stress,ptsd dan dimensia

19
Refrat STRESS, PTSD AND DEMENTIA Oleh : Handayani Putr i C G991!"" Cali#ta Gi$%ani G991!& De%ina N$%iani Pra'$n$ G991!(1 I)h#anul A'y Hi'a*an G991!" Della +u#u'anin P G991!( Pe'-i'-in I.G./. Indr$ Nur$h$, dr., S0.+ R$h'anintya# HS, dr., S0.+ M.+e# +EPANITERAAN +2INI+ I2M3 +EDO+TERAN I4A 5A +32T AS +EDO+TERAN 3NS6RS3D DR. MOE4ARDI S3RA+ARTA !17 0

description

refrat stress,ptsd dan demensia

Transcript of stress,ptsd dan dimensia

Refrat

STRESS, PTSD AND DEMENTIA

Oleh :

Handayani Putri C G99122055

Calista Giovani G99122027

Devina Noviani Pramono G99122031Ichsanul Amy Himawan G9912205

Della Kusumaning P G9912203Pembimbing

I.G.B. Indro Nugroho, dr., Sp.KJ

Rohmaningtyas HS, dr., Sp.KJ M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2014KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat dengan judul: STRESS, PTSD AND DEMENTIA. Penulis menyadari bahwa penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik berupa bimbingan dan nasihat, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:1. Prof. Em. Ibrahim Nuhriawangsa, dr., Sp.KJ (K)2. Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, dr., Sp.KJ (K)3. Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr., Sp.KJ (K)4. Prof. Dr. Moh. Fanani, dr., Sp.KJ (K)5. Mardiatmi Susilohati, dr., Sp.KJ (K)6. Yusvick M. Hadin, dr., Sp.KJ7. Djoko Suwito, dr., Sp.KJ8. I.G.B. Indro Nugroho, dr., Sp.KJ9. Gst. Ayu Maharatih, dr., Sp.KJ10. Makmuroch, Dra, MS11. Debree Septiawan, dr., Sp.KJ, M.Kes12. Istar Yuliadi, dr., M.Si13. Rohmaningtyas HS, dr., Sp.KJ, M.Kes14. RH. Budhi M, dr., Sp.KJ (K)15. Maria Rini I. dr., Sp.KJ16. Adriesti H, dr., Sp.KJ17. Wahyu Nur Ambarwati, dr., Sp.KJ18. Setyowati Raharjo, dr., Sp.KJPenulis menyadari bahwa referat ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk perbaikan referat ini. Semoga referat ini bermanfaat bagi kita semua. STRES, PTSD DAN DEMENSIAMark S. Greenberg*, Kaloyan Tanev, Marie-France Marin, Roger K. Pitman

Department of Psychiatry, Massachusetts General Hospital, Harvard Medical School, Boston, MA, USA

Abstrak

Efek stres akut dan kronik pada berbagai sistem organ telah lama didokumentasikan semenjak adanya penelitian yang dilakukan oleh seorang pioner dalam bidang psikiatri yaitu Hans Seyle lebih dari 70 tahun yang lalu. Kemudian dari situ mulai banyak dikembangkan studi untuk melihat hubungan antara paparan stres dalam kehidupan sehari-hari dengan berkembangnya gangguan disfungsi kognitif pada usia lanjut. Beberapa penemuan mengenai kemungkinan jalur neurohormonal dan mekanisme genetik telah terbukti mendukung studi tersebut. Meskipun demikian, masih banyak permasalahan logistik dan metodologi yang harus diatasi untuk dapat menetapkan hubungan antara keduanya. Melalui studi ini, peneliti ingin mengkaji berbagai studi terkini mengenai perubahan kognitif yang ditimbulkan akibat paparan stres jangka panjang dalam kehidupan sehari-hari dan juga kejadian traumatik yang dapat menimbulkan munculnya suatu posttraumatic stress disorder. Telah dilakukan pengamatan mengenai peran suatu stresor secara umum dan secara khusus pada posttraumatic stress disorder termasuk perannya didalam proses penuaan, penyakit Alzheimer dan demensia vaskular. Meskipun demikian penelitian-penelitian mengenai hal ini masih sedikit jumlahnya dan efek-efek yang dikaji masi terlalu sederhana dan tidak bisa diaplikasikan secara umum karena sampel yang digunakan pun masih terbatas. Oleh sebab itu masih diperlukan studi-studi lain untuk menetepakan hubungan antara stres dan demensia, penyebabnya, pengembangan penanda antemortem yang valid dan pola faktor resiko pada tingkat individu. 1. PengantarStudi mengenai akibat fisiologis dari stress akut dan kronis pada berbagai organ telah dilakukan lebih dari 70 tahun yang lalu oleh Hans, Seyle, yang menggunakan istilah " stres" dari bidang fisika dan mengaplikasikannya pada bidang fisiologi. Semenjak itu, telah banyak dilakukan penelitian yang mengupas mengenai hubungan antara sistem saraf pusat dan autonom, sistem endokrin dan sistem imunitas. Penelitian- penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara tubuh dan pikiran apakah dapat mempengaruhi baik secara patologis maupun memberikan efek terapi pada penyakit-penyakit yang disebabkan oleh gangguan mental , demikian halnya dengan pengaruh yang ditimbulkan akibat adanya perubahan pada organ tubuh pada sistem saraf. Telah dilakukan penelitian lain yang lebih baru, dengan fokus pada kemungkinan jangka panjang efek neurotoksik dari hidup dengan tingkat paparan stress yang tinggi.Akibat potensial dari stress pada perkembangan dari demensia dan berbagai bentuk lain dari disfungsi kognitif dapat ditinjau dari segi individu, stresor dan respon stres. Setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda mengenai cara menghadapi stresor. Faktor yang mempengaruhi ketahanan seseorang terhadap stres yaitu daya kognitif, tahap perkembangan seseorang, penggunaan zat-zat tertentu, kesehatan mental dan fisik dan ada tidaknya dukungan sosial dan juga gen-gen tertentu yang dimiliki seseorang seperti alel apoe 4 dan juga pola sekresi kortisol. Stesor dapat dikategorikan dalam berbagai dimensi, termasuk dari intensitas, durasi, dan tipenya. Beberapa contoh dari stresor antara lain penyakit, kematian dari anggota keluarga, perpisahan, relokasi pekerjaan. Beragamnya respen seseorang dalam menghadapi stresor dipengaruhi oleh penilaian sesorang terhadap suatu masalah, kemampuan kontrol diri dan kecenderungan berkembangnya suatu psikopatalogi.Pada tahun 1980 , pemahaman mengenai efek psikopatologi pada kejadian traumatik dalam hidup seperti misalnya peperangan dan pelecehan seksual menghasilkan suatu cara diagnosis baru dalam nomenklatur psikiatri yaitu post tarumatic disorder atau PTSD. Meskipun kondisi psikiatri ini masih menggunakan istilah "stres", melalui penelitian bertahun tahun yang dilakukan oleh Yehuda telah menghasilkan suatu permasalahan yaitu apakah PTSD merupakan memang merupakan suatu gangguan stress . Keraguan ini disebabkan karena pola hormonal dalam suatu PTSD tidak mrngikuti model stress Selye, yang menekankan adanya suatu hipereaktivitas dari axis hipotalamus-hipofisis-adrenal dan produksi berlebih dari hormon stres glukokortikoid yaitu kortisol. Penemuan ini memicu adadnya berbagai penelitian lain mengenai efek negatif dari stres dan kortisol pada sistem saraf.Dalam review ini, peneliti membahas dan menyimpulkan dari dua skenario yang berbeda mengenai perubahan kognitif yang ditimbulkan paparan stres jangka panjang berdasarkan literatur-literatur yang ada. Tahap pertama, peneliti menilai kemungkinan peran dari penambahan secara kumulatif stresor dari kehidupan sehari-hari pada disfungsi kognitif seiring bertambahnya usia. Peneliti menyimpulkan bahwa stres berperan dalam timbulnya suatu disfungsi kognitif. Peneliti kemudian mengkaji penelitian-penelitian lain mengenai hubungan antara PTSD dengan Alzheimer yang dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara keduanya. Peneliti kenudian mengkaji dasar neurofisiologi dari stress antara lain sistem hormonal, neuroimaging, neuroimunologik dan neuro patologis. Kemudian peneliti juga mengkaji lebih lanjut mengenai pentingnya studi dalam segi ilmiah dan bidang kesehatan. 2. Kajian Studi Epidemiologi

