stomatitis.docx
-
Upload
agnesbondang -
Category
Documents
-
view
53 -
download
0
Transcript of stomatitis.docx
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Stomatitis berasal dari bahasa yunani, stoma yang berarti mulut dan itis yang
berarti inflamasi(radang). Stomatitis adalah inflamasi lapisan mukosa dari struktur
apapun pada mulut, seperti pipi, gusi, lidah, bibir, dan atap dasar mulut.
Peradangan dapat disebabkan oleh kondisi mulut itu sendiri, seperti kebersihan
mulut yang buruk, kekurangan protein, penggunaan gigi palsu, atau karena
mengkonsumsi makanan dan minuman yang terlalu panas, tanaman beracun atau
kondisi yang mempengaruhi seluruh tubuh seperti penggunaan obat, reaksi alergi,
terapi radiasi atau gangguan faktor sistemik.
Anemia defisiensi besi yang parah juga dapat menyebabkan stomatitis. Dimana
zat kekurangan zat besi akan mengakibatkan menurunnya kemampuan tubuh untuk
regenerasi epitel terutama di mulut dan bibir. Kondisi ini juga lazim pada orang yang
memiliki kekurangan vitamin B2 (Riboflavin), B3 (Niasin), B6 (Piridoksin), B9 (Asam
Folat), B12 (Cyanocobalamin).
Tanda pada Stomatitis yaitu terjadi kemerahan, pembengkakan, dan kadang-
kadang terjadi perdarahan pada daerah yang terkena. Bau mulut (halitosis) juga
mungkin menyertai keadaan ini. Stomatitis terjadi semua kelompok umur dari bayi
hingga dewasa. Stomatitis biasa kecil (diameter kurang dari 1cm ) sering mucul
dalam satu kelompok dan terdiri dari 2- 3 luka terbuka; biasanya akan menghilang
dengan sendirinya dalam 10 hari dan tidak meninggalkan jaringan parut.
Stomatitis dibagi menjadi 4 tipe :
1. Mycotic stomatitis.
2. Gingivo stomatitis.
3. Denture stomatitis.
4. Apthous stomatitis, dibagi menjadi 3 sub tipe, diantaranya :
Stomatitis aphtosa minor (MiRAS).
Stomatitis aphtosa major (MaRAS).
Ulserasi herpetiformis (HU).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja etiologi dari stomatitis?
2. Apa diagnosis dari stomatitis?
3. Bagaimanakah terapi stomatitis?
4. Bagaimana cara mencegah/pencegahan dari stomatitis?
1.3 Tujuan
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. Mycotic stomatitis
2.1.1 Etiologi
Mycotic Stomatitis ialah kandidiasis selaput lendir mulut, biasanya mukosa, bukal,
dan lidah, dan kadang-kadang Palatum, Gusi (Gingiva), serta dasar mulut. Penyakit ini
biasanya menyerang bayi yang sakit atau lemah, individu dengan kondisi kesehatan yang
buruk, pasien dengan tanggap imun lemah, serta yang lebih jarang, pasien yang telah
menjalani pengobatan dengan antibiotik. Mycotic Stomatitis disebut juga acute
pseudomembranous dan oral candidiasis.
2.1.2 Diagnosis
Diagnosis klinis dapat berupa Stomatitis Aftosa Rekurens atau Oral Thrush yang
dapat dilihat dengan adanya infeksi mulut yang terlihat pada pemeriksaan makroskopis seperti
adanya plak putih berupa bahan lembut menyerupai gumpalan susu yang dapat dikelupas,
yang meninggalkan permukaan dengan perdarahan segar. Namun ada juga lesi yang berwarna
kombinasi merah dan putih
Komplikasi yang terjadi berupa gangguan makan, menelan serta penurunan berat
badan. Pertumbuhan candida di dalam mulut akan lebih subur bila disertai penggunaan
kortikosteroid, antibiotika, kadar glukosa tinggi dan imunodefisiensi.Sebagai bukti,
dianjurkan diadakan pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan bahan pada rongga mulut
secara mikroskopik. Secara mikroskopik akan terlihat adanya sel-sel dan pseudomiselium
yang bertunas.
