Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

38
Strategi - desain pencegahan dan pemberantasan Korupsi Indonesia Seminar Pemberantasan Korupsi Andy Wijaya (04) NPM 134060018259 DIV Akuntansi 8B-BPKP Soal 1 - UAS

description

Strategi dan Desain Pencegahan serta Pemberantasan Korupsi Indonesia

Transcript of Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

Page 1: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

Strategi - desain pencegahan dan pemberantasan Korupsi Indonesia Seminar Pemberantasan Korupsi

Andy Wijaya (04) NPM 134060018259 DIV Akuntansi 8B-BPKP

Soal 1 - UAS

Page 2: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

BAB I

UMUM

A. Pendahuluan

Kata “Korupsi” bukanlah hal yang asing bagi telinga masyarakat publik. terutama

semakin maraknya media massa baik lokal maupun nasional yang membahas berbagai

kasus terkait dengan penyalahgunaan jabatan dan wewenang pada sektor

pemerintahan. Banyak ahli yang telah merumuskan pemecahan permasalahan korupsi,

ada yang pro ada juga yang kontra. Akan tetapi, apapun bentuk dan jenis dari korupsi

dapat menghancurkan sendi-sendi persatuan bangsa.

Berdasarkan Independent Fortnightly Report on Asian Business and Politics yang di-

published oleh Political & Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) pada tahun 2011,

Lingkungan Koruptif dibagi 3 (tiga) yaitu Political, Institutional dan Private Sector

Corruption. Yang perlu kita cermati bersama bahwa Negara Kesatuan Republik

Indonesia tercinta ini selalu berada pada tingkatan 2 (dua) besar negara di Asia

terkorup di tiap-tiap lingkungan tersebut. Hal ini tentu tidak mengejutkan jika melihat

“juara” 3 (tiga) besar negara terkorup di Asia merupakan Negara dengan penghasilan-

pegawai-negeri-sipil terendah dan perekonomian yang buruk, namun hal ini masih lebih

baik (walaupun tidak ada yang baik dalam hal korupsi) dari tahun-tahun sebelumnya,

Indonesia diberi predikat negara terkorup pada tahun 2005 berdasarkan hasil survey

yang dilakukan oleh lembaga yang sama.

Walaupun Indonesia juara dalam prestasi korupsinya, tindakan represif atas perilaku

korupsi sangat sulit untuk dilakukan, dikarenakan sangat sulitnya pembuktian-

pembuktian secara pasti atas perilaku-perilaku kolusi yang berujung korupsi dan sangat

sulit mengaitkannya dengan dasar-dasar hukum yang berlaku di negeri ini.

Jika dilihat dalam kehidupan sehari-hari korupsi hampir terjadi di setiap tingkatan dan

aspek kehidupan masyarakat. Mulai dari pengurusan perijinan, proyek pengadaan

barang dan jasa pemerintah sampai pada proses penegakan hukum di negeri ini.

Lambat laun tanpa disadari, perilaku koruptif mulai dianggap wajar dan dapat dimaklumi

oleh masyarakat awam, seperti pemberian hadiah/bingkisan kepada pejabat/pegawai

negeri sebagai imbalan dari percepatan jasa pelayanan birokrat dari defaultnya yang

relatif lambat, sehingga setiap orang atau badan menginginkan jalan pintas yang cepat

dengan memberikan imbalan-imbalan dengan cara memberikan uang pelicin (uang

sogok). Praktek ini akan berlangsung terus menerus sepanjang tidak adanya kontrol

dari pemerintah dan masyarakat. Kebiasaan tersebut semakin lama dianggap sebagai

budaya ketimuran yang lama-lama berakar dan menumbuhkan bibit-bibit korupsi yang

nyata.

Kebiasaan berperilaku koruptif oleh masyarakat, salah satunya disebabkan oleh masih

sangat kurangnya pemahaman terhadap definisi korupsi itu sendiri. Walaupun kata

“korupsi” sudah sangat populer dan tidak asing di masyarakat mulai dari rakyat di

pedesaan, perkotaan, mahasiswa, pegawai negeri, pegawai swasta, aparat penegak

hukum dan pejabat negara, namun jika ditanyakan kepada mereka apa itu korupsi?

Perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai korupsi? Hampir dapat dipastikan

hanya sebagian kecil saja yang dapat menjawab dengan benar tentang korupsi

sebagaimana dijelaskan dan termaktub dalam perundang-undangan yang berlaku.

Page 3: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

Menjadi lebih paham terhadap definisi Korupsi, mengetahui cara pemberantasan dan

modus operandi dapat dijadikan sebagai suatu langkah dini untuk mencegah

seseorang/kolektif untuk tidak melakukan suatu tindakan korupsi.

B. Definisi

Korupsi dalam bahasa latin corruption dari kata keja corrumpere yang bermakna busuk,

rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah

perilaku pejabat publik, baik politikus, politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak

wajar dan tidak legal memperkaya diri atau mereka yang dekat dengannya, dengan

menyalahgunakan kekuasaan public yang dipercayakan kepada mereka

(Wikipedia.org).

Korupsi adalah mengambil secara tidak jujur perbendaharaan milik publik atau barang

yang diadakan dari pajak yang dibayarkan masyarakat untuk kepentingan memperkaya

dirinya sendiri. Korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi

suatu jabatan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan berupa status, kekayaan

atau uang untuk perorangan, keluarga dekat atau kelompok sendiri. Perspektif atau

pendekatan relatifisme kultural yang strukturalist, bisa saja mengatakan pemaksaan

untuk menyeragamkan berbagai pemerintahan lokal, menyebabkan budaya asli

setempat tidak berkembang, melemahkan keberadaannya untuk diganti dengan budaya

yang dominan milik penguasa adalah tindakan korupsi struktural terhadap persoalan

kultural.

Pendekatan atau perspektif orang awam dengan lugas mengatakan menggelapkan

uang kantor, menyalahgunakan wewenangnya untuk menerima suap, menikmati gaji

buta tanpa bekerja secara serius adalah tindakan korupsi (Rozi, “Menjinakkan Korupsi

di Indonesia”). Termasuk di sini adalah melaporkan penggunaan dana yang tidak sesuai

dengan keadaan sebenarnya. Apapun definisinya, korupsi selalu berkaitan dengan

penyalahgunaan tugas dan wewenang demi keuntungan pribadi. Dampak korupsi yang

sudah sangat akut, bisa menyebabkan kehancuran sebuah negara.

Banyak para ahli yang merumuskan definisi korupsi, yang jika dilihat dari struktrur

bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai

makna yang sama :

1. Soedjono D, mengemukakan bahwa menurut “New World Dictionary of The

American Language”, bahwa sejak abad pertengahan Inggris menggunakan kata

“corruption” dan Perancis “corruption”. Kata korupsi mengandung arti perbuatan

atau kenyataan yang menimbulkan keadaan yang bersifat buruk, perilaku yang

jahat yang tercela atau kebejatan moral, kebusukan atau tengik, sesuatu yang

dikorup, seperti yang diubah atau diganti secara tidak tepat dalam satu kalimat,

pengaruh-pengaruh yang korup.

2. J.E Sahetapy mengemukakan banyak istilah tentang korupsi di beberapa negara

seperti di Muangthai “ginmoung” yang berarti “makan bangsa”, “tanwu” istilah

bahasa Cina yang berarti “keserakahan bernoda”. Jepang menamakannya

“oshoku” yang berarti “kerja kotor”.

3. Menurut A.S. Hornby C.S, “corruption” adalah “the offering and accepting ”of

bribes”, (pemberian dan penerimaan hadiah berupa suap) di samping diartikan juga

“decay” yaitu kebusukan atau kerusakan. Yang dimaksudkan apa yang busuk atau

Page 4: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

rusak itu ialah moral atau akhlak oknum yang melakukan perbuatan korupsi, sebab

seseorang yang bermoral baik, tentu tidak akan melakukan korupsi.

4. Hermien Hadiati mengemukakan bahwa “korupsi” berasal dari kata “corrupteia”

yang dalam bahasa Inggris berarti “bribery” atau “seduction”, yang diartikan

“corrupter” atau “seducer”. Dari kata “bribery” tersebut kemudian dapat diartikan

sebagai memberikan/ menyerahkan kepada seorang agar orang tadi berbuat

untuk/guna keuntungan (dari) pemberi. Sedangkan yang diartikan dengan

“seduction” adalah sesuatu yang menarik untuk membuat seseorang menyeleweng.

5. Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang

menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi,

merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah

pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus

terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan

kekuatan kekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata)

untuk memperkaya diri sendiri.

6. Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan

melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan

mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan

kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan

hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi.

Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang

diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya

atau partainya/kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi

dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian,

jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat

yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan

masyarakat, pemisahan keuangan pribadi dengan masyarakat.

Page 5: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

BAB II

DATA DAN FAKTA

A. Berbagai Modus Operandi Korupsi di Indonesia

Sebagai suatu kejahatan luar biasa, korupsi memiliki banyak wajah, modus operandi

dan pelaku. Dalam sektor produksi, korupsi ada dari hulu sampai dengan hilir, dari

anak-anak sekolah sampai presiden, dari konglomerat sampai kyai. Kwik Kian Gie,

menyebut lebih dari Rp300 Trilyun dana dari penggelapan pajak, kebocoran APBN,

maupun penggelapan hasil sumber daya alam, menguap masuk para koruptor.

Korupsi yang biasanya diiringi dengan kolusi , membuat keputusan yang diambil oleh

pejabat negara menjadi tidak optimal. Heboh privatisasi sejumlah BUMN, lahirnya

perundang-undangan aneh semacam UU Energi, Juga RUU SDA, pengadaan alat

kesehatan dengan spesifikasi tertentu, pengadaan buku dengan kewajiban membeli

buku di penerbit khusus, impor gula dan beras dan sebagainya dituding banyak pihak

sebagai kebijakan yang sangat kolutif karena dibelakangnya ada motivasi korupsi.

Beberapa tahun lalu Bappenas mengendus adanya kebocoran pada utang luar negeri,

yang setiap tahunnya mencapai sekitar 20 persen dari total pinjaman yang diterima oleh

Pemerintah Indonesia. Bentuk korupsi terhadap uang negara tidak hanya terhadp utang

luar negeri, namun juga utang domestic dalam bentuk obligasi rekap bank-bank sebesar

Rp650 Trilyun. Skandal BLBI yang tak kunjung usai setidaknya memnunjukkan

terjadinya korupsi tingkat tinggi di kalangan pejabat keuangan, konglomerat serta

banker. Kasus yang masih hangat, skandal bank century, pun telah menyebabkan uang

lenyap, namun pelakunya tidak tertangkap.

Kasus korupsi di BNI dengan nilai 1,7 Trilyun rupiah yang ternyata kemudian diikuti

bank plat merah lainnya (yaitu BRI dan BTN), kasus jual beli quota haji di wilayah

kewenangan depag, dan kasus “tarif” untuk calon legislatif yang bernilai hingga ratusan

juta rupiah.

Tidak hanya itu, korupsi pun terjadi di daerah setingkat provinsi dan kota. Bansos tahun

2009 dari Pemerintah Jawa Barat kepada Kota Bogor dipastikan diselewengkan, hanya

sebesar 10 persen saja yang sampai ke masyarakat sedangkan sisanya tidak

disalurkan kepada yang seharusnya menerima yaitu seperti pengurus partai politik

yayasan, panitia pembangunan rumah ibadah dan lembaga pendidikan. Adapula kasus

korupsi kolektif yaitu di kota Padang – Sumatera Barat yang dilakukan oleh 43 orang

anggota DPRD yang merugikan keuangan negara sebesar 4,9 Miliyar Rupiah.

Pengadaan barang dan jasa Pemerintah juga merupakan bagian yang paling banyak

dijangkiti korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyakit ini sangat merugikan keuangan

negara, sekaligus dapat berakibat menurunnya kualitas pelayanan publik dan

Page 6: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

berkurangnya jumlah pelayanan yang seharusnya diberikan pemerintah kepada

masyarakat. Tidak heran kalau begawan ekonomi, Prof. Sumitro Djojohadikusumo,

mengidentifikasi adanya kebocoran 30 – 50 % pada dana pengadaan barang dan jasa

pemerintah.

Bentuk korupsi di pengadaan barang dan jasa pemerintah dapat berbentuk

persekongkolan pada sesama rekanan dalam pelelangan yaitu dengan menciptakan

persaingan semu di antara peserta lelang atau lebih dikenal dengan tender arisan,

dimana pemenangnya sudah ditentukan terlebih dahulu. Persekongkolan juga dapat

terjadi antara rekanan dengan panitia lelang yaitu dengan membuat rencana

pengadaan yang diarahkan untuk pelaku usaha tertentu dengan menentukan

persyaratan kualifikasi dan spesifikasi teknis yang mengarahkan ke suatu merk

sehingga menghambat rekanan lain untuk ikut pelelangan. Pada persekongkolan antara

rekanan dan panitia lelang, panitia bekerja secara tertutup dan tidak memberikan

perlakuan yang sama diantara para peserta lelang, pelelangan hanya dilaksanakan

untuk memenuhi persyaratan formal sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan

jasa. Hal ini terjadi karena calon pemenang biasanya telah ditunjuk terlebih dahulu pada

saat elang berlangsung yaitu karena adanya unsur suap kepada panitia atau pejabat

yang mempunyai pengaruh.

Di samping itu, penentuan dan penyusunan Harga Perkiran Sendiri (HPS) atau Owner’s

Estimate (OE) biasanya sudah direkayasa untuk mempunyai margin tertentu yang bisa

disisihkan untuk dibagi-bagi (laba abnormal). Bermacam-macam cara digunakan untuk

membatasi informasi tender, diantaranya dengan memasang iklan palsu di Koran,

padahal inilah yang merangsang terjadinya mark up dan korupsi.

Melihat beberapa modus korupsi di atas, maka korupsi dapat dibagi menjadi beberapa

jenis atau tifologi. Hal ini dipertegas Syed Husain Alatas (Professor di University of

Singapore) tifologi tersebut antara lain :

1) Korupsi Transaksi, jenis korupsi yang menunjuk adanya kesepakatan timbal balik

antara pihak pemberi dan pihak penerima yang kedua pihak memperoleh

keuntungan

2) Korupsi Perkerabatan, jenis korupsi yang menyangkut penyalahgunaan kekuasaan

dan kewenangan untuk berbagai keuntungan bagi sanak saudara serta krooni-

kroninya

3) Korupsi yang Memeras, biasanya korupsi yang dipaksakan kepada suatu pihak

yang disertai dengan ancaman dan terror.

