STUDI KARAKTERISTIK TANAH LATERIT DENGAN STABILISASI …
Transcript of STUDI KARAKTERISTIK TANAH LATERIT DENGAN STABILISASI …
STUDI KARAKTERISTIK TANAH LATERIT DENGAN STABILISASI
KAPUR SEBAGAI LAPISAN PONDASI JALAN
Study on Characteristic of Laterite Soil with Lime Stabilization
as a Road Foundation
ZUBAIR SAING
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
STUDI KARAKTERISTIK TANAH LATERIT DENGAN STABILISASI
KAPUR SEBAGAI LAPISAN PONDASI JALAN
Disertasi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Doktor
Program Studi
Teknik Sipil
Disusun dan diajukan oleh
ZUBAIR SAING
kepada
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
DISERTASI
STUDI KARAKTERISTIK TANAH LATERIT DENGAN
STABILISASI KAPUR SEBAGAI LAPISAN
PONDASI JALAN
Disusun dan diajukan oleh
ZUBAIR SAING
Nomor Pokok P0800313417
Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Disertasi
pada tanggal 22 Nopember 2017
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui
Prof. D
Dr. Ir. Johannes Patanduk, MS
Ko-Promotor
Komisi Penasihat,
Prof. Dr. Ir. Lawalenna Samang, MS, M. Eng
Promotor
Dr. Eng. Tri Harianto, MT
Ko-Promotor
Ketua Program Studi Teknik Sipil,
Prof. Dr. M. Wihardi Tjaronge, M. Eng
Dekan Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin,
Dr. Ing. Ir. Wahyu H. Piarah, MSME
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Zubair Saing
Nomor Mahasiswa : P0800313417
Program Studi : Teknik Sipil
Menyatakan dengan ini bahwa disertasi yang saya tulis ini benar-benar
merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan
tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat
dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan disertasi ini hasil karya orang
lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, Nopember 2017
Yang menyatakan,
Zubair Saing
PRAKATA
Alhamdulillahi Rabbilaalamiin, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat
Allah SWT, yang telah melimpahkan berkah, rahmat, dan hidayah-Nya
sehingga penyusunan disertsi ini dapat diselesaikan sebagaimana
mestinya.
Disadari bahwa berbagai kendala dihadapi dalam penyusunan
disertasi ini, dan tidak akan dapat diselesaikan tanpa bantuan banyak pihak,
terutama bantuan dan dukungan moril maupun materil yang tidak ternilai.
Untuk itu, pada kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan
ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. Ir. H. Lawalenna Samang, MS., M.Eng., selaku ketua komisi
penasehat (promotor) sekaligus penilai disertasi, Dr. Eng. Tri Harianto,
ST. MT., dan Dr. Ir. Johannes Patanduk, MS., sebagai anggota komisi
penasehat (kopromotor) sekaligus penilai disertasi, dan arahan yang
diberikan sehingga penyusunan disertasi ini dapat terwujud.
2. Prof. Dr. Ir. H. Muhammad Saleh Pallu, M.Eng., Ir. H. Achmad Bakri
Muhiddin, M.Sc., Ph.D., Dr. Ir. A. Rachman Djamaluddin, MT., Dr. Eng.
Ardy Arsyad, ST., MT., sebagai komisi penguji yang telah banyak
memberikan saran, kritikan, dan masukan untuk kesempurnaan disertasi
ini, serta Prof. Takenori Hino, M. Eng., Ph.D sebagai penguji eksternal
yang telah meluangkan waktunya untuk menghadiri ujian promosi
sekaligus memberikan penilaian dan saran.
3. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA., selaku Rektor Universitas
Hasanuddin, Dr. Ing. Ir. Wahyu H. Piarah, MSME., selaku Dekan
Fakultas Teknik sekaligus ketua sidang promosi,
Dr. Ir. H. M. Arsyad Thaha, MT., selaku Kepala Departemen Teknik Sipil,
dan Prof. Dr. H. M. Wihardi Tjaronge, M. Eng., selaku Ketua Program
Studi Doktor Universitas Hasanuddin.
4. Bapak dan ibu dosen serta staf S3 Teknik Sipil Pascasarjana Universitas
Hasanuddin, yang banyak memberikan pengetahuan, bimbingan dan
dukungan selama ini.
5. Teman-teman mahasiswa S3 Teknik Sipil, dan kepada mereka yang
tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu tetapi telah banyak
membantu penulis dalam menyelesaikan disertasi ini.
Dengan segala kerendahan hati penulis sampaikan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada kedua orang tua tercinta ayahanda
(almarhum) H. Saing dan ibunda Hj. Djubang yang telah membesarkan
dan mendidik serta senantiasa berdoa dengan penuh keikhlasan hati bagi
kesehatan dan keberhasilan studi penulis, juga kepada bapak dan ibu
mertua atas doa, dukungan, dan bantuannya, kepada semua saudara, adik
ipar, serta keluarga besarku terima kasih atas doa, dukungan, dan
bantuannya.
Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya terkhusus
penulis ucapkan kepada isteri tercinta Surahmi, S.Pdi., S.Sos., atas
ketulusan, keikhlasan, pengertian, kesabaran, dan pengorbanan yang luar
biasa, juga kepada anak-anakku Mochammad Chaerul Ardan, Lutfi Nabil
Fikri, dan Aini Nadira Shifa atas pengertian, kesabaran, dan keikhlasan
untuk memberikan semangat dalam segala hal selama penulis mengikuti
program pendidikan ini.
Akhirnya, penulis menyadari disertasi ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Untuk
itu dengan kerendahan hati penulis mohon masukan dan kritik yang
membangun demi kesempurnaan disertasi ini.
Makassar, Nopember 2017
Zubair Saing
ABSTRACT
UUBAIR SAING. ?*e Sil;dy s,= Cfi*/acferlsfc af Latei*c Sr,ll '""ttt!t Lime
Stabilization as Road Fattndatiati La{er isupervised h-v Lawalenna San:ang,Tri Harianio and Johannes Patandulr.)
The research aimed to prtruce and analyse the characleristic of thelateritic soii: with the linre stabilization to be useci as the road foundationlayer.
The physical. mechanic eharacteristics, mineral content, chemicalcompositiol were oi"riarriecj fr'orrr tlie iab<lratoiy testirig. t'rlher'eas io produee
the soil bearing capacity, ihe road foundation layer physical mcdel tesiingivas ccnductcd. Thc limc siabil:zat;cn',vith thc mixture cf 3. 5, 7, and iC9/. ;n
i'rre D,n-in' nrriirnrrm inrii:li r"nn"iii,nn Wau thgn curgi fcr" 3, 7, t4. anC 28ii iE I I UUIL; UFLia i iU,I I tl lrrlsi vsl
days before being tested. Furthermore, the soil mixture was fed into the
testing tub with the length dimension of (L) ; 8ff1, width ffi = 2m, and hetght(1".U = 2.Sffi. The physical model of the road foundation layer comprised the
basic soil layer with the thickness of 1.5m above the basic soil layer wasplaced the litentic soil layer of the lime stabilization with the thickness of0.1m. The di'al gauge to read the niagnitude of the vertical deformationoccurring when loading was placed on the soil surface with the distance of0.2m. M-oreover, the static ioading frrr each lime stabilization lateritic soilmixture was carried out.
Tlra *aotian ra^,ril indiaalaa ihat 4ha lima a*ahillTa{iaa 1l\Ol, lrr lb<'; ; iU iUUiii ig i UUUii it i\i;i.iiivi., i.i iUa i; ii, iii i iU iriqvir'4urrvr I I v /u rvr rr r!
curing time of 28 days yields the strength and soil beaing capacity threetimes higher than the soil before stabiiizaiion. The subgrade modulusincreases significantly in line with the lime percentage increase and curingtime. Comparing correlation between lhe subgrade modulus and CBR valuefor the common soil and cement stabilization sediment soil indicates that thelime stabilizaiion lateritic soil has the better performance than the cementstabilization sediment soil and approaches the common soil. lt can be
concluded that the iime stabilization tateritic soil has the potential as theroad foundation layer, and meets the maximum deflection requirement(Lt24A) on the lime addition of 7 - 1Ao/0.
,.-rF t
AtsSTRAK
ZUBAIR SAING. Sfudl Karakt*ristik Tanah Laferif dengan Sfa#i/iss'qi
Kapur sebagai Lapisan trondasi iaian {dibimbrn'J oleh Lavualenn:l
.,igjiiiiiciiur i,i i;G; iG.,it. **i1 v?! 'vs'!/'
Peneiitian ini bertujuan menghasilkan ejan merlganalisiskarakieiistik iariaii iaierii siabriisas, kapui u,iiuk tligi-,iiakan sebagai iapisaiipondasijalan.
Sifat fisik, mekanis. kandungan rnineral, dan komposisi ktmta
clihasttkan dari penguJlan laboratoilum Sementara untuk menghasllKan
kaBasitas dukung tanan, diiakukan pengujian model fisik lapisan pondasijalan. Stabilisasi kapur dengan campuran 3, 5, 7, dan 10% pada kondisiawal optimum pro6tor, kemudian diperam selama 3,7, 14, dan 28 hari
sebelum diuji. Selanjutnya, campuran tanah dimasukkan ke dalam bak uji
riengandimensi panjang (l ) = a m lehar(w) = 2 m rjantinggi (H) = 2.5mMod-et fisik lapisan pondasi ialan terdiri dari lapisan tanah dasar dengan
tebal 1,5 m dan di atas lapisan tanah dasar ditempatkan lapisan tanahlaterit stabilisasi kapur dengarl tebal C,1 r'n. Alat ukur untuk membaca
besarnya penurunan yang terjadi saat pembebanan ditempatkan pada
permukaan tanah dengan larak 0,2 rn. Selanjutnya, dilakukanpembebanan siaiik uniuk masing-rnasing campuran tanah iaieriistabilisasi kapur.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa stabilisasi 10% kapur untukwaktu peram 28 hari menghasilkan kekuatan dan daya dukung tanah tigakali lebih besar dari tanah sebelum stabilisasi. Modulus subgrademeningkat signifikan seiring peningkatan persen kapur dan waktu pe[am'
Dengan membandingkan hubungan modulus subgrade dan nilai CBRuntuk tanah umum dan tanah sedimen stabilisasi semen, ditemukanbahwa tanah laterit stabilisasi kapur memiliki kinerja lebih baikdibandingkan tanah sedimen stabilisasi sernen dan mendekati tanahumum. Hal ini diartikan bahwa tanah laterit stabilisasi kapur berpotensisebagai lapisan pondasi jalan dan memenuhi syarat lendutan maksimum(U240) pada penambahan kapur 74Ao/a.
)
vii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Sampul i
Halaman Pengesahan ii
Abstrak iii
Prakata v
Daftar Isi vii
Daftar Gambar ix
Daftar Tabel xii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan Penelitian 5
D. Kegunaan Penelitian 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA 7
A. Permasalahan Strategis Tanah Laterit 7
B. Perilaku dan Prospektif Fisik, Mekanis, dan Mineralogi
Tanah Laterit 19
C. Daya Dukung Tanah Laterit sebagai Base dan Subgrade 28
D. Penelitian Terdahulu Relevan 42
E. Kerangka Pikir dan Konsep Penelitian 46
viii
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 48
A. Lokasi dan Wilayah Penelitian 48
B. Pengambilan Data dan Sampel 48
C. Rancangan Pengujian dan Model Fisik 49
D. Analisis Data dan Validasi Numerik 59
E. Definisi Operasional Variabel Penelitian 62
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 64
A. Karakteristik Fisik, Mekanik dan Mikrostruktur Tanah Laterit 64
B. Kapasitas Dukung Tanah Laterit Stabilisasi Kapur
dan Semen 75
C. Deformasi dan Modulus Reaksi Tanah Laterit
Stabilisasi Kapur 88
D. Validasi Numerik Model Deformasi Soil Laterite
Lime Treated Base 96
E. Temuan Empirik 100
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 103
A. Kesimpulan 103
B. Saran – Saran 104
Daftar Pustaka 106
Lampiran-Lampiran 111
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Metode-metode stabilisasi hubungannya dengan tingkat kesesuaian untuk tanah dengan ukuran butir dan plastisitas berbeda 14
Gambar 2. UCS dan tangent modulus campuran tanah dengan pemeraman 7 hari dan 28 hari 19
Gambar 3. Sketsa struktur mineral montmorilonite 23 Gambar 4. Gambaran Skema air inter lapisan, lapisan air ganda
dan air bebas pada bentonite yang dipadatkan 27
Gambar 5. Perilaku tanah sebagai kelompok pegas dan modulus reaksi tanah 30 Gambar 6. Hubungan antara beban (q) dengan penurunan 32
Gambar 7. Korelasi hubungan nilai k dan CBR 33
Gambar 8 Proses keruntuhan tanah 35
Gambar 9. Kerangka pikir penelitian 47
Gambar 10. Lokasi pengambilan sampel tanah laterit 48
Gambar 11. Jenis tanah laterit hasil pengambilan contoh 49
Gambar 12. Bagan alir proses penelitian untuk tahapan stabilisasi 50
Gambar 13. Bagan alir proses penelitian untuk uji model lapisan lime treated base 51
Gambar 14. Alat uji unconfined compression strength dan CBR 54
Gambar 15. Alat uji XRD dan SEM 55
Gambar 16. Sketsa model fisik untuk uji lapisan pondasi jalan 57
Gambar 17. Kerangka kerja bak uji model fisik lapisan pondasi jalan 57
Gambar 18. Tahapan persiapan tanah campuran dan tahapan pemadatan 58
Gambar 19. Tahapan pengujian 59
x
Gambar 20. Problem set model lapisan lime treated base tanah laterit stabilisasi kapur 61 Gambar 21. Hasil pengujian X-Ray difraksi (XRD) 72 Gambar 22. SEM foto mikrograf tanah laterit 74 Gambar 23. Hubungan nilai qu tanah laterit terhadap penambahan kapur (CaO) dan waktu peram 76 Gambar 24. Hubungan nilai qu tanah laterit terhadap penambahan semen dan waktu peram 77 Gambar 25. Hubungan nilai CBR tanah laterit terhadap penambahan kapur dan waktu peram 79 Gambar 26. Hubungan nilai CBR tanah laterit terhadap penambahan semen dan waktu peram 80 Gambar 27. Hasil uji EDS dan foto mikrograf tanah laterit LH1
dengan stabilisasi 82 Gambar 28. Hasil uji EDS dan foto mikrograf tanah laterit LH2
dengan stabilisasi 83 Gambar 29. Hasil uji EDS dan foto mikrograf tanah laterit LH3 dengan stabilisasi 84 Gambar 30. Reaksi kimia antara tanah laterit dengan kapur/semen 87 Gambar 31. Foto SEM beberapa tanah laterit dan lempung dengan stabilisasi 88 Gambar 32. Hubungan pembebanan terhadap deformasi vertikal
tanah laterit stabilisasi kapur 90
Gambar 33. Hubungan modulus elastisitas dan modulus reaksi tanah terhadap persen kapur 90 Gambar 34. Hubungan nilai k dan CBR tanah laterit
stabilisasi kapur 92
Gambar 35. Hubungan nilai CBR dan k tanah laterit, analisis HMZ, dan PU Bina Marga 93
Gambar 36. Hubungan persentase kapur dengan CBR dan nilai k tanah laterit stabilisasi kapur 94
xi
Gambar 37. Model deformasi lapisan elastic treated base tanah laterit stabilisasi 3, 5, 7, dan 10% kapur 96
Gambar 38 Hasil analisis Plaxis 2D total displacement model shading a) tanpa stabilisasi; b) stabilisasi 10% kapur 97 Gambar 39. Hasil analisis Plaxis 2D model terdeformasi a) tanpa stabilisasi; b) stabilisasi 10% kapur 98 Gambar 40. Model keruntuhan hasil analisis numerik 100 Gambar 41. Hubungan deformasi hasil uji model
dengan hasil analisis Plaxis 101
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Mekanisme dan tingkat penggunaan dari berbagai bahan satabilisasi 13
Tabel 2. Pengaruh mineralogi tanah terhadap respon stabilisasi 14
Tabel 3. Ketebalan A dan lapisan hidrasi untuk pertukaran kation berbeda 26
Tabel 4. Penelitian terdahulu relevan 42
Tabel 5. Standard pengujian menurut ASTM 52
Tabel 6. Pengujian benda uji 54
Tabel 7. Parameter input data tanah 61
Tabel 8. Parameter material pelat baja 61
Tabel 9. Karakteristik fisik dan mekanis tanah alluvial (subgrade) 65
Tabel 10. Karakteristik fisik dan mekanis tanah laterit 67
Tabel 11. Kategori kekuatan tanah 69
Tabel 12. Kriteria umum tanah berdasarkan nilai CBR 70
Tabel 13. Kandungan mineral tanah laterit 71
Tabel 14. Komposisi unsur kimia tanah laterit 73
Tabel 15. Kandungan mineral tanah laterit dengan stabilisasi 81 Tabel 16. Hasil analisis nilai k untuk variasi persen kapur 92
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan lahan dan material untuk pembangunan jalan akan terus
bertambah seiring dengan bertambahnya suatu kawasan atau
bertumbuhnya daerah otonomi baru. Hal ini juga menyebabkan kebutuhan
material struktur badan jalan yang memenuhi syarat teknis dan ekonomis.
Disisi lain, tanah asli di bumi jarang sekali ditemukan langsung dalam
keadaan mampu mendukung beban berulang lalu-lintas kendaraan tanpa
mengalami deformasi yang besar. Diperlukan suatu struktur yang dapat
melindungi tanah dasar dan mendukung lapisan perkerasan dari beban
roda kendaraan yang disebut dengan lapisan pondasi jalan (base dan
sub-base). Lapisan ini berfungsi untuk melindungi tanah dasar (subgrade)
dan mendukung lapisan perkerasan agar tidak mengalami keruntuhan
akibat beban lalu-lintas. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
lapisan perkerasan sering mengalami deformasi vertikal dan keruntuhan
akibat ketidakstabilan lapisan pondasi jalan dan tanah dasar di bawahnya.
Kondisi ini ditandai dengan banyaknya alur atau retakan yang terjadi
melebihi antisipasi umur desain.
Kebutuhan material pondasi jalan pada daerah-daerah tertentu
sering menjadi masalah karena sulit diperoleh, mahal, dan jumlahnya
terbatas. Akibatnya konstruksi jalan harus dilakukan pada kondisi tanah
2
jelek seperti tanah dasar lunak, tanah dengan potensi kembang susut
yang besar, urugan dari laut, bahkan tanah yang tidak stabil bila terjadi
gempa/getaran. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk
mengatasi masalah tersebut adalah stabilisasi tanah sebelum tanah
tersebut digunakan. Maksudnya adalah untuk meningkatkan kinerja tanah
atau memperbaiki sifat-sifat geoteknik tanah secara kimia agar tanah
memenuhi syarat teknis tertentu.
Selain itu, pada daerah-daerah tertentu kondisi tanah yang
memenuhi syarat sulit diperoleh dan terbatas jumlahnya. Salah satu cara
penyelesaian masalah tersebut adalah melakukan efisiensi penggunaan
tanah sebagai lapisan pondasi jalan. Hal ini dimaksudkan untuk mereduksi
jenis dan tebal lapisan pondasi jalan, dimana umumnya dilakukan dengan
dua jenis lapisan pondasi yaitu lapisan pondasi bawah (LPB) dan lapisan
pondasi atas (LPA). Upaya untuk mereduksi LPA dan LPB menjadi hanya
satu lapis dengan ketebalan efektif dan memenuhi syarat teknis, dapat
dikembangkan dengan melakukan kajian terhadap potensi tanah tertentu
yang telah distabilkan dengan metode dan dilakukan uji model tertentu
sehingga diperoleh suatu lapisan pondasi seperti lime treated base. Salah
satu tanah yang dapat dikembangkan adalah tanah laterit yang sangat
berpotensi di daerah Sorowako Luwu Timur Sulawesi Selatan. Daerah ini
memiliki kondisi tanah laterit dengan kandungan logam besi oksida relatif
tinggi (Fe2O3). Sementara itu, jenis tanah yang memenuhi syarat teknis
sebagai lapisan pondasi jalan sulit dan terbatas, bahkan harus
3
didatangkan dari daerah lain. Potensi tanah ini sangat besar karena hanya
terbuang begitu saja dari hasil galian penambangan nikel. Sorowako
merupakan salah satu desa di Kecamatan Nuha Kabupaten Luwu Timur
Provinsi Sulawesi Selatan dengan luas wilayah 6.944,98 km2. Secara
geologi, daerah ini didominasi oleh batuan ultra basa yang kaya dengan
mineral logam khususnya besi dan nikel. Proses pelapukan daerah tropis
yang tinggi, mengakibatkan terbentuknya tanah laterit yang dominan.
Aktifitas penambangan nikel, menghasilkan buangan tanah laterit yang
tidak termanfaatkan dalam jumlah cukup signifikan. Upaya pemanfaatan
tanah laterit ini khususnya sebagai lapisan pondasi jalan merupakan salah
satu cara untuk menyelesaikan masalah keterbatasan dan kesulitan
material yang memenuhi syarat lapisan pondasi jalan pada daerah-daerah
dengan potensi tanah laterit yang tinggi seperti Sorowako dan
Halmahera Timur.
Tanah laterit mengandung mineral-mineral lempung yang relative
tinggi utamanya illite dan montmorillonite (Portelinha, et.al. 2012). Mineral
lempung dan unsur logam yang tinggi, dapat dimanfaatkan untuk berbagai
kebutuhan baik pada pekerjaan konstruksi, industri, maupun lainnya.
