Studi diseminasi bencana 2009
Transcript of Studi diseminasi bencana 2009
LAPORAN AKHIR
STUDI EFEKTIVITAS DISEMINASI INFORMASI
PENGURANGAN RESIKO BENCANA
DI DAERAH RAWAN BENCANA
PUSLITBANG APTEL SKDI
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SDM
DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
TAHUN 2009
i
Tim Personil Penelitian EFEKTIVITAS DISEMINASI INFORMASI
PENGURANGAN RESIKO BENCANA
DI DERAH RAWAN BENCANA
Pengarah : Kepala Badan Penelitian Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Depkominfo
Penanggung Jawab : Kapuslitbang Aptel SKDI, Balitbang SDM Depkominfo
Koordinator : Budi Santoso
Peneliti Utama : S. Arifianto
Anggota Peneliti : Kanti Waluyo Istidjab
Moedjiono
Parwoko
Djoko Waluyo
Heru Pudjo Buntoro
Paraden L. Sidauruk
Sumarsono
Dede Drajat
Atjih Ratnawati
Gantyo Witarso
Asisten Peneliti : Agus Haryono
Budi Santoso
Riyadi Fitri
Yan Andriariza AS
Ahmad Budi Setiawan
Dewi Hernikawati
ii
Anwar
Fitri Widyaningsih
Sekretariat : Mohan Rifqo Virhani
Sri Ngarep Manalu
Noviyana Maulidya
Jakarta, November 2009
Kapuslitbang Aptel, SKDI
Akmam Amir
iii
KATA SAMBUTAN
Bencana alam yang terjadi di Indonesia merupakan peristiwa nasional yang
banyak mendapatkan perhatian masyarakat maupun media massa. Tingginya
intensitas bencana alam telah membuka paradigma baru dan pemahaman
masyarakat terhadap kondisi alam dan lingkungannya. Jika dalam kurun waktu
sebelumnya tidak disadari bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia hidup di
wilayah rawan bencana, namun sejalan dengan munculnya berbagai bencana alam
dan gencarnya informasi, pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap
permasalahan bencana alam mulai muncul. Berkembangnya pemahaman dan
kesadaran dari masyarakat di daerah rawan bencana, terhadap kondisi wilayahnya
menjadi isu yang sangat penting. Maka dari itu diperlukan pemantauan terhadap
pola-pola penyikapan masyarakat di daerah rawan bencana. Pola yang dimaksud
adalah pengenalan dan pemahaman terhadap fenomena bencana alam, sampai
pada sikap dan perilaku masyarakat terhadap bencana alam itu sendiri. Dengan
demikian “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana” merupakan kebijakan
yang strategis. Meski telah dianggap penting sampai sejauh ini upaya untuk
memahami karakteristik masyarakat terkait dengan kejadian bencana alam masih
relatif rendah, padahal potensi bencana itu berada di Indonesia karena Indonesia
merupakan kawasan kepulauan yang terletak di daerah lingkaran api (ring of fire).
Semua bencana, baik yang diakibatkan alam atau kesalahan manusia itu telah
mengakibatkan ribuan manusia hilang atau meninggal dunia. Banyaknya korban
disebabkan minimnya pengetahuan masyarakat tentang bencana. Minimnya
pengetahuan masyarakat terhadap informasi bencana itu disebabkan banyak faktor,
misalnya faktor pendidikan, lingkungan, sosial, budaya, ekonomi dan lainnya.
Demikian juga masih terdapatnya disinformasi kebencanaan dan perbedaan budaya
pada komunitas masyarakat lokal di daerah rawan bencana.
Sehubungan dengan hal tersebut, Pusat Litbang APTEL & SKDI, telah
melaksanakan penelitian “Efektivitas Diseminasi Informasi Pengurangan Resiko
Bencana di Daerah Rawan Bencana” pada tahun 2009. Hasil penelitian ini akan
memberikan informasi baru berupa hasil kajian tentang pola penyikapan masyarakat
terhadap bencana alam. Persoalan tersebut dianggap penting karena menjadi kunci
iv
keberhasilan atau tidaknya “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di
daerah rawan bencana”. Tetapi karena adanya keterbatasan pengetahuan
masyarakat, sistem itu bisa juga diterapkan dengan pendekatan budaya lokal
mereka sendiri, maka peran budaya lokal setempat sangat penting termasuk
bagaimana mereka berkomunikasi dengan warganya, ketika akan dan sedang
terjadi bencana alam. Evaluasi terhadap “diseminasi informasi pengurangan resiko
bencana” di daerah rawan bencana dari hasil penelitian ini diharapkan menjadi
informasi penting bagi semua pihak dan para pemangku kebijakan yang bertautan
dengan kebencanaan. Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan konstribusinya dalam penelitian ini.
Semoga informasi hasil penelitian ini ada guna dan manfaatnya, baik untuk
kepentingan pemerintah, masyarakat dan dunia ilmu pengetahuan.
Jakarta, November 2009 Kepala Badan Litbang SDM
Cahyana Ahmadjayadi
v
KATA PENGANTAR
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini secara beruntun berbagai wilayah di
Indonesia dilanda berbagai jenis bencana alam. Baik bencana yang disebabkan alam,
maupun bencana yang disebabkan oleh ulah manusia sama-sama menelan banyak
korban. Kini masyarakat mulai berpikir bahwa Indonesia secara geografis berada
diwilayah rawan bencana alam. Sayangnya kesadaran itu muncul setelah bencana alam
menalan banyak korban.
Selama lima tahun terakhir sudah ribuan orang meninggal dan hilang akibat
bencana alam. Demikian juga insfrastruktur, fasilitas umum, rumah tinggal dan lainnya
menjadi korban keganasan alam tersebut. Budaya masyarakat Indonesia akan bereaksi,
jika sudah ada aksi.
Dalam konteks ini mereka sadar ketika sudah banyak korban berjatuhan.
Persoalan mendasar adalah bagaimana memberikan pemahaman agar masyarakat di
daerah rawan bencana mempunyai pengetahuan tentang kebencanaan.
Sebenarnya untuk memahamkan masyarakat terhadap masalah kebencanaan
sudah di lakukan baik secara formal atau informal. Secara formal sudah sering di lakukan
program diseminasi pengurangan resiko bencana oleh Pemerintah, atau lembaga lain
yang berkompetan. Sedangkan secara nonformal juga dilakukan oleh komunitas
masyarakat lokal itu sendiri dengan pendekatan kearifan lokal di masing masing daerah.
Tetapi program dan kegiatan yang bersangkutan belum pernah dilakukan evaluasi.
Padahal kegiatan evaluasi semacam itu penting untuk mengetahui apakah diseminasi
informasi yang dilaksanakan selama ini efektif atau sebaliknya.
Kajian penelitian yang disajikan ini untuk mengevaluasi permasalahan tersebut.
Dengan demikian hasilnya diharapkan dapat memberikan masukan terhadap program
diseminasi kebencanaan di berbagai daerah rawan bencana. Semoga hasil rekomendasi
penelitian ini menjadi bagian dari sumbangan pemikiran mencari solusi permasalahan
bencana alam di Indonesia.
Jakarta, Nopember 2009 Kepala Puslitbang APTEL SKDI
Akmam Amir
vi
DAFTAR ISI
TIM PERSONIL PENELITIAN ..................................................................................... i
KATA SAMBUTAN ................................................................................................... iiiii
KATA PENGANTAR ................................................................................................... v
DAFTAR ISI ............................................................................................................... vi
ABSTRAK ............................................................................................................. viiviii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Permasalahan .............................................................................................. 5
1.3 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 6
1.4 Tinjauan Pustaka ......................................................................................... 7
1.5 Kerangka Konsep ...................................................................................... 10
1.6 Operasionalisasi Konsep ........................................................................... 18
1.7 Metode Penelitian ...................................................................................... 19
BAB II GAMBARAN UMUM KEBIJAKAN, JENIS BENCANA ALAM, DAN LOKASI
PENELITIAN ............................................................................................................ 22
2.1 Ragam dan Jenis Bencana Alam ............................................................... 25
2.2 Lokasi Penelitian ........................................................................................ 36
BAB III HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN ...................................................... 94
3.1 Karakteristik Responden ............................................................................ 94
3.2 Pesan Komunikasi Yang Menimbulkan Kebutuhkan .................................. 95
3.3 Daya Tarik Pesan Komunikasi ................................................................... 96
3.4 Simbol-Simbol Komunikasi Yang Dipahami ............................................... 97
3.5 Cara Memperoleh Pesan Komunikasi ........................................................ 98
3.6 Interpretasi Hasil Penelitian ....................................................................... 99
3.7 Peran Media Massa ................................................................................. 102
3.8 Rendahnya Tingkat Kesadaran Masyarakat ............................................ 107
vii
BAB IV P E N U T U P ..................................................................................... 111
4.1 Kesimpulan .............................................................................................. 111
4.2 Rekomendasi ........................................................................................... 112
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 115
LAMPIRAN ............................................................................................................. 117
viii
ABSTRAK
Tingginya intensitas bencana alam telah membuka pola pandang dan pemahaman masyarakat terhadap kerentaan kondisi wilayah penghunian selama ini. Sebagian besar masyarakat di negeri ini belum menyadari sepenuhnya jika sebenarnya kita tinggal di kawasan rawan bencana alam. Tetapi dengan gencarnya informasi tentang kebencanaan yang telah menelan banyak korban, kesadaran terhadap persoalan bencana alam mulai muncul dipermukaan. Maka dari itu diperlukan pola-pola penyikapan dari masyarakat di daerah rawan bencana.pola itu menyangkut pengenalan terhadap pemahaman fenomena bencana alam, serta bagaimana perilaku masyarakat terhadap bencana alam itu sen`diri.
Penelitian ini dilaksanakan untuk menjawab permasalahan : (a). Apakah diseminasi informasi pengurangan resiko bencana berjalan efektif dan masih menjadi kebutuhan masyarakat di daerah rawan bencana?. (b). Apakah diseminasi informasi pengurangan resiko bencana masih mempunyai daya tarik bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana?. (c).Apakah simbol-simbol komunikasi dalam diseminasi informasi pengurangan resiko bencana dapat dipahami oleh masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana? (d). Bagaimana masyarakat di daerah rawan bencana memperoleh informasi tentang permasalahan bencana alam di daerahnya?
Kerangka analisis penelitian ini menggunakan teori efektivitas pesan komunikasi Wilbur Shramm (1973), dimana komunikasi akan berjalan efektif jika menimbulkan kebutuhan, mempunyai daya tarik, simbol-simbol pesan komuni kasi mudah dipahami, dan terdapat kemudahan dalam memperoleh informasi (pesan komunikasi). Dari kempat komsep tersebut kemudian diturunkan menjadi variabel untuk mengukur tingkat efektivitas “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana”.Penelitian ini menggunakan metode trianggulasi (penggabungan metode kuantitatif dan kualitatif). Data penelitian dikumpulkan menggunakan teknik, observasi, wawancara mendalam, FGD, dan penyebaran kuesioner kepada responden terpilih di lokasi penelitian.Metode ini dipilih karena penelitian ini mengandung permasalahan yang bersifat komplek, dan terdapat kekhususan, sehingga tidak bisa dipecahkan hanya dengan menggunakan metode kuantitatif saja.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa,: (1).Diseminasi pengurangan resiko bencana masih dibutuhkan oleh komunitas masyarakat di daerah rawan bencana. (2).Diseminasi pengurangan resiko bencana masih memiliki daya tarik, tetapi dalam implementasinya masih terjadi inkonsistensi.(3).Simbol-simbol diseminasi pengurangan resiko bencana (formal)bisa dipahami dengan baik oleh masya rakat di daerah rawan bencana. Demikian juga tanda-tanda alam di komunitas lokal. (4). Media televisi paling banyak digunakan untuk mencari dan menyalur kan informasi tentang bencana alam. Kemudian media interpersonal dan media tradisional**
1
1. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tingginya intensitas bencana alam dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir
telah membuka pola pandang dan pemahaman masyarakat Indonesia terhadap
kerentanan kondisi wilayah alam yang ditempatinya selama ini. Jika dalam kurun
waktu sebelumnya tidak banyak yang membayangkan dan menyadari bahwa kita,
masyarakat di negeri ini hidup di wilayah rawan bencana. Tetapi kini sejalan dengan
munculnya berbagai bencana dan gencarnya informasi pemahaman dan kesadaran
masyarakat terhadap persoalan bencana mulai muncul dipermukaan.
Berkembangnya pemahaman dan kesadaran dari masyarakat di daerah rawan
bencana, terhadap kondisi wilayahnya menjadi sangat penting. Tetapi akan tidak
kondusif jika berkembangnya tingkat kesadaran masyarakat itu karena akibat
kejadian bencana alam. Idealnya bangkitnya pemahaman dan kesadaran terhadap
bencana diposisikan sebagai suatu “sebab” dibanding sebagai suatu “akibat”
(Bastian, 2009). Maka dari itu diperlukan pemantauan terhadap pola-pola
penyikapan masyarakat. Pola yang dimaksud adalah pengenalan dan pemahaman
terhadap fenomena bencana alam, sampai pada sikap dan perilaku masyarakat
terhadap bencana itu sendiri. Oleh sebab itu diseminasi informasi pengurangan
resiko bencana masih dianggap sebagai kebijakan yang sangat strategis. Meski
dianggap strategis dan penting sampai sejauh ini upaya untuk memahami
karakteristik masyarakat terkait dengan kejadian bencana alam masih relatif rendah.
Pada hal potensi bencana itu lebih dominan berada di Indonesia. Karena Indonesia
merupakan kawasan kepulauan yang rawan bencana alam.
Dari data Direktorat Volkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG)
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan ada 28 wilayah
di Indnesia yang dinyatakan rawan gempa dan tsnunami. Misalnya, Aceh,Sumatra
Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jateng dan Yogyakarta Selatan,
Jatim Selatan, Bali, NTB, NTT, Sulut, Sulsel, Sulteng, Maluku, Biak, Yapen. Papua
dan Kaltim (ACO, 25 Juni 2009). Disamping dikelilingi tiga lempeng tektonik
dunia,Indonesia juga merupakan jalur cincin api pasifik, dan jalur rangkaian gunung
2
berapi aktif di dunia. Secara realitas dari beberapa kali terjadi bencana alam telah
banyak menelan korban. Gempa tektonik dan Tsunami,26-12-2004 berkekuatan 9
SR di Aceh itu telah menelan korban, 150.000 orang meninggal dunia
(Koran,Tempo,28/12/2004). Gempa tektonik tanggal 28-3-2005 yang
menghancurkan Pulau Nias, dengan korban meninggal sebanyak 1.300 orang
meninggal (voanews 30/5/2006). Gempa bumi 5,9 SR, dengan korban 5.400 orang
meninggal di Yogyakarta dan Jateng bagian Selatan tanggal 27-5-20061, dan gempa
bumi tanggal,17-7-2006 di pantai Pangandaran Jawa Barat dengan korban 500
orang meninggal dunia (Pikiran Rakyat,19/7/2006). Banjir Bandang di Manado,
Gorontalo, Mataram, dan Bali tahun 2007. Bencana jebolnya waduk Situ Gintung
Bogor, 27-3-2009 merupakan bencana alam yang tidak bisa di hindari (tempo
Interaktif,1/4/2009). Semua bencana alam, baik yang diakibatkan oleh alam atau
kesalahan manusia telah banyak membawa korban ribuan manusia hilang atau
meninggal dunia. Banyaknya korban disebabkan karena ketidak tahuan masyarakat
di daerah rawan bencana terhadap prosedur penyelamatan diri ketika akan dan
sedang terjadi bencana. Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap informasi
pengurangan resiko bencana di sebabkan banyak faktor. Misalnya rendahnya
pendidikan formal, pengetahuan masyarakat pada bencana diasumsikan menjadi
faktor yang dianggap paling dominan.
Demikian juga masih adanya disinformasi kebencanaan di daerah rawan
bencana dan perbedaan budaya lokal di masyarakat daerah rawan bencana.
Persoalan disinformasi dan struktur sosial budaya masyarakat lokal seperti itu
menjadi kunci keberhasilan atau tidaknya kebijakan diseminasi informasi
pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana. Tetapi karena keterbatasan
pengetahuan yang mereka miliki, sistem itu bisa diterapkan dengan pendekatan
1 Pukul 05,58 pagi itu bumi daratan di Yogyakarta sontak gonjang-ganjing seakan tidak mau lagi
dipijak manusia. Bersamaan dengan itu bunyi gemuruh sekitar satu menit mengatasi segala macam
bunyi dan merasuk hingga perut kita. Serta merta Yogya jadi luar biasa,nyaris separo rumah di Yogya
hilang dari pandangan mata. Orang orang kebingungan dan tidak tahu apa yang sedang terjadi, dan
apa yang harus mereka lakukan sebalum menjerit jerit kepanikan.Listrik padam,telepun putus,suara
radio dan televisi tidak terdengar lagi,kepanikan terus berlangsung hingga pukul 08 pagi dengan isu
tsunami, orang orang lari meninggalkan semua hartanya di rumah, bahkan ada sebagian harta
penduduk yang dicuri perampok yang membawa mobil. Mobil,motor, hp berserakan di jalanan. Mayat
mayat bergelimpangan tertimbun reruntuhan tembok dan sejumlah bangunan lainnya. Masyarakat
semua panik tetapi tidak tahu apa yang harus dilakukan, korban meninggal diperkirakan mencapai
5.400-an (Kedaulatan Rakyat,28 Mei 2006).
3
budaya lokal sendiri. Maka ketika ada diseminasi informasi pengurangan resiko
bencana perlu penyesuaian dengan tata nilai sosial dan budaya lokal setempat.Tata
nilai sosial dan budaya lokal itulah yang mereka jadikan pijakan untuk bertindak
dalam berbagai hal. Termasuk bagaimana mereka berkomunikasi dengan warganya,
ketika akan dan sedang terjadi bencana alam. Program desiminasi pengurangan
resiko bencana ketika tidak seiring dengan kondisi sosial budaya di lingkungan
masyarakat di daerah rawan bencana akan mengalami masalah dalam
imlementasinya. Secara implementatif sistem peringatan dini sebagai upaya untuk
mengurangi resiko bencana di daerah rawan bencana telah di diseminasikan
pemerintah (Depkominfo). Kebijakan ini dilaksanakan untuk mengurangi resiko
bencana (disaster) di daerah rawan bencana. Dengan sistem peringatan dini, ada
bencana yang bisa direduksi, tetapi juga ada bencana yang tidak bisa direduksi.
Bencana yang bisa direduksi memiliki ciri khas terdapatnya tenggang waktu dari
deteksi bahaya untuk melakukan evakuasi, contohnya bencana tsunami, banjir,
kebakaran hutan, wabah penyakit, tanah longsor dan sebagainya. Bencana yang
tidak bisa direduksi bercirikhas, tidak adanya selang waktu dari deteksi bahaya
untuk evakuasi penduduk.
Contohnya gempa bumi volkanik, dan tektonik secara langsung. Disamping
itu sistem informasi peringatan dini dapat dibagi menjadi dua tindakan yakni:
(1) Tindakan preventif, (2) Tindakan operasional diseminasi informasi bencana.
Tindakan preventif lebih mengarah pada sosialisasi, pendidikan, avokasi antisipasi
bencana di masyarakat. Tindakan operasional diseminasi informasi bencana,
menuntut terciptanya diseminasi informasi peringatan dini (DIPD). Layanan media
center (tindakan evakuasi masyarakat, penanggulangan pengungsi dan rehabilitasi).
Ketika terjadi bencana, penyampaian informasi yang tepat kepada masyarakat di
daerah rawan bencana menjadi penting. Hal lain yang sama pentingnya adalah
pengambilan keputusan untuk menyatakan bahaya kepada masyarakat di daerah
rawan bencana. Kondisi-kondisi seperti itu perlu dilakukan evaluasi untuk
mengetahui efekfif tidaknya sebuah diseminasi informasi pengurangan resiko
bencana di daerah rawan bencana. Dengan penelitian evaluasi di daerah rawan
bencana, potensi yang menjadi rawan permasalahan kebencanaan bisa di deteksi
sejak dini. Data seperti itu menjadi penting untuk memetakan kondisi masyarakat
yang tinggal di daerah rawan bencana. Ketika terjadi bencana yang muncul adalah
4
kepanikan warga masyarakat. Kepanikan itu terjadi karena mereka tidak memiliki
dasar pengetahuan tentang bagaimana mereka harus bertindak jika terjadi bencana
alam. Semua tindakan tersebut perlu diawali dengan melihat gejala yang muncul
sebelum terjadi bencana. Gejala itu sendiri berbeda beda ragamnya, tergantung dari
jenis bencana apa yang terjadi. Disamping itu masing-masing jenis bencana
mempunyai keragaman penanggulangannya. Maka dari itu bagi warga masyarakat
di daerah rawan mencana, perlu sejak dini mengenali jenis bencana
dilingkungannya. Pengetahuan itulah yang harus mereka pelajari, dan terapkan.
Dengan demikian diseminasi informasi pengurangan resiko bencana bagi
masyarakat di daerah rawan bencana bisa diketahui kondisinya. Akhirnya program
“diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana”
menjadi salah satu program rutin pemerintah. Program ini dilaksanakan secara lintas
sektoral, termasuk keterlibatan media penyiaran. Misalnya informasi pengurangan
resiko bencana, ataupun sistem peringatan dini tentang bencana di wajibkan bagi
dunia penyiaran di Indonesia (ps,17 PP No:50/2005 tentang LPS). Sebagai tindak
lanjut kewajiban penyiaran bencana alam bagi media penyiaran tersebut dituangkan
dalam Permen Kominfo No:20/2006/tentang Peringatan Dini Tsunami atau Bencana
lainnya melalui lembaga penyiaran di seluruh Indonesia.
Jasa penyiaran radio dan televisi yang diselenggarakan oleh LPS, LPP,LPB di seluruh Indonesia wajib menyiarkan informasi potensi terjadinya bencana sebagai “stop press”.
Informasi gempa bumi yang berpotensi menimbulkan tsunami atau bencana lain yang mengancam jiwa manusia yang ditetapkan oleh BMKG yang disampaikan secara khusus ke lembaga penyiaran untuk disiarkan.
Permen Kominfo No: 20/2006 menjadi dasar untuk dilaksanakan diseminasi
informasi pengurangan resiko bencana melalui media penyiaran dan media lainnya
bersama institusi lainnya.Karena lembaga penyiaran di Indonesia diwajikan
menayangkan atau menyiarkan “peringatan dini sesingkat-singkatnya tanpa ditunda
sejak informasi diterima dari BMKG sebagai “stop press”. Artinya semua acara radio
dan televisi yang sedang berlangsung harus dihentikan sementara untuk
memberikan perhatian kepda masyarakat, khususnya di daerah rawan bencana.
Karena selama ini yang sering terjadi perhatian masyarakat terhadap suatu
bencana, ketika bencana itu telah terjadi. Bukan penanggulangannya sebelum
5
bencana itu terjadi. Mereka hanya terfokus pada pekerjaan rutin sehari hari.
Pemahaman terhadap informasi pengurangan resiko bencana relatif rendah (baik
untuk bencana alam atau yang di akibatkan ulah manusia). Kesadaran masyarakat
di daerah rawan bencana terhadap kelestarian alam dan lingkungan masih rendah.
Pada hal bencana alam (banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan) terkait
dengan masalah lingkungan. Jenis bencana tersebut cenderung disebabkan karena
ulah manusia yang tidak peka terhadap kelestarian lingkungannya. Banyaknya
bencana tanah longsor dan banjir bandang di-berbagai daerah di Indonesia yang
telah banyak menelan korban, merupakan potret buram pengelolaan lingkungan
hidup yang tidak kondusif dan seimbang. Dalam konteks penelitian ini, kesadaran
masyarakat untuk mengurangi resiko bencana di daerah rawan bencana mempunyai
arti yang sangat penting. Mereka selain menjadi subyek juga sekaligus menjadi
obyek upaya pengurangan resiko bencana. Maka dari itu program “diseminasi
informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana tidak bisa lepas
dari manajemen lingkungan yang berbasis sosial dan budaya lokal di masyarakat.
Bahkan tidak salah jika program ini berupaya mengadopsi kearifan lokal (local
wisdom), dan pengetahuan tradisional (traditional of knowledge) yang berkembang
di komunitas masyarakat. Kedua aspek ini diasumsikan menjadi faktor berpengaruh
dalam “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana”
di Indonesia. Dari pemaparan latar belakang permasalahan tersebut, perlu
dievaluasi bagaimana ”efektifitas” diseminasi informasi pengurangan resiko bencana
di daerah rawan bencana yang telah berjalan selama ini, melalui suatu kajian
penelitian.
1.2 Permasalahan
Berangkat dari latar belakang penelitian ini, bahwa Indonesia terdiri dari
kepulauan yang di batasi oleh tiga lempeng besar cenderung mengakibatkan
terjadinya rawan gempa tektonik. Sementara banyaknya gunung berapi yang masih
aktif berpotensi terhadap kerawanan terjadinya gempa volkanik. Serta permasalahan
lain tentang ekologi yang mengakibatkan terjadinya bencana tanah longsor, banjir
bandang, dan kebakaran hutan. Pada sisi yang lain minimnya pengetahuan
masyarakat di daerah rawan bencana, terhadap potensi bencana alam yang
mengancamnya masih menjadi persoalan tersendiri. Sudah banyak informasi
6
pengurangan resiko bencana yang disampaikan oleh diseminaor, dan melalui media
massa. Tetapi hasilnya masih belum banyak diketahui, apakah diseminasi tersebut
mencapai sasaran atau justru sebaliknya. Pada saat yang bersamaan pemerintah
telah mengambil langkah kebijakan berupa program diseminasi informasi
pengurangan resiko bencana bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan
bencana. Program tersebut telah di laksanakan oleh pemerintah dan lembaga lain
yang berkompeten. Tetapi hasilnya seperti apa masih perlu dilakukan kajian
evaluasi, sehingga memunculkan permasalahan yang perlu di kaji dalam penelitian
ini. Permasalahan yang dianggap penting untuk dikaji dalam penelitian ini adalah,
”bagaimana efektivitas diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah
rawan bencana”.
Permasalahan tersebut masih bersifat umum sehingga perlu di rumuskan
secara lebih spesifik lagi. Perumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut :
(1) Apakah ”diseminasi informasi pengurangan resiko bencana berjalan efektif dan
menjadi kebutuhan” masyarakat di daerah rawan bencana? (2) Apakah ”diseminasi
informasi pengurangan resiko bencana mempunyai daya tarik” bagi masyarakat
yang tinggal di daerah rawan bencana? (3) Apakah simbol-simbol komunikasi dalam
program (diseminasi informasi pengurangan resiko bencana) dapat dipahami oleh
masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana? (4) Bagaimana masyarakat di
daerah rawan bencana memperoleh informasi pengurangan resiko bencana?
1.3 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini secara substansi di harapkan bisa di jadikan bahan
masukan untuk penyusunan tentang kebijakan “diseminasi informasi pengurangan
resiko bencana di daerah rawan bencana yang dilakukan pemerintah, khususnya
bagi (Departemen Komunikasi dan Informatika), maupun oleh lembaga lain yang
berkompeten dibidang kebencanaan. Sedangkan secara akademik dari kajian
penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap
perkembangan ilmu komunikasi, khususnya komunikasi yang bertautan dengan
permasalahan pengurangan resiko bencana yang telah berkembang selama ini.
Secara internal memjadikan tantangan baru bagi peneliti, untuk mencari metoda
atau pola diseminasi informasi dan sosialisasi yang tepat bagi program-program
kebijakan pemerintahan lainnya.
7
1.4 Tinjauan Pustaka
Kajian ilmiah baik berupa penelitian maupun kertas kerja yang melakukan
pembahasan masalah kebencanaan dan sejenisnya semacam ini sudah sering
dilakukan oleh berbagai pihak. Semakin banyak kajian tentang mitigasi
kebencanaan semakin banyak pula konstribusi pengetahuan dan pemahaman
terhadap masalah tersebut. Kajian tentang “Sistem Peringatan Dini (EWS) dan
Penanggulangan Bencana Alam” pernah dilakukan Puslitbang Aptel SKDI (Balitbang
SDM, Kominfo, 2008:87-90). Hasil kajian penelitian tersebut menunjukkan bahwa,
Bakornas PB merupakan peran kunci efektivitas masalah penanggulangan bencana
di Indonesia. Sedangkan alat pengeras suara di surau-surau dan masjid
berdasarkan hasil kajian tersebut menjadi alat komunikasi tradisional yang paling
dominan untuk peringatan dini tentang bencana alam yang terjadi di masyarakat.
Kajian yang dilakukan Eniarti Djohan (2007: 6) Peneliti dari LIPI Jakarta
dengan judul: “Mengapa Kajian Bencana” menyimpulkan jika peristiwa bencana
alam mampu mengubah kehidupan manusia dari yang mapan menjadi tidak
mapan.Perbedaan status sosial itu menurut kesimpulan penelitian ini ”berpengaruh
terhadap akses informasi tentang kebencanaan”di masyarakat. Penelitian
P.M.Laksono (2007 : 41) dari Pusat Studi Asia Fasifik UGM Yogyakarta yang
bertajuk,”Visualisasi Gempa Yogya 27 Mei 2006” dengan pendekatan visualisasi
media cetak (surat kabar) mendiskripsikan bahwa,”betapa pentingya fungsi media
untuk penyebaran informasi bencana gempa bumi (2006) di Yogyakarta”. Dalam
penelitiannya Laksono mevisualisasikan pelayatan masal diseluruh Yogyakarta yang
sedang berduka. Siapapun yang masuk Yogyakarta ketika itu akan menyaksikan
sesak kedukaan yang se-olah olah tidak mau cepat berlalu seperti biasanya
kedukaan pada masyarakat Jawa. Diskripsi yang disajikan secara naratif itu
sekaligus memberikan makna bahwa “media massa” memiliki kelebihan tertentu
untuk melakukan diseminasi informasi kepada khalayak masyarakat di daerah
bencana di Yogyakarta. Kajian penelitian Barbara Hatley (2007:54) dari University of
Tasmania dengan judul penelitiannya “Theatre and Local Cultural Revital After The
2006 Yogyakarta Earthquake” melihat bahwa dampak gempa Yogyakarta 2006
terhadap para pelaku seni pertunjukan (media tradisional) di Bantul. Karena banyak
para seniman yang dianggap sebagai elemen kunci diseminasi informasi
kebencanaan lokal untuk membangkitkan kembali masyarakat Bantul kehilangan
8
tempat tinggal akibat gempa, sehingga fungsinya melakukan diseminasi informasi
kepada masyarakat Kabupaten Bantul menjadi terganggu. Dalam kajian tersebut
Barbara (2007) menggambarkan proses bagaimana pertunjukan seni budaya (media
tradisional) mendukung semangat komunitas, menganalisis dan memperlihatkan
berbagai bentuk budaya lokal selama terjadi krisis sosial akibat bencana alam.
Meski dalam akhir kesimpulan penelitiannya Barbara justru tampak kurang percaya
diri dan mempertanyakan “apakah hal tersebut bisa berlanjut ketika kondisi sudah
normal kembali dalam bentuk ”relentless change” dan pengaruh media global, yang
masih harus diperhatikan.
Penelitian Nursyirwan Effendi (2007:93) dari Universitas Andalas, tentang
“Bencana : Pengalaman dan Nilai Budaya Orang Minangkabau” lebih melihat
bencana alam dari perspektif budaya. Bencana alam merupakan rutinitas
masyarakat lokal Indonesia. Bahkan potensi kerusakan akibat bencana alam
menurut hasil penelitian ini “dipahami sebagai suatu peristiwa alam yang tidak bisa
dihindari. Dimana dalam konteks tersebut rusaknya lingkungan dan sistem sosial
akibat bencana, sama pentingnya dengan mencari pengetahuan tentang penyebab
bencana alam itu sendiri. Tingkat kesadaran sosial terhadap bencana alam terlihat
jelas pada tingkatan masyarakat lokal, dimana penglaman bencana bagi mereka
akan memberikan ”efektivitas penciptaan pengetahuan lokal tentang bencana dan
alam”. Bencana yang dialami masyarakat lokal dapat membangun pemahaman
tentang realitas secara lebih konprehensif. Beberapa pemahaman masyarakat lokal
terhadap bencana itu diantaranya, (a) Bencana dilingkupi oleh gagasan tentang
alam dan Tuhan, (b) Bencana dimaknai sebagai pelajaran sosial tentang eksistensi
manusia ketika berhubungan dengan alam, (c) Bencana dialami sebagai kekuatan
pembentuk baru (reproduksi) sosial dan budaya, karena didalamnya berlangsung
pengalaman sosial dan nilai-nilai. Penelitian Mita Noveria (2007:116-117) peneliti
LIPI Jakarta, yang bertajuk “Bencana Alam Dari Sisi Kependudukan:Penyabab dan
Dampaknya” menyim pulkan bahwa, bencana alam tidak bisa terpisahkan dari
konteks masyarakat. Karena masyarakat disamping menjadi korban sekaligus
menjadi pelaku bencana dan penyebab bencana, khususnya bencana banjir dan
tanah longsor. Perbedaannya jika bencana geologi tidak dapat diprediksi
kejadiannya, tetapi bencana akibat ulah manusia dapat diprediksi sekaligus
dihindari. Bencana alam akibat ulah manusia dapat dihindari jika
9
penduduk(masyarakat) mempunyai pemahaman/ pengetahuan tentang pelestarian
lingkungan hidup disekitar mereka. Demikian juga terhadap karakteristik jenis
bencana alam disekitar mereka. Kesimpulan akhir peneliti lebih menekankan pada
edukasi (diseminasi) terhadap masalah bencana dan lingkungan sebagai solusi dan
sarannya.
Kajian Wijajanti M.Santoso (2007:138) peneliti LIPI Jakarta yang berjudul :
Bencana Dari Perspektif Sosiologi Feminis” ini lebih bernuansa jender. Dalam
paparannya Wijajanti melihat baik perspektif jender maupun bencana alam,
merupakan sebuah elemen konstruksi sosial yang dapat dilihat dari bagaimana
masyarakat bereaksi, baik terhadap keberadaan kesetaraan jender maupun
bencana itu sendiri. Dimana dalam penanganan sebuah bencana alam dapat
memperlihatkan bagaimana masyarakat memosisikan dan merepresentasikan
perempuan. Posisi perempuan yang masih dianggap tradisional dengan
menempatkan pada ruang public menurut Wijajanti (2007), memberikan gambaran
bahwa masyarakat kurang mengakui eksistensi perempuan. Maka dari itu analisis
tentang perempuan dan bencana dapat dilihat dari proses netralisasi, baik dari unsur
jender maupun bencana itu sendiri. Netralitas pengetahuan akan bersikukuh bahwa
bencana mengakibatkan penderitaan terhadap semua orang, baik laki-laki maupun
perempuan. Tetapi data penelitian dilapangan menunjukkan bahwa korban
meninggal akibat bencana alam masih didominasi oleh kaum perempuan,dan anak
anak. Bahkan penanganan bencana gempa di Yogya (2006) memperlihatkan bahwa
elemen jender belum menjadi preoritas penting yang tampak didalam bantuan yang
tidak sensitif pada jender. Merujuk pada beberapa penelitian atau kajian tentang
bencana alam yang sudah dilaksanakan oleh para peneliti tersebut, ”efektivitas
diseminasi informasi pengurangan resiko bencana” menurut pengamatan penulis
belum pernah disinggung. Padahal dalam konteks meminimalisasi kurban bencana
alam tidak serta merta dilihat dari bagaimana kecepatan dan ketepatan petugas
lapangan dalam mengevakuasi kurban dengan dukungan peralatan modern. Tetapi
bisa dilihat seberapa intenkah pengetahuan, pemahaman dan pengalaman
masyarakat terhadap bencana itu sendiri. Maka dari itu diseminasi informasi
pengurangan resiko bencana bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan
bencana masih dianggap sangat penting. Karena masalah ini belum pernah
dilakukan kajian secara konprehensif. Berangkat dari permasalahan itulah peneliti
10
melakukan kajian dari sisi yang berbeda agar bisa ikut memberikan konstribusi untuk
masalah kebencanaan yang sering melanda masyarakat di negeri ini.
1.5 Kerangka Konsep
Program diseminasi informasi pengurangan resiko bencana dikatakan efektif
jika ia mampu mencapai tujuan yang ditargetkan. Baik secara langsung maupun
tidak langsung target diseminasi informasi pengurangan resiko bencana, agar
masyarakat di daerah rawan bencana: (a) memiliki pengetahuan tentang
permasalahan bencana alam di lingkungannya, (b) mengimplementasikan
pengetahuan kebencanaan yang dimiliki ketika terjadi bencana, dan (c) bisa
membuahkan hasil berupa meminimalisasi korban bencana itu sendiri. Target itu
bisa tercapai jika semua persyaratan diseminasi informasi pengurangan resiko
bencana bisa terpenuhi. Dalam konteks ilmu komunikasi, diseminasi bertautan
langsung dengan “penyampaian pesan” kepada khalayak atau masyarakat. Secara
teoritis ada beberapa model komunikasi “tradisional” yang masih dianggap relevan
untuk penyampaian pesan komunikasi (diseminasi) dalam penelitian ini. Beberapa
model komunikasi tradisional yang dimaksud dalam penelitian ini diantaranya :
(1). Model komunikasi Harold Lasswel (1948) dalam Fiske (2006:46) dimana
pesan komunikasi akan dianggap efektif jika memenuhi lima unsur sebagai berikut
(who, says what, in which channel, with what effect) yakni, siapa, mengatakan apa,
dalam media apa, dan apa efeknya. Pertama makna “siapa” (who) dalam
pertanyaan tersebut menunjuk pada inisiator, yaitu orang yang mengambil inisiatif
untuk memulai komunikasi. Inisiator bisa berupa individu, kelompok atau organisasi.
Kedua makna “apa yang dikatakan” (says what) bertautan dengan isi pesan yang
disampaikan dalam komunikasi yang bersangkutan. Ketiga makna (in which
channel) dengan media apa, yang merujuk pada penggunaan media, karena tidak
semua media cocok untuk komunikasi. Ke-empat makna (to whom) menanyakan
tentang siapa penerima pesan komunikasi. Kelima makna (what effect) yakni apa
dampak atau efeknya dari komunikasi tersebut. Model komunikasi ini masih tetap
linier, dengan melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Model komunikasi ini
lebih mengedepankan pengungkapan tentang isu “efek” bukan makna. Efek itu
sendiri secara tidak langsung menunjukkan adanya perubahan yang bisa diukur
(dampak dari diseminasi informasi), dan diamati pada penerima pesan komunikasi.
11
Penerima pesan dalam konteks penelitian ini adalah komunitas masyarakat di
daerah rawan bencana yang menjadi obyek penelitian.
(2) Model komunikasi Shannon & Weaver 1949, dalam Fiske (2006:14) yang
berbeda dengan model Lasswel, karena Shannon Wever lebih memilih transmitter.
Pilihan transmitter ini sangat tergantung pada jenis komunikasi yang digunakan.
Dalam konteks ini ada dua komunikasi yakni komunikasi interpersonal, dan
komunikasi massa. Jika dalam komunikasi interpersonal transmitternya lebih
mengandalkan organ tubuh dan bahasa non verbal, sedangkan dalam komunikasi
massa adalah alat itu sendiri misalnya berupa: (hp, radio, televisi, foto, dan film)
yang sudah banyak dikenal. Model dasar komunikasi yang mereka kembangkan ini
lebih bersifat linier dan sangat sederhana. Shannon & Weaver (1949) dalam teorinya
mengidentivikasi tiga level masalah dalam komunikasi. (a). Level A (masalah teknik),
bagaimana simbol-simbol komunikasi dapat ditransmisikan secara akurat. (b). Level
B (Masalah semantik) bagaimana simbol-simbol komunikasi yang ditransmisikan
secara persis menyam paikan makna yang diharapkan. (c). Level C (masalah
keefektifan) bagaimana makna yang diterima secara efektif mempengaruhi tingkah
laku dengan cara yang diharapkan. Shannon & Weaver mengklaim bahwa ketiga
level tersebut tidak terbantahkan, tetapi saling berhubungan dan saling
ketergantungan satu sama lainnya, meski asal usulnya di level A berfungsi sama
baiknya di tiga level tersebut (Fiske, 2006 : 15).
(3) Model komunikasi yang dikembangkan David Berlo (1960),2 yang hanya
memperlihatkan komunikasi satu arah. Ia terdiri dari empat komponen, yakni
sumber, pesan, saluran dan penerima, tetapi pada masing-masing komponen
terdapat faktor kontrol. Dalam teorinya Berlo (1960) menekankan pada faktor
ketrampilan, sikap, pengetahuan, kebudayaan, dan sistem sosial, sumber atau
orang yang mengirim pesan merupakan faktor penting penentuan isi pesan. Dimana
faktor tersebut akan berpengaruh pada penerima pesan dalam menginterpretasikan
isi pesan yang di sampaikan. Interpretasi pesan akan sangat tergantung dari “isi
pesan” yang ditafsir oleh pengirim pesan atau penerima pesan.
2 Lihat tulisan Yahya Nursidik,tentang Model-model komunikasi sebagai warisan peradapan
komunikasi, dalam :http://apadefinisinya.blogspot.com/2007/12/komunikasi.html, diakses Senin,7
September 2009.
12
(4). Model komunikasi yang dikembangkan Wilbur Schramm (1973) lebih
menekankan pada peran pengalaman dalam proses komunikasi. Dalam hal ini
Schramm melihat apakah pesan yang dikirimkan diterima oleh sipenerima sesuai
dengan apa yang dimaksudkan oleh pengirim pesan. Artinya jika tidak ada
kesamaan dalam bidang pengalaman (bahasa yang sama, latar belakang yang
sama,kebudayaan yang sama, struktur sosial yang sama) maka kecil kemungkinan
pesan yang diterima diinterprestasikan dengan benar dan baik sesuai dengan tujuan
komunikasi yang ingin dicapainya. Jika konsep komunikasi yang sarankan Schramm
(1973) itu terpenuhi, besar kemungkinan proses diseminasi informasi akan berjalan
secara efektif. Untuk melihat efektivitas komunikasi perlu dilakukan pengujian.
Efektivitas diseminasi informasi berarti berfokus pada pengukuran efektif tidaknya
sebuah pesan komunikasi yang dikomunikasikan dalam diseminasi informasi yang
bersangkutan.
Pesan komunikasi dapat dikatagorikan efektif jika bisa mencapai tujuan atau
sasaran komunikasi yang diharapkan oleh komunikan. Tujuan diseminasi
komunikasi kepada komunikan adalah agar komunikan mendapatkan pemahaman
pengetahuan baru tentang persoalan yang diinginkan komunikator. Pada dasarnya
tujuan diseminasi informasi lebih dititikberatkan pada “memberi tahu” (information)
atau paling tidak dengan informasi tersebut komunikan dapat berubah sikap
(attitude) karena menda patkan pengetahuan, pengalaman serta pola hidup “budaya
baru” di komunitasnya. Misalnya komunitas masyarakat yang mendapatkan
diseminasi informasi tertentu, bisa berubah sikap dan perilakunya menjadi lebih
kooperatif untuk mencapai tujuan komunikasi yang bersifat informatif dan partisifasif
(Effendi,2002). Sementara Rogers & Kincaid (1983) melihat bahwa komunikasi
merupakan suatu proses. Dimana partisipan membuat berbagai informasi satu sama
lain untuk mencapai saling pengertian. Pada tataran tersebut antara komunikator
dan komunikan saling menjalin hubungan komunikasi untuk mencapai suatu tujuan
atau keselarasan dalam upaya menumbuhkan kesepahaman. Dalam pandangan
Yoseph Devito (1989) komunikasi merupakan proses pembentukan, penyampaian,
penerimaan, pengelolaan pesan yang terjadi pada diri seseorang atau diantara dua
orang lebih dengan tujuan tertentu.