4) Korupsi Insentif, korupsi yang dilakukan dengan cara memberikan suatu jasa atau

barang tertentu kepada pihak lain demi keuntungan di masa depan

5) Defensif, yaitu pihak yang dirugikan terpaksa ikut terlibat didalamnya atau membuat

pihak tertentu terjebak atau bahkan menjadi korban perbuatan korupsi

6) Korupsi Otogenik, korupsi yang dilakukan seseorang, tidak ada orang lain ataupun

pihak lain didalamnya

7) Korupsi Supportif, korupsi yang dilakukan dengan cara memberikan dukungan

B. Langkah – Langkah Pemberantasan Korupsi yang Telah Dilakukan oleh

Pemerintah Indonesia

Page 7: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

Penghentian laju permasalahan korupsi telah menjadi agenda utama pemerintah,

sehingga langkah-langkah dalam memberantas korupsi telah dilakukan sejak lama.

Indonesia menempuh strategi pemberantasan korupsi melalui 3 (tiga) pendekatan yaitu:

sistem; regulasi; dan institusional. Pendekatan tersebut didasarkan pada keterkaitan

antara elemen-elemen (pelaku) dalam pemberantasan korupsi yang ada di Indonesia.

Meskipun demikian, pemberantasan korupsi di Indonesia lebih mengedepankan pada

aspek penindakan (ex post facto) dibandingkan dengan pencegahan (ex ante). Strategi

Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut :

Berikut beberapa upaya-upaya pemerintah dalam memberangus korupsi dalam

beberapa dasawarsa terakhir :

1. Peraturan Perundang-Undangan Yang Pernah Digunakan Untuk Memberantas

Tindak Pidana Korupsi

a. Delik korupsi dalam KUHP.

KUHP yang diberlakukan di Indonesia sejak 1 Januari 1918 merupakan warisan

Belanda. Ia merupakan kodifikasi dan unifikasi yang berlaku bagi semua

golongan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi, diundangkan dalam

Staatblad 1915 Nomor 752 berdasarkan KB 15 Oktober 1915.

Delik korupsi yang ada di dalam KUHP meliputi delik jabatan dan delik yang ada

kaitannya dengan delik jabatan. Sesuai dengan sifat dan kedudukan KUHP,

delik korupsi yang diatur di dalamnya masih merupakan kejahatan biasa saja.

b. Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat Nomor PRT/

Peperpu/013/1950.

Peraturan yang secara khusus mengatur pemberantasan korupsi adalah

Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat Nomor

Prt/Peperpu/013/1950, yang kemudian diikuti dengan Peraturan Penguasa

Page 8: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

Militer tanggal 9 April 1957 Nomor PRT/PM/06/1957, tanggal 27 mei 1957

Nomor PRT/PM/03/1957, dan tanggal 1 Juli 1957 Nomor PRT/PM/011/1957.

Hal yang penting untuk diketahui dari peraturan-peraturan di atas adalah adanya

usaha untuk pertama kali memakai istilah korupsi sebagai istilah hukum dan

memberi batasan pengertian korupsi sebagai “perbuatan-perbuatan yang

merugikan keuangan dan perekonomian negara”. Yang menarik dari ketentuan

Peraturan Penguasa Perang Pusat adalah adanya pembagian korupsi ke dalam

2 perbuatan, yaitu sebagai berikut

Korupsi sebagau perbuatan pidana,

Korupsi sebagai perbuatan lainnya

c. Undang-Undang No.24 (PRP) tahun 1960 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Perubahan utama dari Peraturan Penguasa Perang Pusat ke dalam Undang-

undang ini adalah diubahnya istilah perbuatan menjadi tindak pidana. Namun

demikian undang-undang ini ternyata dianggap terlalu ringan dan

menguntungkan tertuduh mengingat pembuktiannya lebih sulit.

d. Undang-Undang No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Dalam periode 1970-an, Presiden membentuk apa yang dikenal sebagai Komisi

4 dengan maksud agar segala usaha memberantas korupsi dapat berjalan lebih

efektif dan efisien. Komisi 4 ini terdiri dari beberapa orang yaitu Wilopo, S.H., I.J.

Kasimo, Prof. Ir. Johannes, dan Anwar Tjokroaminoto.

Dalam penyusunannya, Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 ini relatif lancar

tidak mengalami masalah kecuali atas beberapa hal seperti adanya pemikiran

untuk memberlakukan asas pembuktian terblik dan keinginan untuk

memasukkan ketetentuan berlaku surut

e. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan

Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Melalui penyelenggaraan Sidang Umum Istimewa MPR, disusunlah TAP No.

XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,

Kolusi, dan Nepotisme. TAP MPR ini di dalamnya memuat banyak amanat untuk

membentuk perundang-undangan yang akan mengawal pembangunan orde

reformasi, termasuk amanat untuk menyelesaikan masalah hukum atas diri

mantan Presiden Soeharto beserta kroni-kroninya.

f. Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih

dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 mempunyai judul yang sama dengan

TAP MPR No. XI/MPR/1998 yaitu tentang Penyelenggara negara yang bersih

dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Lahirnya undang-undang ini

memperkenalkan suatu terminologi tindak pidana baru atau kriminalisasi atas

pengertian Kolusi dan Nepotisme.

Dalam perjalanannya, undang-undang ini tidak banyak digunakan. Beberapa

alasan tidak populernya undang-undang ini adalah terlalu luasnya ketentuan

tindak pidana yang diatur di dalamnya serta adanya kebutuhan untuk

Page 9: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

menggunakan ketentuan undang-undang yang lebih spesifik dan tegas, yaitu

undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai pemberantasan

korupsi.

g. Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Lahirnya undang-undang pemberantasan korupsi Nomor 31 tahun 1999 dilatar

belakangi oleh 2 alasan, yaitu pertama bahwa sesuai dengan bergulirnya orde

reformasi dianggap perlu meletakkan nilai-nilai baru atas upaya pemberantasan

korupsi, dan kedua undang-undang sebelumnya yaitu UU No. 3 tahun 1971

dianggap sudah terlalu lama dan tidak efektif lagi.

Harapan masyarakat bahwa undang-undang baru ini akan lebih tegas dan efektif

sangat besar, namun pembuat undang-undang membuat beberapa kesalahan

mendasar yang mengakibatkan perlunya dilakukan perubahan atas Undang-

undang Nomor 31 tahun 1999 ini. Adapun beberapa kelemahan undang-undang

ini antara lain:

Ditariknya pasal-pasal perbuatan tertentu dari KUHP sebagai tindak pidana

korupsi dengan cara menarik nomor pasal. Penarikan ini menimbulkan resiko

bahwa apabila KUHP diubah akan mengakibatkan tidak sinkronnya ketentuan

KUHP baru dengan ketentuan tindak pidana korupsi yang berasal dari KUHP

tersebut.

Adanya pengaturan mengenai alasan penjatuhan pidana mati berdasarkan

suatu keadaan tertentu

Tidak terdapatnya aturan peralihan yang tegas

h. Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang

No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 merupakan undang-undang yang lahir

semata untuk memperbaiki kelemahan dan kekurangan undang-undang

terdahulu. Sebagaimana telah disebutkan di atas, beberapa kelemahan tersebut

kemudian direvisi di dalam undang-undang baru.

i. Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

Lahirnya Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 merupakan amanat dari

Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang menghendaki dibentuknya suatu

komisi pemberantasan tindak pidana korupsi. Secara historis, tuntutan

dibentuknya KPK adalah sebagai bentuk ketidakpercayaan masyarakat atas

kinerja Kepolisian dan Kejaksaan dalam memberantas korupsi. Kedua institusi

itu terlanjur dianggap masyarakat sebagai tempat terjadinya korupsi baru, baik

dalam penanganan perkara-perkara korupsi maupun dalam penanganan

perkara-perkara lainnya.

KPK diharapkan menjadi trigger mechanism, yaitu pemicu (terutama) bagi

Kepolisian dan Kejaksaan dalam melakukan pemberantasan korupsi. Di antara

kewenangan luar biasa yang tidak dimiliki oleh Kepolisian dan Kejaksaan yang

dimiliki KPK adalah kewenangan melakukan penyadapan pembicaraan telepon.

KPK juga diberi kewenangan untuk menjadi supervisi bagi Kepolisian dan

Page 10: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

Kejaksaan, selain ia juga dapat mengambil alih perkara korupsi yang ditangani

Kepolisian dan Kejaksaan apabila penanganan suatu perkara oleh kedua

institutsi itu dianggap tidak memiliki perkembangan yang signifikan.

j. Undang-undang No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation

Convention Against Corruption (UNCAC) 2003.

Merajalelalanya korupsi ternyata tidak hanya di Indonesia, tetapi juga hampir di

seluruh belahan dunia. Hal ini terbukti dengan lahirnya United Nation Convention

Against Corruption atau UNCAC sebagai hasil dari Konferensi Merida di Meksiko

tahun 2003. Sebagai wujud keprihatinan dunia atas wabah korupsi, melalui

UNCAC disepakati untuk mengubah tatanan dunia dan mempererat kerjasama

pemberantasan korupsi. Beberapa hal baru yang diatur di dalam UNCAC antara

lain kerjasama hukum timbal balik (mutual legal assistance), pertukaran

narapidana (transfer of sentence person), korupsi di lingkungan swasta

(corruption in public sector), pengembalian aset hasil kejahatan (asset recovery),

dan lain-lainPeraturan Pemerintah No. 71 tahun 2000 tentang Peran serta

Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

k. Instruksi Presiden No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan

Korupsi.

Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2000 merupakan amanat

Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang mengatur adanya peran serta ma-

syarakat dalam pemberantasan korupsi.

PP No. 71 tahun 2000 dibentuk untuk mengatur lebih jauh tata cara pelaksanaan

peran serta masyarakat sehingga apa yang diatur di dalam undang-undang dan

peraturan pemerintah tersebut pada dasarnya memberikan hak kepada

masyarakat untuk mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang

dugaan korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat maupun pengaduan

kepada penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, advokat, atau kepada KPK). Di

samping itu PP ini juga memberikan semacam penghargaan kepada anggota

masyarakat yang telah berperan serta memberantas tindak pidana korupsi yaitu

dengan cara memberikan penghargaan dan semacam premi.

l. Instruksi Presiden No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan

Korupsi.

Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2004 lahir dilatarbelakangi oleh keinginan

untuk mempercepat pemberantasan korupsi, mengingat situasi pada saat

terbitnya Inpres pemberantasan korupsi mengalami hambatan dan semacam

upaya perlawanan/serangan balik dari koruptor.

Melalui Inpres ini Presiden merasa perlu memberi instruksi khusus untuk

membantu KPK dalam penyelenggaraan laporan, pendaftaran, pengumuman,

dan pemeriksaan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara).

Presiden mengeluarkan 12 instruksi khusus dalam rangka percepatan

pemberantasan korupsi. Adapun instruksi itu secara khusus pula ditujukan

kepada menteri-menteri tertentu, Jaksa Agung, Kapolri, termasuk para Gubernur

dan Bupati/Walikota, sesuai peran dan tanggungjawab masing-masing

Page 11: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

m. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang

Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi instrumen tambahan untuk memerangi

korupsi, mengingat besarnya kecendrungan dari pelaku korupsi untuk

melegalkan uang hasil korupsinya melalui money laundry.

2. Badan Anti-Korupsi dan Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai alat dalam

memberantas dan mencegah terjadinya korupsi

Menghentikan laju permasalahan korupsi telah menjadi agenda utama pemerintah,

sehingga langkah-langkah dalam memberantas korupsi telah dilakukan sejak lama.

UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah

titik acuan utama dan pertama dalam penanganan kasus korupsi. Meskipun

menyatakan hukuman yang jelas bagi pejabat negara yang melakukan korupsi,

namun peraturan ini tidak efektif dalam memberantas parahnya perilaku korupsi di

kala itu.

Setelah era Soeharto jatuh, muncul semangat baru untuk mengatasi masalah

korupsi yang telah kronis. Semangat tersebut tercermin dalam Ketetapan MPR

Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Meskipun peraturan tersebut merupakan produk

dari Orde Baru yang terbukti korup. Berdasarkan ketetapan tersebut, setidaknya

terdapat tiga peraturan perundang-undangan yang terbit yaitu UU Nomor 28 Tahun

1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme dan UU Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian lebih dipertegas dalam

UU Nomor 20 Tahun 2001 menggantikan UU Nomor 3 Tahun 1971 sebagai acuan

hukum utama dalam memberantas korupsi sampai dengan sekarang.

Selain dari aturan yang jelas dan tegas mengenai pemberantasan korupsi,

pemerintah juga telah membentuk suatu badan yang secara langsung/tidak

langsung berfungsi memberantas korupsi selain institusi penyidik (Kejaksaan dan

Kepolisian) yaitu sebagai berikut :

a) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

b) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

c) Badan Pemeriksa Keuangan – Republik Indonesia (BPK-RI)

d) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)

e) Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN)

f) Komisi Ombudsman Indonesia

g) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

Setelah jatuhnya era Orde Baru, terjadi peningkatan yang signifikan pada inisiatif

masyarakat untuk ikut serta memantau dan membantu dalam pemberantasan

korupsi. Dengan bekerja sama dengan Lembaga Donor Asing, masyarakat

membentuk suatu lembaga/organisasi independen yang secara teratur dan

berkesinambungan ikut mengkritisi pemerintah untuk penanganan permasalahan

korupsi, lembaga/organisasi independen tersebut adalah sebagai berikut :

a) Indonesian Corruption Watch (ICW)

b) Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)

c) Transparansi Internasional Indonesia,

d) Lembaga Swadaya Masyarakat lain, baik level Nasional dan Daerah

Page 12: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

C. Strategi Pemberantasan Korupsi di Beberapa Negara

1. Singapura

Singapura adalah negara di Semenanjung Malaka yang sejak dahulu dikenal dengan

pelabuhannya yang sibuk dan riuh. Persilangan dan pertemuan antara berbagai

manusia dalam usaha perdagangan menjadi pangkal masuknya pernyakit korupsi

dalam negeri kecil tersebut. Masuknya korupsi serta-merta membuat Singapura

berbenah dan melancarkan perang terhadap penyakit yang mulai berjangkit tersebut,

bahkan sejak Singapura masih di bawah persemakmuran Inggris. Itikad yang telah

dibagun sejak lama inilah yang menjadi dinding yang kuat terhadap serangan korupsi

hingga kini.

