STUDI PERBANDINGAN HUKUM PENGATURAN JENIS-JENIS …/Studi... · SURAT PERNYATAAN Nama : Tiara Desi...

109
STUDI PERBANDINGAN HUKUM PENGATURAN JENIS-JENIS TINDAKAN PERLINDUNGAN ( TYPES OF PROTECTION MEASURES ) MENURUT UNDANG-UNDANG NO.13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN WITNESS PROTECTION ACT OF THE REPUBLIC OF CROATIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : TIARA DESI PUSPITASARI NIM : E0004049 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Transcript of STUDI PERBANDINGAN HUKUM PENGATURAN JENIS-JENIS …/Studi... · SURAT PERNYATAAN Nama : Tiara Desi...

STUDI PERBANDINGAN HUKUM PENGATURAN JENIS-JENIS TINDAKAN

PERLINDUNGAN ( TYPES OF PROTECTION MEASURES ) MENURUT

UNDANG-UNDANG NO.13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI

DAN KORBAN DENGAN WITNESS PROTECTION ACT OF THE REPUBLIC OF

CROATIA

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih

Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

TIARA DESI PUSPITASARI

NIM : E0004049

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum ( Skripsi )

STUDI PERBANDINGAN HUKUM PENGATURAN JENIS-JENIS TINDAKAN

PERLINDUNGAN ( TYPES OF PROTECTION MEASURES ) MENURUT

UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN WITNESS PROTECTION

ACT OF THE REPUBLIC OF CROATIA

Disusun oleh :

TIARA DESI PUSPITASARI

NIM : E0004049

Disetujui untuk Dipertahankan

Dosen Pembimbing

Pembimbing

Bambang Santoso, S.H, M.Hum

NIP. 196202091989031001

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum ( Skripsi )

STUDI PERBANDINGAN HUKUM PENGATURAN JENIS-JENIS TINDAKAN

PERLINDUNGAN ( TYPES OF PROTECTION MEASURES ) MENURUT

UNDANG-UNDANG NO.13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI

DAN KORBAN DENGAN WITNESS PROTECTION ACT OF THE REPUBLIC OF

CROATIA

Disusun oleh :

TIARA DESI PUSPITASARI

NIM : E0004049

Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi )

Fakultas HukumUniversitas Sebelas Maret Surakarta

pada :

Hari : Selasa

Tanggal : 6 Juli 2010

TIM PENGUJI

1. Edy Herdyanto, S.H., M.H.

NIP. 195706291985031002

Ketua

(……………………)

2. Kristiyadi, S.H., M.Hum.

NIP. 195812251986011001

Anggota

(……………………)

3. Bambang Santoso, S.H., M.Hum.

NIP. 196202091989031001

Pembimbing

(……………………)

MENGETAHUI

Dekan,

Mohammad Jamin, S.H, M.Hum.

NIP.196109301986011001

SURAT PERNYATAAN

Nama : Tiara Desi Puspitasari

NIM : E 0004049

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul

STUDI PERBANDINGAN HUKUM PENGATURAN JENIS-JENIS TINDAKAN

PERLINDUNGAN ( TYPES OF PROTECTION MEASURES ) MENURUT

UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI

DAN KORBAN DENGAN WITNESS PROTECTION ACT OF THE REPUBLIC OF

CROATIA adalah betul-betul karya sendiri

Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda

citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan

saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan

penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, Juni 2010

Yang Membuat Pernyataan

Tiara Desi Puspitasari

MOTTO

Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu

sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya

atau miskin, maka Allah lebih tahu kebaikannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa

nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.

(An-Nisa 4 : 135)

Iman adalah Kehidupan

( Penulis)

Tidak ada Tuhan satu melainkan Allah SWT

(Penulis)

Work hard, play hard, and get success

(Penulis)

Bahagiakan dirimu, lantas bahagiakan orang lain

(Penulis)

Orang tua tidak selamanya benar, dan anak tidak pula selamanya salah. Layaknya

anak adalah anugerah yang tuhan titipkan kepada orangtua, maka sebaliknya orangtua

adalah anugerah yang tuhan berikan kepada setiap anak. Baik anak atupun orangtua

tidak mempunyai hak memiliki yang hakekat, melainkan Allah SWT.

(Penulis)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucap puji syukur kepada Allah SWT yang telah mendengarkan semua

doa, kupersembahkan skripsi ini untuk :

- Allah SWT, sumber kehidupanku, yang senantiasa melindungi dan

membimbing dalam setiap langkahku;

- Ayah dan Mama yang membesarkan, mendidik, mengasihi dan selalu

mendoakanku; adalah kalian anugerah terbesar yang Allah SWT beri untukku;

- Saudara-saudaraku, Kakakku Meira Herviani dan Dwi sefiandri, serta Adikku

Ryan Kusuma Jaya Nugraha yang senantiasa menjadi bagian dari hidupku;

- Almamaterku, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

ABSTRAK

TIARA DESI PUSPITASARI. E0004049. STUDI PERBANDINGAN HUKUM

PENGATURAN JENIS-JENIS TINDAKAN PERLINDUNGAN ( TYPES OF

PROTECTION MEASURES ) MENURUT UNDANG-UNDANG NO.13 TAHUN 2006

TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN WITNESS

PROTECTION ACT OF THE REPUBLIC OF CROATIA. Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum 2010.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) apakah persamaan dan perbedaan

pengaturan jenis-jenis tindakan perlindungan (types of protection measures) UU No.13

Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban dengan Witness Protection Act of the

Republic of Croatia, (2) apakah kelemahan dan kelebihan pengaturan jenis-jenis tindakan

perlindungan (types of protection measures) UU No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan

saksi dan korban dengan Witness Protection Act of the Republic of Croatia.

Penelitian ini merupakan penelitian normatif atau penelitian hukum kepustakaan

yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang terdiri

dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Dalam

penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan, yaitu

berupa pengumpulan data sekunder, dengan cara mencari data-data dari buku-buku,

dokumen-dokumen, arsip dan juga peraturan perundang-undangan yang berhubungan

dengan objek penelitian. Selanjutnya data yang diperoleh kemudian dipelajari,

diklasifikasikan, dan dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan

penelitian.

Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian yang berusaha untuk

menggambarkan tentang keadaan dan gejala-gejala lainnya dengan cara mengumpulkan

data, menyusun, mengklarifikasi, menganalisa, serta menginterpretasikannya. Jenis data

yang digunakan adalah data sekunder. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik

analisis data kualitatif yaitu suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-

analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga

perilaku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh

Melalui hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa studi perbandingan hukum

pengaturan jenis-jenis tindakan perlindungan (types of protection measures) menurut UU

No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban dengan Witness Protection Act

of the Republic of Croatia memiliki persamaan dan perbedaan. Perbedaannya terletak

pada sistem hukum, prosedur perlindungan, lembaga perlindungan dan keanggotaannya,

serta ketentuan pidana. Sedangkan persamaanya yaitu dalam hal definisi unsur-unsur,

tujuan perlindungan, pembiayaan, dan jenis perlindungan. Dari persamaan dan perbedaan

tersebut dapat disimpulkan pula bahwa terdapat kelemahan dan kelebihan dari masing-

masing negara yaitu Indonesia dan Croasia mengenai jenis-jenis tindakan perlindungan

terhadap saksi dan korban.

ABSTRACT

TIARA DESI PUSPITASARI. E0004049. A COMPARATIVE STUDY ON TYPES

OF PROTECTION MEASURES ACCORDING TO THE ACT NUMBER 13 OF

2006 ABOUT WITNESS AND VICTIM PROTECTION AND THE WITNESS

PROTECTION ACT OF THE REPUBLIC OF CROATIA. Law Faculty of Surakarta

Sebelas Maret University. Thesis. 2010.

This research aims to find out: (1) the similarity and difference of types of

protection measures between the Act No. 13 of 2006 about witness and victim protection

and the Witness Protection Act of the Republic of Croatia, and (2) the weakness and

strength of types of protection measures between the Act No. 13 of 2006 about witness

and victim protection and the Witness Protection Act of the Republic of Croatia.

This study belongs to a normative research or the library law research, that is the

one conducted by studying the library material consisting of primary, secondary and

tertiary law materials. Technique of collecting data used was library study, the secondary

data collection by searching for data from books, document, archive and also legislation

relevant to the research object. Then, the data obtained was studied, classified and

analyzed further in line with the research objective and problem.

This research is descriptive in nature, that is, a research attempting to describe

condition and other symptoms by collecting data, organizing, clarifying, analyzing, as

well as interpreting it. The type of data used was secondary one. Technique of analyzing

data used was qualitative data analysis one, that is, a research procedure providing

descriptive data analysis, what stated by the respondent orally or in written form, and the

actual behavior studied and learnt as a whole.

Through this research, it can be concluded that a comparative law research on of

types of protection measures between the Act No. 13 of 2006 about witness and victim

protection and the Witness Protection Act of the Republic of Croatia, has similarity and

difference. The difference lies in the law system, protection procedure, protection

institution and its membership, as well as punishment provision. Meanwhile the

similarity lies in the term of element definition, protection objective, funding, and type of

protection. From such similarity and difference, it can be concluded that there is also

strength and weakness from each country, Indonesia and Croatia, concerning the types of

protection measure on the witness and victim.

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan

Maha Penyayang atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan hukum ( skripsi ) dengan judul: STUDI PERBANDINGAN

HUKUM PENGATURAN JENIS-JENIS TINDAKAN PERLINDUNGAN ( TYPES

OF PROTECTION MEASURES ) MENURUT UNDANG-UNDANG NO.13 TAHUN

2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN WITNESS

PROTECTION ACT OF THE REPUBLIC OF CROATIA. Penulisan skripsi ini

bertujuan untuk melengkapi tugas akhir sebagai syarat memperoleh gelar kesarjanaan

dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum atau skripsi

ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan, baik materil maupun moril yang diberikan

oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini dengan rendah hati penulis

ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis

untuk mengembangkan ilmu hukum melalui penulisan skripsi.

2. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Skripsi yang telah

menyediakan waktu serta pikirannya, tidak hanya untuk memberikan ilmu, bimbingan

dan arahan bagi tersusunnya skripsi ini namun juga untuk memberi nasihat, cerita,

serta mendengar keluh kesah penulis.

3. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara yang telah

memberikan kesempatan dan bantuan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan

penulisan hukum ini.

4. Bapak Bambang Joko Sudibyo, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik atas

bimbingan dan nasihatnya selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga dapat dijadikan

bekal dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat penulis amalkan dalam kehidupan

masa depan nantinya.

6. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) Fakultas Hukum yang telah membantu dalam

mengurus prosedur-prosedur skripsi.

7. Segenap Staff dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret atas

bantuannya selama penulis menempuh pendidikan di FH UNS.

8. Kedua orang tua saya tercinta, Ayahanda Tjetjep Herriaman dan Ibunda Euis An‟an

Eriyani, yang telah memberikan segalanya dalam kehidupan penulis, tidak ada kata

yang dapat mewakili rasa terima kasih Ananda. Semoga Ananda dapat membalas

budi jasa kalian dengan memenuhi harapan kalian kepada Ananda. Sesungguhnya

kalian lah alasan Ananda tetap berjuang dalam tiap tangis, tawa, dan hela nafas

Ananda. Kalianlah sebentuk kasih yang sempurna di dunia ini.

9. Kakakku tercinta Meira Herviani serta Suami Dwi Sefiandri, serta keponakanku

terkasih Darfa Dwira Kusuma Sefiandri yang selalu mendoakan, memberikan kasih

sayang, semangat dan motivasi dengan caranya tersendiri kepada penulis, (akhirnya

lulus juga, horaaai...!!!)

10. Adikku tercinta Ryan Kusuma Jaya Nugraha, mari kita bahagiakan kedua orang kita

dengan menunjukan bahwa kita bisa menjadi anak yang ayah dan mama harapkan,

tetap berjuang dalam menjalani kehidupan dengan bekal keteguhan dan doa seperti

orang tua kita ajarkan. Ingat bahwa kita telah dianugerahi kehidupan ditengah

keluarga yg penuh kasih, dan itu patut kita syukuri... (apapun sikap teteh selama ini

sama kamu semata-mata karena cinta dan harapan teteh yang begitu besar untuk

kamu).

11. Sahabat-sahabatku Shanty, Sally, Dody, Eka, Billy, Ferry, terima kasih atas

kebersamaan kita dan persahabatan yang hangat, (meskipun kita berbeda arah, namun

tak ada alasan kita berhenti saling mengasihi), dan kebersamaan dengan kalian tak

pernah berbeda rasa.(Salut!!!)

12. Seseorang yang mendampingiku, berada disisiku melewati hari-hari yang sulit,

Zanuar....denganmu aku bisa tertawa dan berkat kesabaranmu aku bisa

bertahan..(apapun yang kita telah lewati, semata-mata adalah proses menuju hidup

yang lebih baik, amiin...)

13. Moh.Hendrawan Prasetyo, sulit mencari kata-kata yang mengungkapkan tentang kita

dan segala yang terlewati. Hanya terima kasih sedalamnya atas segala kesabaran,

kesetiaan, serta support yang diberikan kepada penulis selama ini. Semoga yang

terbaik Tuhan berikan untuk kita semua.

14. Keluarga Besar Kos Rumah Suci, Tiwi, Devi, Maya, untuk Mbak Ayudhawara terima

kasih karena telah menjadi kakak yang menyenangkan selama aku diperantauan.

15. Keluarga Besar UBB UNS, Ame, Adjie „tomphel‟, Zabeth, Bedu, Ipank, Tika, Rani,

Dila, Anis, Nopek, Intan, Tiwi, Rida serta keluarga besar ROCKUSTIK, Sukro,

Ragil, Tia, Denny Klo, Jonathan Goshong, Elman, Daniel, Indri, Dimas, Kethil,

terima kasih atas keceriaan „dunia‟ persahabatan kalian, menerima aku ditengah-

tengah kalian, dan berkat kalian pula aku lebih menikmati hidup, sekalipun tak

semuanya yang kita lalui adalah kesenangan, namun itulah arti hidup.

16. Keluarga Besar KSP FH UNS, Mb.Lia, Mb.Uchi, Mb.Ajeng, Aghata, Mas Gunalan,

Mas Heri, Mas Hafid, Mas Eksan, (lainnya yang penulis tidak bisa sebutkan satu

persatu), kalian adalah sahabat sekaligus teman yang baik bagi penulis, serta keluarga

besar Perum Tiara Ardi, Mas Agus dan Keluarga terima kasih telah menjadi tetangga

yang sangat menyenangkan, menerimaku ditengah lingkungan yang penuh

kekeluargaan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

17. Seluruh teman-teman Angkatan 2004 FH UNS yang telah mengisi hari-hari kuliah

penulis selama ini. Maaf tidak bisa menyebutkan kalian satu persatu.

18. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu

baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan penulisan hukum

ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak kekurangan, untuk

itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun, sehingga

dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga karya tulis ini mampu memberikan

manfaat bagi penulis maupun para pembaca.

Surakarta, Juni 2010

Penulis

TIARA DESI PUSPITASARI

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .................................................... ... iii

SURAT PERNYATAAN ................................................................................ iv

HALAMAN MOTTO ...................................................................................... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vi

ABSTRAK ....................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii

DAFTAR ISI .................................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1

B. Perumusan Masalah .................................................................... 5

C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 5

D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 6

E. Metode Penelitian ....................................................................... 6

F. Sistematika Penulisan Hukum .................................................... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori ........................................................................... 11

1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum .................. 11

2. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.. 14

a. Pengertian Saksi .............................................................. 14

b. Pengertian Korban……………. ..................................... 16

c. Pengertian Tindakan Perlindungan ................................. 17

d. Hak-hak Saksi dan Korban ............................................ 18

e. Pemberian Bantuan Kepada Korban Kekerasan dan Pelanggaran

HAM Berat ..................................................................... 19

f. Kompensasi dan Restitusi ............................................... 19

g. Saksi dan Korban dalam Kondisi Khusus ....................... 20

h. Tata Cara pemberian Perlindungan dan Bantuan............ 21

B. Kerangka Pemikiran ................................................................... 22

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persamaan dan Perbedaan Pengaturan Jenis-jenis Tindakan

Perlindungan (types of protection measures) menurut UU No. 13

tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness

Protection Act Of The Republic Of Croatia .............................. 24

B. Kelebihan dan kelemahan pengaturan jenis-jenis tindakan

perlindungan (types of protection measures) menurut UU No.13

Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness

Protection Act of the Rrepublic of Croatia ................................. 64

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan ..................................................................................... 66

B. Saran ........................................................................................... 70

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR GAMBAR & TABEL

Gambar 1. Kerangka Pemikiran …………………………………………… 22

Tabel 1. Persamaan Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban dengan Witness Protection Act of the Republic of

Croatia ......................................................................................... 55

Tabel 2. Perbedaan Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban dengan Witness Protection Act of the Republic of

Croatia ......................................................................................... 61

Tabel 3. Kelebihan dan Kekurangan Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness Protection Act of the

Republic of Croatia ...................................................................... 64

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keberadaan saksi dalam proses persidangan pidana memegang peranan yang

sangat penting dan dalam banyak kesempatan keterangan, saksi juga sangat

menentukan hasil akhir dari suatu kasus. Keterangan saksi yang diberikan di hadapan

pengadilan merupakan salah satu bukti penting yang menjadi pertimbangan hakim

dalam memutus sebuah perkara.

Kesaksian seorang saksi di pengadilan diatur dalam Pasal 184 Undang

Undang Nomor 8 tahun 1981 atau Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP). Ketentuan tersebut menyatakan, keterangan saksi di pengadilan menjadi

salah satu alat bukti yang sah. Selanjutnya Pasal 185 ayat (2) KUHAP menyatakan

keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa

bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Ayat ke-3 dari pasal yang

sama berbunyi, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku

apabila disertai dengan alat bukti lainnya.” Dari sini dapat diartikan, keterangan lebih

dari satu orang saksi saja tanpa disertai saksi atau alat bukti lainnya, dapat dianggap

cukup untuk membuktikan apakah seorang terdakwa bersalah atau tidak.

