STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP....

132
STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN PERKAWINAN DALAM PERJANJIAN PERKAWINAN BERDASARKAN UU NO. 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh: Suratman NIM : E0000204 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008

Transcript of STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP....

Page 1: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN

PERKAWINAN DALAM PERJANJIAN PERKAWINAN

BERDASARKAN UU NO. 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh:

Suratman

NIM : E0000204

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2008

Page 2: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN

PERKAWINAN DALAM PERJANJIAN PERKAWINAN

BERDASARKAN UU NO. 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

Disusun oleh:

SURATMAN

NIM : E0000204

Disetujui untuk Dipertahankan

Pembimbing I Pembimbing II

Endang Mintorowati, S.H., M.H.

NIP. 130814527

Andri Astuti, S.H.

NIP. 131285214

Page 3: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN

PERKAWINAN DALAM PERJANJIAN PERKAWINAN

BERDASARKAN UU NO. 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

Disusun oleh:

SURATMAN

NIM : E0000204

Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta pada:

Hari : Rabu

Tanggal : 14 Mei 2008

TIM PENGUJI

1. Endang Mintorowati, S.H.,

M.H.

NIP. 130814527

: .................................................

2. Andri Astuti, S.H.

NIP. 131285214

: .................................................

3. Djuwityastuti, S.H.

NIP. 130814527

: .................................................

Mengetahui,

Dekan Fakultas Hukum UNS

Moh. Jamin, S.H., M.Hum.

NIP. 131570154

Page 4: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai di Hari Pembalasan. Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Q.S. al-Fatihah: 1-7)

Kupersembahkan skripsi ini

untuk seseorang yang kucintai:

Indah Nugrahaningsih

Page 5: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya

kepada manusia dan ala mini. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada

Nabiyullah Muhammad, keluarga, sahabat, dan seluruh umat beliau. Rasa syukur

teramat dalam penulis persembahkan kepada Allah sehingga penulisan hukum

yang berjudul “Studi Perbandingan Hukum Harta Kekayaan Perkawinan dalam

Perjanjian Perkawinan Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam”

dapat diselesaikan dengan baik dan lancar.

Penulisan hukum ini membahas tentang ketentuan harta perkawinan,

ketentuan harta perkawinan jika ada perjanjian perkawinan, dan akibat hukum

terhadap harta kekayaan perkawinan jika ada perjanjian perkawinan yang ditinjau

berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan hukum Islam. Hal tersebut ditulis karena

adanya kasus-kasus harta kekayaan perkawinan yang muncul di masyarakat dan

masih minimnya pemahaman masyarakat, khususnya calon suami istri terhadap

perjanjian perkawinan. Penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan keilmuan terhadap persoalan tersebut.

Penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan baik moril maupun

materiil dari berbagai pihak dalam menyelesaikan penulisan hukum ini sehingga

penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Syamsul Hadi, Sp.Kj. selaku rektor Universitas Sebelas

Maret.

2. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum. selaku dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret.

3. Ibu Endang Mintorowati, S.H., M.Hum. selaku pembimbing skripsi

bagi penulis.

4. Ibu Andri Astuti, S.H. selaku pembimbing akademik dan

pembimbing skripsi bagi penulis.

5. Ibu Djuwityastuti, S.H. selaku penguji skripsi.

Page 6: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

6. Ust. Ahmad Yani al-Hafizh yang telah mengajarkan Al-Qur’an

kepada penulis dan makna nyantri.

7. Ust. Sholihan MC yang telah mengajarkan berbagai “pemikiran yang

lain” dan semangat berfikir.

8. Ayahanda Ahmad Ngalimi dan Ibunda Riyati yang telah merawat dan

mendidikku dengan tulus dalam kesederhanaan, serta adik-adikku:

Sugeng, Warti, dan E’un yang kucintai walau jarak memisahkan kita

sejak kecil.

9. Bapak Suwarjono dan Ibu Siti Aminah yang telah menjadikanku

“anaknya” penuh keikhlasan.

10. Bapak Djumbadi dan Ibu Sri Enny Purwaningsih yang telah

menerimaku sebagai belahan jiwa putri sulungnya, serta adik-adikku:

Nopa dan Ningnong yang memberikan semangat.

11. Indah Nugrahaningsih, wanita yang telah menerimaku apa adanya,

menjadikan nafas hidupku berdenyut kembali, dan melukiskan warna

hidup sejati.

12. Santri Pesantren Mahasiswa Ar-Royyan, khususnya angkatan pertama

hingga generasi Maret 2008 yang mengajarkan makna persaudaraan

dan hidup bersama: Mas Lukman, Mas Furqon, Mas Agus Virdy,

Rudi, Farisy, Dhani ‘Dokter’, Ahmad ‘Bambang’, Indra ‘Indleks’,

Hartoko, Masjudi, Auriga, Didin, Nanang, Agus Dani, Ro’uf, Abob,

Dodik, dan semuanya.

13. Ust. Bimo, Lc. dan Mas Edy ‘Abyan’ yang memberikan banyak

dukungan dan teman di masa-masa penuh cobaan.

14. Ir. Bambang Maryatno dan keluarga yang telah banyak direpotkan

semasa perjuangan di Arimatea.

15. Bunda Dewi dan Pak Nadianto yang juga selalu menyemangatiku saat

di Arimatea.

16. Teman-teman seperjuangan di KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa

Muslim Indonesia) Solo, FMRD (Front Mahasiswa Religius

Demokratik) yang getol menggoyang Gus Dur dan Megawati, JN

Page 7: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

UKMI UNS tempat meneduhkan hati, DEMA (Dewan Mahasiswa)

FH UNS dan DEMA UNS, Partai Gerbang UNS, serta para kenshi di

Dojo Shorinji Kempo UNS yang mengajarkan ‘kekuatan tanpa kasih

sayang adalah kezhaliman dan kasih sayang tanpa kekuatan adalah

kelemahan’.

17. Para ustadz dan santri di Ma’had Al-Bina’, Pesantren Nurul Wahid

Kutoarjo, PUSQBA Tsaqifa, Pusat Kajian Kitab Gundul Al-Furqon,

dan Ma’had Abu Bakar Ash-Shiddiq.

18. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan hukum

ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini masih banyak

kekurangannya, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik demi perbaikan

di masa datang. Semoga penulisan hukum ini bermanfaat. Amin.

Penulis, Mei 2008

Penulis

Page 8: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………….......

HALAMAN PERSETUJUAN………………………………………………..

HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………….

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ………………………...

KATA PENGANTAR ………………………………………………….

DAFTAR ISI …………………………………………………………….

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………

DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………

ABSTRAK ……………………………………………………………….

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ………………………………………

B. Rumusan Masalah …………………………………………….

C. Tujuan Penelitian ……………………………………………..

D. Manfaat Penelitian ……………………………………………

E. Metode Penelitian …………………………………………….

F. Sistematika Skripsi ……………………………………………

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori ………………………………………………..

1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum ………….

2. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun

1974 ……………………………………………………….

i

ii

iii

iv

v

viii

x

xi

xii

1

6

7

7

8

13

Page 9: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

3. Tinjauan Umum Tentang Hukum Islam ………………….

4. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian ………………………

5. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Perkawinan ………….

B. Kerangka Pemikiran ………………………………………….

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Ketentuan Harta Kekayaan Perkawinan Berdasarkan UU

No. 1 dan Hukum Islam ……………………………………………

1. Ketentuan Harta Kekayaan Perkawinan Berdasarkan UU

No. 1 Tahun 1974 …………………………………………………….

2. Ketentaun Harta Kekayaan Perkawinan Bersadarkan

Hukum Islam …………………………………………………..

B. Ketentuan Harta Kekayaan Perkawinan Jika Ada Perjanjian

Perkawinan Berdasarkan UU No. 1Tahun 1974 dan Hukum

Islam ……………………………………………………………….

1. Ketentuan Harta Kekayaan Perkawinan Jika Ada

Perjanjian Perkawinan Berdasarkan UU No. 1 tahun 1974

2. Ketentuan Harta Kekayaan Perkawinan Jika Ada

Perjanjian Perkawinan Berdasarkan Hukum Islam ………..

C. Akibat Hukum Terhadap Harta Kekayaan Perkawinan Jika

Ada Perjanjian Perkawinan Berdasrkan UU No. 1 Tahun 1974

dan Hukum Islam ………………………………………………….

1. Akibat Hukum Terhadap Harta Kekayaan Perkawinan

48

48

54

62

62

68

71

Page 10: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Jika Ada Perjanjian Perkawinan Berdasarkan UU No. 1

Tahun 1974 …………………………………………………….

2. Akibat Hukum Terhadap Harta Kekayaan Perkawinan

Jika Ada Perjanjian Perkawinan Berdasarkan Hukum

Islam ……………………………………………………………

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ……………………………………………………….

B. Saran …………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 11: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia,

perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang

sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat

sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan.

Pergaulan hidup rumah tangga dibina dalam suasana damai,

tenteram, dan rasa kasih sayang antara suami istri. Anak keturunan

dari hasil perkawinan yang sah menghiasi kehidupan rumah tangga

dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih

dan berkehormatan. (A. Azhar Basyir, 1990: 1)

Satu hal yang harus diakui bahwa dalam setiap kehidupan

keluarga, sudah tentu akan muncul sejumlah persoalan. Persoalan

tersebut sangat beragam, baik yang menyangkut finansial, kasih

sayang, maupun sosial. ( Muhammad Kamil Hasan al-Mahami, 2006:

64)

Setelah melangsungkan ijab kabul, seorang suami istri

melangkah ke kahidupan baru mengarungi bahtera kehidupan nyata.

Keduanya akan berhadapan dengan realita kehidupan yang

mungkin selama sebelum menikah tidak pernah dihadapi. Mereka

akan berhadapan dengan hak dan kewajiban sebagai seorang suami

atau istri, ayah atau ibu bagi anak-anaknya, dan sebagai anggota

masyarakat. Dengan kata lain, mereka akan dihadapkan pada

persoalan keluarga dan masyarakat luas.

Salah satu akibat perkawinan adalah terhadap masalah harta.

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, masalah harta

perkawinan diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37, dan Pasal

Page 12: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

65. Dalam pasal-pasal tersebut terdapat ketentuan-ketentuan

mengenai harta perkawinan selama tidak ada perjanjian lain

mengenainya. Menurut Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi

harta bersama. Selain itu, harta bawaan dari masing-masing suami

dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai

hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing

sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal 36 UU No. 1 Tahun

1974 mengatur tentang hak dan tindakan hukum atas harta

perkawinan. Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur tentang harta

perkawinan jika terjadi perceraian. Sedangkan Pasal 65 UU No. 1

Tahun 1974 mengatur tentang harta perkawinan jika poligami.

Dengan demikian, bisa dimungkinkan pengaturan lain harta

perkawinan jika ada perjanjian lain mengenai hal tersebut. Dalam

Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan mengenai perjanjian

perkawinan yang bisa memperjanjikan masalah harta perkawinan

yang berbeda dengan ketentuan harta perkawinan sebagaimana

telah ditentukan dalam UU Perkawinan di atas.

Pada banyak kasus, bukan hanya calon pasangan pengantin

saja yang bertengkar ketika ide perjanjian pernikahan disampaikan,

namun juga berkembang menjadi masalah keluarga antara calon

besan. Hal ini terjadi karena perjanjian perkawinan bagi kebanyakan

orang masih dianggap kasar, materialistik, juga egois, tidak etis, tidak

sesuai dengan adat Timur dan lain sebagainya. Dengan adanya

keterkaitan emosi yang begitu tinggi di antara pasangan yang akan

menikah, bisa menghalangi objektivitas untuk mengantisipasi potensi

masalah finansial dalam sebuah perkawinan, termasuk risiko

perceraian. Anggapan bahwa jika kita saling mencintai maka kita

tidak akan memiliki masalah keuangan, sebenarnya kurang tepat.

Faktanya, masalah keuangan tetap saja muncul tidak peduli betapa

pasangan berdua saling mencintai. Betapa besarnya masalah

Page 13: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

keuangan yang akan muncul ketika pasangan suami istri tidak lagi

saling mencintai dan memutuskan bercerai. (Mike Rini,

http://www.danareksa.com, diakses tanggal 26 September 2007).

Banyak masyarakat yang kurang mengetahui adanya

perjanjian pernikahan yang dibuat pasangan sebelum mereka

menikah, meskipun sejumlah pasangan di Indonesia sudah melakukan

hal tersebut. Selain hal itu tidak biasa dilakukan masyarakat Timur, juga

menimbulkan kesan mengecilkan arti lembaga pernikahan. Seakan-

akan pernikahan hanya merupakan sebuah “company” layaknya

kerjasama dalam bisnis, sehingga harus diantisipasi kerugian atau risiko

yang akan terjadi jika suatu saat terjadi perceraian. Tidak

mengherankan jika masyarakat Indonesia sempat heboh ketika artis

Desy Ratnasari membuat perjanjian pernikahan sebelum ia

melangsungkan pernikahan dengan Ir. Pramugara beberapa tahun

lalu. Pro kontra pun dilancarkan masyarakat terhadap tindakan Desy

tersebut.

Drs. Saepuddin, penasihat BP4 Kandepag Kota Bandung, mengatakan

bahwa bila dicermati, pada dasarnya pernikahan itu sendiri merupakan suatu

perjanjian yang mengikat lahir dan batin atas dasar iman. Maka, sebagaimana

diatur dalam Undang-undang Perkawinan, perjanjian ini akan melahirkan

perjanjian-perjanjian baik tertulis maupun tidak. Menurutnya, Pasal 29 UU

Perkawinan secara tegas menyebutkan pada waktu atau sebelum perkawinan

dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan

perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, isinya

berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

Berdasarkan pasal tersebut, maka dimungkinkan untuk mengadakan

perjanjian pemisahan harta suami dan istri sebagai harta bawaan. Karena,

ketika menikah akan timbul konsekuensi waris, yang sumbernya dari harta

bawaan, mahar (bagi istri) atau hadiah dan hibah lainnya, serta harta gono

gini.

Page 14: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Pasal tersebut bisa menjadi landasan membuat perjanjian selain akad

nikah yang disahkan menurut undang-undang dan dicatat dalam akta

perkawinan. Dalam akta perkawinan ditegaskan bahwa apakah ada perjanjian

lain selain akad nikah. Bila secara hitam di atas putih telah dibuat perjanjian

perkawinan, maka akan ditulis pada akta perkawinan bahwa ada perjanjian

perkawinan.

Perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan bila melanggar batas-

batas hukum, agama dan kesusilaan. Perjanjian berlaku sejak perkawinan

dilangsungkan. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak

dapat diubah, kecuali bila kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah

dan perubahan itu tidak merugikan pihak ketiga. (http://www.pikiran-

rakyat.com, diakses tanggal 3 Oktober 2007).

Diah Nurwitasarim Dipl. Ing., Ketua Lembaga Dakwah dan

Pemberdayaan Potensi Muslimah (LDP2M) Permata Bandung menyatakan

bahwa fenomena perjanjian perkawinan bisa berkembang pesat di masyarakat

perkotaan, di mana budaya praktis atau instan menjadi bagian dari gaya hidup

mereka. Sehingga, bila tidak ingin direpotkan dengan masalah-masalah dalam

pernikahan yang akan mengganggu perekonomian masing-masing pasangan,

dibuatlah perjanjian-perjanjian untuk mengatur sistem hidupnya. Bila sudah

demikian, kebergantungan manusia pada sistem hukum, selain yang telah

ditetapkan Allah melalui Al-Qur’an dan as-Sunnah, akan melemah.

Ditinjau lebih jauh, adanya perjanjian pemisahan harta suami dan istri

merupakan sikap yang dibentuk dari hasil pemikiran untuk menimbang secara

matang saat memasuki jenjang pernikahan. Secara sederhana hal tersebut bisa

dilihat dari rentetan kecenderungan tersebut, di mana ada indikator yang

signifikan yaitu kecenderungan menunda menikah. Ini menandakan pola pikir

dalam merencanakan pernikahan lebih matang lagi, dengan berupaya

mengantisipasi segala sesuatunya yang bisa timbul akibat pernikahan.

Fenomena lain yang bisa mendorong adanya perjanjian tersebut angka

Page 15: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

partisipasi kerja perempuan yang juga semakin meningkat, didorong oleh

perbaikan taraf hidup dan pendidikan yang lebih baik pula.

Selain itu, sudah menjadi suatu kewajaran seiring dengan tantangan

hidup di perkotaan yang sangat kompetitif dan dinamis, suami menghendaki

istri bekerja dengan pertimbangan untuk sama-sama membangun rumah

tangga, saling membantu dalam perekonomian. Atau, karena istri sudah

memiliki karier sebelumnya.

Semua kecenderungan yang sudah menjadi pola hidup masyarakat

perkotaan kemudian terbawa ketika memasuki jenjang pernikahan. Karena

hal inilah perjanjian pemisahan harta suami dan istri menjadi sesuatu yang

biasa terjadi dan berkembang di masyarakat.

Sepintas dapat disimpulkan bahwa perjanjian pemisahan harta muncul

dimaksudkan sebagai langkah antisipasi terhadap kemungkinan-kemungkinan

terburuk yang bisa dialami dalam berumahtangga. Bila sudah demikian, dapat

ditebak bahwa ada mosi ketidakpercayaan terhadap insitusi pernikahan,

sehingga risiko-risiko yang bisa ditimbulkan, misalnya saja perceraian, sudah

diperhitungkan sejak awal. Selanjutnya, apakah perjanjian pemisahan harta

ini diperbolehkan dalam Islam? Dikatakan boleh atau tidak boleh, bisa

menjadi sesuatu yang kontradiksi. Tidak bisa dikatakan tidak boleh, namun

juga bukan berarti boleh. Karena akan berbenturan dengan tujuan pernikahan.

Yang harus dipahami, Islam merupakan sistem hidup yang telah mengatur

segala sesuatunya demi kebaikan umat manusia, di dalamnya sudah diatur

tentang perjanjian-perjanjian, khususnya dalam berumahtangga.

Sudah menjadi fitrah dan keinginan semua orang dalam berkeluarga

bisa membangun ketentraman dan kenyamanan lahir batin sebagai keluarga

yang sakinah, mawahdah warahmah. Dalam Islam sudah jelas bahwa harta

istri sangat dihormati.

Harta bawaan istri tidak menjadi kewajiban untuk dijadikan sumber

menafkahi keluarga. Sementara bagi suami, kewajiban menafkahi menjadi

mutlak, hartanya akan dinikmati istri dan anak. Namun, bila harta yang

Page 16: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

dibawa dan harta yang dihasilkan istri digunakan untuk kepentingan anak dan

suami itu merupakan merupakan ladang amal baginya. Hartanya sebagai

shadaqah.

