STRATEGI JEPANG DAN KOREA SELATAN ... -...
Transcript of STRATEGI JEPANG DAN KOREA SELATAN ... -...
ii
STRATEGI JEPANG DAN KOREA SELATAN DALAMMENYELESAIAKAN SENGKETA TERITORIAL PULAU TAKESHIMA /
DOKDO
Abstrak
Sengketa atas kepulauan yang terjadi di wilayah kelautan di Asia Timur tidakhanya pada perebutan oleh China dan Jepang, melainkan juga terjadi sengketa ataspulau tak berpenghuni yang diperebutkan oleh Jepang dan Korea Selatan yaituPulau Takeshima / Dokdo di Laut Jepang (Laut Timur). Sengketa atas pulau Dokdoyang terjadi sejak tahun 1905 belum terselesaikan hingga sekarang. Koreamengklaim bahwa secara geografis, hukum internasional, dan sudut pandangsejarah, Dokdo merupakan milik Korea. Sedangkan Jepang juga menyatakan pulautersebut milik Jepang. Ketegangan antara Korea dan Jepang semakin memanaspada tahun 2005 setelah Dewan Prefektur Shimane mengesahkan peraturan yangmenyatakan kepulauan itu merupakan bagian wilayah Shimane, pernyataan tersebutmemicu gelombang demonstrasi di Seoul. Pada bulan Agustus 2012, PresidentKorea Selatan saat itu, Lee Myung Bak, mengunjungi pulau – pulau terpencil yangdisengketakan. Hal ini memicu kemarahan Jepang disertai dengan menarik dutabesarnya dari Seoul. Langkah pemerintah Jepang terhadap Korea yaitu Jepangbersikukuh mengajukan sengketa pulau Takeshima/Dokdo ke mahkamahinternasional untuk penyelesaian sengketa. Namun, Korea menolak untukmenyelesaikan sengketa Pulau Takeshima/Dokdo ke mahkamah internasional.Dalam tulisan ini dibahas tentang alasan Korea Selatan bersikukuh menggunakanperundingan bilateral dan Jepang bersikukuh menyerahkan sengketa ke MahkamahInternasional dalam sengketa Pulau Dokdo/Takeshima.
Kata Kunci : Kepentingan atas Pulau Takeshima/Dokdo, PenyelesaianSengketa secara Bilateral, Penyelesaian Sengketa melalui MahkamahInternasional
iii
Dalam interaksi sesama manusia, konflik atau sengketa adalah hal yang
lumrah terjadi. Sengketa yang terjadi antara Jepang dan Korea Selatan yang
memperebutkan sebuah pulau yang dinamakan Takeshima oleh Jepang dan Dokdo
oleh Korea Selatan (Steven J. Barber, 2009, Dokdo – Takeshima Island : A Brief
Introduction to Korea’s Dokdo [Takeshima] Island) Pulau karang tersebut terletak
di arah timur pulau Ullung Korea Selatan dan di bagian tenggara pulau Oki Jepang
menjadi sengketa dan pengeklaiman atas kepemilikan yang diperebutkan oleh
Jepang dan Korea Selatan. Masing – masing negara mengeklaim pulau tersebut
berdasarkan geografi, histori, dan hukum internasional (Lee, Ran Key, 1998,
"Korea's Territorial Rights to Tokdo History and International Law." Korea
Observer XXIX-1).
Pulau Dokdo/Takeshima memiliki arti penting bagi Jepang dan Korea
Selatan. Ada sumber daya dasar laut Pulau Takshima/Dokdo yang kaya karena
memiliki nilai (value) yang besar karena wilayah perairan Laut Timur Jepang (Laut
Jepang) mengandung gas hydrates. Seperti yang telah kita ketahui, antara Jepang
dan Korea Selatan, keduanya kekurangan minyak dan sumber daya gas. Oleh
karena itu terdapat kepentingan untuk mengeksploitasi sumber daya gas yang
terdapat di wilayah yang telah menjadi sengketa antara Jepang dan Korea Selatan
sejak lama (http://www.petro-online.com/news/fuel-for-
thought/13/aberdeen_university/gas_exploration_off_dokdo/9409/ diakses pada tgl 13
April 2013).
Saat ini, terdapat peningkatan akan kebutuhan dan kepentingan atas gas hidrat
karena minyak semakin sedikit dan langka serta adanya peningkatan kebutuhan
iv
akan sumber – sumber energi bersih untuk perlindungan lingkungan, sehingga pada
tahun 2005, Korea Selatan meluncurkan dan mempublikasi Gas Hydrate R&D
Organization untuk pengembangan teknologi gas hidrat berkerjasama dengan
Amerika Serikat (HeeMin Kim, A New Approach to the Territorial Dispute
Involving a Former Colonizer-Colony Pair: The Case of the Dokdo-Takeshima
Dispute between Japan and Korea,2009,hal 13).
Pada tahun 2007, pemerintah Korea Selatan menemukan sebanyak 600 juta
ton gas hidrat (dapat digunakan selama 30 tahun). Kekayaan gas ini terletak pada
100 Km dari arah selatan Pulau Ullung yang terletak 130.3 Km dari pulau utama
Korea (Jukbyun) dan hal ini menjadi perdebatan kepemilikan atas kekayaan alam
ini oleh Korea Selatan atau Jepang atas pengeklaiman Pulau Dokdo/Takeshima
(Enegry Times, 19 September 2008).
Gambar : Peta Pulau Dokdo / Takeshima
Kekayaan alam yang dimiliki oleh Pulau Takeshima/Dokdo serta letaknya
yang berada diantara Jepang dan Korea Selatan, membuat pulau ini menjadi
perdebatan oleh Jepang dan Korea Selatan atas kepemilikan pulau
v
Takeshima/Dokdo yang mencakup penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam
ataupun sumber daya laut yang kaya yang ada didalamnya.
Pada tahun 1954 Korea Selatan mulai memfokuskan administrasi setelah
Amerika Serikat memberikan konfirmasi atas Perjanjian damai San Fransisco
tersebut bahwa Jepang tidak mengklaim atas pulau yang dipersengketakan tersebut.