Fakta bahwa sebuah kesaksian dapat menentukan hasil akhir dari suatu

perkara, menyebabkan banyak tekanan baik yang sifatnya fisik maupun mental sering

ditujukan kepada para saksi dan keluarga ataupun orang terdekat saksi. Tujuannya,

agar saksi memberikan kesaksian yang berbeda dari yang sebenarnya atau bahkan

membatalkan kesaksiannya. Banyaknya kasus di pengadilan yang tidak terungkap

karena minimnya saksi yang bersedia memberikan kesaksiannya menjadi

permasalahan yang signifikan dalam penegakan hukum dan keadilan di negara ini.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebenarnya telah mengatur

mengenai perangkat dan dasar hukum perlindungan saksi, perangkat dan dasar hukum

perlindungan saksi dalam KUHAP yaitu:

1. Adanya kewajiban mengucapkan sumpah bagi saksi, kecuali untuk :

a) anak yang umurnya belum cukup 15 tahun (Pasal 171 butir (a))

b) orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik

kembali (Pasal 171 butir (b))

2. dapat didengarkannya kesaksian saksi tanpa kehadiran terdakwa (Pasal 173)

3. dapat ditunjukan juru bahasa bagi saksi yang tidak paham bahasa Indonesia (Pasal

177)

4. dapat ditunjukan penterjemah bagi saksi bisu tuli serta tidak dapat menulis (Pasal

178)

Mekanisme perlindungan saksi yang ada dalam KUHAP tersebut dalam

perkembangannya sangat tidak memadai dalam upaya mendukung proses penegakan

hukum dan keadilan. Karena itulah muncul gagasan untuk membuat perangkat hukum

khusus yang diharapkan mampu memberikan perlindungan bagi saksi dan korban

ketika memberikan kesaksian. Peraturan perundangan-undangan di Indonesia yang

mengatur mengenai perlindungan saksi terus-menerus mengalami perkembangan,

namun di dalam peraturan tersebut belum juga terdapat atau mengatur mengenai suatu

lembaga yang khusus menangani permasalahan terhadap perlindungan terhadap saksi

dan korban.

Adapun peraturan perundangan-perundangan di Indonesia yang mengatur

mengenai perlindungan saksi, yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana atau KUHP

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau

KUHAP

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika

5. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM

7. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

8. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

9. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian

Uang

10. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara

Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM Berat

11. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi,

Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat

12. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme

13. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara

Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam

Perkara Tindak Pidana Terorisme

14. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara

Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian

Uang

15. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban

Sesungguhnya apabila kita cermati dalam kenyataannya, kondisi saksi tidak

jauh berbeda dengan tersangka/terdakwa, mereka sama-sama memerlukan

perlindungan, karena:

1. Bagi saksi (apalagi yang awam hukum), memberikan keterangan bukanlah suatu

hal yang mudah.

2. Bila keterangan yang diberikan ternyata tidak benar, ada ancaman pidana baginya

karena dianggap bersumpah palsu.

3. Keterangan yang diberikannya akan memungkinkan dirinya mendapat ancaman,

teror, intimidasi dari pihak yang dirugikan.

4. Memberikan keterangan membuang waktu dan biaya

5. Aparat penegak hukum tidak jarang memperlakukan saksi seperti seorang

tersangka/terdakwa.

Setelah menjadi perdebatan selama bertahun-tahun, Undang-Undang

Perlindungan Saksi dan Korban akhirnya disahkan juga dalam rapat paripurna DPR

pada tanggal 11 Agustus 2006, menjadi ”Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban”. Didalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2006 terdapat ketentuan yang mengatur mengenai jenis tindakan perlindungan

terhadap saksi dan korban. Salah satunya adalah memperoleh perlindungan atas

keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang

berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

Berbicara mengenai perlindungan saksi dan korban ada beberapa negara yang

memiliki regulasi yang hampir sama dengan UU 13 tahun 2006, yaitu regulasi yang

mengatur tentang perlindungan saksi dan korban. Salah satu negara tersebut adalah

Croasia, yaitu dengan dikeluarkannya Witness Protection Act of the Republic of

Croatia yang tercantum dalam Lembaran Negara Resmi No. 163 Tahun 2003.

Undang-undang ini mengatur hubungan dan prosedur untuk memberikan

perlindungan kepada orang-orang yang terancam, terkena bahaya jiwa, kesehatan,

hukuman badaniah yang tidak dapat diganggu gugat, kebebasan atau sifat skala besar

yang timbul dari memberikan kesaksian dalam persidangan tindak pidana untuk

perbuatan-perbuatan pidana seluruhnya diantisipasi dalam Undang-undang ini.

Sehingga menurut penulis sangat menarik untuk mengadakan kajian

perbandingan mengenai jenis-jenis perlindungan saksi dan korban menurut kedua

regulasi tersebut. Kemudian penulis akan menyusunnya dalam sebuah kajian ilmiah

dengan judul ”STUDI PERBANDINGAN HUKUM PENGATURAN JENIS-

JENIS TINDAKAN PERLINDUNGAN ( TYPES OF PROTECTION

MEASURES ) MENURUT UU NO.13 TAHUN 2006 TENTANG

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN WITNESS PROTECTION

ACT OF THE REPUBLIC OF CROATIA”

B. Perumusan Masalah

Dalam penelitian ini perumusan masalah dari obyek yang diteliti dapat

dirumuskan sebagai berikut :

1. Apakah persamaan dan perbedaan pengaturan jenis-jenis tindakan perlindungan (

types of protection measures) menurut UU No.13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness Protection Act of theRrepublic of

Croatia?

2. Apakah kelebihan dan kelemahan pengaturan jenis-jenis tindakan perlindungan (

types of protection measures) menurut UU No.13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness Protection Act of theRrepublic of

Croatia

C. Tujuan Penelitian

Setiap kegiatan penelitian apalagi penelitian ilmiah selalu memiliki tujuan-

tujuan tertentu. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini penulis bagi

dalam dua kelompok, yaitu sebagai berikut:

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui persamaan dan pengaturan jenis-jenis tindakan

perlindungan ( types of protection measures ) menurut UU No.13 Tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness Protection Act of the

Republic of Croatia

b. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan pengaturan jenis-jenis tindakan

perlindungan ( types of protection measures ) menurut UU No.13 Tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness Protection Act of the

Republic of Croatia

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperluas dan memperdalam wawasan, pengetahuan dan

kemampuan penulis mengenai ilmu hukum khususnya Hukum Acara Pidana.

b. Untuk melatih kemampuan peneliti dalam menerapkan teori ilmu hukum yang

didapat selama perkuliahan guna menganalisis permasalahan-permasalahan

yang muncul dalam bidang Hukum Acara Pidana.

c. Untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh derajat Sarjana dalam ilmu

Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada

pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum;

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur

dalam dunia kepustakaan tentang kepidanaan secara umum dan Hukum Acara

Pidana pada khususnya;

c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian

sejenis untuk tahap berikutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Dengan penulisan hukum ini diharapkan dapat meningkatkan dan

mengembangkan kemampuan Penulis dalam bidang hukum sebagai bekal

untuk masuk ke dalam instansi atau instansi penegak hukum maupun untuk

praktisi hukum yang senantiasa memperjuangkan hukum di negeri ini agar

dapat ditegakkan.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta

tambahan pengetahuan bagi pihak–pihak yang terkait dengan masalah yang

diteliti.

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode penelitian sebagai

berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan yaitu penelitian hukum yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut

disusun secara sistematis, dikaji kemudian dibandingkan dan ditarik suatu

kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah pengaturan lembaga

perlindungan saksi dan korban menurut undang-undang nomor 13 tahun 2006

tentang perlindungan saksi dan korban dengan witness protection act of the

republic of croatia.

Penelitian hukum seperti ini tidak mengenal penelitian lapangan (field

research) karena yang diteliti adalah bahan-bahan hukum sehingga dapat

dikatakan sebagai ; library based, focusing on reading, and analysis of the

primary and secondary materials. Dalam kepustakaan hukum Belanda

sebagaimana dikutip Johnny Ibrahim, istilah penelitian hukum normatif ini

dikenal sebagai kajian ilmu hukum. (Johnny Ibrahim, 2006 : 46)

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang dilakukan penulis ialah deskriptif, yaitu suatu

penelitian yang berusaha untuk menggambarkan tentang keadaan dan gejala-

gejala lainnya dengan cara mengumpulkan data, menyusun, mengklarifikasi,

menganalisa, serta menginterpretasikannya (Soerjono Soekanto, 1986 : 10).

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dilakukan penulis dalam melakukan penulisan hukum

ini adalah dengan pendekatan penelitian secara yuridis normative, antara lain

dengan menggunakan pendekatan Perundang-undangan (statute approach) dan

pendekatan analitis (analitycal approach). Suatu penelitian normative harus

menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah

aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. (Johnny

Ibrahim, 2006 : 302)

4. Jenis Data

Data adalah semua informasi mengenai variabel atau obyek yang diteliti.

Di dalam penelitian dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari

masyarakat (data primer / primary data) dan dari buku pustaka (data sekunder /

secondary data) (Soerjono Soekanto, 2005 : 12).

Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis Data

Sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari perpustakaan

yakni dari buku-buku, dokumen-dokumen, dan peraturan perundang-undangan

khususnya yang berkaitan dengan penelitian hukum penulis.

5. Sumber Data

Dalam penelitian hukum ini penulis menggunakan Sumber Data

Sekunder. Dimana data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak

langsung dari perpustakaan yakni dari buku-buku, dokumen-dokumen, dan

peraturan perundang-undangan khususnya yang berkaitan dengan penelitian

hukum penulis.

Sumber data yang akan digunakan adalah :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum atau bahan pustaka yang

mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, adapun yang penulis gunakan

adalah :

1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

2) UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

3) UU No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

4) Witness Protection Act of The Republic Of Croatia

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan

hukum primer, seperti :

1) Hasil karya ilmiah para sarjana yang relevan/ terkait dalam penelitian ini.

2) Hasil-hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini.

3) Buku-buku penunjang lain.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, diantaranya bahan dari media internet yang relevan dengan

penelitian ini.

6. Teknik Pengumpulan Data

Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara

pengumpulan (dokumentasi) data sekunder berupa peraturan perundangan, artikel

maupun dokumen lain yang dibutuhkan untuk kemudian dikategorisasi menurut

pengelompokan yang tepat.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Studi Kepustakaan, yaitu berupa pengumpulan data sekunder, dengan cara

mencari data-data dari buku-buku, dokumen-dokumen, arsip dan juga peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan objek penelitian. Selanjutnya data

yang diperoleh kemudian dipelajari, diklasifikasikan, serta dianalisis lebih lanjut

sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian.

7. Teknik Analisis Data

Analisa data dalam suatu penelitian adalah menguraikan atau

memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan data yang diperoleh kemudian

diolah pokok permasalahan yang diajukan terhadap penelitian yang bersifat

normatif. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik analisis yang bersifat

kualitatif. Analisis data secara kualitatif adalah suatu tata cara penelitian yang

menghasilkan data deskriptif-analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden

secara tertulis atau lisan, dan juga perilaku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari

sebagai sesuatu yang utuh. (Soerjono Soekanto,1986:250).

F. Sistematika Penulisan Hukum

Dalam bagian ini, penulis mensistematisasikan dalam bagian-bagian yang

akan dibahas menjadi beberapa bab yang saling berkait dan lebih sistematis, terarah

mudah dimengerti, sehingga saling mendukung dan menjadi satu kesatuan yang bulat

dan utuh.

Adapun sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode

penelitian, dan sistematika penulisan hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini diuraikan mengenai tinjauan kepustakaan yang terdiri dari

kerangka teori dan kerangka pemikiran. Hal-hal tersebut merupakan

landasan yang mendasari analisis hasil penelitian yang diperoleh dari

studi kepustakaan yang mengacu pada pokok-pokok permasalahan

dalam penelitian ini.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini menguraikan tentang hasil penelitian dan

pembahasannya dengan teknik analisis data yang telah ditentukan

dalam sub bab metode penelitian.

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini menguraikan simpulan dan saran terkait dengan

permasalahan yang diteliti.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum

Istilah dan Definisi Perbandingan Hukum

Istilah perbandingan hukum, dalam bahasa asing, diterjemahkan:

comparative law (bahasa Inggris), vergleihende rechstlehre (bahasa Belanda),

droit comparé (bahasa Perancis). Istilah ini, dalam pendidikan tinggi hukum di

Amerika Serikat, sering diterjemahkan lain, yaitu sebagai conflict law atau dialih

bahasakan, menjadi hukum perselisihan, yang artinya menjadi lain bagi

pendidikan hukum di Indonesia (Romli Atmasasmita, 2000 : 6). Istilah yang

dipergunakan dalam penulisan hukum ini, adalah perbandingan hukum (pidana).

Istilah ini sudah memasyarakat di kalangan teoritikus hukum di Indonesia, dan

tampaknya sudah sejalan dengan istilah yang telah dipergunakan untuk hal yang

sama di bidang hukum perdata, yaitu perbandingan hukum perdata.

Untuk memperoleh bahan yang lebih lengkap, maka perlu dikemukakan

definisi perbandingan hukum dari beberapa pakar hukum terkenal. Romli

Atmasasmita (dalam bukunya Perbandingan Hukum Pidana : 2000) mengutip

pengertian perbandingan hukum dari beberapa ahli hukum, adapun beberapa ahli

hukum tersebut antara lain seperti di bawah ini.

Dalam buku Romli Atmasasmita, Rudolf B. Schlesinger mengatakan

bahwa perbandingan hukum merupakan metode penyelidikan dengan tujuan

untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu.

Perbandingan hukum bukanlah perangkat peraturan dan asas-asas hukum dan

bukan suatu cabang hukum, melainkan merupakan teknik untuk menghadapi

unsur hukum asing dari suatu masalah hukum (2000 : 7). Winterton

mengemukakan bahwa perbandingan hukum adalah suatu metode yaitu

perbandingan sistem-sistem hukum dan perbandingan tersebut menghasilkan data

sistem hukum yang dibandingkan (2000 : 7).

Gutteridge menyatakan bahwa perbandingan hukum adalah suatu metode

yaitu metode perbandingan yang dapat digunakan dalam semua cabang hukum.

Gutteridge membedakan antara comparative law dan foreign law (hukum asing),

pengertian istilah yang pertama untuk membandingkan dua sistem hukum atau

lebih, sedangkan pengertian istilah yang kedua, adalah mempelajari hukum asing

tanpa secara nyata membandingkannya dengan sistem hukum yang lain (2000 :

7).

Menurut Frederik Pollock, Gutteridge, Rene David, dan George

Winterton, perbandingan hukum adalah metode umum dari suatu perbandingan

dan penelitian perbandingan yang dapat diterapkan dalam bidang hukum (2000 :

8). Lemaire mengemukakan, perbandingan hukum sebagai cabang ilmu

pengetahuan (yang juga mempergunakan metode perbandingan) mempunyai

lingkup : (isi dari) kaidah-kaidah hukum, persamaan dan perbedaannya, sebab-

sebabnya dan dasar-dasar kemasyarakatannya (2000 : 9).

Ole Lando mengemukakan antara lain bahwa perbandingan hukum

mencakup : “analysis and comparison of the laws”. Pendapat tersebut sudah

menunjukkan kecenderungan untuk mengakui perbandingan sebagai cabang ilmu

hukum (2000 : 9). Hesel Yutena mengemukakan definisi perbandingan hukum

sebagai berikut: Comparative law is simply another name for legal science, or like

other branches of science it has a universal humanistic outlook ; it contemplates

that while the technique nay vary, the problems of justice are basically the same

in time and space throughout the world. (Perbandingan hukum hanya suatu nama

lain untuk ilmu hukum dan merupakan bagian yang menyatu dari suatu ilmu

sosial, atau seperti cabang ilmu lainnya perbandingan hukum memiliki wawasan

yang universal, sekalipun caranya berlainan, masalah keadilan pada dasarnya

sama baik menurut waktu dan tempat di seluruh dunia) (2000 : 9).

Orucu mengemukakan suatu definisi perbandingan hukum sebagai

berikut : Comparative law is legal discipline aiming at ascertaining similarities

and differences and finding out relationship between various legal sistems, their

essence and style, looking at comparable legal institutions and concepts and

typing to determine solutions to certain problems in these sistems with a definite

goal in mind, such as law reform, unification etc. (Perbandingan hukum

merupakan suatu disiplin ilmu hukum yang bertujuan menemukan persamaan dan

perbedaan serta menemukan pula hubungan-hubungan erat antara berbagai

sistem-sistem hukum; melihat perbandingan lembaga-lembaga hukum konsep-

konsep serta mencoba menentukan suatu penyelesaian atas masalah-masalah

tertentu dalam sistem-sistem hukum dimaksud dengan tujuan seperti

pembaharuan hukum, unifikasi hukum dan lain-lain) (2000 : 10).

Definisi lain mengenai kedudukan perbandingan hukum dikemukakan

oleh Zweigert dan Kort yaitu : Comparative law is the comparison of the spirit

and style of different legal sistem or of comparable legal institutions of the

solution of comparable legal problems in different sistem. (Perbandingan hukum

adalah perbandingan dari jiwa dan gaya dari sistem hukum yang berbeda-beda

atau lembaga-lembagahukum yang berbeda-beda atau penyelesaian masalah

hukum yang dapat diperbandingkan dalam sistem hukum yang berbeda-beda)

(2000 : 10).

Romli Atmasasmita sendiri dalam bukunya berpendapat bahwa

perbandingan hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari secara

sistematis hukum (pidana) dari dua atau lebih sistem hukum dengan

mempergunakan metode perbandingan (2000 : 12). Adapun jenis kedua sistem

hukum yang dikenal yaitu Civil Law adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri

adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara

sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya.

Dapat juga diartikan sebagai hukum yg dibuat berdasarkan kodifikasi hukum yg

dilakukan lembaga legislatif. Sedangkan Common Law yaitu suatu sistem hukum

yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu

yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya.

2. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

a) Pengertian Saksi

Pengertian saksi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) menggunakan konsep

tentang pengertian saksi seperti yang diatur oleh Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP). Saksi dinyatakan sebagai orang yang

hendak memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan,

penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar

sendiri, ia lihat sendiri dan/ atau ia alami sendiri. Perbedaan dengan rumusan

KUHAP adalah bahwa rumusan saksi dalam UU PSK mulai dari tahap

penyelidikan sudah dianggap sebagai saksi sedangkan KUHAP hanya dimulai

dari tahap penyidikan.

Tentang perlindungan terhadap Pelapor sendiri telah lebih awal

diatur dalam Pasal 31 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi yang menjelaskan bahwa pelapor tidak dapat diajukan dalam

sidang pengadilan melainkan harus dilindungi identitas dan alamatnya.

