Struktur Anatomi Kayu: Struktur makroskopik dan ... · Bidang perforasi sederhana (ciri 13). - Sama...
-
Upload
phungkhanh -
Category
Documents
-
view
267 -
download
0
Transcript of Struktur Anatomi Kayu: Struktur makroskopik dan ... · Bidang perforasi sederhana (ciri 13). - Sama...
51
HASIL DAN PEMBAHASAN
Struktur Anatomi Kayu: Struktur makroskopik dan mikroskopik kayu
Struktur makroskopik dan mikroskopik kayu JUN dan kayu jati
konvensional umur 4 dan 5 tahun disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Struktur anatomi makro dan mikro kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun
No. Struktur Anatomi
Uraian JUN Jati Konvensional
Struktur mikro Struktur Makro Struktur mikro Struktur Makro
1. Warna - Warna kayu gubal putih abu kekuningan; terjadi perwarnaan coklat keemasan di bagian dalam dengan luasan 21,80% (Rata-rata dari bagian pangkal dan ujung, pada JUN umur 4 dan 5 th).
- Warna kayu gubal putih abu kekuningan, belum ada pewarnaan.
2. Lingkar tumbuh
Batas lingkar tumbuh tidak jelas (ciri 2).
Akibat riap tumbuh tidak jelas dan pola pembuluh tata baur, corak menjadi kurang menarik. Namun ada corak selang-seling antara bagian yang gelap dan terang pada bidang melintang serta ada gambar yang menarik akibat pewarnaan dan mata kayu sehat pada bidang longitudinal
Batas lingkar tumbuh jelas (ciri 1)
Adanya riap tumbuh yang jelas dan pola pembuluh tata lingkar menjadikan kayu memiliki corak yang sangat menarik, batas bagian yang kecoklatan (kayu akhir) dan bagian yang putih (kayu awal) sangat jelas.
3. Pembuluh
Porositas baur (ciri).
Porositas tata lingkar (ciri 3).
Pengelompokan pembuluh hampir seluruhnya soliter, terutama pada kayu akhir. Pada daerah yang diperkirakan kayu awal ditemui pembuluh yang berganda.
Pengelompokan pembuluh ganda radial 2-3.
Bidang perforasi sederhana (ciri 13).
- Sama -
Ceruk antar pembuluh selang-seling.Ukuran apperture (mulut) ceruk 3,19 μm (ciri 22 dan 24).
- Ceruk antar pembuluh selang-seling (ciri 22). Ukuran mulut ceruk antar pembuluh 2,99 μm (ciri 22 dan 24).
-
52
No. Struktur Anatomi
Uraian JUN Jati Konvensional
Struktur mikro Struktur Makro Struktur mikro Struktur Makro
Pembuluh Percerukan pembuluh dan jari-jari dengan halaman yang jelas, serupa dalam ukuran dan bentuk dengan ceruk antar pembuluh (ciri 30).
- Sama -
Pembuluh Diameter pembuluh 196,37 - 203,06 μm; frekuensi 7/mm2; panjang pembuluh 342,57- 360,94 μm (ciri 42, 47 dan 53).
Diameter pembuluh sekitar 200 μm menjadikan teksturnya kasar namun rata karena perbedaan diameter pembuluh sangat kecil.
Diameter pembuluh 113,66- 139,87 μm; frekuensi 13/mm2; panjang pembuluh 309,15- 348,21 μm (ciri 42, 47 dan 52).
Diameter pembuluh 100-140 μm menjadikan teksturnya agak kasar (sedang) dan tidak rata karena ada perbedaan diameter pembuluh pada kayu awal dan kayu akhir.
Tilosis umum dan endapan dijumpai (ciri 56 dan 58)
Tilosis umum dan endapan jarang dijumpai (ciri 56 dan 58)
4. Jaringan serat dasar
Ceruk pada serat sederhana sampai berhalaman sangat kecil; tampak terutama pada dinding radial (ciri 61)
- Sama -
Terdapat penebalan ulir pada jaringan serat dasar (ciri 64) pada JUN 5 th. Tampak pada bidang R dan T, semakin jelas pada riap tumbuh 4 dan 5.
- Penebalan ulir tidak dijumpai. Pada perbesaran 160 kali masih belum kelihatan.
-
Serat bersekat (ciri 65)
- Sama -
Dinding serat sangat tipis. Tebal dinding serat kayu awal 2,05 μm, kayu akhir 2,07 μm. Panjang serat kayu awal 1321 μm, kayu akhir 1330 μm (ciri 68 dan 72).
- Dinding serat sangat tipis. Tebal dinding serat kayu awal 2,06 μm, kayu akhir 2,10 μm. Panjang serat kayu awal 1053 μm, kayu akhir 1161 μm (ciri 68 dan 72).
-
53
No. Struktur Anatomi
Uraian JUN Jati Konvensional
Struktur mikro Struktur Makro Struktur mikro Struktur Makro
5. Parenkim Parenkim aksial paratrakea jarang; panjang untai 5-8 sel per untai (ciri 78 dan 93)
- Parenkim aksial paratrakea jarang, sepihak hingga vaskisentrik; terdapat parenkim pita marginal > 3 lapis sel; panjang 5-8 sel per untai (ciri 78, 79, 84, 89 dan 93).
-
6. Jari-jari Lebar jari-jari 4-10 seri: 89,79 μm (ciri 98)
- Lebar jari-jari 1-3 dan 4-10 seri : 83,36 (ciri 97 & 98)
-
Tinggi jari-jari 766,01 μm
- Tinggi jari-jari 634,53 μm
-
Komposisi sel jari-jari dengan satu jalur sel tegak atau sel bujursangkar marginal (ciri 106). Namun ditemui juga yang homogen, seluruhnya merupakan sel baring (ciri 104).
- Sama -
Frekuensi jari-jari 5 buah/mm (ciri 115)
- Frekuensi jari-jari 8 buah/mm (ciri 115)
-
7. Ciri lain Keberadaan silika kurang jelas.
- Sama -
8. Kilap kayu - Kusam hingga agak mengkilap
- Agak mengkilap
9. Kesan raba - Licin hingga agak kesat
- Licin hingga agak kesat
10. Kekerasan - Agak keras - Agak keras hingga keras
11. Bau - Sudah ada bau khas jati (bau bahan penyamak)
- Bau khas jati tercium agak samar
12. Rata-rata lebar riap tumbuh
- 30,45 mm (tiga kali lebih lebar)
- 8,91 mm
13. Tebal kulit batang
- 4,49 mm - 3,51 mm
14. Luasan empulur (bentuk persegi)
- 59,81mm2 - 40,31mm2
15. Serat kayu - Lurus, kadang agak berpadu
- Lurus hingga agak berpadu
54
Secara kualitatif, perbedaan ciri umum kayu JUN dan kayu jati
konvensional umur 4 dan 5 tahun terutama terletak pada corak, tekstur, kilap, arah
serat, kekerasan dan bau. Ciri umum mencakup ciri-ciri yang dapat diamati
langsung dengan panca indera tanpa bantuan alat-alat pembesar bayangan. Ciri ini
mudah diamati sehingga sering digunakan dalam praktik identifikasi jenis kayu di
lapangan. Hasilnya dapat tepat jika dilakukan oleh orang yang sudah
berpengalaman di lapangan dan jika jumlahnya tidak banyak, namun jika yang
dihadapi sudah ratusan jenis, maka ciri umum saja tidak dapat lagi diandalkan
(Mandang & Pandit 2002). Ciri umum kayu, atau terkadang disebut sifat kasar
kayu, merupakan ciri-ciri yang terdapat pada kayu yang sifatnya cenderung
subyektif. Dalam Pandit dan Kurniawan (2008), sifat-sifat ini apabila terdapatnya
tidak konstan pada suatu jenis tertentu maka nilainya sekunder dalam pengenalan
kayu, sebaliknya jika sifat tersebut terdapat secara konstan pada sembarang
tempat, maka nilainya menjadi penting sehingga berguna dalam pengenalan atau
identifikasi kayu.
Secara positif, kayu JUN memiliki tekstur yang lebih rata dan arah serat
yang lebih lurus dibandingkan kayu jati konvensional. Tekstur yang lebih kasar
disebabkan karena diameter porinya sekitar 200 μm, namun lebih rata karena
ukuran diameter pori lebih seragam akibat tidak ada perbedaan yang mencolok
antara diameter kayu awal dan kayu akhir. Arah serat yang lebih lurus didukung
oleh hasil penelitian pada struktur ultramikroskopiknya. Pada JUN telah terdapat
bau bahan penyamak yang lebih kuat. Hal ini kemungkinan karena bibit JUN
adalah stek pucuk yang berasal dari pohon jati terpilih yang telah tua umurnya
sehingga sifat-sifat induknya terutama sifat yang unggul langsung diwariskan
pada keturunannya dan muncul meski pohon masih berumur muda (Purwanto,
2005; Wibowo 2005b).
Corak kayu jati konvensional lebih menarik karena batas lingkar tumbuhnya
lebih jelas, dan selang-seling antara bagian yang gelap (kayu akhir) yang
berwarna kecoklatan dan bagian yang terang (kayu awal) yang berwarna putih
kekuningan juga lebih tajam. Sedangkan pada kayu JUN, batas lingkar tumbuhnya
kurang jelas karena perubahan pola distribusi pembuluh menjadi tata baur, dimana
akibatnya adalah perbedaan bagian yang gelap (abu-abu tua) dan bagian yang
t
p
t
J
p
d
t
t
c
h
d
j
m
2
G
C
r
terang (puti
parenkim pi
tumbuh pada
JUN tidak
pewarnaan d
dapat memb
tangensial (
terbentuk pa
Demik
cenderung le
hal ini didu
dibandingka
jati dewasa
mendekati s
2005).
Gambar 13.
Ciri Kuantit
Ciri-ci
riap tumbuh
h abu-abu k
ta marginal
a jati juga tid
semenarik
dalam bentuk
berikan cora
(Gambar 18
ada kayu jati
kian juga p
ebih kusam
ukung oleh
an kayu jati d
a yaitu pad
ifat kayu jat
Foto mikroskonvensionatumbuh. Tammenjadi tatapada bagiandidapati (ba
tatif Kayu J
iri kuantitati
h, tebal kulit
kekuningan)
yang merup
dak ditemui
kayu jati k
k yang tidak
ak yang terli
8 dan Gam
konvension
pada kilap
dan lebih lu
hasil penel
dewasa, kay
da corak da
ti dewasa pa
skopik penamal. Foto di atmpak bahwaa baur, dan pn kayu awal jandingkan de
JUN dan Kay
if pada sifat
t dan luasan
JUN
) tidak setaj
pakan salah s
(Tabel 6 po
konvensiona
k beraturan p
ihat pada po
mbar 19), ya
nal umur yan
dan kekera
unak dibandi
litian pada
yu jati konve
an teksturny
ada sifat bau
mpang lintantas merupaka pola distribparenkim pitjati konvensengan area p
yu Jati Konv
t anatomi k
n empulur, s
N 5 th
jam kayu ja
satu indikasi
in 3 dan 5).
al (Gambar
pada kayu JU
otongan bag
ang mana
ng sama.
asan yang d
ingkan kayu
sifat fisis d
ensional lebih
ya, sedangk
dan arah se
ng kayu JUNkan potonganbusi pembulua marginal sional (panahada panah p
vensional Um
kayu yang m
serta dimens
ati konvensi
i jelasnya ba
Akibatnya,
13). Namu
UN umur 4 d
gian lintang
pewarnaan
dihasilkan,
jati konven
dan mekani
h mendekati
kan kayu J
erat (Martaw
N dan kayu jn awal dari suh pada kayuseperti yang h hitam) jugautih pada ka
Umur 4 dan 5
meliputi rata
si serat dan
Jati Kon
55
ional, serta
atas lingkar
corak kayu
un, adanya
dan 5 tahun
dan papan
ini belum
kayu JUN
nsional, dan
isnya. Bila
i sifat kayu
JUN lebih
wijaya et al.
jati etiap riap u JUN dijumpai a tidak ayu JUN).
5 tahun
a-rata lebar
pembuluh
nvensional 5 th
56
kayu JUN akibat pertumbuhan yang dipercepat dibandingkan dengan kayu jati
konvensional disajikan pada Tabel 7 dan Tabel 8. Sedangkan persentase
pewarnaan dan proporsi kayu muda dijelaskan secara lebih detail pada sub bab
berikutnya.
Tabel 7. Rata-rata lebar riap tumbuh, luasan empulur dan tebal kulit kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun
Kayu Lebar Riap
Tumbuh (mm)
Luasan Empulur (mm2) Tebal Kulit (mm)
JUN 30,45 59,81 4,49
Jati konvensional 8,91 40,31 2,73
Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa rata-rata riap tumbuh kayu JUN pada umur
yang sama lebih lebar, tepatnya mencapai tiga kali lipat dari riap tumbuh jati
konvensional (Gambar 14). Penyebab perbedaan lebar riap tumbuh secara
mikroskopik terutama disebabkan karena penambahan jumlah sel arah radial
(meskipun ada kendala dalam penghitungan jumlah sel arah radial secara rinci)
dan diameter pembuluh kayu JUN yang lebih besar (Tabel 8).
Gambar 14. Perbedaan lebar riap tumbuh pada kayu JUN (gambar atas) dengan
kayu jati konvensional (gambar bawah) umur 5 tahun.
JUN 5 th
Jati Konvensional 5 th
57
Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa rata-rata serat (rata-rata dimensi serat kayu
awal dan kayu akhir) kayu JUN lebih panjang dibanding kayu jati konvensional,
demikian juga pada panjang sel pembuluh (Lampiran 8). Kayu JUN memiliki
panjang sel serat dan sel pembuluh berturut-turut 1326 μm dan 352 μm,
sedangkan panjang sel serat dan sel pembuluh kayu jati konvensional berturut-
turut adalah 1100 μm dan 329 μm. Dimensi yang lebih besar juga terjadi pada
diameter sel pembuluh (Lampiran 8). Diameter pembuluh kayu JUN sekitar 200
μm, dan kayu jati konvensional sekitar 127 μm.
Tabel 8. Rata-rata dimensi serat dan pembuluh kayu JUN dan kayu jati konvensional
Jenis Kayu Riap tumbuh
Serat (μm) Pembuluh (μm)
Panjang Diameter Diameter Lumen
Tebal Dinding Panjang Diameter
JUN
Kayu Awal
1 1308,51 32,18 27,82 2,18 378,67 201,43 2 1367,74 31,98 28,05 1,97 414,12 168,36 3 1294,84 32,10 28,08 2,01 308,88 217,82 4 1291,71 31,09 27,36 1,86 314,92 189,15 5 1343,62 31,66 27,15 2,26 296,23 205,09
Rata-rata 1321,28 31,80 27,69 2,05 342,57 196,37
Kayu Akhir
1 1294,23 32,59 28,82 1,89 360,08 203,262 1385,37 33,12 29,06 2,03 389,30 225,52 3 1320,11 32,16 27,81 2,18 354,40 203,084 1273,47 31,12 26,93 2,10 364,02 195,11 5 1378,43 32,69 28,38 2,15 336,90 188,33
Rata-rata 1330,32 32,34 28,20 2,07 360,94 203,06 Rata-rata kayu JUN 1325,80 32,07 27,95 2,06 351,75 199,72
Jati Konvensional
Kayu Awal
1 842,95 29,12 25,23 1,94 289,46 93,62 2 816,84 31,55 27,66 1,94 317,94 107,08 3 1143,93 31,98 27,86 2,06 339,01 121,28 4 1203,17 34,10 29,79 2,15 293,76 121,00 5 1261,03 32,78 28,43 2,18 305,58 125,31
Rata-rata 1053,58 31,91 27,80 2,06 309,15 113,66
Kayu Akhir
1 796,69 30,75 26,38 2,18 302,28 96,00 2 1128,51 32,45 28,38 2,03 362,83 135,84 3 1261,03 31,95 27,79 2,08 363,56 139,23 4 1269,27 33,97 29,82 2,07 371,80 154,62 5 1351,33 32,42 28,13 2,14 340,57 173,67
Rata-rata 1161,37 32,31 28,10 2,10 348,21 139,87 Rata-rata kayu jati konvensional 1107,47 32,11 27,95 2,08 328,68 126,76
58
Secara statistik, dimensi diameter, lebar lumen dan tebal dinding serat kayu
JUN maupun jati konvensional tidak berbeda (Lampiran 8). Hipotesis di awal
bahwa pertumbuhan pohon yang dipercepat akan menghasilkan sel dengan
diameter lebih besar dan dinding sel lebih tipis tidak terbukti. Namun dari Tabel 8
dapat dilihat bahwa dinding sel serat kayu JUN lebih tipis, dan hal ini diduga akan
menyebabkan berat jenis kayu JUN lebih kecil, dengan tanpa mempertimbangkan
proporsi sel seratnya. Hal ini terbukti dari hasil penelitian pada sifat fisisnya.