Di tahun yang sama, Jepang mengajukan masalah sengketa pulau ini kepada
Mahkamah Internasional, namun Korea Selatan menolak dikarenakan Korea
Selatan beranggapan bahwa sebenarnya tidak ada sengketa wilayah atas Pulau
Dokdo, dengan demikian Korea Selatan melihat tidak perlunya upaya dan
perundingan diplomatik antara Korea Selatan sendiri dan Jepang. Pada tahun 1962,
sekali lagi Jepang mengajukan masalah sengketa Pulau ini kepada Mahkamah
Internasional, namun Korea Selatan juga menolak dengan alasan yang sama seperti
pada pengajuan Jepang kepada Mahkamah internasional pada tahun 1954.
Persengketaan pulau Takeshima/Dokdo ini kembali memanas pada tahun
2005 yaitu saat Jepang mengesahkan suatu peraturan yang menyatakan bahwa
pulau Takeshima/Dokdo merupakan bagian dari perfektur Shimane oleh Dewan
Perfektur Shimane dan diperkuat oleh pemerintah Jepang dengan mempublikasikan
sebagai “Takeshima Day” atau Hari Takeshima dan hal ini menyulut kemarahan
rakyat Korea Selatan. Pada tanggal 24 April tahun 2006, Jepang berencana untuk
melakukan survei maritim di sekitar kepulauan Liancourt (Pulau
Takeshima/Dokdo). Korea Selatan mengancam akan menangkap penjaga pantai
Jepang jika Jepang terus berusaha untuk melakukan survei maritim dan Korea
Selatan juga akan mengirim 20 kapal meriam jika survei tersebut tetap
vi
diberlakukan. Berselang sehari, pada tanggal 25 April 2006, Presiden Korea Selatan
saat itu, Roh Moo-hyun, meminta Jepang untuk minta maaf atas kolonialisasi yang
dilakukan Jepang sebelumnya atas pulau – pulau dan Korea Selatan secara
keseluruhan (Nitin Philip, The General Assembly : Dokdo/ Takeshima Islands
Dispute (Japan – S. Korea),2013,hal 5)
Korea Selatan justru mendeklarasikan atas penggunakan “quiet diplomacy”
untuk mengahadapi provokasi Jepang dengan diplomasi dan menghasilkan
perundingan dalam negosiasi di akhir bulan April dan pertengahan bulan Juni 2006
saat kebijakan luar negeri Jepang yang semakin tegas terhadap kepulauan
Takeshima/Dokdo (David Kang & Ji-Young Lee,Japan-Korea Relations: More
Squabbling, Little Progress.E-Journal,2010,Hal.3). Pada bulan Juli 2006,
Pemerintahan Korea Selatan mengirim kapal penelitian untuk mengumpulkan data
di sekitar Pulau Takeshima/Dokdo. Hal ini menuai protes oleh rakyat Jepang yang
melakukan protes didepan kedutaan Korea Selatan dan meminta Korea Selatan
lebih mempertimbangkan lagi atas pengiriman marinir untuk menggantikan
kepolisian di pulau yang menjadi sengketa tersebut.
Di tahun 2008, Jepang mempertegas klaimnya dengan cara memasukkan
kepuluan Dokdo ke dalam buku kurikulum pendidikan sekolah menengah Jepang.
Hal ini menunjukan bahwa Jepang melakukan pengenalan untuk anak sekolah
menengah atas leagalitas Jepang terhadap Pulau Takeshima dan negara lain
termasuk Korea Selatan tidak berhak atas pulau Takeshima dan hal ini menuai
protes dari Korea Selatan (Jeffrey Hays,Tensions Over the Takeshima-Dokdo
Islands, 2013 dalam
vii
http://factsanddetails.com/japan.php?itemid=2922&catid=22&subcatid=149#552
diakses hari Senin, 11 Maret 2013).
Kemudian pada tahun 2012, Presiden Korea Selatan saat itu, Lee Myung Bak
melakukan kunjungan ke pulau tersebut dan menunjukkan bahwa presiden pertama
yang mengunjungi pulau tersebut. Pada tahun 2012, Jepang mengajukan masalah
sengketa Pulau Takehima/Dokdo ini ke Mahkamah Internasional, namun sekali lagi
ditolak oleh Korea Selatan. Pemerintahan Korea Selatan menyatakan bahwa
permasalahan Pulau Dokdo tidak akan diangkat menuju Mahkamah Internasional.
Korea Selatan lebih memfokuskan pada pengumpulan dokumentasi yang
menunjukkan bukti serta pengumpulan peta kepemilikan wilayah Korea Selatan
yang dapat dijadikan acuan untuk membuktikan bahwa Pulau Takeshima dan Pulau
Dokdo merupakan wilayah Korea Selatan.
Dalam tulisan ini, penulis hendak membahas alasan Jepang bersikukuh tetap
membawa sengketa teritorial ke Mahkamah Internasional dan Korea Selatan
bersikukuh menolak pengajuan penyelesaian sengketa ke Mahkamah Internasional
dan memilih dengan cara penyelesaian secara diplomatik.
Kepentingan Korea Selatan terhadap Pulau Dokdo / Takeshima
Kepentingan Korea Selatan yang melatarbelakangi pengeklaiman Pulau
Takeshima/Dokdo yaitu kepentingan atas sejarah dan national pride (HeeMin
Kim,A New Approach to the Territorial Dispute Involving a Former Colonizer-
Colony Pair: The Case of the Dokdo-Takeshima Dispute between Japan and
Korea,2009,hal.14).
viii
Bagi Korea Selatan, kepemilikan Takeshima/Dokdo merupakan suatu
pengakuan dari dunia internasional bahwa Korea Selatan merdeka dari Jepang, jika
Jepang masih bersikukuh tidak mengakui sejarah yang dimiliki oleh Korea Selatan,
hal ini berarti Jepang belum mengakui wilayah tersebut sepenuhnya milik Korea
Selatan dari Jepang dan berdampak pada kepentingan Korea Selatan untuk
pemanfaatan secara optimal wilayah Takeshima/Dokodo (Lim Tai Wei,Korea-
Japan Relations : The Dokdo (독도/獨島) Issue From The Korean
Perspective,2008, hal.7). Pemanfaatan tersebut dapat berpengaruh pada geopolitik
negara atas beberapa faktor sesuai dengan teori geopolitik negara yaitu populasi,
ekonomi, teknologi, kekuatan militer, dan karakter pemerintah. Serta pada dasarnya
setiap negara berupaya untuk mendapatkan kekuatan dan ruang. Dalam
pembahasan kali ini terdapat faktor – faktor yang dominan yang mempengaruhi
Korea Selatan berupaya untuk mendapatkan kekuatan dan ruang (Francis
P.Sempa,Geopolitics : from the Cold War to the 21st century, Transaction
Publisher, New Jersey,2002,hal.3).
