Student Project a9

58
KANKER KOLOREKTAL Epidemiologi Kanker Colorectal menempati urutan keempat dalam jumlah insiden kanker di Amerika Serikat dengan 153. 760 kasus baru terjadi pada tahun 2007. Angka kematian 52.180 pada tahun 2007 menempati peringkat kedua penyebab kematian akibat kanker di AS. Di seluruh dunia estimasi kasus baru CRC sekitar 1.023.152 kasus dan angka mortalitasnya mencapai 528.978 (55 %). Ras afrika-amerika menduduki posisi pertama insiden CRC. 90 persen kasus ditemukan pada usia 50 tahun ke atas. Insiden dan mortalitas didapatkan lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita. Insidens kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka kematiannya. Pada tahun 2002 kanker kolorektal menduduki peringkat kedua pada kasus kanker yang terdapat pada pria, sedangkan pada wanita kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga dari semua kasus kanker.4 Meskipun belum ada data yang pasti, tetapi dari berbagai laporan di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus, data dari Depkes didapati angka 1,8 per 100.000 penduduk. Pada kebanyakan kasus kanker, terdapat variasi geografik pada insiden yang ditemukan, yang mencerminkan perbedaan sosial ekonomi dan kepadatan penduduk, terutama antara negara maju dan berkembang. Demikian pula antara Negara Barat dan Indonesia, terdapat perbedaan pada frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan. Di Indonesia frekuensi kanker kolorektal yang

description

student

Transcript of Student Project a9

Page 1: Student Project a9

KANKER KOLOREKTAL

Epidemiologi

Kanker Colorectal menempati urutan keempat dalam jumlah insiden kanker di Amerika Serikat

dengan 153. 760 kasus baru terjadi pada tahun 2007. Angka kematian 52.180 pada tahun 2007

menempati peringkat kedua penyebab kematian akibat kanker di AS. Di seluruh dunia estimasi

kasus baru CRC sekitar 1.023.152 kasus dan angka mortalitasnya mencapai 528.978 (55 %). Ras

afrika-amerika menduduki posisi pertama insiden CRC. 90 persen kasus ditemukan pada usia 50

tahun ke atas. Insiden dan mortalitas didapatkan lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita.

Insidens kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka kematiannya. Pada

tahun 2002 kanker kolorektal menduduki peringkat kedua pada kasus kanker yang terdapat pada

pria, sedangkan pada wanita kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga dari semua kasus

kanker.4 Meskipun belum ada data yang pasti, tetapi dari berbagai laporan di Indonesia terdapat

kenaikan jumlah kasus, data dari Depkes didapati angka 1,8 per 100.000 penduduk.

Pada kebanyakan kasus kanker, terdapat variasi geografik pada insiden yang ditemukan, yang

mencerminkan perbedaan sosial ekonomi dan kepadatan penduduk, terutama antara negara maju

dan berkembang. Demikian pula antara Negara Barat dan Indonesia, terdapat perbedaan pada

frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan. Di Indonesia frekuensi kanker kolorektal yang

ditemukan sebanding antara pria dan wanita; banyak terdapat pada seseorang yang berusia muda;

dan sekitar 75% dari kanker ditemukan pada kolon rektosigmoid, sedangkan di Negara Barat

frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan pada pria lebih besar daripada wanita; banyak

terdapat pada seseorang yang berusia lanjut; dan dari kanker yang ditemukan hanya sekitar 50%

yang berada pada kolon rektosigmoid.

Faktor Risiko

Faktor-faktor berikut telah dibuktikan dalam penelitian klinik dapat meningkatkan resiko CRC,

dan diklasifikasikan oleh The American Gastroenterological Association sebagai berikut :

Resiko ringan-sedang:

1. Usia diatas 60 tahun

2. Ras Afrika-Amerika

Page 2: Student Project a9

3. Pria perokok di atas 50 tahun [RR = 1.05 (95% CI = 0.75–1.47)]

4. Wanita post menopausal di atas 50 tahun [HR = 1.08 (95% CI = 0.90–1.29)]

Resiko moderat:

1. Pasien Polyposis Adenomatosa

2. Riwayat keluarga polip colon atau kanker colon

3. Mempunyai riwayat kanker endometrium atau kanker ovarium sebelum umur 60 tahun

Resiko Tinggi:

1. Pasien Hereditary Non-polyposis Colorectal Cancer

2. Pasien familial Polyposis Adenomatosa

Patogenesis Molekuler

Perkembangan kanker Colorectal merupakan akumulasi gangguan genetik dan epigenetik yang

mempengaruhi fungsi seluler dan jaringan. Mutasi genetik awal terjadi pada tumor suppressor

gen APC, yang terletak pada kromosom 5q. Mayoritas mutasi gen APC menyebabkan

kehilangan fungsi normalnya untuk mendegradasi β-catenin sitoplasma. Degradasi ini terjadi

ketika β-catenin berikatan pada kompleks APC/AXIN/GSK-3b. GSK-3b bekerja pada

phosphorilasi β-catenin menyebabkan konjugasi dengan protein ubiquitin dan terdegradasi.

Stabilitas β-catenin diregulasi oleh diacylglycerol-independent protein kinase C, yang diperlukan

untuk Ubiquinasi β-catenin. Ketiadaan fungsi protein APC menyebabkan akumumulasi β-catenin

dalam sitoplasma dan bertranslokasi ke nukleus. β-catenin memiliki peran penting dalam adhesi

sel ke sel dengan menghubungkan reseptor cadherin dengan sitoskeleton aktin. β-catenin juga

berhubungan pada jalur persinyalan Wnt. Jika persinyalan Wnt diaktivasi akan menyebabkan

aktivasi reseptor Wnt, phosforilasi dan inaktivasi GSK-3b, yang mencegah GSK-3b dari β-

catenin terphosporilasi. Akumulasi β-catenin dalam nukleus menyebabkan terbentuknya

komplekdengan Tcf/LEF (Faktor sel T/Limfosit Enhance Factor). Komplek protein β- catenin

LEFdapat mengaktifan gen dengan promoter region Tcf/LEF yang meliputi c-Myc, cyclin D1,

PPARS, matrilysin, Fra-1, UPAR, c-Jun, PML, dan gastrin. Perubahan ini menstimulasi

proliferasi sel dan menghambat apoptosis.

Page 3: Student Project a9

Dalam perkembangan CRC, progresi dari adenoma menjadi karsinoma bergantung pada

akumulasi kerusakan genetik dan epigenetik. Faktor genetik lain yang berkontribusi terhadap

perkembangan CRC adalah mutasi pada K-ras proto-oncogene, dan hipometylasi DNA. Selain

itu delesi lengan 18q21, lokasi gen SMAD2 juga diketahui berkontribusi penting terhadap

insiden CRC. SMAD2 adalah gen pengatur reseptor dan diaktivasi oleh transforming growth

factor-β dan sinyal dari aktivin. Gangguan gen ini menyebabkan sel kanker berproliferasi tidak

terkontrol. Terakhir, mutasi kromosom 17p, diketahui berhubungan dengan tumor supressor

gene p53. Mutasi kromosom 17p memicu degradasi p53 yang menyebabkan sel kanker tidak bisa

mati.

Morfologi

Sekitar 25% karsinoma colorektal ditemukan di cecum atau kolon ascending dengan proporsi

yang sama pada rektum dan sigmoid distal. 25 % berikutnya ditemukan di kolon descending dan

sisanya tersebar di lokasi yang berbeda-beda dalam kolon. Karsinoma Colorektal diawali

dengan lesi in situ dengan pola morfologi yang bervariasi. Tumor pada kolon proksimal

cenderung tumbuh sebagai massa exophytic dan poliploid yang memanjang sepanjang satu

dinding cecum capacious dan kolon ascending. Pada tumor proksimal penyumbatan lumen

jarang terjadi. Karsinoma pada kolon distal cenderung lesi annular mengelilingi lumen yang

menyebabkan konstriksi dan kekakuan dinding muskular usus. Konstriksi yang kuat akan

mempersempit lumen kolon dan berpotensi menimbulkan obstruksi. Kedua bentuk neoplasma di

atas mempenetrasi secara langsung dinding kolon dalam jangka waktu tertentu (biasanya

tahunan) dan bisa tampak sebagai massa keras pada permukaan serosa.

Berdasarkan penampakan secara mikroskopis karsinoma colorectal penampakannya serupa.

Hampir semua jenis kanker adalah adenokarsinoma yang bervariasi dari grade well differentiated

sampai undifferentiated, Franky anaplastic masses. Beberapa tumor memproduksi mucin, yang

disekresikan ke dalam kelenjar lumina menuju interstitial dari dinding kolon. Karena sekresi

melewati dinding kolon, mucin ini memfasilitasi ekstensi kanker dan memperburuk prognosis.

Kanker pada zona anal kebanyakan adalah squamus cell carcinoma.

Page 4: Student Project a9

Manifestasi Klinik

Lokasi Kanker

Dua pertiga dari kanker kolorektal muncul pada kolon kiri dan sepertiga muncul pada kolon

kanan. Sebagian besar terdapat di rektum (51,6%), diikuti oleh kolon sigmoid (18,8%), kolon

descendens (8,6%), kolon transversum (8,06%), kolon ascendens (7,8%), dan multifokal

(0,28%). Data dari kanker statistik di Amerika Serikat terlihat bahwa sekitar 60% dari kanker

kolorektal ditemukan pada rektum, hal ini juga terlihat di China yaitu sekitar 80% dari kanker

kolorektal ditemukan di rektum, dengan > 60% kanker kolorektal hanya terdapat pada rektum.

Gambar Letak Kanker Kolorektal.

Gejala

Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan dengan suplai darah yang

diterima. Arteri mesenterika superior memperdarahi belahan bagian kanan (caecum, kolon

ascendens dan duapertiga proksimal kolon transversum), dan arteri mesenterika inferior yang

memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon descendens dan sigmoid,

Page 5: Student Project a9

dan bagian proksimal rektum). Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak

spesifik. Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal berhubungan dengan besar dan lokasi

dari tumor. Tumor yang berada pada kolon kanan, dimana isi kolon berupa cairan, cenderung

tetap tersamar hingga lanjut sekali. Sedikit kecenderungan menyebabkan obstruksi karena lumen

usus lebih besar dan feses masih encer. Gejala klinis sering berupa rasa penuh, nyeri abdomen,

perdarahan dan symptomatic anemia (menyebabkan kelemahan, pusing dan penurunan berat

badan). Tumor yang berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan pola defekasi

sebagai akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan, mengecilnya ukuran feses, dan konstipasi

karena lesi kolon kiri yang cenderung melingkar mengakibatkan obstruksi.