Kajian mendalam terhadap karakteristik detail dan kemungkinan
perbaikannya sebelum digunakan perlu dilakukan. Salah satu potensi
pemanfaataannya adalah sebagai lapisan pondasi jalan yang efektif,
efisien dan relatif murah (lime treated base), karena ketersediaannya
melimpah (sangat potensial) dan merupakan aset lokal (local content).
4
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan kajian secara
detail terhadap karakteristik tanah laterit yang diperoleh dari tiga lokasi
berbeda di Sorowako Luwu Timur, yang selanjutnya distabilisasi dengan
kapur dan distabilisasi dengan semen. Karakteristik dimaksud meliputi
karakteristik fisik, mineralogi, kimia, mekanik, dan mikrostrukstur, sesuai
standard ASTM. Selanjutnya untuk pemanfaatan sebagai lapisan pondasi
jalan (lime treated base), dilakukan uji model dengan pengujian daya
dukung tanah (CBR) dan modulus reaksi tanah (k) untuk mengetahui
deformasi model lime treated base tanah laterit, menggunakan uji beban
terpusat (Hardiyatmo, 2009). Selanjutnya, dibuat kurva hubungan CBR
dengan nilai modulus reaksi tanah (k) dan persentase kapur. Kurva yang
diperoleh akan dibandingkan dengan kurva yang sama berdasarkan kurva
penelitian sebelumnya. Hal ini merupakan temuan baru yang dapat
digunakan sebagai referensi untuk tanah laterit yang distabilisasi
khususnya dengan kapur. Selain itu, dikembangkan juga kurva hubungan
antara beban dan deformasi untuk mengetahui model deformasi lapisan
lime treated base. Akurasi hasil pengujian, selanjutnya divalidasi secara
numerik menggunakan metode elemen hingga (Plaxis 2D), dengan
membandingkan model deformasi yang diperoleh dari analisis numerik
dengan model deformasi yang diperoleh dari uji model.
Dengan demikian, penelitian utama yang akan dilakukan adalah
mengkaji karakteristik tanah laterit, mengkaji kekuatan dan kapasitas daya
dukung tanah laterit stabilisasi kapur dan stabilisasi semen, mengkaji dan
5
mengetahui model deformasi lime treated base tanah laterit, dan validasi
numerik deformasi lapisan lime treated base tanah laterit menggunakan
metode elemen hingga (Plaxis 2D).
Penelitian ini merujuk pada berbagai hasil penelitian sebelumnya
terkait dengan penelitian terhadap tanah laterit, dan lebih detailnya
rujukan tersebut diuraikan pada bab selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang di atas, beberapa masalah yang
terjadi dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik fisik, mekanis, dan mikrostruktur tanah laterit
batuan ultrabasa?
2. Bagaimana kekuatan dan California Bearing Ratio (CBR) tanah laterit
stabilisasi kapur dan stabilisasi semen?
3. Bagaimana model hubungan modulus reaksi tanah dan CBR tanah
laterit stabilisasi kapur dengan uji model dan validasi numerik?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis karakteristik fisik, mekanis, dan mikrostruktur tanah laterit
batuan ultrabasa.
2. Menganalisis kekuatan dan CBR tanah laterit stabilisasi kapur dan
stabilisasi semen.
6
3. Menghasilkan model hubungan modulus reaksi tanah dan CBR tanah
laterit stabilisasi kapur dengan uji model dan validasi numerik.
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini berupa informasi dan rekomendasi untuk dapat
dipertimbangkan dan ditindaklanjuti baik teknis, sosial-ekonomis, maupun
lingkungan, sehingga berguna untuk:
1. Membantu mengatasi masalah lingkungan buangan tanah laterit hasil
penambangan.
2. Mengatasi kesulitan pengadaan material struktur lapisan pondasi jalan
(lime treated base) yang efektif dan memenuhi syarat.
3. Menjadi referensi dengan kasus yang sama untuk daerah lain.
4. Menjadi referensi tanah laterit dengan stabilisasi kapur dan stabilisasi
semen untuk dikembangkan dan digunakan untuk berbagai
pemanfaatan.
5. Menjadi referensi untuk penelitian lebih lanjut dengan menggunakan
bahan stabilisasi lainnya.
6. Memberikan solusi bagi pemerintah daerah dengan potensi tanah
laterit yang besar dalam penyediaan material pondasi jalan dan bahan
konstruksi lainnya.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Permasalahan Strategis Tanah Laterit
1. Deposisi Global Tanah Laterit
Tanah laterit merupakan kelompok tanah dari hasil pelapukan yang
tinggi, terbentuk dari hasil konsentrasi hidrasi oksida besi dan aluminium
(Amu et.al, 2011). Nama laterit diberikan oleh Buchanan tahun 1807 di
India, dari Bahasa Latin ”later” yang berarti bata. Tanah jenis ini memiliki
karakteristik keras, sulit ditembus, dan sangat sulit berubah jika dalam
kondisi kering (Makasa, 2004). Tanah laterit memiliki variasi yang luas dari
warna merah, coklat sampai kuning, tanah residual berukuran butir halus
dengan tekstur ringan memiliki bentuk butiran nodular dan tersementasi
dengan baik (Lambe dan Whitman, 1979). Bridges (1970) menyatakan
bahwa penggunaan yang benar dari istilah laterit adalah formasi vesicular
kompak batuan besi (a massive vesicular or concretionary ironstone
formation). Fookes (1997) menamai laterit didasarkan pada pengerasan
seperti ”freeic” untuk tanah keras kaya besi yang tersementasi, “alcrete”
atau bauksit untuk tanah keras kaya aluminium yang tersementasi,
“calcrete” untuk tanah keras kaya calcium karbonat, dan “silcrete” untuk
yang kaya silica. Definisi lainnya didasarkan pada perbandingan jumlah
silica (SiO2) terhadap oksida (Fe2O3+Al2O3), untuk tanah laterit
8
perbandingan tersebut antara 1,33 dan 2,0, sedangkan di atas 2,0 bukan
tanah laterit.
Komposisi unsur dan senyawa yang terkandung dalam tanah laterit
yang umum meliputi oksigen, magnesium, aluminium, silicon, sulfur,
calcium, vanadium, manganese, besi, dan nikel. Sedangkan kandungan
mineral yang ada dalam tanah laterit tersebut terdiri dari hematite,
kaolinte, illite, montmorillonite, rutile, forsterite, andalusite, magnetite,
magnesium silicate, dan nikel dioksida.
Ciri-ciri fisik di alam secara umum, tanah laterit atau sering disebut
dengan tanah merah merupakan tanah berwarna merah hingga coklat
yang terbentuk pada lingkungan lembab, dingin, dan mungkin genangan-
genangan air. Tanah ini memiliki profil yang dalam, mudah menyerap air,
memiliki kandungan bahan organic sedang dan pH netral hingga asam
dengan banyak kandungan logam terutama besi dan aluminium, serta
baik digunakan sebagai bahan pondasi karena teksturnya relative padat
dan kokoh. Sifat-sifat fisik tanah laterit sangat bervariasi tergantung pada
komposisi mineralogi dan distribusi ukuran partikel tanah, granulometri
dapat bervariasi dari halus sampai gravel tergantung asal dan proses
pembentukannya sehingga akan mempengaruhi sifat-sfat geoteknik
seperti plastisitas dan kuat tekan. Salah satu kelebihan tanah laterit
adalah tidak mudah mengembang dengan air, tergantung pada
kandungan mineral lempung di dalamnya.
9
Sebaran tanah laterite di dunia sekitar sepertiga bagian area
kontinental bumi (Yves, 2010). Tanah ini menutupi sebagian besar daerah
sekitar Amerika Selatan, Afrika, Jazirah Arab, dan Australia. Sedangkan
untuk batuan ultramafic terdeformasi tinggi akibat proses laterisasi
terdapat di daerah Brasil dan Australia, untuk deformasi sedang terdapat
di daerah Guatemala, Colombia, Eropa Tengah, India dan Burma.
Sementara bagian besar proses laterisasi terdapat di daerah Caledonia
Baru, Cuba, Indonesia, dan Philipina.
2. Geologi Tanah Laterit di Asia
Pelapukan daerah tropis (proses laterisasi) merupakan proses
pelapukan kimiawi dengan variasi ketebalan, kadar, kimiawi, dan
mineralogi tanah yang dihasilkan. Hasil awal pelapukan umumnya dikenal
sebagai batuan kaolinasi atau saprolite. Periode efektif laterisasi sekitar
mid-tertiary sampai mid-quarternary (35 sampai 1,5 juta tahun lalu). laterit
terbentuk dari proses pencucian batuan sedimen (batu pasir, lempung,
dan gamping), batuan metamorf (schists, gneiss, magmatis), batuan beku
(granite, basalts, gabro, dan peridotit). Mekanisme pencucian (leaching)
meliputi pelarutan asam, diikuti dengan hidrolisis dan presipitasi oksida
serta sulfida besi, aluminium dan silika dalam kondisi temperatur tinggi
pada daerah sub tropis.
Ciri utama formasi laterit adalah pengulangan musim basah dan
kering. Formasi laterit paling baik pada relief topografi rendah dan berbukit
akibat erosi permukaan. Zone reaksi terjadi pada kontak batuan dengan
10
air pada muka air tanah rendah sampai tinggi yang semakin lama semakin
berkurang ion sodium, potassium, calcium, dan magnesium. Larutan ion
ini dapat mengoreksi pH pelarut silicon oksida secara sempurna
dibandingkan aluminium oksida dan besi oksida. Mineralogi dan komposisi
kimia tanah laterit tergantung pada batuan asalnya, utamanya kuarsa,
zircon, oksida titanium, besi, tin, aluminium dan mangan, yang merupakan
sisa proses pelapukan. Variasi signifikan laterit menurut lokasi, iklim, dan
kedalaman, dimana mineral-mineral utama untuk nikel dan cobalt berupa
besi oksida, mineral lempung atau mangan oksida. Besi oksida diperoleh
dari batuan beku mafic, sedangkan nikel laterit terbentuk pada zone
pelapukan tropis dari batuan ultramafic yang mengandung mineral-mineral
ferro-magnesian seperti olivin, pyroxene, dan amphibol
(Valeton, 2010).
Secara geografis dan geologi, Indonesia merupakan daerah yang
kaya dengan mineral logam khususnya yang terbentuk dari batuan
ultrabasa, hal ini menyebabkan penyebaran tanah laterit hampir ada di
setiap wilayah, diantaranya adalah sebaran tanah laterit di Sorowako
Luwu Timur Provinsi Sulawesi. Tanah laterit Sorowako merupakan tanah
yang terbentuk di daerah tropis atau sub tropis dengan tingkat pelapukan
tinggi pada batuan basa sampai batuan ultrabasa yang didominasi oleh
kandungan logam besi relatif tinggi.
11
3. Prospektif Stabilisasi Tanah Laterit
Stabilisasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu
tindakan perbaikan mutu bahan pondasi jalan atau usaha untuk
meningkatkan kekuatannya sampai pada tingkat kekuatan tertentu
sehingga dapat berfungsi dan memberikan kinerja lebih baik dari aslinya.
Sedangkan stabilisasi tanah didefinisikan sebagai suatu usaha untuk
perbaikan sifat-sifat tanah eksisting agar memenuhi spesifikasi teknis yang
diharapkan. Stabilisasi, jika didesain dengan benar akan memberikan
keuntungan secara ekonomis dan lingkungan dalam aplikasinya pada
rehabilitasi dan pembangunan jalan (Syahril, 2010).
Prinsipnya, perbaikan tanah (stabilisasi tanah) dilakukan dengan
cara mencampur tanah asli dengan bahan penguat dari luar secara
setempat. Bahan pencamur yang paling banyak digunakan adalah kapur
dan semen. Tujuan utama pencampuran adalah untuk memperkuat
struktur tanah, mengurangi plastisitas dan kompresibilitas tanah
(Mochtar, 2000). Stabilisasi tanah selain digunakan untuk memperbaiki
kapasitas dukung tanah dasar (subgrade), juga dapat dilakukan pada
lapisan pondasi. Karenanya, pertimbangan tingginya intensitas beban dan
abrasi yang akan dialami oleh permukaan struktur perkerasan, maka
stabilisasi tidak cocok dilakukan pada komponen permukaan dari
perkerasan jalan. Dalam kondisi tertentu, material lapisan pondasi jalan
dapat lebih menguntungkan jika distabilisasi, dan material tanah dasar
12
juga terkadang dilakukan hal yang sama untuk mendukung lapis pondasi
pada jalan raya utama (Yusuf Hamzah, et. al., 2012).
Stabilisasi kapur dan semen didasarkan pada kondisi tanah laterit
Sorowako yang memiliki kandungan mineral lempung yang tinggi (60-
80%). Dengan mencampurkan tanah dan bahan stabilisasi maka ikatan
antara butiran tanah lebih efektif dan menghasilkan perkuatan untuk
menahan distribusi beban, karakteristik tegangan, dan mengontrol
kembang susut tanah. McNally (1998) menyatakan bahwa pemilihan suatu
bahan stabilisasi dan prosedur konstruksinya harus berdasarkan
beberapa pertimbangan seperti pada Tabel 1. Sedangkan gambaran
kesesuaiannya dengan kondisi tanah ditunjukkan pada Gambar 1
(Amu et.al, 2011), dan dampak mineralogi tanah dan responnya terhadap
stabilisasi diperlihatkan seperti Tabel 2 (McNally, 1998).
Stabilisasi menggunakan kapur merupakan satu dari metode yang
sudah lama untuk meningkatkan sifat teknis tanah dan dapat digunakan
untuk menstabilisasi material base dan sub base. Penambahan kapur
untuk mereaksi tanah-tanah berbutir halus memberikan dampak terhadap
sifat teknis meliputi pengurangan plastisitas dan potensi pengembangan,
meningkatkan kemampuan, meningkatkan kekuatan dan kekakuan, dan
meningkatkan durability. Kapur dapat digunakan untuk perbaikan tanah
dengan tingkat bervariasi tergantung pada tujuan.
13
Tabel 1. Mekanisme dan tingkat penggunaan dari berbagai bahan stabilisasi
Mekanisme Pengaruh Kesesuaian tanah
Granular Blending to poorly graded soils, usually coarse into fine (not clayey) soils
Higher compacted density, more uniform mixing, increased shear strength
Gap-graded or gravel-deficient (gravel, sand addition), or harsh FCR (fine crushed rock road base) (loam addition)
Cement Mixing small amounts (cement modification) or larger proportions (cement binding) into soil or FCR
Improve shear strength, reduces moisture sensitivity (modification), greatly increases tensile strength and stiffness (binding)
Most soils, especially granular ones, large amounts of cement needed in clay-rich and poorly graded sands, hence expensive.
Lime Mixing hydrated lime or quicklime in small to moderate amounts into soils
Increases bearing capacity, dries wet soil, improves friability, reduces shrinkage.
Cohesive soils, especially wet, high – PI clays.
Lime Pozzolan Mixing lime plus fly ash or granulated slay into soil or FCR
Similar to cement but slower acting and less ultimate strength
As for cement, plus clayey soils that do not react with lime.
Bitumen Agglomeration, coating and binding of granular particles
Water proofs, imparts cohesion and stiffness
Granular, non-cohesive soils in hot climates.
Umumnya kapur yang digunakan untuk bahan stabilisasi adalah
calcium hidroksida (Ca(OH)2) dan dolomite (Ca(OH)2+MgO). Penentuan
jumlah kapur yang akan digunakan, biasanya didasarkan pada hasil
analisis dari efek persentasi kapur berbeda terhadap pengurangan
plastisitas dan peningkatan kekuatan tanah.
14
Gambar 1. Metode-metode stabilisasi hubungannya dengan tingkat kesesuaian untuk tanah dengan ukuran butir dan plastisitas berbeda
Tabel 2. Pengaruh mineralogi tanah terhadap respon stabilisasi
Mineral Material stabilisasi yang
direkomendasikan Penjelasan
Crushed gravels and FCR
Sandy or silty loam, crushed shale (must be dry)
Improves grading, workability, increase compacted density
Quartz sands
As above Improves grading, increase density and imparts plasticity
Cement For density, shear strength impermeability
Bitumen, bitumen emulsion For cohesion, waterproofing
Carbonate SANDS Lime Lowers PI, increases shear strength
Kaolinite, illite
Lime For drying, friability and later strength
Cement For early strength, especially if lime previously applied
Montmorillorite and mixed layer clays
Lime For drying, friability and PI reduction
Dispersive (sodic) clays
Lime, gypsum To resist deflocculation and internal erosion
Allophane Lime-gypsum mixes For strength
Halloysite Drying Causes irreversible granulation and shrinkage
Volcanic ash Lime Promotes pozzolanic setting
15
Selanjutnya, kebanyakan tanah berbutir halus akan lebih efektif jika
distabilisasi dengan 3%-10% kapur, berdasarkan pada berat kering tanah.
Penambahan kapur akan lebih efektif untuk memperbaiki tanah lempung
plastis yang mampu menahan air. Partikel-partikel lempung memiliki
muatan permukaan tinggi yang dapat menarik kation (ion bermutan positif)
dan dipole-dipole air. Terjadi dua reaksi, yaitu pertukaran kation dan
flokulasi agglomerasi, berlangsung cepat dan langsung menghasilkan
perkuatan pada plastisitas tanah, kemampuan, kekuatan yang awet, dan
sifat-sifat beban-deformasi. Pengaruh kapur pada sifat-sifat tanah dapat
dikelompokkan menjadi pengaruh langsung dan jangka panjang.
Pengaruh langsung diperoleh tanpa pemeraman dan selama tahapan
konstruksi, yang berhubungan dengan reaksi pertukaran kation dan
flokulasi agglomerasi yang terjadi bila kapur dicampurkan dengan tanah.
Pengaruh stabilisasi jangka panjang terjadi selama dan setelah
pemeraman, dan sangat penting untuk kekuatan dan daya tahan. Bila
pengaruh ini dihasilkan sampai batas tertentu akibat pertukaran kation dan
flokulasi-agglomerasi, utamanya akan dihasilkan pozzolanic strength gain
(Mallela et. al, 2004).
Semen adalah material yang mempunyai sifat-sifat adhesif dan
kohesif sebagai perekat yang mengikat fragmen-fragmen mineral menjadi
suatu kesatuan yang kompak. Semen dikelompokkan dalam 2 (dua) jenis
yaitu semen hidrolis dan semen non-hidrolis. Semen hidrolis adalah suatu
bahan pengikat yang mengeras jika bereaksi dengan air serta
16
menghasilkan produk yang tahan air. Contohnya seperti semen portland,
semen putih dan sebagainya, sedangkan semen non hidrolis adalah
semen yang tidak dapat stabil dalam air. Semen Portland adalah semen
hidrolis yang dihasilkan dengan cara mencampurkan batu kapur yang
mengandung kapur (CaO) dan lempung yang mengandung silika (SiO2),
oksida alumina (Al2O3) dan oksida besi (Fe2O3) dalam oven dengan suhu
kira-kira 145°C sampai menjadi klinker. Klinker ini dipindahkan, digiling
sampai halus disertai penambahan 3-5% gips untuk mengendalikan waktu
pengikat semen agar tidak berlangsung terlalu cepat.
Dalam semen Portland ini terdapat susunan senyawa semen yang
berfungsi seperti berikut; C3S = 3 CaO SiO2 (trikalsium silikat) mempunyai
andil yang besar terhadap fungsi sebagai perekat dan dapat mengeras
jika bereaksi dengan air sehingga dapat meningkatkan kekuatan tekan;
C2S = 2CaO SiO2 (dikalsium silikat) berfungsi sama dengan C3S; C3A =
3CaO Al2O3 (trikalsium aluminat) dalam semen portland tidak berfungsi
sebagai perekat. Senyawa ini hanya berfungsi sebagai fluks (bahan
pelebur) sewaktu masih ada dalam tungku pembakaran, sehingga akan
mudah terbentuk senyawa C3S dan C2S; C4AF = 4CaO Al2O3 Fe2O3
(Tetra Alumineferrit) berfungsi sama seperti C3A serta andil terhadap
warna semen; Gips = CaSO4 2H2O berfungsi sebagai retarder atau
memperlambat waktu pengerasan tepung semen portland bila bercampur
dengan air; Selain itu terdapat komposisi kimia lain seperti: C = CaO,
Na2O, K2O dalam jumlah yang kecil.
17
Kedua mineral kalsium silikat, C3S dan C2S merupakan unsur
utama dalam pengembangan kekuatan dan memiliki pengaruh yang besar
terhadap ketahanan dan sifat struktural jangka panjang dari semen
portland.
B. Perilaku dan Prospektif Fisik, Mekanis, dan Mineralogi
Tanah Laterit
Penelitian terhadap stabilisasi tanah laterit dengan berbagai kondisi
telah banyak dilakukan untuk mengetahui perilaku tanah tersebut
diberbagai tempat, dengan berbagai jenis tanah laterit. Setiap daerah
memiliki ciri dan karakteristik tanah laterit yang berbeda, baik komposisi
mineral yang terkandung maupun kandungan unsur yang ada di
dalamnya.
Amu, et.al, (2011), telah melakukan stabilisasi terhadap tanah
laterit di bagian Afrika dengan menggunakan kapur, dan menghasilkan
suatu kesimpulan bahwa kandungan optimum kapur untuk tiga contoh
tanah laterit A, B, dan C berturut-turut adalah 8%, 6%, dan 6%, sangat
sesuai dengan pemanfaatan tanah laterit sebagai bahan dasar lapisan
perkerasan jalan. Berdasarkan hasil uji yang dilakukan, penambahan
kapur 6-8% mengakibatkan peningkatan berat kering maksimum (MDD),
daya dukung tanah (CBR), dan kekuatan tanah (kuat tekan dan kuat
geser) menjadi 2-3 kali lipat.