Kepulauan Takeshima/Dokdo yang hanya memiliki luas secara keseluruhan
yaitu seluas 186.121 km² dan memiliki dua pulau utama terletak pada jarak kurang
lebih 89 km dari pantai Ullengdo memiliki potensi wisata yang sangat besar dan
setiap tahun arus wisata ke pulau tersebut selalu meningkat dan dalam hal ini
termasuk faktor atau nilai ekonomi. Nilai ekonomi yang terkandung salah satunya
yaitu nilai pangan budidaya perikanan. Kekayaan ikan – ikan laut yang melimpah
di wilayah Pulau Takeshima/Dokdo menjadikan wilayah pulau tersebut mempunyai
nilai pangan hasil laut yang sangat tinggi. Meskipun habitat di daratan Pulau
Takeshima/Dokdo tidak beragam dan bervariasi, namun dan di lautan wilayah
ix
tersebut arus dingin dari wilayah utara bumi dan arus panas dari wilayah selatan
bumi bertemu di daerah sekitar pulau Takeshima/Dokdo dan hal tersebut
menyebabkan jumlah plankton yang melimpah. Kemudian karena jumlah plankton
yang melimpah, akhirnya terdapat banyak ikan – ikan yang bermigrasi dan jumlah
ikan melimpah serta bervariasi. Hasil tangkapan ikan di perairan Takeshima/Dokdo
tercatat sekitar kurang lebih 20.000 ton ikan yang ditangkap secara rutin dan
dijadikan sebagai bahan makanan pokok oleh penduduk Korea Selatan di daerah
tersebut. Tumbuhan laut di wilayah ini berbeda dari laut utara Pulau Jeju, wilayah
perairan Takeshima/Dokdo memiliki karakteristik yang mirip dengan zona iklim
subtropis di belahan bumi utara. Kekayaan laut yang melimpah ini yang belakangan
ini dapat dijadikan sektor industri yang dimanfaatkan dan dijadikan sebagai
cadangan penghasilan negara lain (Kim Hoo-ran, Dokdo Open To Visitor, Korea
Now.16 April 2005).
Kepulauan tersebut juga masih memiliki potensi lainnya, yaitu mempunyai
peran yang sangat penting sebagai penghasil energi alternatif bagi Korea Selatan.
Dalam hal ini, penting untuk memahami energi alam yang terkandung dalam lautan
dalam di sekitar Pulau Takeshima/Dokdo dan menjadikan daerah ini menjadi sangat
berarti bagi Korea Selatan.
Wilayah perairan laut timur (laut Jepang) sangat mungkin mengandung gas
hidrat (Youngbae Ahn,The Secret of the Layer of Natural Gases in Korea’s East
Sea,Shin-Donga September,1998,hal.414). Gas hidrat pertama kali ditemukan pada
tahun 1930-an namun tidak mendapatkan banyak perhatian karena ketersediaan
minyak mentah dan gas alam yang masih banyak. Hingga saat ini, tidtak ada
satupun dari negara – negara yang diyakini memiliki teknologi untuk
x
mengembangkan gas hidrat secara komersial. Namun saat ini ada peningkatan
perhatian untuk gas hidrat karena minyak sudah semakin menipis dan ada
permintaan yang besar untuk sumber – sumber energi bersih untuk melindungi
lingkungan. Pemerintah Korea Selatan meluncurkan Organisasi Gas Hidrat R&D di
tahun 2005 untuk pengembangan teknologi gas hidrat yang bekerjasama denga
Amerika Serikat.
Penggunaan Negosiasi Bilateral (Diplomatik) Sebagai Penyelesaian Sengketa
Teritorial Pulau Takeshima/Dokdo
Dalam penyelesaian sengekta teritorial Pulau Takeshima/Dokdo, Korea
Selatan menggunakan jalur politik atau secara diplomatik dengan negosiasi bilateral
dengan Jepang. Korea Selata sudah tiga kali menolak pengajuan Jepang ke
Mahkamah Internasional untuk penyelesaian sengketa Pulau Takeshima/Dokdo.
Penolakan atas pengajuan sengketa Pulau Takeshima/Dokdo ke Mahkamah
Internasional terjadi pada tahun 1954, 1962, dan 2012. Pada tahun 1954, saat mulai
terjadi pengeklaiman wilayah antara Korea Selatan dan Jepang melalui dokumen
dan perjanjian damai San Fransisco dan Jepang mulai mengajukan sengketa ke
Mahkamah Internasional namun ditolak oleh Korea Selatan dengan alasan Korea
Selatan tidak mengakui adanya sengketa wilayah atas kepulauan Takeshima/Dokdo
karena pulau tersebut milik Korea Selatan sehingga tidak perlu adanya upaya dan
perundingan (Nitin Philip, 2013). Kemudian pada tahun 1962, Jepang mengajukan
kembali ke Mahkamah Internasional namun ditolak oleh Korea Selatan dengan
alasan yang sama seperti tahun 1954 dan kemudian tedapat perjanjian dasar
hubungan Jepang dan Korea Selatan. Pada tahun 2012, sekali lagi Jepang
xi
mengajukan masalah sengketa ke Mahkamah Internasional, namun tetap ditolak
oleh Korea Selatan.
