stroke non hemoragik
-
Upload
jeffrisofian -
Category
Documents
-
view
172 -
download
1
description
Transcript of stroke non hemoragik
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stroke merupakan penyebab kecacatan utama baik di nergara maju maupun
negara yang sedang berkembang. Stroke juga diperkirakan mengakibatkan
134.000 kematian setiap tahunnya dan menjadi penyebab kematian ke 3
setelah penyakit jantung dan kanker di Amerika (Lloyd et al., 2009).
Menurut data di Amerika Serikat sekitar 795.000 orang mengalami stroke
setiap tahunnya, 610.000 orang mengalami serangan pertama dan 6,4 juta
orang amerika yang bertahan hidup pasca serangan stroke. Pada tahun 1988
sampai 1997 menurut umur yang telah disesuaikan, penderita stroke yang
dirawat inap meningkat 18,6% (sebanyak 560 per 10.000 dan 640 per
10.000),sementara jumlah total pasien stroke yang dirawat inap meningkat
38,6% (dari 592.811 menjadi 821.760) setahun (Fang, 2001).
Setiap 45 detik ada penderita stroke baru, dan setiap 3,1 menit meninggal
karena stroke. Kemajuan telah dibuat dalam mengurangi kematian akibat
stroke. American Heart Association, menetapkan sasaran penurunan angka
2
kematian penyakit kardiovaskular dan stroke sebanyak 25% dalam kurun
waktu 10 tahun. Antara tahun 1996 dan 2006 terjadi penurunan angka
kematian akibat stroke 33,5% yaitu menjadi 18,4%. Tujuan penurunan 25%
telah tercapai pada tahun 2008, meskipun ada penurunan angka kematian
akibat stroke, angka kejadian stroke meningkat (Brown, 2006).
Stroke juga penyebab utama kecacatan jangka panjang, dimana 20% pasien
yang bertahan hidup memerlukan perawatan jangka panjang, dan setelah 3
bulan sekitar 15%-30% menjadi cacat permanen. Stroke tidak hanya
mengubah kehidupan si penderita, tapi juga keluarganya, karena berdampak
kepada kematian dan kecacatan, serta tingginya biaya yang harus dikeluarkan
(Adams et al., 2009). Sejumlah kasus belakangan ini menyerang bukan hanya
kelompok usia di atas 50 tahun, melainkan juga kelompok usia produktif yang
menjadi tulang punggung keluarga, bahkan dalam sejumlah kasus penderita
penyakit tersebut berusia di bawah 30 tahun (Junaidi, 2006). Hal ini akan
berdampak terhadap menurunnya tingkat produktifitas serta dapat
mengakibatkan terganggunya sosial ekonomi keluarga (Yayasan Stroke
Indonesia, 2008). Pada tahun 2010 di Amerika Serikat total biaya yang
dikeluarkan mencapai USD 73,7 miliar (biaya langsung dan tidak langsung),
diperkirakan rata-rata biaya yang dikeluarkan penderita stroke USD 140.048
(Lloyd et al., 2009).
3
Di Indonesia belum ada data epidemiologi tentang stroke yang lengkap, tetapi
proporsi pasien stroke dari tahun ke tahun cenderung meningkat, terlihat dari
laporan Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes RI diberbagai rumah sakit
di 27 provinsi di Indonesia, yang menunjukkan terjadinya peningkatan antara
1984 sampai 1986, dari 0,72 per 100 pasien pada tahun 1984 menjadi 0,89 per
100 pasien pada tahun 1986 (Hariyono, 2004). Di Indonesia diperkirakan
setiap tahun 500.000 penduduk terkena serangan stroke, dan sekitar 25% atau
125.000 orang meninggal dan sisanya mengalami cacat ringan sampai berat.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 mencatat bahwa kasus
tertinggi stroke terdapat di Kota Semarang yaitu sebesar 4.516 (17,36%)
dibanding dengan jumlah keseluruhan kasus stroke dikabupaten atau kota lain
di Jawa Tengah. Dikatakan bahwa hal ini mengalami peningkatan apabila
dibandingkan dengan kasus yang terjadi pada tahun 2004 yaitu 3.986 kasus
(17,11%).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Widjaja (2000) di Indonesia
menemukan 60,7% penderita stroke disebabkan oleh stroke non hemoragik
sedangkan 36,6% karena stroke hemoragik. Stroke trombotik paling banyak
terdapat (58,3%), disusul oleh perdarahan intraserebral (PIS) (35,6%). Emboli
dan perdarahan subaraknoidal hanya sedikit sekali 2,4% dan 1%. Usia kurang
dari 45 tahun lebih jarang terkena (15,9%) dari pada usia lebih dari 45 tahun
(84,1%), sedangkan laki-laki (63,5%) lebih banyak terkena dari pada wanita
(36,5%). Angka kematian dari seluruh stroke (32,1%) dan merupakan
4
penyebab kematian nomer dua setelah meningoensefalitis (59,5%). Faktor
risiko stroke paling banyak karena hipertensi (81,7%) dan diabetes mellitus
(66,7%). Pada pemeriksaan anamnesis, hipertensi hanya terdapat pada
(66,7%) kasus. Sedangkan gangguan peredaran darah otak sepintas (GPDOS)
sebanyak (47,4%) hanya terdapat pada trombosis serebri. Pada emboli, PIS
dan PSA tak terdapat riwayat GPDOS sebelumnya. Pada stroke emboli 86,7%
disebabkan oleh fibrilasi atrial dan infark jantung lama, selebihnya tak
diketahui penyebabnya (Harsono, 2005).
