STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ … · KLHS : Kajian Lingkungan Hidup Strategis...
Transcript of STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ … · KLHS : Kajian Lingkungan Hidup Strategis...
Jenis : Dokumen SRAP REDD+ Aceh
No. Dokumen : A.1.P.01 SRAP Aceh
Tanggal : 12 Desember 2013
STRATEGI DAN RENCANA AKSIPROVINSI (SRAP) REDD+
ACEH
TIM PENYUSUN1. Dr. Husnan, ST. MP2. Nanda Yuniza, ST, MT3. M. Daud, S.Hut, M.Si 4. Win Rima Putra S. Hut5. Muhammad Fadhil, ST, MT6. Marthunis, ST, DEA 7. Ir. Anggria Zultina Rosa, M.Si 8. Zulharidsyah, S.Hut 9. Dedek Hadi Ismanto, S.Hut, M.Si 10. Dr. Ir. Hairul Basri, M.Sc.11. Dr. Ir. Syakur, MP 12. Abdul Syakur13. Maidar, SP 14. Lestari Suci DS, S.Si, MT 15. Umri Praja Muda, S.Hut, M.Si 16. Fikri Arief Utama, ST 17. Ir. Agus Halim, M.Si18. Dahlan, S.IP19. Erwanto Kasyah, SE, MA20. Dewa Gumay
TIM PENGUMPUL DATA1. Heldi Syukriadi, ST 2. Fatriansyah 3. Imed Badradul, SP 4. Hery Yanto, S.Hut 5. Yudi Armanda, S.Hut 6. Aryandi, SE 7. Nanda Maulina, S.Si 8. AryHerfiansyah,ST9. Maida Fithria, ST 10. Bambang Arianto, S.Hut 11. Farwiza 12. Rahmadani 13. Milda Agustina
iii
KATA PENGANTAR
Assalamu`alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-
Nya, sehingga dokumen Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ Aceh
telah dapat diselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Tim Penyusun SRAP
REDD+ Aceh yang telah bekerja keras menyelesaikan dokumen ini dalam waktu
yang terbatas. Apresiasi dan ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Satuan Tu-
gas (Satgas) REDD+ dari Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengenda-
lian Pembangunan (UKP4) yang telah memberikan dukungan teknis, serta UNDP
(United Nation for Development Program) yang mendukung pendanaannya.
REDD+ merupakan mekanisme baru, setelah memasukkan unsur konservasi,
pengelolaan hutan lestari, dan pengayaan cadangan karbon. Keberhasilan REDD+ di
Aceh memerlukan perubahan paradigma yang cukup mendasar. Perubahan ini akan
melibatkan transformasi kelembagaan, aspek hukum dan kebijakan serta sistem tata
kelola yang terkait dengan implementasi REDD+.
Dokumen SRAP REDD+ merupakan dokumen sinergis yang diharapkan
menjadi acuan dalam pengarusutamaan isu perubahan iklim dalam sistem peren-
canaan pembangunan daerah. Dengan demikian ada jaminan SRAP REDD+ dapat
diimplementasikan pada kegiatan di SKPA/SKPK maupun stakeholders lainnya,
serta menjaga dokumen tetap mengikuti perkembangan dinamika sosial, politik
dan ekonomi maka secara periodik akan dilakukan peninjauan ulang.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Banda Aceh, November 2013
Kepala BAPPEDA Aceh,
Prof. Dr. Ir. Abubakar Karim, M.S.
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEHiv
v
DAFTAR ISI
Nomor Tubuh Utama Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................ v
DAFTAR SINGKATAN .................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ............................................................. 1 1.1. Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2. Maksud dan Tujuan ................................................................ 3
1.3. Dasar Hukum ............................................................................ 4
1.4. Ruang Lingkup .......................................................................... 6
1.5. Metodologi ................................................................................ 7
BAB II KONDISI DAN PERMASALAHAN .................................. 9
2.1. Kondisi Kawasan Hutan di Aceh ............................................ 9
2.2. Kondisi Perizinan Sektor Kehutanan di Aceh ........................ 13
2.3. Kondisi Deforestasi dan Degradasi Hutan Aceh .................... 15
2.4. Emisi dari Sektor Penggunaan Lahan dan Hutan di Aceh .... 22
2.5. Penyusunan Baseline Emisi GRK .......................................... 28
2.6. Penyebab Deforestasi dan Degradasi Hutan di Aceh .............. 29
BAB III STRATEGI REDD+ ACEH ................................................ 37
3.1. Keterkaitan REDD+ Aceh dengan Program Lain ..................... 37
3.2. Kerangka Strategi REDD+ Aceh ............................................... 41
BAB IV PELAKSANAAN STRATEGI RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH ..................................................... 55
.1. Skenario Penurunan Emisi.......................................................... 55
4.2. Strategi Rencana Aksi Penurunan Emisi.................................. 57
4.3. Pelaksanaan REDD+ ................................................................. 58
BAB V PENUTUP ....................................................................... 69
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEHvi
DAFTAR TABEL
Nomor Tubuh Utama Halaman
Tabel 2.1 Luas Kawasan Hutan Aceh Menurut Fungsi dan Sebarannya........ 12 di Kabupaten/Kota Berdasarkan SK Menhutbun No.170/Kpts-II/2000 Dihitung Secara Planimetris
Tabel 2.2. Daftar IUPHHK-Hutan Alam di Provinsi Aceh .............................. 14
Tabel 2.3. Daftar IUPHHK-HTI di Provinsi Aceh ............................................ 15
Tabel 2.4. Situasi Deforestasi Hutan Aceh periode 1945 – 2009 .................... 17
Tabel 2.5. Tutupan Lahan, Deforestasi dan Degradasi Hutan Aceh ............... 19
Tabel 2.6. Luas Kelas Kekritisan Lahan Propinsi Aceh Tahun 2010 ............... 21
Tabel 2.7. Luas Kekritisan Lahan menurut Fungsi Kawasan di Aceh ............. 22
Tabel 2.8. Perkiraan Emisi Gas Metan (CH4) dari Lahan Sawah Aceh ........... 24
Tahun 2011
Tabel 2.9. Data yang Digunakan untuk Memperkirakan Emisi Bidang .......... 25 Kehutanan dan Lahan Gambut
Tabel 2.10. Hasil Kalkulasi Sumbangan Emisi Kehutanan dari ....................... 25 Masing-Masing Kawasan
Tabel 2.11. Hasil Kalkulasi Sumbangan Emisi Kehutanan dari ........................ 26 Masing-Masing Alih Guna Lahan
Tabel 2.12. Rangking dan Kumulatif Sumbangan Emisi Kehutanan dan Gambut 27
Tabel 2.13. Rekapitulasi Kebutuhan Kayu Per Kabupaten/Kota Propinsi........ 34 Nanggroe Aceh Darussalam untuk Tahun 2008
Tabel 3.1. Strategi dan Rencana Aksi Prioritas Kelembagaan REDD+ Aceh .. 47
Tabel 3.2. Strategi dan Rencana Aksi Prioritas Kerangka Hukum dan ........... 49 Peraturan REDD+ Aceh
Tabel 3.3. Strategi dan Rencana Aksi Prioritas untuk Program-Program Strategis 50
Tabel 3.4. Strategi dan Rencana Aksi Prioritas Perubahan Paradigma .......... 52 dan Budaya Kerja
Tabel 3.5. Strategi dan Rencana Aksi Prioritas Pelibatan Para Pihak ............. 54
Tabel 4.1. Program pembangunan Aceh yang berkaitan dengan Emsi CO2 .......
56
Tabel 4.2. Strategi dan Rencana Aksi Pelaksanaan REDD+ Aceh ................... 61
vii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Tubuh Utama Halaman
Gambar 1.1. Tahapan dan metoda yang digunakan dalam penyusunan ......... 7
dokumen SRAP REDD+
Gambar 2.1. Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan Provinsi D.I. Aceh ............. 11
Gambar 2.2. Peta Kawasan Hutan Aceh SK Gubernur Aceh No. 19, ............... 13
Tanggal 19 Mei 1999 dan SK Menhutbun RI No. 170/Kpts-II/2000
Gambar 2.3. Peta Deforestasi Aceh PeriodeTahun 1945 s/d 2006 .................. 17
Gambar 2.4. Peta Deforestasi Aceh PeriodeTahun 2006 s/d 2009 ................. 18
Gambar2.5. GrafikPerkiraanEmisiGasMetan(CH4) dari Lahan Sawah ...... 24
Aceh Tahun 2011
Gambar 3.1. Keterkaitan SRAP REDD+ Aceh dengan Program lain ................ 40
Gambar 3.2. Kerangka Strategi dan Rencana Aksi Provinsi REDD+ Aceh ...... 41
Gambar 3.3. Usulan Kelembagaan REDD+ Aceh ............................................. 43
Gambar4.1. GrafikBAUHistorical di Provinsi Aceh ........................................... 55
Gambar4.2. GrafikBAUForward looking dan Skenario Penururnan Emisi ....... 56
di Provinsi Aceh
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEHviii
ixBAB I
DAFTAR SINGKATAN
AMDAL : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
APBD : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
APL : Areal Penggunaan Lain
BAPPEDA : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
BAU : Business As Usual (sebagaimana digunakan selama ini)
BPDAS : Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai
BPKEL : Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser
BPM : Badan Pemberdayaan Masyarakat
BPN : Badan Pertanahan Nasional
COP : Conference of the Parties (Konferensi Para Pihak)
CFLF : Climate Friendly Legal Framework
DAS : Daerah Aliran Sungai
DDPI : Dewan Daerah Perubahan Iklim
D.I. : Daerah Istimewa
DPRA : Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat DaerahDriver DD : Driver Deforestation and DegradationFFI : Flora Fauna IndonesiaFGD : Focus Discussion Group
FPIC/ PADIATAPA : Free, Prior and Informed Consents/ Persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan
GRK : Gas Rumah KacaHCVFs/As : High Concervation Value of Forest/Areas (Kawasan Hutan
dengan Nilai Konser vasi Tinggi)HGU : Hak Guna Usaha
HPH : Hak Pengusahaan Hutan
UPHHK : Ijin Usaha Pemanfataan Hasil Hutan Kayu
IPCC : Intergovernmental Panel on Climate Change
KLHS : Kajian Lingkungan Hidup StrategisLULUCF : Land Use, Land Use Change and Forestry (Penggunaan Lahan,
Perubahan Penggunaan Lahan dan Kehutanan) Menhut : Menteri Kehutanan
MTEF : Medium Term Expenditure Framework
MP3EI : Master Plan Percepatan dan Pengembangan Pembangunan Ekonomi Indonesia
MDGs : Millennium Development Goals
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEHx
MRV : Measurement, Reporting, Verification (Pengukuran, Pelaporan danVerifikasi)
Musrenbang : Musyawarah Perencanaan Pembangunan
PHL : Pengelolaan Hutan Lestari
RAD-GRK : Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
RAN-GRK : Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
RDTR : Rencana Detil Tataruang
REDD+ : Reducing Emissions from Deforestations and Forest Degradation
REL : Reference Emission Level
Renstra SKPD : Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah
RKL/RPL : Rencana Kelola Lingkungan/Rencana Pemantauan Lingkungan
RKPD : Rencana Kerja Pembangunan Daerah
RTRWP : Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
RTRWK Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
RPJPA : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh
RPJP Daerah : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RPJMA : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh
RTH : Ruang Terbuka Hijau
RTRWA : Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh
SATGAS REDD+ : Satuan Tugas REDD+
SDA : Sumber Daya Alam
SIS : Sistem Informasi Safeguard
SKPA/SKPD : Satuan Kerja Perangkat Aceh/ Satuan Kerja Perangkat Daerah
STRANAS/ STRADA : Strategi Nasional/Strategi Daerah
SRAP : Strategi dan Rencana Aksi Provinsi
SVLK : Sistem VerifikasiLegalitasKayu
TGHK : Tataguna Hutan Kesepakatan
TIPERESKA : Tim Penyusunan Rencana Strategis Kehutanan Aceh
Tier : Tingkat Ketelitian
UNDRIP : United Nation on the Right od Indigenous People
UPTD KPH : Unit Pelaksana Teknis Daerah Kawasan Pemangkuan Hutan
UKP4 : Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan
UPL/UKL : Upaya Pemantauan Lingkungan/ Upaya Pengelolaan Lingkungan
UNFAO : United Nations Food and Agriculture Organization
UNFCCC : United Nations Framework Convention on Climate Change (Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim)
YLI : Yayasan Leuser International
UU : Undang-undang
1BAB I
BAB IPENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perubahan iklim adalah fenomena global yang telah menjadi perhatian berbagai
pihak baik di tingkat global, nasional, maupun lokal. Dampak yang ditimbulkan oleh
fenomena ini mendorong komunitas internasional untuk mengatasi penyebabnya
(mitigasi) dan mengantisipasi akibatnya (adaptasi). Penyebab perubahan iklim adalah
meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK), terutama karbon dioksida (CO2) yang
terjadi karena pembakaran bahan bakar fosil dan alih guna lahan, khususnya deforestasi
hutan tropis.
Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) melaporkan bahwa
secara global dalam periode 2002-2005 kontribusi kegiatan penggunaan lahan, alih
guna lahan dan kehutanan (LULUCF) adalah sekitar 17% dari total emisi per tahun
sebesar 32,3 Gt CO2e (IPCC 2007).
Sejak pemerintah Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Para Pihak ke-13
(13th Conference of Parties/COP 13) Konvensi Kerangka Perubahan Iklim Perserikatan
Bangsa-Bangsa (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC)
di Bali tahun 2007 yang lalu, pemahaman masyarakat mengenai perubahan iklim
berangsur-angsur membaik. Apalagi ketika pengurangan emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation/
REDD) menjadi salah satu keputusan COP 13 dan menjadi bagian penting dalam
Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan/BAP) untuk mitigasi perubahan iklim. Hutan
menjadi pokok pembicaraan yang menarik dalam konteks perubahan iklim. Biaya
penurunan emisi dari sektor LULUCF yang relatif murah di negara berkembang. (Stern
2007) menunjukkan bahwa mitigasi perubahan iklim melalui sektor LULUCF dapat
diprioritaskan dengan tetap memanfaatkan peluang-peluang ekonomi. Selanjutnya
konsep REDD ini berkembang menjadi REDD+ yang diakui dalam Kesepakatan
Kopenhagen (Copenhagen Accord) pada COP 15.
Dalam Prioritas Nasional 2009-2014, perubahan iklim adalah salah satu bagian
penting dari Prioritas 9. Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana. Saat pertemuan
G20 di Pittsburg pada bulan September 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah
mencanangkan bahwa pada tahun 2020 Indonesia akan menurunkan emisi Gas Rumah
Kaca (GRK) sebesar 26% berdasarkan skenario Business As Usual (BAU). Ditambahkan
pula, jika negara-negara industri bersedia membantu, emisi tersebut dapat diturunkan
sampai sebesar 41%.
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH2
REDD adalah sebuah mekanisme yang baru, apalagi setelah berubah menjadi
REDD+ karena memasukkan unsur konservasi, pengelolaan hutan lestari, dan pengayaan
cadangan karbon. Keberhasilan REDD+ di Aceh memerlukan perubahan paradigma
yang cukup mendasar. Perubahan lintas sektoral ini akan melibatkan transformasi
kelembagaan, aspek hukum dan kebijakan serta sistem tata kelola yang terkait dengan
implementasi REDD+.
Arsitektur REDD+ perlu dirancang bangun dengan strategi daerah yang utuh
dan memberikan pilihan-pilihan kebijakan yang mengutamakan efektivitas penurunan
emisi dan peningkatan cadangan karbon hutan, efisien secara ekonomis sehingga
memberikankeuntunganfinansial, sertamemberikanmanfaat tambahan (co-benefit)
secara sosial dan ekologis. Bagi Aceh, arsitektur REDD+ sebenarnya adalah desain ulang
tata ruang dan tata kelola hutan.
Dalam konteks tersebut, skema REDD+ memungkinkan terciptanya paradigma
baru dalam tata kelola hutan yang mengutamakan dialog dengan para pihak melalui
pendekatan ‘pengarusutamaan gender’ (Gender adalah konsep yang mengacu pada
peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat
berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Pengarusutamaan gender
adalah salah satu strategi pembangunan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan
dan keadilan gender melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan
permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan
dan evaluasi dari seluruh kebijakan, program, proyek dan kegiatan di berbagai bidang
kehidupan dan pembangunan).
Paradigma baru ini memungkinkan aspek-aspek yang terkait dengan Tujuan
Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs) terintegrasi dalam
tatakelolahutan.Pendekatan ini sejalandengandasarhukumyang telahdiratifikasi
oleh Pemerintah RI pada Beijing Conference 1995 sebagai kebijakan global maupun
aturan manifestasinya melalui Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional dan Undang-undang lainnya.
Penyusunan Strategi Daerah dan Rencana Aksi REDD+ Aceh diharapkan dapat
memberi arah solusi bagi tumpang tindih kewenangan lintas sektor dan benturan
kepentingan antara pelaku bisnis dan masyarakat lokal, dan memperjelas kewenangan
dan koordinasi antara kementerian/lembaga pusat dan antara pemerintah pusat dan
daerah.
3BAB I
1.2. Maksud dan Tujuan
1.2.1. Maksud
Strategi Daerah dan Rencana Aksi REDD+ ini disusun dengan maksud, sebagai
berikut:
1. Mendukung pencapaian komitmen Presiden RI dari sisi kontribusi sektor
kehutanan untuk mencapai target penurunan emisi sebesar 26% di bawah
proyeksi emisi tahun 2020 berdasarkan skenario BAU;
2. Menindaklanjuti Bali Action Plan, Copenhagen Accord dan Keputusan COP
16 UNFCCC di Cancun;
3. Menyiapkan sistem kelembagaan dan pengelolaan yang efektif untuk
melaksanakan program REDD+. Sistem ini akan memastikan bahwa
penguranganemisidapatdiukur,dilaporkandandiverifikasi,dandidukung
dengan instrumen pendanaan yang dapat dipertanggunggugatkan
(accountable);
4. Memberi dasar dan arahan bagi sistem tata kelola dan peraturan yang
terintegrasi untuk menaungi pelaksanaan skema REDD+ yang dijalankan oleh
masyarakat, korporasi, organisasi masyarakat sipil, dan pemerintah daerah;
5. Mendukung tujuan pembangunan yang berkelanjutan melalui pendekatan
yang didasarkan pada perspektif masyarakat lokal, termasuk perempuan
dan kelompok rentan yang terkait dengan skema REDD+, sehingga skema
REDD+ dapat memberikan manfaat pada semua kelompok secara adil serta
mendorong rasa memiliki pada masyarakat;
6. Membangun proses yang partisipatif dan pendekatan yang sistematis dan
terkonsolidasi bagi upaya-upaya penyelamatan hutan alam Aceh dalam
konteks perubahan nilai lahan dan harga komoditi yang sangat dinamis; dan
7. Memberikan acuan bagi pengembangan investasi oleh semua pihak pada
semua skala dalam bidang pemanfaatan lahan hutan dan gambut baik untuk
komoditi kehutanan dan/atau pertanian serta jasa lingkungan (ecosystem
service) termasuk penyerapan dan pemeliharaan stok karbon.
Secara keseluruhan, Strategi Nasional REDD+ menjadi acuan untuk memastikan
bahwa implementasi REDD+ dapat mengatasi penyebab mendasar dari deforestasi
dan degradasi hutan dan lahan gambut di Aceh serta menjamin pencapaian target-
target penurunan emisi GRK nasional. Strategi Daerah dan Rencana Aksi REDD+ Aceh
merupakan bagian dari Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN
GRK) yang memayungi secara umum upaya penurunan emisi karbon sesuai komitmen
26%.
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH4
1.2.2 Tujuan
Secara garis besar tujuan penyusunan Strategi Daerah dan Rencana Aksi REDD+
Acehdiklasifikasikankedalam3(tiga)tahapanyaitu:
1. Tujuan jangka pendek (2011-2013): pelaksanaan REDD+ adalah untuk
memperbaiki kondisi tata kelola kehutanan secara keseluruhan agar Aceh
dapat memberikan sumbangsih pencapaian komitmen Indonesia dalam
pengurangan emisi sebesar 26 - 41% pada tahun 2020.
2. Tujuan jangka menengah (2014-2020) adalah untuk mempraktekkan
mekanisme tata kelola dan pengelolaan hutan secara luas yang telah ditetapkan
dan dikembangkan dalam tahap sebelumnya agar target-target penurunan
emisi tahun 2020 dapat dicapai.
3. Tujuan jangka panjangnya (2021-2030) adalah mengubah peran hutan
Aceh dari net emitter sector menjadi net sink sector pada tahun 2030 dan
keberlanjutan fungsi ekonomi dan pendukung jasa ekosistem lainnya dari
hutan.
1.3. Dasar Hukum
Strategi Daerah dan Rencana Aksi REDD+ Aceh yang disusun saat ini, tentu
tidak lepas dari sebuah landasan hukum yang telah ada di Indonesia saat ini, antara lain:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 4 ayat
(1);
2. Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumberdaya Alam jo. Ketetapan MPR Nomor I/MPR/ 2003
tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002;
3. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria;
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya;
5. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations
Framework Convention on Climate Change;
6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
7. Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase danUndang-
Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
5BAB I
8. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang KeuanganNegara;
9. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto
atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perubahan
Iklim;
10. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional;
11. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;
12. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP) Tahun 2005-2025;
13. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh;
14. Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
15. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi
danGeofisika;
16. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
17. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pangan
Berkelanjutan;
18. Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2000 tentang Lembaga Penyelesaian
Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan;
19. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 01/2001 tentang Mediasi di
Pengadilan;
20. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan
Kehutanan;
21. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan
Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau
Hibah Luar;
22. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional;
23. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan
Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan;
24. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang;
25. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan
Hutan;
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH6
26. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014;
27. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 170/Kpts- II/2000
tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Daerah
Istimewa Aceh;
28. Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang pembangunan yang
berwawasan gender;
29. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132 Tahun 2003 tentang Pedoman
umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan di
Daerah;
30. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
31. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Perizinan Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
32. Peraturan Gubernur Aceh Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh Tahun 2012-2017. Lembaran
Daerah Tahun 2012 Nomor 121.