Gejala Subakut

Tumor yang berada di kolon kanan seringkali tidak menyebabkan perubahan pada pola buang air

besar (meskipun besar). Tumor yang memproduksi mukus dapat menyebabkan diare. Pasien

mungkin memperhatikan perubahan warna feses menjadi gelap, tetapi tumor seringkali

menyebabkan perdarahan samar yang tidak disadari oleh pasien. Kehilangan darah dalam jangka

waktu yang lama dapat menyebabkan anemia defisiensi besi. Ketika seorang wanita post

menopouse atau seorang pria dewasa mengalami anemia defisiensi besi, maka kemungkinan

kanker kolon harus dipikirkan dan pemeriksaan yang tepat harus dilakukan. Karena perdarahan

yang disebabkan oleh tumor biasanya bersifat intermitten, hasil negatif dari tes occult blood tidak

dapat menyingkirkan kemungkinan adanya kanker kolon. Sakit perut bagian bawah biasanya

berhubungan dengan tumor yang berada pada kolon kiri, yang mereda setelah buang air besar.

Pasien ini biasanya menyadari adanya perubahan pada pola buang air besar serta adanya darah

yang berwarna merah keluar bersamaan dengan buang air besar. Gejala lain yang jarang adalah

penurunan berat badan dan demam. Meskipun kemungkinannya kecil tetapi kanker kolon dapat

menjadi tempat utama intususepsi, sehingga jika ditemukan orang dewasa yang mempunyai

gejala obstruksi total atau parsial dengan intususepsi, kolonoskopi dan double kontras barium

enema harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan kanker kolon.

Page 6: Student Project a9

Gejala akut

Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga jika ditemukan pasien

usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan besar penyebabnya adalah kanker.

Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan kanker kolon, tetapi hal ini adalah sebuah

keadaan darurat yang membutuhkan penegakan diagnosis secara cepat dan penanganan bedah.

Pasien dengan total obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa flatus atau buang air besar, kram

perut dan perut yang menegang. Jika obstruksi tersebut tidak mendapat terapi maka akan terjadi

iskemia dan nekrosis kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan menyebabkan peritonitis dan sepsis.

Perforasi juga dapat terjadi pada tumor primer, dan hal ini dapat disalah artikan sebagai akut

divertikulosis. Perforasi juga bisa terjadi pada vesika urinaria atau vagina dan dapat

menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan fecaluria. Metastasis ke hepar dapat menyebabkan

pruritus dan jaundice, dan yang sangat disayangkan hal ini biasanya merupakan gejala pertama

kali yang muncul dari kanker kolon.

Metastase

Metastase ke kelenjar limfa regional ditemukan pada 40-70% kasus pada saat direseksi. Invasi ke

pembuluh darah vena ditemukan pada lebih 60% kasus. Metastase sering ke hepar, cavum

peritoneum, paru-paru, diikuti kelenjar adrenal, ovarium dan tulang. Metastase ke otak sangat

jarang, dikarenakan jalur limfatik dan vena dari rektum menuju vena cava inferior, maka

metastase kanker rektum lebih sering muncul pertama kali di paru-paru. Berbeda dengan kolon

dimana jalur limfatik dan vena menuju vena porta, maka metastase kanker kolon pertama kali

paling sering di hepar.

Pemeriksaan Penunjang

Biopsi

Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting. Jika terdapat sebuah

obstruksi maka tidak memungkinkan dilakukannya biopsi.

Page 7: Student Project a9

Carcinoembrionik Antigen (CEA) Screening

CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang masuk ke dalam

peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi untuk memonitor status kanker

kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke hepar. CEA terlalu insensitif

dan nonspesifik untuk bisa digunakan sebagai screening kanker kolorektal. Meningkatnya nilai

CEA serum, bagaimanapun berhubungan dengan beberapa parameter. Tingginya nilai CEA

berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2, stadium lanjut dari penyakit dan kehadiran metastase

ke organ dalam. Meskipun konsentrasi CEA serum merupakan faktor prognostik independen.

Nilai CEA serum baru dapat dikatakan bermakna pada monitoring berkelanjutan setelah

pembedahan.

Meskipun keterbatasan spesifitas dan sensifitas dari tes CEA, namun tes ini sering diusulkan

untuk mengenali adanya rekurensi dini. Tes CEA sebelum operasi sangat berguna sebagai faktor

prognosa dan apakah tumor primer berhubungan dengan meningkatnya nilai CEA. Peningkatan

nilai CEA preoperatif berguna untuk identifikasi awal dari metatase karena sel tumor yang

bermetastase sering mengakibatkan naiknya nilai CEA.

Tes Occult Blood

Phenol yang tidak berwarna di dalam guaic gum akan dirubah menjadi berwarna biru oleh

oksidasi. Reaksi ini menandakan adanya peroksidase katalis, oksidase menjadi sempurna dengan

adanya katalis, contohnya hemoglobin. Tetapi sayangnya terdapat berbagai katalis di dalam diet.

Seperti contohnya daging merah, oleh karena itu diperlukan perhatian khusus untuk menghindari

hal ini. Tes ini akan mendeteksi 20 mg hb/gr feses. Tes imunofluorosensi dari occult blood

mengubah hb menjadi porphirin berfluorosensi, yang akan mendeteksi 5-10 mg hb/gr feses,

Hasil false negatif dari tes ini sangat tinggi. Terdapat berbagai masalah yang perlu dicermati

dalam menggunakan tes occult blood untuk screening, karena semua sumber perdarahan akan

menghasilkan hasil positif. Kanker mungkin hanya akan berdarah secara intermitten atau tidak

berdarah sama sekali, dan akan menghasilkan tes yang false negatif. Proses pengolahan,

manipulasi diet, aspirin, jumlah tes, interval tes adalah faktor yang akan mempengaruhi

Page 8: Student Project a9

keakuratan dari tes occult blood tersebut. Efek langsung dari tes occult blood dalam menurunkan

mortalitas dari berbagai sebab masih belum jelas dan efikasi dari tes ini sebagai screening kanker

kolorektal masih memerlukan evaluasi lebih lanjut.

Digital Rectal Examination

Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan anterior; serta spina iskiadika

dan sakrum dapat diraba dengan mudah. Metastasis intraperitoneal dapat teraba pada bagian

anterior rektum dimana sesuai dengan posisi anatomis kantong douglas sebagai akibat infiltrasi

sel neoplastik. Meskipun 10 cm merupakan batas eksplorasi jari yang mungkin dilakukan, namun

telah lama diketahui bahwa 50% dari kanker kolon dapat dijangkau oleh jari, sehingga Rectal

examination merupakan cara yang baik untuk mendiagnosa kanker kolon yang tidak dapat begitu

saja diabaikan.

Barium Enema

Tehnik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras barium enema, yang

sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang berukuran >1 cm. Tehnik ini jika

digunakan bersama-sama fleksibel sigmoidoskopi merupakan cara yang hemat biaya sebagai

alternatif pengganti kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi kolonoskopi, atau

digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang mempunyai riwayat polip atau

kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan menggunakan barium enema sangat rendah,

yaitu sebesar 0,02 %. Jika terdapat kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras larut air harus

digunakan daripada barium enema. Barium peritonitis merupakan komplikasi yang sangat serius

yang dapat mengakibatkan berbagai infeksi dan peritoneal fibrosis. Tetapi sayangnya sebuah

kontras larut air tidak dapat menunjukkan detail yang penting untuk menunjukkan lesi kecil pada

mukosa kolon.

Endoskopi

Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3% dari pasien

mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk mempunyai polip premaligna.

Page 9: Student Project a9

Proktosigmoidoskopi

Pemeriksaan ini dapat menjangkau 20-25 cm dari linea dentata, tapi akut angulasi dari

rektosigmoid junction akan dapat menghalangi masuknya instrumen. Pemeriksaan ini dapat

mendeteksi 20-25% dari kanker kolon. Rigid proctosigmoidoskopi aman dan efektif untuk

digunakan sebagai evaluasi seseorang dengan risiko rendah dibawah usia 40 tahun jika

digunakan bersama sama dengan occult blood test.

Flexible Sigmoidoskopi

Flexible sigmoidoscopi dapat menjangkau 60 cm ke dalam lumen kolon dan dapat mencapai

bagian proksimal dari kolon kiri. Lima puluh persen dari kanker kolon dapat terdeteksi dengan

menggunakan alat ini. Flexible sigmoidoscopi tidak dianjurkan digunakan untuk indikasi

terapeutik polipektomi, kauterisasi dan semacamnya kecuali pada keadaan khusus, seperti pada

ileorektal anastomosis. Flexible sigmoidoscopi setiap 5 tahun dimulai pada umur 50 tahun

merupakan metode yang direkomendasikan untuk screening seseorang yang asimptomatik yang

berada pada tingkatan risiko menengah untuk menderita kanker kolon. Sebuah polip

adenomatous yang ditemukan pada flexible sigmoidoscopi merupakan indikasi untuk

dilakukannya kolonoskopi, karena meskipun kecil (<10 mm), adenoma yang berada di distal

kolon biasanya berhubungan dengan neoplasma yang letaknya proksimal pada 6-10% pasien.

Kolonoskopi

Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa kolon dan rectum.

Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm. Kolonoskopi merupakan cara

yang paling akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan

keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada barium enema yang

keakuratannya hanya sebesar 67%. Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan untuk biopsi,

polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur. Kolonoskopi merupakan prosedur

yang sangat aman dimana komplikasi utama (perdarahan, komplikasi anestesi dan perforasi)

hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara yang sangat berguna

untuk mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory bowel disease, non akut divertikulitis,

sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik, striktur kolon dan neoplasma.

