STUDI ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN...
Transcript of STUDI ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN...
STUDI ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN
NEGERI SEMARANG NO. 03/Pid/B/2004/PN.Smg
TENTANG TINDAK PIDANA TERORISME
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1
Oleh :
MUHAMMAD MUZAKINIM. 2103193
JURUSAN JINAYAH SIYASAHFAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGOSEMARANG
2010
PENGESAHAN
Skripsi Saudara:
Nama : Muhammad Muzaki
Nim : 2103193
Jurusan : Jinayah Siyasah
Judul skripsi : STUDI ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN
NEGERI SEMARANG NO. 03/Pid/B/2004/PN. Smg
TENTANG TINDAK PIDANA TERORISME
Telah dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus pada tanggal:
28 Juni 2010
Dan dapat diterima sebagai pelengkap ujian akhir program sarjana (S.I)
tahun akademik 2009 / 2010 memperoleh gelar Sarjana Strata I dalam Ilmu
Syari’ah
Semarang, 28 Juni 2010Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,
Drs. H. Muhyiddin, M.Ag Brilliyan Ernawati, SH., M.HumNIP. 19550228 198303 1 003 NIP. 19631219 199903 2 001
Penguji I, Penguji II,
Hj. Rr. Sugiarti, S.H., M.H Rupi’i, M.AgNIP. 19450621 197203 2 001 NIP. 19730702 199803 1 002
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. Musahadi, M.Ag Brilliyan Ernawati, SH., M.HumNIP. 19690709 199403 1 003 NIP. 19631219 199903 2 001
KEMENTRIAN AGAMA RIINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AHJl. Prof. Dr. Hamka Kampus III Telp. / Fax. (024) 7601291 Semarang 50185
Drs. Musahadi, M.AgJl. Permata Ngaliyan II / 62Semarang
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eks.
Hal : Naskah Skripsi
An. Sdr. Muhammad Muzaki
Assalamu alaikum Wr. Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini
saya kirim naskah skripsi Saudara:
Nama : Muhammad Muzaki
NIM : 2103193
Judul : Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan
Negeri Semarang No. 03/Pid/B/2004/PN.Smg
Tentang Tindak Pidana Terorisme
Dengan ini saya mohon kiranya naskah skripsi tersebut dapat segera
diujikan.
Demikian harap menjadikan maklum.
Wassalamu alaikum Wr. Wb.
Semarang, 31 Mei 2010
Brilliyan Ernawati, SH., M.HumJl. Bukit Agung E. 41Semarang
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eks.
Hal : Naskah Skripsi
An. Sdr. Muhammad Muzaki
Assalamu alaikum Wr. Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini
saya kirim naskah skripsi Saudara:
Nama : Muhammad Muzaki
NIM : 2103193
Judul : Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan
Negeri Semarang No. 03/Pid/B/2004/PN.Smg
Tentang Tindak Pidana Terorisme
Dengan ini saya mohon kiranya naskah skripsi tersebut dapat segera
diujikan.
Demikian harap menjadikan maklum.
Wassalamu alaikum Wr. Wb.
Semarang, 31 Mei 2010
MOTTO
$yJ Î6 sù7p yJ ômu‘z ÏiB«!$#|MZÏ9öN ßgs9(öq s9ur|MY ä.$à sùxá‹ Î=xîÉ=ù=s)ø9$#(#q ‘Ò xÿR]wô ÏBy7Ï9öq ym(
ß# ôã $$sùöN åk÷]tãö• ÏÿøótG ó™$#uröN çlm;öN èd ö‘Ír$x© ur’ÎûÍ•öDF{ $#(#sŒÎ*sù|MøBz• tãö@©. uq tG sù’n? tã«!$#4¨b Î)©!$#
•=Ïtä†tû,Î#Ïj. uq tG ßJ ø9$#ÇÊÎÒÈ
Artinya : “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemahlembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhatikasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena ituma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, danbermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudianapabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallahkepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yangbertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali Imron [3] : 159)
ABSTRAK
Terorisme merupakan tindakan kekerasan yang melanggarhukum dilakukan sekelompok orang sebagai jalan terakhir gunamewujudkan keinginannya yang tidak dapat dicapai melalui jalanresmi. Pemicu tindakan teror antara lain karena adanya pertentanganagama, ideologi dan etnis serta kesenjangan ekonomi, sertatersumbatnya komunikasi rakyat dengan pemerintah, atau karenaadanya paham separatisme dan ideologi fanatisme .
Pada beban pembuktian biasa, berlaku prinsip siapa yangmendalilkan maka ia harus membuktikan, di mana penuntut umum lahyang dibebani kewajiban untuk membuktikan. Sedangkan bagiterdakwa ia tidak dibebani dengan beban pembuktian, sebagaimanayang disebutkan dalam pasal 66 KUHAP “tersangka atau terdakwatidak dibebani kewajiban pembuktian”.
Dalam putusan No. 03/Pid/B/2004/PN.Smg perbuatan terdakwaS dijerat dengan Pasal 9 Perpu No. 1 tahun 2002 Jo. Pasal 1 Undang-undang No. 15 tahun 2003 Jo. Pasal 55 (1) KUHP dan majelis hakimtelah menjatuhkan pidana selama 10 tahun dan denda sebesar Rp.10.000 (sepuluh ribu rupiah). Permasalahannya adalah bagaimanadasar pertimbangan hukum putusan Pengadilan Negeri Semarang No.03/Pid/B/2004/PN.Smg tentang tindak pidana terorisme danbagaimana tinjauan hukum Islam mengenai putusan PengadilanNegeri Semarang No. 03/Pid/B/2004/PN.Smg tentang tindak pidanaterorisme?
Dengan metode Deskriptif Analitis maka dapat diketahuipenjelasan suatu fakta dalam peraturan perundang-undangan untukdapat mempertegas hipotesa-hipotesa. Dan dengan metodeInterpretasi maka dapat mengadakan penelusuran terhadap azas-azashukum untuk dapat mengetahui taraf sinkronisasi hukum sertaperbandingan hukum.
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada :
v Bapak dan ibu tercinta, yang telah mengasuh, membimbing, dan sekaligus
menjadi maha guru ananda. Salam sayang sebagai wujud kasih dan
pengabdianku. Terimakasih yang tak terhingga atas segala do’a dan kasih
sayangnya.
v Mbah Munajat, Mbah Ahmad Yanis dan seluruh keluarga, kan ku kenang
sepanjang masa do’a dan kasih sayang mereka.
v Keluarga besar Romo KH. Makhdum Zen, terimakasih teruntuk beliau atas
curahan ilmunya.
v Adekku Naili & Rochis, kakak berpesan, gapailah cita-citamu.
v Pak Zen, Mas Huda, Rois Kyai, Mas Toni, Susi, Fahmi, terima kasih atas
segala bantuannya.
v Temen-temen seperjuangan Zahrul, Mbah Soegeng, Munir Kebo, Munir
Singo, Zaenal Domba, Ajib, Ulil, Kajine Bambang, Ibad, teruskan
perjuanganmu kawan...!!!
KATA PENGANTAR
Assalamu alaikum Wr. Wb
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat allah SWT, atas rahmat
dan hidayah-Nya lah penulis telah dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Sholawat serta salam semoga senantiasa tetap tercurahkan dan terlimpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia ke jalan
yang benar dalam rangka mencapai kebahagiaan kehidupan dunia akhirat nanti.
Amin.
Skripsi yang berjudul “STUDI ANALISIS TERHADAP PUTUSAN
PENGADILAN NEGERI SEMARANG NO. 03/ PID/ B/ 2004/ PN SMG
TENTANG TINDAK PIDANA TERORISME" disusun untuk memenuhi
persyaratan menyelesaikan studi tingkat Strata Satu (S1) bidang jurusan Siyasah
Jinayah Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang.
Penulis berharap, semoga penyusunan skripsi yang sederhana ini dapat
bermanfaat, khususnya bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca pada
umumnya.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah berusaha dengan segala daya
dan upaya guna menyelesaikannya, namun tanpa bantuan dari berbagai pihak
penyusunan ini tidak mungkin dapat terwujud. Untuk itu penulis menyampaikan
banyak terima kasih kepada yang terhormat :
1. Prof. DR. Abdul Jamil, MA, selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang, yang
telah memimpin lembaga tersebut dengan baik.
2. Drs. H. Muhyiddin, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang.
3. Drs. Arif Junaedi, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Siyasah Jinayah dan Rupi’i,
M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Siyasah Jinayah Fakultas Syari’ah
4. Drs. Musahadi, M.Ag dan Brilliyan Ernawati, SH., M.Hum selaku
pembimbing skripsi.
5. Soimah, S.Ag selaku Kasubag Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas
Syari’ah serta segenap pegawai dan para dosen IAIN Walisongo Semarang.
6. Agus Subroto, SH., M.Hum., selaku Ketua Pengadilan Negeri Semarang dan
Sri Sunarti, SH., selaku Panitera Muda Hukum Pengadilan Negeri Semarang.
7. Pimpinan Perpustakaan fakultas Syari’ah dan Institut IAIN Walisongo
Semarang.
8. Bapak, Ibu, Adik, dan segenap keluarga terkasih and tersayang.
9. Teman-temanku semuanya I Love U For all.
Akhirnya penulis hanya dapat berdo’a kehadirat Allah SWT, semoga
semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini mendapatkan ridho
dan balasan yang setimpal dari Allah SWT. Tegur sapa serta kritik dan saran
yang konstruktif dari semua pihak terhadap skripsi ini sangat penulis harapkan.
Dan hanya kepada Allah lah segala persoalan dikembalikan.
Wassalamu alaikum Wr. Wb
Semarang, 11 Juni 2010
Penulis
Muhammad Muzaki
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi
ini tidak berisi materi yang telah atau pernah ditulis orang lain atau diterbitkan.
Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pemikiran-pemikiran orang lain,
kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 11 Juni 2010Deklarator
Muhammad MuzakiNIM: 2103193
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv
HALAMAN ABSTRAKSI .......................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... vi
HALAMAN KATA PENGANTAR ............................................................. vii
HALAMAN DEKLARASI ............................................................................ ix
HALAMAN DAFTAR ISI ............................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................. 9
C. Tujuan Penulisan Skripsi ...................................................... 9
D. Telaah Pustaka ..................................................................... 10
E. Metode Penulisan Skripsi ..................................................... 13
F. Sistematika Penulisan Skripsi ............................................... 16
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA
TERORISME
A. Tindak Pidana Terorisme menurut Hukum Positif ................ 18
1. Terorisme : Pengertian dan Ciri-ciri Terorisme .............. 18
2. Unsur-unsur Tindak Pidana Terorisme .......................... 22
3. Beban Pembuktian, Alat Bukti dan Teori Pemidanaan .... 27
4. Sanksi Hukum Tindak Pidana Terorisme dalam Undang-
undang No. 15 Tahun 2003 ............................................ 33
B. Tindak Pidana Terorisme menurut Hukum Islam .................. 35
1. Prinsip Keamanan Umum ............................................. 35
2. Unsur-unsur Tindak Pidana Terorisme menurut Hukum
Islam .............................................................................. 38
3. Sanksi Tindak Pidana Terorisme menurut Hukum Islam . 49
BAB III PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SEMARANG NO.
03/Pid/B/2004/PN.Smg TENTANG TINDAK PIDANA
TERORISME
A. Profil Pengadilan Negeri Semarang ...................................... 43
1. Sejarah Berdirinya Pengadilan Negeri Semarang ............ 43
2. Tugas dan Wewenang Pengadilan Negeri Kota Semarang. 47
B. Dasar Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan Negeri
Semarang No. 03/Pid/B/2004/PN.Smg tentang Tindak Pidana
Terorisme ............................................................................. 50
C. Putusan Pengadilan Negeri Semarang No. 03/Pid/B/
2004/PN.Smg tentang Tindak Pidana Terorisme ................... 58
BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI
SEMARANG NO. 03/Pid/B/2004/PN.Smg TENTANG TINDAK
PIDANA TERORISME
A. Analisis terhadap Dasar Pertimbangan Hukum dalam Putusan
Pengadilan Negeri Semarang No. 03/Pid/B/2004/PN.Smg
tentang Tindak Pidana Terorisme ......................................... 62
B. Analisis Hukum Islam terhadap Putusan Pengadilan Negeri
Semarang No. 03/Pid/B/2004/PN.Smg tentang Tindak Pidana
Terorisme ............................................................................. 69
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 73
B. Saran .................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari
segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945.
Pandangan tersebut didasarkan pada Pasal 28 UUD 1945, beserta
perubahannya.
Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa “ Setiap orangberhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhakatas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untukberbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi ”.
Pasal 28 H ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa “Setiap orangberhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untukmemperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapaipersamaan dan keadilan”.1
Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap orang berhak mendapatkan
rasa aman dan nyaman tanpa adanya gangguan teror. Dengan demikian
seseorang akan dapat merasakan ketenteraman, bebas dari segala bentuk
ancaman serta ketakutan yang selalu menghantui. Hal ini sejalan dengan
Pasal 4 Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia
yang menyatakan bahwa :
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi,pikiran dan hati nurani, hak, beragama, hak untuk tidak diperbudak,hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum,dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
1 Tim Redaksi Fokusmedia, UUD 45 Dan Amandemennya, Bandung: Fokusmedia, 2007,hlm. 20.
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaanapa pun dan oleh siapa pun.”2
Secara empiris teror itu sendiri sudah lama ada, hampir seiring
dengan sejarah peradaban manusia, tetapi mulai efektif digemakan pada abad
pertengahan ketika negara-negara / kerajaan-kerajaan yang berperang dan
teror digunakan sebagai salah satu cara untuk memenangkan peperangan.
Tetapi waktu itu hampir terlalu mudah untuk diketahui siapa yang melakukan
teror. Namun sekarang, kejadian teror hampir sangat sulit ditebak siapa
pelakunya, organisasi / negara mana yang mengaturnya. Semua berjalan
undercover / underground dan tidak diketahui.3
Di dalam negeri, beberapa aksi teror bisa disebutkan diantaranya;
peledakan bom yang terjadi sejak 1998 antara lain : peledakan di gedung
Atrium Senen (1-12-1998), peledakan di Plaza Hayam Wuruk (15-4-1999),
peledakan di masjid Istiqlal (1999), peledakan di gereja (GKPI) Medan (28-
5-2000), peledakan di Gereja Katolik Medan (29-5-2000), peledakan di
rumah Dubes Filipina (1-8-2000), peledakan di gedung Atrium Senen (1-8-
2001, 23-4-2001), peledakan di beberapa Gereja di malam Natal (2000 dan
2001), peledakan di Kuta Bali (12-10-2002), peledakan di Manado
(November 2002), peledakan di McDonald Makassar (5-12-2002), peledakan
di Hotel JW. Marriot Jl. Mega Kuningan, Jakarta (5-8-2003), peledakan di
2 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak-hak Asasi Manusia3 Bambang Abimanyu, Teror Bom di Indonesia, Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2005,
hlm. 20
Kedubes Australia l. Rasuna Said Kuningan, Jakarta, Peledakan Bali II (1-10-
2005).4
Pada Jum’at pagi tanggal 17 Juli 2009, lagi-lagi kita dikejutkan oleh
serangan teror. Kali ini serangan ditujukan untuk hotel JW. Marriot dan hotel
Ritz Cartlon.5 Pengeboman ini sungguh mengejutkan, mengingat selama
beberapa tahun ini Indonesia sudah dianggap aman. Walaupun Polisi berhasil
mengungkap beberapa kasus terorisme di beberapa tempat, akan tetapi hal ini
tidak dianggap signifikan.
Penulis melihat, aksi kali ini pun sangat rapi. Ini terlihat dari hotel
yang menjadi sasaran peledakan yakni JW. Marriot. Dengan sasaran yang
sama, pelaku jelas memiliki nyali yang luar biasa, apalagi jika tempat
peledakan ada dalam ruang. Yang lebih mengejutkan lagi, pelaku bom
sempat menginap dua hari sebelum peledakan.