1.4. Ruang Lingkup
Strategi dan Rencana Aksi ini dirancang sebagai sebuah arahan yang bersifat
sistematis, logis, objektif, dan pragmatis. Dengan mengacu kepada prinsip-prinsip
tersebut maka pengurangan emisi akan dilaksanakan melalui strategi pembangunan
rendah karbon yang terpadu (hulu sampai hilir) dan komprehensif (multi aspek).
Prinsip yang mendasari perumusan strategi ini merupakan prinsip pembangunan
berkelanjutan, yaitu: (1) Pembangunan ekonomi yang bertumpu pada desentralisasi
bertanggung jawab, (2) Pemeliharaan keseimbangan fungsi ekologis dan (3) Keadilan
antar generasi.
Kerangka pelaksanaan pengurangan emisi melalui REDD+ meliputi: (1) Penurunan
emisi dari deforestasi, (2) Penurunan emisi dari degradasi hutan, (3) Penguatan peran
konservasi, (4) Penguatan peran pengelolaan berkelanjutan terhadap sumber daya
hutan, dan (5) Peningkatan simpanan karbon melalui restorasi dan rehabilitasi. Kelima
tema penting tersebut akan didekati dengan pendekatan pengurangan sumber emisi
(source) dan meningkatkan simpanan (sink) karbon.
Dengan mengacu kepada berbagai permasalahan yang diuraikan pada BAB
II, maka strategi daerah REDD+ Aceh terbagi dalam tiga bagian utama, yaitu: (1)
7BAB I
Pemenuhan prasyarat penerapan REDD+, (2) Peningkatan dan penguatan kondisi
pemungkin (enabling conditions), dan (3) Reformasi pembangunan sektor, terutama
sektor kehutanan (hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi) dan sektor
pengguna lahan lainnya (perkebunan dan pertanian, pertambangan, serta infrastuktur).
1.5. Metodologi
Penyusunan dokumen STRADA REDD+ Aceh ini dilakukan dengan dukungan
kombinasi teknik pendekatan, yaitu: (a) studi data primer dan data sekunder, seperti
laporan dan juga peraturan kebijakan terkait (on desk study) dari tingkat Nasional,
Provinsi dan Kabupaten/Kota, dilanjutkan dengan (b) pelaksanaan konfirmasi data/
informasi yang telah dihimpun (dan sebagian diolah) dengan para pihak (stakeholders)
dan Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) terkait; serta (c) konsultasi draft laporan
melalui diskusi terfokus (Focused Group Discussion/FGD) dalam lokakarya yang diikuti
parapihak (Akademisi, Organisasi Non Pemerintah, Masyarakat) dan SKPD terkait di
tingkat Provinsi serta Kabupaten/Kota.
Tahapan dan metoda yang digunakan dalam penyusunan dokumen SRAP
REDD+ ini secara lengkap disajikan pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1. Tahapan dan metoda yang digunakan dalam penyusunan dokumen SRAP
REDD+
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH8
Sebagai catatan, walaupun dokumen SRAP REDD+ Aceh ini berkaitan dengan
arahan strategi dan rencana aksi Provinsi untuk tujuan jangka pendek (2011-2013);
jangka menengah (2014-2020) dan jangka panjang (2021-2030), akan tetapi tidak
berartibahwadokumenyangdihasilkanbersifatfinal.Akandilakukanpemantauandan
evaluasi sesuai dengan dinamika sosial, politik dan ekonomi (lokal, nasional dan bahkan
global) dan oleh karenanya secara periodik dalam hal ini pada setiap 5 (lima) tahun
sekali akan dilakukan tinjauan ulang dan bilamana perlu akan dilakukan revisi.
9BAB II
BAB IIKONDISI DAN PERMASALAHAN
2.1. Kondisi Kawasan Hutan di Aceh
Hutan merupakan anugerah dari Allah SWT, sebagai salah satu sumberdaya
alam yang dapat diperbaharui dan memegang peranan penting dalam memberikan
jaminan kelangsungan hidup manusia dan lingkungan. Sebagai salah satu sumberdaya
alam hutan memiliki fungsi ekonomi dan sosial sekaligus mempunyai fungsi lindung
dalam perannya sebagai pengatur tata air, penahan erosi, produser oksigen, pengikat
dan penyerapan gas rumah kaca yang berpotensi menimbulkan perubahan iklim, dan
sebagaihabitatbagifloradanfauna.
Sebagai sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) hutan
yang terdiri dari berbagai jenis pohon dan biodiversity di dalamnya memiliki siklus dan
interaksi yang berjalan secara berimbang, melalui pembagian peranan dalam tatanan
ekosistem yang saling mempengaruhi. Hilangnya salah satu komponen penyusun dalam
ekosistem hutan akan berpengaruh langsung pada tatanan dan siklus keseimbangan
ekosistem sehingga berpengaruh pada penurunan daya dukung hutan yang sekaligus
juga berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan. Implikasi konkret dari degradasi
dan penurunan fungsi ekologi hutan diantaranya adalah terjadinya peningkatan
frekuensi bencana alam seperti banjir, kekeringan, longsor dan bencana ekologi lainnya.
Hutan Aceh terbentang dari ujung Barat pulau Sumatera, sampai dengan
perbatasan wilayah administrasi propinsi Sumatera Utara. Hutan Aceh memiliki
karakteristikberbedaantarasatuwilayahdenganwilayahlainnyasecarabiofisik,struktur
penyusun, fungsi maupun peruntukannya yang sebagian besar dipengaruhi faktor faktor
edafismaupunklimatis.WilayahpesisirAcehmerupakanwilayahdataranrendahyang
memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan memiliki wilayah hutan yang tidak begitu
luas. Sedangkan sebagian besar wilayah dataran tinggi Aceh merupakan areal hutan
yang sangat luas yang terbentang dari wilayah ekosistem Ulu Masen di bagian Utara
dan Barat meliputi 6 kabupaten (Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Jaya, Aceh Barat
dan sebagian kecil pada wilayah Aceh Tengah) serta wilayah Ekosistem Leuser di bagian
Selatan, Tengah dan Tenggara Aceh meliputi 13 kabupaten/kota (Aceh Barat, Nagan
Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Subulussalam, Aceh Singkil, Aceh Utara, Aceh
Timur, Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues)
Sejarah kawasan hutan di Aceh dimulai sejak zaman Belanda dimana pada zaman
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH10
Belanda telah ditetapkan kawasan hutan di Provinsi Aceh sebanyak 3 (tiga) kelompok
hutan, yaitu :
1. Kroeengatjeh Utara, yang ditunjuk dengan Gouvernementsbesluit van 15 Juli 1933 Nomor 15, proses verbal tanggal 3 Agustus 1939 dan tanggal 8 September 1939, ditetapkan tanggal 18 Desember 1939 seluas 14.685 hektar;
2. Kroeengatjeh Timur, yang ditunjuk dengan Gouvernementsbesluit van 12 Desember 1929 Nomor 19, proses verbal tanggal 26 April 1940 dan tanggal 27 April 1940, ditetapkankan tanggal 5 Agustus 1940 seluas 29.745 hektar;
3. Oost – Langsa, yang ditunjuk dengan Gouvernementsbesluit van 26 November 1936 Nomor 141/Agr, proses verbal 3 Oktober 1938, yang disahkan tanggal 26 Oktober 1938 dan ditetapkan tanggal 6 Desember 1938 seluas 29.795 hektar.
Atas kesepakatan multi stakeholder, pada tahun 1982 dibuat Tata Guna Kesepakatan (TGHK) Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Tata Guna Hutan Kesepakatan tersebut disepakati dan ditandatangani oleh :
1. Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Aceh;
2. Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh;
3. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Daerah Istimewa Aceh;
4. Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Daerah Istimewa Aceh;
5. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Transmigrasi Provinsi Daerah Istimewa Aceh;
6. Kepala Direktorat Agraria Provinsi Daerah Istimewa Aceh;
7. Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Daerah Istimewa Aceh;
8. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Daerah Istimewa Aceh;
9. Kepala Balai Planologi Kehutanan Wilayah I.
Hasil kesepakatan tersebut selanjutnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 924/Kpts/Um/12/1982 tanggal 12 Desember 1982 dimana Wilayah Hutan Aceh luasnya mencapai ± 3.475.010 hektar. Tata Guna Hutan kesepakatan tersebut disajikan pada Gambar 2.1.
11BAB II
Gambar 2.1. Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan Provinsi D.I. Aceh
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Pemerintah Provinsi diamanatkan untuk menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Sesuai dengan amanat UU tersebut Pemerintah Provinsi D.I. Aceh Menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Daerah Istimewa Aceh yang kemudian ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 9 Tahun 1995.
Terdapat beberapa ketidakselarasan antara kawasan hutan di dalam Peta RTRWP Aceh dengan Peta TGHK yang telah ditetapkan sebelumnya. Menindaklanjuti hal tersebut Menteri Dalam Negeri melalui Surat Edaran Nomor 050/1752/Bangda tanggal 21 Agustus 1998 dan surat Nomor 050/2221/Bangda tanggal 9 September 1998 memerintahkan untuk melakukan paduserasi antara RTRWP dengan TGHK dan kemudian dilakukan paduserasi antara TGHK dengan RTRWP Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH12
Hasil paduserasi secara prinsip disetujui oleh DPRD Provinsi D.I. Aceh yang dituangkan dalam Surat Ketua DPRD D.I. Aceh Nomor 650/2216 Tanggal 8 Mei 1999 tentang Persetujuan Prinsip Penyesuaian Arahan Fungsi Hutan ke dalam RTRWP Daerah Istimewa Aceh. Hasil paduserasi tersebut selanjutnya ditetapkan oleh Gubernur Aceh melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh Nomor 19 Tahun 1999 tentang Penyeseuaian Arahan Fungsi Hutan ke dalam RTRWP Daerah Istimewa Aceh.
Berdasarkan hasil paduserasi TGHK dengan RTRWP Daerah Istimewa Aceh yang telah disetujui oleh DPRD dan telah ditetapkan oleh Gubernur Aceh, maka ditunjuk kembali kawasan hutan dan perairan di Provinsi Aceh dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 170/Kpts-II/2000 tanggal 29 Juni 2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh seluas ± 3.332.047 hektar dengan rincian sebagaimana yang tercantum dalam Tabel 2.1. dan pada Gambar 2.2.
Tabel 2.1 Luas Kawasan Hutan Aceh Menurut Fungsi dan Sebarannya di Kabupaten/Kota
Berdasarkan SK Menhutbun No.170/Kpts-II/2000 Dihitung Secara Planimetris
Sebagian besar kawasan hutan tersebut berfungsi sebagai hutan lindung (55,30%) dan hutan konservasi (25,56%) sedangkan sisanya sebagai hutan produksi tetap (18,03%) dan hutan produksi terbatas (1,11%). Permasalahan pengelolaan kawasan hutan di Aceh sebagian besar dipicu dari tidak jelasnya status hukum kawasan hutan di lapangan yang disebabkan belum terselesaikannya proses pengukuhan dan penetapan kawasan hutan setelah lahirnya penunjukan kawasan hutan (TGHK/1982) dan selanjutnya melalui (SK. Menhut No. 170 tahun 2000). Kepastian hukum kawasan hutan di lapangan yang disepakati dan dipahami secara multi pihak mutlak diperlukan dalam upaya perbaikan tata kelola sektor kehutanan ke arah yang lebih baik.
13BAB II
Gambar 2.2. Peta Kawasan Hutan Aceh SK Gubernur Aceh No. 19, Tanggal 19 Mei 1999
dan SK Menhutbun RI No. 170/Kpts-II/2000
2.2. Kondisi Perizinan Sektor Kehutanan di Aceh
Filosofi dalam penebangan hutan (logging exploitation) adalah bahwa hutan merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbarui (renewable resources) melalui pengelolaan tertentu. Pohon sebagai individu penyusun hutan mempunyai grafikpertumbuhan berbentuk sigmoid. Artinya, setelah pada umur tertentu mencapai laju pertumbuhan maksimalnya, pohon akan mengalami penurunan laju perumbuhan dan pada akhirnya menuju kepada kematian alami (over maturity).
Pohon-pohon yang mati tersebut akan digantikan oleh pohon lain yang lebih muda (suksesi alami), dan hal ini berlangsung sepanjang waktu. Tanpa ditebangpun pada akhirnya pohon-pohon yang berada di hutan yang sudah mencapai kondisi klimaks
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH14
akan mati dan digantikan oleh pohon lain. Jadi, penebangan pohon yang dilakukan secara terencana dan terukur dimaksudkan sebagai pemanfaatan dan peningkatan efisiensidarikemubaziranprosesalamiahyangterjadipadahutan.
Dalam kontek pengurusan dan pengelolaan hutan, dasar pemikiran di atas diinterpretasi dan diimplementasikan dalam aktifitas pemanfaatan hutan (forest utilization). Seperti halnya pengelolaan hutan di Indonesia secara umum, kebijakan pemanfaatan hutan alam dan hutan tanaman di Aceh juga mengikuti kebijakan nasional. Namun permasalahan kondisi keamanan dan kondisi konflik bersenjata, berdampakpada pemanfaatan hutan alam dan hutan tanaman tidak berjalan secara optimal seperti halnya di luar Aceh.
Konflik menyebabkan kegiatan investasi di sektor kehutanan mengalamistagnasi meskipun secara terbatas tetap beroperasi dan berproduksi dalam skala yang lebih kecil. Beberapa perizinan dan atau konsesi pemanfaatan hutan alam dan tanaman diberikan sebelum tahun 2007 atau sebelum kebijakan moratorium logging diterapkan oleh Pemerintah Aceh. Sejak kebijakan moratorium logging diterapkan di Aceh mulai tanggal 6 Juni 2007, praktis tidak ada satupun izin pemanfaatan hutan alam dan hutan tanaman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat di Aceh.
Berdasarkan statistik Dinas Kehutanan Aceh tahun 2011, konsesi pemanfaatan hutan yang masih berlaku izin terdiri dari Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) sebanyak 5 unit izin dengan luas areal kerja ± 312.460 hektar (Tabel 2.2) dan IUPHHK-HT sebanyak 8 unit izin dengan luas areal kerja ± 247.265 hektar (Tabel 2.3).
Tabel 2.2. Daftar IUPHHK-Hutan Alam di Provinsi Aceh
No. Nama Perusahaan No.SK HPH/Tanggal
Luas (Ha)
Izin HPHBerakhir Lokasi
Sisa Berakhir
IzinAktifitas
1 PT. Hargas Industries Ind
741/Menhut-IV/19946 Juni 1994 59.910 6 Juni 2014 Kota Subulus-
salam ± 4 Tahun Tidak Aktif
2 PT. Lamuri Timber 863/Kpts-VI/199912 Oktober 1999 44.400 14 Nopember
2034Kab. A. Jaya, A. Barat, Pidie ± 24 Tahun Tidak Aktif
3 PT. Aceh Inti Timber 859/Kpts-VI/199912 Oktober 1999 80.804 9 Juli 2049 Kab. Aceh
Jaya ± 39 Tahun Tidak Aktif
4 PT. Raja Garuda Mas Unit II
851/Kpts-VI/199911 Oktober 1999 96.500 11 Agustus
2052Kab. Aceh Barat ± 42 Tahun Tidak Aktif
5 K o p o n t r e n Najmussalam
876/kpts-II/199914 oktober 1999 30.846 14 Oktober
2054 Kab. Bireun ± 44 Tahun Tidak Aktif
Jumlah 312.460
Sumber: Dinas Kehutanan Aceh, 2011
15BAB II
Tabel 2.3 Daftar IUPHHK-HTI di Provinsi Aceh
No Nama Perusahaan No. SK. HPHTI/ Tanggal Luas (Ha) Izin Berakhir
L u a s Tanaman s.d saat ini (Ha)
Lokasi Keterangan
1 PT. Gunung Medang RayaUtama Timber
495/Kpts-II/19921 Juni 1992
7.300,00 1 Juni 2045 3.627,00 Kab. Aceh Timur -
2 PT. Tusam Hutani Lestari
556/Kpts-II/19971 September 1997
97.300,00 12 Mei 2035 13.158,00 Kab. A. Tengah Kab. B. Meriah
-
3 PT. Aceh Nusa Indrapuri
95/Kpts-V/199717 Februari 1997
111.000,00 5 Agust 2035 22.458,00 Kab. A. Besar Kab. Pidie
-
4 PT. Rimba Wawasan Permai
558/Kpts-II/19971 September 1997
5.200,00 15 Juli 2035 1.600,00 Kab. Aceh Timur -
5 PT. Rimba Penyangga Utama
195/Kpts-II/19974 April 1997
6.150,00 21 Peb 2035 2.474,00 Kab. Aceh Timur -
6 PT. Rimba Timur Sentosa
262/Kpts-II/19974 April 1997
6.250,00 25 Sept 2053 2.130,00 Kab. Aceh Timur -
7 PT. Aceh Swaka WanaNusa Prima
529/Kpts-II/199715 Agustus 1997
7.050,00 21 Sept 2035 1.343,00 Kab. Aceh Utara Telah dicabut (SK MenhutN o . S K . 2 5 0 /M E N H U T -II/2011tanggal 3 Mei 2011)
8 PT. Mandum Payah Tamita
522/052/200323 Desember 2003
8.015,00 23 Des 2053 - Kab. Aceh Utara -
Jumlah 247.265,00 46.790,00
Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Aceh, 2011
2.3. Kondisi Deforestasi dan Degradasi Hutan Aceh
Menurut UN FAO, deforestasi adalah suatu kondisi dimana tutupan kanopi area berhutanberkurangsebesar10%ataukurangdariitu.Merujukpadadefinisiini,hutandi Indonesia sudah tergolong rusak. Selama tahun 1990-2000, tingkat deforestasi sudah mencapai 1,2% dibandingkan dengan total deforestasi dunia sebesar 0,2% (Bulte and Engel, 2006).
Dalam tatanan Aceh, sebelum kebijakan moratorium logging diberlakukan pada tanggal 6 Juni 2007, fakta kondisi hutan Aceh sudah pada posisi yang memerlukan perhatian secara serius, hal ini dapat dilihat dari trend kehilangan tutupan hutan yang dipantau oleh berbagai pihak, serta jika didasarkan atas beberapa indikator lainnya seperti intensitasbanjirdanlongsor,kebakaranhutandanlahan,sertakonflikkepentingandi
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH16
sektor kehutanan yang terus meningkat. Terdapat beberapa kepentingan yang saling kontradiktif dan bersifat dilematis dalam pengelolaan disektor kehutanan. Satu sisi, adamasalahbencanadankonflikyangmenimbulkankerugianyangtidaksedikitdandisisi lain ada dorongan melakukan ekstraksi terus menerus untuk memenuhi kebutuhan kayu guna rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, selain sektor kehutanan selama ini sudah distigmakan sebagai sumber pendapatan bagi pusat dan daerah.
Salah satu penyebab deforestasi adalah buruknya pengelolaan dan kinerja pengoperasian konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (dulu disebut HPH). Lemahnya sistem pengawasan dan pelaksanaan silvikultur pada hutan alam, maupun hutan tanaman menjadikan sumberdaya hutan terkesan diektraksi tanpa koridor dan aturan yang berakibat terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas tutupan hutan alam yang diusahakan, bahkan pada beberapa kasus terjadi konversi terhadap kawasan hutan.
Selain buruknya pengelolaan IUPHHK-HA/HPH, laju kerusakan hutan juga dipicu oleh aktivitas illegal logging yang terus terjadi. Pada tahun 2006, terdapat sekitar 120.209,50 m3 kayu dari hasil illegal logging berhasil disita. Angka ini mengalami kenaikan empat kali lipat dari tahun sebelumnya, yaitu sekitar 33.249,25 m3. Berdasarkan data kajian spatial Tipereska (Tim terpadu) tahun 2008, tutupan hutan Aceh pada tahun 1945 tercatat 4.908.019 ha, sampai dengan tahun 1980 hutan Aceh tersisa hingga 4.085.741 ha atau kehilangan luas hutan sekitar 822.278 ha. Dengan demikian, laju kerusakan hutan pada periode tersebut adalah 23.494 ha per tahun. Sedangkan pada periode 1980 sampai dengan tahun 1990 total deforestasi hutan Aceh sebesar 383.436 ha atau 38.344 ha per tahun, karena hutan yang tersisa adalah 3.702.305 ha.
PadasaatberlangsungnyakonflikbersenjatadiAceh pada periode 1990 hingga 2000, hutan Aceh terdeforestasi sebesar 346.426 ha atau laju kerusakan pada periode yang sama adalah 34.643 ha per tahun. Pada periode 2000 hingga 2006 total deforestasi hutan Aceh selama kurang lebih 6 tahun adalah sebesar 184.560 ha, laju kerusakan hutan Aceh mencapai 30.760 ha per tahun, dan pada tahun 2006 existing tutupan hutan Aceh yang tersisa adalah ± 3.171.319 ha.
Selanjutnyapadapascakonflikperiodetahun2006hingga2009totaldeforestasihutan Aceh sebesar 92.497 ha atau laju kerusakan hutan Aceh sebesar 23.124 ha per tahunnya. Secara keseluruhan uraian situasi deforestasi di atas dapat dilihat pada Tabel 2.4. dan Gambar 2.3.
