Strategi Penanganan Korupsi Di Negara-Negara Asia Pasifik
description
Transcript of Strategi Penanganan Korupsi Di Negara-Negara Asia Pasifik
STRATEGI PENANGANAN STRATEGI PENANGANAN KORUPSI KORUPSI
DI NEGARADI NEGARA--NEGARA ASIA PASIFIKNEGARA ASIA PASIFIK
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARAPUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL
JAKARTA 2007
Strategi Penanganan Korupsi
Di Negara-Negara Asia Pasifik
LAPORAN KAJIAN
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL
2007
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik i
Sambutan
Kepala Lembaga Administrasi Negara
emberantasan korupsi merupakan salah satu agenda penting dari pemerintah
dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi,
dan nepotisme (KKN). Pemberantasan korupsi juga merupakan agenda di
tingkat regional dan internasional. Lembaga-lembaga internasional turut menegaskan
komitmennya untuk bersama-sama memerangi korupsi. Salah satu penghambat
kesejahteraan negara berkembang pun disinyalir akibat dari praktek korupsi yang
eksesif, baik yang melibatkan aparat di sektor publik, maupun yang melibatkan
masyarakat yang lebih luas. Indikasi tetap maraknya praktek korupsi di negara ini
dapat terlihat dari tidak kunjung membaiknya angka persepsi korupsi Indonesia.
Beberapa survey yang dilakukan oleh lembaga independen internasional juga
membuktikan fakta yang sama, walaupun dengan bahasa, instrumen atau pendekatan
yang berbeda. Situasi ini jelas memprihatinkan banyak pihak.
Terkait dengan hal di atas, Lembaga Administrasi Negara yang diamanatkan
untuk mengembangkan sistem administrasi negara melalui kajian dan penelitian
telah melakukan kajian tentang Strategi Penanganan Korupsi di Beberapa Negara
Asia Pasifik. Kajian ini memfokuskan pada studi perbandingan mengenai strategi
pemberantasan korupsi di beberapa negara Asia Pasifik yaitu Singapura, Hong Kong,
dan India.
Beberapa pelajaran penting dapat dipetik dari pengalaman ketiga negara
dalam memerangi korupsi yang akut. Hal ini karena ketiga negara juga pernah
mengalami kondisi korupsi yang sangat buruk. Singapura dan Hong Kong adalah
contoh sukses pemeberantasan korupsi yag efektif. Hal ini tidak lepas dari coverage
wilayah yang relatif kecil (city concern), sehingga mereka mempunyai banyak
kemudahan. India sendiri memang tidak sesukses Singapura maupun Hong Kong,
namun mempunyai karakteristik geografis, populasi, sosial ekonomi yang mirip
dengan Indonesia. Sehingga mempunyai hambatan yang relatif sama. Namun ketiga
P
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik ii
negara menekankan pentingnya good will dan political will dari semua pihak untuk
bersama-sama terlibat dalam upaya pemberantasan korupsi.
Berdasarkan studi perbandingan dengan ketiga negara tersebut di atas, kajian
ini memberikan rekomendasi kebijakan untuk bahan pertimbangan bagi konsep
pengembangan strategi pemberantasan korupsi di Indonesia agar terselenggara lebih
efektif, transparan, dan akuntabel.
Kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada tim peneliti dari
Pusat Kajian Administrasi Internasional (PKAI) LAN atas kerja keras yang telah
dilakukan sehingga kajian ini dapat diselesaikan dengan baik dan diharapkan dapat
terus ditingkatkan di masa-masa mendatang.
Semoga kajian ini dapat memberikan masukan yang berharga bagi semua
pihak, khususnya para penyelenggara negara dalam membangun strategi
pemberantasan korupsi yang komprehensif dan efektif.
Jakarta, Desember 2007 Lembaga Administrasi Negara
Kepala
Sunarno, SH, MSc.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik iii
Kata Pengantar
uji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga
Kajian Strategi Penanganan Korupsi di Beberapa Negara Asia Pasifik dapat
diselesaikan sesuai dengan jadwal yang direncanakan. Laporan ini
merupakan hasil akhir kegiatan kajian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Administrasi
Internasional Lembaga Administrasi Negara mengenai strategi penanganan korupsi
di Singapura, Hong Kong, India, dan Indonesia yang membahas aspek kebijakan dan
perundangan, kelembagaan dalam pemberantasan korupsi, dan pencegahan tindak
korupsi.
Dengan ini Lembaga Administrasi Negara menyampaikan ucapan terima kasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Duta Besar dan Perwakilan
Pemerintah Indonesia di Singapura, India, dan Hong Kong atas segala bantuan dan
dukungan yang telah diberikan sehingga kajian ini dapat berjalan dengan baik.
Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada segenap nara
sumber yang telah memberikan data dan informasi mengenai strategi penanganan
korupsi baik di Singapura, India, Hong Kong, dan tentunya di Indonesia.
Semoga hasil kajian ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi lembaga-
lembaga yang berkompeten dengan pemberantasan korupsi di Indonesia, dan
masyarakat luas pada umumnya. Kami menyadari bahwa laporan ini masih terdapat
banyak kekurangan. Oleh sebab itu kami sangat mengharapkan masukan, kritik dan
saran dari berbagai pihak demi terwujudnya laporan penelitian yang lebih baik.
Jakarta, Desember 2007 Deputi Bidang Penelitian dan Pengembangan Administrasi
Pembangunan dan Otomasi Administrasi Negara
Drs. Desi Fernanda, M.Soc.Sc
P
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik iv
Executive Summary
emberantasan korupsi di Indonesia pada dasarnya sudah dilakukan sejak
empat dekade silam. Sejumlah perangkat hukum sebagai instrumen legal
yang menjadi dasar proses pemberantasan korupsi di Indonesia juga telah
disusun sejak lama. Namun efektivitas hukum dan pranata hukum yang belum cukup
memadai menyebabkan iklim korupsi di Indonesia tidak kunjung membaik. Hal ini
setidaknya dibuktikan dengan berbagai indeks korupsi yang diselenggarakan oleh
berbagai lembaga independen yang berbeda, dengan metode dan variabel yang juga
berbeda, namun menghasilkan hasil pengukuran yang relatif sama, yaitu
menempatkan Indonesia di ranking paling bawah. Berdasarkan studi yang dilakukan
Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2006
adalah 2,4 dan menempati urutan ke-130 dari 163 negara. Sebelumnya, pada tahun
2005 IPK Indonesia adalah 2,2, tahun 2004 (2,0) serta tahun 2003 (1,9). Bahkan
berdasarkan hasil survei dikalangan para pengusaha dan pebisnis oleh lembaga
konsultan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hong
Kong, Indonesia kembali dinilai sebagai negara paling terkorup di Asia pada awal
tahun 2004 dan 2005. Hasil survey PERC menyatakan bahwa Indonesia merupakan
negara yang paling korup di antara 12 negara Asia. Predikat negara terkorup
diberikan karena nilai Indonesia hampir menyentuh angka mutlak 10 dengan skor
9,25 (nilai 10 merupakan nilai tertinggi atau terkorup). Sedangkan pada tahun 2005
Indonesia masih termasuk dalam tiga teratas negara terkorup di Asia.
“Prestasi” korupsi yang telah dicapai Indonesia disamping merugikan secara
langsung bagi pertumbuhan perekonomian dan pemerataan pembangunan nasional,
berdampak negatif bagi masuknya investasi asing ke Indonesia, juga melunturkan
citra dan martabat bangsa di dunia internasional.
Dalam menangani masalah korupsi, Indonesia dapat dikatakan tertinggal
dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik. Masing-masing
negara pada prinsipnya mempunyai tantangan dan persoalan tersendiri dalam
P
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik v
menghadapi korupsi, mengingat korupsi memiliki beragam modus dan bentuknya
seiring dengan makin kompleksnya administrasi birokrasi. Hal ini menyebabkan
strategi pemberantasan korupsi yang ditempuh oleh setiap negara memiliki
karakteristik tersendiri dan tingkat efektivitas yang berbeda pula.
Terkait dengan hal tersebut, kajian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk
mengidentifikasi dan mendeskripsikan strategi pemberantasan korupsi yang
dilakukan oleh beberapa negara di Asia Pasifik yang meliputi pendekatan-pendekatan
yang dilakukan dalam menangani masalah korupsi guna memberikan rekomendasi
kebijakan yang dapat diterapkan Pemerintah Indonesia tentang penanganan korupsi.
Negara-negara yang dijadikan lokus dalam penelitian ini adalah Singapura,
Hong Kong, India dan tentunya Indonesia. Alasan pemilihan negara-negara tersebut
adalah bahwa Singapura dan Hong Kong dapat dikatakan sebagai model yang ideal
(role model) dalam memberantas korupsi. Kedua negara tersebut berhasil menekan
angka korupsi ke tingkat minimal dan dikategorikan sebagai negara terbersih di Asia.
Sementara itu, meskipun pemberantasan korupsi di India relatif tertinggal
dibandingkan dengan Singapura dan Hong Kong namun penanganan masalah
korupsi di India relatif lebih baik dibandingkan dengan Indonesia. Selain itu kondisi
geografis dan demografi India yang memiliki kesamaan dengan Indonesia menjadi
salah satu alasan lain dalam pemilihan lokus.
Dari hasil temuan, diperoleh sejumlah data dan informasi yang mencakup:
gambaran umum korupsi di masing-masing negara; kebijakan dan perundangan
pemberantasan korupsi; kelembagaan dalam pemberantasan korupsi; dan strategi
pencegahan tindak korupsi. Selanjutnya beberapa kesimpulan dan rekomendasi
mengenai strategi pemberantasan korupsi disampaikan berdasarkan analisis data dan
informasi yang didapat.
Sejumlah pemikiran yang dapat disimpulkan adalah bahwa strategi
pemberantasan korupsi harus dibangun didahului oleh adanya itikad kolektif, yaitu
semacam kemauan dan kesungguhan (willingness) dari semua pihak untuk bersama-
sama tidak memberikan toleransi sedikitpun terhadap perilaku korupsi. Perilaku
korupsi harus dicitrakan dan diperlakukan sebagai perilaku kriminal, sama halnya
dengan tindak kriminal lainnya, yang memerlukan penanganan secara hukum. Di
samping itu, keberhasilan penanganan korupsi di negara-negara lain juga
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik vi
dipengaruhi oleh keberadaan lembaga anti korupsi yang kuat dalam menangani
pencegahan dan pemberantasan korupsi. Sebagai contoh, Singapura dan Hong Kong
hanya memiliki satu lembaga anti korupsi yang memiliki kewenangan penuh untuk
menyelidiki dan mengajukan tuntutan kasus-kasus korupsi.
Oleh karena itu, dalam mewujudkan sebuah strategi yang efektif, dibutuhkan
pemenuhan prasyarat sebagai berikut :
1. Didorong oleh keinginan politik serta komitmen yg kuat dan muncul dari
kesadaran sendiri
2. Menyeluruh dan seimbang
3. Sesuai dengan kebutuhan, ada target, dan berkesinambungan
4. Berdasarkan pada sumber daya dan kapasitas yang tersedia
5. Terukur
6. Transparan dan bebas dari konflik kepentingan
Berkenaan dengan political will serta komitmen yang harus dibangun, maka
perlu menegaskan kembali political will pemerintah, diantaranya melalui :
Penyempurnaan UU Anti Korupsi yang lebih komprehensif, mencakup
kolaborasi kelembagaan yang harmonis dalam mengatasi masalah korupsi
Kontrak politik yang dibuat pejabat publik
Pembuatan aturan dan kode etik PNS
Pembuatan pakta integritas
Penyederhanaan birokrasi (baik struktur maupun jumlah pegawai)
Penyempurnaan UU Anti Korupsi ini selain untuk menjawab dinamika dan
perkembangan kualitas kasus korupsi, juga untuk menyesuaikan dengan instrumen
hukum internasional. Saat ini isu korupsi tidak lagi dibatasi sekat-sekat negara,
namun telah berkembang menjadi isu regional bahkan internasional. Hal ini tidak
lepas dari praktek korupsi yang melibatkan perputaran dan pemindahan uang lintas
negara.
Adanya kewenangan yang jelas dan tegas yang diberikan oleh suatu lembaga
anti korupsi juga menjadi kunci keberhasilan strategi pemberantasan korupsi.
Tumpang tindih kewenangan di antara lembaga-lembaga yang menangani masalah
korupsi menyebabkan upaya pemberantasan korupsi menjadi tidak efektif dan efisien.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik vii
Strategi pemberantasan korupsi harus juga bersifat menyeluruh dan seimbang.
Ini berarti bahwa strategi pemberantasan yang parsial dan tidak komprehensif tidak
dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.
Berkenaan dengan hal itu maka, strategi pemberantasan korupsi harus
dilakukan secara adil, dan tidak ada istilah “tebang pilih” dalam memberantas
korupsi. Di samping itu penekanan pada aspek pencegahan korupsi perlu lebih
difokuskan dibandingkan aspek penindakan. Upaya pencegahan (ex ante) korupsi
dapat dilakukan, antara lain melalui:
Menumbuhkan kesadaran masyarakat (public awareness) mengenai dampak
destruktif dari korupsi, khususnya bagi PNS.
Pendidikan anti korupsi
Sosialisasi tindak pidana korupsi melalui media cetak & elektronik
Perbaikan remunerasi PNS
Adapun upaya penindakan (ex post facto) korupsi harus memberikan efek jera,
baik secara hukum, maupun sosial. Selama ini pelaku korupsi, walaupun dapat dijerat
dengan hukum dan dipidana penjara ataupun denda, namun tidak pernah
mendapatkan sanksi sosial.
Hukuman yang berat ditambah dengan denda yang jumlahnya signifikan.
Pengembalian hasil korupsi kepada negara.
Tidak menutup kemungkinan, penyidikan dilakukan kepada keluarga atau
kerabat pelaku korupsi.
Strategi pemberantasan korupsi harus sesuai kebutuhan, target, dan
berkesinambungan. Strategi yang berlebihan akan menghadirkan inefisiensi sistem
dan pemborosan sumber daya. Dengan penetapan target, maka strategi
pemberantasan korupsi akan lebih terarah, dan dapat dijaga kesinambungannya.
Dalam hal ini perlu adanya komisi anti korupsi di daerah (misalnya KPK berdasarkan
wilayah) yang independen dan permanen (bukan ad hoc).
Selain itu strategi pemberantasan korupsi haruslah berdasarkan sumber daya
dan kapasitas. Dengan mengabaikan sumber daya dan kapasitas yang tersedia, maka
strategi ini akan sulit untuk diimplementasikan, karena daya dukung yang tidak
seimbang. Dalam hal ini kualitas SDM dan kapasitasnya harus dapat ditingkatkan,
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik viii
terutama di bidang penegakan hukum dalam hal penanganan korupsi. Peningkatan
kapasitas ini juga dilakukan melalui jalan membuka kerjasama internasional.
Keterukuran strategi merupakan hal yang tidak bisa dikesampingkan. Salah
satu caranya yaitu membuat mekanisme pengawasan dan evaluasi atas setiap tahapan
pemberantasan korupsi dalam periode waktu tertentu secara berkala. Selain itu juga,
dalam rangka penyusunan strategi yang terukur, perlu untuk melakukan survei
mengenai kepuasan masyarakat atas usaha pemberantasan korupsi yang telah
dilakukan pemerintahan.
Terakhir adalah bahwa sebuah strategi pemberantasan memerlukan prinsip
transparan dan bebas konflik kepentingan. Transparansi ini untuk membuka akses
publik terhadap sistem yang berlaku, sehingga terjadi mekanisme penyeimbang.
Warga masyarakat mempunyai hak dasar untuk turut serta menjadi bagian dari
strategi pemberantasan korupsi. Saat ini optimalisasi penggunaan teknologi
informasi di sektor pemerintah dapat membantu untuk memfasilitasinya. Strategi
pemberantasan juga harus bebas kepentingan golongan maupun individu, sehingga
pada prosesnya tidak ada keberpihakan yang tidak seimbang. Semua strategi berjalan
sesuai dengan aturan yang berlaku dan objektif.
Instrumen strategi pemberantasan lain yang menjadi bagian dari elemen
masyarakat adalah pers. Transparansi dapat difasilitasi dengan baik dengan adanya
dukungan media massa yang memainkan peranannya secara kuat. Dengan adanya
kebebasan pers, maka kontrol masyarakat dapat semakin ditingkatkan lagi.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik ix
Daftar Isi Hal
SAMBUTAN KEPALA LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA …………………. i
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………….. iii
EXECUTIVE SUMMARY ……………………………………………………………………… iii
Daftar Isi …………………………………………………………………………………………….. ix
Daftar Tabel ………………………………………………………………………………………… xi
Daftar Gambar …………………………………………………………………………………….. xii
Daftar Grafik ……………………………………………………………………………………….. xiii
BAB I : PENDAHULUAN ……………………………………………………………………… 1
A. Latar Belakang ………………………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………………………………. 4
C. Ruang Lingkup ………………………………………………………………………. 5
D. Tujuan ………………………………………………………………………………….. 5
E. Jadwal ………………………………………………………………………………….. 5
F. Metodologi Penelitian …………………………………………………………….. 5
BAB II : GAMBARAN UMUM KORUPSI ……………………………………………….. 9
A. Memahami Korupsi ……………………………………………………………….. 9
B. Peta Korupsi Dunia dan Regional ……………………………………………. 16
C. Korupsi di Beberapa Negara ……………………………………………………. 27
1. Singapura …………………………………………………………………………. 27
2. Hong Kong ……………………………………………………………………….. 29
3. India ………………………………………………………………………………… 32
4. Indonesia …………………………………………………………………………. 36
BAB III : KEBIJAKAN DAN PERUNDANGAN PEMBERANTASAN
KORUPSI ……………………………………………………………………………..
38
A. Singapura ……………………………………………………………………………… 41
B. Hong Kong ……………………………………………………………………………. 45
C. India …………………………………………………………………………………….. 48
D. Indonesia ……………………………………………………………………………… 50
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik x
BAB IV : KELEMBAGAAN DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI ………… 57
A. Singapura ……………………………………………………………………………… 54
B. Hong Kong ……………………………………………………………………………. 62
C. India …………………………………………………………………………………….. 66
D. Indonesia ……………………………………………………………………………… 71
BAB V : STRATEGI PENCEGAHAN TINDAK KORUPSI …………………………. 80
A. Singapura ……………………………………………………………………………… 82
B. Hong Kong ……………………………………………………………………………. 88
C. India …………………………………………………………………………………….. 91
D. Indonesia ……………………………………………………………………………… 93
BAB VI : REKOMENDASI KEBIJAKAN .………………………………………………. 97
A. Masalah dalam Strategi Kebijakan Penanganan Korupsi di
Indonesia ………………………………………………………………………………. 97
B. Alternatif Strategi Kebijakan Penanganan Korupsi ……………………. 98
C. Policy Action dalam Perumusan Strategi Kebijakan Penanganan
Korupsi di Indonesia ……………………………………………………………….
100
LAMPIRAN-LAMPIRAN
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik xi
Daftar Tabel Hal
Tabel 1.1 Operasionalisasi dan Output Tiap Tahap Kegiatan …………………… 7
Tabel 2.1 Daftar Peringkat Pengambil Aset Negara Terbesar versi Stolen
Asset Recovery Innitiatives (StAR) Bank Dunia & PBB .................
19
Tabel 2.2 Indeks Penyuapan Beberapa Negara .............................................. 23
Tabel 2.3 Perbandingan Profil 4 Negara dalam Penanganan Korupsi .......... 26
Tabel 3.1 Perbandingan Beberapa Istilah dalam Perundangan Indonesia
dengan UNCAC ................................................................................
53
Tabel 3.2 Terpidana Koruptor dan Uang Pengganti ...................................... 54
Tabel 4.1 Indikator Kinerja CPIB Singapura .................................................. 59
Tabel 4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan dan Kegagalan
Suatu Lembaga Anti Korupsi ..........................................................
76
Tabel 4.3 Kelebihan dan Kelemahan dari Pembentukan Lembaga Anti
Korupsi ............................................................................................
77
Tabel 5.1 Instrumen Pencegahan Korupsi per Sektor .................................... 81
Tabel 5.2 Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia ............................... 93
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik xii
Daftar Gambar
Hal
Gambar 2.1 Peta Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Seluruh Dunia ............. 17
Gambar 4.1 Struktur Organisasi CPIB Singapura ......................................... 61
Gambar 4.2 Struktur Organisasi ICAC Hongkong ........................................ 65
Gambar 4.3 Struktur Organisasi CBI India …………………………………………… 69
Gambar 4.4 Struktur Central Vigilance Commission (CVC) India …………… 71
Gambar 4.5 Struktur Organisasi KPK Indonesia …………………………………… 74
Gambar 5.1 Strategi Anti Korupsi Singapura ………………………………………… 83
Gambar 5.2 Keterkaitan antara Korupsi dengan Perbaikan Remunerasi
Pegawai Negeri …………………………………………………………………
87
Gambar 5.3 Strategi Pemberantasan Korupsi Hongkong ............................. 89
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik xiii
Daftar Grafik Hal
Grafik 2.1 Peringkat Korupsi Beberapa Negara Asia .................................... 20
Grafik 2.2 Sektor Terlibat Kasus Penyuapan ................................................ 24
Grafik 2.3 Wilayah yang Terkena Dampak Kasus Penyuapan ...................... 25
Grafik 2.4 Kecenderungan Korupsi di Singapura ………………………………….. 28
Grafik 2.5 Kecenderungan Korupsi di Hong Kong ………………………………… 30
Grafik 2.6 Laporan Korupsi Hong Kong ....................................................... 31
Grafik 2.7 Kecenderungan Korupsi di India ................................................. 33
Grafik 2.8 Kecenderungan Korupsi di Indonesia .......................................... 36
Grafik 2.9 Pengendalian Korupsi (2002) ...................................................... 37
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 1
Bab I
Pendahuluan
A. LATAR BELAKANG
alah satu isu atau masalah yang paling krusial untuk dipecahkan oleh bangsa
dan pemerintah Indonesia adalah masalah korupsi. Hal ini disebabkan
semakin lama tindak pidana korupsi di Indonesia ini semakin sulit untuk
diatasi. Maraknya korupsi di Indonesia disinyalir terjadi di semua bidang dan sektor
pembangunan. Apalagi setelah ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah,
berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, disinyalir korupsi
menyebar bukan hanya terjadi pada tingkat pusat tetapi juga meluas ke tingkat
daerah dan bahkan menembus ke tingkat pemerintahan yang paling kecil di daerah.
Dari penjabaran di atas, dapat dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan
hanya suatu fenomena tetapi sudah menjadi kultur yang sudah mengakar ke seluruh
lapisan masyarakat. Dengan demikian, dapat dibayangkan betapa sulitnya menangani
korupsi di Indonesia. Hal ini seperti mengobati penyakit kulit yang sudah mengakar
sampai jauh ke bawah kulit dan bahkan ke daging; sulit menyembuhkannya kecuali
diobati sampai ke akar-akarnya.
Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam dalam mengatasi praktik-
praktik korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui berbagai kebijakan yang
berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang
Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Selain itu pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang
berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
S
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 2
Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam hal pemberantasan korupsi adalah :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, khususnya pasal 21
dan pasal 5 (ayat 1)
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
3. Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998
4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Pemerintahan
yang bersih dan bebas dari praktik KKN
5. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
7. Dibentuknya Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN)
tahun 2001 berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
8. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (KPTPK)
9. Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2003 berdasarkan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 tahun
2001 junto Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
10. Dibentuknya Tim Pemberantas Korupsi dan lain-lainnya.
Upaya pencegahan praktik korupsi juga dilakukan di lingkungan eksekutif atau
penyelenggara negara, dimana masing-masing instansi memiliki Internal Control
Unit (unit pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa inspektorat. Fungsi
dari inspektorat ini adalah mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan
pembangunan di instansinya masing-masing, terutama pengelolaan keuangan
negara, agar supaya kegiatan pembangunan berjalan secara efektif, efisien dan
ekonomis sesuai sasaran. Di samping pengawasan internal ada juga pengawasan dan
pemeriksaan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh instansi eksternal yaitu
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan
(BPKP).
Selain lembaga internal dan eksternal, lembaga swadaya masyarakat (LSM)
juga ikut berperan dalam melakukan pengawasan kegiatan pembangunan, terutama
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 3
kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Beberapa LSM yang
aktif dan gencar mengawasi dan melaporkan praktik korupsi yang dilakukan
penyelenggara negara antara lain adalah Indonesian Corruption Watch (ICW),
Government Watch (GOWA), dan Masyarakat Tranparansi Indonesia (MTI).
Dilihat dari upaya-upaya pemerintah dalam memberantas praktik korupsi di
atas sepertinya sudah cukup memadai baik dilihat dari segi hukum dan peraturan
perundang-undangan, komisi-komisi, lembaga pemeriksa baik internal maupun
eksternal, bahkan keterlibatan LSM. Namun pada kenyataannya praktik korupsi
bukannya berkurang malah meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan Indonesia
kembali dinilai sebagai negara paling terkorup di Asia pada awal tahun 2004 dan
2005 berdasarkan hasil survei dikalangan para pengusaha dan pebisnis oleh lembaga
konsultan Political and Economic Risk Consultancy (PERC). Hasil survey lembaga
konsultan PERC yang berbasis di Hong Kong menyatakan bahwa Indonesia
merupakan negara yang paling korup di antara 12 negara Asia.1 Predikat negara
terkorup diberikan karena nilai Indonesia hampir menyentuh angka mutlak 10
dengan skor 9,25 (nilai 10 merupakan nilai tertinggi atau terkorup). Sedangkan pada
tahun 2005 Indonesia masih termasuk dalam tiga teratas negara terkorup di Asia.
Peringkat negara terkorup setelah Indonesia, berdasarkan hasil survey yang
dilakukan PERC, yaitu: India (8,9), Vietnam (8,67), Thailand, Malaysia dan China
berada pada posisi sejajar di peringkat keempat yang terbersih. Sebaliknya negara
yang terbersih tingkat korupsinya adalah Singapura (0,5) disusul Jepang (3,5), Hong
Kong, Taiwan dan Korea Selatan. Untuk tahun 2006 posisi Indonesia “naik” satu
peringkat dibandingkan dengan Filipina.2
Perubahan yang dilakukan China dan Thailand sungguh mengesankan, yaitu
mampu mengubah reputasi negara yang bergelimang korupsi menjadi negara yang
rendah korupsinya. India dan Vietnam juga mulai melakukan perbaikan melalui
keinginan politik tinggi dalam mempersempit ruang korupsi. China selama satu
dasawarsa terakhir melancarkan perang besar dengan korupsi. Para pejabat yang
terbukti melakukan tindak pidana korupsi tidak segan-segan dibawa ke tiang
1 Kompas, 4 Maret 2004 2 Kompas, 14 Maret 2007
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 4
gantungan. Tindakan ini cukup efektif mengurangi praktik korupsi di kalangan
pejabat.
Sementara Thailand juga melakukan kampanye pemberantasan korupsi secara
serius. Sektor perpajakan dan pengadilan yang dianggap rawan korupsi dan kolusi
dijadikan prioritas dalam target kampanye melawan korupsi. Hasilnya mengesankan.
Kemajuan dalam kampanye korupsi membawa dampak positif dalam berbagai bidang
kehidupan, termasuk kesanggupan membayar hutang luar negeri. Selama lima tahun
Thailand mampu mencicil 50 milyar dollar AS utangnya.
Upaya penanganan korupsi yang sistematis dan berkelanjutan di negara-
negara tersebut tampak begitu kontras dengan realitas yang terjadi di Indonesia.
