STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI DI RANCAEKEK KABUPATEN BANDUNG

download STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI DI RANCAEKEK KABUPATEN BANDUNG

If you can't read please download the document

Transcript of STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI DI RANCAEKEK KABUPATEN BANDUNG

STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI Studi Eksploratif dengan Pendekatan Fenomenologi tentang kehidupan Pemulung dala m Mempertahankan Hidup dan Harga Diri Di Rancaekek Kabupaten Bandung

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam memasuki Pembangunan nasional saat ini, semakin terasa bahwa aspek manusia sebagai sumber daya pembangunan sangat vital eksistensinya dan merupakan kunc i untuk berhasil tidaknya pembangunan tersebut. Masyarakat Indonesia saat ini menghadapi tiga tantangan utama, yaitu tantangan k ependudukan, tantangan lingkungan, dan tantangan pembangunan. Dapat dikatakan pu la bahwa untuk mampu menjawab ketiga tantangan tersebut, maka kunci jawabannya t erletak pada keperluan meningkatkan kualitas, sebagaimana dikemukakan didalam tu juan pembangunan nasional. Kualitas manusia Indonesia perlu dikembangkan demi survival bangsa Indonesia sendiri yang sedang menghadapi pertambahan penduduk yang besar di atas wilayah t anah air Indonesia yang terbatas sumber daya alamnya ( Emil Salim 1993:29 ) Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia perlu melihat aspek-aspek inte rn dan ekstern yang ada pada diri manusia. Menurut Munandar ( 1981:9), asp ek intern yang perlu didorong dan dikembangkan adalah motivasi serta semangat ku at untuk berusaha mengubah hambatan-hambatan yang ada didalam dirinya dan masyar akatnya menjadi kekuatan-kekuatan pembaharuan dan perubahan kehidupan masyarakat menjadi individu dan masyarakat yang maju dan modern, aspek ekstern yang memba ntu dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah peningkatkan pemerata an memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam arti luas. Bagi Indonesia, meningkatkan kualitas sumber daya manusia merupakan tant angan yang berat. Menurut Sansus Nasional 1990 ternyata bahwa penduduk Indonesia yang dikategorikan miskin berjumlah sekitar 27,2 juta jiwa, yang berarti sekita r 15 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, ternyata bah wa sekitar 65 persen berada di pedesaan. Saat ini, jumlah penduduk miskin terseb ut semakin bertambah, seiring dengan pertambahan penduduk dan krisi ekonomi nasi onal yang tak kunjung selesai. Kemiskinan di pedesaan paling tidak, disebabkan oleh faktor-faktor : per tumbuhan ekonomi yang lamban, stagnasi produktivitas tenaga kerja, tingkat semi pengangguran yang tinggi, tingkat pendidikan formal yang rendah, fertilitas ling kungan ( Burki, 1990: 1-17). Situasi kemiskinan di pedesaan mendorong penduduk pedesaan tersebut untu k bergeser ke kota sebagai urban poor . Pada umumnya mereka ini terjun dibida ng Self Employed atau sering disebut dengan sektor informal, mengingat merek a juga mempunyai bobot pendidikan dan keterampilan yang rendah dan tidak memadai . Salah satu orang atau kelompok masyarakat yang dikategorikan sektor info rmal dalam statusnya sebagai urban poor adalah para pemungut sampah atau dike nal dengan sebutan Pemulung . Pemulung adalah orang-orang yang melakukan kerja memungut mencari baran g rongsokan di tempat-tempat seperti bak sampah, rumah-rumah penduduk, jalan-jal an, sungai, daerah pertokoan, daerah industri, dan tempat pembuangan sampah akhi r ( Ade Emka, 1981 : 3 ). Perkiraan Bank Dunia tentang jumlah Pemulung di Kota B andung sekitar 1-2 persen dari jumlah penduduk Bandung atau sebanyak 14.000-28. 000 orang ( Listianto, 1982:2). Saat ini, kalau kita perhatikan, ternyata semaki n banyak saja jumlah pemulung tersebut. Realitas menunjukkan bahwa hidup dan kehidupan Pemulung dalam kondisi te rjepit. Selain mereka bergelut dengan lingkaran kemiskinan yang dihadapi dalam kehidupannya, juga eksistensi dirinya dan pekerjaannya seringkali dihadapkan pad

a berbagai pelecehan. Masyarakat pada umumnya menganggap mereka sebagai penggang gu ketentraman masyarakat, sedangkan pemerintah menganggap mereka sebagai kelomp ok illegal atau tidak mempunyai ketentuan hukum, tegasnya mereka itu dianggap Liar . Pemulung oleh pemerintah dianggap sebagai perusak martabat daerah ( re gional dignity ), sehingga untuk kepentingan tersebut mereka memberlakukan kebij aksanaan usaha-usaha pembersihan pemulung, dengan jalan mengoperasikan Ketertiba n Umum(TIBUM). Kebijaksanaan tersebut telah memakan waktu dan biaya yang tidak s edikit, namun ternyata pemerintah belum berhasil menghilangkannya ( Mawardi, 198 3 : 1 ). Ditinjau dari aspek ekonomi, Pemulung tergolong urban poor yang dip erkirakan mempunyai penghasilan antara Rp.3500,- sampai 8.500,- per hari. Posisi mereka selalu dalam keadaan lemah karena nilai tambah yang mereka peroleh sanga t tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Berdasarkan kenyataan di atas, sudah sejak tahun 1980-an beberapa Lembag a Pengembang Swadaya Masyarakat (LPSM), seperti Lembaga Studi Pembangunan (LSP) yang bekerjasama dengan informal Sector Projexct (LSP), turun tangan untuk meng atasi masalah tersebut dengan cara mengorganisir mereka dalam suatu organisasi u saha tukang sampah atau Pemulung. Untuk mengatasi persoalan pemulung tersebut, LSP dan ISP mengorganisir Pemulung dalam sebuah struktur dan fungsi masyarakat baru yang berbentuk Koperas i Serba Usaha Daur Ulang. Kegiatan mereka didasarkan pada proses perubahan dan p ertumbuhan masyarakat atas kekuatan sendiri atau menggali potensi yang dimiliki oleh Pemulung itu sendiri. Untuk mencapai hal tersebut, LSP dan ISP menetapkan s yarat yang memungkinkan bagi pemulung itu sendiri membangun dirinya dari, oleh d an untuk Pemulung itu sendiri. Dalam upaya ini bagaimana agar mekanisme system k emasyarakatannya berfungsi seperti berfungsinya mekanisme system pada masyarakat lainnya yang sudah baik. Mengingat Pemulung adalah termasuk sector informal, maka adanya struktur dan fungsi baru masyarakatnya akan memungkinkan para Pemulung dapat mengadakan perubahan serta pertumbuhan hidupnya secara swadaya. Pendekatan system yang di lakukan oleh LSP-ISP dalam pengorganisasian ma syarakat Pemulung adalah menciptakan sebuah koperasi, sebagaimana telah dikemuka kan di atas, membentuk koperasi dalam usaha-usaha pengorganisasian masyarakat pe mulung merupakan strategi yang tepat, karena bentuk dan sifat sebuah koperasi da pat menampilkan struktur dan fungsi suatu organisasi masyarakat serta juga karen a wataknya yang merupakan gerakan ekonomi untuk mengentaskan rakyat dari belengg u kemiskinan ( Mawardi , 1985 ). Namun demikian, nampaknya apa yang dilakukan oleh LSP-ISP tersebut saat ini tidak dilakukan lagi. Padahal jika dilihat dari hasil yang diperoleh, menunj ukkan bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh LSP-ISP dapat meningkatkan mar tabat pemulung, baik dari sisi sosial maupun ekonomi. Bertolak dari permasalahan yang telah dikemukakan, kajian ini berupaya m engembangkan lebih jauh tentang upaya-upaya memberdayakan pemulung agar martab at mereka meningkat, terutama dari aspek sosial dan ekonomi. 1.2. Fokus Penelitian Studi ini akan mengungkap argumentasi-argumentasi atau motivasi yang mendorong s ubjek penelitian menjadi pemulung. Oleh karena itu, akan terkait dengan aspek: Bagaimana Pemulung mempertahankan hidupnya, serta berupaya untuk menjaga kehor matan dirinya untuk tidak menjadi pengemis? 1.3. Pertanyaan Penelitian Penelitian ini berupaya untuk mengungkapkan: 1. Mengapa seseorang itu mau menjadi pemulung? 2. Bagaimana pemulung itu bekerja dan memaknai pekerjaannya? 3. Mengapa pemulung bertahan dengan pekerjaannya, mengapa mereka tidak jadi pengemis? 1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Memperoleh penjelasan tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi seseor ang menjadi pemulung. 2. Memperoleh penjelasan tentang cara kerja pemulung dan pemaknaan mereka t erhadap pekerjaannya. 3. Memperoleh penjelasan tentang cara-cara yang digunakan pemulung dalam me mpertahankan pekerjaannya, serta prinsip-prinsip yang dipegang untuk tidak menja di pengemis. 1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik dari segi teori maupun p raktis. 1 Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan i lmu pengetahuan tentang fenomena pemulung dengan berbagai aspek yang melatarbela kangi dan makna yang terkandung dalam setiap aspek yang berkaitan dengan aktivit as yang dilakukan pemulung. Dengan pemahaman ini diharapkan dapat menanggulangi berbagai permasalahan yang ada didalam masyarakat, seperti pemulung, sehingga pe mbangunan masyarakat madani dapat direalisasikan. 2 Secara praktis hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan alternatif soluasi kepada institusi-institusi yang menyelenggarakan aktivitas pe mberdayaan masyarakat, seperti Departemen Sosial, LSM-LSM, serta siapapun yang p erduli terhadap sesama manusia. .

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Fundamental science is phenomenological science. Phenomenological science is sc ience understood as phenomenology (Peter Wiberg, 2002). 2.1. Konsep Fenomenologi Berdasarkan etimologi, istilah fenomenologi menunjukkan bahwa istilah ini ber asal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu phenomenon, dan logos. Istilah phenomeno n dari sudut bahasa bisa diartikan sebagai penampilan , yakni penampilan sesu atu yang menampilkan diri. Istilah fenomenologi telah terbentuk pada pertengahan abad ke -19, dan k emudian digunakan dalam sejarah filsafat dengan arti yang berbeda-beda. Kant, He gel (yang menulis buku Phenomenology of Mind tahun 1807), Mach, Brentano, dan St umpf memahami sendiri-sendiri tentang fenomenologi. Edmund Husserl menggunakan istilah fenomenologi pada permulaan abad ke20. Fenomenologi menurut Husserl merupakan ilmu pengetahuan tentang fenomena, t entang objek-objek sebagaimana objek-objek itu dialami atau menghadirkan diri da lam kesadaran manusia. Menurut Standard Encyclopedia of Philosophy (2003), fenom enologi adalah studi tentang struktur kesadaran sebagai pengalaman dari pandanga n seseorang dalam melihat sesuatu. Struktur pusat dari pengalaman adalah intensi

