STUDI ANALISIS PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID...
Transcript of STUDI ANALISIS PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID...
i
STUDI ANALISIS PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID
TENTANG HAK ASASI MANUSIA
DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam
Ilmu Pendidikan Islam
Oleh:
MUHAMAD ATAUILLAH
NIM: 073111136
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
ii
iii
iv
v
NOTA PEMBIMBING
Semarang, 29 November 2011
Kepada
Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo
di Semarang
Assalamu ’alaikum wr.wb.
Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan
koreksi naskah skripsi dengan:
Judul : Studi Analisis Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Hak
Asasi Manusia dalam Perspektif Pendidikan Islam
Nama : Muhamad Atauillah
NIM : 073111136
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Program Studi : S1
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diujikan dalam Sidang Munaqasah.
Wassalamu ‘alaikum wr.wb.
Pembimbing I,
Dr. H. Fatah Syukur, M.Ag
NIP: 19681212 199403 1003
vi
NOTA PEMBIMBING
` Semarang, 29 November 2011
Kepada
Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo
di Semarang
Assalamu ’alaikum wr.wb.
Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan
koreksi naskah skripsi dengan:
Judul : Studi Analisis Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Hak
Asasi Manusia dalam Perspektif Pendidikan Islam
Nama : Muhamad Atauillah
NIM : 073111136
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Program Studi : S1
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diujikan dalam Sidang Munaqasah.
Wassalamu ‘alaikum wr.wb.
Pembimbing II,
Drs. Ahmad Sudja’i, M.Ag
NIP: 1951005 197612 1001
vii
ABSTRAK
Judul : Studi Analisis Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Hak
Asasi Manusia dalam Perspektif Pendidikan Islam
Nama : Muhamad Atauillah
NIM : 073111136
Skripsi ini membahas hak asasi manusia menurut seorang tokoh pejuang
HAM bernama Abdurrahman Wahid ditinjau dari sudut pandang Pendidikan
Islam. Kajiannya dilatarbelakangi oleh realita yang menunjukkan bahwa
pelanggaran terhadap hak asasi manusia masih sering terjadi, khususnya di
Indonesia. Studi ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan: (1) Bagaimana
Pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang Hak Asasi Manusia? (2)
Bagaimana pandangan Abdurrahman Wahid tentang HAM dalam Perspektif
Pendidikan Islam? Permasalahan tersebut dibahas melalui studi kepustakaan yang
datanya diperoleh dari berbagai karya tulisan Abdurrahman Wahid terkait
permasalahan hak asasi manusia. Semua data penelitian dianalisis menggunakan
pendekatan studi pemikiran tokoh yaitu dengan pendekatan sosio histories,
penelitian yang berupaya memeriksa secara kritis peristiwa, perkembangan masa
lalu, kemudian mengadakan interpretasi terhadap sumber-sumber informasi, dan
factual histories yaitu suatu pendekatan dengan mengemukakan sejarah fakta
mengenai tokoh. Penulis juga menekankan pada metode interpretasi.
Kajian ini menunjukkan bahwa: (1) Menurut Abdurrahman Wahid agama
Islam sangat sensitif dan peduli terhadap masalah HAM, Islam sangat menentang
tindakan yang melawan HAM, termasuk tindakan kekerasan dan memaksakan
kehendak terhadap orang lain, pemikiran Gus Dur tentang HAM pada umumnya
dibangun di atas teori maqashid as-syari’ah yang meliputi; keselamatan fisik
warga masyarakat (hifdzu al-nafs), keselamatan keyakinan agama masing-masing
(hifdzu al-din), keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu al-nasl), keselamatan
harta benda dan milik pribadi (hifdzu al-mal), dan keselamatan hak milik dan
profesi (hifdzu al-milk). Kesemuanya itu merupakan konsep yang dijadikan Gus
Dur sebagai prinsip Universal Islam. (2) Dalam perspektif pendidikan Islam,
pemikiran Abdurrahman Wahid tentang HAM memiliki keserasian yaitu
berorientasi pada terbentuknya kepribadian serta akhlak yang luhur dengan
menanamkan nilai-nilai toleransi pada peserta didik sejak dini yang berkelanjutan
dengan mengembangkan rasa saling pengertian dan menghormati hak-hak orang
lain.
viii
TRANSLITERASI
Penulisan transliterasi huruf-huruf Arab Latin dalam skripsi ini berpedoman
pada SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Nomor:
158/1987 dan Nomor 0543b/U/1987. Penyimpangan penulisan kata sandang (al-)
disengaja secara konsisten supaya sesuai teks Arabnya.
t ط A ا
z ظ B ب
‘ ع T ت
g غ S ث
f ف J ج
q ق H ح
k ك Kh خ
l ل D د
m م Z ذ
n ن R ر
w و Z ز
S � h س
, ء Sy ش
y ي S ص
D ض
Bacaan Madd: Bacaan Diftong
ā = a panjang او = au
i = i panjang اي = ai
ix
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SAW yang
telah memberikan petunjuk, kekuatan, dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi Analisis Pemikiran Abdurrahman
Wahid tentang Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Pendidikan Islam” ini dengan
baik.
Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk mencapai gelar sarjana
pendidikan pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Institut Agama Islam Negeri
Walisongo Semarang.
Dalam Kesempatan ini, perkenankanlah penulis mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik dalam penelitian
maupun penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih ini penulis sampaikan
kepada:
1. Dr.Suja’i, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
2. Bapak Dr. H. Fatah Syukur, M. Ag. dan Drs. Ahmad Sudja’i, M. Ag. selaku
dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran
untuk memberikan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Drs. Abdul Rohman, M. Ag. selaku Wali Studi Pendidikan Agama
Islam angkatan 2007 paket D.
4. Bapak dan Ibu dosen beserta Karyawan di lingkungan Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang yang telah membekali berbagai pengetahuan, sehingga
penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.
5. Ayahanda M. Yusuf dan Ibu Rodliyah tercinta, yang tak hentinya
mendo’akanku, semoga kesabaran, ketulusan, dan keikhlasanmu mendapat
ridlo dari Allah Swt.
6. Pengasuh Pondok Al-Asy’ariyyah, Kalibeber, Wonosobo Alm. K.H. Muntaha
al-Hafidz beserta segenap pengurus yang selalu mendoakan santri-santrinya.
Semoga Ilmunya senantiasa bermanfaat di dunia sampai akhirat.
7. Pengasuh Pondok PPRT Nyai Hj. Muthohiroh, Drs. K.H. Mustaghfirin, K.H.
Abdul Kholiq, L.c dan Gus M. Qolyubi, S.Ag yang selalu membimbing,
x
mengarahkan, mendididik dan mendo’akan santrinya. Semoga selalu
mendapat ridlo dari Allah Swt.
8. Kakak dan Adikku tercinta yang selalu memberikan dukungan dan semangat
kepadaku, semoga Allah membalas dengan yang lebih baik.
9. Guru-guruku mulai dari SD sampai kuliah yang senantiasa membimbing dan
mendidikku sehingga menjadikan hidupku lebih berarti, perjuanganmu
semoga berbuah manis di sisi Allah Swt.
10. Keluarga besar santri Ponpes. Raudlatut Thalibin (PPRT) Tugurejo, Tugu,
Kota Semarang, teman seangkatan, teman sekamar (Kyai Kajad, Om Aziz,
Abdi), serta seluruh santri PPRT. Kalian semua adalah keluarga bagiku,
orang-orang istimewa yang tak akan terlupakan sepanjang hidupku. Terima
kasih atas semuanya.
11. Teman-teman seangkatan PAI D, selalu ingatlah hari-hari yang pernah kita
jalani bersama. Kebersamaan, kekompakan, dan rasa kekeluargaan semoga
selalu terjaga, walaupun jauh namun selalu dekat di hati.
12. Teman-teman PPL, KKN, dan teman-teman di organisasi Nafilah, terimakasih
atas segala bimbingannya.
13. Teman-teman di Orda (IKAMADU dan KMW), diskusi, kumpul-kumpul
bareng, canda, dan tawa, selalu memberikanku banyak inspirasi untuk selalu
berkarya. Lanjutkan perjuangan kalian!.
14. Sahabat-sahabatku Andika “Gareng” Prabowo, dan segenap Beswan Djarum
25 yang selalu memberi motivasi, serta inspirasi. Teman-teman yang tidak
bisa saya sebut satu persatu. Terima kasih atas dukungan serta do’anya.
15. “BEB” Seorang yang sangat spesial di hatiku, terima kasih untuk senyum,
canda, dan tawamu. Semua itu menjadikan motivasi tersendiri buat Aku.
16. Semua pihak dan instansi terkait yang telah membantu selama dilaksanakan-
nya penelitian sampai selesainya penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa pengetahuan yang penulis miliki masih
kurang, sehingga skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, dengan
xi
segala kerendahan hati penulis mengharap kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak guna perbaikan dan penyempurnaan tulisan berikutnya.
Bukanlah hal yang berlebihan apabila penulis berharap semoga skripsi
ini dapat bermanfaat bagi pembaca, amin.
Semarang, 29 November 2011
Muhamad Atauillah
NIM: 073111136
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
PERNYATAN KEASLIAN ............................................................................ ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................................... iii
PENGESAHAN .............................................................................................. iv
NOTA PEMBIMBING ................................................................................... v
ABSTRAK ...................................................................................................... vii
TRANSLITERASI .......................................................................................... viii
KATA PENGANTAR .................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
BAB I: PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian .............................. 6
D. Tinjauan Pustaka ..................................................................... 6
E. Metode Penelitian ................................................................... 9
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian ....................................... 9
2. Sumber-Sumber Data ........................................................ 10
3. Metode Analisis Data ........................................................ 11
F. Sistematika Pembahasan Skripsi ............................................. 12
BAB II : HAK ASASI MANUSIA DAN PENDIDIKAN ISLAM............ 14
A. Hak Asasi Manusia ................................................................. 14
1. Latar Belakang Pemikiran tentang HAM .......................... 14
2. Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)............................. 19
3. Sejarah Lahirnya HAM ..................................................... 20
B. Pendidikan Islam ..................................................................... 22
1. Pengertian Pendidikan Islam ............................................. 23
2. Dasar Pendidikan Islam .................................................... 28
3. Tugas dan Fungsi Pendidikan Islam ................................. 30
4. Tujuan Pendidikan Islam ................................................... 32
xiii
BAB III : PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG
HAK ASASI MANUSIA ............................................................ 35
A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pemikiran
Abdurrahman Wahid .............................................................. . 35
1. Latar Belakang Biografis ................................................ . 35
2. Latar Belakang Pemikiran Abdurrahman Wahid ............ . 42
3. Sekilas tentang Karya-Karya Abdurrahman Wahid.......... 43
4. Penghargaan yang Diperoleh Abdurrahman Wahid ....... . 46
B. Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang
Hak Asasi Manusia .............................................................. 48
1. Paradigma Pemikirannya ................................................ 48
2. Pandangan Abdurrahman Wahid mengenai
Hak Asasi Manusia .......................................................... 49
BAB IV: ANALISIS PEMIKIRAN ABDURRAHMAN
WAHID TENTANG HAK ASASI MANUSIA
DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM ................... . 55
A. Analisis terhadap Pemikiran Abdurrahman Wahid............... 55
1. Pandangan Abdurrahman Wahid tentang HAM ............. . 57
2. Aktulaisasi Pembelaan Gus Dur terhadap HAM............. . 61
B. Pandangan Abudrrahman Wahid tentang HAM
Prespektif Pendidikan Islam................................................. 67
BAB V: PENUTUP ................................................................................... 73
A. Simpulan ............................................................................... 73
B. Saran dan Penutup ................................................................. 73
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hak asasi diartikan sebagai hak
dasar atau hak pokok seperti hak hidup dan hak mendapatkan perlindungan1. Hak-
Hak Asasi Manusia merupakan hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia, kodrati dan alami sebagai makhluk Tuhan Yang Mahakuasa.2 Hak asasi
manusia merupakan hak kodrati yang diberikan Tuhan kepada setiap manusia, dan
tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia hakiki dan bermartabat.
Prinsip-prinsip umum tentang hak-hak asasi manusia yang dicanangkan
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948 dianggap
sebagai pedoman standar bagi pelaksanaan penegakan HAM bagi bangsa-bangsa,
terutama yang bergabung dalam badan tertinggi dunia itu hingga saat ini. Prinsip-
prinsip umum tersebut dikenal dengan Universal Declaration of Human Rights,
UDHR (Pernyataan Semesta tentang Hak-hak Asasi Manusia).
Selanjutnya, hak-hak asasi manusia yang dianggap sebagai hak yang
dibawa sejak seseorang lahir ke dunia itu sebenarnya adalah anugerah dari Tuhan
Yang Maha Pencipta (hak yang bersifat kodrati). Karena tidak ada satu
kekuasaanpun di dunia dapat mencabutnya. Meskipun demikian, menurut
Baharuddin Loppa,3 bukan berarti manusia dengan hak-haknya itu dapat berbuat
semena-mena. Sebab, apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat
dikatagorikan memperkosa hak asasi orang lain, maka ia harus mempertanggung
jawabkan perbuatannya. Jadi hak asasi mengandung kebebasan secara mutlak
1 Tim Penyusun Kamus Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm.474.
2 Syawal Gultom, Pengantar, dalam Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai
Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. v.
3 Baharuddin Loppa, Al-Qur’an dan Hak-Hak Azazi Manusia, (Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Prima Yasa, 1996), hlm. 2.
15
tanpa mengindahkan hak-hak dan kepentingan orang lain. Karena itu HAM atas
dasar yang paling fundamental, yaitu hak kebebasan dan hak persamaan. Dari
kedua dasar ini pula lahir HAM yang lainnya.
Tulisan-tulisan yang menyatakan Islam melindungi hak asasi manusia
(HAM), seringkali menyebut Islam sebagai agama yang paling demokratis.
Pernyataan itu, seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Justru di
negeri-negeri muslimlah terjadi banyak pelanggaran yang berat atas HAM,
termasuk di Indonesia.4 Kalau kita tidak mau mengakui hal ini, berarti kita
melihat Islam sebagai acuan ideal namun sama sekali tidak tersangkut dengan
HAM. Dalam keadaan demikian, klaim Islam sebagai agama pelindung HAM
hanya akan terasa kosong saja, tidak memiliki pelaksanaan dalam praktek
kehidupan.
Dua dasawarsa terakhir ini, Indonesia sedang ditandai oleh friksi dan tensi
krusial dengan warna keagamaan, misalnya konflik Kristen-Islam di Poso,
Maluku sampai Paling mutakhir dan paling menonjol dalam kurun tahun 2008
hingga awal 2011 adalah pada 1 Juni 2008 terjadi penyerangan oleh FPI (Front
Pembela Islam) terhadap anggota AKKBB (Aliansi Kebebasan untuk Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan) yang tengah melakukan aksi di Monas, Jakarta.
Pada 27 Juli 2010 masjid Syekh Ali Martaib di desa Lumban Lobu, Kec. Tapanuli
Utara-Sumatera Utara dibakar oleh orang tak dikenal menjelang subuh, 06
Februari 2011 terjadi tragedi di Cikeusik, Pandeglang-Banten yaitu penyerangan
terhadap Jama’ah Ahmadiyah yang menewaskan empat orang dan melukai lima
orang, 08 Februari terjadi perusakan tiga Gereja di Temanggung Jawa Tengah
oleh massa yang tidak puas karena terdakwa kasus penistaan agama Antonius
Richmon hanya divonis lima tahun penjara, serta yang terakhir adalah
penyerangan pesantren di Pasuruan oleh gerombolan bermotor pada 15 Februari
2011.5
4 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute,
2002), hlm. 121.
5 Fauzan Dj, “Kekalahan Negara atas Kekerasan Berlatar Agama”, Suara Merdeka,
Semarang, 20 Februari 2011, hlm. 4.
16
Dalam melihat hubungan antara Islam dan hak asasi manusia, Gus Dur
mempersoalkan klaim sejumlah pemikir dan pemimpin dunia Islam yang
menyatakan bahwa Islam adalah agama yang paling demokratis dan amat
menghargai hak asasi manusia. Ironisnya, kenyataan yang ada justru berbeda dari
klaim mereka. Tetapi, pemikir yang tergolong berani tentang hak asasi manusia
justru disuarakan oleh Gus Dur tentang ketidaksesuaian pandangan fiqh/hukum
Islam dengan deklarasi universal hak asasi manusia. Jika deklarasi HAM
mengakui kebebasan untuk berpindah agama, hukum Islam sebaliknya
memberikan ancaman hukuman yang keras terhadap mereka yang berpindah
agama atau murtad. Menurut hukum Islam yang sampai sekarang dianut oleh
sebagian besar kaum Muslim, orang yang murtad dapat dihukum mati. Lalu apa
kata Gus Dur? kalau ketentuan fiqh seperti ini diberlakukan di negeri kita, maka
lebih dari 20 juta jiwa manusia Indonesia yang berpindah agama dari Islam ke
Kristen sejak tahun 1965 haruslah dihukum mati,”6 tandasnya.
Pendapat Gus Dur di atas cukup tajam dan berani. Namun sayangnya Gus
Dur kurang memberikan elaborasi yang lebih tentang ketentuan fiqh yang
dikritiknya itu. Padahal seandainya ia memberikan elaborasi lebih dalam tentang
soal itu, kritiknya mungkin akan lebih mengena. Dalam konteks ini, Ibrahim
Moosa,7
seperti dikutip Syafi’i Anwar, berpendapat bahwa hukum Islam klasik
memang melarang orang Islam pindah agama ke agama lain. Ketentuan ini
merupakan pelanggaran terhadap pasal 18 deklarasi hak asasi manusia (HAM)
universal yang menghendaki adanya suatu kebebasan berfikir, berbuat, dan
beragama, termasuk di dalamnya hak untuk mengubah agama dan kepercayaan.
Padahal, ketentuan hukum Islam, berpindah agama adalah murtad (riddah) dan
menurut mayoritas madzhab orang yang murtad itu diancam dengan sanksi
hukuman mati.8
6Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita., hlm.122.
7 Ibrahim Moosa adalah seorang pemikir Islam progresif asal Afrika Selatan.
8Syafi’i Anwar, Kata Pengantar, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam
Kita, hlm. xxi-xxii.
17
Contoh lain yang dikemukakan oleh Gus Dur adalah soal perbudakan
(slavery) yang banyak menghiasi al-Qur’an dan Hadits. Sekarang, perbudakan
tidak diakui bangsa muslim manapun, sehingga ia lenyap dari perbendaharaan
pemikiran kaum Muslimin. Karena itu Gus Dur berpendapat, ummat Islam mau
tak mau harus melakukan ijtihad untuk merubah ketentuan fiqh yang sudah
berabad-abad diikuti itu.9
Dengan berpijak pada firman Allah dalam ayat suci al-
Qur’an yang menyatakan, “Kullu man ‘alayha fa nin. Wa yabqa wajhu rabbika”
(Tiada yang tetap dalam kehidupan kecuali wajah Tuhan), Gus Dur lalu merujuk
pada ketentuan ushul fiqh yang berbunyi, al-hukmu yaduru ma’a ‘ilatihi wujudan
wa ‘adaman (hukum agama sepenuhnya tergantung kepada sebab-sebabnya, baik
ada ataupun tidak adanya hukum itu sendiri)10
.
Apresiasi Gus Dur terhadap hak asasi manusia ternyata bukan dalam
konsep saja, tetapi juga implementasinya dalam praktek, termasuk di Indonesia.
Itu sebabnya Gus Dur juga menyuarakan pembelaan terhadap sejumlah kasus
tertentu yang menyangkut pelanggaran hak asasi manusia seperti hak-hak kaum
minoritas. Ia misalnya, tanpa ragu membela Ulil Abshar-Abdala, intelektual muda
NU yang juga tokoh muda “Islam Liberal”. Seperti diketahui, sejumlah ulama
atau aktivis Islam tertentu yang menilai pemikiran Ulil telah sesat dan keluar dari
Islam, dan kerena itu layak dihukum mati. Yang menarik, sejumlah ulama dan
tokoh NU sendiri juga ada yang menilai pemikiran Ulil telah sesat. Menganggapi
adanya kecaman terhadap Ulil itu, Gus Dur berprinsip bahwa perbedaan pendapat
harus dihargai dan tidak seharusnya melahirkan ancaman atau kekerasan. Oleh
karena itu ia mengkritik keras mereka yang dengan gampang melayangkan
tuduhan-tuduhan berat kepada Ulil, dan mengatakan bahwa fatwa hukuman mati
itu sama sekali tidak berdasar.
Demikian pula dalam kasus Inul Daratista. Penyanyi dangdut yang dicerca
keras oleh sebagian tokoh agama, majelis ulama dan seniman karena “goyang
ngebor” nya yang dianggap melanggar batas-batas kesusilaan umum. Seperti
9 Syafi’i Anwar, Kata Pengantar, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam
Kita, hlm. xxii.
10 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita., hlm.123.
18
biasa, para tokoh agama dan ulama itu menggunakan justifikasi fatwa-fatwa
keagamaan untuk melarang Inul tampil di depan publik. Di tengah kontroversi itu,
Gus Dur tampil melindungi dari gempuran kecaman dan panasnya opini publik
yang menekan Inul. Pembelaan Gus Dur di dasarkan pada melindungi hak asasi
“wong cilik” bernama Inul dari hegemoni elit keagamaan dan klaim atas moralitas
kesenian yang agak represif.