Berdasarkan studi yang dilakukan Transparency International, Indeks Persepsi
Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2006 adalah 2,4 dan menempati urutan ke-130 dari
163 negara. Sebelumnya, pada tahun 2005 IPK Indonesia adalah 2,2, tahun 2004
(2,0) serta tahun 2003 (1,9).3 Hal ini menunjukkan bahwa penanganan kasus korupsi
di Indonesia masih sangat lambat dan belum mampu membuat jera para koruptor.
Oleh karena itu sangatlah menarik untuk mengkaji lebih lanjut tentang strategi
yang dilakukan negara-negara tersebut dalam menangani korupsi, sehingga bisa
menjadi negara yang rendah tingkat korupsinya. Sehubungan dengan hal tersebut,
maka Pusat Kajian Administrasi Internasional Lembaga Administrasi Negara
Republik Indonesia memandang perlu untuk melakukan kajian lebih jauh tentang
strategi penanganan korupsi di negara-negara Asia Pasifik, sebagai bahan masukan
untuk memperkuat (revitalize) penanganan korupsi yang diterapkan di Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan,
yaitu: bagaimanakah strategi penanganan korupsi yang dilakukan di beberapa negara
Asia Pasifik? Khususnya negara-negara yang berhasil mengatasi masalah korupsi
sehingga dapat memperbaiki indeks persepsi korupsi yang menjadi tolok ukur
korupsi suatu negara.
3 Kompas, 7 November 2006
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 5
C. RUANG LINGKUP
1. Fokus
Kajian ini membahas tentang strategi penanganan korupsi di negara-negara
Asia Pasifik dengan fokus pada pendekatan penanganan korupsi yang
dilakukan yang mencakup aspek kebijakan, kelembagaan dan pencegahan.
2. Lokus
Kajian dilakukan di Indonesia dan beberapa negara Asia Pasifik (Singapura,
Hong Kong dan India), dimaksudkan untuk mendapatkan data dan informasi
tentang strategi penanganan korupsi pada masing-masing negara.
D. TUJUAN
Kajian ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh beberapa
negara Asia Pasifik dalam menangani masalah korupsi.
2. Memberikan rekomendasi kebijakan yang dapat diterapkan Pemerintah
Indonesia tentang penanganan korupsi.
E. JADWAL
Pelaksanaan kegiatan kajian ini dilaksanakan selama 12 (dua belas) bulan pada
tahun anggaran 2007.
F. METODOLOGI PENELITIAN
1. Metode Kajian
Kajian strategi penanganan korupsi di negara-negara Asia Pasifik
menggunakan metode deskriptif komparatif. Metode tersebut dipilih karena kajian ini
akan mendeskripsikan obyek penelitian yaitu penanganan korupsi di beberapa negara
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 6
terpilih di kawasan Asia Pasifik secara komprehensif dan kemudian akan
dibandingkan (komparasi) satu sama lain untuk mendapatkan suatu kesimpulan.
Kajian ini bertujuan untuk menyampaikan, menganalisis, mengklasifikasi, dan
membandingkan strategi penanganan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah di
sejumlah negara terpilih.
Rangkaian kegiatan yang dilakukan terkait dengan kajian, antara lain adalah
melakukan observasi awal, mencari sumber informasi yang berkaitan dengan topik
strategi penanganan korupsi baik di dalam maupun luar negeri, menyusun riset
desain, melakukan pengumpulan data lapangan di dalam dan luar negeri,
menganalisis data dan informasi yang diperoleh dari lapangan, serta menyajikannya
di dalam sebuah laporan kajian.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang diadopsi dalam kajian ini adalah melalui studi
literatur, dokumentasi, dan focus group discussion (FGD). Teknik ini memiliki
kelebihan untuk memperoleh data dan informasi yang bersifat kualitatif. Instrumen
penelitian yang digunakan adalah panduan wawancara (interview guidelines) yang
digunakan pada saat pencarian data lapangan di dalam maupun di luar negeri.
Panduan wawancara tersebut meliputi indikator-indikator atau besaran-besaran yang
menjadi fokus dalam kajian strategi penanganan korupsi.
FGD dilakukan dengan mengundang para ahli/pakar yang terkait penerapan
strategi penanganan korupsi untuk memperoleh data dan informasi empirik dari
pengalaman negara-negara yang berhasil atau pun gagal menangani korupsi.
3. Analisis Data
Setelah dilakukan pengumpulan data lapangan, maka data tersebut diolah dan
dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena
diperlukan analisis yang lebih mendalam untuk dapat mengungkap latar belakang
sesungguhnya dari fenomena-fenomena yang sedang diteliti atau dikaji. Dalam hal ini
fenomena tersebut adalah strategi penanganan korupsi yang dilakukan oleh beberapa
negara Asia Pasifik. Pemikiran logis (professional judgement), induksi dan evaluasi
juga digunakan dalam pemberantasan korupsi.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 7
4. Tahapan Kegiatan
Pelaksanaan kegiatan kajian terdiri dari beberapa tahapan dan merupakan
suatu proses yang berlangsung selama 1 (satu) tahun anggaran. Pada setiap tahapan
diharapkan menghasilkan output yang dapat dicapai dan terukur oleh tim pelaksana
kegiatan. Untuk mempermudah pelaksanaan kegiatan kajian maka proses tersebut
dapat dijabarkan dalam suatu operasionalisasi kegiatan kajian sebagai berikut.
Tabel 1.1
Operasionalisasi dan Output Tiap Tahap Kegiatan
No Tahapan Kegiatan yang dilakukan Output
1. Pengumpulan data
awal dan studi
literatur
− Mengumpulkan data
awal dan literatur yang
berkaitan dengan strategi
penanganan korupsi
− Terkumpulnya data
awal dan literatur
yang berkaitan dengan
penanganan korupsi
2. Penyusunan riset
desain
− Menyusun riset desain
dan rencana penelitian
− Tersusunnya riset
desain dan instumen
penelitian strategi
penanganan korupsi di
beberapa negara Asia
Pasifik
3. Pengiriman surat dan
korespondensi
− Mengirimkan surat dan
korespondensi ke
instansi-instansi di
dalam maupun luar
negeri yang menjadi
lokus kajian
− Terkirimnya surat dan
korespondensi baik ke
dalam maupun luar
negeri yang menjadi
lokus kajian
4. Pengumpulan data
lapangan ke sejumlah
instansi dalam dan
luar negeri
− Melakukan kunjungan
lapangan dan pencarian
data penelitian di
beberapa daerah dan
− Tersedianya data dan
informasi mengenai
strategi penanganan
korupsi dari pencarian
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 8
negara yang menjadi
lokus penelitian
data lapangan di
sejumlah daerah dan
negara.
5. Pembuatan laporan
kajian sementara
− Mengolah, menganalisis,
dan menyajikan hasil
penelitian lapangan
− Menyusun hasil analisa
data lapanan sebagai
bahan pembuatan
laporan akhir
− Tersusunnya laporan
sementara kajian
strategi penanganan
korupsi di beberapa
negara Asia Pasifik
6. Ekspose laporan
kajian sementara
− Memaparkan hasil
laporan sementara pada
forum LAN
− Terkumpulnya
berbagai masukan
baik kritik maupun
saran untuk
penyempurnaan
laporan kajian.
7. Penyempurnaan
laporan sementara
menjadi laporan
akhir
− Merevisi laporan
sementara berdasarkan
hasil ekspose
− Tersusunnya laporan
akhir kajian strategi
penanganan korupsi di
beberapa negara Asia
Pasifik
8. Pencetakan dan
penyerahan laporan
akhir
− Mencetak dan
menyerahkan laporan
akhir
− Tercetaknya laporan
akhir kajian strategi
penanganan korupsi di
beberapa negara Asia
Pasifik
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 9
Bab II
Gambaran Umum Korupsi
A. MEMAHAMI KORUPSI
orupsi bukanlah merupakan barang yang baru dalam sejarah peradaban
manusia. Fenomena ini telah dikenal dan menjadi bahan diskusi bahkan
sejak 2000 tahun yang lalu ketika seorang Perdana Menteri Kerajaan India
bernama Kautilya menulis buku berjudul Arthashastra. Demikian pula dengan Dante
yang pada tujuh abad silam juga menulis tentang korupsi (penyuapan) sebagai tindak
kejahatan. Tidak ketinggalan seorang Shakespeare juga menyinggung korupsi sebagai
sebuah bentuk kejahatan. Sebuah ungkapan terkenal pada tahun 1887 mengenai
korupsi dari sejarahwan Inggris, Lord Acton, yaitu “power tends to corrupt, absolute
power corrupts absolutely”, menegaskan bahwa korupsi berpotensi muncul di mana
saja tanpa memandang ras, geografi, maupun kapasitas ekonomi.
Beberapa negara di Asia memiliki beragam istilah korupsi yang pengertiannya
mendekati definisi korupsi. Di China, Hong Kong dan Taiwan, korupsi dikenal
dengan nama yum cha, atau di India terkenal dengan istilah baksheesh, atau di
Filipina dengan nama lagay dan di Indonesia atau Malaysia memiliki padanan kata
yaitu suap. Semua istilah memiliki pengertian yang variatif, namun pada umumnya
merujuk pada kegiatan ilegal yang berlaku di luar sistem formal. Tidak semua istilah
ini secara spesifik mendefinisikan diri sebagai sebuah pengertian hukum dari praktik
korupsi. Istilah-istilah ini juga belum memberikan gambaran mendalam mengenai
dampak luas dari praktik korupsi. Istilah lokal yang dianggap paling mendekati
pengertian korupsi secara mendalam adalah yang berlaku di Thailand, yaitu istilah
gin muong, yang secara literal berarti nation eating. Pengertian dari istilah ini
menunjukkan adanya kerusakan yang luar biasa besar terhadap kehidupan suatu
bangsa akibat dari adanya perilaku praktik korupsi.
K
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 10
Dalam norma umum di masyarakat maupun norma khusus semisal
perundangan, istilah korupsi memiliki beragam pengertian. Perbedaan pengertian ini
menyebabkan implikasi hukum dan sosial yang berbeda pula di masyarakat.
Sebuah tindakan korupsi yang merugikan keuangan negara boleh jadi secara
norma sosial dianggap oleh masyarakat sebagai tindakan wajar dan tidak melanggar.
Ini karena pandangan dan pemahaman suatu masyarakat terhadap perbuatan korupsi
berbeda dengan masyarakat lainnya. Oleh karenanya suatu masyarakat dapat menilai
suatu perbuatan termasuk dalam praktik korupsi, namun tidak demikian halnya
dengan masyarakat lain, terlebih dalam masyarakat yang permisif dan patronialistik.
Terlepas dari perbedaan pemahaman ini, sebenarnya terdapat ciri khas/atribut
yang melekat pada tindakan korupsi, yang membedakannya dengan yang lain. Dari
segi bahasa, kata korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptio. Kata ini sendiri
memiliki kata kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan,
memutarbalikkan atau menyogok.4
Dalam Wordnet Princenton Education, korupsi didefinisikan sebagai “lack of
integrity or honesty (especially susceptibility to bribery); use of a position of trust
for dishonest gain.”5 Selanjutnya dalam Kamus Collins Cobuild arti dari kata corrupt
adalah “someone who is corrupt behaves in a way that is morally wrong, especially
by doing dishonesty or illegal things in return for money or power.”6 Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga, Balai Pustaka, 597:2001)7,
korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb)
untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Sementara itu, Direktur Transparency International India, secara lebih
sederhana mendefinisikan korupsi sebagai ”the use of public office for private gain”.
Jadi segala tindakan penggunaan barang publik untuk kepentingan pribadi adalah
termasuk kategori korupsi. Transparency International sendiri sebagai lembaga
internasional yang sangat menaruh perhatian terhadap korupsi di negara-negara di
dunia dan menyoroti korupsi yang dilakukan oleh birokrasi, mendefinisikan korupsi 4 Komisi Pemberantasan Korupsi, Pahami Dulu, Baru Lawan! hal 7 5 dalam LAN (2006), Kajian tentang Pola Korupsi di Lingkungan Instansi Pemerintah, Laporan Akhir Penelitian 6 dalam Eris Yustiono (2005), Revitalisasi Isu-Isu Strategis Manajemen Sumber Daya Manusia Sebagai Salah Satu Upaya Meminimalisir Korupsi, Jurnal Ilmu Administrasi Vol 2 No. 3 hal 274 7 dalam Eris Yustiono (2005), ibid
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 11
sebagai perilaku pejabat publik, baik politikus maupun pegawai negeri yang secara
tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat
dengan dirinya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan
kepada mereka. Pengertian ini lebih dilatarbelakangi karena korupsi yang dilakukan
oleh birokrasi memiliki dampak dan pengaruh negatif yang besar dan signifikan
terhadap pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara
nasional. Jika dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan oleh para pelaku bisnis
ataupun masyarakat.
Pendapat dari beberapa pakar mengenai korupsi juga dapat dijelaskan seperti
Juniadi Suwartojo (1997) menyatakan bahwa korupsi adalah tingkah laku atau
tindakan seseorang atau lebih yang melanggar norma-norma yang berlaku dengan
menggunakan dan/atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui
proses pengadaan, penetapan pungutan penerimaan atau pemberian fasilitas atau
jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan penerimaan dan/atau pengeluaran uang
atau kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan serta dalam perizinan dan/atau jasa
lainnya dengan tujuan keuntungan pribadi atau golongannya sehingga langsung atau
tidak langsung merugikan kepentingan dan/atau keuangan negara/masyarakat.
Sementara Brooks8 memberikan pengertian korupsi yaitu: “Dengan sengaja
melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban, atau
tanpa hak menggunakan kekuasaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan yang
sedikit banyak bersifat pribadi.” Selanjutnya Alfiler9 menyatakan bahwa korupsi
adalah: “Purposive behavior which may be deviation from an expected norm but is
undertake nevertheless with a view to attain materials or other rewards.”
Bahkan Klitgaard membuat persamaan sederhana untuk menjelaskan
pengertian korupsi sebagai berikut :
C = M + D – A
di mana:
C = Corruption / Korupsi
8 dalam Alatas, (1987), Korupsi: Sifat, Sebab, dan Fungsi, Jakarta, LP3ES 9 dalam Ledivina V. Carino, (1986), Bureaucratic Corruption in Asia: Causes Consequences and Controls, Quezon City, JMC Press Inc
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 12
M = Monopoly / Monopoli
D = Discretion / Diskresi / keleluasaan
A = Accountability / Akuntabilitas
Persamaan di atas menjelaskan bahwa korupsi hanya bisa terjadi apabila
seseorang atau pihak tertentu mempunyai hak monopoli atas urusan tertentu serta
ditunjang oleh diskresi atau keleluasaan dalam menggunakan kekuasaannya,
sehingga cenderung menyalahgunakannya, namun lemah dalam hal pertanggung
jawaban kepada publik (akuntabilitas).
Beberapa pengertian di atas menyoroti korupsi sebagai perilaku merugikan
yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa pihak dan tidak secara eksplisit
disebutkan apakah dari unsur birokrasi, swasta, maupun masyarakat. Karena pada
dasarnya tindakan korupsi bukan saja terjadi di sektor pemerintahan tetapi juga
dalam dunia bisnis dan bahkan dalam masyarakat.10
Dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa korupsi bukan saja
dilakukan oleh kalangan birokrat, tetapi juga kalangan di luar birokrasi. Arti maupun
pendefinisian tindakan korupsi juga memiliki berbagai sudut pandang yang cukup
berbeda. Namun demikian, suatu tindakan dapat dikategorikan korupsi—siapa pun
pelakunya—apabila memenuhi unsur-unsur:11
1. Suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan.
2. Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta atau masyarakat
umumnya.
3. Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus.
4. Dilakukan dengan rahasia, kecuali dengan keadaan dimana orang-orang
berkuasa atau bawahannya menganggapnya tidak perlu.
5. Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak.
6. Adanya kewajiban dan keuntungan bersama dalam bentuk uang atau yang
lain.
10 lihat The World Bank Policy Paper (2000), Anticorruption in Transition, A Contribution to the Policy Debate, Washington DC 11 Alatas, (1987), ibid
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 13
7. Terpusatnya kegiatan (korupsi) pada mereka yang menghendaki keputusan
yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya.
8. Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk-bentuk
pengesahan hukum.
9. Menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang melakukan
korupsi.
Oleh karena itu, tim peneliti menyimpulkan bahwa korupsi dapat diartikan
sebagai tindakan dan perilaku yang menyimpang atau melanggar aturan, norma, dan
etika dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki, mengingkari amanat yang
diemban untuk kepentingan memperkaya diri sendiri, kerabat ataupun orang lain
Korupsi yang terjadi dalam birokrasi tentunya mendapat perhatian dan
penekanan tersendiri dalam kajian ini. Karena pada kasus korupsi, birokrasi atau
pemerintah memiliki peranan ganda yaitu sebagai pelaku dan pemberantas korupsi
itu sendiri. Sementara dunia usaha dan masyarakat berperan sebagai pelaku dan
korban. Kasus-kasus korupsi yang menjadi sorotan banyak pihak baik dalam maupun
luar negeri adalah korupsi yang terjadi di tubuh birokrasi. Selain berakibat luas dan
destruktif terhadap pembangunan ekonomi serta masyarakat secara umum, korupsi
dalam birokrasi pada umumnya berskala luas dengan jumlah (nominal) yang besar
dan melibatkan pejabat negara, elit politik maupun pegawai negeri. Sedangkan kasus-
kasus korupsi pada sektor bisnis, pada umumnya berskala kecil dan hanya
berdampak pada perusahaannya sendiri.
Dalam studi yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia,
praktik-praktik korupsi dapat diidentifikasi meliputi
1. manipulasi uang negara,
2. praktik suap dan pemerasan,
3. politik uang, dan
4. kolusi bisnis.
Di Indonesia, untuk kategori manipulasi uang negara, sektor yang paling korup
ialah pengadaan barang dan jasa mencakup konstruksi, pekerjaan umum,
perlengkapan militer, dan barang jasa pemerintah. Untuk kasus suap dan pemerasan,
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 14
korupsi terbesar terjadi di kepolisian, sektor peradilan, pajak dan bea cukai, serta
sektor perijinan. Korupsi juga terjadi di kalangan politisi (anggota DPR dan partai
politik), serta pada praktik kolusi dalam bisnis. Untuk kasus kolusi bisnis, korupsi
terbesar terjadi di tubuh militer, kepolisian, dan pegawai pemerintah lewat koperasi
dan yayasan.
Dari segi aktornya, pelaku korupsi terbagi menjadi aparat pemerintah, pelaku
sektor bisnis, dan warga masyarakat. Secara tradisional, pelaku korupsi biasanya
hanya menyangkut pemerintah atau aparat birokrasi dengan warga. Namun demikian
kecenderungan saat ini menunjukkan adanya peningkatan kontribusi atas tingkatan
korupsi dari pelaku di sektor bisnis.
Pada dasarnya praktik korupsi dapat dikenal dalam berbagai bentuk umum
sebagai berikut :
1. bribery (penyuapan),
2. embezzlement (penggelapan/pencurian),
3. fraud (penipuan),
4. extortion (pemerasan), dan
5. favouritism (favoritisme).
Kelima bentuk ini secara konsep seringkali overlapping satu sama lain, di
mana masing-masing istilah digunakan secara bergantian. Untuk lebih mudah dalam
membedakan satu konsep dengan yang lainnya, Amundsen (2000) menjelaskan
masing-masing pengertian konsep secara detail. Penyuapan didefinisikan sebagai
“Bribery is the payment (in money or kind) that is given or taken in a corrupt
relationship”. (Amundsen, 2000: 2). Jadi penyuapan adalah pembayaran (dalam
bentuk uang atau sejenisnya) yang diberikan atau diambil dalam hubungan korupsi.
Sehingga esensi korupsi dalam konteks penyuapan adalah baik tindakan membayar
maupun menerima suap. Beberapa istilah yang memiliki kesamaan arti dengan
penyuapan adalah kickbacks, gratuities, baksheesh, sweeteners, pay-offs, speed
money, grease money. Jenis-jenis penyuapan ini adalah pembayaran untuk
memuluskan atau memperlancar urusan, terutama ketika harus melewati proses
birokrasi formal. Dengan penyuapan ini pula maka kepentingan perusahaan atau
bisnis dapat dibantu oleh politik, dan menghindari tagihan pajak serta peraturan
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 15
mengikat lainnya, atau memonopoli pasar, ijin ekspor/impor dsb. Lebih lanjut
Amundsen menjelaskan bahwa penyuapan ini juga dapat berbentuk pajak informal,
ketika petugas terkait meminta biaya tambahan (under-the-table payments) atau
mengharapkan hadiah dari klien, serta bentuk donasi bagi pejabat atau petugas
terkait.
Sedangkan penggelapan atau embezzlement didefinisikan sebagai
“embezzlement is theft of public resources by public officials, which is another form
of misappropiation of public funds” (Amundsen, 2000, 3). Jadi ini merupakan
tindakan kejahatan menggelapkan atau mencuri uang rakyat yang dilakukan oleh
pegawai pemerintah atau aparat birokrasi. Penggelapan ini juga bisa dilakukan oleh
pegawai di sektor swasta.
Biasanya kasus korupsi selalu melibatkan dua pihak, yaitu aparat (yang
menerima suap) dan warga (yang memberi suap). Namun demikian dalam kacamata
hukum, penggelapan juga merupakan tindakan pidana korupsi, walaupun jenis
korupsi ini tidak melibatkan warga masyarakat secara langsung, karena penggelepan
hanya dilakukan oleh satu pihak saja, yaitu aparat. Penggelapan adalah salah satu
bentuk korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang menjadi modus korupsi di
negara paling korup, melibatkan pemegang kekuasaan hak monopoli. Kasus
penggelapan paling banyak ditemukan adalah dalam bentuk memproteksi
kepentingan bisnis mereka dengan menggunakan kekuatan politik. Di beberapa
negara lain modus yang terjadi seperti upaya menasionalisasi perusahaan asing, hak
properti dan hak monopoli, serta mendistribusikannya ke kelompok/golongan yang
dekat dengan kekuasaan.
Adapun fraud atau penipuan diartikan sebagai “fraud is an economic crime
that involves some kind of trickery, swindle or deceit (Amundsen, 2000: 3). Fraud
adalah kejahatan ekonomi yang berwujud kebohongan, penipuan, dan perilaku tidak
jujur. Jenis korupsi ini merupakan kejahatan ekonomi yang terorganisir dan
melibatkan pejabat. Dari segi tingkatan kejahatan, istilah fraud ini merupakan istilah
yang lebih populer dan juga istilah hukum yang lebih luas dibandingkan dengan
bribery dan embezzlement. Dengan kata lain fraud relatif lebih berbahaya dan
berskala lebih luas dibanding kedua jenis korupsi sebelumnya. Kerjasama antar
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 16
pejabat/instansi dalam menutupi satu hal kepada publik yang berhak mengetahuinya
merupakan contoh dari jenis kejahatan ini.
Bentuk korupsi lainya adalah extortion atau pemerasan yang didefinisikan
sebagai ”extortion is money and other resources extracted by the use of coercion,
violance or the threats to use force” (Amundsen, 2000: 4). Korupsi dalam bentuk
pemerasan adalah jenis korupsi yang melibatkan aparat yang melakukan pemaksaan
atau pendekatan koersif untuk mendapatkan keuntungan sebagai imbal jasa atas
pelayanan yang diberikan. Pemerasan ini dapat berbentuk “from below” atau “from
above”. Sedangkan yang dimaksud dengan “from above” adalah jenis pemerasan
yang dilakukan oleh aparat pemberi layanan terhadap warga
B. PETA KORUPSI DUNIA DAN REGIONAL
Saat ini fenomena korupsi terjadi di hampir semua negara, baik negara maju
maupun negara berkembang. Namun demikian, di negara berkembang, tingkat
korupsi cenderung tinggi dibandingkan dengan negara maju. Peta Indeks Persepsi
Korupsi berikut menjelaskan distribusi geografis korupsi di seluruh dunia.
Pada Tabel 2.1, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) masing-masing negara
digambarkan dalam warna. Biru adalah negara-negara yang tingkat korupsinya paling
kecil (9-10). Merah tua merupakan negara dengan tingkat korupsi terparah (1-1,9).
Sedangkan warna-warna lain berada di antaranya (2-8,9) Namun sebagian besar
negara-negara berkembang berada pada tingkat korupsi sedang sampai dengan
parah (2-2,9), termasuk Indonesia (warna merah). Dari gambar di atas juga dapat
diketahui bahwa gejala umum menunjukkan bahwa tingkat korupsi relatif berbanding
lurus dengan tingkat kemiskinan.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 17
Gambar 2.1
Peta Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Seluruh Dunia
Sumber: Transparency International (2006)
Korupsi juga menciptakan ketidak seimbangan dan ketidak adilan di
masyarakat, sehingga korupsi sebenarnya merupakan persoalan yang kritis. Hal ini
tidak lain karena praktik korupsi sangat mempengaruhi kinerja ekonomi dan
pembangunan suatu negara. Pada masa lalu, rendahnya kesejahteraan dituding
sebagai faktor dan akar penyebab korupsi. Perilaku korup dianggap
”menguntungkan” dalam kondisi penghasilan yang rendah. Suap menjadi suplemen
pendapatan dan secara esensial akan terjadi ”trickle-down effect”. Namun saat ini,
hipotesis ini banyak diragukan oleh kalangan. Banyak variabel lain yang dianggap
potensial sebagai penyebab munculnya praktik korupsi, seperti nilai, budaya,
perilaku, lingkungan sosial, pranata hukum dan sebagainya.
Namun demikian, satu hal yang tidak diragukan bahwa daya rusak korupsi
terhadap ekonomi global sangatlah besar. Seperti yang diestimasi oleh Bank Dunia
bahwa pada tahun 2003 saja, untuk biaya suap yang dibayarkan (tidak termasuk
penggelapan atau bentuk korupsi lainnya) pada aktivitas ekonomi mencapai USD 1
triliun.
Di Indonesia, perhatian terhadap isu korupsi kembali menemukan
momentumnya ketika era transparansi dan akuntabilitas menjadi wacana publik.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 18
Kesadaran masyarakat akan hukum dan situasi politik, sosial dan ekonomi yang
membaik, mendorong kesadaran akan pentingnya transparansi dan akuntabilitas
publik. Kesadaran publik akan pentingnya memberantas korupsi juga meningkat
seiring dengan meningkatnya kesadaran mereka akan hak dasar sebagai warga
negara. Apalagi fakta menyebutkan bahwa Indonesia memiliki rapor korupsi yang
tidak kunjung membaik.
Momentum perhatian terhadap isu korupsi ini juga diperkuat dengan situasi
euforia otonomi dan semangat desentralisasi yang justru kontra produktif terhadap
upaya pemberantasan korupsi secara nasional. Penelitian Bank Dunia pada tahun
2007 mengenai korupsi di tingkat daerah menunjukkan fakta bahwa desentralsasi
menyuburkan korupsi di tingkat lokal. Hal ini terjadi karena adanya desentralisasi
keuangan, politik dan hubungan antara lembaga pemerintah di tingkat lokal yang
ditandai dengan kuatnya kedudukan lembaga legislatif dibanding lembaga eksekutif12.