Sejalan dengan kian meningkatnya modus, senjata teroris dan target
yang dituju, pada tataran internasional telah lahir satu komitmen internasional
untuk melakukan perang global melawan terorisme. Komitmen yang
kemudian tertuang dalam resolusi PBB itu, merupakan bukti bahwa
masyarakat internasional tidak mentolelir dan melawan segala bentuk
terorisme. Masalah ini sudah lama menjadi perhatian masyarakat
internasional sebagaimana tampak dengan lahirnya beberapa konvensi dan
resolusi PBB.6
4Muhyiddin Aburusman, Editor Syahdatul Kahfi, Terorisme di Tengah Arus GlobalDemokrasi, Jakarta: Specturm, 2006, hlm. 20
5 Suara Merdeka, Edisi 154 tahun 2009, hlm. 66 Bambang Abimanyu, op.cit., hlm. 119-120
Serangan teroris di Bali misalnya, sudah merupakan aksi nyata yang
mengharuskan pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah kongkret
untuk memerangi terorisme secara konseptual, terpadu, sistematis dan
menggunakan pendekatan yang komprehensif.
Perang melawan terorisme mutlak memerlukan kerjasama terpadu
secara lintas instansi bahkan lintas negara. Oleh karena itu, diperlukan suatu
konsep operasi yang memadukan peran dan fungsi dari instansi-instansi
pemerintah di berbagai tingkatan, serta kemampuan kerjasama internasional
di berbagai bidang seperti intelejen, kepolisian, diplomatik, keimigrasian dan
lain sebagainya.7
F. Budi Hardiman menyatakan bahwa teror adalah fenomena yang
cukup tua dalam sejarah, yang berusaha menakut-nakuti, mengancam,
memberi kejutan kekerasan atau membunuh dengan maksud menyebarkan
rasa takut, dan hal ini digunakan sebagai taktik dalam perjuangan kekuasaan.8
Dalam hukum Islam, pada dasarnya membunuh hukumnya adalah
haram. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-An’am ayat 151 :
Ÿwur(#qè=çG ø)s?š[ øÿZ9 $#ÓÉL ©9 $#tP§• ymª! $#žwÎ)Èd,ysø9 $$ Î/) ...:(
Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah(membunuhnya melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar…”(QS. Al-An’am : 151)9
7 Muhyiddin Aburusman, op. cit., hlm. 218 F. Budi Hardiman., Terorisme : Paradigma dan Definisi, Jakarta: Imparsial, 2003, hlm. 29 Departemen Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, Madinah: Mujamma’ Khadim Al-
Haramain Asy-Syarifah, 1971, hlm. 163
Dalam kasus teror yang selama ini terjadi khususnya di Indonesia,
para pelaku teror seringkali berargumen, bahwa apa yang mereka lakukan
adalah merupakan aktualisasi dari jihad yang bertujuan untuk meraih ridho
Allah SWT. Serangan yang selama ini terus menerus dilakukan dari Amerika
Serikat dan sekutu-sekutunya atas penduduk sipil Muslim, membuat mereka
berkesimpulan bahwa, mereka telah melampaui batas. Adalah adil bila
dibalas dengan serangan yang setimpal. Bagi mereka, menjadikan warga sipil
sebagai target adalah tentang permasalahan menyamakan kedudukan darah
dengan darah, nyawa dengan nyawa dan penduduk sipil dengan penduduk
sipil.10
Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Australia, Singapura,
Thailand memberlakukan wajib militer untuk penduduk sipil. Dalam
memandang hal ini, para pelaku teror berpendapat bahwa, turis dari warga
negara tersebut yang mengunjungi Indonesia tidak bisa digolongkan sebagai
penduduk sipil.11
Dalam putusan Pengadilan Negeri Semarang No.
03/Pid/B/2004/PN.Smg tentang tindak pidana terorisme, bahwa S telah
terbukti melakukan tindak pidana terorisme. Sekitar bulan Februari 2003,
rekan-rekan terdakwa mengambil titipan barang di Jl. Arteri, kemudian
dengan menggunakan mobil Suzuki Carry, barang tersebut diangkut ke
tempat kos terdakwa di Jl. Taman Sri Rejeki dan diketahui ternyata barang
tersebut berupa senjata api, amunisi, bahan peledak beserta komponennya.
10Muhammad Hanif Hassan, Teroris Membajak Islam; Meluruskan Jihad Sesat ImamSamudra dan Kelompok Islam Radikal, Jakarta: Grafindo Khasanah Ilmu, 2007. hlm. 13
11 Ibid, hlm. 16
Berdasarkan barang bukti yang telah ditemukan, S berencana menjadikan
barang-barang tersebut sebagai bom dan bermaksud melakukan tindak pidana
terorisme.12
Oleh karena perbuatannya tersebut, S dijerat dengan Pasal 9 Perpu
No. 1 tahun 2002 Jo. Pasal 1 Undang-undang No. 15 tahun 2003 Jo. Pasal 55
(1) ke-1 KUHP dan dihukum 10 tahun penjara. Dalam pasal 9 Perpu No. 1
tahun 2002 menyebutkan bahwa :
“Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia,membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan ataumencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaanpadanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut,menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/ataudari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledakdan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untukmelakukan tindak pidana terorisme, di pidana dengan pidana mati ataupenjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahundan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”13
Perbuatan S juga dijerat dengan pasal 55 ke-1 (1) Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penyertaan dalam melakukan
perbuatan pidana, yaitu :
“Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana:1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut
serta melakukan perbuatan.”14
Dalam hal penjatuhan pidana, hakim harus mempertimbangkan dan
memperhatikan fakta-fakta yang terungkap selama proses persidangan.
Apakah perbuatan terdakwa tersebut sudah memenuhi unsur-unsur tindak
12Putusan Pengadilan Negeri Semarang, 28 April 2004 No. 03/Pid/B/2004/PN. Smg tentangTindak Pidana Terorisme, hlm. 65
13Tim Redaksi Fokusmedia, Perpu No. 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan TindakPidana Terorisme, Bandung: Fokusmedia, 2003, hlm. 17
14 Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 2003, hlm. 69
pidana. Dalam hal ini, apakah perbuatan terdakwa sudah memenuhi unsur
yang disyaratkan Pasal 9 Perpu No. 1 tahun 2002 Jo. Pasal 1 Undang-undang
No. 15 tahun 2003 Jo. Pasal 55 (1) ke-1 KUHP.
Kaitannya dengan sanksi pidana yang diberikan terhadap terdakwa S
dalam putusan Pengadilan Negeri Semarang No. 03/Pid/B/2004/PN. Smg
tersebut di atas, negara berhak menjatuhkan pidana kepada terdakwa karena
telah melakukan penyerangan terhadap hak dan kepentingan hukum (pribadi,
masyarakat atau negara) yang telah dilindungi. Maka oleh karenanya
terdakwa harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatan yang telah
dilakukan.
Penjatuhan pidana pada dasarnya penderitaan pada penjahat
dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain.
Setiap kejahatan tidak boleh tidak harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnya.
Pidana ialah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan dengan tujuan
agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara.15
Dalam arti luas, hukum pidana Islam juga memiliki tujuan melindungi
kebutuhan hidup utama manusia yang dikenal sebagai maqashidusy syari ah
al-khamsah, yaitu din (agama), jiwa, akal pikiran, harta, dan keturunan. Di
samping itu ada juga perlindungan atas kebutuhan yang subsider, atau
dikenal sebagai hajiyat serta tahsinat. Dengan menetapkan tujuan yang jelas
15 Adami Chazami, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002,hlm. 158
itu, semua ketentuan hukum pidana Islam selalu memiliki tujuan yang jelas
dan tidak semata-mata untuk merespon perkembangan manusia saja.16
Dalam pelaksanaan Syariat Islam selalu menyamaratakan manusia,
tidak membedakan antara satu bangsa dengan bangsa lainnya, antara individu
dengan individu lainnya untuk kemaslahatan bersama. Kemaslahatan yang
dimaksud dalam Syariat Islam adalah kemaslahatan yang memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat luas,
memperhatikan kepentingan kelompok tertentu dan bangsa secara luas,
memperhatikan kepentingan generasi sekarang dan generasi yang akan
datang dan kemaslahatan yang berupa persamaan dan keadilan.17 Dalam hal
ini Imam Jalaluddin As Suyuti mengemukakan bahwa:
18
Artinya : Semua produk fiqh / hukum (dikembalikan) kepada ketentuanmaslahat dan menghindari mafsadat .
Setelah penulis menguraikan latar belakang tersebut di atas, dapatlah
ditarik objek pembahasan dalam skripsi ini, yaitu apakah putusan yang
diambil Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang dalam perkara tindak
pidana terorisme sudah didasarkan dengan fakta-fakta hukum yang
terungkap dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk mengkaji dan meneliti lebih lanjut tentang putusan Pengadilan Negeri
16 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: SinarGrafika, 2004, hlm. 31-32
17 Yusuf Al Qordlawi, Al Madkhal, Dirasat Asy Syari’at Al Islamiyah, di alih bahasakanoleh : Muhammad Zaki, Membumikan Syari at Islam, Surabaya: Dunia Ilmu, 1417 H, hlm. 60-61.
18 Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As Suyuthi, Al Asybah wa al Nadhair, Semarang:Dar al Ihya al Kitab al ‘Arabiyah, tt, hlm. 6
Semarang No. 03/Pid/B/2004/PN.Smg tentang tindak pidana terorisme,
penulis tuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul "Studi Analisis Terhadap
Putusan Pengadilan Negeri Semarang No. 03/Pid/B/2004/PN.Smg Tentang
Tindak Pidana Terorisme ".
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, penulis merumuskan permasalahan pokok
dalam skripsi ini sebagai berikut :
1. Bagaimana dasar pertimbangan hukum putusan Pengadilan Negeri
Semarang No. 03/Pid/B/2004/PN.Smg tentang tindak pidana terorisme?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam mengenai putusan Pengadilan Negeri
Semarang No. 03/Pid/B/2004/PN.Smg tentang tindak pidana terorisme?
C. Tujuan Penulisan Skripsi
Mengacu pada pokok persoalan tersebut diatas tujuan penulisan
Skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hukum putusan Pengadilan
Negeri Semarang No. 03/Pid/B/2004/PN.Smg tentang tindak pidana
terorisme.
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap putusan Pengadilan
Negeri Semarang No. 03/Pid/B/2004/PN.Smg tentang tindak pidana
terorisme.
D. Telaah Pustaka
Dalam menulis skripsi ini penulis telah melakukan telaah pustaka
dengan membaca buku-buku atau karya tulis yang membahas tentang tindak
pidana terorisme, diantaranya;
Teror Bom di Indonesia karangan Bambang Abimanyu, di mana buku
ini menguraikan tentang berbagai macam teror yang terjadi di Indonesia,
sikap dunia internasional terhadap terorisme, serta langkah-langkah yang
telah dilakukan dunia internasional untuk menanggulangi terorisme, yang
menyebutkan bahwa terorisme adalah kekerasan terorganisir, menempatkan
kekerasan sebagai kesadaran, metode berfikir sekaligus alat pencapaian
tujuan. Di antara tindak pidana terorisme yang paling populer belakangan ini
adalah pengeboman. Namun, kaum teroris juga masih sering menggunakan
tindakan teror seperti pembunuhan, penculikan, serangan bersenjata,
pembajakan dan penyanderaan.. Dalam membentuk kebijakan anti-teror,
harus memperhatikan peraturan yang diperlukan untuk mempersempit
terjadinya aksi-aksi teror. Sebagai upaya yang berkelanjutan, kebijakan anti-
terorisme difokuskan pada membangun sistem dan mekanisme peringatan
dini (early warning system). Terorisme hanya bisa dicegah, ditanggulangi
dan dipersempit ruang geraknya oleh kebijakan negara yang komprehensif
bagi tata kehidupan demokratik, kesejahteraan sosial dan tegaknya keadilan.
Undang-undang tindak pidana terorisme hanya merupakan salah satu
instrumen dalam kebijakan anti-terorisne, karena undang-undang tidak
selamanya diperlukan.
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, majelis hakim
telah menjatuhkan vonis terhadap terdakwa teroris Sugiarto alias Sugicheng.
Dalam putusannya, majelis hakim menilai terdakwa telah terbukti terlibat
dalam pembunuhan terhadap Dago Simamora yang merupakan guru SMP di
Palembang yang dibunuh dengan cara ditembak karena telah mempersoalkan
jilbab yang dikenakan siswa didiknya. Selain itu, terdakwa juga terlibat
dalam rencana peledakan Cafe Bedudel di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Karena tindakannya tersebut terdakwa dijerat dengan pasal 15 jo 7 UU No.
15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Dalam skripsi Moch. Kusnadi (04370007) UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta yang berjudul Kejahatan Terorisme Perspektif Hukum Pidana
Islam Kontemporer, membahas tentang tindak pidana terorisme dari sudut
pandang hukum pidana Islam kontemporer serta pengkategoriannya dalam
hukum pidana Islam. Di mana dinyatakan bahwa terorisme adalah kejahatan
terhadap peradaban dan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan tiap
negara. Kejahatan terorisme dilakukan dengan cara-cara anarkis yang banyak
mengorbankan orang-orang yang tidak berdosa. Kejahatan ini dilakukan
secara terorganisir dan sistematis dengan melibatkan antar negara. Dari
unsur-unsur yang ada, tindak pidana terorisme termasuk dalam kategori
hirabah.
Dalam skripsi Rico Setyo Nugroho (1100047) Fakultas Dakwah IAIN
Walisongo Jihad Fi Sabilillah dalam Pemikiran Imam Samudra dalam Buku
Aku Melawan Teroris; Ditinjau dari Perspektif Dakwah, menyebutkan
bahwa pemahaman jihad Imam Samudra dapat diartikan dari tiga sudut
pandang, bahasa, istilah dan syari’ah. Menurut bahasa jihad berarti
bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga untuk mencapai suatu tujuan.
Secara istilah jihad berarti bersungguh-sungguh memperjuangkan hukum
Allah, mendakwahkannya serta menegakkannya di muka bumi. Secara
syari’ah, jihad berarti berperang melawan kaum kafir yang memerangi kaum
muslimin. Dari ketiganya, jihad dalam pengertian syari’ah-lah yang
digolongkan sebagai jihad fi sabilillah. Jadi, yang dimaksud jihad fi sabilillah
oleh Imam Samudra adalah angkat senjata untuk berperang di jalan Allah
melawan musuh guna membela dan mempertahankan Islam. Karenanya,
Imam Samudra memandang bahwa perlawanan terhadap dominasi AS dan
sekutunya yang melakukan pembantaian terhadap umat Islam di Afganistan,
Palestina dan Irak merupakan bentuk jihad yang harus dilakukan yang salah
satunya dengan melakukan pengeboman di Bali dengan sasaran AS dan
sekutunya. Pengertian jihad yang mengedepankan peperangan sebagaimana
yang dilakukan Imam Samudra dapat melahirkan image bahwa Islam
merupakan agama yang disebarkan melalui kekerasan. Akan tetapi dalam
skripsi ini hanya membahas tentang pemahaman Imam Samudra tentang
Jihad dan tidak membahas lebih jauh tentang tindak pidana terorisme
menurut hukum Islam dan hukum positif.
Dalam skripsi Noor Ma’ruf (2102235) jurusan Jinayah Siyasah
fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Studi Analisis terhadap Pemikiran Ibnu
Taimiyyah tentang Jihad, menyebutkan bahwa Ibnu Taimiyyah memandang
jihad dapat diaplikasikan melalui tenaga, hati, dakwah, hujjah, lisan, ide dan
aturan serta aktifitas positif yang mencakup segala bentuk usaha lahir dan
batin yang bisa dikategorikan sebagai ibadah. Bahwasannya jihad pada
hakikatnya adalah mencapai apa yang dicintai oleh Allah berupa iman dan
amal shalih, dan menolak apa yang dibenci oleh Allah berupa kekufuran,
kefasikan dan maksiyat.