onalitas (yakni kesadaran yang selalu mengarah atau menuju pada sesuatu dan obje k yang menjadi isinya (Misiak dan Sexton, 1988) yang diarahkan terhadap sesuatu , seperti pengalaman tentang atau sesuatu objek. Pengalaman tersebut diarahkan t erhadap objek melalui kemurnian isinya atau makna (yang ditunjukkan objek) bersa ma-sama dengan kondisi yang memungkinkan sesuai. Adapun Elliston (1977) menyebut kan bahwa fenomenologi adalah membiarkan apa yang menunjukkan dirinya melalui dan dari dirinya sendiri. Fenomenologi sebagai disiplin ilmu, merupakan satu kesatuan yang utuh de ngan disiplin kunci yang lain dalam filsafat, seperti ontologi, epistemologi, lo gika, dan etika. Fenomenologi telah diterapkan dalam berbagai bentuk selama bera bad-abad, namun baru eksis dalam abad ke 20, melalui Husserl, Heidegger, sartre, Merleau-Ponty dan yang lainnya. Isyu-isyu fenomenologi seperti intensionalitas , kesadaran, esensi kualitas, dan perspektif pertama seseorang telah menjadi te rkenal dalam filsafat pikiran (philosophy of mind) dewasa ini. Secara umum, pandangan fenomenologi dapat dilihat dari dua posisi, yaitu pertama, pandangan fenomenologi merupakan reaksi terhadap dominasi postivisme, dan kedua, merupakan kritik terhadap pemikiran kritisisme Imannuel kant, terutam a yang berkaitan dengan konsep fenomenon-numenon (Muslih, 2004). Konsepsi Kant tentang proses pengetahuan manusia adalah suatu proses sin tesa apa yang disebutnya apriori dan aposteriori. Apriori mengungkapkan aktivita s rasio yang dinamis dalam membangun dan berfungsi sebagai bentuk pengetahuan. A posteriori merupakan cerapan pengalaman yang berfungsi sebagai isi pengetahua n, yang terdiri dari fenomena objek. Karena rasio bersifat aktif dalam mengkonst ruksi fenomena menjadi pengetahuan sesuai dengan kategori-kategori rasio, maka p engetahuan manusia tidak mungkin menjangkau noumena. (Ibid, 2004). Oleh karena i tu, Kant menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan penampakan sesuatu dalam ke sadaran, adapun nuomena adalah realitas ( das ding an sich) yang berbeda diluar kesadaran pengamat. Manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang nampak d alam kesadaran, bukan noumena, yaitu realitas di luar yang kita kenal. Noumena akan selalu tetap menjadi teka-teki dan tinggal sebagai x yang tidak dapat dik enal karena ia terselubung dari kesadaran kita. Fenomena yang nampak dalam kesad aran kita ketika berhadapan dengan realitas (noumena) itulah yang kita kenal. Dalam menanggapi konsepsi Immanuel Kant, Huserl mengenalkan beberapa kon sepsi, yaitu prinsip Epoche dan Eidetic Vision. Menurut Husserl, tugas utama fen omenologi adalah menjalin keterkaitan manusia dan realitas. Realitas bukan sesua tu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mew ujudkan diri. Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia ungkap Martin Heideger. Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang na mpak dalam kesadaran manusia dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya tanp a memasukan kategori pikiran manusia padanya. Fenomena bagi Husserl adalah reali tas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran manusia cair dengan realitas. Tuju an fenomenologi menurut Husserl adalah mencari yang esensial atau eidos dari apa yang disebut fenomena. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti menunda putusan atau mengosongkan diri dari keyakinan tertentu. Epoche bisa juga berarti tand a kurung terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari sesuatu fenomena yang ta mpil tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Menurut Husserl, e poche merupakan thesis of the natural stand-point, dalam arti bahwa fenomena yan g tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupo sisi pengamat. Metode epoche merupakan langkah pertama untuk mencapai esensi fen omena dengan menunda putusan terlebih dahulu. Langkah kedua, yaitu eidetic visio n atau membuat ide. Eidetic vision disebut juga reduksi, yakni menyaring fenom ena untuk sampai ke eidos-nya, sampai ke intisarinya atau yang sejatinya (wesen) . Hasil dari proses reduksi ini disebut wesenchau, artinya sampai pada hakikatny a. Dengan demikian, fenomenologi berusaha untuk mengungkap fenomena sebagaimana adanya (to show itself) atau menurut penampakannya sendiri (veils itself). Konsep lain yang dikemukakan oleh Husserl adalah Lebenswelt (dunia kehid upan). Lebenswelt adalah dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitas nya, sebagai basis tindakan komunikasi antarsubjek. Dunia kehidupan merupakan un

sur-unsur sehari-hari yang dialami dan dijalani manusia, sebelum manusia men-te orikannya atau merefleksikannya secara filosofis (Muslih, 2004). Dunia kehidupa n memuat segala orientasi yang diandaikan begitu saja dan dihayati pada tahap-ta hap paling primer. Manusia, didalam kehidupan nyata, baik yang sederhana maupun yang sangat rumit, bergerak didunia yang sudah diselubungi dengan penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat. Selain itu, penafsiran-penafsi ran tersebut juga diwarnai oleh kepentingan-kepentingan manusia, situasi kehidup an dan kebiasaan-kebiasaan manusia tersebut. Manusia telah melupakan dunia ap a adanya, yaitu dunia kehidupan, tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran. Fe nomenologi berupaya untuk menemukan kembali dunia- kehidupan tersebut.

2.2. Sekilas Akar sejarah Fenomenologi Dalam sejarah filsafat, fenomenologi dapat mengandung tiga pengertian, pertama mengacu pada G.W.F Hegel tahun 1807, kedua Edmund Husserl tahun 1920, dan keti ga Martin Heidegger tahun 1927. Bagi Hegel, fenomenologi adalah pendekatan dalam filsafat yang diawali d engan penggalian fenomena dalam arti memahami secara utuh segala sesuatu dibalik fenomena, seperti logika, ontologi, dan spritiual metafisika. Pendekatan ini di sebut juga dengan fenomenologi dialektik (dialectical phenomenology). Edmund Husserl memaknai fenomenologi sebagai pendekatan filsafat yang me mberikan pengalaman intuitif tentang fenomena sebagai titik awal dan mencoba mem buat pemadatan tentang esensi masa depan pengalaman dan esensi apa itu pengalam an. Pendekatan Husserl disebut juga dengan fenomenologi transendental (trancende ntal phenomenology ). Pandangan-pandangan Husserl berasal dari Brentano, kemudia n dikembangkan lebih jauh oleh para filosofi selanjutnya, seperti Maurice Merlea u-Ponty, Max Scheler, Hannah Arendt, Dietrich von Hildebrand dan Emmanuel Levina s. Bagi Martin Heidegger, fenomenologi merupakan pandangan tentang keberada an dunia yang dibedah melalui penangkapan yang ada dibelakang semua yang ada, ha l ini, misalnya seperti dalam pengantar ontologi, yang mengkritisi metafisika. P endekatannya disebut fenomenologi eksistensial (Existential phenomenology). Pertentangan fenomenologi antara Husserl dan Heidegger mempengaruhi perk embangan fenomenologi eksistensial dan paham eksistensial (existentialism) di Pe rancis, yang ditunjukkan hasil kerjanya Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir ; fenomenologi Munich ( Johannes Daubert, Adolf Reinach, Alexander Pfander di je rman, dan Alfred Schutz di Austria); dan Paul Ricoeur. Apa yang dikemukakan Huss erl dan Heidegger juga merupakan aspek yang sangat penting bagi Jacques Derrida dan Bernard Stiegler. Secara kronologis, istilah fenomenologi telah digunakan sebelum dipopule rkan oleh Husserl. Pada awalnya, Fredrich Christoph Oetinger (1702 - 1782) seora ng jerman yang mendukung gerakan gereja Luther, dalam studi yang dilakukannya te ntang sistem peramalan untuk hubungan (divine system of relations). Selanjutn

ya, David Hume (1711-1776) filosof scott, menyebutkan variasi skeptik atau commo n sense advokat (pengacara). Meskipun hubungan tersebut kadang-kadang tendensius , Hume dalam A Treatise of Human Nature tidak menampakan pengambilan penekata n fenomenologi atau psikologi dalam menjelaskan proses pemikiran kausalitas dala m pengertian psikologis. Hal ini juga merupakan inspirasi bagi pemikiran aliran Kant tentang realitas fenomenal dan noumenal. Istilah fenomenologi, kemudian diungkapkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728-1777) seorang ahli matematika, fisika dan filosof, dalam teorinya Gejala yang mendasari pengetahuan empiris. Immnauel Kant (1724-1804) dalam Critique of Pure Reason membedakan antara objek sebagai fenomena (objek sebagai bentuk dan dipahami oleh sensitifitas dan yang dipahami manusia) dan objek sebagai sesuatu - dalam dirinya sendiri (things-in-themselves) atau Noumena, yang tidak nampak k epada kita dalam ruang dan waktu dan tentang kita dapat membuat tidak ada keputu san yang resmi. Georg Hegel (1770-1831) menentang doktrin Kant tentang ketidakta huan sesuatu dalam dirinya, serta mendeklarasikan bahwa fenomena yang diketahui akan lebih sepenuhnya dipahami yang ditangkap manusia secara gradual, melalui ke sadaran tentang kebenaran absolut keagamaan dan sipritual. Tulisan Hegel Phenom enology of Spirit diterbitkan tahun 1807. Tulisan tersebut diacu oleh Soren Kie rkegaard, Martin Hiedegger dan Jean Paul Sartre, yang berpaham eksitensial. Franz Brentano (1838-1917) menggunakan istilah fenomenologi dalam bebera pa perkuliahannya di Vienna. Ia menganut pemikiran Edmund Husserl, dan mempengar uhi pandangannya tentang intensionalitas. Carl Stumpf (1848-1936) menggunakan is tilah fenomenologi untuk ontologi tentang isi pensensoran. Edmund Husserl (1859 - 1938) mendefinisikan kembali fenomenologi untuk yang pertama kali dalam psiko logi deskriptif yang kemudian epistemologis, dasar dalam memahami studi esensi. Ia dikenal sebagai Bapak fenomenologi. Max Scheler (1874-1928) mengembangkan lebih jauh metode fenomenologis Hu sserl dan dikembangkan dalam mereduksi metode ilmu pengetahuan. Pemikiran Schel er mempengaruhi Pope John Paul II dan Edith Stein. Selanjutnya Martin Heidegger (1889 -1976) mengkritisi teori fenomenologi Husserl, sebagaimana ia usahakan da lam mengembangkan teori ontologi yang membawa ia pada teorinya tenang Dasein, ya itu the-non-dualistic human being. Alfred Schultz (1899 - 1959) mengembangkan fenomenologi tentang dunia so sial yang didasarkan pada pengalaman sehari-hari, yang mempengaruhi para sosiolo g utama, seperti Harold Garfinkel, Peter Berger dan Thomas Luckmann. Schultz menyuling pemikiran-pemikiran Husserl yang dipadatkan dalam t ulisannya tentang sosiologi melalui pendekatan yang relevan. Ia mengelompokkan t entang penjelasan kenapa pemaknaan subjektif mendorong munculnya objektivitas du nia sosial secara jelas. Alfred Schutz bermigrasi ke Amerika Serikat pada awal perang Dunia II, d imana pada saat itu fenomenologi cenderung mulai dikaji secara akademik. Ia berh asil mentransmisikan pendekatannya dan dikembangkan dalam sosiologi interpretif. Dua aspek yang menonjol dalam pendekatan ini adalah reality constructionism d an ethnomethodology. Konstruksionisme realitas di sintesis Schutz yang didest ilasi dari fenomenologi dan kumpulan pemikiran sosiologi klasik yang diperhitung kan untuk realitas sosial yang mungkin. Etnometodologi mengintegrasikan Personi an yang dihubungkan dengan aturan-aturan sosial kedalam fenomenologi dan menguji nya melalui aktor yang membuat kehidupan biasa memungkinkan untuk dikonstruksi. Konstruksionalisme realitas dan etnometodologi diakui sebagai orientasi yang pal ing jernih dalam lapangan sosiologi. 2.3. Teori tentang Fenomenologi Schutz, menjelaskan bahwa segala tindakan manusia berlangsung dalam dunia-kehid upan sosial yang mendahului segala penafsiran individu. Dunia-kehidupan sosial y ang bersifat pra-teoritis dan pra-ilmiah kata Schutz, bukan sekedar penjumlahan makna para pelaku individual serta berlapis-lapis menurut struktur yang ditetap kan oleh masyarakat, namun terbangun sebagai hasil dari interaksi sosio-kutura l masyarakat itu sendiri. Menurut Schutz, objek ilmu sosial itu meliputi segala sesuatu yang termasuk ke dalam dunia-kehidupan, yaitu segala bentuk objek-objek simbolis yang dihasilkan dalam percakapan dan tindakan, mulai dari ungkapan-ungk