Page 10: Student Project a9

Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi terapi daripada diagnostik kolonoskopi,

perdarahan merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi

merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi diagnostik.

Imaging Tehnik

MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik imaging yang digunakan

untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan kanker kolon, tetapi tehnik ini bukan

merupakan screening tes.

CT scan

CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker kolon preoperatif. CT scan

bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfa dan organ lainnya

di pelvis. CT scan sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai CEA

yang meningkat setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan mencapai 55%. CT scan

memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena sulitnya dalam menentukan

stage dari lesi sebelum tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat mengidentifikasi invasi tumor ke

dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan mendeteksi pembesaran kelanjar getah bening

>1 cm pada 75% pasien. Penggunaan CT dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat

mengidentifikasi metastase pada hepar dan daerah intraperitoneal.

MRI

MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan sering digunakan pada

klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan CT scan. Karena sensifitasnya yang

lebih tinggi daripada CT scan, MRI dipergunakan untuk mengidentifikasikan metastasis ke

hepar.

Endoskopi UltraSound (EUS)

EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari kedalaman invasi tumor, terlebih

untuk tumor rektal. Keakurasian dari EUS sebesar 95%, 70% untuk CT dan 60% untuk digital

rektal examination. Pada kanker rektal, kombinasi pemakaian EUS untuk melihat adanya tumor

Page 11: Student Project a9

dan digital rektal examination untuk menilai mobilitas tumor seharusnya dapat meningkatkan

ketepatan rencana dalam terapi pembedahan dan menentukan pasien yang telah mendapatkan

keuntungan dari preoperatif kemoradiasi. Transrektal biopsi dari kelenjar limfa perirektal bisa

dilakukan di bawah bimbingan EUS.

Stadium dan Prognosis

Stadium

Jika metastasis tidak ada, stadium pasti dari kanker kolorektal hanya dapat dipastikan setelah

pembedahan dan analisis histopatologi. Tidak seperti tumor yang lain, ukuran dari tumor primer

kecil sekali pengaruhnya pada prognosis kanker kolorektal. Faktor yang menentukan tingkat

prognosis adalah kedalaman penetrasi tumor ke dinding usus, keterlibatan kelenjar limfa regional

dan ada tidaknya metastasis. Berbagai sistem staging telah dibuat pada beberapa dekade terakhir,

tetapi sistem pengklasifikasian yang diajukan oleh Dukes pada tahun 1982 terus dipakai secara

luas karena kemudahannya. Tetapi sistem ini tidak memperlihatkan informasi penting untuk

informasi prognosis, seperti invasi vaskuler, diferensiasi histology dan DNA dari sel tumor.

Pada Dukes stage A >90% pasien selamat dalam 5 tahun. Pada Dukes stage B terjadi penurunan

prognosis menjadi 60-80%. Jika terdapat keterlibatan kelenjar limfa regional (Dukes stage C)

maka prognosanya adalah 20-50%, dan jika terdapat metastasis (Dukes stage D) maka

prognosanya hanya <5%. Direkomendasikan menggunakan staging system TNM dengan Dukes

system yang telah dimodifikasi oleh Astler Coller.

Page 12: Student Project a9

Tabel MAC : Modified Astler Coller

Prognosis

Stage merupakan faktor prognosis yang paling penting, 5-years survival rate ditunjukkan pada

tabel di atas. Grade histologi secara signifikan mempengaruhi tingkat survival disamping

stadium. Pasien dengan well differentiated karsinoma (grade 1 dan 2) mempunyai 5-year

survival yang lebih baik dibandingkan dengan poor differentiated karsinoma (grade 3 dan 4).

Lokasi kanker terlihat sebagai faktor prognostik yang independen. Pada stage yang sama pasien

dengan tumor yang berada di rektum mempunyai prognosa yang lebih buruk bila dibandingkan

dengan tumor yang berada di kolon.

Tumor yang berada pada kolon transversal dan kolon descendens mempunyai prognosa yang

lebih buruk bila dibandingkan dengan tumor yang berada pada kolon ascendens dan kolon

rektosigmoid. Pasien yang menderita obstruksi atau perforasi mempunyai prognosa lebih buruk

bila dibandingkan dengan pasien yang tanpa keadaan ini. Prognosa pasien yang kehilangan

allelic pada kromosom 18q secara signifikan lebih buruk daripada pasien yang tidak kehilangan

allelic pada kromosom 18q. Survival pasien dengan stage II(B) yang tidak kehilangan allelic

pada kromosom 18q sama dengan pasien stage I(A), tetapi jika terdapat kehilangan allelic pada

kromosom 18q maka tingkat survival sama dengan pasien stage III(C). Pemeriksaan pada

kromosom 18q ini telah terbukti sangat membantu dalam menyeleksi pasien stage II(B) untuk

Page 13: Student Project a9

adjuvant terapi atau pasien stage III(C) dengan prognosa yang lebih baik untuk menghindarkan

efek toksisitas dan pengeluaran biaya adjuvant terapi.

Screening dan Pencegahan

Screening

National Cancer Institute (NCI), American College of Surgeons, American College of

Physicians, dan American Cancer Society merekomendasikan pada pasien asymptomatic yang

berumur 50 tahun atau lebih untuk dilakukan pemeriksaan sigmoidoskopi setiap 3 sampai 5

tahun. Screening dengan menggunakan kolonoskopi juga direkomendasikan untuk seseorang

dengan risiko sedang setiap 10 tahun. Screening kolonoskopi pada seseorang yang mempunyai

risiko tinggi dengan riwayat keluarga yang menderita kanker kolorektal tetapi tidak ada bukti

yang jelas dari FAP atau HNPCC harus mulai screening pada saat umur 40 tahun.

Pencegahan

Endoskopi

Sigmoidoskopi atau kolonoskopi dapat mengidentifikasi dan mengangkat polip dan menurunkan

insiden dari pada kanker kolorektal pada pasien yang menjalani kolonoskopi polipektomi.

Adanya polip pada rektosigmoid dihubungkan dengan polip yang berada diluar jangkauan

sigmoidoskopi, sehingga pemeriksaan kolonoskopi harus dilakukan.

Diet

Peningkatan dari diet serat menurunkan insiden dari kanker pada pasien yang mempunyai diet

tinggi lemak. Diet rendah lemak telah dijabarkan mempunyai efek proteksi yang lebih baik

daripada diet tanpa lemak. The National Research Council telah merekomendasikan pola diet.

Rekomendasi ini diantaranya : (a) menurunkan lemak total dari 40 ke 30% dari total kalori, (b)

meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung serat, (c) membatasi makanan yang

diasinkan, diawetkan dan diasapkan, (d) membatasi makanan yang mengandung bahan

pengawet, (e) mengurangi konsumsi alkohol.

Page 14: Student Project a9

Hormon Replacement Therapy (HRT)

Penelitian oleh the Nurses Health Study pada wanita menopause menunjukkan hubungan antara

pemakaian HRT dengan kanker kolorektal dan adenoma. Pemakaian HRT menunjukkan

penurunan risiko untuk menderita kanker kolorektal sebesar 40%, dan efek protektif dari HRT

menghilang antara 5 tahun setelah pemakaian HRT dihentikan.

Page 15: Student Project a9

NEOPLASMA USUS HALUS

Neoplasma Benigna

Neoplasma usus halus umumnya membentuk 3% hingga 6% dari seluruh tumor saluran cerna.

Tumor jinak tersering yaitu tumor stroma dari otot polos, adenoma, dan lipoma, diikuti berbagai

lesi epitel hamartomatosa, neurogenik, dan vaskular. Tumor lain meliputi tumor karsinoid,

limfoma atau sarkoma/ gastrointestinal stromal tumor (GIST). 64% dari tumor usus halus

mengarah ke keganasan.

Neoplasma Maligna

Neoplasma usus halus sangat jarang. Hanya sekitar 2% dari kanker GI. Kanker usus halus

mempunyai beberapa tipe seperti adenokarsinoma, karsinoid, sarkoma, and limfoma. 40% dari

kanker usus halus tersebut merupakan adenokarsinoma yang berasal dari kelenjar mukosa dan

merupakan keganasan tersering daripada jenis lainnya (emedicine, 2008). Adenokarsinoma usus

halus akan lebih banyak dibahas dalam tulisan ini.

Epidemiologi

Insiden puncak neoplasma pada dekade keenam, tetapi tumor dapat timbul di segala usia. Secara

umum, prevalensi kanker usus halus sangat rendah di Asia dan negara yang industrinya kurang

berkembang. Paling banyak ditmukan di negara barat seperti di Amerika 5640 kasus pada tahun

2007, dengan 2940 kasus pada pria dan 2700 pada wanita. Sekitar 1090 orang (570 pria dan 520

wanita) meninggal pada tahun 2007. (Emedicine, 2008)

Angka survival rate 5 tahun pasien dengan adenokarsinoma sekitar 30-35%. Prevalensi

berdasarkan studi di Amerika Serikat menunjukkan angka yang tinggi pada ras kulit hitam

daripada kulit putih dengan perbandingan 10,6:5,6 per juta populasi penduduk. Pria lebih sering

terkena daripada wanita dengan perbandingan 1,4:1. Prevalensi kanker usus halus cenderung

meningkat sesuai dengan bertambahnya umur. Diagnosis rata-rata berada pada umur 60 tahun.

Adenokarsinoma cenderung didiagnosis pada orang-orang yang lebih tua lagi. (Emedicine, 2008)

Page 16: Student Project a9

Faktor Risiko

Faktor lingkungan:

Diet meliputi konsumsi lemak, daging merah, garam, makanan yang diasapi. Rokok dan alkohol

juga diduga berkolerasi dengan kanker ini.

Faktor Klinik:

1. Familial Adenomatous Polyposis (FAP)

Banyak peneliti menyebutkan bahwa FAP berisiko terhadap perkembangan adenoma dan

adenocarcinoma pada usus halus. FAP yang menjalani total colonic resection dapat

menyebabkan periampullary adenokarsinoma yang merupakan salah satu penyebab kematian

pasien. Sebagian besar tumor ini membentuk cluster di periampullary duodenum, tapi bisa juga

terjadi di semua bagian usus halus. Familial Adenomatous Poliposis dapat berkembang

menjadi adenoma sepanjang usus halus dan kolon. Ditemukan tingginya kadar p53 yang

diekspresi secara berlebihan pada adenoma displastik, walaupun frekuensi mutasi gen TP53

dan k-ras lebih rendah.