18
Portelinha, et. al. (2012), mengemukakan bahwa penambahan
sedikit kapur dan semen sangat efisien meningkatkan kemampuan tanah
laterite dengan hanya menambahkan 3% semen dan 2% kapur. Sifat-sifat
kimia campuran sangat sesuai dengan perilaku plastisitas, ditunjukkan
bahwa kandungan kapur yang sekitar 3% sangat mendukung alterasi
mineralogy, hidrasi akibat reaksi dengan semen mengurangi nilai
plastisitas indeks. Modifikasi tanah dengan kapur mengeliminasi potensi
pengembangan tanah, bila ditambahkan semen 2%, modifikasi juga
meningkatkan kekuatan dan modulus tanah utamanya setelah
pemeraman 28 hari. Alterasi tertinggi pada kekuatan dihasilkan 2% kapur
dan 3% semen, dimana penambahan 1% sudah cukup untuk
meningkatkan 50% kuat tekan unconfined dibandingkan dengan tanah
asli, seperti diperlihatkan pada Gambar 2.
Tangen modulus meningkat secara signifikan seiring dengan
kenaikan UCS akibat penambahan kandungan bahan stabilisasi. Alterasi
mineralogy terbentuk pada contoh yang menunjukkan peningkatan
kekuatan secara signifikan. Analisis mekanistik menunjukkan bahwa tanah
yang telah dimodifikasi sangat baik digunakan untuk perkerasan karena
menghasilkan regangan elastik dan tegangan yang rendah.
Aminaton, et. al. (2013), telah melakukan pengujian terhadap
stabilisasi tanah laterit menggunakan larutan polimer (GKS), dan
menyimpulkan bahwa kekuatan tanah meningkat sejalan dengan
meningkatnya waktu peram dan peningkatan terjadi setelah waktu peram
19
7 hari. Kekuatan, kohesi dan sudut geser dalam juga meningkat dengan
meningkatnya konsentrasi polymer dan kondisi pemeraman. Dari hasil uji
diperoleh bahwa kandungan polymer 9% dapat dikatakan sebagai jumlah
optimum untuk stabilisasi yang baik bagi tanah laterit.
Gambar 2. UCS dan tangent modulus campuran tanah dengan pemeraman 7 hari dan 28 hari
Kiran, S.P., et. al. (2014), telah melakukan penyelidikan terhadap
tanah laterite yang distabilisasi dengan abu batang tebu dan semen dan
menyimpulkan bahwa abu serat tebu sangat efektif sebagai nahan
20
stabilisasi pada kandungan 5% dan 6% kandungan semen untuk
memperkuat sifat geoteknik tanah lateritic, dan dapat digunakan untuk
konstruksi jalan sebagai sub base. Yinusa, A., et. al. (2014), melakukan
penelitian terhadap stabilisasi tanah laterit menggunakan abu tongkol
jangung (CCA), dan menyimpulkan bahwa density kering maksimum
menurun dari 1,905 gr/cc ke 1,849 gr/cc pada kandungan abu jonggol
jagung 1,5%, kadar air optimum meningkat pada kandungan bahan
pengikat 0-7,5%. Nilai CBR meningkat 65% ke 84% pada kandungan CCA
1,5%, selanjutnya menurun dengan penambahan CCA. Unconfined
compression strength juga meningkat dari 403 kN/m2 ke 992 kN/m2 pada
kandungan CCA 1,5%, dan menurun pada penambahan CCA.
Amadi, et. al. (2012), melakukan penelitian terhadap tanah laterite
terkontaminasi dengan bahan kimia organic yang distabilisasi dengan abu
kiln semen, dan menyimpulkan bahwa bahan kimia organic sangat
berpengaruh terhadap sifat geoteknik tanah. terjadi penurunan plastisitas,
berat volume kering dan unconfined compression strength, sedangkan
konduktivitas hidrolik, kadar air optimum mengalami peningkatan.
Liu Yangshen, et.al. (2004), melakukan kajian terhadap perilaku
bentonite yang digunakan untuk memperkuat tanah laterite dan
menyimpulkan bahwa bentonite dapat meningkatkan unjuk kerja hidrolik
dan mekanik tanah laterite dan tanah loess. Kenaikan kandungan
bentonite dalam campuran maximum compressive strength (MCS)
meningkat sampai puncak dan mengalami penurunan setelah itu. Pada
21
kandungan bentonite 6,5%, MCS maksimum 2,26 MPa. Konduktivitas
hidrolik tanah loess dengan 6% bentonite hanya 1/9 dari aslinya,
sedangkan tanah laterite dengan 8% bentonite 1/13 dari aslinya.
Maksimum konduktivitas hidrolik (MHC) diperoleh 1x10-7 cm/s pada kadar
air optimum 23% untuk tanah laterite dan 3,3x10-5 cm/s pada kadar air
optimum 26% untuk tanah laterite dengan 8% bentonite. MHC untuk tanah
loess 7,8x10-7 cm/s pada kadar air optimum 18%, dan 9x10-8 cm/s pada
kadar air optimum 20% untuk tanah loess dengan 6% bentonite.
Konduktivitas hidrolik menurun drastic dengan meningkatnya density
kering. Selanjutnya bila density kering lebih dari 1,62 Mg/m3 (loess) atau
1,58 Mg/m3 (loess dengan 6% bentonite), konduktivitas hidrolik tidak
mengalami perubahan. Dengan demikian maka untuk tanah laterit dan
laterite dengan 8% bentonite dapat digunakan pada desain teknik.
Adriani, et. al. (2012) melakukan penelitian pengaruh penggunaan semen
sebagai bahan stabilisasi pada tanah lempung terhadap nilai CBR tanah
dan menyimpulkan bahwa sifat plastis tanah akan menurun dengan
diberikan bahan aditif semen. Penurunan indeks plastisitas tanah dimana
IP tanah asli 26,553% bila dicampur dengan 10 % kadar semen IP
menjadi 4,577%. Penurunan nilai PI tersebut dapat mengurangi potensi
pengembangan dan penyusutan tanah. Dari hasil uji pemadatan dengan
proctor standar diperoleh nilai d maks = 1.23 gr/cm3 dan kadar air
optimum sebesar 37,5%. Penambahan semen dengan variasi
penambahan sebesar 5%, 10%, 15%, dan 20% yang mengisi rongga pori
22
tanah telah meningkatkan d maksimum masing-masing menjadi 1,262
g/cm3, 1,291 g/cm3, 1,319 g/cm3 dan 1,35 g/cm3 dan kadar air optimum
sebesar 36.65 %, 34.98 %, 34 %, 32.9 %. Penambahan semen telah
meningkatkan nilai daya dukung tanah secara signifikan. Nilai CBR
semakin naik seiring dengan penambahan semen, dimana nilai CBR
tanah asli sebesar 8.204%. Terjadinya peningkatan nilai CBR pada
campuran optimum 20% semen dengan waktu pemeraman 3 hari dengan
nilai CBR 64,138 %.
Latifi, et.al., (2014) telah melakukan stabilisasi tanah laterit
menggunakan sodium silikat cair, dan hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa penambahan sodium silikat lebih dari 9% menurunkan kuat tekan
tanah. Penurunan kekuatan tanah ini diakibatkan oleh terbentuknya
sodium alumino silikat hidrat dalam jumlah tertentu (N-A-S-H). Sedangkan
Marto, et. al., (2014), menemukan bahwa stabilisasi menggunakan bahan
stabilisasi TX-85 (sodium hidrat bentuk cairan) dan SH-85 (sodium hidrat
dalam bentuk bubuk) meningkatkan kekuatan tanah secara signifikan,
penguatan ini lebih cepat dan lebih tinggi (waktu dan biaya) dibandingkan
dengan kapur dan semen.
Tanah laterit didominasi oleh mineral lempung yang memiliki
plastisitas tinggi seperti mineral montmorillonite (smectite) dan illite, dapat
mengembang saat kontak dengan air dalam bentuk cair atau uap. Hal ini
berhubungan dengan komposisi mineralogi lapisan dasar atau unit
struktur mineral montmorillonite. Struktur mineral montmorillonite
23
merupakan unsur yang terbentuk dari lembaran alumina octahedral antara
dua lembaran silica tetrahedral seperti Gambar 3. Struktur alumina
octahedral tersusun dari satu atom aluminium dan 6 hydroksil dalam
bentuk octahedral dimana silica tetrahedral tersusun dari satu atom silicon
dan 4 atom oksigen dalam bentuk tetrahedral.
Lapisan dasar menumpuk bersama membentuk partikel (plateled
atau crystal). Pada kondisi kering, ikatan antara lapisan-lapisan dasar
dihasilkan dari ikatan Van der Waals dan akibat pertukaran kation. Tipe
ikatan ini bekerja saat air atau polar liquid mengisi antar lapisan.
Gambar 3. Sketsa struktur mineral montmorillonite
Partikel terbentuk dari beberapa sampai ratusan lapisan-lapisan
dasar tergantung pada kondisi kandungan air (Pusch, et al., 1990).
Menggunakan transmission electron microscope (TEM), Tessier et al.
(1998), menemukan bahwa mikrostruktur lempung (lempung yang
mengandung kalsium jenis mineral montmorillonite dan kaolinite) terdiri
24
dari agregat partikel dengan rata 2-4 lapisan dasar. Bagian dalam tiap unit
partikel, terdapat jarak inter layer sekitar 12Å. Lebih dari itu, tipe
pertukaran kation juga dipengaruhi oleh jumlah lapisan dasar pada partikel
(Pusch et el., 1990). Untuk kondisi suspense, partikel terbentuk dari 3-5
lapisan dasar dan 10-20 lapisan dasar untuk sodium jenis bentonite dan
kalsium jenis bentonite.
Pemadatan juga mempengaruhi jumlah lapisan dasar dalam
partikel dan perbedaan jumlah sodium dan kalsium jenis bentonite untuk
suction lebih besar dari 300 kPa. Untuk suction kurang dari 300 kPa,
ditemukan bahwa jumlah lapisan dasar pada partikel hamper sama pada
kedua jenis bentonite. Keadaan ini sangat penting dalam menyelidiki
perilaku lempung ekspansif khususnya pada mikrostruktur bentonite
(Delage, 2007).
Adanya unit-unit struktur (elementary layer), partikel-partikel,
bergabung menghasilkan pori berbeda pada tanah mengembang.
Umumnya, tanah mengembang yang dipadatkan memiliki dua jenis pori
(mikro pori dan makro pori) (Gens dan Alonso, 1992; Yong, 1999). Mikro
pori merupakan pori yang ada dalam agregat (pori antara lapisan dasar
dan antara partikel) atau disebut intra-aggregate pores. Makro pori
merupakan pori yang berada antara agregat atau disebut inter aggregate
pores.
Mekanisme interaksi antara air dan lempung merupakan ikatan
hidrogen, hidrasi pertukaran kation-kation, atraksi osmosis, atraksi
25
pengisian surface-dipole, dan atraksi oleh gaya-gaya dispersi London.
Pada tanah lempung mengembang, untuk kondisi kering atau kadar air
kecil, hidrasi akibat pertukaran ion kation merupakan mekanisme utama.
Pada kondisi kering, pertukaran kation terjadi pada permukaan lapisan
atau lembaran tetrahedral untuk menyeimbangkan permukaan lempung.
Pada proses hidrasi, molekul-molekul air terserap diantara lapisan dasar
lempung untuk membentuk lapisan-lapisan air. Ketebalan krital
montmorillonite yang terhidrasi dan hidrasi lapisan yang komplit
tergantung pertukaran kation. Pusch, at al., (1990), menyatakan bahwa
ketebalan dan lapisan hidrasi komplit molekul-molekul air untuk pertukaran
kation yang berbeda disimpulkan seperti pada Tabel 3. Berdasarkan tabel
tersebut, diperlihatkan bahwa terdapat 3 (tiga) lapisan molekul-molekul air
untuk bentonite Mg dan Na dan 2 (dua) lapisan molekul-molekul air untuk
bentonite Ca dan Na terbentuk pada permukaan lempung agar gaya
hidrasi mengisi penuh. Ketebalan air total bentonite berturut-turut 9,08,
5,64, 9,74, dan 6,15 Å untuk Mg, Ca, Na, dan K.
Kadar air bentonite pada akhir proses hidrasi dapat dihitung dari
data yang digambarkan pada Tabel 3, dengan menghitung berat air per
gram tanah dari perkalian total ketebalan air, luas permukaan spesifik
bentonite, dan berat volumetrik air. Kadar air sama dengan berat air per
gram tanah dikalikan 100% dibagi 2. Untuk bentonite 500 m2/gr dan berat
volumetric air 1 g/cm3, kadar air bentonite adalah 22,7, 14,1, 23,9, dan
15,4 untuk bentonite Mg, Ca, Na, dan K berturut-turut. Lapisan bentonite
26
jenis sodium menyerap air lebih pada proses hidrasi dibandingkan dengan
bentonite lain. Jika berat volumetric air 1 g/cm3 untuk lapisan molukel-
molekul air kurang dari 3 (tiga) pada permukaan lempung, kadar air akan
lebih tinggi dari nilai tersebut.
Tabel 3. Ketebalan Å dan lapisan hidrasi untuk pertukaran kation berbeda (Pusch et al, 1990)
Mineral
Montmorillonite 0 hydrate 1st 2nd 3rd
Mg 9,52 12,52 15,55 16,6
Ca 9,61 12,5 15,25 -
Na 9,62 12,65 15,88 19,36
K 10,08 12,5 16,23 -
Saiyouri et al., (2004) menjelaskan bahwa empat lapisan air
terbentuk pada permukaan lempung dari bentonite yang digunakan pada
penelitiannya (MX 80 dan FOCa7). Menurut Mitchell (1993), untuk
pengembangan penuh, bentonite tipe sodium memiliki luas permukaan
spesifik 800 m2/g dapat mencapai kadar air 400% untuk hidrasi penuh
pertukaran kation.
Setelah tiga atau empat lapisan molekul air antara lapisan dasar,
hidrasi permukaan menjadi tidak penting lagi. Molekul-molekul air
cenderung terdifusi ke arah depan permukaan untuk menyamakan
konsentrasi ion. Hal ini terjadi antara permukaan luar partikel atau Kristal
(Pusch et al., 1990; Bradbury et.al., 2002; Pusch et.al., 2003; Saiyouri et
al., 2004). Untuk sodium bentonite, partikel-partikel pecah pada lapisan
dasar akibat hidrasi (Pusch, 2001), difusi lapisan ganda akan terbentuk
antara lapisan-lapisan dasar.
27
Gambar 4. Gambaran skema air inter lapisan, lapisan air ganda dan air bebas pada bentonite yang dipadatkan
Fraksi air tersisa dapat disebut air bebas yang terdapat pada inter
koneksi lapisan film pada bagian luar parikel lempung dan juga sebagai
lapisan disekitar komponen mineral butiran bentonite. Jumlah air bebas
dan konsentrasi garam dalam air bebas pada bentonite yang dipadatkan
tergantung pasa densitas kering awal contoh tanah (Bradbury et.al.,
2002). Gambaran kondisi tersebut seperti Gambar 4.
C. Daya Dukung Tanah Laterit sebagai Base dan Subgrade
1. Tanah Ferro Laterit sebagai Lapisan Base dan Subgrade Jalan
Lapisan Pondasi (sub-base and base) adalah bagian lapisan
perkerasan antara lapisan permukaan dan tanah dasar dengan fungsi
sebagai berikut; merupakan bagian dari konstruksi perkerasan yang
28
menyebarkan beban roda ketanah dasar, mengefisiensikan penggunaan
material, relatif murah dibandingkan dengan lapisan diatasnya,
mengurangi tebal lapisan diatasnya yang lebih mahal, sebagai lapis
peresapan agar air tanah tidak berkumpul dipondasi, lapis pertama, agar
pekerjaan dapat berjalan lancar. Material yang digunakan untuk lapisan
pondasi umumnya harus nilai CBR minimum 20% dan indeks plastisitas
(PI) 10% (sub-base), CBR minimum 50% dan PI 4%. Jenis lapisan
pondasi bawah yang umum digunakan di Indonesia adalah pasir dan batu
(Sirtu) kelas A, B atau kelas C, tanah atau lempung kepasiran, lapis aspal
beton (Laston), stabilitas agregat dengan semen atau kapur, Stabilitas
tanah dengan semen atau kapur.
Tanah berbutir kasar merupakan tanah dasar yang baik untuk
mendukung perkerasan dibandingkan dengan tanah berbutir halus,
sedangkan khusus tanah lempung dapat menjadi masalah terhadap
perkerasan (Yoder et.al., 1975). Runtuhnya perkerasan terjadi menurut
dua mekanisme, pertama adalah akibat desifikasi dan repetisi geser, dan
kedua akibat deformasi komponen lapisan perkerasan dengan kontribusi
lebih dari lapisan subgrade, khususnya pada lempung.
Jika lapisan subgrade adalah tanah lempung ekspansif, maka akan
lebih bermasalah lagi terhadap perkerasan. Lapisan subgrade tanah
ekspansive akibat fenomena kembang susut akibat perubahan musim
dapat mengakibatkan kekuatan tanah menjadi lemah setelah
pengembangan yang mungkin menyebabkan intrusi subgrade pada tanah
29
di atasnya dan penetrasi lapisan sub base ke lapisan subgrade
(Deshpande, 1990).
Beberapa metode perbaikan lapisan subgrade, antara lain;
pergantian (replacement), control pemadatan, pre-wetting, stabilisasi,
moisture barrier, dan penggunaan geosintetik. Tanah laterit dengan
kandungan mineral lempung yang dominan memerlukan suatu rekayasa
perkuatan tanah agar dapat dimanfaatkan sebagai material konstruksi
khususnya sebagai lapisan subgrade dan sub base.
Salah satu tantangan yang paling penting dalam desain struktur
pada tanah adalah reaksi tanah saat kontak dengan struktur. Perilaku
mekanik tanah sangat kompleks, karena tanah secara alamiah bersifat
non-linier, anisotropic, heterogen, dan deformasinya tergantung pada
beban yang diberikan. Dengan demikian, pada pekerjaan rekayasa untuk
mendesain struktur, dibuat pemodelan tanah dengan seluruh
kompleksitasnya, dengan sistem yang sederhana yang disebut model
reaksi subgrade (Naeni, S.A., et. al., 2014).
Penentuan kekuatan tanah untuk mendukung struktur diatasnya
sangat ditentukan oleh koefisien reaksi tanah (k) dan modulus elastisitas
tanah (Es). Winkler (1867), membuat model untuk mengasumsikan
kekakuan tanah sebagai rasio antara tekanan () dan displacement
vertical () adalah linier, dan diketahui sebagai koefisien reaksi tanah, k
(MN/m3). Teori ini mensimulasikan perilaku tanah sebagai kelompok
pegas independen, dengan model linier-elastis, seperti Gambar 5a. Teori
30
ini banyak dikembangkan untuk perhitungan tegangan-tegangan pada
pondasi fleksibel (Daloglu et.al., 2000).
Nilai modulus reaksi tanah (k) dapat ditentukan berdasarkan
pengujian lapangan, pengujian laboratorium, persamaan empiris, dan nilai
tabulasi. Uji lapangan menggunakan plate load test, uji laboratorium
menggunakan uji konsolidasi dan uji triaksial (Dutta et.al., 2002).
Sedangkan Bowles, 1996 mengusulkan beberapa hubungan empiris dan
beberapa nilai tabulasi untuk koefisien reaksi tanah, seperti Gambar 5b.
Gambar 5. Perilaku tanah sebagai kelompok pegas (a), dan Modulus reaksi tanah (b) (Bowles, 1996)
Kekuatan tanah dinyatakan dengan nilai modulus reaksi tanah (k)
yang diukur dengan uji pembebanan (plate bearing test). Modulus reaksi
ini merupakan ukuran kekuatan tanah dan dinyatakan dalam kaitannya
dengan pembebanan. Penggunaan nilai k dalam analisis dianggap bahwa
lapisan pondasi jalan adalah elastis, berarti dukungan yang diberikan
berbanding lurus dengn lendutan. Pengujian lainnya (AASHTO D-T222)
a
b
31
memerlukan penambahan beban secar berurutan, disertai penghentian
pada tiap penambahan beban sampai penentrasinya berhenti.. lendutan
beban dicatat, selanjutnya dihitung besarnya modulus reaksi tanah.
Modulus reaksi tanah digunakan untuk evaluasi daya dukung lapisan
pondasi jalan, yang didefinisikan sebagai rasio antara tekanan (q) pada
suatu pelat kaku terhadap lendutan (Hardiyatmo, 2009).
Modulus of soil reaction (k), merupakan nilai banding antara unit
tegangan reaksi tanah terhadap penurunan yang terjadi. Modulus ini
digunakan untuk perhitungan pondasi elastis, yaitu pondasi yang
dianggap berperilaku elastis pada saat menerima beban (Daud, 2008).
Penentuan daya dukung ultimit harus dianalisis berdasarkan data hasil uji
pembebanan yang dilakukan, seringkali terjadi hambatan dalam
menentukan daya dukung ultimit pada tanah. Pengujian pembebanan
memberikan hasil berupa grafik beban (q) terhadap penurunan, seperti
pada Gambar 6 (Nugroho, 2011).