apan langsung , seperti pikiran, perasaan, dan keinginan, maupun endapan-endapan nya seperti teks-teks kuno, tradisi-tradisi, karya-karya seni, barang-barang keb udayaan, teknik-teknik, dan lain-lain, sampai kepada susunan-susunan yang dihasi lkan secara tak langsung yang sifatnya stabil dan tertata, misalnya pranata-pran ata, sistem sosial, struktur kepribadian, dan lain-lain (Muslih, 2004). Lebih jauh Schutz menjelaskan bahwa wilayah operasi fenomenologi adalah dunia-kehidupan sosial, yang dijumpai oleh subjek (peneliti) sebagai objek-objek yang belum terstruktur secara simbolik. Objek demikian merupakan pengetahuan pr a-teoretis yang dihasilkan para pelaku yang bertindak maupun berbicara (aktor). Jadi, objek fenomenologi itu adalah pengalaman pra-ilmiah sehari-hari dari subje k-subjek yang bertindak dan berbicara dalam suatu dunia sosial. Para pelaku dala m dunia-kehidupan tersebut menurut Schultz, bukan berbicara dengan silogisme dan bukan bertindak menurut pola hubungan subjek-objek, melainkan berbicara dalam l anguage game, yang melibatkan aspek-aspek kognitif, emotif, dan volisional manus ia, dalam kondisi manusiawi yang wajar. Lebenswelt, menurut Schutz, tak dapat diketahui begitu saja melalui obse rvasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan melalui pemahaman (vers tehen). Apa yang ingin ditemukan dalam dunia-sosial adalah makna, bukan suatu ka usalitas yang kaku. Dalam fenomenologi, tujuan peneliti mendekati wilayah observ asinya adalah untuk memahami makna (sinnverstehen). Dalam konteks ini, peneliti tidak lebih tahu dari para pelaku dalam dunia sosial (aktor). Dengan cara terten tu, peneliti harus masuk ke dalam dunia-kehidupan yang unsur-unsurnya ingin dij elaskan. Untuk dapat menjelaskannya, ia harus memahaminya. Untuk memahami unsurunsur tersebut peneliti harus berpartisipasi dalam proses yang menghasilkan duni a-kehidupan itu. Dengan berpartisipasi, berarti ia telah masuk ke dalam dunia-ke hidupan. Kontribusi dan tugas fenomenologi adalah mendeskripsikan sejarah dunia-k ehidupan, untuk menemukan endapan makna yang merekonstruksi kenyataan sehari-h ari. Oleh karena itu, walaupun pemahaman terhadap makna dilihat dari sudut inten sionalitas individu, namun akurasi kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek int ersubjektivitas, yakni sejauhmana endapan makna yang ditemukan itu benar-benar direkonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek sama-sama terl ibat dan menghayati. Intinya, dalam fenomenologi, unsur subjek dilihat sebagai b agian yang tak terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan, sekal igus mendapatkan dukungan metodologisnya (Muslih, 2004) Yang menjadi tugas pokok dalam fenomenologi sosial adalah bagaimana men demonstrasikan interaksi timbal balik antara proses tindakan manusia, strukurisa si situasi, dan konstruksi realitas. Berdasarkan hal itu, kemudian memberikan is i pada berbagai aspek yang bersifat faktor sebab akibat. Fenomenologi memandang semua dimensi sebagai pembentukan bagi semua hal. Ahli fenomenologi menggunakan istilah reflexitivity untuk karakteristik cara-cara dimana dimensi unsur-unsu r pokok menjembatani antara hal-hal yang mendasar dan konsekuensi semua kegiata n manusia. Tugas fenomenologi, adalah membuktikan secara terus menerus ketidakt eraturan atau refleksitas dari tindakan, situasi, dan realitas dalam model yang beragam tentang berada di dunia (being in the world). Fenomenologi dimulai dengan analisis tentang sikap alami (natural attitu de). Hal ini dipahami sebagai cara individu biasa berpartisipasi secara alami di dunia, keberadaan itu terjadi begitu saja, mengasumsikannya secara objektif, se rta berusaha mengambil tindakan-tindakan itu sebagai predeterminan. Bahasa, kebu dayaan, dan pendapat umum merupakan pengalaman dalam sikap alami sebagai bagian dari dunia ekternal yang dipelajari melalui aktor-aktor dalam lapangan kehidupan mereka. Manusia membuka pengalaman sosial yang dipolakan dan berusaha keras mema hami keterlibatan yang berarti dalam dunia yang bisa dipahami. Mereka dicirikan oleh model tipikasi kesadaran yang cenderung mengklasifikasi data yang diamati . Dalam terminologi fenomenologi pengalaman manusia di dunia disebut dengan tif ipikasi (typifications). Anak-anak diterpa oleh suara-suara dan dibentuk pandan gannya oleh lingkungannya, termasuk badannya sendiri, orang lain, binatang, kend araan, dan lain-lain. Mereka mencoba menangkap pengkategorian identitas dan men tifikasi arti untuk masing-masing istilah dalam bentuk bentuk linguistik konvens

ional. Melalui beberapa cara, anak-anak belajar rumusan untuk aktivitas-aktivita s umum. Praktek tersebut diartikan dalam tindakan dan disebut dengan recipes for action ( cara mempersiapkan untuk berbuat). Tipifikasi dan cara menyiapkan, mer upakan sesuatu yang bersifat internal, cenderung untuk menyelesaikan dibawah tin gkat kesadaran penuh. Oleh karena itu, menjadi tersedimentasi (sedimented), sepe rti lapisan bebatuan. Oleh karena itu, dalam sikap yang alami, yang menjadi fond asi pengetahuan aktor tentang arti dan tindakan adalah sukar dan samar-samar ba gi aktor sendiri. Aktor berasumsi bahwa pengetahuan itu objektif dan semua pemikiran manus ia adalah dalam batas tertentu. Masing-masing aktor berasumsi bahwa masing-masin g aktor yang lain mengetahui bahwa apa yang diketahuinya tentang dunia ini: se mua mempercayai bahwa mereka berbagi common sense (pengetahuan umum). Bagaimana pun, masing-masing biografi orang itu bersifat unik. Hal itu masing-masing berke mbang relatif jelas untuk tipifikasi dan cara mempersiapkan untuk berbuat. Ole h karena itu, interpretasi mungkin menyebar. Interaksi sosial sehari-hari penuh dengan cara-cara dimana aktor menciptakan perasaannya, bahwa common sense itu dibagi-bagikan (berbagi), bahwa pengertian bersama adalah ditemukan, dan segala sesuatu itu baik-baik saja. Fenomenologi menekankan bahwa kehidupan manusia itu ada dalam dunia inte rsubjektif, termasuk dalam memperkirakan berbagi realitas. Sementara itu, realit as tertinggi (paramount reality) adalah pengalaman yang bersifat umum, dalam ha l ini, realitas tertentu atau bagian yang terbatas dari pengertian (finite pr ovinces of meaning) juga dikonstruksi dan dialami oleh kebudayaan, sosial dan pe ngelompokan keahlian yang beragam. Bagi fenomenologi, semua kesadaran manusia itu bersifat praktis - termas uk juga segala sesuatu. Aktor menuangkan kegiatan-kegiatannya kedalam kata-kata ; tindakan mereka diarahkan untuk menerapkan tujuan-tujuannya yang didasari oleh tipifikasi dan cara mempersiapkan untuk berbuat, kumpulan pengetahuan mereka ad a ditangannya. Kesadaran sebagai proses intensional terdiri dari berpikir, mempe rsepsi, merasakan, mengingat, berimajinasi, dan mengantisipasi, yang diarahkan u ntuk dunia. Objek kesadaran, adalah tindakan-tindakan intensional, yang merupaka n sumber semua realitas sosial tersebut, sebaliknya, materi adalah pengetahuan u mum. Tipifikasi mengacu pada pengetahuan umum yang diinternalisasikan; menjad i sebuah alat dimana kesadaran individual menggunakannnya untuk menyusun dunia-k ehidupan(lifeworld), yang menyatukan wilayah kesadaran manusia dan tindakannya. Common sense membantu dalam meyakinkan aktor bahwa realitas itu, diproyeksikan dari subjektivitas manusia sebagai realitas objektif. Ketika semua aktor diliba tkan dalam pekerjaan intensional ini, mereka melanjutkan usaha-usaha kolaboratif untuk mengabstraksi proyeksi mereka dan dengan demikian menguatkan setiap keran gka yang melengkapi alat-alat konstruksi. Interaksi sosial dipandang fenomenologi sebagai sebuah proses timbal bal ik pengkonstruksian interpretatif dimana aktor menerapkan pengetahuannya untuk k esempatan tertentu. Orang yang berinterakasi, berorientasi pada dirinya sendiri dengan orang lain melalui penghitungan jenis-jenis arti aktor dalam tifikasi s ituasi yang diketahui mereka, melalui common sense. Skema tindakan yang disesuai kan melalui masing-masing aktor untuk memperkirakan rencana kegiatan yang lain. Perilaku yang dihasilkan dari interseksi tindakan intensional mengindikasikan bahwa anggota kolektivitas adalah komunikasi atau koordinasi atau sesuatu yang t erjadi diantara mereka. Untuk keanggotaan tersebut, perilaku dan ucapan digunaka n sebagai ekpresi indek (indexial expressions) untuk menggambarkan situasi yang memungkinkan masing-masing diproses melalui interaksi ketika menginterpretasika n orang lain, konteks, dan dirinya sendiri. Melalui penggunaan praktek interpret atif tertentu, anggota mengarahkan situasi untuk dirinya sendiri dalam pengertia n hal itu masuk akal, sesuai perasaan dan konsisten. Dalam percakapan mereka, mereka memberi komentar melalui hal-hal yang tidak berhubungan secara jelas, me ngisi kesenjangan yang banyak sekali, mengabaikan ketidakkonsistenan, dan menga sumsikan makna secara keberlanjutan, dengan demikian, yang terjadi adalah memfor mulasikan alasan itu sendiri. Selanjutnya situasi sosial diwujudkan dalam perilaku rutin yang dipolaka

n, bahwa apa yang tampil bagi investigator positivist merupakan hal yang normati f atau petunjuk aturan. Secara fenomenologis, aturan-aturan adalah indeks ekpre si untuk proses interpretatif yang diterapkan oleh anggota dalam arena interaksi mereka. Aturan-aturan ditetapkan dalam dan melalui aplikasi mereka. Mengacu pa da pencatatan, subjek berusaha keras menggunakan aturan sebagai petunjuk yang je las. Bagaimanapun, subjek tersebut harus menggunakan semua jenis latarbelakang harapan objek untuk dikelola , menyusun ketidaktahuan antara yang khusus dan yan g umum dibawah kondisi yang dikonteks-kan untuk interaksi, dan hal itu dikerjaka n melalui tindakan kreatif. Aturan, kebijaksanaan, hirarkhi, dan organisasi dise lesaikan melalui tindakan-tindakan interpretatif atau negosiasi para anggota m elalui usaha-usaha yang serasi untuk memformulasikan sentuhan-sentuhan pengopera sian yang sesuai dengan rasio, yaitu sistem yang dapat diperhitungkan. Pekerjaa n ini adalah struktur kerja untuk situasi lebih lanjut, yang merupakan fondasi s ensasional-umum sebagai fakta. Fenomenologist menganalisis yang berkaitan dengan realitas sosial dan b agaimana bentuk-bentuk tertentu dari pengetahuan memberikan kontribusi kepada ke adaan tersebut. Hal ini merupakan usulan sebagai dasar argumentasi bahwa tipe-t ipe tindakan dan interaksi menjadi pembiasaan (habitualized). Melalui sedimentas i dalam lapisan kesadaran, asal-usul manusia tentang perilaku pembiasaan adalah sukar dimengerti dan produk bersifat eksternalisasi. Sebagai pengertian-berusaha keras, manusia menciptakan penjelasan teoritis dan jastifikasi moral untuk diar ahkan pada legitimasi perilaku pembiasaan. Pengalokasian dalam konteks yang lebi h tinggi tentang makna, perilaku menjadi objektif. Ketika penginternalisasian o leh generasi yang berhasil, perilaku diinstitusionalisasikan secara penuh serta menggunakan tekanan yang tinggi melalui kemauan individu. Secara periodik, insti tusi mungkin diperbaiki melalui respons terhadap ancaman, atau individu mungkin menyadarinya jika mereka berpindah secara kognitif atau afektif. Suatu kenyataan bahwa orang biasa mencegah pengkonstitusian melalui legi timasi perilaku pembiasaan tersebut. Deretan mulai dari tipifikasi common sense bahasa biasa sampai dengan pengkonstruksian teologi sampai dengan filosofi yang canggih, kosmologi, dan pengkonseptualisasian ilmu pengetahuan, legitimasi terse but terdiri dari realitas puncak kehidupan sehari-hari. Lebih jauh, segmentasi k ehidupan modern dengan perkembangbiakan makna-sektor generasi, menghasilkan real itas yang majemuk, beberapa diantaranya melalui kompetisi dengan masing-masin g pendukung. Dalam dunia realitas perdagangan saat ini, konsumen, dalam berbaga i jenjang, memilih legitimasi mereka, seperti halnya mereka memilih pekerjaan da n mengembangkan agama mereka (Berger, 1967) 2.4. Fenomenologi dalam Praktik Praktik fenomenologi adalah dengan cara mengembangkan kejadian dalam suatu kajia n sebagaimana apa yang dihasilkan pekerjaan peneliti fenomenologi melalui berba gai publikasi. Analisis fenomenologi terhadap isi budaya media massa misalnya, m enerapkan unsur-unsur melalui pendekatan untuk menghasilkan pemahaman refleksif keadaan yang saling mempengaruhi dunia-kehidupan audiens dan materi program (Wil son, 1996). Kemudian, diskursus Talk show dalam TV barangkali dijelaskan sebaga i teks sosial yang dibiaskan oleh programer dari identitas konstruk common sense . Realisasi visual menghasilkan imajinasi naratif dimana khalayak disesatkan ked alam pemrosesan penggunaan pengalaman mereka sendiri. Dunia-kehidupan penonton d an representasi TV diaduk kedalam realitas kekuasaan yang menyediakan penonton dengan sebuah skema untuk menggambarkan orientasi personal mereka. Kemudian, pro gramer menjelaskan atas orientasi tersebut sebagai identitas materi tambahan unt uk pengembangan isi yang baru. Fenomenologi juga mengkaji untuk memahami anak-anak tentang bagaimana di antara keluarganya berinteraksi dan praktek kehidupan sehari-hari yang dihubungk an dengan konstruksi tentang masa kecil. Hal ini mengungkapkan tentang bagaimana tipifikasi unsur-unsur anak-anak dalam kehidupan keluarga dan pengetahuan umum hadir melalui interaksi biasa. Penetrasi dalam dunia anak-anak menunjukkan bahwa praktisi fenomenologi memandang subjek dalam pengertian dirinya sendiri, melalu i jenjang dan pandangan anak-anak. Sejumlah investigasi menjauhkan otoritas ora ng dewasa. Kemudian mencari dan mendapatkan suara pengalaman anak-anak tentang