2. Hereditary Nonpolyposis Colorectal Cancer (HNPCC)

Pasien dengan HNPCC juga berisiko tinggi terhadap kanker usus halus. Berdasarkan review

baru-baru ini menyebutkan bahwa tumor usus halus pada pasien ini tampak pada usia yang

muda < 30 tahun. Risikonya sekitar 1-4% atau sekitar 100 kali populasi umum akan

menderita adenokarsinoma pada usus halus akibat penyakit ini. Terjadi pada umur yang lebih

muda dan mempunyai prognosis lebih baik daripada kanker usus halus sporadis. Terjadi

mutasi pada gen HMLH1 dan HMSH2 yang terlibat dalam mismatch repair.

3. Crohn’s disease

Voon Roon et.al menunjukkan suatu meta analisis terhadap 62.000 pasien Crohn’s disease

untuk menilai risiko keganasan. Pada meta analisis tersebut ditemukan bahwa Crohn’s disease

terkait dengan tumor yang terdapat di ileum. Pada Crohn disease, risiko tidak muncul sampai

setelah 10 tahun setelah onset Crohn disease, dan adenocarcinoma muncul setelah 20 tahun

setelah onset Crohn disease

Page 17: Student Project a9

4. Celiac disease

Menurut survey terhadap keganasan usus halus di United Kingdom menyatakan bahwa dari

395 kasus kanker usus halus yang dilaporkan, tercatat 107 lymphoma, 175 adenocarcinoma,

dan 79 carcinoid tumor. Tiga belas persen adenocarcinoma dan 39% lymphoma terkait dengan

celiac disease. Secara histologi, adenocarcinoma pada kasus ini mirip dengan adenocarcinoma

yang terjadi secara spontan. Pada Celiac disease dengan gluten intoleransi berisiko menderita

limfoma dan adenokarsinoma. Defek terjadi pada DNA mismatch repair.

5. Peutz-Jeghers

Peutz-Jeghers merupakan penyakit autosomal dominan yang ditandai oleh multiple

hamartomatous`like polyps pada usus halus dan endapan fokal melanin pada kulit dan

membran mukus. Polip tersebut dapat menimbulkan obstruksi, perdarahan dan intususepsi

usus halus. Pada pasien Peutz-Jeghrs secara sekunder ditemukan germ-line defect di LKB1

tumor suppressor gene. Tapi transformasi keganasan penyakit ini belum jelas. Pada Peutz-

Jegher syndrome berisiko 18 kali terkena kanker ini dibandingkan populasi umum.

Patogenesis dan patofisiologi

Insiden kanker pada usus halus 40-60 kali lebih kecil daripada di kolon. Beberapa teori dalam

literature menyebutkan proses perlindungan usus halus dari karsinogen yaitu:

1. kandungan usus halus adalah liquid dan dengan demikian mempercepat waktu transit, yang

mengakibatkan sedikitnya waktu paparan terhadap karsinogen potensial.

2. pH usus halus cenderung netral ke basa sehingga kurang rentan terhadap aktivitas karsinogen

yang sebagian besar bekerja pada kondisi asam

3. usus halus memiliki reseptor tinggi untuk mengangkut folat, dimana level folat yang tinggi

diyakini memberi efek proteksi melawan karsinogen

4. usus halus proximal mensekresi benzopyrene hydroxylase level tinggi, yang memicu

pemecahan benzopyrene dan mendetoksifikasi karsinogen potensial yang dipakai sebagai

tambahan dalam makanan

Page 18: Student Project a9

5. usus halus memiliki banyak jaringan lymphoid. Adanya sel B dan limfosit khususnya IgA

memiliki sifat imunoprotektif terhadap perkembangan kanker.

6. usus halus mengandung sedikit stem cell, yang merupakan target karsinogen dan dengan

demikian berkuranglah predisposisi perkembangan kanker.

Dengan demikian, proses terjadinya karsinoma terjadi karena tidak terdapatnya mekanisme

proteksi seperti yang dijelaskan di atas. Selain itu, faktanya prevalensi tertinggi kanker terjadi di

duodenum (50% di duodenum, 30% di jejunum, dan 20% di ileum) mengindikasikan substansi

seperti zat kimia yang dicerna dan sekresi pankreatikobilier mungkin bersifat karsinogenik

karena duodenum bagian yang pertama kali terekspos.

Dari segi molekuler :

Ki-ras

Mutasi ki-ras terjadi pada 14-83% kasus adenokarsinoma usus halus. Terdapat persamaan

genetik pada adenocarcinoma usus halus dan usus besar. Mutasi Ki-ras di codon 12 dilihat pada

duodenal adenocarcinoma, yang secara patogenesis mirip dengan yang ada di kanker kolorektal

dan pankreatik. Ki-ras ini mengkode protein binding yang bertindak sebagai pencetus

extracellular growth signal transmission ke nukleus sehingga mengatur transduksi sinyal seluler.

p53

Fungsi p53 untuk memfasilitasi perbaikan DNA saat replikasi atau pada kasus kerusakan yang

hebat ikut mendorong induksi apuptosis. Pada adenokarsinoma usus halus yang bersifat sporadis,

overekspresi atau mutasi p53 bisa ditemukan dengan frekuensi bervariasi dari 20% sampai 50%.

SMAD4/DPC

Protein Smad4 dikode oleh deleted pancreatic carcinoma 4 (DPC4) gene yang dipertimbangkan

sebagai mediator dari supresi pertumbuhan melalui transforming growth factor (TGF). Gen

SMAD4/DPC4 yang sering bermutasi pada pankreatik karsinoma juga menjadi inaktif pada

adenokarsinoma usus halus.

APC

Mutasi APC tumor supressor gen jarang muncul di adenokarsinoma usus halus.

Page 19: Student Project a9

Seperti yang ditunjukkan pada keganasan colorectal dan lainnya, ekspresi berlebih dari p53 in de

novo adenocarcinoma usus halus terkait dengan prognosis yang buruk. Meningkatnya ekspresi c-

erbB-2, Ki-67 dan tenascin terkait dengan survival rate yang buruk pada pasien duodenal

adenocarcinoma. Gambaran CEA ditemukan pada duodenal adenocarcinoma. CEA dan CA19-9

positif secara mayor ampullary dan setengahnya nonapullary duodenal small bowel carcinoma.

Diagnosis :

Manifestasi klinis

Pada stadium awal bersifat asimptomatik. Gejala yang nonspesifik menyebabkan diagnosis

tertunda sekitar 6-8 bulan. Presentasi tipikal untuk kanker ini seringkali samar-samar dan

nonfokal, seperti yang disebutkan pada beberapa literatur :

1. Setengah dari neoplasma usus halus merupakan peristiwa akut. 77% mengalami obstruksi dan

perforasi. Setengah dari pasien yang menjalani pembedahan gawat darurat disebabkan oleh

obstruksi usus.

2. Tanda dan gejala yang tampak tidak spesifik dan meliputi nyeri abdomen, mual dan muntah,

perut terasa kembung, hilang nafsu makan, kehilangan berat badan, dan perdarahan

gastrointestinal namun jarang terjadi.

Adenocarcinoma lebh sering menampakkan nyeri dan obstruksi jika dibandingkan dengan

sarkoma atau karsinoid. GIST (gastrointestinal stromal tumor) lebih sering terkait dengan

perdarahan gastrointestinal akut daripada lymphoma yang lebih sering menampakkan perforasi

atau obstruksi usus.

Pemeriksaan fisik ditemukan kekakuan dan distensi pada abdomen, peritoneal signs

mengindikasikan perforasi. Jaundice terjadi bila terjadi obstruksi bilier dan metastasis hati jarang

terjadi. Tes darah samar guaiac positif atau perdarahan GI akut menunjukkan perdarahan usus

halus.

Diagnosis dini pada tumor usus halus terhambat oleh keterbatasan gejala klinis dini dan spesifik.

Dengan demikian, para dokter harus memiliki kecurigaan tinggi bagi pasien yang secara

berulang ulang mengalami gejala-gejala nonspesifik dan memerlukan alat tambahan untuk

membantu diagnosis.

Page 20: Student Project a9

Pemeriksaan lab

CBC menunjukkan anemia ringan sehubungan kehilangan darah kronis. Tes fungsi hati mungkin

menunjukkan hiperbilirubinemia sehubungan obstruksi bilier. Peningkatan level transaminase

menunjukkan munculnya metastasis hati. Level antigen karsinoembryonik mungkin meningkat.

Imaging

Plain abdominal x-ray menunjukkan obstruksi usus halus parsial atau komplit. Upper GI series

dengan small-bowel followthrough menunjukkan abnormalitas. Small bowel enteroclysis studies

dilakukan dengan double contrast barium enema. Abdominal CT scan menunjukkan lokasi dan

ukuran dan munculnya metastasis ke hati.

Tes lain

Pendekatan pemeriksaan perdarahan pada neoplasma usus halus sama seperti pendekatan

diagnostik perdarahan GI bawah. Pada endoskopi atas dan bawah yang negatif, red blood cell

scan dan angiografi bisa membantu. Teknologi terbaru menggunakan capsule endoscopy dengan

pil yang memiliki video kamera kecil.

Penemuan patologi anatomi

Kebanyakan adenokarsinoma usus halus merupakan soliter, sesile (melekat pada dasarnya)

lession dan ditemukan acid mucin positif. Penemuan tipe adenokarsinoma (40%) meliputi Grade

I (well differentiated, 0-42%), grade II (moderately differentiated, 24-45%), dan grade III (poorly

differentiated, 34-42%). Dalam duodenum 15% tumor ini terletak di bagian pertama, 40% di

bagian kedua, dan 45% di duodenum distal. Sebagian besar tumor ini bersifat sporadic,

trekecuali familial adenomatous polyposis. Secara morfologi, adenokarsinoma usus halus

tumbuh dalam pola melingkar mirip sebuah popok atau sebagai sebuah masa polipoid mirip

jamur, serupa dengan kanker kolon. Sebagian besar karsinoma tumbuh di duodenum termasuk

ampula Vater.