Langkah pemberantasan korupsi di Singapura berjalan di atas satu tujuan yang sama

yaitu membuat pemerintahan yang bersih. Sehingga perwujudannya terdiri dari upaya

yang bersifat preventif (mencegah) untuk membasmi bibit-bibit korupsi, represif

(penegahak) untuk menindak perilaku korupsi yang telah terjadi, dan upaya nasional

untuk mendukung kedua upaya tadi berjalan selaras sesuai dengan tujuan nasion

Singapura.

a. Upaya Represif

Setelah diundangkannya Prevention of Corruption Act dan berdirinya CPIB,

Singapura langsung mengambil tindakan represif melawan korupsi. CPIB diberi

kewenangan yang luas dalam menindak pelaku korupsi. Kewenangan CPIB kini

mencakup hal-hal seperti melakukan penahanan, penyidikan, penuntutan, hingga

penggeledahan.

Direktur atau penyidik CPIB dapat menahan tanpa surat perintah menangkap setiap

orang yang melakukan delik menurut Prevention of Corruption Act atau mereka

yang diadukan atau telah diterima informasi yang dapat dipercaya dengan dugaan

telah melakukan tindak pidana korupsi.

Dalam hal penyidikan, penyidik khusus atau direktur CPIB diberikan kuasa oleh

Penuntut Umum untuk melaksanakan penyidikan terhadap setiap delik berdasarkan

hukum tertulis. Artinya, penyidik CPIB dapat memeriksa semua delik termasuk delik

yang bukan delik korupsi melalui perintah Penuntut Umum. Selain itu penyidik CPIB

juga diperkenankan menyidik setiap jengkal kekayaan yang dimiliki oleh tersangka,

termasuk memasuki bank dan meminta salinan buku-buku dalam bank. Penyidik

CPIB juga diberikan kewenangan meminta data perihal tersangka kepada orang

atau badan di mana tersangka itu mempunyai hubungan di dalamnya.

Upaya penuntutan dalam kasus korupsi di Singapura disidangkan di pengadilan

biasa. Penuntut umum juga berperan penting dalam pemberian izin penggeledahan

dan pemberian kuasa pada penyidik CPIB.

Di dalam proses pemberantasan korupsi di Singapura. Ada hal-hal penting yang

diidentifikasi berdasarkan PCA, yaitu:

1) Pengembalian hasil korupsi kepada negara

2) Ketidaksesuaian antara kekayaan dengan pendapatan dapat dijadikan bukti di

pengadilan. Hal ini berarti bahwa di Singapura, azas pembuktian terbalik sudah

Page 13: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

dilakukan sejak lama.

3) Pernyataan di bawah sumpah atas kekayaan yang dimiliki seseorang

(khususnya pejabat publik), pasangan, maupun anak-anaknya.

4) CPIB dapat menyelidiki kasus korupsi di sektor publik maupun swasta. Di negara

industri dengan mayoritas usaha dagang dan sistem ekonomi yang liberal, maka

Pemerintah Singapura menangani penyuapan sesama swasta agar mekanisme

pasar tidak hancur.

b. Upaya Preventif

Pemerintah Singapura memperlakukan sikap anti korupsi sebagai pondasi

bangsanya. Mereka juga melaksanakan upaya pencegahan penjangkitan korupsi di

masyarakat dengan cara:

1) Analisis metode kerja

CPIB memiliki kewenangan untuk menganalisis cara kerja dan prosedur dari

lembaga-lembaga publik untuk mengidentifikasi kelemahan administrasi yang

ada di lembaga tersebut dan diidentifikasi dapat menjadi pintu masuk korupsi

dan mal praktek. Hasil temuan dan identifikasi ini kemudian dilaporkan kepala

lembaga badan yang bersangkutan sehingga sistem dapat diperbaiki dan

pencegahan korupsi dapat dilakukan.

2) Laporan Nirutang

Setiap pejabat publik dalam jangka waktu sekali dalam setahun wajib

mengumumkan bahwa dirinya tidak terlilit utang. Pejabat yang terlilit utang wajib

digantikan karena rawan terlibat korupsi

3) Laporan aset dan investasi

Setiap aparat publik harus memberikan laporan mengenai daftar kekayaan,

investasi, termasuk jumlah tanggungan yang dimilikinya baik saat insidental di

mana dia diangkat maupun periodik pada tiap tahun berikutnya setelah

menjabat. Apabila penambahan kekayaannya tidak wajar, maka hal tersebut

akan menjadi koreksi untuk dipertanggungjawabkan.

4) Larangan menerima hadiah

Pejabat publik tidak diperbolehkan untuk menerima pemberian dalam bentuk

apapun dari orang yang memiliki kepentingan terhadap pekerjaan pejabat

tersebut.

5) Pendidikan Anti Korupsi sejak dini

Salah satu program CPIB untuk menanamkan sikap anti korupsi adalah Learning

Journey Briefing bagi siswa-siswi sekolah menengah pertama di Singapura.

c. Dukungan Pemerintah dan Masyarakat

Sejak Lee Kwan Yew menjabat sebagai Perdana Menteri hingga sekarang, political

will Pemerintah Singapura untuk meyakinkan investor mengenai iklim perdagangan

yang bebas suap dan korupsi menjadi tajuk utama. CPIB sebagai lembaga

pemberantasan korupsi diberikan senjata yang kuat. Ini adalah bukti keseriusan

Singapura membumihanguskan korupsi dari teritorinya. Selain itu, kultur

masyarakat Singapura sudah didesain sesuai dengan kultur negara maju dengan

Page 14: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

mengutamakan persaingan sehat sesama warga negaranya. Mereka berada

sebaris dengan pemerintahnya dalam hal pemberantasan korupsi secara

berkesinambungan dan mendorong pemerintah untuk membangun negara yang

bersih dari segala macam bentuk penyelewengan uang negara dan berperan

secara proaktif mengamati dan melaporkan indikasi penyelewengan yang dilakukan

oleh para pejabat negara.

d. Hasil Pemberantasan Korupsi

Hasil penyelenggaraan pemberantasan korupsi secara integral dan

berkesinambungan membuat Singapura selalu menempati peringkat lima besar

dunia dalam Indeks Persepsi Korupsi yang dikeluarkan oleh Transparency

International selama 12 tahun terakhir. Selain itu, rakyat Singapura juga menikmati

hasil pemberantasan korupsi seperti PDB per kapita yang tinggi. Pemberantasan

korupsi yang berhasil sebanding dengan tingkat kemakmuran suatu negara.

Singapura menjadi pionir dalam menciptakan pemerintahan yang bersih sebagai

pangkal negara yang sejahtera.

Pemberantasan korupsi di Singapura tidak terbatas pada upaya represif saja.

Penindakan atas pelanggaran memang penting, namun pencegahan agar korupsi tidak

muncul juga tak kalah pentingnya. Singapura seakan mencegah korupsi untuk dapat

berkembang dengan memangkas jalur-jalur pertumbuhannya dari segala sisi. Tidak

hanya itu, iklim pemerintahan pun didesain untuk berperilaku bersih (clean government)

sehingga mencapai Indeks Persepsi Korupsi yang baik serta tercapainya kesejahteraan

masyarakat. Dengan langkah-langkah di atas, keberhasilan pemberantasan korupsi di

Singapura dapat dirumuskan sebagai hasil integrasi antara upaya represif, preventif,

dan dukungan dari pemerintah dan masyarakat.

2. Korea Selatan

Korea Selatan adalah sebuah negara berbentuk Republik yang dan memiliki sejarah

panjang ihwal kemerdekaannya. Korea Selatan dikenal sebagai salah satu negara

Macan Asia Timur yaitu negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi di

Asia. Hal ini diperoleh karena pesatnya kemajuan yang diperoleh negara tersebut

setelah selesainya Perang Korea, penjajahan Jepang atas Korea, dan Perang Dunia

Kedua. Setelah periode peperangan yang melelahkan, pembangunan bertahap secara

lima tahun dilanjutkan dengan industrialisasi yang cepat sehingga mampu dinikmati

penduduk Korea Selatan hingga sekarang.

Prakarsa pembangunan yang sudah dirintis sejak tahun 1960 dengan menitikberatkan

pada sumber daya manusia berupa angkatan kerja menjadikan Korea Selatan berada di

atap ekonomi dunia dengan menyandang predikat sebagai negara ekonomi terbesar ke-

13 di dunia. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto yang baik sejak dekade 60-an

membawa juga praktek korupsi di dalamnya.

Budaya Korea Selatan memberi peluang sangat besar bagi tumbuhnya korupsi. Di

negara ini dikenal istilah “chonji” atau memberikan sedikit uang sebagai tanda terima

kasih. Praktek korupsi secara masif menjadi sorotan di Korea Selatan setelah

ambruknya ekonomi pada tahun 1997 hingga 1998. Pembangunan kembali pondasi

ekonomi Korea Selatan dilandasi kepada tuntutan akan asas transparansi dari segenap

pejabat publik serta pelaku ekonomi. Tuntutan ini semakin berkembang dengan

Page 15: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

diadopsinya demokrasi model Amerika Serikat. Model keterpautan antara demokrasi

dan ekonomi yang berkembang ini mengakibatkan tuntutan agar Korea Selatan bisa

menutup jurang-jurang korupsi yang masih menganga demi pertumbuhan ekonomi yang

lebih baik. Indeks Persepsi Korupsi Korea Selatan yang berada di angka 56 (peringkat

45 dari 174 negara) dianggap masih belum mencerminkan ekspektasi dari rakyat Korea

Selatan itu sendiri.

a. SCAC, KICAC, dan ACRC

Sebelum Undang-Undang Anti Korupsi Pada tahun 1999, Komisi Khusus Anti-

Korupsi (SCAC) didirikan oleh Presiden Kim Dae-jung. SCAC ini hanya berperan

sebagai badan penasehat saja. Oleh karena itu, SCAC diklaim tidak efektif.

Setelah berlakunya UU Anti Korupsi, Korea Independent Commission Against

Corruption (KICAC) pun didirikan pada tanggal 25 Januari 2002. KICAC mempunyai

tujuh fungsi yaitu:

Mengkoordinasikan Inisiatif Anti korupsi ditingkat Nasional.

Meningkatkan Peraturan dan Kerangka Institusional.

Menerima dan Menangani Pengaduan kasus Korupsi.

Melindungi dan Memberikan Penghargaan Kepada Saksi Pelapor

Meningkatkan Kesadaran Masyarakat dalam Isu-Isu Korupsi

Meningkatkan Kerjasama dengan Pihak-pihak lain di Masyarakat

Bergabung dengan Dunia Internasional Dalam Memerangi Korupsieperti

berhubungan dengan UN, TI, ADB, OECD, dan APEC.

Selain fungsi tersebut, KICAC juga memiliki wewenang:

Melakukan Inspeksi dan Menemukan Pelanggaran. Dari setiap laporan yang

diterima KICAC, bagian inspeksi bertugas untuk mengolah laporan dengan cara

mengolah keterangan dari saksi pelapor. Jika keterangan yang diberikan

dirasakan kurang, maka KICAC dapat melakukan inspeksi kepada pihak yang

dianggap telah melakukan korupsi dan jika ditemukan adanya pelanggaran maka

kasus tersebut akan dilimpahkan kepada bagian hukum yang bertugas melakukan

penyelidikan lebih lanjut.

Melakukan Penyelidikan KICAC mengkaji kasus yang dilaporkan oleh saksi

pelapor kurang lebih 30 hari dan merujuk kasus tersebut jika perlu kepada badan

investigasi seperti Dewan Audit dan Pemeriksaan, Jaksa penuntut umum dan

institusi yang memiliki wewenang sejenis

KICAC mengimplementasi dan membuat kebijakan anti korupsi KICAC memonitor

dan mengevaluasi para institusi pemerintah terkait implementasi kebijakan anti

korupsi. KICAC berwenang mengurangi kebijakan yang tidak sesuai dengan

kepentingan kelembagaan sehingga dalam jabatan pemerintahan menjadi lebih

transparan.

Hal yang perlu digarisbawahi adalah KICAC hanya memiliki wewenang hingga

investigasi kasus korupsi. Penuntutan bukan menjadi wewenang dari KICAC.

Umur KICAC berakhir ketika dibubarkan oleh Presiden Lee Myung-Bak ntuk dilebur

menjadi bagian Anti-Corruption and Civil Rights Commission (ACRC), yang

diresmikan pada tanggal 29 Februari 2008. Peleburan ini tidak hanya melibatkan

Page 16: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

KICAC, tapi juga melibatkan Ombudsman of Korea and the Administrative Appeals

Commission.

ACRC dibentuk dengan orientasi membentuk layanan publik yang lebih nyaman dan

efisien kepada masyarakat dengan didasari kepada sikap masyarakat Korea Selatan

yang memandang bahwa transparansi pelayanan publik di Korea Selatan cukup

buruk. Dalam tugasnya, ACRC merombak kerangka hukum dan kelembagaan yang

telah ada dan dianggap tidak sesuai.

Untuk menghadapi tugas-tugas administratif, sekretariat ACRC dibagi menjadi tiga

biro yaitu Ombudsman, Anti-Korupsi dan Banding Administratif. ACRC mempunyai

fungsi untuk :

Menangani dan mengatasi keluhan masyarakat dan meningkatkan sistem yang

baik

Membangun masyarakat yang bersih dengan mencegah dan memberantas

korupsi di sektor publik

Melindungi hak-hak masyarakat dari praktik administrasi ilegal dan tidak adil

melalui sistem banding administratif.

Peleburan KICAC ke dalam ACRC, berdampak kepada terbaginya peran untuk

menaklukkan korupsi di Korea Selatan. Menurut para pengamat, hal ini menjadi

salah satu bentuk pelemahan terhadap fungsi-fungsi yang telah ada di dalam KICAC

sebelumnya.

Presiden Lee Myung-Bak mengungkapkan bahwa peleburan KICAC dilakukan

karena menimbulkan ketidakharmonisan di antara para pejabat dan pengusaha.

Pasca peleburan KICAC ke dalam ACRC, korupsi di Korea Selatan merebak hingga

melibatkan keluarga dari Presiden Lee Myung-Bak

b. Kontrol Bidang Sosial di era modern

Pada awalnya masyarakat Korea Selatan tidak mempercayai para penegak hukum

dalam memberantas korupsi di Negaranya karena ada anggapan bahwa para

koruptor banyak berkonspirasi dengan penegak hukum sehingga para koruptor

sering bebas atau terlepas dari hukuman yang di berikan.

