STUDI FENOMENOLOGI GEGAR BUDAYA MAHASISWA ASAL …

162
STUDI FENOMENOLOGI GEGAR BUDAYA MAHASISWA ASAL SUMATERA DI UNTIRTA SKRIPSI Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Konsentrasi Hubungan Masyarakat Program Studi Ilmu Komunikasi Oleh: AYU SITI RACHMA NIM. 6662111633 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA SERANG 2016

Transcript of STUDI FENOMENOLOGI GEGAR BUDAYA MAHASISWA ASAL …

STUDI FENOMENOLOGI GEGAR BUDAYA

MAHASISWA ASAL SUMATERA DI UNTIRTA

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Konsentrasi Hubungan Masyarakat

Program Studi Ilmu Komunikasi

Oleh:

AYU SITI RACHMA

NIM. 6662111633

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

SERANG

2016

i

ii

iii

iv

ABSTRAK

Ayu Siti Rachma. NIM. 6662111633. Skripsi. Studi Fenomenologi Gegar

Budaya Mahasiswa Asal Sumatera di UNTIRTA. Pembimbing I: Naniek

Afrilla Framanik, S.Sos.,M.Si dan Pembimbing II: Uliviana Restu H, S.Sos.,

M.Ikom

Melakukan perantauan bukanlah suatu hal yang mudah karena individu

akan bertemu dengan lingkungan dan budaya baru yang berbeda. Hal ini dapat

menyebabkan individu mengalami gegar budaya saat melakukan interaksi

antarbudaya di perantauan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor

apa saja yang mendorong mahasiswa asal Sumatera melakukan perantauan,

bagaimana proses interaksi yang terjadi serta upaya apa saja yang dilakukan untuk

mengatasi gegar budaya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif

dengan pendekatan fenomenologi dan paradigma konstruktivisme. Penelitian ini

menggunakan metode snowball dan purposive sampling dalam mendapatkan

informan. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu wawancara dengan 5

key informan yang merupakan mahasiswa asal Sumatera yang sedang menempuh

studi di Kampus Untirta dan 1 informan pendukung yaitu Guru Besar Bidang Ilmu

Komunikasi Lintas Budaya pada FISIP Untirta dan juga observasi. Penelitian ini

menggunakan analisis teori fenomenologi dari Alfred Schutz dan konsep culture

shock dari Kalvero Oberg. Hasil dari penelitian ini yaitu, faktor yang mendorong

mahasiswa melakukan perantauan adalah faktor pendidikan, budaya dan ekonomi.

Dalam proses interaksi, mahasiswa asal Sumatera dituntut untuk menyesuaikan diri

mulai dari budaya, bahasa, makanan, cuaca, dan kehidupan sosial. Perbedaan yang

signifikan ini membuat mahasiswa asal Sumatera mengalami gegar budaya, namun

untuk mengatasinya mereka mempunyai cara-cara tersendiri seperti bergabung

dengan organisasi maupun komunitas di dalam dan di luar kampus untuk mengisi

waktu luang dan berinteraksi dengan mahasiswa lain.

Kata Kunci: Komunikasi Antarbudaya, Gegar Budaya, Teori Fenomenologi.

v

ABSTRACT

Ayu Siti Rachma. NIM. 6662111633. The Phenomenological Study of Culture

Shock on Students from Sumatera in UNTIRTA. Lecturer I: Naniek Afrilla

Framanik, S.Sos., M.Si and Lecturer II: Uliviana Restu H, S.Sos., M.Ikom

Leaving home is not an easy thing to do because people will meet a new

environment and different culture. It can cause people to experience culture shock

when they do intercultural communication. The purpose of this research is to reveal

what factors that encourage Untirta’s students from Sumatera to leave their

hometowns, how the process of intercultural communication occur and how they

overcome the culture shock. This research uses a qualitative research method with

phenomenological approach and constructivism paradigm. This research uses

snowball and purposive sampling method in selecting the informants. The data

collection technique used in this research is interview involving 5 key informants,

Sumatera students who are studying in Untirta, and 1 additional informant who is

Professor of Cross-Cultural Communication Studies at FISIP Untirta and also

observation. The analysis of this research is conducted by applying the

phenomenology theory by Alfred Schutz and the concept of culture shock by Kalvero

Oberg. The results from this study reveal that there are 3 factors (education, culture

and economic) that push Untirta student from Sumatera to leave their hometowns.

In the process of communication, Untirta students from Sumatera are required to

adjust themselves to the new culture, language, food, weather, and social life. The

significant difference makes Untirta students from Sumatera experience culture

shock, nevertheless they have their own way to overcome the problem such as by

joining an organization and a comunity in or outside the college to spend their

spare times and to communicate with other students.

Key words: Intercultural communication, culture shock, phenomenon theory.

vi

“I swear by the time,

most surely man is in loss,

expect those who believe and do good,

and enjoin on each other truth,

and enjoin on each other patience”

- QS.103: Al-Asr

“You don’t need anybody to tell you

who you are or what you are.

You are what you are!” – John Lennon

“Life isn’t how you survive the storm,

but how you dance in the rain” – Unknown

This skripsi is dedicated to my parents.

vii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam

semoga selalu tercurah pada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW beserta

para keluarga, sahabat, dan umatnya hingga akhir zaman. Dengan usaha diiringi

doa, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan, walaupun selama menyelesaikan

penelitian dan penulisan skripsi ini banyak sekali mendapatkan hambatan-

hambatan, namun pada akhirnya hambatan tersebut dapat teratasi.

Skripsi yang berjudul “Studi Fenomenologi Gegar Budaya Mahasiswa

Asal Sumatera di UNTIRTA” ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas akhir

dan syarat untuk memperoleh gelar strata (S1) Ilmu Komunikasi pada Universitas

Sultan Ageng Tirtayasa. Penulis menyadari jika penelitian maupun penulisan

skripsi ini masih belum sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan. Penulis

mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dan juga berharap skripsi

ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak serta dapat menjadi sumbangsih

yang berguna bagi perkembangan ilmu komunikasi.

Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tidak luput dari

dukungan dan bantuan dari berbagai pihak selama proses yang cukup panjang,

untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terima

kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd. selaku Rektor Universitas

Sultan Ageng Tirtayasa.

2. Bapak Dr. Agus Sjafari, M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

3. Ibu Dr. Rahmi Winangsih, M.Si. selaku Ketua Prodi Jurusan Ilmu

Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

4. Ibu Naniek Afrilla F, S.Sos., M.Si. selaku Dosen Pembimbing I.

Terima kasih atas waktu, kesempatan, bimbingan dan saran serta

petunjuk yang diberikan kepada penulis.

viii

5. Ibu Uliviana Restu H, S.Sos., M.Ikom. selaku Dosen Pembimbing

II. Terima kasih atas kritik dan saran yang diberikan kepada penulis

dalam penyusunan skripsi.

6. Bapak Prof. Dr. Ahmad Sihabudin,, M.Si. yang sudah memberikan

waktu dan kesempatan untuk menjadi narasumber dalam penelitian

ini.

7. Bapak dan Ibu Dosen serta jajaran staf Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik.

8. Kedua orang tua peneliti, Mama dan Bapak yang yang selalu

memberikan dukungan baik moral maupun materil, doa, motivasi,

kesabaran, nasehat serta kasih sayang yang luar biasa.

9. Saudara-saudaraku tersayang, Kakak Ria, Kakak Kiki, Abang

Bangkit, Kakak Dewi, serta dua keponakan super, Dera dan Yumnaa

yang selalu meramaikan suasana.

10. Alzasya Asdrie Rivaldie yang selalu mendukung dan sudah mau

mendengarkan keluh kesah selama proses penyelesaian skripsi yang

panjang ini.

11. Sahabat-sahabat seperjuangan selama ini, Niken Lestari dan Dwi

Afriani. Terima kasih sudah mau mendengarkan keluhan,

memberikan dukungan serta tawa selama ini.

12. Teman-teman DIOLAS (Monic, Iqbal, Teguh, Dzikri, Fahmi, dll)

yang merupakan teman seperjuangan dalam menempuh studi di

Untirta ini dan seluruh teman-teman Ilmu Komunikasi 2011.

13. Teman-teman Science+ (Fitri, Fida, Dila, Kiki, Maya, Fulky, Dini)

dan yang lainnya. Terima kasih atas tawa yang tiada ujung setiap

kali bertemu. Semoga kita semua diberi kelancaran dalam memasuki

tahap selanjutnya.

14. Teman-teman senasib dan seperjuangan semasa bimbingan (Lena,

Isti, Ibos) dan lain-lain yang sudah saling memberikan semangat dan

dukungannya. Kita pasti bakal kangen masa-masa saat menunggu

dospem bersama.

ix

15. Rekan-rekan di kotaserang.com yang sudah memberikan

kesempatan, ilmu serta kebersamaan selama ini.

16. Teman-teman “Hello Entertainment” yang sudah memberikan

penulis pengalaman dan ilmu yang begitu berharga serta keluarga

baru yang menyenangkan.

17. Kelima informan dalam penelitian ini (Tami, Risda, Rienny, Aslam

dan Ferdi). Terima kasih sudah mau meluangkan waktu dan bersedia

untuk berkontribusi dalam penelitian ini.

18. Serta semua pihak yang telah membantu penulis selama ini yang

tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Akhir kata, penulis berharap semoga apa yang penulis buat ini dapat

bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan dan menjadi masukan bagi

perkembangan penelitian ilmu komunikasi di waktu mendatang.

Serang, Februari 2016

Ayu Siti Rachma

x

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ..................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................ ii

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ............................................................... iii

ABSTRAK ........................................................................................................... iv

ABSTRACT ............................................................................................................ v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vi

KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... x

DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv

BAB I: PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 7

1.3 Identifikasi Masalah ........................................................................................... 7

1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 7

1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 8

1.5.1 Manfaat Teoritis .................................................................................. 8

1.5.2 Manfaat Praktis ................................................................................... 8

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teoritis .................................................................................................... 9

2.1.1 Komunikasi ......................................................................................... 9

2.1.2 Budaya... ........................................................................................... 11

2.1.3 Komunikasi Antarbudaya.................................................................. 13

2.1.4 Teori Fenomenologi .......................................................................... 15

2.1.5 Culture Shock .................................................................................... 22

2.2 Kerangka Berpikir ............................................................................................ 31

xi

2.3 Penelitian Terdahulu ........................................................................................ 32

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian .................................................................. 35

3.2 Paradigma Penelitian ....................................................................................... 37

3.3 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................... 38

3.4 Instrumen Penelitian ........................................................................................ 39

3.4.1 Sumber Data... ................................................................................... 39

3.4.2 Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 39

3.5 Informan Penelitian ......................................................................................... 41

3.5.1 Metode Pemilihan Informan... .......................................................... 41

3.5.2 Karakteristik Informan ...................................................................... 42

3.6 Teknik Analisis Data ........................................................................................ 43

3.7 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data .............................................................. 45

3.8 Jadwal Penelitian .............................................................................................. 46

BAB IV: HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Objek Penelitian ............................................................................... 47

4.2 Deskripsi Informan Penelitian ......................................................................... 49

4.3 Analisa Hasil Penelitian .................................................................................. 56

4.3.1 Faktor Pendorong Mahasiswa Sumatera Melakukan Perantauan ..... 59

4.3.2 Proses Interaksi Mahasiswa Asal Sumatera di Untirta ..................... 72

4.3.3 Upaya Mengatasi Gegar Budaya yang dilakukan Mahasiswa Asal

Sumatera ............................................................................................ 96

BAB IV: PENUTUP

5.1 Kesimpulan .................................................................................................... 105

5.2 Saran ............................................................................................................... 106

Daftar Pustaka ................................................................................................... 107

Daftar Riwayat Hidup ....................................................................................... 147

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.3 Penelitian Terdahulu .............................................................................. 32

Tabel 3.8 Jadwal Penelitian.................................................................................... 46

Tabel 4.1 Identitas Key Informan ........................................................................... 51

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Kurva-U Fase Culture Shock.............................................................. 29

Gambar 2.2 Bagan Kerangka Berpikir ................................................................... 31

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Pedoman Wawancara ....................................................................... 110

Lampiran 2 Hasil Wawancara Key Informan 1 .................................................... 112

Lampiran 3 Hasil Wawancara Key Informan 2 .................................................... 117

Lampiran 4 Hasil Wawancara Key Informan 3 .................................................... 123

Lampiran 5 Hasil Wawancara Key Informan 4 .................................................... 128

Lampiran 6 Hasil Wawancara Key Informan 5 .................................................... 133

Lampiran 7 Hasil Wawancara Informan Pendukung ........................................... 139

Lampiran 8 Catatan Bimbingan Skripsi ............................................................... 143

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Setiap individu berhak untuk mendapatkan pendidikan, namun karena

kualitas pendidikan di Indonesia yang belum merata membuat sebagian masyarakat

melakukan perantauan ke luar daerahnya untuk mendapatkan fasilitas pendidikan

yang laik terutama pada tingkat perguruan tinggi. Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI), orang yang belajar di perguruan tinggi disebut mahasiswa.

Melakukan perantauan bukanlah satu hal yang mudah, mahasiswa yang

merantau ini harus rela meninggalkan rumah, keluarga, teman dan lingkungannya,

kemudian mereka akan menemui masyarakat dengan latar belakang budaya yang

berbeda jauh dari tempat asal. Perbedaan ini didasari oleh negara Indonesia yang

merupakan republik kesatuan yang terdiri dari 34 provinsi dengan beragama suku

dan budaya. Mulyana dan Rakhmat (2005) menyatakan bahwa salah satu

kecemasan yang terbesar adalah mengenai bagaimana harus berkomunikasi. Sangat

wajar ketika individu masuk dalam lingkungan budaya baru mengalami kesulitan

bahkan tekanan mental karena telah terbiasa dengan hal-hal yang ada di

sekelilingnya.1

1 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. 2005. Komunikasi Antarbudaya Panduan

Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hal

174.

2

Situasi dan kondisi yang berbeda cukup jauh dari daerah asal

mengakibatkan ketidaknyamanan baik psikis maupun fisik, hal inilah yang

menyebabkan adanya gegar budaya atau culture shock. Mulyana dan Rakhmat

(2005) mendefinisikan culture shock sebagai kegelisahan yang mengendap yang

muncul dari kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang yang familiar dalam

hubungan sosial. Tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk itu meliputi seribu satu cara

yang kita lakukan dalam mengendalikan diri kita sendiri dalam menghadapi situasi

sehari-hari.2

Fenomena gegar budaya menjadi persoalan dasar bagi mahasiswa rantau

karena seringkali fenomena inilah yang menjadi akar dari berbagai kesulitan

penyesuaian diri, apalagi mahasiswa rantau tersebut berasal dari pulau yang

berbeda dengan segala macam perbedaan mulai dari bahasa, budaya, cuaca dan

sebagainya, seperti mahasiswa rantau asal Pulau Sumatera yang sedang menempuh

pendidikan di Kampus Untirta - Banten.

Pulau Sumatera biasa juga dikenal dengan sebutan pulau Andalas. Dalam

Bahasa Sansekerta, pulau Sumatera disebut Suwarnadwipa yang berarti ‘Pulau

Emas’. Memang tepat sekali penamaan ini sebab Pulau Sumatera sangat kaya akan

hasil alam. Terletak di bagian barat gugusan Nusantara dengan posisi koordinat

0°00 LU 102°00 BT. Pulau seluas 470.000 km² ini merupakan pulau keenam

terbesar di dunia.3

2 Ibid. Hal 174 3 Profil Pulau Sumatera. http://www.gosumatra.com/seputar-sumatera-indonesia/ diakses pada 25

Desember 2015 pukul 21:40 WIB

3

Suku asli Pulau Sumatera adalah Melayu. Suku Melayu memiliki keunikan

tersendiri dalam hal pernikahan, yaitu pengantin perempuan harus ‘dibeli’ oleh

pengantin dan keluarga laki-laki. Besar nominalnya tergantung pada tingkat

pendidikan, strata sosial dan latar belakang keluarga pihak perempuan. Sementara

Suku Batak lebih dominan di Provinsi Sumatera Utara. Di sini, mayoritas suku

Batak beragama Kristen. Suku Batak memiliki pakaian adat khas yaitu ‘kain Ulos’.

Kain ini selalu digunakan masyarakat Suku Batak dalam upacara-upacara adat

mereka. Bahkan, bagi Suku Batak sumber kehangatan bagi manusia yaitu matahari,

api, dan ulos.4

Suku besar lainnya di Pulau Sumatera adalah Suku Minang, atau juga biasa

disebut Suku Minang Kabau. Suku Minang mayoritas berasal dari

Provinsi Sumatera Barat. Ciri khas dari suku ini adalah penduduknya yang suka

merantau, atau dengan kata lain berpindah ke suatu tempat di luar kampung

halaman mereka. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya Suku Minang di

berbagai tempat dan provinsi di Indonesia. Selain bertani, mayoritas mata

pencaharian masyarakat Suku Minang adalah berdagang. Masakan Padang yang

berasal dari suku Minang sangat terkenal di penjuru dunia. Namun, perpindahan

dan migrasi penduduk mengakibatkan populasi pulau Sumatera kini menjadi multi

etnik. Tidak hanya Suku Melayu, tetapi juga Suku Aceh, Suku Batak, Suku

Minangkabau, Suku Rejang, Suku Banjar, dan Tionghoa.5

4 Ibid 5 Ibid

4

Pulau Sumatera terdiri atas 11 provinsi, diantaranya adalah: Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan ibukota Banda Aceh, Provinsi

Sumatera Utara dengan ibukota Medan, Provinsi Sumatera Barat dengan

ibukota Padang, Provinsi Riau dengan ibukota Pekanbaru, Provinsi Kepulauan

Riau dengan ibukota Tanjung Pinang, Provinsi Jambi dengan ibukota Jambi,

Provinsi Sumatera Selatan dengan ibukota Palembang, Provinsi Bangka

Belitung dengan ibukota Pangkal Pinang, Provinsi Bengkulu dengan

ibukota Bengkulu, dan Provinsi Lampung dengan ibukota Bandar Lampung. Kota

Medan di Sumatera Utara adalah kota terbesar di pulau Sumatera dengan luas

265,10 km².6

Mayoritas penduduk beragama Islam. Bahkan, Nangroe Aceh Darussalam

dinamai sebagai Serambi Mekkah, mengingat letaknya yang terdepan di pulau

Sumatera dan tingginya tingkat ketaatan umat Islam di daerahnya. Dalam kurun

waktu sepuluh tahun terakhir ini, Hukum Islam pun turut digunakan sebagai sumber

hukum Provinsi Aceh. Sementara untuk agama Kristen lebih dominan terdapat di

Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Umat Budha dan Hindu juga ada di pulau

Sumatera, meski jumlahnya jauh lebih sedikit.7

Perbedaan latar belakang budaya yang cukup signifikan membuat

mahasiswa rantau asal Sumatera merasa cemas dan membutuhkan penyesuain diri

di lingkungan barunya yaitu Provinsi Banten. Penulis melakukan wawancara

bersama salah seorang mahasiswi bernama Tami8. Tami menjelaskan bahwa ketika

6 Ibid 7 Ibid 8Mahasiswa komunikasi angkatan 2011 asal Pematang Siantar Sumatera Utara yang sedang

menempuh studi di UNTIRTA Serang. Wawancara dilakukan pada 10 Desember 2015.

5

pertama kali tahu dirinya akan merantau ke Serang, ia merasakan kesenangan dan

memiliki semangat yang tinggi untuk bertemu dengan hal-hal yang baru, namun

ketika sudah pindah ke Serang, ia juga sempat merasakan kecemasan yang cukup

tinggi saat melakukan komunikasi dengan mahasiswa lain yang bukan berasal dari

Sumatera, salah satunya dipengaruhi oleh bahasa. Walaupun sama-sama

menggunakan bahasa Indonesia, tetapi dialek yang digunakan sangat berbeda. Ini

yang membuat Tami cukup berhati-hati ketika berkomunikasi bahkan sempat

membuatnya enggan untuk berkomunikasi di dalam kelas sehingga ia menjadi lebih

pendiam dibanding teman-temannya. Selain itu, adanya perbedaan kebudayaan dan

kebiasaan dari tempat asalnya yaitu Sumatera, walaupun masih dalam satu negara

yang sama. Makanan juga merupakan satu hal yang cukup berbeda dari daerah asal

dimana Tami menganggap makanan di daerah Serang lebih berminyak

dibandingkan di tempat asalnya yang lebih bersantan dan pedas. Butuh waktu

sekitar 1 sampai 2 bulan untuk Tami membiasakan dirinya di lingkungan yang baru.

Menyesuaikan diri di lingkungan baru adalah salah satu hal yang mau tak

mau harus kita lakukan demi kelangsungan hidup, jika kita tidak bisa

melakukannya maka berkomunikasi akan menjadi sangat sulit, atau bahkan tidak

mungkin jika dalam berinteraksi kita tidak menciptakan simbol atau makna yang

sama dengan lawan bicara, terutama jika kita memiliki latar belakang budaya yang

berbeda. Sihabudin (2013) menjelaskan bahwa budaya adalah suatu konsep yang

membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan

6

pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna dan diwariskan dari

generasi ke generasi, melalui usaha individu dan kelompok.9

Budaya yang kita kenal sejak dalam kandungan hingga kehidupan kita

kedepannya bahkan sampai mati akan terus mempengaruhi kita. Sihabudin (2013)

mengatakan bahwa budaya dipelajari tidak diwariskan secara genetis, budaya juga

berubah ketika orang-orang berhubungan antara yang satu dengan lainnya. Artinya

budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan. Sebenarnya, seluruh perbendaharan

perilaku kita sangat tergantung pada budaya kita dibesarkan. Bila budaya beraneka

ragam, maka beragam pula praktik-praktik komunikasi.10

Manusia merupakan makhluk sosial yang bergantung satu sama lain,

manusia tidak dapat hidup sendirian. Hal ini dipertegas oleh Porter & Samovar

dalam (Sihabudin, 2013: 14), bahwa hampir setiap orang membutuhkan hubungan

sosial dengan orang-orang lainnya dan kebutuhan ini terpenuhi melalui pertukaran

pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia-manusia

yang tanpa berkomunikasi akan terisolasi.11

Atas dasar itulah penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih dalam

tentang “Studi Fenomenologi Gegar Budaya Mahasiswa Asal Sumatera di

Untirta” karena saat ini tidak hanya mahasiswa asal Provinsi Banten saja yang

menempuh pendidikan di Untirta, melainkan mahasiswa di luar Banten bahkan di

luar Pulau Jawa. Salah satunya adalah mahasiswa Sumatera yang memiliki latar

9 Ahmad Sihabudin. 2011. Komunikasi Antarbudaya Satu Perspektif Multidimensi. Jakarta:

PT. Bumi Aksara. Hal 19 10 Ibid. Hal 20 11 Ibid. Hal 14.

7

belakang kebudayaan yang cukup jauh berbeda dengan Provinsi Banten, khususnya

Kota Serang dan Cilegon.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka

masalah penelitian dapat dirumuskan ke dalam pertanyaan sebagai berikut:

“Bagaimana Fenomena Gegar Budaya Mahasiswa Asal Sumatera di Untirta?”

1.3 IDENTIFIKASI MASALAH

Identifikasi masalah penelitian ini adalah:

1. Faktor apa saja yang mendorong mahasiswa asal Sumatera untuk merantau

dan menempuh studi di Untirta?

2. Bagaimana proses interaksi yang dialami oleh mahasiswa asal Sumatera

ketika melakukan perantauan atau menempuh studi di Untirta?

3. Upaya apa saja yang dilakukan mahasiswa rantau asal Sumatera di Untirta

untuk mengatasi gegar budaya?

1.4 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui faktor apa saja yang mendorong mahasiswa asal Sumatera

untuk merantau dan menempuh studi di Untirta.

2. Mengetahui bagaimana proses interaksi yang dialami oleh mahasiswa asal

Sumatera ketika melakukan perantauan atau menempuh studi di Untirta.

8

3. Mengetahui upaya apa saja yang dilakukan mahasiswa rantau asal Sumatera

di Untirta untuk mengatasi gegar budaya.

1.5 MANFAAT PENELITIAN

1.5.1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan penjelasan

ataupun deskripsi mengenai faktor-faktor apa saja yang mendorong

mahasiswa asal Sumatera melakukan perantauan dan menempuh studi di

Kampus Untirta Serang. Serta memberikan deskripsi bagaimana proses

interaksi yang terjadi di tengah kebudayaan yang berbeda dan upaya-upaya

apa saja yang dilakukan mahasiswa untuk mengatasi gegar budaya.

1.5.2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi sumbangsih dari

penulis sekaligus menjadi bahan referensi untuk penelitian-penelitian

mahasiswa khususnya Ilmu Komunikasi di masa yang akan datang

mengenai faktor seseorang melakukan perantauan, fenomena gegar budaya,

proses interaksi, serta upaya-upaya untuk mengatasinya. Penelitian ini juga

diharapkan dapat lebih memantapkan penguasaan fungsi keilmuan yang

dipelajari selama mengikuti program perkuliahan, serta membandingkan

antara teori yang didapat dengan kenyataan di lapangan.

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teoritis

2.1.1 Komunikasi

Sebagai makhluk sosial, komunikasi merupakan unsur penting

dalam kehidupan manusia. Mulyana (2004: 41) menjelaskan bahwa kata

komunikasi atau communication dalam bahasa inggris berasal dari kata latin

communis yang berarti sama, communico, communication, atau

communicare yang berarti membagi atau membuat sama. Istilah communis

seringkali disebut sebagai asal kata dari komunikasi, yang merupakan akar

dari kata-kata Latin yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa pikiran,

suatu makna, atau pesan dianut secara bersama, sehingga menimbulkan

saling pengertian, saling memahami, atau saling percaya.1

Komunikasi pada dasarnya adalah suatu proses yang dinamis yang

secara sinambung mengubah pihak-pihak yang berkomunikasi. Para pakar

mendefinisikan komunikasi sebagai proses karena komunikasi merupakan

kegiatan yang ditandai dengan tindakan, perubahan, pertukaran, dan

perpindahan.2 Dalam penelitian ini, proses komunikasi lah yang akan

1 Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi “Suatu Pengantar”. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2002.

Hal 41. 2 Ibid. Hal. 4.

10

menentukan bagaimanakah mahasiswa rantau asal Sumatera dapat

menghadapi gegar budaya selama menempuh kuliah di Kampus UNTIRTA.

Effendy (2004:7) mengatakan bahwa yang terpenting di dalam

komunikasi ialah bagaimana caranya agar suatu pesan yang disampaikan

komunikator itu menimbulkan dampak atau efek tertentu pada komunikan.

Dampak yang ditimbulkan dapat diklasifikasikan menurut kadarnya, yakni:3

(a) Dampak kognitif adalah yang timbul pada komunikan yang

menyebabkan dia menjadi tahu atau meningkatkan intelektualitasnya.

Tujuan komunikator hanyalah berkisar pada upaya mengubah pikiran dari

komunikan. (b) Dampak afektif lebih tinggi kadarnya daripada dampak

kognitif. Tujuan komunikator bukan hanya sekedar supaya komunikan tahu,

tetapi tergerak hatinya; menimbulkan perasaan tertentu, misalnya perasaan

iba, terharu, sedih, gembira, marah dan sebagainya. (c) Dampak behavioral

yakni dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk perilaku,

tindakan dan kegiatan. Dampak-dampak dalam komunikasi dapat kita lihat

dalam penelitian ini ketika mahasiswa asal Sumatera berkomunikasi dengan

mahasiswa non Sumatera yang memiliki perbedaan dalam bahasa dan

budaya karena akan ada banyak hal yang akan diketahui, mengubah

pemikiran atau bahkan perilaku masing-masing.

Hafied (2008:21) mengatakan bahwa komunikasi adalah bentuk

interaksi manusia yang saling pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya,

3 Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi. Bandung: PT Remaja RosdaKarya. 2004. Hal 7.

11

sengaja atau tidak sengaja dan tidak terbatas pada bentuk komunikasinya.4

Oleh karena itu komunikasi yang terjadi antara mahasiswa asal Sumatera

dan non Sumatera tidak terbatas pada bahasa verbal saja namun juga non

verbal.

2.1.2 Budaya

Porter & Samovar dalam (Sihabudin, 2013: 19) menjelaskan bahwa

budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir,

merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut

budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi,

tindakan-tindakan sosial, kegiatan ekomnomi, politik dan teknologi, semua

itu berdasarkan pola-pola budaya.5 Hal inilah yang menyebabkan

masyarakat memiliki cara-caranya masing-masing dalam hal apapun. Apa

yang mereka lakukan, bagaimana mereka bertindak, merupakan respons

terhadap fungsi-fungsi budayanya.

Sihabudin dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Antarbudaya

(2013) menjelaskan bahwa budaya adalah suatu konsep yang

membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan

pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna dan diwariskan

dari generasi ke generasi, melalui usaha individu dan kelompok.6 Budaya-

4 Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2008. Hal 21 5 Ahmad Sihabudin. Komunikasi Antarbudaya Satu Perspektif Multidimensi. Jakarta: PT. Bumi

Aksara. 2011. Hal 19 6 Ibid. Hal 19

12

budaya inilah yang membentuk sebuah bahasa, perilaku, gaya

berkomunikasi dan sebagainya.

Budaya berkesinambungan dan hadir di mana-mana, budaya juga

berkenaan dengan bentuk fisik serta lingkungan sosial yang mempengaruhi

hidup kita. Budaya kita, secara pasti mempengaruhi kita sejak dalam

kandungan hingga mati dan bahkan setelah mati, kita dikuburkan dengan

cara-cara yang sesuai dengan budaya kita. Budaya dipelajari tidak

diwariskan secara genetis, budaya juga berubah ketika orang-orang

berhubungan antara yang satu dengan lainnya.7 Dalam penelitian ini,

mahasiswa rantau berasal dari satu pulau yang sama yaitu Sumatera namun

berbeda daerah sehingga memiliki ciri khas budaya masing-masing. Ketika

mahasiswa Sumatera merantau ke Pulau Jawa tentu saja perbedaan budaya

makin terlihat signifikan.

Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan, oleh karena budaya

tidak hanya menentukan siapa bicara siapa, tentang apa, dan bagaimana

komunikasi berlangsung, tetapi budaya juga turut menentukan orang

menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya

untuk mengirim, memperhatikan, dan menafsirkan pesan. Sebenarnya,

seluruh perbendaharan perilaku kita sangat tergantung pada budaya kita

dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila

budaya beraneka ragam, maka beragam pula praktik-praktik komunikasi.8

7 Ibid. Hal 19-20. 8 Ibid. Hal 20.

13

Perbedaan budaya di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa inilah yang membuat

mahasiswa rantau asal Sumatera melakukan komunikasi dengan mahasiswa

non Sumatera menggunakan cara yang berbeda daripada ketika mereka

berkomunikasi dengan mahasiswa asal Sumatera.

2.1.3 Komunikasi Antarbudaya

William dalam Liliweri (2011:8) menjelaskan bahwa pembicaraan

tentang komunikasi antarbudaya tak dapat dielakkan dari pengertian

kebudayaan (budaya). Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar dua kata

tetapi dua konsep yang tidak dapat dipisahkan, harus dicatat bahwa studi

komunikasi antarbudaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan

pada efek kebudayaan terhadap komunikasi.9 Menurut Liliweri, definisi

yang paling sederhana dari komunikasi antarbudaya adalah menambah kata

budaya ke dalam pernyataan “komunikasi antara dua orang atau lebih yang

berbeda latar belakang kebudayaan”.10 Komunikasi antarbudaya dapat

didefinisikan lebih sederhana lagi yaitu komunikasi antarpribadi yang

dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan.

Samovar dan Porter dalam (Liliweri) juga mengatakan bahwa

komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima

pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.11 Seperti dalam

penelitian ini ketika mahasiswa Sumatera berinteraksi dengan mahasiswa

9 Dr. Alo Liliweri, M.S. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: PUSTAKA

PELAJAR. 2011. Hal 8 10 Ibid. Hal 9 11 Ibid. Hal 10

14

non Sumatera maka hal ini termasuk ke dalama komunikasi antarbudaya

karena adanya latar belakang budaya yang berbeda.

Menurut Liliweri (2011:12), banyaknya pengertian komunikasi

antarbudaya membenarkan sebuah hipotesis proses komunikasi

antarbudaya, bahwa semakin besar derajat perbedaan antarbudaya maka

semakin besar pula kita kehilangan peluang untuk merumuskan suatu

tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif. Jadi harus ada jaminan

terhadap akurasi interpretasi pesan-pesan maupun non verbal.12 Hal ini

disebabkan karena ketika kita berkomunikasi dengan seseorang dari

kebudayaan yang berbeda, maka kita memiliki pula perbedaan dalam

sejumlah hal, misalnya derajat pengetahuan, derajat kesulitan dalam

peramalan, derajat ambiguitas, kebingungan, suasana misterius yang tak

dapat dijelaskan, tidak bermanfaat, bahkan nampak tidak bersahabat.

Dengan demikian manakala suatu masyarakat berada pada kondisi

kebudayaan yang beragam maka komunikasi antarpribadi dapat menyentuh

nuansa-nuansa komunikasi antarbudaya. Di sini kebudayaan yang menjadi

latarbelakang kehidupan, akan mempengaruhi perilaku komunikasi

manusia. Oleh karena itu di saat kita berkomunikasi antarpribadi dengan

seseorang dalam masyarakat yang makin majemuk, maka dia merupakan

orang yang pertama dipengaruhi oleh kebudayaan kita. Dalam penelitian ini,

proses komunikasi lah yang akan menentukan bagaimana mahasiswa asal

Sumatera berperilaku di perantauan.