Dari pandangan dan impresinya terhadap hak asasi manusia itu, jelas Gus
Dur sebagai tokoh Islam punya paradigma sendiri dalam memahami dan
mengaktualisasikan nilai-nilai hak asasi manusia
Berdasarkan uraian di atas, pemikiran Gus Dur mengenai hak asasi yang
diaktualisasikan dalam bentuk tulisan di berbagai media, maupun bentuk sikap
dan tindakan riil yang dilakukannya sangatlah menarik untuk dikaji. Dan untuk
penelitian ini, pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Hak Asasi akan ditinjau
dalam perspektif Pendidikan Islam, sehingga penelitian ini diberi judul STUDI
ANALISIS PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG HAK ASASI
MANUSIA DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah dan kerangka pemikiran di atas, terdapat
beberapa permasalahan yang akan dikaji:
1. Bagaimana Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Hak Asasi Manusia?
2. Bagaimana Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Hak Asasi Manusia dalam
Perspektif Pendidikan Islam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Dari beberapa permasalahan di atas, maka tujuan penulisan skripsi ini
adalah:
a. Mengetahui pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Hak Asasi Manusia
b. Mengetahui bagaimana Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Hak Asasi
Manusia jika dilihat dalam Perspektif Pendidikan Islam
19
2. Manfaat penelitian
Harapan dari penulisan skripsi ini adalah agar bermanfaat dalam
memberikan gambaran pemikiran Gus Dur tentang hak asasi manusia untuk
dijadikan pegangan sesama praktisi pendidikan yang sekiranya dapat memberikan
sumbangsih dan kontribusi nyata dalam memecahkan berbagai masalah terkait
pelanggaran hak-hak asasi manusia.
D. Tinjauan Pustaka
Sejak menjabat sebagai Ketua PBNU, ketika Almarhum Abdurrahman
Wahid diangkat menjadi Presiden, bahkan setelah wafatnya Beliau pada 30
Desember 2010 yang lalu, banyak pakar yang melakukan penelitian,
pengumpulan berbagai tulisan-tulisan Beliau yang tercecer di surat kabar dan
makalah-makalah, serta melakukan analisa tentang sikap, langkah kebijakan
maupun pemikiran-pemikiran mantan Presiden RI ke-4 ini, baik itu pemikiran-
pemikiran Beliau tentang politik, ekonomi, budaya, agama, pesantren, dan
sebagainya.
Penelitian tentang Beliau memang sudah banyak dilakukan oleh beberapa
pakar, misalnya; Al-Zastrouw Ng, karyanya berjudul “Gus Dur, Siapa sih
Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan Gus Dur”,11
mengungkapkan bahwa Gus Dur sebagai tokoh besar yang memiliki gagasan
besar pula, tidak jarang gagasan-gagasan tersebut menimbulkan salah pengertian
yang berujung pada terjadinya perdebatan, ketika gagasan tersebut
disosialisasikan ke tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Pandangan Gus Dur tentang agama juga dengan gamblang dipaparkan
dalam buku ini bahwa sekalipun agama itu mengandung ajaran tunggal, namun
karena dia dipahami oleh umat yang memiliki latar belakang pengetahuan,
pengalaman, dan kepentingan yang berbeda, maka dalam prakteknya menjadi
berbeda pula.
11 Zastrouw Ng, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan
Pernyataan Gus Dur, (Jakarta: Erlangga, 1999)
20
”Neo-Modernisme Islam di Indonesia Gagasan Sentral Nurcholis Madjid
dan Abdurrahman Wahid”, karya Ahmad Amir Aziz, yang memberikan
pencerahan bagaimana Abdurrahman Wahid membela kalangan minoritas dalam
keberatannya terhadap pembentukan ICMI yang didasarkan atas kuatnya
semangat membentuk “Masyarakat Islam” pada sejumlah aktifitas organisasi itu.
Jika perkembangannya tidak direm, maka yang akan terjadi adalah pengabaian
semangat toleransi keagamaan.12
Pandangannya yang mengedepankan
Universalisme Islam semakin terlihat nyata ketika Ia dalam kancah sosial dalam
perpolitikan nasional, menunjukkan perhatian besar pada hak-hak kelompok
minoritas.
Perjuangan membela kaum tertindas dan termarjinalkan tanpa
membedakan agama dan keyakinan seseorang atau kelompok, misalnya
pembelaannya terhadap Jama’ah Ahmadiyah dan sebagainya semakin
menunjukkan semangat pembelaan terhadap kaum tertindas. Sikap semacam itu
dibentuk melalui proses panjang, di mana Ia pernah berorganisasi dan belajar di
Mesir, Irak, serta beberapa negara Eropa.
Dalam sebuah tulisan di harian Kompas, edisi 18 Juli 2005, sejarawan
LIPI, Dr Asvi Warman Adam, menyebut Gus dur sebagai pahlawan hak-hak asasi
manusia (HAM). Gus Dur memang kiai dan pemimpin bangsa yang sangat
menghormati dan menjunjung tinggi HAM. Bagi Gus Dur, penghormatan
terhadap HAM merupakan perintah dari konstitusi dan juga ajaran Islam yang
paling dasar.13
Muhaimin Iskandar berpendapat Alm. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
adalah salah satu tokoh besar bangsa, bahkan dunia yang pernah dimiliki
Indonesia. Salah satu manifestasi kebesarannya terpancar pada pemikiran dan
pembelaannya yang total sepanjang hidupnya terhadap hak asasi manusia (HAM).
Ia pun diakui sebagai pejuang dan pahlawan HAM. Perjuangan Gus Dur di bidang
12 Ahmad, Amir, Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia Gagasan Sentral Nurcholish
Madjid dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta, Rineka Cipta, 1999)
13 M.Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, (Yogyakarta: LkiS, 2010), hlm. 69
21
HAM bukanlah hal yang ringan. Dalam beberapa hal pemikiran dan
pembelaannya terhadap HAM sering kali disalahpahami dan bahkan bertentangan
dengan arus utama pemikiran keagamaan legal formalistik. Ia sering dihujat oleh
kelompok Islam sendiri yang berpikiran kurang terbuka. Padahal keberhasilan
Gus Dur merumuskan pemikiran agama berperspektif HAM merupakan
sumbangan yang sangat besar bagi peradaban manusia modern, khususnya bagi
pembangunan masyarakat Indonesia yang multikultur.14
Douglas E. Ramage15
juga mengatakan bahwa strategi Pancasila Gus Dur
tidak hanya ditujukan untuk mengoreksi perilaku kekuasaan elit negara, tetapi
juga untuk mangatakan bahwa Pancasila pada dasarnya adalah sebuah kompromi
politik untuk tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara.
Buku karya A. Nur Alam Bakhtiar16
juga memberikan gambaran untuk
mengenal Gus Dur secara dekat, baik konsep dan tindakannya. Sekalipun buku ini
sedikit subjektif dalam memberikan penilaian terhadap Gus Dur, tetapi cukup
menggelitik pembacanya untuk semakin mengaguminya.
Menurut Gus Dur, ajaran moralitas Islam yang secara teoritik bertumpu
pada adanya lima buah jaminan dasar yang diberikan Islam kepada warga
masyarakat, meliputi; keselamatan fisik warga masyarakat (hifdzu al-nafs),
keselamatan keyakinan agama masing-masing (hifdzu al-din), keselamatan
keluarga dan keturunan (hifdzu al-nasl), keselamatan harta benda dan milik
pribadi (hifdzu al-mal), dan keselamatan hak milik dan profesi (hifdzu al-milk).
Kesemuanya itu merupakan konsep yang dijadikan Gus Dur sebagai prinsip
Universal Islam.17
Ini menunjukkan bahwa dalam Islam sangat menjunjung hak
asasi manusia.
14 A. Muhaimin Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur,
(Yogyakarta: LkiS, 2010), hlm. 23-24.
15 Douglas E. Ramage, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS, 2010),
Cet. III, hlm. 115.
16 A. Nur Alam Bakhtiar, 99 Keistimewaan Gus Dur, (Jakarta: Kultural, 2008)
17 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi
Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), hlm. 4-5.
22
Namun, sejauh ini semua jaminan dasar itu hanya menyajikan kerangka
teoritik yang tidak berfungsi tanpa didukung oleh kosmopolitanisme peradaban
Islam, yang muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan
etnik, kuatnya pluralitas budaya, dan heterogenitas politik.18
Berbagai karya penelitian yang telah dipaparkan di atas memiliki
keistimewaan dan corak tersendiri dalam mengkaji pemikiran serta sikap seorang
tokoh besar bernama Abdurrahman Wahid, karena kajian dan cara pandang yang
digunakan berbeda-beda. Begitu juga dalam penelitian ini, pemikiran
Abdurrahman Wahid tentang HAM akan dilihat dari perspektif Pendidikan Islam.
E. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan Penelitian Kepustakaan (library research).
Artinya penelitian yang bersifat kepustakaan murni yang data-datanya
didasarkan/diambil dari bahan-bahan tertulis, baik yang berupa buku atau lainnya
yang berkaitan dengan topik/tema pembahasan skripsi ini.19
Isi studi kepustakaan
dapat berbentuk kajian teoritis yang pembahasannya difokuskan pada informasi
sekitar permasalahan yang hendak dipecahkan melalui penelitian.20
Adapun pendekatan penelitian yang digunakan adalah studi pemikiran
tokoh yaitu dengan pendekatan sosio histories dan factual histories, pendekatan
sosio histories yaitu penelitian yang berupaya memeriksa secara kritis peristiwa,
perkembangan masa lalu, kemudian mengadakan interpretasi terhadap sumber-
18 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi
Kebudayaan, hlm. 9.
19 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 63.
20 Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Prakteknya, (Jakarta: PT.
Bumi Aksara, 2008), hlm. 38
23
sumber informasi.21
Sedangkan factual histories yaitu suatu pendekatan dengan
mengemukakan sejarah fakta mengenai tokoh.22
2. Sumber-Sumber Data
a. Sumber Primer
Sumber Primer dalam hal ini adalah hasil-hasil penelitian atau tulisan-
tulisan karya peneliti atau teoritisi yang orisinil.23
Sumber primer ini berupa
buku-buku dan karya ilmiah yang digunakan sebagai referensi utama, dan
sebagian besar penulis gunakan sebagai rujukan dalam penulisan skripsi ini.
Adapun sumber primer tersebut adalah buku-buku karya Abdurrahman
Wahid, di antaranya; Islamku Islam Anda Islam Kita, Gus Dur Bertutur,
Prisma Pemikiran Gus Dur, Dialog kritik dan Identitas Agama, dan lain
sebagainya.
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder adalah bahan pustaka yang ditulis dan dipublikasikan
oleh seorang penulis yang tidak secara langsung melakukan pengamatan atau
berpartisipasi dalam kenyataan yang ia deskripsikan. Dengan kata lain penulis
tersebut bukan penemu teori.24
Sumber sekunder ini digunakan sebagai bahan
referensi tambahan untuk lebih memperkaya isi skripsi, dan sebagai bahan
pelengkap dalam pembuatan skripsi ini. Sumber ini terdiri dari buku-buku
atau karya ilmiah lain yang masih ada hubungannya dengan isi skripsi.
Misalnya; Biografi Gus Dur, Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil, 41
Kebesaran Gus Dur, Gus Dur Siapa sih Sampean, Melanjutkan Pemikiran dan
Perjuangan Gus Dur, dan sebagainya.
21 Komaruddin, Kamus Research, (Bandung: Angkasa, 1984), hlm. 120.
22 Anton Bekker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,
(Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 61.
23 Ibnu Hadjar, Dasar-Dasar Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996), hlm. 83.
24 Ibnu Hadjar, Dasar-Dasar Metode Penelitian Kualitatif, hlm. 84.
24
3. Metode Analisis Data
a. Metode Deskriptif
Metode deskriptif adalah usaha untuk mendeskripsikan dan
menginterpretasikan mengenai apa yang ada tentang kondisi, pendapat yang
sedang berlangsung serta akibat (efek) yang terjadi atau kecenderungan yang
tengah berkembang.
Metode ini digunakan untuk menginterpretasikan pemikiran Gus Dur
dan selanjutnya akan mengarah pada setting sosial atau latar belakang
pemikirannya.
b. Metode Interpretatif
Metode interpretasi adalah “menyelami buku untuk dengan setepat
mungkin mampu mengungkapkan arti dan makna uraian yang disajikan”.25
Metode ini digunakan untuk mengkritisi buku-buku karya
Abdurrahman Wahid, yang memuat pemikiran-pemikirannya.
c. Metode Analisis Sintesis
Menurut Pardoyo, analisis sisntesis dimaksudkan untuk menelaah
secara kritis, menelaah istilah, definisi yang dikemukakan oleh para tokoh atau
pemikir, sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangan masing-masing
untuk kemudian menemukan definisi atau pengertian baru yang lebih tepat
dan lengkap.26
Metode ini digunakan untuk menelaah secara kritis terhadap pemikiran
Abdurrahman Wahid, serta menganalisis pemikiran para tokoh yang mengkaji
pemikirannya.
d. Metode Komparatif
25 Anton Bakker dan Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta :
Kanisius, 1990), hlm. 63.
26 Pardoyo, Sekulerasasi dalam Polemik, (Jakarta : Graffiti, 1993), hlm. 14.
25
Menurut Dra. Aswarni Sudjud, sebagaimana dikutip Dr. Suharsimi
Arikunto,27
bahwa analisis komparatif akan dapat menemukan persamaan dan
perbedaan tentang benda, orang, prosedur kerja, tentang ide-ide, kritik
terhadap orang, kelompok dan terhadap suatu ide atau prosedur kerja.
Disamping itu juga membandingkan kesamaan pandangan dan perubahan-
perubahan pandangan orang, group atau negara terhadap kasus orang,
persitiwa atau terhadap ide-ide.
Metode ini digunakan untuk menganalisis pemikiran Abdurrahman
Wahid dengan membandingkannya dengan sumber lain atau tokoh lain terkait
pemikiran tentang HAM.
F. Sistematika Pembahasan Skripsi
Untuk mempermudah penjelasan dan pembahasan, maka disusunlah
sistematika sebagai berikut:
1. Bagian muka, pada bagian ini termuat halaman judul, kata pengantar dan
daftar isi.
2. Bagian isi, pada bagian ini termuat:
BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan, dalam bab ini dijelaskan
tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian
dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian skripsi
yang meliputi: jenis dan pendekatan penelitian, sumber-sumber
data, metode analisis data, serta dijelaskan juga mengenai
sistematika pembahasan skripsi.
BAB II : Bab ini merupakan landasan teori yang menguraikan tinjauan
umum tentang hak asasi manusia yang meliputi: latar belakang
pemikiran tentang HAM, pengertian HAM, sejarah lahirnya HAM.
Juga diuraikan tentang pendidikan Islam yang meliputi: pengertian
27 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta : Rineka
Cipta, 1996), hlm. 245-246. Sedangkan menurut Suharsimi sendiri, metode komparatif adalah
“cara berfikir dengan cara membandingkan kesamaan pendapat orang, group atau negara terhadap
kasus orang, peristiwa atau ide-ide.
26
pendidikan Islam, sumber atau dasar pendidikan Islam, tugas dan
fungsi pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam.
BAB III : Pada bab ini diuraikan tentang pemikiran Abdurrahman Wahid
mengenai hak asasi manusia. Yaitu biografi Abdurrahman Wahid
yang meliputi: latar belakang biografis, karya-karya Abdurrahman
Wahid, penghargaan-penghargaan yang diperoleh Abdurrahman
Wahid. Serta diuraikan pemikiran Abdurrahman Wahid tentang
HAM yang meliputi: paradigma pemikiran Abdurrahman Wahid,
pandangan Abdurrahman Wahid tentang HAM.
BAB IV: Bab ini merupakan bab pembahasan dari pokok masalah yang
diajukan. Dalam hal ini merupakan analisis terhadap pemikiran
abdurrahman wahid tentang HAM dalam perspektif pendidikan
Islam yang meliputi: analisis pemikiran Abdurrahman Wahid
tentang HAM, pandangan Abdurrahman Wahid tentang HAM
perspektif pendidikan Islam.
BAB V : Pada bagian ini termuat simpulan serta saran dan penutup.
3. Bagian akhir, pada bagian ini termuat: kepustakaan, lampiran-lampiran dan
riwayat hidup.
14
BAB II
HAK ASASI MANUSIA DAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Hak Asasi Manusia
HAM merupakan isu global yang penegakannya telah menjadi komitmen
dunia internasional. Namun demikian kepedulian internasional terhadap hak asasi
manusia merupakan gejala yang relatif baru.28
Indonesia sebagai bagian dari
tatanan dunia internasional telah meratifikasi sebagian besar kovenen-kovenen
HAM. Konskuensinya dari hal tersebut di atas adalah adanya keharusan untuk
menegakkan dan mematuhi hal-hal yang berhubungan dengan HAM, pembukaan
UDHR mengamanatkan bahwa nilai-nilai HAM harus disosialkan melalui
pendidikan dan pengajaran yang sistematis dan terprogram, sebab pemahaman
dan pengetahuan tentang HAM merupakan suatu hal yang bersifat individual dan
butuh adanya pemahaman. Oleh karena itu, agar HAM menjadi suatu nilai yang
dapat dipahami oleh setiap orang diperlukan adanya proses internalisasi yang
sistematis dan terprogram melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pengajaran.
1. Latar Belakang Pemikiran Tentang HAM
Hak asasi manusia menjadi bahasan penting setelah Perang Dunia II dan
pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945.29
Wacana
HAM terus berkembang seiring dengan intensitas kesadaran manusia atas hak dan
kewajiban yang dimilikinya.30
Manusia pada dasarnya berasal dari satu ayah dan
satu ibu, yang kemudian, menyebar ke berbagai penjuru dunia, membentuk aneka
ragam suku dan bangsa serta bahasa dan warna kulit yang berbeda-beda Karena
itu, manusia, menurut pandangan Islam, adalah umat yang satu.
28Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2008) , hlm.
1.
29 Slamet Marta Wardaya, “Hakekat Konsep dan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi
Manusia (HAM)”, dalam Muladi (ed), Hak Asasi Manusia: Hakekat Konsep dan Implikasinya
dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hlm.3.
30Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi Sosial dan Budaya,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 1.
15
Karena manusia itu bersaudara yang saling mengasihi dan sama
derajatnya, manusia tidak boleh diperbudak oleh manusia. Manusia adalah bebas
dalam kemauan dan perbuatan, bebas dari tekanan dan paksaan orang lain.
Diceritakan, ketika umar bin khatab mendengar bahwa gubernurnya di Mesir,
Amru bin ‘Ash, bersikap kasar terhadap penduduk Mesir ia berkata: “Sejak kapan
kamu memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan ibu-ibu mereka
bebas?”31.
Sejalan dengan ajaran kebebasan manusia dalam Islam, al-Qur’an
menyebutkan:
Iω oν# t�ø. Î) ’ Îû ÈÏe$!$# ( ‰s% tt6 ¨? ߉ô© ”�9 $# z ÏΒ Äcxöø9 $# 4 yϑsù ö�à� õ3tƒ ÏNθäó≈ ©Ü9 $$Î/ -∅ÏΒ÷σ ムuρ
«!$$Î/ ωs) sù y7 |¡ôϑtGó™ $# Íο uρó� ãèø9 $$Î/ 4’ s+ øOâθø9 $# Ÿω tΠ$|ÁÏ�Ρ$# $oλm; 3 ª!$# uρ ìì‹ Ïÿxœ îΛÎ=tæ ∩⊄∈∉∪
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa
yang ingkar kepada Thaghut32
dan beriman kepada Allah, Maka
Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang
tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui (Q.S.
al-Baqarah/2: 256).33
Tidak ada paksaan dalam menganut agama. Mengapa ada paksaan,
padahal Dia tidak membutuhkan sesuatu; mengapa ada paksaaan, padahal
sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja (Q.S.
al-Maidah/5: 48). Perlu dicatat, bahwa yang dimaksud dengan tidak ada paksaan
dalam menganut agama adalah menganut akidahnya. Ini berarti jika seseorang
telah memilih satu akidah, katakan saja akidah Islam, maka dia terikat dengan
tuntunan-tuntunan-Nya, dia berkewajiban melaksanakan perintah-perintah-Nya.
Dia terancam sanksi bila melanggar ketetapan-Nya. Dia tidak boleh berkata,
31 Harun Nasution dan Bakhtiar Efendi (Ed), Hak-Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1955), hlm. X.
32 Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t.
33 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: C.V. Asy- Syifa’),
hlm. 90.
16
“Allah telah memberi saya kebebasan untuk shalat atau tidak, berzina atau nikah.”
Karena bila dia telah menerima akidahnya, maka dia harus melaksanakan
runtutannya.34
Tidak ada paksaan dalam menganut agama, karena telah jelas jalan yang
lurus. Itu sebabnya sehingga orang gila dan yang belum dewasa, atau yang tidak
mengetahui tuntunan agama, tidak berdosa jika melanggar atau tidak
menganutnya, karena bagi dia jalan jelas itu belum diketahuinya
Ayat ini cukup untuk membuktikan tentang kekeliruan musuh-musuh
agama Islam yang mengatakan: “agama Islam ditegakkan dengan pedang, dan
orang yang tidak mau memeluk agama Islam dipancung lehernya”. Sejarah telah
membuktikan kebohongan dari pernyataan itu. Peperangan yang terjadi pada masa
Nabi bertujuan membela diri, supaya kaum Musyrik berhenti mengganggu dan
memfitnah para Muslim. Inilah sebabnya, para Muslim tidak lagi memerangi para
Musyrik ketika mereka telah memeluk Islam atau tetap pada agama semula
dengan membayar jizyah (pajak) sebagai jaminan keamanan.35
Dalam ayat lain:
öθs9 uρ u!$x© y7 •/ u‘ z tΒUψ tΒ ’ Îû ÇÚ ö‘ F{ $# öΝ ßγ �=à2 $·èŠ ÏΗ sd 4 |MΡr'sùr& çν Ì�õ3è? } $Ζ9 $# 4®Lym
(#θçΡθä3 tƒ šÏΖÏΒ÷σ ãΒ ∩∪
Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang
di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa
manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya
(Q.S. Yunus/10: 99).36
Ayat di atas telah mengisyaratkan bahwa manusia diberi kebebasan
percaya atau tidak. Kaum Yunus tadinya enggan beriman, kasih sayangnyalah
yang mengantar Allah Swt. Memperingatkan dan mengancam mereka. Nah, kaum
34 M.Quraish Shihab, Tafisr Al-Mishbah Pesan Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an,
(Jakarta: Lentara Hati, 2002), vol.1, hlm. 551
35 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shieddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an Nuur,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), Jilid II, hlm. 450-451.