dunianya sendiri. Kompetensi komunikasi dan interaktif bayi dan anak-anak diper timbangkan dan tidak berkurang oleh pengendalian melalui jenjang fungsi yang leb ih tinggi. Dalam profesi kesehatan, perawat-perawat tertentu, nampaknya secara mend alam diilhami oleh fokus fenomenologi tentang cara-cara merawat yang didasari ol eh keketatan pentingnya pengalaman subjektif pasien. Substansi perhatian adalah pengabdian atau ketaatan pada penerapan etika untuk definisi berbagai penyakit, bagaimana bahasa dalam membentuk respons pasien terhadap sakit, dan bagaimana definisi penyakit model paradigmatik mempengaruhi komunikasi antara profesional dan pasien. Kerja yang signifikan dalam fenomenologi tentang cacat telah didem onstrasikan bagaimana kehidupan tubuh (live body) yang dialami dalam perubahan bentuk dan bagaimana menjamin rutinitas dapat mengganggu tindakan baru berhubung an dengan cara menyiapkan sesuatu. Praktek nonkonvensional kesehatan juga menguj i penilaian bagaimana orang yang menjadi bagian tersebut dan orientasi subjekti f aktor secara reflektif saling berkaitan dengan lambang budaya dan diskursus te rhadap merubah diri. Selanjutnya, kerja fenomenologi menunjukkan bahwa emosi m erupakan analisis sangat baik sebagai proses interpretasi yang dapat disisipkan kedalam konteks pengalaman. 2.5. Implikasi Bagi Fenomenologi, masyarakat, realitas sosial, aturan sosial, institusi, organi sasi, situasi, interaksi dan tindakan individual adalah sebuah konstruksi yang d apat dipahami sebagai entitas Suprahuman. Fenomenologi beranggapan lebih jauh bahwa manusia merupakan agen yang kreatif (creative agents) dalam mengkonstruks i dunia sosial (social worlds) (Ainlay, 1986). Hal ini berasal dari kesadaran ya ng semuanya dapat dimunculkan. Alternatif pekerjaan kreatif mereka adalah berka itan dengan ketidakmengertian, solipisme, dan kekacauan (chaos): dunia adalah b oneka yang membisu, dimana masing-masing saling tidak berhubungan satu sama lain , dan kehidupan bersifat tidak beraturan (Abercrombie, 1980). Hal ini merupakan mimpi buruk fenomenologi . Fenomenologist berupaya untuk mencatat substansi yang menyesatkan dari p roduk sosial dan menghindari jebakan memperlakukan konsep sebagai objek (reifica tion). Dalam memandang fenomena sosial, dengan sikap alami (natural attitude) se bagai objek, dan tidak hanya menekankan aspek yang bersifat legitimasi, namun l ebih bersifat analisis. Dalam menginvestigasi produk-produk sosial, ditekankan p ada tindakan-tindakan manusia yang penuh arti, bagaimana produk-produk tersebut disepakati atau diartikan sebagai sikap, perilaku, keluarga, usia, kelompok etni k, klas, masyarakat, dan lain-lain (Armstrong, 1979). Produk sosial dikupas untu k menyingkap bagaimana aktor mengkonstruksi dirinya sendiri, yang menyadari bah wa diri mereka adalah aktor yang mengkonstruksi subjek mereka dan dirinya sendir i. Fenomenologi memahami bahwa masyarakat merupakan konstruksi manusia yang mudah pecah, dengan lapisan yang tipis oleh pemikiran abstrak. Fenomenologi itu sendiri bersifat evaluatif dan netral secara politis. Secara inheren, hal ini m empromosikan bukan hanya pekerjaan yang bersifat transformatif, melainkan juga s tabilisasi. Dalam pekerjaannya, secara konservatif cenderung praktis, proses legitimasi mungkin didukung, dimana praktisi liberal mungkin berusaha mendapat kan kebocoran atau membuktikan ketidakbenaran legitimasi (Morris, 1975). Fenome nologi dapat digunakan untuk menyingkap dan mendukung konstruksi terbaik tentan g manusia atau mengungkap dasar-dasar teoritis tentang penindasan dan represi (S mart, 1976). Fenomenologis bersikeras atas kebutuhan untuk pemaknaan, keterkaita n secara subjektivitas, dan peka terhadap kelompok masyarakat atau sekelompok or ang yang hidup bersama karena kepercayaan, minat yang serupa. Kebutuhan tersebut mungkin dipenuhi melalui apa yang ada atau emansipasi realitas (Murphy, 1986). Pengaruh fenomenologi terhadap sosiologi kontemporer dapat dilihat dalam kerangka teoritis pengembangan kemanusiaan, metode riset, prosedur penilaian pe ndidikan, dan model instruksional. Pemikiran fenomenologi mempengaruhi kerja pos tmodernis, poststrukturalis, kritis, dan teori neo-fungsional (Ritzer, 1996). A nggapan seperti konstruksionalisme, situasionalisme, dan refleksifitas adalah i nti dari fenomenologi yang juga memberikan dasar-dasar untuk formulasi baru-baru

ini. Sebagai contoh, premis poststrukturalisme bahwa bahasa merupakan konstitus i sosial menolak kemungkinan untuk pemaknaan yang objektif, merupakan akar yang sangat jelas bagi fenomenologi. Prosedur ini dikenal dengan dekonstruksi (decon struction) yang secara esensial terbalik dengan proses reifikasi yang menonjol d alam fenomenologi (Dickens dan Fontana, 1994). Postmodernis berargumen bahwa pen getahuan dan realitas merepresentasikan dunia sebagai konstruktor realitas lebih lanjut menjadi contoh dari tujuan fenomenologi berkenaan dengan refleksivitas ( Bourdieu, 1992). Dengan kata lain, fenomenologi telah digunakan untuk mengubah l ebih dari sekedar nihilistik postmodernisme dan poststrukturalisme (ONeil, 1994 ). Neo-fungsionalisme, lebih inklusif untuk pendahulunya, dalam mendapatkan rua ng untuk fondasi mikro sosial, yang memfokuskan diri pada aktor sebagai agen kon struktif (Layder, 1997). Fenomenologi, berkesempatan mengingat kembali dan mengidentifikasi peru bahan dalam disiplin sosiologi, seperti mempengaruhi arus penelitian, termasuk p endekatan penelitian kualitatif dalam penelitian konvensional yang secara umum m engekspresikan akomodasi tersebut (Bentz and Shapiro, 1998). Penerimaan terbesar tentang wawancara intensif, observasi partisipatori, dan fokus group merefleksi kan kesediaan sosiologis non-fenomenologis untuk mengintegrasikan pendekatan sub jektivis kedalam kegiatan akademik mereka. Studi tentang konstruksi kesadaran se bagai metode penelitian telah menjadi luas dan lebih kuat berdiri dalam sosiolog i dalam komunitas akademik (Aho, 1998). Fenomenologi telah membuat semacam merek dalam area kebijaksanaan pen didikan atas sejumlah jenjang pendidikan. Kesalahan dalam ujian objektif telah d ialamatkan menggunakan alat fenomenologi. Isyu tentang validitas konstruk , kait an antara observasi dan pengukuran, telah dipelajari etnografik sebagai aktivita s dikursif untuk menjernihkan praktek pekerjaan melalui riset pendidikan dalam menetapkan validitas (Cherryholmes, 1988). Test terhadap anak-anak telah mengemb angkan respek subjektivitas pemberi test. Pendidik lebih waspada terhadap kebutu han untuk memahami pembelajar sosial dan proses kognitif, untuk dibawa kedalam p erhitungan pembatasan parameter kesadaran, dan untuk mendorong refleksi kesadara n diri. Praktek instruksional yang menekankan pendekatan aliran konstruktif tela h mendapatkan dukungan yang besar dari para profesional dan telah mengimplementa sikan secara luas manfaatnya bagi para pelajar (Marlowe dan Page, 1997). Masa depan dampak fenomenologi akan tergantung pada gaung dengan kebutu han dan apirasi munculnya generasi ahli ilmu sosial. Pengendalian beberapa diant ara generasi yang muncul ini, memikirkan dengan seksama dengan kesabaran yang t idak terbatas dan daya tahan bahwa hal itu membutuhkan pencapaian dengan penetra si pengertian yang mendalam. Area analisis diskursus barangkali tergantung pada harapan terbesar pencapaian ini dan akan seperti menimbulkan usaha substansial. Fenomenologi tentang emosi juga muncul menggoda para akademisi muda. Analisis r epleksif media budaya dan populer dalam hubungannya dengan identitas formasi aka n seperti menarik perhatian lebih jauh, seperti dalam studi virtualitas, cybersp ace, dan komputer simulcra. Studi tentang anak-anak, keluarga dan pendidikan aka n berkembang yang dinformasikan melalui penekanan atas konstruksi kesadaran. Fenomenologi pada prinsipnya adalah mencari atau mengamati fenomena seba gaimana yang tampak. Ada tiga prinsip yang tercakup didalamnya, yaitu: (1) sesua tu itu berwujud, (2) sesuatu itu tampak, dan (3) karena sesuatu itu tampak denga n tepat maka ia merupakan fenomena. Penampakan itu menunjukkan kesamaan antara y ang tampak dengan yang diterima oleh si pengamat tanpa melakukan modifikasi. (G. Van der Leeuw, dalam Muslih, 2004). Fenomenologi merupakan gerakan yang mencakup berbagai doktrin yang memil iki inti umum. Inti umum atau penyebut umum ini mempersatukan berbagai sistem da n pembenar bahwa suatu sistem adalah fenomenologi (Misiak dan Sexton, 2005). Peran fenomenologi dalam filsafat dan ilmu pengetahuan masih signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan fenomenologi dalam mengatasi berbagai masa lah yang dihadapi. Misalnya berkaitan dengan pertanyaan dan pengembangan sistem nilai yang memiliki kegunaan bagi kelangsungan hidup manusia.