Gambar 6. Hubungan antara beban (q) dengan penurunan
32
Berdasarkan grafik tersebut, selanjutnya dilakukan interpretasi
untuk mendapatkan hubungan nilai daya dukung aksial lapisan pondasi
dan penurunan dari sampel yang diuji, dan dari nilai-nilai tersebut dapat
dihitung modulus reaksi tanah sebagai berikut:
Q = P / A (1)
ks = (2)
Dimana Q adalah tekanan tanah, ks adalah modulus reaksi tanah, P
adalah beban, A adalah luas pelat baja, adalah perubahan tekanan,
dan adalah penurunan (lendutan).
Metode pengujian modulus reaksi tanah (k) dapat juga diperoleh
dengan melakukan pengujian pembebanan pelat (plate bearing test)
menurut AASHTO T222-81, selanjutnya dikorelasikan terhadap nilai CBR,
seperti Gambar 7.
Berdasarkan Gambar 7, bila nilai k lebih besar dari 140 kPa/mm
(14 kg/cm3), maka nilai k dianggap sama dengan 140 kPa/mm
(14 kg/cm3) dengan nilai CBR 50% (Balitbang PU, 2003).
33
Gambar 7. Korelasi hubungan nilai k dan CBR (Balitbang PU, 2003 dan Yusuf Hamzah, et al., 2013)
2. Kapasitas Dukung Tanah
Tahanan geser tanah untuk melawan penurunan akibat
pembebanan, yaitu tahanan geser yang dapat dikerahkan oleh tanah di
sepanjang bidang gesernya disebut daya dukung tanah. Sedangkan
kapasitas daya dukung adalah besarnya kemampuan tanah untuk
menahan beban yang bekerja pada tanah tersebut. Beban yang timbul
akibat transfer beban struktur melalui pondasi dan beban bergerak pada
perkerasan jalan. Jika terjadi keruntuhan pada tanah akibat runtuhnya
kapasitas daya dukung tanah, maka terjadi penurunan tanah dan
mengakibatkan ketidakstabilan struktur, oleh karena itu sangat penting
untuk mempelajari kapasitas daya dukung tanah.
34
Proses keruntuhan tanah dasar terjadi dalam beberapa fase;
pertama, tanah di bawah fondasi turun mengakibatkan terjadinya
deformasi tanah pada arah vertikal dan horisontal ke bawah, penurunan
yang terjadi sebanding dengan besar beban (selama beban yang bekerja
cukup kecil), tanah dalam kondisi keseimbangan elastis, massa tanah di
bawah fondasi mengalami kompresi mengakibatkan kenaikan kuat geser
tanah sehingga kapasitas dukung bertambah; kedua, terbentuk baji tanah
pada dasar fondasi dimana deformasi plastis tanah dimulai dari ujung tepi
fondasi mengakibatkan zona plastis semakin berkembang seiring dengan
pertambahan beban, selanjutnya gerakan tanah arah lateral makin tampak
ditandai oleh retakan lokal dan geseran tanah di sekeliling tepi fondasi,
kuat geser tanah sepenuhnya berkembang untuk menahan beban pada
zona plastis; dan ketiga, deformasi tanah semakin bertambah dan diikuti
menggelembungnya tanah permukaan akibatnya tanah mengalami
keruntuhan, bidang runtuh berbentuk lengkungan dan garis yang disebut
bidang geser radial dan bidang geser linier.
Vesic (1963), membagi keruntuhan daya dukung tanah menjadi tiga
tipe, yaitu; keruntuhan geser umum (general shear failure); keruntuhan
geser lokal (local shear failure), dan keruntuhan penetrasi (penetration
failure atau punching shear failure). Keruntuhan geser umum terjadi
menurut bidang runtuh yang dapat diidentifikasi dengan jelas. Suatu baji
tanah terbentuk tepat pada dasar fondasi (zona A) yang menekan tanah
ke bawah hingga menyebabkan aliran tanah secara plastis pada zona B.
35
Gerakan ke arah luar di kedua zona tersebut, ditahan oleh tahanan tanah
pasif di bagian C. Saat tahanan tanah pasif bagian C terlampaui, terjadi
gerakan tanah yang mengakibatkan penggembungan tanah di sekitar
fondasi. Bidang longsor yang terbentuk, berupa lengkungan dan garis
lurus yang menembus hingga mencapai permukaan tanah. Saat
keruntuhannya terjadi gerakan massa tanah ke arah luar dan ke atas,
seperti pada Gambar 8.
Gambar 8. Proses keruntuhan tanah
Keruntuhan geser umum terjadi dalam waktu yang relatif mendadak
yang diikuti oleh penggulingan fondasinya. Tipe keruntuhan geser lokal
sama dengan keruntuhan geser umum, namun bidang runtuh yang
terbentuk tidak sampai mencapai permukaan tanah. Jadi bidang runtuh
yang kontinu tidak berkembang. Fondasi tenggelam akibat bertambahnya
beban pada kedalaman yang relatif dalam, yang menyebabkan tanah di
Fase 1
Fase 2
Fase 3
36
dekatnya mampat. Tetapi, mampatnya tanah tidak sampai mengakibatkan
kedudukan kritis keruntuhan tanahnya, sehingga zona plastis tak
berkembang seperti pada keruntuhan geser umum. Dalam tipe
keruntuhan geser lokal, terdapat sedikit penggembungan tanah di sekitar
fondasi, namun tidak terjadi penggulingan fondasi.
Pada tipe leruntuhan penetrasi, tidak terjadi keruntuhan geser
tanah. Akibat bebannya, fondasi hanya menembus dan menekan tanah ke
samping yang menyebabkan pemampatan tanah di dekat fondasi.
Penurunan fondasi bertambah hampir secara linier dengan penambahan
bebannya. Pemampatan tanah akibat penetrasi pondasi berkembang,
hanya pada zona terbatas tepat di dasar dan di sekitar tepi fondasi.
3. Analisis Model Lapisan Pondasi Jalan dengan Metode Numerik
Metode numerik adalah teknik-teknik yang digunakan untuk
mrmformulasikan masalah-masalah matematis agar dapat dipecahkan
dengan operasi hitungan. Pemodelan matematik diperlukan untuk
membantu menyelesaikan permasalahan rekayasa (permasalahan ril).
Gambaran tahapan pemrosesan masalah rekayasa yang secara
analitis sulit diselesaikan selanjutnya dibawa ke bentuk model matematik
dan diselesaikan secara matematis, aljabar atau statistik dan
komputasi. Perkembangan teknologi perangkat lunak saat ini, sangat
memudahkan pekerjaan para ahli konstruksi, khususnya untuk
memecahkan masalah-masalah yang kompleks khususnya dalam
merancang pekerjaan dengan kondisi lapangan yang kompleks pula.
37
Berbagai model simulsi dapat dibuat dengan mempertimbangkan seluruh
aspek rekayasa berdasarkan analisis yang akurat dan cepat.
Salah satu perangkat lunak yang ada saat ini akan digunakan untuk
melakukan validasi hasil pengujian model lapisan sub-base yang dibuat,
yaitu dengan metode elemen hingga (finite element method). Untuk
metode ini digunakan Plaxis 2D. Perilaku tanah yang diberikan adalah
Mohr-Coulomb, merupakan perilaku tanah yang paling sederhana dengan
dua parameter kekakuan yaitu E’ dan ’, dan tiga parameter kekuatan
yaitu C, ’ dan yang umumnya bisa diperoleh dalam penelitian dasar
tanah.
a. Model Material
model material merupakan suatu persamaan matematis yang
menyatakan hubungan antar tegangan dan regangan. Seluruh model
material dakam Plaxis didasarkan pada suatu hubungan antara
perubahan tegangan dan perubahan regangan. Berbagai macam model
material dalam Plaxis, yaitu:
1. Model linier elastis, model ini menyatakan hukum Hooke tentang
elasticity linier isotropis. Model ini meliputi dua parameter kekakuan
yaitu modulus Young (E) dan angka poisson (). Model linier elastis
sangat terbatas untuk pemodelan perilaku tanah, terutama digunakan
pada struktur-struktur yang kaku dalam tanah.
2. Mohr-Coulomb, model sederhana namun handal ini didasarkan pada
parameter-parameter tanah yang telah dikenal dengan baik dalam
38
praktek rekayasa teknik sipil. Model elastisitas plastis yang terdiri dari
lima parameter yaitu E dan untuk memodelkan elastisitas tanah,
dan c untuk memodelkan plastisitas tanah dan sebagai sudut
dilatansi. Meski demikian, tidak semua fitur non-linier tercakup dalam
model ini. Model Mohr-Coulomb dapat digunakan untuk menghitung
tegangan pendukung yang realistis pada muka terowongan, beban
batas pada pondasi dan lain-lain. Model ini juga dapat digunakan untuk
menghitung faktor keamanan menggunakan pendekatan reduksi phi-c.
3. Jointed-Rock, model ini merupakan model elastis-plastis dimana
penggeseran hanya dapat terjadi pada beberapa arah penggeseran
tertentu saja. Model ini dapat digunakan untuk memodelkan perilaku
batuan yang terstratifikasi atau batuan yang memiliki kekar (joint).
4. Hardening Soil, model ini merupakan model hiperbolik yang bersifat
elasto-plastik, yang diformulasikan dalam lingkup plastisitas dari
pengerasan akibat friksi. Model ini telah mengikutsertakan kompresi
hardening untuk memodelkan pemampatan tanah yang tidak dapat
kembali seperti semula saat menerima pembebanan yang bersifat
kompresif. Model berderajat dua ini dapat digunakan untuk
memodelkan perilaku tanah pasiran, kerikil serta jenis yang lebih lunak
seperti lempung dan lanau.
5. Soft Soil Creep, model ini merupakan model berderajat dua yang
diformulasikan dalam lingkup viskoplastisitas, yaitu rangkak (creep)
yang tidak ada pada hardening soil model. Model ini digunakan untuk
39
memodelkan perilaku tanah lunak yang bergantung pada waktu seperti
lempung terkonsolidasi normal dan gambut. Model ini telah
mengikutsertakan kompresi logaritmik.
6. Soft Soil Model, merupakan model cam-Clay yang digunakan untuk
memodelkan perilaku tanah lunak seperti lempung terkonsolidasi
normal dan gambut. Model ini paling baik digunakan untuk situasi
kompresi primer.
b. Jenis Perilaku Material
Prinsipnya, seluruh parameter model bertujuan untuk menyatakan
respon tanah dalam kondisi tegangan efektif, yaitu hubungan antara
tegangan-regangan yang terjadi pada butiran-butiran tanah. Salah satu
yang berperan penting adalah tekanan air pori. Tekanan air pori ini sendiri
erat kaitannya dengan jenis perilaku material tersebut. Berikut ini adalah
jenis material yang ada dalam pemodelan finite elemen menggunakan
Plaxis:
1. Drained, keadaan dimana tekanan air pori berlebih tidak akan terbentuk
sama sekali. Perilaku ini jelas untuk diterapkan pada kasus tanah-tanah
kering, kasus dimana terjadi drainase penuh akibat permeabilitas yang
tinggi (tanah pasiran) dan juga kasus dimana kecepatan pembebanan
sangat rendah. Pilihan ini juga dapat digunakan untuk memodelkan
perilaku jangka panjang tanah tanpa perlu memodelkan sejarah
pembebanan tak terdrainase maupun konsolidasi.
40
2. Undrained, merupakan pilihan untuk pembentukan tekanan air pori
berlebih secara penuh. Aliran air pori terkadang dapat diabaikan karena
permeabilitas sangat rendah atau akibat kecepatan pembebanan yang
sangat tinggi. Seluruh cluster yang dispesifikan sebagai tak terdrainase
akan benar-benar bersifat tak terdrainase, meskipun cluster atau
sebagian dari cluster tersebut berada di atas garis freatik.
3. Non Porous, merupakan kondisi dimana baik tekanan air pori awal
maupun tekanan air pori berlebih tidak akan diperhitungkan sama sekali
pada cluster-cluster dengan jenis perilaku tidak porous.perilaku ini
sering dikombinasikan dengan penggunaan model linier elastis, juga
dapat diterapkan pada elemen ntar muka. Masukkan berupa berat isi
jenuh dan permeabilitas tidak relevan untuk material tanpa pori.
c. Input Plaxis
tahap awal dalam analisis menggunakan program Plaxis adalah
pengaturan global, yang mengatur deskripsi permasalahan, jenis analisis,
jenis elemen, satuan dasar, dan ukuran gambar yang ditampilkan. Pada
menu general setting terdapat model umum yang digunakan dalam
penelitian ini adalah planestrain. Model ini digunakan untuk geometri
penampang yang seragam dan tegangan seragam yang sesuai serta
pembebanan tegak lurus yang panjang pada arah menyilang (arah Z),
penurunan (displacement) dan regangan di arah Z diasumsikan nol,
namun tetap memperhitungkan tegangan normal.
41
Kolom elemen menyediakan 15 node dan 6 node, yang digunakan
adalah 15 node sebagai elemen standard. Pilihan elemen ini menyediakan
4 (empat) perintah interpolasi untuk displacements dan 12 titik tegangan.
Dengan banyaknya titik tegangan yang diperhitungkan secara numerik 15
node, sangat akurat dalam menghasilkan perhitungan tegangan untuk
masalah yang cukup sulit.
Untuk pengaturan geometri, dilakukan secara manual
menggunakan bantuan geometri line yang akan muncul setelah
pengaturan global selesai. Kondisi batas dalam menganalisa masalah
deformasi terbagi atas 2 jenis yaitu perpindahan tertentu (prescribed
displacement) dan gaya tertentu (prescribed force/load). Pada prinsipnya,
setiap pemodelan analisis harus memiliki kondisi batas di segala arah, jika
tidak dinyatakan secara eksplisit pada suatu batas maka kondisi alami
akan berlaku, yaitu gaya tertentu adalah nol dan displacement adalah
bebas.
42
D. Penelitian Terdahulu Relevan
Penelitian terdahulu yang digunakan sebagai rujukan dan yang relevan dalam penelitian ini dirangkum
pada Tabel 4.
Tabel 4. Penelitian Terdahulu
No Nama Judul Metode
1 Sree, Dhanya, et. al (2010)
Study on Amended Soil Liner Using Lateritic Soil
Campuran tanah laterit dengan bentonite dengan variasi penambahan bentonite 2,4,6,8, dan 10%, selanjutnya dipadatkan dengan modified Proctor test, selanjutnya campuran material diuji kekuatannya dengan unconfined test dan uji permeabilitas.
2 Aminaton Marto, et. al (2013)
Stabilization of Laterite Soil using GKS Soil Stabilizer
Penentuan kadar air optimum tanah, selanjutnya tanah kering dicampurkan air dan polymer sampai diperoleh campuran seragam, dan dipadatkan. Contoh diperam selama 2 jam dalam mold kemudian dipindahkan dalam tabung PVC dan dibungkus plastic, selanjutnya contoh disimpan dengan waktu peram tertentu pada suhu kamar, dengan waktu 3, 7, 14, dan 28 hari. Selanjutnya contoh diuji kekuatan dengan uji unconfined compressive strength dan direct shear.
3 Amu, O.O, et. al (2011) Geotechnical properties of lateritic soil stabilized with sugarcane straw Ash
Menentukan sifat-sifat geoteknik tanah lateritic tang dimodifikasi dengan campuran abu serat tebu. Tiga contoh A, B, dan C dibuat untuk identifikasi dan klasifikasi uji konsistensinya, selanjutnya diuji kekuatan tanah (pemadatan, CBR, unconfined compression test, dan triaxial test), pengujian untuk kondisi sebelum stabilisasi dan sesudah stabilisasi, dengan penambahan abu serat tebu 2, 4, 6, dan 8%..
4 Kiran, S.P., et.al (2014) Stabilization of Lateritic Soil by using Sugarcane Straw Ash and Cement
Contoh tanah dikeringkan untuk pengujian awal, dicampurkan dengan abu serat tebu dengan kandungan 0, 3, 6, 9%, sedangkan contoh dengan kandungan 12% abu serat tebu dipadatkan dan diuji dengan unconfined compressive strength, kemudian contoh tanah dengan kandungan abu serat tebu 0, 3, 6, dan 9% ditambahkan semen 5% konstan untuk pemadatan dan uji UCS.
43
5 Yinusa A. Jimoh , O. Ahmed Apampa (2014)
An Evaluation of the Influence of Corn Cob Ash on the Strength Parameters of Lateritic Soils
Abu tongkol jagung lolos 212 mikron diuji kimia dengan analisys XRF menggunakan therm Fisher model ARL 9900, untuk identifikasi dan klasifikasi sebagai pozzolan, selanjutnya diuji karakteristik pemadatan, uji CBR, dan uji unconfined compression strength. Contoh dalam dua kondisi yaitu contoh tanpa penambahan bahan pengikat dan contoh dengan tambahan semen Portland sebagai bahan penguat.
6 Amadi A.A., and A. O. Eberemu, A.O., (2012)
Performance of Cement Kiln Dust in Stabilizing Lateritic Soil Contaminated with Organic Chemicals
Debu semen diaplikasikan untuk stabilisasi tanah laterit yang terkontaminasu bahan kimia organic benzene, ethanol dan kerosene untuk memperkuat sifat teknik tanah laterit. Kontaminasi bahan kimia disimulasikan di laboratorium dengan menambah jumlah 2,5, 5, 7,5, dan 10% tiap bahan kimia secara terpisah pada contoh tanah laterit dan dibiarkan kering udara selama 14 hari sebelum distabilisasi dengan 10% debu semen. Pengujian dilakukan meliputi batas-batas atterberg, karakteristik pemadatan, kekuatan, dan hidrolik konduktivity tanah. Contoh tanah untuk uji kekuatan dan konduktivity hidrolik dipadatkan dengan British Standard Light (BSL) compactive effort pada kadar air optimum yang telah ditentukan.
7 Tzu-Hsing Ko (2014) Nature and Properties of Lateritic Soils Derived from Different Parent Materials in Taiwan
Menyelidiki sifat fisik, sifat kimia, dan sifat mineralogy tanah laterit pada lima lokasi pengambilan contoh dengan lima jenis asal batuannya. Tahapan yang dilakukan adalah proses pengambilan sampel, selanjutnya dilakukan pengujian sifat fisik, sifat kimia dan sifat mineralogy contoh tanah yang diambil.
8 Liu Yangshen, et. al (2004)
Properties of Bentonite enhanced Loess and Laterite
Penguatan tanah laterit dan loess dengan bentonite sebagai material barrier pada TPA (landfill), pengujiam dilakukan dengan melihat konduktivitas hidrolik dan kekuatan tanah. sebelumnya contoh tanah diuji sifat kimia masing-masing material dan distribusi ukuran partikelnya.
9 Adriani, et. al (2012)
Pengaruh Penggunaan Semen sebagai Bahan Stabilisasi pada Tanah Lempung daerah Lambung Bukit terhadap nilai CBR Tanah
Tanah lempung dicampur dengan semen 5%, 10%, 15%, dan 20% (semen Portland tipe 1), diuji sifat fisik masing-masing campuran semen. Selanjutnya dilakukan pengujian pemadatan dan pengujian CBR.
44
10 Portelinha, et. al. (2012)
Modification of a Lateritic Soil with Lime and Cement: An Economical Alternative for Flexible Pavement Layers
Evaluasi penggunaan kandungan kapur dan semen rendah yang dimodifikasi dengan tanah laterite untuk melihat perilaku campuran untuk konstruksi. Pengujian dan analisis dilakukan terhadap workability, sifat-sifat kimia, perilaku mekanik, dan komposisi mineralogy. Analisis mekanistik dilakukan untuk menguji keruntuhan fatique terhadap lapisan aspal pada lapisan struktur jalan raya.
11 Ijimdiya, T.S.a and Igboro, T. (2012)
The Compressibility Behavior of Oil Contaminated Soils
Melakukan pengujian terhadap kompresibilitas tanah laterit yang terkontaminasi dengan minyak., dengan persentasi campuran minyak 0, 2, 4, 6, dan 8%. Selanjutnya dilakukan uji sifat fisik campuran tanah dan minyak, uji kompresibiltas, uji unconfined compression strength, dan uji konsolidasi.
12 Wisley M.F. et. al (2014)
Chemical and Hydraulic Behavior of a Tropical Soil Compacted Submitted to the Flow of Gasoline Hydrocarbons
Pengujian karakteristik tanah laterite sebagai material lapisan yang dialiri gasoline. Pengujian yang dilakukan dalah pengujian sifat-sifat fisik, pengujian konduktivitas hidrolik, pengujian karakteristik kimia, dan pengujian karakteristik mineralogy.
13
Amu O.O , Oluwole Fakunle Bamisaye, and Iyiola Akanmu Komolafe (2011)
The Suitability and Lime Stabilization Requirement of Some Lateritic Soil Samples as Pavement
Pengujian tanah laterit yang dstabilisasi dengan kapur dan diuji karakteristik mekaniknya untuk perbaikan lapisan perkerasan jalan, sehingga diperoleh karakteristik tanah lateritik yang cocok untuk lapisan perkerasan jalan.
14 Nima Latifi, Amin Eisazadeh, Aminaton Marto (2014)
Strength behavior and microstructural characteristics of tropical laterite soil treated with sodium silicate-based liquid stabilizer
Stabilisasi tanah menggunakan larutan kimia yang selanjutnya dilakukan pengujian kekuatan tanah dan karakteristik mikrostruktur tanah.
15 Naeini S. A, Ziaie Moayed R., Allahyari F. (2014)
Subgrade Reaction Modulus (Ks) of Clayey Soils Based on Field Tests
Menentukan modulus reaksi tanah dan modulus elastisitas tanah menggunakan pengujian langsung di lapangan, selanjutnya hasil analisis dibandingkan dengan beberapa penelitian terdahulu
16 Jaxques de Medina, Laura M.G. Motta, Joao Dos Santos (2006)
Deformability Characteristic of Brazilian Laterite
Menentukan karakteristik deformasi permanen dan modulus elastisitas gravel laterite menggunakan uji pembebanan siklik dalam pengujian triaksial pada sampel padat.