Saksi dalam rumusan UU PSK dinyatakan sebagai saksi yang akan

memberikan keterangan untuk mendukung proses penyelesaian perkara

pidana. Saksi dalam definisi ini terpisah dengan pihak lain yang ada korelasi

dengan saksi yang bisa terlibat atau mendapatkan hak-hak yang tercatum

dalam Undang-Undang ini. Pembentuk Undang-Undang lebih memilih pihak-

pihak yang termasuk dalam pengertian saksi dalam UU ini dipisah yaitu

antara saksi itu sendiri dengan keluarga saksi. Pada poin 5 Pasal 1 UU PSK

menjelaskan tentang siapa yang dimaksud dengan keluarga saksi yaitu orang

yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau kebawah,

atau mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang menjadi tanggungan

saksi dan/ atau korban.

Rumusan tentang saksi yang demikian berbeda, misalnya, dengan

pengertian saksi dalam Undang-Undang tentang perlindungan saksi negara

Kanada yang menyatakan bahwa seorang saksi dalam program in adalah :

1) saksi adalah seseorang yang memberikan atau setuju untuk memberikan

informasi atau bukti atau yang ambil bagian dalam suatu hal yang terkait

dengan suatu penyelidikan atau investigasi atau penuntutan suatu

kejahatan, dan yang mungkin membutuhkan perlindungan karena resiko

keamanan atas dirinya dalam kaitan dengan penyelidikan, investigasi,

atau penuntutan tersebut, atau

2) seseorang yang karena hubungan atau ikatannya dengan orang yang

disebut pada bagian a diatas mungkin juga membutuhkan perlindungan

karena alasan yang sama seperti bagian a diatas

(www.elsam.or.id/031807/html).

Ketentuan mengenai dapat dimasukkannya pihak lain selain saksi

dan keluarga saksi akan menjamin bahwa pihak-pihak lain yang mempunyai

hubungan dengan saksi juga akan mendapatkan perlindungan. Undang-

Undang perlindungan saksi negara Kanada.tidak mendefenisikan saksi,

namun langsung menyatakan pihak-pihak yang dapat ikut dalam program

perlindungan.

UU Perlindungan Saksi di Quensland (Queensland, Witness

Protection Act 2000) juga menyatakan bahwa seseorang yang boleh

diikutsertakan ke dalam perlindungan saksi adalah orang yang membutuhkan

perlindungan dari suatu bahaya yang muncul karena orang tersebut telah

membantu, atau sedang membantu, suatu badan penegak hukum dalam

menjalankan fungsinya. Namun, jika menurut Undang-Undang Perlindungan

Saksi di Afrika Selatan (South Afrika,Witness Protection Bill 1998) saksi

didefinisikan sebagai setiap orang yang sedang atau dapat diminta, atau yang

telah memberi kesaksian dalam suatu persidangan.

b) Pengertian Korban

Korban dalam UU PSK dinyatakan sebagai seseorang yang

mengalami penderitaan fisik, mental dan/ atau kerugian ekonomi yang

diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Sedangkan pengertian keluarga korban

dalam UU ini adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis

lurus ke atas atau kebawah, atau mempunyai hubungan perkawinan, atau

orang yang menjadi tanggungan saksi dan/ atau korban.

Pengertian tentang korban juga dapat dilihat dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang tata cara pemberian perlindungan

kepada saksi dan korban pelanggaran HAM berat yaitu menyatakan bahwa

korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami

penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang

memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror,

dan kekerasan dari pihak manapun.

Jika pengertian korban menurut Resolusi Majelis Umum PBB No.

40/34 Tahun 1985 memiliki cakupan yang lebih luas, yaitu korban adalah

orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita

kerugian akibat perbuatan atau tidak berbuat yang melanggar hukum pidana

yang berlaku disuatu negara, termasuk peraturan yang melarang

penyalahgunaan kekuasaan. Pengertian kerugian (harm) menurut Resolusi

Majelis Umum PBB No. 40/34 Tahun 1985, meliputi kerugian fisik maupun

mental (physical or mental injury), penderitaan emosional (emotional

suffering), kerugian ekonomi (economic loss), atau perusakan substansial dari

hak-hak asasi para korban (substansial impairment of their fundamental

rights).

Selanjutnya disebutkan, bahwa seseorang dapat dipertimbangkan

sebagai korban tanpa melihat apakah si pelaku kejahatan itu sudah diketahui,

ditahan, dituntut, atau dipidana dan tanpa memandang hubungan keluarga

antara si pelaku dan korban. Istilah korban juga mencakup keluarga dekat

atau orang-orang yang menjadi tanggungan korban, dan juga orang-orang

yang menderita kerugian karena berusaha mencegah terjadinya korban.

Adapun mengenai pengertian korban sebenarnya terdapat berbagai

pengertian yang sedikit banyak memiliki perbedaan, berikut adalah paparan

perbandingannya :

1) Menurut UU PSK : Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan

fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu

tindak pidana.

2) Menurut PP No 2 Tahun 2002 : Korban adalah orang perseorangan atau

kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran

hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan

mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.

3) Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban : Korban adalah

orang orang yang, secara individu atau kolektif, telah menderita kerugian,

termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi

atau perusakan yang substansial atas hak dasarnya, lewat tindakan atau

pembiaran yang bertentangan dengan hukum pidana yang berlaku di

negara-negara anggota, termasuk hukum yang melarang penyalahgunaan

kekuasaan yang bisa dikenai pidana

c) Pengertian Tindakan Perlindungan

Istilah perlindungan dalam UU PSK adalah bentuk perbuatan untuk

memberikan tempat bernaung atau berlindung bagi seseorang yang

membutuhkan, sehingga merasa aman terhadap ancaman sekitarnya.

Pengertian perlindungan ini hampir sama dengan pengertian perlindungan

dalam PP No. 2 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa perlindungan adalah

suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum

atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun

mental, kepada korban dan saksi dari ancaman, gangguan, teror, dan

kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada tahap penyelidikan,

penyidikan, penuntutan dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

Istilah perlindungan secara umum beserta tujuannya terdapat dalam

Pasal 1 poin 6 dan Pasal 4 UU PSK, untuk pembahasan lebih lanjut akan

diuraikan dalam bagian pembahasan penelitian.ini.P

d) Hak-Hak Saksi dan Korban

Pemberian hak-hak kepada saksi dan korban dalam UU PSK banyak

memasukkan hal-hal baru yang belum diatur dalam Peraturan perundang-

undangan sebelumnya. Dalam Pasal 5 ayat (1) UU ini disebutkan bahwa

seorang saksi dan korban berhak:

1) memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta

bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian

yang akan, sedang, atau telah diberikan;

2) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan

dan dukungan keamanan;

3) memberikan keterangan tanpa tekanan;

4) mendapat penerjemah;

5) bebas dari pertanyaan yang menjerat;

6) mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;

7) mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;

8) mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

9) mendapat identitas baru;

10) mendapat tempat kediaman baru;

11) memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

mendapat nasihat hukum; dan/atau

12) memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu

perlindungan berakhir .

Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai penjabaran hak-hak akan

diperoleh oleh saksi dan atau/korban akan diuraikan dalam bagian

pembahasan penelitian ini.

e) Pemberian Bantuan Kepada Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM

Berat

Korban dalam tindak pidana dengan kekerasan dan pelanggaran

HAM berat, selain berhak atas hak sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU

PSK, juga berhak mendapatkan bantuan berupa bantuan medis dan bantuan

rehabilitasi psiko-sosial sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 6 UU ini.

Penjelasan ketentuan tentang bantuan medis ini adalah bahwa tindak

kekerasan pada dasarnya menyebabkan penderitaan fisik pada korban dan

dalam hal ini negara berkewajiban untuk memberikan bantuan pada korban

untuk membantu menyembuhkan luka-lukanya. Sedangkan penjelasan

mengenai bantuan rehabilitasi psiko-sosial adalah adanya korban yang

menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya, bantuan psikolog sangat

diperlukan untuk membentunya kembali menjalani kehidupan yang telah

dikacaukan oleh adanya kekerasan. Penjabaran lebih lanjut mengenai

pemberian bantuan kepada korban juga akan penulis uraikan dalam bab III

(pembahasan).

f) Kompensasi dan Restitusi

Hak-hak selain yang ada dalam Pasal 5 dan 6 UU PSK, para korban

berhak mengajukan ke pengadilan hak atas kompensasi bagi korban tindak

pidana dengan kekerasan dan pelanggaran HAM berat dan hak atas restitusi

oleh pelaku tindak pidana, yaitu terdapat dalam Pasal 7 UU ini. Hak-hak

tersebut diatas dapat diberikan dengan keputusan pengadilan. Sedangkan

pengaturan tentang kompensasi dan restitusi diatur lebih lanjut dengan PP.

Dalam kasus pelanggaran HAM berat sudah terdapat Peraturan

Pemerintah tentang pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yaitu PP

No. 3 Tahun 2002. sedangkan pengaturan tentang restitusi oleh pelaku tindak

pidana selain diatur dalam Peraturan Pemerintah diatas juga diatur dalam

KUHP.

Kompensasi, restitusi dan bantuan rahabilitasi diatas merupakan

bagian dari upaya pemulihan bagi korban pelanggaran HAM yang berat yang

mempunyai tujuan untuk meringankan penderitaan dan memberikan keadilan

kepada para korban dengan menghilangkan atau memperbaiki sejauh

mungkin akibat-akibat dari tindakan salah dengan mencegah dan menangkal

pelanggaran.

Yang dimaksud dengan ”kompensasi” adalah ganti kerugian yang

diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu memeberikan ganti

kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan Yang

dimaksud dengan ”restitusi” adalah ganti kerugian yang diberikan kepada

korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.

Restitusi dapat berupa:

- Pengembalian harta milik,

- Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan,

- Penggantian biaya untuk tindakan tertentu

g) Saksi dan Korban dalam kondisi khusus

Dalam UU PSK kondisi khusus adalah kondisi dimana saksi tidak

dapat memberikan kesaksian dipersidangan. Saksi dalam kondisi ini adalah

saksi dan/ atau korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang

sangat berat atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir

langsung dipengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa (Pasal 9 ayat

1). Saksi sebagaimana pada ayat 1 dapat memberikan kesaksian secara

tertulis dan disampaikan dihadapan pejabat yang berwenang dan

membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang

kesaksian tersebut (ayat 2). Saksi atau sebagaimana dimaksud ayat 1 dapat

pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan

didampingi oleh pejabat yang berwenang. Syarat yang lainnya adalah adanya

persetujuan hakim, dan mekanisme pemberaian kesaksian tersebut harus

diberikan dihadapan pejabat yang berwenang.

h) Tata Cara Pemberian Perlindungan dan Bantuan

Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 membagi tata cara mengenai

pemberian perlindungan dan bantuan secara berbeda, perlindungan yang

dimaksud adalah hak-hak yang diberikan sesuai dengan Pasal 5 sedangkan

bantuan seperti yang diatur dalam Pasal 6, mengenai penjabaran lebih lanjut

terhadap Tata Cara Pemberian Perlindungan dan Bantuan juga akan penulis

kemukakan penjabarannya dalam bagian pembahasan penelitian ini.

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Proses Penyelesaian Perkara

Pidana

Alat Bukti

Hasil kejahatan

Keterangan Saksi

(placement, integration)

Perlu

perlindungan

Sistem Hukum Common Law

(Croatia)

Civil Law

(Indonesia)

Jenis Tindakan

perlindungan

UU Perlindungan Saksi dan

Korban

Adanya ancaman

Persamaan dan

Perbedaan

Kelebihan dan

kelemahan

Perbandingan

Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung pada alat

bukti yang berhasil diungkap atau dimunculkan. Dalam proses persidangan, terutama

yang berkenaan dengan Saksi dan Korban, tidak sedikit kasus yang kandas ditengah

jalan disebabkan ketiadaan Saksi dan Korban yang dapatmendukung tugas penegak

hukum. Oleh karena itu, keberadaan Saksi dan Korban merupakan suatu unsur yang

sangat menentukan dalam suatu proses peradilan pidana. Peran Saksi dan Korban

dalam proses peradilan pidana selama ini sangat jauh dari perhatian masyarakat dan

penegak hukum. Adanya kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan

disebabkan oleh karena keengganan saksi dan Korban untuk memberikan kesaksian

kepada penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak-tertentu.

Pentingnya pemberian perlindungan terhadap saksi dalam proses pidana

merupakan prinsip yang bersifat universal. Semua negara tanpa membedakan sistem

hukum yang dianutnya membuat regulasi tentang perlindungan saksi dalam hukum

nasionalnya, Di Indonesia diatur dalam UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban. Negara Croatia mengaturnya dalam Witness Protection Act of

Republic of Croatia. Melalui studi perbandingan hukum akan dapat diketahui adanya

persamaan dan perbedaan serta kelebihan dan kelemahan diantara kedua jenis sistem

hukum.

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persamaan dan Perbedaan Pengaturan Jenis-jenis Tindakan Perlindungan

(types of protection measures) menurut UU No. 13 tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness Protection Act Of The Republic

Of Croatia

1. Pengaturan Jenis-jenis Tindakan Perlindungan (types of protection measures)

dalam UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Sorban

a. Latar Belakang UU No. 13 tahun 2006

Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah

keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat atau mengalami

sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam rangka menemukan dan mencari

kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.

Penegak hukum dalam menemukan dan mencari kejelasan tentang tindak

pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan

karena tidak dapat menghadirkan saksi dan/atau korban disebabkan adanya

ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu. Sehubungan dengan

hal tersebut, perlu dilakukan perlindungan bagi saksi dan/atau korban yang

sangat penting keberadaannya dalam proses peradilan pidana.

Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada

alat bukti yang berhasil diungkap atau ditemukan. Dalam proses persidangan,

terutama yang berkenaan dengan Saksi, banyak kasus yang tidak terungkap

akibat tidak adanya Saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum.

Padahal, adanya Saksi dan Korban merupakan unsur yang sangat menentukan

dalam proses peradilan pidana. Keberadaan Saksi dan Korban dalam proses

peradilan pidana selama ini kurang mendapat perhatian masyarakat dan

penegak hukum. Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan

banyak disebabkan oleh Saksi dan Korban takut memberikan kesaksian

kepada penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak tertentu. Dalam

rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak

pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan

perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui

atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana

yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.

Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan

keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam

atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan

hukum dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang

memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu

tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir

atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.

Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di

Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya

mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat

perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia.

Oleh karena itu, sudah saatnya perlindungan Saksi dan Korban diatur dengan

undang-undang tersendiri. Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum

(equality before the law) yang menjadi salah satu ciri negara hukum, Saksi

dan Korban dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan

hukum.

b. Perlindungan dan Hak Saksi dan Korban

Perlindungan yang diberikan melalui UU PSK adalah perlindungan

khusus yang diberikan kepada saksi dan korban dimana bobot ancaman atau

tingkat kerusakan yang derita oleh saksi dan/ atau korban ditentukan melalui

proses penetapan oleh LPSK. Definisi mengenai perlindungan dalam UU

PSK terdapat pada Pasal 1 angka 6. Menurut UU PSK perlindungan adalah

segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan. Lebih lanjut dalam UU

PSK menyatakan bahwa perlindungan saksi dan korban adalah bertujuan

untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/ atau korban dalam

memberikan keterangan pada setiap proses peradilan.

Pasal 5 UU PSK, Pasal 6, dan Pasal 7 menjadi rujukan mengenai

hak-hak, bentuk-bentuk perlindungan, dan bentuk bantuan yang dijamin oleh

undang-undang. Dalam Pasal 5, terdapat 13 (tiga belas) hak saksi dan atau

korban yang dalam konteks pemberian perlindungan akan diberikan oleh

LPSK. Dalam Pasal 5 tersebut, UU PSK menyebutkan bahwa perlindungan

utama yang dperlukan adalah perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga,

dan harta benda, serta bebas dari ancaman yang berkaitan dengan

kesaksiannya dalam proses perkara yang berjalan.. Selain Pasal 5 itu, korban

juga memiliki hak atas kompensasi dan hak atas restitusi sebagaimana diatur

pada Pasal 7 UU PSK. Menurut UU PSK, dalam Pasal 6 khusus terhadap

korban pelanggaran hak asasi manusia berhak pula atas bantuan medis dan

bantuan rehabilitasi psiko-sosial.

Undang-Undang No. 16 tahun 2006 memberikan perlindungan pada

Saksi dan Korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam

lingkungan peradilan. Sedangkan Perlindungan Saksi dan Korban berasaskan

pada:

1) penghargaan atas harkat dan martabat manusia;

2) rasa aman;

3) keadilan;

4) tidak diskriminatif; dan

5) kepastian hukum.

Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman

kepada Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap

proses peradilan pidana. Menurut UU No. 16 tahun 2006 Seorang Saksi dan

Korban berhak:

1) memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta

bendanya,

2) serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan,

sedang, atau telah diberikannya;

3) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan

dan dukungan keamanan;

4) memberikan keterangan tanpa tekanan;

5) mendapat penerjemah;

6) bebas dari pertanyaan yang menjerat;

7) mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;

8) mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;

9) mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

10) mendapat identitas baru;

11) mendapatkan tempat kediaman baru;

12) memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;.

13) mendapat nasihat hukum; dan/atau

14) memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu

perlindungan berakhir.

Hak-hak tersebut diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak

pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. Korban

dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak

sebagaimana di atas, juga berhak untuk mendapatkan:

1) bantuan medis; dan

2) bantuan rehabilitasi psiko-sosial.

Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:

1) hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang

berat;

2) hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab

pelaku tindak pidana. Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi

diberikan oleh pengadilan.

Perlindungan dan hak Saksi dan Korban diberikan sejak tahap

penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana

diatur dalam Undang-Undang. Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya

berada dalam Ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat

memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara

tersebut scdang diperiksa. (2) Saksi dan/atau Korban dapat memberikan

kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang

berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang

memuat tentang kesaksian tersebut. Saksi dan/atau Korban dapat pula

didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan

didampingi oleh pejabat yang berwenang.

Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik

pidana maupun. perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah

diberikannya. Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama

tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan

pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

Ketentuan ini tidak berlaku terhadap Saksi, Korban, dan pelapor yang

memberikan keterangan tidak dengan itikad baik.

c. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

dalam ketentuan umumnya telah menyatakan bahwa Lembaga Perlindungan

Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK, adalah lembaga yang

bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain

kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) tidak merinci

tugas dan kewenangan dari LPSK tersebut lebih lanjut. Perumus UU

kelihatannya tidak menjabarkan tugas dan kewenangan LPSK dalam suatu

bagian atau bab tersendiri dalam UU No 13 tahun 2006 seperti peraturan

lainnya, melainkan menyebarkan di seluruh UU.

Adapun tugas dan kewenangan LPSK yang tersebar dalam UU No

13 Tahun 2006, yaitu:

1) Menerima permohonan Saksi dan/ atau Korban untuk perlindungan

2) Memberikan keputusan pemberian perlindungan Saksi dan/ atauKorban

3) Memberikan perlindungan kepada Saksi dan/ atau Korban

4) Menghentikan program perlindungan Saksi dan/ atau Korban

5) Mengajukan ke pengadilan (berdasarkan keinginan korban) berupa hak

atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat;

dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab

pelaku tindak pidana

6) Menerima permintaan tertulis dari korban ataupun orang yang mewakili

korban untuk bantuan

7) Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan

diberikannya bantuan kepada Saksi dan/ atau Korban

8) Bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang dalam

melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan.

Jika dilihat dari tugas maupun kewenangan yang diberikan oleh UU

PSK terhadap LPSK, secara umum terkesan sudah mencukupi. Namun jika

diperhatikan dengan teliti, apalagi jika dikaitkan dengan mandat dari undang-

undangnya maka kewenangan dari lembaga ini masih kurang memadai. Ada

beberapa hal penting yang sebaiknya menjadi kewenangan LPSK adalah yang

seharusnya masuk di dalam UU No 13 Tahun 2006 yakni :

1) Diberikan wewenang untuk menentukan layanan-layanan apa yang akan

diberikan bagi saksi, untuk memberikan bukti dalam persidangan apapun.

LPSK sebaiknya diperbolehkan membuat peraturan-peraturan yang

berhubungan dengan :

a) bantuan dan dukungan bagi saksi selama di pengadilan;

b) penyediaan tempat khusus bagi saksi di pengadilan;

c) konsultasi bagi para saksi; dan

d) hal-hal lain yang oleh LPSK dipandang sangat perlu diatur untuk

menyediakan pelayanan bagi saksi di pengadilan;

2) Melaksanakan tugas-tugas administratif menyangkut perlindungan saksi

dan orang orang terkait, termasuk menyangkut perlindungan sementara

dan layanan-layanan lainnya.

3) Membuat perjanjian-perjanjian tentang bantuan yang akan dilakukan

oleh orang-orang, institusi atau organisasi. Misalnya membuat

kesepakatan dengan Departemen dilingkungan Pemerintahan lainnya,

atau membuat perjanjian dengan orang, institusi atau organisasi untuk

kepentingan LPSK yang lebih luas.

4) Diberikan wewenang untuk (1) menggunakan fasilitas atau

perlengkapan-perlengkapan milik atau yang ada di bawah penguasaan

Depertemen, orang, institusi atau organisasi tersebut; (2) mendapatkan

dokumen-dokumen atau informasi lainnya yang dibutuhkan dalam

rangka perlindungan seseorang yang dilindungi; atau menyangkut

berbagai hal yang akan membuat ketentuan-ketentuan Undang-Undang

Perlindungan Saksi dan Korban ini dapat berjalan.

5) Menetapkan langkah-langkah dan cara-cara bagaimana ketentuan-

ketentuan UU PSK mesti dijalankan oleh kantor-kantor cabangnya jika

ada dan menunjuk tempat-tempat yang akan difungsikan sebagai tempat-

tempat aman. LPSK harus juga mengawasi para staf di lembaga

perlindungan saksi; dan boleh menjalankan kewenangan serta harus

melaksanakan fungsi atau mengerjakan tugas-tugas yang diberikan,

ditugaskan atau dibebankan kepadanya oleh atau berdasarkan Undang-

Undang.

6) Secara tertulis mendelegasikan kewenangan, fungsi dan tugas-tugas yang

diberikan, ditugaskan atau dibebankan kepadanya kepada anggota lain di

LPSK. Anggota LPSK yang didelegasikan kewenangan, fungsi dan

tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam bagian di atas, harus

menjalankan kewenangan, melaksanakan fungsi dan tugas-tugas dibawah

pengawasan dan petunjuk dari ketua LPSK;

7) Ketua LPSK dapat sewaktu-waktu mencabut pendelegasian secara

tertulis, dan pendelegasian kewenangan, fungsi dan tugas-tugas tidak

menghalangi ketua menjalankan, melaksanakan atau mengerjakan

kewenangan, fungsi dan tugas-tugas itu sendiri;

8) Semua Departemen dilingkungan Pemerintah harus memberikan bantuan

yang sekiranya diperlukan dalam rangka menjalankan, melaksanakan

atau mengerjakan kewenangan, fungsi dan tugas-tugas yang diberikan,

ditugaskan atau dibebankan kepada ketua oleh atau menurut UU PSK.

9) Kewenangan lainnya yang dibutuhkan oleh lembaga ini dalam kaitannya

dengan lembaga penegak hukum lainnya adalah hak memberikan

rekomendasi tentang kondisi saksi maupun korban termasuk ketika saksi

akan memberikan keterangan dalam persidangan-persidangan pidana.

10) Memiliki hak untuk tidak memberikan informasi tentang data-data

tertentu dari saksi (rahasia) yang masuk dalam program perlindungan

saksi

d. Syarat dan Tata Cara Pemberian Perlindungan

Perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau Korban

tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan dengan

mempertimbangkan syarat sebagai berikut:

1) sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban;

2) tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban;

3) hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban;

4) rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau

Korban.

Tata cara memperoleh perlindungan sebagai berikut:

1) Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri

maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan

permohonan secara tertulis kepada LPSK;

2) LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan tersebut.

3) Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari

sejak permohonan perlindungan diajukan.

Dalam hal LPSK menerima permohonan, Saksi dan/atau Korban

Saksi dan/atau Korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti

syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban. Pernyataan kesediaan

mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban memuat:

1) kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian dalam

proses peradilan;

2) kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk menaati aturan yang berkenaan

dengan keselamatannya;

3) kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan dengan cara

apa pun dcngan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia

berada dalam perlindungan LPSK;

4) kewajiban Saksi dan/atau Korban untuk tidak memberitahukan kepada

siapa pun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK; dan

hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.

LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada Saksi

dan/atau Korban, termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan

kesediaan. Perlindungan atas keamanan Saksi dan/atau Korban hanya dapat

dihentikan berdasarkan alasan:

1) Saksi dan/atau Korban meminta agar perlindungan terhadapnya

dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;

2) atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan

perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban berdasarkan atas

permintaan pejabat yang bersangkutan;

3) Saksi dan/atau Korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam

perjanjian; atau LPSK berpendapat bahwa Saksi dan/atau Korban tidak

lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang

meyakinkan.

4) penghentian perlindungan keamanan seorang Saksi dan/atau Korban

harus dilakukan secara tertulis.

Bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan kepada

seorang Saksi dan/atau Korban atas permintaan tertulis dari yang

bersangkutan ataupun orang yang mewakilinya kepada LPSK. LPSK

menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban.

Dalam hal Saksi dan/atau Korban layak diberi bantuan, LPSK menentukan

jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan. Keputusan LPSK mengenai

pemberian bantuan kepada Saksi dan/atau Korban harus diberitahukan secara

tertulis kepada yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari

kerja sejak diterimanya permintaan tersebut.

Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK

dapat bekerja lama dengan instansi terkait yang berwenang. Dalam

melaksanakan perlindungan dan bantuan instansi terkait sesuai dengan

kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan

ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

e. Ketentuan Pidana

1) Setiap orang yang memaksakan kehendaknya baik menggunakan

kekerasan maupun cara-cara tertentu, yang menyebabkan Saksi dan/atau

Korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf d sehingga Saksi dan/atau Korban

tidak memberikan kesaksiannya pada tahap pemeriksaan tingkat mana

pun, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan

paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit

Rp.40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.200.

000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada Saksi

dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)

tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit

Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak

Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

3) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) sehingga mengakibatkan matinya Saksi dan/atau

Korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun

dan paling lama seumur hidup dan pidana denda paling sedikit

Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak

Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

4) Setiap orang yang menghalang-halangi dengan cara apapun, sehingga

Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan atau bantuan,

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf d, Pasal

6, atau Pasal 7 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2

(dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling

sedikit Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak

Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

5) Setiap orang yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban atau keluarganya

kehilangan pekerjaan karena Saksi dan/atau Korban tersebut memberikan

kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan

pidana denda paling sedikit Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah)

dan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

6) Setiap orang yang menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya hak-hak

Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6,

atau Pasal 7 ayat (1) karena Saksi dan/atau Korban memberikan

kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan

pidana denda paling sedikit Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah)

dan paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

7) Setiap orang yang memberitahukan keberadaan Saksi dan/atau Korban

yang tengah dilindungi dalam suatu tempat khusus yang dirahasiakan

oleh LPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf j,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling

lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.80.000.000,00

(delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima

ratus juta rupiah).

8) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38,

Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41 dilakukan oleh pejabat publik, ancaman

pidananya ditambah dengan 1/3.

f. Ketentuan Peralihan

Pada saat Undang-Undang ini diundangkan, peraturan perundang-

undangan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap Saksi dan/atau

Korban dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan

Undang-Undang ini.

2. Pengaturan Program Perlindungan Saksi dan Korban dalam Witness

Protection Act Of The republic Of Croatia

a. Purpose (tujuan)

section 1

This Act regulates the terms and procedures for providing protection

and assistance to endangered persons, exposed to severe danger for life,

health, corporal inviolability, freedom or property of large scale arising from

witnessing in criminal proceedings for criminal offences anticipated in this

Act. Inclusion of endangered person into the Protection scheme is voluntary.

Application of measures from this Act in connection with the endangered

minors may not be undertaken without approval of parents or trustee.

Concerning the persons with restricted capacity or legally incapacitated

persons, such approval is granted by the person authorized to represent the

endangered person in accordance with the law or by the trustee.

Penjelasan

(Undang-undang ini mengatur hubungan dan prosedur untuk

memberikan perlindungan kepada orang-orang yang terancam, terkena

bahaya jiwa, kesehatan, hukuman badaniah yang tidak dapat diganggu gugat,

kebebasan atau sifat skala besar yang timbul dari memberikan kesaksian

dalam persidangan tindak pidana untuk perbuatan-perbuatan pidana

seluruhnya diantisipasi dalam Undang-undang ini. Dimasukannya orang yang

terancam kedalam skema perlindungan merupakan disengaja. Penerapan

langkah-langkah dari Undang-undang ini dalam kaitannya dengan kaum

minoritas yang terancam tidak dapat dijalankan tanpa persetujuan orangtua

atau wali. Berkenaan dengan orang-orang yang memiliki kapasitas terbatas

atau orang yang dicabut haknya secara hukum, persetujuan diberikan oleh

orang yang diberi wewenang untuk mewakili orang yang terancam sesuai

dengan Undang-undang atau oleh walinya.)

1) Endangered person (orang yang terancam/korban):

a person whose inclusion into the Protection scheme is justified

due to possibility of life, health, corporal inviolability, freedom or property

endangering of large scale to herself or to persons related to him, because

of importance of information known to him for the criminal proceeding.

(seseorang yang pencantumannya kedalam skema perlindungan

dibenarkan Karena kemungkinan bahaya yang mengancam jiwa,

kesehatan, hukuman yang tidak dapat diganggu gugat, kebebasan atau

harta bendanya dalam skala besar terhadap dirinya atau orang-orang yang

berhubungan dengannya, karena pentingnya informasi yang ia ketahui

untuk persidangan tindak pidana).

2) Close person (orang terdekat/keluarga):

is a household member to endangered person as well as any other

member designated by him to be included into the Protection scheme.

(adalah salah seorang anggota keluarga dari orang yang terancam serta

anggota yang lain yang ditunjuk olehnya agar dimasukkannya dirinya

kedalam skema perlindungan).

3) Included person (orang yang terlibat/saksi):

a person having concluded the contract to be included into the

Protection scheme. (seseorang yang telah mengakhiri kontrak

dimasukkannya dirinya kedalam skema perlindungan).

4) Protection unit (unit perlindungan):

is a separate organizational unit within the Police Administration,

Ministry of Interior in charge of Protection scheme execution. (sebuah unit

organisasi yang berbeda didalam Administrasi Kepolisian, Kementrian

Dalam Negeri yang bertanggung jawab atas pelaksanaan skema

perlindungan).

5) Protection scheme (skema perlindungan):

consists of measures and activities executed and organized by the

Protection unit and competent body for prison administration of the

ministry competent for justice affairs in accordance with provisions of this

Act in order to protect the included persons. ( terdiri atas langkah-langkah

dan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dan diatur oleh unit perlindungan

dan badan yang berwenang untuk administrasi penjara kementrian yang

berwenang atas urusan-urusan keadilan yang sesuai dengan ketentuan

Undang-undang ini guna melindungi orang-orang yang terlibat).

6) Board (dewan pengurus):

is a body prescribed by this Act, authorized to bring decisions on

inclusion and interruption of Protection scheme execution as well as other

activities prescribed by this Act. ( suatu badan yang ditentukan oleh

Undang-undang ini, yang berwenang untuk membawa memutuskan

pemasukan dan penghentian pelaksanaan skema perlindungan serta

kegiatan-kegiatan lain yang ditentukan oleh Undang-undang).

b. Board (dewan pengurus)

The Board consists of five members. Board is made up by a representative of

the Supreme Court of the Republic of Croatia out of the Supreme Court

judges, State Attorney General's Office of the Republic of Croatia out of

deputies of the State Attorney General, Ministry of Interior – Police

Directorate and the Head of Protection unit.

Members of the Board have their deputies.

Members of the Board and their deputies are nominated and acquitted by the

head of a body wherefrom such a Board member, i.e. deputy Board member

originates from. The Head of Protection Unit is a Board member by his

function, while his deputy is nominated, upon his proposal, by the Minister of

Interior.

(Dewan pengurus terdiri atas 5 orang anggota. Dewan pengurus terbentuk

dari seorang perwakilan dari Mahkamah Agung Republik Kroasia diluar para

hakim Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung Republik Kroasia diluar wakil

Jaksa Agung, Kementerian Dalam Negeri – Direktorat Kepolisian dan Kepala

Unit Perlindungan.

Para anggota Dewan Pengurus memiliki wakil-wakilnya.

Para anggota Dewan Pengurus dan wakil-wakilnya ditunjuk dan dibebaskan

oleh kepala suatu badan darimana anggota dewan pengurus tersebut, yaitu

wakil anggota dewan pengurus, berasal. Kepala Unit Perlindungan adalah

salah seorang anggota dewan pengurus dengan fungsinya, sedangkan

wakilnya ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri, berdasarkan usulannya.)

1) Members of the Board, except the Head of Protection Unit, and their

deputies are nominated for the period of five years and may be re-

nominated.

Exceptionally after the first election, elapsing the three year period, re-

election of the

Board members and their deputies from the Supreme Court and State

Attorney's Office will be made.

(Para anggota Dewan Pengurus, kecuali Kepala Unit Perlindungan, dan

para wakilnya diangkat untuk masa jabatan lima tahun dan dapat

diangkat kembali.

Kecuali setelah pemilihan pertama, pemilihan kembali para anggota

dewan pengurus dan wakil-wakilnya dari Mahkamah Agung dan

Kejaksaan Agung akan dilakukan setelah masa jabatan tiga tahun.)

2) Membership to the Board will terminate: (Keanggotaan Badan

Pengurus akan berakhir )

a) By termination of service in the body wherefrom the member or

deputy member was nominated. (Dengan berakhirnya pengabdian

pada badan darimana anggota atau wakil anggota tersebut dipilih.)

b) With good reasons upon request of the member or a deputy member.

(Dengan alasan-alasan yang baik berdasarkan permintaan anggota

atau anggota wakil.)

c) Due to breach of the Board operation regulations. (Karena

pelanggaran terhadap undang-undang operasional Dewan Pengurus)

Decision on termination of membership in the Board is brought by the

Head of the body which nominated the board member or deputy

member ex officio for the reasons mentioned in paragraph 1 item 1 of

this Article, upon proposal of the member or deputy Board member

for the reasons mentioned in paragraph 1, item 2 of this Article and

upon proposal of the Board for the reasons mentioned in paragraph 1,

item 3 of this Article.

(Keputusan mengenai penghentian keanggotaan dalam Dewan

Pengurus dibuat oleh Kepala Dewan Pengurus yang menunjuk

anggota atau wakil anggota dewan pengurus ex officio karena alasan-

alasan yang disebutkan pada alinea 1 nomor satu pasal ini,

berdasarkan usulan anggota atau wakil anggota dewan pengurus

karena alasan-alasan yang disebutkan pada alinea 1, nomor 2 pasal ini

dan berdasarkan usulan Dewan Pengurus karena alasan-alasan pada

alinea 1, soal nomor 3 Pasal ini.)

c. President of the Board is in charge of the Board. (Presiden Dewan

Pengurus bertanggung jawab atas Dewan Pengurus)

By his function the Board President is a Board member coming as a judge

from the Supreme Court of the Republic of Croatia. In case of his disability,

his deputy will be replacing him. Board operations are secret. The Board

adopts a rulebook on its operations.

(Dengan fungsi ini, Presiden Dewan Pengurus adalah seorang anggota Dewan

Pengurus yang datang sebagai seorang hakim dari Mahkamah Agung

Republik Kroasia. Apabila tidak mampu, wakilnya akan menggantikan

dirinya. Operasi dewan pengurus adalah rahasia. Dewan pengurus

menggunakan sebuah kitab aturan mengenai operasinya.)

d. The Board brings decisions on its sessions. (Dewan pengurus membuat

keputusan-keputusan dalam sidang-sidangnya)

The Board can bring decision only providing at least four members or their

deputies were present at the session. Consent of four Board members is

mandatory to bring a decision on application and termination of measures,

while the other decisions are brought by majority of votes.