2.1 Stres kronis dan demensia

Studi cross-sectional yang membandingkan dan membahas subyek yang dijadikan sampel dipandang lebih memungkinkan untuk dilakukan , tetapi pendekatan ini tidak dapat digunakan untuk pengukuran yang berkelanjutan. Studi longitudinal jangka panjang memiliki keterbatasan akan pemilihan carapengukuran. Banyak studi gagal melakukan analisa jaringan otak postmortem, padahal hal ini merupakan gold standar diagnosis dari demensia terutama alzheimer. Wilson melakukan studi kohort pada lebih dari 800 suster katolik dan pendeta yang berusia rata-rata 75 tahun dengan menggunakan model studi longitudinal, dengan kisaran lama penilaian fungsi kognitif selama 5 tahun. Peneliti berfokus pada subjek yang memiliki kecenderungan sifat neurotik terutama kerentanan subjek terhadap stres yang dinilai menggunakan Neuroticism-Extroversion-Openness (NEO) Five-Factor Inventory yaitu suatu tes penilaian fungsi neurokognitif. Subjek yang didalam penialian berada di ambang neurotik ( yang biasanya memiliki tingkat stres yang tinggi) memiliki faktor resiko dua kali lipat untuk terkena alzheimer. Selain itu terjadi penurunan memori sebanyak 10 kali lipat pada subjek yang memiliki tingkat neurotik yang tinggi. Namun, hal ini tidak berlaku pada memori kerja, memori semantik, kecepatan berpikir, kemampuan visuospasial atau kemampuan kognitif secara umum. Lebih lanjut, melalui hasil otopsi, ditemukan bahwa kerentanan seseorang terhadap stres tidak memiliki hubungan dengan neuropatologi alzeimer. Tidak ada keterangan yang jelas mengenai hasil temuan ini, mengapa hanya ada kemampuan kognitif tertentu yang terkena efeknya. Wilson kemudian meneliti, 650 subjek yang rata-rata berusia 80 tahun yang telah diskrening dengan menggunakan NEO Five-Factor Inventory dan juga telah dilakukan tes kognitif battery serta pemeriksaan kesehatan. Studi kohort ini dilakukan selama 3 tahun. Terdapat 55 subjek terdiagnosis dengan alzeimer. Lebih jauh lagi, peningkatan stres memiliki korelasi dengan penurunan kognitif secara cepat. Meskipun demikian, saat dilakukan otopsi kembali ditemukan bahwa stres tidak memiliki hubungan denga nuropatologi terjadinya alzeimer. Pada akhirnya hubungan antara stres dengan diagnosis demensia tetaplah ada bahkan setelah dilakukan pengendalian depresi, tingkat aktivitas sosial dan fisik dan gejala kognitif. Berdasarkan hal inilah kemudian para peneliti menympulkan bahwa stres psikologi berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif, tapi tidak spesifik pada alzeimer.

Peavy melakukan studi longitudianl selama 3 tahun pada 52 individu yang baik mengalami gangguan kognitif maupun yang tidak. Subjek yang telah terdiagnosa dengan demensia dieksklusikan dalam studi ini. Tingkat stres dinilai selama 6 bulan dengan menggunakan 12 kategori. Dikatakan stres tingkat tinggi bila subjek mengalami satu peristiwa dengan intensitas stres yang tinggi yang dinyatakan oleh peneliti dalam jangka waktu 6 bulan tersebut. Subjek juga menjalani penilaian neurologis dan neuropsikologis, termasuk Mattis Dementia Ratting Scale dilakukan pada setiap individu dengan perubahan kognitif sebagai variabel terikatnya. Usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin dan status mood tidak dimasukkan sebagai variabel dalam studi ini. Diantara subjek penelitian yang mengalami gangguan kognitif ringan, tingkat stres yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan penurunan fungsi kognitif yang dinilai dengan menggunakan skala demensia mattis ( Mattis Dementia Rating Scale) tetapi hal ini tidak berlaku untuk fungsi memori yang lain. Berlawanan dengan hal ini, tingkat sters yang tinggi pada individu normal tidak berkaitan dengan terjanidnya penurunan fungsi kognitif. Studi ini dilakukan dengan fokus pada efek sinergis antara tingkat stress yang tinggi dan terjadinya penurunan fungsi kognitif dan menggarisbawahi pentingnya dilakukan tes secara mendasar untuk mencegah terjadfinya bias. Sangat dimungkinkan bahwa pengukuran selama 3 tahun belumlah cukup untuk melihat suatu stres bermanifestasi pada subjek. Model studi ini tidak mengeksklusikan kemampuan koping suatu individu dan terjadinya penurunan fungsi kognitif pada kelompok yang pengalami gangguan fungsi kognitif ringan sangat berkaitan dengan stresor yang dialami masing-masing subjek. Sebagai contoh, peningkatan penururan fungsi kognitif secara hipotesa dapat memicu terjadinya gangguan finansial yang dapat dikategorikan sebagai stres berat.