36 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 463.
17
Yunus yang tadinya membangkang atas kehendak mereka sendiri, kini atas
kehendak sendiri membangkang atas kehendak mereka sendiri, kini atas kehendak
sendiri pun mereka sadar dan beriman sehingga Allah swt tidak menjatuhkan
siksa-Nya.
Menurut Quraish Shihab,37
Allah memberi kebebasan kepada manusia.
Tapi, jangan duga bahwa kebebasan itu bersumber dari kekuatan manusia. Tidak!
Itu adalah kehendak dan anugerah Allah karena jikalau Tuhan Pemelihara dan
Pembimbingmu menghendaki, tentulah beriman secara bersinambung tanpa
diselingi sedikit keraguan pun semua manusia yang berada di muka bumi
seluruhnya. Maka jika demikian, apakah engkau, wahai Muhammad, engkau
hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang mukmin
semuanya yang benar-benar mantap imannya? Allah tidak merestui engkau
melakukan yang demikian, bahkan jika seandainya engkau berhasil, aku tidak
akan menerimanya karena yang demikian, bahkan jika engkau berusaha kesana
maka engkau tidak dapat berhasil.
Berdasarkan dalil diatas, dakwah dalam Islam berarti menyampaikan
ajaran-ajarannya kepada masyarakat manusia dan bukan memaksa orang lain
masuk Islam.
Dari ajaran dasar persaudaraan, persamaan dan kebebasan ini pula timbul
kebebasan manusia yang lainnya. Seperti kebebasan dari kekurangan, rasa takut,
menyalurkan pendapat, bergerak, kebebasan dari penganiayaan dan penyiksaan.38
Hal ini mencakup semua sisi dari apa yang disebut hak asasi manusia seperti hak
hidup hak memiliki harta, hak berfikir, hak berbicara dan mengeluarkan pendapat
hak mendapat pekerjaan, hak memperoleh pendidikan, hak memperoleh keadilan,
hak berkeluarga dan hak diperlakukan sebagai manusia yang terhormat (mulia)
dan sebagainya.
37 M.Quraish Shihab, Tafisr Al-Mishbah Pesan Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an, hlm.
513. 38 Ahmad Kosasih MA, HAM Dalam Perspektif Islam, Menyingkap Persamaan dan
Perbedaan antara Islam & Barat, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), jil. 1, hal.16.
18
Di samping itu, kebebasan manusia dalam Islam tidak bersifat mutlak
(absolut), maka dengan sendirinya hak-hak asasi manusia bukanlah hak yang
bersifat absolut. Hak yang bersifat absolut itu, menurut Islam, hanya milik Allah.
Allah adalah pemililk yang sesungguhnya terhadap alam semesta termasuk
manusia itu sendiri. Karena itu selain kepada Tuhan penciptanya maupun kepada
sesama manusia dan makhluk lainnya. Berdasarkan ini pula manusia tidak boleh
semena-mena dalam menggunakan haknya. Manusia punya kewajiban mematuhi
perintah dan larangan-Nya. Kesemuanya itu adalah dalam rengka kemaslahatan
manusia dan kebaikan semesta (rahmatan lil ‘alamin).
Sebagai contoh, hak hidup disertai dengan kewajiban memelihara dan
menghormati hidup orang lain, hak mengumpulkan harta diimbangi dengan
kewajiban mengumpulkannya secara halal, dan kewajiban mengeluarkan
zakatnya, kebebasan berbicara harus pula disertai dengan kewajiban memelihara
perasaan serta kehormatan diri orang lain agar tidak disakiti. Demikian pula
dengan hak memperoleh ilmu diimbangi dengan kewajiban mengajarkannya
kepada orang lain. Pendeknya, pembicaraan mengenai hak di dalam Islam tidak
bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang kewajiban, dan tidak bisa berdiri sendiri.
Hak-hak asasi manusia (HAM) yang dikumandangkan oleh negara-negara
maju (Barat) pada saat ini, umumnya, mengacu pada Deklarasi Semesta tentang
Hak-hak Asasi Manusia (The Universal Declaration of Human Right, UDHR).
Deklarasi ini pada prinsipnya diterima oleh hampir seluruh anggota PBB,
termasuk didalamnya Indonesia.39
Namun bukan berarti bahwa sifat dasar,
defiinisi serta skop hak-hak asasi yang demaksud telah tuntas desepakati. Masih
banyak permasalahan mendasar yang perlu ditinjau. Di antara pertanyaan yang
mungkin perlu diajukan di dalamnya ialah: Apakah hak-hak asasi itu diperoleh
seseorang individu dari negara atau anugerah dari Tuhan?
39 Ahmad Kosasih MA, HAM Dalam Perspektif Islam, Menyingkap Persamaan dan
Perbedaan antara Islam & Barat, hlm. 17.
19
Oleh karena itu, menurut Ahmad Kosasih,40
paling tidak terdapat tiga
macam pandangan dari kelompok agama, termasuk umat Islam, terhadap HAM
yang dideklarasikan tahun 1948 itu. Pertama, mereka yang menerima tanpa
reserve dengan alasan bahwa HAM itu sudah sejalan dengan ajaran Islam. Kedua,
mereka yang menilai bahwa konsep HAM tersebut bertolak belakang dengan
ajaran agama karena bersumber dari budaya barat yang sekuler. Ketiga, posisi
kelompok moderat yang mengambil sikap hati-hati, yakni menerima dengan
beberapa perubahan dan modifikasi seperlunya.
2. Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)
Secara harfiyah, kata hak berarti kewenangan untuk melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu. Adapun kata asasi berasal dari kata asas yang
berarti dasar, alas, dan fondasi, yaitu “sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir
atau berpendapat”. Kemudian kata itu mendapat im-buhan akhiran “i” lalu
menjadi asasi. Kata asasi bermakna sesuatu yang bersifat dasar atau pokok.41
Secara istilah, kata hak asasi berarti kewenangan dasar yang dimiliki oleh
seseorang yang melekat pada diri orang itu untuk melakukan sesuatu sesuai
dengan pilihan hidupnya. Hak-Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang dimiliki
manusia menurut kodratnya, yang tak dapat dipisahkan dari pada hakekatnya dan
karena itu bersifat suci.
Menurut teaching human rights yang diterbitkan oleh perserikatan bangsa-
bangsa (PBB), hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap
manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.42
Hak
hidup misalnya, adalah klaim untuk memperoleh dan melakukan segala sesuatu
yang dapat membuat seseorang tetap hidup, karena tanpa hak tersebut
eksistensinya sebagai manusia akan hilang.
40 Ahmad Kosasih MA, HAM Dalam Perspektif Islam, Menyingkap Persamaan dan
Perbedaan antara Islam & Barat, hlm. 17.
41 Tim Penyusun Kamus Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm.474.
42 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2007), hlm. 252
20
Prinsip-prinsip umum tentang hak-hak asasi manusia yang dicanangkan
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948 dianggap
sebagai pedoman standar bagi pelaksanaan penegakan HAM bagi bangsa-bangsa,
terutama yang bergabung dalam badan tertinggi dunia itu hingga saat ini. Prinsip-
prinsip umum tersebut dikenal dengan Universal Declaration of Human Rights,
UDHR (Pernyataan Semesta tentang Hak-hak Asasi Manusia).
Deklarasi tersebut bukanlah sebuah dokumen yang secara sah mengikat,
dan beberapa ketentuan yang menyimpang dari peraturan-peraturan yang ada dan
diterima secara umum. Walaupun demikian beberapa ketentuannya mengatur
prinsip-prinsip umum hukum atau menggambarkan pandangan pokok tentang
perikemanusiaan. Dan lebih penting lagi statusnya sebagai suatu pedoman yang
dapat dipercaya, yang dihasilkan Majelis Umum, tentang interpretasi terhadap
Piagam Persirikatan Bangsa-Bangsa. Dalam kapasitas ini, deklarasi tersebut
secara tidak langsung benar-benar sah, dan dianggap oleh Majelis Umum dan
beberapa kali hukum bagian dari undang-undang Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dengan demikian deklarasi tersebut merupakan suatu standar pelaksanaan
umum bagi semua bangsa dan semua negara dengan tujuan bahwa setiap orang
dan badan dalam masyarakat, dengan senantiasa mengingat pernyataan ini, akan
berusaha dengan jalan mengajar dan mendidik untuk mempertinggi penghargaan
terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini.
Selanjutnya, hak-hak asasi manusia yang dianggap sebagai hak yang
dibawa sejak seseorang lahir ke dunia itu sebenarnya adalah anugerah dari Tuhan
Yang Maha Pencipta (hak yang bersifat kodrati). Karena tidak ada satu
kekuasaanpun di dunia dapat mencabutnya. Meskipun demikian, menurut
Baharuddin Loppa,43
bukan berarti manusia dengan hak-haknya itu dapat berbuat
semena-mena. Sebab, apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat
dikatagorikan memperkosa hak asasi orang lain, maka ia harus mempertanggung
jawabkan perbuatannya. Jadi hak asasi mengandung jawabkan perbuatannya. Jadi
hak asasi mengandung kebebasan secara mutlak tanpa mengindahkan hak-hak dan
43 Baharuddin Loppa, Al-Qur’an dan Hak-Hak Azazi Manusia, (Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Prima Yasa, 1996), hlm. 2.
21
kepentingan orang lain. Kerena itu HAM atas dasar yang paling fundamental,
yaitu hak kebebasan dan hak persamaan. Dari kedua dasar ini pula lahir HAM
yang lainnya.
3. Sejarah Lahirnya HAM
Menurut penyelidikan ilmu pengetahuan, sejarah hak-hak asasi manusia
itu barulah tumbuh dan berkembang pada waktu hak-hak asasi itu oleh manusia
mulai diperhatikan dan diperjuangkan terhadap serangan-serangan atau bahaya
yang timbul dari kekuasaan suatu masyarakat atau negara (state). Pada hakikatnya
persoalan menganai hak-hak asasi itu berkisar pada hubungan antara manusia
sebagia individu dan masyarakat.
Sebab manakala sesuatu negara semakin kuat dan meluas, secara terpaksa
ia akan mengitervensi lingkungan hak-hak pribadi yang mengakibatkan hak-hak
pribadi itu semakin berkurang. Maka pada saat yang sama terjadilah
persengketaan antara individu (rakyat) selalu berada pada posisi yang terkalahkan.
Pada saat itu pula perlindungan terhadap hak-hak individu yang bersifat asasi itu
sangat dibutuhkan.
Bila ditelusuri lebih jauh ke belakang mengenai sejarah lahirnya HAM,
umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa cikal bakal HAM itu
sebenarnya telah ada sejak lahirnya Magna Charta44
1215 di kerajaan Inggris. Di
dalam Magna Charta itu disebutkan antara lain bahwa raja yang memiliki
kekuasaan absolut dapat dibatasi kekuasaannya dan diminati
pertanggungjawabannya di muka hukum. Dari sini lahir doktrin “raja tidak kebal
hukum” dan harus bertanggung jawab kepada rakyat. Walaupun kekuasaan
membuat undang-undang pada masa itu lebih banyak berada di tangannya.45
44 Menurut Prof. Miriam Budiardjo, seperti dikutip Abdul ghofur, Magna Charta
merupakan semacam kontrak antara beberapa bangsawan dan Raja John dari Inggris di mana
untuk pertama kali seseorang raja yang berkuasa mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin
beberapa hak dan priveleges dari bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi
keperluan perang dan sebagainya. Lihat Abdul Ghofur, Demokratisasi Dan Prospek Hukum Islam
di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 46
45 Baharuddin Loppa, Al-Qur’an dan Hak-Hak Azazi Manusia, hlm. 2.
22
Secara politis, lahirnya Magna Charta merupakan cikal bakal lahirnya
monarki konstitusiaonal. Keterikatan penguasa dengan hukum dapat dilihat pada
Pasal 21 Magna Charta yang menyatakan bahwa ”para Pangeran dan Baron
dihukum atau didenda berdasarkan atas kesamaan, dan sesuai dengan pelanggaran
yan dilakukannya”.46
Pada 1689 lahir Undang-Undang Hak Asasi Manusia (Bill Of Rights) di
Inggris. Pada masa itu pula muncul istilah equality before the law atau manusia
adalah sama di muka hukum. Pandangan ini mendorong timbulnya wacana negara
hukum dan demokrasi. Menurut Bill Of Rights, asas persamaan harus diwujudkan
betapapun berat rintangan yang dihadapi, karena tanpa hak persamaan maka hak
kebebasan mustahil dapat terwujud.47
Pada 1789 lahir Deklarasi Prancis (The French Declaration). Deklarasi ini
memuat aturan-aturan hukum yang menjamin hak asasi manusia dalam proses
hukum, seperti larangan penangkapan dan penahanan seseorang secara sewenang-
wenang tanpa alasan yang sah atau penahanan tanpa surat perintah yang
dikeluarkan oleh lembaga hukum yang berwenang.48
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai oleh munculnya wacana empat
hak kebebasan manusia (the four freedom) di Amerika Serikat pada 6 Januari
1941, yang diproklamirkan oleh presiden Roosevelt. Menurut Prof. Miriam
Budiardjo, seperti dikutip oleh Abdul Ghofur, empat kebebasan itu yaitu:49
1. Kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech).
2. Kebebasan beragama (freedom of religion)
3. Kebebasan dari ketakutan (freedom of fear)
4. Kebebasan dari kemelaratan (freedom of want)
46 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani, hlm. 253
47 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani, hlm. 253
48 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani, hlm. 254
49 Abdul Ghofur, Demokratisasi Dan Prospek Hukum Islam di Indonesia, hlm. 33
23
B. Pendidikan Islam
Sebagaimana diketahui manusia adalah sebagai khalifah Allah di alam.
Sebagai khalifah, manusia mendapat kuasa dan wewenang untuk melaksanakan
pendidikan terhadap dirinya sendiri, dan manusia pun mempunyai potensi untuk
melaksanakannya. Dengan demikian pendidikan merupakan urusan hidup dan
kehidupan manusia, dan merupakan tanggung jawab manusia sendiri.50
Pendidikan merupakan term terpenting dan menentukan dalam perubahan
masyarakat. Bahkan Islam sendiri menempatkan pendidikan dalam posisi vital.
Bukan sebuah kebetulan jika dalam lima ayat pertama dimulai dengan perintah
membaca. Tak heran jika dalam syiar yang dikembangkan Nabi Muhammad
dilakukan dengan pendekatan pendidikan.51
Gagasan utama pendidikan, termasuk Pendidikan Islam, terletak pada
pandangan bahwa setiap manusia mempunyai nilai positif tentang kecerdasan,
daya kreatif, dan keluhuran budi. Namun fokusnya bukan semata kemampuan
ritual dan keyakinan tauhid tetapi juga akhlak sosial dan kemanusiaan. Kualitas
akhlak pun tak bisa dicapai hanya dengan doktrin halal-haram, tapi usaha budaya
dari rumah, masyarakat dan ruang kelas.52
1. Pengertian Pendidikan Islam
a. Pengertian Pendidikan Islam Secara Etimologi
Di dalam al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber utama ajaran Islam dapat
ditemukan kata-kata atau istilah-istilah yang pengertiannya terkait dengan
pendidikan, yaitu rabba, ‘allama dan addaba.
Misalnya:
50 Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 125.
51 Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2001),
hlm. 4 – 5.
52 Abdul Munir Mulkhan, “Humanisasi Pendidikan Islam”, dalam Hamami
Zada, et. Jurnal Tashwirul Afkar edisi no. 11 tahun 2001, hlm. 17.
24
ôÙÏ� ÷z$# uρ $yϑßγ s9 yy$uΖ y_ ÉeΑ —%!$# z ÏΒ Ïπ yϑôm§�9 $# ≅ è%uρ Éb>§‘ $yϑßγ ÷Ηxq ö‘ $# $yϑx. ’ÎΤ$u‹ −/ u‘
# Z+6 Éó|¹ ∩⊄⊆∪
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil
(Q.S. al-Isra’/17: 24).53
Ayat ini memerintahkan anak bahwa dan merendahlah dirimu terhadap
mereka berdua didorong oleh karena rahmat kasih sayang kepada keduanya,
bukan karena takut atau malu dicela bila tidak menghormatinya, dan ucapkanlah,
yakni berdoalah secara tulus.54
Ayat diatas tidak membedakan antara ibu dan bapak, memang pada
dasarnya ibu hendaknya didahulukan atas ayah, tetapi ini tidak selalu demikian.
Bahkan imam Syafi’i pada dasarnya mempersamakan keduanya, jadi bila ada
salah satu yang hendak di dahulukan sang anak hendaknya mencari faktor-faktor
penguat guna mendahulukan salah satunya. Karena itu pula, walaupun ada hadits
yang mengisyaratkan perbandingan hak ibu dengan bapak sebagai tiga dibanding
satu, penerapannya pun harus setelah memerhatikan faktor-faktor dimaksud.55
“Ï% ©!$# zΟ ¯=tæ ÉΟ n=s) ø9 $$Î/ ∩⊆∪ zΟ ¯=tæ z≈ |¡ΣM}$# $tΒ óΟ s9 ÷Λ s>÷ètƒ ∩∈∪
Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia yang
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (Q.S. al-
Alaq/96: 5).56
53 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: C.V. Asy- Syifa’),
hlm. 608.
54 M.Quraish Shihab, Tafisr Al-Mishbah Pesan Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an, hlm.
66.
55 M.Quraish Shihab, Tafisr Al-Mishbah Pesan Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an, hlm.
67.
56 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 1403.
25
Pada ayat ke 4 kata manusia tidak disebut karena telah disebut pada ayat
ke 5, dan pada ayat 5 kalimat tanpa pena tidak disebut karena pada ayat 4 telah
diisyaratkan makna itu dengan disebutnya pena. Dengan demikian kedua ayat di
atas dapat berarti “Dia (Allah) mengajarkan dengan pena (tulisan) (hal-hal yang
telah diketahui manusia sebelumnya) dan Dia mengajarkan manusia (tanpa pena)
apa yang belum diketahui sebelumnya.” Sedang kalimat “tanpa pena”
ditambahkan karena adanya kata “dengan pena” dalam susunan pertama. Yang
dimaksud dengan ungkapan “telah diketahui sebelumnya” adalah khazanah
pengetahuan dalam bentuk tulisan.57
Dari uraian di atas dapat menyatakan bahwa kedua ayat tersebut
menjelaskan dua cara yang ditempuh Allah swt, dalam mengajar manusia.
Pertama melalui pena (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia, dan yang kedua
melalui pengajaran secara langsung tanpa alat. Cara yang kedua ini dikenal
dengan istilah “Ilm Ladunny”58
������� � �� � �� �� ������ ������ �� ������ ���� ���
��!"�)$% �&'"� (��)(
Didikalah anak-anakmu atas tiga perkara: mencintai nabimu, mencintai
ahli keluarganya, dan membaca al-Qur’an. (H.R. ad-Dailamy).59
Dalam bahasa Arab, kata-kata rabba, ‘allama, dan addaba menurut
Achmadi, 60
mengandung pengertian sebagai berikut:
a. Kata kerja rabba yang masdarnya tarbiyyatan memiliki beberapa arti, antara
lain mengasuh, mendidik dan memelihara. Di samping kata rabba ada kata-
57 M.Quraish Shihab, Tafisr Al-Mishbah Pesan Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an, hlm.
401
58 M.Quraish Shihab, Tafisr Al-Mishbah Pesan Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an,hlm.
402
59 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 25.
60 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, hlm. 25-26.
26
kata yang serumpun dengannya yaitu rabba, yang berarti memiliki,
memimpin, memperbaiki, menambah. Rabba juga berarti tumbuh atau
berkembang.
b. Kata kerja ‘allama yang masdarnya ta’liman berarti mengajar yang lebih
bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan, dan
keterampilan.
c. Kata kerja addaba yang masdarnya ta’diban dapat diartikan mendidik yang
secara sempit mendidik budi pekerti dan secara lebih luas meningkatkan
peradaban. Menurut Naquib al-Attas, seperti dikutip M. Ridlwan Nasir, 61
at-
ta’dib adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur ditanamkan
kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam
tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah
pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan dalam tatanan
wujud dan keberadaannya.
Ketiga istilah tersebut (tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib) merupakan satu
kesatuan yang saling terkait. Artinya bila pendidikan dinisbatkan kepada ta’dib ia
harus melalui pengajaran (ta’lim) sehingga dengannya diperoleh ilmu. Agar ilmu
dapat dipahami, dihayati, dan selanjutnya diamalkan oleh peserta didik perlu
bimbingan (tarbiyah).
Pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term:
tarbiyah, ta’lim, ta’dib, riyadhah, irsyad, dan tadris. Masing-masing memiliki
keunikan makna tersendiri, namun memiliki makna yang sama. Akan tetapi term
yang populer digunakan dalam praktek Pendidikan Islam adalah term al-
tarbiyah.62
b. Pengertian Pendidikan Islam Secara Terminologi
61 M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal: Pondok Pesantren di
Tengah Arus Perubahan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 51.