Pencegahan stroke terdiri dari pencegahan primer dan sekunder. Pencegahan
primer sangat penting karena >77% dari stroke adalah serangan pertama
(Ferguson et al., 2009). Di Inggris, angka kejadian stroke berkurang 40%
dalam kurun waktu 20 tahun dengan cara preventif dengan mengontrol faktor
risiko (Goldstein et al., 2006). Faktor risiko stroke di bagi menjadi 3, yaitu
faktor risiko yang tidak dapat dikontrol (Nonmodifiable), faktor risiko yang
dapat dikontrol (modifiable) dan berpotensi dapat dikontrol (Potential
modifiable) (Sacco et al., 2011). Penelitian di Inggris menyebutkan bahwa
pencegahan yang paling mudah dengan mengubah gaya hidup menjadi lebih
sehat, akan menurunkan risiko stroke pertama menjadi 80%, dibanding orang-
orang yang tidak mengubah gaya hidupnya (Chiuve et al., 2008).
Seseorang yang pernah terserang stroke mempunyai kecenderungan lebih
besar akan mengalami serangan stroke berulang, terutama bila faktor risiko
5
yang ada tidak ditanggulangi dengan baik, karena itu perlu diupayakan
prevensi sekunder yang meliputi gaya hidup sehat dan pengendalian faktor
risiko (Caplan, 2009).
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Stroke
Definisi stroke menurut WHO Monica Project adalah manifestasi klinis dari
gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun menyeluruh yang berlangsung
dengan cepat, lebih dari 24 jam, atau berakhir dengan kematian, tanpa
ditemukan penyebab selain dari pada gangguan vaskular (Junaidi, 2006).
B. Klasifikasi Stroke
Stroke diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Berdasarkan kelainan patologis
a. Stroke hemoragik
1) Perdarahan intra serebral
2) Perdarahan ekstra serebral
b. Stroke non-hemoragik (stroke iskemik, infark otak, penyumbatan)
1) Stroke akibat trombosis serebri
2) Emboli serebri
3) Hipoperfusi sistemik
2. Berdasarkan waktu terjadinya
7
1) Transient Ischemic Attack (TIA)
2) Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND)
3) Stroke In Evolution (SIE) / Progressing Stroke
4) Completed stroke
3. Berdasarkan lokasi lesi vaskuler
1) Sistem karotis
a. Motorik : hemiparesis kontralateral, disartria
b. Sensorik : hemiparestesi kontralateral, parestesia
c. Gangguan visual : hemianopsia homonim kontralateral,
amaurosis fugaks
d. Gangguan fungsi luhur : afasia, agnosia
2) Sistem vertebrobasiler
a. Motorik : hemiparesis alternan, disartria
b. Sensorik : hemihipestesi alternans, parestesia
c. Gangguan lain : gangguan keseimbangan, vertigo,diplopia
(Christopher, 2007).
C. Epidemiologi
Data di Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan kasus stroke baik
dalam hal kematian, kejadian, maupun kecacatan. Angka kematian
berdasarkan umur adalah sebesar 15,9% (umur 45-55 tahun) dan 26,8% (umur
55-64 tahun) dan 23,5% (umur >65 tahun) (Depkes, 2008). Insidensi
8
kecacatan stroke sebesar 51,6/100.000 penduduk dan 1,6% kecacatan tidak
berubah dan 4,3% semakin memberat. Penderita laki-laki lebih banyak dari
pada perempuan, dan profil usia dibawah 45 tahun sebesar 11,8%, usia 45-64
tahun 54,2% dan usia diatas 65 tahun sebesar 33,5% (Misbach, 2007).