Johansson melakukan penelitian pada 1462 wanita yang berasal dari Swedia pada studi longitudinal jangka panjang yaitu selama 35 tahun. Tingkat stres dinilai dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang kemudian dikategorikan menjadi tidak stres apabila skor yang didapat sebesar 0 dan stres berkepanjangan apabiala total skor sebesar 5. Diagnosa demensia ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan klinis, review dari rekam medis dan pengukuran neuropsikologis yang kemudian dilakukan follow up pada 7, 13, 25 dan 35 tahun setelahnya. Selama pengukuran, 11% dari total sampel terdiagnosa dengan demensia. Hubungan antara stres psikologis dan insidensi berbagai jenis demensia dianalisa dengan menggunakan model regresi Cox dengan variabel perancu antara lain faktor demografis, perilaku dan berbagai faktor resiko lain seperti rasio lingkar panggul. Terdapat peningkatan resiko terjadinya demensis seperti yang terlihat pada data penelitian dengan Hazzard Ratio (HR) sebesar 1,6. Subjek yang mengalami stres berkepanjangan pada 2 dari 3 penilaian awal memiliki pengikatan resiko untuk terkena alzeimer dibandingan dengan kelompok yang tidak mengalami periode stres. Subjek yang mengalami stres berkepanjangan baika pada penilaian pertama, kedua maupun ketiga mengalami peningkatan resiko terkane demensia (HR= 1.1, 1.7 dan 2.7). Peneliti kemudian menyimpulkan bahwa terdapaat asosiasi antara stres psikologis pada wanita tengah baya dan kecenderungan untuk berkembangnya demensia dan alzeimer secara khusus. Peniliti menekankan bahwa karena perubahan otak pada individu yang mengidap alzeimer telah terjadi sebelum munculnya tanda dan gejala, maka sangatlah mungkin bahwa demensia dapat meningkatkan kerentanan seseorang terhadap stres dibandingkan dengan sebaliknya. Hasil ini dabat digeneralisasikan secara umun dengan mengeksklusikan pasien laki-laki.

Johansson kemudian melakukan penelitian kohort pada 684 subjek untuk dilakukan CT scan otak. Dari 684 partisipan ini, 344 diantaranya memiliki riwayat stres psikologis pada tahun 1968. Setelah itu seorang neurologis menilai hasil CT scan secara visual dan mengfkategorikan hasilnya sebagai ringan, sedang, berat untuk lesi pada substansia alba, atrofi regio korteks dan ukuran ventrikel. Wanita yang dilaporkan mengalami stres selama 5 tahun sebelum dilakukan pengukuran pada tahun 1968, 1974 dan 1980 cenderung memiliki lesi sedang-berat pada substansia alba bila dibandingkan dengan wanita yang tidak mengalami stres dengan odds rasio (OR) sebesar 2.4 demikian halnya dengan terjadinya atrofi lobus temporalis dengan OR sebesar 2.5. Peneliti menyimpulkan bahwa paparan stres psikologis jangka panjanng pada usia paruh baya akan meningkatkan resiko terjadinya atrofi serebral dan substansia alba di usia lanjut. Namun peneliti menekankan bahwa hubungan antara peningkatan stres dan perubahan otak tidak dapat begitu saja ditentukan saecara pasti. Sebagai contoh, wanita dengan kecenderungan mengalami perubahan otak secara biologis akan juga mudah mengalami stres.

Comijs melakukan penelitian dengan menggunakan 1936 sampel individu dari Belanda yang berasal dari kelompok Longitudinal Aging Study Amsterdam dalma jangka waktu 3 tahun. Studi ini menggunakan tes kognitif The Folstein Mini-Mental State Examination (MMSE). Tes ini merupakan versi Belanda dari tes Rey Auditory Verbal Learning dan The Alphabet Coding Test-15, Akumulasi paparan stres selama 3 tahun pengukuran semuanya dinilai melalui wawancara terstruktur. Akumulasi paparan stres tidak dikaitkan dengan kualitas pengukuran keampuan kognitif yang dilakukan dalam studi ini. Subjek yang memiliki skor inisial rendah pada MMSE memiliki performa yang lebih baik dalam menghadapi peningkatan paparan stresor yang dihadapi. Dalam penilaian macam-macam stresor secara spesifik, ditemukan hasil yang kontradiktif bahwa stresor-stresor tertentu ( misalnya kematian dari anak atau cucu) berkaitan dengan penurunan skor MMSE sedangkan stresor lainnya sebagai contoh sakitnya pasangan hidup memiliki kaitan dengan penurunan skor MMSE yang lebih rendah dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami stesor tersebut. Terdapat hasil kontradiktif lainnya sebagai contoh pada subjek yang mengalami konflik interpersonal biasanya memiliki perbaikan skor yang terlihat pada saat follow up. Oleh sebab itu studi ini menghasilkan kesulitan didalam menetapkan efek yang pasti dari stres sesuai dengan kondisi diatas.