62 Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasy dalam kitabnya Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta’lim,
seperti dikutip oleh Abdul Mujib, Pendidikan Islam dalam khazanah keIslaman populer dengan
Istilah Tarbiyah, karena mencakup keseluruhan aktivitas pendidikan, sebab di dalamnya tercakup
upaya mempersiapkan individu secara sempurna. Lihat. Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. I, hlm. 10.
27
Pengertian Pendidikan Islam ini sebetulnya sudah cukup banyak
dikemukakan oleh para ahli. Meskipun demikian, perlu dicermati dalam rangka
melihat relevansi rumusan baik dalam hubungan makna, tujuan, fungsi, maupun
proses kependidikan Islam yang dikembangkan dalam rangka menjawab
permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam kehidupan umat manusia
sekarang ini.
Ahmad D. Marimba menyatakan bahwa Pendidikan Islam adalah
bimbingan jasmani-rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju
terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam.63
Menurut Prof. Achmadi pengertian pendidikan Islam adalah segala usaha
untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia
yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai
dengan norma Islam.64
Ramayulis dalam bukunya ilmu Pendidikan Islam mengemukakan bahwa
Pendidikan Islam adalah suatu proses edukatif yang mengarah kepada
pembentukan akhlak atau kepribadian.65
Sedangkan hakikat Pendidikan Islam
menurut M. Arifin adalah usaha orang dewasa muslim yang bertaqwa secara sadar
mengarahkan dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan fitrah anak didik
melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya.66
Memang dalam pendidikan Islam terdapat sebuah karakteristik yang
khusus, rekomendasi Konferensi Internasional Pendidikan Islam di Universitas
King Abdul Aziz Jeddah tahun 1997 mendefinisikan pendidikan Islam sebagai
keseluruhan pengertian yang terkandung dalam istilah ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib.
Berdasarkan pemaknaan ini, Abdurrahman al-Nahlawy menyimpulkan bahwa
63 Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1989), hlm. 23.
64 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, hlm.29.
65 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hlm. .4.
66 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjaun Teoritis dan Praksis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 32.
28
pendidikan Islam terdiri dari empat unsur, yaitu:67
pertama, menjaga dan
memelihara fitrah anak menjelang baligh; kedua, mengembangkan seluruh
potensi; ketiga, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan;
dan keempat, dilaksanakan secara bertahap.
Dari beberapa definisi Pendidikan Islam yang dikemukakan di atas,
tampak sekali umumnya penekanan utama diberikan kepada pentingnya
pembentukan akhlak, disamping adanya penekanan persoalan fitrah dan upaya
manusia dalam mencapai hidup makmur dan bahagia sesuai dengan ajaran dan
norma Islam.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, realita membuktikan bahwa masyarakat
Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Maka, pencarian bentuk pendidikan
alternatif mutlak diperlukan. Yaitu suatu bentuk pendidikan yang berusaha
menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkannya kepada generasi
berikutnya, menumbuhkan akan tata nilai, memupuk persahabatan antara siswa
yang beraneka ragam suku, ras, dan agama, mengembangkan sikap saling
memahami, serta mengerjakan keterbukaan dan dialog.
2. Dasar Pendidikan Islam
Dasar pendidikan Islam identik dengan dasar ajaran Islam itu sendiri, yaitu
al-Qur’an dan al-Hadits. Pendidikan Islam sebagai sebuah konsep, rumusan atau
produk pikiran manusia dalam rangka pelaksanaan pembinaan dan pengembangan
potensi peserta didik tidak bersifat baku dan mutlak, tetapi bersifat relatif sesuai
dengan keterbatasan kemampuan pikir dan daya nalar manusia mengkaji wahyu
Allah.
Menurut Sa’id Ismail Ali, sebagaimana yang dikutip oleh Hasan
Langgulung, dasar Pendidikan Islam terdiri dari al-Qur’an, al-Sunnah, Madzhab
Shahabi (kata-kata sahabat), Kemaslahatan ummat/sosial, ‘Urf (tradisi atau adat
kebiasaan masyarakat), dan Ijtihad (hasil pemikiran para ahli dalam Islam).
67 Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multicultural Konsep dan Aplikasi,
hlm. 31-32.
29
Keenam sumber tersebut didudukkan secara berurutan diawali dari sumber
pertama yaitu al-Qur’an.68
Sumber Pendidikan Islam terkadang disebut dengan dasar ideal
Pendidikan Islam.69
Dasar Pendidikan Islam harus bersifat mutlak, baku dan final,
karena dari dasar inilah berbagai konsep, rumusan dan produk pemikiran
Pendidikan Islam dihasilkan. Apabila dasar sebagai rujukan utamanya tidak kuat
atau dapat berubah-ubah, bisa dipastikan proses perjalanan pendidikan bukan saja
kehilangan arah, namun justru tidak memiliki arah.70
Sebagai aktivitas yang bergerak dalam proses pembinaan kepribadian
muslim, maka Pendidikan Islam memerlukan asas atau dasar yang dijadikan
landasan kerja. Dengan dasar ini akan memberikan arah bagi pelaksanaan
pendidikan yang telah diprogramkan. Dalam konteks ini, dasar yang menjadi
acuan Pendidikan Islam hendaknya merupakan sumber nilai kebenaran dan
kekuatan yang dapat mengantarkan peserta didik ke arah pencapaian pendidikan.
Oleh karena itu dasar yang terpenting dari Pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan
Sunnah Rasul SAW.71
Menetapkan al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW sebagai dasar Pendidikan
Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan
semata. Namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam keduanya dapat
diterima oleh nalar manusia dan dapat dibuktikan dalam sejarah atau pengalaman
kemanusiaan.
68Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Lain halnya dengan Hasan
Langgulung sendiri yang menyatakan bahwa Dasar Pendidikan Islam merupakan landasan
operasional yang dijadikan untuk merealisasikan dasar ideal sumber Pendidikan Islam. Sehingga
dasar operasional Pendidikan Islam terdapat enam macam, yaitu historis, sosiologis, ekonomi,
politik dan administrasi, psikologis dan filosofis, yang mana keenam dasar tersebut berpusat pada
dasar filosofis. keenam dasar tersebut agaknya sekuler, dan perlu ditambahkan satu dasar lagi yaitu
agama, karena dalam Islam dasar operasional segala sesuatu adalah agama.
69 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 31
70 Ahmad Syari’, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 22
71 Al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press,
2005), Cet. V, hlm. 34
30
Islam sebagai pandangan hidup yang berdasarkan nilai-nilai Ilahiyah, baik
yang termuat dalam al-Qur’an maupun Sunnah Rasul diyakini mengandung
kebenaran mutlak yang bersifat transendental, universal dan eternal (abadi),
sehingga secara akidah diyakini oleh pemeluknya akan selalu sesuai dengan fitrah
manusia, artinya memenuhi kebutuhan manusia kapan dan dimana saja.
Pendidikan Islam adalah upaya normatif yang berfungsi untuk memelihara
dan mengembangkan fitrah manusia, maka harus didasarkan pada nilai-nilai
tersebut di atas baik dalam menyusun teori maupun praktik pendidikan.
Berdasarkan nilai-nilai yang demikian itu konsep pendidikan Islam dapat
dibedakan dengan konsep pendidikan selain Islam.
Karena pendidikan Islam berlandasan humanisme maka menurut
Achmadi,72
nilai-nilai fundamental yang secara universal dan obyektif merupakan
kebutuhan manusia perlu dikemukakan sebagai dasar pendidikan Islam, walaupun
posisinya dalam konteks tauhid sebagai nilai instrumental. Nilai-nilai tersebut
adalah kemanusiaan, kesatuan umat manusia, keseimbangan, dan rahmat bagi
seluruh alam.
3. Tugas dan Fungsi Pendidikan Islam
Pada hakikatnya, Pendidikan Islam adalah suatu proses yang berlangsung
secara kontinyu dan berkesinambungan. Berdasarkan hal ini maka tugas dan
fungsi yang perlu diemban oleh Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia
seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat. Konsep ini bermakna bahwa tugas
dan fungsi pendidikan memiliki sasaran pada peserta didik yang senantiasa
tumbuh dan berkembang secara dinamis mulai dari kandungan sampai akhir
hayatnya.73
Secara umum, tugas Pendidikan Islam adalah membimbing dan
mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap
kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan optimal. Sementara fungsinya
72 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, hlm.87.
73 Al Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 32.
31
adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan
berjalan dengan lancar.
Menurut Hujair AH. Sanaky, tugas dan fungsi Pendidikan Islam adalah
mengarahkan dengan sengaja segala potensi yang ada pada manusia seoptimal
mungkin, sehingga dapat berkembang menjadi manusia muslim yang baik atau
insan kamil.74
Fungsi Pendidikan Islam adalah menyediakan segala fasilitas yang dapat
memungkinkan tugas-tugas Pendidikan Islam tersebut tercapai dan berjalan
dengan lancar. Penyediaan fasilitas ini mengandung arti dan tujuan yang bersifat
struktural dan institusional.
Menurut Kursyid Ahmad, yang dikutip Ramayulis dalam bukunya
Metodologi Pengajaran Agama Islam, Fungsi Pendidikan Islam adalah:
a. Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat
kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial serta ide-ide masyarakat dan bangsa.
b. Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan yang secara
garis besarnya melalui pengetahuan dan skill yang baru ditemukan, dan
melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk menemukan
perimbangan perubahan sosial dan ekonomi.75
Pendidikan Islam sebagai penyedia segala fasilitas yang dapat
memungkinkan tugas-tugasnya tersebut tercapai dan berjalan lancar dengan
melihat realitas keanekaragaman ras dan agama di Indonesia, maka pendidikan
Islam harus memperhatikan beberapa hal berikut:
Pertama, Pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga
pendidikan umum yang bercirikan Islam. Artinya, di samping menonjolkan
pendidikannya dengan penguasaan atas ilmu pengetahuan, namun karakter
keagamaan juga menjadi bagian integral dan harus dikuasai serta menjadi bagian
dari kehidupan siswa sehari-hari.
74 Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat Madani
Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2003), hlm. 128.
75 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 69 .
32
Kedua; Pendidikan Islam juga harus mempunyai karakter sebagai
pendidikan yang berbasis pada pluralitas. Artinya, bahwa pendidikan yang
diberikan kepada siswa tidak menciptakan suatu pemahaman yang tunggal,
termasuk di dalamnya juga pemahaman tentang realitas keberagamaan.
Ketiga; Pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga
pendidikan yang menghidupkan sistem demokrasi dalam pendidikan. Sistem
pendidikan yang memberikan keleluasaan pada siswa untuk mengekspresikan
pendapatnya secara bertanggung jawab.76
Hal tersebut dengan suatu pertimbangan, bahwa salah satu peran dan
fungsi pendidikan Islam diantaranya adalah untuk meningkatkan keberagamaan
peserta didik dengan keyakinan agama sendiri, dan memberikan kemungkinan
keterbukaan untuk mempelajari dan mempermasalahkan agama lain sebatas untuk
menumbuhkan sikap toleransi. Ini artinya, pendidikan Islam pada prinsipnya, juga
ikut andil dan memainkan peranan yang sangat besar dalam menumbuh-
kembangkan sikap-sikap pluralisme dalam diri siswa.
4. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam di samping sebagai standar dalam mengukur dan
mengevaluasi tingkat pencapaian/hasil pelaksanaan pendidikan Islam, juga
sebagai pedoman dan arah proses pendidikan Islam itu sendiri. Ada sejumlah
pendapat mengenai fungsi, makna dan kriteria tujuan pendidkan Islam, antara lain
menurut Abudin Nata, seperti dikutip Ahmad Syar’i, berpendapat sebagai suatu
kegiatan yang terencana, pendidikan Islam memiliki kejelasan tujuan yang ingin
dicapai. Sulit dibayangkan juka ada suatu kegiatan tanpa memiliki kejelasan
tujuan. Menurutnya, perumusan dan penetapan tujuan pendidikan Islam harus
memenuhi kriteria berikut:77
76 Syamsul Ma’arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, hlm.
120.
77 Ahmad Syari’, Filsafat Pendidikan Islam, hlm.25.
33
a. Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dengan
melaksanakan tugas-tugas memakmurkan dan mengolah bumi sesuai
kehendak Tuhan,
b. Mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan tugas kekhalifahan di muka
bumi dilakukan dalam rangka pengabdian/ beribadah kepada Allah,
c. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia sehingga tidak menyalahgunakan
fungsi kekhalifahannya,
d. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmani guna pemilikan
pengetahuan, akhlak dan keterampilan yang dapat digunakan mendukung
tugas pengabdian dan kekhalifahannya, serta
e. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat.
Dalam buku-buku mengenai Pendidikan Islam, tujuan Pendidikan Islam
selalu dihubungkan dengan konsep mengenai kepribadian muslim atau insan
kamil, atau takwa dan term yang sepadan dengannya. Ahmad Tafsir, dalam
bukunya Filsafat Pendidikan Islam, juga menyinggung masalah tujuan pendidikan
islam yaitu mengenai karakteristik lulusan, menurutnya lulusan yang diharapkan
ialah lulusan yang merupakan manusia terbaik. Cirinya cukup dua saja yaitu
mampu hidup tenang dan produktif dalam kehidupan bersama.78
Zakiyah Daradjat
menyatakan bahwa Pendidikan Islam ialah perubahan sikap dan tingkah laku
sesuai dengan petunjuk ajaran Islam. Tujuannya adalah kepribadian yang
mengantarkan seseorang yang membuatnya menjadi insan kamil.79
Pendidikan Islam sebagaimana dilakukan Rasulullah SAW. dimulai dari
mengubah sikap dan pola pikir masyarakat, menjadikan masyarakat Islam menjadi
masyarakat belajar. Berkembang menjadi masyarakat ilmu yaitu masyarakat yang
78 Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008),
hlm.79 . 79Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan, Solusi Problem Filosofis
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 301.
34
mau dan mampu menghargai nilai-nilai ilmiah, yang dapat bertanggung jawab
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.80
Apakah sistem Pendidikan Islam itu sukses atau gagal dalam mewujudkan
misinya, Fazlur Rahman menegaskan bahwa yang harus menciptakan kriteria riil
untuk menilai sukses atau tidaknya sistem Pendidikan Islam adalah tumbuhnya
pemikiran Islam yang asli, orisinal dan mencukupi.81
Dengan demikian, menurut Syamsul Ma’arif,82
Tujuan Pendidikan Islam
seharusnya diprioritaskan untuk menumbuhkan saling menghormati kepada
semua manusia yang memiliki iman berbeda atau mazhab berbeda dalam
beragama, Untuk merealisasikan tujuan pendidikan Islam tersebut, lembaga
pendidikan Islam perlu menerapkan sistem pengajaran yang berorientasi pada
penanaman kesadaran pluralisme dalam kehidupan.
Pendidikan Islam, merupakan sarana yang sangat efektif untuk
menginternalisasi nilai-nilai atau aqidah inklusif pada peserta didik. Perbedaan
agama di antara peserta didik bukanlah menjadi penghalang untuk bisa bergaul
dan bersosialisasi diri. Justru pendidikan agama pada peserta didik yang berbeda
agama, dapat dijadikan sarana untuk menggali dan menemukan nilai-nilai
keagamaan pada agamanya masing-masing sekaligus dapat mengenal tradisi
agama orang lain.
Muhaimin, dalam bukunya Paradigma Pendidikan Islam,83
berpendapat
bahwa secara umum tujuan pendidikan islam bertujuan untuk meningkatkan
keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan peserta didik tentang
agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa
80 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogya: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.
12
81 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode
Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm. 229
82 Syamsul Ma’arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, hlm.
125
83 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004),
hlm. 78.
35
kepada Allah Swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi , bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Semua definisi tentang tujuan pendidikan islam secara praktis bisa
dikembangkan dan diaplikasikan dalam sebuah lembaga yang mampu
mengintegrasikan, menyeimbangkan, dan mengembangkan kesemuanya dalam
sebuah institusi pendidikan.84
Indikator-indikator yang dibuat hanyalah untuk
mempermudah capaian tujuan pendidikan, dan bukan untuk membelah dan
memisahkan antara tujuan yang satu dengan tujuan yang lainnya.
84 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integritas di Sekolah
Keluarga Dan Masyarakat, (Yogyakarta: LkiS, 2009), hlm. 30.
35
BAB III
PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG HAK
ASASI MANUSIA
A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pemikiran Abdurrahman Wahid
1. Latar Belakang Biografis
Sosok Abdurrrahman Wahid memang merupakan figur yang fenomenal
dalam realitas sosial masyarakat Indonesia. Gus Dur termasuk tokoh agama dan
politik di Indonesia yang pemikiran dan sepak terjangnya sering dipandang
kontroversial. Karena, pemikiran Abdurrahman Wahid memang sangat sering
memancing reaksi pro kontra dan mengundang perdebatan, apalagi baik
pemikiran maupun perilakunya tak jarang yang melawan arus atau menyimpang
dari wacana publik yang lazim terutama bagi umat Islam. Maka tidak heran jika
persepsi orangpun terhadapnya berbeda-beda.
Kendati demikian menurut Greg Barton, Abdurrahman tetap dan bahkan
semakin populer sebagai figur karismatik dan tokoh yang selalu memberi cinta
bahkan pada orang yang mengkritiknya atau para penentangnya85
a. Berasal dari Pesantren
Gus Dur, panggilan akrab Abdurrahman Wahid, lahir pada tanggal 4
Agustus di desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur. Ia putra pertama dari enam
bersaudara dan cucu pendiri organisasi NU, KH. Hasyim Asy’ari. Ayahnya
bernama KH. Wahid Hasyim, seorang kyai yang pernah menjadi menteri agama.
Sedangkan Ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pesantren Denanyar
Jombang, KH. Bisri Syansuri.86
Walaupun Gus Dur selalu merayakan hari ulang tahunnya pada 4 Agustus,
tampaknya teman-teman dan keluarganya tak sadar bahwa hari lahir Gus Dur
85 Greg Barton, Pengantar, dalam Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur,
(Yogyakarta: LkiS, 2010), hlm. xxii.
86 Badiatul Roziqin, dkk., 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-Nusantara,
2009), hlm. 36.
36
bukanlah tanggal itu. Sebagaimana juga dengan banyak dalam hidupnya dan juga
pribadinya, ada banyak hal yang tidak seperti apa yang terlihat. Gus Dur memang
dilahirkan pada hari keempat bulan kedelapan. Akan tetapi perlu diketahui bahwa
tanggal itu adalah menurut kalender Islam, yakni bahwa Gus Dur dilahirkan pada
bulan Sya’ban, bulan kedelapan dalam penanggalan Islam. Sebenarnya tanggal 4
Sya’ban adalah tanggal 7 September 1940.87
Gus Dur dilahirkan di desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur. Ia putra
pertama dari enam bersaudara. Gus Dur lahir dalam keluarga yang sangat
terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Secara geneologi, Abdurrahman
Wahid memiliki keturunan ”darah biru” dan, menurut Clifford Geertz88
, Ia
termasuk golongan santri dan priyayi sekaligus. Baik dari garis keturunan ayah
maupun ibunya, Abdurrahman Wahid adalah sosok yang menempati strata sosial
tertinggi dalam masyarakat Indonesia.89
Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim
Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H.
Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada
perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan
Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah,
adalah puteri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Saudaranya adalah
Shalahuddin Wahid dan Lili Wahid. Ia menikah dengan Sinta Nuriyah dan
dikaruniai empat putri: Alisa, Yenny, Anita, dan Inayah.
Gus Dur, Tokoh fenomenal yang dikenal sebagai pemikir brilian, rasional,
kiprah dan sepak terjangnya telah banyak mewarnai pelbagai bidang: politik,
sosial, budaya, ekonomi, seni, dan lainnya, lahir dengan nama Abdurrahman ad
Dakhil.90
"Ad Dakhil" berarti "Sang Penakluk". Lalu ditambahkan nama "Wahid"
87 Greg Barton, Biografi Gus Dur, terj. (Yogyakarta: LKiS, 2010), cet. II, hlm. 25
88 Seorang ahli ilmu Antropologi asal Amerika Serikat, yang telah meneliti kebudayaan
Indonesia dan menulis buku yang berjudul The Religion of Java.
89 Abudin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), hlm. 33.
90 Badiatul Roziqin, dkk., 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-Nusantara,
2009), hlm. 35.
37
(nama ayahnya), dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus"
adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak Kiai yang
berati "abang" atau "mas".
b. Riwayat Pendidikan
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim
Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, Ia diajari mengaji dan membaca al-
Qur’an di Ponpes. Tebu Ireng, Jombang. Dalam usia lima tahun Ia telah lancar
membaca al-Qur’an.
Sejak masa kanak-kanak, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan
memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu, ia juga aktif berkunjung
ke perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun, Gus Dur telah akrab
dengan berbagai majalah, surat kabar, dan novel.
Suatu kenangan dramatis yang paling memukul kehidupan Gus Dur justru
ketika ia berada diambang pintu usia mudanya, 13 tahun, adalah kematian
ayahnya dalam suatu kecelakaan mobil di Bandung pada April 1953. Pengaruh
kematian tragis ayahnya yang terlalu cepat itu, dalam usia Wahid Hasyim yang
relatif muda, 38 tahun. Amat berbekas dalam ingatan Abdurrahman Wahid.
