STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI PENGOLAHAN …/Strategi... · Semua pihak yang telah membantu...
-
Upload
truongtuong -
Category
Documents
-
view
233 -
download
2
Transcript of STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI PENGOLAHAN …/Strategi... · Semua pihak yang telah membantu...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI
PENGOLAHAN METE DI KECAMATAN JATISRONO
KABUPATEN WONOGIRI
SKRIPSI
Oleh
Yuliningsih
H0808162
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI PENGOLAHAN METE
DI KECAMATAN JATISRONO KABUPATEN WONOGIRI
SKRIPSI
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
Guna memperoleh derajat gelar sarjana pertanian
Pada Fakultas Pertanian Uiversitas Sebelas Maret
Program Studi Agribisnis
Oleh
Yuliningsih
H0808162
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI PENGOLAHAN METE
DI KECAMATAN JATISRONO KABUPATEN WONOGIRI
Yang diajukan dan disusun oleh :
Yuliningsih
H0808162
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
Pada tanggal : 06 Maret 2013
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Dewan Penguji
Ketua
Dr. Ir. Eny Lestari, M.Si
NIP. 1960122619862001
Anggota I
Emi Widiyanti, SP, M.Si
NIP. 197803252001122001
Anggota II
Ir. Agustono, M.Si
NIP. 196408011990031004
Surakarta, Maret 2013
Mengetahui,
Universitas Sebelas Maret
Fakultas Pertanian
Dekan
Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, M.S.
NIP. 19560225 198601 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi Strategi Pengembangan
Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri.
Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada orang-orang maupun
instansi yang telah membantu pembuatan skripsi ini. Penulis berterima kasih
kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, MS selaku Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Dr. Ir. Mohd. Harissudin, M.Si selaku Ketua Program Studi Agribisnis
Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Ibu Nuning Setyowati, SP, M.Sc selaku Ketua Komisi Sarjana Program Studi
Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Ibu Dr. Ir. Eny Lestari, MSi selaku pembimbing utama yang telah
memberikan pengarahan dan masukan dalam penyusunan skripsi.
5. Ibu Emi Widiyanti, SP., M.Si selaku pembimbing akademik sekaligus
pembimbing pendamping yang telah memberikan pengarahan dan masukan
dalam penyusunan skripsi.
6. Bapak Ir. Agustono, M.Si selaku dosen penguji, terima kasih atas saran dan
masukannya.
7. Keluarga tercinta, Alm. Bapak, semoga beliau mendapatkan tempat terbaik di
sisi-Nya, Ibu, Mbak Ati’, Siti, Zeefha, Bapak, Mas Darto yang senantiasa
memberi cinta dan kasih sayang kepada Penulis, arahan, masukan, motivasi,
waktu serta doanya, terima kasih untuk semuanya. Senyum kalian adalah
semangat buatku, I love you all.
8. Sahabat-sahabat “45”, Tyas, Bundo, Sanah, Rina, Enril, Bayu, Aziz, Sigit,
terima kasih atas segala persahabatan, kebersamaan, dan pengalaman berharga
selama kita bersama. Semoga kita dipertemukan lagi dalam kebersamaan pada
waktu yang yang lebih indah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
9. Bapak dan Ibu Dosen beserta staf Program Studi Agribisnis dan Fakultas
Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta atas ilmu dan pelayanan yang
telah diberikan dan bantuannya selama masa perkuliahan Penulis.
10. Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat; Dinas
Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Penanaman Modal; Badan Pusat
Statistik Kabupaten Wonogiri; Pimpinan dan staf Kecamatan Jatisrono serta
semua responden di Kecamatan Jatisrono yang telah memberikan ijin dan
data-data penelitian.
11. Teman-teman Wisma Almamater Ceria: Rizki, Widya, Dian, Mb Linda, Mb
Tira, Mb Lia, Dek Septi, Dek Ayu, Dek Sri, Ratna, Dek Martha, Mimi, Putri,
atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan kepada Penulis.
12. Keluarga Besar GEMMA dan Arisan 2008 FP UNS atas segala persaudaraan
dan pelajaran indah. Semoga Allah senantiasa meridhoi langkah kita. Semoga
kesuksesan selalu bersama kita. Amin ya Rabb.
13. Keluarga besar dan teman-teman FUSI FP UNS, BIRO AAI FP terima kasih
bersedia berbagi ilmu dan pengalaman yang dahsyat.
14. Teman-teman Co-Ass. Sistem Pertanian Terpadu, Studi Kelayakan Investasi
Agribisnis, Sistem Informasi Manajemen, dan Perencanaan Pembangunan
Wilayah terima kasih atas pengalamannya.
15. Keluarga besar Agribisnis angkatan 2008, yang telah berjuang bersama, yang
tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas kebersamaannya selama
kuliah ini. Semoga kesuksesan selalu bersama kita. Amin ya Rabb.
16. Semua pihak yang telah membantu kelancaran proses penelitian dan
penyelesaian skripsi ini, yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu,
terima kasih atas bantuannya selama ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu
Penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan keterbatasan Penulis serta
mengharap kritik dan saran yang membangun. Sebagai penutup semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi pembaca.
Surakarta, Maret 2013
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................. iv
DAFTAR ISI ................................................................................................. vi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xii
ABSTRAK ..................................................................................................... xiii
ABSTRACT ..................................................................................................... xiv
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ........................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 5
D. Kegunaan Penelitian .......................................................................... 6
II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 7
1. Agroindustri ................................................................................. 7
2. Mete ............................................................................................. 13
3. Pengolahan Mete ......................................................................... 13
4. Analisis Usaha ............................................................................. 16
5. Arti Penting Strategi .................................................................... 16
6. Proses Perumusan Strategi .......................................................... 17
7. Penelitian Terdahulu .................................................................... 23
B. Kerangka Teori Pendekatan Masalah ................................................ 24
C. Pembatasan Masalah .......................................................................... 28
D. Definisi Operasional .......................................................................... 28
III. METODE PENELITIAN
A. Metode Dasar Penelitian .................................................................... 31
B. Lokasi Penelitian ............................................................................... 31
C. Tahapan Penelitian ............................................................................ 32
D. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data ....................................... 34
E. Metode Penentuan Sampel Responden .............................................. 35
F. Meode Analisis Data ........................................................................ 38
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Keadaan Alam ................................................................................. 45
B. Keadaan Penduduk.......................................................................... 46
C. Keadaan Sarana Perekonomian....................................................... 49
D. Keadaan Sektor Pertanian ............................................................... 50
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
E. Keadaan Industri ............................................................................. 52
V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden ................................................................. 57
B. Keragaan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono
Kabupaten Wonogiri ....................................................................... 56
C. Kondisi Faktor Internal Agroindustri Pengolahan Mete di
Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri .................................... 74
D. Kondisi Faktor Eksternal Agroindustri Pengolahan Mete di
Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri .................................... 82
E. Alternatif Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete
di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri ................................ 90
F. Prioritas Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete
di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri ................................ 92
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ..................................................................................... 100
B. Saran ............................................................................................... 102
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 103
LAMPIRAN ...................................................................................................
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel 1. Luas Areal (ha) dan Produksi Jambu Mete Menurut Kabupaten di
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011 .................................................. 2
Tabel 2. Luas Areal (ha) dan Produksi Jambu Mete Meurut Kecamatan di
Kabupaten Wonogiri Tahun 2011 ................................................... 2
Tabel 2. Jumlah Usaha Agrindustri Pengolahan Mete Menurut Kecamatan
di Kabupaten Wonogiri Tahun 2007 ............................................... 3
Tabel 4. Realisasi Impor dan Ekspor Mete Indonesia.................................... 15
Tabel 5. Luas Areal (ha) dan Produksi Jambu Mete Menurut Kabupaten di
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 .................................................. 31
Tabel 6. Luas Areal (ha) dan Produksi Jambu Mete Menurut Kecamatan di
Kabupaten Wonogiri Tahun 2010 .................................................... 32
Tabel 7. Responden dalam Perumusan Strategi Pengembangan
Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten
Wonogiri .......................................................................................... 38
Tabel 8. Matriks External Factor Evaluation (EFE) ..................................... 40
Tabel 9. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) ....................................... 40
Tabel 10. Matriks SWOT ................................................................................ 42
Tabel 11. Matriks QSP .................................................................................... 43
Tabel 12. Penggunaan Lahan di Kecamatan Jatisrono Tahun 2011 ............... 45
Tabel 13. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kecamatan Jatisrono
Tahun 2010 dan 2011 ...................................................................... 46
Tabel 14. Penduduk Kecamatan Jatisrono Menurut Golongan Umur Tahun
2011 (orang) .................................................................................... 48
Tabel 15. Jumlah Penduduk di Kecamatan Jatisrono Menurut Mata
Pencaharian Tahun 2011 (orang) ..................................................... 49
Tabel 16. Sarana Perekonomian di Kecamatan Jatisrono Tahun 2011 ........... 49
Tabel 17. Jumlah Sarana Angkutan di Kecamatan Jatisrono Tahun 2011 ...... 50
Tabel 18. Produksi Tanaman Padi dan Palawija di Kecamatan Jatisrono
Tahun 2011 (kw) ............................................................................. 51
Tabel 19. Komoditi Perkebunan di Kecamatan Jatisrono Tahun 2010
(Batang) ........................................................................................... 50
Tabel 20. Populasi Ternak di Kecamatan Jatisrono Tahun 2010 (Ekor) ......... 52
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
Tabel 21. Jumlah Industri Kecil Potensial di Kecamatan Jatisrono Tahun
2007 ................................................................................................. 53
Tabel 22. Identitas Responden Pelaku Usaha Pengolahan Mete di
Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri ..................................... 54
Tabel 23. Karakteristik Usaha Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan
Jatisrono Kabupaten Wonogiri ........................................................ 55
Tabel 24. Identitas Responden Pemerintah dalam Pengembangan
Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten
Wonogiri .......................................................................................... 56
Tabel 25. Identitas Responden Pedagang Pengepul dalam Pengembangan
Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten
Wonogiri .......................................................................................... 56
Tabel 26. Identitas Responden Konsumen Akhir dalam Pengembangan
Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten
Wonogiri .......................................................................................... 57
Tabel 27. Ketenagakerjaan Responden Pelaku Usaha Agroindustri
Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri .... 59
Tabel 28. Rata-Rata Total Biaya Produksi pada Agroindustri Pengolahan
Mete Selama 1 Bulan ....................................................................... 60
Tabel 29. Rata-Rata Penerimaan Responden Pelaku Usaha Agroindustri
Pengolahan Mete Selama 1 Bulan ................................................... 62
Tabel 30. Rata-Rata Keuntungan Usaha pada Agroindustri Pengolahan
Mete Selama 1 Bulan ....................................................................... 62
Tabel 31. Rata-Rata Biaya, Penerimaan, dan Keuntungan per kg Produk
Pada Agroindustri Pengolahan Mete ............................................... 63
Tabel 32. Ciri-ciri Kelas Kacang Mete ............................................................ 69
Tabel 33. Sumber Modal Responden Pelaku Usaha Agroindustri
Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri .... 72
Tabel 34. Identifikasi Faktor-Faktor Internal pada Pengembangan
Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten
Wonogiri .......................................................................................... 75
Tabel 35. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) pada Agroindustri
Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri .... 81
Tabel 36. Identifikasi Faktor-Faktor Eksternal pada Pengembangan
Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten
Wonogiri .......................................................................................... 83
Tabel 37. Matriks External Factor Evaluation (IFE) pada Agroindustri
Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri .... 89
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
Tabel 38. Alternatif Strategi Matriks SWOT dalam Pengembangan
Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten
Wonogiri .......................................................................................... 91
Tabel 39. Matriks QSP dalam Pengembangan Agroindustri Pengolahan
Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri ........................ 93
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
Gambar 1. Kerangka Teori Pendekatan Masalah ............................................. 27
Gambar 2. Tahapan Penelitian ......................................................................... 33
Gambar 3. Rantai Pemasaran Kacang Mete di Kecamatan Jatisrono .............. 71
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul
Lampiran 1. Data Responden ..........................................................................
Lampiran 2. Kuesioner Penelitian ...................................................................
Lampiran 3. Surat Ijin Penelitian ....................................................................
Lampiran 4. Peta Kecamatan Jatisrono ...........................................................
Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian ..............................................................
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris yang mempunyai banyak sekali
potensi alam, salah satunya di bidang pertanian. Sebagai negara agraris,
sebagian besar penduduk Indonesia menjadikan sektor pertanian sebagai
sumber penghidupan. Akan tetapi, pembangunan pertanian kurang menjadi
perhatian. Salah satu solusi pengembangan sektor pertanian yaitu dengan
adanya agroindustri. Agroindustri merupakan suatu industri yang
menggunakan hasil pertanian sebagai bahan baku utamanya atau suatu
industri yang menghasilkan suatu produk yang digunakan sebagai sarana atau
input dalam usaha pertanian (Putra, 2008).
Menurut Austin (1992), agroindustri hasil pertanian mampu
memberikan sumbangan yang sangat nyata bagi pembangunan di kebanyakan
negara berkembang karena empat alasan, yaitu: Pertama, agroindustri hasil
pertanian adalah pintu untuk sektor pertanian. Kedua, agroindustri hasil
pertanian sebagai dasar sektor manufaktur. Ketiga, agroindustri pengolahan
hasil pertanian menghasilkan komoditas ekspor penting. Keempat,
agroindustri pangan merupakan sumber penting nutrisi.
Salah satu subsektor pertanian yang dapat dikembangkan sebagai
agroindustri adalah subsektor perkebunan. Selama tahun 2004 - 2009 sub
sektor perkebunan menyumbang sekitar 12,7% dari perolehan devisa yang
dihasilkan dari sektor non-migas (Kementan, 2010). Salah satu komoditas
perkebunan yang cukup penting dalam menyumbang perolehan devisa negara
adalah biji jambu mete (cashew nut). Luas areal tanaman jambu mete di
Indonesia sekitar 499.279 ha dengan produksi 76.656 ton pertahun (Deptan,
2000). Pengembangan jambu mete dicanangkan pertama kali oleh Pemerintah
pada pertengahan tahun 1972, yang diawali dengan program penghijauan
pada lahan kritis oleh Sub Sektor Kehutanan (Karmawati, 2008).
Jawa Tengah merupakan salah satu penghasil jambu mete di
Indonesia. Jambu mete ini tersebar hampir di seluruh wilayah Jawa Tengah.
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Data luas areal dan produksi jambu mete di wilayah Jawa Tengah yang
menunjukkan peringkat satu sampai lima disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Luas Areal (ha) dan Produksi Jambu Mete Menurut Kabupaten di
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011
No. Kabupaten/Kota Luas (ha) Produksi (ton)
1. Kabupaten Wonogiri 20.505,00 7.145,00
2. Kabupaten Sragen 1.088,50 297,40
3. Kabupaten Blora 1.023,07 290,28
4. Kabupaten Jepara 740,57 233,85
5. Kabupaten Rembang 522,00 116,96
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, 2012
Berdasarkan data luas areal dan produksi pada Tabel 1 dapat diketahui
bahwa Kabupaten Wonogiri merupakan Kabupaten yang memiliki luas areal
dan produksi tertinggi dibandingkan dengan kabupaten dan kota yang ada di
provinsi Jawa Tengah. Oleh karena itu, Kabupaten Wonogiri berkembang
menjadi salah satu sentra pengolahan mete karena didukung oleh kondisi
geografis yang sesuai untuk perkebunan jambu mete dan Wonogiri dapat
mendominasi pasar dengan berhasil memasok mete hingga 70% lebih dan
menembus pasar ekspor ke beberapa negara tetangga (BI, 2000).
Tanaman jambu mete merupakan tanaman yang menjadi ciri khas di
Kabupaten Wonogiri. Tingginya produksi jambu mete di Kabupaten
Wonogiri tentunya disumbang dari produksi tingkat kecamatan. Data luas
areal dan produksi jambu mete pada tingkat kecamatan yang menunjukkan
peringkat satu sampai lima disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Luas Areal (ha) dan Produksi Jambu Mete Menurut Kecamatan di
Kabupaten Wonogiri Tahun 2011
No. Kecamatan Luas (ha) Produksi (ton)
1. Kecamatan Ngadirojo 3. 296,00 1.712,00
2. Kecamatan Sidoarjo 3.069,00 975,00
3. Kecamatan Jatiroto 2.306,00 818.00
4. Kecamatan Jatisrono 1.967,00 782,00
5. Kecamatan Girimarto 818,00 345,00
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonogiri, 2012
Tabel 2 menunjukkan kecamatan-kecamatan yang menempati lima
besar dalam luas areal dan produksi jambu mete di Kabupaten Wonogiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Salah satu usaha yang kemudian berkembang di Kabupaten Wonogiri karena
jumlah produksi mete yang tinggi adalah agroindustri pengolahan mete.
Usaha ini tumbuh dan berkembang di beberapa kecamatan. Berdasarkan data
Disperindag, Koperasi dan Penanaman Modal Kabupaten Wonogiri (2007),
jumlah usaha agroindustri pengolahan mete paling banyak terdapat di
Kecamatan Jatisrono, dari 785 industri kecil dan menengah pengolahan mete
yang ada di Kabupaten Wonogiri, 583 diantaranya ada di Kecamatan
Jatisrono dan mampu menyerap 2.258 tenaga kerja. Jumlah usaha
agroindustri pengolahan mete di Kabupaten Wonogiri dapat dilihat pada
Tabel di bawah ini.
Tabel 3. Jumlah Usaha Agroindustri Pengolahan Mete Menurut Kecamatan di
Kabupaten Wonogiri Tahun 2007
No. Kecamatan Jumlah Usaha (Unit) Tenaga Kerja (jiwa)
1. Kecamatan Jatisrono 583 2.258
2. Kecamatan Slogohimo 71 236
3. Kecamatan Purwantoro 131 493
Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Penanaman Modal
Kabupaten Wonogiri, 2007
Tabel 3 menunjukkan bahwa usaha agroindustri pengolahan mete di
Kabupaten Wonogiri terdapat di tiga Kecamatan, yaiu Kecamatan Jatisrono,
Kecamatan Slogohimo, dan Kecamatan Purwantoro. Jumlah usaha yang
paling banyak yaitu di Kecamatan Jatisrono sejumlah 583 unit usaha. Karena
jumlah industri yang banyak ini kemudian didirikan sentra industri kecil
pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono.
Pengolahan mete adalah proses pengolahan gelondong mete menjadi
kacang mete. Agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono ini
sebagian besar berupa industri yang berskala rumah tangga yang masih
menggunakan peralatan yang sederhana. Bahan baku tidak selalu tersedia
sepanjang waktu, tergantung pasokan, sehingga seringkali tidak mampu
memenuhi permintaan dari konsumen. Iklim yang tidak menentu juga
mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan, karena berkaitan dengan
proses penjemuran gelondong dan juga kacang mete (BI, 2000). Karena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
berbagai kendala yang dihadapi, diperlukan suatu upaya untuk merumuskan
strategi pengembangan agroindustri pengolahan mete. Hal inilah yang
mendorong penulis untuk melakukan penelitian mengenai “Strategi
Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono
Kabupaten Wonogiri”.
B. Perumusan Masalah
Pengolahan mete merupakan suatu usaha yang termasuk di dalam
agroindustri karena merupakan kegiatan pengolahan hasil pertanian. Yang
dimaksud pengolahan mete di sini adalah usaha pengolahan mete sejak masih
bersatu dengan buah semunya sampai dengan pengemasannya. Di Kecamatan
Jatisrono, usaha pengolahan mete sudah berkembang lama, di mana usaha ini
umumnya merupakan usaha skala kecil dan menengah yang menggunakan
teknologi sederhana. Usaha ini dirasakan cukup mampu membangkitkan
kondisi ekonomi warga Kecamatan Jatisrono apalagi setelah adanya krisis
ekonomi serta mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup
besar, yang secara otomatis akan mampu meningkatkan pendapatan dari
penduduk setempat. Berdasarkan keadaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
usaha agroindustri pengolahan mete ini cukup memberikan dampak positif
bagi masyarakat sekitar. Selain itu, usaha ini tidak menimbulkan pencemaran
bagi lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya perumusan strategi
pengembangan pada agroindustri pengolahan mete ini agar dapat terjadi
peningkatan kualitas dan kuantitas produksi, sehingga usaha ini bisa terus
memberikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.
Berkaitan dengan uraian di atas, maka dapat diambil beberapa
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah keragaan agroindustri pengolahan mete (skala usaha,
bahan baku, pengelolaan produksi, pengemasan, pemasaran, dan sarana
prasarana) di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri?
2. Bagaimanakah kondisi faktor internal (keuangan, pemasaran, produksi,
manajemen, dan sumber daya manusia) dalam pengembangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten
Wonogiri?
3. Bagaimanakah kondisi faktor eksternal (perekonomian, sosial budaya,
pemerintah, teknologi, persaingan, dan keadaan alam) dalam
pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono
Kabupaten Wonogiri?
4. Bagaimana alternatif strategi pengembangan yang dapat diterapkan pada
industri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri?
5. Bagaimana prioritas strategi yang dapat diterapkan dalam pengembangan
industri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi keragaan agroindustri pengolahan mete (skala usaha,
bahan baku, pengelolaan produksi, pengemasan, pemasaran, dan sarana
prasarana) di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri.
2. Mengidentifikasi kondisi faktor internal (keuangan, pemasaran, produksi,
manajemen, dan sumber daya manusia) dalam pengembangan
agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten
Wonogiri.
3. Mengidentifikasi kondisi faktor eksternal (perekonomian, sosial budaya,
pemerintah, teknologi, persaingan, dan keadaan alam) dalam
pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono
Kabupaten Wonogiri.
4. Merumuskan alternatif strategi pengembangan yang dapat diterapkan
dalam pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan
Jatisrono Kabupaten Wonogiri.
5. Menentukan prioritas strategi dalam pengembangan agroindustri
pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini diantaranya adalah:
1. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman serta merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Bagi pemerintah daerah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi
sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan dalam menyusun
kebijakan yang lebih baik di masa mendatang, terutama dalam usaha
kecil menengah, khususnya dalam pengolahan mete.
3. Bagi pelaku usaha, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan dalam menyususn suatu
kebijakan menyangkut pengembangan usaha pengolahan mete.
4. Bagi pembaca, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
tambahan referensi dalam penyusunan penelitian selanjutnya atau
penelitian-penelitian sejenis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
1. Agroindustri
a. Pengertian Agroindustri
Agroindustri berasal dari dua kata agricultural dan industry
yang berarti suatu industri yang menggunakan hasil pertanian sebagai
bahan baku utamanya. Definisi agroindustri dapat dijabarkan sebagai
kegiatan industri yang memanfaatkan hasil pertanian sebagai bahan
baku, merancang, dan menyediakan peralatan serta jasa untuk
kegiatan tersebut. Dengan demikian agroindustri meliputi industri
pengolahan hasil pertanian, industri yang memproduksi peralatan dan
mesin pertanian, industri input pertanian (pupuk, pestisida, herbisida
dan lain-lain) dan industri jasa sektor pertanian. Agroindustri
pengolahan hasil pertanian merupakan bagian dari agroindustri, yang
mengolah bahan baku yang bersumber dari tanaman, binatang dan
ikan (Kusnandar dkk, 2010).
Kusnandar dkk (2010) menyebutkan bahwa agroindustri
pengolahan hasil pertanian, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1) Dapat meningkatkan nilai tambah
2) Menghasilkan produk yang dapat dipasarkan atau digunakan atau
dimakan
3) Meningkatkan daya saing
4) Menambah pendapatan dan keuntungan produsen.
Menurut UU No. 20 Tahun 2008, UMKM adalah usaha
ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh orang
perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan
atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian, baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah
atau usaha besar. Berdasarkan pengertian tersebut, agroindustri
termasuk dalam kategori UMKM ini (Anonim, 2009).
7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Penggolongan UMKM berdasarkan UU. Nomor 20 Tahun 2008
tentang UMKM adalah sebagai berikut:
1) Usaha Mikro adalah unit usaha yang memiliki nilai asset paling
banyak Rp 50 juta atau dengan hasil penjualan paling besar Rp 300
juta.
2) Usaha Kecil dengan nilai asset lebih dari Rp 50 juta sampai dengan
paling banyak 500 juta atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih
dari 300 juta, hingga maksimum 2,5 milyar.
3) Usaha Menengah adalah perusahaan dengan nilai kekayaan bersih
lebih dari 500 juta hingga paling banyak Rp 10 miliar atau memiliki
hasil penjualan tahunan di atas Rp 2,5 milyar sampai paling tinggi Rp
50 milyar.
(Anonim, 2009).
b. Lingkup Kegiatan Agroindustri
Konsep agroindustri memerlukan kejelasan sampai dimana batas
keterkaitannya dengan sektor produksi primer. Kaitan dengan sektor
pertanian umumnya dibatasi pada kaitan yang langsung. Berdasarkan
pengertian ini maka dalam konsep agroindustri hulu tidak termasuk
industri mobil yang digunakan untuk mengangkut sarana produksi ke
pusat-pusat produksi pertanian. Demikian pula pada konsep
agroindustri hilir, pengolahan teh jadi (teh hitam) menjadi teh botol
dan pengolahan sheet menjadi barang-barang dari karet tidak termasuk
di dalamnya (Soekartawi, 2001).
