terkait pula dengan paham kedaulatan

(souveregnity). Dalam konteks wilayah hukum dan kenegaraan, orang yang

berjasa itu memperkenalkan gagasan-gagasan kedaulatan adalah Jean Bodin

dan setelah itu dilanjutkan oleh Hobbes.7

7 Budiharjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta : Gramedia.Pustaka Utama. 1998) hlm 35

Page 24: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

12

Mengenai sifat kewenangan pemerintahan yaitu yang bersifat terikat,

fakultatif, dan bebas, terutama dalam kaitannya dalam kewenangan

kewenangan pembuatan dan penerbitan keputusan-keputusan (besluiten) dan

ketetapan-ketetapan (beschikkingan) oleh organ pemerintahan, sehingga

dikenal ada keputusan yang bersifat terikat dan bebas.

Menurut Indroharto; pertama, pada wewenang yang bersifat

terikat, yakni terjadi apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam

keadaan yang bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan

dasarnya sedikit banyak menentukan tentang isi dan keputusan yang harus

diambil, kedua, wewenang fakultatif terjadi dalam hal badan atau pejabat tata

usaha negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau

sedikit banyak masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan

dalm hal-hal atau keadaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan

dasarnya: ketiga, wewenang bebas, yakni terjadi ketika peraturan dasarnya

memberikan kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk

menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya

atau peraturan dasarnya memberi ruang lingkup kebebasan kepada pejabat tata

usaha negara yang bersangkutan.

Philipus mandiri Hadjon mengutip pendapat N. M. Spelt dan Ten Berge,

membagi kewenangan bebas dalam dua kategori yaitu kebebasan

kebijaksanaan (beleidsvrijheid) dan kebebasan penilaian

(beoordelingsverijheid) yang selanjutnya disimpulkan bahwa ada dua jenis

Page 25: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

13

kekuasaan bebas yaitu : pertama, 17 kewenangan untuk memutuskan mandiri;

kedua, kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (verge norm).

2. Pengertian Polisi Satpol PP

Satuan Polisi Pamong Praja, yang selanjutnya disingkat Satpol PP,

merupakan salah satu perangkat yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dalam

memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan Peraturan

Daerah. Organisasi dan tata kerja Satuan Polisi Pamong Praja ditetapkan

dengan Peraturan Daerah. Satpol PP dapat berkedudukan di Daerah Provinsi

dan Daerah, Kota.

1. Di Daerah Provinsi, Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh Kepala yang

berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui

Sekretaris Daerah

2. Di Daerah Kota, Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh Kepala yang

berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui

Sekretaris Daerah.

Menurut tata bahasa Pamong Praja berasal dari kata Pamong dan Praja,

Pamong artinya pengasuh yang berasal dari kata Among yang juga mempunyai

arti sendiri yaitu mengasuh. Mengasuh atau merawat anak kecil itu sendiri

biasanya diartikan sebagai mengemong anak kecil, sedangkan Praja adalah

pegawai negeri. Pangreh Praja atau Pegawai Pemerintahan. Menurut Kamus

Page 26: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

14

Besar Bahasa Indonesia Pamong Praja adalah Pegawai Negeri yang mengurus

pemerintahan Negara.8

Definisi lain mengenai Polisi Pamong Praja adalah sebagai salah satu

Badan Pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum

atau pegawai Negara yang bertugas menjaga keamanan. Sedangkan menurut

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 mengenai Satuan Polisi Pamong

dijelaskan Satpol PP adalah bagian dari perangkat aparatur di daerah yang

memiliki kewajiban untuk melaksanakan penegakan peraturan daerah dan

menyelenggrakan ketertiban umum serta menciptakan ketentraman di

masyarakat. Ketertiban umum dan Ketentraman masyarakat merupakan sebuah

keadaan dinamis yang dimana memungkinkan pemerintah daerah dan

masyarakat daerah dapat melakukan kegiatanya dengan tentram, tertib, dan

teraur. Berdasarkan definisi-definisi yang tersebut diatas dapat disimpulkan

bahwa Polisi Pamong Praja adalah Polisi yang mengawasi dan mengamankan

keputusan pemerintah di wilayah kerjanya.9

Berkaitan dengan adanya lembaga pengamanan swakarsa yang dibentuk

atas kemauan masyarakat sendiri, Undang-undang Kepolisian Negara

Republik Indonesia, sebagai undang-undang yang menjadi dasar pijakan

yuridis dalam hal pemeliharaan keamanan dalam negeri, telah memberikan

kemungkinan dibentuknya Satpol PP, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat

(1c) Undang-undang (UU) No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

8Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta: Balai Pustaka), hlm 817

99 Dirjen PUOD. Pedoman dan Petunjuk Polisi Pamong Praja. Jakarta : Dirjen POUD

Page 27: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

15

Republik Indonesia, yang menyebutkan bahwa "Pengemban fungsi kepolisian

adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Kepolisian

Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil atau bentuk-bentuk pengamanan

swakarsa”.

Keberadaan Polisi Pamong Praja dalam jajaran pemerintahan daerah

mempunyai arti khusus yang cukup menonjol, karena tugas-tugasnya

membantu kepala daerah dalam pembinaan ketentraman dan ketertiban serta

penegakan peraturan daerah sehingga berdampak pada upaya peningkatan

Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Pada hakekatnya, seorang anggota Satpol PP adalah seorang polisi, yang

oleh karenanya dapat (dan bahkan harus) dibilangkan sebagai bagian dari

aparat penegak hukum (law enforcer). Dikatakan demikian, karena Satpol PP

dibentuk untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan peraturan daerah

(Perda). Sebagaimana diketahui, Perda menurut Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah salah

satu jenis perundang-undangan.

Pada hakekatnya, seorang anggota Satpol PP adalah seorang polisi, yang

oleh karenanya dapat (dan bahkan harus) dibilangkan sebagai bagian dari

aparat penegak hukum (law enforcer). Dikatakan demikian, karena Satpol PP

dibentuk untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan peraturan daerah

(Perda). Sebagaimana diketahui, Perda menurut Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10

Page 28: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

16

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah salah

satu jenis perundang-undangan.10

Pada tahun 1620 Gubernur Jenderal VOC telah membentuk BAILLUW

yaitu semacam Polisi yang merangkap Jaksa dan Hakim yang bertugas

untukmenangani perselisihan hukum antara warga dan dan VOC juga

menjagaketertiban dan ketentraman warga kota. Pasca Raffles (1815)

BAILLUW ini terus berkembang menjadi organisasi yang tersebar disetiap

Keresidenan dengan dikendalikan sepenuhnya oleh Resident dan asisten

Resident. Satuan baru lainnya yang disebut BESTURPOLITIE atau Polisi

Pamong Praja yang dibentuk dengan tugas membantu Pemerintah Kewedanan

untuk melakukan tugas ketertiban dan keamanan.Keberadaan Polisi Pamong

Praja dimulai pada eraKolonial sejak VOC menduduki Batavia di bawah

pimpinan Gubernur Jenderal PIETER BOTH, bahwa kebutuhan memelihara

Ketentraman dan Ketertiban penduduk sangat diperlukan karena pada waktu

itu Kota Batavia sedang mendapat serangan secara sporadis baik dari

pendduduk lokal maupun tentara Inggris sehingga terjadi peningkatan terhadap

gangguan Ketenteraman dan Keamanan.11

Polisi Pamong Praja (Bestuurpolitie) hadir untukmendukung fungsi-

fungsi pemerintahan pribumiyang dijalankan kepala desa dan membantu

pejabat-pejabat pamong Praja.Ia melekat pada fungsi pamongyang

10

Perda Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 11

Http//:Sejarah Satpol PP. Diakses Tanggal 17 Desember 2018

Page 29: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

17

menekankan pada kemampuan memimpinwarga, bukan untuk mengawasi

warga sebagaimanalayaknya fungsi polisi modern.

Pasca proklamasi kemerdekaan yang diawalidengan kondisi yang

mengancam NKRI, dibentuklahDetasemen Polisi Penjaga Keamanan

Kapanewon diYogjakarta sesuai dengan Surat Perintah Jawatan Prajadi DIY

No 1/1948 tertanggal 30 Oktober 1948 untukmenjaga ketenteraman dan

ketertiban masyarakat.Pada tanggal 10 Nopember 1948, lembaga ini

berubahmenjadi Detasemen Polisi Pamong Praja berdasarkanSurat Perintah

Jawatan Praja DIY No 2/1948. Di Jawadan Madura, Satuan Polisi Pamong

Praja dibentuktanggal 3 Maret 1950 berdasarkan Surat KeputusanMenteri

dalam Negeri NO.UR32/2/21/Tahun 1950untuk mengubah Detasemen Pol PP

menjadi KesatuanPolisi Pamong Praja.Inilah embrio terbentuknya SatPol PP

Tanggal 3 Maret ini kemudian ditetapkan sebagaiHari Jadi Satuan Polisi

Pamong Praja yangdiperingati setiap tahun.

