Star Jogja, 24 Agustus 2017, Belum Semua Warga di Daerah ... · pasar jadi mereka hasil produksi...

13
Star Jogja, 24 Agustus 2017, Belum Semua Warga di Daerah Istimewa Yogyakarta Jadi PesertaBPJS Kesehatan, http://www.starjo.gja.com/2017/08/24/belum-semua-warga-di- daerah-istimewa-yogyakarta-jadi-peserta-bpjs-kesehatan/, diakses 7 September 2017. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan (Lembaran Negara RI Tahun 1951 Nomor 4). Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4279). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara RI Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5234). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5587). Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 87/432

Transcript of Star Jogja, 24 Agustus 2017, Belum Semua Warga di Daerah ... · pasar jadi mereka hasil produksi...

Page 1: Star Jogja, 24 Agustus 2017, Belum Semua Warga di Daerah ... · pasar jadi mereka hasil produksi ditentukan oleh pemberi kerja, jadi misalnya mereka pemberi kerja mengatakan produksinya

Star Jogja, 24 Agustus 2017, Belum Semua Warga di Daerah Istimewa Yogyakarta Jadi

PesertaBPJS Kesehatan, http://www.starjo.gja.com/2017/08/24/belum-semua-warga-di-

daerah-istimewa-yogyakarta-jadi-peserta-bpjs-kesehatan/, diakses 7 September 2017.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan (Lembaran Negara RI Tahun 1951 Nomor 4).

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4279).

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara RI Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5234).

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5587).

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 87/432

Page 2: Star Jogja, 24 Agustus 2017, Belum Semua Warga di Daerah ... · pasar jadi mereka hasil produksi ditentukan oleh pemberi kerja, jadi misalnya mereka pemberi kerja mengatakan produksinya

10. PEKERJA INFORMAL (PEKERJA RUMAH TANGGA DAN PEKERJA RUMAHAN) DALAM HUKUM KETENAGAKERJAAN

Agusmidah

(Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan) Jalan Universitas No. 4 Kampus USU Medan

Mobile phone: 0812 6587 3076; E-mail: [email protected]

Suria Ningsih

Universitas Sumatera Utara Fakultas Hukum, Jalan Universitas No. 4 Kampus USU Medan

Erna Herlinda

Universitas Sumatera Utara Fakultas Hukum, Jalan Universitas No. 4 Kampus USU Medan

Abstrak: Pekerja informal di Indonesia belum menjadi subjek hukum yang

dilindungiundang-undang dalam kegiatannya di lapangan kerja. Kedudukan PRT dan PR dengan demikian sangat rentan. Sejumlah penelitian empiris menunjukkan

rendahnya upah dan tidak adanya perlindungan bagi mereka. Alih-alih mendapat perlindungan, Draft Raperda PRT dan PR yang diajukan oleh lembaga swadaya

masyarakat malah tidak direspon oleh DPRD Provinsi Sumatera Utara. Penelitian normatif ini mencoba mengupas apa kendala hukum yang menyebabkan mandegnya

pembahasan Ranperda dan peluang bagi Pemerintah daerah dalam menjalankan fungsinya di era otonomi daerah untuk membuat regulasi.

Kata kunci: Pekerja informal; PRT; Pekerja Rumahan; Hukum Ketenagakerjaan;Perda.

PENDAHULUAN

Undang-undang Ketenagakerjaan yang diundangkan sejak 2003 sejauh ini efektif bagi

perlindungan pekerja di sektor formal, tapi tidak untuk sektor non formal seperti pekerja rumah

tangga (PRT) dan pekerja rumahan (PR). Kondisi riil yang dihadapi kedua sektor ini adalah tidak

adanya jaminan perlindungan ekonomi yang meliputi besaran upah, jaminan sosial, juga tidak

adanya jaminan sosial dan teknis berupa jam kerja, dan kesehatan dan keselamatan kerja (K3).

Data empiris terhadap kondisi riil ini tersaji dalam penelitian-penelitian terdahulu.

Penelitian ini fokus pada kajian hukum, khususnya Hukum Ketenagakerjaan yang berlandaskan pada masalah urgensi membuat aturan atau legislasi secara khusus terkait PRT

dan PR di masyarakat dewasa ini dan bagaimana perlindungan pekerja sektor non formal dapat masuk dalam program legislasi daerah. Kedua masalah ini dapat diuraikan dalam

bentuk paparan kebijakan berupa kajian akademi yang fokus pada ulasan yuridis.

METODE

Penelitian hukum ini memiliki tipologi penelitian normatif. Tulisan ini sebagian besar hasil

dari diskusi terarah (FGD) dengan menyusun detail pertanyaan yang kemudian diajukan pada

masing-masing narasumber sesuai dengan kapasitasnya. Ada sembilan yang dianggap sebagai

pihak yang penting untuk memberi masukan terkait regulasi daerah ini yaitu: DPRD Provinsi

Sumatera Utara, DPRD Kota Medan, DPRD Kabupaten Deli Serdang, Dinas Tenaga Kerja

Provinsi, Akademisi bidang Ilmu Ekonomi, Akademisi Ilmu Hukum khususnya Hukum Tata

Negara (menyangkut pembentukan Perda), LSM yang konsern yaitu Bitra Indonesia untuk

Pekerja Rumahan, dan Sahdar untuk PRT, dari unsur pengusaha adalah DPW Apindo Provinsi

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 88/432

Page 3: Star Jogja, 24 Agustus 2017, Belum Semua Warga di Daerah ... · pasar jadi mereka hasil produksi ditentukan oleh pemberi kerja, jadi misalnya mereka pemberi kerja mengatakan produksinya

Hasanuddin Law Review Vol. 2 Issue 2, August (2016)

Sumatera Utara. Wawancara dengan kuasa hukum atau pendamping PRT yang mengalami

kasus hukum baik karena melakukan pencurian karena alasan mengalami ketidak layakan

dalam bekerja (kasus Ayu dan Linda, Putusan PN Medan, 2016) juga kuasa hukum atau

pendamping PRT yang menjadi korban kekerasan majikan (kasus Keluarga Syamsul Rahman,

Putusan MA tahun 2015 atas nama Bibi Randika, isteri dari Syamsul Rahman). Wawancara

menggali upaya pembelaan dari perspektif hukum perburuhan/ketenagakerjaan yang memiliki

standar kerja yang disebut kerja layak (decent work). Analisis data dilakukan secara kualitatif

yang hasilnya akan dijabarkan secara deskriptif analitis.