Tentang hal ini, Kusnandar dkk (2010) secara garis besar
agroindustri dapat digolongkan menjadi empat yang meliputi:
1) Agroindustri yang memproduksi input pertanian (pupuk, pestisida,
herbisida, dan lain-lain)
2) Agroindustri yang memproduksi peralatan dan mesin yang
diperlukan untuk budidaya pertanian
3) Agroindustri pengolahan hasil pertanian
4) Agroindustri jasa sektor pertanian (supporting service).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
c. Sistem Agroindustri
Sistem menurut Jarmie (1994) berasal dari kata Yunani systema,
secara konseptual sebagai “suatu kesatuan” dari bagian-bagian atau
komponen-komponen yang berhubungan secara teratur. Dari arti kata
tersebut, sistem memiliki empat indikator, yaitu, kesatuan, bagian,
berhubungan dan teratur.
Agribisnis merupakan suatu sistem yang mengandung
pengertian sebagai rangkaian kegiatan beberapa subsistem yang saling
mempengaruhi satu sama lain. Sistem agribisnis saat ini terdiri dari
lima bentuk kegiatan, yaitu: (1) kegiatan pertanian (budidaya) sebagai
kegiatan utama didukung oleh, (2) pengadaan sarana produksi
pertanian, termasuk di dalamnya agroindustri penyedia sarana
produksi (pupuk, pestisida, alat-alat pertanian), (3) agroindustri
pengolahan, (4) pemasaran, dan (5) jasa-jasa penunjang. Jika
dilakukan pengelompokan, kegiatan pertanian (budidaya) akan
dimasukkan sebagai kegiatan usahatani (on-farm activities).
Sedangkan pengadaan sarana produksi, agroindustri pengolahan,
pemasaran, dan jasa-jasa penunjang dikelompokkan ke dalam kegiatan
luar usahatani (off-farm activities) (Soekartawi, 2001).
Kusnandar dkk (2010) menyebutkan agroindustri sebagai
subsistem dari sistem agribisnis, juga dapat dilihat sebagai sistem
tersendiri, yang paling tidak terdiri atas empat subsistem yang saling
terkait satu sama lainnya, yaitu:
1) Subsistem lantai produksi, merupakan unit kegiatan utama yang
didalamnya meliputi kegiatan-kegiatan: pengadaan bahan baku,
pemilihan dan penyeragaman bahan baku, pembersihan,
pemotongan dan pengolahan, pemilihan dan penyeragaman produk
olahan, dan pembungkusan dan pengepakan (termasuk pemberian
label dan merk dagang)
2) Subsistem kebijakan, mencakup kebijakan mikro (yang dilakukan
oleh pelaku agroindustri sendiri), dan kebijakan makro yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
menyangkut peraturan dan perundangan yang menjadi tugas dan
kewenangan pemerintah nasional dan atau pemerintah daerah yang
berupa: perijinan, hak dan kewajiban perusahaan (agroindustri),
pajak dan retribusi, mapun tanggungan sosial perusahaan
(agroindustri) (corporate social responbility).
3) Kelembagaan, yang menyangkut permodalan, pemasaran (promosi,
pengangkutan, pergudangan, penjualan, dll), riset dan
pengembangan, serta pendidikan dan pelataihan.
4) Interdependensi yang menyangkut hubungan kerjasama antar
daerah atau antar negara, maupun hubungan kerja sama antar
lembaga pemasaran dalam negeri dan luar negeri.
Berdasarkan teori-teori yang disampaikan oleh Soekartawi
(2001) dan Kusnandar dkk (2010) di atas, dapat disimpulkan bahwa
keragaan sebuah agroindustri dapat diketahui melalui pengkajian
terhadap bahan baku, pengelolaan produksi, pengemasan, pemasaran,
dan sarana prasarana.
d. Faktor-faktor Internal dan Eksternal yang Mempengaruhi
Pengembangan Agroindustri
Semua organisasi mempunyai kekuatan dan kelemahan dalam
berbagai bidang fungsional bisnis. Kekuatan dan kelemahan internal
bersama peluang/ancaman eksternal merupakan landasan untuk
menetapkan sasaran dan strategi. Strategi sebagian didesain untuk
memperbaiki kelemahan perusahaan, mengubahnya menjadi kekuatan,
dan mungkin bahkan menjadikannya kompetensi pembeda. Menurut
David (2009), faktor internal yang mempengaruhi pengembangan
perusahaan adalah sebagai berikut:
1) Kondisi keuangan
Kondisi keuangan sering dianggap satu-satunya barometer
terbaik dalam melihat posisi bersaing dan daya tarik keseluruhan
perusahaan. Menentukan kekuatan dan kelemahan keuangan
organisasi sangat penting agar dapat merumuskan strategi secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
efektif. Faktor-faktor keuangan sering mengubah strategi yang ada
dan mengubah rencana implementasi.
2) Pemasaran
Pemasaran dapat digambarkan sebagai proses menetapkan,
mengantisipasi, menciptakan serta memenuhi kebutuhan dan
keinginan pelanggan akan produk atau jasa. Terdapat tujuh dasar
fungsi pemasaran: analisis pelanggan, menjual produksi atau jasa,
merencanakan produk dan jasa, menetapkan harga, distribusi, riset
pemasaran dan analisis peluang. Memahami fungsi-fungsi ini
membantu perencana strategi mengidentifikasi dan mengevalusi
kekuatan dan kelemahan pemasaran.
3) Produksi/Operasi
Fungsi produksi/operasi dari suatu usaha terdiri dari semua
aktivitas yang mengubah masukan menjadi barang dan jasa.
Manajemen produksi/operasi berkaitan dengan input, transformasi,
dan output yang berbeda antar industri dan pasar. Operasi
manufaktur mentransformasi atau mengubah masukan seperti
bahan baku, tenaga kerja, modal, mesin, dan fasilitas menjadi
barang dan jasa.
4) Manajemen
Fungsi manajemen terdiri dari lima aktivitas dasar:
perencanaan, pengorganisasian, memotivasi, penyusunan staf, dan
pengawasan.
5) Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan istilah yang identik dengan
istilah personalia, di dalamnya meliputi tenaga kerja atau buruh.
Buruh yang dimaksud adalah mereka yang bekerja pada usaha
perorangan dan diberikan imbalan kerja secara harian maupun
borongan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, biasanya
imbalan kerja tersebut diberikan secara harian. Selain itu juga,
pengertian tenaga kerja menurut BPS adalah salah satu moda bagi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
geraknya roda pembangunan. Jumlah dan komposisi tenaga kerja
selalu mengalami perubahan seiring dengan berlangsungnya
dinamika penduduk. Ketidakseimbangan antara jumlah angkatan
dan lowongan kerja yang tersedia menyebabkan timbulnya
masalah-masalah sosial.
Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi pengembangan
perusahaan menurut David (2009) adalah sebagai berikut:
1) Kondisi Perekonomian
Faktor-faktor ekonomi mempunyai dampak langsung
terhadap potensi daya tarik berbagai strategi. Misalnya, jika suku
bunga naik, dana yang dibutuhkan untuk penambahan modal
menjadi sangat mahal atau tidak tersedia. Ketika harga-harga
saham meningkat, keinginan untuk membeli saham sebagai sumber
modal untuk pengembangan pasar naik. Juga, ketika pasar
meningkat, kekayaan konsumen dan bisnis meningkat.
2) Sosial dan Budaya
Perubahan sosial dan budaya berdampak besar terhadap
hampir semua produk, jasa, pasar dan pelanggan. Tren ekonomi,
sosial, dan budaya membentuk cara hidup, bekerja, berproduksi,
dan pola konsumsi masyarakat.
3) Pemerintah
Bagi industri atau perusahaan-perusahaan yang sangat
bergantung pada kontrak atau subsidi pemerintah, ramalan politik
merupakan bagian terpenting dari audit eksternal.
4) Teknologi
Kemajuan teknologi dapat secara drastis mempengaruhi
produk dan posisi bersaing. Kemajuan teknologi dapat menciptakan
pasar baru, menghasilakn perkembangan produk baru yang lebih
baik, mengubah posisi biaya bersaing relatif dalam suatu industri,
serta membuat produk dan jasa yang sudah ada menjadi
ketinggalan zaman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
5) Persaingan
Mengumpulkan dan mengevaluasi informasi mengenai
pesaing sangat penting untuk perumusan strategi. Mengidentifikasi
pesaing utama tidak selalu mudah karena banyak perusahaan
mempunyai berbagai divisi yang bersaing di industri yang berbeda.
Berdasarkan teori David (2009) di atas maka faktor internal
yang digunakan dalam penelitian ini adalah kondisi keuangan,
pemasaran, produksi/operasi dan manajemen. Sedangkan faktor
eksternal yang dikaji adalah kondisi perekonomian, sosial dan budaya,
pemerintah, teknologi, dan persaingan.
2. Mete
Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale Linn) berasal dari
Brazil dan termasuk dalam familia Anacardiaceae yang meliputi 60 genus
dan 400 spesies baik dalam bentuk pohon maupun perdu. Tanaman jambu
mete disebut juga acajou atau anacardier (Perancis), cashew (Inggris),
kajus atau jambo nirung (Malaysia), kasoy atau kachui (Filiphina), caju
atau mudiri (India) dan ya-koi atau ya-ruang (Thailand). Di Indonesia
jambu mete memiliki nama yang berbeda di banyak daerah, yaitu jambu
mete (Jawa), jambu mede (sunda), jambu monyet (Jawa dan Sumatera),
jambu jipang atau jambu dwipa (Bali), jambu siki, jambu erang atau gaju
(Sumatera) dan boa frangsi (Maluku) (Liptan, 1990).
Tanaman jambu mete dapat tumbuh di dataran rendah dan di
dataran tinggi, yaitu pada ketinggian 1-1.200 m dpl. Hal ini
mengisyaratkan bahwa jambu mete dapat beradaptasi pada kondisi tanah
dan iklim yang beragam sifatnya. Tanaman ini akan tumbuh kerdil dan
merana jika ditanam ditanah lempung yang lengket dan dangkal. Ditempat
tumbuh yang demikian jambu mete dan gulma akan berebut unsur hara
dan air pada musim kemarau (Liptan, 1990).
3. Pengolahan Mete
Hasil utama tanaman mete adalah bijinya yang lazim disebut buah
sejati. Biji mete disebut sebagai gelondong mete terdiri dari kacang mete
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
berbelah dua yang dibalut oleh kulit ari dan dilindungi oleh kulit keras
berwarna keabu-abuan dan kusam. Dalam proses pengolahannya
gelondong mete akan diolah menjadi produk berupa kacang mete (Saragih
dan Haryadi, 2000).
Cara pengolahan gelondong mete menjadi kacang mete meliputi
pengeringan pendahulan, penyimpanan mete gelondong, melembabkan,
sortasi, pengupasan kulit mete gelondong, pengeringan biji mete,
pengupasan kulit ari, pelembaban, sortasi biji mete, pengepakan dan
penyimpanan (Muljohardjo, 1990).
Pengolahan adalah kegiatan mengolah bahan baku menjadi produk
setengah jadi atau produk jadi. Pengolahan mete terdiri dari dua tahapan,
yaitu pengolahan gelondong mete dan pengolahan mete menjadi kacang
mete yang siap dikonsumsi.
a. Pengolahan Gelondong Mete
Pengolahan gelondong mete dapat dilakukan melalui tahapan
berikut ini:
1) Pemisahan gelondong dengan buah semu
2) Pencucian
3) Sortasi dan pengelasan mutu
4) Pengeringan
5) Penyimpanan
b. Pengolahan Kacang Mete
Urutan pengolahan kacang mete adalah:
1) Pelembaban gelondong mete
2) Penyangraian gelondong mete
3) Pengupasan kulit gelondong mete
4) Pelepasan kulit ari
5) Sortasi dan pengelasan mutu
6) Pengemasan
(Deputi Menegristek, 2000).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Kacang mete termasuk salah satu produk kacang-kacangan (nuts)
yang paling banyak diperdagangkan dan dikelompokkan sebagai komoditi
"mewah" dibandingkan dengan kacang tanah atau almond. Pasar utama
kacang mete adalah benua Amerika dan Eropa. Tabel 4 menunjukkan
perkembangan ekspor mete Indonesia antara tahun 1990-1998. Dari Tabel
tersebut terlihat bahwa ekspor mete Indonesia tertinggi selama periode
1990-1998 terjadi pada tahun 1994 dengan volume dan nilai ekspor
mencapai 38.620 ton atau US$ 43,4 juta. Setelah tahun 1994, ekspor mete
cenderung menurun meskipun kembali meningkat pada tahun 1998.
Tabel 4. Realisasi Impor dan Ekspor Mete Indonesia
Tahun Volume/Nilai Ekspor Impor
Gelondong Kacang
1990 Volume (ton) 3.278 - 1
Nilai (000 US $) 8.243 - 2
1992 Volume(ton) 19.278 - 75
Nilai (000 US $) 24.854 - 147
1993 Volume (ton) 18.155 - 424
Nilai (000 US $) 23.144 - 293
1994 Volume (ton) 38.620 - 203
Nilai (000 US $) 43.401 - 157
1995 Volume (ton) 28.105 - 162
Nilai (000 US $) 21.308 - 414
1996 Volume (ton) 27.206 680 197
Nilai (000 US $) 20.800 2.951 168
1997 Volume (ton) 15.359 14.307 5
Nilai (000 US $) 15.386 3.766 13
1998 Volume (ton) 28.603 - 1.684
Nilai (000 US $) 28.706 6.291 -
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia 1997-1999, Dan Statistik
Perdagangan Luar Negeri, BPS.
Berdasarkan Tabel 4 , mulai tahun 1996, ekspor mete sudah tidak
dalam bentuk gelondong lagi, tetapi sudah dalam bentuk kacang mete.
Perbandingan antara total ekspor Indonesia dan total impor beberapa
negara utama menunjukkan luasnya peluang pasar. Oleh karena itu,
peluang usaha di bidang pengolahan mete masih luas. Apalagi nilai
tambah yang didapat dari ekspor mete olahan besar signifikan
dibandingkan bila hanya mengekspor mete dalam bentuk gelondong.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Untuk itu hal ini perlu terus digalakkan dengan semboyan petik-olah-jual
karena akan menambah pendapatan yang diterima.
4. Analisis Usaha
Penerimaan merupakan perkalian antara produk yang diperoleh
dengan harga jual dan biasanya produksi berhubungan negatif dengan
harga. Artinya harga akan menjadi turun saat produksinya berlebih
(Soekartawi, 2001).
Biaya usaha biasanya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya
tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Biaya tetap ini
umumnya didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya, dan
terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperleh banyak atau sedikit.
Jadi besarnya biaya tetap ini tidak tergantung pada besar-kecilnya produksi
yang diperoleh, contohnya pajak. Di sisi lain biaya tidak tetap atau biaya
variabel didefinisikan sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh
produksi yang diperoleh. Contohnya biaya untuk sarana produksi
(Soekartawi, 2001).
Menurut Djuwari (1994), analisis dalam produksi untuk
menghitung pendapatan dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu:
a. Pendekatan pendapatan, digunakan jika produksi yang dikelola bersifat
subsisten atau tidak berorientasi keuntungan. Pendapatan merupakan
pengurangan penerimaan dengan total biaya luar yang secara nyata
dibayarkan untuk masukan dari luar.
b. Pendekatan keuntungan, digunakan jika produksi yang dikelola bersifat
komersial atau bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan.
Keuntungan merupakan hasil dari penerimaan dikurangi dengan total
biaya yang dikeluarkan untuk masukan dari luar dan masukan sendiri,
yaitu sewa tanah milik petani, upah tenaga kerja keluarga dan bunga
modal milik sendiri
5. Arti Penting Strategi
Strategi adalah bakal tindakan yang menuntut keputusan manajemen
puncak dan sumber daya perusahaan yang banyak untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
merealisasikannya. Di samping itu, strategi juga mempengaruhi kehidupan
organisasi dalam jangka panjang, paling tidak selama lima tahun. Oleh
karena itu, sifat strategi adalah berorientasi ke masa depan. Strategi
mempunyai fungsi multifungsional dan multidivisional serta dalam
perumusannya perlu mempertimbangkan faktor-faktor internal maupun
eksternal yang dihadapi perusahaan (David, 2009).
Strategi adalah rencana berskala besar dengan orientasi ke masa
depan untuk berinteraksi dengan kondisi persaingan demi mencapai tujuan
perusahaan. Strategi mencerminkan pengetahuan perusahaan mengenai
bagaimana, kapan dan dimana perusahaan akan bersaing, dengan siapa
sebaiknya bersaing dan untuk tujuan apa perusahaan harus bersaing
(Pearce dan Robinson, 2008).
Strategi adalah rencana yang mengintegrasikan tujuan utama
organisasi, kebijakan, keputusan dan urutan tindakan menjadi suatu
kesatuan yang kohesif. Hal ini dapat diterapkan pada semua tingkatan
dalam organisasi dan berkaitan dengan salah satu bidang fungsional
manajemen. Jadi mungkin ada produksi, keuangan, pemasaran, personalia
dan strategi perusahaan. Jika kita melihat secara khusus pada pemasaran
maka mungkin ada harga, produk, promosi, distribusi, riset pemasaran,
penjualan, periklanan, merchandising, dan lain-lain. Strategi lebih
berkaitan dengan efektivitas daripada efisiensi dan merupakan proses
menganalisis lingkungan dan merancang kesesuaian antara organisasi,
sumber daya, tujuan, dan lingkungan (Hussey, 1998).
6. Proses Perumusan Strategi
Perumusan strategi didasarkan pada analisis yang menyeluruh
terhadap pengaruh faktor lingkungan eksternal dan internal perusahaan.
Lingkungan eksternal perusahaan setiap saat berubah dengan cepat
sehingga melahirkan berbagai peluang dan ancaman baik yang datang dari
pesaing utama maupun dari iklim bisnis yang senantiasa berubah.
Konsekuensi dari lingkungan internal perusahaan seperti perubahan
kekuatatan dan kelemahan yang dimiliki perusahaan (Rangkuti, 2006).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Menurut Hill dan Gareth (2009), proses perumusan strategi memiliki
tahapan yaitu:
a) Menentukan visi dan misi perusahaan
b) Menganalisis lingkungan eksternal organisasi untuk mengidentifikasi
peluang dan ancaman
c) Menganalisis lingkungan internal organisasi untuk mengidentifikasi
kekuatan dan kelemahan
d) Menentukan strategi yang memanfaatkan kekuatan untuk mengurangi
ancaman dan memanfaatkan peluang untuk menetralkan ancaman
eksternal. Strategi tersebut harus konsisten dengan visi dan misi
perusahaan
e) Mengimplementasikan strategi
Perumusan strategi mencakup kegiatan membuat dan mengevaluasi
berbagai strategi alternatif sekaligus memilih strategi yang hendak
dijalankan. Analisis strategi bertujuan untuk menentukan arah tindakan
alternatif terbaik dalam rangka mencapai misi dan tujuannya. Strategi,
tujuan dan misi ditambah dengan informasi audit eksternal dan internal
untuk memuncukan dan mengevaluasi berbagai strategi alternatif
(David, 2009).
Proses strategis mengacu pada cara di mana strategi dirumuskan.
Ada beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan rasional, memanfaatkan
alat seperti analisis SWOT dan model portofolio. Kedua, pendekatan
kreatif, yaitu pendekatan yang menggunakan perencanaan beberapa
skenario. Pendekatan kreatif mencerminkan penggunaan imajinasi dalam
perencanaan. Pendekatan perilaku mencerminkan pengaruh kekuasaan,
politik dan kepribadian. Pendekatan ini didasarkan pada penyesuaian kecil
atau perubahan yang sebelumnya sukses/berhasil (Shojaei et all, 2010).
a) Analisis Situasi Eksternal dan Internal
Peluang dan ancaman eksternal merujuk pada peristiwa dan tren
ekonomi, sosial, budaya, demografi, lingkungan, politik, hukum
pemerintahan, teknologi, dan persaingan yang dapat menguntungkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
dan merugikan suatu organisasi secara berarti di masa depan. Peluang
dan ancaman sebagian besar ada di luar kendali organisasi. Perusahaan
harus merumuskan strategi untuk memanfaatkan peluang-peluang
eksternal dan untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman
eksternal (David, 2009).
Lingkungan eksternal terdiri dari variabel-variabel (peluang dan
ancaman) yang berada di luar organisasi dan tidak secara khusus ada
dalam pengendalian jangka pendek dari manajemen puncak. Variabel-
variabel tersebut membentuk keadaan luar organisasi dimana organisasi
ini hidup (Hunger dan Wheelen, 2003).
Lingkungan internal terdiri dari variabel-variabel (kekuatan dan
kelemahan) yang ada di dalam organisasi tetapi biasanya tidak dalam
pengendalian jangka pendek dari manajemen puncak. Variabel-variabel
tersebut merupakan bentuk suasana dimana pekerjaan dilakukan.
Variabel-variabel itu meliputi struktur budaya, dan sumber daya
organisasi (Hunger dan Wheelen, 2003).
Kekuatan dan kelemahan internal adalah semua hal dalam kendali
organisasi yang bisa dilakukan dengan sangat baik atau buruk.
Kekuatan dan kelemahan tersebut ada dalam kegiatan manajemen,
pemasaran, keuangan atau akutansi, produksi atau operasi, penelitian
dan pengembangan serta sistem informasi manajemen di setiap
perusahaan. Setiap organisasi berusaha menerapkan strategi yang
menonjolkan kekuatan internal dan berusaha menghapus kelemahan
internal (David, 2009).
b) Analisis Strategi
Teknik-teknik perumusan strategi yang penting dapat
diintegrasikan ke dalam kerangka pembuatan keputusan tiga tahap.
Tahap I dari kerangka perumusan terdiri dari Matriks EFE, Matriks
EFI, dan Matriks Pofil Kompetitif (Competitive Profile Matrix-CPM)
disebut Tahap Masukan (Input Stage).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
1. Tahap I meringkas informasi masukan dasar yang diperlukan
untuk merumuskan strategi.
2. Tahap II disebut Tahap Pencocokan (Matching Stage), fokus pada
upaya menghasilkan strategi alternatif yang dapat dijalankan
(feasible) dengan memadukan faktor-faktor internal dan eksternal.
Teknik-teknik tahap II terdiri dari Matriks Sthrengts, Weakness,
Opportunities, Threats (SWOT) atau Kekuatan, Kelemahan,
Peluang Ancaman, Matiks BCG (Boston Consulting Group),
Matriks Internal Eksternal, Matriks Grand Strategy (Strategi
Induk)
3. Tahap III disebut Tahap Keputusan (Decision Stage),
menggunakan satu macam teknik, yaitu Quantitative Strategic
Planning Matriks (QSPM). QSPM menggunakan informasi
masukan dari tahap I untuk secara objektif mengevaluasi strategi
alternatif dapat dijalankan yang diidentifikasikan dalam tahap II.
QSPM mengungkap daya tarik relatif dari alternatif strategi dan
karena itu menjadi dasar objektif untuk memilih strategi spesifik
(David, 2009).
1) Matriks External Factor Evaluation (EFE) dan Matriks
Internal Factor Evaluation (IFE)
Tujuan dari audit eksternal adalah membuat daftar terbatas
mengenai berbagai peluang yang dapat menguntungkan
perusahaan yang dapat menguntungkan perusahaaan dan berbagai
ancaman yang harus dihindari. Perusahaan harus mampu
merespon secara ofensif maupun defensif faktor-faktor tersebut
dengan merumuskan strategi yang dapat memanfaatkan peluang
atau untuk meminimalkan dampak dari potensi ancaman. Matriks
External Factor Evaluation (EFE) membuat perencana strategi
dapat meringkas dan mengevaluasi faktor-faktor eksternal yang
bisa merupakan informasi ekonomi, sosial, budaya, demografi,
lingkungan, politik, pemerintah, hukum, teknologi dan persaingan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Mengidentifikasi dan mengevaluasi peluang dan ancaman
memungkinkan organisasi membuat misi yang jelas, merancang
strategi untuk mencapai tujuan-tujuan jangka panjang, dan
membuat kebijakan untuk mencapai sasaran tahunan
(David, 2009).
Semua organisasi mempunyai kekuatan dan kelemahan
dalam berbagai bidang fungsional bisnis. Kekuatan dan
kelemahan internal bersama peluang/ancaman eksternal dan
pernyataan misi yang jelas merupakan landasan untuk menetapkan
sasaran dan strategi. Sasaran dan strategi ditetapkan dengan
maksud memanfaatkan kekuatan internal dan mengatasi
kelemahannya (David, 2009).
Strategi sebagian didesain untuk memperbaiki kelemahan
perusahaan, mengubahnya menjadi kekuatan, dan mungkin
bahkan menjadikannya kompetensi pembeda. Langkah ringkas
dalam melaksanakan audit manajemen strategis adalah membuat
matriks Internal Factor Evaluation (IFE). Alat perumusan strategi
ini meringkas dan mengevaluasi kekuatan dan kelemahan utama
dalam berbagai bidang fungsional dalam suatu usaha. Matriks ini
juga menjadi landasan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi
hubungan diantara bidang-bidang ini (David, 2009).