Pada Tahun I960, dimulai pembentukan Kesatuan PolisiPamong Praja di

luar Jawa dan Madura berdasarkanPeraturan Menteri Dalam Negeri dan

Otonomi DaerahNo. 7 Tahun 1960 tanggal 30 Nopember 1960, yangmendapat

dukungan para petinggi militer (AngkatanPerang). Tahun 1962 namanya

berubah menjadiKesatuan Pagar Baya dengan Peraturan MenteriPemerintah

Umum dan Otonomi Daerah No. 10 Tahun1962 tertanggal 11 Juni 1962 untuk

membedakannyadari korps Kepolisian Negara seperti dimaksud dalamUU No

13/1961 tentang Pokok-pokok Kepolisian.Tahun 1963, lembaga ini berganti

nama lagi menjadiKesatuan Pagar Praja dengan Peraturan

Page 30: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

18

MenteriPemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No. 1Tahun 1963 tanggal

11 Februari 1963. Istilah SatPol PP sendiri mulai populer sejak pemberlakuan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di

Daerah.Dalam Pasal 86 ayat 1 UU itu disebutkan, SatPol PP merupakan

perangkat wilayah yang melaksanakantugas dekonsentrasi.

Untuk menyikapi hal tersebut maka dibentuklah BAILLUW, semacam

Polisi yang merangkap Jaksa dan Hakim yang bertugas menangani perselisihan

hukum yang terjadi antara VOC dengan warga serta menjaga Ketertiban dan

Ketenteraman warga. Kemudian pada masa kepemimpinan RAAFFLES,

dikembangkanlah BAILLUW dengan dibentuk Satuan lainnya yang disebut

BESTURRS POLITIE atau Polisi Pamong Praja yang bertugas membantu

Pemerintah di Tingkat Kawedanan yang bertugas menjaga Ketertiban dan

Ketenteraman serta Keamanan warga. Menjelang akhir era Kolonial

khususnya pada masa pendudukan Jepang Organisasi polisi Pamong Praja

mengalami perubahan besar dan dalam prakteknya menjadi tidak jelas, dimana

secara struktural Satuan Kepolisian dan peran dan fungsinya bercampur baur

dengan Kemiliteran. Pada masa Kemerdekaan tepatnya sesudah Proklamasi

Kemerdekaan Republik Indonesia Polisi Pamong Praja tetap menjadi bagian

Organisasi dari Kepolisian karena belum ada Dasar Hukum yang mendukung

Keberadaan Polisi Pamong Praja sampai diterbitkannya Peraturan Pemerintah

No.1 Tahun 1948.

Page 31: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

19

3. Tugas dan Kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja

Tugas SatPol PP yaitu menegakkan peraturan daerah dan

menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta

perlindungan masyarakat.12

SatPol PP memiliki kewenangan dalam penegakan

hukum Perda karena SatPol PP adalah pejabat Pemerintah Pusat yang ada di

daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan umum. Dengan adanya

kedudukan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Polisi Pamong Praja

berwenang:13

a. melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat,

aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda

dan atau peraturan kepala daerah,

b. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang

mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat,

c. fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan

masyarakat,

d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur,

atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan

atau peraturan kepala daerah; dan

12

Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong

Praja 13 Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja

Page 32: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

20

e. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur,

atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda atau peraturan

kepala daerah.

4. Dasar Hukum SATPOL PP

Satuan Polisi Pamong Praja telah berusia lebihdari setengah abad,

tetapi sebenarnya keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja makin penting

dan menonjol setelah era reformasi. Tepatnya setelah penerapan UU

OtonomiDaerah. Setelah otonomi daerah,SatPol PPmenjadilembaga yang

independen yang melaporkan langsungtugas dan kewajibannya kepada

pemerintah daerahdan memiliki kantor sendiri. Sebagai lembaga

yangmandiri dan memiliki tugas dan tanggung jawabyang besar, mereka

juga merasa perlu meningkatkankemampuan mereka baik secara fisik

maupun non-fisik untuk anggota-anggotanya.

Peraturan daerah hanya dapat dibentuk apabila ada kesatuan

pendapat antara Bupati/Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah, termasuk mengenai keberadaan SatPol PP yang pada dasarnya

mempunyai peranan membantu Bupati/Kepala Daerah di dalam

menyelenggarakan pemerintahan umum. Namun menurut

Misdayanti18,peraturan daerah tersebut harus memenuhi batas-batas

kewenangan yang telah ditentukan dengan keterikatan dalam hubungannya

dengan Pemerintah Pusat yang diwujudkan dalam bentuk pengawasan

pencegahan, pengawasan penanggulangan dan pengawasan umum.

Page 33: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

21

Dasar hukum keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja merupakan

kekuatan yang mengikat dan mengatur segala hal tentang kedudukan Satuan

Polisi Pamong Praja. Dasar atau sumber hukum keberadaan Satuan Polisi

Pamong Praja sendiri terdiri dari:

1) Peranturan Menteri Dalam Negeri Nomor 38 Tahun 2010 tentang

Pedoman Penyelanggaraan Pendidikan dan Pelatihan Dasar Polisi Pamong

Praja.

2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

3) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang tentang Satuan Polisi

Pamong Praja

4) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Pera

5) Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 3 tahun 2009 Tentang

pembentukan dan susunan organisasi perangkat daerah kota Makassar.

5. Prostitusi

a. Pengertian Prostusi

Sebelum membahas lebih jauh tentang prostitusi, terlebih dahulu harus

dipahami apa sebenarnya pengertian dari pelacur. Berdasarkan Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI), istilah pelacur berkata dasar “lacur” yang berarti

malang, celaka, gagal, sial, atau tidak jadi. Kata lacur bahkan juga memiliki arti

buruk, pelacur melacur di tempat-tempat pelacuran. pelacuran adalah perbuatan

atau praktik seorang perempuan yang jalang, liar, nakal, pelanggar norma susila

Page 34: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

22

yang menginginkan lelaki melakukan hubungan seksual dengannya dengan

memberikan bayaran.14

Pelacuran sering disebut sebagai prostitusi (dari bahasa Latin Prostituere

atau Prostauree) misalnya berarti membiarkan diri berbuat zinah, melakukan

persundalan pencabulan dan pengendakan. Sejalan dengan itu pula, Iwan Bloch

berpendapat bahwa pelacuran adalah suatu bentuk perhubungan kelamin di luar

pernikahan dengan pola tertentu, yakni kepada siapapun secara terbuka dan

hampir selalu dengan bayaran baik untuk persebadanan maupun kegiatan seks

lainnya yang memberi kepuasan yang diinginkan oleh yang bersangkutan.

Sementara itu, Commenge mengatakan bahwa:15

Prostitusi atau pelacuran adalah suatu perbuatan seorang wanita

memperdagangkan atau menjual tubuhnya yang dilakukan untuk memperoleh

bayaran dari laki-laki yang datang, dan wanita tersebut tidak ada pencarian nafkah

lainnya kecuali yang diperolehnya dariperhubungan sebentar-sebentar dengan

orang banyak.

Demikianlah beberapa perumusan tentang pelacuran di atas dapat ditarik

kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan prostitusi, pelacuran, penjaja seks,

pekerja seks komersial atau persundalan adalah peristiwa penyerahan tubuh oleh

wanita kepada banyak laki-laki (lebih dari satu) dengan imbalan pembayaran guna

14 Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar, Dolly Membedah Dunia Pelacuran Surabaya (

Surabaya: Graffiti Pers, 1985) hlm. 10. 15

Soedjono D, Pelacuran Ditinjau Dari Segi Hukum dan Kenyataan dalam Mayarakat (Bandung:

PT Karya Nusantara, 1977) hlm. 17.

Page 35: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

23

disetubuhi dan sebagai pemuas nafsu seks si pembayar, yang dilakukan di luar

pernikahan.

b. Sejarah Singkat Perkembangan Prostitusi di Indonesia

sejarah perkembangan prostitusi di Indonesia terbagi atas tiga tahap

perkembangan, yang pertama adalah perkembangan prostitusi pada masa

kerajaan, diikuti dengan perkembangan prostitusi pada zaman penjajahan dan

perkembangan prostitusi setelah Indonesia merdeka.