Potret Indonesia dalam peta korupsi di dunia sangatlah mencolok. Sebagai
contoh adalah hasil pemeringkatan korupsi oleh TI dan skor korupsi oleh PERC yang
menghasilkan kesimpulan buruknya kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia,
Yang paling baru, misalnya, pada rilis Bank Dunia dan PBB (September 2007) yang
memprakarsai pengembalian aset melalui program Stolen Asset Recovery Innitiatives
(StAR), mantan Presiden Soeharto didudukkan di peringkat pertama sebagai
pengambil aset negara terbesar di dunia, dengan estimasi aset yang diambil sekitar
USD 15 - 35 milyar. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kondisi status hukumnya
di Indonesia, karena pada saat bersamaan, kasus sengketa Soeharto dengan Majalah
Time terkait laporan harta kekayaan Soeharto, justru pada tingkatan kasasi di
Mahkamah Agung dimenangkan oleh pihak Soeharto.
Dalam daftar peringkat pengambil aset negara terbesar yang dirilis Bank Dunia
dan PBB ini, seluruhnya berasal dari negara berkembang atau negara dengan
kapasitas ekonomi yang rendah, yaitu dari kawasan Asia Tenggara, Afrika, Amerika
Latin dan Eropa Timur.
12 Bank Dunia, 2007. Memerangi Korupsi di Indonesia yang Terdesentralisasi. Hal.15
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 19
Terlepas dari nuansa politis diluncurkannya prakarsa ini, berkenaan dengan
program pengembalian aset ini, Sekjen PBB Ban Ki-Moon13 menegaskan bahwa
”Every 100 million dollars recovered could fund full vaccinations for 4 million
children, provide water connections for some 250,000 households, or fund
treatment for over 600,000 people with HIV/AIDS for a full year”. Ini berarti bahwa
dari setiap USD 100 juta yang dikembalikan, hasilnya bisa untuk membiayai vaksinasi
untuk 4 juta orang anak, juga menyediakan saluran air bersih untuk 250.000 kepala
kelurga (KK) atau penanganan/perawatan lebih dari 600.000 orang yang mengidap
HIV/AIDS selama satu tahun penuh. Dengan demikian bisa dibayangkan betapa nilai
manfaat dari pengembalian aset ini sangatlah besar. Dengan asumsi USD 10 milyar
saja yang bisa kembali, maka nilai kemanfaatan yang bisa dinikmati oleh Indonesia
maupun negara-begara lain yang menjadi korban korupsi akan sangat menakjubkan.
Tabel 2.1
Daftar Peringkat Pengambil Aset Negara Terbesar
versi StAR (Stolen Asset Recovery Innitiatives) Bank Dunia & PBB
No Nama Terduga Negara Estimasi Aset Tahun
1 H.M. Soeharto Indonesia USD 15 – 35 Milyar 1967 – 1988
2 Ferdinand Marcos Filipina USD 5 – 10 Milyar 1972 – 1986
3 Mobutu Sese Seko Zaire USD 5 Milyar 1965 – 1997
4 Sani Abacha Nigeria USD 2 – 5 Milyar 1993 – 1998
5 Slobodan/Milosevic Serbia USD 1 Milyar 1989 – 2000
6 Jean Claude Duvalier Haiti USD 300 – 800 juta 1971 – 1986
7 Alberto Fujimori Peru USD 600 juta 1990 – 2000
8 Pavio Lazarenko Ukraina USD 114 – 200 juta 1996 – 1997
9 Arnoldo Areman Nikaragua USD 100 juta 1997 – 2002
10 Joseph Estrada Filipina USD 70 – 80 juta 1998 – 2001
Sumber : Diolah dari Kompas online, 18 September 2007
13 Dalam Artikel ”Rekor Koruptor ”Top Markotop” oleh M. Fadjroel Rachman di Kompas, 20 September 2007.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 20
Di tingkat regional pun, posisi Indonesia mendapat tempat yang sangat
kontras dengan peringkat paling bawah. Peringkat yang dikeluarkan oleh beberapa
lembaga independen yang berbeda dengan variabel dan metode pengukuran yang
berbeda, namun menunjukkan adanya konsistensi hasil pengukuran.
Grafik berikut merupakan pemeringkatan negara hasil pengolahan oleh
Political and Economy Risk Consultancy (PERC)—sebuah lembaga independen yang
berbasis di Hong Kong—menunjukkan peringkat korupsi negara-negara di Asia
berdasarkan perhitungan skor, sebagai berikut:
Grafik 2.1
Peringkat Korupsi Beberapa Negara Asia
Sumber : PERC, Corruption in Asia, 2006
Rentang skor dari nol sampai 10, di mana skor nol adalah mewakili posisi
terbaik, sedangkan skor 10 merupakan posisi skor terburuk. Ini merupakan survey
tahunan yang dilakukan oleh PERC untuk menilai kecenderungan korupsi di Asia dari
tahun ke tahun. Dalam hal ini PERC bertanya kepada responden untuk menilai
kondisi di mana mereka bekerja sekaligus juga untuk menilai kondisi negara asalnya
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 21
masing-masing. Metode ini digunakan agar dapat menghasilkan data perbandingan
antar negara (cross-country comparison), sehingga survey ini dapat dimanfaatkan
untuk mengevaluasi bagaimana persepsi terhadap suatu negara berubah seiring
waktu.
Kabar baik yang didapatkan dari survey PERC tahun 2006 ini adalah persepsi
ekspatriat terhadap korupsi adalah membaiknya penanganan korupsi di banyak
negara-negara Asia. Dengan kata lain, iklim bisnis di Asia menuju ke iklim yang sehat
yang ditandai dengan berkurangya praktik korupsi. Kesimpulan ini didapatkan
setelah membandingkan dari tahun ke tahun untuk pertanyaan survey yaitu ”how big
is the problem of corruption in terms of its being a feature influencing the overall
business environment?”. Skor yang didapat dari 10 negara (dari 12 negara yang
disurvey), menunjukkan adanya perbaikan.
Sayangnya perbaikan iklim bisnis pada tingkat regional ini tidak didukung oleh
iklim di tingkat nasional. Dari daftar peringkat di atas diketahui bahwa Indonesia
menempati urutan terbawah dari 13 negara yang diukur. Data PERC ini ternyata
sejalan dengan hasil survey Transparency International, sehingga menegaskan
validitas buruknya kondisi korupsi di Indonesia.
Grafik di atas juga menunjukkan adanya kecenderungan negara dengan
kemapanan ekonomi lebih baik, mempunyai tingkat korupsi yang rendah. Sehingga
semakin renda kapasitas ekonomi suatu negara, potensi korupsinya juga semakin
besar. Konsistensi ini juga terlihat pada peta distribusi IPK di dunia yang dihasilkan
oleh TI, di mana, wilayah yang IPK nya tinggi, lebih banyak terletak pada negara-
negara yang secara ekonomi mapan. Walaupun hipotesis ini masih perlu pengujian
lebih lanjut, namun secara umum yang terlihat mengindikasikan adanya konsistensi
tersebut.
Selain CPI atau Corruption Perception Index, TI juga menerbitkan Bribe
Payer Index (BPI) yaitu adalah indeks lain yang dikembangkan untuk mengukur
tingkat penyuapan yang dilakukan oleh perusahaan yang beroperasi di luar negeri.
BPI ini dilakukan pada 30 negara yang termasuk pemimpin ekspor yang terkemuka di
dunia.
Rentang skala 1 sampai dengan 10, di mana skala 1 menunjukkan bahwa
penyuapan adalah biasa, sementara skala 7 menunjukkan bahwa penyuapan tidak
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 22
pernah terjadi. Hasil dari perhitungan rata-rata kemudian dikonversi ke rentang skor
1 – 10. Indonesia “beruntung” tidak termasuk dalam list, bukan karena tidak terdapat
praktik suap-menyuap, namun karena kapasitas ekonomi Indonesia tidak sebesar ke
30 negara di atas. 30 negara di atas adalah negara-negara yang secara akumulatif
mewakili 82% kapasitas ekspor dunia. Berdasarkan data tersebut, Diane Mak
membagi negara-negara tersebut dalam 4 cluster, yaitu:
1. Cluster 1: Switzerland, Sweden, Australia, Austria, Canada, UK, Germany,
Netherlands, Belgium, USA, Japan
2. Cluster 2: Singapore, Spain, United Arab Emirates, France, Portugal, Mexico
3. Cluster 3: Hong Kong, Israel, Italy, South Korea, Saudi Arabia, Brazil, South
Africa, Malaysia
4. Cluster 4: Taiwan, Turkey, Russia, China, India.
Dengan pengelompokan ini, maka cluster 1 merupakan kelompok negara
dengan kebiasaan praktik penyuapan yang paling sedikit, atau hampir tidak terjadi,
sementara cluster 4 mewakili negara dengan kondisi praktik suap yang parah dan
dianggap biasa dalam aktivitas bisnis.
Adapun kalau dilihat dari segi sektor, maka terdapat 7 sektor yang paling
sering terlibat dalam kasus praktik penyuapan. Sektor-sektor tersebut adalah:
1. kepolisian,
2. pelayanan/perijinan,
3. peradilan,
4. pelayanan medis,
5. pendidikan,
6. pendapatan umum dan
7. pajak.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 23
Tabel 2.2
Indeks Penyuapan Beberapa Negara
Sumber : Diane Mak, 2006
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 24
Grafik 2.2
Sektor terlibat kasus Penyuapan
Sumber : TI Global Corruption Barometer, 2006.
TI menemukan bahwa kepolisian merupakan sektor yang paling rawan,
sementara pajak merupakan sektor yang paling aman dari dari ketujuh sektor
terhadap praktik penuapan. Gambaran sektor ini tidak mencerminkan gambaran
masing-masing negara, namun merupakan agregasi dari seluruh negara yang
disurvey. Oleh karenanya terdapat variasi ranking sektor pada masing-masing negara.
Ranking sektor ini tidak menunjukkan besarnya nominal nilai uang yang
berputar dalam praktik korupsi di masing-masing sektor. Sedangkan dari segi
distribusi wilayah, diketahui bahwa ternyata benua Afrika merupakan kawasan yang
paling banyak mencatat praktik penyuapan ini, sementara wilayah Uni Eropa
merupakan wilayah yang dinyatakan relatif paling bersih. Posisi Asia Pasifik terletak
di ranking 4 dari 7 wilayah yang dikelompokkan. Grafik berikut secara rinci
menunjukkan masing-masing posisi wilayah.
Polisi Pelayanan Perijinan
Peradilan/ Hukum
Pelayanan Medis
Sistem Pendidikan
Pekerjaan Umum
Pendapatan Pajak
Pro
sen
tase
Re
spo
nd
en
P
em
ba
yar
Su
ap
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 25
Grafik 2.3
Wilayah yang terkena dampak kasus Penyuapan
Sumber : TI Global Corruption Barometer, 2006.
Memperhatikan data-data sekunder di atas, maka sangat wajar kalau banyak
suara yang pesimis mengenai prospek pemberantasan korupsi di Asia, khususnya di
Indonesia. Korupsi di Asia bukan sesuatu yang tidak mungkin diberantas. Bahkan
korupsi juga bukan merupakan bagian dari budaya Asia atau negara-negara
berkembang. Hal ini telah dibuktikan dengan baik oleh Singapura dan Cili yang
secara agresif berhasil memberantas korupsi, sehingga menempatkan mereka
menjadi negara dengan kategori jauh lebih bersih melebihi negara-negara Eropa
Barat seperti Perancis dan Spanyol.
Sehubungan dengan kepentingan penelitian ini, maka dipilih 3 negara yang
mewakili profil korupsi yang terbaik yaitu Singapura dan Hon Kong, serta profil
korupsi yang lemah yaitu India. Pemilihan ini lokus ini didasarkan pada beberapa
pertimbangan penting. Pemilihan Singapura dan Hong Kong lebih di dasarkan pada
fakta bahwa kedua negara termasuk paling sukses dalam upaya pemberantasan
korupsi. Sedangkan pemilihan India adalah atas dasar pertimbangan kemiripan
struktur pemerintahan dan cakupan (coverage) wilayah yang relatif sama luasnya.
Total Sampel Afrika Amerika Latin NIS Asia Pasifik Eropa Amerika Utara UE +
Pro
sen
tase
Re
spo
nd
en
P
em
ba
yar
Su
ap
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 26
Sehingga ada asumsi bahwa kompleksitas pemasalahan yang dihadapi relatif juga
sama. Pertimbangan lain yang tidak kalah pentingnya bahwa India dicatat oleh PERC
telah menghasilkan kemajuan besar dalam upaya pemberantasan korupsi ini.
Berikut ini adalah perbandingan umum masing-masing sampel negara yang
menjadi lokus kajian ini.
Tabel 2.3
Perbandingan Profil 4 Negara dalam Penanganan Korupsi
Kelembagaan Tahun Perundangan Cakupan
Peringkat
di Asia
(2006)
Singapura CPIB 1952 2 UU Skala kota/lokal 1
Hong Kong ICAC 1974 3 UU Skala kota/lokal 3
India CBI*, CVC 1963,1964 5 UU Skala nasional 8
Indonesia KPK, Kepolisian, Kejaksaan
2002 7 UU Skala nasional 13
Sumber : Diolah dari berbagai sumber
Dalam perbandingan di atas, dapat diketahui bahwa Singapura merupakan
pionir dalam upaya pemberantasan korupsi. Sejak didirikannya Corrupt Practices
Investigation Bureau (CPIB) pada tahun 1952, Singapura kini telah mencatatkan diri
sebagai negara paling bersih korupsi di tingkat Asia, dan bahkan di dunia pun
Singapura diakui secara internasional.
Sementara Hong Kong menandai permulaan perjuangan pemberantasan
korupsi dengan membentuk lembaga independen ICAC pada tahun 1974. Hong Kong
harus melewati kompromi politik antar lembaga terkait, terutama bagi beberapa
lembaga yang diduga melakukan praktik korupsi, untuk memuluskan strategi
pemberantasan korupsinya. Dalam waktu singkat Hong Kong meraih hasil yang
sangat maju, sehingga berhasil masuk kategori wilayah paling bersih di Asia setelah
Singapura dan Jepang.
Perlu diperhatikan bahwa terdapat persamaan profil antara Singapura dan
Hong Kong di mana keduanya memiliki wilayah teritori yang kecil, seukuran kota.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 27
Fokus pemberantasan korupsi pada kedua negara menjadi lebih baik karena cakupan
yang kecil atau “city concern”. Kondisi geografis ini menguntungkan keduanya dalam
melakukan percepatan pemberantasan korupsi, karena daya jangkau yang lebih
cepat.
Sebagai negara di Asia yang berprestasi dalam hal pemberantasan korupsi,
Singapura dan Hong Kong boleh jadi merupakan contoh yang ideal. Namun apabila
memperhatikan variabel lain yang membedakan karakteristik kedua negara dengan
negara-negara lainnya maka Singapura dan Hong Kong menjadi terlalu jauh untuk
dijadikan benchmark dalam memberantas korupsi. Sebagai contoh, kondisi luas
wilayah geografis Indonesia yang puluhan kali lebih besar dari Singapura dan Hong
Kong, tentu akan memunculkan kompleksitas permasalahan di lapangan yang jauh
lebih rumit.
India sebagai negara dengan wilayah daratan yang luas, mempunyai
karakteristik permasalahan yang mirip dengan Indonesia. Kondisi geografis
menyebabkan struktur pemerintahan di India juga bertingkat, disesuaikan dengan
kebutuhan distribusi kekuasaan pada jenjang vertikal dari pusat ke daerah (negara
bagian) dan horizontal, mencakup seluruh wilayah pada tataran level pemerintahan
yang sama. Indonesia dengan kondisi yang relatif sama juga mempunyai profil dan
struktur pemerintahan yang berjenjang.
C. KORUPSI DI BEBERAPA NEGARA
1. SINGAPURA
Sejarahnya Singapura mulai menjadi koloni Inggris sejak tahun 1819. Pada
tahun 1963 bergabung dengan Federasi Malaysia, namun dua tahun kemudian
memisahkan diri dari Malaysia dan menjadi merdeka. Singapura dikenal sebagai
salah satu negara paling sejahtera di dunia dengan jaringan perdagangan
internasional yang kuat, terutama didukung oleh adanya aktivitas pelabuhan
Singapura yang termasuk pelabuhan paling sibuk di dunia. Kondisi ekonomi yang
sangat bagus dicerminkan oleh Gross Domestic Product (GDP) per kapita yang
menyamai atau setara dengan negara-negara Eropa Barat.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 28
Singapura menganut tipe pemerintahan republik parlementer, dengan
dukungan konstitusi 3 Juni 1959, yang sudah diamandemen pada tahun 1965.
Struktur pemerintah Singapura adalah sebagai berikut:
1. Kepala Negara adalah Presiden
2. Kepala Pemerintahan adalah Perdana Menteri yang dibantu oleh Senior
Minister dan Minister Mentor.
Sedangkan kelembagaan legislatif Singapura menganut Parlemen Unikameral,
dengan jumlah kursi 84 buah, dihasilkan dari pemilihan umum untuk masa periode 5
tahun. Sebagai tambahan tersedia 9 kursi untuk calon anggota legislatif yang
dinominasikan, dan 3 kursi untuk pihak oposan yang kalah, yang ditunjuk sebagai
anggota non-konstituen (nonconstituency members).
Grafik 2.4
Kecenderungan Korupsi di Singapura
Sumber : PERC, Corruption in Asia, 2006
Berdasarkan laporan PERC, Singapura adalah salah satu negara yang secara
konsisten sebagai negara paling bersih korupsi di level Asia. Konsistensi ini
ditunjukkan oleh grafik berikut ini, di mana skor yang dimiliki Singapura selalu
berada di atas skor rata-rata Asia selama kurun waktu 10 tahun terakhir.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 29
Singapura adalah negara dengan kinerja pemberantasan korupsi terbaik di
Asia, bahkan termasuk yang terbaik di dunia. Dengan skor yang mendekati angka
absolut 0, Singapura mencatatkan diri sebagai negara dengan konsistensi
pemberantasan korupsi yang paling baik. Grafik di atas bahkan membuktikan bahwa
skor yang dimiliki oleh Singapura berada jauh di atas rata-rata skor Asia.
2. HONG KONG
Wilayah Hong Kong berada di bawah pemerintahan kolonial Inggris pada
tahun 1841, dan setahun kemudian secara resmi dilepaskan oleh Cina. Berdasarkan
perjanjian antara Cina dengan Inggris pada tanggal 19 Desember 1984, Hong Kong
berubah status dan nama resmi menjadi the Hong Kong Special Administrative
Region (SAR) of China mulai tanggal 1 Juli 1997. Pada perjanjian ini, Cina
menjanjikan formula “one country, two system”, yang berimplikasi bahwa sistem
ekonomi sosialis Cina tidak akan diberlakukan di Hong Kong, serta Hong Kong akan
menikmati otonomi yang sangat luas, mencakup banayk kewenangan kecuali urusan
luar negeri dan pertahanan sampai dengan 50 tahun ke depan.
Hong Kong berlokasi di wilayah Asia Timur, berbatasan langsung dengan Cina
dan Laut Cina Selatan, dengan total luas 1.092 km persegi. Sampai dengan Juli 2007
diperkirakan populasi penduduk di Hong Kong mencapai 6.980.412 jiwa dengan
struktur demografi 13% usia di bawah 14 tahun, 74% usia produktif antara 15 – 64
tahun, serta 12,9% untuk usia pensiun yaitu 65 tahun ke atas.
Penyelenggaraan pemerintahan Hong Kong didukung oleh konstitusi mini
(Basic Law) yang telah disetujui oleh China’s National People’s Congress pada Maret
1990. Secara formal struktur lembaga eksekutif terdiri atas :
1. Kepala Negara adalah Presiden Cina
2. Kepala Pemerintah adalah Chief Executive, yang dipilih oleh 800 anggota
komisi pemilihan untuk setiap periode 5 tahunan,
3. Kabinet yaitu Executive Council yang terdiri dari 14 anggota resmi dan 15
anggota tidak resmi.
Sedangkan lembaga legislatif dikenal dengan nama LEGCO atau Legislative
Council bersifat unicameral, terdiri dari 60 kursi.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 30
Berdasarkan laporan PERC, kondisi penanganan korupsi di Hong Kong relatif
stabil. Walaupun ada penurunan sedikit dalam 2 tahun erakhir, namun penurunan ini
tidak signifikan, karena kecenderungan penuruan ini juga terjadi pada skor rata-rata
Asia.
Grafik 2.5
Kecenderungan Korupsi di Hong Kong
Sumber : PERC, Corruption in Asia, 2006
Sama halnya dengan Singapura, kinerja pemberantasan korupsi di Hong Kong
tergolong sangat baik. Dalam 10 tahun terakhir, skor yang di capai Hong Kong selalu
berada di atas skor rata-rata Asia. Capaian ini menempatkan Hong Kong sebagai
salah satu wilayah yang paling bersih korupsi di Asia.
Namun demikian terdapat data menarik dari ICAC mengenai kecenderungan
pelaku korupsi di Hong Kong, yang meningkat dari segi jumlah, maupun dari sektor-
sektor di mana para pelaku itu berasal.
Grafik di bawah menunjukkan kecenderungan praktik korupsi di Hong Kong
adalah meningkat dalam kurun 30 tahun lebih. Apabila diperhatikan pada tahun
1974–1978 terjadi penurunan praktik korupsi. Berdasarkan keterangan informan,
pada periode tersebut terjadi resistensi yang hebat dari beberapa pihak terhadap
upaya pemberantasan korupsi di Hong Kong oleh ICAC. Akhirnya, karena situasinya
menjadi deadlock, maka diputuskan untuk dilakukan pengampunan massal kepada
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 31
unit dan individu pelaku korupsi, dan mulai melakukan upaya pemberantasan efektif,
setelah adanya pengampunan massal itu.
Grafik 2.6
Laporan Korupsi Hong Kong
Sumber : ICAC Hong Kong, 2007
Fakta yang menarik dari grafik itu diketahui bahwa kecenderungan sektor
publik dalam praktik korupsi menurun dalam 6 tahun terakhir. Demikian pula
korupsi di sektor bisnis mengalami trend penurunan yang sama. Namun demikian
sektor bisnis masih tetap lebih tinggi tingkat korupsinya dibandingkan dengan sektor
publik. Tercatat sejak tahun 1988 sampai dengan saat ini, berdasarkan data statistik
ICAC, sektor bisnis ”menyalip” sektor publik dalam hal praktik korupsi. Sedangkan
yang dimaksud dengan lembaga publik antara lain adalah Legislative Council
(LegCo), Securities and Future Commission (SFC), The Hospital Authority (HA), dan
Urban Renewal Authority (URA).
Dalam sebuah survey tahunan yang melibatkan 1.500 warga Hong Kong
melalui random sampling, dan dilaksanakan pada akhir tahun 2006 oleh lembaga
penelitian profesional, dipanitiai oleh ICAC, diketahui bahwa toleransi publik
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
5000
74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 '00 '02 '04 '06
Total 3,339
Sektor Bisnis 2,037
Pemerintah 1,068
Lembaga Publik 234
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 32
terhadap korupsi di pemerintahan: mencapai nilai 1,114. Artinya bahwa publik Hong
Kong pada umumnya sangat tidak mentolerir adanya praktik korupsi di Hong Kong.
3. INDIA
India adalah salah satu negara dengan sejarah peradaban leluhur paling tua di
dunia. Peradaban lembah Hindus telah hadir sejak 5000 tahun silam. Suku Arya yang
berasal dari Barat Laut telah menduduki dataran India sejak 1500 SM, yang
kemudian berakulturasi dengan penduduk lokal Dravidian menghasilkan budaya
India klasikal. Infiltrasi asing mulai masuk dimulai dengan serangan Arab pada abad
8 dan Turki pada abad 12. Sampai dengan abad ke 19, seluruh dataran India dikuasai
oleh pemerintah kolonial Inggris. Dengan perjuangan anti kekerasan oleh Mohandas
Gandhi dan Jawaharlal Nehru, India berhasil memproklamirkan kemerdekaannya
pada tahun 1947. Pada tahun 1971, East Pakistan menjadi negara terpisah yang
dikenal sekarang dengan nama Bangladesh. Persoalan utama yang kini dihadapi India
adalah konflik tidak berujung dengan Pakistan mengenai wilayah Kashmir, populasi
yang terlalu besar, degradasi lingkungan, kemiskinan yang meluas serta konflik etnik
dan agama.
India berlokasi di selatan Asia, berbatasan dengan Laut Arab dan Teluk
Bengal, antara Myanmar dan Pakistan, memiliki luas wilayah mencapai 3.287.590 km
persegi. Estimasi populasi penduduk pada Juli 2007 mencapai 1.129.866.154 jiwa.
Tipe pemerintah India merupakan Republik Federal, yang terdiri dari 28
negara bagian dan 7 union territories. Adapun struktur lembaga eksekutif adalah
terdiri dari.
1. Kepala Negara adalah Presiden, yang dibantu oleh Wakil Presiden.
2. Kepala Pemerintahan adalah Perdana Menteri.
3. Kabinet dibentuk dengan anggotanya ditunjuk/diangkat oleh Presiden atas
rekomendasi Perdana Menteri.
Sedangkan kelembagaan legislatifnya adalah parlemen bikameral (Sansad)
yang terdiri dari Dewan Negara atau Rajya Sabha dan Majelis Rakyat atau Lok Sabha.
14 Skala nilai 0 -10, di mana 0 mewakili penolakan total dan 10 mewakili toleransi total
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 33
Rajya Sabha terdiri dari 250 anggota, di mana 12 anggota diantaranya ditunjuk oleh
Presiden, sedangkan sisanya dipilih oleh anggota state and territorial assmeblies.
Anggota Rajya Sabha melaksanakan tugasnya untuk periode enam tahun. Adapun
Lok Shaba terdiri atas 545 kursi, di mana 543 merupakan keannggotaa hasil
pemilihan umum, dan sisanya sejumlah 2 orang anggota ditunjuk oleh Presiden.
Berdasarkan data PERC, peringkat India dalam 10 tahun terakhir selalu berada
di bawah skor rata-rata Asia. Namun demikian pada dua tahun terakhir terdapat
peningkatan yang sangat baik, yaitu menembus skor terbaik di bawah 7, setelah
pencapaian terbaik sebelumnya pada tahun 1998. Hal ini merupakan indikasi penting
dari keseriusan dan itikad yang kuat berbagai pihak di India untuk memberantas
korupsi.
Grafik 2.7
Kecenderungan Korupsi di India
Sumber : PERC, Corruption in Asia, 2006
Menurut survey yang dilakukan PERC, 2006, pada umumnya ekspatriat di
India percaya adanya perbaikan situasi korupsi di India. Hal ini dibuktikan dengan
perubahan persepsi ini yang dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2005) adalah
yang terbesar di bandingkan negara-negara lainnya. Oleh karenanya skor saat ini
adalah yang terbaik yang pernah dicapai India. Responden yang sama juga
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 34
berpendapat negatif mengenai determinasi pemerintah dalam memberantas korupsi,
dan efektivitas sistem yudisial dalam menuntut dan menghukum individu pelaku
korupsi. Fakta menarik lainnya bahwa lebih dari 40% responden berpendapat bahwa
level korupsi mengalami penurunan
Penyebab korupsi di India diyakini bukan karena rendahnya gaji atau
kesejahteraan pegawai. Dalam satu kesempatan Seminar yang diorganisir oleh
UNODC di the India Habitat Centre, New Delhi, Desember 2005, Tahiliani15
menegaskan bahwa faktor rendahnya gaji sebegai penyebab korupsi di India adalah
sebuah mitos belaka. Justru penegakan hukum yang masih lemah menjadi faktor
yang berkontribusi langsung terhadap level korupsi di India.
Tahiliani16 selanjutnya berpendapat bahwa penyebab terbesar terjadinya
korupsi di India adalah aktivitas politik dalam negeri, terutama dengan adanya event-
event pemilihan umum. India dengan struktur kelembagaan pemerintahan federal,
memiliki pemerintahan yang berjenjang, dari mulai pemerintah federal dan
pemerintah negara bagian. Pemilihan umum yang dilakukan pada masing-masing
level pemerintahan kerap membuka peluang terjadinya korupsi.