Diagnosis banding penyakit ini meliputi neoplasma benigna usus halus, adenokarsinoma kanker

kolon, Crohn disease, kanker gaster, dan kronik gastritis.

Page 21: Student Project a9

Staging

Staging radiologi kanker menggunakan CT dan MRI. Sistem staging kanker yang digunakan saat

ini adalah TNM system. Tumor primer (T) dikategorikan berdasarkan kedalaman penetrasinya

dan keterlibatan struktur didekatnya ataupun lokasi yang jauh. Tidak ada pembagian dalam

kategori N berdasarkan jumlah node yang terlibat. Metastase hematogen ataupun peritoneal

diberi kode M1. Kanker usus halus dapat bermetastase ke organ lain, khususnya liver ataupun

permukaan peritoneal.

Staging didasarkan pada American Joint Committee on Cancer staging system.

Tumor Primer (T)

TX Tumor primer tidak dapat dideteksi

T0 Tidak ada bukti tumor primer

TIS Tumor in situ

T1 Tumor menginvasi lamina propria atau submukosa

T2 Tumor menginvasi muscularis propria

T3 Invasi tumor melalui muscularis propria ke dalam subserosa atau ke nonperitonealized

perimuscular tissue (mesentery or retroperitoneum) dengan perluasan ≤ 2cm

T4 Perforasi tumor ke visceral peritoneum atau secara langsung menginvasi organ lain

(meliputi usus kecil, mesenterium, retroperitoneum lebih dari 2 cm, serta invasi ke

pancreas)

REGIONAL LYMPH NODES (N)

NX Regional lymph node tidak dapat dideteksi

N0 Tidak ada metastase ke lymph node

N1 Metastase ke lymph node

Page 22: Student Project a9

DISTANT METASTASIS (M)

MX Metastase jauh tidak dapat dideteksi

M0 Tidak ada metastase jauh

M1 Ada metastase jauh

Manajemen

Modalitas pembedahan merupakan terapi yang penting seperti pada semua jenis keganasan

lainnya ditambah medikasi, kemoterapi dan radioterapi.

Medikasi seperti 5-fluorouracil (5-FU) yaitu Adrucil dapat dikombinasi dengan irinocetan atau

oxaliplatin. Obat lain seperti Leucovorin (Wellcovorin) dapat digunakan. Kemoterapi dan

radioterapi dapat berguna sebagai prosedur paliatif penghilang nyeri dan gejala obstruktif pada

penyakit lanjut. Pembedahan meliputi wide local excision pada lesi di distal duodenum, jejunum,

atau ileum. Palliative surgery juga diinikasikan pada obstruksi intestinal.

Prognosis

Faktor yang berkorelasi dengan survival rate meliputi umur pasien, letak tumor, stadium klinis,

dan apakah reseksi kuratif telah dilakukan. Selain itu faktor prognosis seperti margin bedah

positif, penyebaran vena ekstramural, adanya metastase ke lymph node, dan diferensiasi tumor.

Stage T N M

0 TIS N0 M0

I T1 N0 M0

  T2 N0 M0

II T3 N0 M0

  T4 N0 M0

III AnyT N1 M0

IV AnyT Any N Ml

Page 23: Student Project a9

Eksisi luas en bloc menghasilkan angka harapan hidup 5 tahun sebesar 70%. 5 tahun survival

rate setelah terdiagnosa adenokarsinoma usus halus pada stage I meliputi 65%, pada stage I

sebesar 48%, pada stage III sebesar 35%, pada stage IV sebesar 4%.

Page 24: Student Project a9

POLIP KOLON

1. DEFINISI

1.1 DEFINISI POLIP KOLON

Istilah polip kolon dalam klinik dipakai untuk menggambarkan tiap kelainan/lesi yang nampak

jelas dan menonjol di atas permukaan mukosa yang mengelilinginya (Sudoyo dkk, 2006). Namun secara

patologis polip berarti suatu massa seperti tumor yang menonjol ke dalam lumen usus (Kumar dkk,

2007).

Bentuk, ukuran, dan kontur permukaan polip dapat berbeda-beda. Ada yang bertangkai akibat

terjadi traksi pada massa disebut pedunculated polyp, ada juga polip yang memiliki dasar lebar dan tidak

bertangkai disebut sessile polyp. Secara umum gambaran makroskopis beberapa jenis polip dapat

diketahui, namun untuk mengetahui secara pasti jenis polip dibutuhkan penerapan ilmu histologi. Jenis-

jenis polip berbeda secara klinis dan berpotensi untuk menjadi ganas. Termasuk polip kolon-rektum yang

paling sering ditemukan di usus besar.

Mengenal polip pada usus besar lebih jauh lagi, mereka terbagi menjadi polip non-epitelial dan

polip epitelial. Polip non-epitelial berasal dari jaringan limfoid, otot halus, lemak dan saraf. Sedangkan

polip epitelial merupakan polip yang sering kali ditemukan dan berasal dari jaringan epitel. Secara umum

polip epitel terbagi menjadi 4 golongan : polip adenomatosa, hamartoma, inflammatory polyps (polip

yang disebabkan oleh peradangan), dan polip hiperplastik. Untuk lebih lanjut akan dibahas lebih

terperinci mengenai adenomatous polyp/polip adenomatosa yang terdapat di kolon, sebab golongan ini

tergolong polip neoplastik yang memungkinkan untuk berkembang menjadi suatu keganasan (Sudoyo

dkk, 2006).

1.2 DEFINISI POLIP ADENOMATOSA/ADENOMA KOLON

Polip adenomatosa atau yang dikenal dengan sebutan adenoma, merupakan suatu neoplasma

jinak yang berasal dari epitel mukosa. Polip semacam ini biasanya tersusun atas sel-sel kripta yang

bermigrasi ke permukaan dan terakumulasi berlebihan menuju lumen (Sudoyo dkk, 2006).

Semua lesi adenomatosa dapat terjadi akibat proliferasi dan displasia epitel, yang mungkin

bersifat ringan sampai sedemikian berat, sehingga mencerminkan transformasi dari jinak menjadi

karsinoma. Polip adenomatosa dibagi menjadi tiga subtipe berdasarkan struktur epitelnya :

Page 25: Student Project a9

1.2.1 Adenoma Tubular

Adenoma tipe ini dapat timbul dimana saja di kolon, tetapi sekitar separuh kasus ditemukan

di rektosigmoid, dengan proporsi meningkat seiring usia. Sekitar separuh kasus adenoma

timbul tunggal, sisanya terbentuk dua atau lebih lesi yang tersebar acak. Adenoma terkecil

bersifat sessile; lesi yang berukuran 0,3 cm dapat diidentifikasi dengan endoskopi. Diantara

adenoma tubular yang garis tengahnya hingga 2,5 cm, sebagian besar memiliki tangkai

ramping dengan panjang 1-2 cm dan kepala mirip buah frambus. Secara histologis tangkai

terbungkus oleh mukosa kolon normal tetapi kepala terdiri atas epitel neoplastik, membentuk

kelenjar bercabang, yang dilapisi oleh sel jangkung, hiperkromatik, sedikita acak, dan

mungkin mengeluarkan musin. Pada sebagian kasus terdapat fokus kecil arsitektur vilosa.

Pada lesi yang jelas jinak, kelenjar bercabang dipisahkan oleh lamina propria, dan derajat

displasia atau atipia sitologiknya ringan. Namun semua tingkatan displasia dapat ditemukan,

berkisar hingga kanker yang terbatas di mukosa (karsinoma intramukosa) atau karsinoma

invasif yang meluas ke dalam submukosa tangkai. Yang sering ditemukan di setiap adenoma

adalah erosi superfisial epitel akibat trauma mekanis.

1.2.2 Adenoma Vilosa

Adenoma tipe vilosa merupakan polip epitel yang lebih besar dan lebih merugikan.

Cenderung timbul pada usia lanjut, terutama di rektum dan rektosigmoid, walaupun dapat

ditemukan dimana saja. Lesi umumnya berupa masa tidak bertangkai (sessile), bergaris

tengah hingga 10 cm, seperti kembang kol yang menonjol 1-3 cm di atas mukosa normal

disekitarnya. Histologisnya berupa tonjolan mukosa dan viliformis mirip daun pakis yang

dilapisi oleh epitel kolumnar displastik, kadang-kadang sangat tidak teratur, dan kadang-

kadang bertumpuk-tumpuk. Semua tingkatan displasia dapat ditemukan, dan karsinoma

invasif ditemukan pada hampir 40% lesi, yang frekuensinya berkaitan dengan ukuran polip.

1.2.3 Adenoma Tubulovilosa

Tipe ini memperlihatkan campuran daerah tubular dan vilosa. Adenoma ini juga merupakan

bentuk intermediat antara lesi tubular dan vilosa dalam hal frekuensi memiliki tangkai atau

tidak bertangkai, ukuran, derajat displasia, dan risiko mengandung karsinoma intramukosa

atau invasif (Kumar dkk, 2007).

Page 26: Student Project a9

2. EPIDEMIOLOGI

Karena insidensi adenoma di usus halus sangat rendah, pembahasan difokuskan pada adenoma

yang timbul pada kolon. Kasus adenoma kolon tidak mengenal perbedaan jenis kelamin. Baik laki-laki

dan perempuan terkena sama seringnya untuk kasus tersebut (Kumar dkk, 2007).

Di Amerika Serikat ditemukan sekurangnya satu kasus adenoma yang terjadi pada sebagian

populasi dewasa (Rubin, 2001). Secara umum jika ditinjau dari rentang usia, prevalensi adenoma kolon

adalah 20% hingga 30% terjadi pada usia kurang dari 40 tahun, kemudian meningkat 40% hingga 50%

setelah usia 60 tahun (Kumar dkk, 2007). Tidak mengherankan apabila kasus adenoma kolon di Amerika

Serikat akan meningkat sebesar dua pertiga dari biasanya pada orang tua yang berusia lebih dari 65 tahun

(Rubin, 2001).