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti berupaya untuk mengungkapkan fenomena dunia pemul ung berdasarkan pandangan mereka sendiri, sehingga metode yang dianggap paling s esuai adalah fenomenologi. Fenomenologi merupakan salah satu pendekatan kualitat if. Denzin dan Lincoln (1994) mengatakan bahwa penelitian kualitatif bersifat m ulti metode dalam fokusnya. Menggunakan pendekatan naturalistik interpretif terh adap subjek yang diteliti. Hal ini berarti bahwa penelitian kualitatif mempelaja ri apapun di dalam setting alamiahnya, dengan berusaha untuk memberikan makna at au menafsirkan fenomena menurut makna yang diberikan orang kepadanya. Sementara itu, Creswell (1998) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah pro ses penelitian untuk memahami-yang didasarkan pada tradisi penelitian dengan met ode yang khas- yang meneliti masalah-masalah manusia atau masyarakat. Dalam hal ini, peneliti berupaya untuk membangun gambaran yang kompleks dan holistik, men ganalisis kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci dan melakuk an penelitian dalam setting alamiah. Miles dan Huberman (1994) memberikan karakteristik penelitian kualitatif, yakni: (1) penelitian kualitatif dilakukan dengan kontak yang intens dan/atau lama dil apangan atau situasi kehidupan. Situasi tersebut secara tipikal adalah situasi n ormal atau banal yang mencerminkan kehidupan sehari-hari individu, kelompok, m asyarakat dan organisasi; (2) peranan peneliti adalah memperoleh pandangan holis tik (sistemik, komprehensif, terpadu) mengenai konteks yang diteliti, baik dari aspek logika, susunan aturan eksplisit dan implisit; (3) peneliti berusaha menan gkap data berdasarkan persepsi aktor lokal dari orang dalam, melalui proses p erhatian yang mendalam, pengertian yang empatis (verstehen), dan dengan menanggu hkan atau bracketing prakonsepsi tentang topik yang diteliti. Dengan membaca b ahan-bahan ini, peneliti dapat memisahkan tema-tema dan pernyataan tertentu yan g dapat dikaji ulang bersama informan, tetapi yang harus dipertahankan adalah da lam bentuknya yang awal selama penelitian; (4) tugas utama peneliti adalah menje laskan bagaimana orang dalam setting tertentu memahami, menjelaskan, bertindak, dan menghadapi situasi keseharian mereka; (5) ada berbagai interpretasi tentang bahan, namun interpretasi yang paling urgen adalah berdasarkan alasan teoretis a tau konsistensi internal; (6) dalam penelitian kualitatif, peneliti b/ merupakan instrumen utama; (7) kebanyakan analisis dilakukan dengan kata-kata. Kata-kata tersebut dikumpulkan, diklasifikasi, dipecah-pecah ke dalam segmen semiotik. Kat a-kata diorganisasikan agar peneliti mampu mengkontraskan, membandingkan, mengan alisis, serta menetapkan pola-pola padanya. Menurut Creswell (1998), dalam penelitian kualitatif, peneliti harus bersedia un tuk: (a) menghabiskan waktu seluas-luasnya dilapangan, menjalin hubungan baik de ngan partisipan, serta memperoleh perspektif orang dalam; (b) terlibat dalam p roses analisis data yang kompleks dan time consuming. Sejumlah besar data har us harus dipilah-pilah dan direduksi menjadi beberapa tema dan kategori; (c)menu lis paragraf panjang, karena bukti harus mendukung pernyataan dan penulis perlu menunjukkan perspektif yang majemuk; serta (d) berperan serta dalam bentuk penel itian manusia dan masyarakat, dimana sedikit sekali petunjuk jelasnya atau prose dur spesifiknya, serta terus menerus berkembang dan berubah. Selain aspek peneliti, aspek rancangan penelitian kualitatif harus menggambarkan aspek-aspek berikut: (a) bersifat holistik, memandang gambaran lebih besar, gam baran keseluruhan, serta dimulai dengan sebuah upaya untuk memahami keseluruhan, (b) mengamati hubungan-hubungan di dalam sebuah sistem atau budaya; (c)merujuk kepada proses yang personal, tatap muka, dan langsung; (d) difokuskan pada upaya untuk memahami setting sosial yang terjadi, tanpa harus membuat prediksi tentan g setting itu; (e) memerlukan kehadiran peneliti pada setting penelitian untuk w aktu yang lama; (f) membutuhkan alokasi waktu analisis yang sama dengan waktu ya ng dihabiskan di lapangan; (g) peneliti harus mengembangkan sebuah model yang me nyerupai apa yang terjadi di setting sosial; (h) peneliti diwajibkan untuk menja

di instrumen penelitian. Hal ini memberi makna bahwa peneliti harus memiliki kem ampuan untuk mengamati perilaku serta menajamkan keterampilan yang diperlukan un tuk observasi dan wawancara tatap muka; (I) memasukan informed consent decision dan responsif terhadap permasalahan etika; (j) menyediakan ruang untuk deskripsi peran peneliti sebagaimana juga deskripsi bias peneliti dan rujukan ideologisny a, serta (k) memerlukan analisis yang berkelanjutan terhadap data yang dikumpulk an. 3.2. Prosedur penelitian 3.2.1. Tahapan Berpikir Fenomenologi Dalam fenomenologi, terdapat tahap-tahap berpikir, yakni (1) adanya Intensionali tas (keterarahan isi kesadaran), dan (2) reduksi. Mengacu pada pemikiran Laksmi G. Siregar (2005) mengemukakan bahwa geja la mental selalu memperlihatkan pengarahan yang tertuju kepada ketiadaan intensi onal dalam arti bahwa kita menghadapi suatu pengarahan dalam kesadaran yang seka ligus menunjukkan pada suatu objek dalam kesadaran. Dengan demikian, gejala-geja la mental merupakan fenomena yang melingkupi atau mengandung suatu objek secara intensional dalam kesadaran. Heriaty (1978) mengatakan bahwa kesadaran adalah intensionalitas (Terar ah pada suatu hal) dan merupakan kesatuan dari hal-hal yang dilihat, diingat ata u dipikirkan. Intensionalitas selain mengarah pada objek, juga ada beberapa aspe k lainnya, yakni melalui intensionalitas terjadi objektivitas, yang artinya bahw a unsur-unsur daam arus kesadaran menunjuk pada suatu objek dan terhimpun pada o bjek tersebut. Dengan demikian, objek itu tampil karena data itu sekarang telah terhimpun, sedangkan lazimnya merupakan sekedar indrawi yang lepas satu sama lai nnya (Siregar, 2005). Michel Lincourt (1999) mengatakan bahwa intensionalitas dihasilkan oleh dua cara intelektual yang secara tetap aktif dalam metode fenomenologi, yakni pe mbicaraan (penulisan) yang rasional dan pemahaman yang berdasarkan intuisi. Sire gar (2005) menambahkan bahwa pembicaraan/penulisan rasional itu dapat juga diseb ut sebagai praktik dari refleksi. Fenomenologi menghendaki bahwa tidak mencukupi hanya mengalami fenomena melalui persepsi empiris. Seseorang harus menjajagi le bih dalam daripada hanya sekedar persespsi realitas secara commonsense, dan de ngan merefleksikannya ia dapat merenggut arti dibalik arti. Siregar (2005) menam bahkan lagi bahwa intensionalitas produktif ialah esensi untuk kesadaran yang ma napun juga, semua kesatuan intensional ialah kesatuan-kesatuan yang dikonstitusi kan dan konstitusi itu dapat dianalisis. Herbert Spiegelberg (1971) mengatakan bahwa kategori yang paling penting dalam fenomenologi adalah intensionalitas (kesadaran). Kesadaran manusia, menur ut Husserl, selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Karena itu, dalam setiap ti ndakan kesadaran terdapat dua kutub, yang diindikasikan dengan istilah neotic da n neomatic (tindakan intelek murni, melulu pemikiran). kesadaran, seperti yang dikemukakan Spiegelberg (1971) tiada lain adalah intensional, mengarah pada sesu atu yang disadari, disebut objek intensional atau neomatic. Adapun setiap aktivi tas menyadari sesuatu disebut aktivitas menyadari atau neotic. Husserl mengatakan bahwa kesadaran bukan semata-mata sesuatu yang didala mnya sendiri dan kemudian memasuki hubungan pada sesuatu yang lain lagi. Hubunga n pada yang lain ini memasuki tindakan yang paling inti. Jadi, akibatnya kesadar n itu turut ditentukan oleh istilah-istilah yang terkait ( Spiegelberg, 1971). K emudian Husserl memberikan aspek-aspek yang penting dalam intensionalitas, yakni : (a) melalui intensionalitas terjadi objektivikasi, yakni unsur-unsur dalam aru s kesadaran menunjuk pada suatu objek, terhimpun pada suatu objek tertentu; (b) melalui intensionalitas terjadilah identifikasi. Hal ini merupakan akibat dari o bjektivikasi. Artinya, berbagai data yang tampil pada peristiwa yang lalu masih pula dapat dihimpun pada objek sebagai hasil objektivikasi tadi. Oleh karena itu , intensionalitas menunjukkan kemampuannya untuk mengadakan sintesis sedemikian rupa sehingga berbagai aspek, segi dan tahap pada suatu objek akan berintegrasi sebagai unsur-unsur yang berhimpun pada satuan yang identik; (c)intensionalitas itu saling menghubungkan (korelasi) segi suatu objek dengan segi yang mendamping inya. Setiap aspek dari objek yang identik menunjuk pada aspek lain yang menjadi

horizonnya; (d) intensionalitas mengadakan konstitusi (menciptakan). Prestasi y ang sesungguhnya dari intensionalitas terletak pada konstitusi ini. Adapun yang dibentuk oleh konstitusi ialah objek intensional, sehingga kegiatan intensional menjadi suatu prestasi. Oleh karena itu, menurut Spiegelberg (1971), objek inten sional itu dimulai atau dibentuk oleh objek intensionalitas itu sendiri, tidak m erupakan suatu objek yang langsung tersedia bagi pengarahan sejak semula. Aspek yang kedua adalah reduksi. Heraty (1978, dalam Siregar, 2005) meng emukakan pemikiran Husserl yang mengatakan bahwa untuk mereduksi, berarti membaw a keadaan langsung yang sudah dikembalikan pada yang esensial, dan hal yang asli . Menurut Husserl, reduksi tidak mempermasalahkan fakta, melainkan struktur logi s sebagai syarat. Reduksi, terdiri dari tiga tahap, yakni: pertama, disebut red uksi eiditik, yakni suatu reduksi untuk menangkap eidos atau hakikat (esensi). Tahap ini merupakan tahap persiapan untuk menghadapi fenomena. Reduksi ini, men urut Siregar (2005) dilangsungkan dengan suatu proses imajinasi bebas untuk mene mukan ciri-ciri khas, atau yang menentukan identitas suatu gejala yang disebut p roses pembentuk gagasan (ideation). Dalam hal ini, lanjut Siregar (2005), kehadi ran atau tidak hadirnya sebagai suatu fakta empirik tidak menjadi soal lagi, kar ena hal ini sudah merupakan tugas naturalisme. Yang menjadi persoalan dalam taha p ini adalah bagaimanakah menangkap hakikat hasil reduksi, dimana sifat ketungga lan (individualitas) dan kekhususan telah ditinggalkan. Kedua, disebut reduksi f enomenologik, yang menyampingkan hal yang sifatnya nonesensial dan kebetulan, su paya diperoleh situasi murni yang tersedia. Dalam tahap ini, reduksi tidak saja menjauhi dunia alamiah melainkan mendekati ke arah yang dituju, dimana aspek neg artif tersebut ditekan oleh reduksi fenomenologik, yang dalam konteks ini dikena l pula sebagai aspek positif, atau dikenal dengan istilah reduksi transendental . Aspek positif, menurut Siregar (2005) bermaksud untuk sampai kepada subjek tra nsendental, dalam arti menangkap syarat transendental pada suatu subjek pada kut ub subjektif intensionalitas sambil menjauhi kutub objektif pada intensionalitas . Menurut Spiegelberg (1971), kutub objektif pada intensionalitas merupaka n aspek imanen, sedangkan kutub subjektif karena pengarahan oleh intensionalitas merupakan aspek transenden. Sebagai hasil dari reduksi fenomenologik, diperole h secara murni struktur intensionalitas pada kesadaran, kesadaran secara univers al dan fundamental. Hal yang tersisa setelah reduksi fenomenologik, menurut Spie gelberg disebut dengan kesadaran absolut, kesadaran murni. Tahap ketiga, disebut dengan reduksi transendental. Melalui reduksi tran sendental, yang diberi kurung bukan hanya terbatas pada prasangka terhadap objek , tetapi juga pada keberadaan dari realitas secara keseluruhan. Maka yang akan t ampak kepermukaan setelah kita memberi tanda kurung itu, adalah kesadaran kita s endiri serta aktivitasnya, yakni aktivitas yang memberi makna transenden kepada apa yang sebenarnya merupakan bagian integral di dalam kesadaran kita. Husserl mengatakan bahwa kesadaranlah yang sebenarnya merupakan landasan, akar, atau ha kekat yang ada pada setiap pengetahuan atau teori ilmiah yang telah kita kenal. Tanpa kesadaran, ujar Husserl, tidak ada yang namanya pengetahuan atau teori il miah. Oleh karena itu, tujuan dari reduksi transendental adalah untuk menelusuri dan mengungkap sumber segala pemaknaan dalam ksedaran kita sendiri. 3.3. Subjek Penelitian Subyek dalam penelitian ini adalah pemulung yang beroperasi di wilayah Rancaekek . Melalui wawancara mendalam (depth interview) terhadap 15 pemulung, akhirnya di peroleh 10 orang pemulung yang memenuhi kualifikasi informan, dimana dapat dikla sifikasi menjadi 5 kelompok berdasarkan identitas tempat memungut sampah, yakni: 2 orang pemulung dengan menggunakan karung plastik, 2 orang pemulung dengan men ggunakan becak terbuka, 2 orang pemulung dengan menggunakan gerobak dorong, 2 o rang pemulung dengan menggunakan becak gerobak, dan 2 orang pemulung dengan meng gunakan sepeda, yang dikiri dan kanannya diberi karung plastik. 3.4. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, yakni mulai bulan Oktober hingga akhir Desember 2008. Lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Rancaekek Kabupaten

