(Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

28
Vol. 1, No. 1 Juli 2016 Konformitas Gender (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender) Hikmatiar Pasya Universitas Darussalam Gontor, Indonesia Email: [email protected] Muhammad Haekal Hakim Pondok Pesantren Nurul Hakim, Indonesia Email: [email protected] Abstract Lately, the issues relating to gender equality are being hotly discussed. One the indicators of this is the legalization effort of RUU-KKG in the law of the State. This issue was raised because the Feminists see that there is an imbalance in rotes between women and men, as well as in the realm of social, political, economic, and households. This patriarchal culture engenders women to always be under-emphasized in their status and positions in these fields. Al-Qur’an itself equates to both in carrying out tasks in life. This paper will examine whether the issues in regards to gender equality in the Qur’an amounts to absolute equality or equality that not necessarily takes the same form. Keywords: Conformity Concept, Gender, Feminist Abstrak Akhir-akhir ini, isu kesetaraan gender sedang hangat diperbincangkan. Salah satu faktanya ialah usaha pengesahan RUU-KKG sebagai undang-undang Negara. Isu ini diangkat karena kaum Feminis melihat adanya ketimpangan antara peran perempuan oleh peran laki-laki, baik itu di ranah sosial, politik, ekonomi, juga rumah tangga. Budaya patriarkhi ini menyebabkan wanita selalu dinomor duakan, baik status serta kedudukannya pada beberapa bidang-bidang. Al-Qur’an sendiri telah menyetarakan keduanya dalam menjalani tugas dalam kehidupan. Makalah ringkas ini akan mengkaji apakah benar yang dimaksud dalam al-Qur’an adalah kesetaraan mutlak atau malah kesesuaian yang artinya tidak mesti setara. Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Jl. Raya SimanPonorogo, telp (0352) 483762, Fax. (0352) 488182 Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Jl. Raya SimanPonorogo, telp (0352) 483762, Fax. (0352) 488182 DOI: http://dx.doi.org/10.21111/studiquran.v1i1.....

Transcript of (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Page 1: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Vol. 1, No. 1 Juli 2016

Konformitas Gender (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Hikmatiar Pasya Universitas Darussalam Gontor, Indonesia

Email: [email protected]

Muhammad Haekal Hakim Pondok Pesantren Nurul Hakim, Indonesia

Email: [email protected]

Abstract

Lately, the issues relating to gender equality are being hotly discussed. One the

indicators of this is the legalization effort of RUU-KKG in the law of the State. This issue

was raised because the Feminists see that there is an imbalance in rotes between women

and men, as well as in the realm of social, political, economic, and households. This

patriarchal culture engenders women to always be under-emphasized in their status and

positions in these fields. Al-Qur’an itself equates to both in carrying out tasks in life. This

paper will examine whether the issues in regards to gender equality in the Qur’an

amounts to absolute equality or equality that not necessarily takes the same form.

Keywords: Conformity Concept, Gender, Feminist

Abstrak

Akhir-akhir ini, isu kesetaraan gender sedang hangat diperbincangkan. Salah

satu faktanya ialah usaha pengesahan RUU-KKG sebagai undang-undang Negara. Isu

ini diangkat karena kaum Feminis melihat adanya ketimpangan antara peran

perempuan oleh peran laki-laki, baik itu di ranah sosial, politik, ekonomi, juga rumah

tangga. Budaya patriarkhi ini menyebabkan wanita selalu dinomor duakan, baik status

serta kedudukannya pada beberapa bidang-bidang. Al-Qur’an sendiri telah

menyetarakan keduanya dalam menjalani tugas dalam kehidupan. Makalah ringkas ini

akan mengkaji apakah benar yang dimaksud dalam al-Qur’an adalah kesetaraan mutlak

atau malah kesesuaian yang artinya tidak mesti setara.

Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Jl. Raya SimanPonorogo, telp (0352) 483762,

Fax. (0352) 488182

Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Jl. Raya SimanPonorogo, telp (0352) 483762,

Fax. (0352) 488182

DOI: http://dx.doi.org/10.21111/studiquran.v1i1.....

Page 2: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Jurnal STUDIA QURANIKA

Kata Kunci: Konsep Konformitas, Gender, Feminis

Pendahuluan ewasa ini, sering terdengar istilah ketimpangan gender. 1 Istilah

tersebut akan selalu dimaknai sebagai ketertindasan,

diskriminasi, ketertinggalan, dan banyak istilah lain, yang

semuanya dialamatkan kepada sosok perempuan. Pernyataan ini

memang sangat logis. Karena bagaimanapun, perempuan adalah

sumber daya yang sangat besar, bahkan jauh melampui laki-laki.2

Namun, pada kenyataannya tidak banyak perempuan yang mampu

berbicara dalam masyarakat. hal ini tidak lain karena dominasi laki-laki

dalam segala aspek kehidupan, baik di lingkungan keluarga,

masyarakat secara umum, ataupun dalam skala besar di suatu Negara.

Hal ini melahirkan kesan adanya ketidakadilan dan diskriminasi

terhadap kaum perempuan.3 Terkadang, istilah ketimpangan gender

tersebut selalu dikait-kaitkan dengan agama.4 Selain itu, mereka

(feminisme) berusaha mencari legitimasi, bahwa argumentasi yang

berkaitan dengan ketidakadilan bagi kaum perempuan harus dikaji

ulang.5 Mereka beralasan, al-Qur’an meletakkan laki-laki dan

perempuan dalam ‚kesetaraan.‛ Tidak ada yang diunggulkan antara

yang satu dan yang lain.

1 Kata Gender dalam bahasa inggris berarti ‚Jenis kalamin.‛ Sedangkan dalam Webster’s

New World Dictionary, berarti, ‚Perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan

dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.‛ Singkatnya, gender adalah suatu konsep yang

digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi

sosial budaya atau dari sudut non-biologis. Lihat, Nasaruddin Umar, Argumen

Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2001, hal. 33-35. 2 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender,

Bandung: Mizan, 1999, hal. 9. 3 Kadarusman, Agama, Relasi Gender dan Feminisme, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005,

hal. 21. 4 Anggapan adanya ketimpangan gender selalu dikaitkan dengan proses penciptaan Hawa,

yang mana dalam keyakinan umat Islam, Hawa diciptakan dari tulang rususk Adam. Hal

ini melahirkan sebuah wacana, bahwa perempuan adalah mahluk sekunder, karena

tercipta dari bagian tubuh laki-laki. Wacana ini yang manimbulkan pro dan kontra

seputar peran perempuan dalam masyrakat. Lihat, Kadarusman, Agama, Relasi Gender

dan Feminisme, hal. 86. 5 Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah, Yogyakarta: LSPPA, 1996, hal. 55-56.

D

30 | Hikmatiar Pasya, M. Haekal Hakim

Page 3: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Vol. 1, No. 1 Juli 2016

Dalam Islam, derajat antara laki-laki dan perempuan adalah

setara, hanya ketakwaan kepada Allah swt yang membedakan

keduanya. Secara kodratnya, laki-laki dan perempuan saling memiliki

kecendrungan dan saling memiliki ketergantungan.6 Dengan adanya

saling cendrung dan saling tergantung tersebut, akan tercipta sebuah

kelansungan hidup yang saling melengkapi antara satu dan yang lain.

Hal ini pula yang akan membantu manusia mencapai tujuan

penciptannya, yaitu beribadah kepada Allah swt. Dengan tujuan yang

sama tersebut, lahirlah sebuah kemitraan antara keduanya,7 dan

kemitraan tersebut menjadi akar keserasian antara laki-laki dan

perempuan. Karena Allah swt menciptakan mereka sebagai mitra yang

serasi, yang diberi tanggungjawab untuk melestarikan jenis manusia

dan memelihara kehidupan. Keduanya bertanggungjawab mengelola

alam semesta beserta seluruh isinya, sehingga menciptakan ekosistem

yang teratur.8

Dari perbedaan di atas, muncul masalah dalam pemahaman

tersebut. Apakah kesetaraan itu sejalan dengan misi al-Qur’an, ataukah

justru yang dimaksudkan al-Qur’an adalah kesesuaian (konformitas).

Banyak pemahaman terhadap ayat al-Qur’an yang menyinggung

masalah kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah sama,9

namun tidak berarti persamaan tersebut bermaksud kesetaraan antara

keduanya dalam segala aspek. Sebab walau bagaimanapun, wacana

kesetaraan gender sebenaranya justru akan banyak merugikan kaum

perempuan itu sendiri. Di samping itu, memang konsep kesetaraan itu

sendiri masih menjadi perdebatan panjang sampai saat ini.10 Namun,

6 QS. Al-Rum 30/ 21. 7 M. Quraish Shihab, Argumen Kesetaraan Gender, oleh Nasaruddin Umar, Jakarta:

Paramadina, 2001, hal. xxxiii 8 QS. Al-Baqarah 2/ 30. 9 Seperti yang diangkat oleh Nasaruddin Umar dalam disertasinya yang berjudul,

argument kesetaraan gender, yang diterbitkan oleh Paramadina. Dalam tulisan tersebut,

penulis menyebutkan beberapa ayat tentang kesetaraan gender, di antaranya al-Dzariyat

51/ 56, al-Hujurat 49/ 13, al-Nahl 16/ 97, al-An’am 6/ 165, al-Baqarah 2/ 30. 10 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender, hal.

93.

Konformitas Gender | 31

Page 4: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Jurnal STUDIA QURANIKA

jika kesetaraan yang dimaksudkan dimaknai sebagai kesesuaian, maka

misi al-Qur’an pun terlaksana.11

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep kesetaan gender

tersebut belumlah tepat. Berbeda dengan konsep kesesuaian, yang

menempatkan laki-laki dan perempuan menurut porsi masing-masing.