Melalui anggapan tersebut, Rakyat Korea Selatan berkomitmen untuk menghakimi

dan menghukum orang – orang yang di nilai telah mencuri uang negara tersebut.

Bentuk hukuman ini bukanlah hukuman fisik atau hukum sesuai peraturan. Hukunan

yang ditujukan kepada mereka sebagai tersangka korupsi adalah dengan hukuman

sosial. Para koruptor ini diasingkan dan dikucilkan dalam kelompok

masyarakat. Mereka menganggap para koruptor adalah penyakit menular yang

sangat berbahaya yang mematikan sehingga setiap para koruptor ingin

berkomunikasi dengan masyarakat dan ingin bersosialisasi dengan masyarakat,

masyarakat berlarian meninggalkan koruptor tersebut yang ingin berbicara kepada

mereka. Pengucilan ini dilakukan pula pada keluarganya. Hukuman sosial ini cukup

efektif untuk membentuk persepsi buruk pada korupsi

Peran utama masyarakat sipil dalam membentuk persepsi anti korupsi juga

dituangkan lewat lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memperjuangkan

Page 17: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

pengawasan kepada pelaksanaan pemerintahan yang transparan dan akuntabel.

Tujuannya yakni membuat pemerintahan yang lebih terbuka, transparan dan

partisipatif, menciptakan suatu lingkungan di mana penipuan dan korupsi tidak dapat

berkembang.

Pemberantasan Korupsi di Korea Selatan melalui tiga fase utama. Fase pertama adalah

sebelum tahun 1998 yang merupakan tahun krisis ekonomi. Pemberantasan Korupsi

dilakukan terpisah dan kurang terarah. Fase kedua adalah medio 1998 hingga 2001

yaitu melalui Komisi Khusus Anti Korupsi (SCAC). Fase ketiga adalah setelah

pengesahan Undang-Undang Anti Korupsi di tahun 2002. Pemberantasan Korupsi

dilakukan oleh lembaga KICAC yang kemudian dilebur menjadi ACRC.

Kontrol sosial di masyarakat juga berperan penting dalam menguatkan mental anti

korupsi yaitu dengan perilaku mengucilkan pelaku korupsi beserta keluarganya. Peran

masyarakat sebagai watchdog juga kian berkembang melalui Lembaga Swadaya

Masyarakat yang ikut membantu mengkritisi kebijakan pemerintah hingga pemerintahan

menjadi terbuka dan akuntabel.

3. China

Membahas pemberantasan korupsi di RRC, ingatan kita tentu melayang ke ungkapan

“Beri saya 100 peti mati, sembilan puluh sembilan akan saya gunakan untuk mengubur

para koruptor, dan satu untuk saya kalau saya melakukan tindakan korupsi." Kutipan

terkenal tersebut diucapkan oleh Zhu Rongji, Perdana Menteri RRC masa 1998-2003

sebagai pernyataan perang terhadap korupsi.

Di tengah pertumbuhan ekonomi China yang tinggi dalam dekade terakhir, korupsi

merupakan tantangan politik dan ekonomi terbesar yang dihadapi oleh RRC. Sebagian

kasus korupsi juga melibatkan kader Partai Komunis China. Meski banyak pelaku

korupsi dihukum mati, upaya RRC dalam menekan korupsi masih mengalami pasang-

surut, terutama terkait komitmen pimpinan puncak dalam memerangi korupsi.

Terdapat dua lembaga penting yang berperan dalam pemberantasan korupsi di China,

yaitu di partai dan di pemerintahan. Central Commission for Discipline Inspection

(CCDI) merupakan badan pemeriksaan disiplin dalam Partai Komunis China yang

bertugas.

Pemerintah RRC mendirikan Biro Pencegahan Korupsi Nasional (NBCP/National

Bureau for Corruption Prevention) pada September 2007. NBCP berada di bawah state

council yang bertanggungjawab dalam pencegahan korupsi di RRC. Biro ini sekarang

berada di bawah Kementerian Pengawasan.

Dalam biro ini terdapat dua deputi direktur, satu sebagai Vice Minister of Supervision

(wakil kepala NBCP) dan lagi Vice Minister Level Oversees yang mengerjakan

pekerjaan rutin di biro yang bertugas untuk memonitor jalur aset yang mencurigakan

serta aktivitas yang dicurigai merupakan hasil korupsi.

NBCP memiliki tugas antara lain:

Bertanggung jawab terhadap perencanaan, formulasi, harmonisasi dan pengujian

kebijakan serta supervisi dari pemberlakuan anti korupsi di China

Page 18: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

Koordinasi dan pengarahan untuk pencegahan korupsi di bidang swasta, sektor

publik, kelompok sosial, dan organisasi sosial lainnya

Bertanggung jawab untuk kerjasama internasional dalam hal pencegahan korupsi

Staf NBCP akan mengumpulkan dan menganalisis informasi dari sejumlah sektor

termasuk di antaranya dari perbankan, penggunaan lahan, pengobatan, dan

telekomunikasi. sehingga mampu memonitor alur keuangan masuk dan keluar para

pejabat dan mendeteksi perilaku pihak-pihak yang dicurigai. Biro ini nantinya akan

melaporkan langsung temuannya kepada dewan negara atau kabinet RRC. Meski

demikian, NBCP tidak akan terlibat dan tidak memiliki wewenang dalam penyelidikan

kasus perseorangan.

Negara China dalam banyak hal memiliki kesamaan dengan Indonesia. Jumlah

penduduk yang besar dan aneka ragam budaya mewarnai kedua negara. Negeri tirai

bambu ini sangat layak dijadikan sebagai perbandingan dan referensi dalam menyusun

kebijakan pemberantasan korupsi di Indonesia.

4. Jepang

Jepang adalah sebuah negara di Asia Timur yang memiliki sejarah sangat kuat sejak

abad ke 7 Sebelum Masehi. Sejarah yang kuat tersebut melahirkan sebuah negara

yang kini menjadi salah satu pemimpin dalam perekonomian dunia. Jepang adalah

negara dengan Produk Domestik Bruto terbesar kelima di dunia dan ketiga di Asia (CIA

World Factbook). Selain itu, Jepang terkenal sebagai negara dengan teknologi maju

dan negara dengan usia harapan hidup tertinggi di dunia menurut PBB. Pertumbuhan

ekonomi di Jepang sempat memasuki masa keemasan dari tahun 1960-an hingga

1980-an yang sering disebut "keajaiban ekonomi Jepang", yakni rata-rata 10% pada

tahun 1960-an, 5% pada tahun 1970-an, dan 4% pada tahun 1980-an.

Di balik suksesnya Jepang meraih segala prestasi ekonominya, terdapat prahara di

mana korupsi sering mengganggu proses pemerintahan. Sejak awal abad ke-20,

Jepang sudah didera oleh berbagai macam kasus korupsi yang melibatkan elit politik di

lingkungan pemerintahannya. Walaupun begitu, Jepang tidak menerapkan Undang-

Undang khusus anti korupsi. Hal ini berarti status korupsi adalah kriminal biasa yang

pelanggarannya diatur dalam Undang-Undang Hukum Pidana. Faktor apa sajakah yang

membuat pemberantasan korupsi tetap berjalan dengan cukup baik di Jepang sehingga

tidak terlalu mempengaruhi jalannya pemerintahan dalam mewujudkan kestabilan

ekonomi di Jepang sebagai negara maju.

Bentuk korupsi yang umum di Jepang adalah penggunaan jabatan untuk keuntungan

pribadi. Jika ditinjau dari hubungan birokrat dengan swasta, maka ada dua jenis praktek

korupsi yang berkembang di Jepang. Pertama, bernama Economic Corruption yaitu

suap yang dilakukan dengan biming-iming berupa uang atau hadiah oleh pihak swasta.

Kedua adalah Politic Corruption yaitu iming-iming berupa janji untuk terpilih kembali

dalam pemilihan umum.

a. The Sagawa Kyûbin Scandal 1991-1993

Sagawa Kyûbin adalah perusahaan jasa pemaketan. Mereka "mendonasikan"

sejumlah uang untuk politisi LDP yang bertanggung jawab di bidang transportasi

serta politisi berpengaruh lainnya. Sebagai perusahaan yang tengah berkembang

Page 19: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

pesat, Sagawa Kyûbin memiliki keinginan untuk memperoleh lisensi layanan

pemaketan nasional. Sebuah catatan khusus dalam skandal ini adalah fakta bahwa

uang tidak hanya telah dibayarkan kepada para politisi, tetapi juga untuk salah satu

sindikat kejahatan yang terorganisir ("Yakuza"). Fakta bahwa Kanemaru Shin, Wakil

Sekretaris Jenderal LDP, telah aktif mencari kontak ketika terlibat dalam kampanye

pemilihan Takeshita Noboru merusak kepercayaan pada LDP.

b. Skandal Penggelapan Pajak, 1993 (Kanemaru Shin)

Skandal yang terjadi di Jepang umumnya berkutat pada permasalahan pembiayaan

aktivitas politik, namun terdapat juga skandal yang agak berbeda yakni terkait

dengan modus memperkaya diri sendiri. Skandal pengelapan pajak ini ternyata

cukup besar. Ketika dilakukan penilaian, jumlah pajak yang digelapkan berkisar

hingga 3,6 Milyar Yen.

c. The Genecon Corruption Scandal 1993

Genecon merupakan akronim dari General Construcition. Skandal ini berhubungan

dengan aksi penyuapan dari perusahaan-perusahaan besar di sektor konstruksi.

Berdasarkan temuan itu, Walikota Sendai ditangkap pada tahun 1993. Skandal ini

melebar dan ikut menyeret para gubernur Prefektur Ibaraki dan Miyagi. Pada

Oktober 1997, Nakamura Kishiro, mantan Menteri Konstruksi, dihukum karena

korupsi.

d. The Sôkaiya Scandals 1997

Skandal ini adalah skandal yang terjadi di sektor swasta. Skandal ini melibatkan

empat perusahaan pialang besar (Nomura shoken, Yamaichi shoken, Nikko shoken

dan Daiwa shoken) dan Daiichi Kangyo Bank. Mereka terlibat tuduhan atas

pembayaran uang kepada orang-orang yang memeras manajemen sehubungan

dengan rapat umum pemegang saham.

e. Skandal dari 1996-1998 dalam Elit Birokrasi

Dalam paruh kedua medio tahun sembilan puluhan terungkap sejumlah skandal yang

terjadi di mana melibatkan birokrat dengan level eselon yang tinggi. Kasus pejabat

tinggi di Kementrian Kesehatan dan Kesejahteraan menerima suap dan gratifikasi

oleh perusahaan yang bergerak di bidang pembangunan panti jompo menjadi

headline bersamaan dengan perlakuan yang tidak wajar kepada staf tinggi Bank of

Japan dan Inspektur dari Kementerian Keuangan. Aktivitas tersebut dilakukan

sebagai pertukaran terhadap penyampaian informasi rahasia mengenai rencana

pemeriksaan lembaga peminjaman oleh Otoritas Pengawas.

Banyaknya kasus yang terungkap dan berhasil ditangani dalam kurun waktu tersebut

menjadi sebuah retorika awal bahwa korupsi umum terjadi di iklim pemerintahan Jepang.

Retorika ini memiliki dua sisi. Sisi buruknya adalah praktek suap ternyata sedemikian

parahnya hingga menyentuh level pemerintahan tertinggi. Sisi baiknya, setiap

pelanggaran korupsi segera ditangani oleh pihak yang berkepentingan. Terkait

penanganan korupsi, Jepang telah melakukan upaya seperti berikut:

a. Upaya yang dilakukan oleh Kepala Pemerintahan

Perdana Menteri Nakasone Yasuhiro pada tahun 1984 membuat sebuah Badan

Koordinasi dan Manajemen untuk mewujudkan sebuah sistem pemerintahan yang

Page 20: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

bersih. Badan ini bertanggung jawab secara langsung kepada Perdana Menteri.

Tugas dari badan ini adalah memperbaiki organisasi dan manajemen di lingkungan

perdana menteri, agar PM bisa berfungsi sebaik-baiknya.

Perlu waktu 16 tahun bagi badan ini untuk bisa menembus kepolisian Jepang ketika

terjadi proses penguakan kasus korupsi yang terjadi di tubuh kepolisian pada tahun

2000. Segera setelahnya, badan ini segera melakukan pemeriksaan dan kemudian

memerintahkan agar kepolisian memperbaiki manajemen dan membuat laporan

yang masuk akal.

b. Upaya berbentuk badan tertentu.

Semenjak PM Hatoyama memerintah, ada sebuah tim yang ditunjuk untuk

memeriksa semua lembaga atau institusi pemerintah yang memanfaatkan pajak dari

rakyat Jepang, apakah uang rakyat telah benar-benar dipakai dengan adil. Tim

tersebut adalah Gyouseisasshinkaigi atau Goverment Revitalisation Unit, yang tugas

utamanya adalah Jigyoushiwake yang berarti melakukan pemeriksaan keuangan

atas proyek yang didanai oleh pajak rakyat.

Kegiatan tim ini dibahas di beberapa media sebagai pendekatan yang cukup bagus

untuk memeriksa penggunaan uang rakyat di lembaga atau institusi yang dikontrol

negara. Pertanyaan mendasar yang mengiringi tim ini berkutat antara lain soal “ke

mana uang itu pergi ?” atau “kenapa pembiayaan terlalu besar?”

Program ini menjadi sangat menarik dan ditanggapi positif oleh rakyat Jepang,

karena dengannya mereka dapat mengetahui bagaimana penyalahgunaan pajak

yang mereka bayarkan.Tetapi mereka juga mengkritisi apakah proyek-proyek yang

diputuskan berhenti atau ditinjau ulang benar-benar dilaksanakan, yang dengan

demikian rakyat bisa menikmati hasilnya.

c. Kontrol dari Media Jepang

Pada tahun 2001 ada pengesahan sebuah undang-undang kebebasan informasi.

Semua lembaga pemerintahan termasuk kepolisian mau tak mau terikat oleh

undang-undang ini. Pelaksanaan Undang-Undang ini mengakibatkan makin ketatnya

kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat Jepang.

Sebagaimana diketahui, Jepang terkenal dengan kontrol sosialnya yang tinggi.