Pengalaman pendidikan Gus Dur saat muda kebanyakan dilalui lewat
pesantren. Pendidikan Gus Dur Sendiri diawali dari Sekolah Dasar (SD) di
Jakarta. Namun dalam waktu yang pendek, Gus Dur tidak terlihat sebagai siswa
yang cemerlang. Pada tahun 1954, setahun setelah Ia menamatkan sekolah dasar
dan memulai Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), Ia terpaksa
mengulang kelas satu karena gagal dalam ujian. Kegagalan tersebut disebabkan
oleh karena seringnya Ia menonton pertandingan sepak bola sehingga Ia tak
mempunyai cukup waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah (PR). Lalu pada
tahun 1954 tersebut, ketika sang ibu berjuang sendirian untuk membesarkan
anaknya (karena telah ditinggalkan suaminya dalam kecelakaan maut) sementara
Gus Dur sendiri kurang berhasil dalam pelajaran sekolahnya, ia dikirim ke
Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah di SMP. Di kota ini Ia berdiam di rumah
38
seorang teman ayahnya Kiai Junaidi, seorang anggota Majlis Tarjih
Muhammadiyah. Dan untuk melengkapi pendidikannya, Ia juga pergi ke
pesantren al-Munawwir di Krapyak yang terletak di luar kota Yogyakarta tiga kali
seminggu.91
Ketika menjadi siswa SMP tersebut, hobi membacanya semakin
mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai
Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan
beberapa buku dalam bahasa Inggris. serta untuk meningkatan kemampuan bahasa
Inggrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan
siaran lewat radio Voice of America dan BBC London.
Di toko-toko buku di Yogyakarta yang menyediakan buku-buku untuk
mahasiswa-mahasiswa UGM, Gus Dur dapat menemukan judul-judul buku
menarik. Sebagai seorang remaja, ia mulai mencoba memahami tulisan-tulisan
Plato dan Aristoteles, dua orang pemikir penting bagi sarjana-sarjana mengenai
Islam zaman pertengahan. Pada saat yang sama ia bergulat memahami Das
Kapital karya Marx dan What is To be Done karya Lenin, kedua buku yang
mudah diperoleh di negeri ini ketika Partai Komunis Indonesia membuat
kemajuan besar. Ia juga banyak tertarik pada ide Lenin tentang keterlibatan sosial
secara radikal, seperti dalam Infantile Communism dan dalam Little Red Book-
Mao.92
Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Ekonomi Pertama di
Yogyakarta pada tahun 1957, Gus Dur mulai mengikuti pelajaran di pesantren
secara penuh. Ia bergabung dengan Pesantren Tegalrejo di Magelang, yang
terletak di sebelah utara Yogyakarta dan dapat dicapai dengan mobil dalam waktu
satu jam. Ia tinggal di pesantren ini hingga pertengahan tahun 1959. Di sini ia
belajar kepada Kiai Khudori, yang merupakan salah satu dari pemuka NU.93
K.H.
Chudhari, sosok Kyai yang humanis, shaleh dan guru yang dicintai. Kyai
91 Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm. 50-51.
92 Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm. 56.
93 Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm. 52.
39
Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan
menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah bimbingan Kyai ini pula,
Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di
Jawa. Pada saat yang sama ia juga belajar paro waktu di pesantern Denanyar,
Jombang, di bawah bimbingan kakeknya dari pihak ibu, Kiai Bisri Syansuri.
Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah
kembali ke Jombang, di Pesantren Tambak Beras di bawah bimbingan KH.
Wahab Chasbullah. Ia belajar di sini hingga tahun 1963 dan selama kurun waktu
itu ia selalu berhubungan dengan Kiai Bisri Syansuri. Selama tahun pertamanya di
Tambak Beras, Gus Dur mendapat dorongan untuk mulai mengajar. Dan
kemudian ia mengajar di madrasah modern yang didirikan di kompleks pesantren
dan juga menjadi Kepala sekolahnya. Selama masa ini pula ia tetap berkunjung ke
Krapyak secara teratur. Di kota ini ia tinggal di rumah Kiai Ali Ma’shum. Pada
masa inilah Gus Dur mengalami konsolidasi dalam studi formalnya tentang Islam
dan sastra arab klasik. Di kalangan pesantren ia dianggap sebagai siswa yang
cemerlang. Studinya ini banyak bergantung pada kekuatan ingatan, hampir-
hampir tidak memberikan tantangan kepada Gus Dur yang mempunyai ingatan
yang amat kuat walaupun ia dikenal sebagai siswa yang malas dan kurang disiplin
dalam studi formalnya. Pada bulan November 1963, Gus Dur mendapat beasiswa
dari Menteri Agama berangkat ke Kairo-Mesir untuk melanjutkan studi di
Universitas al-Azhar.94
Pada saat ia tiba di Universitas al-Azhar, ia diberitahu oleh pejabat
Universitas itu bahwa dirinya harus mengikuti kelas khusus untuk memperbaiki
pengetahuan bahasa arabnya karena tidak memiliki ijazah dari pesantren,
meskipun ia telah lulus berbagai studi di pondok pesantren. Di sekolah Ia merasa
bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di
Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi
94 Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm. 53.
40
perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku di
mana Ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.95
Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir, di
bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasser, seorang nasionalis yang
dinamis, Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk
mengeluarkan pendapat mendapat perlindungan yang cukup. Pada tahun 1966
Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam
yang cukup maju. Di Irak Ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas
Baghdad sampai tahun 1970. Selama di Baghdad, Gus Dur mendapatkan
rangsangan intelektual yang tidak didapatkan di Mesir.96
Di kota ini Ia merasa cocok karena tidak hanya mempelajari sastra arab,
filsafat, dan teori-teori sosial barat, tetapi ia bisa memenuhi hobinya untuk
menonton film-film klasik. Bahkan, Gus Dur merasa lebih senang dengan sistem
yang diterapkan Universitas Baghdad yang dalam beberapa segi dapat dikatakan
lebih berorientasi barat dari pada sistem yang diterapkan al-Azhar. Selama belajar
di Timur Tengah inilah Gus Dur menjadi Ketua Persatuan Mahasiswa Indonesia
untuk Timur Tengah (1964-1970).
Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam
keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jamaah
tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, seorang
pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur
menemukan sumber spiritualitasnya.
Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke
Eropa. Akan tetapi persyaratan yang ketat tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang
dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu
Universitas ke Universitas lainnya. Pada akhirnya Ia menetap di Belanda selama
enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia
yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup, dua kali sebulan Ia pergi ke pelabuhan
95 http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/01/biografi-abdurrahman-wahidbiografi.html
96 Badiatul Roziqin, dkk, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, hlm. 37.
41
untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke Mc
Gill University di Kanada untuk mempelajari kajian-kajian keislaman secara
mendalam. Namun, akhirnya Ia kembali ke Indonesia setelah terilhami berita-
berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren.97
Pada tahun 1971, Sepulang dari Timur Tengah, Gus Dur kembali ke
Jombang, menjadi guru. Ia mengajar di Fakultas Ushuluddin Universitas Tebu
Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian Ia menjadi Sekretaris Pesantren Tebu Ireng
dan pada tahun yang sama, Gus Dur mulai aktif menulis. Lewat tulisan-
tulisannya, gagasan dan pemikirannya, Ia mulai mendapat perhatian dari
khalayak.
Pada pertengahan 1970-an, secara beraturan Ia telah menjalin hubungan
dengan Cak Nur dan Djohan Efendi. Karena itu, ketika pindah ke Jakarta Ia
semakin intens bergabung dalam rangkaian forum akademik dan kelompok-
kelompok kajian. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapat undangan menjadi
nara sumber di sejumlah forum diskusi keagamaan dan dunia pesantren, baik
dalam maupun luar negeri.
Semangat belajar Gus Dur memang belumlah surut. Pada tahun 1979 Gus
Dur ditawari untuk belajar ke sebuah Universitas di Australia guna mendapatkkan
gelar Doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua
promotor tidak sanggup, dan menganggap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan
gelar tersebut. Memang dalam kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari
Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi, dibimbing yang
kemudian dipertahankan di hadapan sidang akademik.
Setelah pindah ke Jakarta, mula-mula Gus Dur merintis Pesantren
Ciganjur. Pada awal tahun 1980, Gus Dur dipercaya sebagai Wakil Katib Syuriah
PBNU. Gus Dur pun menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun
1983. pada 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh tim ahl halli wa al-’aqdi
yang diketuai KH. As’ad Syamsul Arifin untuk menjabat ketua umum PBNU
97 Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm. 104-105.
42
pada Muktamar ke-27 di Situbondo. jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada
Muktamar ke-28 di Pesantren Krapyak Yogyakarta (1989) dan Muktamar di
Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan Ketua Umum PBNU kemudian dilepas
ketika Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI ke-4. selama menjadi Presiden,
pemikiran beliau masih mengundang kontroversi. Sering kali pendapatnya
berbeda dari pendapat banyak orang.98
Dari paparan tersebut di atas memberikan gambaran betapa kompleks dan
rumitnya perjalanan Gus Dur dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan
berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya,
kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman
keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks,
mulai dari yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai modernis dan
sekuler. Dari segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah budaya Timur
yang santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai dengan budaya Barat yang terbuka,
modern dan liberal. Demikian juga persentuhannya dengan para pemikir, mulai
dari yang konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan radikal semua dialami.
Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan sulit
dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang
dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya
sendiri. Gus Dur wafat, hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto
Mangunkosumo (RSCM), Jakarta, pukul 18.45 WIB. akibat berbagai komplikasi
penyakit, diantaranya jantung dan gangguan ginjal yang dideritanya sejak lama.
2. Latar Belakang Pemikiran Abdurrahman Wahid
Munculnya Gus Dur, panggilan akrab KH. Abdurrahman Wahid, menjadi
Presiden RI ke-4 membuat posisi pesantren menjadi naik daun dan kembali
diperbincangkan dalam relasinya dengan kekuasaan dan negara, hal ini mudah
dipahami karena Gus Dur merupakan produk pesantren sebagaimana yang telah
diketahui oleh kebanyakan orang. Sebagian besar waktu Gus Dur dihabiskan di
98 Badiatul Roziqin, dkk., 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, hlm.37.
43
beberapa pesantren NU terkemuka, mulai Pesantren Tegalrejo Magelang sampai
akhirnya ke Al-Azhar Kairo.
Oleh sebab itu, nilai-nilai tradisi pesantren amat kental mewarnai
perilakunya bahkan ketika sudah menjadi presiden. Hal itu dapat dilihat, paling
tidak, dari penekanan dan kebijaksanaan pembangunannya yang berorientasi
kerakyatan yang sarat dengan muatan nilai-nilai kepesantrenan. Maka tidak aneh
apabila salah satu persyaratan menjadi kabinet Persatuan Nasional (KPN) adalah
kejujuran dan kesederhanaan.99
Dua nilai tersebut tak pelak merupakan hasil
adopsi dari nilai-nilai dan kultur yang berkembang di dunia pesantren.
Pandangan dunia yang membentuk pemikiran Gus Dur tak lain adalah
pandangan dunia pesantren. Dengan seluruh pengembaraan intelektual yang
dialami sejak dari pesantren di Tegalrejo hingga kuliah di Baghdad, dia tetap tak
bisa meninggalkan “rumah” tempat ia tumbuh sejak kecil, yaitu pesantren. Tulisan
pertama Gus Dur sendiri adalah Pesantren Sebagai Sub Kultur yang merupakan
penjelasan sangat canggih bagi nalar pesantren.
3. Sekilas tentang Karya-Karya Abdurrahman Wahid
Sejak 1971 tulisan-tulisan Gus Dur telah dikenal luas sebagai representasi
kaum sarungan (Pesantren), padahal jika dicermati isi tulisannya, banyak yang
mengedepankan analisis progresif. Gus Dur menawarkan pandangan baru untuk
menjawab persoalan-persoalan yang sedang tren saat itu. Dunia tulis-menulis Gus
Dur dimulai sejak Beliau menjadi pengurus Sekolah Mu’allimat pondok pesantren
Tambak Beras, Jombang. Mulai 1961, aktif mengirimkan artikelnya untuk
majalah Horison dan Budaya Jawa. Tulisan-tulisannya semakin meningkat ketika
Ia berada di Kairo. Pada 1964, bersama Musthofa Bishri (Gus Mus, Rembang),
Gus Dur menerbitkan majalah Perhimpunan Pelajar Indonesia Kairo (PPI-Kairo).
Pada 1972, Gus Dur mulai memberikan ceramah dan seminar secara
berkala di sela-sela aktivitasnya menulis untuk majalah Tempo dan Kompas.
Kolom-kolomnya mendapat sambutan sangat baik. Intensitas menulisnya semakin
99 Abdul Ghofur, Demokratisasi Dan Prospek Hukum Islam di Indonesia, hlm. 61
44
tinggi setelah LP3ES menerbitkan Jurnal Prisma yang mengedepankan pemikiran
sosial yang kritis.
Bagi Gus Dur, menulis atau berceramah bukan sekedar menebarkan ide-
ide segar kepada masyarakat, melainkan juga berfungsi sebagai perlawanan
kultural terhadap rezim yang berkuasa. Hingga tahun 2000, Incres mengumpulkan
493 tulisan Gus Dur yang terbagi dalam berbagai bentuk, yakni:100
Tabel 3.1
Bentuk-Bentuk Tulisan Gus Dur
No. Bentuk Tulisan Jumlah Keterangan
1 Buku 12 buku Terdapat pengulangan
2 Terjemahan 1 Bersama Wahid Hasyim
3 Kata pengantar buku 20
4 Epilog buku 1
5 Antologi 41
6 Artikel 263 Tersebar di beberapa
majalah dan koran
7 Kolom 105 Tersebar di berbagai
majalah
8 Makalah 50 Sebagian besar
tidak dipublikasikan
Jumlah 493
Setelah tahun 2000, terbit 3 buku kumpulan tulisan Gus Dur lainnya, yaitu
Kumpulan Kolom dan artikel Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser (60
artikel), Gus Dur Bertutur (2 artikel), dan Universalisme dan Kosmopolitanisme
Peradaban Islam (20 artikel yang dimuat di Kompas). Selain itu, publisitas tulisan
Gus Dur dilakukan melalui situs internet www.gusdur.net.
Spektrum intelektualitas Gus Dur mengalami perluasan dari waktu ke
waktu, terutama wacana yang dikembangkannya. Temuan Incress (2000)
100 Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur Analisis Wacana Kritis, (Yogyakarta: LKiS,
2010), hlm.126-127.
45
mengidentifikasi perkembangan tersebut sesuai dengan periodesasi per sepuluh
tahun, mulai 1970-2000;101
Tabel 3.2
Tema-Tema Tulisan Gus Dur
No. Periode Jumlah Keterangan
1 1970-an 37
Tradisi pesantren, modernisasi
pesantren, NU, HAM, reinterpretasi
ajaran, pembangunan, demokrasi
2 1980-an 189
Dunia pesantren, NU, ideologi
negara (Pancasila), pembangunan,
militerisme, pengembangan
masyarakat, pribumisasi Islam,
HAM, modernisme, kontekstualisasi
ajaran, Parpol.
3 1990-an 253
Pembaruan ajaran Islam, demokrasi,
kepemimpinan umat, pembangunan,
HAM, kebangsaan, Parpol, Gender,
toleransi agama, Universalisme
Islam, NU, Globalisasi.
4 2000-an 122
Budaya, NU dan Parpol, PKB,
demokratisasi dan HAM, ekonomi
dan keadilan sosial, ideologi dan
negara, tragedi kemanusiaan, Islam
dan fundamentalisme.
Sedangkan buku-buku kumpulan tulisan Gus Dur yang telah
dipublikasikan adalah:102
a. Bunga Rampai Pesantren (Dharma Bakti, 1979)
101 Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur Analisis Wacana Kritis, hlm. 128-129.
102 Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur Analisis Wacana Kritis, hlm. 146.
46
b. Muslim di Tengah Pergumulan (Lappenas, 1981)
c. Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab, Suatu Pergumulan Wacana dan
Transformasi (Fatma Press, 1989)
d. Universalisme dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam (Kompas, 1991)
e. Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (LKiS, 1997)
f. Tabayun Gus Dur (LKiS, 1998)
g. Islam, Negara, dan Demokrasi: Himpunan Percikan Perenungan Gus Dur
(Erlangga, 1999)
h. Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman (Kompas, 1999)
i. Tuhan Tidak Perlu Dibela (LKiS, 1999)
j. Prisma Pemikiran Gus Dur (LKiS, 1999)
k. Membangun Demokrasi (Rosda Karya, 1999)
l. Mengurai Hubungan Agama dan Negara (Grasindo, 1999)
m. Melawan Melalui Lelucon (Tempo, 2000)
n. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Desantara, 2001)
o. Menggerakkan Tradisi (LKiS, 2001)
p. Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser
(LKiS, 2002)
q. Gus Dur Bertutur (Proaksi, 2005)
r. Islamku, Islam Anda, Islam Kita (The Wahid Institute, 2006)
s. Membangun Demokrasi (Rosdakarya, 1999)
t. Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman (Kompas, 1999)
4. Penghargaan Yang Diperoleh Abdurrahman Wahid
a. Pada 1993, Gus Dur menerima penghargaan Ramon Magsaysay Award,
sebuah “Nobel Asia” dari pemerintah Filipina. Penghargaan ini diberikan
karena Gus Dur dinilai berhasil membangun landasan yang kokoh bagi
toleransi umat beragama, pembangunan ekonomi yang adil, dan tegaknya
demokrasi di Indonesia
b. Pada akhir 1994, Gus Dur juga terpilih sebagai salah seorang Presiden
WCRP (World Council for Religion and Peace-atau Dewan Dunia untuk
Agama dan Perdamaian).
47
c. Pada tahun 1996 dan 1997, majalah Asiaweek memasukkan Gus Dur
dalam daftar orang terkuat di Asia. Gus Dur menjadi pemimpin besar dan
diakui dunia karena pemikirannya dan gerakan sosial yang dibangunnya
mempunyai dampak yang luas terhadap demokrasi, keadilan dan toleransi
keagamaan di Indonesia.
d. Dia ditahbiskan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa
Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, pada 10 Maret 2004.
e. Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif
Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Gus Dur dan Gadis
dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan
kebebasan berekspresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan
demokrasi di Indonesia.
f. Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan
yang bergerak di bidang penegakan HAM di Israel, karena dianggap
sebagai salah satu tokoh yang peduli dalam persoalan HAM.
g. Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di
Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum
minoritas.
h. Dia juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple dan namanya
diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of
Islamic Studies103
Selain itu, Gus Dur juga memperoleh banyak gelar Doktor
Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai Perguruan Tinggi ternama
di berbagai negara, antara lain:104
a. Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel
(2003)
103 M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm.
43-44.
104 http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/01/biografi-abdurrahman-wahid-
biografi.html
48
b. Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea
Selatan (2003)
c. Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan
(2003)
d. Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002)
e. Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University,
Bangkok, Thailand (2000)
f. Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok,
Thailand (2000)
g. Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan
Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne University,
Paris, Perancis (2000)
h. Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand
(2000)
i. Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)
j. Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)105
B. Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Hak Asasi Manusia
Banyak cara untuk melihat dan menilai mantan Presiden Abdurrahman
Wahid yang akrab disapa Gus Dur. Salah satunya dari perspektif hak asasi
manusia. Gus Dur membuka paradigma baru dengan menerobos tembok-tembok
pemikiran lama. Ia ingin setiap orang diperlakukan setara dalam hukum, tanpa
membedakan warna kulit, etnis, agama/ideologinya. Gus Dur menghargai mereka
sesama manusia dan warga negara.
1. Paradigma Pemikirannya
Greg Barton mengemukakan bahwa Abdurrahman Wahid merupakan
seorang intelektual yang mewakili perpaduan dua tradisi: Kesarjanaan Islam
tradisional dan pendidikan Barat modern. Menurutnya, salah satu hasil sintesis itu
adalah perhatiannya yang kuat untuk reformasi pemikiran dan praktek Islam,
105 M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, hlm. 45-46.
49
suatu perhatian yang juga ditekankan oleh modernisme Islam setidaknya pada
fase-fase awal. Barton mencoba memahami pemikirannya, menemukan adanya
sebuah tema paling dominan dalam pemikiran Abdurrahman Wahid, yaitu tema
humanitarialisme liberal. Tema liberal itulah yang mendapat tempat besar dalam
pemikiran Islam Abdurrahman Wahid tanpa harus meninggalkan prinsip Islam
tradisional.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa corak utama pemikiran
Abdurrahman Wahid lebih menekankan pada pendekatan kontekstual daripada
tekstual dan mencoba memadukan pemikiran khasanah pemikiran Islam
tradisional dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat modern. Dalam konteks
ini, Gus Dur, tidak sekedar menggunakan produk-produk pemikiran Islam
tradisional, tetapi lebih menekankan pada penggunaan metodologi teori hukum
(ushul fiqh) dan kaidah-kaidah hukum (qawaid fiqhiyyah) dalam kerangka
pembentukan suatu sintesis untuk melahirkan gagasan baru sebagai upaya
menjawab perubahan-perubahan aktual di masyarakat.
2. Pandangan Abdurrahman Wahid mengenai Hak Asasi Manusia
Prinsip-prinsip seperti persamaan derajat di muka hukum dan undang-
undang, perlindungan warga masyarakat dari kedzaliman dan kesewenang-
wenangan, penjagaan hak-hak mereka yang lemah dan menderita kekurangan
serta pembatasan atas wewenang para pemegang kekuasaan, semuanya jelas
menunjukkan kepedulian atas. Sementara itu, universalisme yang tercermin dalam
ajaran-ajaran yang memiliki kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan
itu diimbangi pula oleh kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam
sendiri.