2.1.3 Pencegahan
a. Hindari mengkonsumsi makanan dan minuman yang menyebabkan iritasi pada mulut
b. Konsumsi cukup makanan bergizi terutama sayuran dan buah-buahan yang mengandung
vitamin c dan asam folat.
c. Menjaga kebersihan mulut dengan menyikat gigi 3 kali sehari
d. Perbanyak minum air putih
e. Kurangi atau jauhi aktivitas yang menyebabkan stress
f. Menjaga pola makan, pola hidup dan pergaulan sehat
g. Tidak menggunakan antibiotik atau kortikosteroid semaunya. Penggunaan antibitoik atau
kortikosteroid harus dengan anjuran dokter.
2.1.4 Terapi
a. Pemberian nistatin dan klotrimazol lokal di mulut tanpa diabsorpsi usus. Tidak boleh
disertai makan atau kumur-kumur agar didapat kontak yang maksimum.
b. Gentian Ungu paling baik digunakan untuk mycotic stomatitis (sariawan yang disebabkan
oleh jamur)
c. Ketokonazol menimbulkan respon terapeutik pada mycotic stomatitis yang sistemik
terutama apabila terjadi pada daerah mukokutan.
d. Amfoterisin B per IV adalah obat pilihan yang efektif apabila sudah mengenai organ
dalam.
e. Obat kumur lainnya yaitu Peridex dan Liserin
f. Terapi penyakit ini harus disertai dengan terapi penyebab penyakit penyebabnya apabila
kandidiasis disebabkan oleh suatu penyakit misalnya HIV/AIDS.
2.2 Gingivo Stomatitis
2.2.1 Etiologi
Gingivo stomatitis merupakan infeksi virus pada gusi dan bagian mulut lainnya, yang
menimbulkan nyeri. Gusi tampak berwarna merah terang dan terdapat banyak luka terbuka
yang berwarna putih atau kuning di dalam mulut. Penyebab utama gingivo stomatitis adalah
Borella Vincenti (bentuk seperti spiral) dan Bacillus Fusiformis (bentuk seperti lisong).
Gejala-gejala kinis terbagi dua :
1. Akut :
Onset yang cepatdan diawali dengan deman-deman (3-5 hari) panas atau suhu tubuh
tinggi sekali sehingga dapat menurun darahnya.
Rasa nyeri terbakar yang hebat.
Hipersalivasi.
Metalic taste ( rasa logam )
Tepi bebas gusi muda berdarah.
Nafsu merokok berkurang (bagi yang merokok)
Rasa pengecap terganggu
Merasa giginya extruded
Nyeri tekan pada giginya
Gigi terasa agak goyang.
Kelenjar regloner agak membesar
2. Kronis :
Adanya erosi dari gingiva dan interdental papil
Ada perdarahan sedikit
Hiperplasi dari jaringan gingiva
Bil gusi ditekan keras merasa sedikit sakit
2.2.2 Diagnosa
a. Sel darah putih (WBC) biasanya menurun
b. Pemeriksaan kultur bakteri dan virus.
c. Pemeriksaan fisik:
Inflamasi
Perdarahan
Retraksi
Perubahan warna
d. Pemeriksaan penunjang tidak terlalu dibutuhkan, jika pasien mengalami batuk, demam
dan nyeri otot
e. Biopsy dari lesi kulit.
2.2.3 Terapi
a. Antibiotik dosis tinggi.
b. Kumur-kumur H2O2 1,5% .
c. Kumur-kumur Na-bicarbonat 10%.
d. Jaringan di atas marginal gingival dan interdental papil harus di angkat dengan hati-hati
memekai kapas yang dibasahi dengan H2O2 3%.