2) Matriks Strength, Weakness, Opportunity, Treath (SWOT)
Analisis SWOT bertujuan untuk mengidentifikasi kekuatan
dan kelemahan organisasi serta peluang dan ancaman dalam
lingkungan eksternal. Faktor-faktor strategis tersebutdiidentifikasi
dan dikembangkan sehingga dapat membangun kekuatan,
menghilangkan kelemahan, memanfaatkan peluang dan atau
menutup ancaman. Kekuatan dan kelemahan diidentifikasi oleh
penilaian internal organisasi sedangkan peluang dan merupakan
penilaian eksternal. Penilaian internal memeriksa semua aspek
meliputi organisasi, misalnya, personel, fasilitas, lokasi, produk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
dan jasa, untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan
organisasi. Penilaian eksternal meliputi aspek politik, ekonomi,
sosial, teknologi dan lingkungan yang kompetitif dengan melihat
peluang dan ancaman. Dalam matriks SWOT berbagai faktor
diidentifikasi dan kemudian dipasangkan misalnya sebuah
peluang dengan kekuatan, dengan maksud merangsang alternatif
strategi baru (Robert, 2002).
Matriks SWOT adalah alat yang dipakai untuk faktor-faktor
strategis perusahaan. Matriks ini menggambarkan bagaimana
pelung dan ancaman eksternal yang dihadapi diselesaikan dengan
kekuatan dan kelemahan. Matrik SWOT ini dapat menghasilkan
empat sel kemungkinan alternatif strategi. Strategi S-O menuntut
perusahaan mampu memanfaatkan peluang melalui kekuatan
internalnya. Strategi W-O menuntutkan perusahaan untuk
meminimalkan kelemahan dalam memanfaatkan peluang. Strategi
S-T merupakan pengoptimalan kekuatan dalam menghindari
ancaman dan strategi W-T merupakan meminimalkan kelemahan
dan menghindari ancaman (Rangkuti, 2006).
Strategi SO atau strategi kekuatan-peluang menggunakan
kekuatan internal perusahaan untuk memanfaatkan peluang
eksternal. Strategi WO atau strategi kelemahan-peluang bertujuan
memperbaiki kelemahan dengan memanfaatkan peluang eksternal.
Strategi ST atau strategi kekuatan-ancaman menggunakan
kekuatan perusahaan untu menghindari atau mengurangi dampak
ancaman eksternal. Strategi WT atau strategi kelemahan-ancaman
merupakan taktik defensif yang diarahkan untuk mengurangi
kelemahan internal dan menghindari ancaman eksternal
(David, 2009).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
3) Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM)
QSPM adalah alat yang direkomendasikan bagi para ahli
strategi untuk melakukan evaluasi pilihan strategi alternatif secara
objektif, berdasarkan key success factors internal-eksternal yang
telah diidentifikasikan sebelumnya. Jadi secara konseptual, tujuan
QSPM adalah untuk menetapkan ketertarikan relatif (relative
atractiveness) dri strategi-strategi bervariasi yang telah dipilih,
untuk memilih strategi mana yang dianggap paling baik untuk
dimplementasikan (Umar, 2003).
QSPM menentukan daya tarik relatif dari berbagi strategi
yang didasarkan sampai berapa jauh faktor-faktor keberhasilan
internal dan eksternal kunci dimanfaatkan atau ditingkatkan. Daya
tarik relatif dari masing-masing strategi dihitung dengan
menentukan dampak kumulatif dari masing-masing faktor
keberhasilan kritis internal dan eksternal (David, 2009).
7. Penelitian Terdahulu
Meysiana (2010) dengan judul Strategi Pengembangan Industri Kecil
Tahu di Kabupaten Sragen menggunakan metode dasar penelitian metode
deskriptif analitis dan menggunakan teknik survey. Data yang dianalisis
adalah data tahun 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuatan
utama dalam mengembangkan industri kecil tahu yaitu bantuan
permodalan dan penyuluhan tentang limbah tahu. Sedangkan kelemahan
utamanya yaaitu kurangnya subsidi kedelai dan belum adanya
standardisasi produk tahu. Peluang dalam mengembangkan industri kecil
tahu yaitu kualitas bahan baku dan kepercayaan konsumen. Ancamannya
yaitu kenaikan harga sembako dan kurangnya pasokan sekam sebagai
bahan dasar. Alternatif strategi yang dapat diterapkan dalam
mengembangkan industri kecil tahu di Kabupaten Sragen yaitu
memanfaatkan bantuan modal, peralatan, pengawasan kualitas kedelai
untuk menambah kepercayaan konsumen melalui teknologi yang ada,
perbaikan kebijakan dan penyuluhan sesuai kebutuhan pengusaha tahu dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia melalui
kegiatan pembinaan untuk memaksimalkan potensi industri kecil tahu.
Prioritas strategi yang dapat diterapkan dalam mengembangkan industri
kecil tahu di Kabupaten Sragen adalah memanfaatkan bantuan modal,
peralatan, pengawasan kualitas kedelai untuk menambah kepercayaan
konsumen melalui teknologi yang ada.
Suraningsih (2008) dengan judul Analisis Pengaruh Faktor-Faktor
Sosial Ekonomi Terhadap Pendapatan Pengusaha Industri Kecil
Pengolahan Mete di Kabupaten Wonogiri menggunakan metode dasar
deskriptif analitik dan pelaksanaannya menggunakan teknik survey. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan uji F faktor modal usaha,
volume penjualan, jangkauan pembelian bahan baku, pendidikan
pengusaha, lama usaha dan jangkauan pemasaran secara bersama-sama
berpengaruh terhadap pendapatan pengusaha. Berdasarkan uji t dapat
diketahui bahwa faktor modal usaha, volume penjualan, jangkauan
pembelian bahan baku, lama usaha dan jangkauan pemasaran secara
individu berpengaruh nyata terhadap pendapatan pengusaha, sedangkan
faktor pendidikan pengusaha tidak berpengaruh nyata terhadap
pendapatan. Faktor sosial ekonomi yang memberikan pengaruh terpenting
terhadap pendapatan pengusaha adalah faktor modal.
B. Kerangka Teori Pendekatan Masalah
Sektor industri kecil mempunyai peran penting dalam perekonomian
baik daerah maupun nasional. Salah satu industri kecil yang masih terus
berkembang adalah industri pengolahan pangan. Dan adapun salah satu
industri pengolahan pangan yang masih berkembang adalah pengolahan mete.
Mete merupakan salah satu komoditas perkebunan unggulan di Kabupaten
Wonogiri. Industri pengolahan mete di Kabupaten Wonogiri mampu
menyerap tenaga kerja cukup banyak, sehingga industri ini harus lebih
dikembangkan oleh pemerintah.
Melihat peranan industri kecil terhadap penyediaan kesempatan kerja
kepada masyarakat yang cukup besar, telah membuktikan bahwa industri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
kecil merupakan salah satu sektor yang harus terus dikembangkan
pemerintah. Pengembangan agroindustri pengolahan mete diawali dengan
mengidentifikasi keragaan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan
Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Kondisi keragaan yang diidentifikasi disini
meliputi beberapa keadaan yakni bahan baku termasuk jumlah pelaku usaha,
pengelolaan produksi, pengemasan, pemasaran, dan saran prasarana.
Tahap pertama dalam perumusan strategi pengembangan agroindustri
pengolahan mete adalah identifikasi faktor internal dan eksternal. Tujuan dari
analisis faktor internal adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor internal
kunci yang menjadi kekuatan dan kelemahan di dalam pengembangan
agroindustri pengolahan mete. Analisis faktor eksternal adalah untuk
mengidentifikasi faktor-faktor eksternal kunci yang menjadi peluang dan
ancaman di dalam pengembangan agroindustri pengolahan mete.
Hasil dari identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal kemudian
diringkas dan dievaluasi dalam matriks IFE dan matriks EFE. Matriks IFE
digunakan untuk meringkas dan mengevaluasi faktor-faktor internal
perusahaan berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan utama yang dianggap
penting. Data dan informasi aspek internal perusahaan dapat digali dari
beberapa fungsional perusahaan. Matriks EFE digunakan untuk mengevaluasi
faktor eksternal perusahaan. Data eksternal dikumpulkan untuk menganalisa
hal-hal yang menyangkut persoalan ekonomi, sosial, politik, teknologi, dan
persaingan dipasar industri dimana perusahaan berada, serta data eksternal
yang relevan lainnya. Hal ini penting karena faktor eksternal berpengaruh
secara langsung maupun tidak langsung terhadap perusahaan.
Untuk merumuskan alternatif strategi yang dapat diterapkan dalam
mengembangkan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono
Kabupaten Wonogiri digunakan Matriks SWOT. Matriks SWOT adalah alat
yang digunakan untuk menyusun faktor-faktor strategis industri. Matriks
SWOT menggambarkan bagaimana peluang dan ancaman dari faktor
eksternal dapat dipadukan dengan kekuatan dan kelemahan dari faktor
internal sehingga dihasilkan rumusan strategi pengembangan industri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Hasil dari matriks SWOT tersebut kemudian akan dipilih strategi yang
terbaik yang dapat diterpakan dalam pengembangan industri dengan analisis
yang lebih objektif dan intuisi yang baik dalam matriks QSP. Hasil matriks
QSP akan memperlihatkan skor. Skor yang tertinggi menunjukkan bahwa
alternatif strategi tersebut penting sebagai prioritas utama untuk diterapkan
sehingga menghasilkan umpan balik (feedback) yang akan dipertimbangkan
dalam keberlanjutan industri tersebut.
Dari uraian tersebut di atas di dapatkan kerangka teori pendekatan
masalah sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Alternatif Strategi
Matriks SWOT
Gambar 1. Kerangka Teori Pendekatan Masalah
Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete
Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal
Faktor Internal:
- Kondisi Keuangan
- Pemasaran
- Produksi/Operasi
- Manajemen
- Sumber Daya Manusia
Faktor Eksternal:
- Kondisi Perekonomian
- Sosial dan Budaya
- Pemerintah
- Teknologi
- Persaingan
- Keadaan alam
External Factor Evaluation (EFE Matrix) dan
Internal Factor Evaluation (IFE Matriks)
Prioritas Strategi
Qualitative Strategic Planning Matriks (QSPM)
Bahan Baku Pengelolaaan
Produksi
Pengemasan Pemasaran Sarana
Prasarana
Skala
Usaha
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
C. Pembatasan Masalah
1. Penelitian dilakukan pada stakeholder usaha agroindustri pengolahan
mete yaitu pelaku usaha, pengepul, konsumen, dan pengambil
kebijakan/pemerintah.
2. Harga faktor produksi dan hasil diperhitungkan sesuai dengan harga
setempat yang berlaku di saat penelitian.
3. Faktor internal yang dianalisis meliputi kondisi keuangan, pemasaran,
produksi/operasional, manajemen, dan sumber daya manusia.
4. Faktor eksternal yang dianalisis meliputi kondisi perekonomian, sosial
dan budaya, pemerintah, teknologi, persaingan, dan keadaan alam.
5. Penelitian dilaksanakan bulan Oktober-November 2012
D. Definisi Operasional
1. Strategi pengembangan agroindustri pengolahan mete adalah respon
secara terus menerus maupun adaptif terhadap peluang dan ancaman dari
faktor eksternal serta kekuatan dan kelemahan dari faktor internal yang
dapat mempengaruhi pengembangan usaha pengolahan mete di masa
yang akan datang.
a. Skala usaha adalah analisis terhadap besarnya usaha pengolahan mete
yang diwakili dengan analisis terhadap biaya, penerimaan, dan
keuntungan usaha pengolahan mete.
b. Bahan baku adalah bahan utama yang diperlukan dalam proses
pengolahan mete dalam hal ini adalah gelondong mete.
c. Pengelolaan produksi adalah pengelolaan proses produksi dalam
pengolahan mete yang dilakukan oleh setiap pelaku usaha, yang terdiri
atas penjemuran gelondong, sortasi gelondong, pengacipan,
pengupasan kulit ari, penjemuran, serta pengemasan kacang mete.
d. Pengemasan adalah proses pengemasan produk pengolahan mete
untuk kemudian siap disalurkan kepada pengepul atau pelanggan
e. Pemasaran adalah proses penyaluran produk pengolahan mete yang
berupa kacang mete kepada pelanggan ataupun pengepul.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
f. Sarana prasarana adalah segala peralatan yang diperlukan dalam
agroindustri pengolahan mete dari awal proses produksi sampai
pemasaran.
2. Industri pengolahan mete adalah proses produksi pengolahan mete dari
bentuk bahan baku berupa gelondong mete sampai siap dipasarkan.
3. Pengembangan industri pengolahan mete adalah proses perubahan secara
positif dari segi kualitas dan kuantitas produksi pengolahan mete yang
terjadi pada industri pengolahan mete.
4. Faktor internal adalah adalah faktor-faktor yang berada di dalam
lingkungan perusahaan yang mempengaruhi kinerja agroindustri
pengolahan mete secara keseluruhan.
a. Kondisi keuangan adalah meliputi pengkajian terhadap asal modal,
besar modal, manajemen keuangan, dan sistem pengendalian
keuangan dalam agroindustri pengolahan mete
b. Pemasaran adalah analisis produk olahan mete yang meliputi kualitas,
kontinuitas produk, dan evaluasi produk, analisis harga produk yang
meliputi kesesuaian harga di pasaran, dan perbandingan dengan harga
subtitusi
c. Produksi/operasi meliputi pengkajian terhadap proses produksi,
peralatan yang digunakan, kondisi tempat produksi, dan pengelolaan
limbah produksi dalam agroindustri pengolahan mete
d. Manajemen meliputi pengkajian terhadap perencanaan,
pengorganisasian, pengawasan, dan evaluasi.
e. Sumber daya manusia meliputi pengkajian terhadap jumlah tenaga
kerja, pendidikan tenaga kerja, dan keterampilan tenaga kerja dalam
agroindustri pengolahan mete
5. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada di luar lingkungan
perusahaan yang mempengaruhi kinerja agroindustri pengolahan mete
secara keseluruhan.
a. Kondisi perekonomian meliputi pengkajian terhadap pengaruh
kenaikan biaya produksi dan permintaan pasar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
b. Sosial dan budaya meliputi pengkajian terhadap permintaan produk,
gaya hidup konsumen dan kondisi lingkungan yang aman.
c. Pemerintah meliputi pengkajian terhadap program pelatihan dan
penyuluhan, rencana pemerintah dalam pengembangan agroindustri
dan bantuan fasilitas
d. Pemasok meliputi pengkajian terhadap kontinuitas dan kualitas
pasokan bahan baku
e. Teknologi meliputi pengkajian terhadap perkembangan teknologi
pengolahan mete dan akses terhadap teknologi informatika
f. Persaingan meliputi pengkajian terhadap posisi, kekuatan, dan strategi
pesaing agroindustri.
g. Keadaan alam meliputi pengkajian terhadap pengaruh keadaan alam
terhadap agroindustri dan pengaruh perubahan keadaan alam terhadap
agroindustri.
6. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) adalah matriks yang digunakan
untuk mengetahui faktor-faktor internal perusahaan berkaitan dengan
kekuatan dan kelemahan yang dianggap penting.
7. Matriks Eksternal Factor Evaluation (EFE) adalah matriks yang
digunakan untuk mengetahui faktor-faktor eksternal perusahaan
berkaitan dengan peluang dan ancaman yang dianggap penting.
8. Matriks SWOT adalah matriks yang akan digunakan untuk menyusun
berbagai alternatif pengembangan usaha melalui strategi SO, WO, ST,
dan WT.
9. Qualitative Strategic Planning Matrix (QSPM) adalah alat yang
digunakan untuk melakukan evaluasi pilihan strategi alternatif untuk
menentukan prioritas strategi yang dapat diterapkan dalam
pengembangan industri pengolahan mete.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
III. METODE PENELITIAN
A. Metode Dasar Penelitian
Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif analitis yaitu metode yang memusatkan diri pada pemecahan
masalah-masalah yang ada pada masa sekarang dan pada masalah-masalah
yang aktual. Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan,
kemudian dianalisis (Surakhmad,1994).
Teknik penelitian dilaksanakan dengan teknik survei yaitu penelitian
yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner
sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun dan Effendi, 1995).
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang dipilih adalah Kecamatan Jatisrono, Kabupaten
Wonogiri. Pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam pemilihan
lokasi penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kabupaten Wonogiri merupakan Kabupaten yang memiliki luas areal dan
produksi jambu mete tertinggi dibandingkan dengan kabupaten dan kota
yang ada di Provinsi Jawa Tengah
Tabel 5. Luas Areal (ha) dan Produksi Jambu Mete Menurut Kabupaten di
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011
No. Kabupaten/Kota Luas (ha) Produksi (ton)
1. Kabupaten Wonogiri 20.505,00 7.145,00
2. Kabupaten Sragen 1.088,50 297,40
3. Kabupaten Blora 1.023,07 290,28
4. Kabupaten Jepara 740,57 233,85
5. Kabupaten Rembang 522,00 116,96
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, 2012
b. Kecamatan Jatisrono merupakan salah satu kecamatan yang ada di
Kabupaten Wonogiri yang memiliki luas areal dan produksi jambu mete
yang tinggi
23
31
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Tabel 6. Luas Areal (ha) dan Produksi Jambu Mete Menurut Kecamatan di
Kabupaten Wonogiri Tahun 2011
No. Kecamatan Luas (ha) Produksi (ton)
1. Kecamatan Ngadirojo 3. 296,00 1.712,00
2. Kecamatan Sidoarjo 3.069,00 975,00
3. Kecamatan Jatiroto 2.306,00 818.00
4. Kecamatan Jatisrono 1.967,00 782,00
5. Kecamatan Girimarto 818,00 345,00
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonogiri, 2012
c. Kecamatan Jatisrono merupakan kecamatan yang memiliki jumlah industri
pengolahan mete paling tinggi di Kabupaten Wonogiri, dari 785 industri
kecil dan menengah pengolahan mete yang ada di Kabupaten Wonogiri,
583 diantaranya ada di Kecamatan Jatisrono (Disperindagkop dan
Penanaman Modal Kabupaten Wonogiri, 2007).
C. Tahapan Penelitian
Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam penelitian ini dibagi tiga
tahapan yaitu tahap input yaitu mengidentifikasi faktor strategis baik internal
dan eksternal dari agroindustri pengolahan mete dilanjutkan dengan
merumuskan strategi alternatif dan menentukan prioritas strategi yang sesuai
agroindustri pengolahan mete. Dari uraian di atas dapat disusun dalam bagan
tahapan penelitian dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut :
Langkah pertama “tahap input” (matriks IFE dan EFE) yaitu :
1. Melakukan identifikasi lingkungan Internal dan Eksternal agroindustri
pengolahan mete.
2. Melakukan penilaian bobot dan rating faktor strategis pengembangan
agroindustri pengolahan mete.
3. Membuat matriks IFE dan EFE dari hasil penilaian.
Langkah kedua “tahap pencocokan” (matriks SWOT) :
1. Melakukan analisis SWOT dari pengklasifikasian faktor internal dan
eksternal yaitu membandingkan antara faktor eksternal’ peluang
(Opportunities) dan ancaman (Threats) dengan faktor internal organisasi
kekuatan (Strengths) dan kelemahan (Weakness).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
2. Menginterpretasikan dan mengembangkan menjadi keputusan pemilihan
strategi yang memungkinkan untuk dilaksanakan.
Langkah ketiga “tahap keputusan” (matriks QSPM) yaitu :
1. Membuat daftar peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahan di kolom
sebelah kiri QSPM dan beri penilaian (informasi diambil dari matriks IFE
dan EFE pada tahap pertama)
2. Melakukan identifikasi strategi alternatif
3. Menetapkan AS (Attractive Score) yaitu nilai yang menunjukkan
kemenarikan relatif untuk masing-masing strategi
4. Menentukan peran tiap faktor dalam proses pemilihan strategi
5. Menjumlahkan total nillai AS (Attractive Score)
6. Menentukan prioritas strategi dari total TAS yang tertinggi
Pengumpulan Data Keragaan
Agroindustri
Pengolahan Mete
Identifikasi Internal
(Kekuatan dan Kelemahan) Identifikasi Eksternal
(Peluang dan Ancaman)
Nilai Bobot dan Rating
Kekuatan dan Kelemahan
Nilai Bobot dan Rating
Peluang dan Ancaman
Analisis Internal dan Eksternal Matriks IFE Matriks EFE
Perumusan Alternatif Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete
(Matriks SWOT)
Alternatif Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete
Perumusan Prioritas Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete
(Matriks QSP)
Prioritas Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete
Gambar 2. Tahapan Penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
D. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data (data primer maupun sekunder) dalam
penelitian ini adalah wawancara, content analysis (mencatat dokumen dan
arsip), kuisioner, dan observasi. Menurut Bungin (2003), dalam kegiatan
pengumpulan data selain memanfaatkan dokumen juga dapat menggunakan
rekaman. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh dari hasil wawancara
lebih akurat dan dapat disimpan untuk mencegah kehilangan.
1. Wawancara
Teknik wawancara digunakan untuk mengumpulkan data yang
berasal dari informan yang khususnya dilakukan dalam bentuk wawancara
mendalam (indepth interview). Tujuan utama melakukan wawancara
adalah untuk menyajikan konstruksi saat sekarang dalam suatu konteks
mengenai para pribadi, peristiwa, aktivitas, motivasi, perasaan, tingkat
atau bentuk keterlibatan, dan sebagainya, untuk merekonstruksi beragam
hal itu sebagai bagian dari masa lampau, dan memproyeksikan hal itu
dikaitkan dengan harapan yang bisa terjadi di masa yang akan datang
(Sutopo, 2002). Data primer dalam penelitian ini diperoleh langsung dari
responden maupun pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini melalui
wawancara langsung dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner)
yang telah dipersiapkan sebelumnya. Kuisioner digunakan untuk
memperoleh informasi mengenai keragaan agroindustri, identifikasi
lingkungan internal dan eksternal, penilaian bobot dan rating faktor
strategis, analisis SWOT, perumusan strategi pengembangan, serta
perumusan prioritas strategi. Sumber data primer adalah pengusaha
pengolahan mete, pembeli/pelanggan/pengepul hasil produksi pengolahan
mete dan instansi pemerintah yaitu Dinas Perindustrian, Koperasi dan
Penanaman Modal Kabupaten .
2. Content Analysis atau Mencatat Data
Menurut Yin dalam Sutopo (2002) mencatat dokumen disebut
sebagai content analysis yang dimaksudkan bahwa peneliti bukan sekedar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
mencatat isi penting yang tersurat dalam dokumen atau arsip, tetapi juga
tentang maknanya yang tersirat. Oleh karena itu dalam menghadapi
beragam arsip dan dokumen tertulis sebagai sumber data peneliti harus
bersikap kritis dan teliti. Dalam penelitian ini data dicatat secara sistematis
dan dikutip secara langsung dari instansi pemerintah atau lembaga-
lembaga yang terkait dengan penelitian ini. Data sekunder diperoleh dari
Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Perindustrian, Koperasi, dan UKM,
Kantor Kecamatan dan Desa serta lembaga-lembaga lain yang terkait di
dalamnya. Pencatatan dilakukan dengan cara mencatat data-data yang
diperoleh dari sumber yang bersangkutan, dan sumber-sumber lain yang
mempunyai relevansi dengan topik penelitian ini.
3. Observasi
Observasi dilakukan dengan pengamatan langsung terhadap objek
yang akan diteliti sehingga didapatkan gambaran yang jelas mengenai
objek yang diteliti. Teknik ini digunakan untuk menggali data dari sumber
data yang berupa peristiwa, tempat atau lokasi, benda serta rekaman
gambar (Sutopo, 2002). Pengamatan langsung ini dilakukan untuk
mengetahui kondisi di lapang pada usaha agroindustri pengolahan mete,
kemudian mencatat informasi yang diperoleh dari pengamatan yang
dilakukan.
E. Metode Penentuan Sampel Responden
a. Penentuan Sampel /Responden Untuk Perumusan Strategi
1) Identifikasi keragaan
Penentuan sampel untuk identifikasi keragaan agroindustri
pengolahan mete yang meliputi identifikasi analisis usaha, bahan
baku, pengelolaan produksi, pengemasan dan sarana prasarana, dipilih
secara purpossive. Informasi mengenai keragaan agroindustri
pengolahan mete diperoleh melalui wawancara dan pengamatan.
Jumlah responden yang digunakan adalah 15 pelaku usaha pengolahan
mete dengan kriteria sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
a) 12 orang pelaku usaha dengan omset maksimal 300 juta per tahun
atau omset maksimal 25 juta setiap bulan, selanjutnya disebut
responden pelaku usaha pengolahan mete skala mikro
b) 3 orang pelaku usaha dengan omset antara 300 juta sampai dengan
2,5 milyar pertahun, selanjutnya disebut responden pelaku usaha
pengolahan mete skala kecil.