Proporsi stroke menurut jenis patologis adalah 74% stroke infark, 24% stroke
perdarahan intraserebral, dan 2% stroke perdarahan subarakhnoid (Lamsudin,
2007).
Di Amerika Serikat, perbandingan stroke antara pria dan wanita yakni 1,2 : 1
serta perbandingan stroke antara kulit hitam dan kulit putih yakni 1,8 : 1.
D. Faktor Risiko
Faktor risiko adalah karakteristik, tanda atau kumpulan penyakit yang diderita
induvidu yang mana secara statistik berhubungan dengan peningkatan
kejadian kasus baru berikutnya (beberapa induvidu lain pada suatu kelompok
masyarakat (Bustam, 2002).
Menurut American Stroke Association faktor risiko stroke di bagi menjadi 3,
yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, faktor risiko yang dapat
dimodifikasi, dan berpotensi dimodifikasi. Faktor yang tidak dapat
dimodifikasi meliputi usia, jenis kelamin, berat lahir rendah, ras/etnik, dan
faktor genetik. Faktor yang dapat dimodifikasi meliputi hipertensi, diabetes,
9
merokok, penyakit Jantung/Atrial Fibrilasi, kenaikan kadar kolesterol/lemak
darah, penyempitan pembuluh darah karotis , gejala Sickle Cell, penggunaan
terapi sulih hormon, diet dan nutrisi, latihan fisik, kegemukan/obesitas.
Sedangkan faktor resiko yang berpotensi dimodifikasi antara lain migrain,
sindrom metabolik, konsumsi alkohol berlebihan, drug abuse/narkoba,
pemakaian obat kontrasepsi oral, gangguan tidur, kenaikan homocysteinemia,
kenaikan lipoprotein (a), hypercoagubility, peradangan (Goldstein et al.,
2011).
I. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
1. Umur
Kemunduran sistem pembuluh darah meningkat seiring dengan
bertambahnya usia hingga makin bertambah usia makin tinggi
kemungkinan mendapat stroke. Pada uji statistik faktor ini menjadi 2x
lipat setelah usia 55 tahun (Goldstein et al., 2011).
2. Jenis kelamin.
Stroke diketahui lebih banyak laki‐laki dibanding perempuan. Kecuali
umur 35–44 tahun dan diatas 85 tahun, lebih banyak diderita
perempuan. Hal ini diperkirakan karena pemakaian obat‐obat
kontrasepsi dan usia harapan hidup perempuan yang lebih tinggi
dibanding laki‐laki (Goldstein et al., 2011).
10
3. Berat Lahir Yang Rendah
Penelitian di Inggris menunjukkan orang-orang dengan berat badan
lahir rendah angka kejadian stroke lebih tinggi dibanding orang yang
lahir dengan berat normal. Namun bagaimana hubungan antara
keduanya belum diketahui secara pasti (Goldstein et al., 2011).
4. Ras
Penduduk Afro‐Amerika dan Hispanic‐Amerika berpotensi stroke lebih
tinggi dibanding Eropa‐Amerika. Pada penelitian penyakit
arterosklerosis terlihat bahwa penduduk kulit hitam mendapat serangan
stroke 38% lebih tinggi dibanding kulit putih (Goldstein et al., 2011).
5. Faktor Keturunan
Adanya riwayat stroke pada generasi sebelumnya menaikkan faktor
risiko stroke. Hal ini diperkirakan melalui beberapa mekanisme antara
lain :
a. Faktor genetik
b. Faktor life style
c. Penyakit‐penyakit yang ditemukan
d. Interaksi antara yang tersebut diatas
e. Kelainan Pembuluh Darah Bawaan : sering tak diketahui sebelum
11
terjadi stroke (Goldstein et al., 2011).
II. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
a. Hipertensi
Tekanan darah terdiri dari 2 komponen : sistolik dan diastolik. Bila
tekanan sistolik di atas 160mmHg dan tekanan diastolik lebih dari
90mmHg, maka dapat berpotensi menimbulkan serangan CVD, terlebih
bila telah berjalan selama bertahun-tahun. Hipertensi merupakan faktor
risiko utama yang dapat mengakibatkan pecahnya maupun
menyempitnya pembuluh darah otak. Pecahnya pembuluh darah otak
akan menimbulkan perdarahan, akan sangat fatal bila terjadi interupsi
aliran darah ke bagian distal, di samping itu darah ekstravasal akan
tertimbun sehingga akan menimbulkan tekanan intrakranial yang
meningkat, sedangkan menyempitnya pembuluh darah otak akan
menimbulkan terganggunya aliran darah ke otak dan sel-sel otak akan
mengalami kematian (Nurhidayat et al., 2008).