45
17 B.V. Venkatarama Reddy, P. Prasanna Kumar (2011)
Cement Stabilisied Rammed Earth: Compaction Characteristic and Physical Properties of Compacted Cement Stabilised Soils
Menentukan karakteristik pemadatan tanah dengan bebeberapa metode pemadatan dan variasi benda uji yang distabilisasi dengan semen, selanjutnya diuji kekuatan tanah tersebut.
18
Yusuf Hamzah, Muh. Saleh Pallu, Lawalenna Samang, Wihardi Tjaronge (2011)
Aplication of Cement Stabilization Sediment Dredged as Subgrade Road of Rigid Pavement
Menentukan modulus reaksi tanah subgradedan deformasi lapisan perkerasan pada perkerasan rigid menggunakan tanah sedimen dengan stabilisasi semen.
19
Yusuf Hamzah, Saleh Pallu, Lawalenna Samang, Wihardi Tjaronge (2012)
Bearing Capacity of The Subgrade Soil Sediment Dredging Bili Bili Dam With Cement Stabilization
Mementukan hubungan daya dukung tanah terhadap persen penambahan semen dan hubungan CBR lapangan dengan modulus reaksi tanah pada tanah sedimen stabilisasi semen.
46
E. Kerangka Pikir dan Konsep Penelitian
Kerangka berfikir adalah model konseptual tentang bagaimana teori
berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai
masalah yang penting (Sugiyono, 2009), maksudnya adalah bagaimana
menjelaskan secara teoritis tautan antara variabel yang akan diteliti.
Kerangka berfikir dalam penelitian ini berupa model konseptual yang
disusun berdasarkan pertimbangan beberapa isu yang berkembang saat
ini. Tanah ferro laterit diharapkan sangat mampu untuk digunakan sebagai
lapisan pondasi jalan (lime treated base) menggantikan material kelas A
dan B, dengan kapasitas daya dukung yang tinggi. Untuk itu perlu
dilakukan rekayasa untuk memberi perkuatan dengan cara stabilisasi
pozzolan (menambahkan kapur atau semen) dengan komposisi yang
paling optimal. Disamping itu kondisi lokal daerah dengan terbatasnya
material grade A dan B, sementara penyebaran tanah ferro laterit sangat
potensial. Untuk lebih jelasnya, kerangka pikir penelitian disusun dalam
bentuk bagan seperti pada Gambar 9.
47
Isu-Isu Strategis Pengujian
Laboratorium
Uji Model Tanah Laterit sebagai Lime
Treated Base
Implementasi Model
- Kondisi geografis dan geologis Indonesia
- Penyebaran tanah laterit yang dominan khususnya di bagian timur Indonesia
- Pertumbuhan jalan yang semakin pesat akibat perkembangan daerah
- Kebutuhan material perkerasan yang semakin tinggi
- Keterbatasan material grade A dan B
- Tanah laterit merupakan asset lokal (local content) yang sangat potensial sebagai alternatif material sub-base
- Kondisi jalan yang mudah rusak akibat lapisan sub-base yang kurang sesuai
- Semakin berkembangnya rekayasa perkuatan tanah dengan stabilisasi untuk menghasilkan material yang lebih ekonomis
Kajian Strategis Model Stabilisasi
Optimum Uji Model
Hasil dan Rekomendasi
Gambar 9. Kerangka pikir penelitian
Tanah Laterit
Stabilisasi Kapur
Pemodelan Prototipe
Lapisan Lime
Treated Base
Variasi Komposisi Bahan
Stabilisasi Lapisan Lime
Treated Base
Pembebanan Statik
Analisis Tegangan,
Displacement, Modulus
Reaksi Tanah, Model
Deformasi (Keruntuhan) dari
Hasil Pengukuran Uji Model
Tanah Laterit
Potensial
Sifat-Sifat Tanah
Stabilisasi
Kapur atau Semen
Karak
teristi
k
Fisik
dan
Meka
nik
Kara
kteris
tik
Mikr
ostru
k tur
Kondisi Optimum
Campuran
Modulus Reaksi Tanah
dan Daya Dukung Tanah,
Deformasi Elastic Treated
Base
Analisis Numerik
Program Plaxis
2D
Parameter Input
untuk Jenis Tanah
Pemodelan dan
Analisis Numerik
Tegangan,
Displacement,
Deformasi Hasil
analisis Numerik
Validasi
48
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi dan Wilayah Penelitian
Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah laterit
yang berasal dari Sorowako Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi
Selatan. Lokasi pengambilan sampel dilakukan pada 2o56’21,16” LS dan
121o36’26,54” BT, seperti diperlihatkan pada Gambar 10.
Gambar 10. Lokasi pengambilan sampel tanah laterit
B. Pengambilan Data dan Sampel
Pengambilan sampel tanah dengan penggalian secara
konvensional menggunakan linggis dan sekop, selanjutnya contoh tanah
ditempatkan dalam karung sampel dan dibungkus dengan plastik untuk
49
menjaga kondisi kadar air asli, dan diberi label inisial sesuai dengan lokasi
sampel yaitu LH1 (sampel dengan kandungan besi rendah) untuk sampel
dari lokasi 1, LH2 (sampel dengan kandungan besi tinggi) untuk sampel
dari lokasi 2, dan LH3 (sampel dengan kandungan besi sedang) untuk
sampel dari lokasi 3, seperti Gambar 11.
Gambar 11. Jenis tanah laterit hasil pengambilan contoh, LH1 (lokasi 1), LH2 (lokasi 2), LH3 (lokasi 3)
C. Rancangan Pengujian dan Model Fisik
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dilakukan di
laboratorium untuk menguji karakteristik tanah laterit dengan stabilisasi
pozzolan (kapur atau semen) sebagai material lime treated base
pengganti lapisan pondasi jalan. Beberapa tahapan yang akan dilakukan
adalah sebagai berikut; pertama, melakukan kajian literatur dan survey
pendahuluan untuk mengidentifikasi masalah dan identifikasi lokasi
pengambilan sampel; kedua, melakukan uji pendahuluan terhadap sampel
yang telah diambil untuk mengetahui karakteristik tanah laterit dan
kemungkinan untuk distabilisasi; ketiga, uji laboratorium karakteristik tanah
LH1 LH2 LH3
50
Mulai
Permasalahan Tanah Laterit
Uji Karakteristik Material
Analisis Sifat-Sifat Tanah
Studi Literatur
Kapur Tanah Laterit (LH1, LH2, LH3)
Pemodelan Campuran Benda Uji
Semen Air
Tanah LH1 + (Kapur / Semen)
(0%, 3%, 5%, 7%, dan 10%)
Tanah LH2 + (Kapur / Semen)
(0%, 3%, 5%, 7%, dan 10%)
Tanah LH3+ (Kapur / Semen) (0%, 3%, 5%, 7%, dan 10%)
Perlakuan Pemeraman (3, 7, 14, dan 28 Hari)
Pembuatan Benda Uji H=2D
Winitial
= Woptimum
Pengujian
Uji Mikrostruktur Uji CBR Uji Kuat Tekan
Bebas
Analisis Data
Komposisi Campuran Paling Efektif
Uji Model Lapisan Lime Treated Base
Gambar 12. Bagan alir proses penelitian untuk tahapan stabilisasi
51
Komposisi Tanah Laterit + Kapur (3, 5, 7, 10%)
Pembuatan Model Lapisan Lime Treated Base
Uji Pembebanan Statik
Lapisan Tanah Laterit = 10 cm
Lapisan Tanah Alluvial = 1,5 m
Wadah (Bak) dimensi H = 2,5 m, L= 2 m, P = 8 m
Kapasitas Dukung Tanah Displacement Vertikal
Data Hasil Pengujian
Model Keruntuhan
Analisis Uji Model Analisis Numerik
Validasi
Kesimpulan
Selesai
Gambar 13. Bagan alir proses penelitian untuk uji model lapisan lime treated base
52
laterit yang distabilisasi dengan kapur dan distabilisasi dengan semen;
dan keempat, uji pemodelan tanah laterit dengan stabilisasi kapur sebagai
lapisan elastic treated base. Prosedur penelitian secara detail
diperlihatkan pada Gambar 12 dan 13.
1. Pengujian Karakteristik Fisik dan Mekanis
Uji labratorium untuk mengatahui sifat-sifat fisik yang meliputi kadar
air, batas-batas konsistensi, distribusi ukuran butir, dan spesifik grafity,
sedangkan uji sifat mekanis meliputi uji pemadatan, uji kuat tekan, dan uji
daya dukung. Pengujian batas-batas konsistensi tanah dilakukan dengan
uji Atterberg Limit, untuk pengujian pemadatan dilakukan dengan
pemadatan Proctor standar, uji kuat tekan dilakukan dengan pengujian
Unconfined Compression Test (alat uji seperti Gambar 14a), dan daya
dukung tanah dilakukan dengan pengujian CBR (alat uji seperti
Gambar 14b). Pengujian laboratorium dilakukan sesuai standard uji
American Standard for Testing and Materials (ASTM) seperti ditunjukkan
pada Tabel 5.
Tabel 5. Standard pengujian menurut ASTM
Type of Testing ASTM Standard Number
Analisis ukuran butir C-136-06
Batas cair (LL) D-423-66
Batas plastis (PL) D-424-74
Indeks Plastisitas (IP) D-4318-10
Spesific gravity (Gs) D-162
Kadar air (Wc) D-2216-98
Kuat tekan bebas (qu) D-633-1994
Pemadatan Proctor standard D-698
California Bearing Ratio (CBR) D-1833
Kuat geser langsung D-3080
X-Ray Difraksi (XRD) D3906-03 (2013)
Scanning Electron Microscope (SEM) E986-04 (2010)
Energy Dispersive X-Ray Spectoscopy (EDAX) E1508-12a
53
Alat yang akan digunakan pada penelitian ini sebelumnya diperiksa
kondisi dan kemampuannya serta dikalibrasi terlebih dahulu. Prosedur
dan cara kerja alat harus dipelajari secara seksama, kemampuan,
ketelitian, serta kapasitas alat harus dipahami secara baik agar tidak
terjadi kesalahan selama pelaksanaan pengujian. Sampel tanah
dipersiapkan sesuai dengan standar prosedur masing-masing pengujian.
2. Desain Stabilisasi Pozzolan
Tanah laterit, kapur atau semen, dan air ditimbang dengan
komposisi rencana untuk menghasilkan campuran material benda uji
sesuai dengan yang telah ditetapkan, pencampuran dilakukan secara teliti
dan diperam selama 24 jam sampai mencapai kondisi setimbang sebelum
dilakukan pengujian.
Benda uji yang digunakan berbentuk silinder dengan dimensi
H = 2D, dibuat dengan cara mencampur tanah laterit dengan kapur atau
tanah laterit dengan semen (komposisi kapur atau semen adalah 0%, 3%,
5%, 7%, dan 10%, dalam kondisi kadar air optimum Proctor. Dimasukkan
dalam cetakan yang telah diolesi minyak pelumas, selanjutnya dilakukan
penumbukan tiap sepertiga bagian dengan jumlah tumbukan 25 kali.
Benda uji kemudian diperam selama 7, 14, 21, dan 28 hari. Rancangan
pengujian benda uji seperti ditunjukkan pada Tabel 6.
54
Gambar 14. Alat uji a) unconfined comppreesion strength, b) CBR test
Tabel 6. Rancangan pengujian laboratorium benda uji
Jenis Pengujian
Jenis Tanah
Pemeraman
(Hari)
Jumlah Benda Uji Data % Kapur dan Semen
0 3 5 7 10
Uji Kuat Tekan Bebas, Uji CBR, Uji Mikrostruktur
LH1
3 3 3 3 3 3
Kuat Tekan Bebas, CBR,
Senyawa Kimia,
Komposisi Mineral
7 3 3 3 3 3
14 3 3 3 3 3
28 3 3 3 3 3
LH2
3 3 3 3 3 3
7 3 3 3 3 3
14 3 3 3 3 3
28 3 3 3 3 3
LH3
3 3 3 3 3 3
7 3 3 3 3 3
14 3 3 3 3 3
28 3 3 3 3 3
Total Benda Uji 36 36 36 36 36
3. Uji Perilaku Miktostruktur
Perilaku mikrostruktur diuji dengan pengujian XRD, SEM, dan EDS.
Uji XRD (alat uji seperti Gambar 15a) untuk mengetahui kandungan
a b
55
mineralogi yang terkandung dalam tanah asli dan tanah campuran, uji
SEM untuk memperoleh gambaran kondisi mikro yang ada dalam tanah,
sedangkan uji EDS untuk memperoleh komposisi unsur dan senyawa
yang terbentuk dalam tanah (alat uji seperti Gambar 15b).
Gambar 15. Alat uji a) XRD test, b) SEM test
4. Uji Model Fisik Lapisan Lime Treated Base
Karakteritik tanah laterit dengan stabilisasi pozzolan (kapur) yang
paling efektif hasil analisis yang telah dilakukan, selanjutnya digunakan
sebagai dasar pembuatan model untuk lapisan pondasi jalan (elastic
treated base). Model dibuat dalam wadah dengan dimensi 2,00 m x 2,00
m x 2,5 m, sedangkan perlapisan tanah terdiri dari lapisan paling bawah
adalah lapisan tanah timbunan alluvial dengan tebal 150 cm, diatasnya
ditempatkan lapisan tanah laterit dengan stabilisasi kapur setebal 10 cm,
kemudian diberi pelat baja setebal 20 mm, selanjutnya diberi pembebanan
statik dengan beban bervariasi.
Pencampuran tanah laterit, air, dan kapur sebagai lapisan lime
treated base, dilakukan berdasarkan perbandingan berat. Kondisi awal
campuran berdasarkan hasil pengujian Proctor standard di laboratorium.
a
b
56
Kadar air tanah campuran dalam bak uji pada kadar air optimum Proctor
standard, sedangkan proses pemadatan tanah dilakukan sesuai dengan
prosesdur pemadatan Proctor standard. Hal ini dilakukan untuk
menyesuaikan tingkat kepadatan material dalam bak uji dengan
pemadatan di laboratorium. Energi pemadatan disesuaikan dengan energi
pemadatan Proctor standard yaitu 600 kN.m/m3, sehingga diharapkan
akan diperoleh d maksimum material dalam bak uji sesuai dengan d
laboratorium. Penampang model dan kerangka kerja alat yang akan
dibuat seperti diperlihatkan pada Gambar 16 dan 17.
Tahapan pengujian model fisik meliputi beberapa tahapan yaitu; (1)
tahapan pengeringan tanah alluvial dan tanah laterit untuk kondisi kadar
air tanah kering udara; tahapan selanjutnya adalah penentuan berat
tanah, berat air, dan berat kapur untuk pencampuran pada kadar air
optimum hasil pemadatan Proctor standard. proses pencampuran
dilakukan berulang-ulang hingga campuran tanah dianggap telah
tercampur baik dan merata; (2) tahapan pemeraman selama 24 jam untuk
memperoleh kesetimbangan kadar air dalam tanah campuran; (3)
selanjutnya tanah campuran dimasukkan dalam bak dan dilakukan
tahapan pemadatan. Pemadatan dilakukan seperti proses pemadatan
laboratorium, energi pemadatan dibuat seperti atau mendekati energi
pemadatan laboratorium yaitu 600 kN-m/m3, sedangkan jumlah tumbukan
proses pemadatan pada bak uji dengan luas 2 m2 sebanyak 9450
tumbukan (75 tumbukan per luas 318 cm2).
57
Gambar 16. Sketsa model fisik untuk uji lapisan pondasi jalan
Gambar 17. Kerangka kerja bak uji model fisik lapisan pondasi jalan
LAPISAN TANAH ALUVIAL (SUBGRADE) 1,5 m
LAPISAN TANAH LATERIT (LIME TREATED BASE) 10 cm
PELAT BAJA 20 mm
BEBAN
2 m
8 m
1,6 m
58
Tingkat kepadatan tanah campuran diharapkan sama atau
mendekati kepadatan laboratorium, untuk itu setelah pemadatan tanah
dalam bak uji dilakukan pengambilan contoh tanah untuk diukur
kepadatannya; (4) tahapan selanjutnya adalah pembebanan dengan
variasi beban 0 sampai 35 kN untuk setiap variasi campuran kapur
3,5,7,10%. Penentuan variasi campuran berdasarkan beberapa penelitian
terdahulu, dengan asumsi jumlah sampel 4 (empat) variasi penambahan
kapur telah representatif untuk menghasilkan kurva yang diharapkan; alat
ukur (dial gauge) ditempatkan pada permukaan tanah campuran dengan
jarak 20 cm, selanjutnya pembacaan dial gauge dilakukan untuk tiap
variasi beban. Tahapan pengujian model fisik tersebut seperti Gambar 18
dan 19.
Gambar 18. Tahapan persiapan tanah campuran dan tahapan pemadatan
59
Gambar 19. Tahapan pengujian
D. Analisis Data dan Validasi Numerik
Karakteristik mikrostruktur tanah laterit dan campuran kapur dan
semen, dianalisis secara deskriptif kualitatif berdasarkan hasil uji SEM dan
uji EDX. Selanjutnya akan diliat perilaku tanah laterit sebelum dan
sesudah distablisasi untuk mengetahui unsur atau senyawa kimia yang
terbentuk akibat proses stabilisasi. Selanjutnya hasil uji XRD akan
dianalisis untuk mengetahui kondisi fase saat proses stabilisasi dan
mineral yang terbentuk.
Karakteristik mekanik yang dihasilkan dari uji kuat tekan bebas, uji
CBR akan dianalisis secara kualitatif untuk mengetahui fungsi antara
60
komposisi campuran dan waktu pemeraman, yang diperjelas dengan hasil
uji mikrostruktur.
Hasil uji untuk proses stabilisasi, selanjutnya dianalisis untuk
memastikan karakteristik tanah laterit, selanjutnya ditentukan komposisi
yang paling efektif untuk dimanfaatkan sebagai lapisan elastic treated
base. Parameter efektif adalah kekuatan dan daya dukung tanah laterit
dengan stabilisasi kapur dan stabilisasi semen, sedangkan variabel yang
mempengaruhi adalah persentase kapur dan persentase semen dan
waktu pemeraman.
Analisis data hasil pengukuran uji model fisik dilakukan untuk
menentukan modulus reaksi tanah (k), deformasi lapisan lime treated
base, dan pola defoemasi yang terjadi dimana pengukuran didasarkan
pada pengaruh lebar lapisan lime treated base tanah laterit stabilisasi
kapur.
Validasi hasil uji model dilakukan analisis secara numerik
menggunakan metode elemen hingga yang sesuai dengan kondisi
pemodelan (menggunakan Plaxis 2D). Model lapisan pondasi jalan
dengan analisis numerik seperti diperlihatkan pada Gambar 20.
Selanjutnya, untuk analisis numerik diperlukan parameter input tanah
seperti pada Tabel 7 dan 8. Model analisis menggunakan Mohr Coulomb
dimana nilai modulus elastisitas (E) ditentukan dari hasil pengujian kuat
tekan tanah di laboratorium.
61
Subgrade Aluvial
Lime Treated Base Tanah Laterit Stabilisasi Kapur
Pelat Baja
Beban Statik
Sistem Jepit
Gambar 20. Problem set model lapisan lime treated base tanah laterit stabilisasi kapur
Tabel 7. Parameter input data tanah
Tabel 8. Parameter material pelat baja
Sistem
Roll
Sistem
Roll
62
E. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Definisi operasional adalah definisi untuk suatu variabel dengan
memberikan arti atau spesifiksi, atau operasionalisasi yang diperlukan
untuk mengukur varibel tersebut. Definisi operasional digunakan untuk
menyamakan pengertian yang beragam antara peneliti dengan pembaca
hasil penelitian, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman. Untuk kejelasan
pemahaman terhadap makna dan pengertian variabel dimaksud dalam
penelitian ini, maka definisi operasional variabel diurakaian sebagai
berikut:
1. Kuat Tekan bebas disimbolkan dengan qu, merupakan variabel
kekuatan tanah dalam menahan beban yang bekerja per satuan luas
dan dinyatakan dalam kN/m2 (kilo newton per meter persegi) atau kPa
(kilo pascal).
2. California bearing ratio disimbolkan dengan CBR, merupakan kapasitas
dukung tanah akibat penetrasi beban yang dinyatakan dalam
persentase (%).
3. Modulus reaksi tanah disimbolkan dengan k, merupakan tekanan tanah
terhadap deformasi vertikal akibat beban yang bekerja per satuan luas
yang dinyatakan dalam kN/m2 pada persen deformasi.
4. Modulus elastisitas tanah disimbolkan E, merupakan ukuran tingkat
kekakuan tanah dan perbandingan tegangan dan regangan tanah yang
dinyatakan dalam kN/m2.
63
5. Stabilisasi kapur merupakan upaya penambahan kapur terhadap tanah
yang dinyatakan dalam persentase (%).
6. Deformasi adalah penurunan vertikal tanah akibat pemberian beban
yang dinyatakan dalam persentase (%) atau milimeter (mm).