2.2.4 Pencegahan
a. Istirahat total
b. Menghentikan minuman alkohol/ menghisap rokok
c. Jangan menggosok gigi dulu, sampai keadaan mereda, jadi cukup dengan kumur-kumur
saja
d. Makan yang lunak-lunak
e. Menghindari makanan yang pedas-pedas.
2.3. Denture stomatitis atau Chronic stomatitis
2.3.1 Etiologi
Denture stomatitis adalah suatu proses inflamasi pada mukosa mulut dengan bentuk
utama atropik dengan lesi erythematous dan hiperplastik. Suatu istilah yang digunakan untuk
menjelaskan perubahan-perubahan patologik pada mukosa penyangga gigi tiruan di dalam
rongga mulut.Perubahan-perubahan tersebut ditandai dengan adanya eritema di bawah gigi
tiruan lengkap atau sebagian baik di rahang atas maupun di rahang bawah. Budtz-Jorgensen
mengemukakan bahwa denture stomatitis dapat disebabkan oleh bermacam- macam faktor
yaitu: trauma, infeksi, pemakaian gigi tiruan yang terus-menerus, oral hygiene jelek, alergi,
dangan gangguan faktor sistemik. Oleh karena itu, gambaran klinis maupun gambaran
histopatologis juga bervariasi, sehingga perawatannyapun perlu dilakukan dengan berbagai
cara sesuai dengan kemungkinan penyebabnya.
2.3.2 Diagnosis
Pada umumnya diagnosis ditegakkan berdasarkan tampilan klinis dan swab dari
daerah gigi palsu yang dilekatkan pada gigi. Biopsi jaringan tidak biasa di indikasikan
namunakan menunjukan bukti histologis dari respon proliferasi atau degeneratf, serta
penurunan keratninisasi dan atrofi epitel.
2.3.3 Pencegahan
Aspek paling penting dari penanganan stomatitis dentura adalah menjaga dan
meningkatkan kebersihan gigi palsu, seperti melepas gigi palsu sebelum tidur pada malam
hari, melekukan desinfeksi dan pembersihan, dan di simpan dalam larutan antiseptik,
larutanya dapat berupa alkalin hipoklorit.
2.3.4 Terapi
Sedangkan untuk resolusi dari infeksi mukosa daapt digunakan obat-obatan anti fungi
topikal seperti nystatin, amphotericin, miconazole, fluconazole atau itraconazole. Sering juga
di anjurkan obat kumur anti mikroba seperti chlorhexidine.
2.4. Apthous Stomatits
Stomatitis aphtosa adalah suatu ulserasi soliter atau multipel yang terasa nyeri yang
terjadi pada mukosa bibir, mulut atau lidah dan pada mukosa sublingual, palatum atau
ginggiva. Lesi dapat muncul pada awalnya sebagai papula berindurasi, eritamosa yang mudah
mengalami erosi menjadi ulkus nekrotil berbatas tegas dengan eksudat fibrinosa kelabu dan
dan halo eritematosa.
2.4.1 Etiologi
Etiologi dari stomatitis aphthosa sampai sekarang belum dapat dipastikan. Ada yang
berpendapat oleh karena peradangan micro-organisme dalam mulut misalnya micrococcus
catarrhalis. Ulser pada SAR bukan karena satu faktor saja tetapi multifaktorial yang
memungkinkannya berkembang menjadi ulser. Keadaan ini mungkin menggambarkan
manifestasi oral dari sejumlah keadaan. Peraturan sistem imun seluler lokal yang berubah,
setelah aktivasi dan akumulasi sel T sitotoksik, dapat turut menyebabkan kerusakan mukosa
setempat.