13
Efektivitas Komunikator
Dalam ethos komunikator menurut pandangan Aristoteles (1954), seperti
dikutip Hamidi (2007: 71) mengkatagorikan bahwa efektivitas komunikator
ditentukan oleh 3 (tiga) faktor. (1) Pikiran yang jernih (good sence), ideology
komunikator dalam konteks ini harus dilandasi tujuan yang baik untuk
mentransfomasikan pengetahuan barunya kepada komunikan. (2) Akhlak yang baik
(good moral character), artinya karakteristik komunikator menjadikan taruan berhasil
tidaknya sebuah transformasi informasi kepada komunikan. Kredibilitas dan
kapabelitas komunikator dalam konteks ini menjadi sangat penting, bahkan menjadi
penentu proses keberhasilan sebuah diseminasi informasi. (3) Maksud yang baik
(good will), artinya penyampaian pesan komunikasi harus di landasi oleh maksud
dan tujuan yang baik, agar persoalan yang ditransformasikan bisa diterima sesuai
dengan harapan komunikator.
Ketiga ethos itu menjadi kunci bagi seorang komunikator untuk menjalankan
perannya. Pada sisi yang berbeda Hovland & Weiss (1951) dalam Hamidi (2007:72)
juga melihat bahwa ethos dengan kredibilitas komunikator terdiri dari “komunikator
yang mempunyai keahlian dan dapat dipercaya (axpertise and trustworthness).
Kedua ethos karakteristik komunikator tersebut menjadi sangat penting untuk
menentukan keberhasilan penyampaian pesan komunikasi. Selanjutnya
Chaiken,S,(1979) dalam Hamidi (2007:74) juga memberikan katagorisasi bahwa
demensi lain dari seorang komunikator harus memiliki daya tarik komunikator
(source of attractiveness) atau kekuasaan komunikator (source of power).
Efektivitas Komunikan
Di lihat dari sudut pandang komunikan, sebuah penyampaian pesan
komunikasi yang efektif terjadi menurut Kelman (1975) dalam Hamidi (2007:74) jika
komunikan mengalami internalisasi (internalization), identivikasi diri (self
identification) dan ketundukan (compliance). Artinya penjabaran kerangka teori
tersebut mengindikasikan bahwa dalam proses penyampaian pesan (diseminasi
informasi) pihak komunikan akan mengalami internalisasi, ketika komunikan
menerima pesan (diseminasi informasi) yang sesuai dengan sistem nilai yang
dianut. Sistem nilai itu bisa berupa, budaya lokal (local cultural), adat istiadat, norma-
norma sosial, agama dan lainnya. Jika terjadi kesepahaman semacam itu
14
komunikan akan merasa memperoleh sesuatu yang bermanfaat pada dirinya. Pesan
komunikasi yang ditransformasikan memiliki nilai rasionalitas yang dapat diterima.
Proses penyampaian pesan komunikasi (diseminasi informasi) tersebut menjadi
efektif jika ada keseimbangan atau kesepahaman antara komunikator di satu sisi
dan komunikan disisi yang lain. Keberhasilan pesan komunikasi juga sangat
ditentukan kredibilitas komunikatornya.
Laswell (1979) menyampaikan bahwa efektivitas pesan komunikasi tidak
hanya ditentukan oleh isi pesan, tetapi siapa yang menjadi komunikatornya.Pada sisi
komunikan efektivitas penyampaian pesan komunikasi (diseminasi informasi) dapat
dikatagorikan berhasil, ketika identivikasi tersebut terjadi pada pihak komunikan.
Misalnya pihak komunikan merasa puas dengan meniru, mengunakan pengetahuan,
mengambil pemikiran komunikator (Rogers,1983). Baik secara individu maupun atau
kelembagaan organisasi sebagai penyampai pesan haruslah mereka yang
berkompeten dan memiliki keahlian di bidangnya. Dengan melihat beberapa
kerangka konsep tersebut didapatkan pemahaman jika mengharapkan efektivitas
dalam penyampaian suatu informasi tertentu, haruslah ada titik keseimbangan
antara komunikator dan komunikan dalam konteks “transformasi informasi tertentu”
yang di selaraskan dengan kebutuhan komunikan.
Efektivitas Pesan komunikasi
Sebuah penyampaian pesan komunikasi (diseminasi informasi) dapat di
katagorikan efektif jika, (1) pesan yang disampaikan dapat dipahami oleh
komunikan, (2) komunikan bersikap atau berperilaku seperti apa yang dikehendaki
oleh komu nikator, dan (3) adanya kesesuaian antar komponen Wilbur
Shramm,1973) dalam Hamidi (2007:72). Selanjutnya efektivitas penyampaian pesan
komunikasi ini berasumsi bahwa: “jika komunikasi diharapkan efektif maka pesan
didalamnya perlu dikemas yang lebih menarik sesuai dengan kebutuhan
komunikan”. Dalam pandangan ini materi pesan komunikasi (diseminasi informasi)
merupakan hal yang baru atau bersifat sangat spesifik. Informasi yang berbentuk
simbol-simbol atau bahasa yang digunakan harus mudah dipahami komunikan.
Misalnya, jika komunikator menganjurkan suatu program dalam bentuk kebijakan
tertentu, informasi itu harus dikemas sedemikian rupa sehingga mudah dipahami,
mudah didapat, mudah diterapkan dengan sistem yang sangat sederhana. Sistem
15
pelaksanaan program penyampaian pesan komunikasi (diseminasi informasi) yang
dimaksud tidak sampai bertolak belakang atau bertentangan dengan kearifan lokal
masyarakat. Dalam konteks penelitian ini yang akan diukur adalah, efektivitas
diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana, yang
dikaitkan dengan implementasinya.
Pada hakekatnya setiap ragam bencana alam mempunyai karakteristik yang
berbeda-beda satu sama lainnya. Misalnya bencana alam, berupa gempa tektonik,
volkanik, tsunami, tanah longsor, banjir bandang, angin puyuh, kebakaran hutan dan
berbagai jenis bencana alam lainnya. Masing jenis bencana alam tersebut memiliki
karakteristik budaya komunikasi yang beragam. Perbedaan karakteristik dan budaya
komunikasi seperti itu akan berimplikasi pada kebutuhan ”isi pesan komunikasi”
yang di diseminasikan kepada masyarakat di daerah rawan bencana. Misalnya
masyarakat pantai akan lebih paham dan pamilier dengan ”informasi pengurangan
resiko bencana” gelombang laut. Masyarakat di sekitar lereng gunung berapi akan
lebih paham dengan ”informasi pengurangan resiko bencana” tanda tanda gunung
berapi. Masyarakat yang tinggal di sepanjang tepian sungai mereka lebih paham
dengan ”informasi pengurangan resiko bencana” yang terkait dengan
penanggulangan banjir. Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan lebih
paham dengan ”informasi pengurangan resiko bencana” kebakaran hutan, dan
lainnya. Perbedaan karakteristik jenis bencana alam itu baik secara langsung
maupun tidak langsung dipengaruhi nilai sosial dan budaya lokal (local cultural) di-
masing masing daerah. Perbedaan budaya lokal berpengaruh pada pola komunikasi
masyarakat di-masing masing daerah rawan bencana. Jika merujuk pada kerangka
konsep Wilbur Shramm dalam bukunya ”Men Message and Media” Haper and Raw :
New York, (1973) seperti dikutip Hamidi (2007:73), maka yang di ukur efektivitasnya
dalam penelitian ini adalah penyampaian pesan komunikasi pengurangan resiko
bencana secara universal. Artinya program ”diseminasi informasi pengurangan
resiko bencana di daerah rawan bencana” itu diasumsikan bisa diterima semua
masyarakat di daerah rawan bencana. Tanpa membedakan jenis bencana,
karakteristik budaya dan pola-pola komunikasi di masing-masing daerah rawan
bencana. Diseminasi pengurangan resiko bencana sifatnya hanya preventif. Hanya
untuk meminimalisasi jatuhnya korban jika bencana alam itu terjadi. Berangkat dari
16
kerangka konsep seperti itu empat variabel yang digunakan untuk menganalisis
penelitian ini, jika divisualisasikan akan terlihat model komunikasi berikut ini.
Sumber : Model pesan komunikasi, Wilbur Shramm,(1973).
Konsep dasar yang melatairi ”kebutuhan informasi” berangkat dari teori
informasi berasal dari Shannon & Weaver dalam The Mathematical Theory of
Communication. Menurut teori ini informasi adalah jumlah ketidak pastian yang
dapat diukur dengan cara mereduksikan sejumlah alternatif pilihan yang tersedia.
Informasi itu sendiri terkait dengan situasi yang tidak pasti. Semakin banyak yang
tidak pasti semakin banyak alternatif informasi yang digunakan secara terus
menerus untuk mengurangi ketidak pastian (Sendjaya,1998: 84). Sedangkan ”daya
tarik pesan komunikasi” tidak lepas dari kognisi atau pemahaman terhadap
informasi. Dalam proses komunikasi kognisi sering dilihat sebagai hasil akhir atau
tujuan terpenting. Dalam hal ini Kincaid & Shramm (1987: 115) menyatakan jika
kognisi merupakan wujud dari kenyataan atau kebenaran informasi dari prinsip-
prinsip yang dimiliki manusia. Logikanya seorang mengetahui berarti ia mengamati
secara langsung, memiliki pengalaman, mengenali atau setidaknya sudah terbiasa
dengan suatu hal yang mereka ketahui. Mereka merasakan dan menyadari akan
suatu hal yang mereka ketahui tersebut.
Pesan komunikasi yang menimbulkan kebutuhan
Cara memperoleh pesan komunikasi
Simbol-simbol pesan komunikasi yang dipahami
Daya tarik pesan komunikasi
Effektivitas pesan Komunikasi
17
Pemahaman pengetahuan tentang apa yang dibicarakan, atau dilihatnya
akan mempengaruhi pesan komunikasi yang disampaikan. Artinya seseorang tentu
tidak bisa mengomunikasikan apa yang tidak ia ketahui. Seorang tidak bisa
berkomunikasi secara efektif dengan apa yang tidak ia mengerti. Maka kognisi
dalam proses komunikasi dapat juga mempengaruhi perilaku sumber (masyarakat).
Pemahaman terhadap ”simbol komunikasi” lebih berakar pada budaya komunikasi
masyarakat. Charles Sanders Pierce (1914) dikutip Pawito (2008: 158) membagi
lambang (sign) menjadi tiga katagori (genre). Yaitu ikon, index dan simbol. Ikon
adalah lambang yang ditentukan (cara pemaknaannya) oleh obyek yang dinamis
karena sifat-sifat internal yang ada. Index adalah lambang yang cara pemaknaannya
menunjuk pada obyek dinamis, yang ada keterkaitan nyata dengannya. Simbol
adalah suatu lambang yang ditentukan oleh obyek dinamisnya dalam arti ia harus di
interpretasi. Interpretasi merupakan salah satu pemaknaan terhadap lambang
simbolik yang melibatkan proses belajar dan pengalaman dalam budaya
masyarakat. Cara memperoleh ”pesan komunikasi” (sumber informasi) dilakukan
melalui berbagai alternatif. Pada hakekatnya informasi dapat diperoleh dari
pengamatan individual, percakapan dengan orang lain,dari media massa, dan
lainnya. Sumber informasi di masyarakat dibagi menjadi dua, yaitu sumber informasi
dari saluran interpersonal, dan sumber informasi dari saluran media massa.
Terdapat beberapa pertimbangan seorang menggunakan sumber informasi. Salah
satu diantaranya sikap terhadap karakteristik sumber informasi yang bersangkutan.
Karakteristik sumber informasi ini oleh Alexis & Tan (1981) disebut : (a) Kredibilitas
sumber informasi tergantung dari keahlian dan kejujuran. (b) Daya tarik penerima
informasi lebih tertarik pada sumber yang memiliki kesamaan, keakrapan dan yang
disukai secara fisik. (c) Kekuasaan sumber informasi efektif mengubah perilaku
penerima informasi, karena ia memiliki kemampuan mengubah kontrol, kemampuan
memperhatikan penerima informasi apakah ia tunduk atau tidak,dan kemampuan
meneliti apakah penerima informasi tunduk atau tidak (Tan, 1981:104).
Dari ke-empat model pesan komunikasi Wilbur Shramm (1973) tersebut
selanjutnya digunakan sebagai variabel untuk melihat efektifivitas pesan ”komunikasi
dalam program diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di-daerah rawan
bencana”. Tetapi keempat variabel tersebut masih bersifat universal, sehingga perlu
dioperasionalkan. Pada hakekatnya opersionalisasi konsep variabel ditujukan untuk
18
memperjelas batasan-batasan yang diukur dalam sebuah variabel penelitian.
Dengan melihat operasionalisasi konsep peneliti tidak akan keluar dari kerangka
konsep yang telah dipilih untuk menganalisis temuan penelitian yang bersangkutan.
Dalam penelitian ini efektifitas ”diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di
daerah rawan bencana” diukur dari pengoperasionalisasi ke-empat variabel tersebut.
1.6 Operasionalisasi Konsep
Kerangka konsep yang divisualisasikan dalam bentuk variabel pesan
komunikasi yang efektif tersebut, masih bersifat umum, sehingga
dioperasionalisasikan sebagai berikut.
(1) Variabel : Pesan komunikasi yang menimbulkan kebutuhan, dioperasional kan
dalam bentuk ”rasa keingin tahuan responden terhadap program diseminasi
informasi pengurangan resiko bencana” yang diwujudkan dalam pengetahuan,
respon positif (tingkat kebutuhan), dan arti pentingnya program diseminasi
informasi pengurangan resiko bencana bagi masyarakat di daerah rawan
bencana.
(2) Variabel : Daya tarik pesan komunikasi, dioperasionalkan dalam bentuk
pemahaman, penggunaan sebagai pedoman dan penerapan tentang
diseminasi informasi pengurangan resiko bencana bagi masayarakat yang
tinggal di daerah rawan bencana.
(3) Variabel : Simbol-simbol pesan komunikasi yang dipahami, dioperasional kan
dalam bentuk pemahaman masyarakat terhadap makna bahasa, istilah, kode,
sandi-sandi, pertanda, yang mengandung informasi tentang diseminasi
pengurangan resiko bencana bagi masyarakat di daerah rawan bencana.
Kebiasaan masyarakat membaca tanda tanda alam, dan tindakan
penyelamatan diri jika terjadi bencana alam.
(4) Variabel : Cara memperoleh pesan komunikasi, dioperasionalkan dalam bentuk
pemilihan sumber informasi (media) yang digunakan untuk memperoleh
informasi tentang pengurangan resiko bencana bagi responden yang tinggal di
daerah rawan bencana, skaligus alasan mengapa responden memilih sumber
informasi (media) yang bersangkutan.
19
(5) Variabel: Efektivitas diseminasi informasi pengurangan resiko bencana
dioperasionalkan dalam bentuk pengukuran dari hasil rangkaian proses
penjabaran variabel 1, variabel 2, variabel 3 dan variabel 4. di kaitkan dengan
sasaran yang hendak dicapai dari program diseminasi pengurangan resiko
bencana ini.
Informasi ”pengurangan resiko bencana” adalah semua informasi yang berisi
makna pengetahuan yang bertautan dengan persoalan untuk menghindari resiko
terkecil yang diakibatkan oleh bencana alam. Informasi pengurangan resiko bencana
ini tidak terbatas pada ”diseminasi, sosialisasi atau penyuluhan” yang disampaikan
secara formal melalui media interpersonal (rapat, seminar, loka karya, diskusi,
saresehan, temu warga dan sejenisnya). Tetapi juga yang di sampaikan melalui
media (radio, televisi, media cetak, internet, media tradisional). Semua variabel yang
sudah diturunkan menjadi indikator-indikator untuk penyusunan kuesioner
berstruktur sebagai instrumen pengumpulan data kuantitatif dari responden terpilih di
lokasi penelitian.
1.7 Metode Penelitian
Data penelitian survey ini di kumpulkan melalui 3 (tiga ) cara (trianggulasi)
yakni, data primer di kumpulkan melalui observasi, wawancara mendalam/FGD dan
penyebaran kuesioner. Metode trianggulasi dipilih karena masalah yang diteliti
bersifat komplek, serta mengandung katagori khusus baik dilihat dari data kuantitatif
dan kualitatif hasil pendalamanya (Patton,2002:555). Data sekunder di kumpulkan
melalui studi pustaka, dokumen, kliping surat kabar/majalah, internet dan lainnya
yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Pengumpulan data dengan observasi
adalah untuk memotret seting sosial masyarakat di-lokasi penelitian. Sedangkan
Fucus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam untuk menggali
permasalahan dan mendalami materi penelitian yang tidak bisa dijaring secara
kuantitatif. Kuesioner untuk menjaring data kuantitatif berupa pendapat, aspirasi dan
sikap responden terhadap obyek penelitian. Hasil pengumpulan data observasi di
lokasi penelitian berupa laporan deskripsi kuantitatif atau kualitatif tentang (kondisi,
struktur, potensi, budaya lokal, dan pola komunikasi yang terkait dengan tujuan
penelitian) sebelum dan sesudah dilakukan diseminasi informasi pengurangan
resiko bencana di daerah rawan bencana. Hasil wawancara mendalam dan Focus
20
Group Discussion (FGD) berupa laporan deskriptif kualitatif tentang (pendapat,
pengalaman, pengetahuan, penerapan pola komunikasi, kritik, usulan, harapan dan
lainnya) dari tokoh formal dan atau non formal yang berpengaruh di lokasi penelitian.
Tokoh formal yang berpengaruh bisa pejabat pemerintah setempat (di
Kabupaten/Kota, Kecamatan, Kelurahan). Sedangkan tokoh informal adalah
pembentuk opini (opinion leader), bisa tokoh masyarakat setempat yang paling
berpengaruh (di Kabupaten/Kota, Kecamatan, Kelurahan). Hasil pengumpulan data
melalui penyebaran kuesioner berupa, ”isian lengkap” dari daftar pertanyaan
terstruktur yang diedarkan (diwawancarakan) kepada responden terpilih di lokasi
penelitian. Sedangkan data studi pustaka berupa telaah terhadap buku-buku
literatur, dokumen, artikel, kliping, browsing internet, dan tulisan lain yang bisa
dikatagorikan sebagai data pendukung terkait dengan tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian.
Populasi dan Sampling Penelitian
Dengan pertimbangan keterbatasan tenaga, waktu, dan finansial sampel
wilayah ditetapkan secara purposive 10 (sepuluh) lokasi wilayah penelitian. Adapun
kota provinsi yang dipilih adalah: Banda Aceh, Padang, Bengkulu, Jakarta, Bandung,
Yogyakarta, Denpasar, Mataram, Gorontalo, dan Manado. Jumlah responden secara
keseluruan sebanyak 700 orang yang tersebar di 10 wilayah provinsi terpilih. Dari
kota provinsi tersebut kemudian diturunkan pada wilayah (kabupaten/kota,
kecamatan, desa/kelurahan yang menjadi sasaran penelitian masing-masing, satu
lokasi). Wilayah yang bersangkutan adalah daerah/lokasi rawan bencana alam atas
(gelombang laut, gunung berapi, banjir bandang, tanah longsor, gempa tektonik,
kebakaran hutan) dan pernah dilakukan “program diseminasi informasi
pengurangan resiko bencana” oleh unsur pemerintah atau lembaga lain yang
berkompeten.
Populasi penelitian ini adalah seluruh komunitas masyarakat yang tinggal disepuluh
lokasi penelitian Kabupaten dan Kota, yang kemudian diturunkan pada tingkat
Kecamatan dan Desa terpilih (lokasi terpilih dalam penelitian adalah ”kelurahan/desa
rawan bencana”. Sedangkan untuk menentukan sampling responden terpilih
digunakan “teknik purposive sampling”, yakni dengan menentukan wilayah sampling
terlebih dahulu, kemudian menentukan responden terpilih yang disesuaikan dengan
21
kebutuhan penelitian. Responden yang dipilih adalah orang yang ”dianggap memiliki
pengetahuan” terhadap masalah penanggulangan kebencanaan diwilayahnya.
Pemilihan secara purposive dilakukan untuk menentukan lokasi penelitian dan
responden, karena penelitian ini mempunyai spesifikasi yang bersifaf khusus, yakni
”masyarakat daerah rawan bencana”. Kekhususan tersebut diasumsikan tidak
dimiliki oleh daerah lainnya yang berada diluar yang terpilih sebagai lokasi
penelitian. Sedangkan responden untuk masing masing wilayah lokasi penelitian di
tentukan sebanyak 70 orang responden, (dibagi secara merata dari populasi karena
kekhususan tersebut). Data kuantitatif yang sudah terkumpul dari isian kuesioner
dilakukan koding dan editing data untuk kemudian ditabulasi. Data berupa hasil
penelitian yang sudah tertabulasi itu kemudian dianalisis sesuai dengan
permasalahan dan kerangka konsep yang digunakan. Analisis data penelitian ini
hanya sebatas menggambarkan suatu gejala atau fenomena sosial yang sedang
terjadi, ketika data penelitian lapangan selesai dilakukan editing, dan klasifikasi.
Sedangkan analisis data kualitatif hanya berfungsi sebagai alat pendukung untuk
menjelaskan secara substansial segala permasalahan atau temuan yang tidak bisa
dijelaskan secara kuantitatif. Laporan hasil penelitian yang berupa draf laporan
sementara diseminarkan untuk mencari masukan, dan pengkayaan pengetahuan
yang terkait dengan substansi penelitian. Masukan dari hasil seminar yang secara
substansial signifikan dengan konsep penelitian yang telah ditentukan digunakan
sebagai bahan revisi draf penelitian.
22
2. BAB II
GAMBARAN UMUM KEBIJAKAN, JENIS BENCANA ALAM, DAN LOKASI PENELITIAN
Dilihat dari sudut pandang meningkatnya bencana alam yang terjadi di
Indonesia dalam lima tahun terakhir ini, pemerintah (negara) dirasa perlu melakukan
tindakan atau kebijakan pengurangan resiko bencana. Anderson (1984:5) melihat
kebijakan negara yang harus dilakukan adalah, ”apa yang dipilih pemerintah untuk
dilakukan atau tidak dilakukan”. Karena kebijakan negara tersebut merupakan
tindakan politis mengenai kehendak, tujuan, sasaran serta alasan bagi perlunya
pencapaian tujuan. Misalnya dalam hal bencana alam berupa gempa bumi di
Yogyakarta dan Jawa Tengah (2006), Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan,
Kepres No: 09/2006 tentang Tim Koordinasi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah
Pascabencana Gempa Bumi di DIY, dan Jateng. Pada dasarnya tujuan dan
kehendak pemerintah untuk melakukan kebijakan tersebut adalah untuk
mengantisipasi, menangani korban dan membangun kembali kondisi wilayah pasca
bencana di kedua Provinsi tersebut. Kondisi seperti itulah yang di-istilahkan oleh
Anderson(1984: 5) sebagai ”langkah yang dipilih pemerintah untuk menangani
kondisi pasca bencana. Sedangkan Bromley (1989) dalam Sri Mulatsih (2007:59)3
menyatakan bahwa kebijakan itu bagaikan suatu herarki yang terdiri atas tiga
tingkatan atau level. Level tersebut adalah, (1) policy level, (2) organizational level,
(3) operational level. Hasil kajian Sri Mulatsih, untuk penyusunan kebijakan menurut
herarki pada policy level diwakili oleh lembaga eksekutif. Maka dari itu pada tataran
eksekutif dikeluarkan kebijakan berupa Kepres No: 09/2006 tentang Tim Koordinasi
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pascabencana dikedua Provinsi DIY dan
Jateng tahun 2006. Kebijakan serupa baik yang bersifat formal maupun non formal,
baik dalam wilayah yang pernah mengalami bancana maupun daerah rawan
bencana perlu disosialisasikan dan mendapat perhatian secara khusus sebelum
bencana yang lebih bsar lagi datang. Kewaspadaan masyarakat terhadap
3 Artikel Sri Mulatsih,Peneliti LIPI, dengan judul : Kajian Kebijakan Pemerintah Pasca Bencana
Gempa Bumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Masyarakat Indonesia,Majalah Ilmu Ilmu
Sosial Indonesia, Jilid 33,Vol2 2007 , Penerbit Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, halaman 56
23
kemungkinan terjadinya bancana alam perlu ditumbuh kembangkan.Tindakan
pencegahan akan lebih baik daripada menjadi korban ketika bencana itu telah
terjadi. Pada umumnya pemerintah dan masyarakat akan bereaksi ketika bencana
itu sudah terjadi. Baru sebagian kecil bagaimana memiliki pengetahuan tentang
sistem penyelamatan diri ketika bencana terjadi. Dari berbagai observasi yang
penulis lakukan di daerah rawan bencana tersebut, masih relatif kecil masyarakat
yang mau belajar tentang sistem penyalamatan diri dari bencana. Sebagian besar
mereka masih menggantungkan pada petugas, atau pemerintah jika seandainya
terjadi bencana alam apapun bentuknya.
Tentu kondisi tersebut sangat memprihatin kan, karena sebagian besar
masyarakat Indonesia tinggal dikawasan rawan bencana alam. Dalam kurun waktu
kurang lebih 10 tahun Indonesia dilanda berbagai bentuk bencana alam. Bencana
alam itu sendiri akhirnya menjadi bencana sosial yang berdampak luas terhadap
kehidupan masyarakat, khususnya bagi mereka yang tinggal didaerah rawan
bencana. Bencana alam dalam kurun 10 tahun terakhir di Indonesia tersebut,
”diawali bencana badai El-Nino tahun 1997, banjir bandang diberbagai daerah tahun
2001, banjir ditengah kekeringan (La-Nina) tahun 2002 -2003, tsunami Aceh tahun
2004, gempa Nias, tahun 2005, gempa Jogyakarta tahun 2006, gempa bengkulu
tahun 2007, gempa Sumatra Barat tahun 2007, gempa NTB tahun 2007, banjir
Jakarta tahun 2007”4 Berbagai peristiwa bencana alam tersebut telah menelan
korban yang tidak sedikit. Korban terbanyak diantaranya masyarakat kurang mampu
yang tinggal dikawasan rawan bencana. Bencana alam yang tidak mengenal waktu
dan tidak bisa diprediksi oleh ilmuwan itu lebih disebabkan akibat pemanasan global.
Pertemuan Internasional di Bali,3 Desember 2007 dengan tajuk,: The International
Panel on Climate Change (IPCC) memberikan rekomendasi bahwa ”kaum buruh
tani, masyarakat adat sekitar hutan dan penduduk dipesisir pantai merupakan
golongan yang paling rentan atas dampak perubahan iklim tersebut”5
4 Lihat artikel Erniati.B.Djohan, Peneliti LIPI, dalam pengantar Mengapa Kajian Bencana,Bentuk
bencana alam ini bermacam macam,gelombang air pasang, gempa bumi, gunung meletus, badai,
kekeringan, kebakaran hutan, kebocoran sumber daya alam seperti gas bumi, dimuat dalam
Masyarakat Indonesia, Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia, Penerbit LIPI Jilid 33, Vol.2 tahun 2007
halaman 1
5 Laporan selanjutnya lebih lengkap dapat dibaca di Harian Kompas Edisi penerbitan tanggal 03
Desember 2007. Bencana alam tersebut telah memicu bencana sosial dengan tumbuhnya angka
24
Antara bencana alam dan bencana sosial keduanya memperlihatkan baik
secara langsung maupun tidak langsung saling kait mengkait. Misalkan eksploitasi
alam yang dilakukan manusia secara berlebihan tanpa kendali akan berdampak
terhadap terjadinya banjir bandang dan tanah longsor diberbagai daerah rawan
bencana. Pada sisi yang lain, peristiwa bencana alam disamping berdampak negatif
terhadap kehidupan manusia dan lingkungan, juga berdampak positif untuk
kelangsungan hidup masyarakat tempat terjadinya bencana alam. Letusan gunung
berapi selain berdampak, mematikan manusia, hewan, tanaman, menimbulkan
banjir lava, juga bermanfaat bagi kesuburan tanah, sumberdaya energi dan air
panas (belerang) yang digunakan untuk pengobatan, dan pembentukan air hujan
disekitarnya (Soemarwoto,1989:69). Peristiwa terjadinya bencana alam tersebut
seringkali dianggap sebagai kesalahan dan tanggung jawab pihak pemerintah, baik
ditingkat pusat maupun lokal. Pandangan itu tentu tidak salah, karena Negara
mempunyai tanggung jawab untuk melindungi dan memberikan layanan umum
kepada semua warga masyarakat.6 Persoalan mendasar seperti yang dievaluasi
dalam penelitian ini, adalah capaian diseminasi informasi pengurangan resiko
bencana di daerah rawan bencana. Diseminasi informasi tentang pengurangan
resiko bencana itu dikatakan berhasil jika mampu mengubah sikap dan perilaku
(pola pikir) masyarakat untuk sadar akan resiko bencana alam. Sadar akan bencana
dapat dimaknai mereka memiliki pengetahuan tentang pengurangan resiko bencana
jika terjadi bencana. Yang kemudian pengetahuan itu mereka implementasikan
bersama warga masyarakat lain untuk mengurangi resiko bencana di daerah rawan
bencana. Hasil observasi di 10 lokasi penelitian memberikan gambaran bahwa
kesadaran masyarakat di daerah rawan bencana, terhadap pengurangan resiko
bencana masih tampak beragam. Keragaman itu lebih dipengaruhi oleh kondisi
kemiskinan dan pengangguran yang tidak terkendali, karena kasus PHK di berbagai perusahaan
besar menengah dan kecil.Dengan alasan mengalami kerugian dan kebangkrutan PHK masal terjadi
dimana mana.
6 Lihat dan perhatikan bunyi ayat (3) pasal 34, Undang Undang Dasar Negara 1945, dimana : Negara
bertanggung jawab atas penyadiaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum
yang layak.Dengan demikian maka korban bencana alam, dan pencegahan dini berupa pemberian
penyuluhan terhadap pengurangan resiko bencana bagi masyarakat di daerah rawan bencana
menjadi tanggung jawab pihak Negara dalam hal ini pemerintah baik di pusat maupun pemerintah
lokal.
25
sosial dan budaya lokal maupun jenis bencana alam di masing masing lokasi
penelitian.
2.1 Ragam dan Jenis Bencana Alam
*Bencana Gelombang Tsunami : Istilah yang di import dari negeri Sakura itu
mempunyai makna”gelombang pelabuhan”.Dalam kamus bahasa Indonesia,tsunami
adalah sebuah rangkaian gelombang yang terjadi dikawasan pesisir
pantai.Gelombang air laut yang datangnya secara ”silih berganti” itu semakin
membesar, sehingga bisa mencapai kecepatan sekitar 800 Km/jam (Data BMKG,
2005). Gelombang tsunami biasanya diawali oleh gempa tektonik berskala besar
yang terletak di bawah laut. Jenis gempa tektonik didasar laut yang diikuti
gelombang tsunami ini sangat membahayakan pemukiman yang berada dikawasan
pesisir pantai. Dari pengakuan dan pengalaman beberapa responden jika ada
gempa, dan ditandai dengan turunnya air laut di pantai secara tiba-tiba, menurut
mereka itu merupakan suatu gejala,”gelombang tsunami akan datang menyapu
pesisir kawasan tersebut. Pertanda lain akan datangnya gelombang tsunami jika
pasca gempa muncul buih buih air laut secara mendadak, di ikuti dengan hempasan
angin yang cukup kencang kearah pantai secara tiba tiba, juga dianggap sebagai
pertanda akan munculnya tsunami (Arie Priambodo,2009:52).
Gejala gelombang tsunami yang paling gampang dideteksi jika ada suara
gemuruh, yang diikuti warna air laut yang semakin gelap dan keruh, hal itu
merupakan pertanda gelombang tsunami dahsyat akan terjadi. Dengan melihat
gejala alam tersebut masyarakat sudah bersikap waspada, dan menjaga segala
kemungkinan yang bisa terjadi di wilayahnya. Berbagai gejala alam akan terjadinya
gelombang pasang (tsunami) tersebut sudah dipahami oleh sebagian besar
komunitas masyarakat yang tinggal di daerah pesisir pantai yang juga termasuk
rawan bencana. Mereka mempunyai pengetahuan tentang bahaya gelombang
pasang seperti itu dengan kebiasaan. Artinya mereka menandai akan terjadinya
gelombang pasang dengan membaca tanda tanda alam disekitar mereka.
Gelombang tsunami biasanya berkecepatan tinggi dan berlangsung sekitar 10 menit.
Misalnya gelombang tsunasi yang memporak porandakan kawasan pesisir Aceh
(NAD) 26/12/2004 telah menelan korban lebih dari 150.000 jiwa, dan merusak
26
hampir 90% sarana dan prasarana yang ada kawasan pantai pesisir Aceh
(Kompas,27/12/2004).
Sementara di wilayah Kabupaten Padang Pariaman merupakan zone gempa,
menurut Setiadi (1962)7 dari daerah Sungai Limau hingga Tiku utara perbatasan
dengan Sungai Geringging dan pesisir barat merupakan daerah rawan gempa.
Namun demikian realitasnya sebagian besar kawasan pantai masih dijadikan tempat
pemukiman. Mereka yang bermukim di kawasan pesisir itu pada umumnya
masyarakat nelayan, atau mereka yang mata pencahariannya berkaitan dengan laut.
Komunitas mereka itu dikenal dengan masyarakat pesisir yang mata
pencahariannya sebagai nelayan (masyarakat nelayan). Bagi masyarakat nelayan
yang bermukim di kawasan pantai perasaan takut itu hanya terjadi sesaat. Mereka
takut melaut ketika baru saja terjadi bencana alam. Untuk selanjutnya mereka akan
melaut lagi, karena terkait dengan tuntutan kebutuhan ekonomi keluarga. Agak sulit
mereka mengalihkan pekerjaannya dengan pekerjaan lain yang resikonya lebih
kecil.Jika resikonya kecil kata mereka hasilnya juga kecil, begitu sebaliknya. Mereka
itu dari satu generasi ke generasi nelayan, yang bermukim di pesisir pantai. Bahaya
gelombang tsunami yang di bayangkan oleh orang lain paling menakutkan itu, bagi
mereka merupakan suatu hal yang lumrah atau biasa. Bahkan mereka berasumsi
jika ada korban bencana alam tersapu gelombang merupakan resiko bagi seorang
nelayan. Resiko itu mereka terima dengan ketabahan demi untuk mempertahankan
nasib keluargany (Kompas, 29/12/2004). Masyarakat pantai umumnya melaut atau
menangkap ikan dengan peralatan konvensional. Mereka menggunakan jenis
perahu tongkang dari kayu dengan bekal secukupnya untuk persediaan di tengah
laut.Ada diantara nelayan yang membawa bekal makanan dan minuman yang di
sediakan dari rumah mereka.Tetapi sebagian diantara mereka ada yang membawa
alat masak,di gunakan di tengah laut sewaktu di perlukan. Nelayan tradisional itu
mempunyai banyak pengetahuan tentang kelautan dan masalah perikanan.Mereka
bisa membaca tanda tanda dimana ikan ikan itu sedang berada. Mereka juga tidak
meresa kebingungan untuk menentukan arah ketika malam hari. Mereka tidak
7 Menerut Setiadi (1962) jika dilihat dari peta zone gempa di Indonesia daerah tersebut merupakan
zone gempa dengan sklala intensitas menempati zone VII dan VIII dengan episentrum yang
relative dangkal.Meski sampai sekarang masih belum pernah menimbulkan kerusakan yang
parah.http//www.padangpariamankab.go.id/cetak 1.php? cid=55 diakses 19/5/2009.
27
membawa kompas, tetapi membaca bintang di langit untuk menentukan arah,
kemana perahu mereka harus dikemudikan untuk pulang. Ketika pagi hari sampai di
daratan keluarga mereka sudah menyambutnya, untuk membersihkan ikan ikan
untuk kemudian menjualnya.
Hasilnyapun tidak menentu, kalau lagi baik dapat untung, tetapi kalau lagi sial
hasil penjualan ikan tidak bisa untuk menutup pembelian bahan bakar. Apalagi jika
harga bahan bakar solar naik seperti tahun kemarin, nelayan banyak yang tidak
melaut. Setting sosial ini merepresentasikan kehidupan sebagian besar masyarakat
yang bermukim dikawasan pesisir pantai yang masuk dalam katagori rawan
bencana tsunami. Kehidupan mereka senantiasa berhadapan dengan maut, jika
gelombang tsunami sudah tidak ramah lagi dengan perkampungan mereka. Tetapi
sebenarnya resiko ditengah laut akan lebih besar dibandingkan dengan di pesisir
pantai. Kawasan pantai yang dikatagorikan rawan gempa tsunami diantaranya :
pesisir pantai barat Sumatra, pantai selatan Jawa, Bali, Lombok, Maluku dan Papua.
Atas resiko seperti itu pemerintah menggulirkan kebijakan berupa diseminasi,
(sosialisasi, penyuluhan) tentang tata cara bagaimana pengurangan resiko bencana
di daerah rawan bencana. Program itu berupa tutorial yang sasarannya adalah
komunitas masyarakat yang bermukim di daerah rawan bencana, termasuk kawasan
pantai. Materi yang disosialisasikan berupa, bagaimana warga masyarakat harus
bersikap/ bertindak, sebelum, saat dan pasca tsunami di wilayahnya. Misalnya di
Bali tanggal 26 Desember 2006, dijadikan tempat pelaksanaan latihan
penanggulangan bencana tsunami nasional. Simulasi penanggulangan bencana
tsunami tersebut dilakukan di kawasan pantai ”Kuta” 8 Di daerah lain Pemerintah
Provinsi Sulawesi Utara,disamping menyusun peta bencana alam aparatur juga di
bekali manajemen kebencanaan dengan menggelar bimbingan teknis9.
8 Latihan simulasi penanggulangan bencana tsunami secara nasional itu di laksanakan di pantai Kuta,
Bali pada tanggal 26 Desember 2006, yang di saksikan Diputi Menteri Riset dan Teknologi DR.Ikwan
Sukardi, bersama ahli gempa tsunami Prof.DR.Gede Wdiyatnyana, beserta Gubernur dan
Bupati/Walikota se Bali (Bali Post, edisi 27/6/2006).
9 Pemprov Sulut telah mengambil langkah antisipasif sebelum terjadi bencana alam termasuk gempa
tsunami, dengan menggelar bimbingan teknis manajemen peta rawan bencana (Suara Manado. 24
Juli 2006)
28
Secara umum pihak pemerintah juga telah mengeluarkan himbauan melalui
Depkominfo bersama media massa. Sebelum Tsunami masyarakat di kawasan
rawan bencana di anjurkan untuk menghindari tinggal di kawasan pesisir pantai
yang landai kurang dari 10 meter dari permukaan laut. Karena kreteria tersebut
merupakan kawasan sangat berbahaya jika terjadi gelombang tsunami. Mereka di
himbau untuk mengenali lokasi yang dapat digunakan untuk menyelamatkan diri dari
terjangan gelombang tsunami (pohon, bukit, bangunan tinggi, dan lain-lain).
Membuat rute jalan untuk rencana evakuasi warga serta lokasi tempat pengungsian
yang aman. Melakukan reboisasi penanaman pohon pantai untuk menghadang
gelombang laut. Mematuhi tata guna lahan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah
setempat. Merancang bangunan bertingkat dengan ruang yang dianggap aman
dibagian atas, dan dinding rumah di usahakan tidak sejajar dengan garis pantai
(BIP,2008:22). Sosialisasi tata cara pengurangan resiko bencana disalurkan melalui
berbagai jenis media massa (televisi, radio, media cetak, internet, media tradisional
dan media interpersonal).
Pada Saat terjadi Tsunami, jika sedang berada dikawasan pantai segera
panjat pohon, bangunan yang posisinya tinggi dan paling dekat dengan anda
berada. Jika sedang berlari kejaran gelombang tsunami hanya kurang dari 20 menit.
Kalau berpegangan pohon saat ada gelombang tsunami, disarankan tidak
membelakangi arah laut, agar terhindar dari benturan benda keras yang dibawa
gelombang laut. Ketika sedang berada diatas kapal di tengah laut, segera pacu
kapal atau perahu menuju laut yang lebih dalam. Selamatkan diri anda, bukan
barang bawaan anda. Jika terseret gelombang tsunami carilah benda apung yang
sekiranya dapat digunakan sebagai rakit. Selamatkan diri melalui jalur evakuasi
yang sudah ditentukan bersama dan aman. Dan tetaplah bertahan ditempat yang
lokasinya lebih tinggi dari permukaan laut, sampai situasi di nyatakan aman. Setelah
tsunami tindakan yang disarankan : hindari instalasi listrik bertegangan tinggi, dan
jika menemukan kerusakan instalasi yang bersangkutan segera laporkan pada pihak
PLN terdekat. Hindari memasuki daerah kerusakan, kecuali sudah di nyatakan aman
dan jauhi dari bekas reruntuhan gedung atau bangunan lain yang membahayakan.
Berbagai cara pemahaman terhadap pengurangan resiko bencana
gelombang tsunami sudah sering di lakukan simulasi oleh petugas keamanan
terpadu di kawasan pantai. Kegiatan ini untuk melakukan uji petik terhadap kesiapan
29
warga masyarakat jika sewaktu waktu terjadi bencana gelombang tsunami yang
sesungguhnya. Uji petik semacam ini untuk menevaluasi persiapan fisik, mental dan
kecepatan dalam mengambil keputusan bagi warga masyarakat yang tinggal di
daerah rawan bencana.Sementara kegiatan lain yang dianjurkan diantaranya
”membentuk kelompok masyarakat siaga tsunami” dan mengadakan pertemuan
rutin sesama anggota. Pertemuan dimaksud untuk mendiskusikan persoalan penting
yang terkait dengan tsunami. Misalnya tata cara evakuasi dan mengenal telepon
penting yang harus dihubungi jika terjadi bencana. Mengembangkan sistem
peringatan dini diwilayah masing masing (radio panggil, kentongan, pengeras suara)
guna memberikan peringatan dini sewaktu ada bencana gelombang tsunami.
Pengelolaan manajemen kebencanaan memang memerlukan kecermatan, dan
ketelitian bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya. Karena mengorganisir orang
saat terjadi bencana adalah mengelola orang panik, dan bisa jadi kehilangan
kesadarannya. Maka dari itu persiapan sedini mungkin menjadi taruannya apakah
misi tersebut berhasil atau justru sebaliknya. Keberhasilan suatu daerah mengelola
manajemen bancana alam sangat tergantung dari kebijakan daerah yang di motori
oleh pimpinan daerahnya. Semua itu tidak lepas dari sejauhmana pengelolaan
manajemen kebencanaan mendapatkan perhatian secara spesifik dari pemerintah di
daerah, dan apresiasi masyarakatnya.
