Studi diseminasi bencana 2009

150
LAPORAN AKHIR STUDI EFEKTIVITAS DISEMINASI INFORMASI PENGURANGAN RESIKO BENCANA DI DAERAH RAWAN BENCANA PUSLITBANG APTEL SKDI BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SDM DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TAHUN 2009

Transcript of Studi diseminasi bencana 2009

Page 1: Studi diseminasi bencana 2009

LAPORAN AKHIR

STUDI EFEKTIVITAS DISEMINASI INFORMASI

PENGURANGAN RESIKO BENCANA

DI DAERAH RAWAN BENCANA

PUSLITBANG APTEL SKDI

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SDM

DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

TAHUN 2009

Page 2: Studi diseminasi bencana 2009

i

Tim Personil Penelitian EFEKTIVITAS DISEMINASI INFORMASI

PENGURANGAN RESIKO BENCANA

DI DERAH RAWAN BENCANA

Pengarah : Kepala Badan Penelitian Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Depkominfo

Penanggung Jawab : Kapuslitbang Aptel SKDI, Balitbang SDM Depkominfo

Koordinator : Budi Santoso

Peneliti Utama : S. Arifianto

Anggota Peneliti : Kanti Waluyo Istidjab

Moedjiono

Parwoko

Djoko Waluyo

Heru Pudjo Buntoro

Paraden L. Sidauruk

Sumarsono

Dede Drajat

Atjih Ratnawati

Gantyo Witarso

Asisten Peneliti : Agus Haryono

Budi Santoso

Riyadi Fitri

Yan Andriariza AS

Ahmad Budi Setiawan

Dewi Hernikawati

Page 3: Studi diseminasi bencana 2009

ii

Anwar

Fitri Widyaningsih

Sekretariat : Mohan Rifqo Virhani

Sri Ngarep Manalu

Noviyana Maulidya

Jakarta, November 2009

Kapuslitbang Aptel, SKDI

Akmam Amir

Page 4: Studi diseminasi bencana 2009

iii

KATA SAMBUTAN

Bencana alam yang terjadi di Indonesia merupakan peristiwa nasional yang

banyak mendapatkan perhatian masyarakat maupun media massa. Tingginya

intensitas bencana alam telah membuka paradigma baru dan pemahaman

masyarakat terhadap kondisi alam dan lingkungannya. Jika dalam kurun waktu

sebelumnya tidak disadari bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia hidup di

wilayah rawan bencana, namun sejalan dengan munculnya berbagai bencana alam

dan gencarnya informasi, pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap

permasalahan bencana alam mulai muncul. Berkembangnya pemahaman dan

kesadaran dari masyarakat di daerah rawan bencana, terhadap kondisi wilayahnya

menjadi isu yang sangat penting. Maka dari itu diperlukan pemantauan terhadap

pola-pola penyikapan masyarakat di daerah rawan bencana. Pola yang dimaksud

adalah pengenalan dan pemahaman terhadap fenomena bencana alam, sampai

pada sikap dan perilaku masyarakat terhadap bencana alam itu sendiri. Dengan

demikian “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana” merupakan kebijakan

yang strategis. Meski telah dianggap penting sampai sejauh ini upaya untuk

memahami karakteristik masyarakat terkait dengan kejadian bencana alam masih

relatif rendah, padahal potensi bencana itu berada di Indonesia karena Indonesia

merupakan kawasan kepulauan yang terletak di daerah lingkaran api (ring of fire).

Semua bencana, baik yang diakibatkan alam atau kesalahan manusia itu telah

mengakibatkan ribuan manusia hilang atau meninggal dunia. Banyaknya korban

disebabkan minimnya pengetahuan masyarakat tentang bencana. Minimnya

pengetahuan masyarakat terhadap informasi bencana itu disebabkan banyak faktor,

misalnya faktor pendidikan, lingkungan, sosial, budaya, ekonomi dan lainnya.

Demikian juga masih terdapatnya disinformasi kebencanaan dan perbedaan budaya

pada komunitas masyarakat lokal di daerah rawan bencana.

Sehubungan dengan hal tersebut, Pusat Litbang APTEL & SKDI, telah

melaksanakan penelitian “Efektivitas Diseminasi Informasi Pengurangan Resiko

Bencana di Daerah Rawan Bencana” pada tahun 2009. Hasil penelitian ini akan

memberikan informasi baru berupa hasil kajian tentang pola penyikapan masyarakat

terhadap bencana alam. Persoalan tersebut dianggap penting karena menjadi kunci

Page 5: Studi diseminasi bencana 2009

iv

keberhasilan atau tidaknya “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di

daerah rawan bencana”. Tetapi karena adanya keterbatasan pengetahuan

masyarakat, sistem itu bisa juga diterapkan dengan pendekatan budaya lokal

mereka sendiri, maka peran budaya lokal setempat sangat penting termasuk

bagaimana mereka berkomunikasi dengan warganya, ketika akan dan sedang

terjadi bencana alam. Evaluasi terhadap “diseminasi informasi pengurangan resiko

bencana” di daerah rawan bencana dari hasil penelitian ini diharapkan menjadi

informasi penting bagi semua pihak dan para pemangku kebijakan yang bertautan

dengan kebencanaan. Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

telah memberikan konstribusinya dalam penelitian ini.

Semoga informasi hasil penelitian ini ada guna dan manfaatnya, baik untuk

kepentingan pemerintah, masyarakat dan dunia ilmu pengetahuan.

Jakarta, November 2009 Kepala Badan Litbang SDM

Cahyana Ahmadjayadi

Page 6: Studi diseminasi bencana 2009

v

KATA PENGANTAR

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini secara beruntun berbagai wilayah di

Indonesia dilanda berbagai jenis bencana alam. Baik bencana yang disebabkan alam,

maupun bencana yang disebabkan oleh ulah manusia sama-sama menelan banyak

korban. Kini masyarakat mulai berpikir bahwa Indonesia secara geografis berada

diwilayah rawan bencana alam. Sayangnya kesadaran itu muncul setelah bencana alam

menalan banyak korban.

Selama lima tahun terakhir sudah ribuan orang meninggal dan hilang akibat

bencana alam. Demikian juga insfrastruktur, fasilitas umum, rumah tinggal dan lainnya

menjadi korban keganasan alam tersebut. Budaya masyarakat Indonesia akan bereaksi,

jika sudah ada aksi.

Dalam konteks ini mereka sadar ketika sudah banyak korban berjatuhan.

Persoalan mendasar adalah bagaimana memberikan pemahaman agar masyarakat di

daerah rawan bencana mempunyai pengetahuan tentang kebencanaan.

Sebenarnya untuk memahamkan masyarakat terhadap masalah kebencanaan

sudah di lakukan baik secara formal atau informal. Secara formal sudah sering di lakukan

program diseminasi pengurangan resiko bencana oleh Pemerintah, atau lembaga lain

yang berkompetan. Sedangkan secara nonformal juga dilakukan oleh komunitas

masyarakat lokal itu sendiri dengan pendekatan kearifan lokal di masing masing daerah.

Tetapi program dan kegiatan yang bersangkutan belum pernah dilakukan evaluasi.

Padahal kegiatan evaluasi semacam itu penting untuk mengetahui apakah diseminasi

informasi yang dilaksanakan selama ini efektif atau sebaliknya.

Kajian penelitian yang disajikan ini untuk mengevaluasi permasalahan tersebut.

Dengan demikian hasilnya diharapkan dapat memberikan masukan terhadap program

diseminasi kebencanaan di berbagai daerah rawan bencana. Semoga hasil rekomendasi

penelitian ini menjadi bagian dari sumbangan pemikiran mencari solusi permasalahan

bencana alam di Indonesia.

Jakarta, Nopember 2009 Kepala Puslitbang APTEL SKDI

Akmam Amir

Page 7: Studi diseminasi bencana 2009

vi

DAFTAR ISI

TIM PERSONIL PENELITIAN ..................................................................................... i

KATA SAMBUTAN ................................................................................................... iiiii

KATA PENGANTAR ................................................................................................... v

DAFTAR ISI ............................................................................................................... vi

ABSTRAK ............................................................................................................. viiviii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1

1.2 Permasalahan .............................................................................................. 5

1.3 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 6

1.4 Tinjauan Pustaka ......................................................................................... 7

1.5 Kerangka Konsep ...................................................................................... 10

1.6 Operasionalisasi Konsep ........................................................................... 18

1.7 Metode Penelitian ...................................................................................... 19

BAB II GAMBARAN UMUM KEBIJAKAN, JENIS BENCANA ALAM, DAN LOKASI

PENELITIAN ............................................................................................................ 22

2.1 Ragam dan Jenis Bencana Alam ............................................................... 25

2.2 Lokasi Penelitian ........................................................................................ 36

BAB III HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN ...................................................... 94

3.1 Karakteristik Responden ............................................................................ 94

3.2 Pesan Komunikasi Yang Menimbulkan Kebutuhkan .................................. 95

3.3 Daya Tarik Pesan Komunikasi ................................................................... 96

3.4 Simbol-Simbol Komunikasi Yang Dipahami ............................................... 97

3.5 Cara Memperoleh Pesan Komunikasi ........................................................ 98

3.6 Interpretasi Hasil Penelitian ....................................................................... 99

3.7 Peran Media Massa ................................................................................. 102

3.8 Rendahnya Tingkat Kesadaran Masyarakat ............................................ 107

Page 8: Studi diseminasi bencana 2009

vii

BAB IV P E N U T U P ..................................................................................... 111

4.1 Kesimpulan .............................................................................................. 111

4.2 Rekomendasi ........................................................................................... 112

Daftar Pustaka ....................................................................................................... 115

LAMPIRAN ............................................................................................................. 117

Page 9: Studi diseminasi bencana 2009

viii

ABSTRAK

Tingginya intensitas bencana alam telah membuka pola pandang dan pemahaman masyarakat terhadap kerentaan kondisi wilayah penghunian selama ini. Sebagian besar masyarakat di negeri ini belum menyadari sepenuhnya jika sebenarnya kita tinggal di kawasan rawan bencana alam. Tetapi dengan gencarnya informasi tentang kebencanaan yang telah menelan banyak korban, kesadaran terhadap persoalan bencana alam mulai muncul dipermukaan. Maka dari itu diperlukan pola-pola penyikapan dari masyarakat di daerah rawan bencana.pola itu menyangkut pengenalan terhadap pemahaman fenomena bencana alam, serta bagaimana perilaku masyarakat terhadap bencana alam itu sen`diri.

Penelitian ini dilaksanakan untuk menjawab permasalahan : (a). Apakah diseminasi informasi pengurangan resiko bencana berjalan efektif dan masih menjadi kebutuhan masyarakat di daerah rawan bencana?. (b). Apakah diseminasi informasi pengurangan resiko bencana masih mempunyai daya tarik bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana?. (c).Apakah simbol-simbol komunikasi dalam diseminasi informasi pengurangan resiko bencana dapat dipahami oleh masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana? (d). Bagaimana masyarakat di daerah rawan bencana memperoleh informasi tentang permasalahan bencana alam di daerahnya?

Kerangka analisis penelitian ini menggunakan teori efektivitas pesan komunikasi Wilbur Shramm (1973), dimana komunikasi akan berjalan efektif jika menimbulkan kebutuhan, mempunyai daya tarik, simbol-simbol pesan komuni kasi mudah dipahami, dan terdapat kemudahan dalam memperoleh informasi (pesan komunikasi). Dari kempat komsep tersebut kemudian diturunkan menjadi variabel untuk mengukur tingkat efektivitas “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana”.Penelitian ini menggunakan metode trianggulasi (penggabungan metode kuantitatif dan kualitatif). Data penelitian dikumpulkan menggunakan teknik, observasi, wawancara mendalam, FGD, dan penyebaran kuesioner kepada responden terpilih di lokasi penelitian.Metode ini dipilih karena penelitian ini mengandung permasalahan yang bersifat komplek, dan terdapat kekhususan, sehingga tidak bisa dipecahkan hanya dengan menggunakan metode kuantitatif saja.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa,: (1).Diseminasi pengurangan resiko bencana masih dibutuhkan oleh komunitas masyarakat di daerah rawan bencana. (2).Diseminasi pengurangan resiko bencana masih memiliki daya tarik, tetapi dalam implementasinya masih terjadi inkonsistensi.(3).Simbol-simbol diseminasi pengurangan resiko bencana (formal)bisa dipahami dengan baik oleh masya rakat di daerah rawan bencana. Demikian juga tanda-tanda alam di komunitas lokal. (4). Media televisi paling banyak digunakan untuk mencari dan menyalur kan informasi tentang bencana alam. Kemudian media interpersonal dan media tradisional**

Page 10: Studi diseminasi bencana 2009

1

1. BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tingginya intensitas bencana alam dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir

telah membuka pola pandang dan pemahaman masyarakat Indonesia terhadap

kerentanan kondisi wilayah alam yang ditempatinya selama ini. Jika dalam kurun

waktu sebelumnya tidak banyak yang membayangkan dan menyadari bahwa kita,

masyarakat di negeri ini hidup di wilayah rawan bencana. Tetapi kini sejalan dengan

munculnya berbagai bencana dan gencarnya informasi pemahaman dan kesadaran

masyarakat terhadap persoalan bencana mulai muncul dipermukaan.

Berkembangnya pemahaman dan kesadaran dari masyarakat di daerah rawan

bencana, terhadap kondisi wilayahnya menjadi sangat penting. Tetapi akan tidak

kondusif jika berkembangnya tingkat kesadaran masyarakat itu karena akibat

kejadian bencana alam. Idealnya bangkitnya pemahaman dan kesadaran terhadap

bencana diposisikan sebagai suatu “sebab” dibanding sebagai suatu “akibat”

(Bastian, 2009). Maka dari itu diperlukan pemantauan terhadap pola-pola

penyikapan masyarakat. Pola yang dimaksud adalah pengenalan dan pemahaman

terhadap fenomena bencana alam, sampai pada sikap dan perilaku masyarakat

terhadap bencana itu sendiri. Oleh sebab itu diseminasi informasi pengurangan

resiko bencana masih dianggap sebagai kebijakan yang sangat strategis. Meski

dianggap strategis dan penting sampai sejauh ini upaya untuk memahami

karakteristik masyarakat terkait dengan kejadian bencana alam masih relatif rendah.

Pada hal potensi bencana itu lebih dominan berada di Indonesia. Karena Indonesia

merupakan kawasan kepulauan yang rawan bencana alam.

Dari data Direktorat Volkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG)

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan ada 28 wilayah

di Indnesia yang dinyatakan rawan gempa dan tsnunami. Misalnya, Aceh,Sumatra

Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jateng dan Yogyakarta Selatan,

Jatim Selatan, Bali, NTB, NTT, Sulut, Sulsel, Sulteng, Maluku, Biak, Yapen. Papua

dan Kaltim (ACO, 25 Juni 2009). Disamping dikelilingi tiga lempeng tektonik

dunia,Indonesia juga merupakan jalur cincin api pasifik, dan jalur rangkaian gunung

Page 11: Studi diseminasi bencana 2009

2

berapi aktif di dunia. Secara realitas dari beberapa kali terjadi bencana alam telah

banyak menelan korban. Gempa tektonik dan Tsunami,26-12-2004 berkekuatan 9

SR di Aceh itu telah menelan korban, 150.000 orang meninggal dunia

(Koran,Tempo,28/12/2004). Gempa tektonik tanggal 28-3-2005 yang

menghancurkan Pulau Nias, dengan korban meninggal sebanyak 1.300 orang

meninggal (voanews 30/5/2006). Gempa bumi 5,9 SR, dengan korban 5.400 orang

meninggal di Yogyakarta dan Jateng bagian Selatan tanggal 27-5-20061, dan gempa

bumi tanggal,17-7-2006 di pantai Pangandaran Jawa Barat dengan korban 500

orang meninggal dunia (Pikiran Rakyat,19/7/2006). Banjir Bandang di Manado,

Gorontalo, Mataram, dan Bali tahun 2007. Bencana jebolnya waduk Situ Gintung

Bogor, 27-3-2009 merupakan bencana alam yang tidak bisa di hindari (tempo

Interaktif,1/4/2009). Semua bencana alam, baik yang diakibatkan oleh alam atau

kesalahan manusia telah banyak membawa korban ribuan manusia hilang atau

meninggal dunia. Banyaknya korban disebabkan karena ketidak tahuan masyarakat

di daerah rawan bencana terhadap prosedur penyelamatan diri ketika akan dan

sedang terjadi bencana. Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap informasi

pengurangan resiko bencana di sebabkan banyak faktor. Misalnya rendahnya

pendidikan formal, pengetahuan masyarakat pada bencana diasumsikan menjadi

faktor yang dianggap paling dominan.

Demikian juga masih adanya disinformasi kebencanaan di daerah rawan

bencana dan perbedaan budaya lokal di masyarakat daerah rawan bencana.

Persoalan disinformasi dan struktur sosial budaya masyarakat lokal seperti itu

menjadi kunci keberhasilan atau tidaknya kebijakan diseminasi informasi

pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana. Tetapi karena keterbatasan

pengetahuan yang mereka miliki, sistem itu bisa diterapkan dengan pendekatan

1 Pukul 05,58 pagi itu bumi daratan di Yogyakarta sontak gonjang-ganjing seakan tidak mau lagi

dipijak manusia. Bersamaan dengan itu bunyi gemuruh sekitar satu menit mengatasi segala macam

bunyi dan merasuk hingga perut kita. Serta merta Yogya jadi luar biasa,nyaris separo rumah di Yogya

hilang dari pandangan mata. Orang orang kebingungan dan tidak tahu apa yang sedang terjadi, dan

apa yang harus mereka lakukan sebalum menjerit jerit kepanikan.Listrik padam,telepun putus,suara

radio dan televisi tidak terdengar lagi,kepanikan terus berlangsung hingga pukul 08 pagi dengan isu

tsunami, orang orang lari meninggalkan semua hartanya di rumah, bahkan ada sebagian harta

penduduk yang dicuri perampok yang membawa mobil. Mobil,motor, hp berserakan di jalanan. Mayat

mayat bergelimpangan tertimbun reruntuhan tembok dan sejumlah bangunan lainnya. Masyarakat

semua panik tetapi tidak tahu apa yang harus dilakukan, korban meninggal diperkirakan mencapai

5.400-an (Kedaulatan Rakyat,28 Mei 2006).

Page 12: Studi diseminasi bencana 2009

3

budaya lokal sendiri. Maka ketika ada diseminasi informasi pengurangan resiko

bencana perlu penyesuaian dengan tata nilai sosial dan budaya lokal setempat.Tata

nilai sosial dan budaya lokal itulah yang mereka jadikan pijakan untuk bertindak

dalam berbagai hal. Termasuk bagaimana mereka berkomunikasi dengan warganya,

ketika akan dan sedang terjadi bencana alam. Program desiminasi pengurangan

resiko bencana ketika tidak seiring dengan kondisi sosial budaya di lingkungan

masyarakat di daerah rawan bencana akan mengalami masalah dalam

imlementasinya. Secara implementatif sistem peringatan dini sebagai upaya untuk

mengurangi resiko bencana di daerah rawan bencana telah di diseminasikan

pemerintah (Depkominfo). Kebijakan ini dilaksanakan untuk mengurangi resiko

bencana (disaster) di daerah rawan bencana. Dengan sistem peringatan dini, ada

bencana yang bisa direduksi, tetapi juga ada bencana yang tidak bisa direduksi.

Bencana yang bisa direduksi memiliki ciri khas terdapatnya tenggang waktu dari

deteksi bahaya untuk melakukan evakuasi, contohnya bencana tsunami, banjir,

kebakaran hutan, wabah penyakit, tanah longsor dan sebagainya. Bencana yang

tidak bisa direduksi bercirikhas, tidak adanya selang waktu dari deteksi bahaya

untuk evakuasi penduduk.

Contohnya gempa bumi volkanik, dan tektonik secara langsung. Disamping

itu sistem informasi peringatan dini dapat dibagi menjadi dua tindakan yakni:

(1) Tindakan preventif, (2) Tindakan operasional diseminasi informasi bencana.

Tindakan preventif lebih mengarah pada sosialisasi, pendidikan, avokasi antisipasi

bencana di masyarakat. Tindakan operasional diseminasi informasi bencana,

menuntut terciptanya diseminasi informasi peringatan dini (DIPD). Layanan media

center (tindakan evakuasi masyarakat, penanggulangan pengungsi dan rehabilitasi).

Ketika terjadi bencana, penyampaian informasi yang tepat kepada masyarakat di

daerah rawan bencana menjadi penting. Hal lain yang sama pentingnya adalah

pengambilan keputusan untuk menyatakan bahaya kepada masyarakat di daerah

rawan bencana. Kondisi-kondisi seperti itu perlu dilakukan evaluasi untuk

mengetahui efekfif tidaknya sebuah diseminasi informasi pengurangan resiko

bencana di daerah rawan bencana. Dengan penelitian evaluasi di daerah rawan

bencana, potensi yang menjadi rawan permasalahan kebencanaan bisa di deteksi

sejak dini. Data seperti itu menjadi penting untuk memetakan kondisi masyarakat

yang tinggal di daerah rawan bencana. Ketika terjadi bencana yang muncul adalah

Page 13: Studi diseminasi bencana 2009

4

kepanikan warga masyarakat. Kepanikan itu terjadi karena mereka tidak memiliki

dasar pengetahuan tentang bagaimana mereka harus bertindak jika terjadi bencana

alam. Semua tindakan tersebut perlu diawali dengan melihat gejala yang muncul

sebelum terjadi bencana. Gejala itu sendiri berbeda beda ragamnya, tergantung dari

jenis bencana apa yang terjadi. Disamping itu masing-masing jenis bencana

mempunyai keragaman penanggulangannya. Maka dari itu bagi warga masyarakat

di daerah rawan mencana, perlu sejak dini mengenali jenis bencana

dilingkungannya. Pengetahuan itulah yang harus mereka pelajari, dan terapkan.

Dengan demikian diseminasi informasi pengurangan resiko bencana bagi

masyarakat di daerah rawan bencana bisa diketahui kondisinya. Akhirnya program

“diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana”

menjadi salah satu program rutin pemerintah. Program ini dilaksanakan secara lintas

sektoral, termasuk keterlibatan media penyiaran. Misalnya informasi pengurangan

resiko bencana, ataupun sistem peringatan dini tentang bencana di wajibkan bagi

dunia penyiaran di Indonesia (ps,17 PP No:50/2005 tentang LPS). Sebagai tindak

lanjut kewajiban penyiaran bencana alam bagi media penyiaran tersebut dituangkan

dalam Permen Kominfo No:20/2006/tentang Peringatan Dini Tsunami atau Bencana

lainnya melalui lembaga penyiaran di seluruh Indonesia.

Jasa penyiaran radio dan televisi yang diselenggarakan oleh LPS, LPP,LPB di seluruh Indonesia wajib menyiarkan informasi potensi terjadinya bencana sebagai “stop press”.

Informasi gempa bumi yang berpotensi menimbulkan tsunami atau bencana lain yang mengancam jiwa manusia yang ditetapkan oleh BMKG yang disampaikan secara khusus ke lembaga penyiaran untuk disiarkan.

Permen Kominfo No: 20/2006 menjadi dasar untuk dilaksanakan diseminasi

informasi pengurangan resiko bencana melalui media penyiaran dan media lainnya

bersama institusi lainnya.Karena lembaga penyiaran di Indonesia diwajikan

menayangkan atau menyiarkan “peringatan dini sesingkat-singkatnya tanpa ditunda

sejak informasi diterima dari BMKG sebagai “stop press”. Artinya semua acara radio

dan televisi yang sedang berlangsung harus dihentikan sementara untuk

memberikan perhatian kepda masyarakat, khususnya di daerah rawan bencana.

Karena selama ini yang sering terjadi perhatian masyarakat terhadap suatu

bencana, ketika bencana itu telah terjadi. Bukan penanggulangannya sebelum

Page 14: Studi diseminasi bencana 2009

5

bencana itu terjadi. Mereka hanya terfokus pada pekerjaan rutin sehari hari.

Pemahaman terhadap informasi pengurangan resiko bencana relatif rendah (baik

untuk bencana alam atau yang di akibatkan ulah manusia). Kesadaran masyarakat

di daerah rawan bencana terhadap kelestarian alam dan lingkungan masih rendah.

Pada hal bencana alam (banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan) terkait

dengan masalah lingkungan. Jenis bencana tersebut cenderung disebabkan karena

ulah manusia yang tidak peka terhadap kelestarian lingkungannya. Banyaknya

bencana tanah longsor dan banjir bandang di-berbagai daerah di Indonesia yang

telah banyak menelan korban, merupakan potret buram pengelolaan lingkungan

hidup yang tidak kondusif dan seimbang. Dalam konteks penelitian ini, kesadaran

masyarakat untuk mengurangi resiko bencana di daerah rawan bencana mempunyai

arti yang sangat penting. Mereka selain menjadi subyek juga sekaligus menjadi

obyek upaya pengurangan resiko bencana. Maka dari itu program “diseminasi

informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana tidak bisa lepas

dari manajemen lingkungan yang berbasis sosial dan budaya lokal di masyarakat.

Bahkan tidak salah jika program ini berupaya mengadopsi kearifan lokal (local

wisdom), dan pengetahuan tradisional (traditional of knowledge) yang berkembang

di komunitas masyarakat. Kedua aspek ini diasumsikan menjadi faktor berpengaruh

dalam “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana”

di Indonesia. Dari pemaparan latar belakang permasalahan tersebut, perlu

dievaluasi bagaimana ”efektifitas” diseminasi informasi pengurangan resiko bencana

di daerah rawan bencana yang telah berjalan selama ini, melalui suatu kajian

penelitian.

1.2 Permasalahan

Berangkat dari latar belakang penelitian ini, bahwa Indonesia terdiri dari

kepulauan yang di batasi oleh tiga lempeng besar cenderung mengakibatkan

terjadinya rawan gempa tektonik. Sementara banyaknya gunung berapi yang masih

aktif berpotensi terhadap kerawanan terjadinya gempa volkanik. Serta permasalahan

lain tentang ekologi yang mengakibatkan terjadinya bencana tanah longsor, banjir

bandang, dan kebakaran hutan. Pada sisi yang lain minimnya pengetahuan

masyarakat di daerah rawan bencana, terhadap potensi bencana alam yang

mengancamnya masih menjadi persoalan tersendiri. Sudah banyak informasi

Page 15: Studi diseminasi bencana 2009

6

pengurangan resiko bencana yang disampaikan oleh diseminaor, dan melalui media

massa. Tetapi hasilnya masih belum banyak diketahui, apakah diseminasi tersebut

mencapai sasaran atau justru sebaliknya. Pada saat yang bersamaan pemerintah

telah mengambil langkah kebijakan berupa program diseminasi informasi

pengurangan resiko bencana bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan

bencana. Program tersebut telah di laksanakan oleh pemerintah dan lembaga lain

yang berkompeten. Tetapi hasilnya seperti apa masih perlu dilakukan kajian

evaluasi, sehingga memunculkan permasalahan yang perlu di kaji dalam penelitian

ini. Permasalahan yang dianggap penting untuk dikaji dalam penelitian ini adalah,

”bagaimana efektivitas diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah

rawan bencana”.

Permasalahan tersebut masih bersifat umum sehingga perlu di rumuskan

secara lebih spesifik lagi. Perumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut :

(1) Apakah ”diseminasi informasi pengurangan resiko bencana berjalan efektif dan

menjadi kebutuhan” masyarakat di daerah rawan bencana? (2) Apakah ”diseminasi

informasi pengurangan resiko bencana mempunyai daya tarik” bagi masyarakat

yang tinggal di daerah rawan bencana? (3) Apakah simbol-simbol komunikasi dalam

program (diseminasi informasi pengurangan resiko bencana) dapat dipahami oleh

masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana? (4) Bagaimana masyarakat di

daerah rawan bencana memperoleh informasi pengurangan resiko bencana?

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini secara substansi di harapkan bisa di jadikan bahan

masukan untuk penyusunan tentang kebijakan “diseminasi informasi pengurangan

resiko bencana di daerah rawan bencana yang dilakukan pemerintah, khususnya

bagi (Departemen Komunikasi dan Informatika), maupun oleh lembaga lain yang

berkompeten dibidang kebencanaan. Sedangkan secara akademik dari kajian

penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap

perkembangan ilmu komunikasi, khususnya komunikasi yang bertautan dengan

permasalahan pengurangan resiko bencana yang telah berkembang selama ini.

Secara internal memjadikan tantangan baru bagi peneliti, untuk mencari metoda

atau pola diseminasi informasi dan sosialisasi yang tepat bagi program-program

kebijakan pemerintahan lainnya.

Page 16: Studi diseminasi bencana 2009

7

1.4 Tinjauan Pustaka

Kajian ilmiah baik berupa penelitian maupun kertas kerja yang melakukan

pembahasan masalah kebencanaan dan sejenisnya semacam ini sudah sering

dilakukan oleh berbagai pihak. Semakin banyak kajian tentang mitigasi

kebencanaan semakin banyak pula konstribusi pengetahuan dan pemahaman

terhadap masalah tersebut. Kajian tentang “Sistem Peringatan Dini (EWS) dan

Penanggulangan Bencana Alam” pernah dilakukan Puslitbang Aptel SKDI (Balitbang

SDM, Kominfo, 2008:87-90). Hasil kajian penelitian tersebut menunjukkan bahwa,

Bakornas PB merupakan peran kunci efektivitas masalah penanggulangan bencana

di Indonesia. Sedangkan alat pengeras suara di surau-surau dan masjid

berdasarkan hasil kajian tersebut menjadi alat komunikasi tradisional yang paling

dominan untuk peringatan dini tentang bencana alam yang terjadi di masyarakat.

Kajian yang dilakukan Eniarti Djohan (2007: 6) Peneliti dari LIPI Jakarta

dengan judul: “Mengapa Kajian Bencana” menyimpulkan jika peristiwa bencana

alam mampu mengubah kehidupan manusia dari yang mapan menjadi tidak

mapan.Perbedaan status sosial itu menurut kesimpulan penelitian ini ”berpengaruh

terhadap akses informasi tentang kebencanaan”di masyarakat. Penelitian

P.M.Laksono (2007 : 41) dari Pusat Studi Asia Fasifik UGM Yogyakarta yang

bertajuk,”Visualisasi Gempa Yogya 27 Mei 2006” dengan pendekatan visualisasi

media cetak (surat kabar) mendiskripsikan bahwa,”betapa pentingya fungsi media

untuk penyebaran informasi bencana gempa bumi (2006) di Yogyakarta”. Dalam

penelitiannya Laksono mevisualisasikan pelayatan masal diseluruh Yogyakarta yang

sedang berduka. Siapapun yang masuk Yogyakarta ketika itu akan menyaksikan

sesak kedukaan yang se-olah olah tidak mau cepat berlalu seperti biasanya

kedukaan pada masyarakat Jawa. Diskripsi yang disajikan secara naratif itu

sekaligus memberikan makna bahwa “media massa” memiliki kelebihan tertentu

untuk melakukan diseminasi informasi kepada khalayak masyarakat di daerah

bencana di Yogyakarta. Kajian penelitian Barbara Hatley (2007:54) dari University of

Tasmania dengan judul penelitiannya “Theatre and Local Cultural Revital After The

2006 Yogyakarta Earthquake” melihat bahwa dampak gempa Yogyakarta 2006

terhadap para pelaku seni pertunjukan (media tradisional) di Bantul. Karena banyak

para seniman yang dianggap sebagai elemen kunci diseminasi informasi

kebencanaan lokal untuk membangkitkan kembali masyarakat Bantul kehilangan

Page 17: Studi diseminasi bencana 2009

8

tempat tinggal akibat gempa, sehingga fungsinya melakukan diseminasi informasi

kepada masyarakat Kabupaten Bantul menjadi terganggu. Dalam kajian tersebut

Barbara (2007) menggambarkan proses bagaimana pertunjukan seni budaya (media

tradisional) mendukung semangat komunitas, menganalisis dan memperlihatkan

berbagai bentuk budaya lokal selama terjadi krisis sosial akibat bencana alam.

Meski dalam akhir kesimpulan penelitiannya Barbara justru tampak kurang percaya

diri dan mempertanyakan “apakah hal tersebut bisa berlanjut ketika kondisi sudah

normal kembali dalam bentuk ”relentless change” dan pengaruh media global, yang

masih harus diperhatikan.

Penelitian Nursyirwan Effendi (2007:93) dari Universitas Andalas, tentang

“Bencana : Pengalaman dan Nilai Budaya Orang Minangkabau” lebih melihat

bencana alam dari perspektif budaya. Bencana alam merupakan rutinitas

masyarakat lokal Indonesia. Bahkan potensi kerusakan akibat bencana alam

menurut hasil penelitian ini “dipahami sebagai suatu peristiwa alam yang tidak bisa

dihindari. Dimana dalam konteks tersebut rusaknya lingkungan dan sistem sosial

akibat bencana, sama pentingnya dengan mencari pengetahuan tentang penyebab

bencana alam itu sendiri. Tingkat kesadaran sosial terhadap bencana alam terlihat

jelas pada tingkatan masyarakat lokal, dimana penglaman bencana bagi mereka

akan memberikan ”efektivitas penciptaan pengetahuan lokal tentang bencana dan

alam”. Bencana yang dialami masyarakat lokal dapat membangun pemahaman

tentang realitas secara lebih konprehensif. Beberapa pemahaman masyarakat lokal

terhadap bencana itu diantaranya, (a) Bencana dilingkupi oleh gagasan tentang

alam dan Tuhan, (b) Bencana dimaknai sebagai pelajaran sosial tentang eksistensi

manusia ketika berhubungan dengan alam, (c) Bencana dialami sebagai kekuatan

pembentuk baru (reproduksi) sosial dan budaya, karena didalamnya berlangsung

pengalaman sosial dan nilai-nilai. Penelitian Mita Noveria (2007:116-117) peneliti

LIPI Jakarta, yang bertajuk “Bencana Alam Dari Sisi Kependudukan:Penyabab dan

Dampaknya” menyim pulkan bahwa, bencana alam tidak bisa terpisahkan dari

konteks masyarakat. Karena masyarakat disamping menjadi korban sekaligus

menjadi pelaku bencana dan penyebab bencana, khususnya bencana banjir dan

tanah longsor. Perbedaannya jika bencana geologi tidak dapat diprediksi

kejadiannya, tetapi bencana akibat ulah manusia dapat diprediksi sekaligus

dihindari. Bencana alam akibat ulah manusia dapat dihindari jika

Page 18: Studi diseminasi bencana 2009

9

penduduk(masyarakat) mempunyai pemahaman/ pengetahuan tentang pelestarian

lingkungan hidup disekitar mereka. Demikian juga terhadap karakteristik jenis

bencana alam disekitar mereka. Kesimpulan akhir peneliti lebih menekankan pada

edukasi (diseminasi) terhadap masalah bencana dan lingkungan sebagai solusi dan

sarannya.

Kajian Wijajanti M.Santoso (2007:138) peneliti LIPI Jakarta yang berjudul :

Bencana Dari Perspektif Sosiologi Feminis” ini lebih bernuansa jender. Dalam

paparannya Wijajanti melihat baik perspektif jender maupun bencana alam,

merupakan sebuah elemen konstruksi sosial yang dapat dilihat dari bagaimana

masyarakat bereaksi, baik terhadap keberadaan kesetaraan jender maupun

bencana itu sendiri. Dimana dalam penanganan sebuah bencana alam dapat

memperlihatkan bagaimana masyarakat memosisikan dan merepresentasikan

perempuan. Posisi perempuan yang masih dianggap tradisional dengan

menempatkan pada ruang public menurut Wijajanti (2007), memberikan gambaran

bahwa masyarakat kurang mengakui eksistensi perempuan. Maka dari itu analisis

tentang perempuan dan bencana dapat dilihat dari proses netralisasi, baik dari unsur

jender maupun bencana itu sendiri. Netralitas pengetahuan akan bersikukuh bahwa

bencana mengakibatkan penderitaan terhadap semua orang, baik laki-laki maupun

perempuan. Tetapi data penelitian dilapangan menunjukkan bahwa korban

meninggal akibat bencana alam masih didominasi oleh kaum perempuan,dan anak

anak. Bahkan penanganan bencana gempa di Yogya (2006) memperlihatkan bahwa

elemen jender belum menjadi preoritas penting yang tampak didalam bantuan yang

tidak sensitif pada jender. Merujuk pada beberapa penelitian atau kajian tentang

bencana alam yang sudah dilaksanakan oleh para peneliti tersebut, ”efektivitas

diseminasi informasi pengurangan resiko bencana” menurut pengamatan penulis

belum pernah disinggung. Padahal dalam konteks meminimalisasi kurban bencana

alam tidak serta merta dilihat dari bagaimana kecepatan dan ketepatan petugas

lapangan dalam mengevakuasi kurban dengan dukungan peralatan modern. Tetapi

bisa dilihat seberapa intenkah pengetahuan, pemahaman dan pengalaman

masyarakat terhadap bencana itu sendiri. Maka dari itu diseminasi informasi

pengurangan resiko bencana bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan

bencana masih dianggap sangat penting. Karena masalah ini belum pernah

dilakukan kajian secara konprehensif. Berangkat dari permasalahan itulah peneliti

Page 19: Studi diseminasi bencana 2009

10

melakukan kajian dari sisi yang berbeda agar bisa ikut memberikan konstribusi untuk

masalah kebencanaan yang sering melanda masyarakat di negeri ini.

1.5 Kerangka Konsep

Program diseminasi informasi pengurangan resiko bencana dikatakan efektif

jika ia mampu mencapai tujuan yang ditargetkan. Baik secara langsung maupun

tidak langsung target diseminasi informasi pengurangan resiko bencana, agar

masyarakat di daerah rawan bencana: (a) memiliki pengetahuan tentang

permasalahan bencana alam di lingkungannya, (b) mengimplementasikan

pengetahuan kebencanaan yang dimiliki ketika terjadi bencana, dan (c) bisa

membuahkan hasil berupa meminimalisasi korban bencana itu sendiri. Target itu

bisa tercapai jika semua persyaratan diseminasi informasi pengurangan resiko

bencana bisa terpenuhi. Dalam konteks ilmu komunikasi, diseminasi bertautan

langsung dengan “penyampaian pesan” kepada khalayak atau masyarakat. Secara

teoritis ada beberapa model komunikasi “tradisional” yang masih dianggap relevan

untuk penyampaian pesan komunikasi (diseminasi) dalam penelitian ini. Beberapa

model komunikasi tradisional yang dimaksud dalam penelitian ini diantaranya :

(1). Model komunikasi Harold Lasswel (1948) dalam Fiske (2006:46) dimana

pesan komunikasi akan dianggap efektif jika memenuhi lima unsur sebagai berikut

(who, says what, in which channel, with what effect) yakni, siapa, mengatakan apa,

dalam media apa, dan apa efeknya. Pertama makna “siapa” (who) dalam

pertanyaan tersebut menunjuk pada inisiator, yaitu orang yang mengambil inisiatif

untuk memulai komunikasi. Inisiator bisa berupa individu, kelompok atau organisasi.

Kedua makna “apa yang dikatakan” (says what) bertautan dengan isi pesan yang

disampaikan dalam komunikasi yang bersangkutan. Ketiga makna (in which

channel) dengan media apa, yang merujuk pada penggunaan media, karena tidak

semua media cocok untuk komunikasi. Ke-empat makna (to whom) menanyakan

tentang siapa penerima pesan komunikasi. Kelima makna (what effect) yakni apa

dampak atau efeknya dari komunikasi tersebut. Model komunikasi ini masih tetap

linier, dengan melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Model komunikasi ini

lebih mengedepankan pengungkapan tentang isu “efek” bukan makna. Efek itu

sendiri secara tidak langsung menunjukkan adanya perubahan yang bisa diukur

(dampak dari diseminasi informasi), dan diamati pada penerima pesan komunikasi.

Page 20: Studi diseminasi bencana 2009

11

Penerima pesan dalam konteks penelitian ini adalah komunitas masyarakat di

daerah rawan bencana yang menjadi obyek penelitian.

(2) Model komunikasi Shannon & Weaver 1949, dalam Fiske (2006:14) yang

berbeda dengan model Lasswel, karena Shannon Wever lebih memilih transmitter.

Pilihan transmitter ini sangat tergantung pada jenis komunikasi yang digunakan.

Dalam konteks ini ada dua komunikasi yakni komunikasi interpersonal, dan

komunikasi massa. Jika dalam komunikasi interpersonal transmitternya lebih

mengandalkan organ tubuh dan bahasa non verbal, sedangkan dalam komunikasi

massa adalah alat itu sendiri misalnya berupa: (hp, radio, televisi, foto, dan film)

yang sudah banyak dikenal. Model dasar komunikasi yang mereka kembangkan ini

lebih bersifat linier dan sangat sederhana. Shannon & Weaver (1949) dalam teorinya

mengidentivikasi tiga level masalah dalam komunikasi. (a). Level A (masalah teknik),

bagaimana simbol-simbol komunikasi dapat ditransmisikan secara akurat. (b). Level

B (Masalah semantik) bagaimana simbol-simbol komunikasi yang ditransmisikan

secara persis menyam paikan makna yang diharapkan. (c). Level C (masalah

keefektifan) bagaimana makna yang diterima secara efektif mempengaruhi tingkah

laku dengan cara yang diharapkan. Shannon & Weaver mengklaim bahwa ketiga

level tersebut tidak terbantahkan, tetapi saling berhubungan dan saling

ketergantungan satu sama lainnya, meski asal usulnya di level A berfungsi sama

baiknya di tiga level tersebut (Fiske, 2006 : 15).

(3) Model komunikasi yang dikembangkan David Berlo (1960),2 yang hanya

memperlihatkan komunikasi satu arah. Ia terdiri dari empat komponen, yakni

sumber, pesan, saluran dan penerima, tetapi pada masing-masing komponen

terdapat faktor kontrol. Dalam teorinya Berlo (1960) menekankan pada faktor

ketrampilan, sikap, pengetahuan, kebudayaan, dan sistem sosial, sumber atau

orang yang mengirim pesan merupakan faktor penting penentuan isi pesan. Dimana

faktor tersebut akan berpengaruh pada penerima pesan dalam menginterpretasikan

isi pesan yang di sampaikan. Interpretasi pesan akan sangat tergantung dari “isi

pesan” yang ditafsir oleh pengirim pesan atau penerima pesan.

2 Lihat tulisan Yahya Nursidik,tentang Model-model komunikasi sebagai warisan peradapan

komunikasi, dalam :http://apadefinisinya.blogspot.com/2007/12/komunikasi.html, diakses Senin,7

September 2009.

Page 21: Studi diseminasi bencana 2009

12

(4). Model komunikasi yang dikembangkan Wilbur Schramm (1973) lebih

menekankan pada peran pengalaman dalam proses komunikasi. Dalam hal ini

Schramm melihat apakah pesan yang dikirimkan diterima oleh sipenerima sesuai

dengan apa yang dimaksudkan oleh pengirim pesan. Artinya jika tidak ada

kesamaan dalam bidang pengalaman (bahasa yang sama, latar belakang yang

sama,kebudayaan yang sama, struktur sosial yang sama) maka kecil kemungkinan

pesan yang diterima diinterprestasikan dengan benar dan baik sesuai dengan tujuan

komunikasi yang ingin dicapainya. Jika konsep komunikasi yang sarankan Schramm

(1973) itu terpenuhi, besar kemungkinan proses diseminasi informasi akan berjalan

secara efektif. Untuk melihat efektivitas komunikasi perlu dilakukan pengujian.

Efektivitas diseminasi informasi berarti berfokus pada pengukuran efektif tidaknya

sebuah pesan komunikasi yang dikomunikasikan dalam diseminasi informasi yang

bersangkutan.