Faktor-faktor predisposisi juga mempengaruhi antara lain:
1. Pasta Gigi dan Obat Kumur SLS
Penelitian menunjukkan bahwa produk yang mengandung SLS yaitu agen berbusa
paling banyak ditemukan dalam formulasi pasta gigi dan obat kumur, yang dapat
berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya ulser, disebabkan karena efek dari SLS
yang dapat menyebabkan epitel pada jaringan oral menjadi kering dan lebih rentan terhadap
iritasi. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa peserta yang menggunakan pasta gigi
yang bebas SLS mengalami sariawan yang lebih sedikit. Penurunan ini ditemukan setinggi
81% dalam satu penelitian. Studi yang sama juga melaporkan bahwa subjek penelitian merasa
bahwa sariawan yang mereka alami kurang menyakitkan daripada pada saat mereka
menggunakan pasta gigi yang menggandung SLS.
2. Trauma
Ulser dapat terbentuk pada daerah bekas terjadinya luka penetrasi akibat trauma.
Pendapat ini didukung oleh hasil pemeriksaan klinis, bahwa sekelompok ulser terjadi setelah
adanya trauma ringan pada mukosa mulut. Umumnya ulser terjadi karena tergigit saat
berbicara, kebiasaan buruk, atau saat mengunyah, akibat perawatan gigi, makanan atau
minuman terlalu panas, dan sikat gigi. Trauma bukan merupakan faktor yang berhubungan
dengan berkembangnya SAR pada semua penderita tetapi trauma dapat dipertimbangkan
sebagai faktor pendukung.
3. Genetik
Faktor ini dianggap mempunyai peranan yang sangat besar pada pasien yang
menderita SAR. Faktor genetik SAR diduga berhubungan dengan peningkatan jumlah human
leucocyte antigen (HLA), namun beberapa ahli masih menolak hal tersebut. HLA menyerang
sel-sel melalui mekanisme sitotoksik dengan jalan mengaktifkan sel mononukleus ke
epitelium. Sicrus (1957) berpendapat bahwa bila kedua orangtua menderita SAR maka besar
kemungkinan timbul SAR pada anak-anaknya. Pasien dengan riwayat keluarga SAR akan
menderita SAR sejak usia muda dan lebih berat dibandingkan pasien tanpa riwayat keluarga
SAR.
4. Gangguan imunologis.
Tidak ada teori yang seragam tentang adanya imunopatogenesis dari SAR, adanya
disregulasi imun dapat memegang peranan terjadinya SAR. Salah satu penelitian
mungungkapkan bahwa adanya respon imun yang berlebihan pada pasien SAR sehingga
menyebabkan ulserasi lokal pada mukosa. Respon imun itu berupa aksi sitotoksin dari
limfosit dan monosit pada mukosa mulut dimana pemicunya tidak diketahui. Menurut
Bazrafshani dkk, terdapat pengaruh dari IL-1B dan IL-6 terhadap resiko terjadinya SAR.
Menurut Martinez dkk, pada SAR terdapat adanya hubungan dengan pengeluaran IgA, total
protein, dan aliran saliva. Sedangkan menurut Albanidou-Farmaki dkk, terdapat karakteristik
sel T tipe 1 dan tipe 2 pada penderita SAR.9
Stress
Stres merupakan respon tubuh dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan
lingkungan yang terjadi terus menerus yang berpengaruh terhadap fisik dan emosi. Stres
dinyatakan merupakan salah satu faktor yang berperan secara tidak langsung terhadap ulser
stomatitis rekuren ini.
5. Defisiensi nutrisi
Wray (1975) meneliti pada 330 pasien SAR dengan hasil 47 pasien menderita
defisiensi nutrisi yaitu terdiri dari 57% defisiensi zat besi, 15% defisiensi asam folat, 13%
defisiensi vitamin B12, 21% mengalami defisiensi kombinasi terutama asam folat dan zat besi
dan 2% defisiensi ketiganya. Penderita SAR dengan defisiensi zat besi, vitamin B12 dan asam
folat diberikan terapi subtitusi vitamin tersebut hasilnya 90% dari pasien tersebut mengalami
perbaikan.