Bandung dan sekitarnya. 3.5. Proses Pendekatan Untuk memperoleh data dan fakta yang dapat diandalkan, maka peneliti ber upaya untuk mewawancarai subjek penelitian (pemulung) dengan berbagai pendekatan yang tentu saja membutuhkan kesabaran, ketelatenan dan fokus pada jawaban-jawab an yang diungkapkan pemulung. Seringkali peneliti bertemu dengan pemulung pada s aat pagi sekali, setelah shalat subuh. Mereka peneliti temui ketika sedang menc ari barang-barang yang berharga (menurut mereka) dari tempat sampah di depan rum ah. Dengan berbicara baik-baik, peneliti dapat berbincang-bincang dengan salah seorang pemulung. Pembicaraan memakan waktu sekitar setengah jam. Kemudian, seba gai tanda terimakasih, peneliti memberi uang alakadarnya, untuk makan. Kemudian kami berjanji untuk ngobrol lagi pada hari berikutnya. Akhirnya, selain penelit i memperoleh informasi yang sangat lengkap (sesuai dengan tujuan penelitian), pe neliti pun mendapat akses untuk mewawancarai pemulung yang lain, hingga bisa men gakses dan atau mendatangi tempat tinggal mereka. Tentu saja, pendekatan yang dilakukan terhadap subjek penelitian terdapa t keragaman. Namun yang paling mendapat respons adalah dalam bentuk pemberian ua ng. 3.6. Penentuan Pemilihan Informan Kriteria utama yang dijadikan dasar untuk memilih informan adalah pemulung yang telah menekuni bidangnya, paling tidak selama 3 tahun. Mengapa 3 tahun? Karena s elama waktu itu, mereka dapat merasakan dengan sesungguhnya pahit manisnya menek uni bidang kerja tersebut. Mereka dapat mengartikulasikan pengalaman dan pandang annya tentang sesuatu yang dipertanyakan (Kuswarno dalam Mulyana dan Solatun, 2 007). Selain itu, peneliti juga mengacu pada pedoman yang dikemukakan Bogdan dan Taylor (1993), yakni: (1) subjek bersedia menerima kehadiran peneliti lebih bai k, (2) subjek mampu dan mau mengutarakan pengalaman masa lalu dan mutakhir, (3) subjek dinilai menarik oleh peneliti karena memiliki pengalaman yang khusus, dan (4) peneliti menghindari subjek yang memiliki asumsi-asumsi ataupun praduga yan g mewarnai penafirannya terhadap yang diungkapkannya. Berdasarkan kejenuhan data dan kelayakan informasi, maka dari 15 orang p emulung yang dijadikan informan, maka ada 10 orang informan yang dipilih penelit i untuk dijadikan subjek penelitian. Melalui 10 orang informan inilah peneliti b erupaya untuk menggali fenomena kehidupan pemulung yang berkaitan dengan tujuan penelitian ini. 3.7. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, data dikumpulkan melalui berbagai cara, terutama melalui w awancara mendalam dan observasi nonpartisipan. Dalam penelitian ini, peneliti be rtindak sebagai outsider, yaitu seseorang yang dikenal oleh pemulung sebagai p eneliti, atau memperhatikan segala gerak mereka berkaitan dengan pekerjaan dan kehidupannya. Peneliti tidak bertindak sebagai pemulung, namun seringkali mengikuti ke giatan-kegiatan mereka. Wawancara dilakukan terhadap pemulung baik ketika mereka seorang diri, pada saat berkumpul dengan sesama mereka, maupun ketika sedang be rada di rumah masing-masing. Dalam kegiatan wawancara tersebut, peneliti berupay a untuk tidak mengganggu kealamiahan suasana dengan berupaya untuk tidak memperl ihatkan alat-alat perekam maupun gambar (camera). Sehingga obrolan mengalir be gitu saja, apa adanya, sehingga pengungkapan-pengungkapan melalui tuturan dan ya ng diperloihatkan melalui ekspresi tubuh pemulung, memperlihatkan keadaan yang s ebenarnya. Peneliti juga berupaya untuk merekam kehidupan keseharian pemulung den gan berkunjung dan mengikuti keseharian mereka setelah pulang kerja. Tentu s aja melalui kegiatan ini kehidupan keluarga dapat pula terungkap. 3.8. Prosedur Pencatatan Data Agar data tercatat utuh, maka peneliti berupaya untuk merekam pembicaraan deng an cara menyembunyikan alat perekam tersebut. Selain itu, peneliti juga berupaya

sesegera mungkin mencatat segala jawaban subjek penelitian, setelah wawancara s elesai dilaksanakan. Untuk dokumentasi visual, peneliti meminta ijin untuk memot ret beberapa aktivitas pemulung/informan. Dengan demikian, aktualitas dan keaku ratan data melalui prosedur demikian mudah-mudahan terjaga keorisinilannya.

BAB 1V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengumpulan Fakta Fakta dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara dengan sasaran, terutama d engan pemulung yang dianggap sebagai pemimpin bagi kelompoknya; observasi langs ung lokasi-lokasi operasi pemulung dan tempat tinggalnya, penelaahan data pemulu ng dari BPS, serta studi kepustakaan yang relevan dengan permasalahan. Data-data tersebut mencakup antara lain: kondisi lingkungan, usia, status perkawinan, sta tus pendidikan, penghasilan, asal-usul pemulung, pekerjaan semula, jumlah anak, serta status tempat tinggal. 4.1.1. Kondisi Fisik dan Lingkungan Tempat tinggal Pemulung yang beroperasi di Rancaekek Bandung menyebar mulai dari wilayah Cileunyi, Cipacing, Rancaekek, Majalaya, Ciparay,Cicalengka, bahkan ada yang berasal dari Nagrek. Gambaran tentang kondisi fisik menunjukkan hal-hal sebagai berikut : Pad a umumnya, mereka mengontrak rumah secara bersama-sama dengan kondisi seadanya. Jika dilihat dari bahan material yang digunakan untuk bangunan, maka kondisinya sangat menyedihkan. Dinding rumah pada umumnya tersebut dari ghedek yang bersulam seng atau kardus dan bahan-bahan sisa lainnya. Demikian juga atap yang digunakan, pada umumnya terbuat dari genting yang bersulam dengan seng bekas dan rumput ilalang. Kondisi di dalam rumah pada umumnya menunjukkan keadaan yang tidak layak jika diukur dari keadaan rumah sebagaimana layaknya. Ruangan yang penga p, kurang ventilasi, serta perabotan yang kotor menunjukan bahwa penghuninya dal am kondisi yang amat miskin. Kondisi lingkungan jelas-jelas menunjukkan keadaan tidak sehat atau kumu h ( slum). Sampah-sampah bertebaran di setiap penjuru rumah, genangan air kotor, lalat-lalat berterbangan dan berkerumun, serta jamban untuk MCK yang letaknya t idak jauh dari rumah yang merupakan satu-satunya yang dimiliki oleh penghuni , keadaanyapun sangat kotor. Secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi fisik dan lingkungan rumah pemulung sangat tidak layak. 4.1.2. Status Perkawinan Berdasarkan observasi yang dilakukan, status perkawinan pemulung menunjukkan ada nya variasi. Ada yang telah menikah dan mempunyai anak, belum menikah, duda, dan janda. 4.1.3. Usia Usia pemulung berada pada kisaran 16 hingga 60 Tahun. 4.1.4. Pendidikan Pendidikan pemulung pada umumnya sangat menyedihkan. Sebagian besar mereka tidak

pernah sekolah, pernah sekolah SD tidak tamat, dan ada pula yang tamat SD. Rendahnya tingkat pendidikan pada Pemulung dapat di sebabkan oleh banyak faktor, namun faktor yang paling dominan adalah faktor sosial ekonomi yang tida k mendukung kehidupannya secara baik. 4.1.5. Penghasilan Pemulung Penghasilan pemulung bervariasi, dari Rp. 3.000, perhari, hingga Rp. 20.000 Per hari, tergantung dari nasib baik Dengan demikian penghasilan mereka jika diukur berdasarkan Standar mini mum, termasuk kategori sangat miskin. Penghasilan sebesar itu, hanya cukup untuk kebutuhan akan makan dan minum secara sederhana saja, sedangkan untuk kebutuhan sandang, papan, dan juga pendidikan serta kebutuhan fisik-fisik lainnya sudah j elas tidak akan terpenuhi. Keadaan kehidupan Pemulung benar-benar seperti lingkaran setan. Antara faktor ke hidupan yang satu sangat berpengaruh pada kehidupan yang lainnya. Kehidupan seba gai pemulung merupakan upaya mereka dalam mengatasi soal ekonomi dimana di daera h asalnya kehidupan ekonomi merekapun jauh lebih parah dari keadaan saat ini. 4.1.6. Daerah Asal Pemulung Pada umumnya Pemulung yang beroperasi di Rancaekek adalah pendatang atau disebut juga dengan istilah urban poor . Yang diakibatkan oleh nilai tambah dalam kehidupan ekonomi di daerah asalnya sangat parah. Adapun asal usul atau kampung halaman Pemulung sebelum datang ke Rancaek ek antara lain berasal dari Indramayu, Cilacap, Kuningan, Cirebon, Subang, Panga lengan, Majenang, Gunung Kidul (Yogjakarta) dan daerah-daerah lain. Pada umumnya, para Pemulung melakukan urbanisasi disebabkan oleh berbaga i faktor, seperti tidak adanya lahan garapan, terbelit hutang, upah yang tidak c ukup, dan lain-lain. 4.1.7.Latar Belakang Pekerjaan Asal Pemulung Pemulung yang diobservasi mempunyai latar belakang pekerjaan sebagai wir aswasta kecil. Yang di maksud dengan wiraswasta kecil adalah mereka yang mencari nafkah dengan cara berdagang makanan jajanan, warung kecil dan lain-lain. Dan t ernyata penghasilan dari usaha semacam ini ( bagi yang sekarang jadi Pemulung ) kurang menguntungkan. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa orang Pemulung terungkap bahwa jika dibandingkan kehidupan terdahulu ( di daerah asal ), terny ata bahwa kehidupan sebagai sehari-hari mereka cukup terjamin ( istilah mereka, tidak perlu lagi sehari makan sehari tidak seperti ketika di daerah asalnya ). 4.1.8. Stratifikasi Sosial Pemulung Apabila dilihat dari struktur sosial yang ada pada masyarakat Pemulung maka terdapat pula stratafikasi sosial yang mercerminkan adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat tersebut, yaitu ada Penampung dan ada Pemulung . Pen ampung adalah orang yang melakukan kerja menampung hasil kerja Pemulung, yaitu b arang-barang pulungan, dengan cara membelinya sesuai dengan tarif yang disepakat i secara umum setelah dilakukan penyortiran dan penimbangan di jual kembali kep ada Bandar, dimana Bandar ini merupakan strata masyarakat yang lebih tinggi dala m kaitannya dengan hal yang sama ( Emka, 1981:3). 4.1.9. Motivasi Pemulung dalam meningkatkan penghasilan Motivasi Pemulung untuk meningkatkan penghasilanya dapat dikatakan cukup tinggi. Mereka ingin meningkatkan penghasilannya dari pekerjaan Pemulung, sedan gkan yang lainnya menyatakan hanya mengisi waktu kosong sambil mencari pekerjaan lain yang lebih layak, dan sisanya menyatakan bahwa mereka menjadi Pemulung k arena terpaksa oleh keadaan dan motivasi untuk meningkatkan penghasilan dari bek erja sebagai pemulung memang kurang ( Ballilah, 1985 ) Berdasarkan hasil penelit ian tersebut dapat dipahami bahwa motivasi mereka memilih pekerjaan memulung bar ang-barang bekas dalam kaitannya dengan peningkatan pendapatan memang tumbuh dar i dalam dirinya sendiri. Tingginya motivasi mereka untuk meningkatkan pendapatan