1) Perkembangan Prostitusi Masa Kerajaan

Asal mula prostitusi modern di Indonesia dapat ditelusuri kembali hingga

ke masa kerajaan Jawa dimana perdagangan pada saat itu merupakan bagian

pelengkap dari sistem pemerintah feodal. Dua kerajaan yang sangat lama berkuasa

di Jawa berdiri pada tahun 1755 ketika kerajaan Mataram terbagi dua menjadi

Kesultanan Surakarta dan Kesultanan Jogjakarta. Mataram merupakan kerajaan

Islam Jawa yang terletak di sebelah selatan Jawa Tengah. Pada masa konsep

kekuasaan seorang raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung san

mulia (bintara). Kekuasaan raja Mataram sangat besar, mereka dianggap

menguasai segalanya, tidak hanya tanah dan harta benda, tetapi juga nyawa hamba

sahaja mereka. Anggapan ini apabila dikaitkan dengan eksistensi perempuan saat

itu mempunyai arti tersendiri.16

Kekuasaan raja yang tidak terbatas ini terlihat dari banyaknya selir yang

dimilikinya. Beberapa orang dari selir tersebut adalah putri bangsawan yang

diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan. Sebagian lagi persembahan dari

16 Sulistyaningsih, E., Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan perkembangannya (Pustaka Sinar

Harapan dan Ford Foundation, Jakarta, 1997) hlm. 1

Page 36: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

24

kerajaan lain dan ada juga selir yang berada di lingkungan luar kerajaan dengan

maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana.

Sebagai selir raja ini dapat meningkatkan statusnya karena anak-anak raja.

Perempuan yang menjadi selir tersebut berasal dari daerah tertentu yang terkenal

banyak mempunyai perempuan cantik dan memikat. Dari hasil penelitian

Koentjoro mengidentifikasikan 11 Kabupaten di Jawa yang dalam sejarah terkenal

sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan, dan sekarang daerah tersebut masih

terkenal sebagai sumber wanita pelacur untuk daerah kota. Daerah-daerah tersebut

adalah Kabupaten Indramayu, Karawang dan Kuningan di Jawa Barat, Pati,

Jepara, Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah, serta Blitar, Malang,

Banyuwangi dan Lamongan di Jawa Timur. Kecamatan Gabus Wetan di

Indramayu terkenal sebagai sumber pelacur dan menurut sejarah daerah ini

merupakan salah satu sumber perempuan muda untuk dikirim ke istana Cirebon

sebagai selir. Makin banyak selir yang dipelihara bertambah kuat posisi raja di

mata masyarakat. Dari sisi ketangguhan fisik mengambil banyak selir berarti

mempercepat proses reproduksi kekuasaan para raja dan kaum bangsawan dalam

masyarakat yang mempunyai selir. Oleh karena itu, status perempuan pada zaman

kerajaan Mataram adalah sebagai upeti (barang hantaran) dan sebagai selir.

2) Perkembangan Prostitusi Masa Penjajahan

Bentuk industri yang terorganisir berkembang pesat dapa periode

penjajahan Belanda. Kondisi tersebut terlihat dengan adanya sistem perbudakan

tradisional dan perseliran yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan pemuas

seks masyarakat Eropa. Umumnya aktivitas ini berkembang di daerah sekitar

Page 37: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

25

pelabuhan Nusantara ini. Pemuas seks untuk para serdadu, pedagang dan para

utusan menjadi isu utama dalam pembentukan budaya asing yang masuk ke

Nusantara. Situasi pada masa kolonial tersebut membuat sakit hati perempuan

Indonesia, karena telah menempatkan mereka pada posisi yang tidak

menguntungkan secara hukum, tidak diterima secara baik dalam masyarakat, dan

dirugikan dari segi kesejahteraan sosial.

Tahun 1853 pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang menyetujui

komersialisasi industri seks tetapi dengan serangkaian aturan untuk menghindari

tindakan kejahatan yang timbul akibat aktivitas prostitusi ini. Kerangka hukum

tersebut masih berlaku hingga sekarang. Meskipun istilah yang digunakan berbeda

tetapi telah memberikan kontribusi bagi penelaah industri seks yang berkaitan

dengan karakteristik dan dialek yang digunakan saat ini. Apa yang digunakan

sebagai wanita tuna susila sekarang ini, pada waktu itu disebut sebagai wanita

public menurut aturan yang dikeluarkan tahun 1852.17

Pada tahun 1875, Pemerintah Batavia (kini Jakarta) mengeluarkan

peraturan berkenaan dengan pemeliharaan kesehatan. Peraturan tersebut

menyebutkan antara lain bahwa petugas kesehatan bertanggung jawab untuk

memelihara kesehatan para wanita publik. Para petugas kesehatan ini pada

peringkat III (tidak setara dengan eselon III zaman sekarang yaitu kepala Biro

pada organisasi pemerintah) mempunyai kewajiban untuk mengunjungi dan

memeriksa wanita publik pada setiap hari Sabtu pagi. Sedangkan para petugas

pada peringkat lebih tinggi (peringkat II) bertanggung jawab untuk mengatur

17 Sulistyaningsih, Sejarah dan Perkembangan Prostitusi di Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 1977) hlm. 3.

Page 38: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

26

wadah yang diperuntukkan bagi wanita, umumnya yang sakit dan perawatan lebih

lanjut.

Berdasarkan laporan pada umumnya, meskipun telah banyak dikeluarkan

peraturan, aktivitas prostitusi tetap saja meningkat secara drastic pada abadke-19,

terutama setelah diadakannya pembenahan hukum agrarian pada tahun 1870,

dimana pada saat itu perekonomian negara jajahan terbuka bagi para penanam

modal asing. Pertumbuhan gula di Jawa Timur dan Jawa Tengah, pendirian

perkebunan-perkebunan di Sumatera dan pembangunan jalan raya dan jalur kereta

api, telah merangsang terjadinya migrasi tenanga kerja laki-laki secara besar-

besaran. Sebagian dari pekerja tersebut adalah bujangan yang menciptakan

pemerintah terhadap aktivitas prostitusi.

Pada masa pendudukan Jepang, banyak perempuan dewasa dan anak -

anak sekolah yang tertipu atau dipaksa memasuki dunia prostitusi. Bangsa Jepang

menawarkan pendidikan dan kehidupan yang baik di Tokyo atau di kota - kota

besar di Indonesia lainnya kepada sejumlah pelajar perempuan. Banyak calon

yang berparas menarik dan cerdas dari keluarga kalarigarl atas untuk mencoba

tawaran pihak Jepang ini. Kondisi para perempuan pekerja seks selama masa

penjajahan Belanda sangat berbeda apabila dibandingkan dengan kondisi

kelompok yang sama zaman Jepang. Sebuah dokumen yang dikumpulkan majalah

mingguan tempo menyebutkan bahwa perempuan yang menjadi pelacur pada

kedua masa penajajahan itu, umumnya lebih menyukai kehidupan yang tentram

pada masa penjajahan Belanda, karena pada masa banyak sinyo yang memberi

Page 39: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

27

mereka hadiah berupa pakaian, perhiasan bahkan tempat tinggal. Sebaliknya pada

masa pendudukan Jepang pekerjaan mereka terasa sulit.

6. Kebijakan

Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan

dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara

bertindak. Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan

kelompok sektor swasta, serta individu. Kebijakan juga sebagai suatu program

pencapain tujuan, nilai-nilai dan tindakan-tindakan yang terarah dan kebijakan

juga merupakan serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau

pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukan kesulitan-

kesulitan dan kemungkinan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai

tujuan tertentu.

Kebijakan adalah sebuah instrumen pemerintah, bukan saja dalam arti

government yang hanya menyangkut aparatur negara, melainkan pula gevernance

yang menyentuh pengelolaan sumberdaya publik. Kebijakan pada intinya

merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara

langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finansial

dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk,

masyarakat atau warga negara. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi,

kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideology dan

kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara.

Page 40: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

28

kebijakan publik adalah „apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk

dilakukan atau tidak dilakukan‟. Sedangkan menurut Hogwood dan Gunn, 1990

Edi Suharto (2007:4) menyatakan bahwa kebijakan publik adalah seperangkat

tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu. Ini tidak

berarti bahwa makna „kebijakan‟ hanyalah milik atau dominan pemerintah saja.

Organisasi-organisasi non-pemerintah, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM), Organisasi Sosial (Misalnya Karang Taruna, Pendidikan Kesejahtraan

Keluarga/PKK) dan lembagalembaga sukarela lainnya memiliki kebijakan-

kebijakan pula.18

Implementasi merupakan salah satu tahap dalam proses kebijakan publik

biasanya implementasi dilaksanakan setelah sebuah kebijakan dirumuskan dengan

tujuan yang jelas. Implimentasi kebijakan dari sudut pandang teori siklikal

(cyclical theory) maka implementasi itu akan diperlukan sebagai suatu tahapan

penting yang berlangsung dari proses kebijakan, terutama setelah wacana legal

formal, biasanya berupa undang-undang, peraturan, ketetapan, atau bentuk-bentuk

produk lainnya, dianggap sudah usai.