ANALISA DAN PEMBAHASAN

Gambaran Kondisi Empiris Pekerja Rumahan

Kondisi empiris Pekerja Rumahan, penelitian dari Bitra Indonesia menemukan data

bahwa:

a. Kondisi PR diupah di bawah standar upah yang disebut upah minimum, bahkan sangat rendah misalnya pekerjaan mengemas sedotan air minum mineral, pengupas bawang, pembuat kawat panggangan, dan lain-lain.

b. Kondisi kerja yang tidak baik seperti jam kerja tidak menentu dan panjang,

dengan alasan mengejar target borongan, bahkan melibatkan anak.

c. Tidak terjangkau pengawasan oleh dinas tenaga kerja.

d. BPS melalui SAKERNAS memetakan home based worker (pekerja berbasis rumahan) dalam 3 kategori/jenis home worker (pekerja rumahan), self

involvedworker (usaha-usaha sendiri yang memproduksi barang dan jasa), direct employed of company.

e. Bitra berusaha mengorganisir mereka, melakukan pemberdayaan dan penyadaran

akan hak ketenagakerjaan.

f. Bitra mengajukan Draft Raperda ke DPRD Provinsi Sumatera Utara namun semakin lama nasibnya menjadi tidak jelas.

Pekerja rumahan sudah dikenal secara internasional bahkan ILO sudah mengeluarkan

Konvensi Nomor 177 Tahun 1996 dan intinya adalah bahwa pekerja rumahan adalah orang

yang bekerja di dalam rumahnya atau tempat lain yang dipilihnya atau di luar rumah majikan

atau pengusaha. Konvensi ILO ini masih 10 negara yang meratifikasinya, kebanyakan adalah

negara-negara berkembang, negara maju cenderung tidak meratifikasi tetapi melarang rumah

atau ruang-ruang privasi digunakan sebagai tempat.

Bitra melihatnya memang ada benang tipis yang membedakan antara pekerja rumahan

dengan pekerja formal di perusahaan, kalau pekerjaan industri melakukan kerja-kerja yang

merupakan bagian dari keseluruhan produksi dari tempat yang disediakan oleh pengusaha, maka

pekerjaannya sama hanya tempatnya yang berbeda. Pemberi kerja memberikan pekerjaan itu

melaui perantara atau agen kemudian pemasaran biasanaya borongan lalu mereka diupah dan

dibayar upahnya berdasarkan satuan hasil seperti kilogram, lusin, karung dan lain-lain.

Beberapa contoh yang ditayangkan BITRA:

1. Menganyam kawat pemanggang, di Tanjung Morawa, upah mereka adalah 250 rupiah

perbuah, sehari mengerjakan sekitar 8-9 jam, hasilnya sekitar 42 buah, jadi sekitar 10

ribu rupiah yang mereka dapatkan dari upah menganyam itu dalam sehari.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 89/432

Page 4: Star Jogja, 24 Agustus 2017, Belum Semua Warga di Daerah ... · pasar jadi mereka hasil produksi ditentukan oleh pemberi kerja, jadi misalnya mereka pemberi kerja mengatakan produksinya

2. Mengemas pipet atau sedotan minuman gelas, satu kemasan itu berisi 24 pcs dan upah mereka sekitar 7.000 rupiah per goni.

3. Menggunting sandal jepit biasanya sandal jepit bentuknya panjang dari pabrik lalu

dikirim ke mereka untuk dipotong-potong dengan upah 6 ribu rupiah atau bisa

dikonversi 360 pasang atau 722 pcs, mereka kerjakan selama setengah hari atau

setengah karung sekitar 9 jam.

4. Menjahit jok kereta bayi dengan penghasilan 16 ribu rupiah per buah.

5. Mengemas belau, upahnya 17 ribu rupiah mereka bekerja 12-13 jam sehari.

6. Mengupas udang, biasanya ini udang untuk diekspor, juga untuk dikalengkan, dulu dikerjakan di pabrik, tetapi sekarang sudah didistribusikan ke rumah-rumah, upah sekitar 3 ribu rupiah per kg, sehari bisa dapat 3 kg.

Kondisi pendidikan mereka memang rendah, rata-rata pendapatannya rendah dan 95%

kebanyakan wanita yang mengerjakan pekerjaan ini ibu-ibu rumah tangga. Alasannya untuk

mengisi waktu luang bahwa mereka tidak sadar mereka bekerja di atas 40 jam dalam

seminggu atau 7 jam dalam sehari. Mereka bekerja di ruang-ruang pribadi rumahnya sendiri

bisa di ruang tamu dan lain-lain, sesungguhnya juga berdampak pada kesehatan keluarga

(contoh: aroma karet dan bau sisa udang, juga debu yang dihasilkan). Kondisi kerja di bawah

standar ini agak sulit diawasi oleh dinas ketenagakerjaan terutama bagian pengawasan

sehingga rentan untuk terjadi eksploitasi tenaga kerja.

Mereka tidak pernah mempunyai yang namaya kontrak semua alat dan fasilitas semua ditanggung oleh pekerja. Seperti kalau usaha konveksi mereka punya mesin jahit sendiri.

Semua alat yang dibutuhkan mereka punya sendiri. Jadi mereka semua yang menanggung biaya produksi. Termasuk menggunakan listrik mereka tanggung sendiri semuanya.