12 Ibid. Hal 12

15

2.1.4 Teori Fenomenologi

Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, Phainoai, yang berarti

‘menampak’ dan phainomenon merujuk pada ‘yang menampak’. Istilah ini

diperkenalkan oleh Johann Heirinckh. Istilah fenomenologi apabila dilihat

lebih lanjut berasal dari dua kata yakni; phenomenon yang berarti realitas

yang tampak, dan logos yang berarti ilmu. Maka fenomenologi dapat

diartikan sebagai ilmu yang berorientasi unutk mendapatan penjelasan dari

realitas yang tampak. Lebih lanjut, Kuswarno (2009:2) menyebutkan bahwa

Fenomenologi berusaha mencari pemahaman bagaimana manusia

mengkonstruksi makna dan konsep penting dalam kerangka

intersubjektivitas (pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh

hubungan kita dengan orang lain).13 Penelitian ini akan mencari tahu

bagaimana fenomena gegar budaya yang terjadi ketika mahasiswa Sumatera

berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera, apakah akan terjadi

pertukaran makna atau malah sebaliknya.

Kuswarno (2009:2) menjelaskan bahwa pemikiran Weber tentang

tindakan sosial menarik perhatian Alfred Schutz, sosiolog yang lahir di

Vienna tahun 1899, terutama ketika melahirkan pemikiran tentang dasar

metodologis dalam ilmu sosial. Fondasi metodologis di dalam ilmu sosial

berdasarkan pemikiran Schutz dikenal dengan studi tentang fenomenologis,

yang sebenarnya tiada lain merupakan kritikan Schutz tentang pemikiran-

13 Engkus Kuswarno. Fenomenologi; Fenomena Pengemis Kota Bandung. 2009. Bandung: Widya

Padjadjaran. Hal 2.

16

pemikiran Weber, selain Husserl tentang sosiologi. Schutz setuju dengan

pemikiran Weber tentang pengalaman dan perilaku manusia dalam dunia

sosial keseharian sebagai realitas yang bermakna secara sosial. Schutz

menyebut manusia yang berperilaku tersebut sebagai “aktor”. Ketika

seseorang melihat atau mendengar apa yang dikatakan atau diperbuat aktor,

dia akan memahami makna dari tindakan tersebut. Dalam dunia sosial hal

demikian disebut sebagai sebuah “realitas interpretif”.14

Craib dalam (Basrowi dan Sudikin, 2002: 39) mengatakan bahwa

Alfred Schutz merupakan ahli teori femenologi yang paling menonjol,

menurutnya tugas fenomenologi menghubungkan antara pengetahuan

ilmiah dengan pengalaman sehari-hari dan dari kegiatan dimana

pengalaman dan pengetahuan berakar. Meyakini bahwa dunia yang dialami

atas sebuah kesadaran manusia secara implisit, termasuk terhadap dunia

eksternal, dapat dimengerti karena kesadaran kita dan sepanjang memiliki

makna. Jadi fenomenologi mengidentifikasi masalah dari dunia pengalaman

indrawi yang bermakna kepada dunia yang penuh dengan objek-objek yang

bermakna, suatu hal yang semula terjadi dalam kesadaran individu secara

terpisah dan kemudian secara kolektif di dalam interaksi antara kesadaran-

kesadaran.15

Alfred Schutz merupakan orang pertama yang mencoba

menjelaskan bagaimana fenomenologi dapat diterapkan untuk

14 Ibid. Hal 2. 15 Basrowi dan Sudikin. 2002. Metode Penelitian Kualitatif: Perspektif Mikro. Surabaya: Insan

Cendikia.

17

mengembangkan wawasan ke dalam dunia sosial. Ritzer & Goodman

(2007:94) mengatakan bahwa Schutz memusatkan perhatian pada cara

orang memahami kesadaran orang lain, akan tetapi ia hidup dalam aliran

kesadaran diri sendiri. Perspektif yang digunakan oleh schutz untuk

memahami kesadaran itu dengan konsep intersubjektif, yang dimaksud

dengan dunia intersubjektif ini adalah kehidupan-dunia atau dunia

kehidupan sehari-hari.16

Sendjaja (1994:375) mengatakan bahwa karya Schutz sangat

penting bagi teori komunikasi karena menempatkan komunikasi sebagai

faktor penting bagi realitas yang dialami seseorang. Realitas bagi kita

tergantung pada apa yang kita pelajari dari orang lain dalam komunitas

sosial budaya kita yang terbentuk suatu situasi historis. Seseorang dalam

berbagi waktu dan tempat mengalami realitas yang berbeda.

Bagi Schutz pengetahuan sosial mengandung formula yang

merupakan cara-cara yang sudah dikenal untuk melakukan sesuatu.

Memungkinkan seseorang untuk mengelompokan sesuatu menurut logika

yang sama-sama dipahami dalam menyelesaikan masalah, melakukan

peranan, berkomunikasi dan untuk menyesuaikan perilaku dalam perilaku

yang berbeda. Sebagai fenomenologi sosial, filsafat Schutz memberikan

dukungan bagi aliran pemikiran konstruksi sosial yang mengarahkan

16 George Ritzer dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. 2007. Jakarta: Kencana. Hal

94.

18

pengamatan pada makna-makna yang dibawa oleh orang yang berbeda

dalam suatu komunikasi.

Schutz tidak menjelaskan adanya suatu kesamaan dalam semua

kehidupan manusia yang melewati umur penciptanya. Dalam setiap situasi

fenomenologis yakni konteks, ruang, waktu dan historis yang secara unik

menempatkan individu memiliki dan menerapkan persediaan pengetahuan

yang terdiri dari semua fakta, kepercayaan, keinginan, prasangka dan

aturan, yang kita pelajari dari pengalaman pribadi dan pengetahuan siap

pakai yang tersedia bagi kita di dunia yempat kita lahir dan eksis. Sehingga

konsep intersubjektifitas dalam fenomenologi Schutz merupakan konsep

yang memungkinkan kita melakukan interaksi dalam komunikasi. Dengan

bekal karakteristik persediaan pengetahuan yang dimiliki, maka dapat

saling berbagi perspektif dengan orang lain, dapat melakukan berbagai

macam hubungan dengan orang lain.

Pandangan Schutz, kategori pengetahuan, derajat pertama bersifat

pribadi dan unik bagi setiap individu dalam interaksi tatap muka dengan

orang lain. Kemudian berbagai pengkhasan yang telah terbentuk dan dianut

semua anggota suatu budaya, terdiri dari mitos, pengetahuan, budaya dan

akal sehat. Maka tujuan utama analisis fenomenologis adalah

mengkonstruksi dunia kehidupan manusia “sebenarnya” dalam bentuk yang

mereka alami sendiri. Realitas dunia tersebut bersifat intersubjektif, dalam

arti bahwa anggota masyarakat berbagai persepsi dasar mengenai dunia

19

yang mereka internalisasikan melalui sosialisasi dan memungkinkan

melakukan interaksi.

Derajat kedua bagi Schutz, yaitu mengkonseptualisasikan

pengamatan yang berhasil diamati oleh panca indera atas sebuah realitas

yang ada, kemudian dikonfirmasikan realitas pengamatan tersebut kepada

pelaku dalam realitas tersebut. Schutz menyetujui pemikiran Weber tentang

penggalan dari perilaku manusia dalam dunia sosial keseharian sebagai

realitas yang bermakna secara social.

Cuff dan Payne dalam (Kuswarno, 2004:47) menjelaskan bahwa

Schutz menyebutkan manusia yang berperilaku sebagai “aktor”. Ketika

seseorang melihat perbuatan aktor atau mendengar apa yang dikatakan, ia

akan memahami makna dari tindakan tersebut. Dalam dunia sosial hal

demikian disebut sebagai sebuah “realitas interpretif”.17 Maka (Mulyana,

2002: 62) menjelaskan bahwa penelitian sosial adalah usaha untuk

mengembangkan model-model sistem konsep dan relevansi subjek untuk

penelitian oleh karena hal-hal tersebut dapat diamati dalam kehidupan

sehari-hari. Kaum fenomenologis menolak prediksi sebagai tujuan ilmu

sosial, eksplanasi tidak identik dengan prediksi. Karena prediksi dapat

menjadi tujuan hanya bagi fenomena yang memungkinkan penjelasan

kausalitas. Sehingga dengan kata lain fenomenologi adalah mengkonstruksi

17 Engkus Kuswarno. 2004. Dunia Simbolik Pengemis: Konstruksi Realitas Sosial dan Management

Komunikasi Pengemis Kota Bandung. Bandung. Disertasi Doktor Ilmu Komunikasi Program

Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.

20

dunia kehidupan manusia “sebenarnya” dalam bentuk yang mereka alami

sendiri.18

Kemudian menurut Schutz, bahwa orang-orang begitu saja

menerima dunia keseharian itu eksis dan orang lain berbagi pemahaman atas

ciri-ciri penting dunia ini. Selain makna “intersubjektif”, dunia sosial

menurut Schutz harus dilihat secara historis. Karenanya Schutz

menyimpulkan bahwa tindakan sosial adalah tindakan yang berorientasi

pada perilaku orang atau orang lain pada masa lalu baik sekarang ataupun

akan datang.

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam intersubjektivitas atau

pemahaman kebermaknaan atas tindakan, ucapan, dan interaksi sebagai

anggota masyarakat, yakni situasi pengkhasan. Karena menurut Schutz

tindakan intersubjektif para aktor itu tidak muncul begitu saja, tetapi harus

melalui proses panjang, artinya sebelum masuk pada tataran in order

motive, menurut Schutz ada tahapan because motive yang mendahuluinya.

Sehingga fenomenologi hadir untuk memahami makna subjektif manusia

yang diatributkan pada tindakan-tindakan dan sebab-sebab serta

konsekwensi dari tindakannya. (Basrowi dan Sudikin, 2002: 42).

Penjelasan lain, bahwa Schutz melihat ke depan pada masa yang

akan datang (looking-forward into the future) merupakan hal yang esensial

bagi konsep tindakan atau action (handeln). Tindakan adalah perilaku yang

diarahkan untuk mewujudkan tujuan pada masa datang yang telah

18 Deddy Mulyana. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

21

ditetapkan (determinate). Kalimat tersebut sebenarnya mengandung makna

juga bahwa seseorang memiliki masa lalu (pastness). Dengan demikian

tujuan tindakan memiliki elemen ke masa depan (futurity) dan elemen ke

masa lalu (pastness).

Dalam menggambarkan bahwa tujuan suatu tindakan sosial

seseorang cukup kompleks, Schutz meminjam istilah tata bahasa dengan

menyebut in the future perfect tense. Sementara itu, suatu tindakan dapat

berupa “tindakan yang sedang berlangsung” (the action in progress), dan

“tindakan yang telah lengkap” (the completed act). Dengan meminjam

istilah dari Heidegger, Schutz menyebutkan bahwa “the complected act thus

pictured in the future perfect tense as the project (Entwurf) of the action”.

Apa yang disebut sebagai suatu “tindakan”, Schutz menjelaskan: “is the act

which is the goal of the action and which is brought into being by the

action”.

Tindakan adalah sebuah makna yang rumit atau makna yang

kontekstual, oleh karenanya, untuk menggambarkan keseluruhan tindakan

seseorang perlu diberi fase. Dua fase yang diusulkan Schutz diberi nama

tindakan in-order-to motivate, yang merujuk pada masa yang akan datang;

dan tindakan because-motive yang merujuk pada masa lalu. Dia

mencontohkan, jika seseorang membuka payung ketika hujan turun, maka

motif pertama (“motif untuk”) akan berupa pernyataan “menjaga baju tetap

kering”; sedangkan motif kedua (“motif-sebab) dengan melihat pengalam

dan pengetahuan sebelumnya tentang bagaimana akibatnya pada baju jika

22

hujan tanpa payung, misalnya digambarkan sebagai pernyataan “agar baju

tidak basah”. (Kuswarno, 2004: 48).

Para fenomenolog percaya bahwa mahluk hidup tersedia berbagai

cara untuk menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang

lain, dan bahwa pengertian pengalaman kisah kitalah yang membentuk

kenyataan. Tujuan pengertian subjek penelitian, yaitu melihatnya dari segi

pandangan mereka. Jika ditelaah secara teliti, frase “dari segi pandangan

mereka” menjadi persoalan. Persoalan pokoknya ialah “dari segi pandangan

mereka” merupakan konstruk penelitian. Melihat subjek dari segi ide ini

hasilnya barangkali akan memaksa subjek mengalami dunia asing baginya.

(Moleong, 2006: 9).19

2.1.5 Culture Shock

Culture shock mendapat perhatian ilmiah pada awal 1950-an dan

awal 1960-an. Lysgaard, Oberg dan Gullahorn adalah yang pertama untuk

menyajikan fenomena kualitatif sebagai penyesuaian antarbudaya. Definisi

culture shock berkembang seiring berjalannya waktu, dan di sini definisi

Adler disajikan20:

"Culture shock adalah seperangkat reaksi emosional terhadap

hilangnya persepsi dari budaya sendiri terhadap rangsangan

19 Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2006. 20 Yingjuan MAO. “Living in the bubble” The Role of communication for Swedish adjustment in

China. Gothenburg: University of Gothenburg Department of Applied Information Technology.

2014. Hal 9.

23

budaya baru yang memiliki sedikit atau tidak ada artinya, dan

kesalahpahaman dari pengalaman baru dan beragam. Ini dapat

mencakup perasaan tidak berdaya, mudah marah, dan ketakutan

ditipu, terkontaminasi, terluka atau diabaikan "

Culture shock juga dapat diartikan sebagai gegar budaya dan kejutan

budaya. Kalvero Oberg dalam (Mulyana dan Rakhmat, 2005) memberikan

definisi yang detail mengenai fenomena ini dalam paragraf berikut:

“Kejutan budaya ditimbulkan oleh rasa gelisah sebagai akibat dari

hilangnya semua tanda dan simbol yang biasa kita hadapi dalam

hubungan sosial. Tanda dan petunjuk ini terdiri atas ribuan cara di

mana kita mengorientasikan diri kita sendiri dalam kehidupan

sehari-hari; bagaimana memberikan petunjuk, bagaimana membeli

sesuatu, kapan dan di mana untuk tidak berespons. Petunjuk ini

dapat berupa kata-kata, gerakan, ekspresi wajah, kebiasaan atau

norma, diperlukan oleh kita semua dalam proses pertumbuhan dan

menjadi bagian dari budaya kita sama halnya dengan bahasa yang

kita ucapkan dan kepercayaan yang kita terima. Kita semua

menginginkan ketenangan pikiran dan efisiensi ribuan petunjuk

tersebut yang kebanyakan tidak kita sadari.”21

21 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi

Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2005. Hal 174.

24

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gegar budaya adalah

rasa cemas dan kaget ketika individu memasuki budaya baru yang berbeda

dengan budaya yang sudah melekat pada dirinya. Budaya yang sudah

melekat pada diri individu ketika memasuki budaya baru akan menjadi tidak

efektif karena setiap budaya mempunyai caranya tersendiri. Mulyana dan

Rakhmat (2005) mendefinisikan culture shock sebagai kegelisahan yang

mengendap yang muncul dari kehilangan tanda-tanda dan lambang-

lambang yang familiar dalam hubungan sosial. Tanda-tanda atau petunjuk-

petunjuk itu meliputi seribu satu cara yang kita lakukan dalam

mengendalikan diri kita sendiri dalam menghadapi situasi sehari-hari.22

Mulyana dan Rakhmat (2007) menjelaskan bahwa pada dasarnya

gegar budaya adalah berbenturan persepsi, yang diakibatkan penggunaan

persepsi berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) yang telah

dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai

budayanya berbeda dan belum ia pahami.23 Individu pada umumnya

menerima begitu saja nilai-nilai yang dianut dan dibawa sejak lahir, yang

juga dikonfirmasikan oleh orang-orang di sekitarnya. Beda halnya ketika

individu memasuki suatu lingkungan baru, ia mengahadapi situasi yang

membuatnya mempertanyakan kembali asumsi-asumsi tersebut, tentang apa

yang disebut kebenaran, moralitas, kebaikan, kewajaran, kesopanan,

kebijakan, dan sebagainya. Benturan-benturan persepsi itu yang kemudian

22 Ibid. Hal 174 23 Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2007.

Hal 247-249.

25

menimbulkan konflik dalam diri individu serta menyebabkannya individu

merasa tertekan dan menderita. Efek inilah yang disebut gegar budaya.

Taft (dalam Mulyana, 2007: 251) meringkas berbagai reaksi

psikologis, sosial, dan fisik yang menandai gegar budaya, meliputi:

Kelelahan fisik, seperti diwujudkan oleh kedongkolan, insomnia (sulit

tidur), dan gangguan psikosomatik lainnya. Perasaan kehilangan karena

tercerabut dari lingkungan yang dikenal. Penolakan individu terhadap

anggota-anggota lingkungan baru dan perasaan tak berdaya karena tidak

mampu menghadapi lingkungan asing.24 Gegar budaya dalam berbagai

bentuknya merupakan suatu fenomena yang alamiah saja. Intensitasnya

dipengaruhi oleh berbagai faktor, yang pada dasarnya terbagi dua, yakni

faktor internal (ciri-ciri kepribadian orang yang bersangkutan) dan faktor

eksternal (kerumitan budaya atau lingkungan baru yang dimasuki). Tidak

ada kepastian kapan gegar budaya ini akan muncul dihitung sejak individu

memasuki budaya lain. Itu bergantung pada sejauh mana perbedaan budaya

yang ada dan apakah individu memiliki ciri-ciri kepribadian yang kondusif

untuk mengatasi gegar budaya tersebut.

Bila perbedaan budaya tidak terlalu besar dan kita mempunyai

kepribadian yang positif, seperti tegar dan toleran, kita mungkin tidak akan

mengalamai gegar budaya yang berarti. Sebaliknya, bila perbedaan budaya

bersifat ekstrem, sementara kita lembek, penakut, dan kurang percaya diri,

kemungkinan besar kita akan mengalami gegar budaya. Berbagai penelitian

24 Ibid. Hal 247-249

26

empiris menunjukkan bahwa gegar budaya sebenarnya merupakan titik

pangkal untuk mengembangkan kepribadian dan wawasan budaya kita,

sehingga kita dapat menjadi orang-orang yang luwes dan terampil dalam

bergaul dengan orang-orang dari berbagai budaya, tanpa harus

mengorbankan nilai-nilai budaya kita sendiri.

Dalam membahas mengenai culture shock harus dipahami

perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dan seseorang yang

memutuskan untuk tinggal secara permanen (settlers). Seperti yang

dikatakan oleh Bochner (dalam Samovar, Porter, dan McDaniel, 2010: 474),

perhatian mereka terhadap pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda,

maka reaksi mereka pun berbeda. Settlers berada dalam proses membuat

komitmen tetap pada masyarakat barunya, sedangkan sojouners berada

dalam landasan sementara, meskipun kesementaraan bervariasi, seperti turis

dalam sehari atau pelajar asing dalam beberapa tahun. 25

Dalam bukunya Komunikasi Antarbudaya, Mulyana dan Rakhmat

(2005) mengatakan bahwa bagi orang asing, pola budaya kelompok yang

dimasuki bukanlah merupakan tempat berteduh, melainkan merupakan

suatu arena petualangan, bukan merupakan materi kuliah tetapi suatu topik

penyelidikan yang meragukan, bukan suatu alat untuk lepas dari situasi-

situasi problematik, melainkan suatu problematik tersendiri yang sulit

dikuasai.26 Pengalaman-pengalaman komunikasi dengan kontak

25 Samovar, dkk. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Salemba Humanika. 2010. Hal 474. 26 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi

Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2005. Hal 143.

27

interpersonal yang secara langsung dengan orang-orang yang berbeda latar

belakang budaya, seringkali menimbulkan frustasi. Individu biasanya

merasa kikuk dan terasa asing dalam berhubungan dengan orang-orang dari

lingkungan budaya baru yang ia masuki.

Samovar dkk (2010) menjelaskan bahwa reaksi antara individu yang

satu dengan individu lainnya terhadap culture shock bervariasi dan dapat

muncul pada waktu yang berbeda pula. Reaksi-reaksi yang mungkin terjadi,

antara lain27: permusuhan terhadap lingkungan yang baru, perasaan

disorientasi, perasaan tertolak, sakit perut dan sakit kepala, rindu kampung

halaman, merindukan teman dan keluarga, perasaan kehilangan status dan

pengaruh, menyendiri, menganggap anggota budaya yang lain tidak sensitif.

Selama gegar budaya terjadi, terdapat konsekuensi yang

diidentifikasi dan membentuk pola kurva-U. Pada tahun 1955, Lysgaard

adalah yang pertama mengusulkannya28:

"Penyesuaian sebagai proses dari waktu ke waktu tampaknya

mengikuti bentuk kurva -U: penyesuaian dirasakan menjadi mudah

dan sukses saat memulai; kemudian mengikuti 'krisis' di mana

seseorang merasa kurang disesuaikan dengan baik, agak kesepian

dan tidak bahagia; akhirnya orang mulai merasa lebih baik dengan

penyesuaian kembali, menjadi lebih terintegrasi di luar negeri. "

27 Samovar, dkk. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Salemba Humanika. 2010. Hal 476-477. 28 Yingjuan MAO. “Living in the bubble” The Role of communication for Swedish adjustment in

China. Gothenburg: University of Gothenburg Department of Applied Information Technology.

2014. Hal 9.

28

Berdasarkan hipotesis Lysgaard ini, model U-kurva ilustratif

diperpanjang oleh Oberg dan menjadi populer sejak tahun 1960-an dan terus

berada di masa percobaan selama lebih dari 50 tahun. Oberg

menggambarkan empat tahap:29 (1) honeymoon, yang ditandai dengan daya

tarik, kegembiraan, dan optimisme yang berlangsung dari beberapa hari

sampai 6 bulan tergantung pada seberapa cepat seseorang menghadapinya

dan komunikasi dengan budaya baru harus dimulai; (2) kesedihan, yang

ditandai dengan sikap bermusuhan dan emosional stereotip terhadap negara

tuan rumah dan meningkatkan hubungan dengan sesama pendatang; (3)

pemulihan, yang ditandai dengan peningkatan pengetahuan bahasa dan

kemampuan untuk berkeliling di negara tuan rumah, sikap superior terhadap

warga negara tuan rumah, dan meningkatnya rasa humor; (4) penguasaan,

yang berarti penyesuaian diri sudah selengkap mungkin, kecemasan

sebagian besar pergi, dan konvensi baru diterima dan dinikmati.

Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan

perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur

menyatakan bahwa orang biasanya melewati empat tingkatan culture shock.

Samovar dkk (2010) menjelaskan bahwa keempat tingkatan ini dapat

digambarkan dalam bentuk kurva U sehingga disebut U-curve:30 Fase

Kegembiraan, Fase Kekecewaan, Fase Awal Resolusi, dan Fase Berfungsi

dengan Efektif.

29 Ibid. Hal 9-10.

30 Ibid. Hal 477-488

29

Gambar 2.1

Kurva-U Fase Culture Shock

Fase Kegembiraan merupakan fase pertama yang digambarkan

sebagai ujung sebelah kiri dalam kurva-U. Fase ini berisi kegembiraan,

harapan dan euforia sebagai antisipasi individu ketika memasuki budaya

baru. Kemudian, Fase Kekecewaan, fase kedua dimana masalah dengan

lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa,

kehidupan sosial yang baru, sekolah baru, dan lain-lain. Fase ini biasanya

ditandai dengan rasa kecewa, ketidakpuasan dan segala sesuatunya

mengerikan. Individu menjadi bingung dan tercengang dengan sekitarnya

dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap bermusuhan,

mudah marah, tidak sabar dan bahkan menjadi tidak kompeten. Ini adalah

periode krisis dalam culture shock.

Selanjutnya, Fase Awal Resolusi, fase ketiga dimana individu mulai

mengerti mengenai budaya barunya. Pada fase ini individu secara bertahap

membuat beberapa penyesuaian dan modifikasi untuk menanggulangi

budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat

terprediksi dan tidak terlalu menekan. Fase terakhir adalah Fase Berfungsi

30

dengan Efektif yang berada pada ujung sebelah kanan atas dari kurva-U.

Individu telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, pola

komunikasi, keyakinan, dan lain-lain). Kemampuan untuk hidup dalam dua

budaya yang berbeda, biasanya juga disertai dengan rasa puas dan

menikmati. Namun beberapa ahli menyatakan bahwa untuk dapat hidup

dalam dua budaya yang berbeda, seseorang akan perlu beradaptasi kembali

dengan budayanya terdahulu.

31

2.2 Kerangka Berpikir

Gambar 2.2

Bagan Kerangka Berpikir

Ilustrasi Gambar; Olahan Peneliti

Fenomena Gegar Budaya

Teori Fenomenologi

(Alfred Schutz)

1. Paradigma Konstruktivisme

2. Tradisi Fenomenologi

3. Pendekatan Kualitatif

4. Metode Phenomenology Research

5. Teknik Penelitian: wawancara dan

observasi

6. Proses Pencarian Data

7. Proses Analisis Data

Konstruksi Gegar Budaya

Mahasiswa Asal Sumatera di Untirta

Konsep Culture Shock

(Kalvero Oberg)

1. Fase Kegembiraan

2. Fase Kekecewaan

3. Fase Awal Resolusi

4. Fase Berfungsi dengan Efektif

(Samovar, Porter & McDaniel, 2010)

32

2.3 Penelitian Terdahulu

No. Item Emma Violita Pinem Indah Maulidia Muhammad Hyqal

Kevinzky

1 Judul Culture Shock dalam Interaksi

Komunikasi Antarbudaya Pada

Mahasiswa Malaysia di Medan (Studi

Kasus Pada Mahasiswa Malaysia di

Universitas Sumatera Utara)

Culture Shock dalam Interaksi

Komunikasi Antarbudaya pada

Mahasiswa Asal Papua di USU

Proses dan Dinamika

Komunikasi Dalam

Menghadapi Culture shock

Pada Adaptasi Mahasiswa

Perantauan (Kasus Adaptasi

Mahasiswa Perantau di

UNPAD Bandung)

2 Tahun 2011 2014 2011

3 Tujuan

Penelitian

Untuk mengetahui culture shock dalam

interaksi komunikasi antarbudaya pada

mahasiswa Malaysia di USU, dalam hal

ini juga mengenai reaksi dan upaya

mengatasi culture shock tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui proses komunikasi

yang berlangsung antara

mahasiswa Papua dan mahasiswa

USU lainnya dan tahapan-tahapan

culture shock dalam interaksi

komunikasi antarbudaya pada

mahasiswa Papua di USU serta

upaya mengatasi culture shock

tersebut.

Untuk melihat bagaimana

proses dan dinamika

komunikasi mahasiswa

perantauan di UNPAD

Bandung dalam beradaptasi,

ketika menghadapi culture

shock.

4 Teori Teori Interaksionisme Simbolik Teori Interaksionisme Simbolik Teori Akomodasi

Komunikasi

33

5 Metode/

Paradigma

Kuantitatif/Deskriptif Kualitatif/Interpretif Kualitatif/Interpretif

6 Hasil

Penelitian/

Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

para mahasiswa asal Malaysia memiliki

kecenderungan culture shock tergolong

sedang. Hal ini berarti mereka sudah

bisa menyesuaikan diri, namun untuk

beberapa informan masih mengalami

beberapa masalah adaptasi seperti

merasa diperlakukan berbeda dalam

berinteraksi dengan penduduk lokal,

tidak menguasai bahasa Indonesia

dengan baik, dan masih kurang nyaman

dengan perbedaan budaya yang ada.

Dalam hal terpaan dan upaya

mengatasinya dipengaruhi oleh 33ias33r

jenis kelamin, asal fakultas dan lama

menetap. Perempuan lebih tinggi

culture shocknya dan cenderung lebih

lambat dalam beradaptasi, sedangkan

laki-laki lebih ringan terpaan culture

shock dan lebih cepat dalam

beradaptasi. Mahasiswa di Fakultas

Kedokteran cenderung lebih

berkelompok dan tidak akrab dengan

mahasiswa Indonesia, sedangkan di

Hasil penelitian menunjukkan

bahwa para mahasiswa asal Papua

memiliki kecenderungan culture

shock yang tergolong sedang. Hal

ini berarti mereka sudah 33ias

menyesuaikan diri dan merasa

nyaman tinggal di Medan. Bahkan

beberapa informan mengaku lebih

nyaman tinggal di Medan

daripada daerahnya sendiri yaitu

Papua. Fakultas dan motivasi diri

ikut mempengaruhi proses

komunikasi yang terjalin antara

mahasiswa Papua dan mahasiswa

USU lainnya. Mahasiswa asal

Papua tidak selalu berteman

dengan sesamanya tetapi mereka

juga berbaur dengan mahasiswa

lainnya agar dapat menyesuaikan

diri dengan lingkungan barunya

dan merasa nyaman kuliah di

USU.

Dalam penelitian ini,

ditemukan bahwa terdapat

sejumlah kecenderungan

seseorang dalam beradaptasi

dengan budaya asing di

sekitarnya, yang kemudian

menentukan pemilihan tipe

adaptasinya agar bisa

bertahan di perantau.

34

Fakultas Kedokteran Gigi, mahasiswa

Malaysia lebih berbaur dengan

mahasiswa Indonesia, meskipun ada

yang juga masih sering berkumpul

dengan sesamanya, tetapi kedekatan dan

intensitas interaksi dengan mahasiswa

Indonesia baik untuk urusan kampus

atau di luar kampus lebih sering terjadi

pada mahasiswa Fakultas Kedokteran

Gigi. Ini mempengaruhi proses adaptasi

mereka. Selain itu, lama menetap juga

turut mempengaruhi. Mahasiswa yang

lebih lama menetap di Medan memiliki

penyesuaian yang lebih menyeluruh.

7 Persamaan Meneliti tentang culture shock

Objek penelitian pada mahasiswa

Meneliti tentang culture shock

Objek penelitian pada

mahasiswa

Metode penelitian yang

digunakan

Meneliti tentang culture

shock

Objek penelitian pada

mahasiswa

Metode penelitian yang

digunakan

8 Perbedaan Teori yang digunakan

Metode penelitian yang digunakan

Paradigma Penelitian

Teori yang digunakan

Paradigma Penelitian

Teori yang digunakan

Paradigma Penelitian

9 Sumber http://repository.usu.ac.id/ http://repository.usu.ac.id/ http://digilib.ui.ac.id/

35

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 PENDEKATAN DAN METODE PENELITIAN

Soehartono (2008:9) mendefinisikan metode penelitian adalah cara atau

strategi menyeluruh untuk menemukan atau memperoleh data yang diperlukan. Metode

penelitian perlu dibedakan dari teknik pengumpulan data yang merupakan teknik yang

lebih spesifik untuk memperoleh data.1 Mengacu pada permasalahan penelitian yaitu

tentang studi fenomenologi gegar budaya mahasiswa asal Sumatera di Untirta,

maka penulis memutuskan untuk menggunakan metode penelitian kualitatif dengan

pendekatan fenomenologis.

Mulyana, (2001: 145-146) menjelaskan bahwa metodologi adalah proses,

prinsip dan prosedur yang kita gunakan untuk mendekati suatu masalah dan

mencari jawabannya. Dengan kata lain, metodologi adalah suatu pendekatan umum

untuk mengkaji topik penelitian.2 Metodologi dipengaruhi atau berdasarkan

perspektif teoritis yang kita gunakan untuk melakukan penelitian, sementara

perspektif teoritis itu sendiri adalah suatu kerangka penjelasan atau interpretasi

yang memungkinkan penulis memahami data dan menghubungkan data yang rumit

1 Irawan Soehartono. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan

Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2008. Hal 9. 2 Deddy Mulyana. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2001. Hal

145-146.

36

dengan peristiwa dan situasi lain. Sebagaimana perspektif yang merupakan suatu

rentang dari yang sangat objektif hingga sangat subjektif, maka metodologi pun

sebenarnya merupakan suatu rentang juga, dari yang sangat kuantitatif (objektif)

hingga yang sangat kualitatif (subjektif).

Menurut Kriyantono (2006: 56-57), riset kualitatif bertujuan untuk

menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data

sedalam-dalamnya. Riset ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling,

bahkan populasi atau samplingnya sangat terbatas. Jika data yang terkumpul sudah

mendalam dan dapat menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari

sampling lainnya.3 Dalam penelitian ini, penulis menekankan pada persoalan

kedalaman (kualitas) bukan pada banyaknya (kuantitas) data. Selain itu, penulis

juga ikut aktif dalam menentukan jenis data yang diinginkan karena dalam riset

kualitatif, periset adalah bagian integral dari data. Dengan demikian, periset

menjadi instrumen riset yang harus terjun langsung di lapangan. Karena itu riset ini

bersifat subjektif dan hasilnya lebih kasuistik bukan untuk digeneralisasikan

Untuk mengetahui fenomena gegar budaya mahasiswa asal Sumatera,

penulis menggunakan pendekatan fenomenologi, dimana dalam pendekatan ini

penulis langsung meneliti sebuah kesadaran dari pengalaman (awareness of

experience), yaitu keadaan yang memberikan sudut pandang pengalaman dari orang

pertama. Jadi dengan menggunakan pendekatan fenomenologi, penulis meneliti

secara langsung pada mahasiswa asal Sumatera di UNTIRTA sebagai key informan

penelitian ini.

3 Rachmat Kriyantono. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana. 2012. Hal 56-57.

37

Little John (2011:65) menjelaskan bahwa pendekatan fenomenologis

berasumsi bahwa orang-orang secara aktif menginterpretasi pengalaman-

pengalamannya dan mencoba memahami dunia dengan pengalaman pribadinya.

Pendekatan fenomenologi adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui dunia

dari sudut pandang orang yang mengalaminya secara langsung dan berkaitan

dengan sifat-sifat alami pengalaman manusia, dan makna yang dilekatkan

padanya.4

Tidak hanya itu, untuk melengkapi penelitian yang dilakukan, penulis juga

akan melakukan wawancara kepada ahli di bidangnya berkaitan dengan fenomena

gegar budaya dari aspek komunikasi budaya. Wawancara dilakukan kepada Guru

Besar bidang Ilmu Komunikasi Lintas Budaya FISIP UNTIRTA sebagai informan

pendukung untuk memperkuat dan melengkapi penelitian mengenai studi

fenomenologi gegar budaya mahasiswa asal Sumatera di Untirta.