F. Tinjauan Pustaka

Terdapat penelitian yang memiliki kesamaan tema dengan penelitian yang

peneliti lakukan yaitu :

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Eka Novianti Pertiwi dengan judul

penelitiannya “ Wewenang Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) dalam

18

Suharto, Edi. Membangaun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. (Refika Aditama. Bandung.

2007) hlm 5

Page 41: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

29

Penegakan Peraturan Daerah di Makasar”, Universitas Hasanuddin Makasar

Tahun 2014. Penelitian ini mengkaji wewenang SATPOL PP secara keseluruhan

dalam menegakkan peraturan daerah secara keseluruhan atau semua bentuk

peraturan daerah yang ada di kota Makasar. Analisis data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah analisis deskriptif normatif yaitu data yang diperoleh dari

penelitian diuraikan sehingga memberikan gambaran secara jelas dan konkrit

terhadap objek yang dibahas.19

Penelitian yang kedua, adalah penelitian yang dilakukan oleh Fredi Anton

Nugroho dengan judul penelitiannya adalah peranan satuan polisi pamong praja

dalam mengimplikasikan peraturan daerah tentang pedagang kaki lima di

surakarta. Hasil dalam penelitian ini adalah Peran Satpol PP Kota Surakarta dalam

penataan PKL adalah penertiban dan sosialisasi. Kegiatan-kegiatan yang

dilakukan Satpol PP Kota Surakarta dalam penertiban PKL dengan cara: 1)

preventif , dalam melakukan kegiatan ini dengan melakukan dialog yang

diinginkan pemerintah dengan apa yang diinginkan PKL untuk menemukan titik

temu yang terbaik, 2) penindakan, dalam melakukan kegiatan ini Satpol PP

melakukan penentuan tempat relokasi dan pembangun tempat relokasi bersama-

sama dengan PKL, 3) represif, kegiatan ini tidak dilakukan dikarenakan dalam

penertiban PKL di Kota Surakarta selalu melakukan dialog dengan PKL.20

19

Pertiwi, Eka Novianti. Wewenang Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) dalam

Penegakan Peraturan Daerah di Makasar (Skripsi. 2014) 20

Nugroho, Fredi Anton. peranan satuan polisi pamong praja dalam mengimplikasikan peraturan

daerah tentang pedagang kaki lima di surakarta (Skripsi. 2017)

Page 42: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

30

Penelitian yang ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Widi Aulia

Rahkman pada tahun 2016 dengan judul penelitian peran SATPOL PP kabupaten

Temanggung terhadap kenakalan pelajar di Kabupaten Temanggung. Hasil

penelitian ini menunjukan bahwa: (1) Bentuk-bentuk pembinaan

danpembimbingan terhadap pelajar yang dilakukan oleh Satpol PP Kabupaten

Temanggung adalah bentuk pembinaan fisik, pembinaan mental serta mengisi

surat pernyataan serta dalam pembinaan dilakuakan oleh tim pembinaan pelajar

yang berisikan Dinas Pendidikan, Kemenag, Polres Temanggung serta Satpol PP.

(2) Dalam pembinaan dan pembimbingan terhadap pelajar yang dilakukan Satpol

PP terdapat hambatan, antara lain : Jadwal pembinaan dan pembimbingan yang

dengan jadwal kurikulum dan sekolah tidak singkron, Sarana dan prasana kurang

memenuhi dan menunjang kegiatan, Jumlah anggota Satpol PP masih kurang,

Kesadaran pelajar terhadap tugas pelajar kurang, Luasan wilayah Kabupaten

Temanggung.21

Penelitian keempat adalah penelitian yang dilakukan oleh Martha Maharani

dengan judul penelitiannya adalah kedudukan satuan polisi pamong praja dalam

pelaksanaan pemilihan umum. Hasil dari penelitian ini adalah secara umum tugas

dan kewenangan tersebut dalam makna essensi tugas dan kewenangan Satuan

Polisi Pamong Praja sebagai bagian dari perangkat daerah dalam penyelenggaraan

ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Dengan demikian secara luas,

penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat tersebut

21

Rakhman, Widi Aulia. peran SATPOL PP kabupaten Temanggung terhadap kenakalan pelajar

di Kabupaten Temanggung (Skipsi. 2016)

Page 43: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

31

diwujudkan dalam mengawal tahapan pelaksanaan pemilihan umum di wilayah

dinas Satpol PP yang bersangkutan.22

Perbedaan penelitian diatas dengan penelitian ini yaitu : tempat penelitian,

objek kajian dan pada judul penelitian. Begitu pula dengan hasil penelitiannnya

nanti.

22

Maharani, Marta. kedudukan satuan polisi pamong praja dalam pelaksanaan pemilihan umum

(Skripsi. 2017)

Page 44: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

32

BAB II

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa

dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten.

Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu. Sistematis adalah

berdasarkan suatu sistim, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang

bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.

Penulis menggunakan sifat penelitian yang deskriptif kualitatif, yang

dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia,

keadaan atau gejala-gejala lainnya.23

Penelitian ini dapat memberikan penjelasan tentang wewenang satuan

polisi pamong praja dalam menegakkan peraturan daerah di Kota Jambi perda

No.2 Tahun 2014 tentang prostitusi.

B. Jenis dan Sumber Data

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang peneliti pilih adalah jenis penelitian hukum

empiris. Jenis penelitian empiris adalah penelitian yang pada awalnya meneliti

data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data

primer di lapangan, atau terhadap masyarakat. Data sekunder dalam penelitian

adalah perda kota Jambi No. 2 tahun 2014 kemudian baru dilihat kenyataan

23

Soekanto, Soejono. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press, 2006) hlm 10

Page 45: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

33

dilapangan bagaimana proses SATPOL PP dalam proses melaksanakan

wewenangnya.

2. Sumber Data

a. Primer

Sumber data primer merupakan sumber data yang diperoleh secara

langsung dari lapangan, yang dalam penelitian ini adalah semua pihak

yang dapat memberikan keterangan secara langsung mengenai segala hal

yang berkaitan dengan objek penelitian. Sumber data primer dalam

penelitian ini adalah wawancara dengan anggota SATPOL PP Kota

Jambi.

b. Sekunder

Sumber data sekunder merupakan sumber data yang mendukung

sumber data primer. Adapun sumber data yang digunakan dalam

penelitian ini:

1) Perda No.2 Tahun 2014

2) Karya ilmiah para sarjana

3) Hasil penelitian

4) Buku-buku

5) Internet

6) Makalah.

Page 46: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

34

C. Teknik Pengumpulan Data

Penulis akan mempergunakan dua macam teknik pengumpulan data, yaitu:

1. Observasi

Observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan pengamatan

langsung dan pencatatan secara sistematis terhadap obyek yang akan diteliti.

Observasi dilakukan oleh peneliti dengan cara pengamatan dan pencatatan

mengenai proses penegakkan Perda No. 2 tahun 2014 tentang prostitusi di kota

Jambi yang dilakukan oleh SATPOL PP.

2. Wawancara

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan cara melakukan

tanya jawab dengan responden atau informan. Jenis wawancara dalam penelitian

ini merupakan wawancara tak terstruktur adalah wawancara yang bisa dikatakan

pertanyaan dan jawabannya diserahkan atau berada pada orang yang

diwawancarai. Wawancara tak terstruktur bisa disebut juga wawancara mendalam,

karena peneliti merasa tidak tahu apa yang belum diketahuinya. Peneliti akan

mewawancarai pihak yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan wewenang

satuan polisi pamong praja dalam menegakkan Perda no. 2 tahun 2014 tentang

prostitusi. Yaitu :

a. Drs H. Yan Ismar, M.H (Kepala Satuan)

b. Said Faizal. S.H (Bidang Penegakkan Peraturan Daerah)

c. Mukhatab SIP (Bidang perlindungan Masyarakat)

Page 47: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

35

3. Studi Dokumen

Studi dokumen merupakan suatu bentuk pengumpulan data dengan cara

membaca literatur, hasil penelitian, dokumen dan peraturan yang berhubungan

dengan objek penelitian

D. Analisis Data

Analisis data merupakan cara yang dipakai untuk menelaah seluruh data

yang tersedia dari berbagai sumber.24

Sehingga untuk memperoleh kesimpulan

yang kuat maka digunakan analisis kualitatif dengan metode berfikir secara

deduktif yaitu metode yang dimulai dari analisis yang bersifat umum untuk

mendapatkan hasil yang bersifat khusus. Cara ini menggunakan analisis yang

berpijak dari pengertian-pengertian atau fakta-fakta yang bersifat umum.