17BAB II
Tabel 2.4. Situasi Deforestasi Hutan Aceh periode 1945 – 2009
Tahun Luas Hutan (ha) Deforestasi (ha) Laju deforestasi (ha/tahun)
1945 4.908.019 - -1945 – 1980 4.085.741 822.278 23.4941981 – 1990 3.702.305 383.436 38.3441991 – 2000 3.355.879 346.426 34.6432001 – 2006 3.171.319 184.560 30.760Rata-rata deforestasi 1945 – 2009 1.684.384 26.318Rata-rata deforestasi sebelum konflik (1945 – 1990) 1.205.714 34.449Rata-rata deforestasi selama konflik (1990 – 2006) 914.422 57.151
Sumber: Kajian Spatial Tipereska 2008, dan working group analysis deforestasi hutan Aceh
(Dinas Kehutanan Provinsi Aceh, Aceh Green, BPKEL, FFI, dan YLI tahun 2009)
Gambar 2.3. Peta Deforestasi Aceh PeriodeTahun 1945 s/d 2006
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH18
Dampak yang ditimbulkan akibat deforestasi tersebut memberikan efek ganda (multiplier effect) khususnya di lingkungan Provinsi Aceh. Beberapa dampak yang memberikan kerugian langsung adalah kebencanaan seperti banjir dan tanah longsor, hingga kebakaran hutan dan lahan. Akibat yang ditimbulkan tidak saja mengancam kehidupan masyarakat sekitar namun juga berpengaruh pada stabilitas sosial dan ekonomi di Provinsi Aceh. Kondisi luas tutupan lahan, deforestasi dan degradasi lahan di Aceh dapat dilihat pada Tabel 2.5. dan Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Peta Deforestasi Aceh PeriodeTahun 2006 s/d 2009
19BAB II
Ta
bel
2.5
. Tu
tup
an
La
ha
n, D
efo
rest
asi
da
n D
egra
da
si H
uta
n A
ceh
NoKE
TERA
NGAN
Jeni
s Hut
an
Kaw
asan
Hut
an
APL
TOTA
LHu
tan
Teta
pHP
KJu
mlah
KSA-
KPA
HLHP
THP
Jum
lahJu
mlah
%
12
34
56
78
910
1112
13
1Lu
as P
enut
upan
Laha
n (h
a) Ta
hun
2009
/2010
A. H
utan
780,
700
1,630
,400
25,70
037
2,300
2,809
,100
-2,8
09,10
037
6,70
03,1
85,8
0057
- H
utan
Prim
er53
5,500
638,
200
400
7,400
1,181
,500
-1,1
81,50
05,5
001,1
87,0
0021
- H
utan
Seku
nder
239,
500
990,
300
21,20
032
7,300
1,578
,300
-1,5
78,30
035
6,60
01,9
34,9
0034
- H
utan
Tana
man
5,700
200
-
37
,600
43,50
0-
43,50
014
,600
58,10
01
B. N
on H
utan
71,9
0021
4,10
011,
600
227,2
0052
4,80
0-
524,
800
1,907
,500
2,432
,300
43
C. Ti
dak A
da D
ata
-
-
-
1,7
001,7
00-
1,700
4,80
06,
500
-
Tota
l Lua
s Pen
utup
an La
han
Perio
de 20
09/20
1085
2,600
1,844
,500
37,30
060
1,200
3,335
,600
-3,3
35,6
002,2
89,0
005,6
24,6
0010
0
2An
gka D
egra
dasi
Huta
n Pe
riode
2006
-20
09 (h
a/th
)
A. H
utan
Prim
er- H
utan
seku
nder
3.73.7
--
-3.7
- Hut
an La
han
Kerin
g Prim
er- s
ekun
der
-3.7
-
-3.7
-
--
3.7
- Hut
an R
awa P
rimer
- sek
unde
r-
--
--
--
--
- Hut
an M
angg
rove
prim
er- S
ekun
der
--
--
--
--
-
B. H
utan
Prim
er- H
utan
Lain
nya
--
--
--
--
-
- Hut
an La
han
kerin
g prim
er- L
ainny
a-
--
--
--
--
- Hut
an R
awa p
rimer
- Lain
nya
--
--
--
--
-
- Hut
an M
angg
rove
Prim
er- L
ainny
a-
--
--
--
-
C. H
utan
Seku
nder
- Hut
an La
inny
a-
--
--
--
--
- Hut
an La
han
Kerin
g sek
unde
r- La
inny
a-
--
--
--
--
- Hut
an R
awa S
ekun
der-
Lain
nya
--
--
--
--
-
- Hut
an M
angg
rove
Seku
nder
- Lain
nya
--
--
--
--
Tota
l Ang
ka D
egra
dasi
Perio
de 20
06-20
09
3.7
--
3.7
3.7
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH20
NoKE
TERA
NGAN
Jeni
s Hut
an
Kaw
asan
Hut
an
APL
TOTA
LHu
tan
Teta
pHP
KJu
mlah
KSA-
KPA
HLHP
THP
Jum
lahJu
mlah
%
12
34
56
78
910
1112
133
Angk
a De
fore
stas
i Hu
tan
Perio
de 2
006-
2009
(ha/
th)
A. H
utan
Prim
er-
--
--
--
--
- H
utan
Laha
n Ke
ring P
rimer
--
--
--
--
- -
Hut
an R
awa P
rimer
--
--
--
--
- -
Hut
an M
angg
rove
Prim
er-
--
--
--
--
B. H
utan
Seku
nder
2,757
.03,3
49.6
618.
22,3
58.5
9,08
3.3-
8,90
1.622
,993
.131
,894
.7-
- H
utan
Laha
n Ke
ring S
ekun
der
1,338
.13,0
91.6
618.
22,2
85.4
7,333
.3
- 7
,333.3
12,17
6.1
19,50
9.4
- H
utan
Raw
a Sek
unde
r1,4
18.9
149.
4-
-1,5
68.3
-
1,56
8.3
10,8
17.0
12,38
5.3 -
Hut
an M
angg
rove
Seku
nder
-10
8.6
-73
.118
1.7
- 1
81.7
66.0
247.3
C. H
utan
Lain
nya*
--
-12
.512
.5
- 1
2.51,5
14.0
Tota
l Ang
ka D
efor
esta
si Hu
tan
Perio
de 20
06-20
092,7
57.0
3,349
.661
8.2
2,371
.09,
095.8
-
9,0
95.9
23,0
60.5
31,9
08.7
Sum
ber
:
- B
uku
Rek
alku
lasi
Pen
utup
an L
ahan
Ind
ones
ia T
ahun
200
9/20
10,
-
Buk
u P
engh
itun
gan
Deg
rada
si H
utan
Ind
ones
ia P
erio
de 2
00
6-20
09
-
Buk
u P
engh
itun
gan
Def
ores
tasi
Ind
ones
ia P
erio
de 2
00
6-20
10
-
Dir
ekto
rat J
ende
ral P
lano
logi
Keh
utan
an K
emen
tria
n K
ehut
anan
Tah
un 2
011
-
Dir
ekto
rat I
nven
tari
sasi
dan
Pem
anta
uan
Sum
ber
Day
a H
utan
21BAB II
Kondisi deforestasi dan degradasi hutan di Aceh juga dapat diindikasikan dari sebaran lahan kritis yang berada di wilayah Aceh, seperti terlihat pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6. Luas Kelas Kekritisan Lahan Propinsi Aceh Tahun 2010
No Kelas Kekritisan Lahan Luas (ha) Persen
1. Tidak Kritis 376,829.39 7.562. Potensial Kritis 2,379,533.58 47.713. Agak Kritis 1,595,885.10 32.004. Kritis 528,021.00 10.595. Sangat Kritis 107,091.53 2.15
Jumlah 4,987,360.60 100.00
Sumber : BPDAS Kr. Aceh, Tahun 2010
Data pada Tabel 2.6 menunjukkan bahwa wilayah yang tidak termasuk kategori kritis (potensial kritis dan tidak kritis) mempunyai luas yang cukup dominan, yaitu 55,27%, sedangkan yang termasuk kategori kritis (termasuk kelas agak kritis, kritis dan sangat kritis) meliputi 44,73 % luas wilayah SWP DAS Krueng Aceh.
Sedangkan jika didasarkan atas fungsi kawasan, sebaran lahan kritis di Aceh terluas berada di luar kawasan hutan dengan luas 1.258.363 hektar (25 % dari total luas wilayah pengelolaan BPDAS Kr. Aceh), dan di dalam kawasan hutannya dengan luas 983,470 Ha (19.72 % dari total luas wilayah pengelolaan BPDAS Kr. Aceh). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa terdapat praktek-praktek pengelolaan lahan skala luas yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi telah menyebabkan lahan kritis di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan seluas 2,241,833 ha atau sebesar 44.95 % dari total wilayah BPDAS Kr. Aceh yang luasnya 4,987,361 Ha. Sebaran lahan kritis di Aceh secara detil dapat dilihat pada Tabel 2.7.
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH22
Tabel 2.7. Luas Kekritisan Lahan menurut Fungsi Kawasan di Aceh
FUNGSI KAWASAN Luas (Ha) PersenA. DALAM KAWASAN 2,912,017 58.391. Hutan Lindung 1,768,592 35.46- Sangat Kritis 14,316 0.29- Kritis 108,008 2.17- Agak Kritis 391,224 7.84- Potensial Kritis 1,170,862 23.48- Tidak Kritis 84,182 1.692. Hutan Produksi 631,605 12.66- Sangat Kritis 46,417 0.93- Kritis 130,010 2.61- Agak Kritis 160,924 3.23- Potensial Kritis 285,042 5.72- Tidak Kritis 9,212 0.183. Hutan Konservasi 475,000 9.52- Sangat Kritis 4,925 0.10- Kritis 19,403 0.39- Agak Kritis 86,333 1.73- Potensial Kritis 354,966 7.12- Tidak Kritis 9,373 0.194. Hutan Produksi Terbatas 36,820 0.74- Sangat Kritis 6,120 0.12- Kritis 6,365 0.13- Agak Kritis 9,425 0.19- Potensial Kritis 14,910 0.30- Tidak Kritis - -B. LUAR KAWASAN 2,075,344 41.61- Sangat Kritis 35,023 0.70- Kritis 260,535 5.22- Agak Kritis 962,805 19.30- Potensial Kritis 580,042 11.63- Tidak Kritis 236,939 4.75 TOTAL 4,987,361 100.00
Sumber: Analisa Spasial Penentuan Lahan Kritis Tahun 2010 (BPDAS Kr. Aceh tahun 2010)
2.4. Emisi dari Sektor Penggunaan Lahan dan Hutan di Aceh
Hutan Aceh mempunyai peranan penting dalam mempangaruhi iklim secara global. Perubahan iklim global seperti yang terjadi pada dekade terakhir ini diperkirakan karenaterganggunyakeseimbanganenergiantarabumidanatmosfirakibatmeningkatnyakonsentrasi gas rumah kaca terutama karbondioksida (CO
2). Meningkatnya konsentrasi
CO2 disebabkan oleh pengelolaan lahan yang kurang tepat, seperti pembukaan dan
pembakaran hutan dalam skala luas, pengeringan dan pembukaan lahan gambut untuk
23BAB II
dialih-fungsikan menjadi lahan perkebunan dan pertanian. Oleh karena itu dalam perencanaan dan pengelolaan yang berkelanjutan, pengetahuan tentang ilmu dasar sangat diperlukan agar kebijakan pengelolaan sumberdaya alam (SDA) berorientasi pada pemanfaatan yang berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan. Bahkan sistem pengelolaan SDA yang berkelanjutan dapat memberikan nilai tambah pada pemulihan kerusakan lingkungan dan mengurangi emisi C (karbon) lepas ke udara.
Hutan alami merupakan penyimpan karbon tertinggi bila dibandingkan dengan lahan pertanian atau perkebunan. Hutan alami dengan keragaman jenis yang terdiri atas pepohonan berumur panjang merupakan gudang penyimpan C (karbon) tertinggi dibandingkan dengan lahan agroforestri maupun lahan pertanian lainnya. Hutan bila diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian, perkebunan atau bentuk fungsi yang lain maka jumlah karbon yang tersimpan akan terus mengalami penurunan. Padahal hutan alami (hutan primer) yang telah mengalami kerusakan, untuk pulih kembali ke bentuk struktur dan komposisi semula akan memerlukan waktu yang cukup lama (ratusan tahun).
Hutan berperan penting dalam siklus karbon global dan dapat berfungsi sebagai penghasil emisi (emitter) maupun penyerap emisi. Hasil inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) nasional dengan berbasis (base-year) tahun 2000 menunjukkan bahwa sektor kehutanan merupakan pengemisi GRK (net emitter) tertinggi, berasal dari deforestasi, degradasi, dan kebakaran hutan termasuk lahan gambut (2nd National Communication, 2009). Gambaran kontribusi emisi dari sektor penggunaan lahan dan hutan di Aceh diuraikan dalam dua sektor yaitu (1) sektor pertanian dan (2) sektor hutan dan lahan gambut.
2.4.1. Sektor Pertanian
Kegiatan pertanian dalam arti luas yang berkembang di wilayah Aceh dan diperkirakan menimbulkan tekanan terhadap lingkungan adalah pertanian tanaman pangan (padi dan palawija), perkebunan (besar dan rakyat), peternakan dan perikanan. Tekananterhadaplingkungantidakhanyaterjadisecarafisikakibatpenggunaanlahan(perluasan dan teknis pengolahan tanah), tetapi juga secara biologi dan kimia antara lain sebagai dampak penggunaan pestisida dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman, serta penyediaan unsur hara melalui pemupukan.
Pada pembahasan emisi sektor pertanian ini, tidak dibicarakan emisi dari pupuk maupun pestisida. Hasil perhitungan emisi dalam RAD-GRK Provinsi Aceh Tahun 2012, perkiraan emisi gas Metan (CH
4) dari lahan sawah Aceh dapat dilihat pada Tabel 2.8 dan
Gambar 2.5.
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH24
Tabel 2.8. Perkiraan Emisi Gas Metan (CH4) dari Lahan Sawah Aceh Tahun 2011
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Aceh dan Bapedal Aceh Tahun 2011
Gambar 2.5. Grafik Perkiraan Emisi Gas Metan (CH4) dari Lahan Sawah Aceh Tahun 2011
25BAB II
2.4.2. Sektor Hutan dan Lahan Gambut
Sektor hutan dan lahan gambut memberikan kontribusi terhadap peningkatan emisi Carbon. Perhitungan emisi berbasis lahan dilakukan berdasarkan metode Stock Difference, dengan menggunakan data tutupan lahan 2003 dan 2010 dari Badan Planologi Kementerian Kehutanan, serta data kawasan yang diturunkan dari Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) (Tabel 2.9). Dari ketiga data tersebut, diperoleh informasi luasan perubahan tutupan lahan dari tahun 2003 ke 2010 berdasarkan masing-masing kawasan. Hasil kalkulasi menunjukkan sumbangan emisi hutan dan lahan gambut dari masing-masing kawasan dapat dilihat dalam Tabel 2.10.
Tabel 2.10. memberikan informasi bahwa areal penggunaan lain dengan luas 2.148.033,94 ha (38,4%) dari luas total wilayah Aceh (5.593.797,40 ha) memberikan kontribusi emisi yang terbesar dibandingkan kawasan lainnya yaitu sebesar 61,5%)
Tabel 2.9. Data yang Digunakan untuk Memperkirakan Emisi Bidang Kehutanan dan
Lahan Gambut
No. Jenis Data Tahun Sumber
1. Hasil Intrepetasi Tutupan lahan dari Citra Landsat (Tier 2) 2003, 2010 Badan Planologi Kementerian Kehutanan
2. Draft Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) (Tier 3) 2012 Bappeda ACEH3. Rata-rata cadangan karbon pada beberapa tipe tutupan lahan
(Tier 2)2012 Badan Planologi Kementerian
Kehutanan
Sumber : RAD-GRK Prov. Aceh 2012
Tabel 2.10. Hasil Kalkulasi Sumbangan Emisi Kehutanan dari Masing-Masing Kawasan
KAWASAN Luasan (ha) F r a k s i luas
Emisi historis per tahun (tCO2-eq) SHARE
Cagar Alam 16.445,56 0,3% 0,00 0,0%Hutan Lindung 1.749.934,17 31,3% 1.698.185,40 11,3%Hutan Negara Bebas 80,90 0,0% 0,00 0,0%Area Penggunaan Lain 2.148.033,94 38,4% 9.209.060,61 61,5%Hutan Produksi 736.317,69 13,2% 1.465.601,60 9,8%Hutan Produksi Terbatas 38.065,45 0,7% 256.205,47 1,7%Hutan Suaka dan Wisata 1.133,28 0,0% 19.691,03 0,1%Suaka Margasatwa 45.158,54 0,8% 292.738,61 2,0%Taman Buru 85.300,59 1,5% 1.199,28 0,0%Taman Hutan Rakyat 5.718,09 0,1% 12.541,06 0,1%Taman Nasional 596.161,62 10,7% 467.735,35 3,1%Taman Wisata Alam/Hutan Wisata 26.624,28 0,5% - 0,0%Gambut Kawasan Hutan 48.39,77 0,9% 169.180,32 1,1%Gambut non Kawasan Hutan 96.023,51 1,7% 1.392.794,42 9,3%
Total 5.593.737,40 100% 14.984.933,15 100%
Sumber: Hasil Analisa RAD-GRK Prov. Aceh 2012
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH26
Berdasarkan sumbangan emisi dari masing-masing kawasan hutan, maka sumbangan emisi terbesar dari sektor Areal Penggunaan Lain (APL) yaitu sebesar 9.209.060,61 ton CO2. Emisi yang dihasilkan dari kegiatan deforestasi yang paling besar berasal dari kegiatan deforestasi yang tidak direncanakan seperti perambahan kawasan, peladang berpindah dan pembukaan wilayah perkebunan.
Kalkulasi Baseline Historical dilakukan untuk mendapatkan informasi emisi aktual yang terjadi akibat perubahan tutupan lahan. Kalkulasi ini menghasilkan perkiraan emisi dari perubahan tutupan hutan dan lahan, dari kalkulasi ini didapatkan perkiraan total emisi yang terjadi adalah 14.984.933,15 ton CO
2-e.
Hasil penghitungan mempergunakan software Abacus jumlah total persentase share (sumbangan) emisi kehutanan dari alih guna lahan untuk 5 (lima) kawasan adalah 83,29%, untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 2.11.
Tabel 2.11. Hasil Kalkulasi Sumbangan Emisi Kehutanan dari Masing-Masing Alih Guna
Lahan
No.Sumber Utama
ShareDari Menjadi
1 Hutan Lahan Kering Sekunder Semak Belukar 35.12%
2 Hutan Lahan Kering Sekunder Pertanian Lahan Kering Campur 19.29%
3 Hutan Rawa Sekunder Belukar Rawa 16.66%4 Hutan Rawa Sekunder Tanah Terbuka 5.22%5 Hutan Lahan Kering Sekunder Pertanian Lahan Kering 7.00%Total 83.29%
Sumber: Hasil Analisa RAD-GRK Prov. Aceh 2012
Sedangkan sumbangan/share emisi kawasan kehutanan dan gambut secara rangking dan kumulatif dapat dilihat pada Tabel 2.12.