Pesan komunikasi dapat dikatagorikan efektif jika bisa mencapai tujuan atau

sasaran komunikasi yang diharapkan oleh komunikan. Tujuan diseminasi

komunikasi kepada komunikan adalah agar komunikan mendapatkan pemahaman

pengetahuan baru tentang persoalan yang diinginkan komunikator. Pada dasarnya

tujuan diseminasi informasi lebih dititikberatkan pada “memberi tahu” (information)

atau paling tidak dengan informasi tersebut komunikan dapat berubah sikap

(attitude) karena menda patkan pengetahuan, pengalaman serta pola hidup “budaya

baru” di komunitasnya. Misalnya komunitas masyarakat yang mendapatkan

diseminasi informasi tertentu, bisa berubah sikap dan perilakunya menjadi lebih

kooperatif untuk mencapai tujuan komunikasi yang bersifat informatif dan partisifasif

(Effendi,2002). Sementara Rogers & Kincaid (1983) melihat bahwa komunikasi

merupakan suatu proses. Dimana partisipan membuat berbagai informasi satu sama

lain untuk mencapai saling pengertian. Pada tataran tersebut antara komunikator

dan komunikan saling menjalin hubungan komunikasi untuk mencapai suatu tujuan

atau keselarasan dalam upaya menumbuhkan kesepahaman. Dalam pandangan

Yoseph Devito (1989) komunikasi merupakan proses pembentukan, penyampaian,

penerimaan, pengelolaan pesan yang terjadi pada diri seseorang atau diantara dua

orang lebih dengan tujuan tertentu.

Page 22: Studi diseminasi bencana 2009

13

Efektivitas Komunikator

Dalam ethos komunikator menurut pandangan Aristoteles (1954), seperti

dikutip Hamidi (2007: 71) mengkatagorikan bahwa efektivitas komunikator

ditentukan oleh 3 (tiga) faktor. (1) Pikiran yang jernih (good sence), ideology

komunikator dalam konteks ini harus dilandasi tujuan yang baik untuk

mentransfomasikan pengetahuan barunya kepada komunikan. (2) Akhlak yang baik

(good moral character), artinya karakteristik komunikator menjadikan taruan berhasil

tidaknya sebuah transformasi informasi kepada komunikan. Kredibilitas dan

kapabelitas komunikator dalam konteks ini menjadi sangat penting, bahkan menjadi

penentu proses keberhasilan sebuah diseminasi informasi. (3) Maksud yang baik

(good will), artinya penyampaian pesan komunikasi harus di landasi oleh maksud

dan tujuan yang baik, agar persoalan yang ditransformasikan bisa diterima sesuai

dengan harapan komunikator.

Ketiga ethos itu menjadi kunci bagi seorang komunikator untuk menjalankan

perannya. Pada sisi yang berbeda Hovland & Weiss (1951) dalam Hamidi (2007:72)

juga melihat bahwa ethos dengan kredibilitas komunikator terdiri dari “komunikator

yang mempunyai keahlian dan dapat dipercaya (axpertise and trustworthness).

Kedua ethos karakteristik komunikator tersebut menjadi sangat penting untuk

menentukan keberhasilan penyampaian pesan komunikasi. Selanjutnya

Chaiken,S,(1979) dalam Hamidi (2007:74) juga memberikan katagorisasi bahwa

demensi lain dari seorang komunikator harus memiliki daya tarik komunikator

(source of attractiveness) atau kekuasaan komunikator (source of power).

Efektivitas Komunikan

Di lihat dari sudut pandang komunikan, sebuah penyampaian pesan

komunikasi yang efektif terjadi menurut Kelman (1975) dalam Hamidi (2007:74) jika

komunikan mengalami internalisasi (internalization), identivikasi diri (self

identification) dan ketundukan (compliance). Artinya penjabaran kerangka teori

tersebut mengindikasikan bahwa dalam proses penyampaian pesan (diseminasi

informasi) pihak komunikan akan mengalami internalisasi, ketika komunikan

menerima pesan (diseminasi informasi) yang sesuai dengan sistem nilai yang

dianut. Sistem nilai itu bisa berupa, budaya lokal (local cultural), adat istiadat, norma-

norma sosial, agama dan lainnya. Jika terjadi kesepahaman semacam itu

Page 23: Studi diseminasi bencana 2009

14

komunikan akan merasa memperoleh sesuatu yang bermanfaat pada dirinya. Pesan

komunikasi yang ditransformasikan memiliki nilai rasionalitas yang dapat diterima.

Proses penyampaian pesan komunikasi (diseminasi informasi) tersebut menjadi

efektif jika ada keseimbangan atau kesepahaman antara komunikator di satu sisi

dan komunikan disisi yang lain. Keberhasilan pesan komunikasi juga sangat

ditentukan kredibilitas komunikatornya.

Laswell (1979) menyampaikan bahwa efektivitas pesan komunikasi tidak

hanya ditentukan oleh isi pesan, tetapi siapa yang menjadi komunikatornya.Pada sisi

komunikan efektivitas penyampaian pesan komunikasi (diseminasi informasi) dapat

dikatagorikan berhasil, ketika identivikasi tersebut terjadi pada pihak komunikan.

Misalnya pihak komunikan merasa puas dengan meniru, mengunakan pengetahuan,

mengambil pemikiran komunikator (Rogers,1983). Baik secara individu maupun atau

kelembagaan organisasi sebagai penyampai pesan haruslah mereka yang

berkompeten dan memiliki keahlian di bidangnya. Dengan melihat beberapa

kerangka konsep tersebut didapatkan pemahaman jika mengharapkan efektivitas

dalam penyampaian suatu informasi tertentu, haruslah ada titik keseimbangan

antara komunikator dan komunikan dalam konteks “transformasi informasi tertentu”

yang di selaraskan dengan kebutuhan komunikan.

Efektivitas Pesan komunikasi

Sebuah penyampaian pesan komunikasi (diseminasi informasi) dapat di

katagorikan efektif jika, (1) pesan yang disampaikan dapat dipahami oleh

komunikan, (2) komunikan bersikap atau berperilaku seperti apa yang dikehendaki

oleh komu nikator, dan (3) adanya kesesuaian antar komponen Wilbur

Shramm,1973) dalam Hamidi (2007:72). Selanjutnya efektivitas penyampaian pesan

komunikasi ini berasumsi bahwa: “jika komunikasi diharapkan efektif maka pesan

didalamnya perlu dikemas yang lebih menarik sesuai dengan kebutuhan

komunikan”. Dalam pandangan ini materi pesan komunikasi (diseminasi informasi)

merupakan hal yang baru atau bersifat sangat spesifik. Informasi yang berbentuk

simbol-simbol atau bahasa yang digunakan harus mudah dipahami komunikan.

Misalnya, jika komunikator menganjurkan suatu program dalam bentuk kebijakan

tertentu, informasi itu harus dikemas sedemikian rupa sehingga mudah dipahami,

mudah didapat, mudah diterapkan dengan sistem yang sangat sederhana. Sistem

Page 24: Studi diseminasi bencana 2009

15

pelaksanaan program penyampaian pesan komunikasi (diseminasi informasi) yang

dimaksud tidak sampai bertolak belakang atau bertentangan dengan kearifan lokal

masyarakat. Dalam konteks penelitian ini yang akan diukur adalah, efektivitas

diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana, yang

dikaitkan dengan implementasinya.

Pada hakekatnya setiap ragam bencana alam mempunyai karakteristik yang

berbeda-beda satu sama lainnya. Misalnya bencana alam, berupa gempa tektonik,

volkanik, tsunami, tanah longsor, banjir bandang, angin puyuh, kebakaran hutan dan

berbagai jenis bencana alam lainnya. Masing jenis bencana alam tersebut memiliki

karakteristik budaya komunikasi yang beragam. Perbedaan karakteristik dan budaya

komunikasi seperti itu akan berimplikasi pada kebutuhan ”isi pesan komunikasi”

yang di diseminasikan kepada masyarakat di daerah rawan bencana. Misalnya

masyarakat pantai akan lebih paham dan pamilier dengan ”informasi pengurangan

resiko bencana” gelombang laut. Masyarakat di sekitar lereng gunung berapi akan

lebih paham dengan ”informasi pengurangan resiko bencana” tanda tanda gunung

berapi. Masyarakat yang tinggal di sepanjang tepian sungai mereka lebih paham

dengan ”informasi pengurangan resiko bencana” yang terkait dengan

penanggulangan banjir. Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan lebih

paham dengan ”informasi pengurangan resiko bencana” kebakaran hutan, dan

lainnya. Perbedaan karakteristik jenis bencana alam itu baik secara langsung

maupun tidak langsung dipengaruhi nilai sosial dan budaya lokal (local cultural) di-

masing masing daerah. Perbedaan budaya lokal berpengaruh pada pola komunikasi

masyarakat di-masing masing daerah rawan bencana. Jika merujuk pada kerangka

konsep Wilbur Shramm dalam bukunya ”Men Message and Media” Haper and Raw :

New York, (1973) seperti dikutip Hamidi (2007:73), maka yang di ukur efektivitasnya

dalam penelitian ini adalah penyampaian pesan komunikasi pengurangan resiko

bencana secara universal. Artinya program ”diseminasi informasi pengurangan

resiko bencana di daerah rawan bencana” itu diasumsikan bisa diterima semua

masyarakat di daerah rawan bencana. Tanpa membedakan jenis bencana,

karakteristik budaya dan pola-pola komunikasi di masing-masing daerah rawan

bencana. Diseminasi pengurangan resiko bencana sifatnya hanya preventif. Hanya

untuk meminimalisasi jatuhnya korban jika bencana alam itu terjadi. Berangkat dari

Page 25: Studi diseminasi bencana 2009

16

kerangka konsep seperti itu empat variabel yang digunakan untuk menganalisis

penelitian ini, jika divisualisasikan akan terlihat model komunikasi berikut ini.

Sumber : Model pesan komunikasi, Wilbur Shramm,(1973).

Konsep dasar yang melatairi ”kebutuhan informasi” berangkat dari teori

informasi berasal dari Shannon & Weaver dalam The Mathematical Theory of

Communication. Menurut teori ini informasi adalah jumlah ketidak pastian yang

dapat diukur dengan cara mereduksikan sejumlah alternatif pilihan yang tersedia.

Informasi itu sendiri terkait dengan situasi yang tidak pasti. Semakin banyak yang

tidak pasti semakin banyak alternatif informasi yang digunakan secara terus

menerus untuk mengurangi ketidak pastian (Sendjaya,1998: 84). Sedangkan ”daya

tarik pesan komunikasi” tidak lepas dari kognisi atau pemahaman terhadap

informasi. Dalam proses komunikasi kognisi sering dilihat sebagai hasil akhir atau

tujuan terpenting. Dalam hal ini Kincaid & Shramm (1987: 115) menyatakan jika

kognisi merupakan wujud dari kenyataan atau kebenaran informasi dari prinsip-

prinsip yang dimiliki manusia. Logikanya seorang mengetahui berarti ia mengamati

secara langsung, memiliki pengalaman, mengenali atau setidaknya sudah terbiasa

dengan suatu hal yang mereka ketahui. Mereka merasakan dan menyadari akan

suatu hal yang mereka ketahui tersebut.

Pesan komunikasi yang menimbulkan kebutuhan

Cara memperoleh pesan komunikasi

Simbol-simbol pesan komunikasi yang dipahami

Daya tarik pesan komunikasi

Effektivitas pesan Komunikasi

Page 26: Studi diseminasi bencana 2009

17

Pemahaman pengetahuan tentang apa yang dibicarakan, atau dilihatnya

akan mempengaruhi pesan komunikasi yang disampaikan. Artinya seseorang tentu

tidak bisa mengomunikasikan apa yang tidak ia ketahui. Seorang tidak bisa

berkomunikasi secara efektif dengan apa yang tidak ia mengerti. Maka kognisi

dalam proses komunikasi dapat juga mempengaruhi perilaku sumber (masyarakat).

Pemahaman terhadap ”simbol komunikasi” lebih berakar pada budaya komunikasi

masyarakat. Charles Sanders Pierce (1914) dikutip Pawito (2008: 158) membagi

lambang (sign) menjadi tiga katagori (genre). Yaitu ikon, index dan simbol. Ikon

adalah lambang yang ditentukan (cara pemaknaannya) oleh obyek yang dinamis

karena sifat-sifat internal yang ada. Index adalah lambang yang cara pemaknaannya

menunjuk pada obyek dinamis, yang ada keterkaitan nyata dengannya. Simbol

adalah suatu lambang yang ditentukan oleh obyek dinamisnya dalam arti ia harus di

interpretasi. Interpretasi merupakan salah satu pemaknaan terhadap lambang

simbolik yang melibatkan proses belajar dan pengalaman dalam budaya

masyarakat. Cara memperoleh ”pesan komunikasi” (sumber informasi) dilakukan

melalui berbagai alternatif. Pada hakekatnya informasi dapat diperoleh dari

pengamatan individual, percakapan dengan orang lain,dari media massa, dan

lainnya. Sumber informasi di masyarakat dibagi menjadi dua, yaitu sumber informasi

dari saluran interpersonal, dan sumber informasi dari saluran media massa.

Terdapat beberapa pertimbangan seorang menggunakan sumber informasi. Salah

satu diantaranya sikap terhadap karakteristik sumber informasi yang bersangkutan.

Karakteristik sumber informasi ini oleh Alexis & Tan (1981) disebut : (a) Kredibilitas

sumber informasi tergantung dari keahlian dan kejujuran. (b) Daya tarik penerima

informasi lebih tertarik pada sumber yang memiliki kesamaan, keakrapan dan yang

disukai secara fisik. (c) Kekuasaan sumber informasi efektif mengubah perilaku

penerima informasi, karena ia memiliki kemampuan mengubah kontrol, kemampuan

memperhatikan penerima informasi apakah ia tunduk atau tidak,dan kemampuan

meneliti apakah penerima informasi tunduk atau tidak (Tan, 1981:104).

Dari ke-empat model pesan komunikasi Wilbur Shramm (1973) tersebut

selanjutnya digunakan sebagai variabel untuk melihat efektifivitas pesan ”komunikasi

dalam program diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di-daerah rawan

bencana”. Tetapi keempat variabel tersebut masih bersifat universal, sehingga perlu

dioperasionalkan. Pada hakekatnya opersionalisasi konsep variabel ditujukan untuk

Page 27: Studi diseminasi bencana 2009

18

memperjelas batasan-batasan yang diukur dalam sebuah variabel penelitian.

Dengan melihat operasionalisasi konsep peneliti tidak akan keluar dari kerangka

konsep yang telah dipilih untuk menganalisis temuan penelitian yang bersangkutan.

Dalam penelitian ini efektifitas ”diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di

daerah rawan bencana” diukur dari pengoperasionalisasi ke-empat variabel tersebut.

1.6 Operasionalisasi Konsep

Kerangka konsep yang divisualisasikan dalam bentuk variabel pesan

komunikasi yang efektif tersebut, masih bersifat umum, sehingga

dioperasionalisasikan sebagai berikut.

(1) Variabel : Pesan komunikasi yang menimbulkan kebutuhan, dioperasional kan

dalam bentuk ”rasa keingin tahuan responden terhadap program diseminasi

informasi pengurangan resiko bencana” yang diwujudkan dalam pengetahuan,

respon positif (tingkat kebutuhan), dan arti pentingnya program diseminasi

informasi pengurangan resiko bencana bagi masyarakat di daerah rawan

bencana.

(2) Variabel : Daya tarik pesan komunikasi, dioperasionalkan dalam bentuk

pemahaman, penggunaan sebagai pedoman dan penerapan tentang

diseminasi informasi pengurangan resiko bencana bagi masayarakat yang

tinggal di daerah rawan bencana.

(3) Variabel : Simbol-simbol pesan komunikasi yang dipahami, dioperasional kan

dalam bentuk pemahaman masyarakat terhadap makna bahasa, istilah, kode,

sandi-sandi, pertanda, yang mengandung informasi tentang diseminasi

pengurangan resiko bencana bagi masyarakat di daerah rawan bencana.

Kebiasaan masyarakat membaca tanda tanda alam, dan tindakan

penyelamatan diri jika terjadi bencana alam.

(4) Variabel : Cara memperoleh pesan komunikasi, dioperasionalkan dalam bentuk

pemilihan sumber informasi (media) yang digunakan untuk memperoleh

informasi tentang pengurangan resiko bencana bagi responden yang tinggal di

daerah rawan bencana, skaligus alasan mengapa responden memilih sumber

informasi (media) yang bersangkutan.

Page 28: Studi diseminasi bencana 2009

19

(5) Variabel: Efektivitas diseminasi informasi pengurangan resiko bencana

dioperasionalkan dalam bentuk pengukuran dari hasil rangkaian proses

penjabaran variabel 1, variabel 2, variabel 3 dan variabel 4. di kaitkan dengan

sasaran yang hendak dicapai dari program diseminasi pengurangan resiko

bencana ini.

Informasi ”pengurangan resiko bencana” adalah semua informasi yang berisi

makna pengetahuan yang bertautan dengan persoalan untuk menghindari resiko

terkecil yang diakibatkan oleh bencana alam. Informasi pengurangan resiko bencana

ini tidak terbatas pada ”diseminasi, sosialisasi atau penyuluhan” yang disampaikan

secara formal melalui media interpersonal (rapat, seminar, loka karya, diskusi,

saresehan, temu warga dan sejenisnya). Tetapi juga yang di sampaikan melalui

media (radio, televisi, media cetak, internet, media tradisional). Semua variabel yang

sudah diturunkan menjadi indikator-indikator untuk penyusunan kuesioner

berstruktur sebagai instrumen pengumpulan data kuantitatif dari responden terpilih di

lokasi penelitian.

1.7 Metode Penelitian

Data penelitian survey ini di kumpulkan melalui 3 (tiga ) cara (trianggulasi)

yakni, data primer di kumpulkan melalui observasi, wawancara mendalam/FGD dan

penyebaran kuesioner. Metode trianggulasi dipilih karena masalah yang diteliti

bersifat komplek, serta mengandung katagori khusus baik dilihat dari data kuantitatif

dan kualitatif hasil pendalamanya (Patton,2002:555). Data sekunder di kumpulkan

melalui studi pustaka, dokumen, kliping surat kabar/majalah, internet dan lainnya

yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Pengumpulan data dengan observasi

adalah untuk memotret seting sosial masyarakat di-lokasi penelitian. Sedangkan

Fucus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam untuk menggali

permasalahan dan mendalami materi penelitian yang tidak bisa dijaring secara

kuantitatif. Kuesioner untuk menjaring data kuantitatif berupa pendapat, aspirasi dan

sikap responden terhadap obyek penelitian. Hasil pengumpulan data observasi di

lokasi penelitian berupa laporan deskripsi kuantitatif atau kualitatif tentang (kondisi,

struktur, potensi, budaya lokal, dan pola komunikasi yang terkait dengan tujuan

penelitian) sebelum dan sesudah dilakukan diseminasi informasi pengurangan

resiko bencana di daerah rawan bencana. Hasil wawancara mendalam dan Focus

Page 29: Studi diseminasi bencana 2009

20

Group Discussion (FGD) berupa laporan deskriptif kualitatif tentang (pendapat,

pengalaman, pengetahuan, penerapan pola komunikasi, kritik, usulan, harapan dan

lainnya) dari tokoh formal dan atau non formal yang berpengaruh di lokasi penelitian.

Tokoh formal yang berpengaruh bisa pejabat pemerintah setempat (di

Kabupaten/Kota, Kecamatan, Kelurahan). Sedangkan tokoh informal adalah

pembentuk opini (opinion leader), bisa tokoh masyarakat setempat yang paling

berpengaruh (di Kabupaten/Kota, Kecamatan, Kelurahan). Hasil pengumpulan data

melalui penyebaran kuesioner berupa, ”isian lengkap” dari daftar pertanyaan

terstruktur yang diedarkan (diwawancarakan) kepada responden terpilih di lokasi

penelitian. Sedangkan data studi pustaka berupa telaah terhadap buku-buku

literatur, dokumen, artikel, kliping, browsing internet, dan tulisan lain yang bisa

dikatagorikan sebagai data pendukung terkait dengan tujuan yang ingin dicapai

dalam penelitian.

Populasi dan Sampling Penelitian

Dengan pertimbangan keterbatasan tenaga, waktu, dan finansial sampel

wilayah ditetapkan secara purposive 10 (sepuluh) lokasi wilayah penelitian. Adapun

kota provinsi yang dipilih adalah: Banda Aceh, Padang, Bengkulu, Jakarta, Bandung,

Yogyakarta, Denpasar, Mataram, Gorontalo, dan Manado. Jumlah responden secara

keseluruan sebanyak 700 orang yang tersebar di 10 wilayah provinsi terpilih. Dari

kota provinsi tersebut kemudian diturunkan pada wilayah (kabupaten/kota,

kecamatan, desa/kelurahan yang menjadi sasaran penelitian masing-masing, satu

lokasi). Wilayah yang bersangkutan adalah daerah/lokasi rawan bencana alam atas

(gelombang laut, gunung berapi, banjir bandang, tanah longsor, gempa tektonik,

kebakaran hutan) dan pernah dilakukan “program diseminasi informasi

pengurangan resiko bencana” oleh unsur pemerintah atau lembaga lain yang

berkompeten.

Populasi penelitian ini adalah seluruh komunitas masyarakat yang tinggal disepuluh

lokasi penelitian Kabupaten dan Kota, yang kemudian diturunkan pada tingkat

Kecamatan dan Desa terpilih (lokasi terpilih dalam penelitian adalah ”kelurahan/desa

rawan bencana”. Sedangkan untuk menentukan sampling responden terpilih

digunakan “teknik purposive sampling”, yakni dengan menentukan wilayah sampling

terlebih dahulu, kemudian menentukan responden terpilih yang disesuaikan dengan

Page 30: Studi diseminasi bencana 2009

21

kebutuhan penelitian. Responden yang dipilih adalah orang yang ”dianggap memiliki

pengetahuan” terhadap masalah penanggulangan kebencanaan diwilayahnya.

Pemilihan secara purposive dilakukan untuk menentukan lokasi penelitian dan

responden, karena penelitian ini mempunyai spesifikasi yang bersifaf khusus, yakni

”masyarakat daerah rawan bencana”. Kekhususan tersebut diasumsikan tidak

dimiliki oleh daerah lainnya yang berada diluar yang terpilih sebagai lokasi

penelitian. Sedangkan responden untuk masing masing wilayah lokasi penelitian di

tentukan sebanyak 70 orang responden, (dibagi secara merata dari populasi karena

kekhususan tersebut). Data kuantitatif yang sudah terkumpul dari isian kuesioner

dilakukan koding dan editing data untuk kemudian ditabulasi. Data berupa hasil

penelitian yang sudah tertabulasi itu kemudian dianalisis sesuai dengan

permasalahan dan kerangka konsep yang digunakan. Analisis data penelitian ini

hanya sebatas menggambarkan suatu gejala atau fenomena sosial yang sedang

terjadi, ketika data penelitian lapangan selesai dilakukan editing, dan klasifikasi.

Sedangkan analisis data kualitatif hanya berfungsi sebagai alat pendukung untuk

menjelaskan secara substansial segala permasalahan atau temuan yang tidak bisa

dijelaskan secara kuantitatif. Laporan hasil penelitian yang berupa draf laporan

sementara diseminarkan untuk mencari masukan, dan pengkayaan pengetahuan

yang terkait dengan substansi penelitian. Masukan dari hasil seminar yang secara

substansial signifikan dengan konsep penelitian yang telah ditentukan digunakan

sebagai bahan revisi draf penelitian.

Page 31: Studi diseminasi bencana 2009

22

2. BAB II

GAMBARAN UMUM KEBIJAKAN, JENIS BENCANA ALAM, DAN LOKASI PENELITIAN

Dilihat dari sudut pandang meningkatnya bencana alam yang terjadi di

Indonesia dalam lima tahun terakhir ini, pemerintah (negara) dirasa perlu melakukan

tindakan atau kebijakan pengurangan resiko bencana. Anderson (1984:5) melihat

kebijakan negara yang harus dilakukan adalah, ”apa yang dipilih pemerintah untuk

dilakukan atau tidak dilakukan”. Karena kebijakan negara tersebut merupakan

tindakan politis mengenai kehendak, tujuan, sasaran serta alasan bagi perlunya

pencapaian tujuan. Misalnya dalam hal bencana alam berupa gempa bumi di

Yogyakarta dan Jawa Tengah (2006), Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan,

Kepres No: 09/2006 tentang Tim Koordinasi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah

Pascabencana Gempa Bumi di DIY, dan Jateng. Pada dasarnya tujuan dan

kehendak pemerintah untuk melakukan kebijakan tersebut adalah untuk

mengantisipasi, menangani korban dan membangun kembali kondisi wilayah pasca

bencana di kedua Provinsi tersebut. Kondisi seperti itulah yang di-istilahkan oleh

Anderson(1984: 5) sebagai ”langkah yang dipilih pemerintah untuk menangani

kondisi pasca bencana. Sedangkan Bromley (1989) dalam Sri Mulatsih (2007:59)3

menyatakan bahwa kebijakan itu bagaikan suatu herarki yang terdiri atas tiga

tingkatan atau level. Level tersebut adalah, (1) policy level, (2) organizational level,

(3) operational level. Hasil kajian Sri Mulatsih, untuk penyusunan kebijakan menurut

herarki pada policy level diwakili oleh lembaga eksekutif. Maka dari itu pada tataran

eksekutif dikeluarkan kebijakan berupa Kepres No: 09/2006 tentang Tim Koordinasi

Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pascabencana dikedua Provinsi DIY dan

Jateng tahun 2006. Kebijakan serupa baik yang bersifat formal maupun non formal,

baik dalam wilayah yang pernah mengalami bancana maupun daerah rawan

bencana perlu disosialisasikan dan mendapat perhatian secara khusus sebelum

bencana yang lebih bsar lagi datang. Kewaspadaan masyarakat terhadap

3 Artikel Sri Mulatsih,Peneliti LIPI, dengan judul : Kajian Kebijakan Pemerintah Pasca Bencana

Gempa Bumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Masyarakat Indonesia,Majalah Ilmu Ilmu

Sosial Indonesia, Jilid 33,Vol2 2007 , Penerbit Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, halaman 56

Page 32: Studi diseminasi bencana 2009

23

kemungkinan terjadinya bancana alam perlu ditumbuh kembangkan.Tindakan

pencegahan akan lebih baik daripada menjadi korban ketika bencana itu telah

terjadi. Pada umumnya pemerintah dan masyarakat akan bereaksi ketika bencana

itu sudah terjadi. Baru sebagian kecil bagaimana memiliki pengetahuan tentang

sistem penyelamatan diri ketika bencana terjadi. Dari berbagai observasi yang

penulis lakukan di daerah rawan bencana tersebut, masih relatif kecil masyarakat

yang mau belajar tentang sistem penyalamatan diri dari bencana. Sebagian besar

mereka masih menggantungkan pada petugas, atau pemerintah jika seandainya

terjadi bencana alam apapun bentuknya.

Tentu kondisi tersebut sangat memprihatin kan, karena sebagian besar

masyarakat Indonesia tinggal dikawasan rawan bencana alam. Dalam kurun waktu

kurang lebih 10 tahun Indonesia dilanda berbagai bentuk bencana alam. Bencana

alam itu sendiri akhirnya menjadi bencana sosial yang berdampak luas terhadap

kehidupan masyarakat, khususnya bagi mereka yang tinggal didaerah rawan

bencana. Bencana alam dalam kurun 10 tahun terakhir di Indonesia tersebut,

”diawali bencana badai El-Nino tahun 1997, banjir bandang diberbagai daerah tahun

2001, banjir ditengah kekeringan (La-Nina) tahun 2002 -2003, tsunami Aceh tahun

2004, gempa Nias, tahun 2005, gempa Jogyakarta tahun 2006, gempa bengkulu

tahun 2007, gempa Sumatra Barat tahun 2007, gempa NTB tahun 2007, banjir

Jakarta tahun 2007”4 Berbagai peristiwa bencana alam tersebut telah menelan

korban yang tidak sedikit. Korban terbanyak diantaranya masyarakat kurang mampu

yang tinggal dikawasan rawan bencana. Bencana alam yang tidak mengenal waktu

dan tidak bisa diprediksi oleh ilmuwan itu lebih disebabkan akibat pemanasan global.

Pertemuan Internasional di Bali,3 Desember 2007 dengan tajuk,: The International

Panel on Climate Change (IPCC) memberikan rekomendasi bahwa ”kaum buruh

tani, masyarakat adat sekitar hutan dan penduduk dipesisir pantai merupakan

golongan yang paling rentan atas dampak perubahan iklim tersebut”5

4 Lihat artikel Erniati.B.Djohan, Peneliti LIPI, dalam pengantar Mengapa Kajian Bencana,Bentuk

bencana alam ini bermacam macam,gelombang air pasang, gempa bumi, gunung meletus, badai,

kekeringan, kebakaran hutan, kebocoran sumber daya alam seperti gas bumi, dimuat dalam

Masyarakat Indonesia, Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia, Penerbit LIPI Jilid 33, Vol.2 tahun 2007

halaman 1

5 Laporan selanjutnya lebih lengkap dapat dibaca di Harian Kompas Edisi penerbitan tanggal 03

Desember 2007. Bencana alam tersebut telah memicu bencana sosial dengan tumbuhnya angka

Page 33: Studi diseminasi bencana 2009

24

Antara bencana alam dan bencana sosial keduanya memperlihatkan baik

secara langsung maupun tidak langsung saling kait mengkait. Misalkan eksploitasi

alam yang dilakukan manusia secara berlebihan tanpa kendali akan berdampak

terhadap terjadinya banjir bandang dan tanah longsor diberbagai daerah rawan

bencana. Pada sisi yang lain, peristiwa bencana alam disamping berdampak negatif

terhadap kehidupan manusia dan lingkungan, juga berdampak positif untuk

kelangsungan hidup masyarakat tempat terjadinya bencana alam. Letusan gunung

berapi selain berdampak, mematikan manusia, hewan, tanaman, menimbulkan

banjir lava, juga bermanfaat bagi kesuburan tanah, sumberdaya energi dan air

panas (belerang) yang digunakan untuk pengobatan, dan pembentukan air hujan

disekitarnya (Soemarwoto,1989:69). Peristiwa terjadinya bencana alam tersebut

seringkali dianggap sebagai kesalahan dan tanggung jawab pihak pemerintah, baik

ditingkat pusat maupun lokal. Pandangan itu tentu tidak salah, karena Negara

mempunyai tanggung jawab untuk melindungi dan memberikan layanan umum

kepada semua warga masyarakat.6 Persoalan mendasar seperti yang dievaluasi

dalam penelitian ini, adalah capaian diseminasi informasi pengurangan resiko

bencana di daerah rawan bencana. Diseminasi informasi tentang pengurangan

resiko bencana itu dikatakan berhasil jika mampu mengubah sikap dan perilaku

(pola pikir) masyarakat untuk sadar akan resiko bencana alam. Sadar akan bencana

dapat dimaknai mereka memiliki pengetahuan tentang pengurangan resiko bencana

jika terjadi bencana. Yang kemudian pengetahuan itu mereka implementasikan

bersama warga masyarakat lain untuk mengurangi resiko bencana di daerah rawan

bencana. Hasil observasi di 10 lokasi penelitian memberikan gambaran bahwa

kesadaran masyarakat di daerah rawan bencana, terhadap pengurangan resiko

bencana masih tampak beragam. Keragaman itu lebih dipengaruhi oleh kondisi

kemiskinan dan pengangguran yang tidak terkendali, karena kasus PHK di berbagai perusahaan

besar menengah dan kecil.Dengan alasan mengalami kerugian dan kebangkrutan PHK masal terjadi

dimana mana.

6 Lihat dan perhatikan bunyi ayat (3) pasal 34, Undang Undang Dasar Negara 1945, dimana : Negara

bertanggung jawab atas penyadiaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum

yang layak.Dengan demikian maka korban bencana alam, dan pencegahan dini berupa pemberian

penyuluhan terhadap pengurangan resiko bencana bagi masyarakat di daerah rawan bencana

menjadi tanggung jawab pihak Negara dalam hal ini pemerintah baik di pusat maupun pemerintah

lokal.

Page 34: Studi diseminasi bencana 2009

25

sosial dan budaya lokal maupun jenis bencana alam di masing masing lokasi

penelitian.

2.1 Ragam dan Jenis Bencana Alam

*Bencana Gelombang Tsunami : Istilah yang di import dari negeri Sakura itu

mempunyai makna”gelombang pelabuhan”.Dalam kamus bahasa Indonesia,tsunami

adalah sebuah rangkaian gelombang yang terjadi dikawasan pesisir

pantai.Gelombang air laut yang datangnya secara ”silih berganti” itu semakin

membesar, sehingga bisa mencapai kecepatan sekitar 800 Km/jam (Data BMKG,

2005). Gelombang tsunami biasanya diawali oleh gempa tektonik berskala besar

yang terletak di bawah laut. Jenis gempa tektonik didasar laut yang diikuti

gelombang tsunami ini sangat membahayakan pemukiman yang berada dikawasan

pesisir pantai. Dari pengakuan dan pengalaman beberapa responden jika ada

gempa, dan ditandai dengan turunnya air laut di pantai secara tiba-tiba, menurut

mereka itu merupakan suatu gejala,”gelombang tsunami akan datang menyapu

pesisir kawasan tersebut. Pertanda lain akan datangnya gelombang tsunami jika

pasca gempa muncul buih buih air laut secara mendadak, di ikuti dengan hempasan

angin yang cukup kencang kearah pantai secara tiba tiba, juga dianggap sebagai

pertanda akan munculnya tsunami (Arie Priambodo,2009:52).

Gejala gelombang tsunami yang paling gampang dideteksi jika ada suara

gemuruh, yang diikuti warna air laut yang semakin gelap dan keruh, hal itu

merupakan pertanda gelombang tsunami dahsyat akan terjadi. Dengan melihat

gejala alam tersebut masyarakat sudah bersikap waspada, dan menjaga segala

kemungkinan yang bisa terjadi di wilayahnya. Berbagai gejala alam akan terjadinya

gelombang pasang (tsunami) tersebut sudah dipahami oleh sebagian besar

komunitas masyarakat yang tinggal di daerah pesisir pantai yang juga termasuk

rawan bencana. Mereka mempunyai pengetahuan tentang bahaya gelombang

pasang seperti itu dengan kebiasaan. Artinya mereka menandai akan terjadinya

gelombang pasang dengan membaca tanda tanda alam disekitar mereka.

Gelombang tsunami biasanya berkecepatan tinggi dan berlangsung sekitar 10 menit.

Misalnya gelombang tsunasi yang memporak porandakan kawasan pesisir Aceh

(NAD) 26/12/2004 telah menelan korban lebih dari 150.000 jiwa, dan merusak

Page 35: Studi diseminasi bencana 2009

26

hampir 90% sarana dan prasarana yang ada kawasan pantai pesisir Aceh

(Kompas,27/12/2004).

Sementara di wilayah Kabupaten Padang Pariaman merupakan zone gempa,

menurut Setiadi (1962)7 dari daerah Sungai Limau hingga Tiku utara perbatasan

dengan Sungai Geringging dan pesisir barat merupakan daerah rawan gempa.

Namun demikian realitasnya sebagian besar kawasan pantai masih dijadikan tempat

pemukiman. Mereka yang bermukim di kawasan pesisir itu pada umumnya

masyarakat nelayan, atau mereka yang mata pencahariannya berkaitan dengan laut.

Komunitas mereka itu dikenal dengan masyarakat pesisir yang mata

pencahariannya sebagai nelayan (masyarakat nelayan). Bagi masyarakat nelayan

yang bermukim di kawasan pantai perasaan takut itu hanya terjadi sesaat. Mereka

takut melaut ketika baru saja terjadi bencana alam. Untuk selanjutnya mereka akan

melaut lagi, karena terkait dengan tuntutan kebutuhan ekonomi keluarga. Agak sulit

mereka mengalihkan pekerjaannya dengan pekerjaan lain yang resikonya lebih

kecil.Jika resikonya kecil kata mereka hasilnya juga kecil, begitu sebaliknya. Mereka

itu dari satu generasi ke generasi nelayan, yang bermukim di pesisir pantai. Bahaya

gelombang tsunami yang di bayangkan oleh orang lain paling menakutkan itu, bagi

mereka merupakan suatu hal yang lumrah atau biasa. Bahkan mereka berasumsi

jika ada korban bencana alam tersapu gelombang merupakan resiko bagi seorang

nelayan. Resiko itu mereka terima dengan ketabahan demi untuk mempertahankan

nasib keluargany (Kompas, 29/12/2004). Masyarakat pantai umumnya melaut atau

menangkap ikan dengan peralatan konvensional. Mereka menggunakan jenis

perahu tongkang dari kayu dengan bekal secukupnya untuk persediaan di tengah

laut.Ada diantara nelayan yang membawa bekal makanan dan minuman yang di

sediakan dari rumah mereka.Tetapi sebagian diantara mereka ada yang membawa

alat masak,di gunakan di tengah laut sewaktu di perlukan. Nelayan tradisional itu

mempunyai banyak pengetahuan tentang kelautan dan masalah perikanan.Mereka

bisa membaca tanda tanda dimana ikan ikan itu sedang berada. Mereka juga tidak

meresa kebingungan untuk menentukan arah ketika malam hari. Mereka tidak

7 Menerut Setiadi (1962) jika dilihat dari peta zone gempa di Indonesia daerah tersebut merupakan

zone gempa dengan sklala intensitas menempati zone VII dan VIII dengan episentrum yang

relative dangkal.Meski sampai sekarang masih belum pernah menimbulkan kerusakan yang

parah.http//www.padangpariamankab.go.id/cetak 1.php? cid=55 diakses 19/5/2009.

Page 36: Studi diseminasi bencana 2009

27

membawa kompas, tetapi membaca bintang di langit untuk menentukan arah,

kemana perahu mereka harus dikemudikan untuk pulang. Ketika pagi hari sampai di

daratan keluarga mereka sudah menyambutnya, untuk membersihkan ikan ikan

untuk kemudian menjualnya.

Hasilnyapun tidak menentu, kalau lagi baik dapat untung, tetapi kalau lagi sial

hasil penjualan ikan tidak bisa untuk menutup pembelian bahan bakar. Apalagi jika

harga bahan bakar solar naik seperti tahun kemarin, nelayan banyak yang tidak

melaut. Setting sosial ini merepresentasikan kehidupan sebagian besar masyarakat

yang bermukim dikawasan pesisir pantai yang masuk dalam katagori rawan

bencana tsunami. Kehidupan mereka senantiasa berhadapan dengan maut, jika

gelombang tsunami sudah tidak ramah lagi dengan perkampungan mereka. Tetapi

sebenarnya resiko ditengah laut akan lebih besar dibandingkan dengan di pesisir

pantai. Kawasan pantai yang dikatagorikan rawan gempa tsunami diantaranya :

pesisir pantai barat Sumatra, pantai selatan Jawa, Bali, Lombok, Maluku dan Papua.

Atas resiko seperti itu pemerintah menggulirkan kebijakan berupa diseminasi,

(sosialisasi, penyuluhan) tentang tata cara bagaimana pengurangan resiko bencana

di daerah rawan bencana. Program itu berupa tutorial yang sasarannya adalah

komunitas masyarakat yang bermukim di daerah rawan bencana, termasuk kawasan

pantai. Materi yang disosialisasikan berupa, bagaimana warga masyarakat harus

bersikap/ bertindak, sebelum, saat dan pasca tsunami di wilayahnya. Misalnya di

Bali tanggal 26 Desember 2006, dijadikan tempat pelaksanaan latihan

penanggulangan bencana tsunami nasional. Simulasi penanggulangan bencana

tsunami tersebut dilakukan di kawasan pantai ”Kuta” 8 Di daerah lain Pemerintah

Provinsi Sulawesi Utara,disamping menyusun peta bencana alam aparatur juga di

bekali manajemen kebencanaan dengan menggelar bimbingan teknis9.

8 Latihan simulasi penanggulangan bencana tsunami secara nasional itu di laksanakan di pantai Kuta,

Bali pada tanggal 26 Desember 2006, yang di saksikan Diputi Menteri Riset dan Teknologi DR.Ikwan

Sukardi, bersama ahli gempa tsunami Prof.DR.Gede Wdiyatnyana, beserta Gubernur dan

Bupati/Walikota se Bali (Bali Post, edisi 27/6/2006).

9 Pemprov Sulut telah mengambil langkah antisipasif sebelum terjadi bencana alam termasuk gempa

tsunami, dengan menggelar bimbingan teknis manajemen peta rawan bencana (Suara Manado. 24

Juli 2006)

Page 37: Studi diseminasi bencana 2009

28

Secara umum pihak pemerintah juga telah mengeluarkan himbauan melalui

Depkominfo bersama media massa. Sebelum Tsunami masyarakat di kawasan

rawan bencana di anjurkan untuk menghindari tinggal di kawasan pesisir pantai

yang landai kurang dari 10 meter dari permukaan laut. Karena kreteria tersebut

merupakan kawasan sangat berbahaya jika terjadi gelombang tsunami. Mereka di

himbau untuk mengenali lokasi yang dapat digunakan untuk menyelamatkan diri dari

terjangan gelombang tsunami (pohon, bukit, bangunan tinggi, dan lain-lain).

Membuat rute jalan untuk rencana evakuasi warga serta lokasi tempat pengungsian

yang aman. Melakukan reboisasi penanaman pohon pantai untuk menghadang

gelombang laut. Mematuhi tata guna lahan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah

setempat. Merancang bangunan bertingkat dengan ruang yang dianggap aman

dibagian atas, dan dinding rumah di usahakan tidak sejajar dengan garis pantai

(BIP,2008:22). Sosialisasi tata cara pengurangan resiko bencana disalurkan melalui

berbagai jenis media massa (televisi, radio, media cetak, internet, media tradisional

dan media interpersonal).

Pada Saat terjadi Tsunami, jika sedang berada dikawasan pantai segera

panjat pohon, bangunan yang posisinya tinggi dan paling dekat dengan anda

berada. Jika sedang berlari kejaran gelombang tsunami hanya kurang dari 20 menit.

Kalau berpegangan pohon saat ada gelombang tsunami, disarankan tidak

membelakangi arah laut, agar terhindar dari benturan benda keras yang dibawa

gelombang laut. Ketika sedang berada diatas kapal di tengah laut, segera pacu

kapal atau perahu menuju laut yang lebih dalam. Selamatkan diri anda, bukan

barang bawaan anda. Jika terseret gelombang tsunami carilah benda apung yang

sekiranya dapat digunakan sebagai rakit. Selamatkan diri melalui jalur evakuasi

yang sudah ditentukan bersama dan aman. Dan tetaplah bertahan ditempat yang

lokasinya lebih tinggi dari permukaan laut, sampai situasi di nyatakan aman. Setelah

tsunami tindakan yang disarankan : hindari instalasi listrik bertegangan tinggi, dan

jika menemukan kerusakan instalasi yang bersangkutan segera laporkan pada pihak

PLN terdekat. Hindari memasuki daerah kerusakan, kecuali sudah di nyatakan aman

dan jauhi dari bekas reruntuhan gedung atau bangunan lain yang membahayakan.

Berbagai cara pemahaman terhadap pengurangan resiko bencana

gelombang tsunami sudah sering di lakukan simulasi oleh petugas keamanan

terpadu di kawasan pantai. Kegiatan ini untuk melakukan uji petik terhadap kesiapan

Page 38: Studi diseminasi bencana 2009

29

warga masyarakat jika sewaktu waktu terjadi bencana gelombang tsunami yang

sesungguhnya. Uji petik semacam ini untuk menevaluasi persiapan fisik, mental dan

kecepatan dalam mengambil keputusan bagi warga masyarakat yang tinggal di

daerah rawan bencana.Sementara kegiatan lain yang dianjurkan diantaranya

”membentuk kelompok masyarakat siaga tsunami” dan mengadakan pertemuan

rutin sesama anggota. Pertemuan dimaksud untuk mendiskusikan persoalan penting

yang terkait dengan tsunami. Misalnya tata cara evakuasi dan mengenal telepon

penting yang harus dihubungi jika terjadi bencana. Mengembangkan sistem

peringatan dini diwilayah masing masing (radio panggil, kentongan, pengeras suara)

guna memberikan peringatan dini sewaktu ada bencana gelombang tsunami.

Pengelolaan manajemen kebencanaan memang memerlukan kecermatan, dan

ketelitian bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya. Karena mengorganisir orang

saat terjadi bencana adalah mengelola orang panik, dan bisa jadi kehilangan

kesadarannya. Maka dari itu persiapan sedini mungkin menjadi taruannya apakah

misi tersebut berhasil atau justru sebaliknya. Keberhasilan suatu daerah mengelola

manajemen bancana alam sangat tergantung dari kebijakan daerah yang di motori

oleh pimpinan daerahnya. Semua itu tidak lepas dari sejauhmana pengelolaan

manajemen kebencanaan mendapatkan perhatian secara spesifik dari pemerintah di

daerah, dan apresiasi masyarakatnya.