Kemudian diteliti yang hasilnya dapat memecahkan persoalan khusus. Syarat-

syarat yang diperlukan bagi seseorang peneliti agar mendapatkan dasar-dasar

deduksi yang benar dan tepat memerlukan ketekunan, ketelitian dan kecermatan

dalam pengumpulan fakta-fakta, objektif dalam menganalisa, menginterpretasi

dan menarik kesimpulan.25

Dari keseluruhan data yang sudah dikumpulkan dan telah dilakukan

pemeriksaan, kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan metode

deskriptif kualitatif, yaitu dengan menggambarkan arti terhadap data yang akan

disajikan dalam bentuk kalimat untuk selanjutnya ditarik kesimpulan guna

24

Lexy J Moleong. Metodologi Penelitian Kuantitatif (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.2002) hlm 190

Mardali. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal ( Jakarta: Bumi Askara.

2004) hlm 21

Page 48: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

36

menjawab permasalahan dan penelitian terhadap wewenang SATPOL PP kota

Jambi tentang penegakkan tindak prostitusi di kota Jambi sesuai dengan perda No.

2 Tahun 2014.

Terdapat tiga macam kegiatan analisis data kualitatif, yaitu :

1. Reduksi Data

Data yang diperoleh dari lokasi penelitian dituangkan dalam uraian

atau laporan yang lengkap dan terperinci. Laporan lapangan oleh peneliti

direduksi, dirangkum dan dipilih hal – hal yang pokok, difokuskan dengan

hal – hal yang penting dan kemudian dicari polanya. Selama tahap

pengumpulan data berlangsung dilakukan tahap reduksi data, selanjutnya

dengan cara membuat ringkasan, pengkodean, menelusuri pola, membuat

gugus-gugus dan menulis memorandum teoritis. Reduksi data dalam

penelitian ini adalah dengan memilih data-data yang telah diperoleh di

lapangan yang mendukung topik penelitian seperti Perda No. 2 tahun 2014

dan hasil wawancara.

2. Penyajian data

Penyajian data bertujuan memudahkan penelitian untuk melihat

gambaran secara keseluruhan atau bagan-bagan tertentu dan penelitian. Data

dapat disajikan dalam bentuk matriks, peta atau uraian naratif. Pada

penelitian ini penyajian data berupa uraian naratif mengenai wewenang

Page 49: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

37

satuan polisi pamong praja dalam melaksanakan wewenangnya, sesuai

dengan perda No. 2 tahun 2014 tentang prostitusi.26

3. Penarikan simpulan atau verifikasi

Verifikasi data dalam penelitiaan kualitatif dilakukan secara terus-

menerus selama penelitian berlangsung. Sejak awal memasuki lapangan dan

selama proses pengumpulan data, peneliti berusaha menganalisis dan

mencari makna dari data yang dikumpulkan dengan mencari pola, tema,

hubungan persamaan, hal-hal yang sering ditimbul dan yang dituangkan

dalam kesimpulan. Pada penelitiaan ini peneliti menganalisis data yang

diperoleh dilapangan terkait wewenang satuan polisi pamong praja dalam

menerapkan perda no.2 tahun 2014 di kota Jambi.

E. Sistimatika Penulisan

Untuk mendapatkan pemahaman secara runtut, pemabahasan dalam

penulisan skripsi ini akan disistemtisasi sebagai berikut :

Pembahasan diawali dengan BAB I, Pendahuluan. BAB ini pada hakikatnya

menjadi pijakan bagi penulisan skripsi, baik mencakup background, pemikiran

tentang yang dibahas. BAB I mencakup Latar Belakang Masalah, Rumusan

Masalah, Batasan Masalah, Tujuan Dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori,

Kerangka Pemikiran, Tinjauan Pustaka.

26

Hamidi. Metode Penelitian Kualitatif (Malang. UMM Press. 2008) hlm 7

Page 50: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

38

BAB II dipaparkan, Metode Penelitian yang mencakup Pendekatan

Penelitian, Jenis Dan Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data, Sistematika

Penulisan dan Jadwal Penelitian.

BAB III dipaparkan tentang gambaran umum mengenai teori wewenang

Polisi Pamong Praja (SATPOL PP).

BAB IV merupakan inti dari penulisan skripsi yaitu pemaparan tentang

pembahasan dan hasil penelitian.

BAB V penutup yang terdiri dari kesimpilan dan saran-saran, kata penutup

serta dilengkapi dengan Daftar Pustaka, Lampiran dan Curriculum Vitae.

Daftar Pustaka

F. Jadwal Penelitian

Jadwal penelitian ini dibuat agar waktu penelitiannya jelas dan terarah,

No

Kegiatan

Tahun 2018

September Oktober November Desember

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Pengajuan

Judul

2 Pembuatan

Proposal

3 Perbaikan √

Page 51: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

39

Proposal

dan

Seminar

4 Surat Izin

Riset

Tahun 2019

Januari Februari Maret April

5 Pengumpu

lan Data

6 Pengolaha

n dan

Analisis

Data

7 Pembuatan

Laporan

8 Bimbingan

dan

Perbaikan

9 Agenda

dan Ujian

Skripsi

10 Perbaikan

dan

Page 52: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

40

Penjilidan

Page 53: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

41

BAB III

GAMBARAN UMUM

TENTANG LOKASI PENELITIAN

A. Gambaran Umum SATPOL PP Kota Jambi

1. Sejarah SATPOL PP

Keberadaan Satuan Polisi Pamong Prajayang bermoto

Prajawibawa,sebenarnya bisa dilacak lebih jauh pada pembentukanBailluw saat

VOC menduduki Batavia (1602). Bailluwsaat itu merupakan polisi yang

merangkap jaksa danhakim yang bertugas untuk menangani perselisihan hukum

yang timbul antara VOC dengan warga kota.Selain menjaga ketertiban dan

ketenteraman wargakota, institusi ini berkembang menjadi organisasi kepolisian

di setiap Keresidenan dan Kawedananuntuk melakukan tugas-tugas ketertiban

dankeamanan pasca kekuasaan Raffles (1815). Bailluwini terus berkembang

menjadi suatu organisasi yangtersebar di setiap Keresidenan dengan

dikendalikansepenuhnya oleh residen dan asisten residen.

Selanjutnya, organisasi kepolisian kolonialdikembangkan menjadiPertama,

Polisi Pamong Praja(Bestuurpolitie) yang ditempatkan menjadi bagiandari

pemerintahan pribumi yang didukung oleh kepalakepala desa, para penjaga

malam, dan agen-agen polisi yang diperbantukan pada pejabat-pejabatpamong

Praja.Kedua, Polisi Umum (Algemeen Politie)yang merupakan kesatuan khusus

dan berfungsi untukmenyelenggarakan kegiatan-kegiatan kepolisian.Ketiga, polisi

bersenjata (Gewapende Politie).Untukpolisi pamong Praja dan polisi umum,

keduanyaditempatkan di bawah Kejaksaan (Procureur Generaal)pada Mahkamah

Page 54: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

42

Agung (Hoogerrechtshof) sebagaipenanggung jawab tertinggi atas

pemeliharaankeamanan dan ketertiban umum. Polisi Pamong Praja

(Bestuurpolitie) hadir untukmendukung fungsifungsi pemerintahan pribumiyang

dijalankan kepala desa dan membantu pejabat-pejabat pamong Praja.Ia melekat

pada fungsi pamongyang menekankan pada kemampuan memimpinwarga, bukan

untuk mengawasi warga sebagaimanalayaknya fungsi polisi modern.