(Dewan pengurus dapat membuat keputusan hanya dengan setidaknya

menghadirkan empat orang anggota atau wakilnya dalam sidang. Persetujuan

keempat anggota Dewan Pengurus adalah wajib untuk membuat keputusan

tentang penerapan dan penghentian langkah-langkah, sedangkan keputusan

yang lain dibuat dengan suara mayoritas.)

e. Procedure and method of approach (Prosedur dan metode pendekatan)

Upon proposal of the competent state attorney or endangered person, State

Attorney General may submit request to the Board to include the endangered

person into the Protection scheme, in case that the free testimony of a witness

in a criminal proceeding could not be assured in any other way. In case that

even after the lapse of the Scheme period designated in the contract a need

for protection of included person continues to exist, the State Attorney

General will submit request to the Board for continuation of the Scheme

period.

Simultaneously to the submission of request from Article 9, paragraph 1 of

this Act, the State Attorney General will inform the Protection Unit in order

to undertake urgent measures. Before undertaking urgent measures, the Unit

Head will obtain a written consent of the endangered person. The Unit Head

will immediately inform the Board President and the State Attorney General

about the actions undertaken.

(Berdasarkan usulan dari pengacara negara yang berwenang atau orang yang

terancam, Ketua Jaksa Agung dapat mengajukan permohonan kepada Dewan

Pengurus agar memasukkan orang yang terancam kedalam skema

Perlindungan, apabila kesaksian bebas dari seorang saksi dalam sidang tindak

pidana tidak dapat dijamin dengan cara yang lain. Apabila bahkan setelah

berlalunya periode skema yang ditetapkan didalam sebuah kontrak, sebuah

kebutuhan akan perlindungan terhadap orang yang terlibat terus dilakukan,

Ketua Jaksa Agung akan mengajukan permohonan kepada Dewan Pengurus

atas kelanjutan periode skema tersebut.

Bersamaan dengan pengajuan permohonan dari Pasal 9, alinea 1 Undang-

Undang ini, Ketua Jaksa Agung akan memberitahu Unit Perlindungan agar

melakukan langkah-langkah yang mendesak. Sebelum melakukan langkah-

langkah yang mendesak, Kepala Unit akan memproleh sebuah persetujuan

tertulis dari orang yang terancam. Kepala Unit akan segera memberitahu

Presiden Dewan Pengurus dan Ketua Jaksa Agung tentang langkah-langkah

yang dilakukan.)

f. Proposal of the competent state attorney to the State Attorney General must

include (Usulan jaksa agung yang kepada Ketua Jaksa Agung harus

meliputi) :

1) data about the person proposed for inclusion into the protection scheme,

(data tentang orang yang diusulkan untuk dimasukkan kedalam skema

perlindungan)

2) description of criminal offence and evaluation of existing evidences,

(penjelasan tentang tindak kejahatan dan evaluasi tentang bukti-bukti yang

ada)

3) contents of possible testimony with evaluation of its importance for the

proceeding,

(kemungkinan isi kesaksian dengan evaluasi tentang pentingnya kesaksian

tersebut bagi siding)

4) description and evaluation of danger threatening the endangered person.

(penjelasan dan evaluasi tentang bahaya yang mengancam orang yang

terancam.)

In case the endangered person submitted proposal for submission of request

directly to the State Attorney General, before bringing his decision the State

Attorney General will request the competent state attorney to submit to him

the data from paragraph 1 of this

(Apabila orang yang terancam mengajukan proposal untuk pengajuan

permohonan secara langsung kepada Ketua Jaksa Agung, sebelum membuat

keputusan, maka Ketua Jaksa Agung akan memohon jaksa agung yang

berwenang agar mengumpulkan kepadanya data yang disebutkan pada alinea

1 Pasal ini.)

The proceeding judge submits proposal for inclusion of endangered person

into the Protection scheme to the State Attorney General. Before submission

of request to the Board,the State Attorney General will obtain the data from

Article 11, paragraph 1 of this Act.

(Jaksa sidang mengajukan proposal untuk memasukkan orang yang terancam

kedalam skema Perlindungan kepada Ketua Jaksa Agung. Sebelum pengajuan

permohonan kepada Dewan Pengurus, Ketua Jaksa Agung akan memperoleh

data dari Pasal 11, alinea 1 Undang-Undang ini.)

Upon receipt of the request, President of the Board will convene the Board

session immediately, but in any case within three days at latest. In case the

implementation of urgent measures is under way, they may last until the

Board decision.

(Berdasarkan kwitansi permohonan, Presiden Dewan Pengurus akan

memanggil rapat sesi Dewan Pengurus dengan segera, tetapi kadang-kadang

selambat-lambatnya dalam waktu tiga hari. Apabila pelaksanaan langkah-

langkah yang mendesak sedang dilakukan, hal itu mungkin berakhir hingga

keputusan Dewan Pengurus.)

After consideration, the Board will bring decision on inclusion of the person

into the protection scheme and inform the State Attorney General and

Protection Unit about such decision.

(Setelah mempertimbangkan, Dewan Pengurus akan membuat keputusan

tentang memasukkan orang tersebut kedalam skema perlindungan dan

memberitahu Ketua Jaksa Agung dan Unit Perlindungan tentang keputusan-

keputusan tersebut.)

4 Types of protection measures (Jenis-jenis langkah perlindungan):

Protection measures for endangered persons are as follows (Langkah-

langkah perlindungan bagi orang-orang yang terancam adalah sebagai

berikut) :

a) physical protection (perlindungan fisik)

Physical protection from Article 15, paragraph 1, item 1 of this Act is an

immediate providing of protection in order to prevent endangering of life,

health, corporal inviolability, freedom or property of endangered person.

(Perlindungan fisik dari Pasal 15 alinea 1, nomor 1 Undang-Undang ini

merupakan sebuah penyediaan perlindungan yang segera guna mencegah

bahaya yang mengancam keselamatan jiwa, kesehatan, hukuman yang

tidak dapat diganggu gugat, kebebasan atau harta benda orang yang

terancam.)

b) relocation (relokasi)

Relocation of endangered person from Article 15, paragraph 1, item 2 of

this Act is a temporary or permanent resettling from the place of residence

or domicile of endangered person to another location designated by the

Protection Unit. Relocation is possible on the territory of Republic of

Croatia or outside the territory of Republic of Croatia, in accordance with

international treaties. Regarding the endangered persons – prisoners on

remand or prisoners, the relocation measure is applied within the prison

system of the Republic of Croatia.

(Relokasi orang yang terancam dari Pasal 15, alinea 1, nomor 2 Undang-

Undang ini merupakan pemindahan sementara atau permanent dari tempat

tinggal atau domisili orang yang terancam ke tempat lain yang ditunjuk

oleh Unit Perlindungan. Relokasi memungkinkan untuk dilakukan di

wilayah Republik Kroasia atau diluar wilayah Republik Kroasia, sesuai

dengan perjanjian internasional. Mengenai orang-orang yang terancam –

nara pidana, langkah relokasi berlaku didalam system penjara Republik

Kroasia.)

c) measures of disguising identity and ownership (langkah menyamarkan

identitas dan kepemilikan)

Measure of disguising identity comprises the production and use of

personal documents with temporary changed personal data, as well as

production and use of title deeds of endangered persons. Measures of

disguising identity and ownership do not have as consequence the

permanent change of personal data and data about ownership in the

appropriate records.

(Langkah-langkah untuk menyamarkan identitas terdiri atas pembuatan

dan penggunaan dokumen pribadi dengan data pribadi yang diubah

sementara, serta pembuatan dan penggunaan ijazah orang-orang yang

terancam. Langkah-langkah untuk menyamarkan identitas dan

kepemilikan, sebagai akibatnya, tidak memiliki perubahan data pribadi

permanent dan data tentang kepemilikan dalam catatan yang tepat.

d) change of identity (perubahan identitas)

Change of identity from Article 15, paragraph 1, item 4 of this Act is a

change of parts or all personal data of endangered person. Approval of

the Board is necessary in order to apply this measure. Acquisition of new

identity has no impact on status and other rights and obligations of

endangered person. After change of identity, the Unit allows and

supervises the approach to real identity

(Perubahan identitas dari Pasal 15, alinea 1, soal 4 Undang-Undang ini

merupakan suatu perubahan bagian-bagian atau semua data pribadi orang

yang terancam. Pengesahan dari Dewan Pengurus diperlukan untuk

menerapkan langkah ini. Pemerolehan identitas baru tidak memiliki

dampak terhadap status dan hak-hak lain dan kewajiban orang yang

terancam. Setelah perubahan identitas, Unit ini membiarkan dan

mengawasi pendekatan terhadap identitas yang sesungguhnya.)

g. Application of measure disguising and changing of identity (Penerapan

langkah untuk menyamarkan dan mengubah identitas)

Upon request of the Protection Unit, the administrative bodies and legal

entities keeping records on civil status, data and registers about personal

data, status and other rightsof the citizens, as well as other records

wherefrom the data about identity and residence of a person could be

determined, will refuse to supply such data to any body or person. In case of

a quest for such data, the competent body or legal entity will inform the Unit

about it without delay. The data from paragraph 1 of this Article could be

supplied only upon approval of the Protection Unit.

Production and use of documents utilized in accordance with this Act, in

order to realize the measures disguising and changing of identity, is not a

criminal offence.

(Atas permintaan Unit Perlindungan, badan-badan administrasi dan badan

hukum yang menyimpan status perdata, data dan daftar tentang data pribadi,

status dan hak-hak warga negara lainnya serta catatan lain yang darinya data

tentang identitas dan tempat tinggal seseorang dapat ditentukan, akan

menolak untuk memberikan data kepada suatu badan atau seseorang. Dalam

pencarian data semacam itu, badan yang berwenang atau badan hukum akan

memberitahukan kepada Unit tentang hal tersebut tanpa menunda-nunda.

Data dari alinea 1 Pasal ini dapat diberikan hanya atas persetujuan Unit

Perlindungan.

Pembuatan dan penggunaan dokumen yang digunakan sesuai dengan

Undang-Undang ini, guna mewujudkan langkah-langkah untuk menyamarkan

dan mengganti identitas, bukan merupakan sebuah tindakan kejahatan.)

h. Protection Unit ( Unit Perlindungan)

Protection Unit carries out and organizes the Protection scheme, carries out

and organizes urgent measures and performs all other duties connected to

protection of endangered persons, unless this Act provides to the contrary.

Protection Unit is responsible for implementation of the Protection scheme.

Protection Unit decides independently on types of measures to be

implemented, save for change of identity measure (Article 15, paragraph 1,

item 4 of this Act), while in connection with the persons deprived of liberty in

cooperation with the competent body responsible for jail system management

at the ministry competent for justice affai In case the measures from Article

15, paragraph 1, item 1-4 of this Act cannot be carried out otherwise, in

performing of activities from its competence the Unit may disguise the real

identity of its employees as well as disguise ownership on articles used to

perform certain measures.

(Unit Perlindungan melakukan daan mengatur skema Perlindungan,

melakukan dan mengatur langkah-langkah yang mendesak dan menjalankan

semua kewajiban lainnya yang terkait dengan perlindungan orang yang

terancam, kecuali jika Undang-undang ini menyatakan sebaliknya. Unit

Perlindungan bertanggung jawab atas pelaksanaan skema Perlindungan. Unit

Perlindungan secara mandiri memutuskan tentang jenis-jenis langkah yang

harus dilaksanakan, aman untuk langkah penggantian identitas (Pasal 15,

alinea 1, nomor 4 Undang-undang ini), sementara dalam kaitannya dengan

orang yang dicabut hak kebebasannya dalam kerjasama dengan badan

berwenang yang bertanggung jawab atas penanganan system penjara di

kementerian yang berwenang dalam masalah keadilan. Apabila langkah-

langkah dari Pasal 15, alinea 1, nomor 1-4 Undang-Undang ini tidak dapat

dilakukan sebaliknya, saat melakukan kegiatan dari kemampuannya Unit

dapat menyamarkan identitas karyawan yang sesungguhnya serta

menyamarkan kepemimilikan atas pasal-pasal yang digunakan untuk

melakukan langkah-langkah tertentu.)

i. Provision of assistance to a person included into the scheme (Ketentuan

mengenai bantuan bagi seseorang yang dimasukkan kedalam skema)

The Unit will provide necessary psychical, social and legal assistance to the

included person. In order to assist the inclusion of included person into the

new environment, the Unit will assist such a person providing economic and

social support until the moment of his independence. Economic and social

support provided to the endangered person may not be higher than the sum

necessary to cover costs of living and inclusion into the new existential

environment and may not represent the basis for acquisition of wealth.

(Unit ini akan memberikan bantuan psikis, sosial, dan hukum kepada orang

yang terlibat. Untuk membantu memasukkan orang yang terlibat kedalam

lingkungan baru, Unit ini akan membantu seseorang yang memberikan

dukungan ekonomi dan sosial hingga ia bias mandiri. Dukungan ekonomi dan

sosial yang diberikan kepada orang yang terancam mungkin tidak lebih tinggi

daripada jumlah yang diperlukan untuk menutup biaya hidup dan

memasukkan kedalam lingkungan eksistensial yang baru dan tidak dapat

menggambarkan dasar bagi pemerolehan kesehatan.)

j. Accession to the program and the contract (Pencapaian program dan

kontrak)

In the course of implementation of urgent measures, the Protection Unit will

request from the endangered person to file the questionnaire on personal

data, property conditions, obligations, cycle of close persons as well as on

other data in accordance with the form enclosed to this Act, and to submit to

medical examination

(Dalam proses pelaksanaan langkah-langkah yang mendesak, Unit

Perlindungan akan meminta orang yang terancam agar mengajukan angket

mengenai data pribadi, kondisi harta benda, kewajiban, siklus orang dekat

serta data lain sesuai dengan formulir yang terlampir dalam Undang-Undang

ini, dan untuk mengajukan pemeriksaan kesehatan.)

The Contract is made in a single copy, which is kept with the Protection Unit

and during the Protection scheme period is accessible only to the Board. The

Contract must contain;

(Kontrak dibuat dalam satu salinan, yang disimpan oleh Unit Perlindungan

dan selama periode skema Perlindungan dapat diakses oleh Dewan Pengurus.

Kontrak harus berisi) :

1) the Parties to the Contract

( pihak-pihak yang terlibat dalam Kontrak)

2) Statement of endangered person about voluntary accession to the

Protection scheme as well as his statement that the data from the

questionnaire are true and that in case oftheir falseness the Contract could

be rescinded

(Pernyataan orang yang terancam tentang akses sengaja terhadap skema

Perlindungan serta pernyataannya bahwa data dari angket tersebut benar

dan bahwa pada kasus kesalahan mereka, Kontrak dapat dibatalkan,

3) Obligations of endangered person ( Kewajiban orang yang terancam) :

- to give full testimony in exactly specified procedure or procedures

which is substantially in accordance with contents of the statement

used as basis for accession into the program (Article 11, paragraph 1,

item 3 of this Act)

(memberikan kesaksian yang lengkap dalam prosedur atau prosedur-

prosedur yang telah ditetapkan secara tepat yang cukup sesuai dengan

isi pernyataan yang digunakan sebagai dasar untuk mengakses

program (Pasal 11, alinea 1, nomor 3 Undang-undang ini).

- to conform to instructions of the Unit, which are the precondition for

successful realization of security and protection of endangered person

(memenuhi perintah Unit, yang merupakan prasyarat bagi kesuksesan

terwujudnya keamanan dan perlindungan bagi orang yang terancam)

- to agree without specific court decision, for the purpose of protection,

to surveillance and technical recording of long-range communication

means, surveillance and technical recording of the premises where he

resides and to the secret monitoring andrecording

(menyetujui tanpa keputusan pengadilan tertentu, dengan tujuan

perlindungan, untuk pengawasan dan catatan teknis alat komunikasi

jangka panjang, pengawasan dan catatan teknis tentang dasar

pemikiran dimana ia berada dan dengan pengawasan dan perekaman

rahasia;

- to achieve financial independence until the expiration of the

agreement

(untuk mencapai kemandirian keuangan hingga berakhirnya

perjanjian)

- to inform the Unit without delay about any change of circumstances

having impact on realization of the protection scheme target

(menginformasikan Unit tanpa penundaan tentang perubahan situasi

yang memiliki dampak terhadap realisasi sasaran skema perlindungan,

4) Obligations to the included person( Kewajiban terhadap orang yang

terlibat)

- to realize contracted protection measures with only essential

restrictions to his personal freedom and rights

(mewujudkan langkah-langkah perlindungan yang tercantum dalam

kontrak hanya dengan larangan-larangan yang penting bagi kebebasan

dan hak-hak pribadinya)

- to provide to him the necessary psychological, social and legal

assistance during the Protection scheme

(Memberinya bantuan psikologis, sosial dan hukum dalam skema

Perlindungan)

- time span and scope of essential economic assistance

(Jangkauan waktu dan cakupan bantuan ekonomi yang penting)

5) Duration of Scheme implementation and reasons for cancellation of the

contract (Lamanya waktu pelaksanaan skema dan alasan-alasan

pembatalan kontrak)

6) a clause that the contract was made in a single copy, which is kept with

the Protection Unit, with the statement of endangered person to have

understood the contents of the contract and to have been informed about

the mutual rights and obligations

(Sebuah klausa bahwa kontrak dibuat dalam satu salinan, yang disimpan

oleh Unit Perlindungan, dengan pernyataan orang yang teranca, untuk

memahami isi kontrak dan untuk diberitahu tentang hak dan kewajiban

bersama)

7) Date and signature of the parties

(Tanggal dan tanda tangan kedua pihak-pihak yang terlibat)

k. Termination and interruption of the Protection scheme (Penghentian dan

Terhentinya Skema Perlindungan)

The Protection scheme of included person will terminate (Skema

perlindungan umtuk orang yang terlibat akan berakhir) :

1) At expiry of the contract

(pada waktu berakhirnya kontrak)

2) By death of included person

(karena kematian orang yang terlibat)

3) In case the included person, its trustee or legal representative gives up the

Protection

(apabila orang yang terlibat, wakil atau perwakilan hukum menyerahkan

perlindungan)

4) In case the Board brings decision on interruption of the Protection scheme

(apabila dewan pengurus membuat keputusan mengenai terhentinya skema

Perlindungan)

l. International cooperation (Kerjasama Internasional)

International cooperation is realized on basis of assumed rights and

obligations from international treaties signed by the Republic of Croatia.

International treaties may provide for relocation of endangered person

outside the territory of the Republic of Croatia or reception to the territory of

the Republic of Croatia.