Sampel responden pelaku usaha pengolahan mete diambil secara
purpossive dari salah satu desa di Kecamatan Jatisrono, yaitu Desa
Tanjungsari, yang merupakan sentra agroindustri pengolahan mete. Di
desa ini terdapat 48 usaha mete (Disperindag, Koperasi, dan
Penanaman Modal Kabupaten Wonogiri, 2007). Akan tetapi, setelah
dilaksanakan survei lebih lanjut, ada 15 usaha yang melakukan
pengolahan mete dari awal sampai akhir sedangkan yang lain hanya
melaksanakan beberapa tahapan dari proses pengolahan mete.
2) Identifikasi faktor internal-eksternal
Penentuan sampel pada tahap identifikasi internal dan eksternal
responden dipilih dengan prosedur purposive yaitu dipilih dengan
sengaja. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengidentifikasi
faktor-faktor yang berpengaruh seperti faktor internal dan faktor
eksternal dalam perumusan strategi pengembangan agroindustri
pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri.
Informasi tersebut diperoleh dengan wawancara maupun pengamatan.
Responden yang digunakan dalam identifikasi faktor internal dan
faktor eksternal berjumlah 16 responden. Responden yang digunakan
adalah :
a) Pelaku usaha pengolahan mete berjumlah 7 orang dengan kriteria
memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam usaha pengolahan
mete selama kurang lebih 5 tahun serta pengusaha yang
jangkauan pemasaran produknya adalah dalam dan luar
Kabupaten Wonogiri. Pelaku usaha tersebut dipilih karena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
memiliki pandangan dan perhatian khusus terhadap agroindustri
pengolahan mete
b) Dinas Perindustrian, Koperasi, dan Penanaman Modal berjumlah
3 orang dengan kriteria memiliki pengalaman dalam
mendampingi pengusaha pengolahan mete dalam bentuk
program-program pelaksanaan maupun secara teknis.
c) Pengepul/pedagang berjumlah 3 orang dengan kriteria memiliki
pengalaman sebagai pengepul hasil produksi pengolahan mete
baik disalurkan di lokal Kabupaten Wonogiri maupun di luar
Kabupaten Wonogiri.
d) Konsumen berjumlah 3 orang dengan kriteria memiliki
pengalaman sebagai konsumen terakhir hasil produksi pengolahan
mete.
3) Penentuan Bobot Dan Rating Faktor Strategis
Dari hasil pengamatan berupa faktor-faktor internal kemudian
dianalisis dengan matriks IFE dan eksternal dengan matrik EFE yang
dapat diidentifikasikan menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman dalam mengembangkan agroindustri pengolahan mete.
Responden ahli dipilih secara sengaja (purpossive) yaitu 1 orang
pelaku usaha pengolahan mete, 1 orang Dinas Perindustrian, Koperasi,
dan Penanaman Modal, 1 orang pengepul, dan 1 orang konsumen.
4) Penentuan Bobot dan Nilai Daya Tarik dalam Matriks QSP
Penentuan bobot dan AS (Attractive Score) dilakukan dengan
terlebih dahulu menyusun kuisioner yang berisi faktor-faktor internal
(kekuatan dan kelemahan) dan ekternal (peluang dan ancaman) serta
alternatif strategi yang akan dipertimbangkan untuk menjadi prioritas
strategi dalam mengembangkan agroindustri pengolahan mete di
Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Pengambilan responden
dilakukan secara purposive sampling (sengaja) yaitu orang-orang yang
telah cukup lama dan masih terlibat secara penuh/aktif pada kegiatan
yang menjadi perhatian peneliti. Responden tersebut dapat membantu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dalam
penelitian yang sedang dilakukan. Responden yang digunakan dalam
penentuan bobot dan AS menggunakan responden yang sama saat
mengidentifikasi adalah 1 orang pelaku usaha pengolahan mete, 1
orang Dinas Perindustrian, Koperasi, dan UKM, 1 orang pengepul,
dan 1 orang konsumen.
Berdasarkan uraian di atas, responden untuk masing-masing tahapan
penelitian dapat diringkas sebagai berikut:
Tabel 7. Responden dalam Perumusan Strategi Pengembangan
Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono
Kabupaten Wonogiri
Tahapan Penelitian Unsur Jumlah
Identifikasi Keragaan Pelaku Usaha Skala Mikro
Pelaku Usaha Skala Kecil
12 orang
3 orang
Identifikasi Faktor Internal-
Eksternal Pelaku Usaha
Disperindagkop dan
Penanaman Modal
Pengepul
Konsumen Akhir
7 orang
3 orang
3 orang
3 orang
Penentuan Bobot dan Rating
Faktor Strategis Pelaku Usaha
Disperindagkop dan
Penanaman Modal
Pengepul
Konsumen Akhir
1 orang
1 orang
1 orang
1 orang
Penentuan Bobot dan Nilai
Daya Tarik Pelaku Usaha
Disperindagkop dan
Penanaman Modal
Pengepul
Konsumen Akhir
1 orang
1 orang
1 orang
1 orang
F. Metode Analisis Data/Perumusan Strategi
Perumusan strategi pengembangan agroindustri pengolahan mete di
Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri dilakukan melalui tiga tahap, yaitu
tahap masukan (input stage), tahap pencocokan (matching stage) dan tahap
pengambilan keputusan (decision stage). Tahap masukan adalah
menyimpulkan informasi dasar yang diperlukan untuk merumuskan strategi
dengan menggunakan matriks IFE (Internal Faktor Evaluation) dan EFE
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
(External Faktor Evaluation). Informasi dasar ini diperoleh dari data primer
dan data sekunder. Tahap pencocokan merupakan tahapan yang merumuskan
strategi, tahap kedua ini menggunakan matriks SWOT. Dilanjutkan tahap
ketiga yaitu tahap pengambilan keputusan yang menggunakan matriks QSP.
1. Analisis Usaha
a. Biaya Produksi
Biaya yang diperhitungkan dalam penelitian ini adalah semua
biaya yang dikeluarkan dalam industri pengolahan mete. Nilai total
biaya pada industri pengolahan mete adalah penjumlahan dari nilai total
biaya tetap (TFC) dan nilai biaya variabel yang digunakan dalam
kegiatan pengolahan mete.
TC = TFC + TVC
Dimana,
TC : biaya total industri pengolahan mete (Rupiah)
TFC : total biaya tetap industri pengolahan mete (Rupiah)
TVC : total biaya variabel industri pengolahan mete (Rupiah)
b. Penerimaan Usaha
Hasil produksi berupa mete yang keseluruhannya dijual.
Penerimaan usaha pengolahan mete (TR) merupakan hasil kali antara
produksi yang diperoleh (Y) dengan harga jual (Py).
TR = Y . Py
c. Keuntungan Usaha
Keuntungan usaha pengolahan mete (π) adalah selisih antara
penerimaan yang diperoleh dari usaha pengolahan mete dengan semua
biaya yang dikeluarkan dalam usaha pengolahan mete.
π = TR – TC
2. Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal
a. Matriks External Factor Evaluation (EFE) dan Matriks Internal Factor
Evaluation (IFE)
Matriks EFE digunakan untuk menganalisis faktor-faktor
eksternal, mengklasifikannya menjadi peluang dan ancaman bagi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
perusahaan, kemudian dilakukan pembobotan. Begitu pula dengan
matriks IFE digunakan untuk menganalisis faktor-faktor internal dan
mengklasifikannya menjadi kelemahan dan kekuatan bagi perusahaan.
Tabel 8. Matriks External Factor Evaluation (EFE)
Faktor Strategis Eksternal Bobot Rating Skor =Bobot x Rating
Peluang Skala
1.
s/d
10.
bobot
adalah
antara
Ancaman 0-1
1.
s/d
10.
total
Sumber : Umar, 2001
Tabel 9. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE)
Faktor Strategis Internal Bobot Rating Skor =Bobot x Rating
Kekuatan Skala
1.
s/d
10.
bobot
adalah
antara
Kelemahan 0-1
1.
s/d
10.
total
Sumber : Umar, 2001
Langkah-langkah pengembangan matriks EFE dan IFE adalah
sebagai berikut:
1) Pada kolom 1, menentukan faktor-faktor strategis eksternal yang
menjadi peluang dan ancaman serta faktor-faktor strategis internal
yang menjadi kekuatan dan kelemahan.
2) Pada kolom 2, masing-masing faktor tersebut diberi bobot dengan
skala mulai dari 1 (paling penting) sampai 0 (tidak penting). Bobot
yang diberikan pada suatu faktor menunjukkan seberapa penting
faktor itu menunjang keberhasilan perusahaan dalam industri yang
digelutinya. Jumlah semua bobot harus sama dengan 1, bobot
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
ditentukan sebagai berikut : (a) 0,20= sangat penting (b) 0,15 = di
atas rata-rata. (c) 0,10 = rata-rata. (d) 0,05 = di bawah rata-rata.
3) Pada kolom 3, diberi rating dengan tujuan untuk mengidentifikasikan
seberapa efektif strategi yang telah dimiliki perusahaan dalam
memberikan respon terhadap faktor-faktor strategis, dimana : (a)
nilai 1 = respon kurang, (b) nilai 2 = respon rata-rata, (c) nilai 3 =
respon di atas rata-rata, dan (d) nilai 4 = respon luar biasa.
4) Pada kolom 4, bobot pada kolom 2 dikalikan dengan rating pada
kolom 3 untuk memperoleh bobot skors masing-masing.
5) Menjumlahkan skor pada kolom 4 untuk memperoleh total skor
pembobotan bagi perusahaan yang bersangkutan. Nilai total ini
menunjukkan bagaimana organisasi bereaksi terhadap faktor-faktor
strategis eksternal dan internalnya. mengklasifikasikannnya menjadi
kelemahan dan kekuatan bagi perusahaan. Total Skor pembobotan
berkisar antara 1-4 dengan rata-rata 2,5. Jika total skor pembobotan
di bawah 2,5 maka kondisi internal atau eksternal organisasi lemah.
Sedangkan jika total skor pembobotan di atas 2,5 menunjukkan
posisi internal atau eksternal organisasi yang kuat
3. Alternatif Strategi
Untuk merumuskan alternatif strategi pengembangan agroindustri
pengolahan mete di Kabupaten Wonogiri digunakan analisis matriks
SWOT. Matriks SWOT dapat menggambarkan secara jelas bagaimana
peluang dan ancaman dari faktor eksternal yang dihadapi oleh suatu usaha
dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Analisis
SWOT digambarkan ke dalam matriks SWOT dengan 4 kemungkinan
alternatif strategi, yaitu stategi kekuatan-peluang (S-O strategies), strategi
kelemahan-peluang (W-O strategies), strategi kekuatan-ancaman (S-T
strategies), dan strategi kelemahan-ancaman (W-T strategies). Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Tabel 10. Matriks SWOT
Strenght (S)
Menentukan 5-10
faktor-faktor kekuatan
internal
Weakness (W)
Menentukan 5-10
faktor-faktor
kelemahan
internal
Opportunities
(O)
Menentukan 5-
10 faktor-faktor
peluang eksternal
Strategi S-O
Menciptakan strategi
yang menggunakan
kekuatan
untuk memanfaatkan
peluang
Strategi W-O
Menciptakan strategi
yang meminimalkan
kelemahan untuk
memanfaatkan peluang
Threats (T)
Menentukan 5-
10 faktor-faktor
ancaman eksternal
Strategi S-T
Menciptakan strategi
yang menggunakan
kekuatan
untuk mengatasi
ancaman
Strategi W-T
Menciptakan strategi
yang meminimalkan
kelemahan dan
menghindari ancaman
Sumber : Rangkuti, 2001
Delapan tahapan penentuan alternatif strategi yang dibangun melalui
matriks SWOT adalah sebagai berikut :
a. Menuliskan peluang faktor eksternal kunci dalam pengembangan
industri pengolahan mete
b. Menuliskan ancaman faktor eksternal kunci dalam pengembangan
industri pengolahan mete
c. Menuliskan kekuatan faktor internal kunci dalam pengembangan
industri pengolahan mete
d. Menuliskan kelemahan faktor internal kunci dalam industri
pengolahan mete
e. Mencocokkan kekuataan faktor internal dengan peluang faktor
eksternal dan mencatat Strategi S-O dalam sel yang sudah
ditentukan.
f. Mencocokkan kelemahan faktor internal dengan peluang faktor
eksternal dan mencatat Strategi W-O dalam sel yang sudah
ditentukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
g. Mencocokkan kekuatan faktor internal dengan ancaman faktor
eksternal dan mencatat Strategi S-T dalam sel yang sudah
ditentukan.
h. Mencocokkan kelemahan faktor internal dengan ancaman faktor
eksternal dan mencatat Strategi W-T dalam sel yang sudah
ditentukan.
4. Prioritas Strategi
Menentukan prioritas strategi dalam industri pengolahan mete di
Kabupaten Wonogiri menggunakan analisis Matriks QSP. Matriks QSP
digunakan untuk memilih strategi terbaik yang paling cocok dengan
lingkungan eksternal dan internal. Alternatif strategi yang memiliki nilai
total daya tarik terbesar merupakan strategi yang paling baik.
Tabel 11. Matriks QSP
Faktor-faktor
kunci
Bobot Alternatif Strategi
Strategi 1 Strategi 2 Strategi 3
AS TAS AS TAS AS TAS
Faktor-Faktor
Kunci Internal
Total Bobot
Faktor-Faktor
Kunci
Eksternal
Total Bobot
Jumlah Total
Daya Tarik
Sumber : David, 2004
Tahapan-tahapan dalam pembuatan matriks QSP yang harus dilakukan
adalah sebagai berikut :
a. Membuat daftar peluang/ancaman dari faktor eksternal dan kekuatan/
kelemahan faktor internal.
b. Memberi bobot pada setiap faktor dari 0,0 (tidak penting) sampai 1,0
(amat penting). Bobot menunjukkan kepentingan relatif dari faktor
tersebut. Jumlah seluruh bobot yang diberikan harus sama dengan 1,0.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
c. Memeriksa matriks SWOT dan mengenali strategi-strategi alternatif
yang harus dipertimbangkan untuk diterapkan.
d. Menentukan Nilai Daya Tarik (AS) yang didefinisikan sebagai angka
yang menunjukkan daya tarik relatif masing-masing strategi pada
suatu rangkaian alternatif tertentu. Nilai Daya Tarik ditentukan
dengan memeriksa masing-masing faktor eksternal atau faktor
internal, satu per satu, sambil mengajukan pertanyaan, “Apakah faktor
ini mempengaruhi pilihan strategi yang dibuat?” Jika jawaban atas
pertanyaan tersebut adalah ya, maka strategi tersebut harus
dibandingkan secara relatif dengan faktor kunci. Khususnya, Nilai
Daya Tarik harus diberikan pada masing-masing strategi untuk
menunjukkan daya tarik relatif suatu strategi terhadap yang lain,
dengan mempertimbangkan faktor tertentu. Cakupan Nilai Daya Tarik
adalah : 1 = tidak menarik, 2 = agak menarik, 3 = wajar menarik; dan
4 = sangat menarik. Jika jawaban atas pertanyaan tersebut adalah
tidak, hal tersebut menunjukkan bahwa masing-masing faktor kunci
tidak mempunyai pengaruh atas pilihan khusus yang dibuat.
e. Menghitung TAS (Total Nilai Daya Tarik). Total Nilai Daya Tarik
didefinisikan sebagai hasil mengalikan bobot (langkah b) dengan Nilai
Daya Tarik di masing-masing baris (langkah d). Total Nilai Daya
Tarik menunjukkan daya tarik relatif dari masing-masing strategi
alternatif, dengan hanya mempertimbangkan dampak dari faktor
keberhasilan krisis eksternal atau internal yang berdekatan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Keadaan Alam
1. Letak Geografis
Kecamatan Jatisrono merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten
Wonogiri yang mempunyai luas wilayah 5002,7360 ha. Kecamatan
Jatisrono mempunyai 17 Desa/Kelurahan. Kecamatan Jatisrono merupakan
wilayah kecamatan yang terletak antara kaki Gunung Lawu dan
Pegunungan Sewu. Kecamatan Jatisrono yang terletak di bagian timur
Kabupaten Wonogiri mempunyai batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Kecamatan Jatipurno
Sebelah Selatan : Kecamatan Jatiroto
Sebelah Timur : Kecamatan Slogohimo
Sebelah Barat : Kecamatan Sidoarjo
2. Pemanfaatan Wilayah
Pemanfaatan wilayah di suatu daerah bermacam-macam sesuai
dengan kebutuhan dan kesesuaian dari kemampuan wilayah tersebut.
Pemanfaatan wilayah Kecamatan Jatisrono dibagi menjadi lima, yaitu
tanah tanah sawah, bangunan/pekarangan, tegal, perkebunan negara dan
lain-lain. Pemanfaatan wilayah di Kecamatan Jatisrono dapat dilihat pada
Tabel 12.
Tabel 12. Penggunaan Lahan Kecamatan Jatisrono Tahun 2011
No Penggunaan Lahan Luas (ha) (%)
1. Tanah Sawah 1.424,8283 28,48
2. Bangunan/Pekarangan 628,0249 12,55
3. Tegal 2.628,8539 52,55
4. Lain-lain 321,0289 6,42
Jumlah 5.002,736 100,00
Sumber: Jatisrono dalam Angka, 2012
Tabel 12 menunjukkan bahwa 52,55 % wilayah Jatisrono
merupakan tanah tegal, 28,48 % berikutnya berupa lahan sawah, yang
sebagian besar berada di sepanjang aliran sungai Mider di Desa
45
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Sambirejo. Sebanyak 12,55 % dimanfaatkan untuk bangunan/pekarangan
dan sisanya adalah untuk lain-lain seluas 6,42 %. Dengan demikian
wilayah di Kecamatan Jatisrono sebagian besar dimanfaatkan untuk tegal
yang biasanya digunakan untuk tanaman palawija atau menanam tanaman
keras.
B. Keadaan Penduduk
1. Keadaan Penduduk menurut Jenis Kelamin
Pembangunan kependudukan merupakan langkah penting dalam
mencapai keberhasilan pembangunan di suatu wilayah. Keadaan penduduk
menurut jenis kelamin dapat mempengaruhi besarnya tenaga yang
dibutuhkan dalam pembangunan. Hal ini karena besarnya tenaga yang
dihasilkan antara laki-laki dan perempuan berbeda. Keadaan penduduk
menurut jenis kelamin di Kecamatan Jatisrono disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin di Kecamatan
Jatisrono Tahun 2010 dan 2011
No Jenis Kelamin 2010 % 2011 %
1 Laki-laki 34.836 50,28 34.912 50,38
2 Perempuan 34.445 49,72 34.387 49,62
Jumlah 69.281 100,00 69.299 100,00
Sex Ratio 1,01 1,02
Sumber: Jatisrono dalam Angka, 2012
Berdasarkan Tabel 13 menunjukkan bahwa jumlah penduduk di
Kecamatan Jatisrono mengalami peningkatan. Penduduk di Kecamatan
Jatisrono tahun 2011 berjumlah 69.299 jiwa, lebih banyak jumlahnya dari
pada tahun 2010 yaitu 69.281 jiwa. Peningkatan jumlah penduduk dari
tahun ke tahun di Kecamatan Jatisrono salah satunya disebabkan oleh
pertumbuhan penduduk secara alami, dimana jumlah penduduk yang lahir
lebih besar dari penduduk yang mati. Bertambahnya jumlah penduduk juga
menyebabkan bertambahnya kepadatan penduduk di Kecamatan Jatisrono.
Hal ini akan menambah beban pembangunan di wilayah tersebut. Jumlah
penduduk yang semakin bertambah akan berdampak negatif pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
ketersediaan lahan pertanian. Jumlah penduduk yang semakin banyak
menyebabkan adanya konversi lahan pertanian ke non pertanian, salah
satunya untuk pemukiman. Di sisi lain, semakin berkurangnya lahan
pertanian produktif akan berdampak pada penyediaan pangan bagi
masyarakat. Oleh karena itu, upaya penggalian potensi berbasis pertanian
sangat dibutuhkan untuk meningkatkan ketersediaan pangan.
Penduduk di Kecamatan Jatisrono lebih banyak laki-lakinya daripada
perempuannya penduduk laki-lakinya. Meskipun demikian perbedaan
jumlah keduanya tidak terpaut terlalu besar. Jumlah penduduk menurut
jenis kelamin dapat digunakan untuk mengukur besarnya sex ratio yaitu
perbandingan antara jumlah penduduk laki-laki dan perempuan.Untuk
mengetahui besarnya sex ratio, digunakan rumus sebagai berikut:
100xPerempuanPendudukJumlah
lakilakiPendudukJumlahRatioSex
Sex Ratio Kecamatan Jatisrono pada tahun 2010 sebesar 1,01 berarti
pada setiap 100 perempuan terdapat 101 laki-laki. Sedangkan pada tahun
2011 yaitu 1,02 berarti setiap 100 perempuan terdapat 102 laki-laki. Hal
ini menunjukkan jumlah laki-laki dan perempuan di Kecamatan Jatisrono
hampir seimbang.
2. Keadaan Penduduk menurut Kelompok Umur
Keadaan penduduk menurut umur merupakan penggolongan
penduduk berdasarkan umur sehingga dapat diketahui jumlah penduduk
yang produktif dan tidak produktif yang terdapat pada suatu wilayah
tertentu. Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonogiri, golongan
umur produktif adalah golongan umur antara 15-64 tahun, sedangkan
golongan umur 0-14 tahun dan golongan umur sama dengan atau lebih
dari 65 tahun merupakan golongan umur non produktif. Keadaan
penduduk di Kecamatan Jatisrono berdasarkan umur dapat dilihat pada
Tabel 14.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Tabel 14. Penduduk Kecamatan Jatisrono Menurut Golongan Umur Tahun
2011 (orang)
Golongan
Umur
Laki-laki Perempuan Total %
0-14 9.798 9.539 19.337 27,90
15-64 21.133 20.956 42.089 60,73
65+ 3.097 3.783 7.690 11,37
Jumlah 34.838 34.461 69.299 100,00
ABT 64,21
Sumber: Jatisrono dalam Angka, 2012
Keadaan penduduk berdasarkan umur dapat digunakan untuk
mengetahui angka beban tanggungan (ABT). Angka beban tanggungan
(ABT) yaitu penduduk usia non produktif yang ditanggung penduduk usia
produktif. ABT dihitung dengan rumus:
100Pr
Prx
oduktifUsiaPendudukJumlah
oduktifNonUsiaPendudukJumlahTanggunganBebanAngka
=64,21
ABT di Kecamatan Jatisrono sebesar 64,21 artinya setiap 100
penduduk usia produktif menanggung 64 orang penduduk yang tidak
produktif. Hal ini berarti jumlah penduduk usia non produktif lebih kecil
daripada penduduk usia produktif sehingga satu penduduk usia produktif
menanggung kurang dari satu penduduk non produktif. Hal ini
menunjukkan bahwa keberadaan agroindustri pengolahan mete cukup
berperan terhadap penduduk Kecamatan Jatisrono dalam memberikan
mata pencaharian, sehingga dapat mengurangi Angka Beban Tanggungan.
3. Keadaaan Penduduk menurut Mata Pencaharian
Keberhasilan pembangunan suatu wilayah dapat dilihat dari tingkat
penyerapan tenaga kerja bagi penduduknya. Besarnya penyerapan tenaga
kerja akan dapat meningkatkan pendapatan perkapita penduduk, yang
akhirnya akan berimbas bagi kesejahteraan penduduk suatu wilayah.
Keadaan penduduk menurut mata pencaharian di Kecamatan Jatisrono
dapat dilihat pada Tabel 15.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Tabel 15. Jumlah Penduduk di Kecamatan Jatisrono Menurut Mata
Pencaharian Tahun 2011 (orang)
Mata Pencaharian Jumlah %
Petani 10.167 27,72
Buruh Tani 6.416 17,49
Pengusaha Kecil 2.028 5,53
Buruh Industri 4.219 11,50
Buruh Bangunan 8.056 21,96
Pedagang 3.060 8,34
Angkutan 657 1,79
Lain-lain 6.082 16,58
Jumlah 36.681 100,00
Sumber: Jatisrono dalam Angka, 2012
Sebagian besar penduduk Kecamatan Jatisrono pada tahun 2011
bermatapencaharian sebagai petani yaitu sebanyak 10.167 jiwa atau
27,72% dari penduduk yang bekerja di Kecamatan Jatisrono dan 21,96%
bekerja sebagai buruh bangunan. Selanjutnya, sebesar 17,49% penduduk
yang bekerja bekerja sebagai buruh tani, 11,50% sebagai buruh tani.