*Bencana Gempa Bumi : Bencana alam berupa gempa bumi, bisa
disebabkan letupan volkanik gunung berapi, atau gempa tektonik akibat pergeseran
patahan lapisan batuan yang terkandung dalam perut bumi. Gempa bumi lazimnya
tidak terjadi hanya sekali, tetapi diawali dari gempa awal (kecil) yang kemudian
disusul dengan gempa lanjutan yang lebih dahsyat. Dalam gempa susulan ini
biasanya terjadi kerusakan dimuka bumi, jika kekuatannya diatas 6 sklala Richter. Di
Indonesia di samping gempa tektonik, juga rawan terhadap gempa volkanik, yang
disebabkan meletusnya gunung berapi. Wilayah Indonesia oleh Andersen (1990:3)
dimasukkan dalam katagori lingkaran Cincin Api Dunia10. Dimana wilayah rawan
gempa itu berada di sepanjang Himalaya, Sumatra, Jawa, Mediterania dan Atlantik.
10
Lihat Artikel Andersen (1990) Crystallink.com, bahwa 90 % gempa bumi di dunia terjadi di wilayah
cicin api dunia, dan 80 % dari gempa termasuk gempa berkekuatan besar.Cincin Api Dunia yang
dimaksud Andersen tersebut termasuk melingkari wilayah kepulauan di
30
Banyaknya gunung berapi yang masih aktif (Krakatau,Merapi, Kelud, Semeru
di Jawa, G.Agung di Bali, G.Tambora di Sulawesi) masih menjadi ancaman bencana
bagi masyarakat yang berdomisili di kawasan pegunungan tersebut. Letusan
Gunung Krakatau (1883) tercatat dalam The Guiness Book of Records sebagai
ledakan terhebat yang pernah terekam sejarah dan saat terjadinya ledakan itu
disebut sebagai” ketika dunia meledak” (Haris Firdaus,2008:6) Demikian juga gempa
tektonik tidak kalah dahsyatnya menjadi ancaman masyarakat. Jika gempa volkanik
mudah dipetakan karena disebabkan meletusnya gunung berapi, gempa tektonik
sebaliknya. Gempa tektonik sulit diprediksikan, karena pergeseran atau patahan
kerak bumi itu kedalamannya dan lokasinya tidak menentu. Dampak akibat gempa
bumi tektonik biasanya korban tertimpa reruntuhan bangunan rumah, gedung,
jembatan atau pepohonan yang tumbang. Bahaya paling mengancam kehidupan
umat manusia jika pada saat yang sama aliran listri masih aktif. Akibat yang di derita
oleh masyarakat banyak tanah longsor, retak, bangunan runtuh, jembatan putus dan
sejenisnya. Misalnya gempa bumi tektonikdi patahan Opak terjadi di Yogyakarta, 27
Mei 2006,pukul 05,58 dengan korban sekitar 5.400.orang meninggal dunia, di
kawasan Yogyakarta dan Jawa Tengah. Korban manusia meninggal terbanyak
akibat tertimpa bangunan rumah atau gedung. Mereka panik dan kehilangan akal
kemana harus menyelamatkan diri. Kondisi masyrakat seperti itu karena tidak
memiliki pengetahuan tentang bagaimana mnyelamatkan diri jika terjadi bencana
gempa bumi. Terjadi paradok di masyarakat, menyelamatkan harta atau nyawa.Jika
mereka harus menyelamatkan nyawa, hartanya tidak terjaga. Tetapi sebaliknya jika
mempertahankan harta nyawanya kemungkinan tidak terselamatkan. Pilihan itu
menjadikan beban bagi sebagian besar masyarakat yang tinggal di daerah rawan
bencana gempa bumi.
Pada hal dalam berbagai pelatihan dan simulasi telah di sosialisasikan bahwa
penyelematan nyawa menjadi preoritas utama. Menenamkan kesadaran pada
masyarakat di daerah rawan bencana berarti mengubah budaya masyarakat yang
bersangkutan. Mereka akan mengikuti perubahan itu jika budaya baru itu mampu
memberikan keyakinan pada mereka. Tetapi keyakinan saja tentu tidak cukup jika
tidak bisa memberikan jaminan kepada mereka. Itulah sebabnya evakuasi
Indonesia.http://io.ppi.jepang.org Email :redaksi @ io. Ppi.jepang. org/cetak.php?id=205, diakses
19/5/2009.
31
pengungsian bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana kadang kala
mengalami hambatan, meski bencana mengancam kehidupan mereka. Lantas apa
yang harus di lakukan untuk mengantisipasi atau penanggulangan bencana alam.
Ada tindakan dini yang harus di sosialisasikan kepada mereka yang tinggal di
daerah rawan bencana. Sosialisasi itu terkait dengan suatu langkah sebelum, ketika
dan sesudah bencana gempa bumi terjadi.
Sebelum Gempa Bumi:Terdapat beberapa informasi yang selalu
disosialisasikan kepada masyarakat yang tinggal di kawasan rawan gempa oleh
pemerintah. Mereka dianjurkan : (1) Untuk mengenali lingkungan, diantaranya
menen tukan tempat aman untuk berlindung. Melakukan praktik pertolongan
kecelakaan, penggunaan peralatan penyelamatan kecelakaan, mencatat nomor
penting yang harus dihubungi ketika terjadi bencana gempa bumi dan lainnya. (2)
Membentuk forum diskusi antar warga untuk sosialisasi pengetahuan tata cara
penyelamatan diri jika terjadi bencana gempa bumi. (3) Dianjurkan menyiapkan
ruangan yang aman untuk berlindung keluarga di dalam rumah jika sewaktu waktu
terjadi gempa bumi. (4) Menjauhkan barang-barang yang mudah terbakar,
mematikan saluran gas, air, listrik jika memang tidak digunakan dan lainnya.
Saat terjadi Gempa : (1) Perhatikan perilaku binatang piaraan anda, atau
suara burung di malam hari yang tidak lazim sebagai pertanda bencana alam. (2)
Perhatikan goyangan air di gekas atau tempat penampungan air. (3) Jangan berlari
keluar rumah saat bangunan rumah sedang digoyang gempa. (4) Mencari tempat
aman yang jauh dari dinding, lemari, listrik dan benda berat lain yang kemungkinan
bisa menimpa. (5) Jika sedang berada dalam gedung tinggi, jauhi penggunaan lift,
elevator, dan tembok yang sekiranya membahayakan. (6) Jika berada diluar
ruangan carilah tempat tanah lapang yang tidak ada bangunan dan pohon. (7) Jika
berada dalam kendaraan gunakan sabuk pengaman dan pastikan tidak berhenti di
bawah jembatan atau dibawah pohon. Setelah Gempa : (1) Rawat luka diri sendiri,
dan tolong orang lain, dahulukan orang tua, anak anak, ibu hamil, orang cacat dan
usia lanjut. (2) Membantu korban yang terjebak dalam reruntuhan bangunan. (3)
Hindari dari tempat yang mudah terbakar, dan sengatan listrik, gas dan lain-lain.
Pasca gempa masyarakat diharapkan harus selalu waspada terhadap gempa
susulan yang kemungkinan terjadi. Kewaspadaan bukan saja ditujukan untuk
32
menyelamatkan diri, tetapi juga terhadap rehabilitasi pemukiman. Dalam konteks
rehabilitasi pemukiman, desain rumah di buat sedemikian rupa agar tahan gempa.
Mungkin saja bentuk bangunan terasa asing dan tidak lazim, tetapi hal tersebut
untuk jangka panjang dimungkinkan relatif aman. Kewaspadaan perizinan bangunan
seperti itu diwajibkan bagi daerah rawan gempa (misalnya di Kecamatan Pundong,
Kabupaten Bantul Yogyakarta) yang secara geografis berada pada patahan opak
sampai Kabupaten Klaten Jawa Tengah. Dengan dimilikinya pengetahuan tentang
langkah dan tata cara pengurangan resiko bencana tersebut, warga masyarakat
yang tinggal di daerah rawan bencana sudah mempunyai kesiapan yang cukup.Bagi
mereka kesiapan itu sangat penting, karena menyangkut pengambilan keputusan
ketika bencana alam itu benar benar terjadi. Dalam suasana kepanikan biasanya
orang kehilangan kesadarannya untuk pengambilan keputusan penyelamatan diri
dari bencana. Lebih sulit lagi jika harus mengkoordinir sekelompok warga
masyarakat. Tetapi jika mereka telah memiliki pengetahuan atau pengalaman
tentang tata cara penyelematan diri dari resiko bencana kesulitan itu akan sedikit
teratasi. Apalagi bencana gempa bumi tektonik (patahan kerakbumi) gejalanya tidak
mudah terdeteksi. Kondisinya sangat berbeda dengan gempa bumi volkanik yang
disebabkan gunung berapi. Gejala gunung berapi lebih mudah terdeteksi, misalnya
munculnya suara gemuruh, timbulnya asap bercampur debu, naiknya suhu di sekitar
pegunungan, larinya binatang dan unggas dari habitatnya dan lainnya. Bagi
masyarakat yang sudah memiliki pengetahuan tentang pengurangan resiko bencana
akan lebih mudah mengambil keputusan untuk menghindari bahaya. Sebaliknya
mereka yang masih belum mempunyai pengetahuan dan pengalaman banyak hal
pertimbangan untuk melakukan penyelamatan diri dari bahaya. Pengetahuan itu
tidak harus datang dari pihak pemerintan atau lembaga lain yang berkompeten.
Pengetahuan itu bisa tumbuh dari kesadaran lokal, atau tradisi budaya yang telah
mereka kembangkan di masing masing daerah. Meski mungkin yang mereka
lakukan lebih berorientasi pada mithos, dan kepercayaan yang bersifat
tradisional.Apapun namanya mereka telah berusaha untuk mempelajari gejala alam
dan cara menghindar dari bencana alam yang mungkin terjadi sewaktu waktu di
daerahnya.
*Bencana Banjir : Ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan bagian
yang amat penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap DAS itu sendiri.
33
Aktivitas DAS yang menyebabkan perubahan tata ruang misalnya, perubahan tata
lahan, di daerah hulu yang akan berdampak pada daerah hilir. Jika terjadi ketidak
seimbangan akan terjadi erosi dan banjir (Suripin,2004: 183). Meluapnya air sungai
yang menyebabkan banjir, biasanya di awali dengan hujan deras yang
menyebabkan erosi tanah di kawasan pegunungan yang terbawa sampai melebihi
kapasitas sehingga menyebabkan banjir bandang yang menerjang kawasan
pemukiman penduduk. Di kawasan perkotaan biasanya banjir disebabkan
pemeliharaan lingkungan yang kurang baik. Bencana banjir juga bisa di akibatnya
oleh naiknya air laut pasang, sehingga kawasan pemukiman di pesisir pantai
menjadi tergenang. Air laut bisa naik kedaratan akibat perubahan suhu udara, atau
pemanasan global yang menjadi issue lingkungan dewasa ini. Baik air bah maupun
bencana tanah longsor dan banjir bandang semuanya telah banyak membawa
korban manusia. Banyaknya korban itu salah satu diantaranya pengetahuan
masyarakat untuk menghindari bahaya banjir sejak dini dianggap sangat minim.
Misalnya warga masyarakat Jakarta yang tinggal di Kampung Melayu, Bukit Duri,
tepian sungai Ciliwung setiap musim hujan masyarakat selalu dihadapkan pada
masalah banjir rutin. Pada musim penghujan masalah banjir sudah mereka anggap
sebagai kegiatan yang bersifat rutin.Bahaya banjir bukan lagi mereka anggap
sebagai suatu hal yang paling menakutkan. Jauh hari sebelum bencana banjir
datang mereka telah mempersiapkan diri. Misalnya membangun rumah panggung
berlantai dua, atau menaikkan stop kontak aliran listrik agar tidak tergenang air,
menyiapkan rakit, tali tambang dan sejenisnya (Ahimsa,1985).
Kondisi yang hapir sama juga di alami oleh warga masyarakat yang tinggal di
sepanjang aliran sungai Bengawan Solo. Mulai dari Solo, Karanganyar, Sragen,
Ngawi, Bloro bagian Cepu, Bojonegoro, Tuban, Lamongan Jawa Timur. Dalam banjir
tahun 2008 yang lalu daerah tersebut termasuk yang terparah.Menurut Elfarid
pengelola Balai Sumber Daya Air dan Jasa Tirta banjir sungai Bangawan Solo, banjir
besar yang terjadi akhir tahun 2007 merupakan siklus tahunan11. Bukan hanya itu
11
Elfarid : Siklus banjir besar di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo dapat di runut
kebelakang berdasarkan data curah hujan yang ada.Misalnya banjir besar seperti tahun 2007 juga
terjadi pada tahun 1965.Siklus banjir 40 tahunan itu dapat di prediksi berdasarkan data klimatologi
yang ada.Banjir itu juga disebabkan pengelolaan lingkungan yang kurang baik.Banyak lahan di tepian
Bangawan Solo yang sudah beralih fungsi.Pada hal dalam pendekatan DAS antara daerah hulu,
tengah dan hilir merupakan kesatuan ekologi.Sumber :http://elfarid.multiply.com/journal/item/404,
diakses 28/05/2009.
34
tetapi masih banyak sungai di pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi kondisinya tidak
jauh berbeda. Fenomena ini memberikan gambaran jika manajemen daerah aliran
sungai (DAS) di Indonesia kurang baikpengelolaanya. Kondisi seperti itu
mengakibatkan bencana banjir setiap musim penghujan tidak dapat di hindari.
Penanggulangan banjir diperlukan kebijakan secara terpadu dan lintas sektoral,
dengan dukungan dana yang cukup memadai Itupun dirasakan belum cukup, peran
masyarakat dalam ikut memelihara kebersian lingkungan (dalam arti luas) yang
dianggap paling berpengaruh.Dari berbagai kajian penelitian ”bencana banjir
bandang” cenderung di sebabkan ulah manusia. Hal itu mengakibatkan timbulnya
ketidak seimbangan konservasi lingkungan. Meski banjir di katagorikan sebagai
bencana musiman secara rutin, tetapi tidak sedikit korban karena ketidak siapan
mereka. Bahkan bisa jadi mereka tidak memiliki pengetahuan tentang tata cara
pengurangan resiko bencana banjir tersebut. Misalnya sebelum banjir masyarakat di
sarankan : (1) Sejak dini masyarakat di kawasan rawan bencana banjir idealnya di
bekali pengetahuan atau tindakan pencegahan. (2) Menaikkan panel panel listrik
lebih tinggi dari jangkauan air di setiap rumah yang menjadi langganan banjir. (3)
Mengaktifkan gerakan pembuatan sumur sumur resapan di kawasan yang
bersangkutan. (4) Membentuk forum masyarakat peduli banjir. (5) Membangun
sistem peringatan dini bahaya banjir, baik secara tradisional, atau modern. Beberapa
pengetahuan semacam itu mereka anggap penting, karena untuk bekal persiapan
bagi mereka secara darurat. Meski banjir luapan sungai oleh sementara pihak di
anggap berbahaya, bagi mereka yang berdomisili di daerah tepian sungai atau
waduk menganggapnya sebagai kejadian biasa.
Banjir tampaknya sudah akrap dengan kehidupan mereka,sehari hari. Banjir
oleh mereka tidak perlu disikapi secara berlebihan (BPPI Jogja, 2008). Dari hasil
observasi menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat yang berdomisili di
tepian bantaran sungai yang rawan banjir sudah mempersiapkan diri jika sewaktu
waktu terjadi banjir. Misalnya masyarakat tepian Bengawan Solo,sudah memahami
betul apa resiko yang mungkin terjadi terhadap musibah banjir bandang di
wilayahnya. Tidak semua resiko itu mereka pandang sebagai bencana yang
menakutkan atau membahayakan. Sebagian mereka mendapatkan hikmah dari
bencana banjir semacam itu. Mereka yang berprofesi mencari barang-barang bekas
ketika banjir bandang mengaku justru mendapatkan rezeki. Mereka bisa
35
mendapatkan kayu, kaleng, bermacam macam plastik dan sejenisnya. Barang-
barang itu menjadi mata pencaharian mereka sehari hari. Maka terjadi paradok
dalam melihat banjir dalam perspektif masyarakat di tepian sungai Bengawan Solo,
dengan perspektif Pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Pihak pemerintah
selalu melihat bahwa ”banjir bandang pada masyarakat di tepian sungai merupakan
bahaya, yang bisa menimbulkan musibah besar. Maka mereka perlu mendapatkan
perlindungan, pertolongan dan sekaligus bantuan dan jika perlu di evakuasi untuk di
pindahkan ke pemukiman baru. Hal semacam itu menurut mereka memang sudah
menjadi kuwajiban pemerintah daerah terhadap warga masyarakatnya yang kena
misibah, mereka tidak akan menolaknya. Tetapi untuk mengalihkan budaya lokal
yang sudah menjiwai masyarakat yang tinggal di tepian sungai tidak semudah,
memindahkan bangunan fisik.
Bangunan sosial budaya terkait dengan lingkungan sosial yang sudah mereka
jadikan pola dasar kehidupan bertahun tahun selama ini. Ada keterikatan hubungan
sosial,budaya dan ekonomi yang tidak mudah mereka tinggalkan. Hubungan itu
telah mengakar di komunitas masyarakat yang tinggal di bantaran
sungai.Kekerabatan yang mereka bangun masih menjadi pengikat jika mereka harus
di relokasi ke tempat yang lebih aman.Bagi mereka pemisahan kekerabatan adalah
bencana sosial yang tidak pernah terbayangkan. Jika mereka harus terpisah dengan
kekerabatan sosial dan budaya di tempat baru (relokasi) bangunan sosial itu akan
mereka mulai dari awal lagi.Meeka melihat bukan dari sisi pandang hukum
sebagaimana peraturan formal pemerintah. Dengan membayar iuran
warga,listrik,jasa keamanan menurut persepsi mereka sudah syah bertempat tinggal
di bantaran sungai tersebut. Tanpa melihat siapa yang salah dalam konteks
tersebut,permasalahan ”penghunian ilegal di bantaran sungai” telah menjadi
fenomena sosial di Indonesia yang masih belum mendapatkan solusi.Karena
pendekatan yang umumnya dilakukan adalah penggusuaran yang bernuansa
kekerasan, bukan pendekatan sosial budaya, sesuai dengan kultur mereka di
masing masing daerah.
36
2.2 Lokasi Penelitian
*Topografi Lokasi Penelitian di Manado Sulawesi Utara12 : Kelurahan
Komo Luar Kecamatan Wenang Kabupaten Kota Manado,merupakan sebuah desa
yang terletak di sepanjang hamparan sungai Tondano dan Sawangan. Sebelum
mengalir ke hilir dan masuk menuju laut, kedua sungai tersebut bertemu di desa
Komo Luar Kecamatan Wenang. Karena lokasinya yang landai tempat pertemuan
kedua sungai tersebut menjadi daerah rawan banjir jika musim penghujan.Banjir
rutin di wilayah Kelurahan ini sudah dimaklumi masyarakat setempat.Ketidak
khawatiaran warga terhadap banjir karena mereka mengenalnya sejak lama ia
tinggal. Tanda tanda alam jika akan banjir itu bisa dibaca dari cuaca yang terjadi
dikawasan hulu sekitar Pegunungan Tondano. Jika di kawasan pegunungan
Tondano yang lokasinya lebih tinggi itu sedang terjadi hujan deras dan secara terus
menerus, kedua anak sungai tersebut (sungai Tondano dan sungai Bawang) meluap
kepermukiman penduduk. Luapan itu akan lama surutnya jika pada saat itu juga
terjadi air laut pasang. Berbeda dengan kelurahan lainnya yang lokasinya lebih tinggi
dari Komo Luar. Secara geografis Kelurahan Komo Luar mempunyai wilayah seluas
5,1 Ha, sebelau utara dibatasi Kelurahan Karang. Sebelah selatan berbatasan
dengan Kelurahan Tikala Kumalaha, sebelah barat berbatasan denga akelurahan
Pinaesaan, dan berbatasan dengan Kelurahan Tikala Ares. Meski letaknya berada
dihamparan sungai Tondano, dan sungai Bawang Kelurahan Komo Luar termasuk
pemukiman yang padat penduduknya. Mereka bermukim di Komo Luar karena
lokasinya berada di tengah kota dan dianggap mudah untuk mencari pekerjaan.
Jarak dengan kota kecamatan hanya sekitar 8 Km, ke kantor Kabupaten hanya 2
Km, sedangkan jika ke kantor Gubernur hanya sekitar 7 Km saja.Dari 5,1 ha luas
12 Diskripsi penelitian di kota Manado ini merupakan pengembangan hasil
observasi,wawancara mendalam dan FGD yang dilakukan S.Arifianto & Ahmad
Budi Setiawan,tanggal,21-27 Juli 2009. Observasi dan wawancara mendalam
dilakukan dilokasi penelitian, yaitu di komunitas masyarakat yang tinggal di daerah
rawan bencana di Kelurahan Komo Luar,Kecamatan Wenang Kota Manado.Warga
masyarakat yang diteliti adalah mereka yang bermukim dibantaran Sungai Tondano
dan Sungai Bawang yang setiap musim hujan wilayah itu terendam air bah dari
kedua sungai tersebut. Mereka tidak mau direlokasi ketempat yang dianggap aman
karena kepentingan ekonomi, dan masalah sosial budaya yang sudah mendarah
daging dilokasi tersebut.
37
wilayah Kelurahan Komo Luar itu hamper seluruhnya merupakan kawasan
pemukiman. Namun jika dilihat dari jumlah penduduknya berdasarkan data
Monografi Desa (2008), jumlah penduduknya tercatat 2.307 orang. Terdiri dari laki-
laki 1152 orang, dan wanita 1150 orang. Kelurahan Komo Luar terdiri dari 598 KK.
Di kelurahan tersebut sebagian besar penduduknya beragama Islam yakni 2198
orang. Beragama protestan 70 orang, Katholik 28 orang dan 6 orang beragama
Budha. Agama Islam mendominasi, karena sebagian besar warga kelurahan Komo
Luar merupakan pendatang, bukan warga asli Minahasa yang umumnya beragama
Nasrani.
Pendidikan & Pekerjaan, jika dilihat dari sisi pendidikan formal dari seluruh
warga Kelurahan Komo Luar tampak bervariasi. Tetapi yang tampak sebagian besar
mereka berpendidikan Sekolah Dasar (SD) yakni sekitar 1454 orang. Setingkat
SLTP tercatat sebanyak 482 orang, setingkat SLTA sebanyak 746 orang, dan
setingkat sarjana sebanyak 174 orang, pondok pesantren 35 orang, dan pendidikan
keagamaan 276 orang. Dilihat dari lapangan pekerjaan penduduk warga Komo Luar
juga tampak beragam, mereka yang bekerja di Pemerintahan (PNS) tercatat
sebanyal 100 orang, TNI/Polri hanya 4 orang saja. Namun yang paling dominan
yang bekerja di sector swasta yakni mencapai 250 orang. Sedangkan mereka yang
berprofesi sebagai pedagang/wiraswasta tercatat 18 orang. Mereka yang bekerja
sebagai buruh/tani sebanyak 15 orang, dan yang bekerja di sector jasa 30 orang.
Dari sejumlah warga masyarakat Kelurahan Komo Luar yang tercatat memiliki
telephone sebanyak 157 buah. Kepemilikan media televisi sebanyak 274 unit,
kepemilikan decoder atau Televisi Swasta 291, pemilik antenna parabola 7 unit.
Secara tradisional sebagian besar warga masyarakat yang tinggal di bantaran
sungai Tondano, setiap rumah ada alat komunikasi tradisional berupa “kentongan”
(jawa). Di samping itu yang mereka jadikan alat komunikasi juga “pengeras suara” di
Masjid-Masjid dan Surau di sekitar Desa Komo Luar. Kentongan dan pengeras
suara di masjid-masjid mereka gunakan jika akan ada bahaya banjir yang belum
diketahui warga sekitar. Dengan alat komunikasi tradisional itulah warga yang
bermukim di bantaran sungai Tondano dan sungai Bawang mendapatkan tanda
peringatan dini jikasuwaktu-waktu terjadi bahaya banjir dilingkungannya.Tanda itu
mereka butuhkan ketika kejadiannya malam hari. Tetapi jika kejadiannya siang hari
warga masyarakat di bantaran sungai bisa melihat tanda lain seperti keruhnya air,
38
adanya batang dan ranting yang terbawa arus, air berbau lumpur dan lainnya.
Seperti dijelaskan oleh T.Tampubolon (26/7) dari Dinas Kominfo bahwa bencana
yang sering terjadi di kota Manado adalah bencana banjir dan tanah longsor. Hal ini
disebabkan oleh kontur kota Manado yang banyak perbukitan dan dilalui oleh
daerah aliran sungai. Sementara banyak warga masyarakat yang tinggal di bantaran
sungai, yang pola kehidupan lingkungannya tidak sehat. Misalnya masih banyak
warga masyarakat yang mempunyai kebiasaan membuang sampah ke sungai.
Sehingga di daerah aliran sungai Tondano dan sungai Bawang menjadi kotor
dan semakin menyempit. Hilir sungai dipenuhi oleh limbah sampah yang menumpuk
dan akhirnya jika hujan tiba lebih dari 4 (dua) jam, maka air akan meluap, terutama
didaerah sungai yang letaknya di lembah perbukitan atau di daerah dataran rendah.
Kondisi ini masih diperparah lagi dengan dijadikannya sekitar DAS sebagai
pemukiman penduduk. Badan sungai Tondano dan sungai Bawang yang di bagian
hulu lebar dan dalam, ketika sampai di hilir semakin menyempit dan dangkal.
Kondisi badan sungai yang tidak normal ini ketika dibagian hulu terjadi hujan besar
dan banjir, aliran air sungai menjadi tidak tertampung. Guna menyadarkan
masyarakat di kawasan tersebut menurut Tampubolon diseminasi pengurangan
resiko bencana masih sangat di butuhkan. Karena selama di lakukan diseminasi
atau penyuluhan tentang penanggu langan kebencanaan animo masyarakat di
wilayah tersebut cukup tinggi. Terkait dengan penyebarluasan (diseminasi) informasi
mengenai kebencanaan, Dinas Perhubungan dan Kominfo kota Manado giat
melakukan diseminasi informasi mengenai penanggulangan bencana banjir
terutama di setiap akhir tahun. Sosialisasi semacam ini menurut Tampubolon (26/7)
disamping dilakukan dengan tatap muka juga melalui siaran radio dan TV lokal
(TV5-Tomohon). Diseminasi juga dilakukan oleh Pastur dan Pendeta disetiap kotbah
minggu di Gereja Gereja. Jika dilihat di lingkungan warga masyarakat yang tinggal di
daerah rawan bencana banjir di kelurahan “Komo Luar” sebagai penyebab
utamanya karena masalah lingkungan. Rendahnya tingkat kesadaran mereka
terhadap lingkungan hidup ini direpresentasikan dalam pola hidup sehari hari.
Mereka tidak memiliki kepedulian lagi tentang pembuangan sampah. Fenomena
yang terjadi di lokasi penelitian hampir semua sampah (sampah dapur, plastik,
mebel bekas, kasur bekas dan sejenisnya) dibuang ke sungai di sekitar tempat
tinggal mereka. Bekas tumpukan sampah yang mengering dan menjadi tanah di
39
bantaran sungai itu kemudian dijadikan tempat pemukiman warga. Begitu proses itu
berlanjut secara terus menerus, sehingga menjadi tempat pemukiman ilegal tetapi
lama kelamaan berkembang menjadi permanen di kelurahan Komo Luar, seperti
sekarang ini. Biasanya, jika terjadi hujan dalam durasi waktu yang lama, ada
peringatan kepada warga masyarakat disekitar bantaran sungai melalui mesjid
ataupun gereja agar mereka bersiaga dan meningkat kewaspadaan pada saat hujan
yang tiba dalam waktu yang lama. Peringatan semacam itu meski bersifat tradisional
tetapi mereka anggap penting. Paling tidak dengan peringatan dini itu mampu
mengurangi resiko bencana banjir, karena mereka telah mempersiapkan resiko yang
mungkin terjadi ketika banjir dating di kawasan mereka tinggal.
Sedangkan menurut Karyadi (26/70) dari Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika (BMKG) melihat bahwa komponen masyarakat di daerah mempunyai
kuwajiban untuk memonitoring dan mengevaluasi fenomena alam. Seperti curah
hujan angin, gelombang laut, dan berbagai jenis fenomena alam lainnya. Adanya
curah hujan yang deras dan debit air yang tinggi dari Danau Tondano serta
pasangnya air laut secara bersamaan menyebabkan air sungai tidak tertampung,
dan meluber ke daratan yang lebih rendah. Hal ini diperparah dengan banyaknya
didirikan bangunan pemukiman di daerah aliran sungai. Seharusnya didaerah aliran
sungai tidak didirikan bangunan yang bisa menyebabkan penghambat aliran sungai.
Maka dari itu perlu ditanamkan kesadaran pada masyarakat untuk sadar lingkungan
dan tidak membuang sampah yang tidak dapat diuraikan, seperti yang mengandung
bahan plastik ke aliran sungai. Untuk pelayanan kepada masyarakat kota Manado,
BMKG wilayah IV, Sulawesi Utara juga menyediakan layanan informasi mengenai
fenomena alam seperti ramalan cuaca, curah hujan dan juga informasi mengenai
kebencanaan yang bersifat real-time dan dapat diakses oleh masyarakat melalui
situs: www.bmgsulut.wil4.go.id . Selain itu jika terjadi bencana, seperti: banjir,
gempa, tsunami dan lain sebagainya, BMKG Sulawesi Utara akan memberikan
peringatan melalui SMS ke nomor-nomor tertentu dan juga ke nomor-nomor pejabat
atau tokoh masyarakat dari server secara otomatis jika terjadi tanda-tanda alam
akan terjadi suatu bencana. Adapun informasi ini diberikan untuk mengeliminir
jatuhnya korban dari pihak masyarakat, dan masyarakat sedini mungkin dapat
menyelamatkan diri.
40
Karena sampai sekarang menurut Karyadi (26/7) gempa bumi, tsunami
hingga kini masih belum bisa di prediksi secara akurat, dan tepat. Dengan adanya
hp kurang dari 5 menit BMKG mengaku bisa memberikan informasi kemungkinan
akan terjadi bencana alam kepada tokoh formal atau informal tertentu yang terkait.
Kecepatan informasi tersebut sangat membantu mereka untuk segera mengambil
keputusan strategis dalam konteks pendistribusian informasi pengurangan resiko
bencana kepada masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana (lokasi
penelitian). Di kawasan Sulawesi utara berbeda dengan Pulau Jawa yang terjadi dua
musim, yakni biasanya antara bulan Oktober sampai dengan April musim
penghujan, dan Mei sampai dengan September musim kemarau. Meski seiring
dengan dampak pemanasan global musim itu sudah tidak terstruktur lagi.
Berbeda dengan di Pulau Jawa di Sulawesi utara menurut Karyadi (26/7)
tidak mengenal musim seperti di Jawa tersebut. Karena kenyataannya terjadi musim
hujan sepanjang tahun dan ketika musim kemarau ternyata ada hujan. Penjelasan
selanjutnya, di sampaikan Dinas Sosial kota Manado (26/7), terutama di seksi
kebencanaan, mereka mempunyai tugas untuk memantau terjadinya bencana alam
dan membantu masyarakat dalam hal tanggap darurat saat terjadinya bencana,
sebalum, sesaat dan sesudah terjadi bencana. Menurut pengalaman mereka jika di
kawasan Tumohon sudah turun hujan lebat secara terus menerus, masyarakat di
sekitar kelurahan “Komo Luar” sudah khawatir. Kalau air sudah menggenang sampai
ketinggian 0,50- 1m, masyarakat mengungsi ke sekitar Hotel Ahlan, yang lokasinya
lebih tinggi. Jika sudah kondisi darurat seperti itu hp harus tetap hidup 2 x 24 jam,
karena sewaktu waktu ada susulan banjir mereka saling memberikan informasi.
Mereka selalu berkomunikasi dengan petugas yang ada di atas Tondano, dan saling
tukar informasi tentang cuaca, dan kemungkinan banjir bandang yang lebih hebat
lagi. Dengan demikian masyarakat di daerah rawan bencana kelurahan “Komo Luar”
segera mendapatkan informasi tentang kondisi di atas Gunung tersebut. Sejak
sekitar tahun 2000-an banjir besar sering terjadi, mulai dikawasan pemukiman
“Malalayang yang terkenal dengan rawan tanah longsor sampai di kawasan hilir
kecamatan Wenang dan Kecamatan Tuminting. Solusi pengurangan resiko bencana
adalah komunikasi dengan menggunakan media dan teknologi (hp). Meskipun
sekarang teknologi dan infrastruktur untuk pendiseminasian informasi pengurangan
resiko bencana sudah canggih, namun masih saja terdapat kendala dalam
diseminasi informasi pengurangan resiko bencana kepada masyarakat.
41
Kendala yang dianggap paling mendasar adalah kesenjangan informasi. Hal
ini dirasakan oleh karena belum banyak masyarakat yang bisa mengakses
kejaringan internet dan belum banyak pula masyarakat yang sadar dengan
penggunaan alat komunikasi seperti ponsel (telepon seluler) untuk penyebarluasan
informasi kebencanaan. Kondisi semacam ini juga dirasakan oleh Dinas
Perhubungan dan Kominfo yang mempunyai Tugas Pokok dan Fungsi untuk
pendisemiansian informasi kepada masyarakat. Karena pada saat ini belum ada
mandat berupa MoU kerjasama dengan BMKG untuk memonitor informasi yang
diberikan BMG secara berkala lalu disampaikan kepada masyarakat. Dalam hal
penanganan bencana alam Dinas Sosial kota Manado mempunyai tenaga terlatih.
Tenaga terlatih itu diberi nama “TAGANA”, mereka bertugas sebagi tenaga tanggap
darurat kebencanaan dan sebagai informan bila akan terjadinya bencana alam.
Misalnya, jika terjadi hujan dalam durasi yang lama atau lebih dari 4 jam, maka
TAGANA akan menginformasikan kepada jajaran dinas terkait dan juga siaga-1
dilokasi yang rawan terjadi bencana banjir untuk melakukan evakuasi dan
membantu masyarakat. Jika terjadi bencana, maka pihak jajaran dinas sosial harus
sudah siap berada di lokasi bencana alam, apapun resikonya. Kondisi seperti itu
harus di sadari dan dipahami oleh semua warga masyarakat yang bermukim di
daerah rawan bencana, Kelurahan Komo Luar, kecamatan Wenang Kota Manado.
Untuk menguatkan argumentasi tersebut seorang tokoh masyarakat yang bermukim
di daerah Komo Luar, Umar Harun (26/7), yang juga sebagai Sekretaris Desa Komo
Luar berdasarkan pengalamannya menjelaskan bahwa: kondisi sungai Tondano dan
Sawangan di kawasan Komo Luar sudah mengalami perubahan,dibanding dua
puluh tahun silam. Jika 20 tahun yang lalu kondisinya lebar dan dalam sekarang
menjadi menyempit, dangkal dan kotor. Kalau dulu hutan di kawasan Tondano atas,
dan Tomohon masih lebat, dan mampu menyerap air hujan sederas apapun,
sekarang hutan hutan di gunung itu di”gunduli” oleh penebang liar. Akibatnya air
hujan tidak bisa terserap dan mengalir sambil membawa erosi humus dari
penggunungan itu. Maka jika hujan lebat banjir bandang tidak bisa di hindari. Apa
bila DAS di Tondano atas itu di lepas maka di bawah akan terjadi banjir.Tetapi jika
DAS itu tidak di lepas menurut Umar Harun (26/7) DAS akan jebol, karena tidak
mampu menampung debit air bah yang begitu banyak. Maka pilihan pertama
menjadi solusinya, namun akibatnya kawasan Kelurahan Komo Luar, dan daerah
sekitarnya menjadi tergenang banjir hingga, sekitar 2 meter. Oleh sebab itu warga
42
yang bermukim di daerah rawan bencana Komo Luar meminta kepada Pemerintah
Kota Manado untuk membangunkan tanggul.
Sekarang sebagian pembangunan tanggul sungai Tondano di kawasan
Kelurahan Komo Luar sedang berjalan. Menurut pengamatan peneliti dari observasi
lapangan pembangunan tanggul di bantaran sungai Tondano yang melintas
kelurahan Komo Luar sudah mencapai 5 Km. Pembangunan tanggul setinggi 4 m itu
melintasi tiga lingkungan. Yakni di lingkungan I, Lingkungan, II dan Lingkungan III
Kelurahan Komo Luar Kecamatan Wenang Kota Manado. Meski sudah dibangun
tanggul setinggi 4m dengan panjang 5 Km, kawasan itu masih saja tetap banjir,
karena masih ada dataran rendah lain yang belum bisa tertutup. Bagi Umar Harun
(26/7) untuk membaca tanda tanda alam akan terjadi banjir bandang di sungai
Tondano, dimana ia tinggal tidak sulit. Karena ia sudah hafal dengan gejala alam
yang setiap tahun selalu datang itu. Misalnya ia menandai adanya : hujan yang
terus menerus di kawasan Tondano atas. Air sungai Tondano meluap berwarna
coklat, dan banyak dahan dan ranting kayu yang hanyut. Ia mencium bau lumpur
dari air sungai itu. Umar Harun mengaku pengetahuan membaca tanda alam itu di
peroleh dari orang tuanya. Sekarang pengetahuan pembacaan tanda alam tentang
gejala banjir bandang itu sudah diajarkan kepada hampir semua warga yang
berdomisili di bantaran sungai Tondano kelurahan Komo luar. Dalam pandangannya
ia sangat mendukung program diseminasi atau sosialisasi pengurangan resiko
bencana kepada warganya. Bahkan tidak sekedar itu, tetapi secara riel ia juga minta
memerintah Kota Manado beberapa perahu karet, sebagai tindakan antisipasi ketika
ada bencana alam berupa banjir bandang yang secara rutin datang setiap tahun itu.
Sekarang masyarakat secara tradisional mengenali bencana, banjir di kelurahan
Komo Luar dengan membaca tanda-tanda alam itu. Contohnya, pada bencana banjir
di aliran sungai Tondano di kelurahan Komo Luar, masyarakat sekitar mengenali ciri-
ciri akan terjadinya banjir yaitu apabila, air sungai sudah mulai keruh tidak seperti
biasanya, banyak ranting-ranting dan kayu-kayu pepohonan yang hanyut dari arah
hulu, air sungai berwarna kecoklatan dan berbau lumpur (referensi Umar Harun,
26/7). Jika tanda-tanda alam tersebut sudah terbaca, maka warga yang mengetahui
akan memberitahu warga lainnya dengan memukul kentongan atau menyuarakan
pengumuman dari speaker masjid atau informasi melalui kotbah di-gereja-gereja.
43
Inilah diseminasi informasi manual yang dilakukan secara swakelola oleh
warga masyarakat yang tinggal di Kelurahan Komo Luar di bantaran sungai
Tondano, kecamatan Wenang Kota Manado. BMG sebagai lembaga yang diberikan
kewenangan untuk memberikan informasi tentang gejala/tanda/dan sandi maupun
ramalan cuaca yang terkait dengan bencana alam memang menjadi rujukan utama.
Namun demikian informasi yang syarat dengan teknologi informasi canggih itu baru
sebatas pada komunitas tertentu. Artinya BMG tidak bisa menyampaikan produk
informasi tentang kebencanaan atau lainnya itu secara luas ke masyarakat. Maka
dari itu peran serta kominfo di daerah sebagai jembatan informasi kepada
masyarakat menjadi sangat penting. Tetapi menurut T.Tampubolon (26/7) kominfo di
daerah belum ada acuan (protap) untuk mendiseminasikan informasi pengurangan
resiko bencana semacam ini. Kalau TIK hanya sebatas untuk komunitas tertentu,
maka media interpersonal masih mempunyai peluang yang sangat dominan untuk
melakukan diseminasi pengurangan resiko bencana kepada masyarakat. Di lokasi
penelitian belum ada media yang mampu memberikan informasi kebencanaan
secara cepat kepada masyarakat. Media yang lebih dekat ketika terjadi bencana
adalah HT Orari dan kentongan, atau pengeras suara di masjid masjid. Pada
dasarnya masyarakat di daerah kelurahan mengunginkan kehidupan yang aman,
terhindar dari bencana banjir bandang. Mereka sudah di tawari untuk di lakukan
relokasi ke pemukiman lain yang lebih aman. Tawaran itu di tolak oleh mereka
karena alasan ekonomi. Meski daerah mereka berada di bantaran sungai Tondano
yang setiap saat terancam bencana banjir letaknya di tengah kota. Kedekatan
dengan kota adalah menyangkut mata pencaharian mereka. Jika mereka di relokasi
ke tempat jauh dari kota hanya akan menyengsarakan kehidupan mereka kelak.
Maka warga masyarakat kelurahan ”Komo Luar” mengaku, suka atau tidak suka
akan tetap tinggal di bantaran sungai Tondano. Penolakan mereka bisa jadi karena
tidak dilakukan pendekatan kultural. Mungkin saja sejumlah pemukiman yang di
tawarkan untuk relokasi mereka tidak manusiawi. Di buat semata mata untuk
pertimbangan bisnis, bukan sosial dan budaya. Akibatnya muncul cara pandang
yang berbeda, mereka menjadi berpikir kalau bencana banjir tidak akan terjadi
setiap hari, tetapi jika pindah ke lokasi baru, maka itu untuk kehidupan selamanya.
Masih adanya kesenjangan informasi antara masyarkat dengan pemerintah pusat
dan daerah serta instansi yang menangai permasalahan bencana alam (banjir) di
masyarakat.
44
Pemahaman terhadap simbol-simbol komunikasi tentang diseminasi
pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana dengan TIK hanya di pahami
oleh komunitas TIK saja. Sementara komunitas masyarakat yang bertempat tinggal
di daerah rawan bencana masih menggunakan komunikasi tradisional. Oleh karena
itu, perlu ada kebijakan dan rujukan dari Departemen Kominfo atau yang terkait
dalam hal diseminasi informasi kebencanaan di daerah rawan bencana, agar
pemerintah daerah dapat membuat link (tautan) informasi dari BMG kepada jajaran
instansi yang terkait menanggulangi bencana di daerah dan kepada warga
masyarakat di daerah rawan bencana. Kemampuan atau insting masyarakat dalam
mengenali tanda-tanda bencana alam (banjir) dengan membaca tanda-tanda alam
sudah lama menjadi tradisi komunitas masyarakat di lokasi penelitian. Maka dari itu
aspek ini perlu diperkuat dengan sosialisasi program diseminasi pengurangan resiko
bencana atau berbagai penyuluhan (kebencanaan) yang merujuk pada kebijakan
pemerintah daerah secara terpadu dan lintas sektoral. Pendekatan cultural,dengan
pemberdayaan berbagai bentuk kearifan lokal meski di anggap penting masih belum
mendapatkan perhatian pemerintah dan pihak/instansi terkait yang menangani
permasalahan kebencanaan. Diseminasi tentang tata cara pengurangan resiko
bencana di kelurahan “Komo Luar” masih belum di lakukan secara terpadu.
Akibatnya dalam memandang dan menangani bencana banjir juga berjalan sendiri-
sendiri (parsial). Penanganan masalah dampak bencana banjir bagi masyarakat di
kelurahan Komo Luar, misalnya dengan relokasi warga mengalami hambatan oleh
faktor ekonomi. Persoalan ini bertautan dengan mata pencaharian komunitas warga
masyarakat yang tinggal di sekitar bantaran sungai Tondano. Relasi keberadaan
sungai dan kehidupan masyarakat dalam konteks ekonomi secara umum tidak
mungkin di pisahkan.