Andel melakukan studi mengenai hubungan antara stres yang berkaitan dengan pekerjaan dalam hubungannya dengan resiko demensia. Studi ini menggunakan sampel 10.106 individu yang berasal dari Swedia yang merupakan kembar baik mono maupun dizygot. Stres yang dikaitkan dengan pekerjaan dinilai dengan menggunakan pendekatan Karasek-Theorell, yaitu merupakan prosedur tervalidasi yang menilai secara psikologis seberapa menuntutnya setiap pekerjaan dan seberapa banyak kontrol yang dimiliki suatu pekerja atas pekerjaannya. Variabel tekanan pekerjaan berasal dari rasio tuntutan pekerjaan dengan kontrol pekerjaan. Permasalahan kognitif dinilai melalui skrining via telepon dan wawancara secara langsung menggunakan konsensus kriteria diagnosis. Peneliti juga menilai dukungan sosial sebagai variabel pendukung. Diagnosis demensia ditegakkan pada 167 subjwek dan demensia vaskuler pada 46 subjek. Rata-rata usia munculnya demensia adalah pada 76.8 tahun. 9849 subjek yang lain dimasukkan dalam kelompok kontrol. Analisa pada seluruh kelompok sample menunjukkan bahwa tekanan pekerjaan tidak dapat untuk memprediksi keseluruhan kejadian demensia. Walaupun terdapat asosiasi lemah antara kontrol pekerjaan (OR=1,2) dengan demensia vaskuler (OR=1,4). Kombinasi dari tingginya tekanan pekerjaan dengan lemahnya dukungan sosial juga menunjukkan hubungan yang signifikan dengan tingginya resiko berkembangnya demensia vaskuler (OR=1,4). Efek ini didapatkan setelah memperhitungkan usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin dan tingkat kesulitan pekerjaan. Studi ini mendukung model studi Karasek-Theorell terkait stress yang berhubungan dengan pekerjaan serta memberikan tambahan data yang menghubungkan stress terkait pekerjaan dengan resiko berkembangnya salah satu jennis demensia terutama demensia vaskuler. Peneliti berpendapat bahawa stres berkaitan dengan demensia vaskuler melalui jalur kardiovaskuler dimana percepatan penuaan sistem kardiovaskuler merupakan hasil dari adanya stres kronis yang mempercepat timbulnya demensia. Manfaat dari pendekatan untuk dapat mendefinisikan stres yang berkaitan dengan pekerjaan adalah bahwa pendekatan ini dapat mengeliminasi subjektifitas dari penilaian secara retrospektif. Keterbatasan studi ini termasuk tidak adanya pengukuran yang objektif dari data dan terbatasnya generalisasi yang dapat dilakukan karena subjek penelitian merupakan pasangan kembar.

Deng melakukan studi dengan menggunakan sampel sebanyak 5262 individu yang berasal dari Cina yang berusia lebih dari 55 tahun. Subjek ini kemudian menjalani skrining untuk gangguan neurologis, medis, psikiatri dan sensorik selama 5 tahun. Fungsi kognitif dinilai menggunakan MMSE; bila didapatkan skor yang rendah maka kemudian dilakukan tes neuropsikologis tambahan. Selain itu dilakukan juga analisa tambahan untuk mengeksklusikan kemungkinan adannya positif palsu dan faktor resiko perancu yaitu gangguan vaskuler dan depresi. Follow up dilakukan tiap tahun dengan melakukan pengukuran MMSE ulang dan penilaian aktivitas sehari-hari. Melalui studi ini maka dapat diketahui bahwa kematian pasangan hidup ataupun krisis finansial dapat meningkatkan resiko terjadinya gangguan kognitif. Hasil ini didapatkan setelah dilakukan pengendalian terhadap sejumlah variabel perancu dengan HR sebesar 1,5. Meskipun demikian tidak didapatkan adanya efek yang signifikan untuk stresor lain seperti kematian sahabat, munculnya suatu penyakit, terjadinya suatu kecelakaan ataupun timbulnya suatu masalah hukum

Leng melakukan pengukuran terhadap stresor pada masa kanak-kanak, akumulasi stresor selama masa kehidupan, dan timbulnya stresor baru demikian halnya dengan mekanisme koping dan dukungan sosial dalam sebuah studi kohort dengan menggunakan 5129 sampel individu yang berasal dari Inggris yang berusia 49-90 tahun. Studi ini merupakan studi epidemiologi secara prospektif untuk memonitor faktor resiko terjadinya kanker. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan kuesioner Health and Life Experiences. Kuesioner ini juga menilai mengenai adanya kejadian-kejadian traumatis selama 5 tahun terakhir, kejadian-kejadian ini meliputi diantaranya kematian/kehilangan, kondisi adaptasi, kondisi stres secara subjektif dan dukungan sosial. Fungsi kognitif dinilai selama follow up dengan menggunakan MMSE yang dimodifikasi. Setelah dilakukan penyesuaian antara jenis kelamin dengan usia, didapatkan bahwa skor MMSE berkaitan dengan kejadian kehilangan/kematian yang dialami subjek. Subjek dengan tingkat stres yang tinggi cenderung memiliki skor MMSE yang rendah dengan peningkatan OR sebanyak 1,1 untuk setiap kenaikan paparan stresor. Namun, hal ini hanya terbatas pada paparan stres secara subjektif dan pada subjek yang memiliki tingkat pendidikan rendah. BErkebalikan dengan hasil ini, hasil pengukuran paparan stresor secara objektik tidak berkaitan dengan skor MMSE karena setiap subjek memiliki kemampuan adaptasi/koping terhadap stres yang berlainan. Studi ini mengggaris bawahi peran dari persepsi subjektif sesorang terhadap stres dan hal ini menggambarkan hubungan antara tingkat pendidikan dengan kemampuan adaptasi/koping seseorang dalam menghadapi stres.Secara singkat, walaupun banyak uji yang menemukan hasil yang positif terkait meningkatnya stress hidup dengan outcome kognitif negatif, banyak keberatan yang menyatakan kasus hidup yang tidak sesuai harapan menyebabkan penurunan fungsi kognitif. Khususnya pengaruh ukuran, walaupun secara statistik signifikan, memiliki pengaruh yang kecil,dengan sedikit peningkatan dari risiko relatif. Terlebih lagi pengaruh ini sering ditemukan hanya pada subsampel dari suatu subjek dan/atau hanya pada pengukuran kognitif tertentu. Penemuan yang berbeda, dengan beberapa penelitian yang mendukung hubungan antara stress dan VD bukan AD, dan beberapa penelitian yang mendukung hubungan antara stress dan penurunan fungsi kognitif bukan AD atau VD, dimasukan ke dalam penilaian pernyataan penyakit spesifik kami kali ini. Penelitian lanjutan pada bidang ini, bagaimanapun, didukung dengan penemuan sugestif yang muncul pada literatur. Pendekatan yang menggunakan kriteria konsensus dan menangkap multipel akses pada stress kehidupan, termasuk contoh parameter pemaparan, reaktivitas individual, dan peran dari stress buffer akan meningkatkan usaha ini. Ketika biomarker terpercaya dari sindrom penurunan fungsi kognitif dapat ditetapkan lebih baik, penjelasan yang lebih baik akan tampak dari penelitian yang berlangsung lama terhadap risiko kumulatif stress psikologis.