Hipertensi akan meningkatkan beban jantung yang membuat dinding
jantung menjadi semakin membesar dan akhirnya melemah, tekanan
darah tinggi yang terus menerus akan menyebabkan kerusakan sistem
pembuluh darah arteri secara perlahan dengan mengalami proses
pengerasan yang diperberat oleh adanya peningkatan lipid, akhirnya
lumen pembuluh darah arteri akan menyempit dan aliran darah
12
berkurang bahkan bisa berhenti, dan dapat menyebabkan kerusakan
jantung dan stroke (Sargowo. 2003)
Hipertensi adalah faktor risiko paling penting untuk stroke. Hipertensi
menyebabkan lesi arteri intraserebral dan ekstraserebral yang berbeda-
beda. Hipertensi menyebabkan tiga tipe perubahan vaskuler: adaptasi
struktur kompensasi, perubahan degenerasi vaskuler, dan munculnya
faktor risiko lain.
Makin tinggi tekanan darah makin tinggi kemungkinan terjadinya
stroke, baik perdarahan maupun bukan (Goldstein et al., 2011).
b. Merokok
Efek rokok adalah menyebabkan beban miokard bertambah karena
rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya konsumsi O2 akibat
inhalasi CO atau dengan perkataan lain dapat menyebabkan takikardi,
vasokonstriksi pembuluh darah, merubah permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merubah 5-10% Hb menjadi carboksi-Hb.
Disamping itu rokok dapat menurunkan kadar HDL kolesterol tetapi
mekanismenya belum jelas. Makin banyak jumlah rokok yang diisap,
kadar HDL kolesterol makin menurun. Perempuan yang merokok
penurunan kadar HDL kolesterolnya lebih besar dibandingkan laki-
laki perokok. Merokok juga dapat meningkatkan tipe IV hiperlipidemi
dan hipertrigliserid, pembentukan platelet yang abnormal pada
13
diabetes disertai obesitas dan hipertensi sehingga orang yang perokok
cenderung lebih mudah terjadi proses aterosklerosis daripada yang
bukan perokok. Apabila berhenti merokok penurunan risiko PJK akan
berkurang 50% pada akhir tahun pertama setelah berhenti merokok
dan kembali seperti yang tidak merokok setelah berhenti merokok 10
tahun. Dall & Peto 1976 mendapatkan risiko infark akan turun 50%
dalam waktu 5 tahun setelah berhenti merokok (Anwar, 2004).
Penelitian lain menunjukkan bahwa merokok merupakan faktor risiko
terjadinya stroke, terutama dalam kombinasi dengan faktor risiko yang
lain misal pada kombinasi merokok dan pemakaian obat kontrasepsi .
Hal ini juga ditunjukkan pada perokok pasif. Merokok meningkatkan
terjadinya trombus, karena terjadinya arterosklerosis (Goldstein et al.,
2011).
c. Diabetes
Penebalan dinding pembuluh darah otak yang berukuran besar dapat
disebabkan oleh diabetes mellitus, penebalan ini akan berakibat
terjadinya penyempitan lumen pembuluh darah sehingga akan
mengganggu aliran darah serebral dengan akibat terjadinya iskemia
dan infark. (Nurhidayat et al, 2008). Tingginya gula darah sangat erat
hubungannya dengan obesitas,hipertensi, dan dislipid, gula darah yang
meninggi akan mengakibatkan kerusakan lapisan endotel pembuluh
darah yang berlangsung secara cepat dan progresif (Sargowo,2003)
14
Penderita diabetes cenderung menderita arterosklerosis dan
meningkatkan terjadinya hipertensi, kegemukan dan kenaikan lemak
darah. Kombinasi hipertensi dan diabetes sangat menaikkan
komplikasi diabetes termasuk stroke. Pengendalian diabetes sangat
menurunkan terjadinya stroke (Goldstein et al., 2011).
d. Penyakit Jantung/Atrial Fibrilation
Penderita penyakit katup jantung dengan atau tanpa atrium fibrilasi
membutuhkan obat pengencer darah. Atrium fibrilasi apapun
penyebabnya dapat menyebabkan terjadinya emboli atau jendalan
darah yang memicu terjadinya suatu stroke (Goldstein et al., 2011).
e. Kenaikan Kadar Kolesterol
Penelitian menunjukkan angka stroke meningkat pada pasien dengan
kadar kolesterol diatas 240mg%. Setiap kenaikan 38,7mg%
menaikkan angka stroke 25%. Sedangkan kenaikan HDL 1 mmol
(38,7mg%) menurunkan terjadinya stroke setinggi 47%. Demikian
juga kenaikan trigliserid menaikkan jumlah terjadinya stroke.