3.2. PARADIGMA PENELITIAN

Penelitian ini sendiri menggunakan paradigma kontruktivisme dikarenakan

sesuai dengan sifat dan karakter permasalahan data yang diangkat dalam penelitian

ini. Hidayat (2003:3) menjelaskan bahwa paradigma konstruktivisme memandang

bahwa ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action

melalui pengamatan langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial yang

bersangkutan menciptakan dan memelihara/mengelola dunia sosial mereka.5

4 Littlejohn, Stephen W & Karen A. Foss, Teori Komunikasi (Theories of Human Comunication),

(Jakarta: Salemba Humanika, 2011), Hal. 65. 5 Dedy N. Hidayat, Paradigma dan Metodologi Penelitian Sosial Empirik Klasik (Jakarta:

Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, 2003), Hal. 3.

38

Penulis menggunakan paradigma konstruktivis untuk mengetahui

bagaimanakah fenomena gegar budaya pada mahasiswa asal Sumatera di

UNTIRTA, dengan paradigma konstruktivis ini penulis bisa mendapatkan

informasi yang lebih mendalam dari individu yang diteliti. Dalam penelitian ini,

penulis akan memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk menggali sedalam mungkin

ingatan dan pengalaman informan berdasarkan fakta selama menempuh studi di

Kampus UNTIRTA yang memiliki latar belakang budaya dan lingkungan yang

berbeda. Hasil wawancara yang berdasarkan pengalaman informan inilah yang

nanti akan dianalisis dan bisa saja sesuai dengan yang diharapkan oleh penulis

ataupun tidak. Apakah informan mengalami gegar budaya dan dapat melakukan

interaksi antarbudaya atau malah sebaliknya.

3.3 RUANG LINGKUP PENELITIAN

Dalam penelitian ini, penulis akan mencantumkan batasan-batasan masalah

sehingga tidak adanya kesalahpahaman dalam menginterpretasi, sekaligus

memudahkan pembaca dalam memahami penelitian ini. Adapun batasan masalah

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, penulis memfokuskan

penelitian pada faktor-faktor apa saja yang mendorong mahasiswa asal Sumatera di

UNTIRTA melakukan perantauan. Kedua, bagaimana tahapan-tahapan gegar

budaya yang dialami mahasiswa asal Sumatera. Ketiga, bagaimana proses interaksi

yang terjadi ketika mahasiswa asal Sumatera melakukan perantauan dan terakhir,

apa saja upaya yang dilakukan mahasiswa asal Sumatera dalam mengatasi gegar

budaya.

39

3.4 INSTRUMEN PENELITIAN

3.4.1 SUMBER DATA

Dalam penelitian ini terdapat dua jenis data yang dikumpulkan yaitu

data primer dan data sekunder. Data primer menurut Ruslan (2004:29)

adalah data yang diperoleh langsung dari objek penelitian lapangan

perorangan, kelompok dan organisasi.6 Adapun data yang menjadi sumber

data primer adalah melalui wawancara kepada mahasiswa rantau asal

Sumatera yang sesuai dengan kriteria dalam informan penelitian.

Sedangkan menurut Bungin (2009:122) data sekunder adalah data yang

diperoleh dari sumber kedua atas data yang kita butuhkan7, maka dari itu

data sekunder didapat dari informan pendukung. Selain itu, penulis

melakukan observasi dengan jenis observer as participant, sehingga penulis

akan mengikuti keseharian informan berdasarkan izin informan, dan

bergabung dalam setting kesehariannya.

3.4.2 TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teknik

pengumpulan data, karena teknik pengumpulan data merupakan faktor yang

sangat penting dalam setiap melakukan penelitian agar berjalan sesuai

6 Rosady Ruslan. Metode Penelitian PR dan Komunikasi. (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004). Hal

29. 7 Burhan Bungin. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Jakarta: Kencana Predana Grup, 2009). Hal

122.

40

dengan apa yang diinginkan. Adapun teknik pengumpulan data dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Wawancara

Berger dalam Kriyantono (2006: 100) mengatakan bahwa

wawancara adalah percakapan antara periset (seseorang yang berharap

mendapatkan informasi) dan informan (seseorang yang diasumsikan

mempunyai informasi penting tentang suatu objek. Wawancara merupakan

metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi

langsung dari sumbernya.8 Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan

teknik wawancara untuk mendapatkan data. Ada dua jenis informan pada

penelitian ini, yaitu key informan, yang dimana penulis akan meneliti

tentang fenomena gegar budaya dan yang kedua adalah informan tambahan,

dimana penulis akan menggunakan data hasil wawancara sebagai

triangulasi sumber atas data yang penulis peroleh dari key informan.

Penelitian ini menggunakan wawancara semistruktur yang dimana

penulis mempunyai daftar pertanyaan tertulis tapi memungkinkan juga

untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan secara bebas, yang terkait

dengan permasalahan gegar budaya dalam fase kegembiraan, fase

kekecewaan, fase awal resolusi, fase berfungsi dengan efektif, motif

merantau, proses interaksi dan upaya apa saja yang dilakukan untuk

mengatasi gegar budaya.

8 Rachmat Kriyantono. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana. 2012. Hal 100

41

2. Observasi

Observasi merupakan metode pengumpulan data yang digunakan

pada riset kualitatif. Observasi adalah interaksi (perilaku) dan percakapan

yang terjadi di antara subjek yang diriset. Sehingga keunggulan metode ini

adalah data yang dikumpulkan dalam dua bentuk: interaksi dan

percakapan.9 Dalam penelitian ini, perilaku non-verbal juga mencakup

perilaku verbal dari orang-orang yang diamati. Ini mencakup antara lain apa

saja yang dilakukan, perbincangan apa saja yang dilakukan termasuk

bahasa-bahasa gaul serta benda-benda apa yang mereka buat atau gunakan

dalam interaksi sehari-hari. Dalam riset dikenal juga metode observasi

partisipan dan observasi non-partisipan. Selain melakukan wawancara,

peneliti juga akan melakukan observer as participant dimana peneliti akan

mengikuti keseharian informan berdasarkan izin informan, dan bergabung

dalam setting kesehariannya.

3.5 INFORMAN PENELITIAN

3.5.1 Metode Pemilihan Informan

Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bersifat subjektif

karena metode pemilihan informan dalam penelitian kualitatif memberikan

kebebasan bagi penulis untuk menentukan siapa informannya. Namun

dikarenakan keterbatasan akses penulis dalam pemilihan informan, maka

penulis menggunakan teknik snowball sampling.

9 Ibid. Hal 111

42

Sugiyono (2010: 61) menjelaskan bahwa Snowball Sampling adalah

teknik penentuan subjek penelitian yang pada awalnya berjumlah kecil,

kemudian subjek penelitian diminta untuk menunjukan kenalannya untuk

dijadikan sampel.10 Namun, pemilihan informan juga didasari oleh beberapa

kriteria yang ditetapkan oleh penulis (purposive sampling) guna menjaga

kesesuaian data yang diperoleh dengan arah penelitian. Purposive sampling

adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.

3.5.2 Karakteristik Informan

Informan kunci (key informan) dipilih berdasarkan fenomena yang

diteliti yaitu mengenai fenomena gegar budaya mahasiswa asal Sumatera,

oleh karena itu agar data objektif dapat diperoleh, maka penulis menetapkan

bahwa informan utama (key informan) dalam penelitian ini yaitu mahasiswa

asal Sumatera. Adapun mahasiswa tersebut memiliki kriteria sebagai

berikut:

a) Mahasiswa yang sedang menempuh studi di Kampus UNTIRTA

b) Mahasiswa yang lahir dan besar di Pulau Sumatera

c) Mahasiswa angkatan 2011-2015

Adapun informan kedua dalam penelitian ini yaitu informan pendukung

yaitu ditentukan berdasarkan fokus penelitian mengenai komunikasi

antarbudaya. Untuk itu, penulis akan melakukan penelitian tentang

fenomena gegar budaya dilihat dari komunikasi antarbudaya, oeh karena itu

10 Sugiyono. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. 2010. Hal 61.

43

yang akan menjadi informan pendukung yaitu Guru Besar bidang

Komunikasi Lintas Budaya FISIP UNTIRTA.

3.6. TEKNIK ANALISIS DATA

Penulis akan melakukan analisis data yang dimana merupakan kegiatan

mengurai sesuatu sampai ke komponen-komponenya dan kemudian menelaah

hubungan masing-masing komponen dengan keseluruhan konteks dari berbagai

sudut pandang, kemudian data yang telah diperoleh akan dianalisis secara kualitatif.

Patton dalam Moleong (2007:103) menjelaskan bahwa analisis data adalah proses

mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan

uraian dasar.11 Definisi tersebut memberikan gambaran tentang betapa pentingnya

kedudukan analisis data dilihat dari segi tujuan penelitian. Prinsip pokok penelitian

kualitatif adalah menemukan teori dari data. Teknik analisis data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah menggunakan langkah-langkah seperti yang

dikemukakan oleh Burhan Bungin (2009:70) yaitu sebagai berikut:12

1) Pengumpulan Data (Data Collection)

Pengumpulan data merupakan bagian integral dari kegiatan analisis

data. Kegiatan pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan

menggunakan wawancara.

11 Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif edisi revisi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,

2007. Hal. 103. 12 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Predana Grup. 2009. Hal 70.

44

2) Reduksi Data (Data Reduction)

Reduksi data, diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan

perhatian pada penyederhanaan dan transformasi data kasar yang muncul

dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi dilakukan sejak

pengumpulan data dimulai dengan membuat ringkasan, mengkode,

menelusur tema, membuat gugus-gugus, menulis memo dan sebagainya

dengan maksud menyisihkan data/informasi yang tidak relevan.

3) Display Data

Display data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersusun

yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan

pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif disajikan dalam bentuk teks

naratif. Penyajiannya juga dapat berbentuk matrik, diagram, tabel dan

bagan.

4) Verifikasi dan Penegasan Kesimpulan (Conclution Drawing and

Verification)

Merupakan kegiatan akhir dari analisis data. Penarikan kesimpulan

berupa kegiatan interpretasi, yaitu menemukan makna data yang telah

disajikan antara display data dan penarikan kesimpulan terdapat aktivitas

analisis data yang ada. Dalam pengertian ini analisis data kualitatif

merupakan upaya berlanjut, berulang dan terus-menerus. Masalah reduksi

data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi menjadi

gambaran keberhasilan secara berurutan sebagai rangkaian kegiatan analisis

45

yang terkait. Selanjutnya data yang telah dianalisis, dijelaskan dan dimaknai

dalam bentuk kata-kata untuk mendiskripsikan fakta yang ada di lapangan,

pemaknaan atau untuk menjawab pertanyaan penelitian yang kemudian

diambil intisarinya saja.

3.7. TEKNIK PEMERIKSAAN KEABSAHAN DATA

Pada penelitian ini penulis menggunakan salah satu teknik pemeriksaan

triangulasi dari empat kriteria yaitu kepercayaan (credibility) untuk memeriksa

keabsahan data. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau

sebagai pembanding terhadap data itu. Denzin dalam Moleong (2007) membedakan

empat macam trangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan

penggunaan sumber, metode, penyidik, dan teori.13

Penulis menggunakan triangulasi sumber untuk mengecek keabsahan data

dalam penelitian ini. Traingulasi sumber yang akan penulis gunakan yaitu dari hasil

wawancara pada informan tambahan, yaitu dari penulis buku Komunikasi

Antarbudaya Satu Perspektif Multidimensi. Patton dalam Moleong (2007:330)

menjelaskan bahwa triangulasi sumber berarti membandingkan dan mengecek balik

derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang

berbeda dalam penelitian kualitatif.14 Menurut Moleong (2007:331) hal itu dapat

dicapai dengan jalan:15 (1) Membandingkan data hasil pengamatan dengan data

13 Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif edisi revisi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

2007. Hal. 330. 14 Ibid. Hal 330 15 Ibid. Hal. 331.

46

hasil wawancara. (2) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum

dengan apa yang dikatakannya secara pribadi. (3) Membandingkan apa yang

dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya

sepanjang waktu. (4) Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan

berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang

berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan. (5)

Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

3.8 JADWAL PENELITIAN

No Kegiatan

Penelitian

Mar

2015

Apr

2015

Mei

2015

Juni

2015

July

2015

Aug

2015

Sept

2015

Okt

2015

Nov

2015

Des

2015

Jan

2016

Feb

2016

1. Bimbingan Bab

1, 2 dan 3.

2. Sidang Outline

3. Penyempurnaan

Bab 1,2 dan 3.

4. Observasi

(Pengambilan

Data di

Lapangan)

5. Bimbingan Bab

4 & 5

6. Sidang Skripsi

47

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Objek Penelitian

Objek penelitian dalam penelitian ini berfokus pada fenomena gegar budaya

mahasiswa asal Sumatera yang menempuh studi di Kampus Untirta. Mahasiswa

Sumatera sebelumnya memiliki faktor-faktor tertentu yang mendorong mereka

melakukan perantauan, di antaranya adalah untuk melanjutkan studi ke jenjang

yang lebih tinggi agar dapat meraih cita-cita juga memiliki masa depan yang lebih

cerah.

Melakukan perantauan bukanlah suatu hal yang mudah dikarenakan

mahasiswa Sumatera diharuskan hidup mandiri tanpa ada keluarga yang

mendampingi, apalagi perantauan dilakukan ke luar pulau yang jaraknya cukup

jauh. Ketika datang ke kota perantauan, mahasiswa rantau mengalami kekagetan

dengan lingkungan baru yang ditemuinya. Reaksi ini biasanya disebut dengan

culture shock atau gegar budaya.

Gegar budaya merupakan salah satu reaksi pada umumnya dimana perantau

merasa kaget atas perbedaan yang terjadi mulai dari budaya, bahasa, makanan,

kehidupan sosial, cuaca dan sebagainya. Mau tak mau hal ini menyebabkan

mahasiswa rantau dituntut untuk melakukan penyesuaian terhadap hal-hal baru

yang ada di sekitar. Contohnya ketika mahasiswa asal Sumatera harus melakukan

komunikasi dengan masyarakat sekitar ataupun mahasiswa non Sumatera, mereka

48

tidak bisa menggunakan bahasa daerah asalnya tetapi mereka harus menyesuaikan

diri dengan bahasa di Kota Serang dan Cilegon yang notabene menggunakan bahasa

Sunda ataupun Jawa Serang. Walaupun tinggal di satu negara yang sama, dialek

ataupun makna suatu kata akan memiliki arti yang berbeda di setiap daerahnya.

Gaya bicara mahasiswa Sumatera pun menjadi kendala dalam berkomunikasi

karena dianggap memiliki intonasi yang terlalu tinggi bagi masyarakat Serang dan

Cilegon.

Selain itu makanan juga menjadi masalah di perantauan, apalagi dengan

budaya Indonesia yang begitu kaya membuat makanan di Indonesia memiliki

berbagai macam jenis dan rasanya. Terlebih makanan di Pulau Sumatera dan Pulau

Jawa yang sangat berbeda, pada umumnya makanan di Pulau Sumatera lebih pedas

dan kaya akan bumbu sementara di Pulau Jawa lebih manis dan tidak terlalu pedas.

Kendala lainnya bagi mahasiswa Sumatera adalah cuaca di Serang dan Cilegon

yang lebih terik dan berdebu dari Pulau Sumatera karena letaknya yang tidak begitu

jauh dengan pantai maupun pabrik-pabrik kimia.

Ketika seseorang mengalami gegar budaya, hal ini dapat menjadi suatu hal

baik ataupun buruk tergantung indiviu memperlakukannya karena reaksi terhadap

gegar budaya pada masing-masing individu berbeda. Hal baik akan terjadi jika

mahasiswa rantau bisa dengan cepat menyesuaikan diri di lingkungan baru dan

berbaur namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka gegar budaya bisa

mempengaruhi keadaan fisik maupun psikis. Maka dari itu mahasiswa Sumatera

memilih untuk mengikuti kegiatan di dalam maupun di luar kampus seperti

49

organisasi maupun komunitas untuk mengisi waktu luang serta beradaptasi dengan

lingkungan baru.

Fenomena gegar budaya semakin banyak terjadi saat ini karena sudah

banyaknya masyarakat yang menempuh studi di luar daerahnya masing-masing,

sehingga memacu penulis melakukan penelitian ini yang merupakan bagian dari

komunikasi antarbudaya. Selain itu, ilmu komunikasi juga mempunyai peranan

penting berkaitan dengan penelitian ini. Objek penelitian berkaitan erat dengan

komunikasi antarbudaya. Berdasarkan yang telah dijelaskan sebelumnya di BAB

II, komunikasi antarbudaya terjadi bila pengirim pesan adalah anggota dari suatu

budaya dan penerima pesannya adalah anggota dari suatu budaya lain. Komunikasi

antarbudaya adalah komunikasi antar orang-orang yang berbeda budaya (baik

dalam arti ras, etnik ataupun perbedaan sosioekonomi), hal inilah yang menjadi

latar belakang dalam penelitian ini.

4.2. Deskripsi Informan Penelitian

Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara dengan cara

mendatangi dan menanyai langsung kepada para informan mengenai hal-hal yang

menjadi kepentingan dalam penelitian. Dari pengumpulan data yang diperoleh

penulis, informan pada penelitian ini berjumlah 6 (enam) orang yang terdiri dari 5

(lima) orang key informan yang sesuai dengan kriteria informan dan 1 (satu)

informan pendukung atau narasumber yang merupakan Guru Besar Komunikasi

Lintas Budaya FISIP UNTIRTA.

Dalam pencarian key informan, penulis memerlukan waktu yang tidak

sebentar dikarenakan mahasiswa rantau dari Sumatera tidak sebanyak mahasiswa

50

dari pulau Jawa dan tidak mudah untuk meminta kesediaan melakukan wawancara

pada informan dikarenakan kesibukan mereka yang tengah melakukan ujian akhir

semester. Dalam penelitian ini, data diri key informan menggunakan identitas asli.

Penelitian dilakukan melalui kegiatan wawancara yang dimulai dari awal

bulan Desember 2015 sampai akhir bulan Januari 2016. Penulis melakukan

pendekatan terlebih dahulu pada key informan setelah itu penulis melakukan

wawancara secara langsung pada key informan. Wawancara dilakukan dengan

menggunakan alat bantu penelitian yaitu perekam suara handphone untuk

mempermudah penulis dalam pengelolaan data.

Sebelum melakukan wawancara, penulis terlebih dahulu melakukan

pendekatan kepada para key informan melalui Line Messenger dan Whatsapp

Messenger. Pada bulan November, penulis sudah mulai mencari dan melakukan

pendekatan terlebih dahulu pada key informan, setelah itu barulah penulis

melakukan wawancara. Wawancara dengan key informan pertama yaitu dilakukan

pada tanggal 10 Desember 2015 bertempat di Kantin Belakang Untirta Serang

dimulai pukul 16:49 s.d 17:43 WIB. Kemudian wawancara key informan kedua

pada tanggal 14 Desember 2015 di tempat yang sama seperti key informan pertama

yang dimulai dari pukul 17.10 s.d 18.05 WIB. Wawancara dengan key informan

ketiga dan keempat dilakukan bersama di Laboratorium Teknik Industri Untirta

Cilegon pada tanggal 24 Desember 2015 dimulai pukul 13:55 s.d 15.10 WIB dan

wawancara key informan terakhir dilakukan di halaman PKM B Untirta Serang

pada tanggal 28 Desember 2015 mulai pukul 17:30 s.d 18.20 WIB. Untuk informan

pendukung, wawancara dilakukan setelah peneliti selesai melakukan wawancara

51

pada key informan. Wawancara dengan Guru Besar Komunikasi Lintas Budaya

FISIP UNTIRTA dilakukan pada tanggal 20 Januari 2016 mulai pukul 13:55 WIB

s.d 14:37 WIB di Gedung LPPM Kampus Untirta Serang.

Tabel 4.1

Identitas Key Informan

NO Nama Asal Status

1 Fauziah Nur Utami Pematang Siantar Informan 1

2 Risda Sinaga Pematang Siantar Informan 2

3 Rienny Yurike Sianipar Bengkulu Informan 3

4 Aslam Daniel Lampung Informan 4

5 Ferdinand Putra Riau Informan 5

1. Key Informan 1 Tami

Fauziah Nur Utami atau yang biasa dipanggil Tami ini lahir pada tanggal 14

Maret 1994 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Perempuan yang mempunyai

darah Batak dari ibunya ini pernah tinggal di Bengkulu ketika duduk di Sekolah

Dasar, selebihnya ia tinggal di Pematang Siantar. Tami merupakan teman satu

angkatan dan jurusan dengan penulis, juga pernah berada di suatu organisasi

internal kampus yang sama. Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi angkatan 2011

ini sangat aktif mengikuti organisasi internal maupun eksternal. Oleh karena Tami

lahir dan besar di Pulau Sumatera dan sedang menempuh studi di Kampus Untirta

maka penulis memilih Tami sebagai key informan penelitian.

52

Ketika penulis meminta Tami untuk menjadi informan penelitian,

perempuan beerhijab ini sedikit malu pada awalnya, namun karena penulis

memberikan penjelasan yang lebih detail akhirnya Tami bersedia melakukan

wawancara. Wawancara dilakukan di Kantin Belakang Kampus Untirta Serang

pada sore hari. Menurut penulis, anak pertama dari 3 bersaudara ini memiliki sifat

yang ramah, open minded dan termasuk orang yang menyukai tantangan.

2. Key Informan 2 Risda

Metode snowball sampling digunakan dalam penarikan informan penelitian

ini, dimana penentuan informan diawali dengan pemilihan yang sesuai dengan

kriteria informan, kemudian informan tersebut diminta untuk menunjuk kenalannya

untuk dijadikan informan yang selanjutnya (Sugiyono, 2001:61), Risda terpilih.

Pemilik nama lengkap Risda Sinaga ini merupakan teman satu kost Tami juga

teman satu kampung halamannya. Perempuan yang bersuku Batak Simalungun ini

lahir pada tanggal 26 November 1992 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Anak

pertama dari 2 bersaudara ini merupakan mahasiswa jurusan Administrasi Negara

angkatan 2011 yang sedang menunggu panggilan sidang. Oleh karena Risda lahir

dan besar di Pulau Sumatera dan masih menjadi mahasiswa Untirta, penulis

menjadikannya sebagai key informan.

Sebelumnya Risda pernah berkuliah di Medan namun hanya 1 tahun

pertama saja. Sebagai anak yang merantau jauh dari rumah, Risda memiliki materi

yang lebih dari cukup dilihat dari penampilannya saat pertama kali bertemu dengan

penulis. Risda juga cukup ramah dan terbuka ketika bercerita tentang

pengalamannya merantau, tapi karena tidak pernah tinggal jauh sebelumnya ia

53

terkesan lebih selektif dalam berbagai hal yang berkaitan dengan kenyamanan

selama tinggal di Serang. Risda juga aktif dalam organisasi di kampus baik internal

maupun eksternal. Suasana ketika wawancara sebenarnya tidak begitu kondusif

dikarenakan dilakukan di Kantin Belakang Kampus UNTIRTA Serang yang

dimana banyak mahasiswa lain yang sedang berada di sana, namun Risda cukup

kooperatif sehingga wawancara berjalan dengan lancar.

3. Key Informan 3 Rienny

Rienny Yurike Sianipar atau yang biasa dipanggil Rienny ini lahir di

Bengkulu, 2 April 1993. Anak ke-3 dari 4 bersaudara ini memiliki kedua orang tua

yang berasal dari Sumatera Utara dan bersuku Batak, namun karena adanya faktor

pekerjaan yang mengharuskan orang tua Rienny untuk pindah ke Bengkulu jauh

sebelum Rienny lahir. Perempuan berkacamata dan berbehel ini merupakan

mahasiswa jurusan Teknik Industri UNTIRTA angkatan 2012. Penulis menjadikan

Rienny sebagai key informan dikarenakan Rienny lahir dan besar di Pulau Sumatera

dan merupakan mahasiswa Untirta.

Rienny merupakan mahasiswa yang aktif dalam organisasi baik internal

maupun eksternal, bahkan ia merupakan salah satau mahasiswa yang mendapatkan

beasiswa dari Beswan Djarum. Rienny merupakan junior dari teman penulis.

Rienny memiliki sifat yang ramah, percaya diri dan menyambut baik ketika penulis

memintanya untuk menjadi informan, namun karena kesibukannya sebagai

assistant laboratorium membuat penulis harus menunggu waktu luang yang

dimiliki Rienny. Wawancara berlangsung di Laboratorium Teknik Industri dan

berjalan sangat kondusif karena pada hari itu perkuliahan sedang libur.

54

4. Key Informan 4 Aslam

Pemilik nama lengkap Aslam Daniel atau biasa dipanggil Aslam ini

merupakan teman dekat dari Rienny yang juga teman satu angkatan dari jurusan

yang sama yaitu Teknik Industri 2012. Aslam dikenalkan Rienny kepada penulis

karena sebelumnya penulis meminta Rienny untuk mencarikan temannya yang

berasal dari Sumatera dan bersedia dijadikan informan penelitian ini. Kebetulan

pada hari penulis ingin mewawancarai Rienny, Aslam sedang berada di

Laboratorium Teknik Industri. Terpilihnya Aslam sebagai key informan juga

didasari dari tempat lahir dan tinggal Aslam yang berada di Pulau Sumatera serta ia

merupakan mahasiswa Untirta.

Aslam lahir pada tanggal 1 Januari 1994 di Lampung, walaupun terlihat

lebih pendiam dan lugu tapi ia cukup ramah ketika pertama kali bertemu dengan

penulis dan sangat kooperatif ketika melakukan wawancara. Anak ke-2 dari 3

bersaudara ini juga aktif dalam organisasi baik internal maupun eksternal, selain itu

Aslam juga disibukan oleh tugasnya menjadi assistant laboratorium. Saat SMA,

Aslam pernah hidup mandiri dengan menge-kost karena jarak rumah dan

sekolahnya yang cukup jauh namun masih di daerah Lampung. Wawancara

terhadap Aslam berlangsung di Laboratorium Teknik Industri Untirta.

5. Key Informan 5 Ferdi

Ferdinand Putra atau yang biasa dipanggil Ferdi ini lahir di Perawang-Riau

pada tangga l 7 Oktober 1993. Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi angkatan 2013

ini merupakan teman dari teman penulis yang juga merupakan junior penulis di

kampus. Orang tua Ferdi berasal dari Sumatera Utara dan bersuku Batak, namun

55

sejak muda mereka merantau ke Riau sehingga Ferdi lahir dan besar di Riau. Oleh

karena itu, penulis memilih Ferdi sebagai key informan. Anak ke-2 dari 7

bersaudara ini aktif dalam kegiatan di kampus maupun di luar kampus. Ferdi

tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Komunikasi (HIMAKOM) dan UKM

Olahraga UNTIRTA. Selain itu juga Ferdi turut bergabung di sebuah komunitas

sepeda fixie yang berada di Serang karena kegemarannya terhadap olahraga sepeda.

Butuh waktu cukup lama untuk penulis bisa melakukan wawancara dengan

Ferdi dikarenakan kesibukannya dalam mengerjakan tugas perkuliahan dan

kegiatan organisasinya. Wawancara dengan Ferdi dilakukan di halaman depan

PKM B Untirta Serang karena saat itu Ferdi sedang ada kegiatan bersama teman

organisasinya. Wawancara berlangsung dengan baik walaupun suasana tidak begitu

kondusif dikarenakan sangat ramai. Pada awal melakukan wawancara, Ferdi terilhat

kaku dan menutup diri namun seiring berjalannya waktu ia tidak sungkan untuk

berbagi ceritanya selama merantau ke Serang.

6. Deskripsi Identitas Informan Pendukung

Prof. Dr. Ahmad Sihabudin., M.Si.

Informan pendukung dalam penelitian ini yakni seorang Guru Besar Bidang

Ilmu Komunikasi Lintas Budaya pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UNTIRTA.

Prof. Dr. Ahmad Sihabudin dipilih penulis sebagai informan pendukung

dikarenakan merupakan seorang ahli di bidangnya terutama komunikasi

antarbudaya yang juga merupakan fokus dalam penelitian ini. Prof. Sihab lahir di

Serang Banten pada tanggal 4 Juli 1965, ia menyelesaikan pendidikan di SD Negeri

4, SMPN 1, dan SMAN 1 Kota Tangerang. Meraih gelar Sarjana Ilmu Komunikasi

(Drs) di FIKOM IISIP Jakarta pada tahun 1989, Magister Sains bidang Ilmu

56

Komunikasi (M.Si) di Universitas Padjajaran pada tahun 1994, dan Doktor bidang

Ilmu Penyuluhan Pembangunan (Dr) 2009 di Institut Pertanian Bogor.

Saat ini Prof. Sihab mengajar di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, profesi

sebagai dosen ia tekuni sejak tahun 1992. Hingga saat ini Prof. Sihab telah banyak

menghasilkan karya-karya ilmiah, baik yang dipublikasikan maupun tidak. Di

antaranya, yaitu buku “Saatnya Baduy Bicara” diterbitkan oleh PT Bumi Aksara

(2010). “Implikasi Era Informasi Terhadap Gaya Hidup dan Budaya Massa” dimuat

majalah ilmiah “Social Polites” di FISIP Universitas Kristen Indonesia. “Pendapat-

Pendapat Antaretnik di Kalangan Mahasiswa” karya ilmiah finalis PPMI 1999 Biro

Pemasaran IPTEK LIPI 1999, “Prasangka Sosial KAT Baduy dimuat majalah

ilmiah Mediator Jurnal Komunikasi Vol.9/No.1 Juni 2008, dan masih banyak lagi

karya-karya lainnya. Dalam penelitian ini Prof Sihab berperan sebagai informan

yang memberikan informasi terkait fenomena gegar budaya dalam komunikasi

antarbudaya. Wawancara dengan informan pendukung berlangsung secara kondusif

di Gedung LPPM Kampus Untirta Serang pada tanggal 20 Januari 2016 mulai pukul

13:55 WIB s.d 14:37 WIB.

4.3 Analisa Hasil Penelitian

Penelitian yang membahas tentang fenomena gegar budaya mahasiswa asal

Sumatera ini menggunakan analisis teori Fenomenologi yang dikemukakan oleh

Alfred Schutz. Fenomenologi dapat diartikan sebagai ilmu yang berorientasi unutuk

mendapatan penjelasan dari realitas yang tampak. Lebih lanjut, Kuswarno (2009:2)

menyebutkan bahwa Fenomenologi berusaha mencari pemahaman bagaimana

manusia mengkonstruksi makna dan konsep penting dalam kerangka

57

intersubjektivitas (pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita

dengan orang lain).1

Konsep intersubjektifitas dalam fenomenologi Schutz merupakan konsep

yang memungkinkan kita melakukan interaksi dalam komunikasi. Dengan bekal

karakteristik persediaan pengetahuan yang dimiliki, maka dapat saling berbagi

perspektif dengan orang lain, dapat melakukan berbagai macam hubungan dengan

orang lain. Lalu tindakan adalah sebuah makna yang rumit atau makna yang

kontekstual, oleh karenanya, untuk menggambarkan keseluruhan tindakan

seseorang perlu diberi fase. Dua fase yang diusulkan Schutz diberi nama tindakan

in-order-to motivate, yang diartikan sebagai motif ada masa yang akan datang; dan

tindakan because-motive yang merupakan motif sebab pada masa lalu. Motif-motif

inilah yang merupakan faktor yang mendorong key informan melakukan

perantauan.

Selain itu dalam penelitian ini penulis menggunakan konsep culture shock.

Culture shock yang dalam bahasa Indonesia berarti gegar budaya atau kejutan

budaya diartikan sebagai rasa cemas dan kaget ketika individu memasuki budaya

baru yang berbeda dengan budaya yang sudah melekat pada dirinya. Budaya yang

sudah melekat pada diri individu ketika memasuki budaya baru akan menjadi tidak

efektif karena setiap budaya mempunyai caranya tersendiri.

Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan perbedaan

jangka waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan bahwa orang

1 Engkus Kuswarno. Fenomenologi; Fenomena Pengemis Kota Bandung. 2009. Bandung: Widya

Padjadjaran. Hal 2.

58

biasanya melewati empat tingkatan culture shock. Samovar dkk (2010)

menjelaskan bahwa keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva

U sehingga disebut U-curve, yaitu:2 Fase Kegembiraan, Fase Kekecewaan, Fase

Awal Resolusi, dan Fase Berfungsi dengan Efektif. Dalam penelitian ini, penulis

berusaha mencari tau bagaimana tahapan-tahapan dari culture shock ini terjadi saat

key informan melakukan perantauan.

Berdasarkan hasil wawancara, keempat key informan yaitu Tami, Risda,

Rienny, Aslam dan Ferdi memiliki sifat yang berbeda-beda. Dengan melihat

langsung melalui observasi dan wawancara yang dilakukan penulis, penulis dapat

melihat karakteristik kepribadian mereka masing-masing. Tami yang merupakan

anak sulung dari tiga bersaudara ini merupakan wanita yang haus akan tantangan

dan hal-hal baru. Key informan kedua yaitu Risda, anak pertama dari dua bersaudara

ini cenderung melihat sesuatu dengan lebih detail dan selektif. Key informan ketiga

yaitu Rienny merupakan wanita yang memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi

dan tidak terlalu mengambil pusing jika ada hal-hal yang tidak disukainya. Key

informan keempat yaitu Aslam yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara ini

cenderung pendiam dan lugu dari yang lain dan key informan kelima yaitu Ferdi

cenderung memiliki pemikiran tersendiri terhadap suatu hal dan cukup memiliki

kepercayaan diri yang tinggi.