Baik dalam hak maupun kewajiban.12 Dengan kesesuaian dan adanya

keterikatan antara yang satu dan yang lain, tercipta sebuah

keharmonisan, karena kedua mahluk tersebut memang tercipta untuk

saling melengkapi. Bukan untuk saling mendahului ataupun saling

menjatuhkan. Dalam konteks ini, adil atau setara bukan harus berarti

sama atau sejajar,13 namun adanya ikatan yang kemudian melahirkan

kesesuaian dan keharmonisan antara kedua mahluk tersebut.

Laki-Laki dan Perempuan dalam al-Qur’an Sebagai mukjizat terbesar yang diberikan kepada Nabi

Muhammad saw, setidaknya al-Qur’an memiliki dua fungsi dasar.

Pertama, sebagai sumber ajaran. Kedua, sebagai kebenaran akan

kerasulan Nabi Muhammad saw.14 Sebagai sumber ajaran, al-Qur’an

memberikan berbagai norma-norma keagamaan sebagai petunjuk bagi

kehidupan umat manusia, untuk mencapai kehidupan yang teratur di

dunia dan keselamatan di akhirat.

Hal pertama yang perlu disadari seorang muslim adalah,

eksistensinya dan siapa dirinya. Untuk mengenal diri serta dari mana

asalnya, maka Islam berinteraksi dengan manusianya melalui akidah

dan syariatnya. Syariat Islam tidak lain hanya akan diperoleh dalam al-

11 Ibnu katsir dalam kitab tafsirnya menjelasakan maksud dari surat al-Rum 30/ 21, bahwa

antara laki-laki dan perempuan saling melengkapi, dalam hidup dan penghidupan,

kemampuan dalam keilmuan dan pikiran, baik dan buruk, kaya dan miskin, dalam suka

maupun duka. Artinya, antara kedua mahluk tersebut ada untuk saling melengkapi satu

dengan yang lain. Lihat, Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm, Dar al-thayyibah, 1999, hal.

406. 12 Adnan bin Muhammad bin Abdul ‘aziz al-Wazzan, Mausû’ah Huqûq al-Insân fi al-Islâm,

juz 5, Huqûq al-Thif wa al-Mar’ah fi al-Islâm, Beirut: al-Risâlah, 2005, hal. 279 13 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender, hal.

55. 14 M. Quraish Shihab dkk, Sejarah ‘Ulum al-Qur’an, editor: Azumardi Azra, Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2000, hal. 104.

32 | Hikmatiar Pasya, M. Haekal Hakim

Page 5: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Vol. 1, No. 1 Juli 2016

Qur’an dan hadits Nabi saw. Dengan demikian, manusia akan lebih

mengenal eksistensinya di balik semua ilmu dan amal yang

dilakukannya.15 Al-Qur’an sendiri sangat banyak membahas masalah

laki-laki dan perempuan. Baik hubungan antara keduanya, keserasian

serta perbedaan mendasar antara keduanya, maupun dalam hal yang

berkaitan dengan hak dan kewajiban masing-masing.

Al-Qur’an sebagai Kitab Suci yang merupakan petunjuk bagi umat

manusia, senantiasa menempatkan manusia sesuai dengan porsinya.

Manusia sebagai mahluk yang sama dihadapan Allah swt, namun

berbeda dalam beberapa hal, yang mana perbedaan tersebut merupakan

bukti kesesuaian antara keduanya. Hal ini bisa dilihat dari ayat-ayat

yang menjelaskan posisi keduanya yang sesuai, khusunya di hadapan

Allah swt. Sebagaimana dalam al-Qur’an Allah swt berfirman, yang

artinya;

‚Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang

laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan

bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling

mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.

Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.‛ (QS. Al-

Hujurat 49/ 13)

Mengenai ayat di atas, Ibnu Katsir mengatakan, ‚Semua manusia

berada dalam kemuliaan, namun masing-masing saling memiliki

kelebihan dalam urusan agama, yaitu taat kepada Allah swt dan

mengikuti Rasulallah saw. Oleh karena itu, Allah melarang manusia

untuk saling menghina dan saling menjelekkan, sebagai peringatan

bahwa mereka sama-sama manusia.‛16

Berdasarkan ayat di atas, al-Qur’an mengangkat derajat laki-laki

dan perempuan setara dalam ikatan kemanusiaan, tidak ada perbedaan

antara yang satu dengan yang lainnya, kecuali pada tingkat

ketakwaannya. Hal ini juga menegaskan, bahwa sistem relasi antara

laki-laki dan perempuan di masyarakat sesuai dengan norma ajaran

15 Muhammad Izzuddin Taufiq, Al-Ta’shîl al-Islâmi li al-Dirâsât al-Nafsiyyah, (Panduan

Lengkap dan Praktis Psikologi Islam), terj. Sari Nurilita, Jakarta: Gema Insani Press, 2006,

hal. 166-167. 16 Ibn katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm, hal. 385.

Konformitas Gender | 33

Page 6: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Jurnal STUDIA QURANIKA

Islam. Maka, berkaitan dengan ini, masalah ketimpangan gender yang

sering dianggap sebagai permasalahan sebenarnya telah selesai, karena

bagaimanapun, ketimpangan gender yang sedang marak saat ini sudah

tidak dianggap menjadi masalah dalam Islam. Justru agama Islamlah

yang mengangkat kaum perempuan sesuai dengan fungsi serta

perannya.

Argumentasi Kesesuaian Gender

A. Argumentasi Biologis Berkaitan dengan argumentasi biologis, akan diawali pada

pembahasan masalah penciptaan manusia. Dalam hal ini, kaum feminis

menganggap adanya kerancuan dalam memahami ayat-ayat17 al-Qur’an

yang menjelaskan tentang substansi penciptaan manusia, khususnya

penciptaan perempuan, sebagai penyebab munculnya interpretasi yang

menjadikan perempuan sebagai mahluk kelas dua di bawah laki-laki.

Menurut kaum feminis, segala penafsiran yang ada dianggap bias. Hal

ini membentuk pola pikir yang kemudian termanifestasikan dalam sikap

dan perilaku. Sehingga, bila konsep teologisnya sudah bias patriarki,

maka sikap dan tindakannya juga cenderung bias patriarki pula.18

Akhirnya, tafsir-tafsir yang ada dianggap mengandung kepentingan

penafsir. Padahal, tidak dipungkiri ada juga Mufasir yang tidak setuju

dengan hadits penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki sebagai

tafsir untuk ayat mengenai penciptaan Adam dan Hawa.19 Oleh karena

17 Sebagai contoh, surah al-Nisa’ 4/ 1. Mayoritas Mufassir memahami ayat tersebut sebagai

awal penciptaan wanita, di mana dalam ayat tersebut ditafsirkan, bahwa wanita

diciptakan dari bagian tubuh Adam. Demikian pula dengan surah al-A’raf 7/ 189, dan

juga surah al-Zumar 39/ 6. 18 Abdul Mustaqim, Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarki, Telaah Kritis Penafsiran

Dekonstruktif Riffat Hasan, Yogyakarta: Sabda Persada, 2003, hal. 116. 19 Salah satunya adalah Muhammad ‘Abduh dengan Tafsîr al-Mannâr. Dalam masalah ini,

Hamka juga terpengaruh oleh Muhammad ‘Abduh. Menurutnya, pernyataan tersebut

diadopsi dari kitab perjanjian lama. Tidak ada satu ayatpun dalam al-Qur’an yang

menerangkan, bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Dalam

menafsirkan surat al-Nisa’ 4/ 1, Hamka menulis, ‚Dalam ayat itu diterangkan, bahwa

seluruh manusia itu adalah dari ‘nafsin wâhidah’, dari diri yang satu. Artinya, bahwa

penciptaan manusia pada hakikatnya ialah satu asal. Laki-laki itu juga perempuan, dan

perempuan itu juga laki-laki. Tetapi setelah kurun waktu tertentu dalam kandungan,

barulah Tuhan mengadakan pemisahan. Kalau nafs itu akan dijadikan Tuhan laki-laki,

34 | Hikmatiar Pasya, M. Haekal Hakim

Page 7: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Vol. 1, No. 1 Juli 2016

itu, feminis muslim, dalam hal ini Riffat Hasan,20 mempertanyakan

keabsahan hadits tersebut.21

Menanggapai penolakan kaum feminis tersebut, al-Qur’an

mencoba menyuguhkan tentang penciptaan manusia yang

dikategorikan kepada empat macam cara. Pertama, diciptakan dari tanah

(penciptaan Nabi Adam). Kedua, diciptakan dari (tulang rusuk) Adam

(penciptaan Hawa). Ketiga, diciptakan melalui seorang ibu dengan

proses kehamilan namun tanpa ayah secara biologis (nabi Isa). Keempat,

penciptaan manusia pada umumnya, melalui proses biologis dengan

adanya ayah dan ibu.22

Dalam surah al-Nisa’ 4/ 1, mayoritas Ulama tafsir, menafsirkan

makna dari kata (nafsin wâhidah), yang biasa diartikan, ‚Jiwa yang satu‛

sebagai Adam a.s., kemudian pada dhamir minhâ, ditafsirkan dengan

‚Dari bagian tubuh adam,‛ dan pada kata zaujahâ, oleh para Ulama

ditafsirkan dengan Hawa.23 Hal ini bukan tanpa dasar, melainkan

merujuk kepada makna hadits Nabi Muhammad saw, yang menjelaskan

bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam. Namun, ada

juga Ulama yang berpendapat bahwa makna dari dhamir minhaa kembali

kepada asal penciptaan Adam. Sehingga, Adam dan Hawa diciptakan

diberatkanlah kejadian tubuhnya kepada kelaki-lakian, demikian juga akan dijadikan

wanita atau perempuan‛. Lihat, Jajat Burhanuddin dan Oman Fathurrahman, Tentang

Perempuan Islam; Wacana dan Gerakan, Jakarta: Gramedia, 2004, hal. 60. Dan banyak lagi

Ulama yang tidak menjadikan hadits tersebut pijakan asal penciptaan wanita. Lihat juga,

Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam al-Qur’an, Studi Pemikiran Para Mufassir,

Yogyakarta: Labda Press, 2006, hal. 94-104. 20 Seorang feminis muslimah kelahiran Pakistan. Menempuh pendidikan di St. Mary’s

College University Durham, Inggris. Pada tahun 1976 tinggal di Amerika dan menjadi

profesor sekaligus menjabat sebagai ketua jurusan Program Religious study di

Universitas Lousville, Kentucky. 21 Berbeda dengan para Mufassir, Riffat Hasan mempertanyakan hadits tersebut sebagai

tafsir ayat penciptaan perempuan. Karena menurutnya, hadits tersebut ada kaitannya

dengan isi Alkitab dan Talmud. Riffat menganggap hadits-hadits tentang penciptaan

perempuan adalah dhaif. Lihat, Fatimah Mernissi dan Riffat Hasan, Setara di Hadapan

Allah, hal. 59. 22 Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam al-Qur’an, Studi Pemikiran Para Mufassir, hal. 89. 23 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, Jakarta: Paramadina,

2001, hal. 237-246.