Pasca proklamasi kemerdekaan yang diawalidengan kondisi yang

mengancam NKRI, dibentuklahDetasemen Polisi Penjaga Keamanan Kapanewon

diYogjakarta sesuai dengan Surat Perintah Jawatan Prajadi DIY No 1/1948

tertanggal 30 Oktober 1948 untukmenjaga ketenteraman dan ketertiban

masyarakat.Pada tanggal 10 Nopember 1948, lembaga ini berubahmenjadi

Detasemen Polisi Pamong Praja berdasarkanSurat Perintah Jawatan Praja DIY No

2/1948. Di Jawadan Madura, Satuan Polisi Pamong Praja dibentuktanggal 3 Maret

1950 berdasarkan Surat KeputusanMenteri dalam Negeri NO.UR32/2/21/Tahun

1950 untuk mengubah Detasemen Pol PP menjadi KesatuanPolisi Pamong

Praja.Inilah embrio terbentuknya SatPol PP Tanggal 3 Maret ini kemudian

ditetapkan sebagaiHari Jadi Satuan Polisi Pamong Praja yangdiperingati setiap

tahun.27

Pada Tahun I960, dimulai pembentukan Kesatuan PolisiPamong Praja di

luar Jawa dan Madura berdasarkanPeraturan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi

DaerahNo. 7 Tahun 1960 tanggal 30 Nopember 1960, yangmendapat dukungan

para petinggi militer (AngkatanPerang). Tahun 1962 namanya berubah

27

Sejarah SATPOL PP. Id.M.wikipedia.org. Diakses tanggal 5 April 2019

Page 55: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

43

menjadiKesatuan Pagar Baya dengan Peraturan MenteriPemerintah Umum dan

Otonomi Daerah No. 10 Tahun1962 tertanggal 11 Juni 1962 untuk

membedakannyadari korps Kepolisian Negara seperti dimaksud dalamUU No

13/1961 tentang Pokokpokok Kepolisian.Tahun 1963, lembaga ini berganti nama

lagi menjadiKesatuan Pagar Praja dengan Peraturan MenteriPemerintahan Umum

dan Otonomi Daerah No. 1Tahun 1963 tanggal 11 Februari 1963. Istilah SatPol

PP sendiri mulai populer sejak pemberlakuan UndangUndang Nomor 5 Tahun

1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.Dalam Pasal 86 ayat 1 UU itu

disebutkan, SatPol PP merupakan perangkat wilayah yang melaksanakantugas

dekonsentrasi.

2. Dasar Hukum Satuan Polisi Pamong Praja

Satuan Polisi Pamong Praja telah berusia lebihdari setengah abad, tetapi

sebenarnya keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja makin penting dan menonjol

setelah era reformasi. Tepatnya setelah penerapan UU OtonomiDaerah. Setelah

otonomi daerah,SatPol PPmenjadilembaga yang independen yang melaporkan

langsungtugas dan kewajibannya kepada pemerintah daerahdan memiliki kantor

sendiri. Sebagai lembaga yangmandiri dan memiliki tugas dan tanggung

jawabyang besar, mereka juga merasa perlu meningkatkankemampuan mereka

baik secara fisik maupun non-fisik untuk anggota-anggotanya. Peraturan daerah

hanya dapat dibentuk apabila ada kesatuan pendapat antara Bupati/Kepala Daerah

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, termasuk mengenai keberadaan SatPol PP

yang pada dasarnya mempunyai peranan membantu Bupati/Kepala Daerah di

dalam menyelenggarakan pemerintahan umum. Peraturan daerah tersebut harus

Page 56: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

44

memenuhi batas-batas kewenangan yang telah ditentukan dengan keterikatan

dalam hubungannya dengan Pemerintah Pusat yang diwujudkan dalam bentuk

pengawasan pencegahan, pengawasan penanggulangan dan pengawasan umum.

Dasar hukum keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja merupakan kekuatan

yang mengikat dan mengatur segala hal tentang kedudukan Satuan Polisi Pamong

Praja. Dasar atau sumber hukum keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja sendiri

terdiri dari: 1) Peranturan Menteri Dalam Negeri Nomor 38 Tahun 2010 tentang

Pedoman Penyelanggaraan Pendidikan dan Pelatihan Dasar Polisi Pamong Praja.

2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 3)

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang tentang Satuan Polisi Pamong

Praja 4) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi

Perangkat Daerah. 5) Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 3 tahun 2009

Tentang pembentukan dan susunan organisasi perangkat daerah kota Jambi.

Page 57: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

45

B. Struktur Organisasi SATPOL PP Kota Jambi

Berikut ini akan dipaparkan strutur organisasi dalam pengelolaan satuan

polisi pamong praja yang di Kota Jambi.28

Tabel 3.1

Struktur SATPOL PP Kota Jambi

NO NAMA JABATAN

1 Drs H. Yan Ismar, M.H Kepala Satuan

2 H. Ermawati, S.e Kasubag Umum dan Kepegawaian

3 Alwir, S.e Kasubag Keuangan dan Aset

4 Sagap Ali Solihin, S.e Bagian Program

5 M. Fajri, Se. M.e Bidang Ketentraman dan

ketertiban Masyarakat

6 Said Faizal. S.H Bidang Penegakkan Peraturan

Daerah

7 Mukhatab SIP Bidang perlindungan Masyarakat

8

Rasta Tri Jaya, S.e Seksi Intelejen dan Kewaspadaan

Dini

28

Dokumentasi SATPOL PP Tahun 2019

Page 58: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

46

BAB IV

PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

A. Kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja Secara Umum

Tugas SatPol PP yaitu menegakkan peraturan daerah dan

menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta

perlindungan masyarakat. 29

SatPol PPmemiliki kewenangan dalam penegakan hukum Perda karena

SatPol PP adalah pejabat Pemerintah Pusat yang ada di daerah yang

melaksanakan urusan pemerintahan umum. Dengan adanya kedudukan di atas

maka dapat disimpulkan bahwa Polisi Pamong Praja berwenang : 30

1. melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga

masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas

Perda dan atau peraturan kepala daerah.

Arti dari tindakan Non-Yutisial adalah tindakan penertiban atau

tindakan yang dilakukan oleh satpol pp dalam rangka menjaga dan

memulihkan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat terhadap

pelanggaran perda dan perkada dengan cara sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan dan tidak sampai pada proses peradilan.

29

Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja 30

Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja

Page 59: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

47

Untuk itu peneliti melakukan wawancara terhadap bapak M.Fajri

selaku bidang ketentraman dan ketertiban masyarakat, yaitu :31

Dalam hal penangan secara Non-Yutisial kami dari pihak SATPOL

PP Kota Jambi melakukan deteksi dan cegah dini segala penyebab

yang menggangu ketertiban masyarakat, seperti penangan unjuk

rasa dan kerusuhan massa. Selain itu pihak SATPOL PP Kota

Jambi juga melakukan patroli di berbagai tempat keramaian yang

berada di kota Jambi.

Hal tersebut dapat peneliti simpulkan bahwa kegiatan tersebut

selalu dilakukan oleh pihak SATPOL PP Kota Jambi dalam rangka

menjaga ketertiban umum.

2. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang

mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.

Pada bagian ini kewenangan SATPOL PP Kota Jambi yang

selanjutnya adalah menindak warga masyarakat yang mengganggu

ketertiban umum seperti anak jalanan, pengamen dan lain sebagainya.

Aparatur negara juga merupakan wewenang SATPOL PP dalam

melakukan penindakan, penindakan yang dilakukan adalah mengamankan

para aparatur negara yang bolos di jam kerja. Untuk itu peneliti melakukan

wawancara terhadap bapak M.Fajri, yaitu :

Pihak SATPOL PP kota Jambi selain mengakkan peraturan daerah

juga melakukan penindakan secara langsung, seperti menangkap

anak jalanan yang meresahkan warga, anak PUNK yang

berkeliaran langsung ditindak.

31

M. Fajri, Se. M.e (Bidang Ketentraman dan ketertiban Masyarakat)

Page 60: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

48

Dari hasil wawancara tersebut pihak SATPOL PP juga melakukan

penindakan langsung terhadap masyarakat yang mengganggu ketertiban

dan ketentraman umum masyarakat.

3. fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan

masyarakat.

4. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur,

atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda

dan/atau peraturan kepala daerah.

5. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur,

atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau

peraturan kepala daerah.

B. Faktor yang menjadi kendala dalam penegakan peraturan daerah kota

Jambi (Studi Pada Perda N0.2 Tahun 2014 tentang Prostitusi) yang

dilakukan oleh satuan polisi pamong praja

Dalam rangka upaya untuk mencapai sasaran yang diharapkan berkenaan

dengan penegakan peraturan daerah kota oleh Satuan Polisi Pamong Praja dalam

lingkup Pemerintah Daerah Kota Jambi, hal ini sangat terkait dengan pelaksanaan

penertiban yang dilakukan oleh polisi pamong praja itu sendiri. Proses

pelaksanaan penertiban yang dilakukan tersebut dipengaruhi oleh beberapa

faktor, yaitu :

Page 61: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

49

1. Kualitas Sumber Daya Manusia

Berdasarkan hasil wawancara penulis di Kantor Satpol PP Pemerintah

Daerah Kota Jambi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap upaya

peningkatan kinerja penegakan peraturan daerah kota Jambi oleh Satuan Polisi

Pamong Praja adalah sumber daya manusia berupa pelatihan kerja lapangan

dimana masih ada aparat yang belum mampu melaksanakan tugasnya sesuai

ketentuan yang berlaku dalam hal penegakan peraturan daerah lingkup Pemerintah

Daerah Kota Jambi.