27BAB II
Tabel 2.12. Rangking dan Kumulatif Sumbangan Emisi Kehutanan dan Gambut
Kawasan Penggunaan Lahan Sebelumnya Penggunaan Lahan Baru Emisi Rank Sumbangan Sumbangan kumulatifHutan Penggunaan Lain Hutan Lahan Kering Sekunder Semak Belukar 2,826,354 1 18.9% 18.9%Hutan Penggunaan Lain Hutan Lahan Kering Sekunder Pertanian Lahan Kering Campur 2,159,816 2 14.4% 33.3%Hutan Penggunaan Lain Hutan Rawa Sekunder Belukar Rawa 2,013,359 3 13.4% 46.7%Hutan Produksi Hutan Lahan Kering Sekunder Semak Belukar 1,122,697 4 7.5% 54.2%Hutan Lindung Hutan Lahan Kering Sekunder Semak Belukar 1,091,592 5 7.3% 61.5%Hutan Penggunaan Lain Hutan Rawa Sekunder Tanah Terbuka 767,962 6 5.1% 66.6%Hutan Penggunaan Lain Hutan Lahan Kering Sekunder Pertanian Lahan Kering 580,240 7 3.9% 70.5%Hutan Penggunaan Lain Hutan Lahan Kering Sekunder Tanah Terbuka 524,146 8 3.5% 74.0%Hutan Lindung Hutan Lahan Kering Sekunder Pertanian Lahan Kering Campur 418,355 9 2.8% 76.8%Gambut non Kawasan HutBelukar Rawa Belukar Rawa 403,161 10 2.7% 79.5%Taman Nasional Hutan Lahan Kering Sekunder Pertanian Lahan Kering 309,303 11 2.1% 81.5%Suaka Margasatwa Hutan Rawa Sekunder Belukar Rawa 292,739 12 2.0% 83.5%Gambut non Kawasan HutPerkebunan Perkebunan 257,241 13 1.7% 85.2%Gambut non Kawasan HutHutan Rawa Sekunder Belukar Rawa 146,618 14 1.0% 86.2%Hutan Produksi Terbatas Hutan Lahan Kering Sekunder Pertanian Lahan Kering Campur 145,662 15 1.0% 87.1%Gambut non Kawasan HutSemak Belukar Semak Belukar 141,265 16 0.9% 88.1%Gambut non Kawasan HutPertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering 118,265 17 0.8% 88.9%Hutan Produksi Hutan Lahan Kering Sekunder Pertanian Lahan Kering Campur 111,289 18 0.7% 89.6%Gambut non Kawasan HutPertanian Lahan Kering Campur Pertanian Lahan Kering Campur 110,970 19 0.7% 90.4%Hutan Produksi Terbatas Hutan Lahan Kering Sekunder Semak Belukar 105,958 20 0.7% 91.1%Hutan Produksi Hutan Lahan Kering Sekunder Perkebunan 103,508 21 0.7% 91.8%Hutan Lindung Hutan Lahan Kering Sekunder Pertanian Lahan Kering 92,346 22 0.6% 92.4%Gambut Kawasan Hutan Belukar Rawa Belukar Rawa 86,534 23 0.6% 93.0%Gambut non Kawasan HutPertanian Lahan Kering Campur Pertanian Lahan Kering 86,334 24 0.6% 93.5%Taman Nasional Hutan Lahan Kering Sekunder Semak Belukar 83,276 25 0.6% 94.1%Hutan Produksi Hutan Lahan Kering Sekunder Pertanian Lahan Kering 62,333 26 0.4% 94.5%Hutan Penggunaan Lain Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Tanaman 57,718 27 0.4% 94.9%Taman Nasional Hutan Lahan Kering Sekunder Pertanian Lahan Kering Campur 55,186 28 0.4% 95.3%Hutan Penggunaan Lain Hutan Rawa Sekunder Pertanian Lahan Kering 44,456 29 0.3% 95.6%Hutan Penggunaan Lain Hutan Mangrove Sekunder Belukar Rawa 39,847 30 0.3% 95.8%Gambut Kawasan Hutan Hutan Rawa Sekunder Belukar Rawa 35,158 31 0.2% 96.1%Gambut non Kawasan HutBelukar Rawa Perkebunan 33,006 32 0.2% 96.3%Gambut Kawasan Hutan Perkebunan Perkebunan 32,116 33 0.2% 96.5%Hutan Produksi Hutan Lahan Kering Sekunder Tanah Terbuka 30,756 34 0.2% 96.7%Gambut non Kawasan HutHutan Rawa Sekunder Pertanian Lahan Kering 28,060 35 0.2% 96.9%Hutan Penggunaan Lain Hutan Rawa Sekunder Perkebunan 25,801 36 0.2% 97.1%Hutan Penggunaan Lain Hutan Mangrove Sekunder Tambak 25,228 37 0.2% 97.2%Hutan Penggunaan Lain Pertanian Lahan Kering Campur Pertanian Lahan Kering 24,816 38 0.2% 97.4%Gambut non Kawasan HutSawah Sawah 24,084 39 0.2% 97.5%Hutan Penggunaan Lain Hutan Lahan Kering Sekunder Pertambangan 22,059 40 0.1% 97.7%Hutan Produksi Hutan Mangrove Sekunder Tambak 20,864 41 0.1% 97.8%Hutan Penggunaan Lain Belukar Rawa Tanah Terbuka 20,063 42 0.1% 98.0%Hutan Lindung Hutan Lahan Kering Sekunder Tanah Terbuka 20,049 43 0.1% 98.1%Gambut non Kawasan HutBelukar Rawa Pertanian Lahan Kering 19,851 44 0.1% 98.2%Hutan Suaka dan Wisata Hutan Lahan Kering Sekunder Semak Belukar 19,691 45 0.1% 98.4%Hutan Lindung Hutan Rawa Sekunder Perkebunan 19,540 46 0.1% 98.5%Hutan Lindung Hutan Mangrove Sekunder Tambak 18,291 47 0.1% 98.6%Taman Nasional Hutan Lahan Kering Primer Semak Belukar 15,947 48 0.1% 98.7%Hutan Penggunaan Lain Perkebunan Tanah Terbuka 15,731 49 0.1% 98.8%Hutan Lindung Belukar Rawa Tambak 15,360 50 0.1% 98.9%Hutan Penggunaan Lain Hutan Mangrove Sekunder Air 15,228 51 0.1% 99.0%Hutan Lindung Hutan Rawa Sekunder Tanah Terbuka 14,212 52 0.1% 99.1%Hutan Penggunaan Lain Hutan Mangrove Sekunder Pertanian Lahan Kering Campur 12,717 53 0.1% 99.2%Taman Hutan Rakyat Hutan Lahan Kering Sekunder Semak Belukar 12,541 54 0.1% 99.3%
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH28
2.5. Penyusunan Baseline Emisi GRK
Pengertian tentang Skenario Baseline Emisi (yang selanjutnya disebut dengan Baseline) yang digunakan dalam kegiatan ini mengikuti Buku Referensi Bappenas tentang Pedoman Pelaksanaan Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (Thamrinetal, 2011) yaitu: Sebuah perkiraan tingkat emisi dan proyeksi GRK dengan skenario tanpa intervensi kebijakan dan teknologi mitigasi dari bidang-bidang yang telah diidentifikasi dalam kurun waktu yang disepakati.
Baseline akan digunakan untuk menentukan target pengurangan emisi dan bersamaan dengan itu juga untuk mengkuantifikasikan dampak aksi mitigasi ataukebijakan yang dilaksanakan. Periode waktu yang digunakan adalah tahun 2011 sebagai tahun awal dan tahun 2021 sebagai tahun penutup.
Gambut non Kawasan HutPermukiman Permukiman 12,503 55 0.1% 99.4%Gambut Kawasan Hutan Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering 10,138 56 0.1% 99.4%Hutan Penggunaan Lain Hutan Lahan Kering Sekunder Perkebunan 9,996 57 0.1% 99.5%Hutan Penggunaan Lain Hutan Mangrove Sekunder Tanah Terbuka 7,837 58 0.1% 99.6%Gambut non Kawasan HutHutan Rawa Sekunder Perkebunan 5,934 59 0.0% 99.6%Hutan Produksi Belukar Rawa Tambak 5,655 60 0.0% 99.6%Hutan Produksi Terbatas Hutan Lahan Kering Sekunder Pertanian Lahan Kering 4,585 61 0.0% 99.7%Hutan Lindung Hutan Rawa Sekunder Belukar Rawa 4,446 62 0.0% 99.7%Hutan Penggunaan Lain Semak Belukar Pertanian Lahan Kering Campur 4,231 63 0.0% 99.7%Taman Nasional Hutan Rawa Sekunder Belukar Rawa 4,023 64 0.0% 99.8%Gambut non Kawasan HutSemak Belukar Pertanian Lahan Kering Campur 3,821 65 0.0% 99.8%Gambut Kawasan Hutan Sawah Sawah 3,516 66 0.0% 99.8%Hutan Produksi Hutan Tanaman Semak Belukar 3,128 67 0.0% 99.8%Hutan Produksi Hutan Mangrove Sekunder Tanah Terbuka 2,890 68 0.0% 99.8%Hutan Penggunaan Lain Pertanian Lahan Kering Sawah 2,787 69 0.0% 99.9%Hutan Produksi Hutan Mangrove Sekunder Belukar Rawa 2,420 70 0.0% 99.9%Hutan Penggunaan Lain Hutan Rawa Sekunder Semak Belukar 1,815 71 0.0% 99.9%Hutan Penggunaan Lain Belukar Rawa Pertanian Lahan Kering 1,627 72 0.0% 99.9%Hutan Penggunaan Lain Hutan Lahan Kering Sekunder Permukiman 1,533 73 0.0% 99.9%Gambut non Kawasan HutSemak Belukar Pertanian Lahan Kering 1,502 74 0.0% 99.9%Hutan Lindung Hutan Lahan Kering Primer Tanah Terbuka 1,326 75 0.0% 99.9%Gambut Kawasan Hutan Hutan Rawa Sekunder Perkebunan 1,258 76 0.0% 99.9%Hutan Penggunaan Lain Hutan Rawa Sekunder Sawah 1,233 77 0.0% 100.0%Taman Buru Hutan Lahan Kering Sekunder Semak Belukar 1,199 78 0.0% 100.0%Hutan Lindung Hutan Mangrove Sekunder Belukar Rawa 1,185 79 0.0% 100.0%Hutan Lindung Pertanian Lahan Kering Campur Pertanian Lahan Kering 787 80 0.0% 100.0%Hutan Penggunaan Lain Semak Belukar Pertanian Lahan Kering 741 81 0.0% 100.0%Hutan Penggunaan Lain Pertanian Lahan Kering Campur Sawah 539 82 0.0% 100.0%Hutan Lindung Hutan Rawa Sekunder Semak Belukar 488 83 0.0% 100.0%Hutan Penggunaan Lain Semak Belukar Tanah Terbuka 470 84 0.0% 100.0%Hutan Penggunaan Lain Hutan Tanaman Semak Belukar 358 85 0.0% 100.0%Gambut Kawasan Hutan Pertanian Lahan Kering Campur Pertanian Lahan Kering 269 86 0.0% 100.0%Hutan Lindung Hutan Lahan Kering Primer Hutan Lahan Kering Sekunder 208 87 0.0% 100.0%Gambut Kawasan Hutan Semak Belukar Semak Belukar 191 88 0.0% 100.0%Hutan Penggunaan Lain Pertanian Lahan Kering Permukiman 180 89 0.0% 100.0%Gambut non Kawasan HutBelukar Rawa Pertanian Lahan Kering Campur 154 90 0.0% 100.0%Hutan Penggunaan Lain Hutan Lahan Kering Sekunder Air 138 91 0.0% 100.0%Hutan Produksi Sawah Tanah Terbuka 47 92 0.0% 100.0%Hutan Penggunaan Lain Belukar Rawa Pertanian Lahan Kering Campur 31 93 0.0% 100.0%Gambut non Kawasan HutHutan Rawa Sekunder Semak Belukar 26 94 0.0% 100.0%Hutan Produksi Pertanian Lahan Kering Campur Rumput 8 95 0.0% 100.0%Hutan Produksi Belukar Rawa Pertanian Lahan Kering 7 96 0.0% 100.0%Hutan Penggunaan Lain Pertanian Lahan Kering Campur Rumput 4 97 0.0% 100.0%Gambut non Kawasan HutRawa Rawa - 98 0.0% 100.0%
29BAB II
Baseline disusun berdasarkan data dan informasi teknis dari Bidang Pertanian, Bidang Kehutanan dan Lahan Gambut. Sebagai referensi acuan dan perangkat bantu (tools) teknis yang digunakan adalah software Abacus versi 1.1.4.
Khusus untuk Bidang Pertanian dan Bidang Kehutanan dan Lahan Gambut mempergunakan software bantu lainnya yaitu program Geographic Information Systems (GIS) yang dimanfaatkan untuk mencari perhitungan luas dari berbagai kombinasiperubahanlahan.LuasperubahanlahaninidigunakansebagaiDataAktifitas(Activity Data). Selanjutnya kalkulasi untuk mendapatkan gambaran mengenai BAU dengan pendekatan historical dan forward looking diuraikan pada BAB IV.
2.6. Penyebab Deforestasi dan Degradasi Hutan di Aceh
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Hutan Aceh tidak luput dari ancaman deforestasi dan degradasi. Hal ini tidak hanya menyebabkan luas hutan Aceh mengalami penciutan melainkan juga dapat menimbulkan berbagai bencana alam seperti kekeringan, banjir, longsor dan kebakaran hutan. Dampak yang ditimbulkan tersebut tidak hanya bersifat lokal, melainkan juga bersifat regional, nasional, maupun internasional. Analisis penyebab deforestasi dan degradasi Hutan Aceh yang dihasilkan melaluiFGDpadaTahun2011dantelahdomodifikasiolehtimpenyusunSRAPAcehsebagai berikut :
2.6.1. Kepatuhan Terhadap Tata Ruang Yang Masih Lemah
RencanaTata Ruang Wilayah Aceh ditetapkan melalui suatu kesepakatan-kesekapatan yang melibatkan berbagai macam stakeholder, baik yang berada pada level kabupaten, provinsi, maupun pusat. Keputusan penetapan perencanaan ruang tersebut berperan sebagai cetak biru (blue print) dalam melaksanaan kegiatan pembangunan di Wilayah Provinsi Aceh. Pembangunan di Wilayah Aceh harus mengacu pada perencanaan ruang yang sudah disepakati bersama sehingga tidak menimbulkan tumpang tindih kepentingan yang pada akhirnya akan berdampak pada kerusakan lingkungan dan kelestarian dari sumberdaya alam.
Kepatuhan terhadap Tata Ruang mutlak diperlukan agar ruang yang tersedia dipergunakan sesuai dengan peruntukannya sehingga dapat menunjang kegiatan pembangunan yang optimal guna mendapatkan hasil pembangunan yang maksimal. Kepatuhan yang dimaksud tidak hanya pada tataran perencanaan pembangunan melainkan juga pada saat implementasi kegiatan pembangunan di lapangan.
Pada saat ini Aceh masih tergolong relatif lemah dalam hal kepatuhannya terhadap tata ruang. Berbagai penyimpangan telah terjadi. Fenomena tersebut menggambarkan bahwa pelaksanaan pembangunan di Aceh masih memberikan skala prioritas yang tinggi hanya untuk suatu sektor tertentu sehingga kepentingan untuk sektor lainnya kadang dilupakan. Penegakan hukum dengan prinsip memberikan efek jera bagi
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH30
pelanggaran tata ruang sebagai produk kesepakatan bersama mutlak diperlukan, selain juga dalam proses penyusunan revisi tata ruang yang saat ini sedang berjalan sedapat mungkin harus dapat melibatkan seluruh elemen yang terlibat, sebagai jaminan dalam membangun kesadaran dan konsistensi dalam penerapannya.
2.6.2. Konflik Tanurial
Konflik pemanfaatan lahan seringkali terjadi baik antara pemerintah denganmasyarakat, pemerintah dengan swasta, dan pihak swasta dengan masyarakat. Hal ini tidak hanya menyangkut dengan komitmen dalam pengaturan tata ruang, tetapi juga dalam hal proses penetapan areal untuk keperluan kegiatan investasi bagi privat sektor seperrti HGU untuk perkebunan, hutan tanaman industri, dan pertambangan.
Bila proses tersebut tidak berjalan dengan benar maka berpotensi menimbulkan konflik antara pihak perusahaan dengan masyarakat lokal sehingga masyarakatkehillangan assetnya untuk berusaha. Hal ini tentu akan menyebabkan masyarakat yang berada di sekitar hutan kehidupannya akan semakin sulit karena lahan usahanya tidak bisa dimanfaatkan lagi. Kondisi seperti itu tentu akan menimbulkan kerawanan terhadap kelestarian hutan akibat perambahan hutan dan illegal logging. Selain beberapa hal tersebut, permasalahan kepastian hukum kawasan hutan khususnya yang berbatasan langsung dengan areal budidaya masyarakat dan privat sektor juga belum terselesaikan.
Batas luar kawasan hutan pasca penunjukannya, harus ditetapkan melalui proses pengukuhan dengan kegiatan tata batas di lapangan yang tentunya harus mempertimbangkan hak-hak masyarakat lokal dan pihak ketiga lainnya. Saat ini, belum secara keseluruhan batas luar kawasan hutan di Aceh dikukuhkan dan atau ditetapkan, sehingga interpretasi terhadap batas kawasan yang dipahami dan disepakati secara multi pihak belum terbangun, belum lagi dtambah permasalahan sumber peta acuan yang digunakan berbeda-beda. Hal ini berakibat pada semakin maraknya kegiatan ektrasi dan ekplotasi terhadap sumberdaya hutan dan sumberdaya alam lainnya, sebagai akibat tidakjelasnyabataskawasanhutandanwilayahkelolayangsecarafisikdanadministrasidi pahami dan disepakati.
Pengabaian hak-hak masyarakat adat dalam hal ini adalah mukim atau dengan sebutan lainnya di Aceh juga memicu terjadinya permaslahan dalam pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya hutan. Sehingga perlu pengakuan dan keterlibatan secara penuh terhadap entitas masyarakat adat seperti mukim atau sebutan lainnya di Aceh dalam pengelolaan sumber daya alam dan hutan secara lebih konkret.
2.6.3. Institusi Pengelola Hutan yang Belum Efektif
Keberadaan institusi pemerintah yang berkaitan dengan pengelolaan hutan di Provinsi Aceh tidak hanya bersifat lokal tetapi juga bersifat nasional. Dalam memberikan pelayanannya, institusi-institusi tersebut seyogyanya beroperasi secara efektif dan efisien.Halinitidakhanyamenyangkutsistemmanajemeninternaldarimasinginstitusipengelolaan hutan melainkan bagaimana masing institusi tersebut dapat berinteraksi
31BAB II
dan bersinergi dengan baik untuk menciptakan suatu keterpaduan program pengelolaan hutan Aceh.
Untuk meningkatkan sistem manajemen internal harus didukung dengan ketersediaan sumberdaya manusia yang sesuai dan memiliki kemampuan profesionalitas yang tinggi. Tidak semua institusi pengelolaan hutan dijalankan oleh SDM yang memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai sehingga dalam menjalankan tugasnya kurang profesional danmemilikimotivasi dan kreatifitas yang rendah. Ada kecenderunganbahwa penempatan personil di dalam institusi pengelolaan hutan tidak memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai sehingga operasional kelembagaan berjalan kurang efektif, baik dari segi subtantif program maupun dalam manejemen keuangan.
Selain hal tersebut di atas, permasalahan kelembagaan pengelola hutan pada tingkat tapak menjadi kebutuhan dan tuntutan, sebagai jaminan dalam operasional pengelolaanhutanyangdapatdijalankansecaraefektif,efisiendanlestari.Penanganankehutanan di Aceh saat ini dilaksanakan oleh Dinas yang menangani sektor kehutanan yang berada di provinsi dan 23 kabupaten/kota, dan dalam operasionalnya lebih fokus dalam pengurusan hutan (forest administration) serta belum secara optimal mampu melaksanakan tugas pengelolaan hutan (forest management) yang meliputi: tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan (forest utilization), penggunaan kawasan hutan (forest use for non forestry purpose), rehabilitasi, reklamasi, perlindungan hutan serta konservasi alam.
Pembentukan lembaga pengelolaan hutan pada unit terkecil (tingkat tapak) akan dapat menjalankan fungsi pengawasan, pembinaan, perlindungan, konservasi dan kegiatanpengelolaanhutanlainnyasecaralebihefektifdanefisien,sehinggamenjadikankawasan hutan memiliki penanggung jawab dalam kontek pemangkuan kawasan serta lebih akomodatif dengan kondisi eksisting ekologi, ekonomi, sosial dan budaya setempat.
2.6.4. Transformasi Mata Pencarian Pasca Konflik Belum Optimal
Konflik yang berkepanjangan terjadi di Provinsi Aceh telah menimbulkankorban jiwa yang besar baik dari kalangan masyarakat luas, para pejuang, maupun aparat keamanan. Selain itu konflik yang berkepanjanganmenyebabkanmasyarakatAceh cenderung terfragmentasi kedalam 2 kutub, yaitu: (1) masyarakat yang hidup secara normal dan terlibat dalam proses kegiatan pembangunan dan (2) masyarakat yang berjuang untuk memenuhi keinginan aspirasi perjuangannya dan cenderung terkonsentrasi pada wilayah-wilayah yang sulit dijangkau oleh aparat keamanan.
Pasca perdamaian telah mendorong kelompok-kelompok masyarakat yang berjuang kembali berbaur dengan masyarakat Aceh lainnya. Dalam hal ini diperlukan suatu proses transformasi sosial dan ekonomi sehingga masyarakat Aceh kembali berbaur secara sempurna dan terlibat di dalam aktivitas pembangunan di Aceh secara normal. Proses tersebut tampaknya belum berjalan lancar sehingga sebagian kelompok masyarakat tersebut masih termajinalisasikan sehingga menimbulkan masalah-masalah sosial,sepertipenganggurandankonfliksosial.
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH32
Hal ini tentu harus dapat difasilitasi oleh pemerintah secara baik sehingga tidak berdampak terhadap kelestarian sumberdaya alam akibat kegiatan illegal dalam ekstraksi sumberdaya alam untuk memenuhi tuntutan ekonomi dalam kehidupan se hari-hari. Oleh sebab itu Pemerintah harus dapat menciptakan sumber-sumber alternatif usaha baru, beserta bimbingan teknis dan fasilitasi yang dapat memberdayakan kelompok masyarakat tersebut menuju kemandirian, dengan program dan kegiatan yang tentunya tidak menimbulkan masalah baru dalam aspek lingkungan dan sumberdaya hutan sehingga mereka dapat berkontribusi dalam pelaksanaan pembangunan di Aceh.
2.6.5. Skema Insentif dan Disinsentif Belum Dijalankan
Konsep pelaksanaan pembangunan pada saat ini masih terfragmentasi berdasarkan administrasi pemerintahan sehingga pertimbangan keterpaduan ekologi sering terabaikan. Dengan kondisi seperti itu bisa saja tanggungjawab untuk menjaga kelestarian lingkungan tidak langsung melekat kepada penggunanya. Sebagai contoh dalam pengelolaan suatu DAS para pengguna jasa lingkungan yang berada di sebelah hilir dari suatu DAS tidak bertanggungjawab untuk menjaga kelestarian dari daerah hulunya (cacthment area) karena dibatasi oleh aspek administrasi pemerintahan. Begitupula halnya dengan kabupaten-kabupaten yang memiliki areal kawasan lindung yang relatif luas dimana dalam pelaksanaan pembangunan lebih banyak melakukan kegiatan program konservasi daripada kegiatan ekonomi karena ketersediaan lahan terbatas.
Oleh sebab itu perlu diciptakan skema insentif dan disinsentif sehingga proses subsidi silang dapat dilaksanakan dengan baik. Hal ini tentu dapat memberikan gairah bagi wilayah-wilayah yang berbatasan dengan kawasan konservasi untuk melaksanakan pembangunan dengan baik lewat dukungan pendanaan yang memadai, dengan lebih meminimalisir ektraksi sumberdaya alam.
2.6.6. Goverment (Political Will)
Kelestarian kawasan hutan Aceh juga sangat ditentukan oleh keberpihakan pemerintah terhadap penanganan berbagai issue tentang lingkungan dan kaitannya dengan aspek kehutanan. Cara pandang (paradigma) pemerintah yang baik terhadap keberadaan sumberdaya hutan tentu sangat baik dalam menciptakan kondisi yang kondusif untuk menyelamatkan hutan dari berbagai intervensi kegiatan sektor lainnya. Sebagai contoh kebijakan Moratorium Logging yang telah diberlakukan.
Berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan, Kebijakan Moratorium Logging tersebut telah berhasil memberhentikan aktivitas HPH yang beroperasi di Kawasan Hutan Aceh. Pada saat pemberlakukan kebijakan tersebut Pemerintah Aceh telah berhasil menekan laju kerusakan hutan akibat degradasi hutan dan deforestasi, hanya saja permasalahannya adalah moratorium logging tersebut diberlakukan hanya untuk meghentikan atau memberikan jeda tebang bagi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam /IUPHHK-HA (HPH), sehingga perlu kebijakan yang lebih efektif
33BAB II
untukmenekandanmeminimalisiraktifitasyangmengancamkelestariansumberdayaalam yang lebih komprehensif seperti melalui penerapan kebijakan moratorium konversi.
Lahirnya sebuah kebijakan yang akan menentukan kualitas pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam, sangat dipengaruhi oleh pemahaman dari pengambil kebijakan itu sendiri, sehingga internalisasi konsep pengelolaan sumberdaya alam yang proporsional dan berkelanjutan sangat diperlukan untuk dijalankan baik secara struktural, maupun secara fungsional.
2.6.7. Konflik Regulasi Kewenangan
Aceh melalui UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memiliki kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam yang berada di wilayah aceh. Mengingat regulasi tersebut belum memilki aturan pelaksanaan sampai dengan saat ini, sehingga pemerintah pusat masih menerapkan peraturan dan perundangan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang bersifat nasional dengan kecenderungan diseragamkan dan mengabaikan kewenangan yang dimiliki Pemerintah Aceh, serta nilai-nilailokalitasbiofisik,sosialdanbudayayangadadiAceh.
Implikasi selanjutnya adalah tupoksi yang saling tumpang tindih sebagai akibat lahirnya kebijakan tersebut yang belum memiliki pengaturan yang jelas, sehingga institusi-institusi yang menangani pengelolaan sumber daya alam dan hutan cenderung berjalan kurang efektif. Oleh sebab itu diperlukan upaya sinkronisasi sehingga kelembagaan pengelolaan hutan Aceh dapat berjalan secara harmonis dan saling bersinergi dengan baik dengan institusi-institusi lain dalam pengelolaan hutan Aceh.
2.6.8. Persepsi Terhadap Kawasan Hutan dan Sumber Daya Alam yang dibatasi Secara Administratif
Hutan sebagai suatu sistem ekologi di alam secara alami memiliki bentuk interaksi yang saling terkait dalam hubungan saling ketergantungan yang unik. Pola tersebut menjadi penyeimbang yang sangat efektif dalam sistem kehidupan yang lebih luas. Fungsi dari ekosistem hutan tersebut memiliki struktur yang sangat berbeda dengan sistem administratif yang dikembangkan sebagai pembatas wilayah teritorial kekuasaan dan kewenangan.
Penggunaan batas administratif sebagai dasar dalam mendileniasi areal/wilayah pengelolaan sumber daya alam tentunya akan mengesampingkan karakteristik ekosistem pendukunganya. Hal ini mengakibatkan mekanisme pemanfaatan sumberdaya alam (hutan) menjadi tidak terkontrol, susah untuk dipulihkan baik secara alami maupun melalui intervensi. Kondisi tersebut juga membentuk paradigma politis dan sektoral yang memposisikan hutan sebagai aset ekonomi dan komoditi semata. Masing-masing wilayah administratif memandang hutan dan sumber daya alam hanya sebagai barang/
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH34
komoditi yang harus digunakan sebesar-besarnya untuk mendongkrak pembangunan wilayah, tanpa mempertimbangkan dampak bagi ekosistem yang tentunya jauh melintasi sekat-sekat batas administrasi yang diciptakan.
2.6.9. Sumber Alternatif Kayu.
Tingkat kebutuhan kayu Provinsi Aceh mencapai 394.511 m3 kayu olahan dan 732.941,33 m3 kayu bulat. Beberapa kabupaten/kota membutuhkan kayu yang relatif besar yaitu Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Barat, dan Kabupaten Aceh Tamiang untuk kayu olahan dan kayu bulat. Rekapitulasi kebutuhan kayu per kabupaten/kota untuk tahun 2008 di Provinsi Aceh dapat dilihat pada Tabel 2.13.
Tabel 2.13. Rekapitulasi Kebutuhan Kayu Per Kabupaten/Kota Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam untuk Tahun 2008.
Untuk memenuhi kebutuhan permintaan kayu tersebut maka akan memberikan tekanan terhadap sumberdaya hutan Aceh. Oleh sebab itu perlu dipikirkan strategi bagaimana untuk mengalihkan ke sumber-sumber non kayu secara bertahap untuk penggunaan tertentu di dalam konstruksi suatu bangunan. Proses pengalihan tersebut dapat dilakukan dengan upaya sosialisasi teknologi terhadap hal di atas dan disertai dengan pemberian insentif ekonomi. Insentif tidak hanya diberikan kepada penggunan
STRATEGI DAN RENCANA AKSI REDD+ ACEH I II- 32
Tingkat kebutuhan kayu Provinsi Aceh mencapai 394.511 m3 kayu olahan dan
732.941,33 m3 kayu bulat. Beberapa kabupaten/kota membutuhkan kayu yang
relatif besar yaitu Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh
Barat, dan Kabupaten Aceh Tamiang untuk kayu olahan dan kayu bulat.
Rekapitulasi kebutuhan kayu per kabupaten/kota untuk tahun 2008 di Provinsi
Aceh dapat dilihat pada Tabel 2.13.
Tabel 2.13. Rekapitulasi Kebutuhan Kayu Per Kabupaten/Kota Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk Tahun 2008.
Untuk memenuhi kebutuhan permintaan kayu tersebut maka akan memberikan
tekanan terhadap sumberdaya hutan Aceh. Oleh sebab itu perlu dipikirkan
strategi bagaimana untuk mengalihkan ke sumber-sumber non kayu secara
bertahap untuk penggunaan tertentu di dalam konstruksi suatu bangunan.
Proses pengalihan tersebut dapat dilakukan dengan upaya sosialisasi teknologi
terhadap hal di atas dan disertai dengan pemberian insentif ekonomi. Insentif
tidak hanya diberikan kepada penggunan tetapi kepada pihak pemroduksi yang
terlibat dalam menghasilkan produk non kayu, misalnya lewat skema kredit
35BAB II
tetapi kepada pihak pemroduksi yang terlibat dalam menghasilkan produk non kayu, misalnya lewat skema kredit perbankan, kemudahan dalam perizinan serta insetif lainnya yang mampu menstimulus pengembangan alternatif subtitusi dari kayu hutan alam dimaksud.
Selain beberapa hal tersebut di atas, pengembangan sumber-sumber penghasil kayu yang berasal dari proses budidaya pada lahan-lahan yang tidak produktif di dalam maupun di luar kawasan hutan (Hutan Rakyat, Hutan Tanaman Rakyat dll) perlu didorong melalui pemberian insentif dalam bentuk: regulasi, teknis dan pasar, sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan kayu yang ada di Provinsi Aceh.
2.6.10. Penegakan Hukum Masih Lemah
Dalam melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya hutan maka aspek monitoring dan pengawasan sangat diperlukan. Dengan menggunakan sistem monitoring berlapis (remote sensing, foto udara, dan ground check) maka kondisi hutan Aceh yang relatif luas dapat diketahui dengan cepat dan tepat, termasuk berbagai sumber ancaman yangsignifikanterjadidiKawasanHutanAceh. Seyogyanyainformasiyangberhargadari hasil monitoring perlu segera ditindaklanjuti dengan aspek penegakan hukum di lapangan. Dalam proses tersebut tentu institusi pengelola hutan harus bekerjasama dengan pihak aparat keamanan untuk melakukan pengawasan.
Aspek penegakan hukum terhadap kawasan hutan Aceh relatif masih lemah. Hal ini tidak hanya terkait dengan ketersediaan jumlah personil penegak hukum di lapangan tetapi juga terkait dengan sistem penanganan kasus dan profesionalitas dari aparat penegak hukum. Secara lebih konkret, penanganan tindak pidana lingkungan dan sumber daya alam harus mendapatkan penanganan prioritas dalam upaya penegakan hukumnya, serta bisa memberikan efek jera bagi para pelakunya.
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH36
37BAB III
BAB IIISTRATEGI REDD+ ACEH
Dengan banyaknya aspek yang perlu diperhatikan dan untuk menjaga kredibilitas serta efektivitas pelaksanaan REDD+, secara umum tahapan pelaksanaan REDD+ di Aceh akan meliputi: (1) Penyusunan strategi yang mencakup strategi daerah dan rencana aksi daerah REDD+, (2) Membangun kesiapan dan pelaksanaan tindakan awal berupa pembangunan infrastruktur prasyarat REDD+, pemenuhan kondisi pemungkin dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan awal, dan (3) Implementasi yang mencakup pengarusutamaan REDD+ dalam pembangunan, integrasi REDD+ ke dalam RPJMA dan implementasi penuh berdasarkan kriteria yang ditentukan.
Strategi Daerah dan Rencana Aksi REDD+ Aceh akan efektif apabila dapat diintegrasikan ke dalam proses perencanaan pembangunan dan pengambilan kebijakan serta pembangunan mekanisme penerapan REDD+. Selain itu, dukungan pembiayaan juga merupakan hal yang sangat penting dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan REDD+. Untuk mengawal pelaksananaan Strategi dan Rencana Aksi REDD+ berjalan dengan baik, perlu disusun kerangka kerja monitoring dan evaluasi sebagai pedoman monitoring dan evaluasi Strategi Daerah dan Rencana Aksi Daerah REDD+. Penerapan Strategi Daerah dan Rencana Aksi hanya akan efektif bilamana masuk dalam sistem perencanaan. Oleh karena itu pengarusutamaan Strategi Daerah dan Rencana Aksi REDD+ dalam sistem perencanaan merupakan suatu keniscayaan.
3.1. Keterkaitan REDD+ Aceh dengan Program Lain
Kerangka strategi REDD+ Aceh dibangun dan dikembangkan selaras dengan strategi nasional REDD+ Indonesia, strategi tersebut dikembangkan untuk mencapai tujuan jangka panjang yang dijabarkan sebagai berikut:
(1) Menurunkan emisi GRK yang berasal dari sektor pengguna lahan dan perubahannya serta kehutanan (Land Use, Land Use Change, and Forestry/LULUCF);
(2) Meningkatkan simpanan karbon;
(3) Meningkatkan kelestarian keanekaragaman hayati; dan
(4) Meningkatkan nilai dan keberlanjutan fungsi ekonomi hutan.
Strategi nasional REDD+ yang dijabarkan kedalam 5 pillar strategis merupakan acuan, dan selanjutnya diterjemahkan secara lebih rinci dalam strategi dan rencana aksi REDD+ Provinsi Aceh.
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH38
Inventarisasi permasalahan perubahan iklim serta pengembangan program-program penanggulangan telah diintegrasikan ke dalam Rencana Kerja Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA). Hal ini merupakan mandat dari beberapa peraturan perundang-undangan nasional yang memberikan aturan terkait tata ruang, kehutanan dan lingkungan hidup, yaitu UU 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Perpres 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, dan Perpres 71 tahun 2011 tentang Inventarisasi Gas Rumah Kaca.
Aturan perundang-undangan ini mengamanatkan Rencana Strategi REDD+ dikembangkan untuk menjadi acuan utama pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan perubahan iklim dalam bidang kehutanan dan pemanfaatan lahan.
Pada tingkat Provinsi Aceh, RAN GRK telah diterjemahkan melalui Peraturan Gubernur Nomor 85 Tahun 2012 tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Aceh (RAD GRK). Khusus untuk REDD+, Stranas REDD+ dan RAD GRK dituangkan menjadi Strategi dan Rencana Aksi Implementasi REDD+ Aceh untuk kemudian diadopsi ke dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan APBD.
3.1.1. Rencana Aksi Daerah (RAD) GRK
RAD-GRK merupakan dokumen yang menyediakan arahan bagi Pemerintah Daerah untuk melaksanakan berbagai kegiatan penurunan emisi, baik berupa kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam kurun waktu tertentu.
Rencana Aksi Daerah Penurunan Gas Rumah Kaca ACEH (RAD-GRK ACEH) mengimplikasikan aksi mitigasi di empat bidang prioritas, yaitu:1. Bidang Pertanian;
2. Bidang Kehutanan dan Lahan Gambut;
3. Bidang Energi dan Transportasi; serta
4. Bidang Industri dan Pengelolaan Limbah,
Penyusunan dokumen RAD-GRK ACEH berpedoman pada RAN-GRK dan ditetapkan melalui Peraturan Gubernur ACEH. Dimana rencana mitigasi masing-masing bidang prioritas terintegrasi dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang ACEH (RPJPA) 2005-2025, Rencana Tata Ruang Wilayah ACEH (RTRWA) 2012-2032 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah ACEH (RPJMA) 2012-2017.
Oleh karena itu, terkait dengan penyusunan dokumen Strategi REDD+ Aceh adalah bersumber dari RAD-GRK Aceh khususnya bidang kehutanan dan lahan gambut
39BAB III
3.1.2 Strategi Nasional REDD+
REDD+ akan dikembangkan dalam kerangka pembangunan rendah karbon dan ekonomi hijau untuk memastikan bahwa upaya penanganan perubahan iklim dari sektor penggunaan lahan dilakukan sejalan dengan kebijakan dan kebutuhan pembangunan berkelanjutan Indonesia. Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26 persen dari skenario pembangunan Business as Usual (BAU) pada tahun 2020 dengan dana sendiri tanpa mengorbankan pembangunan di sektor lain, atau 41 persen jika mendapatkan bantuan internasional. Pemerintah akan melakukan ini sejalan dengan upaya memacu pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen per tahun. Untuk mewujudkan komitmen ini pemerintah telah mengeluarkan Perpres 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan Perpres 71/2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional. REDD+ mendukung pencapaian target RAN-GRK dalam bidang pengelolaan hutan, lahan gambut dan pertanian.
Kerangka program REDD+ terdiri dari lima pilar strategis. Kelima pilar saling terkait satu sama lain dalam upaya mencapai tujuan REDD+. Kelima pilar tersebut dibagi menjadi 2 fase, yaitu; fase persiapan sebagai pra-syarat dan fase implementasi untuk mencapai tujuan jangka panjang REDD+.
1. Fase Persiapan
a. Kelembagaan dan Proses
b. Kerangka Hukum dan Peraturan
2. Fase Implementasi
a. Program-program Strategis
b. Perubahan Paradigma dan Budaya Kerja
c. Pelibatan Para pihak
Alur pikir keterkaitan strategi dan rencana aksi REDD+ Aceh dengan program lain dapat dilihat pada Gambar 3.1.
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH40
Gambar 3.1. Keterkaitan SRAP REDD+ Aceh dengan Program lain
Pera
(1
(2
(3
(4
(5
Strate(Memperbaatas ssistemyang tpenge
aturan Perun
) UU 26 tahRuang,
) UU 41 tahKehutana
) UU 32 tahPerlindunLingkung
) Perpres 6Rencana Emisi Ga
) Perpres 7Inventaris
Peratu2012Penu
P
(Merupa2011 Penu
egi Nasionalpunyai mandikan dan pen
seluruh aturam kelembagaterkait dengaelolaan hutan
ndang-Undan
hun 2007 ten
hun 1999 tenan, hun 2009 tenngan dan Penan Hidup, 61 tahun 201Aksi Nasions Rumah Ka71 tahun 201sasi Gas Rum
uran Gubern tentang Ren
urunan EmisiProvinsi Aceh
kan turunan tentang Renrunan Emisi
l REDD+: dat untuk menyelarasan yn perundang
aan sektor daan tata kelolan dan peman
Strategi
Renc
TINGKAT
TINGKAT
ngan Nasion
ntang Penata
ntang
ntang ngelolaan
1 tentang nal Penurunaaca, dan
1 tentang mah Kaca.
ur Nomor 85ncana Aksi Di Gas Rumahh (RAD GRK
dari Perpresncana Aksi N
Gas Rumah
elakukan yang diperlukg-undangan dan non-sektoa dan nfaatan lahan
dan Rencan
cana Kerja P
T PROVINS
NASIONAL
nal
aan
an
5 Tahun Daerah h Kaca K).
s 61 tahun asional
h Kaca)
kan dan
or
n)
na Aksi RED
Pemerintah (
I
L
RP2
PrioritLingkuPenge
RPJM A
(9) SuBe
(10) kuda
D+ Aceh
RKP)
PJM Nasiona2010 – 2014 tas ke-semb
ungan Hidupelolaan Benc
Aceh 2012 –Prioritas;
umber Daya erkelanjutan,ualitas lingkuan kebencana
al
bilan p dan cana
2017
Alam dan ngan aan
41BAB III
3.2. Kerangka Strategi REDD+ Aceh
Strategi REDD+ Aceh merupakan penjabaran dari strategi nasional REDD+ dan Rencana Aksi Daerah (RAD GRK) Provinsi Aceh, oleh karena itu baseline dari emisi GRK dari sektor pengguna lahan dan perubahannya serta kehutanan (Land Use, Land Use Change, and Forestry/LULUCF) dan driver atau sumber persoalan dari deforestasi dan degradasi hutan di Aceh pada dokumen RAD GRK akan menjadi baseline atau titik acuan.
Sedangkan kerangka Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ Aceh dibangun dengan menggunakan pendekatan lima pillar strategi nasional REDD+, dan dilaksanakan melalui dua tahapan atau fase, yaitu; (i) tahapan persiapan (enabling condition) sebagai prasyarat mutlak yang harus dipenuhi kemudian (ii) tahapan implementasi, yang akan dilakukan setelah kondisi pemungkinnya tercapai. Kerangka penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ Aceh dapat dilihat pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2. Kerangka Strategi dan Rencana Aksi Provinsi REDD+ Aceh
3.2.1. Kelembagaan REDD+ Aceh
Keberhasilan penerapan REDD+ di Provinsi Aceh sangat bergantung pada transformasi kelembagaan. Saat ini, kegiatan-kegiatan terkait dengan REDD+ (langsung dan tidak langsung) tersebar di berbagai Dinas/Badan/Instansi di Provinsi dan daerah.
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH42
Oleh karena itu, dibutuhkan koordinasi lintas lembaga pemerintahan di daerah, agar penerapan REDD+ dapat berjalan sinergis dan terkoordinasi dalam suatu sistem yang terpadu.
Lembaga REDD+ akan menjadi badan pusat independen yang bertanggung jawab langsung kepada Gubernur untuk memimpin dan mengoordinasikan kinerja daerah dalam melaksanakan pengurangan emisi Gas Rumah Kaca akibat deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia. Untuk dapat melaksanakan tugasnya secara efektif, lembaga REDD+ membutuhkan mandat dan kewenangan dengan dasar hukum yang kuat.
Lembaga REDD+ merupakan bagian dari lingkup penerapan REDD+ yang lebih besar, karena itu perlu dikoordinasikan secara ketat dengan instrumen pendanaan dan institusi MRV. Lebih lanjut, lembaga ini harus dapat menjamin harmonisasi dengan berbagai Instansi/Dinas/Badan dan pemangku kepentingan utama lain yang terkait, melalui hubungan kelembagaan dalam struktur tata kelolanya.
Sistem kelembagaan REDD+ perlu dirancang dengan mengutamakan azas-azas: (1) tata kelola yang baik (good governance), (2) inklusif dengan memastikan partisipasi dari para pemangku kepentingan untuk efektivitas pencapaian pengurangan emisi, (3) efisiensi biaya untukmencapai tujuan (cost effectiveness), dan (4) akuntabilitas dari pelaksanaan seluruh urusan terkait REDD+ di Aceh.
Di samping keempat azas umum di atas, rancangan awal Lembaga REDD yang dapat terdiri dari tiga bagian dengan fungsi yang berbeda dan penting: 1) Fungsi Pengarah adalah bertugas memberikan arahan dalam perumusan, perencanaan dan pelaksaan REDD+, 2) Fungsi Pelaksana adalah bertugas menjalankan mandat sebagaimana diuraikan sebelumnya, 3) Fungsi Pengawas adalah bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan REDD+.
Lembaga REDD dibentuk dengan tujuan:
1) Memayungi seluruh kegiatan REDD+ di Provinsi Aceh sebagai tata kelola pemerintahan provinsi dan badan koordinasi.
2) Menjadi katalis untuk mendorong percepatan perbaikan sistem tata kelola hutan, lahan gambut dan APL yang memungkinkan penurunan deforestasi dan degradasi hutan dalam upaya penurunan emisi GRK.
3) Memastikan manfaat berupa peningkatan kesejahteraan dan prospek ekonomi untuk masyarakat melalui kepastian pelayanan pembiayaan yang efektif dan distribusi manfaat yang adil bagi pihak-pihak yang menjalankan program/proyek/kegiatan REDD+ dengan pemenuhan persyaratan- integritas sistem pelaksanaan REDD+ (audit dan safeguards).
Di mana misi-misi tersebut dibuat untuk mendorong adanya pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berkesinambungan sebagai aset nasional yang dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Mengingat kompleksitas penerapan REDD+, maka dapat disimpulkan bahwa Lembaga REDD+ membutuhkan mandat lintas Dinas/Badan/Instansi dan lintas sektor
43BAB III
yang kuat, agar penerapan Strategi Daerah REDD+ dapat berjalan komprehensif dan koheren di seluruh wilayah yang relevan. Lembaga REDD+ bertanggung jawab terhadap seluruh upaya koordinasi dalam membangun dan menerapkan REDD+, serta memiliki fokus dan prioritas pada isu REDD+ tanpa melanggar perundang-undangan yang berlaku.