K3 tidak ada karena mereka tidak terlindungi apabila terjadi kecelakan kerja biayanya

ditanggung sendiri biayanya oleh si pekerja rumahan. Sistem jaminan sosial mereka tidak

pernah tersentuh dengan itu kalau pun ada produk yang rusak itu ditanggung sendiri jika

produksi rusak maka mereka dikenakan biaya semacam kompensasi dari kerusakan barang

yang mereka lakukan, limbah ditanggung sendiri oleh pekerja rumahan. Jadi memang

konsekuensi kepada lingkungan harus kita perhatikan karena memang mereka pengetahuan-

nya tentang lingkungan rendah. Penghasilan mereka dihitung berdasarkan satuan hasil lalu

sistem kerja mereka adalah borongan statusnya individu tidak ada kontak atau akses terhadap

pasar jadi mereka hasil produksi ditentukan oleh pemberi kerja, jadi misalnya mereka pemberi

kerja mengatakan produksinya tidak bagus harus dikembaliakan maka mereka tidak mem-

punyai kemampuan untuk bernegosiasi karena nilai tawarnya rendah sekali.

Jam kerja melebihi standar kalau tadi rata-rata kita lihat di atas 8-9 jam dalam sehari

walaupun tidak continue seperti di perusahaan. Ruangan industri sehingga secara tidak sadar

mereka melebihi jam kerja standar. Benar adanya pendapat bahwa pekerja rumahan itu tidak

langsung mendapatkan pekerjaan dari pemberi kerja itu tapi kebanyakan menggunakan

perantara atau agen biasanya sampai rantainya atau rentang kendalinya itu sampai 2-3

sehingga terkadang pekerja rumahan tidak tahu siapa sih pemberi kerja yang mereka kenal

adalah agennya atau perantaranya karena agenlah yang sering bersentuhan atau berhubungan

dengan pekerja rumahan.

Praktik pekerja rumahan sudah cukup lama tetapi yang kita temui ada yang mencapai 16-20 tahunan bahkan sampai 25 tahun pun cucu mereka pun mengerjakan pekerjaan rumahan

ini. Kenapa sektor ini berkembang karena masalah ekonomi atau problem ekonomi sehingga

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 90/432

Page 5: Star Jogja, 24 Agustus 2017, Belum Semua Warga di Daerah ... · pasar jadi mereka hasil produksi ditentukan oleh pemberi kerja, jadi misalnya mereka pemberi kerja mengatakan produksinya

mendorong perempuan untuk menafkahi keluarga, angka pengangguran yang sangat besar,

faktor kemudahan dan fleksibilitas jadi mereka tidak memerlukan lamaran, pendidikan jadi mereka fleksibel dalan arti kemudian tidak ada kontrak jika mereka berhenti ya berhenti saja,

ini yang menjadikan sektor ini semakin berkembang di Indonesia khususnya Provinsi Sumatera Utara.

Yayasan Bitra bekerjasama dengan Bappenas dengan program MAMPU diberikan

kepercayaan untuk mengorganisir pekerja rumahan, sejak tahun 2014 setidaknya sudah ada 22 sektor yang sudah dibentuk, total sekitar 1.465 pekerja rumahan tetapi baru ada di 4 (empat)

kabupaten/kota yaitu Medan, Deli Serdang, Binjai dan Asahan. Dari 22 sektor tersebut, produknya bukan saja untuk pasar domestik tetapi sudah berskala ekspor.

Berkaitan dengan jumlah pekerja rumahan, BPS (Badan Pusat Statistik) di Jakarta

dikunjungi untuk mengetahui jumlah atau BPS punya data atau tidak tentang pekerja

rumahan, ada beberapa data yang kita dapatkan bahwa BPS mempunyai program sensus yang

namanya SAKERNAS (Survei Angkatan Kerja Nasional yang dilakukan 2 kali dalam setahun

di bulan Pebruari dan Agustus. Dari data SAKERNAS penulis melihat bahwa mereka

memetakan ada yang namanya home based worker (pekerja berbasis rumahan), ada 3 jenis

home based worker yang mereka identifikasi yaitu:

1. Home worker (pekerja rumahan).

2. Self involved worker (usaha-usaha sendiri yang memproduksi barang dan jasa).

3. Direct employed of company.

Perlu diusulkan agar BPS bisa melakukan survey jumlah dan data spesifik pekerja

rumahan, sebagai data awal kecenderungannya cukup tinggi, kalau kita lihat dari data di akhir tentang jumlah pekerja formal dan informal 124,5 juta dari pekerja atau angkatan kerja itu

sekitar 72 juta adalah pekerja informal, kalau kita bandingkan 23 juta dari 70 juta 30% adalah home based worker.

Dari wawancara dengan serikat pekerja rumahan, peneliti menemukan praktik peng-

gunaan tenaga kerja yang “sengaja” dibiaskan atau dikaburkan. Perusahaan yang mem-produksi

baby walker misalnya, menyerahkan pekerjaan menjahit jok (tempat duduk) dan tudung(payung)

baby walker kepada rumah tangga (umumnya para ibu) untuk dikerjakan di rumah.

Ada tiga cara para ibu ini menerima bahan baku untuk melakukan pekerjaannya:

1. melalui perantara/agen yang merupakan sesama pekerja rumahan juga.

2. langsung ambil bahan ke perusahaan.

3. perusahaan yang mengantar ke rumah.