Budaya malu yang sudah merupakan warisan turun temurun sedikit banyak menjadi

senjata tak kasat mata melawan korupsi. Menurut Takahiro Yoshimaru, mahasiswa

Ritsumeikan University, pejabat di Jepang akan segera mengundurkan jika kasus

korupsinya telah muncul di media. Tekanan dari masyarakat yang besar

mengakibatkan sikap malu ini benar-benar mendarah daging dalam masyarakat

Jepang. Media Jepang benar-benar memberikan tekanan yang besar terhadap

skandal yang terjadi pada institusi pemerintahan termasuk peliputan yang utuh

terhadap pelaksanaan investigasi skandal. Oleh karena itu, jamak pejabat yang tak

kuasa menanggung malu dan kemudian melakukan bunuh diri.

Pemberantasan korupsi di Jepang dilakukan secara integral oleh Kepolisian. Korupsi

merupakan tindak pidana umum di sana sehingga tidak ada badan yang didirikan

khusus untuk melakukan pemberantasan korupsi. Penindakan atas kasus korupsi di

Jepang cukup berjalan dengan baik disebabkan budaya malu yang sudah mengakar di

Page 21: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

sana. Buktinya adalah rombongan perdana menteri yang mundur karena skandalnya

terungkap di media.

Metode pengawasan yang dilakukan oleh Jepang sebagai early warning system

terhadap tindak pidana korupsi adalah pengawasan dari tim bentukan Kepala

Pemerintahan, pembentukan Government Revitalization Unit, juga peran kontrol sosial

dari masyarakat. Ketiga bentuk pengawasan tersebut berhasil membuat Jepang

memperoleh Indeks Persepsi Korupsi sebesar 74 dan berada di peringkat 17 dari 176

negara di dunia.

5. Finlandia

Sejak tahun 1995, Transparency International (TI) telah memperkenalkan sebuah

indeks persepsi korupsi atau yang lebih dikenal dengan CPI (Corruption Perception

Index). Indeks ini digunakan untuk memeringkat negara-negara di dunia berdasarkan

anggapan publik terhadap korupsi di suatu negara. Berdasarkan Annual Report terakhir

yang dipublikasikan oleh TI, yaitu tahun 2012, Finlandia berada pada peringkat pertama

negara paling tidak korup di dunia.

Rendahnya tingkat korupsi di Finlandia dipercaya berhubungan erat dengan tingkat

kesejahteraan umum yang baik, sistem pendidikan yang baik, dan peningkatan daya

saing negara Finlandia di mata dunia. Hal tersebut merupakan hasil dari berbagai faktor

sosial dan kemasyarakatan yang terjadi di Finlandia, yang secara otomatis telah

menciptakan negara tersebut sebagai negara dengan tingkat korupsi terendah di dunia.

a. Budaya dan Struktur Administrasi Masyarakat Finlandia

Budaya masyarakat Finlandia adalah budaya taat hukum, merupakan hasil

perkembangan sejarah yang panjang dan matang. Penerimaan dan penghormatan

terhadap hukum semakin meningkat seiring dengan masa kekuasaan Swedia dan

Rusia selama kurang lebih 8 abad sebagai penjagaan/perlindungan terhadap

pelanggaran hukum yang mungkin dilakukan oleh penjajah pada waktu itu.

Struktur administrasi Finlandia dibuat simpel dengan hanya beberapa tingkat

pengambilan keputusan. Pemerintah daerah memiliki otoritas dan bersikap

independen. Independensi ini tidak lantas disalahgunakan, sebab didukung dengan

kebijakan lainnya, diantaranya gaji pejabat publik telah layak dan memadai dan

transparansi perihal perekrutan dan kepegawaian pejabat sektor publik.

Satu hal menarik yang dilaksanakan pemerintah Finlandia adalah mereka tidak

diperkenankan untuk terlibat dalam kebijakan publik yang mempengaruhi diri mereka

sendiri, keluarga, dan kolega dekatnya. Suatu mekanisme yang secara otomatis

dapat menghindarkan pemerintah Finlandia untuk melakukan tindakan korupsi. Hal

ini juga diterapkan pada sektor swasta.

b. Publisitas dan Transparansi atas Kinerja Pemerintah

Menjaga administrasi publik setransparan mungkin adalah prinsip dasar dalam

administrasi publik di Finlandia. Setiap kebijakan yang diambil akan disampaikan

secara transparan sehingga masyarakat dapat memberikan tanggapan seperlunya.

Hal ini merupakan alat kontrol terhadap kebijakan publik yang diambil pemerintah.

Page 22: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

Publisitas terhadap dokumen-dokumen pemerintah menjadi alat pengawasan

terhadap kinerja pemerintah yang efektif. pada dasarnya, setiap warga negara

berhak mengetahui informasi publik. Sebagai contoh, masyarakat dapat meminta

dan memperoleh data perpajakan dari kantor perpajakan.

c. Pengawasan terhadap kegiatan pemerintah

Pengawasan terhadap berbagai kegiatan pemerintah dilaksanakan dalam berbagai

cara. Pengawasan dan audit internal merupakan bagian yang melekat dalam

departemen di pemerintahan. Seluruh departemen pemerintah di Finlandia diaudit

oleh National Audit Office of Finland. Objek auditnya adalah manajemen keuangan

dan manajemen aset untuk memastikan bahwa keduanya telah dialokasikan secara

bijak dan tepat sesuai dengan undang-undang.

Selain pengawasan internal, komunikasi antar departemen juga dijalin dengan baik.

Finlandia mempunyai lembaga hukum mencakup Kantor Ombudsman Parlemen dan

Kanselir Kehakiman. Kanselir Kehakiman dan Ombudsman Parlemen memantau

tindakan dari semua pegawai negeri dari tingkat tertinggi hingga yang paling bawah.

Keduanya bersifat independen, dengan kewenangan untuk menyelidiki tindakan

anggota legislatif, menteri dan bahkan kepala negara.

d. Sistem Peradilan yang Independen dan Efisien

Menurut survei yang dilakukan terhadap warga Finlandia, profesi-profesi penegak

keadilan seperti polisi, jaksa, dan hakim sangat dihargai dan memiliki tingkat

kepercayaan yang tinggi dimata warga. Seluruh warga Finlandia (subjek hukum),

tanpa terkecuali, dapat dengan mudah melaporkan masalahnya di pengadilan untuk

diproses secara adil.

e. Kepercayaan terhadap para politikus.

Warga Finlandia mempunyai kepercayaan yang tinggi terhadap para politikus. Partai

politik memainkan perannya dengan handal, melaporkan keuangan dan asetnya

secara transparan, serta tidak mempunyai konflik kepentingan di dalam partai.

f. Faktor Sosial

Banyak faktor sosial yang mendukung rendahnya tingkat korupsi di Finlandia.

Tingkat melek huruf yang hampir 100%, membantu warga untuk memahami,

melaksanakan, serta melindungi hak-haknya.

Finlandia juga maju dalam hal kesetaraan gender. Pada tahun 1906, Finlandia

merupakan negara pertama di dunia yang memperbolehkan wanita untuk melakukan

voting dan mencalonkan diri dalam pemilihan. Studi dari Bank Dunia telah

menunjukkan adanya korelasi antara keterwakilan perempuan di legislatif dan

pemerintahan tingkat atas dengan tingkat korupsi yang rendah.

Selain itu, tingkat kesejahteraan umum yang baik telah meningkatkan kualitas hidup

warga Finlandia. Tingkat pendapatan yang wajar serta kualitas hidup yang baik ini

membantu mencegah praktek korupsi dan suap.

Sistem pendidikan yang baik sejak bangku sekolah dasar mampu mencetak generasi

masa depan yang memiliki akhlaq dan budaya jujur, bertanggung jawab, cerdas, dan

rendah hati. Suatu budaya yang mampu menjauhkan pemiliknya dari tindak

Page 23: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

kejahatan korupsi. Di Finlandia, jangankan perbuatan korupsi, berbohong saja sudah

tidak disukai oleh rakyat. Hal ini menimpa Mantan Perdana Menteri wanita pertama

Finlandia, Anneli Jaatteenmaki, yang mengundurkan diri pada Juni 2013.

Pengunduran diri ini dilatarbelakangi oleh tuduhan bahwa Jaatteenmaki telah

berbohong kepada parlemen dan rakyat dalam prosesi kampanye pemilu atas posisi

PM.

Media juga mempunyai peran penting dalam pemberantasan korupsi. Bila ada

kecurigaan terkait korupsi maka akan dibahas secara ekstensif di media. Warga

Finlandia adalah pembaca media aktif dan kritis. Oleh karena itu, kesempatan

mereka untuk mendapatkan informasi dijamin dengan baik.

g. Perangkat Pendukung Pemberantasan Korupsi

Untuk mendukung pemberantasan korupsi, Pemerintah Finlandia menyusun

beberapa perangkat pendukung pemberantasan korupsi, diantaranya:

1) Jaringan Anti Korupsi

Jaringan anti korupsi yang formal didirikan di Finlandia rekomendasi GRECO

(Groups of States Againts Corruption). Jaringan ini dinaungi oleh Kementerian

Kehakiman negara setempat yang jangkauan kerjanya tidak hanya mencakup

sektor publik tetapi juga sektor swasta, komunitas riset, dan lembaga-lembaga

non pemerintah lainnya.

Tugas dari jaringan anti-korupsi ini adalah:

mempromosikan aktivitas anti-korupsi dan

mengusulkan inisiatif mengenai hal ini;

meningkatkan kesadaran anti korupsi di masyarakat dan meningkatkan

kesadaran anti-korupsi dalam pemerintahan dan sektor swasta.

mengikuti dan mempromosikan pelaksanaan kewajiban perjanjian anti korupsi

internasional (Konvensi PBB atas korupsi, Konvensi OEDC serta Dewan

Hukum Eropa atas korupsi).

mengikuti dan mempromosikan penelitian tentang korupsi.

2) Otoritas Pendukung Anti Korupsi

Finlandia tidak memiliki otoritas yang secara khusus dibebani dengan tugas

pencegahan korupsi. Seperti halnya dengan pelanggaran lain, penyidikan

terhadap tindak korupsi merupakan tanggung jawab polisi. Penyelidikan biasanya

akan dilakukan oleh polisi setempat. Dalam kasus yang lebih serius atau

kompleks, misalnya yang melibatkan kejahatan terorganisir, pejabat publik senior,

atau hubungan internasional, pelanggaran biasanya akan diselidiki oleh National

Bureau of Investigation.

3) Undang-Undang

Pemerintah Finlandia memiliki berbagai undang-undang untuk mendukung

pemberantasan korupsi.

Dalam UU Hukum Pidana, terdapat pasal-pasal khusus yang mengatur

perbuatan-perbuatan pegawai pemerintah yang dikategorikan sebagai melanggar

Page 24: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

hukum, seperti menerima suap, melakukan pemerasan, membocorkan rahasia

jabatan, dan melanggar kewajiban jabatan.

UU Prosedur Administrasi ditekankan untuk memajukan perilaku yang baik dalam

organisasi publik. Prinsip-prinsip yang melandasinya antara lain, menekankan

pejabat untuk bertindak adil dan melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan

peraturan yang berlaku.

UU Akuntansi dan auditing digunakan untuk pemantauan operasi perusahaan.

Dalam prakteknya, suap sehubungan dengan operasi bisnis hampir selalu

melibatkan akuntansi yang bertujuan untuk menyembunyikan suap di rekening

perusahaan dan laporan keuangan. UU ini mengatur bagaiamana kewajiban

akuntansi yang harus dipenuhi perusahaan.

Keberhasilan Finlandia dalam menekan praktek korupsi dapat dicapai berkat komitmen

pemimpin serta dukungan dari masyarakat untuk menekan jumlah kasus korupsi.

Walaupun dapat dikatakan sudah bersih dari korupsi, namun Finlandia tetap melandasi

sistem pemerintahannya dengan perangkat-perangkat pencegahan korupsi, mulai dari

faktor-faktor sosial, penerapan berbagai perangkat pencegahan anti-korupsi di hal-hal

yang dianggap vital, serta turut berperan aktif dalam jaringan pencegahan korupsi

internasional.

6. Amerika Serikat

Dalam survey yang dirilis oleh Global Corruption Barometer pada tanggal 9 Juli 2013,

ditemukan fakta bahwa lebih dari seperempat orang di seluruh dunia telah membayar

suap dalam setahun terakhir. Selain itu, partai politik dianggap sebagai lembaga yang

paling korup, dan mayoritas (54 persen) dari orang yang disurvei mengatakan

pemerintah mereka tidak efektif untuk memerangi korupsi.

Dalam rangkaian survei yang sama ditemukan juga fakta bahwa di Amerika Serikat, 60

persen orang mengatakan korupsi telah meningkat selama dua tahun terakhir,

sementara hanya 10 persen mengatakan korupsi menurun

Tentu saja fakta yang disajikan ini berbanding terbalik dengan hasil yang telah dilansir

oleh Transparency Internasional. Di luar faktor metode survey yang digunakan, dapat

dipastikan bahwa masalah korupsi yang hinggap di tubuh pemerintah Amerika

cenderung meningkat dan kepercayaan masyarakat Amerika Serikat pada institusi

negaranya juga menurun. Korupsi yang ada di dalam tubuh Amerika Serikat adalah

masalah kultur dan merupakan kompensasi sistem perekonomian pasar bebas yang

dianutnya. Praktek korupsi yang berlangsung di Amerika Serikat sebenarnya sudah

terjadi dalam kurun waktu yang lama.

a. Praktek Korupsi di Amerika Serikat

Kasus korupsi yang terjadi di Amerika Serikat berkutat seputar bentuk yang sama

dengan praktek yang terjadi di negara lain yaitu penyuapan, penggelapan,

pemerasan, dan penyalahgunaan jabatan.

b. Langkah Pemberantasan Korupsi

1) RICO (Racketeer Influenced and Corrupt Organization Act)

Page 25: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

Pada tahun 1970, Konggres Amerika mengesahkan undang-undang RICO, yaitu

UU tentang pemerasan dan korupsi yang terorganisir. Undang-Undang ini menjadi

alat yang digunakan untuk memerangi mafia. Dalam perundangan ini, jaksa

berhak menelusuri penghasilan mafia hingga ke dalam keluarganya baik yang

legal maupun ilegal. Dampaknya, medio tahun 1980-an dan 1990-an RICO

digunakan untuk menghukum para petinggi mafia.