*Bencana Gempa Bumi : Bencana alam berupa gempa bumi, bisa

disebabkan letupan volkanik gunung berapi, atau gempa tektonik akibat pergeseran

patahan lapisan batuan yang terkandung dalam perut bumi. Gempa bumi lazimnya

tidak terjadi hanya sekali, tetapi diawali dari gempa awal (kecil) yang kemudian

disusul dengan gempa lanjutan yang lebih dahsyat. Dalam gempa susulan ini

biasanya terjadi kerusakan dimuka bumi, jika kekuatannya diatas 6 sklala Richter. Di

Indonesia di samping gempa tektonik, juga rawan terhadap gempa volkanik, yang

disebabkan meletusnya gunung berapi. Wilayah Indonesia oleh Andersen (1990:3)

dimasukkan dalam katagori lingkaran Cincin Api Dunia10. Dimana wilayah rawan

gempa itu berada di sepanjang Himalaya, Sumatra, Jawa, Mediterania dan Atlantik.

10

Lihat Artikel Andersen (1990) Crystallink.com, bahwa 90 % gempa bumi di dunia terjadi di wilayah

cicin api dunia, dan 80 % dari gempa termasuk gempa berkekuatan besar.Cincin Api Dunia yang

dimaksud Andersen tersebut termasuk melingkari wilayah kepulauan di

Page 39: Studi diseminasi bencana 2009

30

Banyaknya gunung berapi yang masih aktif (Krakatau,Merapi, Kelud, Semeru

di Jawa, G.Agung di Bali, G.Tambora di Sulawesi) masih menjadi ancaman bencana

bagi masyarakat yang berdomisili di kawasan pegunungan tersebut. Letusan

Gunung Krakatau (1883) tercatat dalam The Guiness Book of Records sebagai

ledakan terhebat yang pernah terekam sejarah dan saat terjadinya ledakan itu

disebut sebagai” ketika dunia meledak” (Haris Firdaus,2008:6) Demikian juga gempa

tektonik tidak kalah dahsyatnya menjadi ancaman masyarakat. Jika gempa volkanik

mudah dipetakan karena disebabkan meletusnya gunung berapi, gempa tektonik

sebaliknya. Gempa tektonik sulit diprediksikan, karena pergeseran atau patahan

kerak bumi itu kedalamannya dan lokasinya tidak menentu. Dampak akibat gempa

bumi tektonik biasanya korban tertimpa reruntuhan bangunan rumah, gedung,

jembatan atau pepohonan yang tumbang. Bahaya paling mengancam kehidupan

umat manusia jika pada saat yang sama aliran listri masih aktif. Akibat yang di derita

oleh masyarakat banyak tanah longsor, retak, bangunan runtuh, jembatan putus dan

sejenisnya. Misalnya gempa bumi tektonikdi patahan Opak terjadi di Yogyakarta, 27

Mei 2006,pukul 05,58 dengan korban sekitar 5.400.orang meninggal dunia, di

kawasan Yogyakarta dan Jawa Tengah. Korban manusia meninggal terbanyak

akibat tertimpa bangunan rumah atau gedung. Mereka panik dan kehilangan akal

kemana harus menyelamatkan diri. Kondisi masyrakat seperti itu karena tidak

memiliki pengetahuan tentang bagaimana mnyelamatkan diri jika terjadi bencana

gempa bumi. Terjadi paradok di masyarakat, menyelamatkan harta atau nyawa.Jika

mereka harus menyelamatkan nyawa, hartanya tidak terjaga. Tetapi sebaliknya jika

mempertahankan harta nyawanya kemungkinan tidak terselamatkan. Pilihan itu

menjadikan beban bagi sebagian besar masyarakat yang tinggal di daerah rawan

bencana gempa bumi.

Pada hal dalam berbagai pelatihan dan simulasi telah di sosialisasikan bahwa

penyelematan nyawa menjadi preoritas utama. Menenamkan kesadaran pada

masyarakat di daerah rawan bencana berarti mengubah budaya masyarakat yang

bersangkutan. Mereka akan mengikuti perubahan itu jika budaya baru itu mampu

memberikan keyakinan pada mereka. Tetapi keyakinan saja tentu tidak cukup jika

tidak bisa memberikan jaminan kepada mereka. Itulah sebabnya evakuasi

Indonesia.http://io.ppi.jepang.org Email :redaksi @ io. Ppi.jepang. org/cetak.php?id=205, diakses

19/5/2009.

Page 40: Studi diseminasi bencana 2009

31

pengungsian bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana kadang kala

mengalami hambatan, meski bencana mengancam kehidupan mereka. Lantas apa

yang harus di lakukan untuk mengantisipasi atau penanggulangan bencana alam.

Ada tindakan dini yang harus di sosialisasikan kepada mereka yang tinggal di

daerah rawan bencana. Sosialisasi itu terkait dengan suatu langkah sebelum, ketika

dan sesudah bencana gempa bumi terjadi.

Sebelum Gempa Bumi:Terdapat beberapa informasi yang selalu

disosialisasikan kepada masyarakat yang tinggal di kawasan rawan gempa oleh

pemerintah. Mereka dianjurkan : (1) Untuk mengenali lingkungan, diantaranya

menen tukan tempat aman untuk berlindung. Melakukan praktik pertolongan

kecelakaan, penggunaan peralatan penyelamatan kecelakaan, mencatat nomor

penting yang harus dihubungi ketika terjadi bencana gempa bumi dan lainnya. (2)

Membentuk forum diskusi antar warga untuk sosialisasi pengetahuan tata cara

penyelamatan diri jika terjadi bencana gempa bumi. (3) Dianjurkan menyiapkan

ruangan yang aman untuk berlindung keluarga di dalam rumah jika sewaktu waktu

terjadi gempa bumi. (4) Menjauhkan barang-barang yang mudah terbakar,

mematikan saluran gas, air, listrik jika memang tidak digunakan dan lainnya.

Saat terjadi Gempa : (1) Perhatikan perilaku binatang piaraan anda, atau

suara burung di malam hari yang tidak lazim sebagai pertanda bencana alam. (2)

Perhatikan goyangan air di gekas atau tempat penampungan air. (3) Jangan berlari

keluar rumah saat bangunan rumah sedang digoyang gempa. (4) Mencari tempat

aman yang jauh dari dinding, lemari, listrik dan benda berat lain yang kemungkinan

bisa menimpa. (5) Jika sedang berada dalam gedung tinggi, jauhi penggunaan lift,

elevator, dan tembok yang sekiranya membahayakan. (6) Jika berada diluar

ruangan carilah tempat tanah lapang yang tidak ada bangunan dan pohon. (7) Jika

berada dalam kendaraan gunakan sabuk pengaman dan pastikan tidak berhenti di

bawah jembatan atau dibawah pohon. Setelah Gempa : (1) Rawat luka diri sendiri,

dan tolong orang lain, dahulukan orang tua, anak anak, ibu hamil, orang cacat dan

usia lanjut. (2) Membantu korban yang terjebak dalam reruntuhan bangunan. (3)

Hindari dari tempat yang mudah terbakar, dan sengatan listrik, gas dan lain-lain.

Pasca gempa masyarakat diharapkan harus selalu waspada terhadap gempa

susulan yang kemungkinan terjadi. Kewaspadaan bukan saja ditujukan untuk

Page 41: Studi diseminasi bencana 2009

32

menyelamatkan diri, tetapi juga terhadap rehabilitasi pemukiman. Dalam konteks

rehabilitasi pemukiman, desain rumah di buat sedemikian rupa agar tahan gempa.

Mungkin saja bentuk bangunan terasa asing dan tidak lazim, tetapi hal tersebut

untuk jangka panjang dimungkinkan relatif aman. Kewaspadaan perizinan bangunan

seperti itu diwajibkan bagi daerah rawan gempa (misalnya di Kecamatan Pundong,

Kabupaten Bantul Yogyakarta) yang secara geografis berada pada patahan opak

sampai Kabupaten Klaten Jawa Tengah. Dengan dimilikinya pengetahuan tentang

langkah dan tata cara pengurangan resiko bencana tersebut, warga masyarakat

yang tinggal di daerah rawan bencana sudah mempunyai kesiapan yang cukup.Bagi

mereka kesiapan itu sangat penting, karena menyangkut pengambilan keputusan

ketika bencana alam itu benar benar terjadi. Dalam suasana kepanikan biasanya

orang kehilangan kesadarannya untuk pengambilan keputusan penyelamatan diri

dari bencana. Lebih sulit lagi jika harus mengkoordinir sekelompok warga

masyarakat. Tetapi jika mereka telah memiliki pengetahuan atau pengalaman

tentang tata cara penyelematan diri dari resiko bencana kesulitan itu akan sedikit

teratasi. Apalagi bencana gempa bumi tektonik (patahan kerakbumi) gejalanya tidak

mudah terdeteksi. Kondisinya sangat berbeda dengan gempa bumi volkanik yang

disebabkan gunung berapi. Gejala gunung berapi lebih mudah terdeteksi, misalnya

munculnya suara gemuruh, timbulnya asap bercampur debu, naiknya suhu di sekitar

pegunungan, larinya binatang dan unggas dari habitatnya dan lainnya. Bagi

masyarakat yang sudah memiliki pengetahuan tentang pengurangan resiko bencana

akan lebih mudah mengambil keputusan untuk menghindari bahaya. Sebaliknya

mereka yang masih belum mempunyai pengetahuan dan pengalaman banyak hal

pertimbangan untuk melakukan penyelamatan diri dari bahaya. Pengetahuan itu

tidak harus datang dari pihak pemerintan atau lembaga lain yang berkompeten.

Pengetahuan itu bisa tumbuh dari kesadaran lokal, atau tradisi budaya yang telah

mereka kembangkan di masing masing daerah. Meski mungkin yang mereka

lakukan lebih berorientasi pada mithos, dan kepercayaan yang bersifat

tradisional.Apapun namanya mereka telah berusaha untuk mempelajari gejala alam

dan cara menghindar dari bencana alam yang mungkin terjadi sewaktu waktu di

daerahnya.

*Bencana Banjir : Ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan bagian

yang amat penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap DAS itu sendiri.

Page 42: Studi diseminasi bencana 2009

33

Aktivitas DAS yang menyebabkan perubahan tata ruang misalnya, perubahan tata

lahan, di daerah hulu yang akan berdampak pada daerah hilir. Jika terjadi ketidak

seimbangan akan terjadi erosi dan banjir (Suripin,2004: 183). Meluapnya air sungai

yang menyebabkan banjir, biasanya di awali dengan hujan deras yang

menyebabkan erosi tanah di kawasan pegunungan yang terbawa sampai melebihi

kapasitas sehingga menyebabkan banjir bandang yang menerjang kawasan

pemukiman penduduk. Di kawasan perkotaan biasanya banjir disebabkan

pemeliharaan lingkungan yang kurang baik. Bencana banjir juga bisa di akibatnya

oleh naiknya air laut pasang, sehingga kawasan pemukiman di pesisir pantai

menjadi tergenang. Air laut bisa naik kedaratan akibat perubahan suhu udara, atau

pemanasan global yang menjadi issue lingkungan dewasa ini. Baik air bah maupun

bencana tanah longsor dan banjir bandang semuanya telah banyak membawa

korban manusia. Banyaknya korban itu salah satu diantaranya pengetahuan

masyarakat untuk menghindari bahaya banjir sejak dini dianggap sangat minim.

Misalnya warga masyarakat Jakarta yang tinggal di Kampung Melayu, Bukit Duri,

tepian sungai Ciliwung setiap musim hujan masyarakat selalu dihadapkan pada

masalah banjir rutin. Pada musim penghujan masalah banjir sudah mereka anggap

sebagai kegiatan yang bersifat rutin.Bahaya banjir bukan lagi mereka anggap

sebagai suatu hal yang paling menakutkan. Jauh hari sebelum bencana banjir

datang mereka telah mempersiapkan diri. Misalnya membangun rumah panggung

berlantai dua, atau menaikkan stop kontak aliran listrik agar tidak tergenang air,

menyiapkan rakit, tali tambang dan sejenisnya (Ahimsa,1985).

Kondisi yang hapir sama juga di alami oleh warga masyarakat yang tinggal di

sepanjang aliran sungai Bengawan Solo. Mulai dari Solo, Karanganyar, Sragen,

Ngawi, Bloro bagian Cepu, Bojonegoro, Tuban, Lamongan Jawa Timur. Dalam banjir

tahun 2008 yang lalu daerah tersebut termasuk yang terparah.Menurut Elfarid

pengelola Balai Sumber Daya Air dan Jasa Tirta banjir sungai Bangawan Solo, banjir

besar yang terjadi akhir tahun 2007 merupakan siklus tahunan11. Bukan hanya itu

11

Elfarid : Siklus banjir besar di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo dapat di runut

kebelakang berdasarkan data curah hujan yang ada.Misalnya banjir besar seperti tahun 2007 juga

terjadi pada tahun 1965.Siklus banjir 40 tahunan itu dapat di prediksi berdasarkan data klimatologi

yang ada.Banjir itu juga disebabkan pengelolaan lingkungan yang kurang baik.Banyak lahan di tepian

Bangawan Solo yang sudah beralih fungsi.Pada hal dalam pendekatan DAS antara daerah hulu,

tengah dan hilir merupakan kesatuan ekologi.Sumber :http://elfarid.multiply.com/journal/item/404,

diakses 28/05/2009.

Page 43: Studi diseminasi bencana 2009

34

tetapi masih banyak sungai di pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi kondisinya tidak

jauh berbeda. Fenomena ini memberikan gambaran jika manajemen daerah aliran

sungai (DAS) di Indonesia kurang baikpengelolaanya. Kondisi seperti itu

mengakibatkan bencana banjir setiap musim penghujan tidak dapat di hindari.

Penanggulangan banjir diperlukan kebijakan secara terpadu dan lintas sektoral,

dengan dukungan dana yang cukup memadai Itupun dirasakan belum cukup, peran

masyarakat dalam ikut memelihara kebersian lingkungan (dalam arti luas) yang

dianggap paling berpengaruh.Dari berbagai kajian penelitian ”bencana banjir

bandang” cenderung di sebabkan ulah manusia. Hal itu mengakibatkan timbulnya

ketidak seimbangan konservasi lingkungan. Meski banjir di katagorikan sebagai

bencana musiman secara rutin, tetapi tidak sedikit korban karena ketidak siapan

mereka. Bahkan bisa jadi mereka tidak memiliki pengetahuan tentang tata cara

pengurangan resiko bencana banjir tersebut. Misalnya sebelum banjir masyarakat di

sarankan : (1) Sejak dini masyarakat di kawasan rawan bencana banjir idealnya di

bekali pengetahuan atau tindakan pencegahan. (2) Menaikkan panel panel listrik

lebih tinggi dari jangkauan air di setiap rumah yang menjadi langganan banjir. (3)

Mengaktifkan gerakan pembuatan sumur sumur resapan di kawasan yang

bersangkutan. (4) Membentuk forum masyarakat peduli banjir. (5) Membangun

sistem peringatan dini bahaya banjir, baik secara tradisional, atau modern. Beberapa

pengetahuan semacam itu mereka anggap penting, karena untuk bekal persiapan

bagi mereka secara darurat. Meski banjir luapan sungai oleh sementara pihak di

anggap berbahaya, bagi mereka yang berdomisili di daerah tepian sungai atau

waduk menganggapnya sebagai kejadian biasa.

Banjir tampaknya sudah akrap dengan kehidupan mereka,sehari hari. Banjir

oleh mereka tidak perlu disikapi secara berlebihan (BPPI Jogja, 2008). Dari hasil

observasi menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat yang berdomisili di

tepian bantaran sungai yang rawan banjir sudah mempersiapkan diri jika sewaktu

waktu terjadi banjir. Misalnya masyarakat tepian Bengawan Solo,sudah memahami

betul apa resiko yang mungkin terjadi terhadap musibah banjir bandang di

wilayahnya. Tidak semua resiko itu mereka pandang sebagai bencana yang

menakutkan atau membahayakan. Sebagian mereka mendapatkan hikmah dari

bencana banjir semacam itu. Mereka yang berprofesi mencari barang-barang bekas

ketika banjir bandang mengaku justru mendapatkan rezeki. Mereka bisa

Page 44: Studi diseminasi bencana 2009

35

mendapatkan kayu, kaleng, bermacam macam plastik dan sejenisnya. Barang-

barang itu menjadi mata pencaharian mereka sehari hari. Maka terjadi paradok

dalam melihat banjir dalam perspektif masyarakat di tepian sungai Bengawan Solo,

dengan perspektif Pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Pihak pemerintah

selalu melihat bahwa ”banjir bandang pada masyarakat di tepian sungai merupakan

bahaya, yang bisa menimbulkan musibah besar. Maka mereka perlu mendapatkan

perlindungan, pertolongan dan sekaligus bantuan dan jika perlu di evakuasi untuk di

pindahkan ke pemukiman baru. Hal semacam itu menurut mereka memang sudah

menjadi kuwajiban pemerintah daerah terhadap warga masyarakatnya yang kena

misibah, mereka tidak akan menolaknya. Tetapi untuk mengalihkan budaya lokal

yang sudah menjiwai masyarakat yang tinggal di tepian sungai tidak semudah,

memindahkan bangunan fisik.

Bangunan sosial budaya terkait dengan lingkungan sosial yang sudah mereka

jadikan pola dasar kehidupan bertahun tahun selama ini. Ada keterikatan hubungan

sosial,budaya dan ekonomi yang tidak mudah mereka tinggalkan. Hubungan itu

telah mengakar di komunitas masyarakat yang tinggal di bantaran

sungai.Kekerabatan yang mereka bangun masih menjadi pengikat jika mereka harus

di relokasi ke tempat yang lebih aman.Bagi mereka pemisahan kekerabatan adalah

bencana sosial yang tidak pernah terbayangkan. Jika mereka harus terpisah dengan

kekerabatan sosial dan budaya di tempat baru (relokasi) bangunan sosial itu akan

mereka mulai dari awal lagi.Meeka melihat bukan dari sisi pandang hukum

sebagaimana peraturan formal pemerintah. Dengan membayar iuran

warga,listrik,jasa keamanan menurut persepsi mereka sudah syah bertempat tinggal

di bantaran sungai tersebut. Tanpa melihat siapa yang salah dalam konteks

tersebut,permasalahan ”penghunian ilegal di bantaran sungai” telah menjadi

fenomena sosial di Indonesia yang masih belum mendapatkan solusi.Karena

pendekatan yang umumnya dilakukan adalah penggusuaran yang bernuansa

kekerasan, bukan pendekatan sosial budaya, sesuai dengan kultur mereka di

masing masing daerah.

Page 45: Studi diseminasi bencana 2009

36

2.2 Lokasi Penelitian

*Topografi Lokasi Penelitian di Manado Sulawesi Utara12 : Kelurahan

Komo Luar Kecamatan Wenang Kabupaten Kota Manado,merupakan sebuah desa

yang terletak di sepanjang hamparan sungai Tondano dan Sawangan. Sebelum

mengalir ke hilir dan masuk menuju laut, kedua sungai tersebut bertemu di desa

Komo Luar Kecamatan Wenang. Karena lokasinya yang landai tempat pertemuan

kedua sungai tersebut menjadi daerah rawan banjir jika musim penghujan.Banjir

rutin di wilayah Kelurahan ini sudah dimaklumi masyarakat setempat.Ketidak

khawatiaran warga terhadap banjir karena mereka mengenalnya sejak lama ia

tinggal. Tanda tanda alam jika akan banjir itu bisa dibaca dari cuaca yang terjadi

dikawasan hulu sekitar Pegunungan Tondano. Jika di kawasan pegunungan

Tondano yang lokasinya lebih tinggi itu sedang terjadi hujan deras dan secara terus

menerus, kedua anak sungai tersebut (sungai Tondano dan sungai Bawang) meluap

kepermukiman penduduk. Luapan itu akan lama surutnya jika pada saat itu juga

terjadi air laut pasang. Berbeda dengan kelurahan lainnya yang lokasinya lebih tinggi

dari Komo Luar. Secara geografis Kelurahan Komo Luar mempunyai wilayah seluas

5,1 Ha, sebelau utara dibatasi Kelurahan Karang. Sebelah selatan berbatasan

dengan Kelurahan Tikala Kumalaha, sebelah barat berbatasan denga akelurahan

Pinaesaan, dan berbatasan dengan Kelurahan Tikala Ares. Meski letaknya berada

dihamparan sungai Tondano, dan sungai Bawang Kelurahan Komo Luar termasuk

pemukiman yang padat penduduknya. Mereka bermukim di Komo Luar karena

lokasinya berada di tengah kota dan dianggap mudah untuk mencari pekerjaan.

Jarak dengan kota kecamatan hanya sekitar 8 Km, ke kantor Kabupaten hanya 2

Km, sedangkan jika ke kantor Gubernur hanya sekitar 7 Km saja.Dari 5,1 ha luas

12 Diskripsi penelitian di kota Manado ini merupakan pengembangan hasil

observasi,wawancara mendalam dan FGD yang dilakukan S.Arifianto & Ahmad

Budi Setiawan,tanggal,21-27 Juli 2009. Observasi dan wawancara mendalam

dilakukan dilokasi penelitian, yaitu di komunitas masyarakat yang tinggal di daerah

rawan bencana di Kelurahan Komo Luar,Kecamatan Wenang Kota Manado.Warga

masyarakat yang diteliti adalah mereka yang bermukim dibantaran Sungai Tondano

dan Sungai Bawang yang setiap musim hujan wilayah itu terendam air bah dari

kedua sungai tersebut. Mereka tidak mau direlokasi ketempat yang dianggap aman

karena kepentingan ekonomi, dan masalah sosial budaya yang sudah mendarah

daging dilokasi tersebut.

Page 46: Studi diseminasi bencana 2009

37

wilayah Kelurahan Komo Luar itu hamper seluruhnya merupakan kawasan

pemukiman. Namun jika dilihat dari jumlah penduduknya berdasarkan data

Monografi Desa (2008), jumlah penduduknya tercatat 2.307 orang. Terdiri dari laki-

laki 1152 orang, dan wanita 1150 orang. Kelurahan Komo Luar terdiri dari 598 KK.

Di kelurahan tersebut sebagian besar penduduknya beragama Islam yakni 2198

orang. Beragama protestan 70 orang, Katholik 28 orang dan 6 orang beragama

Budha. Agama Islam mendominasi, karena sebagian besar warga kelurahan Komo

Luar merupakan pendatang, bukan warga asli Minahasa yang umumnya beragama

Nasrani.

Pendidikan & Pekerjaan, jika dilihat dari sisi pendidikan formal dari seluruh

warga Kelurahan Komo Luar tampak bervariasi. Tetapi yang tampak sebagian besar

mereka berpendidikan Sekolah Dasar (SD) yakni sekitar 1454 orang. Setingkat

SLTP tercatat sebanyak 482 orang, setingkat SLTA sebanyak 746 orang, dan

setingkat sarjana sebanyak 174 orang, pondok pesantren 35 orang, dan pendidikan

keagamaan 276 orang. Dilihat dari lapangan pekerjaan penduduk warga Komo Luar

juga tampak beragam, mereka yang bekerja di Pemerintahan (PNS) tercatat

sebanyal 100 orang, TNI/Polri hanya 4 orang saja. Namun yang paling dominan

yang bekerja di sector swasta yakni mencapai 250 orang. Sedangkan mereka yang

berprofesi sebagai pedagang/wiraswasta tercatat 18 orang. Mereka yang bekerja

sebagai buruh/tani sebanyak 15 orang, dan yang bekerja di sector jasa 30 orang.

Dari sejumlah warga masyarakat Kelurahan Komo Luar yang tercatat memiliki

telephone sebanyak 157 buah. Kepemilikan media televisi sebanyak 274 unit,

kepemilikan decoder atau Televisi Swasta 291, pemilik antenna parabola 7 unit.

Secara tradisional sebagian besar warga masyarakat yang tinggal di bantaran

sungai Tondano, setiap rumah ada alat komunikasi tradisional berupa “kentongan”

(jawa). Di samping itu yang mereka jadikan alat komunikasi juga “pengeras suara” di

Masjid-Masjid dan Surau di sekitar Desa Komo Luar. Kentongan dan pengeras

suara di masjid-masjid mereka gunakan jika akan ada bahaya banjir yang belum

diketahui warga sekitar. Dengan alat komunikasi tradisional itulah warga yang

bermukim di bantaran sungai Tondano dan sungai Bawang mendapatkan tanda

peringatan dini jikasuwaktu-waktu terjadi bahaya banjir dilingkungannya.Tanda itu

mereka butuhkan ketika kejadiannya malam hari. Tetapi jika kejadiannya siang hari

warga masyarakat di bantaran sungai bisa melihat tanda lain seperti keruhnya air,

Page 47: Studi diseminasi bencana 2009

38

adanya batang dan ranting yang terbawa arus, air berbau lumpur dan lainnya.

Seperti dijelaskan oleh T.Tampubolon (26/7) dari Dinas Kominfo bahwa bencana

yang sering terjadi di kota Manado adalah bencana banjir dan tanah longsor. Hal ini

disebabkan oleh kontur kota Manado yang banyak perbukitan dan dilalui oleh

daerah aliran sungai. Sementara banyak warga masyarakat yang tinggal di bantaran

sungai, yang pola kehidupan lingkungannya tidak sehat. Misalnya masih banyak

warga masyarakat yang mempunyai kebiasaan membuang sampah ke sungai.

Sehingga di daerah aliran sungai Tondano dan sungai Bawang menjadi kotor

dan semakin menyempit. Hilir sungai dipenuhi oleh limbah sampah yang menumpuk

dan akhirnya jika hujan tiba lebih dari 4 (dua) jam, maka air akan meluap, terutama

didaerah sungai yang letaknya di lembah perbukitan atau di daerah dataran rendah.

Kondisi ini masih diperparah lagi dengan dijadikannya sekitar DAS sebagai

pemukiman penduduk. Badan sungai Tondano dan sungai Bawang yang di bagian

hulu lebar dan dalam, ketika sampai di hilir semakin menyempit dan dangkal.

Kondisi badan sungai yang tidak normal ini ketika dibagian hulu terjadi hujan besar

dan banjir, aliran air sungai menjadi tidak tertampung. Guna menyadarkan

masyarakat di kawasan tersebut menurut Tampubolon diseminasi pengurangan

resiko bencana masih sangat di butuhkan. Karena selama di lakukan diseminasi

atau penyuluhan tentang penanggu langan kebencanaan animo masyarakat di

wilayah tersebut cukup tinggi. Terkait dengan penyebarluasan (diseminasi) informasi

mengenai kebencanaan, Dinas Perhubungan dan Kominfo kota Manado giat

melakukan diseminasi informasi mengenai penanggulangan bencana banjir

terutama di setiap akhir tahun. Sosialisasi semacam ini menurut Tampubolon (26/7)

disamping dilakukan dengan tatap muka juga melalui siaran radio dan TV lokal

(TV5-Tomohon). Diseminasi juga dilakukan oleh Pastur dan Pendeta disetiap kotbah

minggu di Gereja Gereja. Jika dilihat di lingkungan warga masyarakat yang tinggal di

daerah rawan bencana banjir di kelurahan “Komo Luar” sebagai penyebab

utamanya karena masalah lingkungan. Rendahnya tingkat kesadaran mereka

terhadap lingkungan hidup ini direpresentasikan dalam pola hidup sehari hari.

Mereka tidak memiliki kepedulian lagi tentang pembuangan sampah. Fenomena

yang terjadi di lokasi penelitian hampir semua sampah (sampah dapur, plastik,

mebel bekas, kasur bekas dan sejenisnya) dibuang ke sungai di sekitar tempat

tinggal mereka. Bekas tumpukan sampah yang mengering dan menjadi tanah di

Page 48: Studi diseminasi bencana 2009

39

bantaran sungai itu kemudian dijadikan tempat pemukiman warga. Begitu proses itu

berlanjut secara terus menerus, sehingga menjadi tempat pemukiman ilegal tetapi

lama kelamaan berkembang menjadi permanen di kelurahan Komo Luar, seperti

sekarang ini. Biasanya, jika terjadi hujan dalam durasi waktu yang lama, ada

peringatan kepada warga masyarakat disekitar bantaran sungai melalui mesjid

ataupun gereja agar mereka bersiaga dan meningkat kewaspadaan pada saat hujan

yang tiba dalam waktu yang lama. Peringatan semacam itu meski bersifat tradisional

tetapi mereka anggap penting. Paling tidak dengan peringatan dini itu mampu

mengurangi resiko bencana banjir, karena mereka telah mempersiapkan resiko yang

mungkin terjadi ketika banjir dating di kawasan mereka tinggal.

Sedangkan menurut Karyadi (26/70) dari Badan Meteorologi Klimatologi dan

Geofisika (BMKG) melihat bahwa komponen masyarakat di daerah mempunyai

kuwajiban untuk memonitoring dan mengevaluasi fenomena alam. Seperti curah

hujan angin, gelombang laut, dan berbagai jenis fenomena alam lainnya. Adanya

curah hujan yang deras dan debit air yang tinggi dari Danau Tondano serta

pasangnya air laut secara bersamaan menyebabkan air sungai tidak tertampung,

dan meluber ke daratan yang lebih rendah. Hal ini diperparah dengan banyaknya

didirikan bangunan pemukiman di daerah aliran sungai. Seharusnya didaerah aliran

sungai tidak didirikan bangunan yang bisa menyebabkan penghambat aliran sungai.

Maka dari itu perlu ditanamkan kesadaran pada masyarakat untuk sadar lingkungan

dan tidak membuang sampah yang tidak dapat diuraikan, seperti yang mengandung

bahan plastik ke aliran sungai. Untuk pelayanan kepada masyarakat kota Manado,

BMKG wilayah IV, Sulawesi Utara juga menyediakan layanan informasi mengenai

fenomena alam seperti ramalan cuaca, curah hujan dan juga informasi mengenai

kebencanaan yang bersifat real-time dan dapat diakses oleh masyarakat melalui

situs: www.bmgsulut.wil4.go.id . Selain itu jika terjadi bencana, seperti: banjir,

gempa, tsunami dan lain sebagainya, BMKG Sulawesi Utara akan memberikan

peringatan melalui SMS ke nomor-nomor tertentu dan juga ke nomor-nomor pejabat

atau tokoh masyarakat dari server secara otomatis jika terjadi tanda-tanda alam

akan terjadi suatu bencana. Adapun informasi ini diberikan untuk mengeliminir

jatuhnya korban dari pihak masyarakat, dan masyarakat sedini mungkin dapat

menyelamatkan diri.

Page 49: Studi diseminasi bencana 2009

40

Karena sampai sekarang menurut Karyadi (26/7) gempa bumi, tsunami

hingga kini masih belum bisa di prediksi secara akurat, dan tepat. Dengan adanya

hp kurang dari 5 menit BMKG mengaku bisa memberikan informasi kemungkinan

akan terjadi bencana alam kepada tokoh formal atau informal tertentu yang terkait.

Kecepatan informasi tersebut sangat membantu mereka untuk segera mengambil

keputusan strategis dalam konteks pendistribusian informasi pengurangan resiko

bencana kepada masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana (lokasi

penelitian). Di kawasan Sulawesi utara berbeda dengan Pulau Jawa yang terjadi dua

musim, yakni biasanya antara bulan Oktober sampai dengan April musim

penghujan, dan Mei sampai dengan September musim kemarau. Meski seiring

dengan dampak pemanasan global musim itu sudah tidak terstruktur lagi.

Berbeda dengan di Pulau Jawa di Sulawesi utara menurut Karyadi (26/7)

tidak mengenal musim seperti di Jawa tersebut. Karena kenyataannya terjadi musim

hujan sepanjang tahun dan ketika musim kemarau ternyata ada hujan. Penjelasan

selanjutnya, di sampaikan Dinas Sosial kota Manado (26/7), terutama di seksi

kebencanaan, mereka mempunyai tugas untuk memantau terjadinya bencana alam

dan membantu masyarakat dalam hal tanggap darurat saat terjadinya bencana,

sebalum, sesaat dan sesudah terjadi bencana. Menurut pengalaman mereka jika di

kawasan Tumohon sudah turun hujan lebat secara terus menerus, masyarakat di

sekitar kelurahan “Komo Luar” sudah khawatir. Kalau air sudah menggenang sampai

ketinggian 0,50- 1m, masyarakat mengungsi ke sekitar Hotel Ahlan, yang lokasinya

lebih tinggi. Jika sudah kondisi darurat seperti itu hp harus tetap hidup 2 x 24 jam,

karena sewaktu waktu ada susulan banjir mereka saling memberikan informasi.

Mereka selalu berkomunikasi dengan petugas yang ada di atas Tondano, dan saling

tukar informasi tentang cuaca, dan kemungkinan banjir bandang yang lebih hebat

lagi. Dengan demikian masyarakat di daerah rawan bencana kelurahan “Komo Luar”

segera mendapatkan informasi tentang kondisi di atas Gunung tersebut. Sejak

sekitar tahun 2000-an banjir besar sering terjadi, mulai dikawasan pemukiman

“Malalayang yang terkenal dengan rawan tanah longsor sampai di kawasan hilir

kecamatan Wenang dan Kecamatan Tuminting. Solusi pengurangan resiko bencana

adalah komunikasi dengan menggunakan media dan teknologi (hp). Meskipun

sekarang teknologi dan infrastruktur untuk pendiseminasian informasi pengurangan

resiko bencana sudah canggih, namun masih saja terdapat kendala dalam

diseminasi informasi pengurangan resiko bencana kepada masyarakat.

Page 50: Studi diseminasi bencana 2009

41

Kendala yang dianggap paling mendasar adalah kesenjangan informasi. Hal

ini dirasakan oleh karena belum banyak masyarakat yang bisa mengakses

kejaringan internet dan belum banyak pula masyarakat yang sadar dengan

penggunaan alat komunikasi seperti ponsel (telepon seluler) untuk penyebarluasan

informasi kebencanaan. Kondisi semacam ini juga dirasakan oleh Dinas

Perhubungan dan Kominfo yang mempunyai Tugas Pokok dan Fungsi untuk

pendisemiansian informasi kepada masyarakat. Karena pada saat ini belum ada

mandat berupa MoU kerjasama dengan BMKG untuk memonitor informasi yang

diberikan BMG secara berkala lalu disampaikan kepada masyarakat. Dalam hal

penanganan bencana alam Dinas Sosial kota Manado mempunyai tenaga terlatih.

Tenaga terlatih itu diberi nama “TAGANA”, mereka bertugas sebagi tenaga tanggap

darurat kebencanaan dan sebagai informan bila akan terjadinya bencana alam.

Misalnya, jika terjadi hujan dalam durasi yang lama atau lebih dari 4 jam, maka

TAGANA akan menginformasikan kepada jajaran dinas terkait dan juga siaga-1

dilokasi yang rawan terjadi bencana banjir untuk melakukan evakuasi dan

membantu masyarakat. Jika terjadi bencana, maka pihak jajaran dinas sosial harus

sudah siap berada di lokasi bencana alam, apapun resikonya. Kondisi seperti itu

harus di sadari dan dipahami oleh semua warga masyarakat yang bermukim di

daerah rawan bencana, Kelurahan Komo Luar, kecamatan Wenang Kota Manado.

Untuk menguatkan argumentasi tersebut seorang tokoh masyarakat yang bermukim

di daerah Komo Luar, Umar Harun (26/7), yang juga sebagai Sekretaris Desa Komo

Luar berdasarkan pengalamannya menjelaskan bahwa: kondisi sungai Tondano dan

Sawangan di kawasan Komo Luar sudah mengalami perubahan,dibanding dua

puluh tahun silam. Jika 20 tahun yang lalu kondisinya lebar dan dalam sekarang

menjadi menyempit, dangkal dan kotor. Kalau dulu hutan di kawasan Tondano atas,

dan Tomohon masih lebat, dan mampu menyerap air hujan sederas apapun,

sekarang hutan hutan di gunung itu di”gunduli” oleh penebang liar. Akibatnya air

hujan tidak bisa terserap dan mengalir sambil membawa erosi humus dari

penggunungan itu. Maka jika hujan lebat banjir bandang tidak bisa di hindari. Apa

bila DAS di Tondano atas itu di lepas maka di bawah akan terjadi banjir.Tetapi jika

DAS itu tidak di lepas menurut Umar Harun (26/7) DAS akan jebol, karena tidak

mampu menampung debit air bah yang begitu banyak. Maka pilihan pertama

menjadi solusinya, namun akibatnya kawasan Kelurahan Komo Luar, dan daerah

sekitarnya menjadi tergenang banjir hingga, sekitar 2 meter. Oleh sebab itu warga

Page 51: Studi diseminasi bencana 2009

42

yang bermukim di daerah rawan bencana Komo Luar meminta kepada Pemerintah

Kota Manado untuk membangunkan tanggul.

Sekarang sebagian pembangunan tanggul sungai Tondano di kawasan

Kelurahan Komo Luar sedang berjalan. Menurut pengamatan peneliti dari observasi

lapangan pembangunan tanggul di bantaran sungai Tondano yang melintas

kelurahan Komo Luar sudah mencapai 5 Km. Pembangunan tanggul setinggi 4 m itu

melintasi tiga lingkungan. Yakni di lingkungan I, Lingkungan, II dan Lingkungan III

Kelurahan Komo Luar Kecamatan Wenang Kota Manado. Meski sudah dibangun

tanggul setinggi 4m dengan panjang 5 Km, kawasan itu masih saja tetap banjir,

karena masih ada dataran rendah lain yang belum bisa tertutup. Bagi Umar Harun

(26/7) untuk membaca tanda tanda alam akan terjadi banjir bandang di sungai

Tondano, dimana ia tinggal tidak sulit. Karena ia sudah hafal dengan gejala alam

yang setiap tahun selalu datang itu. Misalnya ia menandai adanya : hujan yang

terus menerus di kawasan Tondano atas. Air sungai Tondano meluap berwarna

coklat, dan banyak dahan dan ranting kayu yang hanyut. Ia mencium bau lumpur

dari air sungai itu. Umar Harun mengaku pengetahuan membaca tanda alam itu di

peroleh dari orang tuanya. Sekarang pengetahuan pembacaan tanda alam tentang

gejala banjir bandang itu sudah diajarkan kepada hampir semua warga yang

berdomisili di bantaran sungai Tondano kelurahan Komo luar. Dalam pandangannya

ia sangat mendukung program diseminasi atau sosialisasi pengurangan resiko

bencana kepada warganya. Bahkan tidak sekedar itu, tetapi secara riel ia juga minta

memerintah Kota Manado beberapa perahu karet, sebagai tindakan antisipasi ketika

ada bencana alam berupa banjir bandang yang secara rutin datang setiap tahun itu.

Sekarang masyarakat secara tradisional mengenali bencana, banjir di kelurahan

Komo Luar dengan membaca tanda-tanda alam itu. Contohnya, pada bencana banjir

di aliran sungai Tondano di kelurahan Komo Luar, masyarakat sekitar mengenali ciri-

ciri akan terjadinya banjir yaitu apabila, air sungai sudah mulai keruh tidak seperti

biasanya, banyak ranting-ranting dan kayu-kayu pepohonan yang hanyut dari arah

hulu, air sungai berwarna kecoklatan dan berbau lumpur (referensi Umar Harun,

26/7). Jika tanda-tanda alam tersebut sudah terbaca, maka warga yang mengetahui

akan memberitahu warga lainnya dengan memukul kentongan atau menyuarakan

pengumuman dari speaker masjid atau informasi melalui kotbah di-gereja-gereja.

Page 52: Studi diseminasi bencana 2009

43

Inilah diseminasi informasi manual yang dilakukan secara swakelola oleh

warga masyarakat yang tinggal di Kelurahan Komo Luar di bantaran sungai

Tondano, kecamatan Wenang Kota Manado. BMG sebagai lembaga yang diberikan

kewenangan untuk memberikan informasi tentang gejala/tanda/dan sandi maupun

ramalan cuaca yang terkait dengan bencana alam memang menjadi rujukan utama.

Namun demikian informasi yang syarat dengan teknologi informasi canggih itu baru

sebatas pada komunitas tertentu. Artinya BMG tidak bisa menyampaikan produk

informasi tentang kebencanaan atau lainnya itu secara luas ke masyarakat. Maka

dari itu peran serta kominfo di daerah sebagai jembatan informasi kepada

masyarakat menjadi sangat penting. Tetapi menurut T.Tampubolon (26/7) kominfo di

daerah belum ada acuan (protap) untuk mendiseminasikan informasi pengurangan

resiko bencana semacam ini. Kalau TIK hanya sebatas untuk komunitas tertentu,

maka media interpersonal masih mempunyai peluang yang sangat dominan untuk

melakukan diseminasi pengurangan resiko bencana kepada masyarakat. Di lokasi

penelitian belum ada media yang mampu memberikan informasi kebencanaan

secara cepat kepada masyarakat. Media yang lebih dekat ketika terjadi bencana

adalah HT Orari dan kentongan, atau pengeras suara di masjid masjid. Pada

dasarnya masyarakat di daerah kelurahan mengunginkan kehidupan yang aman,

terhindar dari bencana banjir bandang. Mereka sudah di tawari untuk di lakukan

relokasi ke pemukiman lain yang lebih aman. Tawaran itu di tolak oleh mereka

karena alasan ekonomi. Meski daerah mereka berada di bantaran sungai Tondano

yang setiap saat terancam bencana banjir letaknya di tengah kota. Kedekatan

dengan kota adalah menyangkut mata pencaharian mereka. Jika mereka di relokasi

ke tempat jauh dari kota hanya akan menyengsarakan kehidupan mereka kelak.

Maka warga masyarakat kelurahan ”Komo Luar” mengaku, suka atau tidak suka

akan tetap tinggal di bantaran sungai Tondano. Penolakan mereka bisa jadi karena

tidak dilakukan pendekatan kultural. Mungkin saja sejumlah pemukiman yang di

tawarkan untuk relokasi mereka tidak manusiawi. Di buat semata mata untuk

pertimbangan bisnis, bukan sosial dan budaya. Akibatnya muncul cara pandang

yang berbeda, mereka menjadi berpikir kalau bencana banjir tidak akan terjadi

setiap hari, tetapi jika pindah ke lokasi baru, maka itu untuk kehidupan selamanya.

Masih adanya kesenjangan informasi antara masyarkat dengan pemerintah pusat

dan daerah serta instansi yang menangai permasalahan bencana alam (banjir) di

masyarakat.

Page 53: Studi diseminasi bencana 2009

44

Pemahaman terhadap simbol-simbol komunikasi tentang diseminasi

pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana dengan TIK hanya di pahami

oleh komunitas TIK saja. Sementara komunitas masyarakat yang bertempat tinggal

di daerah rawan bencana masih menggunakan komunikasi tradisional. Oleh karena

itu, perlu ada kebijakan dan rujukan dari Departemen Kominfo atau yang terkait

dalam hal diseminasi informasi kebencanaan di daerah rawan bencana, agar

pemerintah daerah dapat membuat link (tautan) informasi dari BMG kepada jajaran

instansi yang terkait menanggulangi bencana di daerah dan kepada warga

masyarakat di daerah rawan bencana. Kemampuan atau insting masyarakat dalam

mengenali tanda-tanda bencana alam (banjir) dengan membaca tanda-tanda alam

sudah lama menjadi tradisi komunitas masyarakat di lokasi penelitian. Maka dari itu

aspek ini perlu diperkuat dengan sosialisasi program diseminasi pengurangan resiko

bencana atau berbagai penyuluhan (kebencanaan) yang merujuk pada kebijakan

pemerintah daerah secara terpadu dan lintas sektoral. Pendekatan cultural,dengan

pemberdayaan berbagai bentuk kearifan lokal meski di anggap penting masih belum

mendapatkan perhatian pemerintah dan pihak/instansi terkait yang menangani

permasalahan kebencanaan. Diseminasi tentang tata cara pengurangan resiko

bencana di kelurahan “Komo Luar” masih belum di lakukan secara terpadu.

Akibatnya dalam memandang dan menangani bencana banjir juga berjalan sendiri-

sendiri (parsial). Penanganan masalah dampak bencana banjir bagi masyarakat di

kelurahan Komo Luar, misalnya dengan relokasi warga mengalami hambatan oleh

faktor ekonomi. Persoalan ini bertautan dengan mata pencaharian komunitas warga

masyarakat yang tinggal di sekitar bantaran sungai Tondano. Relasi keberadaan

sungai dan kehidupan masyarakat dalam konteks ekonomi secara umum tidak

mungkin di pisahkan.