Hal tersebut yang harus dipahami sehingga tidak lagi terjebak

materialistik. Visi berkeluarga ini yang harus dikedepankan, sehingga istri

tidak menjadi tampil dominan dalam keluarga karena menguasai harta yang

lebih banyak atau lebih besar. Tujuan keluarga muslim tidak hanya

kebahagiaan dunia, namun juga membangun kebahagiaan di akhirat. Jadi,

bisa saja ada perjanjian pembagian tanggung jawab dari penghasilan suami

atau istri untuk dialokasikan pada satu pos tertentu. Misalnya saja suami

hanya membiayai kebutuhan material yang besar dan berat, sementara istri

lebih mengurus kebutuhan anak.

Dalam pasal 34 UU N0. 1 Tahu 1974 dijelaskan bahwa suami wajib

melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah

tangga sesuai dengan kemampuannya. Sementara, istri wajib mengatur urusan

rumah tangga sebaik-baiknya. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya,

masing-masing dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.

Walaupun sudah ditegaskan dalam pasal tersebut bukan berarti istri

tidak menolong suami. Pada kasus tertentu bisa saja suami tiba-tiba berhenti

atau diberhentikan dari pekerjaanya, dan istri bisa menopang ekonomi

keluarga. Di sinilah perlu saling pengertian dan mendukung agar kehidupan

rumah tangga tetap harmonis. (http://www.pikiran-rakyat.com, diakses tanggal

3 Oktober 2007).

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis bermaksud mengkaji

lebih lanjut tentang hukum perjanjian perkawinan, baik menurut UU

No. 1 Tahun 1974 maupun hukum Islam dalam bentuk penulisan

hukum dengan judul “STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN

PERKAWINAN DALAM PERJANJIAN PERKAWINAN BERDASARKAN UU

NO. 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM”.

Page 17: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan salah satu bagian yang

sangat penting dalam penelitian, termasuk penelitian hukum. Agar

subyek permasalahan yang ada nanti dibahas lebih jelas, terarah,

dan sesuai dengan sasaran yang diharapkan, maka sangat penting

bagi penulis untuk merumuskan permasalahan yang akan dibahas.

Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini yang

dirumuskan penulis adalah:

1. Bagaimanakah ketentuan harta kekayaan perkawinan

berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan hukum Islam?

2. Bagaimana ketentuan harta kekayaan perkawinan jika ada

perjanjian perkawinan berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan

hukum Islam?

3. Bagaimana akibat hukum terhadap harta kekayaan

perkawinan jika ada perjanjian perkawinan berdasarkan UU No.

1 Tahun 1974 dan hukum Islam?

C. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian pasti mempunyai tujuan yang jelas. Tujuan

yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu:

1. Tujuan Objektif

a. Untuk mengetahui ketentuan mengenai harta

kekayaan perkawinan berdasarkan UU No. 1 Tahun

1974 dan hukum Islam.

b. Untuk mengetahui ketentuan harta kekayaan

perkawinan jika ada perjanjian perkawinan

berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan hukum Islam.

Page 18: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

c. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap harta

kekayaan perkawinan jika ada perjanjian perkawinan

berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan hukum Islam.

2. Tujuan Subjektif

a. Untuk menambah pengetahuan peneliti di bidang

hukum perdata Indonesia dan hukum Islam dalam

hal perjanjian perkawinan.

b. Untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh

derajat sarjana dalam ilmu hukum pada Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Salah satu faktor pemilihan masalah dalam penelitian ini adalah

bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat. Karena, nilai dari sebuah

penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari

adanya penelitian tersebut. Adapun manfaat yang penulis harapkan

dari penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum

pada umumnya dan hukum perdata serta hukum Islam

pada khususnya.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi

dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang perjanjian

perkawinan menurut hukum perdata Indonesia dan hukum

Islam.

3. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap

penelitian-penelitin sejenis untuk tahap berikutnya.

Page 19: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai

bahan pertimbangan bagi pemerintah, khususnya

lembaga-lembaga yang bersangkutan dalam hal perjanjian

perkawinan.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai

bahan pertimbangan dan acuan dalam hal perjanjian

perkawinan bagi calon suami istri yang akan

melangsungkan perkawinan.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu

memberikan pemahaman pihak-pihak terkait yang

mempunyai kepedulian dan ketertarikan terhadap

persoalan yang diangkat dalam penelitian ini.

E. Metode Penelitian

Agar suatu penelitian ilmiah dapat berjalan dengan baik, maka

perlu menggunakan suatu metode penelitian yang baik dan tepat.

Metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada didalam

penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. (Soerjono

Soekanto, 1986 : 7). Metode penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini, yaitu:

1. Jenis Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji bahwa

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau data sekunder belaka dinamakan penelitian hukum

normatif atau penelitin hukum kepustakaan (di samping adanya

penelitian hukum sosiologis atau empiris yang utamanya meneliti

data primer).

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penulisan

hukum ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data

Page 20: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun

secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam

hubungannya dengan masalah yang diteliti.

2. Sifat Penelitian

Ditinjau dari sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif.

Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan

untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia,

keadaan, atau gejala-gejala lainnya. Maksud utamanya adalah

untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu

memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun

teori-teori baru. (Soerjono Soekanto,1986 : 10).

3. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian

kualitatif. Pendekatan penelitian kualitatif adalah pendekatan

penelitian untuk meneliti hakikat dan makna suatu hal, kemudian

dijelaskan dalam bentuk uraian.

4. Jenis Data

Jenis data yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini

adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan

pustaka berupa keterangan-keterangan yang secara tidak

langsung diperoleh melalui studi kepustakaan, bahan-bahan

dokumenter, tulisan-tulisan ilmiah, dan sumber-sumber tertulis

lainnya.

Page 21: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Adapun ciri-ciri umum data sekunder menurut Soerjono

Soekanto dan Sri Mamudji (2003 : 24) yaitu:

a. Data sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap

terbuat (ready-made);

b. Bentuk maupun isi data sekunder telah dibentuk dan diisi

oleh peneliti-peneliti terdahulu;

c. Data sekunder dapat diperoleh tanpa terikat atau dibatasi

oleh waktu dan tempat.

5. Sumber Data

Sumber data merupakan tempat di mana data suatu

penelitian dapat diperoleh. Sumber data yang akan digunakan

dalam penulisan hukum ini adalah sumber data sekunder.

Dalam penelitian hukum, data sekunder dilihat dari

kekuatan mengikatnya digolongkan menjadi tiga, yaitu:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang

mengikat dan terdiri dari:

1) Norma atau kaidah dasar, yakni Pembukaan Undang-

Undang Dasar 1945.

2) Peraturan Dasar

(a) Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945;

(b) Ketetapan-ketetapan Mejelis Permusyawaratan

Rakyat;

3) Peraturan perundang-undangan:

(a) Undang-Undang dan peraturan yang setaraf;

(b) Peraturan Pemerintah dan peraturan yang

setaraf;

(c) Keputusan Presiden dan peraturan yang setaraf;

(d) Keputusan Menteri dan peraturan yang setaraf;

Page 22: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

(e) Peraturan-peraturan daerah.

4) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, misalnya

hukum adat.

5) Yurisprudensi.

6) Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini

masih berlaku, seperti misalnya KUH Pidana (yang

merupakan terjemahan yang secara yuridis formil

bersifat tidak resmi dari Wetboek van Strafrecht).

b. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-

undang, hasil-hasil penelitian, hasi karya dari kalangan hukum,

dan sebagainya.

c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder, contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks

kumulatif, dan seterusnya. (Soerjono Soekanto, 1986 : 52).

6. Instrumen Pengumpulan Data

Kegiatan yang dilakukan dalam pengumpulan data dalam

penelitian ini adalah dengan cara mengumpulkan (dokumentasi)

data sekunder berupa dokumen-dokumen, arsip-arsip, literatur,

dan yang mendukung. Adapun penelitian ilmiah ini menggunakan

teknik studi kepustakaan dalam mengumpulkan dan menyusun

data yang diperlukan.

7. Tempat Penelitian

Tempat penelitian untuk memperoleh data dalam

penelitian ini adalah di berbagai perpustakaan, yaitu di

Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan Fakultas Hukum UNS,

Page 23: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Perpustakaan Pesantren Mahasiswa Ar-Royyan Solo, perpustakaan

pribadi peneliti, dan media internet.

8. Analisis Data

Proses analisis data sebenarnya merupakan pekerjaan untuk

menemukan tema-tema dan merumuskan hipotesa-hipotesa,

meskipun sebenarnya tidak ada formula yang pasti untuk dapat

digunakan merumuskan hipotesa. Adapun pada analisis data tema

dan hipotesa lebih diperkaya dan diperdalam dengan cara

menggabungkannya dengan sumber-sumber data yang ada.

Berukut ini saran dari Bogdan dan Taylor (1975 : 82-84), yang

telah diterjemahkan oleh Moleong (1990 : 103-104) seperti di bawah

ini, yaitu:

a. Membaca dengan teliti catatan yang ada

Seluruh data dibaca dan ditelaah secara mendalam.

Seluruh bagiannya merupakan potensi yang sama kuatnya

dalam menghasilkan sesuatu yang dicari.

b. Memberi kode

Setelah membaca seluruhnya dan memperoleh kesan

tertentu, peneliti kemudian memberi kode pada data yang

ada. Setelah diberi kode, data kemudian dipelajari dan

ditelaah lagi serta disortir dan diuji untuk dimasukkan ke

dalam kelompok tertentu yang akan menjadi cikal bakal

tema.

c. Menyusun menurut tipologi

Page 24: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Kerangka klasifikasi atau tipologi bermanfaat dalam

menemukan tema dan pembentukan hipotesa.

d. Membaca kepustakaan yang ada kaitannya dengan

masalah dan setting penelitian.

Selama dan sesudah mengumpulkan data, kepustakaan

terkait dan relevan dengan masalah studi hendaknya dipelajari

untuk membandingkan apa yang ditemukan dari data dengan apa

yang dikatakan dalam kepustakaan profesional. Langkah

selanjutnya dalam menganalisis dan menginterpretasikan data

kualitatif adalah merumuskan hipotesa-hipotesa atau pernyataan-

pernyataan (Burhan Ashshofa, 1996 : 66-68).

F. Sistematika Skripsi

Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan mengenai latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian,

dan sistematika skripsi.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini diuraikan tentang

perbandingan hukum, yaitu membandingkan

sistem-sistem hukum untuk mengetahui persamaan

dan perbedaannya, tinjauan UU No. 1 Tahun 1974,

tinjauan hukum Islam, tinjauan perkawinan, tinjauan

perjanjian perkawinan, dan uraian mengenai

kerangka pemikiran.

BAB III : PEMBAHASAN

Page 25: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Dalam bab ini akan diuraikan hasil penelitian

yang membahas tentang ketentuan harta

perkawinan, ketentuan harta perkawinan jika ada

perjanjian perkawinan, akibat hukum harta

perkawinan jika ada perjanjian perkawinan yang

masing-masing ditinjau berdasarkan UU No. 1 Tahun

1974 dan hukum Islam.

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini akan diuraikan kesimpulan dari

hasil pembahasan dan saran-saran mengenai

permasalahan yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 26: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum

a. Pengertian Perbandingan Hukum

Terdapat berbagai istilah asing mengenai

perbandingan hukum antara lain Comparative Law,

Comparative Jurisprudence, Foreign Law (istilah Inggris),

Droit Compare (istilah Perancis), Rechtsvergelijking (istilah

Belanda) dan Rechtsvergleichung atau Vergleichende

Rechlehre (istilah Jerman). Di dalam Black’s Dictionary

dikemukakan bahwa Comparative Jurisprudence ialah

suatu studi mengenai prinsip-prinsip ilmu hukum dengan

melakukan perbandingan berbagai macam sistem

hukum (the study of principles of legal science by the

comparison of various systems of law). (Barda Nawawi

Arief, 2003 : 3).

Sedangkan apabila diamati istilah asingnya,

comparative law maka dapat diartikan bahwa, titik

berat adalah pada perbandingannya atau

comparative, dalam hal ini kalimat comparative

memberikan sifat kepada hukum (yang dibandingakan).

Istilah perbandingan hukum dengan demikian

menitikberatkan kepada segi perbandingannya, bukan

kepada segi hukumnya. Inti sedalamnya dari pengertian

istilah perbandingan hukum adalah membandingkan

sistem-sistem hukum (Romli Atmasasmita, 2000 : 7).

Berkaitan dengan pengertian perbandingan

hukum, ada beberapa pendapat para ahli yang

Page 27: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

mengemukakan pengertian perbandingan hukum

diantaranya sebagai berikut (Romli Atmasasmita, 2000 :

7-10):

1) Rudolf B. Schlesinger, mengatakan bahwa

perbandingan hukum merupakan metoda

penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh

pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan

hukum tertentu. Perbandingan hukum bukanlah

perangkat peraturan dan asas-asas hukum dan

bukan suatu cabang hukum, melainkan merupakan

teknik untuk menghadapai unsur hukum asing dari

suatu masalah hukum.

2) Winterton, mengemukakan bahwa perbandingan

hukum adalah suatu metoda yang

membandingakan sistem-sistem hukum dan

perbandingan tersebut menghasilkan data sistem

hukum yang dibandingkan.

3) Gutterdige, menyatakan bahwa perbandingan

hukum tidak lain merupakan suatu metoda, yaitu

metoda perbandingan yang dapat digunakan

dalam semua cabang ilmu.

4) Lemaire, mengemukakan perbandingan hukum

sebagai cabang ilmu pengetahuan (yang juga

mempergunakan metoda perbandingan )

mempunyai lingkup: ( isi dari) kaidah-kaidah hukum,

persamaan dan perbedaannya, sebab-sebabnya

dan dasar-dasar kemasyarakatannya.

5) Ole Lando, mengemukakan antara lain bahwa

perbandingan hukum mencakup: “analysis and

comparison of the laws”. Pendapat tersebut sudah

Page 28: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

menunjukkan kecendrungan untuk mengakui

perbandingan sebagai cabang ilmu hukum.

6) Hessel Yutema, mengemukakan definisi

perbandingan hukum sebagai berikut: Comparative

law is simply another name for legal science and an

integral part of the more comprehensive universe of

social science, or like other branches of science it has

a universal humanistic outlook: it contemplates that

while the technique nay vary, the problems of justice

are basically the same in time and space throughout

the world.

Perbandingan hukum hanya suatu nama lain untuk

ilmu hukum dan merupakan bagian yang menyatu

dari suatu ilmu sosial, atau seperti cabang ilmu

lainnya perbandingan hukum memiliki wawasan

yang universal; sekalipun caranya berlainan, masalah

keadilan pada dasarnya sama baik menurut waktu

dan tempat di seluruh dunia.

7) Orucu, mengemukakan bahwa comparative law is a

legal discipline aiming at ascertaining similarities and

differences and finding out relationships between

various legal systems, their essence and style, looking

at comparable legal instutions and concepts and

trying to determine solutions to certain problems in

these system with a definite goal in mind, such as law

reform, unification etc.

Perbandingan hukum merupakan suatu disiplin ilmu

hukum yang bertujuan menemukan persamaan dan

perbedaan serta menemukan pula hubungan-

hubungan erat antara pelbagai sistem-sistem hukum;

melihat perbandingan lembaga-lembaga hukum

Page 29: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

dan konsep-konsep serta mencoba menentukan

suatu penyelesaian atas masalah-masalah tertentu

dalam sistem-sistem hukum dimaksud dengan tujuan

seperti pembaharuan hukum, unifikasi hukum, dan

lain-lain.

Adapun Soedjono Dirdjosisworo

mengemukakan Perbandingan hukum adalah suatu

metode studi hukum, yang mempelajari perbedaan

sistem hukum antara negara yang satu dengan yang

lain. Atau, membanding-bandingkan sistem hukum

positif dari bangsa yang satu dengan bangsa yang lain

(Soedjono Dirdjosisworo, 1983 : 60).

R. Soeroso, S.H. menyimpulkan bahwa

perbandingan hukum adalah suatu cabang ilmu

pengetahuan hukum yang menggunakan metode

perbandingan dalam rangka mencari jawaban yang

tepat atas problema hukum yang konkret (R. Soeroso,

1999 : 8).

Berdasarkan pendapat atau definisi tentang

perbandingan hukum yang telah diuraikan di atas

dapat dikemukakan bahwa ada dua kelompok definisi

perbandingan hukum yaitu kelompok pertama, definisi

yang menganggap perbandingan hukum sebagai

metoda dan kelompok kedua yang menganggap

perbandingan hukum sebagai cabang ilmu hukum

(science) (Romli Atmasasmita, 2000 : 12).

Dalam hal kajian perbandingan hukum ini,

penulis akan mengkaji perbandingan hukum sebagai

salah satu bentuk dari penelitian hukum normatif atau

penelitian hukum kepustakaan. Prof. Dr. Soerjono

Page 30: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Soekanto dan Sri Mamudji, S.H., M.L.L menyebutkan

bahwa dalam Penelitian hukum normatif atau

kepustakaan itu mencakup:

a) Penelitian terhadap asas-asas hukum;

b) Penelitian terhadap sistematika hukum;

c) Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan

horisontal;

d) Perbandingan hukum;

e) Sejarah hukum.

2) Manfaat Perbandingan Hukum

Manfaat atau kegunaan perbandingan sistem

hukum yaitu seperti yang diungkapkan beberapa ahli

antara lain sebagai berikut (Ade Maman Suherman,

2004 : 17-19):

a) Menurut Sudarto

Kegunaan yang bersifat umum:

(1) Memberi kepuasan bagi orang yang berhasrat

ingin tahu yang bersifat ilmiah;

(2) Memperdalam pengertian tentang pranata

masyarakat dan kebudayaan sendiri;

(3) Membawa sikap kritis terhadap sistem hukum

sendiri.

Yang bersifat khusus berkaitan dengan asas

nasional aktif yang membawa konsekuensi Pasal 5

Ayat 1 KUHP.