Menurut informan pendukung, gegar budaya bisa dikatakan kaget.

Contohnya saja ketika seseorang dari perdesaan melakukan perantauan, ia bisa

2 Samovar, dkk. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Salemba Humanika. 2010. Hal 477-488.

59

kaget karena banyaknya mobil ataupun kendaraan yang berlalu lalang di perantauan

tidak seperti daerah asalnya yang masih terbilang sepi atau ketika ia biasa tidur

pukul 8 dan 9 malam, tetapi di perantauan ternyata sampai pukul 12 malam pun

masih ramai dengan aktivitas sehingga ia merasa terganggu baik fisik maupun

psikis. Hal ini membuat seseorang melakukan penyesuaian dengan waktu yang

cukup lama. Gegar budaya juga bisa disebut sebagai proses penyesuaian supaya

seseorang tidak kaget dengan lingkungan baru, karena disebut gegar budaya ketika

melakukan tindakan-tindakan yang di luar kebiasaan.

“Kalau gegar budaya bisa dikatakan kaget, mungkin di sana mobil jarang

di sini banyak mobil. Di sana kurang hiburan, di sini banyak hiburan. Jadi

kaget yah, di sana kebiasaan tidur itu mungkin jam 8 jam 9 sudah pada di

rumah, di sini ternyata jam 12 juga masih ramai. Itu kan membuat dia lama

kan penyesuaiannya, jadi sebetulnya gegar budaya itu sebuah proses juga

sih menurut saya yah. Sebuah proses untuk penyesuaian pada lingkungan

itu, proses dia beradaptasi supaya tidak kaget. Karena disebut gegar

budaya ketika dia melakukan tindakan-tindakan yang di luar kebiasaan dia,

kan kaget tadinya nggak biasa tidur terlalu malam, di sini kan tidur sampai

malam sehingga dia menjadi terganggu dan sakit. Itu juga akibat dari

kurang beradaptasi”.3

4.3.1 Faktor Pendorong Mahasiswa Sumatera Melakukan

Perantauan

Tindakan adalah sebuah makna yang rumit atau makna yang

kontekstual, oleh karenanya, untuk menggambarkan keseluruhan tindakan

seseorang perlu diberi fase. Dua fase yang diusulkan Schutz diberi nama

tindakan in-order-to motivate atau “motif untuk” yang merujuk pada masa

yang akan datang; dan tindakan because-motive atau “motif sebab” yang

3 Lampiran 7. Hasil Wawancara Informan Pendukung. Hal 140.

60

merujuk pada masa lalu. Motif inilah yang dapat menjadi faktor pendorong

seseorang melakukan perantauan.

Berdasarkan hasil wawancara, key informan 1 yaitu Tami

mengungkapkan bahwa ia sangat senang ketika mengetahui dirinya akan

melakukan perantauan, karena ia teringat pengalaman masa kecilnya ketika

sering berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya karena tuntutan

pekerjaan orangtuanya. Walaupun waktu pertama kali orangtua Tami tidak

mengizinkan dirinya melakukan perantauan mengingat ia merupakan

seorang anak perempuan, namun hal tersebut tidak menurunkan tekad Tami

untuk merantau karena keinginannya yang besar untuk mengetahui

bagaimana situasi dan kondisi di Serang.

“Kalau pertama kali keterima gue kan seneng juga yah pindah-

pindah kayak gitu terus emang dari kecil juga sering pindah-pindah

gitu kan rumahnya, tinggalnya. Terus gue juga pengen tau nih di

Serang itu kayak apa, excited lah. Penasaran lah gitu pengen ke sini,

tapi waktu itu nggak dibolehin kan sama orang tua pertama-

pertamanya soalnya jauh, anak perempuan tapi guenya emang

keukeuh pengen ke sini aja.”4

Tami menjelaskan rasa senang saat ingin merantau dikarenakan ia

akan mendapatkan teman-teman dan lingkungan yang baru, terlebih ia dapat

melanjutkan studi dengan jurusan yang diinginkan yaitu Ilmu Komunikasi,

sehingga hal inilah yang dapat mendekatkan dan memudahkan Tami dalam

mewujudkan cita-citanya menjadi seorang jurnalis.

4 Lampiran 2. Hasil Wawancara Key Informan 1. Hal 113.

61

Dipilihnya kampus Untirta oleh Tami dikarenakan Untirta memiliki

passing grade yang lebih rendah yang sekiranya dapat dijangkau ketika ia

melakukan test SNMPTN. Sebelumnya Tami sama sekali tidak mempunyai

gambaran tentang situasi dan kondisi Kampus Untirta maupun Serang,

tetapi karena faktor cita-citanya menjadi jurnalis itu yang membuatnya

menjadi nekat melakukan perantauan. Hal ini menjelaskan jika Tami

mempunyai tujuan ataupun “motif untuk” dalam melakukan perantauan

karena Tami melihat dirinya di masa depan.

“Pertamanya itu karena, ini alasan pribadi sih yah. Gue pengen

kuliahnya kan komunikasi nah gue ngeliat tuh passing grade yang

paling rendahnya nih yang setidaknya bisa terjangkau sama gue

lah. Gue taro dah tuh pilihan ketiganya di untirta sebenernya gue

gatau nih untirta itu di mana, gue cuma taunya di Banten doang tapi

lebih spesifiknya gue gatau, tapi karena jurusan komunikasi itu yang

bikin nekat sih soalnya cita-cita gue pengen jadi jurnalis.”5

Keinginan Tami menjadi jurnalis ini dilatarbelakangi atau “motif

sebab” dari masa kecilnya yang sempat menonton berita tentang wartawan

yang sedang meliput perang lalu dijadikan tawanan karena dikira penyusup.

Hal ini membuat Tami tertarik menjadi jurnalis, ia membayangkan jika

suatu saat ia akan melaporkan berita dari daerah konflik dengan latar

belakang situasi baku tembak ataupun kerusuhan.

“Kenapa pengen jadi jurnalis? Karena dulu waktu kecil pernah

nonton berita gitu ada wartawan lagi ngeliput perang terus malah

dijadiin tawanan karena dikira penyusup. Gue ngerasa tertarik aja

bisa ngeliput terus ngelaporin dari daerah konflik pas live report

terus dibelakang gue lagi ada baku tembak atau kerusuhan

hahaha.”6

5 Ibid. Hal 112-113. 6 Ibid. Hal 113.

62

Sama seperti Tami, key informan kedua, Risda. Anak dari seorang

guru ini merasa senang ketika mengetahui akan merantau jauh dari

kampung halaman, terutama ke pulau Jawa yang dianggapnya memiliki

pendidikan yang lebih baik dari pada pulau Sumatera. Hal inilah yang

menjadi “motif sebab” yang mendorong Risda melakukan perantauan.

“Yah pertama seneng yah, soalnya kan di Jawa gitu secara mau

merantau keluar dari daerah Sumatera Utara, yah seneng sih

seneng pastinya waktu tau keterima di Jawa gitu kan. Kirain sama

kayak sekelas sama UI lah, UI, UNPAD yang di Jawa-Jawa yang

bagus-bagus kedengerannya gitu.”7

Merantaunya Risda ke Serang didukung oleh sang ibu dimana

ibunya yang merupakan seorang guru merasa pendidikan di Pulau Jawa jauh

lebih memadai dan bergengsi dari pada Pulau Sumatera, oleh karena itu

ibunya meminta Risda untuk mengikuti test SNMPTN kembali walaupun

Risda saat itu sudah berkuliah di Medan. Dipilihnya Untirta sebagai kampus

tujuan juga dikarenakan saran dari ibu Risda yang sebelumnya mengetahui

tentang Kampus Untirta dari mantan muridnya yang berkuliah di Untirta.

Dalam hal ini, Risda memiliki “motif untuk” melanjutkan pendidikan ke

jenjang yang lebih tinggi.

“Kuliah, buat kuliah. Jadi mama ku kan guru terus dia tuh punya

murid, nah muridnya tuh udah kuliah duluan di Untirta terus

kuliahnya tuh di teknik. Nah dikira mama ku karena kuliah di Jawa

itu mungkin lebih bagus yah daripada di Sumatera. Sebelumnya

pernah kuliah di Medan juga di Polmet, nah terus karena dibilang

Untirta di Jawa ya udah akhirnya disuruh nyoba SNMPTN suruh

nyoba lagi di sini terus yah lulus ya udah ke sini deh kuliahnya.”8

7 Lampiran 3. Hasil Wawancara Key Informan 2. Hal 118. 8 Ibid. Hal 117.

63

Sedangkan key informan ketiga yang bernama Rienny mengaku

sempat merasa sedih sebelumnya ketika mengetahui akan berkuliah di

UNTIRTA karena ia tidak diterima di Universitas pilihan pertamanya,

namun kesedihan tersebut dialihkan oleh Rienny dimana ia percaya akan

mendapat seseuatu hal yang berarti di Untirta seperi teman, pengalaman dan

suasana baru. Selain itu Rienny juga ingin sekali merasakan hal yang

sebelumnya dirasakan oleh kakak laki-lakinya yang sudah merantau terlebih

dahulu ke Bandung, hal inilah yang menjadi faktor penyebab Rienny

melakukan perantauan.

“Sedih karena ga diterima di pilihan pertama, tapi nyoba nerima,

kak. Soalnya mikir pasti bakal dapat sesuatu di Untirta kayak temen

baru, pengalaman baru, suasana baru gitu. Pengalaman baru kayak

abang aja yang udah rantau duluan jadi pengen aja.”9

Individu melakukan suatu tindakan disebabkan oleh motif-motif

tertentu yang dimana memiliki tujuan dan sebabnya tersendiri. Sama halnya

dengan Informan 3 yaitu Rienny yang melakukan perantauan dikarenakan

memiliki tujuan untuk berkuliah. Hal tersebut didasari oleh pandangan

Rienny yang melihat peluang dalam mencari kerja di masa depan karena

pendidikan tinggi merupakan suatu modal untuk mendapatkan pekerjaan

yang lebih baik, selain itu dipilihnya jurusan Teknik Industri juga karena

menurut Rienny, jurusan inilah yang lebih banyak memiliki peluang

pekerjaan dari pada jurusan lainnya.

9 Lampiran 4. Hasil Wawancara Key Informan 3. Hal 124.

64

Sayangnya, di kampung halaman Rienny yaitu Bengkulu tidak

memiliki fasilitas pendidikan yang diinginkan oleh Rienny sehingga ia

memilih Kampus Untirta sebagai tempat untuk menempuh pendidikan

karena didasari oleh beberapa hal yaitu, Untirta merupakan Universitas

Negeri, memiliki jurusan Teknik Industri yang berkareditasi B dan memiliki

passing grade yang lebih rendah sehingga dapat dijangkau oleh Rienny

ketika mengikuti test SNMPTN.

“Yah karena kuliahnya dapetnya di sini hehe. Waktu milih sih

sebenarnya nyari kemungkinan jadi pilihan 1-2 itu yang dipengenin

banget, pilihan 3 itu yang dirasa paling mungkin diterima walaupun

mungkin usahanya nggak banyak tapi pasti diterima lah intinya.

Browsing sih nyari yang akreditasinya udah B tapi masih belum

terlalu terkenal jadi mungkin orang belum banyak yang milih.

Pokoknya jurusannya aja alasan utamanya karena pengen teknik

awalnya, di Bengkulu univ negerinya ga ada teknik industri terus

nyari-nyari, sebenarnya mau di ITS awalnya, cuma karena waktu

tes juga nyari kemungkinan yang pasti lolos milihnya Untirta,

lagian Untirta TInya udah B juga, lumayan kak. Milih teknik

industri juga karena ngeliat peluang kerja nantinya. Jadi yah nekat

aja kuliah di Untirta dan udah males ikut tes lagi.10

Sama seperti Rienny, Aslam sebagai key informan 4 pada awalnya

merasa sedih dan minder karena saat itu ia belum diterima di Universitas

manapun terlebih lagi sebelumnya ia sudah mengikut SNMPTN Undangan

dan SIMAK UI yang berujung kegagalan, tetapi ketika mengetahui dirinya

diterima di Untirta, Aslam merasa senang karena setidaknya hal itu dapat

membuat ibunya tidak lagi khawatir.

“Sebenarnya dulu sempat minder karena nggak keterima di mana-

mana, kan pernah ditolak SNMPTN Undangan, SIMAK UI juga

10 Ibid. Hal 123-124.

65

ditolak. Jadi pas tau bahwa saya keterima di Untirta seneng karena

ya udah lah nyokap udah lega saya udah keterima. Dulu belum

pernah mikir bahwa Untirta gimana-gimana, seneng aja. Terus

H+1 langsung ke sini langsung daftar ulang.”11

Selain itu Aslam merasa senang karena ia menganggap kota Cilegon

menurutnya jauh lebih maju dari kampung halamannya yang notabene

masih kental dengan perdesaannya. Bahkan mini market yang dapat dengan

mudah kita jumpai di Cilegon, belum tersedia di daerah tempat tinggalnya

yang tidak jauh dari pantai itu.

“Karena rumah saya itu di desa yah, bahkan sampai sekarang pun

belum ada Alfamart atau Indomaret. Bayangannya yah seneng aja

gitu bisa kuliah di Untirta, perkembangannya udah maju lumayan

kota gitu kan.”12

Aslam juga memiliki tujuan yang sama dengan informan lainnya

yaitu ia melakukan perantauan dikarenakan ingin melanjutkan studinya ke

jenjang yang lebih tinggi. Sebelumnya Aslam menjadikan salah satu

Universitas di Surabaya untuk pilihan pertama pada test SNMPTN dan

Untirta di pilihan kedua, namun karena tidak diterima di pilihan pertama,

otomatis Aslam melanjutkan kuliah di Untirta dengan jurusan Teknik

Industri.

Pada awalnya Aslam ingin sekali melanjutkan studi dengan jurusan

Arsitektur di Universitas Gunadarma, namun karena tidak mendapat izin

orang tua maka Aslam mencari alternatif jurusan lain. Aslam mengambil

jurusan Teknik Industri Untirta dikarenakan akreditasinya yang sudah baik,

11 Lampiran 5. Hasil Wawancara Key Informan 4. Hal 129. 12 Ibid. Hal 129.

66

selain itu juga ia melihat kekurangan dalam dirinya yaitu ia memiliki

kelemahan dalam perhitungan. Aslam juga memiliki pandangan bahwa

teknik industri memiliki cakupan yang luas dalam pekerjaan, ia ingin sekali

bekerja di bagian pemasaran suatu perusahaan. Faktor lain yang

menyebabkan Aslam melakukan perantauan karena di lingkungan

keluarganya belum ada yang mengambil jurusan teknik, namun lebih

banyak di bidang kesehatan. Selain itu, Aslam terbiasa hidup mandiri sejak

SMA dan menurutnya faktor adat juga turut mempengaruhi dirinya yang

dimana anak laki-laki diharuskan merantau menurut adat Lampung.

“Tujuannya yah kuliah sebenernya karena dulu dapetnya di sini.

Waktu itu kan SNMPTN tulis milih di sini pilihan kedua, pilihan

pertamanya itu di Universitas di Surabaya. Jadi nggak keterima,

keterimanya di pilihan keduanya industri untirta. Sebenernya waktu

dulu mau masuk arsitektur di Gundar cuma ga disetujuan ortu jadi

cari alternatif lain dan kenapa ambil Teknik Industri Untirta karena

akreditasi sudah B dan gua ambil TI karena ngeliat kekurangan gua

juga, Yu. Kekurangannya lemah di perhitungan, jadi ya TI jadi

alternatifnya selain itu juga pengen kerja di bagian pemasaran

perusahaan, nah pilih TI juga karena cangkupannya luas dalam

pekerjaan. Terus di keluarga juga belum ada yang ngambil teknik

dan lebih banyak ke bidang kesehatan. Terus ngelakuin perantauan

juga karena udah biasa ngekos dari SMA dan karena adat sih.

Kalau adat Lampung, laki-laki orang Lampung itu diharuskan

merantau. Gitu.”13

Sedangkan key informan 5 yaitu Ferdi yang walaupun tidak

mengetahui situasi dan kondisi kampus perantauannya, ia tetap memiliki

keinginan yang besar untuk berkuliah di pulau Jawa dan mengambil jurusan

Ilmu Komunikasi karena menganggap bahwa Universitas di Pulau Jawa

13 Ibid. Hal 128-129.

67

jauh lebih baik daripada di pulau Sumatera, namun hal ini dimentahkan oleh

kenyataan yang menurut Ferdi ketika datang ke Untirta dimana jika

dibandingkan dengan Universitas Riau yang jauh lebih besar, Untirta kalah

telak.

“Kirain pas pertama kali kuliah tuh, kan pengennya kan pertama

kali pengennya tuh pokoknya di Jawa terus ikom. Udah itu aja dan

nggak tau kalau Untirta kayak gini, sebelum berangkat ke Jawa nih

kirain Universitas di Jawa-Jawa nih udah keren-keren. Eh ternyata

sampai di sini..kalau dibandingin sih sama Universitas Riau di

Pekanbaru jauh lebih besar, kalau kayak gini itungannya TK

doang.”14

Ketika ditanya apakah Ferdi setidaknya memiliki bayangan hal-hal

kesenangan yang akan didapatkan di Untirta saat pertama kali datang pun ia

menjawab tidak terbayang apa-apa sama sekali, karena image yang buruk

saat pertama kali ia datang. Hal ini membuat Ferdi merasa kaget dan aneh

karena diluar harapannya yang menganggap semua Universitas di Pulau

Jawa lebih baik daripada di Sumatera.

“Nggak ada sama sekali, nggak kebayang apa-apa. Soalnya imej

pertama masuk kayak gini. Kaget. Aneh. Jadi di luar ekspektasi.”15

Sama dengan informan lainnya, Ferdi juga memiliki tujuan untuk

menempuh studi ketika melakukan perantauan. Hal yang mendorong Ferdi

berani untuk merantau adalah karena jurusan kuliah yang ia idamkan yaitu

Ilmu Komunikasi yang dimana merupakan jurusan kuliah yang dapat

mendekatkan Ferdi dengan cita-citanya yaitu bekerja di sebuah stasiun

televisi.

14 Lampiran 6. Hasil Wawancara Key Informan 5. Hal 134. 15 Ibid. Hal 134.

68

Selain itu, Ferdi juga sangat ingin berkuliah di Pulau Jawa karena

menurutnya Pulau Jawa memiliki pendidikan yang lebih baik daripada

Pulau Sumatera. Anggapan tersebut merupakan faktor terbesar Ferdi

melakukan perantauan. Walaupun Ferdi tidak tahu sama sekali tentang

keadaan Untirta sebelumnya dan hanya mendapatkan sedikit informasi dari

internet, ia tetap melakukan perantauan dan melanjutkan studinya karena

faktor tersebut.

“Ini karena kuliah doang, makannya ngerantau. Ngga tau kalau

Untirta di mana juga sebelumnya. Milih Untirta juga karena asal

pick doang, yang penting kuliah di Jawa dan ngambil jurusan ikom.

Ternyata tembusnya yang Untirta. Pengen kuliah ikom karena

pengen kerja di belakang layar TV, cuma jurusan itu yang menjurus

ke TV. Ga ada gambaran sama sekali tentang Untirta sebelumnya

tapi sempet searching juga sih pas udah lulus, tapi cuma ada foto

gedung B sama A, yah pokomya nekat aja yang penting dapet ikom

dan di Jawa karena Jawa kayanya lebih keren.16

Dari hasil pembahasan di atas dapat dilihat bahwa Tami, Risda,

Rienny dan Aslam merasa senang ketika mengetahui akan melakukan

perantauan karena akan memiliki pengalaman, teman juga suasana baru.

Walaupun Rienny dan Aslam sempat merasa sedih dan minder sebelumnya

karena tidak diterima di Universitas pilihan utamanya. Sedangkan Ferdi

memiliki perasaan yang berbeda dari yang lain yaitu ia sudah merasa

kecewa di tahap awal karena sebelumnya Ferdi memiliki ekspektasi yang

tinggi, terutama karena daerah asalnya yaitu Pekanbaru dapat dibilang

sebagai daerah perkotaan yang lebih maju dari pada Serang. Hal ini jauh

berbeda dengan Aslam yang datang dari daerah perdesaan yang masih sepi,

16 Ibid. Hal 133-134.

69

sehingga ia merasa senang melakukan perantauan ke Cilegon karena sudah

jauh lebih maju dibandingkan kampung halamannya. Harapan,

kegembiraan, optimisme dan euforia seseorang ketika akan melakukan

perantauan ini dapat termasuk ke dalam fase kegembiraan dalam gegar

budaya karena sebagai antisipasi individu ketika memasuki budaya baru.

Hal ini berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa bulan tergantung

pada seberapa cepat seseorang menghadapinya dan melakukan komunikasi

dengan budaya baru.

Menurut Kevinzky (2011:7), perantau memiliki sejumlah ekspektasi

yang membuat mereka mau mencoba untuk menjalani aktivitas di wilayah

yang baru. Ekspektasi tersebut bisa dikategorikan dalam beberapa aspek

antara lain:17 (a) Aspek Hiburan yang meliputi keinginan informan untuk

rekreasi dan keunikan khas daerah lain. (b) Aspek Sosial yang meliputi

keinginan informan menambah teman dan memperluas pergaulan. (c)

Aspek Tanggung Jawab yang merupakan aspek yang dimiliki informan

untuk bersikap mandiri karena tanggung jawabnya sebagai mahasiswa dan

karena sudah dewasa. (d) Aspek Masa Lalu yang merupakan aspek

pengalaman masa lalu yang tidak begitu baik semasa sekolah dan berharap

dengan kuliah di perantauan akan memiliki pengalaman yang lebih baik.18

Aspek-aspek inilah yang membuat kelima key informan memiliki

ekspektasinya tersendiri ketika akan melakukan perantauan.

17 Muhammad Haiqal Kevinzky. Proses dan Dinamika Komunikasi Dalam Menghadapi Culture

Shock Pada Adaptasi Mahasiswa Perantauan (Kasus Adaptasi Mahasiswa Perantau di UNPAD

Bandung). Depok: FISIP UI. 2011. BAB IV Hal 7.

70

Selain itu, dari hasil pembahasan di atas ditemukan bahwa kelima

key informan pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama dalam

melakukan perantauan yaitu untuk menempuh studi.. Namun, salah satu key

informan yaitu Aslam selain memiliki faktor untuk menempuh studi, ia juga

memiliki faktor pendorong lain yaitu adat dimana menurutnya jika seorang

anak laki-laki asal Lampung diharuskan untuk melakukan perantauan saat

dewasa.

Kelima key informan sebelum melakukan perantauan sama sekali

tidak memiliki gambaran tentang Kampus Untirta ataupun daerah

perantauannya, sebagian besar key informan hanya mendapatkan informasi

sedikit dari internet, namun salah satu key informan yaitu Risda

mendapatkan informasi lebih tentang Untirta dari mantan murid ibunya

yang juga menempuh studi di Untirta.

Salah satu faktor pendorong Tami, Rienny, Aslam dan Ferdi

melakukan perantauan yaitu dikarenakan jurusan kuliah yang diidamkan

dan juga cita-cita mereka yang sekiranya dapat diwujudkan dengan

mengambil jurusan kuliah tersebut, sedangkan faktor pendorong Risda

melakukan perantauan dikarenakan anggapannya tentang pendidikan di

Pulau Jawa yang jauh lebih baik dan bergengsi dari Pulau Sumatera, hal

tersebut juga sama dengan anggapan Ferdi.

Faktor-faktor pendorong tersebut juga dipertegas oleh informan

pendukung yaitu Prof. Sihab yang dimana menurutnya ada beberapa faktor

yang menyebabkan seseorang melakukan perantauan. Pertama, faktor

71

pendidikan dapat mendorong seseorang mempunyai motivasi yang tinggi

untuk belajar, hal ini juga bisa mendorong seseorang untuk menggapai cita-

citanya. Kelima key informan memiliki motif untuk melanjutkan studi ke

perguruan tinggi, hal ini sesuai dengan faktor pendorong pendidikan. Motif

melanjutkan studi ini juga menjadikan dasar key informan memasuki fase

kegembiraan dimana mereka mendapatkan Universitas negeri. Kedua,

faktor ekonomi dimana seseorang melakukan perantauan yang disebabkan

karena minimnya lapangan pekerjaan di daerah asal juga dipengaruhi

anggapan masyarakat bahwa jika di daerah lain misalnya ibukota Jakarta

lebih mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Dalam penelitian ini, kelima

key informan belum memperlihatkan motif ekonomi dalam melakukan

perantauan, walaupun salah satu keinginan seseorang memasuki perguruan

tinggi negeri dikarenakan biaya pendidikan yang relatif lebih murah

dibandingkan perguruan tinggi swasta. Asumsi ini besar kemungkinan

mendorong mereka memiliki faktor ekonomi. Ketiga, faktor budaya dimana

suatu daerah memiliki filosofi “di mana bumi dipijak, di sana langit

dijunjung” yang berarti setiap individu sebaiknya selalu mengikuti

kebiasaan dan adat istiadat di tempat ia berada. Hal tersebut merupakan

nilai-nilai leluhur yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalkan saja

suku Batak dan Minang yang terkenal dengan jiwa perantaunya. Salah satu

key informan memiliki faktor budaya dalam melakukan perantauan karena

menurutnya pemikiran tersebut sudah menjadi warisan dan harus

dilaksanakan. Faktor keempat yaitu faktor perkawinan, misalnya seorang

72

wanita Sumatera menikah dengan pria Jawa, hal ini membuat wanita

tersebut mengikuti suaminya untuk tinggal di Jawa ataupun sebaliknya dan

terakhir adalah faktor tugas dimana seseorang ditugaskan untuk merantau

oleh atasan terkait pekerjaannya. Kedua faktor terakhir belum diperlihatkan

oleh kelima key informan dikarenakan mereka belum menikah dan juga

bekerja.

“Misalnya ada motivasi ingin belajar, kan dia pasti mau nggak mau

kan mobile, pindah dari satu tempat ke tempat lain. Mungkin itu

salah satunya ingin belajar, itu kan faktor pendorong. Ingin nambah

penghasilan juga dia pindah, dari daerah yang susah mencari

tempat kerja, konon katanya di Jawa lebih mudah. Katanya kalau

dari Sumatera baik Minang maupun Batak memang ada jiwa

perantau yang dipengaruhi oleh filosofi “di mana bumi dipijak, di

sana langit dijunjung”, ada nilai-nilai yang diwariskan oleh

leluhurnya. Misalnya tadi ingin dapat penghasilan lebih, dia kan

harus hijrah. Kalau tadi ingin belajar, pendidikan. Karena kawin

juga bisa, misalnya kawin dengan orang Jawa kan wanitanya bisa

pindah atau sebaliknya atau karena tugas juga bisa.19

4.3.2 Proses Interaksi Mahasiswa Asal Sumatera di UNTIRTA

Konsep intersubjektifitas dalam fenomenologi Schutz merupakan

konsep yang memungkinkan kita melakukan interaksi dalam komunikasi.

Dengan bekal karakteristik persediaan pengetahuan yang dimiliki, maka

dapat saling berbagi perspektif dengan orang lain, dapat melakukan

berbagai macam hubungan dengan orang lain.

Pandangan Schutz, kategori pengetahuan, derajat pertama bersifat

pribadi dan unik bagi setiap individu dalam interaksi tatap muka dengan

orang lain. Kemudian berbagai pengkhasan yang telah terbentuk dan dianut

19 Lampiran 7. Hasil Wawancara Informan Pendukung. Hal 140.

73

semua anggota suatu budaya, terdiri dari mitos, pengetahuan, budaya dan

akal sehat. Maka tujuan utama analisis fenomenologis adalah

mengkonstruksi dunia kehidupan manusia “sebenarnya” dalam bentuk yang

mereka alami sendiri. Realitas dunia tersebut bersifat intersubjektif, dalam

arti bahwa anggota masyarakat berbagai persepsi dasar mengenai dunia

yang mereka internalisasikan melalui sosialisasi dan memungkinkan

melakukan interaksi.

Dalam penelitian ini, pemahaman baru yang tercipta ketika

seseorang sedang melakukan perantauan terbentuk dari interaksi atau

hubungan yang dilakukan dengan orang lain. Ketika seseorang berusaha

melakukan penyesuaian dikarekana adanya perbedaan-perbedaan antara

kampung halaman dan kota perantauan.

Key informan 1 yaitu Tami mengungkapkan ada beberapa hal yang

berbeda antara Serang dan Pematang Siantar dimana terdapat perbedaan

bahasa, adat, kebiasaan, dan juga makanan. Pada awal datang ia belum

terbiasa dengan makanan-makanan di Serang yang menurutnya banyak

yang diolah dengan cara digoreng, sementara Tami terbiasa makan makanan

yang pedas dan bersantan. Dalam hal bahasa pun ia harus menghilangkan

logat khas daerahnya dari yang campuran Melayu dan Batak menjadi lebih

Sunda.

“Bahasa, adat terus kebiasaan-kebiasaan, makanan. Nah terus

kalau misalnya di medan kan makanan banyaknya yang pedes terus

yang bersanten-santen kayak gitu. Terus pas ke sini tuh beda

banyaknya kayak yang ke gorengan, tapi lama-lama disesuaikan

kan terus cara berbicaranya. Kalau di sana kan emang yang batak

74

banget terus agak ke melayu-melayu kayak gitu kan, nah di sini

harus menyesuaikan agak kesunda-sundaan.”20

Pada awal merantau, Tami mempunyai ketakutan maupun

kecemasan yang tinggi ketika ingin berkomunikasi dengan mahasiswa non

Sumatera dikarenakan ia memiliki logat Medan yang sangat kental dan

khas.

“Pertama-pertama sih gue waktu nyampe di sini jarang ngomong

gue takut soalnya kalau ngomong ketauan banget kan, ini orang

Medan nih ketauan banget kan.”21

Walaupun masih dalam satu negara yang sama, setiap daerah di

Indonesia memiliki cara berkomunikasi yang berbeda sehingga hal ini

menjadi kendala buat Tami, sedangkan budaya yang berbeda tidak terlalu

menjadi kendala baginya.

“Kesulitan nggak sih paling cara komunikasinya yang beda, kalo

budaya sih beda tapi nggak jauh-jauh banget lah maksudnya ga

terlalu jadi hambatan gitu ga jadi kesulitan paling cuma di

komunikasi aja sih.”22

Tami sempat mengalami miskomunikasi atau kesalah pahaman

ketika berbicara dengan mahasiswa non Sumatera, oleh karena itu Tami

tidak malu untuk bertanya ke teman-temannya jika ada kata ataupun kalimat

yang tidak ia mengerti.

“Kalau miskomunikasi gitu iya pernah, paling gue nanya itu apa itu

artinya apa. Pokoknya kalo gue gatau apa-apa gue nanya aja. Kalo

miskomunikasi pernah sih tapi gue lupa spesifiknya apa tapi sering

aja ada aja waktu awal-awal tuh pada ngomong kan, dia

20 Lampiran 2. Hasil Wawancara Key Informan 1. Hal 113. 21 Ibid. Hal 114. 22 Ibid. Hal 114.

75

nyampeinnya apa gue nangkepnya apa. Pokonya ada lah waktu

awal-awal banyak yang beda aja.”23

Tami mengaku bahwa ia sering dilanda rindu orang tua dan

kampung halaman, namun bukan diakibatkan oleh hal-hal yang dibenci atau

dirasa tidak cocok di perantauan. Tetapi ketika melihat teman-temannya

pulang ke rumah masing-masing saat akhir pekan, hal ini yang biasanya

membuat Tami ingin pulang. Tami merasa bahwa orang-orang di

perantauan sangat ramah kepadanya dan tidak membeda-bedakan walaupun

ia seorang pendatang, bahkan tak jarang Tami sering diajak untuk menginap

di rumah temannya. Hal ini kemungkinan besar juga disebabkan karena

Tami tergolong wanita yang berjiwa petualang tinggi sehingga ia terlihat

lebih santai dalam menghadapi hal-hal yang baru dan berbeda sekalipun,

sehingga lebih mudah beradaptasi.

“Alesan pengen pulangnya sih itu, nggak pernah dari lingkungan

sih. Kalau dari lingkungan sih malah welcome gitu, wih pendatang

nih, ramah-ramah. Terus kalau misalnya weekend, anak-anak kan

pada balik tuh yang Tangerang Jakarta, terus yang orang-orang

Serangnya tuh kayak yaudah sini ke rumah gue, udah nginep di gue

aja. Mau ke mana hayu gue temenin. Kalau misalnya gue mau balik

ke Medan bukan karena alesan-alesan yang gue nggak betah di

Serang karena lingkungannya, cuma kangen aja.24”

Sedangkan Risda sebagai key informan 2 mempunyai berbagai

macam kekecewaan selama tinggal di Serang yaitu karena kampusnya jauh

lebih kecil dari yang ia harapkan bahkan dari kampus sebelumnya di Medan.

Selain itu ketika Risda pertama kali datang pada tahun 2011, lingkungan di

23 Ibid. Hal 114. 24 Ibid. Hal 114.

76

sekitar kampus pun dianggapnya masih terlihat sepi. Selain itu Risda juga

mengeluhkan tentang makanan yang menurutnya terlalu banyak

mengandung MSG dan sempat membuat fisiknya lemah dan sakit

dikarenakan tubuhnya masih merasa kaget dan belum terbiasa dengan

makanan tersebut. Terbiasa tinggal di kampung halaman yang dekat dengan

area pegunungan juga membuat Risda merasa tidak nyaman tinggal di

Serang dikarenakan kondisi air yang keruh yang membuat kulitnya menjadi

lebih gelap. Banyaknya hal-hal yang dikeluhkan Risda kemungkinan besar

karena ia belum pernah hidup mandiri sehingga lebih selektif dengan hal-

hal baru.