Anggota mafia berhasil dipenjarakan dan mampu menyeret anggota mafia dan

menjadikannya whistleblower bagi mafia lain. Kini, jaringan mafia masih aktif dan

berkutat pada transaksi ilegal dan beberapa bisnis tradisional, termasuk rentenir,

perjudian ilegal dan narkotika.

2) FCPA (Foreign Corrupt Practice Act)

FCPA disahkan dengan tujuan untuk memastikan sistem pemerintahan menjamin

terjadinya :

1. Perilaku bisnis yang wajar

2. Akuntabilitas dan integritas di pemerintahan

3. Distribusi sumber daya ekonomi berbasis efisiensi dan kesetaraan.

Sesuai namanya, FCPA melarang adanya tindakan penyuapan kepada pejabat

atau pegawai asing yang dilakukan oleh warga negara Amerika Serikat.

Terdapat dua hal yang menjadi fokus FCPA:

1. Peraturan anti suap

2. Peraturan akuntansi perusahaan yang terdaftar di SEC – (Securities Exchange

Commission)

3) American Corruption Act (RUU)

RUU ini dibuat dengan harapan akan mengubah cara pembiayaan pemilu,

bagaimana deal-deal dalam pengaruhnya di proses politik, dan bagaimana

penggunaan uang dalam pemilu dipertanggungjawabkan. Usulan RUU

diharapkan akan membentuk ulang aturan politik di Amerika, dan mengembalikan

peran warga Amerika sebagai stakeholder negara.

Beberapa hal yang diatur dalam RUU ACA antara lain:

1. Larangan politisi menerima suap.

2. Membatasi kontribusi dan koordinasi Super PAC (Political Action Commitee).

Super PAC adalah komite yang diperbolehkan untuk menghimpun dana dalam

jumlah tak terbatas dari perusahaan, individu, lembaga, dll.

3. Mencegah anggota legislatif dan staffnya yang melakukan penyuapan untuk

mendapatkan pekerjaan yang lebih baik setelah tidak menjabat di bidang

legislatif

4. Hal untuk memeriksa pelaku lobi politik. Memperluas definisi pelobi dan

mencegah mereka dari memberikan pengaruh yang besar dalam politik.

5. Membatasi sumbangan dari pelaku lobi politik

6. Melarang sumbangan gelap.

7. Memberi insentif bagi semua pemilih dengan potongan pajak, agar para

pemilih aktif berkontribusi dalam politik,

8. Pengungkapan pihak-pihak memberikan kontribusi kepada para kandidat dan

anggota kongres.

Page 26: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

9. Menegakkan aturan, memperkuat independensi Komisi Pemilihan Federal dan

memperkuat legislatif dan proses penegakan etika Senat.

4) OECD (Organisations for Economic Co-operation Development)

Amerika Serikat menjadi negara garda depan OECD dalam perannya

memberantas korupsi. Adapun kontribusi yang dilakukan Amerika Serikat adalah

mendorong negara anggota OECD untuk mengaplikasikan FCPA ke dalam UU di

negara tersebut. Kemudian, OECD menerbitkan “The OECD Anti Bribery

Convention” yang merupakan konvensi untuk bersama-sama berperan mendakwa

penyuapan asing, pemantauan penegakan hukum dan berpartisipasi dalam

proses peer review yang ketat. Amerika Serikat juga meyakinkan OECD untuk

mempublikasikan statistik penegakan investigasi dan penuntutan penyuapan

asing dan mendorong pemantauan yang ketat.

Amerika Serikat memiliki dualisme ketika berhadapan dengan korupsi. Terlalu

banyaknya kasus yang ditutup-tutupi menyebabkan pandangan miring bahkan dari

warga negaranya sendiri. Namun, di luar negeri Amerika Serikat berada pada garda

terdepan untuk memberantas korupsi seperti perannya di OECD.

Namun Amerika Serikat berusaha mengontrol korupsi yang berkembang di negaranya

dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang diharapkan menjadi

sebuah legalitas hukum yang bertaji mengalahkan korupsi yang berkembang di

negaranya

Page 27: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

BAB III

PEMBAHASAN

A. Landasan Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi

Pemerintah serius menangani korupsi secara konkret. Salah satu implementasinya

adalah terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) 17/2011 tentang Aksi Pencegahan dan

Pemberantasan Korupsi Tahun 2012. Inpres ini merupakan lanjutan Inpres Nomor 9

Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011.

Dalam dua Inpres ini, Pemerintah mengimplementasikan enam strategi sesuai

rekomendasi United Nation Convention Against Corruption (UNCAC). Keenam strategi

itu adalah: Pencegahan pada Lembaga Penegak Hukum; Pencegahan pada Lembaga

Lainnya; Penindakan; Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan; Penyelamatan

Aset Hasil Korupsi; Kerjasama Internasional; dan Pelaporan. Targetnya, pada 2014

Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index (CPI) Indonesia dapat

mencapai angka 5,0

B. Evaluasi Inpres 9/2011 hingga September 2011

Saat ini pelaporan tahap akhir pelaksanaan Inpres 9/2011 masih berjalan. Sejauh ini,

disiplin 16 K/L dalam melaporkan pelaksanaan rencana aksi per September 2011

sangat tinggi (100%), dan 74% subrencana aksi Inpres 9/2011 tercapai dengan status

memuaskan. Namun, meski 74% target per September 2011 tercapai, jika dibandingkan

juli 2011 (±90% tercapai), persentase itu menurun karena adanya pergeseran jenis

capaian. Pada Juli 2011, program masih bersifat persiapan sehingga lebih mudah

tercapai. Sedangkan pada September 2011, program sudah berupa pelaksanaan

kegiatan dan menemui sejumlah kendala.

Sejumlah capaian yang cukup signifikan tertoreh pada september 2011. Capaian itu

antara lain menyangkut akuntabilitas, misalnya ada perbaikan sistem penanganan

perkara di lembaga penegak hukum serta penanganan pengaduan masyarakat dan

perlindungan whistleblower pada instansi pemerintah. Terkait keterbukaan informasi,

ada perbaikan pada pelaksanaan keterbukaan informasi publik di lembaga penegak

hukum serta Kemenkumham. Di bidang perbaikan mutu sumberdaya manusia, ada

pembaruan pengaturan rekrutmen, penyusunan basis-data kepegawaian, serta tes

integritas pada petugas Lapas/Rutan sebagai dasar pembinaan. Pada peningkatan

koordinasi, capaian terpentingnya adalah pernyataan awal dari enam instansi penegak

hukum untuk memberikan perlindungan pada whistleblower dan justice collaborator.

Keenamnya adalah Kejaksaan, Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),

Mahkamah Agung, Kemenkumham, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Yang tak kalah pentingnya, saat ini juga tengah berlangsung harmonisasi dan

pembahasan tahap akhir sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan

masuk ke proses legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Berbagai RUU itu antara

lain RUU Tindak Pidana Korupsi, RUU Perampasan Aset, RUU Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana, dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Adapun

menyangkut pengembalian aset dan kerjasama internasional, Tim Terpadu di bawah

Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan terus melanjutkan

pekerjaan Tim Pemburu Aset dan Koruptor, selain terlaksana pula penandatanganan

sejumlah perjanjian mutual legal assistance (MLA Treaty) baru, seperti MLA RI-India

Page 28: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

C. Rencana Aksi Daerah

Bagi pemerintah daerah, agenda pemberantasan korupsi merupakan isu yang sentral.

Seiring dengan dilaksanakannya agenda desentralisasi, maka ada kewenangan yang

substansial bagi pemerintah daerah untuk menyelenggarakan urusan tertentu.

Kewenangan ini jika tidak didukung oleh komitmen yang kuat justru akan menimbulkan

“otonomi korupsi”, sebuah fenomena yang hari-hari ini menjadi percakapan yang cukup

seru. Banyak kasus korupsi diungkap yang ternyata melibatkan elit birokrasi lokal

seperti DPRD dan Kepala Daerah (Bupati/Walikota/Gubernur).

Upaya pemberantasan korupsi secara represif, diklaim oleh sebagian besar masyarakat

masih lamban dan setengah hati atau sering dilakukan tebang pilih. Demikian pula

perbaikan sistemik, terutama di bidang pelayanan publik yang selama ini hanya

mengandalkan kegiatan rutin instansi pemerintah dengan sedikit sekali upaya-upaya

yang tergolong progresif. Oleh karena itu, sudah waktunya untuk memberantas tindak

pidana korupsi yang sudah luar biasa sistemik dan mengakar, melalui upaya

pemberantasan yang juga luar biasa.

Berdasarkan pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pemberantasan korupsi didefinisikan sebagai

berikut:“Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk

mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi,

monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan,

dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku ”Jika melihat pengertian tersebut, pemberantasan korupsi mencakup juga aspek

pencegahan. Aspek ini terkadang sering dilupakan oleh aktor-aktor pemberantas

korupsi. Aspek pencegahan sebenarnya akan menjadi instrument yang sangat

signifikan apabila kita semua menyadari bahwa salah satu penyebab terjadinya tindak

pidana korupsi adalah sistem penyelenggaraan pemerintahan, khususnya pelayanan

publik.

Dalam melaksanakan kewenangannya, pemerintah antara lain menggunakan berbagai

instrumen yuridis. Salah satu instrumen itu adalah rencana. Rencana dalam

pemerintahan umum dirumuskan sebagai suatu gambaran mengenai berbagai macam

tindakan yang ditujukan untuk mencapai suatu tujuan yang ditentukan sebelumnya.

Di tingkat Nasional, Bappenas telah menyusun Rencana Aksi Nasional Pemberantasan

Korupsi (RAN-PK) sebagai pengejewantahan Inpres No. 5/2004 tentang Percepatan

Pemberantasan Korupsi. Inpres tersebut berisi instruksi umum kepada seluruh jajaran

pemerintahan dan instruksi khusus kepada instansi tertentu untuk melaksanakan tugas-

tugas tambahan tertentu. Inpres tersebut kemudian dijawantahkan dalam Rencana Aksi

Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK) 2004-2009 sebagai Living Document yang

disusun oleh 92 instansi Pemerintah, LSM dan Perguruan Tinggi.

Dalam RAN PK tercakup langkah-langkah yang meliputi prioritas tindakan untuk

pemberantasan korupsi, antara lain: (1) penyempurnaan sistem pelayanan publik; (2)

peningkatan kinerja layanan pemerintahan, (3) peningkatan kinerja lembaga pelayanan

publik; (4) pengawasan atas pelayanan masyarakat; (5) penyempurnaan sistem

manajemen keuangan negara; (6) penyusunan sistem procurement/pengadaan barang

dan jasa pemerintah; (7) penyusunan sistem sumber daya manusia dan pembinaan

Page 29: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

aparatur negara; (8) peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat; (9)

penyempurnaan materi hukum pendukung; (10) percepatan pengadilan dan eksekusi

tindak pidana korupsi, dan sebagainya. Sayangnya setelah berjalan, sejak awal 2005,

belum seluruh departemen atau lembaga negara lainnya mampu menyusun RAN-PK

bagi kelembagan.

Sesuai dengan perkembangan dan diratifikasinya United Nations Convention Againts

Corruption- Konvensi PBB Anti Korupsi (UNCAC) oleh pemerintah Indonesia yang

diselanjutnya dipertegas dengan UU No. 7 Tahun 2006. Maka pemberantasan korupsi

di Indonesia harus dijadikan sebagai sebuah gerakan wajib yang diawasi

keseriusannya, bukan saja oleh seluruh lapisan masyarakat yang ada di dalam negeri

tetapi juga masyarakat dunia. Oleh sebab itu Bappenas dalam dua tahun terakhir

telah menyusun Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi (Stranas PK) 2010-2025

yang lebih konprehensif untuk dijadikan acuan bagi seluruh stakeholders. Stranas PK

2010-2025 tersebut ditujukan untuk melanjutkan, mengkonsolidasikan dan

menyempurnakan berbagai upaya dan kebijakan pemberantasan korupsi agar

mempunyai dampak yang kongkrit. Stranas PK 2010-2025 tersebut merupakan

kelanjutan dari Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) 2004-2009.

Di tingkat Daerah Inpres No. 5/2004 mengisyaratkan adanya kewajiban bagi seluruh

Pemerintah Daerah (Propvinsi/kabupaten/kota menyusun Rencana Aksi Daerah

Pemberantasan Korupsi (RAD PK). Strategi RAD-PK lebih cenderung pada

pencegahan korupsi. Dalam impelementasinya strategi ini masyarakat dilibatkan

secara dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasannya. RAD PK

dirancang untuk masa jangka waktu 5 tahun dan secara bertahap menentukan

kelembagaan/institusi yang menjadi prioritas dan percontohan sebagai kelembagaan

yang bebas korupsi.

D. Strategi Nasional

1. Strategi I : Melaksanakan Upaya-Upaya Pencegahan

Berbagai upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan oleh Pemerintah

Indonesia lebih terfokus pada upaya represif. Demikian pula paradigma yang

berkembang di masyarakat, masih mengharapkan terjadinya upaya represif yang

dianggap dapat memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Namun

hal tersebut belum mampu secara sistematis mengurangi praktek dan perilaku

koruptif. Dengan kondisi praktek korupsi yang masih terjadi secara masif, sistematis

dan terstrukur pada lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif serta di Badan Usaha

Milik Negara, lembaga jasa keuangan dan perbankan serta di sebagian kehidupan

masyarakat lainnya, upaya pencegahan diharapkan menjadi suatu langkah yang

berkesinambungan sehingga akan membawa dampak perbaikan di masa yang akan

datang

Masyarakat Indonesia pada saat ini sudah banyak yang menyadari hak dan

kewajibannya sebagai warga negara. Kemudahan-kemudahan dan percepatan

dalam memberikan pelayanan administratif menjadi tuntutan di tengah masyarakat

yang makin dinamis. Meskipun Pemerintah Pusat dan Daerah sudah banyak

melakukan upaya perbaikan, namun prakteknya, masyarakat masih belum

merasakan manfaat yang optimal dari pelayanan publik yang iberikan oleh

Page 30: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

Pemerintah. Permasalahan utama terkait hal tersebut adalah belum tuntasnya

Reformasi Birokrasi yang menyeluruh, terutama masalah right sizing, business

process dan human resources. Upaya pencegahan sangat mempengaruhi persepsi

publik terhadap tindak pidana korupsi. Hal ini terjadi karena bidang-bidang

pencegahan sangat terkait dengan pelayanan publik yang langsung bersentuhan

dengan masyarakat dan pelaku usaha. Dalam skala internasional, pengukuran

terhadap persepsi publik dilakukan oleh berbagai institusi, salah satunya oleh

Transparansi Internasional dengan survei Corruption Perception Index (CPI – Indeks

Persepsi Korupsi). Survei tersebut masih menempatkan Indonesia pada posisi yang

cukup memprihatinkan kendati ada kecenderungan peningkatan angka Indeks

Persepsi Korupsi tetapi jumlahnya masih sangat kecil, terbatas serta belum

konsisten. Tahun 2008, CPI Indonesia berada diurutan ke-126 dengan skors 2,6,

atau naik sekitar 0,3 dibandingkan IPK 2007 lalu, tetapi tahun 2007 CPI Indonesia

merosot dari 2,4 ditahun 2006, menjadi 2,3 di tahun 2007 dimana Indonesia berada

pada urutan ke 143 dari 180 negara yang di survei. Pada survei Indeks Persepsi

Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2008, secara umum, dapat dlihat bahwa

penyelenggaraan pemerintahan di sebagian besar kota di Indonesia pemerintah

daerahnya dipersepsikan koruptif, dimana hanya kota Yogyakarta dan kota

Palangkaraya yang mendapatkan skor diatas 6. Sebagai catatan, skor IPK Indonesia

tahun 2008 masih lebih baik dibanding CPI untuk Indonesia seperti tersebut di atas.