Pendapat di atas khususnya mengenai yang

bersifat khusus memfokuskan pada masalah

hukum pidana.

b) Rene David dan Brierly

Page 31: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

(1) Berguna dalam penelitian hukum yang bersifat

historis dan filosofis;

(2) Penting untuk memahami lebih baik dan untuk

mengembangkan hukum nasional kita sendiri;

(3) Membantu dalam mengembangkan

pemahaman terhadap bangsa-bangsa lain dan

oleh karena itu, memberikan sumbangan untuk

menciptakan hubungan/suasana yang baik bagi

perkembangan hubungan internasional.

c) Tahir Tungadi

(1) Berguna untuk unifikasi dan kodifikasi nasional,

regional maupun internasional;

(2) Berguna untuk harmonisasi hukum, antara

konvensi internasional dengan peraturan

perundangan nasional;

(3) Untuk pembaharuan hukum yakni dapat

memperdalam pengetahuan tentang hukum

nasional dan dapat secara objektif melihat

kebaikan dan kekurangan hukum nasional;

(4) Untuk menentukan asas-asas umum dari hukum

(terutama bagi para hakim pada pengadilan

internasional). Hal ini penting dalam menentukan

the general principles of law yang merupakan

sumber yang penting dari hukum public

internasional;

(5) Sebagai ilmu pembantu bagi hukum perdata

internasional, misalnya dalam hal ketentuan HPI

suatu negara menunjuk kepada ketentuan hukum

asing yang harus diberlakukan dalam suatu kasus;

(6) Diperlukan dalam program pendidikan bagi

penasihat-penasihat hukum pada lembaga

Page 32: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

perdagangan internasional dan kedutaan-

kedutaan, misalnya untuk dapat melaksanakan

traktat-traktat internasional.

d) Menurut Ade Maman Suherman

Perbandingan sistem hukum ditujukan untuk

memperoeh suatu pemahaman yang

comprehensive tentang semua sistem hukum yang

eksis secara global dan paling tidak diperoleh

manfaat:

(1) Manfaat internal, dengan mempelajari

perbandingan sistem hukum dapat memahami

potret budaya hukum negaranya sendiri dan

mengadopsi hal-hal yang positif dari sistem hukum

asing guna pembangunan hukum nasional;

(2) Manfaat eksternal, baik individu, organisasi

maupun negara dapat mengambil sikap yang

tepat dalam melakukan hubungan hukum

dengan negara lain yang berlainan sistem

hukumnya;

(3) Untuk kepentingan harmonisasi hukum dalam

pembentukan hukum supranasional.

Sedangkan Soerjono Soekanto (1986 : 263)

mengemukakan bahwa kegunaan dari penerapan

perbandingan hukum antara lain memberikan

pengetahuan tentang persamaan dan perbedaaan

antara pelbagai bidang tata hukum dan pengertian

dasar sistem hukum. Dengan pengetahuan tersebut,

maka lebih mudah untuk mengadakan unifikasi,

kepastian hukum maupun penyederhanaan hukum.

Hasil-hasil perbandingan hukum akan sangat

bermanfaat bagi penerapan hukum di suatu

Page 33: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

masyarakat majemuk seperti Indonesia, terutama untuk

mengetahui bidang-bidang mana yang dapat

diunifikasikan dan bidang manakah yang harus diatur

dengan hukum antartata hukum.

Adapun tujuan mempelajari perbandingan

hukum menurut Prof. R. Subekti yaitu kita tidak semata-

mata ingin mengetahui perbedaan-perbedaan itu,

tetapi yang penting adalah untuk mengetahui sebab-

sebab adanya perbedaan-perbedan tesebut. Untuk itu,

kita perlu mengetahui latar belakang dari peraturan-

peraturan hukum yang kita jumpai.

2. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun

1974

a. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Menurut UU N0. 1 Tahun

1974

1) Pengertian Perkawinan

Menurut Pasal 1 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974,

perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan lahir

adalah ikatan yang dapat dilihat. Mengungkapkan adanya

suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan dan

wanita untuk hidup bersama, atau dengan kata lain disebut

“hubungan formil”. Hubungan formil ini nyata dan mengikat

pihak yang bersangkutan maupun orang lain dan

masyarakat. Ikatan batin adalah hubungan yang tidak

formil, suatu ikatan yang tidak dapat dilihat tapi harus ada.

Page 34: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Karena, tanpa ikatan batin, maka ikatan lahir akan rapuh.

(K. Wantjik Saleh, 1980 : 14-15).

2) Tujuan Perkawinan

Dari pengertian perkawinan menurut Pasal 1 UU

Perkawinan No. 1 Tahun 1974, maka tujuan perkawinan

adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa.

Dari tujuan perkawinan di atas berarti: perkawinan

berlangsung seumur hidup, cerai diperlukan syarat-syarat

yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan suami istri

saling membantu untuk mengembangkan diri. Suatu

keluarga akan bahagia jika kebutuhan pokok jasmani dan

rohaninya terpenuhi. (Salim H.S., 2003 : 62).

3) Syarat-syarat Perkawinan

Syarat-syarat perkawinan diatur dalam Pasal 6 s.d.

Pasal 7 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Dalam pasal-pasal

tersebut ditentukan dua syarat perkawinan, yaitu syarat

intern dan syarat ekstern. Syarat intern adalah syarat yang

berkaitan dengan pihak yang akan melaksanakan

perkawinan. Sedangkan syarat ekstern adalah syarat yang

berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan

perkawinan. Adapun kedua syarat tersebut dapat

dijelaskan di bawah ini (Salim H.S., 2003 : 62-63).

Syarat-syarat intern perkawinan adalah:

a) Persetujuan kedua belah pihak;

b) Izin dari kedua orang tua apabila belum

mencapai umur 21 tahun;

Page 35: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

c) Pria berumur 19 tahun dan wanita berumur 16

tahun, kecuali ada dispensasi dari pengadilan

atau camat atau bupati;

d) Kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin;

e) Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus

lewat masa tunggu (iddah). Bagi wanita yang

putus perkawinannya karena perceraian, masa

iddah-nya 90 hari, dan jika karena kematian 130

hari.

Syarat-syarat ekstern perkawinan adalah:

a) Harus mengajukan laporan ke Pegawai Pencatat

Nikah, Talak, dan Rujuk;

b) Pengumuman, yang ditandatangani oleh

Pegawai Pencatat yang memuat:

(1) Nama, umur, agama/kepercayaan,

pekerjaan, tempat kediaman dari calon

mempelai dan dari orang tua calon. Selain

itu, disebutkan juga nama istri atau suami

yang terdahulu;

(2) Hari, tanggal, jam, dan tempat perkawinan

dilangsungkan.

Jika syarat-syarat di atas, baik syarat intern maupun

syarat ekstern terpenuhi, maka perkawinan dapat

dilangsungkan.

4) Sahnya Perkawinan

Suatu perkawinan dianggap sah apabila memenuhi

hal-hal berikut ini, yaitu (Salim H.S., 2003 : 64-65) :

Page 36: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

a) Telah dilangsungkan menurut hukum agama dan

kepercayaan masing-masing (Pasal 2 ayat (1) UU No.

1 Tahun 1974);

b) Dicatat menurut peraturan perundang-undangan

(Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974).

Perkawinan dilangsungkan menurut hukum agama

dan kepercayaan masing-masing bertujuan untuk

menghindari konflik hukum antara hukum adat, hukum

agama, dan hukum antargolongan. Sedangkan tujuan

pencatatan perkawinan adalah:

a) Untuk menjadikan peristiwa perkawinan menjadi jelas,

baik oleh yang bersangkutan maupun pihak lain;

b) Sebagai alat bukti bagi anak-anaknya di kemudian

hari jika timbul sengketa antara anak kandung dan

anak tiri;

c) Sebagai dasar pembayaran tunjangan istri atau

suami bagi Pegawai Negeri Sipil.

5) Akta Perkawinan

Akta perkawinan dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun

1974 diatur dalam Pasal 11 dan 12 PP No. 9 Tahun 1975.

(Djaja S. Meliala, 2003 : 56).

Akta perkawinan adalah bukti suatu perkawinan.

Akta perkawinan itu dianggap sah, kecuali kalau dapat

dibuktikan adanya kepalsuan. Sebagai alat bukti, maka

akta perkawinan memiliki tiga sifat, yaitu:

a) Sebagai satu-satunya alat bukti yang memiliki arti

mutlak;

Page 37: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

b) Sebagai alat bukti penuh, artinya, di samping akta

perkawinan itu tidak dapat dimintakan alat-alat bukti

lain;

c) Sebagai alat bukti yang bersifat memaksa sehingga

bukti lawannya tidak dapat melemahkan akta

perkawinan itu.

6) Akibat Perkawinan

Perkawinan membawa akibat bagi pihak yang

melangsungkannya dan pihak lain yang berkaitan. Dalam

peraturan perundang-undangan, perkawinan membawa

tiga akibat, yaitu:

a) Adanya hubungan suami istri;

b) Hubungan orang tua dengan anak;

c) Masalah harta kekayaan.

Akibat perkawinan dalam masalah harta kekayaan

adalah adanya ketentuan hukum dalam masalah harta

perkawinan. Mengenai harta kekayaan perkawinan akan

dibahas dalam subbab tersendiri.

b) Tinjauan Umum Tentang Harta Kekayaan Perkawinan

Menurut UU No. 1 Tahun 1974

Menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, harta

kekayaan perkawinan diatur dalam Pasal 35 s.d. Pasal 37.

Dalam ketentuan tersebut dibedakan antara harta bersama

dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta yang

diperoleh selama perkawinan, sedangkan harta bawaan

masing-masing suami istri adalah harta yang diperoleh

masing-masing sebagai hadiah atau warisan. Harta bawaan

di bawah penguasaan masing-masing pihak sepanjang

Page 38: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat (2)) (Salim

H.S., 2003 : 75).

Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat

bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan

harta bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai

hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum

mengenai harta bendanya (Pasal 36 ayat (1) dan (2)). Jika

perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur

menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan

“hukumnya masing-masing” adalah hukum agama, hukum

adat, dan hukum lainnya (Hilman Hadikusuma, 1990 : 122-

123).

3. Tinjauan Umum Tentang Hukum Islam

a. Ruang Lingkup Hukum Islam

Hukum Islam baik dalam pengertian syariat maupun

fiqih dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu bidang ibadah

(mahdhah) dan bidang muamalah (ghairu mahdhah).

Ibadah (mahdhah) adalah tata cara dan upacara yang

wajib dilakukan seseorang muslim dalam berhubungan

dengan Allah seperti menjalankan sholat, membayar zakat,

menjalankan ibadah haji. Tata cara dan upacara ini tetap

tidak dapat ditambah-tambah maupun dikurangi dimana

ketentuannya telah diatur dengan pasti oleh Allah dan

dijelaskan oleh Rasul-Nya. Dengan demikian tidak mungkin

ada proses yang membawa perubahan dan perombakan

secara asasi mengenai hukum, susunan, cara dan tata cara

ibadat. Yang mungkin berubah adalah penggunaan alat-

alat modern dalam pelaksanaannya. Adapun muamalat

(ghairu mahdhah) dalam pengertian yang luas yakni

ketetapan Allah yang langsung berhubungan dengan

Page 39: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

kehidupan sosial manusia walaupun ketetapan tersebut

terbatas pada yang pokok-pokok saja. Karena itu sifatnya

terbuka untuk dikembangkan melalui ijtihad manusia yang

memenuhi syarat untuk melakukan usaha itu (Mohammad

Daud Ali, 1999 : 48-49).

Jika kita bandingkan hukum Islam bidang muamalah

dengan hukum Barat yang membedakan antara hukum

privat (hukum perdata) dengan hukum publik, maka

sama halnya dengan hukum adat di tanah air kita, hukum

Islam tidak membedakan (dengan tajam) antara hukum

perdata dengan hukum publik. Ini disebabkan karena

menurut sistem hukum Islam pada hukum perdata

terdapat segi-segi publik dan pada hukum publik ada

segi-segi perdatanya.

Itulah sebabnya maka dalam hukum Islam tidak

dibedakan kedua bidang hukum ini. Yang disebutkan

adalah bagian-bagiannya saja seperti misalnya,

munakahat, wirasah, muamalat dalam arti khusus, jinayat

atau ukubat, al-ahkam as-sulthaniyah (khilafah), siyar,

dan mukhasamat (H.M. Rasjidi, dalam Muhammad Daud

Ali, 1999 : 50).

Apabila hukum Islam disistematikan seperti hukum

Eropa yaitu hukum perdata dan hukum publik, maka

hukum Islam dapat kita sistematikan berupa hukum

perdata Islam dan hukum publik Islam. Hukum perdata

Islam terdiri dari:

1) Munakahat, yang mengatur segala sesuatu yang

berhubungan dengan perkawinan, perceraian serta

akibat-akibatnya.

Page 40: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

2) Wirasah, mengatur segala masalah yang

berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta

peninggalan serta pembagian warisan.

3) Muamalat, dalam arti yang khusus mengatur masalah

kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan

manusia dalam soal jual beli, sewa menyewa, pinjam

meminjam, perserikatan, dan sebagainya.

Sedangkan hukum publik Islam terdiri dari:

1) Jinayat, yang memuat aturan-aturan menenai

perbuatan-perbuatan yang diancam dengan

hukuman baik dalam jarimah hudud maupun dalam

jarimah ta’zir. Yang dimaksud dengan jarimah adalah

perbuatan pidana. Jarimah hudud adalah perbuatan

pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas

hukumannya dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi

Muhammad (hudud jamak dari hadd = batas).

Jarimah ta’zir adalah perbuatan pidana yang bentuk

dan ancaman hukumannya ditentukan oleh

penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya.

2) Al-ahkam as-sulthaniyah, membicarakan soal-soal

yang berhubungan dengan kepala negara,

pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun

daerah, tentara, pajak, dan sebagainya.

3) Siyar, mengatur urusan perang dan damai, tata

hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain.

4) Mukhasamat, mengatur soal peradilan, kehakiman,

dan hukum acara (Mohammad Daud Ali,1999 : 51).

b) Tujuan dan Sumber Hukum Islam

Page 41: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Tujuan hukum Islam secara umum adalah untuk

mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan

kemaslahatan bagi mereka, mengarahkan mereka kepada

kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di

dunia dan akherat, dengan jalan mengambil segala

manfaat dan mencegah atau menolak yang madharat,

yakni yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan

manusia. Sedangkan Abu Ishaq as-Shatibi merumuskan lima

tujuan hukum Islam, yaitu memelihara agama, jiwa, akal,

keturunan dan harta yang disebut “maqashid al-khamsah”

(M. Farkhan M, 2006 : 56).

Adapun sumber hukum Islam yaitu:

1) Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam yang

pertama dan utama. Ia memuat kaidah-kaidah

hukum fundamental (asasi) yang perlu dikaji

dengan teliti dan dikembangkan lebih lanjut.

2) As-Sunnah (Al-Hadits)

As-Sunnah (Al-Hadits) adalah sumber hukum

Islam kedua setelah Al-Qur’an, berupa perkataan

(sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fi’liyah),

dan sikap diam (sunnah taqririyah atau sunnah

sukutiyah) Rasulullah yang tercatat (sekarang)

dalam kitab-kitab hadits. Ia merupakan

penafsiran serta penjelasan otentik tentang Al-

Qur’an.

3) Akal Pikiran (Ra’yu)

Sumber hukum Islam yang ketiga adalah akal

pikiran (ra’yu) manusia yang memenuhi syarat

untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh

Page 42: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

kemampuan yang ada padanya, memahami

kaidah-kaidah hukum yang fundamental yang

terdapat dalam Al-Qur’an, kaidah-kaidah hukum

yang bersifat umum yang terdapat dalam sunnah

Nabi dan merumuskannya menjadi garis-garis

hukum yang dapat diterapkan pada suatu kasus

tertentu. Atau berusaha merumuskan garis-garis

atau kaidah hukum yang pengaturannya tidak

terdapat di dalam Al-Qur’an dan al-Hadits.

Adapun jalan atau cara yang digunakan di

antaranya, yaitu:

(1) Ijmak, yaitu persetujuan atau kesesuaian

pendapat para ahli mengenai suatu

masalah pada suatu tempat di suatu masa.

(2) Qiyas, yaitu menyamakan hukum suatu hal

yang tidak terdapat ketentuannya di dalam

Al-Qur’an dan as-Sunnah atau al-Hadits

dengan hal (lain) yang hukumnya disebut

dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul (yang

terdapat dalam kitab-kitab hadits) karena

persamaan illat (penyebab atau

alasannya).

(3) Istidal, yaitu menarik kesimpulan dari dua

hal yang berlainan.

(4) Mashalih al-mursalah, yaitu cara

menemukan hukum sesuatu hal yang tidak

terdapat ketentuannya, baik dalam Al-

Qur’an maupun kitab-kitab hadits

berdasarkan pertimbangan kemaslahatan

masyarakat atau kepentingan umum.

Page 43: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

(5) Istihsan, yaitu cara menemukan hukum

dengan jalan menyimpang dari ketentuan

yang sudah ada demi keadilan dan

kepentingan sosial.

(6) Istishab, yaitu menetapkan hukum sesuatu

hal menurut keadaan yang terjadi

sebelumnya, sampai ada dalil yang

mengubahnya.

(7) Adat istiadat atau ‘urf yang tidak

bertentangan dengan hukum Islam dapat

dikukuhkan tetap terus berlaku bagi

masyarakat yang bersangkutan.

(Muhammad Daud Ali, 1999 : 100-111).

c.Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Menurut Hukum Islam

1) Pengertian Perkawinan

Menurut syari’at (hukum) Islam, hakikat perkawinan

adalah akad antara calon suami istri untuk

membolehkan keduanya bergaul sebagai suami istri,

yaitu akad antara calon laki (suami) istri untuk memenuhi

hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syari’at.

Sedangkan yang dimaksud dengan akad adalah ijab

dari pihak wali perempuan atau wakilnya dan kabul dari

pihak calon suami atau wakilnya (Mahmud Yunus, 1977 :

1).

2) Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan menurut hukum Islam adalah

untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan,

berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam

rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia

Page 44: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

dengan dasar cinta dan kasih sayang untuk

mendapatkan keturunan yang sah dalam masyarakat

dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur oleh

syari’at (Ny. Soemiyati, 1986 : 12). Dengan kata lain,

tujuan perkawinan menurut hukum Islam ialah agar turut

(tunduk kepada) perintah Allah untuk memperoleh

turunan yang sah dalam masyarakat dengan mendirikan

rumah tangga yang damai dan teratur (Mahmud Yunus,

1977 : 1).

3) Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun perkawinan adalah sesuatu yang harus

dipenuhi dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat

perkawinan adalah sesuatu yang harus dipenuhi

sebelum pelaksanaan perkawinan.

Rukun perkawinan ada lima, yaitu:

a) Calon suami, dengan syarat: Islam, tidak dipaksa,

bukan mahramnya, tidak sedang haji atau umrah.

b) Calon istri, dengan syarat: Islam, bukan mahramnya,

tidak sedang haji atau umrah, tidak sedang dalam

masa iddah, tidak bersuami, mendapat izin wali.

c) Wali, dengan syarat: Islam, dewasa, sehat akalnya,

tidak fasik.

d) Dua orang saksi, dengan syarat: Islam, dewasa, sehat

akalnya, tidak fasik, hadir dalam akad perkawinan.

e) Ijab kabul, dengan syarat: dengan mengatakan

nikah atau zawaj (kawin), ada kecocokan antara ijab

dan kabul, berturut-turut (tidak dilakukan di lain

Page 45: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

waktu), tidak ada syarat yang memberatkan dalam

pernikahan itu (Khuslan Haludi dan Abdurrahim Sa’id,

2004 : 135-136).