Secara kultural mereka telah mengalami kehidupan yang bertahun tahun,

berhimpitan dengan persoalan banjir. Bahkan bencana banjir bagi sebagian

masyarakat bukan dianggap musibah, tetapi memberikan nafkah. Jika dilihat dari

sisi sosio kultural, yang berkaitan dengan masalah pendidikan formal warga

masyarakat kelurahan Komo Luar tidak terlalu rendah. Mereka rata-rata

berpendidikan menengah atas, bahkan sarjana. Namun demikian pemahaman

mereka dari observasi cenderung rendah (tentatif masih akan dilihat dari hasil

kuesioner). Misalnya media televisi sebatas untuk hiburan, radio jarang mereka

dengarkan dan media cetak juga hampir jarang masyarakat yang membacanya.

Page 54: Studi diseminasi bencana 2009

45

Sebagai solusi alternatif jika ada gejala bahaya bencana banjir adalah

mengumumkannya di masjid, dan membunyikan kentongan, atau memukul tiang

listrik, dan benda sejenisnya. Khususnya jika banjir itu datang di malam hari. Tradisi

itu sudah menjadi kebiasaan bagi komunitas masyarakat yang tinggal di bantaran

sungai Tondano. Mereka melakukan hal tersebut sudah sejak dari generasi

sebelumnya. Tradisi masyarakat di bantaran sungai Tondano ini memberikan

gambaran bahwa sebenarnya masyarakat sudah menerapkan persiapan dini

sebelum terjadi bencana. Meski mereka melakukannya dengan cara dan tradisi

mereka sendiri.

*Tofografi Lokasi Penelitian di Gorontalo13 : Lokasi penelitian di

Lingkungan 1 Kelurahan Bugis, Kecamatan Kota Timur, Kota Gorontalo dipilih

setelah mendapat informasi dari Kepala Bidang Informasi Ibu Hj. Arfa Hamid, SP

dan Lurah Kelurahan Bugis Win Abdullah S. Sos. Kelurahan Bugis merupakan

kelurahan binaan Dinas Perhubungan Kota Gorontalo yang mengalami bencana

kebanjiran dengan tinggi 1-2 meter tiap tahun. Pengumpulan data melalui kuesioner

dilakukan oleh tujuh orang petugas survey dari kantor Dinas Perhubungan Kota

Gorontalo di Jalan Wolter Mongonsidi no. 26 Gorontalo. Sebelum bertugas mereka

terlebih dahulu mengikuti pelatihan (coaching) dari Peneliti. Petugas survey

mengedarkan kuesioner kepada 70 orang responden yang berdomisili di

Lingkungan 1 dengan mendapat supervisi dari Peneliti. Lingkungan 1 terdiri dari 4

RT dan 2 RW dengan jumlah penduduk 1.123 orang atau 289 kepala keluarga (KK).

Wawancara dilakukan dengan Lurah Kelurahan Bugis Ibu Win Abdullah, S.

Sos di kantor Kelurahan Bugis Jalan Cakalang No 1, dan wawancara dengan Ketua

RT 1/RW 1 Bapak Ismail Latala, dan Sekretaris RT 1 Bapak Saifullah Abudi.

Observasi di lokasi penelitian dilaksanakan dengan mengamati aktivitas warga dan

kondisi bangunan rumah, sarana umum, serta pintu air dan sungai Tamalate yang

mengalir di kelurahan Bugis. Potensi bencana yang dapat terjadi di Kota Gorontalo

13 Diskripsi penelitian di kota Gorontalo ini merupakan bagian dari penelitian yang

ditulis oleh Paraden Sidahuruk & Triko.S Penelitian dilakukan pada tanggal 21-27

Juli 2009 di kota Gorontalo. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah

efektivitas diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan

bencana. Adapun masalah banjir yang setiap tahun dimusim hujan mengancam

sebagian kota Gorontalo dijadikan obyek penelitian tersebut. Banyak hal yang

ditemukan dari penelitian ini.

Page 55: Studi diseminasi bencana 2009

46

adalah (1) banjir, (2) erosi/longsor. (3) gelombang pasang/abrasi pantai. Wilayah

rawan banjir di kecamatan Kota Timur disebabkan meluapnya Sungai Bone. Wilayah

banjir itu adalah Kelurahan Tamalate, Padebuolo, Ipilo, Bugis Talumolo, dan Botu.

(Badan Penanggu langan Bencana Daerah Kota Gorontalo, 2009 : 1-3) Sungai

Tamalate yang lebih kecil mengalir mengililingi pemukiman yang letaknya lebih

rendah daripada jalan Jalaluddin Tantu. Banjir juga terjadi karena air sungai tersebut

meluap masuk ke pemukiman melalui pentu air. Air dari kali atau sungai Bone yang

berasal dari Sungai Bone di Kabupaten Bone Bolango. Kelurahan Bugis letaknya di

pusat kota meliputi 4 lingkungan, 9 RW dan 34 RT. Kelurahan Bugis sebelah utara

berbatasan dengan Kelurahan Ipilo, Kecamatan Kota Timur, sebelah Selatan

berbtasan dengan Kelurahan Talumolo, Kecamatan Kota Timur. Sebelah Barat

berbatasan dengan Kelurahan Tenda, Kecamatan Kota Selatan. Sebelah Timur

berbatasan dengan Kelurahan Botu , Kecamatan Kota Timur Luas wilayah sekitar,

4,8 km2 dengan jumlah penduduk 4.584 jiwa terdiri dari 2.231 laki-laki dan 2.353

perempuan dengan 1.255 kepala keluarga. Mata pencaharian penduduk adalah

buruh/swasta (50%), pengemudi bentor (beca motor) (18 %), pegawai negeri sipil

(14%), pedagang (6%), nelayan (4%), TNI /Polri (3%), sopir, tukang, penjahit

masing-masing 2%. Pada tahun 2008 tingkat kesejahteraan penduduk terdiri dari (1)

keluarga prasejahtera (287 kel), (2) keluarga sejahtera 1 (311 kel), (3) keluarga

sejahtera 2 ( 482 kel), (4) keluarga sejahtera 3 (120 kel), (5) keluarga sejahtera 3

plus ( 55 kel). ( Kelurahan Bugis, 2009). Kondisi sosial ekonomi masyarakat di RW

1 secara bervariasi mencakup semua kategori keluarga sejahtera tersebut. Deskripsi

RT 1 yang diobservasi menunjukkan sebagian kecil keluarga menempati bangunan

rumah permanen tembok terletak di tepi jalan raya Jalaluddin Tantu. Sedangkan

sebagian besar penduduk yang berada di gang-gang jalan tersebut khususnya di RT

1 mempunyai rumah bangunan semi permanen tembok, rumah papan dan rumah

tepas (4 rumah). Ada delapan rumah semi permanen berlantai dua yang

digunakan untuk menghindari banjir. Semua rumah beratapkan seng dengan

pasokan listrik rata-rata 450 watt dengan voltage sebesar 220 watt.

Satu bangunan rumah ada yang dihuni oleh 1-3 kepala keluarga. Dari 32

rumah tangga atau 58 KK masih ada 3 KK belum memakai listrik. Air yang

digunakan sehari-hari berasal dari PAM, dan sebagian memakai air sumur.

Pemukiman RT 1 yang dikelilingi sungai Tamaleta terdapat dua pintu air yang

Page 56: Studi diseminasi bencana 2009

47

terbuat dari plat besi ukuran lebih kurang 2 m2 dengan cara buka tutup ke atas.

Menurut Ketua RT 1 Ismail Latala Ketua RT 1 RW 1 bahwa pintu air tidak

dimanfaatkan karena air tetap masuk ke pemukiman. Kalau sungai Tamaleta mulai

meluap pintu air tidak berfungsi karena itu pintu air itu dibuka masyarakat.

Seharusnya pintu air pakai putaran bola. Air juga datang dari Kuala atau sungai

Bone menutupi jalan Jaladduin Tantu dan masuk ke pemukiman. Tiap tahun terjadi

bencana banjir dengan ketinggian sekitar 1-2 m (th 2006). Banjir tahun 2008 warga

masyarakat di lokasi penelitian ini mengungsi ke tempat penampungan yang

disediakan pemerintah setempat (kelurahan, sekolah-sekolah, mesjid dan dataran

tinggi lainnya). Pengumuman peringatan dini tentang banjir, biasanya

dikumandangkan melalui pengeras suara di masjid, atau melalui HP, HT dari RT ke

kelurahan. Sebelum penduduk mengungsi barang-barang disusun di rumah lantai

dua yang mereka anggap aman. Penduduk mengungsi jika air sudah sampai atap

rumah. Menurut Saifullah Abudi Sekretaris RT 1/RW 1, parahnya banjir di kota

Gorontalo karena bergabungnya Sungai Bone dan Sungai Kuala Tamalate. Karena

air meluap dari Sungai Bone ke Sungai Tamalate tahun 2006 tanggul lebih kurang

2,5 m roboh ke arah sungai.

Kalau banjir besar sebagian air kali Bone masuk ke pemukiman RT dan

mengalir ke kali Tamalate. Air kali Bone meluap melalui jalan Jalaluddin Tantu,

masuk ke RT.1 / RW1. Pernah tahun 1948 banjir besar, tapi tidak ada korban jiwa

dan rumah hanyut, yang ada rumah roboh (tahun 1948 dan 2006) Suku bangsa

yang mendiami pemukiman RT 1 adalah suku Gorontalo. Warga RT,I mayoritas

beragama Islam. Sedangkan pendidikan mereka rata-rata hanya sampai SMP-SMA.

Di lokasi penelitian acara resmi adat, atau upacara adat Gorontalo masih sangat

dominan. Upacara tersebut biasanya di berlakukan ketika ulang tahun, dan

sejenisnya. Sementara mata pencaharian warga masyarakat beragam. Misalnya ada

yang membuat dinding tepas, membikin kue, bekerja di bangunan, supir mobil,

pengemudi bentor, PNS, pensiunan. Pengangur di lokasi pemukiman ini terdapat

18 orang. Mereka ini semuanya berlokasi di kawasan rawan banjir.

Focus Group Discussion (FGD) dilaksanakan pada hari Senin, 27 Juli 2009 di

Hotel Grand City Jalan Ahmad Yani No 109. Menurut Henry Andri Sinyal dari Kepala

Dinas Perhubungan Gorontalo (27/7) bahwa Kota Gorontalo merupakan daerah

rawan banjir. Penangannya sudah dilakukan secara rutin, hal yang biasa

Page 57: Studi diseminasi bencana 2009

48

dilaksanakan pada saat-saat terkena banjir. Tapi dalam waktu mendatang

diharapkan penanggulangan banjir akan lebih efektif, mendetail dan lebih terarah.

Dengan penelitian ini mereka berharap bahwa apa yang di lakukan oleh

Depkominfo akan membantu mereka untuk menyiapkan hal-hal yang perlu

diwaspadai. Dalam pelaksanaan penanggulangan banjir di Kota Gorontalo sudah

dapat mengeliminir berbagai permasalahan, sehingga dirasakan masyarakat akan

manfaatnya. Namun ada yang perlu ditambahkan bahwa setiap kali ada tanda-tanda

bencana memang kita diminta untuk memberi informasi pada masyarakat tentang

kewaspadaan. Jadi dari awal mereka sudah memberikan peringatan-peringatan,

terutama setelah ada Satkorlak Bencana yang sudah ada tolok ukur tentang kreteria

waspada satu waspada dua dan seterusnya. Ketika ada bencana banjir umumnya

masyarakat tidak mau di evakuasi. Mereka baru mau dievakuasi setelah rumahnya

tenggelam. Jika kondisinya sudah tenggelam mereka baru minta bantuan tim

Sakorlak atau petugas kebencanaan di tingkat Desa atau Kecamatan.

Jadi inilah diseminasi informasi yang mungkin bisa dicarikan jalannya, bagaimana

cara untuk menyakinkan masyarakat. Yaitu melalui informasi apa yang akan kita

berikan, bahwa pada level apa mereka harus keluar dari rumah tersebut agar tidak

terjadi korban. Diseminasi informasi pengurangan resiko bencana bisa mengeliminir

dan memperkecil resiko akibat banjir. Pengetahuan tersebut harus mereka

dapatkan. Contoh tahun 2008 yang lalu dua pertiga kota Gorontalo terkena bencana

banjir. Warga kota tidak bisa kemana-mana karena tidak ada angkutan yang jalan

ketika itu. Menurut Anis Musa (27/7) Badan Penanggulangan Bencana terbentuk

berdasarkan Perda No: 17 tahun 2008, pelantikan strukturalnya tanggal 14 Januari

2009, jadi baru 6 bulan 2 minggu kita kerja di Kota Gorontalo. Setiap tahunnya

mereka terkena banjir akibat dampak hujan yang turun di daerah hulu yakni didaerah

Kabupaten Bone Bulango. Pada tahun 2008 sudah 11 kali terjadi banjir akibat

luapan sungai Bone. Dengan Program Walikota tahun 2008 kemarin hingga

sekarang pembenahan seluruh saluran baik sungai maupun saluran-saluaran yang

ada di Gorontalo cukup berhasil. Walikota memprogramkan bagaimana masyarakat

dapat mengatasi banjir yang ada di kota Gorontalo. Hampir seluruh Kecamatan

terendam banjir khususnya wilayah kecamatan Kota Timur, yakni kelurahan Bugis,

dan Ipilo. Dari 6 kecamatan di kota Gorontalo ini semua berpotensi terkena banjir.

Page 58: Studi diseminasi bencana 2009

49

Sedangkan bencana erosi dan tanah longsor terjadi juga di beberapa

kelurahan. Sedangkan di pesisir pantai sering terjadi abrasi, karena sifatnya masih

baru kita menanganinya secara manual khususnya tanda batas pasang surut itu kita

buat dalam bentuk sederhana dan tradisional. Demikian pula untuk daerah rawan

longsor mereka sudah mebuat papan tanda larangan hampir di semua lokasi yang

berbahaya longsor itu. Jika terkena bencana, masyarakat enggan mengungsi dan

mereka lebih mengutamakan harta bendanya yang takut dijarah orang. Sosialisasi

tentang banjir tidak pernah dilakukan karena masyarakat sudah tahu dengan melihat

tanda-tanda alam. Namun memang mereka sadari bahwa tingkat koordinasi antar

SKPD terkait masih belum optimal. Implikasinya ketika terkena banjir atau tanah

longsor tidak dengan cepat dapat menanggulanginya. Begitu juga dalam kegiatan

saat pra bencana dan pasca bencana. Minggu kemarin kecamatan Kota Selatan

mengundang Dinas Kesehatan untuk memberikan sosialisasi kebencanaan. Dinas

Kesehatan mempunyai pemetaan daerah rawan banjir, rawan longsor, rawan gempa

bumi dan tsunami. Pertama: Pada kegiatan pra bencana, masyarakat berupaya

menguatkan sistem dari puskesmas sampai Dinas Kesehatan. Mereka yang ada di

Puskesmas berkomunikasi dengan petugas di pusat (Dinas Kesehatan) melalui sms,

jika terjadi bencana. Posko Kesehatan melakukan sosialisasi/penyuluhan pasca

bencana (Dr.Boby Harun Oka - Dinas Kesehatan). Disamping itu Dinas Sosial juga

mempunyai program penanggulangan bencana yang menyangkut tanggap darurat

yang berawal dari pra bencana kemudian ada bencana dan pasca bencana. Di pra

bencana mereka punya tenaga sukarela di berbagai kecamatan. Petugas tersebut

memberikan informasi kepada masyarakat bahwa sekarang kondisi cuaca tidak

baik. Mereka langsung memberi informasi bahwa masyarakat harus siap-siap

dengan kondisi yang ada. Kalau memang keadaan cuaca sudah tidak

memungkinkan, berarti detik-detik pengungsian mereka siapkan. Setelah kejadian,

data bencana yang harus mereka siapkan karena mereka harus merespon ke

masyarakat yang ada di pengungsian, berapa jumlah KK- nya, berapa kelurahan, di

wilayah mana dan sebagainya. Karena mereka akan menyediakan makanan siap

saji.

Kedua: untuk menangani masalah kesehatan ini mereka juga berkoordinasi dengan

Dinas Kesehatan, dengan melaporkan jumlah bayi, jumlah pengungsi di

pengungsian yang kurang sehat, atau memerlukan bantuan kesehatan dan

Page 59: Studi diseminasi bencana 2009

50

sebagainya. Ketiga : Pasca bencana masyarakat mulai kembali ke rumah masing-

masing. Dengan kondisi yang kurang kondusif itu mereka menjalani kehidupan

selama pasca bencana banjir tersebut. Umumnya mereka masih mempunyai

persediaan pangan selama tiga hari berturut-turut. Sedangkan masyarakat yang

kondisinya benar-benar darurat mereka mengusulkan untuk mendapatkan bantuan

dari pemerintah. Menghadapi masyarakat menurut mereka memang perlu

kesabaran, tindakan persuasif, dan harus dipaksa untuk mengungsi demi

keselamatan mereka (Raolah Mamonto, Dinas Sosnaker). Sementara menurut Win

Abdullah (27/7) Lurah Bugis upanya-upaya dalam menghadapi bencana alam agar

masyarakat yang ada diseluruh bantaran sungai bersiap-siap mengungsi. Mereka

selalu berkoordinasi dengan pemerintah terkait terutama dengan pembina

kelurahan. Bahkan ada beberapa lokasi yang sudah dipersiapkan untuk

penampungan. Di kantor kelurahan Bugis, ada dua lantai tapi tidak semua

pengungsi bisa tertampung. Ada lagi lokasi penampungan yaitu sekolah yang dua

tingkat di daerah lain yang paling aman. Masyarakat pengungsi tidak mendapatkan

bantuan kecuali makanan siap saji.

Mengenai kesehatan kebetulan kelurahan Bugis ada Puskesmas pembantu, jadi

masyarakat yang mengalami sakit atau diare akibat banjir, bisa dengan cepat

ditangani. Jika ada gejala banjir pihak Kelurahan selalu menghimbau kepada warga

untuk koordinasi dengan pemerintah terkait. Biasanya para ketua RT memberikan

informasi bahwa air sudah naik, kemudian meninjau ke lokasi banjir dan langsung

menghubungi ke Dishub melalui HT. Kesbang mempunyai satu seksi penanganan

bencana yang selama ini tetap aktif bekerjasama dengan badan-badan yang sudah

ada. Pada tahun 2008 Kesbang lebih banyak melihat dari tanda-tanda atau bulan-

bulan tertentu yang penting harus diwaspadai, khususnya pada bulan Januari.

Biasanya pada musim banjir Pemerintah daerah rajin melakukan rapat-rapat dengan

Muspida, SKPD sampai tingkat kelurahan untuk membicarakan suasana banjir itu.

Dalam pembentukan posko-posko, misalnya apakah masyarakat perlu evakuasi

(Wahab Mahmud Kesbang). Informasi bencana banjir disampaikan melalui RRI,

sosialisasi dan early warning system sudah dilaksanakan di masyarakat dan di

sekolah.

Untuk memantau curah hujan mereka mendirikan posko dibeberapa titik,

seperti daerah rawan banjir di Bone Bolango, Nabela, dan Suwawa yang semuanya

Page 60: Studi diseminasi bencana 2009

51

masih manual. Tahun 2009 ini baru akan memakai otomatik tapi memerlukan selular

dan untuk wilayah Bone Bolango akan ditempatkan penangkal hujan otomatis yang

bisa dipantau setiap saat. Misalnya jika terjadi hujan deras bisa langsung

memberikan peringatan ke masyarakat di sekitarnya. Jadi kendalanya pada seluler,

di daerah lebih jauh lagi tidak bisa dilakukan karena tidak ada sinyalnya. Jika air

hujan satu jam lebih dari 50 mm, maka komputer akan memberikan peringatan

bahwa hujan melebihi dari 50 mm. Kemudian mereka memberikan informasi

kemasyarakat sebagai berikut, “Hati–hati kemungkinan akan terjadi banjir”.

Sedangkan masalah gempa bumi dan tsunami mereka sudah bekerjasama dengan

Pemda maupun LIPI mengadakan tsunami drill di wilayah Gorontalo pada tahun lalu

dan dianggap cukup berhasil. Untuk pemantau gempa secara otomatis langsung ke

satelit ditempatkan di Marisa, Potolo, dan Bintatilo. Sebenarnya ada empat lokasi

tapi belum terpasang yaitu di Sumalata. Dua sirene akan ditempatkan lagi di

wilayah Gorontalo (Kisnobudi, dan BMKG). Mereka juga telah menyiapkan SDM

yang dilatih untuk menangani pengungsi, evakuasi korban banjir, dan melatih

generasi muda di kelurhan Bugis bekerjasama dengan Tagana (Yusriati Utina /PMI).

Semua staf di kelurahan Bugis, telah diberikan surat tugas khusus untuk

penanganan banjir dan bencana alam lainnya. Dulu ada TV, mobil unit penerangan

untuk menyebarkan informasi ke masyarakat. Sekarang mobil unit tidak punya dan

sarana komunikasi sangat kurang (Eddy L,/Ses Dishub). Namun biasanya

masyarakat tidak mau mengungsi jika bencana itu belum mencelakakan mereka.

Misalnya air sudah sudah di atap rumah, masyarakat masih tidak mau evakuasi.

Evakuasi selalu mengalami kendala, setelah rumahnya tenggelam mereka baru mau

dievakuasi. Dalam evekuasi semacam ini sarana transportasi mobil tidak

sembarangan karena banjir bisa sampai 4 meter. Informasi juga disampaikan

kepada mereka yang tidak kena banjir supaya tidak menutup jalan (tahun 2008

banjir menggenangi 2/3 kota Gorontalo). Ada pengumuman dari BMKG yang

disiarkan RRI Gorontalo. Tiap ada bencana petugas memberikan informasi selama

24 jam dengan menempatkan reporter di tempat-tempat bencana. Maka mereka

perlu kerjasama dengan Pemda ( Suritna Piu,/RRI,,27/7).

Jika ada bencana banjir seperti itu pihak Kelurahan menghimbau warga dan

berkoordinasi dengan pemerintah terkait. Pemberitahuan banjir kepada warga

dilakukan dengan cara tradisional yakni memuku “kentongan” sebagai pertanda

Page 61: Studi diseminasi bencana 2009

52

bencana. Di lingkungannya para Ketua RT memberikan informasi bahwa air sudah

naik. Kemudian langsung menghubungi ke Dishub melalui HT. Ketika banjir

mencapai sekitar 2 meter baru masyarakar mau diajak mengungsi (Win Abdullah,

Lurah Bugis, 27/7). Dalam situasi seperti itu biasanya Tagana langsung bereaksi

cepat. Mereka dengan sabar mengajak masyarakat yang tidak mau mengungsi.

Masyarakat berat untuk meninggalkan rumah, karena ada kepercayaan bahwa air

sebentar lagi akan turun. Ada keyakinan air hanya lewat padahal banjir mencapai

sekitar 2-3 meter. Kalau perlu masyarakat dipaksa karena banjir menimbulkan

bahaya penyakit. Masyarakat sudah berpengalaman dalam menghadapi banjir.

Sebagian diantara mereka mempercayai bahwa gunung kapur disekitar mereka

sangat kuat sehingga tidak mudah longsor seperti di wilayah lain. Meski demikian

sosialisasi tentang masalah kebencanaan menurut mereka sangat perlu, dan

masyarakat perlu pengetahuan kebencanaan semacam itu. “Kaporisasi” istilah

mereka yang artinya penyuluhan langsung (door to door) dan tidak langsung melalui

dengan mobil penerangan keliling PMI. Masyarakat memahami informasi, buktinya

jika di bagian utara atau hulu terjadi awan gelap tentu akan ada banjir besar, dan

mereka baru mau mengungsi. Tetapi kalau awan terang-terang saja mereka tidak

mau diajak mengungsi. Masyarakat saling menginformasikan apakah sudah banjir.

Untuk gempa bumi dan tsunami telah diadakan tsunami drill kerjasama dengan LIPI.

Kalau gempa bumi dan tsunami orang mengungsi dan tidak mau kembali, tetapi

sebaliknya jika banjir warga tidak mau mengungsi. Sosialisasi dilaksanakan melalui

tiga tahap, (1) kesabaran sampai mereka yakin penanganan sesudah itu, (2)

teguran simpatik, (3) justisi sesudah terlebih dahulu disiapkan tempat pengungsian

di bantaran sungai. Masyarakat memperhitungkan pasang surut air, meskipun

dipaksa tetap tidak mau mengungsi. Tapi masyarakat akan mengungsi setelah air

masuk kota Gorontalo. Melihat masalah tersebut RRI membuka link telepon untuk

masyarakat yang membutuhkan bantuan pakaian, perahu karet, makanan, obat

yang kemudian diteruskan ke dinas terkait.

*Tofografi Lokasi Penelitian di Mataram NTB14 : Kelurahan Banjar,

14 Diskripsi ini merupakan bagian dari penelitian di Desa Banjar Kecamatan

Ampenan NTB yang dilakukan oleh: Heru Pudjo Buntoro & Anwar, tanggal 21-27

Page 62: Studi diseminasi bencana 2009

53

Kecamatan Ampenan, Kota Mataram terpilih sebagai lokasi penelitian ini.

Kecamatan Ampenan mempunyai luas wilayah 946.000 hektar, dan jumlah

penduduk sebanyak 70.683 orang, dengan kepadatan rata-rata 7.472/km2. Diantara

6 Kecamatan di Kota Mataram, Kecamatan Ampenan adalah yang terpadat jumlah

penduduknya. Dalam pengumpulan data kuantitatif, peneliti dibantu aparat

kelurahan tersebut. Atas permintaan peneliti kepada Lurah setempat agar

memberikan saran kepada stafnya untuk membantu peneliti menyebarkan 70 angket

yang telah ditentukan jumlah respondennya. Sedangkan untuk kegiatan ”Focus

Group Discussion” dilakukan di Jl. Udayana Gili Gede No. 2 Mataram, dengan diikuti

para pakar dan praktisi yang berkompetensi dibidang masing-masing.

Bertidak selaku Narasumber Drs. H. Jalaluddin Arzaki. Para peserta lainnya.

Lalu Musa dari RAPI Daerah, Dinas Sosial, PWI, RRI Stasiun Mataram, Dinas

Kesehatan, Unsur Perguruan Tinggi, dan tokoh masyarakat. Peneliti juga

melakukan wawancara dengan Lurah Banjar yang langsung membawahi lokasi

banjir yang rutin setiap tahun. Menurut Lurah, daerah yang selalu kebanjiran itu ada

di tiga lingkungan, yaitu; Lingkungan I Banjar, Lingkungan 2 Sintung, dan lingkungan

3 Selaparang. Pada lokasi ini juga berdiri 5 Masjid dan 1 Gereja. Disamping itu ada

SD, MTs, TKA, PAUD dan Rumah Sakit Bhayangkara. Lingkungan masyarakat yang

dihuni oleh sebagian warga berprofesi sebagai Nelayan. Mereka ini mendiami

lingkungan pinggir pantai yang rendah, sehingga setiap saat akan mendadak

menerima kiriman banjir, belum lagi air pasang dan angin musim. Untuk sosialisasi

tentang diseminasi informasi pengurangan resiko bencana menurut penuturan Lurah

Banjar, belum pernah ada selama dia menjabat sebagai lurah sejak tiga tahun

terakhir ini.

Dengan demikian masyarakat di lingkungan ini sangat minim pengetahuan

tentang bencana. Mereka mengetahui masalah ini ada lembaga adat tradisional

bernama “lang-lang”,dimana sesuai dengan kebudayaan mereka masing-masing.

Kini lembaga adat itu sudah diaktifkan sebagai peringatan dini yang sudah

Juli 2009. Masalah yang dikaji adalah diseminasi pengurangan resiko bencana banjir

yang datang secara rutin setiap tahun di wilayah tersebut.Pada dasarnya di kota

tersebut telah disiagakan tim penenggulangan banjir yang siap bekerja sewaktu-

waktu ada bencana apapun.

Page 63: Studi diseminasi bencana 2009

54

mentradisi sejak nenek moyang mereka. Sementara sosialisasi yang dilakukan oleh

Departemen Komunikasi dan Informatika kepada masyarakat Banjar secara

langsung di Desa tersebut belum pernah. Demikian pula oleh Dinas Perhubungan

Komunikasi dan Informatika baik ditingkat provinsi maupun kota Mataram.

Sosialisasi pernah dilakukan oleh Radio Antar Penduduk Indonesia cabang Mataram

(RAPI) namun hal tersebut dianggap tidak pernah menyentuh masyarakat di

Kelurahan Banjar Kota Mataram yang kena banjir. Sosialisasi hanya melibatkan

Dinas-dinas terkait dan LSM tentang bagaimana tata cara menyelamatkan diri bila

terjadi bencana. Tampaknya koordinasi dalam penanggulangan bencana ditingkat

provinsi maupun kota Mataram relative sangat kurang. Menurut H.Jalaluddin Arzaki (

28/7) tokoh Masyarakat menyatakan bahwa khusus untuk kota Mataram bencana

alam yang paling sering adalah banjir. Terutama di kampung Banjar, kampung

sintung, dan kampung Bakik Kembar, banjir bisa datang dari laut. Di sini terdapat

sungai Jangkik dan sungai Ancar. Ke selatan bisa ke kompleks perumahan, karena

lokasinya memang rendah dan penduduknya padat. Pemerintah kota sudah

mencoba membuat parit-parit tetapi tetap juga kebanjiran. Pemerintah tidak punya

cukup biaya untuk memindahkan mereka, jadi menghimbau bagaimana para

penduduk ini tidak membangun di daerah rendah. Karena sudah terbiasa dengan

kejadian maka penduduk sudah mengetahui gejala-gejala kejadian secara

tradisional. Bila hujan turun terus-menerus atau ayam berkokok pada sore hari

pertanda akan datang banjir. Dulu masyarakat mengetahui tanda bahaya dengan

kentongan, sekarang dengan bedug atau sirene. Selama ini bantuan dari pemerintah

berupa Ban pelampung tapi tak begitu banyak tersedia. Sosialisasi pengurangan

resiko bencana belum pernah dilakukan di Kelurahan Banjar, padahal sosialisasi

tersebut sangat diperlukan, khususnya di bulan Oktober pada saat musim hujan.

Sedangkan unsur-unsur yang harus dilibatkan dalam masyarakat adalah; Dinas

Sosial, Dinas Kesehatan, Bakorstanasda, PMI, Lang-lang (Kepala Keamanan),

Remaja Masjid, Karang Taruna, dan Palang Merah Remaja. Kota Mataram

mempunyai luas wilayah pantai hampir 9 km,biasanya bencana alam itu diakibatkan

oleh air laut pasang, hujan lebat secara terus menerus, dan angin barat. Bila terjadi

bencana alam apapun bentuknya biasanya tim bergerak cepat. Tim tersebut

melibatkan semua unsur Dinas di kota mataram. Pemerintah kota Mataram telah

membentuk Tim Pengamanan Pantai dengan memberi fasilitas 2 kapal, dan perahu

Page 64: Studi diseminasi bencana 2009

55

karet. Sebenarnya diseminasi informasi tentang penanggulangan bencana alam

sudah sering disampaikan kepada masyarakat, hanya mereka tidak merespon

cepat. Buktinya Pemerintah sudah memetakan mana daerah rawan bencana dan

mana daerah yang tidak rawan bencana. Begitu pula dengan tampat-tempat relokasi

pengungsian. Di sini perlu cara cerdas dalam menyampaikannya informasi yang

bersangkutan. Dalam hal terjadi bencana komunikasi yang bisa dilakukan lewat HP

dan terutama lewat Walky-Talky. Karena listrik padam aliran bahan makanan juga

terputus. Menurut Lalu Musa, RAPI bekerja berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007,

dan Keppres No. 1 tahun 2003. Dalam Keppres tersebut antara lain disebutkan

instansi pemerintah yang terlibat antara lain; Dep. Kesehatan, Menko Kesra, Dep.

Sosial, Dep. Pertambangan dan Energi, Dep. Dalam Negeri, Dep. Pekerjaan Umum,

dan TNI/POLRI. Dalam hal ini RAPI mencatat kurangnya penyuluhan informasi

kebencanaan pada masyarakat lapisan bawah. Sehingga jika bencana terjadi, maka

baru terjadi kebingungan. Koordinasi ditingkat antar instansi masíh kurang

maksimal. Mereka bekerja menurut kesibukan tugas masing-masing. Koordinasi

ditingkat Daerah masíh relatif lemah. Masing-masing lapor ke Gubernur. Dalam hal

seperti ini informasi yang diperlukan diperoleh melalui Radio Transistor.

Berdasarkan pengalaman yang sudah terjadi, ada 2 unsur yang bekerja cepat, yaitu

Tagana (Tahun Siaga Bencana), TRC (Team Reaksi Cepat), dan RAPI. Pihak Dinas

Sosial melihat bahwa sangat diperlukan sosialisasi pengurangan resiko bencana

kepada masyarakat, terutama masyarakat daerah rawan banjir. Dalam sosialisasi

tersebut perlu dijelaskan mengenai tanggap darurat, kriteria persyaratan bangunan,

dan IMB sebagai prasyarat bagi suatu bangunan. Sayangnya sosialisasi semacam

ini belum pernah ada. Saya tidak tahu Dinas mana yang seharusnya

melaksanakannya. Kota Mataram sudah puya Tim Penanggulangan Bancana.

Dalam bencana banjir tahun 2007 lalu kami sudah disediakan obat-obatan. Semua

Puskesmas disiagakan, demikian pula dengan TIM P3K, dan menugaskan

paramedis.

Tapi pernah juga bantuan obat-obatan yang kami terima sudah kadaluarsa.

Kami juga sudah pernah mengikuti pelatihan yang difasilitasi oleh Pusat.

Kendalanya adalah pendanaan. Kita sudah punya institusi, tinggal bagaimana

melengkapi institusi tersebut dingan peralatan dan pendanaan. Kendala berikutnya

ialah masalah Koordinasi antar instansi. Koordinasi masih sangat lemah. Penyebab

Page 65: Studi diseminasi bencana 2009

56

bencana banjir di kota Mataram ialah masih adanya kemiskinan dipinggir pantai.

Dalam hal ini komunikasi seperti apa yang seharusnya dilakukan. Sebenarya

komunikasi tatap muka penting dilakukan pada masyarakat pinggir pantai. Solusi

apa yang harus diambil ketika terjadi bencana. Tapi Dinas Kominfo sudah dilebur

dengan perhubungan, dan tak tahu lagi seperti apa strukturnya. Jadi informasi yang

paling murah ialah melalui Radio, dan media yang tepat untuk dipilih ketika terjadi

bencana ialah Radio (PWI). Dalam hal ini komunikasi masih sangat kurang. Baik

komunikasi antar instansi maupun komunikasi dari pemerintah kota ke-masyarakat.

Menurut mereka pernah ada pelatihan-pelatihan, dan pemberian alat komunikasi

seperti HT tetapi masih belum mencukupi. Bahkan menurut Kepala Dinas Sosial

dalam pemberian bantuan makanan perlu diseleksi jangan sampai makanan yang

sudah kadaluarsa diberikan (RAPI, 28/7 ).

*Tofografi Lokasi Penelitian di Kota Denpasar, Bali15 :Berdasarkan buku

Monografi Kecamatan, jumlah penduduk Kecamtan Denpasar Selatan adalah

100,947 jiwa. Mayoritas penduduk beragama Hindu yaitu berjumlah 9.069 jiwa. Mata

pencaharian pendudik pada tahun 2000 diurutkan berdasarkan jumlah terbanyak

adalah sebagai berikut, Perdagangan 4.180 jiwa, Industri 3.606 jiwa, Pertanian

3.013 jiwa, Peternakan 1.324 jiwa dan Perikanan 470 jiwa. Kelurahan Sanur

merupakan salah satu wilayah dalam Kecamatan Denpasar Selatan dengan luas

wilayah 402 Ha. Penduduknya akhir tahun 2008 berjumlah 8.427 jiwa dengan 1.584

KK. Berbatas sebelah utara dan barat dengan Desa Sanur Kaja, sebelah selatan

dan timur dengan laut /selat Badung (pulau Nusa Penida). Wilayah Kelurahan Sanur

terdiri dari sembilan (9) lingkungan/banjar (lingkungan Singgi, Panti, Gulinga,

Taman, Sindu Kaja, Sindu Kelod, Batujimbar, Semawang dan Pasekute.

15 Diskripsi merupakan bagian dari penelitian di Kelurahan Sanur Kota Denpasar,

Bali ditulis Dede Drajad & Riyadi Fitri, masalah yang menjadi pusat perhatiannya

adalah diseminasi informasi pengurangan resiko bencana didaerah rawan bencana.

Ketika hujan lebat bersamaan dengan air laut pasang maka banjir di wilayah

tersebut tidak bisa dihindari. Meski sudah dilengkapi dengan pompa air tetapi masih

belum bisa menampung luberan air ketika hujan deras secara terus

menerus,bersamaan pasangnya air laut. Hal ini menjadikan pemahaman masalah

lingkungan menjadi anggenda utama yang perlu di sosialisasikan.

Page 66: Studi diseminasi bencana 2009

57

Penyebaran kuesioner dilaksanakan di Kelurahan Sanur dengan

pertimbangan masyarakat di kelurahan ini pernah mengikuti pelaksanaan simulasi

evakuasi bencana tsunami. Kelurahan ini setiap tahun terkena banjir tahunan.

Menurut Lurah Sanur IB Alit Surya Antara ( 27/7) kelurahan Sanur saat ini menjadi

prioritas penangangan bencana adalah masalah banjir yang disebabkan oleh faktor

alam. Sekitar bulan Januari-Februari ketika musim hujan berlangganan banjir karena

faktor alam. Wilayah itu terkena banjir karena ada perubahan tata ruang

(peruntukkan). Seperti di daerah Batu Jimbal wilayah Danau Tamblingan telah

berubah menjadi pemukiman dan bangunan vila. Demikian juga di kawasan Pasok

Kuto. Terkadang sampai lima hari tergenang air, karena sungai tidak lancar lagi,

(DAS) terpotong karena ada pembangunan. Lurah pernah melaporkan kepada

Walikota, rencananya akan dilakukan kegiatan penggelontoran got dan dibuat

drainase sungai yang diusulkan tembus sampai daerah Sanur Kauh. Karena daerah

ini merupakan tempat pembuangan air menuju ke by pass (jalan). Kegiatan ini akan

dilaksanakan pada akhir tahun 2009 dan secara bertahap akan dilanjutkan tahun

2010. Meski demikian untuk jalan-jalan besar tidak terjadi banjir karena telah

disediakan bak kontrol yang cukup memadai untuk menampung kelebihan beban air.

Disamping juga belum tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk menjaga

lingkungannya. Karena perkembangan pembangunan vila yang pesat dalam wilayah

Bumiayu yang tidak memperhatikan dampak lingkungan. Menurut Lurah Alit Surya

Antara, terpilihnya wilayah sebagai tempat simulasi kebencanaan karena terletak

dipesisir pantai Selat Lombok. Walaupun tidak berpotensi tsunami (menghadap ke

timur) jika dibandingkan dengan Kabupaten Nagara dan pantai Kuta yang

menghadap ke Samudera Indonesia. Simulasi tsunami ini bisa dikatakan masih

sebatas antisipasi. Yang mengikuti simulasi masyarakat wilayah Sanur Kauh

kelurahan dan Sanur Kaja (desa Sanur).

Apresiasi masyarakat cukup tinggi. Pelaksanaan simulasi tersebut dalam

wilayah Sanur Kaja, Desa Sanur (pantai Matahari Terbit). Kemudian didirikan tempat

sirene untuk antisipasi jika terjadi bencana tsunami. Sirene dibunyikan secara rutin,

biasanya tanggal 26 setiap bulan. Dimaksudkan untuk mengingatkan agar

masyarakat senantiasa meningkatkan kesiapsiagaannya. Sebenarnya, menurut

Lurah, masyarakat di sini tetap waspada karena bermukim di tepi pantai. Mereka

semua siap siaga mulai dari tokoh adat, linmas sampai Pancalang, kebanyakan

Page 67: Studi diseminasi bencana 2009

58

masih mengikuti petuah tokoh-tokoh adat untuk membaca tanda-tanda alam

(kearifan lokal). Lamanya sirene dibunyikan kurang lebih 10 menit. Sementara itu,

jalur evakuasi masih tetap seperti ketika diadakan simulasi. Menurut Lurah IB. Alit

(27/7) untuk daerah Sanur Kauh akan dibangun sirene.

Posisi pemancar Early Warning System itu terletak pantai Sanur dalam

wilayah Matahari Terbit, Sanur Kaja. Mengapa pantai sanur yang dipilih karena erat

kaitannya dengan tradisi budaya setempat. Kultur budaya Masyarkat di sini masih

sangat kuat dengan tradisi sebagai mana sejak dahulu. Di wilayah kelurahan Sanur,

hampir sebagian masyarakatnya terutama generasi muda sebagian besar sudah

banyak yang mengenal internet. Hal ini terlihat dari banyaknya warnet di wilayah

tersebut. Memang Sanur sudah terkenal hingga mancanegara, karena merupakan

daerah wisata pantai dan perhotelan. Maka tidak heran jika tingkat kesadaran

masyarakat tentang teknologi informasi dan internet cukup tinggi. Konon dulu,

wilayah Sanur ini sampai daerah Krenong (sangat luas) yang mencakup sekitar 28

banjar adat. Sekarang Sanur dimekarkan menjadi dua wilayah, yaitu Sanur Kaja dan

Sanur Kauh. Menurut IB. Alit Surya Antara (27/7), ketika itu ia masih kecil, sekitar

tahun 1970- an. Menurut IB. Alit ketika itu pernah terjadi gempa besar melanda

daerah Singaraja dan sekitarnya. Air laut sempat naik hingga merendam sebagian

besar wilayah Sanur, termasuk Hotel Bali beach sempat ikut terendam air laut.

Meski tidak ada korban tetapi dua malam berturut-turut penduduk di wilayah pantai

Sanur tidak berani tidur dalam rumah. Kondisi lingkungan sekarang sudah berbeda,

misalnya perumahan di wilayah Sanur sekarang sudah dibangunan dengan

menggunakan batu bata, tembok, dan pasir, termasuk Pura yang ada di wilayah

tersebut.

Fenomena yang menarik meski pembangunan perumahan menuju ke arah

modern, gaya arsitektur yang bernuansa adat Bali masih tetap dipertahankan

hingga kini. Misalnya rumah adat dibangun tanpa menggunakan paku. Mereka

mengistilahkan dengan sekenem, sekepel. Cek goung, Loji, Bale gede, bale mude,

sekute, sebandung, sangeh. Dengan bangunan rumah gaya adat Bali seperti oleh

merka dianggap tahan terhadap gempa. Dari ceritera tersebut sebenarnya

masyarakat Sanur sejak dulu sudah mengenal bencana alam baik banjir, maupun

”gempa”. Hal itu dicerminkan terhadap sikap masyarakat Sanur sendiri ketika

memperoleh sosialisasi, simulasi dan kegiatan lain dari pemerintah, yang relatif

Page 68: Studi diseminasi bencana 2009

59

responsif. Hanya saja mereka tidak serta merta langsung menerima, tetapi secara

bertahap. Dalam perubahan sikap seperti itu, peranan tokoh adat (Brahmana) di

Sanur Bali sangat dominan, dan menentukan. Diakui IB. Alit Surya, bahwa

penyebab banjir di kelurahan Sanur ini disamping faktor alam juga masalah

lingkungan. Misalnya pemeliharaan terhadap beberapa pasilitas umum seperti

drainase yang tidak optimal. Sebenarnya yang urgen itu adalah penataan ulang

lingkungan yang dipenuhi kendala. Seperti diakui Lurah Sanur bahwa mengatur tata

ruang sangat terkendala bangunan-bangunan (vila) milik orang asing. Banyak

sawah-sawah yang sudah baik dengan sistem subak, pada akhirnya tertimbun

pembangunan vila. Kalau di wilayah kelurahan sendiri saluran air (got) dipinggir jalan

cukup lebar tetapi masih agak dangkal dan mentok (berakhir) di Jl. Tondano

(sedang diusulkan segera akan dilakukan perbaikan pada saluran got). Sekarang ini

di wilayah kelurahan Sanur tidak ada lagi sawah. Dulu di Jl. Danau Tamblingan

memang sawah (Bumiayu), sekarang semuanya sudah berubah menjadi bangunan

vila dan hotel. Dilihat dari sisi demografi, wilayah Sanur memang berada diujung

paling Selatan pada bagian hilir. Jadi biasanya Air dari muara tumpah semua ke

Sanur. Misalnya jika terjadi hujan lebat kemudian air laut pasang, maka akan terjadi

banjir. Meski ada satu pompa penyedot air di Jl. By Pass tetapi tenaga operatornya

tidak tinggal di sini. Ketika IB. Alit Surya baru menjabat satu bulan (awal tahun 2008)

pernah pompa tdak bisa digunakan, sehingga perlu dicarikan solar dengan biaya

pribadi dan bantuan dari vila milik orang asing. Kurang lebih menghabiskan biaya

sebesar Rp 7 juta se bulan. Sekarang dua jam hujan saja sdh menyebabkan banjir.