Masih lemahnya sistem pengembangan staf sehingga mengakibatkan

kinerja Satuan Polisi Pamong Praja semakin kurang memadai dalam menegakkan

peraturan daerah. Kondisi ini juga mengakibatkan kurang mantapnya kinerja

aparat satuan polisi pamong praja dalam lingkup Pemerintah Daerah Kota Jambi.

Sumber daya aparatur Satuan Polisi Pamong Praja tidak saja harus memadai

tetapi juga diperlukan kemampuan serta kebutuhan fungsi-fungsi manajemen.

Dapat diartikan bahwa kelemahan yang terjadi akibat rendahnya kualitas SDM

aparatur Satuan Polisi Pamong Praja. menyebabkan keberhasilan penegakan

peraturan daerah kota akan sulit dicapai, dan keunggulan SDM aparatur Satuan

Polisi Pamong Praja akan menghasilkan kinerja dalam penegakan peraturan

daerah kota yang kurang maksimal. Seperti wawancara yang peneliti lakukan

terhadap Ibuk Ermawati, yaitu :

“Kendala yang kami hadapi adalah dari segi kualitas SDM yang masih

kurang memadai, karena masih banyak pihak SATPOL PP kota Jambi yang

kurang memahami aturan atau pasal yang sebenarnya. Hanya langsung melakukan

Page 62: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

50

penindakan saja, hal tersebutlah yang sering membuat terjadi kesalah pahaman

dengan aparat kepolisian.” 32

Hasil dari wawancara peneliti juga mendapatkan bahwa banyak dari

petugas SATPOL PP paham aturannya secara umum saja, tetapi tidak begitu

paham bagaimana isi perda yang sebenarnya, khususnya perda no. 2 tahun 2014

tentang prostitusi.

2. Sarana dan Prasarana

Berdasarkan hasil wawancara peneliti terhadap kantor SATPOL PP Kota

Jambi mengenai faktor apa saja yang dapat mempengaruhi SATPOL PP Kota

Jambi dalam melaksanakan tujuannya untuk mencapai ketentraman dan

perdamaian di masyarakat. Khususnya disini adalah melaksanakan perda No. 2

Tahun 2014 tentang prostitusi.

Berikut hasil wawancara peneliti dengan Ketua SATPOL PP Kota Jambi,

yaitu :

Kendala yang kami hadapi dalam usaha penegakkan prostitusi yang ada di

kota Jambi adalah sarana dan prasaran yang kurang, seperti fasilitas

kendaraan roda 4 yang kami nilai masih kurang banyak, perlu ada

penambahan lagi agar pelaksanaan penertiban prostitusi di kota Jambi

semakin maksimal.33

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat peneliti simpulkan bahwa

salah satu kendala lain yang dihadapi oleh SATPOL PP kota Jambi adalah masih

kurangnya sarana dan prasarana dalam melaksanakan tugasnya.

32

H. Ermawati, S.e (Kasubag Umum dan Kepegawaian) 33

Drs H. Yan Ismar, M.H (Kepala Satuan SATPOL PP Kota jambi)

Page 63: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

51

C. Wewenangan Satuan Polisi Pamong Praja Dalam Penegakan Peraturan

Daerah Kota Jambi tentang Penertiban Prostitusi

Penegakan hukum memang wajib dilaksanakan demi tercapainya suatu

daerah yang aman, tertib serta tentram. SAT POLPP merupakan salah satu

instansi yang membantu menjaga ketertiban, kenyamanan dan keamanan. Demi

terwujudnya hal demikian, ada beberapa wewenang yang bisa dilakukan oleh

SATPOL PP kota Jambi yang sesuai dengan perda No.2 Tahun 2014, antara lain :

1. Daerah yang menjadi kawasan penerapan Perda No. 2 harus di wilayah

Kota Jambi.

2. Memberikan sanksi kepada pelaku asusila dan pelacuran

3. SATPOL PP memberikan bantuan sosial kepada pelaku asusila dan

pelacuran sesuai dengan pasal 1 ayat 8 yang berisi Bantuan Sosial adalah

pemberian bantuan berupa uang/barang dari Pemerintah kepada individu,

keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus

menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan

dari terjadinya resiko sosial.

4. Memberikan izin usaha kepada pelaku usaha sesuai dengan pasal 1 ayat

10 yang berisi Izin usaha adalah izin yang diberikan kepada setiap orang

atau badan yang melakukan usaha secara teratur dan terus menerus

dengan maksud mencari keuntungan.

Page 64: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

52

5. SATPOL PP berhak menutup tempat usaha prostitusi sesuai dengan

pasal 1 ayat 12 yang berisi Penutupan tempat usaha adalah kegiatan

penutupan tempat usaha.

6. Memberikan pembinaan terhadap pelaku tindak pidana pelacuran dan

asusila yang sesuai dengan pasal 2 ayat 1 yang berisi Pelaku pelanggaran

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, huruf b dan huruf d

Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 2 Tahun 2014 tentang

Pemberantasan Pelacuran dan Perbuatan Asusila yang telah selesai

menjalani hukumannya dilakukan tindakan pembinaan.

Pembinaan dilakukan dengan berbagai cara, antara lain :

a. bimbingan mental,

b. bimbingan sosial

c. bimbingan fisik

d. bimbingan keterampilan.

Berdasarkan wewenang dan hak SATPOL PP dalam melaksanakan tugas

dan kewajibannya, terdapat beberapa hal yang telah dilakukan oleh SATPOL PP

kota Jambi dalam melaksanakan wewenangnya dalam menjalankan perda kota

Jambi No.2 Tahun 2014, antara lain :

1. Memberikan sanksi tindakan, sanksi tindakan ini dibagi menjadi dua,

yaitu sanski administratif dan sanksi pidana. Pola pemberian sanksi yaitu berupa

Page 65: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

53

sanksi administratif terlebih dahulu kepada tempat usaha yang berupa Teguran

tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing dengan tenggang waktu

10 (sepuluh) hari kerja. Apabila setelah 10 hari kerja belum juga ada tanggapan dari

pihak pemilik usaha prostitusi. Maka akan dilakukan penindakan tegas berupa

Pencabutan izin usaha dan penutupan tempat usaha sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan berupa penyegelan tempat usaha. Seperti hasil wawancara peneliti

dengan kepala satuan SATPOL PP kota Jambi bapak Yan Ismar yaitu :

“Kami dari pihak SATPOL PP kota Jambi akan memberikan tindakan tegas

terhadap pihak yang memiliki usaha prostitusi. Kami memberikan peringatan

selama 10 hari kerja, apabila tidak ada juga tanggapan dari pihak yang memiliki jasa

usaha prostitusi, akan langsung kami tindak tegas seperti penutupan tempat usaha

selamannya.”34

Setelah melakukan sanksi administratif, kemudian terdapat juga sanksi

pidana berupa Penerapan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16,

Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20 dan Pasal 21 Peraturan Daerah Kota Jambi

Nomor 2 Tahun 2014 dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-

Undangan yang berlaku.

2. SATPOL PP Kota Jambi juga melakukan pembinaan terhadap pelaku tindak

pidana pelacuran. Bentuk pembinaan yang dilakukan oleh pihak SATPOL PP adalah

a. Pembinaan mental, pembinaan mental disini adalah berupa pemberian

informasi tentang ajaran agama yang baik dan benar, bahwa dalam ajaran

keagaman tidak dianjurkan untuk melakukan pelacuran. Kemudian pihak

SATPOL PP juga memberikan pelatihan pelatihan untuk memotivasi setiap

34

Drs H. Yan Ismar, M.H (Kepala satuan SATPOL PP Kota Jambi)

Page 66: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

54

individu yang terlibat dalam kegiatan pelacuran, agar tidak melakukan

kegiatan tersebut kedepanya. Untuk memastikan hal tersebut berjalan dengan

baik maka peneliti melakukan wawancara terhadap bapak Said Faizal selaku

Bidang Penegakkan Peraturan daerah. Yaitu :

“kami dari pihak SATPOL PP kota Jambi memberikan pembinaan kepada

pihak yang terlibat kedalam pelacuran ini, pembinaan mental yang kami

lakukan berupa memberikan pendalaman tentang agama, betapa agama

sangat melarang kegiatan ini dilakukan.kami memberikan berupa pandangan

kedepan yang lebih baik tentang cara mencari lapangan pekerjaan yang lebih

layak dan halal.”35

b. Bimbingan Sosial, Bimbingan Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal

3 ayat (2) huruf b dilakukan dengan tujuan untuk memulihkan dan

meningkatkan kemampuan berfungsi sosial. SATPOL PP memberikan

dorongan kepada mereka agar mau ikut terlibat dalam kegiatan gotong

royong dalam masyarakat, ikut kegiatan majlis taklim, dan beberapa kegiatan

sosial lainnya. Untuk memperkuat data peneliti melakukan wawancara

terhadap bapak Fajri, yaitu :

“disini kami juga melakukan pembinaan sosial, mengajak kepada pihak yang

terlibat kasus prostitusi ini untuk bisa bersosialisasi dengan masyarakat pada

umumnya. Kebanyakan dari mereka banyak yang malu untuk terjun ke dunia

masyarakat lantaran pekerjaan yang mereka lakukan sebelumnya, maka dari

itu disinilah dituntut peran kami selaku SATPOL PP untuk melakukan

pembinaan sosial.”36

c. Bimbingan Fisik, Bimbingan Fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3

ayat (2) huruf c dilakukan dengan tujuan untuk pengenalan dan praktek cara

35

Said Faizal, S.H (Bidang Penegakkan Peraturan daerah) 36

M. Fajri, Se. M.e (Bidang Ketentraman dan ketertiban Masyarakat)

Page 67: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

55

hidup sehat. Kegiatan yang dilakukan oleh pihak SATPOL PP adalah dengan

mengajarkan kepada para pelaku tindak pelacuran tentang pentingnya hidup

sehat, baik itu berupa pemeliharaan kesehatan, cara menjaga pola hidup

sehat. Agar mereka terhindar dari kegiatan yang merusak dirinya. Adapun

bentuk wawancara yang peneliti lakukan adalah :

“kami juga melakukan pembinaan fisik atau membina fisik masyarakat yang

terlibat kedalam prostitusi, pembinaan fisik disini dimaksudkan adalah

dengan mengajarlkan mereka tentang pola hidup sehat, hal- hal yang dapat

merusak tubuh, penyakit menular seksual yang fatal.” 37

d. Bimbingan Keterampilan, Bimbingan Keterampilan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pelatihan keterampilan

kewirausahaan dan ekonomi produktif. SATPOL PP mengajarkan kepada

para pihak yang terlibat dalam prostitusi adalah mengajarkan kepada mereka

agar bisa menjadi wirausaha dan memulai usaha yang lebih baik kedepannya

supaya mereka tidak melakukan kegiatan yang berhubungan dengan

prostitusi lagi kedepannya. Adapun bentuk wawancara yang peneliti lakukan

adalah :

“kami dari pihak SATPOL PP juga memberikan pembinaan tentang

bagaimana cara memulai usaha yang baik, agar masyarakat pelaku tindak

prostitusi tidak mengulangi lagi perbuatan mereka dan bisa memulai usaha

yang lebih baik dan bisa bersosialisasi dengan normal dengan masyarakat.”38

37

M. Fajri, Se. M.e (Bidang Ketentraman dan ketertiban Masyarakat) 38

Mukhatab S IP (Bidang perlindungan Masyarakat)

Page 68: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

56

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa SATPOL

PP selalu memberi perhatian kepada pelaku prostitusi dengan sangat baik agar

mereka tidak mengulangi lagi hal dan kegiatan yang serupa.

Page 69: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

57

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dibahas pada bab

sebelumnya, maka peneliti dapat menyimpulkan hasil dari penelitian tersebut

adalah sebagai berikut :

1. SatPol PPmemiliki kewenangan dalam penegakan hukum Perda karena SatPol

PP adalah pejabat Pemerintah Pusat yang ada di daerah yang melaksanakan

urusan pemerintahan umum. Dengan adanya kedudukan di atas maka dapat

disimpulkan bahwa Polisi Pamong Praja berwenang, antara lain :

a. melakukan tindakan penertiban Non-Yutisial

b. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang

mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.

c. fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan

masyarakat.

d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur,

atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda

dan/atau peraturan kepala daerah.

Page 70: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

58

e. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur,

atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau

peraturan kepala daerah.

2. Faktor yang menjadi kendala dalam penegakan peraturan daerah kota Jambi

(Studi Pada Perda N0.2 Tahun 2014 tentang Prostitusi)

a. Kualitas Sumber Daya Manusia, Masih lemahnya sistem pengembangan

staf sehingga mengakibatkan kinerja Satuan Polisi Pamong Praja semakin

kurang memadai dalam menegakkan peraturan daerah. Kondisi ini juga

mengakibatkan kurang mantapnya kinerja aparat satuan polisi pamong

praja dalam lingkup Pemerintah Daerah Kota Jambi. Sumber daya aparatur

Satuan Polisi Pamong Praja tidak saja harus memadai tetapi juga

diperlukan kemampuan serta kebutuhan fungsi-fungsi manajemen.

b. Sarana dan Prasarana yang kurang memadai.

3. adapun Wewenangan Satuan Polisi Pamong Praja Dalam Penegakan Peraturan

Daerah Kota Jambi (Perda N0.2 Tahun 2014 tentang Prostitusi)

a. Memberikan sanksi tindakan, sanksi tindakan ini dibagi menjadi dua,

yaitu sanski administratif dan sanksi pidana. Pola pemberian sansksi yaitu

berupa sanski administratif terlebih dahulu kepada tempat usaha yang berupa

Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing dengan

tenggang waktu 10 (sepuluh) hari kerja. Apabila setelah 10 hari kerja belum

juga ada tanggapan dari pihak pemilik usaha prostitusi. Maka akan dilakukan

penindakan tegas berupa Pencabutan izin usaha dan penutupan tempat usaha

Page 71: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

59

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berupa penyegelan tempat

usaha.

b. SATPOL PP Kota Jambi juga melakukan pembinaan terhadap pelaku

tindak pidana pelacuran. Bentuk pembinaan yang dilakukan oleh pihak

SATPOL PP.

c. SATPOL Kota Jambi memberikan bantuan sosial, Bantuan sosial

diberikan kepada warga binaan yang telah mengikuti pembinaan maupun

pelaku pelanggaran yang akan dikembalikan kepada keluarga atau daerah

asal.

B. Saran

Adapun saran yang dapat peneliti berikan dalam penlitian ini adalah :

1. Disarankan kepada masyarakat untuk berprestasi dalam usaha

penanggulangan prostitusi yang terdapat di kota Jambi.

2. Diharapkan kepada peneliti untuk melakukan penelitian lanjutan yang

lebih luas dan dalam terhadap wewenang SATPOL PP dalam

meningkatkan .

3. Diharapkan skripsi ini bisa menjadikan sebagai bahan acuan pihak

SATPOL PP lebih memahami lagi tentang perda No. 2 Tahun 2014, serta

faktor apa saja yang dapat ditingkatkan kedepannya, agar penangan

terhadap prostitusi yang ada di Jambi bisa berjalan dengan maksimal.

Page 72: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Alim, Menjelajahi Kajian Empiris, Makasar: Kencana, 1998.

Alwi Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.

Ali, Menjelajahi Kajian Empiris, Makasar: Kencana, 1998.

Budiharjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia.Pustaka Utama.

1998.

Dirjen PUOD. Pedoman dan Petunjuk Polisi Pamong Praja. Jakarta : Dirjen

POUD

Evi Hartati, Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.

Http//:Sejarah Satpol PP. Diakses Tanggal 17 Desember 2018.

Lexy J Moleong. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya. 2002.

Mardali. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Askara.

2004.

Maharani, Marta. kedudukan satuan polisi pamong praja dalam pelaksanaan

pemilihan umum (Skripsi. 2017).

Nugroho, Fredi Anton. peranan satuan polisi pamong praja dalam

mengimplikasikan peraturan daerah tentang pedagang kaki lima di

surakarta (Skripsi. 2017)

Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong

Praja

Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong

Praja

Pertiwi, Eka Novianti. Wewenang Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP)

dalam Penegakan Peraturan Daerah di Makasar (Skripsi. 2014)

Perda Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004

Page 73: (STUDI PERDA NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PROSTITUSI)

Rakhman, Widi Aulia. peran SATPOL PP kabupaten Temanggung terhadap

kenakalan pelajar di Kabupaten Temanggung (Skipsi. 2016)

Ridwan, Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo. 2006.

Sulistyaningsih, E.Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan perkembangannya.

Pustaka Sinar Harapan dan Ford Foundation,Jakarta, 1997

Soedjono D, Pelacuran Ditinjau Dari Segi Hukum dan Kenyataan dalam

Mayarakat, Bandung: PT Karya Nusantara, 1977.

Soekanto, Soejono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 2006.

Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar, Dolly Membedah Dunia Pelacuran

Surabaya, Surabaya: Graffiti Pers, 1985.

Wawancara anggota SATPOL PP Kota Jambi.