4) Sahnya Perkawinan

Dalam hukum Islam, nikah dianggap sah jika

memenuhi rukun-rukun perkawinan, yaitu (Abu Bakr Jabir al-

Jazairi, 2006 : 575-577):

a) Adanya wali nikah;

b) Adanya dua orang saksi;

c) Adanya akad nikah;

d) Adanya mahar.

5) Akta Perkawinan

Dalam hukum Islam tidak secara tegas sebuah

perkawinan harus dicatat dalam sebuah akta perkawinan,

tetapi jika akta perkawinan itu memberikan maslahat

(kebaikan) bagi para pihak, maka hukum Islam juga tidak

melarang perkawinan dicatat dalam akta perkawinan. Hal

yang demikian itu termasuk hal yang mubah (boleh

dilakukan).

6) Akibat Perkawinan

Perkawinan menurut hukum Islam membawa tiga

akibat, yaitu:

a) Adanya hubungan suami istri;

b) Hubungan orang tua dengan anak;

c) Masalah harta kekayaan.

d. Tinjauan Umum Tentang Harta Kekayaan Perkawinan Menurut

Hukum Islam

Page 46: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Hukum Islam tidak mengatur tentang harta bersama

dan harta bawaan ke dalam ikatan perkawinan. Yang ada

hanya menerangkan tentang adanya hak milik pria atau

wanita serta maskawin (mahar) ketika perkawinan

berlangsung. Dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang

menyatakan:

“... Bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan ....” (Q.S. an-Nisa’: 32)

Ayat tersebut bersifat umum, tidak ditujukan

terhadap suami atau istri. Dengan demikian, tidak ditujukan

kepada suami istri saja, melainkan kepada semua pria dan

wanita. Jika mereka berusaha dalam kehidupannya sehari-

hari, maka hasil usaha mereka merupakan harta pribadi

yang dimiliki dan dikuasai oleh pribadi masing-masing.

Dalam kaitannya dengan perkawinan, ayat tersebut

dapat dipahami bahwa ada kemungkinan dalam suatu

perkawinan akan ada harta bawaan dari istri yang terpisah

dari harta suami. Masing-masing suami dan istri menguasai

dan memiliki hartanya sendiri-sendiri. Sedangkan harta

bersama (harta pencarian) milik bersama suami istri tidak

ada, dan harta bawaan istri itu kemudian bertambah

dengan maskawin yang diterimanya dari suaminya (Hilman

Hadikusuma, 1990 : 126-127).

4. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

a. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Menurut Hukum Perdata

Masalah perjanjian masuk dalam lingkup hukum

perdata yang terdapat dalam KUH Perdata, dan tidak

terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974. Namun demikian, UU

Page 47: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

No. 1 Tahun 1974 yang mengatur perjanjian perkawinan

masih tetap memiliki hubungan dengan KUH Perdata

terhadap masalah-masalah yang di UU No. 1 Tahun 1974

tidak diatur. Dengan demikian, perjanjian perkawinan yang

merupakan salah satu bentuk perjanjian, pada prinsipnya

mengikuti ketentuan KUH Perdata selama tidak diatur dalam

UU No. 1 Tahun 1974. Dalam hal ini, masalah tinjauan

mengenai “perjanjian” didasarkan pada KUH Perdata.

Yang dimaksud dengan perjanjian menurut Pasal

1313 KUH Perdata yaitu “suatu perbuatan dengan mana

satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang atau lebih.”

Prof. Subekti menyatakan bahwa perjanjian adalah

suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain

atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan suatu hal (Subekti, 1976 : 1)

Menurut pasal 1320 KUH Perdata, syarat sahnya

perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu: adanya

kesepakatan para pihak, kecakapan para pihak, mengenai

suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal (Subekti,

2001 : 339).

Dua syarat pertama merupakan syarat subyektif

karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang

mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat terakhir

adalah syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya itu

sendiri atau obyeknya dari perbuatan hukum yang

dilakukan. Suatu perjanjian batal demi hukum jika syarat

subyektif tidak terpenuhi, dan suatu perjanjian dapat

dibatalkan jika syarat obyektif tidak terpenuhi.

Page 48: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Suatu perjanjian tidak dsapat ditarik kembali selain dengan

kesepakatan kedua belah pihak yang berjanji, atau karena

alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup

untuk itu. Selain itu, suatu perjanjian hendaknya dibuat

dengan itikad baik dari pihak yang berjanji (Pasal 1338 KUH

Perdata).

Dalam KUH Perdata terkandung asas-asas perjanjian,

yaitu:

1) Asas kebebasan berkontrak;

2) Asas konsensualisme;

3) Asas kekuatan mengikat;

4) Asas persamaan hukum;

5) Asas kepastian hukum;

6) Asas kebiasaan;

7) Asas itikad baik;

8) Asas kepercayaan.

b. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Menurut Hukum Islam

Dalam hukum Islam, perjanjian termasuk dalam

lapangan muamalah yang diperbolehkan. Ayat Al-Qur’an

menyatakan:

"Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya." (Q.S. Al Isrâ' : 34)

Page 49: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Dalam kitab Fiqhu as-Sunnah, Sayyid Sabiq

mengemukakan bahwa disyaratkan pada janji (perjanjian)

yang wajib dihormati dan dipenuhi, hal-hal berikut ini, yaitu :

1) Tidak menyalahi hukum syariat yang disepakati

adanya.

Sabda Rasulullah saw. :

"Segala bentuk persyaratan yang tidak ada dalam kitab Allah adalah batil, sekalipun seribu syarat."

Yang dimaksud dengan 'kitab Allah' dalam pengertian

di atas adalah hukum Allah, yaitu syariat (hukum) Islam.

2) Harus sama-sama ridha (rela, ikhlas) dan ada pilihan

(tidak dalam paksaan) karena sesungguhnya

pemaksaan menafikan kemauan dan tidak ada

penghargaan terhadap akad (perjanjian) yang tidak

memenuhi keabsahannya.

3) Harus jelas dan gamblang, tidak samar dan

tersembunyi, sehingga tidak diinterpretasikan kepada

suatu interpretasi yang bisa menimbulkan

kesalahpahaman pada waktu penerapannya

(pelaksanaannya) (Sayyid Sabiq, 1978 : 196).

Dalam hukum Islam sebuah janji harus dipenuhi dengan baik.

Penghormatan teerhadap perjanjian menurut Islam

hukumnya wajib, melihat pengaruhnya yang positif dan

perannya yang besar dalam memelihara perdamaian dan

melihat urgensinya dalam mengatasi kemusykilan,

menyelesaikan perselisihan dan menciptakan kerukunan.

Dalam Al-Qur'an dinyatakan mengenai perjanjian:

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu." (Q.S. Al Mâ'idah : 1)

Page 50: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

"Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya." (Q.S. Al Isrâ' : 34)

5. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Perkawinan

a. Tinjuan Umum Tentang Perjanjian Perkawinan Menurut UU

No. 1 Tahun 1974

1) Pengertian Perjanjian Perkawinan

Ada beberapa istilah untuk perjanjian perkawinan

yang digunakan, antara lain “perjanjian kawin”,

“perjanjian pranikah” atau dalam Burgelijk Wetboek

disebut “huwelijksvoorwaarden”, sedangkan dalam

bahasa Inggris disebut “prenuptial agreement”.

Pengertian perjanjian perkawinan menurut Pasal 29

ayat (1) UU No. 1 Tahun 1074 adalah perjanjian bersama

secara tertulis antara calon suami istri pada waktu atau

sebelum perkawinan dilangsungkan yang disahkan oleh

Pegawai pencatat perkawinan di mana isinya berlaku

juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga

tersangkut.

Menurut Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., perjanjian

perkawinan adalah “perjanjian yang dibuat oleh calon

suami istri sebelum atau pada saat perkawinan

dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat

perkawinan terhadap harta benda mereka”. (Titik

Triwulan Tutik, 2006 : 128). Sedangkan Salim H.S., S.H., M.S.

mengartikan perjanjian perkawinan sebagai “perjanjian

yang dibuat oleh calon pasangan suami istri sebelum

atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk

Page 51: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan

mereka”. (Salim H.S., 2003 : 72).

2) Pengaturan Perjanjian Perkawinan

Perjanjian perkawinan diatur dalam KUH Perdata, UU

Perkawinan No. 1 Tahun 1974, dan Inpres No. 1 Tahun

1991. Dalam KUH Perdata diatur dalam Pasal 139 s.d.

Pasal 154, sedangkan dalam UU Perkawinan No. 1

Tahun 1974 diatur dalam Pasal 29, dan dalam Inpres No.

1 Tahun 1991 diatur dalam Pasal 45 s.d. 51.

3) Alasan dan Maksud Perjanjian Perkawinan

Perjanjian perkawinan dibuat untuk memperjanjikan

hal-hal yang ingin diperjanjikan oleh pasangan calon

suami istri setelah perkawinan berlangsung. Secara

umum, suatu perjanjian perkawinan dibuat dengan

alasan sebagai berikut (Titik Triwulan Tutik, 2006 : 129) :

a) Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang

lebih besar pada salah satu pihak daripada pihak

yang lain;

b) Kedua belah pihak masing-masing membawa

masukan (aanbrengst) yang cukup besar;

c) Masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri

sehingga andaikata salah satu jatuh (failliet), yang

lain tidak tersangkut;

d) Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum

kawin, masing-masing akan bertanggunggugat

sendiri-sendiri.

Page 52: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Maksud pembuatan perjanjian perkawinan adalah

untuk mengadakan penyimpangan terhadap

ketentuan-ketentuan tentang harta kekayaan bersama

(Pasal 119 KUH Perdata). Dengan demikian para pihak

bebas menentukan bentuk hukum yang dikehendaki

atas harta kekayaan yang menjadi obyeknya.

Alasan dan maksud perjanjian perkawinan

diserahkan kepada para pihak, asalkan tidak

melanggar tata susila yang baik atau tata tertib umum

dan beberapa hal yang ditentukan dalam KUH Perdata

(Pasal 139 KUH Perdata), tidak melanggar batas-batas

hukum, agama dan kesusilaan (Pasal 29 ayat (2) UU

Perkawinan No. 1 Tahun 1974).

4) Waktu dan Berlakunya Isi Perjanjian Perkawinan

Dalam Pasal 29 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974

disebutkan bahwa perjanjian perkawinan dilakukan

pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan

(Pasal 29 ayat (1)). Perjanjian perkawinan tersebut

berlaku sejak perkawinan dilangsungkan dan selama

perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak

dapat diubah kecuali bila dari kedua belah pihak (suami

istri) ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan

tidak merugikan pihak ketiga (Pasal 29 ayat (3) dan (4)).

Isi perjanjian perkawinan berlaku bagi pihak yang

mengadakan perjanjian, yaitu suami istri yang

bersangkutan, juga berlaku bagi pihak ketiga yang

bersangkutan pula (Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan No.

1 Tahun 1974).

5) Isi dan Sahnya Perjanjian Perkawinan

Page 53: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Berdasarkan pengertian perjanjian perkawinan yang

telah disebutkan sebelumnya, dapat diketahui bahwa isi

perjanjian perkawinan adalah memperjanjikan masalah

harta kekayaan suami istri yang bersangkutan. Namun

demikian, jika melihat pasal-pasal yang mengatur

perjanjian perkawinan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974,

maka isi perjanjian tidak hanya mengatur masalah harta

kekayaan, tapi boleh juga mengatur hal lain selain harta

kekayaan. Isi perjanjian perkawinan mengenai hal lain

selain harta kekayaan tidak dibatasi dan sangat luas.

Hal tersebut tetap sah asalkan tidak melanggar tertib

umum, batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan

(Pasal 29 ayat (2) UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974).

Mengenai isi perjanjian perkawinan, UU Perkawinan

tidak membahas, yang ada bahwa perjanjian

perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum,

agama, dan kesusilaan. Dengan demikian, mengenai isi

perjanjian perkawinan diserahkan kepada pejabat-

pejabat umum yang memiliki wewenang untuk

memberikan penafsirannya. (Titik Triwulan Tutik, 2006 :

130-131).

Dalam peraturan pelaksanaan UU Perkawinan sendiri,

yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975,

sepanjang mengenai perjanjian perkawinan tidak

mengatur lebih lanjut tentang pembatasan-

pembatasan apa saja yang dapat diperjanjikan,

apakah mengenai harta benda atau yang lain.

Sehingga dengan demikian, sepanjang mengenai

perjanjian perkawinan luas sekali perumusannya yang

dapat ditafsirkan banyak berbagai hal. (Soedaryo

Soimin, 2002 : 20).

Page 54: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Tidak ditentukan perjanjian itu mengenai apa,

umpamanya mengenai harta benda. Karena tidak ada

pembatasan itu, maka dapat disimpulkan bahwa

perjanjian tersebut luas sekali, dapat mengenai

berbagai hal. Dalam penjelasan pasal 29 UU Perkawinan

No. 1 Tahun 1974 hanya disebutkan bahwa yang

dimaksud “perjanjian” itu tidak termasuk “ta’lik talak”. (K.

Wantjik Saleh, 1980 : 32).

Asas kebebasan kedua belah pihak dalam

menentukan isi perjanjian perkawinan dibatasi oleh

ketentuan-ketentuan sebagai berikut (Titik Triwulan Tutik,

2006 : 131) :

a) Tidak membuat janji-janji (bedingen) yang

bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban

umum;

b) Perjanjian perkawinan tidak boleh mengurangi hak-

hak karena kekuasaan suami, hak-hak karena

kekuasaan orang tua, hak-hak suami istri yang hidup

terlama;

c) Tidak dibuat janji-janji yang mengandung pelepasan

hak atas peninggalan;

d) Tidak dibuat janji-janji bahwa salah satu pihak akan

memikul hutang lebih besar daripada bagiannya

dalam aktiva;

e) Tidak dibuat janji-janji bahwa harta perkawinan akan

diatur oleh undang-undang negara asing.

6) Prosedur dan Bentuk Perjanjian Perkawinan

Prosedur perjanjian perkawinan adalah dibuat oleh

kedua belah pihak calon suami istri dengan

kesepakatan bersama secara tertulis yang dilakukan

pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan

Page 55: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

dengan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan

(Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974).

Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan

tidak dapat diubah kecuali jika dari kedua belah pihak

ada perjanjian untuk mengubah dan tidak merugikan

pihak ketiga (Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan No. 1

Tahun 1974).

b. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Perkawinan Menurut

Hukum Islam

Dalam hukum Islam, walaupun tidak dinyatakan

secara tegas sebelum atau ketika perkawinan berlangsung

dapat diadakan perjanjian perkawinan berdasarkan

hadis Nabi Muhammad, namun dalam penerapan

perjanjian sebagai syarat perkawinan terdapat beberapa

pendapat mengenai hal itu di kalangan ulama mazhab

Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali.

Sayyid Sabiq dalam kitabnya, Fiqhu as-Sunnah,

mengemukakan penjelasan mengenai ijab kabul yang

disertai dengan syarat beserta siapa yang berpendapat

seperti itu. Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa apabila dalam

ijab kabul diiringi dengan suatu syarat, baik syarat itu masih

termasuk dalam rangkaian perkawinan, atau menyalahi

hukum perkawinan, atau mengandung manfaat yang akan

diterima oleh perempuannya, atau mengandung syarat

yang dilarang oleh agama, maka masing-masing syarat

tersebut mempunyai ketentuan hukum tersendiri yang

secara ringkas disebutkan di bawah ini, yaitu:

1) Syarat yang wajib dipenuhi.

Syarat yang wajib dipenuhi yaitu yang termasuk

dalam rangkaian dan tujuan perkawinan serta tidak

Page 56: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

mengandung hal-hal yang menyalahi hukum Allah dan

Rasul-Nya, seperti: menggauli dengan baik; memberikan

nafkah/belanja, pakaian, dan tempat tinggal yang

pantas; tidak mengurangi sedikit pun hak-haknya dan

memberikan bagian kepadanya sama dengan istri-

istrinya yang lain (jika ta‘addud atau poligami); tidak

boleh keluar rumah suaminya kecuali jika diizinkan; tidak

mencemarkan suaminya; tidak berpuasa sunnah kecuali

jika diizinkan suaminya; tidak menerima tamu orang lain

di rumah suaminya kecuali dengan izin suami; dan tidak

membelanjakan harta suaminya kecuali dengan izin

suami; dan lain sebagainya.

2) Syarat yang tidak wajib dipenuhi.

Di antara syarat yang tidak wajib dipenuhi tetapi

akad nikahnya sah, yaitu syarat yang menyalahi hukum

perkawinan, seperti: tidak memberi nafkah/belanja;

tidak mau bersetubuh atau kawin tanpa mahar;

memisahkan diri dari istrinya; istrinya yang harus

memberikan nafkah atau memberi sesuatu hadiah

kepada suaminya; dalam sepekan hanya tinggal

bersama semalam atau hanya mau tinggal dengan

istrinya di siang hari, tidak di malam harinya.

Syarat-syarat di atas semuanya batal dengan

sendirinya, sebab menyalahi hukum-hukum perkawinan

dan mengandung hal-hal yang mengurangi hak-hak

suami istri sebelum ijab kabul. Oleh karena itu, tidak sah,

sebagaimana kalau seorang Syafi'i yang mengurangi

hak-hak barang Syuf'ahnya sebelum dijual.

Adapun akadnya sendiri tetap sah, karena syarat-

syaratnya tadi berada di luar ijab kabul, yang

Page 57: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

menyebutnya tidak berguna dan tidak disebutnya pun

tidaklah merugikan. Oleh karena itu, akadnya tidak

batal, sebagaimana kalau disyaratkan mahar yang

haram waktu ijab kabul. Sebab, pernikahan seperti ini

tetap sah, sekalipun tidak disebut apa yang nanti harus

menjadi mas kawinnya. Jadi, ijab kabul dengan adanya

syarat yang batal itu tetap sah.

3) Syarat-syarat yang hanya untuk perempuannya.

Di antara syarat-syarat yang guna dan faedahnya

untuk perempuannya saja, seperti: suaminya tidak boleh

menyuruh dia keluar dari rumah atau kampung

halamannya; tidak mau pergi bersamanya; atau tidak

mau dimadu; dan lain sebagainya.

Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Pendapat

pertama, segolongan ulama berpendapat bahwa

nikahnya tetap sah dan syarat-syarat tersebut tidak

berlaku, dan suaminya tidak harus memenuhinya.

Pendapat kedua, segolongan ulama lain berpendapat

bahwa wajib memenuhi apa yang sudah disyaratkan

kepada istrinya, dan jika tidak dipenuhi, maka istrinya

berhak minta fasakh.

Pendapat pertama merupakan paham Abu

Hanifah, Syafi'i, dan sebagian besar ulama. Alasan

mereka berpendapat demikian adalah sebagai berikut :

Rasulullah saw. pernah bersabda :

"Orang Islam itu terikat dengan syarat-syarat (perjanjian) mereka, kecuali jika syarat tersebut menghalalkan yang haram, atau mengharamkan yang halal."

Page 58: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Mereka mengatakan bahwa syarat yang

mengharamkan yang halal tersebut di atas, yaitu:

bermadu (ta‘addud atau poligami), melarang keluar

rumah dan pergi bersama, yang kesemuanya ini

dihalalkan oleh agama.

Sabda Rasulullah saw. :

"Segala bentuk persyaratan yang tidak ada dalam kitab Allah adalah batil, sekalipun seribu syarat."

Mereka mengatakan bahwa syarat di atas tidak ada

dalam kitab Allah, karena memang tidak ada

ketentuannya dalam agama. Mereka juga mengatakan

bahwa syarat-syarat tersebut di atas tidak mengandung

kemaslahatan dalam perkawinan dan tidak pula masuk

dalam rangkaiannya.

Adapun pendapat kedua adalah paham Umar

bin Khattab, Sa‘ad bin Abi Waqash, Mu‘awiyah, ‘Amru

bin ‘Ash, Umar bin Abdul Aziz, Jabir bin Zaid, Thawus,

Auza‘i, Ishaq, dan golongan Hambali. Alasan mereka

berpendapat demikian adalah sebagai berikut :

Firman Allah ta'ala :

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu." (Q.S. Al Mâ'idah : 1)

Sabda Rasulullah saw. :

"Orang Islam itu terikat dengan syarat-syarat (perjanjian) mereka."

Page 59: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Hadis Bukhari, Muslim, dan lain-lain yang diriwayatkan

dari ‘Uqbah bin ‘Amir, Rasulullah saw. bersabda :

"Perjanjian yang paling patut ditunaikan yaitu yang menjadikan halalnya hubungan kelamin (persetubuhan) bagi kamu."

Maksud dari hadis di atas adalah bahwa perjanjian yang

paling patut untuk ditunaikan ialah perjanjian dalam

perkawinan, kerena masalahnya paling sungguh-

sungguh dan paling berat.

Diriwayatkan oleh Atsram dengan sanadnya

sendiri, pernah seorang laki-laki kawin dengan seorang

perempuan dengan janji tetap tinggal di rumahnya.

Kemudian, suaminya bermaksud mengajaknya pindah.

Lalu, mereka (keluarganya) mengadukan kepada Umar

bin Khattab. Maka, Umar bin Khattab memutuskan

bahwa perempuan itu berhak atas janji suaminya. Di sini,

hak suami atas istri batal karena ada perjanjian.

Selain itu, karena janji-janji yang diberikan oleh suami

kepada perempuan mengandung manfaat dan

maksud, yang asalkan maksudnya tadi tidak

menghalangi perkawinan. Maka, sah hukumnya,

sebagaimana kalau perempuan mensyaratkan agar

suaminya mau membayar maharnya lebih tinggi lagi.

Ibnu Qudamah menguatkan pendapat (kedua)

ini dan melemahkan pendapat yang pertama. Ia

berkata: “Adapun pendapat yang kami dengar dari

para sahabat (Nabi saw.) setahu kami tidak ada yang

berlainan di zaman mereka itu, bahkan sudah menjadi

ijmak.” Rasulullah saw. pun bersabda : "Setiap syarat

Page 60: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

yang tidak ada di dalam agama Allah adalah batal,

sekalipun ada seratus syarat." Maksudnya, syarat yang

tidak ada dalam hukum Allah dan agama-Nya.

Padahal, masalah ini (perjanjian dalam perkawinan)

hukumnya boleh sebagaimana telah kami terangkan

alasan-alasan yang membolehkannya, dan alasan-

alasan yang menyalahi pendapat yang

mengatakannya boleh. Karena itu, orang yang menolak

pendapat tersebut haruslah memberikan dalil-dalilnya.

Jika mereka berkata bahwa perjanjian seperti di

atas itu berarti mengharamkan yang halal, maka kami

jawab : bukan mengharamkan yang halal, akan tetapi

maksudnya untuk memberikan kepada perempuan hak

meminta fasakh bilamana si suami tidak dapat

memenuhi persyaratan yang diterimanya. Dan, jika

mereka berkata bahwa hal itu tidak ada maslahatnya,

maka kami jawab : hal itu tidak benar, bahkan hal itu

merupakan suatu kemaslahatan bagi perempuannya,

karena apa yang bisa menjadi suatu maslahat bagi satu

pihak yang mengadakan akad berarti pula menjadi

maslahat di dalam akadnya.

Pendapat Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa

bagi orang yang berakal sehat, apabila mengadakan

perjanjian, yang perjanjian itu mengandung kebaikan

bagi tujuan yang hendak dicapainya, tidaklah ia akan

mau mundur atau mengkhianatinya. Seperti batas

waktu pinjam-meminjam barang, membayar harga

barang-barang tertentu yang terjadi di beberapa

tempat, menjelaskan keadaan barang-barang yang

dijualbelikan, dan keterampilan tertentu yang

disyaratkan kepada salah seorang dari suami istri.

Page 61: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Tergantung syarat-syarat tertentu itu berguna daripada

dibiarkan tanpa syarat, atau bahkan lebih berguna lagi

daripada kalau tidak diberi syarat sama sekali.

4) Syarat-syarat yang dilarang agama.

Ada syarat-syarat yang oleh agama dilarang dan

diharamkan untuk menepatinya, yaitu perempuan yang

mensyaratkan kepada suaminya agar mentalak

madunya.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang seorang

laki-laki meminang pinangan saudaranya, atau membeli

barang yang akan dibeli saudaranya, dan perempuan

yang minta madunya ditalak agar dia dapat mengambil

sepenuhnya piring atau bejana bagian saudaranya,

padahal rezekinya itu sudah ada dalam ketetapan

Allah. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Dalam lafazh lain, riwayat Bukhari dan Muslim

dikatakan, Nabi melarang perempuan mensyaratkan

madunya ditalak.

Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah pernah

bersabda :

"Tidak halal bagi perempuan yang dikawin dengan meminta lainnya agar ditalak." (H.R. Ahmad)

Larangan hadis tersebut menunjukkan batalnya

perbuatan yang dilarang, oleh karena perempuan itu

mensyaratkan kepada suaminya untuk menceraikan

madunya, menggugurkan hak memadu dan hak

madunya. Maka, syaratnya tidak sah sebagaimana

Page 62: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

kalau dia mensyaratkan kepada suaminya agar

membatalkan jual belinya.

Apa bedanya antara perempuan yang

mensyaratkan agar suaminya tidak kawin dengan

perempuan lain, dengan mentalak madunya, di mana

yang pertama dibolehkan, sedangkan yang kedua

dibatalkan?

Jawaban Ibnu Qayyim tentang masalah tersebut

menyatakan bahwa perbedaan antara kedua hal di

atas, karena meminta agar madunya diceraikannya

berarti merugikan perempuan lain, menyakitkan hatinya,

merusak rumah tangganya, memberikan kesempatan

kepada musuh-musuh untuk menghinanya, karena dia

ditinggalkan untuk kawin dengan orang lain. Karena

itulah, agama membedakan hukum kedua hal tersebut,

dan mengqiaskan yang pertama kepada yang kedua

dalam perkara ini hukumnya batal.

Kesimpulan dari penjelasan di atas adalah tidak

diperbolehkannya melakukan perjanjian sebagai syarat

perkawinan yang syarat-syarat tersebut dilarang

agama.

B. Kerangka Pemikiran

Perbandingan hukum atau dalam istilah asingnya disebut

comparative law dapat diartikan bahwa titik berat bahasannya

adalah pada perbandingannya atau comparative, dalam hal ini

Page 63: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

kalimat comparative memberikan sifat kepada hukum (yang

dibandingkan). Istilah perbandingan hukum dengan demikian

menitikberatkan kepada segi perbandingannya, bukan kepada segi

hukumnya. Inti sedalamnya dari pengertian istilah perbandingan

hukum adalah membandingkan sistem-sistem hukum (Romli

Atmasasmita, 2000 : 7).

Dalam berbagai pendapat para tokoh hukum, diskusi mengenai

perbandingan hukum ini membentuk polarisasi pengertian. Di satu sisi

para tokoh hukum berpendapat bahwa perbandingan hukum

merupakan suatu metode, sedangkan di sisi lain para tokoh hukum

yang tidak sependapat menggolongkan perbandingan hukum

sebagai cabang ilmu pengetahuan. Pada intinya, kedua pandangan

mengenai perbandingan hukum ini sebenarnya mengerucut pada

tujuan yang sama yaitu menghasilkan suatu pembaharuan hukum

(Indianto Suhardi, 2005 : 42).

Perjanjian perkawinan adalah perjanjian tertulis antara calon

suami istri sebelum atau pada waktu pernikahan dilangsungkan

dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap

harta benda mereka maupun masalah lain selain harta benda. Salah

satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam perjanjian

perkawinan adalah peraturan hukum yang dijadikan pedoman

dalam perjanjian perkawinan tersebut, karena perjanjian perkawinan

akan menimbulkan konsekuensi hukum (akibat hukum) seperti hak

dan kewajiban, baik bagi suami dan istri maupun konsekuensi hukum

terhadap pihak ketiga yang bersangkutan.

Dalam penelitian ini, penulis mencoba menggunakan

perbandingan hukum untuk membandingkan UU No. 1 Tahun 1974

dengan sistem hukum Islam dalam melihat bentuk-bentuk hubungan

hukum dalam perjanjian perkawinan. Sehingga, dari judul penelitian

yang diangkat penulis, yaitu “STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA

KEKAYAAN PERKAWINAN DALAM PERJANJIAN PERKAWINAN

Page 64: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

BERDASARKAN UU NO. 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM”, kerangka

pemikirannya dapat disusun sebagai berikut:

· Ketentuan harta kekayaan perkawinan

· Ketentuan harta kekayaan perkawinan jika ada perjanjian perkawinan

· Akibat hukum terhadap harta kekayaan perkawinan jika ada

Hukum Islam

UU No. 1 Tahun 1974 Al-Qur’an

as-Sunnah

Harta Kekayaan Perkawinan

Persamaan dan Perbedaan

Page 65: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Gambar 1 : Kerangka Pemikiran Penelitian

Pembaharuan hukum, Unifikasi hukum, Harmonisasi

Page 66: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Ketentuan Harta Kekayaan Perkawinan Berdasarkan UU No. 1 Tahun

1974 dan Hukum Islam

1. Ketentuan Harta Kekayaan Perkawinan Berdasarkan UU No. 1

Tahun 1974

Masalah harta benda atau harta kekayaan merupakan

masalah pokok dalam pekawinan yang dapat menimbulkan

pelbagai perselisihan dalam perkawinan, sehingga akan

menghilangkan kerukunan hidup berumah tangga.

Menginngat pentingnya masalah tersebut, UU No. 1 tahun 1974

tentang Perkawinan memberikan ketentuan-ketentuan

masalah harta kekayaan perkawinan sebagaimana tercantum

dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 (K. Wantjik Saleh, 1976

: 35)

Adapun ketentuan mengenai harta kekayaan perkawinan

dari Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974

adalah sebagai berikut:

Pasal 35

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan

menjadi harta bersama.

(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan

harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai

hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan

masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan

lain.

Page 67: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Pasal 36

(1) Mengenai harta bersama suami atau istri dapat

bertindak atas perjanjian kedua belah pihak.

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri

mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan

perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Pasal 37

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama

diatur menurut hukumnya masing-masing.

Berdasarkan Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut, harta

kekayaan perkawinan dibedakan menjadi dua macam, yaitu

(Rachmadi Usman, 2006 : 369):

a. Harta milik bersama (harta bersama), yaitu harta benda

yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan

berlangsung sebagai hasil usaha suami istri bersama atau

salah seorang di antara keduanya.

b. Harta milik sendiri, yang terbagi dalam dua jenis, yaitu:

1) Harta bawaan, yaitu harta benda masing-masing suami

istri yang dimilikinya sebelum perkawinan dilangsungkan

dan kemudian di bawa ke dalam perkawinan.

2) Harta perolehan, yaitu harta benda yang diperoleh

masing-masing suami istri sebagai hadiah atau warisan

sesudah perkawinan dilangsungkan.

Berdasarkan bunyi Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974

yang intinya menyatakan bahwa harta bersama adalah harta

benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung antara

suami istri. Pasal 35 ayat (1) tersebut tidak menyebutkan secara

jelas mengenai atas jerih payah atau hasil kerja siapa harta

bersama itu diperoleh, apakah hasil kerja suami atau istri. Dalam

Page 68: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

pasal tersebut yang jelas adalah harta benda yang diperoleh

selama perkawinan menjadi harta bersama yang dimiliki

bersama oleh suami istri tanpa memperhitungkan siapa yang

bekerja menghasilkan harta benda tersebut (Abdurrahman dan

Riduan Syahrani, 1978 : 28).

Jika dilihat dalam Penjelasan atas UU No. 1 tahun 1974 juga

tidak menjelaskan mengenai masalah ini, sehingga dengan

demikian tidak menjadi persoalan siapa yang bekerja

menghasilkan harta bersama. Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) UU

No. 1 Tahun 1974, apabila harta itu atas hasil kerja suami, istri

tetap memiliki hak atas harta tersebut. Begitu sebaliknya,

apabila harta itu atas hasil kerja istri, suami juga memiliki hak atas

harta tersebut, karena harta bersama tidak mempersoalkan atas

hasil kerja siapa.

Jika ditinjau dari kenyataan hidup sekarang, ketentuan

Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 adalah kurang adil karena

dalam pasal tersebut tidak ada kejelasan mengenai “hasil kerja

siapa”, apakah harta yang menjadi harta bersama itu hasil kerja

suami atau hasil kerja istri. Jika suami yang bekerja dan istri tidak

bekerja, kemudian si istri mendapatkan penghidupan yang

layak adalah sebuah keharusan karena suami sebagai kepala

rumah tangga yang wajib memberikan segala sesuatu

keperluan hidup berumah tangga sesuai Pasal 31 ayat (3) dan

Pasal 34 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, akan tetapi jika istri yang

bekerja dan suami tidak bekerja, sedangkan harta hasil kerja istri

menjadi harta bersama adalah tidak adil karena seharusnya

suami yang menjadi pokok dalam mencari penghidupan

keluarga. Kenyataan ini semakin terasa ketika sekarang ini

banyak istri yang bekerja sementara suami mereka tidak

bekerja, atau istri lebih banyak menghasilkan harta daripada

suaminya.

Page 69: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Jika dilihat dari rasa keadilan dan kesetaraan laki-laki dan

perempuan dalam rumah tangga apabila yang bekerja

mencari harta adalah istri, maka Pasal 35 ayat (1) juga tidak adil,

apalagi jika nantinya terjadi perceraian, karena harta bersama

akan dibagi dua. Dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h UU No. 7 Tahun

1984 Tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

terhadap Wanita disebutkan bahwa tidak boleh ada diskriminasi

terhadap wanita dalam semua urusan yang berhubungan

dengan perkawinan dalam hubungan keluarga atas dasar

persamaan antara pria dan wanita, khususnya akan menjamin

hak yang sama untuk kedua suami istri bertalian dengan

pemilikan, perolehan, pengelolaan, administrasi, penikmatan

dan memindahtangankan harta benda baik secara cuma-

cuma maupun dengan penggantian uang.

Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf h UU No. 7 Tahun 1984

Tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

terhadap Wanita, maka seorang istri mempunyai persamaam

dengan suami dalam memiliki (hak milik) suatu harta benda,

memperoleh harta benda, mengurus administrasi harta benda,

melakukan pengelolaan, dan menikmati harta benda dari hasil

kerja atau usahanya. Selain itu, istri juga memiliki hak yang sama

dengan suami untuk memindahtangankan harta bendanya

baik dengan cuma-cuma atau dengan penggantian uang.

Ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf h UU No. 7 Tahun 1984

menempatkan istri pada posisi yang adil terhadap hak-hak yang

dimiliki suami dalam masalah harta benda dalam perkawinan,

sedangkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak memberikan

kejelasan mengenai hal-hal tersebut sebagaimana tercantum

dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf h UU No. 7 Tahun 1984.

Adapun dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999

Tentang Hak Azasi Manusia dinyatakan bahwa seorang istri

Page 70: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan

tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal

yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan

dengan anak-anaknya, dan hak pemilikan serta pengelolaan

harta bersama. Sedangkan pada Pasal 51 ayat (2) UU No. 39

Tahun 1999 menyatakan bahwa setelah putusnya perkawinan,

seorang wanita mempunyai hak yang sama dengan mantan

suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta

bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 36 ayat (1) UU No. 1 Tahun

1974, harta benda milik bersama berada di bawah penguasaan

suami istri sejak perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak.

Suami maupun istri pun hanya dapat bertindak terhadap harta

benda milik bersama berdasarkan atas persetujuan kedua belah

pihak. Dengan demikian, jika salah satu pihak, baik suami atau

istri tidak setuju dengan suatu tindakan terhadap harta bersama,

maka tindakan tersebut tidak dapat dilakukan. Berarti pula

persetujuan kedua belah pihak dari suami dan istri menjadi

syarat dapat dilakukannya suatu tindakan terhadap harta

benda milik bersama. Keadaan harta milik bersama yang

demikian itu dapat dijadikan sebagai barang jaminan (agunan)

oleh suami atau istri atas persetujuan pihak suami atau istrinya.

Persetujuan tersebut tidak harus dinyatakan dengan tegas, tapi

dapat saja diberikan secara diam-diam (Rachmadi Usman, 2006

: 370).

Riduan Syahrani, S.H. (1978 : 32) juga berpendapat bahwa

syarat persetujuan kedua belah pihak handaknya dipahami

sedemikian rupa dengan luwes, di mana tidak dalam segala hal

mengenai penggunaan harta bersama itu diperlukan adanya

persetujuan kedua belah pihak secara formal atau secara

Page 71: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

tegas. Dalam beberapa hal tertentu, persetujuan kedua belah

pihak harus dianggap ada, sebagai persetujuan yang diam-

diam. Contoh dalam hal ini adalah penggunaan harta bersama

untuk keperluan hidup sehari-hari. Hal tersebut bertujuan untuk

menghindari kesan kaku suami istri dalam pergaulan hidup

bersama di tengah-tengah keluarga dan masyarakat, sehingga

akan terlihat sangat kaku apabila seorang istri harus selalu minta

persetujuan suaminya setiap hari hanya untuk mengunakan

uang membeli bumbu masak.