Pemberian obat‐obat anti kolesterol jenis statin sangat menurunkan
terjadinya stroke (Goldstein et al., 2011). Menurut Djoko (2007)
dislipidemia adalah salah satu faktor risiko stroke non hemoragik yang
merupakan suatu kelainan lipid yang ditandai oleh kelainan
(peningkatan maupun penurunan) fraksi lipid dalam plasma. Kelainan
15
fraksi lipid yang utama adalah kadar kolesterol yang tinggi, kadar
trigliserida yang tinggi dan kadar HDL kolesterol yang rendah.
f. Penyempitan Pembuluh Darah Karotis
Pembuluh darah karotis berasal dari pembuluh darah jantung yang
menuju ke otak dan dapat diraba pada leher. Penyempitan pembuluh
darah ini kadang‐kadang tak menimbulkan gejala dan hanya diketahui
dengan pemeriksaan. Penyempitan >50% ditemukan pada 7% pasien
laki‐laki dan 5% pada perempuan pada umur diatas 65 tahun.
Pemberian obat‐obat aspirin dapat mengurangi insidensi terjadinya
stroke, namun pada beberapa pasien dianjurkan dikerjakan carotid
endarterectomy (Josephson, 2010).
g. Gejala Sickle Cell
Penyakit ini diturunkan, kadang‐kadang tanpa gejala apapun.
Beberapa menunjukkan gejala anemia hemolitik dengan episode nyeri
pada anggota badan, penyumbatan‐penyumbatan pembuluh darah
termasuk stroke (Goldstein et al., 2011).
h. Penggunaan Terapi Sulih Hormon.
Penggunaan terapi sulih hormon dianjurkan untuk mencegah
terjadinya stroke dan penyakit jantung vaskuler, namun pada beberapa
penelitian pada pemakaian 6 bulan berturut‐turut meningkatkan
16
terjadinya stroke pada pemakaian restradol. Pemakaian sulih hormon
untuk mencegah stroke tidak dianjurkan (Goldstein et al., 2011).
i. Diet dan Nutrisi
Asupan makanan yang mengandung banyak sayur dan buah
mengurangi terjadinya stroke. Pemakaian garam dapur berlebihan
meningkatkan risiko terjadinya stroke. Hal ini mungkin dikaitkan
dengan kenaikan tekanan darah (Goldstein et al., 2011).
j. Latihan fisik
Kegiatan fisik yang teratur dapat mengurangi terjadinya stroke (≥30
menit gerakan moderate tiap hari) (Goldstein et al., 2011).
k. Kegemukan
BMI (Body Mass Index) yaitu BB (kg) = TB (m) >25–29,9
dikategorikan berat berlebih (over weight). Sedang >30 dikategorikan
obesitas
Central Obesitas/Gemuk perut
Dihitung jika lingkar perut >102 cm pada alaki‐laki dan >88 cm pada
perempuan. Kegemukan meningkatkan terjadinya stroke, baik jenis
penyumbatan ataupun perdarahan. Penurunan berat badan akan
menurunkan juga tekanan darah (Goldstein et al., 2011).
17
III. Faktor risiko yang berpotensi dapat dimodifikasi
a. Migrain
Wanita usia >55 tahun dengan migrain aura memiliki risiko 2x lipat
iskemik (Goldstein et al., 2011).
b. Metabolik Sindrom
Dikatakan metabolik sindrom jika terdapat 3 atau lebih gejala‐gejala
sebagai berikut:
Perut gemuk
Trigliceride >150 mg%
HDL <40 mg%
Tensi ≥130/≥85 mm Hg
Gula puasa ≥110 mg%
Perubahan gaya hidup, pola makan, penurunan BB dan diet seimbang
akan menurunkan terjadinya stroke (Goldstein et al., 2011).
c. Pemakaian Alkohol Berlebihan
Pemakaian alkohol berlebihan memicu terjadinya stroke. Pemakaian
jumlah sedikit dapat menaikkan HDL kolesterol dan mengurangi
perlengketan trombosit dan menurunkan kadar fibrinogen. Alkohol
berlebihan akan menyebabkan peningkatan tensi darah, darah
18
gampang menjendal, penurunan aliran darah dan juga atrium fibrilasi
(Goldstein et al., 2011).