Dalam penelasan yang lebih rinci, menurut Sondhi17, seorang spesialis Ilmu
Politik dari University of Delhi— menulis bahwa korupsi di India terjadi akibat
beberapa faktor yaitu :
Pertama, patronase atau kepemimpinan politik. Dari akar permasalahan
patronase politik ini, kemudian menurunkan banyak varian praktik korupsi yang
berdampak pada aktivitas politik, ekonomi dan sosial. Selanjutnya menurut Sondhi
(2000), dokumen resmi pertama yang mengupas masalah korupsi di India adalah the
AD Gorwala Report. Dalam dokumen ini disebutkan bahwa sebenarnya penurunan
character building di India pasca periode 1974 menyebabkan dua akibat langsung
yaitu kekerasan dan ketamakan. Perang Dunia Kedua menjadi faktor yang
menguntungkan sebagian orang, baik secara legal maupun ilegal.
15 Admiral Tahiliani, Chairman of TI India 16 Wawancara oleh Tim Peneliti terhadap Mr. Tahiliani dilakukan pada Mei 2007 17 Sonil Sondhi, 2000. Combatting Corruption in India: The Role of Civil Society. Hal. 7
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 35
Kedua, labirin administrasi. Sistem administrasi dan hukum India didesain
pada pertengahan abad ke 19 untuk melayani kepentingan pemerintah kolonial
Inggris pada masa itu.
Ketiga, hukum yang lemah. Faktor yang berkontribusi besar terhadap
pertumbuhan korupsi di India adalah hukum dan pranatanya yang menangani kasus
korupsi secara biasa saja. Tidak muncul itikad yang kuat untuk memberantas korupsi
di India. Pelaku korupsi jarang ditangkap, kalaupun tertangkap dan diadili, hanya
akan mendapat hukuman yang ringan atau malah dibebaskan dari segala tuduhan.
Keempat, lingkungan sosial. Administrasi publik sebagai sub sistem dari
sistem politik, merupakan bagian dari sistem yang lebih besar yaitu sistem sosial.
Oleh karenanya sistem sosial sangat berpengaruh terhadap administrasi publik.
Korupsi telah menjadi bagian dari perilaku dan kejiwaan masyarakat India, sehingga
dianggap tidak melanggar norma.
Lebih lanjut menurut Tahiliani, korupsi di India telah menyebabkan kerugian
negara sebesar Rs 20.000 crores18. Sementara Bank Dunia mengestimasi kerugian
ditaksir sekitar 3% dari pertumbuhan bisnis di India per tahunnya. Selanjutnya
perhitungan Bank Dunia, dengan adanya upaya mengurangi korupsi di India, maka
dampak positif yang langsung dirasakan adalah meningkatkan pertumbuhan
pendapatan sekitar 2-4% per tahun.
Dalam kasus korupsi di India, TI India melaporkan bahwa tidak semua
instansi pemerintah terlibat dalam kasus korupsi yang berskala besar. Dua di
antaranya yaitu jawatan kereta api dan telekomunikasi yang berhasil mengurangi
level korupsi secara signifikan setelah memanfaatkan teknologi informasi dalam
menjalankan fungsinya.
Korupsi di India tidak hanya melibatkan sektor publik, namun juga sektor
swasta. Oleh karenanya di India dikenal tiga jenis korupsi, yaitu :
1. Korupsi dalam partai politik
2. Korupsi dalam domain publik
3. Korupsi dalam masyarakat madani
18 satuan penghitungan di India, 1 crore = 10 juta.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 36
4. INDONESIA
Seperti yang sudah diulas banyak pada latar belakang, bab pendahuluan dan
awal bab ini, kondisi Indonesa dalam peta korupsi dunia maupun regional masih
sangat memprihatinkan. Di mata internasional Indonesia seolah identik dengan
praktik korupsi. Citra yang begitu buruk ini sudah melekat pada setiap individu
maupun bangsa. Data PERC menunjukkan belum adanya perbaikan signifikan dan
efektif terhadap pemberantasan korupsi. Grafik 2.8 memperlihatkan fakta bahwa
praktik korupsi di Indonesia jauh lebih buruk dibandingkan dengan negara-negara
lain di Asia.
Grafik 2.8
Kecenderungan Korupsi di Indonesia
Sumber : PERC, Corruption in Asia, 2006
Dari Gambar 2.9 diketahui bahwa peringkat korupsi Indonesia dalam 10 tahun
terakhir relatif tidak mengalami perubahan. Pada tahun 2004 – 2006 terlihat ada
sedikit perbaikan kinerja, walaupun masih cukup jauh di bawah skor rata-rata Asia.
Bahkan data pada rentang tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, menunjukkan
bahwa angka korupsi di Indonesia menyentuh angka absolut, yang berarti praktik
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 37
korupsi yang terjadi pada periode tersebut sangat memprihatinkan, dan menentuh
batas-batas yang bisa ditolerir.
Grafik 2.9
Pengendalian Korupsi (2002)
Sumber : World Bank, Combatting Corruption in Indonesia, 2003. p.2
Data dari TI juga memposisikan Indonesia dalam posisi terbawah sebagai
salah satu negara paling korup. Dari beberapa hasil survey oleh lembaga-lembaga
independen, maka World Bank Institute berinisiatif untuk mengaggregasi hasil
survey untuk menentukan kinerja pemberantasan korupsi beberapa negara.
The World Bank Institute melakukan perhitungan dengan metode agregasi
dari berbagai data statistik dan peringkat korupsi yang dikeluarkan beberapa lembaga
internasional, menghasilkan kesimpulan bahwa Indonesia bersama Bangladesh dan
Nigeria adalah negara-negara dengan kinerja pemberantasan korupsi paling buruk.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 38
Bab III
Kebijakan Dan Perundangan
Pemberantasan Korupsi
trategi pemberantasan korupsi melalui penataan kebijakan dan peraturan
perundangan dilakukan oleh banyak negara. Pemberantasan korupsi
memerlukan perangkat undang-undang anti korupsi yang efektif karena
dengan instrumen hukum ini dapat diberikan jaminan kepastian hukum dan jaminan
keadilan yang lebih objektif. Penataan kebijakan dan perundangan juga termasuk
menata pranata hukum, sehingga membangun kapasitas hukum yang lebih
berwibawa. Dengan adanya kapasitas hukum yang berwibawa, citra pemberantasan
korupsi akan secara otomatis membaik.
Namun demikian, lingkungan lokal strategis sangat berpengaruh dalam
mendukung atau sebaliknya yaitu resisten terhadap strategi kebijakan dan
perundangan ini. Ketika strategi pemberantasan korupsi diperkenalkan pertama kali
di Hong Kong, misalnya, justru pihak yang resisten dengan kebijakan ini adalah
aparat kepolisian yang notabene merupakan bagian dari pranata hukum itu sendiri.
Pada waktu itu sektor kepolisian adalah termasuk yang paling korup di bandingkan
dengan sektor-sektor publik lainnya. Akibat dari resistensi yang muncul ini adalah
disharmoni antara sesama lembaga penegak hukum. Untuk menghindari kebuntuan,
dilakukan kompromi kebijakan yang memberikan pengampunan yang hanya berlaku
pada saat itu.
Pada tingkat domestik, beberapa kendala seputar perundangan anti korupsi
banyak ditemukan, antara lain adanya indikasi bahwa perangkat perundang-
undangan justru kontra produktif terhadap upaya pemberantasan korupsi. Yang lebih
mengkhawatirkan adalah adanya kecenderungan perundang-undangan antikorupsi
S
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 39
yang justru melindungi pelaku korupsi, bukan karena kesengajaan, namun akibat
sistem pembuktian yang terlalu berbelit-belit. Dengan kondisi seperti ini, pelaku
korupsi diuntungkan dengan celah pembuktian yang berbelit, yang memudahkan
mereka untuk memanfaatkan celah ini untuk menghindari pembuktian secara
hukum.
Di masa lalu persoalan korupsi merupakan persoalan masing-masing negara.
Penyelesaian kasus korupsi merupakan persoalan yang hanya diselesaikan pada
tingkat lokal, dan tidak mempunyai hubungan dengan lingkungan luarnya. Namun
demikian, dalam perkembangannya, kasus korupsi tidak lagi berhenti pada level
domestik, namun melaju melampaui batas-batas negara dan. Persoalan di tingkat
lokal ini pun akan bertambah kompleks dengan keruwetan sistem perundangan di
negara lain, apabila sebuah kasus korupsi melibatkan negara lain yang menjadi
tujuan pelarian uang hasil korupsi. Dalam konteks tata hubungan internasional,
wilayah yurisdiksi suatu negara merupakan wilayah yang memiliki kedaulatan hukum
masing-masing,
Saat ini persoalan korupsi sudah bukan lagi merupakan persoalan di tingkat
lokal saja, tetapi telah menjadi perhatian dan kepentingan masyarakat internasional
yang lebih luas. Korupsi diyakini bukan persoalan lokal, karena daya rusak korupsi
juga melampaui batas-batas kedaulatan negara. Dengan demikian, kerjasama
internasional menjadi instrumen penting untuk menjembatani penyelesaian berbagai
persoalan lintas negara, termasuk masalah aset yang dikorupsi. Kerjasama
internasional diwujudkan melalui pelembagaan kerjasama dan harmonisasi
perundangan dari masing-masing negara yang berbeda.
Berkenaan dengan hal tersebut, lembaga-lembaga internasional seperti PBB
dan Bank Dunia memegang peranan sangat penting untuk mengintegrasikan upaya
harmonisasi perundangan.
Hukum internasional yang berhubungan langsung dengan penanganan
korupsi, termasuk yang berlaku untuk wilayah Asia Pasifik dan Asia Tenggara adalah:
Anti Corruption Action Plan for Asia and the Pacific Action Plan (Konferensi
Tokyo 2001)
MoU on Cooperation for Preventing and Combating Corruption 2004
(Singapura, Indonesia, Brunei, Malaysia)
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 40
The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)
The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime
(UNTOC)
Dalam konteks hubungan internasional, negara-negara yang sedang
membangun instrumen untuk memerangi korupsi di masing-masing negara,
memerlukan model kerjasama melalui sebuah kerangka hukum (legal framework)
untuk secara resmi melakukan perjanjian ekstradisi dan MLA (Mutual Legal
Assistance). Di Asia Pasifik sendiri terdapat berbagai jenis MLA yang berbeda.
Tercatat lebih dari 70 MLA yang berjalan di wilayah ini, berdasarkan OECD Anti-
Corruption Division yang menyelenggarakan Prakarsa Anti Korupsi untuk Asia
Pasifik (ADB/OECD Anti-Corruption Initiative for Asia and the Pacific).
Belakangan model ini kemudian dikembangkan lebih luas dalam skema
kerjasama multilateral, seperti the OECD Convention on Combatting Bribery of
Foreign Public Officials in International BusinessTransactions. Untuk menyiasati
ketiadaan treaty, maka banyak negara-negara Asia Pasifik yang mempunyai
perangkat perundangan dalam sistem hukum domestiknya yang memberi peluang
untuk melakukan kerjasama kasus per kasus.
Dalam hal asset recovery, kedua konvensi PBB di atas juga memuat inovasi
yang memungkinkan untuk meningkatkan kerjasama internasional. Dengan semakin
banyaknya negara-negara Asia Pasifik yang menjadi bagian dari konvensi ini, tentu
akan mendukung percepatan model kerjasama internasional dalam pemberantasan
korupsi, khususnya dalam hubungannya dengan perjanjian ekstradisi dan MLA.
UNCAC menentukan adanya lima komponen penting dalam membangun
instrumen pemberantasan korupsi, yaitu:
Prevention / Pencegahan
Criminalization / Kriminalisasi
General technical assistance/information exchange/implementation
Asset recovery / Pengembalian aset
International cooperation / kerjasama internasional
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 41
Beberapa waktu terakhir, komponen asset recovery atau pengembalian aset
dan international cooperation atau kerjasama internasional menjadi isu utama dalam
konvensi ini. Komponen kerjasama internasional yang dimuat dalam pasal 44 sampai
dengan pasal 50 konvensi ini adalah:
1. Ekstradisi (pasal 44)
2. Transfer Narapidana (pasal 45)
3. Mutual Legal Asistance /MLA (pasal 46)
4. Transfer of Criminal Proceedings (pasal 47)
5. Kerjasama Penegakan hukum (Pasal 48), dan
6. Investigasi bersama (pasal 49)
7. Teknik Investigatif khusus (pasal 50)
A. SINGAPURA
Salah satu pilar strategi pemberantasan korupsi di Singapura adalah perangkat
perundangan anti korupsi yang selalu dikembangkan dan disesuaikan dengan
dinamika lingkungan internal dan eksternal. Pengembangan perundangan anti
korupsi di Singapura dilakukan dengan adanya beberapa amandemen atau
perubahan yang dianggap perlu untuk mengantisipasi masalah secara kontekstual.
Amandemen ini dilakukan bukan untuk merubah isi, namun justru untuk
memperluas daya jangkau perundangan dalam rangka efektivitas pemberantasan
korupsi. Terminologi korupsi, misalnya, dalam perundangan Singapura (Prevention
of Corruption Act) adalah ”The asking, receiving or agreeing to receive, giving,
promising or offering of any gratification as an inducement or reward to a person
to do or not to do any act, with a corrupt intention”. Jadi korupsi diartikan sebagai
upaya meminta, menerima atau menyetujui untuk meminta, memberi, menjanjikan
atau menawarkan gratifikasi sebagai inducement atau hadiah kepada orang untuk
melakukan atau tidak melakukan suatu hal, dengan sebuah maksud yang korup.
Pengertian ini telah menjadi pegangan masyarakat hukum di sana, sejak UU ini
diundangkan.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 42
Instrumen utama perundangan di Singapura terkait dengan pemberantasan
korupsi19, yaitu :
1. Prevention of Corruption Act (PCA)
2. Corruption, Drug Trafficking and Other Serious Crimes (Confiscation of
Benefits) Act
PCA diundangkan pada tanggal 17 Juni 1960, selain untuk memberdayakan
CPIB, memiliki 5 unsur penting yaitu
a. Ruang lingkup PCA diperluas menjadi 32 section, dimana dalam Prevention
of Corruption Ordinance sebelumnya hanya mempunyai 12 section. Pada
perkembangannya, PCA mengalami amandemen beberapa kali, sampai saat
ini telah bertambah menjadi 37 section.
b. Korupsi secara jelas didefinisikan dalam berbagai bentuk gratifikasi dalam
section 2 yang juga mendefinisikan untuk pertama kali CPIB dan
Direkturnya.
c. Hukuman untuk pelaku korupsi ditingkatkan menjadi hukuman penjara 5
tahun dan/atau denda S$ 10,000 dalam section 5. Hukuman ini ditingkatkan
menjadi S$ 100,000 sejak tahun 1989.
d. Bagi yang terbukti menerima gratifikasi secara ilegal harus membayar
kembali suap yang diterimanya sebagai tambahan atas hukuman yang
dikenakan di pengadilan20
e. Memberikan kewenangan yang lebih luas bagi CPIB seperti memberikan
kewenangan untuk melakukan penangkapan dan menyelidiki orang yang
ditahan kepada personil (section 15), memberikan keweangan kepada
penuntut umum untuk mengijinkan direktur dan personil senior CPIB
menyelidiki rekening bank orang yang dicurigai melanggar PCA (section 17)
dan memberikan wewenang kepada personil CPIB untuk memeriksa 19 KBRI Singapura. 2006. Korupsi dan Permasalahannya; Singapura Sebagai Studi Kasus. Hal. 46 20 Berdasarkan hasil diskusi dengan Direktur Investigasi CPIB dan Ng Sheng seorang officer pada International & Public Affairs CPIB pada Juni 2007, dijelaskan bahwa semua public official termasuk pegawai CPIB dilarang untuk menerima barang apapun dari pihak mana pun. Setiap penerimaan barang harus di-declare dan diserahkan untuk menjadi properti instansi atau aset negara. Pada prinsipnya seluruh pegawai menerima jaminan kesejahteraan dari negara, sehingga penerimaan pendapatan di luar dari apa yang disediakan oleh negara dianggap pelanggaran. Dalam hal ini, penekanannya terletak pada profesionalisme pegawai.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 43
rekening pejabat publik termasuk milik isteri, anak atau agennya jika
diperlukan.
Kapasitas instrumen PCA ini terus dikembangkan oleh Singapura secara
ekspansif, disesuaikan dengan dinamika lingkungan yang terjadi. PCA selain
menangani dan mengatur korupsi aktif, juga mengatur korupsi dalam bentuk
pasif. Seluruh pelaku potensial korupsi dapat dijerat oleh pasal-pasal kriminal
korupsi di PCA, yaitu sari sektor publik, swasta, individu di Singapura dan
warga negara Singapura di mana pun, termasuk di luar negeri. Seperti pada
tahun 1963, PCA sudah memberikan kewenangan kepada personil CPIB untuk
meminta kehadiran saksi dan memeriksanya, serta memperoleh bantuan dari
saksi. Pada tahun 1966, PCA menambah kewenangan CPIB, yaitu :
a. Pada section 28 bahwa seseorang dapat didakwa korupsi meskipun
tidak secara nyata menerima suap, mengingat niat untuk korupsi sudah
cukup untuk mendakwa.
b. Pada section 35 bahwa warga negara Singapura yang bekerja untuk
pemerintah di kedutaan besar dan badan pemerintah lainnya di luar
negeri dapat dituntut di hadapan hukum untuk korupsi yang dilakukan
di luar wilayah yurisdiksi Singapura akan diperlakukan seolah-olah
dilakukan di dalam wilayah yurisdiksi Singapura.
Pada amandemen PCA yang ketiga pada tahun 1981, dimaksudkan untuk
menciptakan efek pencegahan dengan mewajibkan mereka yang terbukti di
pengadilan melakukan korupsi untuk mengembalikan dana yang korupsi,
selain hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan. Apabila yang bersangkutan
tidak mampu mengembalikan, maka akan dikenai hukuman yang lebih berat.
Efek pencegahan ini sangat kental terasa, misalnya pada kasus korupsi Lim
How Seng (seorang mantan kepala Museum Singapura), yang pada tahun
2002 yang padahal hanya terbukti meminta 2 pinjaman sebesar S$ 20,000
kepada pemenang tender pada proses pengadaan 3-dimensional show yang
baru untuk museumnya. Dia mendapat hukuman 3 bulan penjara, dan
berkewajiban membayar denda S$ 20,000. Ironisnya dia juga kehilangan hak
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 44
pensiunnya yang jauh lebih besar dari uang yang diperkarakan yaitu sebesar
kurang lebih antara S$ 125,000 s.d. S$ 200,000 per bulan. Diberitakan yang
bersangkutan tidak lama kemudian melakukan bunuh diri akibat rasa malu
yang amat sangat serta kehilangan martabat oleh kasus korupsi yang
menimanya di mana hanya melibatkan uang kurang lebih 10% dari
penghasilan pensiunan per bulannya.
PCA juga memberikan wewenang untuk melakukan investigasi kepada
pejabat investigasi yang menangani kasus korupsi dan menetapkan hukuman
yang tegas bagi segala bentuk korupsi dan gratifikasi21.
Bahkan pada bab 241 yang sangat ekspansif, PCA memberikan kewenangan
kepada CPIB untuk melakukan penangkapan terhadap pelaku tanpa harus
menunggu adanya surat perintah (seizable offences), apabila ditemukan ada
indikasi pelanggaran tindak pidana korupsi.
PCA juga memungkinkan penuntut umum menerbitkan perintah yang
memberikan wewenang kepada pejabat CPIB untuk melakukan kewenangan
polisi seperti pada saat melakukan investigasi berbagai kejahatan, dan
kewenangan polisi lannya untuk membebaskan dengan jaminan mereka yang
menjadi subyek investigasi (section 16).
Dalam hal perlakuan terhadap mereka yang melaporkan kasus korupsi baik
melalui telepon maupun secara tertulis, berdasarkan section 28, PCA
memberikan perlindungan. Menurut Ng Sheng, seorang officer International
& Public Affairs CPIB, perlindungan ini meliputi kerahasiaan saksi, nama,
alamat tempat tinggal, keluarga, dan perlindungan hukum lainya. Namun
demikian, apabila di kemudian hari dikeahui laporan yang diberikan salah,
maka PCA akan mengenakan denda S$ 10,000 dan/atau hukuman penjara
masimal 1 tahun, tergantung dari berat ringannya kasus yang dituduhkan.
Beberapa hal penting yang dapat digaris bawahi dan menjadi pelajaran
dalam PCA ini adalah:
1. Pengembalian hasil korupsi kepada negara
2. Ketidaksesuaian antara kekayaan dengan pendapatan dapat dijadikan bukti
di pengadilan 21 KBRI Singapura. Ibid. hal. 48
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 45
3. Pernyataan di bawah sumpah atas kekayaan yang dimiliki seseorang
(khususnya pejabat publik), pasangan, maupun anak-anaknya.
4. Menyelidiki kasus korupsi di sektor publik maupun swasta.
Corruption, Drug Trafficking and Other Serious Crimes (Confiscation of
Benefits) Act yang disahkan pada tahun 1999, untuk menggantikan Corruption
(Confiscation of Benefits) Act tahun 1989. UU ini kemudian diamandemen untuk
terakhir kalinya pada tahun 2001. Hasil amandemen terakhir ini memberikan
kewenangan kepada pengadilan untuk membekukan dan mengambil alih properti
dan aset hasil korupsi, dan perdagangan obat terlarang dan kejahatan berat lainnya
yang berkaitan, termasuk kejahatan pencucian uang.
Dalam UU ini diatur mengenai hukuman denda maksimal S$ 200,000
dan/atau hukuman penjara maksimal 7 tahun untuk mereka yang menyembunyikan
atau mentransfer hasil korupsi, perdagangan obat terlarang dan kejahatan berat
lainnya, termasuk pencucian uang.
Sedangkan instrumen hukum internasional dalam rangka pemberantasan
korupsi yang telah diadopsi oleh Singapura adalah :
1. Anti Corruption Action Plan for Asia and the Pacific Action Plan.
2. Memorandum of Understanding (MoU) on Cooperation for Preventing
and Combating Corruption.
B. HONG KONG
Hong Kong adalah satu dari sedikit wilayah di Asia yang masuk kategori bebas
korupsi. Penegakan hukum di Hong Kong, terutama yang berkenaan dengan kasus
korupsi sangatlah tegas. Bahkan angka toleransi publik terhadap korupsi mendekati
angka ekstrim yaitu menolak sama sekali kasus korupsi terjadi di Hong Kong.
Kesuksesan ini ditandai dengan kinerja ICAC yang meyakinkan dalam
pemberantasan korupsi. Pada awal-awal berdirinya ICAC di tahun 1974 - 1975,
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 46
terdapat 2466 kasus korupsi yang diinvestigasi dari 6368 kasus yang dilaporkan22.
Jumlah kasus yang berhasil dimejahijaukan pada tahun 1974 adalah 108 kasus, dan
meningkat menjadi 218 kasus pada tahun berikutnya.
Sampai dengan tahun 1981, ICAC telah melakukan hampir 500 kajian tentang
berbagai kebijakan dan praktik yang berlaku di instansi-instansi pemerintah. Selain
itu lebih dari 10.000 pegawai pemerintah yang telah menghadiri pelatihan yang
dilakukan ICAC. Sampai dengan tahun 1981 saja, the Community Relations
Department (salah satu departemen dalam ICAC) telah berhasil merekrut 110 tenaga
lokal, dan menerima lebih dari 10.000 laporan praktik korupsi, dan menangani lebih
ari 19.000 events, seperti seminar, camps, eksibisi, dan kompetisi
Instrumen perundangan di Hong Kong yang berhubungan dengan strategi
pemberantasan korupsi di Hong Kong, adalah:
The Independent Commission Against Corruption Ordinance
The Prevention of Bribery Ordinance
The Elections (Corrupt and Illegal Conduct) Ordinance
Pada The Independent Commission Against Corruption Ordinance,
dinyatakan secara detail tentang korupsi (receiving any advantage), peran-peran
dari berbagai posisi ICAC, prosedur untuk menangani tersangka, kewenangan untuk
menangkap, menahan dan memberikan jaminan, mencari dan menyita, kemampuan
mengambil sampel forensik dari seorang tersangka, dan kemampuan menginvestigasi
setiap tuduhan korupsi oleh pegawai negeri.
Sedangkan pada The Elections (Corrupt and Illegal Conduct) Ordinance
ditekankan upaya pencegahan praktik pemilihan yang ilegal dan korup, dan tuduhan
spesifik yang melibatkan proses pemilihan umum untuk memilih the Chief Minister,
Dewan Legislatif (Legislative Council), Dewan Distrik (District Council), serta Kepala,
Wakil Kepala atau Komisis Eksekutif pada the Rural Committee dan dewan desa
(Village Representative).
22 Menurut keterangan Ms. Dorothy TAM CHEUNG Kwei-ying, seorang ICAC Regional Officer pada kesempatan diskusi dengan tim Peneliti, menyebutkan bahwa laporan atau kompalin mengenai korupsi dapat disampaikan secara individual, melalui telepon atau surat tertulis, yang dijaga kerahasiaannya. Setiap komplain mengenai korupsi akan diproses pada hari itu juga, kemudian dalam waktu 48 jam akan dirancang jadwal interview dengan si pelapor.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 47
Ordinan yang penting lainnya yaitu The Prevention of Bribery Ordinance yang
menjelaskan secara detail antara lain adalah kategori penyuapan, kewenangan ICAC
untuk menelusuri rekening bank, menelaah dokumen bisnis dan pribadi, tersangka
yang harus menyatakan pendapatan secara detail, aset-aset dan pengeluaran,
kemampuan untuk menahan dokumen perjalaan dan menyegel properti untuk
mencegah tersangka menghilangkan barang bukti dari proses investigasi. Yang paling
penting dari ordinan ini adalah pemberian perlindungan bagi pelapor
(whistleblowers).
Pada pasal 3 ordinan ini diatur mengenai barang bukti dari hasil praktik
korupsi untuk mencegah pegawai negeri dari menerima segala bentuk keuntungan
(prevents pubic servants from receiving ”any advantage”) tanpa adanya persetujuan
dari Chief Excecutive. Selanjutnya pasal 4 mengatur secara lebih tegas bahwa pegawa
negeri tidak dapat menerima atau meminta segala bentuk keuntungan karena ada
hubungannya dengan kewenangan resmi yang bersangkutan, sekaligus orang yang
menawari ”keuntungan” tadi (memberi suap) dianggap telah melakukan pelanggaran
pidana. Dua pasal ini secara tegas membatasi pegawai negeri dari segala tindakan
penyalahgunaan wewenang untuk praktik-praktik korupsi, sekaligus uga mencegah
warga untuk terlibat dalam praktik korupsi tersebut. Hal ini karena praktik korupsi
dalam bentuk suap-menyuap adalah tindakan yang dilakukan secara langsung oleh
dua pelaku/pihak, yaitu pegawai negeri sebagai pemberi layanan dan warga
masyarakat sebagai penerima layanan.
Pasal yang lebih memperluas jeratan tindak pidana korupsi yaitu pada pasal 10
mengatur mengenai individu yang diduga melakukan praktik korupsi, dan bisa
dinyatakan bersalah walaupun aset mereka tidak dapat dihubungkan secara langsung
sebagai bukti hasil kejahatan korupsinya. Pasal 10 ini selanjutnya juga melarang
pegawai negeri untuk memiliki aset melebihi kemampuan pernyataan resmi
kepemilikan aset mereka (di luar batas kewajaran penghasilannya).