64
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Fisik, Mekanis, dan Mikrostruktur Tanah Laterit
Material yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua tipe
material, yaitu material tanah alluvial yang digunakan sebagai lapisan
tanah dasar (subgrade) dan tanah laterite yang digunakan sebagai lapisan
pondasi jalan (lime treated base). Sebagaimana telah dijelaskan bahwa
pengujian karakteristik material meliputi: sifat-sifat fisik (index properties)
dan sifat mekanis untuk tanah alluvial (subgrade), sedangkan untuk tanah
laterit (lime treated base) meliputi: sifat-sifat fisik dan mekanis,
karakteristik mikrostruktur yang terdiri dari kandungan mineral, dan
kandungan kimia, serta foto mikrostruktur. Data hasil pengujian seperti
pada lampiran, sedangkan hasil analisis akan diuraikan sebagai berikut.
1. Karakteristik tanah alluvial sebagai lapisan subgrade
Tanah alluvial yang digunakan diperoleh di sekitar Kabupaten
Gowa, diambil dari beberapa titik sampling secara manual, selanjutnya
diuji di laboratorium untuk menentukan karakteristik fisik dan mekanisnya.
Hasil uji laboratorium dirangkum seperti Tabel 9. Berdasarkan hasil
analisis laboratorium terhadap tanah alluvial seperti yang telah
diperlihatkan pada tabel di atas, maka selanjutnya tanah tersebut dapat
diklasifikasikan sesuai dengan kelas berdasarkan metode klasifikasi tanah
yang umum digunakan.
65
Tabel 9. Karakteristik fisik dan mekanis tanah alluvial (subgrade)
No Karakteristik Tanah Satuan Hasil Pengujian
1 Berat Jenis (Gs) - 2,65
2 Kadar air (w) % 38,850
3 Analisa saringan
a. Pasir % 41,80
b. Lanau % 20,12
c. Lempung % 38,08
4 Batas-batas konsistensi
a. Batas cair (LL) % 65,46
b. Batas plastis (PL) % 33,90
c. Indeks plastis (PI) % 31,56
5 Pemadatan Standard Proctor
a. Berat kering maksimum (d maks) kN/m3 14,01
b. Kadar air optimum (wopt) % 30,789
c. Berat kering model (d model) kN/m3 14,17
d. Kadar air model (wopt) % 31,28
6 Kuat Tekan Bebas (qu) kN/m2 48,85
Modulus Elastisitas kN/m2 2400
Poisson ratio 0,3
7 California Bearing Ratio (CBR) (N=56)
a. CBR tanpa rendaman % 7,33
b. CBR rendaman % 2,68
8 Geser langsung
a. Kohesi (C) kN/m2 12,19
b. Sudut geser dalam () (o) 13
Sistem klasifikasi yang digunakan untuk menentukan kelas tanah
ini adalah sistem klasifikasi AASHTO (American Association of State
Highway and Transportation Officials), sistem klasifikasi USCS (Unified
Soil Classification System) dan sistem klasifikasi ASTM (American
Standard for Testing and Material).
Berdasarkan hasil pengujian karakteristik fisik dan mekanis tanah
dan sistem klasifikasi tanah, maka tanah alluvial yang digunakan
66
merupakan kelas tanah A-7-6 yaitu tanah berlempung menurut AASTHO
dan termasuk dalam kelas tanah CH yaitu tanah lempung dengan
plastisitas tinggi menurut USCS dan ASTM. Dengan klasifikasi tanah
tersebut, tanah alluvial yang digunakan merupakan tanah dengan kualitas
subgrade jelek, sehingga dilakukan proses penyiapan tanah dengan
meningkatkan proses pemadatan tanah sehingga diperoleh kondisi
kepadatan tanah terbaik saat digunakan sebagai subgrade pada saat
dilakukan uji model.
2. Karakteristik Tanah Laterit
Pengujian yang dilakakukan untuk mengetahui karakteristik tanah
laterit meliputi: pengujian sifat fisik dan mekanik, pengujian komposisi
kimia, pengujian kandungan mineral, dan pengujian foto mikrostruktur.
Selanjutnya hasil pengujian dijelaskan sebagai berikut.
a. Karakteristik Fisik dan Mekanis
Tanah laterit diperoleh dari 3 (tiga) titik atau lokasi berbeda seperti
yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Masing-masing sampel diberi
tanda/nama LH1 (kandungan besi rendah) untuk lokasi pertama, LH2
(kandungan besi tinggi) untuk lokasi kedua, dan LH3 (kandungan besi
sedang) untuk lokasi ketiga, secara megaskopis ketiga sampel ini sangat
berbeda dari warnanya, hal ini karena kandungan mineral, proses
pelapukan, dan lingkungan pelapukan batuan asalnya. Selanjutnya
dilakukan pengujian sifat fisik dan mekanis di laboratorium, dengan hasil
analisis pengujian tersebut dirangkum seperti Tabel 10.
67
Tabel 10. Karakteristik fisik dan mekanis tanah laterit
No Karakteristik Tanah Satuan LH1 LH2 LH3
1 Berat Jenis (Gs) - 2,73 2,62 2,66 2 Kadar air (w) % 20,26 22,25 18,86
3 Analisa saringan
a. gravel % - - -
b. sand % 7,69 5,11 8,25
c. Silt/clay % 92,31 94,89 91,75
4 Batas-batas konsistensi
a. Batas cair (LL) % 65,98 68,73 67,77
b. Batas plastis (PL) % 35,92 37,96 36,86
c. Indeks plastis (PI) % 30,06 30,77 30,91
5 Pemadatan Standard Proctor
a. Berat kering maksimum (d maks) kN/m3 16,91 16,92 16,89
b. Kadar air optimum (wopt) % 17,23 16,72 16,53
c. Berat kering model (d model) kN/m3 - 16,25 -
d. Kadar air model (wmodel) % - 17,31 -
6 Kuat Tekan Bebas (qu) kN/m2 71,44 128,88 75,61
7 California Bearing Ratio (CBR)
a. CBR tanpa rendaman % 11,77 22,99 22,80
b. CBR rendaman % 7,67 10,33 8,50
8 Geser langsung
a. Kohesi (C) kN/m2 15,2 16,3 14,7
b. Sudut geser dalam () (o) 18 20 19
Hasil analisis menunjukkan bahwa tanah laterit (LH1, LH2, dan LH3)
termasuk dalam klasifikasi tanah A-7-6 menurut sistem AASHTO, dan CH
menurut sistem klasifikasi USCS dan ASTM. Berdasarkan hasil klasifikasi
ini, tanah laterit termasuk dalam kelas tanah lempung dengan plastisitas
tinggi dan merupakan tanah dengan kualitas sedang sampai buruk,
karenanya diperlukan perbaikan tanah yang efektif (stabilisasi) untuk
menurunkan tingkat plastisitas tanah sehingga dapat digunakan sebagai
lapisan pondasi jalan.
68
Analisis distribusi ukuran butir tanah laterit dilakukan dengan analisa
saringan dan analisa hidrometer. Analisis ini dilakukan untuk ketiga jenis
tanah laterit, hasil pengujian menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan
untuk ketiga jenis tanah tersebut, seperti ditunjukkan pada Tabel 10.
Uji pemadatan dilakukan untuk memperoleh karakteristik kepadatan
tanah maksimum dan kadar air optimum, yang selanjutnya digunakan
untuk menentukan kondisi awal sampel uji kekuatan tanah dan daya
dukung tanah. Pengujian menggunakan uji Proctor Standard untuk ketiga
jenis tanak laterit. Hasil analisis dari pemadatan seperti Tabel 10,
diperoleh kadar air optimum dan berat isi kering tanah adalah 17,234%
dan 16,91 kN/m3 untuk LH1, 16,72% dan 16,92 kN/m3 untuk LH2, dan
16,53% dan 16,89 kN/m3 untuk LH3.
Analisis kekuatan dan daya dukung tanah laterit dilakukan dengan
uji unconfined compression test (UCT) dan uji California bearing ratio
(CBR). Hasil analisis pengujian kuat tekan (UCS) seperti Tabel 10, terlihat
bahwa peningkatan kepadatan tanah maksimum seiring peningkatan
waktu peram sampai 28 hari, mengakibatkan peningkatan kekuatan tanah
sampai pada kondisi tanah menjadi sangat kaku (18,2 kN/m3 untuk LH1,
19,1 kN/m3 untuk LH2, dan 19,8 kN/m3 untuk LH3). Sedangkan kekuatan
tanah meningkat meningkat menjadi; 72,35 kN/m2 untuk LH1, 156,2 kN/m2
untuk LH2, dan 80,11 kN/m2 untuk LH3. Penambahan beban saat tanah
mengalami penekanan sampai batas keruntuhannya, memperlihatkan
bentuk keruntuhan tanpa tegangan sisa (non-residual strength), pada
69
kondisi ini tanah bersifat stiff dan brittle. Berdasarkan klasifikasi tanah
menurut kekuatannya maka tanah laterit ini termasuk dalam kelompok
tanah firm sampai stiff, seperti Tabel 11, kriteria kekuatan tanah menurut
Bowles (1985).
Tabel 11. Kategori kekuatan tanah (Bowles, 1985)
Kategori UCS (kPa) Density (gr/cm2) Identifikasi Lapangan
Very Soft 0 – 20 1,5 - 1,6 easily penetrated by fist
Soft 25 – 50 1,6 – 1,8 easily penetrated a few cm by thumb
Firm 50 – 100 1,7 – 2,0 can only be penetrated 1-2 cm with
cinsiderable effort by thumb
Stiff 100 – 200 1, 8 – 2,1 can be indented by thumb but not penetrated
Very Stiff 200 – 400 1,9 – 2,2 readily indented with thumbnail
Hard >400 1,9 – 2,3 only just indented with thumbnail, with
difficulty
Dominasi mineral lempung terutama montmorilonite pada tanah
laterit LH2 pada kondisi kapadatan maksimum mengakibatkan
kekuatannya lebih besar dari tanah LH1 dan LH3, hal ini sesuai dengan
komposisi mineralogi lapisan dasar tanah atau unit struktur mineral
montmorilonite. Struktur mineral ini merupakan suatu elemen dengan
bentuk lapisan alumina oktahedral antara dua lapisan silika tetrahedra.
Struktur alumina oktahedra tersusun dari satu atom alumina dan enam
hydroxyl dalam bentuk silika tetrahedral oktahedral dengan satu atom
silikon dan empat atom oxigen dalam bentuk tetrahedral (Mitchell, 1993).
Hasil uji karakteristik kekuatan tanah laterit ini sesuai dengan beberapa
penelitian sebelumnya diantaranya: Sree Danya, et. al (2010), Amu, O.O.,
et al. (2011), dan Aminaton, et. al. (2013). Meskipun demikian, hasil ini
merupakan tahapan awal dalam upaya pemanfaatan tanah laterit sebagai
70
lapisan pondasi jalan, masih perlu dilakukan pengujian karakteristik lebih
detail dengan melakukan stabilisasi tanah secara efektif dan ekonomis
dan perlu dilakukan uji model lapisan pondasi jalan menggunakan tanah
laterit khususnya untuk tanah laterit LH2.
Peningkatan kepadatan tanah dan kekuatan tanah seiring dengan
peningkatan waktu pemeraman, juga mengakibatkan peningkatan daya
dukung tanah. Hasil pengujian CBR tanpa rendaman, diperoleh nilai daya
dukung tanah (CBR) tanah laterit masing-masing 11,77% untuk LH1,
22,99% untuk LH2, dan 22,80% untuk LH3. Sedangkan hasil uji CBR
dengan rendaman diperoleh nilai CBR tanah laterit masing-masing 7,67%
untuk LH1, 10,33% untuk LH2, dan 8,50% untuk LH3.
Merujuk pada kriteria daya dukung tanah yang dapat digunakan
sebagai lapisan perkerasan jalan (Bowles, 1990) seperti ditunjukkan pada
Tabel 12, maka tanah laterit LH1 termasuk dalam kelompok fair (7-20%),
LH2 termasuk dalam kelompok good (20-50%), dan LH3 termasuk dalam
kelompok good (20-50%).
Tabel 12. Kriteria umum tanah berdasarkan nilai CBR (Bowles, 1990)
Nilai CBR Kondisi Umum
Penggunaan Sistem Klasifikasi
0-3 Very poor Sub-grade OH,CH, MH, OL 3-7 Poor-fair Sub-grade OH, CH, MH, OL
7-20 Fair Sub-grade OL, CL, ML, SC, SM, SP 20-50 Good Base, sub-grade GM, GC, SW, SM, SP, GP
50 excelent Base GW, GM
Dengan demikian tanah laterit ini sangat potensial untuk digunakan
sebagai lapisan tanah dasar (subgrade) dan lapisan pondasi jalan (base).
71
Untuk lebih meyakinkan lagi diperlukan upaya untuk meningkatkan kinerja
tanah ini, salah satu caranya adalah dengan melakukan stabilisasi.
b. Karakteristik Mineralogi Tanah Laterit
Kandungan mineral diketahui dengan pengujian mikrostruktur
menggunakan uji x-ray difraction (XRD). Prinsip dasar dari XRD adalah
hamburan elektron yang mengenai permukaan kristal. Bila sinar
dilewatkan ke permukaan kristal, sebagian sinar tersebut akan
terhamburkan dan sebagian lagi akan diteruskan ke lapisan berikutnya.
Sinar yang dihamburkan akan berinterferensi secara konstruktif
(menguatkan) dan destruktif (melemahkan). Hamburan sinar yang
berinterferensi inilah yang digunakan untuk analisis. Difraksi sinar X hanya
akan terjadi pada sudut tertentu sehingga suatu zat akan mempunyai pola
difraksi tertentu. Pengukuran kristalinitas relatif dapat dilakukan dengan
membandingkan jumlah tinggi puncak pada sudut - sudut tertentu dengan
jumlah tinggi puncak pada sampel standar. Hasil uji diperlihatkan seperti
Gambar 21. Hasil interpretasi kurva dirangkum pada Tabel 13 .
Tabel 13. Kandungan mineral tanah laterit
Mineral Content (%) Laterite Soil
LH1 LH2 LH3
hematite HP, iron(III) oxide 13 7 1
Kaolinite 20 8 67
Illite-montmorillonite (NR) 60 83 18
rutile HP 1 2 11
Magnesium Silicate 6 0 3
72
Gambar 21 Hasil pengujian X-Ray difraksi (XRD)
LH1
LH2
LH3
73
Tanah laterit didominasi oleh mineral-mineral lempung illite-
montmorillonite (Na,Ca)0,3(Al,Mg)2Si4O10(OH)2•n(H2O) sebesar 18 – 83%
dan kaolinite (Al2Si2O5(OH)4) sebesar 8 - 67%, dengan mineral hematite
(Fe2O3) antara 1 - 13%, sedangkan rutile (TiO2) dan magnesium silikat
masing-masing antara 1 – 11% dan 0 – 6%. Sesuai dengan hasil uji
karakteristik fisik, tanah laterit termasuk kelas tanah lempung dengan
plastisitas tinggi, telah sesuai dengan hasil pengujian kandungan
mineralnya.
3. Karakteristik Kimia Tanah Laterit
Komposisi unsur kimia dan gambaran permukaan struktur mikro
tanah laterit diketahui dengan pengujian SEM-EDS (scanning electron
microscopy with energy dispersive spectroscopy).
Hasil pengujian tersebut seperti ditunjukkan pada Tabel 14, dan
gambaran permukaan mikrostruktur hasil pengujian SEM diperlihatkan
pada Gambar 22.
Tabel 14. Komposisi unsur kimia tanah laterit
Element (%) Laterite Soil
LH1 LH2 LH3
MgO 2,33 0,83 1,28
Al2O3 4,41 5,73 8,45
SiO2 12,58 2,28 3,71
K2O 0,1 - -
TiO2 0,08 - -
FeO 80,5 86,55 84,88
SO3 - 1,05 -
CaO - 0,25 -
MnO - 0,24 -
NiO - 2,78 1,38
74
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20keV
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
cps/eV
O Mg Al
Si
K K
Ti
Ti
Fe
Fe
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20keV
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
cps/eV
O Mg Al
Si
S Ca Ca
V V
Mn
Mn Fe
Fe
Ni
Ni
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20keV
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
cps/eV
O Mg Al
Si
V V
Fe
Fe
Ni
Ni
Gambar 22. SEM foto mikrograf tanah laterit
Foto mikrograf memperlihatkan kondisi mikro pori yang relatif
besar, mineral-mineral lempung terflokulasi dan menyebar mengelilingi
mineral-mineral logam. Tanah laterit didominasi oleh besi oksida (FeO)
antara 80-86%, silika (SiO2) antara 2-12%, dan aluminium oksida (Al2O3)
4-8%. Sedangkan unsur kimia lainnya adalah MgO, K2O, TiO2, SO3, CaO,
MnO, dan NiO.
LH1
LH2
LH3
75
B. Kapasitas Dukung Tanah Laterit Stabilisasi Kapur dan Semen
Karakteristik tanah laterit menunjukkan suatu potensi pemanfaatan
yang cukup baik untuk digunakan sebagai lapisan pondasi jalan (lime
treated base), namun perlu dilakukan perbaikan dengan stabilisasi agar
dapat memenuhi persyaratan daya dukung lapisan pondasi jalan. Untuk
maksud tersebut, dilakukan stabilisasi kapur (CaO) yang relatif lebih
murah, sedangkan stabilisasi semen dilakukan sebagai pembanding.
Pengujian yang dilakukan untuk melihat kinerja tanah laterit dengan
stabilisasi adalah uji kekuatan tanah menggunakan pengujian kuat tekan
bebas (unconfined compression test), dan uji daya dukung tanah
menggunakan pengujian California bearing ratio (CBR).
1. Uji Kuat Tekan Bebas
Pengujian kuat tekan bebas dimaksudkan untuk mengetahui nilai
kekuatan dukung tanah (qu) tanah laterit, dengan variasi penambahan
kapur dan semen masing-masing 3%, 5%, 7%, dan 10%, dengan waktu
peram 3, 7, 14, dan 28 hari. Campuran tanah laterit dengan kapur atau
dengan semen didasarkan pada kondisi optimum Proctor, yaitu pada
kondisi berat isi kering maksimum dan kadar air optimum. Hasil pengujian
kuat tekan bebas untuk tanah laterit stabilisasi kapur dirangkum seperti
Gambar 23. Perubahan kuat tekan bebas (qu) tanah laterit LH1, LH2, dan
LH3 dengan stabilsasi kapur mengalami peningkatan signifikan (tiga kali
lebih besar dari tanah asli) seiring penambahan kapur dan peningkatan
waktu peram. Peningkatan kuat tekan tanah untuk semua tanah laterit,
76
yaitu 69,98 kPa sampai 73,20 kPa untuk LH1, 81,05 kPa – 156,20 kPa
untuk LH2, dan 76,08 kPa – 80,01 kPa untuk LH3. Hasil menunjukkan
bahwa kuat tekan tanah LH2 lebih besar dari LH1 dan LH3.
Gambar 23. Hubungan nilai qu tanah laterit terhadap penambahan kapur (CaO) dan waktu peram
Hal ini terjadi karena partikel-partikel lempung memiliki muatan
permukaan tinggi yang dapat menarik kation (ion bermutan positif) dan
dipole-dipole air. Terjadi dua reaksi, yaitu pertukaran kation dan flokulasi
agglomerasi, berlangsung cepat dan langsung menghasilkan perkuatan
pada plastisitas tanah, kemampuan, kekuatan yang awet, dan sifat-sifat
beban-deformasi. Pengaruh langsung penambahan kapur pada tanah
diperoleh tanpa pemeraman dan selama tahapan konstruksi, yang
berhubungan dengan reaksi pertukaran kation dan flokulasi agglomerasi
yang terjadi bila kapur dicampurkan dengan tanah. Pengaruh stabilisasi
jangka panjang terjadi selama dan setelah pemeraman, dan sangat
77
penting untuk kekuatan dan daya tahan. Bila pengaruh ini dihasilkan
sampai batas tertentu akibat pertukaran kation dan flokulasi-agglomerasi,
utamanya akan dihasilkan pozzolanic strength gain (Mallela et. al, 2004).
Perubahan kuat tekan bebas tanah laterit dengan stabilisasi semen
3, 5, 7, dan 10% untuk waktu peram 3, 7,14, dan 28 hari lebih jelasnya
diperlihatkan pada Gambar 24.
Gambar 24. Hubungan nilai qu tanah laterit terhadap penambahan semen dan waktu peram
Berdasarkan Gambar 24, terlihat bahwa penambahan semen dan
peningkatan waktu peram pada tanah laterit meningkatkan kuat tekan
tanah menjadi 4 (empat) kali lebih besar dari tanah aslinya
(73,2 kPa - 357,5 kPa untuk LH1, 79,12 kPa - 588,7 kPa untuk LH2, dan
62,89 kPa - 450,6 kPa untuk LH3). Fenomena ini diakibatkan oleh
beberapa hal, yaitu; terjadi pertukaran ion-ion K+ (potassium) dan Na+
78
(sodium) yang terkandung dalam tanah lempung oleh ion-ion Ca++ dan
Mg++ yang terkandung didalam semen; pertukaran kation pada partikel-
partikel lempung membuat ukuran partikel menjadi bertambah besar dan
mengurangi indeks plastisitas tanah yang kemudian diikuti oleh penurunan
potensi pengembangan tanah; peningkatan derajat keasaman (pH) tanah
yang berakibat pada peningkatan kapasitas pertukaran ion-ion positif
(kation); bercampurnya silica (SiO2), dan alumina (Al2O3) dari semen
dengan air membentuk pasta yang mengikat partikel lempung dan
menutupi pori-pori tanah, rongga-rongga pori yang dikelilingi bahan
sementasi yang lebih sulit ditembus air akan membuat campuran tanah-
semen lebih tahan terhadap penyerapan air sehingga menurunkan sifat
plastisitasnya; meningkatnya kepadatan maksimum tanah akibat reaksi
posolanik yang semakin meningkat karena unsur-unsur SiO2, Al2O3, dan
Fe2O3 yang bertambah oleh semen, proses pozzolan ini terjadi antara
kalsium hidroksida dari tanah bereaksi dengan silikat (SiO2) dan aluminat
(Al2O3) dari semen membentuk material pengikat yang terdiri dari kalsium
silikat atau aluminat silikat; reaksi ion Ca2+ dengan silikat (SiO2), dan
aluminat (Al2O3) dari permukaan partikel lempung membentuk pasta
semen (hydrated gel) sehingga mengikat partikel-partikel tanah.