Faktor nutrisi lain yang berpengaruh pada timbulnya SAR adalah vitamin B1, B2 dan
B6. Dari 60 pasien SAR yang diteliti, ditemukan 28,2% mengalami penurunan kadar vitamin-
vitamin tersebut. Penurunan vitamin B1 terdapat 8,3%, B2 6,7%, B6 10% dan 33% kombinasi
ketiganya. Terapi dengan pemberian vitamin tersebut selama 3 bulan memberikan hasil yang
cukup baik, yaitu ulserasi sembuh dan rekuren berkurang.
Dilaporkan adanya defisiensi Zink pada penderita SAR, pasien tersebut diterapi
dengan 50 mg Zink Sulfat peroral tiga kali sehari selama tiga bulan. Lesi SAR yang persisten
sembuh dan tidak pernah kambuh dalam waktu satu tahun. Beberapa peneliti lain juga
mengatakan adanya kemungkinan defisiensi Zink pada pasien SAR karena pemberian
preparat Zink pada pasien SAR menunjukkan adanya perbaikan, walaupun kadar serum Zink
pada pasien SAR pada umumnya normal
6. Hormonal
Pada wanita, sering terjadinya SAR di masa pra menstruasi bahkan banyak yang
mengalaminya berulang kali. Keadaan ini diduga berhubungan dengan faktor hormonal.
Hormon yang dianggap berperan penting adalah estrogen dan progesteron. Dua hari sebelum
menstruasi akan terjadi penurunan estrogen dan progesteron secara mendadak. Penurunan
estrogen mengakibatkan terjadinya penurunan aliran darah sehingga suplai darah utama ke
perifer menurun dan terjadinya gangguan keseimbangan sel-sel termasuk rongga mulut,
memperlambat proses keratinisasi sehingga menimbulkan reaksi yang berlebihan terhadap
jaringan mulut dan rentan terhadap iritasi lokal sehingga mudah terjadi SAR. Progesteron
dianggap berperan dalam mengatur pergantian epitel mukosa mulut.
7. Infeksi bakteri
Graykowski dan kawan-kawan pada tahun 1966 pertama kali menemukan adanya
hubungan antara bakteri Streptokokus bentuk L dengan lesi SAR dengan penelitian lebih
lanjut ditetapkan bahwa Streptokokus sanguis sebagai penyebab SAR. Donatsky dan
Dablesteen mendukung pernyataan tersebut dengan melaporkan adanya kenaikan titer
antibodi terhadap Streptokokus sanguis 2A pada pasien SAR dibandingkan dengan kontrol.
Alergi dan sensitivitas
Alergi adalah suatu respon imun spesifik yang tidak diinginkan (hipersensitifitas)
terhadap alergen tertentu. Alergi merupakan suatu reaksi antigen dan antibodi. Antigen ini
dinamakan alergen, merupakan substansi protein yang dapat bereaksi dengan antibodi, tetapi
tidak dapat membentuk antibodinya sendiri.
SAR dapat terjadi karena sensitifitas jaringan mulut terhadap beberapa bahan pokok
yang ada dalam pasta gigi, obat kumur, lipstik atau permen karet dan bahan gigi palsu atau
bahan tambalan serta bahan makanan., Setelah berkontak dengan beberapa bahan yang
sensitif, mukosa akan meradang dan edematous. Gejala ini disertai rasa panas, kadang-kadang
timbul gatal-gatal, dapat juga berbentuk vesikel kecil, tetapi sifatnya sementara dan akan
pecah membentuk daerah erosi kecil dan ulser yang kemudian berkembang menjadi SAR.
8. Obat-obatan
Penggunaan obat nonsteroidal anti-inflamatori (NSAID), beta blockers, agen
kemoterapi dan nicorandil telah dinyatakan berkemungkinan menempatkan seseorang pada
resiko yang lebih besar untuk terjadinya SAR.
9. Penyakit Sistemik
Beberapa kondisi medis yang berbeda dapat dikaitkan dengan kehadiran SAR. Bagi
pasien yang sering mengalami kesulitan terus-menerus dengan SAR harus dipertimbangkan
adanya penyakit sistemik yang diderita dan perlu dilakukan evaluasi serta pengujian oleh
dokter. Beberapa kondisi medis yang dikaitkan dengan keberadaan ulser di rongga mulut
adalah penyakit Behcet’s, penyakit disfungsi neutrofil, penyakit gastrointestinal, HIV-AIDS,
dan sindroma Sweet’s.