Salah satu contoh keberhasilan dari efektifnya dua ordinan yaitu The
Independent Commission Against Corruption Ordinance dan The Prevention of
Bribery Ordinance, adalah bersihnya proyek the Airport Core Program (ACP)—
sebagai proyek terbesar dalam sejarah Hong Kong yang mencapai nilai US $ 21
milyar—dari praktik korupsi.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 48
Di samping itu, untuk meningkatkan etos kerja dan disiplin personil ICAC
dibangun suatu kode etik yang mengikat seluruh jajaran ICAC dalam melaksanakan
tugas dan kewenangannya sehari-hari. Kode etik yang dikembangkan dalam ICAC
adalah :
1. menganut prinsip integritas dan fair play
2. menghormati hak-hak yang diakui secara hukum bagi semua orang
3. menjalankan tugas tanpa rasa takut, praduga atau itikad tidak baik
4. bertindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku
5. tidak mengambil keuntungan dari kewenangan atau jabatan yang diemban
6. menjaga rahasia
7. menerima tanggung jawab atas tindakan yang dilakukan dan instruksi
8. menjaga kesopanan dan mengendalikan ucapan maupun tindakan
9. berusaha meraih keunggulan pribadi dan profesional
C. INDIA
Menurut data PERC 2006, walaupun India tidak termasuk kelompok negara
yang bersih dari korupsi, namun negara ini berhasil mencatat perbaikan paling
progresif dalam kinerja pemberantasan korupsi di bandingkan dengan negara-negara
lain di Asia. Perundangan India yang menjadi bagian dari strategi pemberantasan
korupsi di India adalah:
Right to Information Act, 2005
The Central Vigilance Commission Act, 2003
The Prevention of Corruption Act, 1988
The Delhi Special Police Establishment Act, 1946
The Criminal Law (Amendment) Ordinance, 1944
Dalam sejarahnya, sistem administrasi dan hukum India didesain pada
pertengahan abad ke 19 untuk melayani kepentingan pemerintah kolonial Inggris
pada masa itu. The Indian Penal Code, sebagai instrumen hukum yang utama untuk
mengendalikan kejahatan kriminal dan pengadministrasian pengadilan krininal
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 49
dibuat pada tahun 1860. selanjutnya The Indian Evidence Act mulai efektif berlaku
pada tahun 1872, setelah sebelumnya the Indian Police Act pada 1861.
Pemerintah kolonial Inggris mendesain sistem hukum ini bertujuan untuk
memperkuat kekuasaan administrasi kolonial. Perundangan ini didasarkan pada
ketidakpercayaan kepada pribumi dan kepercayaan akan ketidak mampuan mereka
untuk memerintah sendiri.
Sejarah administrasi publik di India pada tahun 1960-an menandakan
perubahan besar, di mana pengaruh ajaran Gandhi dan Nehru mulai memudar
seiring dengan tumbuhnya budaya politik baru yang disebut olah Sondhi (2000)
sebagai “amorality”.
Dewasa ini, dalam rangka mewujudkan pemberantasan korupsi yang efektif di
India, PS. Bawa23 memberikan beberapa saran sebagai berikut :
1. Penegakan hukum harus berlaku untuk semua, tanpa melihat perbedaan latar
belakang dan sebagainya (non-diskriminatif)
2. Inspeksi dalam tubuh pemerintah harus dilakukan secara teratur, berarti, dan
berorientasi pada kegiatan menjelang monitoring.
3. Reformasi pengadilan kriminal.
4. Aksesibilitas terhadap kantor-kantor pemerintah harus diperbaiki.
5. Pegawai negeri harus dibekali dengan nilai integritas dan kejujuran.
6. Right to Information (RTI) adalah alat kunci untuk memerangi korupsi, dan
7. Semangat kejujuran harus dimiliki oleh setiap orang.
Salah satu perundangan yang dianggap paling progresif India dalam upaya
pemberantasan korupsi di India adalah UU mengenai hak untuk mendapat informasi
(Right to Information Act), yang diundangkan pada tahun 2005. Hak-hak warga
yang diatur dalam RTI ini adalah antara lain :
1. hak untuk meminta informasi
2. hak untuk menginspeksi segala jenis dokumen pemerintah
3. hak untuk memfoto copy dokumen pemerintah
4. hak untuk menginpeksi kerja pemerintah (sidak)
5. hak untuk meminta contoh kegiatan pemerintah 23 Vice Chairman TI India, dalam kesempatan diskusi dengan tim Peneliti
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 50
UU lainnya yang mendukung langsung kepentingan pemberantasan korupsi
adalah the Whistle Blower Protection Act, yang menurut Bhushan—salah seorang
pengacara Supreme Court India—dalam sebuah kesempatan seminar korupsi harus
diimplementasikan secara efektif.
D. INDONESIA
Pemberantasan korupsi di Indonesia telah berlangsung cukup lama, bahkan
telah menembus perode waktu empat dekade. Salah satu perangkat hukum sebagai
instrumen legal yang menjadi dasar proses pemberantasan korupsi di Indonesia juga
telah disusun sejak lama. Namun efektivitas hukum dan pranata hukum yang belum
cukup memadai menyebabkan iklim korupsi di indonesia tidak kunjung membaik.
Hal ini setidaknya dibuktikan dengan berbagai indeks korupsi yang diselenggarakan
oleh berbagai lembaga independen yang berbeda, degan metode dan variabel yang
juga berbeda, namun menghasilkan hasil pengukuran yang relatif sama, yaitu
menempatkan Indonesia di ranking paling bawah.
Saat ini tecatat lebih dari 10 peraturan perundangan termasuk Tap MPR yang
mengatur penanganan korupsi, baik secara langsung, maupun tidak langsung.
Berdasarkan catatan dari Indonesian Corruption Watch (ICW) dalam situs resminya,
rincian peraturan perundangan tersebut antara lain adalah
1. TAP MPR No. XI Tahun 1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bebas
KKN
2. Undang-Undang:
a. UU 20/2001 Pemberantasan Tidak pidana Korupsi
b. UU 30/2002 Komisi Anti Korupsi
c. UU 31/1999 Pemberantasan Korupsi. Telah diperbaharui menjadi UU
No 20 Tahun 2001
d. UU 11/1980 tentang Antisuap
e. UU 15/2002 tentang tindak pidana anti pencucian uang. UU ini telah
dirubah menjadi UU No 25 tahun 2003
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 51
f. UU 25/2003 tentang perubahan UU No 15/2002 tentang tindak pidana
anti pencucian uang
g. UU No 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih
Bebas dari KKN
h. UU No 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003
i. UU No 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Masalah pidana
3. Peraturan Pemerintah:
a. PP 71/2000 ttg peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi
b. Peraturan Pemerintah No.110 tahun 2000 tentang kedudukan
Keuangan DPRD
c. Penjelasan Peraturan Pemerintah No.110 tahun 2000 tentang
kedudukan Keuangan DPRD
d. PP No 24 Tahun 2004 tentang Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan
Anggota DPRD
e. PP No 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD
f. PP No 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
4. Instruksi Presiden (Inpres):
a. Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi
b. Inpres No. 4 Tahun 1971, Tentang Pengawasn Tertib Administrasi di
Lembaga Pemerintah
c. Inpres No. 9 Tahun 1977, Tentan Operasi Tertib
d. Instruksi Presiden No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah
e. Inpres No 1 Tahun 1971, tentang koordinasi pemberantasan uang palsu
5. Keputusan Presiden (Keppres):
a. Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2005 Tentang Timtastipikor
b. Keppres No. 12 Tahun 1970 tentang "Komisi 4"
c. Keppres No 80 Tahun 2003, tentang pedoman pengadaan barang jasa
di instansi pemerintah
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 52
d. Keppres No 16 Tahun 2004, tentang perubahan keppres 80/2003
tentang pedoman pengadaan barang jasa di instansi pemerintah
6. Surat Edaran:
a. Surat edaran Jaksa Agung tentang percepatan penanganan kasus
korupsi tahun 2004
b. Surat edaran Dirtipikor Mabes Polri, tentang pengutamaan
penanganana kasus korupsi
c. Surat Keputusan Jaksa Agung tentang Pembentukan Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana korupsi Tahun 2000
d. Keputusan Bersama KPK-Kejaksaan Agung dalam Kerjasama
Pemberantasan korupsi
7. PERDA: Perda Kabupaten Solok No 5 Tahun 2004 Tentang Transparansi
Penyelenggaraan Pemerintahan
Dengan begitu banyaknya peraturan perundangan yang telah dan sedang
diterapkan, maka seyogyanya pemberantasan korupsi di Indonesia harus mulai
menemukan arah yang tepat. Indonesia, akan membuka celah dalam penerapan
hukum. Sehingga perlu rumusan dan indikator baku untuk menentukan definisi dari
eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Dalam hal ratifikasi UNCAC, sebagai bentuk komitmen Indonesia dalam
memerangi korupsi di hadapan masyarakat internasional, Indonesia masih perlu
melakukan harmonisasi perundangan yang masih terdapat kesenjangan da perbedaan
substantif. Dalam analisa terbatas yang dilakukan oleh Masyarakat Transparansi
Indonesia, terdapat beberapa substansi istilah yang memerlukan klarifikasi dalam
perundangan Indonesia, untuk menyesuaikan dengan klausul yang berlaku dalam
UNCAC. Beberapa contoh kesenjangan istilah dapat dilihat dalam tabel berikut :
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 53
Tabel 3.1
Perbandingan Beberapa Istilah
dalam Perundangan Indonesia dengan UNCAC
No Istilah Hukum Positif Indonesia UNCAC
1 Pejabat Publik Dikenal istilah
1. PNS
2. Pejabat Negara
3. Penyelenggara Negara
4. Pejabat Administrasi
Pemerintahan
5. Pejabat Tata Usaha
Negara
Dalam UNCAC, yang
termasuk dengan pejabat
publik adalah
1. eksekutif, legislatif,
administratif dan yudisial
2. setiap orang yang
melaksanakan fungsi
publik
3. setiap orang yang
ditetapkan sebagai pejabat
publik.
2 Kekayaan Unsur harta kekayaan (UU
No. 23/2003 perubahan atas
pasal 1 UU No. 15/2002):
1. Benda bergerak atau tidak
bergerak
2. Berwujud atau tidak
berwujud
Ada unsur kekayaan yang
nyata atau tidak nyata, serta
termasuk dokumen dan
instrumen yang mendukung
kekayaan tersebut.
Sumber: diolah dari MTI, 2006.
Selain permasalahan substansi perundangan, beberapa kasus terakhir
menunjukkan justru adanya disharmoni substansi antar perundangan yang berlaku di
Indonesia. Walaupun disharmoni ini juga dipicu oleh ketidakcocokan data dari
beberapa instansi terkait. Kasus uang pengganti ini sempat dilansir beberapa media
massa nasional sehingga menjadi wacana publik yang cukup hangat.
Berdasarkan kompilasi yang dilakukan oleh Kompas, sebenarnya beberapa UU
yang berhubungan dengan substansi aturan uang pengganti, adalah :
1. UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 54
Tidak ada aturan eksekusi uang pengganti.
2. UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 18. Jika teridana tidak membayar uang penggantidalam waktu satu bulan
sesudah putusan berkekuatan hukum tetap, maka hartanya bisa disita jaksa
dan dilelang untuk menutupi uang pengganti. Jika hartanya tidak cukup maka
dipidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pdana
pokoknya.
3. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Pasal 9. Menteri/pimpinan lembaga sebagai Pengguna Anggaran/Pengguna
Barang Kementerian Negara/lembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas
sebagai berikut: (e) melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan
pajak dan menyetorkannya ke Kas Negara.
Ketidakcocokan data antar tiga instansi yang berkepentingan langsung dengan
kasus uang pengganti yaitu Departemen Keuangan, BPK dan Kejaksaan dapat terlihat
dari tabel kompilasi kasus berikut.
Tabel 3.2
Terpidana koruptor dan uang pengganti
No Nama
Terpidana
Uang
Pengganti
Data
Kejaksaan Data Depkeu
Sisa Uang di
Data BPK
1 Hendra
Rahardja
Rp. 1,9 triliun Rp. 603, 174
miliar
Rp. 603, 174
miliar
Rp. 1,836 triliun
2 Bob Hasan 243 juta dollar
AS
Rp. 14,126
miliar + denda
Rp. 15 juta
Rp. 14,126
miliar + denda
Rp. 15 juta
Tidak ada data
sisa uang
penganti
3 Samadikun
Hartono
Rp. 169 miliar Belum bayar Belum bayar Tidak ada di
daftar BPK
nama
Samadikun
4 Sudjiono Timan Rp. 369,446
miliar
Belum bayar Belum bayar Rp. 369,446
miliar
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 55
5 Beddu Amang Rp. 5 miliar +
denda Rp. 5 juta
Rp. 5 miliar +
denda Rp. 5 juta
Hanya denda
Rp. 5 juta
Rp. 5 miliar
6 Bambang
Sutrisno dan
Kiki Ariawan
Rp. 1,515 triliun Rp. 1,515 triliun Rp. 1,515 triliun Tidak ada sisa
7 Eddy Tansil Rp. 500 miliar
+ Rp. 1,3 triliun
Telah menyita
uang Rp. 46,3
miliar + 2.882
dollar AS dan
harta Rp. 2,5
miliar di Bank
Danamon,
Tanah dan
Bangunan serta
peralatan
pabrik, dua
atanah di
Kebayoran
Baru, dan tanah
di Bogor
Tidak ada Tidak ada
8 Rahardi
Ramelan
Rp. 400 juta +
denda Rp. 50
juta
Rp. 200 juta Tidak ada data Tidak ada
9 Ricardo Gelael Rp. 96,6 miliar
tanggung
reneng dengan
Tommy
Tidak
menemukan
data
pembayaran
uang pengganti
Rp. 2,950 miliar Rp. 5,219 miliar
Sumber: Kompas, 22 Agustus 2007
Indriyanto Seno Adji24, menjelaskan bahwa pemahaman uang yang disetor ke
kas negara dalam perkara korupsi sebagai dwang middelen (upaya paksa). Penegak
hukum sering menghadapi kendala dalam menngeksekusi uang pengganti karena
diskriminasi regulasi tindak pidana korupsi atas eksekusi uang pengganti. Di satu sisi
dengan UU No. 3 Tahun 1971, eksekusi atas kekurangan uang pengganti dilakukan
24 Kompas, 28 Agustus 2007, Indriyanto Seno Adji, Parkir Uang Korupsi
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 56
melalui gugatan perdata berdasarkan Surat Edaran MA 1985. Masalahnya gugatan
perdata memiliki kompleksitas sistem pembuktian yang berbeda dengan hukum
pidana, dan menyita waktu puluhan tahun.
Di sisi lain UU No. 31 Tahun 1999 memberi legalitas penyitaan harta kekayaan
terpidana sebagai eksekusi uang pengganti.
Kasus hukum lain yang terbaru yang merupakan wajah carut marutnya sistem
hukum di Indonesia adalah kasus sengketa Soeharto dengan majalah Time. Kasus
yang telah berlangsung cukup lama ini seperti mengendap setelah dimenangkan oleh
majalah Time di tingkat Pengadilan Negeri. Namun ternyata pada bulan september
2007, tiba-tba MA memutuskan kasasi perkara sengketa antara majalah Time dengan
Soeharto tentang kasus tulisan Soeharto Inc, di mana pihak Soeharto dinyatakan
memenangkan perkara ini, dan mewajibkan majalah Time untuk membayar tuntutan
gant rugi pihak Soeharto.
Ironisnya, seolah menjawab putusan kasasi MA, pada minggu berikutnya,
World Bank dan PBB dengan program prakarsa pengembalian aset negara (Stolen
Asset Recovery Innitiative, atau StAR), merilis daftar pemimpin negara yang diduga
mencuri aset negara, di mana Soeharto justru menempati peringkat pertama dengan
dugaan aset negara yang dicuri mencapai USD 15 – 35 milyar.
Dengan potret perundangan yang masih memerlukan pembenahan, Indonesia
sepertinya harus mulai membangun wibawa hukum yang bisa membuat jera para
pelaku korupsi, sehingga persepsi korupsi Indonesia di mata internasional dapat
diperbaiki.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 57
Bab IV
Kelembagaan Dalam
Pemberantasan Korupsi
ingapura dan Hong Kong adalah dua negara (meskipun saat ini Hong Kong
berada di bawah RRC, namun ia memiliki otonomi penuh atau dikenal dengan
Special Administration Region) yang dapat dijadikan contoh kesuksesan
pemberantasan korupsi. Keduanya menempati ranking terendah korupsinya dalam
survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga internasional seperti PERC maupun
Transparency International.
Keberhasilan tersebut tentunya bukan terjadi dalam waktu yang singkat,
namun merupakan buah dari komitmen yang tinggi dan didukung oleh kelembagaan
yang kuat, profesional, dan independen dalam menangani kasus-kasus korupsi.
Faktor kelembagaan menjadi salah satu faktor penting dalam menentukan
keberhasilan pemberantasan korupsi yang dijalankan pemerintah suatu negara.
A. SINGAPURA
Di Singapura sebelum tahun 1952, seluruh kasus-kasus korupsi diselidiki oleh
unit kecil dalam Singapore Police Force yang disebut dengan Anti-Corruption
Branch. Dalam perkembangannya unit tersebut tidak berjalan efektif, khususnya
dalam menyelidiki petugas-petugas kepolisian yang korup. Kelemahan yang utama
disebabkan karena terbatasnya kewenangan yang dimiliki unit tersebut dan
diperparah dengan adanya konflik kepentingan yang terjadi karena para penyidik
terlihat segan untuk memeriksa rekan-rekan mereka yang juga dari kepolisian.
S
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 58
Memperhatikan hal ini, pada tahun 1952 Pemerintah Singapura dibawah PM
Lee Kuan Yew membentuk lembaga yang disebut Corrupt Practices Investigation
Bureau (CPIB) sebagai sebuah lembaga anti korupsi yang terpisah dari kepolisian
untuk melakukan penyelidikan semua kasus-kasus korupsi. Dalam sejarahnya CPIB
merupakan salah satu lembaga anti korupsi tertua di dunia.
Meskipun dibentuk oleh pemerintah, CPIB adalah lembaga yang independen
dan bertanggung jawab atas seluruh penyelidikan dan pencegahan korupsi di
Singapura. Di masa awal pembentukannya, CPIB menghadapi tantangan yang sangat
berat. Saat itu, undang-undang anti korupsi sangat tidak memadai sehingga
menghambat pengumpulan bukti-bukti dalam kasus korupsi. Di sisi lain, persoalan
yang muncul adalah lemahnya dukungan publik terhadap CPIB. Masyarakat tidak
mau bekerja sama dengan CPIB karena mereka ragu akan efektivitas lembaga ini, dan
mereka juga takut dijatuhi hukuman pidana yang disebabkan kasus korupsi.
Situasi ini mulai berubah ketika People’s Action Party memperoleh kekuasaan
di tahun 1959. Tindakan yang tegas mulai diambil terhadap pegawai-pegawai negeri
yang korup. Sebagian dari mereka dipecat dari pemerintahan, sedangkan yang lain
memilih keluar secara sukarela untuk menghindari penyelidikan. Kepercayaan publik
terhadap CPIB terus meningkat ketika masyarakat menyadari bahwa pemerintah
bersungguh-sungguh dalam memberantas korupsi.
Untuk mempercepat upaya pemberantasan korupsi Pemerintah Singapura
pada tahun 1960 mengesahkan undang-undang anti korupsi yang baru yang disebut
dengan Prevention of Corruption Act. Dalam undang-undang ini, wewenang dari
CPIB diperluas dan hukuman atas tindak pidana korupsi ditingkatkan. Saat ini, sesuai
dengan Bab 241 undang-undang tersebut, CPIB memiliki kewenangan yang memadai
untuk memberantas korupsi.
Secara fungsi, CPIB memiliki fungsi untuk
(1) menyelidiki kasus korupsi/berindikasi korupsi;
(2) mencegah terjadinya korupsi; dan
(3) kombinasi antara menyelidiki dan mencegah tindakan korupsi.
Dari masing-masing fungsi tersebut CPIB mempunyai target hasil (outcome).
Untuk fungsi yang pertama, outcome yang diharapkan adalah untuk menciptakan
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 59
iklim dan etos anti korupsi yang kuat. Outcome dari fungsi yang kedua adalah
menciptakan iklim dan etos anti korupsi yang kuat, menciptakan kepedulian diantara
pegawai negeri tentang perlunya menjaga birokrasi yang bebas korupsi, menciptakan
lingkungan yang bebas resiko dengan mengurangi peluang korupsi, menciptakan
korps birokrasi yang bebas korupsi. Kemudian outcome dari fungsi yang ketiga adalah
menjaga kepercayaan publik. Lebih jelas mengenai fungsi dan indikator kinerja CPIB
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.1
Indikator Kinerja CPIB Singapura
Function Desired Outcome
Intermediate product/measure
Relationship with mission
Final measure
Investigation − Number of highly
pursuable cases prosecuted in court or resulted in disciplinary action
− Number of cases convicted
− Quality of submission to Attorney-General’s Chambers
Sure Action in combating corruption through efficient evidence-gathering and maintenance of a high standard of investigation
Investigation − Completion rate
Sure Action in combating corruption through effective resolution of cases
Investigate corruption/ missconduct with undertone of corruption
Creation of a strong anti-corruption climate and ethos in Singpore
Investigation − Cycle-time in
investigation − Improvement of
cycle-time norms − 48-hour action − Timeliness in
executing consent to prosecute
Swift Action in combating corruption through efficient resolution of cases
Prevention of Corruption
Creation of a strong anti-corruption climate and ethos in Singapore
Investigation − Swift and sure
action indicators as per above, in accordance with strategy of
Swift and Sure Action in combating corruption through effective and efficient
Rating by • Transparency
International (TI)
• Political and Economic Risk Consultancy (PERC)
• Public Perception Ratings
Mission Accomplishment Index (MAI)
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 60
prevention through detection, prosecution and deterrence
resolution of cases
Creation of awarness among civil servants of the need to maintain a corruption-free civil service
Education − Number of
prevention talks as a proxy measure
Swift and Sure Action in combating corruption through effective and efficient pre-emptive action
Creation of risk-free environment by reducing opportunities for corruption
System review − Number of anti-
corruption reviews as a proxy measure
Swift and Sure Action in combating corruption through effective and efficient pre-emptive measures
Creation of an incorrupt corps of civil servants
Screening − Prompt /
effective screening services to screen out applicants / promotees with CPIB traces
Swift and Sure Action in combating corruption through effective and efficient pre-emptive measures
Investigate and prevent corruption in combination (as stated above)
Securing public confidence
Investigation, education, review, screening
Prompt service − Excellent
reception services
− Excellent overall services
− Timeliness on replies
− Prompt attendance to visitors
− Prompt response by Duty Officer
Reliable service − ‘Sure’
indicators through prosecution and conviction as per above
Swift and Sure Action in combating corruption through effective and efficient services
Sumber: CPIB (2007), Swift and Sure Action: Four decades of anti-corruption work, hal 12
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 61
Dari sisi struktur kelembagaan, CPIB berada di bawah Kantor Perdana Menteri
(Prime Minister’s Office). CPIB dipimpin oleh Direktur (Director) yang membawahi 2
(dua) divisi yaitu Divisi Operasi (Operation Division) dan Divisi Administrasi &
Dukungan Spesialis (Admin & Specialist Support Division).
Pemisahan fungsi penanganan korupsi di Singapura yang semula berada di bawah
institusi kepolisian menjadi suatu badan tersendiri memerlukan struktur
kelembagaan yang ramping, fleksibel namun efektif dan efisien dalam mengantisipasi
tantangan perkembangan modus-modus korupsi yang semakin dinamis. Secara detail
struktur organisasi CPIB dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 4.1
Struktur Organisasi CPIB Singapura
Divisi operasi menjalankan fungsi utama dari CPIB dalam menyelediki
pelanggaran-pelanggaran yang diatur dalam Prevention of Corruption Act. Divisi ini
terdiri dari 4 (empat) unit penyelidikan, salah satu diantaranya yakni Special
Investigation Team (SIT) dibentuk untuk menangani kasus-kasus korupsi besar dan
kompleks. Divisi Administrasi & Dukungan Spesialis membawahi 3 (tiga) unit,
CPIB
Operations Operations Support
Prevention and Review
Unit
Plans and Projects Unit
Administration
Operations Division Admin & Specialist Support Division
Special Investigation
Team
Unit I
Unit II
Intelligence Unit
Finance
Records & Screening
Personnel
Computer Info. System
Unit
LINE
Unit III
STAFF
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 62
masing-masing adalah Unit Administrasi, Unit Perencanaan dan Proyek, serta Unit
Pencegahan dan Evaluasi. Tugas dari Unit Administrasi adalah bertanggung jawab
atas urusan administrasi dan personil, memberikan pelayanan tertentu kepada
lembaga-lembaga pemerintah dan menyusun perencanaan strategis CPIB. Unit
Perencanaan dan Proyek menangani hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan staf
dalam menyusun perencanaan, proyek dan kebijakan-kebijakan. Sedangkan Unit
Pencegahan dan Evaluasi melakukan evaluasi terhadap prosedur kerja institusi
pemerintah yang berpotensi korup untuk mengetahui kelemahan-kelemahan
administrasi, yang dapat mendorong terjadinya korupsi dan kesalahan prosedur,
selanjutnya kemudian memberikan rekomendasi solusi serta langkah-langkah
pencegahan.
Selanjutnya guna melengkapi undang-undang anti korupsi yang sudah ada,
pada tahun 1989 pemerintah kembali mengeluarkan Corruption (Confiscation of
Benefits) Act. Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk
membekukan dan menyita aset maupun properti seseorang yang diperoleh dari
praktik-praktik korupsi.
Pada tahun 1999, Corruption (Confiscation of Benefits) Act disempurnakan
oleh undang-undang lain yaitu Corruption, Drug Trafficking and Other Serious
Crimes (Confiscation of Benefits). Undang-undang yang baru ini mengatur praktik-
praktik pencucian uang (money laundering) sebagai pelengkap dalam memperluas
kewenangan pengadilan untuk membekukan dan menyita aset maupun properti
seseorang yang diperoleh dari praktik-praktik korupsi.
B. HONG KONG
Sementara itu, lembaga anti korupsi di Hong Kong juga merupakan salah satu
role model yang banyak dipakai oleh negara-negara lain karena efektivitasnya
mengatasi korupsi dan menjadikan Hong Kong sebagai salah satu negara yang
terbersih di Asia. Lembaga anti korupsi yang terdapat di Hong Kong adalah ICAC
(Independent Commission Against Corruption).
Sama halnya dengan yang terjadi di negara-negara lain, pembentukan ICAC
dilatarbelakangi oleh keresahan masyarakat terhadap korupsi yang merajalela
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 63
khususnya di lingkungan birokrasi. Memberi uang (suap) kepada aparat pemerintah
untuk mendapatkan pelayanan (bahkan pelayanan yang standar) sudah menjadi
fenomena umum di Hong Kong sekitar tahun 1970-an. Perilaku korup terparah justru
terjadi di Kepolisian Hong Kong, dimana seharusnya institusi ini yang mempunyai
kewenangan menyelidiki kasus-kasus korupsi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
para oknum petugas polisi melindungi pelaku kejahatan seperti perjudian dan
narkoba. Keresahan masyarakat Hong Kong terhadap perilaku korupsi tiba pada
puncaknya ketika seorang Kepala Polisi dari warga negara asing Peter Godber
menggelapkan uang sejumlah HK$ 4,3 juta. Demonstrasi pun pecah untuk menuntut
pemerintah melakukan langkah-langkah kongkrit dalam menuntaskan kasus ini dan
memberantas korupsi di tubuh Kepolisian. Sebagai respon atas tuntutan masyarakat
ini, Gubernur Hong Kong saat itu Sir Murray MacLehose menyatakan bahwa Hong
Kong sudah saatnya memiliki lembaga anti korupsi yang independen dan terpisah
dari Kepolisian. Hal ini ia ungkapkan dalam pidatonya di depan Dewan Perwakilan.