Hal lain ditunjukkan oleh Global Corruption Barometer (GCB) tahun 2007, dimana

sebagian responden menyatakan melakukan pembayaran suap mencapai angka

31%. Semakin tinggi indeks di suatu lembaga maka institusi kian dipersepsikan

terkorup. Indeks GCB memberikan skor tertinggi dengan nilai indeks 4,2 kepada

lembaga kepolisian, disusul lembaga peradilan dan DPR yang indeksnya 4,1. Partai

politik diberikan penilaian dengan indeks 4,0, disusul pelayanan perijinan dan

perpajakan yang masing-masing indeksnya 3,8 dan 3,6.

Berbagai upaya pencegahan sebenarnya telah dilakukan antara lain meningkatkan

kualitas pelayanan perijinan, seperti yang dicontohkan oleh beberapa daerah dengan

pembentukan one stop sevice (OSS – pelayanan satu atap). Namun persepsi

masyarakat masih mencerminkan adanya kelemahan dalam implementasi pelayanan

satu atap, terutama mengenai belum meratanya pembangunan fasilitas pelayanan

perijinan terpadu dan berbagai regulasi perijinan di daerah yang meninggalkan

berbagi celah untuk korupsi. Demikian pula dengan peningkatan pelayanan

perpajakan, masih terdapat kendala dengan belum tuntas dan terintegrasinya

program Single Identification Number (SIN). Selain masalah perpajakan, dipercaya

bahwa penuntasan dan pengintegrasian SIN akan menyelesaikan banyak

permasalahan dalam upaya pemberantasan korupsi. Survei Integritas yang dilakukan

oleh KPK pada tahun 2009 menyebutkan bahwa skor rata-rata Integritas Sektor

Publik Indonesia adalah 6,54. Skor tersebut relatif rendah bila dibandingkan dengan

negara lain seperti Korea pada tahun 2007 (8,77). Dari hasil beberapa survei

tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa rendahnya kualitas birokrasi dan

penegakan hukum, lemahnya mekanisme pemberian ijin dan pengawasan atas

penerimaan negara yang berasal dari pajak merupakan akar masalah korupsi. Hal ini

diperburuk dengan belum tuntasnya reformasi manajemen keuangan negara,

terutama dalam hal perencanaan dan penganggaran pembangunan. Semua ini

Page 31: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

merupalan permasalahan sistemik yang harus dapat dicegah melalui berbagai

penyempurnaan sistem dan kelembagaan

Korupsi tidak dapat dipisahkan dari masalah suap dan konflik kepentingan (conflict of

interests). Sebenarnya persoalan suap tidak hanya terjadi di Indonesia. Survei Bribe

Payer Indexs (Indeks Pembayar Suap/ IPS) yang dilakukan Transparency

International tahun 2006 mengungkapkan, kegiatan suap di luar negeri yang

dilakukan perusahaan negara-negara pengekspor besar masih umum terjadi. Survei

itu melihat adanya kecenderungan perusahaan negara-negara pengekspor

terkemuka melakukan suap di luar negeri. Pada rangking IPS ini, perusahaan dari

negara-negara kaya umumnya berada pada rangking 1 sampai 15, tapi secara rutin

masih melakukan suap, terutama jika beroperasi di negara-negara berkembang.

Tindakan suap juga dilakukan perusahaan yang berasal dari negara kekuatan

ekonomi baru, seperti: Brasil, Rusia, India, dan Cina (BRICs) yang menempati

rangking yang terakhir. Pada kasus Cina dan negara-negara yang tergabung dalam

kelompok BRICs lainya, upaya penerapan prinsip bisnis anti-korupsi di negaranya

ternyata tidak diterapkan oleh perusahaan-perusahaan mereka ketika beroperasi di

luar negeri. Perusahaan-perusahaan multinasional yang berasal dari negara-negara

yang dianggap ”bersih” juga masih diragukan integritasnya ketika melakukan bisnis

di Indonesia. Suap dan konflik kepentingan rawan terjadi ketika pengadministrasian

urusan publik kurang transparan dan tidak terawasi serta terlaporkan secara baik.

Keadaan seperti ini diperburuk dengan minimnya akses masyarakat terhadap

informasi publik dan belum maksimalnya mekanisme pengaduan masyarakat (public

complaint mechanism)

Berbagai permasalahan diatas mengisyaratkan bahwa upaya pencegahan harus

dilaksanakan oleh aparat publik sebagai penyedia pelayanan umum, bersama-sama

dengan sektor swasta dan masyarakat untuk mencapai optimalisasi upaya

pemberantasan korupsi. Komitmen ini perlu dibangun secara bersama-sama oleh

ketiga pilar pembangunan tersebut (pemerintah, masyarakat dan swasta).

Isu/Strategi dalam Upaya Penyelesaian Masalah

Peribahasa mengatakan bahwa ”upaya pencegahan lebih baik dari mengobati”

adalah kata kunci untuk melaksanakan upaya-upaya pencegahan di berbagai sektor.

Upaya perbaikan di bidang pencegahan akan dilakukan secara terstruktur sehingga

dampak yang dihasilkan dapat memperbaiki kondisi yang ada. Adapun isu-isu berikut

strategi yang akan dilakukan dalam rangka pencegahan adalah:

(1) Peningkatan efektivitas kebijakan dan kelembagaan dalam rangka Pencegahan

Korupsi, antara lain dengan kebijakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan

database kependudukan yang terintegrasi, melakukan penuntasan Reformasi

Birokrasi, penyempurnaan sistem pelayanan publik dan peningkatan kinerja

layanan kepemerintahan, juga melalui upaya peningkatan mekanism pelaporan

atas hasil pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawas internal

pemerintah (APIP);

(2) Pelaksanaan transparansi administrasi publik, efektivitas kewajiban pelaporan

kepada publik, dan meningkatkan akses publik untuk mendapatkan informasi

tentang penyelenggaraan administrasi publik melalui Peningkatan Pengawasan

Page 32: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

atas Pelayanan Kepemerintahan, Peningkatan Akses Informasi Masyarakat,

Penyempurnaan Sistem Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara (termasuk

Laporan mengenai Konflik Kepentingan),;

(3) Percepatan reformasi manajemen keuangan negara dan pengadaan

barang/jasa publik melalui Pelaksanaan percepatan reformasi sistem

perencanaan dan keuangan negara, Penyempurnaan peraturan perundang-

undangan terkait dengan Reformasi Sistem Perencanaan dan Penganggaran

Pembangunan, Penyempurnaan Sistem Pengadaan Barang dan Jasa

Pemerintah termasuk memperkuat mekanisme pengawasan, dan Penyediaan

Fasilitas Sistem Pelaporan Keuangan Negara yang transparan dan akuntabel;

(4) Peningkatan efektivitas reformasi birokrasi di sektor publik di pusat dan daerah,

melalui Penuntasan Agenda Reformasi Birokrasi, yang terdiri dari Reformasi

kelembagaan, bisnis proses dan Manajemen SDM, Perbaikan Peraturan Disiplin

PNS;

(5) Penguatan Komitmen anti-korupsi, melalui Konsolidasi dan kolaborasi antara

sektor publik, sektor legislasi, sektor yudikatif, sektor swasta, organisasi

kemasyarakatan dan para pihak terkait lainnya untuk bersama-sama

melaksanakan strategi Pemberantasan Korupsi serta Kormonev Pemberantasan

Korupsi yang efektif yang partisipatif, efektif dan efisien dalam melaksanakan

langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia,

(6) Penyusunan mekanisme kampanye terpadu pencegahan korupsi yang

melibatkan seluruh stakeholders yang dibarengi dengan proses pembelajaran

anti korupsi, Pelibatan Partai Politik dalam rangka Pemberantasan Korupsi,

Memperkuat Badan Anti Korupsi dalam rangka Pemberantasan Korupsi,

Melakukan penyusunan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan pelaksanaan

etika pemerintahan dan integritas pejabat sektor publik dan pembangunan

karakter bangsa yang berintegritas.

2. Strategi II : Melaksanakan Langkah-Langkah Strategis Di Bidang Penindakan

Berbagai upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia tidak serta merta

menyebabkan penurunan angka kejahatan korupsi dan kualitas tata kehidupan

pemerintahan dan kemasyarakatan menjadi bersih dari tindak KKN. Dalam kurun

waktu 5 (lima) tahun terakhir ini, banyak kasus korupsi yang menyangkut

penyelenggara negara seperti pejabat pemerintahan, anggota DPR dan DPRD

hingga pejabat perbankan diproses sampai dengan tingkat peradilan. Sebagai

tambahan, Departemen Dalam Negeri menyatakan bahwa hingga tahun 2007, ada

sekitar 7 (tujuh) gubernur, 3 (tiga) wakil gubernur dan 62 (enam puluh dua)

bupati/walikota tersangkut perkara korupsi.

Karena itulah, disamping upaya pencegahan korupsi, upaya penegakan hukum

masih menjadi prioritas pelaksanaan Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia.

Masih banyak kasus-kasus korupsi yang belum terselesaikan, padahal kasus-kasus

tersebut telah menjadi perhatian masyarakat baik di dalam maupun luar negeri dan

menuntut penyelesaian sesuai dengan keadilan yang berlaku. Penegakan hukum

yang inkonsisten terhadap hukum positif yang berlaku pada akhirnya berpengaruh

kepada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan aparaturnya. Persepsi

masyarakat yang buruk mengenai proses penegakan hukum, pada akhirnya

Page 33: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

menggiring masyarakat pada pola kehidupan sosial yang tidak mempercayai hukum

sebagai sarana penyelesaian konflik, dan cenderung menyelesaikan konflik dan

permasalahan mereka dengan cara tersendiri dan sering berada di luar jalur proses

hukum. Di samping itu, pada akhirnya ada pihak-pihak yang memanfaatkan

inkonsistensi penegakan hukum berdasarkan kepentingannya sendiri. Secara umum,

eksistensi pihak yang kerap disebut sebagai Mafia Peradilan/Penegakan Hukum

tersebut telah merusak kepastian hukum dan melukai rasa keadilan masyarakat.

Tidak ada lagi rasa kepercayaan (trust) diantara masyarakat sehingga ketidakpuasan

dan rasa ketidakadilan terhadap lembaga hukum dan aparatnya menjadi terstruktur

dan menjadi hambatan tersendiri ketika ada upaya-upaya perbaikan dalam rangka

penegakan hukum di Indonesia. Perlu dilakukan upaya percepatan penyelesaian

kasus-kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat.

Upaya penegakan hukum juga tidak terlepas dari tumpang tindih peraturan

perundang-undangan selama ini sehingga penegakan hukum bertambah

inkonsistensinya. Lemahnya pengawasan yang dilakukan baik internal maupun

eksternal kepada lembaga penegak hukum, aparat penegak hukum maupun unsur-

unsur profesi lain yang terkait dengan penegakan hukum semakin memperburuk

kondisi yang ada. Dipercaya bahwa upaya penegakan hukum perlu didukung oleh

kerangka regulasi yang memadai untuk menjamin berjalannya proses penegakkan

hukum yang memenuhi rasa keadilan masyarakat, tidak larinya tersangka kasus

korupsi dan terselamatkannya aset Negara yang dikorupsi.

Jaminan perlindungan kepada masyarakat baik masyarakat pelapor maupun saksi

juga masih belum memperlihatkan jaminan perlindungan hukum yang sepatutnya

diterima, dimana masih saja terdapat upaya-upaya teror, ancaman sampai dengan

upaya pembunuhan terhadap masyarakat yang melaporkan atau masyarakat yang

menjadi saksi. Mekanisme pengaduan masyarakat juga belum terbangun sebagai

wujud perlindungan hukum kepada masyarakat. Transparansi dalam upaya-upaya

penyelesaian kasus-kasus korupsi perlu ditingkatkan di era reformasi sebagai

perwujudan pertanggungjawaban penegakan hukum kepada masyarakat Indonesia.

Dalam kondisi penegakan hukum dengan keterpurukan secara terstruktur tersebut,

langkah-langkah perbaikan dengan strategi yang mampu menjawab permasalahan

demi permasalahan yang ada perlu dilakukan sehingga optimalisasi penegakan

hukum dapat dilakukan.

Isu/Strategi dalam Upaya Penyelesaian Masalah

Isu dan strategi yang akan dilakukan dalam upaya memperbaiki mekanisme di

bidang penindakan adalah melalui:

(1) Mempercepat Penanganan Kasus Korupsi dan Penguatan Koordinasi diantara

lembaga penegak hukum melalui strategi Percepatan Penanganan dan Eksekusi

Tipikor;

(2) Penguatan Kelembagaan Penegakan Hukum, melalui strategi Pengembangan

sistem pengawasan lembaga penegak hukum, Transparansi dan Akuntabilitas

kinerja institusi-institusi yang terkait dengan fungsi dan tugas penuntutan dan

peradilan, Memberantas mafia penegakan hukum, Melakukan pemetaan

terhadap permasalahan dalam proses penegakan hukum terkait pengaturan

Page 34: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

dalam peraturan perundang-undangan untuk proses revisi peraturan perundang-

undangan selanjutnya, Menyusun mekanisme pelaporan dan pengaduan kasus

korupsi serta perlindungan hukum bagi masyarakat;

(3) Memperkuat kerangka regulasi penegakkan hukum, melalui pengkajian kembali

berbagai peraturan perundang-undangan yang menghambat atau menjadi

masalah dalam proses penegakan hukum terkait kasus korupsi;

(4) Menyusun mekanisme pelaporan dan pengaduan kasus korupsi serta

perlindungan hukum bagi masyarakat, termasuk perumusan aturan yang jelas

mengenai perlindungan terhadap saksi pelapor di dalam RUU Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi dan UU Perlindungan Saksi dan Korban

3. Strategi 3 : Melaksanakan Harmonisasi Dan Penyusunan Peraturan Perundang-

Undangan Di Bidang Pemberantasan Korupsi

Peraturan perundang-undangan merupakan faktor pendukung yang tidak

terpisahkan dari berbagai upaya, strategi maupun rencana aksi pemberantasan

korupsi, baik di bidang pencegahan maupun penindakan tindak pidana korupsi.