Gambaran Kondisi Empiris Pekerja Rumah Tangga

Kondisi empiris Pekerja Rumah Tangga berdasarkan hasil penelitian SAHdaR dapat diuraikan berikut ini (Linda Wahyu Marpaung):

a) Permasalahan yang sering muncul selama mengorganisir PRT, pertama kekerasan psikis, penganiayaan, pemecatan semena-mena, pencurian, dan PRT anak.

b) Karakteristik pekerja rumahan adalah umumnya perempuan, pendidikan rendah,

bahkan tidak tamat SD, umumnya jika orang tua PRT maka anak-anaknya juga akan ikut sebagai PRT.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 91/432

Page 6: Star Jogja, 24 Agustus 2017, Belum Semua Warga di Daerah ... · pasar jadi mereka hasil produksi ditentukan oleh pemberi kerja, jadi misalnya mereka pemberi kerja mengatakan produksinya

c) Upah umumnya tidak ada standar atau ukuran yang jelas dalam menentukan besaran upah PRT, upah yang diterima masih jauh di bawah upah minimum, dan sering mengalami keterlambatan pembayaran upah.

d) SAHdaR bersama dengan jaringan PRT (sekitar 41 jaringan se-Indonesia) ada

mengajukan RUU PRT yang menjadi RUU sejak tahun 2009 sampai dengan tahun

2014, dan kemudian menjadi prioritas tahun 2016, DPR ini sudah studi banding

sampai ke Afrika Selatan karena selain Filipina, Afrika Selatan itu juga sudah mengeluarkan UU PRT.

e) tidak adanya payung hukum yang melindungi PRT menyebabkan maraknya kasus

kekerasan yang dialami PRT.

SAHdaR mengorganisir PRT sejak tahun 2007 pertama dibentuk kelompok namanya KPRT Teratai, kemudian di 2010 ada KPRT Melati dan di 2011 ada KPRT Anggrek dengan

total anggota sekitar 898 orang, kemudian tahun 2014 sudah mendaftarkan SPRT Sumut ke Disnaker Kota Medan - Serikat Pekerja Sumatera Utara.

Permasalahan yang sering muncul selama mengorganisir PRT adalah seputar permasa-

lahan kekerasan psikis, penganiayaan, pemecatan semena-mena juga ditemukan adanya PRT

anak. Kalau untuk kasus di SAHdaR, yang pertama ada kasus Mariani Sambas, ini PRT anak

di Medan Labuhan di mana Mariani Sambas ini sampai berniat bunuh diri waktu itu dengan

cara memotong urat nadinya, kasus ini terjadi tahun 2009, memotong urat nadi dan masih

disiram air panas oleh majikan. Pada saat lari dan ditemukan masyarakat wajahnya bonyok

dan badannya terdapat sulutan bara rokok di belakang. Kasusnya bergulir di pengadilan tetapi

berakhir dengan mediasi, majikan melakukan ganti rugi untuk semua biaya pengobatan.

Kasus PRT Nuriyani, alias Yani. Yani bisu dan tuli, bekerja di Mandala saat itu usia-

nya masih 14 tahun, ia bekerja sejak usia 9 tahun, sering mengalami penyiksaan, kekerasan dan tidak diberi makan. Kemudian melarikan diri, lompat dari pagar sebab ia tidak diper-

bolehkan dan diberi kesempatan keluar dari rumah majikan, tidak bergaul dengan tetangga sebab bisu dan tuli.

Kasus lain yang ditangani SAHdaR adalah Harlifa, bekerja sebagai baby sitter asal dari

kota Solo, tidak diperbolehkan keluar rumah dan tidak digaji majikan selama 3 bulan kemudian

lari. SAHdaR kemudian mengupayakan mengembalikannya ke kota Solo. Berikut-nya PRT yang

bernama Ratih, ia juga pekerja anak mengalami kekerasan psikis sebab selalu dikurung dan tidak

boleh begaul dengan tetangga lainnya. Ada juga PRT bernama Lusi yang tidak boleh berhenti

bekerja dikarenakan majikan merasa sudah cocok, kejadian ini di Tanjung Balai dia baby sitter

dari Jakarta. Selanjutya PRT bernama Tati, kategori masih pekerja anak yangdikurung dan tidak

diperbolehkan ke luar rumah, terjadi di kota Medan di sekitaran Medan Deli, umumnya PRT ini

keluar dan diketahui masyarakat karena melarikan diri.

Karakteristik PRT di Sumatera Utara itu, yang pertama:

1) Perempuan, kebanyakan yang kita organisir hampir 99% perempuan, kemudian

mereka itu punya budaya andalimo, ya kalau gini ya udahlah daripada engga mereka kebanyakan seperti itu.

2) Hampir semua lulusan SD, untuk yang kita organisir kebanyakan berusia di atas 30

tahun, sebagian tidak bisa baca tulis, kebanyakan tinggal di pinggiran kota Medan dan

kebanyakan rumah masih sewa, pasangan ibu-ibu PRT ini kebanyakan pekerja kasar,

tukang becak, tukang bangunan, pekerja serabutan dan tak jarang sebagian itu single

parent. Nah ini yang menarik, sebetulnya ada satu keluarga yang kita

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 92/432

Page 7: Star Jogja, 24 Agustus 2017, Belum Semua Warga di Daerah ... · pasar jadi mereka hasil produksi ditentukan oleh pemberi kerja, jadi misalnya mereka pemberi kerja mengatakan produksinya

dampingi, anak PRT itu juga PRT termasuk satu keluarga itu PRT anaknya, kakak

dari si ibu, neneknya jadi satu keluarga itu PRT. Padahal sebetulnya anak-anaknya itu mengenyam pendidikan sekolah sampai SMA tapi karena skill-nya tidak ada

ya paling jadi PRT lagi.

Upah PRT di kota Medan, ini penelitian SAHdaR tahun 2014:

a) untuk upah mencuci pakaian, 5 – 6 orang upahnya cuma Rp150.000,00 sampai Rp200.000,00.

b) kemudian mencuci dan menggosok pakaian 3 – 6 orang upahnya Rp300.000,00.

c) mencuci, menggosok dan mengepel, 5 – 6 orang untuk 1 rumah tangga dibayar

dengan upah Rp250.000,00 – Rp550.000,00.

d) kemudian ini komplit mencuci, gosok, ngepel, nyapu, ngelap bersihkan kamar mandi dan mencuci piring, 6 – 7 orang 1 rumah tangga dibayar Rp600.000,00.

e) kemudian ada lagi cuci, gosok, nyapu, ngepel, ngelap, membersihkan kamar

mandi dan memasak itu dibayar Rp450.000,00 – Rp500.000,00.

f) yang terakhir mencuci, menggosok, memasak dan jaga anak itu dibayar Rp500.000,00.