Konformitas Gender | 35

Page 8: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Jurnal STUDIA QURANIKA

dari unsur yang sama, yaitu tanah.24 Ulama yang berpendapat demikian

salah satunya Abu Muslim al-Isfahani.25 Demikian pula halnya dengan

al-Khatib al-Syarbani, beliau mempertegas dengan logika bahasa, bahwa

Hawa tercipta dari tanah yang merupakan bahan dasar penciptaan

Adam.26

Mengenai ayat penciptaan manusia, khusunya wanita dan

kaitannya dengan hadits penciptaan wanita, 27 para Ulama salaf tidak

menafsirkan ayat dan hadits tersebut sebagai hujjah atas superioritas

laki-laki terhadap perempuan. Sebab, sekalipun diciptakan secara

berbeda, esensi masing-masing tidaklah berbeda. Al-Qur’an sendiri

secara tegas tidak pernah menilai kemuliaan maupun kehinaan manusia

berdasarkan asal usulnya. Namun, oleh para feminis, hadits tersebut

dianggap sangat bermasalah, karena melahirkan ketimpangan gender

dan menempatkan perempuan sebagai mahluk sekunder, mahluk yang

diciptakan dari bagian laki-laki, dalam hal ini Adam.

Jika penciptaan perempuan dari tulang rusuk dianggap tidak

masuk akal karena bertentangan dengan ayat al-Qur’an, maka harusnya

ada perbandingan. Bagaimanakah dengan penciptaan Adam dari tanah?

Atau bagaimanakah Isa a.s., lahir dari seorang ibu tanpa ayah dan tidak

melalui proses yang biasanya? Artinya, tidak ada yang mustahil bagi

Allah swt. Hikmah yang terdapat di dalamnya adalah, bahwa hal

24 Nasaruddin Umar mengatakan, bahwa ada kesulitan dalam memahami kisah asal-usul

kejadian manusia dalam al-Qur’an, karena adanya loncatan atau missing link dalam

kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an. Menurutnya, pemahaman yang keliru

mengenai asal-usul kejadian perempuan bisa melahirkan sikap ambivalen dikalangan

perempuan; di satu pihak ditantang untuk berprestasi dan mengembangkan karir agar

tidak selalu menjadi beban laki-laki, tetapi di lain pihak ketika menduduki karir di

puncak, keberadaannya sebagai wanita dipertanyakan. Lihat, Nasaruddin Umar,

Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, hal. 246-247. 25 Wahbah Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, Jilid 2, t.th, hal. 556. 26 Beliau mengatakan, ‚Wakhalaq minhâ zaujahâ,‛ adalah ma’thûf ‘ala mahdzûf (disifatkan

pada sesuatu yang disembunyikan), sehingga bisa dimaknai ‚Dari jiwa yang satu

dicipta, dan diawali dari tanah itu pula tercipta pasangannya.‛ Dimahdzufkannya hal

tersebut untuk menunjukkan satu makna, yaitu bangsa kalian berasal dari satu jiwa,

begitulah sifatnya. Sebab, jiwa itu tercipta dari tanah, dan dari tanah pula tercipta

pasangannya, yaitu Hawa. Lihat, Khatib Syarbini, Al-Sirâj al-Munir, Darul Kutub al-

Ilmiyyah, juz 1, 2004, hal. 320. 27 Sahih Bukhari, Kitâb al-Nikâh , juz 5, t.th, hal. 1987, no 4890.

36 | Hikmatiar Pasya, M. Haekal Hakim

Page 9: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Vol. 1, No. 1 Juli 2016

tersebut menunjukkan kuasa Allah menciptakan yang hidup dari yang

hidup pula, tanpa harus melalui proses kelahiran, dan sekaligus sebagai

bukti akan kuasa Allah swt yang menciptakan yang hidup dari yang

tidak hidup.28 Sehingga, keyakinan bahwa Hawa berasal dari tulang

rusuk Adam sedikitpun tidak menggiring satu persepsi penghinaan

terhadap perempuan dan meletakkan perempuan dalam subordinat dari

superordinat atau sebagai the second human being (masyarakat kelas

dua).29

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada

masalah dengan hadits penciptaan wanita. Memang, Hawa diciptakan

dari tulang rusuk Adam, namun hal itu tidak berarti bahwa Hawa dan

kaum perempuan menjadi tertindas. Terlebih lagi, melihat fakta sejarah

yang menunjukkan bahwa ajaran Islamlah yang mampu membebaskan

perempuan dari penindasan dan segala perlakuan diskriminatif.30

B. Argumentasi Sosiologis a. Kepemimpinan

Peran laki-laki dan perempuan dalam social masyarakat tentu

sangat vital, mengingat keduanya adalah mahluk sosial yang tentunya

bergelut dalam masyarakat dan merupakan Khalîfah Allah di bumi. Hal

ini sesuai dengan firman-Nya dalam al-Qur’an surah al-Baqarah 2/ 30.î

Menurut kaum feminis, surah al-Baqarah ini menjelaskan peran

perempuan yang tidak berbeda dengan laki-laki. Begitu pula dalam

surat al-Anam 6/ 165, Allah swt menegaskan, bahwa manusia diciptakan

sebagai Khalîfah (pemimpin, penguasa) di muka bumi. Pada ayat

tersebut, tidak dikhususkan jenis kelamin tertentu untuk menjadi

Khalîfah ataupun pemimpin, sehingga keduanya berhak menjadi

pemimpin, baik dalam rumah tangga ataupun masyarakat umum,

tentunya dengan dibekali kemampuan.

28 Wahbah Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, hal. 556. 29 Abdul Aziz Matnur, Jangan Rendahkan Wanita, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009, hal. 7-19. 30 Al-Qur’an menggambarkan bagaimana masyarakat Arab Jahiliyah sebelum kedatangan

Islam. ‚Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan,

hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.‛ (QS. Al-Nahl 16/ 58).

Konformitas Gender | 37

Page 10: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Jurnal STUDIA QURANIKA

Berkaitan dengan ini, al-Qur’an telah menempatkan laki-laki

maupun perempuan pada posisi yang sama dalam memikul tanggung

jawab yang besar dalam memajukan kehidupan sosial masyarakat yang

islami. Tanggung jawab tersebut adalah, bersama-sama mengajak

kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Hal ini erat kaitannya

dengan hubungan sosial antara keduanya. Dasar hubungan sosial

tersebut tergambar dalam al-Qur’an, yang artinya;

‚Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang

laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan

bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling

mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara

kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.‛ (QS. Al-

Hujurat 49/ 13).31

Hubungan antara sesama manusia, baik laki-laki maupun

perempuan dalam masyarakat harus didasarkan pada keselarasan

potensi-potensi yang dimiliki dengan standar-standar pengabdian yang

ditetapkan Allah swt. Sehingga kedua mahluk tersebut tidak akan

mengartikulasikan potensi akhlaknya kecuali sesuai dengan aturan-

aturan yang ditetapkan Allah swt dan diterangkan oleh Rasul-Nya.32

b. Kesaksian Selain masalah kepemimpinan, masalah kesaksian wanita juga

banyak menjadi kritikan feminis.33 Hal ini dikarenakan ketetapan

syariah akan kesaksian perempuan yang setengah dari laki-laki, di

mana dengan alasan yang seperti itu seorang perempuan adalah inferior

31 Mengenai ayat ini, Ibnu Katsir mengatakan, ‚Semua manusia berada dalam kemuliaan,

namun, masing-masing saling memiliki kelebihan antara yang satu dan yang lain dalam

urusan-urusan agama, yaitu taat kepada Allah dan mengikuti Rasulallah saw. Oleh

karena itu, Allah melarang manusia untuk saling menghina dan saling menjelekkan,

sebagai peringatan bahwa mereka sama-sama manusia.‛ Lihat, Ibn Katsir, Tafsîr al-

Qur’ân al-‘Adzîm, hal. 385. 32 Said Hawwa, Al-Islam, terj, Abdul Hayyi al-Kattani dkk, Jakarta: Gema Insani Press,

2004, hal. 382. 33 Berkaitan dengan masalah kesaksian wanita, penulis mengambil salah seorang feminis

muslim yang menganggap, bahwa belum ada kesepakatan akan ketentuan kesaksian

dua orang wanita yang setara dengan kesaksian satu orang laki-laki. Dalam hal ini,

feminis yang dimaksud adalah Ashgar Ali Engineer. Lihat, Asghar Ali Engineer,

Pembebasan Perempuan, Yogyakarta: LKiS, 2007, hal. 108.

38 | Hikmatiar Pasya, M. Haekal Hakim

Page 11: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Vol. 1, No. 1 Juli 2016

dari laki-laki. Berkaitan dengan hal ini, Asghar Ali Engineer menilai,

bahwa tidak ada kesepakatan para ahli hukum mengenai kesaksian.