Persoalannya adalah dalam hal apa dan apakah

penggunaan harta bersama itu diharuskan adanya persetujuan

kedua belah pihak? Sebaliknya juga, dalam hal apa dan

penggunaaan harta bersama yang bagaimana yang dianggap

telah ada persetujuan kedua belah pihak sebagai persetujuan

diam-diam? Persoalan ini hendaknya dilihat secara kasuistis,

yakni dengan melihat pada keadaan sosial ekonomi, tata hidup

dan kehidupan suami istri, serta kehidupan masyarakat di mana

suami istri itu tinggal.

Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tersebut

dan melihat Penjelasan Pasal 36 ayat (1) yang menyatakan

“cukup jelas”, maka harta bersama dapat digunakan oleh

suami maupun istri untuk keperluan apa saja dan berapa pun

jumlahnya asalkan ada persetujuan dari kedua belah pihak.

Pasal 36 ayat (1) dan penjelasannya tidak menyebutkan untuk

hal apa saja dan berapa jumlah harta bersama yang bisa

digunakan oleh suami maupun istri. Dengan demikian ada

kebebasan bagi suami atau istri untuk menggunakan harta

bersama.

Adanya hak bagi suami dan istri untuk menggunakan harta

bersama dengan persetujuan keduanya (secara timbal balik)

adalah sudah sewajarnya. Hal tersebut mengingat bahwa hak

Page 72: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan

kedudukan suami dalam kehidupan berumah tangga dan

pergaulan hidup dalam masyarakat. Masing-masing suami

maupun istri memiliki hak dan kedudukan yang seimbang dan

berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Hal itu

sebagaimana ditegaskan secara jelas dalam Pasal 31 ayat (1)

dan (2) UU No. 1 Tahun 1974 mengenai hak dan kewajiban

suami istri.

Dalam keadaan seorang beristri lebih dari satu orang

(poligami), menurut ketentuan Pasal 65 ayat (1) UU No. 1 Tahun

974, istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas

harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri

kedua atau berikutnya itu terjadi. Masing-masing istri memiliki

hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak

perkawinannya masing-masing. Dengan demikian, menurut

ketentuan Pasal 65 ayat (1) tersebut dapat disimpulkan bahwa

harta benda milik bersama dari perkawinan seorang suami yang

memiliki istri lebih dari satu orang, masing-masing terpisah dan

berdiri sendiri-sendiri (Rachmadi Usman, 2006 : 370).

2. Ketentuan Harta Kekayaan Perkawinan Berdasarkan Hukum

Islam

Dalam hukum Islam tidak diatur secara tegas mengenai

hukum harta perkawinan. Menurut Hazairin, di dalam Al-Qur’an

tidak mengandung ketentuan tentang harta bersama dalam

perkawinan, juga sunnah (hadis) Rasulullah Muhammad. Sunnah

Rasulullah hanya menyebut soal syirkah. Oleh karena itu, untuk

mengaturnya menjadi hak otonom setiap masyarakat Islam

dengan cara syura bainahum, yaitu bermusyawarah

(kesepakatan) di antara mereka. (Hazairin dalam Rachmadi

Usman, 2006 : 371).

Page 73: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Pendapat Hazairin ini juga senada dengan Anwar

Harjono yang menulis mengenai harta bersama, yakni harta

yang diperoleh suami istri selama dalam perkawinan, tidak

diatur dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, diserahkan sepenuhnya

kepada mereka yang bersangkutan untuk mengaturnya. Selain

itu ada lagi H. Abdoeraoef, S.H. yang menuliskan dalam

disertasinya dengan menyatakan bahwa dalam Al-Qur’an tidak

ada peraturan-peraturan mengenai harta perkawinan.

Pendapat Hazairin dan yang senada dengannya dikritik

dan tidak disepakati oleh Prof. Dr. T. Jafizham, S.H. dengan

menyatakan bahwa pendapat tersebut tidak sejalan dengan

tafsiran Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974, di mana dalam pasal

tersebut terdapat ketentuan hukum agama dalam masalah

harta benda perkawinan (T. Jafizham, 2006 : 117).

Dalam Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa

jika perkawinan putus karena perceeraian, harta bersama diatur

menurut hukumnya masing-masing. Penjelasan Pasal 37 UU No.

1 Tahun 1974 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan

“hukumnya masing-masing” adalah hukum agama, hukum

adat, dan hukum lainnya. Dengan demikian, ada hukum

agama Islam yang mengatur masalah harta perkawinan.

Prof. Dr. T. Jafizhman, S.H. menyatakan bahwa suatu hal

yang aneh jika agama Islam tidak mengatur masalah harta

benda perkawinan, karena semua persoalan diatur oleh hukum

Islam, ditentukan pula hukumnya. Tidak ada satu pun yang

tertinggal dan tidak dibahas. Tentang tidak diaturnya dalam Al-

Qur’an secara eksplisit, jelas, dan rinci, bukan berarti tidak diatur

oleh hukum Islam. benar bahwa Al-Qur’an adalah sumber

hukum utama dan pertama, tetapi masih ada sumber hukum

Islam yang lain, yaitu hadis Nabi Muhammad dan lainnya. hadis

Nabi Muhammad berfungsi sebagai penjelas (bayan) terhadap

ayat-ayat Al-Qur’an dan juga bisa berfungsi membuat hukum

Page 74: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

baru yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an (T. Jafizhman, 2006

: 118). Walaupun mungkin tidak disebutkan secara eksplisit,

jelas, dan rinci dalam Al-Qur’an, tetapi ada prinsip-prinsip hukum

yang dapat ditarik darinya dari hadis Nabi Muhammad.

Prof. Dr. T. Jafizhman, S.H. mengemukakan bahwa dasar hukum harta benda perkawinan berdasar dari hukum syarikat yang diatur dalam hadis Nabi Muhammad seperti berikut (T. Jafizhman, 2006118):

Dari Abu Hurairah, dia berkata, telah bersabda Rasulullah saw., Allah ta’ala telah berfirman: “Aku adalah orang yang ketiga dari dua orang yang bersyarikat, selama salah seorang dari mereka tidak mengkhianati temannya. Maka, apabila salah seorang berkhianat, Aku keluar dari mereka.” (H.R. Abu Dawud dan disahkan oleh Hakim) Dari Saib al-Mahzumi, bahwasanya ia adalah sekutu Nabi Muhammad saw. sebelum menjadi Rasul. Dia datang pada hari terbukanya kota Makkah. Maka Nabi berkata: “Selamat datang saudaraku dan sekutuku.” (H.R. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah) Ada dua pendapat yang berkembang mengenai harta

bersama dalam perspektif hukum Islam. Pendapat pertama,

menyatakan bahwa dalam hukum Islam tidak dikenal

percampuran harta kekayaan antara suami istri karena

perkawinan. Harta kekayaan istri tetap menjadi milik istri dan

dikuasai sepenuhnya oleh istri. Begitu pula harta kekayaan milik

suami tetap menjadi milik suami dan dikuasai sepenuhnya oleh

suami. Oleh karena itu, wanita yang bersuami tetap dianggap

cakap bertindak tanpa bantuan suami dalam soal apapun juga

termasuk mengurus harta benda sehingga ia dapat melakukan

segala perbuatan hukum dalam masyarakat.

Argumentasi pendapat pertama ini didasarkan pada dua

ayat Al-Qur’an, yaitu Q.S. an-Nisa’: 32 yang menyatakan bahwa

bagi laki-laki dan wanita masing-masing ada bagian dari apa

yang mereka usahakan, dan Q.S. al-Baqarah: 228 yang

Page 75: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

menyatakan bahwa para wanita mempunyai hak yang

seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf

(baik).

“... Bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan ....” (Q.S. an-Nisa’: 32)

“... Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf ....” (Q.S. al-Baqarah: 228)

Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengenai Q.S. al-Baqarah: 228

menyatakan bahwa para istri mempunyai hak atas suami

mereka seperti hak yang dimiliki suami atas diri mereka. Masing-

masing dari keduanya harus menunaikan hak tersebut dengan

cara yang baik (Ibnu Katsir, 2004 : 449).

Karena istri mendapat perlindungan, baik tentang nafkah

lahir, nafkah batin, moral dan material maupun tempat tinggal,

biaya pemeliharaan maupun pendidikan anak, menjadi

tanggung jawab penuh suami sebagai kepala rumah tangga.

Dengan demikian, istri dianggap pasif menerima apa yang

datang dari suami. Oleh karena itu, tidak ada harta bersama

antara suami istri. Sepanjang apa yang diberikan oleh suami

kepada istrinya di luar pembiayaan rumah tangga dan

pendidikan anak, misalnya hadiah berupa perhiasan, maka

itulah yang menjadi hak istri dan tidak boleh diganggu gugat

oleh suami. Apa yang diusahakan oleh suami keseluruhannya

tetap menjadi milik suami, kecuali bila terjadi syirkah (M. Idris

Ramulyo dalam Rachmadi usman, 2006 : 371).

Dengan demikian, pada dasarnya dalam perspektif

hukum Islam, masing-masing suami istri memiliki kewenangan

penuh terhadap harta milik pribadinya. Suami tidak berwenang

mencampuri harta milik pribadi istri meskipun di antara mereka

Page 76: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

telah terjadi perkawinan, karena harta tersebut tetap berada di

bawah penguasaan dan milik penuh istri. Demikian juga jika

suami hendak menggunakan harta milik istri, maka ia harus

meminta persetujuan dari istrinya. Namun demikian,

kebersamaan dapat diwujudkan melalui syirkah.

Pada dasarnya menurut hukum Islam, harta suami istri itu

terpisah. Dengan demikian, masing-masing memiliki hak untuk

menggunakan atau membelanjakan hartanya dengan

sepenuhnya tanpa boleh diganggu pihak lain. Dr. Lutfi, seorang

ahli hadis dari Universitas Yordania dan Universitas Kebangsaan

Malaysia menyatakan bahwa dalam perkawinan ada dua hak,

yaitu hak milik dan hak guna. Dr. Lutfi juga menyatakan dari

sudut fikih ditentukan bahwa harta yang dibawa suami adalah

milik suami. Begitu pula harta yang dibawa istri adalah harta

milik istri, sedangkan harta yang didapat di dalam perkawinan

adalah milik dari pihak yang mencari atau mendapatkannya,

sehingga dengan demikian harta yang didapat suami adalah

milik suami, sementara harta yang didapat istri adalah milik istri.

Konsekuensi dari ketentuan tersebut berarti rumah dan barang-

barang di dalam rumah tangga itu adalah milik yang membeli

atau mendapatkannya. Meskipun demikian, di dalam rumah

tangga terdapat pula hak guna yang memungkinkan anggota

rumah tangga menggunakan barang-barang di dalam rumah

itu bersama-sama, misalnya menggunakan peralatan rumah

tangga serta barang lain seperti kursi dan meja. (http://www.

sarikata.com, diakses tanggal 7 April 2008).

Jika dilihat dari kenyataan sekarang, pendapat yang

pertama ini lebih adil, mengingat masing-masing memiliki hak

atas hasil kerjanya sendiri-sendiri. Dengan demikian tidak terjadi

suatu ketimpangan dalam hal perolehan harta perkawinan dan

hak memilikinya. Jika istri bekerja, maka hasil kerjanya menjadi

miliknya. Jika suami bekerja, maka hasil kerjanya menjadi

Page 77: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

miliknya, di samping ia punya kewajiban menghidupi

keluarganya sebagai kepala keluarga.

Prof. Dr. Mahmud Yunus menjelaskan pula bahwa

maskawin yang diberikan suami kepada istrinya menjadi hak

milik istri dan dikuasai sepenuhnya oleh istri. Terhadap maskawin

ini istri berhak membelanjakannya, menghibahkannya,

mensedekahkannya, dan lainnya dengan tiada perlu meminta

izin kepada wali atau suaminya.

Prof. Dr. Mahmud Yunus juga menjelaskan bahwa harta

benda istri lainnya selain maskawin tetap menjadi hak milik istri

dan tidak ada hak suami untuk menghalanginya, kecuali jika istri

itu safih (pemboros, tidak pandai berbelanja), maka istri boleh

dihajar (dilarang) ber-tasarruf (boros) dengan harta bendanya.

Pendeknya, kekuasaan istri terhadap harta bendanya tetap

berlaku dan tiada berkurang karena perkawinan. Tentang ini

telah sepakat para ulama.

Selain itu, suami tidak boleh suami tidak boleh

membelanjakan harta benda istri untuk belanja keperluan

rumah tangga kecuali dengan izin istri. Harta benda istri yang

digunakan untuk belanja rumah tangga menjadi hutang atas

suami dan suami wajib membayar kepada istrinya kecuali jika

dibebaskan oleh istrinya. Hal ini karena nafkah rumah tangga

menjadi tanggung jawab suami. Namun, jika istri berbelanja

lebih dari cukup dengan harta bendanya sendiri dan dengan

kemauannya sendiri, maka istri tidak berhak meminta ganti

kepada suaminya. Tentang hal ini pun ulama telah sepakat.

Harta yang menjadi hak sepenuhnya masing-masing

pihak adalah harta bawaan masing-masing sebelum terjadi

perkawinan ataupun harta yang diperoleh masing-masing pihak

dalam masa perkawinan yang merupakan hasil kerja mereka

masing-masing dan bukan sebagai hasil usaha bersama. Yang

Page 78: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

termasuk harta ini misalnya adalah menerima warisan, hibah,

hadiah, dan sebagainya.

Sebagaimana dikatakan oleh Sajuti Thalib, ditinjau dari

segi asal-usulnya, harta kekayaan suami istri dapat

dikelompokkan ke dalam:

a. Harta bawaan, yaitu harta masing-masing suami istri yang

telah dimilikinya sebelum mereka menikah.

b. Harta masing-masing suami istri yang dimilikinya setelah

mereka berada dalam hubungan perkawinan melalui

hadian, hibah, dan wasiat atau warisan.

c. Harta yang berasal dari usaha salah seorang suami istri

yang diperoleh selama mereka berada dalam hubungan

perkawinan.

d. Harta yang diperoleh atas usaha bersama selama mereka

berada dalam hubungan perkawinan.

Selain itu, dalam hukum Islam masih dikenal lagi harta

peninggalan dan harta kewarisan. Harta peninggalan adalah

harta milik pribadi suami istri yang ditinggalkan, karena yang

bersangkutan meninggal dunia atau menyatakan gaib. Adapun

harta kewarisan adalah harta peninggalan seorang pewaris

yang telah dikurangi dengan biaya-biaya pemakaman,

membayar hutang (jika ada), dan melaksanakan wasiat pewaris

sendiri yang bersangkutan dengan harta peninggalannya (M.

Hidjazi Kartawidjaya dalam Rachmadi Usman, 2006 : 369-370).

Adapun menurut Soemiyati, S.H. (Soemiyati, 1986 : 99)

harta kekayaan perkawinan jika ditinjau dari asalnya

digolongkan menjadi tiga, yaitu:

a. Harta masing-masing suami istri yang telah dimilikinya

sebelum kawin, baik diperolehnya karena mendapat

warisan atau usaha-usaha lainnya. Harta ini disebut harta

bawaan.

Page 79: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

b. Harta masing-masing suami istri yang diperolehnya selama

selam berada dalam hubungan perkawinan tetapi

diperoleh bukan karena usaha mereka bersama-sama

maupun sendiri-sendiri, tetapi diperoleh karena hibah,

warisan ataupun wasiat untuk masing-masing.

c. Harta yang diperoleh setelah mereka berada dalam

hubungan perkawinan atas usaha mereka berdua atau

salah satu pihak dari mereka. Harta ini disebut harta

pencaharian.

Selanjutnya, yang menjadi persoalan adalah status harta

pencaharian. Apakah harta pencaharian itu dapat dianggap

sebagai harta bersama dari suami istri? Ataukah istri hanya

berhak atas harta yang telah diberikan oleh suaminya

kepadanya, misalnya: nafkah, barang-barang perhiasan, atau

lainnya yang telah jelas diberikan kepadanya?

Al-Qur’an maupun hadis Nabi Muhammad tidak

menjelaskan secara tegas dan terperinci bahwa harta yang

diperoleh selama dalam hubungan perkawinan menjadi milik

suami sepenuhnya, dan juga tidak menjelaskan dengan tegas

bahwa harta yang diperoleh selama dalam hubungan

perkawinan itu menjadi milik bersama. Dengan demikian,

masalah ini merupakan masalah yang perlu ditentukan dengan

cara ijtihad, yaitu dengan menggunakan akal pikiran manusia di

mana hasil oemikiran tersebut harus sesuai dan bersumber

dengan jiwa ajaran Islam.

Menentukan status pemilikan harta selama dalam

hubungan perkawinan adalah penting sekali untuk memperoleh

kejelasan mengenai staus harta tersebut jika di kemudian hari

terjadi perceraian, walaupun perceraian sangat tidak

diinginkan, atau jika terjadi kematian salah satu pihak suami

atau istri. Dalam hal terjadi kematian salah satu pihak, jika status

hartanya jelas, maka akan mudah ditentukan mana harta

Page 80: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

peninggalan yang dapat diwariskan kepada para ahli warisnya.

Sedangkan dalam hal terjadi perceraian, jika status hartanya

jelas, maka dapat dengan segera ditentukan harta mana yang

menjadi hak istri dan harta mana yang menjadi hak suami.

Dengan kejelasan status harta tersebut dapat menghindarkan

persengketaan ahli waris maupun antara suami istri yang

bercerai.

Dalam hukum perkawinan Islam, istri memiliki hak nafkah

yang wajib dipenuhi oleh suami. Oleh karena itu, pada dasarnya

harta yang menjadi hak istri selama dalam hubungan

perkawinan adalah nafkah yang diperoleh dari suaminya untuk

hidupnya. Selain itu, dimungkinkan juga ada pemberian-

pemberian tertentu dari suami kepada istri, misalnya perhiasan,

alat-alat rumah tangga, dan lainnya yang pada umumnya

langsung dipakai oleh pihak istri. Ketentuan yang demikian ini

berlaku jika yang berusaha atau bekerja mencari nafkah hanya

suami saja, sedangkan istri tidak ikut serta bekerja sama sekali.