Contoh di TK Komara Sari, SDN X Sanur hingga berhari-hari belum surut juga surut

dari genangan pertemuan air laut dan air hujan .Di

Bali pernah diadakanya simulasi evakuasi bencana tsunami, 26 Desember

2006 untuk membangun kesiapsiagaan masyarakat terhadap ancaman tsunami.

Simulasi ini diselenggarakan pemerintah daerah bersama pemerintah pusat

berlokasi di pantai Sindhu, Sanur. Dari kegiatan simulasi ini diketahui tingkat

keseiapan masyarakat, dari sisi teknis mengevakuasi kemampuan peralatan

pendektesian bahaya dini (suara sirene terdegar kurang lebih 1 km ) dan lainnya.

Beberapa hasil yang dibutuhkan dalam simulasi ini adalah ”waktu untuk evakuasi

dan peta jalur evakuasi yang akan dilalui. Berangkat dari simulasi tersebut arah

diskusi berkembang seperti penawaran dari beberapa peserta apakah diperlukan

Page 69: Studi diseminasi bencana 2009

60

kembali simulasi-simulasi seperti itu. Tetapi terlontar juga ide jika penyelenggaraan

simulasi dilakukan secara diam-diam, berapa persen faktor kesuksesannya dan

berapa persen faktor dampak yang ditimbulkan seperti kepanikan masyarakat,

termasuk turis, dan lain-lain. Dari sisi kesiapan antisipasi terhadap bencana (baik

yang timbul akibat alam maupun ulah manusia), dari pihak pemerintah (instansi

terkait) dapat dikatakan telah siap. Baik dari kelembagaan, tupoksi maupun visi misi

masing-masing lembaga terkait. Hanya saja dari hasil diskusi ditemukan beberapa

kelemahan kunci, yaitu belum terjalinya koordinasi diantara berbagai instansi terkait,

masih terdapat tumpang tindah tugas-tugas di antara instansi dan ego sentral

masing-masing instansi terkait masih juga mengemuka dalam diskusi.

Dari sisi masyarakat pun agaknya telah dibentuk beragam antisipasi seperti

adanya Kelompok-kelompok relawan, RW Siaga, SIBAT (siaga Bencana Partisipasi

Masyarakat), Taruna Siaga Bencana, dan lain-lain. Dari hasil diskusi yang sangat

urgen adalah diingatkan secara ajeg (terus-menerus) agar semua kelompok atau

komponen masyarakat di Prov. Bali, termasuk aparat pemerintah, harus senantiasa

siap atau tanggap terhadap bencana, baik karena alam maupun ulah tangan

manusia. Dari diskusi yang signifikan untuk dilaporkan adalah diharapkan dari

pemerintah pusat bahwa Provinsi Bali dijadikan prioritas tanggap bencana

mengingat peran penting Bali sebagai ikon pariwisata tidak saja di Indonesia tetapi

di tingkat internasional. Dari hasil diskusi juga diketahui untuk meningkatkan

kewaspadaan masyarakat kelurahan Sanur dan sekitarnya, termasuk pengunjung

pantai bahwa setiap tanggal 26 setiap bulan sirene di pantai Sanur dibunyikan

selama kurang lebih 10 menit. Ketika, tim peneliti melakukan observasi secara

langsung melihat posisi pemancar Early Warning System memang terletak di pinggir

pantai Sanur. Alat ini berfungsi untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar

peka terhadap bencana yang sewaktu-waktu bisa mengancam siapa saja termasuk

masyarakat disekitarnya.

*Tofografi Lokasi Penelitian di Yogyakarta16 : Kecamatan Kasihan

Kabupaten Bantul mempunyai luas wilayah 3.437,957 Ha². Tofografi wilayah berupa

16 Diskripsi ini merupakan bagian dari penelitian Kanti Waluyo Istidjab & Atjih

Ratnawati di Kota Yogyakarta, tanggal 21-27 Juli 2009. Masalah yang menjadi topic

utama pembahasan adalah diseminasi informasi pengurangan resiko bencana

dilokasi penelitian tersebut,yakni di kecamatan Kasihan dan Mergangsan kota

Page 70: Studi diseminasi bencana 2009

61

tanah datar berombak sekitar 75%, berbukit sekitar 5 % dan bergunung sekitar 20

%. Kecamatan tersebut dihuni oleh, 91.860 orang penduduk. Dengan rincian laki-

laki 45.868 jiwa, perempuan 45.992 jiwa, dan sebanyak 26.328 KK. Penduduk yg

berusia 0 sd 6 th ,10.119 orang, 7-12 tahun sebanyak 8.145 orang, 13-18 tahun

sebanyak 10.188 orang, 19-24 tahun sebanyak 12.817 orang, 25-55 tahun sebanyak

39.116 orang, 56-79 tahun sebanyak 10.538 orang, dan 80 tahun keatas 857 orang.

Dilihat dari jumlah penduduk menurut pendidikan formal yang dimiliki bersifat variatif.

Dari data menunjukkan bahwa yang belum sekolah 10.119 orang, tidak tamat

sekolah 5.563 orang, SD sederajat 24.198 orang, tamat SLTP sederajat 15.634

orang, tamat SLTA 25.565 orang, tamat D1 634 orang, D2 2.533 orang, S1 6.970

orang, S2 580 orang, S3 22 orang, buta huruf 42 orang. Dilihat dari lapangan

pekerjaan penduduk di Kecamatan Kasihan dapat di paparkan sebagai berikut.

Warga masyarakat yang berprofesi sebagai PNS 3.108 orang, ABRI 194 orang,

Pedagang 8.948 orang, Petani 14.993 orang, pengusaha 584 orang, pengrajin atau

industri kecil 1.853 orang, buruh industri 8.988 orang, buruh bangunan 8.351 orang

,pensiunan PNS/ABRI 1.688 orang, buruh pertambangan 8.351 orang, penduduk

asing 7 orang. Dari perspektif administrasi wilayah Kecamatan Kasihan terdiri dari 4

desa, 53 dusun dan 450 RT. Nama Kasihan diambil dari nama Sendang

Pengasihan, sebuah telaga yang terletak di dusun Kasihan, Kelurahan Tamantirto.

Sendang ini dipercaya mempunyai kekuatan mistis. Misalnya dapat membantu

mengatasi orang yang kesulitan mendapatkan jodoh. Menurut legenda setempat

Sendang Kasihan ada kaitan erat dengan cerita Rara Pembayun (putra

Panembahan Senapati, pendiri Keraton).

Sebelum masuk ke wilayah Mangir (yang membangkang terhadap Mataram),

Rara Pembayun bersama pengiringnya mandi dan mencuci muka di sendang ini.

Proses penyucian diri di sendang ini konon memberi dampak bagi kecantikan Rara

Pembayun sehingga membuat Ki Ageng Mangir, jatuh cinta padanya. Oleh karena

itu air sendang ini dipercaya membuat wajah dan tubuh tampak lebih muda,

bersinar, dan menimbulkan daya pikat yang luar biasa. Kecamatan Kasihan

bersama dengan Kecamatan Sewon, dan Banguntapan merupakan suatu kawasan

Yogyakarta.Adapun bencana yang sangat kental dengan masyarakat dilokasi

penelitian menyangkut fenomena permasalahan bencana gempa bumi yang pernah

terjadi tahun 2006 yang lalu.

Page 71: Studi diseminasi bencana 2009

62

yang disiapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bantul sebagai kawasan penyangga

pengembangan kota Yogyakarta ke arah Selatan. Saat ini puluhan permukiman

(perumahan) baru berkembang pesat di kecamatan ini.Kawasan tersebut dianggap

sebagai tempat rawan gempa tektonik. Kecamatan ini, berada 113 meter dari

permukaan laut, dengan batas wilayah sebelah utara adalah kecamatan

Pakualaman,sebelah timur kecamatan Umbulharjo,sebelah selatan kecamatan

Mantrijeron,kec. Sewon Bantul, dan sebelah barat adalah kecamatan Kraton,kec.

Gondomanan. Dilihat dari tofografi wilayah kecamatan Mergangsan merupakan

datar berombak hingga 100%. Terdiri dari 3 (tiga) kelurahan, 60 RW (Rukun Warga)

serta 217 Rukun Tetangga. Sedangkan jumlah penduduk kecamatan Mergangsan

sebanyak 36413 orang, dengan rincian laki-laki 18.117 orang, perempuan 18.296

orang. Penduduknya mayoritas beragama islam sebanyak 30.289 orang, katolik

2.417 orang, protestan 1.725 orang, hindu 359 orang, budha 303 orang, dan

penganut kepercayaan 145 orang. Usia penduduk yang ada 0-6 tahun sebanyak

2.775 orang, 7-12 tahun sebanyak 2.931 orang, 13-18 tahun sebanyak 4.159 orang,

19-24 tahun sebanyak 3.161, 25-55 tahun sebanyak 19.853 tahun, 56 -79 tahun

sebanyak 4.311 orang dan usia 80 tahun keatas sebanyak 549 orang. Penduduk

yang bermatapencaharian petani adalah 31 orang, pengusaha sedang/besar 28

orang, pengrajin industri kecil 130 orang, buruh industri 2.104 orang, buruh

bangunan 2.964 orang, pedagang 583 orang, PNS 1562 orang, ABRI 74 orang dan

pensiunan PNS/ABRI 865 orang. Pendidikan penduduk, yang belum sekolah 5.213

orang, tamat SD/sederajat 3.218 orang, tamat SLTP/sederajat 4.705, tamat SLTA

10.495 orang, D2 202 orang, D3 2.163 orang, S1 6.654 orang, S2 413 orang, S3 24

orang, buta huruf 33 orang. Kedua lokasi penelitian tersebut dapat dikatakan

sebagai daerah rawan bencana alam, khususnya gempa bumi. Kriteria tersebut

didasarkan pada kerusakan terparah pada saat terjadi gempa bumi 26 Juli 2006.

Atas kejadian tersebut hingga kini masyarakat masih merasa trauma ketika terjadi

gempa susulan. Pasca gempa bumi tersebut telah banyak berbagai bantuan untuk

rehabilitasi perbaikan kerusakan rumah penduduk. Bahkan berbagai penyuluhan

dan simulasi kepada masyarakat untuk mengurangi resiko bencana pernah

dilakukan, meski tidak merata.

Kegiatan desiminasi informasi pengurangan resiko Bencana Alam di

Jogyakarta menurut nara sumber dalam diskusi jarang dilakukan pemerintah.

Page 72: Studi diseminasi bencana 2009

63

Masyarakat di lokasi penelitian sendiri tidak semua mengetahui dan menyadari jika

sewaktu-waktu terjadi ancaman bencana gempa. Dari pihak BMKG, yang bertugas

mengamati dan memberikan layanan informasi tentang cuaca dan gempa bumi ikut

merasakan hal itu. Untuk bencana jenis gempa bumi telah dibentuk semacam sinyal

atau pemberitahuan (early warning system) ke instansi, dan lembaga pemerintahan

tertentu. Informasi bencana itu kemudian disebar luaskan ke nomor-nomor HP yang

terdaftar di BMKG Jakarta, dan Yogyakarta. Jadi untuk mengurangi resiko bencana

masyarakat dilokasi penelitian mengaku sering menggunakan (sms, telepon, sirene,

kentongan dan pengeras suara (spiker) di masjid-masjid untum memberikan

informasi kepada masyarakat.Secara prepentif masyarakat disarankan membangun

rumah yang tahan gempa. Perhatian pemerintah di Jogyakarta dinilai sudah cukup

baik dan transparan. Melalui Deptemen Kesehatan telah membentuk desa siaga

yaitu desa yang mampu mengatasi masalah kesehatan dan penanggulan bencana

diwilayahnya. Mereka melakukan pelatihan untuk para kader setiap desa terdiri dari

2 kader, dan 1 masyarakat. Selain itu untuk percepatan infomasi juga telah dibentuk

PUSBANGKES (Pusat Penanggulangan Kesehatan) dan YES (Yogya Emergency

Sevice). Link komunikasi ditingkat desa, pusat kesehatan desa adalah dengan

ambulans atau angkutan lain yang disesuai dengan karakteristik daerahnya.

Sementara kerjasama dengan UNICEF telah berhasil membangun menara

peringatan dini untuk bencana dipantai Ayah. Bahkan LSM,RAPI telah memberikan

peralatan komunikasi kepada masyarakat nelayan. Dimana masyarakat nelayan

pantai Ayah dikirim ke Jogyakarta untuk diberikan kesempatan belajar

penanggulangan bencana alam. Dari sisi diseminasi informasi pengurangan resiko

bencana perlu disesuaikan dengan aspirasi public. Yaitu berbagai informasi yang

bertautan dengan gejala terjadinya bencana alam berupa gempa bumi atau lainnya.

Dari pengakuan peserta FGD bahwa produk BIP yang berupa pamflet atau jenis lain

dianggap cukup membantu sebagai informasi, walaupun selama ini hanya terbatas

pada masyarakat perkotaan. Sedangkan untuk informasi kebencanaan, instansi

fungsional dapat mengelolanya dengan format atau kemasan yang lebih menarik.

Misalnya dalam buku pelajaran dimasukan sosialisasi tentang kebencanaan bagi

SD.SMP, SMA sehingga tertanam didalam jiwa murid-murid sekolah. Menurut

Dishubkominfo hambatan untuk mengurangi resiko bencana di daerah rawan

bencana adalah faktor perhatian terhadap perkembangan budaya global dengan

Page 73: Studi diseminasi bencana 2009

64

teknologi baru. Misalnya penggunaan sound system, handphone, padahal

masyarakat Indonesia lebih mengenal alat tradisional seperti kentongan. Ketika

terjadi gempa bumi pada tahun 2006, kita tidak bisa berkomunikasi karena aliran

listrik mati sedangkan teknologi sangat tergantung pada daya listrik.

Kemudian hambatan psikologis dan komunikasi dalam penanganan baik

pengumpulan data maupun penyebarluasan informasi menjadi tidak tertata.

Satkorlak hendaknya berkoordinasi dengan pihak luar yang ingin membantu secara

terencana. Dalam hal tersebut harus ada pemahaman pelatihan atau bimbingan

teknis kepada masyarakat dalam penanggulangan bencana. Pelatihan itu akan

memberikan manfaat banyak pada orang yang ingin tau. Tanda sirene kurang akrab

di masyarakat, mereka lebih mengenal alat tradisional seperti kentongan, dan

sejenisnya.Pengurangan resiko bencana bukan saja dilakukan diseminasi. Tetapi

juga kebijakan pembangunan fisik rehabilitasi rumah penduduk disesuaikan dengan

konstruksi tahan gampa. Banyaknya korban gempa bumi di Jogya 2006, salah satu

diantaranya banyaknya bangunan tua, yang tidak sesuai dengan standard.

Bangunan itu tanpa menggunakan beton eser sebagai penguat*

*Tofografi Lokasi Penelitian di Bandung 17: Bale Endah merupakan sebuah

desa di Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung Selatan Provinsi Jawa Barat

yang sering diterjang banjir. Desa Bale Endah disebelah utara berbatasan dengan

desa Bojongsari, disebelah selatan dengan desa Bojongmanggu , disebelah timur

dengan Kelurahan Manggahung dan disebelah barat kelurahan Andir. Baleendah

posisinya sangat strategis karena terletak ditengah kota, dan memiliki akses

transfortasi kemana-mana di kota Bandung. Jarak tempuh desa ini ke ibukota

kabupaten sekitar 16 km dan ke ibukota Provinsi sekitar 20 km. Desa Baleendah

memiliki luas wilayah 518,187 hektar yang sebagian besar merupakan daerah

pemukiman dan pekarangan. Penduduk yang bermukim di desa ini sebanyak 43.451

17 Diskripsi tulisan ini bagian dari penelitian yang dilakukan Sumarsono & Sri

Ngarep Manalu di Desa Bale Endah,Kecamatan Bale Endah Kota Bandung

Selatan.Dengan topic utama diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di

daerah rawan bencana. Permasalahan yang dihadapi masyarakat Desa Bale Endah

adalah banjir bandang dari Sungai Citarum yang rutin setiap tahun dimusim

hujan.Relokasi masyarakat dilokasi bencana mengalami hambatan, karena

terkendala masalah ekonomi, sosial dan budaya lokal setempat.

Page 74: Studi diseminasi bencana 2009

65

jiwa terdiri dari 22.334 laki-laki dan 21.117 perempuan dengan kepadatan penduduk

rata-rata 84 jiwa/km2.

Di kawasan ini curah hujan yang cukup tinggi yaitu rata-rata 1800- 2200 mm,

suhu udara yang sejuk antara 28-32 derajat Celsius dan berada diketinggian 580 m

diatas permukaan laut. Di desa ini terdapat sebuah danau yang dikenal dengan

nama “Situ Sipatuhunan” yang luasnya sekitar 1,5 hektar. Selain situ di desa ini juga

mengalir sebuah sungai besar yang kini mengalami pendangkalan yang disebut

sungai Citarum. Masyarakat Baleendah umumnya adalah suku Sunda yang

kebanyakan telah tinggal dikawasan ini secara turun temurun. Sebagian besar

beragama Islam dan hanya kurang dari 2% beragama lain. Mata pencaharian

mereka beragam mulai dari buruh hingga pegawai kantoran. Dikawasan ini ada

pabrik tekstil yang cukup besar yang menyerap pegawai sebagian besar berasal dari

Bale Endah sendiri. Wawancara dilakukan dengan tiga orang informan kunci yaitu

dua pejabat tingkat kelurahan Bale Endah (Rd Sutisna, Kasi Tramtib dan ibu Iim,

Kasi Kesejahteraan) serta Ketua RW 20 bapak Jajak. Desa Bale Endah memang

dikenal setiap tahunnya dilanda banjir secara rutin. Banjir selalu datang biasanya

mulai Bulan November hingga Juli dengan ketinggian yang bervariasi mulai dari

lutut hingga sekitar 2 m.

Masyarakat Baleendah mengistilahkan jika banjir baru setinggi lutut orang

dewasa mereka sebut bukan banjir tetapi kerutinan. Menurut Rd. Sutisna (30/7)

banjir yang terjadi secara rutin didesa mereka ini disebabkan karena sungai Citarum

yang mengalir melintasi desa ini mengalami pendangkalan yang luar biasa. Sungai

Citarum ini sudah sekitar 16 tahun tidak dikeruk sehingga tidak mampu menampung

volume air bila terjadi hujan lebat terutama di kawasan hulu. Penyebab lain yang

diperkirakan memiliki andil besar untuk terjadinya banjir di Baleendah ialah disekitar

hulu sungai ini terjadi perobahan peruntukan lahan. Daerah hulu yang tadinya

dipenuhi dengan lebatnya pepohonan tanaman keras kini berobah menjadi kebun

kentang dan stroberi yang dikelola oleh pemodal besar dari kota. Akibatnya resapan

air disekitar hulu sungai Citarum ini semakin berkurang sehingga mengakibatkan

banjir besar. Selain dua hal itu masih ada penyebab banjir lainnya yaitu aliran sungai

yang mengalir liar sehingga langsung menerjang dinding tanggul desa Baleendah.

Sebagaimana diketahui sungai Citarum merupakan pertemuan tiga sungai besar

yaitu sungai Cikapundung dari Bandung ,sungai Cisangkeuy dari Pangalengan dan

Page 75: Studi diseminasi bencana 2009

66

Citarum sendiri yang berhulu dari Gunung Wayang. Pertemuan arus dan perbedaan

besarnya debit air mengakibatkan arah aliran sungai melenceng dari yang

diharapkan. Sebenarnya arah aliran sungai diharapkan bisa langsung masuk

sudetan yang telah dibuat sekitar 20 tahun yang lalu tapi kenyataannya menerjang

langsung tanggul desa dan meluberi pemukiman penduduk. Bukan berarti sudetan

yang dibuat itu tidak berfungsi. Karena dibandingkan dengan sebelum ada sudetan,

daerah yang terkena banjir lebih luas lagi dan kini yang tersisa tinggal beberapa RW

dikampung Cileuncang, desa Baleendah yang lebih kurang luasnya 4 hektar saja.

Masyarakat desa Bale Endah yang menjadi korban banjir rutin tentu sangat

menderita. Mereka sulit mengungkapkan perasaannya itu dengan kata-kata. Namun

demikian bagaimana lagi mereka tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah banjir

ini. Mereka sudah pasrah dan tetap tinggal di desa tersebut karena pada umumnya

mereka telah turun temurun tinggal di desa tersebut dan rumah yang mereka diami

saat ini adalah satu satunya hak yang mereka miliki. Setiap kali banjir tiba mereka

menyambutnya dengan berbagai persiapan agar tidak terjadi korban harta-benda

apalagi nyawa manusia.

Mengurangi resiko bencana adalah suatu hal yang mereka dapat lakukan.

Kejadian semacam ini seolah telah terpolakan. Pola pengurangan resiko bencana ini

terlihat khususnya pada bulan November. Pada bulan tersebut biasanya banjir besar

mulai melanda desa ini masyarakat rajin memantau curah hujan dihulu sungai

tepatnya di Majalaya. Pak Jajak (30/7) selalu berkomunikasi melalui telepon

selulernya dengan teman temannya anggota Tagana (Taruna Penanggulangan

Bencana) di Majalaya. Selain itu mereka juga melihat tanda tanda alam. Misalnya

bila mendung gelap disekitar hulu sungai dan disusul hujan lebat serta ada

penegasan siaga dari Tagana Majalaya maka lebih kurang dua jam pasti banjir

datang. Walaupun informasi datangnya bencana ini sangat pendek namun

masyarakat dapat mempersiapkan diri dengan baik, Hal ini terbukti bahwa hingga

kini korban jiwa dan rumah roboh diterjang banjir tidak terjadi. Masyarakat telah

mampu menyelamatkan diri sendiri beserta harta bendanya dengan cara mengungsi

ditempat yang lebih tinggi. Misalnya ada yang dirumah saudaranya, masjid dan di

tempat pengungsian yang telah dipersiapkan. Bersamaan itu Tagana dan para

relawan juga telah bersiap membantu mengevakuasi korban yang memerlukan

pertolongan dengan perahu perahu kecil bantuan dari Pemda / Sakorlak Kabupaten

Page 76: Studi diseminasi bencana 2009

67

Bandung yang berjumlah lima buah. Selain lima perahu juga terdapat lalu lalang

perahu lainnya milik masyarakat /penambang setempat. Dengan alasan keamanan

dibentuklah posko-posko. Perahu-perahu kecil ini cukup lincah dan dapat berperan

banyak karena desa ini memiliki lorong gang yang sempit sedangkan perahu karet

milik SAR tidak bisa masuk secara leluasa karena ukurannya yang lebih besar.

Bantuan yang diberikan Pemerintah untuk mengurangi resiko banjir tidak sebatas

perahu saja. Tetapi juga upaya penaggulan sungai yang dilakukan oleh Balai Besar

Waduk dan Sungai (BBWS). Selain itu Camat setempat juga memberikan bantuan

selang berukuran besar untuk menyedot cekungan cekungan yang masih tergenang

air manakala banjir sudah mulai menyurut. Sebenarnya bantuan dari pemerintah

untuk mengurangi resiko bencana banjir ini sudah cukup banyak. Tapi ada saja

warga yang ketika diwawancarai oleh media massa mengatakan belum

mendapatkan bantuan apa apa dari pemerintah. Hal ini bisa jadi karena bantuan

berupa makanan memang belum ada atau terbatas dan karena mereka saat

diwawancarai lagi lapar maka mereka mejawab spontan bahwa bantuan dari

pemerintah belum ada. Diakui bahwa mendistribusikan makanan ketika banjir agak

sulit dilakukan mengingat banjir berlangsung cukup lama hingga berbulan-bulan

dengan pasang surutnya, sehingga memerlukan cadangan pangan yang banyak.

Selain itu keberadaan penduduk yang sporadic dengan sekitar 40% bertahan, 30%

mengungsi menyulikan untuk mendistribusikan makanan.

Menanggapi issue relokasi atas korban banjir ini mereka berpendapat

terpecah dimana ada yang setuju dan ada pula yang tidak. Pada umumnya mereka

ingin kepastian terlebih dahulu seberapa jauh hak-hak mereka diakui dan dihargai.

Sebab diantara mereka pernah mengalami nasib buruk sebagaimana warga RW 9

yang dipindahkan jauh kelereng gunung tapi menempati tanah milik PJKA. Merasa

menempati tanah Negara yang secara individual statusnya tidak dapat dijadikan

hakmilik maka mereka memutuskan untuk kembali ke Baleendah menempati

bantaran sungai. Saran dari masyarakat bahwa kalau memang harus dipindahkan

jangan sampai merugikan penduduk, perencanaannya harus tuntas dalam arti

sampai hal yang sekecil kecilnya difikirkan. Juga isu pemindahan/relokasi ini jangan

pula membuat penduduk stress dibuatnya. Saran lain yang disampaikan adalah

mereka tidak mau dipindahkan tetapi minta dibangun tanggul yang kuat sehingga

mampu membentengi banjir untuk tidak melimpah melanda desanya. Ada pula saran

Page 77: Studi diseminasi bencana 2009

68

ataupun keinginan untuk mengurug desa ini setinggi jalan sebagaimana yang

dilakukan pabrik tekstil di belakang rumah mereka. Berkaitan dengan diseminasi

informasi pengurangan resiko bencana secara formal jarang dilakukan di desa ini.

Pernah berapakali diselenggarakan oleh Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan namun

dinilai kurang intens sedangkan masyarakat sendiri sudah banyak berpengalaman

menangani bencana. Menurut penilaian nara sumber pemberian informasi tentang

pengurangan resiko bencana yang sangat diperlukan justru yang berkaitan dengan

ancaman paska banjir. Sebab banyak hal akan terjadi paska banjir seperti

berjangkitnya penyakit tertentu yaitu diare, gatal-gatal, muntaber, dan penyakit

menular lain yang belum diketahuai. Informasi yang diperlukan antara lain ialah

bagaimana mendeteksi gejala penyakit yang akan timbul serta bagaimana

pencegahan maupun pengobatannya.

Sedangkan berkaitan dengan informasi awal ataupun peringatan dini tentang

bakal terjadinya bencana, sebenarnya sangat tergantung pada bencana apa. Masing

masing bencana memiliki karakteristik sendiri, contohnya gempa bumi tidak bisa

diprediksi sedangkan tsunami bisa diprediksi dengan tanda tanda surutnya air laut

secara tiba-tiba. Sedangkan banjir juga bisa diprediksi dan masyarakat Baleendah

agaknya telah faham betul. Mereka melihat gejala alam yang sering terjadi misalnya

adanya awan gelap dan hujan lebat sampai tiga jam lebih di hulu sungai dan

sekitarnya bisa dipastikan akan terjadi banjir besar. Oleh karena itu sebenarnya

penyuluhan formal tentang pengurangan resiko bencana masih tetap mereka

anggap penting dan merupakan kebutuhan walaupun tidak mendesak. Mereka

menganggapnya sebagai pengetahuan tambahan saja. Bila kita perhatikan lebih

lanjut bentuk diseminasi informasi pengurangan resiko bencana bagi masyarakat

sebenernya dilakukan tidak terlalau rumit, kadang hanya berbentuk semacam

pengumuman di papan tulis, petunjuk-petunjuk praktis dan pengumuman dicorong

corong masjid dan lain-lain. Jadi tidak ada yang sulit bagi masyarakat untuk

menafsirkannya. Dengan kata lain deseminasi informasi pengurangan resiko

bencana ini sangat sederhana dan dilakukan secara lugas tanpa simbol simbol

yang ruwet sehingga tidak ada kesulitan bagi masyarakat untuk memahami

maknanya. Apalagi mereka sudah berpengalaman dalam menghadapi bencana itu.

Yang agak rumit dan detail bersifat teknis hanya diberikan pada tim SAR atau

Tagana dimana diperlukan juga pelatihan-pelatihan dan keterampilan fisik disamping

Page 78: Studi diseminasi bencana 2009

69

pengetahuan praktis penyelamatan korban. Pelatihan bagi Tagana biasanya

dilakukan secara terpadu dengan sesama Tagana dari desa lain oleh Pemda

setempat. Walaupun demikian agar deseminasi informasi pengurangan resiko

bencana ini lebih efektif dalam arti dapat menjangkau orang banyak dan difahaminya

secara baik menurut seorang narasumber dari PRSSNI sebaiknya dilakukan melalui

radio. Alasannya masyarakat yang berada dipengungsian atau lagi tinggal dirumah

menunggu air surut tidak bisa melakukan aktifitas apa-apa sebagaimana yang biasa

mereka lakukan. Mereka hanya menunggu dan menunggu sehingga untuk

menghilangkan kejenuhan sangat diperlukan hiburan dan radiolah yang tepat dapat

menembus kesunyian mereka.

Apa yang disampaikan nara sumber tersebut berdasarkan pengalamannya

ketika terjadi tsunami di Aceh, dimana radio memiliki peranan yang sangat penting

dalam membantu nenangani berbagai permasalahan yang timbul. Kala itu suasana

Aceh sunyi senyap dan segala sarana dan prasarana lumpuh. Dengan sebuah

diesel pembangkit listrik dan peralatan pemancar yang mereka persiapkan dari

Jakarta maka dalam waktu singkat beroperasilah Radio Suara Aceh 99 FM ditanah

rencong ini tanpa ada saingan. Agar dapat menerima siaran dari radio ini maka

dibagikanlah ribuan radio-radio transistor kecil kepada penduduk disekitarnya. Saat

itu siaran radio mulai memecah kesunyian tanah Aceh yang telah luluh lantak rata

dengan tanah. Bahkan radio ini tidak hanya berperan memberikan informasi dan

hiburan kepada masyarakat tetapi juga sangat berperan dalam menangkal rumor

yang banyak berkembang waktu itu. Rumor memang sering berkembang dalam

situasi yang tidak ada kepastian. Apakah rumor tersebut memang sengaja

dihembuskan oleh orang orang yang tidak bertanggung jawab atau timbul secara

tidak sengaja. Tetapi yang pasti kondisi masyarakat yang sedang dalam situasi

ketidak pastian dan panik akan memudahkan timbulnya rumor. Selanjutnya bila

rumor tersebut dibiarkan dan menerpa masyarakat yang sensitif bisa jadi akan

timbul tindakan-tindakan yang emosional bahkan bisa menjurus kekerasan yang

dapat merugikan semua pihak. Radio sebagai media komunikasi yang mampu

menembus ruang dan waktu juga sangat efektif untuk memberikan sosialisai kepada

masyarakat tentang tata nilai dan peraturan. Selain menyiarkan acara berita dan

hiburan radio juga menyiarkan program pendidikan masyarakat. Oleh karena itu

sebaiknya radio juga dimanfaatkan untuk menyiarkan berbagai upaya untuk

Page 79: Studi diseminasi bencana 2009

70

mendidik masyarakat agar melakukan tindakan-tindakan preventif terkait dengan

bencana banjir seperti menumbuhkan kesadaran untuk menjaga lingkungan dengan

tidak membuang sampah secara sembarangan, menebangi pohon dan menggunduli

hutan, mendirikan bangunan didaerah resapan dan lain-lain. Selain radio TV lokal

juga sangat berperan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya

banjir. Radio dan TV lokal saat ini memang menjadi sumber informasi dan hiburan

yang dekat dan lekat dihati masyarakat. Satu hal lagi yang dianggap lebih penting

bagi masyarakat menurut seorang nara sumber ialah tumbuhnya kepedulian tentang

segala hal termasuk penanganan banjir. Dengan tumbuhnya kepedulian masyarakat

maka masyarakat tidak akan tinggal diam bila ada masalah yang timbul. Mereka

diharapkan mau dan mampu turun tangan sendiri untuk memecahkan berbagai

permasalahan yang ada termasuk banjir ini. Sehingga dengan demikian mereka bisa

menyelesaikan sendiri setiap permasalahan mereka dan apabila perlu tidak segan

segan membantu orang lain.

Masalah banjir ini sebenarnya juga telah dibahas secara luas oleh berbagai

kalangan masyarakat salah satunya dalam seminar oleh UNJANI-Cimahi

bekerjasama dengan Kodam Siliwangi. Banyak pemikiran pemikiran yang dihasilkan

dari seminar ini dan oleh karena itu perlu ditindak lanjuti dengan sebuah action oleh

instansi yang kompeten termasuk Depkominfo. Tindakan terpadu dalam menangani

masalah pengurangan resiko bencana memang sangat diperlukan dan bila perlu

melibatkan seluruh instansi bahkan sampai ketingkat RT/RW. Pada umumnya

masyarakat di daerah rawan bencana banjir (desa Baleendah Kabupaten Bandung)

sudah tahu kapan banjir akan datang melanda desanya. Mereka menandai apabila

terjadi hujan deras 3 jam terus menerus, tanpa tunggu komando serta merta

masyarakat disana siap siaga menyiapkan diri mengemasi barang-barang untuk

keperluan sehari-hari terus pergi mengungsi ketempat yang lebih tinggi. Program

Diseminasi Informasi Pengurangan Resiko Bencana Banjir yang dilakukan

Pemerintah dalam hal ini Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan sudah dipahami

Masyarakat korban banjir pada umumnya. Lebih penting lagi tidak hanya

pengetahuan tentang bencana tetapi juga harus ditanamkan tingkat kepedulian dari

masyarakat setempat agar siap menangani sendiri berbagai kesulitan yang mereka

temui. Hal yang seringkali terabaikan justru penanganan pasca bencana serta

timbulnya penyakit menular seperti diare, gatal-gatal/penyakit kulit, dan penyakit-

Page 80: Studi diseminasi bencana 2009

71

penyakit yang belum terdeteksi. Di Kecamatan Bale Endah Kabupaten Bandung

media yang paling dibutuhkan adalah media elektronik ( Radio, Televisi ) karena

informasi penting cepat sampai kepada masyarakat setempat. Mengapa masyarakat

di Kecamatan Baleendah banyak menggunakan media Radio karena masyarakat

disana rata-rata penggemar musik dangdut yang banyak disiarkan oleh Radio-radio

Swasta. Kalaupun ada alat atau media diseminasi informasi lain sebagai peringatan

dini adalah Loud Speaker di masjid- masjid dan Kentongan. Perlu adanya kerjasama

antara Dinas Sosial, Dinas Kesehatan dan Depkominfo untuk mengadakan kegiatan

koordinasi dalam penyebaran informasi dan pembagian tugas dilapangan apabila

terjadi bencana. Pemerintah dalam hal ini agar lebih pro aktif menanamkan tingkat

kepedulian masyarakat akan bahaya banjir, tanah longsor dan tsunami. Gambaran

fenomenologi ini bersifat kasus yang kemungkinan ada kesamaan atau perbedaan

dengan daerah lain dalam kasus yang sama. Perbedaan itu bukan terletak pada alat

ukur yang di gunakan sebagai instrument penelitian, tetapi lebih pada kearifan lokal

dimasing-masing daerah.

*Tofografi Lokasi Penelitian di Bengkulu18: Penelitian dilakukan di 3 (tiga)

kelurahan (1) Kelurahan Lempuing, (2) Kelurahan Tanah Patah, dan (3) Kelurahan

Cempaka Barat. Ketiga kelurahan ini pada waktu gempa bumi tahun 2000- 2007

mengalami kerusakan berat, baik rumah-rumah penduduk, jalan raya yang retak dan

gedung-gedung pemerintah dan swasta. Kelurahan Lempuing, Kecamatan Ratu

Agung mempunyai luas 180 Ha atau sekitar 1,8 Km. Daerah kelurahan ini dihuni

penduduk 4152 jiwa, dengan rincian, penduduk laki-laki 2.082 jiwa, dan perempuan

2.070 jiwa. Dalam bentuk Kepala Keluarga (KK) berjumlah 971. Dari perspektif

administrasi wilayah di kelurahan Lempuing, terbagi ada 3 RW, dan 151 RT.

Kelurahan Lempuing dipimpin oleh seorang kepala kelurahan bernama Jafri Effendi

M, SH. Lokasi Kantor Kelurahan Lempuing terletak di Jalan Kuala Lempuing,

Kecamatan Ratu Agung ,Kota Bengkulu. Pada waktu terjadi gempa bumi tahun 2000

18 Diskripsi ini merupakan bagian dari penelitian Djoko Waluyo & Agus Haryono, di

Kelurahan Lempuing ,Tanah Patah dan Cempaka Barat kota Bengkulu, tanggal 21-

27 Juli 2009.Dengan bahasan utama diseminasi informasi pengurangan resiko

bencana,dikawasan tersebut. Masyarakat dilokasi penelitian umumnya masih belum

memahami arti sosialisasi pengurangan resiko bencana yang dimaksud. Meski

mereka mampu mendeteksi gejala bencana alam tersebut dengan membaca tanda

tanda alam.

Page 81: Studi diseminasi bencana 2009

72

di daerah Lempuing termasuk yang kena bencana dengan kerusakan parah. Rumah

penduduk, gedung-gedung banyak yang roboh. Juga kondisi jalan raya terbelah atau

patah-patah sehingga sulit dilalui kendaraan. Kelurahan Tanah Patah berlokasi

strategis ditengah kota Bengkulu yang terdapat jalan raya menuju Bandara

Fatmawati. Luas wilayah kelurahan Tanah Patah mencapai 300 Ha, dengan jumlah

penduduk 6.723 jiwa (Laporan Kependudukan Kelurahan Tanah Patah, bulan Mei

2009), rincian laki-laki 3.353 jiwa dan perempuan 3.355 jiwa. Pembagian

administratif kelurahan Tanah Patah meliputi 2 RT dan 5 RW, dengan jumlah Kepala

Keluarga 1939 KK. Adapun penduduk yang wajib memiliki KTP 3.897 orang,

sedangkan jumlah penduduk yang sudah memiliki KTP tercatat 2.884 orang.

Penduduk yang paling banyak berusia antara 13 - 18 tahun (18, 92

%),kemudian pada kelompok usia 19-24 tahun (18, 77 % ), dan kelompok usia 25-

55 tahun (17, 61 %).Penduduk menurut agama dominan menganut agama Islam (

93, 83 %), Katholik (1, 99 % ), Protestan (1,65 % ), Hindu (1,62 % ) dan Budha (0,

89 %).

Dengan demikian, penduduk di kelurahan Tanah Patah banyak yang

beagama Islam. Sementara itu, penduduk dari segi pendidikan banyak yang hanya

mencapai pendidikan Sekolah Dasar ( 26,98 %), kemudian Perguruan Tinggi ( 20,

73%). Data ini menjelaskan fakta yang kontradiktif, dalam arti terjadi lompatan yang

besar di kalangan penduduk antara yang lulusan SD dengan Perguruan Tinggi.

Selanjutnya urutan ketiga lulusan SLTP (19,37%), urutan keempat penduduk Taman

Kanak-kanak (18,87%), dan terakhir urutan kelima penduduk berpendidikan SLTA

(14,07%). Dari segi pekerjaan, penduduk di kelurahan Tanah Patah dominan

berprofesi sebagai PNS (35,12%), dan yang bekerja swasta (30,31%). Kemudian

urutan ketiga sebagai dagang (21,02%). Ketiga kelompok profesi ini menjadi ciri

khas penduduk perkotaan, termasuk di kota Bengkulu. Sedangkan dalam

prosentase yang kecil adalah penduduk yang bekerja sebagai petani (12 %), dan

sebagai anggota TNI/Polri (0,02 %). Data ini memungkinkan untuk menafsirkan

bahwa orang Bengkulu lebih suka menjadi pegawai negeri, dengan etos kerja yang

tidak dinamis atau biasa-biasa saja. Di kota Bengkulu juga banyak bermukim

warganegara Indonesia keturunan RRC/China sebanyak 212 orang khususnya di

kelurahan Tanah Patah. Lokasi wilayah ini memang strategis dan banyak pertokoan,

gedung perkantoran yang berdiri di pinggir Jalan S. Parman hingga menuju Bandara

Page 82: Studi diseminasi bencana 2009

73

Fatmawati Sukarno. Penduduk WNI banyak yang bermukim di sepanjang jalan itu.

Dari segi ekonomi, memang mereka membuka usaha dagang atau toko, yang

sifatnya bergerak dalam lapangan ekonomi.

Kelurahan Cempaka Permai, Kecamatan Gading Cempaka Permai, Kota

Bengkulu, mempunyai luas wilayah 54,40 Ha. Jumlah penduduk 7.219 jiwa (laki-

laki 3.622 jiwa dan perempuan 3.597 jiwa) yang terbagi dalam 24 RT dan 8 RW.

Untuk jumlah KK tercatat 1.630 KK (KK laki-laki 1.574 dan KK perempuan 56).

Batas-batas wilayah kelurahan Cempaka Permai, sebelah utara dengan kelurahan

Sidomulyo, sebelah selatan dengan kelurahan Lingkar barat, sebelah timur dengan

kelurahan Pagar dewa, dan sebelah barat dengan kelurahan jalan Gedang. Panjang

jalan di wilayah kelurahan Cempaka Permai mencapai 8 kilometer.Dengan

ketinggian daerah 9 m dari permukaan laut.

Dengan demikian kontur tanahnya datar atau merata, tidak berbukit-bukit.

Peruntukan tanah di wilayah kelurahan Cempaka Permai, 68,05% untuk pemukiman

penduduk, 9,43% untuk perkantoran, 12,94% untuk sarana sosial, dan sarana

ibadah memakai 5,81%. Selebihnya untuk lain-lain 3,76%. Dengan demikian,

hampir separuh lebih dari luas tanah di kelurahan Cempaka Permai untuk

pemukiman. Dari segi agama, 92,06% penduduk menganut agama Islam. Kemudian

6,65% beragama Protestan, dan 1,04% beragama Katolik. Penduduk yang

menganut agama Budha dan Hindu masing-masing 0,12%. Dari data tersebut maka

agama Islam merupakan agama yang dominan dianut penduduk di lingkungan

kelurahan Cempaka Permai. Realitas keagamaan juga terwujud dalam majelis taklim

ada 8 kelompok, kelompok pengajian 14 kelompok, Remaja Islam Masjid 6

kelompok dan kelompok Qasidah/rebana 6 kelompok. Pembagian pekerjaan

penduduk, ternyata 40,31% berprofesi sebagai PNS, yang berprofesi sebagai buruh

sebesar 10,76%, BUMN/BUMD 8,49%. Pedagang 6,31%. Dalam prosentase yang

kurang dari 5 % secara berurutan bekerja sebagai anggota TNI/Polri, tani/nelayan,

tenaga medis, dan penduduk yang bekerja tidak jelas atau lain-lain sebesar 23,57

%. Dari segi usia penduduk, yang paling dominan adalah penduduk yang berada

pada kelompok usia 30-34 tahun (928 jiwa) dari jumlah penduduk 7.219 jiwa.

Kemudian kelompok usia 25-29 tahun dan usia 40-44 tahun. Dengan demikian usia

penduduk masuk dalam ketegori penduduk produktif. Dari hasil wawancara

mendalam, FGD dan observasi serta telaah dokumen yang terkait dengan masalah

Page 83: Studi diseminasi bencana 2009

74

studi ini dapat di deskripsikan secara kualitatif. Kegiatan Diseminasi informasi

tentang Bencana Alam di Provinsi Bengkulu memang telah sering dilakukan, namun

masyarakat belum banyak mengetahui dan menyadari ancaman bencana gempa.

Dari perspektif lembaga PMI (Palang Merah Indonesia) hanya menjangkau wilayah

yang terbatas yaitu hanya di 6 Kabupaten antara lain di Muko-muko. Dengan

demikian, menurut PMI diseminasi informasi Bengkulu sudah cukup, namun perlu di

lakukan Koordinasi secara serius. Bahkan Yayasan LAYAK Bengkulu yang

bekerjasam dengan UNDP dan Bappeda Bengkulu telah melakukan sosialisasi

dengan menyebarkan dokumentasi tehnologi masyarakat Bengkulu dalam membuat

rumah aman gempa. yaitu Rumah Biday.