Menurutnya, penafsiran yang ada berkaitan dengan kesaksian

perempuan adalah alasan yang dibuat-buat oleh manusia (Mufasir), dan

oleh karenanya hal tersebut tidak bisa mengikat seorang muslim untuk

dijadikan pijakan. Hal ini dikarenakan ayat al-Qur’an secara spesifik

hanya merujuk kepada masalah keuangan dan penerapannya tidak

dapat diperluas pada masalah non-keuangan.34 Asghar juga

menambahkan, bahwa tidak sedikit ahli tafsir al-Qur’an modern yang

tidak menerima ketentuan bahwa kesaksian seorang perempuan tidak

bisa diterima dalam masalah-masalah hukuman hudud, dan apalagi bila

disemua kondisi kesaksian seorang perempuan tidak bisa diterima.35

Adapun ayat al-Qur’an yang menyebutkan masalah kesaksian dua

orang perempuan sama dengan seorang laki-laki adalah surat al-

Baqarah 2/ 282. Disebutkan, bahwa kesaksian seorang laki-laki sama

dengan dua orang perempuan, yang mana hal ini secara umum tidak

diterima oleh kalangan modernis ataupun feminis.36 Seperti yang

dijelaskan di awal.

Berkaitan dengan ini, Ibnu Katsir dalam tafsirnya mangatakan,

bahwa disejajarkannya dua orang perempuan dengan satu orang laki-

laki dalam kesaksian dikarenakan perempuan lebih lemah akalnya

dibanding laki-laki.37 Demikian halnya yang dijelaskan oleh imam Syafi’i

dalam kitabnya al-Umm. Beliau mengatakan, bahwa ada dua keadaan

yang memungkinkan kesaksian perempuan diterima. Pertama, berkaitan

dengan harta (utang-piutang). Tidak diterima kesaksian perempuan

walaupun jumlah mereka banyak, kecuali ada seorang saksi laki-laki di

34 Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, Yogyakarta: LKiS, 2007, hal. 99-103. 35 Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, hal. 108. 36 Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, hal. 98. 37 Hal ini berdasarkan hadits Nabi saw, yang artinya, ‚Aku tidak melihat seorangpun dari

yang kekurangan akal dan agama dari yang memilki pengetahuan lebih (laki-laki)

daripada segolongan kalian.‛ Lalu mereka berkata, ‚Apakah kekurangan akal dan

agama kita wahai Rasulallah?‛ Rasullah menjawab, ‛Bukankah kesaksian perempuan itu

setengah dari kesaksian laki-laki?‛ Mereka menjawab, ‛benar...‛ Rasulallah berkata,

‚Itulah kekurangan akalnya, dan bukankah ketika sedang haidh dan nifas mereka tidak

shalat dan puasa?‛ Mereka menjawab, ‛benar.‚ Lalu Rasulallah berkata, ‚Itulah

kekurangan agamanya.‛ Lihat, Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm, juz 1, hal. 724.

Konformitas Gender | 39

Page 12: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Jurnal STUDIA QURANIKA

antara mereka. Serta tidak boleh pula kurang dari dua orang

perempuan, hal ini sesuai dengan ketentuan yang diberikan Allah dalam

al-Qur’an. Kedua, dimana laki-laki tidak boleh melihat aurat perempuan.

Maka, perempuan boleh bersaksi atau memberikan kesaksian tanpa ada

laki-laki, namun tidak kurang dari empat orang perempuan, sesuai

dengan hukum Allah yang menempatkan dua orang perempuan sama

dengan satu orang laki-laki. Sehingga kesaksian dua orang laki-laki

sama dengan empat orang perempuan.38

Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh al-Sunnah, mengemukakan

pendapat Fuqahâ’ berkaitan dengan kesaksian dua orang perempuan

dan seorang laki-laki. Menurutnya, madzhab Hanafi berpendapat,

bahwa kesaksian perempuan sama dengan laki-laki dalam harta (utang-

piutang), nikah, rujuk dan thalaq, namun tidak dalam qishash dan hudūd.

Hal ini dikuatkan oleh ibnu al-Qayyim. Berbeda dengan pendapat imam

Malik dan imam Syafi’i serta Jumhur Ulama fiqih, yang memiliki

pandangan bahwa kesaksian laki-laki dan perempuan sama dalam hal

harta (utang-piutang) dan yang sejenis, namun tidak dalam hal qishash,

hudūd, nikah, thalaq dan rujū’.39

Namun, dalam perkara yang telah ditetapkan oleh syariat,

kesaksian perempuan sebanding dengan kesaksian laki-laki. Bahkan

kesaksian perempuan dapat membatalkan kesaksian laki-laki, yakni jika

seorang suami menuduh istrinya berkhianat, maka al-Qur’an menyuruh

suami bersumpah lima kali untuk memperkuat kebenaran apa yang

dikatakan. Akan tetapi, jika istri membantah dan bersumpah lima kali,

maka dia tidak dikategorikan sebagai istri yang berdosa (berkhianat),

dan jika hal ini terjadi maka bubarlah pernikahan tersebut.40

Dengan demikian, kesaksian dua orang perempuan yang

sebanding dengan kesaksian satu orang laki-laki adalah merupakan

ketentuan syara’, yang tentunya berdasarkan nash shahih dari al-Qur’an

dan Sunnah.

38 Imam As-Syafi’i, al-Umm, Dar al-wafa, 2001, hal. 117 39 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz 3, hal. 443 40 Sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an surah al-Nur 24/ 6-11. Lihat, Syarif

Muhammad Abdul Adhim, Wanita dalam Pandangn Islam, hal. 26-28.

40 | Hikmatiar Pasya, M. Haekal Hakim

Page 13: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Vol. 1, No. 1 Juli 2016

c. Argumentasi Fungsional-Struktural Dalam masyarakat, keluarga merupakan suatu kelompok kecil

yang terdiri dari ayah, ibu dan beberapa orang anak. Masing-masing

memiliki hak dalam keluarga, baik ayah, ibu maupun anak. Tentunya,

antara individu yang satu dengan yang lain pastilah terdapat perbedaan.

Khusunya mengenai hak-hak yang sifatnya sangat alami dan wajar,

kecuali jika perbedaan tersebut memasuki hal yang prinsipil. Tentu

tidak bisa ditolerir, namun dicari jalan keluarnya.41

Perbedaan dalam keluarga yang kemudian mempengaruhi

interaksi sosial antar seluruh individu yang ada dalam keluarga,

terkadang disebabkan oleh masalah kedudukan laki-laki dan

perempuan dalam keluarga. Di mana hal tersebut dipengaruhi oleh

keunggulan ataupun keistimewaan, khususnya antara suami dan istri.

Apakah suami lebih berperan penting dalam membangun keluarga,

ataukah istri yang justru menjadi tulang punggung keluarga. Selain itu,

munculnya teori keidentikan hak laki-laki dan perempuan yang

didasarkan pada asumsi, ide, keyakinan atau hipotesis, bahwa

kehidupan sosial di dalam keluarga sama halnya dengan kehidupan

sosial di luar keluarga.42

Munculnya doktrin ketidaksetaraan antara laki-laki dan

perempuan karena adanya anggapan, bahwa perempuan tidak cocok

memegang kekuasaan ataupun memiliki kemampuan yang dimiliki laki-

laki. Sehingga, laki-laki harus memiliki dan mendominasi perempuan,

menjadi pemimpinnya dan menentukan masa depannya, dengan

bertindak sebagai ayah, saudara laki-laki ataupun sebagai suami.43

41 Murtadha Muthahhari, Perempuan dan Hak-Haknya Menurut Pandangan Islam, Terj, Ilyas

Hasan, Judul asli, Women and Her Rights in Islam, Jakarta: Lentera, 2009, hal 127. 42 Murtadha Muthahhari, Perempuan dan Hak-Haknya Menurut Pandangan Islam, hal. 128-129. 43 Abu Syuqqah dalam Tahrîr al-Mar’ah fi ‘Ashri al-Risâlah (Kebebasan Wanita)

menyebutkan bagaimana Islam sangat menghormati dan menghargai wanita dengan

menjaga kehormatannya. Bagaimana Islam menghormati Ibu, saudara wanita, istri, anak

perempuan, sampai budak perempuan. sebagai contoh, hadits Nabi yang artinya, ‛Tidak

seorangpun dari umatku yang menanggung tiga orang anak perempuan atau tiga orang

saudara perempuan, lalu dia perlakukan mereka secara baik, kecuali mereka itu akan

menjadi tirai pencegah baginya dari api neraka.‛ (HR. Baihaqi). Dalam riwayat lain Nabi

mengatakan, ‛Barangsiapa yang memelihara dua anak perempuan dengan baik sampai

semua balig, maka pada hari kiamat aku dan dia …‛ Sambil merapatkan jarinya. (HR.

Konformitas Gender | 41

Page 14: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Jurnal STUDIA QURANIKA

Dengan alasan, hal yang demikian ini adalah untuk kepentingan

perempuan itu sendiri.44

Membaca fenomena seperti yang tergambar di atas, sepintas akan

sangat merendahkan wanita, dan tentunya sangat menyakitkan bagi

kaum wanita. Padahal, yang sebenarnya merupakan perbedaan antara

laki-laki dan perempuan adalah ketertarikan antara yang satu dengan

yang lain. Dengan kata lain, laki-laki sangat membutuhkan sosok

perempuan, demikian juga sebaliknya. Hal ini telah berlaku 14 abad lalu

hingga sekarang. Sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Nisa 4/ 34.

Para Ulama memahami ayat di atas, bahwa laki-laki sebagai

pelindung kaum perempuan, suami pelindung bagi istri dan anak-anak,

laki-laki sebagai orang yang memutuskan perkara, sebagai pemimpin

bagi wanita, sebagai yang memenuhi nafkah, sebagai orang yang

memperingati ketika wanita melakukan sebuah kesalahan. Dengan

demikian, tampak sangat jelas akan kesesuaian antara laki-laki dan

perempuan dalam keluarga. Sehingga, makna dari ‚qawwâmūn,‛ adalah

sebagai perlindungan.45 Laki-laki melindungi, mengayomi dan menjaga

perempuan. Berkenaaan dengan keutamaan laki-laki atas perempuan

seperti dijelaskan di atas, itu juga tidak bisa dimaknai sebagai

keutamaan yang mutlak.46 Karena sangat banyak hadits yang

menjelaskan kemuliaan wanita atas laki-laki.

