Studi Kasus_ Blue Bird Leadership
-
Upload
wanhadjifk -
Category
Documents
-
view
110 -
download
4
Transcript of Studi Kasus_ Blue Bird Leadership
1
PURNOMO PRAWIRO : Perlakukan Karyawan Sebagai " MANUSIA "
Slogan “Andal” dijadikan pedoman Blue Bird dalam memberikan service kepada
pelanggan. Sang CEO juga berusaha memberikan contoh yang baik kepada
bawahannya.
Sulit dibantah, di antara berbagai merek taksi yang beredar di wilayah Jakarta dan
sekitarnya, diferensiasi taksi Blue Bird tampak begitu enonjol. Diferensiasi itu terletak
pada sistem IT, database management, dan sistem renumerisasi mereka yang baik.
Selain itu, dalam hal service, pengemudi Blue Bird juga terkenal lebih baik dan sopan
ketimbang supir-supir taksi merek lain.
“Kami memfokuskan diri pada kepuasan pelanggan terhadap semua fasilitas
layanan yang ada. Diharapkan, customer yang sudah merasakan pelayanan
tersebut, dikemudian hari bisa mengulanginya lagi,” kata Purnomo Prawiro,
President Director Blue Bird Group (BBG).
Untuk itu, menurutnya, dari tahun ke tahun pelayanan yang diberikan Blue Bird
selalu meningkat. Ini disertai pula dengan tingginya keinginan dari pihak pelanggan
terhadap pelayanan tersebut. Misalnya saja dengan memberikan pelayanan sebaik
mungkin, bertambahnya layanan ekstra aman dan nyaman.
Kini, seiring perjalanan waktu, slogan Andal pun mereka luncurkan. Ya, Andal
merupakan akronim dari: Aman, Nyaman, Mudah dan Personalize. Jadi, service-nya
berkembang. Tidak lagi sekadar mengemban tugas mengantarkan pelanggan dari
satu titik ke titik yang lain, tapi disesuaikan dengan permintaan customer. “Semua
pelanggan memiliki keinginan yang berbeda-beda dalam segi pelayanan yang
didapatnya. Kami berusaha memenuhinya sesuai banyaknya permintaan yang
masuk dan pertimbangan cost-nya,” imbuh Purnomo yang didampingi Noni Sri Ayati
Purnomo (Vice President Business Development) saat wawancara.
2
Selain kemudahan mendapatkan taksi Blue Bird di ruas jalan raya, untuk
memudahkan pelanggan, perusahaan juga menempatkan armadanya di beberapa
pangkalan seperti di bandara, mal, dan hotel. Jika ingin lebih mudah lagi, pelanggan
bisa memanfaatkan fasilitas call center untuk order pemesanan taksi. Biasanya,
dalam hitungan menit mereka sudah menerima nomor taksi dan siap dijemput. “Kami
pun menyediakan credit voucher sehingga bisa memudahkan transaksi,” lanjutnya.
Menurut Purnomo, proses utama yang harus dilakukan sebelum memberikan service
kepada pelanggan adalah peranan dari manusia di perusahaan tersebut—khususnya
para pengemudi yang berjumlah kurang lebih 20.000 orang. Kemudian, berlanjut
pada infrastruktur dan sistem manajemen. Oleh karena itu, sebagai atasan yang
membawahi ribuan karyawan, ia berusaha memberikan contoh baik kepada
bawahannya. Tak perlu susah-susah, cukup memberi ucapan “Selamat pagi” atau
“Bagaimana hari ini?” kepada bawahan ketika berpapasan.
Dipaparkannya, slogan Andal tersebut harus diaplikasikan oleh karyawan BBG di
semua tingkatan. Tak terkecuali atasan dengan back office, frontliners maupun
dengan pelanggan. Jika semua karyawan—khususnya pengemudi—merasa nyaman
dalam bekerja, maka hal ini akan berdampak pada pelayanan yang diberikan kepada
pelanggan.
Purnomo mengatakan, service vision yang diterapkannya mengacu pada sistem top-
down. Artinya, service yang baik harus dimulai pada tingkatan atas yang kemudian
berlanjut ke bawah. Praktisnya, ia harus memberikan contoh kepada bawahannya:
bagaimana memberikan pelayanan yang baik. Dengan harapan, bawahannya pun
melakukan hal yang sama kepada pelanggan Blue Bird.