Dalam skripsi ini secara garis besar akan memfokuskan pada Putusan
Pengadilan Negeri Semarang No. 03/Pid/B/2004/PN.Smg tentang Tindak
Pidana Terorisme ditinjau dari dua hal. Pertama, mencoba mengetahui dasar
pertimbangan hukum tindak pidana terorisme beserta sanksi hukumnya.
Kedua, mengkaji dengan pandangan hukum Islam tentang tindak pidana
terorisme.
E. Metode Penelitian Skripsi
1. Jenis penelitian
Dalam penelitian ini, metode pendekatan yang dilakukan adalah
Yuridis Normatif / Doktrinal. Artinya penelitian hanya dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang bersifat hukum.19
Ditinjau dari sudut tujuan penelitian, metode yuridis normatif / doktrinal
mencakup terhadap penelitian atas azas hukum, sistematika hukum, taraf
sinkronisasi hukum, serta perbandingan hukum.20
19 Sri Mamudji, Metode Penelitian dan penelitian Hukum, Jakarta: Badan Penerbit FakultasHukum Universitas Indonesia, 2005, hlm. 4-5
20 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia press,1986, hlm. 51
2. Jenis dan Sumber Data
a. Jenis Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari objek
penelitian dengan menggunakan alat pengukuran, atau alat
pengambilan langsung pada subyek sebagai sumber alat pengambilan
data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari.21
Sumber data ini diperoleh dari putusan Pengadilan Negeri Semarang
No. 03/Pid/B/2004/PN.Smg tentang tindak pidana terorisme.
b. Jenis Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain,
tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitiannya.22
Data ini dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan hukum
yang relevan dengan pokok masalah yang akan diteliti. Bahan-bahan
tersebut terdiri atas peraturan perundang-undangan yakni KUHP dan
Perpu No. 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, serta bahan kepustakaan berupa Buku-buku, kitab-kitab
fiqh dan kitab-kitab lainnya yang di dalamnya berkaitan dengan
masalah tersebut diatas.
3. Metode Analisis Data
Adapun untuk menganalisis keseluruhan data yang terkumpul,
penulis menggunakan metode analisis Deskriptif dan Interpretatif
21 Saifuddin Azhar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hlm. 91.22 Ibid, hlm. 91.
a. Metode deskriptif analitis, dimaksudkan untuk memberikan data
yang seteliti mungkin tentang keadaan atau gejala-gejala lainnya.
Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar
dapat membantu teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun
teori-teori baru.23 Berkaitan dengan hal ini data tentang Putusan
Pengadilan Negeri Semarang No. 03/Pid/B/2004/PN.Smg tentang
tindak pidana terorisme. Analisis deskriptif ini dilakukan untuk
menggambarkan konsep dan praktik dalam pelaksanaan Putusan
Pengadilan Negeri Semarang tentang tindak pidana terorisme.
b. Metode analisis interpretasi, digunakan untuk mengadakan
penelusuran terhadap azas-azas yang terdapat di dalam hukum
positif dan menghubungkannya dengan fungsi hakim dalam
menerapkan hukum, khususnya di dalam melakukan penafsiran
terhadap peraturan perundang-undangan.24 Metode ini akan penulis
gunakan untuk mendalami Putusan Pengadilan Negeri Semarang
No. 03/Pid/B/2004/PN.Smg tentang tindak pidana terorisme baik
secara eksplisit maupun implisit untuk menafsiri, memposisikan dan
membandingkan agar dapat mengungkap dasar pertimbangan
hukum yang terkandung di dalamnya.
23 Soerjono Soekanto, op.cit., hlm. 1024 Ibid, hlm. 252
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memudahkan skripsi ini, dan dapat memberikan gambaran
yang jelas mengenai apa yang hendak penulis sampaikan, maka perlu kiranya
penulis memaparkan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I : Merupakan bab Pendahuluan skripsi ini, yang terdiri dari ; latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan skripsi,
telaah pustaka, metode penelitian skripsi dan sistematika
penulisan skripsi.
BAB II : Menjelaskan tinjauan umum tentang tindak terorisme, yang
terdiri dari; tindak pidana terorisme menurut hukum positif
yang meliputi pengertian dan ciri-ciri terorisme, unsur-unsur
tindak pidana terorisme dalam UU No. 15 tahun 2003, beban
pembuktian, alat bukti dan teori pemidanaan, sanksi hukum
pidana tindak pidana dalam UU No. 15 tahun 2003, serta
tindak pidana terorisme menurut hukum Islam yang meliputi
prinsip keamanan umum menurut Islam, unsur-unsur tindak
pidana terorisme menurut hukum Islam dan sanksi tindak
pidana terorisme menurut hukum Islam.
Bab III : Membahas Putusan Pengadilan Negeri Semarang No.
03/Pid/B/2004 PN.Smg tentang Tindak Pidana Terorisme,
dalam bab ini penulis akan paparkan tentang sekilas Pengadilan
Negeri Semarang, meliputi sejarah berdirinya Pengadilan
Negeri Semarang, tugas dan wewenang Pengadilan Negeri
Semarang, putusan Pengadilan Negeri Semarang No.
03/Pid/B/2004 PN.Smg tentang tindak pidana terorisme, dan
dasar pertimbangan hukum Pengadilan Negeri Semarang.
Bab IV : Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Semarang No.
03/Pid/B/2004 PN.Smg tentang Tindak Pidana Terorisme, yang
terdiri dari; Analisis terhadap Putusan Pengadilan Negeri
Semarang No. 03/Pid/B/2004 PN.Smg tentang tindak pidana
terorisme. Analisis terhadap dasar pertimbangan hukum dalam
putusan Pengadilan Negeri Semarang No. 03/Pid/B/2004
PN.Smg tentang tindak pidana terorisme serta analisis hukum
Islam terhadap Putusan Pengadilan Negeri Semarang No.
03/Pid/B/2004 PN.Smg tentang tindak pidana terorisme.
Bab V : Penutup, yang terdiri dari ; Kesimpulan dan Saran-saran
BAB II
TINJAUAN UMUM
TENTANG TINDAK PIDANA TERORISME
A. Tindak Pidana Terorisme menurut Hukum Positif
1. Terorisme : Pengertian dan Ciri-ciri Terorisme
a. Pengertian Terorisme
Secara etimologi terorisme berarti menakut-nakuti (to terrify).
Kata ini berasal dari bahasa latin terrere, menimbulkan rasa gemetar
dan cemas . Kata ini secara umum digunakan dalam pengertian
politik, sebagai suatu serangan terhadap tatanan sipil, semasa
pemerintahan teror revolusi Perancis akhir abad ke-18.25
Mengenai pengertian yang baku dan definitif dari apa yang
disebut dengan terorisme, sampai saat ini belum ada keseragaman.
Tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang
dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan
pengawasan atas makna terorisme tersebut. Perbedaan dalam
memberikan definisi terhadap terorisme disebabkan masing-masing
pihak berkepentingan dalam menerjemahkan penggunaan istilah
terorisme dalam sudut pandangnya. Di samping juga karena
banyaknya elemen terkait. Tidak mudahnya merumuskan definisi
terorisme, tampak dari usaha Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
25 Mark Juergensmeyer, Terorisme Para Pembela Agama, (diterjemahkan oleh AmienRozany Pane), Yogyakarta: Tarawang Press, 2003, hlm. 6
dengan membentuk Ad Hoc Committe on Terrorism tahun 1972 yang
bersidang selama tujuh tahun tanpa menghasilkan rumusan definisi.26
Banyaknya pihak yang berkepentingan dalam isu terorisme terutama
terkait politik, telah melahirkan berbagai opini yang berpengaruh
terhadap definisi terorisme, salah satunya opini Peter Rosler Garcia,
seorang ahli politik dan ekonomi luar negeri dari Hamburg, Jerman
yang menyatakan tidak ada suatu negara di dunia ini yang secara
konsekuen melawan terorisme.27 Meski demikian, berdasarkan
sejumlah sumber, setidaknya dapat dipahami pengertian terorisme,
antara lain:
Menurut US Federal Bureau of Investigation (FBI) terorisme
adalah pemakaian kekuatan atau kekerasan tidak sah melawan orang
atau properti untuk mengintimidasi atau menekan suatu pemerintahan,
masyarakat sipil atau bagian-bagiannya, untuk memaksakan tujuan
sosial politik.28
Sementara US Central Intelligence Agency (CIA) memberikan
definisi bahwa terorisme internasional adalah terorisme yang
dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing atau
diarahkan untuk melawan negara, lembaga atau pemerintah asing.29
26Indriyanto Seno Adji, Terorisme, Perpu No. 1 Tahun 2002 dalam Perpektif HukumPidana, Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001, hlm. 35
27Peter Rosler Garcia, Terorisme, Anak Kandung Ekstrimisme, <http:/www.kompas.com/kompas-cetak/0210/15/tero30.htm>, (diakses pada 27 Desember 2009)
28Hermawan Sulistyo, dkk (Editor), Beyond Terrorism; Dampak dan Strategi pada MasaDepan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002, hlm. 3
29 http://id.wikipedia.org/wiki/Definisi_terorisme (diakses pada 27 Desember 2009)
Menurut TNI-AD berdasarkan Bujuknik tentang Anti Teror
tahun 2000, terorisme adalah cara berfikir dan bertindak yang
menggunakan teror sebagai tehnik untuk mencapai tujuan.30
A.C Manullang mendefinisikan bahwa terorisme adalah suatu
cara untuk merebut kekuasaan dari kelompok lain, dipicu antara lain
karena adanya pertentangan agama, ideologi dan etnis serta
kesenjangan ekonomi, serta tersumbatnya komunikasi rakyat dengan
pemerintah, atau karena adanya paham separatisme dan ideologi
fanatisme .31
Dalam hukum pidana Islam, tidak ada definisi yang spesifik
tentang terorisme. Akan tetapi, dalam hal ini penulis mengacu pada
definisi terorisme oleh MUI, yang menyatakan bahwa:
“Terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaandan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadapkedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaiandunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorismeadalah salah satu bentuk kejahatan yang diorganisasi denganbaik (well organized), bersifat transnasional dan digolongkansebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) yang tidakmembeda-bedakan sasaran (indiskrimatif) .32
Dengan kata lain, terorisme dapat diartikan sebagai tindakan
kekerasan yang melanggar hukum dilakukan sekelompok orang
sebagai jalan terakhir guna mewujudkan keinginannya yang tidak
dapat dicapai melalui jalan resmi.
30 Loudewijk F. Paulus, Terorisme, http://buletinlitbang.dephan.go.id (diakses pada 2Januari 2010)
31 A.C. Manullang, Menguak Tabu Intelijen Teror, Motif dan Rezim, Jakarta: Panta Rhei,2001, hlm. 151
32 Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, No. 3 Tahun 2004 tentang Terorisme
Dalam Perpu Nomor 1 tahun 2002 yang telah diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Tindak
Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-
unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak
Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana
Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan
tindak pidana terorisme, jika:
1) Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasanmenimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secarameluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengancara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan hartabenda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuranterhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidupatau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6)
2) Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasanbermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takutterhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yangbersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan ataumenghilangkan nyawa dan harta benda orang lain ataumengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyekvital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik ataufasilitas internasional (Pasal 7)33
b. Ciri-ciri Terorisme
Untuk mempermudah terhadap terorisme serta klasifikasinya,
Gibbs menambahkan beberapa ciri perbuatan yang merupakan
terorisme dengan merujuk pada:
33 Tim Redaksi Fokusmedia, Undang-undang No. 15 tahun 2003 tentang PemberantasanTindak Pidana Terorisme, Bandung: Fokusmedia, 2003, hlm. 14
1) Perbuatan yang dilaksanakan atau ditujukan dengan maksud untuk
mengubah atau mempertahankan suatu norma dalam bentuk
wilayah atau suatu populasi;
2) Memiliki kerahasiaan, tersembunyi tentang keberadaan para
partisipan, identitas anggota, dan tempat persembunyian;
3) Tidak bersifat menetap pada suatu area tertentu;
4) Bukan merupakan tindakan peperangan biasa karena mereka
menyembunyikan identitas mereka, lokasi penyerangan, berikut
ancaman dan pergerakan mereka; serta
5) Adanya partisipan yang memiliki pemikiran atau ideologi yang
sejalan dengan konseptor, dan pemberian kontribusi untuk
memperjuangkan norma yang dianggap benar oleh kelompok
tersebut tanpa memperhitungkan kerusakan atau akibat yang
ditimbulkan.34
2. Unsur-unsur Tindak Pidana Terorisme
Perumusan tindak pidana terorisme dalam undang-undang nomor
15 tahun 2003 menggunakan cara perumusan baik itu perumusan dengan
cara merumuskan unsur-unsurnya saja maupun mengunakan cara
perumusan dengan menguraikan unsur-unsur dan memberikan klasifikasi
terhadap tindak pidana tersebut. Contoh dari pasal yang menggunakan
cara perumusan tindak pidana dengan menguraikan unsur-unsurnya saja
34 Jack Gibbs, Definisi Terorisme, <http:/en.wikipedia.org/wiki/Definition_of_terrorism>,(diakses pada 27 Desember 2009)
tanpa memberikan kualifikasi tindak pidananya adalah pasal 6 Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2003, yang isinya sebagai berikut:
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atauancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takutterhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yangbersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atauhilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkankerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yangstrategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitasinternasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumurhidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun danpaling lama 20 (dua puluh) tahun”.35
Secara rinci pasal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut
berdasarkan unsur subjektif dan unsur objektifnya.36
a. Unsur subjektif
1) Setiap orang;
2) Dengan sengaja;
3) Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, menimbulkan
suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal.
b. Unsur objektif
1) Merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda
orang lain;
2) Mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek
vital yang strategis;
35 Tim Redaksi Fokusmedia, op.cit., hlm. 1336 Unsur subjektif adalah unsur yang berkaitan dengan si pelaku itu sendiri, sedangkan
unsur objektif adalah unsur yang berkaitan dengan tingkah laku dan dengan keadaan di dunia luarpada waktu perbuatan itu dilakukan. Lebih lanjut lihat J. M. Van Bemmelen, Hukum Pidana I:Pidana Material Bagian Umum, diterjemahkan oleh Hasan, tt: Bina Cipta, 1984, hlm. 102-103
3) Atau lingkungan hidup atau fasilitas umum;
4) Atau fasilitas internasional.
Pasal 6 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut hanya
menguraikan unsur-unsur dari tindak pidana terorisme, tetapi tidak
memberikan klasifikasi tindakan tersebut sebagai tindakan terorisme. Hal
yang sama juga terdapat dalam 7 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003,
yaitu:
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atauancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teroratau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkankorban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaanatau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain ataumengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyekvital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik ataufasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lamaseumur hidup”.37
Sekilas pengaturan dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 tersebut menyerupai ketentuan dalam pasal 6 Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2003, akan tetapi terdapat perbedaan, yaitu
adanya unsur “bermaksud...”. Unsur ini menandakan pasal 7 Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2003 merupakan pasal tindak pidana tidak
selesai atau percobaan tindak pidana.38 Sehingga yang harus dibuktikan
dalam pasal 7 undang-undang nomor 15 tahun 2003 adalah berupa adanya
maksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut yang meluas
atau menimbulkan korban yang bersifat massal, walaupun ancaman
37 Tim Redaksi Fokusmedia, op.cit., hlm. 1438 F. Budi Hardiman, dkk. Terorisme, Definsi, Aksi dan Regulasi, Jakarta: Imparsial, 2005,
hlm. 68
kekerasan atau kekerasannya belum dilakukan. Syarat suatu percobaan
tindak pidana adalah:
a. Sudah ada niat. Menurut J. M. Van Bemmelen, dikatakan “Niat
melakukan kejahatan dalam percobaan mengambil tempat yang di
duduki kesengajaan dalam delik dengan sengaja yang diselesaikan”.39
b. Permulaan pelaksanaan. Ada dua teori utama dalam hal ini yang
menjelaskan mengenai permulaan pelaksanaan. Teori tersebut timbul
akibat adanya permasalahan mengenai permulaan pelaksanaan itu
sendiri, yaitu apakah permulaan pelaksanaan tersebut harus diartikan
sebagai “permulaan pelaksanaan dari niat / maksud si pelaku” ataukah
sebagai “permulaan pelaksanaan dari kejahatan yang telah dimaksud
oleh si pelaku untuk ia lakukan”.