Oleh karena itu, ketika Islam membedakan antara laki-laki dan

perempuan dalam masalah ibadah, seperti jihad dan lainnya, tidak

berarti laki-laki lebih tinggi dan perempuan di bawahnya, tetapi

Muslim). Lihat, Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahrîr al-Mar’ah fi ‘Ashri al-Risâlah

(Kebebasan Wanita), Jakarta: Gema Insani Press, 2000, hal. 124-125. 44 Asghar Ali Engineer, The Rights of Women in Islam, Terj, Farid Wajidi dan Cici Farkha

Asseghaf, Judul asli, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Yogyakarta: Bentang Budaya,

1994, hal. 55. 45 Abu Ja’far al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fi Ta’wîl al-Qur’ân, Muassasah al-Risâlah, juz 8, hal.

290. Lihat pula, Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm, juz 2, hal. 292. 46 Karena al-Qur’an tidak menjelaskan apa kelebihan laki-laki atas perempuan, para

Mufassir berbeda-beda menjelaskannya. Ada yang bersifat fisik, mental, intelektual,

peran keagamaan dan lainnya. Lihat, Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam al-Qur’an,

Studi Pemikiran Para Mufassir, hal. 242.

42 | Hikmatiar Pasya, M. Haekal Hakim

Page 15: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Vol. 1, No. 1 Juli 2016

perbedaan tersebut adalah merupakan rahmat bagi keduanya.47 Sebab

dengan perbedaan tersebut keduanya saling melengkapi.48 Perbedaan

yang saling melengkapi antara kedua mahluk tersebut, memberikan

peran serta fungsi masing-masing yang tidak dapat ditolak oleh

keduanya. Fungsi ibu sebagai pengatur rumah tangga dan pengasuh

anak, ataupun fungsi ayah sebagai pelindung, pencari nafkah dan yang

memikul seluruh tanggungjawab dalam keluarga. Semua fungsi tersebut

menuntut syarat-syarat fisik, psikis dan emosional yang berlainan antara

laki-laki dan perempuan. Perbedaan yang demikian bukanlah

diskriminasi ataupun segregasi.49

Dengan demikian, normativitas kepemimpinan laki-laki dalam

keluarga merupakan prinsip kesesuaian gender. Jika laki-laki dan

perempuan sama-sama tersita dalam aktivitas publik, maka mereka

akan menyelesaikannya dengan mencari pembantu. Hal ini akan

membuka pintu kehancuran institusi keluarga, khususnya keluarga

muslim. Peran kepemimpinan yang dibebankan pada kaum laki-laki

akan melemah, karena perempuan akan menuntut hak yang sama dalam

memimpin.50 Hematnya, logika al-Qur’an tidak pernah melihat keadilan

laki-laki maupun perempuan dari sisi kesamaan atau kesetaraan,

melainkan melihat pada kesesuaian fungsi masing-masing. Kesesuaian

dipahami dan dilaksanakan secara proporsional dengan

mempertimbangkan faktor-faktor biologis, fisiologis, psikologis dari

kedua belah pihak.51

d. Argumentasi Kewarisan dalam Keluarga Perkembangan wacana kesetaraan gender yang disuarakan oleh

kaum feminis muslim, mau tidak mau harus memaksa masuk ke dalam

wilayah yang bersifat prinsipil dalam Islam. Demi sebuah makna

kesetaraan dan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan, serta

47 Abdu al-Rabb Nawab al-Din Ali Nawab, ‘Amalu al-Mar’ah wa Mauqif al-Islâm Minhu,

Riyadh: Dar al-‘Ashimah, 1989, hal. 116. 48 Isma’il Raji al-Faruqi, Tauhid, Bandung: Pustaka, 1988, hal. 141. 49 Isma’il Raji al-Faruqi, Tauhid, hal. 141-142. 50 Ummu Fathimah, Keadilan dan Kesetaaraan Gender, dalam al-wa’ie, No. 75 Tahun VII, 1-30

November 2006, hal. 12-13. 51 Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam al-Qur’an, Studi Pemikiran Para Mufassir, hal. 247

Konformitas Gender | 43

Page 16: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Jurnal STUDIA QURANIKA

menghapus superioritas kaum Adam atas perempuan. Apapun yang

dianggap menghalangi upaya dalam pencapaian kesetaraan akan

dilewati, meskipun terbentur dengan hukum-hukum yang sudah qath’i.

Di antara hukum qath’i yang siap dirubah adalah, masalah hak

warisan,52 yang oleh feminis muslim dianggap tidak adil dan menindas

kaum perempuan.53

Berkaitan dengan masalah ini, Amina Wadud,54 menyoalkan

ketentuan, ‚li al-dzakar mitsl hadzdzi al-untsayain,‛55 (Anak laki-laki

mendapatkan bagian dua bagian anak perempuan) yang terdapat dalam

ayat waris. Secara implisit, Amina Wadud tidak setuju dengan formula

pembagian waris seperti yang disebutkan dalam ayat waris tersebut.

Menurutnya, pembagian waris harus dilihat dari berbagai faktor yang

lain, seperti orang yang meninggal dan yang ditinggal. Sebelum warisan

dibagi, banyak hal yang menurut Amina Wadud perlu diperhatikan,

seperti anggota keluarga yang berhak, kombinasi dan kemanfaatannya.56

Jadi, menurut Amina Wadud, dalam pembagian warisan, banyak hal

yang harus dipertimbangkan, di antaranya: pembagian untuk keluarga

dan kerabat laki-laki dan perempuan yang masih hidup, orang-orang

yang ditinggalkan, manfaat bagi yang ditinggalkan dan manfaat harta

warisan itu sendiri.57

52 Berkenaan dengan masalah warisan, dalam makalah ini, penulis hanya akan

mengangkat dua orang tokoh pemikir muslim yang menganggap adanya kesalahan

dalam pembagian warisan dalam Islam. 53 Nurjannah Isma’il, Perempuan dalam Pasungan, Bias Laki-Laki dalam Penafsiran, Yogyakarta:

LkiS, 2003, hal 200. 54 Amina Wadud Muhsin adalah seorang tokoh feminis muslim kelahiran Amerika,

tepatnya 1952. Amina Wadud merupakan guru besar (profesor) pada Universitas

Commonwealth, Richmond, Virginia. Lihat, Amina Wadud Muhsin, Menuju Keadilan

Gender, oleh Abdul Mustaqim, dalam Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta:

Jendela, 2003, hal. 66. Berkaitan dengan ayat waris, Amina Wadud tidak sendirian.

Banyak lagi feminis muslim yang tidak setuju dengan penafsiran ayat waris tersebut.

Ada pula yang bukan feminis, seperti mantan menteri agama RI, Munawir Syadzali.

Menurutnya, seyogyanya wanita mendapatkan warisan yang sama dengan laki-laki.

Gagasan tersebut muncul karena kondisi sekarang berbeda dengan waktu ayat waris

tersebut turun. Lihat, Nashruddin Baidan, Tafsîr bi al-Ra’yi, Upaya Pengendalian Konsep

Wanita dalam al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 1, 1999, hal. 64. 55 QS. Al-Nisa 4/ 11. 56 Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam al-Qur’an, Bandung: Pustaka, 1994, hal. 117-118. 57 Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam al-Qur’an, hal. 117-118.

44 | Hikmatiar Pasya, M. Haekal Hakim

Page 17: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Vol. 1, No. 1 Juli 2016

Berbeda dengan Amina Wadud, Asghar Ali Engineer58

menganggap, bahwa ketentuan pembagian warisan di dalam al-Qur'an

termasuk pembagian formula 2:1 bagi anak laki-laki dan anak

perempuan sama sekali tidak bersifat diskriminatif terhadap kaum

perempuan. Ia menilai, bahwa ketentuan anak laki-laki diberi warisan

dua kali bagian anak perempuan tidaklah bersifat diskriminatif karena

melihat konteks sosiologis dan ekonomis. Akan tetapi Asghar menilai,

bahwa terdapat kesalahan pemahaman mengenai hukum kewarisan

yang disyariatkan oleh al-Qur'an. Menurut Asghar, ketetapan hukum-

hukum mawarits di dalam al-Qur'an surah al-Nisa 4/ 11, sebagaimana

yang dirumuskan oleh para Fuqaha’ pada masa awal, tidak diperlakukan

sebagai suatu yang final. Kalau perlu, harus direinterpretasikan atau

dirumuskan kembali dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi yang

tetap berubah dan kesadaran baru dikalangan para perempuan.59

Menanggapi pendapat yang disuarakan oleh kaum feminis, perlu

kiranya melihat kembali ayat-ayat yang bersangkutan tentang kewarisan

dengan jelas dan terperinci. Di dalamnya telah diuraikan bagian tiap

ahli waris, ukuran yang diterima dan syarat-syaratnya. Siapa saja yang

berhak mendapat warisan yang tetap (bi al-fardh), berdasarkan kelebihan

harta ('ashâbah), atau berdasarkan dua sistem tersebut (bi al-fardh wa al-

'ashâbah), siapa saja ahli waris yang terhalang haknya oleh ahli waris

yang lain karena kedekatan hubungan darah atau kerabat, baik secara

keseluruhan atau sebagian. Tiga ayat di atas adalah asas ilmu waris

Islam (Ilmu Faraidh). Tidak ada satupun dari ayat-ayat tersebut

menyisakan keraguan bagi tiap individu yang berhak, karena tidak ada

unsur kedhaliman. Bahkan Para Ulama, baik klasik maupun

kontemporer yang menulis tentang ilmu waris, pada dasarnya hanya

58 Asghar Ali Engineer adalah, salah seorang pemikir muslim yang mempunyai perhatian

besar terhadap problem-problem sosial dan pembebasan. Pemikir yang lahir di india

pada tanggal 10 maret 1940 ini, merupakan sarjana lulusan teknik. Ia juga merupakan

pemimpin kelompok keagamaan Syi’ah Isma’iliyyah yang berpusat di Bombay. Lihat,

Asghar Ali Engineer, Menuju Teologi Pembebasan, oleh M. In’am Esha, dalam Pemikiran Islam

Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2003, hal. 85-89. 59 Asghar Ali Engineer, Hak-hak perempuan Dalam Islam, Terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha

Assegaf, Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, hal. 101 – 106

Konformitas Gender | 45

Page 18: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Jurnal STUDIA QURANIKA

menerangkan ayat-ayat waris di atas.60 Ini menunjukkan, bahwa

pembagian warisan di dalam al-Qur'an telah jelas dan tidak

memerlukan penafsiran ulang sebagiamana penafsiran kaum feminis

muslim yang tujuannya adalah untuk mendekonstruksi syariat Islam.