Menurut Gus Dur, Salah satu ajaran yang dengan sempurna menampilkan
universalisme Islam adalah lima buah jaminan dasar yang diberikan agama
samawi terakhir ini kepada warga masyarakat baik secara perorangan maupun
sebagai kelompok. Kelima jaminan dasar itu yaitu:106
106 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi
Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute: 2007), hlm. 4.
50
1. Jaminan dasar akan keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani
di luar ketentuan hukum (hifdzu an-nafs);
2. Jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada
paksaan untuk berpindah agama (hifdzu ad-din);
3. Jaminan dasar akan keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu an-nasl);
4. Jaminan dasar akan keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan
atau penggusuran di luar prosedur hukum (hifdzu al-mal);
5. Jaminan dasar akan keselamatan hak milik dan profesi (hifdzu al-aqli).
Jaminan akan keselamatan fisik warga masyarakat mengharuskan adanya
pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil kepada semua warga
tanpa kecuali, sesuai dengan hak masing-masing. Hanya dengan kepastian hukum
lah sebuah masyarakat mampu mengembangkan wawasan persamaan hak dan
derajat antara sesama warganya. Sedangkan kedua jenis persamaan itulah yang
menjamin terwujudnya keadilan sosial dalam arti sebenar-benarnya. Sedangkan
kita mengetahui, bahwa pandangan hidup atau worldview atau Weltanschauung107
yang paling jelas universalitasnya adalah pandangan tentang keadilan sosial.
Demikian juga, jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-
masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan antar-warga masyarakat
atas dasar saling hormat-menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya
kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar. terlepas dari
demikian kentalnya perjalanan sejarah dengan penindasan, kesempitan
pandangan, dan kedzaliman terhadap kelompok minoritas yang berbeda
keyakinan atau agama dari mayoritas, sejarah umat manusia membuktikan bahwa
sebenarnya toleransi adalah bagian inheren dari kehidupan manusia.
Dalam QS. Ali Imran: 85 yang artinya: ”Barang siapa mengambil selain
Islam sebagai agama, maka amal kebajikannya tidak akan diterima oleh Allah,
107 Weltanschauung istilah dalam Jerman yang berarti pandangan tentang dunia,
pengertian tentang realitas sebagai sesuatu kesatuan dan pandangan umum tentang kosmos.
Pandangan umum tentang dunia ini berarti pandangan yang menyangkut soal hakekat, nilai, arti,
dan tujuan dunia dan hidup manusia. Weltanschauung pada hakekatnya merupakan gambaran
sinopsis dan perluasan konseptual ke dalam suatu pandangan ilmiah tentang dunia. Lihat
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan,
(Jakarta: The Wahid Institute: 2007), hlm. 5.
51
dan dia di akhirat kelak akan menjadi orang yang merugi”, Gus Dur memberikan
penjelasan bahwa ayat tersebut jelas menunjuk kepada masalah keyakinan Islam
yang berbeda dengan keyakinan lainnya, dengan tidak menolak kerjasama antara
Islam dengan berbagai agama lainnya.108
Dalam pidato perayaan Natal pada tanggal 27 Desember 1999 di Balai
Sidang Senayan Jakarta, misalnya, Abdurrahman Wahid menyampaikan :
Saya adalah seorang yang menyakini kebenaran agama saya, tapi ini tidak
menghalangi saya untuk merasa bersaudara dengan orang yang beragama
lain di negeri ini, bahkan dengan sesama umat beragama. Sejak kecil itu
saya rasakan. Walaupun saya tinggal di lingkungan pasantren, hidup
dikalangan keluarga kiai, tak pernah sedikitpun saya merasa berbeda
dengan yang lain.109
Demikian juga jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-
masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan antarwarga masyarakat
atas dasar sikap saling hormat-menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya
kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar. Terlepas dari
kentalnya perjalanan sejarah dengan penindasan, kesempitan pandangan, dan
kedzaliman terhadap kelompok minoritas yang berbeda keyakinan atau agama
dari keyakinan mayoritas, sejarah umat manusia membuktikan bahwa sebenarnya
toleransi adalah bagian inheren dari kehidupan manusia.
Jaminan akan keselamatan keluarga menampilkan sosok moral yang
sangat kuat, baik moral dalam arti kerangka etis yang utuh maupun dalam arti
kesusilaan. Kesucian keluarga dilindungi sekuat mungkin. Karena keluarga
merupakan ikatan sosial paling dasar, maka tidak boleh dijadikan ajang
manipulasi dalam bentuk apapun oleh sistem kekuasaan yang ada. Kesucian
keluarga inilah yang melandasi keimanan yang memancarkan toleransi dalam
derajat sangat tinggi.
108 Menurut Gus Dur, Hal inilah yang membedakan amal sholeh yang merujuk pada amal
baik seorang Muslim dengan amal khoir atau amal baik non muslim. Kalau amal saleh itu akan
sampai kepada Allah dan akan diterima oleh Nya, sedangkan amal khair tidak demikian, dan
hanya akan menjadi fatamorgana.
109 Rumadi, “Dinamika Agama dalam Pemerintahan Gus Dur”, dalam Khamami Zada
(ed) Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan (Jakarta: LAKPESDAM), hlm. 144.
52
Jaminan dasar atas keselamatan harta-benda merupakan sarana bagi
berkembangnya hak-hak individu secara wajar dan proporsional, dalam kaitannya
dengan hak-hak masyarakat atas individu. Masyarakat dapat menentukan
kewajiban-kewajibannya yang diinginkan secara kolektif atas masing-masing
individu warga masyarakat. Tetapi penetapan kewajiban itu ada batas terjauhnya,
dan warga masyarakat secara perorangan tidak dapat dikenakan kewajiban untuk
masyarakat lebih dari batas-batas tersebut.
Jaminan dasar atas keselamatan profesi menampilkan sosok lain lagi dari
universalitas ajaran Islam. Penghargaan kepada kebebasan penganut profesi
berarti kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan atas resiko sendiri, mengenai
keberhasilan yang ingin diraih dan kegagalan yang membayanginya. Dengan
ungkapan lain, kebebasan menganut profesi yang dipilih berarti peluang
menentukan arah hidup lengkap dengan tanggung jawabnya sendiri. Namun
pilihan itu tetap dalam alur umum kehidupan masyarakat.
Secara keseluruhan, kelima jaminan dasar di atas menampilkan
universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat. Pemerintahan berdasarkan
hukum, persamaan derajat, dan sikap tenggang rasa terhadap perbedaan
pandangan adalah unsur-unsur utama kemanusiaan dan dengan demikian
menampilkan universalitas ajaran Islam. Namun, sejauh ini semua jaminan dasar
itu hanya menyajikan kerangka teoritik (atau bahkan mungkin hanya moralitas
belaka) yang tidak berfungsi tanpa didukung oleh kosmopolitanisme peradaban
Islam.
Watak kosmopolitanisme dari peradaban Islam itu sesungguhnya telah
tampak sejak awal pemunculannya. Peradaban itu, yang dimulai dengan cara-cara
Nabi Muhammad saw. mengatur pengorganisasian masyarakat Madinah hingga
munculnya ensiklopedis Muslim awal pada abad ketiga Hijriyah, memantulkan
proses saling menyerap dengan peradaban-peradaban lain di sekitar Islam pada
waktu itu. Yaitu mulai dari sisa-sisa peradaban Yunani Kuno yang berupa
hellenisme hingga peradaban Anak Benua India.
Kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai atau berada pada titik
optimal, manakala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum
53
Muslim dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat termasuk mereka yang
non-Muslim. Kosmopolitanisme seperti itu adalah kosmopolitanisme yang kreatif,
karena di dalamnya warga masyarakat mengambil inisiatif untuk mencari
wawasan terjauh dari keharusan berpegang pada kebenaran. Situasi kreatif yang
memungkinkan pencarian sisi-sisi paling tidak masuk akal dari kebenaran yang
ingin dicari dan ditemukan, situasi cair yang memaksa universalisme ajaran Islam
untuk terus-menerus mewujudkan diri dalam bentuk-bentuk nyata. Namun
demikian, proses tersebut bukannya nyata dalam postulat-postulat spekulatif
belaka.
Secara umum dapat dikatakan, bahwa latar belakang kultural bagi sikap
untuk menghargai sesama manusia dan menghormati hak-hak orang lain memang
terdapat dalam cakupan luas pada ajaran Islam. Menurut Gus Dur, beberapa aspek
dan latar belakang kultural itu dapat disebutkan dalam uraian ini:110
1) Penciptaan dan penempatan manusia sebagai makhluk yang memiliki derajat
dan kemuliaan dalam tata alam (kosmologi) dari jagad raya ini, menunjuk
dengan jelas kepada keharusan memperlakukan manusia dengan perlakuan
yang sesuai dengan kemuliaan derajatnya itu. Sebelum ia dilahirkan (semasa
ia dalam kandungan) dan setelah ia meninggalkan dunia fana ini, manusia
telah atau masih memiliki hak-hak yang dirumuskan dengan jelas dan
dilindungi oleh hukum dalam pandangan Islam.
2) Penekanan prinsip untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam sebuah tata
hukum (syari’at) yang berwatak universal menunjuk dengan jelas kepada
penghargaan Islam secara umum kepada Hak-hak Asasi Manusia. Hukum
hanya dapat dilaksanakan dengan baik dan adil kalau hak-hak perorangan
maupun serikat dirumuskan dengan jelas dalam tata hukum yang digunakan
sebagai pengatur kehidupan bermasyarakat.
3) Pandangan untuk memperlakukan seluruh kehidupan sebagai kerja
peribadatan yang melandasi kehidupan seorang Muslim akan senantiasa
110 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi
Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute: 2007), hlm. 367-368.
54
membuatnya berpegang pada pengertian yang jelas antara hak-hak dan
kewajiban dalam mengatur hidup masing-masing.
Menurut Ishaque, seperti yang dikutip Gus Dur, ada 14 buah Hak-Hak
Asasi dalam Hukum Islam, yang kesemuanya didasarkannya pada firman-firman
Allah Swt dalam al-Qur’an. Keempat belas hak-hak asasi itu secara keseluruhan
mendukung tujuan untuk membina dan membentuk makhluk yang secara moral
memiliki kesempurnaan. Hak-hak tersebut dapat diringkaskan sebagai berikut:111
1. Hak memperoleh perlindungan hidup
2. Hak memperoleh keadilan
3. Hak memperoleh persamaan perlakuan
4. Kewajiban mengikuti apa yang benar dan hak untuk menolak apa yang tidak
benar secara hukum
5. Hak untuk terjun ke dalam kehidupan masyarakat dan negara
6. Hak memperoleh kemerdekaan
7. Hak memperoleh Kebebasan dari pengejaran dan penuntutan
8. Hak menyatakan pendapat
9. Hak atas perlindungan terhadap penuntutan atas dasar perbedaan agama
10. Hak memperoleh ketenangan perorangan
11. Hak-hak ekonomi, termasuk hak memperoleh pekerjaan, hak memperoleh
imbalan atas upah di saat tidak mampu bekerja, dan hak memperoleh upah
yang pantas bagi pekerjaan yang dilakukan
12. Hak memperoleh perlindungan atas kehormatan dan nama baik
13. Hak atas harta benda dan harta milik
14. Hak memperoleh imbalan yang pantas dan penggantian kerugian yang
sepadan.
111 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi
Kebudayaan, hlm. 369.
55
C. Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Hak Asasi Manusia dalam
Perspektif Pendidikan Islam
Dalam sebuah dialog tentang pendidikan Islam, yang berlangsung di
Beirut (Lebanon) tanggal 13-14 Desember 2002 dan diselenggarakan oleh KAF
(Konrad Adenauer Stiftung), ternyata disepakati adanya berbagai corak
pendidikan agama. Hal ini juga berlaku untuk pendidikan Islam. Ternyata ada
beberapa orang yang terus terang mengakui, maupun yang menganggap,
pendidikan Islam yang benar haruslah mengajarkan “formalisasi” Islam.
Termasuk barisan ini adalah dekan-dekan Fakultas Syari’ah dan Perundang-
undangan dari universitas Al-Azhar di Kairo. Dalam dialog tersebut Gus Dur
membawakan makalah tentang pondok pesantren sebagai bagian dari pendidikan
Islam.112
Dalam makalah tersebut, Gus Dur melihat pesantren dari berbagai sudut,
pondok pesantren sebagai lembaga kultural yang menggunakan simbol-simbol
budaya Jawa, sebagai agen pembaharuan yang memperkenalkan gagasan
pembangunan pedesaan sebagai pusat kegiatan belajar masyarakat. Menurut Gus
Dur pesantren juga lembaga pendidikan Islam yang bersandar pada silabi yang
dibawakan oleh intelektual Imam Jalaluddin Abdurrahman Al-Suyuti lebih dari
500 tahun yang lalu.113
Silabi inilah yang menjadi dasar acuan pondok pesantren
tradisional selama ini, dengan pengembangan kajian Islam yang terdiri dari
berbagai macam disiplin ilmu, yang semuanya dipelajari dalam lingkungan
pondok pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam. Melalui pesantren
juga nilai-nilai Islam ditularkan dari generasi ke generasi.
Pembahasan makalah Gus Dur menekankan pada dua hal yang saling
terkait dalam pendidikan Islam. Kedua hal itu adalah, pembaharuan pendidikan
Islam dan modernisasi pendidikan Islam. Dalam liputan pertama, tentu saja
112 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute,
2002), hlm. 223.
113 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, hlm. 224.
56
ajaran-ajaran formal Islam harus diutamakan, dan kaum muslimin harus dididik
mengenai ajaran-ajaran agama mereka. Yang diubah adalah cara menyampaikan
kepada peserta didik sehingga peserta didik mampu memahami dan
mempertahankan kebenaran.
Dalam hal ini pendidikan Islam yang substansinya mengajarkan nilai-nilai
dasar kemanusiaan, menanamkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, solidaritas,
disiplin, tanggung jawab, dan sebagainya, jika dapat memenuhi fungsinya dalam
membina kepribadian peserta didik, maka akan sangat berpengaruh terhadap
upaya menginternalisasikan nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Rasa tanggung jawab
terhadap internalisasi nilai-nilai HAM bisa dijadikan sebagai prioritas dalam
penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Adapun dorongan utama untuk
menekankan perlunya nilai-niilai HAM dalam pelaksanaan pendidikan di
lingkungan sekolah antara lain adalah karena diperlukannya perubahan sistem-
sistem nilai dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Dengan demikian maka nilai
nilai HAM harus mendapat tempat penting dalam penyelenggaraan pendidikan di
sekolah. Output pendidikan haruslah manusia yang mempunyai kepribadian yang
toleran, inklusif, demokratis terhadap berbagai pengelompokan masyarakat
berdasarkan paham suku bahasa maupun agama.114
Menurut Gus Dur, pendidikan Islam tentu saja harus sanggup meluruskan
responsi terhadap tantangan modernisasi, namun kesadaran kepada hal itu justru
belum ada dalam pendidikan Islam di mana-mana. Hal inilah yang merisaukan
hati para pengamat seperti Gus Dur, karena ujungnya adalah diperlukan jawaban
yang benar atas pernyataan: bagaimana caranya membuat kesadaran struktural
sebagai bagian alamiah dari perkembangan pendidikan Islam? Dengan ungkapan
lain, kita harus menyimak perkembangan pendidikan Islam di berbagai tempat
dan membuat peta yang jelas tentang konfigurasi pendidikan Islam itu sendiri.115
Ini merupakan pekerjaan rumah, yang mau tak mau harus ditangani dengan baik.
114 Moh. Miftahul Choiri, Peran Pendidikan Agama dalam Internalisasi Nilai-Nilai HAM,
dalam Cendekia: Jurnal Kependidikan dan Kemasyarakatan, Vol.6. Hlm. 154.
115 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, hlm. 225.
57
BAB IV
ANALISIS PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID
TENTANG HAK ASASI MANUSIA
DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
Memasuki pembahasan analisis ini, penulis menekankan pada metode
interpretasi atau penafsiran. Berkaitan dengan analisis terhadap pemikiran
Abdurrahman Wahid tentang hak asasi manusia dalam perspektif pendidikan
islam, penulis menggunakan interpretasi untuk menafsirkan pemikiran-
pemikiran Abdurrahman Wahid dengan menggunakan bahasa yang dipakai
penulis sendiri.
Ibarat sebuah teks, Gus Dur banyak dibaca, diamati, dan bahkan
ditafsirkan banyak orang atas apa yang diucapkan dan menjadi sikap
kepribadiannya. Memahami Gus Dur tentu saja tak bisa lepas dari apa yang
tampak secara kasat mata semata. Dengan penuturannya yang lugas dan
mudah dicerna banyak kalangan, Gus Dur sesungguhnya tengah melakukan
diagnosa situasi nasional dan problem keumatan yang melalui tulisannya pula
Ia melempar gagasan yang berani dan konstruktif. Semuanya Ia lakukan tidak
lain sebagai ikhtiar membingkai kehidupan masyarakat dan bernegara di masa
depan yang lebih kondusif, ada jaminan hukum yang adil dan terciptanya
harmonisasi yang maksimal diantara sesama umat manusia.
A. Analisis terhadap Pemikiran Abdurrahman Wahid
Memahami pemikiran Abdurrahman Wahid, memang tidak lepas dari
kondisi makro umat Islam Indonesia dan konstelasi politik global nasional.
Kita perlu melacak kondisi muslim Indonesia dengan segala gerakan dan
ragam pemahamannya. Sebab hal ini nampaknya menjadi perhatian pemikiran
yang berpengaruh terhadap pola pikir dan srategi serta arah perjuangan yang
dilakukan Gus Dur.
58
Greg Barton juga menyatakan bahwa, terdapat lima elemen kunci yang
dapat disimpulkan dari pemikiran Abdurrahman Wahid116:
Pertama,
pemikirannya progresif dan bervisi jauh ke depan. baginya, dari pada terlena
oleh kemenangan masa lalu, Gus Dur melihat masa depan dengan harapan
yang pasti, bahwa bagi Islam dan masyarakat Muslim, sesuatu yang terbaik
pasti akan datang. Kedua, pemikiran Gus Dur sebagian besar merupakan
respons terhadap modernitas; respons dengan penuh percaya diri dan cerdas.
Sembari tetap kritis terhadap kegagalan – kegagalan masyarakat Barat
modern, Gus Dur secara umum bersikap positif terhadap nilai-nilai inti
pemikiran liberal pasca pencerahan, walaupun dia juga berpendapat hal ini
perlu diikatkan pada dasar-dasar teistik.
Ketiga, dia menegaskan bahwa posisi sekularisme yang teistik yang
ditegaskan dalam Pancasila merupakan dasar yang paling mungkin dan terbaik
bagi terbentuknya negara Indonesia modern dengan alasan posisi non-
sektarian Pancasila sangat penting bagi kesejahteraan dan kejayaan bangsa.
Gus Dur menegaskan bahwa ruang yang paling cocok untuk Islam adalah
ruang sipil (civil sphere), bukan ruang politik praktis. Keempat, Gus Dur
mengartikulasikan pemahaman Islam liberal dan terbuka yang toleran
terhadap perbedaan dan sangat peduli untuk menjaga harmoni dalam
masyarakat. Kelima, pemikiran Gus Dur mempresentasikan sintesis cerdas
pemikiran Islam tradisional, elemen modernisme Islam, dan kesarjanaan Barat
modern, yang berusaha menghadapi tantangan modernitas baik dengan
kejujuran intelektual yang kuat maupun dengan keimanan yang mendalam
terhadap kebenaran utama Islam.
Dari kelima kunci pemikiran Gus Dur tersebut, terlihat bahwa fokus
utama pemikiran beliau bertumpu pada terciptanya kehidupan yang damai
sesuai dengan cita-cita Islam yang memberi rahmat kepada seluruh alam
dengan menghormati HAM secara penuh, memberi ruang gerak demokrasi,
serta mengembangkan sikap pluralisme, yang kesemuanya itu merupakan
116 Greg Barton, “Abdurrahman Wahid dan Toleransi Keberagamaan” dalam M. Syafi’i
Ma’arif, dkk. Gila Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 124-125.S
59
ajaran Islam yang terkandung pada prinsip universal Islam pada maqashid al-
syari’ah.
1. Pandangan Abdurrahman Wahid tentang HAM
Dalam melihat hubungan antara Islam dan hak asasi manusia, Gus Dur
mempersoalkan klaim sejumlah pemikir dan pemimpin dunia Islam yang
menyatakan bahwa Islam adalah agama yang paling demokratis dan amat
menghargai hak asasi manusia. Ironisnya, kenyataan yang ada justru berbeda
dari klaim mereka. Tetapi, pemikir yang tergolong berani tentang hak asasi
manusia justru disuarakan oleh Gus Dur tentang ketidaksesuaian pandangan
fiqh/hukum Islam dengan deklarasi universal hak asasi manusia. Jika deklarasi
HAM mengakui kebebasan untuk berpindah agama, hukum Islam sebaliknya
memberikan ancaman hukuman yang keras terhadap mereka yang berpindah
agama atau murtad. Menurut hukum Islam yang sampai sekarang dianut oleh
sebagian besar kaum Muslim, orang yang murtad dapat dihukum mati. Lalu
apa kata Gus Dur? “Kalau ketentuan fiqh seperti ini diberlakukan di negeri
kita, maka lebih dari 20 juta jiwa manusia Indonesia yang berpindah agama
dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965 haruslah dihukum mati,”117
tandasnya.
Pendapat Gus Dur di atas cukup tajam dan berani. Namun sayangnya
Gus Dur kurang memberikan elaborasi yang lebih tentang ketentuan fiqh yang
dikritiknya itu. Padahal seandainya ia memberikan elaborasi lebih dalam
tentang soal itu, kritiknya mungkin akan lebih mengena. Dalam konteks ini,
Ibrahim Moosa,118
seperti dikutip Syafi’i Anwar, berpendapat bahwa hukum
Islam klasik memang melarang orang Islam pindah agama ke agama lain.