Teori subjektif. Dalam hal ini, permulaan pelaksanaan dihubungkan
dengan niat yang mendahuluinya (permulaan pelaksanaan tindakan
dari niat). Kesimpulan dari teori ini adalah, seseorang dikatakan
melakukan percobaan oleh karena orang tersebut telah menunjukkan
perilaku yang tidak bermoral, yang bersifat jahat ataupun yang bersifat
berbahaya.
Teori objektif. Permulaan pelaksanaan dalam teori ini dihubungkan
dengan pelaksanaan tindakan dari kejahatan. secara nyata. Yaitu
apabila dalam delik formil: jika tindakan itu merupakan sebagian dari
perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Sedangkan dalam delik
39 J. M. Van Bemmelen, op.cit , hlm. 246
materiil: tindakan tersebut langsung menimbulkan akibat yang
dilarang oleh undang-undang. Van Bemmelen memberi pendapat
mengenai permulaan pelaksanaan yaitu “...permulaan pelaksanaan
harus merupakan permulaan pelaksanaan dari kejahatan itu sendiri dan
bukan hanya permulaan pelaksanaan dari niat”.40 Dengan demikian
dapat kita simpulkan, yang menjadi titik ukur teori ini mengenai
permulaan pelaksanaan adalah kapan peristiwa kejahatan itu nyata
terjadi, bukan pada kapan niat itu dilakukan.
c. Gagalnya atau tidak selesainya tindakan pelaku tindak pidana adalah
di luar kehendak pelaku tindak pidana. Yang tidak selesai itu
kejahatan, atau kejahatan dalam undang-undang, atau tidak sempurna
memenuhi unsur-unsur dari kejahatan menurut rumusannya.
Dalam pasal 6 dan pasal 7 Undang–undang nomor 15 tahun 2003
adalah contoh pasal dalam undang-undang tersebut yang cara
perumusannya hanya menguraikan unsur tindak pidananya tanpa
memberikan klasifikasi nama. Kedua pasal tersebut juga menggunakan
pendekatan secara umum, yaitu menjadikan serangkaian tindak pidana
menjadi tindak pidana terorisme.
Pasal yang menggunakan cara perumusan dengan menguraikan
unsur dan memberikan klasifikasi tindak pidana, terdapat dalam pasal 8
sampai dengan 16 Undang–undang No. 15 Tahun 2003 yang
40 Ibid, hlm. 248
dikategorikan tindak pidana terorisme. Sebagai contoh, berikut dikutip
pasal 9 Undang–undang nomor 15 tahun 2003.
“Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan keIndonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahatau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyaipersediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan,mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan ataumengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api,amnunisi, atau sesuatu bahan peleda dan bahan-bahan lainnyayang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidanaterorisme, dipidana dengan pidana mai atau penjara seumur hidupatau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama20 (dua puluh) tahun”. 41
Dalam pasal tersebut, terdapat uraian unsur-unsur yang secara jelas
diklasifikasikan sebagai tindak pidana terorisme.. Pasal ini menggunakan
pendekatan spesifik, yaitu menjadikan tindak pidana biasa sebagai atau
disamakan dengan tindak pidana terorisme.
3. Beban Pembuktian, Alat Bukti dan Teori Pemidanaan
Pembuktian merupakan proses acara pidana yang memegang
peranan penting dalam pemeriksaan sidang di pengadilan. Melalui
pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa, apakah ia bersalah atau
tidak. Darwan Prints mendefinisikan pembuktian sebagai “pembuktian
suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya”.42
Sesungguhnya tujuan dari pembuktian adalah berusaha untuk melindungi
orang yang tidak bersalah.
41 Tim Redaksi Fokusmedia, op.cit., hlm. 1742 Darwan Prints, Hukum Acara Pidana dalam Praktik, Jakarta: Djambatan, 1998, hlm. 106
Walaupun secara konteks yuridis, proses pembuktian dilakukan di
pengadilan, sesungguhnya proses pembuktian sendiri telah dimulai pada
tahap penyidikan. Pada tahap ini penyidik mengolah data apakah peristiwa
yang terjadi merupakan peristiwa pidana atau hanya merupakan peristiwa
biasa. Penyidik juga mencari dan mengumpulkan bukti serta menganalisis
bukti yang ditemukan.
a. Beban Pembuktian
Beban pembuktian adalah kewajiban yang dibebankan kepada
suatu pihak untuk memberikan suatu fakta di depan umum demi
membuktikan fakta tersebut di depan hakim yang sedang memeriksa
kasus tersebut di persidangan. Dalam hukum acara pidana dikenal tiga
macam beban pembuktian, yaitu sebagai berikut:
1) Beban pembuktian biasa. Pada beban pembuktian ini, berlaku
prinsip siapa yang mendalilkan maka ia harus membuktikan.
Beban pembuktian ini biasa digunakan pada tindak pidana umum,
di mana penuntut umum lah yang dibebani kewajiban untuk
membuktikan. Sedangkan bagi terdakwa ia tidak dibebani dengan
beban pembuktian, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 66
KUHAP “tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban
pembuktian”.43
2) Beban pembuktian terbalik terbatas atau berimbang. Pada beban
pembuktian seperti ini, kewajiban pembuktian terletak pada dua
43 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2001, hlm. 33
pihak, yaitu pada penuntut umum dan terdakwa sendiri. Pada
dasarnya penuntut umum membuktikan telah terjadi suatu
peristiwa pidana yang dilakukan oleh terdakwa dan terdakwa
harus mempertanggungjawabkannya. Sementara itu, terdakwa
berupaya membuktikan perbuatannya bukan merupakan tindak
pidana serta membuktikan dakwaan penuntut umum dalam surat
dakwaan tidak benar. Dalam beban pembuktian terbalik
berimbang, apabila terdakwa terdakwa memiliki alibi yang kuat ia
mampu membuktikan kebenarannya, maka beban pembuktian
secara otomatis berpindah ke tangan penuntut umum.44
3) Beban pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian.
Dalam beban pembuktian ini, hanya terdakwalah yang dibebani
kewajiban untuk membuktikan dakwaan penuntut umum tidak
benar dan dirinya tidak bersalah.45
b. Alat Bukti dalam Tindak Pidana Terorisme
Tidak ditemukan suatu definisi khusus mengenai apa itu alat
bukti, namun secara umum yang dimaksud alat bukti adalah alat bukti
yang tercantum dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP. Fungsi dari alat
bukti itu sendiri adalah untuk membuktikan adalah benar terdakwa
yang melakukan tindak pidana dan untuk itu terdakwa harus
44Angga Bastian dkk., Makalah Sistem Pembuktian dan Beban Pembuktian padaMatakuliah Hukum Pembuktian, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006, hal. 8
45 Ibid., hlm. 10
mempertanggungjawabkan perbuatannya.46 Pengaturan alat bukti
secara umum diatur dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu:
1) Keterangan saksi;
2) Keterangan ahli;
3) Surat;
4) Petunjuk;
5) Keterangan terdakwa.
Beberapa undang-undang pidana yang memiliki aspek formil
juga mengatur mengenai alat bukti tersendiri. Meskipun demikian,
secara umum alat bukti yang diatur dalam undang-undang pidana
formil tersebut tetap merujuk pada alat bukti yang diatur dalam
KUHAP.
Pengaturan mengenai alat bukti tindak pidana terorisme diatur
dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2003 pasal 27, sebagaimana
berikut:
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi:a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara
Pidana;b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronikdengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
c. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atautanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di ataskertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekamsecara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:1) Tulisan, suara atau gambar;2) Peta, rancangan, foto atau sejenisnya;
46 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-undangHukum Acara Pidana (KUHAP) Jilid II, Jakarta: Pustaka Kartini, 1988, hlm. 285
3) Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yangmemiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yangmampu membaca atau memahaminya. 47
c. Teori Pemidanaan
Teori-teori pemidanaan mempunyai hubungan langsung
dengan pengertian hukum pidana. Teori-teori ini adalah menjatuhkan
dan menerangkan tentang dasar dan hak negara dalam menjatuhkan
dan menjalankan pidana tersebut. Pertanyaan seperti apa, apa dasarnya
dan untuk apa pidana yang telah diancamkan itu dijatuhkan, atau
apakah alasannya bahwa negara dalam menjalankan fungsi menjaga
dan melindungi kepentingan hukum dengan cara melanggar
kepentingan hukum dan pribadi orang. Pidana yang diancamkan itu
apabila diterapkan, justru menyerang hukum dan hak pribadi manusia
yang sebenarnya dilindungi oleh hukum.48
Bagi hakim yang bijak, ketika ia akan menarik dan
menetapkan amar putusan, ia terlebih dahulu akan merenungkan dan
mempertimbangkan manfaat apa yang akan dicapai dari penjatuhan
pidana. Dalam keadaan yang demikian teori hukum pidana dapat
membantunya.
Dari berbagai macam teori pemidanaan, dapat dikelompokkan
menjadi 3 golongan, ialah:
47 Tim Redaksi Fokusmedia, op.cit., hlm. 2448 http: //fatahilla.blogspot.com/2009/06/ pemidanaan – sebagai –sarana - menciptakan.html
(diakses pada 14 Maret 2010)
1) Teori Absolut
Dasar pijakan dari teori ini ialah pembalasan. Penjatuhan
pidana yang pada dasarnya penderitaan, pada penjahat dibenarkan
karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain. Setiap
kejahatan tidak boleh tidak harus diikuti oleh pidana bagi
pembuatnya. Tidak dilihat akibat apa yang dapat timbul dari
penjatuhan pidana itu, tidak memperhatikan masa depan, baik
terhadap diri penjahat maupun masyarakat. Menjatuhkan pidana
tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis, tetapi
bermaksud satu-satunya penderitaan bagi penjahat.49
2) Teori Relatif
Teori relatif berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana
adalah alat untuk menegakkan tata tertib hukum dalam
masyarakat. Untuk mencapai ketertiban masyarakat, maka pidana
mempunyai sifat sebagai pencegahan umum. Mengenai
pencegahan ini dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pertama,
pencegahan umum yaitu pidana yang dijatuhkan pada penjahat
yang mempunyai tujuan agar orang-orang (umum) menjadi takut
untuk berbuat kejahatan. Pidana yang dijatuhkan pidana itu
dijadikan contoh oleh masyarakat, agar tidak meniru dan
melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat itu. Kedua,
pencegahan khusus yaitu teori yang mempunyai tujuan untuk
49 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002,hlm. 153-154
mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak
mengulang melakukan kejahatan.50
3) Teori Gabungan
Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas
pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat. Dengan
kata lain dua alasan itu adalah menjadi alasan dasar dari
penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi
dua golongan, yaitu:
a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi
pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang
perlu dan cukup untuk dapat dipertahankannya tata tertib
masyarakat.
b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib
masyarakat. Tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak
boleh lebih berat dari perbuatan yang dilakukan terpidana.
Karena dasar primer pidana adalah pencegahan umum dasar
sekundernya adalah pencegahan khusus.51
4. Sanksi Hukum Tindak Pidana Terorisme dalam Undang-undang No. 15
Tahun 2003
Sanksi hukum mengandung inti berupa suatu ancaman pidana
(strafbedreiging) kepada mereka yang melakukan pelanggaran peraturan/
norma. Sanksi mempunyai tugas agar peraturan yang sudah ditetapkan itu
50 Ibid, hlm. 157-16151 Ibid, hlm. 162-163
ditaati dan dilaksanakan. Dan sanksi merupakan alat pemaksa agar
seseorang menaati peraturan-peraturan yang berlaku.52 Adapun sanksi
terhadap pelanggar aturan hukum pidana ialah pelanggar akan
mendapatkan hukuman pidana sesuai dengan yang tercantum dalam pasal
10 KUHP, yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana
denda, dan pidana tambahan.53
Dalam hal ini, sanksi hukum tindak pidana terorisme disebutkan
dalam pasal 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15 dan 16 Undang-undang
Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.
Kaitannya dengan putusan pengadilan negeri No. 03/Pid/B/PN.Smg/2004
bahwa terdakwa dijerat dengan pasal 9 adalah sebagaimana berikut:
“Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan keIndonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahatau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyaipersediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan,mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan ataumengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api,amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnyayang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidanaterorisme, di pidana dengan pidana mati atau penjara seumurhidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan palinglama 20 (dua puluh) tahun”.54
Dalam pasal tersebut secara rinci menjelaskan tentang berbagai
macam perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
terorisme. Adapun yang dimaksud dengan “bahan yang berbahaya
52 Pipin Syarifin, Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000, hlm. 48.53 Sugandhi, KUHP Dengan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1981, hlm. 12.54 Tim Redaksi Fokusmedia, op.cit., hlm. 17
lainnya” menurut penjelasan pasal 9 UU No. 15 tahun 2003 termasuk di
dalamnya adalah gas beracun dan bahan kimia yang berbahaya.
B. Tindak Pidana Terorisme menurut Hukum Islam
1. Prinsip Keamanan Umum
Untuk mengetahui secara mendalam makna terorisme berdasarkan
sudut pandang hukum Islam, perlu merujuk pada beberapa elemen paling
penting atau prinsip keamanan umum berkenaan dengan terorisme Islam.
Dalam Islam terdapat hukum yang menjamin keselamatan dan
perlindungan warga sipil. Hal ini berdasarkan ajaran Islam yang
memandang kehidupan sebagai suatu yang suci dan tanda komitmen yang
teguh untuk menjamin hak asasi manusia. Islam juga melarang dan
mengecam segala bentuk aksi kekerasan dan membunuh non-muslim
kecuali terhadap pejuang musuh saat perang. Allah berfirman dalam surat
At-Taubah ayat 6:
÷b Î) urÓ‰tnr&z ÏiBšúü Ï. ÎŽô³ ßJ ø9$#x8 u‘$yftFó™$#çn ö•Å_r' sù4Ó®LymyìyJ ó¡ o„zN» n=x.«!$#¢O èO
çm øóÎ=ö/ r&¼ çm uZtBù' tB4y7Ï9ºsŒöN åkX r' Î/×Pöq s%žwšcq ßJ n=ôètƒÇÏÈ
Artinya : “Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itumeminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supayaia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah iake tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkanmereka kaum yang tidak mengetahui” (QS. Al-Taubah: 6)55
55 Departemen Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, Madinah: Mujamma’ Khadim Al-Haramain Asy-Syarifah, 1971, hlm. 278
Hubungan antara Muslim dan non-Muslim adalah hidup
berdampingan dengan damai. Hal ini utamanya karena Islam tidak
memerintahkan untuk mempunyai prasangka, rasa benci, dan rasa
permusuhan terhadap non-Muslim hanya karena mereka tidak mempunyai
akidah yang sama. Islam mengakui dan memperbolehkan adanya berbagai
hubungan dan ikatan di antara manusia di samping ikatan agama.