Penafsiran Ulama-Ulama salaf tentang ayat ini, tidak satupun yang

keluar dari koridor pemahaman kaum muslimin dari zaman Nabi

Muhammad saw sampai saat ini.

Menurut Abu Ja’far al-Thabari, kalimat ‚li al-dzakar mitsl hadz al-

untsayain,‛ bukan menunjukkan kekurangan perempuan, justru ayat

tersebut menjelaskan keadilan yang didapat oleh keduanya dalam hal

warisan. Mengingat pada masa sebelum Islam, perempuan dan anak-

anak tidak memperoleh warisan, dengan alasan bahwa mereka tidak

menunggang kuda, tidak berperang dan membawa senjata. Jadi, dengan

pembagian seperti yang tergambar dalam ayat tersebut, antara laki-laki

dan perempuan mendapat perlakuan yang sangat adil, yakni sama-sama

memperoleh harta warisan. Jadi, perbedaan pembagian tersebut bukan

berarti wanita direndahkan.61

Demikian juga yang disampaikan oleh Ibnu Katsir, bagian anak

laki-laki lebih besar dua kali lipat bagian anak perempuan, karena anak

laki-laki mempunyai tanggung jawab atas nafkah keluarga, dan beban

kehidupan yang lebih berat seperti perniagaan, mencari rezki dan

sebagainya.62

Berbeda dengan Thabari dan Ibnu Katsir, Fakhruddin al-Razi

disamping menjelaskan kebiasaan orang arab sebelum Islam, yang tidak

memberikan warisan kepada anak-anak dan perempuan, al-Razi juga

menjelaskan beberapa hikmah kenapa laki-laki mendapatkan dua kali

lipat dari yang didapatkan perempuan. Menurut al-Razi, pertama, karena

mayoritas perempuan lebih lemah dibanding laki-laki secara fisik,

sehingga perempuan tidak keluar untuk berperang dan berjuang, serta

nafkah perempuan secara garis besar berpangkutangan kepada

60 Muhammad Ali al-Shaubuni, Al-Mawârits fi Asyarî'ah al-Islâmiyyah fi dhau al-Kitâb wa al-

Sunnah, Damaskus: Dar al-Qalam, 1993, hal. 18-19. 61 Abu Ja’far al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fi Ta’wîl al-Qur’ân, Muassasah al-Risâlah, juz 7, hal.

31. 62 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur'ân al-Adzîm, Juz 1: Tafsir surat An-Nisa', hal. 414.

46 | Hikmatiar Pasya, M. Haekal Hakim

Page 19: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Vol. 1, No. 1 Juli 2016

suaminya. Sedangkan laki-laki secara kodratnya harus menafkahi dan

menjadi sasaran atas tanggung jawab. Kedua, laki-laki lebih sempurna

keadaannya daripada perempuan, dari segi moral, intelektual maupun

agama. Selanjutnya, perempuan sedikit akal namun memiliki banyak

keinginan. Berbeda dengan laki-laki, karena memiliki kesempurnaan

intelektual, ia mampu mempergunakan harta warisan tersebut untuk

hal-hal yang bermanfaat.63

Adapun Anak laki-laki menerima bagian lebih besar dua kali lipat

dari pada anak perempuan adalah karena beberapa hal:

1. Perempuan selalu terpenuhi segala kebutuhannya, karena

nafkahnya menjadi tanggung jawab anak laki-lakinya, ayahnya,

saudara laki-lakinya, dan setelah menikah mendapat tanggung

jawab suaminya.

2. Perempuan tidak punya kewajiban berinfaq untuk orang lain,

sedangkan laki-laki mempunyai tanggung jawab terhadap

keluarga dan kerabatnya.

3. Kebutuhan ekonomi laki-laki lebih besar dari pada perempuan,

maka harta yang dibutuhkan jauh lebih banyak.

4. Laki-laki ketika menikah, mempunyai kewajiban membayar

mahar, disamping menyediakan tempat tinggal dan memenuhi

kebutuhan istri dan anak-anaknya setelah berumah tangga.

5. Biaya pendidikan dan pengobatan anak-anak dan istri adalah

tanggungjawab suami (laki-laki).64

Dari penjelasan para Mufasir di atas tentang ayat-ayat mawârits,

nampak jelas tidak ada penafsiran yang kontradiktif antara satu dengan

yang lain. Penafsiran para Ulama tafsir tidak berbeda dengan

pemahaman para Fuqahâ yang menulis kitab-kitab mawârits atau ilmu

farâidh yang menjadi acuan pembagian warisan kaum muslimin di

negeri-negeri muslim. Ini menunjukkan penafsiran ayat-ayat mawarits

bersifat qath'i (pasti) dari Allah swt dan tidak boleh dirubah. Dengan

demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam hak waris antara laki-

63 Fakhruddin al-Razi, Tafsîr al-Kabîr aw Mafâtih al-Ghaib, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,

2000, hal. 165-167. 64. Muhammad Ali al-Shaubuni, Al-Mawârits fi Asyarî'ah al-Islâmiyyah fi dhau al-Kitâb wa al-

Sunnah, hal. 18-19.

Konformitas Gender | 47

Page 20: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Jurnal STUDIA QURANIKA

laki dan perempuan tidak terdapat penindasan, diskriminasi,

ketidakadilan ataupun ‚bias gender‛, seperti yang dituduhkan para

feminis terhadap syariat Islam.

Mengomentari banyaknya syubhat tentang ketidakadilan dalam

warisan, Muhammad Imarah mengatakan, bahwa pembagian warisan

dalam Islam merupakan hikmah Ilahiyyah dan syariat yang sempurna,

yang tidak diketahui oleh banyak orang. Pembagian tersebut sama

sekali tidak ada kaitannya dengan masalah kelamin, laki-laki maupun

perempuan secara mutlak.65

Penjelasan yang disampaikan oleh para Ulama berkaitan dengan

masalah warisan, selain sebagai jawaban atas kaum feminis, sekaligus

sebagai bukti akan kesesuaian antara laki-laki dan perempuan dalam

segala aspek kehidupan. Sehingga anggapan akan adanya dominasi laki-

laki yang disertai dengan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan

terjawab dengan sendirinya. Hematnya, dengan mengatakan bahwa ada

ketidakadilan dalam pembagian warisan sama halnya menafikan sifat

Allah swt yang Maha Adil.66

Antara Kesetaraan dan Kesesuaian Gender A. Kesetaraan Gender

Harus diakui, bahwa isu kesetaraan gender berasal dari Barat,

yang bermula pada pandangan negatif masyarakat Barat terhadap

wanita. Cara pandang ‘gender equality’ di Barat tidak terlepas dari latar

belakang sejarah Barat yang dimasa lalu berlaku sangat kejam terhadap

wanita.67 Selain itu, pandangan ‚sebelah mata‛ terhadap kaum

perempuan (misogyny) dan berbagai anggapan buruk (stereotype) serta

citra negatif yang dilekatkan pada wanita.68 Hal ini menyebabkan para

penggerak kesetaraan gender untuk memusatkan segala perhatian

65 Muhammad Imarah, Al-Tahrîr al-Islâm li al-Mar’ah fi al-Islâm wa Huqûq al-Mar’ah, editor;

Ja’far ‘Abdu al-Salam, Kairo: Rabithatu al-Jaami’at al-Islamiyyah, 2004, hal. 58-60. 66 Shalahuddin Sulthan, Imtiyâz al-Mar’ah ‘Ala al-Rajûl, Terj, Khaeron Sirin, Judul asli,

Ternyata Wanita Lebih Istimewa dalam Warisan, Depok: Iman, 2008, hal. 33-74. 67 Adian Husaini, Kajian Islam Historis dan Aplikasinya dalam Studi Gender, dalam ISLAMIA

vol. V No. 1, 2009. hal. 18. 68 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani Press, 2008,

hal. 104.

48 | Hikmatiar Pasya, M. Haekal Hakim

Page 21: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Vol. 1, No. 1 Juli 2016

untuk melukiskan dan mengutuk ketidakadilan yang diderita kaum

wanita sebagai akibat dari hukum yang dibuat oleh laki-laki.69

Perbedaan gender telah melahirkan berbagai perlakuan tidak adil

dan diskriminatif terhadap kaum perempuan. Gender yang awalnya

merupakan interaksi sosial yang setara antara laki-laki dan perempuan

mengalami pergeseran sehingga melahirkan hegemoni laki-laki

terhadap perempuan. Dalam proses historis yang panjang, hegemoni

laki-laki atas perempuan telah memperoleh legitimasi dari nilai-nilai

sosial, agama, hukum dan sebagainya. Hegemoni tersebut terisolasi

secara turun temurun, dari generasi ke generasi. Pergeseran relasi

gender inilah yang membentuk lahirnya masyarakat patriarkal. Dimana

laki-laki menguasai dan menjadi superior di berbagai sektor kehidupan.