Secara kultural mereka telah mengalami kehidupan yang bertahun tahun,
berhimpitan dengan persoalan banjir. Bahkan bencana banjir bagi sebagian
masyarakat bukan dianggap musibah, tetapi memberikan nafkah. Jika dilihat dari
sisi sosio kultural, yang berkaitan dengan masalah pendidikan formal warga
masyarakat kelurahan Komo Luar tidak terlalu rendah. Mereka rata-rata
berpendidikan menengah atas, bahkan sarjana. Namun demikian pemahaman
mereka dari observasi cenderung rendah (tentatif masih akan dilihat dari hasil
kuesioner). Misalnya media televisi sebatas untuk hiburan, radio jarang mereka
dengarkan dan media cetak juga hampir jarang masyarakat yang membacanya.
45
Sebagai solusi alternatif jika ada gejala bahaya bencana banjir adalah
mengumumkannya di masjid, dan membunyikan kentongan, atau memukul tiang
listrik, dan benda sejenisnya. Khususnya jika banjir itu datang di malam hari. Tradisi
itu sudah menjadi kebiasaan bagi komunitas masyarakat yang tinggal di bantaran
sungai Tondano. Mereka melakukan hal tersebut sudah sejak dari generasi
sebelumnya. Tradisi masyarakat di bantaran sungai Tondano ini memberikan
gambaran bahwa sebenarnya masyarakat sudah menerapkan persiapan dini
sebelum terjadi bencana. Meski mereka melakukannya dengan cara dan tradisi
mereka sendiri.
*Tofografi Lokasi Penelitian di Gorontalo13 : Lokasi penelitian di
Lingkungan 1 Kelurahan Bugis, Kecamatan Kota Timur, Kota Gorontalo dipilih
setelah mendapat informasi dari Kepala Bidang Informasi Ibu Hj. Arfa Hamid, SP
dan Lurah Kelurahan Bugis Win Abdullah S. Sos. Kelurahan Bugis merupakan
kelurahan binaan Dinas Perhubungan Kota Gorontalo yang mengalami bencana
kebanjiran dengan tinggi 1-2 meter tiap tahun. Pengumpulan data melalui kuesioner
dilakukan oleh tujuh orang petugas survey dari kantor Dinas Perhubungan Kota
Gorontalo di Jalan Wolter Mongonsidi no. 26 Gorontalo. Sebelum bertugas mereka
terlebih dahulu mengikuti pelatihan (coaching) dari Peneliti. Petugas survey
mengedarkan kuesioner kepada 70 orang responden yang berdomisili di
Lingkungan 1 dengan mendapat supervisi dari Peneliti. Lingkungan 1 terdiri dari 4
RT dan 2 RW dengan jumlah penduduk 1.123 orang atau 289 kepala keluarga (KK).
Wawancara dilakukan dengan Lurah Kelurahan Bugis Ibu Win Abdullah, S.
Sos di kantor Kelurahan Bugis Jalan Cakalang No 1, dan wawancara dengan Ketua
RT 1/RW 1 Bapak Ismail Latala, dan Sekretaris RT 1 Bapak Saifullah Abudi.
Observasi di lokasi penelitian dilaksanakan dengan mengamati aktivitas warga dan
kondisi bangunan rumah, sarana umum, serta pintu air dan sungai Tamalate yang
mengalir di kelurahan Bugis. Potensi bencana yang dapat terjadi di Kota Gorontalo
13 Diskripsi penelitian di kota Gorontalo ini merupakan bagian dari penelitian yang
ditulis oleh Paraden Sidahuruk & Triko.S Penelitian dilakukan pada tanggal 21-27
Juli 2009 di kota Gorontalo. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah
efektivitas diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan
bencana. Adapun masalah banjir yang setiap tahun dimusim hujan mengancam
sebagian kota Gorontalo dijadikan obyek penelitian tersebut. Banyak hal yang
ditemukan dari penelitian ini.
46
adalah (1) banjir, (2) erosi/longsor. (3) gelombang pasang/abrasi pantai. Wilayah
rawan banjir di kecamatan Kota Timur disebabkan meluapnya Sungai Bone. Wilayah
banjir itu adalah Kelurahan Tamalate, Padebuolo, Ipilo, Bugis Talumolo, dan Botu.
(Badan Penanggu langan Bencana Daerah Kota Gorontalo, 2009 : 1-3) Sungai
Tamalate yang lebih kecil mengalir mengililingi pemukiman yang letaknya lebih
rendah daripada jalan Jalaluddin Tantu. Banjir juga terjadi karena air sungai tersebut
meluap masuk ke pemukiman melalui pentu air. Air dari kali atau sungai Bone yang
berasal dari Sungai Bone di Kabupaten Bone Bolango. Kelurahan Bugis letaknya di
pusat kota meliputi 4 lingkungan, 9 RW dan 34 RT. Kelurahan Bugis sebelah utara
berbatasan dengan Kelurahan Ipilo, Kecamatan Kota Timur, sebelah Selatan
berbtasan dengan Kelurahan Talumolo, Kecamatan Kota Timur. Sebelah Barat
berbatasan dengan Kelurahan Tenda, Kecamatan Kota Selatan. Sebelah Timur
berbatasan dengan Kelurahan Botu , Kecamatan Kota Timur Luas wilayah sekitar,
4,8 km2 dengan jumlah penduduk 4.584 jiwa terdiri dari 2.231 laki-laki dan 2.353
perempuan dengan 1.255 kepala keluarga. Mata pencaharian penduduk adalah
buruh/swasta (50%), pengemudi bentor (beca motor) (18 %), pegawai negeri sipil
(14%), pedagang (6%), nelayan (4%), TNI /Polri (3%), sopir, tukang, penjahit
masing-masing 2%. Pada tahun 2008 tingkat kesejahteraan penduduk terdiri dari (1)
keluarga prasejahtera (287 kel), (2) keluarga sejahtera 1 (311 kel), (3) keluarga
sejahtera 2 ( 482 kel), (4) keluarga sejahtera 3 (120 kel), (5) keluarga sejahtera 3
plus ( 55 kel). ( Kelurahan Bugis, 2009). Kondisi sosial ekonomi masyarakat di RW
1 secara bervariasi mencakup semua kategori keluarga sejahtera tersebut. Deskripsi
RT 1 yang diobservasi menunjukkan sebagian kecil keluarga menempati bangunan
rumah permanen tembok terletak di tepi jalan raya Jalaluddin Tantu. Sedangkan
sebagian besar penduduk yang berada di gang-gang jalan tersebut khususnya di RT
1 mempunyai rumah bangunan semi permanen tembok, rumah papan dan rumah
tepas (4 rumah). Ada delapan rumah semi permanen berlantai dua yang
digunakan untuk menghindari banjir. Semua rumah beratapkan seng dengan
pasokan listrik rata-rata 450 watt dengan voltage sebesar 220 watt.
Satu bangunan rumah ada yang dihuni oleh 1-3 kepala keluarga. Dari 32
rumah tangga atau 58 KK masih ada 3 KK belum memakai listrik. Air yang
digunakan sehari-hari berasal dari PAM, dan sebagian memakai air sumur.
Pemukiman RT 1 yang dikelilingi sungai Tamaleta terdapat dua pintu air yang
47
terbuat dari plat besi ukuran lebih kurang 2 m2 dengan cara buka tutup ke atas.
Menurut Ketua RT 1 Ismail Latala Ketua RT 1 RW 1 bahwa pintu air tidak
dimanfaatkan karena air tetap masuk ke pemukiman. Kalau sungai Tamaleta mulai
meluap pintu air tidak berfungsi karena itu pintu air itu dibuka masyarakat.
Seharusnya pintu air pakai putaran bola. Air juga datang dari Kuala atau sungai
Bone menutupi jalan Jaladduin Tantu dan masuk ke pemukiman. Tiap tahun terjadi
bencana banjir dengan ketinggian sekitar 1-2 m (th 2006). Banjir tahun 2008 warga
masyarakat di lokasi penelitian ini mengungsi ke tempat penampungan yang
disediakan pemerintah setempat (kelurahan, sekolah-sekolah, mesjid dan dataran
tinggi lainnya). Pengumuman peringatan dini tentang banjir, biasanya
dikumandangkan melalui pengeras suara di masjid, atau melalui HP, HT dari RT ke
kelurahan. Sebelum penduduk mengungsi barang-barang disusun di rumah lantai
dua yang mereka anggap aman. Penduduk mengungsi jika air sudah sampai atap
rumah. Menurut Saifullah Abudi Sekretaris RT 1/RW 1, parahnya banjir di kota
Gorontalo karena bergabungnya Sungai Bone dan Sungai Kuala Tamalate. Karena
air meluap dari Sungai Bone ke Sungai Tamalate tahun 2006 tanggul lebih kurang
2,5 m roboh ke arah sungai.
Kalau banjir besar sebagian air kali Bone masuk ke pemukiman RT dan
mengalir ke kali Tamalate. Air kali Bone meluap melalui jalan Jalaluddin Tantu,
masuk ke RT.1 / RW1. Pernah tahun 1948 banjir besar, tapi tidak ada korban jiwa
dan rumah hanyut, yang ada rumah roboh (tahun 1948 dan 2006) Suku bangsa
yang mendiami pemukiman RT 1 adalah suku Gorontalo. Warga RT,I mayoritas
beragama Islam. Sedangkan pendidikan mereka rata-rata hanya sampai SMP-SMA.
Di lokasi penelitian acara resmi adat, atau upacara adat Gorontalo masih sangat
dominan. Upacara tersebut biasanya di berlakukan ketika ulang tahun, dan
sejenisnya. Sementara mata pencaharian warga masyarakat beragam. Misalnya ada
yang membuat dinding tepas, membikin kue, bekerja di bangunan, supir mobil,
pengemudi bentor, PNS, pensiunan. Pengangur di lokasi pemukiman ini terdapat
18 orang. Mereka ini semuanya berlokasi di kawasan rawan banjir.
Focus Group Discussion (FGD) dilaksanakan pada hari Senin, 27 Juli 2009 di
Hotel Grand City Jalan Ahmad Yani No 109. Menurut Henry Andri Sinyal dari Kepala
Dinas Perhubungan Gorontalo (27/7) bahwa Kota Gorontalo merupakan daerah
rawan banjir. Penangannya sudah dilakukan secara rutin, hal yang biasa
48
dilaksanakan pada saat-saat terkena banjir. Tapi dalam waktu mendatang
diharapkan penanggulangan banjir akan lebih efektif, mendetail dan lebih terarah.
Dengan penelitian ini mereka berharap bahwa apa yang di lakukan oleh
Depkominfo akan membantu mereka untuk menyiapkan hal-hal yang perlu
diwaspadai. Dalam pelaksanaan penanggulangan banjir di Kota Gorontalo sudah
dapat mengeliminir berbagai permasalahan, sehingga dirasakan masyarakat akan
manfaatnya. Namun ada yang perlu ditambahkan bahwa setiap kali ada tanda-tanda
bencana memang kita diminta untuk memberi informasi pada masyarakat tentang
kewaspadaan. Jadi dari awal mereka sudah memberikan peringatan-peringatan,
terutama setelah ada Satkorlak Bencana yang sudah ada tolok ukur tentang kreteria
waspada satu waspada dua dan seterusnya. Ketika ada bencana banjir umumnya
masyarakat tidak mau di evakuasi. Mereka baru mau dievakuasi setelah rumahnya
tenggelam. Jika kondisinya sudah tenggelam mereka baru minta bantuan tim
Sakorlak atau petugas kebencanaan di tingkat Desa atau Kecamatan.
Jadi inilah diseminasi informasi yang mungkin bisa dicarikan jalannya, bagaimana
cara untuk menyakinkan masyarakat. Yaitu melalui informasi apa yang akan kita
berikan, bahwa pada level apa mereka harus keluar dari rumah tersebut agar tidak
terjadi korban. Diseminasi informasi pengurangan resiko bencana bisa mengeliminir
dan memperkecil resiko akibat banjir. Pengetahuan tersebut harus mereka
dapatkan. Contoh tahun 2008 yang lalu dua pertiga kota Gorontalo terkena bencana
banjir. Warga kota tidak bisa kemana-mana karena tidak ada angkutan yang jalan
ketika itu. Menurut Anis Musa (27/7) Badan Penanggulangan Bencana terbentuk
berdasarkan Perda No: 17 tahun 2008, pelantikan strukturalnya tanggal 14 Januari
2009, jadi baru 6 bulan 2 minggu kita kerja di Kota Gorontalo. Setiap tahunnya
mereka terkena banjir akibat dampak hujan yang turun di daerah hulu yakni didaerah
Kabupaten Bone Bulango. Pada tahun 2008 sudah 11 kali terjadi banjir akibat
luapan sungai Bone. Dengan Program Walikota tahun 2008 kemarin hingga
sekarang pembenahan seluruh saluran baik sungai maupun saluran-saluaran yang
ada di Gorontalo cukup berhasil. Walikota memprogramkan bagaimana masyarakat
dapat mengatasi banjir yang ada di kota Gorontalo. Hampir seluruh Kecamatan
terendam banjir khususnya wilayah kecamatan Kota Timur, yakni kelurahan Bugis,
dan Ipilo. Dari 6 kecamatan di kota Gorontalo ini semua berpotensi terkena banjir.
49
Sedangkan bencana erosi dan tanah longsor terjadi juga di beberapa
kelurahan. Sedangkan di pesisir pantai sering terjadi abrasi, karena sifatnya masih
baru kita menanganinya secara manual khususnya tanda batas pasang surut itu kita
buat dalam bentuk sederhana dan tradisional. Demikian pula untuk daerah rawan
longsor mereka sudah mebuat papan tanda larangan hampir di semua lokasi yang
berbahaya longsor itu. Jika terkena bencana, masyarakat enggan mengungsi dan
mereka lebih mengutamakan harta bendanya yang takut dijarah orang. Sosialisasi
tentang banjir tidak pernah dilakukan karena masyarakat sudah tahu dengan melihat
tanda-tanda alam. Namun memang mereka sadari bahwa tingkat koordinasi antar
SKPD terkait masih belum optimal. Implikasinya ketika terkena banjir atau tanah
longsor tidak dengan cepat dapat menanggulanginya. Begitu juga dalam kegiatan
saat pra bencana dan pasca bencana. Minggu kemarin kecamatan Kota Selatan
mengundang Dinas Kesehatan untuk memberikan sosialisasi kebencanaan. Dinas
Kesehatan mempunyai pemetaan daerah rawan banjir, rawan longsor, rawan gempa
bumi dan tsunami. Pertama: Pada kegiatan pra bencana, masyarakat berupaya
menguatkan sistem dari puskesmas sampai Dinas Kesehatan. Mereka yang ada di
Puskesmas berkomunikasi dengan petugas di pusat (Dinas Kesehatan) melalui sms,
jika terjadi bencana. Posko Kesehatan melakukan sosialisasi/penyuluhan pasca
bencana (Dr.Boby Harun Oka - Dinas Kesehatan). Disamping itu Dinas Sosial juga
mempunyai program penanggulangan bencana yang menyangkut tanggap darurat
yang berawal dari pra bencana kemudian ada bencana dan pasca bencana. Di pra
bencana mereka punya tenaga sukarela di berbagai kecamatan. Petugas tersebut
memberikan informasi kepada masyarakat bahwa sekarang kondisi cuaca tidak
baik. Mereka langsung memberi informasi bahwa masyarakat harus siap-siap
dengan kondisi yang ada. Kalau memang keadaan cuaca sudah tidak
memungkinkan, berarti detik-detik pengungsian mereka siapkan. Setelah kejadian,
data bencana yang harus mereka siapkan karena mereka harus merespon ke
masyarakat yang ada di pengungsian, berapa jumlah KK- nya, berapa kelurahan, di
wilayah mana dan sebagainya. Karena mereka akan menyediakan makanan siap
saji.
Kedua: untuk menangani masalah kesehatan ini mereka juga berkoordinasi dengan
Dinas Kesehatan, dengan melaporkan jumlah bayi, jumlah pengungsi di
pengungsian yang kurang sehat, atau memerlukan bantuan kesehatan dan
50
sebagainya. Ketiga : Pasca bencana masyarakat mulai kembali ke rumah masing-
masing. Dengan kondisi yang kurang kondusif itu mereka menjalani kehidupan
selama pasca bencana banjir tersebut. Umumnya mereka masih mempunyai
persediaan pangan selama tiga hari berturut-turut. Sedangkan masyarakat yang
kondisinya benar-benar darurat mereka mengusulkan untuk mendapatkan bantuan
dari pemerintah. Menghadapi masyarakat menurut mereka memang perlu
kesabaran, tindakan persuasif, dan harus dipaksa untuk mengungsi demi
keselamatan mereka (Raolah Mamonto, Dinas Sosnaker). Sementara menurut Win
Abdullah (27/7) Lurah Bugis upanya-upaya dalam menghadapi bencana alam agar
masyarakat yang ada diseluruh bantaran sungai bersiap-siap mengungsi. Mereka
selalu berkoordinasi dengan pemerintah terkait terutama dengan pembina
kelurahan. Bahkan ada beberapa lokasi yang sudah dipersiapkan untuk
penampungan. Di kantor kelurahan Bugis, ada dua lantai tapi tidak semua
pengungsi bisa tertampung. Ada lagi lokasi penampungan yaitu sekolah yang dua
tingkat di daerah lain yang paling aman. Masyarakat pengungsi tidak mendapatkan
bantuan kecuali makanan siap saji.
Mengenai kesehatan kebetulan kelurahan Bugis ada Puskesmas pembantu, jadi
masyarakat yang mengalami sakit atau diare akibat banjir, bisa dengan cepat
ditangani. Jika ada gejala banjir pihak Kelurahan selalu menghimbau kepada warga
untuk koordinasi dengan pemerintah terkait. Biasanya para ketua RT memberikan
informasi bahwa air sudah naik, kemudian meninjau ke lokasi banjir dan langsung
menghubungi ke Dishub melalui HT. Kesbang mempunyai satu seksi penanganan
bencana yang selama ini tetap aktif bekerjasama dengan badan-badan yang sudah
ada. Pada tahun 2008 Kesbang lebih banyak melihat dari tanda-tanda atau bulan-
bulan tertentu yang penting harus diwaspadai, khususnya pada bulan Januari.
Biasanya pada musim banjir Pemerintah daerah rajin melakukan rapat-rapat dengan
Muspida, SKPD sampai tingkat kelurahan untuk membicarakan suasana banjir itu.
Dalam pembentukan posko-posko, misalnya apakah masyarakat perlu evakuasi
(Wahab Mahmud Kesbang). Informasi bencana banjir disampaikan melalui RRI,
sosialisasi dan early warning system sudah dilaksanakan di masyarakat dan di
sekolah.
Untuk memantau curah hujan mereka mendirikan posko dibeberapa titik,
seperti daerah rawan banjir di Bone Bolango, Nabela, dan Suwawa yang semuanya
51
masih manual. Tahun 2009 ini baru akan memakai otomatik tapi memerlukan selular
dan untuk wilayah Bone Bolango akan ditempatkan penangkal hujan otomatis yang
bisa dipantau setiap saat. Misalnya jika terjadi hujan deras bisa langsung
memberikan peringatan ke masyarakat di sekitarnya. Jadi kendalanya pada seluler,
di daerah lebih jauh lagi tidak bisa dilakukan karena tidak ada sinyalnya. Jika air
hujan satu jam lebih dari 50 mm, maka komputer akan memberikan peringatan
bahwa hujan melebihi dari 50 mm. Kemudian mereka memberikan informasi
kemasyarakat sebagai berikut, “Hati–hati kemungkinan akan terjadi banjir”.
Sedangkan masalah gempa bumi dan tsunami mereka sudah bekerjasama dengan
Pemda maupun LIPI mengadakan tsunami drill di wilayah Gorontalo pada tahun lalu
dan dianggap cukup berhasil. Untuk pemantau gempa secara otomatis langsung ke
satelit ditempatkan di Marisa, Potolo, dan Bintatilo. Sebenarnya ada empat lokasi
tapi belum terpasang yaitu di Sumalata. Dua sirene akan ditempatkan lagi di
wilayah Gorontalo (Kisnobudi, dan BMKG). Mereka juga telah menyiapkan SDM
yang dilatih untuk menangani pengungsi, evakuasi korban banjir, dan melatih
generasi muda di kelurhan Bugis bekerjasama dengan Tagana (Yusriati Utina /PMI).
Semua staf di kelurahan Bugis, telah diberikan surat tugas khusus untuk
penanganan banjir dan bencana alam lainnya. Dulu ada TV, mobil unit penerangan
untuk menyebarkan informasi ke masyarakat. Sekarang mobil unit tidak punya dan
sarana komunikasi sangat kurang (Eddy L,/Ses Dishub). Namun biasanya
masyarakat tidak mau mengungsi jika bencana itu belum mencelakakan mereka.
Misalnya air sudah sudah di atap rumah, masyarakat masih tidak mau evakuasi.
Evakuasi selalu mengalami kendala, setelah rumahnya tenggelam mereka baru mau
dievakuasi. Dalam evekuasi semacam ini sarana transportasi mobil tidak
sembarangan karena banjir bisa sampai 4 meter. Informasi juga disampaikan
kepada mereka yang tidak kena banjir supaya tidak menutup jalan (tahun 2008
banjir menggenangi 2/3 kota Gorontalo). Ada pengumuman dari BMKG yang
disiarkan RRI Gorontalo. Tiap ada bencana petugas memberikan informasi selama
24 jam dengan menempatkan reporter di tempat-tempat bencana. Maka mereka
perlu kerjasama dengan Pemda ( Suritna Piu,/RRI,,27/7).
Jika ada bencana banjir seperti itu pihak Kelurahan menghimbau warga dan
berkoordinasi dengan pemerintah terkait. Pemberitahuan banjir kepada warga
dilakukan dengan cara tradisional yakni memuku “kentongan” sebagai pertanda
52
bencana. Di lingkungannya para Ketua RT memberikan informasi bahwa air sudah
naik. Kemudian langsung menghubungi ke Dishub melalui HT. Ketika banjir
mencapai sekitar 2 meter baru masyarakar mau diajak mengungsi (Win Abdullah,
Lurah Bugis, 27/7). Dalam situasi seperti itu biasanya Tagana langsung bereaksi
cepat. Mereka dengan sabar mengajak masyarakat yang tidak mau mengungsi.
Masyarakat berat untuk meninggalkan rumah, karena ada kepercayaan bahwa air
sebentar lagi akan turun. Ada keyakinan air hanya lewat padahal banjir mencapai
sekitar 2-3 meter. Kalau perlu masyarakat dipaksa karena banjir menimbulkan
bahaya penyakit. Masyarakat sudah berpengalaman dalam menghadapi banjir.
Sebagian diantara mereka mempercayai bahwa gunung kapur disekitar mereka
sangat kuat sehingga tidak mudah longsor seperti di wilayah lain. Meski demikian
sosialisasi tentang masalah kebencanaan menurut mereka sangat perlu, dan
masyarakat perlu pengetahuan kebencanaan semacam itu. “Kaporisasi” istilah
mereka yang artinya penyuluhan langsung (door to door) dan tidak langsung melalui
dengan mobil penerangan keliling PMI. Masyarakat memahami informasi, buktinya
jika di bagian utara atau hulu terjadi awan gelap tentu akan ada banjir besar, dan
mereka baru mau mengungsi. Tetapi kalau awan terang-terang saja mereka tidak
mau diajak mengungsi. Masyarakat saling menginformasikan apakah sudah banjir.
Untuk gempa bumi dan tsunami telah diadakan tsunami drill kerjasama dengan LIPI.
Kalau gempa bumi dan tsunami orang mengungsi dan tidak mau kembali, tetapi
sebaliknya jika banjir warga tidak mau mengungsi. Sosialisasi dilaksanakan melalui
tiga tahap, (1) kesabaran sampai mereka yakin penanganan sesudah itu, (2)
teguran simpatik, (3) justisi sesudah terlebih dahulu disiapkan tempat pengungsian
di bantaran sungai. Masyarakat memperhitungkan pasang surut air, meskipun
dipaksa tetap tidak mau mengungsi. Tapi masyarakat akan mengungsi setelah air
masuk kota Gorontalo. Melihat masalah tersebut RRI membuka link telepon untuk
masyarakat yang membutuhkan bantuan pakaian, perahu karet, makanan, obat
yang kemudian diteruskan ke dinas terkait.
*Tofografi Lokasi Penelitian di Mataram NTB14 : Kelurahan Banjar,
14 Diskripsi ini merupakan bagian dari penelitian di Desa Banjar Kecamatan
Ampenan NTB yang dilakukan oleh: Heru Pudjo Buntoro & Anwar, tanggal 21-27
53
Kecamatan Ampenan, Kota Mataram terpilih sebagai lokasi penelitian ini.
Kecamatan Ampenan mempunyai luas wilayah 946.000 hektar, dan jumlah
penduduk sebanyak 70.683 orang, dengan kepadatan rata-rata 7.472/km2. Diantara
6 Kecamatan di Kota Mataram, Kecamatan Ampenan adalah yang terpadat jumlah
penduduknya. Dalam pengumpulan data kuantitatif, peneliti dibantu aparat
kelurahan tersebut. Atas permintaan peneliti kepada Lurah setempat agar
memberikan saran kepada stafnya untuk membantu peneliti menyebarkan 70 angket
yang telah ditentukan jumlah respondennya. Sedangkan untuk kegiatan ”Focus
Group Discussion” dilakukan di Jl. Udayana Gili Gede No. 2 Mataram, dengan diikuti
para pakar dan praktisi yang berkompetensi dibidang masing-masing.
Bertidak selaku Narasumber Drs. H. Jalaluddin Arzaki. Para peserta lainnya.
Lalu Musa dari RAPI Daerah, Dinas Sosial, PWI, RRI Stasiun Mataram, Dinas
Kesehatan, Unsur Perguruan Tinggi, dan tokoh masyarakat. Peneliti juga
melakukan wawancara dengan Lurah Banjar yang langsung membawahi lokasi
banjir yang rutin setiap tahun. Menurut Lurah, daerah yang selalu kebanjiran itu ada
di tiga lingkungan, yaitu; Lingkungan I Banjar, Lingkungan 2 Sintung, dan lingkungan
3 Selaparang. Pada lokasi ini juga berdiri 5 Masjid dan 1 Gereja. Disamping itu ada
SD, MTs, TKA, PAUD dan Rumah Sakit Bhayangkara. Lingkungan masyarakat yang
dihuni oleh sebagian warga berprofesi sebagai Nelayan. Mereka ini mendiami
lingkungan pinggir pantai yang rendah, sehingga setiap saat akan mendadak
menerima kiriman banjir, belum lagi air pasang dan angin musim. Untuk sosialisasi
tentang diseminasi informasi pengurangan resiko bencana menurut penuturan Lurah
Banjar, belum pernah ada selama dia menjabat sebagai lurah sejak tiga tahun
terakhir ini.
Dengan demikian masyarakat di lingkungan ini sangat minim pengetahuan
tentang bencana. Mereka mengetahui masalah ini ada lembaga adat tradisional
bernama “lang-lang”,dimana sesuai dengan kebudayaan mereka masing-masing.
Kini lembaga adat itu sudah diaktifkan sebagai peringatan dini yang sudah
Juli 2009. Masalah yang dikaji adalah diseminasi pengurangan resiko bencana banjir
yang datang secara rutin setiap tahun di wilayah tersebut.Pada dasarnya di kota
tersebut telah disiagakan tim penenggulangan banjir yang siap bekerja sewaktu-
waktu ada bencana apapun.
54
mentradisi sejak nenek moyang mereka. Sementara sosialisasi yang dilakukan oleh
Departemen Komunikasi dan Informatika kepada masyarakat Banjar secara
langsung di Desa tersebut belum pernah. Demikian pula oleh Dinas Perhubungan
Komunikasi dan Informatika baik ditingkat provinsi maupun kota Mataram.
Sosialisasi pernah dilakukan oleh Radio Antar Penduduk Indonesia cabang Mataram
(RAPI) namun hal tersebut dianggap tidak pernah menyentuh masyarakat di
Kelurahan Banjar Kota Mataram yang kena banjir. Sosialisasi hanya melibatkan
Dinas-dinas terkait dan LSM tentang bagaimana tata cara menyelamatkan diri bila
terjadi bencana. Tampaknya koordinasi dalam penanggulangan bencana ditingkat
provinsi maupun kota Mataram relative sangat kurang. Menurut H.Jalaluddin Arzaki (
28/7) tokoh Masyarakat menyatakan bahwa khusus untuk kota Mataram bencana
alam yang paling sering adalah banjir. Terutama di kampung Banjar, kampung
sintung, dan kampung Bakik Kembar, banjir bisa datang dari laut. Di sini terdapat
sungai Jangkik dan sungai Ancar. Ke selatan bisa ke kompleks perumahan, karena
lokasinya memang rendah dan penduduknya padat. Pemerintah kota sudah
mencoba membuat parit-parit tetapi tetap juga kebanjiran. Pemerintah tidak punya
cukup biaya untuk memindahkan mereka, jadi menghimbau bagaimana para
penduduk ini tidak membangun di daerah rendah. Karena sudah terbiasa dengan
kejadian maka penduduk sudah mengetahui gejala-gejala kejadian secara
tradisional. Bila hujan turun terus-menerus atau ayam berkokok pada sore hari
pertanda akan datang banjir. Dulu masyarakat mengetahui tanda bahaya dengan
kentongan, sekarang dengan bedug atau sirene. Selama ini bantuan dari pemerintah
berupa Ban pelampung tapi tak begitu banyak tersedia. Sosialisasi pengurangan
resiko bencana belum pernah dilakukan di Kelurahan Banjar, padahal sosialisasi
tersebut sangat diperlukan, khususnya di bulan Oktober pada saat musim hujan.
Sedangkan unsur-unsur yang harus dilibatkan dalam masyarakat adalah; Dinas
Sosial, Dinas Kesehatan, Bakorstanasda, PMI, Lang-lang (Kepala Keamanan),
Remaja Masjid, Karang Taruna, dan Palang Merah Remaja. Kota Mataram
mempunyai luas wilayah pantai hampir 9 km,biasanya bencana alam itu diakibatkan
oleh air laut pasang, hujan lebat secara terus menerus, dan angin barat. Bila terjadi
bencana alam apapun bentuknya biasanya tim bergerak cepat. Tim tersebut
melibatkan semua unsur Dinas di kota mataram. Pemerintah kota Mataram telah
membentuk Tim Pengamanan Pantai dengan memberi fasilitas 2 kapal, dan perahu
55
karet. Sebenarnya diseminasi informasi tentang penanggulangan bencana alam
sudah sering disampaikan kepada masyarakat, hanya mereka tidak merespon
cepat. Buktinya Pemerintah sudah memetakan mana daerah rawan bencana dan
mana daerah yang tidak rawan bencana. Begitu pula dengan tampat-tempat relokasi
pengungsian. Di sini perlu cara cerdas dalam menyampaikannya informasi yang
bersangkutan. Dalam hal terjadi bencana komunikasi yang bisa dilakukan lewat HP
dan terutama lewat Walky-Talky. Karena listrik padam aliran bahan makanan juga
terputus. Menurut Lalu Musa, RAPI bekerja berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007,
dan Keppres No. 1 tahun 2003. Dalam Keppres tersebut antara lain disebutkan
instansi pemerintah yang terlibat antara lain; Dep. Kesehatan, Menko Kesra, Dep.
Sosial, Dep. Pertambangan dan Energi, Dep. Dalam Negeri, Dep. Pekerjaan Umum,
dan TNI/POLRI. Dalam hal ini RAPI mencatat kurangnya penyuluhan informasi
kebencanaan pada masyarakat lapisan bawah. Sehingga jika bencana terjadi, maka
baru terjadi kebingungan. Koordinasi ditingkat antar instansi masíh kurang
maksimal. Mereka bekerja menurut kesibukan tugas masing-masing. Koordinasi
ditingkat Daerah masíh relatif lemah. Masing-masing lapor ke Gubernur. Dalam hal
seperti ini informasi yang diperlukan diperoleh melalui Radio Transistor.
Berdasarkan pengalaman yang sudah terjadi, ada 2 unsur yang bekerja cepat, yaitu
Tagana (Tahun Siaga Bencana), TRC (Team Reaksi Cepat), dan RAPI. Pihak Dinas
Sosial melihat bahwa sangat diperlukan sosialisasi pengurangan resiko bencana
kepada masyarakat, terutama masyarakat daerah rawan banjir. Dalam sosialisasi
tersebut perlu dijelaskan mengenai tanggap darurat, kriteria persyaratan bangunan,
dan IMB sebagai prasyarat bagi suatu bangunan. Sayangnya sosialisasi semacam
ini belum pernah ada. Saya tidak tahu Dinas mana yang seharusnya
melaksanakannya. Kota Mataram sudah puya Tim Penanggulangan Bancana.
Dalam bencana banjir tahun 2007 lalu kami sudah disediakan obat-obatan. Semua
Puskesmas disiagakan, demikian pula dengan TIM P3K, dan menugaskan
paramedis.
Tapi pernah juga bantuan obat-obatan yang kami terima sudah kadaluarsa.
Kami juga sudah pernah mengikuti pelatihan yang difasilitasi oleh Pusat.
Kendalanya adalah pendanaan. Kita sudah punya institusi, tinggal bagaimana
melengkapi institusi tersebut dingan peralatan dan pendanaan. Kendala berikutnya
ialah masalah Koordinasi antar instansi. Koordinasi masih sangat lemah. Penyebab
56
bencana banjir di kota Mataram ialah masih adanya kemiskinan dipinggir pantai.
Dalam hal ini komunikasi seperti apa yang seharusnya dilakukan. Sebenarya
komunikasi tatap muka penting dilakukan pada masyarakat pinggir pantai. Solusi
apa yang harus diambil ketika terjadi bencana. Tapi Dinas Kominfo sudah dilebur
dengan perhubungan, dan tak tahu lagi seperti apa strukturnya. Jadi informasi yang
paling murah ialah melalui Radio, dan media yang tepat untuk dipilih ketika terjadi
bencana ialah Radio (PWI). Dalam hal ini komunikasi masih sangat kurang. Baik
komunikasi antar instansi maupun komunikasi dari pemerintah kota ke-masyarakat.
Menurut mereka pernah ada pelatihan-pelatihan, dan pemberian alat komunikasi
seperti HT tetapi masih belum mencukupi. Bahkan menurut Kepala Dinas Sosial
dalam pemberian bantuan makanan perlu diseleksi jangan sampai makanan yang
sudah kadaluarsa diberikan (RAPI, 28/7 ).
*Tofografi Lokasi Penelitian di Kota Denpasar, Bali15 :Berdasarkan buku
Monografi Kecamatan, jumlah penduduk Kecamtan Denpasar Selatan adalah
100,947 jiwa. Mayoritas penduduk beragama Hindu yaitu berjumlah 9.069 jiwa. Mata
pencaharian pendudik pada tahun 2000 diurutkan berdasarkan jumlah terbanyak
adalah sebagai berikut, Perdagangan 4.180 jiwa, Industri 3.606 jiwa, Pertanian
3.013 jiwa, Peternakan 1.324 jiwa dan Perikanan 470 jiwa. Kelurahan Sanur
merupakan salah satu wilayah dalam Kecamatan Denpasar Selatan dengan luas
wilayah 402 Ha. Penduduknya akhir tahun 2008 berjumlah 8.427 jiwa dengan 1.584
KK. Berbatas sebelah utara dan barat dengan Desa Sanur Kaja, sebelah selatan
dan timur dengan laut /selat Badung (pulau Nusa Penida). Wilayah Kelurahan Sanur
terdiri dari sembilan (9) lingkungan/banjar (lingkungan Singgi, Panti, Gulinga,
Taman, Sindu Kaja, Sindu Kelod, Batujimbar, Semawang dan Pasekute.
15 Diskripsi merupakan bagian dari penelitian di Kelurahan Sanur Kota Denpasar,
Bali ditulis Dede Drajad & Riyadi Fitri, masalah yang menjadi pusat perhatiannya
adalah diseminasi informasi pengurangan resiko bencana didaerah rawan bencana.
Ketika hujan lebat bersamaan dengan air laut pasang maka banjir di wilayah
tersebut tidak bisa dihindari. Meski sudah dilengkapi dengan pompa air tetapi masih
belum bisa menampung luberan air ketika hujan deras secara terus
menerus,bersamaan pasangnya air laut. Hal ini menjadikan pemahaman masalah
lingkungan menjadi anggenda utama yang perlu di sosialisasikan.
57
Penyebaran kuesioner dilaksanakan di Kelurahan Sanur dengan
pertimbangan masyarakat di kelurahan ini pernah mengikuti pelaksanaan simulasi
evakuasi bencana tsunami. Kelurahan ini setiap tahun terkena banjir tahunan.
Menurut Lurah Sanur IB Alit Surya Antara ( 27/7) kelurahan Sanur saat ini menjadi
prioritas penangangan bencana adalah masalah banjir yang disebabkan oleh faktor
alam. Sekitar bulan Januari-Februari ketika musim hujan berlangganan banjir karena
faktor alam. Wilayah itu terkena banjir karena ada perubahan tata ruang
(peruntukkan). Seperti di daerah Batu Jimbal wilayah Danau Tamblingan telah
berubah menjadi pemukiman dan bangunan vila. Demikian juga di kawasan Pasok
Kuto. Terkadang sampai lima hari tergenang air, karena sungai tidak lancar lagi,
(DAS) terpotong karena ada pembangunan. Lurah pernah melaporkan kepada
Walikota, rencananya akan dilakukan kegiatan penggelontoran got dan dibuat
drainase sungai yang diusulkan tembus sampai daerah Sanur Kauh. Karena daerah
ini merupakan tempat pembuangan air menuju ke by pass (jalan). Kegiatan ini akan
dilaksanakan pada akhir tahun 2009 dan secara bertahap akan dilanjutkan tahun
2010. Meski demikian untuk jalan-jalan besar tidak terjadi banjir karena telah
disediakan bak kontrol yang cukup memadai untuk menampung kelebihan beban air.
Disamping juga belum tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk menjaga
lingkungannya. Karena perkembangan pembangunan vila yang pesat dalam wilayah
Bumiayu yang tidak memperhatikan dampak lingkungan. Menurut Lurah Alit Surya
Antara, terpilihnya wilayah sebagai tempat simulasi kebencanaan karena terletak
dipesisir pantai Selat Lombok. Walaupun tidak berpotensi tsunami (menghadap ke
timur) jika dibandingkan dengan Kabupaten Nagara dan pantai Kuta yang
menghadap ke Samudera Indonesia. Simulasi tsunami ini bisa dikatakan masih
sebatas antisipasi. Yang mengikuti simulasi masyarakat wilayah Sanur Kauh
kelurahan dan Sanur Kaja (desa Sanur).
Apresiasi masyarakat cukup tinggi. Pelaksanaan simulasi tersebut dalam
wilayah Sanur Kaja, Desa Sanur (pantai Matahari Terbit). Kemudian didirikan tempat
sirene untuk antisipasi jika terjadi bencana tsunami. Sirene dibunyikan secara rutin,
biasanya tanggal 26 setiap bulan. Dimaksudkan untuk mengingatkan agar
masyarakat senantiasa meningkatkan kesiapsiagaannya. Sebenarnya, menurut
Lurah, masyarakat di sini tetap waspada karena bermukim di tepi pantai. Mereka
semua siap siaga mulai dari tokoh adat, linmas sampai Pancalang, kebanyakan
58
masih mengikuti petuah tokoh-tokoh adat untuk membaca tanda-tanda alam
(kearifan lokal). Lamanya sirene dibunyikan kurang lebih 10 menit. Sementara itu,
jalur evakuasi masih tetap seperti ketika diadakan simulasi. Menurut Lurah IB. Alit
(27/7) untuk daerah Sanur Kauh akan dibangun sirene.
Posisi pemancar Early Warning System itu terletak pantai Sanur dalam
wilayah Matahari Terbit, Sanur Kaja. Mengapa pantai sanur yang dipilih karena erat
kaitannya dengan tradisi budaya setempat. Kultur budaya Masyarkat di sini masih
sangat kuat dengan tradisi sebagai mana sejak dahulu. Di wilayah kelurahan Sanur,
hampir sebagian masyarakatnya terutama generasi muda sebagian besar sudah
banyak yang mengenal internet. Hal ini terlihat dari banyaknya warnet di wilayah
tersebut. Memang Sanur sudah terkenal hingga mancanegara, karena merupakan
daerah wisata pantai dan perhotelan. Maka tidak heran jika tingkat kesadaran
masyarakat tentang teknologi informasi dan internet cukup tinggi. Konon dulu,
wilayah Sanur ini sampai daerah Krenong (sangat luas) yang mencakup sekitar 28
banjar adat. Sekarang Sanur dimekarkan menjadi dua wilayah, yaitu Sanur Kaja dan
Sanur Kauh. Menurut IB. Alit Surya Antara (27/7), ketika itu ia masih kecil, sekitar
tahun 1970- an. Menurut IB. Alit ketika itu pernah terjadi gempa besar melanda
daerah Singaraja dan sekitarnya. Air laut sempat naik hingga merendam sebagian
besar wilayah Sanur, termasuk Hotel Bali beach sempat ikut terendam air laut.
Meski tidak ada korban tetapi dua malam berturut-turut penduduk di wilayah pantai
Sanur tidak berani tidur dalam rumah. Kondisi lingkungan sekarang sudah berbeda,
misalnya perumahan di wilayah Sanur sekarang sudah dibangunan dengan
menggunakan batu bata, tembok, dan pasir, termasuk Pura yang ada di wilayah
tersebut.
Fenomena yang menarik meski pembangunan perumahan menuju ke arah
modern, gaya arsitektur yang bernuansa adat Bali masih tetap dipertahankan
hingga kini. Misalnya rumah adat dibangun tanpa menggunakan paku. Mereka
mengistilahkan dengan sekenem, sekepel. Cek goung, Loji, Bale gede, bale mude,
sekute, sebandung, sangeh. Dengan bangunan rumah gaya adat Bali seperti oleh
merka dianggap tahan terhadap gempa. Dari ceritera tersebut sebenarnya
masyarakat Sanur sejak dulu sudah mengenal bencana alam baik banjir, maupun
”gempa”. Hal itu dicerminkan terhadap sikap masyarakat Sanur sendiri ketika
memperoleh sosialisasi, simulasi dan kegiatan lain dari pemerintah, yang relatif
59
responsif. Hanya saja mereka tidak serta merta langsung menerima, tetapi secara
bertahap. Dalam perubahan sikap seperti itu, peranan tokoh adat (Brahmana) di
Sanur Bali sangat dominan, dan menentukan. Diakui IB. Alit Surya, bahwa
penyebab banjir di kelurahan Sanur ini disamping faktor alam juga masalah
lingkungan. Misalnya pemeliharaan terhadap beberapa pasilitas umum seperti
drainase yang tidak optimal. Sebenarnya yang urgen itu adalah penataan ulang
lingkungan yang dipenuhi kendala. Seperti diakui Lurah Sanur bahwa mengatur tata
ruang sangat terkendala bangunan-bangunan (vila) milik orang asing. Banyak
sawah-sawah yang sudah baik dengan sistem subak, pada akhirnya tertimbun
pembangunan vila. Kalau di wilayah kelurahan sendiri saluran air (got) dipinggir jalan
cukup lebar tetapi masih agak dangkal dan mentok (berakhir) di Jl. Tondano
(sedang diusulkan segera akan dilakukan perbaikan pada saluran got). Sekarang ini
di wilayah kelurahan Sanur tidak ada lagi sawah. Dulu di Jl. Danau Tamblingan
memang sawah (Bumiayu), sekarang semuanya sudah berubah menjadi bangunan
vila dan hotel. Dilihat dari sisi demografi, wilayah Sanur memang berada diujung
paling Selatan pada bagian hilir. Jadi biasanya Air dari muara tumpah semua ke
Sanur. Misalnya jika terjadi hujan lebat kemudian air laut pasang, maka akan terjadi
banjir. Meski ada satu pompa penyedot air di Jl. By Pass tetapi tenaga operatornya
tidak tinggal di sini. Ketika IB. Alit Surya baru menjabat satu bulan (awal tahun 2008)
pernah pompa tdak bisa digunakan, sehingga perlu dicarikan solar dengan biaya
pribadi dan bantuan dari vila milik orang asing. Kurang lebih menghabiskan biaya
sebesar Rp 7 juta se bulan. Sekarang dua jam hujan saja sdh menyebabkan banjir.