Ketentuan ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 18 deklarasai hak asasi
manusia (HAM) universal yang menghendaki adanya suatu kebebasan
berfikir, berbuat, dan beragama, termasuk di dalamnya hak untuk mengubah
agama dan kepercayaan. Padahal, ketentuan hukum Islam, berpindah agama
117Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita., hlm.122.
118 Ibrahim Moosa adalah seorang pemikir Islam progresif asal Afrika Selatan.
60
adalah murtad (riddah) dan menurut mayoritas madzhab orang yang murtad
itu diancam dengan sanksi hukuman mati.119
Contoh lain yang dikemukakan oleh Gus Dur adalah soal perbudakan
(slavery) yang banyak menghiasi al-Qur’an dan Hadits. Sekarang, perbudakan
tidak akui bangsa muslim manapun, sehingga ia lenyap dari pebendaharaan
pemikiran kaum Muslimin. Karena itu Gus Dur berpendapat, ummat Islam
mau tak mau harus melakukan ijtihad untuk merubah ketentuan fiqh yang
sudah berabad-abad diikuti itu. Dengan berpijak pada firman allah dalam ayat
suci al-Qur’an yang menyatakan, “Kullu man ‘alayha fa nin. Wa yabqa wajhu
rabbika” (Tiada yang tetap dalam kehidupan kecuali wajah Tuhan), Gus Dur
lalu meruju pada ketentuan ushul fiqh yang berbunyi, al-hukmu yaduru ma’a
‘ilatihi wujudan wa ‘adaman (hukum agama sepenuhnya tergantung kepada
sebab-sebabnya, baik ada ataupun tidak adanya hukum itu sendiri).
Menurut Gus Dur, Salah satu ajaran yang dengan sempurna
menampilkan universalisme Islam adalah lima buah jaminan dasar yang
diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga masyarakat baik secara
perorangan maupun sebagai kelompok. Kelima jaminan dasar itu yaitu:120
1. Jaminan dasar akan keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan
badani di luar ketentuan hukum (hifdzu an-nafs);
2. Jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing,
tanpa ada paksaan ntuk berpindah agama (hifdzu ad-din);
3. Jaminan dasar akan keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu an-
nasl);
4. Jaminan dasar akan keselamatan harta benda dan milik pribadi dari
gangguan atau penggusuran di luar prosedur hukum (hifdzu al-mal);
5. Jaminan dasar akan keselamatan hak milik dan profesi (hifdzu al-aqli).
119Syafi’i Anwar, Kata Pengantar, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam
Kita, hlm. xxi-xxii.
120 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi
Kebudayaan, hlm. 4.
61
Jaminan akan keselamatan fisik warga masyarakat mengharuskan
adanya pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil kepada
semua warga tanpa kecuali, sesuai dengan hak masing-masing. Hanya dengan
kepastian hukum lah sebuah masyarakat mampu mengembangkan wawasan
persamaan hak dan derajat antara sesama warganya. Sedangkan kedua jenis
persamaan itulah yang menjamin terwujudnya keadilan sosial dalam arti
sebenar-benarnya. Sedangkan kita mengetahui, bahwa pandangan hidup atau
worldview atau Weltanschauung121
yang paling jelas universalitasnya adalah
pandangan tentang keadilan sosial.
Demikian juga, jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama
masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan antar-warga
masyarakat atas dasar saling hormat-menghormati, yang akan mendorong
tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar.
terlepas dari demikian kentalnya perjalanan sejarah dengan penindasan,
kesempitan pandangan, dan kedzaliman terhadap kelompok minoritas yang
berbeda keyakinan atau agama dari mayoritas, sejarah umat manusia
membuktikan bahwa sebenarnya toleransi adalah bagian inheren dari
kehidupan manusia.
Dalam QS. Ali Imran: 85 yang artinya: ”Barang siapa mengambil
selain Islam sebagai agama, maka amal kebajikannya tidak akan diterima oleh
Allah, dan dia di akhirat kelak akan menjadi orang yang merugi”, Gus Dur
memberikan penjelasan bahwa ayat tersebut jelas menunjuk kepada masalah
keyakinan Islam yang berbeda dengan keyakinan lainnya, dengan tidak
menolak kerjasama antara Islam dengan berbagai agama lainnya.122
121 Weltanschauung istilah dalam Jerman yang berarti pandangan tentang dunia,
pengertian tentang realitas sebagai sesuatu kesatuan dan pandangan umum tentang kosmos.
Pandangan umum tentang dunia ini berarti pandangan yang menyangkut soal hakekat, nilai, arti,
dan tujuan dunia dan hidup manusia. Weltanschauung pada hakekatnya merupakan gambaran
sinopsis dan perluasan konseptual ke dalam suatu pandangan ilmiah tentang dunia. Lihat
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan,
(Jakarta: The Wahid Institute: 2007), hlm. 5.
122 Menurut Gus Dur, Hal inilah yang membedakan amal sholeh yang merujuk pada amal
baik seorang Muslim dengan amal khoir atau amal baik non muslim. Kalau amal saleh itu akan
62
Dalam pidato perayaan Natal pada tanggal 27 Desember 1999 di Balai
Sidang Senayan Jakarta, misalnya, Abdurrahman Wahid menyampaikan :
Saya adalah seorang yang menyakini kebenaran agama saya, tapi ini
tidak menghalangi saya untuk merasa bersaudara dengan orang yang
beragama lain di negeri ini, bahkan dengan sesama umat beragama.
Sejak kecil itu saya rasakan. Walaupun saya tinggal di lingkungan
pasantren, hidup dikalangan keluarga kiai, tak pernah sedikitpun saya
merasa berbeda dengan yang lain.123
Demikian juga jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama
masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan antarwarga
masyarakat atas dasar sikap saling hormat-menghormati, yang akan
mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian
yang besar. Terlepas dari kentalnya perjalanan sejarah dengan penindasan,
kesempitan pandangan, dan kedzaliman terhadap kelompok minoritas yang
berbeda keyakinan atau agama dari keyakinan mayoritas, sejarah umat
manusia membuktikan bahwa sebenarnya toleransi adalah bagian inheren dari
kehidupan manusia.
Jaminan akan keselamatan keluarga menampilkan sosok moral yang
sangat kuat, baik moral dalam arti kerangka etis yang utuh maupun dalam arti
kesusilaan. Kesucian keluarga dilindungi sekuat mungkin. Karena keluarga
merupakan ikatan sosial paling dasar, maka tidak boleh dijadikan ajang
manipulasi dalam bentuk apapun oleh sistem kekuasaan yang ada. Kesucian
keluarga inilah yang melandasi keimanan yang memancarkan toleransi dalam
derajat sangat tinggi.
Jaminan dasar atas keselamatan harta-benda merupakan sarana bagi
berkembangnya hak-hak individu secara wajar dan proporsional, dalam
kaitannya dengan hak-hak masyarakat atas individu. Masyarakat dapat
menentukan kewajiban-kewajibannya yang diinginkan secara kolektif atas
sampai kepada Allah dan akan diterima oleh Nya, sedangkan amal khair tidak demikian, dan
hanya akan menjadi fatamorgana.
123 Rumadi, “Dinamika Agama dalam Pemerintahan Gus Dur”, dalam Khamami Zada
(ed) Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan (Jakarta: LAKPESDAM), hlm. 144.
63
masing-masing individu warga masyarakat. Tetapi penetapan kewajiban itu
ada batas terjauhnya, dan warga masyarakat secara perorangan tidak dapat
dikenakan kewajiban untuk masyarakat lebih dari batas-batas tersebut.
Jaminan dasar atas keselamatan profesi menampilkan sosok lain lagi
dari universalitas ajaran Islam. Penghargaan kepada kebebasan penganut
profesi berarti kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan atas resiko sendiri,
mengenai keberhasilan yang ingin diraih dan kegagalan yang
membayanginya. Dengan ungkapan lain, kebebasan menganut profesi yang
dipilih berarti peluang menentukan arah hidup lengkap dengan tanggung
jawabnya sendiri. Namun pilihan itu tetap dalam alur umum kehidupan
masyarakat.
Secara keseluruhan, kelima jaminan dasar di atas menampilkan
universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat. Pemerintahan berdasarkan
hukum, persamaan derajat, dan sikap tenggang rasa terhadap perbedaan
pandangan adalah unsur-unsur utama kemanusiaan dan dengan demikian
menampilkan universalitas ajaran Islam.
2. Aktulaisasi Pembelaan Gus Dur terhadap HAM
Abdurrahman Wahid adalah salah satu tokoh besar bangsa, bahkan
dunia, yang pernah dimiliki Indonesia. Salah satu manifestasi kebesarannya
terpancar pada pemikiran dan pembelaannya yang total sepanjang hidupnya
terhadap hak asasi manusia (HAM). Ia pun diakui sebagai pejuang dan
pahlawan HAM.
Perjuangan Gus Dur di bidang HAM bukanlah hal yang ringan. Dalam
beberapa hal pemikiran dan pembelaannya terhadap HAM seringkali
disalahpahami dan bahkan bertentangan dengan arus utama pemikiran
keagamaan legal formalistik. Ia sering dihujat oleh kelompok Islam sendiri
yang berpikiran kurang terbuka. Padahal menurut Muhaimin Iskandar,124
keberhasilan Gus Dur merumuskan pemikiran agama berperspektif HAM
124 Muhaimin Iskandar, Melanjurkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur, (Yogyakarta:
LkiS, 2010), hlm. 24.
64
merupakan sumbangan yang sangat besar bagi peradaban manusia modern,
khususnya bagi pembangunan masyarakat Indonesia yang multikultur.
Kepedulian Gus Dur terhadap kasus-kasus internasional yang beberapa
diantaranya kontroversial termasuk hubungannya dengan Israel, maupun kasus
kekerasan etnik dan keagamaan serta kasus yang berkaitan dengan HAM dan
demokrasi di Indonesia, misalnya: persoalan Ahmadiyah, kasus Monitor,
ICMI, Ulil Abshar Abdalla, Inul, peristiwa Banyuwangi dan pembunuhan di
Jawa Timur tahun 1998, Sambas di Kalimantan Barat, peristiwa Ambon di
Maluku, GAM di Aceh, masalah Timor Timur, persoalan Etnis China, tidak
hanya dibuktikan pada level pemikiran belakan, namun Gus Dur selalu tampil
sebagai pembela pada level praktis. Karena menurut Gus Dur, perjuangan itu
haruslah dimulai kesediaan menumbuhkan moralitas baru dalam kehidupan
bangsa, yaitu moralitas yang merasa terlibat dengan penderitaan rakyat di
bawah.125
a. Jama’ah Ahmadiyah
Ketika banyak kelompok menghujat dan berusaha menyingkirkan
kelompok lain yang dianggap sesat dengan cara-cara kekerasan dan
penistaan seperti yang sering dialami jamaah Ahmadiyah, Gus Dur selalu
tampil sebagai pembelanya. Bukan berarti Gus Dur setuju dengan
keyakinan Ahmadiyah itu, tetapi Ia sangat menghormati keyakinan
seseorang.
b. Kasus Monitor
Kasus Monitor pada bulan Oktober 1990, di mana tabloid tersebut
dirusak massa yang mengatasnamakan Islam gara-gara sebuah surveinya
yang menyinggung perasaan umat Islam. Menurut Gus Dur, kasus monitor
menunjukkan bahwa kelompok dalam masyarakat ingin memanipulasi isu-
isu agama untuk mengedepankan kepentingan mereka. Sehingga beliau
mendirikan Forum Demokrasi untuk memperjuangkan demokrasi di
125 Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LkiS, 2010), hlm. 224.
65
Indonesia. Walaupun sebenarnya Gus Dur sendiri tidak setuju dengan
mingguan monitor dan yang sejenisnya.126
c. Munculnya ICMI
Berdirinya ICMI pada Desember 1990. Gus Dur sebenarnya sangat
gelisah atas pembentukan ICMI yang secara terbuka didukung
pemerintah.127
Menurut Gus Dur, ICMI merupakan alat eksploitasi politik
terhadap agama yang mengutamakan kepentingan kelompok eksklusif
yang sempit di atas kepentingan nasional. ICMI akan mengaliansikan non-
Muslim dan memperburuk pembelahan dan salah paham yang sudah kuat
dalam masyarakat Indonesia selama ini antara kelompok keagamaan,
kesukuan dan budaya yang berbeda. Peristiwa ini pula yang
melatarbelakangi Gus Dur mendirikan Forum Demokrasi.
d. Pembelaan terhadap Ulil Abshar Abdalla, Inul Daratista, dan kelompok
yang dituduh Komunis.
Ia tanpa ragu membela Ulil Abshar Abdalla, seorang intelektual
muda NU yang juga tokoh muda “Islam Liberal” yang mengemukakan
Liberalisme Islam, sebuah pandangan yang sama sekali baru dan memiliki
sejumlah implikasi yang sangat jauh, misalnya anggapan bahwa Ulil akan
mempertahankan kemerdekaan berpikir seorang santri demikian bebasnya,
sehingga meruntuhkan asas-asas keyakinannya sendiri akan kebenaran
Islam. Itulah sebabnya mengapa demikian besar reaksi orang terhadap
pemikirannya ini.128
Seperti diketahui bahwa sejumlah ulama’ serta aktifis
Islam tertentu menilai pemikiran Ulil telah sesat dan keluar dari Islam, dan
126Abdurrahman Wahid, Tabayun Gus Dur Pribumisasi Islam Hak Minoritas Reformasi
Kultural, (Yogyakarta: LkiS, 2010) , hlm. 65
127 Douglas E. Ramage, “Pemahaman Abdurrahman Wahid tentang Pancasila dan
Penerapannya Dalam Era Pasca Asas Tunggal”, dalam Ellyasa K.H. Dharwis (ed), Gus Dur, NU
dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 110
128 Abdurrahman Wahid, “Ulil Abshar-Abdalla dengan Liberalismenya”, dalam Ulil
Abshar Abdalla, dkk, Islam Liberalisme & Fundamental Sebuah Pertarungan Wacana,
(Yogyakarta: eLSAQ, 2005), hlm. 307.
66
karena itu Ia layak dihukum mati. Menurut Gus Dur, kemerdekaan berpikir
adalah sebuah keniscayaan dalam Islam.
Demikian juga dalam kasus Inul Daratista, perempuan lugu dan
sederhana ini dicerca keras oleh sebagian Tokoh Agama, Majelis Ulama’,
dan Seniman karena goyang ngebornya dianggap melanggar batas-batas
kesusilaan umum. Mereka menggunakan justifikasi fatwa-fatwa
keagamaan untuk melarang Inul tampil di depan publik. Di tengah
kontroversi itu, Gus Dur tampil melindungi dari gempuran kecaman dan
panasnya opini publik yang menekan Inul. Pembelaan Gus Dur didasarkan
pada melindungi Hak Asasi wong cilik dari hegemoni elit keagamaan dan
klaim atas moralitas kesenian yang agak represif.
Dalam pembelaannya terhadap mereka yang diperlakukan tidak
manusiawi karena dituduh sebagai anggota kelompok Komunis. Karena
itu, ketika Ia menjadi Presiden, Gus Dur mengusulkan pencabutan TAP
No. XXV/MPRS/1966 soal pelarangan penyebaran ajaran Komunisme,
Marxisme dan Leninisme. Namun usul tersebut akhirnya ditolak. Dalam
rapat yang berlangsung hari Senin 29 Mei 2000, seluruh fraksi MPR yang
ada di panitia Ad Hoc II badan pekerja (PAH II BP) MPR menolak usul
Gus Dur tersebut. Para anggota MPR tampaknya masih sulit membedakan
antara Komunisme sebagai ideologi (pengetahuan) dan Komunisme
sebagai gerakan partai (G 30 S PKI).129
e. Peristiwa Banyuwangi dan Pembunuhan di Jawa Timur Tahun 1998
Pembunuhan yang konon dilakukan oleh para Ninja berpakaian
serba hitam itu telah memakan korban 200 orang lebih, terbukti bahwa
orang yang terlibat dalam pembunuhan ini mempunyai pendidikan militer
dan terorganisir dengan baik. serta menginginkan kerusuhan sosial di
masyarakat. Perlu dicatat bahwa sebagian korban peristiwa itu adalah
anggota NU yang memiliki kedudukan sebagai Ulama’ di daerah mereka.
Respon Gus Dur terhadap pembunuhan tersebut adalah dengan
129 M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, hlm.72.
67
mengunjungi Banyuwangi dan mendorong para tokoh agama lokal untuk
menahan diri dari godaan untuk merespons kekerasan ini dengan
kekerasan.
f. Sambas di Kalimantan Barat
Daerah ini mempunyai sejarah konflik yang panjang, khususnya
antara transmigran Madura dengan penduduk lokal Dayak dan masyarakat
Melayu. secara kebetulan penduduk asal Madura mempunyai hubungan
dengan NU. mempelajari akar konflik itu, sering dikatakan bahwa elemen-
elemen kekerasan etnik dan agama berakar pada kenyataan bahwa dalam
konflik itu masyarakat Dayak yang Kristen bekerja sama dengan
masyarakat Melayu yang Muslim dan karenanya kerusuhan itu berkaitan
dengan faktor sosio-ekonomi.
Meski selama hari-hari sibuk pra-kampanye, Gus Dur
menyempatkan diri untuk mengunjungi langsung daerah sengketa tersebut
untuk bertemu dengan para pemimpin lokal dan meminta respons mereka
dengan sabar dan dewasa terhadap persoalan yang sangat kompleks ini.
serta kunjungan meredamkan konflik tersebut terus berlanjut pada
kesempatan berikutnya. saat itu beliau ditemani oleh Alwi Shihab untuk
bertemu dengan kelompok yang terdiri atas ratusan pemimpin lokal,
mengadakan makan siang bersama dan membincangkan isu kekerasan dan
peranan agama dan etnisitas. baik Alwi maupun Gus Dur berbicara dengan
baik, sabar dan penuh keyakinan serta agaknya punya pengaruh besar
terhadap para pendengarnya. sulit untuk menentukan sampai mana
kunjungan singkat tersebut bersifat instrumental dalam pencapaian
perubahan yang cepat, tetapi yang jelas Gus Dur konsisten dengan
posisinya, memberikan prioritas untuk mendorong pemimpin agama lokal
dan pemimpin masyarakat untuk menghindari kekerasan.
g. Peristiwa Ambon di Maluku
Di Ambon, tak lama setelah pecah kekerasan dan kondisinya saat
itu benar-benar tegang sehingga tidak mungkin mengadakan pertemuan
dengan kubu pemimpin Muslim maupun Kristen seperti yang
68
direncanakan. meski demikian, Gus Dur tetap bertemu dengan para
pemimpin masyarakat lokal dan membujuk mereka agar bersabar dan
toleran dan menahan kekerasan. sulit sekali untuk mengukur arti
kunjungan Gus Dur tersebut yang teramat penting, Gus Dur merasa perlu
untuk mengunjungi dan mempertaruhkan reputasi persoalannya untuk
mencari jalan pemecahan.
h. GAM di Aceh
Kunjungan Gus Dur ke Aceh pada bulan Mei 1999 adalah atas
undangan mahasiswa Aceh untuk berbicara masalah-masalah yang
dihadapi Aceh, khususnya berkaitan dengan kekerasan yang sedang dan
terus berlangsung di Aceh di tangan militer/TNI dan semakin kuatnya
Gerakan Aceh Merdeka (GAM). di sana Ia juga mengunjungi para
pemimpin komunitas agama walaupun banyak diantaranya bukan anggota
PKB, karena saat itu adalah saat menjelang kampanye. meski sibuk
menyiapkan kampanye, Gus Dur tetap menyempatkan untuk meredamkan
konflik Aceh padahal Ia juga tahu bahwa Aceh bukanlah basis PKB. ini
menunjukkan kunjungan tersebut memang murni dorongan hati nurani
beliau.
i. Masalah Timor Timur
Dalam seluruh aktivitas untuk menyelesaikan kekerasan ini,
pelanggaran HAM dan konflik yang sedang berlangsung, satu persoalan
penting muncul di hadapan Gus Dur dan dituntut untuk segera disikapi
untuk merespons pasukan internasional penjaga perdamaian di Timor
Timur. pada bulan September 1999, Gus Dur membuat serangkaian
komentar keras, khususnya diarahkan pada pemerintahan Australia dan
juga lembaga-lembaga lain yang dianggap mencampuri urusan internal
Indonesia.
j. Persoalan Etnis China.
Gus Dur sengaja melakukan hubungan dengan Beijing dan orang-
orang China, baik di daratan China maupun seluruh Asia Tenggara. di
samping untuk membantu orang-orang China di Indonesia sebagai WNI,
69
juga menjadi pemikiran penting sebagai pendewasaan masyarakat
Indonesia. karena itu dia nyatakan tujuan akhirnya adalah dihapuskannya
diskriminasi atas orang-orang China Indonesia. bahkan dalam situasi yang
tidak menguntungkan pun, berkaitan dengan resiko politik, dia telah
menunjukkan dukungannya bagi orang-orang China, Kristen, dan
masyarakat minoritas lainnya.
Pada tanggal 10 Maret 2004, beberapa tokoh Tionghoa Semarang
di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal sebagai
kawasan pecinan di Semarang Jawa Tengah, mentahbiskan Gus Dur
sebagai Bapak Tionghoa. Gus Dur bukan hanya banyak melahirkan
pemikiran dan kebijakan yang menghormati masyarakat Tionghoa, tetapi
juga mensejajarkan mereka dengan semua kelompok yang ada di bumi
Nusantara dari berbagai agama, suku dan adat-istiadat yang berbeda.