Dimensi diameter sel serat JUN dan jati konvensional yang tidak berbeda semakin
menguatkan analisa di atas bahwa akibat pertumbuhan batang yang dipercepat,
pohon menghasilkan sel yang jumlahnya juga lebih banyak dibandingkan jenis
konvensionalnya.
Panjang serat merupakan salah satu ciri yang diwariskan lebih banyak
dibandingkan diameternya (Pandit 2006; Pandit & Kurniawan 2008). Telah
disebutkan di awal, menurut Brown et al. (1994) bahwa pohon yang
pertumbuhannya dipercepat akan menghasilkan sel-sel yang lebih pendek. Dalam
Pandit (2006) serta Pandit dan Kurniawan (2008) disebutkan bahwa kecepatan
tumbuh yang tinggi akan menghambat pertambahan panjang sel inisial kambium
selama tahun-tahun pertama aktifitas kambium dan menunda saat produksi sel-sel
dengan panjang maksimum. Lebih lanjut disebutkan bahwa pengurangan panjang
sel sebanding dengan kecepatan tumbuh.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun pertumbuhan JUN
dipercepat, namun ternyata panjang serat dan panjang pembuluh kayu JUN tidak
lebih pendek dibandingkan kayu jati konvensional. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena induk pohon JUN berbeda dengan jati konvensional, dimana
induk pohon JUN telah mewariskan panjang dimensi serat dan pembuluhnya.
Selain itu, berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa panjang serat kayu daun
lebar pada bagian yang dekat empulur berkisar antara 0,1 – 1,0 mm (Pandit 2006).
Dari Tabel 8 dapat dilihat ternyata panjang serat kayu JUN pada riap tumbuh satu
sudah di atas 1 mm yaitu sekitar 1.200-1.300 μm, dan ini setara dengan panjang
serat kayu jati dewasa. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun umurnya
masih muda, namun kayu JUN yang dikembangkan dari stek pucuk sudah
menunjukkan sifat seperti kayu dewasa, dan juga akan lebih cepat mencapai tahap
59
dewasa. Umur dimana tercapai panjang serat maksimum adalah berhubungan
dengan panjang umur jenis pohon yang diharapkan (Pandit 2006). Faktor ini
sangat penting untuk menentukan kapan tepatnya pohon JUN dapat dipanen.
Penelitian rutin perlu dilakukan untuk mengetahui umur optimal kayu JUN dalam
rangka usaha menurunkan daur tebang kayu jati (Anisah & Siswamartana 2005).
Riap tumbuh kayu JUN yang lebih lebar dibandingkan riap kayu jati
konvensional membawa konsekuensi pada proporsi kayu akhir JUN yang lebih
besar karena berdasarkan hasil penelitian pada jati, proporsi kayu awal relatif
konstan pada berbagai kondisi riap tumbuh (Wheeler 1987; Priya & Bath 1997,
1998 dalam Bhat & Priya 2004). Studi pada kayu jati asal Bangladesh, Burma dan
Myanmar mengindikasikan bahwa kayu yang paling kuat diperoleh dari pohon
dengan riap tumbuh 4-5 mm per tahun (Limaye 1942 dalam Bhat & Priya 2004).
Lebar riap tumbuh kayu JUN yang mencapai 7 kali lipat kemungkinan akan
menurunkan kekuatan kayunya secara drastis, namun hal ini harus dibuktikan
lebih lanjut karena hasil penelitian Bhat dan Priya (2004) pada kayu jati cepat
tumbuh menunjukkan kayu dengan riap tumbuh yang lebih lebar dapat sekaligus
memiliki kekuatan mekanik lebih besar dan lebih kecil dimana mereka
membuktikan fenomena tersebut dengan mengukur proporsi jaringan. Pada riap
tumbuh yang lebih lebar, kekuatan mekanik (MOR dan MOE) lebih besar
diperoleh saat proporsi serat lebih banyak, dan sebaliknya, kekuatan mekanik
akan lebih kecil (meskipun riap tumbuhnya lebih kecil dan pertumbuhan pohon
lebih lambat) pada kayu dengan proporsi parenkim yang lebih banyak, dimana hal
ini merupakan respon terhadap kondisi tanah yang lebih banyak mengandung
bahan-bahan organik.
Kayu JPP hasil pemuliaan kayu jati oleh Perum Perhutani semenjak tahun
1980-an (Wibowo 2005a; Siswamartana 2005) pada umur 4 dan 5 tahun
memberikan tinggi berturut-turut 8,85 m dan 9,07 m dengan diameter berturut-
turut 9,97 cm dan 10,65 cm, sehingga lebar riap tumbuhnya dapat dirata-ratakan
sebesar 24,9 mm untuk JPP umur 4 tahun dan 21,3 mm untuk JPP umur 5 tahun
(Iskak 2005). Nilai ini masih lebih kecil dibandingkan rata-rata riap tumbuh kayu
JUN. Dari parameter penambahan riap tumbuh ini, upaya untuk mempercepat
pertumbuhan pohon jati dapat dianggap cukup berhasil.
60
Upaya mempercepat pertumbuhan dengan pemberian nutrisi khusus
nampaknya juga berdampak pada tebal kulit yang dihasilkan (Gambar 15). Tebal
kulit kayu JUN dua kali lebih tebal dibandingkan kulit kayu jati konvensional
(Lampiran 9). Kulit kayu (floem) berfungsi sebagai penyalur hasil fotosintesis dari
daun ke seluruh bagian pohon. Kemungkinan, semakin banyak makanan yang
diedarkan, saluran distribusi juga harus dibuat menjadi semakin besar atau
bertambah jumlahnya. Pertanyaan ini dapat dijawab dengan melakukan penelitian
lebih lanjut, bagaimana dampak pemberian nutrisi yang banyak terhadap
perubahan struktur bagian kulit. Demikian juga halnya dampak terhadap struktur
daun dan akar, sangat menarik untuk diteliti secara lebih mendalam.
Gambar 15. Kulit batang kayu JUN (gambar bawah) dengan kayu jati
konvensional (gambar atas) umur 5 tahun. Tampak bahwa kulit kayu JUN lebih kasar dibandingkan kayu jati konvensional.
Untuk luasan empulur, hasil uji statistik menunjukkan bahwa luasan
empulur kayu JUN tidak berbeda dengan kayu jati konvensional (Lampiran 9).
Luasan empulur Jati JUN 60 mm2, dan kayu jati konvensional 40 mm2. Bentuk
empulur kedua kayu sangat jelas yaitu persegi dan berwarna putih, ini merupakan
ciri khas jati yang merupakan anggota Suku Verbenaceae (Pandit & Kurniawan
2008), sehingga luasan empulur merupakan hasil perkalian rata-rata sisi panjang
dan sisi lebar (Gambar 16).
Empulur merupakan jaringan lunak yang akan mengeras saat batang tumbuh
dewasa (Krisdianto & Sumarni 2006). Hasil pengamatan pada sampel JUN umur
4 dan 5 tahun juga menunjukkan bahwa luasan empulur semakin besar pada
bagian batang yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan Wilson and White (1986)
JUN 5 th
Jati Konvensional 5 th
61
dalam Krisdianto dan Sumarni (2006) dimana empulur semakin membesar
diameternya searah tinggi pohon. Dari penelitian ini juga diperoleh informasi
bahwa perbedaan umur pohon (semakin tua atau semakin muda pohon) tidak
memberikan pola yang jelas pada ukuran empulur yang dimiliki.
Gambar 16. Bentuk dan ukuran empulur pada kayu jati konvensional dan kayu JUN umur 5 tahun
Selanjutnya, pada Tabel 9 disajikan data ciri kuantitatif lainnya dari kayu
JUN dan kayu jati konvensional umur 5 tahun yang meliputi frekuensi dan ukuran
jari-jari, ukuran aperture (mulut) ceruk pada pembuluh, serta frekuensi pembuluh.
Tabel 9. Rata-rata frekuensi dan ukuran jari-jari, ukuran mulut ceruk dan frekuensi pembuluh kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 5 tahun
Kayu Jari-jari Ukuran ceruk (μm)
Frekuensi Pembuluh (per mm2)
Frekuensi (per mm)
Tinggi (μm)
Lebar (μm)
JUN
5,00
766,01
89,79
3,19
7,16
Jati konvensional 7,62 634,53 83,36 2,99 12,63
Frekuensi pembuluh kayu JUN 7 buah/mm2 (tergolong sedang), lebih
sedikit dibanding kayu jati konvensional yang mencapai 13 buah/mm yaitu
tergolong banyak (Lampiran 10). Jaringan ini berfungsi menyalurkan cairan dan
sedikit hara mineral di dalam pohon. Frekuensinya yang lebih sedikit
kemungkinan disebabkan karena melimpahnya air dan makanan membuat pohon
JUN tidak perlu membuat saluran lebih banyak (walaupun pendapat ini kurang
kuat). Namun adaptasi tersebut ditunjang dengan ukuran mulut ceruk (aperture)
JUN 5 th Jati Konvensional 5 th
62
pada ceruk antar pembuluh kayu JUN yang lebih lebar (meskipun secara statistik
tidak menunjukkan adanya perbedaan, Lampiran 10). Ceruk atau noktah
merupakan penghubung antar sel, kemungkinan karena arus makanan dari akar ke
daun yang berlimpah, sehingga pohon juga membutuhkan ‘pintu’ yang juga lebih
lebar. Pada Gambar 17 disajikan bentuk ceruk dan cara pengukuran mulut ceruk.
Gambar 17. Pola penyusunan ceruk selang-seling pada kayu JUN maupun jati konvensional. Cara pengukuran mulut ceruk adalah melintang pada arah tangensial (Perbesaran 200x).
Pohon juga beradaptasi dengan membuat saluran jari-jari yang lebih lebar
dan lebih tinggi, dengan frekuensi per-mm yang juga lebih sedikit, dimana hasil
uji statistik menunjukkan adanya perbedaan pada frekuensi sel jari-jari, namun
tidak demikian pada lebar jari-jari (Lampiran 10). Perbedaan pada struktur jari-jari
menjadi lebih besar (lebih tinggi) ini terkait dengan laju pertumbuhan yang lebih
cepat sehingga membutuhkan aliran makanan yang lebih lancar karena jari-jari
merupakan sarana angkutan hasil fotosintesis secara horisontal. Lebar jari-jari
berpengaruh terhadap sifat kayunya karena dapat menghambat perubahan dimensi
ke arah radial akibat perubahan lingkungan (Anisah & Siswamartana 2005).
Dengan lebar jari-jari kayu JUN dan kayu jati konvensional yang tidak berbeda
secara statistik ini dapat diduga bahwa penyusutan radial keduanya juga tidak
berbeda secara statistik, namun dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa nilai lebar jari-
jari lebih besar, sehingga meskipun secara statistik kemungkinan tidak berbeda,
tapi secara mikroskopik hal ini akan berpengaruh dimana dapat diduga,
penyusutan kayu JUN pada arah radial menjadi lebih kecil dibandingkan kayu jati
konvensional (terbukti pada hasil penelitian sifat fisis).
63
Persentase Pewarnaan (Discoloured wood)
Berdasarkan pengamatan secara maskroskopik terhadap potongan melintang
kayu yang telah dihaluskan permukaannya, telah terjadi perbedaan warna pada
bagian tengah kayu JUN umur 4 dan 5 tahun dibandingkan bagian luarnya
(Gambar 18 dan Gambar 19), dimana hal ini tidak dijumpai pada potongan kayu
jati konvensional pada umur yang sama. Diprediksi bahwa pewarnaan tersebut
bukan disebabkan oleh proses ketuaan (disebut kayu teras primer), sehingga untuk
dugaan awal bagian yang berwarna lebih gelap tersebut adalah kayu teras
sekunder (Prawirohatmodjo, tanpa tahun). Dugaan ini diperkuat dengan bentuk
pewarnaan yang tidak beraturan (Gambar 18), berbeda dengan pewarnaan pada
kayu teras primer yang bentuknya teratur dan mengikuti bentuk batang pohon
tersebut (Gambar 20). Jati termasuk dalam kelompok pohon dengan kayu teras
yang terbentuk secara reguler, dimana kayu terasnya selalu berwarna/berpigmen
yang tidak hanya terdapat dalam rongga sel, namun meresap masuk dalam dinding
sel-sel parenkim (Pandit 2006).
Definisi kayu teras berdasarkan IAWA adalah bagian xilem dimana
protoplasma sel sudah mati sehingga bagian tersebut tidak dapat menjalankan
fungsinya dengan baik. Lawannya, yaitu kayu gubal, adalah bagian kayu di mana
sel-sel xilem masih hidup dan masih menjalankan fungsi fisiologisnya yaitu tidak
hanya sebagai pemberi kekuatan mekanis pada pohon, namun juga sebagai
penyalur dan penyimpan cadangan makanan (pati). Ada beberapa teori mengenai
mekanisme pembentukan kayu teras (Prawirohatmodjo, tanpa tahun; Pandit
2006), yaitu antara lain disebabkan oleh hasil proses ketuaan (disebut kayu teras
primer), hasil serangan cendawan (disebut kayu teras sekunder), hasil akumulasi
ekstraktif, hasil proses perkembangan, hasil kelebihan cadangan makanan, hasil
kekurangan air, dan hasil tegangan air.
Perubahan kayu gubal menjadi kayu teras disertai dengan pembentukan
berbagai zat organik yang secara kolektif disebut dengan ekstraktif/zat infiltrasi,
serta pembentukan tilosis pada pembuluh kayu daun lebar. Pembentukan
ekstraktif pada xilem ini umumnya ditandai dengan bertambah gelapnya jaringan
sehingga menghasilkan warna kayu teras yang kontras dengan kayu gubalnya
64
yang berwarna lebih muda. Namun adanya warna yang lebih gelap bukanlah
selalu merupakan ciri adanya kayu teras karena pada beberapa jenis kayu seperti
pulai, ramin, jelutung, dan sebagainya, warna kayu terasnya tidak ditandai oleh
perubahan warna yang mudah dilihat, melainkan secara teknis suatu bagian kayu
disebut kayu teras adalah jika jaringan kayu tersebut secara fisiologis telah mati.
Gambar 18. Pewarnaan pada batang JUN umur 5 tahun (a); dan (b) permukaan
melintang kayu jati konvensional umur 5 tahun.