Pelanggaran terkait upah yang dialami PRT, dari penelitian SAHdaR waktu itu. Dengan judul perlindungan terhadap upah PRT di Kota Medan sebagai berikut:

a) Tidak ada standar atau ukuran yang jelas dalam menentukan besaran upah PRT.

b) Upah yang diterima masih jauh di bawah standar.

c) Sering mengalami keterlambatan pembayaran upah.

d) Upah kerja tambahan sering sekali tidak dibayarkan. Upah kerja tambahan ini

maksudnya gini, ibu-ibu PRT ini juga kadang mendeskripsikan majikan baik itu

berbeda. Jam kerja 5 jam karena majikan baik, baik dalam artian perkataan yang

jarang PRT itu sebetulnya menerima kalimat-kalimat makian, karena majikannya

dianggap baik dalam pengertian dia, jadi sewaktu majikannya “minta tolong”,

tolong dong ini tolong dong itu. Artinya itu di luar beban kerja yang harus dia

laksanakan, tapi karena dia gak enak hati untuk menolak permintaan tolong dari

majikan akhirnya dilaksanakan. Nah itu termasuk dalam upah kerja tambahan

yang tidak dibayarkan.

e) Kemudian terdapat PRT yang dipecat karena meminta kenaikan gaji dan ini ada di

kelompok kita, karena dia sudah kerja sekitar 14 tahun minta dinaikkan gaji di

mana gajinya waktu itu sekitar Rp700.000,00 dia dari Medan Deli kerja di

Tanjung Anom, itu kan jauh ya dengan gaji Rp700.000,00 minta dinaikkan gaji

untuk uang transport itu minta kenaikan gaji tahun 2015, tetapi tidak dikasih sama

majikan akhirnya dipecat.

Berikut identifikasi SAHdaR sebagai permasalahan yang sering muncul dalam hubungan PRT dengan majikannya:

1. Akarnya sebenarnya kontrak kerja. Di mana ibu PRT ini tidak memiliki kontrak kerja, di mana kalaupun ada kontrak kerjanya itu hanya secara lisan dan tidak jarang ibu PRT ini mendapat kerja melalui orang ke-3.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 93/432

Page 8: Star Jogja, 24 Agustus 2017, Belum Semua Warga di Daerah ... · pasar jadi mereka hasil produksi ditentukan oleh pemberi kerja, jadi misalnya mereka pemberi kerja mengatakan produksinya

2. Gaji secara berkala. Banyak ibu majikan yang menahan gaji, tidak tepat waktu seperti di tanggal 15 kadang ibu majikannya bayar di tanggal 20.

3. Jam kerja PRT itu sekitar 11 jam/hari. Kemudian ada juga PRT yang tetap siaga

jika kapan saja dibutuhkan majikan baik siang maupun malam hari.

4. Tidak bersosialisasi atau berorganisasi.

5. Nah ini yang menarik suami tidak terlayani sehingga muncul KDRT/kasus per-ceraian.

6. Dampak lain yang terjadi di kalangan PRT adalah banyaknya angka perceraian

yang dialami PRT disebabkan suami merasa diabaikan. Tahun 2017 SAHdaR

menangani kasus perceraian PRT di pengadilan agama, 4 sudah selesai 3 lagi

berjalan, suami merasa diabaikan karena tidak jarang 1 PRT itu bekerja sampai di

5 rumah majikan. Mulai bekerja sejak pukul 06.00 WIB, sekali mencuci di satu

rumah bisa memakan waktu selama 2–3 jam.

Tahun 2013, Badan Hukum Provinsi Sumatera Utara, diundang oleh Komisi A DPRD

Sumatera Utara untuk membahas Draft Raperda Perlindungan PRT, dari akademisi SAHdaR

juga mengundang Agusmidah (FH USU) ikut serta membahas tindak lanjut dari draft

tersebut, tapi dalam pertemuan tersebut Komisi E DPRD Sumatera Utara dan pihak Pemprov

Sumatera Utara berdebat dan saling melimpahkan agar usulan peraturan tersebut diajukan

sebagai Perda, sebaliknya pihak DPRD mengusulkan agar dilakukan oleh Pemda saja dalam

bentuk Peraturan Gubernur, setelah itu kabar tentang rancangan peraturan perlindungan PRT

tersebut tidak terdengar kabar lagi.

SAHdaR bersama dengan jaringan PRT - sekitar 41 jaringan se-Indonesia juga meng-ajukan RUU PRT yang menjadi RUU tahun 2009 sampai dengan tahun 2014, kemudian

menjadi prioritas tahun 2016 namun sampai saat ini juga tidak ada kelanjutannya, untuk pembahasan RUU ini anggota DPR sudah studi banding sampai ke Afrika Selatan selain

Filipina, sebab Afrika Selatan itu juga sudah mengeluarkan UU PRT.

Guna melindungi PRT aturan yang bisa digunakan adalah KUHP, KUHPerdata, UU

Perdagangan Orang dan UU KDRT. Penelitian mengenai PRT tahun 2015 oleh Ibrahim

(peneliti SAHdaR) berkesimpulan bahwa ketiadaan payung hukum inilah yang menyebab-

kannya maraknya kasus PRT karena tidak ada hukum spesifik dan penerapan hukum yang

tegas menyebabkan masyarakat terkesan sepele dan memandang rendah posisi pekerja PRT.