Modalitas Korea Selatan dalam Pilihan Penggunaan Negosiasi Bilateral
Modalitas dan pengeklaiman Korea Selatan selanjutnya yaitu berdasarkan
Scapin No.677 pada tahun 1946. Dalam SCAPIN No.667, Pulau Takeshima/Dokdo
ditempatkan diluar kontrol administratif Jepang. Sebagai tambahan, pemerintah
Korea Selatan mengatakan Pulau Dokdo adalah salah satu dari pulau milik Korea
yang direbut oleh Jepang ketika masa penjajahannya (1910 – 1945) dan harus
dikembalikan oleh Jepang kepada Korea Selatan bersamaan dengan kemerdekaan
Korea dari Jepang setelah Perang Dunia II. Buktinya adalah Pulau Ullung dan
Pulau Cheju yang disebutkan bersamaan dengan Pulau Dokdo dalam SCAPIN
No.667 sudah kembali menjadi wilayah Korea Selatan saat ini disertai bukti – bukti
sejarah dan juga penduduk dan polisi Korea yang saat ini tinggal di Pulau Dokdo.
Modalitas selanjutnya yaitu SCAPIN No.1033 yang bersisi tentang larangan
untuk Jepang untuk mengeksploitasi sumber daya laut yang berdekatan dengan
kepulauan Liancout Rocks. Kemudian SCAPIN No.1778 menjelaskan lebih jauh
atas pengeklaiman pulau tersebut untuk digunakan oleh sekutu sebagai rentang bom
atau batas wilayah untuk pengeboman oleh the Far East Air Force.
Dalam hal legalitas, pemerintah Korea mengesahkan Undang - Undang
tentang pemanfaatan yang berkelanjutan untuk Pulau Dokdo pada Mei 2005. Pada
bulan Mei 2006, setelah menyelesaikan rencana dasar, pemerintah Korea telah
melaksanakan berbagai proyek dengan anggaran sebesar 34.3 milyar Won selama
lima tahun menjalankan perencanaan. Secara keseluruhan, Korea Selatan tidak
xii
melihat masalah Dokdo sebagai masalah hukum melainkan sebagai isu politik yang
sudah terjadi sejak puluhan tahun dari periode saat Jepang menduduki Korea.
Pemerintah Korea juga sedang mempelajari kelayakan pembangunan hotel,
peningkatan jumlah penduduk di Pulau Dokdo, dan memelihara bangunan
perumahan bagi para nelayan (Korea.net, Various measures to be taken to preclude
any dispute over Dokdo,diakses tgl 31 Mei 2013). Selanjutnya, pemerintah Korea
Selatan meluncurkan Organisasi Gas Hidrat R&D di tahun 2005 untuk
pengembangan teknologi gas hidrat yang bekerjasama denga Amerika Serikat
(HeeMin Kim,A New Approach to the Territorial Dispute Involving a Former
Colonizer-Colony Pair: The Case of the Dokdo-Takeshima Dispute between Japan
and Korea,2009,hal.14).
Penyelesaian sengketa secara diplomatik (negosiasi) diyakini oleh Korea
Selatan dengan membuat beberapa kesepakatan dengan Jepang sebagai harapan
untuk dapat menyelesaiakan sengketa. Terdapat beberapa kesepakatan –
kesepakatan dan upaya yang telah dilakukan oleh Korea Selatan untuk
mendapatkan kepentingannya atas Pulau Dokdo/Takeshima.
Kepentingan Jepang terhadap Pulau Dokdo / Takeshima
Jepang justru mempunyai latar belakang pengeklaiman karena national
humiliation atau penghinaan nasional yang dilakukan oleh Korea Selatan karena
melakukan pengeklaiman atas Pulau Takeshima/Dokdo (HeeMin Kim, 2009 : 14).
Bagi Jepang, Pulau Takeshima/Dokdo secara resmi tidak termasuk wilayah yang
harus dikembalikan ke Korea Selatan saat Jepang kalah dalam Perang Dunia II dan
tidak termasuk suatu perselisihan yang harus diselesaikan oleh hukum internasional
xiii
(Yamasaki Daku, Japan has taken steps over a long-time period in order to bring
the Takeshima issue to the International Court of Justice, and ultimately the
international community will judge this issue,Jung-ang Daily,14 Agustus 2008).
Jepang menganggap wilayah Takeshima/Dokdo merupakan terra nullius
(wilayah tak bertuan dan tidak dimiliki oleh negara manapun) dan didaftarkan oleh
Jepang ke dalam prefektur Shimane pada tanggal 22 Februari 1905 (Sean
Fern,Tokdo or Takeshima? The International Law of Territorial Acquisition in the
Japan-Korea Island Dispute, 2005,hal. 82). Jepang telah menetapkan Perda melalui
Prefektur Shimane bahwa tanggal 22 Februari ditetapkan sebagai Hari Takeshima.
Penetapan ini merupakan salah satu usaha untuk mendapatkan kekuasaan teritorial
atas Pulau Takeshima/Dokdo. Saat Jepang menyatakan wilayah Pulau
Takeshima/Dokdo merupakan terra nullius dan Jepang mulai mendaftakan wilayah
tersebut, Korea Selatan tidak protes. Terlebih lagi pada versi final Perjanjian Damai
San Fransisco, penghapusan wilayah Takeshima/Dokdo sebagai wilayah yang harus
diserahkan Jepang kembali kepada Korea Selatan, hal ini menjadikan Jepang
merasa memiliki pulau tersebut karena kedaulatannya atas pulau tersebut sudah
diakui internasional (I Ue,An Island Dispute with a Past, Yomiuri Shimbun 20
March 2005). Jepang memiliki kepentingan membawa kelegalan atas wilayah Pulau
Takeshima/Dokdo ke Mahkamah Internasional, dengan mengajukan proposal
Exchange of Notes constituting an agreement between the two countries concerning
the settlement of disputes. Namun sayangnya Korea Selatan menolak untuk
pengajuan proposal Jepang tersebut untuk bersama – sama menyelesaiakan
sengketa dan legalitas Pulau Takeshima/Dokdo.
xiv
Jepang lebih memanfaatkan nasionalitas penduduknya untuk mendukung
pernyataan klaimnya atas Pulau Takeshima. Jepang merasa memiliki Pulau
Takeshima atas wilayahnya berdasarkan dokumen – dokumen sejarah yang
membuktikan Jepang telah memiliki Pulau tersebut tanpa adanya protes dari pihak
Korea Selatan dan perjanjian damai San Fransisco yang tidak menyebutkan Pulau
Takeshima/Dokdo merupakan wilayah yang harus dikembalikan Jepang kepada
Korea Selatan atas kolonialisasinya terhadap Korea Selatan. Dari hal tersebut
Jepang mempunyai kepentingan untuk mengesahkan seutuhnya dan Jepang
menginginkan agar tidak terjadi pelanggaran oleh Korea Selatan.