d. Drug Abuse
Pemakaian obat‐obat terlarang seperti cocain, auphetamine, heroin,
dsb meningkatkan terjadinya stroke. Obat‐obat ini dapat
mempengaruhi tensi darah secara tiba‐tiba, menyebabkan terjadinya
emboli, karena adanya endocarditis dan meningkatkan viskositas
darah dan perlengketan trombosit (Goldstein et al., 2011).
e. Pemakaian Obat‐Obat Kontrasepsi (OC)
Risiko stroke meningkat jika memakai OC dengan dosis obstradial
≥50 ug. Umumnya resiko stroke terjadi jika pemakaian ini
dikombinasi dengan adanya usia >35tahun, perokok, hipertensi,
diabetes dan migraine (Goldstein et al., 2011).
f. Gangguan Tidur
Penelitian membuktikan bahwa tidur ngorok meningkatkan terjadinya
stroke. Pola tidur ngorok sering disertai apneu (henti nafas) tidak
hanya berpotensi menyebabkan stroke tapi juga gangguan jantung. Hal
ini disebabkan penurunan aliran darah ke otak, kenaikan tensi dan
sebagainya. Pengobatan dilakukan dengan pemeriksaan yang cermat
dengan mencari penyebabnya (Goldstein et al., 2011).
19
g. Kenaikan Homocystein
Homocystein adalah sulpenydril yang mengandung asam amino dan
diet yang mengandung methirin. Kenaikan homocystein dapat
meningkatkan terjadinya aterosklerosis . Diet kaya sayur dan buah
akan menurunkan homocystein (Goldstein et al., 2011).
h. Kenaikan Lipoprotein (a)
Lp(a) terdiri atas LDL dan Apo (a) yang mirip plasminogen, sehingga
peningkatan kadar Lp(a) dalam plasma dapat meningkatkan aktivitas
aterogenik maupun trombotik yang akan mengganggu proses
fibrinolisis dengan cara menghambat aktivitas plasminogen,
merangsang proliferasi sel-sel otot polos melalui penghambatan
terbentuknya TGF (transforming growth factor) dan menyebabkan
disfungsi endotel (Criqui, 2004).
i. Hypercoagubility
Ada kecenderungan darah mudah menggumpal dikarenakan adanya
autiphospolipid antibody. Pemeriksaan dapat dikerjakan dengan
pemeriksaan anti crdiolipin antibody dan anticoagulant lypus
(Goldstein et al., 2011).
j. Peradangan
Infeksi dan peradangan pembuluh darah antara lain TBC, syphilis,
AIDS, kecacingan dapat memicu terjadinya stroke. Kebersihan dan
20
pola hidup sehat diperlukan unuk mencegahnya (Goldstein et al.,
2011).
E. Patogenesis dan Patofisiologi
Stroke Non Hemoragik (stroke infark)
Stroke Infark ini biasanya di sebabkan:
1. Berkurangnya aliran darah akibat stenosis berat atau sumbatan
aterosklerosis (trombus)
2. Emboli, trombus yang berjalan dari proksimal ke pembuluh darah
distal.
3. Penyakit pembuluh darah kecil (penyumbatan pada arteri penetrasi).
21
Patofisiologi
Patofisiologi stroke dapat dilihat pada Gambar berikut :
Proses aterosklerosis ditandai oleh plak berlemak pada lapisan intima arteria
besar. Bagian intima arteria sereberi menjadi tipis dan berserabut, sedangkan
sel–sel ototnya menghilang. Lamina elastika interna robek dan berjumbai,
sehingga lumen pembuluh sebagian terisi oleh materi sklerotik tersebut. Plak
cenderung terbentuk pada percabangan atau tempat–tempat yang
melengkung. Trombi juga dikaitkan dengan tempat–tempat khusus tersebut.
Gambar 1. Patofisiologi Stroke Non Hemoragik (Caplan 2009)
22
Pembuluh–pembuluh darah yang mempunyai risiko dalam urutan yang
makin jarang adalah arteria karotis interna, vertebralis bagian atas dan
basilaris bawah. Hilangnya intima akan membuat jaringan ikat terpapar,
mengakibatkan trombosit menempel pada permukaan yang terbuka sehingga
permukaan dinding pembuluh darah menjadi kasar. Trombosit akan
melepasakan enzim, adenosin difosfat yang mengawali mekanisme
koagulasi. Sumbat fibrinotrombosit dapat terlepas dan membentuk emboli,
atau dapat tetap tinggal ditempat dan akhirnya seluruh arteria itu akan
tersumbat dengan sempurna (Aliah et al, 2007).