Islam sebagai agama rahmat bagi semesta alam tidak mendasarkan
diri pada pemaksaan apalagi kekerasan. Islam sebagai agama damai
menganjurkan pemeluknya untuk berdakwah dengan penuh hikmah dan
argumentasi yang logis, sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya:
Iwon#t• ø. Î)’ÎûÈûï Ïe$!$#(‰s%tûü t6 ¨?߉ô©”•9$#z ÏBÄcÓxöø9$#4yJ sùö• àÿõ3 tƒÏNq äó» ©Ü9$$Î/
-ÆÏB÷s ムur«!$$Î/ωs)sùy7|¡ ôJ tG ó™$#Ío uró• ãèø9$$Î/4’s+ øO âq ø9$#ŸwtP$|Á ÏÿR$#$olm;3ª!$#urìì‹ Ïÿxœ
îLìÎ=tæÇËÎÏÈ
Artinya : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam),sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yangsesat. Karena itu, barang siapa ingkar kepada thaghut (setan)dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telahberpegang kepada buhul tali amat kuat yang tidak akan putus.Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Baqarah: 256)56
Secara logika, jika orang dipaksa atau diancam agar masuk Islam,
maka orang itu tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan
yang dilakukannya, karena ia melakukannya lantaran terpaksa. Justru
kebebasan yang diberikan oleh Allah kepada umat manusia adalah untuk
56 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 63
memilih Islam atau tidak.57 Di waktu yang sama, dia juga memberikan
bekal cukup berupa akal, hati, dan tanda-tanda kebesaran-Nya di setiap
ufuk alam ini, yang akan melahirkan responsibility (tanggung jawab) yang
akan dimintakan kepada setiap manusia berakal di alam akhirat nanti.
Namun, kerahmatan Islam sebagai agama tidak berarti
membiarkan dirinya ditempeleng pipi kiri lalu diberikan pipi kanan.
Semua orang boleh mencela pribadi muslim dan yang bersangkutan
kemudian memaafkan orang itu. Akan tetapi, jika mereka telah
memerangi dakwah Islam yang dilakukan secara damai tersebut, maka
berlakulah hukum jihad.58 Sebagaimana ditetapkan dalam surat Al-
Baqarah ayat 190:
(#q è=ÏG» s% ur’ÎûÈ@‹ Î6 y™«!$#tûï Ï% ©!$#óO ä3 tRq è=ÏG» s)ミwur(#ÿr߉tG ÷ès?4žcÎ)©!$#Ÿw•=Åsãƒ
šúï ωtG ÷èßJ ø9$#ÇÊÒÉÈ
Artinya : Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangikamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karenasesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yangmelampaui batas”. (QS. Al-Baqarah: 190)59
Hal demikian telah dibuktikan dalam perjalanan sejarah dakwah
Rasul, sejak di Mekkah hingga Madinah. Bagaimana kafir Quraisy terus
melakukan berbagai tekanan fisik dan mental kepada pengikut Nabi yang
setia, hingga pada akhirnya Allah memberi izin untuk melawan kafir
Quraisy. Jadi, antara dakwah dan jihad masing-masing memiliki konteks
57 H. Abduh Zulfikar Akaha (Editor), Terorisme dan Konspirasi Anti-Islam, Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2002, hlm. 160-161
58 Ibid., hlm. 16259 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 46
yang relevan dan aktual sepanjang zaman. Prinsipnya, umat Islam tidak
pernah mendahului orang kafir, serta tidak menjadikan warga sipil sebagai
sasaran.
2. Unsur-unsur Tindak Pidana Terorisme menurut Hukum Islam
Dalam pandangan Islam, terorisme hukumnya adalah haram.
Terorisme sifatnya merusak dan anarkis, tujuannya untuk menciptakan
rasa takut dan / atau menghancurkan pihak lain, dan dilakukan tanpa
aturan dan sasaran tanpa batas. Dalam khazanah fikih Islam, terorisme
memenuhi unsur tindak pidana (jarimah) hirabah. Para ulama
mendefinisikan al-muharib (pelaku hirabah) dengan: Orang yang
mengangkat senjata melawan orang banyak dan menakut-nakuti mereka
(menimbulkan rasa takut di kalangan masyarakat). 60 Hal ini didasarkan
kepada firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 33:
$yJ ¯RÎ)(#ät t“ y_tûï Ï% ©!$#tbq ç/ Í‘$pt䆩!$#¼ã& s!q ß™u‘urtb öqyèó¡ tƒ ur’ÎûÇÚö‘F{ $##·Š$|¡ sùb r&
(#þq è=G s)ãƒ÷rr&(#þq ç6 ¯=|Á ãƒ÷rr&yì©Üs)è?óOÎgƒ ω÷ƒ r&N ßgè=ã_ö‘r&urô ÏiBA#» n=Åz÷rr&(#öq xÿY ペÆÏB
ÇÚö‘F{ $#4š• Ï9ºsŒóOßgs9Ó“÷“ Åz’Îû$u‹ ÷R‘‰9$#(óO ßgs9ur’ÎûÍo t• Åz Fy$#ë>#x‹tãíOŠÏà tã
ÇÌÌÈ
Artinya : “Sesungguhnya balasan bagi orang-orang yang memerangiAllah dan Rasul-Nya dan berusaha melakukan kerusakan dimuka bumi, yaitu mereka dibunuh atau disalib atau dipotongtangan dan kaki mereka secara bersilang. Yang demikian itusuatu kehinaan bagi mereka di dunia sedangkan di akhiratmereka mendapat siksa yang pedih.” (QS Al-Maidah [5] :33).61
60 Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, op.cit61 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 164
Hirabah juga dapat diartikan sebagai gerombolan kelompok
bersenjata yang mempunyai maksud untuk mengadakan kekacauan,
penumpahan darah, mengoyak kehormatan, merusak tanaman, peternakan,
citra agama, akhlak, ketertiban dan undang-undang.62
Sebagaimana hirabah dilakukan oleh gerombolan, hirabah juga
kadang-kadang dilakukan oleh individu. Contohnya seperti seseorang
yang punya kekuatan luar biasa sehingga dapat mengalahkan satu
gerombolan untuk mengadakan penumpahan darah, perampasan harta dan
kehormatan.63
Dari sini dengan jelas dapat diketahui bahwa unsur dari jarimah
hirabah adalah tindakan keluar dengan maksud melakukan intimidasi,
menakut-nakuti atau membunuh orang.
3. Sanksi Pidana Terorisme menurut Hukum Islam
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahwa menurut pandangan
Islam tindak pidana terorisme telah memenuhi unsur jarimah hirabah.
Hukuman untuk jarimah hirabah berdasarkan firman Allah :
$yJ ¯RÎ)(#ät t“ y_tûï Ï% ©!$#tbq ç/ Í‘$pt䆩!$#¼ã& s!q ß™u‘urtb öqyèó¡ tƒ ur’ÎûÇÚö‘F{ $##·Š$|¡ sùb r&
(#þq è=G s)ãƒ÷rr&(#þq ç6 ¯=|Á ãƒ÷rr&yì©Üs)è?óOÎgƒ ω÷ƒ r&N ßgè=ã_ö‘r&urô ÏiBA#» n=Åz÷rr&(#öq xÿY ペÆÏB
ÇÚö‘F{ $#4š• Ï9ºsŒóOßgs9Ó“÷“ Åz’Îû$u‹ ÷R‘‰9$#(óO ßgs9ur’ÎûÍo t• Åz Fy$#ë>#x‹tãíOŠÏà tã
ÇÌÌÈ
62 Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah Juz 9, Kuwait: Dar al Bayan, tt, hlm. 19963 Ibid, hlm. 199
Artinya : “Sesungguhnya balasan bagi orang-orang yang memerangiAllah dan Rasul-Nya dan berusaha melakukan kerusakan dimuka bumi, yaitu mereka dibunuh atau disalib atau dipotongtangan dan kaki mereka secara bersilang. Yang demikian itusuatu kehinaan bagi mereka di dunia sedangkan di akhiratmereka mendapat siksa yang pedih.” (QS Al-Maidah [5] :33).64
Hukuman hirabah yang ditentukan oleh ayat di atas adalah salah
satu dari empat macam hukuman, yaitu:
a. Dibunuh
b. Disalib
c. Dipotong tangan dan kakinya secara silang
d. Pengasingan
Keempat hukuman itu dijelaskan dalam ayat dengan memakai
huruf ataf “au”. Sebagian ulama mengatakan bahwa huruf ataf “au”
mempunyai faedah takhyir (pilihan). Jadi, hakim boleh memilih untuk
menjatuhkan hukuman yang sesuai kepentingan.
Mayoritas ulama mengatakan bahwa huruf ataf “au” bukan untuk
takhyir, tetapi untuk tanwi atau perincian terhadap hukuman yang relevan
dengan tindak kejahatan yang dilakukan.65
a. Disalib
Hukuman salib dilaksanakan terhadap pelaku hirabah apabila
melakukan intimidasi, membunuh korbannya serta mengambil
64 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 16465 Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah Juz 3, (diterjemahkan oleh Nor Hasan Hasanuddin),
Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006, hlm. 369-370
hartanya secara bersamaan. Hukuman ini tidak dapat digugurkan
walaupun ada pengampunan dari korban hirabah.66
Teknik dan cara pelaksanaan hukuman salib masih
diperselisihkan oleh para ulama. Menurut Imam Maliki dan Imam Abu
Hanifah hukuman salib didahulukan sebelum akhirnya dibunuh. Jadi,
hukuman salib dilaksanakan ketika pelaku hirabah masih dalam
keadaan hidup. Alasannya adalah karena salib merupakan bentuk
hukuman, jadi seharusnya hukuman tersebut dilaksanakan ketika
pelaku hirabah maih dalam keadaan hidup bukan dalam keadaan
mati. Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, hukuman
tersebut dilaksanakan setelah orang yang terhukum dikenakan
hukuman mati. Dengan demikian, orang yang terhukum disalib
dengan keadaan sudah mati. Alasan mereka adalah menurut redaksi
surat Al-Maidah ayat 33, hukuman mati disebutkan terlebih dahulu
dari hukuman salib.67
b. Pengasingan (an nafyu)
Jika hirabah dilakukan dengan maksud untuk mengintimidasi
dan tidak disertai dengan tindakan lain (membunuh dan mengambil
harta), maka hukumannya adalah diasingkan.68
Pengertian pengasingan (an-nafyu) tidak ada kesepakatan di
kalangan ulama. Menurut Malikiyah, pengertian pengasingan (an-
66 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri al-Jina iy al-Islamy, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, tt,hlm. 657
67 Ibid, hlm. 65768 Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 218
nafyu) adalah dipenjarakan di tempat lain, bukan di tempat terjadinya
jarimah hirabah. Pendapat yang rajih dalam madzhab Syafi’i
mengartikan pengasingan (an-nafyu) dengan penahanan (al-habs),
baik di daerahnya sendiri, tetapi lebih utama di daerah lain. Imam
Ahmad berpendapat bahwa pengertian pengasingan (an-nafyu) adalah
pengusiran pelaku dari daerahnya, dan ia tidak diperbolehkan untuk
kembali, sampai ia jelas telah bertaubat.69
Apabila pelaku hirabah hanya membunuh korban tanpa
melakukan intimidasi maka hukumannya adalah dibunuh. Sementara
penerapan hukuman potong tangan dan kaki yang terdapat dalam ayat
tersebut di atas berkaitan dengan pengambilan harta korban. Hal ini
berkaitan dengan persyaratan nishab serta syarat-syarat jarimah
hirabah.70 Terlepas dari terpenuhi atau tidaknya persyaratan nishab,
dilihat dari teori penyerapan, sebenarnya hukuman mati menyerap
hukuman-hukuman lain yang lebih ringan, termasuk hukuman potong
tangan dan kaki.
69 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar GrafikaOfset, 2004, hlm.101
70 Ibid, 103
BAB III
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SEMARANG
NO. 03/Pid/B/2004/PN. Smg TENTANG
TINDAK PIDANA TERORISME
A. Profil Pengadilan Negeri Semarang
1. Sejarah Berdirinya Pengadilan Negeri Semarang
Sebelum perang dunia II, di Semarang terdapat Raad va justitie
yang artinya sama dengan Pengadilan Tinggi sekarang, di mana
gedungnya pada saat itu ada di Tugu Muda sekarang, yang ditempati
oleh kodam, disamping itu terdapat pula Langerecht dan Landgeraad.71
Landgerecht mengadili perkara-perkara novies, yaitu pelanggaran
lalu lintas, pelanggaran Peraturan Daerah (Perda). Sedangkan landgeraad
mengadili perkara-perkara berat, setelah perang selesai Landgerecht dan
Landgeraad kemudian menjadi menjadi Pengadilan Negeri yang
berkedudukan di jalan Raden Patah Semarang.
Sebagai pimpinan Pengadilan Negeri Semarang adalah ketua,
dimana pimpinan tersebut dapat diketahui setelah tahun 1950 adalah
sebagai berikut:
a. Soerjadi, SH.
b. Soebiono Tjitrowinoto, SH.
71 Dokumentasi Situasi Daerah Hukum Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri JawaTengah (Situasi Daerah Hukum Pengadilan Negeri Semarang), Jakarta: Departemen Kehakimandan Hak Asasi Manusia R.I Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata UsahaNegara, 2001, hlm. 48-49.
c. Worjanto, SH.
d. Poewoto Gandaesoebrata, SH.
e. Soekanto Poerwasaputro, SH.
f. Soekotjo, SH.
g. Soemadi Aloei, SH.
h. Hasan Ghasim Shahab, SH.
i. R. Padmo Soerasmo, SH.
j. Soegijo Soemarjo, SH.
k. Ohim Padmadisastra, SH.
l. R. Saragih, SH.
m. S.M. Binti, SH.
n. Monang Siringo Ringo, SH.
o. Soeharso, SH.
p. R. Soenarto, SH.
q. Suparno, SH.
r. Subardi, SH.
s. Mohamad saleh, SH.
t. HR. Soekandar, SH.
u. Abid Saleh Mendrofo, SH.
Untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat pencari
keadilan, dirasakan bahwa gedung Pengadilan Negeri Semarang yang
terletak di Jalan Raden Patah Semarang sudah tidak memenuhi syarat
lagi, maka sejak bulan Desember 1977 Pengadilan Negeri Semarang
telah menempati gedung yang baru yang terletak di jalan Siliwangi No.
512 (Krapyak) Semarang yang berdiri diatas tanah seluas 4.000 m2, dan
dengan luas wilayah Hukum kurang lebih 371,52 km2 yang terdiri dari
16 (enam belas) kecamatan, yaitu kecamatan : Gajah Mungkur, Mijen,
Candisari, Tugu, Gunungpati, Ngalian, Banyumanik, Tembalang,
Gayamsari, Semarang Utara, Semarang Barat, Pedurungan, Genuk,
Semarang Selatan, Semarang Tengah, dan Kecamatan Semarang Timur.
Sedangkan gedung yang lama untuk sementara dipergunakan untuk
menyimpan arsip, sambil menunggu selesainya ruang arsip di gedung
yang baru. Dan pada tahun 1992 ruang arsip di gedung baru telah selesai
kemudian secara bertahap berkas perkara yang sudah arsip dipindahkan
ke ruang arsip yang baru dan telah diadakan pembenahan dan penataan
agar arsip lebih rapi dan tertib sesuai dengan pedoman yang telah
ditentukan oleh Mahkamah Agung RI, sehingga akan memudahkan
pencariannya mengingat arsip adalah dokumen Negara yang sangat
penting.
Adapun perangkat organisasi di Pengadilan Negeri/Niaga
Semarang kelas 1.A. adalah sebagai berikut:
Hakim :
1) TH. Tampubolon, SH., MH.
2) Tigor Manullang, SH., MH.
3) Ronius, SH.
4) Sugeng Hiyanto, SH., MH.
5) Tulus Basuki, SH.
6) Drs. Amin Sembiring, SH., MH.