Penggunaan Pengajuan Sengketa ke Mahkamah Internasional Sebagai
Penyelesaian Sengketa Teritorial Pulau Takeshima/Dokdo
Dalam Mahkamah Internasional, dari beberapa sengketa wilayah yang pernah
diselesaikan oleh Mahkamah Internasional, hakim yang mengadili sengketa
wilayah biasanya mendasarkan putusannya pada prinsip penemuan (discovery),
pendudukan dengan pengawasan efektif (effective control), pendudukan tanpa
protes (prescription), dan konektivitas geografis (contiguity) (Jon M. Van
Dyke,Legal Issue Related to Sovereignty over Dokdo and its Maritim Boundary,
Ocean Development & International Law,2007,hal.158).
Hakim biasanya akan mempertimbangkan dua jenis bukti yang diajukan
untuk memperkuat klaim, yaitu dokumen perjanjian dan pengawasan yang efektif.
Perjanjian akan menjadi sebuah bukti yang kuat untuk klaim atas suatu wilayah,
contohnya Perjanjian San Fransisco 1951 yang digunakan Jepang sebagai dasar
klaim atas Pulau Dokdo. Akan tetapi, sebuah perjanjian dapat dibatalkan,
xv
diperdebatkan, sehingga legalitasnya mudah untuk disanggah oleh pihak lain.
Sehingga, biasanya hakim akan lebih mempertimbangkan bukti yang menunjukkan
adanya pendudukan dengan pengawasan yang efektif (effective control) dalam
mengadili sengketa wilayah.
Dalam sengketa Pulau Takeshima/Dokdo, Jepang yang mengklaim bahwa
Pulau Dokdo dulunya adalah wilayah terra nullius yang kemudian diokupasi oleh
Jepang dan secara resmi memasukkan pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah
negaranya pada tahun 1905, mempunyai ada dua unsur pokok yang harus dipenuhi
dalam okupasi, yaitu penemuan (discovery) dan pengawasan yang efektif (effective
control). Dalam sengketa Pulau Dokdo, hakim Mahkamah Internasional juga
menggunakan prinsip pendudukan dengan pengawasan yang efektif sebagai dasar
keputusannya. Jepang dapat mengajukan klaimnya ke Mahkamah Internasional atas
Pulau Takeshima/Dokdo berdasarkan Pasal 2 Perjanjian San Fransisco 1951 yang
pada dasarnya merupakan bukti yang cukup kuat. Namun selama periode tahun
1951 hingga sekarang, Pemerintah Jepang tidak pernah melakukan kegiatan apapun
di Pulau Dokdo, hal ini merupakan kelemahan Jepang atas sengketa Pulau
Takeshima/Dokdo di Mahkamah Internasional.
Modalitas Jepang dalam Pilihan Penggunaan Pengajuan Sengketa ke
Mahkamah Internasional
Jepang mengeklaim bahwa kedaulatan atas kepulauan Takeshima/Dokdo bagi
Jepang tercatat sejak pada abad ketujuh belas. Pada awalnya Pulau
Takeshima/Dokdo dibawah kontrol orang Jepang, yaitu saat beberapa keluarga
nelayan memanfaatkan Pulau Takeshima/Dokdo untuk mendapatkan ikan dan
xvi
orang – orang Korea tidak pernah menggunakan daerah tersebut. Ada bukti sejarah
dan catatan bahwa pulau itu kadang-kadang dikunjungi oleh nelayan Jepang panen
abalone dan singa laut. Catatan kedaulatan tersebut menjadi bukti sejarah atas
kepemilikan Jepang atas Pulau takeshima/Dokdo yang pertama kali muncul pada
tahun 1650.
Selanjutnya Kementerian Luar Negeri Jepang menetapkan bahwa Pulau
Takeshima/Dokdo secara formal menjadi wilayah Jepang dan ditetapkan pada
tanggal 22 Februari 1905 dan menyatakan bahwa wilayah kepulauan tersebut
merupakan bagian dari Perfektur Shimane dan dibawah yurisdiksi Pulau Oki
(http://dokdo-research.com/page4.html diakses pada tanggal 2 Juni 2013).
Penetapan ini juga merupakan keputusan Kabinet Perfektur Shimane dalam upaya
untuk mengekang jumlah singa laut berburu berlangsung. Jepang menganggap
Pulau Takeshima/Dokdo ini sebagai wilayah terra nullius (wilayah yang tidak
bertuan). Jepang mengeklaim pendudukan Korea saat ini sebagai tindakan "ilegal".
Keputusan Kabinet Perfektur Shimane tersebut merupakan Keputusan
Pemberitahuan Nomor 40, yang berganti nama dari Liancourt Rocks sebagai
Takeshima dan menempatkan mereka di bawah kontrol administratif lokal
berwenang di Kepulauan Oki. Keputusan Prefektur itu didasarkan pada 28 Januari
1905 Keputusan DPR mengenai penggabungan wilayah Pulau Liancourt ke wilayah
Jepang, yang diklaim sebagai res nullius, tanah yang tandus dan tidak ada bukti
yang dalam kepemilikan negara lain. Pemerintah Jepang mengklaim bahwa
pemerintah Korea tidak menentang penggabungan pada waktu itu (Michael A.
Launius,The Politics of Competing Territorial Claims to Tokdo,Paper presented for
delivery at the 1st World Congress of Korean Studies, 18-20 July 2002).
xvii
Jepang juga mengklaim bahwa Pulau Takeshima/Dokdo merupakan bagian
dari wilayah negaranya berdasarkan Pasal 2 Perjanjian Damai San Francisco 1951
yang merupakan versi awal dan Perjanjian Damai San Fransisco tersebut berbunyi :
“Japan recognizing the independence of Korea, renounces all right, title andclaim to Korea, including the islands of Quelpart, Port Hamilton and Dagelet.”