Penderita embolisme biasanya lebih muda dibanding dengan penderita
trombosis. Kebanyakan emboli serebri berasal dari suatu trombus dalam
jantung, sehingga masalah yang dihadapi sebenarnya adalah perwujudan
dari penyakit jantung. Setiap bagian otak dapat mengalami embolisme,
biasanya embolus akan menyumbat bagian–bagian yang sempit. Tempat
yang paling sering terserang embolus serebri adalah arteri serebri media,
terutama bagian atas (Aliah et al, 2007).
Infark lakunar terjadi setelah oklusi aterotrombotik salah satu cabang
penetrans sirkulus willis, arteri serebri media atau arteri vertebralis dan
basilaris. Trombosis yang terjadi di dalam pembuluh darah ini akan
membentuk daerah-daerah infark yang kecil dan lunak, dikenal dengan
nama lakuna (Fortunestar, 2006).
23
F. Manifestasi Klinis
Trombosis (penyakit trombo-oklusif) merupakan penyebab stroke yang paling
sering. Arteriosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah
penyebab utama trombosis selebral. Tanda-tanda stroke non hemoragik
biasanya tidak ditemukan sakit kepala, bila ada biasanya ringan. Pasien
mengeluh lumpuh separuh badan kanan atau kiri, bicara pelo, mulut terlihat
miring ke satu sisi. Biasanya terjadi saat pasien istirahat, tidak ada kejang,
tidak ada kaku kuduk, tidak ada muntah khususnya pada awal serangan dan
kesadaran dapat menurun apabila pembuluh darah yang tersumbat berada
dibatang otak.
Secara klinik perbadaan iskemik dan hemoragik adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Gejala klinis Stroke Non HemoragikGejala Karakteristik
Onset Akut / Subakut
Saat terjadinya Tidak Aktif
Nyeri kepala Ringan/ tak ada
Muntah pd awal Tak ada
Kaku kuduk Tak ada
Kejang Tak ada
Kesadaran Dapat hilang
24
G. Diagnosis Stroke
Untuk mendiagnosa stroke dokter akan melakukan anamnesis hingga
pemeriksaan penunjang (Fortunestar, 2006).
Anamnesis
Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami defisit
neurologi akut (baik fokal maupun global) atau penurunan tingkat kesadaran.
Tidak terdapat tanda atau gejala yang dapat membedakan stroke hemoragik
dan non hemoragik meskipun gejala seperti mual muntah, sakit kepala dan
perubahan tingkat kesadaran lebih sering terjadi pada stroke hemoragik.
Beberapa gejala umum yang terjadi pada stroke meliputi hemiparesise,
monoparese, atau qudriparese, hilangnya penglihatan monokuler atau
binokuler, diplopia, disartria, ataksia, vertigo, afasia, atau penurunan
kesadaran tiba-tiba. Meskipun gejala-gejala tersebut dapat muncul sendiri
namun umumnya muncul secara bersamaan. Penentuan waktu terjadinya
gejala-gejala tersebut juga penting untuk menentukan perlu tidaknya
pemberian terapi trombolitik. Beberapa faktor dapat mengganggu dalam
mencari gejala atau onset stroke seperti:
1) Stroke terjadi saat pasien sedang tertidur sehingga kelainan tidak
didapatkan hingga pasien bangun (wake up stroke).
25
2) Stroke mengakibatkan seseorang sangat tidak mampu untuk mencari
pertolongan.
3) Penderita atau penolong tidak mengetahui gejala-gejala stroke.
4) Terdapat beberapa kelainan yang gejalanya menyerupai stroke seperti
kejang, infeksi sistemik, tumor serebral, subdural hematom, ensefalitis,
dan hiponatremia (Hassmann, 2010).
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik meliputi penilaian jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi
(ABC) dan tanda-tanda vital (yaitu, denyut nadi, respirasi, suhu). Kepala dan
ekstremitas juga diperiksa untuk membantu menentukan penyebab stroke dan
mengesampingkan kondisi lain yang memproduksi gejala yang sama
(misalnya, Bell's palsy) (Stanley, 2010). Tujuan pemeriksaan fisik adalah
untuk mendeteksi penyebab stroke ekstrakranial, memisahkan stroke dengan
kelainan lain yang menyerupai stroke, dan menentukan beratnya defisit
neurologi yang dialami. Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaaan
kepala dan leher untuk mencari tanda trauma, infeksi, dan iritasi menings.