Gambar 19. Pewarnaan yang terbentuk pada kayu JUN umur 4 dan 5 tahun, tidak
berbentuk seperti kolom yang teratur, namun tetap menimbulkan corak yang menarik pada penampang longitudinal.
a
b
JUN 4 th ujung
JUN 4 th pangkal
JUN 5 th pangkal
JUN 5 th ujung
65
Gambar 20. Kayu teras primer (tanda panah) pada batang kayu jati konvensional berumur tua, bentuknya mengikuti bentuk batang atau sesuai bentuk kulitnya.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tilosis sudah dijumpai pada kayu
JUN hingga riap tumbuh ketiga dan berangsur berkurang pada riap tumbuh
keempat, sedangkan pada kayu jati konvensional tilosis dijumpai pada riap
tumbuh satu dan dua (Gambar 21). Tilosis merupakan struktur seperti gelembung
yang muncul dari parenkim jari-jari ke rongga pembuluh sebagai akibat perbedaan
tekanan osmosis. Tekanan dalam sel parenkim yang hidup memaksa protoplasma
masuk ke dalam pembuluh di sampingnya yang berisi udara, dan memulai
pembentukan tilosis dimana selaput noktah menjadi terhembus. Fenomena ini
terjadi pada spesies yang mempunyai mulut noktah lebih besar dari 10 μm, namun
jika mulut noktah kurang dari 10 μm (JUN memiliki lebar mulut noktah 3,19 μm
dan jati konvensional 2,99 μm, Tabel 6 poin 3), maka yang terjadi adalah cairan
atau amorf. Tilosis ini merupakan protoplasma sel-sel parenkim bercampur bahan
lain yang tersimpan seperti pati, kristal, resin, getah, dan lain-lain (Pandit 2006).
66
Gambar 21. (a). Bidang lintang kayu jati konvensional (riap tumbuh 2). Tampak
ada tilosis dan endapan; (b). Tilosis dilihat dari bidang tangensial kayu jati konvensional. (c). Bidang lintang kayu JUN (riap tumbuh 3). Tampak di samping ada tilosis dan endapan juga telah ada serangan jamur (tanda panah: hifa jamur); (d). Tilosis pada kayu JUN dilihat dari bidang tangensial.
Metcalfe and Chalk (1983) menyebutkan bahwa keberadaan tilosis
merupakan ciri diagnostik pada suku Verbenaceae, termasuk pada marga Tectona.
Tilosis merupakan salah satu indikator terbentuknya kayu teras karena dapat
menghambat aliran unsur hara pada pembuluh kayu gubal sehingga menyebabkan
sel tidak dapat menjalankan fungsi fisiologisnya.
Belum ada pustaka yang secara tepat menyebutkan kapan kayu teras mulai
terbentuk pada jati karena proses pembentukan kayu teras terjadi dalam pohon dan
tetap tak terlihat oleh pengamatan langsung, namun hasil komunikasi pribadi
dengan Pandit (2010), kayu jati baru mulai membentuk kayu teras pada umur
sekitar 7-9 tahun. Oleh karena kayu teras hanya dapat terlihat sesudah terbentuk
d
b
a
d
b
c
67
sehingga penyebabnya yang tepat dan kapan terjadinya sukar untuk ditentukan
(Prawirohatmodjo, tanpa tahun). Keberadaan tilosis pada kayu JUN hingga riap
tumbuh keempat dan kayu jati konvensional hingga riap tumbuh kedua
menunjukkan bahwa proses pembentukan kayu teras pada kedua kayu tersebut
sudah mulai berlangsung, walaupun perubahan warna pada kayu jati konvensional
belum terjadi. Pewarnaan dan pembentukan tilosis yang terjadi pada kayu JUN umur 4 dan
5 tahun kemungkinan disebabkan akibat adanya penyakit atau cendawan. Salah
satu teori mengenai pembentukan kayu teras disebabkan oleh cendawan non
patogenik dikuatkan dengan ditemukannya hifa pada batas kayu teras (pada
Gambar 21c ditunjukkan adanya hifa jamur pada pembuluh kayu JUN riap
tumbuh ketiga). Suatu studi yang mendalam oleh Shigo et al. (1965, 1967, 1972
dan 1973) dalam Prawirohatmodjo (tanpa tahun) menunjukkan bahwa infeksi
cendawan yang terjadi melalui bekas cabang, sisa cabang, bekas batang, luka pada
batang, busuk akar, dan lain-lain, dapat menyebabkan pewarnaan kayu yang
mungkin mirip kayu teras. Shigo mengembangkan suatu model untuk
menerangkan proses pelukaan pohon sampai terjadinya kebusukan total. Model
itu terbagi dalam tiga tahap yaitu:
Tahap 1: mencakup semua proses yang berkaitan dengan tahapan pohon inang
terhadap pelukaan. Baik pohon maupun lingkungan terlibat di sini. Akibatnya
mungkin terjadi sedikit pewarnaan kayu sebagai hasil proses-proses kimia dan
oksidasi akibat kayu terkena udara.
Tahap 2: mencakup hal-hal yang terjadi apabila mikroorganisme dapat
mengalahkan perlindungan kimiawi pohon dan menyerang xilem. Penyerang-
penyerang pionir ini umumnya berupa bakteri dan atau cendawan non-
Hymenomycetes. Pewarnaan kayu makin intensif sebagai hasil interaksi antara
mikroorganisme yang menyerang dan sel-sel xilem yang masih hidup. Maka
sekarang terjadi respon pohon terhadap serangan mikroorganisme.
Tahap 3: mencakup hal-hal yang terjadi jika mikroorganisme pembusuk,
terutama Hymenomycetes, menyerang dan merusak dinding sel. Semua sel
dalam xilem sekarang mati.
68
Pewarnaan yang terjadi melalui tahap di atas disebut dengan kayu teras
sekunder. Kemungkinan JUN mengalami tahap 1 dan tahap 2, namun karena
keterbatasan peneliti, apakah xilem hingga riap tumbuh ketiga seluruhnya masih
hidup atau sudah mati, yang pasti keberadaan tilosis pada pembuluh kayu hingga
riap tumbuh ketiga dan berangsur-angsur berkurang pada riap tumbuh keempat
menunjukkan sel-sel xilem telah berubah fungsi, dan berangsur mati pada riap
tumbuh keempat.
Pendugaan bahwa kayu teras yang terbentuk adalah kayu teras sekunder
dikuatkan dengan adanya perubahan bentuk kayu teras sesaat setelah ditebang
dibandingkan dengan setelah dikeringudarakan (Gambar 22). Seiring dengan
penyingkapan, bentuk kayu teras menjadi tidak beraturan. Hal ini menunjang hasil
tinjauan yang dilakukan Trockenbrodt andJosue (1999) bahwa dari data hutan
tanaman jati di Malaysa ada kemungkinan ditemukannya kayu teras dalam bentuk
yang tidak beraturan. Terlihat bahwa pada Gambar 22b pewarnaan pada kayu
teras tidak sekuat dan sejelas kayu teras pada Gambar 22a, ini menunjukkan
bahwa kayu teras dan zat ekstraktif yang terbentuk belum stabil.
Gambar 22. a). Kayu teras pada penampang kayu JUN umur 4 tahun sesaat
setelah ditebang b). Kayu teras pada penampang kayu JUN umur 4 tahun setelah
kering udara
Hasil analisis kandungan zat ekstraktif alkohol benzena pada kayu JUN
maupun jati konvensional menunjukkan bahwa telah terjadi akumulasi zat
ekstraktif sebagai satu bentuk pembuangan atau ekskresi internal hasil-hasil
limbah biokimia yang terbentuk dalam jaringan kambium dan parenkim. Zat-zat
ekskresi ini dianggap dipindahkan dalam konsentrasi tak beracun melalui jari-jari
a b
69
menuju empulur (kadar zat ektrakstif yang diperoleh sekitar 2%, separuh dari nilai
kandungan zat ekstraktif kayu jati dewasa), dan belum terakumulasi sampai
tingkat yang mematikan sehingga kayu teras yang sesungguhnya belum terbentuk
(Prawirohatmodjo, tanpa tahun).
Sebagai pohon yang pertumbuhannya dipercepat, dan ditunjang dengan
kondisi lingkungan yang serba tercukupi pada kayu JUN, maka pohon akan
cenderung menunda ketuaan atau menunda pembentukan kayu teras (Pandit,
komunikasi pribadi, 2010). Selanjutnya disebutkan bahwa dari berbagai macam
penyebab terbentuknya kayu teras, hal yang secara langsung berpengaruh pada
sintesa polifenol ini adalah fotosintat yang tidak digunakan seluruhnya pada
proses pertumbuhan di daerah kambium. Buktinya, Hillis (1968) dalam Bowyer et
al. (2003) menemukan bahwa pertumbuhan yang cepat dan penggunaan yang
efisien dari karbohidrat berhubungan dengan jumlah yang sedikit dari polifenol
pada kayu teras ini.
Karena bentuknya yang tidak beraturan maka ditemui kesulitan saat
melakukan pengukuran persentase pewarnaan yang terjadi dengan menggunakan
metode Wahyudi dan Arifien (2005), yaitu mengukur jari-jari kayu teras dan jari-
jari terpanjang pada permukaan batang. Pada penelitian ini, metode yang
dilakukan adalah membuat pola bentuk kayu teras pada plastik transparan,
kemudian menghitung luasan kayu teras menggunakan kertas milimeter blok
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 23 (Darwis et al. 2005). Rasio pewarnaan
adalah persentase luas pewarnaan terhadap luas penampang batang, setelah
dikurangi luasan bagian empulur.
Gambar 23. Metode penghitungan luas pewarnaan pada kayu JUN umur 5 tahun. Tanda panah menunjukkan daerah terjadinya pewarnaan dengan batas yang tidak jelas.
PewarnaanEmpulur
70
Pada Tabel 10 disajikan data hasil penghitungan persentase pewarnaan pada
penampang melintang kayu JUN dan kayu jati konvensional. Dari Tabel 10
tersebut dapat dilihat ternyata semakin tua umur pohon, persentase pewarnaan
yang terbentuk semakin besar. Pada sampel JUN bagian pangkal umur 4 tahun
telah terbentuk pewarnaan sebesar 17,85%, dan pada sampel kayu JUN bagian
pangkal umur 5 tahun telah terbentuk pewarnaan sebesar 23,82%. Demikian juga,
antara bagian pangkal dan bagian ujung terdapat kecenderungan, semakin ke
pucuk, persentase pewarnaan yang terbentuk semakin kecil. Ini ditunjukkan
dengan hasil dimana pada sampel kayu JUN umur 4 tahun bagian ujung belum
terjadi pewarnaan, sedangkan pada sampel kayu JUN umur 4 tahun bagian
pangkal telah terbentuk pewarnaan sebesar 23,74%. Pada kayu jati konvensional
umur 4 dan 5 tahun belum terbentuk pewarnaan.
Tabel 10. Persentase pewarnaan pada permukaan melintang kayu JUN dan kayu jati konvensional terhadap luas permukaan batang
Kayu Luas
Lempeng (cm2)
Luasan Pewarnaan dengan Batas yang Jelas
Luasan Pewarnaan dengan Batas yang
tidak Jelas Persentase Pewarnaan
Total (cm2) % (cm2) %
JUN 4A 329,9 45,4 13,8 13,5 4,1 17,85
JUN 4D 153,9 belum terbentuk - - - -
JUN 5A 471,2 101,3 21,5 11,0 2,3 23,82 JUN 5D 298,5 66,8 22,4 4,1 1,4 23,74 Jati konvensional 4 th
17,7 belum terbentuk - - - -
Jati konvensional 5 th
63,6 belum terbentuk - - - -
Berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai persentase kayu
teras pada jati unggul dibandingkan kayu jati konvensional pada umur muda
disajikan pada Tabel 11. Kesimpulan yang diperoleh dalam Trockenbrodt and
Josue (1999) atas hasil penelitian terhadap kayu jati cepat tumbuh dari hutan
tanaman adalah adanya peningkatan kayu teras seiring dengan peningkatan umur.
Hal ini sejalan dengan Brown et al. (1994) yang menyebutkan bahwa pada umur
71
ketiga hingga sepuluh tahun pertama batang pohon didominasi oleh xilem yang
masih hidup (gubal) untuk menjamin proses pertumbuhan selanjutnya. Namun
perlu ditinjau kembali apakah kayu teras yang terbentuk adalah kayu teras primer
akibat proses ketuaan, atau kayu teras sekunder seperti yang terjadi pada kayu
JUN.
Tabel 11. Persentase kayu teras jati unggul dan jati konvensional umur muda oleh berbagai peneliti
Umur kayu
Jenis Jati Peneliti Jenis kayu jati unggul Jati Unggul Jati Konvensional
3 tahun 29,81% (pangkal) –diameter sama dengan jati unggul umur 8 tahun, perbedaan persentase kayu teras diduga akibat perbedaan umur)
25% (pangkal) Wahyudi & Arifien (2005)
Jenis jati tidak disebutkan, lokasi tempat tumbuh Semarang
16% (diameter batang 2,5-4,8 cm)
- Trockenbrodt & Josue (1999)
Jenis jati tidak disebutkan, lokasi tempat tumbuh Malaysa
4 tahun 16,5-63% (diameter batang 5,8-10,9 cm)
- Trockenbrodt & Josue (1999)
5 tahun 22,61 % (telah terbentuk kayu teras di seluruh batang baik pangkal, tengah dan ujung)
20,31 Sumarni et al. 2005-2008
PT. Monfori, Palembang
25-65% (diameter batang 6,9-11,4 cm)
Trockenbrodt & Josue (1999)
Jenis jati tidak disebutkan, lokasi tempat tumbuh Malaysa
6 tahun 44,31% (ditanam di Ciamis) 20,12% (ditanam di Ngawi)
- Anisah & Siswamartana (2005)
JPP
7 tahun 39,6% 20,3% Krisdianto & Sumarni (2006); Krisdianto (2008); dan Sumarni et. al. (2008)
Penajam, PT. ITCI Kartika Utama, Kalimantan Timur
8 tahun - 58,23% (pangkal) 46,30% (tengah)
Wahyudi & Arifien (2005)
Semarang
Proporsi Kayu Muda
Massa xilem atau kayu yang dibentuk pada tahun-tahun pertama
pertumbuhan pohon dimana pembelahan kambium masih dipengaruhi oleh
kegiatan meristem primer akan menghasilkan kayu juvenil/kayu remaja (juvenile-
72
wood). Identifikasi kayu juvenil secara makroskopik sangat sulit dilakukan,
sehingga dalam praktik sehari-hari sering menimbulkan masalah.
Lingkaran tumbuh pertama sampai lingkaran tumbuh ke sepuluh umumnya
mempunyai karakteristik struktur anatomi yang berbeda dengan kayu dewasa,
umumnya 5-10 tahun tergantung spesies pohon. Persentase kayu juvenil ternyata
juga dipengaruhi oleh kondisi tempat tumbuh. Pohon yang tumbuhnya baik
sehingga memberi respon pertumbuhan yang cepat, umumnya akan membentuk
persentase kayu juvenil yang lebih tinggi. Sebaliknya pohon yang tumbuh pada
kondisi tempat tumbuh yang memberi respon pertumbuhan lebih lambat
umumnya membentuk persentase kayu juvenil yang lebih rendah (Bowyer et al.
2003).
Hasil penelitian Darwis et al. (2005), kayu jati baru membentuk kayu
dewasa pada riap tumbuh ke-11 dan ke-12, sedangkan berdasarkan penelitian
Bhat et al. (2001) dalam Bhat dan Priya (2004), batas kayu muda dan kayu
dewasa pada jati adalah pada umur sekitar 20 tahun. Trockenbrodt and Josue
(1999) menyebutkan bahwa pembentukan kayu juvenil pada jati terjadi hingga
umur 12-15 tahun, dan Jati India mencapai kematangan sifat mekanis pada umur
21 tahun. Berdasarkan panjang serat dari empulur hingga riap tumbuh terakhir,
dapat dibuat kurva regresi untuk melihat kayu sudah membentuk kayu dewasa
atau belum. Jika panjang serat masih akan terus bertambah (belum konstan pada
titik tertentu), maka kayu dianggap masih membentuk kayu muda (Rulliaty 2008).
Dari kurva pada Gambar 24 dapat dibuktikan bahwa pada umur 5 tahun, batang
pohon seluruhnya masih mengandung kayu muda, baik kayu JUN maupun kayu
jati konvensional. Sehingga pada penelitian ini belum dapat dibuktikan apakah
akibat pertumbuhan yang dipercepat, proporsi kayu muda akan semakin besar.