Perhatian Pemerintah Provinsi Bengkulu cukup besar, bahkan Gubernur

pernah langsung ikut simulasi untuk mengurangi resiko bencana alam akan tetapi

partisipasi masyarakat masih kurang dalam mengikuti simulasi. Dan secara institusi

telah dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) pada tingkat

Provinsi,yang dibentuk awal tahun 2009. Juga pernah dilakukan sosialisasi dari

Pemda untuk melakukan cara-cara mengurangi resiko bencana alam. Pemahaman

simbol-simbol tanda bencana alam dikalangan masyarakat masih belum tahu betul.

Sirene kurang akrab dengan masyarakat. Masyarakat lebih kenal alat tradisional

seperti kentongan. Bila terjadi bencana gempa bumi, mekanisme diseminasi

informasi adalah pertama sekali PMI Bengkulu menerima informasi dari PMI Pusat

melalui SMS PMI Pusat. Kemudian PMI Bengkulu menyalurkan informasi kepada

Posko di daerah Muko-muko,dan seterusnya. Sedangkan institusi BIP (Badan

Informasi Publik) dari Depkominfo belum begitu dikenal masyarakat sehingga

diperlukan tidak sekedar kerjasama (misalnya terbatas kegiatan sosialisasi saja)

tetapi harus lebih membina hubungan sinergis dengan berbagai unsur di daerah,

tidak hanya kepada Dinas/instansi terkait seperti Dinas Perhubungan, Komunikasi

dan Informatika tetapi juga kepada antara lain LSM, Humas, PRSSNI,

PWI/wartawan, bila perlu membina hubungan dengan opinion leader (tokoh-tokoh

masyarakat), dan media lokal. Dari sisi muatan atau pesan informasi harus yang

sesuai dengan aspirasi publik yaitu mengenai gejala atau terjadinya bencana alam

gempa. Diakui beberapa peserta FGD bahwa produk BIP seperti buklet, pamflet

cukup membantu sebagai bahan informasi untuk penyebaran informasi berikutnya.

Namun produk-produk BIP tersebut jangan hanya menjadi pajangan atau disimpan

Page 84: Studi diseminasi bencana 2009

75

di laci kantor. Dan sasaran penyebaran informasi publik dari BIP selama ini hanya

terbatas pada masyarakat kota saja, bagaimana dengan masyarakat perdesaan?

Daerah Bengkulu yang merupakan wilayah rawan gempa bumi, maka instansi yang

fungsional menyebarkan informasi kebencanaan harus dapat mengelola informasi

kebencanaan dengan format yang menarik dan dibutuhkan bagi masyarakat. Dan

untuk jangka waktu sedang dan jangka panjang maka perlu dimasukkan materi

sosialisasi pengurangan resiko bencana alam dalam buku pelajaran muatan lokal

di SD, SMP, dan SMA sehingga tertanam didalam jiwa murid-murid sekolah.

Untuk mengurangi resiko akibat bencana gempa bumi, tentunya perlu

dirancang langkah-langkah untuk melakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh

informal pada daerah yang tertimpa bencana. Para tokoh informal amat disukai dan

dikenal masyarakat dan ini merupakan suatu bentuk kearifan lokal yang perlu

diberdayakan oleh Pemerintah Provinsi Bengkulu. Dan mungkin rumah panggung

(disebut rumah Biday) yang dulu banyak dipakai masyarakat kuno bisa dijadikan

alternatif atau solusi untuk mengurangi resiko bencana dalam masyarakat. Menurut

pihak BMKG bahwa jangan anggap remeh tentang bencana gempa bumi, angin

puting beliung, tsunami. Disini bagi masyarakat yang penting harus tahu dan serius

memahami alam dan menyiasati kondisi alam. Memang di daerah Bengkulu

seringkali terjadi gempa,apalagi yang skala kecil.Sehingga masyarakat sudah

terbiasa dengan gempa bumi. Kejadian gempa tahun 2000, masyarakat panik dan

banyak orang yang terpengkap di dalam rumahnya. Kejadian itu malam hari dan

keadaan gelap gulita karena aliran listrik padam. Kemudian pada tahun 2007 terjadi

lagi gempa yang cukup besar di Bengkulu, lama gempa sekitar 15 menit,dan

masyarakat sangat panik. Banyak kendaraan saling tabrakan untuk menyelematkan

diri ke daerah yang aman dari gempa. Waktu kejadian menjelang Magrib pada hari

mau masuk Puasa pertama. Jadi masih terang cuacanya. Tapi masyarakat cukup

panik. Dari pengamatan Dinas Perhubungan,Komunikasi dan Informatika

Pemerintah Provinsi Bengkulu bahwa memori masyarakat yang perlu dibangun

kembali. Masyarakat dulu tidak mengenal milik individu, yang ada kepunyaan

bersama yang harus diselamatkan. Sekarang kondisi yang seperti tersebut sudah

tidak ada lagi. Semua akibat dari berbagai bencana yang menimpa masyarakat

Bengkulu. Adalah kewajiban Pemerintah Provinsi Bengkulu untuk memprioritaskan

program bencana alam sebagai yang pertama.Dengan demikian, juga perlu

Page 85: Studi diseminasi bencana 2009

76

dibarengi dengan program pemberdayaan masyarakat untuk mengurangi resiko

bencana. Disini tujuannya adalah untuk menyamakan persepsi terhadap

penanggulangan bencana. Masyarakat belum sepenuhnya menyadari arti sosialisasi

untuk mengurangi resiko bencana. Pemerintah Provinsi Bengkulu makin menyadari

bahwa wilayahnya seringkali terjadi bencana gempa bumi,maka perlu diprioritaskan

program untuk membangkitkan kesadaran masyarakat dengan pemberdayaan sosial

dengan sosialisasi dan simulasi bencana.Dan dibentuk Badan Penanggulangan

Bencana Daerah Bengkulu. Alternatif bagi masyarakat untuk mengurangi resiko

bencana dengan membangun model rumah biday yang tahan terhadap gempa.

*Tofografi Lokasi Penelitian di Kota Padang,19: Kelurahan Purus

Kecamatan Padang Barat merupakan daerah masuk katagori rawan bencana yang

dipilih sebagai Lokasi Penelitian. Berdasarkan data statistik kota Padang, Kelurahan

Purus Padang Barat termasuk urutan kedua dari kawasan yang sering tertimpa

bencana alam. Kecamatan yang berada pada urutan pertama yakni kecamatan

Padang Selatan, dan kecamatan Padang Timur pada urutan ketiga. Di Kecamatan

Padang Barat terdapat 24 kelurahan yang terdiri dari 13.027 Kepala Keluaraga (KK).

Sedangkan di Kelurahan Purus Kebun terdapat 530 Kepala Keluarga. Jumlah

tersebut tercatat pada urutan tengah jika dibandingkan dengan jumlah kepala

keluaraga di kelurahan lainnya. Misalnya Kelurahan Purus Utara dan Borok, yang

mencapai masing-masing terdiri dari sekitar 697 Kepala Keluarga (KK). Dengan

demikian Kelurahan Parus termasuk lokasi yang dianggap daerah rawan bencana,

khususnya gempa bumi tektonik. Merujuk dari keterangan Kepala Badan

Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Padang, peristiwa bencana alam

yang menonjol terjadi di Kota Padang yakni gempa bumi dengan potensi tsunami;

banjir, angin topan.

Hal ini lebih disebabkan letak Kota Padang yang berada di bibir pantai Lautan

Hindia yang dikenal berombak besar. Di samping itu Kota Padang juga dilalui oleh

19 Diskripsi tulisan ini bagian dari pnelitian,: Parwoko & Budi Santoso,yang

dilaksanakan pada tanggal,21-27 Juli 2009 di kota Padang. Masalah yang dikaji

adalah diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana.

Masyarakat setempat memandang bencana sudah menjadi bagian dari kehidupan

sosialmereka.Mereka mengenali gejala bencana alam dengan membaca tanda

tanda alam secara tradisional.

Page 86: Studi diseminasi bencana 2009

77

deretan Bukit Barisan serta berdekatan dengan Gunung Berapi; seperti: Marapi,

Singgalang, Talang; serta terdapat dapat 5 (lima) sungai yang melintasi Kota

Padang, seperti sungai Batang Kandis sepanjang 20 km. Kawasan tersebut selain

didominasi oleh hutan, curah hujan pun cukup tinggi sehingga bencana banjir dan

tanah longsor menjadi permasalahan tersendiri. Keadaan semacam ini menjadikan

bencana alam yang menimpa masyarakat Kota Padang cenderung bervariatif.

Sebaliknya dengan seringnya terjadi bencana alam maka masyarakat kota Padang

seolah-olah sudah terbiasa dalam menghadapi ragam bencana alam seperti itu.

Dalam wawancara dengan peneliti mereka mengaku bahwa masyarakat seolah

sudah tahu betul tentang kapan bencana akan datang. Dengan begitu mereka tahu

upaya apa yang harus ditempuh untuk menyelamatkan diri ketika melihat tanda-

tanda alam. Seperti datangnya ombak besar pada tepian pantai dua hari

sebelumnya. Jika tanda-tanda ini mulai nampak maka mereka akan segera

menyelamatkan diri dengan pergi ketempat yang lebih aman atau pergi ke tempat

sanak keluarga. Untuk penanggulangan bencana alam bagi masyarakat kota

Padang telah memiliki prosedur tetap (Protap). Aturan standard ini menjadi penting

untuk dilakukan, terutama ketika terjadi bencana. Protap tersebut meliputi langkah-

langkah sebagai berikut : (1) evakuasi masyarakat ; (2) laporan RABAB ke

Pusdalop ; (3) laporan ke Pusdalop ke Wali-kota ; (4) Konfirmasi Walikota ke

BMKG ; (5) Aktivasi Peringatan Dini ; (6) Masyarakat Melanjutkan Evakuasi ; (7)

Pembatalan Peringatan Dini ; (8) Masyarakat siap siaga di Lokasi bencana. Dengan

memahami protap penanggulangan bencana semacam itu mereka bisa cepat

bertindak ketika ada peringatan dini. Peringatan Dini di Kota Padang berada

dibawah komando Walikota Padang serta dibawah koordinasi Kepala Badan

Pengendalian Banjir dan Bencana. Walikota mendapatkan informasi terjadinya

bencana dari BMG maka setelah itu Walikota segera memberikan perintah resmi

evakuasi. Walikota Padang memberikan perintah evakuasi secara resmi melalui: (1)

Sirene dengan bunyi tertentu; (2) Radio Nasional dan Swasta; (3) Radio Komunikasi

Antar Penduduk.

Setelah perintah evakuasi resmi dari Walikota, maka masyarakat melanjutkan

evakuasi hingga mencapai daerah relokasi; yakni bangunan bertingkat yang rata-

rata lebih dari dua lantai. Dalam situasi yang demikian itu maka seluruh media cetak

dan elektronik berada dibawah kendali Pemerintah Kota.Artinya sumber informasi

Page 87: Studi diseminasi bencana 2009

78

tentang bencana alam didominasi pihak pemerintah kota. Media sangat tergantung

dari humas pemerintah kota. Pada sisi yang lain masalah bencana alam menurut

mereka harus dipandang sebagai upaya menciptakan kewaspadaan terhadap

ancaman bencana alam. Sedangkan diseminasi Informasi merupakan salah satu

upaya dalam pengurangan resiko bencana di Kota Padang. Hal itu dianggap penting

untuk dilakukan mengingat banyaknya korban akibat ketidaktahuan tentang tata cara

penye lamatan diri ketika akan dan sedang terjadi bencana. Beberapa langkah yang

ditempuh dalam diseminasi informasi menurut mereka adalah dengan

memanfaatkan berbagai media (elektornika maupun cetak), seperti: (1) Radio

Internet (RANET); (2) RABAB (Radio Antisipasi Banjir dan Bencana); (3) Radio HT;

(4) FM RDS; serta (5) Sirene. RANET, di Kota Padang merupakan salah satu

diantara radio penyiaran yang berbasiskan jaringan internet. Radio ini pusat

penyiarannya berada di Badan Meteorologi,Klimatologi dan Geofisika (BMKG)

Sumatera Barat yang lokasinya berada di kota Padang Panjang.

Sementara itu yang dimaksudkan dengan RABAB merupakan sebuah

modifikasi dari fungsi radio panggil (HT) yang diubah menjadi radio siaran. Radio

RABAB ini bermula dari sebuah inovasi yang ditemukan seorang anggota TIM

Rescue (SAR), untuk mendapatkan fasilitas dari pihak Pemerintah Kota Padang

untuk ditetapkan sebagai radio siaran. Maka siaran radio RABAB ini menjadi

berbeda dengan karakteristik radio siaran pada umumnya. Radio RABAB

mengudara sebatas adanya informasi yang bersifat kebencanaan. Sedangkan untuk

menjaga validitas isi siaranya terdapat lima lembaga yang mempunyai kewenangan

untuk mengudarakan informasi tentang bencana. Mereka adalah Walikota Padang,

Sekretaris Daerah Kota Padang, Kapolwiltabes Kota Padang, Komandan Kodim

Kota Padang, serta Kepala Badan Penanggulangan Banjir dan Bencana Kota

Padang. Diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di Kota Padang juga

telah dilakukan melalui jalur pendidikan. Misalnya : (1) Pendidikan sekolah ditingkat

(SD, SMP, SMA); (2) Kurikulum siaga bencana; (3) Sosialisasi penanggulangan

bencana tingkat RT/RW, Kelurahan; (4) Simulasi evakuasi tsunami; (5) Peta jalur

evakuasi; (6) Masyarakat Peduli Bencana. Melihat kondisi tersebut, maka efektifitas

diseminasi informasi melalui “metode tatap muka” menjadi kurang efektif. Hal ini

antara lain disebabkan: (1) Rendahnya tingkat pendidikan formal dan pengetahuan

masyarakat ; (2) Sering terjadinya disinformasi kebencanaan di daerah rawan

Page 88: Studi diseminasi bencana 2009

79

bencana ; (3) Adanya hambatan perbedaan nilai-nilai sosial budaya lokal di

komunitas masyarakat. Oleh sebab itu masyarakat setempat memerlukan kerja

keras untuk mencapai target pengurangan resiko bencana ketika terjadi bencana

alam. Kerja keras yang mereka lakukan diantaranya adalah: “pembuatan peta jalur

evakuasi‟‟, sehingga pemerintah perlu berusaha: (1) Memperbanyak peta dan jalur

evakuasi serta membagi kannya kepada masyarakat di daerah rawan bencana.( 2)

Menyiapkan lokasi evakuasi ; (3) Mewujudkan pelebaran jalan-jalan yang diperlukan

untuk evakuasi, (membuat jalan baru antara daerah Tunggul Hitam sampai Lubuk

Buaya, (4) Mengkoordinasikan sekolah-sekolah di zona merah mengenai jalur

evakuasi sehingga melalui sekolah dan Komite Sekolah setiap murid dan orangtua

murid memahaminya. Memanfaatkan lembaga Kerapatan Adat Nagari: Tungku Tigo

Sajarangan (Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cerdik Pandai) adalah merupa kan

lembaga “kerapatan adat nagari” merupakan perwakilan anak nagari yang berfungsi

sebagai lembaga musyawarah bersama wali nagari. Peraturan Daerah Provinsi

Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok-pokok

Pemerintahan Nagari dan Peraturan Daerah Kabupaten se Sumatera Barat tentang

Pemerintahan Nagari). Sehubungan dengan upaya untuk menjawab masalah

penelitian, yakni pentingnya pengurangan resiko bencana alam, maka peranan dan

fungsi lembaga kekerabatan adat nagari ini menjadi sangat penting dan strategis.

Sebagaimana diketahui bahwa “Niniak Mamak dan Alim Ulama serta Cerdik Pandai”

merupakan unsur penting yang sangat dihargai dikomunitas masyarakat

Minangkabau. Karena hampir semua keputusan apapun yang ditetapkan melalui

musyawarah adat akan dipatuhi masyarakat pendukung budaya tersebut. Tokoh

Alim Ulama setempat berpandangan bahwa mereka tidak akan mempunyai fungsi

apapun kecuali jika telah mendapatkan dukungan pendapat dari “Niniak Mamak

serta Cerdik Pandai”.Sehingga perannya sebagai disseminator pengurangan resiko

bencana alam menjadi signifikan di daerah rawan bencana. Mereka mengatakan

tidak ada gunanya doa yang dimunajadkan kepada Tuhan Allah kecuali jika terdapat

kerjasama dengan “Niniak Mamak dan Cadiak Pandai” dalam menindak-lanjuti doa

yang dimunajadkan dengan Sang Chaliq. Menurut Tokoh Ulama setempat untuk

pekerjaan diseminasi pengurangan resiko bencana ini pemerintah harus bisa

mendapatkan orang-orang dengan kriteria sebagai berikut: (1) mampu ; (2) mau ; (3)

waktu ; (4) dipercaya. Mampu, dapat diartikan dengan :(a) Mempunyai kemampuan

untuk dapat menyelesaikan permasalahan ; (b). Mempunyai keberanian menghadapi

Page 89: Studi diseminasi bencana 2009

80

dan memperjuangkan maksud atau tujuan ; (c) Piawai dalam berdialog dalam

membela kebenaran dan keadilan demi kepentingan masyarakat. Sementara itu

yang dimaksudkan dengan Mau,dapat diartikan : (a) Punya kemauan

memperjuangkan kepentingan mengenyam pingkan kepentingan pribadi, suku atau

kaum ; (b) Punya kemauan mengatasi segala kendala yang dihadapi.

Waktu, dapat diartikan sebagai : (a) Bisa membagi waktu dan memilih

moment yang tepat dalam menghadapi masalah Nagari ; (b) Bisa memberikan waktu

untuk kepentingan Nagari kapan dan dimanapun demi masyarakat bersama.

Sedangkan yang dimaksudkan dengan Dipercaya, yakni : (a) Dapat dipercaya oleh

masyarakat dalam mengatasi setiap permasalahan ; (b) Dapat mempengaruhi pihak

manapun dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat dan Nagari ; (c)

Memegang teguh Filosofi" Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" ;(d)

Mempunyai wawasan luas, rasional dan professional. Dalam rangka Banagari

(bernegara) telah difungsikan lembaga Nagari seperti: (1) KAN, yaitu lembaga Ninik

Mamak yang dalam adat Minangkabau orang yang dianggap sebagai pimpinan

suku. Mereka sebagai pemimpin terdepan dalam suatu suku itu. Ninik Mamak

mempunyai peran untuk menggali aspirasi anak kemenakan dan mensosialisasikan

peraturan-peraturan yang dikeluarkan ditingkat Nagari; (2) BPN, adalah merupakan

Lembaga Legislatif yang terdiri dari unsur-unsur yang ada dalam masyarakat. BPN

merupakan wakil-wakil unsur dalam masyarakat, maka semua kebijakan yang

diterapkan adalah usulan masyarakat secara umum. Agarketentuan kebijakan

tingkat nagari dengan mudah bisa diterapkan dalam masyarakat; (3) MTTS adalah

lembaga penasehat yang terdiri unsur Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cerdik pandai.

Lembaga MTTS mempunyai peran untuk menilai dan mempertimbangkan kebijakan

yang akan diterapkan dalam masyarakat; (4) Pemerintahan nagari, adalah lembaga

pelaksana kebijakan yang diusulkan dan dinilai oleh lembaga yang ada dalam

Nagari. Dari peran lembaga tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa lembaga-

lembaga yang ada dalam Nagari masing-masing mempunyai andil dalam kebijakan

ditingkat Nagari sebagai: (1) Lembaga Pengusul dan Pensosialisasi Kebijakan

(KAN); (2) Lembaga pengawas kebijakan (BPN); (3) Lembaga Penilai/ Penasehat

Kebijakan (MTTS); (4) Lembaga pelaksana kebijakan (Pemerintah Nagari). Di lokasi

penelitian tersebut “Gotong Royong dan Solidaritas Sosial” merupakan kearifan lokal

yang menjadi penyelamat utama para surveyor gempa. Solidaritas adalah harta

Page 90: Studi diseminasi bencana 2009

81

karun masyarakat lokal dan bahkan harta karun bangsa Indonesia yang terancam

punah. Kekayaan bangsa ini bukan terletak pada kekayaan alam semata-mata

melainkan juga berkat adanya kegotong royongan sesama masyarakat

lingkungannya. Keunggulan komparatif bangsa ini terutama dari sebab adanya

manusia-manusia suka bekerja keras, tulus, ikhlas, jujur, hemat, dan pantang

serakah menyerah menghadapi situasi seberat apapun ditengah-tengah situasi

didera bencana alam.

Gotong royong dan solidaritas sosial dalam kenyataaanya dapat

terselenggara tanpa adanya hambatan suatu apapun. Perda Pemerintah Provinsi

Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok-pokok

Pemerintahan Nagari dan Peraturan Daerah Kabupaten se Sumatera Barat tentang

Pemerintahan Nagari). Perda Pemerintah Kota Padang Nomor 5 tahun 2007, Pasal

21 disebutkan “adanya pendapatan Nagari yang berasal dari hasil swadaya dan

sumbangan masyarakat serta hasil gotong royong”. Dalam hal ini anggaran

pemerintah kota hanya merupakan stimuli untuk menumbuh kembangkan kegotong

royongan dalam masyarakat. Pada tahun anggaran 2007, pemerintah kota Padang

memberikan dana sebesar Rp.50 juta bagi masyarakat tingkat kelurahan dalam

rangka pelaksanaan acara Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat, yang hasilnya

dapat berupa pembangunan jalan serta melakukan rehabilitasi jalan yang rusak.

Dalam hal ini maka segenap kekurangan atas dana stimuli dari pemerintah ditang

gung masyarakat secara gotong royong. Semua kegiatan yang terkait dengan

sosialisasi penanggulangan bencana alam diperlukan media, baik media massa

modern maupun media tradisional dikomunitas lokal. Dengan berlatar belakang

fungsi Rabab Tim SAR Pemerintah Kota Padang mencoba menembus kebekuan

dalam menghadapi sulitnya sistem komunikasi untuk penyampaian informasi

bencana tsunami tahun 2006 dengan membentuk sebuah radio siaran yang khusus

digunakan untuk komunikasi informasi bencana. Radio RABAB merupakan hasil

modifikasi teknis atas gelombang radio panggil yang izinnya dimiliki oleh Tim SAR

Kota Padang.

Radio ini untuk sementara hanya dioperasikan dalam rangka penyampaian

informasi tentang kemungkinan terjadinya bencana alam yang akan melanda Kota

Padang. Sistem pancar luas dari siaran radio RABAB berada dibawah kendali Wali

Kota Padang bekerjasama dengan segenap radio siaran yang ada di Kota padang,

Page 91: Studi diseminasi bencana 2009

82

terutama radio yang menggunakan frekuensi FM. Adapun pesawat handy talky yang

berjumlah 5 (lima) pesawat, didistribusikan masing-masing kepada Wali Kota,

Sekretaris Daerah, Kapoltabes, Tim SAR, serta Ketua Badan Pengendalian

Bencana Daerah (BPBD) Kota Padang. Kehadiran Rabab berkaitan erat masuknya

Islam di Miangkabau terutama daerah pesisir pantai sumatera bagian barat. Rabab

di Pesisir Minangkabau Selatan disebut Rabab Pasisie, sebuah seni tradisi lisan

atau “bakaba”. Seni tradisi rabab pasisie ini menampilkan seorang tukang rabab

(biola), seorang tukang gendang, dan seorang tukang dendang (biasanya

perempuan).Tukang rabab juga merangkap sebagai pencerita. Masyarakat

membaca tanda alam : untuk membaca tanda tanda alam akan terjadinya gejala

bencana alam mereka mempercayai bilou. Suara „‟teriakan bilou (Hylobates

klossii)‟‟, sejenis kera endemik secara turun temurun dipercayai warga lokal sebagai

pertanda akan datangnya bencana. Fenomena ini bisa menjadi peringatan dini

misalnya pertanda akan datangnya gelombang tsunami. Program penyadaran

kearifan lokal itu mulai disosialisasikan Surf Aid Australia, sebuah LSM internasional

peduli bencana sejak 2007. Masyarakat setempat telah memiliki sistem deteksi dini

bencana dari gejala alam yang didominasi hutan tropis. Masyarakat memercayai jika

mendengar suara binatang itu dengan alunan bunyi tertentu maka dianggap sebagai

pertanda akan ada bahaya. Bilou adalah jenis kera unik menyerupai siamang

endemik yang hanya dijumpai di Kepulauan Mentawai. Sekujur tubuh bilou dipenuhi

rambut hitam dan dibagian mata berbulu putih. Sebagai primata endemik, bilou

kemudian ditetapkan sebagai binatang dilindungi oleh Pemerintah Indonesia

maupun oleh masyarakat dunia termasuk masyarakat lokal. Selain untuk deteksi

bencana, suara bilou juga pertanda dihen-tikannya kegiatan perburuan binatang di

hutan. Jika ada warga berburu lalu mendengar suara bilou, maka mereka harus

menghentikan perburuan, karena jika dilanjutkan akan ada bahaya.Bahaya itu tidak

jauh dari bencana alam dan sejenisnya. Meski bersifat mithos hal tersebut masih

diyakini sebagian komunitas masyarakat di Sumatra Barat*.

*Tofografi Lokasi Penelitian di Banda Aceh NAD20 : Sejak dulu kota Banda

Aceh terkenal dengan istilah Serambi Mekah, sebuah makna yang memberikan

20 Diskripsi tulisan ini merupakan bagian dari penelitian,: Gantyo Witarso & Yan

Andriariza yang dilakukan di kota Banda Aceh,tanggal 21-27 Juli 2009.Masalah

yang dikaji adalah Efektifitas diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di

Page 92: Studi diseminasi bencana 2009

83

identitas religius bagi masyarakatnya. Sekarang secara resmi, menjadi Nanggroe

Aceh Darussalam adalah Daerah Istimewa yang terletak diujung paling barat Pulau

Sumatra. Secara administratif, NAD terbagi menjadi 17 kabupaten dan 4 kota

dengan Banda Aceh sebagai ibukota provinsi. Daerah tersebut memiliki potensi

besar dibidang pertanian, perkebunan, dan perikanan. Wilayah kota Banda Aceh

memiliki luas keseluruhan 61,36 km terbagi menjadi 9 Kecamatan dan 88 Desa.

Berbatasan langsung dengan Selat Malaka disebelah utara,Kabupaten Aceh besar

disebelah selatan dan timur, Samudera Hindia disebelah barat. Kota Banda Aceh

yang menjadi kawasan bandar perniagaan yang sangat ramai karena hubungan

dagang dunia internasional terutama kawasan nusantara dimana Selat Malaka

merupakan jalur lalu lintas pelayaran kapal-kapal niaga asing untuk mengangkut

hasil bumi wilayah Asia ke Benua Eropa. Tersedianya Pelabuhan Iskandar Muda

sangat mendukung kota ini sebagai pusat perdagangan. Belum lagi jalan darat yang

menghubungkan antar kabupaten maupun provinsi. Tingginya mobilitas

pengangkutan jalan raya dapat dilihat dari besarnya konstribusi sektor tersebut bagi

pembentukan kegiatan ekonomi Banda Aceh. Sebelum bencana alam “Tsunami

(2004)21 Aceh merupakan penyumbang 6,5 % PDB dengan nilai 1,59 trilyun.

Menurut data Dinas Perikanan (2005), Industri perikanan mampu menyerap sekitar

100.000 tenaga kerja atau 87 %.” Tetapi ketika terjadi gempa bumi, dan tsunami

tahun 2004, Kota Banda Aceh tersapu bersih. Kota yang sebelumnya terkenal

perniagaannya itu menjadi kota mati, kondisi perekonomiannya menjadi lumpuh dan

kehidupan sosial budayanya menjadi rentan. Pasca tsunami data Bapenas memper

kirakan 9563 unit perahu hancur. Diantaranya termasuk 41,5% perahu tidak

bermotor, 24,8% perahu bermotor, dan 33,7% kapal motor besar, sehingga total

kerugian mencapai 944.492 milyard atau 50% dari total asset.Maka pasca tsunami

produksi perikanan di Aceh turun hingga 60%.Isu yang menjadi perhatian banyak

daerah rawan bencana.Pasca gempa bumi dan tsunami 2004,Aceh menjadi kota

fenomenal seperti yang ditulis peneliti.

21 Lihat http://wikiwidia.org/aceh,diakses 21 September 2009,pk.16-15 Wib. Pasca

gempa tsunami kondisi kota Aceh hancur berantaakan.Insprastruktur hancur total,

khususnya di kawasan pantai.Pemulian perekonomian dan rehabilitasi sosial budaya

di Aceh memerlukan waktu yang cukup lama.Kota Banda Aceh sebagai kota

pelabuhan dan Bandar Internasional, menjadi kota mati.Pemandangan hanya terlihat

bangkai kapal yang berserakan di daratan atau dipantai sekitar Aceh.

Page 93: Studi diseminasi bencana 2009

84

pihak pasca tsunami (2004) di Aceh adalah rehabilitasi perumahan penduduk pasca

bencana, masalah ini memerlukan sosialisasi yang ber-larut larut (Warta

Ekonomi,14/11/2005).

Sementara itu penilaian Bank Dunia terhadap perkembangan ekonomi Aceh

pasca bencana tsunami menunjukkan penurunan yang cukup tajam. Misalnya dalam

kurun waktu 2008, Aceh mengalami penurunan perekonomian yang luar biasa yakni

pada kisaran 8,3% (Tempo Interaktif.com, 29/7/2009, Pukul 16.30). Diantara

bencana alam lain kasus Aceh termasuk yang paling kompleks. Persoalannya bukan

sekedar manangani korban tsunami yang jumlahnya berada pada kisaran 160.000

orang meninggal atau hilang, tetapi juga menyangkut 500.000 kk yang kehilangan

tempat tinggal22.Diseminasi informasi yang paling mendasar adalah bagaimana

memberikan pemahaman kepada korban bencana tentang masalah pengungsian.

Tetapi ketika dipengungsian muncul persoalan sosial dan budaya lainnya.

Bagaimana menjamin pendidikan anak anak mereka, karena secara psikologis anak

anak korban bencana tsunami tidak bisa disamakan seperti anak sekolah pada

umumnya.Persoalan sanitasi di pengungsian, bantuan makanan dan peralatan

lainnya. Beban psikologis ini sangat berpengaruh terhadap proses belajar mengajar

bagi mereka. Secara sosial dan budaya mereka telah terpisah dari kekerabatan

yang mereka bangun selama ini. Bencana ini juga dikenal dengan bencana sosial

budaya sepanjang massa. Bagaimanapun juga kota Aceh harus bangkit kembali,

berbagai upaya dan bantuan baik dari dalam maupun luar telah mereka terima.

Tetapi sayangnya banyaknya bantuan tidak semuanya berkonotasi positif. Persoalan

utama penenganan rehabilitasi Aceh adalah koordinasi antar pihak yang

berkepentingan di daerah tersebut. Menurut A.Azis dari (Dinas Infokom) dalam

Focus Group Discussion (FGD),27 Juli 2009, terungkap bahwa masih adanya ego

sektoral antara lembaga di kota Aceh. Diharapkan hal ini jangan sampai terus terjadi

dalam penyebaran informasi publik, terutama dalam hal bencana alam. Sehingga

hubungan lintas sektor antara pusat, provinsi dan daerah dapat terjalin dengan baik,

dan tidak terganggu. Misalnya Penggabungan Dinas Infokom kedalam “Dinas

22 http://ilhamsaenong.wordpress.com/2006/12/28/dua-tahun-pasca-tsunami-aceh,

diakses tanggal 21 September 2009,pk.17.45 wib.Banyaknya bantuan dari luar

negeri mengalami kesulitan administrative, sehingga tidak bisa langsung digunakan

untuk menolong masyarakat yang menderita akibat bencana tsunami ketika itu.

Page 94: Studi diseminasi bencana 2009

85

Perhubungan“, menjadi “Dishub Komitel“ mereka akui bisa menimbulkan persoalan

baru bagi pelaksanaan fungsi dan tugas komunikasi dan informasi yang selama ini

menjadi ranah Dinas Infokom.

Keterbatasan SDM, anggaran, infrastruktur dan menyempitnya tupoksi,

berpengaruh terhadap upaya sosialisasi dan diseminasi informasi yang dibutuhkan

publik. Bahkan uniform baru, seragam dinas perhubungan (yang kini dikenakan oleh

eks pegawai dinas infokom) bisa menimbulkan kesalahpahaman masyarakat dalam

memaknai tugas-tugas komunikasi dan informasi yang menjadi tanggung jawab eks

dinas infokom. Maka dari itu diperlukan perbaikan dalam hal kepanjangan tangan

pemerintah ke masyarakat sampai dengan tingkatan paling rendah (Kabupaten –

Kecamatan – Kelurahan). Bila pada jaman dahulu kepanjangan tangan tersebut

dilaksanakan oleh Jupen, maka perlu adanya peran seperti itu saat ini. Perlunya

meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, dalam hal peringatan

dini terjadinya bencana alam (tokoh masyarakat,27/7/2009).

Sedangkan menurut sumber dari PMI (27/7/2009) Koordinasi dan sinergi

antar lembaga yang berkepentingan terhadap penanganan masalah bencana alam

masih lemah. Termasuk dalam hal siapa yang paling berkompeten menyampaikan

informasi kepada masyarakat. Ego sektoral lembaga masih dominan, sehingga

timbul kesan di masyarakat bahwa pemerintah kurang fokus dalam penanganan

bencana. Perlunya meningkatkan koordinasi antara satu lembaga dengan lembaga

yang lain. Kesadaran masyarakat akan bahaya bencana alam makin tumbuh di

Aceh, terbukti dengan semakin banyaknya para relawan yang membentuk forum-

forum peduli bencana, termasuk relawan yang tergabung dalam PMI (Palang Merah

Indonesia), Pramuka, dan Karang Taruna. Melalui organisasi, mereka memberikan

pengetahuan, informasi, bahkan simulasi-simulasi kepada masyarakat tentang apa

yang perlu dilakukan dalam menghadapi bencana alam. Partisipasi aktif masyarakat

tersebut, belum mendapat apresiasi dari pemerintah. Terbukti dengan beberapa

keluhan yang mengemuka dalam forum diskusi. Pemerintah disarankan lebih pro

aktif terhadap upaya-upaya yang telah dilakukan komunitas masyarakat. Misalnya

dengan menjadikan mereka sebagai mitra atau partner dalam meningkatkan

pengetahuan dan wawasan publik terhadap penanggulangan bencana alam.

Page 95: Studi diseminasi bencana 2009

86

Perlu adanya keseragaman informasi dari pemerintah kepada masyarakat

tentang bencana alam (Dinkes, 27/7). Perlunya informasi yang jelas dan cepat dari

pemerintah terhadap penyebaran informasi bencana alam. Dengan demikian

dampak yang terjadi dapat segera ditanggulangi atau diminimalisir (Satkorlak, 27/7).

Karena selama ini Pemerintah terlkesan lamban dalam menangani masyarakat yang

terkena bencana alam. Juga dalam memberikan solusi bantuan, bahkan sering kali

didahului pihak lain. Hal ini disebabkan kurangnya sosialisasi yang dilakukan

pemerintah dalam hal penanggulangan bencana. Masih banyak masyarakat yang

belum mengetahui tanda-tanda bencana alam. Sehingga diperlukannya koordinasi

antara berbagai pihak, misalnya BMKG mengetahui tanda-tanda bencana, tapi

mereka tidak dapat menyebarkan informasi tersebut, maka dibutuhkannya

koordinasi dengan pihak lain untuk menyebarkan.

Menurut sumber PWI (27/7/2009) media senter yang pernah dimiliki, kini tidak

berfungsi lagi semenjak Dinas Infokom melebur menjadi bagian dari Dinas

Perhubungan. Padahal institusi terkait lainnya, keberadaan media center sangat

strategis bagi pers dan juga masyarakat yang membutuhkan sumber informasi

terpercaya, termasuk informasi tentang kejadian bencana alam. Perlunya kesamaan

visi antara pemkot dan provinsi dalam hal diseminasi informasi pengurangan resiko

bencana alam dianggap penting. Penyebaran informasi bencana alam jangan hanya

dilimpahkan pada satu lembaga saja. Melainkan perlunya kerjasama dengan

berbagai pihak, karena informasi tentang bencana alam sudah sampai pada tingkat

pemerintahan paling bawah. Tapi apakah informasi tersebut dipahami oleh

masyarakat, hal itu yang perlu mendapat perhatian pemerintah. Maka perlu lembaga

khusus yang menangani masalah informasi publik untuk menghindari kerancuan

informasi yang dapat menimbulkan bias pemahaman masyarakat. Lembaga resmi

yang memiliki kewenangan di bidang informasi publik mendesak diperlukan.

Masyarakat membutuhkan informasi segera dan strategis, tentunya dari sumber

pemerintah yang terpercaya. Setiap kali terjadi bencana alam, setiap kali pula

terlihat ketidak berdayaan masyarakat dalam mengantisipasi dan mengatasi

terjadinya bencana. Hanya kepanikan dan kepasrahan masyarakat yang seringkali

muncul disetiap kejadian bencana alam. Akibatnya bencana alam yang terjadi

diberbagai daerah selalu menelan korban manusia meninggal.

Page 96: Studi diseminasi bencana 2009

87

Lemahnya antisipasi masyarakat terhadap bencana yang akan terjadi serta

terlambatnya reaksi pemerintah dalam menyikapi bencana, merupakan penyebab

utama banyaknya korban yang jatuh. Antisipasi masyarakat yang terlambat itu

disebabkan minimnya informasi, dan pengetahuan kebencanaan yang diperoleh dari

pemerintah dan pihak berkompeten lainnya. Tindakan apa yang harus dilakukan

ketika bencana akan terjadi dan bagaimana seharusnya ketika bencana terjadi. Dua

hal tersebut masih minim diketahui oleh masyarakat. Artinya diseminasi informasi

pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana sangat penting dan

strategis. Trauma dan kepanikan merupakan sesuatu yang normal dan manusiawi

ketika bencana terjadi.

Tapi bukan berarti respons semacam itu lantas dibiarkan terus terjadi, karena

justru berpotensi membahayakan masyarakat dan menimbulkan kerugian lebih

besar. Bencana alam yang potensial selalu terjadi diberbagai wilayah di Indonesia,

dan selalu pula merenggut banyak korban. Hal itu karena kurang optimalnya

diseminasi informasi tentang penanggulangan resiko bencana. Sudah seharusnya

pemerintah menata ulang kebijakan yang terkait dengan informasi public.

Khususnya di bidang bencana alam, karena masyarakat butuh informasi terkini,

akurat dan real time, sebagai bentuk peringatan dini bagi publik untuk menghadapi

bencana alam macam apapun.

*Topografi Lokasi Penelitian di Jakarta23 : Penelitian dilakukan di

Kelurahan Bukit Duri, Kecamatan Bukit Duri di Wilayah Jakarta Selatan. Kelurahan

Bukit Duri dipilih sebagai lokasi penelitian karena daerah tersebut dianggap masuk

katagori rawan bencana. Pada setiap tahun secara rutin di kawasan bantaran sungai

Ciliwung tersebut mengalami banjir. Penyebab banjir ada berbagai faktor,

diantaranya terjadinya pendangkalan sungai Ciliwung di bagian hilir, tejadinya

penyempitan badan sungai karena digunakan untuk pemukiman penduduk,

23 Tulisan ini bagian dari Penelitian yang di lakukan oleh S.Arifianto & Mohan Rifqo

Virhani, di Kelurahan Bukit Duri Kecamatan Bukit Duri Jakarta Selatan,dengan

thema,”diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana,

tgal.21-27 Agustus 2009.Kawasan tersebut setiap tahun terendam banjir sungai

Ciliwung, tetapi masyarakat sekitar tidak menganggap sebagai bencana yang

berbahaya.

Page 97: Studi diseminasi bencana 2009

88

terjadinya banjir bandang dari hulu karena terjadi penggundulan hutan. Banjir di kota

Jakarta dan sekitarnya menjadi persoalan yang sangat kompleks, bukan saja karena

luapan air sungai Ciliwung, tetapi menyangkut masalah sosial, budaya dan

lingkungan warga Jakarta sendiri. Penanggulangan banjir Jakarta tidak sekedar bisa

diselesaikan dengan melakukan pengerukan atas badan sungai Ciliwung yang

mengalami pendangkalan dan penyempitan di bagian hilir. Persoalan sosial yang

menyangkut kependudukan dan lingkungan hidup jauh lebih penting. Persoalan

sosial dan lingkungan di kota metropolis seperti Jakarta seakan menjadi bom waktu.

Pembangunan kota yang kurang mengindahkan tata ruang dan analisis dampak

lingkungan menjadi persoalan yang sangat fenomenal.Belum lagi sikap masyarakat

kota yang cenderung individual, tidak berorientasi pada kehidupan lingkungan, cepat

atau lambat akan menjadi persoalan besar bagi penanggulangan banjir di

Jakarta.Lemahnya manajemen kepandudukan dan penataan ruang menjadikan

“para pendatang“ bermukim di bantaran sungai yang seharusnya di kosongkan.

Dengan alasan mencari pekerjaan dan di kota akhirnya mereka menjadi penduduk

liar di kawasan bantaran sungai Ciliwung, termasuk sebagian di Kelurahan Bukit

Duri. Mereka tinggal di daerah tersebut sudah bertahun tahun. Sedangkan relokasi

penduduk di bantaran sungai Ciliwung ini tidak mudah. Akhirnya mau tidak mau

mereka harus menerima kenyataan setiap tahun berhadapan dengan banjir.

Meski mereka tidak menganggap banjir sebagai bencana, pemerintah

mengkatagorikan wilayah tersebut sebagai daerah rawan bencana, sehingga

mereka perlu informasi tentang kebencanaan. Di kawasan tersebut banjir tidak

identik dengan kesusahan. Banjir yang datang secara rutin setiap tahun itu telah

menimbulkan sikap adaptif bagi warga. Sambil menunggu janji janji yang tidak

kunjung tiba dari pemerintah daerah, mereka memilih berdamai dengan kondisi

yang ada sekarang ini. Di Kelurahan Bukit Duri Jakarta Selatan ini yang dilalui

sungai Ciliwung peristiwa banjir bukan hal yang istiwewa. Mereka telah

mempersiapkan jauh sebelumnya sebelum banjir datang. Kebiasaan ini sudah

mereka terapkan bertahun tahun di daerah tersebut24. Dalam penanganan dan

24

Setiap tahun pada musim hujan dan puncaknya pada Bulan Pebruari, masyarakat di Kelurahan

Bukit Duri siap mengamankan harta bendanya. Warga tidak siap ketika ada banjir tetapi juga telah

mempersiapkan rumahnya menjadi bertingkat hingga 4 lantai.Pada lantai dasar banyak ruang yang di

kosongkan, misalnya alat alat elektonik ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi sekitar satu

meterdari lantai. Lantai dua keatas dipergunakan untuk tempat tidur, gudang dan penyimpanan

barang barang.Baca Expedisi Ciliwung Laporan Jurnalistik Kompas di halaman 14.

Page 98: Studi diseminasi bencana 2009

89

pengurangan resiko bencana khususnya bidang Informasi, BMKG Pusat melalui

beberapa media (SMS, Fax, E-mail, Radio, Maupun Media Cetak) Disamping itu

BMKG Juga bekerjasama dengan Institusi Interface seperti Polisi, Pemerintah

Daerah. Misalnya, Masalah Tropikal siklon, Klimatologi sudah mempunyai

warningnya dan sudah mempunyai kajiannya melalui media-media tersebut. Dari

pengalaman terjadinya Gempa Bahwa BMKG telah membuat suatu Kebijakan

Evakuasi untuk mengurangi resiko bencana Gempa Bumi dan Tusnami. Namun bagi

masyarakat di pinggir pesisir yang mempunyai kendala dengan bahasa (pada

umumnya belum bisa berbahasa Indonesia) untuk mengatasi hal tersebut kami

bekerjasama dengan pemerintah daerah dan GTZ (LSM dari Jerman) membuat

KOMIK dalam bahasa Jawa ini merupakan salah satu media informasi yang

digunakan oleh BMKG. Mereka juga melakukan kerjasama dengan Radio-radio

untuk menjangkau daerah-daerah pesisir dan kami juga membangun dengan

komunitas-komunitas nelayan dan bekerjasama dengan LSM (Lembaga Swadaya

Masyarakat) yang peduli dengan Iklim. Kemudian BMKG juga sudah memasang

Early Warning System sudah terpasang. Dalam hal ini BMKG dituntut berperan aktif

dalam rangka mengurangi resiko bencana (Sumber : BMKG,FGD,26/7/2009).