Namun demikian, jika keperluan rumah tangga diperoleh

karena usaha bersama antara suami dan istri, maka dengan

sendirinya harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi

harta bersama. Besar kecilnya harta yang menjadi bagian suami

atau istri tergantung kepada banyak atau sedikitnya usaha

yang mereka lakukan dalam memenuhi kebutuhan rumah

tangganya itu. Jika usaha keduanya sama-sama kuat, maka

harta yang dimiliki oleh masing-masing pihak adalah seimbang.

Jika suami lebih banyak usahanya dibandingkan istrinya, maka

hak suami lebih besar daripada hak istri. Demikian pula

sebaliknya, jika istri lebih banyak usahanya dibandingkan

suaminya, maka hak istri atas harta bersama juga lebih besar

daripada hak suaminya.

Prof. Dr. Mahmud Yunus menjelaskan bahwa tambahan

harta benda karena usaha bersama suami istri selama

Page 81: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

perkawinan menjadi hak milik bersama antara suami istri. Jika istri

turut berusaha mencari rezeki bersama suaminya, padahal yang

demikian itu bukan kewajiban istri, maka istri berhak mendapat

keuntungan dari usaha tersebut menurut besar kecilnya usaha

suami istri itu. Apabila suami istri bekerja sama beratnya dan

sama banyaknya, maka keuntungannya 50% untuk masing-

masing. Tetapi, apabila usaha istri hanya sekedar membantu

suaminya, maka ia berhak mendapat untung menurut besar

kecil bantuannya itu. Jika besar bantuannya, maka besar pula

untungnya, begitu sebaliknya menurut neraca keadilan.

Mengenai hal ini tidak ada khilafiyah (perbedaan pendapat) di

kalangan ulama. Dengan demikian, jika perkawinan itu putus

karena suatu sebab, maka harta benda tersebut dibagi menurut

keseimbangan besar kecilnya usaha suami istri itu (Mahmud

Yunus, 1977 : 109).

Pendapat kedua, menyatakan bahwa mulai saat akad

nikah dilangsungkan, maka demi hukum sejak saat itu telah

terjadi percampuran atau persatuan harta kekayaan, sehingga

tidak perlu lagi diperjanjikan sebagaimana pendapat yang

pertama.

Sajuti Thailib dan Hazairin mengakui hal ini bahwa harta

yang diperoleh suami dan istri karena usahanya adalah harta

bersama, baik mereka bekerja bersama-sama atau suami saja

yang bekerja, sedangkan istrinya hanya mengurus rumah

tangga beserta anak-anak di rumah. Sekali mereka terikat

dalam perjanjian perkawinan sebagai suami istri, maka

semuanya menjadi bersatu, baik harta maupun anak-anak.

Tidak perlu didiringi dengan syirkah, sebab perkawinan dengan

ijab kabul serta memenuhi persyaratan lain-lainnya sudah dapat

dianggap adanya syirkah antara suami istri tersebut (Rachmadi

Usman, 2006 : 373).

Page 82: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

B. Ketentuan Harta Kekayaan Perkawinan Jika Ada Perjanjian

Perkawinan Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam

1. Ketentuan Harta Kekayaan Perkawinan Jika Ada Perjanjian

Perkawinan Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 terdapat Bab V Pasal 29

yang mengatur tentang perjanjian perkawinan. Adapun

bunyi Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut adalah:

Pasal 29

(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan

dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian bersama

dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan

oleh Pegawai pencatat perkawinan , setelah mana

isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang

pihak ketiga tersangkut.

(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana

melanggar batas-batas hukum, agama, dan

kesusilaan.

(3) Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan

dilangsungkan.

(4) Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut

tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah

pihak ada perjanjian untuk mengubah dan

perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Perjanjian perkawinan sebagaimana disebutkan

pada pasal-pasal di atas memiliki banyak kemungkinan

mengenai isi perjanjiannya. K. Wantjik Saleh mengatakan

bahwa tidak ditentukan perjanjian itu mengenai apa,

umpamanya mengenai harta benda. Karena tidak ada

pembatasan itu, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian

tersebut luas sekali, dapat mengenai berbagai hal. Dalam

penjelasan pasal 29 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 hanya

Page 83: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

disebutkan bahwa yang dimaksud “perjanjian” itu tidak

termasuk “ta’lik talak” (K. Wantjik Saleh, 1980 : 32).

Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 memang memberikan

ruang lebih lebar mengenai isi perjanjian. Artinya, isi

perjanjian perkawinan yang akan dilakukan oleh calon

suami istri sangat luas wilayahnya, bisa menyangkut masalah

harta maupun selainnya. Hal ini sependapat juga dengan

Prof. H. Hilma Hadikusuma, S.H. yang menyatakan bahwa isi

perjanjian perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 “lebih

terbuka” tidak saja yang menyangkut perjanjian kebandaan

tetapi juga yang lain.

Sedangkan R. Subekti menyatakan bahwa baik KUH

Perdata maupun UU Perkawinan mengenal apa yang

dinamakan “perjanjian perkawinan”. Ini adalah suatu

perjanjian mengenai harta benda suami istri selama

perkawinan mereka, yang menyimpang dari sari asas atau

pola yang ditetapkan oleh Undang-undang.

Banyak yang sependapat dengan pernyataan R.

Subekti di atas. Masyarakat umum juga beranggapan

bahwa perjanjian perkawinan lebih banyak mengatur

masalah harta perkawinan, karena masalah yang paling

rawan dan rumit dalam perkawinan sehingga memerlukan

perjanjian adalah masalah harta, walaupun masalah yang

lain selain harta juga cukup rumit jika ada masalah.

Jika kita melihat beberapa pendapat di website hukum

mengenai isi perjanjian, kebanyakan menyatakan bahwa perjanjian

perkawinan dalam UU Perkawinan adalah suatu perjanjian

mengenai harta benda suami istri selama perkawinan mereka, yang

menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh undang-

undang. Materi yang diatur dalam perjanjian tergantung pada

Page 84: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

pihak-pihak calon suami istri, asalkan tidak bertentangan dengan

hukum, undang-undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaan.

Perjanjian semacam ini biasanya berisi janji tentang harta benda

yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Pada umumnya

berupa perolehan harta kekayaan terpisah, masing-masing pihak

memperoleh apa yang diperoleh atau didapat selama perkawinan,

termasuk keuntungan dan kerugian (http://www.hukumonline.com,

diakses tanggal 3 Oktober 2007).

Berdasarkan ketentuan Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 dan

pendapat para pakar, pada umumnya mereka menganggap bahwa

isi perjanjian perkawinan adalah mengatur harta perkawinan.

Bagaimana selanjutnya ketentuan harta kekayaan perkawinan jika

ada perjanjian perkawinan?

Ketentuan harta perkawinan menurut Pasal 35 UU No. 1

Tahun 1974 menyatakan bahwa:

Pasal 35

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan

menjadi harta bersama.

(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan

harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai

hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan

masing-masing sepanjang para pihak tidak

menentukan lain.

Berdasarkan Pasal 35 UU No. 1 tahun 1974 tersebut dapat

ditarik kesimpulan bahwa jika tidak ada perjanjian perkawinan

mengenai harta perkawinan, maka dengan sendirinya terjadi

kebersamaan harta yang terbatas (penyatuan harta terbatas) antara

suami istri. Adapun yang dimaksud dengan “terbatas” adalah

terbatas pada harta yang diperoleh sepanjang perkawinan

Page 85: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

berlangsung yang bukan berasal dari hadiah atau warisan. Dengan

demikian, yang menjadi harta bersama hanya harta yang diperoleh

selama perkawinan.

Sebaliknya, jika calon suami istri yang hendak

melangsungkan perkawinan menghendaki kebersamaan harta yang

menyeluruh, maka mereka harus mengadakan perjanjian

perkawinan mengenai hal tersebut. Yang demikian itu dapat

disimpulkan dari kata-kata pada akhir Pasal 35 ayat (2) UU No. 1

Tahun 1974 yang berbunyi: “... sepanjang para pihak tidak

menentukan lain.” Adapun yang dimaksud dengan “sepanjang para

pihak tidak menentukan lain” adalah “perjanjian perkawinan” (R.

Soetojo Prawiromahidjojo, 1986 : 68).

Berdasarkan penjelasan di atas, jika calon suami istri

menghendaki kebersamaan harta (penyatuan harta) yang

menyeluruh meliputi harta harta bersama dan harta bawaan

masing-masing suami istri, maka mereka dapat melakukan

perjanjian perkawinan yang isinya mengatur hal tersebut.

Kebersamaan harta yang menyeluruh ini merupakan

“penyimpangan” dari ketentuan dalam Pasal 35 UU No. 1 Tahun

1974 yang sebenarnya dalam pasal tersebut menentukan

kebersamaan harta terbatas. Akan tetapi, karena dalam Pasal 35

ayat (2) memungkinkan adanya perjanjian perkawinan yang

mengatur kebersamaan harta yang menyeluruh, maka perjanjian

perkawinan mengatur hal lain yang menyimpang dari ketentuan

awal Undang-undang, dan hal ini sah.

Selanjutnya, Pasal 36 UU No. 1 Tahun 1974 yang

berbunyi:

Pasal 36

(1) Mengenai harta bersama suami atau istri dapat

bertindak atas perjanjian kedua belah pihak.

Page 86: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan

istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan

perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Pasal 36 UU No. 1 Tahun1974 di atas mengatur harta

perkawinan yang tidak ada perjanjian perkawinan di

dalamnya, sehingg ketentuan mengenai harta bersama

dan harta bawaan suami istri tetap sebagaimana tercantum

dalam pasal tersebut.

Menurut R. Soetojo Prawiromahidjojo (R. Soetojo

Prawiromahidjojo, 1986 : 68) dari uraian mengenai Pasal 35 dan

Pasal 36 UU No. 1 Tahun di atas, maka dapat diketahui bahwa

perjanjian perkawinan mengenai harta perkawinan dapat dibuat

yang isinya:

a. Kebersamaan harta (penyatuan harta) yang

menyeluruh/bulat.

b. Peniadaan setiap kebersamaan harta.

Perjanjian perkawinan yang isinya mengenai

kebersamaan harta yang menyeluruah atau penyatuan

harta bulat dibuat sebagai penyatuan harta bersama dan

harta bawaan calon suami istri sebagaimana telah

dijelaskan di atas. Sedangkan jika calon suami istri ingin

harta mereka benar-benar terpisah, baik terpisahnya harta

bersama (tidak ada harta bersama) maupun harta

bawaan, maka mereka dapat mengadakan perjanjian

perkawinan yang lain juga. Pendapat R. Soetojo

Prawiromahidjojo mengenai perjanjian perkawinan yang

isinya peniadaan setiap kebersamaan harta selaras dengan

nilai-nilai persamaan antara suami istri dalam perkawinan.

Dengan adanya peniadaan kebersamaan harta tersebut

berarti masing-masing memiliki hak yang sama berkaitan

Page 87: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

dengan harta yang mereka peroleh masing-masing selama

perkawinan. Suami memiliki hak terhadap harta yang

diperolehnya tanpa meninggalkan kewajibannya

menafkahi keluarga. Istri pun memiliki hak terhadap harta

yang diperolehnya tanpa ada intervensi dari suami.

Jika antara calon suami istri mengadakan perjanjian

perkawinan yang menentukan “tidak ada kebersamaan

harta yang menyeluruh” atau “tidak ada penyatuan harta

bulat”, maka masing-masing memiliki dan berhak hanya

atas hartanya masing-masing. Walaupun demikian, hak dan

kewajiban sebagai suami istri dalam kehidupan rumah

tangga tetap harus dilaksanakan dengan baik. Artinya,

walaupun suami memiliki harta sendiri dan istri memiliki harta

sendiri, tapi si suami tetap harus memberikan nafkahnya

sebagai kepala rumah tangga kepada istri dan anak-

anaknya dengan baik. Perjanjian perkawinan yang

demikian selaras dengan rasa keadilan dan nilai-nilai

persamaan antara suami istri dalam perkawinan, khususnya

masalah harta selama perkawinan yang mereka hasilkan

masing-masing.

Adapun untuk kebersamaan harta terbatas menurut

ketentuan Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 tidak perlu dibuat

perjanjian perkawinan yang isinya mengatur hal tersebut

karena tanpa perjanjian perkawinan pun sudah dengan

sendirinya terjadi kebersamaan harta yang terbatas

(penyatuan harta terbatas). Kebersamaan harta terbatas di

sini adalah terbatas pada kebersamaan harta yang

diperoleh selama perkawinan berlangsung, dan bukan

harta bawaan masing-masing suami istri.

Hal penting dalam perjanjian perkawinan mengenai

harta perkawinan adalah adanya itikad baik dari para pihak

untuk melaksanakan perjanjian sehingga perjanjian bisa

Page 88: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

terlaksana dengan baik dan perkawinan berlangsung

dengan tenteram.

2. Ketentuan Harta Kekayaan Perkawinan Jika Ada Perjanjian

Perkawinan Berdasarkan Hukum Islam

Pada dasarnya ketentuan harta kekayaan

perkawinan dalam hukum Islam adalah terpisah antara

harta suami dan istri dengan tidak ada harta bersama.

Selain ketentuan umum sebagaimana yang telah dijelaskan

di atas, dimungkinkan juga antara suami istri mengadakan

perjanjian percampuran harta kekayaan yang diperoleh

suami dan atau istri atas usaha bersama suami istri atau

usaha sendiri-sendiri selama dalam hubungan perkawinan.

Perjanjian harta perkawinan yang demikian ini merupakan

pengecualian dari ketentuan umum mengenai harta

kekayaan perkawinan. Percampuran harta suami istri inilah

yang disebut dengan syirkah.

Selain itu, dimungkinkan juga antara suami istri

mengadakan syirkah sebagai sebuah bentuk perjanjian

perkawinan untuk harta yang telah dimiliki sebelum

terjadinya perkawinan atau harta yang diperoleh selama

perkawinan yang bukan karena usahanya sendiri-sendiri tapi

diperoleh karena warisan maupun pemberian khusus yang

diperuntukkan bagi masing-masing.

Mengenai harta suami istri yang telah dimiliki sebelum

terjadinya perkawinan atau harta yang diperoleh selama

perkawinan yang bukan karena usahanya sendiri-sendiri tapi

diperoleh karena warisan maupun pemberian khusus yang

diperuntukkan bagi masing-masing, harta tersebut tetap

menjadi milik sendiri-sendiri, namun dapat juga dicampurkan

menjadi harta milik bersama dengan suatu perjanjian yang

dibuat dengan cara-cara tertentu (Soemiyati, 1986 : 99-101).

Page 89: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Yang dimaksud oleh Sumiyati sebagai “cara-cara tertentu”

di sini adalah syirkah.

Dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul

Muqtashid karya Ibnu Rusyd (Ibnu Rusyd, 2002 : 143), syirkah

secara bahasa artinya percampuran. Syirkah adalah

percampuran sesuatu harta benda dengan harta benda

lain sehingga tidak dibedakan lagi satu dari yang lain.

Menurut istilah hukum fikih, istilah syirkah itu adalah hak dua

orang atau lebih terhadap sesuatu (Ismuha dalam

Rachmadi Usman, 2006 : 371).

Sebagaimana dikatakan oleh Sajuti Thalib, dalam

pemikiran mazhab Syafi’ dan Hanafi, syirkah itu ada tiga

jenisnya (Mohammad Daud Ali dalam Rachmadi Usman,

2006 : 372), yaitu:

a. Syirkah ‘inan (milik), yakni syirkah terhadap suatu

kekayaan tanpa sengaja dibuat perjanjian khusus untuk

itu.

b. Syirkah mufawadah, yakni syirkah yang sengaja

dibentuk dengan memasukkan harta kekayaan tertentu

ke dalam syirkah itu.

c. Syirkah abdan, yakni syirkah yang sengaja dibentuk

dengan pemberian jasa.

Melihat pada bentuk-bentuk syirkah di atas, adapun

mengenai terjadinya percampuran harta kekayaan suami

istri (harta syirkah) dapat dilakukan sebagai berikut:

a. Dengan mengadakan perjanjian syirkah secara nyata-

nyata tertulis atau diucapkan sebelum atau sesudah

berlangsungnya akad nikah dalam suatu perkawinan,

baik untuk harta bawaan masing-masing atau harta

yang diperoleh selama dalam perkawinan tetapi bukan

atas usaha mereka sendiri-sendiri ataupun harta

pencaharian.

Page 90: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

b. Syirkah dapat ditetapkan dengan undang-undang atau

peraturan perundangan, bahwa harta yang diperoleh

atas usaha salah seorang suami atau istri atau kedua-

duanya dalam masa adanya hubungan perkawinan,

yaitu harta pencaharian adalah harta bersama suami

istri tersebut.

c. Di samping dengan dua cara di atas, percampuran

harta kekayaan suami istri (syirkah) dapat pula terjadi

dengan kenyataan kehidupan pasangan suami istri

tersebut.

Cara ketiga ini hanya khusus untuk harta bersama atau

syirkah pada harta kekayaan atas usaha yang diperoleh

selama perkawinan. Dengan cara diam-diam

memanga telah terjadi percampuran harta kekayaan

suami istri apabila dalam kenyataannya bersatu dalam

mencari hidup. Mencari hidup dalam hal ini tidak hanya

masalah nafkah saja dengan usaha keluar rumah saja,

tetapi juga harus dilihat dari sudut pembagian kerja

dalam rumah tangga. Walaupun mungkin dalam

kenyataannya yang bekerja adalah suami, tetapi jika

istri tidak dapat melaksanakan urusan rumah tangganya

dengan baik, maka usaha suami pun tidak akan maju.

Oleh karena itulah, dalam hal pengumpulan harta

kekayaan rumah tangga banyak tergantung pada

manajemen dan pembagian pekerjaan yang baik

antara suami istri (Sajuti Thalib dalam Soemiyati, 2006 :

101 dan Rachmadi Usman, 2006 : 372).

Berdasarkan terjadinya percampuran harta

kekayaan suami istri (harta syirkah) di atas, maka cara

pertama, yaitu mengadakan perjanjian syirkah secara

nyata-nyata tertulis atau diucapkan sebelum atau sesudah

berlangsungnya akad nikah dalam suatu perkawinan, baik

Page 91: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

untuk harta bawaan masing-masing atau harta yang

diperoleh selama dalam perkawinan tetapi bukan atas

usaha mereka sendiri-sendiri ataupun harta pencaharian

dapat dilakukan dengan atau sebagai perjanjian

perkawinan.

C. Akibat Hukum Terhadap Harta Kekayaan Perkawinan Jika Ada

Perjanjian Perkawinan Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan Hukum

Islam

1. Akibat Hukum Terhadap Harta Kekayaan Perkawinan Jika Ada

Perjanjian Perkawinan Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974

Perjanjian perkawinan berlaku selama perkawinan

berlangsung dan selama para pihak tidak menentukan untuk

merubahnya dengan kesepakatan kedua belah pihak. Oleh

karena itu jika perkawinan putus, maka perjanjian perkawinan

pun putus dengan membawa akibat hukum pada harta yang

diperjanjikan. Putusnya perkawinan yang juga secara otomatis

memutus perjanjian perkawinan adalah kematian salah satu

pihak dan perceraian.