Kelembagaan REDD+ Aceh yang akan dibentuk setidaknya mempunyai empat fungsi dalam menjalankan kewenangannya, selain fungsi koordinatif yang melekat, yaitu;
1. Sebagai payung atau wadah dari semua kegiatan REDD+ di Aceh
2. Mempunyai fungsi sebagai fund raising atau pendanaan untuk kegiatan REDD+
3. MempunyaifungsiatauperandalamMonitoring,Reporting,danVerification(MRV)
4. Lembaga/Pelaksana ditingkat tapak/project.
Secara garis besar kelembagaan REDD+ Aceh dapat bersifat permanent melalui pembentukan Qanun Aceh yang mengatur tentang legalitasnya yang bertanggungjawab langsung kepada Gubernur Aceh. Jika Badan REDD+ Aceh dibentuk dengan kelembagaankhusus,makauntukfungsiMonitoring,Reporting,danVerification(MRV)akan dibentuk melalui kelembagaan yang sudah ada yaitu fungsi melekat pada Bappeda, Dishutbun, dan Bapedal Aceh. Masing-masing kelembagaan ini bertanggungjawab kepada Gubernur, sementara satu dengan yang lain bersifat koordinatif.
Lembaga REDD+ Aceh dipimpin oleh Kepala Badan dan dibantu oleh sekretariat untuk administratif, sementara untuk urusan teknis dibantu oleh bidang tematik. Untuk lebih jelasnya rencana usulan lembaga REDD+ Aceh dapat dilihat pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3. Usulan Kelembagaan REDD+ Aceh
Lembaga MR
Bidang Tematik
Kele
Pelak
RV
mbagaan R
ksana Prog
Level P
Guber
KepaREDD
BiTe
REDD+ Ace
gram/Proye
Provinsi
rnur Aceh
la Badan D+ Aceh
dang ematik
eh Level K
ek/Kegiata
Sekret
abupaten/K
n REDD+ A
tariat REDD+Aceh
Bidang Tematik
Kota
Aceh
+
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH44
Untuk dapat mencapai tujuannya dengan efektif, Lembaga REDD+ memiliki mandat untuk:
(1) Menjalankan fungsi-fungsi strategis terkait dengan pelaksanaan program REDD+ yang selama ini belum ada, yaitu:
a. Menetapkan strategi, kebijakan dan program REDD+ Aceh dan mendorong penyusunan Strategi Daerah REDD+. Lembaga REDD+ akan secara periodik melakukan kajian atas strategi, kebijakan dan program-program terkait dengan REDD+;
b. Membangun dan melakukan tata kelola sistem integrasi data dan peta, persetujuan dan registry untuk program/proyek REDD+ dan VER/CER, dan validasi informasi dari sistem MRV. Lembaga REDD+ akan mengembangkan protokol-protokol yang diperlukan untuk konsolidasi data dan peta yang merupakan pra-kondisi bagi implementasi program REDD+ yang kredibel, proses persetujuan dan registrasi proyek REDD+, serta pendaftaran VER/CER;
c. Memfasilitasi pembentukan lembaga dan sistem pelaksanaan MRV. Sistem MRV Aceh juga akan mengadopsi ukuran-ukuran yang mencerminkan implementasi financial (keuangan), serta pengaman sosial dan lingkungan(social and environmental safeguards) yang berperspektif gender. Khusus untuk environmental safeguard dan untuk keperluan membuat dasar penilaian bagiprogrammanfaat tambahan (co-benefit)dariREDD+, sistemMRVakanmemuat indicator terkait dengan keanekaragaman hayati;
d. Memastikan pembangunan lembaga dan sistem pengelolaan pendanaan REDD+ yang menarik bagi para donor dan investor, memiliki sistem pengelolaan dana yangefektifdanefisien,dandapatmendistribusikandanakelapangan,Selainitu, Lembaga REDD+ akan memfasilitasi penyusunan kriteria untuk persetujuan program dan proyek yang akan disponsori oleh dana kemitraan REDD+, serta menyusun mekanisme distribusi manfaat untuk mendorong adanya penyaluran dana yang adil dan berimbang;
e. Memfasilitasi pembangunan dan koordinasi pelaksanaan system integritas (safeguard dan audit) untuk bidang keuangan, sosial dan lingkungan hidup untuk pelaksanaan program/proyek REDD+. Jika diperlukan, Lembaga REDD+ dapat membentuk "Safeguard Steering Group" yang berada diluar Lembaga REDD+ dan secara independen memonitor pelaksanaan safeguard untuk program dan proyek REDD+. Safeguard Steering Group terdiri dari profesional yang relevan dan beberapa perwakilan para pihak, termasuk lembaga donor, masyarakat sipil, dan Lembaga REDD+;
f. Sistem safeguard bagi REDD+ Aceh akan dirancang dengan tujuan mengantisipasi resiko-resiko yang terkait dengan pengelolaan aspek-aspek fiduciary, sertadampak sosial dan lingkungan hidup dari kegiatan REDD+ yang dilakukan, dan merumuskan langkah-langkah penanganan risiko yang diantisipasi tersebut untuk kemudian dijalankan sesuai dengan pelaksanaan proyek dan dinilai
45BAB III
secara berkala. Perumusan dan penetapan standar-standar safeguard dan sistem audit yang dilakukan bersama dengan pihak donor, lembaga-lembaga keuangan internasional dan para pihak yang relevan akan menghasilkan sistem yang dapat diterima secara internasional dan dapat diimplementasikan di lapangan;
g. Membangun/memfasilitasi sistem pengembangan kapasitas profesional dan kelembagaan terkait REDD+ serta membangun rencana aksi, target dan program REDD.
(2) Mengefektifkan fungsi-fungsi koordinasi tematik antara SKPA Pemerintah Aceh dan antara Aceh dengan kabupaten/kota dan melakukan trouble shooting/debottlenecking terkait pelaksanaan program REDD+:
a. Melakukan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan dan program antara SKPA Pemerintah Aceh, dan antara Aceh dengan kabupaten/kota, terutama tetapi tidak terbatas pada hal-hal terkait dengan penataan ruang dan perizinan pemanfaatan lahan;
b. Menyusun rencana dan melaksanakan koordinasi penegakan hukum untuk perlindungan hutan dan lahan gambut, terutama tetapi tidak terbatas pada hal-hal yang mencakup pembalakan liar (illegal logging), pemanfaatan lahan, dan penggunaan api dalam pembukaan lahan. Fungsi koordinasi penegakan hukum dalam kelembagaan REDD+ lebih difokuskan pada isu kejahatan kehutanan;
c. Mengoordinasikan pelaksanaan lnpres tentang Penundaan Pemberian lzin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut moratorium. Dalam masa jeda pemberian izin baru, Lembaga REDD+ akan mengoordinasikan proses konsolidasi informasi dan peta izin-izin pemanfaatan lahan, pemanfaatan atau rasionalisasi lahan-lahan berizin yang ditelantarkan, penataan ulang proses perizinan pemanfaatan lahan, dan proses penyelesaian konflikpenguasaanlahandantumpangtindihalokasipenggunaanlahan;
d. Mengoordinasikan upaya-upaya penyelarasan system insentif (re-alignment of incentive system) untuk memastikan sinergi antar kebijakan/program Pemerintah Aceh terkait implementasi REDD+. Lembaga REDD+ akan mengoordinasikan proses peninjauan ulang (review) dan jika diperlukan, revisiberbagaimekanisme transferfiscaldaripusatkedaerahyang sekarangberlaku (Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Khusus Kehutanan dan Perubahan lklim). Tujuan dari penyelarasan ini adalah agar pada tahap implementasi penuhREDD+,terdapatstrukturinsentiffinansialyangkoherendankonsistenantara transfer fiscal ke daerah dan pembayaran untuk proyek implementasiREDD+. Lembaga REDD+ akan menginisiasi pembuatan kebijakan insentif dan de-bottlenecking faktor-faktor yang menghambat pemberian dan efektivitas insentif bagi:
(i) Pemerintah kabupaten/kota yang mendukung perluasan dan pengelolaan hutan lindung serta kawasan konservasi;
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH46
(ii) Pengusaha hutan yang mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan lestari(PHL),SistemVerifikasiLegalitasKayu(SVLK),dansistemlainnya;
(iii) Pemerintah kabupaten/kota yang berkomitmen menjadikan wilayahnya sebagai kabupaten konservasi dengan kriteria-kriteria tertentu.
(3) Menjalankan komunikasi dan pelibatan para pemangku kepentingan yang efektif dengan para pemangku kepentingan di dalam dan luar negeri
a. Membangun sistem, menjalankan program komunikasi yang efektif dengan pemangku kepentingan di dalam negeri serta memelihara hubungan dengan pemangku kepentingan di luar negeri;
b. Mengoordinasikan pengembangan kebijakan dan positioning Aceh terkait REDD+ untuk menghadapi forum-forum internasional dan strategi dalam menjalankan international affairs;
c. Memastikan komunikasi yang sistematis dan efektif dengan pemerintah kabupaten/kota untuk mendukung pelaksanaan REDD+ di lapangan.
d. Menyelenggarakan kampanye edukasi yang komprehensif.
Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah berdirinya Lembaga REDD+, kewenangan dan hubungan kelembagaan Lembaga REDD+ dengan format koordinasi tematik sudah dikomunikasikan dengan pemerintah kabupaten/kota mengenai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dan pelaksanaan kewenangan Lembaga REDD+.
Lembaga REDD+ Aceh mengoordinasikan implementasi berbagai kewenangan yang akan dilimpahkan ke pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kesiapan kapasitasnya yang antara lain mencakup, tapi tidak terbatas pada, bidang-bidang berikut:
1. Koordinasi perencanaan kegiatan dan pengembangan pembiayaan REDD+ di daerah yang melibatkan juga stakeholders dari tingkat kabupaten;
2. Koordinasi pengembangan kriteria dan mekanisme lokal untuk persetujuan dan pendaftaran program/proyek/kegiatan dan status lembaga pelaksananya;
3. Koordinasi penerimaan hasil M (monitoring) dan R (reporting) yang disiapkan oleh lembaga pelaksana REDD-i- dan kegiatan V (verification) yang akandilakukan oleh penilai independen yang terakreditasi;
4. Koordinasipenyelenggaraanauditfinancialdanimplementasisafeguardsyangteringtegrasi dengan pelaksanaan MRV;
5. Koordinasi penyelenggaraan pembuatan dan konsolidasi data, peta dan informasi lain terkait pengelolaan dan pemanfaatan lahan di daerah;
6. Koordinasi penyelenggaraan kegiatan pengembangan kapasitas profesional dan kelembagaan di daerah terkait dengan implementasi REDD+;
47BAB III
Tabel 3.1. Strategi dan Rencana Aksi Prioritas Kelembagaan REDD+ Aceh
Kategori Strategi Prioritas Rencana Aksi
Kondisi Pemungkin
Pembentukan Kelembagaan REDD+ dan Peraturan Terkait.
Design kelembagaan REDD+ Aceh dan payung hukumnya;Penggalian berbagai sumber pendanaan; Perumusan kebijakan-peraturan yang mampu mengawal proses internalisasi REDD+.
P e m b e n t u k a n / P e n g e m b a n g a n Metodologi REDD+
Penggalian berbagai metodologi ilmiah (Scientific based) REDD+; Penyusunan petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan pedoman teknis (Juknis) pembangunan sistem MRV;Penyiapan/pengadaan tools pendukung system MRV.
3.2.2. Kerangka Hukum dan Peraturan
Untuk dapat melaksanakan skema REDD+ secara efektif dan efisien secaraberkelanjutan diperlukan penguatan landasan hukum serta pembenahan kebijakan dan peraturan-perundangan. Kedua hal itu diperlukan untuk penataan ulang tata ruang wilayah, tata guna lahan, penataan hak-hak atas lahan, perbaikan tata kelola perizinan,penyelesaianberbagaikonflik sertaberbagaipersoalan teknisdi lapangan,serta penegakan hukum. Karena itu dimandatkan kepada Lembaga REDD+ untuk mewujudkan kerangka hukum yang berkesinambungan dengan konteks perubahan iklim (climate friendly legal framework/CFLF).
3.2.2.1. Penataan dan Penggunaan Ruang
Percepatan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK) terkait dengan kepastian terhadap penggunaan dan pemanfaatan ruang di Provinsi Aceh;
Percepatan penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang telah dimandatkan di dalam Undang Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
Percepatan pelaksanaan UU No.4/2011 tentang Informasi Geo-Spasial terkait mandat integrasi peta dan pemetaan dengan mewujudkan penggunaan satu peta acuan untuk semua jenis perizinan pemanfaatan kawasan hutan dan/atau APL oleh semua instansi yang memiliki kewenangan pemberian rekomendasi dan izin pemanfaatan lahan;
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH48
Telaah atau evaluasi perizinan dan kebijakan serta peraturan-perundangan dengan mengacu kepada kerangka hukum yang berkesinambungan dengan perubahan iklim yang telah disusun sebelumnya sebagai perangkat penting dalam penyelesaian konflikpenggunaanruang,danditindaklanjutidengan:
(1) Penindakan secara hukum (administratif, perdata, maupun pidana) hasil telaah perizinan yang mengindikasikan pelanggaran hukum, sesuai dengan ketentuan sanksi yang telah diatur melalui UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU Nomor 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta peraturan lain yang terkait;
(2) Pengembangan sistem perizinan yang transparan, akuntabel dan terintegrasi, dan penyederhanaan peraturan serta kejelasan birokrasi maupun administrasi sehingga terwujudpelayananpublikyangefisiendanikliminvestasiyangkondusif,terutamabagi pengembangan usaha kecil dan menengah dari masyarakat lokal.
3.2.2.2. Penataan Tenurial
Kejelasan atas tata batas dan hak kelola masyarakat terhadap sumber daya alam adalah hak konstitusional. Penataan tenurial atau hak-hak atas lahan dilakukan dengan tujuan menciptakan prakondisi yang penting bagi keberhasilan pelaksanaan REDD+.
Melakukan penyelarasan dan penyesuaian (revisi) dalam peraturan dan kebijakan lain yang terkait secara langsung dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam untuk menginternalisasi prinsip dan menjalankan proses Persetujuan Dengan Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) dalam penetapan perizinan pemanfaatan sumber daya alam.
3.2.2.3. Moratorium Konversi Hutan
Revisi Instruksi Gubernur Nomor 5 Tahun 2007 tentang Jeda Tebang untuk di tingkatkan menjadi moratorium konversi hutan, hal ini selaras dengan Instruksi Presiden terkait penundaan perijinan di hutan dan lahan gambut.
Moratorium konversi hutan selaras dengan Instruksi Presiden terkait penundaan izin-izin baru di hutan dan lahan gambut, selain itu moratorium konversi hutan tidak hanya terbatas pada moratorium di sektor kehutanan, tetapi lebih menyeluruh kepada sector-sektor yang memanfaatkan lahan dan hutan.
3.2.2.4. Kebijakan terkait Benefit Sharing dan PADIATAPA
PADIATAPA/FPIC merupakan standard yang dideklarasikanpada United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples atau disingkat UNDRIP. Pada pasal 32, butir (1) document UNDRIP, 2007, masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan dan mengembangkan prioritas dan strategi untuk pembangunan dan pemanfaatan tanah dan sumberdaya alam lainnya di wilayah adat mereka.
49BAB III
Untukmemastikanterciptanyamekanismedistribusibenefityangadildanefektif,makamekanismedistribusibenefitharusefektifdalammengatur seluruhaktoryangbertanggungjawab terhadap terjadi deforestasi dan degradasi hutan. Untuk itu maka mekanisme ini harus: Menciptakan sistem reward berbasiskan kinerja; Memastikan adanya insentif bagi kinerja yang lebih baik dibandingkan tanpa skenario penurunan (reference scenario); Memberikan kompensasi secara memadai bagi para pihak yang mengalami kerugian akibat adanya perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh pelaksanaan REDD+; Tidak hanya mempertimbangkan aspek ekonomis melainkan juga aspek lingkungan dan sosial, termasuk hak masyarakat adat dan lokal serta peranserta berbagai pihak untuk memastikan agar penurunan deforestasi dan degradasi efektif serta bersifat permanen; Bersifat sederhana serta mengintegrasikan prinsip-prinsip transparansi sehingga memudahkan pemantauan dan meminimalisasi penyalahgunaan di tingkat implementasi.
Tabel 3.2. Strategi dan Rencana Aksi Prioritas Kerangka Hukum dan Peraturan REDD+
Aceh
Kategori Strategi Prioritas Rencana Aksi
Kondisi Pemungkin
Penataan dan Penggunaan Ruang
Percepatan Rencana Tata Ruang Provinsi dan Kabupaten/Kota;Percepatan penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di Provinsi dan Kabupaten/Kota;Percepatan pelaksanaan “One Map” integrasi peta dan pemetaan untuk perijinan;Evaluasi perijinan, penindakan, dan pengembangan system perijinan yang baik.
Penataan Tenurial
Memperjelas dan mempertegas pengakuan terhadap tenurial masyarakat/kelembagaan lokal melalui regulasi setingkat Qanun atau Pergub;Penyusunan petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan pedoman teknis (Juknis) terhadap proses pengakuan tenurial masyarakat;
Moratorium Konversi Hutan
Revisi INGUB No.5 Tahun 2007 tentang “Jeda tebang” untuk direvisi menjadi Moratorium Konversi Hutan;Penyusunan peta indikatif moratorium konversi hutan Provinsi Aceh.
Kebijakan terkait Benefit Sharing dan Persetujuan di Awal Tanpa Paksaan
Design Mekanisme benefit Sharing;Design atau mekanisme PADIATAPA;Regulasi atau norma hukum Benefit sharing dan PADIATAPA.
3.2.3. Program – Program Strategis
Program-programstrategisberorientasipadapeningkatanefektifitaspengelolaanlanskap berkelanjutan, pelaksanaan sistem ekonomi pemanfaatan sumber daya alam secara lestari, dan konservasi dan rehabilitasi lahan; beserta perubahan seluruh pra-kondisi yang memungkin ketiganya dapat dicapai. Strategi prioritas dan rencana aksi untuk program-program strategis disajikan pada Tabel 3.3.
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH50
3.2.3.1. Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan
Pendekatan ini berbasis pada sistem pengelolaan lanskap yang memadukan beberapa sektor dan kepentingan dalam jangka panjang. Tujuan pembangunan secara terpadu di berbagai sektor, khususnya industri, kehutanan, agroforestri, pertanian, dan pertambangan, adalah menuju ekonomi hijau (green economy) yang menghasilkan emisi karbon rendah.
3.2.3.2. Pelaksanaan sistem ekonomi pemanfaatan SDA secara berkelanjutan
Strategi ini bertumpu pada cara-cara terbaik (best practices) dari pengelolaan lahan pertanian, perkebunan, penebangan dan silvikultur serta pertambangan. Prinsipnya adalah untuk meningkatkan produktivitas per unit luasan tanpa menambah emisi atau risiko kerusakan lingkungan lainnya tanpa mengurangi manfaat jangka panjang, sehingga kebutuhan perluasan lahan dapat ditekan.
3.2.3.3. Konservasi dan Rehabilitasi
Program strategis konservasi bertujuan meningkatkan kelestarian keanekaragaman hayati dan keseluruhan jasa ekosistem hutan maupun lahan bergambut di dalam kawasan hutan dan APL. Hutan dan lahan gambut dengan nilai konservasi tinggi (High Conservation Value Forest/HCVF) mendapatkan prioritas khusus dengan fokus pada:
1. Pemantapan fungsi kawasan lindung. Area hutan dan lahan gambut dengan cadangan karbon dan tingkat keanekaragaman hayati tinggi dilindungi dengan mengubah statusnya menjadi kawasan lindung.
2. Pengendalian konversi dan pembalakan hutan. di luar kawasan lindung dengan perlindungan HCVF dan telaah ulang atas izin, pada area yang tidak dibebani hak dengan pengetatan pengendalian pembangunan pertanian, dan pada area berizin yang belum dikonversi dengan mendorong land swap.
Tabel 3.3. Strategi dan Rencana Aksi Prioritas untuk Program-Program Strategis
Kategori Strategi Prioritas Rencana Aksi
Implementasi
Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan
Membangun database kebakaran hutan dan lahan gambut;Membangun kelembagaan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan gambut di tingkat tapak.
Pelaksanaan Sistem Ekonomi Pemanfaatan Sumber Daya Alam Secara Berkelanjutan
Memperbaiki tata-kelola hutan produksi melalui sertifikasi SVLK dan FSC;Pemberdayaan ekonomi lokal bagi masyarakat di dalam dan sekitar Hutan;Pengembangan kebijakan CSR yang lebih memberdaya-kan masyarakat.
Konservasi dan RehabilitasiPercepatan pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) ditingkat tapak; Rehabilitasi hutan dan lahan.
51BAB III
3.2.4. Perubahan Paradigma dan Budaya Kerja
Dengan tingginya emisi dari aktivitas LULUCF, diperlukan perubahan paradigma dan budaya kerja yang mendasar di sektor ini. Tantangan juga muncul dalam kaitannya dengan kapasitas pada tingkat individu yang mencakup kompetensi (kemampuan, kualifikasi, dan pengetahuan), sikap dan perilaku (attitude), serta integritas (etos kerja dan motivasi), maupun jiwa kepemimpinan sumber daya manusia yang memiliki tanggung jawab dalam organisasi sebagai ujung tombak pengelolaan hutan dan lahan bergambut di lapangan. Strategi dan Rencana Aksi Prioritas Perubahan Paradigma dan Budaya Kerja dapat dilihat pada Tabel 3.4.