Fenomena ini hampir sama dengan stabilisasi menggunakan kapur,
karena reaksi-reaksi dan ikatan partikel-partikel yang terjadi merupakan
reaksi yang membentuk bahan pengikat pozzolan.
79
0
20
40
60
80
100
0 2 4 6 8 10
Nilai
CB
R (
%)
% Kapur
LH1-3 hariLH1-14 hariLH1-28 hari
0
20
40
60
80
100
0 2 4 6 8 10
% Kapur
LH2-3 hari
LH2-14 hari
LH2-28 hari
0
20
40
60
80
100
0 2 4 6 8 10
% Kapur
LH3-3 hari
LH3-14 hari
LH3-28 hari
2. Uji California Bearing Ratio (CBR)
Daya dukung tanah laterit stabilisasi kapur dan stabilisasi semen
diuji dengan pengujian California bearing ratio di laboratorium. Perubahan
nilai daya dukung (CBR) tanah laterit stabilisasi kapur 3,5,7,dan 10%
dengan waktu peram 3,14, dan 28 hari seperti Gambar 25.
Gambar 25. Hubungan nilai CBR tanah laterit terhadap penambahan kapur dan waktu peram
Gambar 25 memperlihatkan perubahan nilai daya dukung (CBR)
tanah laterit stabilisasi kapur dengan variasi waktu peram. Peningkatan
jumlah persen kapur dan waktu peram menyebabkan daya dukung tanah
semakin meningkat. Reaksi pozzolanic yang menyebabkan terjadinya
pozzolanic strength gain meningkatkan kekuatan tanah juga
meningkatkan daya dukung tanah. Peningkatan nilai CBR untuk masing-
masing jenis tanah laterit, yaitu; 11,67% sampai 51,67% untuk LH1, 14%
sampai 53,33% untuk LH2, dan 14,17% sampai 71,67% untuk LH3.
80
Perubahan nilai daya dukung (CBR) tanah laterit stabilisasi semen
3,5,7,dan 10% dengan waktu peram 3,14, dan 28 hari seperti Gambar 26
Gambar 26. Hubungan nilai CBR tanah laterit terhadap penambahan semen dan waktu peram
Peningkatan nilai CBR tanah laterit stabilisasi semen pada Gambar
26, terjadi seiring dengan meningkatnya persen semen dan waktu peram.
Seperti pada stabilisasi kapur, reaksi SiO2, Al2O3, dan Fe2O3 dari semen,
menyebabkan peningkatan kekuatan tanah akibat terbentuknya
pozzolanic strength gain. Perubahan nilai CBR untuk masing-masing
tanah laterit, yaitu; 13,33% sampai 53,33% untuk LH1, 15,67% sampai
50,33% untuk LH2, dan 20,00% sampai 105,00% untuk LH3.
Sementara untuk pengujian nilai CBR lapangan dilakukan untuk
melihat hubungan antara nilai modulus reaksi tanah (k) pada saat
pengujian model yang akan diuraikan pada bagian tersendiri. Uji model
dilakukan hanya pada tanah laterit dengan kondisi terbaik berdasarkan
0
20
40
60
80
100
0 2 4 6 8 10 12
Nilai
CB
R (
%)
% Semen
LH1-3 hariLH1-14 hariLH1-28 hari
0
20
40
60
80
100
120
140
0 2 4 6 8 10 12
% Semen
LH3-3 hari
LH3-14 hari
LH3-28 hari
0
20
40
60
80
100
0 2 4 6 8 10 12
% Semen
LH2-3 hariLH2-14 hariLH2-28 hari
81
hasil pengujian laboratorium. Berdasarkan hal tersebut maka tanah laterit
yang digunakan untuk pengujian model lime treated base adalah tanah
laterit LH2 dengan stabilisasi kapur.
3. Uji Mikrostruktur Tanah Laterit dengan Stabilisasi
Pengujian mikrostruktur dilakukan untuk mengetahui kandungan
mineral dan komposisi kimia dan foto mikrograf tanah laterit dengan
stabilisasi (kapur dan semen) dengan uji EDS, SEM, dan XRD. Hasil uji
XRD dan SEM untuk tanah laterit dengan stabilisasi untuk memperoleh
kandungan mineral dan foto mikrograf seperti ditunjukkan pada Tabel 15.
Tabel 15. Kandungan mineral tanah laterit dengan stabilisasi
82
Berdasarkan Tabel 15, penambahan bahan stabilisasi kapur dan
semen pada tanah laterit menghasilkan reaksi pozzolanic dan membentuk
mineral portlandite (Ca(OH)2), dengan jumlah yang signifikan pada tanah
LH2 yang distabilisasi semen. Hal ini juga terlihat pada hasil uji SEM
seperti pada Gambar 27, 28, dan 29.
Gambar 27. Hasil uji EDS dan foto mikrograf tanah laterit LH1 dengan stabilisasi
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20keV
0
2
4
6
8
10
cps/eV
O Si Al
Na Mg
Ca Ca
Cr Cr
Fe
Fe
Ni
Ni
S
S
LH1+Lime 28 days
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20keV
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
cps/eV
O Mg Al
Si
K K
Ti
Ti
Fe
Fe
LH1
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20keV
0
1
2
3
4
5
6
cps/eV
O Si Al
Na Mg
S Ca Ca
Fe Fe Mn Mn
LH1+Cement 28 days
83
Gambar 28. Hasil uji EDS dan foto mikrograf tanah laterit LH2 dengan stabilisasi
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20keV
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
cps/eV
O Mg Al
Si
S Ca Ca
V V
Mn
Mn Fe
Fe
Ni
Ni
LH2
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20keV
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5 cps/eV
O Si Al
Na Mg
Ca Ca
Cr Cr
Fe
Fe
LH2+Lime-28 days
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20keV
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
cps/eV
O Si Al
Mg
Ca Ca
Ti Ti
Cr
Cr
Fe
Fe
Ni
Ni
S
S
LH2+Cement 28 days
84
Gambar 29. Hasil uji EDS dan foto mikrograf tanah laterit LH3 dengan stabilisasi
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20keV
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
cps/eV
O Mg Al
Si
V V
Fe
Fe
Ni
Ni
LH3
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20keV
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
cps/eV
O Si Al
Na
Fe Fe
Ni
Ni
Cr
Cr Mg
Ca Ca
Ti
Ti
LH3+Lime-28 day
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20keV
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
cps/eV
O Si Al
Na Mg
K K Ca
Ca Fe
Fe
Ni Ni
Cr
Cr
S
LH3+Cement 28 day
85
Berdasarkan Gambar 27, 28, dan 29, terlihat bahwa tanah laterit
tanpa stabilisasi memperlihatkan struktur mikropori yang besar, sementara
setelah distabilisasi dengan kapur menunjukkan struktur flokulasi dan
aglomerasi terbentuk gel yang tersementasi calsium silikat hidrat (C-S-H)
yang menutupi pori, sehingga pori mikro semakin kecil dan fabrik tanah
menjadi semakin padat. Hal ini juga terjadi pada stabilisasi semen, terlihat
struktur fabrik tanah yang semakin padat akibat mikro pori tertutupi oleh
gel tersementasi calsium alumino silikat hidrat (C-A-S-H) (Latifi et.al, 2014)
dan terbentuk kalsium hidroksida (Ca(OH)2 yang dikenal dengan mineral
portlandite.
4. Kinerja Stabilisasi Pozzolan pada Tanah Laterit
Hasil pengujian kuat tekan, CBR, dan mikrostruktur campuran
tanah laterit dengan kapur dan semen telah diuraikan sebelumnya.
Peningkatan persen bahan stabilisasi sampai 10% dengan waktu peram
28 hari mengakibatkan peningkatan kuat tekan dan nilai CBR tanah
campuran menjadi tiga kali lebih tinggi untuk stabilisasi kapur dan empat
kali lebih tinggi untuk stabilisasi semen terhadap tanah tanpa stabilisasi.
Peningkatan kuat tekan dan daya dukung tanah ini terjadi karena
penambahan kapur atau semen (stabilisasi pozzolan) pada tanah
mengalami tiga proses, yaitu hidrasi kapur atau hidrasi semen, reaksi
pertukaran kation, dan reaksi pozzolanic karbonasi (Jaritngam et. al.,
2014). Proses hidrasi semen atau hidrasi kapur merupaka reaksi kimia
antara kapur atau semen dengan air dimana kalsium hidroksida atau
86
hidrasi kapur (Ca(OH)2) atau mineral portlandite terbentuk. Reaksi ini
meliputi pertukaran ion kalsium (Ca2+), adsorpsi Ca(OH)2 oleh partikel-
partikel dan sementasi pada kontak inter-partikel oleh mineral tobermorite.
Kalsium silikat, Ca(OH)2, dan gel tobermorite yang menyebabkan
kenaikan kekuatan tanah campuran. Reaksi pertukaran kation meliputi
pergantian ion Na+ dan H+ dalam tanah dengan ion Ca2+ dari kapur atau
semen. Partikel-partikel lempung terus menerus menyerap Ca(OH)2
sampai jenuh. Pertukaran ini mereduksi plastisitas, meningkatkan kinerja,
dan kekuatan tanah. Reaksi ini langsung terjadi pada saat pencampuran
bahan stabilisasi ke dalam tanah.
Reaksi pozzolanic dan karbonisasi meliputi reaksi antara partikel-
partikel lempung dengan Ca(OH)2 yang dihasilkan oleh kapur atau
semen. Hal ini berkontribusi pada kekuatan jangka panjang material-
material pozzolanic. Kekuatan tanah yang distabilisasi meningkat seiring
waktu terjadinya reaksi ini. Kalsium hidroksida pada reaksi tanah-air
dengan silikat dan aluminat dalam tanah membentuk material
tersementasi atau bahan pengikat yang terdiri dari kalsium silikat hidrat
(CSH). Penambahan kapur atau semen pada tanah laterit membentuk
kalsium aluminat silikat hidrat (CASH). Sejalan dengan terjadinya reaksi
pozzolanic, CASH perlahan berubah menjadi fase kristalin dalam bentuk
kalsium silikat hidrat (CSH) dan kalsium aluminium hidrat (CAH) yang
mengalami pengerasan seiring waktu untuk membentuk campuran
permanen yang mengikat partikel-partikel tanah. Kondisi inilah yang
87
lime
menyebabkan peningkatan kekuatan tanah laterit stabilisasi kapur dan
stabilisasi semen.
Mekanisme reaksi kimia yang terjadi pada stabilisasi tanah laterit
dengan kapur atau semen ditunjukkan pada Gambar 30.
Gambar 30. Reaksi kimia antara tanah laterit dengan kapur/semen
Reaksi yang terjadi berdasarkan Gambar 30, dapat diuraikan
seperti persamaan 3 (Solanki et. al., 2012).
SiO2.Al2O3.Fe2O3 + CaO + H2O → CaO(SiO2) H2O + CaO.Al2O3.H2O
+ CaO. 2Fe(OH)3 (3)
Kinerja stabilisasi tanah laterit dengan kapur dan semen seperti
diuraikan di atas, menyebabkan peningkatan kuat tekan tanah. Kepadatan
dan sudut geser dalam tanah meningkat menyebabkan daya dukung
tanah juga mengalami peningkatan.
88
Kinerja ini juga diperlihatkan dari hasil uji mikrostruktur seperti ditunjukkan
pada Gambar 27, 28, dan 29. Jika dibandingkan dengan beberapa hasil
uji mikrostruktur terhadap tanah laterit dan lempung lainnya maka tanah
laterit Sorowako dengan stabilisasi kapur memiliki kondisi mikrostruktur
relatif lebih baik, terlihat dari foto mikrostruktur seperti pada Gambar 31.
Gambar 31. Foto SEM beberapa tanah laterit dan lempung dengan stabilisasi
Berdasarkan Gambar 31, tanah laterit Sorowako stabilisasi kapur
memperlihatkan struktur yang sangat kompak dan padat, jika
dibandingkan dengan tanah laterit dan lempung lainnya. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa penambahan kapur pada tanah laterit Sorowako
menyebabkan perubahan mikrostruktur tanah menjadi lebih baik,
89
sehingga kinerja tanah menjadi lebih baik dan sangat potensial untuk
digunakan sebagai lapisan pondasi jalan, sesuai kriteria standard untuk
lapisan base jalan yaitu nilai CBR minimum 50% dan IP ≤ 4%.
C. Deformasi dan Modulus Reaksi Tanah Laterit Stabilisasi Kapur
Pengujian model deformasi lapisan lime treated base tanah laterit
stabilisasi kapur dilakukan dengan uji pembebanan statik. Pengujian ini
dilakukan untuk mengetahui pola deformasi yang terjadi pada lapisan
tanah dengan penambahan persentase kapur 3%, 5%, 7%, dan 10%.
Selanjutnya tiap persentase kapur tersebut ditentukan nilai CBR masing-
masing yaitu CBR 3%, CBR 5%, CBR 7%, dan CBR 10%, dengan
diketahuninya nilai CBR ini berikutnya dilakukan analisis untuk
menentukan modulus rekasi tanah laterit stabilisasi kapur (nilai k).
Deformasi lapisan tanah laterit stabilisasi kapur akibat pembebanan statik
seperti Gambar 32.
Berdasarkan Gambar 32 dilakukan analisis untuk menentukan nilai
modulus elastisitas tanah dan modulus reaksi tanah, serta hubungannya
dengan CBR untuk variasi stabilisasi kapur 3%, 5%, 7%, dan 10%.
Modulus elastisitas menunjukkan tingkat kekauan tanah saat mengalami
pembebanan, dan merupakan kekuatan tanah maksimum pada zona
elastis yang ditentukan sebagai perbandingan tegangan tanah terhadap
deformasi (regangan), ditentukan dari setengah kekuatan tanah pada
zona elastis.
90
Gambar 32. Hubungan pembebanan terhadap deformasi vertikal tanah laterit stabilisasi kapur
Sedangkan modulus reaksi tanah menunjukkan besarnya tekanan
tanah saat mengalami pembebanan. Selanjutnya hasil analisis nilai
modulus elastisitas tanah dan modulus reaksi tanah laterit dengan
stabilisasi kapur 3, 5, 7, dan 10% ditunjukkan pada Gambar 33.
Gamabr 33. Hubungan modulus elastisitas dan modulus reaksi tanah terhadap persen kapur
91
Berdasarkan Gambar 33, terlihat bahwa hubungan antara
persentase kapur terhadap modulus elastisitas tanah dan modulus reaksi
tanah adalah linier. Semakin bertambah kandungan kapur, nilai modulus
elastisitas dan modulus reaksi tanah semakin meningkat, hal ini sejalan
dengan hasil uji karakteristik kuat tekan tanah. Peningkatan modulus
elastisitas sangat signifikan sampai empat kali lipat, sedangkan
peningkatan modulus reaksi tanah mencapai tiga kali lipat. Terlihat juga
bahwa modulus elastisitas lebih besar dari modulus reaksi tanah,
menunjukkan bahwa kekuatan tanah semakin baik dengan stabilisasi
kapur.
Berdasarkan Gambar 32, untuk stabilisasi 3% kapur diperoleh nilai
deformasi 8,2 mm dan nilai tekanan (q) 330 kN/m2, sehingga diperoleh
nilai k sebesar 40,2 kN/m2/mm. Stabilisasi 5% kapur diperoleh deformsi
6,0 mm dengan tekanan (q) 362,5 kN/m2, sehingga dihasilkan nilai k
sebesar 60,4 kN/m2/mm. Stabilisasi 7% kapur, diperoleh nilai deformasi
4,5 mm dan nilai tekanan (q) 387,5 kN/m2, sehingga dihasilkan nilai k
sebesar 86,1 kN/m2/mm. Sedangkan untuk stabilisasi 10% diperoleh nilai
deformasi 3,3 mm dan nilai tekanan (q) 437,5 kN/m2, sehingga dihasilkan
nilai k sebesar 132,6 kN/m2/mm.
Hasil analisis modulus reaksi tanah (k) dan CBR tanah laterit
dengan variasi stabilisasi 3%. 5%, 7%, dan 10% kapur dirangkum seperti
Tabel 16.
92
Tabel 16. Hasil analisis nilai k untuk variasi persen kapur
Variasi kapur (%)
(kN/m2) Deformasi (10-3 m)
Nilai k (kN/m2
per mm) CBR (%)
3 330 8,2 40,2 12,00 5 362,5 6,0 60,4 31,92 7 387,5 4,5 86,1 40,91
10 437,5 3,3 132,6 45,00
Berdasarkan Tabel 16 dapat digambarkan hubungan antara nilai
CBR dan nilai modulus reaksi tanah (k) untuk tanah laterit stabilisasi
kapur. Grafik ini seperti yang telah dihasilkan oleh PU Bina Marga untuk
tanah umum dan Hamzah Yusuf (grafik analisis Hmz) untuk tanah
sedimen Bili Bili, diperlihatkan pada Gambar 34. Grafik tersebut dapat
dibandingkan dengan grafik yang sama dari PU Bina Marga untuk tanah
umum dan grafik Hmz untuk tanah sedimen Bili Bili stabilisasi semen,
seperti pada Gambar 35.
Gambar 34. Hubungan nilai k dan CBR tanah laterit stabilisasi kapur
93
Gambar 35. Hubungan nilai CBR dan k tanah laterit, analisis HMZ, dan PU Bina Marga
Berdasarkan Gambar 35, terlihat bahwa kurva hubungan nilai
modulus reaksi tanah (k) dan CBR untuk 3 (tiga) jenis tanah yaitu tanah
umum menurut PU. Bina Marga, tanah sedimen pengerukan Bili Bili
stabilisasi semen dan tanah laterit stabilisasi kapur. Kurva menunjukkan
bahwa tanah laterit stabilisasi kapur berada di antara tanah sedimen
stabilisasi semen dan tanah umum, atau dapat dikatakan bahwa pada nilai
modulus elastisitas tertentu maka nilai CBR tanah laterit stabilisasi kapur
lebih besar dari nilai CBR tanah sedimen stabilisasi semen dan lebih kecil
dari nilai CBR tanah umum. Hasil ini membuktikan bahwa tanah laterit
stabilisasi kapur memiliki kinerja lebih baik dari tanah sedimen stabilisasi
semen dan mendekati tanah umum.
94
Selanjutnya, dari hasil analisis dan uraian sebelumnya, dapat
digambarkan hubungan antara persentase penambahan kapur dengan
nilai CBR dan nilai modulus reaksi tanah (k), seperti Gambar 36.
Gambar 36. Hubungan persentase kapur dengan CBR dan nilai k tanah laterit stabilisasi kapur
Berdasarkan Gambar 36, dapat ditentukan persentase kapur untuk
desain CBR tertentu dan besarnya nilai modulus reaksi tanah. Kurva ini
sangat membantu dalam pelaksanaan desain lapisan lime treated base.
Kurva ini juga menunjukkan bahwa tanah laterit stabilisasi kapur memiliki
potensi pemanfaatan sebagai lapisan lime treated base meskipun pada
penelitian ini masih terbatas sampai stabilisasi 10% kapur.
Pengujian pembebanan model lapisan lime treated base tanah
laterit stabilisasi kapur 3%, 5%, 7%, dan 10% dengan lapisan tanah dasar
alluvial dilakukan untuk melihat model deformasi yang terjadi pada lapisan
95
tersebut, dimaksudkan untuk mengetahui persentase kapur pada tanah
laterit yang paling memenuhi syarat sebagai lapisan lime treated base.
Hasil pengujian digambarkan dalam bentuk hubungan antara jarak
pembacaan dial (cm) dan penurunan (mm) yang terjadi pada saat
pembebanan dilakukan. Hubungan tersebut seperti pada Gambar 37.
Gambar 37 menunjukkan bahwa semakin besar beban yang
diberikan, semakin besar pula deformasi vertikal yang terjadi. Deformasi
vertikal (penurunan) yang terjadi pada pembebanan maksimum 35 kN,
yaitu untuk tanah laterit tanpa stabilisasi sebesar 9,68 mm, untuk 3%
kapur sebesar 9,21 mm, untuk 5% kapur sebesar 5,72 mm, untuk 7%
kapur sebesar 3,48 mm, dan untuk 10% kapur sebesar 2,74 mm. Terlihat
juga bahwa semakin besar persentase kapur pada tanah laterit, semakin
kecil deformasi vertikal yang terjadi.
Hal ini sangat sesuai dengan pengujian yang dilakukan
sebelumnya, bahwa peningkatan persentase kapur pada tanah laterit,
menyebabkan peningkatan kuat tekan dan daya dukung tanah. Hal ini
juga dibuktikan dengan uji mikrostruktur, dimana semakin besar
persentase kapur dan lamanya waktu peram, maka struktur fabrik tanah
semakin padat dan mikro pori semakin kecil karena terisi oleh gel
tersementasi kalsium silikat hidrat (C-S-H) yang mengalami pengerasan
(hardening). Hasil ini menujukkan bahwa deformasi yang terjadi pada
tanah laterit stabilisasi kapur memenuhi syarat deformasi lapisan pondasi
96
jalan pada persentase penambahan kapur 7% (3,42 mm) dan 10% (2,90
mm), yaitu < 4,16 mm (syarat lendutan L/240 PU. Bina Marga).