UU No. 1 Tahun 1974 tidak menyebutkan secara jelas

bagaimana akibat hukum harta kekayaan perkawinan yang

ada perjanjian perkawinan mengenai harta tersebut. Jika ada

perjanjian kawin mengenai harta perkawinan dengan demikian

perjanjian perkawinan tersebut berfungsi sebagi undang-

undang bagi pihak suami istri yang mengadakan perjanjian

perkawinan. Oleh karena itu, akibat hukum terhadap harta

yang diperjanjikan adalah sesuai dengan ketentuan dalam

perjanjian perkawinan.

Jika perjanjian perkawinan memperjanjikan harta bersama,

maka harta tersebut menjadi milik bersama di mana

penggunaannya juga harus dengan persetujuan bersama. Jika

perjanjian perkawinan memperjanjikan harta terpisah, maka

Page 92: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

harta tersebut menjadi milik masing-masing dan yang berhak

menggunakannya juga masing-masing pihak.

Jika salah satu pihak meninggal dunia, maka akibat

hukumnya juga sebagaimana yang diperjanjikan. Jika

perjanjian perkawinan memperjanjikan harta bersama, maka

harta tersebut di atur sesuai Undang-undang, yaitu mengikuti

ketentuan hukum agamanya masing-masing. Hal ini karena

dalam Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa: “bila

perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur

menurut hukumnya masing-masing”. Kata-kata “hukumnya

masing-masing” dalam pasal tersebut adalah hukum yang

dianut oleh pihak yang melangsungkan perkawinan dan

kemudian mengadakan perjanjian perkawinan. Dengan

demikian, dalam penelitian ini fokusnya adalah hukum Islam,

yang berarti dilakukan oleh orang Islam, maka “hukumnya

masing-masing” di sini adalah hukum Islam.

Walaupun pasal tersebut menyatakan putusnya

perkawinan karena perceraian, tapi karena masalah putusnya

perkawinan yang berakibat pada perjanjian perkawinan tidak

ada pasal yang menyatakannya secara jelas tentang kematian

salah satu pihak, maka akibat hukum terhadap harta yang ada

perjanjiannya juga kembali pada hukum Islam.

2. Akibat Hukum Terhadap Harta Kekayaan Perkawinan Jika Ada

Perjanjian Perkawinan Berdasarkan Hukum Islam

Bila terjadi perceraian, masing-masing suami/istri berhak

atas harta masing-masing sesuai konsep harta milik dalam

perkawinan. Istri berhak mendapat nafkah iddah dan suami

wajib memberikan nafkah itu, dan harta yang didapat selama

perkawinan dibagi sesuai konsep kepemilikan harta, dibagi

dua jika disyaratkan sebelum akad, atau milik istri jika

disyaratkan sebelum akad.

Page 93: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Apabila harta perkawinan adalah harta syirkah,

kemudian terjadi perceraian atau talak, maka harta syirkah

tersebut dibagi antara suami istri yang turut berusaha dalam

syirkah. Dalam yurisprudensi di Indonesia dapat dilihat keadaan

ini pada Keputusan Landraad Serang tertanggal 29 Agustus

1929, yang didasarkan pada pendapat Raad van Justitie

Jakarta tanggal 28 Desember 1928, menetapkan bahwa tidak

ada milik bersama antara suami istri, meskipun barang-barang

diperoleh karena pekerjaan dan kewajiban bersama kecuali

jika hal itu dengan jelas disetujui pada waktu perkawinan.

Selain itu, dapat juga dilihat dalam Ketetapan/Fatwa

Syarikah tentang harta bersama antara suami istri yang

ditetapkan oleh Pengadilan Agama Jakarta Timur tanggal 7

Februari 1978 Nomor 21/C/1978, dalam pertimbangan

hukumnya dinyatakan: “Apabila terjadi syirkah (syirkah harta

bersama) pada suatu masa tertentu, maka harta tersebut

dibagi dua, karena terjadi perceraian atau meninggal dunia

salah satu pihak. Demikian juga dengan Fatwa Pengadilan

Agama Jakarta Timur tanggal 28 April 1975 Nomor 54/C/1975

(M. Idris Ramulyo dalam Rachmadi Usman, 2006 : 372-373).

Page 94: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang telah penulis

uraikan, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai

berikut:

1. Ketentuan harta kekayaan perkawinan berdasarkan UU No.

1 Tahun 1974 diatur dalam pasal 35 sampai dengan Pasal

37. Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 jika ditinjau dengan

kenyataan hidup sekarang dinilai tidjelas dan kurang adil,

karena tidak ada kejelasan mengenai siapa yang

menghasilkan harta tersebut apakah hasil kerja suami atau

istri. Ketentuan harta kekayaan perkawinan dalam hukum

Islam ada dua pendapat. Pendapat pertama, menyatakan

bahwa dalam hukum Islam tidak dikenal percampuran

harta kekayaan antara suami istri karena perkawinan.

Pendapat pertama ini yang kuat. Pendapat kedua,

menyatakan bahwa mulai saat akad nikah dilangsungkan,

maka demi hukum sejak saat itu telah terjadi percampuran

atau persatuan harta kekayaan, sehingga tidak perlu lagi

diperjanjikan sebagaimana pendapat yang pertama.

2. Ketentuan harta kekayaan perkawinan jika ada perjanjian

perkawinan berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 diatur dalam

Bab V Pasal 29, yaitu mengatur tentang perjanjian

perkawinan. Calon suami istri bisa melakukan perjanjian

perkawinan mengenai harta kekayaan perkawinan sebelum

perkawinan dilangsungkan sebagai penyimpangan dari

asas atau pola yang ditetapkan undang-undang, baik

Page 95: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

mengenai baik kebersamaan harta yang menyeluruh

maupun pemisahan harta perkawinan atas harta bersama

(tidak ada kebersamaan harta menyeluruh). Dalam hukum

Islam antara suami istri dapat mengadakan syirkah sebagai

sebuah bentuk perjanjian perkawinan untuk harta yang

telah dimiliki sebelum terjadinya perkawinan atau harta

yang diperoleh selama perkawinan yang bukan karena

usahanya sendiri-sendiri tapi diperoleh karena warisan

maupun pemberian khusus yang diperuntukkan bagi

masing-masing.

3. Akibat hukum terhadap harta kakayaan perkawinan jika

ada perjanjian perkawinan berdasarkan UU No. 1 Tahun

1974. UU No. 1 Tahun 1974 tidak menyebutkan secara jelas

bagaimana akibat hukum harta kekayaan perkawinan yang

ada perjanjian perkawinan mengenai harta tersebut. Jika

perjanjian perkawinan memperjanjikan harta bersama,

maka harta tersebut di atur sesuai undang-undang, yaitu

mengikuti ketentuan hukum hukum Islam. Dalam hukum

Islam, jika terjadi perceraian atau talak, harta syirkah

tersebut dibagi antara suami istri yang turut berusaha dalam

syirkah.

B. Saran

1. Pemerintah segera merevisi UU No. 1 Tahun 1974, khususunya

pasal mengenai harta bersama perkawinan ketika terjadi

perceraian, di mana pembagian menjadi dua tanpa

memperhatikan siapa yang menghasilkan harta tersebut

terutama jika istri yang bekerja. Hal ini tidak adil jika dilihat

sekarang banyak istri yang bekerja lebih daripada suaminya.

Hendaknya undang-undang memberikan hak yang adil dan

tidak bias gender.

Page 96: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

2. Pemerintah, khususnya lembaga perkawinan melakukan

sosialisasi kepada masyarakat mengenai tujuan dan manfaat

perjanjian perkawinan untuk menjaga hak-hak suami istri secara

adil dan berimbang.

3. Pemerintah, khususnya lembaga perkawinan memberikan

perhatian kepada kasus-kasus harta perkawinan secara adil

agar tercipta keselarasan dalam keluarga di masyarakat.

Page 97: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman dan Riduan Syahrani. 1978. Masalah-masalah Hukum

Perkawinan di Indonesia. Bandung: Alumni.

Abu Bakr Jabir al-Jazairi. 2006. Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim.

Jakarta: Darul Falah.

Achmad Ichsan, S.H. 1986. Hukum Perkawinan Bagi yang Beragama Islam:

SuatuTinjauan dan Ulasan Secara Sosiologi Hukum. Jakarta:

Pradnya Paramita.

Ade Maman Suherman. 2004. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum.

Jakarta: PT. Raja Grafindo.

A. Azhar Basyir. 1990. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: Perpustakaan

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

Barda Nawawi Arief. 2003. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.

Burhan Ashshofa. 1996. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT Rineka

Cipta.

Djaja S. Meliala. 2006. Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan

Hukum Keluarga. Bandung: CV. Nuansa Aulia.

Ibnu Katsir. 2004. Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.

Ibnu Rusyd. 2002. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Jakarta:

Pustaka Amani.

Page 98: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Indianto Suhardi. 2005. Studi Perbandingan Hukum Kartu Kredit Antara

Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam. Surakarta : Skripsi.

K. Wantjik Saleh. 1980. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia

Indonesia.

Khuslan Haludhi dan Abdurrohim Sa’id. 2004. Integrasi Budi Pekerti dalam

Pendidikan Agama Islam. Surakarta: Tiga Serangkai.

Mahmud Yunus. 1977. Hukum Perkawinan dalam Islam. Jakarta: PT

Hidakarya Agung.

Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif.

Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press).

M. Farkhan M., Moh. Muchtarom, dkk. 2006. Pendidikan Agama Islam.

Surakarta: UNS Press.

Moch. Chidir Ali, dkk. 1993. Pengertian-pengertian Elementer Hukum

Perjanjian Perdata. Bandung: Mandar Maju.

Mohammad Daud Ali.1999. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata

Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Muhammad Kamil Hasan al-Mahami. 2006. Al-Mausû'ah Al-Qur'âniyyah

(Ensiklopedi Al-Qur'an). Jakarta: PT Kharisma Ilmu.

Rachmadi Usman. 2006. Aspek-aspek Hukum Perorangan dan

Kekeluargaan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

R. Soeroso. Perbandingan Hukum Perdata. 1999. Jakarta. Sinar Grafika.

R. Soetojo Prawiromahidjojo. 1986. Pluralisme dalam Perundang-

undangan Perkawinan di Indonesia. Suarabaya: Airlangga

University Press.

R. Subekti. 2000. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta. PT. Pradnya

Paramita.

Page 99: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. 1996. Kitab Undang-undang Hukum

Perdata. Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Romli Atmasasmita. 2000. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung: CV.

Mandar Maju.

Salim H.S. 2003. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar

Grafika.

Soedharyo Soimin. 2002. Hukum Orang dan Keluarga: Perspektif Hukum

Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat. Jakarta:

Sinar Grafika.

Soemiyati. 1986. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang

Perkawinan. Yogyakarta: Liberty.

Soedjono Dirdjosisworo. 2000. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat. 2003: PT.Raja Grafindo Persada.

Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas

Indonesia (UI Press).

Subekti. 1970. Pokok-pokok dari Hukum Perdata. Jakarta: PT. Pembimbing

Masa.

Subekti. 1976. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT Intermasa.

Titik Triwulan Tutik. 2006. Pengantar Hukum Perdata di Indonesia. Jakarta:

Prestasi Pustaka.

T. Jafizham. 2006. Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum

Perkawinan Islam. Jakarta: PT Mestika.

http://www.danareksa.com, diakses tanggal 26 September 2007.

Page 100: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

http://www.pikiran-rakyat.com, diakses tanggal 3 Oktober 2007.

http://www.hukumonlne.com, diakses tanggal 3 Oktober 2007.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan

Page 101: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

LAMPIRAN

Page 102: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Lampiran

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG

PERKAWINAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :

Bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara.

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN.

BAB I DASAR PERKAWINAN

Pasal 1

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.

Page 103: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Pasal 2

(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 3

(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.

Pasal 4

(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

(2) Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5

(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup

isteri-isteri dan anak-anak mereka; c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-

anak mereka.

(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

Page 104: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

BAB II SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

Pasal 6

(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 7

(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Page 105: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Pasal 8

Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;

b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;

d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;

e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;

f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Pasal 9

Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 10

Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 11

(1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.

(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.

Pasal 12

Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

Page 106: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

BAB III PENCEGAHAN PERKAWINAN

Pasal l3

Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 14

(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.

(2) Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.

Pasal 15

Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 16

(1) Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.

(2) Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 17

(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.

(2) Kepada calon-calon mempelai diberi tahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.

Pasal 18

Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah.

Page 107: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Pasal 19

Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.

Pasal 20

Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.

Pasal 21

(1) Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.

(2) Didalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan. oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.

(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan didalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas.

(4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.

(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.

BAB IV BATALNYA PERKAWINAN

Pasal 22

Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 23

Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri; b. Suami atau isteri; c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;

Page 108: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Pasal 24

Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 25

Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.

Pasal 26

(1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.

(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

Pasal 27

(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.

(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.

(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Pasal 28

(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Page 109: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap :

a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;

c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

BAB V PERJANJIAN PERKAWINAN

Pasal 29

(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI

Pasal 30

Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Pasal 31

(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Page 110: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Pasal 32

(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.

(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.

Pasal 33

Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

Pasal 34

(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.

(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.

BAB VII HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN

Pasal 35

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 36

(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Pasal 37

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

Page 111: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

BAB VIII PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA

Pasal 38

Perkawinan dapat putus karena : a. kematian, b. perceraian dan c. atas keputusan Pengadilan.

Pasal 39

(1) Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

(3) Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Pasal 40

(1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.

(2) Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Pasal 41

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;

b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Page 112: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

BAB IX KEDUDUKAN ANAK

Pasal 42

Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Pasal 43

(1) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 44

(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.

(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

BAB X HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK

Pasal 45

(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Pasal 46

(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.

(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.

Pasal 47

(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

Page 113: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar Pengadilan.

Pasal 48

Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan betas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

Pasal 49

(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :

a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b. la berkelakuan buruk sekali.

(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

BAB XI PERWALIAN

Pasal 50

(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.

(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.

Pasal 51

(1) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.

(2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.

(3) Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.

(4) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.

Page 114: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

(5) Wali bertanggung-jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.

Pasal 52

Terhadap wali berlaku juga Pasal 48 Undang-undang ini.

Pasal 53

(1) Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49 Undang-undang ini.

(2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.

Pasal 54

Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan Keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.

BAB XII KETENTUAN-KETENTUAN LAIN

Bagian Pertama Pembuktian asal-usul anak

Pasal 55

(1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.

(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.

(3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Bagian Kedua Perkawinan diluar Indonesia

Pasal 56

(1) Perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu

Page 115: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali diwilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.

Bagian Ketiga Perkawinan Campuran

Pasal 57

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Pasal 58

Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.

Pasal 59

(1) Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata.

(2) Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan ini.

Pasal 60

(1) Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.

(2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.

(3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.

Page 116: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

(4) Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3).

(5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.

Pasal 61

(1) Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.

(2) Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.

(3) Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.

Pasal 62

Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini.

Bagian Keempat Pengadilan

Pasal 63

(1) Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah :

a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam; b. Pengadilan Umum bagi lainnya.

(2) Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.

BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 64

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah.

Page 117: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Pasal 65

(1) Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut:

a. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya;

b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi;

c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.

(2) Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini.

BAB XIV KETENTUAN PENUTUP

Pasal 66

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 67

(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(2) Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Page 118: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO JENDERAL TNI.

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, SUDHARMONO, SH. MAYOR JENDERAL TNI.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1974 NOMOR 1

Page 119: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974

TENTANG PERKAWINAN

PENJELASAN UMUM:

1. Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita. 2. Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warganegara dan berbagai daerah seperti berikut :

a. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum Agama yang telah diresipiir dalam Hukum Adat;

b. bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat; c. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks

Ordonnantie Christen Indonesia (S. 1933 Nomor 74); d. bagi orang Timur Asing Cina dan warganegara Indonesia keturunan Cina berlaku

ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan;

e. bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum Adat mereka;

f. bagi orang-orang Eropa dan Warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

3. Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini disatu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sedangkan di lain fihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang undang Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan Keper- cayaannya itu dari yang bersangkutan. 4. Dalam Undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai perkawinan dari segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.

Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang- undang ini adalah sebagai berikut:

a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan sprituil dan material. b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan

Page 120: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam pencatatan. c. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan. d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan diantara calon suami isteri yang masih dibawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lobih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita. e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang- undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan. f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumahtangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.

5. Untuk menjamin kepastian hukurri, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah. Demikian pula apabila mengenai sesuatu hal Undang-undang ini tidak mengatur dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, Pemeliharaan dan Pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua. Pasal 2 Dengan perurnusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada Perkawinan diluar hukum rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukurn masing-masing agamanya dan kepereayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang- undang ini.

Page 121: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Pasal 3 1. Undang-undang ini menganut asas monogami. 2. Pengadilan dalam memberi putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut dalam Pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari salon suami mengizinkan adanya poligami. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 1. Oleh karena perkawinan mernpunyai rnaksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan Perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Ketentuan dalam pasal ini, tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang ini. 2. Cukup jelas. 3. Cukup jelas. 4. Cukup jelas. 5. Cukup jelas. 6. Cukup jelas. Pasal 7 1. Untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan. 2. Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pemberian dispensasi terhadap perkawinan yang dimaksud pada ayat (1) seperti diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (S. 1933 Nomor 74) dinyatakan tidak berlaku. 3. Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ketentuan Pasal 12 ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas.

Page 122: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Pengertian "dapat" pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Yang dimaksud dengan "perjanjian" dalam pasal ini tidak termasuk taklik-talak. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Apabila perkawinan Putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut Hukumnya masing-masing. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Yang dimaksud dengan "hukumnya" masing-masing; ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya.

Page 123: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 1. Cukup jelas. 2. Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk pereeraian adalah : a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang libel berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak inelakukan kekeiaman atau penganiayaan berat yang mernbahayakan terhadap pihak yang lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri. f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga. 3. Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Pengadilan mewajibkan yang berkepentingan mengucapkan sumpah. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Yang dimaksud dengan "kekuasaan" dalam pasal ini tidak termasuk kekuasaan sebagai wali-nikah. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas.

Page 124: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR 3019

Page 125: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)
Page 126: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)
Page 127: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)
Page 128: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)
Page 129: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)
Page 130: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)
Page 131: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)
Page 132: STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN …/Studi-per...Endang Mintorowati, S.H., M.H. NIP. 130814527 Andri Astuti, S.H. NIP. 131285214. PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)