nya berkaitan erat dengan keadaan ekonomi Pemulung yang dalam keadaan kekurangan . 4.2. Diri Informan Sebagai Pemulung Menggali diri informan pada prakteknya memerlukan ketekunan dan kesabaran ment al, karena pada tahap awal, subjek penelitian sangat tertutup dan sulit untuk di dekati. Secara bertahap, akhirnya peneliti dapat mendekati subjek penelitian, yang kemudian melalui salah seorang subjek penelitian tersebut, peneliti dapat mendekati subjek-subjek penelitian lainnya. Berikut akan dikemukakan diri sub jek penelitian, seperti yang penulis catat melalui obrolan (depth interview) den gan mereka. Informan pertama yang penulis kenal dan diajak ngobrol adalah Adi. Adi s eorang pemuda berusia 21 tahun berperawakan kecil, tinggi badan sekitar 167 cm, berkulit cokelat. Saat pertama berjumpa di depan rumah peneliti, sekitar pukul 0 5.00 setelah shalat subuh. Saat itu ia sedang mencari barang dari tempat sampah. Peneliti menyapa dan meminta untuk mengobrol dengan dia. Dengan wajah yang ragu dan curiga, ia kemudian bertanya aya naon kitu pa?. Kemudian peneliti berupa ya menjelaskan tentang tujuan yang diinginkan. Kemudian ia masih meragukan keing inan peneliti, dan membuat alasan kumaha pa bilih abdi teu kabagean alaeun? Bea keun ku batur? Peneliti menjelaskan kepadanya bahwa pendapatan dari hasil kerja nya akan diganti, asal ia mau diajak ngobrol. Sabaraha beubeunangan sapoena kan g? Si Adi menjawab teu tangtu pa, mun keur alus milik aya nepi ka Rp.30.000 n a, tapi mun keur apes mah... ngegel curuk we.... Oh kitu nya, keun ku bapa di ganti Rp. 50.000,- asal didinya nyaritakeun nu sabenerna, daek teu?. enya daek pa. Proses interview dilakukan di depan rumah (teras) peneliti, tentu saja sam bil minum kopi dan goreng pisang yang dibuat istri peneliti. Adapun hasil wawancara tersebut penulis buat dalam skript berikut: Adi, nama lengkapnya Adi Jatnika, Lahir di Kertasari Daerah Bandung Selatan, 21 tahun yang lalu, merupakan anak ke 4 dari lima bersaudara. Ayahnya seorang pekerja pe rkebunan yang pekerjaannya sebagai tukang membersihkan rumput (tukang ngored) ya ng tumbuh di sela-sela pohon teh. Ibunya, juga bekerja di perkebunan, sebagai pe metik teh.Adi sempat sekolah hingga kelas 4 SD, namun karena merasa malas dan ke adaan orang tuanya yang miskin, maka ia keluar sekolah. Selanjutnya Adi membantu kedua orang tuanya menjadi pemetik teh lepas (buruh lepas, yang dibayar berdasa rkan banyaknya timbangan kuncup teh yang dipetik). Pekerjaan itu ia lakoni hingg a usia 17 tahun. Adi punya kakak, Ohim, yang bekerja di Bandung sebagai kuli ban gunan. Suatu ketika, Adi diajak kakaknya tersebut untuk mencari pengalaman ke Ba ndung, dan beserta kakaknya menjadi kuli bangunan. Tentu saja kesempatan itu tid ak di sia-siakan Adi, maka ia pun pergi ke Bandung menemui kakaknya. Adi bekerja sebagai tukang aduk (mencampur pasir dengan semen dengan men ggunakan cangkul dan sekup). Gaji yang ia terima dari majikannya (ia menyebutnya dunungan) setiap seminggu sekali. Tentu saja hanya cukup untuk makan sehari-h ari. Pekerjaan itu ia jalani hingga 3 tahun. Ia bekerja dari satu proyek ke proy ek yang lainnya, dan tidak hanya di Bandung saja, bahkan sampai ke Medan. Selama bekerja sebagai kuli bangunan, Adi juga bergaul dengan sesama tukang bangunan l ainnya, hingga ia mengenal kehidupan kota yang ganas dan Liar. Ia seringkali diajak teman-temannya untuk berjudi, meminum minuman keras dan main perempuan, setelah selesai bekerja. Tentu saja pengalaman tersebut bagi Adi sangat menyenan gkan, karena selama di perkebunan ia tidak pernah mengenal kehidupan seperti dem ikian. Semakin hari semakin terbiasa, hingga akhirnya Adi terbelit utang. Gaji yang ia terima sudah tidak mencukupi lagi untuk kehidupannya, karena dibayarkan untuk hutang. Akhirnya, perilaku Adi diketahui majikannya, dan ia dikeluarkan da ri pekerjaannya. Ketika ia masih bekerja sebagai tukang aduk, suatu saat ia berkenalan de ngan seorang pria, berusia 30 tahunan, bernama Herman. Herman saat itu bekerja s ebagai tukang pulung (pemulung) yang seringkali datang ke lokasi tempat Adi beke rja, untuk memungut berbagai barang atau sampah yang menurutnya masih memiliki n ilai. Semakin hari mereka semakin akrab. Tentu saja Adi seringkali memberi sisasisa bahan yang tidak dipakai kepada Herman, dan Herman sebagai tanda terimakasi

h juga memberi rokok atau uang kepada Adi. Setelah di PHK, kemudian Adi menemui Herman di Kampung Buah Dua Rancaeke k. Di kampung inilah Herman tinggal dengan mengontrak sepetak kamar yang sangat sederhana. Adi menuturkan apa yang menimpa pada dirinya kepada Herman, dan kemud ian ia ingin mencoba menjadi pemulung seperti Herman. Tentu saja Herman mendukun g Adi, bahkan membolehkan Adi untuk tinggal ditempatnya selama Adi mau. Mulai sa at itulah Adi berprofesi sebagai pemulung, hingga kini. Adi menjalani pekerjaan sebagai pemulung sudah satu tahun. Kehidupan yan g dijalaninya pada awalnya sangat berat. Ia harus berupaya untuk kebal terhad ap aroma bau sampah, harus kebal terhadap rasa malu, karena seringkali menja di perhatian orang dengan gaya yang ditampilkannya. Bahkan ia juga harus dapat menahan rasa dingin dan kantuk, ketika pagi sekali, sekitar pukul 04.00 harus s egera berkeliaran ke tempat-tempat sampah di sekitar wilayah Rancaekek. Namun de mikian, seiring dengan waktu, akhirnya ia dapat beradaptasi dengan pekerjaaannya . Informan berikutnya adalah Herman. Informan ini dikenalkan oleh Adi kepa da peneliti, Herman, pria berusia 30 tahun bertubuh kurus kering, mengenakan top i berwarna hitam-kusam. Wajahnya tertutup oleh tepi topinya, namun dari dekat na mpak kulitnya yang menghitam, kotor, kusam, matanya agak layu. Herman juga berse dia bercerita kepada peneliti setelah peneliti memberi iming-iming akan diberi u ang Rp. 50.000,- seperti yang diterima Adi. Herman pada awalnya berasal dari Majalengka. Sepuluh tahun yang lalu ia bersama teman-temannya (teman satu kampung) pergi ke Bandung untuk bekerja sebag ai penggali tanah. Ada 7 orang saat itu yang berangkat dari kampungnya. Waktu it u usia Herman adalah 20 tahun. Ia dengan teman-temannya itu naik truk, dan setib a di Bandung, ia diturunkan di Kiaracondong, di pinggir jalan. Berbekal uang san gat sedikit, ia berupaya untuk mengaturnya seketat mungkin, sehingga ketika maka n, seringkali hanya nasi saja. Saat itu ia beserta teman-temannya menuju daerah Antapani, karena saat itu Antapani masih sedang mengembangkan dan membangun ruma h. Kebetulan saja ketika mereka tiba di lokasi, kemudian menemui mandor bangunan yang ada saat itu, mereka mendapat pekerjaan untuk menggali saluran-saluran unt uk memasang besi untuk air minum. Lumayan juga. Upah yang diperoleh, selain untu k makan sehari-hari, juga ia sisihkan untuk di bawa nanti kekampungnya, untuk or ang tuanya. Ternyata pekerjaan galian tersebut tidak hanya saluran air minum saj a, juga selokan-selokan pembuangan air Mandi dan Cuci, Septic tank, galian untuk fondasi, dan lain-lain. Untuk tempat tinggal, mereka menempati rumah kosong, yang tentu saja mas ih dalam keadaan darurat. Untuk makan, mereka urunan, masak sendiri ngaliwet, teman nasinya, sering dengan ikan asin. Sekali-kali memasak sayur kangkung, kare na disekitar perumahan itu ada kebun kangkung, dimana ketika mereka membelinya, biasanya diberi banyak. Pekerjaan sebagai tukang gali ini Herman dan kawan-kawannya tempuh sekit ar dua tahun, hingga kegiatan pembangunan perumahan itu selesai. Setelah itu, ke mudian mereka mencari-cari lagi proyek perumahan yang membutuhkan tenaganya. Nam un hingga satu bulan, mereka belum juga memperoleh pekerjaan, hingga persediaan uang hampir habis. Akhirnya teman-teman Herman berniat untuk pulang kampung. Nam un Herman merasa belum waktunya untuk pulang ke kampung, maka ia tidak turut pul ang berserta teman-temannya. Sambil berdiam diri dan merenung, di stasiun Bandung, Herman memutar ota knya untuk mencari pekerjaan, paling tidak untuk memperoleh makanan sebagai peny ambung hidup. Secara iseng, kemudian ia naik kereta api KRD, hingga sampai di st asiun Rancaekek. Di stasiun Rancaekek, ia duduk di bangku tempat menunggu penump ang. Herman bingung, ia harus bagaimana dan pergi ke mana? Hingga larut malam ia masih duduk disitu, sementara perut lapar dan udara malam yang semakin dingin s emakin menambah laparnya perut. Sekitar pukul 01.00 tengah malam, ia dihampiri S ATPAM stasiun. Jang, keur naon ngahuleng bae didinya, geura balik ieu the geus tengah peuting! Sambil terperanjat, Herman menjawab: aduh pa, abdi the bingun g, teu boga jugjugeun!. Pada akhirnya, Herman di ajak Tholib, Satpam stasiun R ancaekek (masih diingat Herman ketika diwawancarai) untuk tidur di tempat ia ber jaga. Pagi-pagi sekali, sekitar pukul 04.00 Herman sudah dibangunkan Pa Tholib.

Jang geura hudang, jig kadituh geura neangan rejeki, jadi tukang odeng (pemulun g) ge teu nanaon, daripada jadi nu baramaen!. Herman menyadari ucapan pa Tholi b. Iya, benar juga, jadi tukang odeng (pemulung) tidak masalah, daripada tidak m akan, pikir Herman. Akhirnya, ia bertekad untuk menjadi pemulung, setelah Pa Tho lib memberinya sebuah karung plastik bekas, dan diberi uang lima ribu rupiah, un tuk makan hari ini katanya. Akhirnya, mulai hari itu, Herman mencoba mengais rejeki dengan menjadi p emulung. Ia mengambil barang-barang bekas, dari tempat-tempat sampah yang ada di depan rumah penduduk di perumahan Rancaekek. Setelah sore, karung plastiknya su dah penuh dengan barang-barang bekas. Kemudian ia datang ke penampungan (tempat penjualan hasil pulungan). Barang-barang yang ia bawa kemudian dipilah. Ada kelo mpok plastik, kertas, dan logam. Selanjutnya ditimbang dan di bayar. Ia memperol eh lima ribu rupiah. Setelah menjual hasil kerjanya, kemudian Herman bertemu den gan Idit, seorang pemulung yang berumur sekitar 20 tahunan, yang juga akan menju al hasil pekerjaan. Maka ia berkenalan. Kemudian Herman diajak Idit untuk mengin ap di tempat tinggalnya, sebuah kamar sangat sederhana, ukuran 4x4 yang dindingn ya dari gedhek, yang berlokasi di kampung Buah Dua. Akhirnya Herman menumpang dikontrakan Idit. Mereka dapat bekerjasama den gan baik. Pagi-pagi sekali mereka pergi bersama ke perumahan-perumahan. Sorenya sama-sama menjual hasil pekerjaannya ke penampung. Menurut Herman, ia bersama-sa ma dengan Idit hingga 9 bulan, hingga datang maut menjemput Idit, dimana Idit te rserempet kereta api. Akhirnya Herman hidup sendiri di kontrakannya Idit. Selanj utnya kemudian ia tinggal di tempat tersebut sampai saat ini (saat wawancara dil akukan). Informan berikutnya penulis dapatkan di jalan raya Rancaekek. Nama infor man tersebut adalah Gatot. Ia menggunakan beca tua untuk mengangkut hasil pulung annya. Ia berkelompok dengan empat orang teman lainnya, yang juga sama-sama meng gunakan beca tua. Gatot bersedia diwawancarai setelah dengan susah payah penelit i membujuknya. Kemudian peneliti memberikan uang pengganti untuk waktu yang te rganggu. Adapun kisah Gatot menjadi pemulung secara ringkas dapat dikemukakan se bagai berikut: Nama lengkapnya Gatot Aroyo, berasal dari Cilacap Jawa Tengah. Di tempat asalnya, Gatot adalah ABK (Anak Buah Kapal), yang pekerjaan sehari-harin ya melaut dan menangkap ikan. Sebagai ABK, tentu saja penghasilannya sangat keci l. Bahkan upahnya habis dipotong oleh pengepul, karena utangnya yang cukup besar . Upah melaut selama seminggu tidak tentu, tergantung hasil tangkapan. Rata-rata sekitar Rp. 75.000,- padahal untuk hidup sehari-hari dengan istri dan seorang a nak, diperlukan biaya yang lebih dari 75 ribu seminggu. Untuk sehari-hari, istri Gatot bekerja sebagai penjemur ikan, pada juragan yang memiliki perusahaan peng eringan ikan. Anaknya, Ismiyati, baru berumur 4 tahun, sedang nakal-nakalnya dan senang bicara. Suatu hari, sehabis melaut, ada kejadian yang membuat diri Gatot stres b erat. Istrinya, sedang selingkuh dengan orang lain, dirumahnya sendiri. Gatot be rteriak histeris. Tentu saja dengan teriakannya itu, ia dihampiri oleh para teta ngganya. Dan istri serta selingkuhannya pun terkejut pula. Maka yang terjadi sel anjutnya adalah istri Gatot dan pasangan selingkuhnya diarak keliling kampung sa mbil dicaci maki dan dilempari macam-macam benda: kerikil, makanan sisa, hingga telur busuk. Setelah bercerai dengan istrinya, Pinten, kemudian Gatot menitipkan anak nya kepada orang tuanya. Ia merasa enggak enak tinggal di daerahnya. Bersama den gan Sugeng-tetangganya yang sudah empat tahun mengembara di Bandung- ia kemudian pergi merantau ke Bandung. Ternyata, pekerjaan tetap Sugeng adalah pemulung, da n ia tinggal di Rancanilem Rancaekek. Setibanya di Rancaekek, Gatot serumah deng an Sugeng. Akhirnya, setelah ngobrol berbagai aspek yang berkaitan dengan pekerj aan pemulung, maka Gatot merasa tertarik untuk menjadi pemulung, dan mulai saat itulah ia menekuni pekerjaannya sebagai pemulung. Sugeng, temannya Gatot adalah informan peneliti berikutnya. Sugeng beras al satu kampung dengan Gatot, yakni di Cilacap. Sugeng mengembara ke Bandung dil atarbelakangi oleh kemiskinan dan hutang yang selalu melilit kehidupannya. Sebag ai nelayan kecil (gurem) dengan alat-alat penangkap ikan yang sangat sederhana, perahu kecil (mesin tempel), hasil tangkapan sehari-hari sangat sedikit, bahkan