“Ternyata pas nyampe di sini yaah ternyata kampusnya kecil banget

kan, lebih kecil dari kampus yang sebelumnya. Terus waktu jalan

juga kan sama mama yah ke sininya terus mama ngomong “lah kok

kampusnya begini jalanannya sawah-sawah gitu, ini kampusnya di

kampung?”. Biasanya namanya kampus pasti kan di kota kan di

kota-kota besar. Pas baru-baru masuk yah rada sedikit kecewa sih

sebenernya, kecewa lah.Yah makanan juga pertama-pertama di sini

sempet sakit, sakit perut gitu kan. Penyesuaian makanan pertama

kali tuh mungkin karena beda kali yah. Di Medan makananya pedes

pedes sih tapi nggak tau deh mungkin di sini kebanyakan mecin-

mecin gitu kali yah. Kalau di sana kayaknya nggak terlalu gitu, terus

yah sempet sakit perut gitu tuh yang apa sih, BAB darah yang gitu-

gitu karena pertama kali penyesuaian diri kali sama makanan di sini

cuma yah ke sini-sini udah lama tinggal di sini yah udah terbiasa

sih. Terus airnya juga yang bikin kurang nyaman itu air. Keruh gitu

kali yah, kalau di sana kan airnya bersih karena dari pegunungan

itu kan jadi karena perumahannya deket sama pegunungan airnya

bersih-bersih. Kulitpun semakin menghitam jadinya di sini.”25

Selain itu, Risda juga tidak terlalu menyukai kehidupan sosial di kampus

yang menurutnya terlalu membeda-bedakan dan membuat kelompok-

25 Lampiran 3. Hasil Wawancara Key Informan 2. Hal 118.

77

kelompok tertentu, seperti misalnya orang-orang Serang yang hanya

bergaul dengan orang-orang Serang lainnya.

“Paling pembeda-bedaan kelompok kali yah, misalnya kelompok

yang orang sini gabungnya sama orang sini pokoknya terlalu

membeda-bedakan orang itu paling.”26

Sedangkan interaksi yang dilakukan oleh Risda saat pertama kali

merantau kurang lebih sama seperti Tami, karena mereka berasal dari

Sumatera Utara maka mereka memiliki logat yang kental dan khas sendiri.

Ketika Risda berbicara pun, mahasiswa non Sumatera menganggapnya

terlalu kencang dan seperti orang yang sedang marah, padahal menurut

Risda cara ia berbicara sudah sewajar mungkin.

“Yah pertama-tama sih waktu pertama kali ngobrol, anak-anak

kelas pada ngomong “oh suaranya kenceng banget yah kayak

marah, oh orang Batak pada begitu yah”. Padahal itu ngomong

biasa cuma nanya “eh namamu siapa?”, mungkin kedengerannya

kayak “EH NAMAMU SIAPA?” gitu. Jadi ngerasanya mereka kan

“oh ini orang marah-marah sambil ngomong” kayak gitu.”27

Risda juga sering melakukan miskomunikasi tanpa disadari saat

berinteraksi dengan mahasiswa lain, misalnya saja tercetus bahasa-bahasa

dari daerah asalnya seperti “mentel” yang orang Serang lebih mengenalnya

dengan arti “centil”.

“Ada sih beberapa kalimat gitu yang kadang keluar gitu merekanya

kurang ngerti gitu bahasa-bahasa biasalah bahasa-bahasa di

rumah. Merekanya suka “itu apa yah?”, jadi suka cari arti yang

mereka ngerti, misalnya kayak “mentel” gitu. Itu kan mentel (centil)

mereka nggak tau tuh yah.”28

26 Ibid. Hal 119. 27 Ibid. Hal 119. 28 Ibid. Hal 119-120.

78

Karena adanya perbedaan makna inilah yang membuat Risda sempat

merasa minder. Di kelasnya ada satu orang Tangerang yang juga bersuku

Batak, namun menurut Risda hal itu tetap saja berbeda dengan dirinya

karena ia sama sekali belum pernah tinggal di luar Sumatera sehingga gaya

bahasa dan bicaranya masih kental dan jauh berbeda dari teman-teman

kelasnya. Uniknya, seiring berjalannya waktu, teman-teman non Sumatera

di kelas Risda merasa tertarik dengan cara berbicara Risda dan ingin

mengetahui lebih dalam tentang budaya Batak.

“Iyalah minder sedikit lah pasti di kelas apalagi di kelas cuma 2

orang tapi yang satu lagi bukan dari Sumatera Utara emang udah

lahir di Tangerang kan jadi dia komunikasinya udah lancar sama

anak-anaknya, kalau misalnya aku kan masih beda gitu jadi

pertama-tama sempet mikir ah rada susah kali berteman, cuma ke

sini-sini ternyata mereka emang tertarik gitu sama cara ngomong

jadi pengen tau gitu tentang orang-orang Batak.”29

Informan ketiga yaitu Rienny menganggap Serang dan Bengkulu

tidak terlalu beda, juga pada dasarnya ia lebih bersikap santai dengan

keadaan di tempat perantauan namun ada beberapa hal yang berbeda,

misalnya dalam hal tempat ibadah. Sebagai penganut Kristen Protestan,

Rienny sangat menyayangkan tidak adanya Gereja di daerah Cilegon

sehingga ia harus pergi ke Serang untuk melakukan ibadah yang dimana

dibutuhkan waktu tempuh sekitar setengah jam. Selain itu, keramaian di

pusat Kota seperti Mall dan pertokoan menurutnya lebih cepat tutup

dibandingkan di tempat tinggalnya yaitu Bengkulu.

29 Ibid. Hal 120.

79

“Kurang lebih sih mirip yah cuma kalu misalnya dari segi

kemudahan buat gereja itu susah karena Cilegon itu nggak ada

gereja, nggak tau kenapa yah dari dulu sampai sekarang. Terus

Cilegon itu cepet banget tutup pusat kota jam 8 jam 9 udah tutup

jadi kayak terlalu apa gitu. Kalau di Bengkulu mah yah jam 10

masih rame kayak mall dan pertokoan di kota masih rame tapi di

sini udah tutup jam 9, cepet banget.”30

Rienny juga sering dilanda rindu dan ingin pulang ke Bengkulu

dikarenakan ia tidak memiliki sanak saudara di Cilegon. Ketika musim

liburan tiba dan teman-temannya pulang ke rumah masing-masing, Rienny

merasa sangat kesepian terlebih dia tidak pernah merayakan Natal di

kampung halaman selama 4 tahun terakhir ini.

“Bukan nggak cocok sih sebenernya paling yah karena nggak ada

siapa-siapanya aja yang paling bikin nggak betah pengen pulang.

Yah setiap temen-temen kalau pulang yah pengen pulang, terus

kalau kayak sekarang lagi Natal. Nggak pernah Natal di rumah

jadinya hampir 4 tahun terakhir.”31

Ketika ditanya apa hal yang tidak disukai tentang Cilegon, Rienny

menjawab dengan sigap yaitu cuaca Cilegon yang jauh lebih panas dan

berdebu, selain itu orang-orang Cilegon yang menurutnya bersikap lebih

individual, tidak peduli dengan orang lain sehingga tidak saling respect dan

kurang taat aturan. Hal ini yang membuat Rienny merasa lebih nyaman

tinggal di Bengkulu.

“Cilegon panas, banyak debu. Mungkin karena saya besar di

Bengkulu jadi enakan di Bengkulu dari pada di sini. Kalau di Jawa

itu menurut saya orangnya lebih individual jadi beda, individualnya

susah diceritain pokoknya tipikal lo lo gue gue jadi acuh aja sama

orang lain, mau orang lainnya gimana juga. Saling respectnya juga

30 Lampiran 4. Hasil Wawancara Key Informan 3. Hal 124. 31 Ibid. Hal 125.

80

kurang. Kalau di Sumatera nggak se-individual itu dan orang sini

juga kurang taat aturan.”32

Lain halnya dengan Tami dan Risda, dalam berinteraksi selama di

perantauan, key informan 3 yaitu Rienny tidak terlalu butuh usaha yang

keras untuk menyesuaikan diri karena pada dasarnya di Bengkulu tidak

menggunakan logat yang kental maupun khas seperti di Sumatera Utara.

Selain itu Rienny hanya membiasakan diri menggunakan kata ganti “gue-

lo” karena “saya-kamu” dianggap terlalu formal oleh teman-temannya.

“Biasa aja sih cuma mungkin pembiasaan yang mulai pakai cara

ngomong yang gue lo-gue lo. Awalnya sih nggak pakai gue lo kan,

saya kamu-saya kamu tapi karena emang menurut mereka saya

kamu itu terlalu formal jadi diubah ke lo gue, tapi biasanya sih yah

apa adanya aja.”33

Ketika ditanya apakah Rienny memiliki kesulitan dalam berinteraksi

dengan mahasiswa lain, ia tidak merasa ada kesulitan karena mayoritas

teman satu angkatannya di Teknik Industri juga berasal dari luar daerah

Serang dan Cilegon, walaupun hanya dari Tangerang, Bekasi dan sekitarnya

tapi karena sama-sama pendatang itulah yang membuat mereka menjadi

berbaur.

“Nggak sih kalau interaksi karena mayoritas angkatan kita banyak

yang dari luar walaupun bukan luar Sumatera yah kayak Bekasi,

Tangerang jadi kalau misalkan emang beda yah di situ dibaurin

soalnya orang Cilegon Serang itu paling cuma 10 orang di angkatan

kita, jadi sama-sama pendatang yah sama-sama berbaur aja.”34

Rienny juga sempat mengalami miskomunikasi saat berinteraksi

dengan teman-temannya, misalnya saja ada beberapa kata yang sehari-hari

32 Ibid. Hal 125. 33 Ibid. Hal 125-126. 34 Ibid. Hal 126.

81

yang biasa diucap oleh Rienny sebelumnya, tapi ternyata jika di Cilegon

kata-kata itu dianggap terlalu formal dan jarang sekali diucapkan,

contohnya seperti “pena” dan “pipet” yang terkesan terlalu baku di kalangan

teman-temannya, sehingga ia menyesuaikan dengan menggantinya menjadi

“pulpen” dan “sedotan”.

“Ada sih, misalnya waktu saya ngomong pena, mereka ngomongnya

pulpen. Mereka jadi suka bilangin pena terlalu formal, kenapa

nggak pulpen. Terus sedotan, saya bilangnya pipet karena di

Bengkulu ngomongnya pipet. Itu sih paling ada beberapa kata

doang.”35

Selebihnya dia berinteraksi dengan apa adanya saja. Mahasiswa non

Sumatera tidak pernah bersikap rasis kepada Rienny, namun sempat merasa

kaget dan heran karena Rienny berasal dari Bengkulu yang dianggap terlalu

jauh dari Cilegon.

“Paling mereka kayak “dih jauh amat dari Bengkulu ke sini,

ngapain lo?” gitu-gitu. Paling itu doang sih, kalau rasis-rasisan sih

nggak, biasa aja.”36

Hal itu juga sempat membuat Rienny merasa minder karena

kebanyakan teman-temannya berasal dari Provinsi Banten tapi seiring

berjalannya waktu semua menjadi terbiasa.

“Minder iya waktu awal karena mereka semua yah ibaratnya dari

Jawa, saya dari luar tapi ya udah ke sini-sini biasa aja”37

35 Ibid. Hal 126. 36 Ibid. Hal 126. 37 Ibid. Hal 126.

82

Sedangkan Aslam sebagai key informan 4 yang sebelumnya pernah

hidup mandiri dengan tinggal kost-kost-an saat SMA, membuat dirinya

tidak terlalu kaget untuk hidup sendiri. Dalam hal cuaca, Aslam mengamini

pendapat Rienny yang mengatakan bahwa cuaca di Cilegon jauh lebih

panas, bahkan rumah Aslam yang dekat dengan pantai pun tidak sepanas

itu.

“Cuaca, di sini lebih panas. Di sana itu deket pantai, rumah saya

kan deket pantai tapi nggak panas. Hal yang nggak cocok sih

alhamdulillah nggak ada karena saya dari SMA udah nge-kost.”38

Aslam juga menjelaskan ada hal yang tidak disukai dengan

kehidupan sosial di kampusnya, ia mengatakan bahwa orang-orang di

Cilegon terkesan kurang sopan, individual dan tidak ramah. Nada

berbicaranya pun menurut Aslam terlalu tinggi dan kasar. Berbeda dengan

orang Lampung yang walaupun memiliki watak keras tetapi masih terkesan

sopan bahkan dengan orang yang tidak dikenal sekalipun. Menurut Aslam,

hal ini mungkin disebabkan karena di Lampung ia lebih banyak mengenal

orang-orang sehingga adanya kebersamaan daripada di Cilegon.

“Tapi di kampus sih ada. Kayak kalau orang Lampung tuh

walaupun keras tapi masih sopan gitu maksudnya nggak kenal pun

masih sopan, tapi kalau di sini tuh kalau nggak kenal yah bodo amat

gitu kayak sedikit nggak sopan menurut saya. Kurang ramah lah,

agak sedikit keras. Nadanya juga kalau ngomong terlalu tinggi,

nada kasar gitu. Mungkin juga karena di Lampung banyak kenal

yah jadi kebersamaannya ada. Kalau di Cilegon engga begitu.39

38 Lampiran 5. Hasil Wawancara Key Informan 4. Hal 129. 39 Ibid. Hal 130.

83

Sama halnya dengan key informan lain, Aslam selama di perantauan

juga mendapatkan pemahaman-pemahaman baru ketika berinteraksi dengan

mahasiswa non Sumatera. Walaupun Lampung tidak terlalu jauh dari

Cilegon tetapi ada beberapa hal yang berbeda terutama bahasa. Aslam

sering mempunyai kesalahpahaman dengan temannya dikarenakan

perbedaan makna tersebut.

“Kadang-kadang temen saya nggak tau bercanda atau apa, kadang-

kadang dia nanya, apa yang dia tanya sama yang saya jawab itu

nggak sama karena beda nangkepnya. Bahasanya juga ada

beberapa yang beda.”40

Sikap mahasiswa non Sumatera terhadap Aslam bermacam-macam,

ada yang senang karena ketika mengenal Aslam berarti ia memiliki teman

dari daerah yang jauh yaitu Lampung sehingga suatu hari bisa berkunjung.

Selain itu ada juga yang menganggap Aslam aneh karena adanya perbedaan

budaya di antara mereka.

“Pertama seneng sih, ada yang seneng karena dia punya temen jauh

di Lampung kan jadi dia bisa main ke Lampung terus ada yang

bilang juga sedikit aneh freak gitu kan karena kita kan beda budaya

yah.”41

Hal itu membuat Aslam merasa minder, apalagi Aslam berasal dari

perdesaan dimana banyak hal-hal yang sebelumnya tidak ada di sana tetapi

ada di Cilegon, terlebih lagi melihat banyak temannya yang berasal dari

kota-kota yang lebih maju seperti Jakarta dan Tangerang, oleh karena itu

pada awalnya Aslam takut untuk pergi ke tempat-tempat yang baru,

40 Ibid. Hal 130. 41 Ibid. Hal 130.

84

contohnya saja ke tempat makan siap saji yang belum ada di kampung

halamannya karena ia tidak tau tata cara pembayarannya.

Sedangkan Ferdi yang tergolong cukup banyak merasa kecewa

ketika merantau karena banyaknya perbedaan yang terjadi. Ferdi merasa

jika pola pikir orang-orang Jawa lebih individualis dan jiwa sosialisnya

kurang atau lebih mempedulikan kepentingan masing-masing. Menurut

Ferdi, kalau di Pekanbaru, jika ada orang yang jatuh maka orang di

sekitarnya akan peka dan membantu.

“Kayaknya pola pikir orang-orang Jawa ini beda-beda deh. Kayak

misalnya udah berpikir individualis, jiwa sosialisnya kurang terus

masih berpikir sendiri kayak gitu. Kalau di sana kan lo ngeliat

orang yang jatuh aja kayaknya peka banget teru bantuin. Itu sih

bedanya.”42

Selain itu bahasa yang berbeda juga menjadi kendala bagi Ferdi,

dialek daerah asal yang sudah melekat di dirinya mau tak mau harus

dihilangkan dan mengikuti dialek dan bahasa di perantauan yang mayoritas

menggunakan bahasa Sunda dan Jawa Serang (Jaseng). Makanan juga salah

satu yang menjadi masalah bagi Ferdi karena menurutnya makanan yang

ada di Serang teras hambar di lidahnya tidak seperti di daerah asalnya yang

kaya akan bumbu, contohnya saja ia pernah mencicipi sayur asam yang

menurutnya memiliki rasa yang terlalu hambar dan tidak cocok di lidah

karena Ferdi terbiasa dengan makanan di Sumatera yang didominasi oleh

makanan pedas, hal ini membuat Ferdi harus menambahkan sambal dan

garam di makanannya.

42 Lampiran 6. Hasil Wawancara Key Informan 5. Hal 134.

85

“Iya bahasa juga beda banget. Di sini nih susah ngertinya juga,

pada mayoritas bahasa Sunda sama Jaseng gitu kan, jadi sedikit

banyaknya jadi belajar. Terus makanan juga wah beda banget,

kalau di sini kayak apa sih sayur asem yah namanya itu hambar

banget rasanya, nggak cocok di lidah. Jadi kalau di Sumatera tuh

kan dominan makanannya pedes jadi ngerasa kalau makan di sini

hambar, harus pake sambel banyak, pake asin banyak. Hambar aja.

Mau makan kayak gimana juga tetep nggak puas.”43

Ketika berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera, Ferdi

mengaku kesulitan karena ia sama sekali tidak mengerti bahasa Sunda

ataupun Jaseng (Jawa-Serang) sehingga ketika teman-temannya sedang

kumpul dan mengobrol, Ferdi sendiri yang tidak mengerti dan terkadang

merasa diabaikan.

“Agak susah sih karena mereka kan kayak ada pengkotakan gitu.

Misalnya kalau lagi kumpul, mereka tuh kadang pakai bahasa

mereka masing-masing terus yang kayak gue nggak ngerti sendiri

terus mereka yang ngerti sendiri, ngerasa kayak dicuekin.”44

Selain itu, menurut Ferdi tanggapan orang-orang Jawa yang ia temui

dan berinteraksi dengannya selalu bisa menebak terlebih dahulu jika Ferdi

bukan orang Jawa karena logat dan cara berbicaranya yang berbeda. Namun

sejauh ini Ferdi merasa semua tanggapan dari mahasiswa non Sumatera

lebih banyak positif, walaupun ada hal seperti intonasi Ferdi saat berbicara

masih dianggap seperti orang yang sedang marah-marah.

“Misalnya nih kayak pertama kali gue sampe di Jawa terus ketemu

sama orang-orang Jawa yang pribumi, terus ketika gue ngomong

tuh kayak “lo bukan orang Jawa yah?”. Jadi udah nebak kalau

logat gue beda, cara ngomong gue beda, mereka ngeresponnya gue

tuh orang yang beda. Tapi yah kebanyakan sih respon mereka sama

gue itu positif. Nggak terlalu negatif. Paling mereka berpikirnya gue

43 Ibid. Hal 134-135. 44 Ibid. Hal 136.

86

kan orang Sumatera yah, ngomongnya terlalu keras kayak gitu yang

mereka ngeresponnya cuma gitu doang sih yang negatifnya.

Padahal emang nadanya kayak gitu, tapi bukan marah.”45

Untungnya Ferdi bukan termasuk orang yang tidak mudah minder.

Saat Ferdi merasa berbeda sendiri dari teman-temannya, ia tetap merasa

percaya diri dan mau belajar tentang lingkungan barunya. Walaupun pada

awalnya Ferdi mengatakan bahwa ia lebih dulu bergaul dengan mahasiswa

Sumatera yang ia kenal dari seniornya, tapi setelah itu ia menyesuaikan diri

untuk bergaul dengan mahasiswa lainnya, terlebih tidak adanya mahasiswa

yang berasal dari Pekanbaru.

“Iya gue lebih menyesuain aja sih. Nggak ngerasa minder, tetep

percaya diri aja. Kebetulan gue pertama kali datang ke sini ada

senior ngenalin gue sama orang Medan juga jadi gue nyambung

sama orang Medan. Setelah itu baru menyesuaikan mulai dapet

temen dari Bekasi, Tangerang, Jakarta juga. Kebetulan mahasiswa

dari Riau nggak ada soalnya sempet nyari-nyari juga orang-orang

yang dari Pekanbaru ternyata nggak ada yang dari 2014 sampai

2015 nggak ada yang dari Riau.”46

Selama Ferdi menempuh studi di tahun ketiga, ia mengaku bahwa

belum pernah sekalipun pulang ke rumahnya semenjak pertama kali

merantau dikarenakan Ferdi merasakan kecewa berat terhadap situasi di

perantauan yang menurutnya sangat jauh di luar ekspektasinya. Oleh karena

itu Ferdi lebih memilih untuk tidak pulang ke kampung halamannya dengan

alasan untuk menghindari rasa nyaman dan tidak mau kembali ke

perantauan, walaupun ia tidak mengelak jika tetap merasakan rindu.

“Kebetulan dari pertama kali regist ulang sampai sekarang belum

pernah pulang udah hampir 3 tahun. Sebenernya disuruh pulang

45 Ibid. Hal 136. 46 Ibid. Hal 136-137.

87

tapi nggak mau pulang. Soalnya pas semester 1 pas libur itu disuruh

pulang kan tapi bilang ke orang tua kalo misalnya pulang nggak

balik ke sini lagi soalnya udah tau kayak gini kampusnya. Jadi males

pulang takut betah di sana lagi kan, takut pengen pindah kuliah.

Jadi tiap semester bakal ditanya mulu dan jawabannya pasti kayak

gitu mulu. Kangen mah pasti kangen tapi pengen sampai selesai aja,

kalau bisa sampai sukses dulu baru balik.”47

Dari hasil pembahasan di atas, kelima key informan mengakui jika

terdapat perbedaan-perbedaan antara kota perantauan dan daerah asal

seperti bahasa, budaya, cuaca, makanan dan kehidupan sosial yang sempat

membuat mereka kecewa. Namun reaksi kelima key informan berbeda-

berbeda dalam mengahadapinya. Tami yang mengeluhkan sulitnya

berinteraksi dengan perbedaan bahasa maupun dialek, namun tetap mau

bergaul dengan mahasiswa non Sumatera, bahkan ia menganggap bahwa

orang Serang di sekitarnya sangat ramah. Hal ini mungkin disebabkan

karena sikap Tami yang lebih open minded atau terbuka pikirannya terhadap

perbedaan dan memiliki jiwa berpetualang sehingga hidup mandiri bukan

menjadi masalah baginya. Hal tersebut berbeda dengan keempat key

informan lainnya yang menganggap bahwa mahasiswa non Sumatera dan

orang-orang di sekitar terkesan individual, mengkotak-kotakan pergaulan,

berwatak keras, tidak sopan dan sebagainya.

Selain itu, dalam hal makanan, Tami, Risda dan Ferdi sempat

memiliki kendala dalam menyesuaikannya. Makanan di perantauan

dianggap lebih berminyak, mengandung banyak MSG dan hambar. Risda

sempat merasakan sakit karena tidak terbiasa dengan makanan tersebut,

47 Ibid. Hal 135.

88

sedangkan Ferdi yang sampai saat ini masih harus menambahkan sambal

dan garam pada makanannya dikarenakan memiliki rasa yang terlalu

hambar. Sedangkan Risda, Rienny dan Aslam sempat mengeluhkan

keadaan cuaca di Serang dan Cilegon yang lebih panas dan berdebu

sehingga membuat kulit menjadi lebih gelap. Hal ini termasuk ke dalam fase

kekecewaan yang dimana masalah dengan lingkungan baru mulai

berkembang. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa, ketidakpuasan

dan segala sesuatunya mengerikan. Individu menjadi bingung dan

tercengang dengan sekitarnya dan dapat menjadi frustasi dan mudah

tersinggung, bersikap bermusuhan, mudah marah, tidak sabar dan bahkan

menjadi tidak kompeten. Ini adalah periode krisis dalam gegar budaya.

Perbedaan-perbedaan yang terjadi membuat kelima key informan

melakukan interkasi dan penyesuaian terhadap lingkungan barunya. Key

informan 1 yaitu Tami sudah mulai terbiasa dengan segala situasi dan

kondisi di Serang, terutama dalam hal komunikasi. Ketika pertama datang,

logat daerah asalnya masih kental namun setelah 4 tahun berlalu, Tami

sudah bisa berkomunikasi tanpa logat tersebut. Penulis pun melihat dengan

jelas hal tersebut. Tami termasuk orang yang pintar menyesuaikan diri, dia

menyesuaikan cara berkomunikasinya mengikuti daerah tersebut, ketika ia

pulang ke Medan pun ia akan kembali berlogat Medan.

“Lama-lama makin terbiasa udah ga terlalu, makannya gue

logatnya juga udah ilang kan. Yah kayak gitu, kalau gue di sini gue

nyesuain pake bahasa di sini kalau gue di medan gue balik lagi pake

logat gue di Medan.”48

48 Lampiran 2. Hasil Wawancara Key Informan 1. Hal 115.

89

Tami tak mengelakan jika ia pernah mempunyai masalah dengan

orang lain saat merantau, namun hal ini dapat diatasinya dengan lebih

bersikap dewasa, tanpa harus membuat terlarut dalam masalah ataupun

menjadikannya lebih rumit dan besar.

“Yaudah paling biarin aja toh kita udah sama-sama dewasa ini, let

it flow lah.”49

Sedangkan, ketika penulis melakukan wawancara dengan key

informan 2 yaitu Risda, terkadang masih dapat terdengar logat khas Batak

yang tercetus, namun selebihnya dia sudah dapat menyesuaikan diri dengan

segala hal yang sebelumnya menjadi masalah untuk dirinya. Terutama

ketika makanan sempat menjadi kendala bagi Risda namun sekarang ia

sudah dapat menyesuaikan diri dengan makanan di Serang.

“Iya dulu kan sempet BAB darah yang gitu-gitu karena pertama kali

penyesuaian diri kali sama makanan di sini. Cuma yah ke sini-sini

udah lama tinggal di sini yah udah terbiasa sih.”50

Selain itu dalam hal berbicara pun Risda sudah bisa menurunkan

intonasinya sehingga menjadi lebih lembut dan tidak dianggap seperti orang

yang sedang marah lagi oleh teman-temannya, walaupun hal itu cukup sulit

karena memang bawaan dari daerah asalnya.

“Agak susah sih kadang ngomong harus gimana yah emang kayak

gini bawaannya gitu kan, cuma yah sekarang-sekarang udah

belajar udah bisa lebih lembut lah ngomong.”51

Untuk kehidupan sosial di sekitar yang sebelumnya tidak disukai

oleh Risda karena terbilang lebih membeda-bedakan dan berkelompok pun

49 Ibid. Hal 113. 50 Lampiran 3. Hasil Wawancara Key Informan 2. Hal 117. 51 Ibid. Hal 119.

90

sudah tidak mau diambil pusing olehnya, namun Risda tetap berteman baik

dengan mereka walaupun diakui tidak begitu dekat.

“Yah dibodoamatin aja sih, cuma nggak ikut-ikut kelompok-

kelompoknya mereka tapi tetap berteman sama mereka mah

berteman cuma nggak mau ikut geng-gengan kayak gitu.”52

Sama dengan Tami dan Risda, key informan 3 yaitu Rienny juga

sudah bisa membiasakan dirinya dengan situasi dan kondisi di lingkungan

sekitar. Sikap orang-orang di sekitarnya yang dianggap Rienny tidak terlalu

ramah itu tidak dijadikan masalah lagi, karena dirinya juga tidak dapat

bertindak apa-apa dan hal tersebut di luar jangkauannya.

“Ditahan-tahan aja karena nggak bisa diapa-apain karena orang

lain itu di luar jangkuan kita, nggak bisa kita ubah kayak apapun.

Yah mereka kayak gitu ya udah.”53

Selain itu, key informan 4 yaitu Aslam juga sependapat dengan

Rienny ketika harus menghadapi kehidupan sosial yang tidak mereka suka,

ia lebih memilih untuk sabar dan tidak terlalu mempermasalahkan, namun

Aslam juga tetap mencari teman yang memiliki satu pemikiran dengannya

sehingga mengurangi perdebatan atau selisih paham.

“Untuk mengatasi yang kayak gitu biasanya pertama nyari temen

yang sepemikiran sama saya, kedua paling kalau ngeliat orang

yang kayak gitu yah nyabarin diri aja sih.”54

Sama halnya dengan key informan lain, ketika menghadapi hal-hal

yang tidak disukai selama di perantauan. Key informan 5 yaitu Ferdi

memilih untuk tetap menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekitarnya dan

52 Ibid. Hal 119. 53 Lampiran 4. Hasil Wawancara Key Informan 3. Hal 125. 54 Lampiran 5. Hasil Wawancara Key Informan 4. Hal 130.

91

berusaha untuk tidak memikirkan orang yang menurutnya tidak pernah juga

memikirkannya. Sehingga yang pada awalnya Ferdi lebih bersikap sosialis,

terkadang ia juga harus bersikap individualis mengikuti pemikiran orang-

orang di sekitarnya.

“Nyesuain sih. Gue kadang mikirnya ngapain lo mikirin orang yang

nggak mikirin lo. Gue udah mulai berpikiran menyesuaikan diri

kayak gitu. Ketika gue datang dari orang yang sosialis, gue bakal

berpikiran kayak lo jangan terlalu sosialis Fer lo harus ngikutin

permainan orang juga.”55

Dari pembahasan di atas, kelima key informan mendapatkan makna

atau pengertian yang baru saat berinteraksi dengan mahasiswa non

Sumatera karena mahasiswa asal Sumatera tidak bisa menggunakan bahasa

daerahnya, maka mereka harus menyesuaikan diri dengan bahasa di

perantauan. Reaksi mahasiswa Sumatera saat melakukan interaksi pertama

kali dengan mahasiswa non Sumatera berbeda-beda. Tami, Risda, Rienny

dan Aslam sempat merasa minder. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal

seperti bahasa, logat, gaya bicara dan latar belakang kebudayaan yang

berbeda. Sedangkan Ferdi yang walaupun memiliki perbedaan dalam

bahasa, logat, gaya bicara, dan latar belakang kebudayaan yang berbeda,

namun ia tetap percaya diri ketika berinteraksi dengan mahasiswa non

Sumatera.

Interaksi antara mahasiswa Sumatera dan non Sumatera dapat

dikategorikan sebagai komunikasi antarbudaya. Menurut informan

pendukung, jika merujuk pada beberapa pendapat ahli, komunikasi

55 Lampiran 6. Hasil Wawancara Key Informan 5. Hal 135.

92

antarbudaya terjadi ketika orang berberbeda budaya berkomunikasi, namun

dilihat dari entitasnya terlebih dahulu. Seperti mahasiswa berkomunikasi

dengan Dosen, maka mahasiswa tidak bisa berbicara selayaknya dengan

mahasiswa lainnya. Sederhananya, komunikasi antarbudaya dapat terjadi

kapanpun dan dimanapun, bahkan antara anak dan orang tua sekalipun.

Kalau merujuk pada beberapa pendapat ahli, komunikasi

antarbudaya sebetulnya ketika orang berbeda budaya dalam

pengertian apa dulu, entitasnya apa. Ketika entitasnya antara anda

dengan saya, saya dosen anda kan mahasiswa. Itu entitasnya kan

posisi yah, pekerjaan atau status. Itu juga bisa dikatakan

komunikasi antarbudaya karena anda kan lain cara nanyanya,

nggak bisa anda lo-gue ke saya, mungkin ke teman anda yang

entitasnya sama, bisa. Sederhananya gitu, jadi komunikasi

antarbudaya bisa terjadi kapanpun dan dimanapun, anda dengan

orang tua anda juga bisa dari sudut pandang itu dikatakan sebagai

komunikasi antarbudaya. Anda bisa praktikan bagaimana anda

berkomunikasi dengan teman anda dan bagaimana anda

berkomunikasi dengan orang tua anda.56

Hal ini juga dipertegas oleh Liliweri (2011:26) yang dimana

komunikasi antarpribadi yang terjadi di antara dua orang yang berbeda jenis

kelamin (gender), berbeda status dan kelas sosial, misalnya antara atasan

dengan bawahan, antara dosen dengan mahasiswa, antara dokter dengan

pasien, antara pedagang dengan pembeli, antara orang Timor dengan

Flores, antara orang Banyuwangi dengan Solo, antara orang Makassar

dengan Bugis, antara orang Indonesia dengan orang Australia dapat

digolongkan sebagai komunikasi antarbudaya.57

56 Lampiran 7. Hasil Wawancara Informan Pendukung. Hal 139. 57 Alo Liliweri. 2011. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal

26

93

Selain itu dari hasil pembahasan di atas, Risda, Rienny, Aslam dan

Ferdi menganggap mahasiswa non Sumatera dirasa lebih bersikap

individual, kurang sopan, membeda-bedakan orang lain dan sebagainya,

sedangkan mahasiswa non Sumatera juga menganggap kelima key informan

ketika berbicara seperti orang yang sedang marah sehingga dianggap

berwatak keras. Namun menurut informan pendukung, tidak ada ukurannya

jika orang Jawa lebih individual atau orang Sumatera mempunyai watak

keras. Hal ini tergantung dari diri individu masing-masing dan bisa juga

dipengaruhi oleh keluarga, lingkungan pekerjaan dan sebagainya. Itulah

uniknya budaya, kita tidak bisa mengatakan suatu budaya lebih sopan atau

tidak sopan karena hal itu tergantung dari nilai budaya tersebut. Misalnya

saja cara makan orang Sumatera dan Sunda, cara berpakain orang

pedalaman Papua, kita tidak bisa mengatakan hal itu sopan atau tidak sopan

karena memang budaya mereka yang mengajarkan seperti itu.