7) Sarwedi, SH., MH.
Panitera Muda Hukum
Sri Sunarti, SH
Panitera Muda Perdata
Ali Nur Yahya, SH
Panitera Muda Pidana
Muhiyar, SH
Wakil Sekretaris
Maksudi, SH
Wakil Panitera
Mulyono, SH.
Panitera/Sekretaris
Agus Rumekso,SH.,M.Hum
Wakil Ketua
Sutjahjo Padmo Masano
Ketua
Agus Subroto,SH.,M.Hum
Kabah Umum
Sutedjo, SH.,MK
Kabag Kepegawaian
Rudi Suprapto, SH
Kabag Keuangan
Santoso, SH
8) Sujatmiko, SH.
9) Lidy Sasando Parapat, SH., MH.
10) Ahmad Rosidin, SH., MH.
11) Yunianto, SH.
12) Sucipto, SH., MH.
13) Bernadus William Charles, SH., MH.
14) Sindhu Sutrisno, SH., M.Hum.
15) Fathurrochman, SH.
16) Kurnia Yani Darmono, SH., M.Hum.
Juru Sita :
1) Hidayat, SH.
2) Oktofa Eko Utomo
3) Ahmad Wahyudi
4) Muhammad Ahmad Supradja
5) Sudarno
Sumber: Struktur Organisasi Pengadilan Negeri/ Niaga Semarang kelas 1.A Tahun2009
2. Tugas dan Wewenang Pengadilan Negeri Kota Semarang
Pada prinsipnya Pengadilan Negeri adalah pengadilan yang
menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara perdata
dan perkara pidana bagi warga negara yang mencari keadilan dan
haknya dirampas kecuali undang-undang menentukan lain (UU No. 4
tahun 2004), kemudian wewenang dari pengadilan Negeri sendiri adalah
meliputi perkara pidana maupun perdata. Hal ini menambah tugas yang
baru diemban oleh pengadilan Negeri sebagai institusi pemerintahan.
Pengadilan Negeri diperuntukan bagi semua pemeluk agama
yang ada di Indonesia. Karena masalahnya begitu kompleks, maka
dalam peraturannya terdapat bermacam-macam kitab undang-undang
seperti kitab undang-undang hukum acara pidana dan kitab undang-
undang hukum acara perdata, dan lain-lain.
Yang menjadi landasan hukum keberadaan pengadilan Negeri ini
tercantum dalam Undang–Undang No. 8 tahun 2004, yaitu:
a. Pasal 2 Undang-Undang No. 8 tahun 2004, “Pengadilan umum
adalah dalam data pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan pada umumnya”.
b. Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang No. 8 tahun 2004, “Kekuasaan di
lingkungan atau pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan dengan pengadilan tinggi”.
c. Kekuasaan kehakiman di lingkungan pengadilan umum berpuncak
pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan Negara tertinggi.
Kaitannya dengan tugas dan wewenang pengadilan negeri maka
tidak terlepas dari proses beracara dalam suatu persidangan, dimana
dalam hukum acara pidana dijelaskan mengenai aturan-aturan yang
memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan oleh penegak hukum
dan orang-orang yang terlibat di dalamnya (tersangka, terdakwa,
penasehat hukum, dan saksi).
Adapun asas-asas dalam penyelenggaraan peradilan adalah:
a. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan
tidak mengadakan perbedaan perlakuan. Asas ini sering disebut
dengan asas isonomia atau Equality before the law.
b. Asas praduga tak bersalah dimana setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang
pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya (presumption of
innocence).
c. Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya
dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang berwenang
yang telah diatur caranya dalam undang-undang (principle of
legality).
d. Seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa
alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan maka wajib diberi ganti rugi
dan rehabilitasi.
e. Pengadilan harus dilaksanakan dengan cepat, sederhana, dan biaya
ringan, serta bebas, jujur, dan tidak memihak, asas ini dikenal
sebagai contante justitie atau speedy trial serta fair trial.
f. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan
memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk
melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.
g. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan atau
penahanan selain wajib diberi dakwaan dan dasar hukumnya juga
wajib diberi tahu haknya untuk menghubunginya dan minta
penasehat hukum.
h. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa,
asas ini lazim disebut asas kelangsungan pemeriksaan pengadilan
(onmidelijkheid van het onderzoek).
i. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali
dalam hal yang diatur dalam undang-undang, asas ini lazim disebut
asas keterbukaan (openbaarheid van het proces).
j. Pengawasan pelaksanaan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan
oleh ketua pengadilan Negeri yang bersangkutan.72
B. Dasar Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan Negeri Semarang No.
03/Pid/B/2004/PN. Smg tentang Tindak Pidana Terorisme
Dalam hal memberikan keputusan Pengadilan Negeri menggunakan
beberapa dasar hukum sebagai bahan pertimbangan bagi perkara-perkara
yang telah diajukan, baik yang berupa ketentuan-ketentuan tertulis yaitu
Undang-Undang maupun dasar hukum lain yang dapat menjadi pertimbangan
bagi terdakwa.
Adapun yang menjadi dasar dan pertimbangan hukum Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Semarang yang telah memutuskan dan menetapkan
72 Suryono Sutarto, Hukum Acara Pidana, Semarang: Badan Penerbit UNDIP Semarang,2003, hlm.19-20.
perkara No. 03/Pid/B/2004/PN. Smg tentang Tindak Pidana Terorisme,
diantaranya:
Bahwasannya terdakwa dalam hal ini saudara Suyatno alias Heru
Setiawan bin Iman Bakin, pada waktu antara bulan Januari 2003 s/d tanggal
09 Juli 2004, di rumah Jl. Taman Sri Rejeki Selatan gang VII Nomor 2 Kec.
Kalibanteng Semarang Barat yang masih termasuk wilayah Pengadilan
Negeri Semarang, secara melawan hukum telah menyembunyikan senjata
api, amunisi, bahan peledak atau bahan-bahan lainnya yang berbahaya serta
dokumen dan peta dengan maksud melakukan tindak pidana terorisme.
Berdasarkan pemeriksaan Pusat Laboratorium Forensik Bareskrim
Polri Cabang Semarang terhadap barang bukti peledak, senjata api dan peluru
(amunisi) yang ditemukan di di rumah Jl. Taman Sri Rejeki Selatan gang VII
Nomor 2 Kec. Kalibanteng Semarang Barat sebagai berikut:
1. Barang bukti berupa padatan coklat, positif TNT (Tri Nitro Tolena)
merupakan bahan peledak berkekuatan tinggi atau high explosive;
2. Barang bukti berupa detonator yang belum terpasang kabel, merupakan
detonator keluaran pabrik, dimana terdapat isian detonator positif
mengandung samtex, merupakan bahan peledak berkekuatan tinggi atau
high explosive;
3. Senjata api laras panjang tanpa magazin berlabel dan berlak segel adalah
senjata api laras panjang kaliber 9 mm, senjata api buatan pabrik
bertuliskan US Carabine Cal. 30 MI Inland DN dengan nomor seri 76000,
dilengkapi dengan teleskop yang langsung dapat diisi dengan peluru
kaliber 30.
Dengan ditemukannya berbagai barang bukti tersebut di atas,
perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana dalam pasal 9 Perpu Nomor 1
Tahun 2002 Jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Jo. Pasal 55
(1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Selain keterangan tersebut diatas, telah didengar pula keterangan yang
menjadi bukti dari saksi-saksi yang telah disumpah menurut agamanya,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. KUKUH SANTOSO, SH
Saksi bersama tim gabungan dari Polda Metro Jaya dan Polda
Jawa Tengah telah melakukan penangkapan terhadap terdakwa di Jl.
Taman Sri Rejeki Selatan gang VII Nomor 2 Kec. Kalibanteng
Semarang Barat. Penangkapan terdakwa atas pengembangan dari
pengakuan Mustofa yang tertangkap di Jakarta dan keterangan dari tim
Mabes Polri bahwa terdakwa ada hubungan dengan Mustofa.
Menurut keterangan saksi, bahwa di tempat terdakwa telah
diketemukan barang bukti detonator, amunisi, barang-barang
elektronik, senjata api laras panjang dan senjata api. Kemudian
terdakwa diinterogasi di sebuah hotel dan pada hari Jum’at dibawa ke
Polda Jawa Tengah.
Terdakwa mengaku ia mendapat perintah dari Mustofa
mengawasi barang bukti dan terdakwa tidak bertanggung jawab dengan
barang bukti itu. Terdakwa mengaku membawa barang bukti ke lantai 2
(dua) dan tahu barang bukti itu adalah bahan peledak.
Menurut keterangan yang didapat dari hasil interogasi, bahwa
motivasi terdakwa adalah akan memerangi sesuatu yang berjalan tidak
lurus dengan ajaran Tuhan.
2. SUDADI bin MANTO PAWIRO
Saksi adalah tetangga terdakwa yang tinggal di Jl. Taman Sri
Rejeki Selatan gang VII Nomor 2 Kec. Kalibanteng Semarang Barat.
Bahwa pada hari Jum’at tanggal 11 Juli 2003, setelah sholat Jum’at
saksi mendengar dari masyarakat ada penggerebekan di rumah yang
dikontrak terdakwa karena ada bom. Kemudian saksi melihat dari jarak
5 meter.
Pemilik rumah yang dikontrak terdakwa adalah Pak
Sarwindratna. Di depan rumah yang dikontrak terdakwa ada spanduk
yang bertuliskan berjualan sandal. Setelah tahu di rumah tersebut ada
bom, saksi merasa terkejut dan takut.
3. KISAN bin KIRAN
Saksi adalah merupakan ketua RT setempat. Menurut
keterangan saksi, terdakwa pernah melapor pada saksi bahwa ia
mengkontrak rumah Pak Sarwindratna dan mengaku akan berjualan
sandal dan service elektronik.
Terdakwa juga membuat pernyataan siapa-siapa yang akan
tingal di rumah kontrakan tersebut serta apa usaha mereka. Terdakwa
mengaku berasal dari Jepara. Terdakwa mengaku yang akan tinggal di
rumah tersebut hanya dua orang yaitu terdakwa dan Luluk;
Saksi mengaku tidak pernah melihat ada mobil membawa
barang-barang ke rumah tersebut.
4. PUJI SUMARSONO
Bahwa pada hari Rabu tanggal 9 Juli 2003 jam 22.00 WIB saksi
bersama tim dari Polda Metro Jaya telah melakukan penangkapan
terhadap terdakwa di Jl. Taman Sri Rejeki Selatan gang VII Nomor 2
Kec. Kalibanteng Semarang Barat.
Pada tanggal 10 Juli 2003 di TKP saksi melihat senjata api,
amunisi, penutup wajah dan dokumen. Menurut saksi, bahwa
penyimpanan dan kepemilikan senjata api serta amunisi tersebut tanpa
ijin.
5. SARWINDRATNA bin SUDIRO ADI PRANATA
Saksi adalah pemilik rumah yang dikontrak oleh terdakwa.
Berdasarkan surat perjanjian sewa rumah bermaterai, rumah tersebut
dikontrak selama 2 (dua) tahun sejak Januari 2003 s/d 31 Desember
2004. Pembayaran sewa rumah dilakukan 2 (dua) kali, yaitu
pembayaran pertama oleh Luluk Rp. 10.000.000,- dan pembayaran
kedua oleh terdakwa Rp. 6.000.000.
Dalam surat perjanjian sewa rumah tersebut juga dicantumkan.
bahwa salah satu isi perjanjian kontrak adalah rumah tidak boleh
dipinjamkan untuk perbuatan melawan hukum. Alasan yang
diungkapkan terdakwa dalam menyewa adalah untuk usaha service
elektronik. Akan tetapi, kemudian terdakwa memasang spanduk jualan
sandal.
Pada tanggal 9 Juli 2003 saksi didatangi polisi untuk ikut
menyaksikan pemeriksaan barang bukti yang terdiri dari peluru,
dokumen, komputer dan senjata api, bahan peledak yang ditempatkan di
lantai 2 (dua).
6. IMRON alias MUSTOFA alias PRANOTO YUDHA
Menurut keterangan, saksi mengenal terdakwa tahun 2002 di
Semarang. Saksi menelpon terdakwa minta agar terdakwa datang ke
Semarang untuk ditawari berjualan sandal. Terdakwa setuju dengan
saksi, kemudian terdakwa datang ke Jl. Taman Sri Rejeki Selatan gang
VII Nomor 2 Kec. Kalibanteng Semarang Barat;
Menurut saksi, terdakwa menitipkan barang kepada saksi yang
dibungkus kardus yang ternyata berisi bahan peledak, amunisi, dll.
Semula saksi tidak tahu barang-barang apa yang dititipkan. Kemudian
setelah barang-barang tersebut disita polisi, saksi melihat barang-barang
tersebut di gudang Srondol dan ternyata isinya bahan peledak, amunisi,
dll.
Pada waktu barang dititipkan pada bulan Februari 2003, saksi
mengambil bersama Luluk di Jl. Arteri dengan menggunakan mobil
Suzuki Carry sewaan dan kemudian barang tersebut dibawa ke Jl.
Taman Sri Rejeki Selatan gang VII Nomor 2 Kec. Kalibanteng
Semarang Barat.
Saksi juga pernah mendengar dari Khoiruddin, bila terdakwa
pernah ke Moro, Philipina. Selama di Moro, biasanya yang diajarkan
dalam pendidikan jihad adalah tentang agama dan aksara (seperti
tentang taktik dasar kemiliteran). Selama di Moro, Philipina saksi tidak
pernah bertemu dengan terdakwa.
Dari keseluruhan pemeriksaan yang terjadi dalam persidangan
dijelaskan antara barang bukti, keterangan saksi serta pengakuan terdakwa
sendiri satu sama lain saling berkaitan dan berhubungan. Berdasarkan barang
bukti bahan peledak yang diketemukan di rumah kos terdakwa ada petunjuk
bahwa bahan peledak tersebut akan dijadikan bom. Dari adanya rencana
perbuatan bom tersebut, terbukti kelompok terdakwa ada maksud melakukan
tindak pidana terorisme.
Berdasarkan pertimbangan tersebut telah terbukti bahwa terdakwa
sebagai orang yang turut melakukan tindak pidana, maka semua unsur yang
disyaratkan dalam pasal 9 Perpu nomor 1 tahun 2002 Jo. Pasal 1 Undang-
undang nomor 15 tahun 2003 telah terpenuhi. Majelis hakim berkeyakinan
untuk menjatuhi hukuman terhadap terdakwa. Oleh karena itu terdakwa
dihukum, maka kepadanya harus pula dibebani dengan biaya perkara.
Sebelum pengadilan menjatuhkan putusan yang setimpal dengan
perbuatan terdakwa tersebut, maka perlu pula terlebih dahulu
dipertimbangkan hal-hal yang meringankan maupun yang memberatkan
terdakwa. Hal-hal yang meringankan terdakwa diantaranya, terdakwa sopan
selama di persidangan, terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa masih
muda dan masih ada kesempatan memberbaiki diri. Sedangkan hal-hal yang
memberatkan adalah terdakwa berbelit-belit dan tidak mengakui
perbuatannya, kejahatan terorisme harus dibrantas karena telah
menghilangkan nyawa tanpa memandang korban dan menimbulkan
ketakutan secara luas atau hilangnya kemerdekaan serta kerugian harta
benda.
Dalam hal ini majelis hakim mendengar pula tuntutan jaksa penuntut
umum, yang pada pokoknya menuntut agar pengadilan negeri semarang
memutuskan perkara terhadap terdakwa sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa Suyatno alias Heru Setiawan bin Imam Bakin
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana terorisme
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 9 Perpu Nomor 1
tahun 2002 Jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 Jo. Pasal 55
(1) ke-1 KUHP sesuai dengan surat dakwaan kesatu.