Pada level praktis dan kebijakan, pembelaan Gus Dur terhadap
kelompok dan etnis Tionghoa dibuktikan secara nyata. Saat Ia menjadi
Presiden, hari raya Imlek bisa diperingati dan dirayakan dengan bebas.
Warga Tionghoa tidak perlu lagi harus sembunyi-sembunyi jika
merayakannya. Kebebasan ini tak lepas dari keputusan politik Gus Dur
yang pada 17 Januari 2000 mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres)
Nomor 6 tahun 2000, isinya mencabut Inpres nomor 14/1967 yang dibuat
Soeharto tentang agama, kepercayaan, dan adat-istiadat China. Dengan
Inpres No 14/1967 rezim Orde Baru yang represif telah membuat Imlek
terlarang dirayakan di depan publik; Barongsai, Liang Liong harus
sembunyi; huruf-huruf atau lagu Mandarin tidak boleh diputar di radio.130
B. Pandangan Abudrrahman Wahid tentang HAM Prespektif
Pendidikan Islam
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah salah satu tokoh besar bangsa,
bahkan dunia, yang pernah dimiliki Indonesia. Salah satu manifestasi
130 Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, hlm. 71.
70
kebesarannya terpancar pada pemikiran dan pembelaannya yang total
sepanjang hidupnya terhadap HAM. Ia pun diakui sebagai pejuang dan
pahlawan HAM.
Menurut Mahfud MD, kalau ingin membuat Gus Dur marah, berilah
informasi bahwa ada orang lemah yang diperlakukan sewenang-wenang.131
Jika dengan ada orang kecil atau rakyat jelata diperlakukan secara tidak adil,
biasanya Gus Dur langsung marah dan bereaksi sangat keras, perasaannya
sangat peka kalau dalam urusan-urusan seperti ini. Hal ini menunjukkan
betapa semangatnya perjuangan Gus Dur terhadap hak-hak kaum lemah.
Perjuangan Gus Dur di bidang HAM bukanlah hal yang ringan. Dalam
beberapa hal pemikiran dan pembelaannya terhadap HAM seringkali
disalahpahami dan bahkan bertentangan dengan arus utama pemikiran
keagamaan legal formalistik. Ia sering dihujat oleh kelompok Islam sendiri
yang berpikiran kurang terbuka. Padahal keberhasilan Gus Dur merumuskan
pemikiran agama berperspektif HAM merupakan sumbangan yang sangat
besar bagi peradaban manusia modern, khususnya bagi pembangunan
masyarakat Indonesia yang multikultural.
Pemikiran Gus Dur harus dilihat sebagai continuum dari pemikiran
Islam klasik yang sudah dibangun oleh para ulama mazhab terdahulu. Jadi
sebenarnya ia bukan sesuatu yang baru sama sekali hanya ada beberapa
modernisasi dan kontekstualisasi untuk menyesuaikan dengan kebutuhan
zaman yang terus berubah.132
Sebagaimana pemikir Islam terdahulu, Gus Dur membangun
pemikiran keislamannya dengan satu aksioma bahwa agama (Islam)
diturunkan ke dunia dimaksudkan untuk memuliakan manusia, mewujudkan
kemaslahatan dan kesejahteraan di antara mereka, serta memberi kemudahan
131 Moh. Mahfud MD, Setahun Bersama Gus Dur Kenangan Menjadi Menteri di Saat
Sulit, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), hlm. 215.
132 A. Muhaimin Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur,
(Yogyakarta: LkiS, 2010), hlm. 25
71
dalam kehidupannya. Agama hadir bukan untuk memberikan kesulitan,
intimidasi, teror, dan berbagai kemadlaratan di muka bumi.
Pemikiran Gus Dur di bidang agama dan sosial kemasyarakatan pada
umumnya dibangun di atas teori maqashid al-syari’ah, yaitu lima jaminan
dasar yang meliputi; keselamatan fisik warga masyarakat (hifdzu al-nafs),
keselamatan keyakinan agama masing-masing (hifdzu al-din), keselamatan
keluarga dan keturunan (hifdzu an-nasl), keselamatan harta benda dan milik
pribadi (hifdzu al-mal), dan keselamatan hak milik dan profesi (hifdzu al-
milk). Kesemuanya itu merupakan konsep yang dijadikan Gus Dur sebagai
prinsip Universal Islam.133
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan isu global yang penegakannya
telah menjadi komitmen dunia internasional. Indonesia sebagai bagian dari
tatanan dunia internasional telah meratifikasi sebagian besar kovenen-kovenen
HAM. Konskuensinya dari hal tersebut di atas adalah adanya keharusan untuk
menegakkan dan mematuhi hal-hal yang berhubungan dengan HAM,
pembukaan UDHR mengamanatkan bahwa nilai-nilai HAM harus disosialkan
melalui pendidikan dan pengajaran yang sistematis dan terprogram, sebab
pemahaman dan pengetahuan tentang HAM merupakan suatu hal yang
bersifat individual dan butuh adanya pemahaman. Oleh karena itu, agar HAM
menjadi suatu nilai yang dapat dipahami oleh setiap orang diperlukan adanya
proses internalisasi yang sistematis dan terprogram melalui berbagai kegiatan
pendidikan dan pengajaran.
Rasa tanggungjawab terhadap internalisasi nilai-nilai HAM bisa
dijadikan sebagai prioritas dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Adapun dorongan utama untuk menekankan perlunya nilai-nilai HAM dalam
pelaksanaan pendidikan di lingkungan sekolah antara lain adalah karena
diperlukannya perubahan sistem-sistem nilai dalam kehidupan masyarakat
dewasa ini. Menurut UNESCO untuk memperkuat pembentukan nilai dan
kemampuan seperti solidaritas, kreativitas, tanggungjawab, toleransi dan
133Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi
Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute: 2007), hlm. 4-5.
72
sebagainya, perlu adanya internalisasi nilai nilai ham dalam setiap kurikulum
yang digunakan oleh setiap jenjang pendidikan.
Dengan demikian maka nilai nilai HAM harus mendapat tempat
penting dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Output pendidikan
haruslah manusia yang mempunyai kepribadian yang toleran, inklusif,
demokratis terhadap berbagai pengelompokan masyarakat berdasarkan paham
suku bahasa maupun agama. Hal ini penting untuk diperhatikan karena salah
satu tugas pendidikan adalah membentuk pribadi manusia yang beradab dan
berbudaya, yang dapat menghormati adanya perbedaan dan keragaman. Di
tengah-tengah maraknya paham globalisasi yang bergulir secara paradoks
menimbulkan berbagai kesadaran dan budaya baru di tengah tengah
masyarakat, oleh karena itu untuk menghadapi perubahan tersebut diperlukan
pendidikan pluralitas, HAM, dan demokrasi yang dapat merespon lahirnya
manusia yang beradab dan berbudaya.
Pendidikan mempunyai peranan penting dalam berbagai aspek
kehidupan manusia. Azyumardi menegaskan bahwa pendidikan merupakan
salah satu agen perubahan sosial pendidikan di satu sisi dipandang sebagai
suatu variabel modernisasi yang mengantarkan masyarakat mencapai suatu
kemajuan.134
Pendidikan dengan demikian menjadi variabel yang tidak dapat
diabaikan dalam transformasi pengetahuan nilai nilai dan keterampilan yang
dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan. Dalam kontek ini,
pendidikan memeiliki dua fungsi utama yaitu fungsi konservatif dan progresif.
Oleh sebab itu, kebudayaan dan keyakinan umat manusia terus menerus
berusaha menjaga dan mempertahankan penyelenggaraan pendidikan secara
turun temurun. Penyelenggaraan pendidikan selanjutnya menjadi kewajiban
kemanusiaan atau sebagai strategi budaya dalam rangka mempertahankan
kehidupan mereka. Begitu pentingnya arti pendidikan bagi umat manusia
134 Azumardi Azra, Pembaharuan Pendidikan Islam, dalam Marwan Saridjo, Bunga
Rampai Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Amisco, 1996), hlm, 2-3
73
menyebabkan banyak peradaban manusia yang mengharuskan masyarakat
untuk tetap menjaga eksistensi dan keberlangsungan pendidikan.
Pada akhirnya manusia secara tegas menetapkan bahwa pendidikan
merupakan salah satu hak asasi manusia, salah satu hak dasar yang seharusnya
dimiliki oleh setiap orang, baik sebagai warga suatu negara maupun sebagai
warga dunia. Pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan
apapun kondisi yang melingkupinya. Tidak ada alasan bagi setiap warga
negara untuk tidak mendapat hak hak dasar tersebut. Tugas negara dalam
urusan HAM adalah melindungi, mempromosikan dan mencegah pelanggaran
terhadap hak asasi manusia bagi warganya. Dengan demikian wajib belajar
dalam konteks HAM adalah kewajiban negara untuk menyediakannya.
Pendidikan merupakan hak asasi manusia yang harus dimiliki oleh
setiap warga negara, pendidikan memikul berat tanggungjawab untuk
mewujudkan pelaksanaan hak asasi manusia tersebut, seperti kebebasan
mengeluarkan pendapat, kebebasan berekspresi, kebebasan untuk mengakses
informasi secara benar dan jujur, kebebasan berserikan dan lain sebagainya.
Jadi dalam hak memperoleh pendidikan terdapat kewajiban yang harus
dilaksanakan, yakni kewajiban untu menyelenggarakan pendidikan yang
berkeadilan dan berkeadaban. Tanpa dilandasi adanya kesadaran untuk
mewujudkan kewajiban tersebut maka pendidikan yang berorientasi pada
HAM sulit untuk direalisasikan.
Dalam hal ini Lembaga pendidikan harus merespon persoalan HAM.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan hendaknya dapat menjadi tempat khusus
untuk tumbuh dan berkembang. Peserta didik diberi kesempatan untuk
berkembang, mengembangkan minat dan kemampuannya. Perkembangan
memerlukan penghayatan kebebasan sebagai bagian dari asas demokrasi yang
realisasinya adalah adanya kebebasan untuk berfikir dan berpendapat.
Budaya kekerasan yang marak belakangan terjadi dengan melibatkan
sentimen keagamaan, etnis, suku, merupakan perluasan kekerasan sistematis
atas peserta didik di di ruang kelas. Du ruang kelas, anak-anak hampir tak
memiliki ruang untuk berekspresi dan mengartikulasikan apa yang
74
dipikirkannya. Sosok anak-anak tersebut hanya berharga jika sesuai dengan
citra guru, pengelola pendidikan, elit agama, dan bahkan pemerintah yang
menganggap dirinya moralis. Lebih parahnya lagi dalam lingkungan keluarga,
anak juga sering mendapatkan perlakuan yang kurang humanis. Kecurigaan
orang tua yang berlebihan terhadap anaknya turut memberikan andil dalam
menciptakan budaya kekerasan.
Masyarakat yang plural membutuhkan ikatan keadaban yakni
pergaulan antara satu sama lain yang diikat dengan suatu keadaban. Ikatan ini
pada dasarnya dapat dibangun dari nilai-nilai universal agama. Karena itu,
bagaimana guru mampu membelajarkan pendidikan agama yang difungsikan
sebagai panduan moral dalam kehidupan masyarakat yang serba majemuk,
dan bagaimana guru agama mampu mengangkat dimensi-dimensi konseptual
dan substansial dari ajaran agama seperti kejujuran, keadilan, kebersamaan,
kesadaran akan hak dan kewajiban, ketulusan dalam beramal, bermusyawarah
dan lain sebagainya. Sehingga dengan upaya tersebut nilai-nilai agama yang
universal tidak saja dibahasakan enggan menggunakan bahasa verbal, akan
tetapi lebih pada bahasa tindakan yang lebih nyata, sehingga nilai-nilai agama
dapat dibumikan dan dapat memberikan manfaat yang lebih nyata dalam
kehidupan bersama.
75
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian dan analisis tentang Pemikiran Abdurrahman
Wahid tentang HAM yang ditinjau dari sudut pandang pendidikan Islam,
maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Menurut Abdurrahman Wahid agama Islam sangat sensitif dan peduli
terhadap masalah HAM, Islam sangat menentang tindakan yang melawan
HAM, termasuk tindakan kekerasan dan memaksakan kehendak terhadap
orang lain, pemikiran Gus Dur tentang HAM pada umumnya dibangun di
atas teori maqashid as-syari’ah, yang meliputi; keselamatan fisik warga
masyarakat (hifdzu al-nafs), keselamatan keyakinan agama masing-masing
(hifdzu al-din), keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu al-nasl),
keselamatan harta benda dan milik pribadi (hifdzu al-mal), dan
keselamatan hak milik dan profesi (hifdzu al-milk). Kesemuanya itu
merupakan konsep yang dijadikan Gus Dur sebagai prinsip Universal
Islam.
2. Dalam perspektif pendidikan Islam, pemikiran Abdurrahman Wahid
tentang HAM memiliki keserasian yaitu berorientasi pada terbentuknya
kepribadian serta akhlak yang luhur dengan menanamkan nilai-nilai
toleransi pada peserta didik sejak dini yang berkelanjutan dengan
mengembangkan rasa saling pengertian dan menghormati hak-hak orang
lain.
B. Saran dan Penutup
Berdasarkan uraian tentang pemikiran hak asasi manusia pada bab-bab
sebelumnya, penulis menyampaikan beberapa pesan atau saran-saran sebagai
berikut:
76
1. Semua warga negara harus menyadari bahwa hak tidak bisa dipisahkan
dari kewajiban. Semua warga negara mempunyai kebebasan memenuhi
hak pribadi, namun harus diimbangi dengan kewajiban menjaga hak-hak
orang lain. Dari sini akan timbul sikap toleransi sesama warga negara,
sehingga akan tercipta suasana harmonis dalam bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
2. Lembaga Pendidikan harus merespon persoalan HAM, sekolah sebagai
lembaga pendidikan hendaknya dapat menjadi tempat khusus bagi peserta
didik untuk tumbuh dan berkembang. Peserta didik harus diberi kebebasan
untuk berpendapat, kebebasan untuk berekspresi, dll. Sehingga peserta
didik bisa berkembang secara optimal, dan dari sini akan lahir generasi
bangsa yang cerdas, yang bisa menjunjung tinggi nili-nilai hak asasi
manusia.
3. Pemerintah dalam hal ini negara mempunyai kewajiban untuk menjamin
hak-hak warga negara. Negara tidak boleh membiarkan seseorang atau
kelompok melakukan kejahatan HAM, dan wajib menegakkan hukum
secara adil dan bijaksana.
Puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat, ridha dan inayah-
Nya, dan dengan didasari ketulusan hati serta kesungguhan, akhirnya skripsi
ini dapat terselesaikan. diakui bahwa dalam penyusunan skripsi ini tentunya
masih banyak kekurangan sehingga jauh dari kesempurnaan, untuk itu demi
perbaikan skripsi ini serta demi kesempurnaan dalam penelitian selanjutnya,
saran kritik yang konstruktif dari para pembaca sangat diharapkan.
Akhirnya penulis sampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada
semua pihak yang telah memberikan dukungan serta bantuan moril maupun
materiil sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Teriring do’a
semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis pribadi serta kepada para
pembaca pada umumnya.
Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya
kepada umat-Nya. Amin.
77
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdalla, Ulil Abshar, dkk, Islam Liberalisme & Fundamental Sebuah
Pertarungan Wacana, (Yogyakarta: eLSAQ, 2005)
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)
Ahmad, Munawar, Ijtihad Politik Gus Dur Analisis Wacana Kritis, (Yogyakarta:
LKiS, 2010)
Al Ash Shieddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir al-Qur’anul Majid an
Nuur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), Jilid II
Al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat
Press, 2005), Cet. V
Arifin M., Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjaun Teoritis dan Praksis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994)
Arifin, M., Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjaun Teoritis dan Praksis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994)
Ash Shieddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir al-Qur’anul Majid an Nuur,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), Jilid II, hlm. 450-451
Aziz, Ahmad Amir, Neo-Modernisme Islam di Indonesia Gagasan Sentral
Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta, Rineka Cipta,
1999)
Bakhtiar, A. Nur Alam, 99 Keistimewaan Gus Dur, (Jakarta: Kultural, 2008)
Barton, Greg, Biografi Gus Dur, terj. (Yogyakarta: LKiS, 2008)
Bekker, Anton dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,
(Yogyakarta: Kanisius, 1990)
Davidson, Scott, Hak Asasi Manusia, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2008)
Dhakiri, M. Hanif, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2010)
Dj, Fauzan, “Kekalahan Negara atas Kekerasan Berlatar Agama”, Suara Merdeka,
Semarang, 20 Februari 2011
78
Ghofur, Abdul, Demokratisasi Dan Prospek Hukum Islam di Indonesia,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)
Gultom, Syawal, Pengantar, dalam Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM
Mengurai Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2009)
Hadjar, Ibnu, Dasar-Dasar Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996)
Iskandar, A. Muhaimin, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur,
(Yogyakarta, LKiS, 2010)
Komaruddin, Kamus Research, (Bandung: Angkasa, 1984)
Kosasih, Ahmad , HAM Dalam Perspektif Islam, Menyingkap Persamaan dan
Perbedaan antara Islam & Barat, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), jil. 1.
Loppa, Baharuddin, Al-Qur’an dan Hak-Hak Azazi Manusia, (Yogyakarta: PT.
Dana Bhakti Prima Yasa, 1996)
Ma’arif, Syamsul, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung
Pustaka, 2005)
______________, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme,
(Semarang: Nedd’s Press, 2008)
Mahfud MD, Moh., Setahun Bersama Gus Dur Kenangan Menjadi Menteri di
Saat Sulit, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada)
______________, Gus Dur: Islam Politik dan Kebangsaan, (Yogyakarta: LkiS,
2010)
Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi Sosial dan
Budaya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009)
Marimba, Ahmad D., Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al Ma’arif, 1989)
Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu, Kualitatif & Kuantitatif untuk Pengembangan
Ilmu dan Penelitian, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2006)
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2004)
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana,
2006)
79
Muladi, Hak Asasi Manusia: Hakekat Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009)
Mulkhan, Abdul Munir, “Humanisasi Pendidikan Islam”, dalam Hamami Zada, et.
Jurnal Tashwirul Afkar edisi no. 11 tahun 2001
___________________, Nalar Spiritual Pendidikan, Solusi Problem Filosofis
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002)
Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multicultural Konsep dan
Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010)
Nasir, M. Ridlwan, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal: Pondok
Pesantren di Tengah Arus Perubahan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005)
Nasution, Harun dan Bakhtiar Efendi (Ed), Hak-Hak Asasi Manusia, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1955)
Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009)
___________, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005)
Nazir, Moh., Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005)
Ng, Zastrouw, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan
Pernyataan Gus Dur, (Jakarta: Erlangga, 1999)
Pardoyo, Sekulerasasi dalam Polemik, (Jakarta : Graffiti, 1993)
Partanto, Pius A. dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya:
Arkola, 1994)
Qomar, Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional
hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2004)
Dharwis, Ellyasa K.H, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS,
2010)
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994)
Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press,
2005)
80
Roqib, Moh., Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integritas di
Sekolah Keluarga Dan Masyarakat, (Yogyakarta: LkiS, 2009)
Roziqin, Badiatul, dkk., 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-
Nusantara, 2009)
Sanaky Hujair AH, Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat
Madani Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2003)
Shihab, Alwi, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1999)
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 1
________________, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 5
________________, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 7
Suaedy, Ahmad & Ulil Abshar Abdalla, Gila Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2000)
Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Prakteknya, (Jakarta:
PT. Bumi Aksara, 2008)
Syari’, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005)
Thoha, Chabib, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogya: Pustaka Pelajar, 1996)
Tim Penyusun Kamus Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008)
Ubaedillah , A. dan Abdul Rozak, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan
Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2007)
Wahid, Abdurrahman, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Kumpulan
Pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 RI, (Jakarta: Kompas,
1999)
__________________, “Hubungan antar-Agama, Dimensi Internal dan
Eksternalnya di Indonesia” dalam Adurrahman Wahid, dkk., Dialog:
Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993)
__________________, Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia dan
Transformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute: 2007)
81
__________________, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid
Institute, 2002)
__________________, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2010)
__________________, Tabayun Gus Dur Pribumisasi Islam Hak Minoritas
Reformasi Kultural, (Yogyakarta: LkiS, 2010)
__________________, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LkiS, 2010)
http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/01/biografi-abdurrahman-
wahidbiografi.html
82
RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri
1. Nama : Muhammad Atauillah
2. Tempat & Tgl. Lahir : Wonosobo, 19 September 1988
3. Nomor Induk Mahasiswa : 073111136
4. Alamat Rumah : Dermonganti Rt 03/ Rw 05, Adiwarno,
Selomerto, Wonosobo, Jawa Tengah
HP : 085727070012
E-mail : [email protected]
B. Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan Formal:
a. SD Inpres 04, Balekambang, Selomerto-Wonosobo lulus tahun 2000
b. SMP PGRI 04, Balekambang, Selomerto-Wonosobo lulus tahun 2003
c. SMA Takhassus Al-Qur’an, Mojotengah-Wonosobo lulus tahun 2006
d. IAIN Walisongo Semarang Fak. Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama
Islam (angkatan 2007) lulus tahun 2011
2. Pendidikan Non-Formal:
a. Ponpes Al-Asy’ariyyah, Kalibeber, Mojotengah, Wonosobo tahun
2003
b. Ponpes. Raudlatut Thalibin, Tugurejo-Tugu-Kota Semarang Tahun
2006
Yang menyatakan,
Muhamad Atauillah