Namun dari kurva tersebut juga dapat diamati bahwa pertambahan panjang
serat kayu jati konvensional lebih progresif dibandingkan kayu JUN. Dapat
diduga bahwa kayu JUN akan lebih cepat membentuk kayu dewasa dibandingkan
kayu jati yang tumbuh dari biji. Ini menunjukkan bahwa kayu JUN yang
dikembangkan dari stek pucuk lebih menunjukkan sifat sebagai kayu dewasa,
seperti yang telah disebutkan sebelumnya, karena bibit JUN adalah stek pucuk
yang berasal dari pohon jati terpilih yang telah tua umurnya, sifat-sifat induknya
73
terutama sifat yang unggul langsung diwariskan pada keturunannya sehingga
menghasilkan tanaman dengan sifat yang lebih unggul, dan telah muncul meski
pohon masih berumur muda (Purwanto, 2005; Wibowo 2005b).
Karakteristik kayu juvenil umumnya mempunyai kerapatan rendah, kadar
air dan penyusutan longitudinal yang tinggi, sehingga mudah mengalami cacat
bentuk. Sifat kayu juvenil yang paling ditakuti adalah cacat yang disebut getas,
terutama untuk kayu struktural sehingga penggunaannya sebagai kayu utuh untuk
konstruksi tidak diperkenankan (Anisah & Siswamartana 2005). Untuk bahan
baku industri furnitur persentase kayu juvenil yang tinggi juga dikhawatirkan akan
menimbulkan banyak masalah selama proses pengerjaan.
Gambar 24. Kurva regresi panjang serat dari empulur ke arah kulit untuk kayu JUN dan kayu jati konvensional. Tampak trend masih mengarah ke atas, belum ada titik konstan. Dapat dilihat juga bahwa penambahan panjang serat kayu JUN lebih landai dibandingkan kayu jati konvensional.
Perbedaan Struktur Mikroskopik Secara Kualitatif pada Kayu JUN dan Kayu
Jati Konvensional
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya pada Tabel 6 dan penjelasan-
penjelasan lebih lanjut pada ciri kuantitatif kayu JUN dan kayu jati konvensional
pada umur yang sama, di bawah ini disajikan perbedaan yang terjadi pada sifat-
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1 2 3 4 5
Panjan
g Serat (μm)
Riap Tumbuh
Panjang Serat JUN Kayu AwalPanjang Serat JUN Kayu AkhirPanjang Serat Jati Konvensional Kayu AwalPanjang Serat Jati Konvensional Kayu Akhir
74
sifat kualitatif struktur anatomi mikro pada kayu JUN dibandingkan kayu jati
konvensional pada umur yang sama akibat pertumbuhannya yang dipercepat:
1. Batas lingkar tumbuh kayu JUN tidak jelas, sedangkan batas lingkar tumbuh
kayu jati konvensional jelas.
Batas lingkar tumbuh dinyatakan jelas jika terjadi perubahan struktur
yang mendadak/mencolok pada batas kayu awal dan kayu akhir. Lingkar
tumbuh jelas ditandai oleh satu atau beberapa perubahan seperti (Sulistyobudi
et al. 2008):
- Serat atau trakeida kayu akhir berdinding tebal dan menggepeng radial
dibandingkan serat atau trakeida kayu awal yang berdinding tipis.
- Perbedaan yang mencolok antara diameter pembuluh kayu awal dan
diameter pembuluh kayu akhir.
- Parenkim marginal, baik terminal maupun inisial.
- Trakeida vaskular dan sel pembuluh yang sangat kecil dan sangat banyak
membentuk jaringan dasar kayu akhir, yang tidak ditemukan pada kayu
awal.
- Penurunan frekuensi parenkim pita pada zona kayu akhir yang
menyebabkan keberadaan wilayah serat semakin jelas.
- Pembengkakan jari-jari.
Jati konvensional memiliki ketiga ciri pertama di atas, sehingga
tergolong kayu dengan batas lingkar tumbuh yang jelas. Batas lingkar tumbuh
dinyatakan tidak jelas atau tidak ada jika lingkar tumbuhnya samar, ditandai
oleh perubahan struktur yang hanya terjadi secara berangsur pada zona
tertentu, atau sama sekali tidak dapat dilihat dengan jelas (Sulistyobudi et al.
2008). Kayu JUN lingkar tumbuhnya tergolong tidak jelas karena perubahan
diameter pembuluh yang berangsur-angsur. Keberadaan parenkim pita
marginal juga tidak ditemui. Adanya perbedaan warna selang-seling gelap dan
terang pada JUN kemungkinan bukan disebabkan oleh perbedaan dimensi sel,
namun perlu diteliti kembali disebabkan oleh faktor apa, sehingga tidak
memenuhi kriteria sebagai kayu dengan lingkar tumbuh jelas. Hasil penelitian
ini mendukung penelitian yang dilakukan Bhat and Priya (2004) bahwa batas
lingkar tumbuh lebih sulit ditentukan pada kayu jati cepat tumbuh. Pada
75
Gambar 13 dan Gambar 25 disajikan struktur anatomi kayu JUN dan kayu jati
konvensional pada batas lingkar tumbuh secara makroskopik dan mikroskopik.
Gambar 25. Foto makroskopik penampang lintang kayu JUN dan kayu jati
konvensional. Batas lingkar tumbuh ditunjukkan oleh tanda panah.
2. Perbedaan pada porositas.
Jati konvensional memiliki pola pembuluh tata lingkar sedangkan kayu
JUN memiliki penyebaran pembuluh (porositas) tata baur (Gambar 13 dan
Gambar 25). Karena berlimpahnya nutrisi serta ketersediaan air (dari
persemaian yang ada di sekitarnya), kemungkinan pertumbuhan JUN terjadi
sepanjang tahun. Pada saat penebangan yaitu Bulan September 2009 dimana
kondisi sedang musim kemarau, tanaman jati lain di daerah tersebut sudah
meranggas, namun tidak demikian halnya pada pohon JUN yang justru saat itu
masih terus membentuk tunas-tunas baru. Kondisi tanaman jati pada lokasi
yang berdekatan dibandingkan dengan kondisi tanaman JUN disajikan pada
Gambar 26.
Perbedaan porositas pada jati cepat tumbuh umur 21 tahun yang berasal
dari India juga menunjukkan fenomena yang sama (Bhat & Priya 2004).
Pengaruh irigasi dan pemupukan cenderung menyebabkan kayu jati memiliki
pola tata baur.
Jati Konvensional 5 th JUN 5 th
G
3
Gambar 26.
(
3. Penebalan
Pen
penebalan
pada sel
terdapat
sederhana
jenis-jeni
Meylan 1
Dal
Martawij
keberadaa
(1983) pe
a
(a). Tanamamusim k
(b). Kondisiberdaunkarena aJawa Te
(c). Pucuk padanya p
n ulir pada j
nebalan ulir
n ulir sering
pembuluhny
pada serat
a atau berhal
is kayu daer
1980; Metcal
lam Soerian
aya et al.
an ciri ini b
ernah menye
an jati milik kemarau. i pohon JUN
n lebat. Keduareal persemengah. pada pohon jpertumbuhan
aringan sera
merupakan
g terdapat pa
ya, namun ti
dengan ceru
laman yang
rah tempere
lfe & Chalck
egara and L
(2005), se
belum pern
ebutkan bahw
Perhutani ya
N yang akan ua tanaman i
maian JUN be
jati yang barn meskipun
at dasar ditem
ciri diagno
ada kayu yan
idak kebalik
uk berhalam
sempit. Ciri
et daripada k
k 1983; Whe
Lemmens (19
erta literatu
ah disebutk
wa penebala
b
ang sedang m
ditebang, mini berada daerada dalam
ru ditebang, pada musim
mui pada kay
stik kayu. S
ng juga mem
kannya. Pene
man daripad
i ini juga leb
kayu daerah
eeler et al. 19
994), Metcal
ur lainnya
kan. Namun
an ulir pada p
c
meranggas p
masih tampakalam lokasi yareal tanah
masih menum kemarau.
yu JUN umu
Serat yang m
mpunyai pen
ebalan ulir j
da serat den
bih sering ter
h tropis (Bu
989).
lfe and Chal
mengenai
Metcalfe a
pembuluh ju
76
pada
k hijau dan yang sama, Perhutani
unjukkan
ur 5 tahun.
mempunyai
nebalan ulir
juga sering
ngan ceruk
rdapat pada
utterfield &
lck (1983),
kayu jati,
and Chalck
uga ditemui
G
pada Suk
namun d
pada ser
perbesara
tumbuh p
semakin
semakin
konvensio
28 disajik
dengan se
Gambar 27.
b
a
ku Verbenac
dengan ulir y
rat belum p
an kecil (40
pertama dan
mendekati
kuat terlih
onal, bahkan
kan penebal
erat kayu jat
Penebalan uJUN (200 xtidak nampa
ceae, namun
yang tipis,
pernah dise
0 kali) terut
n seterusny
kulit, atau
hat), namun
n hingga pe
lan ulir yang
ti konvension
ulir pada serax); (c) Serat ak adanya pe
n tidak jelas
sedangkan k
ebutkan. Pad
tama pada r
a penebalan
semakin tu
n tidak dem
erbesaran 40
g terjadi pa
nal pada um
at kayu JUNkayu jati koenebalan uli
c
apakah term
keterangan
da JUN um
riap tumbuh
n ulir ini su
ua kayu yan
mikian haln
0x. Pada Ga
da serat kay
mur yang sam
N. (a) Kayu Jonvensional pir.
masuk marg
adanya pene
mur 5 tahu
h 4 dan 5
udah nampa
ng dihasilka
nya dengan
ambar 27 da
yu JUN, dib
ma.
JUN (80 x); perbesaran 4
77
ga Tectona,
ebalan ulir
un, dengan
(pada riap
ak, namun
an, ciri ini
kayu jati
an Gambar
bandingkan
(b) Kayu 400 kali,
GGambar 28.
Fen
yang men
ulir pada
kayu JUN
subtropis
kemungk
kemungk
keberadaa
kebanyak
kemungk
China (N
Penebalan uJUN (80 x)kayu jati ko
nomena pen
narik dan pe
a pembuluh
N, juga jati
, namun spe
kinan peneba
kinan kenapa
an penebala
kan kayu
kinan pohon
Nurdin & Sisw
ulir pada sera); (b) Penebaonvensional p
nebalan ulir
erlu dikaji le
dan ceruk a
konvension
esies jati asl
alan ulir pad
a struktur in
an ulir pad
daerah be
n induk JUN
wamartana 2
at kayu JUNalan ulir padperbesaran 2
pada serat
ebih dalam. S
antar serat b
al. Jati meru
li Indonesia
da serat ini
i muncul. K
da jati yang
eriklim sed
N yang bera
2005).
N. (a) Penebada kayu JUN 200 kali.
kayu JUN
Syarat ciri y
berhalaman
upakan jenis
adalah tumb
tidak dimili
Kemungkinan
g merupakan
dang menun
asal dari In
alan ulir pada (200 x); (c)
merupakan
yaitu adanya
tidak ditem
s tumbuhan
buhan tropis
iki. Terdapa
n pertama y
n ciri anato
njukkan ba
dia, Burma
78
a kayu ) Serat
fenomena
a penebalan
mukan pada
tropis dan
s, sehingga
at beberapa
aitu bahwa
omi untuk
ahwa ada
atau Indo
79
Terdapat kontroversi mengenai asal jati yang ada di Indonesia. Untuk
sementara, kontroversi ini terjawab dengan penelitian marker genetik
menggunakan teknik isoenzyme yang dilakukan oleh Kertadikara pada tahun
1994. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa jati yang tumbuh di Indonesia
(Jawa) merupakan jenis asli. Jati ini telah mengalami mekanisme adaptasi
khusus sesuai dengan keadaan iklim dan edaphis yang berkembang puluhan
hingga ratusan ribu tahun sejak zaman quarternary dan pleistocene di asia
Tenggara (Irwanto 2006).
Hasil komunikasi pribadi dengan peneliti pada Teak Center Perum
Perhutani (Aris Wibowo, 2010), induk JPP ada yang berasal dari luar
Indonesia. Pada pengamatan awal terhadap kayu jati dewasa asal India dan
Thailand, ciri ini tidak nampak dengan bentuk dan intensitas seperti pada JUN
5 tahun. Perlu pengamatan secara lebih mendalam karena terdapat keraguan
apakah ciri yang nampak pada jati India dan Thailand tersebut bukanlah
merupakan sobekan mulut noktah. Perlu juga dilihat struktur anatomi jati yang
berasal dari Indo China dan Burma untuk membuktikannya. Sangat menarik
untuk meneliti asal pohon JUN secara lebih mendalam.
Kemungkinan kedua, struktur spiral pada serat tersebut memang adalah
fenomena penebalan spiral yang sesungguhnya yang hanya muncul pada kayu
JUN umur 5 tahun akibat reaksi terhadap kondisi lingkungan yaitu serangan
mikroorganisme. Lebih lanjut, dalam Butterfield and Meylan (1980)
disebutkan bahwa penebalan spiral merupakan lapisan lain dari dinding sel
sekunder dan menunjukkan suatu upaya untuk melanjutkan pembentukan
dinding sekunder pada saat sel tersebut akan mati. Penebalan dapat berbentuk
sebuah spiral (ini yang terjadi pada JUN umur 5 tahun), atau beberapa seri
spiral yang mengelilingi sel secara pararel. Salah satu klasifikasi penebalan
spiral berdasarkan penonjolan penebalan, ada empat tipe yaitu pertama berupa
alur-alur yang halus; kedua adalah penebalan spiral ringan yang terkadang
menyatu dengan dinding sel; ketiga adalah penebalan spiral yang menonjol,
serta yang keempat adalah penonjolan penebalan spiral yang sangat dekat.
Penebalan spiral pada JUN mirip dengan tipe kedua, seperti yang ditunjukkan
dengan hasil SEM pada serat kayu JUN pada Gambar 29.
80
Kemungkinan bahwa struktur tersebut merupakan sebuah penebalan
spiral cukup rasional untuk kayu JUN. Melimpahnya makanan memungkinkan
pohon untuk terus berupaya melakukan penebalan dinding sel karena sel-sel
tersebut akan mati akibat serangan cendawan sehingga menyebabkan kayu
melakukan reaksi dengan membuat tilosis yang mengakibatkan sel-sel kayu
akan mati sebelum waktunya (dan mengalami proses perubahan menjadi teras
sekunder). Batas pewarnaan yang terjadi pada JUN kira-kira pada riap tumbuh
ketiga. Struktur penebalan ulir ini tampak sangat jelas pada riap tumbuh
keempat dan kelima.
Gambar 29. Sebelah kiri: tipe penebalan spiral ringan yang terkadang menyatu dengan dinding sel pada Carpodetus serratus J.R. et G. Forst Suku Escalloniaceca perbesaran 1.500x (Butterfield & Meylan 1980); sebelah kanan: penebalan spiral (tanda panah) pada serat kayu JUN 5 tahun riap tumbuh keempat dan kelima (perbesaran 750x).
Jika penyebabnya adalah perlakuan silvikultur dan kondisi lingkungan,
kemungkinan ini diperkuat dengan hasil analisa unsur kimia pada kayu JUN umur 5
tahun menggunakan EDX (Energy Dispersive X-ray Analyzer) SEM. Ditemukan
unsur Fluor/Fluoride pada kayu JUN namun tidak pada kayu jati konvensional
(hasil analisis EDX SEM secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 14).
Fluor merupakan gas coklat kekuningan (hal ini juga kemungkinan yang
menyebabkan terjadinya pewarnaan coklat kuning keemasan pada JUN)
dimana pada tubuh manusia konsentrasi terbesar terdapat dalam tulang dan
gigi, salah satunya berfungsi untuk mencegah karies gigi. Fluor banyak
81
terdapat dan tersebar luas dalam alam. Fluor dibutuhkan dalam jumlah kecil,
dalam konsentrasi yang lebih besar akan bersifat beracun. Kelebihan fluor akan
menyebabkan bercak-bercak putih seperti kapur pada gigi, serta kelainan pada
tulang dan sendi berupa tonjolan-tonjolan pada tulang panjang (exostosis).