Sebesar 8,34% dari penduduk yang bekerja sebagai pedagang, 16,58%
lain-lain. Sedangkan yang bekerja sebagai pengusaha kecil yang termasuk
didalamnya sebesar 5,53%
C. Keadaan Sarana Perekonomian
Keadaan sarana perekonomian menentukan lancar atau tidaknya
pelaksanaan kegiatan perekonomian. Adanya sarana perekonomian diharapkan
roda perekonomian di Kecamatan Jatisrono berjalan dengan lancar. Sarana
perekonomian di Kecamatan Jatisrono dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Sarana perekonomian di Kecamatan Jatisrono Tahun 2011
Sarana Perekonomian Jumlah
Pasar Umum 2
Pasar Hewan 1
Pasar Desa 2
Toko/Kios 1.417
Jumlah 1.422
Sumber : Jatisrono dalam Angka, 2012
Berdasarkan Tabel 16 diketahui bahwa sarana perekonomian terbanyak
di Kecamatan Jatisrono adalah toko/kios yang berjumlah 1.417. Masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
memilih usaha toko/kios dikarenakan tidak membutuhkan modal yang terlalu
besar. Selain itu, tata usahanya dapat dikelola sendiri. Kelancaran sarana
perekonomian di Kecamatan Jatisrono juga harus didukung dengan
infrastruktur penunjang seperti sarana angkutan. Sarana angkutan merupakan
faktor penting yang harus diperhatikan karena sebagai sarana penghubung.
Jumlah sarana angkutan di Kecamatan Jatisrono dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Jumlah Sarana Angkutan di Kecamatan Jatisrono Tahun 2011
Sarana Angkutan Jumlah
Bus/Mini Bus 58
Sedan/Station 430
Truk 50
Pick-Up 61 Sepeda Motor 5.475
Sepeda 2.578
Sumber: Jatisrono dalam Angka, 2012
Berdasarkan Tabel 17 diketahui bahwa sarana angkutan paling banyak
adalah sepeda motor sebanyak 5.475 unit. Sepeda motor merupakan sarana
transportasi yang paling umum digunakan, karena akan lebih mudah dan
fleksibel untuk menjangkau semua daerah. Sarana angkutan terbanyak kedua
adalah sepeda sebanyak 2.578 unit. Selanjutnya adalah sedan/station yang
merupakan sarana angkutan yang umumnya digunakan di Kecamatan Jatisrono
sebanyak 430 unit, bus/mini bus yang digunakan untuk menghubungkan antar
kecamatan sebanyak 58 unit dan pick-up yang biasanya dimanfaatkan untuk
mengangkut hasil pertanian sebanyak 61 unit.
D. Keadaan Sektor Pertanian
Sektor pertanian memberikan sumbangan cukup besar terhadap
pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Sektor pertanian yang paling besar
pengaruhnya terhadap pemenuhan kebutuhan pangan adalah subsektor
tanaman bahan makanan. Subsektor tanaman bahan makanan didukung oleh
produksi beberapa komoditas, antara lain: tanaman padi, palawija, sayuran dan
buah-buahan. Tanaman padi dan palawija di Kecamatan Jatisrono antara lain:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Padi, Jagung, Ubi Kayu, Kedelai, dan Kacang Tanah. Produksi dari masing-
masing jenis tanaman dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Produksi Tanaman Padi dan Palawija di Kecamatan Jatisrono
Tahun 2011 (kw)
No. Komoditas Jumlah
1. Padi 17.462,59
2. Jagung 2.029,00
3. Ubi Kayu 1.806,00
4. Kedelai 185,00
5. Kacang Tanah 644,00
Sumber : Jatisrono dalam Angka, 2012
Berdasarkan Tabel 18 produksi tanaman padi adalah yang jumlahnya
terbesar. Hal ini dikarenakan kondisi alam yang sesuai untuk tanaman padi
khususnya untuk daerah di sepanjang aliran sungai dan sebagian besar petani
memang memilih untuk menanam tanaman padi. Adanya sungai menyebabkan
kebutuhan air untuk tanaman padi dapat terpenuhi. Tanaman palawija biasa
ditanam oleh petani hanya pada musim tertentu saja.
Subsektor pertanian yang terdapat di Kecamatan Jatisrono yang lain
adalah subsektor perkebunan dan peternakan. Komoditas subsektor
perkebunan yang dibudidayakan di Kecamatan Jatisrono antara lain: jati,
mahoni, sengon, malaba, mete, jarak, coklat, akasia, dan petai. Tanaman
perkebunan di Kecamatan Jatisrono tersaji pada Tabel 19.
Tabel 19. Komoditi Perkebunan di Kecamatan Jatisrono Tahun 2011 (Batang)
No. Jenis Tanaman Jumlah Tanaman
(batang)
1. Jati 580.144
2. Mahoni 289.267
3. Sengon 139.807
4. Malaba 1.000
5. Mete 31.550
6. Jarak 6.000
7. Coklat 1.125
8. Akasia 600
9. Petai 17.100
Sumber : Jatisrono dalam Angka, 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Berdasarkan Tabel 19 tanaman perkebunan yang paling banyak
jumlahnya di kecamatan Jatisrono adalah tanaman jati sebanyak 580.144
batang. Selanjutnya adalah tanaman mahoni sebanyak 289.267 batang, sengon
sebnayak 139.807 batang, tanaman mete sebanyak 31.550 batang, tanaman
petai 17.100 batang, tanaman jarak 6.000 batang, coklat sebanyak 1.125
batang, malaba 1.000 batang dan tanaman akasia 600 batang.
Sedangkan komoditas subsektor peternakan di Kecamatan Jatisrono
antara lain: sapi, kerbau, babi, kambing/domba, ayam ras, ayam buras, puyuh,
dan entog. Populasi ternak di Kecamatan Jatisrono tersaji pada Tabel 20.
Tabel 20. Populasi Ternak di Kecamatan Jatisrono Tahun 2011 (Ekor)
No. Komoditas Jumlah Ternak
1. Sapi 3.727
2. Kerbau 26
3. Kambing/Domba 7.842
4. Ayam Ras 18.400
5. Ayam Buras 101.350
6. Puyuh 1.065 8. Entog 66
Sumber: Jatisrono dalam Angka, 2012
Berdasarkan Tabel 20 populasi terbesar adalah ayam buras yang
jumlahnya pada tahun 2011 adalah 101.350 ekor. Hal ini disebabkan sebagian
besar penduduk wilayah Kecamatan Jatisrono memelihara ayam buras sebagai
ternak pelihaaraan, baik untuk dimanfaatkan daging ataupun telurnya. Populasi
ternak terendah yaitu kerbau, yakni sebanyak 26 ekor. Hal ini dikarenakan
penduduk di Kecamatan Jatisrono mayoritas lebih memilih memelihara sapi
dikarenakan bisa memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan jenis ternak
yang lain.
E. Keadaan Industri
Menurut data terakhir dari Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan
Koperasi Kabupaten Wonogiri (2007), kelompok industri kecil potensial yang
ada di Kecamatan Jatisrono adalah sebagai berikut tersaji pada Tabel 21.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Tabel 21. Jumlah Industri Kecil Potensial di Kecamatan Jatisrono Tahun 2007
No. Jenis Industri Jumlah Unit Usaha Jumlah Tenaga Kerja
1. Konveksi 17 34
2. Anyaman Bambu 138 276
3. Tape Ubi 7 14
4. Bengkel 9 18
5. Mebel 115 244
6. Emping Mlinjo 115 326
7. Makanan Olahan 52 153
8. Tempe 209 497
9. Jamu Tradisional 25 46
10. Cendol Dawet 6 12
11. Kacang Mete 583 2.258
12. Kerupuk 19 76
13. Tahu 28 84
14. Ice Cream 9 18
15. Criping Singkong 8 16
16. Jamu Gendong 18 36
17. Kasur Kapuk 7 14
18. Keripik Singkong 9 18
Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Penanaman Modal
Kabupaten Wonogiri, 2007
Berdasarkan Tabel 21 jumlah industri kecil yang paling banyak di
Kecamatan Jatisrono adalah kacang mete yaitu sebanyak 583 unit dan
menyerap sebanyak 2.258 tenaga kerja. Hal ini dikarenakan Kecamatan
Jatisrono merupakan sentra pengolahan kacang mete di Kabupaten Wonogiri.
Sedangkan jumlah industri kecil yang paling rendah adalah usaha cendol
dawet sebanyak 6 unit usaha.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden
1. Pelaku Usaha Agroindustri Pengolahan Mete
a. Identitas Responden
Identitas responden yang dibahas dalam penelitian ini meliputi
usia, pendidikan, jumlah anggota keluarga, jumlah anggota keluarga
yang aktif dalam usaha, dan lama mengusahakan; yang disajikan pada
Tabel di bawah ini.
Tabel 22. Identitas Responden Pelaku Usaha Pengolahan Mete di
Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri
No. Uraian Rata-rata
1. Usia 51 tahun
2. Pendidikan 7 tahun
3. Jumlah Anggota Keluarga 3 orang
4. Jumlah Anggota Keluarga yang Aktif
dalam Usaha
1 orang
5. Lama Mengusahakan 13 tahun
Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Tabel 22 menunjukkan identitas pelaku usaha pengolahan mete di
Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Rata-rata usia dari pelaku
usaha adalah 51 tahun, dimana pada usia ini kekuatan fisik seseorang
sudah berkurang sehingga pelaku usaha lebih memilih pekerjaan dalam
agroindustri pengolahan mete dibandingkan pekerjaan lain yang
membutuhkan kekuatan fisik. Rata-rata pendidikan dari pelaku usaha
adalah 7 tahun atau setingkat tidak tamat SMP. Pada agroindustri
pengolahan mete, tingkat pendidikan tidak mempengaruhi keterampilan
dalam melakukan pekerjaan, yang dibutuhkan dalam usaha ini adalah
ketelitian dan kehati-hatian yang dapat diperoleh melalui pengalaman
usaha. Rata-rata jumlah anggota keluarga yang aktif dalam usaha ini
adalah 1 orang, yang biasanya adalah anggota keluarga yang menjadi
pengelola agroindustri dan mengerjakan pekerjaan sortir. Rata-rata lama
mengusahakan agroindustri pengolahan mete ini adalah selama 13
54
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
tahun. Dari lama usaha ini dapat disimpulkan bahwa pelaku usaha
sudah berpengalaman dalam menjalankan usaha pengolahan mete.
b. Karakteristik Usaha
Karakteristik usaha berkaitan dengan bagaimana posisi pekerjaan
sebagai pelaku usaha pengolahan mete, apakah sebagai pekerjaan utama
ataukah pekerjaan sampingan, yang dapat dilihat pada Tabel 23 di
bawah ini.
Tabel 23. Karakteristik Usaha Responden Pelaku Usaha Agroindustri
Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten
Wonogiri
No. Uraian Jumlah (orang)
1. Pekerjaan Utama 12
2. Pekerjaan Sampingan 3
Total 15
Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Berdasarkan Tabel 23 dapat dilihat bahwa karakteristik usaha
responden pelaku usaha pengolahan mete adalah sebanyak 12 orang
dari responden menjadikan agroindustri pengolahan mete sebagai
pekerjaan utama, artinya usaha ini dijadikan prioritas dalam curahan
waktu dan sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
dan 3 orang sisanya sebagai pekerjaan sampingan, bukan merupakan
pekerjaan proritas, pekerjaan utama mereka adalah PNS dan pengepul
kacang mete.
2. Pemerintah
Responden pemeritah dalam penelitian ini diwakili oleh Dinas
Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Penanaman Modal Kabupaten
Wonogiri. Responden diambil dengan perimbangan mengetahui dan
terlibat dalam pelaksanaan kebijakan dan program-program lain dalam
pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono
Kabupaten Wonogiri. Identitas responden pemerintah disajikan pada Tabel
di bawah ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Tabel 24. Identitas Responden Pemerintah dalam Pengembangan
Agroindustri Pengolahan Mete Kecamatan Jatisrono
Kabupaten Wonogiri
No. Uraian Rata-rata
1. Usia 48 tahun
2. Pendidikan 16 tahun
3. Jumlah Anggota Keluarga 3 orang
4. Pengalaman 4 tahun
Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Berdasarkan Tabel 24, rata-rata usia dari responden pemerintah
adalah 48 tahun, dimana usia ini masih merupakan usia produktif sehingga
dapat memberikan sumbangan dan peran dalam usaha pengembangan
agroindustri pengolahan mete. Rata-rata pendidikan responden adalah 16
tahun atau setingkat Diploma. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi
pola pikir dan wawasan dalam menjalankan fungsi masig-masing.
Pengalaman mendampingi agroindustri pengolahan mete baik dalam
bentuk kebijakan maupun secara teknis adalah selama 4 tahun.
3. Pedagang Pengepul
Pedagang pengepul/distribuor merupakan pedagang yang membeli
produk kacang mete dalam jumlah besar, kemudian dijual kembali kepada
konsumen akhir. Dalam penelitian ini, pedagang pengepul yang menjadi
responden yang diwawancarai adalah yang bertempat tinggal di
Kecamatan Jatisrono. Identitas responden pedagang pengepul disajikan
pada Tabel 25.
Tabel 25. Identitas Responden Pedagang Pengepul dalam Pengembangan
Agroindustri Pengolahan Mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten
Wonogiri
No. Uraian Rata-rata
1. Usia 42 tahun
2. Pendidikan 10 tahun
3. Jumlah Anggota Keluarga 3 orang
4. Pengalaman 7 tahun
Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Rata-rata usia pedagang pengepul produk kacang mete adalah 42
tahun, dengan rata-rata pendidikan 10 tahun (tidak tamat SMA). Usia dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
tingkat pendidikan ini akan berpengaruh pada pola pikir dan pengambilan
keputusan untuk membeli produk kacang mete, dan kemudian menjualnya
kembali. Pengalaman usaha yang sudah cukup lama, yakni 7 tahun,
tentunya memberikan banyak pelajaran dalam perannya sebagai pedagang
pengepul produk kacang mete, baik mengenai produk, harga, maupun
kualitas kacang mete. Responden membeli produk biji kacang mete dalam
kemasan besar 25 kg, dan untuk dijual kemudian dikemas lagi dengan
ukuran 1 kg.
4. Konsumen Akhir
Konsumen akhir adalah konsumen yang membeli produk biji
kacang mete kepada pelaku usaha maupun pedagang pengepul untuk
konsumsi, bukan untuk dijual kembali. Identitas responden konsumen
akhir dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.
Tabel 26. Identitas Responden Konsumen Akhir dalam Pengembangan
Agroindustri Pengolahan Mete Kecamatan Jatisrono
Kabupaten Wonogiri
No. Uraian Rata-rata
1. Usia 44 tahun
2. Pendidikan 7 tahun
3. Jumlah Anggota Keluarga 4 orang
Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Rata-rata usia responden konsumen akhir adalah 44 tahun dengan
rata-rata pendidikan 7 tahun. Hal ini akan mempengaruhi pengambilan
keputusan dalam pembelian kacang mete untuk konsumsi dalam hal harga,
kualitas, jumlah pembelian, dan tempat pembelian. Responden membeli
biji kacang mte untuk keperluan hajatan, arisan, serta acara keluarga
lainnya.
B. Keragaan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono
Kabupaten Wonogiri
1. Skala Usaha
Anonim (2009) menyatakan bahwa penggolongan UMKM
berdasarkan UU. Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM adalah sebagai
berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
a) Usaha Mikro adalah unit usaha yang memiliki nilai asset paling banyak
Rp 50 juta atau dengan hasil penjualan paling besar Rp 300 juta.
b) Usaha Kecil dengan nilai asset lebih dari Rp 50 juta sampai dengan paling
banyak 500 juta atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari 300 juta
hingga maksimum 2,5 milyar.
c) Usaha Menengah adalah perusahaan dengan nilai kekayaan bersih lebih
dari 500 juta hingga paling banyak Rp 10 miliar atau memiliki hasil
penjualan tahunan di atas Rp 2,5 milyar.
Pelaku usaha pengolahan mete yang menjadi responden dalam
penelitian ini berjumlah 15 orang untuk analisis usaha. Berdasarkan UU
No. 20 Tahun 2008 tentang penggolongan UMKM tersebut, ditemukan
ada dua skala usaha dari responden pelaku usaha pengolahan mete. Oleh
karena itu, untuk mengidentifikasi keragaan usaha pengolahan mete,
dilakukan dua penggolongan sebagai berikut (1) Responden Usaha
Pengolahan Mete Skala Mikro, yaitu responden dengan omset maksimal
300 juta pertahun, atau dengan kata lain omset maksimal 25 juta per bulan,
sebanyak 12 responden; (2) Responden Usaha Pengolahan Mete Skala
Kecil, yaitu responden dengan omset antara 300 juta sampai dengan 2,5
milyar pertahun sebanyak 3 responden. Penggolongan responden
dilakukan untuk lebih menggambarkan atau merepresentasikan skala usaha
dari masing-masing responden yang diambil.
Skala usaha dalam penelitian ini dilihat melalui rata-rata jumlah
tenaga kerja, biaya, penerimaan (omset), dan keuntungan setiap bulan dari
pelaku usaha agroindustri pengolahan mete Kecamatan Jatisrono
Kabupaten Wonogiri. Data yang ditampilkan merupakan data rata-rata dari
15 pelaku usaha yang diwawancarai oleh peneliti.
a. Tenaga Kerja
Tenaga kerja memiliki peranan yang penting dalam agroindustri
pengolahan mete. Keterampilan tenaga kerja sangat dipengaruhi oleh
lama bekerja, karena yang dibutuhkan dalam usaha ini adalah ketelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
dan kehati-hatian. Jenis pekerjaan dan rata-rata jumlah tenaga kerja
pada agroindustri pengolahan mete dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 27. Ketenagakerjaan Responden Pelaku Usaha Agroindustri
Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten
Wonogiri
No. Jenis Pekerjaan Rata-rata
Skala Mikro Skala Kecil
1. Ceklok dan Cukil 4 orang 11 orang
2. Klethek 2 orang 5 orang
3. Sortir 1 orang 1 orang
Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Menurut Tabel 27, ada tiga pekerjaan dalam agroindustri
pengolahan mete. Pertama adalah ceklok dan cukil dengan rata-rata
jumlah tenaga kerja untuk responden usaha mikro 4 orang dan usaha
kecil 11 orang. Ceklok dan cukil adalah kegiatan memisahkan biji mete
dengan gelondong mete dengan peralatan yang dibutuhkan adalah kacip
dan pisau kecil. Kacip digunakan untuk membelah gelondong mete
menjadi dua, dengan biji mete masih melekat pada salah satu bagian
gelondong, kegiatan ini juga sering dinamakan dengan ceklok, karena
alat yang digunakan bernama kacip ceklok. Sedangkan pisau kecil
digunakan untuk mencukil biji mete yang masih melekat pada
gelondong mete. Jumlah tenaga kerja pada agroindustri pengolahan
mete ini juga menunjukkan skala usaha. Semakin besar skala usaha,
maka tenaga kerja yang dibutuhkan juga semakin besar, karena bahan
baku yang diolah jumlahnya juga semakin besar.
Kegiatan yang kedua adalah klethek, yaitu proses pengupasan
kulit ari yang masih menyelimuti biji mete. Alat dan bahan yang
diperlukan selama kegiatan ini adalah tungku, seng dan arang. Kegiatan
inilah yang memerlukan ketelitian dan kehati-hatian ekstra
dibandingkan dau kegiatan yang lain karena akan sangat mempengaruhi
produk yang dihasilkan. Kegiatan yang terakhir adalah sortir/sortasi biji
kacang mete yang dihasilkan menjadi mete kualitas super, biasa, atau
campur. Kegiatan sortir ini biasanya dilakukan oleh tenaga kerja
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
keluarga. Upah diberikan berdasarkan banyaknya hasil yang diperoleh
setiap hari oleh para tenaga kerja pada setiap jenis pekerjaan masing-
masing, dan besarnya upah untuk setiap jenis pekerjaan tidaklah sama
tergantung tingkat kesulitan dari pekerjaan tersebut.
b. Total Biaya Produksi
Total biaya produksi adalah jumlah biaya produksi yang
dikeluarkan oleh pelaku usaha agroindustri pengolahan mete selama
proses produksi. Komponen dari biaya produksi total ini adalah biaya
tetap dan biaya variabel yang besarnya dapat dilihat pada Tabel 28 di
bawah ini.
Tabel 28. Rata-Rata Total Biaya Produksi Responden Pelaku Usaha
Agroindustri Pengolahan Mete selama 1 Bulan
No. Jenis Biaya Rata-Rata (Rp)
Skala Mikro Skala Kecil
1. Biaya Tetap
- Biaya Overhead
Tetap 370.333,35 762.955,56
2. Biaya Variabel
a. Bahan Baku
Utama 5.837.500,00 18.800.000,00
b. Bahan Penolong 41.708,33 126.663,33
c. Tenaga Kerja 2.979.812,50 9.026.500,00
d. Pasca Produksi 88.466,67 470.666,67
Jumlah 9.317.820,80 29.186.755,60
Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Tabel 28 menunjukkan besarnya rata-rata dan jenis total biaya
produksi pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono.
Total biaya produksi terdiri atas biaya tetap dan biaya variabel. Biaya
tetap terdiri dari biaya overhead tetap, sedangkan biaya variabel
disusun oleh biaya bahan baku utama yang merupakan biaya tertinggi;
biaya bahan penolong; biaya tenaga kerja; dan yang terakhir adalah
biaya pasca produksi. Besar biaya overhead tetap adalah Rp 370.333,35
untuk usaha skala mikro dan Rp 762.955,56 untuk usaha kecil. Biaya
overheaad adalah biaya yang tidak dikeluarkan secara langsung oleh
para pelaku usaha agroindustri pengolahan mete. Biaya overhead ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
terdiri dari biaya untuk sewa tanah dan bangunaan; pajak listrik; telepon
dan ponsel; PBB; pajak kendaraan; angsuran dan atau bunga; dan biaya
penyusutan. Bahan baku utama yang digunakan dalam agroindustri
pengolahan mete berupa gelondong mete yang rata-rata pelaku usaha
setiap bulannya membutuhkan gelondong mete dengan biaya sebesar
Rp. 5.837.500,00 untuk responden usaha skala mikro dan responden
usaha skala kecil dengan biaya sebesar Rp 18.800.000,00. Ada tiga
bahan baku penolong yang digunakan yaitu arang, tepung terigu, dan
kapur dengan biaya yang dibutuhkan sebesar Rp 41.708,33 untuk
responden usaha skala mikro dan Rp 126.663,33 untuk responden skala
kecil. Rata-rata biaya tenaga kerja yang dikeluarkan responden usaha
skala mikro adalah Rp 2.979.812,50 dan Rp 9.026.500,00 untuk
responden skala kecil. Biaya pasca produksi terdiri dari biaya
pengiriman dan biaya pengemasan yang besarnya adalah Rp 88.466,67
untuk responden skala mikro dan Rp 470.666,67 untuk skala kecil.
Rata-rata total biaya produksi selama satu bulan pada agroindustri
pengolahan mete Kecamatan Jatisrono adalah sebesar Rp 9.317.820,80
untuk responden usaha skala mikro dan responden usaha skala kecil
Rp 29.186.755,60.
c. Penerimaan Usaha
Penerimaan merupakan hasil perkalian antara kuantitas atau
jumlah produksi suatu produk dengan harga masing-masing produk.
Rata-rata penerimaan usaha pada agroindustri pengolahan mete
Kecamatan Jatisrono selama satu bulan dapat dilihat pada Tabel 28 di
bawah ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
Tabel 29. Rata-Rata Penerimaan Responden Pelaku Usaha Agroindustri
Pengolahan Mete selama 1 Bulan
No. Jenis Produk Rata-Rata (Rp)
Skala Mikro Skala Kecil
1. Mete Super 7.546.875,00 23.887.500,00
2. Mete Biasa 1.868.750,00 5.915.000,00
3. Mete Campur 790.625,00 2.502.500,00
4. Kulit Mete 460.000,00 1.453.333,33
Jumlah 10.666.250,00 33.758.333,33
Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Berdasarkan Tabel 29, dapat dilihat ada beberapa produk yang
dihasilkan oleh agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono
yang masing-masing memberikan penerimaan kepada pelaku usaha.
Produk utama yang dihasilkan oleh agroindustri ini adalah biji kacang
mete yang terdiri atas tiga kualitas, yaitu mete super; mete biasa; dan
mete campur. Sedangkan produk sampingan yang dihasilkan adalah
kulit mete, yang sebenarnya adalah limbah produksi, tetapi tidak bisa
diolah sendiri oleh para pelaku usaha dan kemudian dijual kepada
pengepul. Rata-rata penerimaan usaha agroindustri pengolahan mete di
Kecamatan Jatisrono setiap bulannya adalah Rp 10.666.250,00 untuk
responden usaha skala mikro dan responden usaha skala kecil
Rp 33.758.333,33.
d. Keuntungan Usaha
Keuntungan usaha diperoleh dari hasil pengurangan antara total
penerimaan dan total biaya. Besarnya rata-rata keuntungan usaha pada
agroindustri pengolahan mete dapat dilihat pada Tabel 30.