10. Merokok
Adanya hubungan terbalik antara perkembangan SAR dengan merokok. Pasien yang
menderita SAR biasanya adalah bukan perokok, dan terdapat prevalensi dan keparahan yang
lebih rendah dari SAR diantara perokok berat berlawanan dengan yang bukan perokok.
Beberapa pasien melaporkan mengalami SAR setelah berhenti merokok.
Klasifikasi
Stomatitis aphthosa berdasarkan klasifikasinya dibagi menjadi 3:
1. Stomatitis aphtosa minor
Tipe minor mengenai sebagian besar pasien SAR yaitu 75% sampai dengan 85% dari
keseluruhan SAR, yang ditandai dengan adanya ulser berbentuk bulat dan oval, dangkal,
dengan diameter 1-10 mm, dan dikelilingi oleh pinggiran yang eritematous.
Ulserasi dari tipe minor cenderung mengenai daerah-daerah non-keratin, seperti
mukosa labial, mukosa bukal dan dasar mulut. Ulserasi biasa tunggal atau merupakan
kelompok yang terdiri atas 4-5 ulser dan akan sembuh dalam waktu 10-14 hari tanpa
meninggalkan bekas jaringan parut.
2. Stomatitis aphtosa mayor
Tipe mayor diderita 10%-15% dari penderita SAR dan lebih parah dari tipe minor.
Ulser biasanya tunggal, berbentuk oval dan berdiameter sekitar 1-3 cm, berlangsung selama 2
minggu atau lebih dan dapat terjadi pada bagian mana saja dari mukosa mulut, termasuk
daerah-daerah berkeratin.
Ulser yang besar, dalam serta bertumbuh dengan lambat biasanya terbentuk dengan
bagian tepi yang menonjol serta eritematous dan mengkilat, yang menunjukkan bahwa terjadi
edema. Selalu meninggalkan jaringan parut setelah sembuh dan jaringan parut tersebut terjadi
karena keparahan dan lamanya ulser.
Stomatitis Aphtosa Rekuren tipe mayor
3. . Ulserasi Herpetiformis
Ulserasi Herpetiformis adalah suatu ulkus yang memiliki vesikel yang berkelompok.
Istilah herpetiformis pada tipe ini dipakai karena bentuk klinisnya (yang dapat terdiri dari 100
ulser kecil-kecil pada satu waktu) mirip dengan gingivostomatitis herpetic primer, tetapi
dalam hal ini virus herpes tidak mempunyai peran etiologi pada SAR tipe herpetiformis. SAR
tipe herpetiformis ini jarang terjadi yaitu sekitar 5% - 10% dari kasus SAR. Sekitar sepertiga
penderita dengan stomatitis aftosa kambuhan memiliki riwayat keluarga dengan penyakit ini.
Suatu ulkus berkelompok dengan rasa nyeri yang dikelilingi oleh bagian tepi yang
eritematous, yang berbentuk bulat atau oval, lesi timbul dengan kelompok sedikit sampai
banyak, berdiameter 1-2 mm yang cenderung bergabung menjadi plak dan bila ulser
bergabung bentuknya menjadi tidak teratur. Setiap ulser berlangsung selama satu hingga dua
minggu dan biasanya sembuh dalam 7-10 hari. Ketika sembuh tidak akan meninggalkan
jaringan parut. Terapi dengan pemberian suspensi oral tetrasiklin dapat mengurangi intensitas
ulkus herpetiformis.