Contoh di TK Komara Sari, SDN X Sanur hingga berhari-hari belum surut juga surut
dari genangan pertemuan air laut dan air hujan .Di
Bali pernah diadakanya simulasi evakuasi bencana tsunami, 26 Desember
2006 untuk membangun kesiapsiagaan masyarakat terhadap ancaman tsunami.
Simulasi ini diselenggarakan pemerintah daerah bersama pemerintah pusat
berlokasi di pantai Sindhu, Sanur. Dari kegiatan simulasi ini diketahui tingkat
keseiapan masyarakat, dari sisi teknis mengevakuasi kemampuan peralatan
pendektesian bahaya dini (suara sirene terdegar kurang lebih 1 km ) dan lainnya.
Beberapa hasil yang dibutuhkan dalam simulasi ini adalah ”waktu untuk evakuasi
dan peta jalur evakuasi yang akan dilalui. Berangkat dari simulasi tersebut arah
diskusi berkembang seperti penawaran dari beberapa peserta apakah diperlukan
60
kembali simulasi-simulasi seperti itu. Tetapi terlontar juga ide jika penyelenggaraan
simulasi dilakukan secara diam-diam, berapa persen faktor kesuksesannya dan
berapa persen faktor dampak yang ditimbulkan seperti kepanikan masyarakat,
termasuk turis, dan lain-lain. Dari sisi kesiapan antisipasi terhadap bencana (baik
yang timbul akibat alam maupun ulah manusia), dari pihak pemerintah (instansi
terkait) dapat dikatakan telah siap. Baik dari kelembagaan, tupoksi maupun visi misi
masing-masing lembaga terkait. Hanya saja dari hasil diskusi ditemukan beberapa
kelemahan kunci, yaitu belum terjalinya koordinasi diantara berbagai instansi terkait,
masih terdapat tumpang tindah tugas-tugas di antara instansi dan ego sentral
masing-masing instansi terkait masih juga mengemuka dalam diskusi.
Dari sisi masyarakat pun agaknya telah dibentuk beragam antisipasi seperti
adanya Kelompok-kelompok relawan, RW Siaga, SIBAT (siaga Bencana Partisipasi
Masyarakat), Taruna Siaga Bencana, dan lain-lain. Dari hasil diskusi yang sangat
urgen adalah diingatkan secara ajeg (terus-menerus) agar semua kelompok atau
komponen masyarakat di Prov. Bali, termasuk aparat pemerintah, harus senantiasa
siap atau tanggap terhadap bencana, baik karena alam maupun ulah tangan
manusia. Dari diskusi yang signifikan untuk dilaporkan adalah diharapkan dari
pemerintah pusat bahwa Provinsi Bali dijadikan prioritas tanggap bencana
mengingat peran penting Bali sebagai ikon pariwisata tidak saja di Indonesia tetapi
di tingkat internasional. Dari hasil diskusi juga diketahui untuk meningkatkan
kewaspadaan masyarakat kelurahan Sanur dan sekitarnya, termasuk pengunjung
pantai bahwa setiap tanggal 26 setiap bulan sirene di pantai Sanur dibunyikan
selama kurang lebih 10 menit. Ketika, tim peneliti melakukan observasi secara
langsung melihat posisi pemancar Early Warning System memang terletak di pinggir
pantai Sanur. Alat ini berfungsi untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar
peka terhadap bencana yang sewaktu-waktu bisa mengancam siapa saja termasuk
masyarakat disekitarnya.
*Tofografi Lokasi Penelitian di Yogyakarta16 : Kecamatan Kasihan
Kabupaten Bantul mempunyai luas wilayah 3.437,957 Ha². Tofografi wilayah berupa
16 Diskripsi ini merupakan bagian dari penelitian Kanti Waluyo Istidjab & Atjih
Ratnawati di Kota Yogyakarta, tanggal 21-27 Juli 2009. Masalah yang menjadi topic
utama pembahasan adalah diseminasi informasi pengurangan resiko bencana
dilokasi penelitian tersebut,yakni di kecamatan Kasihan dan Mergangsan kota
61
tanah datar berombak sekitar 75%, berbukit sekitar 5 % dan bergunung sekitar 20
%. Kecamatan tersebut dihuni oleh, 91.860 orang penduduk. Dengan rincian laki-
laki 45.868 jiwa, perempuan 45.992 jiwa, dan sebanyak 26.328 KK. Penduduk yg
berusia 0 sd 6 th ,10.119 orang, 7-12 tahun sebanyak 8.145 orang, 13-18 tahun
sebanyak 10.188 orang, 19-24 tahun sebanyak 12.817 orang, 25-55 tahun sebanyak
39.116 orang, 56-79 tahun sebanyak 10.538 orang, dan 80 tahun keatas 857 orang.
Dilihat dari jumlah penduduk menurut pendidikan formal yang dimiliki bersifat variatif.
Dari data menunjukkan bahwa yang belum sekolah 10.119 orang, tidak tamat
sekolah 5.563 orang, SD sederajat 24.198 orang, tamat SLTP sederajat 15.634
orang, tamat SLTA 25.565 orang, tamat D1 634 orang, D2 2.533 orang, S1 6.970
orang, S2 580 orang, S3 22 orang, buta huruf 42 orang. Dilihat dari lapangan
pekerjaan penduduk di Kecamatan Kasihan dapat di paparkan sebagai berikut.
Warga masyarakat yang berprofesi sebagai PNS 3.108 orang, ABRI 194 orang,
Pedagang 8.948 orang, Petani 14.993 orang, pengusaha 584 orang, pengrajin atau
industri kecil 1.853 orang, buruh industri 8.988 orang, buruh bangunan 8.351 orang
,pensiunan PNS/ABRI 1.688 orang, buruh pertambangan 8.351 orang, penduduk
asing 7 orang. Dari perspektif administrasi wilayah Kecamatan Kasihan terdiri dari 4
desa, 53 dusun dan 450 RT. Nama Kasihan diambil dari nama Sendang
Pengasihan, sebuah telaga yang terletak di dusun Kasihan, Kelurahan Tamantirto.
Sendang ini dipercaya mempunyai kekuatan mistis. Misalnya dapat membantu
mengatasi orang yang kesulitan mendapatkan jodoh. Menurut legenda setempat
Sendang Kasihan ada kaitan erat dengan cerita Rara Pembayun (putra
Panembahan Senapati, pendiri Keraton).
Sebelum masuk ke wilayah Mangir (yang membangkang terhadap Mataram),
Rara Pembayun bersama pengiringnya mandi dan mencuci muka di sendang ini.
Proses penyucian diri di sendang ini konon memberi dampak bagi kecantikan Rara
Pembayun sehingga membuat Ki Ageng Mangir, jatuh cinta padanya. Oleh karena
itu air sendang ini dipercaya membuat wajah dan tubuh tampak lebih muda,
bersinar, dan menimbulkan daya pikat yang luar biasa. Kecamatan Kasihan
bersama dengan Kecamatan Sewon, dan Banguntapan merupakan suatu kawasan
Yogyakarta.Adapun bencana yang sangat kental dengan masyarakat dilokasi
penelitian menyangkut fenomena permasalahan bencana gempa bumi yang pernah
terjadi tahun 2006 yang lalu.
62
yang disiapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bantul sebagai kawasan penyangga
pengembangan kota Yogyakarta ke arah Selatan. Saat ini puluhan permukiman
(perumahan) baru berkembang pesat di kecamatan ini.Kawasan tersebut dianggap
sebagai tempat rawan gempa tektonik. Kecamatan ini, berada 113 meter dari
permukaan laut, dengan batas wilayah sebelah utara adalah kecamatan
Pakualaman,sebelah timur kecamatan Umbulharjo,sebelah selatan kecamatan
Mantrijeron,kec. Sewon Bantul, dan sebelah barat adalah kecamatan Kraton,kec.
Gondomanan. Dilihat dari tofografi wilayah kecamatan Mergangsan merupakan
datar berombak hingga 100%. Terdiri dari 3 (tiga) kelurahan, 60 RW (Rukun Warga)
serta 217 Rukun Tetangga. Sedangkan jumlah penduduk kecamatan Mergangsan
sebanyak 36413 orang, dengan rincian laki-laki 18.117 orang, perempuan 18.296
orang. Penduduknya mayoritas beragama islam sebanyak 30.289 orang, katolik
2.417 orang, protestan 1.725 orang, hindu 359 orang, budha 303 orang, dan
penganut kepercayaan 145 orang. Usia penduduk yang ada 0-6 tahun sebanyak
2.775 orang, 7-12 tahun sebanyak 2.931 orang, 13-18 tahun sebanyak 4.159 orang,
19-24 tahun sebanyak 3.161, 25-55 tahun sebanyak 19.853 tahun, 56 -79 tahun
sebanyak 4.311 orang dan usia 80 tahun keatas sebanyak 549 orang. Penduduk
yang bermatapencaharian petani adalah 31 orang, pengusaha sedang/besar 28
orang, pengrajin industri kecil 130 orang, buruh industri 2.104 orang, buruh
bangunan 2.964 orang, pedagang 583 orang, PNS 1562 orang, ABRI 74 orang dan
pensiunan PNS/ABRI 865 orang. Pendidikan penduduk, yang belum sekolah 5.213
orang, tamat SD/sederajat 3.218 orang, tamat SLTP/sederajat 4.705, tamat SLTA
10.495 orang, D2 202 orang, D3 2.163 orang, S1 6.654 orang, S2 413 orang, S3 24
orang, buta huruf 33 orang. Kedua lokasi penelitian tersebut dapat dikatakan
sebagai daerah rawan bencana alam, khususnya gempa bumi. Kriteria tersebut
didasarkan pada kerusakan terparah pada saat terjadi gempa bumi 26 Juli 2006.
Atas kejadian tersebut hingga kini masyarakat masih merasa trauma ketika terjadi
gempa susulan. Pasca gempa bumi tersebut telah banyak berbagai bantuan untuk
rehabilitasi perbaikan kerusakan rumah penduduk. Bahkan berbagai penyuluhan
dan simulasi kepada masyarakat untuk mengurangi resiko bencana pernah
dilakukan, meski tidak merata.
Kegiatan desiminasi informasi pengurangan resiko Bencana Alam di
Jogyakarta menurut nara sumber dalam diskusi jarang dilakukan pemerintah.
63
Masyarakat di lokasi penelitian sendiri tidak semua mengetahui dan menyadari jika
sewaktu-waktu terjadi ancaman bencana gempa. Dari pihak BMKG, yang bertugas
mengamati dan memberikan layanan informasi tentang cuaca dan gempa bumi ikut
merasakan hal itu. Untuk bencana jenis gempa bumi telah dibentuk semacam sinyal
atau pemberitahuan (early warning system) ke instansi, dan lembaga pemerintahan
tertentu. Informasi bencana itu kemudian disebar luaskan ke nomor-nomor HP yang
terdaftar di BMKG Jakarta, dan Yogyakarta. Jadi untuk mengurangi resiko bencana
masyarakat dilokasi penelitian mengaku sering menggunakan (sms, telepon, sirene,
kentongan dan pengeras suara (spiker) di masjid-masjid untum memberikan
informasi kepada masyarakat.Secara prepentif masyarakat disarankan membangun
rumah yang tahan gempa. Perhatian pemerintah di Jogyakarta dinilai sudah cukup
baik dan transparan. Melalui Deptemen Kesehatan telah membentuk desa siaga
yaitu desa yang mampu mengatasi masalah kesehatan dan penanggulan bencana
diwilayahnya. Mereka melakukan pelatihan untuk para kader setiap desa terdiri dari
2 kader, dan 1 masyarakat. Selain itu untuk percepatan infomasi juga telah dibentuk
PUSBANGKES (Pusat Penanggulangan Kesehatan) dan YES (Yogya Emergency
Sevice). Link komunikasi ditingkat desa, pusat kesehatan desa adalah dengan
ambulans atau angkutan lain yang disesuai dengan karakteristik daerahnya.
Sementara kerjasama dengan UNICEF telah berhasil membangun menara
peringatan dini untuk bencana dipantai Ayah. Bahkan LSM,RAPI telah memberikan
peralatan komunikasi kepada masyarakat nelayan. Dimana masyarakat nelayan
pantai Ayah dikirim ke Jogyakarta untuk diberikan kesempatan belajar
penanggulangan bencana alam. Dari sisi diseminasi informasi pengurangan resiko
bencana perlu disesuaikan dengan aspirasi public. Yaitu berbagai informasi yang
bertautan dengan gejala terjadinya bencana alam berupa gempa bumi atau lainnya.
Dari pengakuan peserta FGD bahwa produk BIP yang berupa pamflet atau jenis lain
dianggap cukup membantu sebagai informasi, walaupun selama ini hanya terbatas
pada masyarakat perkotaan. Sedangkan untuk informasi kebencanaan, instansi
fungsional dapat mengelolanya dengan format atau kemasan yang lebih menarik.
Misalnya dalam buku pelajaran dimasukan sosialisasi tentang kebencanaan bagi
SD.SMP, SMA sehingga tertanam didalam jiwa murid-murid sekolah. Menurut
Dishubkominfo hambatan untuk mengurangi resiko bencana di daerah rawan
bencana adalah faktor perhatian terhadap perkembangan budaya global dengan
64
teknologi baru. Misalnya penggunaan sound system, handphone, padahal
masyarakat Indonesia lebih mengenal alat tradisional seperti kentongan. Ketika
terjadi gempa bumi pada tahun 2006, kita tidak bisa berkomunikasi karena aliran
listrik mati sedangkan teknologi sangat tergantung pada daya listrik.
Kemudian hambatan psikologis dan komunikasi dalam penanganan baik
pengumpulan data maupun penyebarluasan informasi menjadi tidak tertata.
Satkorlak hendaknya berkoordinasi dengan pihak luar yang ingin membantu secara
terencana. Dalam hal tersebut harus ada pemahaman pelatihan atau bimbingan
teknis kepada masyarakat dalam penanggulangan bencana. Pelatihan itu akan
memberikan manfaat banyak pada orang yang ingin tau. Tanda sirene kurang akrab
di masyarakat, mereka lebih mengenal alat tradisional seperti kentongan, dan
sejenisnya.Pengurangan resiko bencana bukan saja dilakukan diseminasi. Tetapi
juga kebijakan pembangunan fisik rehabilitasi rumah penduduk disesuaikan dengan
konstruksi tahan gampa. Banyaknya korban gempa bumi di Jogya 2006, salah satu
diantaranya banyaknya bangunan tua, yang tidak sesuai dengan standard.
Bangunan itu tanpa menggunakan beton eser sebagai penguat*
*Tofografi Lokasi Penelitian di Bandung 17: Bale Endah merupakan sebuah
desa di Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung Selatan Provinsi Jawa Barat
yang sering diterjang banjir. Desa Bale Endah disebelah utara berbatasan dengan
desa Bojongsari, disebelah selatan dengan desa Bojongmanggu , disebelah timur
dengan Kelurahan Manggahung dan disebelah barat kelurahan Andir. Baleendah
posisinya sangat strategis karena terletak ditengah kota, dan memiliki akses
transfortasi kemana-mana di kota Bandung. Jarak tempuh desa ini ke ibukota
kabupaten sekitar 16 km dan ke ibukota Provinsi sekitar 20 km. Desa Baleendah
memiliki luas wilayah 518,187 hektar yang sebagian besar merupakan daerah
pemukiman dan pekarangan. Penduduk yang bermukim di desa ini sebanyak 43.451
17 Diskripsi tulisan ini bagian dari penelitian yang dilakukan Sumarsono & Sri
Ngarep Manalu di Desa Bale Endah,Kecamatan Bale Endah Kota Bandung
Selatan.Dengan topic utama diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di
daerah rawan bencana. Permasalahan yang dihadapi masyarakat Desa Bale Endah
adalah banjir bandang dari Sungai Citarum yang rutin setiap tahun dimusim
hujan.Relokasi masyarakat dilokasi bencana mengalami hambatan, karena
terkendala masalah ekonomi, sosial dan budaya lokal setempat.
65
jiwa terdiri dari 22.334 laki-laki dan 21.117 perempuan dengan kepadatan penduduk
rata-rata 84 jiwa/km2.
Di kawasan ini curah hujan yang cukup tinggi yaitu rata-rata 1800- 2200 mm,
suhu udara yang sejuk antara 28-32 derajat Celsius dan berada diketinggian 580 m
diatas permukaan laut. Di desa ini terdapat sebuah danau yang dikenal dengan
nama “Situ Sipatuhunan” yang luasnya sekitar 1,5 hektar. Selain situ di desa ini juga
mengalir sebuah sungai besar yang kini mengalami pendangkalan yang disebut
sungai Citarum. Masyarakat Baleendah umumnya adalah suku Sunda yang
kebanyakan telah tinggal dikawasan ini secara turun temurun. Sebagian besar
beragama Islam dan hanya kurang dari 2% beragama lain. Mata pencaharian
mereka beragam mulai dari buruh hingga pegawai kantoran. Dikawasan ini ada
pabrik tekstil yang cukup besar yang menyerap pegawai sebagian besar berasal dari
Bale Endah sendiri. Wawancara dilakukan dengan tiga orang informan kunci yaitu
dua pejabat tingkat kelurahan Bale Endah (Rd Sutisna, Kasi Tramtib dan ibu Iim,
Kasi Kesejahteraan) serta Ketua RW 20 bapak Jajak. Desa Bale Endah memang
dikenal setiap tahunnya dilanda banjir secara rutin. Banjir selalu datang biasanya
mulai Bulan November hingga Juli dengan ketinggian yang bervariasi mulai dari
lutut hingga sekitar 2 m.
Masyarakat Baleendah mengistilahkan jika banjir baru setinggi lutut orang
dewasa mereka sebut bukan banjir tetapi kerutinan. Menurut Rd. Sutisna (30/7)
banjir yang terjadi secara rutin didesa mereka ini disebabkan karena sungai Citarum
yang mengalir melintasi desa ini mengalami pendangkalan yang luar biasa. Sungai
Citarum ini sudah sekitar 16 tahun tidak dikeruk sehingga tidak mampu menampung
volume air bila terjadi hujan lebat terutama di kawasan hulu. Penyebab lain yang
diperkirakan memiliki andil besar untuk terjadinya banjir di Baleendah ialah disekitar
hulu sungai ini terjadi perobahan peruntukan lahan. Daerah hulu yang tadinya
dipenuhi dengan lebatnya pepohonan tanaman keras kini berobah menjadi kebun
kentang dan stroberi yang dikelola oleh pemodal besar dari kota. Akibatnya resapan
air disekitar hulu sungai Citarum ini semakin berkurang sehingga mengakibatkan
banjir besar. Selain dua hal itu masih ada penyebab banjir lainnya yaitu aliran sungai
yang mengalir liar sehingga langsung menerjang dinding tanggul desa Baleendah.
Sebagaimana diketahui sungai Citarum merupakan pertemuan tiga sungai besar
yaitu sungai Cikapundung dari Bandung ,sungai Cisangkeuy dari Pangalengan dan
66
Citarum sendiri yang berhulu dari Gunung Wayang. Pertemuan arus dan perbedaan
besarnya debit air mengakibatkan arah aliran sungai melenceng dari yang
diharapkan. Sebenarnya arah aliran sungai diharapkan bisa langsung masuk
sudetan yang telah dibuat sekitar 20 tahun yang lalu tapi kenyataannya menerjang
langsung tanggul desa dan meluberi pemukiman penduduk. Bukan berarti sudetan
yang dibuat itu tidak berfungsi. Karena dibandingkan dengan sebelum ada sudetan,
daerah yang terkena banjir lebih luas lagi dan kini yang tersisa tinggal beberapa RW
dikampung Cileuncang, desa Baleendah yang lebih kurang luasnya 4 hektar saja.
Masyarakat desa Bale Endah yang menjadi korban banjir rutin tentu sangat
menderita. Mereka sulit mengungkapkan perasaannya itu dengan kata-kata. Namun
demikian bagaimana lagi mereka tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah banjir
ini. Mereka sudah pasrah dan tetap tinggal di desa tersebut karena pada umumnya
mereka telah turun temurun tinggal di desa tersebut dan rumah yang mereka diami
saat ini adalah satu satunya hak yang mereka miliki. Setiap kali banjir tiba mereka
menyambutnya dengan berbagai persiapan agar tidak terjadi korban harta-benda
apalagi nyawa manusia.
Mengurangi resiko bencana adalah suatu hal yang mereka dapat lakukan.
Kejadian semacam ini seolah telah terpolakan. Pola pengurangan resiko bencana ini
terlihat khususnya pada bulan November. Pada bulan tersebut biasanya banjir besar
mulai melanda desa ini masyarakat rajin memantau curah hujan dihulu sungai
tepatnya di Majalaya. Pak Jajak (30/7) selalu berkomunikasi melalui telepon
selulernya dengan teman temannya anggota Tagana (Taruna Penanggulangan
Bencana) di Majalaya. Selain itu mereka juga melihat tanda tanda alam. Misalnya
bila mendung gelap disekitar hulu sungai dan disusul hujan lebat serta ada
penegasan siaga dari Tagana Majalaya maka lebih kurang dua jam pasti banjir
datang. Walaupun informasi datangnya bencana ini sangat pendek namun
masyarakat dapat mempersiapkan diri dengan baik, Hal ini terbukti bahwa hingga
kini korban jiwa dan rumah roboh diterjang banjir tidak terjadi. Masyarakat telah
mampu menyelamatkan diri sendiri beserta harta bendanya dengan cara mengungsi
ditempat yang lebih tinggi. Misalnya ada yang dirumah saudaranya, masjid dan di
tempat pengungsian yang telah dipersiapkan. Bersamaan itu Tagana dan para
relawan juga telah bersiap membantu mengevakuasi korban yang memerlukan
pertolongan dengan perahu perahu kecil bantuan dari Pemda / Sakorlak Kabupaten
67
Bandung yang berjumlah lima buah. Selain lima perahu juga terdapat lalu lalang
perahu lainnya milik masyarakat /penambang setempat. Dengan alasan keamanan
dibentuklah posko-posko. Perahu-perahu kecil ini cukup lincah dan dapat berperan
banyak karena desa ini memiliki lorong gang yang sempit sedangkan perahu karet
milik SAR tidak bisa masuk secara leluasa karena ukurannya yang lebih besar.
Bantuan yang diberikan Pemerintah untuk mengurangi resiko banjir tidak sebatas
perahu saja. Tetapi juga upaya penaggulan sungai yang dilakukan oleh Balai Besar
Waduk dan Sungai (BBWS). Selain itu Camat setempat juga memberikan bantuan
selang berukuran besar untuk menyedot cekungan cekungan yang masih tergenang
air manakala banjir sudah mulai menyurut. Sebenarnya bantuan dari pemerintah
untuk mengurangi resiko bencana banjir ini sudah cukup banyak. Tapi ada saja
warga yang ketika diwawancarai oleh media massa mengatakan belum
mendapatkan bantuan apa apa dari pemerintah. Hal ini bisa jadi karena bantuan
berupa makanan memang belum ada atau terbatas dan karena mereka saat
diwawancarai lagi lapar maka mereka mejawab spontan bahwa bantuan dari
pemerintah belum ada. Diakui bahwa mendistribusikan makanan ketika banjir agak
sulit dilakukan mengingat banjir berlangsung cukup lama hingga berbulan-bulan
dengan pasang surutnya, sehingga memerlukan cadangan pangan yang banyak.
Selain itu keberadaan penduduk yang sporadic dengan sekitar 40% bertahan, 30%
mengungsi menyulikan untuk mendistribusikan makanan.
Menanggapi issue relokasi atas korban banjir ini mereka berpendapat
terpecah dimana ada yang setuju dan ada pula yang tidak. Pada umumnya mereka
ingin kepastian terlebih dahulu seberapa jauh hak-hak mereka diakui dan dihargai.
Sebab diantara mereka pernah mengalami nasib buruk sebagaimana warga RW 9
yang dipindahkan jauh kelereng gunung tapi menempati tanah milik PJKA. Merasa
menempati tanah Negara yang secara individual statusnya tidak dapat dijadikan
hakmilik maka mereka memutuskan untuk kembali ke Baleendah menempati
bantaran sungai. Saran dari masyarakat bahwa kalau memang harus dipindahkan
jangan sampai merugikan penduduk, perencanaannya harus tuntas dalam arti
sampai hal yang sekecil kecilnya difikirkan. Juga isu pemindahan/relokasi ini jangan
pula membuat penduduk stress dibuatnya. Saran lain yang disampaikan adalah
mereka tidak mau dipindahkan tetapi minta dibangun tanggul yang kuat sehingga
mampu membentengi banjir untuk tidak melimpah melanda desanya. Ada pula saran
68
ataupun keinginan untuk mengurug desa ini setinggi jalan sebagaimana yang
dilakukan pabrik tekstil di belakang rumah mereka. Berkaitan dengan diseminasi
informasi pengurangan resiko bencana secara formal jarang dilakukan di desa ini.
Pernah berapakali diselenggarakan oleh Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan namun
dinilai kurang intens sedangkan masyarakat sendiri sudah banyak berpengalaman
menangani bencana. Menurut penilaian nara sumber pemberian informasi tentang
pengurangan resiko bencana yang sangat diperlukan justru yang berkaitan dengan
ancaman paska banjir. Sebab banyak hal akan terjadi paska banjir seperti
berjangkitnya penyakit tertentu yaitu diare, gatal-gatal, muntaber, dan penyakit
menular lain yang belum diketahuai. Informasi yang diperlukan antara lain ialah
bagaimana mendeteksi gejala penyakit yang akan timbul serta bagaimana
pencegahan maupun pengobatannya.
Sedangkan berkaitan dengan informasi awal ataupun peringatan dini tentang
bakal terjadinya bencana, sebenarnya sangat tergantung pada bencana apa. Masing
masing bencana memiliki karakteristik sendiri, contohnya gempa bumi tidak bisa
diprediksi sedangkan tsunami bisa diprediksi dengan tanda tanda surutnya air laut
secara tiba-tiba. Sedangkan banjir juga bisa diprediksi dan masyarakat Baleendah
agaknya telah faham betul. Mereka melihat gejala alam yang sering terjadi misalnya
adanya awan gelap dan hujan lebat sampai tiga jam lebih di hulu sungai dan
sekitarnya bisa dipastikan akan terjadi banjir besar. Oleh karena itu sebenarnya
penyuluhan formal tentang pengurangan resiko bencana masih tetap mereka
anggap penting dan merupakan kebutuhan walaupun tidak mendesak. Mereka
menganggapnya sebagai pengetahuan tambahan saja. Bila kita perhatikan lebih
lanjut bentuk diseminasi informasi pengurangan resiko bencana bagi masyarakat
sebenernya dilakukan tidak terlalau rumit, kadang hanya berbentuk semacam
pengumuman di papan tulis, petunjuk-petunjuk praktis dan pengumuman dicorong
corong masjid dan lain-lain. Jadi tidak ada yang sulit bagi masyarakat untuk
menafsirkannya. Dengan kata lain deseminasi informasi pengurangan resiko
bencana ini sangat sederhana dan dilakukan secara lugas tanpa simbol simbol
yang ruwet sehingga tidak ada kesulitan bagi masyarakat untuk memahami
maknanya. Apalagi mereka sudah berpengalaman dalam menghadapi bencana itu.
Yang agak rumit dan detail bersifat teknis hanya diberikan pada tim SAR atau
Tagana dimana diperlukan juga pelatihan-pelatihan dan keterampilan fisik disamping
69
pengetahuan praktis penyelamatan korban. Pelatihan bagi Tagana biasanya
dilakukan secara terpadu dengan sesama Tagana dari desa lain oleh Pemda
setempat. Walaupun demikian agar deseminasi informasi pengurangan resiko
bencana ini lebih efektif dalam arti dapat menjangkau orang banyak dan difahaminya
secara baik menurut seorang narasumber dari PRSSNI sebaiknya dilakukan melalui
radio. Alasannya masyarakat yang berada dipengungsian atau lagi tinggal dirumah
menunggu air surut tidak bisa melakukan aktifitas apa-apa sebagaimana yang biasa
mereka lakukan. Mereka hanya menunggu dan menunggu sehingga untuk
menghilangkan kejenuhan sangat diperlukan hiburan dan radiolah yang tepat dapat
menembus kesunyian mereka.
Apa yang disampaikan nara sumber tersebut berdasarkan pengalamannya
ketika terjadi tsunami di Aceh, dimana radio memiliki peranan yang sangat penting
dalam membantu nenangani berbagai permasalahan yang timbul. Kala itu suasana
Aceh sunyi senyap dan segala sarana dan prasarana lumpuh. Dengan sebuah
diesel pembangkit listrik dan peralatan pemancar yang mereka persiapkan dari
Jakarta maka dalam waktu singkat beroperasilah Radio Suara Aceh 99 FM ditanah
rencong ini tanpa ada saingan. Agar dapat menerima siaran dari radio ini maka
dibagikanlah ribuan radio-radio transistor kecil kepada penduduk disekitarnya. Saat
itu siaran radio mulai memecah kesunyian tanah Aceh yang telah luluh lantak rata
dengan tanah. Bahkan radio ini tidak hanya berperan memberikan informasi dan
hiburan kepada masyarakat tetapi juga sangat berperan dalam menangkal rumor
yang banyak berkembang waktu itu. Rumor memang sering berkembang dalam
situasi yang tidak ada kepastian. Apakah rumor tersebut memang sengaja
dihembuskan oleh orang orang yang tidak bertanggung jawab atau timbul secara
tidak sengaja. Tetapi yang pasti kondisi masyarakat yang sedang dalam situasi
ketidak pastian dan panik akan memudahkan timbulnya rumor. Selanjutnya bila
rumor tersebut dibiarkan dan menerpa masyarakat yang sensitif bisa jadi akan
timbul tindakan-tindakan yang emosional bahkan bisa menjurus kekerasan yang
dapat merugikan semua pihak. Radio sebagai media komunikasi yang mampu
menembus ruang dan waktu juga sangat efektif untuk memberikan sosialisai kepada
masyarakat tentang tata nilai dan peraturan. Selain menyiarkan acara berita dan
hiburan radio juga menyiarkan program pendidikan masyarakat. Oleh karena itu
sebaiknya radio juga dimanfaatkan untuk menyiarkan berbagai upaya untuk
70
mendidik masyarakat agar melakukan tindakan-tindakan preventif terkait dengan
bencana banjir seperti menumbuhkan kesadaran untuk menjaga lingkungan dengan
tidak membuang sampah secara sembarangan, menebangi pohon dan menggunduli
hutan, mendirikan bangunan didaerah resapan dan lain-lain. Selain radio TV lokal
juga sangat berperan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya
banjir. Radio dan TV lokal saat ini memang menjadi sumber informasi dan hiburan
yang dekat dan lekat dihati masyarakat. Satu hal lagi yang dianggap lebih penting
bagi masyarakat menurut seorang nara sumber ialah tumbuhnya kepedulian tentang
segala hal termasuk penanganan banjir. Dengan tumbuhnya kepedulian masyarakat
maka masyarakat tidak akan tinggal diam bila ada masalah yang timbul. Mereka
diharapkan mau dan mampu turun tangan sendiri untuk memecahkan berbagai
permasalahan yang ada termasuk banjir ini. Sehingga dengan demikian mereka bisa
menyelesaikan sendiri setiap permasalahan mereka dan apabila perlu tidak segan
segan membantu orang lain.
Masalah banjir ini sebenarnya juga telah dibahas secara luas oleh berbagai
kalangan masyarakat salah satunya dalam seminar oleh UNJANI-Cimahi
bekerjasama dengan Kodam Siliwangi. Banyak pemikiran pemikiran yang dihasilkan
dari seminar ini dan oleh karena itu perlu ditindak lanjuti dengan sebuah action oleh
instansi yang kompeten termasuk Depkominfo. Tindakan terpadu dalam menangani
masalah pengurangan resiko bencana memang sangat diperlukan dan bila perlu
melibatkan seluruh instansi bahkan sampai ketingkat RT/RW. Pada umumnya
masyarakat di daerah rawan bencana banjir (desa Baleendah Kabupaten Bandung)
sudah tahu kapan banjir akan datang melanda desanya. Mereka menandai apabila
terjadi hujan deras 3 jam terus menerus, tanpa tunggu komando serta merta
masyarakat disana siap siaga menyiapkan diri mengemasi barang-barang untuk
keperluan sehari-hari terus pergi mengungsi ketempat yang lebih tinggi. Program
Diseminasi Informasi Pengurangan Resiko Bencana Banjir yang dilakukan
Pemerintah dalam hal ini Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan sudah dipahami
Masyarakat korban banjir pada umumnya. Lebih penting lagi tidak hanya
pengetahuan tentang bencana tetapi juga harus ditanamkan tingkat kepedulian dari
masyarakat setempat agar siap menangani sendiri berbagai kesulitan yang mereka
temui. Hal yang seringkali terabaikan justru penanganan pasca bencana serta
timbulnya penyakit menular seperti diare, gatal-gatal/penyakit kulit, dan penyakit-
71
penyakit yang belum terdeteksi. Di Kecamatan Bale Endah Kabupaten Bandung
media yang paling dibutuhkan adalah media elektronik ( Radio, Televisi ) karena
informasi penting cepat sampai kepada masyarakat setempat. Mengapa masyarakat
di Kecamatan Baleendah banyak menggunakan media Radio karena masyarakat
disana rata-rata penggemar musik dangdut yang banyak disiarkan oleh Radio-radio
Swasta. Kalaupun ada alat atau media diseminasi informasi lain sebagai peringatan
dini adalah Loud Speaker di masjid- masjid dan Kentongan. Perlu adanya kerjasama
antara Dinas Sosial, Dinas Kesehatan dan Depkominfo untuk mengadakan kegiatan
koordinasi dalam penyebaran informasi dan pembagian tugas dilapangan apabila
terjadi bencana. Pemerintah dalam hal ini agar lebih pro aktif menanamkan tingkat
kepedulian masyarakat akan bahaya banjir, tanah longsor dan tsunami. Gambaran
fenomenologi ini bersifat kasus yang kemungkinan ada kesamaan atau perbedaan
dengan daerah lain dalam kasus yang sama. Perbedaan itu bukan terletak pada alat
ukur yang di gunakan sebagai instrument penelitian, tetapi lebih pada kearifan lokal
dimasing-masing daerah.
*Tofografi Lokasi Penelitian di Bengkulu18: Penelitian dilakukan di 3 (tiga)
kelurahan (1) Kelurahan Lempuing, (2) Kelurahan Tanah Patah, dan (3) Kelurahan
Cempaka Barat. Ketiga kelurahan ini pada waktu gempa bumi tahun 2000- 2007
mengalami kerusakan berat, baik rumah-rumah penduduk, jalan raya yang retak dan
gedung-gedung pemerintah dan swasta. Kelurahan Lempuing, Kecamatan Ratu
Agung mempunyai luas 180 Ha atau sekitar 1,8 Km. Daerah kelurahan ini dihuni
penduduk 4152 jiwa, dengan rincian, penduduk laki-laki 2.082 jiwa, dan perempuan
2.070 jiwa. Dalam bentuk Kepala Keluarga (KK) berjumlah 971. Dari perspektif
administrasi wilayah di kelurahan Lempuing, terbagi ada 3 RW, dan 151 RT.
Kelurahan Lempuing dipimpin oleh seorang kepala kelurahan bernama Jafri Effendi
M, SH. Lokasi Kantor Kelurahan Lempuing terletak di Jalan Kuala Lempuing,
Kecamatan Ratu Agung ,Kota Bengkulu. Pada waktu terjadi gempa bumi tahun 2000
18 Diskripsi ini merupakan bagian dari penelitian Djoko Waluyo & Agus Haryono, di
Kelurahan Lempuing ,Tanah Patah dan Cempaka Barat kota Bengkulu, tanggal 21-
27 Juli 2009.Dengan bahasan utama diseminasi informasi pengurangan resiko
bencana,dikawasan tersebut. Masyarakat dilokasi penelitian umumnya masih belum
memahami arti sosialisasi pengurangan resiko bencana yang dimaksud. Meski
mereka mampu mendeteksi gejala bencana alam tersebut dengan membaca tanda
tanda alam.
72
di daerah Lempuing termasuk yang kena bencana dengan kerusakan parah. Rumah
penduduk, gedung-gedung banyak yang roboh. Juga kondisi jalan raya terbelah atau
patah-patah sehingga sulit dilalui kendaraan. Kelurahan Tanah Patah berlokasi
strategis ditengah kota Bengkulu yang terdapat jalan raya menuju Bandara
Fatmawati. Luas wilayah kelurahan Tanah Patah mencapai 300 Ha, dengan jumlah
penduduk 6.723 jiwa (Laporan Kependudukan Kelurahan Tanah Patah, bulan Mei
2009), rincian laki-laki 3.353 jiwa dan perempuan 3.355 jiwa. Pembagian
administratif kelurahan Tanah Patah meliputi 2 RT dan 5 RW, dengan jumlah Kepala
Keluarga 1939 KK. Adapun penduduk yang wajib memiliki KTP 3.897 orang,
sedangkan jumlah penduduk yang sudah memiliki KTP tercatat 2.884 orang.
Penduduk yang paling banyak berusia antara 13 - 18 tahun (18, 92
%),kemudian pada kelompok usia 19-24 tahun (18, 77 % ), dan kelompok usia 25-
55 tahun (17, 61 %).Penduduk menurut agama dominan menganut agama Islam (
93, 83 %), Katholik (1, 99 % ), Protestan (1,65 % ), Hindu (1,62 % ) dan Budha (0,
89 %).
Dengan demikian, penduduk di kelurahan Tanah Patah banyak yang
beagama Islam. Sementara itu, penduduk dari segi pendidikan banyak yang hanya
mencapai pendidikan Sekolah Dasar ( 26,98 %), kemudian Perguruan Tinggi ( 20,
73%). Data ini menjelaskan fakta yang kontradiktif, dalam arti terjadi lompatan yang
besar di kalangan penduduk antara yang lulusan SD dengan Perguruan Tinggi.
Selanjutnya urutan ketiga lulusan SLTP (19,37%), urutan keempat penduduk Taman
Kanak-kanak (18,87%), dan terakhir urutan kelima penduduk berpendidikan SLTA
(14,07%). Dari segi pekerjaan, penduduk di kelurahan Tanah Patah dominan
berprofesi sebagai PNS (35,12%), dan yang bekerja swasta (30,31%). Kemudian
urutan ketiga sebagai dagang (21,02%). Ketiga kelompok profesi ini menjadi ciri
khas penduduk perkotaan, termasuk di kota Bengkulu. Sedangkan dalam
prosentase yang kecil adalah penduduk yang bekerja sebagai petani (12 %), dan
sebagai anggota TNI/Polri (0,02 %). Data ini memungkinkan untuk menafsirkan
bahwa orang Bengkulu lebih suka menjadi pegawai negeri, dengan etos kerja yang
tidak dinamis atau biasa-biasa saja. Di kota Bengkulu juga banyak bermukim
warganegara Indonesia keturunan RRC/China sebanyak 212 orang khususnya di
kelurahan Tanah Patah. Lokasi wilayah ini memang strategis dan banyak pertokoan,
gedung perkantoran yang berdiri di pinggir Jalan S. Parman hingga menuju Bandara
73
Fatmawati Sukarno. Penduduk WNI banyak yang bermukim di sepanjang jalan itu.
Dari segi ekonomi, memang mereka membuka usaha dagang atau toko, yang
sifatnya bergerak dalam lapangan ekonomi.
Kelurahan Cempaka Permai, Kecamatan Gading Cempaka Permai, Kota
Bengkulu, mempunyai luas wilayah 54,40 Ha. Jumlah penduduk 7.219 jiwa (laki-
laki 3.622 jiwa dan perempuan 3.597 jiwa) yang terbagi dalam 24 RT dan 8 RW.
Untuk jumlah KK tercatat 1.630 KK (KK laki-laki 1.574 dan KK perempuan 56).
Batas-batas wilayah kelurahan Cempaka Permai, sebelah utara dengan kelurahan
Sidomulyo, sebelah selatan dengan kelurahan Lingkar barat, sebelah timur dengan
kelurahan Pagar dewa, dan sebelah barat dengan kelurahan jalan Gedang. Panjang
jalan di wilayah kelurahan Cempaka Permai mencapai 8 kilometer.Dengan
ketinggian daerah 9 m dari permukaan laut.
Dengan demikian kontur tanahnya datar atau merata, tidak berbukit-bukit.
Peruntukan tanah di wilayah kelurahan Cempaka Permai, 68,05% untuk pemukiman
penduduk, 9,43% untuk perkantoran, 12,94% untuk sarana sosial, dan sarana
ibadah memakai 5,81%. Selebihnya untuk lain-lain 3,76%. Dengan demikian,
hampir separuh lebih dari luas tanah di kelurahan Cempaka Permai untuk
pemukiman. Dari segi agama, 92,06% penduduk menganut agama Islam. Kemudian
6,65% beragama Protestan, dan 1,04% beragama Katolik. Penduduk yang
menganut agama Budha dan Hindu masing-masing 0,12%. Dari data tersebut maka
agama Islam merupakan agama yang dominan dianut penduduk di lingkungan
kelurahan Cempaka Permai. Realitas keagamaan juga terwujud dalam majelis taklim
ada 8 kelompok, kelompok pengajian 14 kelompok, Remaja Islam Masjid 6
kelompok dan kelompok Qasidah/rebana 6 kelompok. Pembagian pekerjaan
penduduk, ternyata 40,31% berprofesi sebagai PNS, yang berprofesi sebagai buruh
sebesar 10,76%, BUMN/BUMD 8,49%. Pedagang 6,31%. Dalam prosentase yang
kurang dari 5 % secara berurutan bekerja sebagai anggota TNI/Polri, tani/nelayan,
tenaga medis, dan penduduk yang bekerja tidak jelas atau lain-lain sebesar 23,57
%. Dari segi usia penduduk, yang paling dominan adalah penduduk yang berada
pada kelompok usia 30-34 tahun (928 jiwa) dari jumlah penduduk 7.219 jiwa.
Kemudian kelompok usia 25-29 tahun dan usia 40-44 tahun. Dengan demikian usia
penduduk masuk dalam ketegori penduduk produktif. Dari hasil wawancara
mendalam, FGD dan observasi serta telaah dokumen yang terkait dengan masalah
74
studi ini dapat di deskripsikan secara kualitatif. Kegiatan Diseminasi informasi
tentang Bencana Alam di Provinsi Bengkulu memang telah sering dilakukan, namun
masyarakat belum banyak mengetahui dan menyadari ancaman bencana gempa.