2.2 PTSD dan Demensia

Qureshi dkk menganalisis database dari veteran berumur 65 tahun atau lebih yang sedikitnya dilihat dua kali di fasilitas kesehatan U.S Department of Veteran Affairs (VA) antara bulan Oktober 1997 dan September 1999, baik yang didiagnosa PTSD atau menerima purple heart (PH). Status PH yang digunakan sebagai proxy untuk kasus trauma terkait perkelahian. Pasien ini dibandingkan dengan umur dan jenis kelamin pasien VA non PTSD dan non PH. Pasien yang ditemui antara Oktober 1997 dan September 2008 dicari yang memiliki diagnose PTSD, Demensia, dan komorbiditas fisik lainnya yang memiliki hubungan dengan demensia. Insidensi diagnosis demensia 6.2% pada semua kelompok: 6.8% pada PTSD +/PH+ kelompok 9.5% PTSD +/PH-, 5.6% PTSD-/PH+, dan 4% PTSD-/PH-. Insidensi diagnosis demensia 2 kali lebih tinggi pada PTSD +/PH- dibandingkan keduanya PTSD -. Penulis menggabungkan bahwa veteran dengan PTSD memiliki risiko insidensi demensia lebih tinggi dibandingkan veteran tanpa PTSD. Bagaimanapun mereka secara hati-hati menunjuk hubungan yang mengobservasi antara PTSD dan perkembangan subsequent demensia yang tidak perlu dihubungkan pada hubungan manapun, Hal ini disebabkan oleh faktor risiko umum yang biasa mendasari baik PTSD ataupun demensia. Faktor risiko umum ini salah satunya intelegensi rendah. Hambatan yang terjadi adalah demensia tidak dipisahkan ke dalam beberapa subtipe, meninggalkan kemungkinan hubungan antara PTSD dan kondisi patofisiologi tertentu yang secara potensial berlanjut berkembang menjadi demensia. Insidensi penyakit yang tinggi termasuk hipertensi dan diabetes pada PTSD dapat menjadi faktor predisposisi berkembangnya VD. Hal ini lebih sulit dijelaskan secara patofisiologi antara PTSD dan penyakit neurodegeneratif seperti AD atau Picks disease.

Yaffe dan koleganya menganalisis VA national patient care database pada desain cohort retrospective. Peserta impresif berupa 181.093 berusia 55 tahun ke atas tanpa diagnosis demensia antara tahun 1997-2000.53.155 dari 127.938 tidak memiliki diagnosis PTSD. Hampir semua pasien 96.5% adalah laki-laki. Selama follow up antara Oktober 2000 dan Desember 2007 31.107 (17.2%) ditemukan kasus baru demensia sesuai dengan kriteria international classification of disease ninth version, clinical modification codes. Pasien diklasifikasikan dengan demensia apabila memiliki diagnosis: senile demensia (n=3450) VD (n=2698) AD (n=3882), fronto temporal demensia (n=139), lewy body demensia (n=356) dan demensia yang tak terspesifikasi (n=10,291). Pasien yang telah mengalami PTSD memiliki risiko 2 kali lebih besar untuk terkena demensia dibandingkan tanpa PTSD, HR=2.3. Setelah penyesuaian faktor multiple, termasuk komorbiditas medikal dan neuropsikiatrik, pasien dengan PTSD lebih mungkin terkena demensia, HR=1.8. Hasil yang sama didapatkan setelah mengekslusi pasien dengan riwayat trauma kepala, penyalahgunaan zat, atau depresi secara klinis. Menariknya, PTSD memiliki hubungan dengan semua tipe demensia, dimana hubungan paling tinggi adalah dengan demensia frontotemporal dan paling lemah yaitu VD. (Informasi yang signifikan secara statistik mengenai perbedaan risiko relatif antara sub tipe demensia tidak tersedia). Penulis menyimpulkan bahwa di dalam kelompok studi, yang didiagnosis PTSD memiliki risiko 2 kali lebih besar dibandingkan tanpa PTSD. Data dari penelitian sebelumnya mengilustrasikan poin penting yang umum pada semua penelitian mengenai stress atau PTSD dan demensia yang di review pada bagian ini, hasil dari perkiraan statistik sendiri turun untuk menggambarkan keseluruhannya. Pada penelitian sebelumnya, kurang lebih 90% dari pasien PTSD tidak berkembang menjadi demensia, dan kurang lebih 7% dari non PTSD pasien mengalami demensia. Persentase ini menggambarkan walaupun PTSD mungkin berhubungan dengan risiko lebih besar, namun bukan kondisi utama untuk berkembangnya demensia.

3. Penyalahgunaan zat

Baik pemaparan stressor hidup kronik maupun PTSD diketahui memiliki hubungan dengan peningkatan resiko penyalahgunaan zat. Hal ini sering diduga turut berperan pada cara yang salah terhadap pengobatan sendiri. Walaupun data genetik juga mendukung perkembangan menjadi PTSD dan ketergantungan zat. Bagaimanapun, penggunaan zat kronik termasuk alkohol, marijuana, opioid, kokain, dan methamphetamine berhubungan dengan perkembangan penurunan fungsi kognitif. Proses ini memperlihatkan mekanisme indirek terhadap pengaruh stress dan PTSD, pada integritas kognitif yang diperhitungkan pada model etiologis yang mengarah kepada hubungan sederhana antara stress dan PTSD, dan risiko demensia.

4. Stress, PTSD, dan demensia secara biologis

4.1 Neuroimaging

Pada studi longitudinal terhadap proses penuaan normal ditemukan hubungan antara stress kronik dan penurunan volume subtansia grasia orbitofrontal dan hippocampus. Struktur neuroimaging telah memperlihatkan penurunan volume hippocampus pada pasien PTSD. Pada penelitian lebih lanjut menggunakan MRI resolusi tinggi telah ditemukan CA3 dan pendangkalan gyrus pada hippocampus. Apakah volume hippocampus merupakan akibat dari PTSD, risiko dari PTSD atau keduanya masih belum jelas. Area lain yang memiliki volume yang lebih rendah pada PTSD telah ditemukan, dengan konsistensi lebih sedikit dari hippocampus adalah amygdala dan kortex cingula. Pada penelitian baru-baru ini 42 orang yang telah menjalani MRI sebelum gempa bumi difoto ulang setelah bencana tersebut. Volume subtansi abu-abu pada korteks cingula di ventral anterior kanan yang rendah sebelum gempa bumi memiliki hubungan dengan gejala PTSD setelah bencana tersebut, dan penurunan yang lebih hebat sesudah bencana tersebut di korteks orbitofrontal cortex dihubungkan dengan gejala PTSD.