Kata siapa orang Jawa lebih individual atau orang Sumatera lebih

keras. Saya punya kawan orang Sumatera baik-baik, lembut-lembut

bahkan lebih dari orang Jawa. Tergantung marganya juga dengan

lingkungan pekerjaan juga menentukan. Mungkin secara fisik, kasat

mata dari bahasanya, logatnya kan tinggi padahal itu nada mereka

seperti itu bukan berarti itu tidak sopan juga. Itulah uniknya

budaya, kita tidak bisa mengatakan budaya ini lebih sopan, budaya

B kurang sopan karena ukurannya lain tergantung nilai budaya

tersebut. Apakah makan pakai tangan mengepal buat orang

Sumatera itu sopan atau tidak sopan, menurut mereka memang

budaya mereka mengajarkan seperti itu, cara makan pakai tangan

itu kadang seperti diremas nasi dimasukan ke mulut kan orang

Sunda lain lagi, nyocolnya kan sedikit-sedikit. Seperti dalam

berpakaian orang Papua pakaiannya memang begitu masa bisa

dikatakan tidak sopan, orang dia emang pakaiannya pakai koteka.58

58 Lampiran 7. Hasil Wawancara Informan Pendukung. Hal 142.

94

Sihabudin (2011:9) juga menjelaskan bahwa budaya secara pasti

mempengaruhi kita sejak dalam kandungan hingga mati dan bahkan setelah

mati. Kita dikuburkan dengan cara-cara yang sesuai dengan budaya kita.

Budaya dipelajari tidak diwariskan secara genetis, budaya juga berubah

ketika orang-orang berhubungan antara yang satu dengan lainnya.59

Dari hasil pembahasan di atas, kelima key informan yang tadinya

memiliki permasalahan dan kekecewaan tertentu saat merantau, seiring

berjalannya waktu mereka turut menyesuaikan diri dengan lingkungan

sekitar karena hanya cara itulah yang membuat mereka bertahan untuk tetap

melanjutkan studinya agar tujuan melakukan perantauan dapat

terealisasikan.

Hal di atas juga dipertegas oleh informan pendukung yang

menyatakan bahwa ketika ada hal baru dimanapun itu pasti akan ada

kekagetan baik di pihak pendatang maupun orang yang didatangi. Hal ini

merupakan bagian dari dinamika akulturasi yang dimana merupakan suatu

proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan

kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing.

Kebudayaan asing itu pula yang lambat laun akan diterima dan diolah ke

dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur

kebudayaan kelompok itu sendiri.

59 Ahmad Sihabudin. Komunikasi Antarbudaya Satu Perspektif Multidimensi. Jakarta: PT Bumi

Aksara. Hal 19-20.

95

Pada akhirnya, perbedaan budaya tersebut akan berasimilasi atau

menyatu dengan proses penyesuaian diri atau adaptasi. Pendatang memang

sudah sewajarnya harus banyak mengalah, dalam pengertian mereka harus

banyak beradaptasi untuk bisa diterima di lingkungan barunya. Hal tersebut

juga wajar terjadi di setiap kelompok dan lapisan masyarakat manapun

kecuali memang sudah berada di level yang sama dan tidak ada yang harus

dipersoalkan.

“Di tempat manapun ketika ada hal baru yang mereka jumpai pasti

ada kekagetan baik di pihak pendatang dan orang yang didatangi.

Itu bagian dari dinamika akulturasi atau toh akhirnya lama-lama

mereka akan berasimilasi yah menyatu juga, ada proses

penyesuaian, adaptasi. Tentunya yang harus banyak mengalah

memang dari yang datang, harus banyak beradaptasi karena

mereka kan pendatang dalam pengertian untuk bisa diterima di

lingkungan baru tentunya harus banyak penyesuaian kepada

lingkungan baru yang mereka tempati. Yah sebaliknya kalau orang

Serang pindah ke Medan tentunya menyesuaikan juga dengan adat

di sana. Kalau menurut saya wajar terjadi di setiap kelompok

masyarakat manapun dan lapisan masyarakat manapun kecuali

memang sudah sama-sama selevel dalam pengertian dan tidak ada

yang dipersoalkan.”60

Dari hasil pembahasan di atas, dapat dilihat jika kelima key informan

sudah mulai memaklumi dan terbiasa dengan situasi dan kondisi di sekitar.

Hal ini dapat digolongkan dalam fase awal resolusi pada culture shock

dimana rasa kekecewaan sebelumnya perihal bahasa, kehidupan sosial,

makanan, cuaca dan sebagainya sudah bukan menjadi kendala lagi, karena

key informan sudah mulai mengerti mengenai budaya di tempat perantauan.

Individu secara bertahap membuat beberapa penyesuaian dan modifikasi

60 Lampiran 7. Hasil Wawancara Informan Pendukung. Hal 141-142.

96

untuk menanggulangi budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam

lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan.

4.3.3 Upaya Mengatasi Gegar Budaya yang dilakukan Mahasiswa Asal

Sumatera

Ketika mengalami gegar budaya, perantau tentu saja tidak ingin

berlarut-larut dalam kekecewaan karena hal tersebut dapat menghambat

keberlangsungan hidupnya selama di perantauan. Oleh karena itu, perantau

melakukan proses interaksi untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan

baru. Dalam mengatasi gegar budaya, kelima key informan memiliki

caranya masing-masing. Setelah melakukan penyesuaian, biasanya perantau

menjadi maklum dan terbiasa.

Selama di perantauan, Tami mempunyai kegiatan-kegiatan yang

dilakukan untuk mengurangi rasa rindu kepada kampung halamannya dan

juga dapat menambah teman serta pengalaman bagi dirinya. Tami aktif

dalam berbagai organisasi internal maupun eksternal seperti DPM FISIP,

UNTIRTA TV, UKM Jurnalistik, BEM FISIP dan Kemangteer.

“Pertama gue ikut DPM FISIP fraksi ikom 2011, terus ikut untirta

tv, baru ikut ukm jurnalistik, abis itu gue ikut bem fisip abis itu gue

ikut kemangteer. Jadi karena emang gue pendatang kan terus emang

nggak ada rumah buat pulang, yah mau nggak mau banyak-

banyakin organisasi biar banyak-banyak kegiatan dan banyak-

banyakin teman juga. Biar nggak sepi aja di sininya, jadi ada aja

kegiatan.”61

61 Lampiran 2. Hasil Wawancara Key Informan 1. Hal 116.

97

Tami juga mengaku sudah merasa nyaman tinggal di Serang

dikarenakan sudah tinggal selama 4 tahun dan menurutnya ia sudah

melakukan penyesuaian dengan baik terutama dalam hal berkomunikasi.

“Iya udah nyaman sih udah 4 tahun lebih juga kan udah

penyesuaian”62

Tami membutuhkan waktu sekitar sebulan sampai dua bulan dari

masa Ospek untuk menyesuaikan diri dan leluasa berbicara ke teman-teman

yang lain karena ketika teman-temannya pada awal semester sedang

bersemangat untuk bertanya segala macam hal kepada Dosen, Tami

memilih diam karena merasa takut jika ia berbicara dengan logat khasnya

itu maka ia akan di-bully .

“Sekitar sebulan dua bulan lah mulai dari ospek baru gue bisa

leluasa ngobrol. Gue juga dulu awal-awalnya kayak di kelas gitu

kan waktu maba kita masih pada semangat-semangatnya kan nanya

segala macem, gue mah udah diem aja, gue takut di-bully gue takut

beda aja kan. kalo gue sih ngerasanya gue beda sendiri itu gue ga

berani, gue malu aja yaudah gue menyesuaikan.”63

Informan 2 yaitu Risda juga mengisi hari-harinya dengan mengikuti

berbagai macam kegiatan di Kampus seperti organisasi DPM FISIP, BEM

FISIP dan GMKI. Diakui Risda jika kegiatan ini dilakukan untuk mengisi

waktu luang agar tidak bosan jika hanya kuliah dan langsung pulang ke kost

saja, juga menambah teman dan pengetahuan.

“Iya ikut organisasi pernah ikut jurnal, DPM FISIP, BEM FISIP

sama GMKI. Ngisi waktu luang lah biar nggak bosan di kostan

kalau cuma pulang kostan pulang kostan kayaknya nggak hidup

banget. Ikut organisasi kan lebih banyak teman juga banyak

pengetahuan lah.”64

62 Ibid. Hal 115. 63 Ibid. Hal 116. 64 Lampiran 3. Hasil Wawancara Key Informan 2. Hal 121.

98

Risda juga sudah merasa nyaman tinggal di Serang karena

menurutnya memang harus seperti itu mengingat ia masih harus menempuh

studinya, tapi dari keinginan sebenarnya, ia masih ingin tinggal di Medan

karena menurutnya rumah sendiri akan selalu lebih nyaman, bahkan ia

ingin menghabiskan masa tuanya di sana.

“Nyaman-nyaman nggak nyaman lah, nyamannya karena emang

harus kan tinggal di Serang nyelesaiin kuliah tapi kalau sesuai

keinginan mah kalau bisa pulang lagi nanti tinggal di sana, tuanya

lah balik lagi ke Medan ke rumah sendiri kayaknya lebih enak.”65

Selain itu Risda sudah bisa menyesuaikan diri dengan baik, seperti

Tami yang mempunyai kendala dalam hal komunikasi sebelumnya, Risda

pun mempunyai kendala yang sama. Butuh waktu sekitar sebulan sampai

dua bulan untuk Risda menyesuaikan diri di lingkungan baru, menurutnya

menyesuaikan diri cukup mudah dilakukan namun menyesuaikan hati yang

cukup sulit untuk dilalukan.

“Iya sekarang udah cukup baik lah bisa berkomunikasi dengan

semuanya. Paling sebulan dua bulan kali yah nyesuain dirinya,

nyesuain diri mah gampang cuma buat yang sama kayak hati itu

yang susah kan berteman sesuai dengan keinginan hati.”66

Sama halnya seperti Tami dan Risda, key informan 3 yaitu Rienny

juga termasuk orang yang aktif baik di lingkungan internal maupun

eksternal. Rienny mengikuti oraganisasi-organisasi seperti Himpunan

Mahasiswa, perkumpulan Mahasiswa Kristen, menjadi assistant

laboratorium bahkan karena prestasinya ia menjadi penerima beasiswa dari

Beswan Dajrum.

65 Ibid. Hal 120. 66 Ibid. Hal 120-121.

99

“Ikut Himpunan terus ikut perkumpulan mahasiswa Kristen Serang

Cilegon dari Untirta itu juga sempet. Jadi asistant lab terus paling

ikut-ikut acara beswan Djarum.”67

Sama halnya seperti Risda, Rienny juga mau tak mau harus bisa

senyaman mungkin di perantauan. Walaupun ada beberapa hal yang tidak

terfasilitasi seperi Gereja, tetapi Rienny harus tetap membiasakan diri

dengan pergi beribadah ke Serang, bukan malah membuatnya menjadi

semakin malas untuk beribadah. Sehingga Rienny lebih memilih berdamai

dan menerima dengan segala perbedaan yang ada di perantauan.

“Sebenernya dipaksa nyaman aja, misalkan nih kalau ibadah kan

mesti ke Serang jadi dibiasain aja bukan malah ah Cilegon nggak

ada ini nggak usahlah. Jadi kayak yaudah dibiasain aja diterima-

terima aja.”68

Rienny membutuhkan waktu 1 semester untuk dapat menyesuaikan

diri di lingkungan baru, karena di semester pertama itulah Rienny

menghadapi hal-hal yang baru seperti teman-teman dan metode belajar.

Pada semester berikutnya ia sudah mulai disibukan dengan adanya

praktikum sehingga membuatnya menjadi berbaur dengan mahasiswa lain.

Selain itu proses adaptasi Rienny pun dibantu dengan adanya Industrial

Friendly Camp (IFC) yang diadakan untuk saling mengenal teman-teman

satu angkatan.

“Paling semester 1 itu yang paling awal, soalnya kan itu masuk

kuliah pertama, ketemu orang-orang baru pertama, metode belajar

baru pertama, lingkungannya baru jadi paling semester awal.

Semester 2 mah karena udah praktikum pasti berbaurnya lebih ke

merekanya. Kita kan biasanya ada IFC gitu kan itu lebih ngenalin

67 Lampiran 4. Hasil Wawancara Key Informan 3. Hal 127. 68 Ibid. Hal 126.

100

kita ke satu angkatan jadi setelah IFC itu paling udah deket, jadi

satu semester awal aja.”69

Sama seperti informan lainnya, Aslam juga aktif dalam organisasi

seperti Himpunan Mahasiswa, IMTI dan juga ia disibukan oleh tugasnya

menjadi assistant laboratorium.

“Iya organisasi ada di himpunan, ada organisasi IMTI (Ikatan

Mahasiswa Teknik Industri) Zona Jakarta Raya, paling ngumpul

sama angkatan sama jadi asistant lab juga.”70

Seperti key informan lainnya, Aslam juga sudah merasa nyaman

tinggal di Cilegon. Kendala-kendala yang sebelumnya sudah dapat dilewati

dengan melakukan penyesuaian dengan baik di lingkungan sekitarnya.

“Kalau sekarang udah nyaman tinggal di sini, udah banyak temen

juga kan. Saya rasa juga saya udah melakukan penyesuaian dengan

baik”71

Butuh waktu yang cukup lama yaitu 2 semester untuk Aslam

menyesuaikan diri. Sama halnya dengan Rienny, Aslam pun sangat terbantu

dengan adanya Industrial Friendly Camp (IFC) yang merupakan kegiatan

pengenalan jurusan Teknik Industri dimana kegiatan ini mendekatkan

mahasiswa Teknik Industri terutama mahasiswa barunya, sehingga setelah

IFC berlangsung, Aslam mempunyai lebih banyak teman.

“2 semester, dibantu juga sama adanya Industrial Freindly Camp

semacem ospek jurusan gitu. Jadi di sana kita sharing sama alumni,

senior dan himpunan. Dikasih materi tentang TI, ada mecahin studi

case gitu sama games dan lain-lain, jadi bikin makin akrab dan

69 Ibid. Hal 127. 70 Lampiran 5. Hasil Wawancara Key Informan 4. Hal 131. 71 Ibid. Hal 131.

101

seangkatan saling ngelengkapin gitu. Dari situ jadi punya banyak

temen”72

Seperti key informan yang lain, Ferdi juga memilih untuk memiliki

aktivitas lain selain berkuliah yaitu mengikuti organisasi Himpunan

Mahasiswa Komunikasi, bergabung dalam UKM Olahraga Untirta dan ikut

bergabung dalam komunitas sepeda Fixie di Serang.

“Kebetulan gue ikut HIMAKOM, UKM Olahraga sama ikut

komunitas fixie gitu di luar kampus.”73

Ferdi merasa setelah melakukan perantauan, ia terkadang merasakan

senang dan juga susah. Kadang ketika Ferdi masih berhubungan dengan

teman semasa SMA, ada sedikit rasa penyesalan yang muncul karena ia

tidak berhasil menempuh studi di kampus impiannya. Namun ketika Ferdi

sudah bertemu teman-temannya di kampus dan menghabiskan waktu

bersama, ia sudah bisa menikmati dan tidak memikirkan hal-hal yang

membuat ia merasa menyesal.

“Yah kayak gitu lah, kalau dibilang seneng mah seneng kalau

dibilang susah mah susah. Kadang kepikiran juga sih kayak temen

kan pada tembusnya di Undip, kadang kalau masih berhubungan

sama yang di sana kayak masih ada nyesel, tapi kalau ketemu

temen-temen lagi yang di Untirtanya terus nongkrong bareng seru-

seruan, jadi nggak kepikiran lagi.”74

Ferdi masih merasa bahwa menyesuaikan bahasa ketika

berkomunikasi dengan mahasiswa non Sumatera masih tergolong sulit

walaupun sudah hampir 3 tahun ia tinggal di Serang, terutama dengan

bahasa Sunda dan Jawa Serang (Jaseng).

72 Ibid. Hal 131. 73 Lampiran 6. Hasil Wawancara Key Informan 5. Hal 137. 74 Ibid. Hal 137.

102

“Kadang-kadang masih menyesuaikan soalnya bahasa yang kayak

bahasa sunda masih sedikit banget ngertinya, Jasengnya juga.”75

Diakui Ferdi, ia baru bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan

yang sangat berbeda dari daerah asalnya ini sekitar 2 semester.

“Penyesuain dirinya lama itu mah, mungkin sampe 2 semester kali

yah.”76

Dalam hasil pembahasan di atas, kelima key informan pada

umumnya mengikuti berbagai macam kegiatan baik di dalam maupun luar

kampus, namun tetap sesuai dengan hobi maupun passion masing-masing.

Hal tersebut dilakukan untuk meminimalisir gegar budaya yang terjadi

sehingga mahasiswa Sumatera menjadi lupa dengan kekecewaan mereka

tentang hal-hal yang sebelumnya sempat menjadi sebuah kendala.

Kegiatan-kegiatan tersebut juga membuat mahasiswa Sumatera lebih

banyak berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera sehingga mempunyai

kenalan dan bisa menjalin persahabatan serta bisa membiasakan diri dengan

lingkungan yang baru. Hal tersebut dapat digolongkan dalam fase berfungsi

efektif pada culture shock yang dimana individu telah mengerti elemen

kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, pola komunikasi, keyakinan, dan

lain-lain). Kemampuan untuk hidup dalam dua budaya yang berbeda,

biasanya juga disertai dengan rasa puas dan menikmati. Namun beberapa

ahli menyatakan bahwa untuk dapat hidup dalam dua budaya yang berbeda,

seseorang akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu.

75 Ibid. Hal 137. 76 Ibid. Hal 137.

103

Seperti apa yang dikatakan informan pendukung yaitu jika individu

ingin mengatasi gegar budaya maka ia harus banyak membaca situasi

ataupun kebiasaan di lingkungan baru. Menurut informan pendukung,

dalam gegar budaya seseorang memiliki tahapannya masing-masing.

Informan pendukung berhipotesis jika seseorang semakin banyak membaca

sebuah kebiasaan di tempat baru, maka ia akan semakin meminimalkan

gegar budaya tersebut. Fase gegar budaya pada dasarnya ketika individu

kurang siap masuk ke tempat baru, gegar budaya pasti akan terjadi tak

peduli sehebat apapun individu tersebut.

Misalnya ketika seseorang belum pernah datang ke jamuan makan

malam lengkap, maka kemungkinan besar seseorang itu akan bingung

dalam memilih pakaian apa yang pantas. Hal ini juga termasuk ke dalam

gegar budaya karena sebenarnya gegar budaya tidak mesti terjadi antar

tempat ke tempat lain atau dalam pengertian pindahnya satu kultur ke kultur

lain, dalam satu kota juga akan ada gejala ketidaksiapan dalam menghadapi

sebuah kultur atau tradisi baru. Menurut informan pendukung, ketika ada

seseorang yang kurang siap menghadapi satu keadaan yang baru bisa

dikatakan terjadi shock culture.

“Mungkin kalau dibilang tahapan biasanya kan setiap orang beda-

beda, tidak bisa disamakan. Kalau saya sih berhipotesis begini,

semakin dia banyak membaca sebuah kebiasaan di tempat itu, dia

akan semakin meminimalkan gegar budaya itu. Yah fasenya

sebetulnya kan ketika dia kurang siap masuk ke tempat baru pasti

ada gegar budaya, sehebat apapun dia. Anda misalnya belum

terbiasa dapat jamuan makan malam lengkap, mungkin juga anda

bingung pakai baju apa. Kan itu juga termasuk gegar budaya, tidak

mesti terjadi antar tempat ke tempat lain. Ketika kita masuk ke

dalam satu kelompok sosial yang berbeda dengan kita, itu biasanya

104

juga akan terjadi gegar budaya. Sebenarnya gegar budaya itu tidak

mesti harus dalam pengertian pindahnya dari satu kultur ke kultur

lain, tempat ke tempat lain, dalam satu kota juga ada gejala ketidak

siapan kita dalam menghadapi sebuah kultur, tradiri baru itu.

Menurut pandangan saya, ketika ada seseorang yang kurang siap

menghadapi satu keadaan yang baru bisa dikatakan terjadi shock

culture. Misalnya saya menerapkan kebijakan mahasiswa yang

masuk kelas saya harus pakai seragam, pasti kan banyak yang

protes dan nggak ada yang siap juga. Ini apa-apaan mengubah

tradisi yang ada.”77

Dari hasil pembahasan di atas, kelima key informan sudah merasa

nyaman tinggal di kota perantauan, walaupun level kenyamanan tersebut

berbeda-beda. Ada yang sepenuhnya nyaman adapula yang mau tak mau

harus merasa nyaman. Namun sejauh ini, kelima key informan sudah

melakukan penyesuaian dengan cukup baik terhadap lingkungan di

sekitarnya. Jangka waktu penyesuaian diri key informan cukup berbeda-

beda. Tami dan Risda hanya membutuhkan waktu 1 sampai 2 bulan untuk

beradaptasi, Rienny membutuhkan waktu 1 semester atau 6 bulan,

sedangkan Aslam dan Ferdi membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu 2

semester atau 1 tahun. Hal ini menjelaskan jika setiap individu memiliki

reaksi yang berbeda saat menghadapi culture shock.

77 Lampiran 7. Hasil Wawancara Informan Pendukung. Hal 140-141.

105

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini, didapatkan beberapa kesimpulan dalam fenomena

gegar budaya yaitu sebagai berikut:

1) Faktor yang mendorong mahasiswa untuk merantau adalah: faktor

pendidikan, faktor ekonomi, dan faktor budaya. Kelima key informan

memiliki harapan atau ekspektasi ketika akan melakukan perantauan serta

motif untuk berkuliah dan menggapai cita-cita, hal ini juga termasuk ke

dalam fase kegembiraan.

2) Proses interaksi yang dialami oleh mahasiswa Sumatera di perantauan

diakibatkan adanya fase kekecewaan yang dimana terlihat banyaknya

perbedaan antara kampung halaman dan kota perantauan sehingga memicu

terjadinya penyesuaian terhadap hal-hal yang baru di perantauan sehingga

adanya pertukaran makna, persepsi dan perspektif, sehingga hal ini

termasuk ke dalam fase awal resolusi.

3) Untuk mengatasi gegar budaya, kelima key informan mengisi kegiatan

sehari-hari dengan mengikuti organisasi maupun komunitas di dalam dan

luar kampus. Sehingga hal ini membuat key informan lebih banyak

berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera juga lebih mengenal situasi

106

dan kondisi di lingkungan sekitar, selain itu masalah-masalah yang menjadi

kendala sebelumnya dapat teratasi karena adanya keterbiasaan dan hal ini

termasuk ke dalam fase berfungsi dengan efektif.

5.2 Saran

Adapun saran yang ingin disampaikan oleh penulis adalah:

1) Untuk setiap individu yang akan melakukan perantauan, diharapkan sebisa

mungkin sebelumnya mencari tahu informasi yang banyak tentang situasi

dan keadaan di tempat perantauan agar tidak adanya kebingungan atau

kekecewaan yang amat mendalam ketika datang ke perantauan. Selain itu,

diusahakan untuk dapat menerima dan bersikap terbuka terhadap

perbedaan-perbedaan yang ada perantauan, karena hal tersebut merupakan

suatu identitas budaya.

2) Untuk penelitian tentang fenomena yang sama yaitu fenomena gegar

budaya pada perantau, penulis menyarankan, agar peneliti selanjutnya dapat

memperluas dan menambah jumlah informan yang diteliti karena setiap

individu memiliki pengalaman yang berbeda-beda. Selain itu, disarankan

agar peneliti menggunakan paradigma kritis dan memakai teori komunikasi

lainnya.

107

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Predana

Grup.

Effendy, Onong Uchjana. 2004. Dinamika Komunikasi. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Elvinaro, Ardianto dan Bambang Q. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung:

simbiosa rekatama Media.

Goodman, Douglas J dan George Ritzer. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta:

Kencana.

Hafied. 2008. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Hidayat, Dedy N. 2003. Paradigma dan Metodologi Penelitian Sosial Empirik

Klasik. Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia.

Kevinzky, Muhammad Haiqal. 2011. Proses dan Dinamika Komunikasi Dalam

Menghadapi Culture Shock Pada Adaptasi Mahasiswa Perantauan (Kasus

Adaptasi Mahasiswa Perantau di UNPAD Bandung). Depok: FISIP UI.

Kriyantono, Rachmat. 2012. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana.

Kuswarno, Engkus. 2009. Metode Penelitian Komunikasi Fenomenologi:

Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya

Padjadjaran.

Liliweri, Alo. 2011. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Littlejohn, Stephen W. & Karen A.Foss. 2005. Theories Of Human

Communication. 8 ed. Canada: Wadsworth.

Lubis, Lusiana Andriana. 2002. Penerapan Komunikasi Lintas Budaya di Antara

Perbedaan Budaya. Medan: Digitalized by USU digital library.

MAO, Yingjuan. “Living in the bubble” The Role of communication for Swedish

adjustment in China. 2014. Gothenburg: University of Gothenburg

Department of Applied Information Technology.

Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Mulyana, Dedy. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya

. .. 2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya

108

Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. 2005. Komunikasi Antarbudaya

Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung:

PT Remaja Rosdakarya

Nazir, Moch. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Salemba Empat

Neuman, W. L. 2006. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative

Approaches-6.ed. USA: Pearson Education. Inc.

Patton, M. Q. 2006. Social Research and Evaluation Methods (3rd ed). Thousand

Oaks, CA: Sage.

Poerwandari, Kristi. 2013. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku

Manusia. Depok: LPSP3 UI.

Ruslan, Rosady. 2004. Metode Penelitian PR dan Komunikasi. Jakarta: PT. Raja

Grafindo.

Samovar, dkk. 2010. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Salemba Humanika

Sihabudin, Ahmad. 2011. Komunikasi Antarbudaya Satu Perspektif Multidimensi.

Jakarta: PT. Bumi Aksara

Soehartono, Irawan. 2008. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian

Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Sudikin, dan Basrowi. 2002. Metode Penelitian Kualitatif: Perspektif Mikro.

Surabaya: Insan Cendikia.

Sugiyono. 2010. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

West, Richard & Lynn H. Turner. 2008. Pengantar Teori Komunikasi; Analisis

dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika.

Sumber Internet:

Profil Pulau Sumatera. http://www.gosumatra.com/seputar-sumatera-indonesia/

diakses pada 25 Desember 2015 pukul 21:40 WIB

109

LAMPIRAN

110

LAMPIRAN 1

PEDOMAN WAWANCARA

Nama Lengkap :

TTL :

Asal Daerah :

Suku :

Agama :

Jurusan :

1. Apakah anda lahir dan besar di Sumatera?

2. Apakah orang tua anda asli dari Sumatera?

3. Apakah anda pernah tinggal di daerah lain selain di Sumatera sebelumnya?

4. Apakah anda pernah berkunjung ke Serang/Cilegon sebelumnya?

5. Apakah anda memiliki saudara di Serang/Cilegon?

6. Apa tujuan anda melakukan perantauan ke Serang-Banten?

7. Apa yang mendorong anda melakukan perantauan ke Serang-Banten dan

berkuliah di UNTIRTA?

8. Di mana anda tinggal saat ini?

9. Bagaimana perasaan anda ketika mengetahui akan berkuliah di Untirta

Serang?

10. Bayangan kesenangan apa saja yang anda pikir akan anda dapatkan ketika

pindah ke Serang?

11. Hal-hal apa saja yang sangat berbeda dengan daerah asal anda?

12. Adakah hal-hal yang membuat anda merasa tidak cocok untuk tinggal di

Serang/Cilegon?

13. Apakah anda pernah berpikir untuk pulang kembali ke Sumatera karena

merasa tidak nyaman tinggal di Serang/Cilegon?

14. Hal-hal apa saja yang tidak anda sukai dari kehidupan sosial yang ada di

kampus atau lingkungan sekitar anda ketika awal anda pindah ke sini

15. Apa saja yang anda lakukan untuk mengatasi hal-hal yang anda tidak sukai

tersebut?

16. Apa yang anda lakukan ketika berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera

pada awal anda datang ke UNTIRTA?

17. Kesulitan-kesulitan apa saja yang anda alami ketika berinteraksi dengan

mahasiswa non Sumatera?

18. Apakah pernah ada kesalahpahaman atau miskomunikasi ketika

berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera? Jika iya, contohnya seperti

apa?

19. Bagaimana sikap mahasiswa non Sumatera ketika pertama kali berinteraksi

dengan anda?

20. Perasaan-perasaan apa saja yang muncul ketika mengetahui jika anda cukup

berbeda dari yang lain?

21. Ketika anda tiba di UNTIRTA, anda bergaul dengan mahasiswa dari daerah

mana?

22. Apakah ada komunitas perkumpulan mahasiswa asal Sumatera? Jika iya,

apakah anda turut bergabung di dalamnya?

23. Bagaimana perasaan anda setelah selama ini tinggal di Serang/Cilegon?

24. Bagaimana cara anda menyesuaikan diri dengan lingkungan?

25. Berapa lama waktu yang anda perlukan untuk menyesuaikan diri ketika

pertama kali datang ke Serang/Cilegon?

26. Kegiatan apa saja yang anda lakukan selama tinggal di Serang? Apakah

anda ikut bergabung ke dalam organisasi internal ataupun eksternal? Jika

iya, tolong sebutkan.

27. Bagaimana sikap dan kepribadian anda setelah melakukan perantauan?

28. Berapa waktu sekali anda pulang ke Sumatera?

LAMPIRAN 2

HASIL WAWANCARA KEY INFORMAN 1

Nama Lengkap : Fauziah Nur Utami

TTL : Pematang Siantar, 14 Maret 1994

Asal Daerah : Pematang Siantar, Sumatera Utara

Suku : Jawa

Agama : Islam

Jurusan : Ilmu Komunikasi angkatan 2011

1. Sebelumnya lo lahir di Sumatera Utara kan, terus sampai SMA juga?

Sampai SMA di Sumatera utara, sebenernya waktu sd gue sempet tinggal di

Bengkulu juga soalnya kan orang tua gue tugasnya tuh keluar kota terus

jadi emang udah sering pindah-pindah gitulah tapi itu cuma sampai SD

doang nah terakhir itu yang paling jauh yang keluar dari provinsi sumatera

utara itu ke bengkulu. Sebelumnya yang di sumatera utaranya juga udah

pindah-pindah terus bukan di satu kota tapi udah mulai SMP SMA nya gue

netep di kota gue di pematang siantar.

2. Terus kalau orang tua sendiri asli sendiri asli mana?

Orang tua dua-duanya asli sumatera utara.

3. Ada turunan bataknya nggak?

Kalau ibu batak, kalau bapak jawa tapi keluarga bapak itu dari embahnya

gue itu udah tinggal di sana dan bokap gue juga lahirnya udah di sana udah

di sumatera utara udah di siantar.

4. Lo pernah berkunjung ke Serang nggak sebelumnya?

Belum pernah tuh.

5. Apa lo punya saudara di Serang?

Nggak punya

6. Apa tujuan lo merantau ke Serang?

Tujuannya yah kuliah sih pastinya.

7. Apa yang menyebabkan lo memilih Serang atau UNTIRTA lah sebagai

tujuan?

Pertamanya itu karena, ini alasan pribadi sih yah. Gue pengen kuliahnya

kan komunikasi nah gue ngeliat tuh passing grade yang paling rendahnya

nih yang setidaknya bisa terjangkau sama gue lah. Gue taro dah tuh pilihan

ketiganya di untirta sebenernya gue gatau nih untirta itu di mana, gue cuma

taunya di Banten doang tapi lebih spesifiknya gue gatau, tapi karena

jurusan itu yang bikin nekat sih soalnya cita-cita gue pengen jadi jurnalis.

8. Kenapa lo pengen jadi jurnalis?

Kenapa pengen jadi jurnalis? Karena dulu waktu kecil pernah nonton

berita gitu ada wartawan lagi ngeliput perang terus malah dijadiin tawanan

karena dikira penyusup. Gue ngerasa tertarik aja bisa ngeliput terus

ngelaporin dari daerah konflik pas live report terus di belakang gue lagi

ada baku tembak atau kerusuhan hahaha.

9. Emang pilihan pertama sama keduanya di mana?

Pilihan pertama sama keduanya di USU di sumatera utara kan tapi ga

keterima, keterimanya di pilihan ketiga ya udah gue ke sini. Trus ada juga

kakak kelas gue yang kuliah di sini yaudah gue nanya-nanya ke dia gimana

gue bisa sampe ke serang, naek apa aja ke sininya terus waktu gue daftar

ulang di sini ditemenin sama dia.

10. Jadi pas lo kuliah itu pertama kalinya lo keluar sendirian dari

Sumatera Utara ke Jawa?

Iya ke Serang.

11. Gimana perasaan lo pas pertama kali keterima di untirta?

Kalau pertama kali keterima gue kan seneng juga yah pindah-pindah kayak

gitu terus emang dari kecil juga sering pindah-pindah gitu kan rumahnya,

tinggalnya. Terus gue juga pengen tau nih di Serang itu kayak apa, excited

lah. Penasaran lah gitu pengen ke sini, tapi waktu itu nggak dibolehin kan

sama orang tua pertama-pertamanya soalnya jauh, anak perempuan tapi

guenya emang keukeuh pengen ke sini aja.

12. Bayangan kesenangan apa aja yang lo pikir akan didapatkan ketika

pindah ke sini?

Kesenangnnya dapat teman-teman baru, dapet lingkungan baru, terus

kesenangannya gue bisa kuliah di jurusan ilmu komunikasi dan bisa

mewujudkan mimpi gue menjadi jurnalis.

13. Apa aja yang beda antara Serang dan Sumatera Utara?

Bahasa, adat terus kebiasaan-kebiasaan, makanan. Nah terus kalau

misalnya di medan kan makanan banyaknya yang pedes terus yang

bersanten-santen kayak gitu. Terus pas ke sini tuh beda banyaknya kayak

yang ke gorengan, tapi lama-lama disesuaikan kan terus cara

berbicaranya. Kalau di sana kan emang yang batak banget terus agak ke

melayu-melayu kayak gitu kan, nah di sini harus menyesuaikan agak

kesunda-sundaan.