Hal ini menyebabkan pekerja rentan mengalami tindakan kekerasan dan eksploitasi.

Penelitian tersebut juga menemukan bahwa modus penganiayaan PRT itu karena ada

motif ekonomi. Memperkerjakan anak di bawah umur dalam kondisi kerja yang tidak layak

dan sampai menimbulkan korban jiwa. SAHdaR sejak tahun 2011 sampai dengan sekarang

aktif mensosialisasi Konvensi ILO 1989 tentang Kerja Layak PRT. Kebetulan kemarin di sesi

100 Konvesi ILO SAHdar melalui perwakilan di Geneva turut merumuskan unsur kerja layak

PRT di tahun 2011. Ada 20 poin unsur layak kerja PRT harapkan anggota dewan (DPRD)

ingin membuat perda atapun perpu diharapkan mencakup 20 unsur tersebut di dalam aturan

yang dibuat nantinya.

Perwakilan dari Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumatera Utara, Makmur Tinanbunan

menyatakan bahwa secara konstitusional Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menjadi landasan

fundamental bagi perlunya negara memberi ruang hukum yang jelas atas keberadaan tenaga kerja

yang melakukan pekerjaan termasuk pekerjaan berbasis rumah. Pengawasan terhadap pekerja

rumahan selama ini belum ada dasar hukumnya, pengawasan masih dilakukan di sektor

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 94/432

Page 9: Star Jogja, 24 Agustus 2017, Belum Semua Warga di Daerah ... · pasar jadi mereka hasil produksi ditentukan oleh pemberi kerja, jadi misalnya mereka pemberi kerja mengatakan produksinya

pekerjaan formal. Jika ada peraturan yang memerintahkan pengawas ketenagakerjaan melakukan pengawasan maka akan dilaksanakan.

Berkaitan dengan pekerjaan rumahan yang dipaparkan oleh Bitra tentang kondisi

empiris pekerja rumahan dan oleh SAHdaR untuk pekerja rumah tangga tentunya dari segi

aturan yang berbasis undang-undang semuanya melanggar aturan, baik dari upah, perlin-

dungan sosial, waktu kerja dan waktu istirahat, maupun perlindungan K3, apalagi terhadap

pekerja anak. Berimbas perlindungan masalah lingkungan, juga mengganggu pendidikan

anak, keharmonisan rumah tangga, pekerjaan ini dikerjakan sampai larut malam, waktunya

tidak jelas karena mengejar target, padahal yang dikejar juga mungkin hanya Rp15.000,00

sampai Rp20.000,00. Perusahaan yang pemberi pekerjaan tadi tidak mempertimbangkan juga

daya listrik (tidak dihitung), juga tidak dihitungkan penggunaan air. Jika dihitung pendapatan

Rp20.000,00 sebenarnya bersih hanya Rp5.000,00 yang mereka terima.

Pasal 27 UUD 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara dan orang berhak terhadap

kehidupan yang layak. Pengawas Ketenagakerjaan tentunya dibatasi oleh regulasi untuk

melakukan pengawasan objek-objek pengawasan tersebut, kewenangan sebagaimana dimuat

dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1981 itu adalah pengawasan terpadu, kemudian Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003. Sayangnya fokus dalam UU tersebut adalah perusahaan-

perusahaan yang formal, yayasan-yayasan sosial, termasuk juga badan usaha BPR yang menjadi

objek pengawasan. Jumlah Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang kini ada di Provinsi

Sumatera Utara jumlahnya sekitar 92 orang, ini dirasakan kurang memadai sebab jumlah

perusahaan yang menjadi objek pengawasan sekitar 10.100-an perusahaan.

Pekerja Rumahan dan Produktivitas Usaha

Elisabeth (2014), dari akademisi (Ekonomi) pernah melakukan penelitian tentang pekerja rumahan, menemukan setidaknya:

a) Fenomena Pekerja Rumahan khusunya Sumut sudah ada setidaknya 50 tahun lalu, dilakukan turun temurun sampai cucunya pun meneruskan pekerjaan, misal terjadi di Tanjung Balai dan beberapa kota di Medan.

b) BPS tidak memasukkan PR sebagai bagian penduduk bekerja, sehingga income

per kapita tetap rendah. Income per kapita masyarakat Indonesia bisa tinggi kalau Pekerja Rumahan diperhatikan dan didata.

c) Pekerja Rumahan tidak memiliki kejelasan status kerja, menyebabkan pekerja

rumahan rentan terjadi eksploitasi dan tidak dilindungi oleh undang-undang.

d) Kondisi kerja dan lingkungan pekerja rumahan tentunya bukan lokasi yang sesuai dengan standar kerja yang layak.

e) Pekerja rumahan belum memiliki serikat, belum ada hasrat dan pengetahuan untuk

berorganisasi.

Kedudukan PR dalam peningkatan produktivitas perusahaan dinyatakan Elisabeth:

a. Efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan tenaga kerja berbasis rumahan dari

sisi ekonomi dikarenakan Pekerja Rumahan memiliki jasa yang rendah, daya

tawarnya rendah, karena mereka dapat dengan mudah digantikan oleh pekerja

lain. Belum terlindungi oleh hukum, karena tidak ada kewajiban perusahaan

untuk memperlakukan mereka seperti karyawan yang ada di perusahaannya

yang formal.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 95/432

Page 10: Star Jogja, 24 Agustus 2017, Belum Semua Warga di Daerah ... · pasar jadi mereka hasil produksi ditentukan oleh pemberi kerja, jadi misalnya mereka pemberi kerja mengatakan produksinya

b. Mengukur tingkat produktivitas pekerja rumahan apakah tinggi atau rendah,

dapat dilakukan dengan apakah pekerjaan yang mereka terima semakin ber-tambah. Bertambahnya pekerjaan maka akan mendapat bayaran yang semakin

tinggi.

c. Penelitian yang pernah dilakukan menemukan bahwa gaji pekerja rumahan besarnya 1/8 dari besaran upah minimum.

d. Jika upah yang menjadi faktor produksi bisa murah, maka perusahaan bisa

memproduksi barang lebih banyak, bisa menjual lebih murah, bisa bersaing dengan perusahaan lain di pasar.