Akhirnya sebagai tindak lanjut dari pernyataan ini pada bulan Februari 1974,
Pemerintah Hong Kong membentuk ICAC dengan 3 (tiga) tujuan utama yakni
pencegahan, penindakan, dan pendidikan korupsi.
Dalam perkembangannya, ICAC berhasil menekan kasus korupsi dan
mendapatkan respon positif dari masyarakat Hong Kong. Keberhasilan ICAC ini tidak
terlepas dari komitmen dan konsistensi serta pendekatan yang komprehensif antara
pencegahan dan penindakan. Pendidikan masyarakat dan peningkatan kesadaran
(public awarness) mengenai dampak buruk korupsi merupakan salah satu
keunggulan yang dimiliki ICAC dalam menangani korupsi di Hong Kong. Kelebihan
ICAC dalam hal ini banyak dicontoh oleh lembaga-lembaga anti korupsi di banyak
negara. Namun demikian, karena tidak mampu menyelaraskan fungsi pencegahan
dan penindakan, tidak banyak lembaga anti korupsi di negara-negara lain yang
mampu meniru langkah sukses ICAC.
Dalam studi yang dilakukan oleh Direktorat Litbang KPK (2006) disebutkan
bahwa ICAC Hong Kong adalah model yang universal dan ideal bagi sebuah lembaga
anti korupsi. ICAC dikatakan ideal karena mempunyai landasan hukum yang kuat,
didukung oleh anggaran yang memadai, memiliki tenaga ahli yang mencukupi dan
yang utama adalah dukungan dan komitmen pemerintah yang tinggi dan konsisten
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 64
dalam jangka waktu lama. Kewenangan yang dimiliki ICAC meliputi penyelidikan
terhadap rekening bank, mengaudit harta kepemilikan dan mengambil segala
tindakan yang diperlukan untuk mencegah tersangka melarikan diri dari proses
penuntutan pengadilan. ICAC mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Hong
Kong dalam bentuk kucuran dana yang relatif besar.
Manajemen sumber daya manusia di ICAC juga dapat dikatakan yang terbaik.
Pola karir dan rekrutmen didasarkan pada kompetensi dan kinerja (merit system)
sehingga mampu mendorong performa yang tinggi dari setiap staf. Remunerasi yang
diterapkan juga sangat memadai. Turnover pegawai ICAC dapat dikatakan rendah.
Selain karena penghasilan yang diperoleh cukup memadai juga disebabkan oleh
aturan yang mempersyaratkan bagi staf ICAC yang berasal lingkungan birokrasi tidak
diperbolehkan untuk bekerja kembali di instansi pemerintah atau lembaga yang
terindikasi terjadi kasus korupsi selama 2 (dua) tahun setelah keluar dari ICAC.
Untuk meninngkatkan efektivitas kerja personel ICAC, maka diberlakukan
kebijakan pengembangan SDM melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) profesional
dan manajemen. Diklat profesional dikembangkan untuk memenuhi kompetensi di
bidang investigasi, pendidikan masyarakat dan pekerjaan pencegahan korupsi.
Sedangkan diklat manajemen diberikan untuk meningkatkan kapabilitas manajemen
dan efektivitas personal.
Selain diklat-diklat tersebut, juga dikembangkan pelatihan-pelatihan
penunjang seperti pelatihan bahasa untuk meningkatkan kemampuan berbahasa
(oral) dan menulis (writing) dalam bahasa Putonghua, Chinese, English writing dan
English Presentation. Pelatihan penunjang lainnya yaitu pelatihan IT seperti aplikasi
software, administrasi sistem dan keamanan TI.
Pelatihan-pelatihan tersebut didesain untuk memenuhi standar kualifikasi
pegawai yang dibutuhkan oleh ICAC. Dalam rangka pengayaan, ICAC juga
mengirimkan para tenaga SDM-nya ke berbagai seminar dan pelatihan lainnya baik
di dalam maupun luar negeri.
Dari aspek organisasi, ICAC memiliki 3 (tiga) departemen yaitu Investigasi,
Pencegahan, dan Hubungan Masyarakat. Departemen Investigasi (Operasional)
merupakan departemen terbesar di ICAC. Terbesar di sini juga memiliki arti jumlah
alokasi anggaran, dimana sebesar 75% anggaran ICAC diberikan kepada departemen
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 65
ini. Anggaran tersebut dimanfaatkan untuk menggaji staf yang kompeten. Sementara
itu anggaran yang diterima Departemen Pencegahan sebagian besar dialokasikan
untuk kegiatan-kegiatan penelitian yang terkait dengan korupsi, menyelenggarakan
seminar-seminar bagi kalangan dunia usaha serta membantu masyarakat dalam
mengidentifikasi langkah-langkah strategis dan konkrit untuk mengurangi potensi
terjadinya korupsi. Hasil-hasil penelitian yang dilakukan Departemen Pencegahan
juga digunakan pemerintah sebagai acuan dalam memperbaiki dan mengamandemen
peraturan perundang-undangan mengenai korupsi. Terakhir, Departemen Hubungan
Masyarakat berfungsi untuk menyebarluaskan informasi kepada masyarakat luas
termasuk kalangan pebisnis mengenai perubahan-perubahan dari peraturan
perundang-undangan tentang korupsi. Fungsi lain yang dimiliki Departemen
Hubungan Masyarakat adalah meningkatkan kepedulian masyarakat (public
awarness) terhadap dampak negatif korupsi melalui beragam kampanye publik
antara lain dengan menerbitkan buku-buku, pamflet, leaflet, serta pembuatan film-
film yang mendeskripsikan modus-modus korupsi yang pada umumnya terjadi di
masyarakat. Struktur organisasi ICAC dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 4.2
Struktur Organisasi ICAC Hong Kong
Sebagai bagian dari langkah meningkatkan partisipasi masyarakat dan
mempercepat respon terhadap kasus-kasus korupsi, ICAC mendirikan sejumlah
kantor perwakilan (regional office) di beberapa distrik di Hong Kong. Langkah ini
tentu saja disambut baik oleh masyarakat. Hal ini terlihat dari bertambahnya laporan
mengenai indikasi kasus korupsi baik yang dilakukan oleh aparat pemerintah
maupun kalangan dunia usaha (swasta). Meskipun demikian, ICAC juga sangat tegas
Commissioner
Operations Department
Community Relations Department
Corruption Prevention Department
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 66
dan keras terhadap laporan-laporan palsu yang dibuat oleh sebagian masyarakat yang
berniat untuk “menjatuhkan” citra atau mencemarkan nama baik seseorang.
C. INDIA
Berbeda dengan Singapura dan Hong Kong, saat ini India tidak memiliki
sebuah lembaga yang secara khusus menangani korupsi. Lembaga anti korupsi India
telah berevolusi menjadi suatu lembaga penyelidik yang bukan hanya menangani
kasus korupsi namun juga kasus-kasus kejahatan/kriminal lainnya. Mengenai kasus
korupsi di India, dewasa ini ditangani oleh dua lembaga yang utama yaitu Central
Bureau of Investigation (CBI) dan Central Vigilance Commission (CVC). Pada
awalnya CBI berasal dari Special Police Establishment (SPE) yang dibentuk
Pemerintah India pada tahun 1941. Fungsi dari SPE pada saat itu adalah untuk
menyelidiki kasus-kasus penyuapan dan korupsi dalam transaksi yang dilakukan
dengan War & Supply Departement selama Perang Dunia II. Selanjutnya meskipun
perang telah usai, kebutuhan akan institusi yang bertugas menyelidiki kasus suap dan
korupsi yang terjadi di Pemerintah Pusat masih tetap dirasakan. Delhi Special Police
Establishment Act kemudian disahkan pada tahun 1946. Undang-undang tersebut
menyerahkan kepemimpinan SPE ke Departemen Dalam Negeri, dan kemudian
fungsinya diperlebar mencakup seluruh departemen dalam Pemerintahan India.
Yurisdiksi SPE pun diperluas ke seluruh Union Territory dan dapat ditambah ke
tingkat negara bagian sepanjang disetujui oleh pemerintah negara bagian.
Pada awalnya, CBI hanya menyelidiki pelanggaran-pelanggaran korupsi di
tingkat pemerintah pusat yang dilakukan pegawai pemerintah pusat. Namun dalam
perkembangannya, karena jumlah sektor publik terus meningkat, maka pegawai-
pegawai negeri di luar pemerintah pusat juga termasuk dalam kewenangan
penyelidikan CBI, termasuk juga sektor perbankan publik yang dinasionalisasi pada
tahun 1969 beserta seluruh pegawainya.
Lingkungan eksternal yang berkembang sedemikian rupa, menyebabkan CBI
tidak lagi hanya menyelidiki kasus-kasus korupsi akan tetapi ia bertransformasi
menjadi sebuah lembaga penyelidikan nasional. Sejak tahun 1965, CBI diberikan
wewenang lebih untuk menyelidiki pelanggaran-pelanggaran yang berdampak pada
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 67
kerugian ekonomi, dan kasus-kasus krimnal konvensional penting lainnya seperti
pembunuhan, penculikan, teroris dan lain sebagainya secara selektif.
SPE pada awalnya memiliki dua “sayap” (wing), yaitu General Offences Wing
(GOW) dan Economic Offences Wing (EOW). GOW menangani kasus-kasus suap dan
korupsi yang melibatkan pegawai Pemerintah Pusat dan Sektor Publik terkait.
Sedangkan EOW menangani kasus-kasus pelanggaran berbagai hukum
ekonomi/fiskal. Dengan formasi demikian, GOW memiliki setidaknya satu cabang di
setiap negara bagian, dan EOW di empat kota metropolitian yaitu Delhi, Madras,
Bombay dan Calcutta. Kantor cabang EOW mengurusi laporan-laporan pelanggaran
dari daerah-daerah misalnya kantor cabang yang memiliki yurisdiksi di beberapa
negara bagian. Setelah berubah menjadi CBI peranan lembaga ini menjadi
bertambah.
Secara empirik, CBI telah berhasil menjaga reputasinya atas independensi dan
kompetensi selama bertahun-tahun. Keberhasilan ini menyebabkan permintaan
kepada CBI untuk menyelidiki kasus-kasus kejahatan konvensional lebih banyak
seperti pembunuhan, penculikan, dan terorisme. Sejalan dengan hal tersebut,
Mahkamah Agung dan berbagai Pengadilan Tinggi mulai mempercayakan
penyelidikan kasus-kasus semacam itu kepada CBI melalui petisi yang disetujui
banyak pihak. Memperhatikan kenyataan dimana jumlah kasus yang diselidiki oleh
CBI bertambah banyak, maka dipandang perlu untuk memberikan kasus-kasus
tersebut kepada Kantor Cabang yang memiliki yurisdiksi lokal. Oleh sebab itu, pada
tahun 1987 dibentuk dua divisi investigasi dalam tubuh CBI, yaitu Divisi Anti Korupsi
dan Divisi Kriminal Khusus (yang pada akhirnya menangani kasus-kasus kriminal
konvensional disamping kejahatan-kejahatan ekonomi). Lebih lanjut, pada tahun
2001, CBI kembali mengalami reorganisasi untuk mengantisipasi tindak kejahatan
yang semakin berkembang. Saat ini CBI terdiri dari beberapa divisi yaitu:
1. Divisi Anti Korupsi (Anti Corruption Division)
2. Divisi Kejahatan Ekonomi (Economic Offences Division)
3. Divisi Kejahatan Khusus (Special Crimes Division)
4. Direktorat Penuntutan (Directorate of Prosecution)
5. Divisi Administrasi (Administration Division)
6. Divisi Kebijakan dan Koordinasi (Policy & Coordination Division)
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 68
7. Pusat Laboratorium Ilmu Forensik (Central Forensic Science Laboratory)
Setelah mengalami beberapa kali perubahan baik dalam hal struktur
kelembagaan dan kewenangan, CBI India telah memainkan peranan pentingnya
sebagai lembaga penyelidik yang memperoleh kredibilitas tinggi baik dari
masyarakat, parlemen, lembaga peradilan serta pemerintah sendiri. Dalam 65 tahun
terakhir, kelembagaan CBI telah berevolusi dari sebuah lembaga anti korupsi menjadi
sebuah lembaga kepolisian yang multi disipliner, penegak hukum dengan kapabilitas,
kredibilitas dan memiliki mandat hukum untuk menyelidiki dan menuntut tindak
kejahatan (termasuk korupsi) di seluruh India. Bahkan saat ini, CBI memiliki CBI
Academy sebagai sebuah lembaga pendidikan dan pelatihan bagi para penegak
hukum untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mereka dalam hal
penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan secara hukum. Pendidikan dan
pelatihan ini dirancang untuk mengantisipasi setiap modus kejahatan yang semakin
hari semakin berkembang. Organisasi CBI secara lengkap dapat dilihat dalam gambar
berikut ini.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 69
G
amba
r 4
.3 S
tru
ktu
r O
rgan
isas
i CB
I In
dia
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 70
Terkait dengan penanganan kasus korupsi, pada tahun 2003, Pemerintah India
membentuk Central Vigilance Commission (CVC) dengan tujuan agar penanganan
korupsi menjadi lebih independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif. Hal
ini mengingat CBI telah mengalami evolusi menjadi lembaga yang berada di bawah
kekuasaan pemerintah, sehingga perlu menjaga independensi dan obyektifitasnya.
Pengawasan yang dilakukan CVC juga meliputi institusi-institusi pemerintah pusat
dalam hal perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi terhadap kewaspadaan
(vigilance) dari tindak pidana korupsi yang mungkin terjadi.
Kewenangan dan fungsi dari CVC adalah [i] melakukan pengawasan terhadap
Delhi Special Police Establishment (DSPE) berkenaan dengan penyelidikan sesuai
Prevention of Corruption Act, 1988, pegawai negeri, serta memberi arahan kepada
DSPE terkait dengan pelepasan tanggung jawab pegawai negeri; [ii] melakukan
review terhadap proses penyelidikan yang dilakukan DSPE sesuai dengan undang-
undang anti korupsi; [iii] menginisiasi atau merekomendasikan penyelidikan
terhadap setiap transaksi yang dilakukan pegawai negeri pada setiap institusi di
lingkungan Pemerintah India yang dicurigai atau disinyalir telah terjadi
penyalahgunaan atau korupsi; [iv] memberikan saran obyektif kepada institusi lain
dalam hal terjadinya kasus-kasus disipliner; [v] melakukan pemeriksaan umum dan
pengawasan terhadap upaya-upaya anti korupsi di setiap Kementerian atau
Departemen di lingkungan Pemerintah India dan organisasi-organisasi lain yang
memiliki kekuasaan eksekutif di negara-negara bagian; [vi] membentuk Komite
dalam pemilihan Direktur CBI, Direktur Direktorat Penegakan, dan Pejabat-Pejabat
DSPE; [vii] menginisiasi dan merekomendasikan penyelidikan atau langkah-langkah
yang dianggap perlu berdasarkan keluhan-keluhan yang diterima sesuai dengan
Public Interest Disclosure and Protection of Informer.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 71
Gambar 4.4
Struktur Central Vigilance Commission (CVC) India
Dari aspek kelembagaan, CVC terdiri dari Sekretariat, Kepala Penguji Teknis
(Chief Technical Examiners/CTE), dan Komisaris Bagian Penyelidikan
(Commissioners for Departmental Inquiries/CDI). Sekretariat terdiri dari seorang
Sekretaris, Pejabat Sekretaris Bersama untuk Pemerintah India, sepuluh
Direktur/Sekretaris Deputi, empat Sekretaris Muda, dan staf sekretariat. Sementara,
CTE terdiri dari dua Ahli yang didukung oleh staf ahli. Fungsi utama dari CTE adalah:
[i] melakukan audit secara teknis terhadap rancangan pekerjaan institusi-institusi
pemerintah dari sudut pandang “kehati-hatian”, [ii] menyelidiki kasus-kasus tertentu
yang terkait dengan rancangan pekerjaan; [iii] memberikan bantuan kepada CBI
terhadap penyelidikan mereka yang berhubungan dengan hal-hal teknis dan evaluasi
kepemilikan di Delhi; dan [iv] memberikan dukungan kepada pimpinan CVC.
Sedangkan CDI terdiri dari 15 Komisaris Bagian Penyelidikan meliputi 14 Sekretaris
Deputi/Direktur dan satu Sekretaris Bersama untuk Pemerintah India. Fungsi dari
CDI ialah melakukan penyelidikan awal yang bersifat lisan terhadap pegawai negeri.
C. INDONESIA
Selanjutnya kita akan membahas kelembagaan anti korupsi di Indonesia.
Upaya-upaya pemberantasan korupsi di Indonesia pada dasarnya dimulai sejak tahun
1957. Dalam perjalanannya, upaya-upaya tersebut merupakan sebuah proses
pelembagaan yang cukup lama dalam penanganan korupsi. Tercatat paling tidak ada
CVC
Commissioners for Departmental Inquiries/CDI
Chief Technical Examiners/CTE
Secretariat
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 72
tujuh upaya pemberantasan yang berskala besar sejak tahun 1957 sampai dengan
tahun 2002. Lima di antaranya dilakukan sebelum masa reformasi politik pada saat
berakhirnya pemerintahan Orde baru. Upaya-upaya tersebut adalah :
1. Operasi militer khusus dilakukan pada tahun 1957 untuk memberantas
korupsi di bidang logistik.
2. Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) pada tahun 1967 dibentuk dengan
diberikan mandat utama untuk melaksanakan pencegahan dan
pemberantasan.
3. Pada tahun 1970 dibentuk tim advokasi yang lebih dikenal dengan nama
Tim Empat yang bertugas memberikan rekomendasi. Sayangnya
rekomendasi yang dihasilkan tidak sepenuhnya ditindak lanjuti.
4. Operasi Penertiban (Opstib) dibentuk pada tahun 1977 untuk memberantas
korupsi melalui aksi pendisiplinan administrasi dan operasional.
5. Pada tahun 1987 dibentuk Pemsus Restitusi yang khusus menangani
pemberantasan korupsi di bidang pajak.
6. Pada tahun 1999 dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (TGPTPK) di bawah naungan Kejaksaan Agung. Di tahun yang
sama pula dibentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN)
7. Pada tahun 2002 dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di mana
KPKPN melebur dan bergabung di dalamnya.
Sejak tahun 2002, KPK secara formal merupakan lembaga anti korupsi yang
dimiliki Indonesia. Pembentukan KPK didasari oleh Undang-Undang No. 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Sesuai dengan undang-undang
tersebut, KPK memiliki tugas melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; supervisi terhadap instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan melakukan
monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Sementara itu,
kewenangan yang dimiliki oleh KPK adalah mengkoordinasikan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi; menetapkan sistem pelaporan
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 73
dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; meminta informasi tentang
kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan meminta laporan instansi
terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Dengan tugas dan kewenangan yang dimilikinya, KPK merupakan ujung
tombak pemberantasan korupsi di Indonesia. Sehubungan dengan hal ini, visi KPK
adalah "Mewujudkan Indonesia yang Bebas Korupsi". Visi ini menunjukkan suatu
tekad kuat dari KPK untuk segera dapat menuntaskan segala permasalahan yang
menyangkut Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Pemberantasan korupsi
memerlukan waktu yang tidak sedikit mengingat masalah korupsi ini tidak akan
dapat ditangani secara instan, namun diperlukan suatu penanganan yang
komprehensif dan sistematis. Sedangkan misi KPK ialah "Penggerak Perubahan
untuk Mewujudkan Bangsa yang Anti Korupsi". Dengan pernyataan misi tersebut
diharapkan bahwa komisi ini nantinya merupakan suatu lembaga yang dapat
"membudayakan" anti korupsi di masyarakat, pemerintah dan swasta di Indonesia.
Dari aspek organisasi sesuai dengan Lampiran Keputusan Pimpinan KPK
No. KEP-07/KKPK02/2004 Tanggal 10 Pebruari 2004, KPK dipimpin oleh seorang
Ketua dan terdiri dari Deputi Bidang Pencegahan, Deputi Bidang Penindakan, Deputi
Bidang Informasi dan Data, Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan
Masyarakat, dan Sekretariat Jenderal. Untuk lebih jelasnya mengenai struktur
organisasi KPK dapat dilihat pada gambar berikut.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 74
Gambar 4.5
Struktur Organisasi KPK Indonesia
Namun demikian, kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan
kasus-kasus korupsi di Indonesia bukan hanya terletak di KPK saja. Saat ini lembaga
Kepolisian dan Kejaksaan juga memiliki wewenang yang sama dalam hal
penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan Kejaksaan memiliki kewenangan
melakukan penuntutan di pengadilan. Tersebarnya kewenangan di sejumlah lembaga
ini memiliki konsekuensi tertentu yang dapat berimplikasi positif maupun negatif.
Implikasi positifnya antara lain adalah kasus-kasus korupsi dapat cepat ditangani
tanpa harus menunggu tindakan dari suatu lembaga tertentu. Masyarakat juga dapat
melaporkan indikasi kasus dugaan korupsi kepada lembaga-lembaga terkait baik itu
KPK, Kepolisian maupun Kejaksaan. Namun demikian, hal tersebut juga berimplikasi
negatif yaitu terjadinya perbedaan interpretasi terhadap satu kasus korupsi. Dimana
masing-masing lembaga memiliki persepsi yang berbeda, contohnya penuntutan yang
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 75
diajukan oleh masing-masing lembaga di peradilan tidak seragam. Masing-masing
memiliki argumennya sendiri-sendiri sehingga terkadang putusan hukuman di
lembaga peradilan atas kasus-kasus korupsi relatif kurang obyektif dan tidak
memuaskan rasa keadilan di masyarakat.
Terlepas dari efektivitas lembaga anti korupsi dalam memberantas korupsi di
suatu negara, keberadaan lembaga anti korupsi hingga saat ini masih menjadi
perdebatan pro dan kontra di masyarakat. Mereka yang mendukung menilai bahwa
lembaga anti korupsi—khususnya di negara-negara maju seperti Singapura dan Hong
Kong—secara empirik telah terbukti mampu menekan jumlah kasus korupsi dan
memberikan efek jera bagi para koruptor lainnya dengan memperbesar “cost” bagi
seseorang yang mencoba melakukan korupsi dibandingkan dengan “keuntungan”
yang bisa mereka peroleh. Hukuman penjara dan pengembalian hasil korupsi (asset
recovery) kepada negara serta sanksi sosial yang keras terbukti efektif dalam
memberantas korupsi. Pemisahan lembaga anti korupsi dari institusi generik lainnya
seperti kepolisian atau pun kejaksaan, menjadikan lembaga ini mampu bekerja secara
independen, profesional, dan obyektif sehingga konflik kepentingan dapat
diminimalisir sekecil mungkin. Namun demikian, tidak sedikit pula kalangan yang
menolak keberadaan lembaga ini. Alasan yang pada umumnya disampaikan adalah
inefisiensi kelembagaan, karena pada dasarnya korupsi dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana biasa seperti lazimnya tindak kriminal lainnya. Mereka beranggapan
bahwa lembaga kepolisian dan kejaksaan sudah cukup mampu untuk menangani
kasus-kasus korupsi yang terjadi. Singkatnya mereka berpendapat korupsi bukanlah
suatu kejahatan yang luar biasa, sehingga tidak perlu penanganan yang luar biasa
pula. Keberadaan lembaga anti korupsi juga menambah beban anggaran negara,
sementara hasil kerjanya masih diragukan efektivitasnya. Dari kedua pendapat
tersebut, terlihat bahwa masing-masing memiliki argumen sendiri-sendiri.
Keberhasilan dan kegagalan suatu lembaga anti korupsi tentu saja dipengaruhi oleh
sejumlah faktor. Terkait dengan hal ini, Alan Doig, David Watt, dan Roberts William
sebagaimana yang dikutip oleh KPK (2006) dalam studinya mengidentifikasi
beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan lembaga anti
korupsi, sebagaimana yang terlihat pada tabel berikut.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 76
Tabel 4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan dan Kegagalan
Suatu Lembaga Anti Korupsi
Faktor Keberhasilan Faktor Kegagalan
1. Adanya dukungan politik 1. Tidak ada komitmen politik 2. Lembaga anti korupsi merupakan
bagian dari strategi pemberantasan korupsi yang komprehensif serta mendapat dukungan yang efektif dan komplementer dari lembaga publik
2. Kontra produktif terhadap pertumbuhan ekonomi
3. Ekonomi yang stabil dan program pembangunan selalu terfokus pada pengurangan peluang korupsi.
3. Secara umum pemerintah gagal membangun institusi di negaranya
4. Didukung oleh anggaran yang memadai dan staf yang kompeten
4. Penerapan hukum terhadap korupsi kurang mendorong, tidak efektif, dan ambigu
5. Memiliki visi dan misi yang jelas. Visi dan misi ini ditunjang pula oleh perencanaan bisnis, pengelolaan anggaran dan pengukuran kinerja yang baik.
5. Tidak fokus, banyak tekanan, tidak ada prioritas dan tidak didukung oleh struktur organisasi yang memadai
6. Adanya kerangka hukum yang kuat termasuk “rule of law”-nya dan dibekali oleh kekuatan hukum yang kuat sehingga dapat menunjang kegiatan penindakan dan pencegahan
6. Lembaga anti korupsi dikatakan gagal apabila terlihat sebagai organisasi yang tidak efisien dan efektif serta tidak sesuai dengan harapan banyak pihak
7. Bekerja secara independen dan bebas dari pengaruh kepentingan
7. Rendahnya kepercayaan publik
8. Pimpinan dan seluruh jajarannya memiliki standar integritas yang tinggi
9. Melibatkan masyarakat dan memperhatikan persepsi yang berkembang
Sumber: KPK (2006)
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan lembaga
anti korupsi bukanlah solusi akhir bagi pemberantasan korupsi di suatu negara.
Lembaga anti korupsi harus didukung oleh komitmen dari semua pihak tanpa
terkecuali, anggaran serta SDM yang memadai dan profesional, independen, bebas
dari berbagai konflik kepentingan, dan landasan hukum yang memberikan
kewenangan penuh bagi lembaga tersebut untuk melakukan langkah-langkah yang
dianggap perlu dalam menyelidiki kasus-kasus korupsi.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 77
Meskipun demikian, keberadaan lembaga anti korupsi memiliki nilai yang
sangat strategis dan politis bagi pemerintahan suatu negara. Saat ini persoalan
korupsi bukan hanya menjadi isu lokal, melainkan sudah menjadi isu internasional.
Bagi negara-negara berkembang, keberhasilan menekan angka korupsi merupakan
sebuah prestasi tersendiri. Hal ini akan berdampak pada arus investasi asing yang
masuk ke negara tersebut. Negara dengan tingkat korupsi yang tinggi tentunya akan
kehilangan daya saing dalam merebut modal asing yang sangat dibutuhkan negara
berkembang. Negara-negara maju dan lembaga-lembaga donor internasional sangat
menaruh perhatian terhadap peringkat korupsi yang dikeluarkan oleh lembaga survei
internasional seperti Transparency Internasional dan PERC. Kedua lembaga ini
secara konsisten melakukan penelitian dan mengumunkan peringkat negara terkorup
dan terbersih setiap tahunnya. Oleh karena itu, keseriusan pemerintah dalam
memberantas korupsi tercermin dari adanya lembaga anti korupsi di negara tersebut.