Dari perspektif lembaga PMI (Palang Merah Indonesia) hanya menjangkau wilayah
yang terbatas yaitu hanya di 6 Kabupaten antara lain di Muko-muko. Dengan
demikian, menurut PMI diseminasi informasi Bengkulu sudah cukup, namun perlu di
lakukan Koordinasi secara serius. Bahkan Yayasan LAYAK Bengkulu yang
bekerjasam dengan UNDP dan Bappeda Bengkulu telah melakukan sosialisasi
dengan menyebarkan dokumentasi tehnologi masyarakat Bengkulu dalam membuat
rumah aman gempa. yaitu Rumah Biday.
Perhatian Pemerintah Provinsi Bengkulu cukup besar, bahkan Gubernur
pernah langsung ikut simulasi untuk mengurangi resiko bencana alam akan tetapi
partisipasi masyarakat masih kurang dalam mengikuti simulasi. Dan secara institusi
telah dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) pada tingkat
Provinsi,yang dibentuk awal tahun 2009. Juga pernah dilakukan sosialisasi dari
Pemda untuk melakukan cara-cara mengurangi resiko bencana alam. Pemahaman
simbol-simbol tanda bencana alam dikalangan masyarakat masih belum tahu betul.
Sirene kurang akrab dengan masyarakat. Masyarakat lebih kenal alat tradisional
seperti kentongan. Bila terjadi bencana gempa bumi, mekanisme diseminasi
informasi adalah pertama sekali PMI Bengkulu menerima informasi dari PMI Pusat
melalui SMS PMI Pusat. Kemudian PMI Bengkulu menyalurkan informasi kepada
Posko di daerah Muko-muko,dan seterusnya. Sedangkan institusi BIP (Badan
Informasi Publik) dari Depkominfo belum begitu dikenal masyarakat sehingga
diperlukan tidak sekedar kerjasama (misalnya terbatas kegiatan sosialisasi saja)
tetapi harus lebih membina hubungan sinergis dengan berbagai unsur di daerah,
tidak hanya kepada Dinas/instansi terkait seperti Dinas Perhubungan, Komunikasi
dan Informatika tetapi juga kepada antara lain LSM, Humas, PRSSNI,
PWI/wartawan, bila perlu membina hubungan dengan opinion leader (tokoh-tokoh
masyarakat), dan media lokal. Dari sisi muatan atau pesan informasi harus yang
sesuai dengan aspirasi publik yaitu mengenai gejala atau terjadinya bencana alam
gempa. Diakui beberapa peserta FGD bahwa produk BIP seperti buklet, pamflet
cukup membantu sebagai bahan informasi untuk penyebaran informasi berikutnya.
Namun produk-produk BIP tersebut jangan hanya menjadi pajangan atau disimpan
75
di laci kantor. Dan sasaran penyebaran informasi publik dari BIP selama ini hanya
terbatas pada masyarakat kota saja, bagaimana dengan masyarakat perdesaan?
Daerah Bengkulu yang merupakan wilayah rawan gempa bumi, maka instansi yang
fungsional menyebarkan informasi kebencanaan harus dapat mengelola informasi
kebencanaan dengan format yang menarik dan dibutuhkan bagi masyarakat. Dan
untuk jangka waktu sedang dan jangka panjang maka perlu dimasukkan materi
sosialisasi pengurangan resiko bencana alam dalam buku pelajaran muatan lokal
di SD, SMP, dan SMA sehingga tertanam didalam jiwa murid-murid sekolah.
Untuk mengurangi resiko akibat bencana gempa bumi, tentunya perlu
dirancang langkah-langkah untuk melakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh
informal pada daerah yang tertimpa bencana. Para tokoh informal amat disukai dan
dikenal masyarakat dan ini merupakan suatu bentuk kearifan lokal yang perlu
diberdayakan oleh Pemerintah Provinsi Bengkulu. Dan mungkin rumah panggung
(disebut rumah Biday) yang dulu banyak dipakai masyarakat kuno bisa dijadikan
alternatif atau solusi untuk mengurangi resiko bencana dalam masyarakat. Menurut
pihak BMKG bahwa jangan anggap remeh tentang bencana gempa bumi, angin
puting beliung, tsunami. Disini bagi masyarakat yang penting harus tahu dan serius
memahami alam dan menyiasati kondisi alam. Memang di daerah Bengkulu
seringkali terjadi gempa,apalagi yang skala kecil.Sehingga masyarakat sudah
terbiasa dengan gempa bumi. Kejadian gempa tahun 2000, masyarakat panik dan
banyak orang yang terpengkap di dalam rumahnya. Kejadian itu malam hari dan
keadaan gelap gulita karena aliran listrik padam. Kemudian pada tahun 2007 terjadi
lagi gempa yang cukup besar di Bengkulu, lama gempa sekitar 15 menit,dan
masyarakat sangat panik. Banyak kendaraan saling tabrakan untuk menyelematkan
diri ke daerah yang aman dari gempa. Waktu kejadian menjelang Magrib pada hari
mau masuk Puasa pertama. Jadi masih terang cuacanya. Tapi masyarakat cukup
panik. Dari pengamatan Dinas Perhubungan,Komunikasi dan Informatika
Pemerintah Provinsi Bengkulu bahwa memori masyarakat yang perlu dibangun
kembali. Masyarakat dulu tidak mengenal milik individu, yang ada kepunyaan
bersama yang harus diselamatkan. Sekarang kondisi yang seperti tersebut sudah
tidak ada lagi. Semua akibat dari berbagai bencana yang menimpa masyarakat
Bengkulu. Adalah kewajiban Pemerintah Provinsi Bengkulu untuk memprioritaskan
program bencana alam sebagai yang pertama.Dengan demikian, juga perlu
76
dibarengi dengan program pemberdayaan masyarakat untuk mengurangi resiko
bencana. Disini tujuannya adalah untuk menyamakan persepsi terhadap
penanggulangan bencana. Masyarakat belum sepenuhnya menyadari arti sosialisasi
untuk mengurangi resiko bencana. Pemerintah Provinsi Bengkulu makin menyadari
bahwa wilayahnya seringkali terjadi bencana gempa bumi,maka perlu diprioritaskan
program untuk membangkitkan kesadaran masyarakat dengan pemberdayaan sosial
dengan sosialisasi dan simulasi bencana.Dan dibentuk Badan Penanggulangan
Bencana Daerah Bengkulu. Alternatif bagi masyarakat untuk mengurangi resiko
bencana dengan membangun model rumah biday yang tahan terhadap gempa.
*Tofografi Lokasi Penelitian di Kota Padang,19: Kelurahan Purus
Kecamatan Padang Barat merupakan daerah masuk katagori rawan bencana yang
dipilih sebagai Lokasi Penelitian. Berdasarkan data statistik kota Padang, Kelurahan
Purus Padang Barat termasuk urutan kedua dari kawasan yang sering tertimpa
bencana alam. Kecamatan yang berada pada urutan pertama yakni kecamatan
Padang Selatan, dan kecamatan Padang Timur pada urutan ketiga. Di Kecamatan
Padang Barat terdapat 24 kelurahan yang terdiri dari 13.027 Kepala Keluaraga (KK).
Sedangkan di Kelurahan Purus Kebun terdapat 530 Kepala Keluarga. Jumlah
tersebut tercatat pada urutan tengah jika dibandingkan dengan jumlah kepala
keluaraga di kelurahan lainnya. Misalnya Kelurahan Purus Utara dan Borok, yang
mencapai masing-masing terdiri dari sekitar 697 Kepala Keluarga (KK). Dengan
demikian Kelurahan Parus termasuk lokasi yang dianggap daerah rawan bencana,
khususnya gempa bumi tektonik. Merujuk dari keterangan Kepala Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Padang, peristiwa bencana alam
yang menonjol terjadi di Kota Padang yakni gempa bumi dengan potensi tsunami;
banjir, angin topan.
Hal ini lebih disebabkan letak Kota Padang yang berada di bibir pantai Lautan
Hindia yang dikenal berombak besar. Di samping itu Kota Padang juga dilalui oleh
19 Diskripsi tulisan ini bagian dari pnelitian,: Parwoko & Budi Santoso,yang
dilaksanakan pada tanggal,21-27 Juli 2009 di kota Padang. Masalah yang dikaji
adalah diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana.
Masyarakat setempat memandang bencana sudah menjadi bagian dari kehidupan
sosialmereka.Mereka mengenali gejala bencana alam dengan membaca tanda
tanda alam secara tradisional.
77
deretan Bukit Barisan serta berdekatan dengan Gunung Berapi; seperti: Marapi,
Singgalang, Talang; serta terdapat dapat 5 (lima) sungai yang melintasi Kota
Padang, seperti sungai Batang Kandis sepanjang 20 km. Kawasan tersebut selain
didominasi oleh hutan, curah hujan pun cukup tinggi sehingga bencana banjir dan
tanah longsor menjadi permasalahan tersendiri. Keadaan semacam ini menjadikan
bencana alam yang menimpa masyarakat Kota Padang cenderung bervariatif.
Sebaliknya dengan seringnya terjadi bencana alam maka masyarakat kota Padang
seolah-olah sudah terbiasa dalam menghadapi ragam bencana alam seperti itu.
Dalam wawancara dengan peneliti mereka mengaku bahwa masyarakat seolah
sudah tahu betul tentang kapan bencana akan datang. Dengan begitu mereka tahu
upaya apa yang harus ditempuh untuk menyelamatkan diri ketika melihat tanda-
tanda alam. Seperti datangnya ombak besar pada tepian pantai dua hari
sebelumnya. Jika tanda-tanda ini mulai nampak maka mereka akan segera
menyelamatkan diri dengan pergi ketempat yang lebih aman atau pergi ke tempat
sanak keluarga. Untuk penanggulangan bencana alam bagi masyarakat kota
Padang telah memiliki prosedur tetap (Protap). Aturan standard ini menjadi penting
untuk dilakukan, terutama ketika terjadi bencana. Protap tersebut meliputi langkah-
langkah sebagai berikut : (1) evakuasi masyarakat ; (2) laporan RABAB ke
Pusdalop ; (3) laporan ke Pusdalop ke Wali-kota ; (4) Konfirmasi Walikota ke
BMKG ; (5) Aktivasi Peringatan Dini ; (6) Masyarakat Melanjutkan Evakuasi ; (7)
Pembatalan Peringatan Dini ; (8) Masyarakat siap siaga di Lokasi bencana. Dengan
memahami protap penanggulangan bencana semacam itu mereka bisa cepat
bertindak ketika ada peringatan dini. Peringatan Dini di Kota Padang berada
dibawah komando Walikota Padang serta dibawah koordinasi Kepala Badan
Pengendalian Banjir dan Bencana. Walikota mendapatkan informasi terjadinya
bencana dari BMG maka setelah itu Walikota segera memberikan perintah resmi
evakuasi. Walikota Padang memberikan perintah evakuasi secara resmi melalui: (1)
Sirene dengan bunyi tertentu; (2) Radio Nasional dan Swasta; (3) Radio Komunikasi
Antar Penduduk.
Setelah perintah evakuasi resmi dari Walikota, maka masyarakat melanjutkan
evakuasi hingga mencapai daerah relokasi; yakni bangunan bertingkat yang rata-
rata lebih dari dua lantai. Dalam situasi yang demikian itu maka seluruh media cetak
dan elektronik berada dibawah kendali Pemerintah Kota.Artinya sumber informasi
78
tentang bencana alam didominasi pihak pemerintah kota. Media sangat tergantung
dari humas pemerintah kota. Pada sisi yang lain masalah bencana alam menurut
mereka harus dipandang sebagai upaya menciptakan kewaspadaan terhadap
ancaman bencana alam. Sedangkan diseminasi Informasi merupakan salah satu
upaya dalam pengurangan resiko bencana di Kota Padang. Hal itu dianggap penting
untuk dilakukan mengingat banyaknya korban akibat ketidaktahuan tentang tata cara
penye lamatan diri ketika akan dan sedang terjadi bencana. Beberapa langkah yang
ditempuh dalam diseminasi informasi menurut mereka adalah dengan
memanfaatkan berbagai media (elektornika maupun cetak), seperti: (1) Radio
Internet (RANET); (2) RABAB (Radio Antisipasi Banjir dan Bencana); (3) Radio HT;
(4) FM RDS; serta (5) Sirene. RANET, di Kota Padang merupakan salah satu
diantara radio penyiaran yang berbasiskan jaringan internet. Radio ini pusat
penyiarannya berada di Badan Meteorologi,Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
Sumatera Barat yang lokasinya berada di kota Padang Panjang.
Sementara itu yang dimaksudkan dengan RABAB merupakan sebuah
modifikasi dari fungsi radio panggil (HT) yang diubah menjadi radio siaran. Radio
RABAB ini bermula dari sebuah inovasi yang ditemukan seorang anggota TIM
Rescue (SAR), untuk mendapatkan fasilitas dari pihak Pemerintah Kota Padang
untuk ditetapkan sebagai radio siaran. Maka siaran radio RABAB ini menjadi
berbeda dengan karakteristik radio siaran pada umumnya. Radio RABAB
mengudara sebatas adanya informasi yang bersifat kebencanaan. Sedangkan untuk
menjaga validitas isi siaranya terdapat lima lembaga yang mempunyai kewenangan
untuk mengudarakan informasi tentang bencana. Mereka adalah Walikota Padang,
Sekretaris Daerah Kota Padang, Kapolwiltabes Kota Padang, Komandan Kodim
Kota Padang, serta Kepala Badan Penanggulangan Banjir dan Bencana Kota
Padang. Diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di Kota Padang juga
telah dilakukan melalui jalur pendidikan. Misalnya : (1) Pendidikan sekolah ditingkat
(SD, SMP, SMA); (2) Kurikulum siaga bencana; (3) Sosialisasi penanggulangan
bencana tingkat RT/RW, Kelurahan; (4) Simulasi evakuasi tsunami; (5) Peta jalur
evakuasi; (6) Masyarakat Peduli Bencana. Melihat kondisi tersebut, maka efektifitas
diseminasi informasi melalui “metode tatap muka” menjadi kurang efektif. Hal ini
antara lain disebabkan: (1) Rendahnya tingkat pendidikan formal dan pengetahuan
masyarakat ; (2) Sering terjadinya disinformasi kebencanaan di daerah rawan
79
bencana ; (3) Adanya hambatan perbedaan nilai-nilai sosial budaya lokal di
komunitas masyarakat. Oleh sebab itu masyarakat setempat memerlukan kerja
keras untuk mencapai target pengurangan resiko bencana ketika terjadi bencana
alam. Kerja keras yang mereka lakukan diantaranya adalah: “pembuatan peta jalur
evakuasi‟‟, sehingga pemerintah perlu berusaha: (1) Memperbanyak peta dan jalur
evakuasi serta membagi kannya kepada masyarakat di daerah rawan bencana.( 2)
Menyiapkan lokasi evakuasi ; (3) Mewujudkan pelebaran jalan-jalan yang diperlukan
untuk evakuasi, (membuat jalan baru antara daerah Tunggul Hitam sampai Lubuk
Buaya, (4) Mengkoordinasikan sekolah-sekolah di zona merah mengenai jalur
evakuasi sehingga melalui sekolah dan Komite Sekolah setiap murid dan orangtua
murid memahaminya. Memanfaatkan lembaga Kerapatan Adat Nagari: Tungku Tigo
Sajarangan (Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cerdik Pandai) adalah merupa kan
lembaga “kerapatan adat nagari” merupakan perwakilan anak nagari yang berfungsi
sebagai lembaga musyawarah bersama wali nagari. Peraturan Daerah Provinsi
Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok-pokok
Pemerintahan Nagari dan Peraturan Daerah Kabupaten se Sumatera Barat tentang
Pemerintahan Nagari). Sehubungan dengan upaya untuk menjawab masalah
penelitian, yakni pentingnya pengurangan resiko bencana alam, maka peranan dan
fungsi lembaga kekerabatan adat nagari ini menjadi sangat penting dan strategis.
Sebagaimana diketahui bahwa “Niniak Mamak dan Alim Ulama serta Cerdik Pandai”
merupakan unsur penting yang sangat dihargai dikomunitas masyarakat
Minangkabau. Karena hampir semua keputusan apapun yang ditetapkan melalui
musyawarah adat akan dipatuhi masyarakat pendukung budaya tersebut. Tokoh
Alim Ulama setempat berpandangan bahwa mereka tidak akan mempunyai fungsi
apapun kecuali jika telah mendapatkan dukungan pendapat dari “Niniak Mamak
serta Cerdik Pandai”.Sehingga perannya sebagai disseminator pengurangan resiko
bencana alam menjadi signifikan di daerah rawan bencana. Mereka mengatakan
tidak ada gunanya doa yang dimunajadkan kepada Tuhan Allah kecuali jika terdapat
kerjasama dengan “Niniak Mamak dan Cadiak Pandai” dalam menindak-lanjuti doa
yang dimunajadkan dengan Sang Chaliq. Menurut Tokoh Ulama setempat untuk
pekerjaan diseminasi pengurangan resiko bencana ini pemerintah harus bisa
mendapatkan orang-orang dengan kriteria sebagai berikut: (1) mampu ; (2) mau ; (3)
waktu ; (4) dipercaya. Mampu, dapat diartikan dengan :(a) Mempunyai kemampuan
untuk dapat menyelesaikan permasalahan ; (b). Mempunyai keberanian menghadapi
80
dan memperjuangkan maksud atau tujuan ; (c) Piawai dalam berdialog dalam
membela kebenaran dan keadilan demi kepentingan masyarakat. Sementara itu
yang dimaksudkan dengan Mau,dapat diartikan : (a) Punya kemauan
memperjuangkan kepentingan mengenyam pingkan kepentingan pribadi, suku atau
kaum ; (b) Punya kemauan mengatasi segala kendala yang dihadapi.
Waktu, dapat diartikan sebagai : (a) Bisa membagi waktu dan memilih
moment yang tepat dalam menghadapi masalah Nagari ; (b) Bisa memberikan waktu
untuk kepentingan Nagari kapan dan dimanapun demi masyarakat bersama.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan Dipercaya, yakni : (a) Dapat dipercaya oleh
masyarakat dalam mengatasi setiap permasalahan ; (b) Dapat mempengaruhi pihak
manapun dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat dan Nagari ; (c)
Memegang teguh Filosofi" Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" ;(d)
Mempunyai wawasan luas, rasional dan professional. Dalam rangka Banagari
(bernegara) telah difungsikan lembaga Nagari seperti: (1) KAN, yaitu lembaga Ninik
Mamak yang dalam adat Minangkabau orang yang dianggap sebagai pimpinan
suku. Mereka sebagai pemimpin terdepan dalam suatu suku itu. Ninik Mamak
mempunyai peran untuk menggali aspirasi anak kemenakan dan mensosialisasikan
peraturan-peraturan yang dikeluarkan ditingkat Nagari; (2) BPN, adalah merupakan
Lembaga Legislatif yang terdiri dari unsur-unsur yang ada dalam masyarakat. BPN
merupakan wakil-wakil unsur dalam masyarakat, maka semua kebijakan yang
diterapkan adalah usulan masyarakat secara umum. Agarketentuan kebijakan
tingkat nagari dengan mudah bisa diterapkan dalam masyarakat; (3) MTTS adalah
lembaga penasehat yang terdiri unsur Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cerdik pandai.
Lembaga MTTS mempunyai peran untuk menilai dan mempertimbangkan kebijakan
yang akan diterapkan dalam masyarakat; (4) Pemerintahan nagari, adalah lembaga
pelaksana kebijakan yang diusulkan dan dinilai oleh lembaga yang ada dalam
Nagari. Dari peran lembaga tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa lembaga-
lembaga yang ada dalam Nagari masing-masing mempunyai andil dalam kebijakan
ditingkat Nagari sebagai: (1) Lembaga Pengusul dan Pensosialisasi Kebijakan
(KAN); (2) Lembaga pengawas kebijakan (BPN); (3) Lembaga Penilai/ Penasehat
Kebijakan (MTTS); (4) Lembaga pelaksana kebijakan (Pemerintah Nagari). Di lokasi
penelitian tersebut “Gotong Royong dan Solidaritas Sosial” merupakan kearifan lokal
yang menjadi penyelamat utama para surveyor gempa. Solidaritas adalah harta
81
karun masyarakat lokal dan bahkan harta karun bangsa Indonesia yang terancam
punah. Kekayaan bangsa ini bukan terletak pada kekayaan alam semata-mata
melainkan juga berkat adanya kegotong royongan sesama masyarakat
lingkungannya. Keunggulan komparatif bangsa ini terutama dari sebab adanya
manusia-manusia suka bekerja keras, tulus, ikhlas, jujur, hemat, dan pantang
serakah menyerah menghadapi situasi seberat apapun ditengah-tengah situasi
didera bencana alam.
Gotong royong dan solidaritas sosial dalam kenyataaanya dapat
terselenggara tanpa adanya hambatan suatu apapun. Perda Pemerintah Provinsi
Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok-pokok
Pemerintahan Nagari dan Peraturan Daerah Kabupaten se Sumatera Barat tentang
Pemerintahan Nagari). Perda Pemerintah Kota Padang Nomor 5 tahun 2007, Pasal
21 disebutkan “adanya pendapatan Nagari yang berasal dari hasil swadaya dan
sumbangan masyarakat serta hasil gotong royong”. Dalam hal ini anggaran
pemerintah kota hanya merupakan stimuli untuk menumbuh kembangkan kegotong
royongan dalam masyarakat. Pada tahun anggaran 2007, pemerintah kota Padang
memberikan dana sebesar Rp.50 juta bagi masyarakat tingkat kelurahan dalam
rangka pelaksanaan acara Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat, yang hasilnya
dapat berupa pembangunan jalan serta melakukan rehabilitasi jalan yang rusak.
Dalam hal ini maka segenap kekurangan atas dana stimuli dari pemerintah ditang
gung masyarakat secara gotong royong. Semua kegiatan yang terkait dengan
sosialisasi penanggulangan bencana alam diperlukan media, baik media massa
modern maupun media tradisional dikomunitas lokal. Dengan berlatar belakang
fungsi Rabab Tim SAR Pemerintah Kota Padang mencoba menembus kebekuan
dalam menghadapi sulitnya sistem komunikasi untuk penyampaian informasi
bencana tsunami tahun 2006 dengan membentuk sebuah radio siaran yang khusus
digunakan untuk komunikasi informasi bencana. Radio RABAB merupakan hasil
modifikasi teknis atas gelombang radio panggil yang izinnya dimiliki oleh Tim SAR
Kota Padang.
Radio ini untuk sementara hanya dioperasikan dalam rangka penyampaian
informasi tentang kemungkinan terjadinya bencana alam yang akan melanda Kota
Padang. Sistem pancar luas dari siaran radio RABAB berada dibawah kendali Wali
Kota Padang bekerjasama dengan segenap radio siaran yang ada di Kota padang,
82
terutama radio yang menggunakan frekuensi FM. Adapun pesawat handy talky yang
berjumlah 5 (lima) pesawat, didistribusikan masing-masing kepada Wali Kota,
Sekretaris Daerah, Kapoltabes, Tim SAR, serta Ketua Badan Pengendalian
Bencana Daerah (BPBD) Kota Padang. Kehadiran Rabab berkaitan erat masuknya
Islam di Miangkabau terutama daerah pesisir pantai sumatera bagian barat. Rabab
di Pesisir Minangkabau Selatan disebut Rabab Pasisie, sebuah seni tradisi lisan
atau “bakaba”. Seni tradisi rabab pasisie ini menampilkan seorang tukang rabab
(biola), seorang tukang gendang, dan seorang tukang dendang (biasanya
perempuan).Tukang rabab juga merangkap sebagai pencerita. Masyarakat
membaca tanda alam : untuk membaca tanda tanda alam akan terjadinya gejala
bencana alam mereka mempercayai bilou. Suara „‟teriakan bilou (Hylobates
klossii)‟‟, sejenis kera endemik secara turun temurun dipercayai warga lokal sebagai
pertanda akan datangnya bencana. Fenomena ini bisa menjadi peringatan dini
misalnya pertanda akan datangnya gelombang tsunami. Program penyadaran
kearifan lokal itu mulai disosialisasikan Surf Aid Australia, sebuah LSM internasional
peduli bencana sejak 2007. Masyarakat setempat telah memiliki sistem deteksi dini
bencana dari gejala alam yang didominasi hutan tropis. Masyarakat memercayai jika
mendengar suara binatang itu dengan alunan bunyi tertentu maka dianggap sebagai
pertanda akan ada bahaya. Bilou adalah jenis kera unik menyerupai siamang
endemik yang hanya dijumpai di Kepulauan Mentawai. Sekujur tubuh bilou dipenuhi
rambut hitam dan dibagian mata berbulu putih. Sebagai primata endemik, bilou
kemudian ditetapkan sebagai binatang dilindungi oleh Pemerintah Indonesia
maupun oleh masyarakat dunia termasuk masyarakat lokal. Selain untuk deteksi
bencana, suara bilou juga pertanda dihen-tikannya kegiatan perburuan binatang di
hutan. Jika ada warga berburu lalu mendengar suara bilou, maka mereka harus
menghentikan perburuan, karena jika dilanjutkan akan ada bahaya.Bahaya itu tidak
jauh dari bencana alam dan sejenisnya. Meski bersifat mithos hal tersebut masih
diyakini sebagian komunitas masyarakat di Sumatra Barat*.
*Tofografi Lokasi Penelitian di Banda Aceh NAD20 : Sejak dulu kota Banda
Aceh terkenal dengan istilah Serambi Mekah, sebuah makna yang memberikan
20 Diskripsi tulisan ini merupakan bagian dari penelitian,: Gantyo Witarso & Yan
Andriariza yang dilakukan di kota Banda Aceh,tanggal 21-27 Juli 2009.Masalah
yang dikaji adalah Efektifitas diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di
83
identitas religius bagi masyarakatnya. Sekarang secara resmi, menjadi Nanggroe
Aceh Darussalam adalah Daerah Istimewa yang terletak diujung paling barat Pulau
Sumatra. Secara administratif, NAD terbagi menjadi 17 kabupaten dan 4 kota
dengan Banda Aceh sebagai ibukota provinsi. Daerah tersebut memiliki potensi
besar dibidang pertanian, perkebunan, dan perikanan. Wilayah kota Banda Aceh
memiliki luas keseluruhan 61,36 km terbagi menjadi 9 Kecamatan dan 88 Desa.
Berbatasan langsung dengan Selat Malaka disebelah utara,Kabupaten Aceh besar
disebelah selatan dan timur, Samudera Hindia disebelah barat. Kota Banda Aceh
yang menjadi kawasan bandar perniagaan yang sangat ramai karena hubungan
dagang dunia internasional terutama kawasan nusantara dimana Selat Malaka
merupakan jalur lalu lintas pelayaran kapal-kapal niaga asing untuk mengangkut
hasil bumi wilayah Asia ke Benua Eropa. Tersedianya Pelabuhan Iskandar Muda
sangat mendukung kota ini sebagai pusat perdagangan. Belum lagi jalan darat yang
menghubungkan antar kabupaten maupun provinsi. Tingginya mobilitas
pengangkutan jalan raya dapat dilihat dari besarnya konstribusi sektor tersebut bagi
pembentukan kegiatan ekonomi Banda Aceh. Sebelum bencana alam “Tsunami
(2004)21 Aceh merupakan penyumbang 6,5 % PDB dengan nilai 1,59 trilyun.
Menurut data Dinas Perikanan (2005), Industri perikanan mampu menyerap sekitar
100.000 tenaga kerja atau 87 %.” Tetapi ketika terjadi gempa bumi, dan tsunami
tahun 2004, Kota Banda Aceh tersapu bersih. Kota yang sebelumnya terkenal
perniagaannya itu menjadi kota mati, kondisi perekonomiannya menjadi lumpuh dan
kehidupan sosial budayanya menjadi rentan. Pasca tsunami data Bapenas memper
kirakan 9563 unit perahu hancur. Diantaranya termasuk 41,5% perahu tidak
bermotor, 24,8% perahu bermotor, dan 33,7% kapal motor besar, sehingga total
kerugian mencapai 944.492 milyard atau 50% dari total asset.Maka pasca tsunami
produksi perikanan di Aceh turun hingga 60%.Isu yang menjadi perhatian banyak
daerah rawan bencana.Pasca gempa bumi dan tsunami 2004,Aceh menjadi kota
fenomenal seperti yang ditulis peneliti.
21 Lihat http://wikiwidia.org/aceh,diakses 21 September 2009,pk.16-15 Wib. Pasca
gempa tsunami kondisi kota Aceh hancur berantaakan.Insprastruktur hancur total,
khususnya di kawasan pantai.Pemulian perekonomian dan rehabilitasi sosial budaya
di Aceh memerlukan waktu yang cukup lama.Kota Banda Aceh sebagai kota
pelabuhan dan Bandar Internasional, menjadi kota mati.Pemandangan hanya terlihat
bangkai kapal yang berserakan di daratan atau dipantai sekitar Aceh.
84
pihak pasca tsunami (2004) di Aceh adalah rehabilitasi perumahan penduduk pasca
bencana, masalah ini memerlukan sosialisasi yang ber-larut larut (Warta
Ekonomi,14/11/2005).
Sementara itu penilaian Bank Dunia terhadap perkembangan ekonomi Aceh
pasca bencana tsunami menunjukkan penurunan yang cukup tajam. Misalnya dalam
kurun waktu 2008, Aceh mengalami penurunan perekonomian yang luar biasa yakni
pada kisaran 8,3% (Tempo Interaktif.com, 29/7/2009, Pukul 16.30). Diantara
bencana alam lain kasus Aceh termasuk yang paling kompleks. Persoalannya bukan
sekedar manangani korban tsunami yang jumlahnya berada pada kisaran 160.000
orang meninggal atau hilang, tetapi juga menyangkut 500.000 kk yang kehilangan
tempat tinggal22.Diseminasi informasi yang paling mendasar adalah bagaimana
memberikan pemahaman kepada korban bencana tentang masalah pengungsian.
Tetapi ketika dipengungsian muncul persoalan sosial dan budaya lainnya.
Bagaimana menjamin pendidikan anak anak mereka, karena secara psikologis anak
anak korban bencana tsunami tidak bisa disamakan seperti anak sekolah pada
umumnya.Persoalan sanitasi di pengungsian, bantuan makanan dan peralatan
lainnya. Beban psikologis ini sangat berpengaruh terhadap proses belajar mengajar
bagi mereka. Secara sosial dan budaya mereka telah terpisah dari kekerabatan
yang mereka bangun selama ini. Bencana ini juga dikenal dengan bencana sosial
budaya sepanjang massa. Bagaimanapun juga kota Aceh harus bangkit kembali,
berbagai upaya dan bantuan baik dari dalam maupun luar telah mereka terima.
Tetapi sayangnya banyaknya bantuan tidak semuanya berkonotasi positif. Persoalan
utama penenganan rehabilitasi Aceh adalah koordinasi antar pihak yang
berkepentingan di daerah tersebut. Menurut A.Azis dari (Dinas Infokom) dalam
Focus Group Discussion (FGD),27 Juli 2009, terungkap bahwa masih adanya ego
sektoral antara lembaga di kota Aceh. Diharapkan hal ini jangan sampai terus terjadi
dalam penyebaran informasi publik, terutama dalam hal bencana alam. Sehingga
hubungan lintas sektor antara pusat, provinsi dan daerah dapat terjalin dengan baik,
dan tidak terganggu. Misalnya Penggabungan Dinas Infokom kedalam “Dinas
22 http://ilhamsaenong.wordpress.com/2006/12/28/dua-tahun-pasca-tsunami-aceh,
diakses tanggal 21 September 2009,pk.17.45 wib.Banyaknya bantuan dari luar
negeri mengalami kesulitan administrative, sehingga tidak bisa langsung digunakan
untuk menolong masyarakat yang menderita akibat bencana tsunami ketika itu.
85
Perhubungan“, menjadi “Dishub Komitel“ mereka akui bisa menimbulkan persoalan
baru bagi pelaksanaan fungsi dan tugas komunikasi dan informasi yang selama ini
menjadi ranah Dinas Infokom.
Keterbatasan SDM, anggaran, infrastruktur dan menyempitnya tupoksi,
berpengaruh terhadap upaya sosialisasi dan diseminasi informasi yang dibutuhkan
publik. Bahkan uniform baru, seragam dinas perhubungan (yang kini dikenakan oleh
eks pegawai dinas infokom) bisa menimbulkan kesalahpahaman masyarakat dalam
memaknai tugas-tugas komunikasi dan informasi yang menjadi tanggung jawab eks
dinas infokom. Maka dari itu diperlukan perbaikan dalam hal kepanjangan tangan
pemerintah ke masyarakat sampai dengan tingkatan paling rendah (Kabupaten –
Kecamatan – Kelurahan). Bila pada jaman dahulu kepanjangan tangan tersebut
dilaksanakan oleh Jupen, maka perlu adanya peran seperti itu saat ini. Perlunya
meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, dalam hal peringatan
dini terjadinya bencana alam (tokoh masyarakat,27/7/2009).
Sedangkan menurut sumber dari PMI (27/7/2009) Koordinasi dan sinergi
antar lembaga yang berkepentingan terhadap penanganan masalah bencana alam
masih lemah. Termasuk dalam hal siapa yang paling berkompeten menyampaikan
informasi kepada masyarakat. Ego sektoral lembaga masih dominan, sehingga
timbul kesan di masyarakat bahwa pemerintah kurang fokus dalam penanganan
bencana. Perlunya meningkatkan koordinasi antara satu lembaga dengan lembaga
yang lain. Kesadaran masyarakat akan bahaya bencana alam makin tumbuh di
Aceh, terbukti dengan semakin banyaknya para relawan yang membentuk forum-
forum peduli bencana, termasuk relawan yang tergabung dalam PMI (Palang Merah
Indonesia), Pramuka, dan Karang Taruna. Melalui organisasi, mereka memberikan
pengetahuan, informasi, bahkan simulasi-simulasi kepada masyarakat tentang apa
yang perlu dilakukan dalam menghadapi bencana alam. Partisipasi aktif masyarakat
tersebut, belum mendapat apresiasi dari pemerintah. Terbukti dengan beberapa
keluhan yang mengemuka dalam forum diskusi. Pemerintah disarankan lebih pro
aktif terhadap upaya-upaya yang telah dilakukan komunitas masyarakat. Misalnya
dengan menjadikan mereka sebagai mitra atau partner dalam meningkatkan
pengetahuan dan wawasan publik terhadap penanggulangan bencana alam.
86
Perlu adanya keseragaman informasi dari pemerintah kepada masyarakat
tentang bencana alam (Dinkes, 27/7). Perlunya informasi yang jelas dan cepat dari
pemerintah terhadap penyebaran informasi bencana alam. Dengan demikian
dampak yang terjadi dapat segera ditanggulangi atau diminimalisir (Satkorlak, 27/7).
Karena selama ini Pemerintah terlkesan lamban dalam menangani masyarakat yang
terkena bencana alam. Juga dalam memberikan solusi bantuan, bahkan sering kali
didahului pihak lain. Hal ini disebabkan kurangnya sosialisasi yang dilakukan
pemerintah dalam hal penanggulangan bencana. Masih banyak masyarakat yang
belum mengetahui tanda-tanda bencana alam. Sehingga diperlukannya koordinasi
antara berbagai pihak, misalnya BMKG mengetahui tanda-tanda bencana, tapi
mereka tidak dapat menyebarkan informasi tersebut, maka dibutuhkannya
koordinasi dengan pihak lain untuk menyebarkan.
Menurut sumber PWI (27/7/2009) media senter yang pernah dimiliki, kini tidak
berfungsi lagi semenjak Dinas Infokom melebur menjadi bagian dari Dinas
Perhubungan. Padahal institusi terkait lainnya, keberadaan media center sangat
strategis bagi pers dan juga masyarakat yang membutuhkan sumber informasi
terpercaya, termasuk informasi tentang kejadian bencana alam. Perlunya kesamaan
visi antara pemkot dan provinsi dalam hal diseminasi informasi pengurangan resiko
bencana alam dianggap penting. Penyebaran informasi bencana alam jangan hanya
dilimpahkan pada satu lembaga saja. Melainkan perlunya kerjasama dengan
berbagai pihak, karena informasi tentang bencana alam sudah sampai pada tingkat
pemerintahan paling bawah. Tapi apakah informasi tersebut dipahami oleh
masyarakat, hal itu yang perlu mendapat perhatian pemerintah. Maka perlu lembaga
khusus yang menangani masalah informasi publik untuk menghindari kerancuan
informasi yang dapat menimbulkan bias pemahaman masyarakat. Lembaga resmi
yang memiliki kewenangan di bidang informasi publik mendesak diperlukan.
Masyarakat membutuhkan informasi segera dan strategis, tentunya dari sumber
pemerintah yang terpercaya. Setiap kali terjadi bencana alam, setiap kali pula
terlihat ketidak berdayaan masyarakat dalam mengantisipasi dan mengatasi
terjadinya bencana. Hanya kepanikan dan kepasrahan masyarakat yang seringkali
muncul disetiap kejadian bencana alam. Akibatnya bencana alam yang terjadi
diberbagai daerah selalu menelan korban manusia meninggal.
87
Lemahnya antisipasi masyarakat terhadap bencana yang akan terjadi serta
terlambatnya reaksi pemerintah dalam menyikapi bencana, merupakan penyebab
utama banyaknya korban yang jatuh. Antisipasi masyarakat yang terlambat itu
disebabkan minimnya informasi, dan pengetahuan kebencanaan yang diperoleh dari
pemerintah dan pihak berkompeten lainnya. Tindakan apa yang harus dilakukan
ketika bencana akan terjadi dan bagaimana seharusnya ketika bencana terjadi. Dua
hal tersebut masih minim diketahui oleh masyarakat. Artinya diseminasi informasi
pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana sangat penting dan
strategis. Trauma dan kepanikan merupakan sesuatu yang normal dan manusiawi
ketika bencana terjadi.
Tapi bukan berarti respons semacam itu lantas dibiarkan terus terjadi, karena
justru berpotensi membahayakan masyarakat dan menimbulkan kerugian lebih
besar. Bencana alam yang potensial selalu terjadi diberbagai wilayah di Indonesia,
dan selalu pula merenggut banyak korban. Hal itu karena kurang optimalnya
diseminasi informasi tentang penanggulangan resiko bencana. Sudah seharusnya
pemerintah menata ulang kebijakan yang terkait dengan informasi public.
Khususnya di bidang bencana alam, karena masyarakat butuh informasi terkini,
akurat dan real time, sebagai bentuk peringatan dini bagi publik untuk menghadapi
bencana alam macam apapun.
*Topografi Lokasi Penelitian di Jakarta23 : Penelitian dilakukan di
Kelurahan Bukit Duri, Kecamatan Bukit Duri di Wilayah Jakarta Selatan. Kelurahan
Bukit Duri dipilih sebagai lokasi penelitian karena daerah tersebut dianggap masuk
katagori rawan bencana. Pada setiap tahun secara rutin di kawasan bantaran sungai
Ciliwung tersebut mengalami banjir. Penyebab banjir ada berbagai faktor,
diantaranya terjadinya pendangkalan sungai Ciliwung di bagian hilir, tejadinya
penyempitan badan sungai karena digunakan untuk pemukiman penduduk,
23 Tulisan ini bagian dari Penelitian yang di lakukan oleh S.Arifianto & Mohan Rifqo
Virhani, di Kelurahan Bukit Duri Kecamatan Bukit Duri Jakarta Selatan,dengan
thema,”diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana,
tgal.21-27 Agustus 2009.Kawasan tersebut setiap tahun terendam banjir sungai
Ciliwung, tetapi masyarakat sekitar tidak menganggap sebagai bencana yang
berbahaya.
88
terjadinya banjir bandang dari hulu karena terjadi penggundulan hutan. Banjir di kota
Jakarta dan sekitarnya menjadi persoalan yang sangat kompleks, bukan saja karena
luapan air sungai Ciliwung, tetapi menyangkut masalah sosial, budaya dan
lingkungan warga Jakarta sendiri. Penanggulangan banjir Jakarta tidak sekedar bisa
diselesaikan dengan melakukan pengerukan atas badan sungai Ciliwung yang
mengalami pendangkalan dan penyempitan di bagian hilir. Persoalan sosial yang
menyangkut kependudukan dan lingkungan hidup jauh lebih penting. Persoalan
sosial dan lingkungan di kota metropolis seperti Jakarta seakan menjadi bom waktu.
Pembangunan kota yang kurang mengindahkan tata ruang dan analisis dampak
lingkungan menjadi persoalan yang sangat fenomenal.Belum lagi sikap masyarakat
kota yang cenderung individual, tidak berorientasi pada kehidupan lingkungan, cepat
atau lambat akan menjadi persoalan besar bagi penanggulangan banjir di
Jakarta.Lemahnya manajemen kepandudukan dan penataan ruang menjadikan
“para pendatang“ bermukim di bantaran sungai yang seharusnya di kosongkan.
Dengan alasan mencari pekerjaan dan di kota akhirnya mereka menjadi penduduk
liar di kawasan bantaran sungai Ciliwung, termasuk sebagian di Kelurahan Bukit
Duri. Mereka tinggal di daerah tersebut sudah bertahun tahun. Sedangkan relokasi
penduduk di bantaran sungai Ciliwung ini tidak mudah. Akhirnya mau tidak mau
mereka harus menerima kenyataan setiap tahun berhadapan dengan banjir.
Meski mereka tidak menganggap banjir sebagai bencana, pemerintah
mengkatagorikan wilayah tersebut sebagai daerah rawan bencana, sehingga
mereka perlu informasi tentang kebencanaan. Di kawasan tersebut banjir tidak
identik dengan kesusahan. Banjir yang datang secara rutin setiap tahun itu telah
menimbulkan sikap adaptif bagi warga. Sambil menunggu janji janji yang tidak
kunjung tiba dari pemerintah daerah, mereka memilih berdamai dengan kondisi
yang ada sekarang ini. Di Kelurahan Bukit Duri Jakarta Selatan ini yang dilalui
sungai Ciliwung peristiwa banjir bukan hal yang istiwewa. Mereka telah
mempersiapkan jauh sebelumnya sebelum banjir datang. Kebiasaan ini sudah
mereka terapkan bertahun tahun di daerah tersebut24. Dalam penanganan dan
24
Setiap tahun pada musim hujan dan puncaknya pada Bulan Pebruari, masyarakat di Kelurahan
Bukit Duri siap mengamankan harta bendanya. Warga tidak siap ketika ada banjir tetapi juga telah
mempersiapkan rumahnya menjadi bertingkat hingga 4 lantai.Pada lantai dasar banyak ruang yang di
kosongkan, misalnya alat alat elektonik ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi sekitar satu
meterdari lantai. Lantai dua keatas dipergunakan untuk tempat tidur, gudang dan penyimpanan
barang barang.Baca Expedisi Ciliwung Laporan Jurnalistik Kompas di halaman 14.
89
pengurangan resiko bencana khususnya bidang Informasi, BMKG Pusat melalui
beberapa media (SMS, Fax, E-mail, Radio, Maupun Media Cetak) Disamping itu
BMKG Juga bekerjasama dengan Institusi Interface seperti Polisi, Pemerintah
Daerah. Misalnya, Masalah Tropikal siklon, Klimatologi sudah mempunyai
warningnya dan sudah mempunyai kajiannya melalui media-media tersebut. Dari
pengalaman terjadinya Gempa Bahwa BMKG telah membuat suatu Kebijakan
Evakuasi untuk mengurangi resiko bencana Gempa Bumi dan Tusnami. Namun bagi
masyarakat di pinggir pesisir yang mempunyai kendala dengan bahasa (pada
umumnya belum bisa berbahasa Indonesia) untuk mengatasi hal tersebut kami
bekerjasama dengan pemerintah daerah dan GTZ (LSM dari Jerman) membuat
KOMIK dalam bahasa Jawa ini merupakan salah satu media informasi yang
digunakan oleh BMKG. Mereka juga melakukan kerjasama dengan Radio-radio
untuk menjangkau daerah-daerah pesisir dan kami juga membangun dengan
komunitas-komunitas nelayan dan bekerjasama dengan LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat) yang peduli dengan Iklim. Kemudian BMKG juga sudah memasang
Early Warning System sudah terpasang. Dalam hal ini BMKG dituntut berperan aktif
dalam rangka mengurangi resiko bencana (Sumber : BMKG,FGD,26/7/2009).