Penyebab keberadaan Fluor adalah dari air yang mengandung fluor atau nutrisi
berupa fosfat (Asfar 2010). Jika memang keberadaan Fluor yang dimungkinkan
sebagai bahan pembentuk penebalan tersier pada dinding sel akibat reaksi
terhadap serangan mikroorganisme (lihat kembali tahapan kedua pembentukan
kayu teras sekunder akibat adanya perlukaan pada pohon) menyebabkan
timbulnya penebalan tersier pada serat kayu JUN dengan maksud untuk
mempertahankan sel dari kematian, maka penebalan spiral pada serat kayu
Tectona tetap bukan merupakan ciri diagnostik pada kayu jati khususnya JUN,
yang berarti bukan hasil pewarisan genetik (meski disebutkan ada penebalan
ulir pada pembuluh Verbenaceae), melainkan karena pengaruh kondisi
lingkungan dan tindakan silvikultur yang muncul jika kondisi menunjang.
Kemungkinan kedua inilah yang paling besar, dan hal ini memperkuat hasil
penelitian pada marga Tectona secara umum (Soerianegara & Lemmens 1994;
Metcalfe & Chalck 1983; dan Martawijaya et al. 2005).
Sekali lagi perlu diteliti secara lebih mendalam apakah penyebab adanya
penebalan ulir adalah akibat perlakuan silvikultur dan kondisi lingkungan
(kemungkinan kedua) atau sifat yang diturunkan secara genetis (selain jati
India dan Thailand), kemungkinan pertama, karena berbagai literatur
sebelumnya tidak menunjukkan adanya penebalan spiral pada serat kayu marga
Tectona. Namun tidak menutup kemungkinan perpaduan kedua hal tersebut,
penyebab pohon JUN membentuk penebalan ulir adalah adanya bakat genetik
yang muncul jika kondisi lingkungan mendukung.
Kemungkinan ketiga bahwa serat dengan penebalan ulir tersebut
merupakan sel trakeida pembuluh peluangnya relatif lebih kecil. Metcalfe and
Chalck (1983) tidak menyebutkan bahwa ciri ini merupakan ciri diagnostik
pada Suku Verbenaceae, juga pada pertelaan kayu jati secara umum
(Soerianegara & Lemmens 1994; Martawijaya et al. 2005). Ciri sel trakeida
pembuluh adalah kerapkali memiliki penebalan spiral, pada penampang lintang
G
menyerup
dindingny
pembuluh
Lebih lan
peran yan
menghub
dan mak
beradapta
menyalur
Sel
yang ber
cincin ter
(Sutrian 2
sel terten
menyelur
yang terl
bentuk sp
1989).
Gambar 30.
pai pori seh
ya berhalam
h yang tidak
njut, Metcalf
ng lebih pen
bungkan pem
kanan yang
asi dengan
rkan air.
ain penebala
rbentuk cinc
rmasuk dala
2004). Terny
ntu seperti se
ruh pada di
lihat pada G
piral dan cin
Penebalan putih) tam(tanda pan
hingga sulit
man. Trakeid
k sempurna p
fe and Chalc
nting dalam p
mbuluh secar
g melimpah
membentu
an yang berb
cin pada kay
am empat be
yata terjadin
el pembuluh
inding sel,
Gambar 31.
ncin pada Il
sekunder bempak jelas b
ah hitam).
dibedakan
da pembulu
perkembanga
ck (1983) m
penyaluran a
ra vertikal m
h pada JUN
k sel trake
bentuk spiral
yu JUN (G
entuk peneb
nya penebala
h dan sel ser
melainkan
Pada Gamb
llex cinera d
erbentuk cinberbeda bila
dari pembu
uh sering d
annya (Pand
melaporkan b
air dan mung
maupun horis
N membua
eid pembul
l, ternyata di
Gambar 30).
balan sekund
an sekunder
rat/trakeid. P
hanya setem
bar 32 disaji
dan Ilex chi
ncin pada sea dibanding
uluh, dan no
ianggap rua
dit & Kurniaw
bahwa sel in
gkin sebagai
sontal. Keter
at pohon ti
luh untuk
ijumpai juga
Penebalan
der pada din
hanya terjad
Penebalan ti
mpat-setemp
ikan contoh
inensis (Whe
erat kayu JUgkan sekat
82
oktah pada
as dari sel
wan 2008).
ni memiliki
i alat untuk
rsediaan air
idak perlu
membantu
a penebalan
spiral dan
nding serat
di pada sel-
idak terjadi
pat, seperti
penebalan
eeler et al.
UN (panah pada serat
83
Gambar 31. Berbagai bentuk penebalan setempat pada dinding serat/trakea (Sutrian 2004)
Gambar 32. Penebalan ulir pada jaringan serat dasar Illex cinera dan Ilex chinensis perbesaran 850 kali (Wheeler et al. 1989).
4. Hilangnya parenkim pita marginal pada kayu JUN.
Keberadaan parenkim pita marginal merupakan salah satu ciri yang khas
pada jati (Soerianegara & Lemmen, 1994; Martawijaya et al. 2004). Parenkim
ini yang mempertegas keberadaan batas lingkar tumbuh pada kayu jati. Pada
Gambar 32 disajikan parenkim pita marginal pada jati berumur tua.
84
Gambar 33. Parenkim pita marginal pada kayu jati (tanda panah)
Bandingkan dengan Gambar 13 dan 25, tampak bahwa kayu jati
konvensional memiliki parenkim pita marginal yang lebar, namun tidak
demikian pada kayu JUN. Sebagai pohon yang pertumbuhannya dipercepat,
tentunya akan berdampak pada keadaan sel-sel parenkim yang salah satunya
berfungsi sebagai penyimpan makanan.
Sangat menarik untuk dipelajari faktor apakah yang menyebabkan
keberadaan parenkim ini menjadi lebih sedikit pada kayu JUN, karena pada
parenkim paratrakea (parenkim yang menyelubungi sel pembuluh), kayu JUN
cenderung memiliki parenkim paratrakea jarang, sedangkan kayu jati
konvensional parenkimnya hingga berbentuk selubung (vaskisentrik). Ukuran
dan bentuk sel parenkim perlu diteliti lebih mendalam. Kemungkinan dapat
diduga bahwa seluruh persediaan makanan digunakan untuk tumbuh sehingga
kebutuhan tempat untuk menyimpan cadangan makanan berkurang. Hal ini
menguatkan pendapat bahwa sedikit fotosintat yang tersisa sehingga pohon
JUN akan menunda pembentukan kayu teras.
85
Struktur Ultramikroskopik Kayu
Sudut Mikrofibril
Mikrofibril adalah komponen terkecil pada struktur dinding sel dengan
diameter sekitar 3-4 nm dan terdiri atas kelompok molekul selulosa (protofibril)
yang diselimuti oleh lembaran-lembaran hemiselulosa. Sedangkan sudut
mikrofibril (MFA) adalah arah kemiringan mikrofibril selulosa pada dinding
sekunder dengan sumbu panjang serat atau trakeid, Gambar 34 (Barnett &
Bonham 2004, Stuart & Evans 1994). Besar MFA berkisar antara 5-34° pada
Angiosperma (Barnett & Bonham 2004).
Gambar 34. Mikrofibril pada satu individu sel serat (Gambar oleh Barnett & Bonham 2004).
Data hasil pengukuran MFA menggunakan metode difraksi sinar X dan
mikroskop cahaya disajikan pada Tabel 12. Banyak teknik yang telah digunakan
untuk mengukur besar MFA, antara lain menggunakan mikroskop polarisasi,
mikroskop cahaya (berdasarkan kemiringan mulut noktah serta retak atau sobekan
pada dinding sel yang umumnya mengikuti arah kemiringan mikrofibril), infiltrasi
yodium, NIR (Near Infrared Spectroscopy), dan lain-lain, namun yang paling
banyak digunakan dan hasilnya paling akurat saat ini adalah menggunakan
difraksi sinar X (Barnett & Bonham 2004). Meskipun pengukuran MFA
berdasarkan perpanjangan mulut noktah menggunakan mikroskop cahaya adalah
metode yang paling sederhana, namun memiliki kelemahan yaitu kurang efektif
karena lama mengukurnya, dan kurang konsisten karena arah mulut noktah pada
Mikrofibril
Noktah pada dinding serat
86
satu individu sel serat bisa berbeda (hasil review oleh Barnett & Bonham 2004),
selain itu, hasilnya diragukan jika yang diukur adalah kayu-kayu dengan ceruk
atau noktah sederhana dan bentuknya bulat.
Tabel 12. Data rata-rata sudut mikrofibril kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 5 tahun
Jenis Kayu Jati/Riap Tumbuh
Sudut Mikro Fibril JUN 5 TH JATI LOKAL 5 TH
KAYU AWAL x ray mikroskop cahaya x ray mikroskop cahaya 1 18,48 25,77 30,54 23,63 2 23,28 20,40 19,74 26,30 3 22,26 28,66 29,94 30,92 4 22,62 28,44 20,28 26,78 5 24,87 22,30 20,28 26,94
rata-rata 22,30 25,11 24,16 26,91 KAYU AKHIR
1 20,22 29,64 28,92 24,35 2 21,00 22,95 24,00 31,16 3 18,07 29,22 21,72 33,77 4 15,89 31,02 28,26 26,78 5 22,18 24,67 29,22 18,31
rata-rata 19,47 27,50 26,42 26,87
Pada penelitian ini, nilai sudut mikrofibril yang digunakan terutama untuk
kayu JUN adalah berdasarkan penghitungan menggunakan difraksi sinar X/ XRD
(kurva difraksi secara lengkap disajikan pada Lampiran 12). Serat kayu jati
memiliki ceruk atau noktah sederhana hingga berhalaman sangat sempit, namun
pada JUN, kemungkinan akibat pertumbuhannya yang dipercepat, noktah
sederhana dengan bentuk oval pada jati konvensional menjadi noktah sederhana
yang berbentuk bulat (Gambar 34). Perbedaan ini menyebabkan hasil pengukuran
MFA JUN menggunakan mikroskop cahaya berdasarkan kemiringan mulut
noktah menjadi tidak konsisten, subyektif, dan berbeda hasilnya pada noktah lain
yang terdapat pada serat tersebut walaupun letaknya berdekatan.
Berbeda dengan pengukuran MFA jati konvensional yang lebih mudah
karena bentuk noktahnya oval sehingga kemiringan perpanjangan mulut noktah
dapat ditentukan secara mudah, dan lebih konsisten dengan nilai yang lebih
seragam pada satu individu serat yang sama. Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa
h
m
b
i
G
hasil penguk
mikroskop c
berbeda, lain
ini didukung
Gambar 35.
kuran MFA
cahaya denga
n halnya de
g oleh hasil a
Ceruk jati kkonvension
A pada JUN
an mendasar
ngan hasil p
analisis stati
konvensionalnal(1.000x) s
N mengguna
rkan pada pe
pengukuran
stik (Lampir
l berbentuk oerta ceruk k
akan dua me
erpanjangan
MFA pada
ran 11).
oval pada jatayu JUN ber
etode yaitu
mulut nokta
jati konven
ti rbentuk bula
87
XRD dan
ah, nilainya
sional, dan
at (750x).
88
Rata-rata MFA JUN 22,09° dan MFA kayu jati konvensional 25,29°. Hasil
uji statistik menunjukkan MFA kedua kayu tersebut berbeda dimana MFA JUN
lebih kecil dibandingkan kayu jati konvensional (Lampiran 11). Kisaran MFA
kayu JUN adalah 22,30° untuk kayu awal, dan menurun pada bagian kayu akhir,
yaitu sebesar 19,47°. Sedangkan MFA kayu jati konvensional sebesar 24,16°
untuk kayu awal dan menjadi lebih besar pada kayu akhir yaitu 26,42°. Hasil ini
berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Krisdianto (2008) yang melakukan
pengukuran menggunakan mikroskop cahaya pada jati unggul yang
dikembangkan dari kultur jaringan dengan jati konvensional yang sama-sama
berumur 7 tahun, dimana MFA kayu jati super adalah 23,29°, lebih besar
dibandingkan kayu jati konvensional sebesar 22,05°. Penjelasan atas hasil
penelitian tersebut oleh penulisnya disebutkan sebagai akibat faktor genetik
karena kondisi lingkungan dianggap sama.
Herman et al. (1999) dalam Barnett and Bonham (2004) menyebutkan
bahwa kayu-kayu cepat tumbuh dengan lebar riap tumbuh yang besar akan
menghasilkan kayu dengan MFA lebih besar. Ini menunjukkan hubungan bahwa
kecepatan tumbuh yang besar akan menghasilkan sel-sel yang lebih pendek
sehingga MFA menjadi lebih besar, dimana menurut Pandit (2006), panjang sel
berkorelasi negatif dengan MFA. Walaupun kayu JUN memiliki kecepatan
tumbuh lebih besar, namun karena serat kayu JUN lebih panjang (dimana sifat ini
muncul karena diwariskan atau karena dikembangkan dari stek pucuk sehingga
JUN muda langsung memiliki struktur serat seperti jati dewasa) menyebabkan
nilai MFA JUN menjadi lebih kecil. Selain itu, slenderness ratio atau derajat
kelangsingan kayu JUN yaitu sebesar 41,46 lebih tinggi dibandingkan kayu jati
konvensional sebesar 32,05 dimana secara statistik hasilnya berbeda (Lampiran
8). Sama seperti faktor panjang serat, derajat kelangsingan ini juga berkorelasi
negatif dengan MFA.
Namun pola yang berbeda ditunjukkan oleh Wahyudi (2000) dimana laju
pertumbuhan tidak berpengaruh pada besarnya MFA, demikian juga halnya
dengan perlakuan pemupukan. Lebih kecilnya nilai MFA JUN dibandingkan kayu
jati konvensional memberikan hasil yang berbeda terhadap hipotesis yang telah
dibuat diawal. Kenyataan ini sejalan dengan Donaldson (1996) dalam Barnett and
89
Bonham (2004) yang memperoleh nilai MFA yang lebih kecil pada pohon muda
yang berasal dari stek pucuk yang diproduksi dari pohon yang sudah dewasa,
dibandingkan pada pohon muda dari jenis yang sama yang dikembangkan dari biji
sebagai kontrol. Hal ini cukup menjelaskan kenapa MFA JUN lebih kecil yaitu
karena penggunaan stek pucuk menyebabkan sifat JUN muda mencerminkan sifat
kayu jati dewasa (lihat kembali pembahasan pada sifat bau, panjang serat, dan
proporsi kayu muda pada JUN).
Bendtsen and Senft (1986) dalam Barnett and Jeronimidis (2003)
menyebutkan bahwa sudut mikrofibril selulosa pada dinding S2 merupakan faktor
penentu sifat mekanis kayu. Dalam Rowell (2005), mikrofibril diibaratkan sebagai
palang-palang baja untuk memperkuat struktur beton. Orientasi unit struktural
selulosa pada serat ini berpengaruh pada sifat fisis dan mekanis serat terutama
kerapatan, kekuatan tarik, kekakuan, dan kembang susut. Perubahan kecil pada
derajat sudut mikrofibril menghasilkan perubahan sifat serat (Stuart & Evans
1994). Sifat utama kayu yang dipengaruhi oleh besar MFA adalah penyusutan
arah longitudinal, dimana penyusutan arah longitudinal ini akan meningkat seiring
dengan pertambahan MFA, namun memiliki hubungan yang tidak linier (Barnett
& Jeronimidis 2003). Demikian juga dengan nilai MOE, semakin besar sudut
mikrofibril, nilai MOE akan semakin kecil sehingga kayu hanya cocok untuk
penggunaan-penggunaan bernilai rendah. Standar yang menunjukkan berapa nilai
MFA minimal yang dipersyaratkan agar kayu bisa dijadikan sebagai bahan
konstruksi hingga saat ini belum ada.