“Bagi customer, hal lain yang diperhatikan adalah visi dan misi yang diemban oleh
sebuah taksi itu. Kemudian berlanjut pada image sang pengemudinya, baik
keseluruhan atau perorangan,” paparnya. “Sebab, bagaimana seorang pengemudi
3
mau memberikan service yang baik kepada customer, jika perusahaan tidak
memperlakukan pengemudi itu sebagai ‘manusia’.”
Setelah membentuk service culture di BBG, ia pun menyadari benar, tidak mudah
menyosialisasikan dan menerapkan kultur tersebut ke dalam diri setiap
karyawannya. Faktor utama yang menjadi permasalahan adalah adanya keragaman
budaya masing-masing individu. “Mereka harus merasa cocok dengan kultur yang
diterapkan di BBG. Mungkin, jika dilihat turnover tiga bulan pertama masuk, banyak
yang tidak cocok.”
Namun, Purnomo mengerahkan segala upaya untuk menerapkan kultur tersebut. Ia
beralasan, adanya suatu sistem kultur yang seragam merupakan modal bagi Blue
Bird untuk tetap bertahan di tengah maraknya serbuan kompetitor. Oleh karena itu,
service tak hanya diberikan kepada pelanggan, tetapi juga ke pengemudi. Para
pengemudi mendapat seragam, pinjaman motor, pinjaman rumah, asuransi
kesehatan, dan sarana penunjang lainnya.
Blue Bird Group juga memberikan reward khusus bagi para pengemudi. Acara
penghargaan yang diselenggarakan setiap dua bulan sekali ini dihadiri jajaran
manajemen, direktur sampai komisaris. “Reward diberikan untuk pengemudi yang
melakukan pengembalian barang milik customer yang tertinggal atau disebut
‘barket’, pengemudi dengan jumlah komplain terkecil, dan lainnya,” ujar pria
kelahiran Surabaya, 18 Oktober 1947 ini.
Untuk memonitor service yang telah diberikan oleh pengemudi, perusahaan tak perlu
bersusah payah. Teknologi IT yang canggih bisa memudahkan pengawasan dan
pengumpulan data dari tiap-tiap pengemudi. Data prestasi pengemudi pun bisa
dilihat dari banyaknya komplain yang datang dari customer. Alhasil, jika ada
pengemudi punya reputasi buruk dan dikeluarkan dari Blue Bird, maka ia tak bisa
bekerja di pool BBG manapun. “Istilahnya, jangan sampai kesalahan satu orang bisa
4
merusak nama baik kami,” tegasnya.
Namun, untuk menjangkau pengawasan hingga ke tingkat bawah, Purnomo punya
cara tersendiri. Cukup dengan menjalankan sistem komunikasi dengan pengemudi.
Menurutnya, komunikasi ini terlihat mudah, tetapi sulit untuk dilaksanakan karena
waktu yang tersedia relatif singkat. Soalnya, para pengemudi lebih banyak
menghabiskan waktu di jalan daripada di pool.
Setiap karyawan tentu memiliki keinginan-keinginan di luar yang disediakan BBG.
Nah, untuk mengetahui informasi apa yang beredar di antara pengemudi, ia
menerapkan sistem koordinasi kelompok. “Dalam satu kelompok yang terdiri 25
anggota, saya tugaskan satu orang untuk menjadi ketua grup. Di atas ketua grup,
ada pembina. Pembina inilah yang memberikan informasi, arahan, dan teguran
kepada pengemudi tersebut,” terangnya.
Lebih lanjut, Purnomo mengatakan, adanya ketua grup dan pembina memudahkan
komunikasi antara pengemudi dengan pihak manajemen. Umumnya, tugas seperti
itu menjadi tanggung jawab manajemen. “Sifat komunikasi harus dua arah. Saya
rasa, jauh lebih mudah jika informasi dilakukan antar-pengemudi juga,” ucapnya
memberi alasan.
Tetap saja, Purnomo berpendapat bahwa membangun service quality jauh lebih sulit
dibandingkan mempertahankannya. Ini dilihat dari sifat fisiknya. Namun, untuk
mempertahankannya pun diperlukan pemikiran dan ide-ide. “Sekarang, visi dan
culture BBG sudah dipahami oleh semua karyawan termasuk pengemudi. Mereka
sadar betul akan pentingnya memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan.
Dengan demikian, ke depannya, BBG bisa tetap eksis,” katanya mengakhiri
wawancara.
Sumber: Majalah Marketing 06/ VIII/ Juni 2008