Pembentukan Perda di Era Otonomi Daerah

Yusrin, Akademisi (Hukum Tata Negara FH USU) menyatakan:

a) Pembentukan Perda maka aturan yang terkait ada dua peraturan, pertama Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

b) Alasan bagi terbitnya Perda pekerja sektor non formal dapat didasarkan pada

konteks adanya kebutuhan lokal, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 itu menampung kondisi khusus daerah sebagai alasan pembentukan peraturan,

termasuk perda.

DPRD memang mempunyai ruang yang bisa dipakai dalam membuat materi tentang

kebutuhan lokal, mengenai muatan lokal dan lain-lain. Jadi secara formal peraturan per-undang-undangan agar lebih spesifik fokusnya sebaiknya antara peraturan PRT dan pekerja

rumahan dapat dipisah dalam dua peraturan.

Anggota Komisi B DPRD Kabupaten Deli Serdang, Cece Moh. Romli, pada intinya menyatakan:

a. pengusaha harus memahamkan bahwa pekerja adalah human capital atau pekerja adalah aset sehingga menjadi sebuah modal/capital atau setara dengan saham

yang manfaatnya sangat penting bagi perusahaan.

b. Rasa optimis kalau Perda ini lahir di Sumatera Utara, maka kemudian dapat menjadi menjadi acuan hukum bagi Pemerintah Kabupaten/Kota.

c. Ada baiknya dibangun semacam keagenan atau aliansi sehingga apabila ada

perusahaan butuh pekerja rumahan, maka harus menandatangani kontrak, jadi yang perlu dibangun adalah agensi pekerja rumahan.

Anggota DPRD Kota Medan, S. Maruli T. menyampaikan dapatkah pekerja rumahan

ini disamakan dengan sistem sharing bisnis yang dewasa ini berkembang seperti Go-Jek dan Go-Car. Sharing ekonominya saat ini langsung ke rumah-rumah, ini dapat berdampak tidak

ada orang lagi yang mau buat industri.

Ikrimah Hamidi dari DPRD Provinsi Sumatera Utara, menyatakan dalam FGD sebagai berikut:

a. DPRD Provinsi Sumatera Utara tidak akan membahas masalah pekerja rumah tangga karena informasinya, pekerja rumah tangga ini sudah masuk di RUU (DPR RI).

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 96/432

Page 11: Star Jogja, 24 Agustus 2017, Belum Semua Warga di Daerah ... · pasar jadi mereka hasil produksi ditentukan oleh pemberi kerja, jadi misalnya mereka pemberi kerja mengatakan produksinya

b. Perdebatan yang timbul membahas Draft Raperda PPR adalah menyangkut isi/-konten dan muatan pokok dari Perda itu sendiri, dikaitkan dengan keberadaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang tidak mengatur pekerja non formal.

c. Kasus PR dianggap tidak cukup mencuat hubungan antara pengusaha dan pekerja

rumahan ibarat simbiosa mutualisme.

d. DPRD akan kembali mengadakan RDP dengan memanggil pihak pengusaha.

e. DPRD akan melakukan koordinasi ke Kementerian Dalam Negeri.

Pengawas Ketenagakerjaan menyampaikan apabila ada regulasi yang mewajibkan

untuk dilakukan pengawasan, maka akan dilaksanakan. Petugas pengawas lebih menampatkan

posisinya sebagai pelaksana teknis, bukan pengambil kebijakan di bidang ketenagakerjaan.

Pengusaha yang mempekerjakan pekerja rumahan juga menyampaikan tidak akan keberatan

apabila ada aturan bagi pekerja rumahan, meski pilihan mereka adalah akan mempertimbang-

kan untuk mempekerjakan pekerja rumahan kembali. Ini senada dengan yang disampaikan

dari DPD APINDO Kabupaten Deli Serdang bahwa tidak keberatan apabila ada pengaturan

tentang penggunaan pekerja rumahan.

DPRD Provinsi Sumatera Utara menyampaikan akan melakukan tindakan evaluasi ke

Kementerian Dalam Negeri untuk membahas apakah Draft Raperda Perlindungan Pekerja

Rumahan ini dapat dilanjutkan pembahasannya atau tidak. Tanggal 10 Agustus 2017 DPRD

Provinsi Sumatera Utara bersama Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumatera Utara melakukan

kunjungan kerja yang diagendakan untuk mengkoordinasikan Raperda Perlindungan Pekerja

Rumahan ke Kementerian Dalam Negeri dan DPR RI.

Guna mendapatkan informasi tentang kunjungan kerja tersebut, maka dilakukanlah pertemuan dengan pihak Dinas Tenaga Kerja pada tanggal 14 September 2017 bertempat di

Kantor Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumatera Utara Jalan Asrama Medan. Hadir dari Bitra Indonesia dan Aliansi Serikat Pekerja Rumahan.

Inti dari hasil kunjungan kerja ke Kementerian Dalam Negeri dan DPR RI:

a. Di Kemendagri rombongan diterima oleh eselon empat, sehingga rekomendasi yang diberikan dianggap tidak mencerminkan kebijakan yang dianggap mewakili

kebijakan Kemendagri. Bahkan tidak terjawab tujuan dari kunjungan tersebut yaitu mempertanyakan tentang apakah DPRD Sumut dapat meneruskan untuk

membahas Perda PR?

b. Di DPR RI diterima oleh Staf Ahli, sebab anggota Dewan sedang tugas ke luar, Staf Ahli meminta Dinas Tenaga Kerja mendorong Kementerian Tenaga Kerja agar segera menerbitkan Peraturan Menteri.