Stomatitis tipe herpetiformis
2.4.2 Diagnosa
Diagnosis SAR didasarkan pada anamnesa dan gambaran klinis dari ulser. Biasanya
pada anamnesa, pasien akan merasakan sakit dan terbakar pada mulutnya, lokasi ulser
berpindah-pindah dan sering berulang. Harus ditanyakan sejak dari umur berapa terjadi, lama
(durasi), serta frekuensi ulser. Setiap hubungan dengan faktor 18 predisposisi juga harus
dicatat. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan ulser pada bagian mukosa mulut dengan
bentuk yang oval dengan lesi ±1 cm yang jumlahnya sekitar 2-6. Pemeriksaan tambahan
diperlukan seperti pemeriksaan sitologi, biopsi, dan kultur bila ulser tidak kunjung sembuh.
2.4.3 Terapi
Terapi stomatitis aftosa rekuren tidak memuaskan dan tidak ada yang pasti. Terapi
dilakukan secara siptomatik. Telah banyak obat yang dicoba menanggulangi stomatitis namun
tidak ada yang efektif. Penatalaksanaan stomatitis aftosa rekuren ditujukan untuk mengurangi
rasa sakit, atau mencegah timbulnya lesi baru. Rasa sakit dapat dikurangi dengan cara
menghindari makanan yang berbumbu, asam, atau minuman beralkohol. Anastetikum topikal
merupakan obat yang umumnya digunakan dalam pengobatan stomatitis. Pengolesan
anastetikum sebelum makan dapat mengurangi rasa sakit.
Faktor predisposisi yang berperan perlu ditelusuri agar dapat meringankan penderitaan
pasien. Tujuan dari pengobatan adalah untuk meringankan penderitaan pasien yang harus
berdampingan engan ulserasi sepanjang hidupnya. Pasien perlu diyakinkan bahwa stomatitis
aftosa rekuren bukan suatu penyakit yang berbahaya walaupun merepotkan. Dengan adanya
keyakinan tersebut kemungkinan tidak diperlukan pengobatan sistemik, covering agent atau
kumur antiseptik.
Masa perjalanan dapat dipersingkat dengan pemberian kortikosteroid topikal, seperti
triamcinolone acetonide 0,1% dalam orabase yang bersifat adesif. Contoh lain adalah
fluocinonide gel yang lebih kuat dan rasanya lebih enak. Obat dioleskan pada ulserasi 4–8 kali
sehari. Untuk lesi yang parah dapat diberikan kortikosteroid sistemik. Lesi akan segera
sembuh sehingga memperpendek perjalanan lesi selama obat digunakan. Penggunaan secara
sistemik perlu berhati–hati karena apabila terlalu lama digunakan dapat menimbulkan efek
samping. Beberapa ahli ada yang mencoba tetrasiklin yang dipakai secara topikal atau
sistemik. Penggunaan secara topikal dilakukan dengan melarutkan obat dalam 30 mL air dan
digunakan sebagai obat kumur.
Obat–obat sistemik seperti levamisole, inhibitor monoamine oksidase, thalidomide
atau dapsone digunakan untuk penderita yang sering mengalami ulserasi oral yang serius.
Tetapi, penggunaan obat–obat ini harus dipertimbangkan efektifitas serta efek sampingnya.
Untuk pasien dengan gangguan hematologi maka terapi yang diberikan kepada pasien
anemia karena kekurangan zat besi adalah tablet zat besi yang berisi ferrous sulfate, ferrous
gluconate, dan ferrous fumarate yang diberikan peroral. Respon tubuh pada terapi biasanya
cepat, sel darah merah akan kembali normal setelah 1-2 bulan. Oleh sebab itu pasien
diberikan sulemen yang berisi zat besi 2x1 sehari yang diminum selama dua minggu.
Beberapa literatur menyebutkan bahwa lidah buaya memiliki khasiat bagi kesehatan
terutama untuk mukosa mulut antara lain sebagai analgesik, antiseptik, dan antiinflamasi
karena bahan yang terkandung antara lain aloktin A dan asam salisilat.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://Repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27287/4/chapter
%2011.pdf
2. Buku harrison.
3. Handout gigi.
4. http://en.m.wikipedia.org/wiki/Denture-related_stomatitis.