(Kerjasama internasional diwujudkan berdasarkan hak dan kewajiban yang

diemban dari perjanjian-perjanjian internasional yang ditandatangani oleh

Republik Kroasia. Perjanjian-perjanjian internasional dapat menyediakan

relokasi bagi orang yang terancam diluar wilayah Republik Kroasia atau

penerimaan bagi wilayah Republik Kroasia.)

m. Records and data protection (Catatan dan perlindungan data)

During the Protection scheme implementation the Protection Unit keeps the

following Records (Selama pelaksanaan skema Perlindungan, Unit

Perlindungan menyimpan catatan-catatan berikut ini) :

1) On the personal data of the person which entered the Scheme, his

residence and information related to the change of identity as well as on

all other data arisen in the course of implementation of this Act,

(mengenai data pribadi orang yang dimasukkan dalam skema, tempat

tinggalnya dan informasi yang terkait dengan perubahan identitas serta

data semua data lain yang timbul selama pelaksanaan Undang-Undang

ini),

2) On the data from the questionnaire,

(mengenai data dari angket)

3) On concluded contracts,

(mengenai kontrak yang dihentikan)

4) On endangered persons included into the scheme on basis of international

treaties,

(mengenai orang yang terancam yang dimasukkan kedalam skema

berdasarkan perjanjian internasional)

n. Financing (Pembiayaan) :

The funds for implementation of this Act are secured as a special separate

budget item in the Budget of the Republic of Croatia. The Unit Head manages

the funds. The Unit Head is authorized to enter the payment legal affairs in

order to implement the measures from this Act. He reports semi-annually to

the Minister of Interior and to the Board about the utilization of funds.

Members of the Board and their deputies are entitled to a separate

remuneration for their work. The amount of remuneration will be determined

by the Government of the Republic of Croatia.

(Dana untuk pelaksanaan Undang-Undang ini diperoleh sebagai anggaran

terpisah khusus dalam Anggaran Negara Republik Kroasia. Kepala Unit

mengelola dana tersebut. Kepala Unit diberi wewenang untuk memasukkan

urusan hukum pembayaran guna melaksanakan langkah-langkah dari

Undang-Undang ini. Ia setiap setengah tahun sekali melapor kepada Menteri

Dalam Negeri dan kepada Dewan Pengurus tentang pemanfaatan Dana. Para

anggota Dewan dan perwakilan mereka berhak mendapatkan upah yang

terpisah atas pekerjaan mereka. Jumlah upah itu akan ditentukan oleh

Pemerintah Negara Republik Kroasia)

o. Transitional and closing provision (Ketentuan transisi dan penutupan)

Within the period of 30 days after this Act has become effective, the Ministry

of Interior will bring the decision on establishment of the Protection Unit,

nominate its Head and perform the necessary changes of regulations on

internal order. The Minister of Interior will bring the by-law regulations on

the way of protection scheme implementation in accordance with this Act

within the period of 45 days after this Act has become effective.

(Dalam waktu 30 hari sesudah undang-undang ini berlaku, Kementerian

Dalam Negeri akan membuat keputusan tentang pembentukan Unit

Perlindungan, menunjuk Kepalanya dan melakukan perubahan-perubahan

peraturan yang diperlukan atas perintah internal. Menteri Dalam Negeri akan

membawa peraturan-peraturan menurut hukum dalam cara pelaksanaan

skema perlindungan sesuai dengan Undang-Undang ini dalam waktu 45 hari

setelah Undang-Undang ini berlaku).

Persamaan dan perbedaan pengaturan jenis-jenis tindakan perlindungan (types of

protection measures) menurut UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban dengan Witness Protection Act of theRrepublic of Croatia

1. Persamaan dan Perbedaan:

a. Persamaan:

No Persamaan Indonesia Kroasia

1. Segi definisi korban,

saksi, LPSK,

ancaman, keluarga,

perlindungan, unit

perlindungan,

mempunyai

kesamaan definisi

Korban: seseorang

yang mengalami

penderitaan fisik, mental,

dan/atau kerugian

ekonomi yang

diakibatkan oleh suatu

tindak pidana

Saksi: orang yang

dapat memberikan

keterangan guna

kepentingan

penyelidikan,

penyidikan, penuntutan,

Endangered

person (orang yang

terancam/korban): a

person whose inclusion

into the Protection

scheme is justified due

to possibility of life,

health, corporal

inviolability, freedom or

property endangering

of large scale to herself

or to persons related to

him, because of

dan pemeriksaan di

sidang pengadilan

tentang suatu perkara

pidana yang ia dengar

sendiri, ia lihat sendiri,

dan/atau ia alami sendiri

LPSK : lembaga

yang bertugas dan

berwenang untuk

memberikan

perlindungan dan hak-

hak lain kepada Saksi

dan/atau Korban

sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang

itu.

Ancaman: segala

bentuk perbuatan yang

menimbulkan akibat,

baik langsung

maupun tidak langsung,

yang mengakibatkan

Saksi dan/atau Korban

merasa takut

dan/atau dipaksa untuk

melakukan atau tidak

melakukan sesuatu hal

yang berkenaan

dengan pemberian

kesaksiannya dalam suatu

proses peradilan pidana.

importance of

information known to

him for the criminal

proceeding.( seseorang

yang pencantumannya

kedalam skema

perlindungan

dibenarkan Karena

kemungkinan bahaya

yang mengancam jiwa,

kesehatan, hukuman

yang tidak dapat

diganggu gugat,

kebebasan atau harta

bendanya dalam skala

besar terhadap dirinya

atau orang-orang yang

berhubungan

dengannya, karena

pentingnya informasi

yang ia ketahui untuk

persidangan tindak

pidana).

Included person

( orang yang

terlibat/saksi): a person

having concluded the

contract to be included

into the Protection

scheme. ( seseorang

yang telah mengakhiri

Keluarga: orang

yang mempunyai

hubungan darah dalam

garis lurus ke atas atau

ke bawah dan garis

menyamping sampai

derajat ketiga, atau yang

mempunyai

hubungan perkawinan,

atau orang yang menjadi

tanggungan Saksi

dan/atau Korban

Perlindungan:

segala upaya pemenuhan

hak dan pemberian

bantuan untuk

memberikan rasa aman

kepada Saksi dan/atau

Korban yang wajib

dilaksanakan oleh

LPSK atau lembaga

lainnya sesuai dengan

ketentuan Undang-

Undang ini.

kontrak dimasukkannya

dirinya kedalam skema

perlindungan).

Protection unit (

unit perlindungan):

is a separate

organizational unit

within the Police

Administration, Ministry

of Interior in charge of

Protection scheme

execution. ( sebuah unit

organisasi yang berbeda

didalam Administrasi

Kepolisian, Kementrian

Dalam Negeri yang

bertanggung jawab atas

pelaksanaan skema

perlindungan

Board ( dewan

pengurus): is a body

prescribed by this Act,

authorized to bring

decisions on inclusion

and interruption of

Protection scheme

execution as well as

other activities

prescribed by this Act. (

suatu badan yang

ditentukan oleh Undang-

undang ini, yang

berwenang untuk

membawa memutuskan

pemasukan dan

penghentian pelaksanaan

skema perlindungan

serta kegiatan-kegiatan

lain yang ditentukan

oleh Undang-undang).

Close person

(orang

terdekat/keluarga): is a

household member to

endangered person as

well as any other

member designated by

him to be included into

the Protection scheme. (

adalah salah seorang

anggota keluarga dari

orang yang terancam

serta anggota yang lain

yang ditunjuk olehnya

agar dimasukkannya

dirinya kedalam skema

perlindungan).

Protection

scheme ( skema

perlindungan):

consists of measures

and activities executed

and organized by the

Protection unit and

competent body for

prison administration of

the ministry competent

for justice affairs in

accordance with

provisions of this Act in

order to protect the

included persons. (

terdiri atas langkah-

langkah dan kegiatan-

kegiatan yang

dilaksanakan dan diatur

oleh unit perlindungan

dan badan yang

berwenang untuk

administrasi penjara

kementrian yang

berwenang atas urusan-

urusan keadilan yang

sesuai dengan ketentuan

Undang-undang ini

guna melindungi orang-

orang yang terlibat).

2. Lembaga khusus

yang menangani

perlindungan saksi

dan korban.

LPSK (Lembaga

Perlindungan Saksi dan

Korban)

Protection Unit (unit

perlindungan) sebagai

bentuk perlindungan

bagi saksi dan korban.

3. Jenis perlindungan

saksi dan korban

dalam undang-

undang

perlindungan fisik,

relokasi, penyamaran

identitas dan

kepemilikan, serta

perubahan identitas.

perlindungan fisik,

relokasi, penyamaran

identitas dan

kepemilikan, serta

perubahan identitas.

4. Pembiayaan anggaran khusus untuk

proses perlindungan bagi

saksi dan korban, dimana

di Indonesia berasal dari

anggaran pendapatan

dan belanja negara

Anggaran untuk

lembaga perlindungan

saksi dan korban di

Croasia berasal dari

anggaran Negara

republic croasia.

5. Masa jabatan

keanggotaan

lembaga

perlindungan saksi

dan korban

5 tahun 5 tahun

Tabel 1. Persamaan Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness Protection Act of

the Republic of Croatia

b. Perbedaan:

No Indikator Pembeda Indonesia Kroasia

1. Sistem hukum Civil Law: sistem hukum

dengan ciri-ciri adanya

berbagai ketentuan-

ketentuan hukum

dikodifikasi (dihimpun)

secara sistematis yang

akan ditafsirkan lebih

lanjut oleh hakim dalam

penerapannya

Common law: sistem

hukum yang

didasarkan pada

yurisprudensi yaitu

keputusan-keputusan

hakim terdahulu yang

kemudian menjadi

dasar keputusan

hakim-hakim

selanjutnya

2. Unsur kenggotaan

lembaga perlindungan

saksi dan korban

7 (tujuh) orang yang

berasal dari unsur

profesional yang

mempunyai pengalaman

di bidang pemajuan,

pemenuhan, perlindungan,

yaitu penegakan hukum

dan hak asasi manusia,

kepolisian, kejaksaan,

Departemen Hukum dan

Hak Asasi Manusia,

akademisi, advokat, atau

lembaga swadaya

masyarakat

5 (lima) orang

anggota yaitu seorang

perwakilan dari

Mahkamah Agung

Republik Kroasia

diluar para hakim

Mahkamah Agung,

Kejaksaan Agung

Republik Kroasia

diluar wakil Jaksa

Agung, Kementerian

Dalam Negeri,

Direktorat Kepolisian

dan Kepala Unit

Perlindungan.

3. Prosedur pemberian

perlindungan

Saksi dan/atau Korban

yang bersangkutan, baik

atas inisiatif sendiri

maupun ataspermintaan

Di Croasia:

usulan dari

pengacara negara

yang berwenang atau

pejabat yang berwenang,

mengajukan permohonan

secara tertulis kepada

LPSK;

LPSK segera melakukan

pemeriksaan terhadap

permohonan sebagaimana

dimaksud pada huruf a;

Keputusan LPSK

diberikan secara tertulis

paling lambat 7 (tujuh)

hari sejak

permohonanperlindungan

diajukan.

orang yang terancam,

Ketua Jaksa Agung

dapat mengajukan

permohonan kepada

Dewan Pengurus agar

memasukkan orang

yang terancam

kedalam skema

Perlindungan,

Atau:

orang yang

terancam mengajukan

proposal untuk

pengajuan

permohonan secara

langsung kepada

Ketua Jaksa Agung.

4. Asas yang mendasari

perlindungan saksi dan

korban

penghargaan atas harkat

dan martabat manusia,

rasa aman, keadilan, tidak

diskriminatif, dan

kepastian hukum

tidak disebutkan asas

yang mendasari

konsep perlindungan

bagi saksi dan korban

5.

6.

Ketentuan Pidana

Penghentian

Perlindungan

Terdapat dalam isi UU

No.13 Tahun 2006

tenteng perlindungan

saksi dan korban

Saksi dan/atau

Korban meminta agar

Dalam Witness

Protection Act of the

Republic of Croatia

tidak dicantumkan

ketentuan pidana

At expiry of

the contract

perlindungan terhadapnya

dihentikan dalam hal

permohonan diajukan atas

inisiatif sendiri;

Atas permintaan

pejabat yang berwenang

dalam hal permintaan

perlindungan terhadap

Saksi dan/atau Korban

berdasarkan atas

permintaan pejabat yang

bersangkutan;

Saksi dan/atau

Korban melanggar

ketentuan sebagaimana

tertulis dalam perjanjian;

atau LPSK berpendapat

bahwa Saksi dan/atau

Korban tidak lagi

memerlukan perlindungan

berdasarkan bukti-bukti

yang meyakinkan.

Penghentian

perlindungan keamanan

seorang Saksi dan/atau

Korban harus dilakukan

secara tertulis.

(pada waktu

berakhirnya kontrak)

By death of

included person

(karena kematian

orang yang terlibat)

In case the

included person, its

trustee or legal

representative gives

up the

Protection

(apabila orang yang

terlibat, wakil atau

perwakilan hukum

menyerahkan

perlindungan)

In case the

Board brings

decision on

interruption of the

Protection scheme

(apabila dewan

pengurus membuat

keputusan mengenai

terhentinya skema

Perlindungan)

Tabel 2. Perbedaan Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness Protection Act of

the Republic of Croatia

B. Kelebihan dan kelemahan pengaturan jenis-jenis tindakan perlindungan (types

of protection measures) menurut UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban dengan Witness Protection Act of the Republic of Croatia

1. Kelebihan dan Kekurangan:

No Negara Kelebihan kekurangan

1. Indonesia Indonesia terdapat ketentuan

pidana yang jelas dalam UU

Perlindungan Saksi dan

Korban No.13 Tahun 2006

Indonesia mempunyai asas-

asas yang mendasari proses

perlindungan saksi dan korban

Tidak disebutkan adanya

kerjasama internasional

dengan negara lain dalam

hal perlindungan bagi saksi

dan korban

2. Kroasia Adanya kerjasama internasional

yang dijalin dengan negara-

negara lain dalam proses

perlindungan terhadap saksi dan

korban

Tidak terdapat ketentuan

pidana dalam Witnes

Protection Act of the

Republic of Croatia

Tidak terdapat asas-asas

yang mendasari

perlindungan terhadap

saksi dan korban

Tabel 3. Kelebihan dan Kekurangan Undang-undang No.13 Tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness Protection

Act of the Republic of Croatia

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Dalam penelitian ini ada dua masalah pokok yang dikaji oleh penulis, yaitu

(1) apakah persamaan dan perbedaan pengaturan jenis-jenis tindakan perlindungan

(types of protection measures) UU No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan

korban dengan Witness Protection Act of the Republic of Croatia, (2) apakah

kelemahan dan kelebihan pengaturan jenis-jenis tindakan perlindungan (types of

protection measures) UU No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban

dengan Witness Protection Act of the Republic of Croatia.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap dua masalah pokok

diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengaturan jenis-jenis tindakan perlindungan (types of protection measures) UU

No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban dengan Witness

Protection Act of the Republic of Croatia memiliki persamaan dan perbedaan,

yaitu:

a. Persamaan :

1) Baik dalam UU No.13 Tahun 2006 tentang jenis-jenis tindakan

perlindungan saksi dan korban maupun Witness Protection Act of the

Republic of Croatia, terdapat kesamaan definisi tentang saksi, korban, unit

perlindungan, serta tujuan perlindungan.

2) Jenis perlindungan bagi saksi dan korban yang berlaku baik di Indonesia

maupun di Croasia yaitu meliputi: perlindungan fisik, relokasi,

penyamaran identitas dan kepemilikan, serta perubahan identitas.

3) Indonesia maupun Croasia mempunyai lembaga khusus yang

bertanggungjawab menangani perlindungan terhadap saksi dan korban.

Dimana di Indonesia dibentuk LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban), sedangkan Croasia dibentuk berupa Protection Unit (unit

perlindungan) sebagai bentuk perlindungan bagi saksi dan korban

4) Serta mempunyai kesamaan dalam hal pembiayaan, yang mana di

Indonesia sumber pembiayaan berasal dari anggaran pendapatan dan

belanja negara (APBN) sedangkan Croasia berasal dari anggaran negara

republic croasia.

5) Masa jabatan keanggotaan lembaga perlindungan masing-masing negara

baik Indonesia maupun Kroasia adalah 5 (lima) tahun.

b. Perbedaan :

1) Dalam sistem hukum, Indonesia menganut sistem hukum Civil Law, yaitu

suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan

hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan

lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya.Sedangkan Croasia menganut

sistem hukum Common law: sistem hukum yang didasarkan pada

yurisprudensi yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian

menjadi dasar keputusan hakim-hakim selanjutnya.

2) Dilihat dari segi keanggotaan lembaga yang bertangungjawab atas

perlindungan saksi dan korban, di Indonesia terdapat 7 (tujuh) orang yang

berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman di bidang

pemajuan, pemenuhan, perlindungan: penegakan hukum dan hak asasi

manusia, kepolisian, kejaksaan, Departemen Hukum dan Hak Asasi

Manusia, akademisi, advokat, atau lembaga swadaya masyarakat.

Sedangkan Croasia terdiri dari 5 (lima) orang anggota yaitu seorang

perwakilan dari Mahkamah Agung Republik Kroasia diluar para hakim

Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung Republik Kroasia diluar wakil Jaksa

Agung, Kementerian Dalam Negeri – Direktorat Kepolisian dan Kepala

Unit Perlindungan.

3) Di indonesia Perlindungan Saksi dan Korban berasaskan pada:

penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak

diskriminatif, dan kepastian hukum. Sedangkan Croasia tidak disebutkan

asas yang mendasari konsep perlindungan bagi saksi dan korban.

4) Dalam UU No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban

terdapat ketentuan pidana, sedangkan dalam Witness Protection Act of the

Republic of Croatia tidak disebutkan ketentuan pidananya.

5) Dalam hal prosedur pemberian perlindungan di Indonesia:

a) Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri

maupun ataspermintaan pejabat yang berwenang, mengajukan

permohonan secara tertulis kepadaLPSK;

b) LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan

sebagaimana dimaksudpada huruf a;

c) Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari

sejak permohonanperlindungan diajukan.

Di Croasia:

a) usulan dari pengacara negara yang berwenang atau orang yang

terancam, Ketua Jaksa Agung dapat mengajukan permohonan kepada

Dewan Pengurus agar memasukkan orang yang terancam kedalam

skema Perlindungan,

Atau:

b) orang yang terancam mengajukan proposal untuk pengajuan

permohonan secara langsung kepada Ketua Jaksa Agung.