Pada AD, neuroimaging telah digunakan untuk melacak perkembangan penyakit dari impresimptomatik hingga stadium akhir dengan cara yang spesifik ataupun non spesifik. Pembesaran ventrikel, yang merupakan ciri khas radiologis AD yang paling menonjol, adalah penemuan yang non spesifik. Pada orang tua dengan fungsi kognitif baik, volume CA1 yang lebih rendah dan region subiculum dari hippocampus, dan juga pembesaran ventrikel lateral yang diukur dengan MRI, memprediksi penurunan fungsi kognitif pada MCI. Penurunan volume CA1, subiculum, dan (secara hipotesis atrofi) pada area CA2-3 dari hippocampus pada pasien amnestic MCI memprediksikan diagnosis AD. Sebagai tambahan, penurunan volume dari nucleus caudatus sebelah kanan memprediksikan konversi dari MCI ke AD. Regio medial temporal termasuk korteks enthorinal dan amygdala juga menurun pada pasien MCI yang akan mengalami AD. Hal yang sama terjadi, atrofi dari lobus temporal dan frontal, korteks temporoparietal, gyrus cingulate , precuneus, juga berhubungan dengan progresi tiga tahun dari MCI ke AD. Di antara pasien AD, atrofi hippocampus muncul terlebih dahulu diikuti dengan atrofi cingulum bundle dan uncinate fasiculus. Atrofi lobus temporal, parietal, dan frontal dapat memburuk seiring progresi dari penyakit. Pentingnya, tidak ada progresi yang telah dilaporkan pada literatur PTSD masa kini.

4.2 Respon endokrin

Saat mengalami rasa kecewa dan ancaman, sistem stres tubuh teraktivasi untuk memberikan tubuh sumber yang penting untuk respon fight or flight. Dua axis utama stress terlibat dalam respon terhadap stressor. Pertama, aktivasi dari sympathetic-adrenal-medulary axis menghasilkan sekresi cepat epinefrin. Kedua, aktivasi HPA axis melalui sistem hormon menghasilkan glukokortikoid, terutama kortikosteron pada hewan dan kortisol pada manusia. Glukokortikoid bersifat larut dalam lemak dan dapat melewati sawar darah otak untuk berikatan dengan reseptor mineralkortikoid (tipe I) dan glukokortikoid (tipe II). Reseptor tipe I sebagian didistribusikan di sistem limbik, sedangkan tipe II dipresentasikan di struktur kortikal termasuk korteks prefrontal. Aktivitas HPA axis diatur oleh feedback negatif, dimana beberapa bagian disebabkan oleh pengikatan glukokortikoid ke reseptor tipe II yang terletak di hippocampus dan kelenjar pituitari. Tiga struktur otak telah diidentifikasi sebagai pengatur HPA axis : amygdala, yang memiliki pengaruh untuk merangsang kerja HPA axis, hippocampus, dan korteks prefrontal yang menyebabkan inhibisi dari HPA axis. Karena struktur otak ini memiliki reseptor glukokortikoid dengan densitas yang tinggi, fungsi yang mereka kerjakan dapat dipengaruhi oleh stress. Saat respon stress meningkat, hasil yang negatif dapat muncul, seperti desensitisasi reseptor dan kerusakan jaringan. Dampak jangka panjang ini disebut allostatic load. Tingginya allostatic load dihubungkan dengan penurunan fungsi kognitif pada orang tua.

Dampak stress terhadap fungsi kognitif telah dipelajari di berbagai paradigma dan populasi. Pasien yang lebih tua menunjukkan variabilitas volume dan fungsi hippocampus, sekresi kortisol, dan performa kognitif. Banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel ini dari normal hingga patologis. Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa tikus yang lebih tua mengalami penurunan memori memiliki aktivitas HPA axis yang lebih tinggi dibandingkan dengan tikus dengan performa memori yang normal. Pada tikus tua aktivitas HPA axis memiliki hubungan negatif baik performa spasial dan neurogenesis hippocampal. Injeksi tikus tua dengan kortisol dalam periode lama akan menyebabkan penurunan fungsi yang sama. Penurunan kadar kortisol telah ditemukan untuk mempromosikan neurogenesis dan menghambat gangguan memori spasial biasanya diobservasi pada tikus tua. Manusia yang menunjukkan peningkatan kortisol 24 jam selama 3-6 tahun hingga tingkat yang tinggi ditemukan mengalami gangguan memori dan volum hippocampal yang lebih rendah. Penelitian pada hewan coba menghasilkan hipotesis kaskade glukokortikoid , yang dikenal juga dengan istilah hipotesis neurotoksisitas. Teori ini menduga bahwa peningkatan kadar kortisol yang terjadi secara kronik mengganggu regulasi aksis HPA (Hipotalamus-Pituitari-Adrenal), dan kemudian mengganggu regulasi sistem stres yang menyebabkan penurunan volume hipokampus dan kurangnya daya ingat. Peningkatan kadar glukokortikoid yang terjadi secara kronik telah terbukti menyebabkan menurunnya percabangan dendritik pada hipokampus, menghasilkan atrofi pada regio CA3, dan degenerasi neuron piramidal. Penelitian lain juga menyatakan bahwa paparan kronis terhadap kadar glukokortikoid yang tinggi setelah cedera otak, seperti trauma atau iskemia, dapat menyebabkan penurunan jumlah neuron lebih lanjut. AD (Alzheimers Disease) juga dihubungkan dengan kadar kortisol yang lebih tinggi dan volume hipokampus yang lebih kecil. Perlu diketahui bahwa belum ada penelitian yang menjelaskan apakah profil hiperkortisolemia menyebabkan penurunan volume hipokampus, atau apakah volume hipokampus yang kecil memberikan kecenderungan sekresi kortisol yang lebih tinggi.