.

Bagi masyarakat yang berpengetahuan lebih mudah untuk diajak kerjasama

dalam menanggulangi resiko bencana. Misalnya di Kelurahan Bukit Duri sudah

dilakukan simulasi. Di wilayah tersebut peran masyarakat cukup aktif karena

didukung dengan pengetahuan yang ada, bahkan early warning system sudah

berjalan. Jika BMKG mengirimkan Informasi ada “hujan lebat dengan kecepatan

angin sekian” ke dinas PU, biasanya PU langsung ke crisis centre yang ada di Balai

Kota langsung berkomunikasi di posko di Katu Lampa,Bogor. Ketika luberan air

sungai mulai meluap, dan menggenangi pemukiman panduduk biasanya masyarakat

saling mencari informasi dan membunyikan Sirene. Mereka juga menggunakan

sistem peringatan dini dengan paralon yang diberi warna, sehingga mereka yang

tidak berpendidikan (orang awam) dapat mengetahuinya. Meski tempatnya di kota

metropolis seperti Jakarta alat komunikasi tradisional masih dianggap penting.

Misalnya membunyikan “kentongan” apabila ketinggian air mencapai warna biru.Ini

pertanda bahwa penduduk sekitar lokasi itu harus bersiap-siap (mengepak barang-

barang). Dalam kondisi tersebut biasanya posko pengungsian sudah disiapkan,

termasuk dapur umum dan perangkat kesehatan. Bagi masyarakat yang

Page 99: Studi diseminasi bencana 2009

90

pengetahuannya masih relatif rendah biasanya mereka lebih memilih bertahan di-

rumah masing masing. Tetapi bagi mereka berkecukupan sudah disiapkan rumah

susun,jika sewaktu-waktu datang banjir mereka tinggal pindah ke lantai dua atau tiga

yang lebih aman. Mengatasi mereka dengan melakukan relokasi juga tidak mudah.

Karena mereka di lokasi tersebut lebih mudah mendapatkan penghasilan.

Contohnya masyarakat yang tinggal dibelakang “Rumah Sakit Hermina”. Mereka

tetap bertahan di daerah tersebut dikarenakan adanya ketergantungan dengan

faktor ekonomi (mata pencaharian se-hari hari). Kendala lain yang bermasalah

adalah “faktor bantuan”, ketika terjadi banjir mereka mendapat bantuan dan

persoalan inilah yang ketergantungan mereka sehingga sulit di ungsikan meski

rumahnya terendam air. Masyarakat yang terkena bencana banjir selalu mendapat

bantuan makanan. Persoalan ini sudah membudaya di daerah tersebut. Terdapat

dua kategori bencana yaitu, bencana alam,dan bencana transportasi.

Untuk mengatasi bencana alam pihak Basarnas masih berkoordinasi dengan

BMKG, BNPB, Orari dan lainnya. Mereka memanfaatkan semua perangkat yang

ada. Dalam masalah banjir Basarnas hanya memantau, memonitor akan tetapi

menangani secara aktif masalah musibahnya. Lain halnya dengan bencana

transportasi Basarnas sangat aktif. Untuk mengurangi Resiko bencana di wilayah

udara, darat dan laut mereka telah memasang LRT (Local Research Terminal) yaitu

untuk memantau pergerakan kapal. Informasi yang disampaikan untuk pencegahan

penanganan resiko bencana ini sudah berjalan. Hanya saja kendalanya adalah

tempat-tempat yang tidak dapat dijangkau misalnya seperti kapal yang tenggelam

maka harus bekerja sama dengan TNI/Polri. Dalam penyampaian Informasi lebih

sering menyampaikan dengan trial. Misalnya melakukan pembinaan langsung ke

masyarakat, baik tingkat mahasiswa, instansi dan lain-lain. (Sumber:

Basarnas,FGD,27/8)

.

Masyarakat Indonesia itu dapat dikatakan sebagai Natural Survive di daerah-

daerah rawan bencana. Misalnya;di Yogjakarta kehidupan sehari-harinya

masyarakat setempat mengambil batu dan pasir dilokasi jalur lahar dingin Gunung

Merapi. Mereka dengan bencana sudah menyatu dalam kehidupan sehari hari.

Mereka tinggal bagaimana bisa mendapatkan informasi bencana secara cepat,

karena berpacu dengan waktu. Mereka memerlukan pusat informasi dan media yang

bisa memberikan informasi secara cepat. Maka media sebagai sumber informasi

Page 100: Studi diseminasi bencana 2009

91

mengetahui cara menyampaikan Informasi yang baik untuk mengurangi resiko

bencana pada saat terjadinya bencana dan pasca terjadinya bencana. Kalau di

BNPB sudah ada mengenai hal tersebut. Di Jepang Pusat Informasi Bencana setiap

hari dikunjungi masyarakat dan para pelajar, karena cara memberikan informasi

menganai bencana dibuat suatu Games (Permainan), misalnya ada ruangan yang

goyang (gempa) apa yang harus diperbuat. Kemudian setelah itu para pelajar

tersebut mendapat nilai. Ini merupakan suatu Informasi yang dikemas dengan suatu

games (permainan) oleh karena itulah perlu ada penanggulangi bencana sejak dini.

Maka perlu sistem penyebaran informasi bencana dengan baik. Kalau sistem

informasinya tidak baik, maka penyebaran informasi selalu tidak tepat

sasaran.Misalnya di Sumatera Barat begitu sirene berbunyi tetap saja masyarakat

tidak menanggapinya.

Masyarakat tetap saja asik berdagang (berjualan) padahal ini merupakan

salah satu bentuk pelatihan untuk menanggulangi resiko bencana alam. Kemudian

yang perlu diperhatikan dalam melakukan Informasi kepada masyarakat bentuknya

seperti apa. Karena ini merupakan Lintas Sektoral (semuanya bertanggung jawab).

Keterlibatan media massa dan penyebaran Informasi untuk penanggulangan

bencana sangat penting. Kalau misalnya informasi melalui Pamflet, Radio,televisi itu

bisa di akses masyarakat atau tidak, dan dalam bentuk konkretnya bagaimana?

Disseminasi Informasi kepada masyarakat sangat diperlukan, tetapi harus

mempunyai analisis terlebih dahulu. Misalnya daerah yang rawan bencana,

bdayanya seperti apa, karakteristik sosialnya seperti apa,dan lainnya. Bentuknya

bisa menggunakan media tradisional seperti Ludruk (di daerah jawa timur). Untuk

bencana alam kita dapat menggunakan Early Warning System sedangkan untuk

bencana non alam kita perlu meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada.

Misalnya seperti pelatihan-pelatihan. Di PMI ada beberapa program salah satunya

adalah program untuk kesadaran masyarakat. Ada juga program yang dibantu oleh

negara-negara donor seperti di Jakarta Utara mendapat bantuan dari Palang Merah

Francis yang juga merupakan program community awareness (Penyadaran

masyarakat). Mereka juga melakukan Simulasi Gelombang Pasang di muara baru

yang bertujuan untuk memilih jalur evakuasi apabila terjadi gelombang pasang.

Medianya adalah menggunakan Peta langsung kepada masyarakat. Mereka

membuat peta bersama dengan masyarakat karena mereka mengetahui resiko apa

yang terjadi disana. Kemudian medianya dapat pula menggunakan kentongan, atau

Page 101: Studi diseminasi bencana 2009

92

Toa. Di PMI ada juga program PMR yang menjelaskan mengenai Program Siaga

Bencana (PSB) mereka di didik untuk mengurangi resiko bencana di daerahnya

(sekolah). Kemudian media yang digunakan juga dapat menggunakan media seperti

poster, brosur-brosur tentang rawan bencana. Program lain berupa pelatihan

SIBBAD (Siaga Bencana Berbasis Masyarakat) program ini mengumpulkan

beberapa perwakilan dari kecamatan dan kelurahan, dapat juga dari karang taruna

untuk diadakan pelatihan. Kendala yang terjadi adalah masalah bahasa

penyampaian kepada mereka dan masalah ekonomi (sumber PMI,dalam FGD,

27/8/2009).Becana alam terdiri dari dua yakni bencana yang disebabkan oleh Alam

maupun bencana yang diakibatkan oleh manusia.

Maka apabila bencana tersebut diakibatkan oleh Manusia maka salah satu

pencegahannya dilakukan melalui pelatihan-pelatihan. Pemda harus membuat suatu

kebijakan-kebijakan, misalnya apabila suatu masyarakat tidak mau untuk

dipindahkan maka pemerintah harus membuat suatu kebijakan. Tugas RRI

bagaimana menyiarkan bencana pasca terjadinya bencana agar dapat mengurangi

kerisauan masyarakat dan tidak menimbulkan kecemasan terhadap masyarakat.

Untuk menanggulangi bencana selalu bekerjasama dengan instansi terkait. Yang

dilakukan BNPB dalam menanggulangi bencana ini semua kegiatan selalu

menggunakan analisis pengurangan resiko bencana. Jika kegiatan yang dilakukan

tidak dengan analisis pengurangan resiko bencana maka akan dikenakan suatu

sanksi. Untuk kegiatan yang memberikan Informasi, BNPB mensosialisasikan

kegiatan yang terkait dengan pengurangan resiko bencana, satu diantaranya bekerja

sama dengan pihak akademis (universitas), masyarakat, lembaga swadaya

masyarakat (LSM). Kemudian BNPB juga membuat pedoman analisis

penanggulangan bencana untuk mengurangi resiko bencana. BNPB juga membuat

Gladi Resik untuk mengurangi resiko terjadinya bencana. BNPB juga mempunyai

kegiatan yang mengarah kepada Early Warning System (EWS), dan juga

mempunyai program-program untuk itu. Yang menjadi kendala yaitu teknologinya

belum terlaksana dengan baik dikarenakan kurangnya biaya. Kendala lain yang

dianggap paling krusial yaitu “pembuatan peta pengurangan resiko bencana alam”

sangat sulit khususnya diluar pulau jawa. Kesulitan itu lebih dilandasi pertimbangan

untung rugi bagi pelakunya. Jika mereka melihat menguntungkan,maka ada

semangat untuk melaksanakannya, begitu sebaliknya (sumber,RRI,dalam

FGD,27/8/2009). Bagi jajaran radio swasta yang tergabung dalam asosiasi

Page 102: Studi diseminasi bencana 2009

93

(PRSSNI) adalah memfasilitasi Informasi melalui siaran radio. Pasca terjadinya

tsunami melalui siaran radio Suara Aceh, mereka memberikan Informasi yang

benar-benar dibutuhkan masyarakat. Mereka juga menggagas alat yang sangat

murah dengan mengakses menggunakan satelit kepada pemerintah. Alat ini dapat

menyatukan seluruh potensi yang ada baik dengan BMKG, BNPB dan institusi lain

yang terkait. Alat ini dapat memberikan Informasi kepada semua pihak.

Disamping itu alat tersebut juga dapat dipergunakan diseluruh radio, sehingga

jika terjadi bencana alat ini dapat segera difungsikan. Yang menjadi permasalahan

dalam penggunaan alat tersebut, menurut mereka adalah “siapa yang menentukan

(yang mempunyai otoritas) suatu bencana harus diumumkan kepada masyarakat”.

Informasi apapun baik yang terkait dengan bencana, radio sangat diperlukan. Maka

peran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, sangat penting. Karena melalui

APBD-nya, alat ini dapat dipasang di Rumah Sakit, Kepolisian, Terminal atau

dimana saja yang dapat menghubungkan dengan orang banyak. Meski alat canggih

sudah ditemukan tidak lantas persoalannya dapat teratasi. Faktor lain yang

bertautan dengan permasalahan bencana alam tersebut masih banyak ragamnya

(sumber: PRSNI,dalam FGD,27/8/2009). Penyelamatan akibat bencana tetap harus

menjadi preoritas utama bagi Pemerintah Khusus Daerah Ibu Kota Jakarta.

Pengurangan resiko bencana banjir harus diletakkan pada proporsi sosial, tanpa

mempertimbangkan status rumah, dan tanah yang mereka tempati. Pengurangan

resiko bencana adalah ranah kemanusiaan yang perlu dikedepankan.

Bagi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai, meski sering mendapatkan

tekanan dari berbagai pihak untuk segera memenuhi himbauan relokasi, tetapi

pertimbangan sosial dan kemanusiaan juga lebih penting, dari sekedar

pertimbangan hukum dan ekonomi.

Page 103: Studi diseminasi bencana 2009

94

3.

BAB III HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN

3.1 Karakteristik Responden

Data penelitian secara kuantitatif menunjukkan bahwa dari 700 kuesioner

yang diwawancarakan kepada masyarakat di daerah rawan bencana hanya

terdapat 649 kuesioner yang dianggap memenuhi syarat untuk dianalisis. Sisanya

sebanyak 51 kuesioner dianggap rusak (eror). Dari sejumlah responden

komposisinya terlihat bahwa yang berjenis kelamin pria sebanyak 417 responden

(64,03 %). Selebihnya wanita sebanyak 231 responden (35,06 %). Namun demikian

jika dilihat dari sisi usia masing masing responden terlihat bervariatif. Responden

yang berusia antara (17-25 tahun) 73 orang (11,02 %), berusia (26-34 tahun)

berjumlah 142 orang (21,09 %), dan yang paling dominan mereka yang berusia

antara (35-42 tahun) sebanyak 205 responden (31,06 %). Yang berusia (43-50

tahun) sebanyak 156 responden (24 %) sedangkan responden yang berusia 51

tahun keatas berjumlah 71 orang (10,09 %). Keragaman etnis juga terlihat dalam

data tersebut, namun suku Jawa yang terlihat paling mendominasi yakni sebanyak

136 responden (21%) dari jumlah seluruhnya.

Mereka yang bersuku bangsa Sunda 82 responden (12,06 %), Minang

sebanyak 48 orang responden (7,04 %), Batak 16 responden (2,05 %), Aceh 54

responden (8,03 %), Bugis sebanyak 20 responden (3,01 %) dan yang tidak

menyebutkan etnisnya sebanyak 262 responden (40,04 %). Data yang tidak bisa

teranalisis karena eror dalam kelompok ini sebanyak 4,08 %. Di lihat dari sisi

keragaman agama terlihat bahwa responden yang beragama Islam sebanyak 534

orang (82,03 %).Dari kelompok agama Kristen sebanyak 29 responden (4,05 %),

agama Katholik sebanyak 14 responden (2,02 %) dari agama Hindu sebanyak 62

orang responden (9,06 %), sedangkan yang tidak bisa di analisis sebanyak 1,05 %

karena eror. Konsfigurasi lain juga tampak bervariasi jika dilihat dari sisi pendidikan

formal dan latar belakang pekerjaan.

Dari sisi pendidikan formal mereka yang berpendidikan SD sederajad

sebanyak 62 orang (9,06 %). SLTP sebanyak 107 orang responden (16,05 %) dan

Page 104: Studi diseminasi bencana 2009

95

yang paling dominan mereka yang berpendidikan setingkat SLTA sebanyak 292

orang responden (45 %). Deploma/Sarmud sejumlah 59 orang (9,01 %), Sarjana

sebanyak 105 orang responden (16,02 %) dan Pasca Sarjana sebanyak 3 orang (5

%), Di lihat dari latar belakang pekerjaan juga tampak bahwa dari kalangan

buruh/petani sebanyak 86 orang responden (13,03%). Swasta tampak paling

dominan yakni sebanyak 291 orang (44,08 %).Dari kalangan PNS,TNI/Polri 90

orang (13,09 %), kalangan profesi 2 orang dan lainnya yang tidak mau

menyebutkan sebanyak 161 responden (24,08 %), Dari data karakteristik

responden penelitian ini setidaknya dapat dibaca bahwa meski sampel penelitian

dipilih secara porposive, tingkat keragaman responden penelitian ini masih tampak.

3.2 Pesan Komunikasi Yang Menimbulkan Kebutuhkan

Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian konsep penelitian ini, bahwa

diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana ini di

butuhkan, jika responden dilokasi penelitian memiliki pengetahuan yang cukup

tentang pengurangan resiko bencana, meresponnya dengan baik dan

menganggapnya penting (Shramm,1973). Dari tabulasi pengumpulan data

penelitian yang diolah, menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang

diwawancarai dilokasi penelitian mengaku bahwa secara umum mereka

mengetahui tentang program “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana” di

daerahnya. Faktanya sebanyak 509 responden (78%) menyatakan tahu jika di

lingkungannya pernah ada diseminasi pengurangan resiko bencana alam. Ketika

mereka mengetahui keberadaan “diseminasi informasi pengurangan resiko

bencana” di daerahnya kemudian meresponnya dengan positif.

Data penelitian ini menunjukkan bahwa dari sejumlah 649 responden yang

diwawancarai dilokasi penelitian mereka yang menyatakan merespon/

menerimanya dengan baik “informasi tentang pengurangan resiko bencana tersebut

sebanyak 590 responden (91%). Dari rangkaian wawancara tersebut pada

akhirnya hampir mayoritas responden yang bertempat tinggal di-daerah rawan

bencana menganggap bahwa “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di

daerahnya dianggap sangat penting”. Responden di-daerah rawan bencana yang

mengaku bahwa diseminasi informasi pengurangan resiko bencana itu sangat

penting di wilayah mereka sebanyak 578 orang (89%). Dari ketiga proses secara

Page 105: Studi diseminasi bencana 2009

96

berurutan “pengakuan berdasarkan jawaban responden” sebagaimana

dikemukakan dalam konsep penelitian tersebut membuktikan bahwa “diseminasi

informasi pengurangan resiko bencana” masih dibutuhkan keberadaannya oleh

warga masyarakat yang di daerah rawan bencana.

3.3 Daya Tarik Pesan Komunikasi

Pada variabel ini terlihat apakah pesan komunikasi melalui “diseminasi

informasi pengurangan resiko bencana ” yang pernah disampaikan mempunyai

daya tarik atau tidak bagi masyarakat. Pesan komunikasi akan mempunyai daya

tarik, jika pesan itu dapat dipahami dengan baik, kemudian dijadikan pedoman dan

diterapkan (Shramm, 1973). Hasil olahan data penelitian menunjukkan bahwa

sebanyak 503 responden (77,50%) di daerah rawan bencana ketika diwawancarai

mengaku jika program “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana” di

daerahnya itu bisa dipahami dengan baik oleh komunitas warga masyarakatnya.

Bahkan mereka tidak sekedar memahami dengan baik, program “diseminasi

informasi pengurangan resiko bencana”, tetapi juga mereka jadikan sebagai

pedoman pengetahuan tentang pengurangan resiko bencana. Buktinya ketika

peneliti menanyakan lebih jauh kepada responden di-daerah rawan bencana,

“apakah setelah memahami pengetahuan tentang (diseminasi informasi

pengurangan resiko bencana) kemudian dijadikan pedoman” bagi warga

masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana? Dari pertanyaan tersebut

sebanyak 488 responden (75%), mengaku jika pengetahuan tentang diseminasi

informasi pengurangan resiko bencana yang mereka dapatkan dari berbagai

sumber itu ”dijadikan pedoman bagi warga masyarakat ” untuk mengurangi resiko

bencana jika sewaktu-waktu terjadi bencana alam di daerahnya. Namun demikian

dari hasil penelitian ini tidak menunjukkan adanya konsistensi dari warga

masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana, mau menerapkan pengetahuan

tentang diseminasi pengurangan resiko bencana yang mereka jadikan pedoman

itu. Dari hasil olahan data tabulasi yang terkumpul menunjukkan hanya, 267

responden (41%) yang mengaku menerapkan pengetahuan “pengurangan resiko

bencana” pada saat terjadi bencana alam. Jika kita lihat secara teoritis dalam

konteks penelitian ini terjadi paradok. Mereka memahami dan menjadikan pedoman

”diseminasi informasi pengurangan resiko bencana” tetapi dalam praktik

Page 106: Studi diseminasi bencana 2009

97

penerapannya relatif kecil. Dari data penelitian ini terjadi inkonsistensi dari

masyarakat di daerah rawan bencana untuk menerapkan pengetahuan tentang

pengurangan resiko bencana alam, meski mereka sering mendapatkan diseminasi,

sosialisasi, simulasi, penyuluhan tentang program pengura ngan resiko bencana di

daerahnya. Hal ini menjadi fenomena baru, dan perhatian khusus bagi peneliti

untuk dilakukan kajian lebih khusus lagi tentang hal tersebut. Karakter masyarakat

di daerah rawan bencana ini tidak lazim, dari realitas yang ada bahwa disatu sisi

mereka perlu pengetahuan, tetapi disisi lain tidak mau peduli terhadap

kemungkinan resiko bencana yang sewaktu waktu bisa mengancamnya.

3.4 Simbol-Simbol Komunikasi Yang Dipahami

Pemahaman masyarakat di daerah rawan bencana terhadap simbol-simbol

komunikasi juga tidak kalah pentingnya dengan variabel lain. Salah satu diantara

ukuran efektivitas diseminasi informasi jika khalayak memahami simbol-simbol

(formal dan non formal) komunikasi (Shramm,1973). Simbol komunikasi yang

bersifat formal misalnya bahasa, isyarat, kode, sandi dan sejenisnya. Simbol non

formal adalah yang muncul dari gejala alam. Dalam konteks penelitian ini warga

masyarakat yang tinggal dilokasi rawan bencana mengaku dengan mudah

memahami simbol simbol komunikasi tersebut. Misalnya ketika peneliti mengajukan

pertanyaan kepada responden: “apakah bahasa, simbol atau istilah lain yang

digunakan dalam “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana” mudah

dipahami? Dari pertanyaan tersebut 394 responden (60%) mengaku bahwa

bahasa, simbol-simbol dan istilah lain yang digunakan dalam diseminasi

pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana dengan mudah dipahami

oleh mereka. Namun demikian bagi warga masyarakat yang tingkat penddidikannya

rendah, dan pengatahuannya terbatas di kawasan tertentu masih mengandalkan

“tanda tanda alam” untuk membaca akan terjadinya bencana alam. Dari sejumlah

responden di daerah rawan bencana yang di-wawancarai peneliti mengaku,

sebanyak 370 responden (57%) membaca dari tanda tanda alam jika akan terjadi

bencana. Gejala alam yang bermakna sebagai simbol itu misalnya, Untuk gempa

dan tsunami : air laut surut, memusar dan diikuti suara gemuruh. Untuk gempa

volkanik gunung berapi, binatang dan unggas lari turun kebawah, suara gemuruh,

dan mengeluarkan asap tebal bercampur debu. Untuk banjir bandang, ditandai

Page 107: Studi diseminasi bencana 2009

98

awan tebal, air sungai berbau lumpur, banyak ranting dan dahan kayu yang hanyut.

Budaya lokal untuk mengetahui gejala bencana alam dan tindakan apa yang harus

mereka lakukan ketika terjadi bencana sebenarnya sebagian besar sudah mereka

terapkan. Misalnya ketika oleh peneliti diajukan pertanyaan, “jika terjadi bencana

alam yang mengancam keselamatan warga masyarakat, tidakan apa yang pertama

kali dilakukan? Dari 3 (tiga) jawaban yang disediakan ternyata jawaban pertama

yang paling dominan adalah “mengungsi ketempat yang lebih aman bersama

keluarga”. Jawaban tersebut menadapat dukungan sebanyak 472 responden

(72%). Dari jawaban tersebut dapat digambarkan bahwa masyarakat di daerah

rawan bencana telah melakukan tindakan preventif untuk pencegahan korban

bencana alam dengan budayanya sendiri. Masing masing daerah berbeda beda

untuk mengatasi bencana alam tersebut. Perbedaan itu disebabkan adanya

perbedaan nilai sosial dan budaya setempat. Tetapi juga perbedaan jenis bencana

yang mereka hadapi di masing masing daerahnya.

3.5 Cara Memperoleh Pesan Komunikasi

Antara bencana alam dengan informasi tidak bisa terpisahkan, sedangkan

untuk mendapatkan sumber dan penyaluran informasi mereka membutuhkan

media. Ketika terjadi bencana media yang paling cepat memberikan informasi yang

akan digunakan masyarakat. Dari pilihan media ketika penelitian ini dilakukan

terlihat bahwa televisi masih dominan sebagai media yang dianggap paling cepat

dalam pencarian dan penyampaian informasi kebencanaan, dengan mendapatkan

dukungan sebanyak 214 responden (32%). Pada urutan kedua adalah media

interpersonal (tatap muka) yang mendapatkan dukungan sebanyak 162 responden

(24%), kemudian media tradisional, 115 responden (17%), radio 91 responden

(14%),media cetak, 47 responden (7%) dan internet 18 responden (2,77%). Bagi

responden yang menggunakan media internet sebagai sumber informasi

kebencanaan mempunyai alasan tersendiri. Dari 18 responden pengguna internet

alasan mereka menggunakan internet, 9 responden mengaku karena internet

jangkauannya luas, dan 4 orang responden lainnya masing masing beralasan

karena mempunyai khalayak lebih luas, dan dapat dipercaya obyektivitasnya.

Namun sejumlah responden yang memilih media cetak sebagai sumber dan saluran

informasi 21 responden menyatakan karena media cetak jangkauan luas,16

Page 108: Studi diseminasi bencana 2009

99

responden beralasan karena lebih dekat dengan masyarakat, 7 orang responden

beralasan karena media cetak dapat dipercaya. Selanjutnya bagi warga masyarakat

di daerah rawan bencana yang memilih media tradisional, karena lebih dekat

dengan masyarakat. Alasan memilih media tradisional tersebut didukung oleh 100

orang responden yang tersebar dimasing-masing lokasi penelitian. Alasan

responden mengapa mereka memilih radio sebagai sumber informasi bencana

bervariatif. Dari data penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa responden

yang memilih radio dengan alasan, lebih dekat dengan masyarakat dan karena

radio mempunyai jangkauan yang luas masing masing sebanyak 35 responden.

Sedangkan yang beralasan bahwa radio memiliki khalayak yang lebih luas

sebanyak 12 orang responden. Responden di lokasi penelitian tampak juga masih

menggunakan media interpersonal sebagai sumber informasi kebencanaan,

dengan alasan lebih dekat dengan masyarakat.

Alasan tersebut mendapat dukungan sebanyak 103 responden di berbagai

lokasi penelitian yang berbeda. Sedangkan sebanyak 33 orang responden dengan

alasan dapat dipercaya obyektifitasnya, dan 25 responden lainnya karena adanya

keterikatan emosional. Dari data penelitian menunjukkan jika media televisi

merupakan salah satu diantara media yang paling dominan digunakan sebagai

sumber dan penyaluran informasi kebencanaan. Tetapi ketika ditanyakan kepada

responden “mengapa mereka memilih televisi” jawabannya bervariasi sebanyak 81

responden menggunakan televisi karena jankauannya lebih luas. Sisanya 45

responden mengaku menggunakan televisi dengan alasan, karena mempunyai

khalayah yang lebih luas., 44 responden menyebut karena lebih dekat dengan

masyarakat dan 40 responden lagi menyatakan karena televisi dipercaya

obyektivitasnya.

3.6 Interpretasi Hasil Penelitian

Keberagaman karakteristik responden penelitian dikaitkan dengan hasil data

lapangan yang diperoleh menarik untuk dianalisis. Dari heteroginitas responden itu

telah menghasilkan data penelitian yang beraragam pula. Artinya antara wilayah

penelitian yang satu dengan lainnya tidak memiliki kemiripan, meski kasusnya

sama. Perbedaan itu lebih disebabkan oleh pengaruh setting sosial dan kearifan

lokal yang berbeda beda dimasing masing lokasi penelitian. Pada sisi lain

Page 109: Studi diseminasi bencana 2009

100

perbedaan itu tidak mampu mempengaruhi keinginan komunitas masyarakat di

daerah rawan bencana untuk tetap dilakukan diseminasi pengurangan resiko

bencana. Karena mereka menganggap hal tersebut menjadi kebutuhan mereka

untuk menghindari resiko bencana yang lebih fatal. Persoalannya, akankah

diseminasi pengurangan resiko bencana itu dijadikan budaya hidup bagi mereka

yang tinggal di daerah rawan bencana? Pada dasarnya secara alamiah mereka

sudah menerapkan apa yang di istilahkan pengurangan resiko bencana. Mereka

melakukannya dengan pendekatan budaya yang mereka kembangkan secara lokal.

Meski dengan cara yang masih tergolong tradisional warga masyarakat yang jauh

dari akses informasi telah mengenal penanggulangan bencana alam di

lingkungannya.Tetapi ketika datang peralatan canggih, dan informasi global konsep

kearifan lokal mereka sebagian menjadi tertutup.

Jika kita kembalikan pada data penelitian, tergambar bahwa diseminasi

pengurangan resiko bencana masih menjadi kebutuhan mereka di berbagai daerah

rawan bencana. Program diseminasi pengurangan resiko bencana itu mereka

pahami, dan mereka dijadikan pedoman pengetahuan untuk mengurangi resiko

bencana ketika terjadi bencana. Representasi tersebut masuk katagoti baik, karena

mendapat dukungan dari responden dengan perolehan prosentase diatas rata rata.

Tetapi sayangnya pada tingkat implementasi menunjukkan hal yang bertolak

belakang. Pada hal sebenarnya mereka mempunyai kemampuan untuk memahami

simbol-simbol “diseminasi pengurangan resiko bencana”, dan membaca tanda

tanda alam dari perspektif budaya lokal yang mereka miliki. Belum lagi dilihat dari

kebiasaan mereka dalam penggunaan media (televisi, interpersonal dan media

tradisional). Meski secara teoritis menurut (Shramm,1973) unsur penyampaian

komunikasi yang dalam hal ini digunakan untuk melihat efektivitas diseminasi

informasi pengurangan resiko bencana” dari 4 (empat) variabel yang dipersyaratkan

sebagian telah terpenuhi, tetapi dilihat secara realitas di lapangan telah terjadi

inkonsistensi pada tataran implementasinya. Inkonsistensi ini lebih menyangkut

pada tingkat kesadaran moral masyarakat di daerah rawan bencana. Misalnya dari

data kualitatif hasil observasi dan wawancara mendalam dengan warga masyarakat

di bantaran sungai Ciliwung Kelurahan Bukit Duri Jakarta Selatan, dan Kelurahan

Komo Luar, Kota Manado yang dilakukan penulis kasusnya hampir sama.

Masyarakat di kedua tempat daerah rawan bencana itu memiliki problem sosial,

Page 110: Studi diseminasi bencana 2009

101

budaya dan ekonomi. Secara sosial mereka mempunyai keterikatan hubungan

kemasyarakatan, secara budaya ada keterikatan kekerabatan, dan secara ekonomi

menjadi tempat mata pencarian sehari-hari, setidaknya lebih dekat dengan akses

pekerjaan di kota.

Kondisi itu mengaki batkan terganggunya kesadaran mereka untuk

mengikuti anjuran program diseminasi pengurangan resiko bencana. Alasan

mereka jika masalah sosial, budaya dan ekonomi telah menjadi bagian pola

kehidupan mereka. Tetapi jika bancana alam, khususnya banjir datangnya bisa

diperkirakan. Bencana banjir sudah dapat dipastikan datangnya setiap musim

penghujan, dan tidak setiap hari. Itulah sebabnya ketika dilakukan diseminasi,

sosialisasi, simulasi tentang pengurangan resiko bencana sebagian kecil saja

masyarakat yang tinggal di lokasi bencana yang meresponnya. Contohnya,

masyarakat yang tinggal di daerah Bukit Duri,Jakarta Selatan, Kampung Melayu

melayu Jakarta Timur bersikap adaptif. Bagi mereka banjir bukan hal yang

istimewa, mereka sudah siap mengamankannya. Rumah warga banyak yang

bersusun tiga, dimana lantai dua keatas menjadi tempat aman ketika banjir datang

(Ekspedisi Kompas, 2009). Demikian juga penghunian liar di kawasan pantai Kota

Padang di Sumatera Barat. Tingkat kesadaran mereka terhadap pengurangan

resiko bencana akan tumbuh,jika informasi yang disampaikan mampu menyentuh

kebutuhan mereka. Maka solusinya harus terus menerus dilakukan diseminasi

untuk penyadaran bagi komunitas masyarakat yang tinggal di daerah rawan

bencana. Dalam konteks penelitian ini media mempunyai tanggung jawab besar

untuk melakukan edukasi kepada mereka (Pasal,17 ayat 10).PP

No:50/2005/tentang /LPS :

Lembaga penyiaran swasta wajib menyebarluaskan informasi peringatan dini yang berasal dari sumber resmi Pemerintah tentang kemungkinan terjadinya bencana yang dapat mengancam keselamatan jiwa dan mengakibatkan kerusakan harta benda milik warga (Pasal 17,ayat 10).

Tanggung jawab media dalam konteks ini bukan sekedar legal formal untuk

memenuhi aturan main tersebut, tetapi lebih pada sentuhan edukasi, dan rasa

kebersamaan untuk meminimalisasi ancaman korban bencana alam bangsa ini.

Dengan demikian media mempunyai peran yang sangat strategis untuk

mempercepat diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di darah rawan

Page 111: Studi diseminasi bencana 2009

102

bencana. Karena media sesuai dengan fungsinya memiliki kemudahan untuk

masuk ke jejaring sosial,budaya, dan ekonomi di komunitas masyarakat. Efektivitas

diseminasi informasi pengurangan resiko bencana salah satunya ditentukan oleh

seberapa mudah akses media. Karena hampir semua informasi pengurangan resiko

bencana penyebarannya melalui media. Komodifikasi media dalam konteks

penelitian ini menduduki posisi yang sangat penting, untuk melihat efektivitas

diseminasi informasi pengurangan resiko bencana.

3.7 Peran Media Massa

Seberapa pentingkah peran media dalam memberikan dukungan diseminasi

pengurangan resiko bencana? Hampir semua peristiwa bencana alam, apapun

jenisnya tidak terlepas dari kerja media. Artinya hampir semua bencana tidak bisa

dipisahkan dengan peran media, termasuk program diseminasi pengurngan resiko

bencana. Pada tataran ini pekerjaan media tidak terhenti pada pelaksanaan tugas

jurnalistik yang harus mereka lakukan terhadap informasi kebencanaan. Misalnya

laporan Jensen (2005:67) dalam “The international Federation of Journalists’Asia

Facific Office” disebutkan bahwa “beban jurnalis pada waktu terjadinya bencana

mencakup peliputan. Dengan tuntutan akurasi, profesionalisme, etika, dan

sekaligus upaya untuk memikirkan keamanan jiwa dalam situasi yang bisa

menghadirkan trauma. Keterlibatan media sebagai sumber informasi pengurangan

resiko bencana tidak terbatas pada bagaimana media menganalisis pengurangan

resiko bencana alam. Tetapi seberapa inten masyarakat di daerah rawan bencana

itu memberikan kepercayaan terhadap media sebagai sumber dan penyaluran

informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana. Kepercayaan

masyarakat terhadap media karena media mampu hadir dan memberikan informasi

yang akurat terhadap program pengurangan resiko bencana. Peran yang demikian

menempatkan posisi media menjadi sangat strategis dan penting dimata

masyarakat daerah rawan bencana alam. Biasanya dalam kondisi kepanikan, dan

kegelisahan di masyarakat, media hadir secara profesional dan mampu

menyejukkan suasana. Keberadaan media yang berlebihan bisa memunculkan

masalah tersendiri bagi masyarakat di daerah rawan bencana. Karena disatu sisi

media bisa menyeret pada ketidakpastian dalam mengantisipasi bencana alam

yang mungkin terjadi. Pada sisi lain informasi media sangat diharapkan

Page 112: Studi diseminasi bencana 2009

103

kekiniannya. Pada titik ini diseminasi informasi pengurangan resiko bencana

berusaha dibakukan, dan media diposisikan menjadi bagian dari program

diseminasi informasi pengurangan resiko bencana yang bersangkutan. Dengan

demikian keberadaan media kadang kala justru membingungkan masyarakat di

daerah rawan bencana. Jangankan mereka mendapatkan informasi “pengurangan

resiko bencana alam”, integrasi dalam sistem informasi “kebencanaan” yang

utuhpun tidak pernah didapatkan.

Secara realitas publik hanya mendapat penggalan informasi tentang

bencana yang bersangkutan. Dalam konteks ini seharusnya informasi

pengurangan resiko bencana yang telah,sedang dan akan terjadi tentunya tidak

akan bisa diperoleh dengan model informasi media yang seperti itu. Bias media

dalam penyajian informasi “pengurangan resiko bencana” akan menjadi bencana

baru bagi masyarakat di daerah rawan bemcana. Karena media diharapkan tidak

sekedar menjadi sumber pencarian dan penyaluran informasi pengurangan resiko

bencana. Tetapi juga sekaligus memberikan pemahaman dan pendidikan

kebencanaan terhadap masyarakat di derah rawan bencana. Artinya selain

informasi tentang pengurangan resiko bencana, media juga diharapkan

memberikan model informasi yang bersifat pemahaman, petuah dan sejenisnya.

Informasi semacam itu memungkinkan orang bisa mengambil sikap dalam

menghadapi resiko bencana alam. Misalnya Ernes.B (2003: 3) menyiapkan

checklist sebagai pedoman menghadapi bencana yang sedang terjadi. Hampir

semua informasi kebencanaan yang dikemas media pada dasarnya mengacu pada

masalah kesela matan,kesehatan dan keamanan bagi masyarakat di kawasan

rawan bencana.

Belakangan ini informasi yang disajikan media masih terpenggal-penggal

khusus untuk jenis informasi “bencana tertentu”. Sehingga tidak bisa digunakan

sebagai informasi jenis bencana yang lainnya. Penyajian informasi pengurangan

resiko bencana pada media seperti itu belum bisa dikatagorikan dalam proses

“komunikasi yang efektif”, meski semuanya telah memberikan konstribusi kepada

masyarakat. Informasi tentang bencana yang disajikan media biasanya

menyangkut masalah mitigasi, kesiapan, tanggapan, serta perbaikan sarana

insfrastruktur. Instruksi dalam mitigasi tidak lepas dari persoalan ”identifikasi dan

diseminasi informasi secara mudah, tentang kemampuan diri dalam menghadapi

Page 113: Studi diseminasi bencana 2009

104

bencana. Misalnya penyiapan dan fasilitasi untuk meringankan korban atas

bencana alam yang terjadi. Kegiatan tersebut biasanya dijadikan obyek media agar

diketahui publik. Kesiapan masyarakat di daerah rawan bencana terkait dengan

informasi keterlibatan mereka dalam diseminasi, simulasi evakuasi bencana,

sosialisasi dalam upaya pengayaan pengetahuan individual dan pengelolaan

manajemen kebencanaan.

Terdapat persoalan penting dalam diseminasi informasi pengurangan resiko

bencana di daerah rawan bencaana kaitannya dengan peran media massa dewasa

ini, (1) informasi “pengurangan resiko bencana” jika bencana yang bersangkutan

akan, sedang dan telah terjadi. (2) penanganan informasi bencana yang

seharusnya merupakan refleksi dari aplikasi manajerial terhadap “informasi” dalam

suatu perencanaan komunikasi bencana. Dalam diseminasi informasi pada

masyarakat di daerah rawan bencana cenderung dipengaruhi kondisi sosial

budaya dan tatanan nilai-nilai (local cultural) di komunitas masyarakat yang

bersangkutan. Pranata sosial dan budaya itu telah melakat dan tidak mungkin di-

intervensi oleh budaya luar yang bertolak belakang dengan budaya lokal (local

cultural). Program diseminasi harus melihat persoalan itu, dan mediapun harus

tanggap dalam hal tersebut. Media sebagai agen informasi musti tanggap tentang

persoalan tradisional seperti itu. Hal serupa telah dilakukan oleh “National

Emergency Management Association” agen itu hanya bertindak untuk mendukung

operasi logistik yang dirancang secara efektif (Roger.W, 2003:9). Diseminasi

informasi sebagai salah satu sistem informasi bencana bukan sekedar sebagai

sumber informasi, tetapi harus mampu menampung segala macam kebutuhan

informasi bagi masyarakat di daerah rawan bencana. Siapapun sebagai

diseminator bersama dengan media perlu memiliki strategi yang disesuaikan

dengan kondisi daerah setempat. Standart informasi yang disampaikan sebagai

diseminasi pengurangan resiko bencana mengacu pada idiom-idiom masyarakat

lokal. Simbol simbol yang digunakan untuk komunikasipun harus mudah dipahami

dan diterima secara langsung oleh setiap komunitas masyarakat. Media

mempunyai kuwajiban untuk memfasilitasi persoalan tersebut, karena hanya media

yang dianggap paling dekat dengan komunitas masyarakat. Potensi itu melekat

pada media dan menjadi dasar pijakan untuk memberikan pemahaman kepada

komunitas masyarakat lokal. Media dapat menjadi sarana penyebaran informasi

Page 114: Studi diseminasi bencana 2009

105

bencana, untuk mengurangi resiko bencana. Dengan mendapatkan informasi yang

jelas dan akurat masyarakat di daerah rawan bencana bisa menghindar dari

kemungkinan bencana yang lebih besar setelah memperoleh informasi dari media

yang dianggap berkualitas informasinya.

Tetapi media juga bisa bertindak sebagai agen pendukung program

diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di kawasan rawan bencana.

Penanganan informasi kebencanaan yang dilakukan media dalam kapasitas media

sebagai sumber informasi. Media berkuwajiban mengacu pada strategi nasional

dalam penanganan masalah informasi kebencanaan. Ketidak akuratan

penyampaian informasi tentang bencana berarti akan menimbulkan bencana sosial

baru bagi masyarakat itu sendiri. Keterlibatan media dalam menyikapi program

diseminasi informasi pengurangan resiko bencana merupakan proses komunikasi

bencana yang bisa dianggap sebagai titik awal keikut sertaan media sebagai

sumber informasi pengurangan resiko bencana. Dalam konteks ini media

digunakan sebagai alat diseminator dan sumber informasi pengurangan resiko

bencana di daerah rawan bencana. Dalam proses tersebut yang perlu diketahui

adalah seberapa luaskah cakupan sebaran informasi tentang “diseminasi

pengurangan resiko bencana” yang perlu diketahui khalayak ?.

Secara sederhana pengetahuan tentang “diseminasi informasi pengurangan

resiko bencana” itu tidak akan jauh dari pemberitaan tentang (gempa dan tsunami

Aceh 2004, Pulau Nias, 2005, Yogyakarta, 2006, Pangandaran 2007, gempa

Padang, 2009 dan berbagai jenis bencana banjir, tanah longsor di Indonesia dalam

beberapa dekade ini). Di Indonesia lazimnya dikatakan bencana jika peristiwa itu

banyak memakan korban. Tetapi ketika peristiwa itu hanya sedikit korban di-

istilahkan kejadian, peristiwa atau sekedar kecelakaan saja. Seberapa hebohnya

peristiwa tenggelamnya kapal Titanic yang pada awalnya disebut sebagai

bencana, tetapi dengan berjalannya waktu telah bergeser sebutannya menjadi

”peristiwa” yang pernah menjadi kontroversial dalam ranah pemberitaan media

Internasional ketika itu (Heyer,1995: 14). Misalnya media barat ketika itu tidak bisa

mengelak dari tuduhan hanya membingkai (framing) bencana jatuhnya pesawat

terbang sekitar tahun 1990-an yang diperkirakan hanya sepertiga dari jumlah

korban meninggal akibat kasus lalu lintas di darat (Cobb & Primo,2003: 2). Dalam

kaitannya dengan konteks penelitian ini, konstribusi media dalam sebaran

Page 115: Studi diseminasi bencana 2009

106

informasi tentang “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana” di Indonesia

memang cukup meluas. Di akui atau tidak media mempunyai konstribusi informasi

yang cukup besar terhadap berbagai bencana alam di Indonesia beberapa dekade

ini.