14. Ada nggak hal-hal yang ngebuat lo ngerasa nggak cocok tinggal di sini

dan bikin lo pengen pulang?

Kalau buat itunya sih nggak ada, tapi kalau pengen pulang bukan gara-

gara itu sih sebenernya, cuma karena kangen terus nggak biasa pisah sama

orang tua. Alesan pengen pulangnya sih itu, nggak pernah dari lingkungan

sih. Kalau dari lingkungan sih malah welcome gitu, wih pendatang nih,

ramah-ramah. Terus kalau misalnya weekend, anak-anak kan pada balik

tuh yang Tangerang Jakarta, terus yang orang-orang Serangnya tuh kayak

yaudah sini ke rumah gue, udah nginep di gue aja. Mau ke mana hayu gue

temenin. Kalau misalnya gue mau balik ke Medan bukan karena alesan-

alesan yang gue nggak betah di Serang karena lingkungannya, cuma

kangen aja.

15. Terus ada yang lo nggak suka nggak dari kehidupan sosial di kampus

atau lingkungan sekitar?

Pernah sih ada masalah soal itu tapi yah nggak gimana-gimana.

16. Terus apa yang lo lakuin untuk mengatasi hal itu?

Yaudah paling biarin aja toh kita udah sama-sama dewasa ini, let it flow

lah.

17. Bagaimana proses interaksi yang lo lakuin waktu pertama datang ke

sini?

Pertama-pertama sih gue waktu nyampe di sini jarang ngomong gue takut

soalnya kalau ngomong ketauan banget kan, ini orang Medan nih ketauan

banget kan.

18. Apakah ada kesulitan berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera?

Kesulitan nggak sih paling cara komunikasinya yang beda, kalo budaya sih

beda tapi nggak jauh-jauh banget lah maksudnya ga terlalu jadi hambatan

gitu ga jadi kesulitan paling cuma di komunikasi aja sih.

19. Pernah ada kesalahpahaman atau miskomunikasi nggak waktu

ngomong?

Kalau miskomunikasi gitu iya pernah, paling gue nanya itu apa itu artinya

apa. Pokoknya kalo gue gatau apa-apa gue nanya aja. Kalo miskomunikasi

pernah sih tapi gue lupa spesifiknya apa tapi sering aja ada aja waktu awal-

awla tuh pada ngomong kan, dia nyampeinnya apa gue nangkepnya apa.

Pokonya ada lah waktu awal-awal banyak yang beda aja.

20. Bagaimana sikap mahasiswa non Sumatera waktu pertama kali

berinteraksi sama lo?

Pernah tuh gue pas lagi ospek kan kita nulis nama gitu yah sama asal

sekolah, gue bikin SMA 1 Medan tuh udah tuh jadi pada nanya “lu dari

Medan? Asli dari Medan?” “Iya aku dari Medan”. Ketauan kan logatnya

wah anjir di-bully gue. “lu ngapain jauh-jauh kuliah ke sini?” “yah gatau,

emang keterimanya di sini”. Udah tuh gue pokoknya kalau ngomong tuh

jadi bahan pengeliatan orang aja. Udah tuh awal-awal kuliah tuh ga

banyak ngomong, udah diem aja, gue dengerin orang aja ngomong. Gue

pengen ngomong cuma udahlah dari pada di-bully kan gue nyesuaikan dulu

kan, ya udah gue diem aja. Lama-lama makin terbiasa udah ga terlalu,

makannya gue logatnya juga udah ilang kan. Yah kayak gitu, kalau gue di

sini gue nyesuain pake bahasa di sini kalau gue di medan gue balik lagi

pake logat gue di medan.

21. Pernah ngerasa minder nggak sebelumnya karena lo beda dari yang

lain?

Sering banget yah itu karena logat gue yang beda sendiri.

22. Waktu lo ke sini bergaulnya sama yang dari Sumatera aja apa udah

berbaur sama yang lain?

Waktu itu kan gue dianterin nyokap ke sini kan terus daftar ulang balik lagi

ke sana baru pas ospek tuh gue berangkat dari Siantar itu sendirian ke sini.

Gue nyampe di bandara dijemput sama sepupu gue yang di Jakarta baru

dianterin ke sini tuh nyari kostan, ketemu sama si Risda pas lagi sama-sama

nyari kostan. Terus biasalah logat-logat Sumatera banget kan ngomong,

“dari Medan juga yah?” “Iya dari Medan, kau dari mana?” “dari Medan

juga” “oh iya Medannya di mana?” “di Siantar”. Satu kota kan ternyata,

yaudah kenalan dah tuh mulai dari situ baru bareng terus. Mulai dari situ

kita sekamar berdua, kemana-mana bareng pokoknya, soalnya kan kita di

Serang itu nggak ada keluarga. Adanya di Jakarta sama di Bekasi. Yaudah

kita berdua aja, lama-lama kenal temen-temen pas ospek udah makin

banyak makin banyak yaudah biasa aja. Kan waktu awal-awal semuanya

masih baru pada kenal kan, yaudah gue ikut-ikutan aja. Terus di kelas gue

dulu ga ada sih yang dari sumatera utaranya. Adanya orang batak tapi

bukan dari sumatera utara tapi dia kelas A, si ucok tuh. Nah gue dulu

deketnya sama dia tuh sama ucok sama si sarah cuma beda kelas. Udah tuh

lama-lama menyesuaikan diri sendiri.

23. Di sini ada komunitas mahasiswa Sumatera nggak terus lo ikutan

nggak?

Kayaknya ada tapi gue nggak tau sih nggak ikutan, kayaknya si Risda tau

tuh.

24. Apa lo sekarang udah ngerasa nyaman tinggal di sini?

Iya udah nyaman sih udah 4 tahun lebih juga.

25. Jadi lo udah ngelakuin penyesuaian dengan baik yah?

Iya udah.

26. Butuh waktu berapa lama buat menyesuaikan diri sama kondisi di

sini?

Sekitar sebulan dua bulan lah mulai dari ospek baru gue bisa leluasa

ngobrol. Gue juga dulu awal-awalnya kayak di kelas gitu kan waktu maba

kita masih pada semangat-semangatnya kan nanya segala macem, gue mah

udah diem aja, gue takut di-bully gue takut beda aja kan. kalo gue sih

ngerasanya gue beda sendiri itu gue ga berani, gue malu aja yaudah gue

menyesuaikan.

27. Lo ikut organisasi apa aja?

Pertama gue ikut DPM FISIP fraksi ikom 2011, terus ikut untirta tv, baru

ikut ukm jurnalistik, abis itu gue ikut bem fisip abis itu gue ikut kemangteer.

Jadi karena emang gue pendatang kan terus emang nggak ada rumah buat

pulang, yah mau nggak mau banyak-banyakin organisasi biar banyak-

banyak kegiatan dan banyak-banyakin teman juga. Biar nggak sepi aja di

sininya, jadi ada aja kegiatan.

28. Apakah merantau jauh dari keluarga mengubah sikap dan

kepribadian lo?

Iya mengubah sikap dan kepribadian. Kalau sama keluarga gue jadi lebih

care lebih peduli karena emang jauh kan tinggalnya. Terus kalau untuk

kepribadian, gue jadi lebih terbuka sama orang-orang dengan latar

belakang yang berbeda, gue lebih toleransi lagi sama orang-orang. Belajar

gimana caranya biar bisa diterima di lingkungan orang lain.

29. Pernah ngerasa homesick nggak terus kalau lagi homesick biasanya

ngapain?

Sering sih yah paling nelpon atau sms keluarga sih.

30. Lo pulangnya berapa kali setahun?

Per semester, jadi setahun dua kali. Pas semesteran aja gue baliknya.

31. Menurut lo, Risda ngalamin hal yang sama nggak sih kayak lo, ada rasa

yang waktu pas awal datang ke sini?

Kalau awal-awal dia kayaknya sempat deh pengen pulang, sempet kayak

nggak betah gitu tapi gatau sih yah nanti coba deh tanya dia langsung.

Soalnya kan setiap orang kan beda-beda yah inian pola adaptasinya. Kalau

gue sih orangnya mau dimana aja juga yah hayu aja selama orangnya

welcome. Cuma tapi kalo misalnya emang udah bermasalah dari awal ya

iyalah yah siapa yang betah juga. Tapi kan sejauh ini ya udah sih sama-

sama kuliah ini kan sama-sama nuntut ilmu, yaudah ga ada masalah sih

gue mah.

LAMPIRAN 3

HASIL WAWANCARA KEY INFORMAN 2

Nama Lengkap : Risdayanti Sinaga

TTL : Pematang Siantar, 26 November 1992

Asal Daerah : Pematang Siantar, Sumatera Utara

Suku : Batak Simalungun

Agama : Kristen

Jurusan : Ilmu Administrasi Negara angkatan 2011

1. Lo lahir dan besar di Sumatera Utara?

Iya

2. Terus orang tua aslinya mana?

Dari Sumatera.

3. Dua-duanya?

He’eh dua-duanya.

4. Terus pernah tinggal di daerah lain nggak selain di Sumatera Utara?

Oh, nggak pernah. Dari lahir sampai besar di Sumatera Utara

5. Sebelumnya pernah berkunjung ke Serang?

Belum.

6. Terus punya saudara di Serang?

Nggak

7. Tujuan ngelakuin perantauan ke Serang ini buat apa?

Kuliah, buat kuliah.

8. Kenapa kok bisa milih Serang sih buat tujuan kuliahnya?

Jadi mama ku kan guru terus dia tuh punya murid, nah muridnya tuh udah

kuliah duluan di Untirta terus kuliahnya tuh di teknik. Nah dikira mama ku

karena kuliah di Jawa itu mungkin lebih bagus yah daripada di Sumatera.

Sebelumnya pernah kuliah di Medan juga di Polmet, nah terus karena

dibilang Untirta di Jawa ya udah akhirnya disuruh nyoba SNMPTN suruh

nyoba lagi di sini terus yah lulus ya udah ke sini deh kuliahnya.

9. Sekarang tinggalnya di mana?

Di Pondok Indah Estate, nge-kost.

10. Terus perasaan lo waktu pertama tahu bakal kuliah di Untirta gimana?

Yah pertama seneng yah, soalnya kan di Jawa gitu secara mau merantau

keluar dari daerah Sumatera Utara, yah seneng sih seneng pastinya waktu

tau keterima di Jawa gitu kan. Kirain sama kayak sekelas sama UI lah, UI,

UNPAD yang di Jawa-Jawa yang bagus-bagus kedengerannya gitu.

11. Taunya?

Ternyata pas nyampe di sini yaah ternyata kampusnya kecil banget kan,

lebih kecil dari kampus yang sebelumnya. Terus waktu jalan juga kan sama

mama yah ke sininya terus mama ngomong “lah kok kampusnya begini

jalanannya sawah-sawah gitu, ini kampusnya di kampung?”. Biasanya

namanya kampus pasti kan di kota kan di kota-kota besar. Pas baru-baru

masuk yah rada sedikit kecewa sih sebenernya, kecewa lah.

12. Hal-hal apa aja sih yang beda banget dari daerah asal?

Mungkin lingkungannya yah kalau di sana kan secara dari komunikasi lah

misalnya, kalau di sana kan ngomongnya pake “kali kali” gitu, kalau di sini

pakenya “banget”. Terus kayak ada tata bahasanya tuh pasti rada beda

lah, mereka suka nggak mngerti gitu kan sama omongan, namanya juga

belum pernah tinggal di Jawa. Jadi namanya yang bahasa asli itu masih

kebawa-bawa ke sini.

13. Terus kalau misalnya makanan?

Yah makanan juga pertama-pertama di sini sempet sakit, sakit perut gitu

kan. Penyesuaian makanan pertama kali tuh mungkin karena beda kali yah.

14. Kalu di sana makanannya kayak gimana?

Yah pedes pedes sih tapi nggak tau deh mungkin di sini kebanyakan mecin-

mecin gitu kali yah. Kalau di sana kayaknya nggak terlalu gitu, terus yah

sempet sakit perut gitu tuh yang apa sih, BAB darah yang gitu-gitu karena

pertama kali penyesuaian diri kali sama makanan di sini. Cuma yah ke sini-

sini udah lama tinggal di sini yah udah terbiasa sih.

15. Terus kalau budayanya sendiri beda banget nggak?

Iya kalau budaya sih beda, cuma yah ngeliat suku baduy sih tertarik sih

cuma tetep lah lebih nyaman sama budaya sendiri kan. Terus airnya juga

yang bikin kurang nyaman itu air.

16. Airnya kenapa?

Keruh gitu kali yah, kalau di sana kan airnya bersih karena dari

pegunungan itu kan jadi karena perumahannya deket sama pegunungan

airnya bersih-bersih. Kulitpun semakin menghitam jadinya di sini.

17. Terus setelah selama ini ada nggak sih hal-hal yang ngerasa nggak

cocok tinggal di Serang?

Yah paling air-air itu doang terus yang apa sih, yang panas cuacanya panas

banget itu kan bikin kulit hitam jadi ngerasa ah nggak enak nih, enakan

tinggal di Jakarta daripada di sini. Sepi juga kan di sini.

18. Terus sempet nggak sih waktu awal-awal pernah berpikir untuk

pulang lah udah nggak mau di sini?

Iya pasti adalah awal-awal karena ngeliat yang yah kampusnya begitu

misalnya kan, terus ngeliat daerahnya. Dulu kan di sini masih sepi gitu kan,

masih kayak apa yah pokonya masih sepi lah. Makanan juga belum

sebanyak sekarang kan tempat-tempat makan, masih sepi cari makan juga

harus ke depan gitu ngerasa kayaknya susah banget. Kuranglah kurang

nyaman pokonya.

19. Terus ada nggak sih hal-hal yang nggak lo sukai dari kehidupan sosial

di kampus atau lingkungan sekitar?

Paling pembeda-bedaan kelompok kali yah, misalnya kelompok yang orang

sini gabungnya sama orang sini pokoknya terlalu membeda-bedakan orang

itu paling.

20. Terus ngatasin hal itu lo gimana?

Yah dibodoamatin aja sih, cuma nggak ikut-ikut kelompok-kelompoknya

mereka tapi tetap berteman sama mereka mah berteman cuma nggak mau

ikut geng-gengan kayak gitu.

21. Bagaimana proses interaksi yang lo lakuin waktu awal jadi mahasiswa

sama mahasiswa non Sumatera Utara?

Yah pertama-tama sih waktu pertama kali ngobrol, anak-anak kelas pada

ngomong “oh suaranya kenceng banget yah kayak marah, oh orang Batak

pada begitu yah”. Padahal itu ngomong biasa cuma nanya “eh namamu

siapa?”, mungkin kedengerannya kayak “EH NAMAMU SIAPA?” gitu.

Jadi ngerasanya mereka kan “oh ini orang marah-marah sambil ngomong”

kayak gitu. Agak susah sih kadang ngomong harus gimana yah emang

kayak gini bawaannya gitu kan, cuma yah sekarang-sekarang udah belajar

udah bisa lebih lembut lah ngomong.

22. Terus ada kesulitan dalam interaksi nggak sama merekanya?

Pas pertama-tama sih iya gitu cuma ke sini-sini sih udah nggak yah. Cara

bahasa yang beda itu kali yah.

23. Pernah ada kesalahan paham atau miskomunikasi nggak pas

ngomong?

Ada sih beberapa kalimat gitu yang kadang keluar gitu merekanya kurang

ngerti gitu bahasa-bahasa biasalah bahasa-bahasa di rumah. Merekanya

suka “itu apa yah?”, jadi suka cari arti yang mereka ngerti, misalnya kayak

“mentel” gitu. Itu kan mentel mereka nggak tau tuh yah.

24. Artinya apa?

Centil, kan taunya centil. Kalu di sana kan ngomongnya ih mentel banget,

mentel kali lah anak itu. Kalu di sini ih centil yah. Gitu.

25. Terus waktu awal pernah merasa minder nggak sih gara-gara yang

dari Sumatera Utara kan dikit?

Iyalah minder sedikit lah pasti di kelas apalagi di kelas cuma 2 orang tapi

yang satu lagi bukan dari Sumatera Utara emang udah lahir di Tangerang

kan jadi dia komunikasinya udah lancar sama anak-anaknya, kalau

misalnya aku kan masih beda gitu jadi pertama-tama sempet mikir ah rada

susah kali berteman, cuma ke sini-sini ternyata mereka emang tertarik gitu

sama cara ngomong jadi pengen tau gitu tentang orang-orang Batak.

26. Terus waktu awal ke sini mainnya sama orang-orang yang dari

Sumatera Utara aja apa langsung berbaur?

Berbaur kok ke semua soalnya waktu pertama kali kuliah itu nggak tau

nggak terlalu banyak kenal orang-orang Batak,belum tau banget di mana-

mana orang Batak paling satu dua senior doang, kalau di kelas gabung

sama semuanya.

27. Kalau di sini ada komunitasnya nggak?

Di sini sih kayaknya nggak ada deh kalau di Serang yah, tapi kalau di

Cilegon ada dari kampus untirta juga namanya itu GEROBAK

(Gerombolan Orang Batak).

28. Itu yang dari sana asli semua?

Nggak asli dari Sumatera Utara sih cuma yah orang-orang Batak cuma

yang mendiriin mah emang dari rantau langsung sana.

29. Ikutan gabung nggak?

Nggak soalnya tuh cuma buat anak-anak teknik doang.

30. Terus kalau sekarang udah ngerasa nyaman belum tinggal di Serang?

Nyaman-nyaman nggak nyaman lah, nyamannya karena emang harus kan

tinggal di Serang nyelesaiin kuliah tapi kalau sesuai keinginan mah kalau

bisa pulang lagi nanti tinggal di sana, tuanya lah balik lagi ke Medan ke

rumah sendiri kayaknya lebih enak.

31. Apa lo udah merasa melakukan penyesuaian dengan baik dengan

lingkungan saat ini?

Iya udah cukup baik lah bisa berkomunikasi dengan semuanya.

32. Berapa lama waktu yang anda perlukan untuk menyesuaikan diri dari

waktu awal ke sini?

Paling sebulan dua bulan kali yah nyesuain dirinya, nyesuain diri mah

gampang cuma buat yang sama kayak hati itu yang susah kan berteman

sesuai dengan keinginan hati.

33. Kalau di sini kegiatan apa aja yang lo lakuin? Lo ikut organisasi?

Iya ikut organisasi pernah ikut jurnal, DPM FISIP, BEM FISIP sama

GMKI.

34. Itu buat ngisi waktu luang?

Iya ngisi waktu luang lah biar nggak bosan di kostan kalau cuma pulang

kostan pulang kostan kayaknya nggak hidup banget. Ikut organisasi kan

lebih banyak teman juga banyak pengetahuan lah.

35. Setelah merantau sikap lo jadi berubah nggak sih dari sebelumnya?

Setelah merantau jadi lebih mandiri atau lebih apa?

Iya sih karena merantau emang lebih mandiri, cara bahasa kadang agak

beda gitu kalau pulang ke rumah kan sehari dua hari lah bahasa masih

kebawa bahasa sini cuma lama-lama udah balik lagi bahasa ke sono,

pulang ke sini lagi gitu juga cuma kalau perubahan-perubahan besar itu

nggak sih.

36. Selama di sini pernah ngerasa “homesick” nggak?

Sering, sering banget malah.

37. Terus apa yang lo lakuin kalau misalnya lagi homesick gitu?

Paling nelpon orang tua terus kalau nggak video call gitu ngeliat keadaan-

keadaan yang di sana karena kangen rumah, orang tua, sama suasana yang

di sana.

38. Berapa kali pulang ke sana?

Dulu sih sekali setahun cuma tahun ini belum pulang setahun lebih belum

pulang, hampir satu setengah tahun belum pulang.

39. Rencananya mau pulang kapan?

Habis sidang lah paling sidang skripsi.

40. Di sini ada juga kan mahasiswa dari Sumatera Utara, kenal banyak

nggak sih atau beberapa doang?

Oh banyak, cukup banyak lah apalagi di organisasi GMKI itu kan rata-rata

orang Batak semua itu, jadi yah semua yang dari Sumatera Utara juga jadi

pada kenal semua.

41. Terus menurut lo mereka juga ngalamin nggak sih hal-hal yang sama

kayak lo?

Iya mereka juga pada cerita yah pada ngomong iya susah yah ngomong

gini-gini. Cuma kayaknya di UNTIRTA udah banyak orang Batak yah jadi

anak-anak yang lain juga yang non Sumatera Utara gitu yah ngerasa yah

oh emang mereka adatnya begitu. Kalau tahun kita waktu 2011 kan emang

masih sedikit banget orang Batak dari Sumatera jadi mereka kayak kaget

gitu ngeliat oh ada orang dari jauh banget mau kuliah di UNTIRTA, cuma

ke sini-sini sekarang udah banyak seniornya mah udah nggak terlalu wah

banget.

42. Kalau kumpul sama mereka ngomongnya pakai bahasa Batak semua?

Nggak sih kadang pakai bahasa Indonesia, cuma kalau yang bisa bahasa

Batak pasti bahasa Batak. Soalnya nggak semua orang Batak itu bisa pakai

bahasanya mereka, paling yang emang betul-betul dari daerah sana.

107

LAMPIRAN 4

HASIL WAWANCARA KEY INFORMAN 3

Nama Lengkap : Rienny Yurike Sianipar

TTL : Bengkulu, 2 April 1993

Asal Daerah : Bengkulu

Suku : Batak

Agama : Kristen Protestan

Jurusan : Teknik Industri angkatan 2012

1. Lo lahir dan besar di Sumatera apa gimana?

Lahir dan besar di Bengkulu.

2. Terus kalau orang tua sendiri aslinya mana?

Kalau orang tua dari Sumatera Utara cuma karena kerjanya di Bengkulu

jadi move ke Bengkulu.

3. Itu pindahnya waktu kapan?

Udah dari tahun 80-an lah.

4. Pernah tinggal nggak di daerah lain selain di Bengkulu?

Kalau tinggal nggak paling jalan-jalan visit-visit seminggu-seminggu.

5. Terus sebelumnya pernah datang ke Cilegon?

Nggak pernah.

6. Punya saudara di sini?

Nggak

7. Tujuannya ngelakuin perantauan ke sini apa?

Yah karena kuliahnya dapetnya di sini hehe.

8. Apa nyebabin lo milih Untirta sebagai kampus?

Waktu milih sih sebenarnya nyari kemungkinan jadi pilihan 1-2 itu yang

dipengenin banget, pilihan 3 itu yang dirasa paling mungkin diterima

walaupun mungkin usahanya nggak banyak tapi pasti diterima lah intinya.

9. Emang pilihan 1 sama 2-nya apa?

ITS, USU.

108

10. Terus tau adanya UNTIRTA dari mana?

Browsing sih nyari yang akreditasinya udah B tapi masih belum terlalu

terkenal jadi mungkin orang belum banyak yang milih. Pokoknya

jurusannya aja alasan utamanya karena pengen teknik awalnya, di

Bengkulu univ negerinya ga ada teknik industri terus nyari-nyari,

sebenarnya mau di ITS awalnya, Cuma karena wajtu tes juga nyari

kemungkinan yang pasti lolos milihnya Untirta, lagian Untirta TInya udah

B juga, lumayan kak. Milih teknik industri juga karena ngeliat peluang kerja

nantinya. Jadi yah nekat aja kuliah di Untirta dan udah males ikut tes lagi.

11. Sekarang tinggalnya di mana?

Di DAMKAR Cilegon.

12. Kost?

Iya.

13. Terus bagaimana perasaan lo ketika tau bakal kuliah di Untirta?

Sedih karena ga diterima di pilihan pertama, tapi nyoba nerima, kak.

Soalnya mikir pasti bakal dapat sesuatu di Untirta kayak temen baru,

pengalaman baru, suasana baru gitu. Pengalaman baru kayak abang aja

yang udah rantau duluan jadi pengen aja.

14. Kalau ke Pulau Jawa sendiri sebelumnya udah pernah?

Udah tapi paling ke Jakarta doang.

15. Ada nggak sih bayangan kesenangan pas mau pindah ke Cilegon?

Yah paling kayak bikin hidup baru aja, teman baru, pengalaman baru kayak

abang aja yang udah rantau duluan jadi pengen aja.

16. Kalau abangnya rantau ke mana?

Ke Bandung tapi sekarang di Jakarta.

17. Apa sih yang berbeda antara Cilegon dan Bengkulu?

Kurang lebih sih mirip yah cuma kalu misalnya dari segi kemudahan buat

gereja itu susah karena Cilegon itu nggak ada gereja, nggak tau kenapa

yah dari dulu sampai sekarang. Terus Cilegon itu cepet banget tutup pusat

kota jam 8 jam 9 udah tutup jadi kayak terlalu apa gitu. Kalau di Bengkulu

mah yah jam 10 masih rame kayak mall dan pertokoan di kota masih rame

tapi di sini udah tutup jam 9, cepet banget.

18. Kalau bahasa ada nggak bedanya?

Bahasa yah paling cuma kayak lo gue-nya aja sih karena di Bengkulu nggak

pakai lo gue.

109

19. Kalau di Bengkulu bahasanya apa yah?

Tetep bahasa Indonesia.

20. Tapi logatnya?

Dari awal nggak berlogat sih emang udah nggak logat. Nggak kayak

Sumatera Utara yang logatnya kental gitu, Bengkulu nggak.

21. Kalau misalnya makanan?

Makanan biasa aja.

22. Nggak ada bedanya?

Nggak sih paling makanan khas sini yang nggak ada di sana, kalau rasa sih

biasa aja.

23. Terus ada nggak sih hal yang ngebuat lo nggak cocok tinggal di sini?

Bukan nggak cocok sih sebenernya paling yah karena nggak ada siapa-

siapanya aja yang paling bikin nggak betah pengen pulang.

24. Terus pernah berpikir untuk pulang?

Berpikir dong hehe.

25. Waktu awal-awal apa gimana?

Yah setiap temen-temen kalau pulang yah pengen pulang, terus kalau kayak

sekarang lagi Natal. Nggak pernah Natal di rumah jadinya hampir 4 tahun

terakhir.

26. Terus ada nggak sih yang nggak di sukain tinggal di sini?

Cilegon panas, banyak debu.

27. Terus kalau orang-orangnya ramah-ramah apa gimana? Kehidupan

sosialnya lah.

Mungkin karena saya besar di Bengkulu jadi enakan di Bengkulu dari pada

di sini. Kalau di Jawa itu menurut saya orangnya lebih individual jadi beda,

individualnya susah diceritain pokoknya tipikal lo lo gue gue jadi acuh aja

sama orang lain, mau orang lainnya gimana juga. Saling respectnya juga

kurang. Kalau di Sumatera nggak se-individual itu dan kurang taat aturan

aja.

28. Terus apa yang lo lakuin buat ngatasin hal yang nggak lo suka itu?

Ditahan-tahan aja karena nggak bisa diapa-apain karena orang lain itu di

luar jangkuan kita, nggak bisa kitaubah kayak apapun. Yah mereka kayak

gitu ya udah.

29. Bagaimana proses interaksi yang lo lakuin terhadap mahasiswa non

Sumatera?

Biasa aja sih cuma mungkin pembiasaan yang mulai pakai cara ngomong

yang gue lo-gue lo. Awalnya sih nggak pakai gue lo kan, saya kamu-saya

110

kamu tapi karena emang menurut mereka saya kamu itu terlalu formal jadi

diubah ke lo gue, tapi biasanya sih yah apa adanya aja.

30. Terus ada kesulitan dalam interaksi nggak sama merekanya?

Nggak sih kalau interaksi karena mayoritas angkatan kita banyak yang dari

luar walaupun bukan luar Sumatera yah kayak Bekasi, Tangerang jadi

kalau misalkan emang beda yah di situ dibaurin soalnya orang Cilegon

Serang itu paling cuma 10 orang di angkatan kita, jadi sama-sama

pendatang yah sama-sama berbaur aja.

31. Terus pernah miskomunikasi nggak waktu lagi ngomong? Atau ada

arti-arti yang nggak ngerti?

Ada sih, misalnya waktu saya ngomong pena, mereka ngomongnya pulpen.

Mereka jadi suka bilangin pena terlalu formal, kenapa nggak pulpen. Terus

sedotan, saya bilangnya pipet karena di Bengkulu ngomongnya pipet. Itu

sih paling ada beberapa kata doang.

32. Terus gimana sikap mahasiswa yang lain waktu pertama kali

berinteraksi sama lo?

Paling mereka kayak “dih jauh amat dari Bengkulu ke sini, ngapain lo?”

gitu-gitu. Paling itu doang sih, kalau rasis-rasisan sih nggak, biasa aja.

33. Pernah ngerasa minder nggak?

Minder iya waktu awal karena mereka semua yah ibaratnya dari Jawa, saya

dari luar tapi ya udah ke sini-sini biasa aja.

34. Terus waktu awal rantau ke sini bergaulnya pertama sama mahasiswa

yang dari Sumatera doang atau langsung berbaur sama semua?

Waktu pertama kali datang itu kan nge-kost. Kita udah kenalan duluan di

twitter sama anak-anak yang teknik industri, nah dia anak Bekasi terus

ketemuan di kost. Sebenernya bukan karena sama daerahnya tapi karena

emang udah kenalan duluan di twitter waktu itu.

35. Terus ada komunitas nggak sih atau perkumpulan mahasiswa asal

Sumatera?

Sebenernya kalau perkumpulan resmi Bengkulu nggak ada, yang ada itu

Padang setahu saya cuma kalau kita biasanya awal semester baru kalau

ada anak baru nih dia anak Bengkulu, kita kumpul gitu kenalan-kenalan

doang tapi bukan komunitas resmi. Kalau Bengkulu yah, kalau Padang

mereka punya komunitas resmi.

36. Terus kalau sekarang udah ngerasa nyaman belum tinggal di Cilegon?

Sebenernya dipaksa nyaman aja, misalkan nih kalau ibadah kan mesti ke

Serang jadi dibiasain aja bukan malah ah Cilegon nggak ada ini nggak

usahlah. Jadi kayak yaudah dibiasain aja diterima-terima aja.

111

37. Jadi udah ngerasa melakukan penyesuaian dengan baik yah?

Iya.

38. Jadi berapa lama waktu yang diperlukan untuk adaptasi?

Paling semester 1 itu yang paling awal, soalnya kan itu masuk kuliah

pertama, ketemu orang-orang baru pertama, metode belajar baru pertama,

lingkungannya baru jadi paling semester awal. Semester 2 mah karena

udah praktikum pasti berbaurnya lebih ke merekanya. Kita kan biasanya

ada IFC gitu kan itu lebih ngenalin kita ke satu angkatan jadi setelah IFC

itu paling udah deket, jadi satu semester awal aja.

39. Kegiatan apa aja yang lo lakuin di Cilegon selama ini? Ikut organisasi

apa aja?

Ikut Himpunan terus ikut perkumpulan mahasiswa Kristen Serang Cilegon

dari Untirta itu juga sempet. Jadi asistant lab terus paling ikut-ikut acara

beswan Djarum.

40. Terus apa merantau jauh dari keluarga itu mengubah sikap lo atau

kepribadian lo nggak?

Paling ngerubahnya jadi bisa manajemen waktu, uang.

41. Ke arah yang baik yah?

Tapi yah paling masalahnya kalau misalkan kuliahnya pulang malem,

nggak selalu cerita ke orang tua karena paling ibu pasti ngomongnya

“ngapain kuliah pulang malem-malem sampai jam 12”, padahal mah

emang ngerjain tugas, laporan gitu-gitu.

42. Terus pernah ngerasa “homesick” nggak?

Pernah, sekarang. Pokoknya ketika orang-orang pada libur, nggak ada

apa-apa. Pengen pulang pasti kayak gitu.

43. Terus apa yang lo lakuin kalau misalnya lagi homesick gitu?

Paling main ke Jakarta ketemu kakak sama abang, kalau nggak telpon

nyokap.

44. Terus kalau pulang ke Bengkulu berapa kali setahun?

Satu semester sekali biasanya setelah ujian semester pulang.

45. Di sini ada juga kan mahasiswa rantau lain, sepengetahuan lo mereka

punya kendala yang sama nggak kayak lo?

Paling sama mereka pulangnya 1 semester sekali, rata-rata nggak punya

keluarga di sini jadi cari kesibukan aja sendiri-sendiri, butuh adaptasi juga.

112

LAMPIRAN 5

HASIL WAWANCARA KEY INFORMAN 4

Nama Lengkap : Aslam Daniel

TTL : Lampung, 1 Januari 1994

Asal Daerah : Lampung Selatan

Suku : Lampung

Agama : Islam

Jurusan : Teknik Industri angkatan 2012

1. Lo lahir dan besar di Lampung?

Iya lahir dan besar di Lampung

2. Orang tua asli mana?

Kalau nyokap orang Jawa cuma lahirnya di Lampung, kalau bapak baru

asli Lampung.

3. Pernah tinggal di daerah lain nggak sebelumnya?

Sebelumnya belum pernah, baru kali ini.

4. Sebelumnya pernah berkunjung ke Cilegon?

Pernah waktu itu berkunjung ke Cilegon, kan kakak kuliah di sini dulu,

sebelum lulus pernah ngunjungin tuh kakak sekali.

5. Punya saudara di sini nggak?

Saudara nggak ada, cuma kalau temen ibu tuh ada.

6. Tujuannya ngelakuin perantauan ke sini apa?

Tujuannya yah kuliah sebenernya karena dulu dapetnya di sini.

7. Jadi yang nyebabin lo melakukan perantauan gara-gara diterima di

sini? Emang milih apa SNMPTN-nya?