(Jepang mengakui Kemerdekaan Korea, dan melepaskan semua hak,kepemilikan dan klaim atas Korea, termasuk Pulau Quelpart, Pelabuhan Hamiltondan Dagelet.)
Berdasarkan isi Pasal 2 tersebut, Jepang berpendapat bahwa Jepan hanya
mengakui kemerdekaan Korea, sedangkan kewajiban untuk mengembalikan Pulau
Takeshima/Dokdo tidak tercantum dalam Perjanjian Damai tersebut. Pengeklaiman
oleh jepang berlanjut berdasarkan versi final dari Perjanjian Damai San Fransisco.
Penghapusan wilayah Takeshima/Dokdo sebagai wilayah yang harus diserahkan
Jepang kembali kepada Korea Selatan dalam versi final perjanjian Damai San
Fransisco tersebut menjadikan Jepang merasa memiliki pulau tersebut karena
kedaulatannya atas pulau tersebut sudah diakui internasional (I Ue, 2005)
Kesimpulan
Sengketa Pulau Takeshima/Dokdo yang diperebutkan oleh Jepang dan Korea
Selatan masih belum berakhir sampai sekarang. Sengketa Pulau Dokdo/Takeshima
dimulai sejak tahun 1954 yang berawal dari Perjanjian Damai San Fransisco.
Dalam perjanjian damai San Fransisco, Pulau Takeshima/Dokdo tidak tercantum
dalam pulau yang harus dikembalikan Jepang atas Korea Selatan meskipun Korea
Selatan telah merdeka pada tahun 1945 atas penjajahan Jepang. Meskipun Korea
Selatan sudah menjadi negara yang merdeka, namun masih terdapat satu pulau yang
xviii
masih belum jelas statusnya apakah termasuk dalam wilayah Jepang atau wilayah
Korea Selatan yang harus dikembalikan oleh Jepang karena Perjanjian Damai San
Fransisco. Berbagai klaim – klaim yang dilakukan oleh Korea Selatan dan Jepang
dalam memperebutkan Pulau Takeshima/Dokdo serta berbagai upaya yang
dilakukan untuk menyelesaiakan sengketa tersebut namun sampai saat ini sengketa
pulau tersebut belum dapat terselesaikan.
Jepang telah melakukan berbagai upaya dalam menyelesaikan sengketa Pulau
Takeshima/Dokdo yaitu dengan mengajukan ke Mahkamah Internasional pada
tahun 1954, 1962, dan tahun 2012. Namun Korea Selatan menolak atas proposal
Jepang yang mengajak Korea Selatan juga mengajukan penyelesaian sengketa ke
Mahkamah Internasional meskipun beberapa kali Jepang mengajukan sengketa
tersebut. Korea Selatan lebih memilih menggunakan cara diplomatik (negosiasi
bilateral) untuk menyelesaiakan sengketa wilayah Pulau Takeshima/Dokdo dengan
Jepang. Dalam penelitian ini membahas tentang alasan kedua negara tersebut
bersikukuh memilih cara masing – masing dalam penyelesaian sengketa, yaitu
dengan mengajukan ke Mahkamah Internasional oleh Jepang dan secara diplomatik
atau negosiasi bilateral oleh korea Selatan.
Penelitian ini terlebih dahulu berusaha menjawab dan menjelaskan mengenai
faktor – faktor yang menjadi kepentingan kedua negara atas Pulau
Takeshima/Dokdo yang akhirnya membuat kedua negara memperebutkan wilayah
tersebut dan bersengketa sampai saat ini. Permasalahan tersebut dianalisis dengan
menggunakan teori geopolitik. Analisis dilakukan secara terpisah berdasarkan
potensi geopolitik dari sudut pandang masing – masing negara. Potensi geopolitik
ini kemudian menjadi dorongan bagi kedua negara untuk memperebutkan wilayah
xix
Pulau Takeshima/Dokdo sesuai dan demi kepentingan masing – masing negara.
Hipotesis pada Bab I menyatakan bahwa dalam menyelesaikan sengketa Pulau
Dokdo/Takeshima, Korea Selatan memilih menyelesaiakan sengketa secara
diplomatik dengan negosiasi dan Jepang memilih dengan mengajukan sengketa ke
Mahkamah internasional. Selanjutnya penelitian ini berusaha menjawab dan
menjelaskan mengapa Korea Selatan menggunakan cara diplomatik (negosiasi
bilateral) sedangkan Jepang memilih mengajukan sengketa ke Mahkamah
Internasional. Analisis dilakukan secara terpisah dengan menggunakan teori
penyelesaian sengketa internasional secara diplomatik (non-yurisdiksi) untuk Korea
Selatan dan teori penyelesaian sengketa internasional secara hukum (yurisdiksi).
Hipotesis pada Bab I menyatakan bahwa Korea Selatan memilih menyelesaiakan
sengketa secara diplomatik (negosiasi bilateral) karena Korea Selatan
berkepentingan terhadap pemanfaatan sumber daya alam yang terkandung disekitar
pulau tersebut yaitu pemanfaatan gas hidrat, serta penyelesaian secara politis
(diplomatik) merupakan cara yang lebih menguntungkan bagi Korea Selatan.
Sedangkan Jepang memilih menyelesaiakan sengketa melalui mengajukan sengketa
ke Mahkamah Internasional dalam menyelesaikan sengketa karena pangakuan
kedaulatan terhadap sengketa Pulau Takeshima/Dokdo berimplikasi terhadap
yurisdiksi Jepang untuk memanfaatkan Pulau Takeshima/Dokdo sesuai dengan
hukum internasional yang berlaku.
Berdasarkan analisis yang dilakukan dalam bab sebelumnya, hipotesis yang
diajukan penulis terbukti dan didukung data – data. Wilayah kepulauan
Takeshima/Dokdo memiliki potensi geopolitik sumber daya alam yang melimpah.