Melihat kondisi yang demikian, kaum perempuan merasa terbangun

dari tidur panjangnya, dan mulai sadar untuk mengambil hak-haknya

yang selama ini didominasi kaum laki-laki. Perjuangan kaum

perempuan untuk memperoleh kembali kemerdekaannya inilah yang

melahirkan gerakan Feminisme.70

Gerakan feminisme yang mengusung pembebasan perempuan

dari ketertindasan dan mengeluarkan perempuan dari hegemoni

budaya patriarkal, mau tidak mau memasuki ranah kritik teologis.71

Upaya gender memasuki wilayah agama membuat persoalan menjadi

tambah kompleks. Karena pada umumnya, ketidakadilan gender

merupakan masalah agama. Sehingga tradisi dan khazanah keagamaan

dipertanyakan ulang. Isu ketidakadilan gender yang tadinya hanya

dilakukan oleh kaum liberlisme kristen, namun secara perlahan tapi

pasti ikut mempengaruhi Islam.72 Hal ini menyebabkan para muslimah

(feminis muslim) yang terlibat dalam wacana kesetaraan gender

berlomba-lomba melakukan perombakan terhadap konsep-konsep

Islam tentang wanita, dan kemudian disesuaikan dengan nilai-nilai

modern yang berlaku sekarang. Dalam perspektif feminis muslim,

sangat banyak hukum yang sekarang berlaku dalam masyarakat muslim

69 Jenny Teichman, Etika Sosial, Yogyakarta: Kanisius, 1998, hal. 143. 70 Kadarusman, Agama, Relasi Gender dan Feminisme, hal. 22-23. 71 Kadarusman, Agama, Relasi Gender dan Feminisme, hal. 63. 72 Mohammad Muslih, Bangunan Wacana Gender, Ponorogo, CIOS, 2007, hal. 16.

Konformitas Gender | 49

Page 22: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Jurnal STUDIA QURANIKA

adalah merupakan hasil konstruksi kaum laki-laki. Sehingga perlu

membuat hukum tandingan, yang sesuai dengan perspektif dan

kepentingan perempuan.73

Di bawah bendera feminisme, kaum perempuan mulai mendekati

dan berusaha sedekat mungkin hingga sejajar dengan laki-laki. Hal

inilah yang juga dilakukan oleh sebagian muslimah yang sudah terbius

virus feminisme. Tidak sedikit dari feminis muslim yang berusaha

menjadikan emansipasi sebagai gerbang menuju kesejajaran dengan

laki-laki, baik domestik maupun publik.74 Dalam kacamata feminis, laki-

laki merupakan entitas yang suka menerabas tanpa pamit ruang publik

dan sekaligus sebagai kekuatan tersendiri dalam menempatkan diri

sebagai kekuatan sosial yang berdiri di atas perempuan secara sosial.

Hal ini menjadikan perempuan dalam kelas inferior di hadapan laki-

laki, dan sebaliknya laki-laki berada dalam kelas superior.75

Menurut Ratna Megawangi, teologi pembebasan yang diterapkan

perempuan yang dianggap kelas tertindas disebut teologi feminis

(feminist theology). Pendekatan yang dilakukan oleh teologi feminis lebih

menonjol kepada perubahan pemahaman keagamaan.76 Menurut

mereka, maraknya hukum yang menindas kaum wanita tidak lain

karena adanya bias dalam penafsiran teks-teks keagamaan. Terlebih lagi,

agama-agama sering ditafsirkan dengan menggunakan ideologi

patriarkat yang menyudutkan wanita. Demikian halnya yang terjadi

pada wanita muslim. Sehingga para feminis muslim berkesimpulan,

73 Adian Husaini, Kajian Islam Historis dan Aplikasinya dalam Studi Gender, dalam ISLAMIA

Vol V No. 1, 2009. hal. 20. 74 Menurut konsep Gender, hanya sifat maskulin yang mampu menjawab tantangan alam,

dan hanya sifat maskulin pula yang dapat bertahan dan berkembang di ruang publik.

Inilah yang menyebabkan sifat feminine menjadi tersisih ketika berkompetisi di ruang

publik. Bagi kalangan feminis, keadilan tidak akan tercapai selama sifat maskulin

mendominasi ruang public dan menyisihkan sifat feminin. Lihat, Lathifah Musa, Keadilan

dan Kesetaraan Gender: Gagasan Absurd, dalam al-Wa’i, No. 75 Tahun VII, 1-30 November

2006. 75 Asmaeny Aziz, Feminisme Profetik, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007, hal. 99-100. 76 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender,

Bandung: Mizan, 1999, hal. 150.

50 | Hikmatiar Pasya, M. Haekal Hakim

Page 23: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Vol. 1, No. 1 Juli 2016

bahwa perempuan lebih rendah dari pada laki-laki karena semua

penafsir agama dan penulis fiqh tentang perempuan adalah laki-laki.77

B. Kesesuaian Gender Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kesetaraan dalam Islam itu

sendiri memang ada, dan tidak bisa dihindari. Sebab, konsep tersebut

tertulis dalam al-Qur’an dan disepakati oleh para Ulama, tentunya

dengan mengacu pada makna kesetaraan menurut Islam.78 Kesetaraan

yang berarti kesesuaian, sehingga membentuk kemitraan antara laki-laki

dan perempuan, bukan kesetaraan yang malah merugikan salah

satunya. Konsep kesetaraan yang merupakan cita-cita al-Qur’an dan

bermakna kesesuaian harus dilihat melalui cara pandang yang islami,

dengan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian,

apabila kesetaraan diartikan segala sesuatu harus sama (50/50), maka

akan didapati ayat-ayat al-Qur’an yang nantinya dimaknai diskriminatif

terhadap kaum perempuan. Namun, jika kesetaraan tersebut dimaknai

secara proporsional, maka perbedaan status, hukum, hak dan kewajiban

antara laki-laki dan perempuan, tidak akan didapatkan makna

diskriminatif terhadap keduanya, khususnya perempuan.79

Mengutip pendapat Vandara Shiva, Ratna Megawangi dalam

bukunya mengatakan, ‚Diferensiasi peran tradisional antara peran pria

dan wanita harus dilihat sebagai dua peran yang berbeda. Kedua-

duanya berperan sama pentingnya, walaupun dalam bentuk dan

aktivitas yang berbeda.‛80 Dalam buku yang sama, Ratna kembali

mempertegas maksud dari diferensiasi tersebut. Dia mengatakan;

‚Ketimpangan (ketidaksetaraan) harus dibedakan dengan diferensiasi.

Diferensiasi dalam peran, status dan bakat perlu dilihat sebagai jenis-jenis

berbeda yang tidak dapat dibandingkan secara kuantitatif. Maka, diferensiasi

peran pria dan wanita yang bersumber dari keragaman alami, harus dilihat

77 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender, hal.

150-154. 78 ‘Abdu al-Rabb Nawaab al-Din alu Nawaab, ‘Amal al-Mar’ah wa mauqif al-Islâm Minhu,

Riyadh: Dar al-Ma’rifah, 1989, hal. 115-117. 79 Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam al-Qur’an, Studi Pemikiran Para Mufassir, hal. 273-

274. 80 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender, hal.

226.

Konformitas Gender | 51

Page 24: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Jurnal STUDIA QURANIKA

sebagai ‚simply another mode of being‛. Oleh karena itu, perbandingan

kuantitatif antara pria dan wanita, atau ukuran kesetaraan gender yang 50/50,

perlu dihilangkan sebisa mungkin.‛81

Wacana kesetaraan gender yang (50/50) dalam perspektif Barat,

jelas tidak sesuai dengan al-Qur’an, walaupun dalam al-Qur’an sendiri

terdapat banyak ayat tentang kesetaraan keduanya. Namun itu

bukanlah seperti yang disuarakan pembela serta pengikut feminisme.

Terlebih lagi kesetaraan gender yang sekarang disuarakan oleh kaum

feminis adalah merupakan ideologi marxis, yang menempatkan

perempuan sebagai tertindas dan laki-laki sebagai penindas. Dengan

ideologi yang demikian, kaum feminis muslim akan terus-menerus

mencoba menggali dasar-dasar Islam tidak dengan cita-cita Islam,

melainkan cita-cita yang dibangun atas kepentingan kaum feminis

sendiri. Agenda kaum feminis dari awal abad hingga saat ini adalah,

bagaiman mewujudkan kesetaraan gender secara kuantitatif, yaitu pria

dan wanita harus sama, baik domestik maupun publik.82

Penutup Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat

banyak kesalahpahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dalam hal ini,

ayat-ayat yang berkaitan dengan peran dan eksistensi perempuan

menurut pandangan Islam. Dimulai dengan pertanyaan mendasar

mengenai asal-usul penciptaan perempuan dan laki-laki, yang

kemudian menimbulkan polemik seputar eksistensi serta peran

keduanya. Selain masalah asal-usul penciptaan keduanya, timbul juga

wacana yang mempertanyakan peran keduanya dalam masyarakat,

keluarga dan hak-hak keduanya dalam segala aspek kehidupan.

Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan

tema kesetaraan gender, kaum feminis dan mereka yang mendukung

feminisme dipengaruhi oleh banyak hal. Mulai dari perbedaan

penafsiran dikalangan Ulama, latar belakang mereka sendiri, baik

pendidikan, sosial budaya dan latar belakang organisasi masing-masing

81 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender, hal.

227. 82 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender, hal. 9-

12.

52 | Hikmatiar Pasya, M. Haekal Hakim

Page 25: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Vol. 1, No. 1 Juli 2016

dari mereka. Namun, hal terpenting dari sekian faktor tersebut adalah,

adanya pengaruh dari pemikiran feminis Barat tentang kedudukan

perempuan di mata mereka. Hal inilah yang menjadi ‘ruh’ wacana

kesetaraan gender, khususnya dalam Islam. Sehingga para feminis

berani mempertanyakan keotentikan hadits-hadits Nabi Muhammad

saw.