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Suyatno alias Heru Setiawan bin
Imam Bakin dengan pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun penjara
dikurangi terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah tetap ditahan.
3. Menghukum terdakwa untuk biaya perkara Rp. 10.000,- (sepuluh ribu
rupiah).
C. Putusan Pengadilan Negeri Semarang No. 03/Pid/B/2004/PN. Smg
tentang Tindak Pidana Terorisme
Mengingat segala ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan
yang berkaitan dalam perkara ini yaitu pasal 9 Perpu Nomor 1 Tahun 2002
Jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Jo. Pasal 55 ayat (1)
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, juga telah membaca berita acara
pemeriksaan yang bersangkutan, telah mendengar keterangan dari saksi-saksi
dan juga keterangan dari terdakwa, maka dengan ini Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Semarang yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara
pidana pada peradilan tingkat pertama yang terdiri dari Sudaryati, SH sebagai
Hakim Ketua Majelis, W. Surya Sukanta, SH dan Moeryono, SH masing-
masing sebagai Hakim Anggota dalam persidangan yang dinyatakan terbuka
untuk umum dan dihadiri oleh Toni Buha Partimbunan, SH dan Agus
Suryanto, SH sebagai panitera pengganti serta dihadiri oleh Jaksa Penuntut
Umum dan Terdakwa, pada hari Selasa tanggal 28 April 2004, telah
menjatuhkan putusan yang berkekuatan hukum tetap terhadap terdakwa:
Suyatno alias Heru Setiawan bin Iman Bakin, tempat lahir Magelang,
umur 28 tahun, yang beralamat di Ds. Baleasari 04/04 Kec. Ngariboyo Kab.
Magetan dan Jl. Taman Sri Rejeki Selatan Gang VII Nomor 2 Semarang,
Jenis Kelamin laki-laki Kebangsaan Indonesia, Agama Islam, Pekerjaan
Swasta, dan Pendidikan akhir STM, adalah sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa terdakwa Suyatno alias Heru Setiawan bin Iman
Bakin terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana terorisme;
2. Menghukum terdakwa Suyatno alias Heru Setiawan bin Iman Bakin, oleh
karena itu dengan pidana penjara 10 tahun;
3. Menetapkan terdakwa tetap dalam tahanan;
4. Menetapkan lamanya terdakwa berada dalam tahanan harus dikurangkan
dari pidana yang dijatuhkan;
5. Menghukum terdakwa untuk biaya perkara Rp. 10.000,- (sepuluh ribu
rupiah).73
73 Putusan Pengadilan Negeri Semarang No. 03/Pid/B/2004/PN.Smg Tentang TindakPidana Terorisme tanggal 28 April 2004
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SEMARANG
NO. 3/ PID. B/ 2004/ PN SMG TENTANG TINDAK PIDANA TERORISME
Setiap putusan Pengadilan mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi sampai pada Mahkamah Agung tidak luput dengan pertimbangan-
pertimbangan hukum, tidak saja karena menjadi syarat suatu putusan sebagaimana
ketentuan undang-undang tetapi juga untuk memberikan dasar kemantapan di
dalam menjatuhkan putusan.
Bahwa setelah melihat putusan tersebut diatas, terlihat bahwa Pengadilan
Negeri Semarang telah memilih salah satu dari tiga jenis putusan yang dikenal di
dalam hukum acara pidana yakni :
1. Putusan Pemidanaan
2. Putusan Pembebasan dan
3. Putusan Pelepasan 74
Putusan yang diambil tersebut merupakan putusan pemidanaan. Putusan
pemidanaan adalah putusan Pengadilan yang dijatuhkan kepada terdakwa karena
dari hasil pemeriksaan sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan kepadanya.75
Pengadilan Negeri Semarang telah menjatuhkan putusan pemidanaan
kepada terdakwa. Hal ini berarti Pengadilan Negeri Semarang menilai bahwa
terdakwa terbukti bersalah atas perbuatan yang didakwakan kepadanya. Terdakwa
74 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 28575 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 86
Suyatno alias Heru Setiawan bin Iman Bakin berdasarkan barang bukti serta
keterangan dari saksi-saksi, bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana
terorisme.
Dalam hal penjatuhan pemidanaan terhadap terdakwa, putusan Pengadilan
Negeri Semarang tersebut di atas menggunakan alat bukti yaitu berupa keterangan
saksi, keterangan ahli, petunjuk serta beberapa data atau informasi yang berupa
gambar, peta atau sejenisnya. Hal ini sesuai dengan Pasal 184 KUHAP yang
menyebutkan keyakinan Hakim tentang kesalahan terdakwa harus berdasarkan
minimal dua alat bukti yang sah.
Dalam Pasal 183 KUHAP dinyatakan:
"Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabiladengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperolehkeyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwaterdakwalah yang bersalah melakukannya".
Dengan demikian untuk membuktikan kesalahan terdakwa cukup dari dua
alat bukti yang sah.
Para Hakim yang menyidangkan kasus tersebut hendakmya
memperhatikan beberapa syarat, bahwa untuk adanya suatu pertanggungjawaban
pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. Harus ada tingkah laku yang dapat dipidana.
b. Perbuatan yang dapat dipidana itu harus bertentangan dengan hukum.
c. Harus ada kesalahan dari pelaku.
d. Akibat konstitutif.
e. Keadaan yang menyertai.
f. Syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana.
g. Syarat tambahan untuk memperberat pidana.
h. Unsur syarat tambahan untuk dipidana.76
Dalam putusan Pengadilan Negeri Semarang No. 3/ Pid. B/ 2004/ PN
Smg, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang yang terdiri dari satu Hakim
sebagai Hakim ketua majelis dan dua Hakim lainnya sebagai Hakim anggota,
menyatakan bahwa terdakwa Suyatno alias Heru Setiawan bin Iman Bakin telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana terorisme,
oleh karena itu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang menjatuhkan pidana
terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dengan
membebankan biaya perkara terhadap terdakwa sebesar Rp 10.000 (sepuluh ribu
rupiah) dengan dasar hukum sanksi pidana yang dipakai yaitu pasal 9 Perpu
Nomor 1 tahun 2002 Jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Jo. Pasal
55 (1) ke-1 KUHP.
A. Analisis terhadap Dasar Pertimbangan Hukum Dalam Putusan
Pengadilan Negeri Semarang No. 3/ Pid. B/ 2004/ PN Smg tentang Tindak
Pidana Terorisme
Sebelum Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang menjatuhkan
putusan terhadap terdakwa Suyatno alias Heru Setiawan bin Iman Bakin yang
telah melakukan tindak pidana terorisme, Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Semarang terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal yang dapat
meringankan dan memperberat terdakwa.
76 Dari delapan unsur tersebut, unsur kesalahan dan melawan hukum adalah termasuk unsursubyektif, sedangkan selebihnya adalah unsur obyektif. Lihat Adami Chazawi, Pelajaran Hukumpidana I, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 81-82
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman Bab. IV Hakim dan kewajibannya dalam Pasal
28 ayat (2) juga menyebutkan "dalam mempertimbangakan berat ringannya
pidana, Hakim wajib mempertimbangkan pula sifat yang baik dan jahat dari
terdakwa".
Sifat-sifat yang baik maupun yang jahat dari terdakwa wajib
diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan sanksi pidana yang akan
dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi seseorang perlu diperhatikan untuk
memberikan pidana yang sesuai dengan keadaan masing-masing pihak.
Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari
lingkungannya, rukun tetangga, dokter ahli jiwa dan sebagainya.
Adapun pertimbangan-pertimbangan yang dipakai hakim dalam
memutuskan perkara pidana No. 3/ Pid. B/ 2004/ PN Smg terhadap terdakwa
Suyatno alias Heru Setiawan bin Iman Bakin adalah sebagai berikut :
1. Pertimbangan hukum yang memberatkan terdakwa:
a. Terdakwa berbelit-belit dan tidak mengakui perbuatannya;
b. Bahwa kejahatan terorisme harus diberantas karena telah
menghilangkan nyawa tanpa memandang korban dan menimbulkan
ketakutan secara luas atau hilangnya kemerdekaan serta kerugian harta
benda.
2. Pertimbangan hukum yang meringankan terdakwa:
a. Terdakwa sopan dalam persidangan;
b. Terdakwa belum pernah dihukum;
c. Terdakwa masih muda dan masih ada kesempatan memperbaiki diri.
3. Pertimbangan hukum terdakwa sebagai dader:
a. Terdakwa pernah pergi ke Moro Philipina berjihad membantu orang-
orang muslim yang tertindas pada tahun 2001;
b. Timbulnya niat terdakwa untuk berjihad ke Moro karena terdakwa
mendengar berita tentang adanya penindasan kaum muslim di sana;
c. Di Moro terdakwa mendapat pengetahuan tentang senjata api;
d. Di tempat kosnya, terdakwa menyimpan bahan peledak dan senjata api
beserta amunisi tanpa ijin yang berwajib.
4. Pertimbangan-pertimbangan hukum yang lain:
a. Bahwa berdasarkan barang bukti bahan peledak yang diketemukan di
rumah kos terdakwa ada pertunjuk bahwa bahan peledak tersebut akan
dijadikan bom karena ada sumbu dan ada timer yang sudah di rakit
terbalik serta relay;
b. Bahwa dari adanya rencana pembuatan bom tersebut terbukti terdakwa
ada maksud melakukan tindak pidana terorisme;
c. Perbuatan terdakwa dengan melakukan tindak pidana terorisme
diancam dengan Pasal 9 Perpu No. 1 Tahun 2002 Jo. UU No. 15
Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Jo. Pasal
55 (1) ke-1 KUHP.77
Hakim di dalam memberikan hukuman kepada terdakwa tindak pidana
terorisme harus mempertimbangkan berbagai hal secara matang. Hakim perlu
77Putusan Pengadilan Negeri Semarang No. 03/Pid/B/2004/PN.Smg Tentang Tindak PidanaTerorisme tanggal 28 April 2004
memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa.
Kepentingan masyarakat berarti, apabila seseorang telah melanggar ketentuan
perundang-undangan, ia harus mendapat hukuman yang setimpal dengan
kesalahannya. Sementara yang dimaksud dengan kepentingan terdakwa
adalah, terdakwa harus tetap diperlakukan adil sehingga tidak ada seorang pun
yang tidak bersalah akan mendapat hukuman (persumtion of innocent) atau
sekalipun ia bersalah ia tidak mendapat hukuman yang terlalu berat (dalam hal
ini terkandung asas equality before the law).78 Penjatuhan pidana yang
diberikan hakim semaksimal mungkin mencapai nilai-nilai keadilan baik
untuk korban maupun untuk terdakwa, karena jika prinsip keadilan (justice
princip) itu diterapkan seluruh masyarakat maka akan terwujud ketenteraman
dan kedamaian.
Tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual
dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini terdiri atas seperangkat
tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi. Perangkat tujuan pemidanaan yang
dimaksud terdiri atas: pencegahan (umum dan khusus), perlindungan
masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat, dan perimbangan/
pengimbalan.79
Tindak pidana yang dilakukan terdakwa termasuk dalam penyertaan, di
mana menurut KUHP penyertaan dibagi menjadi pembuat / dader dan
pembantu. Pembuat / dader terdiri dari: 1) pelaku (pleger); 2) yang menyuruh
78 Luhut MP Pangaribuan, Hukum Acara Pidana: Surat-surat Resmi di Pengadilan olehAdvocat, Jakarta: Djambatan, 2005, hlm. 3-4
79 Petrus Irawan Panjaitan, dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalamPerspektif Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1995, hlm. 12
lakukan (doenpleger); 3) yang turut serta (medepleger); dan 4) penganjur
(uitloker).80
Medepleger adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut
mengerjakan terjadinya sesuatu. Oleh karena itu, kualitas masing-masing
peserta tindak pidana adalah sama. Syarat adanya medepleger adalah adanya
kerjasama secara sadar dan pelaksanaan bersama secara fisik. Adanya
kesadaran ini tidak berarti ada permufakatan lebih dulu, yang penting ialah
harus ada kesengajaan. Sementara perbuatan pelaksanaan berarti perbuatan
yang langsung menimbulkan selesainya delik dan harus ada kerjasama yang
erat dan langsung.
Sedangkan pembantu (medeplichtige) terdiri dari: 1) pembantu pada
saat kejahatan dilakukan; dan 2) pembantu sebelum kejahatan dilakukan.
Dilihat dari perbuatannya, pembantuan bersifat accesoir artinya untuk adanya
pembantuan harus ada orang yang melakukan kejahatan (harus ada orang yang
dibantu). Dalam hal pemidanaan, pembantu dipidana lebih ringan dari
pembuatnya yaitu dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal pidana yang
dilakukan.
Pembantuan jenis pertama mirip dengan turut serta, perbedaannya
adalah perbuatan pembantu merupakan perbuatan menunjang serta tidak
mempunyai kepentingan / tujuan sendiri. Sedangkan perbuatan turut serta
merupakan perbuatan pelaksanaan serta mempunyai tujuan / kepentingan
80 Barda Nawawi Arief, Hukum Pidana II, Semarang: Badan Penyediaan Bahan KuliahFakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1999, hlm. 28
sendiri. Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan dengan cara memberi
kesempatan, sarana atau keterangan.81
Adapun dasar pertimbangan hukum yang dipakai Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Semarang dalam putusan perkara No. 3/ Pid. B/ 2004/ PN
Smg terhadap terdakwa Suyatno alias Heru Setiawan bin Iman Bakin, apabila
dilihat lebih lanjut maka semua unsur yang disyaratkan dalam Pasal 9 Perpu
nomor 1 tahun 2002 Jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 telah
terpenuhi. Dari fakta-fakta persidangan berhasil diungkap bahwa terdakwa
menyimpan bahan peledak dan senjata api beserta amunisi tanpa ijin yang
berwajib dan ada petunjuk bahwa bahan peledak tersebut akan dibuat atau
dijadikan bom.
Akan tetapi penulis melihat dalam hal pertimbangan yang
mengindikasikan bahwa terdakwa adalah sebagai dader belum cukup kuat.
Dalam putusan tersebut hanya diungkapkan bahwa terdakwa pernah pergi ke
Moro dan berjihad membantu orang-orang muslim serta mendapatkan
pengetahuan tentang senjata api.
Menurut penulis, hal ini belum cukup membuktikan bahwa terdakwa
bertindak sebagai dader. Dari segi kontek yuridis unsur-unsur sebagaimana
disyaratkan pasal 55 (1) ke-1 KUHP belum sepenuhnya terbukti. Putusan
tersebut belum mengungkapkan apakah terdakwa sengaja bekerja sama yang
ditujukan kepada hal yang dilarang undang-undang atau tidak dan juga tidak
disebutkan secara rinci apakah terdakwa mempunyai kepentingan serta
81 Ibid, hlm. 29-42
menginginkan atas aksi tersebut atau tidak. Ini merupakan syarat dari pada
dader, dalam hal ini adalah orang yang turut serta (medepleger).
Satu hal lagi yang menjadi titik lemah putusan ini adalah, bahwa
tindak pidana dilakukan bersama-sama dengan rekan terdakwa yaitu Luluk,
Yusuf, Antok dan Mustofa, di mana Mustofa bertindak sebagai pemimpin.
Dalam putusan justru tidak dijelaskan apa peran terdakwa dalam kelompok
tersebut dan tidak dijelaskan pula apakah terdakwa melaksanakan aksi tersebut
atas perintah Mustofa yang merupakan pemimpinnya atau tidak.
Apalagi selama di persidangan terungkap bahwa semula terdakwa
ditawari tinggal di Jl. Taman Sri Rejeki Selatan gang VII Nomor 2 Kec.
Kalibanteng Semarang tujuannya adalah untuk berjualan sandal, bukan dengan
maksud sebagai tempat untuk menyembunyikan bahan peledak.