.
Bagi masyarakat yang berpengetahuan lebih mudah untuk diajak kerjasama
dalam menanggulangi resiko bencana. Misalnya di Kelurahan Bukit Duri sudah
dilakukan simulasi. Di wilayah tersebut peran masyarakat cukup aktif karena
didukung dengan pengetahuan yang ada, bahkan early warning system sudah
berjalan. Jika BMKG mengirimkan Informasi ada “hujan lebat dengan kecepatan
angin sekian” ke dinas PU, biasanya PU langsung ke crisis centre yang ada di Balai
Kota langsung berkomunikasi di posko di Katu Lampa,Bogor. Ketika luberan air
sungai mulai meluap, dan menggenangi pemukiman panduduk biasanya masyarakat
saling mencari informasi dan membunyikan Sirene. Mereka juga menggunakan
sistem peringatan dini dengan paralon yang diberi warna, sehingga mereka yang
tidak berpendidikan (orang awam) dapat mengetahuinya. Meski tempatnya di kota
metropolis seperti Jakarta alat komunikasi tradisional masih dianggap penting.
Misalnya membunyikan “kentongan” apabila ketinggian air mencapai warna biru.Ini
pertanda bahwa penduduk sekitar lokasi itu harus bersiap-siap (mengepak barang-
barang). Dalam kondisi tersebut biasanya posko pengungsian sudah disiapkan,
termasuk dapur umum dan perangkat kesehatan. Bagi masyarakat yang
90
pengetahuannya masih relatif rendah biasanya mereka lebih memilih bertahan di-
rumah masing masing. Tetapi bagi mereka berkecukupan sudah disiapkan rumah
susun,jika sewaktu-waktu datang banjir mereka tinggal pindah ke lantai dua atau tiga
yang lebih aman. Mengatasi mereka dengan melakukan relokasi juga tidak mudah.
Karena mereka di lokasi tersebut lebih mudah mendapatkan penghasilan.
Contohnya masyarakat yang tinggal dibelakang “Rumah Sakit Hermina”. Mereka
tetap bertahan di daerah tersebut dikarenakan adanya ketergantungan dengan
faktor ekonomi (mata pencaharian se-hari hari). Kendala lain yang bermasalah
adalah “faktor bantuan”, ketika terjadi banjir mereka mendapat bantuan dan
persoalan inilah yang ketergantungan mereka sehingga sulit di ungsikan meski
rumahnya terendam air. Masyarakat yang terkena bencana banjir selalu mendapat
bantuan makanan. Persoalan ini sudah membudaya di daerah tersebut. Terdapat
dua kategori bencana yaitu, bencana alam,dan bencana transportasi.
Untuk mengatasi bencana alam pihak Basarnas masih berkoordinasi dengan
BMKG, BNPB, Orari dan lainnya. Mereka memanfaatkan semua perangkat yang
ada. Dalam masalah banjir Basarnas hanya memantau, memonitor akan tetapi
menangani secara aktif masalah musibahnya. Lain halnya dengan bencana
transportasi Basarnas sangat aktif. Untuk mengurangi Resiko bencana di wilayah
udara, darat dan laut mereka telah memasang LRT (Local Research Terminal) yaitu
untuk memantau pergerakan kapal. Informasi yang disampaikan untuk pencegahan
penanganan resiko bencana ini sudah berjalan. Hanya saja kendalanya adalah
tempat-tempat yang tidak dapat dijangkau misalnya seperti kapal yang tenggelam
maka harus bekerja sama dengan TNI/Polri. Dalam penyampaian Informasi lebih
sering menyampaikan dengan trial. Misalnya melakukan pembinaan langsung ke
masyarakat, baik tingkat mahasiswa, instansi dan lain-lain. (Sumber:
Basarnas,FGD,27/8)
.
Masyarakat Indonesia itu dapat dikatakan sebagai Natural Survive di daerah-
daerah rawan bencana. Misalnya;di Yogjakarta kehidupan sehari-harinya
masyarakat setempat mengambil batu dan pasir dilokasi jalur lahar dingin Gunung
Merapi. Mereka dengan bencana sudah menyatu dalam kehidupan sehari hari.
Mereka tinggal bagaimana bisa mendapatkan informasi bencana secara cepat,
karena berpacu dengan waktu. Mereka memerlukan pusat informasi dan media yang
bisa memberikan informasi secara cepat. Maka media sebagai sumber informasi
91
mengetahui cara menyampaikan Informasi yang baik untuk mengurangi resiko
bencana pada saat terjadinya bencana dan pasca terjadinya bencana. Kalau di
BNPB sudah ada mengenai hal tersebut. Di Jepang Pusat Informasi Bencana setiap
hari dikunjungi masyarakat dan para pelajar, karena cara memberikan informasi
menganai bencana dibuat suatu Games (Permainan), misalnya ada ruangan yang
goyang (gempa) apa yang harus diperbuat. Kemudian setelah itu para pelajar
tersebut mendapat nilai. Ini merupakan suatu Informasi yang dikemas dengan suatu
games (permainan) oleh karena itulah perlu ada penanggulangi bencana sejak dini.
Maka perlu sistem penyebaran informasi bencana dengan baik. Kalau sistem
informasinya tidak baik, maka penyebaran informasi selalu tidak tepat
sasaran.Misalnya di Sumatera Barat begitu sirene berbunyi tetap saja masyarakat
tidak menanggapinya.
Masyarakat tetap saja asik berdagang (berjualan) padahal ini merupakan
salah satu bentuk pelatihan untuk menanggulangi resiko bencana alam. Kemudian
yang perlu diperhatikan dalam melakukan Informasi kepada masyarakat bentuknya
seperti apa. Karena ini merupakan Lintas Sektoral (semuanya bertanggung jawab).
Keterlibatan media massa dan penyebaran Informasi untuk penanggulangan
bencana sangat penting. Kalau misalnya informasi melalui Pamflet, Radio,televisi itu
bisa di akses masyarakat atau tidak, dan dalam bentuk konkretnya bagaimana?
Disseminasi Informasi kepada masyarakat sangat diperlukan, tetapi harus
mempunyai analisis terlebih dahulu. Misalnya daerah yang rawan bencana,
bdayanya seperti apa, karakteristik sosialnya seperti apa,dan lainnya. Bentuknya
bisa menggunakan media tradisional seperti Ludruk (di daerah jawa timur). Untuk
bencana alam kita dapat menggunakan Early Warning System sedangkan untuk
bencana non alam kita perlu meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada.
Misalnya seperti pelatihan-pelatihan. Di PMI ada beberapa program salah satunya
adalah program untuk kesadaran masyarakat. Ada juga program yang dibantu oleh
negara-negara donor seperti di Jakarta Utara mendapat bantuan dari Palang Merah
Francis yang juga merupakan program community awareness (Penyadaran
masyarakat). Mereka juga melakukan Simulasi Gelombang Pasang di muara baru
yang bertujuan untuk memilih jalur evakuasi apabila terjadi gelombang pasang.
Medianya adalah menggunakan Peta langsung kepada masyarakat. Mereka
membuat peta bersama dengan masyarakat karena mereka mengetahui resiko apa
yang terjadi disana. Kemudian medianya dapat pula menggunakan kentongan, atau
92
Toa. Di PMI ada juga program PMR yang menjelaskan mengenai Program Siaga
Bencana (PSB) mereka di didik untuk mengurangi resiko bencana di daerahnya
(sekolah). Kemudian media yang digunakan juga dapat menggunakan media seperti
poster, brosur-brosur tentang rawan bencana. Program lain berupa pelatihan
SIBBAD (Siaga Bencana Berbasis Masyarakat) program ini mengumpulkan
beberapa perwakilan dari kecamatan dan kelurahan, dapat juga dari karang taruna
untuk diadakan pelatihan. Kendala yang terjadi adalah masalah bahasa
penyampaian kepada mereka dan masalah ekonomi (sumber PMI,dalam FGD,
27/8/2009).Becana alam terdiri dari dua yakni bencana yang disebabkan oleh Alam
maupun bencana yang diakibatkan oleh manusia.
Maka apabila bencana tersebut diakibatkan oleh Manusia maka salah satu
pencegahannya dilakukan melalui pelatihan-pelatihan. Pemda harus membuat suatu
kebijakan-kebijakan, misalnya apabila suatu masyarakat tidak mau untuk
dipindahkan maka pemerintah harus membuat suatu kebijakan. Tugas RRI
bagaimana menyiarkan bencana pasca terjadinya bencana agar dapat mengurangi
kerisauan masyarakat dan tidak menimbulkan kecemasan terhadap masyarakat.
Untuk menanggulangi bencana selalu bekerjasama dengan instansi terkait. Yang
dilakukan BNPB dalam menanggulangi bencana ini semua kegiatan selalu
menggunakan analisis pengurangan resiko bencana. Jika kegiatan yang dilakukan
tidak dengan analisis pengurangan resiko bencana maka akan dikenakan suatu
sanksi. Untuk kegiatan yang memberikan Informasi, BNPB mensosialisasikan
kegiatan yang terkait dengan pengurangan resiko bencana, satu diantaranya bekerja
sama dengan pihak akademis (universitas), masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat (LSM). Kemudian BNPB juga membuat pedoman analisis
penanggulangan bencana untuk mengurangi resiko bencana. BNPB juga membuat
Gladi Resik untuk mengurangi resiko terjadinya bencana. BNPB juga mempunyai
kegiatan yang mengarah kepada Early Warning System (EWS), dan juga
mempunyai program-program untuk itu. Yang menjadi kendala yaitu teknologinya
belum terlaksana dengan baik dikarenakan kurangnya biaya. Kendala lain yang
dianggap paling krusial yaitu “pembuatan peta pengurangan resiko bencana alam”
sangat sulit khususnya diluar pulau jawa. Kesulitan itu lebih dilandasi pertimbangan
untung rugi bagi pelakunya. Jika mereka melihat menguntungkan,maka ada
semangat untuk melaksanakannya, begitu sebaliknya (sumber,RRI,dalam
FGD,27/8/2009). Bagi jajaran radio swasta yang tergabung dalam asosiasi
93
(PRSSNI) adalah memfasilitasi Informasi melalui siaran radio. Pasca terjadinya
tsunami melalui siaran radio Suara Aceh, mereka memberikan Informasi yang
benar-benar dibutuhkan masyarakat. Mereka juga menggagas alat yang sangat
murah dengan mengakses menggunakan satelit kepada pemerintah. Alat ini dapat
menyatukan seluruh potensi yang ada baik dengan BMKG, BNPB dan institusi lain
yang terkait. Alat ini dapat memberikan Informasi kepada semua pihak.
Disamping itu alat tersebut juga dapat dipergunakan diseluruh radio, sehingga
jika terjadi bencana alat ini dapat segera difungsikan. Yang menjadi permasalahan
dalam penggunaan alat tersebut, menurut mereka adalah “siapa yang menentukan
(yang mempunyai otoritas) suatu bencana harus diumumkan kepada masyarakat”.
Informasi apapun baik yang terkait dengan bencana, radio sangat diperlukan. Maka
peran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, sangat penting. Karena melalui
APBD-nya, alat ini dapat dipasang di Rumah Sakit, Kepolisian, Terminal atau
dimana saja yang dapat menghubungkan dengan orang banyak. Meski alat canggih
sudah ditemukan tidak lantas persoalannya dapat teratasi. Faktor lain yang
bertautan dengan permasalahan bencana alam tersebut masih banyak ragamnya
(sumber: PRSNI,dalam FGD,27/8/2009). Penyelamatan akibat bencana tetap harus
menjadi preoritas utama bagi Pemerintah Khusus Daerah Ibu Kota Jakarta.
Pengurangan resiko bencana banjir harus diletakkan pada proporsi sosial, tanpa
mempertimbangkan status rumah, dan tanah yang mereka tempati. Pengurangan
resiko bencana adalah ranah kemanusiaan yang perlu dikedepankan.
Bagi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai, meski sering mendapatkan
tekanan dari berbagai pihak untuk segera memenuhi himbauan relokasi, tetapi
pertimbangan sosial dan kemanusiaan juga lebih penting, dari sekedar
pertimbangan hukum dan ekonomi.
94
3.
BAB III HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN
3.1 Karakteristik Responden
Data penelitian secara kuantitatif menunjukkan bahwa dari 700 kuesioner
yang diwawancarakan kepada masyarakat di daerah rawan bencana hanya
terdapat 649 kuesioner yang dianggap memenuhi syarat untuk dianalisis. Sisanya
sebanyak 51 kuesioner dianggap rusak (eror). Dari sejumlah responden
komposisinya terlihat bahwa yang berjenis kelamin pria sebanyak 417 responden
(64,03 %). Selebihnya wanita sebanyak 231 responden (35,06 %). Namun demikian
jika dilihat dari sisi usia masing masing responden terlihat bervariatif. Responden
yang berusia antara (17-25 tahun) 73 orang (11,02 %), berusia (26-34 tahun)
berjumlah 142 orang (21,09 %), dan yang paling dominan mereka yang berusia
antara (35-42 tahun) sebanyak 205 responden (31,06 %). Yang berusia (43-50
tahun) sebanyak 156 responden (24 %) sedangkan responden yang berusia 51
tahun keatas berjumlah 71 orang (10,09 %). Keragaman etnis juga terlihat dalam
data tersebut, namun suku Jawa yang terlihat paling mendominasi yakni sebanyak
136 responden (21%) dari jumlah seluruhnya.
Mereka yang bersuku bangsa Sunda 82 responden (12,06 %), Minang
sebanyak 48 orang responden (7,04 %), Batak 16 responden (2,05 %), Aceh 54
responden (8,03 %), Bugis sebanyak 20 responden (3,01 %) dan yang tidak
menyebutkan etnisnya sebanyak 262 responden (40,04 %). Data yang tidak bisa
teranalisis karena eror dalam kelompok ini sebanyak 4,08 %. Di lihat dari sisi
keragaman agama terlihat bahwa responden yang beragama Islam sebanyak 534
orang (82,03 %).Dari kelompok agama Kristen sebanyak 29 responden (4,05 %),
agama Katholik sebanyak 14 responden (2,02 %) dari agama Hindu sebanyak 62
orang responden (9,06 %), sedangkan yang tidak bisa di analisis sebanyak 1,05 %
karena eror. Konsfigurasi lain juga tampak bervariasi jika dilihat dari sisi pendidikan
formal dan latar belakang pekerjaan.
Dari sisi pendidikan formal mereka yang berpendidikan SD sederajad
sebanyak 62 orang (9,06 %). SLTP sebanyak 107 orang responden (16,05 %) dan
95
yang paling dominan mereka yang berpendidikan setingkat SLTA sebanyak 292
orang responden (45 %). Deploma/Sarmud sejumlah 59 orang (9,01 %), Sarjana
sebanyak 105 orang responden (16,02 %) dan Pasca Sarjana sebanyak 3 orang (5
%), Di lihat dari latar belakang pekerjaan juga tampak bahwa dari kalangan
buruh/petani sebanyak 86 orang responden (13,03%). Swasta tampak paling
dominan yakni sebanyak 291 orang (44,08 %).Dari kalangan PNS,TNI/Polri 90
orang (13,09 %), kalangan profesi 2 orang dan lainnya yang tidak mau
menyebutkan sebanyak 161 responden (24,08 %), Dari data karakteristik
responden penelitian ini setidaknya dapat dibaca bahwa meski sampel penelitian
dipilih secara porposive, tingkat keragaman responden penelitian ini masih tampak.
3.2 Pesan Komunikasi Yang Menimbulkan Kebutuhkan
Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian konsep penelitian ini, bahwa
diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana ini di
butuhkan, jika responden dilokasi penelitian memiliki pengetahuan yang cukup
tentang pengurangan resiko bencana, meresponnya dengan baik dan
menganggapnya penting (Shramm,1973). Dari tabulasi pengumpulan data
penelitian yang diolah, menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang
diwawancarai dilokasi penelitian mengaku bahwa secara umum mereka
mengetahui tentang program “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana” di
daerahnya. Faktanya sebanyak 509 responden (78%) menyatakan tahu jika di
lingkungannya pernah ada diseminasi pengurangan resiko bencana alam. Ketika
mereka mengetahui keberadaan “diseminasi informasi pengurangan resiko
bencana” di daerahnya kemudian meresponnya dengan positif.
Data penelitian ini menunjukkan bahwa dari sejumlah 649 responden yang
diwawancarai dilokasi penelitian mereka yang menyatakan merespon/
menerimanya dengan baik “informasi tentang pengurangan resiko bencana tersebut
sebanyak 590 responden (91%). Dari rangkaian wawancara tersebut pada
akhirnya hampir mayoritas responden yang bertempat tinggal di-daerah rawan
bencana menganggap bahwa “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di
daerahnya dianggap sangat penting”. Responden di-daerah rawan bencana yang
mengaku bahwa diseminasi informasi pengurangan resiko bencana itu sangat
penting di wilayah mereka sebanyak 578 orang (89%). Dari ketiga proses secara
96
berurutan “pengakuan berdasarkan jawaban responden” sebagaimana
dikemukakan dalam konsep penelitian tersebut membuktikan bahwa “diseminasi
informasi pengurangan resiko bencana” masih dibutuhkan keberadaannya oleh
warga masyarakat yang di daerah rawan bencana.
3.3 Daya Tarik Pesan Komunikasi
Pada variabel ini terlihat apakah pesan komunikasi melalui “diseminasi
informasi pengurangan resiko bencana ” yang pernah disampaikan mempunyai
daya tarik atau tidak bagi masyarakat. Pesan komunikasi akan mempunyai daya
tarik, jika pesan itu dapat dipahami dengan baik, kemudian dijadikan pedoman dan
diterapkan (Shramm, 1973). Hasil olahan data penelitian menunjukkan bahwa
sebanyak 503 responden (77,50%) di daerah rawan bencana ketika diwawancarai
mengaku jika program “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana” di
daerahnya itu bisa dipahami dengan baik oleh komunitas warga masyarakatnya.
Bahkan mereka tidak sekedar memahami dengan baik, program “diseminasi
informasi pengurangan resiko bencana”, tetapi juga mereka jadikan sebagai
pedoman pengetahuan tentang pengurangan resiko bencana. Buktinya ketika
peneliti menanyakan lebih jauh kepada responden di-daerah rawan bencana,
“apakah setelah memahami pengetahuan tentang (diseminasi informasi
pengurangan resiko bencana) kemudian dijadikan pedoman” bagi warga
masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana? Dari pertanyaan tersebut
sebanyak 488 responden (75%), mengaku jika pengetahuan tentang diseminasi
informasi pengurangan resiko bencana yang mereka dapatkan dari berbagai
sumber itu ”dijadikan pedoman bagi warga masyarakat ” untuk mengurangi resiko
bencana jika sewaktu-waktu terjadi bencana alam di daerahnya. Namun demikian
dari hasil penelitian ini tidak menunjukkan adanya konsistensi dari warga
masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana, mau menerapkan pengetahuan
tentang diseminasi pengurangan resiko bencana yang mereka jadikan pedoman
itu. Dari hasil olahan data tabulasi yang terkumpul menunjukkan hanya, 267
responden (41%) yang mengaku menerapkan pengetahuan “pengurangan resiko
bencana” pada saat terjadi bencana alam. Jika kita lihat secara teoritis dalam
konteks penelitian ini terjadi paradok. Mereka memahami dan menjadikan pedoman
”diseminasi informasi pengurangan resiko bencana” tetapi dalam praktik
97
penerapannya relatif kecil. Dari data penelitian ini terjadi inkonsistensi dari
masyarakat di daerah rawan bencana untuk menerapkan pengetahuan tentang
pengurangan resiko bencana alam, meski mereka sering mendapatkan diseminasi,
sosialisasi, simulasi, penyuluhan tentang program pengura ngan resiko bencana di
daerahnya. Hal ini menjadi fenomena baru, dan perhatian khusus bagi peneliti
untuk dilakukan kajian lebih khusus lagi tentang hal tersebut. Karakter masyarakat
di daerah rawan bencana ini tidak lazim, dari realitas yang ada bahwa disatu sisi
mereka perlu pengetahuan, tetapi disisi lain tidak mau peduli terhadap
kemungkinan resiko bencana yang sewaktu waktu bisa mengancamnya.
3.4 Simbol-Simbol Komunikasi Yang Dipahami
Pemahaman masyarakat di daerah rawan bencana terhadap simbol-simbol
komunikasi juga tidak kalah pentingnya dengan variabel lain. Salah satu diantara
ukuran efektivitas diseminasi informasi jika khalayak memahami simbol-simbol
(formal dan non formal) komunikasi (Shramm,1973). Simbol komunikasi yang
bersifat formal misalnya bahasa, isyarat, kode, sandi dan sejenisnya. Simbol non
formal adalah yang muncul dari gejala alam. Dalam konteks penelitian ini warga
masyarakat yang tinggal dilokasi rawan bencana mengaku dengan mudah
memahami simbol simbol komunikasi tersebut. Misalnya ketika peneliti mengajukan
pertanyaan kepada responden: “apakah bahasa, simbol atau istilah lain yang
digunakan dalam “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana” mudah
dipahami? Dari pertanyaan tersebut 394 responden (60%) mengaku bahwa
bahasa, simbol-simbol dan istilah lain yang digunakan dalam diseminasi
pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana dengan mudah dipahami
oleh mereka. Namun demikian bagi warga masyarakat yang tingkat penddidikannya
rendah, dan pengatahuannya terbatas di kawasan tertentu masih mengandalkan
“tanda tanda alam” untuk membaca akan terjadinya bencana alam. Dari sejumlah
responden di daerah rawan bencana yang di-wawancarai peneliti mengaku,
sebanyak 370 responden (57%) membaca dari tanda tanda alam jika akan terjadi
bencana. Gejala alam yang bermakna sebagai simbol itu misalnya, Untuk gempa
dan tsunami : air laut surut, memusar dan diikuti suara gemuruh. Untuk gempa
volkanik gunung berapi, binatang dan unggas lari turun kebawah, suara gemuruh,
dan mengeluarkan asap tebal bercampur debu. Untuk banjir bandang, ditandai
98
awan tebal, air sungai berbau lumpur, banyak ranting dan dahan kayu yang hanyut.
Budaya lokal untuk mengetahui gejala bencana alam dan tindakan apa yang harus
mereka lakukan ketika terjadi bencana sebenarnya sebagian besar sudah mereka
terapkan. Misalnya ketika oleh peneliti diajukan pertanyaan, “jika terjadi bencana
alam yang mengancam keselamatan warga masyarakat, tidakan apa yang pertama
kali dilakukan? Dari 3 (tiga) jawaban yang disediakan ternyata jawaban pertama
yang paling dominan adalah “mengungsi ketempat yang lebih aman bersama
keluarga”. Jawaban tersebut menadapat dukungan sebanyak 472 responden
(72%). Dari jawaban tersebut dapat digambarkan bahwa masyarakat di daerah
rawan bencana telah melakukan tindakan preventif untuk pencegahan korban
bencana alam dengan budayanya sendiri. Masing masing daerah berbeda beda
untuk mengatasi bencana alam tersebut. Perbedaan itu disebabkan adanya
perbedaan nilai sosial dan budaya setempat. Tetapi juga perbedaan jenis bencana
yang mereka hadapi di masing masing daerahnya.
3.5 Cara Memperoleh Pesan Komunikasi
Antara bencana alam dengan informasi tidak bisa terpisahkan, sedangkan
untuk mendapatkan sumber dan penyaluran informasi mereka membutuhkan
media. Ketika terjadi bencana media yang paling cepat memberikan informasi yang
akan digunakan masyarakat. Dari pilihan media ketika penelitian ini dilakukan
terlihat bahwa televisi masih dominan sebagai media yang dianggap paling cepat
dalam pencarian dan penyampaian informasi kebencanaan, dengan mendapatkan
dukungan sebanyak 214 responden (32%). Pada urutan kedua adalah media
interpersonal (tatap muka) yang mendapatkan dukungan sebanyak 162 responden
(24%), kemudian media tradisional, 115 responden (17%), radio 91 responden
(14%),media cetak, 47 responden (7%) dan internet 18 responden (2,77%). Bagi
responden yang menggunakan media internet sebagai sumber informasi
kebencanaan mempunyai alasan tersendiri. Dari 18 responden pengguna internet
alasan mereka menggunakan internet, 9 responden mengaku karena internet
jangkauannya luas, dan 4 orang responden lainnya masing masing beralasan
karena mempunyai khalayak lebih luas, dan dapat dipercaya obyektivitasnya.
Namun sejumlah responden yang memilih media cetak sebagai sumber dan saluran
informasi 21 responden menyatakan karena media cetak jangkauan luas,16
99
responden beralasan karena lebih dekat dengan masyarakat, 7 orang responden
beralasan karena media cetak dapat dipercaya. Selanjutnya bagi warga masyarakat
di daerah rawan bencana yang memilih media tradisional, karena lebih dekat
dengan masyarakat. Alasan memilih media tradisional tersebut didukung oleh 100
orang responden yang tersebar dimasing-masing lokasi penelitian. Alasan
responden mengapa mereka memilih radio sebagai sumber informasi bencana
bervariatif. Dari data penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa responden
yang memilih radio dengan alasan, lebih dekat dengan masyarakat dan karena
radio mempunyai jangkauan yang luas masing masing sebanyak 35 responden.
Sedangkan yang beralasan bahwa radio memiliki khalayak yang lebih luas
sebanyak 12 orang responden. Responden di lokasi penelitian tampak juga masih
menggunakan media interpersonal sebagai sumber informasi kebencanaan,
dengan alasan lebih dekat dengan masyarakat.
Alasan tersebut mendapat dukungan sebanyak 103 responden di berbagai
lokasi penelitian yang berbeda. Sedangkan sebanyak 33 orang responden dengan
alasan dapat dipercaya obyektifitasnya, dan 25 responden lainnya karena adanya
keterikatan emosional. Dari data penelitian menunjukkan jika media televisi
merupakan salah satu diantara media yang paling dominan digunakan sebagai
sumber dan penyaluran informasi kebencanaan. Tetapi ketika ditanyakan kepada
responden “mengapa mereka memilih televisi” jawabannya bervariasi sebanyak 81
responden menggunakan televisi karena jankauannya lebih luas. Sisanya 45
responden mengaku menggunakan televisi dengan alasan, karena mempunyai
khalayah yang lebih luas., 44 responden menyebut karena lebih dekat dengan
masyarakat dan 40 responden lagi menyatakan karena televisi dipercaya
obyektivitasnya.
3.6 Interpretasi Hasil Penelitian
Keberagaman karakteristik responden penelitian dikaitkan dengan hasil data
lapangan yang diperoleh menarik untuk dianalisis. Dari heteroginitas responden itu
telah menghasilkan data penelitian yang beraragam pula. Artinya antara wilayah
penelitian yang satu dengan lainnya tidak memiliki kemiripan, meski kasusnya
sama. Perbedaan itu lebih disebabkan oleh pengaruh setting sosial dan kearifan
lokal yang berbeda beda dimasing masing lokasi penelitian. Pada sisi lain
100
perbedaan itu tidak mampu mempengaruhi keinginan komunitas masyarakat di
daerah rawan bencana untuk tetap dilakukan diseminasi pengurangan resiko
bencana. Karena mereka menganggap hal tersebut menjadi kebutuhan mereka
untuk menghindari resiko bencana yang lebih fatal. Persoalannya, akankah
diseminasi pengurangan resiko bencana itu dijadikan budaya hidup bagi mereka
yang tinggal di daerah rawan bencana? Pada dasarnya secara alamiah mereka
sudah menerapkan apa yang di istilahkan pengurangan resiko bencana. Mereka
melakukannya dengan pendekatan budaya yang mereka kembangkan secara lokal.
Meski dengan cara yang masih tergolong tradisional warga masyarakat yang jauh
dari akses informasi telah mengenal penanggulangan bencana alam di
lingkungannya.Tetapi ketika datang peralatan canggih, dan informasi global konsep
kearifan lokal mereka sebagian menjadi tertutup.
Jika kita kembalikan pada data penelitian, tergambar bahwa diseminasi
pengurangan resiko bencana masih menjadi kebutuhan mereka di berbagai daerah
rawan bencana. Program diseminasi pengurangan resiko bencana itu mereka
pahami, dan mereka dijadikan pedoman pengetahuan untuk mengurangi resiko
bencana ketika terjadi bencana. Representasi tersebut masuk katagoti baik, karena
mendapat dukungan dari responden dengan perolehan prosentase diatas rata rata.
Tetapi sayangnya pada tingkat implementasi menunjukkan hal yang bertolak
belakang. Pada hal sebenarnya mereka mempunyai kemampuan untuk memahami
simbol-simbol “diseminasi pengurangan resiko bencana”, dan membaca tanda
tanda alam dari perspektif budaya lokal yang mereka miliki. Belum lagi dilihat dari
kebiasaan mereka dalam penggunaan media (televisi, interpersonal dan media
tradisional). Meski secara teoritis menurut (Shramm,1973) unsur penyampaian
komunikasi yang dalam hal ini digunakan untuk melihat efektivitas diseminasi
informasi pengurangan resiko bencana” dari 4 (empat) variabel yang dipersyaratkan
sebagian telah terpenuhi, tetapi dilihat secara realitas di lapangan telah terjadi
inkonsistensi pada tataran implementasinya. Inkonsistensi ini lebih menyangkut
pada tingkat kesadaran moral masyarakat di daerah rawan bencana. Misalnya dari
data kualitatif hasil observasi dan wawancara mendalam dengan warga masyarakat
di bantaran sungai Ciliwung Kelurahan Bukit Duri Jakarta Selatan, dan Kelurahan
Komo Luar, Kota Manado yang dilakukan penulis kasusnya hampir sama.
Masyarakat di kedua tempat daerah rawan bencana itu memiliki problem sosial,
101
budaya dan ekonomi. Secara sosial mereka mempunyai keterikatan hubungan
kemasyarakatan, secara budaya ada keterikatan kekerabatan, dan secara ekonomi
menjadi tempat mata pencarian sehari-hari, setidaknya lebih dekat dengan akses
pekerjaan di kota.
Kondisi itu mengaki batkan terganggunya kesadaran mereka untuk
mengikuti anjuran program diseminasi pengurangan resiko bencana. Alasan
mereka jika masalah sosial, budaya dan ekonomi telah menjadi bagian pola
kehidupan mereka. Tetapi jika bancana alam, khususnya banjir datangnya bisa
diperkirakan. Bencana banjir sudah dapat dipastikan datangnya setiap musim
penghujan, dan tidak setiap hari. Itulah sebabnya ketika dilakukan diseminasi,
sosialisasi, simulasi tentang pengurangan resiko bencana sebagian kecil saja
masyarakat yang tinggal di lokasi bencana yang meresponnya. Contohnya,
masyarakat yang tinggal di daerah Bukit Duri,Jakarta Selatan, Kampung Melayu
melayu Jakarta Timur bersikap adaptif. Bagi mereka banjir bukan hal yang
istimewa, mereka sudah siap mengamankannya. Rumah warga banyak yang
bersusun tiga, dimana lantai dua keatas menjadi tempat aman ketika banjir datang
(Ekspedisi Kompas, 2009). Demikian juga penghunian liar di kawasan pantai Kota
Padang di Sumatera Barat. Tingkat kesadaran mereka terhadap pengurangan
resiko bencana akan tumbuh,jika informasi yang disampaikan mampu menyentuh
kebutuhan mereka. Maka solusinya harus terus menerus dilakukan diseminasi
untuk penyadaran bagi komunitas masyarakat yang tinggal di daerah rawan
bencana. Dalam konteks penelitian ini media mempunyai tanggung jawab besar
untuk melakukan edukasi kepada mereka (Pasal,17 ayat 10).PP
No:50/2005/tentang /LPS :
Lembaga penyiaran swasta wajib menyebarluaskan informasi peringatan dini yang berasal dari sumber resmi Pemerintah tentang kemungkinan terjadinya bencana yang dapat mengancam keselamatan jiwa dan mengakibatkan kerusakan harta benda milik warga (Pasal 17,ayat 10).
Tanggung jawab media dalam konteks ini bukan sekedar legal formal untuk
memenuhi aturan main tersebut, tetapi lebih pada sentuhan edukasi, dan rasa
kebersamaan untuk meminimalisasi ancaman korban bencana alam bangsa ini.
Dengan demikian media mempunyai peran yang sangat strategis untuk
mempercepat diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di darah rawan
102
bencana. Karena media sesuai dengan fungsinya memiliki kemudahan untuk
masuk ke jejaring sosial,budaya, dan ekonomi di komunitas masyarakat. Efektivitas
diseminasi informasi pengurangan resiko bencana salah satunya ditentukan oleh
seberapa mudah akses media. Karena hampir semua informasi pengurangan resiko
bencana penyebarannya melalui media. Komodifikasi media dalam konteks
penelitian ini menduduki posisi yang sangat penting, untuk melihat efektivitas
diseminasi informasi pengurangan resiko bencana.
3.7 Peran Media Massa
Seberapa pentingkah peran media dalam memberikan dukungan diseminasi
pengurangan resiko bencana? Hampir semua peristiwa bencana alam, apapun
jenisnya tidak terlepas dari kerja media. Artinya hampir semua bencana tidak bisa
dipisahkan dengan peran media, termasuk program diseminasi pengurngan resiko
bencana. Pada tataran ini pekerjaan media tidak terhenti pada pelaksanaan tugas
jurnalistik yang harus mereka lakukan terhadap informasi kebencanaan. Misalnya
laporan Jensen (2005:67) dalam “The international Federation of Journalists’Asia
Facific Office” disebutkan bahwa “beban jurnalis pada waktu terjadinya bencana
mencakup peliputan. Dengan tuntutan akurasi, profesionalisme, etika, dan
sekaligus upaya untuk memikirkan keamanan jiwa dalam situasi yang bisa
menghadirkan trauma. Keterlibatan media sebagai sumber informasi pengurangan
resiko bencana tidak terbatas pada bagaimana media menganalisis pengurangan
resiko bencana alam. Tetapi seberapa inten masyarakat di daerah rawan bencana
itu memberikan kepercayaan terhadap media sebagai sumber dan penyaluran
informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana. Kepercayaan
masyarakat terhadap media karena media mampu hadir dan memberikan informasi
yang akurat terhadap program pengurangan resiko bencana. Peran yang demikian
menempatkan posisi media menjadi sangat strategis dan penting dimata
masyarakat daerah rawan bencana alam. Biasanya dalam kondisi kepanikan, dan
kegelisahan di masyarakat, media hadir secara profesional dan mampu
menyejukkan suasana. Keberadaan media yang berlebihan bisa memunculkan
masalah tersendiri bagi masyarakat di daerah rawan bencana. Karena disatu sisi
media bisa menyeret pada ketidakpastian dalam mengantisipasi bencana alam
yang mungkin terjadi. Pada sisi lain informasi media sangat diharapkan
103
kekiniannya. Pada titik ini diseminasi informasi pengurangan resiko bencana
berusaha dibakukan, dan media diposisikan menjadi bagian dari program
diseminasi informasi pengurangan resiko bencana yang bersangkutan. Dengan
demikian keberadaan media kadang kala justru membingungkan masyarakat di
daerah rawan bencana. Jangankan mereka mendapatkan informasi “pengurangan
resiko bencana alam”, integrasi dalam sistem informasi “kebencanaan” yang
utuhpun tidak pernah didapatkan.
Secara realitas publik hanya mendapat penggalan informasi tentang
bencana yang bersangkutan. Dalam konteks ini seharusnya informasi
pengurangan resiko bencana yang telah,sedang dan akan terjadi tentunya tidak
akan bisa diperoleh dengan model informasi media yang seperti itu. Bias media
dalam penyajian informasi “pengurangan resiko bencana” akan menjadi bencana
baru bagi masyarakat di daerah rawan bemcana. Karena media diharapkan tidak
sekedar menjadi sumber pencarian dan penyaluran informasi pengurangan resiko
bencana. Tetapi juga sekaligus memberikan pemahaman dan pendidikan
kebencanaan terhadap masyarakat di derah rawan bencana. Artinya selain
informasi tentang pengurangan resiko bencana, media juga diharapkan
memberikan model informasi yang bersifat pemahaman, petuah dan sejenisnya.
Informasi semacam itu memungkinkan orang bisa mengambil sikap dalam
menghadapi resiko bencana alam. Misalnya Ernes.B (2003: 3) menyiapkan
checklist sebagai pedoman menghadapi bencana yang sedang terjadi. Hampir
semua informasi kebencanaan yang dikemas media pada dasarnya mengacu pada
masalah kesela matan,kesehatan dan keamanan bagi masyarakat di kawasan
rawan bencana.
Belakangan ini informasi yang disajikan media masih terpenggal-penggal
khusus untuk jenis informasi “bencana tertentu”. Sehingga tidak bisa digunakan
sebagai informasi jenis bencana yang lainnya. Penyajian informasi pengurangan
resiko bencana pada media seperti itu belum bisa dikatagorikan dalam proses
“komunikasi yang efektif”, meski semuanya telah memberikan konstribusi kepada
masyarakat. Informasi tentang bencana yang disajikan media biasanya
menyangkut masalah mitigasi, kesiapan, tanggapan, serta perbaikan sarana
insfrastruktur. Instruksi dalam mitigasi tidak lepas dari persoalan ”identifikasi dan
diseminasi informasi secara mudah, tentang kemampuan diri dalam menghadapi
104
bencana. Misalnya penyiapan dan fasilitasi untuk meringankan korban atas
bencana alam yang terjadi. Kegiatan tersebut biasanya dijadikan obyek media agar
diketahui publik. Kesiapan masyarakat di daerah rawan bencana terkait dengan
informasi keterlibatan mereka dalam diseminasi, simulasi evakuasi bencana,
sosialisasi dalam upaya pengayaan pengetahuan individual dan pengelolaan
manajemen kebencanaan.
Terdapat persoalan penting dalam diseminasi informasi pengurangan resiko
bencana di daerah rawan bencaana kaitannya dengan peran media massa dewasa
ini, (1) informasi “pengurangan resiko bencana” jika bencana yang bersangkutan
akan, sedang dan telah terjadi. (2) penanganan informasi bencana yang
seharusnya merupakan refleksi dari aplikasi manajerial terhadap “informasi” dalam
suatu perencanaan komunikasi bencana. Dalam diseminasi informasi pada
masyarakat di daerah rawan bencana cenderung dipengaruhi kondisi sosial
budaya dan tatanan nilai-nilai (local cultural) di komunitas masyarakat yang
bersangkutan. Pranata sosial dan budaya itu telah melakat dan tidak mungkin di-
intervensi oleh budaya luar yang bertolak belakang dengan budaya lokal (local
cultural). Program diseminasi harus melihat persoalan itu, dan mediapun harus
tanggap dalam hal tersebut. Media sebagai agen informasi musti tanggap tentang
persoalan tradisional seperti itu. Hal serupa telah dilakukan oleh “National
Emergency Management Association” agen itu hanya bertindak untuk mendukung
operasi logistik yang dirancang secara efektif (Roger.W, 2003:9). Diseminasi
informasi sebagai salah satu sistem informasi bencana bukan sekedar sebagai
sumber informasi, tetapi harus mampu menampung segala macam kebutuhan
informasi bagi masyarakat di daerah rawan bencana. Siapapun sebagai
diseminator bersama dengan media perlu memiliki strategi yang disesuaikan
dengan kondisi daerah setempat. Standart informasi yang disampaikan sebagai
diseminasi pengurangan resiko bencana mengacu pada idiom-idiom masyarakat
lokal. Simbol simbol yang digunakan untuk komunikasipun harus mudah dipahami
dan diterima secara langsung oleh setiap komunitas masyarakat. Media
mempunyai kuwajiban untuk memfasilitasi persoalan tersebut, karena hanya media
yang dianggap paling dekat dengan komunitas masyarakat. Potensi itu melekat
pada media dan menjadi dasar pijakan untuk memberikan pemahaman kepada
komunitas masyarakat lokal. Media dapat menjadi sarana penyebaran informasi
105
bencana, untuk mengurangi resiko bencana. Dengan mendapatkan informasi yang
jelas dan akurat masyarakat di daerah rawan bencana bisa menghindar dari
kemungkinan bencana yang lebih besar setelah memperoleh informasi dari media
yang dianggap berkualitas informasinya.
Tetapi media juga bisa bertindak sebagai agen pendukung program
diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di kawasan rawan bencana.
Penanganan informasi kebencanaan yang dilakukan media dalam kapasitas media
sebagai sumber informasi. Media berkuwajiban mengacu pada strategi nasional
dalam penanganan masalah informasi kebencanaan. Ketidak akuratan
penyampaian informasi tentang bencana berarti akan menimbulkan bencana sosial
baru bagi masyarakat itu sendiri. Keterlibatan media dalam menyikapi program
diseminasi informasi pengurangan resiko bencana merupakan proses komunikasi
bencana yang bisa dianggap sebagai titik awal keikut sertaan media sebagai
sumber informasi pengurangan resiko bencana. Dalam konteks ini media
digunakan sebagai alat diseminator dan sumber informasi pengurangan resiko
bencana di daerah rawan bencana. Dalam proses tersebut yang perlu diketahui
adalah seberapa luaskah cakupan sebaran informasi tentang “diseminasi
pengurangan resiko bencana” yang perlu diketahui khalayak ?.
Secara sederhana pengetahuan tentang “diseminasi informasi pengurangan
resiko bencana” itu tidak akan jauh dari pemberitaan tentang (gempa dan tsunami
Aceh 2004, Pulau Nias, 2005, Yogyakarta, 2006, Pangandaran 2007, gempa
Padang, 2009 dan berbagai jenis bencana banjir, tanah longsor di Indonesia dalam
beberapa dekade ini). Di Indonesia lazimnya dikatakan bencana jika peristiwa itu
banyak memakan korban. Tetapi ketika peristiwa itu hanya sedikit korban di-
istilahkan kejadian, peristiwa atau sekedar kecelakaan saja. Seberapa hebohnya
peristiwa tenggelamnya kapal Titanic yang pada awalnya disebut sebagai
bencana, tetapi dengan berjalannya waktu telah bergeser sebutannya menjadi
”peristiwa” yang pernah menjadi kontroversial dalam ranah pemberitaan media
Internasional ketika itu (Heyer,1995: 14). Misalnya media barat ketika itu tidak bisa
mengelak dari tuduhan hanya membingkai (framing) bencana jatuhnya pesawat
terbang sekitar tahun 1990-an yang diperkirakan hanya sepertiga dari jumlah
korban meninggal akibat kasus lalu lintas di darat (Cobb & Primo,2003: 2). Dalam
kaitannya dengan konteks penelitian ini, konstribusi media dalam sebaran
106
informasi tentang “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana” di Indonesia
memang cukup meluas. Di akui atau tidak media mempunyai konstribusi informasi
yang cukup besar terhadap berbagai bencana alam di Indonesia beberapa dekade
ini.