Kepulauan Takeshima/Dokdo memiliki banyak potensi alam dan sumber daya alam
xx
mulai dari potensi pariwisata, hasil kekayaan ikan yang melimpah, sampai hasil
sumber daya alam untuk energi alternatif yaitu gas hidrat yang melimpah dan
diperkirakan dapat menjadi konsumsi energi selama 30 tahun. Berdasarkan analisis
yang dilakukan dalam bab II, hipotesis yang diajukan penulis terbukti dan didukung
oleh data. Korea Selatan memiliki kepentingan atas potensi geopolitik Pulau
Takeshima/Dokdo dan memiliki modalitas – modalitas yang mendukung dan
berpengaruh terhadap pilihan Korea Selatan menyelesaikan masalah secara
diplomatik (negosiasi bilateral). Pengeklaiman Korea Selatan atas Pulau
takeshima/Dokdo didasarkan pada kepentingan, sejarah, dan national pride. Pulau
Dokdo bagi Korea Selatan merupakan suatu pengakuan kemerdekaan oleh dunia
internasional secara seutuhnya dan bukan hanya pulau utama Korea Selatan yang
dikembalikan oleh Jepang. Selanjutnya Korea Selatan memiliki kepentingan
pariwisata, perikanan, dan yang paling menonjol yaitu dalam hal pemanfaatan
sumber daya alam yang berupa gas hidrat. Korea Selatan meluncurkan organisasi
gas hidrat R&D di tahun 2005 untuk pengembangan teknologi gas hidrat dengan
Amerika Serikat. Melalui penyelesaian sengketa secara diplomatik atau negosiasi,
Korea Selatan berharap dapat tetap memanfaatkan dan mengembangkan teknologi
gas hidrat secara optimal, hal ini dapat dikarenakan Korea Selatan merupakan
negara pemakai minyak terbesar keempat sehingga Korea Selatan harus mencari
sumber energi alternatif agar tidak sangat bergantung pada impor dan dapat
memenuhi kebutuhan energi mereka sebagai penanggulangan krisis energi.
Sebenarnya Korea Selatan juga berpeluang di Mahkamah Internasional, namun
Korea Selatan terlihat tidak ingin mengambil resiko atas pilihan ke Mahkamah
Internasional yang jika pada akhirnya akan kehilangan kesempatan untuk
xxi
pengembangan teknologi gas hidrat dan kehilangan upaya – upaya yang telah
dilakukan dalam pemanfaatan dan pemeliharaan di Pulau Takeshima/Dokdo.
Dengan negosiasi Korea Selatan juga berharap agar mendapatkan kesepakatan yang
menguntungkan dan tetap berpedoman bahwa Pulau Dokdo merupakan bagian dari
wilayahnya sejak dulu.
Berdasarkan analisis yang dilakukan pada bab III, hipotesis yang diajukan
penulis terbukti dan didukung oleh data. Jepang memilih mengajukan sengketa
Pulau Takeshima/Dokdo ke Mahkamah Internasional dengan harapan Jepang
mendapatkan kekuasaan teritorial atas Pulau Takeshima/Dokdo karena bagi Jepang,
Korea Selatan telah melakukan national humiliation atau penghinaan nasional
karena telah melakukan pengeklaiman dan pemanfaatan sumber daya alam di
wilayah Pulau Takeshima/Dokdo dan bagi Jepang hal tersebut merupakan suatu
pelanggaran atas yurisdiksi kedaulatan Jepang. Jepang memandang Pulau
Takeshima/Dokdo bukan merupakan wilayah yang harus dikembalikan oleh Jepang
karena berdasarkan atas Perjanjian damai San Fransisco meskipun terdapat
deklarasi Cairo yang menyatakan bahwa pulau tersebut harus dikembalikan kepada
Korea Selatan, namun Jepang hanya mengakui Perjanjian Damai San Fransisco.
Melalui Mahkamah internasional, Jepang berharap agar wilayah Pulau
Takeshima/Dokdo secara sah ditetapkan sebagai bagian dari kedaulatan Jepang
karena dalam Mahkamah Internasional, keputusan hakim yang mengadili
mendasarkan putusannya pada prinsip penemuan (discovery), pendudukan dengan
pengawasan efektif (effective control), pendudukan tanpa protes (prescription), dan
konektivitas geografis (contiguity). Dari putusan hakim tersebut Jepang mengakui
kepulauan tersebut merupakan terra nullius sehingga diokupasi oleh Jepang serta
xxii
kemudian secara resmi masuk kedalam wilayah Jepang pada tahun 1905, dan hal
ini masuk dalam prinsip penemuan (discovery) dan pengawasan efektif (effective
control) berdasarkan okupasi yang telah dilakukan Jepang. Perjanjian damai San
Fransisco yang tidak menyebutkan bahwa Pulau Takeshima/Dokdo harus
dikembalikan kepada Korea Selatan merupakan bukti yang cukup kuat. Namun
Jepang memiliki kelemahan karena tidak melakukan kegiatan apapun di Pulau
Takeshima/Dokdo. Kemudian Jepang juga dapat menyertakan penemuannya bahwa
Pulau Takeshima/Dokdo tidak dikutip Korea Selatan dalam dinasti Chosesn sebagai
Dokdo, serta Jepang juga dapat mengajukan pelanggaran yang dilakukan atas
kunjungan Presiden Korea Selatan yang mengunjungi Pulau Takeshima pada tahun
2012. Jepang percaya dengan mengajukan sengketa ke Mahkamah Internasional
akan dapat menyelesaikan sengketa antara Jepang dan Korea Selatan dan mencakup
yurisdiksi dan kedaulatan Jepang atas Pulau Takeshima.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adolf, Huala, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta : Sinar Grafika,2005)
Barber, Steven J, Dokdo – Takeshima Island : A Brief Introduction to Korea’sDokdo [Takeshima] Island, 2009
Buana, Mirza Satria, Hukum Internasional Teori dan Praktek (Bandung :Nusamedia, 2007)
Boermauna, Hukum Internasional : Pengertian Peranan dan Fungsi dalam EraDinamika Global (Bandung : Penerbit Alumni, 2003)
xxiii
O’Shea, Paul, Playing the Sovereignty Game:Understanding Japan's TerritorialDisputes (South Yorkshire : School of East Asian Studies, University ofSheffield, 2012)
Phartiana, I Wayan, Pengantar Hukum Internasional (Bandung : Penerbit MandarMaju, 2003)
Roy, S.L, Diplomasi (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995)
Sempa, Francis P, Geopolitics:from the Cold War to the 21st century (New Jersey:Transaction Publishers, 2002)
Starke, J.G, Pengantar Hukum Internasional (Edisi kesepuluh, 2000)
Walliman, Nicholas, Your Research Project: A Step-by-Step Guide for the First-Time Researcher. 2001.