Adenoma kolon memiliki prevalensi yang tinggi di negara-negara barat. Telah diidentifikasi

bahwa faktor diet memberikan kontribusi terhadap perkembangan adenoma. Temuan tersebut berasal dari

hasil identifikasi pada dua populasi yang memiliki kesamaan dari segi lingkungan dan sama-sama

berisiko untuk mengalami polip. Selain itu masih banyak lagi faktor lain yang memberikan kontribusi

terhadap kejadian polip adenoma yang juga mempengaruhi persebaran penyakit tersebut (Rubin, 2001).

Adenoma sporadic memiliki predisposisi familial yang menyebabkan peningkatan risiko empat

kali lipat untuk adenoma pada keluarga dekat dan peningkatan empat kali lipat risiko karsinoma

kolorektum pada semua pasien dengan adenoma (Kumar dkk, 2007). Di Indonesia sendiri kasus adenoma

yang sifatnya familial cukup jarang ditemukan, khusunya poliposis kolon yang diturunkan sesuai dengan

hukum Mendel. Bila salah satu dari orang tua menderita poliposis, kira-kira 50% dari keturunannya akan

menderita penyakit ini (Sudoyo dkk, 2006).

3. ETIOLOGI DAN PATHOGENESIS

Instabilitas kromosom (Cromosomal Instability atau CIN) yang merupakan hasil perubahan-

perubahan besar pada kromosom seperti translokasi, amplifikasi, delesi dan berbagai bentuk kehilangan

alel lainnya disertai dengan hilangnya heterozigisitas (LOH) pada DNA yang berdekatan dengan lokasi

kelainan-kelainan tersebut, menyebabkan akumulasi bertahap mutasi di serangkaian onkogen dan gen

penekan tumor (Sudoyo dkk, 2006).

Pada awalnya terjadi proliferasi epitel kolon lokal. Hal ini diikuti dengan pembentukan adenoma

kecil yang secara progresif membesar, menjadi lebih displastik, dan hingga pada akhirnya lesi jinak ini

dapat berkembang menjadi kanker invasif.

Page 27: Student Project a9

Proses genetik yang berperan dalam jalur ini adalah :

1. Hilangnya Fungsi Gen Penekan Tumor Adenomatous Poliposis Coli (APC)

Hal ini diperkirakan merupakan kejadian paling awal dalam pembentukan adenoma. Misalnya

pada familial adenomatous polyposis/sindrom poliposis (FAP), mutasi sel germinativum di gen

APC pada kromosom 5q21 menyebabkan keberadaan APC beserta fungsinya lenyap, sehingga di

kolon dapat terbentuk ratusan adenoma yang bisa berkembang menjadi kanker. Dimana diagnosis

hanya membutuhkan jumlah minimum 100 polip pada pasien. Sebagian besar polip adalah

adenoma tubular, terkadang polip juga memperlihatkan gambaran vilosa. FAP biasanya akan

nampak pada masa dewasa muda atau awal dewasa.

Gen APC yang sering hilang pada neoplasia kolon, menimbulkan efek antiproliferasi melalui cara

yang tidak lazim. Ini merupakan suatu protein sitoplasma yang fungsi utamanya mengatur kadar

intrasel β-katenin, suatu protein yang memiliki banyak fungsi. Di satu pihak β-katenin berikatan

dengan bagian sitoplasma dari E-kaderin, suatu protein permukaan yang mempertahankan

perlekatan antarsel. Di pihak lain, β-katenin dapat mengalami perpindahan ke inti sel dan

mengaktifkan proliferasi sel.

β-katenin adalah suatu komponen penting dari apa yang disebut sebagai jalur sinyal WNT. WNT

adalah suatu faktor larut yang dapat memicu proliferasi sel. WNT melakukannya dengan

berikatan pada reseptornya dan menyalurkan sinyal yang mencegah penguraian β-katenin. β-

katenin kemudian dapat masuk ke dalam inti sel dan bekerja sebagai activator transkripsi bersama

dengan molekul lain yang disebut TcF. Pada sel yang tenang, yang tidak terpajan WNT, β-katenin

di sitoplasma terurai oleh kompleks destruksi, yang APC-nya merupakan salah satu bagian

integral. Pada sel normal dalam keadaan istirahat, APC mencegah sinyal β-katenin dengan

mendorong penguraian zat tersebut. Dengan hilangnya APC, penguraian β-katenin terhambat dan

respon terhadap sinyal WNT terus diaktifkan. Hal ini menyebabkan terjadinya transkripsi gen

yang mendorong pertumbuhan, seperti siklin D1 dan MYC.

APC berperilaku sebagai suatu gen penekan tumor. Orang yang lahir dengan satu alel mutan

membentuk ratusan sampai ribuan polip adenomatosa di kolon pada masa remaja atau usia 20-an

tahun. Satu atau lebih polip, hampir selalu berubah ganas. Seperti gen penekan tumor lainnya,

kedua salinan gen APC harus lenyap, agar fungsi APC dapat kembali sebelum adenoma dapat

terbentuk.

Page 28: Student Project a9

2. Mutasi pada proto onkogen selular K-RAS

Sekitar 30% dari semua tumor manusia mengandung versi mutan gen RAS. Pada beberapa tumor

seperti adenoma kolon dan kanker kolon, insiden mutasi RAS bahkan lebih tinggi. Mutasi gen

RAS adalah kelainan onkogenik yang paling umum pada tumor manusia.

Famili protein RAS berikatan dengan nukleotida guanosin (guanosin trifosfat [GTP] dan

guanosin difosfat [GDP]). Protein RAS normal berpindah bolak-balik antara keadaan tereksitasi

(menyalurkan sinyal) dan keadaan tenang (inaktif). Pada keadaan inaktif, protein RAS berikatan

dengan GDP. Saat sel terangsang oleh factor pertumbuhan maka RAS inaktif akan aktif dengan

menukar GDP untuk GTP. RAS aktif kemudian mengaktifkan berbagai regulator proliferasi di

bagian hilir, termasuk jenjang mitogenik RAF-MAP kinase, yang membanjiri inti sel dengan

sinyal untuk proliferasi sel. Namun keadaan tereksitasi penyalur sinyal pada protein RAS normal

berlangsung singkat karena aktivitas intrinsic guanosin trifosfatase (GTPase) menghidrolisis GTP

menjadi GDP, membebaskan satu gugus fosfat, dan mengembalikan protein ke keadaan basalnya

yang inaktif. Aktivasi GTPase pada protein RAS aktif diperkuat secara dramatis oleh suatu famili

protein pengaktif-GTPase (GAPs). GAPs berfungsi sebagai rem molecular yang mencegah

pengaktifan RAS tak terkontrol dengan mendorong hidrolisis GTP menjadi GDP. Protein RAS

mutan dapat berikatan dengan GAPs, tetapi aktivasi GTPase-nya tidak mengalami penguatan.

Oleh karena itu, RAS mutan terperangkap dalam bentuk aktif (terikat dengan GTP), dan sel

didorong untuk percaya bahwa proliferasi harus terus berlanjut. Dapat disimpulkan bahwa mutasi

pada protein RAS akan sama dengan akibat mutasi di GAPs yang gagal menahan protein RAS

normal (Kumar dkk, 2007).

3. Transisi dari adenoma menjadi karsinoma merupakan akibat dari mutasi gen supresor

tumor p53 (Sudoyo dkk, 2006).

4. MANIFESTASI KLINIS

Bila polipnya kecil, sering tanpa keluhan. Apabila sampai terjadi perdarahan akan

muncul gejala anemia (anemia mikrositik), hematokezia dan terkadang nyeri di perut. Bila polip

sampai menumbulkan obstruksi, maka akan terjadi perubahan defekasi (Sudoyo dkk, 2006).

Villous adenoma paling sering menimbulkan keluhan karena sering terjadi pendarahan rektum.

Bila vilousnya agak ke distal dia bisa mengeluarkan sekret yang berisi sejumlah besar materi

mucoid yang kaya protein dan potasium, sehingga mengakibatkan penderita mengalami

hipokalemia dan hipoproteinemia (Kumar dkk, 2007).

Page 29: Student Project a9

5. FAKTOR RISIKO

Ada beberapa factor yang berpengaruh terhadap munculnya polip adenoma, diantaranya :

5.1 Faktor Lingkungan

1. Diet

Asupan makanan yang miskin akan serat telah diketahui sebagai factor penyebab

neoplasma kolon termasuk polip adenoma. Akan tetapi, laporan terkini yang berasal dari

National Research Council Committee on Diet, Nutrition, and Cancer menyatakan bahwa

tidak ada bukti ilmiah yang mengindikasikan bahwa diet yang cukup akan serat dapat

menjadi faktor protektif melawan neoplasma pada manusia.

Disamping itu peningkatan jenis konsumsi lemak hewani yang berasal dari daging merah

disinyalir memiliki keterkaitan terhadap neoplasma di kolon, dibandingkan dengan yang

tidak.

Meskipun anti-oksidan seperti vitamin A, E, dan C dianggap dapat menurunkan risiko

kejadian neoplasia dibandingkan dengan tidak mengkonsumsinya, namun sebuah

penelitian prospektif gagal membuktikan penurunan insiden polip pada kelompok yang

mendapat suplemen vitamin tersebut

2. Usia

Umur seseorang merupakan faktor risiko penting dalam kasus neoplasma pada kolon.

Seseorang akan memiliki risiko yang kecil untuk mengalami polip adenoma pada usia di

bawah 40 tahun, tapi akan meningkat risikonya pada usia 50 tahun. Lalu risiko akan

meningkat menjadi dua kali lipat dalam setiap dekadenya hingga mencapai usia

maksimal 75 tahun.

5.2 Faktor Predisposisi

1. Sindrom poliposis herediter

Kelainan genetik ini sangat terkait dengan neoplasma yang terjadi di bagian kolon.

Dimana lesi pada kelainan ini memiliki keterkaitan yang lebih tinggi terhadap polip

adenoma untuk menjadi kanker kolon. Bila kelainan seperti ini ada pada salah satu orang

tua, maka akan meningkatkan risiko pada keturunannya mendapat polip pada kolon

(Rubin, 2001).

Page 30: Student Project a9

6. DIAGNOSIS

Diagnosis dapat ditentukan lewat beberapa hal berikut :

1. Manifestasi Klinis

Dengan memperhatikan gejala dan tanda seperti : anemia (anemia mikrositik), hematokezia, nyeri

di perut, dan perubahan defekasi bila polip sampai menimbulkan obstruksi.