Pemeriksaan terhadap faktor kardiovaskuler penyebab stroke membutuhkan
pemeriksaan fundus okuler (retinopati, emboli, perdarahan), jantung (ritmik
ireguler, bising), dan vaskuler perifer (palpasi arteri karotis, radial, dan
26
femoralis). Pasien dengan gangguan kesadaran harus dipastikan mampu untuk
menjaga jalan napasnya sendiri (Hassmann, 2010).
Pemeriksaan Penunjang
Tes darah dan pencitraan prosedur (misalnya, CT scan, USG, MRI) dapat
membantu mmenentukan jenis stroke dan mengesampingkan kondisi lain,
seperti infeksi dan tumor otak. CT Scan x-ray menghasilkan gambar dari otak
dan digunakan untuk menentukan lokasi dan luasnya stroke hemoragik. USG
menggunakan frekuensi tinggi gelombang suara untuk menghasilkan gambar
aliran darah melalui pembuluh darah di leher yang mensuplai darah ke otak
dan untuk mendeteksi penyumbatan. Magnetic Resonance Imaging (MRI
scan) dengan menggunakan medan magnet untuk menghasilkan gambar detail
jaringan otak dan arteri di leher dan otak, sehingga memungkinkan dokter
untuk mendeteksi infark kecil seperti pada pembuluh darah kecil dalam
jaringan otak. Angiogram dilakukan dengan menyuntikkan agen pewarna
yang kontras kedalam aliran darah dan mengambil serangkaian foto sinar-X
pembuluh darah, digunakan untuk mengidentifikasi sumber dan lokasi
penyumbatan arteri dan untuk mendeteksi aneurisma dan pembuluh darah
cacat. Elektrokardiogram (EKG) dapat dilakukan untuk mendeteksi
berkurangnya aliran darah ke jantung (iskemia miokard) atau tidak teraturnya
denyut jantung (aritmia) (Stanley, 2010).
27
Diagnosis stroke juga dapat ditegakkan dengan menggunakan Algoritma
Gadjah Mada. Instrumen ini digunakan untuk membantu membedakan stroke
hemoragik dan non hemoragik secara klinis, yaitu:
Gambar 4. Algoritma Gajah Mada (Lamsudin 1997).
28
H. Penatalaksanaan
Untuk merawat pasien stroke ada beberapa hal yang perlu di perhatikan
sehubungan dengan keadaan yang dialami pasien. Semua ini dilakukan demi
kenyamanan dan mengkondisikan pasien supaya cepat pulih (Junaidi, 2006).
Penatalaksanaan umum
Penatalaksanaan pada stroke non hemoragik meliputi; (1) Breath yaitu
memperbaiki pernafasan, misalnya dengan pemberian oksigen, (2) Blood yaitu
mengawasi tekanan darah,(3) Brain yaitu mempertahankan sirkulasi darah
otak,(4) Bowel yaitu pengawasan BAB, (5) Bladder yaitu pengawasan urin,
misalnya dengan pemasangan kateter.
Penatalaksanaan khusus
Penatalaksanaan farmakologis dengan tujuan untuk memperbaiki perfusi
jaringan yaitu Thrombolytic agent (Tissue plasminogen activator(t-PA) dan
streptokinase) melarutkan bekuan darah dan memulihkan sirkulasi dan hal ini
akan mengurangkan kerusakan jaringan otak dan memperbaiki outcome,
thrombolytic agent diberikan apabila onset dari stroke fase akut kurang dari 6
jam dan harus melalui protokol yang ketat. Antikoagulansia digunakan untuk
stroke iskemik yang disebabkan kardio emboli yaitu untuk mencegah
terjadinya embolisasi ulang dibawah pengawasan pemeriksaan laboratorium
yang ketat, karena bisa menimbulkan pendarahan. Neuroprotektan berfungsi
29
untuk melindungi jaringan otak terhadap kerusakan akibat iskemik (Majalah
Kedokteran Atma Jaya, 2002).
Pengobatan pasca stroke yang bisa dilakukan adalah kontrol faktor risiko
seperti kontrol hipertensi, mengobati penyakit dasar (penyakit jantung),
kontrol kadar gula darah dan kolesterol darah. Fisioterapi dan rehabilitasi juga
penting pada penanganan pasien stroke yang telah melewati fase akut. Tujuan
dari fisioterapi untuk menghindari kontraktur pada pasien pasca stroke
(Dennis, 2005).