Meskipun demikian, keberadaaan lembaga anti korupsi tentu saja tidak terlepas dari
kelebihan dan kelemahannya. UNODC sebagaimana yang disarikan oleh KPK (2006)
menjelaskan sejumlah kelebihan dan kelemahan dari adanya lembaga anti korupsi di
suatu negara.
Tabel 4.3
Kelebihan dan Kelemahan dari Pembentukan Lembaga Anti Korupsi
Kelebihan Kelemahan
• Dapat terus mengingatkan/menekan pemerintah untuk secara serius melakukan upaya pemberantasan korupsi
• Menghasilkan lembaga dengan tingkat keahlian yang khusus
• Sebagai lembaga baru dapat membangun sistem baru yang terbebas dari pengaruh korupsi
• Dapat dijadikan contoh bagi lembaga lain, terutama institusi penegak hukum, sehingga menjadi “trigger mechanism” bagi lembaga penegak hukum yang telah ada
• Mempunyai kredibilitas yang lebih besar
• Dapat dilengkapi dengan sistem
• Beban biaya tambahan bagi negara • Akan terjadi persaingan antara
lembaga penegak hukum yang telah ada, sehingga akan menyulitkan dalam berkoordinasi
• Dapat berakibat restrukturisasi terhadap lembaga lain yang telah ada
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 78
perlindungan keamanan yang lebih baik dalam menjalankan fungsinya
• Lembaga Anti Korupsi dapat melakukan rekrutmen secara obyektif untuk mendapatkan sumber daya manusia dengan kualitas dan integritas yang lebih baik
• Dapat mendisain sendiri muatan pendidikan dan pelatihan yang cocok dengan lingkungan yang dinamis
• Lebih jelas dalam menilai perkembangannya, tingkat kegagalan dan kesuksesannya
Sumber: KPK (2006)
Memperhatikan hasil penelitian yang telah dilakukan KPK mengenai kelebihan
dan kelemahan adanya lembaga anti korupsi di suatu negara di atas, dapat
disimpulkan bahwa keberadaan lembaga anti korupsi memilki banyak kelebihan
dibandingkan dengan kelemahannya. Oleh karena itu, keberadaan lembaga anti
korupsi merupakan suatu keharusan dan salah satu syarat keberhasilan strategi
pemberantasan korupsi. Bagaimana pun juga, kita perlu mengantisipasi kelemahan-
kelemahan yang ditimbulkan agar keberadaan lembaga ini tidak menjadi suatu
langkah surut dalam memberantas korupsi.
Dari tabel di atas, kita dapat melihat beberapa kelemahan-kelemahan seperti
bertambahnya anggaran negara, persaingan antar penegak hukum, dan
restrukturisasi lembaga lain. Kita akan membahas kelemahan-kelemahan tersebut
satu persatu. Adapun kelemahan yang pertama adalah meningkatnya anggaran
negara bagi lembaga anti korupsi merupakan suatu konsekuensi logis bagi
terbentuknya lembaga baru di lingkungan pemerintahan. Namun demikian, apabila
dibandingkan dengan jumlah anggaran yang dikorupsi, meningkatnya anggaran bagi
pembentukan lembaga anti korupsi akan jauh lebih kecil. Belum lagi apabila kita
memperhitungkan multiplier effect yang seharusnya terjadi dalam hal pelayanan
publik dan pembangunan ekonomi apabila anggaran negara tersebut tidak dikorup.
Lebih lanjut, sesuai dengan salah satu pasal UNCAC yaitu asset recovery, lembaga
anti korupsi akan lebih efektif dalam mengembalikan aset-aset yang telah dikorup
kepada negara. Kelemahan yang kedua yaitu persaingan antar penegak hukum akan
dapat dihindari dengan adanya aturan dan jelas dan tegas. Salah satu latar belakang
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 79
dibentuknya lembaga anti korupsi yang independen adalah tidak efektifnya
pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang sudah
ada. Sehingga keberadaan lembaga anti korupsi harus dipahami sebagai suatu
kebutuhan dan keharusan untuk dapat segera menuntaskan kasus-kasus korupsi yang
menjadi sorotan banyak pihak. Pembentukan lembaga anti korupsi ini harus disertai
dengan penyusunan aturan main dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Aturan tersebut harus mengatur kewenangan apa saja yang dimiliki oleh masing-
masing lembaga penegak hukum terkait dengan kasus korupsi. Bahkan aturan
tersebut juga harus mampu menciptakan terjalinnya koordinasi yang sinergis dari
masing-masing lembaga tanpa melemahkan kewenangan yang dimiliki masing-
masing. Kemudian kelemahan yang ketiga adalah terjadinya restrukturisasi lembaga
lain. Pada umumnya sebelum terjadi restrukturisasi akan dilakukan audit yang
menyeluruh dan mendalam terhadap lembaga-lembaga penegak hukum terkait dalam
hal tugas dan fungsi, struktur organisasi, serta kewenangan. Apabila hasil audit
menyimpulkan perlunya dilakukan restrukturisasi guna meningkatkan efisiensi dan
efektivitas pemberantasan korupsi, maka seharusnya restrukturisasi diartikan sebagai
suatu perubahan positif dan bukti keseriusan pemerintah dalam memberantas
korupsi. Penolakan terhadap restrukturisasi—sepanjang hal itu memang harus
dilakukan—merupakan hal yang biasa dalam dinamika organisasi. Hal ini dapat
diredam dengan melakukan open recruitment kepada seluruh jajaran lembaga
penegak hukum terkait dan bahkan kepada khalayak umum untuk mengisi jabatan-
jabatan yang tersedia di lembaga anti korupsi secara adil, terbuka dan berbasis pada
kompetensi. Dengan mengantisipasi kelemahan-kelemahan tersebut, diharapkan
akan terbentuk suatu lembaga anti korupsi yang mendapat dukungan luas berbagai
pihak sehingga mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara profesional dan
obyektif.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 80
Bab V
Strategi Pencegahan
Tindak Korupsi
ebagai bagian dari strategi pemberantasan korupsi, faktor pencegahan
merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam memberantas perilaku
korupsi. Pencegahan korupsi diartikan sebagai langkah-langkah yang
ditempuh oleh pemerintah untuk mencegah, menghindari, dan menjaga agar perilaku
serta peluang korupsi dapat diminimalisir sekecil mungkin. Pencegahan juga
dimaksudkan untuk memberantas korupsi mulai sejak awal tanpa harus menunggu
seseorang berbuat korupsi. Hal ini didasari oleh pemahaman bahwa tindak kejahatan
korupsi dapat terjadi bukan saja disebabkan oleh besarnya “keuntungan” yang bisa
diambil oleh seseorang, akan tetapi juga dikarenakan oleh kecilnya “kerugian” yang
ditanggung para pelaku korupsi. Selain itu, korupsi juga dapat terjadi bukan hanya
karena muncul dari niat seseorang, namun faktor kesempatan sangat memainkan
peranan yang besar. Dengan memperkecil kesempatan atau peluang korupsi,
diharapkan korupsi dapat dicegah sedini mungkin sebelum korupsi itu sendiri terjadi.
Langkah-langkah pencegahan tindak korupsi di sejumlah negara sangat
beragam. GTZ (2005) dalam studinya mengenai pencegahan korupsi menyebutkan
bahwa untuk dapat menyusun langkah-langkah pencegahan yang tepat diperlukan
identifikasi awal untuk mengetahui aspek-aspek mana di dalam administrasi publik
yang memiliki kelemahan atau peluang terhadap tindak korupsi. Tanpa adanya
informasi awal tersebut, sangat sulit untuk menentukan langkah-langkah yang tepat
dan efektif. Oleh sebab itu, langkah-langkah pencegahan korupsi yang dilakukan di
beberapa negara memiliki sejumlah perbedaan yang didasari oleh karakteristik
korupsi dan kondisi lokal dari masing-masing negara. Pencegahan korupsi yang
S
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 81
cukup efektif dilaksanakan di suatu negara tertentu tidak serta merta akan berhasil
apabila diterapkan di negara lain.
Langseth (1999) dalam papernya yang berjudul “Prevention: An Effective Tool
to Reduce Corruption” mengemukakan bahwa penanganan korupsi (khususnya di
negara-negara berkembang) memerlukan dukungan dari negara-negara donor
melalui kerjasama dengan seluruh insitusi pemerintah dan elemen-elemen
masyarakat negara yang bersangkutan. Pencegahan merupakan pendekatan yang
paling utama dalam membantu negara-negara berkembang untuk mengatasi korupsi,
membangun integritas dan pada akhirnya meningkatkan pelayanan publik dan
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi dunia usaha.
Adapun apabila berdasarkan sektor, maka instrumen pencegahan korupsi yang
dibangun dalam strategi pemberantasan korupsi dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
Tabel 5.1
Instrumen Pencegahan Korupsi per Sektor
Sumber: OSCE, 2004: 155
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 82
Dalam tabel tersebut di jelaskan salah satunya bahwa dalam sektor
masyarakat secara umum, maka instrumen pencegahan korupsi adalah mekanisme
pemilihan yang bertujuan untuk mencapai integritas dengan mengeliminir politisi
korup. Mekanisme ini tentu hanya bisa efektif apabila telah terdapat kesadaran
(awareness) dan level melek (literacy) masyarakat yang cukup baik. Kesadaran
politik warga akan hak-hak sipilnya akan sangat efektif dalam menyaring mana
politisi yang korup, dan mana yang tidak.
Di sektor parlemen, tentu instrmen utamanya adalah perundangan anti
korupsi yang mumpuni dan mampu memberi efek jera bagi para pelaku korupsi.
Perundangan anti korupsi ini dapat memberdayakan penegakkan anti korupsi.
Salah satu sektor penting lainya adalah korupsi di sektor pemerintah yang
harus dibenahi melalui mekanisme reformasi anti-korupsi dan mengadopsi peraturan
dan kebijakan integritas. Dengan instrumen ini maka diharapkan tercapai integritas
aparat pemerintah baik secara individu maupun kelembagaan di mata publik.
Berkenaan dengan fungsi yang melekat pada sektor pemerintah, yaitu sektor
pelayanan publik, maka instrumen yang dpat dikembangkan adalah kode etik
pelayanan yang bertujuan untuk membatasi praktik korupsi dan membersihkan
pelayanan dari petugas yang korup. Sama halnya dengan sektor pelayanan publik,
disektor bisnis pun perlu dkembangkan kode etik dalam berbisnis untuk menciptakan
iklim dan dunia usaha yang bebas dari praktik korupsi. Hal terpenting dari
pengejawantahan kode etik ini adalah menurunkan biaya ekonomi tinggi yang tidak
perlu.
Berbagai program dan pendekatan tentunya juga disesuaikan dengan kondisi
lokal setiap negara. Pendekatan pencegahan korupsi yang dilakukan oleh Singapura,
Hong Kong, India dan Indonesia juga memiliki sejumlah perbedaan dengan tingkat
efektivitas yang beragam.
A. SINGAPURA
Singapura sebagai salah satu negara yang berhasil menekan angka korupsi
bahkan disebut sebagai negara terbersih di Asia (peringkat 1 berdasarkan survei
PERC tahun 2006) memiliki strategi yang berbeda dengan negara-negara lain dalam
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 83
memberantas korupsi. Strategi yang ditempuh Singapura dalam memberantas
korupsi disebut sebagai pilar strategi anti korupsi, memiliki empat fokus utama yaitu:
Effective Anti-Corruption Agency; Effective Acts (or Laws); Effective Adjudication;
dan Efficient Administration. Dimana keempat pilar di atas dilandasi oleh “strong
political will against corruption” dari pemerintah (Gambar 5.1).
Komitmen politik pemerintah yang tinggi dalam memberantas korupsi adalah
faktor utama dan terpenting dari keberhasilan Singapura dalam memberantas
korupsi. Selanjutnya, negara tersebut menyadari pentingnya membentuk lembaga
anti korupsi yang independen, memiliki kewenangan yang memadai, dan memiliki
integritas tinggi. Keberadaan peraturan perundang-undangan yang tegas dan jelas
mengenai korupsi juga sangat menentukan efektivitas lembaga anti korupsi dan
hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi. Kemudian administrasi
pemerintahan yang efisien merupakan outcomes dari efektifnya lembaga anti korupsi,
undang-undang, dan sanksi korupsi.
Gambar 5.1
Strategi Anti Korupsi Singapura
Seperti yang telah dijelaskan di bab-bab sebelumnya, aktor utama dalam
menangani korupsi di Singapura adalah Corrupt Practices Investigation Bureau
(CPIB). Dalam menjalankan perannya sebagai lembaga anti korupsi, CPIB memiliki
beberapa fungsi yaitu: menerima dan menyelidiki keluhan mengenai praktik-praktik
korupsi; menyelidiki penyimpangan dan kekeliruan pegawai negeri yang dapat
STRONG POLITICAL WILL
UNDANG-UNDANG ANTI KORUPSI
E F E K T I F
KOMISI ANTI KORUPSI
PERADILAN
ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 84
dikategorikan sebagai korupsi; dan mencegah korupsi melalui pengujian standar dan
prosedur pelayanan publik untuk meminimalisir peluang-peluang untuk melakukan
praktik korupsi. Terkait dengan fungsi pencegahan, CPIB menempuh beberapa cara
yaitu:
1. Review of Work Methods. CPIB melakukan evaluasi di seluruh instansi
pemerintah dimana cara dan prosedur kerja ditingkatkan untuk
menghindari penundaan pemberian ijin atau lisensi dan mencegah pegawai
negeri menerima suap dari masyarakat untuk mempercepat proses
perijinan;
2. Declaration of Non-Indebtedness. Setiap pegawai negeri di Singapura
diharuskan untuk membuat pernyataan bahwa ia bebas dari hutang budi
yang terkait dengan uang (pecuniary embarrassment) setiap tahunnya. Hal
ini didasari keyakinan bahwa pegawai negeri yang memiliki hutang budi
dapat dengan mudah dieksploitasi oleh pihak lain dan memiliki kewajiban
tertentu yang menjadikannya tidak obyektif dalam melayani masyarakat.
Dengan demikian ia rentan untuk melakukan korupsi;
3. Declaration of Assets and Investments. Aturan ini mewajibkan setiap
pegawai negeri menyatakan kekayaan dan investasinya pada saat ia
diangkat menjadi pegawai negeri dan setiap tahunnya setelah menjadi
pegawai negari, termasuk pasangan dan anak-anaknya. Apabila seorang
pegawai negeri memiliki kekayaannya yang tidak sesuai dengan gajinya, ia
harus menjelaskan dari mana ia dapat memperolehnya. Selanjutnya apabila
ia memiliki sejumlah saham di perusahaan swasta, ia akan diminta untuk
mendivestasikan kepemilikannya untuk menghindari konflik kepentingan;
4. Non-Acceptance of Gifts. Pegawai negeri di Singapura dilarang untuk
menerima hadiah uang atau sejenisnya dari masyarakat yang dilayaninya.
Mereka juga dilarang untuk menerima suguhan hiburan. Pada kondisi
dimana mereka tidak mungkin menolaknya (seperti cinderamata dari
kunjungan resmi), mereka boleh menerimanya dan menyerahkan kepada
kepada departemen. Namun demikian, mereka dapat menyimpan
bingkisan tersebut apabila mereka membayar sesuai dengan nilai yang
ditaksir oleh official valuer yang ditunjuk oleh Departemen Keuangan;
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 85
5. Public Education. Sebagai bagian dari upaya mencegah korupsi, CPIB
melakukan diseminasi mengenai buruknya dampak korupsi kepada
pegawai negeri, khususnya mereka yang bekerja di instansi-instansi
penegakan hukum dan mereka yang berpeluang untuk menerima suap dan
tindak korupsi lainnya, seperti perpajakan, bea cukai dan imigrasi.
Langkah-langkah pencegahan yang dilakukan di atas Pemerintah Singapura
pada dasarnya dilatarbelakangi oleh sejumlah kelemahan yang ada dalam
birokrasinya. Hubungan atau kontak langsung antara pegawai negeri sebagai ujung
tombak pelayanan publik dengan masyarakat sebagai pihak yang harus dilayani
merupakan kelemahan utama. Hubungan semacam ini menciptakan peluang korupsi
yang besar bagi para pegawai negeri. Oleh sebab itu, Singapura menerapkan
reformasi administrasi pemerintahan yang antara lain tertuang dalam pernyataan
motto yakni Integrity, Service, Excellence yang dipahami sebagai visi bersama oleh
seluruh jajaran instansi pemerintah mulai dari pimpinan hingga staf. Lebih lanjut
reformasi tersebut juga dilakukan melalui Public Services for the 21st Century (PS21)
Movement, yang pada intinya bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pemerintahan
dan memangkas birokrasi. Peran CPIB dalam menciptakan pelayanan publik yang
bersih salah satunya adalah memberikan rekomendasi dalam hal perekrutan,
promosi, dan pemberian penghargaan pegawai negeri.
Dalam kerangka PS21 Movement, Pemerintah Singapura menerapkan
sejumlah strategi yakni E-Government Action Plans (eGAP) yang diimplementasikan
pada tahun 2000-2006. Strategi eGAP tersebut pada prinsipnya bertujuan untuk
meminimalisir peluang korupsi dengan mendayagunakan teknologi informasi secara
elektronik sehingga kontak langsung antara penyedia layanan publik dengan
masyarakat dapat dikurangi. eGAP juga merupakan bagian dari konsep Integrated
Government (iGov) 2010. Upaya-upaya lain yang termasuk dalam eGAP adalah
eCitizen dan GeBIZ, dimana eCitizen dimaksudkan untuk menciptakan hubungan
antara pemerintah dan masyarakat melalui perangkat elektronik, sedangkan GeBIZ
adalah suatu proses pengadaan barang dan jasa (procurement) pemerintah melalui
internet.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 86
Selanjutnya guna memperbaiki profesionalisme dan kinerja aparat
pemerintah, Singapura mengeluarkan Government Instruction Manual. Aturan ini
mengatur perilaku dan disiplin pegawai negeri yang mencakup larangan menerima
hadiah, melakukan investasi di sektor swasta, dan membuat pernyataan bebas hutang
budi dengan siapa pun. Kemudian aturan tersebut juga melarang keterlibatan
kontraktor yang terbukti korupsi dalam proyek-proyek pemerintah, serta
memutuskan kontrak dengan pihak ketiga apabila terbukti terjadi praktik-praktik
korupsi.
Kemudian untuk meningkatkan kesadaran (awarness) terhadap korupsi, CPIB
Singapura secara aktif melakukan kampanye dan pendidikan anti korupsi bekerja
sama dengan Civil Service College (CSC) di seluruh instansi pemerintah. Peran serta
masyarakat juga dilibatkan dalam mengawasi pelayanan publik, membuat pengaduan
atas apabila ada indikasi tindak korupsi di instansi pemerintah, dan ikut mengawasi
jalannya peradilan kasus-kasus korupsi.
Hal lain yang tidak kalah penting dalam langkah pencegahan korupsi adalah
perbaikan kesejahteraan pegawai negeri (remunerasi). Pemerintah Singapura
menyadari bahwa kesejahteraan birokrat mempunyai pengaruh yang cukup besar
terhadap perilaku korupsi. Pegawai negeri seringkali tergoda untuk menerima suap
apabila penghasilan mereka tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Oleh karena itu, Pemerintah Singapura mengeluarkan kebijakan bahwa saat ini gaji
pegawai, khususnya pegawai baru (entry level) di sektor pemerintah sama besarnya
dengan sektor swasta. Tujuan lain dari kebijakan ini adalah memberikan insentif dan
menciptakan daya tarik bagi para sarjana lulusan terbaik untuk berkarir di instansi-
instansi pemerintah secara profesional. Kebijakan untuk memperbaiki remunerasi
tersebut memang tidak dilakukan secara cepat namun dengan cara bertahap dan
memiliki keterkaitan erat dengan angka korupsi yang berhasil dikendalikan
pemerintah. Skema keterkaitan ini dapat dilihat pada Gambar 5.2 berikut.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 87
Gambar 5.2
Keterkaitan antara Korupsi dengan Perbaikan Remunerasi
Pegawai Negeri
Meskipun dalam sejarahnya, CPIB memprioritaskan korupsi di sektor publik,
namun Prevention of Corruption Act juga memberikan kewenangan kepada CPIB
untuk melakukan penyelidikan korupsi di sektor swasta. Hal ini dipengaruhi oleh
kecenderungan yang terjadi di Singapura akhir-akhir ini yaitu menurunnya kasus-
kasus korupsi di sektor publik dan sebaliknya terjadi peningkatan kasus-kasus
korupsi di sektor swasta. Praktik-praktik korupsi di sektor swasta pada umumnya
melibatkan pembayaran atau penerimaan komisi secara ilegal atau sogokan yang
untuk beberapa kasus jumlahnya cukup besar. Sebagian pengusaha di Singapura
masih menganggap pembayaran dari komisi yang ilegal dapat diterima dalam praktik
bisnis. Komisi ilegal yang dimaksud mengacu pada jumlah komisi yang diterima
seorang pegawai melebihi dari jumlah yang dibolehkan/disetujui oleh perusahaan.
Aturan yang ada di Singapura mewajibkan perusahaan memberikan petunjuk yang
jelas bagi para pegawainya terkait dengan kebijakan menerima komisi sehingga
transaksi bisnis yang adil dan jujur dapat terjaga dan pada akhirnya juga akan
melindungi kepentingan perusahaan.
Terkait dengan praktik suap, undang-undang anti korupsi di Singapura
memberikan ancaman hukuman kepada seseorang yang memberikan atau menerima
uang suap adalah denda maksimal SG$ 100,000 atau hukuman kurungan maksimal 5
tahun atau keduanya. Pada praktiknya, pengadilan dapat memberikan hukuman
sesuai dengan jumlah uang suap yang diterima. Sanksi yang sama juga dapat
dijatuhkan kepada seseorang yang memberikan atau menerima uang suap atas nama
Efisiensi Anggaran
Pemerintah
Peningkatan Kualitas
Pelayanan Publik
Peningkatan Kepercayaan Masyarakat
Zero Tolerance thd Korupsi
Korupsi terkendali
Peningkatan Kesejahteraan
Pegawai Negeri
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 88
orang lain. Secara empirik, hukuman ini sangat efektif memberikan efek jera dan
menekan angka korupsi. Bahkan pada beberapa kasus, sanksi sosial yang dijatuhkan
masyarakat jauh lebih berat dibandingkan pengadilan. Sejak CPIB dibentuk hingga
saat ini, tercatat sejumlah tersangka koruptor melakukan tindakan bunuh diri
sebelum diajukan ke pengadilan karena merasa malu kepada keluarganya dan takut
terhadap sanksi sosial dari masyarakat yang terkenal sangat tidak mentolerir
perbuatan korupsi.
B. HONG KONG
Selain Singapura, Hong Kong adalah salah satu role model dalam
pemberantasan korupsi. Menurut survei yang sama oleh PERC, Hong Kong
menempati urutan ke-3 negara terbersih di Asia setelah Jepang yang berada di
peringkat ke-2. Meskipun kedua negara yakni Singapura dan Hong Kong berhasil
mengatasi korupsi, namun pendekatan yang dilakukan relatif berbeda.
Strategi pemberantasan korupsi yang dimiliki Hong Kong memiliki tiga
pendekatan utama yaitu: prevention; investigation; dan education. Masing-masing
pendekatan memiliki tujuan dan sasaran yang berbeda. Pendekatan pertama yaitu
pencegahan dilakukan melalui legalisasi dan prosedur yang mengatur secara detil
mengenai definisi dan sanksi korupsi. Selanjutnya, pendekatan penyelidikan
merupakan langkah-langkah penindakan untuk memberikan efek jera bagi para
pelaku korupsi. Kemudian pendekatan pendidikan dimaksudkan untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat akan haknya sebagai warga negara dan
kesadaran akan dampak negatif korupsi bagi kelangsungan pembangunan. Strategi
pemberantasan korupsi di Hong Kong dapat dilihat pada gambar berikut.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 89
Gambar 5.3
Strategi Pemberantasan Korupsi Hong Kong
Ujung tombak dari pemberantasan korupsi di Hong Kong adalah Independent
Commission Against Corruption (ICAC). Strategi ICAC dalam mengimplementasikan
pendekatan-pendekatan di atas pada dasarnya terbagi ke dalam tiga fase yaitu:
1. Periode 1974-1980-an: membangun kepercayaan dan legislasi.
2. Periode awal 1980-awal 1990-an: memberikan layanan dan informasi.
3. Periode awal 1990-an sampai sekarang: leadership, ownership, dan
partnership.
Pada fase pertama (1974-1980-an), ICAC baru saja terbentuk dan mengalami
tantangan yang cukup besar terutama dari masyarakat yang meragukan efektivitas
lembaga ini karena permasalahan korupsi di Hong Kong sudah sangat parah dan
terjadi hampir di semua kalangan birokrat. Berkenaan dengan hal ini, pendekatan
pertama yang dilakukan ICAC ialah dengan membangun kepercayaan baik dari
masyarakat maupun kalangan pemerintah sendiri. Kepercayaan ini lambat laun dapat
terbentuk dari hasil kerja dan keseriusan yang ditunjukkan ICAC dalam menangani
kasus-kasus korupsi yang besar dan menyedot perhatian masyarakat luas. Setelah
kepercayaan terbangun, ICAC selanjutnya melakukan sosialisasi peraturan
perundang-undangan terkait dengan korupsi meliputi Independent Commission
Against Corruption Ordinance, Prevention of Bribery Ordinance, dan Elections
(Corrupt and Illegal Conduct) Ordinance.
STRATEGI PEMBERANTASAN
KORUPSI
PREVENTION/ PENCEGAHAN
INVESTIGATION/ PENYELIDIKAN
EDUCATION/ PENDIDIKAN
LEGISLASI & PROSEDUR
PENINDAKAN & EFEK JERA
KESADARAN AKAN HAK
WARGA
KESARADAN AKAN DAMPAK
KORUPSI
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 90
Fase kedua yaitu awal 1980-an-awal 1990-an merupakan fase dimana
pencegahan tindak korupsi merupakan fokus yang utama. Pendekatan yang dilakukan
oleh ICAC pada periode ini adalah menyediakan pelayanan rutin ke departemen-
departemen yang ada di Hong Kong, dan menyiapkan informasi/kurikulum mengenai
tindak korupsi. Staf ICAC secara rutin melakukan kunjungan dan penyuluhan-
penyuluhan guna menjelaskan pengertian dan berbagai bentuk korupsi serta
menumbuhkan kesadaran anti korupsi. Di samping itu berbagai kegiatan workshop,
seminar, maupun pelatihan-pelatihan tentang tindak korupsi juga secara aktif
dilaksanakan.
Sedangkan pada awal 1990-an sampai sekarang yang merupakan fase ketiga,
ICAC melakukan pendekatan yang dikenal dengan leadership, ownership, dan
partnership. Pendekatan ini merupakan perpaduan penanganan korupsi melalui
keteladanan para pimpinan institusi pemerintah, menumbuhkan rasa memiliki para
pegawai terhadap institusi, serta membangun kemitraan antar insitusi pemerintah.
Pada periode ini terdapat tiga program yang cukup signifikan yaitu: (i) Civil Service
Integrity Programme (1999-2001); (ii) Civil Service Integrity Entrenchment
Programme (2004-2006); dan (iii) Ethical Leadership Programme.