Tabel 30. Rata-Rata Keuntungan Usaha pada Agroindustri Pengolahan
Mete selama 1 Bulan
No. Uraian Rata-Rata (Rp)
Skala Mikro Skala Kecil
1. Total Penerimaan 10.666.250,00 33.758.333,33
2. Total Biaya 9.317.820,80 29.186.755,60
Keuntungan 1.348.229,20 4.571.577,73
Sumber: Analisis Data Primer, 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Tabel 30 menunjukkan besarnya rata-rata keuntungan usaha dari
para pelaku usaha agroindustri pengolahan mete di Kecamatan
Jatisrono Kabupaten Wonogiri setiap bulan yang besarnya adalah
adalah Rp 1.348.229,20 untuk responden usaha skala mikro dan
responden usaha skala kecil Rp 4.571.577,73. Berdasarkan Tabel di
atas, besarnya skala usaha akan menentukan besarnya keuntungan yang
diperoleh. Semakin besar skala usaha, keuntungan yang diperoleh juga
semakin besar.
Untuk memperoleh gambaran mengenai analisis usaha ini,
diperlukan analisis terhadap biaya, penerimaan, dan keuntungan per
kilogram dari produk yang dihasilkan. Rata-rata biaya, penerimaan, dan
keuntungan per kilogram kacang mete dapat dilihat pada Tabel di bawah
ini
Tabel 31. Rata-Rata Total Biaya, Penerimaan, dan Keuntung per kg
produk pada Agroindustri Pengolahan Mete
No. Uraian Rata-Rata (Rp)
1. Biaya
Bahan Baku 40.992,33
Bahan Penolong 284,92
Penyusutan 269,01
Tenaga Kerja 12.500,00
Pasca Produksi 808,37
Total Biaya 54.854,63
2. Total Penerimaan 73.000,00
Keuntungan 18.145,37
Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Tabel 31 menunjukkan rata-rata biaya, penerimaan, dan keuntungan
per kilogram produk kacang mete yang dihasilkan pelaku usaha
agroindustri pengolahan mete. Perbandingan antara gelondong dan biji
kacang mete adalah 4:1, artinya empat kilogram gelondong mete
menghasilkan satu kilogram kacang mete. Rata-rata biaya untuk
menghasilkan 1 kilogram kacang mete adalah Rp 54.854,63 dan
penerimaan untuk per kilogram produk sebesar Rp 73.000,00. Keuntungan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
yang diterima pelaku usaha untuk 1 kilogram kacang mete yang dihasilkan
adalah Rp 18.145,37
Berdasarkan uraian mengenai skala usaha, agroindustri pengolahan
mete di Kecamatan Jatisrono ini dapat memenuhi ciri-ciri agroindustri
pengolahan hasil pertanian yang dikemukan Kusnandar dkk (2010) sebagai
berikut:
a. Dapat meningkatkan nilai tambah
Agroindustri pengolahan mete, yang memproses gelondong mete
menjadi kacang mete, sudah barang tentu meningkatkan nilai tambah
produk yang semula berupa gelondong mete menjadi biji kacang mete
yang mempunyai harga jual yang lebih tinggi. Apabila dibandingkan
saat masih berbentuk gelondong mete, biji kacang mete memiliki nilai
yang lebih besar.
b. Menghasilkan produk yang dapat dipasarkan atau digunakan atau
dimakan
Salah satu ciri dari sebuah agroindustri adalah menghasilkan
produk yang dimanfaatkan. Agroindustri pengolahan mete
menghasilkan biji kacang mete yang dapat dipasarkan dan dikonsumsi
oleh konsumen. Setelah melalui proses produksi, gelondong mete yang
awalnya diolah menjadi biji kacang mete yang bisa dikonsumsi.
c. Meningkatkan daya saing
Melalui proses pengolahan kacang mete, pengemasan dalam
berbagai variasi ukuran dan pemasaran yang dilakukan oleh para pelaku
usaha, agroindustri ini bisa meningkatkan daya saing dari produk
gelondong mete, bahkan ada yang bisa menembus pasar ekspor.
d. Menambah keuntungan dan pendapatan produsen
Berdasarkan hasil penghitungan terhadap biaya, penerimaan dan
keuntungan usaha, ternyata agroindustri pengolahan mete ini dapat
memberikan sejumlah pendapatan dan keuntungan bagi para pelaku
usaha jika dibandingkan dengan hanya menjual gelondong mete saja.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
2. Bahan Baku
Bahan baku utama dari agroindustri pengolahan mete adalah
gelondong atau biji mete. Gelondong mete ini merupakan buah sejati dari
jambu mete. Pelaku usaha biasanya memperoleh bahan baku dari
pedagang pengepul gelondong mete di pasar tradisional Kecamatan
Jatisrono. Untuk pelaku usaha yang berskala lebih besar, terkadang bahan
baku diperoleh dari pengepul gelondong mete yang mengantar langsung ke
lokasi usaha.
Gelondong mete tersedia dalam jumlah besar pada saat masa panen.
Musim panen jambu mete adalah sekali setiap tahun, antara bulan Juli-
September. Untuk menjaga ketersedian bahan baku sepanjang tahun,
pelaku usaha pengolahan mete biasanya melakukan pembelian gelondong
mete dalam jumlah besar setiap masa panen kemudian disimpan untuk
persediaan saat bukan masa panen. Kulitas gelondong mete ini akan tetap
baik selama masa penyimpanan asalkan dijemur sampai kadar airnya
serendah mungkin. Gelondong mete yang sudah dijemur dengan kadar air
yang tepat bisa disimpan sampai dengan tiga tahun. Selain dari produksi
jambu mete Kecamatan Jatisrono dan Kabupaten Wonogiri sendiri,
gelondong mete juga diperoleh dari Makasar, Sumbawa, Surabaya, dan
Nusa Tenggara. Oleh karena itu, ketersediaan dan kontinuitas bahan baku
agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono bisa tetap terjaga
sepanjang tahun, sehingga produksi kacang mete juga tetap bisa
dilaksanakan saat bukan masa panen jambu mete. Yang membedakan
adalah harga kacang mete saat masa panen jambu mete lebih rendah
daripada saat bukan musim panen.
Selain gelondong mete, usaha pengolahan mete juga menggunakan
beberapa bahan baku penolong yaitu arang, tepung terigu, dan kapur.
Arang digunakan sebagai bahan bakar tungku yang membantu proses
pengelupasan kulit ari biji kacang mete. Bahan baku penolong kedua yang
digunakan adalah tepung terigu yang berfungsi sebagai lem alami untuk
biji mete yang patah atau terbelah selama proses pengelupasan kulit ari.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Kapur digunakan sebagai bahan mengurangi resiko getah dari gelondong
mete selama proses ceklok, yaitu proses pemisahan gelondong mete dan
biji mete, jika tidak menggunakan kapur ini maka kulit yang terkena getah
akan melepuh. Jumlah penggunaan bahan baku penolong dipengaruhi oleh
jumlah bahan baku utama yang digunakan. Semakin besar jumlah bahan
baku utama, bahan baku penolong yang dibutuhkan juga semakin besar.
3. Pengelolaan Produksi
Pengolahan kacang mete adalah kegiatan mengolah bahan baku yang
berupa gelondong mete menjadi produk kacang mete yang siap dipasarkan.
Dalam proses pengolahan mete ini sangat memerlukan sinar matahari.
Proses produksi dari pengolahan mete yang dilakukan oleh pelaku usaha di
Kecamatan Jatisrono adalah sebagai berikut:
a. Penjemuran Gelondong Mete
Pelaku usaha biasanya membeli gelondong mete yang sudah
dalam keadaan kering. Pengeringan dilakukan oleh para pelaku usaha
hanya jika dirasa gelondong mete yang mereka dapatkan belum cukup
kering. Pengeringan mete gelondongan dapat dilakukan dengan cara
dijemur di bawah panas matahari. Mete gelondongan dihamparkan di
lantai jemur. Jika tidak tersedia lantai jemur, pengeringan biji mete
dapat menggunakan anyaman bambu, tikar, atau tampah. Pengeringan
mete gelondongan dilakukan hingga kadar airnya mencapai 3%.
Pengeringan mete gelondongan selain bertujuan mempertahankan
kualitas, juga bertujuan untuk memudahkan pengupasan.
b. Pengupasaan Kulit Gelondong dan Pemisahan Kacang dari Gelondong
Pengupasan kulit gelondong mete dapat dilakukan secara manual
ataupun secara mekanis. Di Kecamatan Jatisrono pengupasan kulit
gelondong mete dilakukan secara manual. Pengupasan kulit gelondong
dilakukan dengan cara membelah gelondong menggunakan kacip.
Kacip berfungsi untuk membelah gelondong menjadi dua, kemudian
kacang mete yang masih menempel pada gelondong dipisahkan atau
dikeluarkan dengan menggunakan pisau kecil. biasanya para pelaku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
usaha pengolahan mete menggunakan kapur gamping untuk
menghindari getah yang ada pada kulit gelondong mete.
c. Pengeringan Kacang Mete
Kacang mete yang telah dipisahkan dari kulitnya dikeringkan lagi
hingga kadar air mencapai sekitar 3% dari sebelumnya 5%.
Pengeringan kacang mete ini bertujuan untuk memudahkan
pengelupasan kulit ari kacang mete. Di samping itu, pengeringan
kacang mete bertujuan untuk mencegah serangan hama dan jamur serta
meningkatkan daya simpan. Pengeringan tidak boleh terlalu berlebihan
karena dapat menyebabkan kacang mete rapuh sehingga dapat
meningkatkan persentase pecah pada penanganan selanjutnya.
Pengeringan kacang mete di Kecamatan Jatisrono dilakukan dengan
cara penjemuran di bawah sinar matahari yang dipadukan dengan
pengeringan menggunakan tungku dan arang.
Pengeringan kacang mete di bawah sinar matahari dilakukan
sebagai berikut: Kacang mete dihamparkan pada rigen-rigen pengering
yang terbuat dari bambu maupun tampah dari aluminium atau seng.
Untuk mencapai kadar air sekitar 3%, penjemuran kacang mete dapat
dilakukan selama 7-8 jam/hari pada cuaca cerah. Keuntungan
pengeringan kacang mete dengan sinar matahari adalah kacang mete
tidak gosong sehingga menghasilkan mete berkualitas baik.
Pengeringan dengan tungku dilakukan untuk melengkapi
pengeringan dengan sinar matahari dan mempermudah pengupasan
kulit ari. Pengeringan ini dilakukan dengan mengisi tungku yang
terbuat dari tanah dengan arang, kemudian tungku ditutup dengan seng,
selanjutnya dibagian atasnya ditambah lagi seng yang lebih lebar.
Kacang mete dihamparkan pada seng yang paling atas, setelah kacang
mete panas, akan lebih mudah dikupas kulit arinya.
d. Pengupasan Kulit Ari
Sebagian besar pelaku usaha pengolahan mete di Kecamatan
Jatisrono melakukan pengupasan kulit ari dengan terlebih dahulu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
dipanaskan di atas tungku. Pengupasan kulit ari kacang mete dapat
dilakukan dengan menggunakan pisau. Pengupasan kulit ari dengan
pisau dilakukan dengan hati-hati agar tidak melukai kacang mete yang
dapat menurunkan mutu. Pada tahap ini, sebagian pelaku usaha
melakukan pengeleman kacang mete yang terbelah dengan diolesi
tepung terigu kemudian bagian yang terbelah ditempelkan. Kacang
mete yang telah dikupas kulit arinya terkadang masih dijemur lagi jika
diperlukan. Penjemuran ini juga bertujuan untuk meningkatkan daya
simpan.
e. Sortasi Kacang Mete
Kacang mete yang sudah bersih selanjutnya disortasi dan
digrading terlebih dahulu sebelum dijual ke konsumen/pasar. Sortasi
dan grading bertujuan untuk menyeragamkan kacang mete menurut
kualitasnya sehingga memudahkan dalam penentuan harga dan
penjualan di pasar.
Sortasi merupakan kegiatan memisahkan kacang mete yang baik
(utuh putih, utuh agak putih) dengan kacang mete yang kurang baik
(remuk, utuh agak gosong, utuh gosong). Grading adalah kegiatan
mengelompokkan kacang mete yang telah disortasi ke dalam
kelompok-kelompok kelas mutu. Kelas mete yang ada di Kecamatan
Jatisrono adalah kelas super, kelas biasa, dan campur. Kelas super
terdiri dari kacang mete yang utuh putih berukuran besar, kelas biasa
terdiri dari kacang mete yang utuh tetapi tidak terlalu besar, atau utuh
tetapi karena dilem dengan tepung terigu. Sedangkan kelas campur
terdiri dari kacang mete lem dengan kacang mete yang belah. Ciri-ciri
dari masing-masing kelas/grade biji kacang mete di Kecamatan
Jatisrono disajikan pada Tabel di bawah ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Tabel 32. Ciri-ciri Kelas Kacang Mete
No. Jenis Produk Ciri-Ciri Harga/kg
1. Mete Super
(Grade I)
Utuh seluruhnya, tanpa
cacat, tanpa bintik hitam atau
coklat, tua dan kering, warna
putih, tidak tercampur biji
busuk atau kotoran.
Rp 75.000,00
2. Mete Biasa
(Grade II)
Utuh dan utuh karena dilem
(hanya sebagian kecil),
ukuran lebih kecil dari grade
I, tanpa bintik hitam atau
coklat, tua dan kering, warna
putih atau pucat putih, tidak
tercampur biji busuk atau
kotoran.
Rp 65.000,00
3. Mete Campur
(Grade III)
Belah memanjang menjadi
dua dan ada yg dilem, tanpa
bintik hitam atau coklat, tua
dan kering, warna pucat atau
agak putih, tidak tercampur
biji busuk atau kotoran.
Rp 55.000,00
Sumber: Analisis Data Primer, 2012
4. Pengemasan
Kacang mete cepat mengalami kerusakan karena proses enzimatis
atau serangan cendawan dan serangga. Untuk mencegah kerusakan yang
disebabkan oleh faktor di atas, kacang mete perlu dikemas dengan baik.
Tujuan pengemasan selain melindungi kacang mete dari kerusakan
serangan cendawan atau serangga juga bertujuan melindungi kacang mete
dari kerusakan mekanis sewaktu proses pengangkutan atau kerusakan
fisiologis karena pengaruh lingkungan, misalnya suhu dan kelembaban.
Pengemasan sebaiknya rapat dan tidak tembus udara karena dapat
menghambat proses respirasi, proses pembusukan dan gangguan serangga
fisiologis lainnya pada kacang mete. Dengan pengemasan yang baik dan
benar maka kualitas mete dapat dipertahankan dalam waktu lama.
Selain dapat mencegah kerusakan kualitas kacang mete, pengemasan
memudahkan pengangkutan, pemasaran dan meningkatkan daya tarik.
Pelaku usaha pengolahan mete melakukan pengemasan dengan
menggunakan plastik ukuran isi 25 kg untuk produk kacang mete yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
nantinya akan dipasarkan lagi. Juga terdapat kacang mete kemasan 1 kg
untuk konsumen yang mengecer atau membeli dalam jumlah sedikit.
Plastik yang digunakan adalah plastik dengan ketebalan 0,3-0,4 mm untuk
menjaga kualitas produk. Tidak ada teknologi khusus dalam pengemasan
kacang mete, plastik kemasan besar cukup ditali dengan rafia dan kemasan
kecil dengan stapler. Jangka waktu antara proses pengemasan dengan
pendistribusian ke pasar berkisar antara 1-2 hari sehingga kerusakan atau
penurunan mutu bisa diminimalisir sekecil mungkin karena tidak terlalu
lama disimpan di gudang penyimpanan.
5. Pemasaran
Di Kecamatan Jatisrono, pemasaran produk kacang mete relatif
sederhana karena produsen kacang mete di wilayah ini sudah memiliki
distributor tetap di beberapa kota seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya.
Untuk pengusaha dengan skala mikro, produk kacang mete disetorkan ke
pengusaha yang berskala lebih besar atau langsung ke pedagang pengepul
yang biasa disebut ke pabrik. Pelaku usaha yang disebut berskala pabrik
pelaku usaha yang mempunyai tenaga kerja dalam jumlah besar, kurang
lebih 40 orang, dengan produksi kacang mete yang juga besar, dan
mayoritas pelaku usaha mikro menyetorkan kacang mete yang dihasilkan
ke pabrik ini. Selain itu, pengusaha pengolah kacang mete juga
memasarkan kacang mete secara eceran ke pasar-pasar tradisional dan
toko atau swalayan ke beberapa kota seperti di Yogya, Solo, Klaten,
Sukoharjo dan lain sebagainya. Proses pemasaran kacang mete melibatkan
beberapa pihak terkait, antara lain adalah petani, pedagang pengumpul,
pengusaha atau pengolah kacang mete, pedagang besar, industri makanan,
eksportir, pedagang pengecer (pasar dan toko) dan konsumen. Dalam
rangka pemasaran tersebut, pengusaha pada industri pengolahan kacang
mete di Kecamatan Jatisrono telah menjalin kerjasama dengan beberapa
pedagang besar dan industri makanan. Dalam pemasaran mete, produk
yang dipasarkan sebagian besar dalam bentuk kacang mete mentah karena
kacang mete mentah ini lebih awet atau tahan lama dibandingkan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
kacang mete siap konsumsi. Umumnya para pelaku usaha hanya menjual
kacang mete yang siap konsumsi sesuai pesanan untuk mengurangi resiko
kerusakan. Di bawah ini adalah gambar rantai pemasaran kacang mete di
Kecamatan Jatisrono.
6. Sarana Prasarana
Sarana prasarana yang digunakan dalam agroindustri pengolahan
mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah sebagai berikut:
a. Rumah Produksi
Suatu usaha tidak akan berjalan tanpa adanya tempat produksi.
Pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten
Wonogiri rumah produksi ada yang terpisah dari rumah utama
(responden usaha pengolahan mete skala kecil) dan ada pula yang
masih menjadi satu dengan rumah utama. Rumah produksi
dimanfaatkan sebagai tempat melaksanakan proses produksi dan
menyimpan persediaan bahan baku.
Petani
Pedagang
Pengumpul
Pengolah Kacang
Mete
Eksportir
Industri
Makanan
Pedagang Besar
(Grosir)
Pedagang Pengecer
(Pasar dan Toko)
Konsumen
Gambar 3. Rantai Pemasaran Kacang Mete di Kecamatan Jatisrono
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
b. Sarana Transportasi
Sarana transportasi digunakan untuk mendistribusikan produk
kacang mete yang dihasilkan para pelaku usaha pengolahan mete.
Sarana transportasi yang dimiliki berupa mobil untuk responden usaha
pengolahan mete skala kecil karena digunakan untuk mengirim barang
sampai ke luar kota, sisanya sarana transportsi yang digunakan adalah
sepeda motor.
c. Lembaga Keuangan
Modal merupakan faktor produksi yang cukup penting bagi
keberjalanan suatu usaha. Sumber modal, baik itu berasal dari pinjaman
maupun dari modal sendiri menjadi hal yang penting untuk diperhatikan
karena untuk mengetahui akses pelaku usaha terhadap lembaga
keuangan. Sumber modal usaha agroindustri pengolahan mete dapat
dilihat pada Tabel 33.
Tabel 33. Sumber Modal Responden Pelaku Usaha Agroindustri
Pengolahan Mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten
Wonogiri
No. Uraian Jumlah (orang)
Skala Mikro Skala Kecil
1. Sendiri 2 -
2. Pinjaman 5 2
3. Sendiri dan Pinjaman 5 1
Total 12 3
Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Tabel 33 menunjukkan sumber modal pada agroindustri
pengolahan mete. Sumber modal pada responden pelaku usaha
agroindustri pengolahan mete skala kecil adalah modal sendiri
sebanyak 2 orang, pinjaman 5 orang, serta modal sendiri dan pinjaman
sebanyak 5 orang. Sedangkan sumber modal pada responden pelaku
usaha skala kecil adalah sebayak 2 orang dari modal pinjaman serta 1
orang berasal dari modal sendiri dan pinjaman. Berdasarkan Tabel
dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden sudah
memanfaatkan adanya lembaga keuangan untuk menunjang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
keberjalanan usaha mereka. Keberadaan agroindustri pengolahan mete
yang mempunyai potensi dan prospek yang cukup bagus membuat
lembaga keuangan dalam bentuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari
beberapa bank dan bahkan pemerintah melalui PNPM memberikan
kemudahan akses pinjaman modal bagi para pelaku usaha. Pelaku usaha
pun mampu memanfaatkan akses ini untuk menambah permodalan.
d. Kacip Ceklok
Kacip adalah alat yang digunakan untuk mengupas dan
memisahkan gelondong mete dengan biji kacang mete. Alat ini terdiri
dari alat pembelah yang terbuat dari semacam sabit dengan ukuran
besar dan tebal serta landasannya yang terbuat dari kayu. Cara
menggunakan alat ini adalah dengan meletakkan gelondong mete antara
sabit dan landasan, kemudian gelondong dibelah menggunakan
sabitnya. Alat ini memang masih manual, untuk pengupasan gelondong
harus satu persatu.
e. Pisau Kecil
Pisau digunakan untuk memisahkan biji kacang mete yang masih
melekat pada gelondong mete setelah dikupas dengan cara dicukilkan.
Pisau kecil juga digunakan untuk mengupas kulit ari biji mete. Kulit ari
biasanya dikupas dengan dipanaskan terlebih dahulu diatas tungku yang
telah diisi dengan arang panas dan seng yang diletakkan diatas tungku
dan biji mete dihamparkan di atas seng. Biji mete yang telah panas
kemudian dikupas pelan-pelan dengan pisau agar tidak merusak
kualitas kacang mete
f. Timbangan
Timbangan digunakan untuk mengukur berat, baik itu gelondong
mete maupun biji kacang mete yang sudah siap dikemas. Timbangan
yang digunakan dalam agroindustri pengolahan mete Kecamatan
Jatisrono adalah timbangan besar yang bisa untuk menimbang dalam
jumlah besar serta ada pula yang menggunakan timbangan kecil untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
pelaku usaha daalam skala kecil, atau untuk menimbang biji mete untuk
pembelian eceran.
g. Alat Penjemur
Alat ini digunakan untuk menjemur mete, baik yang masih
gelondongan ataupun yang sudah dalam bentuk biji mete. Penjemuran
bertujuan untuk meningkatkan daya simpan, aagar tidak terserang jamur
selama penyimpanan. Alat penjemur ini ada yang terbuat dari anyaman
bambu dan ada pula yang terbuat dari seng.
h. Tungku
Tungku digunakan untuk membantu proses pengupasaan kulit ari.
Tungku yang digunakan biasanya adalah yang terbuat dari tanah.
i. Seng
Seng juga digunakan untuk membantu proses pengupasan kulit ari.
Seng digunakan karena lebih bisa mempertahankan panas dari arang.
C. Kondisi Faktor Internal Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan
Jatisrono Kabupaten Wonogiri
Faktor internal merupakan lingkungan dalam agroindustri yang
mampu dikendalikan oleh pelaku usaha yang mencakup kekuatan dan
kelemahan yang ada di agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono
Kabupaten Wonogiri dalam melakukan pengembangan usahanya.
Pengumpulan data kekuatan dan kelemahan pada agroindustri pengolahan
mete di Kecamatan Jatisrono dilakukan dengan melakukan wawancara
kepada responden yang terdiri dari pelaku usaha, dinas pemerintahan,
pedagang pengepul, dan konsumen akhir. Hasil wawancara terhadap
responden kemudian digunakan sebagai dasar mengidentifikasi dan
menentukan kekuatan dan kelemahan yang ada pada agroindustri pengolahan
mete ini. Berdasarkan hasil identifikasi terhadap faktor internal, didapatkan
kekuatan dan kelemahan bagi agroindustri pengolahan mete sebagai berikut
yang ditampilkan pada Tabel 34.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Tabel 34. Identifikasi Faktor-Faktor Internal pada Pengembangan
Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten
Wonogiri
Faktor Internal Kekuatan (Strength) Kelemahan (Weakness)
Kondisi
Keuangan
- Ketersediaan modal - Pencatatan keuangan
belum rapi
Pemasaran - Adanya variasi produk
dan harga
- Hubungan baik dengan
distributor dan
pelanggan
- Kemasan produk
masih sederhana
Produksi/Operasi - Ketersediaan bahan
baku
- Produk lebih unggul
daripada wilayah lain
- Produk tahan lama
- Pembelian bahan baku
memerlukan biaya
besar
- Belum ada
pengelolaan limbah
Manajemen - Manajemen masih
lemah/kurang
SDM - Pengalaman usaha - Tenaga kerja musiman
Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Tabel 34 merupakan hasil identifikasi terhadap faktor-faktor internal
yang menghasilkan kekuatan dan kelemahan bagi agroindustri pengolahan
mete di Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri. Penjabaran dari masing-
masing kekuatan dan kelemahan adalah sebagai berikut:
1. Kekuatan
Agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten
Wonogiri memiliki beberapa kekuatan yang bisa menjadi keunggulan bagi
perkembangan usahanya mencakup:
a. Ketersediaan modal
Modal merupakan input yang sangat krusial bagi perjalanan suatu
usaha. Oleh karena itu, ketersedian modal menjadi faktor yang perlu
mendapat perhatian. Sebagian besar pelaku usaha pengolahan mete
mendapatkan kemudahan pinjaman modal setiap tahunnya, baik dari
pemerintah maupun dari lembaga keuangan lainnya. Untuk pelaku
usaha berskala mikro, dengan jumlah tenaga kerja 1-3 orang, mayoritas
mendapat bantuan pinjaman modal dari PNPM. Untuk pelaku usaha
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
berskala kecil, memperoleh bantuan pinjaman modal dari KUR (Kredit
Usaha Rakyat) bank pemerintah.
b. Adanya variasi produk dan harga
Variasi produk dan harga yang dimaksud disini berkaitan dengan
produk yang dihasilkan oleh agroindustri pengolahan mete. Ada tiga
jenis kualitas produk yang dihasilkan yaitu kualitas super, biasa, dan
campur, dengan harga di masing-masing kualitas yang juga berbeda-
beda. Hal ini akan memberikan pilihan bagi konsumen untuk membeli
produk kacang mete sesuai kebutuhannya, mengingat harga produk ini
cukup tinggi.
c. Hubungan baik dengan distributor dan pelanggan
Proses pemasaran kacang mete di Kecamatan Jatisrono bisa
dikatakan mudah dan sederhana karena mayoritas pelaku usaha
memiliki distributor ataupun pelanggan yang tetap. Setiap pelaku usaha,
memiliki distributor sendiri untuk memasarkan produk kacang mete
yang dihasilkan. Untuk pelaku usaha skala mikro, produk mereka
disetorkan kepada pengusaha yang lebih besar, pabrik, atau terkadang
ada konsumen akhir yang datang langsung ke lokasi usaha untuk
membeli produk kacang mete. Distributor berasal dari beberapa kota di
Indonesia yakni Surakarta, Semarang, Jakarta, dan Surabaya.