6) Dalam hal penghentian perlindungan, di Indonesia memiliki syarat sebagai

berikut:

a) Saksi dan/atau Korban meminta agar perlindungan terhadapnya

dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;

b) Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan

perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban berdasarkan atas

permintaan pejabat yang bersangkutan;

c) Saksi dan/atau Korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis

dalam perjanjian; atau LPSK berpendapat bahwa Saksi dan/atau

Korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti

yang meyakinkan.

d) Penghentian perlindungan keamanan seorang Saksi dan/atau Korban

harus dilakukan secara tertulis. Sedangkan di Kroasia:

- At expiry of the contract

(pada waktu berakhirnya kontrak)

- By death of included person

(karena kematian orang yang terlibat)

- In case the included person, its trustee or legal representative gives

up the Protection

(apabila orang yang terlibat, wakil atau perwakilan hukum

menyerahkan perlindungan)

- In case the Board brings decision on interruption of the Protection

scheme

(apabila dewan pengurus membuat keputusan mengenai terhentinya

skema Perlindungan)

2. Pengaturan jenis-jenis tindakan perlindungan (types of protection measures)

menurut UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan

Witness Protection Act of the Rrepublic of Croatia memiliki persamaan dan

perbedaan, serta kelebihan dan kekurangan. Dalam hal ini, kelebihan maupun

kekurangan masing-masing negara yaitu Indonesia dan Kroasia terdapat pada

asas-asas yang mendasari proses perlindungan saksi dan korban, ketentuan

pidana, serta kerjasama internasional. Dimana asas-asas proses perlindungan saksi

dan korban serta ketentuan pidana yang menjadi unsur kelebihan di Indonesia,

merupakan unsur yang tidak terdapat dalam Witness Protection Act of the

Republic Croatia. Sebaliknya, mengenai kerjasama internasional yang terdapat di

Kroasia, menjadi suatu unsur kekurangan yang tidak dimiliki oleh Indonesia.

B. Saran

1. Perlu adanya kerjasama internasional bagi negara Indonesia dengan negara lain

dalam hal perlindungan bagi saksi dan korban, mengingat perkembangan tindak

pidana pada jaman sekarang ini, yang memungkinkan terjadinya tindak pidana

lintas negara.

2. Perlu adanya peran aktif dari LPSK untuk lebih mensosialisasikan peran LPSK

kepada masyarakat Indonesia, agar tercapainya pemenuhan perlindungan bagi

saksi dan korban yang berkaitan dengan tindak pidana di Indonesia.

3. Tidak hanya LPSK yang mempunyai kewajiban dan tugas dalam perlindungan

saksi dan korban, masyarakatpun diharapkan memiliki andil dalam pelaksanaan

perlindungan saksi dan korban, yakni salah satunya adalah dapat bekerjasama

dengan LPSK dalam hal memberikan keterangan yang berkaitan dengan

pemenuhan perlindungan saksi dan korban

4. Mempertahankan kelebihan-kelebihan, serta membenahi kekurangan yang

dimiliki oleh Indonesia dalam unsur-unsur yang terdapat dalam Undang-undang

No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Amirudin dan Zaenal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada.

Andi Hamzah. 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka.

Johnny Ibrahim. 2005. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang:

Bayumedia Publishing

Moeljatno. 1990. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara.

M. Yahya Harahap. 1985. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP- Jilid

II. Jakarta: Pustaka Kartini.

Romli Atmasasmita. 2000. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung: Mandar Maju

Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada

Soenarto Soerodibroto R. 2003. KUHP dan KUHAP. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

UU Narkotika (UU No. 22 Tahun 1997)

UU Psikotropika (UU No. 5 Tahun 1997)

UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999)

UU Perlindungan Saksi Kanada (Canada, Witness Protection Bill 1997)

UU Perlindungan Saksi Afrika Selatan (South Afrika, Witness Protection Bill1998)

UU Perlindungan Saksi Queensland (Queensland, Witness Protection Act 2000)

UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

UUNomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

UU Tindak Pidana Pencucian uang (UU No. 15 Tahun 2002)

UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU No. 15 Tahun 2003)

UU Perlindungan Saksi dan Korban (UU No. 13 Tahun 2006)

PP tentang Tata Cara Perlindungan Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM Berat

(PP No. 2 Tahun 2002)

PP tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran

HAM Berat (PP No. 3 Tahun 2002)

Witness Protection Act of the Republic of Croatia

Internet

Anonim. 2010. UU No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

www.antikorupsi.org/docs/uuperlindungansaksikorban. Diakses di Surakarta,

5 Januari 2010 pukul 20:12

Anonim. 2010. Witness Protection Act Of The Republic Of Croatia.

www.vsrh.hr/.../Static/.../Legislation__Witness-protection-Act. Diakses di

Surakarta, 5 Januari 2010, pukul 20:3

DAFTAR LAMPIRAN

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban

Witness protection Act of the Republic of croatia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan Saksi dan/atau Korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana; b. bahwa penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana Bering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan Saksi dan/atau Korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu; c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan perlindungan bagi Saksi dan/atau Korban yang sangat penting keberadaannya dalam proses peradilan pidana; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban; Mengingat : 1. Pasal 1 ayat (3), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28G, Pasal 28I, dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. 2. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. 3. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK, adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang itu. 4. Ancaman adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan akibat, baik langsung maupun tidak langsung, yang mengakibatkan Saksi dan/atau Korban merasa takut dan/atau dipaksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan pemberian kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana. 5. Keluarga adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga, atau yang mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang menjadi tanggungan Saksi dan/atau Korban. 6. Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk

memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Pasal 2 Undang-Undang ini memberikan perlindungan pada Saksi dan Korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan. Pasal 3 Perlindungan Saksi dan Korban berasaskan pada: a. penghargaan atas harkat dan martabat manusia; b. rasa aman; c. keadilan; d. tidak diskriminatif; dan e. kepastian hukum. Pasal 4 Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. BAB Il PERLINDUNGAN DAN HAK SAKSI DAN KOREAN Pasal 5 (1) Seorang Saksi dan Korban berhak: a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah; e. bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; i. mendapat identitas baru; j. mendapatkan tempat kediaman baru; k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l. mendapat nasihat hukum; dan/atau m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. (2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. Pasal 6 Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan: a. bantuan medis; dan b. bantuan rehabilitasi psiko-sosial. Pasal 7 (1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa: a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat; b. hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. (2) Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 8 Perlindungan dan hak Saksi dan Korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan

berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Pasal 9 (1) Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam Ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut scdang diperiksa. (2) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut. (3) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang. Pasal 10 (1) Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. (2) Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Saksi, Korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik. BAB III LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Bagian Kesatu Umum Pasal 11 (1) LPSK merupakan lembaga yang mandiri. (2) LPSK berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia. (3) LPSK mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan. Pasal 12 LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini. Pasal 13 (1) LPSK bertanggung jawab kepada Presiden. (2) LPSK membuat laporan secara berkala tentang pelaksanaan tugas LPSK kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling sedikit sekali dalam 1 (satu) tahun. Bagian Kedua Kelembagaan Pasal 14 Anggota LPSK terdiri atas 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum dan hak asasi manusia, kepolisian, kejaksaan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, akademisi, advokat, atau lembaga swadaya masyarakat. Pasal 15 (1) Masa jabatan anggota LPSK adalah 5 (lima) tahun. (2) Setelah berakhir masa jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota LPSK dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Pasal 16 (1) LPSK terdiri atas Pimpinan dan Anggota.

(2) Pimpinan LPSK terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap anggota. (3) Pimpinan LPSK dipilih dari dan oleh anggota LPSK. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Pimpinan LPSK diatur dengan Peraturan LPSK. Pasal 17 Masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua LPSK selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Pasal 18 (1) Dalam pelaksanaan tugasnya, LPSK dibantu oleh sebuah sekretariat yang bertugas memberikan pelayanan administrasi bagi kegiatan LPSK. (2) Sekretariat LPSK dipimpin oleh seorang Sekretaris yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil. (3) Sekretaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Sekretaris Negara. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, susunan, organisasi, tugas, dan tanggung jawab sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden. (5) Peraturan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak LPSK terbentuk. Pasal 19 (1) Untuk pertama kali seleksi dan pemilihan anggota LPSK dilakukan oleh Presiden. (2) Dalam melaksanakan seleksi dan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden membentuk panitia seleksi. (3) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas 5 (lima) orang, dengan susunan sebagai berikut: a. 2 (dua) orang berasal dari unsur pemerintah; dan b. 3 (tiga) orang berasal dari unsur masyarakat. (4) Anggota panitia seleksi tidak dapat dicalonkan sebagai anggota LPSK. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan panitia seleksi, tata cara pelaksanaan scleksi, dan pemilihan calon anggota LPSK, diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 20 (1) Panitia seleksi mengusulkan kepada Presiden sejumlah 21 (dua puluh satu) orang calon yang telah memenuhi persyaratan. (2) Presiden memilih sebanyak 14 (empat belas) orang dari sejumlah calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Dewan Perwakilan Rakyat memilih dan menyetujui 7 (tujuh) orang dari calon sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 21 (1) Dewan Perwakilan Rakyat memberikan persetujuan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengajuan calon anggota LPSK diterima. (2) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan persetujuan terhadap seorang calon atau lebih yang diajukan oleh Presiden, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya pengajuan calon anggota LPSK, Dewan Perwakilan Rakyat harus memberitahukan kepada Presiden disertai dengan alasan. (3) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Presiden mengajukan calon pengganti sebanyak 2 (dua) kali jumlah calon anggota yang tidak disetujui. (4) Dewan Perwakilan Rakyat wajib memberikan persetujuan terhadap calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengajuan calon pengganti diterima. Pasal 22 Presiden menetapkan anggota LPSK yang telah memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak

tanggal persetujuan diterima Presiden. Bagian Ketiga Pengangkatan dan Pemberhentian Pasal 23 (1) Anggota LPSK diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Untuk dapat diangkat menjadi anggota LPSK harus memenuhi syarat: a. warga negara Indonesia; b. sehat jasmani dan rohani; c. tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman pidananya paling singkat 5 (lima) tahun; d. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat proses pemilihan; e. berpendidikan paling rendah S 1 (strata satu); f. berpengalaman di bidang hukum dan hak asasi manusia paling singkat 10 (sepuluh) tahun; g. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; dan h. memiliki nomor pokok wajib pajak. Pasal 24 Anggota LPSK diberhentikan karena: a. meninggal dunia; b. masa tugasnya telah berakhir; c. atas permintaan sendiri; d. sakit jasmani atau rohani yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan tugas selama 30 (tiga puluh) hari secara terus menerus; e. melakukan perbuatan tercela dan/atau hal-hal lain yang berdasarkan Keputusan LPSK yang bersangkutan harus diberhentikan karena telah mencemarkan martabat dan reputasi, dan/atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas LPSK; atau f. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman pidananya paling singkat 5 (lima) tahun. Pasal 25 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota LPSK diatur dengan Peraturan Presiden. Bagian Keempat Pengambilan Keputusan dan Pembiayaan Pasal 26 (1) Keputusan LPSK diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. (2) Dalam hal keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dicapai, keputusan diambil dengan suara terbanyak. Pasal 27 Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas LPSK dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. BAB IV SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN PERLINDUNGAN DAN BANTUAN Bagian Kesatu Syarat Pemberian Perlindungan dan Bantuan Pasal 28 Perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau Korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut: a. sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban; b. tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban; c. basil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban;

d. rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban. Bagian Kedua Tata Cara Pemberian Perlindungan Pasal 29 Tata cara memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebagai berikut: a. Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK; b. LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan. Pasal 30 (1) Dalam hal LPSK menerima permohonan Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Saksi dan/atau Korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban. (2) Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan; b. kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya; c. kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan dengan cara apa pun dcngan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK; d. kewajiban Saksi dan/atau Korban untuk tidak memberitahukan kepada siapa pun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK; dan e. hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK. Pasal 31 LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada Saksi dan/atau Korban, termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30. Pasal 32 (1) Perlindungan atas keamanan Saksi dan/atau Korban hanya dapat dihentikan berdasarkan alasan: a. Saksi dan/atau Korban meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri; b. atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan; c. Saksi dan/atau Korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian; atau d. LPSK berpendapat bahwa Saksi dan/atau Korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan. (2) Penghentian perlindungan keamanan seorang Saksi dan/atau Korban harus dilakukan secara tertulis. Bagian Ketiga Tata Cara Pemberian Bantuan Pasal 33 Bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan kepada seorang Saksi dan/atau Korban atas permintaan tertulis dari yang bersangkutan ataupun orang yang mewakilinya kepada LPSK. Pasal 34

(1) LPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban. (2) Dalam hal Saksi dan/atau Korban layak diberi bantuan, LPSK menentukan jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta jangka waktu dan besaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 35 Keputusan LPSK mengenai pemberian bantuan kepada Saksi dan/atau Korban harus diberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan tersebut. Pasal 36 (1) Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK dapat bekerja lama dengan instansi terkait yang berwenang. (2) Dalam melaksanakan perlindungan dan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), instansi terkait sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. BAB V KETENTUAN PIDANA Pasal 37 (1) Setiap orang yang memaksakan kehendaknya baik menggunakan kekerasan maupun cara-cara tertentu, yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf d sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memberikan kesaksiannya pada tahap pemeriksaan tingkat mana pun, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.200. 000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga mengakibatkan matinya Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 38 Setiap orang yang menghalang-halangi dengan cara apapun, sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan atau bantuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf d, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 39 Setiap orang yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban atau keluarganya kehilangan pekerjaan karena Saksi dan/atau Korban tersebut memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 40 Setiap orang yang menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya hak-hak Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1) karena Saksi dan/atau Korban memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 41 Setiap orang yang memberitahukan keberadaan Saksi dan/atau Korban yang tengah dilindungi dalam suatu tempat khusus yang dirahasiakan oleh LPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf j, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 42 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41 dilakukan oleh pejabat publik, ancaman pidananya ditambah dengan 1/3 (satu per tiga). Pasal 43 (1) Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, dan Pasal 42 pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun. (2) Pidana penjara sebagai pengganti pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan hakim. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 44 Pada saat Undang-Undang ini diundangkan, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 45 LPSK harus dibentuk dalam waktu paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 46 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaga Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 11 Agustus 2006 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 Agustus 2006 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd HAMID AWALUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 64 PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

I. UMUM Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil diungkap atau ditemukan. Dalam proses persidangan, terutama yang berkenaan dengan Saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya Saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum. Padahal, adanya Saksi dan Korban merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses peradilan pidana. Keberadaan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana selama ini kurang mendapat perhatian masyarakat dan penegak hukum. Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh Saksi dan Korban takut memberikan kesaksian kepada penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak tertentu. Dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum. Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu. Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah saatnya perlindungan Saksi dan Korban diatur dengan undang-undang tersendiri. Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum (equality before the law) yang menjadi salah satu ciri negara hukum, Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum. Adapun pokok materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban meliputi: 1. Perlindungan dan hak Saksi dan Korban; 2. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban; 3. Syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan; dan 4. Ketentuan pidana. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Perlindungan semacam ini merupakan perlindungan utama yang diperlukan Saksi dan Korban. Apabila perlu, Saksi dan Korban harus ditempatkan dalam suatu lokasi yang dirahasiakan dari siapa pun untuk menjamin agar Saksi dan Korban aman.

Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Hak ini diberikan kepada Saksi dan Korban yang tidak lancar berbahasa Indonesia untuk memperLancar persidangan. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Seringkali Saksi dan Korban hanya berperan dalam pemberian kesaksian di pengadilan, tetapi Saksi dan Korban tidak mengetahui perkembangan kasus yang bersangkutan. Oleh karma itu, sudah seharusnya informasi mengenai perkembangan kasus diberikan kepada Saksi dan Korban. Huruf g Informasi ini penting untuk diketahui Saksi dan Korban sebagai tanda penghargaan atas kesediaan Saksi dan Korban dalam proses peradilan tersebut. Huruf h Ketakutan Saksi dan Korban akan adanya balas dendam dari terdakwa cukup beralasan dan is berhak diberi tahu apabila seorang terpidana yang dihukum penjara akan dibebaskan. Huruf i Dalam berbagai kasus, terutama yang menyangkut kejahatan terorganisasi, Saksi dan Korban dapat terancam walaupun terdakwa sudah dihukum. Dalam kasus-kasus tertentu, Saksi dan Korban dapat diberi identitas baru. Huruf j - Apabila keamanan Saksi dan Korban sudah sangat mengkhawatirkan, pemberian tempat baru pada Saksi dan Korban harus dipertimbangkan agar Saksi dan Korban dapat meneruskan kehidupannya tanpa ketakutan. - Yang dimaksud dengan "tempat kediaman bare" adalah tempat tertentu yang bersifat sementara dan dianggap aman. Huruf k Saksi dan Korban yang tidak mampu membiayai dirinya untuk mendatangi lokasi, perlu mendapat bantuan biaya dari negara. Huruf l Yang dimaksud dengan "nasihat hukum" adalah nasihat hukum yang dibutuhkan oleh

Saksi dan Korban apabila diperlukan. Huruf m Yang dimaksud dengan "biaya hidup sementara" adalah biaya hidup yang sesuai dengan situasi yang dihadapi pada waktu itu, misalnya biaya untuk makan sehari-hari. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "kasus-kasus tertentu", antara lain, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi Saksi dan Korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya. Pasal 6 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "bantuan rehabilitasi psikososial" adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada Korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan Korban. Pasal 7 Cukup Jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "ancaman sangat besar" adalah ancaman yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban tidak dapat memberikan kesaksiannya. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "pejabat yang berwenang" adalah penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (3) Kehadiran pejabat ini untuk memastikan bahwa Saksi dan/atau Korban tidak dalam paksaan atau tekanan ketika Saksi dan/atau Korban memberikan keterangan. Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pelapor" adalah orang yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "memberikan keterangan tidak dengan itikad baik" dalam ketentuan ini antara lain memberikan keterangan palsu, sumpah palsu, dan permufakatan jahat. Pasal 11

Ayat (1) Yang dimaksud dengan "lembaga yang mandiri" adalah lembaga yang independen, tanpa campur tangan dari pihak mana pun. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c

Ketentuan ini ditujukan untuk melindungi Saksi dan/atau Korban dari berbagai kemungkinan yang akan melemahkan perlindungan pada dirinya. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "instansi terkait yang berwenang" adalah lembaga pemerintah dan nonpemerintah atau lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kapasitas dan hak untuk memberikan bantuan baik langsung maupun tidak langsung yang dapat mendukung kerja LPSK, yang diperlukan dan disetujui keberadaannya oleh Saksi dan/atau Korban. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Yang dimaksud dengan "pejabat publik" adalah pejabat negara dan penyelenggara negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4635

Please note that the translation provided below is only provisional translation and therefore does NOT represent an official document of the Republic of Croatia. It confers no rights and imposes no obligations separate from does conferred or imposed by the legislation formally adopted and published in Croatian language. Please note that this translation is a final text version published in the Official Gazette no. 163/2003.