Rentannya Kedudukan PRT Berhadapan dengan Majikan (Putusan Nomor 1454/-

Pid.B.2017/PN.Mdn atas nama Rahayu Astuti binti Sugiarto)

Putusan Hakim telah memutuskan PRT melakukan kesalahan mencuri (terbukti unsur

kejahatan), namun sangat disayangkan tidak ada pertimbangan hukum hakim yang menilai

perbuatan majikan telah melakukan praktik kerja tidak layak. Padahal dalam pertimbangannya

hakim mengakui perihal alasan melakukan pencurian adalah untuk dapat kembali ke kampung

sebab selama bekerja (4 tahun) belum pernah diizinkan menemui orang tuanya kembali (halaman

30 Putusan). Hakim tidak menggali adanya hak ketenagakerjaan yang tidak dipenuhi

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 97/432

Page 12: Star Jogja, 24 Agustus 2017, Belum Semua Warga di Daerah ... · pasar jadi mereka hasil produksi ditentukan oleh pemberi kerja, jadi misalnya mereka pemberi kerja mengatakan produksinya

Hasanuddin Law Review Vol. 2 Issue 2, August (2016)

oleh pemberi kerja (majikan), hal ini dikarenakan norma hukum belum ada secara eksplisit.

Undang-Undang Ketenagakerjaan belum memberi ruang bagi pekerja sektor non formal ini.

Wawancara dengan Azmiati Zuliah yang mendampingi PRT Linda dan Ayu dalam

proses di persidangan di PN Medan, yang menjelaskan bahwa hukuman yang dijatuhkan

hakim sangat tidak sebanding dengan apa yang dilakukan keduanya. Mereka melakukan

pencurian karena dilatar belakangi oleh kondisi kerja yang tidak layak, upah mereka tidak

sesuai dengan perjanjian awal, jam kerja panjang dari pagi sesudah subuh sampai dini hari

sebab harus membantu pekerjaan di cafe milik isteri majikan. Lebih mirisnya adalah

penangkapan terhadap keduanya dilakukan di kampung (Pati) dengan sejumlah pasukan

(polisi) bersenjata seolah menangkap teroris. Hal ini terjadi karena majikan pria adalah Polisi.

Wawancara dengan Rina Sitompul yang beberapa kali mendampingi PRT yang

mengalami kekerasan. Menurut beliau selama ini yang mencuat adalah kekerasan dalam

rumah tangga saja, perihal hak-hak ketenagakerjaan tidak menjadi pertimbangan hukum

hakim. Beberapa kasus PRT berhasil mendapat hak restitusi dengan tujuan meringankan

hukumannya (misal kasus Syamsul). Kasus PRT umumnya diselesaikan melalui UU PKDRT,

jika memenuhi unsur perdagangan manusia, maka akan digunaan UU TPPO seperti halnya

pada kasus Mohar (2014) dan kasus Syamsul (2015). Penggunaan UU PKDRT ada sisi

kelemahan, yaitu berupa delik aduan.

KESIMPULAN

Tidak termasuknya pekerja informal dalam UU Ketenagakerjaan, menyebabkan posisi

rentan PRT dan PR, padahal dalam mengeluarkan perda bagi perlindungan pekerja sektor

informal dengan alasan tidak ada payung hukum yang melandasinya. Padahal fungsi dan

tugas DPRD dalam rezim otonomi daerah diberi wewenang untuk membuat regulasi

diantaranya berdasarkan kebutuhan daerah. Pertimbangan akan kuantitas pekerja rumahan dan

pekerja rumah tangga yang terus meningkat, namun tidak diimbangi oleh jaminan

perlindungan dan kesejahteraan, formalisasi pekerjaan yang dikuatirkan akan mendistorsi

hubungan kerja formal, mengubahnya menjadi hubungan kerja informal, sebagaimana

megatrend outsourcing yang terjadi demi alasan efisiensi usaha, patut diperhatikan.

ACKNOWLEDGMENTS

Terimakasih kepada Kementerian Riset dan Teknologi Dirjen Pendidikan Tinggi yang

telah memberikan hibah untuk skim Penelitian Produk Terapan – DRPM tahun 2017, dengan nomor kontrak Nomor 56/UN5.2.3.1/PPM/KP-DRPM/2017. Terimakasih juga pada Lembaga

Penelitian USU dan pihak Rektorat yang telah banyak memberi bantuan sehingga hibah DRPM 2017 bisa diperoleh.

DAFTAR PUSTAKA

Aliansi Serikat Pekerja/Serikat Buruh Peduli Pekerja Rumahan, 2015, Naskah AkademikRacangan Peraturan Daerah Pekerja Rumahan di Sumatera Utara.

Bitra Indonesia, 2017, Pekerja Rumahan Potret Buram dalam Mata Rantai Industri, PPT.

Putusan Nomor 1454/Pid.B/2017/PN.Mdn atas nama Terdakwa Rahayu Astuti binti Sugiarto, pekerjaan PRT.

Transkrip FGD tanggal 18 Juli 2017.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 98/432

Page 13: Star Jogja, 24 Agustus 2017, Belum Semua Warga di Daerah ... · pasar jadi mereka hasil produksi ditentukan oleh pemberi kerja, jadi misalnya mereka pemberi kerja mengatakan produksinya

Transkrip Wawancara RDP di DPRD Provinsi Sumatera Utara tanggal 25 Agustus 2017.

Transkrip Wawancara dengan Kuasa Hukum PRT Terdakwa Melakukan Pencurian.

Transkrip Wawancara dengan Kuasa Hukum PRT yang mengalami kekerasan majikan.

Transkrip Wawancara dengan Serikat Pekerja Rumahan Sejahtera, 12 September 2017.

Transkrip Pertemuan dengan Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumatera Utara, tanggal 14 September 2017.

Prosiding Konferensi ke-2 P3HKI di Medan, 12 - 13 Oktober 2017 - 99/432