Pemasaran produk kacang mete yang dihasilkan oleh agroindustri
pengolahan mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri meliputi
dalam maupun luar wilayah Kabupaten Wonogiri. Di Kecamatan
Jatisrono, pemasaran produk kacang mete relatif sederhana karena
produsen kacang mete di wilayah ini sudah memiliki distributor tetap di
beberapa kota seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya. Selain itu,
pelaku usaha pengolahan kacang mete juga memasarkan kacang mete
secara eceran ke pasar-pasar tradisional dan toko atau swalayan ke
beberapa kota seperti di Yogya, Solo, Klaten, Sukoharjo dan lain
sebagainya. Proses pemasaran kacang mete melibatkan beberapa pihak
terkait, antara lain adalah petani, pedagang pengumpul, pengusaha atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
pengolah kacang mete, pedagang besar, industri makanan, eksportir,
pedagang pengecer (pasar dan toko) dan konsumen. Dalam rangka
pemasaran tersebut, pengusaha pada industri pengolahan kacang mete
di Kecamatan Jatisrono telah menjalin kerjasama dengan beberapa
pedagang besar dan industri makanan. Dalam pemasaran mete, produk
yang dipasarkan sebagian besar dalam bentuk kacang mete mentah
karena kacang mete mentah ini lebih awet atau tahan lama
dibandingkan dengan kacang mete siap konsumsi. Umumnya para
pelaku usaha hanya menjual kacang mete yang siap konsumsi sesuai
pesanan untuk mengurangi resiko kerusakan
d. Ketersediaan bahan baku
Ketersediaan bahan baku utama yaitu gelondong mete juga
menjadi salah satu kekuatan dalam agroindustri pengolahan mete di
Kecamatan Jatisrono. Pada saat musim panen, gelondong mete tersedia
dalam jumlah yang besar. Para pelaku usaha memperoleh gelondong
mete ini dari pedagang pengepul atau langsung dari petani. Akan tetapi,
sedikit sekali dari pelaku usaha yang memperoleh gelondong mete
langsung dari petani, kebanyakan dari mereka memperoleh gelondong
mete dari pedagang pengepul. Selain dari dalam wilayah Kabupaten
Wonogiri, bahan baku berasal dari Sumbawa, Makasar, dan Sulawesi,
karena daerah-daerah tersebut juga merupakan daerah penghasil jambu
mete di Indonesia.
e. Produk lebih unggul dari wilayah lain
Kabupaten Wonogiri merupakan wilayah yang terkenal akan
produk kacang metenya, terlebih lagi Kecamatan Jatisrono yng
merupakan sentra usaha agroindustri pengolahan mete. Oleh karena itu,
produk kacang mete dari Kecamatan Jatisrono mendapat kesan lebih
baik dalam hal kualitas oleh para konsumen. Salah satu hal yang
menyebabkan keunggulan kualitas ini berasal dari faktor bahan baku.
Gelondong mete yang berasal asli dari petani lokal umumnya berukuran
lebih besar jika dibandingkan dengan gelondong mete yang berasal dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
luar wilayah seperti Makasar dan Sumbawa. Kualitas yang dimaksud
disini lebih mengarah pada ukuran biji mete, karena kualitas biji kacang
mete ditentukan berdasarkan ukurannya.
f. Produk tahan lama
Biji kacang mete bisa bertahan sampai 6 bulan asalkan dengan
penanganan yang tepat. Kunci keberhasilan dalam menjaga kualitas
kacang mete agar memiliki umur simpan yang lama adalah pada proses
pengeringan, baik pada saat masih dalam bentuk gelondong maupun
saat sudah dalam bentuk kacang mete. Proses pengeringan yang baik
dan benar akan mengurangi resiko biji mete terserang jamur.
g. Pengalaman usaha
Pengalaman usaha berhubungan dengan lamanya pelaku usaha
pengolahan mete menjalankan usahanya. Mayoritas pelaku usaha sudah
menjalankan usaha pengolahan metenya lebih dari 10 tahun, bahkan
sudah turun temurun sejak orang tua mereka. Pelaku usaha juga
mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Dinas Perindustrian,
Perdagangan, Koperasi, dan Penanaman Modal untuk meningkatkan
kemampuan dalam usaha pengolahan mete. Pengalaman usaha tentu
saja menjadi kekuatan tersendiri, karena akan membuat produk yang
dihasilkan tidak diragukan lagi kualitasnya.
2. Kelemahan
Lingkungan internal yang menjadi kelemahan bagi agroindustri
pengolahan mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah
sebagai berikut:
a. Pencatatan keuangan belum rapi
Pencatan keuangan secara tidak langsung juga akan berpengaruh
terhadap kemajuan suatu usaha. Pencatatan keuangan berhubungan
dengan kerapian pembukuan keuangan. Jika tidak ada pencatatan
keuangan, pelaku usaha tidak dapat mendokumentasikan arus keuangan
di dalam usaha mereka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
b. Kemasan masih sederhana
Kemasan dan pelabelan akan berhubungan dengan ketertarikan
konsumen dengan produk. Kemasan akan mempengaruhi minat
konsumen untuk membeli produk. Kemasan yang menarik akan
mempengaruhi pilihan konsumen untuk membeli suatu produk.
Pelabelan mempengaruhi keyakinan konsumen akan produk yang akan
dibeli. Sementara itu, produk kacang mete di Kecamatan Jatisrono
belum memiliki kemasan dan pelabelan yang bagus. Selama ini
pelabelan untuk merek biasanya dicetak dengan sablon, menggunakan
nama masing-masing nama pemiliki dari agroindustri pengolahan mete.
Yang paling ditekankan adalah “mete asli Jatisrono” atau terkadang
“mete asli Wonogiri”
c. Pembelian bahan baku memerlukan biaya besar
Tanaman jambu mete merupakan tanaman tahunan yang tidak
bisa dipanen sepanjang tahun. Masa panen dari tanaman jambu mete
adalah bulan Juli-September. Oleh karena selain pada bulan itu, pelaku
usaha akan kesulitan untuk mendapatkan gelondong mete.
Ketidaktersediaan bahan baku ini bisa mengganggu proses produksi.
Untuk mengatasi kesulitan bahan baku ini, pelaku usaha membeli
gelondong mete dalam jumlah besar saat masa panen, dan kemudian
disimpan sendiri, sebagai persediaan saat tidak ada bahan baku
sehingga proses produksi dapat terus berjalan. Dengan kata lain,
untukmenjaga kontinuitas produksi pelaku usaha perlu menyiapkan
biaya atau modal dalam jumlah besar untuk pembelian bahan baku di
masa panen.
d. Belum ada pengelolaan limbah
Limbah utama dari proses pengolahan mete adalah kulit
gelondong mete. Selama ini tidak ada pengelolaan limbah yang
dilakukan oleh pelaku usaha pengolahan mete. Hal ini disebabkan oleh
tidak adanya sumberdaya yang mampu melakukan pengolahan limbah
kulit gelondong mete menjadi lebih bermanfaat. Padahal, limbah ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
bisa diolah menjadi minyak CNSL. Limbah yang dihasilkan dijual
kepada pengepul kulit gelondong mete, sehingga bisa menjadi
tambahan penerimaan bagi pelaku usaha pengolahan mete.
e. Manajemen masih lemah/kurang
Manajemen merupakan proses pengaturan perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengontrolan (POAC) suatu usaha,
termasuk agroindustri pengolahan mete. Kegiatan manajemen di
agroindustri pengolahan mete dapat dikatakan masih lemah karena
belum ada penjadwalan yang pasti untuk setiap kegiatan pada
pengolahan mete. Banyak kegiatan masih dilaksanakan sesuai
kelonggaran waktu tenaga kerja. Misalnya, jika tenaga kerja yang
berasal dari luar lokasi, harus membantu tetangga yang punya hajatan,
maka produksi dihentikan sementara waktu sampai tenaga kerja bisa
bekerja kembali, demikian pula jika mendatangi undangan hajatan dan
sebagainya. Hal ini tentu saja sedikit banyak dapat mempengaruhi
proses produksi.
f. Tenaga kerja musiman
Tenaga kerja merupakan hal penting dalam suatu usaha, karena
tanpa adanya tenaga kerja produksi tidak akan berjalan. Pada
agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono, tenaga kerja
diupah dengan sistem borongan, yaitu seberapa banyak pekerjaan yang
dapat ia selesaikan untuk jenis pekerjaan tertentu, sehingga setiap
tenaga kerja sangat mungkin menerima upah yang berbeda-beda sesuai
ketrampilan yang ia miliki. Ketrampilan ini berkaitan dengan lamanya
seorang tenaga bergelut dengan usaha pengolahan mete. Tenaga kerja
pada agroindustri pengolahan mete seringkali tidak tersedia sepanjang
waktu. Kebanyakan tenaga kerja biasanya berasal dari luar desa (bukan
merupakan sentra pengolahan mete), yang mayoritas
bermatapencaharian utama sebagai petani atau buruh tani di daerah
masing-masing, yang mengisi waktu luang antara penanaman-panen
untuk bekerja di agroindustri pengolahan mete. Sehingga, jika masuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
pada masa panen dan penanaman tenaga kerja tersedia dalam jumlah
sangat sedikit. Mengatasi hal ini, untuk jenis pekerjaan kletek biasanya
tidak dikerjakan di lokasi usaha, tetapi dirumah para tenaga kerja, yang
apabila sudah selesai bisa diserahkan kembali.
Berdasarkan uraian tentang keadaan faktor internal pada agroindustri
pengolahan mete di atas, maka akan diperoleh pembobotan dan skor untuk
masing-masing kekuatan dan kelemahan pada agroindustri melalui Matriks
Internal Factor Evaluation (IFE). Penentuan nilai bobot dan rating dilakukan
oleh responden yang terdiri dari pelaku usaha, dinas pemerintahan, pedagang
pengepul, dan konsumen akhir. Nilai bobot dan rating yang diberikan oleh
masing-masing responden kemudian dirata-rata oleh peneliti. Total skor dari
matriks ini digunakan untuk mengetahui respon pelaku usaha terhadap
kekuatan dan kelemahan yang dimiliki usahanya. Matriks Internal Factor
Evaluation (IFE) untuk agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono
Kabupaten Wonogiri disajikan pada Tabel 35 di bawah ini.
Tabel 35. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) pada Agroindustri
Pengolahan Mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri
Faktor Strategis Internal Bobot Rating Skor
Kekuatan
1. Ketersediaan modal
2. Adanya variasi produk dan harga
3. Hubungan baik dengan distributor dan
pelanggan
4. Ketersediaan bahan baku
5. Produk lebih unggul dari wilayah lain
6. Produk tahan lama
7. Pengalaman usaha
Subtotal
0,1000
0,1000
0,1250
0,0625
0,0625
0,0500
0,0750
0,5750
4
4
4
3
3
3
3
0,4000
0,4000
0,5000
0,1875
0,1875
0,1500
0,2250
Kelemahan
1. Pencatatan keuangan belum rapi
2. Kemasan masih sederhana
3. Pembelian bahan baku memerlukan biaya
besar
4. Belum ada pengelolaan limbah
5. Manajemen masih kurang/lemah
6. Tenaga kerja musiman
0,0750
0,0875
0,0500
0,0625
0,0875
0,0625
2
1
1
2
1
1
0,1500
0,0875
0,0500
0,1250
0,0875
0,0625
Total 1,0000 2,6125
Sumber: Analisis Data Primer, 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
Tabel 35 merupakan hasil pemberian bobot dan rating pada matriks IFE
berdasarkan faktor-faktor internal yang ada pada agroindustri pengolahan
mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Skor merupakan perkalian
antara bobot dan rating. Berdasarkan matriks IFE di atas diketahui bahwa
kekuatan utama pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono
Kabupaten Wonogiri adalah memiliki distributor/pelanggan tetap, yang
ditetapkan berdasarkan nilai skor tertinggi. Begitu pula dengan kelemahan
utama pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten
Wonogiri, yaitu pencatatan keuangan yang belum rapi.
Nilai kumulatif/total matriks IFE pada pengembangan agroindustri
pengolahan mete menurut Tabel 35 adalah 2,6125. Menurut David (2009)
nilai tersebut mengidentifikasikan bahwa agroindustri pengolahan mete
memiliki posisi internal yang kuat (lebih dari 2,5), sehingga dapat dikatakan
pelaku usaha sudah mampu memanfaatkan kekuatan untuk mengatasi
kelemahan dalam pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan
Jatisrono Kabupaten Wonogiri.
D. Kondisi Faktor Eksternal Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan
Jatisrono Kabupaten Wonogiri
Lingkungan eksternal merupakan lingkungan luar yang tidak mampu
dikendalikan sendiri yang mencakup peluang dan ancaman yang ada di
agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri
dalam melakukan pengembangan usahanya. Pengumpulan data peluang dan
ancaman pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono
dilakukan dengan melakukan wawancara kepada responden yang terdiri dari
pelaku usaha, dinas pemerintahan, pedagang pengepul, dan konsumen akhir.
Hasil wawancara terhadap responden kemudian digunakan sebagai dasar
mengidentifikasi dan menentukan peluang dan ancaman yang ada pada
agroindustri pengolahan mete ini. Berdasarkan hasil identifikasi terhadap
faktor eksternal, didapatkan peluang dan ancaman bagi agroindustri
pengolahan mete sebagai berikut yang ditampilkan pada Tabel 36.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
Tabel 36. Identifikasi Faktor-Faktor Eksternal pada Pengembangan
Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono
Kabupaten Wonogiri
Faktor Eksternal Peluang (Opportunity) Ancaman (Threats) Kondisi Perekonomian - Permintaan produk
fluktuatif
Sosial dan Budaya - Kondisi sosial budaya
mendukung karena
merupakan sentra
usaha
- Produk banyak
dikonsumsi untuk
acara-acara khusus
- Produk oleh-oleh khas
Pemerintah - Bantuan peralatan dari
pemerintah
- Program pemerintah
belum kontinu
- Belum adanya sinergi
antara pemerintah
kabupaten dan
kecamatan
Teknologi - Teknologi
konvensional
Persaingan - Kualitas produk
pesaing lebih rendah
Keadaan Alam - Produksi tergantung
kondisi cuaca
Sumber: Analisis Data Primer, 2012
1. Peluang
Peluang yang dimiliki agroindustri pengolahan mete Kecamatan
Jatisrono dalam mengembangkan usahanya adalah sebagai berikut:
a. Kondisi sosial budaya mendukung karena merupakan sentra usaha
Jatisrono adalah kecamatan yang terkenal akan metenya.
Kecamatan Jatisrono merupakan wilayah sentra pengolahan mete di
Kabupaten Wonogiri sejak ditetapkan oleh Dinas Perindustrian,
Perdagangan, Koperasi, dan Penanaman Modal Kabupaten Wonogiri
pada tahun 2006. Kecamatan Jatisrono bisa dikatakan demikian karena,
dari total jumlah pelaku usaha pengolahan mete yang ada di Kabupaten
Wonogiri sebagian besar, kurang lebih tigaperempatnya, adalah di
Kecamatan Jatisrono. Hal ini juga peneliti jumpai, di desa tertentu yang
hampir setiap rumah tangga bermatapencaharian sebagai pengolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
mete, baik itu skala mikro ataupun kecil. Lingkungan yang merupakan
sentra usaha ini merupakan peluang tersendiri bagi pengembangan
agroindustri pengolahan mete, karena akan menumbuhkan suasana
persaingan usaha yang sehat bagi para pelaku usaha untuk
menghasilkan produk biji kacang mete dengan kualitas terbaik agar bisa
menjadi pilihan konsumen.
b. Produk banyak dikonsumsi untuk acara-acara khusus
Produk kacang mete merupakan sajian atau snack khas yang
hampir selalu ada untuk acara-acara khusus di Kecamatan Jatisrono dan
Kabupaten Wonogiri, misalnya hajatan ataupun arisan ataupun acara
keluarga lainnya. Penggunaan kacang mete juga dianggap bisa
menunjukkan prestige bagi keluarga yang mengadakan acara, karena
harga kacang mete ini jauh di atas kacang-kacang yang lain (kacang
bawang, kacang telur) dan belum ada produk makanan ringan sejenis
yang bisa mensubstitusi kacang ini. Oleh karena itu, pada bulan-bulan
tertentu, terutama pada musim hajatan dan lebaran, permintaan kacang
mete meningkat. Hal ini tentu saja menjadi peluang tersendiri bagi para
pelaku usaha pengolahan mete, agar juga meningkatkan penawaran
pada bulan-bulan tersebut.
c. Produk merupakan oleh-oleh khas
Ciri lain dari produk kacang mete adalah produk ini merupakan
oleh-oleh khas Kabupaten Wonogiri, terutama produk kacang mete
yang berasal dari Kecamatan Jatisrono. Hal ini tentu akan sangat
mempengaruhi permintaan dan pemasaran dari produk kacang mete.
Banyak dari penduduk Kabupaten Wonogiri merupakan perantau, yang
biasanya akan membawa oleh-oleh jika kembali ke perantauan, dan
diantaranya memilih untuk membawa kacang mete sebagai oleh-oleh.
Kacang mete juga sering dibeli oleh konsumen dari dalam wilayah,
yang kemudian ditujukan untuk oleh-oleh sanak famili yang berkunjung
ke Kabupaten Wonogiri atau ketika berkunjung ke sanak famili dan
kerabat di luar Kabupaten Wonogiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
d. Bantuan peralatan dan fasilitas dari pemerintah
Pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh Dinas Perindustrian,
Perdagangan, Koperasi, dan Penanaman Modal Kabupaten Wonogiri
juga memberikan perhatian terhadap pengembangan agroindustri
pengolahan mete. Pemerintah melihat bahwa agroindustri pengolahan
mete di Kecamatan memiliki peluang untuk terus dikembangkan dan
menjadi ciri khas bagi Kabupaten Wonogiri. Oleh karena itu
pemerintah menetapkan Kecamatan Jatisrono sebagai sentra usaha
pengolahan mete dan memberikan bantuan peralatan berupa satu unit
kacip ceklok untuk setiap pelaku usaha pengolahan mete secara bergilir
dan mengadakan pelatihan mengenai pengolahan mete dan
tekonologinya. Pemberian bantuan peralatan ini diberikan secara
bergilir bertujuan agar bantuan bisa diberikaan secara merata kepada
seluruh pelaku usaha, mengingat banyaknya jumlah pelaku usaha
pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono, yaitu berjumlah sekitar 580
usaha.
Ada pula bentuk perhatian lain yang diberikan oleh pemerintah
yang juga berperan dalam kesinambungan agroindustri pengolahan
mete terutama yang termasuk dalam usaha berskala mikro dalam bentuk
pinjaman modal dengan bunga ringan yang berasal dari dana PNPM.
Pinjaman modal ini sangat membantu operasional pelaku usaha dalam
menjalankan usahanya, terutama untuk membeli bahan baku dalam
jumlah besar sebagai persediaan menghadapi kekurangan bahan baku
saat bukan masa panen jambu mete.
e. Kualitas produk pesaing lebih rendah
Posisi pesaing, selain bisa menjadi ancaman bagi suatu usaha di
lain pihak juga bisa menjadi peluang jika pengusaha mampu
menganalisis keberadaan dan posisi pesaing dengan baik. Pesaing
menjadi ancaman jika posisi tawarnya lebih kuat dari usaha yang kita
miliki, demikian pula sebaliknya menjadi peluang jika posisi tawarnya
lebih rendah/lemah apabila dibandingkan dengan usaha yang kita
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
miliki. Begitu pula pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan
Jatisrono, hampir setiap responden selalu memperhatikan kondisi usaha
pesaing baik itu mengenai kualitas produk yang dihasilkan maupun
pemasarannya, bukan untuk menjatuhkan pihak pesaing, tetapi untuk
senantiasa memperbaiki usaha yang dijalankannya. Mereka tidak
menganggap pesaing sebagai “musuh” tetapi lebih pada saudara, dan
ada diantaranya benar-benar saudara mereka sendiri. Produk kacang
mete yang dihasilkan oleh pesaing umumnya memiliki kualitas yang
lebih rendah dibandingkan pelaku usaha di wilayah Kecamatan
Jatisrono. Perbedaan kualitas produk ini lebih berkaitan dengan
pengalaman usaha dalam menggeluti usaha pengolahan mete.
2. Ancaman
a. Permintaan produk fluktuatif
Kacang mete bukan merupakan produk yang dikonsumsi sehari-
hari, tetapi hanya pada hari-hari tertentu saja. Karena hal inilah,
permintaan poduk kacang mete ini sangat fluktuatif. Permintaan
biasanya akan tinggi pada waktu lebaran dan atau musim hajatan.
Permintaan yang fluktuatif ini tentunya juga akan berpengaruh pada
harga produk. Harga biasanya akan naik/tinggi pada saat musim hajatan
dan lebaran mencapai Rp. 90.000,00 untuk mete super, dimana saat itu
permintaan juga meningkat. Di luar itu harga kacang mete relaif normal
berkisar antara Rp. 60.000,00 sampai Rp. 70.000,00 per kilogram untuk
mete kualitas super.
b. Program pemerintah belum kontinu
Program yang dilaksanakan pemerintah dalam rangka usaha
mengembangkan agroindustri pengolahan mete berupa pemberian
bantuan kacip ceklok dan pengadaan pelatihan. Pelatihan terakhir
dilakukan antara 3-4 tahun yang lalu dengan tidak semua pelaku usaha
mengikuti program ini. Akan tetapi, program ini dinilai belum efektif
oleh para pelaku usaha karena tidak ada follow up dan pendampingan
lebih lanjut dalam menjalankan usaha ini. Pun tentang menjadikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
Kecamatan Jatisrono sebagai sentra usaha, terkesan hanya formalitas
saja karena peneliti menjumpai tidak adanya up date data mengenai
usaha pengolahan mete ini. Data jumlah pelaku usaha yang tersedia
sampai saat peneliti melakukan penelitian adalah tahun 2007. Padahal
tentunya seharusnya ada pendataan lagi untuk mengetahui perubahan
jumlah pelaku usaha.
c. Belum adanya sinergi antara pemerintah kabupaten dan kecamatan
Perkembangan suatu usaha tentu saja dipengaruhi oleh
pemerintah setempat, baik dinas terkait, dalam hal ini adalah Dinas
Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM Kabupaten Wonogiri
maupun pemerintah wilayah setempat, yakni pemerintah Kecamatan
Jatisrono. Berdasarkan hasil pengamatan, kedua belah pihak terkesan
berjalan sendiri-sendiri dalam pengelolaan agroindustri pengolahan
mete di Kecamatan Jatisrono, bahkan dari pemerintah Kecamatan
Jatisrono terkesan kurang peduli terhadap usaha ini. Padahal,
agroindustri ini merupakan salah satu lapangan pekerjaan yang
menopang kehidupan masyarakat Kecamatan Jatisrono.
d. Teknologi konvensional
Proses produksi pengolahan mete sampai saat ini masih
tergantung pada tenaga manusia, karena belum ada mesin yang tersedia
untuk menggantikan tenaga manusia. Selama ini, memang sudah ada
wacana dan penelitian yang dilakukan oleh beberapa universitas untuk
menciptakan mesin yang membantu proses produksi pengolahan mete,
tetapi belum ada realisasinya untuk para pelaku usaha di Kecamatan
Jatisrono, dan kalaupun ada, peneliti menilai harganya akan sangat
mahal dan belum tentu bisa terjangkau. Di samping itu, para pelaku
usaha menilai, dengan teknologi konvensional ini, akan lebih menjaga
kualitas dari produk yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat dari setiap
tahap dari proses produksi yang membutuhkan kehati-hatian dan
ketelitiaan dari masing-masing agar tidak menurunkan kualitas produk.