Civil Service Integrity Programme (CSIP) merupakan program yang bertujuan
untuk menciptakan integritas pegawai negeri yang tinggi sesuai tuntutan dan
perkembangan zaman. Untuk mendukung kegiatan program dibentuklah satuan
tugas (task force) yang mengunjungi 67 departemen di Hong Kong selama dua tahun.
Fokus dari satgas ini meliputi laporan korupsi, kasus disipliner, dan masalah-masalah
umum yang dihadapi setiap departemen dengan memberikan pedoman
penyelenggaraan dan disiplin. Sementara itu, pelatihan-pelatihan diberikan dengan
metode tailor-made, pendekatan studi kasus, dan bantuan visual. Pelatihan tersebut
ditujukan bagi pegawai-pegawai negeri baik baru maupun lama. Sedangkan topik-
topik yang dibahas dalam pelatihan mencakup undang-undang korupsi, korupsi saat
ini, penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, penggunaan kewenangan,
konflik kepentingan, dan laporan korupsi.
CSIP dalam perkembangannya mendapatkan respon yang positif dari seluruh
departemen yang menjadi obyek pelatihan. Pemahaman dan kepedulian para pegawai
mengenai korupsi meningkat, sehingga praktik-praktik yang selama ini tidak disadari
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 91
atau diklasifikasikan sebagai korupsi mengalami penurunan. Menindaklanjuti
keberhasilan CSIP, Pemerintah Hong Kong, khususnya ICAC membuat program
lanjutan yang disebut dengan Civil Service Integrity Entrenchment Programme
(CSIEP), juga selama dua tahun. Keberadaan satuan tugas masih menjadi ujung
tombak dalam CSIEP. Di samping itu, pada program lanjutan ini seluruh departemen
di Hong Kong ikut terlibat. Kemudian isu-isu integritas yang menjadi topik utama
kembali ditegaskan dalam program ini.
Program lainnya yang cukup signifikan terhadap penanganan korupsi di Hong
Kong adalah Ethical Leadership Programme (ELP). Pada program ELP dilakukan
pembentukan jaringan petugas etik dan asisten petugas etik dari seluruh departemen
yang ada. Hal ini dimaksudkan untuk mempromosikan budaya etik di lingkungan
instansi pemerintah dalam jangka waktu panjang. Budaya etika selanjutnya
disempurnakan dengan penyusunan rencana manajemen integritas di setiap
departemen. Departemen-departemen yang terlibat dalam program ini juga saling
berbagi informasi terkait dengan isu integritas secara reguler. Sedangkan ICAC
memberikan dukungan dan pelayanan yang berkelanjutan.
Untuk menguji kinerjanya ICAC melakukan survei tahunan terhadap toleransi
publik terhadap korupsi di pemerintahan. Pada tahun 2006, skor yang diperloeh
adalah 1,1. Skala nilai adalah 0-10, dimana 0 mewakili penolakan total dan 10
mewakili toleransi total. Survey tersebut melibatkan 1.500 warga Hong Kong melalui
random sampling, dilaksanakan pada akhir tahun 2006 oleh lembaga penelitian
profesional dan dipanitiai oleh ICAC.
C. INDIA
Setelah mengamati dua negara yang menjadi role model pemberantasan
korupsi di Asia, selanjutnya kita akan membahas strategi India dalam menangani
korupsinya. India merupakan negara yang sedikit banyak memiliki kemiripan dengan
Indonesia antara lain dari segi cakupan wilayah dan jumlah penduduk. Dengan
demikian, tantangan kedua negara dalam menghadapi suatu persoalan—termasuk
korupsi—dapat dikatakan relatif sama.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 92
Seperti yang sudah dijelaskan di bagian awal bab ini, bahwa strategi dari
masing-masing negara dalam memberantas korupsi adalah berbeda satu dengan
lainnya. Perbedaan tersebut dilatarbelakangi oleh karakteristik dan tantangan yang
dihadapi oleh setiap negara juga berbeda. Strategi yang dilakukan dalam menangani
korupsi di India adalah :
1. Perbaikan Pelayanan Dasar
Pelayanan dasar merupakan isu penting dalam penyelenggaraan pemerintahan di
India. Selain karena berhubungan langsung dengan kepentingan rakyat banyak,
juga menyangkut kredibilitas pemerintah yang berkuasa. Strategi dalam perbaikan
pelayanan dasar adalah
a. Lebih kompetitif, yaitu menumbuhkan situasi “persaingan” antar jenis
pelayanan untuk memacu kinerja pelayanan yang lebih baik.
b. Penyederhanaan prosedur, yaitu dengan memangkas berbagai tingkatak
birokrasi sehingga mempermudah dan mendekatkan pelayanan kepada
masyarakat.
c. Insentif, sebagai stimulan untuk memacu pegawai agar dapat meningkatkan
kinerja kesehariannya.
d. Transparansi, yaitu membuka akses publik yang lebih luas, sehingga seluruh
proses pemberian layanan publik dapat diketahui secara terbuka oleh
masyarakat.
e. Penggunaan Teknologi Informasi, adalah salah satu upaya untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan. India dengan jumlah
populasi di atas 1 milyar memerlukan teknologi informasi untuk mengatas
kendala geografis dan keterjangkauan penduduk ke seluruh penjuru negeri.
2. Hukuman yang efektif
Hukuman yang dimaksud didukung dengan adanya The Prevention of Corruption
Act, 1988 dan The Criminal Law (Amendment) Ordinance, 1944.
3. Peran masyarakat (hak untuk memperoleh informasi), dengan dikeluarkannya
RTI (Right To Information Act) pada tahun 2005, telah menjamin pentingnya
peran masyarakat terutama dalam mewujudkan hak untuk mengakses informasi.
4. Peran lembaga swadaya masyarakat dalam mengawasi perilaku para pejabat
pemerintah terkait dengan penyalahgunaan wewenang.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 93
D. INDONESIA
Sedangkan Indonesia menempuh strategi pemberantasan korupsi melalui 3
(tiga) pendekatan yaitu: sistem; regulasi; dan institusional. Pendekatan tersebut
didasarkan pada keterkaitan antara elemen-elemen (pelaku) dalam pemberantasan
korupsi yang ada di Indonesia. Meskipun demikian, pemberantasan korupsi di
Indonesia lebih mengedepankan pada aspek penindakan (ex post facto) dibandingkan
dengan pencegahan (ex ante). Strategi Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5.2
Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Eksekutif + Legislatif
Kebijakan + Aturan Hukum
KPK
1. Trigger
Mechanism
2. Supervisi
3. Koordinasi
4. Pencegahan
5. Penyidikan
6. Penuntutan
Kepolisian
1. Penyelidikan
2. Penyidikan
Kejaksaan
1. Penyidikan
2. Penuntutan
3. Eksekutor
Pengadilan
1. Putusan
2. Pengawasan
eksekusi
Masyarakat + NGO’s + Swasta
1. Pencegahan
2. Pelapor
3. Pengawasan Eksternal
Sumber: Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), 2007
Pendekatan Sistem yang ditempuh Pemerintah Indonesia mencakup:
pencegahan; penegakan hukum; dan kerjasama. Pendekatan Regulasi dalam
memberantas korupsi meliputi: pengesahan Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor); Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK);
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 94
penyusunan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tipikor; dan ratifikasi United
Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Sedangkan Pendekatan
Institusional terdiri dari: pembentukan institusi independen; pembentukan institusi
yang bersifat koordinatif; dan pembentukan pengadilan khusus.
Upaya-upaya lain yang ditempuh Pemerintah Indonesia dalam mencegah
korupsi mencakup reformasi birokrasi yang menekankan keterbukaan, kesempatan
yang sama dan transparansi dalam rekrutmen pegawai negeri, kontrak, retensi dan
proses promosi termasuk remunerasi dan diklat. Selanjutnya pemerintah juga
memprioritaskan reformasi sektor pengadaan barang dan jasa yang rentan dengan
praktik-praktik korupsi. Kemudian menetepkan peraturan perundang-undangan
mengenai anti pencucian uang. Perjanjian ekstradisi juga menjadi hal yang erat
kaitannya dengan penanganan kasus-kasus korupsi. Disinyalir bahwa sejumlah
tersangka koruptor di Indonesia (khususnya kasus BLBI) melarikan hasil
kejahatannya ke luar negeri. Sehingga pemerintah memandang penting untuk
melakukan perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara. Hingga saat ini tercatat
sejumlah perjanjian ekstradisi telah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia
dengan beberapa negara lain seperti Malaysia (tahun 1975), Filipina (tahun 1976),
Thailand (tahun 1978), dan terakhir Singapura (tahun 2007).
Perjanjian ekstradisi antara Indonesia-Singapura sebenarnya telah diinisiasi
sejak lama, akan tetapi baru pada tahun 2007 perjanjian ekstradisi berhasil
disepakati oleh kedua negara. Namun demikian perjanjian ini menimbulkan sikap pro
dan kontra di kalangan DPR dan masyarakat luas. Dalam sejarahnya, perjanjian
esktradisi Indonesia-Singapura dilatarbelakangi oleh kegagalan POLRI dan
Kejaksaan RI membawa pulang buronan dari Singapura di tahun 1990-an, sehingga
pemerintah kembali menggagas perjanjian ekstradisi secara lebih serius. Pada
Januari 2005, Pemerintah Indonesia kembali melakukan negosiasi dengan Singapura
mengenai hal ini dan akhirnya pada pertemuan tingkat tinggi yang dilaksanakan di
Bali pada bulan April 2007 ditandatangilah sejumlah perjanjian bilateral mencakup:
perjanjian ekstradisi, perjanjian kerjasama pertahanan, dan implementing
agreement. Perjanjian kerjasama pertahanan inilah yang kemudian menjadi pro dan
kontra di kalangan anggota DPR dan masyarakat.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 95
Dalam perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura tersebut terdapat sejumlah
poin-poin yang menganut prinsip-prinsip yang berlaku secara internasional dan telah
dibakukan dalam UNCAC. Poin-poin tersebut antara lain menjelaskan bahwa jenis-
jenis tindak pidana kejahatan yang dapat diekstradisikan oleh Indonesia atau
Singapura, antara lain adalah tindak pidana di bidang ekonomi termasuk korupsi,
penyuapan, pemalsuan uang, kejahatan perbankan; Pelanggaran hukum perusahaan
dan hukum kepailitan; dan Kejahatan tindak pidana yang melanggar hukum
mengenai keuntungan yang diperoleh dari hasil korupsi. Perjanjian ini berlaku surut
(retrospective) dan dapat mencakup tindak kejahatan yang dapat diekstradisikan 15
tahun sebelum perjanjian berlaku. Kemudian perjanjian ini menjangkau pelaku
tindak kejahatan dari kedua negara yang melarikan diri dari wilayah yurisdiksi kedua
negara tersebut. Penentuan kewarganegaraan pelaku tindak pidana ditentukan pada
saat tindak pidana dilakukan.
Namun demikian, meskipun beberapa pendekatan dalam memberantas
korupsi telah diupayakan oleh Pemerintah Indonesia, termasuk juga
penandatanganan perjanjian ekstradisi dengan sejumlah negara, masih terdapat
kekurangan-kekurangan yang menyebabkan pemberantasan korupsi tidak jelas
arahnya serta masih terlalu kecil skala dan prioritasnya sehingga dampaknya belum
dapat memuaskan rasa keadilan masyarakat, khususnya kalangan dunia usaha dan
investor asing. Banyak tersangka kasus-kasus korupsi yang merugikan negara hingga
milyaran rupiah masih tidak tersentuh oleh hukum dan beberapa yang diadili malah
mendapatkan vonis bebas karena tidak cukup bukti. Berdasarkan studi yang
dilakukan MTI (2007), ditemukan sejumlah kelemahan dalam pendekatan
pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah. Kelemahan-kelemahan
yang terkait dengan sistem adalah belum terbentuknya sistem penanganan korupsi
yang terintegrasi, belum terwujudnya sistem pengembalian aset (asset recovery) atas
hasil-hasil kejahatan korupsi, belum terbentuknya sistem kerjasama penegak hukum
yang terkait dengan penanganan korupsi. Selanjutnya kelemahan-kelemahan dalam
regulasi adalah belum terciptanya harmonisasi perundang-undangan yang
komprehensif, dan tidak adanya realisasi atas Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang
Percepatan Pemberantasan Korupsi. Meskipun Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas) telah menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 96
Korupsi di sejumlah daerah di Indonesia, namun tindak lanjutnya masih belum
terlihat dan dirasakan oleh masyarakat. Kemudian, kelemahan-kelemahan yang
terkait dengan aspek institusional ialah belum optimalnya koordinasi antara institusi-
institusi yang menangani kasus korupsi, terjadinya tumpang tindih (overlapping)
kewenangan, dan tidak adanya prioritas penanganan kasus-kasus korupsi, khususnya
yang menjadi sorotan publik.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 97
Bab VI
Rekomendasi Kebijakan
A. MASALAH DALAM STRATEGI KEBIJAKAN PENANGANAN KORUPSI
DI INDONESIA
paya pemberantasan korupsi adalah sebuah pekerjaan rumah bagi semua
pihak, semua sektor dan seluruh komponen perumus kebijakan baik itu
pemerintah dan penyelenggara negara lainnya, tidak terkecuali anggota
masyarakat secara umum. Hal ini karena praktik korupsi bukan merupakan monopoli
perilaku dari pegawai atau pejabat pemerintah saja, tetapi merupakan justru perilaku
kolektif yang melibatkan hampir semua unsur dalam masyarakat. Sederhananya
supply tidak akan terjadi kalau tidak ada demand. Praktik korupsi hanya mungkin
terjadi apabila sistem formal memang mempunyai atau memberi celah/peluang ke
arah sana, selain didukung oleh perilaku stakeholder dan shareholder yang
komplementer.
Oleh karenanya persoalan mandeknya pemberantasan korupsi di Indonesia
pada dasarnya bersifat sangat kompleks, yaitu tidak hanya menyangkut konten
kebijakan dan penataan peraturan perundangan yang mengatur mengenai
pemberantasan korupsi itu sendiri, namun juga faktor-faktor lain yang berpengaruh
langsung pada rantai perumusan kebijakan itu sendiri.
Itikad politik yang kuat perlu menjadi landasan agar kebijakan pemberantasan
korupsi mendapat legitimasi yang cukup dan efektif. Namun sayangnya political will
masih lemah. Hal ini diindikasikan ketika penegakan hukum atas tindak pidana
korupsi yang melibakan kelompok elit dan nama besar akan sangat sulit
dilangsungkan.
U
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 98
Sementara itu, dalam hal konten kebijakan, Indonesia sudah mempunyai
instrumen kebijakan pemberantasan korupsi yang relatif lengkap. Walaupun
demikian dalam uraian analisis dijelaskan beberapa kesenjangan isi perundangan kita
hukum dengan the United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
Kesenjangan ini dapat diatasi oleh antara lain perundangan kita yang dibuat lebih
akomodatif terhadap kerjasama bilateral dan multilateral dengan memberi celah atau
peluang untuk melakukan kerjasama dengan negara dan lembaga internasional.
Persoalan lain seputar kebijakan adalah pada tahapan implementasi kebijakan.
Implementasi kebijakan kerap kali menemui hambatan di lapangan terutama ketika
berbenturan dengan kepentingan golongan atau elit tertentu. Beberapa kasus
penegakan hukum yang menyeret nama besar menjadi mandek bahkan dipeti-eskan,
walaupun sudah terlanjur tercium dan di blow-up oleh media massa, Penegakkan
hukum masih dianggap tebang pilih sehingga mengabaikan prinsip equality before
the law.
Implementasi kebijakan yang selalu terhambat juga antara lain menyebabkan
wibawa hukum, pranata hukum dan instansi terkait menjadi lemah. Para pelaku
tindak pidana korupsi tidak mengalami efek jera setelah melewati proses hukum,
karena kewibawaan hukum yang tidak ada.
B. ALTERNATIF STRATEGI KEBIJAKAN PENANGANAN KORUPSI
Dari beberapa kelemahan tersebut di atas, maka kebijakan saat ini dapat
dikembangkan, dan diperkaya dengan beberapa alternatif kebijakan yang tidak hanya
melibatkan instrumen kebijakan menyangkut penegakan hukum, namun juga pada
kebijakan di tingkat sektor maupun pada tataran makro kebijakan.
Pendekatan carrot and stick adalah salah satu pendekatan yang memandang
penanganan korupsi secara hitam putih. Walaupun sangat kaku dalam implementasi,
namun seringkali efektif untuk menciptakan iklim kondusif dalam penegakan disiplin
aparatur. Dengan pendekatan kesejahteraan sebagaimana yang diterapkan di
Singapura, maka aparatur tidak diberi peluang untuk mencari pembenaran atas
tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Pendapatan bersih (net take home pay)
yang layak diharapkan mampu memberikan garansi perilaku yang positif para
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 99
aparatur dan menghindari segala bentuk penyimpangan. Pendapatan stick
diharapkan akan menimbulkan efek jera yang hebat pada para pelaku korupsi.
Singapura dan China telah menunjukkan praktek ini dengan tingkat keberhasilan
yang diakui.
Kebijakan terkait lain yang menjadi alternatif di luar kebijakan sektor adalah
menyangkut reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi ini tidak bisa hanya sebatas
jargon seperti yang selama ini banyak terjadi. Reformasi lebih banyak menjadi
wacana di forum-forum terbatas (elitis dan eksklusif) yang tidak berdampak langsung
kepada perubahan konkrit. Reformasi birokrasi harus menjadi leverage dalam
strategi pemberantasan korupsi, karena merupakan fondasi penting dalam
penyelenggaran negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Persoalan dalam pengejawantahan reformasi ini adalah dalam
penerjemahannya ke dalam kebijakan. Banyaknya sektor yang menjadi objek
reformasi menyebabkan pendekatan yang dilakukan tidak terintegrasi secara baik.
Parsialitas menjadi karakter dalam penyelenggaraan reformasi birokrasi ini.
Berkenaan dengan reformasi birokrasi ini, perlu adanya upaya menyangkut optimasi
kementerian dan lembaga pemerintah nondepartemen (LPND), melalui kebijakan
kelembagaan, sumber daya aparatur, dan kapasitas kelembagaan yang tidak tumpang
tindih.
Terkait dengan reformasi birokrasi dan prinsip carrot and stick di atas, maka
struktur penggajian memerlukan pembenahan serius. Struktur yang bersandar pada
merit system boleh jadi mampu memberikan jaminan kesejahteraan yang adil dan
proporsional.
Ketiga alternatif kebijakan di atas memerlukan usaha dan dana yang luar biasa
besar. Salah satu alternatif lain yang ditawarkan oleh Kwik Kian Gie adalah dengan
cara bertahap. Kesejahteraan yang layak tetap diberikan pada level elit di instansi
pemerintah, sehingga asumsinya tidak akan terjadi korupsi di level atas. Sementara
aparat pada level bawah, ”dibiarkan” untuk melakukan korupsi pada level kecil, yang
secara nominal tidak terlalu signifikan. Namun secara bertahap, setelah kemampuan
keuangan memungkinkan, maka kesejahteraan aparat di tingkat bawah juga harus
ditingkatkan. Untuk mengawal pendekatan ini, maka reward and punishment harus
tetap ditegakkan.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 100
C. POLICY ACTION DALAM PERUMUSAN STRATEGI KEBIJAKAN
PENANGANAN KORUPSI DI INDONESIA
Strategi pemberantasan harus dibangun didahului oleh adanya itikad kolektif,
yaitu semacam kemauan dan kesungguhan (willingness) dari semua pihak untuk
bersama-sama tidak memberikan toleransi sedikitpun terhadap perilaku korupsi.
Perilaku korupsi harus dicitrakan dan diperlakukan sebagai perilaku kriminal, sama
halnya dengan tindak kriminal lainnya, yang memerlukan penanganan secara hukum.
Di samping itu, keberhasilan penanganan korupsi di negara-negara lain juga
dipengaruhi oleh keberadaan lembaga anti korupsi yang kuat dalam menangani
pencegahan dan pemberantasan korupsi. Sebagai contoh, Singapura dan Hong Kong
hanya memiliki satu lembaga anti korupsi yang memiliki kewenangan penuh untuk
menyelidiki dan mengajukan tuntutan kasus-kasus korupsi.
Oleh karena itu, dalam mewujudkan sebuah strategi yang efektif, dibutuhkan
pemenuhan prasyarat sebagai berikut :
1. Didorong oleh keinginan politik serta komitmen yg kuat dan muncul dari
kesadaran sendiri
2. Menyeluruh dan seimbang
3. Sesuai dengan kebutuhan, ada target, dan berkesinambungan
4. Berdasarkan pada sumber daya dan kapasitas yang tersedia
5. Terukur
6. Transparan dan bebas dari konflik kepentingan
Berkenaan dengan political will serta komitmen yang harus dibangun, maka
perlu menegaskan kembali political will pemerintah, diantaranya melalui :
Penyempurnaan UU Anti Korupsi yang lebih komprehensif, mencakup
kolaborasi kelembagaan yang harmonis dalam mengatasi masalah
korupsi
Kontrak politik yang dibuat pejabat publik
Pembuatan aturan dan kode etik PNS
Pembuatan pakta integritas
Penyederhanaan birokrasi (baik struktur maupun jumlah pegawai)
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 101
Penyempurnaan UU Anti Korupsi ini selain untuk menjawab dinamika dan
perkembangan kualitas kasus korupsi, juga untuk menyesuaikan dengan instrumen
hukum internasional. Saat ini isu korupsi tidak lagi dibatasi sekat-sekat negara,
namun telah berkembang menjadi isu regional bahkan internasional. Hal ini tidak
lepas dari praktik korupsi yang melibatkan perputaran dan pemindahan uang lintas
negara.
Adanya kewenangan yang jelas dan tegas yang diberikan oleh suatu lembaga
anti korupsi juga menjadi kunci keberhasilan strategi pemberantasan korupsi.
Tumpang tindih kewenangan di antara lembaga-lembaga yang menangani masalah
korupsi menyebabkan upaya pemberantasan korupsi menjadi tidak efektif dan
efisien.
Strategi pemberantasan korupsi harus juga bersifat menyeluruh dan seimbang.
Ini berarti bahwa strategi pemberantasan yang parsial dan tidak komprehensif tidak
dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.
Berkenaan dengan hal itu maka, strategi pemberantasan korupsi harus
dilakukan secara adil, dan tidak ada istilah “tebang pilih” dalam memberantas
korupsi. Di samping itu penekanan pada aspek pencegahan korupsi perlu lebih
difokuskan dibandingkan aspek penindakan. Upaya pencegahan (ex ante) korupsi
dapat dilakukan, antara lain melalui:
Menumbuhkan kesadaran masyarakat (public awareness) mengenai
dampak destruktif dari korupsi, khususnya bagi PNS.
Pendidikan anti korupsi
Sosialisasi tindak pidana korupsi melalui media cetak & elektronik
Perbaikan remunerasi PNS
Adapun upaya penindakan (ex post facto) korupsi harus memberikan efek jera,
baik secara hukum, maupun sosial. Selama ini pelaku korupsi, walaupun dapat dijerat
dengan hukum dan dipidana penjara ataupun denda, namun tidak pernah
mendapatkan sanksi sosial.
Hukuman yang berat ditambah dengan denda yang jumlahnya
signifikan.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 102
Pengembalian hasil korupsi kepada negara.
Tidak menutup kemungkinan, penyidikan dilakukan kepada keluarga
atau kerabat pelaku korupsi.
Strategi pemberantasan korupsi harus sesuai kebutuhan, target, dan
berkesinambungan. Strategi yang berlebihan akan menghadirkan inefisiensi sistem
dan pemborosan sumber daya. Dengan penetapan target, maka strategi
pemberantasan korupsi akan lebih terarah, dan dapat dijaga kesinambungannya.
Dalam hal ini perlu adanya komisi anti korupsi di daerah (misalnya KPK berdasarkan
wilayah) yang independen dan permanen (bukan ad hoc).
Selain itu strategi pemberantasan korupsi haruslah berdasarkan sumber daya
dan kapasitas. Dengan mengabaikan sumber daya dan kapasitas yang tersedia, maka
strategi ini akan sulit untuk diimplementasikan, karena daya dukung yang tidak
seimbang. Dalam hal ini kualitas SDM dan kapasitasnya harus dapat ditingkatkan,
terutama di bidang penegakan hukum dalam hal penanganan korupsi. Peningkatan
kapasitas ini juga dilakukan melalui jalan membuka kerjasama internasional.
Keterukuran strategi merupakan hal yang tidak bisa dikesampingkan. Salah
satu caranya yaitu membuat mekanisme pengawasan dan evaluasi atas setiap tahapan
pemberantasan korupsi dalam periode waktu tertentu secara berkala. Selain itu juga,
dalam rangka penyusunan strategi yang terukur, perlu untuk melakukan survei
mengenai kepuasan masyarakat atas usaha pemberantasan korupsi yang telah
dilakukan pemerintahan.
Terakhir adalah bahwa sebuah strategi pemberantasan memerlukan prinsip
transparan dan bebas konflik kepentingan. Transparansi ini unutk membuka akses
publik terhadap sistem yang berlaku, sehingga terjadi mekanisme penyeimbang.
Warga masyarakat mempunyai hak dasar untuk turut serta menjadi bagian dari
strategi pemberantasan korupsi. Saat ini optimalisasi penggunaan teknologi
informasi di sektor pemerintah dapat membantu untuk memfasilitasinya. Strategi
pemberantasan juga harus bebas kepentingan golongan maupun individu, sehingga
pada prosesnya tidak ada keberpihakan yang tidak seimbang. Semua strategi berjalan
sesuai dengan aturan yang berlaku dan objektif.
PKAI – Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik 103
Instrumen strategi pemberantasan lain yang menjadi bagian dari elemen
masyarakat adalah pers. Transparansi dapat difasilitasi dengan baik dengan adanya
dukungan media massa yang memainkan peranannya secara kuat. Dengan adanya
kebebasan pers, maka kontrol masyarakat dapat semakin ditingkatkan lagi.
Daftar Pustaka
ADB/OECD “Anti-Corruption Initiative for Asia and the Pacific: Self Assessment
Report Singapore”
Amundsen, Inge (2000). “ Corruption: Definitions and Concepts” Chr. Michelsen
Institute Development Studies and Human Rights.
Drielsma, Hankes (2004). “Successful Anti-Corruption Strategies Around the Globe:
A Report for Lok Satta”. Makalah Online.
Ferdinandus, Lefianna Hartati (2006). “Korupsi dan Permasalahannya: Singapura
Sebagai Studi Kasus”. KBRI Singapura
GTZ (2005). “Preventing Corruption in Public Administration at the National and
Local Level: A Practical Guide”. GTZ, Eschborn
ICAC (2004). “Ethical Leadership in Action: Handbook for Senior Managers in the
Civil Service”. Hong Kong.
ICAC (2005). “ 2005 Annual Report”. Hong Kong.
Komisi Pemberantasan Korupsi (2006). “Identification of Gap between Laws /
Regulations of the Republic of Indonesia and the United Nations Convention
Against Corruption” KPK. Jakarta.
Langseth, Petter (1999). “Prevention: An Effective Tool to Reduce Corruption”. Paper
disajikan pada konferensi ISPAC tentang Responding to the Challenge of
Corruption, 19 November 1999, Milan.
Political & Economic Risk Consultancy-PERC (2006). “Corruption in Asia”. Asian
Intelligence. Hong Kong.
Tanzi, Vito (1998). “Corruption Around the World: Causes, Consequences, Scope, and
Cures”. IMF Staff Papers Vol. 45 No.4.
TI India, (2007). “Corruption in Trucking Operations in India”. Shriram Group,
MDRA & TI India. New Delhi.