Witness Protection Act 1. Introduction Article 1 This Act regulates the terms and procedures for providing protection and assistance to endangered persons, exposed to severe danger for life, health, corporal inviolability, freedom or property of large scale arising from witnessing in criminal proceedings for criminal offences anticipated in this Act. Inclusion of endangered person into the Protection scheme is voluntary. Application of measures from this Act in connection with the endangered minors may not be undertaken without approval of parents or trustee. Concerning the persons with restricted capacity or legally incapacitated persons, such approval is granted by the person authorized to represent the endangered person in accordance with the law or by the trustee. Article 2 Certain expressions used in this Act have the following meanings: 1. Endangered person: a person whose inclusion into the Protection scheme is justified due to possibility of life, health, corporal inviolability, freedom or property endangering of large scale to herself or to persons related to him, because of importance of information known to him for the criminal proceeding. 2. Close person: is a household member to endangered person as well as any other member designated by him to be included into the Protection scheme. 3. Included person: a person having concluded the contract to be included into the Protection scheme. 4. Protection unit is a separate organizational unit within the Police Administration, Ministry of Interior in charge of Protection scheme execution. 5. Protection scheme: consists of measures and activities executed and organized by the Protection unit and competent body for prison administration of the ministry competent Witness protection Act

2 for justice affairs in accordance with provisions of this Act in order to protect the included persons.

6. Board: is a body prescribed by this Act, authorized to bring decisions on inclusion and interruption of Protection scheme execution as well as other activities prescribed by this Act. Article 3 Application of this Act is possible when there exists a possibility that a witness, due to a possible threat, would not freely testify in a criminal proceeding for grievous crimes; against the Republic of Croatia; against values protected by international law; crimes with elements of violence; organized crime and other grievous criminal offences when there were information about large scale dangers for life, health, corporal inviolability or property of the witness, while the witnessing is connected with disproportional difficulties without witnessing of endangered witness. 2. Board Article 4 The Board consists of five members. Board is made up by a representative of the Supreme Court of the Republic of Croatia out of the Supreme Court judges, State Attorney General's Office of the Republic of Croatia out of deputies of the State Attorney General, Ministry of Interior – Police Directorate and the Head of Protection unit. Members of the Board have their deputies. Members of the Board and their deputies are nominated and acquitted by the head of a body wherefrom such a Board member, i.e. deputy Board member originates from. The Head of Protection Unit is a Board member by his function, while his deputy is nominated, upon his proposal, by the Minister of Interior. Article 5 Members of the Board, except the Head of Protection Unit, and their deputies are nominated for the period of five years and may be re-nominated. Exceptionally after the first election, elapsing the three year period, re-election of the Board members and their deputies from the Supreme Court and State Attorney's Office will be made. Article 6 Membership to the Board will terminate: Witness protection Act

3 1. By termination of service in the body wherefrom the member or deputy member was nominated. 2. With good reasons upon request of the member or a deputy member.

3. Due to breach of the Board operation regulations. Decision on termination of membership in the Board is brought by the Head of the body which nominated the board member or deputy member ex officio for the reasons mentioned in paragraph 1 item 1 of this Article, upon proposal of the member or deputy Board member for the reasons mentioned in paragraph 1, item 2 of this Article and upon proposal of the Board for the reasons mentioned in paragraph 1, item 3 of this Article. Article 7 President of the Board is in charge of the Board. By his function the Board President is a Board member coming as a judge from the Supreme Court of the Republic of Croatia. In case of his disability, his deputy will be replacing him. Board operations are secret. The Board adopts a rulebook on its operations. Article 8 The Board brings decisions on its sessions. The Board can bring decision only providing at least four members or their deputies were present at the session. Consent of four Board members is mandatory to bring a decision on application and termination of measures, while the other decisions are brought by majority of votes. 3. Procedure and method of approach Article 9 Upon proposal of the competent state attorney or endangered person, State Attorney General may submit request to the Board to include the endangered person into the Protection scheme, in case that the free testimony of a witness in a criminal proceeding could not be assured in any other way. In case that even after the lapse of the Scheme period designated in the contract a need for protection of included person continues to exist, the State Attorney General will submit request to the Board for continuation of the Scheme period. Witness protection Act

4 Article 10 Simultaneously to the submission of request from Article 9, paragraph 1 of this Act, the State Attorney General will inform the Protection Unit in order to undertake urgent measures. Before undertaking urgent measures, the Unit Head will obtain a written consent of the endangered person. The Unit Head will immediately inform the Board President and the State Attorney General about the actions undertaken.

Article 11 Proposal of the competent state attorney to the State Attorney General must include: 1. data about the person proposed for inclusion into the protection scheme, 2. description of criminal offence and evaluation of existing evidences, 3. contents of possible testimony with evaluation of its importance for the proceeding, 4. description and evaluation of danger threatening the endangered person. In case the endangered person submitted proposal for submission of request directly to the State Attorney General, before bringing his decision the State Attorney General will request the competent state attorney to submit to him the data from paragraph 1 of this Article. The request for prolongation of the Scheme period must include the data from paragraph 1, item 4 of this Article. Article 12 The proceeding judge submits proposal for inclusion of endangered person into the Protection scheme to the State Attorney General. Before submission of request to the Board, the State Attorney General will obtain the data from Article 11, paragraph 1 of this Act. Article 13 Upon receipt of the request, President of the Board will convene the Board session immediately, but in any case within three days at latest. In case the implementation of urgent measures is under way, they may last until the Board decision. Article 14 After consideration, the Board will bring decision on inclusion of the person into the protection scheme and inform the State Attorney General and Protection Unit about such decision. Witness protection Act

5 In case the request was accepted, the Board will authorize the Protection Unit to enter into contract with the endangered person. 4. Types of protection measures Article 15 Protection measures for endangered persons are as follows: 1. physical protection 2. relocation 3. measures of disguising identity and ownership 4. change of identity. It is possible to apply one or more measures from paragraph 1 of this Article in procedures of providing protection to endangered persons. Protection measures from paragraph 1 of this Article are carried out and organized by the Protection unit, while in case of persons deprived of liberty in cooperation with the

Prison system administration of the ministry in charge of justice affairs. Article 16 Physical protection from Article 15, paragraph 1, item 1 of this Act is an immediate providing of protection in order to prevent endangering of life, health, corporal inviolability, freedom or property of endangered person. Article 17 Relocation of endangered person from Article 15, paragraph 1, item 2 of this Act is a temporary or permanent resettling from the place of residence or domicile of endangered person to another location designated by the Protection Unit. Relocation is possible on the territory of Republic of Croatia or outside the territory of Republic of Croatia, in accordance with international treaties. Regarding the endangered persons – prisoners on remand or prisoners, the relocation measure is applied within the prison system of the Republic of Croatia. Article 18 Measure of disguising identity comprises the production and use of personal documents with temporary changed personal data, as well as production and use of title deeds of endangered persons. Measures of disguising identity and ownership do not have as consequence the permanent change of personal data and data about ownership in the appropriate records. Witness protection Act

6 Article 19 Change of identity from Article 15, paragraph 1, item 4 of this Act is a change of parts or all personal data of endangered person. Approval of the Board is necessary in order to apply this measure. Acquisition of new identity has no impact on status and other rights and obligations of endangered person. After change of identity, the Unit allows and supervises the approach to real identity. Article 20 All the contacts of included person concerning his status and other rights and obligations are to be realized through the Unit. Article 21 Measures from Article 15, paragraph 1, item 1, 2 and 3 may be applied as urgent measures pursuant to Article 10, paragraph 2 of this Act. 5. Application of measure disguising and changing of identity Article 22 Endangered person may not use the documents from Article 18, paragraph 1 of this Act when concluding legal transactions that might have impacts on the third parties. In such

cases the endangered person may, upon consent of the Unit, nominate a proxy who will conclude legal transactions on his behalf. Article 23 In case the security of endangered person cannot be secured by application of measures from Article 15, paragraph 1, item 1-3 of this Act, the measure of change of identity may exceptionally be applied, upon approval of the Board. The included person may not get his original identity in case the change of identity had a significant impact on status of the third person (marriage, fatherhood, motherhood etc). Article 24 In case the change of identity measure has been approved, the Unit will invite the endangered person to fulfill his due obligations to the third parties. In case the included person has not fulfilled his obligations mentioned in paragraph 1 of this Article, the change of identity measures will not be applied until such obligations were fulfilled. Witness protection Act

7 Upon request of the Unit and based on the data provided by it, the competent bodies will issue the new necessary identity documents for the endangered persons within 15 days at latest. Simultaneously, the competent bodies for issuance of personal documents and keeping of other records will enter the remark into the records that the Protection Unit must be informed about any further inquiries concerning the real identity. The Unit will take over and safe-keep all the documents about real identity of the included person. Article 25 In case the competent bodies for issuance of documents and keeping of other records find out that the changes in records would be contrary to the protection of common interest, they will inform the Unit accordingly, which will pass over these data to the Board. Article 26 In order to fulfill his rights and obligations which have not terminated after the change of identity, the included person can nominate a proxy to represent him. Change of identity may concern all the personal data of endangered person. Personal data entered into the new identity documents may not be identical to similar data of another person. After the expiry of this measure, the included person will decide on the issue of preserving the new identity.

In case that, after change of identity, the Unit learns about an obligation arisen before, at the time the included person had its real identity but the included person had no knowledge about it, the Unit will invite the included person to fulfill such an obligation through the Unit. In case the included person cannot or does not wish to fulfill his obligation, the Unit will request the Board to bring decision on termination of measure implementation. Article 27 In case of persecution for the criminal offence the included person committed before change of identity, the Unit will ensure his presence at the court upon the court request. In case of persecution for the criminal offence the included person committed after change of identity, the Unit will inform the State Attorney General and the Board. The included person participates in criminal proceedings for criminal offences committed before inclusion into the Scheme with his real identity. In case the included person has been invited as a witness in the criminal proceedings for criminal offences committed before inclusion into the Scheme, the summon will be delivered to him through the Unit, which will ensure the included person's arrival at the court. Witness protection Act

8 Article 28 With approval of the Unit and in accordance with security instructions, the included person may participate in official proceedings where the use of original personal data is inevitable using his original personal data. Article 29 In case it determines that the security of included person can be ensured by implementation of any other measure described in Article 15, paragraph 1, items 1-3 of this Act, except in case described in paragraph 4 Article 23, the Unit can suggest to the Board, with prior approval of the included person, to terminate the measure of change of identity. Article 30 Upon request of the Protection Unit, the administrative bodies and legal entities keeping records on civil status, data and registers about personal data, status and other rights of the citizens, as well as other records wherefrom the data about identity and residence of a person could be determined, will refuse to supply such data to any body or person. In case of a quest for such data, the competent body or legal entity will inform the Unit about it without delay.

The data from paragraph 1 of this Article could be supplied only upon approval of the Protection Unit. Article 31 Production and use of documents utilized in accordance with this Act, in order to realize the measures disguising and changing of identity, is not a criminal offence. 6. Protection Unit Article 32 Protection Unit carries out and organizes the Protection scheme, carries out and organizes urgent measures and performs all other duties connected to protection of endangered persons, unless this Act provides to the contrary. Protection Unit is responsible for implementation of the Protection scheme. Protection Unit decides independently on types of measures to be implemented, save for change of identity measure (Article 15, paragraph 1, item 4 of this Act), while in connection with the persons deprived of liberty in cooperation with the competent body responsible for jail system management at the ministry competent for justice affairs. The federal government bodies, government bodies, regional and local selfgovernment bodies and other legal entities performing public authorities are obliged to provide assistance to the Protection Unit and, upon request of the Protection Unit, perform necessary activities from their competence in order to implement the measures from this Act, without any remuneration. Witness protection Act

9 Article 33 In case the measures from Article 15, paragraph 1, item 1-4 of this Act cannot be carried out otherwise, in performing of activities from its competence the Unit may disguise the real identity of its employees as well as disguise ownership on articles used to perform certain measures. 7. Provision of assistance to a person included into the scheme Article 34 The Unit will provide necessary psychical, social and legal assistance to the included person. In order to assist the inclusion of included person into the new environment, the Unit will assist such a person providing economic and social support until the moment of his independence. Economic and social support provided to the endangered person may not be higher than the sum necessary to cover costs of living and inclusion into the new existential environment and may not represent the basis for acquisition of wealth. 8. Accession to the program and the contract Article 35 In the course of implementation of urgent measures, the Protection Unit will request

from the endangered person to file the questionnaire on personal data, property conditions, obligations, cycle of close persons as well as on other data in accordance with the form enclosed to this Act, and to submit to medical examination. Article 36 On basis of the gathered data, the Protection Unit will make recommendation on endangered person suitability for accession to protection, recommendation for accession of close person to the Protection scheme, as well as its opinion on the type of measure to be implemented, advising the Board about it accordingly. Article 37 On basis of authorities from Article 14, paragraph 2 of this Act, the Protection Unit Head will enter into contract with the endangered person and his close person on implementation of the protection scheme. The Protection scheme will commence upon entering into contract. Witness protection Act

10 Article 38 The Contract is made in a single copy, which is kept with the Protection Unit and during the Protection scheme period is accessible only to the Board. The Contract must contain; 1. the Parties to the Contract, 2. Statement of endangered person about voluntary accession to the Protection scheme as well as his statement that the data from the questionnaire are true and that in case of their falseness the Contract could be rescinded, 3. Obligations of endangered person; - to give full testimony in exactly specified procedure or procedures which is substantially in accordance with contents of the statement used as basis for accession into the program (Article 11, paragraph 1, item 3 of this Act), - to conform to instructions of the Unit, which are the precondition for successful realization of security and protection of endangered person, - to agree without specific court decision, for the purpose of protection, to surveillance and technical recording of long-range communication means, surveillance and technical recording of the premises where he resides and to the secret monitoring and recording; - to achieve financial independence until the expiration of the agreement, - to inform the Unit without delay about any change of circumstances having impact on realization of the protection scheme target, 4. Obligations to the included person; - to realize contracted protection measures with only essential restrictions to his personal freedom and rights,

- to provide to him the necessary psychological, social and legal assistance during the Protection scheme, - time span and scope of essential economic assistance. 5. Duration of Scheme implementation and reasons for cancellation of the contract, 6. a clause that the contract was made in a single copy, which is kept with the Protection Unit, with the statement of endangered person to have understood the contents of the contract and to have been informed about the mutual rights and obligations. 7. Date and signature of the parties. Article 39 On behalf of minors and legally incapacitated endangered persons, parent or legally authorized person will conclude the Contract. Witness protection Act

11 9. Termination and interruption of the Protection scheme Article 40 The Protection scheme of included person will terminate: 1. at expiry of the contract 2. by death of included person 3. in case the included person, its trustee or legal representative gives up the protection; 4. in case the Board brings decision on interruption of the Protection scheme. Article 41 Upon proposal of the State Attorney General or the Protection Unit, the Board may bring decision on interruption of the included person Protection scheme; 1. in case there are no further conditions justifying the protection; 2. in case the included person does not fulfill contractual obligations related to the criminal proceeding; 3. in case that, in the course of protection, a criminal proceeding has been brought against the included person for committed crime, 4. in case that the included person deviates from the rules of behavior mentioned in the agreement or given by the Unit without a valid reason or breaches the obligation to inform the Unit and in such a way severely jeopardize or renders the protection impossible; 5. in case that the included person turns down employment possibility ensured by the Unit or rejects to continue other activity for making income without a reason; 6. in case a foreign country requests termination of protection of the included person which has been relocated to its territory; 7. in case the included person gives false data (Article 35 of this Act). 10. International cooperation Article 42 International cooperation is realized on basis of assumed rights and obligations from international treaties signed by the Republic of Croatia. International treaties may provide for relocation of endangered person outside the

territory of the Republic of Croatia or reception to the territory of the Republic of Croatia. Witness protection Act

12 11. Records and data protection Article 43 During the Protection scheme implementation the Protection Unit keeps the following records: 1. on the personal data of the person which entered the Scheme, his residence and information related to the change of identity as well as on all other data arisen in the course of implementation of this Act 2. on the data from the questionnaire, 3. on concluded contracts . 4.on endangered persons included into the scheme on basis of international treaties. Article 44 All the data about the Board activities, data from the records as well as other data arisen in connection with the implementation of this Act are considered as official secret, with the highest level of classification "Very classified". According to Article 8, paragraph 8 of this Act the Board can bring decision on declassification. 12. Financing Article 45 The funds for implementation of this Act are secured as a special separate budget item in the Budget of the Republic of Croatia. The Unit Head manages the funds. The Unit Head is authorized to enter the payment legal affairs in order to implement the measures from this Act. He reports semi-annually to the Minister of Interior and to the Board about the utilization of funds. Article 46 Members of the Board and their deputies are entitled to a separate remuneration for their work. The amount of remuneration will be determined by the Government of the Republic of Croatia. 13. Transitional and closing provision Article 47 Within the period of 30 days after this Act has become effective, the Ministry of Interior will bring the decision on establishment of the Protection Unit, nominate its Head and Witness protection Act

13 perform the necessary changes of regulations on internal order. The Minister of Interior will bring the by-law regulations on the way of protection scheme implementation in accordance with this Act within the period of 45 days after this Act has become effective. Article 48

The minister competent for justice affairs will bring the by-law regulations on the way of protection scheme implementation within the jail system within the period of 45 days after this Act has become effective. Article 49 The competent ministries have to bring the implementation regulations connected to Article 24 of this Act within the period of 45 days after this Act has become effective. . Article 50 The Board has to be constituted within the period of 45 days after this Act has become effective. Within the additional period of 30 days it has to bring the rule-book on its operations. Article 51 This Act becomes effective within the period of eight days after its publication in the Official Gazette, while its application will start six months after the day of publication. Article 52 This Law comes into force on January 1, 2004.