Akan tetapi, tetap saja keberadaan teknologi baru akan diperlukan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
untuk mempermudah dan mengurangi waktu proses produksi sertaa
mengurangi biaya produksi, terutama untuk tenaga kerja.
e. Proses produksi tergantung cuaca
Proses produksi dalam agroindustri pengolahan mete sangat
dipengaruhi oleh cuaca, terutama untuk proses penjemuran. Penjemuran
sangat diperlukan untuk menjaga kualitas, baik itu gelondong mete
yang disimpan untuk persediaan selama tidak ada bahan baku, maupun
untuk produk kacang mete yang siap dipasarkan. Penjemuran di sini
berkaitan dengan daya simpan. Penjemuran yang mencapai kadar air
yang tepat akan membuat gelondong mete masih dalam kondisi bagus
sampai dengan tiga tahun, dan kacang mete sampai 6 bulan, karena
kadar air yang tepat akan mengurangi resiko mete terserang jamur.
Berdasarkan uraian tentang keadaan faktor eksternal pada agroindustri
pengolahan mete di atas, maka akan diperoleh pembobotan dan skor untuk
masing-masing peluang dan ancaman pada agroindustri melalui Matriks
External Factor Evaluation (EFE). Penentuan nilai bobot dan rating
dilakukan oleh responden yang terdiri dari pelaku usaha, dinas pemerintahan,
pedagang pengepul, dan konsumen akhir. Nilai bobot dan rating yang
diberikan oleh masing-masing responden kemudian dirata-rata oleh peneliti.
Total skor dari matriks ini digunakan untuk mengetahui respon pelaku usaha
terhadap kekuatan dan kelemahan yang dimiliki usahanya. Matriks External
Factor Evaluation (EFE) untuk agroindustri pengolahan mete di Kecamatan
Jatisrono Kabupaten Wonogiri disajikan pada Tabel 37 di bawah ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
Tabel 37. Matriks External Factor Evaluation (EFE) pada Agroindustri
Pengolahan Mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri
Faktor Strategis Eksternal Bobot Rating Skor
Peluang
1. Kondisi sosial mendukung karena
merupakan sentra usaha
2. Produk banyak dikonsumsi untuk acara-
acara khusus
3. Poduk merupakan oleh-oleh khas
4. Bantuan peralatan dari pemerintah
5. Kelemahan dari produk pesaing
Subtotal
0,0875
0,1375
0,1750
0,0625
0,0625
0,5125
4
3
4
3
3
0,3500
0,4125
0,7000
0,1875
0,1875
Ancaman
1. Permintaan produk fluktuatif
2. Program pemerintah belum kontinu
3. Belum adanya sinergi antara pemerintah
kabupaten dan kecamatan
4. Teknologi konvensional
5. Proses produksi tergantung cuaca
0,1375
0,0625
0,1000
0,0625
0,1125
1
2
2
2
1
0,1375
0,1250
0,2000
0,1250
0,1125
Total 1,00 2,5375
Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Tabel 37 di atas merupakan hasil pemberian bobot dan rating pada
matriks EFE berdasarkan faktor-faktor eksternal yang ada pada agroindustri
pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Skor
merupakan perkalian antara bobot dan rating. Berdasarkan matriks EFE di
atas diketahui bahwa peluang utama pada agroindustri pengolahan mete di
Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah produk merupakan oleh-
oleh khas, yang ditetapkan berdasarkan nilai skor tertinggi. Begitu pula
dengan kelemahan utama pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan
Jatisrono Kabupaten Wonogiri, yaitu teknologi konvensional.
Nilai kumulatif/total matriks EFE pada pengembangan agroindustri
pengolahan mete menurut Tabel 37 adalah 2,5375. Menurut David (2009)
nilai tersebut mengidentifikasikan bahwa agroindustri pengolahan mete
memiliki posisi eksternal yang cukup kuat (lebih dari 2,5), hal tersebut
menunjukkan bahwa pelaku usaha pengolahan mete dapat merespon secara
baik peluang dan ancaman yang ada.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
E. Aternatif Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete di
Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri
Untuk merumuskan alternatif strategi pengembangan agroindustri
pengolahan mete di Kabupaten Wonogiri digunakan analisis matriks SWOT.
Matriks SWOT dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan
ancaman dari faktor eksternal yang dihadapi oleh suatu usaha dapat
disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Analisis SWOT
digambarkan ke dalam matriks SWOT dengan 4 kemungkinan alternatif
strategi, yaitu stategi kekuatan-peluang (S-O strategies), strategi kelemahan-
peluang (W-O strategies), strategi kekuatan-ancaman (S-T strategies), dan
strategi kelemahan-ancaman (W-T strategies). Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Tabel 38 berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Tabel 38. Alternatif Strategi Matriks SWOT dalam Pengembangan
Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono
Kabupaten Wonogiri Strengths (S)
1. Ketersediaan modal
2. Adanya variasi produk
dan harga
3. Hubungan baik dengan
distributor dan pelanggan
4. Ketersediaan bahan baku
5. Produk lebih unggul dari
wilayah lain
6. Produk tahan lama
7. Pengalaman usaha
Weakness (W)
1. Pencatatan keuangan
belum rapi
2. Kemasan masih sederhana
3. Pembelian bahan baku
memerlukan biaya besar
4. Belum ada pengelolaan
limbah
5. Manajemen masih
lemah/kurang
6. Tenaga kerja musiman
Opportunities (O)
1. Kondisi sosial budaya
mendukung karena
merupakan sentra
usaha
2. Produk banyak
dikonsumsi untuk
acara-acara khusus
3. Produk merupakan
oleh-oleh khas
4. Bantuan peralatan dari
pemerintah
5. Kualitas produk
pesaing lebih rendah
Strategi S-O
1. Memperkuat hubungan
dengan distributor dan
pelanggan untuk
meningkatkan pasar
(S2,S3,S5,O1,O2,O3,O5)
2. Mengoptimalkan
penggunaan fasilitas dan
bantuan pinjaman modal
untuk meningkatkan
kuantitas dan kualitas
produk
(S1,S4,S5,S6,S7,O1,O4,O
5)
Strategi W-O
1. Memperkuat hubungan
dengan pemasok bahan
baku dan tenaga kerja
untuk menjaga
keberjalanan proses
produksi (W3,W5,W6,
O1,O2,O3)
2. Meningkatkan
kemampuan manajemen;
mengupayakan kemasan
yang lebih marketable
(W1,W2,W5, O1,O2,O3)
Threats (T)
1. Permintaan produk
fluktuatif
2. Program pemerintah
belum kontinu
3. Belum adanya sinergi
antara pemerintah
kabupaten dan
kecamatan
4. Teknologi
konvensional
5. Produksi tergantung
kondisi cuaca
Strategi S-T
1. Menciptakan kesinergisan
antara pelaku usaha,
pemerintah kabupaten, dan
pemerintah kecamatan (S1,
S7, T2, T4)
2. Meningkatkan kualitas
produk yang dihasilkan
(S2,S3,S4,S5,S6,
T1,T3,T5)
Strategi W-T
1. Mengadakan upaya
pengelolaan limbah sendiri
dan pengenalan teknologi
baru dengan bantuan
penyuluhan dari
pemerintah (W4, T2, T3,
T4)
2. Meningkatkan jaringan
pemasaran (W2,W3, T1,
T5)
Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Berdasarkan Tabel matriks SWOT, alternatif strategi yang diperoleh dan
dapat diterapkan pada agroindustri pengolahan mete adalah sebagai berikut:
1. Strategi S-O, yaitu strategi yang menggunakan kekuatan untuk
memanfaatkan peluang
a. Memperkuat hubungan dengan distributor dan pelanggan untuk
meningkatkan pasar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
b. Mengoptimalkan penggunaan fasilitas dan bantuan pinjaman modal
untuk meningkatkan kuantitas dan kalitas produk.
2. Strategi W-O, yaitu strategi yang meminimalkan kelemahan untuk
memanfaatkan peluang
a. Memperkuat hubungan dengan pemasok bahan baku dan tenaga kerja
untuk menjaga keberjalanan proses produksi
b. Meningkatkan kemampuan manajemen dan mengupayakan kemasan
yang lebih marketable.
3. Strategi S-T, yaitu strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi
ancaman
a. Menciptakan kesinergisan antara pelaku usaha, pemerintah kabupaten,
dan pemerintah kecamatan.
b. Meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan
4. Strategi W-T, yaitu strategi yang meminimalkan kelemahan dan
menghindari ancaman
a. Mengadakan upaya pengelolaan limbah sendiri dan pengenalan
teknologi baru dengan bantuan penyuluhan dari pemerintah
b. Meningkatkan jaringan pemasaran.
F. Prioritas Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete di
Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri
Untuk menentukan prioritas strategi dalam industri pengolahan mete
di Kabupaten Wonogiri menggunakan analisis Matriks QSP. Matriks QSP
digunakan untuk memilih strategi terbaik yang paling cocok dengan
lingkungan eksternal dan internal. Alternatif strategi yang memiliki nilai total
daya tarik terbesar merupakan strategi yang paling baik. Pemberian bobot
dan nilai dalam agroindustri pengolahan mete dapat dilihat pada Tabel 39 di
bawah ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
Berdasarkan Tabel 39 dapat dilihat total nilai daya tarik dari masing-
masing strategi yang dihasilkan sebagai berikut
1. Memperkuat hubungan dengan distributor dan pelanggan untuk
meningkatkan pasar (5,075)
Distributor dan pelanggan merupakan mitra yang sangat penting
bagi pemasaran produk kacang mete. Oleh karena itu hubungan yang
sudah terjalin antara pelaku usaha, distributor dan pelanggan harus tetap
dijaga dan diperkuat lagi misalnya dengan memberikan bonus ataupun
potongan harga, dan yang paling utama adalah menjaga kualitas agar
distributor dan pelanggan tidak berpindah ke tempat lain.
2. Mengoptimalkan penggunaan fasilitas dan bantuan pinjaman modal untuk
meningkatkan kuantitas dan kualitas produk (5,975)
Bantuan fasilitas dari pemerintah, yang berupa kacip ceklok dan
terutama kemudahan bantuan pinjaman modal merupakan suatu kekuatan
yang penting bagi para pelaku usaha dalam melaksanakan proses produksi.
Oleh karena itu, pelaku usaha perlu mengoptimalkan kesempatan ini
sebaik-baiknya, mengingat prospek usaha ini cukup bagus dalam
memberikan nilai tambah dan sumber penghasilan (berdasarkan hasil
analisis usaha) kepada para pelaku usaha, sehingga pelaku usaha tidak
perlu khawatir jika tidak bisa membayar cicilan.
3. Memperkuat hubungan dengan pemasok bahan baku dan tenaga kerja
untuk menjaga keberjalanan proses produksi (4,475)
Bahan baku merupakan hal yang paling penting dalam suatu
agroindustri, sehingga demi kelancaran kegiatan produksi dapat terus
berlangsung maka agroindustri pengolahan mete harus memperkuat
hubungan dengan pemasok bahan baku. Hal ini bisa dilakukan dengan
memastikan pembayaran yang tepat waktu. Kuatnya hubungan antara
pelaku usaha dan pemasok dapat memastikan pemasok akan terus
memasok bahan baku pada masa panen selanjutnya. Begitu pula dengan
tenaga kerja, mengingat pada agroindustri pengolahan mete ini tenaga
kerja bersifat musiman, tidak tersedia sepanjang waktu dan ada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
kemungkinan tenaga kerja akan berpindah ke tempat lain. Hubungan
denga tenaga kerja dapat diperkuat dengan memberikan bonus atau
tunjangan hari raya.
4. Meningkatkan kemampuan manajemen dan mengupayakan kemasan yang
lebih marketable dan pelabelan produk (5,125)
Kemampuan manajemen merupakan salah satu keahlian yang harus
dimiliki oleh para pelaku usaha, walaupun bukan faktor utama dalam
pengembangan agroindustri. Dengan kemampuan manajemen yang baik,
pelaku usaha dapat mengelola usahanya secara rapi, baik secara
administrasi maupun secara teknis. Salah satu cara peningkatan
kemampuan manajemen adalah dengan mengupayakan kemasan yang
lebih marketable dan pelabelan produk. Kemasan dan pelabelan yang baik
akan lebih memperkuat keyakinan konsumen terhadap produk yang akan
dibeli, apalagi kalau dilengkapi dengan surat ijin usaha ataupun sertifikasi.
Dalam usaha ini, juga diperlukan perbaikan dalam hal perencanaan
produksi, sehingga tidak ada kejadian kehabisan bahan baku saat musim
panen masih lama atau sebaliknya, bahan baku masih sangat melimpah
padahal musim panen sudah dekat.
5. Meningkatkan kesinergisan antara pelaku usaha, pemerintah kabupaten,
dan pemerintah kecamatan (4,3375)
Sinergisitas antara pelaku usaha, pemerintah kabupaten, dan
pemerintah kecamatan tidak dipungkiri merupakan faktor yang cukup
penting dalam pengembangan suatu usaha, karena program-program yang
akan dijalankan menjadi lebih tepat sasaran. Dengan hubungan yang baik,
juga akan mempermudah akses fasilitas dan permodalan. Begitu pula
antara pemerintah kabupaten dan kecamatan, perlu ada komunikasi yang
lebih efektif dalam rangka pengelolaan dan pengembangan agroindustri
pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri ini.
6. Meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan (6,1625)
Kualitas produk merupakan salah satu pertimbangan yang dipakai
oleh konsumen dalam mengkonsumsi atau membeli suaatu produk. Oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
karena itu untuk menjaga loyalitas konsumen maupun distributor terhadap
produk, kualitas menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Upaya
peningkatan kualitas produk dapat dilakukan dengan menyeleksi bahan
baku yang digunakan serta menetapkan standard dalam proses produksi.
7. Mengadakan upaya pengelolaan limbah sendiri dan pengenalan teknologi
baru melalui bantuan penyuluhan dari pemerintah (5,9375)
Salah satu tujuan dari upaya pengelolaan limbah sendiri adalah
untuk meningkatkan penerimaan yang diterima oleh pelaku usaha. Tentu
saja hal ini memerlukan sumber daya manusia dan teknologi yang
memadai. Begitu juga dengan pengenalan teknologi baru dalam
pengolahan mete, diharapkan dapat menarik minat pelaku usaha dan dapat
mengurangi biaya produksi. Untuk mewujudkan hal ini, sangat diperlukan
bantuan dari dinas terkait sebagai penggerak dan penentu kebijakan.
Kedua hal tersebut dapat diwujudkan melalui penyuluhan-penyuluhan
yang dilaksanakan secara berkesinambungan.
8. Meningkatkan jaringan pemasaran (5,8875)
Jaringan pemasaran dapat diperkuat dengan menjaga hubungan dan
loyalitas dari pengepul dan pelanggan serta meningkatkan kualitas produk,
sehingga diharapkan pengepul dan pelanggan dapat membawa jaringan
pemasaran baru bagi pelaku usaha. Loyalitas dan kepuasan pedagang
pengepul pelanggan akan membawa manfaat tersendiri bagi pelaku usaha.
Biasanya, jika seseorang puas akan pelayanan ataupun kualitas produk
yang dibelinya, dia akan menceritakannya kepada orang-orang di
sekitarnya. Hal ini juga akan berlaku dalam usaha pengolahan mete ini,
jika kualitas produk terus dijaga, diharapkan akan menimbulkan kepuasan
bagi yang membelinya, dan selanjutnya akan membawa jaringan
pemasaran baru bagi usaha.
Prioritas strategi ditentukan berdasarkan jumlah nilai daya tarik yang
tertinggi. Dari hasil perhitungan matriks QSP dengan mengalikan bobot
masing-masing faktor dengan nilai daya tarik dihasilkan total nilai daya tarik
yang terpilih adalah strategi ke 6 yaitu meningkatkan kualitas produk yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
dihasilkan oleh agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono
Kabupaten Wonogiri karena memiliki jumlah total nilai daya tarik yang
tertinggi.
Secara umum, berdasarkan hasil observasi dan pembahasan mengenai
agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri,
peneliti mendapatkan gambaran umum agroindustri ini. Usaha ini merupakan
usaha yang sebagian besar berskala mikro dengan keterbatasan akses terhadap
berbagai hal. Kelemahan dalam hal manajemen, baik dalam hal perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan produksi, serta evaluasi terhadap yang dihasilkan
dan pasca produksi, menyebabkan pelaku usaha sulit mendapatkan akses kepada
lembaga keuangan sehingga modal yang dimiliki untuk usaha ini menjadi
terbatas. Selama ini pinjaman modal berasal dari PNPM yang jumlahnya tidak
besar, berkisar antara Rp 2.000.000,00-Rp 3.000.000,00 per tahunnya, yang tidak
bisa untuk membeli bahan baku dalam jumlah besar saat masa panen jambu mete.
Keadaan modal pelaku usaha berskala mikro ini akan sangat jauh berbeda
apabila dibandingkan dengan usaha berskala kecil yang dapat mengakses modal
ke bank hingga puluhan juta per tahunnya, sehingga bisa menampung bahan baku
dalam jumlah besar, produk yang dihasilkan akhirnya juga lebih banyak.
Keterbatasan modal juga akan berpengaruh terhadap teknologi yang digunakan
pelaku usaha dalam proses produksi pengolahan mete. Teknologi yang digunakan
akan berpengaruh terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Mayoritas pelaku
usaha berskala mikro, tidak memiliki rumah produksi tersendiri untuk pengolahan
mete sehingga tidak memiliki lokasi khusus untuk penjemuran kacang mete.
Berbeda dengan pelaku usaha berskala kecil dan pabrik yang sudah memiliki
lokasi khusus untuk pengolahan mete, bahkan pengeringannnya pun sudah
menggunakan oven. Hal ini sedikit banyak akan memberi jarak terhadap kualitas
produk pelaku usaha berskala mikro yang tidak dapat mencapai standar kualitas
kacang mete seperti yang bisa dicapai pelaku usaha skala kecil dan pabrik.
Pelaku usaha pengolahan mete skala kecil biasanya menyetorkan produk
kepada pabrik karena kuantitas yang dihasilkan tidak besar sehingga akan sulit
untuk memasarkan sendiri. Sementara itu, standar kualitas antara keduanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
berbeda, pelaku usaha berskala mikro memiliki standar yang lebih rendah. Oleh
karena itu, usaha mikro pun memiliki posisi tawar yang rendah terhadap produk
yang mereka hasilkan. Harga produk ditentukan oleh pabrik yang jauh di bawah
harga pasaran dan mau tidak mau mereka harus menerima itu.
Prioritas strategi yang dihasilkan dalam penelitian ini yaitu meningkatkan
kualitas produk yang dihasilkan, akan sangat sesuai untuk pelaku usaha berskala
mikro. Untuk meningkatkan kualitas, pelaku usaha dapat mencari informasi
mengenai pengolahan mete dan teknologinya, serta mengenai standar kualitas
produk yag diinginkan konsumen, karena konsumen biasanya lebih memilih
produk dari pabrik. Setelah mendapatkan informasi, pelaku usaha bisa berupaya
untuk memperbaiki proses produksi kacang mete yang dilaksanakan dengan
mengoptimalkan fasilitas dan teknologi yang dimiliki sehingga memperbaiki dan
meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan, dan meningkatkan posisi tawarnya
terhadap pabrik. Untuk pelaku usaha skala kecil yang sudah memiliki jaringan
pemasaran tersendiri, strategi yang dapat diterapkan memperkuat hubungan yang
telah dijalin dengan beberapa stakeholder, yakni distributor, pelanggan, pemasok
bahan baku, dan tenaga kerja.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai Strategi Pengembangan
Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri,
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Keragaan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono
Kabupaten Wonogiri adalah sebagai berikut:
a. Rata-rata keuntungan responden pelaku usaha pengolahan mete skala
mikro setiap bulannya adalah Rp 1.348.229,20. Sedangkan rata-rata
keuntungan responden usaha pengolahan mete skala kecil adalah Rp
4.571.577,73. Dan rata-rata keuntungan yang diterima responden untuk
per kilogram kacang mete yang dihasilkan adalah Rp 18.145,37.
b. Bahan baku utama dalam agroindustri pengolahan mete di Kecamatan
Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah gelondong mete yang diperoleh
dari pedagang pengepul.
c. Proses produksi dari agroindustri pengolahan mete di Kecamatan
Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah penejemuran gelondong;
pengupasan kulit gelondong dan pemisahan kacang dari gelondong;
penjemuran kacang mete; pengupasan kulit ari; sortasi kacang mete.
d. Pengemasan kacang mete bertujuan untuk menghindari kerusakan dan
mempermudah pemasaran. Pengemasan menggunakan plastik kemasan
25 kg dan 1 kg.
e. Pemasaran kacang mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri
dapat dikatakan cukup mudah, karena masing-masing pelaku usaha
memiliki distributor.
f. Sarana-prasarana yang digunakan dalam agroindustri pengolahan mete
diantaranya adalah rumah produksi, sarana transportasi, lembaga
keuangan, kacip, timbangan, tungku, seng, dan pisau.
100
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
2. Kondisi faktor internal yang terdiri dari kekuatan dan kelemahan dalam
pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono
Kabupaten Wonogiri adalah sebagai berikut:
a. Kekuatan yang ada di agroindustri pengolahan mete adalah
kemudahan pinjaman modal dari lembaga keuangan, pemasaran
produk mudah, memiliki distributor/pelanggan tetap, bahan baku
mudah didapat, produk lebih unggul dari wilayah lain, produk tahan
lama, dan pengalaman usaha.
b. Kelemahan yang ada agroindustri pengolahan mete adalah pencatatan
keuangan belum rapi, kemasan dan pelabelan masih sederhana, bahan
baku hanya tersedia saat musim panen, belum ada pengelolaan
limbah, manajemen masih kurang/lemah, tenaga kerja musiman.
3. Kondisi faktor eksternal yang terdiri dari peluang dan aancaman dalam
pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono
Kabupaten Wonogiri adalah sebagai berikut:
a. Peluang pada pengembangan agroindustri pengolahan mete adalah
kondisi lingkungan mendukung karena merupakan sentra usaha,
produk banyak dikonsumsi untuk acara-acara khusus, produk
merupakan oleh-oleh khas, bantuan peralatan dari pemerintah, dan
kelemahan dari produk pesaing.
b. Ancaman pada pengembangan agroindustri pengolahan mete adalah
harga produk fluktuatif, program pemerintah tidak kontinu, teknologi
konvensional, tidak ada kerjasama dalam pemerintahan, dan produksi
tergantung cuaca.
4. Alternatif strategi pengembangan yang dapat diterapkan dalam
pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono
Kabupaten Wonogiri adalah sebagai berikut:
a. Memperkuat hubungan dengan distributor dan pelanggan untuk
meningkatkan pasar
b. Mengoptimalkan penggunaan fasilitas dan bantuan pinjaman modal
untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
c. Memperkuat hubungan dengan pemasok bahan baku dan tenaga kerja
untuk menjaga keberjalanan proses produksi
d. Meningkatkan kemampuan manajemen dan mengupayakan kemasan
yang lebih marketable
e. Menciptakan kesinergisan antara pelaku usaha, pemerintah kabupaten,
dan pemerintah kecamatan.
f. Meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan
g. Mengadakan upaya pengelolaan limbah sendiri dan pengenalan
teknologi baru dengan bantuan penyuluhan dari pemerintah
h. Meningkatkan jaringan pemasaran
5. Prioritas strategi dalam pengembangan agroindustri pengolahan mete di
Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah meningkatkan kualitas
produk yang dihasilkan. Untuk pelaku usaha skala mikro dapat ditempuh
dengan memperdalam pengetahuan tentang pengolahan mete, teknologi,
dan standar kualitas, dan memperkuat hubungan dengan stakeholder
terkait untuk pelaku usaha skala kecil.
B. SARAN
Saran yang dapat peneliti berikan berdasarkan hasil penelitian adalah
sebagai berikut
1. Untuk meningkatkan dan memperbaiki kualitas mutu produk yang
dihasilkan, maka pengusaha perlu lebih memperdalam pengetahuan,
teknologi dan informasi mengenai pengolahan kacang mete dan secara
bersamaan upaya ini juga perlu didukung oleh instansi pemerintahan
terkait seperti Dinas Perdagangan dan Perindustrian dan Dinas Pertanian.
2. Untuk meningkatkan produksi yang ada diharapkan adanya transfer
teknologi melalui penyuluhan-penyuluhan secara berkala dan pengenalan
teknologi tepat guna sehingga proses produksi lebih efisien.
3. Untuk memperbaiki dan mendapat harga yang baik di tingkat pengolah,
pelaku usaha perlu mencari informasi harga secara reguler baik dari dinas
terkait, pelaku usaha lainnya maupun pedagang atau pengepul di kota
besar yang menjadi tujuan pemasarannya selama ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
4. Mengupayakan kemasan yang lebih marketable. Kemasan yang menarik
diharapkan akan lebih menarik minat konsumen untuk membeli produk
kacang mete yang dihasilkan oleh para pelaku usaha. Di samping itu,
dengan adanya pelabelan menunjukkan produk sudah mendapat ijin dan
sertifikasi sehingga konsumen akan lebih yakin untuk membeli produk.