Wei, Lim Tai, Korea-Japan Relations : The Dokdo (독도/獨島) Issue From TheKorean Perspective, 2008
Yoon, Yang Seung & Nur Aini Setiawati, Sejarah Korea Sejak awal abad hinggamasa kotemporer, 2003.
Jurnal
Arjanto Dwi, Berebut Si Sunyi (Koran Tempo, 21 April 2006)
Ahn, Youngbae, The Secret of the Layer of Natural Gases in Korea’s East Sea,Shin-Donga September, 1998.
Collins, Randall, Conflict and Critical Theory,http://www.sagepub.com/upmdata/13296_Chapter_7_Web_Byte_Randall_Collins.pdf. (diakses pada tangal 4 April 2013)
Daku Yamasaki, Japan has taken steps over a long-time period in order to bringthe Takeshima issue to the International Court of Justice, and ultimatelythe international community will judge this issue, (Jung-ang Daily, 14Agustus 2008)
Dyke, Jon M. Van, Legal Issue Related to Sovereignty over Dokdo and its MaritimBoundary, Ocean Development & International Law, 2007
Emmers, Rafl, Japan-Korea Relations and the Tokdo/Takeshima Dispute : theInterplay of Nationalism and Natural resources, 2010
Fern, Sean, Tokdo or Takeshima? The International Law of Territorial Acquisitionin the Japan-Korea Island Dispute, 2005
Hays, Jeffrey, Tensions Over the Takeshima-Dokdo Islands,2013 dalamhttp://factsanddetails.com/japan.php?itemid=2922&catid=22&subcatid=149#552 (diakses hari Senin, 11 Maret 2013)
Hoo-ran, Kim, Dokdo Open To Visitor (Korea Now, 16 April 2005)
xxiv
IFAIR, The Dokdo/Takeshima Dispute – Power, Institutions, and Identities in EastAsia’s ‘other’ territorial conflict, N.p., 2012.http://ifair.wordpress.com/2012/11/24/the-dokdotakeshima-dispute-power-institutions-and-identities-in-east-asias-other-territorial-conflict/ (diakses hariSenin, 11 Maret 2013)
Kim, HeeMin, A New Approach to the Territorial Dispute Involving a FormerColonizer-Colony Pair: The Case of the Dokdo-Takeshima Disputebetween Japan and Korea, 2009.
Koo, Min Gyo, Liberal Peace and the Scramble for the Rocks: TheDokdo/Takeshima, Senkaku/Diaoyu, and Paracel and Spratly IslandsDisputes, 2005.
Launius, Michael A, The Politics of Competing Territorial Claims to Tokdo,Paperpresented for delivery at the 1st World Congress of Korean Studies, 18-20July 2002.
Le Billion, Phillippe, The Geopolitics of Resource Wars: Resources Dependence,Governance and Violence (London : Frank Cass, 2005)
Lee, Ran Key, Korea's Territorial Rights to Tokdo History and International Law.(Korea Observer XXIX-1, 1998)
Lee, David Kang & Ji-Young, Japan-Korea Relations: More Squabbling, LittleProgress.E-Journal, 2010.
MFA Japan, 2004.
Philip, Nitin, The General Assembly : Dokdo/ Takeshima Islands Dispute (Japan –S. Korea), 2013
Ue, I, An Island Dipute with a Past,Yomiuri Shimbun, 2005.
Kuliah Umum
Juwana, Hikmahanto, Hukum Internasional Sebagai Instrumen Politik : BeberapaPengalaman Indonesia Sebagai Studi kasus, (dalam pidato Dies Nataliske-39 Universitas Pancasila, 2009)
Website :
Dokdo – Takeshima Island : A Brief Introduction to Korea’s Dokdo [Takeshima]Island, 2009. [online] dalam
http://www.dokdo-takeshima.com/ (diakses tgl 31 Mei 2013)
Dokdo of Korea [online] dalam
www.dokdo.go.kr/Board.do?command=detail&langType=KR&oMenuCode=MENU_CODE200811091&oBIdx=7114&start=0&mode=&oSea(diakses tgl 30 Mei 2013)
xxv
Efendi, Ahmad Sahrul, 2011.Sengketa Internasional [online] dalamhttp://www.docstoc.com/docs/102076305/SENGKETA-INTERNASIONAL (diakses tanggal 30 April 2013)
Kementerian Luar Negeri Jepang (MOFA), Takehsima Issue [online] dalamhttp://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/takeshima/position.html (diaksestgl 1 Juni 2013)
Park Changgwon, 2005. Simulation Tokdo [online] dalam
Cyber Dokdo: www.cybertokdo.com and www.dokdo.go.kr (diaksestanggal 28 Mei 2013)
Petro Industry News, 2010. Gas exploration off Dokdo [online] dalam
http://www.petro-online.com/news/fuel-for-thought/13/aberdeen_university/gas_exploration_off_dokdo/9409/(diakses pada tanggal 13 April 2013)
Penyelesaian Sengketa Internasional secara Diplomatik [online] dalamhttp://www.scribd.com/doc/47345274/ian-Sengketa-Internasional-Secara-Diplomatik (diakses tanggal 30 April 2013)
The Territorial Dispute Over Dokdo [online] dalam
http://dokdo-research.com/page4.html (diakses pada tanggal 2 Juni 2013)
Various measures to be taken to preclude any dispute over Dokdo, 2008. [online]dalam http://www.korea.net/ (diakses tgl 31 Mei 2013)