4.3. Stres oksidatifDi luar stres aksis HPA, gagasan mengenai stres oksidatif telah diteliti dalam usaha untuk menjelaskan mekanisme progresi dari proses penuaan normal menuju patologik. Mitokondria menghasilkan reactive oxygen species, yang dapat memberikan efek merusakn pada jaringan tubuh. Stres oksidatif muncul ketika aktivitas antioksidan tidak cukup kuat untuk menetralkan pro-oksidan tersebut. Penelitian pada sekelompok spesies hewan dari hewan pengerat sampai primata melaporkan terdapat hubungan antara stres hidup yang berat dan marker stres oksidatif. Diduga stresor yang lebih berat dapat meningkatkan stres oksidatif, yang dapat mengganggu integritas aksis HPA. Stres oksidatif yang tinggi dihubungkan dengan gangguan kognitif dan AD. Stres oksidatif diketahui berhubungan dengan penurunan neurogenesis pada girus dentatus, meningkatkan permeabilitas sawar darah otak, neuroinflamasi (dijelaskan pada bagian berikutnya), kematian neuron, dan secara umum peningkatan kemungkinan kerusakan jaringan otak. Neuroinflamasi dapat meningkatkan stres oksidatif lebih lanjut, berpotensi memunculkan lingkaran setan. Penelitian menunjukkan bahwa amiloid-beta (A(), suatu penanda neuropatologis dari AD, dapat dihasilkan melalui interaksi antara stres oksidatif dengan neuroinflamasi. Baik stres oksidatif maupun neuroinflamasi berhubungan dengan aktivitas telomer yang menurun, yang kemudian dapat mempercepat pemendekan telomer. Pemendekan telomer adalah proses yang normal terjadi pada penuaan, namun pemendekan yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan kognitif, peningkatan risiko mortalitas, dan kondisi patologik termasuk AD. Selain itu, stres oksidatif meningkatkan aktivitas dari neurotransmiter eksitatorik, terutama glutamat. Tingginya kadar stres oksidatif secara terus menerus dalam periode yang lama dapat menyebabkan disregulasi proses signalling yang dapat menyebabkan hilangnya neuron, suatu proses yang disebut eksitotoksisitas. Proses ini telah dilaporkan pada penyakit degeneratif multipel, termasuk AD. Akhirnya, tetap penting untuk diperhatikan bahwa stres kronis dapat meningkatkan asupan kalori, resistensi insulin, dan risiko obesitas, dengan konsekuensi efek yang merusak pada gangguan mental selain menyebabkan sindroma metabolik, yang berhubungan dengan peningkatan risiko inflamasi dan AD. Meskipun peran stres oksidatif telah diusulkan dan model hewan coba pada PTSD, penanda peningkatan stres oksidatif belum dianggap berhubungan dengan gangguan yang sebenarnya pada manusia.

4.4. Neuroinflamasi dan sitokin

Neuroinflamasi adalah proses yang diawali untuk memperbaiki cedera otak. Proses ini dicirikan dengan aktivasi mikroglia dan astrosit, yang berhubungan dengan pelepasan mediator inflamasi, terutama sitokin. Sitokin memediasi komunikasi antara sistem imun dan sistem neuroendokrin. Terdapat dua kelas sitokin: sitokin proinflamasi dan antiinflamasi. Stres meningkatkan produksi dari sitokin proinflamasi di sistem saraf sentral dan perifer. Individu dengan stres kronis sering memiliki fungsi imun yang terganggu dan menunjukkan kadar sitokin proinflamasi yang tinggi dalam serum. Peningkatan sitokin proinflamasi juga dilaporkan pada PTSD.

Peran stres kronis dalam menginduksi neuroinflamasi dapat dimediasi melalui pelepasan glukokortikoid. Di otak, glukokortikoid meningkatkan stimulasi untuk migrasi leukosit. Neuroinflamasi berkontribusi terhadap gangguan proses proliferasi normal, migrasi, dan diferensiasi dari stem sel neural, menyebabkan penurunan neurogenesis dengan gangguan ingatan dan mempelajari hal baru. Penemuan mengenai mikroglia yang teraktivasi di sekitar plak amiloid mendukung peran neuroinflamasi pada patofisiologi AD. Pada penelitian epidemiologi, terapi dengan obat-obatan AINS diketahui menurunkan risiko AD. Obat-obatan AINS telah diselidiki sebagai terapi potensial untuk menghambat onset AD.

Bertambahnya usia dihubungkan dengan perubahan respon imun, dengan upregulation mediator proinflamasi dan downregulation mediator antiinflamasi. Terdapat korelasi negatif antara derajat inflamasi dengan onset usia AD (semakin tinggi derajat inflamasi, onset semakin cepat). Individu dengan derajat inflamasi yang lebih tinggi diketahui kehilangan banyak poin dalam MMSE dalam periode 3 tahun.

4.5. Neuropatologi

Dalam mempertimbangkan efek akibat stres pada jaringan neural, perlu ditekankan bahwa tidak setiap perubahan berefek pada proses degeneratif. Sebagaimana organ lain dalam tubuh, otak mampu berubah secara morfologis sebagai respon terhadap lingkungan. Perubahan ini dapat muncul pada tingkat molekuler, seluler, sinaps, jaringan, dan bahkan pada tingkat anatomis yang lebih besar, tidak hanya di neuron namun juga di neuroglia. Perubahan otak sebagai respon terhadap stres sangat bervariasi tergantung pada regio otak yang terkena. Regio yang paling sering dipelajari adalah hipokampus. Kesesuaian dengan hipotesis kaskade glukokortikoid adalah peningkatan kadar kortisol yang kronis dapat menyebabkan atrofi dendrit pada struktur tersebut. Perubahan seperti ini telah dilaporkan pada hewan pengerat dan kera yang dipapar dengan situasi penuh tekanan secara kronis serta diberikan kortikoid eksogen. Hal yang penting di sini, setidaknya pada suatu tingkat, atrofi dendrit hipokampus bersifat reversibel dengan penghentian paparan stres. Area otak lain, terutama amigdala, dapat memberikan respon terhadap stres ke arah yang berlawanan (dengan peningkatan proliferasi dan hipertrofi dendrit). Semua respon ini dapat bersifat adaptif. Di bawah kondisi lingkungan yang penuh tekanan (munculnya bahaya secara terus-menerus), memiliki amigdala yang hiperfungsi dapat bermanfaat, memberikan peran sentral organ ini dalam mengenali ancaman dan mengkoordinasikan respon takut. Sebaliknya, dalam kondisi bahaya, fungsi hipokampus (mempelajari lingkungan di bawah kondisi aman dan fleksibilitas perilaku) bisa jadi tidak bermanfaat.

Pengamatan variasi neuron regional pada respon terhadap stres, dengan atrofi pada beberapa area dan hipertrofi di area lain, menghalangi kenyataan sederhana bahwa stres merusak otak. Bahkan, stres muncul untuk memahat otak sesuai lingkungan darurat. Jika stres berlangsung lama, dapat muncul kematian neuron, meskipun penelitian terbaru membantah efek ini. Sebaliknya, tinjauan penelitian MRI volumetrik menunjukkan penurunan volume amigdala dan hipokampus yang sebanding pada AD. Hal ini menunjukkan suatu perbedaan kualitatif pada proses neuropatologis yang mendasari stres dan AD, dengan klasifikasi yang lebih tepat sebagai plastik untuk yang awal, dan degeneratif untuk yang akhir.