Waktu itu kan SNMPTN tulis milih di sini pilihan kedua, pilihan pertamanya

itu di Universitas di Surabaya. Jadi nggak keterima, keterimanya di pilihan

keduanya industri untirta. Sebenernya waktu dulu mau masuk arsitektur di

Gundar cuma ga disetujuan ortu jadi cari alternatif lain dan kenapa ambil

Teknik Industri Untirta karena akreditasi sudah B dan gua ambil TI karena

ngeliat kekurangan gua juga, Yu. Kekurangannya lemah di perhitungan,

jadi ya TI jadi alternatifnya selain itu juga pengen kerja di bagian

pemasaran perusahaan, nah pilih TI juga karena cangkupannya luas dalam

113

pekerjaan. Terus di keluarga juga belum ada yang ngambil teknik dan lebih

banyak ke bidang kesehatan. Terus ngelakuin perantauan juga karena udah

biasa ngekos dari SMA dan karena adat sih. Kalau adat Lampung, laki-laki

orang Lampung itu diharuskan merantau. Gitu.

8. Jadi udah tau duluan UNTIRTA dari kakak yah?

Kalau untirta taunya dari guru di sekolah.

9. Sekarang tinggal di mana?

Di Perumahan Palm nge-kost.

10. Terus bagaimana perasaan lo ketika tau bakal kuliah di Untirta?

Sebenarnya dulu sempat minder karena nggak keterima di mana-mana, kan

pernah ditolak SNMPTN Undangan, SIMAK UI juga ditolak. Jadi pas tau

bahwa saya keterima di Untirta seneng karena ya udah lah nyokap udah

lega saya udah keterima. Dulu belum pernah mikir bahwa Untirta gimana-

gimana, seneng aja. Terus H+1 langsung ke sini langsung daftar ulang.

11. Terus bayangan kesenangannya pas bakal pindah ke sini apa aja?

Karena rumah saya itu di Desa yah, bahkan sampai sekarang pun belum

ada alfamart atau indomaret. Bayangannya yah seneng aja gitu bisa kuliah

di Untirta, perkembangannya udah maju lumayan kota gitu kan.

12. Hal-hal apa aja yang beda dari daerah asal?

Cuaca, di sini lebih panas. Di sana itu deket pantai, rumah saya kan deket

pantai tapi nggak panas.

13. Terus kalau makanan?

Makanan sama.

14. Kalau bahasa?

Iya kalau bahasa waktu awal-awal semester 1 dan 2. Saya suka dibilang

agak sedikit aneh, kalau ngomong kayak marah-marah dulu kata temen

saya. Katanya intonasinya agak tinggi mungkin karena saya dari Sumatera.

15. Terus ada nggak sih hal-hal yang ngebuat ngerasa nggak cocok tinggal

di sini?

Nggak cocok sih alhamdulillah nggak ada karena saya dari SMA udah nge-

kost.

16. Tapi masih di Lampung?

Iya masih di Lampung.

17. Terus pernah berpikir untuk pulang nggak karena nggak nyaman

tinggal di sini?

Nggak, tapi awal-awal pernah dulu kalau temen-temen pada pulang.

114

18. Terus ada nggak sih yang nggak di sukain dari kehidupan sosial di

kampus atau lingkunga sekitar?

Kalau di kampus sih ada. Kayak kalau orang Lampung tuh walaupun keras

tapi masih sopan gitu maksudnya nggak kenal pun masih sopan, tapi kalau

di sini tuh kalau nggak kenal yah bodo amat gitu kayak sedikit nggak sopan

menurut saya. Kurang ramah lah, agak sedikit keras. Nadanya juga kalau

ngomong terlalu tinggi, nada kasar gitu. Mungkin juga karena di Lampung

banyak kenal yah jadi kebersamaannya ada, kalau di Cilegon engga begitu.

19. Untuk mengatasi hal yang kayak gitu biasanya apa yang lo lakuin?

Untuk mengatasi yang kayak gitu biasanya pertama nyari temen yang

sepemikiran sama saya, kedua paling kalau ngeliat orang yang kayak gitu

yah nyabarin diri aja sih.

20. Bagaimana proses interaksi yang lo lakuin terhadap mahasiswa non

Sumatera?

Kalau dulu saya nggak tau kalau di sini ada Sumatera lain yah, jadi saya

paling nyari temen. Saya dulu pikirannya saya harus punya temen deket nih

biar saya punya kostan di sini, akhirnya dapet lah temen. Dari satu temen

itu baru kita nyabang kan, temen saya ngenalin saya ke temen-temennya.

Akhirnya tadi ada camp nah dari camp itu disatuin, jadi tau.

21. Terus ada kesulitan nggak sih dalam interaksi sama mahasiswa lain?

Kadang-kadang temen saya nggak tau bercanda atau apa, kadang-kadang

dia nanya, apa yang dia tanya sama yang saya jawab itu nggak sama karena

beda nangkepnya. Bahasanya juga ada beberapa yang beda.

22. Jadi pernah ada miskomunikasi gitu yah?

Iya pernah, sering.

23. Terus gimana sikap mahasiswa yang lain waktu pertama kali

berinteraksi sama lo?

Pertama seneng sih, ada yang seneng karena dia punya temen jauh di

Lampung kan jadi dia bisa main ke Lampung terus ada yang bilang juga

sedikit aneh freka gitu kan karena kita kan beda budaya yah.

24. Pernah ngerasa minder nggak?

Minder pernah karena saya datang dari desa kan, terus di sini temen-

temennya dari Jakarta Tangerang udah kota-kota maju. Bahkan saya juga

dulu kayak minder diajak ke mana karena saya belum pernah, takut. Kayak

dulu saya juga pernah, kan di sini KFC yah, kalau di sana nggak ada KFC

yah. Mau ke KFC kayak cara bayarnya gitu-gitu kan masih kepikiran. Gitu

sih yang minder dulu.

115

25. Terus waktu awal rantau ke sini bergaulnya sama tadi temennya asal

mana?

Asal Bayah.

26. Jadi berbaurnya langsung sama mahasiswa daerah lain yah karena

belum tau ada yang dari Sumatera?

Iya nggak tau.

27. Terus ada komunitas nggak sih atau perkumpulan dari Lampung?

Kalau dulu ada pernah semester satu dikenalin sama abang panitia

pengenalan kampus, dia orang Lampung. Dia nyariin kostan saya, dia juga

ngenalin temen-temennya yang dari Lampung. Juga ada komunitasnya

dulu, ketuanya ada di Serang jadi kita sering bolak-balik Serang waktu

semester satu.

28. Komunitasnya namanya apa?

Komunitasnya ini perkumpulan, apa yah, pokoknya orang Lampung aja.

29. Terus kalau sekarang udah ngerasa nyaman belum tinggal di Cilegon?

Kalau sekarang udah nyaman.

30. Jadi udah ngerasa melakukan penyesuaian dengan baik yah?

Iya udah melakukan penyesuaian dengan baik

31. Butuh waktu berapa lama untuk adaptasi?

2 semester, dibantu juga sama adanya Industrial Freindly Camp semacem

ospek jurusan gitu. Jadi di sana kita sharing sama alumni, senior dan

himpunan. Dikasih materi tentang TI, ada mecahin studi case gitu sama

games dan lain-lain, jadi bikin makin akrab dan seangkatan saling

ngelengkapin gitu. Dari situ jadi punya banyak temen.

32. Kegiatan apa aja yang dilakuin di sini? Ikutan organisasi?

Iya organisasi ada di himpunan, ada organisasi IMTI (Ikatan Mahasiswa

Teknik Industri) Zona Jakarta Raya, paling ngumpul sama angkatan sama

jadi asistant lab juga.

33. Terus gara-gara merantau itu mengubah sikap atau kepribadian lo

nggak?

Iya mengubah. Di sana juga sih ngomongnya selalu gue-lo, tapi di sini

berubahnya paling pola pikir. Nggak tau yah karena teman-temannya

sekarang pada heboh gitu saya jadi kebawa. Dulu kan saya orangnya

pendiem.

34. Terus pernah ngerasa “homesick” nggak?

Pernah, kalau puasa.

116

35. Bedanya puasa di sini sama di sana apa?

Kalau di sana tuh bisa ngaji malem-malem tapi kalau di sini nggak bisa

karena saya nggak kenal sama lingkungannya.

36. Terus kalau lagi homesick gitu biasanya ngapain?

Paling nelpon kalau nggak SMS. Paling nyibukin diri sama temen-temen

biasanya maen ke mana. Tapi kadang kalau saya udah lama nggak pulang,

ibu ke sini.

37. Terus kalau pulang berapa kali setahun?

Sebulan dua kali tapi kalau dulu jarang pulang dari semester 1 sampai

semester 5 lah paling satu semester dua kali pulang. Gara-gara sibuk terus

ongkos mahal, kalau dari sini ke Tangerang kan murah. Kalau dari sini ke

Lampung tuh deket cuma mahal, saya kan bawa motor jadi 50 ribu, PP kan

100.

38. Kalau dari Bakahuni itu masih jauh lagi?

Iya sekitar 1 jam.

39. Di sini ada juga kan mahasiswa rantau lain, sepengetahuan lo mereka

punya kendala yang sama nggak kayak lo?

Kendala tuh paling tempatnya di sini kita nggak tau daerahnya, kalu mau

cari apa-apa susah karena di sini kan kotanya kecil yah. Terus yang kedua

paling kadang jadi bahan buat ketawa-ketawa gitu karena di Sumatera kan

masih banyaknya perdesaan dari pada kotanya. Terus yang ketiga bahasa,

dulu saya bisa bahasa Lampung tapi sekarang agak lupa karena jarang

dipakai. Waktu awal sih masih tau masih keceplosan juga tapi sekarang

kalau pulang jadi kayak aneh. Jadi kadang saya kalau ngomong bahasa

Lampung malah jadi kecampur bahasa Inggris.

117

LAMPIRAN 6

HASIL WAWANCARA KEY INFORMAN 5

Nama Lengkap : Ferdinand Putra

TTL : Perawang, 7 Oktober 1993

Asal Daerah : Pekanbaru

Suku : Batak

Agama : Kristen

Jurusan : Ilmu Komunikasi angkatan 2013

1. Lahir dan besar di mana?

Lahir dan besarnya di Perawang

2. Kalau orang tua asli mana?

Asli orang tua dari Medan, dua-duanya merantau ke Pekanbaru dari pas

muda.

3. Sebelumnya pernah tinggal di daerah lain nggak?

Pernah tapi paling cuma sebulan kayak gitu doang, ke Jambi pernah.

4. Sebelumnya pernah ke Serang?

Belum, ini pertama kali pas kuliah doang.

5. Punya saudara di Serang?

Di Cilegon ada

6. Kalau ke Cilegon pernah?

Pernah

7. Terus tujuannya melakukan perantauan ke sini apa?

Ini karena kuliah doang, makannya ngerantau. Ngga tau kalau Untirta di

mana juga sebelumnya.

118

8. Terus hal-hal apa aja yang mendorong untuk milih kuliah di

UNTIRTA?

Milih Untirta juga karena asal pick doang, yang penting kuliah di Jawa dan

ngambil jurusan ikom. Ternyata tembusnya yang Untirta. Pengen kuliah

ikom karena pengen kerja di belakang layar TV, cuma jurusan itu yang

menjurus ke TV. Ga ada gambaran sama sekali tentang Untirta sebelumnya

tapi sempet searching juga sih pas udah lulus, tapi cuma ada foto gedung

B sama A, yah pokomya nekat aja yang penting dapet ikom dan di Jawa

karena Jawa kayanya lebih keren.

9. Jadi ikutan SNMPTN?

Nggak, ikut UMB. Pilihan terakhir.

10. Sekarang tinggal di mana?

Tinggal di Serang nge-kost, di BMS.

11. Bagaimana perasaannya waktu tau bakal kuliah di Untirta?

Kirain pas pertama kali kuliah tuh, kan pengennya kan pertama kali

pengennya tuh pokoknya di Jawa terus ikom. Udah itu aja dan nggak tau

kalau Untirta kayak gini, sebelum berangkat ke Jawa nih kirain Universitas

di Jawa-Jawa nih udah keren-keren. Eh ternyata sampai di sini..kalau

dibandingin sih sama Universitas Riau di Pekanbaru jauh lebih besar,

kalau kayak gini itungannya TK doang.

12. Ada nggak sih bayangan kesenangan yang sekiranya bakal didapetin

di Untirta waktu pas pertama datang?

Nggak ada sama sekali, nggak kebayang apa-apa. Soalnya imej pertama

masuk kayak gini. Kaget. Aneh. Jadi di luar ekspektasi.

13. Hal-hal apa saja yang berbeda antara Riau dan Serang?

Kayaknya pola pikir orang-orang Jawa ini beda-beda deh. Kayak misalnya

udah berpikir individualis, jiwa sosialisnya kurang terus masih berpikir

sendiri kayak gitu. Kalau di sana kan lo ngeliat orang yang jatuh aja

kayaknya peka banget. Itu sih bedanya.

14. Kalau bahasa gimana?

Iya bahasa juga beda banget. Di sini nih susah ngertinya juga, pada

mayoritas bahasa Sunda sama Jaseng gitu kan, jadi sedikit banyaknya jadi

belajar.

15. Kalau makanan?

Pernah nyoba sih tapi nggak semuanya, kayak bandeng pernah nyoba.

119

16. Tapi kalau misalnya makanan sehari-hari gimana?

Wah beda banget, kalau di sini kayak apa sih sayur asem yah namanya itu

hambar banget rasanya, nggak cocok di lidah. Jadi kalau di Sumatera tuh

kan dominan makanannya pedes jadi ngerasa kalau makan di sini hambar,

harus pake sambel banyak, pake asin banyak. Hambar aja. Mau makan

kayak gimana juga tetep nggak puas.

17. Terus ada hal-hal yang dirasa nggak cocok untuk tinggal di Serang?

Yang nggak cocok makannya sih emang agak susah, penyesuaian diri sama

bahasa. Kalau nongkrong ke mana tuh kadang temen pake bahasa sunda

atau jasengmya jadi belajar nyesuain diri aja.

18. Terus pernah kepikiran untuk pulang nggak?

Kebetulan dari pertama kali regist ulang sampai sekarang belum pernah

pulang udah hampir 3 tahun.

19. Kok nggak pulang?

Sebenernya disuruh pulang tapi nggak mau pulang. Soalnya pas semester

1 pas libur itu disuruh pulang kan tapi bilang ke orang tua kalo misalnya

pulang nggak balik ke sini lagi soalnya udah tau kayak gini kampusnya.

Jadi males pulang takut betah di sana lagi kan, takut pengen pindah kuliah.

Jadi tiap semester bakal ditanya mulu dan jawabannya pasti kayak gitu

mulu.

20. Tapi kangen nggak sih?

Kangen mah pasti kangen tapi pengen sampai selesai aja, kalau bisa

sampai sukses dulu baru balik.

21. Terus ada nggak sih hal-hal yang nggak disukai dari kehidupan sosial

di kampus atau lingkungan sekitar?

Gue ngerasa kalau pas di kampus nih gue ngeliat jenis-jenis orang tuh jadi

banyak banget. Kalau dulu kan waktu sekolah SMK kayaknya hidup orang

tuh monoton, jadi yang satu berpikiran pulang yah pulang semua. Kalau

sekarang di kampus nih kayak di Jawa nih orang udah berpikiran kayak

“lo-lo gue-gue”. Udah berpikir sendiri ngerasa udah punya masa depan

sendiri. Yah lo ngurusin diri lo sendiri kayak gitu tapi tetep ada sih orang-

orang yang masih berpikiran sosialis.

22. Apa yang lo lakukan untuk mengatasi hal-hal tersebut?

Nyesuain sih. Gue kadang mikirnya ngapain lo mikirin orang yang nggak

mikirin lo. Gue udah mulai berpikiran menyesuaikan diri kayak gitu. Ketika

gue datang dari orang yang sosialis, gue bakal berpikiran kayak lo jangan

terlalu sosialis Fer lo harus ngikutin permainan orang juga.

120

23. Terus waktu pas awal datang ke sini gimana sih interaksinya sama

mahasiswa yang dari non Sumatera?

Agak susah sih karena mereka kan kayak ada pengkotakan gitu. Misalnya

kalau lagi kumpul, mereka tuh kadang pakai bahasa mereka masing-masing

terus yang kayak gue nggak ngerti sendiri terus mereka yang ngerti sendiri,

ngerasa kayak dicuekin.

24. Terus ada kesulitan-kesulitan apa saja yang dialami ketika

berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera?

Kesulitan myesuain diri supaya gue bisa ngerti mereka ngomong apa.

25. Apa pernah ada kesalahan paham atau miskomunikasi ketika

berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera?

Pernah sih yang kayak gue kira ini bahasa Sunda eh ternyata ini bahasa

Jasengnya. Jadi kayak salah pake gitu kalau ngobrol suka nggak

nyambung. Masih proses belajar sih.

26. Bagaimana sikap mahasiswa non Sumatera ketika pertama kali

berinteraksi dengan lo?

Misalnya nih kayak pertama kali gue sampe di Jawa terus ketemu sama

orang-orang Jawa yang pribumi, terus ketika gue ngomong tuh kayak “lo

bukan orang Jawa yah?”. Jadi udah nebak kalau logat gue beda, cara

ngomong gue beda, mereka ngeresponnya gue tuh orang yang beda.

27. Tapi menurut lo respon dari mereka lebih ke arah positif atau negatif?

Kalau menurut gue sih kebanyakan positif. Nggak terlalu negatif. Paling

mereka berpikirnya gue kan orang Sumater yah, ngomongnya terlalu keras

kayak gitu yang mereka ngeresponnya cuma gitu doang sih yang negatifnya.

Padahal emang nadanya kayak gitu, tapi bukan marah.

28. Perasaan-perasaan apa saja yang muncul ketika mengetahui jika lo

cukup berbeda dari yang lain?

Iya gue lebih menyesuain aja sih. Nggak ngerasa minder, tetep percaya diri

aja.

29. Terus waktu pertama kali datang ke sini, bergaul dengan mahasiswa

dari daerah mana?

Kebetulan gue pertama kali datang ke sini ada senior ngenalin gue sama

orang Medan juga jadi gue nyambung sama orang Medan. Setelah itu baru

menyesuaikan mulai dapet temen dari Bekasi, Tangerang, Jakarta juga.

121

30. Ada komunitas perkumpulan mahasiswa asal Sumatera atau Riau

nggak di sini?

Kebetulan Riau nggak ada soalnya sempet nyari-nyari juga orang-orang

yang dari Pekanbaru ternyata nggak ada yang dari 2014 sampai 2015

nggak ada yang dari Riau.

31. Terus bagaimana perasaan setelah selama ini tinggal di Serang?

Yah kayak gitu lah, kalau dibilang seneng mah seneng kalau dibilang susah

mah susah. Kadang kepikiran juga sih kayak temen kan pada tembusnya di

Undip, kadang kalau masih berhubungan sama yang di sana kayak masih

ada nyesel, tapi kalau ketemu temen-temen lagi yang di Untirtanya terus

nongkrong bareng seru-seruan, jadi nggak kepikiran lagi.

32. Terus berarti sekarang proses penyesuaian dirinya masih berjalan atau

sudah selesai?

Kadang-kadang masih menyesuaikan soalnya bahasa yang kayak bahasa

sunda masih sedikit banget ngertinya, Jasengnya juga.

33. Tapi waktu awal butuh penyesuaian diri berapa lama?

Lama itu mah, mungkin sampe 2 semester kali yah.

34. Sekarang ikutan kegiatan apa aja di kampus atau di luar kampus?

Kebetulan gue ikut HIMAKOM, UKM Olahraga sama ikut komunitas fixie

gitu di luar kampus.

35. Bagaimana sikap dan kepribadian lo setelah melakukan perantauan?

Iya, kayak kemarin telponan sama orang tua itu ada respon, gue nggak tau

ini positif atau negatif, “Bang, kayaknya logatnya agak berubah dikit”. Jadi

kayak ada kombinasi dari logat gue dari yang Pekanbaru kecampur sama

logat yang dari Jawa gitu yang kayak orang-orang di sini deh.

36. Emang kalau di Pekanbaru logatnya apa sih? Melayu?

Melayu-Minang. Jadi di sono tuh mayoritas orang tuh kalau nggak

bahasanya Minang yah Melayu sama kayak yang Padang tapi Minangnya

kasar, tapi Minang Padang ada 2 juga, Minang kasar sama lembut.

37. Bisa contohin logat Pekanbaru nggak?

Kalau misalnya bahasa Minangnya itu kalau di Padang kan “Ambo”

pakenya, “Ambo itu saya, kalau di Pekanbaru itu “Aden”. “Aden nio payi”

– aku mau pergi. Kalau di bahasa Padang halusnya kan “Ambo nio ka

payi”.

122

38. Jadi kalau di sini kan pakainya “gue-lo” sekarang, susah nggak?

Gue dulu pertama kali sampai di sini kan gue bahasanya “aku-kau” sama

“aku-kamu”. Jadi gue belajar juga nyesuain pake “lo-gue” itu gue

nyesuainnya hampir 1 sampai 2 semester pakai bahasa “lo-gue”.

39. Pernah denger istilah “homesick” nggak?

“Homesick?”

40. Iya kangen rumah gitu. Lo kan nggak pernah pulang yah, terus gimana

kangen nggak?

Sebenernya kangen-kangennya kalau liat temen tiap hari Sabtu kan balik,

itu suka kepikiran temen gue bisa balik. Kadang dimotivasi juga sama

temen kan, “lo nggak balik?” “yakin lo nyuruh gue balik?” gue bilang

kayak gitu. Seolah-olah dia nyuruh gue balik tapi kalau gue balik, gue

nggak akan balik.

41. Terus kalau udah kangen begitu ngatasinya gimana?

Paling telponan sih.

42. Terus kan ada mahasiswa rantau dari Sumatera juga yah.

Sepengetahuan lo, bagaimana pengalaman teman-teman mahasiswa

rantau yang lain? Apa memiliki kendala yang sama dengan lo?

Pasti. Waktu pertama kali sampe kan orang Sumatera ngomongnya “aku-

kau” “aku-kamu” yah jadi harus menyesuaikan bahasanya sama cara

bergaul sih kayaknya beda. Bisa dibilang sedikit lebih bebas sih, soalnya

gue liat tuh di Untirta lebih banyak pendatang dibandingkan orang

pribuminya, jadi ada percampuran budaya kayak ada orang-orang Jakarta

yang bebas gitu terus dicampur sama orang pribumi terus ada lagi dari

orang pulau jawa sananya terus dicampur lagi jadi macem-macem gitu.

123

LAMPIRAN 7

HASIL WAWANCARA INFORMAN PENDUKUNG

Nama Informan: Prof. Dr. Ahmad Sihabudin., M.Si.

1. Apakah yang dimaksud dengan pengertian komunikasi?

Kalau pengertian komunikasi yang sudah kita sama-sama pahami yah,

ketika ada orang saling mengoper sebuah pesan, sebuah simbol juga itu

komunikasi yah. Kalau pengertian lebih jauh kan, kalau kata Prof Onong

atau Devito, ketika ada saling sama-sama paham baru disebut komunikasi,

kalau tidak paham berarti miskomunikasi. Itu secara umum komunikasi.

Jadi kegiatan orang menyampaikan pesan itu dalam arti luas bisa gambar,

bisa benda, seperti saya ngasih hadiah ke sesorang yang saya sukai, itu kan

juga komunikasi.

2. Apakah yang dimaksud dengan budaya?

Budaya itu kan luas yah pengertiannya. Cara berpikir juga budaya,

makanan juga bisa berarti suatu kebudayaan, bahasa sendiri kan budaya,

cara berpakaian juga budaya, sikap juga budaya. Kenapa kita harus

bersikap berbeda ketika kita berbicara dengan orang yang lebih tua atau

lebih senior dari kita kan itu juga menandakan. Budaya itu punya

pengertian yang sangat luas, kalau anda tanya saya budaya itu apa sih,

cara ngomong juga budaya kan. Kenapa kita harus “assalamualaikum”

atau mengucapkan salam lah ketika kita berjumpa seseorang yang kita

kenal. Mungkin karena itu budaya yang mengajarkan pada kita melalui

pemahaman oleh orang tua kita kan, kita diajarkan. Karena budaya kan

sesuatu yang bisa dipelajari, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke

generasi bisa lewat komunikasi seperti ini, bisa lewat belajar.

3. Apakah yang dimaksud dengan komunikasi antarbudaya?

Kalau merujuk pada beberapa pendapat ahli, komunikasi antarbudaya

sebetulnya ketika orang berbeda budaya dalam pengertian apa dulu,

entitasnya apa. Ketika entitasnya antara anda dengan saya, saya dosen

anda kan mahasiswa. Itu entitasnya kan posisi yah, pekerjaan atau status.

Itu juga bisa dikatakan komunikasi antarbudaya karena anda kan lain cara

nanyanya, nggak bisa anda lo-gue ke saya, mungkin ke teman anda yang

entitasnya sama, bisa. Sederhananya gitu, jadi komunikasi antarbudaya

bisa terjadi kapanpun dan dimanapun, anda dengan orang tua anda juga

bisa dari sudut pandang itu dikatakan sebagai komunikasi antarbudaya.

Anda bisa praktikan bagaimana anda berkomunikasi dengan teman anda

dan bagaimana anda berkomunikasi dengan orang tua anda.

124

4. Apa yang menyebabkan seseorang melakukan perantauan? Apakah

ada faktor-faktor tertentu?

Yah banyak hal. Misalnya kalau kita pilah-pilah yah, saya juga nggak bisa

spesifik faktornya apa. Misalnya ada motivasi ingin belajar, kan dia pasti

mau nggak mau kan mobile, pindah dari satu tempat ke tempat lain.

Mungkin itu salah satunya ingin belajar, itu kan faktor pendorong. Ingin

nambah penghasilan juga dia pindah, dari daerah yang susah mencari

tempat kerja, konon katanya di Jawa lebih mudah. Jadi faktor

pendorongnya, motivasi dia belajar. Katanya kalau dari Sumatera baik

Minang maupun Batak memang ada jiwa perantau, tapi faktor spesifiknya

mungkin anda bisa baca yah kenapa sih orang Minang merantau. Mungkin

dipengaruhi oleh filosofi “di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung”.

Kita harus bisa menyesuaikan sehingga dia ada ketekadan untuk itu, ada

nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhurnya. Misalnya tadi ingin dapat

penghasilan lebih, dia kan harus hijrah. Kalau tadi ingin belajar,

pendidikan. Karena kawin juga bisa, misalnya kawin dengan orang Jawa

kan wanitanya bisa pindah atau sebaliknya atau karena tugas juga bisa.

Tapi kalau spesifiknya tuh saya juga nggak bisa ngejelasin, sebetulnya

kenapa karena belum pasti ngadain riset. Mungkin sudah ada itu penelitian-

penelitian tentang orang Minang suka merantau atau kalau di Sunda itu

orang Tasik, banyak yang merantau laki-lakinya.

5. Apa yang dimaksud dengan culture shock?

Kalau gegar budaya bisa dikatakan kaget, mungkin di sana mobil jarang di

sini banyak mobil. Di sana kurang hiburan, di sini banyak hiburan. Jadi

kaget yah, di sana kebiasaan tidur itu mungkin jam 8 jam 9 sudah pada di

rumah, di sini ternyata jam 12 juga masih ramai. Itu kan membuat dia lama

kan penyesuaiannya, jadi sebetulnya gegar budaya itu sebuah proses juga

sih menurut saya yah. Sebuah proses untuk penyesuaian pada lingkungan

itu, proses dia beradaptasi supaya tidak kaget. Karena disebut gegar

budaya ketika dia melakukan tindakan-tindakan yang di luar kebiasaan dia,

kan kaget tadinya nggak biasa tidur terlalu malam, di sini kan tidur sampai

malam sehingga dia menjadi terganggu dan sakit. Itu juga akibat dari

kurang beradaptasi.

6. Apakah culture shock memiliki fase atau tahapan?

Mungkin kalau dibilang tahapan biasanya kan setiap orang beda-beda,

tidak bisa disamakan. Kalau saya sih berhipotesis begini, semakin dia

banyak membaca sebuah kebiasaan di tempat itu, dia akan semakin

meminimalkan gegar budaya itu. Misalnya saya mau ke Papua, paling

nggak saya sedikit banyak kan tahu tentang Papua. Kalau saya tidak bisa

mengatakan tahap-tahap yah bagaimana sih fasenya. Yah fasenya

sebetulnya kan ketika dia kurang siap masuk ke tempat baru pasti ada gegar

budaya, sehebat apapun dia. Anda misalnya belum terbiasa dapat jamuan

makan malam lengkap, mungkin juga anda bingung pakai baju apa. Kan itu

juga termasuk gegar budaya, tidak mesti terjadi antar tempat ke tempat

125

lain. Ketika kita masuk ke dalam satu kelompok sosial yang berbeda dengan

kita, itu biasanya juga akan terjadi gegar budaya. Misalnya anda komunitas

mahasiswa Untirta, anda masuk ke komunitas IAIN, mungkin juga anda

agak merasa “kok beda yah suasananya”. Sebenarnya gegar budaya itu

tidak mesti harus dalam pengertian pindahnya dari satu kultur ke kultur

lain, tempat ke tempat lain, dalam satu kota juga ada gejala ketidak siapan

kita dalam menghadapi sebuah kultur, tradiri baru itu. Menurut pandangan

saya, ketika ada seseorang yang kurang siap menghadapi satu keadaan

yang baru bisa dikatakan terjadi shock culture. Misalnya saya menerapkan

kebijakan mahasiswa yang masuk kelas saya harus pakai seragam, pasti

kan banyak yang protes dan nggak ada yang siap juga. Ini apa-apaan

mengubah tradisi yang ada.

7. Saya kan sudah wawancara sebelumnya dengan mahasiswa asal

Sumatera, Pak. Waktu awal mereka mau merantau mereka memiliki

semangat dan ekspektasi tersendiri. Apakah benar orang yang mau

merantau memiliki ekspektasi?

Iya harapan, ternyata nggak?

8. Kebanyakan sih bener, Pak, harapannya tingi-tinggi tapi pas datang

kok gini yah. Kebanyakan yang dari Sumatera nganggepnya Jawa itu

lebih baik, Pak.

Kotanya asalnya mana?

9. Medan, Pekanbaru, Lampung dan Bengkulu.

Kalau Bengkulu kita masih bersaing lah, saya kan pernah ke sana. Kalau

kayak orang Palembang, orang Medan, orang Bandar Lampung pasti

kecewa karena nggak sesuai dengan harapan mereka, pas masuk ke Serang

di Serang nggak ada apa-apa. Kayak di Medan, Medan kan kota besar ke-

4 atau ke-5 di Indonesia. Jauh. Palembang juga.

10. Waktu pertama kali berinteraksi dengan orang-orang non Sumatera,

mereka mengalami perbedaan sehingga adanya celetukan atau

sindiran. Hal itu dikarenakan oleh apa?

Itu mah biasa yah, di tempat manapun ketika ada hal baru yang mereka

jumpai pasti ada kekagetan baik di pihak pendatang dan orang yang

didatangi. Itu bagain dari dinamika akulturasi atau toh akhirnya lama-lama

mereka akan berasimilasi yah menyatu juga, ada proses penyesuaian,

adaptasi. Tentunya yang harus banyak mengalah memang dari yang

datang, harus banyak beradaptasi karena mereka kan pendatang dalam

pengertian untuk bisa diterima di lingkungan baru tentunya harus banyak

penyesuaian kepada lingkungan baru yang mereka tempati. Yah sebaliknya

kalau orang Serang pindah ke Medan tentunya menyesuaikan juga dengan

adat di sana. Kalau menurut saya wajar terjadi di setiap kelompok

masyarakat manapun dan lapisan masyarakat manapun kecuali memang

126

sudah sama-sama selevel dalam pengertian dan tidak ada yang

dipersoalkan.

11. Terus ada stereotype kalau orang Jawa itu nganggep orang Sumatera

lebih keras, pak. Nah ternyata setelah wawancara, orang Sumatera ini

yang lebih banyak menganggap orang Jawa lebih individual. Menurut

bapak gimana?

Saya nggak tau persis yah datanya, kata siapa orang Jawa lebih individual

atau orang Sumatera lebih keras. Saya punya kawan orang Sumatera baik-

baik, lembut-lembut bahkan lebih dari orang Jawa. Tergantung marganya

juga dengan lingkungan pekerjaan juga menentukan. Mungkin secara fisik,

kasat mata dari bahasanya, logatnya kan tinggi padahal itu nada mereka

seperti itu bukan berarti itu tidak sopan juga. Itulah uniknya budaya, kita

tidak bisa mengatakan budaya ini lebih sopan, budaya B kurang sopan

karena ukurannya lain tergantung nilai budaya tersebut. Apakah makan

pakai tangan mengepal buat orang Sumatera itu sopan atau tidak sopan,

menurut mereka memang budaya mereka mengajarkan seperti itu, cara

makan pakai tangan itu kadang seperti diremas nasi dimasukan ke mulut

kan orang Sunda lain lagi, nyocolnya kan sedikit-sedikit. Seperti dalam

berpakaian orang Papua pakaiannya memang begitu masa bisa dikatakan

tidak sopan, orang dia emang pakaiannya pakai koteka.

127

128

129

130

131

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Ayu Siti Rachma

Tempat Lahir : Serang

Tanggal Lahir : 03 November 1993

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Komp. Pasir Indah, Jl. Sarikaya B.21 Serang - Banten

No. Telp : 089-66-5484-333

Email : [email protected]

Riwayat Pendidikan :

1998 – 1999 : TK KWPK Serang - Banten

1999 – 2005 : SD Negeri Cinanggung Serang - Banten

2005 – 2008 : SMP Negeri 1 Kota Serang – Banten

2008 – 2011 : SMA Prisma Serang Banten

2011 – 2016 : S1- Jurusan Ilmu Komunikasi -

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Pengalaman Organisasi :

2012 : UKM Jurnalistik UNTIRTA

Kursus :

2010 : LIA Serang

Pengalaman Kerja :

Sep 2014 – Okt 2014 : Job Training di Humas Setda Kabupaten Serang