Walaupun nilai MFA cenderung memberikan pengaruh terhadap susut
longitudinal, MFA JUN yang lebih kecil dibandingkan kayu jati konvensional
pada umur yang sama kemungkinan besar akan menyebabkan kembang susut
(rasio T/R) kayu JUN juga lebih kecil dan kayu lebih stabil (dibuktikan dengan
hasil penelitian sifat fisis) sehingga akan lebih menguntungkan saat akan dibuat
untuk venir, furnitur, dan produk-produk lainnya; kekuatan tarik dan kekakuan
lebih tinggi, serta arah serat lebih lurus (dapat diamati pada bidang longitudinal
kayu JUN), sehingga konsekuensinya, energi yang dipergunakan untuk mengolah
kayu ini lebih sedikit karena lebih mudah untuk dikerjakan.
90
Struktur dinding sel serat atau trakeid pada pohon didesain agar batang dan
cabang mampu menahan tekanan baik dari luar maupun dari dalam, seperti berat
batang pohon, berat tajuk, serta tekanan-tekanan dari luar seperti angin dan gaya
grafitasi. Sudut mikrofibril yang besar pada pohon-pohon muda atau semai
dibutuhkan agar pohon lebih fleksibel dan mudah membengkok tanpa menjadi
patah saat terkena angin. Kayu yang dibentuk pada awal-awal pertumbuhan
dengan sudut mikrofibril yang besar ini merujuk pada sifat-sifat kayu muda
(Barnett & Bonham 2004). Nilai sudut mikrofibril yang besar pada daerah kayu
muda menyebabkan bagian tersebut menjadi lemah dengan nilai MOE yang kecil
dan kurang stabil. Namun saat pohon membesar, batangnya akan menjadi lebih
kaku untuk menunjang penambahan berat pada batang dan tajuk, dan nilai MFA
yang lebih kecil pada kayu bagian luar memungkinkan pohon melakukan hal
tersebut (Barnett & Jeronimidis, 2003; Barnett & Bonham 2004).
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, secara alami pohon akan
membentuk kayu dengan MFA yang lebih besar pada awal-awal pertumbuhan.
Baik JUN maupun jati konvensional umurnya masih sama-sama muda, terlebih
ditunjang dengan hasil penelitian kandungan kayu muda yang masih 100%. Selain
karena dikembangkan dari stek pucuk, kemungkinan lain yang menyebabkan nilai
MFA JUN lebih kecil dibandingkan jati konvensional diduga karena pertumbuhan
batangnya yang lebih cepat membesar dengan bentuk tajuk yang lebar sehingga
JUN harus beradaptasi dengan membentuk sudut mikrofibril yang kecil. Lebih
kecilnya nilai MFA JUN karena berasal dari stek pucuk, serta adaptasi yang
dilakukan terhadap pesatnya pertumbuhan dengan membentuk MFA kecil ini
tidak akan berhasil jika pohon tidak didukung dengan pondasi yang kokoh.
Kelemahan-kelemahan yang dimiliki kayu jati unggul adalah tumbuh miring atau
cepat roboh begitu pohon mulai membesar, namun ternyata tidak demikian
dengan kayu JUN. Adanya bentuk perakaran tunjang majemuk yang dimiliki JUN
memungkinkan pohon dapat membuat kekakuan dengan membentuk sudut
mikrofibril yang kecil namun tidak membahayakan pohon tersebut saat terkena
tekanan dari dalam dan luar, dimana struktur seperti ini tidak dimiliki oleh kayu
jati konvensional ataupun kayu jati unggul lainnya (Gambar 36).
91
Gambar 36. Bentuk perakaran tunggang pada jati yang tumbuh dari biji, perakaran serabut dari stek pucuk dan kultur jaringan, serta perakaran tunjang majemuk pada JUN.
Nilai MFA yang kecil merupakan salah satu parameter yang dipilih dalam
upaya pemuliaan pohon, tujuannya yaitu untuk mengurangi proporsi kayu muda
yang memiliki MFA besar, agar sifat kayu menjadi lebih baik dan secara
ekonomis nilainya meningkat. Namun karena kebutuhan akan kayu sangat besar,
hal ini menjadi masalah karena saat ini kita banyak menggunakan kayu-kayu
cepat tumbuh dari tegakan rotasi pendek (Barnett & Bonham 2004). Kita bisa
melakukan upaya untuk memperkecil MFA, namun dengan catatan usaha tersebut
tidak membahayakan pohon. Salah satu cara yang cukup berhasil pada JUN
adalah dengan memodifikasi akarnya menjadi akar tunjang majemuk.
Derajat Kristalinitas dan Dimensi Kristalin Kayu
Struktur kimia kayu tersusun atas selulosa, lignin dan hemiselulosa.
Selulosa sebagai kerangka, hemiselulosa sebagai matrik, dan lignin sebagai bahan
pengikat sel-sel serta memberikan kekakuan kepada dinding sel. Selulosa adalah
92
komponen utama dinding sel. Molekul selulosa dibentuk oleh ± 10.000 monomer
glukosa yang diikat dengan ikatan 1,4-β-glukosida. Setiap monomer glukosa
memiliki tiga gugus hidroksil (–OH). Sebanyak 36 molekul selulosa terikat
bersama-sama oleh ikatan hidrogen membentuk seberkas fibril elementer. Fibril
elementer bergabung membentuk mikrofibril, kemudian mikrofibril bergabung
membentuk fibril dan akhirnya membentuk serat-serat selulosa. Penyusunan serat-
serat selulosa menghasilkan daerah kristalin (bila molekul selulosa tersusun
teratur) dan amorf (bila tidak teratur). Derajat kristalinitas merupakan proporsi
daerah kristalin dengan total daerah kristalin dan daerah amorf pada selulosa
dinding sel kayu. Semakin tinggi derajat kristalinitas, maka kayu akan semakin
kaku dan kuat (Rowell 005). Perbandingan daerah kristalin dengan daerah amorf
dari selulosa sangat bervariasi yaitu antara 50 – 70 % (Sanjaya 2001). Daerah
kristalin merupakan daerah yang padat tanpa suatu ruang kosong (Pereira et al.
2003). Pada Gambar 37 disajikan ilustrasi penyusunan serat-serat selulosa.
Gambar 37. Rantai-rantai selulosa membentuk daerah kristalin dan amorf dalam
matriks hemiselulosa dan lignin. Diameter daerah kristalin adalah sekitar 2,5-3,6 nm (dapat juga menunjukkan diameter mikrofibril) dan panjang 30 nm. Unit selulosa pararel dengan kisi vektor c (Lc) dan tegak lurus dengan kisi vektor a (La) (Andersson 2006).
Hasil pengukuran derajat kristalinitas menggunakan XRD menunjukkan
bahwa derajat kristalinitas kayu JUN lebih besar yaitu 43,89% dibandingkan kayu
jati konvensional sebesar 40,32%. Pada Gambar 38 ditunjukkan grafik hasil
pengukuran derajat kristalinitas kayu.
K
K
G
Kayu JUN
Kayu Jati Ko
Gambar 38.
onvensional
Kurva pengghitungan derrajat kristalinitas kayu mmenggunakan
93
n XRD
94
Dimensi kristalin (tebal/diameter serta panjang kristalin) serta jarak antar
rantai selulosa/fibril elementer pada arah tebal, disajikan pada Gambar 39 (hasil
perhitungan secara lengkap untuk setiap riap tumbuh disajikan pada Lampiran
13). Hasil uji t menunjukkan bahwa jarak antar fibril elementer JUN (0,3913 nm)
lebih kecil dibandingkan kayu jati konvensional (0,3938 nm), demikian juga
untuk tebal/diameter dan panjang kristalin. Dimensi tebal/diameter wilayah
kristalin (La) JUN 5,9 nm, lebih kecil dibandingkan jati konvensional, dan
panjang wilayah kristalin (Lc) JUN 17,78 nm, lebih pendek dibandingkan kayu
jati konvensional 23,88 nm. Hasil ini sejalan dengan Andersson (2006) dimana
perlakuan irigasi dan pemupukan dapat menurunkan dimensi kristalin kayu pada
jenis yang sama.
Gambar 39. Dimensi kristalin kayu JUN dan kayu jati konvensional
Lebih kecilnya ukuran kristal ini kemungkinan yang menyebabkan susunan
molekul selulosa pada JUN menjadi lebih teratur dan lebih padat, yang
ditunjukkan oleh derajat kristalinitas JUN yang lebih tinggi (terutama jika bentuk
mikrofibril adalah berupa tabung). Saranpaa (2003) menyebutkan bahwa
kerapatan dinding sel kayu akan meningkat jika kandungan selulosa dan derajat
kristalinitas meningkat. Derajat kristalinitas JUN yang lebih tinggi kemungkinan
akan menyebabkan kerapatan dinding sel kayu JUN lebih tinggi dibandingkan jati
konvensional jika materi selulosa JUN lebih tinggi. Dalam penelitian ini,
Jarak antar rantai selulosa (nm)
Tebal kristalin (nm)
Panjang kristalin (nm)
JUN 0,3913 5,9004 17,8919
Jati Konvensional 0,3938 6,3567 23,8792
0
5
10
15
20
25
30
Dim
ensi kristalin (n
m)
Dimensi kristalin
95
kandungan selulosa tidak dihitung, namun hasil penelitian struktur mikro pada
tebal dinding sel serat kayu JUN yang lebih tipis dibandingkan tebal dinding serat
kayu jati konvensional akan menyebabkan berat jenis kayu JUN lebih kecil. Hal
ini dibuktikan pada penelitian sifat fisik kayu yang menunjukkan bahwa berat
jenis kayu JUN lebih kecil dibandingkan berat jenis kayu jati konvensional.
Namun untuk memastikan dampak nilai derajat kristalinitas terhadap kerapatan
dinding sel dan berat jenis, perlu dihitung kandungan selulosa pada kedua kayu.
Sifat Dasar (Fisis, Mekanis, Kimia dan Keawetan Alami)
Sifat Fisis dan Mekanis
Sifat fisis yang diteliti adalah penyusutan, rasio T/R, kerapatan (termasuk
berat jenis), dan kadar air, sedangkan sifat mekanis yang diteliti adalah kekerasan.
Data dan pola hasil pengukuran dan penghitungan sifat-sifat tersebut disajikan
pada Gambar 40 hingga Gambar 44.
Gambar 40. Data rata-rata penyusutan kayu JUN dan kayu jati konvensional umur
4 dan 5 tahun
Rata-rata penyusutan kayu JUN lebih kecil dibandingkan kayu jati
konvensional, walaupun secara statistik, nilai penyusutan dari basah ke kondisi
kering udara serta basah ke kering oven pada kayu JUN tidak berbeda, kecuali
pada penyusutan basah ke kering udara pada arah tangensial (Lampiran 14). Nilai
penyusutan hingga kering tanur pada arah radial maupun tangensial kayu jati
R T R T
Bsh ‐ KU Bsh ‐ KO
P E N Y U S U T A N (%)
JUN 0,70 1,62 1,59 3,29
Jati konvensional 1,88 3,03 2,77 4,43
0,000,501,001,502,002,503,003,504,004,505,00
Penyusutan
(%)
96
dewasa 2,8% untuk penyusutan R dan 5,2% untuk penyusutan arah T
(Martawijaya et al. 2005). Sifat penyusutan yang lebih baik pada JUN
kemungkinan disebabkan karena sudut mikrofibril kayu JUN yang lebih kecil
(walaupun tidak berpengaruh secara langsung karena MFA lebih besar
pengaruhnya pada susut longitudinal) serta derajat kristalinitas yang lebih tinggi.
Nilai lebar sel jari-jari JUN yang lebih tinggi (walaupun secara statistik tidak
berbeda) juga turut menyebabkan susut arah radial lebih rendah.
Perubahan dimensi pada arah sejajar dan tegaklurus serat dapat ditelusuri
dari penataan ikatan mikrofibril pada dinding sel. Saat air ditambahkan atau
dikeluarkan dari dinding sel, sumbu mikrofibril akan berpindah dari posisi
normalnya. Karena porsi terbesar dari dinding sel adalah lapisan-lapisan
mikrofibril dengan sudut yang kecil terhadap sumbu panjang sel, secara prinsipal
komponen perubahan dimensi dipengaruhi oleh sudut sebelah kanan sumbu
panjang sel yaitu MFA (Panshin et al. 1964).
Gambar 41. Data rata-rata T/R rasio kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4
dan 5 tahun
Rasio T/R untuk penyusutan dari basah ke kering udara pada JUN (2,34)
lebih besar dibandingkan kayu jati konvensional (1,68), secara statistik nilai ini
tidak berbeda (Lampiran 14). Nilai rasio T/R jati dewasa sekitar 1,8 (Martawijaya
et al. 2005). Tingginya nilai rasio T/R kayu JUN menunjukkan susut arah radial
pada JUN sangat kecil, ini kemungkinan dipengaruhi oleh tahanan jari-jari pada
JUN lebih besar (walau secara statistik tidak nyata) serta berat jenis JUN yang
lebih kecil (Gambar 42). Karena pertumbuhan yang berlangsung sepanjang tahun,
kemungkinan seluruh sel kayu JUN bersifat seperti kayu awal yang berdinding
tipis dengan persentase dinding S2 yang relatif kecil sehingga perubahan dimensi
JUN Jati Konv
rasio T/R 2,34 1,68
00,51
1,52
2,5
rasio T/R
97
lebih dipengaruhi lapisan S1 dan S3 yang memiliki MFA kecil dimana MFA S2
JUN juga lebih kecil dibandingkan MFA jati konvensional. Perubahan dimensi ke
arah radial merupakan akumulasi dari perubahan yang kecil dari sel-sel yang
bersifat kayu awal tadi, ditambah adanya tahanan jari-jari sehingga total
perubahan dimensi arah radial menjadi sangat kecil. Penyusutan radial yang
berupa pecahan desimal berposisi sebagai penyebut terhadap penyusutan
tangensial pada penentuan rasio T/R, menyebabkan nilai rasio T/R menjadi sangat
besar (melebihi 2), seperti yang umum terdapat kayu (Panshin et al. 1964).
Gambar 42. Data rata-rata kerapatan kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4
dan 5 tahun
Kerapatan kayu JUN berkisar antara 0,47-0,95 g/cm3, sedangkan kerapatan
jati konvensional antara 0,52-0,75 g/cm3. Nilai berat jenis dasar (pada kondisi
berat kering oven dan volume basah) JUN adalah 0,47 dan jati konvensional 0,52.
Pada aplikasi, nilai berat jenis yang digunakan adalah berat jenis dalam kondisi
kering udara. Dari Gambar 42, berat jenis (BJ) kering udara kayu JUN adalah 0,48
dan kayu jati konvensional 0,55; lebih kecil dibandingkan BJ jati dewasa yaitu
sebesar 0,67. Nilai berat jenis JUN yang lebih kecil dibandingkan kayu jati
konvensional (Lampiran 14) telah dibuktikan sebelumnya yaitu karena derajat
kristalinitas JUN lebih besar dan dinding selnya lebih tipis. Meskipun kandungan
selulosa tidak diteliti, kondisi derajat kristalinitas JUN yang lebih tinggi namun BJ
lebih kecil menunjukkan bahwa kandungan selulosa JUN lebih
Bb/Vb Bo/Vku Bo/Vb Bku/Vku Bko/Vko
Kerapatan
JUN 0,95 0,48 0,47 0,52 0,48
Jati konvensional 0,75 0,55 0,52 0,60 0,56
0,000,100,200,300,400,500,600,700,800,901,00
Kerapa
tan (g/cm
3 )
98
kecil, dan hal ini menyebabkan penyusutan JUN lebih kecil dan kadar air JUN
lebih besar (Gambar 40 dan Gambar 42). Dengan berat jenis 0,48 dan 0,55, maka
kayu JUN maupun kayu jati konvensional memiliki kelas kuat III (Seng 1990).