Demikian halnya dengan tuduhan yang dilancarkan kaum feminis

tentang adanya kepentingan dibalik penafsiran teks-teks agama,

terutama fiqh. Segala bentuk tafsiran keagamaan adalah salah satu

bentuk penindasan terhadap kaum perempuan, karena dalam setiap

penafsiran, perempuan selalu berada di bawah laki-laki. Serta banyak

lagi tuduhan dan serangan yang sejenis, yang ditujukan kepada Ulama

Islam dengan berdiri di bawah naungan feminisme, yang juga berusaha

melakukan pendekatan dekonstruktif dalam menafsirkan syariat Islam

seputar gender.

Apa yang dilakukan oleh feminis muslim maupun yang

mendukung adalah salah satu bentuk ketidakpahaman mereka terhadap

Islam, yang disebabkan oleh banyaknya pemikiran Barat yang mereka

adopsi tanpa melalui seleksi. Seperti yang dilakukan Fatimah Mernissi

ketika mempermasalahkan validitas hadits, yang akhirnya menyeret dia

sendiri untuk menolak hadits shahih. Demikian pula Riffat Hasan, yang

menolak keabsahan hadits hanya karena diriwayatkan oleh seorang

Sahabah, yang menurutnnya ‚anti perempuan,‛ dan ternyata tidak

terbukti. Juga tokoh feminis lainnya, yang mempermasalahkan keadilan

dalam warisan dan sebagainya. Hanya karena dali-dalil tersebut

dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman, kepentingan

perempuan dan lainnya.

Harusnya, para feminis membangun kerangka berpikir dari

‘worldview Islam,’ bukan ‘worldview Barat’ seperti yang umumnya

dijadikan pijakan oleh banyak feminis muslim. Karena bagaimanapun,

akan terdapat perbedaan dalam memahami makna kesetaraan itu

sendiri. Apabila kesetaraan dilihat dengan kacamata Barat yang berarti

segala sesuatu harus sama, maka akan didapatkan ayat ataupun hadits

yang seakan-akan bermakna diskriminatif terhadap kaum perempuan.

Karena memang sejarah perempuan dalam Barat berbeda dengan Islam,

Konformitas Gender | 53

Page 26: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Jurnal STUDIA QURANIKA

sehingga tidak tepat digunakan dalam menilai suatu syariat suci.

Namun, jika kesetaraan dipahami secara proporsional dengan berdasar

pada sumber Islam, maka tidak akan didapatkan makna ataupun tujuan

yang diskriminatif terhadap perempuan. Meskipun akan ada perbedaan,

maka perbedaan tersebut adalah fitrah masing-masing, yang

menegaskan bahwa antara yang satu dan yang lainnya ada saling

keterkaitan dan saling melengkapi.

Dengan kata lain, kesetaraan yang ada dalam Islam adalah

kesetaraan yang menunjukkan kesesuaian antara laki-laki dan

perempuan. Kesesuaian yang dibangun di atas syariat, bersandar pada

asas kemitraan, bukan perlawanan, serta kerjasama yang tidak

mengandung persaingan.

Daftar Pustaka Adzm, Abidah al-Mu’ayyad, Sunnah al-Tafadhul wa mâ Fadhdhalallâh Bih

al-Nisâ’ ‘ala al-Rijâl, Judul asli, Kemilau Cahaya Muslimah, Potret

Wanita dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, terj, Hayik El Bahja,

Jakarta: Rabitha Press, cet. 1, 2008.

Arif, Syamsuddin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema

Insani Press, cet. 1, 2008.

Aziz, Asmaeny, Feminisme Profetik, Yogyakarta: Kreasi Wacana, cet. 1,

2007.

Baltaji, Muhammad, Makânat al-Mar’ah fi al-Qur’ân wa al-Sunnah al-

Shahîhah, Kairo: Dar al-Salâm, cet 1, 2000.

Burhanuddin, Jajat dan Fathurrahman, Oman, Tentang Perempuan Islam,

Wacana dan Gerakan, Jakarta: Gramedia, 2004.

Fakih, Mansur dkk, Membincang Feminisme, Diskursus Gender Perspektif

Islam, Surabaya: Risalah Gusti, cet 2, 2000.

Fanani, Muhyar dkk, Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela,

cet. 1, 2003.

Hawwa, Said, al-Islâm, terj, Abdul Hayyi al-Kattani dkk, Jakarta: Gema

Insani Press, cet. 1, 2004.

Husaini, Adian, Hegemoni Kristen Barat dalam Studi Islam di Perguruan

Tinggi, Jakarta: Gema Insani Press, cet. 1, 2006.

Ilyas, Yunahar, Kesetaraan Gender dalam al-Qur’an, Studi Pemikiran Para

Mufasir, Yogyakarta: Labda Press, cet. 1, 2006.

54 | Hikmatiar Pasya, M. Haekal Hakim

Page 27: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Vol. 1, No. 1 Juli 2016

Isma’il, Nurjannah, Perempuan dalam Pasungan, Bias Laki-Laki dalam

Penafsiran, Yogyakarta: LkiS, cet. 1, 2003.

Kadarusman, Agama, Relasi Gender dan Feminisme, Yogyakarta: Kreasi

Wacana, cet. 1, 2005.

Katsir, Ibnu, Tafsîr al-Qur'ân al-’Adzîm, Beirut: Dar al-Fikr, 2005.

M. Quraish Shihab dkk, Sejarah ‘Ulum al-Qur’an, editor: Azumardi Azra,

Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. 1, 2000.

Matnur, Abdul Aziz, Jangan Rendahkan Wanita, Jakarta: Pustaka Al-

Kautsar, cet. 1, 2009.

Mernissi, Fatimah dan Hasan Riffat, Setara di Hadapan Allah, Yogyakarta:

LSPPA, 1996.

Muhammad Imarah, Al-Tahrîr al-Islâm li al-Mar’ah, fi al-Islâm wa Huqūq

al-Mar’ah, Kairo: Rabithah al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah, 2004.

Muhsin, Amina Wadud, Wanita di dalam al-Qur’an, Bandung: Pustaka,

cet. 1, 1994.

Muslih, Muhammad, Bangunan Wacana Gender, Ponorogo: CIOS, cet. 1,

2007.

Mustaqim, Abdul, Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarki, Telaah Kritis

Penafsiran Dekonstruktif Riffat Hasan, Yogyakarta: Sabda Persada,

cet. 1, 2003.

Muthahhari, Murtadha, Perempuan dan Hak-Haknya Menurut Pandangan

Islam, Terj, oleh Ilyas Hasan, Judul asli, Women and Her Rights in

Islam, Jakarta: Lentera, 2009.

Nashiruddin, M. dan Hasan, Sidik, Poros-Poros Ilahiyah, Perempuan dalam

Lipatan Pemikiran Muslim, Surabaya: Jaring Pena, cet. 1, 2005.

Nawaab, ‘Abdu al-Rabb Nawaab al-Din, ‘Amal al-Mar’ah wa Mauqif al-

Islâm Minhu, Riyadh: Dar al-Ma’rifah, cet. 2, 1989.

Partanto, Pius A dan Al Barry, M Dahlan, Kamus Ilmiah Populer,

Surabaya: Arkola, 1994.

Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru Tentang

Relasi Gender, Bandung: Mizan, 1999.

Razi, Fakhruddin, Tafsîr al-Kabîr aw Mafâtih al-Ghaib, Beirut: Dar al-

Kutub al-Ilmiyyah, cet 1, 2000.

Salim Al-Bahnasawi, al-Mar’ah Baina al-Islâm wa al-Qawânin al-

‘Alamiyyah, Kuwait: Dar al-Wafaa’, cet. 1, 2001.

Konformitas Gender | 55

Page 28: (Studi Kritik Atas Konsep Kesetaraan Gender)

Jurnal STUDIA QURANIKA

Shaubuny, Muhammad Ali, Al-Mawârits fi Asyarî'ah al-Islâmiyyah fi Dhau

al-Kitâb wa al-Sunnah, Damaskus: Dar al-Qalam, 1993.

Sulthan, Shalahuddin, Ternyata Wanita Lebih Istimewa dalam Warisan, Terj.

Khaeron Sirin, Judul asli, Imtiyâz al-Mar’ah ‘Ala al-Rajul, Depok:

Iiman, cet 1, 2008.

Syafi’i, Muhammad bin Idris, al-Umm, Dar al-Wafaa, cet 1, 2001.

Syuqqah, Abdul Halim Abu, Tahrîr al-Mar’ah fi ‘Ashri al-Risâlah, Terj

Chairul Halim, Judul asli, Kebebasan Wanita, , Jakarta: Gema

Insani Press, cet. 3, 2000.

Taufiq, Muhammad Izzuddin, Al-Ta’shîl al-Islâm li al-Dirâsât al-Nafsiyyah,

Terj. Sari Nurilita, dkk, Judul asli, Panduan Lengkap dan Praktis

Psikologi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, cet. 1, 2006.

Teichman, Jenny, Etika Sosial, Yogyakarta: Kanisius, cet. 1, 1998.

Thabari, Abu Ja’far, Jâmi’ al-Bayân fi Ta’wîl al-Qur’ân, Muassasah al-

Risalah, t.th.

Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an,

Jakarta: Paramadina, cet 2, 2001.

Wa’i, Media Politik dan Dakwah, No. 75 Tahun VII, 1-30 November, 2006.

Zarkasyi, Hamid Fahmi, Liberalisasi Pemikiran Islam, Gerakan Bersama

missionaris, Orientalis, dan Kolonialis, Ponorogo: CIOS, cet. 1, 2009.

Majalah

ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam THN II NO.

5/APRIL-JUNI 2005.

ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam. Vol V No. 1, 2009.

56 | Hikmatiar Pasya, M. Haekal Hakim