3.2.4.1. Penguatan Tata Kelola Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan
Pengembangan program pelaksanaan Undang – Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik untuk mendorong transparansi dan memastikan adanya informasi yang akurat sebagai bahan untuk berpartisipasi, seperti:
1. Program peningkatan transparansi dalam: (i) proses pembuatan peraturan; (ii) proses pengambilan kebijakan; dan (iii) proses pemberian izin di sektor kehutanan;
2. Peningkatan ruang transparansi dan partisipasi secara khusus bagi kelompok yang potensial terkena dampak seperti masyarakat adat, orang miskin, perempuan dan anak;
3. Peningkatan kapasitas masyarakat terutama kelompok yang potensial terkena dampak, khususnya pada kelompok perempuan dan kaum rentan untuk: (i) memahami informasi yang ada; dan (ii) dapat berpartisipasi secara efektif dalam proses pengambilan keputusan;
Penyediaanmekanismeresolusikonflikyangefektifuntukmewadahiberbagaiperbedaan pandangan dan kepentingan dalam proses pelibatan pemangku kepentingan.
3.2.4.2. Kampanye untuk Aksi “Penyelamatan Hutan Aceh”
Untuk meningkatkan dukungan publik diperlukan kampanye untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat luas terhadap pentingnya hutan untuk menyangga kehidupan. Perubahan paradigma masyarakat luas dari semua tingkatan sosial dan umur diperlukan untuk mengetahui nilai pentingnya keberadaan hutan sebagai penyeimbang kehidupan.
Kampanye akan dilakukan oleh Lembaga REDD+ bekerja sama dengan pihak-pihak yang memiliki keahlian di bidang komunikasi publik. Kampanye dilakukan melalui:
1. Pembuatan perangkat informasi populer yang akan menjadi bahan informasi di berbagai kalangan tentang pentingnya hutan dan mekanisme REDD+;
2. Kerjasama dengan media massa (cetak maupun elektronik) terkait dengan penyiaran informasi yang objektif dari berbagai perspektif terkait dengan upaya penyelamatan hutan Indonesia dan mekanisme REDD+;
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH52
3. Penyelenggaraan pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan baik melalui jalur formal dan non-formal, maupun pendidikan pada tingkat komunitas secara langsung.
3.2.4.3. Pengembangan Insentif
Dorongan untuk dapat mengubah budaya kerja dapat dilakukan apabila terdapat “imbalan” (reward) yang disediakan. Hal tersebut akan dilakukan pada kehutanan dan pemanfaatan lahan dengan cara:
1. Pemberian penghargaan dan insentif finansial secara tahunan kepadaPemerintah Daerah dan badan usaha yang memiliki kinerja baik dalam pengelolaan hutan dan pemanfaatan lahan.
2. Insentif kepada pemerintah kabupaten/kota atau pengelolaan pada level tapak yang berhasil dalam pengembangan program REDD+
Tabel 3.4. Strategi dan Rencana Aksi Prioritas Perubahan Paradigma dan Budaya Kerja
Kategori Strategi Prioritas Rencana Aksi
Implementasi
Penguatan Tata Kelola Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan
Mengembangkan Sistem Informasi yang diakses public;Mengembangkan mekanisme Complain Handling pada sector kehutanan dan pemanfaatan lahan;Pelaksanaan mekanisme PADIATAPA dalam proses pengambilan keputusan di tingkat tapak.
Kampanye Untuk Aksi “Penyelamatan Hutan Aceh”
Diseminasi informasi terkait pentingnya hutan dan REDD+;Memasukkan isu hutan dan lingkungan kedalam kurikulum muatan local pada jenjang tingkat pendidikan.
Pengembangan Insentif
Mengembangkan mekanisme dan indikator untuk insentif pemerintah kabupaten/kota yang berhasil mengembangkan program REDD+; Mengembangkan program-program yang bersifat kompetisi antar kabupaten/kota atau pada level tapak untuk program REDD+.
3.2.5. Pelibatan Para Pihak
Sebagai bagian dari prinsip inklusif dan kolaboratif, pelibatan masyarakat dan berbagai pemangku kepentingan wajib dilakukan dalam pelaksanaan REDD+. Dengan memperhatikan kondisi dan karakter wilayah serta potensi kompleksitas akibat banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat, format pelibatan para pemangku kepentingan tersebut perlu dirancang sejak awal. Strategi dan rencana aksi prioritas pelibatan para pihak apat dilihat pada Tabel 3.5.
53BAB III
3.2.5.1. Interaksi dan Strategi Pelibatan Para Pihak
Upaya pengambilan keputusan secara kolaboratif. Lembaga REDD+ akan mengembangkan kemitraan strategis dengan berbagai kelompok pemerhati kehutanan dan forum-forum multipihak yang ada di Aceh, hal ini untuk memastikan bahwa pelibatan para pihak berjalan secara efektif dan kelompok-kelompok masyarakat rentan mendapat perlakuan yang adil.
3.2.5.2. Pelaksanaan Prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA)
Lembaga REDD+ menetapkan prinsip dan pelaksanaan PADIATAPA menjadi bagian pelaksanaan program dan proyek REDD+, dan mengkoordinasikan pengembangan protokol pelaksanaannya. Tujuan PADIATAPA dalam pelaksanaan program/proyek/kegiatan REDD+ ialah untuk memastikan keadilan dan akuntabilitas dari pelaksanaan program/proyek/kegiatan REDD+ bagi masyarakat adat/lokal yang kehidupan dan hak-haknya akan terkena pengaruh.
3.2.5.3. Penerapan dan Pembangunan Sistem Informasi Pelaksanaan Kerangka Pengaman
Penyiapan instrumen kerangka pengaman (safeguard) bertujuan untuk memastikan adanya acuan dalam pelaksanaan penilaian risiko kegiatan/proyek/ program REDD+ dan penyiapan langkah-langkah penanggulangan terkait tata kelola program dan akuntabilitas finansial, dampak pada hubungan dan posisi sosial bagi kelompokmasyarakat rentan, dan dampak terhadap lingkungan hidup. Kerangka pengaman merupakan sekumpulan kriteria dan indicator untuk memastikan pelaksanaan REDD+ tidak menyimpang dari tujuan awalnya.
3.2.5.4. Pembagian Manfaat
Strategi pembagian manfaat yang adil didasarkan pada: (i) Setiap pemegang hak atas kawasan/wilayah tapak yang berada pada lokasi program/proyek/kegiatan REDD+ berhak mendapatkan pembayaran; (ii) Jasa yang diberikan kepada individu selain sebagai pekerja yang dibayar oleh penyelenggara program/proyek/kegiatan REDD+. Manfaat yang didasarkan pada pendekatan ‘service-based’ ini dapat juga diberikan secara kolektif, apabila jasa itu diberikan secara kolektif pula; (iii) Komunitas yang berkontribusi bagi pencapaian VER/CER di wilayah keberadaannya dalam bentuk kepemilikan kolektif atas lahan dan/atau penyediaan jasa pemeliharaan hutan secara kolektif di mana komunitas tidak mendapat pembayaran sebagai pekerja; (iv) Sistem dan mekanisme pendistribusian manfaat dilakukan secara terbuka dan akuntabel agar terhindar dari kesalahan alokasi manfaat.
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH54
Tabel 3.5. Strategi dan Rencana Aksi Prioritas Pelibatan Para Pihak
Kategori Strategi Prioritas Rencana Aksi
Implementasi
Interaksi dan Strategi Pelibatan Para Pihak
Identifikasi para pihak yang terkait pengembangan REDD+ di Aceh;Sosialisasi dan diseminasi informasi melalui forum-forum pemerhati kehutanan dan terkait;
Pelaksanaan Prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA)
Pelaksanaan PADIATAPA pada tingkat tapak, terutama pada wilayah pengembangan REDD+.Monitoring dan evaluasi PADIATAPA.
Penerapan dan Pembangunan Sistem Informasi Pelaksanaan Kerangka Pengaman
Membangun Sistem Informasi Safeguard (SIS), meliputi indicator sosial ekonomi hutan dan informasi terkait jasa lingkungan.
Pembagian Manfaat
Menetapkan kriteria dan indikator penerima manfaat REDD+;Identifikasi penerima manfaat dari program REDD+;Pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi pembagian manfaat.
55BAB IV
BAB IVPELAKSANAAN STRATEGI RENCANA AKSI
PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH
4.1. Skenario Penurunan Emisi
Kalkulasi ini ditujukan untuk mendapatkan gambaran mengenai BAU dengan pendekatan historical dan forward looking serta estimasi penurunan emisi melalui skenario mitigasi dan adaptasi. Hasil perhitungan pendugaan emisi dengan pendekatan historical dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1. Grafik BAU Historical di Provinsi Aceh
Emisi yang terjadi akibat perubahan lahan tahun 2006 ke 2011 adalah sebesar 26.287.689 ton CO
2e. Proyeksi dengan pendekatan historical dari angka ini,
emisi yang akan terjadi pada tahun 2021 sebesar 36.366.935 ton CO2e.
Untuk kalkulasi pendugaan emisi dengan pendekatan forward looking, hasil kalkulasi emisi tahun 2006 ke 2011 sama dengan pendekatan historical, yang menjadi perbedaan dengan pendekatan forward looking ini adalah dengan memproyeksikan perubahan tutupan lahan yang mungkin terjadi di tahun 2021 tidak berdasarkan pola-pola yang terjadi di tahun 2006 ke 2011, namun dengan mengakomodir rencana pembangunan di Provinsi Aceh. Hasil kalkulasi pendugaan emisi untuk BAU forward looking dengan skenario penurunan emisinya dapat dilihat di Gambar 4.2.
Pada tahun 2021, emisi yang mungkin terjadi dengan pendekatan forward looking adalah sebesar 181,834,675 ton CO
2e. Sementara penurunan emisi berdasarkan
skenario pembangunan Aceh diperkirakan akan menurunkan emisi di tahun 2021 menjadi sebesar 172,500.00 ton CO2e atau sebesar 5,13 %.
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH56
Gambar 4.2. Grafik BAU Forward looking dan Skenario Penururnan Emisi di Provinsi Aceh
Berdasarkan RPJM Aceh 2012-2017, program-program yang berpotensi melepaskan emisi CO
2 antara lain: program-program di sektor pertanian/perkebunan,
peternakan dan pertambangan. Sedangkan program-program yang berpotensi menurunkan emisi CO
2 meliputi beberapa sektor antara lain : sektor kehutanan,
lingkungan hidup, kelautan dan perikanan (Tabel 4.1).
Tabel 4.1. Program pembangunan Aceh yang berkaitan dengan Emsi CO2
PROGRAM PEMBANGUNANA. Diprediksi Menurunkan Emisi CO2 B. Diprediksi Menaikkan Emisi CO2
No. Nama program SKPA Pelaksana
No. Nama program SKPA Pelaksana
1 Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Hutan
Dinas Kehutanan
1 Pengembangan minyak dan gas bumi
Dinas Pertambangan dan Energi
2 Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Hutan
Dinas Kehutanan
2 Pengembangan sentra-sentra industri potensial
Dinas Perindustrian dan Perdagangan
3 Rehabilitasi Hutan dan Lahan Dinas Kehutanan
3 Peningkatan Produksi (Pertanian /perkebunan)
Dinas Perkebunan
4 Perencanaan dan Pengembangan Hutan
Dinas Kehutanan
4 Peningkatan Produksi Peternakan
Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan
5 Pengembangan Kinerja Pengelolaan Persampahan
Bapedal 5 Peningkatan Penerapan Teknologi (Pertanian/ Perkebunan)
Dinas Perkebunan
6 Program Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup
Bapedal 6 Program peningkatan Ketahanan Pangan (Pertanian/Perkebunan)
Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan
7 Program Perlindungan dan Konservasi SDA
Bapedal 7 Program pemanfaatan geologi dan sumberdaya mineral
Dinas Pertambangan dan Energi
8 Program Rehabilitasi dan Pemulihan Cadangan Sumber Daya Alam
Bapedal
9 Program pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Bapedal
10 Program Pengembangan Ekowisata dan Jasa lingkungan di kawasan-kawasan Lindung/ konservasi laut dan hutan
Bapedal.Dinas Kehutanan. Dinas Kelautan dan Perikanan
Sumber : RPJM Aceh 2012-2017 (2013)
57BAB IV
4.2. Strategi Rencana Aksi Penurunan Emisi
4.2.1. Penyusunan Rencana Aksi Daerah REDD+
Rencana Aksi Daerah REDD+ merupakan salah satu dokumen operasional pelaksanaan REDD+ yang merupakan penerjemahan Strategi Rencana Aksi Provinsi REDD+. Dengan demikian, Rencana Aksi Daerah REDD+ ini akan memberikan informasi lebih jauh tentang Strategi Rencana Aksi Provinsi REDD+, yaitu antara lain:
1. Kegiatan-kegiatan turunan dari kegiatan-kegiatan utama yang secara indikatif telah tercantum dalam Strategi Rencana Aksi ProvinsiREDD+;
2. Tujuan dan sasaran masing-masing kegiatan;
3. Penanggungjawab atau lokus dari masing-masing kegiatan;
4. Indikator kinerja berdasarkan pencapaian keluaran, hasil, dampak dan manfaat dari setiap kegiatan-kegiatan
4.2.2. Persiapan Pelaksanaan REDD+
Kesiapan pelaksanaan REDD+ sebagaimana telah termuat secara eksplisit dari strategi terdiri dari dua bagian penting, yaitu:
1. Terpenuhinya infrastruktur prasyarat REDD+, dan
2. Terpenuhi kondisi pemungkin untuk dapat terselenggaranya berbagai perbaikan sektor penggunaan lahan.
Kedua kegiatan tersebut merupakan syarat keharusan untuk dapat terlaksananya kegiatan REDD+ di Aceh. Dengan demikian, kegiatan-kegiatan pokok dalam menumbuhkan kesiapan pelaksanaan REDD+ ini adalah sebagai berikut:
1. Pembangunan infrastruktur REDD+, dilakukan melalui pembentukan kelembagaan dan kebijakan REDD+, penyiapan metodologi untuk berbagai aspek penyelenggaraan REDD+ (REL, MRV, registrasi, pendanaan) dan pembangunan skema pembagian tanggung jawab dan manfaat yang transparan.
2. Pemenuhan kondisi pemungkin, pada umumnya didekati melalui instrumen kebijakan dan perencanaan di sektor penggunaan lahan.
Kesiapan Aceh dalam pelaksanaan REDD+ berarti merupakan kesiapan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Upaya untuk menumbuhkan kesiapan ini dipastikan akan membutuhkan waktu cukup panjang.
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH58
4.2.3. Pelaksanaan Tindakan Awal
Tindakan awal terutama diarahkan pada upaya penurunan emisi dari sektor penggunanaan lahan, hutan dan lahan gambut di Aceh yang ditetapkan berdasarkan angka REL dan potensi besaran kontribusinya terhadap pencapaian target penurunan emisi sebesar 26% dan atau 41% dari BAU. Beberapa bentuk kegiatan awal yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1. Pendirian lembaga REDD+;
2. Persiapan instrument dan mekanisme pendanaan;
3. Persiapan pembentukan lembaga MRV (monitorable, reportableand, verifiable, atau termonitor, terlaporkan dan terverifikasi) REDD+ yangindependen dan terpercaya;
4.3. Pelaksanaan REDD+
4.3.1. Pengarusutamaan REDD+ dalam Sistem Perencanaan Pembangunan
Strategi Rencana Aksi Provinsi REDD+ Aceh ditujukan untuk melanjutkan, mengkonsolidasi dan menyempurnakan berbagai upaya dan kebijakan pengurangan emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan agar mempunyai dampak yang kongkrit bagi pencegahan pemanasan global dan keberlangsungan pembangunan berkelanjutan. Strategi Rencana Aksi dimaksud telah dirumuskan melalui pelibatan aktif dari berbagai pemangku kepentingan, seperti: masyarakat sipil dan kalangan dunia usaha, selain peran aktif dari pemerintahan, namun lebih jauh dari itu, pelibatan para pemangku kepentingan secara inklusif perlu terus dipertahankan dalam setiap tahapan siklus pembangunan.
Prinsip umum yang harus diperhatikan dalam melaksanakan pengarustamaan tersebut adalah:
1. Strategi Rencana Aksi Provinsi REDD+ Aceh merupakan bagian dari sistem perencanaan dan penganggaran daerah dan karenanya harus bersinergi dan terinternalisasi dengan dokumen perencanaan yang ada.
2. Strategi Rencana Aksi Provinsi REDD+ Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Stranas REDD+.
3. Perencanaan dengan pendekatan demokratis, teknokratis, politis, partisipatif top-down, dan bottom-up.
4. Penanganan masalah dengan pendekatan holistik dan pendekatan sistem lokal.
59BAB IV
Strategi Rencana Aksi Provinsi REDD+ Aceh merupakan dokumen panduan dari rangkaian kegiatan strategis dan terintegrasi bagi sektor terkait dan menjadi dokumen yang tidak terpisahkan dari kebijakan-kebijakan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2012-2017 serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJPA) 2005-2025. Hal ini diupayakan untuk memastikan ketersediaan sumber daya yang memadai untuk pelaksanaan Strategi Rencana Aksi Provinsi REDD+ Aceh.
Proses pembentukan Strategi Rencana Aksi Provinsi REDD+ Aceh dilakukan setelah RPJMA 2012-2017 tersusun, sehingga menimbulkan kesenjangan pengaturan substansi terkait pengurangan emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan dalam RPJMN 2010-2014. Lebih jauh lagi, karena pada saat ini sistem perencanaan dan penganggaran telah menerapkan Medium Term Expenditure Framework (MTEF), maka konsekuensinya adalah resource envelope yang telah ditetapkan dalam kerangka RPJMA mengikat selama periode perencanaan. Hal ini tentunya mempengaruhi pengalokasian dalam Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPA yang nomenklatur dan pagunya mengacu kepada RPJMA.
Pengintegrasian Strategi Rencana Aksi Provinsi REDD+ Aceh ke dalam Proses Perencanaan dan Penganggaran akan dilakukan melalui kegiatan utama:
1. Penyusunan Analisa Kesenjangan (Gap Analysis) antara Rencana Aksi REDD+ dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh
2. Penyusunan Analisa Kesenjangan antara Rencana Aksi REDD+
3. dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh
4. Pengintegrasian Stranas REDD+ kedalam RPJMN 2015- 2019
5. Penetapan Abatement Cost sebagai bahan dalam Pengalokasian Pendanaan RPJMN 2015-2019.
4.3.2. Penerapan REDD+ Secara Penuh
Pelaksanaan Rencana Aksi REDD+ perlu disertai dengan pemberian insentif bagi kabupaten/kota yang berkomitmen terhadap pembangunan berkelanjutan khususnya menurunkan emisi dalam bentuk fasilitasi dalam menjalankan program. Selain itu, keterbatasan sumber daya yang dimiliki Aceh dalam penerapan REDD+ mengharuskan pemberian fasilitasi penerapan REDD+ dipilih berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan kabupaten/kota dengan kemungkinan tingkat keberhasilan tertinggi. Untuk itu perlu ditetapkan kriteria kesiapan (readiness) yang kemudian menjadi dasar pemilihan kabupaten/kota yang difasilitasi. Penentuan kabupaten/kota perlu memperhatikan studi kelayakan yang dilaksanakan oleh setiap kabupaten/ kota.
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH60
Dengan demikian, kegiatan utama dalam menentukan kabupaten/kota penerapan REDD+ adalah:
1. Pembuatan kriteria dan indikator yang akan digunakan untuk menilai kesiapan kabupaten/kota untuk mengimplementasikan REDD+ (readiness)
2. Penyusunan mekanisme untuk memfasilitasi pemerintah daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan REDD+ ditingkat kabupaten/kota
Strategi dan rencana aksi pelaksanaa REDD+ Aceh dikelompokkan ke dalam 3 fase yakni: (1) fase pra persiapan, (2) fase persiapan dan (3) fase implementasi. Pada setiap fase tersebut diuraikan tentang strategi, rencana aksi, indikator kinerja, waktu pelaksanaan, lokasi dan instansi pelaksana yang secara rinci disajikan pada Tabel 4.2.
Strategi pada fase pra persiapan adalah penyusunan strategi dan rencana Aksi Provinsi REDD+ Aceh. Strategi pada fase persiapan adalah pembentukan Badan/Lembaga REDD+ Aceh dan pembentukan Lembaga Pendanaan REDD+ Aceh serta turunan dari Driver DD di sektor LULUCF. Strategi pada fase implementasi antara lain : pelaksanaan konservasi dan rehabilitasi lahan, pengelolaan lanskap yang berkelanju-tan, penguatan tata kelola kehutanan dan pemanfaatan lahan, pemberdayaan ekonomi lokal dengan prinsip berkelanjutan dan peningkatan pemahaman masyarakat terhadap kelestarian lingkungan.
61BAB IV
Ta
bel
4.2
. S
tra
tegi
da
n R
enca
na
Ak
si P
ela
ksa
na
an
RE
DD
+ A
ceh
Stra
tegi
Renc
ana
Aksi
Indi
kato
r Kin
erja
Pila
r Str
ateg
i RE
DD+
Aceh
Tata
Wak
tuLo
kasi
Inst
ansi
Pend
ek(1
tahu
n)M
enen
gah
(5 ta
hun)
Panj
ang
(20
tahu
n)
FASE
PRA
PER
SIAP
AN
Peny
usun
an S
trat
egi &
Ren
cana
Ak
si Pr
ovin
si RE
DD+
Aceh
Men
yusu
n SR
AP A
ceh
deng
an m
elib
atka
n se
luru
h st
akeh
olde
r ter
kait.
Men
gint
egra
sikan
do
kum
en S
RAP
Aceh
ke
dala
m R
PJM
ting
kat
prov
insi
dan
kabu
pate
n/ko
ta
Ters
edia
nya
doku
men
SRA
P Ac
eh
Terin
tegr
asin
ya
doku
men
SRA
P Ac
eh
1√
Band
a Ac
ehBa
pped
a,
Bape
dal,
Dina
s Ke
huta
nan,
Ak
adem
isi, N
GO’s
FASE
PER
SIAP
ANPe
mbe
ntuk
an B
adan
/Lem
baga
RE
DD+
Aceh
Mer
evisi
tupo
ksi S
urat
Ke
putu
san
Gube
rnur
No
mor
050
/717
/201
2 Te
ntan
g Pe
mbe
ntuk
an T
im
Task
For
ce R
EDD+
Ace
h.