Gambar 43. Data rata-rata kadar air kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4
dan 5 tahun
Gambar 44. Data rata-rata kekerasan kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun
Sesuai dengan penelitian terhadap struktur makro, kayu JUN lebih lunak
dibandingkan kayu jati konvensional, baik bagian sisi maupun bagian ujung. Hasil
penelitian menggunakan metode Janka, secara kuantitatif nilai kekerasan sisi
Basah Min Max
JUN 101,34 113,01 148,01
Jati konvensional 42,64 94,48 129,48
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
140,00
160,00Ka
dar A
ir (%
)
Kekerasan Sisi Kekerasan Ujung
JUN 112 182
Jati Konv 174 226
0
50
100
150
200
250
Kekerasan (kg/cm
2 )
Kekerasan Kayu
99
maupun kekerasan ujung kayu JUN lebih kecil dibandingkan kayu jati
konvensional, dan secara statistik pun berbeda (Lampiran 15). Nilai kekerasan
kayu JUN yang lebih kecil dibandingkan kayu jati konvensional disebabkan
karena kondisi parenkim jari-jari yang lebih lebar dan lebih tinggi, serta dimensi
sel pembuluh yang lebih lebar menyebabkan kayunya menjadi lebih lunak, selain
itu meskipun secara statistik tidak berbeda, namun tebal dinding serat kayu JUN
yang sedikit lebih tipis juga dipastikan berpengaruh pada sifat ini. Nilai kekerasan
kedua kayu jauh lebih kecil dibandingkan kekerasan kayu jati dewasa yang
mencapai 414 kg cm-2 pada kekerasan ujung, dan 428 kg cm-2 pada kekerasan sisi,
kemungkinan karena kedua kayu yang diteliti masih muda.
Sebelum pengolahan selanjutnya untuk menjadi venir dan furnitur, dolok
kayu dikeringudarakan dulu selama tiga bulan dalam ruangan dengan kelembapan
udara rata-rata 77% dan suhu rata-rata 28 °C. Selanjutnya dipotong menjadi
sortimen dengan berbagai ukuran.
Pada saat dikeluarkan dari gudang penyimpanan, bagian ujung dolok kayu
JUN ada yang retak, sedangkan pada kayu jati konvensional terjadi belah
memanjang searah serat (Gambar 45 sampai Gambar 47). Belah pada kayu JUN
baru terjadi setelah kayu dipotong menjadi sortimen kayu gergajian, itupun pada
JUN umur 4 tahun (Gambar 48).
Gambar 45. Keadaan dolok kayu bundar JUN umur 5 tahun setelah
dikeringudarakan selama 3 bulan. Tampak ada retak di bagian ujung bontos (tanda panah).
100
Gambar 46. Keadaan dolok kayu bundar JUN umur 4 tahun setelah dikeringudarakan selama 3 bulan. Tampak ada retak di bagian ujung bontos (tanda panah)
Gambar 47. Belah sepanjang serat pada dolok kayu jati konvensional setelah dikeringudarakan selama 3 bulan (tanda panah)
101
Sesuai dengan hasil penelitian pada sifat fisisnya, kayu JUN memiliki
stabilitas dimensi yang lebih baik. Walaupun KA basah lebih tinggi dan ukuran
sortimen yang lebih besar, namun dinding sel yang lebih tipis dan derajat
kristalinitas yang lebih besar menyebabkan kayu JUN memiliki kemampuan
adaptasi yang lebih baik dibandingkan kayu jati konvensional pada umur yang
sama, sehingga pada saat dikeringkan secara alami, kerusakan yang terjadi juga
lebih kecil. Umur juga berpengaruh pada sifat ini. Kayu JUN umur 5 tahun lebih
stabil dibandingkan kayu JUN umur 4 tahun. Pada Gambar 48 disajikan kondisi
sortimen setelah digergaji. Ukuran sortimen kayu gergajian disajikan pada
Lampiran 7.
Gambar 48. Sortimen gergajian kayu JUN umur 5 dan 4 tahun (dolok A dan D).
Tampak ada belah pada sortimen 4A (tanda panah). Inzert ditunjukkan retak pada bagian ujung kayu JUN umur 5 dan 4 tahun.
JUN 5 th pangkal JUN 5 th ujung & JUN 4 th pangkal
JUN 4 th ujung
JUN 4 th ujung JUN 5 th pangkal
JUN 4 th pangkal
102
Untuk pengamatan perubahan bentuk akibat cuaca, tidak seluruh sortimen
kayu JUN digunakan untuk pembuatan produk. Sortimen yang disisakan berupa
kayu gergajian dan lempengan kemudian disimpan dalam ruangan dengan
temperatur rata-rata 26°C dan kelembapan 81%. Setelah disimpan selama 3 bulan,
ternyata ada kerusakan berupa retak pada bagian ujung dan perubahan bentuk,
kecuali sortimen kayu JUN umur 5 tahun bagian pangkal yang tetap stabil.
Perubahan bentuk terjadi pada kayu JUN umur 4 tahun bagian ujung. Bentuk
kerusakan tersebut ditunjukkan pada Gambar 49 hingga Gambar 51. Diharapkan,
pengamatan perubahan bentuk akibat cuaca dapat dilanjutkan.
Gambar 49. Retak pada ujung sortimen JUN umur 5 tahun bagian ujung
Gambar 50. Perubahan bentuk membusur pada sortimen JUN umur 4 tahun
bagian ujung
Gambar 51. Retak pada ujung sortimen JUN umur 4 tahun bagian ujung
103
Sifat Kimia
Data hasil penghitungan kadar ekstraktif yang larut dalam etanol benzena
untuk kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun disajikan pada
Gambar 52. Pada Gambar 53 ditunjukkan perbedaan warna zat ekstraktif yang
dihasilkan.
Keterangan:
A. JUN 4A gubal E. JUN 5A gubal B. JUN 4A peralihan teras sekunder-gubal F. JUN 5A peralihan teras sekunder-gubal
C. JUN 4A teras sekunder G. JUN 5A teras sekunder D. Jati lokal 4 th H. Jati lokal 5 th
Gambar 52. Kadar ekstraktif untuk kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun
Kandungan ekstraktif larut alkohol benzena pada JUN lebih rendah
dibandingkan kayu jati konvensional umur sama, dan secara statistik nilainya
berbeda (Lampiran 16). Kadar ekstraktif kayu umur 5 tahun juga lebih rendah
dibandingkan kayu umur 4 tahun. Kandungan zat ekstraktif lebih tinggi di bagian
tengah (batas antara pewarnaan yang terjadi dengan kayu bagian luar).
A B C D E F G H
Kandungan ekstraktif 2,67 2,79 2,73 2,95 2,53 2,66 2,59 2,9
2,32,42,52,62,72,82,93
%
Kandungan ekstraktif
104
Keterangan:
A. JUN 4A gubal E. JUN 5A gubal B. JUN 4A peralihan teras sekunder-gubal F. JUN 5A peralihan teras sekunder-gubal
C. JUN 4A teras sekunder G. JUN 5A teras sekunder D. Jati lokal 4 th H. Jati lokal 5 th
Gambar 53. Perbedaan warna zat ekstraktif alkohol benzena pada kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun.
Dari Gambar 52 dan 53 dapat dilihat bahwa meskipun kadar zat ekstraktif
kayu JUN lebih rendah dibandingkan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun,
namun ekstraktif kayu JUN lebih pekat. Ini kemungkinan disebabkan karena telah
terjadi pewarnaan pada kayu JUN akibat respon terhadap serangan
mikroorganisme (proses menuju kayu teras sekunder) yang tidak terjadi pada kayu
jati konvensional.
Hipotesa bahwa komponen kimia kayu terutama zat ekstraktif yang larut
alkohol benzena sebagai penentu keawetan, bau dan warna kayu dimana kadar
ekstraktif dan komponen kimia kayu JUN kurang lebih sama dibandingkan kayu
jati konvensional pada umur yang sama terbukti, dan nilainya kurang lebih
setengah dari kadar ekstraktif kayu jati dewasa yang diduga merupakan indikasi
kayu teras primer belum terjadi atau sedang dalam proses pembentukan kayu teras
sesungguhnya. Kadar zat ekstraktif yang terbentuk belum pada taraf yang
mematikan sel-sel kayu.
Sedangkan hasil analisis kandungan kimia menggunakan GCMS
menunjukkan bahwa zat ekstraktif tectoquinon sebagai penentu keawetan kayu
sudah terbentuk pada kedua kayu walaupun konsentrasi relatifnya pada jati
konvensional lebih tinggi.
A B C D E F G H
105
Keawetan Kayu
Data keawetan alami (meliputi pengurangan berat, derajat serangan dan
jumlah rayap hidup) kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun
terhadap serangan rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgreen.) disajikan
pada Gambar 54. Secara statistik, pengurangan berat kayu JUN dan kayu jati
konvensional tidak berbeda, namun bila dilihat, pengurangan berat kayu JUN
nilainya lebih tinggi dibandingkan kayu jati konvensional, demikian juga untuk
prosentase rayap hidup (Lampiran 17). Sedangkan uji statistik menunjukkan
derajat serangan yang terjadi berbeda, dimana derajat serangan pada JUN lebih
kecil. Dari data tersebut dapat diklasifikasikan kelas awet (keawetan alami) kayu
JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun terhadap serangan rayap
tanah (C. curvignathus).
Gambar 54. Persentase pengurangan berat, derajat serangan dan jumlah rayap
hidup kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun setelah pengumpanan terhadap rayap tanah.
Klasifikasi keawetan kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5
tahun berdasarkan interval kehilangan berat dan persentase rayap hidup disajikan
pada Tabel 13. Derajat serangan berkisar pada angka 70 yang berarti kondisi
serangan sedang, masuk, namun belum meluas.
PENGURANGAN BERAT (%)
DERAJAT SERANGAN
JUMLAH RAYAP HIDUP (ekor)
JUN 14,04 66,5 62,6
Jati konvensional 10,99 78 55,6
0102030405060708090
Data pengumpanan rayap tanah
106
Tabel 13. Kelas awet kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun
SAMPEL PENGURANGAN BERAT (%) KETAHANAN
JUMLAH RAYAP HIDUP (ekor)
KETAHANAN KELAS AWET
JUN 14,04 IV 62,6 IV IV
Jati konvensional 10,99 IV 55,6 IV IV
Hasil penelitian Sumarni dan Muslich (2008) terhadap kayu jati cepat
tumbuh dari PT. Monfori dan jati lokal milik masyarakat umur 5 tahun pada
tempat tumbuh yang berdekatan semuanya memiliki kelas awet V. Pada penelitian
ini, kelas awet kayu jati yang diteliti termasuk kelas IV. Kelas awet kayu JUN dan
jati konvensional asal Jawa Tengah umur 4 dan 5 tahun ini relatif lebih baik
dibandingkan kayu jati cepat tumbuh dan kayu jati konvensional umur 5 tahun
yang ditanam di Kabupaten Singaraja, Propinsi Palembang tersebut.
Panshin et al. (1964) menyatakan bahwa daerah ketahanan kayu paling
tinggi adalah pada peralihan antara kayu gubal dan kayu teras. Hal ini mendukung
hasil penelitian terhadap kandungan ekstraktif dimana pada perbatasan pewarnaan
(kayu teras sekunder) dengan bagian kayu sebelah luar (kayu gubal) nilainya lebih
tinggi dibandingkan bagian dalam (bagian yang sudah mengalami pewarnaan)
atau bagian luar (bagian yang belum mengalami pewarnaan), dan warnanya pun
lebih pekat (Gambar 52 dan Gambar 53). Perlu diingat bahwa ada hubungan
negatif antara keawetan dan kecepatan tumbuh. Pada kayu JUN perlu untuk
diteliti kembali keawetannya pada umur yang lebih tua, dan dibandingkan dengan
jati konvensional dewasa. Dalam penggunaan, kayu JUN umur 5 tahun harus
diawetkan.
Meskipun derajat serangan berbeda, namun kisaran pada angka 70
menunjukkan kondisi serangan yang sedang dan masuk belum meluas, namun
berdasarkan pengamatan terhadap sampel yang diumpankan ternyata kerusakan
yang tembus hingga ke permukaan kayu pada JUN lebih sedikit dibandingkan
kayu jati konvensional (Gambar 55). Penjelasan yang memungkinkan adalah
pertahanan ini disebabkan karena derajat kristalinitas kayu JUN yang lebih besar.
107
Struktur kristalin yang padat yang lebih banyak terdapat pada JUN kemungkinan
menyulitkan rayap untuk menembus kayu dan hanya makan bagian permukaan
pada kayu.
Gambar 55. Bentuk kerusakan akibat serangan rayap tanah pada kayu jati konvensional (sebelah kiri) dan pada kayu JUN (sebelah kanan)
Meskipun berdasarkan hasil penelitian sifat fisis kayu JUN dan kayu jati
konvensional memiliki kelas kuat III, namun dalam pemakaiannya ditentukan
oleh kelas keawetan kayu, dalam hal ini termasuk kelas IV. Kayu-kayu dengan
kelas awet IV dalam penggunaannya memiliki sifat sebagai berikut: jika selalu
berhubungan dengan basah maka umurnya sangat pendek; jika di bawah pengaruh
cuaca dan angin, tetapi dilindungi dari kemasukan air dan kekurangan udara serta tidak
berhubungan dengan tanah basah maka kayu akan tahan beberapa tahun; dan dalam
kondisi tersebut namun dipelihara dengan baik, dicat secara teratur dan sebagainya, maka
kayu akan tahan sekitar 20 tahun (Seng 1990), sehingga bagaimanapun, untuk
meningkatkan masa pakainya, kayu JUN harus diawetkan.
Kesesuaian kayu JUN untuk Venir dan Furnitur
Sifat Venir
Sifat venir kayu JUN umur 4 dan 5 tahun berupa kadar air, kerapatan,
kembang susut dan tebal venir disajikan pada Tabel 14. Pada Gambar 60 disajikan
gambar venir yang dihasilkan.
108
Tabel 14. Rata-rata nilai kadar air, kerapatan, kembang susut, tebal dan penyimpangan tebal venir JUN umur 4 dan 5 tahun.
Jenis Kayu
Kadar Air (%) Basah
Kerapatan Kembang Susut KO
Tebal (mm)
Penyimpangan (%) Basah KU Kering Oven
5BD 28,7 0,45 0,38 0,38 5,25 1,65 6,04 5BL 31,29 0,49 0,42 0,42 11,63 1,65 7,414BD 15,36 0,51 0,47 0,47 6,46 1,74 7,84 4BL 22,42 0,45 0,43 0,43 16,92 1,72 7,34
Keterangan: Angka 5 dan 4 menunjukkan umur pohon (5 dan 4 tahun), huruf B menunjukkan sortimen yang digunakan adalah sortimen B (lihat kembali pola pembuatan sampel pada bab metodologi), dan huruf D menunjukkan bagian dalam log, huruf L adalah bagian luar log.
Pada penelitian ini tidak dibandingkan sifat venir antara umur 4 tahun dan 5
tahun karena umur 4 tahun dianggap merupakan ulangan pohon. Namun tebal
venir pada bagian dalam maupun luar dibandingkan dan diuji secara statistik, baik
JUN umur 4 tahun maupun 5 tahun untuk mengetahui bagaimana keragaman
tebalnya. Hasil uji statistik pada tebal venir bagian luar dan bagian dalam tidak
berbeda (Lampiran 19), namun nilai penyimpangan tebal > 5% menunjukkan
bahwa tebal yang dipilih kurang sesuai (Iskandar et al. 1990).
Gambar 56. Lembaran venir kayu JUN umur 5 tahun dan 4 tahun. Gambar sebelah kiri menunjukkan cacat yang terjadi pada lembaran venir.
JUN 5 tahun
JUN 4 tahun
109
Penghitungan sifat pengupasan dolok kayu JUN umur 4 dan 5 tahun
disajikan pada Tabel 15 dan Tabel 16.