Namun demikian jika dikaji secara mendalam diantara informasi tentang

“diseminasi pengurangan resiko bencana alam”, “gempa bumi” yang tampak

dianggap paling berbahaya oleh media. Bahkan penekanan “informasi melalui

media” bahwa gempa bumi merupakan bencana alam yang paling berbahaya

merupakan keniscayaan. Indonesia adalah negara yang masuk katagori rawan

bencana alam, dan penduduknya cenderung dikaitkan dengan gempa bumi

tersebut. Sementara bencana banjir meski kerap terjadi, dan telah banyak

memakan korban penekanannya oleh media tidak sehebat gempa bumi. Bisa jadi

bencana banjir mudah diprediksi, dan sebagian besar merupakan akibat ulah

manusia dalam mengelola lingkungan. Kegagalan serta keacuhan media terhadap

mengantisipasi bencana alam, apapun jenis dan penyebabnya berpotensi

menghadirkan bencana baru yang lain. Paling tidak media justru dapat menambah

beban penderitaan dan memperbesar kerugian akibat bencana alam itu. Dalam hal

ini Cohl (1997:22) mengingatkan “tentang pesimisme, paranoid dan sikap media

yang salah justru akan menyeret masyarakat masuk kedalam suatu bencana”. Hal

tersebut sedikit berbeda dengan apa yang disampaikan Ross (2003: 49) tentang

peran media terhadap upaya penyembuhan korban terororisme dan kekerasan.

Media mempunyai otoritas untuk menentukan sikapnya dalam mengelola informasi

menghadapi bencana alam. Bahwa media dapat menempatkan diri secara benar

jika sampai terjadi kontroversi dan pertentangan dalam menyikapi suatu bencana

(Neuzil & Kovarik, 2005:9). Pada masalah ini media dapat menggunakan

kebijakan personal (redaksi) untuk menyikapi progres “diseminasi informasi

pengurangan resiko bencana” yang terjadi, baik bencana yang bisa diprediksi

maupun yang tidak bisa diprediksi. Keterlibatan media dalam diseminasi

pengurangan resiko bencana akan tercermin dari laporan perkembangan

meningkatnya kesadaran mengantisipasi resiko bencana yang terjadi pada

masyarakat di daerah rawan bencana. Diseminasi informasi pengurangan resiko

bencana akan berjalan efektif jika media berperan aktif didalamnya. Masyarakat di

daerah rawan bencana memerlukan media bukan sekedar untuk mendapatkan

Page 116: Studi diseminasi bencana 2009

107

hiburan sebagaimana ditemukan dalam berbagai penelitian. Tetapi dalam

penelitian ini aktivitas peran media diperlukan untuk menstransformasi informasi

pengurangan resiko bencana kepada komunitas masyarakat di daerah rawan

bencana.

3.8 Rendahnya Tingkat Kesadaran Masyarakat

Jika dalam temuan penelitian ini salah satu diantaranya adalah rendahnya

tingkat kesadaran masyarakat terhadap implementasi “diseminasi pengurangan

resiko bencana di daerah rawan bencana” maka yang perlu disikapi adalah (1)

Masih belum adanya standart diseminasi pengurangan resiko bencana yang baku

sebagai pedoman untuk melakukan diseminasi pengurangan resiko bencana

secara nasional. (2) Meski di derah rawan bencana telah dilakukan “diseminasi

pengurangan resiko bencana”, materinya versi daerah yang bersangkutan. Kalau

mungkin ada panduan tersebut tidak sampai ke daerah rawan bencana, kecuali

simulasi untuk bencana tsunami yang dilakukan secara masal dan melibatkan

masyarakat setempat. (3) Masyarakat di daerah rawan bencana memerlukan

panduan secara pragmatis yang bisa mereka pahami secara mudah, hal itu tidak

ditemukan di 10 lokasi penelitian ini. (4) Aturan perundangan tentang kebencanaan

baru dipahami tararan elite, masih belum memasyarakat di lokasi penelitian.

Meskipun dari data kuantitatif hasil penelitian ini mempunyai keterbatasan untuk

menjelaskan tingkat efektivitas “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana

di daerah rawan bencana” tetapi peneliti terbantu oleh data kualitatif, hasil

observasi, Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam dengan

informan kunci di lokasi penelitian. Misalnya kasus di Kelurahan Komo Luar

Kecamatan Wenang Kota Manado terlihat bahwa rendahnya perhatian masyarakat

setempat terhadap program ”diseminasi pengurangan resiko bencana” bukan

karena tidak aktifnya petugas dan media. Tetapi lebih pada himpitan faktor-faktor

sosial ekonomi dan budaya. Pada umumnya pemukiman (ilegal) dibantaran sungai

adalah masyarakat kurang mampu (miskin). Mereka bukan hanya miskin dalam arti

ekonomi, tetapi juga pengetahuan, pengalaman sosial dan budaya. Sebenarnya

mereka tahu jika banjir bandang itu bakal berbahaya. Bahkan bisa mengancam

jiwa keluarga dan masyarakat di lingkungannya. Tetapi menurut pengakuan

mereka akan lebih berbahaya jika ia tidak bisa memberikan makan keluarganya

Page 117: Studi diseminasi bencana 2009

108

sehari hari. Kalau itu yang terjadi tidak kalah bahanya dengan bencana banjir.

Secara sosial bencana banjir di lokasi mereka sama halnya dengan datangnya

penghasilan. Ketika terjadi banjir di daerah mereka akan ada bantuan dari

pemerintah maupun lembaga donor lainnya.

Bantuan itu bisa berupa uang, sembako, pakaian, dan sejenisnya. Dengan

demikian mereka enggan direlokasi ketempat lain yang belum jelas kondisinya.

Relokasi yang dibangun untuk mereka umumnya lokasinya jauh dari pemukiman

penduduk. Daerah baru itu jauh dari akses ekonomi, sosial dan budaya yang

mereka perlukan. Persoalannya mereka sudah terlebih dahulu bermukim

dibantaran sungai itu sebelum kebijakan diseminasi pengurangan resiko bencana

ini di undangkan. Kasus di kota Manado ini kondisinya hampir sama dengan di

lokasi penelitian lainnya seperti: Kelurahan Bugis, Kecamatan Kota Timur,

Gorontalo, Kelurahan Banjar Kecamatan Ampenen NTB, Kelurahan Sanur

Kecamatan Denpasar Selatan, Kelurahan Bale Endah, Kecamatan Bale Endah

Kota Bandung Selatan, dan Kelurahan Bukit Duri, Kecamatan Bukit Duri Jakarta

Selatan. Dengan demikian ukuran efektivitas diseminasi informasi pengurangan

resiko bencana di daerah rawan bencana dalam penelitian ini, tidak hanya

didasarkan pada olahan data kuantitatif. Tetapi juga temuan temuan secara

kualitatif (trianggulasi) menjadi pertimbangan selanjutnya. Sementara kasus

Yogyakarta, Bengkulu, Padang dan Banda Aceh memiliki karakteristik yang

berbeda karena daerah tersebut masuk kawasan rawan bencana gempa bumi,

bukan bencana banjir. Meski demikian pada tataran implementasi pelaksanaannya

memiliki kesamaan, dengan daerah bncana banjir. Artinya tingkat kesadaran

masyarakat di daerah rawan bencana (apapun jenis bencananya) terhadap

implementasi pengetahuan yang mereka dapatkan dari “diseminasi pengurangan

resiko bencana” masih relatif rendah. Dari data penelitian ini dapat di identivikasi

bahwa “tingkat pemahaman masyarakat di daerah rawan bencana” terhadap

pengetahuan yang mereka dapatkan dari hasil diseminasi pengurangan resiko

bencana masih ada masalah. Hal inilah barangkali yang menyebabkan ketidak

pedulian mereka terhadap implementasi pengurangan resiko bencana ketika terjadi

bencana alam, sehingga masih tetap banyak menelan korban. Persoalan

kesadaran masyarakat terhadap implementasi pengurangan resiko bencana

memang tidak bisa dituntaskan hanya dalam satu kali jenis penelitian. Karena

Page 118: Studi diseminasi bencana 2009

109

tingkat kesadaran manusia sebagai makluk individu mempunyai aspek yang luas.

Mengubah tingkat kesadaran, dari kurang sadar menjadi sadar pada komunitas

masyarakat tertentu memerlukan suatu proses.

Proses itu menyangkut cara pandang mereka terhadap permasalahan yang

dihadapi. Realitas yang terjadi sekarang ini, suka atau tidak suka masyarakat

Indonesia dihadapkan pada “kerawanan bencana alam”. Baik bencana yang

datang dari alam, maupun bencana akibat dari ulah manusia. Kondisi geografis

kepulauan Indonesia mulai dari pantai selatan Sumatra, Jawa, Bali, NTB, NTT,

Maluku dan Papua sudah terdeteksi sebagai kawasan rawan gempa. Demikian

juga akibat penebangan liar hutan tropis di berbagai daerah di Indonesia telah

mengakibatkan bencana banjir dan tanah longsor. Dalam lima tahun terakhir ini

masyarakat kita dihadapkan pada fenomena bencana alam yang datang silih

berganti.Dimana fenomena ini seharusnya mampu mengubah cara pandang kita

terhadap bencana alam. Akan tidak kondusif jika tingkat kesadaran masyarakat

tumbuh karena terdorong banyaknya korban bencana alam. Akan le elegan jika

meningkatnya kesadaran masyarakat itu di dorong oleh kondisi alam kita yang

memang berada pada posisi rawan bencana. Tingkat kesadaran terhadap

pengurangan resiko bencana harus dimulai dari lingkup yang kecil. Individu,

keluarga, lingkungan masyarakat, wilayah dan negara.

Jika dalam penelitian ini, “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana

di daerah rawan bencana” dipandang sudah efektif, karena semua konsep dan

teori penyampain pesan komunikasi (Shramm,1973) telah terpenuh. Tetapi pada

tingkat implementasinya rendah, maka dalam konteks ini yang perlu didalami

adalah”struktur sosial, budaya dan ekonomi” di masyarakat itu sendiri. Apakah

pranata-pranata itu memberikan dorongan terhadap tumbuhnya tingkat kesadaran

masyarakat terhadap pengurangan resiko bencana, atau justru sebaliknya. Benang

merah itu akan terurai, sekaligus memberikan jawaban mengapa tingkat kesadaran

masyrakat di daerah rawan bencana, relatif rendah terhadap implementasi

pengurangan resiko bencana. Itulah sebabnya efektivitas penyampaian pesan

komunikasi (versi Shramm,1973) terhadap ”diseminasi informasi pengurangan

resiko bencana” tidak mampu memberi kan jaminan terhadap tingkat kesadaran

masyarakat di daerah rawan bencana untuk mengimplementasikan “program

pengurangan resiko bencana” yang bersangkutan.

Page 119: Studi diseminasi bencana 2009

110

Dengan demikian data kualitatif penelitian ini dapat digunakan untuk

menjelaskan temuan kuantitatif sebagaimana telah disajikan pada bagian lain

dalam tulisan ini. Tingkat kesadaran masyarakat di daerah rawan bencana

terhadap arti pentingnya implementasi pengetahuan tentang pengurangan resiko

bencana dipengaruhi oleh tata nilai sosial dan budaya lokal masyarakat.

Karakteristik budaya lokal memberikan warna apakah interaksi budaya asing

(informasi pengurangan resiko bencana) di daerah mereka bisa diterima atau

sebaliknya. Meski demikian interaksi itu memerlukan proses, dan dalam proses

tersebut memerlukan waktu untuk berevolusi. Sepanjang kebijakan itu menyangkut

kepentingan masyarakat di daerah rawan bencana masih akan memiliki peluang

untuk mendiseminasikan lebih berkualitas lagi. Masyarakat di daerah rawan

bencana sejatinya bukan menolak kehadiran program diseminasi pengurangan

resiko bencana. Mereka hanya kurang memberikan perhatian yang serius tentang

persoalan “pengurangan resiko bencana”. Pengetahuan seperti itu merupakan

budaya baru bagi mereka, sehingga harus ada perubahan pendekatan. Mulai dari

pengenalan, simulasi dan akhirnya akan menjadi budaya kebutuhan mereka.

Page 120: Studi diseminasi bencana 2009

111

4.

BAB IV P E N U T U P

4.1 Kesimpulan

Berangkat dari penyajian data, pembahasan dan analisi seperti telah dibahas

pada bagian lain penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, program “diseminasi

informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana sampai saat

ini“masih dianggap efektif, meski terdapat inkonsistensi dalam implementasinya,

dengan pertimbangan argumentasi sebagai berikut :

1. Program diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan

bencana masih dibutuhkan oleh komunitas masyarakat yang berdomisili di

daerah rawan bencana. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komunitas

masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana, setelah mengetahui ada

program diseminasi informasi pengurangan resiko bencana, meresponnya

dengan baik, dan menganggapnya sangat penting program tersebut.

Pengakuan mereka ini dibuktikan dengan perolehan prosentase yang relatif

cukup tinggi dalam penelitian ini sehingga tidak diragukan signifikansinya.

Maka dari itu “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana”, telah

memenuhi kriteria sebagai program yang masih di butuhkan masyarakat di

daerah rawan bencana.

2. Program “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana” sampai saat ini

masih memiliki daya tarik, serta dijadikan pedoman pengetahuan bagi masya

rakat yang tinggal di-daerah rawan ketika terjadi bencana. Tetapi pada tahap

implementasinya terjadi ”inkonsistensi”. Dari hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana” memang dipahami

dan dijadikan pedoman pengetahuan oleh masyarakat ketika menghadapi

bencana alam, dengan memperoleh prosentase relatif cukup tinggi. Tetapi

pada tahapan implementasinya responnya relatif rendah, dan prosentasinya

berada di bawah standard rata-rata. Dengan demikian tingkat kesadaran

masyarakat di daerah rawan bencana masih rendah, untuk menerapkan

pengetahuan pengurangan resiko bencana dari program diseminasi yang di

Page 121: Studi diseminasi bencana 2009

112

canangkan selama ini oleh Pemerintah maupun lembaga lain yang

berkompeten.

3. Simbol-simbol diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah

rawan bencana dipahami cukup baik oleh sebagian besar komunitas

masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. Mereka tidak hanya

memahami simbol-simbol yang bersifat formal, tetapi juga yang bersifat non

formal. Dari hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa komunitas

masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana tidak hanya paham

(berpengetahuan) tentang pengurangan resiko bencana dari para diseminator,

tetapi juga masih cenderung mengandalkan pada tradisi lokal yaitu

“pembacaan tanda tanda alam” sebelum terjadinya bencana alam di daerahnya

yang sudah dianggap menjadi tradisi budaya lokal. Ketika teknologi informasi

dan komunikasi (TIK) sulit diakses masyarakat karena kendala teknis,

pengetahuan dan SDM, maka kearifan lokal menjadi sangat dominan perannya

di komunitas masyarakat daerah rawan bencana alam.

4. Untuk pencarian dan penyaluran informasi tentang masalah bencana alam bagi

komunitas masyarakat di daerah rawan bencana tampak bervariatif. Dari data

penelitian ini menunjukkan adanya penyebaran, dalam penggunaan dan penya

luran informasi melalui media yang berkaitan langsung dengan masalah

pengurangan resiko bencana. Tetapi diantara media yang dipilih responden,

televisi dianggap yang paling dominan diantara media lainnya. Selanjutnya

media interpersonal (tatap muka), dan selanjutnya media tradisional. Alasan

mereka menggunakan televisi karena televisi penyebarannya dianggap lebih

luas, sedangkan memilih media interpersonal, dan media tradisional karena

kedua media tersebut mereka anggap lebih dekat dengan komunitas

lingkungan masyarakat di daerah rawan bencana.

4.2 Rekomendasi

Merujuk pada permasalahan,pembahasan dan kesimpulan hasil penelitian

tentang ”diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan

bencana” ini dapat direkomendasikan bebrapa hal sebagai berikut :

Page 122: Studi diseminasi bencana 2009

113

1. Supaya program ”diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah

rawan bencana” tetap dibutuhkan oleh komunitas masyarakat di daerah rawan

bencana, kemasan dan penyampaian pesan komunikasinya perlu lebih

profesional. Pesan apa, dan siapa yang menyampaikan mempunyai pengaruh

yang cukup signifikan terhadap efektif tidaknya sebuah diseminasi informasi

pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana. Pesan apa, artinya

menyangkut pengemasan kualitas informasi. Dan siapa yang menyampaikan

artinya merujuk pada orang/tokoh yang memiliki kredibilitas tertentu. Bagi daerah

rawan bencana yang jauh dari akses media peran tokoh informal yang

mempunyai kedekatan dengan komunitas masyarakat setempat menjadi kunci

utama efektifitas sebuah diseminasi informasi.

2. Agar program diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah

rawan bencana, tetap mempunyai daya tarik,menjadi pedoman dan diterapkan

bagi komunitas masyarakat di daerah rawan bencana,materi pokok program

diseminasi perlu dievaluasi secara berkala. Hal ini untuk menjaga kualitas,

kontinyunitas, dan signifikasinya. Terjadinya inkonsistensi pada tataran

implementasi justru memberikan infomasi untuk dilakukan penelitian yang

secara kusus berfokus pada ”rendahnya tingkat kesadaran masyarakat di daerah

rawan bencana pada program program diseminasi pengurangan resiko bencana.

3. Penyampaian pesan komunikasi, tentang pengurangan resiko bencana untuk

memberikan pemahaman bagi komunitas masyarakat di daerah rawan bencana,

tidak cukup hanya secara legal formal. Tetapi perlu memberdayakan kearifan

lokal yang mempunyai pengaruh dan kedekatan dengan warga masyarakat yang

tinggal di kawasan rawan bencana. Pemahaman itu harus dimulai dari

penyadaran perspektif bahwa, bencana yang diakibatkan keganasan alam

maupun bencana akibat ulah manusia sama sama menjadi ancaman disekitar

kita. Maka harus dikelola dan diminimalisasi dampak buruknya sehingga

masyarakat akan lebih familier dengan bencana alam yang mungkin akan terjadi

disekitarnya.

4. Penggunaan media untuk sarana memperoleh dan penyampaian pesan, tentang

permasalahan bencana alam bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan

bencana cenderung bervariasi. Maka dari itu media yang mempunyai kedekatan

Page 123: Studi diseminasi bencana 2009

114

dengan komunitas masyarakat menjadi sangat penting untuk di jadikan prioritas

pilihan. Media tersebut bisa media tradisional,interpersonal, atau media massa

pada umumnya. Namun dibalik itu agar media tidak sekedar menyampaikan

informasi jurnalisme peristiwa/bencana yang sedang terjadi saja. Tetapi media

juga perlu membuat penyajian yang bersifat edukatif untuk menumbuh-

kembangkan kesadaran masyarakat terhadap pengurangan resiko bencana alam

yang mungkin terjadi sewaktu-waktu di wilayahnya.

Page 124: Studi diseminasi bencana 2009

115

Daftar Pustaka

Abott,Ernest B.2003.Draft Checklist for State and Local Government Attorney

Prepare for Possible Disaster,American Bar Assosiation-State and

Local Government Law Section

Anderson,James.E.1984,Public Policy Making,Third edition.CBS College Publishing.

Cobb,Roger W.& D.M.Primo,2003.The Plane Truth : Airline Crashes,the Media and Transportation Policy.Washington DC:Federal Research Division, Library of Congress.

Cohl,H.Aaron.1997.Are We Scaring Ourselves to Death?: How Pessismism Paranoia and a Misguided Media are Leading Us Toward Disaster New York: St,Martin‟s Griffin.

Everett M.Rogers & DL.Kincaid,1983.Communication Network:Toward a New Paradigm for research.London : Coller Macmillan Publishers.

Everett M.Rogers,1983, Diffusion of Innovation,Third Edition.The Free Press,A.Division of Macmillan Publishing.Co.Inc New York,Coller Macmillan Publishers,London.

Ekspedisi Ciliwung,2009. Laporan Jurnalistik Kompas,Mata Air dan Air Mata, Penerbit Kompas Jakarta

Fiske,John,2006.Cultural and Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling

Konprehensif, Penerbit, Jalasutra, Yogyakarta

Firdaus Haris,2008.Mesteri-Misteri Terbesar Indonesia,Penerbit El-Torros, Solo.

Heyer,Paul,1995.Titanic Legacy : Disaster as Media Event and Myth.New York : Praeger Publisher.

Hamidi,DR, 2007. Metode Penelitian dan Teori Komunikasi,Pendekatan Praktis

Penulisan Proposal dan Laporan Penelitian, Penerbit UMM Press,

Malang

Yoseph Devito.1989,Interpersonal Communication Book.New York :Harper and Raw Publishers

Kriyantono,Rahmad,2008,Teknik Praktis Riset Komunikasi,Penerbit,Prenada Media

Group,Jakarta

Neuzil,Mark & William Kovarik,2005.Mass Media and Environmental Conflict : America‟s Green Crusades.New York: Sage Publishing,Inc.

Onong Uchjahna Effendy,2002.Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi,Penerbut,PT.Citra

Aditya Bakti,Bandung

Page 125: Studi diseminasi bencana 2009

116

Park Jacqueline & Janne Aagaard Jensen,2005,Shaking our Foundantions :Media and the Asian Tsunami (www.ifj.org/pdf/tsunamireport-final.pdf, diakses 21 September 2009.

Patton.Michael Quinn,2002.Qualitative Research & Evaluation Methods 3rd

ed.Thousand Oaks : Sage Publications

Priambodo.Arie.2009,Panduan Praktis Menghadapi Bancana,Penerbit Kanisius Yogyakarta.

Ross.Gina,2003.Beyond the Trauma Vortex : The Media‟s Role in Healing Fear Terrorand Violence,Berkeley Atlantic Books London.

Roger.W.2003.National Emergency Management Association,If Disaster Strikes Today Are You Ready to Lead? Lexington,KY: the National Emergency Management Association.

Sri Mulatsih,dkk.2007,Kajian Kebijakan Pemerintah Pascabencana Gempa Bumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,Masyarakat Indonesia,Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia,Jilid xxx III No: 2,Penerbit Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,Jakarta

Soemarwoto.Otto,1989.Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan,Penerbit Djambatan, Jakarta.

Sendjaya,Sasa Djuarsa, 1998.Pengantar Komunikasi, Materi Pokok Universitas Terbuka, Jakarta

Suripin,Dr.Ir.M.Eng,2004.Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air,Penerbit, Andi Yogyakarta.

Wilbur Shramm, 1973, Men Message and Media. New York : Harper and Raw

Pulishers

Sistem Peringatan Dini (EWS) dan Penanggulangan Bencana Alam di Indonesia, 2008, Penerbit Puslitbang Aptel Skdi, Balitbang SDM Depkominfo

Sumber Lain :

Peraturan Pemerintah Nomor: 50 tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Swasta, Depkominfo

Peraturan Menteri Kominfo Nomor :20/ 2006 tentang Peringatan Dini Tsunami atau Bencana lain Melalui Penyiaran di Seluruh Indonesia.

Harian Pikirang Rakyat Bandung, Edisi peneribitan 19 Juli 2006

Harian Kompas Jakarta Edisi penerbitan 27 Desamber 2004

Harian Kompas Jakarta edisi 29 Desember 2004

Harian Warta Ekonomi ediai penerbitan tanggal 14 Nopember 2004

Page 126: Studi diseminasi bencana 2009

117

LAMPIRAN

A. HASIL PENGOLAHAN TABULASI

Bantul

Yogyakarta

Bengkulu

Aceh

Gorontalo

Mataram

Jakarta Selatan

Bandung

Manado

Padang

Denpasar

Daerah

Pies show counts

34.0

35.0

51.0

59.0

70.0

70.0

55.0

67.0

69.0

69.0

70.0

1. KARAKTERISTIK RESPONDEN

Islam

Kristen

Katholik

Hindu

Agama

Pies show counts

534.0

29.0

14.0

62.0

Page 127: Studi diseminasi bencana 2009

118

17-25 th

26-34 th

35-42 th

43-50 th

51 th keatas

Usia

Pies show counts

73.0

142.0

205.0

156.0

71.0

Jawa

Sunda

Minang

Batak

Aceh

Bugis

Lainnya

Suku_bangsa

Pies show counts

136.0

82.0

48.0

16.054.0

20.0

262.0

Page 128: Studi diseminasi bencana 2009

119

Menikah

tidak menikah

Janda/duda

Status

Pies show counts

502.0

101.0

1.0

SD Sederajat

SLTP Sederajat

SLTA Sederajat

Diploma/Sarmud

S1

S2

Pendidikan

Pies show counts

62.0

107.0

292.0

59.0

105.0

3.0

Page 129: Studi diseminasi bencana 2009

120

Buruh/tani

Swasta

PNS/TNI/POLRI

Profesi

Lainnya

Pekerjaan

Pies show counts

86.0

291.090.0

2.0

161.0

Pria

Wanita

Jenis_kelamin

Pies show counts

417.0

231.0

Page 130: Studi diseminasi bencana 2009

121

2. Pesan Komunikasi : Informasi Yang Dibutuhkan

Mengetahui Tidak Tau

Tahu/Tidak Informasi Pengurangan

Resiko bencana

Pies show counts

509.0

139.0

baik

tidak baik

Sambutan_diseminasi_pengurangan_resiko_bencana

Pies show counts

590.0

30.0

Page 131: Studi diseminasi bencana 2009

122

dapat

tidak dapat

tidak tahu

Memberi_Pengetahuan_cara_pengurangan_resiko

Pies show counts

563.0

4.022.0

t idak membawa perubahan bagi masy arakat

Sulit dilaksanakan oleh masyarakat

tidak tahu

sebab_tdk_disambut_diseminasinya

Pies show counts

12.0

13.0

5.0

Page 132: Studi diseminasi bencana 2009

123

penting

tidak penting

tidak tahu

Anggapan_warga_ttg_diseminasi

Pies show counts

578.0

37.0

31.0

3. Daya Tarik Penyampaian Pesan Komunikasi

paham

tidak paham

tidak tahu

Pemahaman_diseminasi_pengurangan_bencana

Pies show counts

503.0

51.0 93.0

Page 133: Studi diseminasi bencana 2009

124

bisa

tidak bisa

tidak tahu

Pedoman_penguranagan_resiko

Pies show counts

488.0

13.01.0

pernah

belum pernah

Peragaan_simulasi_bencana

Pies show counts

338.0

228.0

Page 134: Studi diseminasi bencana 2009

125

ya

tidak

tidak tahu

Diseminasi_diterapkan_saat_bencana

Pies show counts

267.0

27.044.0

4. Pemahaman Terhadap Simbol-Simbol Komunikasi

mudah dipahami

sulit dipahami

tidak tahu

istilah_bahasa_yg_digunakan

Pies show counts

394.0

107.0

119.0

Page 135: Studi diseminasi bencana 2009

126

terbiasa

tidak biasa

kebiasaan_melihat_gejala_alam

Pies show counts

370.0

274.0

mengungsi ke tempat aman bersama keluarga

membuny ikan alat komunikasi tanda bahaya

tidak tahu

Tindakan_awal_penanggulangan_bencana

Pies show counts

472.0

115.0

8.0

Page 136: Studi diseminasi bencana 2009

127

5. Cara Memperoleh Pesan Komunikasi

Media Tradisional

Media Cetak

Telev isi

Radio

Internet

Tatap muka

Media_paling_cepat_menyampaikan_informasi

Pies show counts

115.0

47.0

214.0

91.0

18.0

162.0

Jangkauan lebih luas

Mempunyai khalayak lebih luas

dapat dipercaya obyektiv itasnya

Alasan_internet

Pies show counts

9.0

4.0

4.0

Page 137: Studi diseminasi bencana 2009

128

Lebih dekat dengan masyarakat

Jangkauan lebih luas

Mempunyai khalayak lebih luas

dapat dipercaya obyektiv itasnya

tidak tahu

Alasan_media_cetak

Pies show counts

16.0

21.0

2.0 7.0

1.0

Lebih dekat dengan masy arakat

Jangkauan lebih luas

Mempunyai khalayak lebih luas

dapat dipercaya oby ektiv itasnya

Alasan_memilih_media_tradisional

Pies show counts

100.0

4.01.0

10.0

Page 138: Studi diseminasi bencana 2009

129

Lebih dekat dengan masyarakat

Jangkauan lebih luas

Mempunyai khalayak lebih luas

dapat dipercaya obyektiv itasnya

tidak tahu

Alasan_Radio

Pies show counts35.0

35.0

6.0 12.0

1.0

Lebih dekat dengan masyarakat

Mempunyai keterikatan emosional

dapat dipercaya obyektiv itasnya

tidak tahu

Alasan_tatap_muka

Pies show counts

103.025.0

33.0

1.0

Page 139: Studi diseminasi bencana 2009

130

Lebih dekat dengan masyarakat

Jangkauan lebih luas

Mempunyai khalayak lebih luas

dapat dipercaya obyektiv itasnya

tidak tahu

Alasan_TV

Pies show counts

44.0

81.0

45.0

40.0

3.0

Page 140: Studi diseminasi bencana 2009

131

B. KUISIONER

DAFTAR PERTANYAAN

PENELITIAN EFEKTIVITAS DISEMINASI

PENGURANGAN RESIKO BENCANA

DI DAERAH RAWAN BENCANA

PUSAT PENELITIAN & PENGEMBANGAN APLIKASI TELEMATIKA,

SARANA KOMUNIKASI DISEMINASI INFORMASI

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SDM DEPKOMINFO RI

Tahun 2009

Page 141: Studi diseminasi bencana 2009

132

DAFTAR PERTANYAAN

STUDI EFEKTIVITAS DISEMINASI INFORMASI PENGURANGAN

RESIKO BENCANA DI DAERAH RAWAN BENCANA

Tahun 2009

Prakata :

Sebelum Bapak/Ibu berpartisipasi mengisi angket ini saya ingin memberikan informasi bahhwa studi ini dilaksanakan semata mata untuk kepentingan masyarakat di daerah rawan bencana, karena hasilnya akan di gunakan mengevaluasi semua kebijakan tentang “pengurangan dampak resiko bencana di daerah rawan bencana. Oleh sebab itu terpilihnya Bapak/Ibu sebagai responden menjadi sangat penting untuk ikut berpartisipasi memberikan sumbangan pemikiran bagaimana seharusnya kebijakan yang harus diambil Pemerintah, terhadap masalah kebencanaan di negeri ini.

Panduan Pengisian Angket

Bapak/Ibu sebagai responden terpilih di mohon untuk mengisi jawaban yang sudah di sediakan dalam daftar pertanyaan ini. Pilihlah salah satu diantara jawaban yang Bapak/Ibu/Sdr anggap benar, tanpa di pengaruhi aspirasi orang lain. Bapak/Ibu/Sdr tinggal “melingkari nomor jawaban” yang telah disediakan pada daftar pertanyaan angket tersebut.

Kemudian atas partisipasinya dalam pengisian daftar pertanyaan angket “Studi Efektivitas Diseminasi Informasi Pengurangan Resiko Bencana di Daerah Rawan Bencana “ini di ucapkan terima kasih

Tim Peneliti

Puslitbang Aptel,Skdi Balitbang SDM Kominfo,2009

Jakarta

Lokasi Penelitian :

Kelurahan :…………………………….........

Kecamatan:……………............……………

Kab/Kota……………………........................

Provinsi :……………………………….........

Page 142: Studi diseminasi bencana 2009

133

IDENTITAS RESPONDEN

01. Jenis Kelamin 06. Agama

1. Pria 1. Islam

2. Wanita 2. Kristen

02. Status Responden 3. Katholik

1. Menikah 4. Hindu

2. Tidak menikah 5. Budha

03. Suku Bangsa 07. Pendidikan Formal

1. Jawa 1. SD Sederajat

2. Sunda 2. SLTP Sederajat

3. Minang 3. SLTA Sederajat

4. Batak 4. Deploma/Sarmud

5. Aceh 5. S1

6. Bugis 6. S2

7. Lainnya,....................................... 7. S3

04.Usia 08. Pekerjaan

1. 17-25 th 1. Buruh /tani

2. 26-34 th 2. Swasta

3. 35-42 th 3. PNS/TNI/POLRI

4. 43-50 th 4. Profesi

5. 51 th keatas 5. Lainnya,..................

05. Pengeluaran/Bulan : Rp.................. 09. Lama tinggal,................th

Page 143: Studi diseminasi bencana 2009

134

PESAN KOMUNIKASI: INFORMASI YANG DI BUTUHKAN

10. Apakah Bapak/Ibu/Sdr, tahu tentang tata cara pengurangan resiko bencana alam yang harus di lakukan oleh warga masyarakat di daerah ini ?

1. Mengetahui (ke-P.11).

2. Tidak mengetahui.

11. Menurut Bapak/Ibu/Sdr, apakah masyarakat di sini menyambut dengan baik /jika ada program diseminasi (penyuluhan) tata cara pengurangan resiko bencana alam tersebut ?

1. Masyarakat menyambut baik ( lanjut ke P.12)

2. Masyarakat tidak menyambut dengan baik (lanjut ke P.13).

12. Jika masyarakat menyambutnya dengan baik, menurut Bapak/Ibu/Sdr, apakah hal tersebut dapat memberikan pengetahuan tentang tata cara pengurangan resiko bencana bagi warga masyarakat di wilayah ini? (satu jawaban).

1. Dapat memberi pengetahuan tentang pengurangan resiko bencana.

2. Tidak dapat memberi pengetahuan pengurangan resiko bencana.

3. Tidak tahu/tidak menjawab.

13. Jika masyarakat tidak menyambut dengan baik terhadap program diseminasi (penyuluhan) tata cara pengurangan resiko bencana, menurut pendapat Bapak/Ibu/Sdr apakah karena : (satu jawaban).

1. Tidak membawa perubahan bagi masyarakat.

2. Sulit di laksanakan oleh masyarakat.

3. Tidak tahu/tidak menjawab.

14. Menurut penilaian Bapak/Ibu/Sdr, apakah program diseminasi (penyuluhan) tata cara pengurangan resiko bencana itu dianggap penting oleh warga masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah ini?

1. Di anggap penting oleh masyarakat

2. Tidak dianggap penting oleh masyaraka

3. Tidak tahu/mejawab

Page 144: Studi diseminasi bencana 2009

135

DAYA TARIK PENYAMPAIAN PESAN KOMUNIKASI

15. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Sdr, apakah program diseminasi (penyuluhan) tata cara pengurangan resiko bencana yang di lakukan pemerintah, atau lembaga lain bisa di pahami oleh warga masyarakat di sekitar sini ?(satu jawaban).

1. Bisa dipahami oleh warga masyarakat (lanjut ke,P.16)

2. Tidak bisa dipahami oleh warga masyarakat (lanjut ke P.17).

3. Tidak tahu/tidak menjawab.

16. Jika bisa di pahami oleh warga masyarakat apakah menurut pengamatan Bapak/Ibu/Sdr, tata cara pengurangan resiko bencana seperti itu bisa di jadikan pedoman untuk mengurangi resiko bencana alam di wilayah sekitar sini? (satu jawaban).

1. Bisa dijadikan pedoman untuk pengurangan resiko bencana.

2. Tidak bisa di jadikan pedoman untuk mengurangi resiko bencana.

3. Tidak tahu/tidak menjawab.

17. Dari pengamatan Bapak/Ibu/Sdr apakah di wilayah sekitar sini pernah dilakukan peragaan atau simulasi tentang tata cara penanggulangan pengurangan resiko bencana alam oleh pemerintah atau lembaga lainnya yang bergerak di bidang tersebut?

1. Pernah di lakukan peragaan atau simulasi.(lanjut ke P.18)

2. Belum pernah dilakukan peragaan atau simulasi. (ke P.19)

18. Menurut Bapak/Ibu/Sdr, apakah diseminasi (penyuluhan) tata cara pengurangan resiko bencana yang pernah di peragakan/di simulasikan tersebut di terapkan oleh warga masyarakat di sekitar sini ketika terjadi bencana alam ? (satu jawaban).

1. Di terapkan oleh warga masyarakat

2. Tidak di terapkan oleh warga masyarakat.

3. Tidak tahu/tidak menjawab.

Page 145: Studi diseminasi bencana 2009

136

PEMAHAMAN TERHADAP SIMBOL–SIMBOL KOMUNIKASI

19. Dari pengamatan Bapak/Ibu/Sdr, apakah bahasa, atau istilah lain yang di gunakan dalam diseminasi (penyuluhan) tata cara pengurangan resiko bencana mudah di pahami oleh warga masyarakat di wilayah sini ?(satu jawaban).

1. Bahasa dan istilah lain yang digunakan mudah dipahami.

2. Bahasa dan istilah lain yang digunakan sulit di pahami.

3. Tidak tahu/tidak menjawab.

20. Menurut Bapak/Ibu/Sdr, apakah warga masyarakat di sini mempunyai kebiasaan /kepercayaan lain untuk melihat gejala (tanda-tanda alam) ketika akan terjadi bencana alam ?

1. Masyarakat mempunyai kebiasaan untuk membaca pertanda alam.

(ke P.21).

2. Masyarakat tidak mempunyai kebiasaan untuk membaca pertanda alam.

( ke,P.22)

21. Jika warga masyarakat di wilayah sini mempunyai kebiasaan/kepercayaan lain untuk membaca tanda tanda alam, sewaktu akan terjadi bencana alam, mohon di sebutkan pertanda alam tersebut. (lebih dari satu jawaban).

1.………………………………………………………………………

2………………………………………………………………………

3……………………………………………………………………….

22. Jika ada bencana alam yang kemungkinan bisa mengancam keselamatan warga masyarakat di wilayah sini, tindakan apa yang pertama kali Bapak/Ibu/Sdr lakukan sebagai penanggulangan awal?(satu pilihan).

1. Mengungsi ke tempat yang aman bersama keluarga

2. Membunyikan alat komunikasi tanda bahaya.

3. Tidak tahu/tidak menjawab.

Page 146: Studi diseminasi bencana 2009

137

CARA MEMPEROLEH PESAN KOMUNIKASI

23. Jika sekiranya terjadi bencana alam yang mengancam keselamatan warga, media manakah menurut Bapak/Ibu/Sdr yang “paling cepat” bisa digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan dan mendapatkan informasi ? (bacakan dan pilih satu jawaban).

1. Media Tradisional (lanjut ke-P.24)

2. Media Cetak (surat kabar, majalah,tabloit,).lanjut ke P.25

3. Media Televisi (lanjut ke-P.26)

4. Media Radio (lanjut ke-P.27)

5. Media On-line (internet) lanjut ke P.28

6. Media Interpersonal (tatap muka) lanjut ke P.29

24. Jika Bapak/Ibu/Sdr memilih media tradisional sebagai sarana untuk memperoleh dan mendapatkan informasi pengurangan resiko bencana, apakah karena (satu pilihan):

1. Lebih dekat dengan masyarakat

2. Mempunyai jangkauan yang lebih luas

3. Mempunyai khalayak yang lebih luas

4. Dapat di percaya obyektivitasnya

5. Tidak tahu/tidak menjawab

25. Jika Bapak/Ibu/Sdr memilih media cetak sebagai sarana untuk memperoleh dan mendapatkan informasi pengurangan resiko bencana, apakah karena (satu pilihan):

1. Lebih dekat dengan masyarakat

2. Mempunyai jangkauan yang lebih luas

3. Mempunyai khalayak yang lebih luas

4. Dapat di percaya obyektivitasnya

5. Tidak tahu/tidak menjawab.

Page 147: Studi diseminasi bencana 2009

138

26. Jika Bapak/Ibu/Sdr memilih media televisi sebagai sarana untuk memperoleh dan mendapatkan informasi pengurangan resiko bencana, apakah karena (satu pilihan):

1. Lebih dekat dengan masyarakat

2. Mempunyai jangkauan yang lebih luas

3. Mempunyai khalayak yang lebih luas

4. Dapat di percaya obyektivitasnya

5. Tidak tahu/tidak menjawab.

27. Jika Bapak/Ibu/Sdr memilih media radio sebagai sarana untuk memperoleh dan mendapatkan informasi pengurangan resiko bencana, apakah karena (satu pilihan):

1. Lebih dekat dengan masyarakat

2. Mempunyai jangkauan yang lebih luas

3. Mempunyai khalayak yang lebih luas

4. Dapat di percaya obyektivitasnya

5. Tidak tahu/tidak menjawab.

28. Jika Bapak/Ibu/Sdr memilih media on-line (internet) sebagai sarana untuk memperoleh dan mendapatkan informasi pengurangan resiko bencana, apakah karena (satu pilihan):

1. Lebih dekat dengan masyarakat

2. Mempunyai jangkauan yang lebih luas

3. Mempunyai khalayak yang lebih luas

4. Dapat di percaya obyektivitasnya

5. Tidak tahu/tidak menjawab.

29. Jika Bapak/Ibu/Sdr memilih media interpersonal (tatap muka) sebagai sarana untuk memperoleh dan mendapatkan informasi pengurangan resiko bencana, apakah karena (satu pilihan):

1. Lebih dekat dengan masyarakat

2. Mempunyai keterikatan emosional

3. Dapat di percaya obyektivitasnya

Page 148: Studi diseminasi bencana 2009

139

4. Tidak tahu/tidak menjawab.

30. Agar program diseminasi (penyuluhan) tata cara pengurangan resiko bencana di daerah ini bisa dijadikan pedoman dan dilaksanakan oleh masyarakat apa saran Bapak/Ibu/Sdr ?

Saran :...................................................................................................................... ........................................

............................................................................................................................................................................

............................................................................................................................. ...............................................

............................................................................................................................. .................................................

..............................................................................................................................................................................

............................................................................................................................. ................................................

............................................................................................................................. ................................................

Di isi tanggal,…., Bulan, …….. Tahun, 2009

Supervisi/Peneliti Pewawancara

(…………………………………………) (..............................................................)

Page 149: Studi diseminasi bencana 2009

140

C. PEDOMAN WAWANCARA

PEDOMAN WAWANCARA/FGD

STUDI DISEMINASI INFORMASI PENGURANGAN RESIKO BENCANA

DI DAERAH RAWAN BENCANA

Untuk mendukung data kuantitatif hasil pengumpulan kuesioner di perlukan data

dukung berupa, FGD, observasi lapangan dan wawancara mendalam di lokasi

penelitian. Observasi lapangan di maksudkan untuk mendiskripsikan setting sosial di

masing masing lokasi penelitian. Sedangkan wawancara mendalam untuk menggali

permasalahan yang lebih jauh lagi secara kualitatif kepada tokoh formal atau

informal, sebagai informan kunci.

FGD

FGD di laksanakan pada tingkat pengambilan keputusan, yankni di Pemerintahan

Kabupaten/Kotamadya. FGD melibatkan 12 orang, yang terdiri dari 2 orang nara

sumber (satu orang sebagai nara sumber, dan satu orang berfungsi sebagai

moderator), 10 orang peserta yang terkait dengan kebijakan pengelolaan

manajemen kebencanaan.

Observasi Lapangan

Data yang di kumpulkan melalui observasi lapangan ini diantaranya : Monografi

wilayah yang menjadi lokus penelitian (Kabupten/Kota, Kecamatan, atau Kelurahan)

yang berisi data kependudukan, geografi, sosio cultural, pendidikan, pekerjaan,

lapangan kerja dan lain-lain. Atau data lain yang bisa dijadikan untuk mendukung

analisis penelitian.

Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam bertujuan untuk menggali data penelitian secara kualitatif

dari informan kunci (orang yang memahami permasalahan yang sedang di teliti, dan

orang tersebut sangat berpengaruh di lingkungan komunitas masyarakat) bisa tokoh

formal atau non formal.

Page 150: Studi diseminasi bencana 2009

141

Data yang di gali secara mendalam :

1. Apakah warga masyarakat di daerah rawan bencana mempunyai

pengetahuan yang cukup tentang tata cara pengurangan resiko

bencana, baik sebelum atau setelah di lakukan disiminasi tata cara

pengurangan resiko bencana di wilayahnya.

2. Apakah warga masyarakat merespon positif,dan menjadikan

kebutuhan serta dianggap penting program diseminasi tata cara

pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana ini.

3. Apakah program/kebijakan diseminasi tata cara pengurangan resiko

bencana yang di lakukan pemerintah atau lembaga lain ini bisa

dipahami, dijadikan pedoman dan di terapkan warga masyarakat, di

daerah rawan bencana.

4. Bagaimana pemahaman warga masyarakat terhadap simbol-simbol

komunikasi, apakah bahasa/isyarat dalam diseminasi tata cara

pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana mudah

dipahami. Apakah ada keyakinan lain untuk membaca tanda bencana

alam, berikan contohnya, dan bagaimana mereka bertindak ketika

terjadi bencana alam yang mengancam lingkungannya.

5. Bagaimana cara warga masyarakat memperoleh informasi, dan madia

apa saja yang paling sering digunakan ketika terjadi bencana alam di

lokasi tersebut, mengapa memilih media tersebut, bukan media yang

lain, jelaskan alasannya secara rinci dan mendalam.

Peneliti di berikan kebebasan untuk mengembangkan (elaborasi) pertanyaan

tersebut dengan tetap berpedoman pada 5 (lima) indikator variabel penelitian ini.

Selamat Bekerja Selamat bekerja,semoga sukses.