Neuropatologi dari AD dicirikan dengan plak A( ekstraseluler dan ikatan neurofibril intraseluler. A( diproduksi dari protein prekursor amiloid (APP). Protein tau adalah bahan penting dari ikatan neurofibril. Pada AD, protein tau mengalami hiperfosforilasi, yang kemudian mengganggu fungsinya. Kelompok astrosit dan mikroglia di sekitar neuron dan plak teraktivasi, berinteraksi dengan molekul proinflamasi dan mengacaukan keseimbangan antara molekul proinflamasi dan antiinflamasi.

Bukti yang ditunjukkan pada hewan coba tidak mendukung bahwa stres dapat mempercepat atau memperburuk proses neuropatologis yang berhubungan dengan AD. Suatu pendekatan digunakan untuk hewan coba yang telah dimodifikasi secara genetik untuk meningkatkan gambaran patofisiologis yang berhubungan dengan AD dan kemudian untuk memeriksa efek dari stres dan hormon stres pada mereka. Mencit transgenik yang mengalami overekspresi suatu mutasi pada APP menunjukkan penurunan kapasitas proliferasi sel pada girus dentatus. Stres yang terisolasi diketahui dapat mempercepat proses yang mendasari deposisi plak A( pada mencit ini. Pada model tikus transgenik AD yang lain, stres jangka panjang dihubungkan dengan peningkatan jumlah dan densitas dari deposit vaskuler dan ekstraseluler, terutama di hipokampus, mengandung A( dan fragmen carboxyl-terminal dari APP. Pemberian glukokortikoid eksogen dengan kadar stres terhadap mencit ransgenik juga diketahui dapat meningkatkan pembentukan A( dengan meningkatkan kadar tetap dari APP dan (-APP cleaving enzyme dan untuk menambah akumulasi protein tau. Pada tikus Wistar nontransgenic, baik stres maupun glukokortikoid diketahui dapat mencetuskan gangguan proses APP pada hipokampus dan korteks prefontal tikus. Pada tikus Wistar sehat usia pertengahan, stres kronis dan glukokortikoid diketahui dapat menginduksi hiperfosforilasi yang abnormal dari protein tau pada hipokampus dan korteks prefrontal, dengan gangguan yang sepadan pada perilaku tergantung hipokampus dan korteks prefrontal. Untuk tinjauan terbaru dan lebih detail mengenai neuropatologi dari stres, lihat [61].

Lompatan dari PTSD ke AD mungkin lebih lebar dibanding lompatan dari stres ke AD. Sesuai dengan hipotesis kaskade glukokortikoid, pada AD, sebagaimana pada depresi, kadar kortisol cenderung tinggi dan resisten terhadap umpan balik negatif. Banyak penelitian menyebutkan bahwa bukan ini yang terjadi pada PTSD; gambarannya cenderung berlawanan. Bukti bahwa stres terlibat dalam patogenesis AD bergantung pada pean mediasi dari glukokortikoid yang berlebihan, sulit menerapka suatu model pada suatu kondisi (PTSD) di mana glukokortikoid tidak berlebihan. Pada tingkat ini, mekanisme non-glucocorticoid-mediated di mana PTSD dapat mempengaruhi AD tidak digambarkan dengan baik.

Penyusutan volume hipokampus adalah penemuan yang konstan pada PTSD. Awalnya, penemuan ini digembar-gemborkan sebagai bukti yang dapat dikembangkan bahwa stres dapat merusak struktur otak manusia. Interpretasi ini mengalami keunduran pada penelitian kembar identik yang mendukung kesimpulan bahwa penyusutan hipokampus pada PTSD adalah abnormalitas konstitusional yang dimiliki bersama oleh kembar yang merupakan veteran pejuang. Hasil meta-analisis menunjukkan bahwa riwayat terpapar kejadian traumatik, bahkan tanpa adanya PTSD, berhubungan dengan pengurangan volume hipokampus (walaupun tidak seluas pada PTSD), menunjukkan peran kausatif untuk paparan trauma pada penyusutan hipokampus. Bahkan paparan yang sangat berisiko sekalipun memiliki faktor genetik. Bukti bahwa terapi psikofarmakologis dapat meningkatkan volume hipokampus pada PTSD diajukan namun tidak terbukti sumber penyusutannya. Bahkan jika suatu bagian penyusutan volume yang ditemukan pada PTSD di hipokampus, dan struktur otak lain yang mungkin, nantinya akan menunjukkan gambaran didapat daripada konstitusional, tidak jelas hubungan apa yang bisa didapat dengan AD dan demensia lain, dengan kenyataan bahwa PTSD dan demensia benar-benar berbeda secara psikiatris dan biologis. Pertanyaannya mungkin diperjelas dengan pemeriksaan postmortem dari jaringan otak pada PTSD dalam pencarian perubahan seperti AD, namun hanya sedikit penelitian yang telah dilaporkan. Sampai saat itu, hubungan neuropatologis antara PTSD dan AD masih spekulatif.5. Kesimpulan

Studi epidemiologi mengenai stres kronik dan PTSD telah menunjukkan bahwa keduanya berkaitan secara statistik terhadap berkembangnya berbagai bentuk demensia. Meskipun demikian hubungan tersebut tidaklah kuat. Stres kronis dan PTSD tidak secara langsung menimbulkan demensia. Stres kronik dan PTSD hanya merupakan faktor tambahan yang terlibat dalam patogenesis suatu demensia, termasuk alzeimer. Hubungan langsung antara stres kronik dan PTSD dapat menimbulkan suatu demensia masih belum dapat diitegakkan. Dalam tingkat biologi, beberapa jalur dari stres ke demensia telah dapat digambarkan dalam berbagai studi, dimana studi-studi tersebut berdasarkan percobaan dengan menggunakan binatang. Sehingga studi-studi ini hanya berupa suatu analogi atau homologi bila diaplikasikan pada manusia. Penyakit alzeimer memiliki profil neuropatologi yang tidak ditemukan pada stres maupun PTSD. Meskipun belum ada anti stres maupun anti PTSD spesifik yang telah terbukti manfaatnya, studi lebih lanjut masih perlu untuk dilakukan. Sementara itu, intervensi kesehatan masyarakat yang bertujuan mengurangi stres kronik dan PTSD terbukti memiliki efek yang menguntungkan terhadap pencegahan munculnya suatu demensia.

PAGE 2