Namun demikian, harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan terkait

tindak pidana korupsi dalam rangka implementasi Konvensi PBB Anti-Korupsi 2003

adalah permasalahan yang perlu ditangani secara tersendiri.

Sebagai langkah yang konsisten dalam upaya percepatan pemberantasan korupsi,

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 (UNCAC)

melalui Undang-undang No. 7 Tahun 2006. Hal ini mengandung arti bahwa

ketentuan-ketentuan dalam UNCAC harus dapat diterapkan dan mengikat sebagai

ketentuan hukum di Indonesia. Beberapa ketentuan di dalamnya merupakan hal baru

dan perlu diatur/diakomodasi lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan

terkait pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal-hal baru tersebut misalnya

penyuapan pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional publik,

memperdagangkan pengaruh, memperkaya secara tidak sah, korupsi di sektor

swasta, penyembunyian dan lain-lain.

Untuk itu diperlukan langkah-langkah akomodatif dalam proses penyusunan maupun

revisi peraturan perundang-undangan Indonesia dalam rangka harmonisasi sehingga

upaya pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan baik di dalam negeri maupun di

luar negeri dengan dasar hukum yang memadai.

Isu/Strategi dalam Upaya Penyelesaian Masalah

Isu utama dalam menghadapi tumpang tindih peraturan perundang-undangan terkait

upaya pemberantasan korupsi adalah dengan harmonisasi peraturan perundang-

undangan dan penyusunan peraturan perundang-undangan dalam rangka

implementasi UNCAC. Hal ini dapat dilakukan dengan menyusun peraturan

perundang-undangan sebagai langkah akomodatif upaya melaksanakan ketentuan-

ketentuan yang dianggap baru di Indonesia dalam rangka implementasi ketentuan

Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 dan mensinkronkan peraturan perundang-

undangan nasional lainnya yang terkait dengan upaya pemberantasan korupsi.

Page 35: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

Langkah yang paling strategis adalah menyelesaikan pembahasan dan menerbitkan

Undang-undang Pemberantasan Korupsi yang pada saat ini telah siap untuk dibahas

dengan DPR. Pasal-pasal dalam RUU Pemberantasan Tipikor inisiatif Pemerintah

telah memuat berbagai ketentuan yang dipersyaratkan oleh Konvensi PBB Anti

Korupsi 2003.

4. Strategi IV : Melaksanakan Penyelamatan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi

Terkait dengan upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi baik di dalam

maupun di luar negeri, perlu diwujudkan suatu mekanisme pencegahan dan

pengembalian aset secara langsung sebagaimana ketentuan UNCAC. Peraturan

perundang-undangan Indonesia belum mengatur pelaksanaan dari putusan

penyitaan (perampasan) dari negara lain. Terhadap ketentuan pelaksanaan

pelaksanaan penyitaan aset sebagaimana diatur dalam UNCAC, Indonesia belum

memiliki peraturan penyitaan [perampasan] aset atas permintaan negara lain,

terlebih lagi terhadap pelaksanaan penyitaan [perampasan] aset yang dilakukan

tanpa adanya putusan pengadilan dari suatu kasus korupsi (confiscation without a

criminal conviction). Dalam rangka penyitaan aset perlu disiapkan struktur

pelaksana (terdiri dari aparatur penegak hukum terkait), melalui mekanisme

koordinasi oleh Central of Authority yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan

penyitaan aset dan hal-hal lainnya.

Pengelolaan aset negara yang selama ini masih belum dilaksanakan dengan baik,

perlu dilembagakan secara profesional agar kekayaan negara dari aset hasil tindak

pidana korupsi dapat dikembalikan kembali kepada negara secara optimal. Upaya

penyelamatan aset negara hasil korupsi, terutama untuk aset hasil korupsi yang

berada di luar negeri memerlukan pengetahuan teknis yang mendukung

pelaksanaan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi tersebut, seperti

misalnya masalah penelusuran asset. Selain itu, putusan pengadilan belum

mencantumkan secara jelas upaya pengembalian asset baik di dalam maupun luar

negeri. Dengan demikian, peningkatan kapasitas aparat penegak hukum terkait

masih perlu dilakukan guna mengoptimalkan pengembalian aset negara. Disamping

itu, kerjasama di bidang pengembalian aset sangat penting dilakukan dengan

berbagai negara (terutama dengan negara-negara yang menjadi tujuan

penyimpanan aset hasil korupsi). Kerjasama dalam bidang investigasi, penuntutan,

persidangan, informasi-informasi wajib diberikan oleh negara Peserta atas

permintaan negara Peserta lain tanpa permintaan terlebih dahulu. Hal ini telah diatur

di dalam Bab VIII Kerjasama Internasional Pasal 44. UU Nomor 15 Tahun 2002 dan

UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, namun perlu

diperluas untuk kejahatan-kejahatan kategori korupsi lainnya dalam peraturan

perundang-undangan Indonesia.

Langkah/Strategi dalam Upaya Penyelesaian Masalah

(1) Melaksanakan upaya-upaya penyelamatan aset hasil korupsi dan kerjasama

internasional melalui strategi pencegahan pengalihan aset hasil tipikor, Hal ini

dapat dilakukukan melalui sinkronisasi peraturan perundang-undangan mengenai

pengawasan terhadap kinerja pejabat-pejabat publik dan Membuat suatu

mekanisme yang jelas mengenai alur pengawasan terhadap kewajiban pejabat-

Page 36: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

pejabat publik yang menguasai rekening Pemerintah (terutama di luar negeri)

untuk melapor kepada otoritas tertentu, yang dapat dipantau secara

komprehensif baik oleh aparat pemerintah maupun masyarakat;

(2) Pengembalian Aset Secara Langsung, terutama dari segi pengaturan mengenai

masalah pengembalian aset dalam kondisi tergugat sudah meninggal atau

kondisi yang lainnya, perlu pengaturan lebih lanjut khususnya mengenai non

conviction based on forfeiture dan aturan mengenai perlindungan pihak ketiga

yang beritikad baik;

(3) Melakukan Pelatihan-pelatihan dan Bantuan Teknik dalam rangka penyelamatan

aset hasil korupsi, berupa pertukaran informasi dan hal-hal lain yang berkaitan

dengan masalah teknis pemberantasan korupsi seperti: asset tracing, asset

freezing, asset seizuring, asset forfeituring, forensic accounting, dan legal audit.

5. Strategi V : Meningkatkan Kerjasama Internasional Dalam Upaya Pemberantasan

Korupsi

Masih ada hambatan - hambatan dalam upaya pemberantasan korupsi

penanganannya cukup kompleks dan membutuhkan koordinasi yang tinggi. Upaya

kerjasama internasional maupun koordinasi internal lembaga penegak hukum

Indonesia yang masih belum optimal perlu ditingkatkan baik melalui jalur diplomatik,

kerjasama bilateral serta multilateral.

Selain itu, kerjasama internasional penanganan kasus korupsi, termasuk

penyelamatan aset hasil korupsi, masih terkendala dengan kurangnya kemampuan,

pengetahuan, sarana-prasarana, koordinasi dan kelengkapan informasi yang dimiliki

oleh aparat penegak hukum terkait kasus korupsi (POLRI, Kejaksaan, Departemen

Hukum dan HAM dan KPK) guna memenuhi tuntutan kerjasama secara efektif dan

intensif bersama negara peserta lain dalam memerangi korupsi.

Konvensi menetapkan bahwa masalah dual criminality sebagai suatu syarat adanya

kerjasama internasional harus dianggap telah dipenuhi, padahal dalam KUHP

dikenal asas legalitas. Namun terkait dengan kerjasama internasional, dual

criminality tidak merupakan suatu keharusan. Selain itu timbul isu in absentia dimana

terdapat negara-negara peserta UNCAC yang tidak mengenal putusan in absentia

yang memang hanya dikenal di Indonesia.

Modus-modus kejahatan terkini seperti money laundering belum termasuk dalam

daftar kejahatan (list of crime) yang dapat di ekstradisi. Sementara, ada negara

peserta UNCAC yang hanya dapat memberikan ektradisi apabila kejahatan yang

dilakukan pelaku ada dalam daftar kejahatan yang tercantum dalam UU nasional

tentang ekstradisi

Isu/Strategi dalam Upaya Penyelesaian Masalah

Langkah/Strategi yang perlu dilakukan adalah melalui peningkatan upaya kerjasama

internasional dalam rangka pencegahan, pengembalian aset dan penyelesaian

tindak pidana lainnya melalui penyusunan instrumen hukum dan mekanisme

kerjasama internasional, bilateral maupun regional, khususnya dalam pengajuan

bantuan timbal balik dalam masalah pidana, kordinasi intensif antar lembaga

Page 37: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

penegak hukum, peningkatan upaya dan kemampuan diplomasi serta amandemen

Undang-undang Ekstradisi dan Undang-undang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam

Masalah Pidana (MLA).

6. Strategi VI : Pendekatan Carrot and Stick

Pendekatan carrot and stick adalah salah satu pendekatan yang memandang

penanganan korupsi secara hitam putih. Walaupun sangat kaku dalam implementasi,

namun seringkali efektif untuk menciptakan iklim kondusif dalam penegakan disiplin

aparatur. Dengan pendekatan kesejahteraan sebagaimana yang diterapkan di

Singapura, maka aparatur tidak diberi peluang untuk mencari pembenaran atas tindak

pidana korupsi yang dilakukannya. Pendapatan bersih (net take home pay) yang layak

diharapkan mampu memberikan garansi perilaku yang positif para aparatur dan

menghindari segala bentuk penyimpangan. Pendapatan stick diharapkan akan

menimbulkan efek jera yang hebat pada para pelaku korupsi. Singapura dan China

telah menunjukkan praktek ini dengan tingkat keberhasilan yang diakui.

7. Strategi VII : Reformasi Birokrasi

Kebijakan terkait lain yang menjadi alternatif di luar kebijakan sektor adalah menyangkut

reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi ini tidak bisa hanya sebatas jargon seperti yang

selama ini banyak terjadi. Reformasi lebih banyak menjadi wacana di forum-forum

terbatas (elitis dan eksklusif) yang tidak berdampak langsung kepada perubahan

konkrit. Reformasi birokrasi harus menjadi leverage dalam strategi pemberantasan

korupsi, karena merupakan fondasi penting dalam penyelenggaran negara yang bersih

dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Persoalan dalam pengejawantahan reformasi ini adalah dalam penerjemahannya ke

dalam kebijakan. Banyaknya sektor yang menjadi objek reformasi menyebabkan

pendekatan yang dilakukan tidak terintegrasi secara baik. Parsialitas menjadi karakter

dalam penyelenggaraan reformasi birokrasi ini. Berkenaan dengan reformasi birokrasi

ini, perlu adanya upaya menyangkut optimasi kementerian dan lembaga pemerintah

nondepartemen (LPND), melalui kebijakan kelembagaan, sumber daya aparatur, dan

kapasitas kelembagaan yang tidak tumpang tindih.

Page 38: Strategi - Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Indonesia.pdf

BAB IV

PENUTUP

Upaya pemberantasan korupsi adalah sebuah pekerjaan rumah bagi semua pihak, semua

sektor dan seluruh komponen perumus kebijakan baik itu pemerintah dan penyelenggara

negara lainnya, tidak terkecuali anggota masyarakat secara umum. Hal ini karena praktik

korupsi bukan merupakan monopoli perilaku dari pegawai atau pejabat pemerintah saja,

tetapi merupakan justru perilaku kolektif yang melibatkan hampir semua unsur dalam

masyarakat. Sederhananya supply tidak akan terjadi kalau tidak ada demand. Praktik

korupsi hanya mungkin terjadi apabila sistem formal memang mempunyai atau memberi

celah/peluang ke arah sana, selain didukung oleh perilaku stakeholder dan

shareholder yang komplementer.

Oleh karenanya persoalan mandeknya pemberantasan korupsi di Indonesia pada

dasarnya bersifat sangat kompleks, yaitu tidak hanya menyangkut konten kebijakan dan

penataan peraturan perundangan yang mengatur mengenai pemberantasan korupsi itu

sendiri, namun juga faktor-faktor lain yang berpengaruh langsung pada rantai perumusan

kebijakan itu sendiri. Itikad politik yang kuat perlu menjadi landasan agar kebijakan

pemberantasan korupsi mendapat legitimasi yang cukup dan efektif. Namun sayangnya

political will masih lemah. Hal ini diindikasikan ketika penegakan hukum atas tindak pidana

korupsi yang melibakan kelompok elit dan nama besar akan sangat sulit

dilangsungkan. Sementara itu, dalam hal konten kebijakan, Indonesia sudah mempunyai

instrumen kebijakan pemberantasan korupsi yang relatif lengkap. Walaupun demikian

dalam uraian analisis dijelaskan beberapa kesenjangan isi perundangan kita hukum

dengan the United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Kesenjangan ini

dapat diatasi oleh antara lain perundangan kita yang dibuat lebih akomodatif terhadap

kerjasama bilateral dan multilateral dengan memberi celah atau peluang untuk melakukan

kerjasama dengan negara dan lembaga internasional. Persoalan lain seputar kebijakan

adalah pada tahapan implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan kerap kali menemui

hambatan di lapangan terutama ketika berbenturan dengan kepentingan golongan atau

elit tertentu. Beberapa kasus penegakan hukum yang menyeret nama besar menjadi

mandek bahkan dipeti-eskan, walaupun sudah terlanjur tercium dan di blow-up oleh media

massa, Penegakkan hukum masih dianggap tebang pilih sehingga mengabaikan prinsip

equality before the law.