Tabel 15. Data volume dolok awal, sifat kebundaran, pengurangan diameter dan limbah karenapengupasan awal untuk membentuk venir yang bundar 100%
Umur Kayu JUN
Panjang (m)
Diameter (cm) Volume Dolok (m3)
Perbandingan diameter
(dmin/dmax)
Pengurangan diameter (cm) Limbah krn pengupasan awal (m3) Bawah Ujung Rata-rata Diameter
bulat Pengurangan
diameter
5 th 1,25 23,05 22,25 22,65 0,05 0,97 22,20 0,45 0,000020
4 th 1,245 17,25 19,1 18,175 0,03 0,90 16,60 1,58 0,000242
Tabel 16. Data rendemen dan limbah venir total yang dihasilkan
Umur Kayu JUN
Sisa kupasan (log core) Rendemen Limbah Venir
Diameter (cm) m3
% dari Volume Dolok
m3 % Pengupasan awal
Log core
Limbah lainnya Total
% limbah
total
5 th 11,00 0,01 23,59 0,02 36,73 0,000020 0,01 0,02 0,03 63,27 4 th 11,20 0,01 37,97 0,01 26,79 0,000242 0,01 0,01 0,02 73,21
Dolok kayu JUN baik umur 4 tahun maupun 5 tahun dapat dikupas dalam
kondisi dingin. Kayunya termasuk keras karena sudah kering, dan sekaligus juga
sudah agak lapuk karena sudah terkena jamur dalam penyimpanan selama lima
bulan. Terdapat sejumlah mata kayu dari dalam, sehingga perlu diperhatikan
upaya perawatan kayu sejak ditanam. Permukaan yang dihasilkan kasar (akibat
teksturnya yang kasar) karena kayu dikupas dalam kondisi dingin, namun jika
dikupas dalam kondisi basah, permukaannya diperkirakan akan halus dan rata.
Dolok jati membutuhkan perlakuan pendahuluan sebelum pengupasan
(Martawijaya et al. 2005). Rendahnya kadar air saat pengupasan (Tabel 14, kadar
air basah pada kisaran 15-31%) turut berpengaruh dalam hasil akhir karena air
berfungsi sebagai pelumas, dan kadar air yang ideal saat pengupasan adalah 50-
60% (Kliwon & Iskandar 2008), sehingga perlakuan pendahuluan untuk dolok
JUN memang dibutuhkan.
Keragaman tebal termasuk kurang baik karena simpangan yang terjadi lebih
dari 5%, dimungkinkan karena kondisi pengupasan yang kering, atau juga
110
ketebalan yang dipilih terlalu tinggi (Iskandar et al. 1990). Keragaman tebal JUN
5 tahun lebih baik dibandingkan JUN 4 tahun. Dimensi sel yang besar
kemungkinan tidak berpengaruh karena teksturnya yang rata, ditambah dengan
arah serat lurus akan memudahkan pengupasan. Untuk selanjutnya dapat
dilakukan penelitian sifat venir pada kayu JUN dengan berbagai sudut kupas dan
ketebalan.
Rendemen kayu semakin besar seiring dengan penambahan diameter
batang. Hal ini juga dikarenakan dolok kayu JUN memiliki kebundaran baik (0,97
untuk JUN umur 5 tahun dan 0,90 untuk JUN umur 4 tahun) sehingga limbah
akibat pengupasan awal dapat diabaikan. Semakin besar dolok, rendemen yang
dihasilkan juga semakin besar. Pengupasan awal mengurangi diameter dolok JUN
4 tahun lebih besar dibandingkan JUN 5 tahun karena sifat kebundaran dolok JUN
5 tahun yang lebih baik. Untuk meningkatkan rendemen dan kualitasnya, dolok
kayu perlu mendapatkan perlakukan pendahuluan. Dari Gambar 60 nampak
bahwa corak kayu cukup menarik, terutama untuk venir bagian dalam karena
keberadaan kayu teras, namun corak karena pengaruh lingkar tumbuh tidak
tampak. Dapat dicoba pembuatan venir kupas untuk corak yang lebih baik. Dari
hasil penelitian di atas, nampak bahwa venir yang dihasilkan dari JUN umur 5
tahun lebih baik, lebih stabil, dengan rendemen lebih tinggi dibandingkan JUN
umur 4 tahun.
Berdasarkan dugaan yang dibuat sebelumnya, bahwa kayu JUN akan lebih
lunak sehingga lebih mudah dikupas terbukti. Berat Jenis JUN masuk pada
kisaran yang ideal sebagai bahan baku venir (FAO 1966 dalam Martawijaya et al.
2005). Terdapat kelemahan pada venir JUN seperti permukaan yang kasar, namun
dapat diatasi dengan perlakuan pendahuluan sebelum pengupasan, serta corak
yang kurang menarik, dapat diatasi dengan meningkatkan umur panen kayu
sehingga kayu cukup membentuk kayu teras misal pada umur 7 tahun
(komunikasi pribadi, Pandit 2010) atau juga dengan membuat venir sayat. Solusi
pada permasalahan kembang susut yang besar perlu dilakukan penelitian secara
lebih mendalam, namun dengan sifat fisis kayu JUN yang stabil, maka perlu
dicoba ketebalan venir yang terbaik yang menghasilkan kembang susut terkecil.
Dengan kualitas venir yang diperoleh dari JUN umur 5 tahun tersebut, produk
111
venir yang dihasilkan cukup baik, namun hanya cocok untuk digunakan sebagai
venir bagian dalam (core).
Kesesuaian Kayu JUN untuk Furnitur
Pada penelitian ini dibuat dua produk akhir yaitu meja dan kusen (Gambar
61 dan Gambar 62), walaupun kusen bukan termasuk komponen furnitur namun
perlu juga dibuat untuk melihat sifat-sifat pengolahan kayu secara umum. Bahan
baku yang digunakan adalah kayu JUN bagian pangkal dan ujung umur 4 dan 5
tahun.
Gambar 57. Produk kusen dari kayu JUN umur 4 dan 5 tahun
Gambar 58. Produk meja dari kayu JUN umur 4 dan 5 tahun
112
Sifat-sifat kayu JUN untuk penggunaannya sebagai furnitur ditinjau dari
sifat anatomi, fisis mekanis, kimia dan keawetan (Menon & Burgess 1979; PIKA
1979; dan Pandit 2009) disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17. Sifat-sifat kayu JUN untuk penggunaan sebagai furnitur ditinjau dari sifat anatomi, fisis mekanis, kimia dan keawetan
Sifat Kayu Sifat yang Disukai Sifat Kayu JUN Struktur anatomi makro Arah serat lurus, tekstur halus
hingga sedang, memiliki kilap alami, memiliki corak yang bagus (antara lain disebabkan perbedaan kayu awal dan kayu akhir, struktur jari-jari multiseriate, parenkim pita marginal, dan pembentukan kayu teras yang tidak teratur), serta warna (tergantung selera pasar).
Arah serat lurus, tesktur kayu kasar, permukaan kayu agak mengkilap hingga buram, terdapat corak akibat pembentukan kayu teras sekunder yang tidak teratur serta struktur jari-jari multiseriate, warna terang.
Struktur anatomi mikro Ketebalan dinding sel cukup, kandungan kayu juvenil rendah, tidak terdapat kristal dan tilosis.
Dinding sel sangat tipis, kandungan kayu juvenil tinggi, terdapat tilosis.
Sifat fisis Kerapatan dan BJ sedang, stabilitas dimensi tinggi.
Kerapatan dan BJ sedang, stabilitas dimensi baik.
Sifat mekanis Kekerasan sedang. Kekerasan rendah. Sifat kimia Kadar esktraktif dan silika
rendah. Kadar esktraktif dan silika rendah.
Keawetan Sedang hingga tinggi. Rendah
Arah serat lurus pada JUN akan memudahkan dalam pengerjaan dan
kekuatannya juga tidak tereduksi karena keberadaan serat miring akan
mengurangi kekuatan kayu (Pandit et al. 2009), sedangkan serat JUN lurus.
Tekstur kayu JUN yang kasar akan berpengaruh pada proses finishing seperti ada
indikasi boros pada penggunaan filler terutama melamik (dempul) dan bermasalah
pada sherlak. Kilap alami kayu JUN kurang sehingga perlu usaha untuk
meningkatkan kilapnya.
Bagian-bagian furnitur dimaksudkan untuk menerima beban, baik secara
terus-menerus atau sesekali. Beban-beban ini disebarkan secara merata, termasuk
pada sambungan. Sehingga, meskipun kekuatan adalah penting, bahan baku untuk
furnitur tidak dibutuhkan yang benar-benar sangat kuat. Lebih lanjut, kekuatan
berhubungan dengan kerapatan, kayu yang sangat kuat berarti juga kayu yang
sangat berat. Furnitur yang dibuat dari kayu yang berat umumnya kurang disukai
113
karena sulit untuk memindah-mindahkannya. Selain menyulitkan dipindah-
pindah, kayu yang berat juga menyebabkan penumpulan yang cepat pada pisau
pemotong. Meskipun dengan penambahan baja baru pada pisau pemotong
membuat pisau lebih kuat dan teguh, penumpulan pisau secara cepat tetap akan
terjadi jika menggunakan kayu berat (Menon & Burgess 1979).
Kayu dengan kerapatan kering oven sekitar 0,5 g/cm (Berat Jenis 0,5) telah
terbukti cukup baik untuk furnitur. Bagaimanapun, disarankan untuk
menggunakan kayu yang lebih berat untuk furnitur yang memiliki banyak
kegunaan seperti tempat tidur dan kursi; tapi kayu yang lebih ringan juga dapat
dipakai untuk pembuatan furnitur di kantor, seperti lemari, rak, termasuk rak buku
(Menon & Burgess 1979).
Kerapatan kayu JUN dalam kondisi kering udara adalah 0,52 g/cm dengan
berat jenis 0,48. Kerapatan kayu yang berkisar 0,5 g/cm tersebut menjadikan kayu
JUN umur 4 dan 5 tahun cukup ideal untuk dijadikan furnitur. Meskipun
disarankan menggunakan kayu dengan BJ yang lebih besar untuk produk yang
memiliki banyak kegunaan dalam menahan beban, maka kayu JUN umur 4 dan 5
tahun ini sudah dapat dipakai untuk pembuatan furnitur di rumah dan kantor,
seperti meja, lemari, rak, termasuk rak buku. Sejauh ini, produk yang dihasilkan
cukup kuat untuk menopang beban.
Kayu untuk furnitur harus mudah untuk digergaji, diserut, dihaluskan
ataupun dibor (Menon & Burgess 1979). Dalam penelitian ini, sifat permesinan
secara kuantitatif tidak diteliti. Permukaan yang dikerjakan harus mulus tanpa
sobekan serabut yang akan menghasilkan permukaan yang berbulu. Secara
kualitatif, pada saat penyerutan, kayu JUN mudah diserut dan cepat rata,
kemungkinan karena arah serat kayu yang lurus dan ukuran kristal yang lebih
kecil. Untuk penggergajian, kayu JUN terasa seset atau agak berat saat digergaji,
pekerja menyebutnya sifat pengerjaan kayu JUN seperti kayu kamper yang
memang ada kemiripan pada pola pembuluh.
Kekerasan kayu JUN termasuk rendah, sehingga pengerjaan kayu JUN lebih
enak karena lebih lunak, namun akibatnya, kuat pegang paku agak lemah. Untuk
pengeboran karena kayunya cukup lunak, maka akan memudahkan saat akan
114
dibor. Kuat pegang paku yang lemah dan pengeboran yang mudah disebabkan
karena dinding sel serat kayu JUN yang sangat tipis.
Kayu juga jangan mengandung terlalu banyak ekstraktif, seperti resin/getah,
atau silika, yang mungkin dapat menyebabkan pisau pemotong menjadi tumpul.
Kemungkinan karena umurnya masih muda, kandungan ekstraktif dan silika (dari
hasil pengamatan secara mikoskopik) rendah, dan ini cukup menguntungkan
dalam pengerjaan.
Untuk stabilitas dimensi selama penggunaan, kayu yang memiliki
penyusutan dan pengembangan yang drastis dan besar, kurang disukai untuk
penggunaan apapun. Pergeseran kayu akan menyebabkan distorsi pada bagian
furnitur, sulitnya menarik laci, sulit membuka pintu, dan juga menyebabkan
sambungan terbuka (Menon & Burgess 1979).
Hasil penelitian sifat fisis menunjukkan bahwa kayu JUN umur 5 tahun
memiliki stabilitas dimensi yang baik. Namun dapat lebih berhati-hati saat
menggunakan kayu JUN yang berumur lebih muda dari 5 tahun, misalnya 4 tahun
seperti yang digunakan dalam penelitian ini karena dimensinya belum begitu
stabil. Pada penyimpanan selama tiga bulan dalam suhu ruangan tampak terjadi
retak pada permukaan meja serta perubahan bentuk pada kusen (Gambar 63).
Kondisi ini terjadi kemungkinan karena tidak ada perlakuan pengeringan kayu
sebelumnya, memang dalam penelitian ini kegiatan pengeringan tidak dilakukan
karena ingin diketahui reaksi alami kayu JUN terhadap perubahan kondisi
lingkungan. Dengan perlakuan pengeringan yang tepat, kayu dengan kadar air
kurang dari 10% akan mampu mengatasi permasalahan ini.
Perhatian secara khusus, bagaimanapun, harus diaplikasikan saat furnitur
kayu digunakan pada ruangan ber-AC. Karena itu, kayu dengan penyusutan
rendah sangat ideal untuk pembuatan furnitur. Perubahan kadar air pada kayu
yang telah dikeringkan dapat diminimalisir dengan pelapisan yang tepat
menggunakan varnish, cat, atau bahkan lembaran plastik. Metode yang disebutkan
terakhir adalah perkembangan terbaru dalam teknik perlindungan kayu. Jika
memungkinkan, papan yang digunakan sebaiknya papan radial karena memiliki
susut yang lebih kecil (Menon & Burgess 1979).
115
Kandungan kayu juvenil yang sangat tinggi (100%) akan menurunkan
kualitasnya sebagai bahan baku venir karena akan menimbulkan masalah dalam
pengerjaan dan pemakaian, seperti adanya perubahan bentuk. Walaupun
demikian, landainya garis regresi pada penelitian kayu muda JUN serta
penggunaan stek pucuk sebagai alat perkembangbiakan, memungkinkan JUN
mencapai kedewasaan lebih cepat.
Gambar 59. Retak dan perubahan bentuk membusur pada kayu JUN umur 4 tahun akibat cuaca (penggunaan kayu JUN secara alami tanpa perlakuan pengeringan).
Terkadang, keawetan berhubungan dengan kerapatan. Kayu yang berat
umumnya lebih awet dibanding kayu yang lebih ringan. Bagaimanapun, keawetan
kayu yang lebih rendah dapat ditingkatkan dengan perlakuan pengawetan.
Serangan rayap dan penggerek secara sukses dapat dikontrol menggunakan teknik
pengawetan kayu. Serangan jamur seperti jamur biru pada kayu yang berwarna
cerah juga dapat diatasi dengan perlakuan pengawetan (Menon & Burgess 1979).
116
Pada sekitar satu bulan penyimpanan muncul bercak-bercak putih seperti mold,
namun dapat dihilangkan dengan mudah.
Dengan memperhatikan sifat-sifatnya di atas, kayu JUN umur 5 tahun sudah
dapat digunakan sebagai bahan baku furnitur, namun belum bisa untuk kayu
konstruksi karena kandungan kayu muda yang masih tinggi. Persyaratan kekuatan,
pengerjaan, berat jenis, dan stabilitas dimensi sudah terpenuhi walaupun ada
kekurangan seperti kuat pegang kaku yang lemah dan boros pada finishing. Kayu
JUN juga lebih disukai karena lebih lunak dan lebih ringan sehingga lebih mudah
dikerjakan dan dipindah-pindahkan. Keawetan perlu ditingkatkan dengan
menerapkan teknik pengawetan kayu. Dari segi corak, kualitasnya sebagai produk
mewah akan turun, terutama untuk furnitur yang menghendaki segi keindahan
kayu. Kayu JUN lebih cocok digunakan untuk membuat furnitur yang berwarna
terang yang lebih disukai oleh konsumen-konsumen tertentu. Namun ada
kemungkinan coraknya akan tampak menarik jika digunakan pada umur yang
lebih tua.