Namun demikian jika dikaji secara mendalam diantara informasi tentang
“diseminasi pengurangan resiko bencana alam”, “gempa bumi” yang tampak
dianggap paling berbahaya oleh media. Bahkan penekanan “informasi melalui
media” bahwa gempa bumi merupakan bencana alam yang paling berbahaya
merupakan keniscayaan. Indonesia adalah negara yang masuk katagori rawan
bencana alam, dan penduduknya cenderung dikaitkan dengan gempa bumi
tersebut. Sementara bencana banjir meski kerap terjadi, dan telah banyak
memakan korban penekanannya oleh media tidak sehebat gempa bumi. Bisa jadi
bencana banjir mudah diprediksi, dan sebagian besar merupakan akibat ulah
manusia dalam mengelola lingkungan. Kegagalan serta keacuhan media terhadap
mengantisipasi bencana alam, apapun jenis dan penyebabnya berpotensi
menghadirkan bencana baru yang lain. Paling tidak media justru dapat menambah
beban penderitaan dan memperbesar kerugian akibat bencana alam itu. Dalam hal
ini Cohl (1997:22) mengingatkan “tentang pesimisme, paranoid dan sikap media
yang salah justru akan menyeret masyarakat masuk kedalam suatu bencana”. Hal
tersebut sedikit berbeda dengan apa yang disampaikan Ross (2003: 49) tentang
peran media terhadap upaya penyembuhan korban terororisme dan kekerasan.
Media mempunyai otoritas untuk menentukan sikapnya dalam mengelola informasi
menghadapi bencana alam. Bahwa media dapat menempatkan diri secara benar
jika sampai terjadi kontroversi dan pertentangan dalam menyikapi suatu bencana
(Neuzil & Kovarik, 2005:9). Pada masalah ini media dapat menggunakan
kebijakan personal (redaksi) untuk menyikapi progres “diseminasi informasi
pengurangan resiko bencana” yang terjadi, baik bencana yang bisa diprediksi
maupun yang tidak bisa diprediksi. Keterlibatan media dalam diseminasi
pengurangan resiko bencana akan tercermin dari laporan perkembangan
meningkatnya kesadaran mengantisipasi resiko bencana yang terjadi pada
masyarakat di daerah rawan bencana. Diseminasi informasi pengurangan resiko
bencana akan berjalan efektif jika media berperan aktif didalamnya. Masyarakat di
daerah rawan bencana memerlukan media bukan sekedar untuk mendapatkan
107
hiburan sebagaimana ditemukan dalam berbagai penelitian. Tetapi dalam
penelitian ini aktivitas peran media diperlukan untuk menstransformasi informasi
pengurangan resiko bencana kepada komunitas masyarakat di daerah rawan
bencana.
3.8 Rendahnya Tingkat Kesadaran Masyarakat
Jika dalam temuan penelitian ini salah satu diantaranya adalah rendahnya
tingkat kesadaran masyarakat terhadap implementasi “diseminasi pengurangan
resiko bencana di daerah rawan bencana” maka yang perlu disikapi adalah (1)
Masih belum adanya standart diseminasi pengurangan resiko bencana yang baku
sebagai pedoman untuk melakukan diseminasi pengurangan resiko bencana
secara nasional. (2) Meski di derah rawan bencana telah dilakukan “diseminasi
pengurangan resiko bencana”, materinya versi daerah yang bersangkutan. Kalau
mungkin ada panduan tersebut tidak sampai ke daerah rawan bencana, kecuali
simulasi untuk bencana tsunami yang dilakukan secara masal dan melibatkan
masyarakat setempat. (3) Masyarakat di daerah rawan bencana memerlukan
panduan secara pragmatis yang bisa mereka pahami secara mudah, hal itu tidak
ditemukan di 10 lokasi penelitian ini. (4) Aturan perundangan tentang kebencanaan
baru dipahami tararan elite, masih belum memasyarakat di lokasi penelitian.
Meskipun dari data kuantitatif hasil penelitian ini mempunyai keterbatasan untuk
menjelaskan tingkat efektivitas “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana
di daerah rawan bencana” tetapi peneliti terbantu oleh data kualitatif, hasil
observasi, Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam dengan
informan kunci di lokasi penelitian. Misalnya kasus di Kelurahan Komo Luar
Kecamatan Wenang Kota Manado terlihat bahwa rendahnya perhatian masyarakat
setempat terhadap program ”diseminasi pengurangan resiko bencana” bukan
karena tidak aktifnya petugas dan media. Tetapi lebih pada himpitan faktor-faktor
sosial ekonomi dan budaya. Pada umumnya pemukiman (ilegal) dibantaran sungai
adalah masyarakat kurang mampu (miskin). Mereka bukan hanya miskin dalam arti
ekonomi, tetapi juga pengetahuan, pengalaman sosial dan budaya. Sebenarnya
mereka tahu jika banjir bandang itu bakal berbahaya. Bahkan bisa mengancam
jiwa keluarga dan masyarakat di lingkungannya. Tetapi menurut pengakuan
mereka akan lebih berbahaya jika ia tidak bisa memberikan makan keluarganya
108
sehari hari. Kalau itu yang terjadi tidak kalah bahanya dengan bencana banjir.
Secara sosial bencana banjir di lokasi mereka sama halnya dengan datangnya
penghasilan. Ketika terjadi banjir di daerah mereka akan ada bantuan dari
pemerintah maupun lembaga donor lainnya.
Bantuan itu bisa berupa uang, sembako, pakaian, dan sejenisnya. Dengan
demikian mereka enggan direlokasi ketempat lain yang belum jelas kondisinya.
Relokasi yang dibangun untuk mereka umumnya lokasinya jauh dari pemukiman
penduduk. Daerah baru itu jauh dari akses ekonomi, sosial dan budaya yang
mereka perlukan. Persoalannya mereka sudah terlebih dahulu bermukim
dibantaran sungai itu sebelum kebijakan diseminasi pengurangan resiko bencana
ini di undangkan. Kasus di kota Manado ini kondisinya hampir sama dengan di
lokasi penelitian lainnya seperti: Kelurahan Bugis, Kecamatan Kota Timur,
Gorontalo, Kelurahan Banjar Kecamatan Ampenen NTB, Kelurahan Sanur
Kecamatan Denpasar Selatan, Kelurahan Bale Endah, Kecamatan Bale Endah
Kota Bandung Selatan, dan Kelurahan Bukit Duri, Kecamatan Bukit Duri Jakarta
Selatan. Dengan demikian ukuran efektivitas diseminasi informasi pengurangan
resiko bencana di daerah rawan bencana dalam penelitian ini, tidak hanya
didasarkan pada olahan data kuantitatif. Tetapi juga temuan temuan secara
kualitatif (trianggulasi) menjadi pertimbangan selanjutnya. Sementara kasus
Yogyakarta, Bengkulu, Padang dan Banda Aceh memiliki karakteristik yang
berbeda karena daerah tersebut masuk kawasan rawan bencana gempa bumi,
bukan bencana banjir. Meski demikian pada tataran implementasi pelaksanaannya
memiliki kesamaan, dengan daerah bncana banjir. Artinya tingkat kesadaran
masyarakat di daerah rawan bencana (apapun jenis bencananya) terhadap
implementasi pengetahuan yang mereka dapatkan dari “diseminasi pengurangan
resiko bencana” masih relatif rendah. Dari data penelitian ini dapat di identivikasi
bahwa “tingkat pemahaman masyarakat di daerah rawan bencana” terhadap
pengetahuan yang mereka dapatkan dari hasil diseminasi pengurangan resiko
bencana masih ada masalah. Hal inilah barangkali yang menyebabkan ketidak
pedulian mereka terhadap implementasi pengurangan resiko bencana ketika terjadi
bencana alam, sehingga masih tetap banyak menelan korban. Persoalan
kesadaran masyarakat terhadap implementasi pengurangan resiko bencana
memang tidak bisa dituntaskan hanya dalam satu kali jenis penelitian. Karena
109
tingkat kesadaran manusia sebagai makluk individu mempunyai aspek yang luas.
Mengubah tingkat kesadaran, dari kurang sadar menjadi sadar pada komunitas
masyarakat tertentu memerlukan suatu proses.
Proses itu menyangkut cara pandang mereka terhadap permasalahan yang
dihadapi. Realitas yang terjadi sekarang ini, suka atau tidak suka masyarakat
Indonesia dihadapkan pada “kerawanan bencana alam”. Baik bencana yang
datang dari alam, maupun bencana akibat dari ulah manusia. Kondisi geografis
kepulauan Indonesia mulai dari pantai selatan Sumatra, Jawa, Bali, NTB, NTT,
Maluku dan Papua sudah terdeteksi sebagai kawasan rawan gempa. Demikian
juga akibat penebangan liar hutan tropis di berbagai daerah di Indonesia telah
mengakibatkan bencana banjir dan tanah longsor. Dalam lima tahun terakhir ini
masyarakat kita dihadapkan pada fenomena bencana alam yang datang silih
berganti.Dimana fenomena ini seharusnya mampu mengubah cara pandang kita
terhadap bencana alam. Akan tidak kondusif jika tingkat kesadaran masyarakat
tumbuh karena terdorong banyaknya korban bencana alam. Akan le elegan jika
meningkatnya kesadaran masyarakat itu di dorong oleh kondisi alam kita yang
memang berada pada posisi rawan bencana. Tingkat kesadaran terhadap
pengurangan resiko bencana harus dimulai dari lingkup yang kecil. Individu,
keluarga, lingkungan masyarakat, wilayah dan negara.
Jika dalam penelitian ini, “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana
di daerah rawan bencana” dipandang sudah efektif, karena semua konsep dan
teori penyampain pesan komunikasi (Shramm,1973) telah terpenuh. Tetapi pada
tingkat implementasinya rendah, maka dalam konteks ini yang perlu didalami
adalah”struktur sosial, budaya dan ekonomi” di masyarakat itu sendiri. Apakah
pranata-pranata itu memberikan dorongan terhadap tumbuhnya tingkat kesadaran
masyarakat terhadap pengurangan resiko bencana, atau justru sebaliknya. Benang
merah itu akan terurai, sekaligus memberikan jawaban mengapa tingkat kesadaran
masyrakat di daerah rawan bencana, relatif rendah terhadap implementasi
pengurangan resiko bencana. Itulah sebabnya efektivitas penyampaian pesan
komunikasi (versi Shramm,1973) terhadap ”diseminasi informasi pengurangan
resiko bencana” tidak mampu memberi kan jaminan terhadap tingkat kesadaran
masyarakat di daerah rawan bencana untuk mengimplementasikan “program
pengurangan resiko bencana” yang bersangkutan.
110
Dengan demikian data kualitatif penelitian ini dapat digunakan untuk
menjelaskan temuan kuantitatif sebagaimana telah disajikan pada bagian lain
dalam tulisan ini. Tingkat kesadaran masyarakat di daerah rawan bencana
terhadap arti pentingnya implementasi pengetahuan tentang pengurangan resiko
bencana dipengaruhi oleh tata nilai sosial dan budaya lokal masyarakat.
Karakteristik budaya lokal memberikan warna apakah interaksi budaya asing
(informasi pengurangan resiko bencana) di daerah mereka bisa diterima atau
sebaliknya. Meski demikian interaksi itu memerlukan proses, dan dalam proses
tersebut memerlukan waktu untuk berevolusi. Sepanjang kebijakan itu menyangkut
kepentingan masyarakat di daerah rawan bencana masih akan memiliki peluang
untuk mendiseminasikan lebih berkualitas lagi. Masyarakat di daerah rawan
bencana sejatinya bukan menolak kehadiran program diseminasi pengurangan
resiko bencana. Mereka hanya kurang memberikan perhatian yang serius tentang
persoalan “pengurangan resiko bencana”. Pengetahuan seperti itu merupakan
budaya baru bagi mereka, sehingga harus ada perubahan pendekatan. Mulai dari
pengenalan, simulasi dan akhirnya akan menjadi budaya kebutuhan mereka.
111
4.
BAB IV P E N U T U P
4.1 Kesimpulan
Berangkat dari penyajian data, pembahasan dan analisi seperti telah dibahas
pada bagian lain penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, program “diseminasi
informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana sampai saat
ini“masih dianggap efektif, meski terdapat inkonsistensi dalam implementasinya,
dengan pertimbangan argumentasi sebagai berikut :
1. Program diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan
bencana masih dibutuhkan oleh komunitas masyarakat yang berdomisili di
daerah rawan bencana. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komunitas
masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana, setelah mengetahui ada
program diseminasi informasi pengurangan resiko bencana, meresponnya
dengan baik, dan menganggapnya sangat penting program tersebut.
Pengakuan mereka ini dibuktikan dengan perolehan prosentase yang relatif
cukup tinggi dalam penelitian ini sehingga tidak diragukan signifikansinya.
Maka dari itu “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana”, telah
memenuhi kriteria sebagai program yang masih di butuhkan masyarakat di
daerah rawan bencana.
2. Program “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana” sampai saat ini
masih memiliki daya tarik, serta dijadikan pedoman pengetahuan bagi masya
rakat yang tinggal di-daerah rawan ketika terjadi bencana. Tetapi pada tahap
implementasinya terjadi ”inkonsistensi”. Dari hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana” memang dipahami
dan dijadikan pedoman pengetahuan oleh masyarakat ketika menghadapi
bencana alam, dengan memperoleh prosentase relatif cukup tinggi. Tetapi
pada tahapan implementasinya responnya relatif rendah, dan prosentasinya
berada di bawah standard rata-rata. Dengan demikian tingkat kesadaran
masyarakat di daerah rawan bencana masih rendah, untuk menerapkan
pengetahuan pengurangan resiko bencana dari program diseminasi yang di
112
canangkan selama ini oleh Pemerintah maupun lembaga lain yang
berkompeten.
3. Simbol-simbol diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah
rawan bencana dipahami cukup baik oleh sebagian besar komunitas
masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. Mereka tidak hanya
memahami simbol-simbol yang bersifat formal, tetapi juga yang bersifat non
formal. Dari hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa komunitas
masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana tidak hanya paham
(berpengetahuan) tentang pengurangan resiko bencana dari para diseminator,
tetapi juga masih cenderung mengandalkan pada tradisi lokal yaitu
“pembacaan tanda tanda alam” sebelum terjadinya bencana alam di daerahnya
yang sudah dianggap menjadi tradisi budaya lokal. Ketika teknologi informasi
dan komunikasi (TIK) sulit diakses masyarakat karena kendala teknis,
pengetahuan dan SDM, maka kearifan lokal menjadi sangat dominan perannya
di komunitas masyarakat daerah rawan bencana alam.
4. Untuk pencarian dan penyaluran informasi tentang masalah bencana alam bagi
komunitas masyarakat di daerah rawan bencana tampak bervariatif. Dari data
penelitian ini menunjukkan adanya penyebaran, dalam penggunaan dan penya
luran informasi melalui media yang berkaitan langsung dengan masalah
pengurangan resiko bencana. Tetapi diantara media yang dipilih responden,
televisi dianggap yang paling dominan diantara media lainnya. Selanjutnya
media interpersonal (tatap muka), dan selanjutnya media tradisional. Alasan
mereka menggunakan televisi karena televisi penyebarannya dianggap lebih
luas, sedangkan memilih media interpersonal, dan media tradisional karena
kedua media tersebut mereka anggap lebih dekat dengan komunitas
lingkungan masyarakat di daerah rawan bencana.
4.2 Rekomendasi
Merujuk pada permasalahan,pembahasan dan kesimpulan hasil penelitian
tentang ”diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan
bencana” ini dapat direkomendasikan bebrapa hal sebagai berikut :
113
1. Supaya program ”diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah
rawan bencana” tetap dibutuhkan oleh komunitas masyarakat di daerah rawan
bencana, kemasan dan penyampaian pesan komunikasinya perlu lebih
profesional. Pesan apa, dan siapa yang menyampaikan mempunyai pengaruh
yang cukup signifikan terhadap efektif tidaknya sebuah diseminasi informasi
pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana. Pesan apa, artinya
menyangkut pengemasan kualitas informasi. Dan siapa yang menyampaikan
artinya merujuk pada orang/tokoh yang memiliki kredibilitas tertentu. Bagi daerah
rawan bencana yang jauh dari akses media peran tokoh informal yang
mempunyai kedekatan dengan komunitas masyarakat setempat menjadi kunci
utama efektifitas sebuah diseminasi informasi.
2. Agar program diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah
rawan bencana, tetap mempunyai daya tarik,menjadi pedoman dan diterapkan
bagi komunitas masyarakat di daerah rawan bencana,materi pokok program
diseminasi perlu dievaluasi secara berkala. Hal ini untuk menjaga kualitas,
kontinyunitas, dan signifikasinya. Terjadinya inkonsistensi pada tataran
implementasi justru memberikan infomasi untuk dilakukan penelitian yang
secara kusus berfokus pada ”rendahnya tingkat kesadaran masyarakat di daerah
rawan bencana pada program program diseminasi pengurangan resiko bencana.
3. Penyampaian pesan komunikasi, tentang pengurangan resiko bencana untuk
memberikan pemahaman bagi komunitas masyarakat di daerah rawan bencana,
tidak cukup hanya secara legal formal. Tetapi perlu memberdayakan kearifan
lokal yang mempunyai pengaruh dan kedekatan dengan warga masyarakat yang
tinggal di kawasan rawan bencana. Pemahaman itu harus dimulai dari
penyadaran perspektif bahwa, bencana yang diakibatkan keganasan alam
maupun bencana akibat ulah manusia sama sama menjadi ancaman disekitar
kita. Maka harus dikelola dan diminimalisasi dampak buruknya sehingga
masyarakat akan lebih familier dengan bencana alam yang mungkin akan terjadi
disekitarnya.
4. Penggunaan media untuk sarana memperoleh dan penyampaian pesan, tentang
permasalahan bencana alam bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan
bencana cenderung bervariasi. Maka dari itu media yang mempunyai kedekatan
114
dengan komunitas masyarakat menjadi sangat penting untuk di jadikan prioritas
pilihan. Media tersebut bisa media tradisional,interpersonal, atau media massa
pada umumnya. Namun dibalik itu agar media tidak sekedar menyampaikan
informasi jurnalisme peristiwa/bencana yang sedang terjadi saja. Tetapi media
juga perlu membuat penyajian yang bersifat edukatif untuk menumbuh-
kembangkan kesadaran masyarakat terhadap pengurangan resiko bencana alam
yang mungkin terjadi sewaktu-waktu di wilayahnya.
115
Daftar Pustaka
Abott,Ernest B.2003.Draft Checklist for State and Local Government Attorney
Prepare for Possible Disaster,American Bar Assosiation-State and
Local Government Law Section
Anderson,James.E.1984,Public Policy Making,Third edition.CBS College Publishing.
Cobb,Roger W.& D.M.Primo,2003.The Plane Truth : Airline Crashes,the Media and Transportation Policy.Washington DC:Federal Research Division, Library of Congress.
Cohl,H.Aaron.1997.Are We Scaring Ourselves to Death?: How Pessismism Paranoia and a Misguided Media are Leading Us Toward Disaster New York: St,Martin‟s Griffin.
Everett M.Rogers & DL.Kincaid,1983.Communication Network:Toward a New Paradigm for research.London : Coller Macmillan Publishers.
Everett M.Rogers,1983, Diffusion of Innovation,Third Edition.The Free Press,A.Division of Macmillan Publishing.Co.Inc New York,Coller Macmillan Publishers,London.
Ekspedisi Ciliwung,2009. Laporan Jurnalistik Kompas,Mata Air dan Air Mata, Penerbit Kompas Jakarta
Fiske,John,2006.Cultural and Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling
Konprehensif, Penerbit, Jalasutra, Yogyakarta
Firdaus Haris,2008.Mesteri-Misteri Terbesar Indonesia,Penerbit El-Torros, Solo.
Heyer,Paul,1995.Titanic Legacy : Disaster as Media Event and Myth.New York : Praeger Publisher.
Hamidi,DR, 2007. Metode Penelitian dan Teori Komunikasi,Pendekatan Praktis
Penulisan Proposal dan Laporan Penelitian, Penerbit UMM Press,
Malang
Yoseph Devito.1989,Interpersonal Communication Book.New York :Harper and Raw Publishers
Kriyantono,Rahmad,2008,Teknik Praktis Riset Komunikasi,Penerbit,Prenada Media
Group,Jakarta
Neuzil,Mark & William Kovarik,2005.Mass Media and Environmental Conflict : America‟s Green Crusades.New York: Sage Publishing,Inc.
Onong Uchjahna Effendy,2002.Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi,Penerbut,PT.Citra
Aditya Bakti,Bandung
116
Park Jacqueline & Janne Aagaard Jensen,2005,Shaking our Foundantions :Media and the Asian Tsunami (www.ifj.org/pdf/tsunamireport-final.pdf, diakses 21 September 2009.
Patton.Michael Quinn,2002.Qualitative Research & Evaluation Methods 3rd
ed.Thousand Oaks : Sage Publications
Priambodo.Arie.2009,Panduan Praktis Menghadapi Bancana,Penerbit Kanisius Yogyakarta.
Ross.Gina,2003.Beyond the Trauma Vortex : The Media‟s Role in Healing Fear Terrorand Violence,Berkeley Atlantic Books London.
Roger.W.2003.National Emergency Management Association,If Disaster Strikes Today Are You Ready to Lead? Lexington,KY: the National Emergency Management Association.
Sri Mulatsih,dkk.2007,Kajian Kebijakan Pemerintah Pascabencana Gempa Bumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,Masyarakat Indonesia,Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia,Jilid xxx III No: 2,Penerbit Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,Jakarta
Soemarwoto.Otto,1989.Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan,Penerbit Djambatan, Jakarta.
Sendjaya,Sasa Djuarsa, 1998.Pengantar Komunikasi, Materi Pokok Universitas Terbuka, Jakarta
Suripin,Dr.Ir.M.Eng,2004.Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air,Penerbit, Andi Yogyakarta.
Wilbur Shramm, 1973, Men Message and Media. New York : Harper and Raw
Pulishers
Sistem Peringatan Dini (EWS) dan Penanggulangan Bencana Alam di Indonesia, 2008, Penerbit Puslitbang Aptel Skdi, Balitbang SDM Depkominfo
Sumber Lain :
Peraturan Pemerintah Nomor: 50 tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Swasta, Depkominfo
Peraturan Menteri Kominfo Nomor :20/ 2006 tentang Peringatan Dini Tsunami atau Bencana lain Melalui Penyiaran di Seluruh Indonesia.
Harian Pikirang Rakyat Bandung, Edisi peneribitan 19 Juli 2006
Harian Kompas Jakarta Edisi penerbitan 27 Desamber 2004
Harian Kompas Jakarta edisi 29 Desember 2004
Harian Warta Ekonomi ediai penerbitan tanggal 14 Nopember 2004
117
LAMPIRAN
A. HASIL PENGOLAHAN TABULASI
Bantul
Yogyakarta
Bengkulu
Aceh
Gorontalo
Mataram
Jakarta Selatan
Bandung
Manado
Padang
Denpasar
Daerah
Pies show counts
34.0
35.0
51.0
59.0
70.0
70.0
55.0
67.0
69.0
69.0
70.0
1. KARAKTERISTIK RESPONDEN
Islam
Kristen
Katholik
Hindu
Agama
Pies show counts
534.0
29.0
14.0
62.0
118
17-25 th
26-34 th
35-42 th
43-50 th
51 th keatas
Usia
Pies show counts
73.0
142.0
205.0
156.0
71.0
Jawa
Sunda
Minang
Batak
Aceh
Bugis
Lainnya
Suku_bangsa
Pies show counts
136.0
82.0
48.0
16.054.0
20.0
262.0
119
Menikah
tidak menikah
Janda/duda
Status
Pies show counts
502.0
101.0
1.0
SD Sederajat
SLTP Sederajat
SLTA Sederajat
Diploma/Sarmud
S1
S2
Pendidikan
Pies show counts
62.0
107.0
292.0
59.0
105.0
3.0
120
Buruh/tani
Swasta
PNS/TNI/POLRI
Profesi
Lainnya
Pekerjaan
Pies show counts
86.0
291.090.0
2.0
161.0
Pria
Wanita
Jenis_kelamin
Pies show counts
417.0
231.0
121
2. Pesan Komunikasi : Informasi Yang Dibutuhkan
Mengetahui Tidak Tau
Tahu/Tidak Informasi Pengurangan
Resiko bencana
Pies show counts
509.0
139.0
baik
tidak baik
Sambutan_diseminasi_pengurangan_resiko_bencana
Pies show counts
590.0
30.0
122
dapat
tidak dapat
tidak tahu
Memberi_Pengetahuan_cara_pengurangan_resiko
Pies show counts
563.0
4.022.0
t idak membawa perubahan bagi masy arakat
Sulit dilaksanakan oleh masyarakat
tidak tahu
sebab_tdk_disambut_diseminasinya
Pies show counts
12.0
13.0
5.0
123
penting
tidak penting
tidak tahu
Anggapan_warga_ttg_diseminasi
Pies show counts
578.0
37.0
31.0
3. Daya Tarik Penyampaian Pesan Komunikasi
paham
tidak paham
tidak tahu
Pemahaman_diseminasi_pengurangan_bencana
Pies show counts
503.0
51.0 93.0
124
bisa
tidak bisa
tidak tahu
Pedoman_penguranagan_resiko
Pies show counts
488.0
13.01.0
pernah
belum pernah
Peragaan_simulasi_bencana
Pies show counts
338.0
228.0
125
ya
tidak
tidak tahu
Diseminasi_diterapkan_saat_bencana
Pies show counts
267.0
27.044.0
4. Pemahaman Terhadap Simbol-Simbol Komunikasi
mudah dipahami
sulit dipahami
tidak tahu
istilah_bahasa_yg_digunakan
Pies show counts
394.0
107.0
119.0
126
terbiasa
tidak biasa
kebiasaan_melihat_gejala_alam
Pies show counts
370.0
274.0
mengungsi ke tempat aman bersama keluarga
membuny ikan alat komunikasi tanda bahaya
tidak tahu
Tindakan_awal_penanggulangan_bencana
Pies show counts
472.0
115.0
8.0
127
5. Cara Memperoleh Pesan Komunikasi
Media Tradisional
Media Cetak
Telev isi
Radio
Internet
Tatap muka
Media_paling_cepat_menyampaikan_informasi
Pies show counts
115.0
47.0
214.0
91.0
18.0
162.0
Jangkauan lebih luas
Mempunyai khalayak lebih luas
dapat dipercaya obyektiv itasnya
Alasan_internet
Pies show counts
9.0
4.0
4.0
128
Lebih dekat dengan masyarakat
Jangkauan lebih luas
Mempunyai khalayak lebih luas
dapat dipercaya obyektiv itasnya
tidak tahu
Alasan_media_cetak
Pies show counts
16.0
21.0
2.0 7.0
1.0
Lebih dekat dengan masy arakat
Jangkauan lebih luas
Mempunyai khalayak lebih luas
dapat dipercaya oby ektiv itasnya
Alasan_memilih_media_tradisional
Pies show counts
100.0
4.01.0
10.0
129
Lebih dekat dengan masyarakat
Jangkauan lebih luas
Mempunyai khalayak lebih luas
dapat dipercaya obyektiv itasnya
tidak tahu
Alasan_Radio
Pies show counts35.0
35.0
6.0 12.0
1.0
Lebih dekat dengan masyarakat
Mempunyai keterikatan emosional
dapat dipercaya obyektiv itasnya
tidak tahu
Alasan_tatap_muka
Pies show counts
103.025.0
33.0
1.0
130
Lebih dekat dengan masyarakat
Jangkauan lebih luas
Mempunyai khalayak lebih luas
dapat dipercaya obyektiv itasnya
tidak tahu
Alasan_TV
Pies show counts
44.0
81.0
45.0
40.0
3.0
131
B. KUISIONER
DAFTAR PERTANYAAN
PENELITIAN EFEKTIVITAS DISEMINASI
PENGURANGAN RESIKO BENCANA
DI DAERAH RAWAN BENCANA
PUSAT PENELITIAN & PENGEMBANGAN APLIKASI TELEMATIKA,
SARANA KOMUNIKASI DISEMINASI INFORMASI
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SDM DEPKOMINFO RI
Tahun 2009
132
DAFTAR PERTANYAAN
STUDI EFEKTIVITAS DISEMINASI INFORMASI PENGURANGAN
RESIKO BENCANA DI DAERAH RAWAN BENCANA
Tahun 2009
Prakata :
Sebelum Bapak/Ibu berpartisipasi mengisi angket ini saya ingin memberikan informasi bahhwa studi ini dilaksanakan semata mata untuk kepentingan masyarakat di daerah rawan bencana, karena hasilnya akan di gunakan mengevaluasi semua kebijakan tentang “pengurangan dampak resiko bencana di daerah rawan bencana. Oleh sebab itu terpilihnya Bapak/Ibu sebagai responden menjadi sangat penting untuk ikut berpartisipasi memberikan sumbangan pemikiran bagaimana seharusnya kebijakan yang harus diambil Pemerintah, terhadap masalah kebencanaan di negeri ini.
Panduan Pengisian Angket
Bapak/Ibu sebagai responden terpilih di mohon untuk mengisi jawaban yang sudah di sediakan dalam daftar pertanyaan ini. Pilihlah salah satu diantara jawaban yang Bapak/Ibu/Sdr anggap benar, tanpa di pengaruhi aspirasi orang lain. Bapak/Ibu/Sdr tinggal “melingkari nomor jawaban” yang telah disediakan pada daftar pertanyaan angket tersebut.
Kemudian atas partisipasinya dalam pengisian daftar pertanyaan angket “Studi Efektivitas Diseminasi Informasi Pengurangan Resiko Bencana di Daerah Rawan Bencana “ini di ucapkan terima kasih
Tim Peneliti
Puslitbang Aptel,Skdi Balitbang SDM Kominfo,2009
Jakarta
Lokasi Penelitian :
Kelurahan :…………………………….........
Kecamatan:……………............……………
Kab/Kota……………………........................
Provinsi :……………………………….........
133
IDENTITAS RESPONDEN
01. Jenis Kelamin 06. Agama
1. Pria 1. Islam
2. Wanita 2. Kristen
02. Status Responden 3. Katholik
1. Menikah 4. Hindu
2. Tidak menikah 5. Budha
03. Suku Bangsa 07. Pendidikan Formal
1. Jawa 1. SD Sederajat
2. Sunda 2. SLTP Sederajat
3. Minang 3. SLTA Sederajat
4. Batak 4. Deploma/Sarmud
5. Aceh 5. S1
6. Bugis 6. S2
7. Lainnya,....................................... 7. S3
04.Usia 08. Pekerjaan
1. 17-25 th 1. Buruh /tani
2. 26-34 th 2. Swasta
3. 35-42 th 3. PNS/TNI/POLRI
4. 43-50 th 4. Profesi
5. 51 th keatas 5. Lainnya,..................
05. Pengeluaran/Bulan : Rp.................. 09. Lama tinggal,................th
134
PESAN KOMUNIKASI: INFORMASI YANG DI BUTUHKAN
10. Apakah Bapak/Ibu/Sdr, tahu tentang tata cara pengurangan resiko bencana alam yang harus di lakukan oleh warga masyarakat di daerah ini ?
1. Mengetahui (ke-P.11).
2. Tidak mengetahui.
11. Menurut Bapak/Ibu/Sdr, apakah masyarakat di sini menyambut dengan baik /jika ada program diseminasi (penyuluhan) tata cara pengurangan resiko bencana alam tersebut ?
1. Masyarakat menyambut baik ( lanjut ke P.12)
2. Masyarakat tidak menyambut dengan baik (lanjut ke P.13).
12. Jika masyarakat menyambutnya dengan baik, menurut Bapak/Ibu/Sdr, apakah hal tersebut dapat memberikan pengetahuan tentang tata cara pengurangan resiko bencana bagi warga masyarakat di wilayah ini? (satu jawaban).
1. Dapat memberi pengetahuan tentang pengurangan resiko bencana.
2. Tidak dapat memberi pengetahuan pengurangan resiko bencana.
3. Tidak tahu/tidak menjawab.
13. Jika masyarakat tidak menyambut dengan baik terhadap program diseminasi (penyuluhan) tata cara pengurangan resiko bencana, menurut pendapat Bapak/Ibu/Sdr apakah karena : (satu jawaban).
1. Tidak membawa perubahan bagi masyarakat.
2. Sulit di laksanakan oleh masyarakat.
3. Tidak tahu/tidak menjawab.
14. Menurut penilaian Bapak/Ibu/Sdr, apakah program diseminasi (penyuluhan) tata cara pengurangan resiko bencana itu dianggap penting oleh warga masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah ini?
1. Di anggap penting oleh masyarakat
2. Tidak dianggap penting oleh masyaraka
3. Tidak tahu/mejawab
135
DAYA TARIK PENYAMPAIAN PESAN KOMUNIKASI
15. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Sdr, apakah program diseminasi (penyuluhan) tata cara pengurangan resiko bencana yang di lakukan pemerintah, atau lembaga lain bisa di pahami oleh warga masyarakat di sekitar sini ?(satu jawaban).
1. Bisa dipahami oleh warga masyarakat (lanjut ke,P.16)
2. Tidak bisa dipahami oleh warga masyarakat (lanjut ke P.17).
3. Tidak tahu/tidak menjawab.
16. Jika bisa di pahami oleh warga masyarakat apakah menurut pengamatan Bapak/Ibu/Sdr, tata cara pengurangan resiko bencana seperti itu bisa di jadikan pedoman untuk mengurangi resiko bencana alam di wilayah sekitar sini? (satu jawaban).
1. Bisa dijadikan pedoman untuk pengurangan resiko bencana.
2. Tidak bisa di jadikan pedoman untuk mengurangi resiko bencana.
3. Tidak tahu/tidak menjawab.
17. Dari pengamatan Bapak/Ibu/Sdr apakah di wilayah sekitar sini pernah dilakukan peragaan atau simulasi tentang tata cara penanggulangan pengurangan resiko bencana alam oleh pemerintah atau lembaga lainnya yang bergerak di bidang tersebut?
1. Pernah di lakukan peragaan atau simulasi.(lanjut ke P.18)
2. Belum pernah dilakukan peragaan atau simulasi. (ke P.19)
18. Menurut Bapak/Ibu/Sdr, apakah diseminasi (penyuluhan) tata cara pengurangan resiko bencana yang pernah di peragakan/di simulasikan tersebut di terapkan oleh warga masyarakat di sekitar sini ketika terjadi bencana alam ? (satu jawaban).
1. Di terapkan oleh warga masyarakat
2. Tidak di terapkan oleh warga masyarakat.
3. Tidak tahu/tidak menjawab.
136
PEMAHAMAN TERHADAP SIMBOL–SIMBOL KOMUNIKASI
19. Dari pengamatan Bapak/Ibu/Sdr, apakah bahasa, atau istilah lain yang di gunakan dalam diseminasi (penyuluhan) tata cara pengurangan resiko bencana mudah di pahami oleh warga masyarakat di wilayah sini ?(satu jawaban).
1. Bahasa dan istilah lain yang digunakan mudah dipahami.
2. Bahasa dan istilah lain yang digunakan sulit di pahami.
3. Tidak tahu/tidak menjawab.
20. Menurut Bapak/Ibu/Sdr, apakah warga masyarakat di sini mempunyai kebiasaan /kepercayaan lain untuk melihat gejala (tanda-tanda alam) ketika akan terjadi bencana alam ?
1. Masyarakat mempunyai kebiasaan untuk membaca pertanda alam.
(ke P.21).
2. Masyarakat tidak mempunyai kebiasaan untuk membaca pertanda alam.
( ke,P.22)
21. Jika warga masyarakat di wilayah sini mempunyai kebiasaan/kepercayaan lain untuk membaca tanda tanda alam, sewaktu akan terjadi bencana alam, mohon di sebutkan pertanda alam tersebut. (lebih dari satu jawaban).
1.………………………………………………………………………
2………………………………………………………………………
3……………………………………………………………………….
22. Jika ada bencana alam yang kemungkinan bisa mengancam keselamatan warga masyarakat di wilayah sini, tindakan apa yang pertama kali Bapak/Ibu/Sdr lakukan sebagai penanggulangan awal?(satu pilihan).
1. Mengungsi ke tempat yang aman bersama keluarga
2. Membunyikan alat komunikasi tanda bahaya.
3. Tidak tahu/tidak menjawab.
137
CARA MEMPEROLEH PESAN KOMUNIKASI
23. Jika sekiranya terjadi bencana alam yang mengancam keselamatan warga, media manakah menurut Bapak/Ibu/Sdr yang “paling cepat” bisa digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan dan mendapatkan informasi ? (bacakan dan pilih satu jawaban).
1. Media Tradisional (lanjut ke-P.24)
2. Media Cetak (surat kabar, majalah,tabloit,).lanjut ke P.25
3. Media Televisi (lanjut ke-P.26)
4. Media Radio (lanjut ke-P.27)
5. Media On-line (internet) lanjut ke P.28
6. Media Interpersonal (tatap muka) lanjut ke P.29
24. Jika Bapak/Ibu/Sdr memilih media tradisional sebagai sarana untuk memperoleh dan mendapatkan informasi pengurangan resiko bencana, apakah karena (satu pilihan):
1. Lebih dekat dengan masyarakat
2. Mempunyai jangkauan yang lebih luas
3. Mempunyai khalayak yang lebih luas
4. Dapat di percaya obyektivitasnya
5. Tidak tahu/tidak menjawab
25. Jika Bapak/Ibu/Sdr memilih media cetak sebagai sarana untuk memperoleh dan mendapatkan informasi pengurangan resiko bencana, apakah karena (satu pilihan):
1. Lebih dekat dengan masyarakat
2. Mempunyai jangkauan yang lebih luas
3. Mempunyai khalayak yang lebih luas
4. Dapat di percaya obyektivitasnya
5. Tidak tahu/tidak menjawab.
138
26. Jika Bapak/Ibu/Sdr memilih media televisi sebagai sarana untuk memperoleh dan mendapatkan informasi pengurangan resiko bencana, apakah karena (satu pilihan):
1. Lebih dekat dengan masyarakat
2. Mempunyai jangkauan yang lebih luas
3. Mempunyai khalayak yang lebih luas
4. Dapat di percaya obyektivitasnya
5. Tidak tahu/tidak menjawab.
27. Jika Bapak/Ibu/Sdr memilih media radio sebagai sarana untuk memperoleh dan mendapatkan informasi pengurangan resiko bencana, apakah karena (satu pilihan):
1. Lebih dekat dengan masyarakat
2. Mempunyai jangkauan yang lebih luas
3. Mempunyai khalayak yang lebih luas
4. Dapat di percaya obyektivitasnya
5. Tidak tahu/tidak menjawab.
28. Jika Bapak/Ibu/Sdr memilih media on-line (internet) sebagai sarana untuk memperoleh dan mendapatkan informasi pengurangan resiko bencana, apakah karena (satu pilihan):
1. Lebih dekat dengan masyarakat
2. Mempunyai jangkauan yang lebih luas
3. Mempunyai khalayak yang lebih luas
4. Dapat di percaya obyektivitasnya
5. Tidak tahu/tidak menjawab.
29. Jika Bapak/Ibu/Sdr memilih media interpersonal (tatap muka) sebagai sarana untuk memperoleh dan mendapatkan informasi pengurangan resiko bencana, apakah karena (satu pilihan):
1. Lebih dekat dengan masyarakat
2. Mempunyai keterikatan emosional
3. Dapat di percaya obyektivitasnya
139
4. Tidak tahu/tidak menjawab.
30. Agar program diseminasi (penyuluhan) tata cara pengurangan resiko bencana di daerah ini bisa dijadikan pedoman dan dilaksanakan oleh masyarakat apa saran Bapak/Ibu/Sdr ?
Saran :...................................................................................................................... ........................................
............................................................................................................................................................................
............................................................................................................................. ...............................................
............................................................................................................................. .................................................
..............................................................................................................................................................................
............................................................................................................................. ................................................
............................................................................................................................. ................................................
Di isi tanggal,…., Bulan, …….. Tahun, 2009
Supervisi/Peneliti Pewawancara
(…………………………………………) (..............................................................)
140
C. PEDOMAN WAWANCARA
PEDOMAN WAWANCARA/FGD
STUDI DISEMINASI INFORMASI PENGURANGAN RESIKO BENCANA
DI DAERAH RAWAN BENCANA
Untuk mendukung data kuantitatif hasil pengumpulan kuesioner di perlukan data
dukung berupa, FGD, observasi lapangan dan wawancara mendalam di lokasi
penelitian. Observasi lapangan di maksudkan untuk mendiskripsikan setting sosial di
masing masing lokasi penelitian. Sedangkan wawancara mendalam untuk menggali
permasalahan yang lebih jauh lagi secara kualitatif kepada tokoh formal atau
informal, sebagai informan kunci.
FGD
FGD di laksanakan pada tingkat pengambilan keputusan, yankni di Pemerintahan
Kabupaten/Kotamadya. FGD melibatkan 12 orang, yang terdiri dari 2 orang nara
sumber (satu orang sebagai nara sumber, dan satu orang berfungsi sebagai
moderator), 10 orang peserta yang terkait dengan kebijakan pengelolaan
manajemen kebencanaan.
Observasi Lapangan
Data yang di kumpulkan melalui observasi lapangan ini diantaranya : Monografi
wilayah yang menjadi lokus penelitian (Kabupten/Kota, Kecamatan, atau Kelurahan)
yang berisi data kependudukan, geografi, sosio cultural, pendidikan, pekerjaan,
lapangan kerja dan lain-lain. Atau data lain yang bisa dijadikan untuk mendukung
analisis penelitian.
Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam bertujuan untuk menggali data penelitian secara kualitatif
dari informan kunci (orang yang memahami permasalahan yang sedang di teliti, dan
orang tersebut sangat berpengaruh di lingkungan komunitas masyarakat) bisa tokoh
formal atau non formal.
141
Data yang di gali secara mendalam :
1. Apakah warga masyarakat di daerah rawan bencana mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang tata cara pengurangan resiko
bencana, baik sebelum atau setelah di lakukan disiminasi tata cara
pengurangan resiko bencana di wilayahnya.
2. Apakah warga masyarakat merespon positif,dan menjadikan
kebutuhan serta dianggap penting program diseminasi tata cara
pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana ini.
3. Apakah program/kebijakan diseminasi tata cara pengurangan resiko
bencana yang di lakukan pemerintah atau lembaga lain ini bisa
dipahami, dijadikan pedoman dan di terapkan warga masyarakat, di
daerah rawan bencana.
4. Bagaimana pemahaman warga masyarakat terhadap simbol-simbol
komunikasi, apakah bahasa/isyarat dalam diseminasi tata cara
pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana mudah
dipahami. Apakah ada keyakinan lain untuk membaca tanda bencana
alam, berikan contohnya, dan bagaimana mereka bertindak ketika
terjadi bencana alam yang mengancam lingkungannya.
5. Bagaimana cara warga masyarakat memperoleh informasi, dan madia
apa saja yang paling sering digunakan ketika terjadi bencana alam di
lokasi tersebut, mengapa memilih media tersebut, bukan media yang
lain, jelaskan alasannya secara rinci dan mendalam.
Peneliti di berikan kebebasan untuk mengembangkan (elaborasi) pertanyaan
tersebut dengan tetap berpedoman pada 5 (lima) indikator variabel penelitian ini.
Selamat Bekerja Selamat bekerja,semoga sukses.