Gambar 37. Model deformasi lapisan lime treated base untuk 3 -10% kapur
D. Validasi Numerik Model Deformasi Soil Laterite Lime
Treated Base
Tingkat akurasi hasil analisis deformasi uji model lapisan lime
treated base tanah laterit stabilisasi kapur dengan subgrade tanah alluvial
perlu diuji. Pengujian dilakukan dengan membandingkan hasil uji model
97
dengan hasil anaisis numerik. Untuk maksud tersebut, dilakukan analisis
numerik menggunakan metode elemen hingga dengan bantuan perangkat
lunak Plaxis 2D versi 8.2. Selanjutnya dilakukan input data untuk problem
set yang telah dibuat, seluruh data tanah per lapisan dan data pelat baja
serta data pembebanan dimasukkan. Setelah seluruh parameter tanah,
plate baja, dan beban dimasukkan, dilakukan perhitungan dan tampilan
keluaran program. Analisis dilakukan untuk tanah laterit stabilisasi 0%,
3%, 5%, 7%, dan 10% kapur, dengan pembebanan 5 kN sampai 35 kN,
sesuai dengan pembebanan yang dilakukan pada uji model fisik.
Model analisis menggunakan Mohr Coulomb karena model fisik
dianggap model sederhana namun handal ini didasarkan pada parameter-
parameter tanah yang telah dikenal dengan baik dalam praktek rekayasa
teknik sipil. Model elastisitas plastis yang terdiri dari lima parameter yaitu
E dan untuk memodelkan elastisitas tanah, dan c untuk memodelkan
plastisitas tanah dan sebagai sudut dilatansi. Meski demikian, tidak
semua fitur non-linier tercakup dalam model ini. Model Mohr-Coulomb
dapat digunakan untuk menghitung tegangan pendukung yang realistis
beban batas pada pondasi dan lain-lain. Model ini juga dapat digunakan
untuk menghitung faktor keamanan menggunakan pendekatan reduksi
phi-c. Untuk kondisi ini, nilai modulus elastisitas tanah diperoleh dari hasil
pengujian kuat tekan tanah (unconfined compression strength) di
laboratoriumHasil analisis numerik ini hanya dilakukan untuk model
deformasi, tekanan maksimum dan besarnya deformasi yang terjadi akibat
98
a
b
a
b
pembebanan, yang akan digunakan untuk melakukan validasi hasil uji
model. Hasil analisis Plaxis 2D untuk total deformasi model shadings
seperti Gambar 38, dan total deformasi model arrows seperti Gambar 39.
Gambar 38. Hasil analisis Plaxis 2D Total displacement model shadings, a) tanpa stabilisasi; b) stabilisasi 10% kapur
Gambar 39. Hasil analisis Plaxis 2D model terdeformasi, a) tanpa stabilisasi; b) stabilisasi 10% kapur
99
Berdasarkan hasil analisis numerik Plaxis 2D seperti pada
Gambar 38 dan 39, untuk tanah laterit tanpa stabilisasi, tekanan
maksimum adalah 63,3 kN/m2 dan penurunan maksimal yang terjadi
adalah 17 mm, sedangkan pada tekanan 35 kN/m2, penurunan yang
terjadi sebesar 9,3 mm. Hasil analisis stabilisasi 3% kapur, diperoleh
tekanan maksimum adalah 76,3 kN/m2 dan penurunan maksimal yang
terjadi adalah 15 mm. Sementara pada tekanan 35 kN/m2, penurunan
yang terjadi sebesar 6,56 mm. Hasil analisis untuk stabilisasi 5% kapur
diperoleh tekanan maksimum adalah 73,3 kN/m2 dan penurunan maksimal
adalah 11 mm. Sementara pada tekanan 35 kN/m2, penurunan yang
terjadi sebesar 5,4 mm. Hasil analisis untuk 7% kapur, diperoleh tekanan
maksimum adalah 83 kN/m2 dan penurunan maksimal yang terjadi adalah
13 mm. Sedangkan pada tekanan 35 kN/m2, penurunan yang terjadi
sebesar 3,59 mm. Hasil analisis untuk stabilisasi 10% kapur, diperoleh
tekanan maksimum adalah 85 kN/m2 dan penurunan maksimal adalah
11 mm. Sementara pada tekanan 35 kN/m2, penurunan yang terjadi
sebesar 2,97 mm.
Sedangkan hasil analisis numerik untuk model keruntuhan
diperlihatkan seperti Gambar 40. Model keruntuhan pada faktor keamanan
(M-stage) sebesar 0,9, menghasilkan tegangan maksimum ekstrim
sebesar 32,08 kN/m2 untuk tanah tanpa stabilisasi dan 51,36 kN/m2 untuk
tanah laterit stabilisasi 10% kapur. Hasil ini menunjukkan bahwa
penambahan kapur sampai 10% meningkatkan kekuatan tanah sangat
100
signifikan. Hasil ini sangat sesuai dengan uji model seperti yang telah
diuraikan sebelumnya.
Gambar 40. Model keruntuhan hasil analisis numerik
Dengan demikian, berdasarkan hasil uji model dan hasil analisis
Plaxis 2D terhadap model deformasi tanah laterit stabilisasi kapur,
diketahui bahwa lapisan lime treated base memenuhi syarat teknis untuk
lendutan (deformasi) lapisan pondasi jalan pada penambahan kapur 7%
dan 10%. Tanah laterit stabilisasi kapur akan memenuhi syarat teknis
sebagai lapisan lime treated base jika persentase kapur sama dengan
atau lebih besar dari 7% dan lebih kecil atau sama dengan 10%
(memenuhi syarat lendutan L/240 PU. Bina Marga). Hasil validasi uji
model fisik dan analisis numerik seperti Gambar 41.
101
0
2
4
6
8
10
0 2 4 6 8 10
Defo
rma
si M
od
el(1
0-3
m)
Deformasi Numerik (10-3 m)
0%Kapur
3%Kapur
5%Kapur
7%Kapur
10%Kapur
Gambar 41. Hubungan deformasi hasil uji model dengan hasil analisis Plaxis 2D
E. Temuan Empirik Penelitian
Hasil analisis dan pembahasan penelitian ini telah menemukan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Penambahan kapur 10% pada tanah laterit dengan waktu peram 28
hari menghasilkan peningkatan kuat tekan bebas dan CBR tanah tiga
kali lebih tinggi dari tanah tanpa stabilisasi. Sedangkan penambahan
semen 10% dengan waktu peram 28 hari menghasilkan peningkatan
kuat tekan dan CBR tanah empat kali lebih tinggi dari tanah tanpa
stablisasi. Stabilisasi kapur dan semen menghasilkan bentuk senyawa
bahan sementius (CSH, CAH, dan CAH) terlihat dari hasil uji EDS,
sementara hasil uji SEM foto mikrograf memperlihatkan struktur mikro
yang kompak, rapat dan padat.
102
2. Kurva hubungan antara modulus reaksi tanah (k) dengan CBR untuk
tanah laterit stabilisasi kapur berkesesuaian dengan kurva untuk tanah
umum menurut PU. Bina Marga, dan lebih baik dari kurva tanah
sedimen dengan stabilisasi semen. Hasil ini menunjukkan bahwa tanah
laterit stabilisasi kapur memiliki kinerja lebih baik dari tanah sedimen
stabilisasi semen, dan mendekati tanah umum. Sedangkan deformasi
model lapisan tanah laterit stabilisasi kapur (lime treated base)
memenuhi syarat L/240 (PU. Bina Marga) pada kandungan kapur 7%
(3,59 mm) sampai 10% (2,97 mm).
103
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan
sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Hasil penelitian karakteristik tanah menunjukkan bahwa tanah laterit
termasuk klasifikasi tanah lempung dengan plastisitas tinggi dan
termasuk dalam kelompok tanah sedang sampai buruk untuk digunakan
sebagai material subgrade dan base secara langsung. Hasil uji
mikrostruktur menunjukkan bahwa tanah laterit didominasi oleh mineral
lempung illite-montmorillonite (18-83%), kalonite (8-67%), dan mineral
hematite (besi oksida) (1-13%). Komposisi kimia tanah laterite
didominasi oleh FeO antara 80 - 86,55%.
2. Penambahan kapur 10% dan semen 10% dengan waktu peram 28 hari
meningkatkan kuat tekan bebas dan CBR tanah tanah tiga kali lebih
tinggi untuk kapur dan empat kali lebih tinggi untuk semen, dibandingkan
tanah tanpa stabilisasi. Peningkatan tersebut akibat ikatan kimia yang
menghasilkan senyawa sementius CSH, CAH, dan CAH, berdasarkan
hasil uji mikrostruktur. Peningkatan nilai CBR ini memenuhi syarat
lapisan pondasi jalan (base) yaitu nilai CBR minimum 50% (PU. Bina
Marga).
104
3. Nilai modulus elastisitas tanah meningkat empat kali lebih tinggi dan
modulus reaksi tanah meningkat tiga kali lebih tinggi dibandingkan tanah
tanpa stabilisasi. Sedangkan deformasi vertikal menurun tiga kali lebih
kecil. Deformasi model lime treated base tanah laterit stabilisasi kapur
akan memenuhi syarat teknis pada penambahan kapur 7% sampai 10%
(memenuhi syarat lendutan L/240 PU. Bina Marga). Sedangkan Hasil
validasi uji model dengan analisis numerik model fisik, menujukkan
perbedaan yang sangat kecil.
B. Saran-Saran
Hasil penelitian ini telah menunjukkan bahwa tanah laterit stabilisasi
kapur dapat digunakan sebagai lapisan lime treated base menggantikan
lapisan pondasi jalan dengan persentase kapur antara 7%-10%. Untuk itu
beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai saran:
1. Penyelesaian masalah kelangkaan material tanah dasar dan lapisan
pondasi jalan serta keterbatasan material tersebut pada daerah-daerah
tertentu, dapat menggunakan tanah laterit stabilisasi kapur.
2. Perencanaan lapisan pondasi jalan tanah laterit stabilisasi kapur, dapat
menggunakan grafik hubungan nilai k dan CBR, dan grafik hubungan
nilai k, CBR, dan persen kapur sebagai acuan.
3. Perlu dilakukan peneitian lebih lanjut tentang pemanfaatan tanah laterit
dengan stabilisasi selain kapur, seperti semen, fly ash, bitumen, atau
stabilisasi dengan bahan likuid tertentu yang memungkinkan.
105
4. Perlu dilakukan pengujian untuk pemanfaatan tanah laterit sebagai
material konstruksi selain lapisan pondasi jalan, seperti batu bata,
batako, paving blok, genteng, layer TPA, material bendung, dan lain
sebagainya.
106
DAFTAR PUSTAKA
Amadi and A.O. Eberemu, (2012), Performance of Cement Kiln Dust in Stabilizing Lateritic Soil Contaminated with Organic Chemicals, Advanced Materials Research Vol. 367 (2012), Trans Tech Publications, Switzerland, pp 41-47.
Aminaton Marto, Nima Lativi, Houman Suhaei, 2013, Stabilization of Laterite Soil
using GKS Soil Stabilizer, EJGE Journal, Volume 18, Bund. C, pp 521-532.
Amin Eisazadeh, Hadi Nur, Khairul Anuar Kassim, 2011, Characterization of
phosphoric acid- and lime-stabilized tropical lateritic clay, Environ Earth Sci (2011) 63:1057–1066, DOI 10.1007/s12665-010-0781-2, Springer-Verlag 2010
Amin Eisazadeh, 2015, Thermal characteristics of lime- and phosphoric acid-
stabilized montmorillonitic and kaolinitic soils, J Therm Anal Calorim (2015) 121:1239–1246, DOI 10.1007/s10973-015-4666-1, Akademiai Kiado, Budapest, Hungary 2015, Springer
Amu, O.O., S.S Babajide, 2011, Geotechnical properties of lateritic soil stabilized
with sugarcane straw Ash, American Journal of Scientific and Industrial Research, ISSN: 2153-649X, pp 323-331.
Bowles J. E., 1996, "Foundation Analysis and Design. 5th ed.", New York:
McGraw-Hill Thagesen B., 1996, Tropical rocks and soils, In: Highway and traffic engineering
in developing countries: B, Thagesen, ed. Chapman and Hall, London
Makasa B., 2004, Utilisation and improvement of lateritic gravels in road bases,
International Institute for Aerospace survey and Earth Sciences, Delft.
Bradbury M.H. and Baeyens B. (2003) Porewater chemistry in compacted re-
saturated MX-80 bentonite, Journal of Contaminant Hydrology, Elsevier. 61: 329-338
Bridges E.M., 1970, World soils Cambridge, University Press, London, 25 B. V. Venkatarama Reddy, P. Prasanna Kumar, 2011, Cement stabilised rammed
earth. Part A: compaction characteristics and physical properties of compacted cement stabilised soils, Materials and Structures (2011) 44:681–693, Springer.
107
Charman, J.H., 1988, Laterite in road pavements. London Construction Industry Research and Information Association Special Publication 47, CIRIA, London.
Daud, Suhaimi, 2008, Penerapan Teknologi Cakar Ayam Modifikasi di Ruas Jalan
Pantura Jawa Barat, Puslitbang Jalan dan Jembatan Departemen Pekerjaan Umum.
Delage P. (2007) Microstructure features in the behaviour of engineered barriers
for nuclear waste disposal, Proc. 2nd International Conference: Mechanics of Unsaturated Soils (Ed. Tom Schanz), Weimar, Germany. Springer proceedings in physics. Vol.1, pp. 1132.
Deshpande, M.D., Pandya, P.C., Shah, J.D and Vanjara, S.V (1990),
“Performance Study of Road Section Constructed with Local Expansive Clay Stabilised with Lime as Sub Base Material”, Indian Highways, Vol. 18, No. 6, pp 29-38.
Dutta S. C., Roy R. A., 2002, "Critical Review on Idealization and Modeling for
Interaction among Soil Foundation-Structure System", Computers and Structures, 80 1579-1594.
Daloglu A. T., Vallabhan C. V. G., 2000, "Values of k for Slab on Winkler Foundation, Journal of Geotechnical and Geoenviron-mental Engineering", ASCE 463-471.
E.J. Yoder, M.W., Witczak, 1975, Principle of Pavement Design, Jhon Wiley and
Son
Fookes G., 1997, Tropical residual soils, a geological society engineering group working party revised report, The Geological Society, London
Gehan A. M. Aly, 2015, Mineralogical and geochemical aspects of Miocene
laterite, Sharm Lollia area, South Eastern Desert, Egypt, Arab J Geosci (2015) 8:10399–10418, DOI 10.1007/s12517-015-1943-z, Saudi Society for Geosciences 2015, Springer.
Gens, A. and Alonso E.E. (1992) A framework for the behaviour of unsaturated
expansive clays. Canadian Geotechnical Journal, 29: 1013-1032. McNally G.J., 1998, Soil and rock construction materials, Routledge, London, 276-
282, 330-341. Jaritngam S, O. Somchainuek, and P. Taneerananon, 2014, Feasibility of Laterite-
Cement Mixture as Pavement Base Course Aggregat, International Journal of Science and Technology Transaction of Civil Engineering Vol. 38. No. C1+, pp. 275-284
108
Kiran.S.P, A.N Ramakrishna, Shrinivas.H.R, 2014, Stabilization of Lateritic Soil by using Sugarcane Straw Ash and Cement, Journal of Civil Engineering Technology and Research Volume 2, Number 1 (2014), pp.615-620.
Liu Yangshen, et. al., 2004, Properties of Bentonite enhanced Loess and Laterite,
Cinese Journal Chemical Engineering, 12-1, pp 37-41. Mallela J., P. E. Quintus and K. L. Smith, 2004, Consideration of lime-stabilized
layers in mechanistic- empirical pavement design Mitchell, J.K., 1993 Fundamentals of Soil Behavior. 2nd Edition, John Wiley &
Sons, Hoboken Mochtar, I.B., 2000, Teknologi Perbaikan Tanah dan Alternatif Perencanaan pada
Tanah Bermasalah, Jurusan Teknik Sipil dan Perencanaan, ITS, Surabaya.
Nascimento V., Simoe A., 1957, "Relation between CBR and Modulus of Strength,
Proceeding 4th International Conference on Soil Mechanic and Foundation Engineering", London 166-168
Naeini S. A., Ziaie Moayed R., Allahyari F, 2014, Subgrade Reaction Modulus
(Ks) of Clayey Soils Based on Field Tests, Journal of Engineering Geology, Vol.8, No.1, Springer
Nima Latifi, Aminaton Marto, Amin Eisazadeh, 2015, Analysis of strength
development in non-traditional liquid additive-stabilized laterite soil from macro and micro structural considerations, Environ Earth Sci (2015) 73:1133–1141, DOI 10.1007/s12665-014-3468-2, Springer-Verlag Berlin Heidelberg 2014
Nugroho, Djarwanti, 2008, Komparasi Koefisien Permeabilitas (k) pada tanah
kohesif, Media Teknik Sipil, Januari 2008. Amu O.O, Oluwole F.B., dan Iyiola A.K., 2011, The Suitability and Lime
Stabilization Requirement of Some Lateritic Soil Samples as Pavemen, Int. J. Pure Appl. Sci. Technol., 2(1), pp. 29-46
Portelinha, D.C. Lima, M.P.F Fontes, Carvalho, 2012, Modification of a Lateritic
Soil with Lime and Cement: An Economical Alternative for Flexible Pavement Layers, Soils and Rocks, São Paulo, 35(1): 51-63, January-April, 2012, pp 51-63.
Pranshoo Solanki and Musharraf Zaman (2012). Microstructural and Mineralogical
Characterization of Clay Stabilized Using Calcium-Based Stabilizers,
109
Scanning Electron Microscopy, Dr. Viacheslav Kazmiruk (Ed.), ISBN:978-953-51-0092-8, InTech, Available from: http://www.intechopen.com/books/scanningelectronmicroscopy/ microstructural-and-mineralogical-characterization-of-clay stabilized-using-calcium-basedstabilizer
Pusch R., Karlnland O., and Hokmark H. (1990) GMM-a general microstructural
model for qualitative and quantitative studies of smectite clays. SKB Technical Report 90-43, Stockholm, Sweden.
Pusch R., and Yong R. (2003) Water saturation and retention of hydrophilic clay
buffermicrostuctural aspects, Applied Clay Science, Elsevier. 23: 61-68.
Pusch R. (2001) The microstructure of MX-80 clay with respect to its bulk physical properties under different environmental conditions. SKB Technical Report, TR-01-08. The Swedish Nuclear Fuel and Waste Management Company (SKB), Stockholm, Sweden.
Saiyouri, N., Tessier, D., and Hicher, P.Y., 2004. Experimental study of swelling in
unsaturated compacted clays. Clay Minerals, 39(4):469. Schanz T., and Tripathy S. (2005) Soil water characteristic curves of clays from
physico-196 chemical concepts. Proceeding of International Conference on Problematic Soils. (Eds. Bilsel, H and Nalbantoglu, Z). North Cyprus. Vol. 1, pp. 219-228.
Sree Danya, Ajhita A.R, E.Y. Sheela., 2010, Study on Amended Soil Liner Using
Lateritic Soil, Indian Geotechnical Conference – 2010, GEOtrendz December 16–18, 2010 IGS Mumbai Chapter & IIT Bombay, pp 381-284.
Tripathy S., Kessler W., Schanz T. (2006) Determination of interparticle repulsive
pressure in clays. Proceeding of the Fourth International Conference on Unsaturated Soils (Eds. Miller G.A, Zapata C.E., Houston S.L., and Fredlund D.G), Arizona, USA. ASCE Vol. 2, pp 2198-2209.
Tripathy S., Schanz T., and Sridharan A. (2004) Swelling pressures of compacted
bentonites from diffuse double layer theory. Canadian Geotechnical Journal, 41: 437-450
Lambe T.W., and Whitman V.R., 1979, Soil mechanics, SI version, John Wiley
and SonsInc., New York Vesic A. S., 1963, "Bending of beams resting on isotropic solids", Journal of the
engineering Mechanics division, ASCE, 87(EM2) 35-53. Winkler E., 1867, "Die Lehre von Elastizitat und Festigkeit (on elasticity and
fixity)", Dominicus,Prague
110
Yinusa A. Jimoh, et.al., 2014, An Evaluation of the Influence of Corn Cob Ash on the Strength Parameters of Lateritic Soils, Civil and Environmental Research ISSN 2224-5790 (Paper) ISSN 2225-0514 (Online) Vol.6, No.5, 2014,
Yong R.N. (1999) Soil suction and soil-water potentials in swelling clays in engineered clay barriers. Engineering Geology, Elsevier. 54: 3-13
Yusuf Hamzah, Saleh Pallu, Lawalenna Samang, M.W. Tjaronge, 2012, Bearing Capacity of the Subgrade Soil Sediment Dredgeing Bili Bili Dam with Cement Stabilization, Proceedings Geotechnical Challenges in Present and Coming Nationwide Construction Activities, 16th Annual Scientific Meeting, HATTI, Jakarta, 4 Desember 2012.
Valeton I., 2010, "Palaeoenvironment of lateritic bauxites with vertical and lateral differentiation". Geological Society, London, Special Publications. Geological Society of London.11: 77–90,
Yves T., (1997). Petrology of Laterites and Tropical Soils. ISBN 90-5410-678-6. Retrieved April 17, 2010.