Dari apa yang terungkap justru lebih mengindikasikan bahwa terdakwa
bertindak sebagai pembantu, di mana jelas-jelas terbukti bahwa terdakwa
memberikan kesempatan atau sarana berupa tempat untuk menyembunyikan
bahan peledak.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, majelis hakim seharusnya
memberikan hukuman sedikit lebih ringan dari yang telah dijatuhkan di mana
pembantu dipidana lebih ringan dari pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga
dari ancaman maksimal pidana yang dilakukan. Sebagaimana disebutkan
dalam pasal 57 ayat (1) KUHP bahwa:
“Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan,dikurangi sepertiga”.
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Semarang
Nomor No. 3/ Pid. B/ 2004/ PN Smg Tentang Tindak Pidana Terorisme
Dalam syariat Islam, Hakim atau Majelis hakim yang akan
memutuskan suatu perkara harus mempertimbangkan dengan akal sehat dan
keyakinan serta perlu adanya musyawarah untuk mencapai nilai-nilai keadilan
semaksimal mungkin baik bagi korban maupun untuk terdakwa. Sebagaimana
firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 58:
…#sŒÎ) urOçFôJ s3 ymtû÷ü t/Ĩ$Z9$#b r&(#q ßJ ä3 øtrBÉAô‰yèø9$$Î/4
Artinya : " ... dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusiahendaknya kamu menetapkannya dengan adil.82
Berdasarkan ayat di atas, bahwa Hakim di dalam memberikan putusan
yang berupa hukuman kepada terdakwa harus memperhatikan pertimbangan-
pertimbangan yang terdapat pada diri terdakwa terlebih dahulu dengan jalan
permusyawarahan, agar penjatuhan pidana yang diberikan hakim mencapai
nilai keadilan
Tujuan penjatuhan hukuman yaitu pencegahan, pengajaran dan
pendidikan, bahkan pula halnya sama dalam syari’at Islam adalah pencegahan,
pengajaran dan pendidikan. Dengan cara pencegahan seseorang pembuat
untuk tidak mengikuti perbuatannya, di samping itu pencegahan ini adalah
untuk mentaubatkan si pembuat dan dasar penjatuhan hukuman pada masa
sekarang ini rasa keadilan dan melindungi masyarakat. Rasa keadilan
menghendaki agar besarnya hukuman menyesuaikan dengan pembuat
82 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahan Juz 30, Surabaya:Mahkota, 1989, hlm. 88
kecenderungan jarimah, tanpa besarnya jarimah ini adalah tindakan
pemeliharaan dan pengamanan kepada masyarakat yang tertib dalam suasana
kehidupan yang harmonis dan sejahtera. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh
M. Hasbi Ash-Shidieqy dalam bukunya Filsafat Hukum Islam, menyatakan
sesungguhnya syari’at itu pondasi dan asasnya adalah kemaslahatan hamba,
baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat.83
Perlu diketahui sebelumnya dalam suatu konsep hukum Islam,
seseorang yang melakukan tindak pidana atau jarimah dianggap tidak bersalah
di mata hukum sebelum adanya bukti-bukti yang kuat dan meyakinkan untuk
suatu perbuatan jahat, kecuali dibuktikan kesalahannya tanpa adanya
keraguan, sebab keraguan (doubt) bisa menyebabkan tidak sahnya atau
membatalkan putusan hukum. Dalam hukum positif hal ini sering disebut
dengan asas praduga tak bersalah (principle of lawfulness). Sebagaimana
sabda Nabi Muhammad SAW:
)(
Artinya : ”Hindarkan hudud dalam keadaan ragu”. (HR. Al Baihaqy)
Dalam hal perbuatan terdakwa diatas termasuk sebuah tindak pidana,
maka dalam Islam dikenal dengan istilah perbuatan jahat, dimana kejahatan
(jarimah/jinayat) didefinisikan sebagai larangan-larangan hukum yang
diberikan Allah, yang pelanggarannya membawa hukuman yang
ditentukannya. Larangan hukum berarti melakukan perbuatan yang dilarang
83 M. Hasby ash-Shidieqy, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1975, hlm. 20.84 Al Hafidz ibn Hajar Al ‘Asqalany, Bulugh al Maram, Semarang: Al ‘Alawiyyah, tt, hlm.
260
atau tidak melakukan suatu perbuatan yang tidak diperintahkan. Dengan
demikian, suatu kejahatan adalah perbuatan yang hanya dilarang oleh
syariat.85
Terdakwa telah terbukti menyembunyikan senjata api, amunisi bahan
peledak serta berbagai dokumen dan peta, di mana perbuatan terdakwa telah
memenuhi unsur-unsur jarimah hirabah. Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya bahwa hukuman an-nafyu dijatuhkan kepada al-muharib yang
melakukan intimidasi/menakut-nakuti akan tetapi tidak melakukan
pembunuhan.
Sanksi pidana dalam putusan Pengadilan Negeri Semarang No.3/ Pid.
B/ 2004/ PN Smg tentang tindak pidana terorisme adalah dengan pidana
penjara atau dengan kata lain pidana tersebut diberikan oleh Majelis hakim,
maka dalam hukum Islam hukuman tersebut termasuk ke dalam jarimah ta zir.
Yang meliputi jarimah ta zir termasuk di dalamnya adalah pidana pasungan,
pengasingan, pengisoliran, skors, dan pidana kurungan/penjara.86
Adapun hukuman yang diberikan kepada terdakwa dengan
membebankan biaya perkara terhadap terdakwa sebesar Rp. 10.000 (sepuluh
ribu rupiah), dalam hukum pidana Islam juga merupakan ta zir kerena ta zir
tidak ditentukan banyaknya dan tidak mungkin ditentukan jumlahnya dan
hukuman ta’zir tidak mempunyai batasan tertentu, dari hukuman yang
seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya. Sedangkan ancaman pidana
85 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2003,hlm.20.
86 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, diterjemahkan oleh Nor Hasanuddin Jilid 3, Jakarta: PenaPundi Aksara, 2006, hlm 493.
yang terdapat dalam pasal 9 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang
terorisme adalah paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun pidana penjara.
Berdasarkan uraian di atas, menurut penulis putusan pengadilan Negeri
Semarang dalam menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa Suyatno alias Heru
Setiawan bin Iman Bakin sudah dipertimbangkan hal-hal yang terdapat pada
diri terdakwa. Hal ini sesuai dengan syari’at hukum pidana Islam. Sebelum
Hakim menjatuhkan hukuman harus mempertimbangkan hal-hal yang baik
ataupun yang buruk yang terdapat pada diri terdakwa, agar dapat mencapai
kemaslahatan dan keadilan juga tidak merugikan masyarakat.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis menyelesaikan penulisan dalam bentuk skripsi yang
berjudul Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Semarang No. 3/
Pid/ B/ 2004/PN.Smg Tentang Tindak Pidana Terorisme, maka penulis
menyimpulkan sebagai berikut:
1. Bahwa putusan Pengadilan Negeri Semarang No. 3/ Pid/ B/ 2004/PN.Smg
tentang tindak pidana terorisme unsur sebagaimana disyaratkan dalam
Pasal 9 Perpu nomor 1 tahun 2002 Jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 15
tahun 2003 telah terpenuhi. Dari fakta-fakta persidangan berhasil diungkap
bahwa terdakwa menyimpan bahan peledak dan senjata api beserta
amunisi tanpa ijin yang berwajib dan ada petunjuk bahwa bahan peledak
tersebut akan dibuat atau dijadikan bom. Tetapi dalam mengungkap bahwa
terdakwa adalah sebagai pembuat (dader) masih kurang kuat. Di mana
dalam putusan tersebut belum diungkapkan apakah terdakwa sengaja
bekerja sama yang ditujukan kepada hal yang dilarang undang-undang
atau tidak dan juga tidak disebutkan secara rinci apakah terdakwa
mempunyai kepentingan serta menginginkan atas aksi tersebut atau hanya
sekedar memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan. Ini merupakan
syarat dari pada dader, dalam hal ini adalah orang yang turut serta
(medepleger).
2. Bahwa dalam khazanah fikih Islam, terorisme memenuhi unsur jarimah
hirabah. Adapun hukuman yang diberikan kepada terdakwa berupa pidana
penjara selama 10 (sepuluh) tahun dan membebankan biaya perkara
terhadap terdakwa sebesar Rp. 10.000 (sepuluh ribu rupiah), dalam hukum
pidana Islam merupakan ta zir kerena jarimah ta zir tidak ditentukan
banyaknya dan tidak mungkin ditentukan jumlahnya dan hukuman ta zir
tidak mempunyai batasan tertentu, dari hukuman yang seringan-ringannya
sampai yang seberat-beratnya.
B. Saran-Saran
1. Diperlukan langkah-langkah kongkret untuk memerangi terorisme secara
konseptual, terpadu, sistematis dan menggunakan pendekatan yang
komprehensif. Oleh karenanya, semua pihak baik pemerintah, ulama,
masyarakat maupun dunia internasional hendaknya berpartisipasi aktif
dalam mencegah segala tindak kejahatan, khususnya tindak pidana
terorisme. Karena terorisme bukanlah tindak pidana biasa, di mana
jaringannya tidak hanya sebatas regional akan tetapi sudah mencakup
lintas negara.
2. Terhadap pelaku terorisme, dalam hal ini saudara Suyatno alias Heru
Setiawan hendaknya mendapatkan jaminan perlindungan hak-hak yang
semestinya sebagaimana diatur dalam undang-undang. Baik selama proses
penyidikan, persidangan maupun ketika menjalankan hukuman yang telah
dijatuhkan.
3. Hendaknya dalam menangani ataupun memutuskan perkara kasus
terorisme bagi pihak-pihak yang berwenang menjalankan tugas
persidangan memahami dan menguasai materi dan permasalannya
sehingga dapat menerapkan kaedah dasar hukum yang tepat serta dapat
mengungkap hal-hal yang sifatnya krusial.
4. Perlunya setiap orang memahami dan melaksanakan dalil dalam Al-Qur'an
surat Al-Fushshilat ayat 34 yang artinya:
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu)dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu danantara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangatsetia”.
Dengan arti lain, bahwa Allah dengan sengaja menciptakan manusia
berbeda-beda, termasuk juga keragaman akidah dan agama. Maka dari itu,
hal ini seharusnya tidak menjadi sumber konflik, tetapi seharusnya
menjadi kesempatan untuk saling mengenal satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, Bambang, Teror Bom di Indonesia, Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu,2005
Aburusman, Muhyiddin, Editor Syahdatul Kahfi, Terorisme di Tengah ArusGlobal Demokrasi, Jakarta: Specturm, 2006
Adji, Indriyanto Seno, Terorisme, Perpu No. 1 Tahun 2002 dalam PerpektifHukum Pidana, Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001
Akaha, H. Abduh Zulfikar (Editor), Terorisme dan Konspirasi Anti-Islam,Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002
Arief, Barda Nawawi, Hukum Pidana II, Semarang: Badan Penyediaan BahanKuliah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1999
‘Asqalany, Al Hafidz ibn Hajar, Bulugh al Maram, Semarang: Al ‘Alawiyyah, tt
Audah, Abdul Qadir, At-Tasyri al-Jina iy al-Islamy, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, tt
Azhar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Bastian, Angga, dkk., Makalah Sistem Pembuktian dan Beban Pembuktian padaMatakuliah Hukum Pembuktian, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2006
Bemmelen, J. M. Van, Hukum Pidana I: Pidana Material Bagian Umum,diterjemahkan oleh Hasan, tt: Bina Cipta, 1984
Chazami, Adami, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2002
Dokumentasi Situasi Daerah Hukum Pengadilan Tinggi dan Pengadilan NegeriJawa Tengah (Situasi Daerah Hukum Pengadilan Negeri Semarang),Jakarta: Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I DirektoratJenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, 2001
.Departemen Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, Madinah: Mujamma’
Khadim Al-Haramain Asy-Syarifah, tt
Garcia, Peter Rosler, Terorisme, Anak Kandung Ekstrimisme,<http:/www.kompas.com/ kompas-cetak/0210/15/tero30.htm>, (diaksespada 27 Desember 2009)
Gibbs, Jack, Definisi Terorisme, <http:/en.wikipedia.org/wiki/ Definition _of_terrorism>, (diakses pada 27 Desember 2009)
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2001
____________, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Jilid II, Jakarta: Pustaka Kartini,1988
Hardiman, F. Budi, Terorisme : Paradigma dan Definisi, Jakarta: Imparsial, 2003
____________, dkk. Terorisme, Definsi, Aksi dan Regulasi, Jakarta: Imparsial,2005
Hassan, Muhammad Hanif, Teroris Membajak Islam; Meluruskan Jihad SesatImam Samudra dan Kelompok Islam Radikal, Jakarta: Grafindo KhasanahIlmu, 2007
http://id.wikipedia.org/wiki/Definisi_terorisme (diakses pada 27 Desember 2009)
http://id.wikipedia.org/wiki/Definisi_terorisme (diakses pada 27 Desember 2009)
http: //fatahilla. blogspot.com /2009 / 06 / pemidanaan–sebagai–sarana-menciptakan. html (diakses pada 14 Maret 2010)
Juergensmeyer, Mark, Terror in Mind of God; the Global rise of ReligiousViolence (diterjemahkan oleh Amien Rozany Pane), Yogyakarta:Tarawang Press, 2003
Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, No. 3 Tahun 2004 tentang Terorisme
Mamudji, Sri, Metode Penelitian dan penelitian Hukum, Jakarta: Badan PenerbitFakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
Manullang, A.C., Menguak Tabu Intelijen Teror, Motif dan Rezim, Jakarta: PantaRhei, 2001
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 2003
Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: SinarGrafika Ofset, 2004
Pangaribuan, Luhut MP., Hukum Acara Pidana: Surat-surat Resmi di Pengadilanoleh Advocat, Jakarta: Djambatan, 2005
Panjaitan, Petrus Irwan dan Simorangkir, Pandapotan, Lembaga Pemasyarakatandalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pustaka SinarHarapan, 1995
Paulus, Loudewijk F., Terorisme, http://buletinlitbang.dephan.go.id (diakses pada2 Januari 2010)
Prints, Darwan, Hukum Acara Pidana dalam Praktik, Jakarta: Djambatan, 1998
Putusan Pengadilan Negeri Semarang, 28 April 2004 No. 03/Pid/B/2004/PN. Smgtentang Tindak Pidana Terorisme
Qordlawi, Yusuf, Dirasat Asy Syari’at Al Islamiyah, di alih bahasakan oleh :Muhammad Zaki, Membumikan Syari at Islam, Surabaya: Dunia Ilmu,1417 H
.Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah Juz 3, (diterjemahkan oleh Nor Hasan Hasanuddin),
Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006
Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani Press,2003
Shidieqy, M. Hasby, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1975
Shulthoni, Mawardi Lobay , Tegakan Keadilan, Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2002
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesiapress, 1986
Suara Merdeka, Edisi 154 tahun 2009
Sugandhi, KUHP Dengan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1981.
Sulistyo, Hermawan, dkk (Editor), Beyond Terrorism; Dampak dan Strategi padaMasa Depan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002
Sutarto, Suryono, Hukum Acara Pidana, Semarang: Badan Penerbit UNDIPSemarang, 2003
Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar, Al Asybah wa al Nadhair,Mesir: Musthafa Al Babi Al Halabi, 1988
Syarifin, Pipin, Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000
Wahid, Abdul, Kejahatan Terorisme, Bandung: PT. Refika Aditama, 2005
Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2004
Tim Redaksi Fokusmedia, UUD 45 Dan Amandemennya, Bandung: Fokusmedia,2007
____________, Perpu No. 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak PidanaTerorisme, Bandung: Fokusmedia, 2003
____________, Undang-undang No. 15 tahun 2003 tentang PemberantasanTindak Pidana Terorisme, Bandung: Fokusmedia, 2003
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak-hak Asasi Manusia