seringkali tidak mendapatkan tangkapan karena melautnya tidak jauh. Akhirnya ia frustrasi. Hutang sudah menumpuk, sementara pendapatan seringkali nol. Untuk mem bayar utang-utangnya, perahu satu-satunya berikut mesin tempel ia jual ke juraga n kapal. Kemudian dengan tekad bulat, ia ingin merantau ke Bandung, kebetulan te tangganya, Marup, bekerja di Bandung. Singkat cerita, kemudian Sugeng berangkat ke Bandung, dengan bekal uang sisa bayar utang. Anak-istrinya ia tinggal. Ia tid ak begitu merasa khawatir, karena di kampungnya masih ada kedua orang tua serta mertuanya. Selain itu, istrinya pun dapat mencari uang dengan cara membantu nel ayan memilah-milah ikan. Di Bandung, pada hari pertama ia tiba, menumpang tidur di rumahnya Marup , di Kiara Condong. Esok harinya, kemudian Sugeng pamitan. Ia mencoba mencari pe kerjaan dengan melihat iklan di koran. Beberapa tempat ia datangi. Namun tidak d iterima. Hingga sore hari ia masih berjalan disekitar Kiaracondong untuk menuju beberapa tempat yang mencari tenaga kerja. Namun entah mengapa, ia ditolak beker ja. Akhirnya ketika hari telah malam, Sugeng menuju stasiun kereta api kiaracond ong, kemudian mencari warung nasi. Sambil bertanya kepada tukang nasi tentang pe kerjaan. Namun jawabanya sulit mas kalau cari kerjaan di rumahan atau toko atau pabrik mah, harus ada orang dalam atau uang pelicin. Waduh, repot juga pikir Sugeng. Setelah makan, kemudian ia menuju ke dalam stasiun, lihat-lihat sekelil ing. Kemudian ia duduk di bangku yang ada di depan tempat pembelian karcis. Akh irnya, ia tertidur. Begitu lelap, hingga terdengar adzan shubuh. Ketika bangun, kemudian ia melihat ke sekeliling, dan melihat ada kereta api yang akan berangka t. Secara instingtif, kemudian ia naik kereta tersebut (KRD) dan kereta pun sege ra berangkat menuju Cicalengka. Setibanya di Rancaekek, Sugeng kemudian ikut tur un dengan penumpang yang turun. Kemudian ia menghampiri tukang jualan kelontonga n, dan membeli setengah bungkus rokok. Sambil menyalakan rokoknya, Sugeng bertanya kepada penjual yang ia beli rokoknya, menanyakan tentang lowongan kerja. Tentu saja jawabannya tidak jauh be rbeda dengan apa yang dikemukakan tukang nasi di Kiaracondong. Kemudian ketika i a agak bingung, lewatlah seorang pemulung dengan membawa karung plastik di punda knya. Sugeng bertanya kepada orang tersebut Mas, boleh nanya sebentar? ya mas silahkan jawab si pemulung. Sampean sudah berapa lama kerja ginian? cukup la ma mas, ada empat tahunan! wah lama juga yah!, gimana penghasilannya? lumay an mas, ada untuk makan sehari-hari. Sugeng semakin penasaran, kemudian ia bert anya kembali gimana menjual hasil pulungannya susah ngak? nggak mas, kita su dah punya tempatnya!. Gini mas, aku nyari kerjaan, tapi sampai saat ini belum dapat juga, boleh ga aku ikut sampean nyoba kerjaan gini? Boleh aja mas ga ada yang melarang, yu, keburu siang, kehabisan rejeki. Mulai hari itulah Sugeng men jadi pemulung, dan ikut dengan Karim, teman setianya. Di depan ruko, di perumahan Bumi Rancaekek Kencana, terdapat sebuah gero bak dorong (keadaannya kumuh) yang sedang berhenti. Pemiliknya sedang di tempat pembuangan sampah, mengobrak-ngabrik sampah mencari sesuatu. Kemudian peneliti m enyapa orang tersebut, yang nampaknya terperanjat. Kang, kadieu heula sakedap! Pemulung itu, kemudian menghampiri peneliti, dengan wajah tanpa ekspresi. kie u kang, abdi the peryogi pangalaman akang jadi pamulung kanggo kapentingan sakol a, naha akang kersa diajak ngobrol?. Wajah si pemulung semakin memperlihatkan k ebingungannya, namun penulis berupaya untuk meyakinkan ia. Akhirnya, pemulung it u mau juga menuturkan pengalamannya, setelah peneliti mau mengganti kerugian wak tu kerjanya Rp. 50.000,Nama pemulung ini Ijun Dulgani, berasal dari Subang. Umur 34 tahun, tela h berkeluarga dengan 2 orang anak, tinggal di Rancanilem Rancaekek, dengan mengo ntrak rumah petak. Kontrakan tersebut berupa sebuah kamar berukuran kecil, yang dibayar tiap tahunnya 350.000 rupiah. Lama bekerja sebagai pemulung sekitar 10 tahun. Selama itu, ia tak pernah beralih ke pekerjaan lain, karena selain susah mencari pekerjaan lain, juga tidak memiliki keterampilan/keahlian tertentu. Sebelum jadi pemulung, ia adalah petani gurem. Ia mencangkul dan members ihkan kebun orang lain hingga waktu dzuhur (ngabedug) yang dibayar dengan murah. Ia bekerja sebagai petani gurem semenjak keluar dari SD, sekitar 14 tahun. Seti ap hari membantu orang tuanya membersihkan kebun dunungan orang tuanya. Hal itu ia lakukan hingga berusia 22 tahun. Merasa tidak ada kemajuan dalam hidupnya, ke

mudian Ijun pergi mengembara ke Bandung dengan teman sekampungnya Otang. Di Ba ndung, Ijun mendapat pekerjaan sebagai pesuruh di sebuah toko kelontongan milik seorang Cina. Ia bekerja dari pagi hingga menjelang magrib. Pekerjaannya mengang kat barang-barang kiriman dari truk ke gudang. Selain itu, jika tidak ada kirima n barang, pekerjaan yang lainnya adalah mengangkat barang yang dibeli konsumen k e mobilnya. Ijun hanya kuat bekerja 2 tahun. Ia kecapaian. Badannya terasa remuk redam. Namun upah yang diterima hanya cukup untuk makan saja. Akhirnya ia kelua r dari toko tersebut dan mencari pekerjaan lain. Ijun akhirnya menekuni pekerjaan pemulung, setelah ia berkenalan dengan Muin, seorang pemulung yang berasal dari Dangdeur, Rancaekek. Dari saat itu hing ga saat ini, ia bekerja sebagai pemulung. Ia menikah dengan Atik, adiknya Muin, dan dikarunia 2 orang anak. Informan berikutnya adalah Ucang. Pemulung ini penulis dapatkan ketika i a sedang bekerja di dalam kompleks perumahan Bumi Rancaekek Kencana Blok 5, RW 1 8. Roda dorongnya sedang nangkring di pinggir jalan, sementara pemiliknya tidak ada; ternyata ia sedang mengambil barang-barang bekas dari tempat sampah warga. Setelah peneliti tegur, kemudian ia mau diajak ngobrol. Tentu saja, peneliti h arus mengganti peluang bisnisnya. Ucang telah bekerja selama 3 tahun sebagai pemulung. Usianya kini 28 tah un, dan belum menikah. Tinggal di Kampung Walini, Rancaekek, beserta teman-tema n pemulung lainnya, dengan mengontrak rumah petak. Ia berasal dari Kuningan, dar i desa Darma. Ketika di Kuningan, Ucang telah bekerja pada sebuah perusahaan Meb el. Hampir 5 tahun ia bekerja di perusahaan itu. Hingga suatu hari musibah menim pa perusahaan itu, kebakaran! Apa boleh dikata, dengan sendirinya Ucang menjadi penganggur. Setelah kejadian itu, ia mencari pekerjaan kesana kemari di Kuningan . Namun, tak satupun perusahaan yang mau menerima dan memperkerjakannya. Akhirny a, ia berkeputusan untuk mengembara ke Bandung. Tentu saja tujuan utamanya adala h mencari pekerjaan. Setiba di Bandung, Ucang mencari alamat saudaranya. Namun ternyata telah pindah kontrakan, dan tidak ada yang tahu kemana pindahnya. Karena bekal uang p as-pasan, maka Ucang untuk malam itu, tidur di masjid yang ada di daerah Kebon K opi. Keesokan harinya, setelah shalat subuh, kemudian ia pergi menyusuri tempattempat yang ia anggap dapat menerimanya sebagai pegawai. Namun seharian itu, ta k satupun perusahaan yang mau menerimanya. Akhirnya, ketika malam tiba, ia masih berada di stasiun kereta api Bandung. Untuk melepas lelah dan penat, ia duduk d i tempat menunggu penumpang, hingga tertidur lelap. Ia terbangun saat tengah mal am, ketika satpam stasiun membangunkannya, dan menyuruhnya pergi. Kemudian ia be rjalan ke arah yang ditunjukkan satpam, dan ia masuk kedalam mushola stasiun, me neruskan tidurnya, hingga subuh. Setelah shalat shubuh, Ucang kemudian masuk kembali ke stasiun. Ia melih at jadwal kereta api, dan berniat akan pergi ke Cicalengka, karena di Cicalengka ada saudaranya. Setelah ada kereta KRD, kemudian ia naik, dan duduk. Setibanya di Cicalengka, kemudian ia bergegas dan berupaya mengingat-ingat kembali tempat tinggal saudaranya. Akhirnya setelah bertanya kesana kemari, tempat tinggal saud aranya itu dapat ditemukan. Suadaranya Ucang begitu terkejut ketika Ucang datang . Dengan rasa kangen yang sudah lama tidak bertemu, saudaranya itu merangkul Uca ng dengan tulus. Ternyata saudaranya Ucang tersebut, yang bernama Hanif, telah l ama tinggal di Cicalengka dan bekerja sebagai pemulung. Maka pertemuan tersebut membawa mereka berdua bercerita panjang lebar tentang pengalaman hidup yang tel ah dilaluinya. Mereka mengobrol, hingga larut malam. Ucang tidur di rumahnya Han if. Mendengar cerita Hanif tentang pekerjaan sebagai pemulung, Ucang merasa tertarik untuk mencobanya. Mulai hari itu, bersama-sama dengan Hanif, Ucang beke rja sebagai pemulung, hingga pindah rumah ke daerah Walini Rancaekek. Mereka sel alu berdua, bersama-sama. Melalui Ucang, peneliti berhasil menemui Hanif. Di rumahnya, di Walini, Hanif mau diwawancari. Wawancara dilakukan dari sore hari hingga pukul 10 malam. Secara singkat, inilah latar belakang kehidupan Hanif sebelum menjadi pemulung. Hanif berasal dari Cirebon. Usianya saat ini 29 tahun, belum menikah. Ia merupakan anak ke 3 dari empat bersaudara. Ayahnya seorang pesuruh di sebuah to

ko kelontong di Kota Cirebon. Ibunya menjadi pembantu rumah tangga ditempat yang sama dengan ayahnya. Hidup dan kehidupan sehari-hari sangat sederhana. Hanif be rsekolah hanya sampai kelas 2 SMP.