Ters
edia
nya
Qan
un
Pem
bent
ukan
Ba
dan/
Lem
baga
RE
DD+
Aceh
1√
Band
a Ac
ehB
ap
pe
da
, B
ap
ed
al,
Din
as
Kehu
tana
n,
Biro
Hu
kum
, DPR
A
Mem
bent
uk le
mba
ga
REDD
+ Ac
eh d
an M
enyu
sun
deta
il str
uktu
r dan
tupo
ksi
Biro
O
rgan
isasi,
B
ap
pe
da
, B
ap
ed
al,
Din
as
Kehu
tana
n,
Biro
Hu
kum
, DPR
APe
mbe
ntuk
an L
emba
ga
Pend
anaa
n RE
DD+
Aceh
Mem
bent
uk le
mba
ga
pend
anaa
n RE
DD+
Aceh
Terb
entu
knya
le
mba
ga p
enda
naan
1√
√Ba
nda
Aceh
Lem
baga
RE
DD+
Aceh
Peni
ngka
tan
kepa
tuha
n te
rhad
ap ta
ta ru
ang
Sosia
lisas
i ren
cana
tata
ru
ang
wila
yah
(Pro
vins
i dan
ka
b/ko
t)
Pene
gaka
n hu
kum
te
rhad
ap p
elan
ggar
an ta
ta
ruan
gPe
nyus
unan
renc
ana
deta
il ta
ta ru
ang
(RDT
R)
Men
ingk
atny
a ke
patu
han
terh
adap
ta
ta ru
ang
Ters
usun
nya
RDTR
Berk
uran
gnya
alih
fu
ngsi
laha
n
1√
√Ba
nda
Aceh
Dina
s Ci
pta
Kary
a,
Lem
baga
RE
DD+
Aceh
, Ba
pped
a,
Insp
ekto
rat,
Lem
baga
Pe
nega
k Hu
kum
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH62
Stra
tegi
Renc
ana
Aksi
Indi
kato
r Kin
erja
Pila
r Str
ateg
i RE
DD+
Aceh
Tata
Wak
tuLo
kasi
Inst
ansi
Pend
ek(1
tahu
n)M
enen
gah
(5 ta
hun)
Panj
ang
(20
tahu
n)Pe
rcep
atan
pen
yele
saia
n ko
nflik
te
nuria
lM
enyu
sun
SOP
peny
eles
aian
kon
flik
tenu
rial
Men
yusu
n qa
nun
pert
anah
an A
ceh
Mem
bent
uk b
adan
pe
rtan
ahan
Ace
hM
enyu
sun
one m
ap (s
atu
peta
acu
an) A
ceh
Iden
tifik
asi d
an v
alid
asi H
ak
peng
guas
aan
laha
n ol
eh
mas
yara
kat a
dat
Ters
usun
nya
SOP
peny
eles
aian
kon
flik
tenu
rial
Ters
usun
nya
qanu
n pe
rtan
ahan
Ace
hTe
rben
tukn
ya b
adan
pe
rtan
ahan
Ace
hTe
rsus
unny
a on
e map
(s
atu
peta
acu
an)
Aceh
Terin
dent
ifika
sinya
ha
k pe
ngua
saan
la
han
oleh
m
asya
raka
t ada
t
2√
√Ba
nda
Aceh
Biro
Huk
um, B
appe
da,
Dish
ut,
Disb
un,
Dist
ambe
n,
DKP,
Bi
ro
Adm
inist
rasi
Pe
mb
an
gu
na
n,
BPN,
Bi
ro
Tata
Pe
mer
inta
han,
Dist
an
Peni
ngka
tan
Kapa
sitas
Inst
itusi
Peng
elol
a Hu
tan
Men
ingk
atka
n ka
pasit
as
SDM
pen
gelo
la h
utan
Ope
rasio
nalis
asi le
mba
ga
peng
elol
aan
huta
n di
tin
gkat
tapa
k (U
PTD
KPH)
Men
ingk
atka
n ke
terli
bata
n m
asya
raka
t da
lam
per
enca
naan
pe
mba
ngun
an ya
ng
berb
asis
laha
n da
n hu
tan
Men
ingk
atny
a ka
pasit
as S
DM
peng
elol
a hu
tan
Berf
ungs
inya
le
mba
ga p
enge
lola
an
huta
n di
ting
kat
tapa
k (U
PTD
KPH)
Men
ingk
atny
a ke
terli
bata
n m
asya
raka
t da
lam
per
enca
an
pem
bang
unan
yang
be
rbas
is la
han
dan
huta
n
1 & 2
√√
Band
a Ac
ehDi
shut
, Bap
peda
, UPT
Ke
men
hut,
Bape
dal,
Peng
emba
ngan
skem
a in
sent
if da
n di
sinse
ntif
peng
elol
aan
sum
ber d
aya
alam
Men
yusu
n qa
nun
inse
ntif
dan
disin
sent
if Te
rsus
unny
a qa
nun
inse
ntif
dan
disin
sent
if
2√
√Ba
nda
Aceh
Dish
ut,
Bapp
eda,
Ba
peda
l, DP
RA,
Biro
Hu
kum
, Ka
bupa
ten/
Kota
63BAB IV
Stra
tegi
Renc
ana
Aksi
Indi
kato
r Kin
erja
Pila
r Str
ateg
i RE
DD+
Aceh
Tata
Wak
tuLo
kasi
Inst
ansi
Pend
ek(1
tahu
n)M
enen
gah
(5 ta
hun)
Panj
ang
(20
tahu
n)In
tern
alisa
si ko
nsep
pe
mba
ngun
an b
erw
awas
an
lingk
unga
n da
lam
dok
umen
re
ncan
a pe
mba
ngun
an w
ilaya
h
Men
gint
egra
sikan
ke
bija
kan
pem
bang
unan
be
rwaw
asan
lingk
unga
n da
lam
dok
umen
renc
ana
pem
bang
unan
wila
yah
Ters
edia
nya
doku
men
pe
renc
anaa
n pe
mba
ngun
an ya
ng
pro-
lingk
unga
n
3√
√√
Pro
v/K
ab
-Ko
taBa
pped
a Pr
ovin
si da
n Ba
pped
a Ka
b/ko
ta
Harm
onisa
si at
uran
per
unda
ng-
unda
ngan
pen
gelo
laan
sum
ber
daya
ala
m (p
usat
/pro
v/ka
b-ko
ta)
Sink
roni
sasi,
regu
lasi
peng
elol
aan
sum
berd
aya
alam
ber
kela
njut
an
Men
yusu
n at
uran
pe
laks
ana
peng
elol
aan
sum
ber d
aya
alam
sesu
ai
deng
an U
U PA
Sosia
lisas
i UU
PA d
alam
pe
ngel
olaa
n su
mbe
rday
a al
am
Terw
ujud
nya
regu
lasi
peng
elol
aan
sum
berd
aya
alam
be
rkel
anju
tan
seca
ra
terp
adu
Ters
usun
nya
regu
lasi
peng
elol
aan
sum
berd
aya
alam
be
rkel
anju
tan
Terla
ksan
anya
so
sialis
asi U
U PA
da
lam
pen
gelo
laan
su
mbe
rday
a al
am
√√
Mem
bang
un m
ekan
isme
peng
elol
aan
sum
berd
aya
alam
be
rbas
is ek
osist
em
Men
yusu
n sk
ema
peng
elol
aan
sum
berd
aya
alam
ber
basis
eko
siste
m
Sosia
lisas
i mek
anism
e pe
ngel
olaa
n su
mbe
rday
a al
am b
erba
sis e
kosis
tem
Ters
usun
nya
skem
a pe
ngel
olaa
n su
mbe
rday
a al
am
berb
asis
ekos
istem
Terla
ksan
anya
so
sialis
asi
mek
anism
e pe
ngel
olaa
n su
mbe
rday
a al
am
berb
asis
ekos
istem
√√
FASE
IMPL
EMEN
TASI
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH64
Stra
tegi
Renc
ana
Aksi
Indi
kato
r Kin
erja
Pila
r Str
ateg
i RE
DD+
Aceh
Tata
Wak
tuLo
kasi
Inst
ansi
Pend
ek(1
tahu
n)M
enen
gah
(5 ta
hun)
Panj
ang
(20
tahu
n)Pe
laks
anaa
n ko
nser
vasi
dan
reha
bilit
asi la
han
Mel
aksa
naka
n ko
nser
vasi
huta
n da
n la
han
Reha
bilit
asi la
han-
laha
n kr
itis,
terd
egra
dasi
dan
terd
efor
esta
si
Peng
emba
ngan
hut
an
kem
asya
raka
tan
Peng
emba
ngan
has
il hut
an
buka
n ka
yu (H
HBK)
Peng
emba
ngan
tana
man
M
ulti
Purp
ose T
ree S
pecie
s (M
PTS)
Peni
ngka
tan
kegi
atan
pe
nelit
ian
dan
peng
emba
ngan
kon
serv
asi
sum
berd
aya
alam
Men
urun
nya
luas
la
han
kriti
s
Men
urun
nya
luas
laha
n ya
ng
terd
egra
dasi
dan
te
rdef
ores
tasi
Men
ingk
atny
a lu
as h
utan
ke
mas
yara
kata
n
Men
ingk
atny
a HH
BK
dan
MPT
S
Ters
edia
nya
data
dan
te
khno
logi
dal
am
peng
emba
ngan
ko
nser
vasi
sum
berd
aya
alam
3√
√Pr
ovin
si Ac
ehBa
pped
a,
Bape
dal,
Dina
s Ke
huta
nan,
Di
nas
Perk
ebun
an,
Dina
s Pe
rtan
ian,
Pe
rgur
uan
Ting
gi
Peng
elol
aan
lans
kap
yang
be
rkel
anju
tan
Pem
bang
unan
Rua
ng
Terb
uka
Hija
u di
Ka
bupa
ten/
Kota
(Min
imal
30
% da
ri lu
as w
ilaya
h)Pe
ngaw
asan
terh
adap
pe
man
faat
an Ta
ta R
uang
Ters
edia
nya
RTH
min
imal
30
% m
asin
g-m
asin
g ka
b/ko
ta
Men
ingk
atny
a pe
ngaw
asan
ter-
hada
p pe
man
-faat
an
ruan
g
3√
√Ka
b/Ko
taBa
pped
a,
Bape
dal,
Dina
s Ke
huta
nan,
Di
nas
Perk
ebun
an,
Dina
s Pe
rtan
ian,
Bin
a M
arga
da
n Ci
pta
Kary
a
65BAB IV
Stra
tegi
Renc
ana
Aksi
Indi
kato
r Kin
erja
Pila
r Str
ateg
i RE
DD+
Aceh
Tata
Wak
tuLo
kasi
Inst
ansi
Pend
ek(1
tahu
n)M
enen
gah
(5 ta
hun)
Panj
ang
(20
tahu
n)Pe
ngua
tan
tata
kel
ola
kehu
tana
n da
n pe
man
faat
an
laha
n
Peng
enda
lian
illega
l logg
ing
dan
illega
l min
ing
Peng
enda
lian
pera
mba
han
kaw
asan
hut
anPe
ning
kata
n ka
pasit
as
kele
mba
gaan
dan
pe
ngel
ola
huta
nM
endu
kung
keb
erla
njut
an
kebi
jaka
n m
orat
oriu
m
logg
ing
Inse
ntif
dan
disin
sent
if pe
ngel
olaa
n hu
tan
Pem
bata
san
pem
beria
n izi
n pe
mba
ngun
an d
i are
al
kaw
asan
lindu
ng
Men
urun
nya
kegi
atan
illeg
al
logg
ing
dan
illega
l m
inin
g.M
enin
gkat
nya
kapa
sista
s ke
lem
baga
an d
an
peng
elol
a hu
tan
Terla
ksan
anya
re
gula
si in
sent
if da
n di
sinse
ntif
peng
elol
aan
huta
n.M
enur
unny
a pe
mba
ngun
an
di a
real
kaw
asan
lin
dung
4√
√Ka
b/Ko
taBa
pped
a,
Bape
dal,
Dina
s Ke
huta
nan,
Di
nas
Perk
ebun
an,
Dina
s Pe
rtan
ian,
Di
nas
Pert
amba
ngan
, DP
RA, B
iro H
ukum
Pem
berd
ayaa
n ek
onom
i loka
l de
ngan
prin
sip b
erke
lanj
utan
Pem
anfa
atan
laha
n te
rlant
ar u
ntuk
sekt
or
pert
ania
nPe
ngen
dalia
n sis
tem
la
dang
ber
pind
ahPe
ning
kata
n ka
pasit
as
mas
yara
kat s
ekita
r hut
anIn
tens
ifika
si pe
rtan
ian
Men
ingk
atny
a pe
man
faat
an la
han
terla
ntar
Men
urun
nya
syst
em p
erla
dang
an
berp
inda
hM
enin
gkat
nya
upay
a in
tens
ifika
si ya
ng
men
gede
pank
an
tekn
olog
i.
5√
√Ka
b/Ko
taBa
pped
a,
Bape
dal,
Dina
s Ke
huta
nan,
Di
nas
Perk
ebun
an,
Dina
s Pe
rtan
ian,
P
em
er
in
ta
h Ka
bupa
ten
Peni
ngka
tan
pem
aham
an
mas
yara
kat t
erha
dap
kele
star
ian
lingk
unga
n
Sosia
lisas
i dan
pen
yulu
han
peny
elam
atan
hut
an
Pelib
atan
med
ia d
alam
so
sialis
asi
Men
ingk
atka
n pe
-m
aham
an m
asya
-kat
te
ntan
g pe
ntin
g-ny
a ke
lest
aria
n lin
gkun
gan.
4√
√Ka
b/Ko
taPe
mer
inta
h Ac
eh d
an
Kabu
pate
n/ko
ta
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH66
Stra
tegi
Renc
ana
Aksi
Indi
kato
r Kin
erja
Pila
r Str
ateg
i RE
DD+
Aceh
Tata
Wak
tuLo
kasi
Inst
ansi
Pend
ek(1
tahu
n)M
enen
gah
(5 ta
hun)
Panj
ang
(20
tahu
n)M
elak
ukan
inte
raks
i den
gan
berb
agai
kel
ompo
k (p
emer
inta
h re
gion
al, s
osia
l sw
asta
, or
gani
sasi
non
pem
erin
tah,
m
asya
raka
t ada
t/sos
ial d
an
inte
rnas
iona
l)
Pelib
atan
per
an se
rta
mas
yara
kat a
dat d
alam
pe
ngel
olaa
n hu
tan
Peni
ngka
tan
pera
n Pe
mer
inta
h Ka
bupa
ten/
Kota
dan
stak
ehol
der
lain
nya
Men
ingk
atny
a pe
ran
mas
yara
kat a
dat d
an
pem
erin
tah
kab/
kota
da
lam
pen
gelo
laan
hu
tan.
5√
√Pr
ovin
si Ac
ehPe
mer
inta
h Ac
eh d
an
Kabu
pate
n/ko
ta
Men
gem
bang
kan
sosia
l pe
ngam
an (s
afeg
uard
s) so
sial
dan
lingk
unga
n
Peng
awal
an te
rhad
ap
dana
Ben
efit
Shar
ing
(pem
bagi
an m
anfa
at)
Peng
awal
an te
rhad
ap
impl
emen
tasi
UKL
dan
UPL
doku
men
AM
DAL
Men
ingk
atny
a pe
man
faat
an d
ana
un
tuk
kese
jaht
eraa
n m
asya
raka
t.Te
rlaks
anan
ya
kegi
atan
UKL
dan
UP
L se
suai
Am
dal.
5√
√√
Prov
insi
Aceh
Pem
erin
tah
Aceh
dan
Ka
bupa
ten/
kota
Men
gusa
haka
n pe
mba
gian
m
anfa
at (b
enef
it sh
arin
g) se
cara
ad
il
Peny
usun
an p
ergu
b at
au
qanu
n ya
ng m
endu
kung
pe
mba
gian
man
faat
Ters
edia
nya
perg
ub
atau
qan
un te
ntan
g pe
mba
gian
man
faat
ja
sa lin
gkun
gan.
5√
√Pr
ovin
si Ac
ehPe
mer
inta
h Ac
eh d
an
Kabu
pate
n/ko
ta s
erta
DP
RA
Perli
ndun
gan
satw
a lia
r yan
g di
lindu
ngi
Pem
etaa
n je
nis s
atw
a lia
r ya
ng d
ilindu
ngi
Sosia
lisas
i reg
ulas
i pe
rlind
unga
n sa
twa
liar
Ters
edia
nya
data
je
nis s
atw
a lia
r yan
g di
lindu
ngi
Terla
ksan
anya
so
sialis
asi
tent
ang
regu
lasi
perli
ndun
gan
satw
a lia
r yan
g di
lindu
ngi
4√
√Pr
ovin
si Ac
ehPe
mer
inta
h Ac
eh d
an
Kabu
pate
n/ko
ta s
erta
UP
T Ke
huta
nan
67BAB IV
Stra
tegi
Renc
ana
Aksi
Indi
kato
r Kin
erja
Pila
r Str
ateg
i RE
DD+
Aceh
Tata
Wak
tuLo
kasi
Inst
ansi
Pend
ek(1
tahu
n)M
enen
gah
(5 ta
hun)
Panj
ang
(20
tahu
n)Pe
nyed
iaan
alte
rnat
ive
mat
a pe
ncah
aria
n ya
ng
berk
esin
ambu
ngan
pas
ca
konf
lik
Men
geva
luas
i pol
a ba
ntua
n la
ngsu
ng ya
ng te
lah
berja
lan
Men
ingk
atka
n ka
pasit
as
pene
rima
man
faat
Pem
bina
an d
an
pend
ampi
ngan
Inse
ntif
finan
sial
kelo
mpo
k m
asya
raka
t ya
ng m
empr
akte
kkan
re
habi
litas
i hut
an
Mem
pero
leh
reko
men
dasi
pola
ya
ng te
pat d
alam
pe
nyed
iaan
alte
rnat
if m
ata
penc
ahar
ian
Men
ingk
atny
a ka
pasit
as p
ener
ima
man
faat
5√
√√
Band
a Ac
ehBP
M,
Disb
un,
Dist
an,
Dish
ut,
DKP,
Din
sos,
Dis
nake
rmob
duk,
Ak
adem
isi
Men
urun
kan
kete
rgan
tung
an
terh
adap
kay
u al
amPe
nggu
naan
mat
eria
l no
n-ka
yu se
baga
i bah
an
bang
unan
Men
gem
bang
kan
kayu
ya
ng b
eras
al d
ari h
utan
ke
mas
yara
kata
n
Berk
uran
gnya
pe
man
faat
an
mat
eria
l kay
u se
baga
i bah
an
bang
unan
Men
ingk
atny
a pe
man
faat
an
mat
eria
l kay
u da
ri hu
tan
kem
asya
raka
tan
3√
√
Peni
ngka
tan
pene
gaka
n hu
kum
M
enin
gkat
kan
kapa
sitas
pe
nega
k hu
kum
Men
ingk
atka
n pe
ran
mas
yara
kat d
alam
pe
ngam
anan
hut
an d
an
peng
elol
aan
sum
berd
aya
alam
seca
ra p
artis
ipat
if
Men
urun
nya
tingk
at p
elan
ggar
an
huku
m te
rhad
ap
pem
anfa
atan
su
mbe
rday
a al
amM
enin
gkat
nya
pera
n m
asya
raka
t dal
am
peng
aman
an h
utan
da
n pe
ngel
olaa
n su
mbe
rday
a al
am
seca
ra p
artis
ipat
if
5√
√
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH68
69BAB V
BAB VPENUTUP
REDD+ merupakan salah satu upaya mitigasi perubahan iklim. Sebagai pendekatan baru yang terkait dengan pengelolaan hutan pada khususnya dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan pada umumnya, pendekatan ini memerlukan pemahamandan penerapanyang tepat. Pendekatan yang diawali dari suatu komitmen global untuk pengurangan emisi sudah selayaknya memperoleh perhatian khusus bagi Pemerintah Aceh dengan tetap mengedepankan kepentingan dan manfaat secara optimal. Pendekatan ini harus dianggap sebagai pendekatan yang komplementer dengan pendekatan yang sudah dijalankan selama ini dengan prinsip dalam rangka penyempurnaan dan perbaikan kebijakan maupun strategi yang sudah ada.
Sebagai bagian dari komitmen Aceh untuk memberikan kontribusi suka rela dalam pengurangan emisi global, Strategi Daerah dan Rencana Aksi REDD+ Aceh disusun dengan dasar penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan sembari meningkatkan serapan (sink) karbon dan mempertahankan simpanan (stock) yang berada dihutan. Strategi didasarkan atas kajian masalah dan sumber masalah sehingga menampilkan strategi prioritas beserta program yang harus dilakasanakan selama kurun waktu sampai dengan tahun 2020. Pendekatan dengan penyempurnaan dan pembentukan kondisi mungkin dilanjutkan dengan penyempurnaan pengelolaan sumberdayaalamsesuaidengansektordiharapkanakanmemberikandayaefektifitastinggi.
Penerapan Strategi Daerah dan Rencana Aksi REDD+ Aceh hanya akan efektif bila mana masuk dalam sistem perencanaan baik di tingkat Pemerintah Aceh maupun pemerintah kabupaten/kota. Oleh karena itu pengarus utamaan Strategi Daerah dan Rencana Aksi REDD+ Aceh dalam sistem perencanaan merupakan suatu keniscayaan.
STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI (SRAP) REDD+ ACEH70