2. Laboratorium

Umumnya pemeriksaan laboratorium pada pasien adenoma kolon memberikan hasil normal.

Perdarahan intermitten dan polip yang besar dapat dideteksi melalui darah samar feses atau

anemia defisiensi besi.

3. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan enema barium kontras ganda hanya mampu mendeteksi 50% polip kolon dengan

spesifisitas 85%. Bagian rekto sigmoid sering sulit untuk divisualisasi. Oleh karena itu

pemeriksaan rektosigmoidoskopi perlu dilakukan. Bilamana ada lesi yang mencurigakan, maka

pemeriksaan kolonoskopi diperlukan untuk biopsi. Pemeriksaan lumen barium dengan teknik

kontras ganda merupakan alternative lain untuk kolonoskopi namun pemeriksaan ini sering tidak

bisa mendeteksi lesi berukuran kecil. Enema barium cukup efektif untuk memeriksa bagian kolon

dibalik striktur yang tak terjangkau dengan pemeriksaan kolonoskopi.

4. Kolonoskopi

Kolonoskopi merupakan prosedur terbaik pada pasien yang diperkirakan ada polip kolon.

Kolonoskopi mempunyai sensitivitas (95%) dan spesifisitas (99%) paling tinggi dibandingkan

dengan modalitas lain untuk mendeteksi polip adenomatosa.

Berhubungan dengan kemunkinan keganasan, tiap polip perlu diangkat dan dikirim ke bagian

patologi anatomi untuk pemeriksaan, termasuk polip yang berukuran kecil. Oleh karena itu

dibutuhkan pengerjaan polipektomi endoskopi dalam manajemen kasus polip adenoma.

Sejak tahun tujuh puluhan, polipektomi secara endoskopik (kolonoskopi) dapat dikerjakan

dengan koagulasi-elektris. Prosedur pengerjaan polipektomi cukup aman dan tidak sulit

dikerjakan oleh seorang ahli endoskopi yang terlatih dan berpengalaman. Polipektomi juga dapat

digunakan sebagai alat terapi, selain untuk mendiagnosis. Sebaiknya polip tidak dibiopsi karena

spesimennya kurang representatif.

Page 31: Student Project a9

5. Evaluasi Histologi

Adenom diklasifikasikan sesuai dengan gambaran histology yang dominan. Paling sering adalah

adenoma tubular (85%), adenoma tubulovilosum (10%), dan adenoma serata (1%). Temuan sel

atipik pada adenoma dikelompokkan menjadi ringan, sedang, dan berat. Gambaran atipik berat

menunjukkan adanya focus karsinomatosus namun belum menyentuh membrane basalis.

Bilamana sel ganas menembus membrane basalis tapi tidak melewati muskularis mukosa disebut

karsinoma intramukosa. Secara umum, risiko displasi berat atau adenokarsinoma berhubungan

dengan ukuran polip dan dominasi jenis vilosum (Sudoyo dkk, 2006).

7. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding dari adenoma atau polip adenomatosa adalah beberapa polip nonneoplastik

seperti polip hiperplastik, polip hamartomatosa (polip juvenilis dan polip Peutz-Jeghers), polip inflamasi,

polip limfoid dan lesi epitel neoplastik ganas seperti adenokarsinoma kolon.

8. MANAJEMEN

8.1 POLIPEKTOMI

Sebelum polipektomi, usus harus dibersihkan dengan baik. Usus yang tidak bersih biasanya

banyak mengandung gas-gas seperti hydrogen dan metan yang dapat meledak bila terkena aliran

listrik. Premedikasi biasanya tidak diperlukan, tapi kadang-kadang dibutuhkan diazepam atau

buskopan intravena. Mengawali polipektomi, endoskop dimasukkan sampai ke dekat polip yang akan

dikeluarkan. Bila lebih dari satu polip yang akan diangkat dalam satu tahap, maka pengerjaan dimulai

dari polip yang letaknya lebih proksimal. Kolon selanjutnya dikembangkan dengan suatu inert gas

seperti CO2 yang tidak mudah terbakar untuk menghindari eksplosi gas-gas yang ada di usus besar.

Dengan menggunakan metal snare polip ditangkap dan dijerat pada tempat yang tidak terlalu dekat

dasarnya karena bahaya heat necrosis pada dinding usus, akan tetapi juga tidak boleh terlalu tinggi dan

perlu cukup ke bawah supaya sebanyak mungkin dapat terpotong tangkainya. Kemudian dengan aliran

listrik polip dapat dipotong.

Cara ini efektif untuk mengangkat polip bertangkai besar dengan diameter 2 cm, tapi tidak

untuk yang berukuran lebih besar dari 2 cm sampai 4 cm karena sulit ditangkap dengan snare. Untuk

mengangkatnya dapat menggunakan cara polipektomi secara piece meal (diangkat sedikit demi

sedikit) bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi. Bisa juga menggunakan

cara bertahap, untuk mengeluarkan polip yang sudah dipotong dapat dilakukan dengan penyedotan

pada ujung endoskop. Kelemahan dari cara ini adalah sering kali polip yang akan diangkat terlepas

Page 32: Student Project a9

sehingga harus mencarinya lagi. Jadi, dibutuhkan retrieval forceps atau snare tanpa aliran listrik untuk

menangkap polip. Suatu adenoma villosa yang lebih besar dari 2 cm lebih baik tidak dikeluarkan

secara polipektomi endoskopik, tetapi dikeluarkan dengan cara reseksi oleh ahli bedah.

Komplikasi yang bisa terjadi pada polipektomi endoskopik adalah perdarahan, perforasi,

reflex vago-vagal, dan eksplosi bila sebelumnya usus tidak dibersihkan. Komplikasi berupa perdarahan

ataupun perforasi akan berkurang bila memperhatikan semua petunjuk-petunjuk teknis.

Bila polip ternyata ditemukan mengganas, maka dibutuhkan reseksi. Bila hanya in situ tidak

perlu melakukan hal tersebut, hanya membutuhkan control endoskopi secara teratur. Pada adenoma

walaupu tidak ganas, diperlukan juga control endoskopi, namun tidak perlu dilakukan secara teratur.

Cukup sekali dalam setahun. Polipektomi memiliki banyak keuntungan antara lain :

1. mencegah perdarahan

2. mencegah terjadinya suatu keganasan, dan

3. tidak jarang dapat digunakan sebagai alat bantu diagnosis juga pengobatan dini karsinoma kolon

atau rectum (Sudoyo dkk, 2006).

8.2 OPERASI

Indikasi untuk melakukan hemikolektomi adalah bila terdapat tumor di caecum, kolon

asenden, dan kolon transfersum. Kemudian untuk lesi di fleksura lienalis dan kolon desenden diatasi

dengan hemikolektomi kiri.

Tumor di sigmoid dan rectum proksimal dapat diangkat dengan tindakan LAR (Low

Anterior Resection). Angka mortalitas akibat operasi sekitar 5%, tetapi bila dikerjakan secara

emergensi maka angka mortalitas akan semakin tinggi (Sudoyo dkk, 2006).

9. PROGNOSIS

Risiko kanker berkaitan secara langsung dengan jumlah adenoma sehingga pasien dengan

sindrom poliposis familial, hampir pasti mengidap kanker. Pasien yang mengikuti program secara teratur

mencari ada tidaknya adenoma, dan mengangkat semua adenoma yang teridentifikasi, dapat mengurangi

risiko mengalami kanker kolorektum (Kumar dkk, 2007).

Page 33: Student Project a9

ANAL CANAL CARCINOMA

Epidemiology

Insiden tiap tahun dari anal canal carcinoma di United State adalah 1,3 per 100.000 orang pada

pria berkulit putih dan 1,8 per 100.000 orang pada wanita berkulit putih. Resiko dari anal canal

carcinoma meningkat. Umur untuk diagnosis yaitu 62 tahun, tetapi banyak kasus yang terlihat

pada penderita HIV yang muda. Pada wanita biasanya terdapat lesi di bagian atas dentate line.

Pada pria terlihat bagian distal dari dentate line. Insiden anal canal tertinggi pada populasi

perkotaan daripada populasi pedesaan.

Etiologi dan Faktor Resiko

Insiden kanker anal canal dan lesi (seperti neoplasia intraepitel anal) meningkat pada penderita

HIV-positif. Resiko pada orang dengan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah

1:1000. Meningkatnya resiko ditemukan dalam pria homoseksual muda yang tidak peduli

terhadap status HIV. Aktivitas seksual anal ini dikenal sebagai faktor etiologi. Hubungan Orang

dengan positif HIV samadengan immunosuppresi kronik berhubungan dengan meningkatnya

resiko kanker anal canal. HPV merupakan agen transmisi secara seksual yang juga terlibat.

Subtipenya HPV 16, 18, 31, 33, dan 35 berhubungan dengan keganasan dan dysplasia. Kondisi

premalignan dari cervical intraepithelial neoplasia (CIN) berhubungan dengan infeksi HPV juga

terjadi dengan infeksi HPV yang melibatkan anus (anal squamous intraepithelial lesions

[ASILs]). Dalam CIN, ASILs dapan menjadi tingkat rendah ataupun tingkat tinggi secara

morfologi.

HPV-6 dan HPV-11 mempunyai hubungan dengan benign genital condylomata. Agen infeksi

lain juga berhubungan dengan kanker anal, seperti sfilis dan gonore pada pria serta infeksi

klamidia dan herpes simplex tipe 2 pada pria dan wanita. Ini terlihat bahwa kanker dari traktus

genitalia merupakan bagian factor etiologi dari kanker anal. Sebuah hubungan antara kanker anal

dan partner seksual yang meningkat terlihat pada wanita, dan pasien kanker anal mempunyai

diagnosis sebelumnya yaitu CIN.

Merokok dan kanker anal mempunyai hubungan dalam beberapa studi. Kanker anal canal

berkorelasi positif dengan jumlah rokok yang dihisap per hari dan durasi dari merokok.

Kemungkinan adanya kondisi jinak yang mengarah pada perkembangan kanker anal. Kerusakan

Page 34: Student Project a9

molekul juga merupakan bagian penting dalam penyebab kanker anal canal yaitu kerusakan

protein p53. Overekspresi dari c-myconcogene juga mempengaruhi di dalam pathogenesis dari

kanker sel skuamosa daerah anal.

Faktor resiko lainnya adalah berumur lebih dari 50 tahun, kemerahan, pembengkakan, dan luka-

luka anal, serta mempunyai anal fistula.

Riwayat Alamiah

Kanker anal merupakan penyakit locoregional, yaitu meluas sampai mengelilingi jaringan dan

penyebaran limpa sampai di nodul inguinal dan pelvic. Metastase jauh lewat hematogen

kejadiannnya jarang terjadi. Kanker anal canal 75% berupa lesi dan hanya 25% berupa tumor

pada margin anal. Penyebaran lokal dari kanker ini berupa pembesaran spincter anal atau

perluasan jaringan lunak. Penyebaran juga terjadi sampai ke rectum dan perianal. Invasi di

vaginal septum sering terjadi daripada invasi di kelenjar prostate karena pada pria terdapat

Denonvillier's fascia yang bekerja sebagai barrier.

Penyebaran secara limpa tergantung dari lokasi anatomi tumor primernya. Tumor yang timbul

dari distal ke dentate line mengalir ke nodul inguinal (superficial atau dalam) dan diatas dentate

line mengalir ke system iliaka internal dan dengan banyak lesi proksimal mengalir ke mesentrik

inferior. Metastase jauh terjadi ke beberapa organ, tapi liver dan paru kebanyakan yang terlibat.

Metastase jauh jarang terjadi karena kanker anal canal terjadi melalui proses locoregional.

Resiko metastase jauh mengalami peningkatan tergantung dari jumlah dari nodul regional yang

terlibat.

Morfologi :

Makroskopis:

Awalnya ulkusnya kecil dan berbatas jelas,ketebalannya irregular, terjadi kronik

dermatitis.berkembang menjadi cancer:

Ulkusnya besar dan luas

Tidak berbatas tegas

Sel eosinophiliknya pucat

Page 35: Student Project a9

Terdapat infiltrate limfosit pada otot sphincher

Presentasi Klinis dan Diagnosis

Kebanyakan pasien dengan kanker anal pertama terlihat adanya pendarahan rectum. Kejadian ini

terjadi pada 50% pasien, 30% ada sensasi massa rectal.

Orang dengan kanker anal sering mengalami pendarahan sewaktu buang a ir besar, rasa sakit,

dan kadang-kadang gatal seputar dubur. Sekitar 25% dari orang dengan kanker anal tidak

mempunyai gejala. Dalam keadaan ini, kanker ditemukan hanya selama pemeriksaan rutin.

Pada interval 4 – 6 bulan terjadi onset dari keluhan dan diagnosis (50% dari pasien). Evaluasi

pada setiap pasien dengan lesi anal canal disarankan. Evaluasi ini seperti DRE, palpasi nodul

inguinal, pemeriksaan anoscopic dengan biopsy lesi, termasuk pembesaran kelenjar limfe yang

mungkin meyebabkan tumor atau hyperplasia yang aktif kembali terjadi pada 50% nodul yang

teraba. CT scan dan MRI digunakan untuk menilai nodul pelvic dan inguinofemoral.

Pemeriksaan USG rectum merupakan pemeriksaan akurat yang digunakan untuk menilai

kedalaman penetrasi tumor sampai dinding anal. Ini juga melayani visualisasi nodus limfe lokal.

Ct sacan abdomen dan pelvic dan radioghrapi dada disarankan untuk menilai panyakit

locoregional dan metastase jauh. PET scan disarankan juga untuk staging. Test HIV juga

disarankan pada pasian dengan factor resiko seperti riwayat seksual dan riwayat penyalahgunaan

obat.

Tes-tes yang memeriksa rectum dan anus digunakan untuk mendeteksi dan mendiagnosa kanker

anal.

Tes-tes dan prosedur-prosedur berikut mungkin digunakan:

Pemeriksaan fisik dan sejarah: Pemeriksaan dari tubuh untuk memeriksa tanda-tanda

umum dari kesehatan, termasuk memeriksa tanda-tanda dari penyakit, seperti gumpalan-

gumpalan atau apa saja yang terlihat tidak biasa. Sejarah dari kebiasaan-kebiasaan

kesehatan pasien dan penyakit-penyakit dan perawatan-perawatan yang lalu akan juga

diambil.

Page 36: Student Project a9

Digital rectal examination (DRE): Pemeriksaan dari anus dan rectum. Dokter atau

suster memasukan jari tangan yang bersarung tangan dan dilumasi kedalam bagian bawah

dari rectum untuk merasakan gumpalan-gumpalan atau apa saja yang nampak tidak biasa.

Anoscopy: Pemeriksaan dari anus dan rectum bagian bawah menggunakan tabung yang

pendek dan diterangi yang disebut anoscope.

Proctoscopy: Pemeriksaan dari rectum menggunakan tabung yang pendek dan diterangi

yang disebut proctoscope.

Endo-anal atau endorectal ultrasound: Prosedur dimana ultrasound transducer (probe)

dimasukan kedalam anus atau rectum dan digunakan untuk memantulkan gelombang-

gelombang suara yang bertenaga tinggi (ultrasound) dari jaringan-jaringan internal atau

organ-organ dan membuat gema-gema. Gema-gema (echoes) membentuk gambaran dari

jaringan-jaringan tubuh yang disebut sonogram.

Biopsi: Pengangkatan dari sel-sel atau jaringan-jaringan sehingga mereka dapat dilihat

dibawah mikroskop oleh pathologist untuk memeriksa tanda-tanda dari kanker. Jika area

yang abnormal terlihat sewaktu anoscopy, biopsi mungki dilakukan pada saat itu.

Page 37: Student Project a9

RT=radioterapi; 5-FU=5-fluorouracil

Page 38: Student Project a9

DIAGNOSIS KERJA

Komponen penting dalam evaluasi

o Riwayat

o Pemeriksaan fisik

Nodul limfe regional

Organ sekitarnya yang terinvasi langsung

Daerah anogenital untuk keganasan berulang

o Proctoscopy

o Bopsi tumor primer

o FNAB atau eksisi dari pembesaran nodul inguinal

o Radioghrapi dada

o CT abdomen dan pelvis

o Kimia ginjal dan hati

o CBC

o Uji antibody HIV, jika ada faktor resiko

Penunjang lainnya

Colonoscopy atau dengan kontras barium enema (untuk menyingkirkan

sumber lain dari pendarahan traktus genitalia bawah)

Bipedal lymphangioghrapy

STAGING

Staging dari kanker anal canal berdasarkan pada American Joint Committee on Cancer (AJCC)

tumor-node-metastasis (TNM) staging system. Klasifikasi TNM untuk tumor berdasarkan pada

temuan klinis atau histopatologi atau keduanya dengan hasil dari radiograpi.

PROGNOSIS

Kombinasi radiasi dengan kemoterapi, atau radiasi dengan pembedahan, menyembuhkan banyak

kanker anal, dengan 70% atau lebih banyak orang yang hidup terus lebih dari 5 tahun.

Page 39: Student Project a9

Pembedahan yang lebih menyeluruh kadang-kadang diperlukan jika hasil peninjauan biopsi yang

dilakukan setelah pengobatan pertama menunjukkan kambuhnya kanker.

Prognosis (kesempatan penyembuhan) tergantung pada yang berikut:

Ukuran dari tumor.

Dimana tumor berada pada anus.

Apakah kanker telah menyebar ke nodul-nodul limfa.

Page 40: Student Project a9

DAFTAR PUSTAKA

Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati. Buku Ajar Penyakit Dalam Edisi IV Jilid I. Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006. Jakarta Pusat. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 7 Volume 1

Bruce Furie, MD, Peter A. Cassileth, MD, Michael B. Atkins, MD, Robert J. Mayer, MD. 2003. Clinical Hematology and Oncology Presentation, Diagnosis, and Treatment. Penerbit Churchill Livingstone. Philadelphia, Pensylvania, USA

Casciato DA, (ed). 2004. Manual of Clinical Oncology 5th ed. Lippincott Willi ams & Wilkins: USA.p 201

Chen SC, Yen ZS, Wang HP.dkk. Ultrasonography in Diagnosing Colorectal Cancers in Patiens Presenting with Abdominal Distention. Medical Journal of Australia. (online). 2006 jun 19; 184(12):614-6, (www.pubmed.com, diakses 13 September 2009).

Devita VT, Hellman S, Rosenberg SA. 2001. Cancer Principles & Practice of Oncology 6th ed. Lippincott Williams & Wilkins. USA.

Emanuel Rubin. 2001. Essential Pathology Third Edition. Penerbit Lippincott Williams & Wilkins Philadelphia, Pensylvania, USA

Moayyedi P, Achkar E. Does fecal occult blood testing really reduce mortality? A reanalysis of systematic review data. Am J Gastroenterol. (online). 2006 Feb; 101(2): 380-4, (www.pubmed.com, diakses 13 September 2009).

Stewart SL, Wike JM, Kato I, Lewis DR, Michaud F. a population based study of colorectal cancer histology in United States 1998-2001. cancer, (online)2006; 107(5 suppl): American Cancer Society, (www.pubmed.com, diakses 13 September 2009).

Syah E. 2002. Karsinoma Rekti. referat sub bagian bedah digestif: jakarta.

Soeripto et al. Gastro-intestinal Cancer in Indonesia. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention, (Online), 2003; Vol. 4, No. 4, (http://www.apocp.org/ cancer_download/Vol4_No4/Soeripto.pdf, diakses 13 September 2009).

Semmens JB et al. A Population Based Study of the Incidence, Mortality and Outcomees in Patient Following Surgery for Colorectal Cancer in Western Australia. Aust N Z J Surg, (Online), 2000 Jan; 70(1):11-8, (www.pubmed.com, diakses 13 September 2009).

Swartz MH. 1995. buku ajar Diagnostik Fisik. Jakarta:EGC. p.257-258

Page 41: Student Project a9

Vinay Kumar, MD, FRCPath, Ramzi S. Cotran, MD, Stanley L. Robbins, MD. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 7. EGC. Jakarta